ANALISIS RISIKO KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE BERDASARKAN INFORMASI ENSO DAN IOD (Studi Kasus Pulau Jawa) FENNYKA PRATAMI PUTERI

ANALISIS RISIKO KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE BERDASARKAN INFORMASI ENSO DAN IOD (Studi Kasus Pulau Jawa)

FENNYKA PRATAMI PUTERI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

ABSTRACT FENNYKA PRATAMI PUTERI (G24080004). Analiysis The Risk of Dengue Fever Disease Base of ENSO and IOD Information (Study Case of Java Island) Supervised by Rini Hidayati Dengue fever disease (DBD) is an infectious and endemic disease that is increase doing in the beginning and ending of rainy season. The disease is caused by the Dengue virus that related with influence of climate variability, including rainfall. Rainfall is affected by El Nino Southern Oscillation (ENSO) and the Indian Ocean Dipole (IOD) phenomenon. ENSO and IOD information will provide benefits in the determination of the dengue incidence rate, especially in the area which has monsoon rainfall type, like Java Island. However, not all areas in Java Island are affected by ENSO and IOD phenomenon. The objective of this study is to determine the influence of ENSO and IOD phenomenon with respect to dengue incidence rate in the form of a DBD area vulnerability map. The analysis is use correlation between ENSO and IOD against developed incident rate (IR) of DBD in Java. Then, the vulnerability areas using GIS (geographic information system). This study demonstrated that when ENSO and IOD was in the Positive 4 phase, most areas in Java are hyperendemic. After that, we predicted IR DJF with IOD and ENSO. The correlation between IR December-January-February (DJF) and IOD is 0.480 in cluster fourth of June. The correlation between March’s ENSO and IR DJF is 0,586 in cluster sixth. The prediction of IR March-April-May (MAM) is only affected by the correlation of November’s IOD 0,662 on cluster Sixth. Commonly, ENSO and IR haven’t a significant correlation and effect toward DBD cases in some parts of Java Island. Keywords : Dengue fever diseases (DBD), ENSO, IOD, Analysis correlation.

ABSTRAK FENNYKA PRATAMI PUTERI (G24080004). Analisis Risiko Kejadian Demam Berdarah Berdasarkan Informasi ENSO dan IOD (Studi Kasus Pulau Jawa). Dibimbing oleh Rini Hidayati. Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi yang bersifat endemis dengan jumlah kasus yang meningkat diawal dan akhir musim penghujan. Penyakit ini disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes yang perkembangannya dipengaruhi oleh variabilitas iklim, salah satunya curah hujan. Curah hujan sangat dipengaruhi oleh fenomena Elnino Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD). Informasi ENSO dan IOD akan memberikan manfaat dalam memprediksi angka kejadian DBD pada daerah dengan pola hujan monsun, terutama di Pulau Jawa, meskipun tidak semua daerah di Pulau Jawa dipengaruhi oleh fenomena ENSO dan IOD. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan pengaruh fenomena ENSO dan IOD terhadap angka kejadian DBD dalam bentuk peta kerentanan wilayah. Analisis yang digunakan adalah analisis korelasi dan regresi antara ENSO dan IOD terhadap nilai IR penyakit DBD bulanan di Pulau Jawa. Analisis dilanjutkan dengan pemetaan kerentanan wilayah menggunakan Geographic Information System (GIS) berdasarkan informasi ENSO dan IOD. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada kondisi fenomena ENSO dan IOD Positif 4 sebagian besar wilayah di Pulau Jawa mengalami kejadian hyperendemic. Kejadian IR bulan Desember-JanuariFebruari (DJF) dengan IOD mempunyai korelasi yang cukup kuat sebesar 0,480 pada klaster 4 bulan Juni. IR DJF dengan ENSO memiliki korelasi sebesar 0,586 pada klaster 6 bulan Juni. Dalam memprediksi IR bulan Maret-April-Mei (MAM) korelasi yang kuat hanya didapatkan dengan IOD sebesar 0,662 pada klaster 6 bulan November. Secara keseluruhan fenomena ENSO tidak memiliki korelasi yang cukup baik terhadap kasus DBD di beberapa wilayah di Pulau Jawa untuk bulan-bulan tertentu. IR DBD pada klaster 4 dan 6 dapat diprediksi dengan baik menggunakan regresi IOD bulan September, Oktober, dan November.

Kata kunci : Demam Berdarah Dengue, ENSO, IOD, Analisis Korelasi.

ANALISIS RISIKO KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE BERDASARKAN INFORMASI ENSO DAN IOD (Studi Kasus Pulau Jawa)

FENNYKA PRATAMI PUTERI

Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana sains pada mayor meteorologi terapan

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

Judul Skripsi

Nama NIM

: Analisis Risiko Kejadian Demam Berdarah Dengue Berdasarkan Informasi ENSO dan IOD (Studi Kasus Pulau Jawa) : Fennyka Pratami Puteri : G24080004

Menyetujui: Pembimbing

Dr. Ir. Rini Hidayati, MS. NIP: 19600305 198703 2 002

Mengetahui: Ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi,

Dr. Ir. Rini Hidayati, MS. NIP: 19600305 198703 2 002

Tanggal Lulus:

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mencantumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

vii

KATA PENGANTAR Puji dan Syukur penulis ucapkan pada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat karunia-Nya karya ilmiah ini berhasil diselasikan. Judul yang dipilih dalam tulisan karya ilmiah ini adalah Analisis Risiko Kejadian Demam Berdarah Dengue Berdasarkan Informasi ENSO dan IOD (Studi Kasus Pulau Jawa). Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari 2012 hingga Juni 2012. Terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penyusunan karya ilmiah ini terutama kepada Allah SWT. dan kedua orang tua tercinta, ayahanda Kaherman dan Ibunda Nurtia, seluruh keluarga besar yang telah mendo’akan, memberi semangat, bantuan moril dan materil, serta kepada: 1. Ibu Dr. Ir. Rini Hidayati, MS. selaku pembimbing dan ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi serta seluruh dosen Geofisika dan Meteorologi yang telah memberi saya banyak ilmu. 2. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal PPM dan PL Direktorat Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang yang telah membantu dalam pengumpulan data dan informasi. 3. Pak Supono, Pak Udin, Pak Kaerun, Pak Nandang, Pak Azis, Ma Kiki, Bu Indah, Mba Icha, Mba Wanti terima kasih atas seluruh bantuannya. 4. Aulia G. Adrian atas semangat dan perhatiannya 5. Teman–teman GFM 45 terima kasih atas cerita dan kebersamaan yang sudah dilalui selama masa studi. 6. Faiz, Ferdy, Dicky, Mas Taufik, Dodi, dan Kak Bembi terima kasih atas bantuannya dalam mengkoreksi dan mengolah data. 7. Diyah, Aulia, Dora, dan Hanifa terima kasih atas persahabatan dan kekeluargaannya 8. Fella, Fitra, Fida, Mirna, Farrah, Mela, Nae, Aila, Sarah, dan Ruri terima kasih atas semangat dan bantuannya selama di Laboratorim. 9. Bang Geno dan Ratdil makasih atas kebersamaan, semangat, dan kekompakannya. 10. Teman-teman Ponput (Septy, Dian, Gusti, Sachi, Isa, Evi, Meylisa, Rara, Wirda, Qkay, Ester, Dewi, Mely, Kak Dora, Kak Wenny, Feby, Riska, Putri, Henny, Lidya, Dita, Astra, Kiki, dan Erti), 199 (Amel, Aum, dan Nia), Lolima, B05, FKMPS, serta IPMM yang selalu mendukung dan menyemangati. 11. Kakak kelas dan adik kelas GFM ( Nowa, Khabib, Enda, Angga, Lira, dan Roni). 12. Semua pihak yang banyak membantu penyelesaian skripsi ini yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Penulis menyadari karya ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna memperbaiki segala kekurangan tersebut. Penulis juga berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua yang membacanya.

Bogor, Juli 2012

Fennyka Pratami Puteri

viii

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di kota Padang Sumatera Barat pada tanggal 25 Februari 1990 sebagai anak tunggal. Penulis dibesarkan dengan penuh kasih sayang di keluarga yang sederhana yaitu pasangan Ayahanda Kaherman dan Ibunda Nurtia. Pada tahun 1993 penulis bersekolah di Taman KanakKanak Raudhatul Athfal Harapan Ibu, tahun 1996 penulis melanjutkan di SD N 19 Tarusan Kabupaten Pesisir Selatan. Pada tahun 2002 hingga 2005 penulis melanjutkan pendidikan di SMP N 3 Tarusan hingga lulus dan akhirnya melanjutkan ke SMA N 1 Tarusan sejak tahun 2005–2008. Penulis melanjutkan pendidikan pada tahun 2008 di Institut Pertanian Bogor dan diterima sebagai mahasiswa IPB melalui jalur USMI pada program studi Meteorologi Terapan. Pada tahun pertama penulis hanya mengikuti kegiatan Omda IPMM (Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Minang), FKMPS (Forum Komunikasi Mahasiswa Pesisir Selatan), dan ketika masuk ke departemen penulis mulai aktif pada berbagai organisasi yaitu SPIRIT dan ISHARE. Pada tahun kedua organisasi yang diikuti oleh penulis yaitu anggota Himpunan Mahasiswa jurusan Geofisika dan Meteorologi (HIMAGRETO) dan pada tahun 2011 penulis diberi kesempatan magang di BMKG Bandara Internasional Minangkabau Padang dan Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat, serta Dinas Kesehatan Kota Padang. Penulis membuat tugas akhir untuk mendapatkan gelar Sarjana Sains (S.Si) dengan judul Analisis Risiko Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) Berdasarkan Informasi ENSO dan IOD (Studi Kasus Pulau Jawa) dibawah bimbingan Ibu Dr. Ir. Rini Hidayati, MS.

ix

DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ............................................................................................................. v RIWAYAT HIDUP .................................................................................................................. vi DAFTAR ISI ........................................................................................................................... vii DAFTAR TABEL ................................................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................................... ix DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................................ x I PENDAHULUAN ........................................................................................................... 1.1 Latar Belakang ............................................................................................................. 1.2 Tujuan ..........................................................................................................................

1 1 1

II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................ 2.1 Gambaran Umum Pulau Jawa ..................................................................................... 2.2 Demam Berdarah Dengue (DBD)................................................................................. 2.2.1 Defenisi DBD ...................................................................................................... 2.2.2 Vektor DBD......................................................................................................... 2.2.3 Siklus Hidup Nyamuk Aedes Aegepty ................................................................. 2.2.4 Faktor Iklim ......................................................................................................... 2.3 Pengaruh Kejadian ENSO dan IOD.............................................................................. 2.3.1 ENSO (El nino Southern Oscilation)................................................................... 2.3.2 IOD (Indian Ocean Dipole) .................................................................................

1 1 1 2 2 2 3 4 4 5

III METODOLOGI ............................................................................................................ 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ...................................................................................... 3.2 Alat dan Bahan Penelitian ........................................................................................... 3.3 Metode Analisis ............................................................................................................ 3.3.1 Menghitung Nilai IR Penyakit DBD .................................................................... 3.3.2 Menentukan Kelas Kerawanan IR ....................................................................... 3.3.3 menentukan Fase ENSO dan IOD ........................................................................ 3.3.4 Analisis Korelasi .................................................................................................. 3.3.5 Pemetaan ..............................................................................................................

