Aedeagusdr os ophi l i d
Fauna Indonesia merupakan Majalah llmiah Populer yang diterbitkan oleh Masyarakat Zoologi Indonesia (MZI). Majalah ini memuat hasil pengamatan ataupun kajian yang berkaitan dengan fauna asli Indonesia, diterbitkan secara berkala dua kali setahun
ISSN 0216-9169
Redaksi Mohammad Irham Pungki Lupiyaningdyah Nur Rohmatin Isnaningsih Conni Margaretha Sidabalok
Sekretariatan Yulianto Yuni Apriyanti
Alamat Redaksi Bidang Zoologi Puslit Biologi - LIPI Gd. Widyasatwaloka, Cibinong Science Center JI. Raya Jakarta-Bogor Km. 46 Cibinong 16911 TeIp. (021) 8765056-64 Fax. (021) 8765068 E-mail:
[email protected]
Foto sampul depan : Aedeagus drosophilid - Foto : Awit Suwito Aedeagus drosophilid - Foto: Awit Suwito
PEDOMAN PENULISAN
Redaksi FAUNA INDONESIA menerima sumbangan naskah yang belum pernah diterbitkan, dapat berupa hasil pengamatan di lapangan/ laboratorium atau studi pustaka yang terkait dengan fauna asli Indonesia yang bersifat ilmiah popular. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia dengan summary Bahasa Inggris maksimum 200 kata dengan jarak baris tunggal. Huruf menggunakan tipe Times New Roman 12, jarak baris 1.5 dalam format kertas A4 dengan ukuran margin atas dan bawah 2.5 cm, kanan dan kiri 3 cm. Sistematika penulisan: a. Judul: ditulis huruf besar, kecuali nama ilmiah spesies, dengan ukuran huruf 14. b. Nama pengarang dan instansi/ organisasi. c. Summary d. Pendahuluan e. Isi: i. Jika tulisan berdasarkan pengamatan lapangan/ laboratorium maka dapat dicantumkan cara kerja/ metoda, lokasi dan waktu, hasil, pembahasan. ii. Studi pustaka dapat mencantumkan taksonomi, deskripsi morfologi, habitat perilaku, konservasi, potensi pemanfaatan dan lain-lain tergantung topik tulisan. f. Kesimpulan dan saran (jika ada). g. Ucapan terima kasih (jika ada). h. Daftar pustaka. 5. Acuan daftar pustaka: Daftar pustaka ditulis berdasarkan urutan abjad nama belakang penulis pertama atau tunggal. a. Jurnal Chamberlain. C.P., J.D. BIum, R.T. Holmes, X. Feng, T.W. Sherry & G.R. Graves. 1997. The use of isotope tracers for identifying populations of migratory birds. Oecologia 9:132-141. b. Buku Flannery, T. 1990. Mammals of New Guinea. Robert Brown & Associates. New York. 439 pp. Koford, R.R., B.S. Bowen, J.T. Lokemoen & A.D. Kruse. 2000. Cowbird parasitism in grasslands and croplands in the Northern Great Plains. Pages 229-235 in Ecology and Management of Cowbirds (J. N.M. Smith, T. L. Cook, S. I. Rothstein, S. K. Robinson, and S. G. Sealy, Eds.). University of Texas Press, Austin. c. Koran Bachtiar, I. 2009. Berawal dari hobi , kini jadi jutawan. Radar Bogor 28 November 2009. Hal.20 d. internet NY Times Online . 2007.”Fossil find challenges man’s timeline”. Accessed on 10 July 2007 (http://www.nytimes.com/nytonline/NYTO-Fossil-Challenges-Timeline.html).
6.
Tata nama fauna: a. Nama ilmiah mengacu pada ICZN (zoologi) dan ICBN (botani), contoh Glossolepis incisus, nama jenis dengan author Glossolepis incisus Weber, 1907. b. Nama Inggris yang menunjuk nama jenis diawali dengan huruf besar dan italic, contoh Red Rainbowfish. Nama Indonesia yang menunjuk pada nama jenis diawali dengan huruf besar, contoh Ikan Pelangi Merah. c. Nama Indonesia dan Inggris yang menunjuk nama kelompok fauna ditulis dengan huruf kecil, kecuali diawal kalimat, contoh ikan pelangi/ rainbowfish.
7.
Naskah dikirim secara elektronik ke alamat:
[email protected]
KATA PENGANTAR
Fauna Indonesia edisi penghujung tahun 2013 ini menampilkan ulasan-ulasan menarik dari dunia fauna Indonesia. Sembilan topik ulasan yang disampaikan kepada pembaca meliputi hasil-hasil eksplorasi, eksperimenn dan kajian pustaka yang tentunya akan menambah wawasan tentang kekayaan hayati nusantara. Topik artikel kali ini sangat bervariasi mulai dari informasi biologis satwa-satwa yang unik seperti cumi-cumi kerdil dan siput ektoparasit pada ekosistem terumbu karang sampai kepada paparan fauna yang berpotensi ekonomi tinggi. Artikel-artikel pada edisi ini sangat relevan dengan kondisi keanekaragaman hayati dan program pemerintah Indonesia. Keanekaragaman hayati Indonesia yang tinggi masih banyak belum terungkap sementara itu laju kehilangannya jauh lebih cepat dari penemuan-penemuannya. Oleh karena itu, apapun hasil penelitian yang berbasis keanekaragaman hayati sangat penting bagi usaha konservasi dan pemanfaatannya. Studi-studi yang mendukung ketahanan pangan dan ekonomi rakyat menjadi salah satu aspek penting dalam penggalian potensi fauna nusantara. Dalam edisi ini tiga artikel menjabarkan potensi ekonomis dari satwa Indonesia, yaitu penangkaran kura-kura, serangga pada umbi taka dan Rusa Timor di tanah Papua. Jika ditilik lebih lanjut maka potensi fauna dapat terkait pada potensi sebagai satwa kesayangan, hama pada tanaman dan sumber protein. Hal-hal tersebut jika dikembangan dengan baik niscaya penilaian dan pandangan masyarakat terhadap keanekaragaman hayati Indonesia semakin positif. Semoga banyak pencapaian positif pada tahun 2013 bagi para pembaca Fauna Indonesia dan Selamat Tahun Baru 2014 semoga satwa kita semakin lestari dan termanfaatkan dengan bijak.
Selamat membaca.
