1.
Pendahuluan
Pada Konferensi United Nations Summit on Climate Change yang diadakan di Bali pada awal Desember 2007. Konferensi ini menandai kesepahaman internasional akan resiko perubahan cuaca global bagi keberlangsungan kehidupan. Meskipun berbagai kalangan telah merasakan dampak perubahan pemanasan global, namun tampaknya grand design yang nyata dan operasional belum disosialisasikan secara luas. Ancaman dan krisis pangan dunia yang menggejala secara global sejak awal 2008 memiliki kaitan sangat erat dengan perubahan iklim global. Ancaman penurunan produksi pangan di berbagai negara oleh perubahan iklim yang memicu banjir, kemarau panjang dan kekeringan, kenaikan suhu, penurunan kualitas lahan dan lain-lain menjadi semakin nyata. Dampak perubahan iklim pada peningkatan temperatur sebenarnya sudah ditengarai sejak tahun 1990an rata-rata kenaikan suhu per tahun sebesar 0.3 derajat celsius. Pada tahun 1998 terjadi kenaikan suhu yang luar biasa mencapai satu derajat celsius. Indonesia diprediksi akan mengalami lebih banyak hujan dengan perubahan dua sampai tiga persen per tahun. Intensitas hujan akan meningkat, namun jumlah hari hujan akan semakin pendek. Dampak yang nyata adalah meningkatnya resiko banjir. Secara umum, perubahan cuaca akan memicu kemarau panjang dan penurunan kesuburan tanah. Hal ini akan mempengaruhui kelangsungan produksi pangan secara nasional. Pemanasan global juga mengandung resiko yang besar akan kegagalan panen dan kematian hewan ternak. Ancaman produksi pangan global warming mempengaruhi pola presipitasi, evaporasi, water run-off, kelembaban tanah dan variasi iklim yang sangat fluktuatif yang secara keseluruhan mengancam keberhasilan produksi pangan. Kajian terkait dampak perubahan iklim pada bidang pertanian oleh National Academy of Science / NAS pada tahun 2007 menunjukkan bahwa pertanian di Indonesia telah dipengaruhi secara nyata oleh adanya variasi hujan tahunan dan antar tahun yang disebabkan oleh Austral-Asia Monsoon dan El Nino-Southern Oscilation (ENSO). Sebagaimana dilaporkan oleh Food and Agriculturure Organization (FAO) pada tahun 1996, kekeringan akibat kemarau panjang yang merupakan efek El Nino pada tahun 1997 telah menyebabkan gagalnya produksi padi dalam skala yang sangat besar yaitu mencakup luasan 426.000 ha. Selain tanaman padi, komoditas pertanian non-pangan yang lain seperti kopi, coklat, karet dan kelapa sawit juga mengalami penurunan produksi yang nyata akibat adanya kemarau panjang. . Degradasi kesuburan lahan akan memicu penurunan produksi padi empat persen per tahun, kedelai sebesar sepuluh persen serta produksi jagung akan mengalami penurunan luar biasa sampai dengan limapuluh persen. Perubahan cuaca dan pemanasan global dapat menurunkan produksi pertanian antara lima sampai limapuluh persen. Negara-negara dengan kondisi geografis yang lebih khusus seperti India dan Afrika akan mengalami penurunan produksi pertanian yang lebih tinggi lagi. Indonesia nampaknya belum menyiapkan secara komprehensif kebijakan dan strategi operasional untuk mengadaptasikan diri terhadap perubahan iklim global. Padahal tindakan ini sangat mendesak untuk
4
berbagai aspek pembangunan, khususnya ketahanan pangan. Beberapa rekomendasi dari World Development Report pada tahun 2008 antara lain: menanam varitas yang memiliki daya adaptasi tinggi, mengubah masa tanam menyesuaikan cuaca, mempraktekkan pertanian dengan masa tanam yang lebih singkat. Petani Indonesia memiliki tingkat kerentanan yang tinggi. Selain karena kepemilikan lahan yang sangat kecil serta lemahnya akses terhadap berbagai input pertanian serta keterbatasan akses pada pasar dan pengolahan hasil pertanian, petani juga memiliki pengetahuan yang sangat minim tentang strategi adaptasi produksi pertanian terhadap perubahan iklim global. Tampaknya tidak mungkin bagi petani diharapkan mencari strategi sendiri. Pemerintah harus mampu mendukung petani beradaptasi terhadap perubahan iklim global. Penyediaan informasi cuaca yang akurasinya tinggi dan terintegrasi akan sangat bermanfaat untuk kepentingan produksi pertanian dan juga menjadi kebutuhan yang semakin mendesak. Informasi tersebut mestinya mencakup variasi lokal sehingga dapat diakses oleh petani-petani lokal dan digunakan untuk antisipasi dalam produksi pertaniannya. Pemerintah perlu menyiapkan dukungan berbagai sumber daya baik sumber daya manusia, finansial maupun prasarana untuk mempercepat proses pengembangan berbagai komoditas yang memiliki daya adaptabilitas tinggi terhadap perubahan iklim dan pemanasan global. Kerjasama penelitian dan diseminasi produk antara peneliti di lembaga penelitian, universitas, pusat penelitian Private Corporation dan Non Grovermental Organization dengan melibatkan penyuluh lapangan dan tokoh asosiasi petani sangat perlu dilakukan [1]. 2.