5 5 5 6 6 6 6 6 6

IV HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................................... 6 4.1 Korelasi Fenomena ENSO dan IOD terhadap IR ........................................................ 6 4.2 Pemetaan Tingkat Kerentanan Daerah di Pulau Jawa .................................................. 7 4.3 Klaster Tingkat Kerentanan Wilayah ........................................................................... 8 4.3.1 Korelasi Nilai IR Bulan DJF dengan IOD ........................................................... 8 4.3.2 Korelasi Nilai IR DJF dengan SOI ....................................................................... 8 4.3.3 IR DJF Klaster 4 pada Keadaan Kombinasi SOI dan IOD .................................. 9 4.3.4 Korelasi Klaster IR MAM dengan IOD .............................................................. 10 4.3.5 Korelasi Klaster IR MAM dengan SOI ............................................................... 11 4.3.6 Pemetaan IR Bulan MAM pada Klaster 4 Berdasarkan Informasi IOD ............. 11 V KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................................... 12 5.1 Kesimpulan ................................................................................................................. 12 5.2 Saran ........................................................................................................................... 12 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 12 LAMPIRAN ........................................................................................................................... 14

x

DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Halaman Nilai Peluang IR dengan Tingkat Endemic...........................................................................6 Kisaran Nilai Peluang Tingkat Kerentanan Wilayah ............................................................6 Modus IR di Pulau Jawa pada Kondisi ENSO dan IOD .......................................................8 Koefisien Korelasi (r) dan Nilai Uji-P Antara IR Bulan DJF dan IOD pada Setiap Klaster ..................................................................................................................................9 Koefisien Korelasi (r) dan Nilai Uji-P Antara IR Bulan DJF dan SOI pada Setiap Klaster ..................................................................................................................................9 Pengaruh Gabungan SOI (maret) dan IOD (Juni) Terhadap Tingkat Kerentanan Wilayah pada Klaster 4 Bulan DJF ....................................................................................................10 Koefisien Korelasi (r) dan Nilai Uji-P Antara IR Bulan MAM dan IOD pada Setiap Klaster ............................................................................................................................... 10 Persamaan Regresi Komponen Utama Antara IR Bulan MAM dengan IOD Bulan September, Oktober, dan November pada Kondisi Rata-rata Klaster 4 dan 6 .................... 10 Persamaan Regresi Komponen Utama Antara IR Bulan MAM dengan IOD Bulan September, Oktober, dan November pada Kondisi Rata-rata Anggota Klaster 4 ............... 11 Persamaan Regresi Komponen Utama Antara IR Bulan MAM dengan IOD Bulan September, Oktober, dan November pada Kondisi Rata-rata Anggota Klaster 6 ............... 11 Koefisiean Korelasi (r) dan Nilai Uji-P Antara IR Bulan MAM dan SOI pada Setiap Klaster ................................................................................................................................ 11 Tingkat Kerentanan IR MAM pada Fase IOD Bulan Juni (Klaster 1, 2, dan 5) serta Bulan November (Klaster 3, 4, dan 6) ................................................................................ 12

xi

DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4

Halaman Siklus Hidup Nyamuk ......................................................................................................... Foto Perkembangan Nyamuk Aedes agepty ........................................................................ Fase SOI .............................................................................................................................. Pola Sebaran IR pada Tingkat Kepercayaan 95% dan Fungsi Kumulatif Sebaran Empiris Log Normal 3 Parameter ........................................................................................

2 2 6 7

xii

DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7

Halaman Peta Daerah Rentan Penyakit DBD di Pulau Jawa pada Keadaan Positif 4...................... 15 Tabel Daftar Anggota Kelompok Klaster Wilayah........................................................... 16 Analisis Regresi Nilai IR Bulan DJF pada Klaster 4 dengan IOD Bulan Juni dan SOI Bulan Maret ...................................................................................................................... 17 Persamaan Regresi Komponen Utama Antara IR Bulan MAM dan IOD Bulan September, Oktober, dan November pada Kondisi Rata-rata Anggota Klaster 4 ............. 18 Persamaan Regresi Komponen Utama Antara IR Bulan MAM dan IOD Bulan September, Oktober, dan November pada Kondisi Rata-rata Anggota Klaster 6 ............. 23 Peta Tingkat Kerentanan Wilayah Klaster 1-6 Bulan MAM pada Keadaan IOD Negatif Bulan Juni dan November ................................................................................... 27 Peta Tingkat Kerentanan Wilayah Klaster 1-6 Bulan MAM pada Keadaan IOD Positif Bulan Juni dan November ................................................................................................ 28

1

I. 1.1

PENDAHULUAN

Latar belakang

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi yang menjadi masalah kesehatan khususnya di kota-kota besar. Penyakit ini disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes, antara lain nyamuk Aedes aegepty dan Aedes albopictus. Perkembangan virus dengue dan nyamuk Aedes aegepty dipengaruhi oleh faktor iklim. Gubler (2002) menyatakan bahwa curah hujan, suhu, dan variasi iklim mempengaruhi vektor dan patogen yang ditularkan oleh penyakit DBD. Penyebarannya juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan ekosistem, yaitu ketinggian, suhu permukaan laut, kelembaban, perubahan iklim global, dan letak geografis (Hasyim, 2007). Menurut Reiter (2001), faktor non iklim merupakan penentu utama kejadian DBD seperti tingkat ekonomi, aktivitas manusia, kepadatan penduduk, keadaan sosial, kondisi penutupan lahan, kurang baiknya sistem sanitasi lingkungan, dan pembukaan areal vegetasi yang akan mengakibatkan terbentuknya tempat perindukan nyamuk. Kejadian DBD meningkat pada awal dan akhir musim hujan. Menurut Naylor et al. (2001) data suhu permukaan laut pada nino 3.4 dapat digunakan sebagai prediktor awal musim hujan yaitu suhu muka laut bulan Agustus, September, dan Desember. Dengan demikian, data suhu permukaan laut diharapkan mempunyai korelasi tinggi dengan kejadian DBD pada awal dan akhir musim hujan. Menurut Tjasyono (2003), variabilitas iklim, khususnya curah hujan di Indonesia dipengaruhi oleh fenomena El-nino Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD). Pengaruh El-Nino akan kuat pada daerah yang dipengaruhi oleh sistem monsun (Sumatera bagian Selatan, Jawa, Bali, dan sebagian besar kawasan Indonesia bagian Timur), akan lemah pada daerah dengan sistem ekuatorial (Sumatera bagian Tengah, Kalimantan Tengah dan daerah-daerah yang dilewati garis khatulistiwa), dan kurang berpengaruh pada daerah dengan sistem lokal (Maluku). Indian Ocean Dipole sangat berpengaruh terhadap fenomena meteorologi disekitar Pulau Jawa (khususnya Jawa Barat dan sepanjang pulau Sumatera bagian sebelah Barat). Boer (2001) menyatakan, fenomena ENSO memiliki dampak terhadap peningkatan penyakit sehingga dapat digunakan untuk

menduga keterkaitan manusia dengan lingkungan hidup yang kondisinya berbeda, baik sosial-ekonomi maupun kondisi alamnya. Tingginya jumlah kasus DBD di Pulau Jawa merupakan salah satu alasan melakukan penelitian ini, sehingga informasi ini dapat digunakan untuk menentukan tingkat pengaruh iklim terhadap perkembangan penyakit manusia, terutama hubungan ENSO dan IOD terhadap kasus DBD di Pulau Jawa, karena curah hujan di Pulau Jawa sangat dipengaruhi oleh fenomena ENSO dan IOD. Dengan demikian akan diperoleh peta sebaran geografis penyakit DBD berdasarkan keadaan ENSO dan IOD. 1.2 Tujuan 1. Mengetahui hubungan fenomena ENSO dan IOD terhadap kejadian penyakit Demam Berdarah. 2. Mencari pola sebaran angka kejadian (IR) penyakit Demam Berdarah berdasarkan kondisi ENSO dan IOD. II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Gambaran Umum Pulau Jawa Pulau Jawa merupakan Pulau dengan jumlah penduduk terpadat di Indonesia. Berdasarkan topografinya, wilayah bagian utara Pulau Jawa merupakan dataran rendah. Pada bagian tengah Pulau Jawa terdapat deretan gunung dan pegunungan yang merupakan tempat hulu sungai-sungai utama. Diantara wilayah dataran rendah dan pegunungan/gunung terdapat daerah peralihan yang berupa dataran dan lembah, bagian selatan terdapat wilayah yang topografinya bervariasi dari dataran rendah, pegunungan dan wilayah patahan. Kondisi tersebut sangat mempengaruhi pembentukan iklim di Pulau Jawa (Rusdiana, 2001). Menurut data iklim Badan Meteologi dan Geofisika, Pulau Jawa berada pada tipe iklim A sampai F dengan curah hujan rata-rata tahunan berkisar antara 1000-5000 mm/tahun. Iklim A dan B terutama terdapat di Provinsi Jawa Barat, C dan D di Jawa Tengah, sedangkan E dan F di Jawa Timur. 2.2 Demam Berdarah Dengue(DBD) 2.2.1 Definisi Demam Berdarah Dengue Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) sering terjadi di daerah tropis dan muncul pada musim penghujan. Virus ini berkembang akibat pengaruh musim/alam serta perilaku manusia. Penyakit DBD adalah suatu penyakit demam yang disertai dengan adanya gejala

2

seperti pendarahan dari lubang dubur, hidung atau adanya tanda-tanda pendarahan yang dapat terlihat di bawah kulit, berupa bintikbintik merah yang terjadi secara sporadis dan epidemis. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegepty dan Aedes albopictus. Virus ini termasuk pada genus flavivirus, grup famili togaviridae dengan 4 serotipe, yaitu DENV-1 hingga DENV-4. Hasil penelitian Wuryadi (1990) menunjukan bahwa virus dengue serotipte 3 dan 4 merupakan virus serotipe yang paling dominan menyebabkan gejala klinis berat dan kematian pada penderita penyakit DBD. 2.2.2 Vektor DBD Vektor utama penular DBD adalah nyamuk Aedes aegepty yang berasal dari Mesir dan kemudian menyebar ke seluruh dunia, di mana nyamuk ini hidup dengan baik pada daerah yang beriklim tropis dan subtropis seperti Asia, Afrika, Australia, dan Amerika (Gubler, 2004). Nyamuk Aedes aegepty punya tubuh kecil, berwarna hitam dengan bintik-bintik putih. Pola berjangkitnya infeksi ini dipengaruhi oleh keadaan iklim dan kelembaban udara tinggi pada suhu yang panas (28-32 oC). Virus dengue menularkan penyakit DBD secara normal dan transovarial. Penularan secara normal adalah penularan virus setelah nyamuk menghisap darah penderita yang sedang viremia, yaitu keadaan dimana didalam darah penderita sedang terkandung virus dengue yang cukup banyak. Pada transovarial, dapat ditularkan oleh nyamuk betina kepada keturunannya melalui telur nyamuk (Rosen and Freier, 1987) maupun oleh nyamuk jantan melalui proses perkawinan, yang kemudian akan ditularkan pada betina maupun telur yang dihasilkannya (Khin dan Than, 1983). Penularan DBD terjadi melalui gigitan nyamuk Aedes aegepty betina yang sebelumnya telah membawa virus dalam tubuhnya dari penderita DBD lain. Nyamuk ini menghisap dan menggigit darah pada pagi dan sore hari yaitu pada pukul 09.00-11.00 dan pada sore hari 16.00-17.00. Orang yang berisiko tinggi terkena DBD adalah anak-anak yang berusia dibawah 15 tahun dan penduduk yang sebagian besar tinggal di daerah atau lingkungan lembab (Depkes, 2007).

