ANALISIS POLA SPASIAL DAN TEMPORAL CURAH HUJAN DI WILAYAH PAPUA BERDASARKAN DATA GSMAP PERIODE 1998-2006 DAN HUBUNGANNYA DENGAN IKLIM REGIONAL
FIRDANA AYU RAHMAWATI
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
ABSTRACT FIRDANA AYU RAHMAWATI. Rainfall Spatial and Temporal Variation Analysis over Papua based on GSMAP during 1998-2006 and It‟s Relation to the Regional Climate. Advised by IDUNG RISDIYANTO and FADLI SYAMSUDIN. This study is focused on rainfall spatial and temporal variation analysis over Papua, Indonesia using GSMaP MWR (Global Satellite Mapping of Precipitation Microwave Radiometer) during 1998-2006. GSMaP MWR data was extracted and represented in time series and spatial format, and compared with other observation data such meridional (UWND) and zonal (VWND) surface wind from National Centers for Environmental Prediction (NCEP), Southern Oscillation Index (SOI) and NINO 3.4 Index. Continuous Wavelet Transform (CWT) and Empirical Orthogonal Function (EOF) analysis show that rainfall variation over Papua is effected by monsoon and topography factor, especially in the central and southern Papua. In the other hand, equatorial rainfall variation is very dominant in the northern Papua. The Cross Wavelet Transform (XWT) and Wavelet Transform Coherence (WTC) analysis indicate that El Nino-Souther Oscillation (ENSO) also give significant impact to the onset of rainy season during El Nino and La Nina years, even though it does not give much impact to the rainfall amount as the monsoon effect over Papua. Keywords : Papua, Spatial and Temporal Variation, GSMaP, EOF, Wavelet
ABSTRAK FIRDANA AYU RAHMAWATI. Analisis Pola Spasial dan Temporal Curah Hujan di Wilayah Papua Berdasarkan Data GSMaP Periode 1998-2006 dan Hubungannya dengan Iklim Regional. Dibimbing oleh IDUNG RISDIYANTO dan FADLI SYAMSUDIN. Penelitian ini membahas tentang analisis pola spasial dan temporal curah hujan di wilayah Papua, Indonesia menggunakan produk data GSMaP MWR (Global Satellite Mapping of Precipitation Microwave Radiometer) pada periode 1998-2006. Data GSMaP MWR diekstrak dan direpresentasikan kedalam deret waktu dan format spasial, serta dibandingkan dengan data observasi lainnya seperti data angin permukaan meridional (UWND) dan zonal (VWND) yang diperoleh dari National Centers for Environmental Prediction (NCEP), data Southern Oscillation Index (SOI) dan NINO 3.4 Index. Hasil analisis menggunakan Continuous Wavelet Transform (CWT) dan Empirical Orthogonal Function (EOF) menunjukkan bahwa variasi curah hujan di Papua sangat dipengaruhi monsun dan faktor topografi, khususnya di wilayah Papua bagian tengah dan selatan. Di sisi lain, variasi curah hujan ekuatorial sangat dominan di wilayah Papua bagian utara. Hasil analisis dengan Cross Wavelet Transform (XWT) dan Wavelet Transform Coherence (WTC) mengindikasikan bahwa El Nino Southern Oscillation (ENSO) juga memberikan pengaruh signifikan terhadap permulaan musim hujan pada tahun-tahun El Nino dan La Nina, walaupun tidak terlalu berpengaruh terhadap besarnya curah hujan seperti halnya efek monsun di Papua. Kata kunci : Papua, Pola spasial dan temporal, GSMaP, EOF, Wavelet
ANALISIS POLA SPASIAL DAN TEMPORAL CURAH HUJAN DI WILAYAH PAPUA BERDASARKAN DATA GSMAP PERIODE 1998-2006 DAN HUBUNGANNYA DENGAN IKLIM REGIONAL
FIRDANA AYU RAHMAWATI
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Mayor Departemen Meteorologi Terapan
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Judul Skripsi
:
Nama NIM
: :
Analisis Pola Spasial dan Temporal Curah Hujan di Wilayah Papua berdasarkan Data GSMaP Periode 1998-2006 dan Hubungannya dengan Iklim Regional Firdana Ayu Rahmawati G24070030
Disetujui,
Pembimbing I
Pembimbing II
Idung Risdiyanto S.Si. M.Sc NIP. 19730823 199802 1 001
Dr. Fadli Syamsudin NIP. 19660704 199412 1 005
Diketahui, Ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi
Dr. Ir. Rini Hidayati, MS NIP. 19600305 198703 2 002
Tanggal Lulus:
vi
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang berjudul “Analisis Pola Spasial dan Temporal Curah Hujan di Wilayah Papua berdasarkan Data GSMaP Periode 1998-2006 dan Hubungannya dengan Iklim Regional”. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret-Juni tahun 2011. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Idung Risdiyanto S.Si M.Sc dan Bapak Dr. Fadli Syamsudin selaku pembimbing yang telah memberikan masukan dan pengarahan kepada penulis hingga terselesaikannya tugas akhir ini. Terimakasih juga kepada Bapak Yon selaku penguji utama yang telah memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak akan terlaksana dengan baik tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak, maka tidak lupa penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Mama dan Papa tercinta, yang penuh kasih sayang dan tak henti berdoa demi keberhasilan putra dan putrinya. You are the best parent in the world, 2. Kakak dan adikku tersayang, Isyana Kusuma Dewi dan M. Fajar Widyananda, yang selalu memberikan canda, tawa, serta dukungan kepada penulis, 3. Ardhi Adhari Arbain, atas kesabaran, semangat dan motivasi untukku, 4. Pak Faqih dan Pak Bregas yang telah meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan saran-saran kepada penulis, 5. Kak Sandro, Kak Gito, Semsi, Sigit, Eka, Eca, dan Bembi yang telah memberikan bantuan dan motivasi, serta menjadi teman diskusi penulis, 6. Keluarga besar Pondok Putri Kenanga (Riska, Kiki, Feby, Indi, Dila, dan Lyla) atas keakraban yang diberikan selama tiga tahun, 7. All of GSM‟ers. Khususnya teman-teman GFM 44 yang telah memberikan suka, duka, dan pengalaman tak terlupakan kepada penulis, 8. Seluruh dosen Departemen Geofisika dan Meteorologi atas bimbingan dan kuliahnya selama ini, serta segenap karyawan yang telah memberikan bantuan dan semangat kepada penulis, 9. Last but not least, Keluarga besar Yayasan Goodwill Internasional. Thank you so much for knowledge, love, and extraordinary experience that I have gotten. Kepada semua pihak lainnya yang telah memberikan kontribusi yang besar selama pengerjaan penelitian ini yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, Penulis ucapkan terima kasih. Semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat.
Bogor, Agustus 2011
Firdana Ayu Rahmawati
vii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Lamongan pada tanggal 9 April 1989, dari ayah Taufiqurrohman dan ibu Asna Yuliati. Penulis merupakan putri ke-2 dari tiga bersaudara. Penulis menempuh pendidikan sekolah dasar pada tahun 1995 di SDN Karang Kembang hingga tahun 2001 dan menamatkan pendidikan menengah pertama di SLTPN 1 Babat pada tahun 2004. Pada tahun 2007 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Lamongan dan pada tahun yang sama diterima masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis diterima di mayor Meteorologi Terapan Departemen Geofisika dan Meteorologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, dan minor Kewirausahaan Agribisnis Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama mengikuti perkuliahan, Penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Agrometeorologi (HIMAGRETO) sebagai anggota pada Departemen Keilmuan (2008-2009). Penulis juga aktif di unit kegiatan mahasiswa Center of Entrepreneurship for Youth (CENTURY) sebagai anggota Divisi Produksi (2007-2010). Penulis pernah melakukan magang di Badan Pengkajian Dan Penerapan Teknologi (BPPT) bagian Teknologi Inventarisasi Sumber Daya Alam (TISDA) selama 1,5 bulan pada tahun 2010. Penulis juga memperoleh beasiswa Yayasan Goodwill Internasional periode 2010-2011. Pada tahun 2011, penulis menjadi asisten praktikum di mata kuliah Meteorologi Satelit.
viii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .......................................................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................................... xi DAFTAR ISTILAH .................................................................................................................... xii I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .............................................................................................................. 1.2 Tujuan ...........................................................................................................................
1 1
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Global Satellite Mapping of Precipitation (GSMaP).................................................... 2.2 Curah Hujan di Papua ................................................................................................... 2.3 Sirkulasi Monsun ......................................................................................................... 2.3.1 Monsun Barat (Asia) dan Monsun Timur (Australia) .......................................... 2.4 Fenomena Anomali (Penyimpangan) Iklim ..................................................................
1 4 6 7 8
III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ....................................................................................... 3.2 Bahan dan Alat ............................................................................................................. 3.3 Wilayah Kajian ............................................................................................................. 3.4 Metode Penelitian ......................................................................................................... 3.4.1 Metode Pengumpulan data ................................................................................... a. Pengumpulan Data Curah Hujan Permukaan .................................................... b. Pengumpulan Data Curah Hujan GSMaP ......................................................... 3.4.2 Metode Pengolahan Data ..................................................................................... a. Pengolahan Data GSMaP .................................................................................. b. Pola Spasial dan Temporal Curah Hujan di Papua ........................................... 3.4.3 Metode Analisa Data ........................................................................................... a. Evaluasi Data GSMaP ....................................................................................... b. Transformasi Wavelet untuk Analisis Variabilitas Curah Hujan ......................
8 8 9 10 10 10 10 10 10 10 11 11 11
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Evaluasi Curah Hujan GSMaP dengan Curah Hujan Permukaan .................................. 13 4.2 Pola Spasial dan Temporal Curah Hujan di Papua ....................................................... 15 4.3 ENSO dan Pengaruhnya terhadap Curah Hujan di Papua............................................... 19 V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ................................................................................................................... 24 5.2 Saran ............................................................................................................................. 24 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................. 24 LAMPIRAN ................................................................................................................................ 28
ix
DAFTAR TABEL Halaman 1. 2. 3. 4. 5.
Satelit dan sensor dalam GSMaP ........................................................................................ 2 Pemanfaatan data GSMaP pada penelitian-penelitian sebelumnya .................................... 3 Kajian-kajian tentang curah hujan di Papua ....................................................................... 5 Curah hujan rata-rata dan standar deviasi curah hujan antara GSMaP dan curah hujan permukaan pada daerah Sorong, Wamena, dan Merauke periode 1998-2003 .................... 14 Nilai korelasi, keragaman, dan RSME GSMaP terhadap curah hujan permukaan ............. 15
x
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 2 3
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
24
25
Lintasan/orbit gabungan satelit TRMM/ TMI , Aqua / AMSR-E , ADEOOS-II/ AMSR dan DMSP/ SSM/I dan diagram alir algoritma GSMaP MWR .......................................... 2 Algoritma GSMaP ............................................................................................................. 2 Persamaan keadaan dan persamaan observasi yang digunakan pada Kalman Filter serta gambaran teknik prediksi pergerakan hujan dengan memanfaatkan Cloud Moving Vector dan Kalman Filter ................................................................................................... 3 Persamaan matematik monsun............................................................................................ 6 Sirkulasi monsun Asia dan Australia .................................................................................. 7 Grafik curah hujan rata-rata vs elevasi pada bulan Januari dan Juli 1999 dari stasiun Gunung Jaya ....................................................................................................................... 7 Temperatur dan curah hujan bulanan Merauke periode 1998-2001.................................... 7 Kondisi lautan saat El Nino dan La Nina ............................................................................ 8 Peta topografi Papua ........................................................................................................... 9 Diagram alir penelitian ....................................................................................................... 12 Perbandingan GSMaP dengan curah hujan permukaan di Sorong, Wamena, dan Merauke .............................................................................................................................. 13 Perbandingan pola hujan bulanan antara GSMaP dengan curah hujan permukaan di Sorong, Wamena, dan Merauke .......................................................................................... 14 Perbandingan curah hujan permukaan dan standar deviasi curah hujan di Sorong, Wamena, dan Merauke ....................................................................................................... 14 Tingkat keragaman curah hujan bulanan GSMaP berdasarkan curah hujan permukaan di Sorong, Wamena, dan Merauke ...................................................................................... 15 Distribusi spasial curah hujan bulanan di Papua menggunakan data GSMaP .................... 17 Continous wavelet transform curah hujan bulanan di Papua periode 1998-2006 ............... 18 Pola spasial curah hujan bulanan di Papua berdasarkan data GSMaP ................................ 18 Pola temporal curah hujan bulanan di Papua berdasarkan metode EOF ............................. 19 Pola spasial curah hujan bulanan di Papua berdasarkan metode EOF ................................ 19 Kondisi curah hujan 3 bulanan pada tahun normal, El Nino, dan La Nina ..........................19 Koherensi antara SOI dengan curah hujan di Papua berdasarkan Cross Wavelet Transform dan Wavelet Transform Coherence .................................................................. 20 Koherensi antara Nino 3.4 dengan curah hujan di Papua berdasarkan Cross Wavelet Transform dan Wavelet Transform Coherence ................................................................... 21 Cross wavelet transform (kiri) dan wavelet transform coherence (kanan) antara SOI dan curah hujan GSMaP. (a) wilayah Sorong, (b) wilayah Wamena, dan (c) wilayah Merauke. ............................................................................................................................ 22 Cross wavelet transform (kiri) dan wavelet transform coherence (kanan) antara Nino 3.4 dan curah hujan GSMaP. (a) wilayah Sorong, (b) wilayah Wamena, dan (c) wilayah Merauke. .............................................................................................................. 23 Kondisi hujan di Papua menggunakan data GSMaP. (a) tahun normal, (b) El Nino tahun 2002 dan (c) La Nina tahun 1998.............................................................................. 23
xi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Teknik pendekatan nilai curah hujan oleh sensor MWR pada satelit-satelit GSMaP ......... Korelasi antara GSMaP dengan curah hujan permukaan di Sorong, Wamena, dan Merauke .............................................................................................................................. Perbandingan curah hujan permukaan dan standar deviasi curah hujan di beberapa daerah di Papua ................................................................................................................... Data GSMaP dan curah hujan permukaan di Sorong, Wamena, dan Merauke tahun 1998-2003 ........................................................................................................................... Pengelompokan tahun normal dan ENSO berdasarkan teknik running mean .................... Data curah hujan rata-rata GSMaP di wilayah Papua periode 1998-2006 ..........................
