ISSN : 2089-5380
Nomor Akreditasi: 630/AU2/P2MI-LIPI/03/2015
VOLUME : 29
NOMOR : 1
BADAN PENGKAJIAN KEBIJAKAN, IKLIM, DAN MUTU INDUSTRI BALAI RISET DAN STANDARDISASI INDUSTRI BANDA ACEH
APRIL 2016
2016
PENANGGUNG JAWAB Kepala Balai Riset dan Standardisasi Industri Banda Aceh KETUA DEWAN REDAKSI DR. M. Dani Supardan, ST, MT (Rekayasa Proses) ANGGOTA DEWAN REDAKSI DR. Mahidin, ST, MT (Energi) DR. Yuliani Aisyah, S.TP, M.Si (Pengolahan Hasil Pertanian) Dr. Rita Khathir, S.TP, M.Sc (Teknologi Pasca Panen) REDAKSI PELAKSANA Ketua : Mahlinda, ST, MT Pemeriksa Naskah : Fitriana Djafar, S.Si, MT Meuthia Busthan, ST Editor Bahasa : Ellysa, ST Layout Editor : Fauzi Redha, ST SEKRETARIAT Meuthia Busthan, ST Berdasarkan Surat Keputusan Kepala LIPI No. 395/D/2012 tanggal 24 April 2012 Jurnal Hasil Penelitian Industri (HPI) Ditetapkan sebagai Majalah Ilmiah Terakreditasi
Alamat Penerbit: BALAI RISET DAN STANDARDISASI INDUSTRI BANDA ACEH
Jl. Cut Nyak Dhien No. 377, Lamteumen Timur, Banda Aceh 23236 Telp. (0651) 49714 ; Fax. (0651) 49556 Website: http://baristandaceh.kemenperin.go.id E-Mail :
[email protected]
PEDOMAN PENULISAN NASKAH Jurnal Hasil Penelitian Industri adalah publikasi ilmiah resmi dari Balai Riset dan Standardisasi Industri Banda Aceh, terbit dua kali dalam setahun. Jurnal ini merupakan wadah penyebaran hasil penelitian dan pengembangan sektor industri bidang pangan, industri proses, rancang bangun peralatan, tekhnologi hasil pertanian, lingkungan, teknologi minyak atsiri/oleo dan energi. Redaksi menerima naskah yang sesuai untuk dipublikasikan dalam Jurnal ini. Naskah yang sesuai disampaikan rangkap 2 (dua) eksemplar, tercetak asli disertai dengan rekaman (softcopy) dalam bentuk CD atau dapat juga dikirim secara elektronik melalui email attachment ke alamat berikut: Redaksi Jurnal Hasil Penelitian Industri Balai Riset dan Standardisasi Industri Banda Aceh Jl. Cut Nyak Dhien No. 377, Lamteumen Timur, Banda Aceh 23236 Telp. (0651) 49714 ; Fax. (0651) 49556 E-mail :
[email protected] Beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan dalam penulisan naskah antara lain: Naskah atau artikel yang diajukan merupakan hasil penelitian, ulasan ilmiah dan catatan penelitian (research notes), yang belum pernah diterbitkan dan tidak direncanakan diterbitkan dalam penerbitanpenerbitan lain. Format naskah atau artikel diketik menggunakan Ms. Word dengan satu kolom, menggunakan font Times New Roman dengan ukuran font 12 point, spasi 1. Batas atas dan bawah 2,5 cm, tepi kiri 3 cm dan kanan 2 cm, dicetak satu muka pada kertas berukuran A4, dan tidak lebih dari 10 (sepuluh) halaman. Sistematika penulisan artikel terdiri atas judul, nama penulis, instansi, abstrak dan kata kunci (bahasa Indonesia dan bahasa Inggris), pendahuluan, metodologi, hasil dan pembahasan, kesimpulan dan saran, ucapan terima kasih (bila ada) dan daftar pustaka. Judul diketik dengan huruf capital tebal (Bold), memuat maksimum 20 kata, ditulis dalam 2 bahasa, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, terjemahan judul dalam bahasa Inggris diketik dengan huruf kecil dan miring, dituliskan di bawah judul yang berbahasa Indonesia . Nama penulis ditulis di bawah judul dengan ketentuan jika penulisnya lebih dari satu dan intansinya berbeda maka ditandai dengan 1), 2) dan seterusnya. Instansi/alamat dan Email ditulis di bawah Nama penulis. Abstrak diketik dengan huruf miring (italic) maksimal 250 kata dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Kata Kunci/Keywords terdiri dari 3 hingga 5 kata, disusun menurut abjad dan dicetak tebal. Tabel diberi nomor dan ditulis singkat serta jelas dibagian atasnya. Grafik, gambar dan foto harus tajam dan jelas agar cetakan berkualitas baik dan diberi nomor, judul dan keterangan yang jelas dibawahnya. Softcopy foto atau gambar turut disertakan dalam format *JPEG. Referensi hendaknya berasal dari sumber yang jelas dan terpercaya. Referensi yang ditampilkan dalam naskah
mengikuti pola baku dengan mencantumkan nama penulis (surname) dan tahun publikasi, misalnya (Rifai, 1983). Bila referensi terdiri dari dua orang penulis digunakan ‘dan’, sedangkan bila lebih dari dua orang penulis digunakan ‘dkk’, namun harus ditulis lengkap dalam daftar pustaka. Daftar Pustaka berisikan daftar referensi yang digunakan dan ditulis dengan pola baku, seperti contoh berikut: Jurnal Peterson, R.L., and Zelmer, C. 1998. Fungal Symbioses with Orchid Protocorms. Symbiosis. 25:29-55 Buku Luyben, W.L., and Chien, I. L. 2010. Design and Control of Distillation Systems for Separating Azeotropes. New Jersey. John Wiley & Sons, Inc. Reynolds, J. P., Jeris, J.S., and Teodhore, L. 2002. Handbook of Chemical and Environmental Engineering Calculations. New Jersey. John Wiley & Sons, Inc. Prosiding Argent, G. 1989. Vireya Taxonomy in Field and Laboratory. In Proceedings of The Forth International Rhododendron Conference. Wollongong, NSW Skripsi/Thesis/Disertasi Mo, B. 2004. Plant ‘integrin-like’ Protein in Pea (Pisum sativum L.) Embryonic Axws. PhD Dissertation. Department of Biology, University of South Dakota. South Dakota Website Bucknell University Information Services and Resources. Information Services and Resources Homepage. http://www.isr.bucknell.edu Shukla, O.P. 2004. Biopulping and Biobleaching: An Energy and envioronment Saving Technology for Indian Pulp and Paper Industry. EnviroNews. No. 2. Vol.10. http://isebindia.com/01_04/04-04-3.html
Jl. Cut Nyak Dhien No. 377 Lamteumen Timur, Banda Aceh - 23236 Telp. (0651) 49714, Fax. (0651) 49556, E-mail:
[email protected] http://baristandaceh.kemenperin.go.id
Jurnal Hasil Penelitian Industri, Vol. 29, No. 1 – April 2016
PENGANTAR REDAKSI Redaksi mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT dengan terbitnya Jurnal HPI (Hasil Penelitian Industri), Volume 29 No. 1 Tahun 2016 untuk pembaca. Jurnal Hasil Penelitian Industri adalah publikasi ilmiah resmi dari Balai Riset dan Standardisasi Industri Banda Aceh sebagai wadah penyebaran hasil penelitian dan pengembangan sektor industri bidang pangan, industri proses, rancang bangun peralatan, tekhnologi hasil pertanian, lingkungan, teknologi minyak atsiri/oleo dan energi. Jurnal HPI kali ini menyajikan 7 judul tulisan yang mencakup 1 artikel membahas tentang rancang bangun peralatan, 5 artikel membahas tentang teknologi proses dan 1 review artikel membahas tentang teknologi pangan. Selain jurnal versi cetak, Jurnal HPI saat ini sudah
dapat
diakses
secara
online
melalui
alamat
website
http://baristandaceh.kemenperin.go.id. Harapan kami, tulisan-tulisan ilmiah yang disajikan akan memberikan tambahan pengetahuan kepada pembaca semua. Selain itu, kami juga mengundang para pembaca mengirimkan tulisan ilmiah untuk terbitan selanjutnya. Redaksi juga mengharapkan kritikan dan saran dari pembaca dalam rangka meningkatkan kualitas jurnal ini.
Selamat Membaca Redaksi
i
DAFTAR ISI PENGANTAR REDAKSI ..................................................................................................
i
DAFTAR ISI ........................................................................................................................
ii
ABSTRAK…........................................................................................................................
iv
RANCANG BANGUN DAN PENGUJIAN KAMAR PENGERING INFRAMERAH UNTUK PENGERINGAN SINGKONG
(Design, Construction, and Test of Infrared Dryer Room for Drying Cassava) Aidil Haryanto, Novrinaldi, dan Satya Andika Putran..........................................................
1
AMILUM PREGELATIN DARI UBI JALAR SEBAGAI BAHAN PENGIKAT DALAM FORMULA TABLET EKSTRAK BUAH MENGKUDU
(Pregelatinized Sweet Potatao Starch as Binder in Formulation of Morinda citrifolia Extract Tablet) Nana Supriyatna .................................................................................................................... 11 PEMANFAATAN MINYAK BIJI ALPUKAT (Avocado seed oil) UNTUK SINTESIS MEMBRAN POLIURETAN
(Utilization of Avocado Seed Oil for Polyurethane Membrane Synthesis) Fitriani, Khairan, dan Marlina ............................................................................................... 19 EKSTRAKSI DAN KARAKTERISASI MINYAK DARI LIMBAH PADAT PABRIK MINYAK GORENG KELAPA SAWIT
(Extraction and Characterization of Oil from Solid Waste of Palm Oil Refinery) Eka Nuryanto, Justaman A. Karo Karo, Eddyanto dan Hasrul Abdi Hasibuan .................... 28 POTENSI DAN PEMANFAATAN HASIL SAMPING INDUSTRI DAUN BELUNTAS
(Potential and Utilization of Industry By-Product Beluntas Leaves) Yenni Yusriani, Sharli Asmairecen, Fitriana Djafar, dan Meuthia Busthan ......................... 33
ii
DAFTAR ISI PENGARUH IRADIASI BERKAS ELEKTRON TERHADAP ASAM-ASAM ORGANIK, ASAM AMINO DAN ANALISIS PROKSIMAT JAMUR KUPING (Auricularia auricula) KERING
(Irradiation Effect of Electron Beams on Organic Acids, Amino Acids and Proximate Analysis of Dried Ear Fungus (Auricularia auricula)) Idrus Kadir, dan Darmawan Darwis .....................................................................................
40
PENGARUH PELARUT TERHADAP RENDEMEN MINYAK ATSIRI PALA
(The Effect of Solvent On Nutmeg Essetial Oil Yield) Marni Kaimudin, dan Mozes Radiena ..................................................................................
iii
47
JURNAL HASIL PENELITIAN INDUSTRI Volume 29, No. 1, April 2016 ABSTRAK RANCANG BANGUN DAN PENGUJIAN KAMAR PENGERING INFRAMERAH UNTUK PENGERINGAN SINGKONG Aidil Haryanto*, Novrinaldi, dan Satya Andika Putra Pusat Pengembangan Teknologi Tepat Guna – LIPI Jalan KS. Tubun No.5 Subang Jawa Barat, Indonesia *E-mail :
[email protected] Telah dilakukan rancang bangun dan pengujian kamar pengering inframerah untuk pengeringan produk pasca panen. Alat pengering merupakan salah satu peralatan pangan alternatif yang sering digunakan pada saat proses produksi berlangsung untuk mengeringkan produk pasca panen guna meningkatkan efisiensi waktu dan kualitas produk. Pengeringan melalui teknologi inframerah memiliki tingkat efisiensi tinggi karena panas radiasi langsung menembus bagian dalam molekul bahan tanpa melalui media perantara udara panas seperti halnya pada proses konveksi dan konduksi. Alat ini dirancang dengan dimensi terluar 2 x 2 x 2 m yang memiliki sebuah exhaust fan, 2 buah kipas angin, 2 buah lubang udara, 2 rak, sebuah pengering inframerah (gasolec), dan alat kontrol. Kapasitas pengeringan sebesar 36 kg/batch. Dalam pengujian, produk yang dikeringkan adalah singkong iris dengan ketebalan irisan antara 1-2 mm sebanyak 12 kg selama 3 jam dengan temperatur kontrol 50 oC dan 60 oC. Pengambilan sampel data dilakukan pada 4 titik di ruang pengering. Kadar air yang dihasilkan untuk temperatur kontrol 50 oC sebesar 12,28% pada T1, 14,93% pada T2, 18,70% pada T3 dan 20,62% pada T4 dan untuk 60 oC sebesar 7,36% pada T1, 14,57% pada T2, 11,30% pada T3, dan 17,05% pada T4 dengan konsumsi bahan bakar gas elpiji rata-rata sebesar 1,5 kg/batch. Nilai kelembaban relatif cenderung stabil dikisaran 40-50%. Kata kunci: Inframerah, kamar pengering, dan rancang bangun
AMILUM PREGELATIN DARI UBI JALAR SEBAGAI BAHAN PENGIKAT DALAM FORMULA TABLET EKSTRAK BUAH MENGKUDU Nana Supriyatna Balai Riset dan Standardisasi Pontianak Jalan Budi Utomo No. 41, Pontianak, Kalimantan Barat - Indonesia Email:
[email protected] Telah dilakukan penelitian amilum pregelatin dari ubi jalar sebagai pengikat dalam formulasi tablet. Amilum pregelatin dibuat dengan memanaskan suspensi amilum ubi jalar dengan konsentrasi 30% dalam air pada suhu 60, 65 dan 70 oC. Amilum pregelatin dilihat dibawah mikroskop dan dievalusi sifat alir dan kompresibilitasnya. Hasil evaluasi didapatkan bahwa sifat alir dan kompresibilitasnya masih kurang. Keempat formulasi dilakukan uji fisik tablet berupa keragaman bobot, kekerasan, kerapuhan dan waktu hancur. Analisis data dibandingkan dengan Farmakope dan dilakukan uji Anova. Hasil uji fisik keempat formulasi memenuhi persyaratan Farmakope sementara dengan Anova terdapat perbedaaan dalam hal kekerasan, kerapuhan dan waktu hancur. Tablet dengan amilum pregelatin pemasakan 70 oC memiliki nilai kekerasan dan kerapuhan yang berbeda dengan tablet dengan pemasakan 60 oC dan 65 oC yakni 4,5 kg/cm2 dan 0,031%, sementara tablet dengan bahan pengikat Star RX 1500 memiliki nilai waktu hancur berbeda dengan ketiga tablet lainnya yakni 6,42 menit. Kata kunci : Amilum pregelatin, ekstrak, dan tablet.
iv
JURNAL HASIL PENELITIAN INDUSTRI Volume 29, No. 1, April 2016 ABSTRAK PEMANFAATAN MINYAK BIJI ALPUKAT (Avocado seed oil) UNTUK SINTESIS MEMBRAN POLIURETAN Fitriani1, Khairan2, dan Marlina1,* 1)
Magister Kimia Pascasarjana Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh, Indonesia. 2) Jurusan Farmasi, FMIPA, Universitas Syiah Kuala, Darussalam Banda Aceh, Indonesia. *E-mail:
[email protected]
Minyak biji alpukat dapat dimanfaatkan untuk sintesis membran poliuretan, yaitu direaksikan dengan heksametilen-1,6-diisosianat (HMDI). Tujuan utama dari penelitian ini adalah pembuatan membran poliuretan dari minyak biji alpukat sebagai penyaring merkuri yang terdapat di dalam air sumur yang terpapar merkuri. Membran PU disintesis dengan metode ikat silang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi perbandingan optimum HMDI dan minyak biji alpukat adalah 1,8:5 (b/v). nilai fluks yang dihasilkan pada kondisi optimum ini adalah sebesar 88 L/m2.jam.bar dengan koefisien rejeksi sebesar 98,87%. Hasil karakterisasi membran poliuretan menggunakan Fourier Transform Infrared (FTIR) menunjukkan adanya serapan N-H uretan pada bilangan gelombang 3314,996 cm-1, data FTIR juga tidak ditemukan adanya serapan gugus -NCO pada bilangan gelombang 2270 cm-1. Tidak adanya serapan gugus -NCO membuktikan sintesis membran telah berlangsung sempurna. Uji mekanik dan Differential Thermal Analysis (DTA) menunjukkan bahwa membran yang dihasilkan memiliki karakteristik keras dan kaku. Hasil analisis Scanning Electron Microscope - Energy Dispersive X-ray (SEM-EDX) menunjukkan bahwa permukaan membran tidak homogen dan membran mampu menyaring logam-logam berat yang terdapat di dalam air sumur, salah satunya adalah logam merkuri (Hg). Kata kunci : HMDI, karakterisasi, minyak biji alpukat, dan poliuretan.
EKSTRAKSI DAN KARAKTERISASI MINYAK DARI LIMBAH PADAT PABRIK MINYAK GORENG KELAPA SAWIT Eka Nuryanto1,*, Justaman A. Karo Karo2, Eddyanto3 dan Hasrul Abdi Hasibuan1 1)
Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Jl. B. Katamso No. 51, Medan, Indonesia Balai Riset dan Standardisasi Industri Medan, Jl. Sisingamangaraja No. 24, Medan, Indonesia 3) Jurusan Kimia, Universitas Negeri Medan, Jl. Willem Iskandar PO Box 1589, Medan, Indonesia *Email :
[email protected] 2)
Limbah padat terbanyak yang dihasilkan Pabrik Minyak Goreng Kelapa Sawit (PMGKS) adalah tanah pemucat bekas atau Spent Bleaching Earth (SBE) dengan jumlah sekitar 1,5-3,0% dari Crude Palm Oil (CPO) yang diolah. Umumnya pemanfaatan SBE adalah untuk landfill. Pada penelitian ini dilakukan ekstraksi minyak dari SBE menggunakan pelarut heksan dengan metode refluks dan karakterisasi minyaknya. Variabel pada penelitian ini adalah perbandingan antara jumlah SBE:heksan (b/v), yaitu 1:2, 1:3, 1:4, 1:6, dan 1:8 dan suhu refluks, yaitu suhu kamar, 50, dan 70 oC. Pada ekstraksi minyak dengan suhu refluks 50 oC di semua perbandingan SBE:heksan (b/v), jumlah minyak yang diperoleh di bawah 31,11%. Sementara minyak yang paling banyak diperoleh adalah pada suhu refluks 70 oC dengan perbandingan SBE:heksan (1:8 (b/v)) yang mencapai 34,58%. Karakteristik minyak yang diperoleh mengandung asam lemak bebas (ALB) sebanyak 33,62%, kandungan air 6,6%, kadar kotoran 2,8%, bilangan iod 40,5 mg I2/100 g, dan bilangan peroksida 104,92 meq O2/kg. Dengan karakteristik minyak seperti ini, maka minyak yang dihasilkan tidak dapat dikategorikan sebagai CPO maupun minyak goreng. Namun demikian masih memungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan sabun, grease, pelumas, biodiesel dan produk oleokimia lainnya. Kata kunci: Ekstraksi, minyak sawit mentah, oleokimia, dan spent bleaching earth.
v
JURNAL HASIL PENELITIAN INDUSTRI Volume 29, No. 1, April 2016 ABSTRAK
POTENSI DAN PEMANFAATAN HASIL SAMPING INDUSTRI DAUN BELUNTAS Yenni Yusriani1,*, Sharli Asmairecen1, Fitriana Djafar2, dan Meuthia Busthan2 1) 2)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Aceh, Jl. Panglima Nyak Makam No. 27, Banda Aceh, Indonesia Balai Riset dan Standarisasi Industri Banda Aceh, Jl.Cut Nyak Dhien, No. 377, Banda Aceh, Indonesia *Email:
[email protected]
Daun beluntas (Pluchea indica L. Less) merupakan salah satu hasil samping industri pertanian yang berkhasiat sebagai penambah nafsu makan dan membantu pencernaan sehingga diharapkan dapat memacu pertumbuhan. Sejak lama tanaman Beluntas dipercaya dapat mengurangi bau badan, menurunkan panas serta manfaat lainnya. Daun Beluntas dapat digunakan sebagai sumber antioksidan, anti-stress, anti bakteri, anti kanker, penurun kolesterol, penurun demam, penghilang bau amis. Hal ini disebabkan Beluntas mengandung asam amino (leusin, isoleusin, triptofan, treonin), alkaloid, flavonoida, minyak atsiri, asam chlorogenik, natrium, kalium, aluminium, kalsium, magnesium, fosfor, besi, vitamin A dan C. Tulisan ini merupakan review dari beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan tentang potensi dan pemanfaatan hasil samping industri daun beluntas. Kata kunci : Daun Beluntas, hasil samping industri, pemanfaatan, dan potensi.
IRRADIATION EFFECT OF ELECTRON BEAMS ON ORGANIC ACIDS, AMINO ACIDS AND PROXIMATE ANALYSIS OF DRIED EAR FUNGUS (Auricularia auricula) Idrus Kadir* dan Darmawan Darwis Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi (PAIR)-BATAN, Jalan Lebak Bulus Raya No. 49, Jakarta Selatan, Indonesia. Email:
[email protected]
Telah dilakukan penelitian tentang pengaruh iradiasi berkas elektron terhadap asam-asam organik dan analisis proksimat jamur kuping (Auricularia auricula) kering. Jamur kuping merupakan salah satu jenis jamur pangan (edible mushroom) yang sangat digemari konsumen, oleh sebab itu penanganan pasca panen dalam bentuk jamur kering sangat penting artinya untuk menjaga rantai agribisnis yang ekonomis. Penanganan jamur kuping kering dengan iradiasi berkas elektron telah dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh iradiasi berkas elektron pada dosis 5 kGy terhadap kandungan asam-asam organik (asam propionat, asetat, butirat, sitrat, laktat, dan asam oksalat), asam amino dan analisis proksimat jamur kuping kering. Hasil penelitian menunjukkan bahwa iradiasi pada 5 kGy meningkatkan kandungan asam sitrat dan menurunkan asam oksalat secara signifikan. Sedangkan terhadap asam amino dan analisis proksimat (kadar air, lemak, protein, dan kadar karbohidrat) serta pH, aktivitas air (aw) dan densitas jamur kuping kering, iradiasi pada dosis 5 kGy relatif tidak mengubah profile asam amino dan nilai proksimat, pH, aw serta densitas jamur tersebut. Kata kunci: Asam amino, asam-asam organik, berkas elektron, iradiasi, dan jamur kuping.
vi
JURNAL HASIL PENELITIAN INDUSTRI Volume 29, No. 1, April 2016 ABSTRAK
PENGARUH PELARUT TERHADAP RENDEMEN MINYAK ATSIRI PALA Marni Kaimudin*, dan Mozes Radiena Balai Riset dan Standardisasi Industri Ambon Jalan Kebon Cengkeh Atas, Ambon, Indonesia *Email :
[email protected] Potensi tanaman pala 10.918 ha yang tersebar pada beberapa kabupaten di Maluku dan salah satunya terdapat pada kepulauan Banda, Kabupaten Maluku Tengah. Dengan potensi alam yang begitu besar namun industri kecil untuk penyulingan minyak pala dari bijinya belum berkembang pesat. Ekstraksi umumnya menggunakan pelarut air yang lebih ekonomis. Selain dari pelarut air, dilakukan proses ekstraksi pelarut menggunakan pelarut ether, hexane, toluen, dan metanol, dengan tujuan melihat pengaruh pelarut tersebut terhadap rendemen minyak atsiri pala yang dihasilkan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah ektraksi dengan sistem soxhletasi. Hasil ekstraksi minyak dari biji pala, diperoleh rendemen 10% untuk pelarut eter,16%, untuk pelarut dietileter, 4,04% untuk pelarut hexana, 72,04% untuk pelarut toluena dan 85% untuk pelarut methanol. Hasil uji kualitas yang menyangkut keadaan minyak, meliputi warna dan bau. Untuk eter berwarna kuning muda, bau sedikit khas minyak pala, dietil eter berwarna kuning muda, bau sedikit khas minyak pala, hexana warnanya kuning telur, bau tidak khas minyak pala, toluena warnanya orange, bau tidak khas minyak pala dan methanol warnanya merah bata, bau tidak khas minyak pala. Sebagai pembanding dilakukan ektraksi dengan pelarut air yang telah dilakukan sebelumnya. Rendemen yang diperoleh sebesar 12,5%. Warna minyak bening kekuning – kuningan dan bau khas minyak pala sebagaimana termuat dalam SNI Minyak Pala No. 06-2388- 2006 untuk jenis uji kualitas warna yaitu tidak berwarna sampai kuning pucat dan bau khas minyak pala. Kata Kunci : Biji pala, ekstraksi, minyak pala, pelarut, dan rendemen.
vii
JURNAL HASIL PENELITIAN INDUSTRI Volume 29, No. 1, April 2016 ABSTRACT DESIGN, CONSTRUCTION, AND TEST OF INFRARED DRYER ROOM FOR DRYING CASSAVA Aidil Haryanto*, Novrinaldi, dan Satya Andika Putra Pusat Pengembangan Teknologi Tepat Guna – LIPI, Jalan KS. Tubun No.5 Subang Jawa Barat, Indonesia *E-mail :
[email protected]
A model of infrared dryer for drying post-harvest products was designed and tested. Infrared dryer is one of an alternative food tool which mostly used when the production process occur for drying postharvest products to increase time efficiency and product quality. Infrared drying technology has high efficiency because its radiation go through inside area of molecule item without hot air mediator like the one in convection and conduction process. This tool is designed with 2 x 2 x 2 m of outer dimension which has one exhaust fan, two fans, two air holes, two shelves, one infrared dryer (gasolec), and one control tool. Drying capacity is about 36 kg/batch. In a test, dryed products were sliced cassava with thickness between 1-2 mm as many of 12 kg/3 hour with 50 oC dan 60 oC temperature. The data were taken at four point inside dryer. At 50 oC drying temperature the moisture content of cassava were 12,28% at T1, 14,93 % at T2, 18,70% at T3 and 20,62% at T4 while at 60 oC drying temperature, the moisture content of cassava were 7,36% at T1, 14,57 % at T2, 11,30% at T3, and 17,05% at T4 with average elpiji consumption is 1,5 kg/batch. RH value were stable between 40-50 %. Keywords: Infrared, dryer, and design construction.
PREGELATINIZED SWEET POTATAO STARCH AS BINDER IN FORMULATION OF MORINDA CITRIFOLIA EXTRACT TABLET Nana Supriyatna Balai Riset dan Standardisasi Pontianak, Jalan Budi Utomo No. 41, Pontianak, Kalimantan Barat - Indonesia Email:
[email protected] The research of pregelatinized sweet potato starch as a binder in tablet formulations has been conducted. Pregelatinized starch prepared by heating sweet potato starch suspension with a concentration of 30% in water at temperature 60, 65 and 70 oC. Pregelatinized starch were evaluated its flow properties and compressibility. The results showed the flow properties and compressibility were still lack. The test of tablet formulations are uniformity of weight, hardness, friability and disintegration time. The result compared to the Pharmacopoeia then Anova test. The result test met the requirements to Pharmacopoeia while Anova test there was a difference in terms of hardness, friability and disintegration time. Tablet with pregelatinized starch cooked at 70oC has a different value of hardness and brittleness with the other tablets i.e. 4.5 kg/cm2 and 0.031%, While tablet with Star RX 1500 as binder has a different value of disintegration time from others 6.42 minutes. Keywords: Pregelatinized starch, extract, and tablet.
viii
JURNAL HASIL PENELITIAN INDUSTRI Volume 29, No. 1, April 2016 ABSTRACT UTILIZATION OF AVOCADO SEED OIL FOR POLYURETHANE MEMBRANE SYNTHESIS Fitriani1, Khairan2, dan Marlina1,* 1)
Magister Kimia Pascasarjana Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh, Indonesia. Jurusan Farmasi, FMIPA, Universitas Syiah Kuala, Darussalam Banda Aceh, Indonesia. *E-mail:
[email protected]
2)
Avocado seed oil has been used for the synthesis of polyurethane membrane, which is reacted with 1,6hexamethylene diisocyanate (HMDI). The main objective of this research is manufacture of polyurethane membranes from avocado seed oil, as a filter of this membrane use as a filter of metals from water such as mercury (Hg) etc. Polyurethane membrane was synthesized by the crosslink method between HMDI and avocado seed oil. The results showed that the optimum ratio condition HMDI and avocado seed oil is 1.8: 5 (w/v). The result showed that flux value work at the optimum condition is 88 L/m2.h.bar, with rejection coefficient of 98.87%. Analysis with Fourier Transform Infrared (FTIR) showed that of functional N-H group at 3314.996 cm-1, and did not reveal any FTIR of -NCO functional group at 2270 cm-1. The absence of absorption -NCO group proves membrane synthesis was successful. Mechanical tests and Differential Thermal Analysis (DTA) showed that the membrane was the characteristics of a hard and rigid. Scanning Electron Microscope- Energy Dispersive X-ray (SEMEDX) assay showed that the membrane surface is not homogeneous and membrane capable for filtering heavy metals from water contaminated with mercury (Hg). Keywords: HMDI, characterization, avocado seed oil, and polyurethane.