2.2.3 Siklus hidup nyamuk Aedes aegepty Siklus hidup nyamuk Aedes aegepty dimulai dari telur, larva, pupa, hingga dewasa. Siklus hidup yang dimulai dari telur, larva hingga pupa mengalami perkembangan di dalam air, sedangkan nyamuk dewasa perkembangannya menjadi serangga yang aktif dan terbang menghisap darah di darat/udara. Siklus nyamuk Aedes aegepty dijelaskan sebagai berikut ini : a. Telur

Gambar 1. Siklus Hidup Nyamuk

Gambar 2. Foto Perkembangan Nyamuk Aedes aegepty Sumber : science.howstuffworks.com/mosquito2.htm

Aedes aegepty betina memiliki perilaku meletakkan telurnya pada tempat yang tidak terpapar sinar matahari secara satu per satu. Mereka meletakkan telurnya di permukaan air yang jernih dan terlindung langsung dari cahaya matahari, atau menempelkan telurnya pada dinding penampungan air. Waktu perkembangan telur mulai dari penghisapan darah sampai telur dikeluarkan adalah 3-4 hari yang disebut dengan siklus gonotropik, dengan jumlah telur yang dihasilkan berkisar 50-500 (Depkes, 2007). Telur Aedes aegepty dapat bertahan sampai enam bulan ditempat yang kering pada suhu 21oC dan tidak dapat hidup pada suhu 10oC karena telur ini sangat sensitif dengan suhu rendah (Depkes, 2007). Menurut Sungkar (2005), pada waktu pertama kali diletakkan, telur bewarna putih, 15 menit kemudian menjadi warna abu-abu, dan setelah 40 menit bewarna hitam dengan ukuran ± 0,6 mm berbentuk oval dan berat ± 0,0113 mg. Kelembaban yang cukup tinggi di atas 70% akan mengakibatkan telur dapat

3

mengalami perkembangan embrio didalam cangkang. Jika telur tergenang air maka telur tersebut dapat menetas dengan cepat, namun bila kelembaban kurang, telur dapat menetas dalam waktu yang lama hingga mencapai 3 bulan dan jika lebih dari waktu tersebut maka telur akan mengalami penurunan fekunditas (tidak mampu menetas lagi). Saat musim kemarau, densitas telur nyamuk rendah karena tidak mendapatkan tempat untuk menetas, sedangkan pada musim penghujan populasi telur meningkat karena banyaknya genangan air sehingga nyamuk mendapatkan kelembaban yang tinggi sampai akhirnya menetas. b. Larva Larva Aedes aegepty memiliki ciri-ciri sebagai berikut :  Gerakan renang yang cepat dan mampu menekuk tubuhnya hingga sudut siku-siku.  Bersifat photophobia (tidak toleran terhadap cahaya matahari).  Pada waktu istirahat posisinya hampir tegak lurus dengan permukaan air Larva /jentik akan berubah menjadi pupa dalam waktu 4-8 hari pada temperatur 20ºC27ºC dan mati pada suhu di bawah 10ºC atau di atas 36ºC. Larva Aedes aegepty dapat bertahan pada tanah yang lembab selama 13 hari (Depkes, 2007). c. Pupa Stadium ini merupakan masa sebelum mencapai fase dewasa. Waktu yang dibutuhkan oleh larva hingga menjadi kepompong adalah sekitar 1,5-2,5 hari. Beberapa pupa atau kepompong dapat hidup pada temperatur air 47ºC selama 5 menit dan sebanyak 82-100%, dapat hidup pada temperatur 4,5ºC selama 24 jam (Depkes RI, 2007). d. Dewasa Siklus hidup pupa menjadi nyamuk dewasa terjadi selam 1-5 hari dan dapat bertahan hidup selama 50 hari (Depkes RI, 2007). Perkawinan dilakukan 24-28 jam setelah menjadi nyamuk dewasa, nyamuk betina dewasa akan bertelur setelah menghisap darah, nyamuk ini mulai menghisap darah pada hari kedua atau ketiga setelah menjadi nyamuk dewasa, hal ini dilakukan untuk mematangkan telurnya. Nyamuk dewasa akan mati pada suhu dibawah 6ºC dan diatas 36ºC jika terpapar selama 24 jam. Suhu yang disukai oleh nyamuk dewasa adalah 26ºC, sedangkan pada

suhu 10ºC dan kelembaban relatif 100% nyamuk dewasa dapat hidup selama 30 hari tanpa makan dan minum. Nyamuk betina dewasa dapat bertahan hidup selama 102 hari. Variasi umur nyamuk sangat dipengaruhi oleh suhu, kelembaban, makanan, dan aktivitas reproduksi. Karakteristik nyamuk dewasa menurut Departemen Kesehatan (2007) yaitu :  Tergolong antropofilik, baik secara endofagik (menggigit dalam rumah) atau eksofagik (menggigit diluar rumah).  Memiliki kebiasaan multiple biter yaitu menggigit berulang-ulang beberapa orang secara bergantian dalam waktu yang relatif singkat.  Memilih tempat istirahat diluar rumah (eksofilik) seperti pekarangan, kebun, dan semak. Selain itu juga banyak ditemukan didalam rumah (endofilik) seperti di tempat gelap yang tergantung.  Memiliki jangkauan terbang maksimal 100 kaki dari tempat perindukannya. 2.2.4 Faktor iklim Beberapa faktor iklim yang mempengaruhi perkembangan nyamuk Aedes aegepty adalah: a. Suhu Suhu tinggi dapat mengubah kemampuan vektor borne disease dari nyamuk. Suhu mempengaruhi sifat vektor dan patogennya dalam hal kemampuan bertahan hidup. Suhu tinggi dapat menurunkan ukuran vektor serta aktivitas pada vektor lain. Suhu mempengaruhi perubahan pada populasi pertambahan vektor dan perkembangannya. Suhu juga mempengaruhi siklus hidup nyamuk seperti memperlambat telur menetas, mempengaruhi perkembangan embrio, larva, pupa, dan frekuensi mengigit (Sukowati, 2004). Perubahan pada suhu dapat mengakibatkan dinamika pada musim penularan penyakit berbasis vektor (Burke, 2001). DBD merupakan penyakit berbasis vektor yang terjadi musiman dan biasanya berhubungan dengan cuaca yang lebih hangat. Suhu juga akan menentukan kecepatan tumbuh kembang nyamuk, yaitu daya tahan nyamuk dewasa, lamanya siklus gonotropik, periode inkubasi ekstrinsik dan ukuran vektor yang mempengaruhi frekuensi menggigit serta kecepatan replikasi virus (Sehgal, 1997). b. Curah hujan Peningkatan curah hujan dapat meningkatkan keberadaan vektor penyakit dengan memperluas habitat larva yang ada

4

dan memicu tempat perindukan baru dari genangan air. Nyamuk pembawa DBD umumnya berada di daerah tropis dan subtropis yang didominasi dengan curah hujan yang cukup tinggi (Sukowati, 2004). Nyamuk Aedes aegepty memiliki daya tahan yang tinggi terhadap intensitas hujan yang tinggi, pada saat pradewasa nyamuk ini akan bergerak menuju dasar wadah tempat genangan jika terkena terpaan intensitas hujan yang tinggi maupun air hujan yang hangat. Namun ada sebagian larva yang terbawa oleh limpahan air hujan (Koenraadt and Harrington, 2008). Oleh karena itu ledakan penyakit DBD di Indonesia mengikuti pola penerimaan curah hujan c. Kelembaban Kelembaban dapat mempengaruhi kemampuan vektor borne disease, terutama vektor serangga. Kelembaban juga menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan, penyebaran, dan umur nyamuk. Nyamuk mengalami penurunan kemampuan bertahan hidup pada kondisi kering. Kelembaban udara menentukan daya tahan hidup nyamuk, yaitu menentukan daya tahan trakea yang merupakan alat pernafasan nyamuk. Hal ini dikarenakan oleh sistem pernafasan trakea yang menyebabkan nyamuk rentan terhadap kelembaban rendah (Sukowati, 2004). Penentu kejadian DBD adalah keadaan kelembaban pada periode 2 minggu sebelumnya (Schreiber, 2001). d. Ketinggian tempat Nyamuk Aedes aegepty hidup pada ketinggian 0-500 mdpl dengan daya hidup yang tinggi, sedangkan pada ketinggian 10001500 mdpl merupakan batas penyebaran nyamuk Aedes aegepty karena dengan ketinggian tersebut nyamuk tidak dapat bertahan hidup akibat perubahan suhu yang menurun (Hidayati et al. 2008). 2.3 Pengaruh kejadian ENSO dan IOD 2.3.1 ENSO (El-ninoSouthern Oscillation) ENSO merupakan salah satu fenomena laut di Samudera Fasifik yang sangat berpengaruh besar terhadap keragaman hujan di Indonesia (Boer, 2003). Menurut Yasunari (1990), terdapat hubungan negatif antara aktivitas monsun India dengan aktivitas ENSO, sehingga monsun India yang lemah dapat memicu terjadinya El Nino dan sebaliknya memicu La Nina. Selain itu, monsun India yang lemah akan memperlambat kedatangan musim hujan di

kepulauan Indonesia. El Nino terjadi karena Indeks Osilasi bernilai negatif atau disebut juga fase panas dari ENSO. Periode kejadian El Nino tidak berlangsung secara berurutan dari tahun ketahun, namun dapat terjadi setiap 3 sampai 7 tahun (Trenberth, 1997). Dampak El Nino terhadap kondisi cuaca global antara lain angin pasat timuran melemah, akumulasi curah hujan berkurang di wilayah Indonesia, Amerika Tengah dan Amerika Selatan bagian utara. Cuaca di daerah tersebut cenderung lebih dingin dan kering, dengan potensi hujan terdapat di sepanjang Pasifik Ekuatorial tengah dan Barat serta Argentina. La Nina merupakan fase dingin dari kejadian ENSO dengan Indeks Osilasi Selatannya bernilai positif. La Nina terjadi karena angin pasat timur yang bertiup disepanjang Samudera Fasifik menguat, sehingga massa air hangat yang terbawa semakin banyak ke arah Pasifik Barat. Akibatnya massa air dingin yang ada di Pasifik Timur bergerak keatas dan menggantikan masa air hangat yang berpindah tersebut (upwelling), maka suhu permukaan laut mengalami penurunan dari normalnya (Thurman, 1994). Kedua fenomena tersebut sangat berkaitan dengan angin dan pola curah hujan yang terjadi pada suatu daerah yang dilaluinya. Kejadian ENSO ini mencapai puncaknya pada akhir dan awal tahun yaitu pada bulan Desember sampai Februari (Smith and Petley, 1991). Menurut Stone et al. 1996 dalam Boer (2003), data Indeks Osilasi Selatan (SOI) digunakan dalam menentukan fase-fase ENSO yang dilakukan dengan membandingkan bulan ke-i dengan bulan ke-(i-1). Adapun fase-fase ENSO dibagi menjadi lima fase yaitu: 1. Fase 1: konstan negatif (Constantly Negative) 2. Fase 2: konstan positive (Constantly Positive) 3. Fase 3: menurun cepat (Rapidly Falling) 4. Fase 4: meningkat cepat (Rapidly Rising) 5. Fase 5: mendekati nol (Near Zero) Kondisi El-Nino biasanya digambarkan oleh fase konstan negatif dan fase menurun cepat (Fase 1+3), sedangkan La-Nina oleh fase konstan positif dan fase meningkat cepat (Fase 2+4), dan kondisi normal oleh fase mendekati nol (Fase 5).