28 30 31 32 34 37
xii
DAFTAR ISTILAH COLA
:
Center for Ocean Atmosphere Studies
-
Land
-
CWT
:
Continous Wavelet Transform
DMSP
:
Defense Meteorological Program
ENSO
:
El Nino Southern Oscillation
EOF
:
Empirical Orthogonal Function
EORC
:
Earth Observation Research Center
GMS
:
Geostationary Satellite
GrADS
:
Grid Analysis and Display System
GSMaP
:
IR
:
Global Satellite Precipitation Infrared
ITCZ
:
Intertropical Convergence Zone
JAXA JMA MJO
: : :
Japan Aerospace Exploration Agency Japan Meteorology Agency Madden Julian Oscillation
MWR
:
Microwave radiometer
NOAA
:
National Oceanic and Atmospheric Administration
SOI
:
Southern Oscillatiuoin Index
Satellite
Meteorological
Mapping
of
Pusat studi interaksi atmosfer, lautan, dan permukaan tanah yang bertugas untuk memahami fluktuasi iklim secara seasonal, interannual, dan decadal. Salah satu transformasi wavelet yang digunakan untuk mencari periode osilasi dari satu data time series. Satelit NOAA dengan orbit polar yang berada pada ketinggian 830 km di atas permukaan bumi dengan sensor infra red dan microwave imager. Suatu anomali iklim yang disebabkan karena anomali suhu muka laut di daerah Nino di Samudera Pasifik dekat ekuator bagian tengah dan timur. Suatu teknik yang digunakan untuk merangkum suatu data set yang terdiri dari banyak variabel menjadi set data dengan beberapa variabel baru, namun tetap bisa merepresentasikan fraksi variabel besar yang terkandung dalam data asli. Bagian dari badan antariksa Jepang (JAXA) yang bertugas untuk mengamati dan memproses data satelit observasi bumi. Satelit meteorologi Jepang yang mempunyai orbit geostasioner dan sensor infra red. Perangkat lunak yang digunakan untuk membuat pola spasial dari suatu data. Produk data grid hasil asimilasi data pengamatan beberapa satelit cuaca. Radiasi elektromagnetik yang mempunyai panjang gelombang 700 nm1 mm. Daerah yang dilewati oleh garis teoritis thermal equator yang melilit bumi melalui titik-titik panasnya. Badan antariksa pemerintah Jepang. Badan Meteorologi Jepang. Osilasi 30-90 hari dan 40-50 hari yang terjadi di di daerah ekuator yang bergerak ke arah timur dari Samudera Hindia hingga ke Samudera Pasifik bagian tengah. Salah satu produk GSMaP dengan resolusi temporal 1 bulan dan resolusi spasial 0.250 x 0.250. Lembaga pemerintah Amerika yang bertujuan untuk mengamati atmosfer dan lautan. Indeks osilasi selatan yang diperoleh berdasarkan perbedaan tekanan di Tahiti
xiii
SPCZ
:
South Pasific Convergence Zone
TRMM
:
Tropical Rainfall Measuring Mission
WTC
:
Wavelet Transform Coherence
XWT
:
Cross Wavelet Transform
dan Darwin. Wilayah konvergensi yang membentang dari Pasifik timur hingga menuju ke selatan Polinesia yang dipengaruhi oleh aktivitas ENSO. Satelit NASA dan JAXA yang mempunyai orbit polar dengan 5 sensor utama, yakni PR, TMI, VIRS, LIS, dan CERES. Salah satu transformasi wavelet yang digunakan untuk mencari nilai koherensi dan periode terjadinya koherensi dari dua data time series. Salah satu transformasi wavelet yang digunakan untuk mencari power wavelet dalam domain frekuensi dari dua data time series.
1
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Papua merupakan salah satu wilayah terbasah di dunia dengan curah hujan berkisar antara 2500–4500 mm per tahun. Wilayah ini memiliki iklim basah yang tidak biasa, baik di Indonesia maupun untuk skala global, dengan kondisi geografis yang beragam mulai dari padang rumput, rawa, hutan hujan, hingga pegunungan (Prentice dan Hope 2007). Papua mempunyai pegunungan Jayawijaya dengan puncak tertinggi yang terletak diantara pegunungan Himalaya dan Andes, serta merupakan lokasi satu-satunya glacier di wilayah warm pool ekuatorial Samudera Pasifik (BMKG dan BPRC 2010). Penelitian yang komprehensif tentang pola curah hujan di Papua masih relatif sedikit karena terbatasnya stasiun pengamatan hujan. Penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya lebih banyak menitikberatkan pada data dari stasiun-stasiun pengamatan hujan tertentu saja, sehingga belum bisa merepresentasikan karakteristik curah hujan di Papua secara keseluruhan. Penakar hujan pada stasiun pengamatan hujan merupakan suatu alat pengukur yang akurat dalam menggambarkan kondisi hujan pada suatu tempat. Ketersediaan data curah hujan selama ini sangat tergantung pada stasiun pengamatan hujan, namun tidak semua daerah memilikinya. Sebaran pos penakar hujan ini tidak merata, khususnya di daerah tidak berpenghuni serta di sekitar lautan, yang mengakibatkan adanya kesulitan dalam memperoleh informasi mengenai sebaran pola spasial curah hujan di suatu wilayah. Pendugaan curah hujan menggunakan satelit menjadi solusi bagi ketersedian data ini, karena dapat memberikan data yang kontinyu baik secara spasial maupun temporal. Teknologi observasi cuaca dengan satelit memungkinkan analisis pola curah hujan dalam skala ruang yang lebih besar dibandingkan data observasi stasiun cuaca. Karakteristik curah hujan di suatu wilayah yang luas dapat dikaji secara mendalam, misalnya kapan dan di mana saja curah hujan terjadi pada suatu waktu tertentu, serta bagaimana pola curah hujan dapat bervariasi antara wilayah yang satu dengan wilayah yang lain. Salah satu produk data penginderaan jauh dengan satelit adalah GSMaP (Global Satellite Mapping of Precipitation). GSMaP merupakan produk data grid hasil asimilasi data pengamatan beberapa satelit cuaca, antara
lain TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission), AQUA, DMSP (Defense Meteorological Satellite Program) F13-F17, NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) N15-N18 serta beberapa satelit geostasioner seperti GMS (Geostationary Meteorological Satellite). Data ini mempunyai resolusi spasial 0.1°x0.1° hingga 0.25°x0.25° dan resolusi temporal 60 menit hingga 30 hari sehingga sangat baik digunakan untuk mengkaji pola curah hujan di suatu wilayah yang luas seperti Papua, baik secara spasial maupun temporal. Pemahaman tentang variabililitas curah hujan secara spasial dan temporal sangat penting dalam menyusun informasi iklim yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Penelitian ini menggunakan metode EOF dan transformasi wavelet untuk menganalisis variabilitas curah hujan di Papua berdasarkan data GSMaP periode 1998-2006. 1.2 Tujuan Tujuan dibuatnya tugas akhir ini adalah: 1. Validasi data GSMaP di wilayah Papua, 2. Menganalisis pola spasial dan temporal curah hujan di wilayah Papua menggunakan data GSMaP periode 1998-2006, 3. Menganalisis variabilitas curah hujan di Papua dan hubungannya dengan iklim regional menggunakan indikator SOI dan Nino 3.4.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Global Satellite Mapping of Precipitation (GSMaP) GSMaP merupakan project milik badan antariksa Jepang untuk melakukan pendekatan nilai curah hujan menggunakan media satelit luar angkasa. Tujuan dari project ini adalah pemetaan hujan secara global dengan resolusi dan keakuratan yang tinggi menggunakan satelit dengan sensor MWR (microwave radiometer) (Okamoto 2007). GSMaP dikelola oleh EORC (Earth Observation Research Center) dari JAXA (Japan Aerospace Exploration Agency) (JAXA 2008). Data GSMaP dapat diakses di: http://sharaku.eorc.jaxa.jp/GSMaP/. GSMaP melibatkan 3 satelit pengukur curah hujan dengan menggunakan sensor MWR yaitu TRMM, AQUA, dan DMSP yang masing-masing memiliki karakteristik sebagai berikut:
2
Satelit TRMM AQUA DMSP-F13 DMSP-F14 DMSP-F15
Tabel 1 Satelit dan sensor dalam GSMaP (JAXA 2008) Ketinggian (km) Sensor MWR Frekuensi (GHz) 402 TMI 10,19,21,37,85 705 AMSR-E 7,10,19,24,37,89 803 SSM/I 19,37,85 803 SSM/I 19,37,85 803 SSM/I 19,37,85
Selain menggunakan 3 satelit MWR tersebut, GSMaP juga menggunakan data satelit dengan sensor IR (infrared), antara lain: MTSAT, METSOSAT-7/-8, dan GOES-11/-12. Kombinasi dari sensor gelombang mikro dan inframerah digunakan untuk mendapatkan vektor pergerakan awan (Cloud Motion Vector), yang selanjutnya digunakan dalam algoritma GSMaP (Kubota et al 2007). Penggunaan kombinasi sensor dilakukan untuk menutupi kelemahan sensor lainnya.
Pengambilan data curah hujan GSMaP terdiri dari beberapa tahapan, yaitu: 1. Pengumpulan data dari satelit-satelit GEO IR yang dilakukan oleh JMA (Japan Meteorology Agency). Data GEO IR ini digunakan untuk memperoleh data pergerakan awan (meridional dan zonal) secara global,
Gambar 2 Algortima GSMaP Okamoto 2007).
(a)
(b) Gambar 1 Lintasan/Orbit gabungan satelit TRMM/TMI, AQUA/AMSR-E, ADEOOS-II/AMSR,dan DMSP SSM/I (a) dan diagram alir algoritma GSMaP MWR (b) (Okamoto 2007).
2. Data MWR yang dikumpulkan dari empat satelit setiap tiga jam (citra hujan tiga jam sebelumnya) diinterpolasikan dengan citra CMV untuk mendapatkan pergerakan hujan. Hasil interpolasi tersebut hanya berupa pergerakan hujan, tidak terdapat proses pertumbuhan atau penghilangan hujan. Oleh karena itu diperlukan suatu persamaan untuk membuat proses tersebut, yakni dengan Kalman filter. Kalman filter adalah suatu hubungan antara nilai suhu kecerahan yang didapatkan dari sensor IR dengan nilai intensitas hujan (Ushio 2008). Selanjutnya diperoleh citra hujan satu jaman secara global (empat jam sebelumnya) kemudian dijumlahkan dengan nilai dari sensor MWR pada jam tersebut, hanya pada lokasi tertentu yang sedang dilintasi oleh orbit satelit (Gambar 3). Penelitian-penelitian yang menggunakan data GSMaP telah banyak dilakukan sebelumnya, diantaranya sebagai berikut: (Tabel 2).
3
Gambar 3 Persamaan keadaan dan persamaan observasi yang digunakan pada Kalman Filter serta gambaran teknik prediksi pergerakan hujan dengan memanfaatkan Cloud Moving Vector dan Kalman Filter (Ushio 2008).
No 1.
2.
3.
4.
Tabel 2 Pemanfaatan data GSMaP pada penelitian-penelitian sebelumnya Penulis Tahun Judul Keterangan Okamoto 2007 High precision and Tulisan ini menjelaskan tentang proyek et al high resolution GSMaP yang mengembangkan algoritma Global Precipitation pendekatan nilai curah hujan dengan Map from satellite memanfaatkan microwave radiometer data berdasarkan model fisik yang dapat dipercaya dan menghasilkan peta curah hujan global dengan resolusi dan presisi yang tinggi dengan menggunakan data satelit. Kubota 2007 Global Precipitation Penelitian ini membahas tentang validasi et al Map using satellite- GSMaP pada wilayah 15 0LS-150LU borne microwave dengan curah hujan bulanan permukaan radiometer by the milik GPCC. Hasil validasi GSMaP Project: menunjukkan adanya korelasi sebesar production and 0.82 serta nilai curah hujan GSMaP validation berada di bawah curah hujan GPCC Iwasaki 2008 NDVI prediction over Penelitian ini memanfaatkan data Mongolian grassland GSMaP untuk menduga nilai NDVI di using GSMaP kawasan Mongolia. Hasil penelitian precipitation data menunjukkan korelasi antara data and JRA-25/JCDAS GSMaP dengan data curah hujan temperature data permukaan di Mongolia adalah sebesar 0.61 serta disebutkan bahwa akurasi GSMaP untuk wilayah arid tidak akurat Kubota 2009 Verification of high Penelitian ini membandingkan estimasi et al resolution satellite- curah hujan dari enam satelit di sekitar
4
based rainfall estimates around Japan using a Gauge-Calibrated Ground-Radar Dataset
5.
Seto et al
2009
6.