Tinjaun Pustaka
Penerapan MapServer dalam pengembangan sistem sudah cukup banyak digunakan. Seperti pada Model Spasial Klasifikasi Wilayah Resiko Demam Berdarah Dengue (DBD) Menggunakan Fungsi Gi* Statistik (Studi Kasus Sosiodemografi Kota Surakarta 2005-2009) [2] yang memanfaatkan MapServer, PHP, MapScript dan Chameleon. Disini peneliti mengolah data spasial sosiodemografi di kota Surakarta dengan Gi*Statistik sehingga muncul suatu pola spasial yang dapat dianalisis keterkaitan antar wilayah. Dengan fungsi Gi*Statistik ini menghasilkan pola sesuai dengan data asli. Keterkaitan antar wilayah dapat dilihat dari hasil perhitungan Gi*Statistik dalam range nilai antara dua sampai -2 per wilayah. Selanjutnya penerapan MapServer juga terdapat pada penelitian Pemodelan Pola Spasial Persebaran Penyakit Demam Berdarah Dengue Dengan Fungsi Moran’s I ( Studi Kasus : Demam Berdarah Dengue Kota Banjarmasin) [3] yang memanfaatkan WebGIS dengan menggunakan MapServer OpenSource. Disini peneliti menemukan bahwa suatu daerah dapat dilihat hubungan spasialnya dari perbandingan nilai kasus pada suatu daerah, dimana dalam penelitiannya peneliti mengambil kasus demam berdarah. Dengan melihat penelitian sebelumnya peneliti memakai fungsi Gi*Statistik untuk menghitung data pertanian di Boyolali sehingga dapat dilihat hubungan spasial antar daerah. Dengan penerapan data menggunakan fungsi Gi*Statistik pada jumlah dan luas panen komoditas
5
dibandingkan dengan variabel curah hujan, jenis tanah dan ketinggian tanah. Sehingga kita dapat menentukkan komoditas mana yang cocok ditanam pada tahun-tahun berikutnya. Metode Spatio Temporal adalah suatu bentuk analisis dari suatu permasalahan yang ada dengan menggunakan metode penelitian jangka panjang dalam suatu lingkup daerah. Metode Spatio Temporal menggunakan data-data yang dikumpulkan dalam kurung waktu tertentu (Spatio), yang kemudian data itu diproses menggunakan Gi*Statistik sehingga dapat dilihat perubahan data yang terjadi dari kurung waktu tertentu. Data yang telah diproses itu dapat ditentukan hasil apa saja yang terjadi dalam kurun waktu data itu diambil seperti perubahan data atau penambahan data. Pada penelitian ini metode Spatio Temporal ini didukung menggunakan fungsi Gi*statistik dalam perhitungan datanya, sehingga menghasilkan data berdasarkan region-region yang telah ditentukan sebelumnya. Dari data hasil perhitungan ini peneliti dapat melihat keterkaitan region satu dengan region yang lain dari nilai hasil Gi*Statistik. Menggunakan pendekatan analisis Spatio Temporal, dapat diketahui seberapa besar perubahan iklim dan pola tanam dalam kurun waktu 2005-2009 di Kabupaten Boyolali. Analisis Spatio Temporal merupakan metode analisis gabungan antara analisis keruangan dan multiwaktu.[4] Curah Hujan dan Pola Tanam. Kondisi iklim di Indonesia pada dasarnya dipengaruhi oleh sirkulasi monsoon yang menimbulkan perbedaan iklim antara musim hujan dan musim kemarau. Besarnya curah hujan akan sangat tergantung pada sirkulasi monsoon. Sirkulasi monsoon akan dipengaruhi oleh kejadian ENSO (El Nino Southern Oscillation) yang secara meteorologis diekspresikan dalam nilai Southern Oscillation Index (SOI). Berdasarkan hal tersebut maka fluktuasi curah hujan sangat berkorelasi dengan fluktuasi SOI. Kejadian El Nino dapat berdampak pada penurunan curah hujan, dan kejadian La Nina dapat menimbulkan peningkatan curah hujan. Pola produksi tanaman pangan umumnya berbeda pada musim kemarau dan musim hujan. Musim hujan dimulai manakala curah hujan pada hari tertentu telah mencapai antara 200 - 350 mm. Definisi dari Badan Meteorologi dan Geofisika, awal musim hujan curah hujan harian sebesar 50 mm selama 10 hari berturur-turut yang kemudian diikuti dengan curah hujan diatas 50 mm pada 10 hari berikutnya. Dengan menggunakan batasan curah hujan tersebut periode musim hujan di wilayah Indonesia bervariasi menurut lokasi tetapi umumnya berlangsung antara bulan September/Oktober hingga bulan Maret/April [5]. Anomali iklim El Nino dan La Nina menimbulkan pengaruh terhadap besaran curah hujan dan ketersediaan air irigasi, periode musim hujan dan musim kemarau dan pergeseran musim tanam. Di Provinsi Lampung, El Nino dapat menyebabkan awal musim kemarau lebih cepat 2-5 dasarian (1 dasarian = 10 hari) dibanding kondisi iklim normal sedangkan akhir musim kemarau lebih lambat 2-4 dasarian, sehingga musim kemarau menjadi lebih panjang dari yang biasanya sekitar 8-20 dasarian menjadi 14-25 dasarian. Musim kemarau yang semakin panjang juga terjadi di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah sekitar 7-9 dasarian menurut daerah. Sedangkan di Provinsi Sulawesi Selatan perpanjangan
6
musim tanam sangat variatif menurut daerah yaitu sekitar 1-8 dasarian. Peristiwa El Nino dan La Nina dapat menimbulkan variasi besarnya dampak yaitu besarnya dampak yang ditimbulkan oleh anomali iklim terhadap situasi iklim lokal atau curah hujan lokal, dan kemampuan petani dalam mencegah penurunan produksi yang disebabkan oleh anomali iklim di setiap daerah. Kedua faktor tersebut menyebabkan penurunan curah hujan yang tergolong besar di suatu daerah, dapat saja tidak menimbulkan dampak serius terhadap produksi pangan jika penurunan suplai air akibat El Nino dapat ditanggulangi. Sebaliknya, daerah yang mengalami penurunan curah hujan relatif kecil dapat mengalami dampak penurunan produksi yang tinggi, jika petani tidak mampu melakukan adaptasi dan antisipasi yang diperlukan [5]. PostGIS. Pembangunan teknologi GIS (Geographic Information Sistem) telah berkembang pesat dan membutuhkan teknologi basis data Spatial, PostgreSQL merupakan pilihan basis data Open Source yang paling popular, dengan dukungan ekstensi spatial yang bernama PostGIS [6]. Postgis merupakan tambahan pendukung objek geografis untuk objek pada PostgreSQL (basis data relasional). ESRI Shapefile umumnya terdiri dari tiga ekstension file yaitu shp, shx dn dbf. Shp dan shx meyimpan informasi spasial dari data sedangkan dbf menyimpan data atribut. Kelemahan dari data format dbf adalah struktur basis datanya masih flat file, semua data disimpan dalam satu tabel, bukan termasuk ke dalam basis data relational. Jika menggunakan PostGIS, maka data shp akan dikonversi lalu disimpan ke dalam geo-database di PostgreSQL dan PostGIS, ada dua manfaat yang akan diperolah dengan konversi data ini, yaitu dapat memanfaatkan keunggulan geo database dalam GIS dan memungkinkan terhindar dari virus [6]. Gi* Statistik. Data spasial yang berkembang secara besar dan modern dengan kemampuan untuk visualisasi dan manipulasi di Sistem Informasi Geografis (SIG), menciptakan permintaan sebuah teknik baru untuk analisis data spasial pada eksplorasi dan sebuah penerimaan [7]. Pengukuran Global dari Gi*Statistik untuk semua studi area menggunakan penjumlahan rata-rata. Untuk deteksi hotspot, pengukuran dengan statistik lokal memiliki kuantitas variasi pada autokorelasi spasial daripada global [8]. Hotspot (titik panas) adalah suatu kondisi yang mengindikasi suatu wilayah membentuk clustering atau pengelompokan di sebuah distribusi spasial. Hotspot secara sederhana dideteksi dengan cara mengamati suatu lokasi dengan fenomena melimpah/besar. Pada ekologi, hotspot sering dideteksi di puncak global secara spasial, dimana sebuah nilai pada observasi disatukan dengan semua nilai-nilai data set. Hubungan data spasial penting dan arti dari lokal spasial yaitu, menggabungkan nilai observasi dengan lokasi-lokasi sekitar/tetangga dari letak yang diobservasi. Mendeteksi hotspot adalah langkah awal untuk mengetahui proses untuk membangkitkan kejadian dari pola spasial. Hotspot diberikan pada lokasi dengan banyak atau beragam kasus dalam daerah observasi, sebut saja wilayah yang paling beragam. Umumnya, metode lokal spasial lebih efektif untuk mendeteksi hotspot ketika area studinya luas dan proses membangunnya tidak berubah-rubah atau tetap. Sedangkan autokorelasi spasial adalah sebuah gagasan yang membuat semua
7
berkaitan dan segala yang dekat lebih banyak daripada yang jauh [9]. Sehingga Petugas Dinas Pertanian sebagai pengguna nantinya dapat menganalisis output berdasarkan pada keterkaitan nilai Gi*Statistik antar region. Pengukuran asosiasi spasial oleh Getis dan Ord [9], berdasarkan definisi dari sebuah tetangga tiap lokasi dari observasi dari sebuah jarak d. Metode Gi* statistik z(Gi) dari Getis dan Ord merupakan metode yang membantu mencari lokasi panas (hotspot), titik panas ini berguna dalam menentukan nilai dari tetangga-tetangga yang berdekatan dengan titik panas tersebut. Penentuan indikator suatu wilayah dikatakan ekstrim tinggi hingga sangat rendah bergantung dari nilai z(Gi), dimana z(Gi) > 2 artinya ada hubungan lokal nilai positif signifikan, sedangkan apabila z(Gi) < -2 mengindikasikan bahwa nilai keterkaitan sangat kecil, rendah. Pada penelitian ini yang dijadikan titik awal adalah kecamatan Klego(xi), dimana daerah ini memiliki keragaman data dan jumlah data luas dan panen yang tinggi. Selain itu dalam penentuan (xi) ini dihitung dengan metode Queen Move yang membandingkan Klego dengan rata-rata kasus Klego dengan tetangga sekitarnya. Didapat hasil Klego memiliki nilai rata-rata yang mendekati dari keragaman kasus yang ada sehingga Klego dijadikan sebagai titik awal dari penentuan tetangga per region.