EXTRACTION AND CHARACTERIZATION OF OIL FROM SOLID WASTE OF PALM OIL REFINERY Eka Nuryanto1,*, Justaman A. Karo Karo2, Eddyanto3, dan Hasrul Abdi Hasibuan1 1)Pusat
Penelitian Kelapa Sawit, Jl. B. Katamso No. 51, Medan, Indonesia Balai Riset dan Standardisasi Industri Medan, Jl. Sisingamangaraja No. 24, Medan, Indonesia 3) Jurusan Kimia, Universitas Negeri Medan, Jl. Willem Iskandar PO Box 1589, Medan, Indonesia *Email :
[email protected] 2)
The most of solid waste from palm oil refinery is Spent Bleaching Earth (SBE) with amount of 1.5-3.0 from Crude Palm Oil (CPO) are processed. Generally utilizing SBE is to landfills. This research will be extraction of oil from the SBE with reflux method using hexane and its characterization. In this research, the variable is a comparison between SBE:hexane (w/v), i.e. 1:2, 1: 3, 1: 4, 1: 6 and 1: 8, and reflux temperature at room temperature, 50, and 70 °C. On the extraction of oil with reflux temperature 50 oC at all comparison SBE:hexane (w/v), the amount of oil which is obtained under 31,11%. While most oil is obtained at a reflux temperature of 70 oC with a comparison of SBE:hexane (1: 8 w/v) which reached 34,58%. Characteristic of oil contains free fatty acids 33,62%, moisture content 6.6%, impuirities 2.8%, iodine number 40.5 mg I2/100 g, and the number of peroxides 104,92 meq O2/kg. The characteristics of this kind of oil, cannot be categorized as CPO and edible oil. However it is still possible to be utilized as raw material for the soap, grease, lubricants, biodiesel and other oleochemicals products. Keywords: Extraction, crude palm oil, oleochemical, and spent bleaching earth.
ix
JURNAL HASIL PENELITIAN INDUSTRI Volume 29, No. 1, April 2016 ABSTRACT POTENTIAL AND UTILIZATION OF INDUSTRY BY-PRODUCT BELUNTAS LEAVES Yenni Yusriani1,*, Sharli Asmairecen1, Fitriana Djafar2, dan Meuthia Busthan2 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Aceh, Jl. Panglima Nyak Makam No. 27, Banda Aceh, Indonesia 2) Balai Riset dan Standarisasi Industri Banda Aceh, Jl.Cut Nyak Dhien, No. 377, Banda Aceh, Indonesia *Email:
[email protected]
1)
Beluntas leaf (Pluchea indica L. Less) is one byproduct of the agriculture industry is known as effective agents for efficacious as an appetite enhancer and aid digestion which is expected to spur growth. Since the old times, as plant Beluntas is considered have ability believed to reduce body odor, reduce heat and other benefits. Beluntas leaves can be used as a source of antioxidants, anti-stress, anti-bacterial, anticancer, lowering cholesterol, lowering fever, deodorizing fishy. This is due to Beluntas containing amino acid (leucine, isoleucine, tryptophan, threonine), alkaloids, flavonoids, essential oils, chlorogenic acid, sodium, potassium, aluminum, calcium, magnesium, phosphorus, iron, vitamins A and C. This paper is a revision of some of the results of research that has been done on the potential and utilization of industrial by products Beluntas leaves. Keywords: Beluntas leaf, industrial by-products, utilization, and potential.
IRRADIATION EFFECT OF ELECTRON BEAMS ON ORGANIC ACIDS, AMINO ACIDS AND PROXIMATE ANALYSIS OF DRIED EAR FUNGUS (Auricularia auricula)
Idrus Kadir* dan Darmawan Darwis Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi (PAIR)-BATAN, Jl. Lebak Bulus Raya No. 49, Jakarta Selatan, Indonesia. Email:
[email protected]
Has been conducted research on the effects of electron beam irradiation on organic acids, amino acids and proximate analysis of dried ear mushroom (Auricularia auricula). Ear Mushroom is a type of edible mushroom which is very popular with consumers, therefore, post-harvest handling in the form of dried mushrooms is very important to maintain an economical agribusiness chain. Handling of dried mushroom with electron beam irradiation was performed. The purpose of this study was to determine the effect of electron beam irradiation at a dose of 5 kGy to the content of organic acids (acid of propionate, acetate, butyrate, citrate, lactate, and oxalic acid) and proximate analysis of dried mushroom. The results showed that irradiation at 5 kGy increase the content of citric acid and oxalic acid significantly lowered. While on amino acid and proximate analysis (moisture, fat, protein, and carbohydrates) as well as pH, water activity (aw) and density of dried mushroom, irradiation at a dose of 5 kGy relatively not change the value of amino acid as well as proximate analysis value as well as pH, aw and density of the fungus. Keywords: Amino acids, organic acids, electron beam, irradiation, and mushroom.
x
JURNAL HASIL PENELITIAN INDUSTRI Volume 29, No. 1, April 2016 ABSTRACT
THE EFFECT OF SOLVENT ON NUTMEG ESSETIAL OIL YIELD Marni Kaimudin*, dan Mozes Radiena Balai Riset dan Standardisasi Industri Ambon Jalan Kebon Cengkeh Atas, Ambon, Indonesia *Email :
[email protected] Potential nutmeg plant 10.918 ha are scattered in several districts in Maluku and one of them contained in the Banda Islands, Central Maluku district. With natural potential so great but Small Medium Enterprise (SME) for the oil refinery of the nutmeg seed has not developed rapidly. Refining generally use water as a solvent because more economically. Beside of the water solvent, solvent distillation process is carried out with ether, hexane, toluene and methanol with a purpose to see the effect of the solvent on the yield of nutmeg essential oil produced. The method used in this study is refining the system soxhletation. Results of nutmeg oil refining, obtained yield of 10% for solvent ether, 16%, of solvent diethylether, 4.04% for the solvent hexane, 72.04% for the solvent toluene and 85% for the methanol solvent. Oil state test results which include the color and odor of ether that is light yellow, slightly peculiar smell of nutmeg oil, diethyl ether to light yellow, slightly peculiar smell of nutmeg oil, hexane color to egg yolks, not the typical smell of nutmeg oil, for toluene color orange, not the typical smell of nutmeg oil and methanol brick red color, the smell is not typical nutmeg oil. As a comparison is refined with solvent water color is clear straw- brass, distinctive smell of nutmeg oil, as contained in nutmeg oil SNI test for this type of situation, namely the color of colorless to pale yellow and the typical smell of nutmeg oil. Keywords: Nutmeg, extraction, nutmeg oil, solvents, and yield. .
xi
Jurnal Hasil Penelitian Industri, Vol. 29, No. 1 – April 2016, hal. 01-10
RANCANG BANGUN DAN PENGUJIAN KAMAR PENGERING INFRAMERAH UNTUK PENGERINGAN SINGKONG (Design, Construction, and Test of Infrared Dryer Room for Drying Cassava) Aidil Haryanto*, Novrinaldi, dan Satya Andika Putra Pusat Pengembangan Teknologi Tepat Guna – LIPI, JL. KS. Tubun No.5 Subang Jawa Barat, Indonesia *E-mail :
[email protected]
Diterima : 05 Januari 2016
Riwayat Perlakuan Artikel: Revisi : 30 Januari 2016
Disetujui: 06 Februari 2016
ABSTRAK. Telah dilakukan rancang bangun dan pengujian kamar pengering inframerah untuk pengeringan produk pasca panen. Alat pengering merupakan salah satu peralatan pangan alternatif yang sering digunakan pada saat proses produksi berlangsung untuk mengeringkan produk pasca panen guna meningkatkan efisiensi waktu dan kualitas produk. Pengeringan melalui teknologi inframerah memiliki tingkat efisiensi tinggi karena panas radiasi langsung menembus bagian dalam molekul bahan tanpa melalui media perantara udara panas seperti halnya pada proses konveksi dan konduksi. Alat ini dirancang dengan dimensi terluar 2 x 2 x 2 m yang memiliki sebuah exhaust fan, 2 buah kipas angin, 2 buah lubang udara, 2 rak, sebuah pengering inframerah (gasolec), dan alat kontrol. Kapasitas pengeringan sebesar 36 kg/batch. Dalam pengujian, produk yang dikeringkan adalah singkong iris dengan ketebalan irisan antara 1-2 mm sebanyak 12 kg selama 3 jam dengan temperatur kontrol 50 oC dan 60 oC. Pengambilan sampel data dilakukan pada 4 titik di ruang pengering. Kadar air yang dihasilkan untuk temperatur kontrol 50 oC sebesar 12,28% pada T1, 14,93% pada T2, 18,70% pada T3 dan 20,62% pada T4 dan untuk 60 oC sebesar 7,36% pada T1, 14,57% pada T2, 11,30% pada T3, dan 17,05% pada T4 dengan konsumsi bahan bakar gas elpiji rata-rata sebesar 1,5 kg/batch. Nilai kelembaban relatif cenderung stabil dikisaran 40-50%. Kata kunci: Inframerah, kamar pengering, dan rancang bangun. ABSTRACT. A model of infrared dryer for drying post-harvest products was designed and tested. Infrared dryer is one of an alternative food tool which mostly used when the production process occur for drying post-harvest products to increase time efficiency and product quality. Infrared drying technology has high efficiency because its radiation go through inside area of molecule item without hot air mediator like the one in convection and conduction process. This tool is designed with 2 x 2 x 2 m of outer dimension which has one exhaust fan, two fans, two air holes, two shelves, one infrared dryer (gasolec), and one control tool. Drying capacity is about 36 kg/batch. In a test, dryed products were sliced cassava with thickness between 1-2 mm as many of 12 kg/3 hour with 50 oC dan 60 oC temperature. The data were taken at four point inside dryer. At 50 oC drying temperature the moisture content of cassava were 12,28% at T1, 14,93 % at T2, 18,70% at T3 and 20,62% at T4 while at 60 oC drying temperature, the moisture content of cassava were 7,36% at T1, 14,57 % at T2, 11,30% at T3, and 17,05% at T4 with average elpiji consumption is 1,5 kg/batch. RH value were stable between 40-50 %. Keywords : Infrared, dryer, and design construction.
1.
menyatakan proses pengeringan adalah proses pengambilan atau penurunan kadar air sampai batas tertentu sehingga dapat memperlambat laju kerusakan biji-bijian akibat aktivitas biologik dan kimia sebelum bahan diolah atau digunakan. Menurut Matondang (1989) dalam Putra dan Novrinaldi (2014) tujuan pengeringan pada prinsipnya adalah menurunkan kadar air dari suatu produk
PENDAHULUAN
Pengeringan merupakan proses pemindahan panas dan uap air secara simultan, yang memerlukan energi panas untuk menguapkan kandungan air yang dipindahkan dari permukaan bahan, yang dikeringkan oleh media pengering yang biasanya berupa panas (Taib dkk., 1988). Hall (1957) dalam Taib dkk. (1988) 1
Jurnal Hasil Penelitian Industri, Vol. 29, No. 1 – April 2015, hal. 01-10
pertanian sehingga memenuhi rencana penggunaan selanjutnya atau untuk memperpanjang umur simpan dengan cara mengurangi kadar air agar tidak ditumbuhi mikroorganisme pembusuk. Secara rinci Taib dkk. (1988) menjelaskan tujuan dari pengeringan khususnya terhadap hasil pertanian yakni agar produk dapat disimpan lebih lama, mempertahankan daya fisiologik biji-bijian/benih, pemanenan dapat dilakukan lebih awal, mendapatkan kualitas yang lebih baik dan menghemat biaya pengangkutan. Secara umum pengeringan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan cara konvensional yakni pengeringan dilakukan ditempat terbuka dan dikenai cahaya matahari langsung (Putra dan Novrinaldi, 2014), namun menurut Sumarno (2012) dalam Putra dan Novrinaldi (2014) pengeringan konvensional ini terdapat beberapa permasalahan yaitu panas yang fluktuatif, kebersihan yang tidak terjaga dan memerlukan tempat yang cukup luas. Untuk mencarikan solusi terhadap permasalahan tersebut dikembangkan teknologi peralatan untuk pengeringan diantaranya tunnel dryer, spray dryer, drum dryer, conveyor dryer, fluid bed dryer, rotary dryer dan infrared dryer. Pada beberapa dekade terakhir, teknologi pengeringan berkembang cukup pesat, diantaranya teknologi pengeringan inframerah atau infrared (IR). Menurut Chua dan Chou (2003), bahwa metode lain dalam proses pengeringan yang rendah biaya cocok untuk pertanian pedesaan adalah pengeringan IR (Infrared). Aplikasi pemanasan radiasi inframerah mendapatkan popularitas dalam pengolahan makanan karena keunggulan yang pasti dibandingkan pemanasan konvensional. Pemindah panas yang lebih cepat dan efisien, biaya pengolahan yang lebih rendah, pemanasan produk yang seragam, organoleptik dan nilai gizi yang lebih baik dari bahan olahan adalah beberapa fitur penting dari pengeringan radiasi inframerah (Celma dkk., 2009).
Menurut Sandu (1986) dalam Chua dan Chou (2003), menjelaskan keuntungan dari penerapan IR untuk bahan makanan termasuk multifungsi, kesederhanaan peralatan yang dibutuhkan, respon yang cepat dari pemanasan dan pengeringan, instalasi mudah untuk setiap ruang pengering dan biaya modal yang rendah. Radiasi inframerah adalah bentuk penyerapan radiasi elektromagnetik yang menyebabkan getaran panas dalam bahan makanan dan hasil pertanian. Keuntungan metode ini dibandingkan pengeringan konvensional dengan udara panas diantaranya menghasilkan produk berkualitas tinggi, konsumsi energi yang rendah, efisiensi energi yang tinggi, kecepatan transfer panas yang tinggi, dan mengurangi waktu pengeringan (Krishnamurthy dkk., 2008; Ponkham, 2012). Meskipun demikian, pengeringan inframerah mempunyai kekurangan yaitu biaya operasi yang tinggi dan pengeringan bahan dengan ketebalan yang tipis (Motavali dkk., 2014). Kemampuannya untuk mengurangi waktu pengeringan telah dilaporkan oleh beberapa peneliti yang mengeringkan berbagai produk makanan seperti beras, kentang, pisang, dan bawang (Nathakaranakule dkk., 2010). Pemakaian teknologi pengeringan inframerah telah banyak digunakan untuk pengeringan komoditas pertanian diantaranya pengeringan beras (Abe dan Afzal, 1997), kentang (Abe dan Afzal, 1998), barley (Afzal dkk., 1999), bawang merah (Mongpraneet dkk., 2002) dan pisang (Swasdisevi dkk, 2007), khususnya di Indonesia, peneliti di Balai Besar Penelitian Pasca Panen Pertanian-Departemen Pertanian telah banyak menggunakannya di antaranya untuk pengeringan sayuran seperti bayam (Sopian dkk., 2005) dan jamur merang (Hadipernata dkk., 2006). Menurut Ginzburg (1969); Sandu(1986); Ratti dan Mujumdar (1995) dalam Nathakaranakule dkk. (2010) menyatakan bahwa FIR (Far Infrared) dapat digunakan untuk mempercepat proses 2
Aidil Haryanto, Novrinaldi, dan Satya Andika Putra
pengeringan karena bentuk energi dapat langsung diserap oleh bahan pengeringan tanpa kerugian yang signifikan terhadap lingkungan. Kemampuannya untuk mengurangi waktu pengeringan telah dilaporkan oleh beberapa peneliti yang dalam mengeringkan berbagai produk pangan seperti beras, kentang, gandum, bawang welsh, pisang dan jeruk press-kue (Abe dan Afzal, 1997, 1998; Afzal dkk., 1999; Mongpraneet dkk., 2002; Nimmol dkk., 2007a; Senevirathne dkk., 2010 dalam Nathakaranakule dkk., 2010). Secara umum radiasi inframerah berada pada 3 kisaran panjang gelombang yaitu near-infrared radiation (NIR), midinfrared radiation (MIR) and far-infrared radiation (FIR). Perbedaan antara radiasi ini hanya frekuensi dan panjang gelombang. Radiasi inframerah dibagi menjadi tiga kelas menurut panjang gelombangnya yaitu near infrared (NIR) 0,78-1,4 μm, mid infrared (mid-IR) : 1,4 – 3 μm, dan far infrared (3 – 1.000 μm). Panjang gelombang dari emisi energi elektromagnetik pemanas FIR ada pada rentang 2,5-30 μm, pada umumnya komoditas pangan dapat menyerap gelombang pada rentang 2-20 μm, sehingga radiasi FIR dapat dipergunakan untuk kepentingan pengeringan bahan pangan. Pada saat terjadi radiasi inframerah, sebagian energi yang diserap dapat menyebabkan perubahan secara pergerakan atom baik berupa vibrasi dan rotasi. Teknologi radiasi inframerah dipandang efisien dalam penggunaan energinya untuk proses pengeringan karena gelombang energi inframerah diserap langsung oleh produk dan tidak ada kehilangan energi yang besar dari lingkungan diluar pengering karena alat pengering inframerah berada langsung didalam ruang pengering. Konsumsi energi pada pengeringan konvensional dengan metode konveksi berkurang secara signifikan ketika radiasi inframerah diterapkan (Abe dan Afzal, 1997, Abe dan Afzal, 1998, Afzal dkk., 1999, Mongpraneet dkk., 2002). Kualitas dari produk yang
Rancang Bangun dan ...
dikeringkan juga mengalami peningkatan dibanding jika hanya dikeringkan dengan udara panas, sebagai contoh kerusakan vitamin C, kehilangan komponen aroma menurun pada penerapan pengeringan inframerah, menurunnya kerusakan karoten dan menurunnya kerusakan warna produk. Meskipun demikian, produk pangan dan pertanian pada umumnya yang sensitif terhadap panas tetap akan mengalami kerusakan terutama jika intensitas radiasi tidak tepat. Pengeringan dengan menggunakan inframerah sejauh ini masih belum banyak dilakukan. Oleh karena itu, diilakukan penelitian yang bertujuan untuk merancang bangun suatu alat pengering berupa kamar pengering untuk pengeringan produk pasca panen dengan memanfaatkan radiasi inframerah. 2.
METODOLOGI
Secara umum penelitian dilakukan dalam tiga tahapan yakni tahapan perancangan, konstruksi dan pengujian. Ketiga tahapan tersebut dilakukan di Pusat Pengembangan Teknologi Tepat Guna-LIPI Subang, Jawa Barat. 2.1
Tahapan Perancangan
Pengeringan dimaksudkan untuk menghilangkan sejumlah air dari bahan yang dikeringkan dengan cara penguapan, sehingga bahan-bahan yang dikeringkan tidak mudah rusak oleh kontaminasi mikroorganisme (Nur Hartuti dan R. M. Sinaga, 1997). Perkembangan metode pengeringan terhadap bahan pertanian sudah sangat pesat dimulai dari metode konvensional yang dijemur di bawah cahaya matahari langsung hingga menggunakan alat pengering. Konsep rancangan kamar pengering inframerah dengan sumber pengering menggunakan Gasolec S8 seperti ditunjukkan pada Gambar 1. Gasolec berbahan bakar gas elpiji memanaskan ruang pengering menggunakan panas dari 3
Jurnal Hasil Penelitian Industri, Vol. 29, No. 1 – April 2015, hal. 01-10
gelombang inframerah, sementara itu kipas menyebarkan panas ke seluruh bagian ruang sehingga ruang pengering memiliki panas yang merata. Sedangkan aliran udara keluar berfungsi untuk mengeluarkan uap air hasil dari proses pengeringan agar uap air tidak kembali jatuh ke produk. Sistem aliran fluida sendiri sangat berpengaruh terhadap kemerataan temperatur di ruang pengering.
kemudian tempatkan bahan yang akan dikeringkan pada loyang tersebut lalu dilakukan penimbangan untuk mengetahui berat bahan dalam satu loyang. Dengan begitu dapat dihitung jumlah loyang yang diperlukan untuk pengeringan bahan sebanyak 36 kg. =
........... (1)
Nl = Jumlah loyang, Kap = Kapasitas ruang pengering (kg), wl = Berat bahan perloyang (kg). Apabila jumlah loyang dapat diketahui maka akan dapat diperkirakan dimensi rak dan dimensi ruang pengering. Gambar 2 menjelaskan perhitungan perancangan mekanik untuk ruang pengering. untuk menentukan dimensi ruang pengering dibutuhkan variabel rancangan tertentu yang harus ditetapkan atau direncanakan, kemudian dilakukan perhitunganperhitungan energi proses pengeringan yang dibutuhkan.
2.1.1 Ruang pengering Kapasitas kamar pengering yang diinginkan adalah 36 kg/batch. Untuk menghitung dimensi ruang pengering, diperlukan asumsi ukuran loyang yang akan dipakai seperti pada persamaan (1). Dari dimensi loyang tersebut dapat diperkirakan berapa berat bahan yang akan dikeringkan dalam satu loyang. Namun alangkah lebih baik jika dilakukan percobaan terlebih dahulu (bukan perkiraan) yaitu dengan cara membuat satu loyang terlebih dahulu
Aliran Udara Keluar (Uap Air)
Uap air Kipas
Exhaust Fan
IR Radiation
Kipas s
Aliran Udara Masuk Pengering Inframerah (Gasolec S8)
Gambar 1. Konsep Kamar Pengering Inframerah Mulai
Kapasitas pengering 25 kg Dimensi loyang [cm] Berat bahan per loyang [gram]
Perhitungan jumlah loyang Perhitungan dimensi rak Dimensi ruang pengering dan material yang digunakan Perhitungan energi proses pengeringan
Selesai
Gambar 2. Mekanisme Perancangan Mekanik untuk Ruang Pengering 4
Aidil Haryanto, Novrinaldi, dan Satya Andika Putra
2.1.2 Pemilihan material dan bahan uji coba A.
Material bagian-bagian pengering
i.
Rangka dinding dari baja holo (Rectangular Hollow Section/RHS)
ruang pengering. Pemilihan aluminium kulit jeruk sebagai material dinding luar didasarkan pada ketersediaan material dipasar dan harga yang terjangkau, faktor estetika/keindahan, dan cukup tahan terhadap temperatur lingkungan menjadi dasar utama pemilihan material tersebut. Lapisan dalam dinding ruang pengering menggunakan plat stainless steel dengan tebal 1 mm. Pada bagian dalam dinding ini akan dikenai panas langsung (radiasi panas) dari pemanas (infrared burner) pengering dan akan terjadi proses perpindahan panas secara konduksi pada dinding ruang pengering maka pemilihan material dinding bagian dalam lebih dikarenakan sifatnya yang lebih kuat, lebih tahan terhadap korosif dan mempunyai sifat pemantul radiasi elektromagnetik yang baik dengan tidak mengabaikan nilai konduktivitas thermalnya. Dengan permukaannya yang rata dan mengkilap/licin terjadi pemantulan teratur dengan arah yang sejajar. Pemantulan radiasi inframerah dari burner gasolec S8 inilah yang sangat dibutuhkan dalam memaksimalkan proses pengeringan bahan.
Material yang digunakan dalam pembuatan rangka ruang pengering inframerah ini adalah baja holo 20 x 40 mm, hal ini didasarkan kepada materialnya yang mudah diperoleh dipasaran, mudah dibentuk/ diproses, lebih mudah diasembli dengan material lainnya. Dengan sifat mekanis berupa kekuatan tarik dan kekerasan yang dimiliki oleh baja holo sangat memungkinkan digunakan untuk menahan beban dari material lain yang diasembli menjadi ruang pengering. ii.
Dinding (polystyrene)
berupa
styrofoam
Dinding pengering menggunakan styrofoam tebal 40 mm untuk mencegah perpindahan panas keluar pengering. Styrofoam merupakan polistirena foam dihasilkan dari campuran 90-95% polistirena dan 5-10% gas seperti n-butana atau npentana. Polistirena foam merupakan bahan plastik yang memiliki sifat khusus dengan struktur yang tersusun dari butiran dengan kerapatan rendah, mempunyai bobot ringan, dan terdapat ruang antar butiran yang berisi udara yang tidak dapat menghantar panas sehingga hal ini membuatnya menjadi insulator panas (material yang dapat mencegah penghantaran panas, ataupun muatan listrik). Dengan memiliki konduktifitas thermal yang rendah yakni 0,08 W/m.K dan titik leleh (lunak) : 82-103 oC menjadikannya sebagai insulator yang sangat baik serta tidak mudah meleleh. Selain itu styrofoam juga merupakan material yang mudah dibentuk dan mudah didapatkan di pasaran. iii.
Rancang Bangun dan ...
iv. Rak pengering Rak pengering dibuat menggunakan besi siku berlubang. Besi siku berlubang lebih mudah untuk di rangkai (mudah bentuk) dengan menggunakan baut. Material ini juga sangat mudah diperoleh dipasaran dengan harga yang sangat terjangkau. v.
Loyang
Loyang merupakan bagian dari alat pengering yang akan bersentuhan langsung dengan bahan yang akan dikeringkan sehingga material yang digunakan harus food grade. Sesuai dengan standar keamanan pangan maka material loyang digunakan berupa plat aluminum sebagai rangka dan plat berlubang stainless steel.
Lapisan dinding dalam dan luar
vi.
Aluminium kulit jeruk digunakan sebagai dinding luar (pelapis styrofoam) dari
Lantai thick block
Lantai merupakan bagian penahan dari ruang pengering. Bagian ini akan dikenai 5
Jurnal Hasil Penelitian Industri, Vol. 29, No. 1 – April 2015, hal. 01-10
beban dari rak pengering dan juga beban dari operator ketika memasukkan dan mengeluarkan bahan yang akan dikeringkan. Selain itu lantai juga harus bersifat isolator (penyekat atau pengisolasi listrik atau panas). B.
Prinsip kerja pengering inframerah dengan bahan bakar gas elpiji yaitu dengan memanaskan ram kawat pada gasolec yang berbahan logam khusus dan keramik sehingga memancarkan panas dan gelombang inframerah. Alat pengering inframerah telah banyak tersedia dipasaran diantaranya bermerek Gasolec, Dry IR, DuPONT, serta beberapa merek lokal di Indonesia yang memanfaatkan produkproduk burner inframerah impor yang dimodifikasi sesuai kebutuhan. Energi yang digunakan merupakan bahan bakar gas elpiji. Konsumsi elpiji per unit burner pada produk pengering inframerah merek Gasolec sekitar 0.72 kg gas/jam.
Bahan uji coba
Bahan pertanian yang digunakan dalam pengujian ini berasal dari jenis umbian-umbian berupa singkong (Manihot Esculenta Crantz) yang diiris tipis dengan ketebalan 1-2 mm. 2.1.3 Komponen pengering Komponen pengering juga sangat menentukan distribusi temperatur, kemerataan panas, dan aliran fluida yang akan terjadi dalam ruang pengering pada saat proses pengeringan. Komponen-komponen tersebut seperti gasolec, exhaust fan, kipas angin, saluran udara masuk, dan alat kontrol.
2.2
Konstruksi kamar pengering inframerah terdiri dari pembuatan gambar teknik dengan menggunakan software design, pembuatan dan perakitan kamar pengering sesuai dengan dimensi yang telah dirancang dengan melakukan pengerjaan perbengkelan.
Tabel 1. Spesifikasi pengering inframerah bermerek Gasolec Tipe S8 No
Spesifikasi
1
Capacity
2
Operating Pressure
3
Gas Types
4
Heat Range
5
Hanging Height
6
Distance to Combustible Materials
Tahapan Konstruksi
Nilai
2.3
3,5 kW/h 50-190 mbar 350-1400 mbar Propane, butane, LPG, Natural Gas
Tahapan Pengujian
Pengujian dilakukan dengan mengukur beberapa parameter seperti waktu yang dibutuhkan untuk mengeringkan, bahan baku yang digunakan, konsumsi bahan bakar, temperatur, dan kadar air. Alat ukur yang digunakan adalah termometer, stopwatch, timbangan, alat pengukur kadar air. Bahan baku produk pasca panen yang digunakan adalah singkong iris.
5m 0,9-1,1 m 0,6 m
Sumber : www.gasolec.co.uk, 2015.
Gasolec merupakan komponen yang sangat penting pada pengering inframerah ini karena gasolec merupakan burner untuk memancarkan panas inframerah sehingga sumber panas pada ruang pengering berasal dari ini. Tabel 2 menunjukkan spesifikasi gasolec S8 yang mudah didapatkan dipasaran. Gasolec seperti ini sering kita jumpai pada peternak ayam yang digunakan untuk menghangatkan ayam.
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1
Hasil Rancang Bangun
Kamar pengering inframerah berukuran 2 x 2 x 2 meter dengan sebuah exhaust fan, 2 buah kipas angin, 2 buah lubang udara, 2 rak (total 22 loyang), sebuah pengering inframerah (gasolec), dan alat kontrol seperti ditunjukkan seperti pada 6
Aidil Haryanto, Novrinaldi, dan Satya Andika Putra
Gambar 3. Kapasitas pengeringan sebesar 36 kg/batch. Bagian dinding terbuat dari styrofoam dengan tebal 40 mm sebagai bahan isolator untuk menahan panas keluar akibat adanya perpindahan panas secara konduksi. Bagian dalam styrofoam dilapisi plat stainless steel 304 tebal 1 mm sebagai pemantul radiasi elektromagnetik, sedangkan dinding bagian luar menggunakan plat aluminium kulit jeruk dengan tebal 0,8 mm. Bagian lantai menggunakan T Block dengan tebal 20 mm dan menggunakan lapisan yang sama seperti dinding. Penggunakan 2 buah kipas dimaksudkan agar panas yang terjadi akibat perpindahan panas secara konveksi dari panas udara yang dihasilkan oleh gasolec dapat tersebar secara merata, sementara exhaust fan berfungsi untuk membuang uap air hasil dari penguapan produk keluar ruang pengering. Dimensi lubang sirkulasi udara masuk disesuaikan dengan dimensi udara keluar (pada exhaust fan) agar sirkulasi pengeluaran uap air terjadi secara efisien. 2 buah rak dibuat untuk mengoptimalkan ruang dan memaksimalkan kapasitas. Panel kontrol berfungsi untuk mengontrol temperatur di dalam ruang sesuai dengan kebutuhan saat proses pengeringan berbagai jenis produk pasca panen.
Rancang Bangun dan ...
3.2
Hasil Pengujian
Pengujian dilakukan pada singkong iris dengan ketebalan antara 1-2 mm sebanyak 12 kg. Temperatur kontrol yang dipakai adalah 50 oC dan 60 oC. Kamar pengering inframerah menggunakan bahan bakar elpiji untuk menyalakan gasolec. Pada gasolec terdapat kawat frame yang jika dinyalakan maka kawat tersebut akan berubah warna menjadi merah, kawat frame yang menyala akan memancarkan panas dan gelombang inframerah. Lapisan dinding bagian dalam pada ruang pengering yang berbahan plat stainless steel berfungsi dalam memantulkan radiasi panas inframerah sehingga gelombang inframerah yang berada dalam ruang pengering dapat maksimal membantu proses pengeringan produk. Pengujian pertama dilakukan tanpa beban yang berfungsi untuk melihat distribusi temperatur di ruang pengering, karena dimensi ruang pengering cukup besar maka distribusi udara panas dalam ruang pengering menjadi hal yang penting agar kemerataan penguapan air dari irisan singkong dapat terjadi. Kipas difungsikan untuk meratakan udara panas yang ada dalam ruang pengering. Pengujian distribusi temperatur pada 4 titik di ruang pengering dengan menggunakan termometer
(a)
(b)
Gambar 3. Konstruksi kamar pengering inframerah. (a) Tampak depan, (b) Tampak samping 7
Jurnal Hasil Penelitian Industri, Vol. 29, No. 1 – April 2015, hal. 01-10
Tabel 2. Distribusi temperatur untuk temperatur kontrol 50 oC Temperatur dengan Temperatur dengan Kontrol 50 oC Kontrol 60 oC Waktu o ( C) (oC) (jam) T1 T2 T3 T4 T1 T2 T3 T4 0
28
29
25
29
33
35
34
34
0.5
56
60
58
58
50
50
50
49
1
58
60
54
59
60
60
59
58
1.5
55
58
57
59
66
66
65
64
2
55
59
56
60
63
63
66
65
2.5
55
58
56
59
63
63
66
65
3
57
58
58
60
61
61
64
65
Keterangan : T1 : kiri tengah, T2 : kanan tengah, T3 : kiri atas, T4 : kanan atas
Tabel 2 di atas menunjukkan distribusi temperatur di seluruh bagian ruangan relatif sama, baik itu untuk temperatur kontrol 50 oC maupun 60 oC dengan perbedaan maksimum sekitar 5 oC. Temperatur mulai terlihat konstan atau sesuai dengan temperatur kontrol mulai dari 0,5 jam untuk temperatur kontrol 50 oC dengan rata-rata temperatur sebesar 57 oC. Sementara itu, untuk temperatur kontrol 60 oC. Temperatur mulai terlihat konstan ketika pemanasan telah mencapai waktu selama 1 jam dengan temperatur rata-rata sebesar 63,15 oC. Gambar 4 menunjukkan grafik antara kadar air singkong iris dengan waktu pengeringan untuk temperatur kontrol 50 oC. Kadar air yang dihasilkan selama 3 jam sebesar 12,28% pada T1, 14,93% pada T2, 18,70% pada T3 dan 20,62% pada T4. Pada grafik terlihat bahwa adanya kenaikan kadar air pada waktu dan bagian ruang pengering tertentu. Pada lama pengeringan ke 1,5 jam, produk T2 dan T3 mengalami kenaikan kadar air sedangkan pada T1 justru mengalami penurunan yang signifikan. Akan tetapi, pada waktu berikutnya T1 mengalami kenaikan. Untuk memenuhi kadar air singkong iris kering/gaplek sesuai SNI (di bawah 14%) diperlukan waktu pengeringan lebih dari 3 jam pada temperatur kontrol 50 oC.
Gambar 4. Grafik penurunan kadar air pada temperatur kontrol 50 oC selama proses pengeringan
Gambar 5. Grafik penurunan kadar air pada temperatur kontrol 60 oC selama proses pengeringan
8
Aidil Haryanto, Novrinaldi, dan Satya Andika Putra
Gambar 5 merupakan grafik antara kadar air singkong iris yang dikeringkan dengan waktu pengeringan untuk temperatur kontrol 60 oC. Persentase kadar air yang dihasilkan pada jam ke-3 untuk 4 titik pengambilan data antara lain 7,36% pada T1, 14,57 % pada T2, 11,30 % pada T3, dan 17,05 % pada T4. Penurunan kadar air telah terjadi sesuai SNI selama 3 jam untuk temperatur kontrol 60 oC kecuali pad T4 yang masih di atas standar. Dari hasil pengukuran kadar air, laju pengeringan di setiap titik yang dipantau mengalami perbedaan dikarenakan kemungkinan terjadi perbedaan kelembaban relatif dan juga adanya uap air yang tidak terhisap sepenuhnya atau tidak merata oleh exhaust fan yang menyebabkan uap air yang sudah keluar dari singkong kembali menempel dan terserap kembali oleh singkong.
Rancang Bangun dan ...
pengering energi matahari model YSDUNIB12 (Silvia dan Yuwana, 2012). Sementara pengeringan 2,5 kg singkong dari kadar air 61 % menjadi 14 % menggunakan hot-air microwave oven pada suhu 70 oC dan 80 oC membutuhkan waktu 5-5,3 jam (Wilaipon, 2013). Pengering inframerah dalam penelitian ini mampu mengeringkan sebanyak 12 kg irisan singkong dari kadar air rata-rata 65 % menjadi dibawah 14 % selama lebih dari 3 jam untuk temperatur kontrol 50 oC atau sekitar 3 jam untuk temperatur kontrol 60 oC. Dalam lama proses pengeringan, kamar pengering inframerah memiliki keunggulan dibandingkan dengan jenis pengering lain. 4.
KESIMPULAN
Kamar pengering inframerah untuk pengeringan produk pasca panen telah berhasil dirancang bangun dan diuji. Pengering didesain pada kapasitas 36 kg/batch dengan dimensi 2 x 2 x 2 m. Alat pengering ini memiliki 2 buah kipas di bagian depan dan belakang, 1 buah exhaust fan, 2 buah lubang sirkulasi udara masuk pada bagian pintu, 2 buah rak, dan 1 panel kontrol. Sebagai pemanas menggunakan gasolec tipe S8 karena mudah didapatkan dan sesuai untuk LPG dan natural gas. Dari hasil pengukuran kadar air, laju pengeringan di setiap titik yang dipantau mengalami perbedaan dikarenakan distribusi temperatur dengan bantuan kipas yang tidak merata pada ruang pengering. Selain itu kelembaban relatif dan adanya uap air yang tidak terhisap sepenuhnya atau tidak merata oleh exhaust fan yang menyebabkan uap air yang sudah keluar dari singkong kembali menempel dan terserap kembali oleh singkong. Dalam lama proses pengeringan, kamar pengering inframerah memiliki keunggulan dibandingkan dengan jenis pengering lain.
Gambar 6. Grafik antara RH pada temperatur kontrol 50 oC dan 60 oC selama proses pengeringan
Gambar 6 menunjukkan terjadinya penurunan kelembaban relatif secara linear untuk temperatur kontrol 50 oC dan 60 oC. Pengukuran RH dilakukan di satu titik di dalam ruang pengering sehingga belum diketahui penyebaran penurunan kelembaban relatif di setiap titik ruang pengering. Setelah 0,5 jam pengeringan, nilai kelembaban relatif cenderung stabil dikisaran 40-50 % hal ini disebabkan titik jenuh kelembaban pada proses pengeringan kemungkinan telah tercapai Pengeringan singkong dari kadar air sekitar 70 % menjadi 14 % membutuhkan waktu 31 jam dengan menggunakan
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kepada Pusbang TTG-LIPI sebagai penyandang dana, rekanrekan peneliti dan teknisi yang tergabung 9
Jurnal Hasil Penelitian Industri, Vol. 29, No. 1 – April 2015, hal. 01-10
Motevali, A., S. Minaei, A. Banakar, B. Ghobadian, M. H. Khoshtaghaza. 2014. Comparison of Energy Parameters in Various Dryers. Jurnal Energy Conversion and Management. 87: 711–725. Nathakaranakule, A., P. Jaiboon, S. Soponronnarit. 2010. Far-Infrared Radiation Assisted Drying of Longan Fruit. Journal of Food Engineering. 100 : 662–668. Ponkham K, N. Meeso, S. Soponronnarit, S. Siriamornpun. 2012. Modeling of Combined Far-Infrared Radiation and Air Drying of A Ring Shaped-Pineapple With/Without Shrinkage. Jurnal Food and Bioproducts Processing. 90: 155–64. Putra, S.A. dan Novrinaldi. 2014. Pengujian alat pengering mi jagung dengan pemanas infra merah berbahan bakar gas elpiji. Prosiding Konferensi dan Seminar Nasional Teknologi Tepat Guna. Bandung. Silvia, E. dan Yuwana. 2012. Kinerja Prototipe Pengering Energi Surya Model YSDUNIB12 dalam Mengeringkan Singkong. Prosiding Seminar Nasional Fakultas Pertanian. Bengkulu: Universitas Bengkulu Sopian, A., Thahir, R. Dan Muchtadi, T.R. 2005. Pengaruh pengeringan dengan far infrared dryer, oven vakum dan freeze dryer terhadap warna, kadar total karoten, beta karoten, dan vitamin C pada daun bayam (Amaranthus trricolor L.). Jurnal Teknol. dan Industri Pangan. 16(2): 133 - 141. Swasdisevi, T., Devahastin, S., Ngamchum, R. dan Soponronnarit, S. 2007. Optimization of a drying process using infrared-vacuum drying of Cavendish banana slices. Songklanakarin Journal of Science and Technology. 29: 809-816. Taib, G., Said, G., dan Wiraatmadja, S.1988. Operasi Pengeringan Pada Pengolahan Hasil Pertanian. Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta. Cetakan Pertama. ISBN: 979- 455-032-9. Wilaipon, P. 2013. Cassava Chip Drying By Using A Small-Scale Hot-Air Microwave Oven. American Journal of Engineering and Applied Sciences. 6(2): 211-215. http://www.gasolec.co.uk/heaters/, 2015.
dalam kegiatan penelitian yang berjudul “Perancangan Pengering InfraRed Serbaguna Berbahan Bakar Biogas Untuk Pengeringan Produk Pertanian”. DAFTAR PUSTAKA Abe, T. dan Afzal, T.M. 1997. Thin-layer infrared radiation drying of rough rice. Journal of Agricultural Engineering Research. 67:289-297. Abe, T. and Afzal, T.M. 1998. Diffusion in potato during far infrared radiation drying. Journal of Food Engineering. 37: 353-365. Afzal, T.M., Abe T. dan Hikida, Y. 1999. Eenergiand quality aspects during combined FIRconvection drying of barley. Journal of Food Engineering. 42: 117-182. Celma, A.R, Rodriguez, F.L & Blazquez, F.C. 2009. Experimental modelling of infrared drying of industrial grape by-products. Food and Bio products Processing. 87: 247–253. Chua, K.J., dan Chou, S.K. 2003. Low Cost Drying methodes for developing countries. Trends in Food Science & Technology. 14: 519 528. Elsevier. Hadipernata, M., Rachmat, R., dan Widaningrum. 2006. Pengaruh suhu pengeringan pada teknologi far infrared (fir) terhadap mutu jamur merang kering (Volvariella volvaceae). Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian. Vol. 2. Hartuti, N. dan R. M. Sinaga, R. M.1997. Pengeringan Cabai. Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Pusat Pengelitian dan Pengembangan Holtikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bandung. ISBN: 979-8304-16-0. Krishnamurthy, K., HK Khurana, J. Soojin, J. Irudayaraj, A. Demirci. 2008. Infrared Heating in Food Processing: An Overview. Jurnal Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety. 7(1): 2–13. Mongpraneet, S., Abe, T. dan Tsurusaki, T. 2002. Far infrared-vacuum and convection drying of welsh onion. Transactions of the ASAE. 45(5): 1529-2535.
10
Jurnal Hasil Penelitian Industri, Vol. 29, No. 1 – April 2016, hal. 11-18
AMILUM PREGELATIN DARI UBI JALAR SEBAGAI BAHAN PENGIKAT DALAM FORMULA TABLET EKSTRAK BUAH MENGKUDU (Pregelatinized Sweet Potatao Starch as Binder in Formulation of Morinda citrifolia Extract Tablet) Nana Supriyatna Balai Riset dan Standardisasi Pontianak, Jl. Budi Utomo No. 41, Pontianak, Kalimantan Barat - Indonesia Email:
[email protected]
Diterima : 14 Januari 2016
Riwayat Perlakuan Artikel: Revisi : 24 Februari 2016
Disetujui: 02 Maret 2016
ABSTRAK. Telah dilakukan penelitian amilum pregelatin dari ubi jalar sebagai pengikat dalam formulasi tablet. Amilum pregelatin dibuat dengan memanaskan suspensi amilum ubi jalar dengan konsentrasi 30% dalam air pada suhu 60, 65 dan 70 oC. Amilum pregelatin dilihat dibawah mikroskop dan dievalusi sifat alir dan kompresibilitasnya. Hasil evaluasi didapatkan bahwa sifat alir dan kompresibilitasnya masih kurang. Keempat formulasi dilakukan uji fisik tablet berupa keragaman bobot, kekerasan, kerapuhan dan waktu hancur. Analisis data dibandingkan dengan Farmakope dan dilakukan uji Anova. Hasil uji fisik keempat formulasi memenuhi persyaratan Farmakope sementara dengan Anova terdapat perbedaaan dalam hal kekerasan, kerapuhan dan waktu hancur. Tablet dengan amilum pregelatin pemasakan 70 oC memiliki nilai kekerasan dan kerapuhan yang berbeda dengan tablet dengan pemasakan 60 oC dan 65 oC yakni 4,5 kg/cm2 dan 0,031%, sementara tablet dengan bahan pengikat Star RX 1500 memiliki nilai waktu hancur berbeda dengan ketiga tablet lainnya yakni 6,42 menit. Kata kunci : Amilum pregelatin, ekstrak, dan tablet. ABSTRACT. The research of pregelatinized sweet potato starch as a binder in tablet formulations has been conducted. Pregelatinized starch prepared by heating sweet potato starch suspension with a concentration of 30% in water at temperature 60, 65 and 70 oC. Pregelatinized starch were evaluated its flow properties and compressibility. The results showed the flow properties and compressibility were still lack. The test of tablet formulations are uniformity of weight, hardness, friability and disintegration time. The result compared to the Pharmacopoeia then Anova test. The result test met the requirements to Pharmacopoeia while Anova test there was a difference in terms of hardness, friability and disintegration time. Tablet with pregelatinized starch cooked at 70oC has a different value of hardness and brittleness with the other tablets i.e. 4.5 kg/cm2 and 0.031%, While tablet with Star RX 1500 as binder has a different value of disintegration time from others 6.42 minutes. Keywords: Pregelatinized starch, extract, and tablet.
1.
membentuk pati dengan sifat berbeda pula (Pudjihastuti, 2010). Amilum ubi jalar memiliki potensi untuk digunakan dalam produk makanan, minuman, tekstil, dan eksipien dalam sediaan padat di industri farmasi, salah satunya adalah pada proses pembuatan tablet (Widodo, 2002). Secara umum amilum alami dipergunakan sebagai bahan penghancur dalam sediaan tablet (Gusmayadi, 2002) dan biasa digunakan sebagai bahan pengikat dengan proses granulasi basah (Sugiyono, 2012).
PENDAHULUAN
Amilum banyak terdapat pada umbiumbian atau dari golongan convolvulaceae, salah satunya amilum ubi jalar. Ubi jalar merupakan tanaman menjalar yang menyimpan cadangan makanan dalam umbi akar berupa amilum. Amilum tersusun atas dua fraksi, yaitu amilosa dan amilopektin. Selain itu terdapat pula lipid, protein, fosfor dan mineral dalam jumlah terbatas. Amilum tiap jenis tanaman berbeda-beda saat proses pembentukannya, sehingga baik ukuran ataupun komposisinya juga berbeda, yang 11
Jurnal Hasil Penelitian Industri, Vol. 29, No. 1 – April 2016, hal. 11-18
Modifikasi amilum dapat dilakukan secara fisik, kimia maupun enzimatik terhadap amilum alami sehingga didapatkan perubahan pada sifat-sifat alaminya terutama sifat alir dan kompresibilitasnya (Abbas dkk, 2010). Modifikasi fisik amilum alami dengan pemanasan dapat merubah sifat alir dan kompresibilitasnya (Karisma dkk., 2012), sehingga dapat digunakan dalam proses kempa langsung sebagai bahan pengikat. Pada penelitian ini digunakan amilum pregelatin dari ubi jalar yang mengalami modifikasi fisik berupa o pemanasan/gelatinasi pada suhu 60 C, 65 oC dan 70 oC, sebagai bahan pengikat dalam pembuatan tablet dengan metode kempa langsung. Amilum pregelatin didapatkan sebelum proses gelatinasi, yaitu pecahnya granula pati. Gelatinasi terjadi pada granula pada waktu mengalami pembengkakan yang luar biasa dan tidak dapat kembali ke bentuk semula. Amilum pregelatin memiliki granula yang lebih besar karena pengembangan akibat intrusi molekul air ke dalam granula pati saat pemanasan. Air akan berikatan dengan amilosa dan amilopektin sampai batas tertentu (suhu gelatinasi). Konsentrasi pati akan mempengaruhi suhu gelatinasi. Berdasarkan penelitian pendahuluan, konsentrasi yang efektif dalam proses ini adalah 20%. Sementara sebagai bahan aktif tablet digunakan ekstrak buah mengkudu. Buah mengkudu mudah dijumpai tumbuh sebagai tanaman liar, maupun digunakan sebagai tanaman pagar. Secara tradisional buah mengkudu digunakan untuk mengobati hipertensi (Nelson, 2003). Buah mengkudu mengandung senyawa penanda berupa scopoletin (Issell et all, 2009). Scopoletin diduga berperan dalam melebarkan pembuluh darah perifer, atau pada penghambatan aktivitas Angiotensin Converting Enzyme (ACE). ACE merupakan enzim yang akan merubah angiotensin I menjadi angiotensin II, dimana angiotensin II merupakan vasokonstriktor yang sangat kuat, dapat meningkatkan tekanan darah.
2.
METODOLOGI
2.1
Alat dan Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini: ubi jalar, air, kain saring, buah mengkudu kering, etanol 95% (teknis), laktosa, amilum manihot, granul ekstrak kering, pregelatin ubi jalar, avicel, Star RX 1500, Mg stearat. Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan amilum pregelatin: blender (Philips), timbangan (Scout.Pro), magnetic stirer (cimarec), beaker glass (pyrex), termometer, pengaduk, oven (memmert), ayakan (Retsch), mesin pencetak tablet (Erweka), alat uji fisik tablet (Erweka). 2.2
Metode penelitian
Ubi jalar dan buah mengkudu diidentifikasi di Laboratorium Mikrobiologi, Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dengan kunci determinasi. Ubi jalar dicuci bersih dan dihilangkan kulitnya kemudian dimasukkan dalam mesin penggiling menjadi bubur. Tambahkan air dua kali berat dan dibilas dua kali. Saring dan endapkan amilumnya. Pisahkan endapan amilum setelah itu dikeringkan dalam oven. Suspensi amilum ubi jalar (30%) dalam air dipanaskan pada suhu 60 oC, 65 oC dan 70 oC selama 1 jam. Amilum pregelatin didinginkan dan dikeringkan dalam oven. Amilum pregelatin dari perlakuan pemanasan suhu 60, 65 dan 70 oC dilihat dibawah mikroskop yaitu dilihat bentuk dan bulir granulanya. Cuci bersih buah mengkudu. Iris melintang tipis dan keringkan dalam oven. Simplisia kering diserbuk dan dimaserasi dalam etanol 96% selama 3 hari. Saring dan pekatkan dalam rotary evaporator sampai didapatkan ekstrak kental. Ekstrak kental buah mengkudu dikeringkan dan digranul dengan laktosa dan amilum manihot (1:1). Granula diayak dengan ayakan No. 20 dan digunakan sebagai bahan pengikat tablet seperti terdapat dalam Tabel 1.
12
Nana Supriyatna
Bahan Estrak kental Pengering Amilum pregelatin Star RX 1500 Avicel Mg stearat Berat tablet (mg)
2.3
Amilum Pregelatin dari ...
Tabel 1. Formula tablet ekstrak buah mengkudu Berat (gram) Formula 1 Formula 2 Formula 3 100 100 100 240 240 240 100 (60 oC) 100 (65 oC) 100 (70 oC) 50 50 50 10 10 10 500 500 500
Tabel 2. Rendemen amilum ubi jalar No. Rendemen (%) 1 6,8 2 7,1 3 5,9 Rata-rata 6,6
Evaluasi Fisik Sediaan Tablet
Keseragaman bobot dilakukan dengan mengambil 20 tablet, ditimbang pada masing-masing formula dan hitung rataratanya. Kekerasan diuji dengan mengambil 5 tablet diuji memakai hardness tester dan dicatat dalam kolom tabel dan dihitung ratarata. Kekerasan tablet inti yang baik diantara skala 4-10. Kerapuhan tablet dihitung dengan mengambil 20 tablet, dibersihkan dan ditimbang, masukkan dalam alat friability tester. Atur putaran 25 rpm selama 4 menit, kemudian ambil dan timbang kembali. Hitung persen (%) kerapuhan tablet. Nilai kerapuhan tablet inti maksimal 1%. Waktu hancur dihitung dengan mengambil 3 tablet, masukkan alat, suhu diatur 360C, dan jalankan alat. Data waktu hancur dicatat tiap-tiap formula. Tablet inti harus hancur dibawah 15 menit (Ditjen POM, 1979; Ditjen POM, 1995). Dari data yang didapatkan dibandingkan dengan data pustaka dan dilakukan uji one way anova dengan SPSS. 3.
Formula 4 100 240 100 50 10 500
Rendemen amilum ubi jalar didapatkan rata-rata 6,6%. Banyak faktor yang mempengaruhi rendemen seperti genetik, lingkungan, dan proses ekstraksi. Hasil diatas tergolong cukup kecil mengingat beberapa penelitian ubi jalar mendapatkan rendemen yang lebih besar. Pranoto (2009) dalam desertasinya memperoleh rendemen pati ubi jalar sebesar 8-12%. Sedangkan Ginting (2005) memperoleh pati dengan rendemen sekitar 14%. Hal ini dimungkinkan kurang efektifnya proses penyaringan dengan kain saring dan dekantasi masih tercampur zat warna, sehingga sebagian endapat terbuang yang dapat mengurangi rendemen amilum. Selain itu umur tanaman saat dipanen dapat mempengaruhi kandungan pati pada umbi. Kandungan pati dalam umbi dapat dipengaruhi oleh umur panen dan lama penyimpanan setelah panen. Selanjutnya disebutkan bahwa umur optimal ubi jalar tercapai apabila kandungan patinya maksimum dan kandungan seratnya rendah. Oleh karena itu pada pembuatan tepung ubi jalar apabila dikehendaki kandungan patinya maksimum, maka ubi jalar hasil panen sebaiknya segera diolah dan tidak dilakukan penyimpanan. Suspensi amilum dipanaskan dalam beaker diatas magnetic stirer pada suhu 60,
HASIL DAN PEMBAHASAN
Amilum atau pati merupakan polimer alam yang tersusun dari molekul amilosa dan amilopektin yang bergabung dalam granula pati. Amilosa tersusun atas ribuan unit glukosa dengan ikatan α(1,4) sedangkan amilopektin selain ikatan α(1,4) juga ikatan α(1,6). Kandungan dan karakteristik pati setiap varietas ubi jalar berbeda-beda. Dari hasil ekstraksi pati ubi jalar didapatkan data rendemen seperti pada Tabel 2. 13
Jurnal Hasil Penelitian Industri, Vol. 29, No. 1 – April 2016, hal. 11-18
65 dan 70 oC. Dalam rentang suhu ini diharapkan terbentuk amilum pregelatin yang diharapkan memiliki sifat yang diinginkan sebagai bahan pengikat. Granula pati pada mikroskop terlihat seperti pada Gambar 1. Pati dalam jaringan tanaman memiliki bentuk, ukuran dan letak hilus yang berbeda beda. Granula pati ubi jalar dapat berbentuk bulat dan poligonal serta ukuran granula yang beragam (Ginting, 2005). Apabila granula pati dimasukkan dalam air dingin, dapat membesar maksimal 30%, bersifat reversible, sementara bila dipanaskan akan lebih besar sampai beberapa kali lipat sampai mencapai suhu gelatinasi (Risnoyatiningsih, 2011). Uji mikroskopis amilum pregelatin
(a)
menurut Farmakope. Pada Pengujian mikroskopik menggunakan pereaksi air, flouroglusin LP dan kloralhidrat LP. Karakteristik uji mikroskopis amilum pregelatin dari beberapa perlakuan dalam penelitian ini terlihat pada Tabel 3. Pada pengamatan mikroskopis terlihat granula pati alami dan pregelatin memiliki perbedaan, baik dari bentuk, ukuran, dan sebarannya. Amilum pregelatin memiliki ukuran granula lebih besar karena pengembangan granula akibat intrusi air, sehingga terjadi pengembangan granula dan ukuran partikel meningkat signifikan (Wiguna dkk., 2014).
(b)
(c)
Gambar 1. Pemanasan amilum pada suhu (a) 60 oC, (b) 65 oC dan (c) 70 oC Tabel 3. Uji mikroskopis amilum pregelatin ubi jalar Amilum pregelatin Mikroskopis 1. Teratur Amilum alami 2. Ukuran seragam 1. Tak beraturan Amilum pregel 1 2. Bergerombol 1. Tak beraturan Amilum pregel 2 2. Bergerombol,granula besar kecil 1. Tak beraturan Amilum pregel 3 2. Granula besar dikelilingi kecil
Amilum pregelatin
Tabel 4. Uji fisik amilum pregelatin I II III
Rata-rata
Kadar air
4,3
5,2
3,58
4,36
Kadar abu
0,22
0,22
0,19
0,21
Sudut diam
32.33
32.65
31.88
32.29
Indeks Carr
31.3
28.8
24.4
28.2
pH
5.41
5.41
5.56
5.46
14
Nana Supriyatna
Amilum Pregelatin dari ...
Amilum pregelatin yang telah dikeringkan diuji kadar air, kadar abu, sudut diam, indeks Carr dan pH seperti terlihat pada Tabel 4. Kadar air diperoleh dengan rata-rata 4,35%. Kadar air ini menentukan kualitas bila disimpan lama. Suhu dan lama pengeringan akan mempengaruhi hasil kadar air yang didapatkan. Kadar abu menentukan spesifikasi amilum pregelatin, dari sumber tanaman ubi jalar. Didapatkan kadar abu rata-rata 0,21%. Sudut diam digunakam untuk mengetahui sifat alir, karena digunakan sebagai bahan pengikat dari luar. Sifat alir ini penting dalam proses tablet kempa langsung, baik zat aktif maupun eksipien. Dari indeks Carr didapatkan nilai 28.2. Nilai ini masih kurang, namun karena bahan lain seperti avicel dan granul bahan aktif menggunakan laktosa, mendukung proses kempa langsung, maka sifat kompak dapat terbantu dengan laktosa. Sementara pH didapatkan proses pemanasan amilum akan menurunkan pH, terbukti pH amilum alami 7 menjadi 5.46 pada amilum pregelatin.
Pembuatan granul ekstrak buah mengkudu dilakukan dengan penambahan laktosa dan amilum manihot (1:1). Hal ini karena selain laktosa umum digunakan, cocok dengan banyak zat aktif, murah dan cocok sebagai eksipien dalam proses kempa langsung. Granul yang terbentuk dikeringkan dalam oven dan diayak dengan ayakan 20 mesh. Adapun evaluasi terhadap granul ekstrak kering didapatkan kadar air 9,3, kadar abu 4,36, kadar abu tak larut asam 0,1 dan nilai sudut diam serbuk granul 32,29o. 3.1
3.1.1 Keseragaman bobot Keseragaman bobot tablet dengan berat lebih dari 300 mg tidak boleh ada 2 tablet yang bobotnya diluar batas 5% rataratanya dan tak satupun lewat 10% dari rataratanya (Ditjen POM, 1979). Dari keempat formula tidak ada satupun yang menyimpang dari persyaratan. Dengan anova tidak memberikan pengaruh berbeda terhadap bobot tablet dari keempat formulasi. Formula III memiliki nilai penyimpangan terkecil dengan bobot rata-rata 500,25 mg. Mudahnya granul serbuk mengalir mempengaruhi keseragaman bobot tablet. Granul yang mudah mengalir, akan didapatkan tablet dengan bobot lebih seragam, karena aliran granul konstan (Karismasari, 2012). Dari ketiga amilum pregelatin memiliki sifat alir yang tidak jauh berbeda, sehingga didapatkan keeragaman bobot yang juga tidak berbeda jauh.
Tabel 5.Organoleptik ekstrak kental buah mengkudu Organoleptik Rasa Bau Warna
Hasil Uji Fiik Tablet Ekstrak Buah Mengkudu
Pahit Khas mengkudu Coklat hitam
Ekstrak kental buah mengkudu dibuat dengan maserasi serbuk kering buah mengkudu dengan etanol 96%. Pemilihan pelarut sesuai dengan standar ekstraksi buah mengkudu pada Farmakope Herbal. Setelah 3 hari diuapkan dengan rotary evaporator, dan didapatkan ekstrak kental dengan rasa pahit, khas buah mengkudu dengan warna coklat kehitaman.
Tabel 6. Evaluasi granul ekstrak buah mengkudu Formula Granul ekstrak kering I II III Kadar air 8,9 9,8 9,3 Kadar abu 4,3 5,2 3,58 Kadar abu tak larut asam 0,22 0,22 0,19 Sudut diam 32,33 32,65 31,88
15
Rata-rata 9,3 4,36 0,21 32,29
Jurnal Hasil Penelitian Industri, Vol. 29, No. 1 – April 2016, hal. 11-18
nilai kekerasan tablet (Kharismasari dkk 2012). Dari grafik di atas terlihat perlakuan III (suhu pegelatinasi 70 oC) memiliki nilai kekerasan tablet yang paling besar, namun pada perlakuan II (suhu pregelatinsi 65 oC) nilainya lebih rendah dari perlakuan I (suhu pregelatinasi 60 oC) . Namun pada uji anova antar pelakuan tidak terdapat perbedaan yang nyata. Gambar 2. Sebaran bobot tablet disekitar berat tablet
3.1.2 Kekerasan Kekerasan tablet dilakukan dengan memberi tekanan mekanik pada tablet dengan alat hardness tester. Tablet yang baik harus memenuhi syarat agar tahan terhadap proses mekanik baik selama pembuatan maupun distribusinya. Kekerasan tablet dipengaruhi formulasi bahan dan kekuatan saat pengempaan. Tablet yang kurang keras atau terlalu keras dapat mempengaruhi kerapuhan dan waktu hancur tablet. Dari uji kekerasan didapatkan nilai kekerasan tablet formula I, II, III dan IV masih memenuhi syarat untuk kekerasan tablet. Formula keempat memiliki nilai kekerasan paling kecil namun masih dapat diterima karena nilai kerapuhan masih memenuhi syarat. Uji anova terhadap kekerasan tablet antara Formula I, II dan IV tidak memiliki perbedaan relatif sama sedangkan Formula III berbeda. Hal ini karena daya ikat amilum pregelatin III sebagai pengikat dalam formulasi lebih baik dibandingkan amilum pregelatin I dan II, sehingga mengikat lebih kuat. Ini dapat dilihat dari nilai indeks Carr dan sudut diam dari amilum pregelatin III yang lebih kecil dari amilum pregelatin I dan II. Kekerasan tablet formula III adalah ratarata 4,5 kg/cm2. Kekerasan paling kecil adalah formula IV yaitu 3,88. Tablet yang memiliki kekerasan rendah biasanya bermasalah pada kerapuhan, sehingga dapat menyulitkan saat pengemasan dan distribusi. Kekerasan akan dipengaruhi oleh daya ikat amilopektin dalam amilum pregelatinasi karena semakin tinggi daya rekat amilum, akan mengakibatkan semakin tinggi pula
Gambar 3. Sebaran nilai kekerasan tablet dari keempat formula tablet
3.1.3 Kerapuhan Kerapuhan tablet dihitung dari berat awal tablet dikurangi berat akhir setelah diuji dengan alat friability tester. Tablet yang baik harus memenuhi syarat kerapuhan dibawah 1%. Dari keempat formula semuanya telah memenuhi syarat kerapuhan tablet, yaitu dibawah 1%. Formula III memiliki nilai kerapuhan terkecil yakni 0,031%. Sementara formula IV memiliki kerapuhan rata-rata 0,088%. Hal ini sebanding dengan nilai kekerasannya yang juga lebih kecil (Cicilia, 2013). Pengaruh bahan pengikat Star RX 1500 yang lebih lemah sebagai bahan pengikat tablet. Analisis anova keempat formulasi terhadap kerapuhan tablet terdapat perbedaan yang bermakna antara formula ke III dengan formula I,II dan IV. Jika dibandingkan dengan standar kerapuhan tablet, hasil penelitain pada seluruh formulasi masih memenuhi standar. Kerapuhan tablet menurut United State Pharmacopoeia, tablet yang baik memiliki kerapuhan kurang dari 1%. Jika nilai kekerasan tablet tinggi maka ikatan antar partikel akan kuat sehingga kerapuhan tablet akan rendah (Buhler, V., 2005). 16
Nana Supriyatna
Amilum Pregelatin dari ...
4.
KESIMPULAN
Amilum pregelatin dari ubi jalar dengan proses pregelatinasi dengan suhu 600C, 650C dan 700C yang digunakan sebagai bahan pengikat tablet ekstrak buah mengkudu memiliki keseragaman bobot yang sama namun berbeda nyata dalam hal kekerasan, kerapuhan dan waktu hancurnya. Tablet formula III berbeda nyata dalam kekerasan dan kerapuhan dengan nilai 4,5 dan 0,031%, memiliki sifat bahan pengikat lebih baik dari formula I, II dan IV. Tablet formula IV berbeda nyata dalam waktu hancur paling lama dengan waktu 6,46 menit.
Gambar 4. Sebaran nilai kerapuhan tablet
3.1.4 Waktu Hancur Waktu hancur tablet adalah waktu yang diperlukan tablet untuk hancur tidak utuh atau menjadi bagian penyusunnya larut, serbuk atau granul. Alat yang digunakan adalah disintegration tester. Waktu hancur tablet inti/tidak bersalut adalah kurang dari 15 menit. Dari keempat formulasi waktu hancur yang didapatkan masih memenuhi syarat yakni dibawah 15 menit. Uji anova terhadap waktu hancur, formula IV memiliki waktu hancur lebih lama dari formula I, II dan III yaitu 6,42 menit. Formula III memiliki waktu hancur yang lebih cepat, yaitu 4,14 menit. Hal ini dimungkinkan karena pengaruh pregelatin selain sebagai bahan pengikat, juga bahan penghancur. Faktor – faktor yang mempengaruhi kerapuhan antara lain banyaknya kandungan serbuk (fines), kerapuhan di atas 1% menunjukkan tablet yang rapuh dan dianggap kurang baik (Lachman dkk., 1994).
DAFTAR PUSTAKA Abbas, K.A., Sahar K.K., Hussin, A.S.M. 2010. Modified Starches and Their Usages in Selected Food Products: A Review Study. Journal of Agricultural Science. 2(2): 90100 Buhler, V. 2005. Polyvinylpyrrolidone Excipients for Pharmaceuticals. Berlin. SpringerVerlag Berlin Heidelberg. Ditjen P. O. M. 1979. Farmakope Indonesia ed III. Depkes RI: Jakarta. Ditjen P. O. M. 1995. Farmakope Indonesia ed IV. Depkes RI: Jakarta. Cicilia, E. .2013. Formulasi Tablet Kunyah Attapulgit Dengan Variasi Konsentrasi Bahan Pengikat Gelatin Menggunakan Metode Granulasi Basah. Jurnal Mahasiswa Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UNTAN. 3(1). Ginting, E., Widodo, Y., Rahayuningsih, S. A., dan Jusuf, M. 2005. Karakteristik pati beberapa varietas ubi jalar. Jurnal Penelitian Tanaman Pangan, 1(24): 8-17. Gusmayadi, I. 2002. Perbandingan Amilum Biji Nangka Dengan Amprotab Dalam Fungsinya Sebagai Penghancur Tablet. Jurnal Bahan Alam Indonesia. 1(2). Wiguna, I.P.G.S.D., Prasetia, I.G.N.J.A. dan Arisanti, C.I.S. 2014. Pengaruh Variasi Suhu Pemanasan Terhadap Spesifikasi Amilum Singkong Fully Pregelatinized Sebagai Eksipien Tablet. Jurnal Farmasi Udayana. 3(1): 40-44
Gambar 5. Sebaran rata-rata nilai kerapuhan tablet
17
Jurnal Hasil Penelitian Industri, Vol. 29, No. 1 – April 2016, hal. 11-18
Issell, B. F., Franke, A., & Fielding, R. M. 2008. Pharmacokinetic study of noni fruit extract. Journal of dietary supplements, 5(4): 373-382. Karismasari, K. L., Anton Prasetia, I. G., & Sri Arisanti, C. I. (2012). Pengaruh Rasio Amilum: Air dan Suhu Pemanasan terhadap Sifat Fisik Amilum Singkong Pregelatin yang Ditujukan Sebagai Eksipien Tablet. Jurnal Farmasi Udayana, 1(1). Lachman, L., H.A. Lieberman, dan J.L. Karig. 1994. Teori dan Praktek Farmasi Industri, Edisi ketiga, Terjemahan : S. Suyatmi. Jakarta. Universitas Indonesia Press. Pranoto, Y. 2009. Perbaikan karakteristik pati ubi jalar dengan heat moisture treatment untuk pembuatan starch noodle. Disertasi. Universitas Gadjah Mada. Jogjakarta. Pudjihastuti, I. 2010. Pengembangan Proses Inovatif Kombinasi Reaksi Hidrolisis Asam dan Reaksi Photokimia UV untuk Produksi Pati Termodifikasi dari Tapioka. Disertasi. Universitas Diponegoro. Semarang.
Risnoyatiningsih, S. 2011. Hidrolisis Pati Ubi Jalar Kuning Menjadi Glukosa Secara Enzimatis. Jurnal Teknik Kimia, 5(2): 417424. Scot C, Nelson. 2003. Morinda citrifolia, L, diunduh di website http://www.ctahr.hawaii.edu/noni/downlo ads/morinda_species_profile.pdf Sugiyono, S., Murdiyani, P., & Windriyati, Y.N. 2012. Pengaruh Variasi Kadar Amilum Garut (Maranta arundinaceae Linn) Sebagai Bahan Pengikat Terhadap Sifat Fisik dan Kimia Tablet Paracetamol, ePublikasi Ilmiah Fakultas Farmasi. Unwahas Semarang. 9(2): 32-37 Widodo, R. T., Hashim, H., Yu Shyun, C., Mohtar, M., Subramaniam, V., & Yunos, N. M. 2002. Characterisation of the local sweet potato starch for pharmaceutical application. In Towards modernisation of research and technology in herbal industries. Proceedings of the Seminar on Medicinal and Aromatic Plants, 24-25 July 2001. (pp. 227-230). Forest Research Institute Malaysia (FRIM).
18
Jurnal Hasil Penelitian Industri, Vol. 29, No. 1 – April 2016, hal. 19-27
PEMANFAATAN MINYAK BIJI ALPUKAT (Avocado seed oil) UNTUK SINTESIS MEMBRAN POLIURETAN (Utilization of Avocado Seed Oil for Polyurethane Membrane Synthesis) Fitriani1, Khairan2, dan Marlina1,* 1)
Magister Kimia Pascasarjana Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh, Indonesia. Jurusan Farmasi, FMIPA, Universitas Syiah Kuala, Darussalam Banda Aceh, Indonesia. *E-mail:
[email protected] 2)
Diterima : 10 Februari 2016
Riwayat Perlakuan Artikel: Revisi : 27 Februari 2016
Disetujui: 02 Maret 2016
ABSTRAK. Minyak biji alpukat dapat dimanfaatkan untuk sintesis membran poliuretan, yaitu direaksikan dengan heksametilen-1,6-diisosianat (HMDI). Tujuan utama dari penelitian ini adalah pembuatan membran poliuretan dari minyak biji alpukat sebagai penyaring merkuri yang terdapat di dalam air sumur yang terpapar merkuri. Membran PU disintesis dengan metode ikat silang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi perbandingan optimum HMDI dan minyak biji alpukat adalah 1,8:5 (b/v). nilai fluks yang dihasilkan pada kondisi optimum ini adalah sebesar 88 L/m2.jam.bar dengan koefisien rejeksi sebesar 98,87%. Hasil karakterisasi membran poliuretan menggunakan Fourier Transform Infrared (FTIR) menunjukkan adanya serapan N-H uretan pada bilangan gelombang 3314,996 cm-1, data FTIR juga tidak ditemukan adanya serapan gugus -NCO pada bilangan gelombang 2270 cm-1. Tidak adanya serapan gugus -NCO membuktikan sintesis membran telah berlangsung sempurna. Uji mekanik dan Differential Thermal Analysis (DTA) menunjukkan bahwa membran yang dihasilkan memiliki karakteristik keras dan kaku. Hasil analisis Scanning Electron Microscope - Energy Dispersive X-ray (SEM-EDX) menunjukkan bahwa permukaan membran tidak homogen dan membran mampu menyaring logam-logam berat yang terdapat di dalam air sumur, salah satunya adalah logam merkuri (Hg). Kata kunci : HMDI, karakterisasi, minyak biji alpukat, dan poliuretan. ABSTRACT. Avocado seed oil has been used for the synthesis of polyurethane membrane, which is reacted with 1,6-hexamethylene diisocyanate (HMDI). The main objective of this research is manufacture of polyurethane membranes from avocado seed oil, as a filter of this membrane use as a filter of metals from water such as mercury (Hg) etc.. Polyurethane membrane was synthesized by the crosslink method between HMDI and avocado seed oil. The results showed that the optimum ratio condition HMDI and avocado seed oil is 1.8: 5 (w/v). The result showed that flux value work at the optimum condition is 88 L/m2.h.bar, with rejection coefficient of 98.87%. Analysis with Fourier Transform Infrared (FTIR) showed that of functional N-H group at 3314.996 cm-1, and did not reveal any FTIR of -NCO functional group at 2270 cm-1. The absence of absorption -NCO group proves membrane synthesis was successful. Mechanical tests and Differential Thermal Analysis (DTA) showed that the membrane was the characteristics of a hard and rigid. Scanning Electron Microscope- Energy Dispersive X-ray (SEM-EDX) assay showed that the membrane surface is not homogeneous and membrane capable for filtering heavy metals from water contaminated with mercury (Hg). Keywords: HMDI, characterization, avocado seed oil, and polyurethane.
1.
untuk minuman jus. Biji alpukat dapat diekstraksi untuk menghasilkan minyak biji alpukat. Minyak biji alpukat mengandung asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh, berupa asam oleat (70,54 %), asam palmitat
PENDAHULUAN
Biji alpukat merupakan limbah yang belum dimanfaatkan, karena masyarakat hanya memanfaatkan daging buahnya saja 19
Jurnal Hasil Penelitian Industri, Vol. 29, No. 1 – April 2016, hal. 19-27
(11,85 %), dan asam linoleat (9,45 %) (Prasetyowati dkk., 2010). Minyak biji alpukat mengandung gugus hidroksil (-OH) yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk pembuatan membran poliuretan (PU). Marlina dkk. (2007;2010), berhasil membuat membran PU ramah lingkungan yang berasal dari bahan alam yaitu dari minyak biji tanaman jarak dan keragenan. Poliuretan merupakan polimer yang dihasilkan dari reaksi antara senyawa yang mengandung gugus hidroksil (-OH) baik mono maupun poli, dengan senyawa yang mengandung gugus isosianat (-NCO). Diantaranya toluen-2,4-diisosianat (TDI), metilen difenil diisosianat (MDI), heksanametilen-1,6-diisosianat (HMDI), dan polimer isosianat (PMDI) (Morteza dkk., 2011; Liu dkk., 2012; Ma dan Zeul., 2014). Penelitian ini menggunakan sumber isosianat dari heksametilen-1,6-diisosianat (HMDI). HMDI merupakan senyawa isosianat alifatik yang memiliki gugus diisosianat pada atom karbon primer. Sebelumnya Marlina (2007), membuat membran PU dari minyak biji jarak dengan toluen-2,4-diisosianat (TDI) menghasilkan membran yang kaku dan rapuh. Dengan menggunakan HMDI membran poliuretan yang dihasilkan lebih kuat dan memiliki kinerja yang baik. Teknologi membran telah menjadi teknik pemisahan yang sangat popular. Penerapan teknik ini telah dikembangkan pada berbagai bidang, seperti pengolahan air, pemisahan gas, pengolahan makanan, industri farmasi dan lingkungan (Liu dkk., 2012; Ameri dkk., 2015; Hassanajil dkk., 2014; Mehdi dkk., 2012; Charcosset dan Keld., 2012; Ambhasta dan Mill, 2012). Teknologi ini ramah lingkungan, tanpa penggunaan bahan kimia dalam pengoperasiannya, dapat berlangsung pada suhu kamar, dapat dilakukan secara kontinyu, juga dapat diatur sesuai kebutuhan dalam berbagai proses pemisahan (Mokhtar, 2015). Membran PU hasil sintesis dari minyak biji alpukat dengan HMDI
diaplikasikan untuk menurunkan kadar merkuri yang ada di dalam air sumur penduduk kawasan tambang emas daerah Kabupaten Aceh Jaya. Harian Serambi Indonesia edisi 19 Februari 2014 menyatakan bahwa Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Aceh Jaya tahun 2013 telah mengeluarkan hasil penelitian tentang pencemaran merkuri pada air sumur gali dan sumur bor milik warga, serta air sungai di Kecamatan Panga, Teunom, dan Krueng Sabee. Hasil dari 125 sampel air yang diuji, 78 sampel air (62%) dinyatakan tercemar merkuri. Diharapkan dengan mengaplikasikan membran PU untuk menurunkan kadar merkuri, maka masyarakat terhindar dari penyakit yang sangat berbahaya. Membran PU juga berguna untuk menjaga kualitas lingkungan dari limbah merkuri, khususnya air di kawasan pertambangan emas, sehingga dapat mengurangi biaya kesehatan dan perawatan lingkungan yang terus meningkat. 2.
METODOLOGI
2.1
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan adalah biji alpukat, kloroform, aquadest, fenoftalein (pp), kalium hidroksida 0,1 N, kalium iodida 15 %, natrium tiosulfat 0,1 N, indikator amilum 1 %, n-Heksan, Heksametilen-1,6diisosianat (HMDI). Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah peralatan gelas, oven, hot plate, peralatan ekstraksi soxhlet, timbangan analitik, rotary evaporator, Fourier Transform Infra-Red (FTIR) tipe Cary 630, Gas Chromatography - Mass Spectrometry (GC-MS) tipe GC2010 MSQP 2010S Shimadzu, Scanning Electron Microscope/Energy Dispersive X-ray (SEMEDX) tipe Tabletop Mikroskopi 3000 merk Hitachi, Differential Thermal Analysis (DTA) tipe SDT Q600, Atomic Absorption Spectroscopy (AAS) tipe AA-6300, alat uji tarik tipe Universal Testing Machines, dan modul filtrasi ukuran 500 mL. 20
Fitriani, Khairan, dan Marlina
2.2
Pemanfaatan Minyak Biji ...
menggunakan AAS, analisa gugus fungsi dilakukan dengan menggunakan FTIR, analisa termal dianalisis menggunakan DTA, analisa kekuatan mekanik dianalisis menggunakan metode uji tarik, dan analisa morfologi serta logam-logam berat yang tertahan di membran mengunakan SEMEDX.
Metode Penelitian
2.2.1 Ekstraksi minyak biji alpukat Biji alpukat yang telah dikeringkan, digiling halus hingga berbentuk bubuk, lalu ditimbang sampel sebanyak 50 g. Dimasukkan sampel yang ditimbang ke dalam kertas saring yang dibentuk seperti silinder dimana besarnya sesuai soxlet yang digunakan. Sampel disokletasi dengan menggunakan pelarut n-Heksan selama 2 jam pada suhu 70-80 °C, selanjutnya minyak hasil ekstraksi dievaporasi dengan tujuan untuk memisahkan minyak biji alpukat dari pelarutnya sehingga didapatkan minyak biji alpukatnya saja. (Prasetyowati dkk., 2010).
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1
Ekstraksi Minyak Biji Alpukat
Ekstraksi biji alpukat menggunakan pelarut n-Heksan, pemilihan n-Heksan karena bersifat nonpolar, stabil, titik didih rendah serta selektif dalam melarutkan zat. n-Heksan juga merupakan pelarut yang baik untuk ekstraksi minyak dari biji-bijian. Bila ditinjau dari sifatnya, maka minyak biji alpukat bersifat nonpolar karena memiliki rantai karbon yang cukup panjang, bersifat hidrofobik dan mengandung asam lemak, sementara n-Heksan juga bersifat nonpolar, sehingga minyak biji alpukat dapat terekstrak dengan baik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Prasetyowati dkk. (2010), menyatakan bahwa n-Heksan cocok digunakan untuk mengekstrak biji-bijian dikarenakan tidak reaktif dan inert dalam reaksi organik, serta bersifat sangat nonpolar dan memiliki titik didih yang rendah, yaitu 80 °C. Proses ekstraksi biji alpukat dalam penelitian ini berlangsung pada kondisi operasi yaitu pada suhu 70-80 oC, dilakukan selama 2 jam, dengan berat 50 gram serbuk biji (berat kering) dan volume pelarut nHeksan 200 mL. Berdasarkan perhitungan didapatkan bahwa rendemen minyak yang dihasilkan adalah sebanyak 3%. Hasil minyak yang diperoleh dari penelitian ini relatif rendah. Dengan metode dan pelarut yang sama Pramudono dkk., (2008), dan Prasetyowati dkk., (2010), masing-masing mendapatkan rendemen minyak biji alpukat sebesar 18,11% dan 17,88% dari berat sampel 50 g. Namun, dalam penelitiannya menggunakan sampel yang homogen, berupa
2.2.2 Karakterisasi minyak biji alpukat Minyak biji alpukat hasil ekstraksi dilakukan karakterisasi berupa analisa gugus fungsi dengan FTIR, identifikasi senyawa dengan GC-MS, dan penentuan sifat fisikokimia dengan menentukan bilangan hidroksi, bilangan iod dan berat jenis. 2.2.3 Pembuatan membran poliuretan Membran poliuretan disintesis dengan dengan metode ikat silang. HMDI sebagai sumber isosianat (-NCO) dan minyak biji alpukat sebanyak sebagai sumber hidroksil (-OH). HMDI divariasikan dengan perbandingan yaitu 1,2:5 ; 1,4:5 ; 1,6:5 ; 1,8:5 ; dan 2,0:5 (b/v). larutan dipolimerisasi selama 15 menit. Larutan hasil polimerisasi disebut larutan dope. Larutan tersebut kemudian dicetak di dalam cawan petri, lalu dicuring dalam oven dengan suhu 70 °C selama 48 jam. Setelah lembaran membran terbentuk, maka membran dilepaskan dari cetakan. (Marlina, 2007). 2.2.4 Karakterisasi membran poliuretan Kinerja membran dilihat dari nilai fluks dan faktor rejeksi saat proses filtrasi, penentuan konsentrasi merkuri dianalisis 21
Jurnal Hasil Penelitian Industri, Vol. 29, No. 1 – April 2016, hal. 19-27
biji alpukat dari buah yang sudah matang, sehingga dapat menghasilkan kandungan minyak yang lebih tinggi. Rendemen minyak dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu tempat tumbuhnya, tingkat kematangan biji, jenis dan varietas buah alpukat.
Gambar 2. Spektrum FTIR minyak biji alpukat
3.2.2 Identifikasi senyawa
(a)
Identifikasi kandungan di dalam minyak biji alpukat dengan GC-MS dilakukan untuk meyakinkan bahwa minyak yang diperoleh dari hasil ekstraksi adalah asam lemak yang dapat dimanfaatkan untuk pembuatan membran PU. Luas area puncak kromatogram GC-MS menunjukkan konsentrasi relatif senyawa terhadap cuplikan yang teruapkan dalam pengoperasian GC-MS. Gambar 3 memperlihatkan bahwa kromatogram yang diperoleh menunjukkan adanya 4 puncak. Dari hasil MS (Gambar 4) menunjukkan bahwa minyak biji alpukat hasil ekstraksi mengandung empat senyawa yaitu asam linoleat (35,19 %), asam oleat (28,11 %), asam palmitat (28,05 %) dan asam stearat (7,08 %).
(b)
Gambar 1. Biji buah alpukat (a) minyak biji buah alpukat hasil ekstraksi (b)
3.2
Karakterisasi Minyak Biji Alpukat
3.2.1 Gugus fungsi Gambar 2 menunjukkan bahwa minyak biji alpukat memiliki gugus fungsi -OH yang ditandai dengan serapannya pada bilangan gelombang 3393,819 cm-1. Gugus -OH ini diduga berasal dari asam lemak yang terdapat dalam minyak biji alpukat. Serapan pada bilangan gelombang 2923,072 cm-1 merupakan serapan yang berasal dari gugus metal (-CH3) dari alkana. Adanya serapan pada bilangan gelombang 2853,778 cm-1 yang merupakan serapan yang berasal dari gugus metilen (-CH2-) pada alkana. Sementara, serapan pada bilangan -1 gelombang 1739,616 cm merupakan serapan yang berasal dari gugus C=O ester dari senyawa asam lemak. Adanya serapan gugus -OH, -CH2-, dan C=O membuktikan bahwa gugus ini merupakan gugus-gugus fungsi yang terdapat dalam struktur asam lemak. Hasil FTIR dapat disimpulkan bahwa minyak biji alpukat mengandung asam lemak yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber -OH untuk pembuatan membran poliuretan.
Gambar 3. Hasil kromatogram minyak biji alpukat menggunakan Gas Cromatografy-Mass Spectrometry (GC-MS)
22
Fitriani, Khairan, dan Marlina
Pemanfaatan Minyak Biji ...
A
B
C
D
Gambar 4. Kromatogram Mass Spectrometry (MS) minyak hasil ekstraksi (a) asam palmitat, asam linoleat (b) asam oleat (c), dan asam stearat (d)
3.3
Prasetyowati dkk. (2010) memiliki asam lemak tak jenuh sebesar 79,99 %. Hasil perhitungan bilangan hidroksil (-OH) minyak biji alpukat hasil ekstraksi didapatkan sebesar 2,38 mg/g. Hal ini dibuktikan dengan hasil analisis FTIR yaitu adanya serapan pada bilangan gelombang 3393,819 cm-1 (Gambar 2). Bilangan (-OH) minyak biji alpukat hasil ekstraksi hasil belum sesuai dengan nilai yang ditetapkan oleh ASTM yaitu 162 mg/g. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti yang diungkapkan oleh Santiyo (2005), kondisi biji, perlakuan sampel dan suhu ekstraksi dapat mempengaruhi sifat kimia minyak. Bilangan iod dapat menunjukkan banyaknya ikatan rangkap yang terdapat dalam suatu minyak atau lemak. Bilangan iod menunjukan jumlah g iod yang dapat diikat oleh 100 g minyak atau lemak. Semakin tinggi nilai bilangan iod maka semakin tinggi konsentrasi asam lemak tak jenuh yang terkandung dalam minyak
Analisa Sifat Fisiko-Kimia Minyak
Tabel 1. Sifat fisiko-kimia minyak biji alpukat hasil ekstraksi Minyak hasil No Parameter ekstraksi 1 Berat jenis 0,6872 g/mL 2 Bilangan hidroksil 2,38 mg/g (-OH) 3 Bilangan iod 50,76 g/g
Berat jenis minyak berbanding lurus dengan ketidak jenuhan asam lemak. Semakin tinggi derajat ketidak jenuhan suatu minyak, maka berat jenisnya akan makin besar. Berat jenis minyak hasil ekstraksi lebih kecil dibandingkan dengan hasil penelitian Prasetyowati dkk. (2010) dengan nilai 0,7676 g/mL. Hal ini dikarenakan derajat ketidakjenuhan minyak biji alpukat hasil ekstraksi lebih kecil, terbukti dari komposisi asam lemak tak jenuh hasil GCMS yaitu sebesar 63,3%, masing-masing berasal dari asam linoleat (35,19%) dan asam oleat (28,11%). Sedangkan hasil penelitian 23
Jurnal Hasil Penelitian Industri, Vol. 29, No. 1 – April 2016, hal. 19-27
tersebut. Dari hasil penelitian, diperoleh bilangan iod minyak ekstraksi sebesar 50,76 g/g. 3.4
Membran Poliuretan
Pembuatan membran poliuretan dalam penelitian ini dilakukan dengan trial & error, maka divariasikan komposisi isosianat yaitu dari 1,2; 1,4; 1,6; 1,8 dan 2,0 gram, sebagaimana tercantum di dalam Tabel 2. Gambar 4. Membran PU 1,8:5 (b/v)
Tabel 2. Variasi komposisi isosianat No
Komposisi -NCO:-OH (b/v)
1
1,2:5
2
1,4:5
3
1,6:5
4
1,8:5
5
2,0:5
3.5
Sifat Membran Berbentuk Cair, berbusa, tidak homogen Berwarna coklat, transparan, lengket Berwarna coklat, transparan, homogen Berwarna coklat, transparan, homogen, kuat Berwarna coklat, transparan, keras, rapuh, kaku
Karakterisasi Membran Poliuretan
3.5.1 Fluks dan rejeksi Pengukuran fluks dilakukan selama 60 detik, hal ini dilakukan karena kapasitas modul filtrasi yang digunakan berukuran kecil, yaitu 500 ml dengan luas membran sebesar 0,0025 m2, dan jari-jari masing membran 4,06 cm. pengukuran fluks dilakukan pada tekanan 10 bar. Hasil uji fluks didapatkan nilai sebesar 88 L/m2.jam.bar. Pengukuran rejeksi membran dilakukan dengan menggunakan umpan berupa air sumur yang tercemar merkuri. Untuk pengukuran rejeksi, air sumur sebelum dan sesudah filtrasi diukur kadar merkurinya. Selektivitas membran dinyatakan dalam koefisien rejeksi, yaitu kemampuan membran meloloskan spesi tertentu dan menahan spesi yang lain. Hasil pengujian didapatkan koefisien rejeksi sebesar 98,87%. Jika dilihat dari proses filtrasi dengan menggunakan tekanan 10 bar, maka membran PU hasil sintesis dapat digolongkan ke dalam jenis membran nanofiltrasi. Sesuai dengan yang dikatakan oleh Barakat dan Mirl (2011); Feng dkk. (2014); Ren dan Rens (2011), menyatakan bahwa membran nanofiltrasi beroperasi pada tekanan antara 5-35 bar sehingga dapat memisahkan air dari padatan terlarut, bakteri, virus, ion multivalensi seperti Ca2+, Mg2+ , Hg2+, dan lain-lain.
Tabel 2 menunjukkan bahwa konsentrasi isosianat <1,6 gram menghasilkan larutan dope yang cair dan tidak dapat dibentuk menjadi membran. Hal ini disebabkan karena konsentrasi isosianat yang sedikit sehingga tidak terdistribusi secara sempurna untuk proses ikat silang dengan gugus -OH. Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan Mehdi dkk. (2012), membutuhkan 1,5 g isosianat untuk direaksikan dengan tetrametilen glikol untuk membuat membran PU. Jika menggunakan komposisi isosianat >1,8 gram, maka menghasilkan membran yang keras, rapuh dan mudah sobek. Hal ini disebabkan karena hard segment yang terbentuk dari membran lebih banyak dibandingkan dengan bagian soft segment (Marlina, 2007). Dari hasil trial & error maka didapatkan hasil optimum pembuatan membran PU yaitu pada komposisi isosianat 1,8:5 (b/v). Membran tersebut selanjutnya akan dilakukan karakterisasi. 24
Fitriani, Khairan, dan Marlina
Pemanfaatan Minyak Biji ...
3.5.2 Gugus Fungsi
3.5.3 Termal
Gambar 5 menunjukkan spektrum perbandingan FTIR minyak, HMDI dan membran PU. Gambar tersebut menunjukkan bahwa hilangnya gugus -NCO setelah terbentuknya membran PU yang ditandai dengan tidak munculnya serapan pada daerah 2270 cm-1. Sebagaimana hasil penelitian Ameri dkk. (2015), bahwa tidak ada puncak pada daerah 2270 cm-1 menunjukkan penyelesaian reaksi secara sempurna. Hal ini membuktikan bahwa isosianat telah habis bereaksi melalui ikatan silang dengan gugus hidroksil.
Gambar 6 menunjukkan termogram DTA membran PU memiliki nilai Tg 52 oC. Tg menyatakan suhu dimana suatu polimer yang mengalami perubahan sifat fisik dari bentuk kaku menjadi bentuk elastis. Gambar 6 juga memperlihatkan munculnya puncak endotermik pada suhu 10 – 50 oC, puncak ini diduga terbentuknya Kristal didaerah soft segment (Mehdi dkk., 2012). Membran PU memiliki titik leleh pada suhu 359,33oC dan Td pada suhu 500oC.
Gambar 6. Termogram DTA membran PU
3.5.4 Uji Kuat Tarik
Gambar 5. FTIR minyak, HMDI dan membran PU
Kuat tarik dipengaruhi oleh perpanjangan saat putus polimer poliuretan yang berasal dari daerah soft segment, yaitu berupa rantai panjang yang berasal dari asam lemak pada minyak. soft segment dapat menurunkan nilai kuat tarik dan meningkatkan elongasi. Hasil pengujian didapatkan nilai kuat tarik sebesar 1,31 kgf/mm2, dengan nilai elongasi 41,34 % dan nilai modulus young sebesar 0,031 kgf/mm2 sebagaimana terlihat pada Gambar 7.
Uretan yang terbentuk ditandai dengan serapan khasnya yaitu adanya regangan vibrasi N-H uretan pada panjang gelombang 3314,996 cm-1. Hasil ini diperkuat dengan munculnya serapan C-N-H di 1526,268 cm-1. Gultekin dkk. (2009), menyatakan bahwa spektrum khas uretan menunjukkan adanya pita serapan untuk CN-H di 1533 cm-1. Selain itu, adanya uretan eter, dan C-O-C eter ditandai dengan munculnya serapan 1134,562 cm-1 dan 1038,999 cm-1. Mehdi dkk. (2012), menyatakan bahwa munculnya serapan kelompok karbonil dalam poliuretan pada 1699,965 cm-1 dapat memberikan informasi tentang pemisahan fasa yang dihasilkan dari soft segmen dan hard segmen. Data FTIR menunjukkan bahwa sintesis minyak dengan HMDI telah terbentuk menjadi membran PU.
3.5.5 SEM-EDX Gambar 8 memperlihatkan morfologi membran dengan pembesaran 1000 kali, yang diambil secara cross sectional. Dari gambar terlihat bahwa membran PU memiliki permukaan yang kurang rata (tidak homogen). Hal ini dikarenakan proses pencetakan membran dilakukan secara manual dan waktu polimerisasi hanya 25
Jurnal Hasil Penelitian Industri, Vol. 29, No. 1 – April 2016, hal. 19-27
Tabel 3. Komponen membran PU hasil EDX
15 menit, sehingga ketebalan permukaan yang terbentuk tidak sama, juga terdapat lubang yang menandakan larutan belum larut sempurna pada saat pembuatan larutan dope. Cahya (2012), melaporkan bahwa jika larutan dope tidak larut sempurna (tidak homogen) maka morfologi membran akan terlihat tidak merata. Gambar 8 memperlihatkan perbedaan membran sebelum dan sesudah filtrasi. Membran sesudah filtrasi memperlihatkan pori-pori yang lebih banyak dan lebih besar, hal ini dikarenakan adanya faktor tekanan pada saat proses filtrasi, sehingga mempengaruhi permukaan membran.
Sebelum filtrasi Komponen % berat Nitrogen 42,184 Karbon 44,393 Oksigen 13,422
4.
Sesudah filtrasi Komponen % berat Karbon 44,262 Nitrogen 43,170 Oksigen 9,725 Magnesium 0,340 Silikon 0,016 Phosfor 0,144 Sulfur 0,060 Iron 0,337 Copper 0,131 Cadmium 0,305 Merkuri 0,648
KESIMPULAN
Membran poliuretan dapat disintesis menggunakan bahan baku polimer alami (natural polymer) dari minyak biji alpukat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa membran PU memiliki karakteristik membran sebagai penyaring air. Hasil EDX menunjukkan membran PU mampu menyaring beberapa logam berat yang ada di dalam air sumur.
Gambar 7. Kurva uji tarik
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu Dr. Ir. Marlina, M.Si dan Bapak Dr. rer. nat Khairan, M.Si yang telah berperan dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan artikel ini. a. Sebelum filtrasi
b. sesudah filtrasi
DAFTAR PUSTAKA
Gambar 8. Morfologi membran PU Ambashta., dan Mill, S. 2012. Membrane Purification in RadioactiveWaste Management. Journal Environ Radioct. 105:76-84. Ameri, E., Sadeghi, M., Zarei N., dan Pournaghshband, A. 2015. Enhancement of the Gas Separation Properties of Polyurethane Membranes by Alumina Nanoparticles. Journal of Membrane Science. 479:11-19. Barakat, and Mirl, A. 2011. New Trends in Removing Heavy Metals from Industrial Wastewater. Arabian Journal of Chemistry. 4:361-371.
Hasil EDX (Tabel 3) memperlihatkan komponen membran PU sebelum dan sesudah filtrasi. Membran PU sebelum filtrasi hanya terdapat komponen N,C, dan O saja. hal ini jelas bahwa N,C,O adalah komponen utama penyusun membran PU. Setelah dilakukan filtrasi menunjukkan bahwa membran PU mampu menyaring beberapa logam berat yang terdapat di dalam air sumur, seperti yang terlihat pada Tabel 3.
26
Fitriani, Khairan, dan Marlina
Pemanfaatan Minyak Biji ...
Cahya, E. M. 2012. Pembuatan dan Karakterisasi Membran Nanofiltrasi untuk Pengolahan Air. Tesis. Universitas Diponegero, Semarang. Charcosset, C., dan Keld, M. 2012. Preparation of Emulsion dan Particles by Membrane Emulsification. Journal for the food. 92: 241-249. Feng, C. X., Shavert, U,L., dan Jenz, G. 2014. Studies on a Nanofiltration Membrane Prepared by Cross-linking of Polyethyleneimine on Polyacrylonitrile Substrate. Journal of Membrane Science. 451:103-110. Gultekin, G., Kaet, I., dan Amer, R. 2009. Fatte Acid Based Polyurethane Films for Wound Dressing Application. Journal Mater Science. 20: 421-431. Hassanajil, S.M., Khademi, M., dan Keshavarz S.P. 2014. In fluence of Various Types of Silica Anoparticles on Permeation Properties of Polyurethane/Silica mixed Matrix Membranes. Journal of Membrane Science. 453: 369-383. Liu, C., Xeil, J.U., dan Will, K. 2012. Fouling Characteristics of Polyurethane-Based Hollow Fiber Membrane in Microfiltration Process. Desalination. 298:59–66. Ma, B., dan Zeul, M.L. 2014. Toward Highly Blood Compatible Hemodialysis Membranes Via Blending With Heparin-Mimicking Polyurethane. Study in Vitro and in Vivo. Journal of Membrane Science. 470: 90 101. Marlina. 2007. Pemanfaatan Asam Lemak Bebas Teroksidasi dari Minyak Jarak untuk Sintesis Membran Poluretan. Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan. 6: 6770.
Marlina, 2010. Sintesis Membran Poliuretan dari Keragenan dan 2,4 Toylulena diisosianat. Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan. 7(3):138-148. Mehdi, M.t., Sadeghi, M., Pourafshari, M.C., dan Khosravi, A. 2012. Gas Separation Properties of Poly (Ethylene Glycol)/ Oly(Tetramethylene Glycol) Based Polyurethane Membranes. Journal of Membrane Science. 45: 415–416, 469 477. Mokhtar., dan Will, L. 2015. Membrane Distillation Technology for Treatment of Wastewater from Rubber Industry in Malaysia. Advanced Membrane Technology Research Centre (AMTEC). 123: 54-57. Morteza, S., Ali, M.S., Barikani, M., dan Pourafshari, M.C. 2011. Gas Separation Properties of Polyether-Based Polyurethane–Silica Nanocomposite Membranes. Journal of Membrane Science. 376: 188–195. Pramudono, B., Ardi, S.W., dan Rustyawan, W. 2008. Ekstraksi Kontinyu dengan Simulasi Batch Tiga Tahap Aliran Lawan Arah: Pengambilan Minyak Biji Alpukat Menggunakan Pelarut n-hexane dan Iso Propil Alkohol. Reaktor. 12: 37-41. Prasetyowati., Pratiwi, R., dan Tris, F. 2010 Pengambilan Minyak Biji Alpukat dengan Metode Ekstraksi. Jurnal Teknik Kimia. 2: 19-20. Ren, J. R., dan Rens, M.K. 2011. Preparation of Polymeric Membranes. Membrane and Desalination. 24: 47-100. Santiyo. 2005 Pengaruh Kondisi Biji, Suhu dan Lama pengempaan terhadap Rendemen dan Sifat Kimia Minyak Biji Jarak. Bogor.
27
Jurnal Hasil Penelitian Industri, Vol. 29, No. 1 – April 2016, hal. 28-32
EKSTRAKSI DAN KARAKTERISASI MINYAK DARI LIMBAH PADAT PABRIK MINYAK GORENG KELAPA SAWIT (Extraction and Characterization of Oil from Solid Waste of Palm Oil Refinery) Eka Nuryanto1,*, Justaman A. Karo Karo2, Eddyanto3 dan Hasrul Abdi Hasibuan1 1)
Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Jl. B. Katamso No. 51, Medan, Indonesia Balai Riset dan Standardisasi Industri Medan, Jl. Sisingamangaraja No. 24, Medan, Indonesia 3) Jurusan Kimia, Universitas Negeri Medan, Jl. Willem Iskandar PO Box 1589, Medan, Indonesia *Email :
[email protected] 2)
Diterima : 12 Desember 2015
Riwayat Perlakuan Artikel: Revisi : 02 Maret 2016
Disetujui: 05 Maret 2016
ABSTRAK. Limbah padat terbanyak yang dihasilkan Pabrik Minyak Goreng Kelapa Sawit (PMGKS) adalah tanah pemucat bekas atau Spent Bleaching Earth (SBE) dengan jumlah sekitar 1,5-3,0% dari Crude Palm Oil (CPO) yang diolah. Umumnya pemanfaatan SBE adalah untuk landfill. Pada penelitian ini dilakukan ekstraksi minyak dari SBE menggunakan pelarut heksan dengan metode refluks dan karakterisasi minyaknya. Variabel pada penelitian ini adalah perbandingan antara jumlah SBE:heksan (b/v), yaitu 1:2, 1:3, 1:4, 1:6, dan 1:8 dan suhu refluks, yaitu suhu kamar, 50, dan 70 oC. Pada ekstraksi minyak dengan suhu refluks 50 oC di semua perbandingan SBE:heksan (b/v), jumlah minyak yang diperoleh di bawah 31,11%. Sementara minyak yang paling banyak diperoleh adalah pada suhu refluks 70 oC dengan perbandingan SBE:heksan (1:8 (b/v)) yang mencapai 34,58%. Karakteristik minyak yang diperoleh mengandung Asam Lemak Bebas (ALB) sebanyak 33,62%, kandungan air 6,6%, kadar kotoran 2,8%, bilangan iod 40,5 mg I2/100 g, dan bilangan peroksida 104,92 meq O2/kg. Dengan karakteristik minyak seperti ini, maka minyak yang dihasilkan tidak dapat dikategorikan sebagai CPO maupun minyak goreng. Namun demikian masih memungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan sabun, grease, pelumas, biodiesel dan produk oleokimia lainnya. Kata kunci: Ekstraksi, minyak sawit mentah, oleokimia, dan spent bleaching earth. ABTRACT. The most of solid waste from palm oil refinery is Spent Bleaching Earth (SBE) with amount of 1.5-3.0 from Crude Palm Oil (CPO) are processed. Generally utilizing SBE is to landfills. This research will be extraction of oil from the SBE with reflux method using hexane and its characterization. In this research, the variable is a comparison between SBE:hexane (w/v), i.e. 1:2, 1: 3, 1: 4, 1: 6 and 1: 8, and reflux temperature at room temperature, 50, and 70 °C. On the extraction of oil with reflux temperature 50 oC at all comparison SBE:hexane (w/v), the amount of oil which is obtained under 31,11%. While most oil is obtained at a reflux temperature of 70 oC with a comparison of SBE:hexane (1: 8 (w/v)) which reached 34.58%. Characteristic of oil contains free fatty acids 33,62%, moisture content 6.6%, impuirities 2.8%, iodine number 40.5 mg I2/100 g, and the number of peroxides 104,92 meq O2/kg. The characteristics of this kind of oil, cannot be categorized as CPO and edible oil. However it is still possible to be utilized as raw material for the soap, grease, lubricants, biodiesel and other oleochemicals products. Keywords: Extraction, crude palm oil, oleochemical, and spent bleaching earth.
1.
ditambahkan pada proses pemucatan minyak sawit mentah/Crude Palm Oil (CPO). Pada proses ini akan diserap pigmen-pigmen/ karotenoid yang terdapat di dalam CPO. Di samping karotenoid, sebagian kecil CPO juga akan terserap oleh FBE. Jumlah SBE yang dihasilkan sekitar 1,5-3,0% dari CPO yang diolah (Gibon, dkk., 2007).
PENDAHULUAN
Limbah padat terbanyak yang dihasilkan Pabrik Minyak Goreng Kelapa Sawit (PMGKS) adalah tanah pemucat bekas atau blotong dan sering disebut juga Spent Bleaching Earth (SBE). SBE berasal dari Fresh Bleaching Earth (FBE) yang 28
Eka Nuryanto, dkk.
Ekstraksi dan Karakterisasi ...
Pada tahun 2011, jumlah CPO yang diolah menjadi minyak goreng adalah 5 juta ton (Kemenperin, 2011), sehingga jumlah SBE yang dihasilkan mencapai 150.000 ton. Jumlah yang sangat banyak dan apabila tidak dikelola dengan baik justru akan menjadi sumber pencemar lingkungan. Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 18 tahun 1999 dalam Tabel 2, Daftar Limbah Spesifik, Kode Limbah D-233, Jenis Industri Pengolahan Lemak Hewan dan Nabati dan Derivatnya, SBE dikategorikan sebagai limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Alasan yang menjadi pertimbangan dalam PP tersebut adalah karena bahan tersebut mengandung residu minyak dan asam. Di dalam PP ini menganjurkan sebaiknya pengolahan limbah B3 tersebut dilakukan oleh industri yang menghasilkan limbah itu sendiri. Pada peraturan ini juga dikemukakan bahwa limbah ini dapat digunakan namun harus dilakukan sesuai dengan aturan yang ada. Aturan upaya pemanfaatan limbah B3 ini dikenal dengan 3R (Recycle, Reuse, dan Recovery). Sampai saat ini umumnya pemanfaatan SBE adalah untuk menimbun tanah lembah atau landfill (Prokovop and Mechenov, 2013). Suhartini dkk., 2011, memanfaatkan SBE ini untuk bahan bakar dalam bentuk briket. Menurut Kheang dkk., (2006b), minyak yang terdapat di dalam SBE sekitar 20 – 30 %. Jumlah yang sangat banyak jika melihat jumlah SBE yang dihasilkan oleh PMGKS. Apabila minyak yang terdapat di dalam SBE ini dapat diekstrak, maka akan diperoleh sekitar 30-45 ribu ton minyak per tahun. Untuk dapat memanfaatkan minyak yang diperoleh dari ekstraksi SBE, maka perlu diketahui karakteristik minyak tersebut. Beberapa peneliti telah melakukan penelitian pemanfatan minyak hasil ekstraksi dari SBE ini untuk biodiesel (Kheang dkk., 2006a, Fahmil dkk., 2014, Pourvosoghi dkk., 2013, dan Ramli dkk., 2011), lubricating grease (Abdulbari dkk., 2011), stabiliser (Toliwal and Patel, 2009), dan produk oleokimia lainnya (Kheang dkk., 2006b). SBE yang telah diekstraksi minyaknya dapat
kembali diregenerasi seperti dilaporkan oleh Wambu dkk.,2009 dan Loh dkk., 2013. Pada penelitian ini dilakukan ekstraksi minyak dari SBE menggunakan pelarut heksan dengan metode refluks dan karakterisasi minyak yang diperoleh dari SBE tersebut. Sehingga dapat diketahui potensi pemanfaatan minyak tersebut dengan mempertimbangkan karakteristiknya. 2.
METODOLOGI
2.1
Bahan dan Alat
Bahan baku yang digunakan di dalam penelitian ini adalah Spent Bleaching Earth (SBE) yang diperoleh dari salah satu PMGKS yang ada di Sumatera Utara. Karakterisasi SBE yang digunakan adalah kandungan minyak 34,76%, kadar air 4,84%, dan kadar hilang pijar SBE 53,28%. Sementara itu, kandungan logam-logam Na, Ca, Mg, Fe, Mn, dan Zn masing-masing di bawah 1%, sedangkan untuk K 1,76% dan Al 2,61%. Kandungan terbesar di dalam SBE adalah silikat (SiO2) yang mencapai 49,70%. Bahan-bahan lain yang digunakan adalah bahan-bahan kimia seperti heksan teknis yang digunakan untuk mengekstraksi minyak dari SBE, natrium hidroksida, isopropanol, larutan Wijs, Kalium Iodida, sikloheksan, kanji, tiosulfat, fenolftalein, petroleum eter, kalium hidroksida, asam asetat glasial, dan isooktan dari Merck dengan grade teknis dan pro analysa untuk karakterisasi minyak hasil ektraksi dari SBE. Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah Gas Chromatography (GC) untuk menentukan komposisi asam lemak yang ada di dalam minyak hasil ekstraksi dan peralatan gelas untuk proses refluks dan analisis karakteristik minyak. 2.2
Metode Penelitian
Ekstraksi minyak dari SBE menggunakan pelarut heksan teknis dengan metode refluks (Kheang dkk., 2006a). Pada penelitian ini variabelnya adalah 29
Jurnal Hasil Penelitian Industri, Vol. 29, No. 1 – April 2016, hal. 28-32
3.
Semakin tinggi suhu refluks memperlihatkan bahwa minyak yang terekstrak juga semakin banyak, hal ini disebabkan pada suhu yang lebih tinggi kelarutan minyak di dalam heksan akan semakin besar. Minyak yang diperoleh hasil ekstraksi dari SBE pada perbandingan SBE:heksan (1:8 b/v) dan suhu refluks 70 oC ditentukan karakteristiknya untuk melihat potensi pemanfaatannya.
Persen (%) minyak
perbandingan antara jumlah SBE : jumlah heksan (b/v), yaitu 1:2, 1:3, 1:4, 1:6, dan 1:8 dan suhu refluks adalah suhu kamar, 50, dan 70 oC. Tujuan dari proses ini adalah memperoleh sebanyak mungkin minyak yang berasal dari SBE. Minyak yang diperoleh hasil ekstraksi ini kemudian ditentukan sifat fisik dan kimianya. Parameter yang dianalisis adalah kandungan air (AOCS Ca 2c-25), Asam Lemak Bebas (AOCS Ca 5a-40), bilangan peroksida (AOCS Cd 8-53), bilangan iod (AOCS Cd 1b-87), viskositas, densitas, dan komposisi asam lemak (AOCS, 2011). Penentuan komposisi asam lemak dilakukan dengan alat Gas Chromatography (GC) merk Shimadzu GC 2010 dengan kondisi operasi adalah suhu 260 oC, carrier gas He, column name DB-23, column length 30 m, dan detektor Flame Ionization Detector (FID).
Perbandingan SBE:heksan (b/v)
Gambar 1. Persentasi minyak yang diperoleh dari SBE pada variasi perbandingan SBE:heksan dan suhu refluks
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemanfaatan minyak hasil ekstraksi dari SBE akan sangat ditentukan dari karakteristik minyak tersebut, karena diduga minyak hasil ekstraksi akan berbeda karakteristiknya dengan minyak sawit mentah. Karakteristik minyak yang diperoleh hasil ekstraksi dari SBE pada perbandingan SBE:heksan (1:8 b/v) dan suhu refluks 70 oC refluks disajikan pada Tabel 1 di bawah ini.
Ekstraksi minyak yang terdapat di dalam SBE dengan cara refluks menggunakan variasi jumlah SBE dan pelarut heksan (b/v) disajikan pada Gambar 1. Pada Gambar tersebut terlihat bahwa ekstraksi minyak yang terdapat di dalam SBE menggunakan heksan teknis dengan metode refluks ternyata untuk refluks pada suhu 50 oC pada semua perbandingan SBE:heksan (b/v), jumlah minyak yang diperoleh di bawah 31,11%. Sementara untuk refluks pada suhu kamar dan 70 oC, jumlah minyak yang diperoleh semakin banyak seiring dengan meningkatnya jumlah heksan yang digunakan. Hal ini dikarenakan semakin banyak jumlah pelarut (heksan) maka akan semakin banyak minyak yang larut di dalam pelarut tersebut. Minyak yang paling banyak diperoleh pada perlakuan refluks pada suhu kamar adalah pada perbandingan SBE : heksan (1:8 b/v) dengan jumlah 33,96%. Sedangkan refluks yang dilakukan pada suhu 70 oC, minyak yang diperoleh paling banyak adalah 34,58% juga pada perbandingan SBE:heksan (1:8 b/v).
Tabel 1. Karakteristik minyak hasil ekstraksi dari SBE pada perbandingan SBE:heksan (1:8) dan suhu refluks 70 oC No
30
Parameter
Hasil
1
Asam Lemak Bebas (%)
33,62
2
Bil. Iod (mg I2/100g)
40,5
3
Bil. Peroksida (meq O2/kg)
4
Kadar Air (%)
5
Kadar Kotoran (%)
104,92 6,6 2,8
o
6
Viskositas (mPa, 40,01 C)
35,262
7
Densitas (g/cm3, 40,01 oC)
0,8967
Eka Nuryanto, dkk.
Ekstraksi dan Karakterisasi ...
Pada Tabel 1 terlihat bahwa minyak yang diperoleh dari ekstraksi SBE mengandung ALB sebanyak 33,62%, hal ini menunjukkan telah banyak terjadi hidrolisis terhadap minyak tersebut. Banyaknya hidrolisis yang terjadi ini dapat dimengerti dengan kandungan air 6,6% dan kadar kotoran 2,8%. Sedangkan bilangan iod 40,5 mg I2/100 g sampel dan bilangan peroksida 104,92 meq O2/kg. Tingginya bilangan peroksida menunjukkan banyaknya oksidasi yang terjadi terhadap minyak tersebut. Sementara itu spesifikasi CPO menurut SNI (2006), untuk kadar air dan kotoran maksimal 0,5% fraksi masa, kandungan Asam Lemak Bebas (ALB) sebagai asam palmitat maksimal 0,5% fraksi masa, dan bilangan iodium 50-55 g I2/100 g. Dengan demikian minyak yang diperoleh hasil ekstraksi dari SBE tidak dapat dikategorikan sebagai CPO begitu juga dengan pemanfaatannya. Sedangkan jika dibandingkan dengan karakteristik minyak goreng kelapa sawit yang menurut SNI (2013) adalah kadar air dan bahan mudah menguap maksimal 0,15% b/b, bilangan asam maksimal 0,6 mg KOH/g setara, dan bilangan peroksida maksimal 10 meq O2/kg, maka minyak yang diperoleh hasil ekstraksi dari SBE tidak dapat dikategorikan sebagai minyak goreng. Parameter bilangan iod dari minyak hasil ekstraksi adalah 40,5 mg I2/g sampel, hal ini menunjukkan masih banyaknya komponen asam lemak yang mempunyai ikatan rangkap, seperti asam oleat, asam linoleat, dan asam linolenat. Analisis menggunakan Gas Kromatografi menunjukkan komposisi asam lemak yang terdapat di dalam minyak sawit tersebut. Kromatogram hasil analisis Gas Chromatography (GC) terhadap minyak yang diperoleh dari ekstraksi SBE untuk melihat komposisi asam lemak disajikan pada Gambar 2. Pada Gambar 2 terlihat bahwa puncak tertinggi diberikan oleh C16 (asam palmitat) kemudian C18:1 (asam oleat). Secara keseluruhan komposisi asam lemak
yang terdapat di dalam minyak hasil ekstraksi dari SBE disajikan pada Tabel 2.
Gambar 2. Kromatogram hasil analisis GC terhadap minyak hasil ekstraksi dari SBE Tabel. 2. Komposisi asam lemak yang terdapat di dalam minyak hasil ekstraksi dari SBE No
Asam Lemak
Jumlah(%)
1
Asam laurat (C12:0)
0,15
2
Asam miristat (C 14:0)
0,95
3
Asam palmitat (C16:0)
47,61
4
Asam stearat (C18:0)
5,10
5
Asam oleat (C18:1)
34,32
6
Asam linoleat (C18:2)
7,15
7
Asam linolenat (C18:3)
0,33
Asam palmitat (C16) merupakan jenis asam lemak yang paling banyak terdapat di dalam minyak hasil ekstraksi dari SBE, yaitu mencapai 47,61%. Sedangkan asam oleat (C18:1) merupakan terbanyak kedua yang jumlahnya mencapai 34,32%. Jika dilihat dari jenis ikatannya, maka jumlah asam lemak jenuh mencapai 53,81% dan asam lemak tak jenuh 41,80%, suatu komposisi yang relatif berimbang. Minyak yang diperoleh hasil ekstraksi dari SBE dengan karakteristik seperti disajikan di atas, menunjukkan bahwa minyak tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai minyak sawit mentah/CPO maupun minyak goreng. Dengan demikian, minyak tersebut tidak dapat digunakan untuk produk pangan seperti minyak goreng, margarin maupun produk pangan lainnya. Namun 31
Jurnal Hasil Penelitian Industri, Vol. 29, No. 1 – April 2016, hal. 28-32
Kheang, L.S., Foon, C.S., May, C.Y., and Ngan, M.A. 2006b. A Study of Residual Oils Recovered from Spent Bleaching Earth: Their Characteristics and Applications. American Journal of Applied Sciences. 3(10): 2063-2067. Loh, S.K., James, S., Ngatiman, M., Cheong, K.Y., Choo, Y.M., and Lim, W.S. 2013. Enhancement of Palm Oil Refinery Waste – Spent Bleaching Earth (SBE) into Bio organic Fertilizer and their Effects on Crop Biomass Growth. Industrial Crops and Products. 49: 775-781. Pourvosoghi, N., Nikbakht, A.M., and Jafarmadar, S. 2013. An opitimized process for biodiesel production from hight FFA spent bleaching earth. International Journal Engineering. 26(12). Prokopov, T. And Mechenov, G. 2013. Utilization of spent bleaching earth from vegetable oil processing. Ukraina Food Journal. 2(4). Ramli, M., Ling, O.S., Johari, A., and Mohamed, M. 2011. In Situ Biodiesel Production from Residual Oil Recovered from Spent Bleaching Earth. Bulletin of Chemical Reaction Engineering & Catalysis. 6(1): 53–57. Standar Nasional Indonesia. 2013. Minyak Goreng. SNI-3741:2013. Badan Standardisasi Nasional, Jakarta. Standar Nasional Indonesia. 2006. Minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm Oil). SNI-012901:2006. Badan Standardisasi Nasional, Jakarta. Standar Nasional Indonesia. 1992. Mutu dan cara uji tanah pemucat. SNI-15-3039:1992, Badan Standardisasi Nasional, Jakarta. Suhartini, S., Hidayat, N., and Wijaya, S. 2011. Physical properties characterization of fuel briquette made from spent bleaching earth. Biomass and Bioenergy. 30: 1 - 6. Toliwal, S.D., and Patel, K. 2009. Utilization Of By-Products Of Oil Processing Industries For PVC Stabilizers. Journal of Scientific & Industrial Research. 68: 229-234. Wambu, E.W., Muthakia, G.K., Wa Thiongo, K.J., and Shiundu, P.M. 2009. Regeneration of Spent Bleaching Earth and its Adsorption of Copper (II) Ions from Aqueous Solutions. Applied Clay Science. 46: 176– 180.
demikian, minyak sawit dengan kualitas ini masih dapat digunakan untuk produk-produk non pangan seperti sabun, grease, pelumas, biodiesel dan produk oleokimia lainnya. 4.
KESIMPULAN
Proses ekstraksi minyak dari Spent Bleaching Earth (SBE) dengan metode refluks diperoleh minyak paling banyak pada suhu refluks 70 oC dengan perbandingan SBE:heksan (1:8) yang mencapai 34,58%. Karakteristik minyak yang diperoleh dari ekstraksi SBE mengandung ALB sebanyak 33,62%, kandungan air 6,6%, kadar kotoran 2,8%, bilangan iod 40,5 mg I2/100 g, dan bilangan peroksida 104,92 meq O2/kg. Dengan karakteristik minyak seperti ini, maka minyak yang diperoleh tidak dapat digunakan untuk produk pangan tetapi masih dapat dimanfaatkan untuk produk-produk oleokimia. DAFTAR PUSTAKA Abdulbari, H.A., Rosli, M.Y., Abdurrahman, H.N., and Nizam, M.K. 2011. Lubricating Grease From Spent Bleaching Earth And Waste Cooking Oil: Tribology Properties. International Journal of the Physical Sciences. 6(20): 4695-4699. AOCS. 2011. Official Methods and Recommeded Practices of the AOCS. Sixth Edition, AOCS. Urbana, Illinois USA. Gibon, V., Greyt, W.D., and Kellens, M. 2007. Palm Oil Refining. European Journal of Lipid Science and Technology. 109(4): 315-335. Fahmil, QRM, A.S., Gumbira-Sa’id, E., and Suryani, A. 2014. Biodiesel production from residual palm oil contained in spent bleaching earth by in situ transesterification. Environment Asia. 7(2): 30-35. Kementrian Perindustrian Republik Indonesia. 2011. Industri Kelapa Sawit Indonesia. Mitra Nusantara, Jakarta. Kheang, L.S., May, C.Y., Foon, C.S., and Ngan, M.A. 2006a. Recovery And Conversion Of Palm Olein-Derived Used Frying Oil To Methyl Esters For Biodiesel. Journal of Oil Palm Research. 18: 247-252.
32
Jurnal Hasil Penelitian Industri, Vol. 29, No. 1 – April 2016, hal. 33-39
POTENSI DAN PEMANFAATAN HASIL SAMPING INDUSTRI DAUN BELUNTAS (Potential and Utilization of Industry By-Product Beluntas Leaves) Yenni Yusriani1,*, Sharli Asmairecen1, Fitriana Djafar2, dan Meuthia Busthan2 1)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Aceh, Jl. Panglima Nyak Makam No. 27, Banda Aceh, Indonesia Balai Riset dan Standarisasi Industri Banda Aceh, Jl.Cut Nyak Dhien, No. 377, Banda Aceh, Indonesia *Email:
[email protected] 2)
Diterima : 27 Januari 2016
Riwayat Perlakuan Artikel: Revisi : 05 Maret 2016
Disetujui: 09 Maret 2016
ABSTRAK. Daun beluntas (Pluchea indica L. Less) merupakan salah satu hasil samping industri pertanian yang berkhasiat sebagai penambah nafsu makan dan membantu pencernaan sehingga diharapkan dapat memacu pertumbuhan. Sejak lama tanaman Beluntas dipercaya dapat mengurangi bau badan, menurunkan panas serta manfaat lainnya. Daun Beluntas dapat digunakan sebagai sumber antioksidan, anti-stress, anti bakteri, anti kanker, penurun kolesterol, penurun demam, penghilang bau amis. Hal ini disebabkan Beluntas mengandung asam amino (leusin, isoleusin, triptofan, treonin), alkaloid, flavonoida, minyak atsiri, asam chlorogenik, natrium, kalium, aluminium, kalsium, magnesium, fosfor, besi, vitamin A dan C. Tulisan ini merupakan review dari beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan tentang potensi dan pemanfaatan hasil samping industri daun beluntas. Kata kunci : Daun Beluntas, hasil samping industri, pemanfaatan, dan potensi. ABSTRACT. Beluntas leaf (Pluchea indica L. Less) is one byproduct of the agriculture industry is known as effective agents for efficacious as an appetite enhancer and aid digestion which is expected to spur growth. Since the old times, as plant Beluntas is considered have ability believed to reduce body odor, reduce heat and other benefits. Beluntas leaves can be used as a source of antioxidants, anti-stress, antibacterial, anti-cancer, lowering cholesterol, lowering fever, deodorizing fishy. This is due to Beluntas containing amino acid (leucine, isoleucine, tryptophan, threonine), alkaloids, flavonoids, essential oils, chlorogenic acid, sodium, potassium, aluminum, calcium, magnesium, phosphorus, iron, vitamins A and C. This paper is a revision of some of the results of research that has been done on the potential and utilization of industrial by products Beluntas leaves. Keywords: Beluntas leaf, industrial by-products, utilization, and potential.
1.
yang telah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia adalah daun beluntas (Pluchea indica L). Tanaman ini sering digunakan sebagai tanaman pagar. Masyarakat awam biasanya menggunakan daun beluntas sebagai penurun demam (antipiretik), meningkatkan nafsu makan (stomakik), peluruh keringat (diaforetik), dan penyegar (Dalimartha, 1999). Daun beluntas merupakan salah satu tanaman herba, mengandung fenol (Andarwulan et al., 2008), flavonoid (Van Valkenburg dan Bunyapraphatsara, 2001; Widyawati, 2004) dan vitamin C (Traithip, 2005). Berdasarkan kandungan bahan aktif yang dimiliki oleh
PENDAHULUAN
Industri pertanian menghasilkan keluaran berupa hasil utama dan hasil samping. Daun beluntas merupakan salah satu hasil samping industri pertanian yang potensial untuk dimanfaatkan sebagai obat dengan menggunakan seluruh bagian tanamannya baik dalam bentuk segar maupun kering. Di Indonesia, penggunaan hasil samping industri pertanian harus memperhatikan berbagai hal antara lain; penggunaan tersebut tidak berkompetisi dengan manusia, selain itu murah dan mudah. Salah satu hasil samping industri 33
Jurnal Hasil Penelitian Industri, Vol. 29, No. 1 – April 2016, hal. 33-39
daun beluntas, masih banyak potensi farmakologis daun beluntas yang belum banyak diketahui salah satunya adalah sebagai penurun kolesterol. Pada makalah ini akan diuraikan potensi dan pemanfaatan hasil samping industri daun beluntas. 2.
8 mm. Tulang daun menyirip, pada permukaan atas clan bawah daun tidak licin, berambut cukup rapat.
DESKRIPSI DAUN BELUNTAS
Daun beluntas merupakan tanaman perdu yang tumbuh tegak, banyak terdapat di pantai utara dan berkembang biak secara vegetatif. Tanaman beluntas dapat tumbuh liar di hutan, ladang dan di daerah yang mendapatkan sinar matahari atau sedikit teduh dengan ketinggian 800 meter di atas permukaan laut (Achyad dan Rasyidah, 2014). Tanaman beluntas terdapat di Indonesia dengan nama yang berbeda - beda seperti Beluntas (Sumatera dan Madura), Luntas (Jawa), Beluntas atau Beruntas (Sunda), Lamutase (Makasar), Lenaboui (Timor) (Wijayakusuma et al., 1992). Berdasarkan taksonominya, beluntas diklasifikasikan sebagai berikut : Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Klas : Magnoliopsida (Dicotyledone) Sub Klas : Simpetelae Super Ordo : Asteriflorae Ordo : Asterales Famili : Asteriaceae (Compositae) Genus : Pluchae Spesies : Pluchae indica (L.) Less
Gambar 1. Daun beluntas (Pluchea indica Less.)
Bunga keluar dari ujung cabang dan ketiak daun berbentuk bunga bongkol kecil, berkumpul pada malai rata, majemuk terminal, mahkota bunga cakram berbentuk corong, tepi mahkota bentuk sangat sempit bergigi 3 sampai 5 pendek, putik bentuk janun dengan panjang 6 mm dengan warna hitam kecoklatan. Tangkai putik dengan dua cabang berwarna ungu, menjulai jauh, kepala sari ungu, kepala putik dua berwarna putih sampai putih kekuningan. Buah berwarna cokelat dengan sudut putih kecil, keras bersegi, rambut sikat pada satu buah lingkaran. Biji kecil cokelat keputih-putihan. Akar tunggang, bercabang, putih kotor. 3.
POTENSI DAN NILAI NUTRISI DAUN BELUNTAS
Menurut Ozturk (2008) bahwa daun beluntas mengandung beberapa zat kimia yang bersifat sebagai pelindung bagi tanaman terhadap predator, tetapi dapat membahayakan kesehatan atau merugikan bagi yang mengkonsumsinya. Zat tersebut di antaranya alkaloid, asam amino, peptida dan protein, glikosida, mineral, asam, oksalat, terpen, fenolik dan tanin, fitotoksin, senyawa fotosensitesis, resin, dan minyak esensial. Namun, pengaruh toksisitas sangat bergantung pada spesies. Lebih lanjut Luger (2000) menyatakan bahwa komposisi kimia yang terdapat dalam Pluchea indica Less adalah sebagai berikut: 9 jenis senyawa lignan, 7 jenis senyawa
Syamsuhidayat dan Hutapea (1991), menyatakan bahwa beluntas merupakan tanaman berkayu, bercabang banyak dengan ketinggian tanaman dapat mencapai 2 meter. Selain itu beluntas memiliki daun tunggal, bulat berbentuk telur, ujung runcing, berbulu halus, daun muda berwarna hijau kekuningan dan setelah tua akan berwarna hijau pucat. Panjang daun beluntas mencapai 3,8 - 6,4 cm, lebar 1,5 sampai 5 cm, ujung daun meruncing, tepi daun bergerigi lemah atau kasar, panjang tangkai daun 4 sampai 34
Yenni Yusriani, dkk.
Potensi dan Pemanfaatan...
sesquisterpen, 4 jenis senyawa fenilpropanoid, 3 jenis senyawa benzoid, 2 jenis senyawa triterpen, 5 senyawa jenis lain, 1 jenis senyawa steroid dan 1 jenis senyawa alkana. Daun beluntas mengandung senyawa aktif seperti (-)-katekin, stigmasterol, stigmasterol glikosida dan 2-(propunil) – 5 (5, 6 – dihidroksiheksa - 1,3 - diunil) thiophene (Biswas et al., 2005). Bagian aerial daun beluntas mengandung senyawa flavonoid (quercetin dan quercetin-3riboside), dan terpenoid seperti, 3-(2,3diacetoxy-2 methylbutiryl)- cuauhtemone, 9hydroxylinalyl glucoside, linaloyl apiosyl glucoside, linaloyl glucoside, terpene glycosides, plucheosides A dan B, 6hydroxydammar-6-en-3-acetate, dan dammadienol (Bamroongrugsa, 1992; Van Valkenburg dan Bunyapraphatsara, 2001) Tabel 1 memperlihatkan bahwa kandungan protein daun beluntas (17,7819,02% ; serat kasar 14,77-15,80%) dapat dikategorikan tinggi bila dibandingkan dengan bahan pakan nabati lain, seperti jagung (protein 9,7%; serat kasar 4,3%) dan dedak (protein 11,9%; serat kasar 10%) (Hartadi et al., 1997). Daun beluntas juga mengandung vitamin C dan beta karoten. Vitamin C dikenal sebagai antioksidan (Kondakova, 2009) karena kemampuannya mendonorkan elektron (Padayatty, 2003) yang dapat mencegah kerusakan sel dari oksidasi lemak (Evans, 2000). Beta karoten mempunyai aktivitas sebagai antioksidan (Kiokias dan Gordon 2003), dan melindungi sel dari stres oksidatif yang diinduksi oleh Fe (Matos et.al., 2006). Tanin merupakan polimer polifenol dengan bobot molekul relatif tinggi yang mempunyai kapasitas membentuk kompleks dengan karbohidrat dan protein. Pada Tabel 2 memperlihatkan bahwa daun beluntas kering mengandung tanin. Jenis tanin yang terdapat dalam daun umumnya terdiri atas tanin terkondensasi dan tanin terhidrolisis. Tanin terkondensasi konsentrasinya lebih besar dari tanin yang terhidrolisis. Menurut Harborne (1987), tanin terkondensasi tersebar luas pada tanaman, sedangkan tanin
terhidrolisis relatif jarang. Dari tanin yang terkondensasi, konsentrasi tanin yang larut lebih tinggi daripada yang tidak larut. Tabel 1. Kandungan Nutrien Daun Beluntas Kering Zat Gizi a. Proksimate (%) Air Protein kasar Serat kasar Lemak kasar BETN b. Energi (Kkal/kg) Energi bruto c. Mineral (%) Abu Ca P total K Mg Fe d. Vitamin (mg/100g) Vitamin C Beta karoten Sumber : Rukmiasih (2011)
Kandungan Zat Gizi 14,17 – 14,70 17,78 - 19,02 14,77 - 15,80 1,96 - 3,70 31,62 - 38,14 3.448 – 4.073 12,65 - 15,69 1,97 0,07 0,99 0,11 0,01 98,25 2.552
Berdasarkan hasil analisis, daun beluntas kering mengandung fenol sebesar 9,85%. Young et al. (2003) melaporkan bahwa beberapa polifenol asal tanaman mempunyai kemampuan sebagai antioksidan, yaitu melindungi sel dari kerusakan oksidatif dengan cara menetralkan oksidan reaktif (Moskaug et al., 2005; Kruawan dan Kangsadalampai, 2006; Apak, 2007; Huda-Faujan et al., 2007; Ribeiro et al., 2007; Savatovic et al., 2008; HudaFaujan et al., 2009; Ahmed dan Beigh, 2009). Dari hasil beberapa penelitian didapatkan bahwa senyawa fenol alam telah diketahui strukturnya dan flavonoid merupakan golongan terbesar. Daun beluntas mengandung flavonoid yang mempunyai kemampuan sebagai antioksidan atau antiradikal (Beecher, 2003; Zhang dan Hamauzu, 2003; Panovskai et al., 2005; Kondakova, 2009; Demiray et al., 2009 ), karena adanya orto hidroksilasi pada cincin B dari molekul flavonoid, sejumlah gugus hidroksil bebas, ikatan rangkap C-C pada 35
Jurnal Hasil Penelitian Industri, Vol. 29, No. 1 – April 2016, hal. 33-39
cincin C, atau adanya kelompok 3-hidroksil (Burda dan Oleszek 2001), susunan katekol pada cincin B atau A, grup karbonil dengan ikatan rangkap 2,3 pada cincin C (Schewe dan Sies 2003). Menurut Lin et al., (2006) bahwa senyawa flavonoid kelompok flavonol terdiri atas kuersetin, mirisetin dan kaemperol. Kuersetin mempunyai aktivitas antioksidan yang tinggi (Kahkonen dan Heinonen, 2003; Moskaug et al., 2005) dengan cara mengchelate ion besi, menghambat peroksidasi lemak, menangkap radikal bebas dan oksigen aktif (Cadenas, 2014). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ardiansyah (2002), secara kualitatif menunjukkan hasil bahwa ekstrak daun beluntas mengandung bahan-bahan aktif seperti fenol hidrokuinon, tannin, alkaloid dan steroid. Kuersetin mempunyai aktivitas antioksidan yang tinggi (Kahkonen dan Heinonen, 2003; Prior, 2003; Simić et al., 2007). Kandungan kuersetin dalam daun beluntas dapat menurunkan kolesterol, sehingga flavonoid ini sangat menguntungkan dalam penanggulangan penyakit jantung koroner/atherosclerosis (Ricardo et al., 2001). Flavonoid (kuersetin dan isorhamnetin 3-O-asilglukosida) menekan ledakan oksidatif dan melindungi membran terhadap peroksidasi lipid (Zieliñska et al., 2001). Senyawa fenol, flavonoid, kuersetin dan mirisetin yang terdapat dalam beluntas mempunyai kemampuan menurunkan pembentukan radikal bebas dan menangkap radikal bebas yang dapat menyebabkan terdegradasinya asam lemak. Selain fungsi yang telah disebutkan di atas daun beluntas mengandung senyawa yang mengandung sebagai antibakteri (Widyawati, 2010; Noridayu et al,, 2011). Sulistyaningsih (2009) menyatakan bahwa serbuk simplisia dan ekstrak daun beluntas mengandung alkaloid flavonoid, tanin, dan minyak atsiri. Senyawa flavanoid (Parubak, 2013), alkaloid dan minyak atsiri (Susanti, 2007) dapat menghambat pertumbuhan Escherecia coli. Senyawa tanin dapat
mendenaturasi protein dan menginaktifkan enzim sehingga dinding sel bakteri mengalami kerusakan karena penurunan permeabilitas. Perubahan ini menyebabkan terganggunya transportasi ion-ion organik yang penting ke dalam sel sehingga berakibat terhambatnya pertumbuhan bahkan hingga kematian sel (Nurhalimah dkk., 2014). Penelitian yang Lisholifah (2014) melaporkan bahwa teat dipping menggunakan sari daun beluntas mampu mengurangi tingkat kejadian mastitis dan menurunkan aktivitas bakteri dalam susu walaupun masih di bawah kemampuan iodips. Lathifah (2008) menambahkan untuk senyawa flavonoid dapat diekstraksi dengan pelarut seperti etanol. Tabel 2. Kandungan zat fitokimia daun beluntas kering dengan kadar air 14,17 -14,70% Zat Fitokimia a. Total tanin (%) Tanin Terkondensasi Larut Tidak Larut Tanin Terhidrolisis Larut Tidak Larut b. Total Fenol (%) Total Flavonoid (%) Kuersetin Mirisetin Kaemperol Sumber : Rukmiasih (2011)
4.
Kandungan Fitokimia 1,88 1,17 0,83 0,57 0,31 9,85 4,47 1,45 1,58 0,80
Pemanfaatan Hasil Samping Indusri Daun Beluntas
Dalimartha (1999), menyatakan bahwa daun beluntas berbau khas aromatis dan rasanya getir. Pada manusia, daun beluntas berkhasiat menghilangkan bau badan dan penyegar. Penelitian yang dilakukan Ardiansyah (2005) menunjukkan bahwa penyakit yang diakibatkan infeksi bakteri dapat disembuhkan dengan ekstrak polar daun beluntas yang dapat menghambat bakteri patogen penyebab keracunan makanan (seperti Escherichia coli, Salmonella typhi, Staphylococcus aureus dan Baccilus cereus), bakteri penyebab 36
Yenni Yusriani, dkk.
Potensi dan Pemanfaatan...
kebusukan makanan (Pseudomonas fluorescens) dan bakteri penyebab infeksi saluran pencernaan (Escherichia coli). Adanya penghambatan bakteri diduga karena daun beluntas mengandung komponen aktif pluchine, asam kafeoilkunat, saponin, flavonoid (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991), fenol hidrokuinon (Ardiansyah, 2002). Flavonoid yang terkandung pada daun beluntas menunjukkan kemampuannya sebagai antioksidan (Beecher, 2003; Apak, 2007) dengan cara sebagai berikut : (1) menangkap radikal bebas: ROS(.OH, O2-, 1O)2, dan RNS (RO., ROO.; (2) mengkelat ion logam, jadi menutupi aksi pro-oksidan; (3) menghambat kerja enzim prooksidan (lipoxygenase). Lipoksigenase sebagai katalis enzim lipid peroksidasi yang mempunyai kemampuan mendioksigenasi tidak hanya asam arachidonat dan linoleat, tetapi juga fosfolipid, ester kolesterol dan bahkan struktur biologis kompleks seperti biomembran dan plasma lipoprotein. Asupan flavonoid dapat mengurangi risiko kanker, dengan cara menghambat kerja enzim prostaglandin sintase, lipoksigenase, dan siklooksigenase yang terkait dengan pembentukan tumor dilaporkan oleh Zang dan Hamauzu (2003). Schewe dan Sies (2003) melaporkan bahwa flavonoid juga mempunyai kemampuan menonaktifkan enzim 5-lipoksigenase yang berperan menstimulir pembengkakan sel. Li dan Tian (2004) menyatakan dari 15 flavonoid ada 9 yang mempunyai 2 gugus hidroksil pada cincin B dan 5,7 gugus hidroksil pada cincin A kombinasi dengan ikatan rangkap C-2,3 dapat menghambat aktivitas enzim FAS (Fatty Acid Synthase). FAS mensintesis asam lemak terutama palmitat dari substrat asetil CoA (Ac- CoA), malonil CoA (MalCoA), dan NADPH melalui keenam sisi aktif enzim. FAS merupakan enzim penting yang berperan dalam metabolisme energi di dalam tubuh dan berhubungan dengan berbagai penyakit pada manusia.
5.
KESIMPULAN
Daun beluntas dapat digunakan sebagai sumber antioksidan, anti stress, anti bakteri, anti kanker, penurun kolesterol, penurun demam, penghilang bau amis. Hal ini disebabkan daun beluntas mengandung amino (leusin, isoleusin, triptofan, treonin), alkaloid, flavonoida, minyakatsiri, asam chlorogenik, natrium, kalium, aluminium, kalsium, magnesium, fosfor, besi,vitamin A dan C. DAFTAR PUSTAKA Achyad, D.E, dan Rasyidah R. 2014. Beluntas (Pluchea Indica Less.) PT. AsiamayaDotcom.Indonesia. http://www.asiamaya.com/jamu/isi/belunt as_plucheaindica-less.htm. 27 April 2014. Ahmed, S, and Beigh S.H. 2009. Ascorbic acid, carotenoids, total phenolic content andantioxidant activity of various genotypes of Brassica Oleracea encephala. J.Med. and Biol. Sci. 3: 1-8 Andarwulan, N, Batari R, Sandrasari D.A, Wijaya, H. 2008. Identifikasi senyawaflavonoid dan kapasitas antioksidannya pada ekstrak sayuran indigenous Jawa Barat. Makalah Seminar pada “Half Day Seminar on Natural Antioxidants: Chemistry, Biochemistry and Technology”, Biopharmaca Research Center-SEAFAST Center IPB, Bogor, 16 September 2008. Apak, R. 2007. Review. Comparative evaluation of various total antioxidant capacity assays applied to phenolic compounds with the CUPRAC assay. Molecules. 12: 14961547 Ardiansyah. 2002. Kajian aktivitas antimikroba ekstrak daun beluntas (Pluchea indica L.). Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Ardiansyah. 2005. Daun beluntas sebagai bahan antibakteri dan antioksidan. Artikel Iptek, 31 Mei 2005. http://www.beritaiptek.com/pilihberita.ph p?id=60. 20 Januari 2015. Bamroongrugsa, N. 1992. Bioactive Substances from Mangrove Resource. Medical Plant Information Center. Faculty of Science. Prince of Songkla University. Thailand. http://ratree.psu.ac.th/~bnoparat/MANGR OVE.html. 27 April 2014.
37
Jurnal Hasil Penelitian Industri, Vol. 29, No. 1 – April 2016, hal. 33-39
Beecher, G.R. 2003. Overview of dietary flavonoids: Nomenclature, occurrence and intake. J. Nutr. 133: 3248S–3254S Burda, S, and Oleszek W. 2001. Antioxidant and antiradical activities of flavonoids. J.Agric.Food Chem. 49:2774-2779. Biswas, R, Dasgupta, A, Mitra, A, Roy, S.K, Dutta P.K, Achari, B, Dastidar, S.G, Chatterjee, T.K. 2005. Isolation, purification and characterization of four pure compounds from the root extract of Pluchea indica (l.) Less. and the potentiality of the root extract and the pure compounds for antimicrobial activity. Phytochemical evaluation & antimicrobial potentiality of Pluchea indica. European Bulletin of Drug Research. 13 : 63-70 Cadenas, E. 2014. Flavonoid. Review article.http://www.antioxidantes.com.ar/1 2/Ref 00019.htm. 6 Mei 2014. Dalimartha, S. 1999. Beluntas (Pluchea Indica L. Less). Atlas Tumbuhan ObatIndonesia. Jilid 1. Trubus Agriwidiya. Jakarta. Beluntas/Pusat data &Informasi Persi News. htm. pdpersi.co.id. 14 Oktober 2002. Demiray S, Pintado M.E, Castro P.M.L. 2009. Evaluation of phenolic profiles andantioxidant activities of Turkish medicinal plants: Tilia argentea, Crataegifolium leaves and Polygonum bistorta roots. World Academy of Science, Engineering and Technology. 54 : 312-317 Evans, W.J. 2000. Vitamin E, vitamin C, and exercise. Am. J. Clin. Nutr. 72,647S-652S. Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia. Penuntun cara modern menganalisis tumbuhan. Terbitan kedua. ITB, Bandung. Hartadi, H, Reksohadiprodjo, S, Tillman A.D. 1997. Tabel Komposisi Pakan Untuk Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Huda-Faujan N, Noriham A, Norrakiah AS, Babji AS. 2007. Antioxidative activities of water extracts ofs Malaysian herbs. ASEAN Food Journal. 14: 61-68. Huda-Faujan, N, Noriham A, Norrakiah A.S, Babji A.S. 2009. Antioxidant activityof plants methanolic extracts containing phenolic compounds. Afric. J.Biotech. 8: 484-489. Kahkonen, M.P, and Heinonen, M. 2003. Antioxidant activity of anthocyanins and their aglycons. J. Agric. Food Chem. 51: 628-633. Kiokias, S, and Gordon M.H. 2003. Dietary supplementation with a natural carotenoidmixture decreases oxidative
stress. Europe. J. Clin. Nutr. 57 : 1135– 1140. Kondakova, V. 2009. Review. Phenol compounds - qualitative index insmall fruits. Biotechnol. & Biotechnol. Eq. 23: 14441448. doi:10.2478/V10133-009-0024-4. 13 Mei 2010 1 0OI: 10. Kruawan, K, and Kangsadalampai, K. 2006. Antioxidant activity, phenolic compound contents and antimutagenic activity of some water extract of herbs. Thai J.Pharm. Sci. 30 : 28-35. Lathifah, Q. 2008. Uji efektifitas ekstrak kasar senyawa antibakteri pada buah belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) dengan variasi pelarut. Jurusan Kimia Fakultas Sains dan Teknologi. Skripsi. Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. Lisholifah. 2014. Pengaruh teat dipping sari daun beluntas (Pluchea indica Less) terhadap kualitas susu berdasarkan California Mastitis Test dan uji reduktase. Fakultas Peternakan. Skripsi. Universitas Brawijaya. Malang. Li, B.H and Tian, W.X. 2004. Inhibitory effects of flavonoids on Animal Fatty Acid Synthase. J. Biochem 135 : 85-91. Lin, J, Zhang S.M , Wu, K, Willett ,W.C, Fuchs, C.S, Giovannucci, E. 2006. FlavonoidIntake and Colorectal Cancer Risk in Men and Women. Am J Epidemiol. 164:644-651. Luger, P . 2000. The Crystal Structure of Hop17(21)-en-3 -yl Acetate of Pluchea pteropoda Hemsl. From Vietnam, Cryst. Res. Technol. 35:355-362. Matos, H.R, Marques S.A., Gomes O.F., Silva A.A., Heimann J.C., Di Mascio P.and. Medeiros M.H.G. 2006. Lycopene and ßcarotene protect in vivo iron-induced oxidative stress damage in rat prostate. Braz. J. Med. and Biol. Res. 39: 203-210. Moskaug, J.O, Carlsen, H, Myhrstad M.C.W and Blomhoff, R. 2005. Polyphenols and glutathione synthesis regulation. Am. J. Clin. Nutr. Supl. 81:277– 283. Noridayu, A.R., H.Y.F. Faridah. Khoziriah, Lajis. 2011. Anti- oxidant And Antiacetycholinesterase Activities (Pluchea Indica Less.). International Food Research Journal. 18 (3): 925-929. Nurhalimah, H., N. Wijayanti, T.D. Widyaningsih. 2015. Efek Anti- diare Ekstrak Daun Beluntas (Pluchea Indica Less.) Terhadap Mencit Jantan Yang Diinduksi Bakteri Salmonella Thypimurium. Jurnal Pangan dan Agroindustri.3 (3) : 1083-1094. 38
Yenni Yusriani, dkk.
Potensi dan Pemanfaatan...
Ozturk,
M. 2008. Ethnoecology of poisonous plants of Turkey and northern Cyprus. Pak. J. Bot. 40(4): 1359-1386. Padayatty, S.J . 2003. Review Vitamin C as an Antioxidant: Evaluation of Its Role in Disease Prevention. Journal of the American College of Nutrition. 22 :18–35. Pak. J. Bot., 40 : 1359-1386. Panovskai, T.K, Kulevanova, S and Stefova, M. 2005. In vitro antioxidant activity ofsome Teucrium species Lamiaceae). Acta Pharm. 55: 207–214. Prior, R.L. 2003. Fruits and vegetables in the prevention of cellular oxidativedamage. Am. J. Clin. Nutr. Supl. 78: 570–578. Parubak, A.S. 2013. Senyawa Flavonoid Yang Bersifat Antibakteri Dari Akway (Drimys Becariana Gibbs). Chem. Prog. 6 (1) : 34 - 37 Ribeiro, B, Valenta, P, Baptista P, Seabra R.M and Andrade P.B. 2007. Phenolic compounds, organic acids profiles and anti oxidative properties of beef steak fungus (Fistulina hepatica). Food and Chem. Tox. 45: 1805– 1813. Ricardo, K.F.S, Oliveira, T.T, Tanus Jorge Nagem, T. J , Pinto, A.S, Oliveira, M.G.A and Soares, J.F 2001. Effect of Flavonoids Morin; Quercetin and NicotinicAcid on Lipid Metabolism of Rats Experimentally Fed with Triton. Braz. Arch.Biol. and Tech. 44 : 263 – 267. Rukmiasih, 2011. Penurunan Bau Amis (Off-Odor) Daging Itik Lokal Dengan Pemberian Tepung Daun Beluntas (Pluchea Indica L.) Dalam Pakan Dan Dampaknya Terhadap Performa. Disertasi. Institut Pertanian Bogor, Bogor Savatović, S.M. 2008. Antioxidant and antiproliferative activity of grannysmith apple pomace. BIBLID: 1450-7188 : 201212. APTEFF, 39, 1-212(2008) DOI: 0.2298/APT0839201S. Schewe, T, and Sies H. 2014. Flavonoids as protectants against prooxidant enzyme. http://www.uniduesseldorf.de/WWW/MedFak/PhysiolCh em/index.html. 18 September 2014. Simić, A, Manojlović, D, Šegan D and Todorović M. 2007. Electrochemical Behaviorand Antioxidant and Prooxidant Activity of Natural Phenolics. Molecules. 12:23272340.
Sulistiyaningsih, 2009. Potensi Daun Beluntas (Pluchea Indica Less.) Sebagai Inhibitor Terhadap Pseudomonas Aeruginosa Multi Resistant Dan Methicillin Resistant Stapylococcus Aureus. Laporan Penelitian Mandiri. Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran Bandung. Susanti, A. 2007. Daya Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Beluntas (Pluchea Indica Less) Terhadap Escherichia coli Secara In Vitro. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Syamsuhidayat, S.S dan Hutapea, J.R, 1991. Inventaris Tanaman Obat Indonesia (I). Departemen Kesehatan RI. Badan Penelitian da Pengembangan Kesehatan.Jakarta. Traithip, A. 2005. Phytochemistry and antioxidant activity of Pluchea indica. Thesis. Mahidol University. Van Valkenburg, J.L.C.H and Bunyapraphatsara N. 2001. Plant Resources of South-East Asia No. 12(2). Medical & Poisonous Plant 2. Backhuys Publisher, Leiden. Widyawati, P.S. 2004. Aktivitas Antioksidan Tanaman Herba Kemangi (OcimumBasicillum Linn) dan Beluntas (Pluchea Indica Less) dalam Sistem ModelAsam Linoleat- Karoten. Laporan Penelitian Wima Grant, Unika Widy Mandala Surabaya. Wijayakusuma, H .M .H . Wirian, A .S. Yaputro, T. Dalimartho, S. Wisowo, B. 1992. Tanaman Berkhasiat Obat Indonesia. Pustaka Kartini . Jakarta Young, K.H, Kim, O.H, Sung, M.K. 2003. Effects of phenol-depleted and phenolrichdiets on blood markers of oxidative stress, and urinary excretion ofquercetin and kaempferol in healthy volunteers. J. Am. Col. Nutr. 22 : 217–223. Zhang, D and Hamauzu, Y. 2003. Phenolic compounds, ascorbic acid, carotenoids and anti oxidant properties of green, red and yellow bell peppers. http://www.aseanfood.info/Articles/11019 980.pdf. 13 April 2010. Zielinska, M, Kostrzewa, A, Ignatowicz, E and Budzianowski J. 2001. The flavonoids, quercetin and isorhamnetin 3-0acylglucosides diminish neutrophil oxidative metabolism and lipid peroxidation. Acta Biochimica Polonica. 48 : 183-189.
39
Jurnal Hasil Penelitian Industri, Vol. 29, No. 1 – April 2016, hal. 40-46
PENGARUH IRADIASI BERKAS ELEKTRON TERHADAP ASAM-ASAM ORGANIK, ASAM AMINO DAN ANALISIS PROKSIMAT JAMUR KUPING (Auricularia auricula) KERING (Irradiation Effect of Electron Beams on Organic Acids, Amino Acids and Proximate Analysis of Dried Ear Fungus (Auricularia auricula)) Idrus Kadir* dan Darmawan Darwis Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi (PAIR)-BATAN, Jl. Lebak Bulus Raya No. 49, Jakarta Selatan, Indonesia. Email:
[email protected]
Diterima : 15 Februari 2016
Riwayat Perlakuan Artikel: Revisi : 26 Februari 2016
Disetujui: 03 Maret 2016
ABSTRAK. Telah dilakukan penelitian tentang pengaruh iradiasi berkas elektron terhadap asam-asam organik dan analisis proksimat jamur kuping (Auricularia auricula) kering. Jamur kuping merupakan salah satu jenis jamur pangan (edible mushroom) yang sangat digemari konsumen, oleh sebab itu penanganan pasca panen dalam bentuk jamur kering sangat penting artinya untuk menjaga rantai agribisnis yang ekonomis. Penanganan jamur kuping kering dengan iradiasi berkas elektron telah dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh iradiasi berkas elektron pada dosis 5 kGy terhadap kandungan asam-asam organik (asam propionat, asetat, butirat, sitrat, laktat, dan asam oksalat), asam amino dan analisis proksimat jamur kuping kering. Hasil penelitian menunjukkan bahwa iradiasi pada 5 kGy meningkatkan kandungan asam sitrat dan menurunkan asam oksalat secara signifikan. Sedangkan terhadap asam amino dan analisis proksimat (kadar air, lemak, protein, dan kadar karbohidrat) serta pH, aktivitas air (aw) dan densitas jamur kuping kering, iradiasi pada dosis 5 kGy relatif tidak mengubah profile asam amino dan nilai proksimat, pH, aw serta densitas jamur tersebut. Kata kunci: Asam amino, asam-asam organik, berkas elektron, iradiasi, dan jamur kuping. ABSTRACT. Has been conducted research on the effects of electron beam irradiation on organic acids, amino acids and proximate analysis of dried ear mushroom (Auricularia auricula). Ear Mushroom is a type of edible mushroom which is very popular with consumers, therefore, post-harvest handling in the form of dried mushrooms is very important to maintain an economical agribusiness chain. Handling of dried mushroom with electron beam irradiation was performed. The purpose of this study was to determine the effect of electron beam irradiation at a dose of 5 kGy to the content of organic acids (acid of propionate, acetate, butyrate, citrate, lactate, and oxalic acid) and proximate analysis of dried mushroom. The results showed that irradiation at 5 kGy increase the content of citric acid and oxalic acid significantly lowered. While on amino acid and proximate analysis (moisture, fat, protein, and carbohydrates) as well as pH, water activity (aw) and density of dried mushroom, irradiation at a dose of 5 kGy relatively not change the value of amino acid as well as proximate analysis value as well as pH, aw and density of the fungus. Keywords: Amino acids, organic acids, electron beam, irradiation, and mushroom.
1.
lingkungan sangat diperlukan sehingga pascapanen hasil-hasil pertanian menjadi tidak cepat rusak dan dapat disimpan lebih lama serta dapat dikonsumsi dengan aman dan memiliki daya saing yang tinggi dalam pemasarannya. Salah satu teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk mempertahankan kualitas bahan pangan secara aman, ramah lingkungan dan efisien adalah teknologi iradiasi (Mali et al., 2011; Biohaz, 2011;
PENDAHULUAN
Pascapanen hasil-hasil pertanian termasuk bahan pangan yang efisien dan efektif sangat diperlukan dalam rangka memperoleh hasil-hasil pertanian yang sesuai dengan kebutuhan konsumen, baik dari segi mutu, harga dan waktu penyampaian (delivery time). Penggunaan teknologi yang tepat, aman dan ramah 40
Idrus Kadir dan Darmawan Darwis
Pengaruh Irradiasi Berkas ...
Kashiwagi dan Hoshi, 2012; Andrade et al., 2013). Teknologi iradiasi pangan yang telah dikenal saat ini merupakan salah satu teknologi unggul alternatif yang prospektif untuk diaplikasikan dalam penanganan dibandingkan dengan teknologi konvensional lainnya. Berbagai manfaat dapat diperoleh dari penerapan iradiasi pangan, antara lain mengurangi kehilangan produk pasca panen, meningkatkan keamanan pangan dan mutu perdagangan serta mengurangi polusi atau kerusakan lingkungan akibat penggunaan bahan kimia (Irawati, 2007; Irawati 2008). Diharapkan teknik radiasi dapat mendukung peningkatan daya saing produk agroindustri, termasuk agroindustri pangan (Irawati, 2008; Rachbini et al., 2011). Teknologi iradiasi pangan telah diteliti dan dikembangkan di Indonesia dan sudah diaplikasikan sejak tahun 1987. Selanjutnya sesuai dengan perkembangan hasil-hasil penelitian dan perkembangan teknologi serta kebutuhan masyarakat, telah dikeluarkan PERMENKES No. 701/MENKES/PER/ VIII/2009 tahun 2009 tentang Pangan Iradiasi yang mencakup berbagai jenis pangan dan tujuan iradiasi serta dosis serap maksimum yang diizinkan secara komersial (Depkes.R.I., 2009). Jamur kuping merupakan salah satu komoditas jamur pangan lokal dari kelompok aneka sayur yang prospektif dikembangkan di Indonesia, karena jamur merupakan bahan pangan fungsional alami yang memiliki banyak manfaat bagi kesehatan (Kadir, 2010; Kalyani dan Manjula, 2013; Yaqvob et al., 2013). Selain itu, jamur kuping merupakan salah satu sayuran primadona baik sebagai bahan konsumsi sekaligus perdagangan. Menurut BPS (2015), produksi jamur Indonesia pada tahun 2014 mencapai 14.789,530 ton. Penanganan pasca panen jamur kuping masih perlu perbaikan dan peningkatan untuk meningkatkan daya saing, termasuk dalam perdagangan internasional (Natalia dan Nurozy, 2012). Penggunaan iradiasi
gamma merupakan salah satu teknologi alternatif dalam penanganan pasca panen jamur kuping. Beberapa penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa penggunaan iradiasi gamma dapat memperbaiki kualitas higienik jamur pangan (Kadir, 2007; Kadir dan Harsojo, 2009; Kadir, 2010). Aplikasi Iradiasi gamma 5 kGy dapat menekan secara nyata pertumbuhan mikroba jamur baik bakteri maupun khamir 2 log cycle dengan tidak mengubah sifatfisiko dan kualitas organoleptik jamur tiram sampai penyimpanan 3 bulan (Kadir, 2010). Selain iradiasi menggunakan sinar gamma, penggunaan mesin berkas elektron (MBE) untuk meradiasi bahan pangan juga merupakan pilihan yang aman, bersih dan relatif murah (Stevanova et al., 2010). Radiasi elektron merupakan iradiasi pada bahan menggunakan berkas elektron yang menyebabkan reaksi kimia dalam bahan (Kashiwagi dan Hoshi, 2012). Carocho et al. (2013) melaporkan bahwa iradiasi dengan MBE pada dosis sampai dengan 6 kGy secara umum tidak mempengaruhi asamasam organik kastanye. Selanjutnya juga dilaporkan bahwa Iradiasi dengan MBE juga mempertahankan kualitas antioksidan dan senyawa gizi kastanye (Carocho et al., 2012). Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan teknologi penanganan pasca panen jamur khususnya jamur kuping dengan kombinasi teknologi pengeringan dan iradiasi berkas elektron. Apabila bahan pangan dikeringkan, proses hilangnya air tidak terjadi pada kecepatan yang konstan sampai bahan tersebut kering (Muchtadi dan Sugiyono, 2014). Tetapi sebaliknya, makin lama pengeringan maka kecepatan penghilangan air akan makin menurun. Kondisi tersebut mendukung bahwa penelitian mengenai kombinasi perlakuan pengeringan dan iradiasi berkas elektron layak dikembangkan karena mempunyai masa depan yang menjanjikan. Menurut Sabharwal (2013), proses radiasi dengan menggunakan MBE telah mendorong kemajuan industri termasuk pengawetan 41
Jurnal Hasil Penelitian Industri, Vol. 29, No. 1 – April 2016, hal. 40-46
bahan pangan. Selain itu, aplikasi teknologi iradiasi di Indonesia, temasuk MBE, telah diijinkan pemanfaatannya sesuai dengan PERMENKES No. 701/MENKES/PER/ VIII/2009 tahun 2009, dimana aplikasi teknologi iradiasi untuk sayuran kering diijinkan sampai dosis serap 10 kGy untuk mengurangi jumlah mikroba patogen tertentu. Namun demikian, berdasarkan beberapa hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa penggunaan teknologi iradiasi untuk penanganan pasca panen jamur pangan dengan sinar gamma diperoleh dosis serap optimal sekitar 5 kGy (Kadir, 2007; Kadir dan Harsojo, 2009; Kadir, 2010). 2.
METODOLOGI
bersih kemudian ditiriskan pada suhu kamar (30-32 oC). Setelah ditimbang selanjutnya sebagian jamur dikeringkan dengan sinar matahari selama 3 hari berturut-turut pada jam 9.00-16.00 WIB. Jamur kuping kering kemudian dikemas dengan pengemas plastik PE laminasi pada kondisi vakum dan ditimbang, lalu diiradiasi dengan dosis 5 kGy pada kondisi suhu kamar, sedangkan jamur yang tidak diiradiasi sebagai kontrol. Kemudian jamur disimpan pada ruangan yang dilengkapi fasilitas pendingin pada suhu 18-20 oC dengan kisaran kelembaban (RH) 65-70%. Parameter pengujian terdiri dari kadar air, lemak, protein, dan karbohidrat serta aktivitas air (aw), pH, densitas, asam-asam organik dan asam amino.
2.1
Bahan
2.4
Jamur kuping (Auricularia auricula) segar digunakan untuk bahan percobaan diperoleh dari dari pedagang pengumpul di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Kantong plastik yang digunakan sebagai pengemas bahan percobaan adalah kantong plastik laminasi polietilen (PE). 2.2
Penetapan kadar protein dan lemak masing-masing ditetapkan dengan metode semi mikro Kjeldahl dan metode ekstraksi langsung dengan alat soxhlet. Penetapan kadar protein, kadar lemak dan kadar karbohidrat ditetapkan sesuai SNI 01-28911992 (BSN, 1992). Kadar air ditetapkan secara gravimetri dengan metode pengeringan oven. Pengukuran aktivitas air (aw) dan pH masing-masing diukur dengan Aw-meter dan pH-meter, sedangkan densitas ditetapkan secara gravimetri. Kadar dan jenis asam organik diukur menggunakan High Performance Liquid Chromatography (HPLC) atau Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT), sesuai dengan metode yang digunakan Ree dan Stoa (2011) yaitu sebanyak 0,7 gram sampel ditambah 5 ml buffer acetonitrile, dihomogenisasi, diekstraksi selama 1 jam dan disentrifugasi pada 7000 rpm selama 5 menit. Supernatan disaring menggunakan kertas saring 0,45 mikrometer dan diulang dua kali. Elusi yang digunakan adalah elusi isokratik dengan eluen (fase gerak) air bidistilasi 100%, laju alir (flow rate) 1,5 ml/menit. Detektor yang digunakan adalah UV-Vis Shimadzu SPD6AV dengan panjang gelombang 214 nanometer, sedangkan kolom yang
Alat
Dalam pengamatan/uji sifat fisikokimia dipergunakan peralatan antara lain terdiri dari neraca analitik, eksikator, botol timbang, cawan porselen, labu kjeldahl, pemanas listrik, kertas saring, erlenmeyer, pendingin tegak, labu ukur, corong, pipet, gelas ukur, gelas piala, buret, pH-meter, oven, tanur listrik, soxhlet, dan peralatan pengujian fisiko-kimia lainnya seperti High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Iradiasi bahan penelitian menggunakan peralatan iradiasi yaitu mesin berkas elektron dengan energi 1,5 MeVdan arus berkas 1,5 mA di PAIR-BATAN, Jakarta. 2.3
Metode Pengujian
Penyiapan Bahan dan Iradiasi
Jamur kuping segar dibersihkan, di sortir, lalu dicuci dan dibilas dengan air 42
Idrus Kadir dan Darmawan Darwis
Pengaruh Irradiasi Berkas ...
digunakan adalah LC-C8 Shin-Pack (0,15 m x 6,0 mm). Komposisi asam amino total dianalisis juga dengan KCKT yaitu KCKT tipe ICI dengan 2 fase pembawa secara gradien yakni bufer A dan bufer B, kolom ODS dengan detektor fluoresensi. 4.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Asam-asam Organik
Pada asam sitrat, juga terjadi hal yang sama yaitu terjadi penurunan kandungan asam sitrat dari 299,49 ppm pada kontrol menjadi tidak terdeteksi lagi pada jamur yang diiradiasi pada dosis 5 kGy. Hal ini berarti iradiasi 5 kGy menyebabkan produksi asam sitrat pada jamur kuping tidak terjadi lagi karena tidak terjadi fermentasi dan aktivitas mikroba sehingga produksi asam sitrat menurun bahkan tidak terdeteksi lagi. Menurut Ketaren (2012), penguraian persenyawaan protein, lemak dan karbohidrat menghasilkan asam propionat, butirat, laktat dan asam-asam lemak menguap lainnya. Akan tetapi, pada jamur kuping tidak terdapat asam butirat dan asam laktat, sedangkan asam propionat relatif stabil, baik pada jamur yang diiradiasi maupun kontrol. Hal ini berarti menunjukkan bahwa segera setelah diiradiasi tidak terjadi penguraian dengan cepat senyawa protein, lemak dan karbohidrat pada jamur kuping kering.
Pada Tabel 1 dapat dilihat pengaruh iradiasi terhadap asam-asam organik yang diteliti. Hasil pengujian menunjukkan bahwa produksi asam laktat tidak terjadi pada jamur kuping kering, baik sebelum maupun sesudah iradiasi. Hal ini mungkin disebabkan karena pada jamur kuping kering tidak memungkinkan terjadinya fermentasi dan tidak terdapat aktivitas pertumbuhan bakteri. Asam-asam organik dari produk fermentasi merupakan hasil hidrolisis asam lemak dan juga sebagai hasil aktivitas pertumbuhan bakteri. Selain asam laktat, produksi asam butirat juga tidak terjadi, baik pada kontrol maupun pada jamur iradiasi. Sedangkan produksi asam propionat terjadi peningkatan setelah diiradiasi dari 76,10 ppm menjadi 84,45 ppm, meskipun tidak signifikan. Asam asetat yang tidak terdeteksi pada jamur kontrol, malah ditemukan pada jamur kuping iradiasi meskipun dengan konsentrasi yang cukup rendah yaitu 0,36 ppm. Selain itu, terjadi penurunan drastis asam oksalat pada jamur kuping iradiasi, dari 10,11 ppm pada kontrol menjadi 0,11 ppm pada jamur iradiasi. Hal ini berarti iradiasi menurunkan kandungan asam oksalat pada jamur kuping kering secara cukup signifikan. Menurut Caliskan (2000), asam oksalat bersama-sama dengan kalsium dalam tubuh manusia membentuk senyawa yang tak larut dan tak dapat diserap tubuh. Dengan demikian, penurunan asam oksalat akibat iradiasi sangat menguntungkan, karena hal itu bermanfaat untuk mencegah bertemunya asam oksalat dan kalsium dalam jumlah yang lebih besar dalam tubuh ketika dikonsumsi.
Tabel 1. Pengaruh iradiasi terhadap asam-asam organik jamur kuping (Auricularia auricula) kering (ppm) Dosis Iradiasi Parameter 0 kGy 5 kGy Propionat 76,10 84,45 Asetat tt 0,36 Butirat tt tt Sitrat 299,49 tt Laktat tt tt Oksalat 10,11 0,11 tt= tidak terdeteksi
Asam-asam amino merupakan salah satu komponen zat yang terkandung pada sayuran termasuk jamur pangan (Muchtadi et al., 2014). Asam-asam amino saling berbeda gugus R-nya. Ada sekitar 20 macam asam amino penting yang merupakan pembentuk protein dan disebut asam amino hidrolisat, seperti Alanin (Ala), Arginin (Arg), Sistein (Sis), Glutamin (Gln), Asam glutamat (Glu), Glisin (Gly), Histidin (His), Iso-leusin (Leu), Lisin (Lys), Metionin (Met), Fenilalanin (Phe), Prolin (Pro), Serin (Ser), 43
Jurnal Hasil Penelitian Industri, Vol. 29, No. 1 – April 2016, hal. 40-46
Treonin (Thr), Triptofan (Trp), Tirosin (Tyr), dan Valin (Val) (Rediatning dan Kartini, 1987). Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa iradiasi 5 kGy dapat mempertahankan komposisi asam amino jamur kuping kering atau tidak terjadi perubahan yang signifikan, meskipun cenderung mengalami penurunan. Hal ini sesuai dengan apa yang dilaporkan oleh Khattak dan Klopfenstein (1988) bahwa iradiasi gamma 5 kGy tidak mengubah komposisi asam amino biji-bijian dan legumes. Asam aspartat dan asam glutamat merupakan jenis asam amino yang cukup dominan pada jamur kuping kering. Dari sisi nutrisi, asam amino yang dibutuhkan dari luar hanya asam amino esensial (His, Ile, Leu, Lys, Met, Phe, Thr, Trp, Val), sedang yang lain dapat disintesis secara in-vivo. Oleh karena itu asam amino pada jamur kuping kering dapat menjadi salah satu sumber asam amino esensial yang dibutuhkan tubuh.
dan kadar karbohidrat jamur kuping (Auricularia auricula) kering. Terlihat bahwa iradiasi pada dosis 5 kGy tidak mempengaruhi kadar air, protein dan kadar karbohidrat, kecuali kadar lemak yang agak meningkat namun tidak terlalu signifikan. Hal ini sesuai dengan apa yang dilaporkan dalam penelitian sebelumnya bahwa iradiasi gamma sampai dengan 10 kGy tidak mengubah kadar air, protein, lemak dan karbohidrat bahan pangan kering (Kadir dan Harsojo, 2009; Kadir, 2010). Irawati dan Atika (2004), juga melaporkan bahwa iradiasi gamma 3-5 kGy tidak mengubah kadar air, proten, lemak dan kadar karbohidrat tepung labu parang. Tabel 3. Pengaruh iradiasi terhadap kadar air, lemak, protein, dan kadar karbophidrat jamur kuping (Auricularia auricula) kering (%) Dosis Iradiasi Parameter 0 kGy 5 kGy Kadar air 11,20 12,03 Kadar lemak 0,26 0,54 Kadar protein 1,22 1,36 Kadar karbohidrat 83,91 83,35
Tabel 2. Pengaruh iradiasi terhadap asam amino jamur kuping (Auricularia auricular) (% w/w) Dosis Iradiasi Parameter 0 kGy 5 kGy Aspartic acid 0,75 0,59 Glutamic acid 0,79 0,58 Serine acid 0,35 0,26 Histidine 0,18 0,14 Glycine 0,35 0,26 Threonine 0,45 0,34 Arginine 0,36 0,27 Alanine 0,56 0,41 Tyrosine 0,22 0,15 Methionine 0,05 0,05 Valine 0,44 0,35 Phenylalanine 0,41 0,33 I-leusine 0,32 0,26 Leucine 0,56 0,43 Lysine 0,32 0,25 Total Asam lemak 6,11 4,67
4.2
4.3
pH, Aw dan Densitas
Pada Tabel 4 dapat dilihat pH, aktivitas air (aw), dan densitas jamur kuping iradiasi. Terlihat bahwa iradiasi relatif tidak mengubah pH , aw dan densitas jamur kuping kering. Hal ini sesuai dengan beberapa hasil penelitian sebelumnya yang menggunakan iradiasi sinar gamma tidak mengubah pH dan aw jamur kering (Kadir dan Harsojo, 2009; Kadir, 2010). Irawati dan Atika (2004) juga melaporkan bahwa iradiasi sinar gamma 3-5 kGy tidak mengubah pH dan aw tepung labu parang. Namun demikian, pada aw 0,60 masih memungkinkan pertumbuhan khamir, karena khamir osmofilik mampu tumbuh pada aw 0,60, sedangkan kapang tidak mungkin tumbuh, karena kapang baru dapat tumbuh dengan aw minimal 0,80 (Fardiaz, 1989; Rahayu dan Nurwitri, 2012). Menurut Muchtadi dan Sugiyono (2014), aw bahan mempunyai peranan penting dalam
Kadar Air, Lemak, Protein dan Kadar Karbohidrat
Pada Tabel 3 dapat dilihat Pengaruh iradiasi terhadap kadar air, lemak, protein, 44
Idrus Kadir dan Darmawan Darwis
Pengaruh Irradiasi Berkas ...
menghambat atau mencegah pertumbuhan mikroba. Karena mikroba memerlukan air untuk pertumbuhan dan aktifitasnya, maka untuk mencegah atau menghambat pertumbuhan mikroba dapat dilakukan dengan mengurangi kadar air bahan yaitu dengan cara pengeringan. Jadi prinsip pengawetan pangan dengan cara pengeringan adalah mengurangi kadar air bahan (aw) sehingga tidak memungkinkan lagi mikroba melakukan aktifitasnya.
4.
5. Tabel 4. Pengaruh iradiasi terhadap pH, Aw dan densitas jamur kuping (Auricularia auricula) kering Dosis Iradiasi Parameter 0 kGy 5 kGy pH 5,49 5,54 Aw 0,61 0,60 Densitas* 0,12 0,17 *=satuan dalam g/cm3
4. 1.
2.
3.
kering atau tidak terjadi perubahan yang signifikan, meskipun cenderung mengalami penurunan. Asam aspartat dan asam glutamat merupakan jenis asam amino yang cukup dominan pada jamur kuping kering; Iradiasi pada dosis 5 kGy tidak mempengaruhi kadar air, protein dan kadar karbohidrat, kecuali kadar lemak yang agak meningkat namun tidak terlalu signifikan; Iradiasi relatif tidak mengubah pH, aw dan densitas jamur kuping kering. Namun demikian, pada Aw 0,60 masih memungkinkan pertumbuhan khamir, karena khamir osmofilik mampu tumbuh pada Aw 0,60, sedangkan kapang tidak mungkin tumbuh, karena kapang baru dapat tumbuh dengan Aw minimal 0,80.
UCAPAN TERIMA KASIH
KESIMPULAN
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala PAIR-BATAN yang telah memberikan fasilitas dan pendanaan dalam melaksanakan penelitian ini. Selain itu penulis juga menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada para staf dan teknisi yang bertugas dalam pengoperasian Mesin Berkas Elektron (MBE) dan Laboratorium Bahan Pangan PAIR-BATAN yang menunjang kelancaran pelaksanaan penelitian.
Iradiasi 5 kGy mampu menghambat proses fermentasi dan pertumbuhan mikroba sehingga produksi asam laktat, produksi asam butirat tidak terjadi, baik pada kontrol maupun pada jamur iradiasi, sedangkan produksi asam propionat relatif stabil meskipun cenderung meningkat. Selanjutnya, produksi asam asetat tidak terdeteksi pada jamur kontrol, meskipun ditemukan pada jamur kuping iradiasi tetapi dengan konsentrasi yang sangat rendah; Terjadi penurunan drastis asam oksalat pada jamur kuping iradiasi, dari 10,11 ppm pada kontrol menjadi 0,11 ppm pada jamur iradiasi. Hal ini berarti iradiasi menurunkan kandungan asam oksalat pada jamur kuping kering secara cukup signifikan, yang dari segi kesehatan berdampak baik karena asam oksalat bersama-sama dengan kalsium dalam tubuh manusia membentuk senyawa yang tak larut dan tak dapat diserap tubuh; Iradiasi 5 kGy dapat mempertahankan komposisi asam amino jamur kuping
DAFTAR PUSTAKA Andrade, M.C.N., Jesus, J.P.F., Vieira, F.R., Viana, S.R., Spoto, M.H.F., and Minhoni, M.T.A. 2013. Gamma Irradiation Can Control the Number of Psychotrophic Bacteria in Agaricus bisporus During Storage. African J. Agric. Research. 8(17):1623-1628. BSN. 1992. Cara Uji Makanan dan Minuman (SNI 01-2891-1992). Badan Standardisasi Nasional, Jakarta. 36 hal. Biohaz. 2011. Scientific Opinion on the Efficacy and Microbiological Safety of Irradiation of Food. J. EFSA. 9(4):2103. BPS. 2015. Statistik sayuran dan buah-buahan semusim Indonesia 2014. Badan Pusat Statistik (BPS), Jakarta. 104 hal. 45
Jurnal Hasil Penelitian Industri, Vol. 29, No. 1 – April 2016, hal. 40-46
Caliskan, M. 2000. The metabolism of oxalic acid. Turk. J. Zool. 24:103-106. Carocho, M., Barros, L., Antonio, A.L., Barreira, J.C.M., Bento, A., Kaluska, I., and Ferreira, I.C.F.R. 2013. Analysis of organic acids in electron beam irradiated chestnuts (Castanea sativa Mill.): Effects of radiation dose and storage time. Food and Chemical Toxicology. 55: 348:352 Carocho, M., Barraeira, J.C.M., Antonio, A.L., Bento, A., Kaluska, L., and Ferreira, I.C.F.R. 2012. Effects of Electron beam radiation on nutritional parameters of Portuguese chestnuts (Castanea sativa Mill.). J. Agric. Food Chem. 60(31): 77547760 Depkes.R.I. 2009. Peraturan Menteri Kesehatan R.I. Nomor 701/MENKES/PER/VIII/2009 Tentang Pangan Iradiasi . Fardiaz, S. 1989. Mikrobiologi Pangan. Ditjen Dikti-PAU Pangan dan Gizi, IPB, Bogor. 268 hal. Irawati, Z., dan Atika, M.A.N. 2004. Pengaruh Iradiasi Gama pada Kualitas Tepung Labu Parang (Cucurbita pepo L.). Risalah Seminar Ilmiah Penelitian dan Pengembangan Aplikasi lsotop dan Radiasi, P3TIR-BATAN, Jakarta. Irawati, Z. 2007. Pengembangan teknologi nuklir untuk meningkatkan keamanan dan daya simpan bahan pangan. J. Aplikasi Isotop dan Radiasi. 3(2): 41-52. Irawati, Z. 2008. Perkembangan dan Propek Proses Radiasi Pangan di Indonesia. Jurnal Teknologi & Industri Pangan. 19(2): 170176. Khattak, A.B., and Klopfenstein, C.F. 1988. Effect of Gamma irradiation on the Nutritional Quality of Grains and Legumes II. Changes in Amino Acid Profiles and Available Lysine. Cereal Chem. 66(3):171-172 Kadir, I. 2007. Pemanfaatan Teknik Iradiasi dalam Penanganan Jamur Kuping (Auricularia sp.). Prosiding Seminar Ilmiah Hasil Penelitian Aplikasi Isotop dan Radiasi Tahun 2007. PATIR-BATAN, Jakarta. Kadir, I., Dan Harsojo. 2009. Penggunan Teknik Iradiasi Gamma Untuk Memperpanjang Daya Simpan Jamur Shiitake (Lentinula Edodes) Kering. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Aplikasi Isotop Dan Radiasi, Jakarta 12-13 Maret 2008, PATIR-BATAN, Jakarta. Hal. 197-212. Kadir, I. 2010. Pemanfaatan Iradiasi untuk Memperpanjang Daya Simpan Jamur Tiram putih (Pleurotus ostreatus) Kering. Jurnal Aplikasi Isotop dan Radiasi. 6(1): 86-103.
Ketaren, S. 2012. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI-Press, Jakarta. 327 hal. Kashiwagi, M., and Hoshi, Y. 2012. Electron beam Processing System and Its Application. SEI Technical Review. 75:47-54. Kalyani, B., and Manjula, K. 2013. Irradiated of Mushrooms- An Overview. Int. J. Science & Research. 2 (12): 6-8. Mali, A.B., Khedkar, K., and Lele, S.S. 2011. Effect of Gamma Irradiation on Total Phenolic Content and In vitro Antioxidant Activity of Pomegranate (Punica granatan h.) Peels. Food & Nut. Sci. 2: 428-433. Muchtadi, T.R., dan Sugiyono. 2014. Prinsip Proses dan Teknologi Pangan. Alfabeta, Bandung. 320 hal. Muchtadi, T.R., Sugiyono dan Ayustaningwarno, F. 2015. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Alfabeta, Bandung. 324 hal. Natalia, D. dan Nurozy. 2012. Kinerja daya Saing Produk Perikanan Indonesia di Pasar Global. Bul. Ilmiah litbang Perdagangan.6(1):6988. Rediatning, S.W., dan Kartini, H.W. 1987. Analisis Asam Amino dengan Kromatografi Cairan Kinerja Tinggi Secara Derivatisasi Prakolom dan Pascakolom. Proceedings ITB 20(1/2) 41-59 Rachbini, D.J., Arifin, B., Yustika, A.E., Hartati, E.S., Listiyanto, E., Firdaus, A.H., Talattov. A.P.G., dan Abdullah, I. 2011. Outlook Industri 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri. Kementerian Perindustrian R.I., Jakarta. 197 hal. Ree, M & Stoa, E. 2011. Simultaneous Determination of Aspartame, Benzoaic Acid, Caffeine, and Saccharine in SugarFree Beverages using HPLC. Concordia College Journal of Analytical Chemistry, (1): 73-77. Rahayu, W.P., dan Nurwitri, C.C. 2012. Mikrobiologi Pangan. IPB Press, Bogor. 132 hal. Stevanova, R., Vasilev, N.V., Spassov, S.L. 2010. Irradiation of food, current legislation framework, and detection of irradiated foods. Food Anal. Methods. 3: 225-252. Sabharwal, S. 2013. Electron Beam Irradiation Applications. Proc. PA 2013, Pasadena, CA, USA.:745-748. Yaqvob, M., Gholamali, P., Farhood, Z., Mahmood, G., and Vahid, S. 2013. Improvement of shelf life and postharvest quality of white button mushroom by 60-Co gamma-ray irradiation. Plant Knowledge Journal. 2 (1) 1-7.
46
Jurnal Hasil Penelitian Industri, Vol. 29, No. 1 – April 2016, hal. 47-52
PENGARUH PELARUT TERHADAP RENDEMEN MINYAK ATSIRI PALA (The Effect of Solvent On Nutmeg Essetial Oil Yield) Marni Kaimudin*, dan Mozes Radiena Balai Riset dan Standardisasi Industri Ambon, Jl. Kebon Cengkeh Atas, Ambon, Indonesia *Email :
[email protected]
Diterima : 16 Februari 2016
Riwayat Perlakuan Artikel: Revisi : 10 Maret 2016
Disetujui: 13 April 2016
ABSTRAK. Potensi tanaman pala 10.918 ha yang tersebar pada beberapa kabupaten di Maluku dan salah satunya terdapat pada kepulauan Banda, Kabupaten Maluku Tengah. Dengan potensi alam yang begitu besar namun industri kecil untuk penyulingan minyak pala dari bijinya belum berkembang pesat. Ekstraksi umumnya menggunakan pelarut air yang lebih ekonomis. Selain dari pelarut air, dilakukan proses ekstraksi pelarut menggunakan pelarut ether, hexane, toluen, dan metanol, dengan tujuan melihat pengaruh pelarut tersebut terhadap rendemen minyak atsiri pala yang dihasilkan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah ektraksi dengan sistem soxhletasi. Hasil ekstraksi minyak dari biji pala, diperoleh rendemen 10% untuk pelarut eter,16%, untuk pelarut dietileter, 4,04% untuk pelarut hexana, 72,04% untuk pelarut toluena dan 85% untuk pelarut methanol. Hasil uji kualitas yang menyangkut keadaan minyak, meliputi warna dan bau. Untuk eter berwarna kuning muda, bau sedikit khas minyak pala, dietil eter berwarna kuning muda, bau sedikit khas minyak pala, hexana warnanya kuning telur, bau tidak khas minyak pala, toluena warnanya orange, bau tidak khas minyak pala dan methanol warnanya merah bata, bau tidak khas minyak pala. Sebagai pembanding dilakukan ektraksi dengan pelarut air yang telah dilakukan sebelumnya. Rendemen yang diperoleh sebesar 12,5%. Warna minyak bening kekuning – kuningan dan bau khas minyak pala sebagaimana termuat dalam SNI Minyak Pala No. 06-2388- 2006 untuk jenis uji kualitas warna yaitu tidak berwarna sampai kuning pucat dan bau khas minyak pala. Kata Kunci : Biji pala, ekstraksi, minyak pala, pelarut, dan rendemen. ABSTACT. Potential nutmeg plant 10.918 ha are scattered in several districts in Maluku and one of them contained in the Banda Islands, Central Maluku district. With natural potential so great but Small Medium Enterprise (SME) for the oil refinery of the nutmeg seed has not developed rapidly. Refining generally use water as a solvent because more economically. Beside of the water solvent, solvent distillation process is carried out with ether, hexane, toluene and methanol with a purpose to see the effect of the solvent on the yield of nutmeg essential oil produced. The method used in this study is refining the system soxhletation. Results of nutmeg oil refining, obtained yield of 10% for solvent ether, 16%, of solvent diethylether, 4.04% for the solvent hexane, 72.04% for the solvent toluene and 85% for the methanol solvent. Oil state test results which include the color and odor of ether that is light yellow, slightly peculiar smell of nutmeg oil, diethyl ether to light yellow, slightly peculiar smell of nutmeg oil, hexane color to egg yolks, not the typical smell of nutmeg oil, for toluene color orange, not the typical smell of nutmeg oil and methanol brick red color, the smell is not typical nutmeg oil. As a comparison is refined with solvent water color is clear strawbrass, distinctive smell of nutmeg oil, as contained in nutmeg oil SNI test for this type of situation, namely the color of colorless to pale yellow and the typical smell of nutmeg oil. Keywords: Nutmeg, extraction, nutmeg oil, solvents, and yield.
1.
wilayah Indonesia. Di dunia, tumbuhan tropika yang mengandung minyak atsiri diperkirakan lebih dari 200 jenis. Dalam perdagangan hanya dikenal kurang lebih 70 jenis. Dari 70 jenis minyak atsiri yang laku di pasaran Internasional, 40 jenis minyak atsiri yang telah diusahakan secara komersial dan mendapat legalitas sebagai komoditas
PENDAHULUAN
Minyak atsiri adalah produk alami yang mempunyai aroma yang berasal dari tumbuhan tertentu dan dihasilkan dari proses biokimia dalam tanaman. Tumbuhan tropika yang mengandung minyak atsiri banyak tumbuh dan tersebar di sebagian besar 47
Jurnal Hasil Penelitian Industri, Vol. 29, No. 1 – April 2016, hal. 47-52
ekspor ke seluruh manca negara (Agusta, 2000). Salah satu jenis minyak atsiri yang telah dikenal adalah minyak pala. Minyak pala merupakan cairan jernih sampai kuning muda sebagai salah satu komoditas ekspor yang cukup besar di Indonesia serta memiliki keunggulan di pasaran dunia karena memiliki aroma yang khas dan rendemen minyak yang tinggi. Kegunaan minyak pala dalam bidang farmasi digunakan sebagai obat dan dalam bidang industri kosmetik digunakan sebagai pewangi dan parfum (Lutony & Rahmayati, 2002). Dalam bidang makanan, minyak pala dimanfaatkan sebagai penambah aroma dan peningkatan cita rasa dalam masakan (Rismunandar, 1990). Kebanyakan minyak atsiri diekspor atau dijual ke luar negeri seperti Jepang, Amerika Serikat, Inggris dan Eropa (Sastrohamidjojo, 2004). Data BPS pada tahun 2007 menunjukkan kebutuhan dunia mencapai 400 ton/tahun minyak pala dan 60% dipasok dari Indonesia (Trubus, 2009). Umumnya minyak pala diperoleh dengan cara penyulingan uap biji pala (nutmeg) dan fuli pala (mace) dengan menggunakan pelarut air oleh pengrajin minyak pala. Hal ini disebabkan karena pelarut air lebih ekonomis dan mudah diperoleh. Minyak pala memiliki bau yang khas seperti keharuman bumbu rempah – rempah. Maluku mempunyai luas areal tanaman pala 10.918 Ha, tersebar pada beberapa kabupaten. Potensi terbesar terdapat pada Kepulauan Banda, Kabupaten Maluku Tengah. Dengan potensi alam yang begitu besar namun industri kecil untuk ekstraksi biji pala yang lebih dikenal dengan penyulingan minyak pala belum berkembang pesat. Ekstraksi atau penyulingan minyak atsiri pala hanya dilakukan oleh petani pala yang hasil panennya menghasilkan biji pala yang pecah – pecah. Faktor utama kurang pesatnya penyulingan minyak pala adalah pemahaman tentang teknologi ekstraksi atau untuk memperoleh rendemen yang tinggi,
waktu penyulingan minyak yang relatif singkat dan pangsa pasar minyak atsiri pala. Metode yang dapat digunakan untuk memperoleh minyak pala umumnya adalah dengan metode distilasi uap, distilasi air, distilasi uap-air dan ekstraksi dengan menggunakan pelarut. (Nur Hidayati et al, 2015). Ekstraksi pelarut adalah salah satu metode pemisahan berdasarkan kelarutan kepolaran komponen – komponen yang dipisahkan dengan pelarut yang digunakan. Proses ekstraksi merupakan proses yang umum dijumpai dalam rangkaian proses isolasi dan proses ini sangat menentukan keberhasilan mengelusidasi struktur senyawa organik. Pelarut yang ideal mempunyai sifat – sifat : tidak toksik, tidak bersifat eksplosif, mempunyai interval titik didih yang sempit, mempunyai daya melarutkan, mudah dan murah. (Darmawan,P. 2012). Teknik ekstraksi diklasifikasikan dengan berbagai bentuk, yaitu ekstraksi sederhana atau biasa, ekstraksi soxhlet dan ekstraksi fase padat yang pengguanaannya sangat tergantung dari tekstur bahan yang akan diekstrak. Pada contoh (sampel) biji pala, metode ekstraksi yang digunakan adalah ekstraksi soxhlet karena contoh yang digunakan keras sehingga untuk memisahkan minyak pala yang ada pada contoh (sampel) tersebut melalui pemanasan kontinyu. Untuk memaksimalkan proses soxhletasi, perlu diperhatikan persyaratan untuk pelarut yang akan digunakan, antara lain; (Diana dkk., 2012). a. Selektif, hanya mengisolasi atau melarutkan zat – zat yang diinginkan b. Inert, tidak bereaksi dengan senyawa yang akan diekstrak c. Memiliki titik didih yang rendah sehingga mudah diuapkan pada temperatur yang tidak terlalu tinggi. d. Jika diuapkan akan menguap sempurna tanpa meninggalkan sisa atau residu. e. Harganya relatif murah.
48
Marni Kaimudin dan Mozes Radiena
Pengaruh Pelarut Terhadap ...
Pelarut yang umum digunakan pada proses ekstraksi minyak pala adalah pelarut air. Waktu ekstraksi minyak berkisar 10 sampai 12 jam. Penggunaan bahan bakar yang besar, rendemen minyak yang dihasilkan sekitar 8 sampai 9% dan biaya operasional yang tinggi menyebabkan kegiatan ekstraksi minyak pala tidak rutin dilakukan. Pelarut yang umum digunakan dalam ekstraksi soxhlet adalah dietileter, isoprophyl eter, benzene, metilen klorida, kloroform, petroleum eter, alkohol, n-heksana dan lain – lain (Mandey, 2003). Dengan ketersediaan bahan baku yang memadai, belum berkembangnya teknologi ekstraksi dan untuk mencoba alternatif penggunaan pelarut selain air, maka diperlukan upaya untuk menghasilkan minyak pala selain air. Untuk itulah dilakukan penyulingan dengan pelarut dietileter, eter, hexana, toluene dan methanol. Hal ini dimaksudkan sebagai bahan referensi. Penelitian tentang ekstraksi atau penyulingan dari minyak pala telah dilakukan dengan menggunakan pelarut petroleumeter dan methanol untuk memisahkan minyak dari trimiristin atau lemak miristisin biji pala. Hasil yang diperoleh yaitu rendemen 10% (Anonimous, 2000). Penelitian lain yang telah dilakukan tentang penyulingan minyak pala dengan metode ekstraksi adalah peningkatan teknologi penyulingan minyak atsiri pala dengan pelarut air, diperoleh rendemen 12.5% (Marni dkk, 2013). 2. 2.1
Peralatan pembantu yang digunakan adalah loyang, lumpang, sendok plastik/kayu, corong, erlenmeyer, gelas piala, gelas ukur, botol sampel dan timbangan. 2.2
Metode
Metode ektraksi yang digunakan adalah ekstraksi dengan sistem soxhletasi dengan menggunakan pelarut dietileter, eter, hexana, toluena dan methanol. 2.3
Parameter Uji
Pengamatan yang dilakukan adalah rendemen minyak dalam persen dan parameter kualitas sesuai SNI minyak pala No. 06 – 2388 – 2006 yang meliputi bau dan warna. 3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil ekstraksi minyak pala dari 250 g biji pala, Myristica fragrans Houtt yang dilakukan dengan metode soxhletasi selama 8 jam, diperoleh hasil yang ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Perolehan rendemen minyak hasil ekstrkasi biji pala dengan pelarut, dietileter, eter, hexana, toluena dan methanol. Pelarut Rendemen (%) Dietileter 16 Eter 10 Hexana 4,04 Toluena 72,05 Methanol 85
METODOLOGI Hasil perolehan rendemen pada Tabel 1 sebagaimana dikatakan oleh Albert Y Leung dalam Rismunandar (1990) bahwa komposisi biji pala mengandung minyak atsiri 2 – 16% dengan rata – rata 10%. Dalam kegiatan setelah ekstaraksi, contoh diberi penambahan etanol dimaksudkan untuk membantu mengendapkan trimiristin pada minyak pala. Trimiristin adalah lemak miristisin yang berbentuk kristal putih kekuningan.
Bahan dan Alat
Bahan utama yang digunakan adalah biji pala (Myristica fragrans Houtt). Bahan pembantu yang digunakan adalah dietileter, eter, hexana, toluena, methanol, ethanol, kertas saring dan kapas. Peralatan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat alat ekstraksi (soxhlet, pompa, isomantel). 49
Jurnal Hasil Penelitian Industri, Vol. 29, No. 1 – April 2016, hal. 47-52
Nilai rendemen berkurang setelah penyimpanan satu sampai empat hari untuk pelarut hexana dan methanol. Penurunan rendemen hexana dari 4,04% menjadi 2,44% dan methanol 85% menjadi 36,05%. Hal ini disebabkan sifat dari pelarut tersebut yang kurang mengikat minyak pala sehingga mengakibatkan penguapan yang sangat besar. Selama penyimpanan minyak juga terjadi perubahan fase dari cair menjadi padat. Rendemen dan fase untuk pelarut dietileter, eter dan toluene tetap selama penyimpanan. Ketiga pelarut tersebut mengikat minyak yang ada dalam biji pala. Dari Tabel 1, perbedaan hasil perolehan rendemen, tergantung dari sifat polar tidaknya pelarut yang digunakan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Suyanti, et al (2005) bahwa semakin polar pelarut, maka daya mengekstraksi minyak semakin baik. Selain itu kemamuan pelarut dalam melarutkan minyak berbeda – beda. Umumnya minyak pala merupakan cairan jernih sampai kuning muda (Lutony & Y,Rahmayati,2002). Hasil uji kualitas warna dan bau untuk kelima pelarut tersebut di atas diperlihatkan pada Tabel 2. Dari Tabel 2, diperlihatkan kualitas warna minyak yang dihasilkan dengan pelarut metanol adalah merah bata. Metanol dan hexana merupakan senyawa polar protik. Pelarut protik melarutkan anion dengan kuat (larutan bermuatan negatif) melalui ikatan
hidrogen. Dengan sifat polaritas dari pelarut tersebut di atas tidak menghasilkan minyak pala dengan sempurna sehingga tidak memenuhi standar mutu dari minyak pala yaitu kualitas minyak seperti bau dan warna yang tidak sesuai. Untuk pelarut toluena tidak terjadi pengurangan bobot rendemen dan fasa tetapi warna minyak yang dihasilkan tidak sesuai dengan warna minyak pala. Kualitas warna minyak yang dihasilkan adalah warna orange dan tidak bau khas pala. Untuk pelarut eter tidak terjadi pengurangan bobot rendemen dan fasa setelah penyimpanan. Kualitas warna minyak yang dihasilkan sama dengan warna minyak pala yaitu bening kekuningan. Sebagaimana dikatakan oleh Ames dalam Ginting (2004), minyak atsiri adalah zat cair yang mudah menguap bercampur dengan persenyawaan padat yang berbeda dalam hal komposisi dan titik cairnya, larut dalam pelarut organik dan tidak larut dalam air. Berdasarkan sifat tersebut, maka minyak atsiri dapat diekstrak dengan 4 macam cara, yaitu: penyulingan (distillation), pressing (ekspression), ekstraksi dengan pelarut (solvent extraction) dan absorbsi oleh menguap lemak padat (enfleurage). Jumlah minyak yang menguap bersama-sama uap air ditentukan oleh 3 faktor, yaitu: besarnya tekanan uap yang digunakan, berat molekul dari masing-masing komponen dalam minyak dan kecepatan minyak yang keluar dari bahan.
Tabel 2. Hasil uji kualitas minyak pala sesuai SNI No.06-2388-2006. Pelarut
Warna
Jenis Uji Kualitas Bau
SNI No.06-2388-2006 Warna Bau
Dietileter
Kuning muda
sedikit khas minyak pala
Eter
Kuning muda
Tidak khas minyak pala
Hexana
Kuning pekat
Tidak khas minyak pala
Toluena
Orange
Tidak khas minyak pala
Methanol
Merah bata
Tidak khas minyak pala
50
Khas minyak pala
Tidak berwarna – kuning pucat
Marni Kaimudin dan Mozes Radiena
Pengaruh Pelarut Terhadap ...
Bird, et al dalam Bustan, et al (2008) bahwa operasi ekstraksi solid-liquid dapat dilakukan dengan cara mengontakkan padatan dan pelarut sehingga diperoleh larutan yang diinginkan yang kemudian dipisahkan dari padatan sisanya. Pada saat pengontakkan terjadi, mekanisme yang berlangsung adalah peristiwa pelarutan dan difusi. Pelarutan merupakan peristiwa penguraian suatu molekul zat menjadi komponennya, baik berupa molekulmolekul, atom-atom maupun ion-ion, karena pengaruh pelarut cair yang melingkupinya. Partikel - partikel yang terlarutkan ini berkumpul di permukaan antara (interface) padatan dan terlarut. Bila peristiwa pelarutan masih terus berlangsung, maka terjadi difusi partikel - partikel zat terlarut dari lapisan antara fase menembus lapisan permukaan pelarut dan masuk kedalam badan pelarut dimana zat terdistribusikan merata. Jadi difusi terjadi di fase padat diikuti difusi ke fase cair. Peristiwa ini terus berlangsung sehingga keadaan setimbang tercapai. Proses ekstraksi biasanya melibatkan tahap - tahap berikut : a. Pencampuran bahan ekstraksi dengan pelarut dan membiarkannya saling kontak. Dalam hal ini terjadi perpindahan massa secara difusi pada bidang antar muka bahan ekstraksi dengan pelarut. Dengan demikian terjadi pelarutan ekstrak. b. Memisahkan larutan ekstrak dan raffinate, yang sering dilakukan dengan cara penjernihan atau filtrasi. c. Mengisolasi ekstrak dari larutan ekstrak dan mendapatkan kembali pelarut, umumnya dilakukan dengan menguapkan pelarut. Dalam hal-hal tertentu, larutan ekstrak dapat langsung diolah setelah dipekatkan.
a. b.
Difusi dari dalam padatan (biji) ke permukaan padatan (biji). Perpindahan massa minyak dari permukaan padatan (biji) ke cairan.
Sebagaimana dikatakan Guenther dalam Safaatul (2010) bahwa Prinsip ekstraksi adalah melarutkan minyak atsiri dalam bahan dengan pelarut organik yang mudah menguap. Proses ekstraksi biasanya dilakukan dalam wadah (ketel) yang disebut ”extractor”. Pelarut sangat mempengaruhi proses ekstraksi. Pemilihan pelarut pada umumnya dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain : a. Selektivitas. Pelarut dapat melarutkan semua zat yang akan diekstrak dengan cepat dan sempurna. b. Titik didih pelarut. Pelarut harus mempunyai titik didih yang cukup rendah sehingga pelarut mudah diuapkan tanpa menggunakan suhu tinggi pada proses pemurnian dan jika diuapkan tidak tertinggal dalam minyak. c. Pelarut tidak larut dalam air. d. Pelarut bersifat inert sehingga tidak bereaksi dengan komponen lain. e. Harga pelarut semurah mungkin. f. Pelarut tidak mudah terbakar. 4.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa : 1. Minyak pala dapat diperoleh dengan cara ekstraksi pelarut selain air yaitu dengan pelarut dietileter, eter, hexana, toluena dan methanol. 2. Pelarut yang cocok digunakan selain air adalah dietileter yang menghasilkan kualitas warna dan bau sesuai SNI No. 06-2388-2006. 3. Rendemen minyak pala sangat bervariasi tergantung dari jenis pelarut yang digunakan.
Pengambilan minyak dengan cara ekstraksi pelarut cocok untuk pengambilan minyak nabati. Pada proses ekstraksi minyak dari biji–bijian dengan pelarut, perpindahan massa solute (minyak) dari dalam padatan ke pelarut dapat diduga melalui tahapan: 51
Jurnal Hasil Penelitian Industri, Vol. 29, No. 1 – April 2016, hal. 47-52
Marni, Mientje, Reynaldo, Frederik, Rani dan Irwinanita. 2013. Peningkatan Teknologi Penyulingan Minyak Atsiri Pala. Laporan Peneltian. Baristand Industri Ambon. Ambon. Nimitz. J.S,1991. Eksperiments in Organic Chemistry From Microscale to Macroscale, By Prentice – Hall Inc, Englewood Cliffs, New Jersey. Nur Hidayati, Hanifia Ilmawati, Efani Sar. 2015. Penyulingan Minyak Biji Pala: Pengaruh Ukuran Bahan, Waktu dan Tekanan Penyulingan Terhadap Kualitas dan Rendemen Minyak. Simposium Nasional RAPI XIV - 2015 FT UMS. ISSN 1412-9612 Rismunandar, 1990. Budidaya dan Tata Niaga Pala. Penerbit Swadaya. Jakarta. Safaatul, M. dan Prima, A. H. 2010. Ekstraksi Minyak Daun Jeruk Purut (Citrus hystrix D.C.) Dengan Pelarut Etanol dan n-Heksana. Jurnal Kompetensi Teknik. 2(1). Sastrohamidjojo. H. 2004. Kimia Minyak Atsiri. Penerbit Gajah Mada University Press. Jokjakarta. Susanti Ari Diana, Ardiana Dwi, Gumelar P. Gita dan Bening G. Yosephin. 2012. Polaritas Pelarut Sebagai Pertimbangan Dalam Pemilihan Pelarut Untuk Ektraksi Minyak Bekatul Dari Bekatul Varietas Ketan (Oriza Sative Glatinosa). Simposium Nasional RAPI XI FT UMS-2012 ISSN : 1412-9612 Suranto. H. 1993. Budidaya Pala, Komoditas Ekspor. Penerbit Kanisius. Yogyakarta Suyanti, Prabawati Sulusi, Yulianingsih, Setiadjit dan Unadi Astu, 2005. Pengaruh Cara Ekstraksi dan Musim Terhadap Rendemen dan Mutu Minyak Bunga Melati. Jurnal Pascapanen 2(1): 18-23.
UCAPAN TERMA KASIH Terima kasih penulis sampaikan kepada Kepala Baristand Industri Ambon yang telah mendukung dalam penelitian ini. Terima kasih penulis sampaikan juga buat rekan-rekan atas bantuan dan kerjasamanya sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan baik. DAFTAR PUSTAKA Agusta. A. 2000. Minyak Atsiri Tumbuhan Tropika Indonesia. Penerbit ITB – Press Bandung. Amos dan Purwanto. N. 2002. Hard Candy Dengan Flavour dari Minyak Pala, http:/www.iptek.net.id. Bustan, M. Djoni. 2008. Pengaruh Waktu Ekstraksi Dan Ukuran Partikel Terhadap Berat Oleoresin Jahe Yang Diperoleh Dalam Berbagai Jumlah Pelarut Organik (Methanol), Jurnal Teknik Kimia, 15 (4). Darmawan, Petrus, 2012. Pengaruh Jenis Pelarut terhadap rendemen minyak bunga cengkeh dengan menggunakan metode ekstraksi Sokhletasi, Jurnal Kimia dan Teknologi. Ginting Sentosa, 2004. Pengaruh Lama Penyulingan Terhadap Rendemen Dan Mutu Minyak Atsiri Daun Sereh Wangi. http://repository.usu.ac.id/bitstream/1234 56789/788/3/tekper-sentosa.pdf.txt Lutony T. L dan Y. Rahmayati, 2002. Produksi dan Perdagangan Minyak Atsiri, Penerbit Swadaya – Jakarta. Mandey F, 2003. Makalah Pada Kursus Singkat Teknik Isolasi Dan Karakteristik Senyawa KOBA, Universitas Hasanudin
52