5

2.3.2 IOD (Indian Ocean Dipole) Fenomena global lain yang secara signifikan mempengaruhi keragaman hujan di Indonesia adalah perubahan suhu permukaan laut di kawasan laut India. Fenomena tersebut dikenal dengan nama Indian Osillation Dipole (IOD) yang di kawasan tertentu menunjukkan cara kerja yang berlawanan dengan Southern Oscillation Index (SOI) (Boer, 2003). IOD merupakan gejala penyimpangan iklim yang dihasilkan oleh interaksi laut dan atmosfer di Samudera Hindia di sekitar khatulistiwa. Interaksi ini menghasilkan tekanan tinggi di Samudera Hindia bagian Timur (bagian Selatan Jawa dan Barat Sumatra) yang menimbulkan aliran massa udara yang berhembus ke Barat (Hermawan, 2007). Hembusan angin ini akan mendorong massa air didepannya dan mengangkat massa air dari bawah ke permukaan. Akibatnya, suhu permukaan laut di sekitar pantai Selatan Jawa dan pantai Barat Sumatera mengalami penurunan yang cukup drastis, sementara di dekat pantai Timur Afrika terjadi kenaikan suhu permukaan laut. Perbedaan suhu permukaan laut ini (anomali positif di sebelah Barat dan anomali negatif di sebelah timur) membentuk dua kutub, positif dan negatif, di Samudera Hindia (Saji et al. 2003b). Seperti halnya El Nino, kejadian Indian Osilation Dipole (IOD) direpresentasikan dengan suatu indeks yang disebut Dipole Mode Index (DMI), yaitu perbedaan Suhu Permukaan Laut (SPL) dibagian barat Samudera Hindia (50º70 º BT, 10 º LS-10 º LU) dan SPL dibagian timur Samudera Hindia (90 º -110 º, 10 º LSekuator) (Saji et al. 1999). IOD bersifat independen dari ENSO. Selama 127 tahun terakhir terjadi 14 kejadian IOD positif dan 19 kejadian IOD negatif yang kuat dan 5 kejadian IOD positif dan 7 kejadian IOD negatif yang terjadi bersamaan dengan ENSO, di mana 65% IOD yang kuat berlangsung ketika tidak ada kejadian ENSO. Kemarau panjang yang terjadi pada tahun 1997 merupakan kejadian IOD positif yang terjadi bersamaan dengan ENSO. Sebaliknya apabila IOD negatif berlangsung bersamaan dengan ENSO, maka dampak ENSO akan berkurang. Fase IOD terdiri dari IOD + /-, ditentukan dengan nilai indeks > 0,35 untuk IOD positif dan < -0,35 untuk IOD negatif, sedangkan selang antara keduanya adalah IOD normal (Tjasyono, 2000). Nilai positif dari IOD dijelaskan sebagai anomali suhu permukaan laut Samudera Hindia tropis bagian barat, yang lebih besar

dari bagian timurnya yang mengakibatkan peningkatan curah hujan dari kondisi normal di pantai timur Afrika dan Samudera Hindia bagian barat (Ashok et al. 2001). Menurut Hermawan (2008), kombinasi El Nino di Samudera Fasifik dan IOD positif di Samudera Hindia menyebabkan Indonesia mengalami kemarau berkepanjangan dari bulan Juli hingga Februari tahun berikutnya, seperti kejadian pada tahun 1997/1998. IOD (+) terjadi saat wilayah pantai barat Sumatera bertekanan tinggi, sementara sebelah timur pantai benua Afrika bertekanan rendah sehingga terjadi aliran udara dari bagian barat Sumatera ke bagian timur Afrika yang mengakibatkan pembentukan awan-awan konvektif di wilayah Afrika dan menghasilkan curah hujan di atas normal. Sebaliknya, di wilayah Barat Sumatera terjadi kekeringan setelah massa uap airnya gagal diturunkan sebagai hujan. Pada saat IOD (-), wilayah barat Sumatera termasuk Sumatera Barat mengalami surplus curah hujan dan wilayah timur Afrika mengalami kekeringan. Hal ini terjadi berdasarkan asumsi bahwa tingginya tekanan di wilayah Afrika Bagian Timur dan tekanan rendah di Bagian Barat Indonesia menyebabkan terjadinya pergerakan awan konvektif yang dibentuk di daerah Samudera Hindia dari wilayah Afrika ke wilayah Indonesia sehingga mengakibatkan tingginya curah hujan di wilayah Indonesia khususnya Indonesia Bagian Barat. III.

METODOLOGI

3.1

Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai bulan Juni 2012, yang mencakup studi literatur, pengumpulan data, pengolahan data, penyusunan laporan, dan diskusi dengan pembimbing. Kegiatan dilaksanakan di Departemen Geofisika dan Meteorologi Institut Pertanian Bogor. 3.2

Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a) Data kasus penyakit DBD bulanan Pulau Jawa skala kabupaten tahun 1992-2010 (Sumber: Depkes RI) b) Data SOI dan IOD pada nino 3+4 yang sumber: http://www.cpc.ncep.noaa.gov/data/indices dan http://www.jamstec.go.jp/frsgc/research/d 1/iod/

6

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah software Microsoft Excel dan software Minitab 14 untuk pengolahan data, beserta software ArcGIS untuk pemetaan daerah.

3.3.5 Mengelompokan fase IOD. Nilai indeks > 0,35 IOD positif Nilai Indeks < -0,35 IOD negatif -0,35 ≤ IOD ≤ 0,35 IOD normal.

3.3 Metodologi 3.3.1 Menghitung nilai IR bulanan dari setiap kabupaten dan kota di pulau Jawa, dengan rumus :

3.3.6 Analisis korelasi (r) digunakan untuk mengukur kekuatan hubungan antar variabel yaitu untuk mengetahui hubungan IR penyakit DBD (Y) dengan SOI dan IOD (X). Analisis korelasi yang digunakan adalah korelasi pearson antara dua variabel. Analisis korelasi dilakukan pada nilai IR bulanan masing-masing klaster terhadap kejadian SOI dan IOD. Hasil analisis korelasi IR dengan SOI dan IOD paling tinggi digunakan sebagai dasar analisis dan pemetaan.

3.3.2 Menentukan indeks kerentanan wilayah terhadap kejadian penyakit DBD, berdasarkan sebaran peluang 25%, 50%, 75%, dan 95%. Tabel 1. Nilai Peluang IR dengan Tingkat Endemic Peluang IR

Tingkat Tingkat Endemic Kerawanan IR=0 1 Tidak endemic 090% 6 Hyperendemic Sumber: Hidayati et al. (2008)

3.3.3 Menentukan klaster wilayah berdasarkan tingkat kesamaan 85% menggunakan hasil penelitian Hidayati et al. 2008 3.3.4 Menentukan fase perubahan ENSO (Stone et al. 1996 dalam Boer, 2003) membagi lima fase SOI yaitu:  Fase 1: konstan negatif (Constantly Negative)  Fase 2: konstan positive (Constantly Positive)  Fase 3: menurun cepat (Rapidly Falling)  Fase 4: meningkat cepat (Rapidly Rising)  Fase 5: mendekati nol (Near Zero)

Gambar 3. Fase Soi

3.3.7 Pemetaan wilayah rawan penyakit DBD dengan mengunakan software ArcGIS. Pemetaan dilakukan berdasarkan informasi korelasi IR terhadap kejadian SOI dan IOD berbasis wilayah klaster. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1

Indeks Kerentanan Wilayah Kasus DBD di Pulau Jawa Berat ringannya kejadian penyakit DBD bulanan pada setiap kabupaten di Pulau Jawa, ditentukan menggunakan analisis sebaran nilai peluang angka kejadian penyakit DBD (IR) gabungan dari seluruh kabupaten di Jawa. Data yang digunakan adalah data yang bernilai lebih besar dari nol. Penentuan nilai batas IR dihitung dengan menggunakan sebaran teoritis lognormal 3-parameter yang menggambarkan sebaran nilai-nilai peluang IR pada tingkat kejadian IR (Tabel 2). Tabel 2. Kisaran Nilai Peluang Tingkat Kerentanan Wilayah

Tingkat Kerawanan 1 2 3 4 5 6

Peluang IR

Kisaran nilai IR

IR=0 090%

0 0 < IR ≤ 0,39 0,39 < IR ≤ 1,39 1,39 < IR ≤ 3,06 3,06 < IR ≤ 9,53 IR > 9,53

7

Gambar 4. Pola sebaran IR pada tingkat kepercayaan 95% dan fungsi kumulatif sebaran empiris log normal 3 parameter

4.2

Pemetaan Tingkat Kerentanan Daerah di Pulau Jawa Hasil data IR bulanan setiap kota dan kabupaten di Pulau Jawa dengan berbagai fase kombinasi ENSO dan IOD bulanan dipetakan sesuai fasenya, masing-masing fase memiliki nilai modus IR yang bervariasi (Tabel 3). Kombinasi fase ENSO dan IOD mengalami kejadian hyperendemic DBD, pada saat fase positif 4 dengan modus tingkat kerentanan tertinggi yang bernilai 6. Fase positif 4 adalah fase dimana SOI + meningkat cepat (La Nina) yang terjadi karena angin pasat timur yang bertiup disepanjang Samudera Fasifik menguat sehingga massa air hangat yang terbawa semakin banyak ke arah Fasifik Barat. Hal ini mengakibatkan massa air dingin yang ada di Fasifik Timur bergerak ke atas, maka suhu permukaan laut mengalami penurunan, dan mempercepat kedatangan musim hujan di kepulauan Indonesia. IOD positif biasanya ditandai dengan penurunan curah hujan dari normalnya (kering), hal ini disebabkan oleh wilayah pantai barat Sumatera bertekanan tinggi, sementara sebelah timur pantai benua Afrika bertekanan rendah sehingga terjadi aliran udara dari bagian barat Sumatera menuju bagian timur Afrika yang mengakibatkan pembentukan awan-awan konvektif di wilayah Afrika dan menghasilkan curah hujan di atas normal. Sebaliknya, di wilayah barat Sumatera terjadi kekeringan setelah massa uap air gagal diturunkan sebagai hujan. Kejadian La Nina yang diiringi dengan kejadian IOD positif akan melemahkan kejadian La Nina sehingga menurunkan intensitas curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia. Keadaan ini diduga menyababkan kondisi basah yang kurang intensif. Menurut Hidayati (2008), IR DBD tinggi jika curah hujan mingguan tinggi diikuti