Ushio et al
2009
An evaluation of over land rain rate estimates by the GSMaP and GPROF algorithm: the role of lower frequency channels A Kalman filter approach to the Global Satellite Mapping of Precipitation (GSMaP) from combined passive microwave and infrared radiometric data
2.2 Curah Hujan di Papua Papua merupakan salah satu pulau terbesar di dunia, dengan luas wilayah mencapai 420540 km persegi, yang mencakup 22% dari seluruh luas wilayah Indonesia. Papua terletak di 130° - 141° BT dan 2°25' LU - 9° LS. Sebelah utara wilayah ini berbatasan dengan Samudera Pasifik, sebelah selatan berbatasan dengan Laut Arafura, sebelah timur dan barat berbatasan dengan Papua Nugini dan Papua Barat. Papua memiliki iklim basah yang tidak biasa, baik di Indonesia maupun untuk skala global (Prentice dan Hope 2007). Sebagian besar daerah-daerah di Papua memiliki musim hujan antara bulan Januari dan April (the northwest season), sedangkan musim kemarau terjadi pada bulan Mei dan Agustus (the southern season). Hujan turun sepanjang tahun di beberapa daerah di Papua (Prentice dan Hope 2007). Curah hujan merupakan unsur cuaca yang sangat fluktuatif karena keragamannya menurut ruang dan waktu. Variasi curah hujan secara spasial dipengaruhi oleh sifat fisik lokal seperti geografi, topografi, ketinggian tempat, sedangkan variasi secara temporal dipengaruhi oleh angin dan perbedaan pemanasan permukaan oleh radiasi matahari (Situmorang 1990). Berdasarkan skala waktu
Jepang dengan referensi data radar permukaan yang dikalibrasi oleh pengukuran penakar hujan dari JMA periode Januari-Desember 2004. Hasil studi menunjukkan bahwa estimasi hujan dengan menggunakan data satelit memiliki hasil terbaik pada daerah lautan dan hasil terburuk pada daerah pegunungan. Tulisan ini mengevaluasi teknik pendekatan nilai curah hujan di atas daratan dari algoritma GSMaP dan TRMM TMI, dengan membandingkan keduanya dengan nilai yang dihasilkan dari algoritma standar TRMM PR. Penelitian ini mengkaji tentang produk GSMaP MVK yang dikembangkan melalui model Kalman Filter berdasarkan vektor atmosfer bergerak yang diturunkan dari dua citra infra merah. Model ini digunakan untuk menghasilkan data curah hujan dengan resolusi spasial dan temporal yang lebih tinggi dari sebelumnya (0.1°, 1 jam)
(temporal), Hamada et al (1997) dalam Setiawan (1998) membagi curah hujan di Indonesia kedalam empat macam variasi, yakni variasi diurnal, seasonal, intraseasonal, dan interannual. Variasi diurnal dipengaruhi oleh faktor lokal, misalnya topografi, angin darat dan angin laut, tipe vegetasi, drainase, kelembaban dan warna tanah, albedo, dll. Variasi musiman dipengaruhi oleh pergerakan matahari, aktivitas konveksi, arah aliran udara di atas permukaan bumi, serta variasi sebaran daratan dan lautan. Sedangkan variasi tahunan dipengaruhi oleh perilaku sirkulasi atmosfer global, kejadian badai, dll. Cuaca di Papua dikendalikan oleh tiga sistem sirkulasi utama, yakni sirkulasi meridional Hadley, sirkulasi zonal Walker, dan sirkulasi polar trough (Prentice dan Hope 2007). Ketiga sirkulasi tersebut membangkitkan dua zona penting dari konvergensi udara permukaan, yakni Intertropical Convergence Zone (ITCZ) dan South Pasific Convergence Zone (SPCZ) (Prentice dan Hope 2007). Sistem angin permukaan yang mempengaruhi Papua antara lain angin Pasat, angin timur laut dan tenggara, serta angin monsun. Di bawah ini merupakan penelitian-penelitian tentang Papua dan variabilitas curah hujan di Papua sebelumnya.
5
No 1.
Tahun 2002
2.
2003
3.
2001
4.
2008
5.
2007
Tabel 3 Kajian-kajian tentang curah hujan di Papua Penulis Judul Keterangan Hamada et Spatial and Penelitian ini membahas tentang al temporal variations variasi regional dan interannual dari of the rainy season musim hujan di Indonesia (Sumateraover Indonesia and Papua) menggunakan data curah hujan their link to ENSO harian dalam periode 1961-1990. Permulaan dan akhir musim hujan dianalisis dengan menggunakan analisis harmonik, dan dikorelasikan dengan kejadian ENSO yang terjadi. Hasil studi menunjukkan permulaan awal musim hujan yang datang terlambat pada tahun-tahun El Nino pada kebanyakan daerah di Indonesia. Aldrian E Identification of Penelitian ini mengkaji tentang dan Dwi three dominant karakteristik variabilitas curah hujan di Susanto R. rainfall regions Indonesia (Sumatera-Papua) yang within Indonesia dianalisis dengan menggunakan and their relation to metode korelasi ganda. Hasil analisis sea surface dibandingkan dengan menggunakan temperature metode EOF dan EOF berputar (rotated EOF). Data SST juga digunakan sebagai pembanding tambahan. Hasil studi menunjukkan terdapat tiga pola curah hujan di Indonesia dengan karakteristik yang mencolok. Dalam jurnal ini, Papua termasuk dalam region A. Dengan demikian Papua merupakan wilayah dengan pola hujan monsun. Khomarudin Analisis pola hujan Penelitan ini mengkaji tentang kondisi et al bulanan dengan curah hujan di berbagai daerah di data Outgoing Indonesia. Daerah yang dapat Longwave dikatakan kering adalah Jawa Timur, Radiation (OLR) Bali, dan Nusa Tenggara karena untuk menentukan memiliki defisit air lebih dari 6 bulan kandungan air lahan dan bertipe iklim Oldeman E. pertanian Sedangkan daerah Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya merupakan daerah dasah dengan surplus rata-rata di atas 5 bulan dan tipe iklim Oldeman antara A-C1. Sedangkan daerah lainnya termasuk kondisi sedang. Adikusumah Analisa monsun Studi ini melakukan identifikasi onset et al dan TBO monsun Asia-Australia dan sifat hujan berdasarkan di beberapa kota di Indonesia serta GCM/LAM dan identifikasi aktivitas TBO terhadap observasi sifat monsun. Hasil penelitian menunjukkan adanya keterkaitan monsun dan TBO di 21 lokasi pengamatan, termasuk Papua. Prentice ML The ecology of Tulisan ini membahas tentang dan Hope Papua karakteristik iklim di Papua dari GS. berbagai sudut pandang parameter iklim seperti angin, temperatur, curah hujan, radiasi matahari, keawanan dan lain-lain.
6
6.
2008
Kikuchi K. dan Wang B.
Diurnal precipitation regimes in the Global Tropics
7.
2010
Kubota et al
Interannual rainfall variability over the Eastern Maritime Continent
2.3 Sirkulasi Monsun Curah hujan di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh sirkulasi monsun. Pada tahun 1686, Edmund Halley mengemukakan teori bahwa monsun terjadi akibat perbedaan panas antara daratan dengan lautan sebagai hasil dari zenithal march matahari (Chang 1984 dalam Setiawan 1998). Pergerakan semu matahari menyebabkan pada tanggal 22 Maret matahari berada di belahan bumi bagian utara (BBU) dan pada tanggal 22 Desember matahari berada di belahan bumi bagian selatan (BBS). Ketika berada di BBU, suhu di BBU lebih tinggi sehingga memunculkan tekanan rendah dibagian tersebut. Hal sebaliknya terjadi di BBS, dimana BBS pada saat yang bersamaan mengalami musim dingin, sehingga tekanan di BBS lebih tinggi. Sesuai sifat angin maka pergerakanan angin dari tekanan tinggi ke rendah. Akibat adanya gaya coriolis, maka arah gerak angin ini dibelokan. Monsun adalah siklus angin musiman yang dibangkitkan oleh radiasi matahari melalui dua alasan berikut: 1. Astronomi (planetological): adanya perbedaan pemanasan di belahan bumi menggerakkan sirkulasi meridional global. Komponen dominan dari pemanasan surya yang berupa equatorially symmetric akan membangkitkan sirkulasi Hadley. Adanya variasi musiman dari pemanasan matahari disebabkan oleh
2.
Penelitian ini mendokumentasikan variasi curah hujan di wilayah tropis menggunakan dua jenis produk data TRMM (3B42 dan 3G68) periode 1998-2006. Tiga wilayah curah hujan diurnal yaitu: lautan, daratan dan pantai, diuji berdasarkan amplitudo, waktu puncak dan fase propagasi dari hujan diurnal. Penelitian ini mengkaji variabilitas curah hujan interannual di wilayah timur benua maritim dengan menggunakan data curah hujan stasiun dari Republik Palau (1923-2009) dan Indonesia timur (1973-2008). Hasil studi menunjukkan bahwa terdapat dua mekanisme yang mempengaruhi variabilitas curah hujan di wilayah ini, yaitu interaksi udara-laut di atas laut Banda dan Arafura, serta proses subsidence di atas perairan ini pada masa-masa sebelum musim monsun Australia. eccentricity dari orbit planet dan rotasi planet. Geografi (terrestrial): perbedaan pemanasan benua dan lautan yang menggerakkan aliran melintasi garis pantai. Perbedaan kapasitas panas dari daratan dan lautan membangkitkan sirkulasi diurnal angin darat dan laut. Integrasi dari siklus tersebut akan membangkitkan siklus musiman (monsun). Angin yang bertiup dari lautan menuju daratan pada musim panas membawa uap air yang akan menyebabkan musim hujan di kawasan tersebut.
Gambar 4 Persamaan matematik monsun (Yamanaka MD 2011). Indonesia diapit oleh Benua Asia dan Australia, sehingga monsun yang paling dominan berpengaruh adalah monsun Asia dan monsun Australia.
7
2.3.1 Monsun Barat (Asia) dan Monsun Timur (Australia) Angin monsun barat adalah angin yang bergerak ketika matahari berada di BBS, yang mengakibatkan Benua Asia mengalami musim dingin sehingga bertekanan tinggi, sedangkan Benua Australia mengalami musim panas sehingga bertekanan rendah. Angin akan bertiup dari tekanan tinggi ke tekanan rendah. Dengan demikian angin akan bertiup dari Benua Asia menuju Benua Australia dan karena menuju ke daerah equator, maka angin akan dibelokkan ke kanan. Menurut Laluauliyaakraboe (2010) dalam Surbakti (2010), pada saat angin monsun baratan terjadi maka wilayah Indonesia akan mengalami musim hujan akibat adanya massa uap air yang dibawa oleh angin ini ketika melalui Samudera Pasifik dan Laut Cina Selatan. Angin ini berhembus pada bulan Oktober-April.
bertiup dari tekanan tinggi ke tekanan rendah. Dengan demikian angin akan bertiup dari Benua Australia menuju Benua Asia dan karena menuju ke daerah utara equator, maka angin akan dibelokkan ke kanan. Menurut Laluauliyaakraboe (2010) dalam Surbakti (2010), pada saat angin monsun timuran terjadi maka wilayah Indonesia akan mengalami musim kemarau karena angin tersebut melalui gurun pasir di bagian utara Australia yang kering dan hanya melalui lautan sempit. Angin ini berhembus pada bulan April-Oktober.
Gambar 6 Grafik curah hujan rata-rata vs elevasi pada bulan Januari dan Juli 1999 dari stasiun Gunung Jaya (Prentice dan Hope 2007).
(a)
Pada kebanyakan daerah di Papua, curah hujan tertinggi jatuh dalam periode Januari hingga April pada musim monsun barat laut, dan yang terendah terjadi antara bulan Mei hingga Agustus pada musim monsun tenggara (Prentice dan Hope 2007). Namun di beberapa tempat di Papua, pola ini dapat terbalik di mana hujan paling banyak terjadi selama musim tenggara ketika angin tenggara menguat. Gambar 5 menunjukkan nilai curah hujan yang meningkat pada bulan Juli 1999 di daerah Pegunungan Jaya. Hal ini disebabkan kuatnya angin tenggara yang mengakibatkan peningkatan curah hujan secara orografik di wilayah tersebut.
(b) Gambar 5 Sirkulasi monsun Asia (a) dan Australia (b) (sumber: www.dfat.gov.au). Angin monsun timur adalah angin yang bergerak ketika matahari berada di BBU, yang mengakibatkan Benua Australia mengalami musim dingin sehingga bertekanan tinggi. Sedangkan suhu di Benua Asia lebih hangat sehingga bertekanan rendah. Angin akan
Gambar 7 Temperatur dan curah hujan bulanan Merauke periode 19982001 (Sukri et al 2003).
8
Pada penelitian lainnya, Sukri et al (2003) menunjukkan bahwa Merauke bagian selatan adalah daerah Papua yang memiliki pola musiman terkuat berdasarkan perbedaan jumlah curah hujan pada musim basah dan musim kering. Pada banyak lokasi, hujan turun sepanjang tahun dan tidak memiliki pola musiman jelas. Hal ini menunjukkan bahwa intensitas hujan di Papua memiliki variabilitas yang tinggi. Thunderstorm yang bersifat lokal dapat terjadi setiap hari dan menyebabkan hujan lebat pada sore dan malam hari. 2.4 Fenomena Anomali (Penyimpangan) Iklim Anomali iklim merupakan perubahan iklim yang ekstrim secara konsisten melebihi frekuensi normalnya dalam jangka waktu yang panjang. ENSO (El Nino Southern Oscillation) merupakan salah satu contoh anomali iklim yang sering ditemui di Indonesia. Pada saat terjadi El Nino, Samudera Pasifik Timur mengalami tekanan rendah dan Samudera Pasifik Barat mengalami tekanan tinggi. Hal ini mengakibatkan angin pasat melemah, bahkan dapat berbalik arah sehingga di Bagian timur Australia memiliki curah hujan dibawah kondisi normalnya. Beberapa daerah di Indonesia akan mengalami penurunan curah hujan dibawah kondisi normalnya (Philander 1990 dalam Setiawan 1998). Pada saat terjadi La Nina, suhu permukaan laut di Samudera Pasifik Timur dan Tengah sangat rendah. Angin pasat bertiup sangat kencang dan membawa massa udara lembab, sehingga curah hujan di bagian timur Australia akan melebihi kondisi normalnya. Beberapa daerah di Indonesia akan mengalami peningkatan curah hujan diatas kondisi normalnya (Philander 1990 dalam Setiawan 1998).