Gambar 1 Metode Queen Move[7]
dimana, X : Titik awal yang kita tentutan. A, B, C : Tetangga disekitar titik X Rumus Metode Queen Move Yang dapat dilihat pada Persamaan (1) [7] Q
Wij
(1)
n
dimana, Q : Rata-rata dari Queen Move Wij : Jumlah data pada titik awal dan daerah sekitarnya : Jumlah daerah titik awal dan daerah sekitarnya n Tetangga atau Region Tetangga pada Gi*Statistik adalah daerah-daerah yang dikelompokkan berdasarkan titik awal sebagai titik pusatnya. Ada 2 jenis tetangga pada Gi*Statistik yaitu tetangga per region dari titik awal dan tetangga dari luar daerah perhitungan atau tetangga berdasarkan letak geografis (xj). Tetangga yang digunakan pada perhitungan kali ini menggunakan jumlah kecamatan pada kabupaten Boyolali. 8
Sedangkan tetangga (xj) yang berada di antara wilayah studi yang dihitung berdasarkan letak geografis yang berdekatan dengan titik awal yang telah ditentukan. Kota Boyolali dikelilingi oleh Kabupaten Semarang (16 Kecamatan), Kabupaten Grobogan (19 Kecamatan), Kabupaten Sragen (20 Kecamatan), Kabupaten Karanganyar (17 Kecamatan), Kabupaten Surakarta (5 Kecamatan), Kabupaten Sukoharjo (12 Kecamatan), Kabupaten Klaten (26 Kecamatan), Kabupaten Yogyakarta (14 Kecamatan) dan Kabupaten Magelang (21 Kecamatan) sehingga jumlah kecamatan yang mengelilingi Kota Boyolali sebanyak 150 wilayah dan menjadi 169 wilayah dihitung dengan Kecamatan Boyolali sendiri. Keseluruhan kecamatan yang berjumlah 169 menjadi penentu n (jumlah wilayah studi keseluruhan berdasarkan letak geografis). Tetangga yang berdekatan dengan Klego dibagi menjadi enam bagian terdekat yang dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Tabel Penentuan Tetangga di Kabupaten Boyolali No
Tetangga Terdekat Ke-
Meliputi Kelurahan
Jumlah Tetangga
1
I
6
2 3
II III
3 3
9 12
4 5 6
IV V VI
Klego, Karanggede, Wonosegoro, Kemusu, Andong, Simo Juwangi, Sambi, Nogosari Ngemplak, Banyudono, Teras Mojosongo, Sawit Boyolali, Musuk Cempogo, Selo, Ampel
Jumlah Tetangga dari Tetangga 6
2 2 3
14 16 1 9
Jumlah tetangga pertama didapat dari jumlah tetangga dari Klego sebagai titik awal yang memiliki jumlah tetangga termasuk Klego enam kecamatan. Kemudian pada jumlah tetangga kedua adalah tiga kecamatan dengan jumlah tetangga dari tetangga adalah sembilan kecamatan ( Jumlah tetangga pertama ditambah dengan jumlah tetangga kedua). Begitu dengan jumlah tetangga dari tetangga didapat dengan menjumlahkan jumlah tetangga dengan tetanggatetangga selanjutnya. Rumus Gi*Statistik Yang dapat dilihat pada Persamaan (2) [9] n
z Gi
W j 1
ij
(d ) X j XWi (2)
s 2 n 2 n wij wi2 n 1 j 1
9
wi j wij
x x i
i
s
n
2
x i
i
x
2
n
dimana, z(Gi) : nilai Gi*statistik wij (d ) x j : Jumlah data per region atau tetangga dari tetangga : Rata-rata seluruh kasus pada wilayah studi. : Jumlah tetangga antara wilayah studi dengan tetangga terdekatnya : variance / perbedaan antar i (sites) :Jumlah tetangga yang berdekatan dengan studi area (letak geografis)
X wi s2 n
Gambar 2 Hasil Hitung Manual Gi*Statistik Luas Padi Sawah Tahun 2005
Contoh Perhitungan Manual Gi*Statistik pada luas panen padi sawah kecamatan Juwangi : Kecamatan Juwangi memiliki: wij (d ) x j : 24.959 (Jumlah Kasus pada region Juwangi) : 2.036,11 (Rata-rata seluruh kasus pada wilayah studi) : 9 (Jumlah Tetangga dari tetangga pada region Juwangi) : 234.409,13 (Nilai Pembeda antar Sites) :169 (Jumlah tetangga yang berdekatan dengan studi area (letak geografis))
X wi s2 n
Pada perhitungan Gi*Statistik Juwangi : n
z Gi
W j 1
ij
(d ) X j XWi
s 2 n 2 n wij wi2 n 1 j 1
10
z Gi
z Gi
3198 2972 1846 4264 1015 2550 596 4672 3846 (2036,11* 9) 234409,13 169 * 81 81 168
24959 18324,9 1395,29 *13608
z Gi
6634.1 4357.42
z Gi 1,52
Berdasar perhitungan dengan rumus Gi*Statistik maka pada data pertanian memunculkan pola spasial autokorelasi berdasarkan nilai Gi*Statistik masingmasing wilayah kecamatan dengan inputan berupa jumlah dan luas panen padi, jagung dan ubi kayu, yang kemudian dibandingkan dengan jenis tanah, ketinggian lahan dan curah hujan pada wilayah Boyolali. 3.
Metode Pengembangan Sistem
Simulasi membawa peran penting dalam analisis dari pola spasial, sehingga metode yang digunakan untuk pengembangan sistem ialah dengan menggunakan model Analisis Simulasi (Simulation Analysis). Metode Analisis Simulasi merupakan teknik permodelan deskriptif, penggambaran sistem menggunakan model dimana tidak memerlukan formasi permasalahan/rumusan masalah secara eksplisit dan langkah-langkah solusi yang merupakan bagian dari model optimisasi [10]. Langkah-langkah model Analisis Simulasi sebagai berikut: 1. Rumusan Masalah 2. Pengumpulan Data dan Analisis 3. Pengembangan Model 4. Verifikasi Model dan Validasi 5. Eksperimen Model dan Optimisasi 6. Implementasi dari Hasil Simulasi.
Gambar 3 Model Analisis Simulasi [10]
11
- Rumusan Masalah Pada tahap rumusan masalah dilakukan dengan membuat pertanyaan untuk mendapatkan jawaban dari kesesuaian lahan dan iklim serta mengukur performasi sistem yang akan digunakan. - Pengumpulan Data dan Analisis Data Pengumpulan data dan analisis data dilakukan dengan pencarian informasi dan kebutuhan data untuk mengetahui dengan jelas masalah yang telah dirumuskan. Pencarian data pola tanam dan iklim didapat dari Dinas Pertanian Kota Boyolali. Data yang didapat adalah data jumlah panen, luas panen, jenis tanah, ketinggian lahan dan curah hujan pada tahun 20052009. Penganalisisan data dilakukan dengan mengolah data yang telah diperoleh, kemudian data tersebut dimasukkan ke dalam permodelan untuk melakukan perhitungan/analisis data. - Pengembangan Model Pengembangan Model menyangkut pengerjaan dan testing model dari sistem nyata termasuk memilih bahasa pemrograman komputer, model dari coding, dan debugging. - Verifikasi Model dan Validasi Kemudian pada langkah Verifikasi Model dan Validasi, membangun model yang sesuai dan representatif dengan sistem nyata. Sebuah model dikatakan memiliki validasi jika hasil keluaran memiliki nilai yang mendekati pengukuran sistem nyata. Tujuan test dari sebuah model adalah validasi harus menghasilkan prediksi masa depan dengan baik. - Model Eksperimen dan Optimisasi Tahap model eksperimen dan optimisasi yang dilakukan adalah ketepatan seperti seberapa luas sampel yang dibutuhkan untuk mengestimasi performa sistem, dan desain dari eksperimen yang efektif dengan hasil dari perhitungan Gi*statistik yang menghasilkan pemetaan pola tanam sudah sesuai dengan data original atau belum. - Implementasi dari Hasil Simulasi Tahap ini berisi tentang kepastian penerimaan dari hasil oleh user sistem dan pengembangan keputusan dari analisis yang dilakukan. Alasan dari ketidaksuksesan tujuan implementasi sering menyangkut dari sebuah gap komunikasi, atau ketidakmampuan user dalam penguasaan teknik menganalisis, kurangnya kesadaran personal atau organisasional memandang perkembangan pola tanam yang dihasilkan oleh perhitungan dari sistem. Sebagian user lebih menggunakan pengetahuan berdasar pengalaman daripada data yang terjadi sesungguhnya sehingga kurang menerima sistem yang dibangun. Data Flow Diagram (DFD). DFD merupakan penggambaran sistem yang menggunakan bentuk simbol untuk menggambarkan aliran data dalam suatu proses yang saling berhubungan [11] Adapun deskripsi Rumusan Masalah dalam sistem ini, 1. Pengelolaan nilai masukan untuk menentukan pola tanam oleh Admin 2. Pemrosesan nilai masukan dengan fungsi Gi* Statistik
12
3. Menampilkan peta hasil perhitungan Gi*Statistik. 4. Menganalisis peta pola tanam sesuai dengan indikator yang ditunjukkan dengan warna pada peta.
0 Pemodelan Pola Tanam dan Kesesuaian Lahan
Kesimpulan Analisis
Admin
Data Variable Wilayah Data Perhitungan Gi*Statistik
Gambar 4 Data Flow Diagram Level Nol Pola Tanam dan Kesesuain Lahan
Diagram Level Nol pada Gambar 4 menunjukkan proses sistem secara garis besarnya, dimana Admin (Petugas Dinas Pertanian) dapat memasukkan data jumlah tanam, luas tanam, curah hujan, ketinggian lahan dan jenis tanah. Admin melihat peta pola tanam dan kesesuaian lahan pada kota Boyolali sehingga dapat melakukan analisis pola tanam yang cocok untuk tahun-tahun ke depan. Data Variabel Wilayah
Admin
Data Perhitungan Gi*Statistik
1 Input Variabel Wilayah
2 Menghitung Gi*Statistik
Data Variabel Wilayah
Data Variabel Wilayah
Data Perhitungan Gi*Statistik
Data Perhitungan Gi*Statistik
Header
Footer
Data Perhitungan Gi*Statistik
3 Menampilkan Peta
Data Variabel Wilayah
Kesimpulan Analisis Peta Pola Tanam
4 Analisis Peta
Gambar 5 Data Flow Diagram Level Satu Proses Kerja pada Model
Diagram Level Satu pada Gambar 5 proses kerja pemodelan sistem pola tanam dan lahan. Proses pertama Admin memasukkan database variable wilayah yang disimpan pada database Header (Database Header berisi data tetangga, data periode, data kecamatan dan data Kabupaten) kemudian yang kedua Admin memasukkan data perhitungan atau data studi kasus untuk dihitung dengan data 13
wilayah yang didapat dari database Header. Setelah itu data hasil perhitungan Gi*Statistik disimpan pada database Footer(Database Footer berisi hasil perhitungan Gi*Statistik). Kemudian yang ketiga Admin memilih data peta pola tanam untuk ditampilkan peta pemodelan pola tanam, yang berasal dari database Header (Data Wilayah) dan database Footer (Data Gi*Statistik). Langkah terakhir Admin menganalisis peta pemodelan pola tanam dan menarik kesimpulan dari pemodelan.
Admin
Data Variabel Wilayah
2.1 Memilih Variabel Wilayah
Data Variabel Wilayah
Header
Data Perhitungan Gi*Statistik
Footer
Data Wilayah Terpilih
Data Kasus
2.2 Input Kasus Gi*Statistik
Data Perhitungan Gi*Statistik
2.3 Hitung Gi*Statistik
Gambar 6 Data Flow Diagram Level Dua Proses Hitung Gi* statistik
Gambar 6 menunjukkan DFD level Dua proses hitung Gi*Statistik yang pertama dimulai dengan Admin memilih variable wilayah terpilih yang didapat dari database Header, kemudian yang kedua Admin memasukkan data kasus yang akan dihitung. Data perhitungan Gi*Statistik yang didapat dari data kasus dan data wilayah(Database Header) dihitung menggunakan Gi*Statistik pada proses ketiga. Kemudian hasil dari perhitungan Gi*Statistik ini disimpan di database Footer. 4.
Hasil dan Pembahasan
Setelah tahapan perancangan sistem, maka selanjutnya adalah implementasi sistem yang dibangun. Pengembangan sistem prediksi pola tanam ini memiliki output berupa peta spasial dan grafik. Peta dan grafik ini merupakan hasil dari perhitungan algoritma menggunakan Java dan ditampilkan menggunakan Map Server. Tampilan awal dari sistem ini adalah halaman server yang digunakan untuk mengatifkan server kemudian baru halaman client yang merupakan bagian dari sistem utama.
14
Gambar 7 Halaman Start Server
Gambar 7 menunjukkan antarmuka start server yang digunakan untuk menjalankan koneksi server ke client.
Gambar 8 Halaman Client
Gambar 8 merupakan antarmuka Client yang terdiri dari :1. File, Pada halaman ini terdapat shortcut untuk keluar dari sistem; 2. Master, Pada halaman ini terdapat tiga link yaitu:Master, Pada master sendiri terdapat tiga link lagi yaitu Kabupaten, yang digunakan untuk menambah kabupaten di database, Region, digunakan untuk mengatur jumlah region yang dimiliki Kabupaten, Kecamatan, digunakan untuk menambah kecamatan pada Kabupaten, Years, memasukkan data tahun di database, Periode, menentukan tahun mana saja yang akan dipakai dari database years; 3. Transactions, Pada halaman ini terdapat dua link yaitu Gi*Statistik App ,Antarmuka perhitungan Gi*Statistik, dihalaman ini user dapat menginput data dan menampilkan hasil perhitungan Gi*Statistik dalam bentuk tabel maupun tampilan peta dengan komposisi warna menurut hasil perhitungan. Pola Tanam Komoditas, Pada halaman ini berisi persebaran pola tanam di Boyolali yang meliputi padi, jagung dan ubi; 4. Help, Berisi kontak person Admin. Antarmuka pemodelan data spasial yang dibangun berisi tampilan permodelan data pola tanam dan pola hasil keluaran dari masukkan data pada Model dari hasil hitungan dengan fungsi Gi* statistik. Pola peta yang merupakan hasil proses Model dari Fungsi Gi* statistik di visualisasikan dengan warna yang berbeda-beda sesuai dengan range nilainya. Suatu wilayah dikatakan bernilai tinggi apabila wilayah tersebut dan tetangga 15
sekitarnya memiliki nilai z(Gi) > +2, sedangkan suatu wilayah dikatakan memiliki nilai rendah apabila nilai dari wilayah tersebut memiliki nilai z(Gi) < -2. Antara range -2 ≥ z(Gi) ≤ +2 , penentuan warna dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Keterangan Warna Legend pada Pola z(Gi) Range Nilai
Warna
≤-2
Biru
-1< -2
Ungu
-0 < -1
Hijau Muda
0<1
Hijau Tua
1<2
Coklat
≥ +2
Merah
Wilayah pemodelan kesesuaian lahan dan iklim merupakan keluaran dari model yang dibuat berupa peta data spasial. Peta tersebut akan memiliki warna di tiap wilayah sesuai dengan nilai masukan yang telah diproses oleh model. Wilayah pemodelan kesesuaian lahan dan iklim tersebut dapat diklasifikasikan menjadi lima kelompok/ level yang meliputi:
Gambar 9 Petunjuk Klasifikasi Tingkatan Nilai Gi*Statistik[2]
Peta hasil klasifikasi tersebut dapat membantu jajaran Dinas Pertanian untuk segera mengambil tindakan penyuluhan terhadap petani. Bisa dikatakan apabila wilayah dikatakan Level Lima, apabila nilai yang dimiliki z(Gi) > +2 dan begitupun sekitarnya. Level Empat suatu wilayah misal memiliki nilai z(Gi) = 0 sedangkan tetangganya memiliki nilai rata-rata z(Gi) >
16
+2, akan berakibat wilayah ini akan terpengaruh oleh tetangganya yang bernilai tinggi. Pada level Tiga, jika suatu wilayah misal z(Gi) =1, sedangkan tetangga sekitar z(Gi) < -2, dikatakan moderat, bisa saja wilayah tersebut menjadi bernilai < -2 atau tetangga-tetangganya akan potensi tingkatan yang sama dengan wilayah studi. Level Dua Jika suatu wilayah studi di sekitar tetangganya ada yang z(Gi) > +2 dan ada pula z(Gi) < -2, sedangkan Level Satu terjadi bila wilayah studi dan daerah sekitarnya memiliki nilai z(Gi) < -2.
Gambar 10 Jumlah Panen Padi Sawah Tahun 2005
Jumlah Panen Padi Sawah pada tahun 2005 adalah 213.081 Ton, pola yang terbentuk pada Gambar 10 terlihat tingkat moderat antara Klego dan tetangga sekitarnya yang memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan nilai region lain. Pola ini berdampak pada jumlah panen padi tetangga terdekat dari daerah Klego yang besar dibandingkan daerah sekitar Cepogo.
Gambar 11 Curah Hujan Tahun 2005
Gambar 11 menunjukkan nilai Curah Hujan tingkat moderat pada Klego dan sekitarnya dibandingkan daerah lainnya. Sehingga jika dibandingkan jumlah dan luas panen padi sawah dengan curah hujan pada kabupaten Boyolali, maka variabel curah hujan mempengaruhi pola tanam padi sawah per daerah dilihat dari keterkaitan hasil perhitungan Gi*Statistik pada curah hujan dengan jumlah dan luas panen padi sawah. Daerah dengan curah hujan tinggi lebih banyak menanam padi sawah daripada daerah dengan curah hujan rendah.
17
Gambar 12 Jenis Tanah di Boyolali
Gambar 12 menunjukkan Jenis Tanah di Boyolali memiliki keterkaitan dengan pola tanam padi sawah di kabupaten boyolali. Kecamatan dengan jenis tanah yang lebih dari satu jenis memiliki jumlah panen dan luas panen yang lebih besar daripada daerah yang hanya memiliki satu jenis tanah saja.
Gambar 13 Ketinggian Tanah di Boyolali
Gambar 13 menunjukkan Ketinggian Tanah di Boyolali memiliki keterkaitan dengan pola tanam padi sawah. Daerah dengan ketinggian tanah antara 75-400 DPL lebih cocok ditanami padi daripada palawija. Berdasarkan perbandingan perhitungan Gi*Statistik pada jumlah panen padi sawah dengan curah hujan, jenis tanah dan ketinggian tanah. Ketiga variabel mempengaruhi pola tanam padi sawah, seperti pada dataran rendah maka jenis tanaman yang ditanam adalah padi dibandingkan dengan dataran tinggi lebih banyak menanam palawija. Kemudian keragaman jenis tanah juga mempengaruhi komoditas apa yang akan ditanam, sedangkan daerah dengan curah hujan tinggi lebih banyak menanam padi yang bergantung kepada debit air dibandingkan dengan palawija. Pengujian Server Pengujian pada Server dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Tabel Server Kondisi Stabil Tidak Stabil
Proses Run Server Start Server
18
Keterangan : - Stabil (proses berjalan dengan lancar) - Tidak stabil (dalam proses terdapat error) Pada Pengujian ini Admin menjalankan server dan melakukan start server untuk menjalankan program. Berdasarkan pengujian pada Tabel 1 disimpulkan bahwa Server dapat dijalankan dengan baik dan tidak mengalami masalah. Pengujian Client Pengujian pada Client dapat dilihat pada Tabel 4.
Proses Start Client Input Data Proses Hitung Gi*statistik Load Peta Print Data
Tabel 4 Tabel Uji Client Kondisi Stabil Tidak Stabil
Keterangan : - Stabil (proses berjalan dengan lancar) - Tidak stabil (dalam proses terdapat error) Pada Pengujian ini Admin menjalankan client kemudian memasukkan data dan menghitung Gi*Statistik dan menampilkan peta. Berdasarkan pengujian pada Tabel 3 dan Tabel 4 proses start client, input data, proses hitung Gi*statistik, load peta dan print data berjalan dengan stabil atau lancar dan tidak mengalami kendala serta data yang diinput menghasilkan data yang sama. 5.
Simpulan
Berdasar hasil penelitian dari data Pola Tanam yang telah diolah menjadi pola data spasial menggunakan fungsi Gi* Statistik menunjukkan bahwa Klasifikasi Wilayah Pola Tanam dapat dimodelkan menggunakan Fungsi Gi* Statistik, berdasar data nyata lapangan kemudian dimasukkan ke dalam model sehingga menghasilkan Pola Spasial yang menunjukkan cluster/ pengelompokan wilayah sesuai data nyata dan fungsi Gi*Statistik. Parameter Pola Tanam yang meliputi Curah Hujan, Jenis Tanah dan Ketinggian Tanah mempengaruhi Pola Tanam di Kota Boyolali. Hal ini berdasarkan pola Gi*Statistik yang dihasilkan oleh model dimana variabel pola tanam memiliki pola yang sama dengan pola tanam di Boyolali tahun 2005-2009. Pola Spasial yang dihasilkan oleh model menunjukkan keterkaitan antara wilayah satu dengan wilayah lain dan menghasilkan pengelompokan wilayah dengan hotspot sebagai penentu tingginya keterkaitan antar wilayah. Pada pola spasial dari data jumlah panen dan luas
19
panen komuditas berbanding dengan parameter jenis tanah dan ketinggian lahan memiliki pola yang mirip atau hampir sama dengan pola tanam tahun 2005-2009. Pola spasial tersebut menunjukkan hotspot pada wilayah kecamatan Klego dengan sekitarnya memiliki keeratan sangat tinggi, terutama pada kecamatan Karanggede, Andong, Wonosegoro, Kemusu dan Simo yang berbatasan langsung dengan hotspot. 6. [1]
[2]
[3]
[4] [5]
[6] [7]
[8] [9] [10] [11]
Daftar Pustaka Suberjo, 2009. Adaptasi Pertanian dalam Pemanasan Global. Dosen Fakultas Pertanian UGM Yogyakarta dan Mahasiswa Doktoral The University of Tokyo. Iriani, 2011, Model Spasial Klasifikasi Wilayah Resiko Demam Berdarah Dengue (DBD) Menggunakan Fungsi Gi* Statistik (Studi Kasus Sosiodemografi Kota Surakarta 2005-2009), Fakultas Teknologi Informasi, UKSW. Naftali, 2011, Pemodelan Pola Spasial Persebaran Penyakit Demam Berdarah Dengue Dengan Fungsi Moran’s I ( Studi Kasus : Demam Berdarah Dengue Kota Banjarmasin, Fakultas Teknologi Informasi, UKSW. Yuwono, 2001, Analisis Perubahan Kawasan Hutan Kabupaten Blora Dengan Pendekatan Kajian Spatio-Temporal, BAKOSURTANAL. Irawan B.,2006, Fenomena Anomali Iklim El Nino La Nina ; Kecenderungan Jangka Panjang dan Pengaruhnya Terhadap Produksi Pangan, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor. Hatma, 2008, Tutorial_webGIS, http://infogis.com, Diakses tanggal April 2010. Anselin, L. & A. Getis, 1992, Spatial Statistical Analysis and Geographic Information Systems. Paper presented at the DOSES/urostat Workshop n New Tools for Spatial Analysis, Lisbon, Portugal, November. Tobler, W, 1965, Computation of the correspondence of geographical patterns, Pap. Reg. Sci. Assoc. 15: 131-139. Getis A., Ord. J.K, 1992, The analysis of spatial association by use of distance statistics, Geographical Analysis, 24, 189-206. Hoover, S.V. & Perry, R.F., 1989, Simulation: A Problem-Solving Approach. Boston: Addison-Weshey McLeod, Jr. R & Schell, G., 2001, Management Information Sistem, New Jersey : Prenhall.
20