dengan curah hujan yang rendah pada minggu berikutnya. Artinya ada kejadian kering diantara periode basah. Curah hujan akan menambah genangan air sebagai tempat perindukan nyamuk. Menurut Sukowati (2004), pengaruh curah hujan terhadap vektor sangat bervariasi tergantung pada jumlah curah hujan, peluang hari hujan, keadaan geografi, dan sifat fisik lahan sebagai penampung air yang merupakan tempat bertelurnya nyamuk. Hasil pemetaan nilai kombinasi antara fase ENSO dan IOD dengan kelas IR memperlihatkan keadaan Pulau Jawa terhadap kejadian penyakit DBD pada fase positif 4 memiliki tingkat kerentanan yang paling tinggi daripada fase-fase lainnya. Hal ini dapat dilihat dari peta yang sebagian memiliki modus tingkat kerentanan tertinggi (hyperendemic) (Gambar Lampiran 1). Dari peta juga terdapat indikasi bahwa daerah rentan tidak menyebar pada daerah-daerah dengan sifat geografik yang sama. Hal ini disebabkan oleh banyaknya faktor lain yang berpengaruh pada pola tingkat endemic suatu daerah seperti faktor host (inang manusia), yang mencakup umur, ras, kepadatan penduduk, sosial ekonomi, cara hidup, nutrisi dan imunisasi. Kombinasi ENSO dan IOD pada fase positif 5 mempunyai tingkat kerentanan yang paling rendah yang bernilai 1 (tidak endemic). Fase positif 5 adalah fase di mana ENSO mengalami keadaan normal dan IOD bernilai positif yang ditandai dengan penurunan curah hujan dari normalnya (kering), hal ini disebabkan oleh wilayah pantai barat Sumatera bertekanan tinggi, sementara sebelah timur pantai benua Afrika bertekanan rendah sehingga terjadi aliran udara dari bagian barat Sumatera menuju bagian timur Afrika yang mengakibatkan pembentukan awan-awan konvektif di wilayah Afrika dan menghasilkan curah hujan di atas normal. Sebaliknya, di wilayah barat Sumatera terjadi kekeringan setelah massa uap air gagal diturunkan sebagai hujan (penurunan curah hujan dari normalnya). Keadaan normal yang cenderung kering ini mengakibatkan berkurangnya genangan air sebagai tempat perindukan nyamuk, sehingga kejadian DBD menurun.

8

Tabel 3. Modus IR di Pulau Jawa pada Kondisi ENSO dan IOD pada Bulan yang Sama Fase Negatif 1 Negatif 2 Negatif 3 Negatif 4 Negatif 5 Normal 1 Normal 2 Normal 3 Normal 4 Normal 5 Positif 1 Positif 2 Positif 3 Positif 4 Positif 5

4.3

Keadaan SOI Konstan negatif (El Nino sedang) Konstan positif (La Nina sedang) Menurun cepat (El nino kuat) Meningkat cepat (La Nina kuat) Mendekati nol (normal) Konstan negatif (El Nino sedang) Konstan positif (La Nina sedang) Menurun cepat (El nino kuat) Meningkat cepat (La Nina kuat) Mendekati nol (normal) Konstan negatif (El Nino sedang) Konstan positif (La Nina sedang) Menurun cepat (El nino kuat) Meningkat cepat (La Nina kuat) Mendekati nol (normal)

Klaster Tingkat Kerentanan Wilayah Nilai indeks kerentanan wilayah terhadap kejadian penyakit DBD dapat dikelompokan berdasarkan analisis klaster. Menurut Hidayati et al. (2008), dengan tingkat kesamaan 85% didapatkan 6 klaster wilayah dengan pola kerentanan bulanan yang berbeda (lampiran 2). Klaster 1 terdiri dari kabupaten/kota dengan kepadatan penduduk rendah hingga sedang yang terletak pada elevasi rendah hingga tinggi dan tergolong endemic ringan atau bukan endemic sepanjang tahun, sedangkan klaster 2 masuk kedalam tingkat endemic agak berat. Klaster 3 meliputi kabupaten/kota dengan kepadatan penduduk sedang, dan terletak pada elevasi rendah, kecuali kota Malang dan kota Magelang (ketinggian lebih dari 300 mdpl), klaster ini masuk kedalam kategori endemic berat setiap bulannya. Klaster 4 merupakan klaster yang terdiri dari kota-kota besar dengan penduduk yang padat pada elevasi rendah dan termasuk dalam kategori endemic berat hingga sangat berat. Klaster 5 juga merupakan kota-kota besar seperti Bandung, Surakarta, dan Surabaya. Sedangkan klaster 6 terdiri dari kota/kabupaten kecil dengan penduduk yang tidak padat, yaitu kota Blitar, Kabupaten Bojonegoro, Grobogan, Rembang, Semarang, dan Trenggelek, yang mempunyai pola endemic yang khas. Analisis korelasi berbasis klaster wilayah dengan nilai SOI dan IOD bulan-bulan sebelumnya dilakukan terhadap nilai IR tiga bulanan yang banyak mengalami kejadian penyakit DBD, yaitu bulan Desember-JanuariFebruari (DJF) dan Maret-April-Mei (MAM). Periode ini merupakan bulan-bulan dengan frekuensi curah hujan sedang hingga tinggi, dan merupakan periode dengan IR tinggi. Hal ini terlihat dari data tingkat kerentanan IR

Keadaan IOD IOD - (basah) IOD- (basah) IOD - (basah) IOD- (basah) IOD - (basah) IOD Normal IOD Normal IOD Normal IOD Normal IOD Normal IOD + (kering) IOD+ (kering) IOD + (kering) IOD+ (kering) IOD + (kering)

Modus IR 2 2 2 2 2 4 2 3 2 4 4 4 4 6 1

bulan DJF dan MAM yang sebagian besar bernilai 6 (hyperendemic). 4.3.1 Korelasi Nilai IR Bulan DJF dengan IOD Korelasi yang cukup nyata antara nilai IR bulan DJF dengan IOD (Tabel 4) terdapat pada klaster 1 bulan Juni sebesar 0,475 dengan p-value 0,046 dan pada klaster 4 bulan Juni sebesar 0,480 dengan p-value 0,044. Hal ini mengindikasikan bahwa secara tidak langsung IOD bulan Juni mempengaruhi jumlah kasus DBD bulan DJF pada klaster 1 dan 4 secara signifikan. Hasil tersebut juga menunjukkan bahwa peningkatan kejadian IOD bulan Juni akan meningkatkan jumlah kasus DBD bulan DJF pada klaster 1 dan 4. 4.3.2 Korelasi Nilai IR Bulan DJF dengan SOI Korelasi yang cukup nyata antara IR DJF dengan SOI bulan Maret terdapat pada klaster 3 sebesar 0,566 dengan p-value 0,014 dan klaster 4 sebesar 0,498 dengan p-value 0,035. Klaster 6 bulan Juni sebesar 0,586 dengan pvalue 0,011 (Tabel 5). Hal ini mengindikasikan bahwa pada klaster 3 dan 4, terdapat pengaruh signifikan SOI bulan Maret, dimana secara tidak langsung SOI bulan Maret mempengaruhi jumlah kasus DBD bulan DJF pada klaster 3 dan 4, namun korelasi terkuat terdapat pada klaster 6 untuk SOI bulan Juni. Dengan demikian hasil kombinasi SOI dengan IOD hanya dapat dilakukan pada klaster 4 IR DJF dengan IOD bulan Juni dan SOI bulan Maret.

9

Tabel 4. Koefisien Korelasi (r) dan Nilai Uji P Antara IR Bulan DJF dan IOD pada Setiap Klaster

Klaster 1 2 3 4 5 6

Nilai

Mar

Apr

Mei

Jun

Jul

Agus

Sept

Okt

Nop

Korelasi p-value Korelasi p-value Korelasi p-value Korelasi p-value Korelasi p-value Korelasi p-value

0,159 0,529 0,058 0,818 -0,131 0,605 -0,050 0,844 -0,060 0,814 -0,112 0,659

0,037 0,883 0,250 0,318 0,284 0,254 0,257 0,303 0,175 0,488 0,299 0,228

0,280 0,260 0,437 0,070 0,345 0,161 0,318 0,199 0,362 0,140 0,431 0,074

0,475 0,046 0,452 0,060 0,241 0,335 0,480 0,044 0,410 0,091 0,240 0,338

0,287 0,249 0,089 0,724 -0,093 0,712 0,152 0,533 0,154 0,543 -0,100 0,694

0,203 0,419 0,190 0,449 0,039 0,878 0,219 0,382 0,204 0,416 0,075 0,767

0,065 0,796 0,175 0,488 0,090 0,722 0,191 0,447 0,047 0,852 0,151 0,548

0,039 0,879 0,098 0,699 -0,035 0,891 0,033 0,898 0,080 0,751 0,111 0,661

-0,107 0,673 0,071 0,780 0,007 0,977 -0,018 0,943 0,039 0,879 0,113 0,655

Tabel 5. Koefisien Korelasi (r) dan Nilai Uji P Antara IR Bulan DJF dan SOI pada Setiap Klaster

Klaster 1 2 3 4 5 6

Nilai Korelasi p-value Korelasi p-value Korelasi p-value Korelasi p-value Korelasi p-value Korelasi p-value

Mar 0,254 0,326 0,443 0,066 0,566 0,014 0,498 0,035 0,307 0,216 0,348 0,157

Apr 0,059 0,817 0,116 0,646 0,052 0,838 -0,016 0,950 -0,035 0,891 -0,140 0,581

Mei -0,282 0,257 -0,463 0,053 -0,437 0,070 -0,277 0,265 -0,348 0,157 -0,423 0,080

4.3.3 IR DJF Klaster 4 pada Keadaan Kombinasi SOI dan IOD Pada klaster 4 kondisi hyperendemic terjadi pada fase kombinasi ENSO dan IOD positif 1 dan positif 5. Fase positif 1 yaitu fase saat ENSO mengalami kejadian El Nino konstan negatif dengan nilai IOD positif. El Nino di Indonesia hampir selalu terjadi pada musim kemarau (kering), di mana penduduk yang biasanya kekurangan air bersih akan menampung dan menyimpan air bersih dan dalam waktu lama tidak dibersihkan, sehingga nyamuk berkesempatan berkembangbiak pada tempat penyimpanan air ini. Saat musim hujan, air yang ditampung ini tidak tenang karena adanya curahan hujan dan telur nyamuk tidak dapat menetas. Namun pada musim kemarau airnya akan tenang dan telur nyamuk bisa menetas (Susanto, 2011). Pada fase positif 5 keadaan ENSO mendekati nol atau bernilai normal dengan IOD positif yang berarti keadaan normal yang cenderung kering. Berdasarkan kasus tersebut, terlihat bahwa pola kejadian DBD tidak hanya dipengaruhi oleh ENSO dan IOD, tetapi terdapat kondisi lain yang diduga berpengaruh

Juni 0,301 0,225 0,380 0,120 0,370 0,130 0,221 0,378 0,394 0,106 0,586 0,011

Juli -0,325 0,189 -0,258 0,302 -0,316 0,202 -0,059 0,817 -0,189 0,452 -0,362 0,140

Agus 0,319 0,196 -0,089 0,727 -0,064 0,801 0,023 0,928 0,007 0,977 -0,323 0,190

Sept 0,126 0,620 0,365 0,136 0,409 0,092 0,134 0,594 0,401 0,099 0,311 0,209

Okt -0,134 0,596 -0,236 0,346 0,050 0,843 0,151 0,549 -0,088 0,727 -0,008 0,975

Nop 0,009 0,971 -0,119 0,639 -0,339 0,169 -0,350 0,154 -0,245 0,327 -0,259 0,300

antara lain topografi, tempat genangan, lingkungan, kebiasaan menyimpan air dan host (inang). Menurut Reiter (2001), faktor non iklim adalah penentu utama kejadian DBD seperti tingkat ekonomi, aktivitas manusia, kepadatan penduduk, keadaan sosial, kondisi penutupan lahan, kurang baiknya sistem sanitasi lingkungan, dan pembukaan areal vegetasi yang akan mengakibatkan terbentuknya tempat perindukan nyamuk. Hal ini memperlihatkan bahwa pada kota-kota besar seperti klaster 4, di musim kering kejadian DBD dapat meningkat.

10

Tabel 6. Pengaruh Gabungan SOI (Maret) dan IOD (Juni) Terhadap Tingkat Kerentanan Wilayah pada Klaster 4 pada Bulan DJF Anggota Klaster 4

N1

N2

N3

N4

N5

P1

P2

P3

P5

Jakarta Barat

3

5

4

5

6

6

6

4

6

Jakarta Pusat

4

5

5

5

6

6

6

4

6

Jakarta Selatan

3

6

5

6

6

6

6

4

6

Jakarta Timur

5

6

5

6

6

6

6

3

6

Jakarta Utara

4

5

5

6

6

6

6

4

6

Semarang (M)

6

6

5

6

5

6

6

6

6

Tegal (M)

6

5

5

6

4

6

5

5

6

Yogyakarta

5

5

5

6

5

6

6

5

6

Kudus

6

5

5

5

3

6

6

5

6

Keterangan : N = Negatif P = Positif Tabel 7. Koefisien Korelasi (r) dan Nilai Uji P Antara IR Bulan MAM dan IOD pada Setiap Klaster Klaster 1 2 3 4 5 6

Nilai

Korelasi p-value Korelasi p-value Korelasi p-value Korelasi p-value Korelasi p-value Korelasi p-value

Jun 0,491 0,038 0,501 0,034 0,227 0,366 0,425 0,079 0,474 0,047 0,154 0,541

Jul 0,352 0,153 0,376 0,124 0,128 0,612 0,428 0,077 0,362 0,140 0,159 0,529

Agu 0,300 0,227 0,408 0,093 0,257 0,304 0,450 0,061 0,402 0,092 0,283 0,256

Sep 0,172 0,495 0,448 0,062 0,435 0,071 0,606 0,008 0,298 0,229 0,634 0,005

4.3.4 Korelasi Klaster IR MAM dengan IOD Hasil perhitungan korelasi yang didapatkan antara kejadian IR bulan MAM dengan IOD bulan-bulan sebelumnya sangat bervariasi (Tabel 7). Kejadian IOD bulan Juni mepengaruhi jumlah kasus DBD pada klaster 1, 2, dan 5. Sedangkan kejadian IOD bulan September,

Okt 0,184 0,466 0,405 0,096 0,360 0,142 0,549 0,018 0,319 0,196 0,505 0,033

Nop 0,086 0,733 0,446 0,064 0,481 0,043 0,634 0,005 0,284 0,254 0,662 0,003

Des 0,016 0,948 0,134 0,595 0,170 0,499 -0,004 0,988 -0,023 0,929 0,331 0,179

Jan 0,194 0,44 0,277 0,266 0,166 0,509 0,328 0,183 0,117 0,644 0,421 0,082

Feb 0,094 0,712 -0,072 0,777 -0,366 0,136 -0,092 0,715 -0,053 0,836 -0,005 0,983

Oktober, dan November mempengaruhi jumlah kasus DBD pada klaster 4 dan 6 sedangkan klaster 3 hanya dipengaruhi oleh IOD bulan November. Hal ini terlihat dari nilai korelasi yang cukup tinggi dan nilai pvalue yang yang berpengaruh nyata. Pada klaster 4 dan 6 terlihat IOD bulan September, Oktober , dan November memiliki korelasi yang nyata. Namun korelasi yang paling kuat terjadi pada klaster 6 bulan November.

Tabel 8. Persamaan Regresi Komponen Utama Antara IR Bulan MAM dan IOD Bulan September, Oktober, dan November pada Kondisi Rata-rata Klaster 4 dan 6

Klaster

Regresi

R-Sq

4

IR = 15,7 +15,0 IOD Sep – 7,7 IOD Okt + 8,6 IOD Nov

46,50%

6

IR = 3,52 + 5,9 IOD Sep – 4,1 IOD Okt + 3,2 IOD Nov

63,60%

11

Tabel 9. Persamaan Regresi Komponen Utama Antara IR Bulan MAM dan IOD Bulan September, Oktober, dan November pada Kondisi Rata-rata Anggota Klaster 4 Anggota Klaster 4

Regresi

R-Sq

Jakbar


54,60%

Jakpus


40,60%

Jaksel


44,80%

Semarang(M)


33,80%

Tegal

IR = 11,9 – 4,1 IOD Sep + 1,1 IOD Okt + 11,1 IOD Nov

51,70%

Yogyakarta

IR = 14,2 – 13,6 IOD Sep + 2,5 IOD Okt + 23,6 IOD Nov

62,20%

Tabel 10. Persamaan Regresi Komponen Utama Antara IR Bulan MAM dan IOD Bulan September, Oktober, dan November pada Kondisi Rata-rata Anggota Klaster 6 Anggota Klaster 6

Regresi

R-Sq

Blitar


45,10%

Bojonegoro


55,80%

Semarang


44,50%

Trenggalek


58,90%

Tabel 11. Koefisien Korelasi (r) dan Nilai Uji P Antara IR Bulan MAM dan SOI pada Setiap Klaster

Klaster 1 2 3 4 5 6

Nilai Korelasi p-value Korelasi p-value Korelasi p-value Korelasi p-value Korelasi p-value Korelasi p-value

Jun 0,258 0,300 0,241 0,335 0,157 0,534 0,170 0,501 0,383 0,117 0,057 0,822

Jul -0,159 0,529 0,005 0,983 0,014 0,957 0,111 0,662 -0,132 0,603 0,074 0,769

Agu 0,144 0,569 -0,149 0,554 -0,292 0,240 -0,234 0,350 0,012 0,962 -0,322 0,192

Sep 0,260 0,297 0,392 0,108 0,447 0,063 0,309 0,212 0,303 0,221 0,335 0,174

4.3.5 Korelasi Klaster IR MAM dengan SOI Antara IR Bulan MAM dengan SOI tidak menunjukkan adanya korelasi yang nyata, hal ini mengindikasikan bahwa SOI belum bisa digunakan dalam memprediksi kejadian IR bulan MAM. Sehingga pemetaan hanya dilakukan anatara IR bulan MAM dengan kejadian IOD pada bulan yang memiliki nilai korelasi dan regresi yang bagus (IR MAM dengan IOD bulan Juni untuk klaster 1, 2 dan 5 serta IOD bulan November dengan Klaster 3, 4 dan 6) 4.3.6 Pemetaan IR Bulan MAM pada Klaster 4 Berdasarkan Informasi IOD Pemetaan IR bulan MAM pada keadaan IOD dilakukan berdasarkan nilai korelasi dan regresi yang baik untuk masing-masing klaster

Okt -0,225 0,369 -0,127 0,614 0,080 0,751 0,067 0,791 0,228 0,363 -0,140 0,580

Nop 0,065 0,795 -0,079 0,754 -0,309 0,213 -0,123 0,626 -0,298 0,229 0,226 0,366

Des 0,042 0,870 0,280 0,261 0,341 0,165 0,333 0,177 0,143 0,570 0,133 0,599

Jan -0,222 0,377 -0,384 0,115 -0,210 0,402 -0,432 0,073 -0,108 0,669 -0,341 0,166

Feb 0,112 0,657 0,196 0,435 -0,001 0,996 0,221 0,377 0,108 0,669 0,230 0,359

(Tabel 9). Pada kondisi IOD fase negatif maupun positif, IR Bulan MAM pada klaster 4 yang terdiri dari kota-kota besar dengan penduduk yang padat tetap mengalami kejadian hyperendemic. Pada saat IOD positif dengan curah hujan berada dibawah normal atau cenderung kering dan pada keadaan IOD negatif yang cenderung basah klaster 4 tetap mengalami kejadian DBD hyperendemic (Gambar Lampiran 7 dan 8). Hal ini mengindikasi bahwa pada klaster 4 yang terdiri dari kota-kota besar dengan penduduk yang padat seperti Jakarta, Yogyakarta, Tegal, Kudus dan Semarang tingkat kerawanannya lebih dipengaruhi oleh keadaan lokal dan kebiasaan manusia, meskipun demikian angka kejadian penyakit DBD beberapa kota anggota klaster 4 seperti Jakarta Barat, Jakarta Selatan, Tegal, dan Yogyakarta dapat diduga dengan

12

IOD bulan September, Oktober, November dengan cukup baik.

dan

Tabel 12. Modus Tingkat kerentanan IR MAM pada fase IOD Bulan Juni (klaster 1, 2, dan 5) dan Bulan November (Klaster 3, 4, dan 6) IOD

Klaster Positif 1 2 3 4 5 6

Negatif

5 (50%)

2 (71%)

5 (75%)

3 (64%)

6 (50%)

5 (50%)

6 (75%)

6 (57%)

6 (50%)

5 (57%)

4 (50%)

4 (57%)

V. KESIMPULAN 5.1

Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis korelasi, ENSO dan IOD terhadap angka kejadian penyakit DBD bulanan di semua kabupaten di Pulau Jawa, didapatkan bahwa kejadian hyperendemic di Pulau Jawa terjadi pada saat fase kombinasi ENSO dan IOD positif 4. Kondisi ini menggambarkan kejadian dimana ENSO mengalami kejadian SOI+ meningkat dengan cepat (La Nina), serta IOD bernilai positif (kering) menyebabkan penurunan intensitas pengaruh La Nina di Indonesia. Meskipun demikian, ENSO tidak mencukupi untuk digunakan sebagai prediktor yang baik dalam analisis prediksi angka kejadian IR. IOD dapat digunakan sebagai prediktor untuk menduga IR DBD bulan MAM hanya pada wilayah klaster 4 (Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Semarang (M), Tegal, dan Yogyakarta) dan wilayah klaster 6 ( Blitar, Bojonegoro, Semarang, dan Trenggalek). Nilai IR bulan MAM pada klaster 4 dan 6 dapat diprediksi berdasarkan informasi IOD bulan September, Oktober, dan November dengan persamaan: pada klaster 4 IR = 15,7 + 15,0 IOD Sep – 7,7 IOD Okt + 8,6 IOD Nov dengan R-sq = 46,50 % dan pada klaster 6 IR = 3,52 + 5,9 IOD Sep – 4,1 IOD Okt + 3,2 IOD Nov dengan R-sq = 63,60 %. Pada wilayah pada klaster 4 dan 6 secara rata-rata kejadian IR akan tinggi jika IOD bulan September dan November tinggi, sedangkan IOD bulan Oktober rendah. 5.2

Saran Sebaiknya penelitian ini dilakukan pada wilayah kajian yang berbeda dengan perhitungan analisis perkabupaten dan

menggunakan nilai indeks Sea Temperature (SST) pada nino 4.

Surface

DAFTAR PUSTAKA Ashok K., Guan Z, Yamagata T. 2001. Impact of the Indian ocean Dipole on the Relationship between the Indian Monsoon Rainfall. Geohys.Res.Lett no 28, 44994502. Boer R. 2001. Perubahan Iklim dan Dampaknya pada Pertanian dan Kaitannya dengan Kesehatan Manusia. Paper disajikan dalam Semiloka Perubahan Iklim dan Kesehatan. Ciloto 27-29 Maret 2001. Boer R. 2003. Penyimpangan Iklim di Indonesia. Makalah Seminar Nasional Ilmu Tanah, 24 Mei 2003. Burke. 2001. Under the Weather : Climate, Ecosystems, and Infectious Disease National Research Council: Washington. DC. Departemen Kesehatan republik Indonesia. 2007. Pencegahan dan pemberantasan Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta: Depkes. Gubler DJ. 2002. Epidemic Dengue / Dengue Hemorrhagic Fever as a Public Healt, Social and Economic Problem in the 21st Century. J (Forum) TREND in Microbiology. 10 (2). Gubler DJ. 2004. The Changing Epidemology of Yellow Fever and Dengue, 1900 to 2003: Comparative Immunology, Microbiology & Infectious Disease 27: 319-330. Hasyim H. 2007. Sistem Informasi geografis (SIG) sebagai Salah Satu Alat Manejemen Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah Dengue. Medika. XXXIII (8). Hermawan E, Komalaningsih K. 2008. Karakteristik Indian Ocean Dipole Mode di Samudera Hindia Hubungannya dengan Perilaku Curah Hujan di Kawasan Sumatera Barat Berbasis Analisis Mother wavelet. Sains Dirgantara. Vol. 5 No. 2 : 109-129. Hermawan E, Lestari S. 2007. Analisis Variabilitas Curah Hujan di Sumatera Barat dan Selatan Dikaitkan dengan Kejadian IOD. Sains Dirgantara, Vol. 4, No 2, Juni 2007. Hidayati R, Boer R, Koesmaryono Y, Kesumawati U, Manuwoto S. 2008. Sebaran Daerah Rentan Penyakit DBD Menurut Keadaan Iklim maupun Non Iklim. J. Agromet XXII(1) : 61-69.

13

Hidayati R, Kesumawati UH, Manuwoto S, Koesmaryono Y, Boer R. 2007. Kebutuhan Satuan Panas untuk Fase Perkembangan pada Nyamuk Aedes aegepty (Diptera: Culicidae) dan Periode Inkubasi Ekstrinsik Virus Dengue. Jurnal Ekologi Kesehatan Volume 6 : 651-652. Khin MM. and Than KA. 1983. Transovarial Transmission of Dengue 2 Virus by A. aegypti in Nature. Am. J. Trop. Med. Hyg. 32(3): 509-4 (abstract) Koenraadt CJM, and Harrington LC. 2008. Flushing Effect of Rain on ContainerInhabiting Mosquitoes Aedes aegyti and Culex pipiens. J. Of Medical Entomology. 45(1): 28-35. Naylor RL, Falcon WP, Rochberg D, Wada N. 2001. Using El Nino Southern Oscillation Climate Data to Predict Rice Production in Indonesia. Climate Change 50: 255-256 Reiter P. 2001. Climate Change and Mosquito-Born Disease. Enviromental Health Perspectives. 109(1): 141-161. Rosen L. And Freier JE. 1987. Vertical Transmission of Dengue Virusses by Mosquito of the Aedes scuterllaris group. Am. J. Trop. Med. Hyg. 7(3): 640-7 (abstract) Rusdiana O. 2001. Kondisi dan Masalah Air di Pulau Jawa. J. Manajemen Hutan Tropika. Vol. VII No. 1 : 49-54. Saji NH, Goswami BN, Vinayachandran PN, Yamagata T. 1999. A Dipole Mode in the Tropical Indian Ocean. Nature no 401, 360-363. Saji NH, dan Yamagata T. 2003. Passible Impacts of Indian Ocean Dipole Mode Events on Global Climate. Climate Research, 25. 151-169. Schreiber KV. 2001. An Investigation of Relationship between Climate adn Dengue Using a Water Budgeting Technique. Intl. J. Biomet. 45: 81-89. Sehgal R. 1997. Dengue Fever and El Nino. The Lancet. 349: 729-730.

Smith K, Petley DN.1991. Environmental Hazard: Assessing Risk and Reducing Disaster. Fifth Edision. Routledge. New York. Sukowati MM. 2004. Dampak Perubahan Lingkungan Terhadap Penyakit Tular Nyamuk (Vektor) di Indonesia. Makalah Utama pada Seminar Nasional IV Perhimpunan Enromolgi Indonesia Cabang Bogor. Bogor 5 Oktober 2004. Sungkar S. 2005. Bionomik Aedes aegypti, Vektor Demam Berdarah Dengue. Kedokteran Indonesia, Vol:55, No. 4. April 2005. Susanto D. 2011. El Nino untuk Early Warning Demam Berdarah Dengue di Indonesia. J. Penanggulangan Bencana vol.2(1) : 33-40. Thurman HV. 1994. Introductory Oceanography. Seventh Edition. Macmillan Publishing Company. New York. Tjasyono BHK and AM Mustofa. 2000. Seasonal Rainfall Variation Over Monsoonal Areas, JTM. Vol. VIII, No. 4, ITB, Bandung. Tjasyono BHK. 2003. Dampak Enso pada Faktor Hujan di Indonesia. J. Matematika dan Sains 8(1): 15-22 Trenberth KE. 1997. The Definitions of El Nino. Bulletin of the American Meteorological Society. Vol. 78 Issue 12, 2771-2777. Wuryadi S. 1990. Isolasi Virus Dengue dari Penderita DBD pada Wabah di Jakarta tahun 1988. Cermin Dunia Kedokteran 1723. Yasunari T. 1990. Impact of Indian Monsoon on the Coupled Atmosphere/Ocean System in the Tropical Fasific. Meteorology and Atmospheric Physics. 44, 29-41.

14

LAMPIRAN

15

Lampiran 1. Peta Daerah Rentan Penyakit DBD di Pulau Jawa pada Keadaan Positif 4

16

Lampiran 2. Daftar Anggota Kelompok Klaster Wilayah

No 1 2 3 4

Anggota Klaster 1 Nama Kota/Kab Banjarnegara Purbalingga Purworejo Wonosobo

No 1 2 3 4

No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Anggota Klaster 3 Nama Kota/Kab Bandung (m) Bekasi (M) Bogor(M) Cirebon (M) Kediri (M) Magelang (M) Magetan Malang (M) Mojokerto (M) P.linggo (M) Pekalongan (M) Sukabumi (M) Tangerang (M)

5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19

Banyumas Banyuwangi Batang Kota Bekasi Blitar Blora Bogor Bondowoso Boyolali Brebes Ciamis Cianjur Cilacap Cirebon Demak

48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62

Pasuruan Pasuruhan (M) Pati Pekalongan (M) Pemalang Ponorogo Probolinggo Purwakarta Salatiga (M) Sampang Serang Sidoarjo Situbondo Sleman Sragen

No 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Anggota Klaster 4 Nama Kota/Kab Jakarta Barat Jakarta Pusat Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Utara Kudus Semarang (M) Tegal (M) Yogyakarta

20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30

Garut Gresik Gunung Kidul Indramayu Jember Jepara Jombang Karang Anyar Karawang Kebumen Kediri

63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73

Subang Sukabumi Sukoharjo Sumedang Sumenep Tangerang (M) Tasikmalaya Tegal Temanggung Tuban Tulung Agung

Anggota Klaster 5 Nama Kota/Kab Kota Bandung Surabaya (M) Surakarta (M)

31 32 33 34 35

Kendal Kulon Progo Kuningan Lamongan Lebak

74

Wonogiri

No 1 2 3 No 1 2 3 4 5 6

Anggota Klaster 6 Nama Kota/Kab Blitar(M) Bojonegoro Grobogan Rembang Semarang Trenggalek

36 37 38 39 40 41 42 43

Lumajang Madiun Magelang Magetan Majalengka Malang Mojokerto Nganjuk

Kota bandung Bangkalan Banjarnegara Bantul

Anggota Klaster 2 Nama Kota/Kab 44 Ngawi 45 Pacitan 46 Pamekasan 47 Pandeglang

17

Lampiran 3. Analisis Regresi Nilai IR Bulan DJF pada Klaster 4 dengan IOD Bulan Juni dan SOI Bulan Maret

Regression Analysis: IR DJF klaster 4 versus iod juni; soi maret The regression equation is IR = 13,1 + 11,0 iod juni + 0,242 soi maret Predictor Constant iod juni soi maret

Coef 13,133 11,009 0,2419

S = 7,98600

SE Coef 1,917 4,921 0,1675

T 6,85 2,24 1,44

R-Sq = 32,4%

DF 1 1

VIF 1,0 1,0

R-Sq(adj) = 23,4%

Analysis of Variance Source DF SS Regression 2 458,53 Residual Error 15 956,64 Total 17 1415,17 Source iod juni soi maret

P 0,000 0,041 0,169

MS 229,26 63,78

F 3,59

P 0,053

SE Fit 2,03

Residual 17,11

Seq SS 325,46 133,07

Unusual Observations Obs iod juni IR 14 -0,177 28,35

Fit 11,24

St Resid 2,21R

R denotes an observation with a large standardized residual. Durbin-Watson statistic = 0,974205 Residual Plots for IR djf4 Normal Probability Plot of the Residuals

Residuals Versus the Fitted Values

99

20

Residual

Percent

90 50 10 1

0 -10

-20

-10

0 Residual

10

20

0

Histogram of the Residuals

5

10 15 Fitted Value

20

Residuals Versus the Order of the Data

6,0

20

4,5

10

Residual

Frequency

10

3,0

0

1,5 -10 0,0

-15

-10

-5

0 5 Residual

10

15

2

4

6 8 10 12 14 Observation Order

16

18

18

Lampiran 4. Persamaan Regresi Komponen Utama Antara IR Bulan MAM dan IOD Bulan September, Oktober, dan November pada Kondisi Rata-rata Anggota Klaster 4

Principal Component Analysis: IOD SEP; IOD OKT; IOD NOV Eigenanalysis of the Covariance Matrix Eigenvalue 1,8455 0,1206 0,0505 Proportion 0,915 0,060 0,025 Cumulative 0,915 0,975 1,000 Variable IOD SEP IOD OKT IOD NOV

PC1 -0,486 -0,723 -0,491

PC2 0,558 0,176 -0,811

PC3 0,673 -0,668 0,318

Regression Analysis: MAM4 versus PC1; PC3 The regression equation is MAM4 = 15,7 - 5,96 PC1 + 18,0 PC3 Predictor Constant PC1 PC3

Coef 15,708 -5,964 17,99

SE Coef 2,519 1,845 11,15

T 6,24 -3,23 1,61

P 0,000 0,006 0,128

R-Sq(adj) = 39,4% S = 10,3345 R-Sq = 46,5% PRESS = 2689,06 R-Sq(pred) = 10,24% Analysis of Variance Source DF SS Regression 2 1393,7 Residual Error 15 1602,0 Total 17 2995,8

MS 696,9 106,8

F 6,52

P 0,009

Durbin-Watson statistic = 1,51695 Residual Plots for MAM4 Normal Probability Plot of the Residuals


99

20

Residual

Percent

90 50 10 1

-10

0 Residual

10

-10

20

10


20 Fitted Value

30

40

Residuals Versus the Order of the Data 20

6

Residual

Frequency

0

-20 -20

8

4 2 0

10

10 0 -10 -20

-20

-10

0 Residual

10

20

2

4


16

18

19

Regression Analysis: Jakbar versus PC1; PC3 The regression equation is Jakbar = 13,5 - 5,98 PC1 + 25,8 PC3 Predictor Constant PC1 PC3

Coef 13,531 -5,977 25,84

SE Coef 2,360 1,729 10,45

T 5,73 -3,46 2,47

P 0,000 0,004 0,026

S = 9,68180 R-Sq = 54,6% R-Sq(adj) = 48,6% PRESS = 2274,00 R-Sq(pred) = 26,64% Analysis of Variance Source DF SS Regression 2 1693,84 Residual Error 15 1406,06 Total 17 3099,90

MS 846,92 93,74

F 9,04

P 0,003

Durbin-Watson statistic = 1,36947 Residual Plots for Jakbar Residuals Versus the Fitted Values

99

20

90

10

Residual

Percent

Normal Probability Plot of the Residuals

50 10 1

-20

-10

0 Residual

10

-20

20


20

4,5

10

3,0 1,5 0,0

-15

-10

-5

0 5 Residual

10

0

10

SE Coef 4,290 3,142 19,00

-20

15

2

T 5,46 -2,71 1,71

P 0,000 0,016 0,108


40

-10

The regression equation is Jakpus = 23,4 - 8,52 PC1 + 32,4 PC3 Coef 23,415 -8,517 32,45

30

0

Regression Analysis: Jakpus versus PC1; PC3

Predictor Constant PC1 PC3

20 Fitted Value


6,0

Residual

Frequency

0 -10

MS 1589,9 309,8

Durbin-Watson statistic = 1,18090

F 5,13

P 0,020

4


16

18

20

Residual Plots for Jakpus Normal Probability Plot of the Residuals


99

40

Residual

Percent

90 50 10

0 -20

1 -50

-25

0 Residual

25

50

20


40 Fitted Value

60

Residuals Versus the Order of the Data 40

4,8 3,6

Residual

Frequency

20

2,4 1,2

20 0 -20

0,0

-30

-20

-10

0 10 Residual

20

30

40

2

4


16

18

Regression Analysis: Jaksel versus PC1; PC3 The regression equation is Jaksel = 18,7 - 7,54 PC1 + 35,8 PC3 Predictor Constant PC1 PC3

Coef 18,743 -7,543 35,78

SE Coef 3,755 2,751 16,63

T 4,99 -2,74 2,15

P 0,000 0,015 0,048


MS 1441,9 237,4

F 6,07

P 0,012

Durbin-Watson statistic = 0,901692 Residual Plots for Jaksel Normal Probabilit y Plot of t he Residuals

Residuals Versus t he Fit t ed Values

99 20

Residual

Percent

90 50

0

10 1

-20 -40

-20

0 Residual

20

40

0

Hist ogram of t he Residuals

12

24 36 Fitted Value

48

Residuals Versus t he Order of t he Dat a 20

3,6

Residual

Frequency

4,8

2,4

0

1,2 0,0

-20 -20

-10

0 10 Residual

20

30

2

4


16

18

21

Regression Analysis: Semarang (M) versus PC1; PC3 The regression equation is Semarang (M) = 14,2 - 4,32 PC1 + 10,2 PC3 Predictor Constant PC1 PC3

Coef 14,191 -4,323 10,23

SE Coef 2,290 1,677 10,14

T 6,20 -2,58 1,01

P 0,000 0,021 0,329

S = 9,39579 R-Sq = 33,8% R-Sq(adj) = 25,0% PRESS = 2083,79 R-Sq(pred) = 0,00% Analysis of Variance DF SS Source Regression 2 676,28 Residual Error 15 1324,21 Total 17 2000,50

MS 338,14 88,28

F 3,83

P 0,045

Durbin-Watson statistic = 1,76874 Residual Plots for Semarang (M) Normal Probabilit y Plot of t he Residuals


99

20

Residual

Percent

90 50 10 1

10 0 -10

-20

-10

0 Residual

10

20

10

20

6

10

4 2 0

25

30

Residuals Versus t he Order of t he Dat a

8

Residual

Frequency


15 20 Fitted Value

0 -10

-15

-10

-5

0 5 Residual

10

15

20

2

4

Regression Analysis: Tegal (M) versus PC1; PC2 The regression equation is Tegal (M) = 11,9 - 4,24 PC1 - 11,1 PC2 Predictor Constant PC1 PC2

Coef 11,861 -4,241 -11,062

SE Coef 1,725 1,271 4,974

T 6,88 -3,34 -2,22

P 0,000 0,005 0,042


MS 407,57 50,72


F 8,04

P 0,004


16

18

22

Residual Plots for Tegal (M) Normal Probabilit y Plot of t he Residuals


99 10

Residual

Percent

90 50 10

5 0 -5 -10

1 -20

-10

0 Residual

10

20

10


20 Fitted Value

30

Residuals Versus t he Order of t he Dat a 10

4,5

5

Residual

Frequency

6,0

3,0

0 -5

1,5

-10

0,0

-10

-5

0 Residual

5

10

2

4


16

18

Regression Analysis: Yogyakarta versus PC1; PC2 The regression equation is Yogyakarta = 14,2 - 9,22 PC1 - 23,6 PC2 Predictor Constant PC1 PC2

Coef 14,208 -9,218 -23,649

SE Coef 3,009 2,218 8,678

T 4,72 -4,16 -2,73

P 0,000 0,001 0,016


MS 1906,1 154,3

F 12,35

P 0,001

Durbin-Watson statistic = 1,90573 Residual Plots for Yogyakarta Normal Probability Plot of the Residuals


99 20

Residual

Percent

90 50

-20 -30

-15

0 Residual

15

30

0


30 Fitted Value

45

60

20

3

Residual

Frequency

15


4

2 1 0

0 -10

10 1

10

10 0 -10 -20

-20

-10

0 10 Residual

20

2

4


16

18

23

Lampiran 5. Persamaan Regresi Komponen Utama Antara IR Bulan MAM dan IOD Bulan September, Oktober, dan November pada Kondisi Rata-rata Anggota Klaster 6

Regression Analysis: MAM6 versus PC1; PC3 The regression equation is MAM6 = 3,52 - 1,48 PC1 + 7,78 PC3 Predictor Constant PC1 PC3

Coef 3,5189 -1,4774 7,779

SE Coef 0,5223 0,3826 2,313

T 6,74 -3,86 3,36

P 0,000 0,002 0,004


MS 60,216 4,592

F 13,11

P 0,001

Durbin-Watson statistic = 2,22109 Residual Plots for MAM6 Residuals Versus the Fitted Values

99

6

90

4

Residual

Percent

Normal Probability Plot of the Residuals

50 10 1

2 0 -2

-5,0

-2,5

0,0 Residual

2,5

5,0

0,0

Histogram of the Residuals 4

Residual

Frequency

10,0


3 2 1

2 0 -2

-2

0 2 Residual

4

2

4

Regression Analysis: Blitar(M) versus PC1; PC3 The regression equation is blitar(M) = 5,64 - 3,75 PC1 + 13,7 PC3 Predictor Constant PC1 PC3

5,0 7,5 Fitted Value

6

4

0

2,5

Coef 5,645 -3,755 13,717

SE Coef 1,706 1,249 7,553

T 3,31 -3,00 1,82

P 0,005 0,009 0,089


MS 301,92 48,98


F 6,16

P 0,011


16

18

24

Residual Plots for blitar(M) Normal Probability Plot of the Residuals


99 15 10

Residual

Percent

90 50

5 0

10

-5

1 -20

-10

0 Residual

10

20

0


10 Fitted Value

15

20


8

15

6

10

Residual

Frequency

5

4

5 0

2

-5

0

-5

0

5 Residual

10

15

2

4

6 8 10 12 Observation Order

14

16

18

Regression Analysis: Bojonegoro versus PC1; PC3 The regression equation is bojonegoro = 1,28 - 0,308 PC1 + 3,59 PC3 Predictor Constant PC1 PC3

Coef 1,2802 -0,3077 3,5853

SE Coef 0,2096 0,1535 0,9281

T 6,11 -2,00 3,86

P 0,000 0,063 0,002


MS 7,0040 0,7395

F 9,47

P 0,002

Durbin-Watson statistic = 1,86324 Residual Plots for bojonegoro Normal Probability Plot of the Residuals


99

2

Residual

Percent

90 50 10 1

1 0 -1

-2

-1

0 Residual

1

2

0


2 Fitted Value

3

4


8

2

6

Residual

Frequency

1

4

1 0

2 0

-1 -1,0

-0,5

0,0

0,5 1,0 Residual

1,5

2,0

2

4


16

18

25

Regression Analysis: Semarang versus PC1; PC3 The regression equation is Semarang = 4,44 - 0,737 PC1 + 10,6 PC3 Predictor Constant PC1 PC3

Coef 4,4366 -0,7371 10,608

SE Coef 0,7499 0,5493 3,320

T 5,92 -1,34 3,19

P 0,000 0,200 0,006


MS 56,832 9,466

F 6,00

P 0,012

Durbin-Watson statistic = 2,20327 Residual Plots for Semarang Normal Probability Plot of the Residuals


99 5,0

Residual

Percent

90 50 10 1

2,5 0,0 -2,5 -5,0

-8

-4

0 Residual

4

8

0,0


2,5

5,0 7,5 Fitted Value

10,0

Residuals Versus the Order of the Data 5,0

6

Residual

Frequency

8

4 2

2,5 0,0 -2,5 -5,0

0

-6

-4

-2

0 2 Residual

4

6

2

4

Regression Analysis: Trenggalek versus PC1; PC3 The regression equation is Trenggalek = 4,52 - 2,57 PC1 + 11,7 PC3 Predictor Constant PC1 PC3

Coef 4,5178 -2,5707 11,743

SE Coef 0,9485 0,6948 4,200

T 4,76 -3,70 2,80

P 0,000 0,002 0,014


MS 162,87 15,14


F 10,75

P 0,001


16

18

26

Residual Plots for Trenggalek Normal Probability Plot of the Residuals


99

10

Residual

Percent

90 50 10 1

5 0 -5

-10

-5

0 Residual

5

10

0


12

16


3,6

Residual

Frequency

8 Fitted Value

10

4,8

2,4 1,2 0,0

4

5 0 -5

-6

-4

-2

0 2 Residual

4

6

8

2

4

6 8 10 12 Observation Order

14

16

18

27 Lampiran 6. Peta Tingkat Kerentanan Wilayah Bulan MAM Klaster 1-6 pada Keadaan IOD Negatif Bulan Juni dan November

28 Lampiran 7. Peta Tingkat Endemik Perklaster Bulan MAM pada Keadaan IOD Positif Bulan Juni dan November

ANALISIS RISIKO KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE BERDASARKAN INFORMASI ENSO DAN IOD (Studi Kasus Pulau Jawa) FENNYKA PRATAMI PUTERI

Recommend Documents