(b) Gambar 8 Kondisi lautan saat El Nino (a) dan La Nina (b) (sumber: www.public.asu.edu). Besar kecilnya anomali curah hujan bergantung pada intensitas ENSO. Besarnya dampak kejadian ENSO terhadap keragaman hujan di Indonesia beragam antar wilayah. Menurut Tjasyono dan Zadrach (1996) pengaruh El Nino kuat pada daerah yang dipengaruhi oleh sistem monsoon, lemah pada daerah dengan sistem equatorial, dan tidak jelas pada daerah dengan sistem lokal. Selain itu, pengaruh El Nino terhadap hujan lebih kuat pada musim kemarau dibandingkan dengan musim hujan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Hamada (2002), ENSO memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap curah hujan di Indonesia. Analisis komposit dengan data curah hujan harian menunjukkan bahwa permulaan musim hujan akan datang terlambat pada tahun-tahun El Nino, dan lebih awal pada tahun-tahun La Nina. Pengaruh ENSO terhadap permulaan dan akhir musim hujan ini lebih banyak terlihat pada wilyah timur seperti Sulawesi, Maluku dan Papua, dibandingkan dengan wilayah barat Indonesia seperti Jawa dan Sumatera. III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan MaretJuni tahun 2011 di Laboratorium Meteorologi dan Kualitas Atmosfer, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Institut Pertanian Bogor dan Nusantara Earth Observation Network (NEONET) PTISDA BPPT.
(a)
3.2 Bahan dan Alat Data yang digunakan untuk penelitian ini antara lain: 1. Data curah hujan GSMaP MWR wilayah Papua periode 1998-2006
9
2.
3.
4.
5.
6. 7.
(sumber:http://sharaku.eorc.jaxa.jp/GS MaP/ ) Data curah hujan permukaan stasiun Sorong, Wamena, dan Merauke (sumber: BMKG) Data indeks Nino 3.4 periode 19982006 (sumber:http://www.cpc.ncep.noaa.gov /data/indices/) Data SOI periode 1998-2006 (sumber:http://reg.bom.gov.au/climate/ enso/enlist) Data parameter parameter Meteorologi NOAA NCEP/NCAR Reanalysis 1 (zonal dan meridional) (sumber:http://www.cdc.noaa.gov/data/ gridded/data.ncep.reanalysis.html) Peta topografi SRTM 90 m wilayah Papua, Peta batas Kabupaten.
Alat yang digunakan adalah seperangkat komputer dengan sistem operasi dan perangkat lunak sebagai berikut: 1. Linux Mint 10 Julia 2. Microsoft Windows 7 3. GrADS 1.9 4. Gfortran compiler 5. Matlab R2008b 6. Surfer 9 7. ArcGIS 9.3
3.3 Wilayah Kajian Analisis pola spasial dan temporal curah hujan dilakukan di wilayah Papua. Koordinat yang diambil adalah 130 o-141 o BT dan 9o- 0 o LS. Wilayah kajian mencakup Papua serta perairan yang berada di sekitarnya. Perbandingan data GSMaP dengan data curah hujan permukaan yang diperoleh dari stasiun pengamatan hujan dilakukan pada tiga daerah yang mempunyai karakteristik yang berbeda, yakni Sorong, Wamena, dan Merauke. Pembagian wilayah ini berdasarkan atas pertimbangan sebagai berikut: 1. Pemilihan daerah didasarkan atas perbedaan koordinat geografi, yakni Sorong yang mewakili Papua bagian utara, Wamena yang mewakili Papua bagian tengah, dan Merauke yang mewakili Papua bagian selatan. 2. Pemilihan daerah didasarkan atas perbedaan jenis topografi, yaitu pesisir pantai (Sorong), pegunungan (Wamena), dan daratan (Merauke) untuk menguji kepekaan satelit terhadap berbagai kondisi topografi, 3. Analisis wilayah Papua secara keseluruhan bertujuan untuk melihat bagaimana hasil evaluasi jika wilayah kajian semakin diperluas dan bentuk topografi permukaan heterogen.
Gambar 9 Peta topografi Papua.
10
3.4 Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahapan yaitu pengumpulan, pengolahan, serta analisis data. 3.4.1 Metode Pengumpulan Data a. Pengumpulan Data Curah Hujan Permukaan Data curah hujan permukaan yang digunakan merupakan data curah hujan yang berasal dari stasiun pengamatan hujan milik BMKG. Data curah hujan dengan resolusi temporal harian dari tahun 1998-2003. b.
Pengumpulan Data Curah Hujan GSMaP Data GSMaP yang digunakan adalah data GSMaP MWR dengan resolusi temporal 1 bulan, yang berisi informasi intensitas hujan (mm/bulan) selama 108 bulan (1998-2006) dengan format data berupa plain binary littleendian. Data hujan bulanan ini berbentuk grid dengan resolusi spasial sebesar 0.25ox0.25o. 3.4.2 Metode Pengolahan Data a. Pengolahan data GSMaP Data GSMaP MWR mempunyai format plain binary little endian. Data ini perlu diubah ke format ASCII. Langkah awal untuk pemrosesan data GSMaP adalah melakukan konversi terhadap koordinat geografis (bujur dan lintang) dari daerah kajian kedalam format grid (x,y). Hal ini dapat dilakukan dengan mengetahui dimensi dari data tersebut, antara lain: total grid (x,y,z), kordinat awal dan akhir data, serta resolusi spasial dan temporal. Selanjutnya mengkonversi koordinat geografis wilayah kajian kedalam koordinat grid dengan rumus: i=((Lon-iLon)/ΔLon)+1 (1) j=((iLat-Lat)/ΔLat)+1 (2) di mana i dan j merupakan koordinat grid dalam arah bujur dan lintang, Lon dan Lat adalah koordinat geografis wilayah kajian. iLon dan iLat adalah koordinat awal dari data GSMaP MWR dalam format koordinat geografis. ΔLon dan ΔLat adalah resolusi spasial dari data GSMaP MWR dalam derajat (degree). Langkah selanjutnya adalah mengolah data GSMaP MWR menggunakan Gfortran compiler untuk menghasilkan keluaran dalam format ASCII yang berisi informasi waktu pengamatan (tanggal dan bulan), nilai ratarata dan simpangan baku curah hujan, serta jumlah grid data yang diolah.
b. Pola Spasial dan Temporal Curah Hujan di Papua Pola spasial curah hujan diperoleh dengan menggunakan GrADS (Grid Analysis and Display System). GrADS adalah perangkat lunak untuk analisis data atmosfer yang dikembangkan oleh COLA (Center for Ocean - Land - Atmosphere Studies) dan dapat diperoleh secara bebas pada situs: http://grads.iges.org/grads. Resolusi, eror, dan tingkat keakuratan GrADS tergantung pada data yang diolah. Langkah awal pengolahan data di GrADS adalah memberi informasi mengenai data tersebut. Data yang digunakan adalah data GSMaP. Informasi tersebut diperoleh melalui file descriptor (.ctl) untuk binary biasa. Untuk file dengan format netcdf, informasi tentang data telah tersedia dalam file tersebut (self descriptor). Informasi yang dibutuhkan antara lain: nama file, nilai missing data, tipe data, informasi jumlah grid total, koordinat awal, resolusi spasial dan temporal, serta variabel data yang akan diolah dengan GrADS. Selanjutnya adalah menentukan koordinat wilayah kajian serta fungsi apa saja yang akan dijalankan. Metode lain yang digunakan untuk memperoleh pola spasial dan temporal curah hujan adalah analisis Empirical Orthogonal Function (EOF), yang merupakan suatu metode untuk menganalisis pola spasial dan temporal dari beberapa variabel (Bjornsson & Venegas 1997). Fungsi EOF memiliki beberapa atribut penting yang bersifat orthogonal di dalam ruang dan memiliki koefisien dari fungsi yang berbeda yang juga bersifat orthogonal dalam waktu. Dengan menggunakan EOF, kita dapat memperoleh representasi kombinasi baru dari satu atau lebih karakteristik fisik pola anomali dari beberapa variabel terpilih (Barry & Perry 1973 dalam Faqih 2003). Langkah umum perhitungan EOF adalah sebagai berikut: (Barry dan Perry 1973 dalam Faqih 2003) 1. Data variabel yang digunakan dalam analisis diorganisir dalam bentuk data matrik. 2. Data matrik tersebut dikonversi dalam bentuk matrik persegi dengan menghitung nilai dari matrik kovarian C. 3. Dari matrik kovarian C dicari nilai eigenvalue (λi) dengan λ1 ≥ λ2≥ ........≥λp dan juga ditentukan nilai eigenvector a1, a2, ......ap yang berhubungan. Nilai λi menyatakan
11
varian dan a1 adalah koefisien dari komponen utama ke-i. 4. Jika dimungkinkan nilai dari eigenvector diinterpretasikan dalam hubungan vektor. 3.4.3 Metode Analisis Data a. Evaluasi Data GSMaP Perbandingan data GSMaP dengan data curah hujan permukaan dilakukan untuk mengetahui nilai kualitas data GSMaP dalam menduga curah hujan. Penentuan nilai kualitas data dilakukan secara kuantitatif dengan menggunakan parameter-parameter statistika, antara lain: 1. Standar Deviasi Simpangan baku (standar deviasi) menunjukkan standar penyimpangan data terhadap nilai rata-ratanya. Rumus standar deviasi adalah: σ=
(3)
dimana x adalah nilai data pengamatan, μ adalah nilai rata-rata hitung, dan N adalah jumlah total data. 2. Koefisien Korelasi Nilai koefisien korelasi menunjukkan tingkat keeratan hubungan antara dua variabel yang belum tentu menyatakan hubungan sebab akibat. (4)
3. Root Mean Square Error (RMSE) RMSE digunakan untuk mengukur tingkat akurasi hasil prakiraan suatu model (dalam hal ini pendugaan curah hujan GSMaP). RMSE merupakan ukuran besarnya kesalahan yang dihasilkan oleh suatu model prakiraan. Nilai RMSE yang rendah menunjukkan bahwa variasi nilai yang dihasilkan oleh suatu model prakiraan mendekati variasi nilai observasinya. RMSE =
(5)
Perbandingan data GSMaP dan curah hujan permukaan dilakukan dengan menggunakan empat buah grafik sebagai visualisasi yaitu grafik batang, garis, dan scatterplot. Langkah sebelumnya adalah mengkonversi data curah hujan harian yang diperoleh dari BMKG menjadi curah hujan bulanan. Selanjutnya data GSMaP dan curah hujan permukaan diplotkan berdasarkan deret waktu.
Pola temporal curah hujan di Papua dapat diketahui dengan membuat grafik time series dari data curah hujan GSMaP yang sudah dalam format ASCII. Curah hujan GSMaP tahun 1998-2006 dikelompokkan setiap bulan, dari bulan Januari hingga Desember. Selanjutnya mencari akumulasi curah hujan setiap bulannya dengan menggunakan rumus: CHsum(i) (6) dengan CHsum(i) adalah total nilai curah hujan bulan ke-i tahun 1998-2006, i adalah bulan, dan j adalah tahun. Curah hujan dikelompokkan menjadi empat periode, yakni periode basah pada bulan DJF (Desember, Januari, Februari), periode peralihan basah ke kering pada bulan MAM (Maret, April, Mei), periode kering pada bulan JJA (Juni, Juli, Agustus), dan periode peralihan kering ke basah pada bulan SON (September, Oktober, November). Selanjutnya membandingkan kondisi hujan keempat periode tersebut pada tahun normal, El Nino, dan La Nina untuk mengetahui pengaruh ENSO terhadap kondisi hujan di Papua. Penentuan tahun ENSO dilakukan dengan teknik running mean NOAA. El Nino terjadi apabila rata-rata indeks Nino 3.4 pada dua bulan sebelum dan dua bulan sesudah bernilai 0.4 lebih dari enam bulan berturutturut. Sedangkan La Nina terjadi apabila running mean kurang dari -0.4 selama 6 bulan berturut-turut. b. Transformasi Wavelet untuk Analisis Variabilitas Curah Hujan Analisis koherensi antara curah hujan GSMaP dengan SOI dan Nino 3.4 bertujuan untuk melihat seberapa besar pengaruh kedua indikator ENSO tersebut terhadap curah hujan di Papua. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan transformasi wavelet. Metode ini digunakan untuk menganalisis mode variabilitas dominan dan bagaimana variasinya terhadap waktu dengan mendekomposisikan deret waktu ke dalam domain frekuensi waktu (Torrence dan Compo 1998). Penelitian ini menggunakan CWT (Continous Wavelet Transform), yang dapat menganalisis osilasi sesaat dan bersifat lokal dalam deret waktu, dan dapat digunakan untuk melihat hubungan yang ada antara dua deret waktu, apakah daerah-daerah dalam domain frekuensi waktu memiliki hubungan fase yang konsisten. Selanjutnya dapat diduga bagaimana interaksi kedua deret waktu tersebut (Grinsted et al 2004). CWT dari deret
12
waktu x(t) dengan wavelet ψ(t) didefinisikan sebagai berikut (Torrence dan Compo 1998): Wd.ψ(s,t) = (x(t)* ψs(t)) (7) dimana t adalah waktu dan ψ(t) adalah wavelet pada skala s (berhubungan dengan periode wavelet). Daya wavelet didefinisikan sebagai | Wd.ψ|2. Sedangkan analisis kovarian dua deret waktu x(t) dan y(t) dengan cross wavelet transform (XWT) adalah sebagai berikut: Wxy(s,t) = Wx(s,t)*Wy(s,t) (8) dengan daya cross waveletnya |Wxy|, dimana sudut fase Wxy menggambarkan hubungan fase antara x dan y dalam domain frekuensi waktu. Pengukuran intensitas kovarian dari dua deret waktu dapat dilakukan dengan menggunakan wavelet transform coherence (WTC) yang didefinisikan sebagai berikut (Torrence dan Compo 1998):
Rn2(s) (9) dimana S adalah operator penghalus (smoothing operator), n adalah jumlah data, s adalah skala periode deret waktu, adalah nilai cross wavelet transform antara deret waktu X dan Y, sedangkan dan adalah nilai continous wavelet transform untuk masing-masing deret waktu X dan Y. Penelitian ini menggunakan prosedur yang sama seperti yang dilakukan oleh Grinsted et al (2004). Langkah pertama yang dilakukan adalah membuat CWT yang selanjutnya dibentuk XWT yang akan menunjukkan daya yang sama dan fase relatif dalam domain frekuensi waktu, kemudian mencari koherensi antara dua deret waktu (dalam hal ini curah hujan dengan SOI/Nino 3.4) dengan menggunakan WTC).
Gambar 10 Diagram alir penelitian.
13
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Evaluasi Curah Hujan GSMaP dengan Curah Hujan Permukaan Nilai curah hujan GSMaP merupakan hasil pendekatan nilai curah hujan secara tidak langsung dengan sensor, sehingga perlu dilakukan evaluasi, yakni dengan membandingkan nilai curah hujan GSMaP dengan curah hujan permukaan. Pada penelitian ini, evaluasi dilakukan di daerah Sorong, Wamena, dan Merauke.
Gambar 11 Perbandingan GSMaP dengan curah hujan permukaan di Sorong, Wamena, dan Merauke. Gambar 11 menunjukkan bahwa GSMaP mempunyai nilai curah hujan yang lebih besar daripada curah hujan permukaan di Sorong,Wamena, dan Merauke, namun pada waktu tertentu nilai curah hujan GSMaP berada di bawah nilai curah hujan permukaan diketiga daerah tersebut. Adanya perbedaan nilai antara GSMaP dan curah hujan permukaan disebabkan oleh cara kerja sensor gelombang mikro. Pendekatan nilai curah hujan dengan sensor gleombang mikro sangat
bergantung pada variabilitas emisi permukaan. Sensor gelombang mikro mempunyai akurasi yang setingkat dengan akurasi radar untuk wilayah lautan, namun akurasi berkurang untuk wilayah daratan karena adanya variabilitas emisi permukaan dari daratan (Spencer et al 1989). Pada wilayah Sorong, nilai GSMaP yang overestimate dan underestimate disebabkan oleh adanya kondisi topografi yang beragam, yakni berupa kombinasi daratan-lautan (pesisir pantai). Daratan memiliki emisivitas permukaan yang tinggi (hampir 90% dari kondisi suhu aslinya) (Wibowo YA 2010). Nilai emisivitas yang tinggi menyebabkan sensor gelombang mikro sulit membedakan antara suhu kecerahan butir hujan dan suhu kecerahan permukaan daratan. Sedangkan pada wilayah lautan, gelombang mikro dapat melakukan pendekatan nilai curah hujan dengan akurat karena perbedaan yang sangat kontras antara suhu kecerahan butir hujan (hydrometeor) dengan permukaan (lautan). Wilayah pesisir pantai mempunyai algoritma tersendiri dalam mendekati nilai curah hujan karena dengan komposisi lautan dan daratan yang berimbang membuat pendekatan nilai curah hujan satelit menjadi lebih buruk dari pada wilayah lautan saja atau daratan saja, karena kemampuan akurasi tinggi pada wilayah lautan akan berubah menjadi tidak akurat pada wilayah daratan apabila menggunakan metode pengukuran yang sama. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Kubota (2010) yang menyatakan bahwa GSMaP mempunyai hasil validasi terbaik di lautan, dan lebih buruk di pantai, daratan, dan wilayah yang dingin. Oleh karena itulah wilayah pesisir pantai mempunyai selisih nilai curah hujan yang cukup tinggi antara GSMaP dengan curah hujan permukaan. Pada wilayah Wamena dengan kondisi topografi pegunungan, nilai GSMaP yang overestimate dan underestimate disebabkan oleh variabilitas emisi permukaan yang tinggi dan pengaruh hujan orografik. Variabilitas emisi permukaan yang tinggi membuat sensor gelombang mikro bias dalam membedakan suhu kecerahan butir hujan dengan suhu kecerahan permukaan. Sedangkan hujan orografik tanpa disertai partikel es diatasnya akan membuat GSMaP bersifat overestimate dan underestimate dalam mendekati nilai curah hujan. Hal ini disebabkan gelombang mikro menggunakan metode scattering based pada pengukuran curah hujan di wilayah daratan, dengan asumsi adanya lapisan-lapisan
14
es di atas curah hujan yang akan melakukan hamburan terhadap emisi butir hujan, sehingga nilai suhu kecerahan akan terlihat lebih rendah pada sensor dan mampu dibedakan dengan suhu kecerahan daratan. Oleh karena itulah hujan orografik yang tidak disertai lapisan-lapisan es akan membuat sensor gelombang mikro bias dalam melakukan pendekatan nilai curah hujan. Sedangkan nilai GSMaP yang overestimate dan underestimate pada wilayah Merauke disebabkan oleh adanya variabilitas emisi permukaan yang tinggi.
monsun. Musim hujan di Sorong terjadi pada bulan Maret-September dengan puncak musim hujan pada bulan Juni. Sedangkan musim hujan di Wamena dan Merauke terjadi pada bulan November-April. Tabel 4 Curah hujan rata-rata dan standar deviasi curah hujan antara GSMaP dan curah hujan permukaan pada daerah Sorong, Wamena, dan Merauke periode 1998-2003 CH rata-rata Standar (mm/bulan) deviasi Daerah (mm/bulan) GSMaP CH permukaan Sorong 213 176 100 Wamena 197 137 80 Merauke 82 110 78
Gambar 12 Perbandingan pola hujan bulanan antara GSMaP dengan CH permukaan di Sorong, Wamena, dan Merauke.
Gambar
13
Perbandingan curah hujan permukaan dan standar deviasi curah hujan di Sorong, Wamena, dan Merauke.
Berdasarkan Gambar 12 terlihat bahwa GSMaP mempunyai pola yang mirip dengan pola curah hujan permukaan. Berdasarkan gambar tersebut juga diketahui bahwa Sorong mempunyai pola hujan lokal, sedangkan Wamena dan Merauke mempunyai pola hujan
Berdasarkan Gambar 13, terlihat bahwa GSMaP mempunyai penyimpangan curah hujan tertinggi terhadap curah hujan permukaan di daerah Sorong sekitar bulan Maret-September. Bulan-bulan tersebut merupakan musim hujan di Sorong.
15
Penyimpangan tertinggi curah hujan GSMaP terhadap curah hujan permukaan di wilayah Merauke dan Wamena terjadi sekitar bulan November-April, yang merupakan musim hujan di daerah Merauke dan Wamena. Penyimpangan pendugaan curah hujan tertinggi pada musim hujan diduga disebabkan ketidakakuratan satelit ketika menduga obyek dalam jumlah yang besar. Intensitas hujan yang tinggi pada musim hujan menyebabkan suhu kecerahan butir hujan yang tertangkap oleh satelit menjadi bias. Hal ini sesuai dengan penelitian Kubota (2010) yang menyatakan bahwa GSMaP mempunyai eror yang tinggi dalam menduga curah hujan yang lebat. Tabel 5 Nilai korelasi, keragaman, dan RSME GSMaP terhadap curah hujan permukaan Sorong Wamena Merauke Uji r 0.639 0.571 0.553 R2 33% 6.5% 23% RSME 129 103 100
Hasil analisis korelasi memperlihatkan bahwa GSMaP mempunyai korelasi yang cukup tinggi dengan curah hujan permukaan, meskipun galat yang dihasilkan cukup tinggi pula. Nilai korelasi yang cukup tinggi menunjukkan bahwa GSMaP mempunyai pola yang sama dengan curah hujan permukaan. Hal ini didukung oleh Gambar 12 yang memperlihatkan adanya pola yang sama antara GSMaP dengan curah hujan permukaan di wilayah Sorong, Wamena, dan Merauke. Hasil analisis keragaman (R2) menunjukkan bahwa curah hujan permukaan hanya mampu mewakili 33% keragaman curah hujan GSMaP di Sorong, 6.5% di Wamena, dan 23% di Merauke. Tingkat keragaman yang rendah dan adanya galat yang tinggi diduga dipengaruhi oleh cara kerja satelit dalam mendekati nilai curah hujan, adanya fenomena-fenomena khusus atmosfer, serta adanya pengaruh dari faktor-faktor meteorologi lainnya. Penelitian ini tidak membahas hal tersebut, namun penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Wibowo YA (2010) menyatakan bahwa fenomena hujan hangat, variasi emisi permukaan yang tinggi serta adanya pengaruh dari hujan orografik menyebabkan GSMaP dan TRMM mempunyai galat yang tinggi serta tidak mampu mengikuti pola curah hujan permukaan di wilayah pegunungan. Selain itu, parameter lokal berupa suhu permukaan dan kelembaban spesifik mempengaruhi besarnya galat dan tingkat keragaman curah hujan di daerah pantai, sementara daerah daratan dan pegunungan tidak mendapat pengaruh dari parameter lokal (Wibowo YA 2010). Hasil evaluasi secara keseluruhan menunjukkan bahwa GSMaP dapat digunakan untuk merepresentasikan karakteristik curah hujan di suatu wilayah karena mampu mendekati nilai dan pola curah hujan permukaan. 4.2 Pola Spasial dan Temporal Curah Hujan di Papua Analisis pola spasial bertujuan untuk mengetahui kondisi dan sebaran curah hujan di Papua setiap bulan, sedangkan analisis pola temporal bertujuan untuk mengetahui pola curah hujan di daerah tersebut.
Gambar 14 Tingkat keragaman curah hujan bulanan GSMaP berdasarkan curah hujan permukaan di Sorong, Wamena, dan Merauke.
16
17
Gambar 15 Distribusi spasial curah hujan bulanan di Papua dengan menggunakan data GSMaP. Gambar 15 memperlihatkan kondisi hujan dan sirkulasi angin di wilayah Papua pada tahun 1998-2006. Berdasarkan Gambar 15 terlihat bahwa Papua mendapat pengaruh kuat dari monsun. Pada musim hujan (DesemberApril), angin yang dominan bertiup di Papua adalah angin barat laut yang mengindikasikan terjadinya monsun Asia (monsun barat), sedangkan angin yang dominan bertiup pada musim kemarau (Juli-Oktober) adalah angin tenggara yang menandakan terjadinya monsun Australia (monsun timur). Gambar 15 juga menunjukkan bahwa pesisir pantai dan daerah pegunungan mempunyai curah hujan tinggi sepanjang tahun. Wilayah pesisir pantai mempunyai cadangan air yang sangat besar (lautan) untuk penguapan yang selanjutnya berkondensasi hingga turun menjadi hujan. Sedangkan di daerah pegunungan sering terjadi hujan orografik. Hal inilah yang menyebabkan wilayah pesisir pantai dan pegunungan mempunyai curah hujan yang tinggi sepanjang tahun. Dengan demikian aspek topografi turut mempengaruhi kondisi curah hujan di Papua. Selanjutnya dilakukan analisis Continous wavelet transform untuk mengetahui variabilitas curah hujan dominan yang terjadi di Papua.
Gambar 16 merupakan hasil analisis CWT curah hujan bulanan di Papua. Sumbu y menunjukkan periode (siklus) terjadinya osilasi, sedangkan sumbu x menunjukkan waktu terjadinya osilasi. Berdasarkan Gambar 16, terlihat bahwa Papua memiliki variasi annual curah hujan. Hal ini ditunjukkan oleh domain yang berwarna merah pada periode 12 bulan. Hasil CWT semakin menguatkan analisis sebelumnya yang menyatakan bahwa Papua mendapat pengaruh monsun. Gambar 16 juga menunjukkan bahwa terdapat osilasi curah hujan selama 1-3 bulan, yang terjadi sekitar bulan April-Juni tahun 2006. Osilasi ini mirip dengan fenomena MJO (Madden Julian Oscillation). Adanya fenomena MJO di wilayah Papua telah dikaji sebelumnya oleh Madden RA dan Julian PR pada tahun 1993 yang meneliti osilasi yang terjadi sebagai akibat dari sel sirkulasi skala besar dalam periode 40-50 hari di daerah ekuator yang bergerak ke arah timur dari Samudera Hindia hingga ke Samudera Pasifik bagian tengah. Ushiyama T et al (2003) juga mengkaji tingkat pemanasan bervariasi secara signifikan dengan kondisi lingkungan pulau Manus (Papua Nugini) yang dihubungkan dengan fase MJO.
18
Gambar 16 Continous wavelet transform curah hujan bulanan di Papua dengan menggunakan data GSMaP periode 1998-2006.
Gambar 17 Pola spasial curah hujan bulanan Papua berdasarkan data GSMaP. Berdasarkan Gambar 17, keragaman hujan di Papua terjadi di wilayah pesisir pantai dan pegunungan. Hal ini dibuktikan oleh adanya intensitas hujan yang dominan berada di wilayah tersebut, misalnya di wilayah Sorong, Teluk Wondama, Nabire, Paniai, Puncak Jaya, Jayawijaya, dan laut Arafura. Standar deviasi merupakan indikator seberapa besar simpangan curah hujan bulanan di suatu wilayah terhadap rataratanya. Hasil pengolahan data GSMaP menunjukkan bahwa standar deviasi tertinggi curah hujan di wilayah Papua pada tahun 1998-2006 adalah sebesar 231 mm/bulan yang terjadi pada bulan Oktober 2002, sedangkan standar deviasi terendah sebesar 59 mm/bulan terjadi pada bulan Juni tahun 2000. Berdasarkan Gambar 17, standar deviasi yang tinggi terjadi di Sorong, Puncak Jaya, dan laut Arafura. Daerah-daerah tersebut merupakan daerah yang mendapat pengaruh lautan dan orografik pegunungan. Standar deviasi yang tinggi menunjukkan bahwa selisih nilai curah hujan maksimum dan minimum di suatu wilayah sangat tinggi. Hal ini berarti pada
suatu waktu curah hujan dapat menjadi sangat tinggi namun di waktu yang lain curah hujan dapat bernilai rendah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa curah hujan di wilayah tersebut berfluktuatif. Standar deviasi yang rendah menunjukkan bahwa nilai curah hujan di suatu wilayah cenderung seragam (mendekati nilai rata-ratanya). Dengan demikian dapat diketahui bahwa selain dipengaruhi monsun, curah hujan di Papua juga mendapat pengaruh dari kondisi topografi. Analisis pola spasial dan temporal curah hujan juga dilakukan dengan metode Empirical Orthogonal Function (EOF). Hasil analisis EOF secara temporal yang ditunjukkan oleh Gambar 18 memperlihatkan dua pola curah hujan yang paling dominan di Papua. Gambar 18 a merupakan pola yang paling dominan (mode/PC 1) dengan persentase sebesar 32% menunjukkan curah hujan di Papua didominasi oleh variasi seasonal dan intraseasonal. Variasi tersebut dipengaruhi oleh pergerakan matahari, aktivitas konveksi, arah aliran udara di atas
19
permukaan bumi, serta variasi sebaran daratan dan lautan (Hamada et al 1997 dalam Setiawan 1998). Gambar 18 b menunjukkan adanya pola hujan lokal yang mempengaruhi curah hujan di Papua dengan persentase sebesar 11%. Selanjutnya dilakukan analisis curah hujan secara spasial dengan menggunakan metode EOF untuk mengetahui persebaran wilayah kedua variasi curah hujan tersebut
Gambar 19 merupakan distribusi spasial dari dua pola curah hujan yang paling dominan di Papua. Gambar 19 a menunjukkan daerah-daerah di Papua yang dipengaruhi oleh mode 1 antara lain daerah Raja Ampat, Sorong, Manokwari, teluk Wondama, Nabire, Waropen, Yapen Waropen, Mamberamo Jaya, Sarmi, Jayapura, dan Keerom. Dengan demikian, curah hujan di daerah tersebut sangat dipengaruhi oleh variasi musiman. Gambar 19 b menunjukkan daerah-daerah yang dipengaruhi oleh mode 2, antara lain daerah Teluk Bintuni, Fak-Fak, Kaimana, Asmat, Puncak Jaya, Jayawijaya, Yuhukimo, Pegunungan Bintang, dan Merauke. Dengan demikian, curah hujan di daerah tersebut sangat dipengaruhi oleh variasi lokal. Variasi lokal ini berkaitan erat dengan kondisi topografi suatu wilayah.
Gambar 18 Pola temporal curah hujan bulanan di Papua berdasarkan metode EOF. (a) mode/PC 1, (b) mode/PC 2.
4.3 ENSO (El Nino Southern Oscillation) dan pengaruhnya terhadap curah hujan di Papua Curah hujan di Papua didominasi oleh pola hujan monsun yang masih mendapat pengaruh aspek topografi. Karena letaknya yang berdekatan dengan Samudera Pasifik, maka diduga bahwa fenomena ENSO juga berpengaruh terhadap curah hujan di wilayah tersebut.
(a)
Gambar 20 Kondisi curah hujan 3 bulanan pada tahun normal, El Nino, dan La Nina dengan menggunakan data GSMaP periode 19982006.
(b) Gambar 19 Pola spasial curah hujan bulanan di Papua berdasarkan metode EOF. (a) distribusi spasial mode/PC 1, (b) distribusi spasial mode/PC 2.
Berdasarkan gambar 20, terlihat bahwa fenomena ENSO mempunyai pengaruh yang kuat terhadap intensitas hujan di Papua. Penurunan intensitas hujan yang tinggi (dibawah normal) terjadi pada saat El Nino berlangsung. Penurunan tersebut berkisar antara 8–22%. Penurunan intensitas hujan tertinggi yakni sebesar 22% terjadi pada periode kering, sedangkan penurunan curah hujan terendah yakni sebesar 8% terjadi pada periode peralihan kering ke basah. Pada saat terjadi La Nina, terjadi peningkatan intensitas
20
hujan sebesar 4-44%. Peningkatan intensitas hujan tertinggi yakni sebesar 44% terjadi pada periode kering, sedangkan peningkatan intensitas hujan terendah yakni sebesar 4% terjadi pada periode basah. Selanjutnya dilakukan analisis koherensi antara curah hujan dengan SOI dan Nino 3.4 untuk melihat seberapa besar pengaruh kedua indikator ENSO tersebut terhadap curah hujan di Papua. Analisis koherensi dilakukan dengan menggunakan transformasi wavelet XWT dan WTC. Gambar 21 menunjukkan hasil analisis XWT dan WTC antara SOI dengan curah hujan di Papua. Berdasarkan gambar tersebut, terlihat bahwa SOI mempengaruhi curah hujan di Papua pada selang kepercayaan 95%. Koherensi terjadi pada periode 12 bulanan, yang terjadi pada bulan Juni tahun 2000-Juni tahun 2002. Nilai koherensi berkisar antara 0.7-0.8 pada selang kepercayaan 95%. Berdasarkan klasifikasi tahun ENSO yang dilakukan sebelumnya, tahun 2001 dan 2002 merupakan tahun ENSO. Dengan demikian
ENSO turut memberikan pengaruh nyata pada kondisi curah hujan di Papua. Pada Gambar 21 a terlihat adanya osilasi curah hujan dan SOI pada periode 3 bulanan. Namun osilasi tersebut mempunyai power wavelet yang lemah, yakni sekitar 1-1.5, sehingga ketika dilakukan analisis WTC, osilasi antara curah hujan dengan SOI pada periode tersebut tidak menunjukkan adanya koherensi. Gambar 22 menunjukkan hasil analisis XWT dan WTC antara Nino 3.4 dengan curah hujan di Papua. Berdasarkan gambar tersebut, terlihat bahwa Nino 3.4 mempengaruhi curah hujan di Papua pada selang kepercayaan 95%. Koherensi terjadi pada periode 12 bulanan, yang terjadi pada bulan Desember tahun 2004-Desember tahun 2005. Nilai koherensi berkisar antara 0.7-0.75 pada selang kepercayaan 95%. Berdasarkan klasifikasi tahun ENSO yang dilakukan sebelumnya, tahun 2004 dan 2005 merupakan tahun El Nino. Hasil analisis ini menunjukkan adanya pengaruh ENSO yang nyata di Papua.
(a)
(b) Gambar 21 Koherensi antara SOI dengan curah hujan di Papua berdasarkan cross wavelet transform (a) dan wavelet transform coherence (b)
21
(a)
(b) Gambar 22 Koherensi antara Nino 3.4 dengan curah hujan di Papua berdasarkan cross wavelet transform (a) dan wavelet transform coherence (b) Analisis koherensi antara SOI dan Nino 3.4 juga dilakukan di daerah Sorong, Wamena, dan Merauke. Berdasarkan hasil XWT dan WTC, dapat diketahui bahwa SOI dan Nino 3.4 tidak memiliki koherensi dengan curah hujan di Wamena. Hal ini disebabkan adanya pengaruh topografi yang kuat di daerah tersebut. Wamena merupakan daerah pegunungan yang sering mendapat limpahan hujan orografik, sehingga ENSO tidak memberikan pengaruh nyata di daerah tersebut. Hasil XWT dan WTC juga menyatakan bahwa SOI dan Nino 3.4 mempunyai koherensi dengan curah hujan di Sorong dan Merauke. Pada daerah Sorong, SOI berpengaruh nyata pada periode 12 bulanan dengan nilai koherensi sebesar 0.7-0.9 pada selang kepercayaan 95%. Koherensi tersebut terjadi pada bulan Juni tahun 1999-Agustus tahun 2000. Sedangkan Nino 3.4 mempunyai
koherensi sebesar 0.7-0.9 pada periode 12 bulanan. Koherensi terjadi pada bulan Mei tahun 1999-Januari tahun 2001. Sorong merupakan daerah daratan-pantai, sehingga meskipun faktor topografi juga berpengaruh kuat di daerah ini, namun karena letaknya yang juga berdekatan dengan lautan maka fenomena ENSO tetap memberikan pengaruh yang nyata. Koherensi antara SOI dengan curah hujan di merauke terjadi pada 12 bulanan terjadi pada bulan Juli tahun 1999-Februari tahun 2002. Selain iti juga terlihat adanya osilasi pada periode 4-6 bulanan. Namun osilasi tersebut mempunyai power wavelet yang lemah, yakni sekitar 1-1.5, sehingga ketika dilakukan analisis WTC, osilasi antara curah hujan dengan SOI pada periode tersebut tidak menunjukkan adanya koherensi. Sedangkan Nino 3.4 tidak mempunyai koherensi dengan curah hujan di daerah tersebut.
22
(a))
(b)
(c) Gambar 23 Cross wavelet transform (kiri) dan wavelet transform coherence (kanan) antara SOI dan curah hujan GSMaP. (a) wilayah Sorong, (b) wilayah Wamena, dan (c) wilayah Merauke.
(a)
23
(b)
(c) Gambar 24 Cross wavelet transform (kiri) dan wavelet transform coherence (kanan) antara Nino 3.4 dan curah hujan GSMaP. (a) wilayah Sorong, (b) wilayah Wamena, dan (c) wilayah Merauke.
(a)
(b) (c) Gambar 25 Kondisi hujan di Papua menggunakan data GSMaP. (a) tahun normal, (b) El Nino tahun 2002 dan (c) La Nina tahun 1998.
24
Gambar 25 menunjukkan kondisi hujan di wilayah Papua pada tahun normal dan tahun ENSO. Pada tahun El Nino, intensitas hujan akan berada di bawah normal sehingga menimbulkan kekeringan di daerah-daerah yang terkena El Nino. Namun, karena adanya pengaruh topografi yang kuat berupa pesisir pantai yang mempunyai persediaan air yang banyak untuk penguapan serta pegunungan yang dapat menimbulkan hujan orografik yang frekuensinya berfluktuatif, maka daerahdaerah dengan pengaruh faktor topografi yang kuat akan tetap mendapat hujan. Pada tahun La Nina, intensitas hujan akan berada di atas normal sehingga menimbulkan hujan lebat di daerah-daerah yang terkena La Nina. Selain mendapat pengaruh dari topografi, daerah – daerah dengan faktor lokal yang kuat juga mendapat pengaruh La Nina sehingga intensitas hujannya seragam dengan daerah – daerah lain di sekitarnya. Dengan kata lain ENSO berpengaruh nyata terhadap curah hujan di Papua (Gambar 20, 21 dan 22). Hal ini dikarenakan letak Papua yang berdekatan dengan Samudera Pasifik, sehingga wilayah tersebut mendapat pengaruh aktivitas Sirkulasi Walker. Penelitian ini menguatkan penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Hamada (2002). Adanya pengaruh faktor lokal yang kuat menyebabkan beberapa daerah di Papua mendapat hujan yang stabil, sehingga tidak terlihat perubahan yang signifikan pada kondisi curah hujan. Hal ini menyebabkan pada saat El Nino intensitas hujan tetap tinggi dan pada saat La Nina intensitas hujan semakin tinggi. Hasil penelitian secara keseluruhan menunjukkan bahwa data GSMaP mampu memberikan hasil yang baik dalam menganalisis pola spasial dan temporal curah hujan di Papua.
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Hasil evaluasi menunjukkan bahwa GSMaP mempunyai pola yang mirip dengan data curah hujan permukaan. Adanya overestimate dan underestimate dalam pendugaan curah hujan di Papua disebabkan oleh kondisi topografi suatu wilayah. Namun hasil penelitian secara keseluruhan menunjukkan kemampuan GSMaP yang baik dalam menganalisis pola spasial dan temporal curah hujan di Papua. Dengan demikian GSMaP dapat digunakan untuk merepresentasikan karakteristik curah hujan di suatu wilayah.
Papua merupakan suatu wilayah yang didominasi pola hujan monsun dengan pengaruh topografi yang kuat, terutama pada daerah Papua bagian tengah dan selatan. Daerah-daerah di Papua yang mempunyai pola hujan monsun antara lain Raja Ampat, Sorong, Manokwari, teluk Wondama, Nabire, Waropen, Yapen Waropen, Mamberamo Jaya, Sarmi, Jayapura, dan Keerom. Selain itu, Papua juga mempunyai pola hujan lokal yakni di daerah Teluk Bintuni, Fak-Fak, Kaimana, Asmat, Puncak Jaya, Jayawijaya, Yuhukimo, Pegunungan Bintang, dan Merauke. Di sisi lain, pola curah hujan ekutorial lebih banyak ditemui di wilayah Papua bagian utara. Periode musim hujan terjadi pada bulan November-April, sedangkan periode musim kemarau terjadi pada bulan Juli-Oktober. Variasi curah hujan di Papua dipengaruhi oleh variasi annual, seasonal, dan intraseanonal. Dengan demikian wilayah ini mendapat pengaruh yang cukup kuat dari sirkulasi atmosfer global. Fenomena ENSO juga memberikan pengaruh nyata di wilayah ini. Namun karena adanya pengaruh topografi yang kuat menyebabkan beberapa daerah di Papua mendapat hujan yang stabil, baik pada tahun normal maupun tahun ENSO. 5.2 Saran Pemanfaatan data GSMaP dan penelitian di wilayah Papua masih jarang dilakukan. Penelitian ini merupakan langkah awal untuk penelitian-penelitian selanjutnya. Masih diperlukan analisis curah hujan lebih lanjut dengan periode pengamatan yang lebih panjang serta mempertimbangkan unsur-unsur cuaca lainnya. Adanya pengaruh topografi yang kuat di Papua menandakan adanya pengaruh faktor lokal yang kuat. Namun masih diperlukan data-data lain untuk menganalisis faktor lokal tersebut. Analisis lebih lanjut juga diperlukan untuk mengetahui pengaruh perubahan iklim terhadap curah hujan di Papua.
DAFTAR PUSTAKA Aldrian E, Susanto D.R. 2003. Identification of three dominant rainfall region within Indonesia and their relationship to surface temperature. International Journal of Climatology 23:1435-1452. Adikusumah N, Junaeni I, Suryantoro A, Hamdan R, Firdaus K, Runtana N,
25
Setiawan U. 2008. Analisa monsun dan TBO Berdasarkan GCM/LAM dan observasi. Bidang Pemodelan Iklim Pusat Sains Atmosfer dan Iklim, Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional, siap terbit.
[JAXA] Japan Aerospace and Exploration Agency. 2008. User‟s guide for global rainfall map by JAXA/EORC GSMaP near realtime system (GSMaP NRT). Japan: Earth Observation Center.
Bjornsson H dan Venegas SA. 1997. A manual for EOF and SVD analyses of climatic data. Department of atmospheric and oceanis sciences and Centre for climate and global change research. McGill University press
Kikuchi K dan Wang B. 2007. Diurnal precipitation regimes in the global tropics. Journal of Climate 21:2680-2696.
Brookfield HC, D Hart. 1966. Rainfall in the tropical southwest pasific. Canberra: Department of Geography Publ. G/3, Research School of Pasific Studies, Australian National University. Australian National University Press. Faqih A. 2003. Analisis pola spasial dan temporal anomali suhu permukaan laut di Samudera Pasifik, Hindia, dan Atlantik serta kaitannya dengan anomali curah hujan bulanan [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, FMIPA. Bogor. Grinsted A, Jevrejeva J. 2004. Apllication of cross wavelet transform and wavelet coherence to geophysical time series. Nonlinear Processes in Geophysics 11:561-566. Hamada J, Yamanaka MD, Matsumoto J, Fukao S, Winarso PA, Sribimawati T. 2002. Spatial and temporal variations of the rainy season over Indonesia and their link to ENSO. Journal of the Meteorological Society of Japan 80:285-310. Iwasaki H. 2008. NDVI prediction over Mongolian grassland using GSMaP precipitation data and JRA25/JCDAS temperature data. J Arid Enviro 73: 557–562. [JAXA] Japan Aerospace and Exploration Agency. 2008. Global rainfall map in near real time data format description. Japan: Earth Observation Center.
Kubota T, Shige S, Hashizume H, Aonashi K, Takahashi N, Seto S, Takayabu YN, Ushio T, Nakagawa K, Iwanami K, Kachi M, Okamoto K. 2007. Global precipitation map using satellite-borne microwave radiometers by the GSMaP project: production and validation. IEEE 45:2259-2275. Kubota T, Ushio T, Shige S, Kida S, Kachi M, Okamoto K. 2009. Verification of high-resolution satellite-based rainfall estimates around Japan using a gauge-calibrated groundradar dataset. Journal of the Meteorological Society of Japan 87A:203-222. Kubota T, Shirooka R, Hamada J, Syamsudin F. 2010. Interannual rainfall variability over the Eastern Maritime Continent. Journal of the Meteorological Society of Japan 87A:111-122. Komaruddin MR, Parwati, Dalimunthe W. 2001. Analisis pola hujan bulanan dengan data Outgoing Longwave Radiation (OLR) untuk menentukan kandungan air lahan pertanian. Warta LAPAN 3:1-8. Madden JA dan Julian PR. 1993. Observaton of the 40-50-day tropical oscillation. American Meteorological Society122: 814837 Okamoto K, Iguchi T, Takahashi N, Ushio T, Awaka J, Kozu T, Shige S, Kubota T. 2007. High precision and high resolution global precipitation map from satellite data. Japan: International Symposium on
26
Antennas and Propagation, 22 Ags 2007. Prentice M, Hope GS. 2007. Climate of Papua and it‟s recent change: the ecology of Papua. Singapore. Periplus Edition: 177-195. Ruminta. 1989. Model arima untuk pendugaan pola curah hujan Jakarta [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, FMIPA. Bogor. Setiawan EB. 1998. Studi pengaruh monsun dan El Nino Southern Oscillation (ENSO) terhadap curah hujan di Aceh [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, FMIPA. Bogor. Seto S, Kubota T, Iguchi T, Takahashi N, Oki T. 2009. An evaluation of over-land rain rate estimates by the GSMaP and GPROF algorithms:the role of lower-rrequency channels. Journal of the Meteorological Society of Japan 87A:183-202. Situmorang B. 1990. Analisis curah hujan dengan fungsi ortogonal empirik [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, FMIPA. Bogor.
Surbakti PB. 2010. Pengembangan model monsun Indonesia berbasis hasil analisis data indeks monsun regional [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, FMIPA. Bogor. Tjasyono B, Zadrach L. D. 1996. The impact of El Nino on season in Indonesia monsoon region. Proceedings of the Internasional Workshop on the Climate System of Monsoon Asia. Japan, 3-6 Desember 1996, Kyoto: Journal of the Meteorological Society of Japan. Torrence C, Compo GP. 1998. A practical guide to wavelet analysis. Bull. Am. Meteorol. Soc 79:61-78. Ushio T. 2008. Global precipitation mapping. the eighteenth IHP training course (International Hydrological Program) Satellite Remote Sensing of Atmospheric Constituents. Japan, 3-15 Nov 2008.
Spencer R.W, H.G. Michael, dan E.H. Tobbie. 1989. Precipitation Retrieval over Land and Ocean with the SSM/I: Identification and Characteristics of the Scattering Signal. J Atmos and Ocean Tech 6:254-273.
Ushio T., Sasashige K, Kubota T, Shige S, Okamoto K, Aonashi K, Inoue T, Takahashi N, Iguchi T, Kachi M, Oki R, Miritomo T, Kawasaki Z. 2009. A Kalman filter approach to the global satellite mapping of precipitation (GSMaP) from combined passive microwave and infrared radiometric data. Journal of the Meteorological Society of Japan 87A:137-151.
Sulistyowati R. 2004. Variabilitas spasial dan temporal curah hujan bulanan dengan menggunakan metode EOFs:studi kasus Propinsi Sumatera Barat [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, FMIPA. Bogor
Ushiyama T et al. 2003. Heating distribution by cloud systems derived from Doppler Radar Observation in TOGA-COARE. Journal of the Meteorological Society of Japan 81:1407-1434.
Sukri NC, Laras K, Wandra T, Didi S, Larasati RP, Rachdyatmaka JR, Osok S, Tjia P, Saragih JM, Hartati S, Listyaningsih E, Porter KR, Beckett CG, Prawira IS, Punjabi N, Suparwanto SA, Beecham HJ, Bangs MJ, Corwin AL. 2003. Transmission of epidemic dengue hemorhagic fever in easternmost Indonesia. American Journal of Tropical Medicine and Hygiene 68(5): 529-535.
Wibowo YA. 2010. Evaluasi curah hujan GSMaP dan TRMM TMPA dengan curah hujan pemrukaan wilayah Jakarta-Bogor [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, FMIPA. Bogor. Yamanaka
MD. 2011. Physical and Dynamical Climatology - A summary of its theoretical framework for application in Indonesia Maritime Continent
27
LAMPIRAN
28
Lampiran 1 Teknik pendekatan nilai curah hujan oleh sensor MWR pada satelit-satelit GSMaP Microwave radiometer (MWR) adalah sensor pasif yang mengukur daya total yang diterima dalam sejumlah kanal. Kanal-kanal ini memiliki frekuensi dan lebar pita (bandwidth) yang berbeda. Radiasi yang diterima berasal dari atmosfer bumi yang menurut hukum radiasi Planck, merupakan emisi termal , seperti halnya radiasi infra merah (IR). Perbedaan utama antara dua jenis radiasi ini ada pada panjang gelombang. Radiasi IR memiliki panjang gelobang dalam satuan µm, sedangkan gelombang mikro (microwave) memiliki panjang gelombang dalam satuan cm (14mm sampai 5mm), dengan rentang frekuensi antara 22 GHz sampai 60 GHz.
Gambar 1 Cara Kerja Sensor gelombang mikro pada Satelit Pengukur Hujan (Ushio 2008). Atmosfer memancarkan spektrum gelombang mikro seperti yang terlihat pada Gambar 1.Unsur-unsur gas (uap air, oksigen, nitrogen) hanya mampu memancarkan radiasi dalam garis spektral diskrit pada beberapa frekuensi tertentu, sedangkan unsur cairan (tetes awan, hujan) memiliki emisi pada seluruh spektrum frekuensi. Kondisi atmosfer yang berbeda (profil temperatur, kelembaban, awan) akan memiliki sifat yang berbeda dan akan diterima dalam waktu yang bersamaan. TMI (TRMM Microwave Imager) yang menjadi sensor utama GSMaP mengukur radiasi gelombang mikro yang dipancarkan oleh permukaan bumi serta awan dan tetes hujan. Menghitung intensitas curah hujan dari TMI membutuhkan perhitungan yang cukup kompleks. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dasar dari perhitungan ini adalah hukum radiasi Planck, yang mendeskripsikan seberapa besar energi dari suatu benda dalam bentuk temperatur. Permukaan air seperti lautan dan danau, memiliki sifat tambahan yang sangat penting. Permukaan ini hanya memancarkan sekitar satu setengah dari energi gelombang mikro yang ditentukan oleh hukum Planck, sehingga hanya memiliki sekitar setengah dari temperatur permukaan yang sebenarnya. Hal ini menyebabkan permukaan air terlihat sangat „dingin‟ oleh sensor MWR pasif. Di sisi lain, curah hujan tampak memiliki temperatur yang sama dengan temperatur sebenarnya. Hal ini menyebabkan curah hujan terlihat „hangat‟ oleh sensor MWR, sehingga tampak kontras terhadap temperatur „dingin‟ dari permukaan air seperti laut atau danau. Makin banyak tetes hujan, makin hangat pula temperatur yang terdeteksi MWR, dan penelitian selama tiga dekade terakhir memungkinkan untuk memperoleh intensitas curah hujan yang cukup akurat berdasarkan teknik pengukuran temperatur dari radiasi gelombang mikro ini. Daratan memiliki sifat emisi gelombang mikro yang sangat berbeda dengan lautan. Daratan memiliki sekitar 90 persen temperatur yang sebenarnya , sehingga kekontrasannya relatif kecil terhadap tetes hujan yang juga tampak „hangat‟ oleh MWR. Dalam kondisi ini, pendugaan masih bisa difokuskan pada beberapa sifat curah hujan yang lain. Gelombang mikro dengan frekuensi tinggi (85.5 GHz) yang diukur TMI dihamburkan dengan sangat kuat oleh es yang ada pada banyak awan hujan. Hal ini mengurangi sinyal gelombang mikro yang diterima sensor, sehingga memberikan suatu kekontrasan terhadap permukaan hangat dari daratan. Karena pertikel-
29
partikel es yang besar (umumnya terdapat pada bagian atas awan) cenderung menghamburkan radiasi ini, TMI menggunakan berbagai kanal yang berbeda bersama dengan model-model awan untuk membedakan antara proses-proses ini dan melakukan proses kuantisasi pada hujan dan es sesuai dengan sifat gelombang mikro yang diamatinya.
30
Lampiran 2 Korelasi antara GSMaP dengan curah hujan permukaan di Sorong, Wamena, dan Merauke
Correlations: gsmap, CH st sorong Pearson correlation of gsmap and CH st sorong = 0.639 P-Value = 0.000
Correlations: gsmap, CH st wamena Pearson correlation of gsmap and CH st wamena = 0.571 P-Value = 0.000
Correlations: gsmap, CH st merauke Pearson correlation of gsmap and CH st merauke = 0.553 P-Value = 0.000
31
Lampiran 3 Perbandingan curah hujan permukaan dan standar deviasi curah hujan di beberapa daerah di Papua
32
Lampiran 4 Data GSMaP dan curah hujan permukaan di Sorong, Wamena, dan Merauke tahun 1998-2003 Sorong
Wamena
Merauke
Tahun
Bulan GSMaP
CH permukaan
GSMaP
CH permukaan
GSMaP
CH permukaan
1998
2
142.56
240.8
342
180
173.52
326.4
1998
3
126
236
146.88
165.8
159.12
295
1998
4
142.56
359.9
496.08
278
149.04
305.2
1998
5
295.92
399.2
97.2
175
71.28
34
1998
6
573.84
528.4
333.36
146
0
127
1998
7
596.16
421.4
74.88
52
10.08
8.6
1998
8
239.76
356
53.28
70
0
13.6
1998
9
375.12
449.5
73.44
90.3
29.52
40.2
1998
10
118.08
259.8
162.72
154.4
35.28
115
1998
11
135.36
211.2
183.6
120.5
82.8
268
1998
12
318.24
128.6
242.64
237.8
126
259.1
1999
1
136.08
66.1
236.16
49
238.32
261
1999
2
33.84
180.5
265.68
215
70.56
262.7
1999
3
507.6
293.5
323.28
175
110.16
170
1999
4
188.64
261.7
236.88
282.2
118.08
461.9
1999
5
514.08
426.5
264.24
63
29.52
110.2
1999
6
216
283
187.2
187
55.44
65.6
1999
7
450.72
165.3
99.36
83.2
0
20.6
1999
8
224.64
212.3
164.88
243.5
1.44
18.2
1999
9
526.32
175
157.68
110.8
0
0
1999
10
545.76
283.8
180.72
95.2
4.32
5.1
1999
11
105.84
132.2
162.72
235.6
190.08
10.3
1999
12
255.6
238.7
166.32
170
84.96
131.4
2000
1
215.28
244.7
113.04
177
91.44
291
2000
2
256.32
172
158.4
88
106.56
62.5
2000
3
97.92
300.8
155.52
173
86.4
128
2000
4
203.04
186.4
254.88
147
335.52
109.3
2000
5
113.04
60.5
140.4
113
211.68
131.3
2000
6
398.16
146.1
113.04
80
18
46.6
2000
7
285.12
155
173.52
115
0
7.5
2000
8
326.16
341
223.92
56
0
15.6
2000
9
391.68
304.2
144
66.8
0
0
2000
10
75.6
13
290.16
186
71.28
164.1
2000
11
234
87.1
237.6
196
7.2
73.7
2000
12
69.84
59
164.88
91.7
38.16
217.1
2001
1
276.48
74.7
207.36
123
265.68
153.3
2001
2
95.04
87
190.08
175.5
68.4
143
2001
3
141.84
79.7
373.68
307.6
160.56
262.3
2001
4
144
54.4
249.84
219
316.08
196.4
33
2001
5
127.44
85.1
241.92
203.6
16.56
85.5
2001
6
396
237
198
123.3
7.2
20.3
2001
7
128.88
69.8
84.96
49
0
0.3
2001
8
36
4.8
153.36
120
0
4.3
2001
9
663.12
371
205.2
171.3
29.52
1
2001
10
72.72
101.2
149.76
86
27.36
41
2001
11
169.92
63.5
262.8
169.5
210.96
320.7
2001
12
61.2
38
190.8
103.3
170.64
29.5
2002
1
118.8
185.1
275.04
162.2
58.32
79
2002
2
18.72
58.3
228.24
233
123.84
176.5
2002
3
84.96
95
429.84
280
151.2
188.8
2002
4
152.64
107
316.8
187.1
131.76
151.3
2002
5
174.96
92
102.24
15.3
0
14.1
2002
6
244.8
0
117.36
13
27.36
0
2002
7
0
0.9
69.84
2
0
0
2002
8
69.12
0.6
92.88
17
0
0
2002
9
46.08
20.5
78.48
47.3
87.84
55
2002
10
23.76
39
43.2
34
0
1.3
2002
11
84.24
87
198
114
6.48
8
2002
12
248.4
101
145.44
77.6
84.24
39.2
2003
1
146.16
0
471.6
0
177.12
0
2003
2
92.16
74
286.56
207
308.88
221.6
2003
3
252
199
316.8
300.3
118.08
312.2
2003
4
110.88
232.7
199.44
215
49.68
50.1
2003
5
133.92
229
127.44
63
33.12
55.5
2003
6
145.44
330
39.6
20
0
13.6
34
Lampiran 5 Pengelompokan tahun normal dan ENSO berdasarkan teknik running mean
Tahun
Bulan
Nino 3.4
Running mean
1997
11
2.52
1997
12
2.48
1998
1
2.43
2.166
1998
2
1.97
1.858
1998
3
1.43
1.502
1998
4
0.98
0.992
1998
5
0.7
0.48
1998
6
-0.12
0.026
1998
7
-0.59
-0.38
1998
8
-0.84
-0.758
1998
9
-1.05
-0.958
1998
10
-1.19
-1.13
1998
11
-1.12
-1.28
1998
12
-1.45
-1.302
1999
1
-1.59
-1.224
1999
2
-1.16
-1.15
1999
3
-0.8
-1.016
1999
4
-0.75
-0.872
1999
5
-0.78
-0.806
1999
6
-0.87
-0.832
1999
7
-0.83
-0.87
1999
8
-0.93
-0.92
1999
9
-0.94
-1.026
1999
10
-1.03
-1.18
1999
11
-1.4
-1.33
1999
12
-1.6
-1.442
2000
1
-1.68
-1.428
2000
2
-1.5
-1.284
2000
3
-0.96
-1.098
2000
4
-0.68
-0.874
2000
5
-0.67
-0.656
2000
6
-0.56
-0.522
2000
7
-0.41
-0.464
2000
8
-0.29
-0.436
2000
9
-0.39
-0.442
2000
10
-0.53
-0.508
2000
11
-0.59
-0.576
2000
12
-0.74
-0.596
2001
1
-0.63
-0.56
2001
2
-0.49
-0.498
Anomali iklim
La Nina
La Nina
La Nina
Normal
35
2001
3
-0.35
-0.366
2001
4
-0.28
-0.226
2001
5
-0.08
-0.076
2001
6
0.07
0.034
2001
7
0.26
0.098
2001
8
0.2
0.118
2001
9
0.04
0.078
2001
10
0.02
-0.024
2001
11
-0.13
-0.078
2001
12
-0.25
-0.068
2002
1
-0.07
-0.022
2002
2
0.09
0.072
2002
3
0.25
0.254
2002
4
0.34
0.458
2002
5
0.66
0.626
2002
6
0.95
0.76
2002
7
0.93
0.902
2002
8
0.92
1.032
2002
9
1.05
1.15
2002
10
1.31
1.268
2002
11
1.54
1.308
2002
12
1.52
1.276
2003
1
1.12
1.136
2003
2
0.89
0.844
2003
3
0.61
0.468
2003
4
0.08
0.25
2003
5
-0.36
0.182
2003
6
0.03
0.174
2003
7
0.55
0.238
2003
8
0.57
0.448
2003
9
0.4
0.548
2003
10
0.69
0.532
2003
11
0.53
0.488
2003
12
0.47
0.47
2004
1
0.35
0.362
2004
2
0.31
0.304
2004
3
0.15
0.258
2004
4
0.24
0.268
2004
5
0.24
0.356
2004
6
0.4
0.51
2004
7
0.75
0.638
2004
8
0.92
0.768
2004
9
0.88
0.842
El Nino
Normal
El Nino
36
2004
10
0.89
0.854
2004
11
0.77
0.822
2004
12
0.81
0.732
2005
1
0.76
0.634
2005
2
0.43
0.552
2005
3
0.4
0.494
2005
4
0.36
0.434
2005
5
0.52
0.416
2005
6
0.46
0.408
2005
7
0.34
0.354
2005
8
0.36
0.262
2005
9
0.09
0.074
2005
10
0.06
-0.148
2005
11
-0.48
-0.394
2005
12
-0.77
-0.53
2006
1
-0.87
-0.628
2006
2
-0.59
-0.558
2006
3
-0.43
-0.378
2006
4
-0.13
-0.146
2006
5
0.13
0.022
2006
6
0.29
0.208
2006
7
0.25
0.356
2006
8
0.5
0.496
2006
9
0.61
0.68
2006
10
0.83
0.888
2006
11
1.21
0.95
2006
12
1.29
0.876
2007
1
0.81
2007
2
0.24
El Nino
Normal
37
Lampiran 6 Data curah hujan rata-rata GSMaP di wilayah Papua periode 1998-2006 Tahun
Bulan
CH GSMaP rata-rata
SOI
Nino 3.4
1998
1
106.227072
-23.5
2.43
1998
2
244.8049608
-19.2
1.97
1998
3
175.7501568
-28.5
1.43
1998
4
253.8559152
-24.4
0.98
1998
5
197.9781408
0.5
0.7
1998
6
231.2515224
9.9
-0.12
1998
7
138.1231656
14.6
-0.59
1998
8
130.7038392
9.8
-0.84
1998
9
135.9953496
11.1
-1.05
1998
10
166.7221416
10.9
-1.19
1998
11
188.150436
12.5
-1.12
1998
12
252.408744
13.3
-1.45
1999
1
178.596936
15.6
-1.59
1999
2
213.6266424
8.6
-1.16
1999
3
247.8147624
8.9
-0.8
1999
4
238.691736
18.5
-0.75
1999
5
197.040564
1.3
-0.78
1999
6
300.1541472
1
-0.87
1999
7
158.76792
4.8
-0.83
1999
8
136.3749192
2.1
-0.93
1999
9
118.2212496
-0.4
-0.94
1999
10
162.1565424
9.1
-1.03
1999
11
171.5936112
13.1
-1.4
1999
12
216.6826176
12.8
-1.6
2000
1
250.9488072
5.1
-1.68
2000
2
190.0217808
12.9
-1.5
2000
3
211.6582416
9.4
-0.96
2000
4
241.2710928
16.8
-0.68
2000
5
252.3058344
3.6
-0.67
2000
6
233.8007544
-5.5
-0.56
2000
7
110.6802936
-3.7
-0.41
2000
8
137.3561136
5.3
-0.29
2000
9
97.0656552
9.9
-0.39
2000
10
183.7377792
9.7
-0.53
2000
11
166.3944336
22.4
-0.59
2000
12
164.9641392
7.7
-0.74
2001
1
243.6785784
8.9
-0.63
2001
2
225.0362448
11.9
-0.49
2001
3
242.8929072
6.7
-0.35
2001
4
270.3460248
0.3
-0.28
38
2001
5
217.4476104
-9
-0.08
2001
6
171.2364048
1.8
0.07
2001
7
81.1558296
-3
0.26
2001
8
66.058992
-8.9
0.2
2001
9
153.8165304
1.4
0.04
2001
10
105.8404176
-1.9
0.02
2001
11
186.0375672
7.2
-0.13
2001
12
220.4610192
-9.1
-0.25
2002
1
188.1761472
2.7
-0.07
2002
2
156.382236
7.7
0.09
2002
3
193.0441824
-5.2
0.25
2002
4
201.094416
-3.8
0.34
2002
5
126.0831456
-14.5
0.66
2002
6
173.5109856
-6.3
0.95
2002
7
44.0478576
-7.6
0.93
2002
8
41.4962064
-14.6
0.92
2002
9
59.8503384
-7.6
1.05
2002
10
41.9340168
-7.4
1.31
2002
11
121.1187024
-6
1.54
2002
12
146.2497768
-10.6
1.52
2003
1
175.461876
-2
1.12
2003
2
220.6481472
-7.4
0.89
2003
3
235.1578896
-6.8
0.61
2003
4
186.6131712
-5.5
0.08
2003
5
123.3856944
-7.4
-0.36
2003
6
72.70254
-12
0.03
2003
7
172.838016
2.9
0.55
2003
8
108.0226512
-1.8
0.57
2003
9
114.3934272
-2.2
0.4
2003
10
145.0330272
-1.9
0.69
2003
11
106.3242144
-3.4
0.53
2003
12
221.9832648
9.8
0.47
2004
1
204.4717272
-11.6
0.35
2004
2
248.490936
8.6
0.31
2004
3
179.6835312
0.2
0.15
2004
4
142.1269704
-15.4
0.24
2004
5
206.2853064
13.1
0.24
2004
6
99.2815488
-14.4
0.4
2004
7
91.1703888
-6.9
0.75
2004
8
45.6327576
-7.6
0.92
2004
9
129.469572
-2.8
0.88
2004
10
67.0948416
-3.7
0.89
2004
11
131.9115096
-9.3
0.77
39
2004
12
160.2156816
-8
0.81
2005
1
190.8930744
1.8
0.76
2005
2
183.8042928
-29.1
0.43
2005
3
215.636256
0.2
0.4
2005
4
256.8077784
-11.2
0.36
2005
5
132.7191264
-14.5
0.52
2005
6
112.1054544
2.6
0.46
2005
7
153.2533896
0.9
0.34
2005
8
91.5037128
-6.9
0.36
2005
9
121.0774176
3.9
0.09
2005
10
167.9768712
10.9
0.06
2005
11
164.4854472
-2.7
-0.48
2005
12
232.492464
0.6
-0.77
2006
1
233.8740792
12.7
-0.87
2006
2
209.4973056
0.1
-0.59
2006
3
224.0138304
13.8
-0.43
2006
4
231.0603336
15.2
-0.13
2006
5
158.244444
-9.8
0.13
2006
6
264.4154496
-5.5
0.29
2006
7
101.6306496
-8.9
0.25
2006
8
55.3689072
-15.9
0.5
2006
9
121.6520208
-5.1
0.61
2006
10
57.74274
-15.3
0.83
2006
11
99.3898224
-1.4
1.21
2006
12
139.3460928
-3
1.29