Redaksi
i
DAFTAR ISI
PENGANTAR REDAKSI ......................................................................................................................
i
DAFTAR ISI ..............................................................................................................................................
ii
KAJIAN ULANG STATUS KODOK Rhacophorus bifasciatus van Kampen 1923 DAN Rachoporus poecilonotus Boulenger, 1920 ASAL SUMATRA.............................................................. Hellen Kurniati
1
KOMPOSISI DAN PATOFISIOLOGI BISA (VENOM) ULAR SERTA NILAI TERAPI DAN AKTIVITAS FARMAKOLOGISNYA ................................................................................... Aditya Krishar Karim
6
PERTUMBUHAN KURA-KURA DADA MERAH JAMBU Myuchelys novaeguineae schultzei (VOGHT,1911) DI PENANGKARAN (Bagian 2) ........................................................................... Mumpuni
24
ASPEK BIOLOGI DAN EKOLOGI SIPUT EKTOPARASIT FAMILI EPITONIIDAE (GASTROPODA: MOLLUSCA) ......................................................................................................... Ucu Yanu Arbi
29
Idiosepius STEENSTRUP, 1881 CUMI-CUMI KERDIL DARI PERAIRAN INDONESIA (CEPHALOPODA : IDIOSEPIIDAE) ................................................................................................ Nova Mujiono
38
KARAKTER SERANGGA PADA TANAMAN KECONDANG (TACCACEAE: Tacca leontopetaloides) DI KARIMUNJAWA, JAWA TENGAH ................. Erniwati
43
TEKNIK MENGGAMBAR SPESIMEN FAUNA SECARA DIGITAL.................................... Awit Suwito
52
PROFIL Rusa Timor (Cervus timorensis moluccensis Müller, 1839) YANG DIPELIHARA DI MANOKWARI ................................................................................................................................... Freddy Pattiselanno
ii
61
Fauna Indonesia Vol 12 (2) Desember 2013: 6-23
KOMPOSISI DAN PATOFISIOLOGI BISA (VENOM) ULAR SERTA NILAI TERAPI DAN AKTIVITAS FARMAKOLOGISNYA Aditya Krishar Karim Laboratorium Zoologi, Jurusan Biologi FMIPA,Universitas Cenderawasih Summary Venomous snake bites are a serious health problem in many tropical and subtropical regions such as Indonesia. Snakes venoms represent rich sources of potent biological compounds mainly of proteins and peptides, many with high potential for therapeutic drug development. Some components of snake venom have beneficial attributes in the treatment of various pathophysiological conditions. Understanding component and pathophysiology venom of snakes can be used for design and production of drugs and antivenom, and lead to know about clinical manisfestation produced by snake envenomation in human victim. Composition and pathophysiology from venomous snakes along with therapeutic and pharmacological activities will be discussed in this paper.
PENDAHULUAN
Bungarus caeruleus (the common krait), dan Echis carinatus (saw-scaled viper) (Parikh, 1996; Simpson & Norris, 2007). Di Nepal, terdapat sekitar 14 jenis ular berbisa termasuk didalamnya ular pit vipers (5 jenis), ular Russell’s viper, ular krait (3 jenis), ular koral
Kasus gigitan ular yang terjadi di dunia diperkirakan sekitar 5.400.000 gigitan setiap tahunnya, lebih dari 2.500.000 jiwa menderita keracunan akibat gigitan ular berbisa (envenoming) dan sekitar 125.000 kasus berakibat fatal (Kasturiratne et al. 2008). Hal ini menunjukkan bahwa gigitan ular berbisa perlu
dan 3 jenis ular kobra (Bhetwal et al, 1998). Sementara itu,di wilayah Arkansan, dari 36 jenis ular yang ada, 6 jenis diantaranya adalah ular berbisa
mendapat perhatian dan penanganan serius. Dari
(Irwin 2004). Wiscomb & Messme (2010) menyebutkan di Utah terdata 31 jenis, 7 diantaranya ular berbisa (pit vipers) semua termasuk dalam suku viperidae, sedangkan di Carolina Utara terdapat 37 jenis ular, hanya 6 jenis yang berbisa diantaranya
2.900-3.000 spesies ular yang tersebar diseluruh dunia, diperkirakan sepertiganya adalah ular berbisa. Jenis ular berbisa pada umumnya termasuk dalam Suku Elapidae, Viperidae, Hydrophiidae dan Colubridae (O’Shea 1996, Boulenger 2000, Zug et al. 2001).
Copperhead, Cottonmouth, dan 3 jenis rattlesnake (Palmer & Braswell 1995, Conant & Collins 1998). .
Jumlah dan jenis ular berbisa disetiap negara berbeda. Di India, 200 jenis ular ular telah diidentifikasi dan 52 jenis diantaranya termasuk ular berbisa (Saini et al., 1984), misalnya : Naja naja
Beberapa jenis ular berbisa di Indonesia antara lain dari suku Elapidae (ular krait, ular laut) seperti jenis Bungarus candidus, B. fasciatus, Acanthophis antarcticus, A. rugosus, Micropechis ikaheka, Oxyuranus
(Indian cobra), Daboia russelii (Russell's viper), 6
Fauna Indonesia Vol 12 (2) Desember 2013: 6-23
scuttelatus, Pseudechis papuanus, P. australis, Ophiophagus hannah, Naja sputatrix, N. sumtrana,
menyembuhkan berbagai jenis penyakit seperti tumor, kanker, hipertensi, diabetes, kelainan-kelainan hemostatis, HIV/AIDS dan lain-lain.Perkembangan
Laticauda colubrina, L. laticauda. Famili Viperidae antara lain Daboia russelii, D. siamensis, Calloselasma rhodostoma, Trimeresaurus a. albolabris, T. popeiorum, T. fasciatus, Tropidolaemus wagleri, Ovophis monticola
penelitian dan teknologi yang semakin meningkat memungkinkan akan didapatkan senyawa-senyawa potensial yang dapat dijadikan bahan baku obat untuk pemenuhan kebutuhan obat bagi masyarakat.
convictus, sedangkan famili Hydrophiidae yang terbagi subfamili Ephalophiinae (thick sea-snakes) misalnya Aipysurus duboisii, A. laevis, A. eydouxii, Hydrelaps darwninensis, Emydocephalus annulatus, dan
KOMPOSISI BISA ULAR
Parahydrophis mertoni sedangkan subfamili Hydrophiinae (flat sea-snakes) seperti Astrotia stokesii, Enhydrina schitosa, E. zweifeli, Hydrophis atriceps, H. elegans, H. gracilis, H. vorisi, Lapemis
Bisa (venom) adalah racun yang disekresikan hewan seperti ular, lebah, laba-laba atau ubur-ubur. Bisa ini umumnya ditransmisikan atau diinjeksikan ke korbannya melalui gigitan atau sengatan. Secara normal fungsi dari bisa adalah untuk memobilisasi mangsanya sebelum dicerna sekaligus sebagai
curtus, dan Pelamis platurus (Supriatna, 1981; O’Shea, 1996; Warrell, 2010; Kartikasari et al., 2012).
mekanisme pertahanan diri.
Di Indonesia, data mengenai kasus gigitan ular belum terdokumentasikan dengan baik karena distribusi ular yang sangat luas dan sering terjadi pada daerah-daerah terpencil. Kasus gigitan ular sering dialami oleh para petani, tukang kebun, pekerja,
Komponen bisa ular dapat dikategorikan sebagai enzim, peptida, glikoprotein atau senyawa dengan berat molekul kecil. Komponen bisa ini juga dibagi atas bagian protein (90-95%) dan non-protein
peneliti dilapangan, pawang ular atau pejalan kaki (Warrell 1999). Kebanyakan ular tidak menggigit
(5-10%) (Otten 1998, McCue 2005).Kebanyakan bisa
apabila tidak diganggu atau terancam dan dilaporkan pula umumnya ular jantan lebih suka menggigit dibandingkan yang betina (Seneviratne & Dissanayake 2002). Kasus gigitan paling sering terjadi pada bagian kaki/lower extremities manusia (Kulakarni & Anees 1994, Sharma et al. 2005).
phospholipases-A2 (PLA2), metalloproteinase (SVMPs), serin protease, acetylcholinesterase, L-
ular
Viperidae
dan
Elapidae
mengandung
amino acid oxidase, dan hyluronidase. Famili PLA2 dan metalloproteinase yang paling beragam, serta pada bisa ular juga mengandung protein yang tidak memiliki aktivitas enzimatik seperti 3FTX, kunizt-type serine protease inhibitor, sarafotoxin, cystein-rich scretory
Berbagai gejala gigitan ular mulai dari gejala yang ringan sampai berat sering dialami oleh korban. Hal inilah yang akhirnya membuat ular-ular sering ditakuti, dianggap sebagai ancaman dan akhirnya dibunuh. Padahal di sisi bisa ular memiliki berbagai
protein (CRISP), disintegrin, C-type lectin, waprins, veficolins, dan vespryns (Komori et al. 1999, Calvete et al/, 2005, Kini 2005, Ramos & Selistre-de-Araujo 2006,Takeda et al. 2012).
manfaat dan dapat digunakan sebagai salah satu sumber senyawa bioaktif potensial untuk bahan baku obat.
Alam et al. (1996) melaporkan enzim alkalin phosphomonoesterase, phosphor-diesterase, L-amino oxidase, hyaluronidase, 5’-nucleotidase, arginin ester hydrolase, PLA2 dan proteinase banyak ditemukan pada delapan jenis ular dari suku Elapidae dan Viperidae di Pakistan. Aktivitas enzim PLA2 yang tinggi juga ditemukan pada bisa jenis ular dari suku
Berbagai studi menunjukkan bahwa senyawa bioaktif dan turunannya yang diisolasi dan disintesis dari bisa ular telah banyak dibuktikan memiliki aktivitas farmakologis yang luas dan efektif dalam 7
Fauna Indonesia Vol 12 (2) Desember 2013: 6-23
(Danse at al, 1997, Tan et al. 2003, Kini 2005). Efek patofisiologis dari enzim ini termasuk neurotoksik, kardiotoksik, myotoksik, haemolitik, konvulsif, antikoagulan, antiplatelet, menginduksi oedema dan efek merusak jaringan (Calvete 2011, Kordi 2011).
Colubridae seperti Trimorphodon biscutatus lambda dan aktivitas yang sedang pada jenis Boiga dendrophila dan Diadophis punctatus regalis. Selain itu protease ditemukan juga pada B. dendrophila dan Heterodon nasicus nasicus, Amphiesma stolata, Hydrodynastes gigas, Tantilla nigriceps dan Thamnophis elegans vagrans. Enzim phosphodiesterase juga ditemukan pada beberapa bisa ular Amphiesma stolata, Diadophis
Metalloproteinase (SVMPs; snake venom metalloproteinases) merupakan enzim endoproteolitik. Sekitar 40 jenis enzim metalloproteinase telah diisolasi dan diidentifikasi dari berbagai jenis ular berbisa. Aktivitas katalisis dari enzim ini sangat tergantung
punctatus, Heterodon nasicus kennerlyi, H. n. nasicus dan Thamnophis elegans vagrans). Acetylcholinesterase ditemukan pada bisa dan air ludah Boiga irregularis (Hill & Mackessy 2000). Walaupun
pada
jenis
ular
dari
pada ion Zn2+. Berdasarkan karakteristik ukuran dan stuktur domainnya, diklasifikasikan atas P1, P-II, PIII dan P-IV. P-1 proteinase hanya mengandung domain metalloproteinase, P-II mengandung domain
suku
Colubridae secara umum disebut sebagai ular yang tidak berbisa, namun beberapa jenis dapat menyebabkan kerusakan yang serius bagi manusia
metalloproteinase dan disintegrin-like, P-III mengandung metalloproteinase, disintegrin-like dan domain yang kaya cystein (cystein-rich domain) dan P-
seperti Dispholidus typus (boomslang), Thelotornis capensis (sekarang T. kirtlandii; twig or bird snake) dan Rhabdophis tigrinus, jenis ular colubrid dari Amerika Selatan seperti Philodryas olfersii juga dapat
IV mengandung domain seperti P-III dan domain lectin-like (Bjarnason & Fox 1995, Fox & Serrano 2005). Beberapa gejala yang disebabkan oleh enzim ini antara lain hemoragi, edema, hypotensi, inflammasi
menimbulkan kerusakan yang fatal pada manusia (Hill
dan nekrosis. Pada umumnya metalloproteinase memiliki aktivitas fibrinogenase yang dapat
& Mackessy 2000, Peichoto et al. 2012). Hypsiglena torquata dan Trimorphodon biscutatus, dapat menyebabkan keracunan pada manusia yaitu dapat menginduksi rasa sakit, edema, lymphadenopathy dan ecchymosis (Chiszar & Smith 2002). Selain itu juga
menyebabkan pelepasan peptida dari C-terminal fibrinogen, dan beberapa dapat menghambat koagulasi darah (Ouyang & Teng 1976).
dilaporkan oleh Hill & Mackessy (2000) pada gigitan ular Hypsiglena pada jenis ular lain dapat menyebabkan hemorrhagik dan kematian.
Enzim
Serine
proteinase
(C-activator,
thrombin-like enzyme, fibrinogenase) merupakan glikoprotein dengan berat molekul antara 36-40 kDa (Klein & Walker 1986, Fay & Owen 1989, Bakker et al. 1993). Protein C-activator dapat menghambat degradasi kofaktor FVa (FVa: faktor Va dalam proses pembekuan darah) dan FVIIIa, menghabiskan
PLA2s merupakan komponen yang sering ditemukan pada bisa ular dari suku Viperidae, Hydrophiidae, Elaphidae, dan beberapa Colubridae serta telah banyak diteliti pengaruh aktivitas farmakologis dan patofisiologinya pada makhluk hidup (Marcussi et al., 2007). PLA2 adalah enzim esterolitik, sekitar 280 PLA2 telah dimurnikan dan diidentifikasi serta kurang lebih 30 macam PLA2 telah
fibrinogen dalam plasma, dan memiliki efek antikoagulan sedangkan fibrinogenase dapat menghambat aktivitas FIX dan menghancurkan
ditentukan struktur tiga dimensinya dari beberapa jenis ular berbisa. Enzim ini merupakan protein dengan berat 13 kDa yang mengandung asam amino
fibrinogen. Beberapa jenis ular dari genus Agkistrodon yang banyak mengandung protein C-activator ini misalnya A. contortrix, A. piscivorus leucostoma, A. halys halys, A. blomhoffi (Stocker et al. 1986, McMullen
antara 116-124 dengan 6 atau 7 ikatan disulfida
et al. 1989, Kogan et al. 1993). 8
Fauna Indonesia Vol 12 (2) Desember 2013: 6-23
Kelompok lain dari serine protease adalah TLEs (thrombin like-enzyme) yang dapat menyebabkan hilangnya fibrinogen dan plasma tidak bisa menggumpal (unclottable). Enzim ini merupakan
dalam tubuh organisme lain atau manusia dan menyebabkan keracunan lokal atau sistemik. Bisa ular merupakan campuran dari berbagai macam zat yang berbeda yang dapat menimbulkan beberapa reaksi toksik yang berbeda pada manusia. Sebagian kecil
protein rantai tunggal atau glikoprotein dengan berat molekul antara 26-33 kDa (Au et al. 1993). Beberapa jenis ular dari genus Agkistrodon, Bothrop, Crotalus, Lachesis, Trimeresaurus, Bitis dan Cerestes
racun bersifat spesifik terhadap suatu organ dan beberapa mempunyai efek pada hampir setiap organ. Beberapa gejala dari gigitan ular berbisa diantaranya adalah kerusakan jaringan lokal, rasa sakit pada bagian yang tergigit, turunnya tekanan darah
mengandung enzim ini. L-amino acid oxidase mengkatalis deaminasi oksidatif pada L-asam amino dan menghasilkan hydrogen peroksida. Efek dari enzim ini adalah haemostatis dengan memodulasi fungsi platelet dan
(hypotension), sakit kepala, penglihatan yang kabur, mual dan muntah, rasa sakit dipunggung, lymphadenopathy (pembesaran nodus limpa), masalah koagulasi darah (abnormal clotting of the blood),
beberapa memiliki aktivitas antikoagulan (Sakurai et al. 2003).
rhabdomyolysis (rusaknya sel otot sehingga dilepaskannya myoglobin kedalam saluran darah, kerusakan pada ginjal, paralisis (lumpuhnya otot) dan
Pada bisa ular juga mengandung protein yang tidak memiliki aktivitas enzimatik seperti 3FTX, kunizt-type serine protease inhibitor, sarafotoxin, cystein-rich scretory protein (CRISP), disintegrin, C-
kematian mendadak (Warrel, 2010).
type lectin, waprins, veficolins, dan vespryns. Kunizttype serine protease inhibitor seperti dendrotoksin,
Jenis-jenis ular yang termasuk genus Hypnale seperti H. hypnale, H. nepa dan H. zara, yang banyak ditemukan di India dan Srilangka. Bisa dari jenis ular
calcicludine dapat mengeblok saluran Ca2+ dan K+. Salah satu contoh Kunizt-type serine protease inhibitor adalah textilinin dapat dikembangkan
ini banyak menyebabkan rasa sakit dan bengkak pada bagian daerah yang digigit, hemorragi pada jaringan lokal, lymphadenopathy, nekrosis dan gangrene, serta
sebagai anti-pendarahan (anti-bleeding) (Millers et al., 2009). Aktivitas biologi dari waprin belum banyak diketahui, namun omwaprin yang diisolasi dari Oxyuranus microlepidatus memiliki aktivitas antimikrobial dan dapat dikembangkan sebagai antibiotik (Nair et al., 2007).
dapat menyebabkan sakit kepala, mual, muntah, sakit punggung dan bersifat nephrotoxicity, coagulopathy, thrombocytopenia dan haemorrhagi yang spontan (Joseph et al, 2007; Ariaratnam et al, 2008). de Silva et al. (1994) melaporkan bahwa bisa ular H. hypnale memiliki aktivitas pro-koagulant, fibrinolisis dan
Fraksi non-protein dari bisa ular tersusun atas natrium, kalium, fosfat, kalsium, klorida, magnesium, mangan, besi dan tembaga, juga mengandung
aktivitas platelet-aggregation yang tinggi. Wang et al. (1999) mengisolasi PLA2 dari bisa H. hypnale dan beberapa isoformnya yaitu W6a dan W6b yang menunjukkan kemampuan berikatan dengan heparin yang sangat kuat (heparin-binding affinity) dan menyebabkan oedema pada kaki tikus.
riboflavin, nukleosida, peptida, asam amino, amida, lipid dan beberapa karbohidrat. Aktivitas biologi dari bisa ular ini terutama dari fraksi protein dibandingkan yang non- protein (McCue, 2005; Koh et al., 2006).
Hydrophis torquatus aagardi yang dikoleksi dari teluk Thailand mengandung toksin aagardi. LD50 dari toksin aagardi pada mencit adalah 0.036 (0.019-0.068) µg/g yang diinjeksikan secara intravena,
PATOFISIOLOGI BISA ULAR
mengindikasikan toksin ini sangat toksik (Nagamizu et
Envenomisasi adalah masuknya bisa ular ke 9
Fauna Indonesia Vol 12 (2) Desember 2013: 6-23
al., 2009) lebih tinggi toksin murni dari jenis Hydrophis ornatus dengan nilai LD50 yaitu 0.09 µg/g
&
Hodgson,
2001).
A.
rugosus
dari
Papua
mengandung juga PLA2 myotoksin yang dapat menginduksi myotoksik (Wickramaratna et al., 2003). Dari beberapa penelitian juga menyebutkan pada jenis Acanthophis ini juga ditemukan kunitz-type protease
yang diinjeksikan secara intramuskular (Tamiya et al., 1983). Enzim Bmaj-9 merupakan enzim yang termasuk famili Asp49 PLA2 yang diisolasi dari Bothrops marajoensis dan dapat berinteraksi dengan
inhibitor sebagai inhibitor faktor koagulasi (Chow et al., 1998).
motor nerve terminal membrane, yang menginduksi blockade neuromuskular pre-sinaptik. Kompleks PLA2 menunjukkan neurotoksik pre-sinaptik yang merupakan efek umum dari bisa ular genus Bohtrops
Oxyuranus scutellatus canni mengandung racun taipoxin (a lethal phospholipase-A2 toxin) yang bersifat neurotoksik pre-sinapsis dan myotoksik (Harris & Maltin, 1982). Komponen lain yang terdapat pada ular ini diantaranya OS-2 (inhibitor pre -sinapsis pada transport ion K+), taipan toxin-1 (neurotoksin post-sinapsis yang dapat berikatan pada
(Galbiatti et al., 2012). Pada beberapa ular kobra seperti Naja sumatrana, N. sputatrix, N. siamensis dan N. kaouthia mengandung aktivitas enzim phosphomonoesterase, L
reseptor asetilkolinesterase pada sel otot), oscutarin (aktivator prothrombin yang dapat menyebabkan defibrinasi, koagulopati yang cepat), dan racun lain
-amino acid oxidase, serta aktivitas yang tinggi dari enzim acetylcholinesterase, hyaluronidase dan phospholipase A2. Dua bisa ular kobra Thailand yaitu N. kaouthia dan N. siamensis memiliki LD50 yang
adalah taicatoxin (Possani et al., 1992; Lalloo et al., 1995; Doorty et al., 1997).
tinggi yaitu masing-masing 0.22 µg/g dan 0.28 µg/g yang diinjeksikan secara intravena pada tikus,
Jenis ular berbisa yang lain adalah Micropechis ikaheka yang banyak terdapat di Papua, Indonesia,
sedangkan N. sputatrix (Javan spitting cobra) dengan LD50 yaitu 0.90 µg/g tikus dan N. sumatrana, memiliki
jenis ini mengandung toksin yang bersifat neurotoksik kuat, myotoksik, antikoagulan, platelet aggregation
LD50 yaitu 0.50 µg/g tikus (Yap et al., 2011). Jenis ular Acanthophis spp. mengandung ‘shortchain’ dan ‘long-chain’ postsynaptic neurotoxins (neurotoksin post-sinapsis rantai panjang dan rantai pendek) yang mengikat reseptor acetylcholinesterase (nicotinic AChR) pada otot rangka dan bisa
inhibiting dan insulin-secretion stimulating activities (Sundell et al., 2001; Gao et al., 2001), juga ditemukan haemoglobinuria-inducing toxin (MiPLA-1) pada jenis ular ini, hemoglobinuria yang diinduksi menyebabkan kerusakan pada ginjal yang disebabkan oleh mekanisme yang belum diketahui pasti. MiPLA-1
menyebabkan paralisis atau kelumpuhan. Jenis ular ini juga dapat menyebabkan neurotoksik, myotoksik, rhabdomyolysis dan memiliki pengaruh pada
juga menunjukkan efek biologis yang lain termasuk myotoksik pada otot, antikoagulasi dan antiplatelet. MiPLA-1 merupakan suatu protein yang tersusun atas
koagulasi darah (Fry et al., 2001). Beberapa studi melaporkan bisa jenis ular ini juga mengandung lima neurotoksin post-sinapsis dan empat jenis enzim PLA2 (Chow et al., 1998; Kim & Tamiya, 1981ab; Tyler et al., 1997).
124 asam amino dengan "pancreatic loop" (Gao et al., 1999). Toksin lain dari ular ini seperti mikatoksin, dapat menyebabkan paralisis neuromuskular (Nirthanan et al., 2002), mikarin suatu aktivator prothrombin yang merupakan metalloproteinase polipeptida rantai tunggal dengan berat molekul 47 kDa (Gao et al., 2002).
Neurotoksin yang terdapat pada jenis Acanthophis yaitu acanthoxin a, b dan c, ditemukan pada jenis A. antarcticus, A. praelongus dan A. pyrrhus (van der Weyden et al., 1997, 2000; Wickramaratna
Bisa ular Pseudechis australis merupakan campuran kompleks protein dan non-protein dan 10
Fauna Indonesia Vol 12 (2) Desember 2013: 6-23
homologue I; suatu protein homolog yang tidak
bersifat neurotoksin pre-sinapsis dan post-sinapsis, myotoksin, prokoagulan. Bisa ular ini juga mengandung mulgotoksin yang akan mempengaruhi
memiliki aktivitas enzimatik) memiliki efek pada transmisi neuromuscular dan kontraksi pada otot pada hewan uji ayam dan tikus (Takasaki et al., 1988; Rowan et al., 1989)
pada sistem kardiovaskular dan otot, serta bisa ular ini juga mengandung enzim PLA2 (Geh et al., 1997b). Fatehi et al. (1994) melaporkan pada P. australis juga mengandung lima PLA2 yang homolog yaitu Pa-3, Pa
Aipysurus laevis, jenis ular laut ini banyak mengandung neurotoksin (toxins Aipysurus laevis-a, -b dan -c), dan enzim PLA2 (Maeda & Tamiya, 1976;
-8, Pa-9C, Pa-10F dan Pa-12B yang memiliki efek pada neuromaskuler vertebrata, sedangkan jenis lainnya seperti P. papuanus yang memiliki penyebaran di Papua ini dilaporkan juga mengandung PLA2
Ducancel et al., 1988), dan juga mengandung senyawa yang bersifat miotoksik dan nefrotoksik yang dapat menyebabkan kerusakan pada ginjal (Ryan & Yong, 1997; Ryana & Yong, 2002). A. duboisii atau dikenal
platelet inhibitor (Kamiguti et al., 1994). Gigitan ular berbisa ini menyebabkan gejala sakit kepala, mual dan muntah, rasa sakit dipinggang, menyebabkan rhabdomyolysis, kerusakan pada ginjal, koagulapathy,
Dubois' sea-snake merupakan jenis ular laut yang memiliki penyebaran di Papua New Guinea, New Caledonia dan Australia. Nilai LD50 yang dinjeksikan dibawah kulit (subcutaneous) pada mencit adalah
dan paralisis. Bisa ular P. papuanus juga banyak mengandung toksin PLA2 dengan aktivitas neurotoksik, myotoksik dan antikoagulan (Campbell
0.044 mg/kg berat tubuh. Hal ini menunjukkan bahwa toksin jenis ular ini lebih kuat kedua setelah H. belcheri (LD50 yaitu 0.00025 mg/kg) dan merupakan
et al., 1972; Lalloo et al., 1994). Beberapa jenis ular laut yang penting dan menyebabkan kasus gigitan ular berbisa di wilayah
jenis ular laut berbisa ke empat setelah Oxyuranus microlepidotus (LD50 yaitu 0.025 mg/kg) dan
Asia Tenggara diantaranya H. fasciatus, H. cyanocinctus, E. schistosa, L. curtus, dan P. platurus (Warrell, 2010). Pada jenis ular laut yang berbisa
Pseudonaja textiles (LD50 yaitu 0.0365 mg/kg). Genus Hydrophis mengandung 28-30 spesies ular laut. Beberapa spesies ada yang hidup di air tawar
seperti dari genus Laticauda dan Hydrophiinae kebanyakan mengandung ‘short-chain’ dan ‘long-chain’ post-synaptic neurotoxins, misalnya erabutoxins ditemukan pada bisa ular Laticauda spp. (Guinea et al.,
namun sebagian besar hidup dilaut. H. ornatus dan H. lapemoides mengandung komponen neurotoksik (Tamiya et al., 1983). Liu & Blackwell (1974) mengisolasi hydrophitoxin-b dari bisa ular H. cyanocinctu, sedangkan Ali et al. (2000) melaporkan bahwa enzim phospholipase-A2 (PLA2-H1 dan PLA2-
1983). Kim & Tamiya (1982) melaporkan L. colubrina dari kepulauan Solomon mengandung komponen neurotoksik rantai panjang yaitu Lc a (Laticauda colubrina a) sebanyak 16.6%, hampir sama dengan komponen Lc b (Laticauda colubrine b) dari Filipina yaitu 10.0%. Toksin Lc a dan Lc b mengandun 69
H2), yang diisolasi dari jenis ular ini, dapat menyebabkan myonekrosis dan perubahan histopathologis pada tikus albino dan mencit. Astrotia stokesii mengandung tiga komponen
asam amino dengan adanya residu sistein kedua toksin ini hanya berbeda satu sama lain pada lima posisi sekuens asam aminonya. Selain itu juga L. colubrina juga dilaporkan
neurotoksik yaitu toxins Astrotia stokesii-a, -b dan -c. Nilai LD50 untuk 20 gr mencit masing-masing yaitu 0.13, 0.096 dan 0.098 microgram/g berat tubuh. Toksin Astrotia stokesii-a tersusun atas 60 residu asam
mengandung LcPLA-II (Laticauda colubrina phospholipase-A2 II; phospholipase-A2 rantai tunggal) dan LcPLH-I (Laticauda colubrina phospholipase-A2
amino, sedangkan toksin Astrotia stokesii-b dan -c tersusun atas 70 dan 72 residu asam amino (longchain neurotoxins) (Maeda & Tamiya, 1978). 11
Fauna Indonesia Vol 12 (2) Desember 2013: 6-23
Acalyptophis peronii atau bisa dikenal sebagai “The spiny-headed seasnake, Peron's sea snake atau horned sea snake, merupakan salah satu
Liu et al. (1975) melaporkan telah mengisolasi toksin pelamitoxin-a, dari P. platurus yang ditangkap di perairan Northern Formosan. Pelamitoxin-a ini merupakan suatu polipeptida yang mengandung 60 asam amino termasuk 9 cysteines, dengan N-terminal
jenis ular laut yang berbisa kuat. Spesies ular laut ini memiliki duri dikepalanya dan memiliki penyebaran yang cukup luas seperti terdapat di teluk Thailand, Vietnam, laut Cina selatan, pesisir pantai
methionine dan C-terminal asparagine. Komposisi asam amino ini mirip dengan hydrophitoxin-b dari bisa ular laut H. cyanocinctus dan schistose-5 dari bisa
Guangdong dan selat Taiwan, Philippines, Indonesia, New Caledonia, Papua New Guinea, dan Australia.
ular E. schistosa. Jenis E. schistosa mengandung bisa yang memiliki aktivitas neurotoksik (Carey & Wright, 1960; Gawade & Gaitonde, 1982a). Ular laut ini banyak mengandung toksin dengan aktivitas
Mori & Tu, (1988) melaporkan nilai LD50 dari toksin A. peronii adalah 0.125 micrograms/g mencit, yang mengindikasikan toksin ular ini secara alamiah sangat toksik, sedangkan Pahari et al. (2007) menyebutkan bahwa toksin 3FTx (three-finger toxin) dan enzim PLA2 merupakan penyusun utama bisa ular
myotoksik dan menyebabkan kerusakan pada ginjal (Lind & Eaker, 1981; Gawade & Gaitonde, 1982b). Tiga komponen neurotoksik yaitu enhydrotoxins-a, -b
A. peronii dan jenis ular laut lainnya L. curtus.
dan -c, telah diisolasi dari ular laut E. schistosa, yang ditangkap di laut Arab. Nilai LD50 ketiga toksin ini pada mencit adalah 0.042, 0.045 dan 0.052 mg/kg berat tubuh. Toksin ini dapat menghalangi transmisi
Bisa ular L. curtus memiliki kemampuan menginduksi perubahan histopatalogis pada tikus yang dinjeksikan bisa ular ini secara intraperitoneal (LD50 yaitu 0.65 mg/kg), bisa ular ini menginduksi
neuromuscular (Gawade & Gaitonde, 1982ab). Selain
perubahan seperti terjadi nekrosis, edema dan pada
itu dilaporkan juga bahwa enzim PLA2 dari bisa ular
ginjal menyebabkan perubahan pada glomerulus (Karthikeyan et al., 2007).
E. schistosa mempengaruhi sistem syaraf, dan otot pada mencit yang diberikan bisa ular ini secara intravena dan intramuscular (Brook et al, 1987). Bisa ular E. schistosa mengandung neurotoksin post-sinapsis, phospholipase A2 enzymes dan acetylcholinesterase. Bisa ular jenis dapat menyebabkan myonekrosis
Tu et al. (1975) melaporkan bisa ular laut P. platurus mengandung pelamis toxin-a. LD50 dari toksin murni pelamis toxin-a adalah 0.044 mug/g pada tikus. Toksin ini mengandung 55 asam amino dengan empat ikatan disulfida. Jenis toksin ini mempengaruhi pada system pernafasan (respiratory
dengan rasa nyeri pada otot, myoglobinuria dan paresis (Karlsson et al., 1972; Reid 1961; Reid, 1979). Myotoxic phospholipase A toxin dapat menyebabkan rusaknya (breakdown) dari myofilament dan mitochondrial cristae. Aksi myonekrosis dari bisa E. schistosa kemungkinan disebabkan oleh myotoxic phospholipase A ini. Susunan asam amino dari enzim
paralysis) pada kelinci (Tu et al., 1976). Sedangkan Mori et al. (1989) melaporkan bisa ular P. platurus juga mengandung beberapa neurotoksin, salah satunya adalah pelamis toxin-b. Toksin ini mengandung 60 asam amino yang sedikit berbeda dengan pelamis toxin a. Pelamis toxin b merupakan neurotoksin postsinapsis yang dapat berikatan pada reseptor acetylcholine. LD50 dari toksin ini 0.185 microgram/g pada mencit yang dinjeksikan secara intravena
ini homolog dengan phospholipase A2 dari jenis ular elapid yang lain (Fohlman & Eaker, 1977; Geh & Toh, 1978; Lind & Eaker, 1981).
menunjukkan toksisitas yang tinggi dari neurotoksin ini. 12
Fauna Indonesia Vol 12 (2) Desember 2013: 6-23
hemostatis, misalnya faktor koagulan yang diisolasi
NILAI TERAPI DAN AKTIVITAS FARMAKOLOGIS BISA ULAR
dari ular Rusell’s viper yaitu RVV-V dapat mengubah faktor V menjadi bentuk aktifnya faktor Va. TSV-PA suatu activator plasminogen yang diisolasi dari Trimeresaurus stejnegeri yang dapat mengaktifkan
Bisa ular mengandung berbagai macam campuran toksin (racun) dan enzim dengan aktivitas
sistem fibrinolisis. Enzim antikoagulan dari Agkistrodon contortrix contortrix dapat menguraikan protein C zymogen yang menghasilkan efek
yang berbeda pada sistem biologi. Bisa ini juga banyak mengandung lebih dari ratusan protein non-toksin, peptida, karbohidrat, lemak, amina dan senyawa lain dengan berat molekul kecil. Komposisi dari bisa ular
antikoagulan (Stocker et al., 1987). Enzim PLA2 merupakan antikoagulan yang kuat yang dapat menghambat aktivasi FX menjadi FXa dan menghambat aktivasi prothrombin menjadi thrombin pada kompleks prothrombinase (Verheij et
ini bervariasi diantara spesies atau subspesies tergantung geografinya, umur, iklim dan makanan dari ular. Sejumlah toksin yang memiliki efek pada sirkulasi darah telah diisolasi dan dikarakteristik dari
al., 1980). Aktivitas antikoagulan enzim ini dalam menghambat koagulasi dari dibawah 2 µg/ml seperti yang dilaporkan oleh Boffa & Boffa, (1976). Evans et
berbagai jenis ular berbisa, beberapa senyawa tersebut mempunyai pengaruh pada platelet aggregation, dan penggumpalan darah (blood coagulation) (McCue, 2005; Koh et al., 2006).
al. (1980) mengisolasi dan memurnikan protein yang memiliki aktivitas antikoagulan yang identik dengan enzim PLA yaitu CM-I, CM-II dan CM-IV dari bisa ular Naja nigricollis, dilaporkan juga bahwa CM-IV
Efek antikoagulasi dari bisa ular mempunyai manfaat penting dalam mempelajari proses dalam tahapan koagulasi. Selain itu juga dapat digunakan
memiliki aktivitas antikoagulan 100 kali lebih kuat dibandingkan dengan CM-I dan CM-II.
sebagai model dalam menguraikan secara detail mekanisme secara molekular terhadap berbagai proses
Beberapa metalloproteinases dari bisa ular
fisiologi, dan juga dapat dikembangkan untuk mendesain dan mengembangkan beberapa senyawa terapi untuk penyakit kardiovaskular dan haematologis. Pada sistem peredaran darah terutama
menghambat proses koagulasi darah dan kebanyakan enzim ini adalah fibrinogenase yang dapat melepaskan peptida dari ujung C-terminal dari fibrinogen. Enzim ini diklasifikasi sebagai - dan -fibrinogenase
pada trombosis dan haemostasis, merupakan salah satu target dari protein dari bisa ular, protein antikoagulasi memberikan pemahaman kita untuk mengenal dan mengetahui mekanisme molekuler pada proses koagulasi darah dan protein-protein ini dapat
tergantung pada spesifikasi atau reaksi enzim ini pada bagian rantai atau dari fibrinogen (Ouyang & Teng, 1976). Serine proteinases yang terdapat pada bisa ular memiliki peran selain dalam proses pencernaan, juga
dikembangkan sebagai prekursor yang potensial sebagai agent terapi baru untuk perlakuan atau mencegah pembentukan jendalan darah yang tidak
memiliki efek pada fungsi fisiologis tubuh pada manusia. Enzim ini memiliki aktivitas pada platelet aggregation, koagulasi darah, fibrinolisis, tekanan darah dan sistem syaraf (Kini, 2005). Mekanisme aksinya adalah menghambat aktivitas degradasi kofaktor FVa
diinginkan. Beberapa enzim yang terdapat pada bisa ular dapat berinteraksi dengan dengan komponen sistem hemostatis (Braud et al., 2000; Lu et al., 2005), dan nilai terapi yang bisa dimanfaatkan adalah untuk mempelajari kelainan-kelainan pada sistem
dan FVIIIa selain itu juga protein ini merangsang fibrinolisis melalui interaksinya dengan menghambat aktivasi dari plasminogen. C-type lectin proteins sebagai protein yang mengikat FX dan FIX, 13
Fauna Indonesia Vol 12 (2) Desember 2013: 6-23
mekanisme aksinya adalah menghambat pembentukan kompleks koagulasi. Tipe protein ini seperti bothrojaracin, dan bothroalternin memiliki
memiliki aktivitas antikanker terhadap sel kanker 293T (primary human embryonic kidney) dan sel kanker C2C12 (mouse myoblast continuous cell line). Senyawa peptida yang diisolasi dari bisa ular N. haje juga dapat menghambat sel kanker melalui mekanisme
kemampuan menghambat aktivitas thrombin. Bothrojaracin diisolasi dari bisa ular Bothrops jararaca (Arocas et al., 1996) sedangkan bothroalternin dari Bothrops alternatus (Castro et al., 1998). Pada studi sitotoksik secara in vitro bisa ular
induksi proses apoptosis atau kematian sel (Omran et al., 2004). Senyawa myotoxic PLA2s diisolasi dari bisa ular jenis Bothrops brazili yang merupakan jenis ular
H. hypnale, H. nepa dan H. zara dilaporkan dapat menghambat proliferasi sel A7r5 (Rat aorta smooth muscle cells) dengan nilai IC50 yang hampir sama yaitu 2.07µg/ml, 2.22µg/ml dan 2.82 µg/ml (Maduwage et
yang terdapat di Brazil (native snake), menunjukkan sifat sitotoksik terhadap sel kanker leukemia (human T-cell leukemia (JURKAT) lines) setelah diuji dengan MTT Assay (Costa et al., 2008). Hal ini dukung oleh
al., 2011). Jamunaa et al. (2012) melaporkan aktivitas sitotoksik dari beberapa bisa ular yang ada di Asia Tenggara seperti N. kaouthia, N. siamensis, N. sumatrana, O. hannah, B. candidus, B. fasciatus, E.
penelitian yang dilakukan oleh Cummings et al. (2000) yang menyebutkan PLA2s dapat menginduksi proses apoptosis pada sel kanker. Chung et al. 2003 melaporkan senyawa peptida (salmosin) yang diisolasi
schistosa, C. rhodostoma, Trimeresurus purpureomaculatus dan Tropidolaemus sumatranus. Aktivitas sitotoksik diuji dengan menggunakan
dari bisa ular korea Agkistrodon halys brevicaudus (The Korean snake) memiliki aktivitas antikanker terhadap sel kanker SK-Mel-2 (human melanoma cells), selain
metode MTS pada sel Vero (green monkey kidney cells) dan sel MDCK (Madine-Darby canine kidney cells)
itu senyawa ini juga memiliki aktivitas antiangiogenesis dan antitumor (Kang et al.,1999;
aktivitas sitotoksik ini dinyatakan dalan nilai CTC50 (dosis venom yang dapat membunuh 50% sel). Bisa
Kim et al. 2004). Beberapa komponen dari bisa ular juga memiliki aktivitas antibakteri dan antivirus yang dapat dikembangkan sebagai bahan obat untuk melawan penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri dan virus. Bisa ular Naja atra, N. nigricollis, Echis coloratus mampu melawan Sendai virus (Borkow & Ovadia
ular C. rhodostoma (2.6 µg/mL, 1.4 µg/mL) dan O. hannah (3.8 µg/mL, 1.7 µg/mL) lebih bersifat sitotoksik sedangkan N. siamensis lebih rendah aktivitas sitotoksiknya (51.9 µg/mL, 45.7 µg/mL) masing-masing terhadap sel Vero dan MDCK. Pada umumnya semua bisa ular viperid memiliki potensi
1992; 1994), sedangkan senyawa yang diisolasi dari bisa ular Crotalus durissus terrificus memiliki aktivitas
bersifat sitotoksik dibandingkan dengan ular krait dan kobra sedangkan bisa ular E. schistosa tidak bersifat
antivirus terhadap Measles virus (Petricevich & Mendonca, 2003). Rivero et al., 2012 menyebutkan bahwa komponen bisa ular yang memiliki aktivitas antivirus dapat digunakan sebagai senyawa alternatif untuk terapi melawan mekanisme pertahanan yang
sitotoksik terhadap kedua sel pada konsentrasi uji yang digunakan dalam penelitian tersebut. Aktivitas farmakologis dari beberapa bisa jenis ular diujikan sifat sitotoksiknya pada beberapa sel kanker, Karthikeyan et al. (2008) melaporkan bisa ular
dikembangkan oleh virus. Crotamine, Cathelicidin BF -15 dan Cathelicidin BF-30 yang diisolasi dari bisa ular memiliki aktivitas antibakteri karena dapat
L. curtus, mengandung senyawa yang bersifat antikanker terhadap sel kanker serviks (HeLa cell line) dan Hep2 (Hati). Bisa ular dari jenis lain yang memiliki aktivitas antikanker adalah ular kobra dari
mengubah permeabilitas membran sitoplasma bakteri (Oguiura et al., 2011; Chen et al., 2011; Zhou et al., 2011).
jenis N. haje atau Egyptian Cobra. Bisa ular ini 14
Fauna Indonesia Vol 12 (2) Desember 2013: 6-23
Senyawa-senyawa yang terkandung dalam bisa ular juga dapat dikembangkan sebagai obat analgesik dan antibiotik yang baik. Manci et al. (1998)
Elapidae dan Viperidae. Pakistan J. Pharm. Sci. 9 (1): 37-41. Alam, M.I. & A. Gomes, A. 1998. Adjuvant effects
melaporkan crotamine suatu polipeptida kationik yang tersusun atas 42 asam amino yang diisolasi dari jenis ular C. d. terrificus (rattlesnake) memiliki sifat analgesik yang dapat digunakan sebagai penghilang
and antiserum action potentiation by a (herbal) compound 2-hydroxy-4-methoxy medicinal plant “Sarsaparilla” (Hemidesmus indicus R. Br.). Toxicon. 36: 1423-1431.
rasa nyeri baik sebelum dan sesudah operasi pembedahan dan memiliki aktivitas yang jauh lebih baik dibandingkan dengan morfin sebagai analgesik yang umum digunakan, sedangkan senyawa peptida
Ali, S.A., J.M. Alam, A. Abbasi, Z.H. Zaidia, S. Stoeva & W. Voelter. 2000. Sea snake Hydrophis cyanocinctus venom. II. Histopathological changes, induced by a myotoxic phospholipase A2 (PLA2H1). Toxicon. 38(5): 687-705.
dari bisa ular C. rhodostoma merupakan antibiotik yang sangat baik dan bersifat menghambat berbagai jenis bakteri gram negatif dan gram positif seperti Staphyllococcus aureus, Candida albicans, Salmonella
Ariaratnam, C.A., V. Thuraisingam, S.A. Kularatne, M.H. Sherrif, R.D. Theaskton. A. de Silva & D.A. Warrell. 2008. Frequent and potentially fatal
typmurium dan lain-lain, yang banyak resisten terhadap beberapa antibiotik yang digunakan sekarang (San et al., 2010).
envenoming by hump-nosed pit vipers (Hypnale hypnale and H. nepa) in Sri Lanka: lack of effec tive antivenom. Trans. R. Soc. Trop. Med. Hyg. 102: 1120-1126.
KESIMPULAN Ariaratnam, C.A., M.H.R. Sheriff, C. Arambepola, R.D.G. Theakston & D.A. Warrell. 2009. Pengetahuan dan pengenalan jenis-jenis ular
Syndromic Approach to Treatment of Snake Bite in Sri Lanka Based on Results of a Prospective National Hospital-Based Survey of Patients Envenomed by Identified Snakes. Am J. Trop.
berbisa serta komponen bisa (venom) sangatlah penting dalam penanganan korban atau penderita gigitan ular berbisa. Selain itu bisa dari ular berbisa memiliki manfaat sebagai sumber potensial senyawa
Med. Hyg. 81: 725-731.
bioaktif yang memiliki aktivitas farmakologis yang penting yaitu sebagai antitumor, antikanker, antibakteri, antivirus dan dapat digunakan sebagai prekursor untuk mensintesis senyawa turunan yang memiliki aktivitas yang lebih luas dan efektif. Masih
Arocas, V., R.B. Zingali, M.C. Guillin, C. Bon & M. Jandrot-Perrus. 1996. Bothrojaracin: a potent two -site-directed thrombin inhibitor. Biochem. 35: 9083-9089.
sangat diperlukan penelitian-penelitian yang berkaitan dengan jenis-jenis ular berbisa, mendata serta mendokumentasikan kasus gigitan ular berbisa serta
Au, L.C., S.B. Lin, J.S. Chou, G.W. Teh, K.J. Chang, & C.M. Shih. 1993. Molecular cloning and sequence analysis of the cDNA for ancrod, a
pemanfaatannya dalam bidang kesehatan di Indonesia.
thrombin-like enzyme from the venom of Calloselasma rhodostoma . Biochem. J. 294: 387390.
DAFTAR PUSTAKA
Bakker, H.M., G. Tans, L.Y. Yukelson, T.W. Janssen -Claessen, R.M. Bertina, H.C. Hemker & J.
Alam, J.M., R. Qasim & S.M. Alam. 1996. Enzymatic
Rosing. 1993. Protein C activation by an activator purified from the venom of Agkistrodon halys halys.
Activities of some snake venom from family 15
Fauna Indonesia Vol 12 (2) Desember 2013: 6-23
Blood Coagulation Fibrinolysis. 4: 605-614.
Castro, H.C., D.L. Dutra, A.L. Oliveira-Carvalho &
Bhetwal, B.B., M. O’Shea & D.A. Warrel DA. 1998. Editorial. Snakes and snake bite in Nepal. Tropical Doctor. 28(4): 193-195.
R.B. Zingali. 1998. