V.
5.1.
PENYUSUNAN MODEL PREDIKSI CURAH HUJAN BERDASARKAN FENOMENA ENSO DAN IOD UNTUK MENENTUKAN RENCANA TANAM
Pendahuluan
Curah hujan merupakan salah satu unsur iklim yang mempunyai variabilitas dan fluktuasi yang paling tinggi diantara unsur iklim lainnya di daerah tropis khususnya di Indonesia. Distribusi dan pola curah hujan yang teratur sangat besar peranannya dalam menentukan pertumbuhan dan hasil tanaman baik menurut skala ruang dan waktu sehingga dapat memberikan jaminan kesinambungan budidaya pertanian. Namun kondisi tersebut akan mengalami gangguan jika terjadi anomali iklim ekstrim. Penyimpangan cuaca/iklim yang terjadi di Indonesia dapat diakibatkan oleh perubahan suhu muka laut baik di wilayah pasifik Equatorial maupun di wilayah Samudera Hindia seperti kejadian ENSO dan IOD. Identifikasi sistem pertanaman dalam skala ruang dan waktu khususnya tanaman padi telah dilakukan oleh Badan Litbang Pertanian melalui Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP) dengan telah tersusunnya Kalender Tanam baik secara potensial maupun eksisting. Namun demikian belum ada informasi peluang terjadinya penyimpangan curah hujan baik diakibatkan oleh perubahan suhu muka laut di Samudera pasifik Equatorial maupun Samudera Hindia terutama pada wilayah-wilayah yang terindikasi kuat dipengaruhi oleh kedua fenomena iklim global tersebut. Berbagai teknik analisis dan pemilihan model dalam menyusun prediksi sudah banyak dilakukan dengan pendekatan analisis keterkaitan waktu seperti regresi fourier, analisis fractal, atau pendekatan analisis hubungan curah hujan dengan anomali suhu muka laut Nino 3,4 (Dupe dan Tjasyono 1998; Boer 1999). Namun demikian penggunaan jaringan syaraf tiruan (neural network, NN) merupakan alternatif pilihan sebagai salah satu model untuk menentukan peluang penyimpanan curah hujan karena mempunyai keunggulan utama yaitu terletak pada kemampuannya merepresentasikan hubungan-hubungan liniear maupun nonlinear, terutama hubungan-hubungan nonlinear yang rumit. NN meniru kerja
99
otak manusia dalam proses penyelesaian dan penyimpanan memori sehingga dapat memprediksi curah hujan dengan pola acak kejadian hujan yang lebih baik. Dalam dua tahun terakhir metoda NN diaplikasikan dalam memprediksi curah hujan. Koesmaryono et al. (2007) menggunakan jaringan syaraf untuk memprediksi curah hujan 3 bulanan di Wilayah Subang-Karawang dan memperoleh hasil yang sangat baik dengan nilai cakupan untuk Subang dan Karawang masing-masing 0.88 dan 0.91. Model tersebut memiliki sensitivitas 0.010-0.348 dengan tingkat kesalahan maksimum 5.1 mm untuk Karawang dan sensitivitas 0.000-0.835 dengan tingkat kesalahan maksimum 7.9 mm untuk wilayah Subang. Namun demikian model tersebut masih belum mampu memprediksi nilai-nilai ekstrim curah hujan
yang terjadi sewaktu-waktu.
Pramudia (2008) memprediksi curah hujan di sentra produksi padi Pantura Banten, Pantura Jawa Barat, dan Kabupaten Garut
yang dilakukan dengan
menggunakan analisis jaringan syaraf propagasi terbalik memperoleh hasil ketepatan model antara 80-91 % dan tingkat kesalahan prediksi berkisar 4,1 hingga 7,2 mm/bulan. Model menggunakan data masukan nilai anomali ENSO dan SOI tiga bulan sebelumnya dan menghasilkan nilai prediksi yang dibatasi oleh nilai minimum dan nilai maksimum tertentu, sehingga hasil prediksinya terlihat tidak lentur karena terbatas pada kisaran tertentu. Selanjutnya Eksawati (2009) menggunakan analisis jaringan syaraf propagasi terbalik dengan input nilai anomali ENSO dan SOI empat bulan sebelumnya, menghasilkan model 2
terbaik dengan R sebesar 84% dan 77% pada dua stasiun yang berbeda. Pada penelitian ini dikembangkan alternatif model prediksi curah hujan dengan menggunakan metode analisis jaringan syaraf propagasi balik dengan memasukkan fenomena iklim ENSO dan IOD pada berbagai perbedaan (lag) dasarian untuk memprediksi curah hujan pada kalender tanam padi di wilayahwilayah yang terindikasi kuat dipengaruhi oleh kedua fenomena iklim global tersebut pada periode sepuluh harian (dasarian). 5.2.
Metodologi
Model prediksi curah hujan menggunakan Artificial Neural Network (ANN) dan potensi waktu tanam optimal untuk perencanaan tanam untuk lahan tadah hujan menggunakan WARM Ver 2 (Runtunuwu et al. 2007), dan lahan
100
irigasi menggunakan neraca air lahan sawah irigasi (Kartiwa 2009). Penelitian mengambil studi di wilayah yang dipengaruhi oleh fenomena ENSO dan IOD yaitu di Indramayu pada wilayah monsunal serta di Pesisir Selatan pada wilayah Equatorial. Untuk pembanding dilakukan pula analisis di wilayah yang tidak terkena dampak baik di wilayah monsunal maupun di equatorial masing-masing di Cianjur dan Solok. 5.2.1. Bahan Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: 1. Data curah hujan harian dari tiga stasiun di Indramayu masing-masing Anjatan, Krangkeng dan Kertasemaya, di Cianjur masing-masing di Warungkondang dan Ciranjang, dua stasiun Pesisir Selatan masing-masing Tarusan dan batang Kapas serta satu stasiun di Solok yaitu Sumani. Periode tahun 1990-2010. 2. Data nilai SST (Sea Surface Temperature) di wilayah Nino 3.4 periode tahun 1990-2010 dan prediksi ENSO tahun 2010/2011. 3. Data nilai SST (Sea Surface Temperature) dan DMI (Dipole Mode Index) Samudera Hindia periode tahun 1990-2010 dan prediksi IOD tahun 2010/2011. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat PC (personal computer) dengan
piranti lunak untuk pengolah kata dan pengolah data
(Microsoft Word, Microsoft Excel, dan Arc View). 5.2.2. Pengumpulan Data
Tahap awal penelitian adalah pengumpulan data yang dibutuhkan sebagai bahan penelitian di Indramayu, Cianjur, Solok dan Pesisir Selatan. Data yang dikumpulkan adalah data curah hujan harian dari semua stasiun curah hujan, peta informasi stasiun curah hujan dan klimatologi di wilayah penelitian. Pengumpulan data dilakukan secara langsung, yaitu dengan mendatangi beberapa lembaga/ instansi yang menyediakan data-data tersebut.
101
5.2.3. Persiapan Data
Data yang terkumpul kemudian dientri dalam bentuk data digital dengan format yang siap untuk dianalisis. Data kosong diduga dengan menggunakan interpolasi spasial menggunakan Arc View. 5.2.4. Penyusunan Model Prediksi Curah Hujan
Model prediksi dibangun untuk memprediksi curah hujan ke depan dari rata-rata normalnya yang disajikan curah hujan dasarian. Keluaran model (Y) merupakan nilai curah hujan pada waktu tiga dasarian ke depan (Y=CHt+3), sedangkan data masukan yang digunakan adalah nilai kode dasarian (X1=t), nilai curah hujan pada dasarian ini (X2=CHt), nilai curah hujan dasarian depan (X3=CHt+1) dan nilai curah hujan dua dasarian berikutnya (X4=CHt+2), nilai DMI pada dasaian ini (X5=DMIt) dan nilai Anomali Nino-3.4 pada dasarian ini (X6=AnoNino-3.4t) Untuk mendapatkan model terbaik dalam penyusunan model dilakukam coba-coba (trial and error) yang mengkombinasikan peubah-peubah X1, X2, X3, X4, X5,dan X6 dengan melakukan langkah-langkah training analisis jaringan syaraf untuk
menetapkan koefisien persamaan sebagai berikut: (1)
Inisialisasi:
Langkah ini meliputi (a) Normalisasi data input Xi dan nilai target tk kedalam kisaran [0 ... 1], dan (b) Penetapan nilai awal untuk semua pembobot wij untuk matriks X dan
vjk untuk matriks H, yaitu suatu matrik antara yang
disembunyikan.
Gambar 5.1
Skema jaringan recurrent neural network.
102
Simpul (neuron atau node) dalam model jaringan saraf adalah unsur-unsur atau satuan pengolahan yang terhubungkan satu sama lain dan membentuk suatu jaringan. Dimana hubungan antar simpul tersebut memiliki sebuah nilai tertentu yang disebut dengan bobot. (2)
Langkah Maju
Tahap untuk pendugaan t dan y ; mencakup (a) menentukan training set untuk data input Xi dan nilai target tk, (b) menghitung hj dan yk melalui persamaan berikut:
yk hj dimana:
1 1 e
v jk h j
1 e
1 wij xi
Σwijxi = w0j + w1j * X1 + w2j * X2 + w3j * X3 + w4j * X4 + w5j * X5 + w6j * X6 Yk = Xt+3
subskrip j akan merujuk pada urutan dalam matrik H. (3)
Penentuan nilai galat
Nlilai galat (e) ditentukan per tahun dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
E = p 0.5 ( tkp – ykp)2 dimana tkp = nilai target data ke-p dari training set node k, dan ykp = nilai dugaan data ke-p dari training set node k. (4)
Proses learning atau training set
Proses ini untuk menentukan nilai bobot vjk dan wij melalui iterasi. Target dari proses iterasi adalah menentukan nilai y sedekat mungkin dengan nilai t sehingga menghasilkan galat yang mendekati nilai nol. Proses dihentikan jika galat pada iterasi ke-(m) dengan iterasi ke-(m-1) berselisih 0,00001. 5.2.5. Validasi model prediksi curah hujan
Validasi model dilakukan untuk menggunakan model yang sudah tersusun pada tahap penyusunan model untuk memprediksi data hujan yang berbeda
103
dengan tahap penyusunan model kemudian dibandingkan dengan data aktualnya. Validasi model menggunakan data tahun 2005-2009. 5.2.6. Penentuan prediksi curah hujan
Setelah dilakukan validasi model, dan model yang tersusun dianggap memenuhi syarat untuk digunakan, selanjutnya model tersebut digunakan untuk memprediksi curah hujan Musim Tanam (MT)
2010/2011. Hasil penentuan
prediksi kemudian dibandingkan dengan curah hujan pada tahun normal, El Niño maupun IOD positif. Hasil tersebut untuk menentukan rencana waktu tanam pada musim tanam berikutnya. 5.3.
Hasil dan pembahasan model prediksi curah hujan.
Model prediksi curah hujan disusun berdasarkan pengembangan dari model prediksi yang telah disusun oleh Koesmaryono et al. (2007) dari prediksi bulanan menjadi dasarian dengan maksud untuk melihat prediksi curah hujan dari rata-rata normalnya selama tiga dasarian ke depan. Model menggunakan data series curah hujan, nilai Anomali SPL zona Nino3.4 dan nilai DMI. Model disusun dengan melakukan uji coba (trial and error) dengan menggunakan jumlah simpul dalam lapisan tersembunyi (H) mulai 8 sampai dengan 15 yang dikombinasikan dengan nilai bobot awal (W) antara 0,1-1,0. Penambahan simpul dilakukan sampai diperoleh nilai R2 yang terbesar atau nilai MSE yang terkecil dan perubahan nilai R2 relatif konstan. Satu kali iterasi menunjukkan satu kali proses penghitungan nilai prediksi. Penyusunan model dilakukan dengan mengulang proses iterasi tersebut. Nilai bobot awal ditetapkan berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Pramudia (2008), sehingga diperoleh kisaran nilai bobot awal yang diharapkan mampu memberikan hasil terbaik yaitu dalam 4 taraf berbeda yaitu 0.25, 0.5, 0.75 dan 1.0. 5.3. 1 A.
Model prediksi di wilayah Monsunal. Training model
Hasil training di wilayah monsunal baik di Indramayu maupun Cianjur menggunakan model dengan jumlah simpul 15. Penambahan simpul cenderung
104
akan meningkatkan kualitas dan ketelitian model. Akan tetapi penambahan lapisan tersebut juga meningkatkan jumlah iterasi, sehingga dibutuhkan waktu yang lebih lama. Jumlah tersebut menghasilkan model lebih baik dibandingkan dengan hasil iterasi menggunakan jumlah simpul yang lebih kecil. Hasil training menunjukkan perbedaan nilai MSE dan R2 pada wilayah yang terkena dampak (Indramayu) dan tidak terkena dampak (Cianjur). Nilai R2 di Indramayu yang yang diwakili Stasiun Anjatan, Krangkeng dan Kertasemaya berkisar antara 0.83 – 0.86 relatif lebih baik dibandingkan dengan di Cianjur yang diwakili Stasiun Warungkondang dan Ciranjang hanya mempunyai nilai R2 antara 0.51 – 0.52 (Tabel 5.1). Hal tersebut menunjukkan bahwa model dengan menggunakan input data ENSO maupun IOD di Indramayu semakin baik dan mampu menerangkan total variabilitas dengan proporsi tinggi. Hasil tersebut diperkuat dengan pola yang ditunjukkan pada Gambar 5.2 yang menunjukkan model yang lentur. Kelenturan model terlihat dengan jelas dibuktikan oleh nilai prediksi mampu mengikuti pola nilai aktual. Hampir semua nilai-nilai esktrim tinggi dapat dijangkau oleh model dengan baik, demikian juga dengan nilai yang rendah. Model yang disusun dengan memasukkan parameter curah hujan, nilai anomali SPL Nino3.4 dan DMI ternyata cukup mampu menggambarkan variabilitas curah hujan di Kabupaten Indramayu. Hal ini diperkuat dengan hasil pengamatan sebelumnya yang menunjukkan bahwa ENSO dan IOD berpengaruh kuat di sebagian besar Kabupaten Indramayu. Tabel 5.1 Jumlah Iterasi, Nilai MSE, dan R2 di beberapa stasiun hujan wilayah pola hujan Monsun. Jumlah Simpul
Nilai Bobot Awal
Jumlah Iterasi
MSE
R2 (%)
INDRAMAYU Anjatan Krangkeng
15 15
0.5 0.5
30.552 16.378
0.028 0.020
0.83 0.83
Kertasemaya
15
0.5
24.882
0.095
0.86
CIANJUR Warungkondang Ciranjang
15 15
0.25 0.75
11.950 10.520
0.303 0.227
0.52 0.51
Stasiun Hujan
Hasil yang berbeda diperoleh di Cianjur. Kelenturan model sebagian besar tidak mampu mengikuti nilai aktualnya (Gambar 5.3). Nilai tinggi dan rendah
105
tidak mampu digambarkan seluruhnya oleh model sehingga model tidak disarankan untuk digunakan dalam memprediksi curah hujan di wilayah tersebut.
(a)
(b)
(c)
Gambar 5.2
Hasil training di Stasiun (a) Anjatan, (b) Krangkeng dan (c) Kertasemaya Kabupaten Indramayu.
106
(a)
(b) Gambar 5.3
B.
Hasil training di Stasiun (a) Warungkondang dan (b) Ciranjang Kabupaten Cianjur.
Validasi model
Validasi hanya dilakukan terhadap model terbaik hasil proses training dengan cara menggunakan data aktual yang dibandingkan dengan hasil prediksinya pada periode 2004-2009. Hasil validasi untuk Kabupaten Indramayu ditampilkan dalam Gambar 5.4. Dari gambar terlihat bahwa model mampu memprediksi nilai-nilai curah hujan dengan fluktuasi acak yang seirama dengan nilai aktualnya.
107
(a)
(b)
(c)
Gambar 5.4. Hasil validasi di Stasiun (a) Anjatan, (b) Krangkeng dan (c) Kertasemaya Kabupaten Indramayu.
108
C.
Prediksi model
Analisis model prediksi pada wilayah curah hujan monsun hanya dilakukan di Indramayu karena berdasarkan hasil training pengembangan model prediksi tersebut tidak menunjukkan hasil yang baik bila dilakukan di Cianjur. Hal tersebut dapat difahami mengingat Kabupaten Cianjur tidak terpengaruh baik oleh ENSO maupun IOD. Hasil analisis untuk kabupaten Indramayu yang diwakili oleh Stasiun Anjatan, Krangkeng dan Kertasemaya menunjukkan bahwa di wilayah tersebut saat memasuki periode September - November tahun 2010 diperkirakan curah hujan sebagian besar berada di atas rata-rata normalnya (Gambar 5.5). Kondisi tersebut terus berlangsung sampai dengan periode Desember 2010 – Februari 2011. Namun pada saat memasuki periode Maret 2011 – Mei 2011, curah hujan di Anjatan dan Krangkeng diperkirakan berada di bawah normalnya, tepatnya setelah memasuki Maret III. Dengan kondisi curah hujan tersebut di atas baik di Anjatan, Krangkeng maupun Kertasemaya diperkirakan indeks kecukupan air akan berada di atas batas kritis indeks saat memasuki Oktober II sehingga awal tanam padi lahan tadah hujan dapat dilakukan pada periode tersebut. Potensi masa tanam di Anjatan dan Kertasemaya relatif lebih panjang 3 sampai 4 dasarian dibandingkan dengan di Krangkeng (Gambar 5.6). Untuk lahan sawah irigasi memasuki September III/ Oktober I diperkirakan defisit ketersediaan air relatif rendah sampai dengan sedang sehingga awal tanam padi dapat dilakukan pada awal Oktober, lebih awal dibandingkan dengan lahan tadah hujan. Potensi waktu tanam pada lahan irigasi lebih panjang 3 sampai 5 dasarian dibandingkan dengan lahan tadah hujan (Gambar 5.7). Pada kondisi basah, potensi waktu tanam lebih cepat satu dasarian di lahan tadah hujan dan dua dasarian di lahan irigasi dibandingkan pada kondisi normal. Karena pada periode Maret – Mei 2011 diperkirakan curah hujan di bawah ratarata dan indeks kecukupan air untuk palawija maka disarankan rotasi tanam di lahan tadah hujan adalah Padi-Padi-Bera. Untuk lahan irigasi karena fluktuasi defisit ketersediaan air relatif rendah maka disarankan Padi-Padi-Palawija.
109
(a)
(b) )
(c) )
Gambar 5.5
Prediksi di (a) Anjatan, (b) Krangkeng dan (c) Kertasemaya.
110
(a)
(b)
(c)
Gambar 5.6. Fluktuasi indeks kecukupan air pada lahan tadah hujan di (a) Anjatan, (b) Krangkeng dan (c) Kertasemaya.
111
(a)
(b) )
(c) )
(c) )
Gambar 5.7. Fluktuasi defisit ketersediaan air pada lahan irigasi di (a) Anjatan, (b) Krangkeng dan (c) Kertasemaya.
112
5.3.2
Model Prediksidi Wilayah Equatorial.
A.
Training model
Seperti halnya pada pola hujan monsun, hasil training di wilayah pola hujan Equatorial baik di Pesisisir Selatan maupun Solok menggunakan model dengan jumlah simpul 15. Hasil training menunjukkan perbedaan nilai MSE dan R2 pada wilayah yang terkena dampak (Pesisir Selatan) dan tidak terkena dampak (Solok). Nilai R2 di Pesisir Selatan yang yang diwakili Stasiun Tarusan dan Batang Kapas berkisar antara 0.71 – 0.76. Nilai tersebut relatif lebih baik dibandingkan dengan di Solok diwakili Stasiun Sumani yang hanya mempunyai nilai R2 antara 0.52 (Tabel 5.2). Model dengan menggunakan input data ENSO maupun IOD di Pesisir Selatan lebih mampu menerangkan total keragaman dengan proporsi yang lebih tinggi dibandingkan dengan di Solok. Pola yang ditunjukkan Gambar 5.8 memperkuat presisi model yang dibuktikan dengan kelenturan pola prediksi yang mampu mengikuti pola nilai aktualnya. Sebagian besar nilai-nilai esktrim tinggi dapat dijangkau oleh model dengan baik, demikian juga dengan nilai yang rendah. Variabilitas curah hujan di Pesisir Selatan dapat digambarkan dengan baik dengan menggunakan model yang disusun dengan memasukkan parameter curah hujan, nilai anomali SPL Nino3.4 dan DMI. Berbeda dengan Pesisir Selatan, hasil analisis di Solok menunjukkan kelenturan model sebagian besar tidak mampu mengikuti nilai aktualnya (Gambar 5.8). Sebagian besar nilai tinggi dan rendah tidak mampu digambarkan oleh model sehingga model tidak disarankan untuk digunakan dalam memprediksi curah hujan di wilayah tersebut. Tabel 5.2.
Jumlah iterasi, Nilai MSE, dan R2 di beberapa stasiun hujan wilayah pola hujan Equatorial.
Stasiun Jumlah Hujan Simpul PESISIR SELATAN Tarusan 15 Batang Kapas 15 SOLOK Sumani
15
Nilai Bobot Awal
Jumlah Iterasi
MSE
R2 (%)
0.5 0.5
34.391 23.077
0.100 0.048
0.76 0.71
0.25
11.950
0.303
0.52
113
(a)
(b)
(c)
Gambar 5.8. Hasil training di Stasiun (a) Tarusan, (b) Sutera di Kabupaten Pesisir Selatan dan (c) Sumani di Kabupaten Solok
114
B.
Validasi model
Sama halnya dengan di wilayah pola hujan monsun, validasi hanya dilakukan terhadap model terbaik hasil proses training. Hasil validasi untuk Kabupaten Pesisir Selatan ditampilkan dalam Gambar 5.9. Dari gambar terlihat bahwa model mampu memprediksi nilai-nilai curah hujan dengan fluktuasi acak yang seirama dengan nilai aktualnya. (a) )
(b) )
Gambar 5.9. Hasil validasi di Stasiun (a) Tarusan, dan (b) Batang Kapas Kabupaten Pesisir Selatan.
115
C.
Prediksi model
Analisis model prediksi pada wilayah curah hujan Equatorial hanya dilakukan di Pesisir Selatan karena berdasarkan hasil training pengembangan model prediksi tersebut tidak menunjukkan hasil yang baik bila dilakukan di Solok. Hal tersebut didukung dengan hasil karakterisasi wilayah yang menunjukkan bahwa Kabupaten Solok tidak terpengaruh baik oleh ENSO maupun IOD. Hasil analisis untuk kabupaten Pesisir Selatan yang diwakili oleh Stasiun Tarusan menunjukkan bahwa di wilayah tersebut saat memasuki
periode
September - November tahun 2010 diperkirakan curah hujan sebagian besar berada di atas rata-rata normalnya. Kondisi tersebut terus berlangsung sampai dengan periode Maret 2011 – Mei 2011. Curah hujan di Batang Kapas untuk periode September – November berada di bawah rata-rata normalnya saat memasuki September II/III, namun tidak berlangsung lama karena memasuki Oktober I kembali berada di atas rata-rata normalnya hingga Akhir November. Pada periode Desember – Februari, kondisi di bawah normal rata-ratanya terjadi saat memasuki Februari I/II. Pada periode Maret- Mei, curah hujan pada umumnya berada dalam kondisi normal kecuali pada Maret II dan April III, curah hujan di bawah normal rata-ratanya (Gambar 5.10) Dengan kondisi curah hujan tersebut di atas baik di Tarusan maupun di Batang Kapas, diperkirakan indeks kecukupan air akan berada di atas batas kritis indeks saat memasuki September III. Kondisi tersebut tidak menunjukan pergeseran potensi tanam pada umumnya sehingga awal tanam padi lahan tadah hujan dapat dilakukan pada Akhir September sampai awal Oktober dan berlangsung hingga Maret I/II (Gambar 5.11). Untuk lahan sawah irigasi memasuki Agustus III/ September I diperkirakan defisit ketersediaan air relatif rendah sampai dengan sedang sehingga awal tanam padi dapat dilakukan pada awal September, lebih awal 1-2 dasarian dibandingkan dengan lahan tadah hujan. (Gambar 5.12). Karena pada periode Maret – Mei 2011 diperkirakan curah hujan di aratarata dan indeks kecukupan air lebih dari 0.65 maka disarankan rotasi tanam di lahan tadah hujan maupun irigasi adalah Padi-Padi-Palawija.
116
(a) )
(b) )
Gambar 5.10.
Prediksi di (a) Tarusan, dan (b) Batang Kapas Kabupaten Pesisir Selatan.
(a)
Gambar 5.11.
(b)
Potensi tanam berdasarkan Fluktuasi indeks kecukupan air pada lahan tadah hujan di (a) Tarusan, (b) dan Batang Kapas kabupaten Pesisir Selatan
117
(a)
(b)
Gambar 5.12.
5.4.
Potensi tanam berdasarkan defisit ketersediaan air pada lahan tadah hujan di (a) Tarusan, (b) dan Batang Kapas kabupaten Pesisir Selatan.
Simpulan model prediksi curah hujan.
Hasil training di Indramayu mempunyai nilai R2 berkisar antara 0.83 0.86 dan di Cianjur berkisar antara 0.51 – 0.52. Karena nilai di Cianjur rendah maka analisis prediksi curah hujan hanya dilakukan di Indramayu. Hasil validasi di Indramayu menunjukkan model mampu memprediksi nilai-nilai curah hujan dengan fluktuasi acak yang seirama dengan nilai aktualnya. Periode September - November tahun 2010 curah hujan sebagian besar berada di atas rata-rata normalnya. Kondisi tersebut terus berlangsung sampai dengan periode Desember 2010 – Februari 2011. Saat memasuki periode Maret 2011 – Mei 2011, curah hujan berada di bawah normalnya setelah memasuki Maret III.
118
Onset di Indramayu pada Oktober II 2010 untuk lahan sawah tadah hujan dan September III/ Oktober I 2010 untuk lahan sawah irigasi. Hasil training di Pesisir Selatan mempunyai nilai R2 berkisar antara 0.71 0.76 dan di Solok 0.52. Karena nilai di Solok rendah maka analisis prediksi curah hujan hanya dilakukan di Pesisir Selatan. Hasil validasi di Pesisir Selatan menunjukkan kelenturan pola prediksi yang mampu mengikuti pola nilai aktualnya. Sebagian besar nilai-nilai esktrim tinggi dapat dijangkau oleh model dengan baik, demikian juga dengan nilai yang rendah. Periode September - November tahun 2010 curah hujan sebagian besar berada di atas rata-rata normalnya. Kondisi tersebut terus berlangsung sampai dengan periode Desember 2010 – Mei 2011 di Tarusan. Di Batang Kapas relatif berfluktuasi saat memasuki Februari I sampai dengan Maret II. Onset di Pesisir Selatan pada September III/ Oktober I 2010 untuk lahan sawah tadah hujan dan September I/ September II 2010 untuk lahan sawah irigasi.
119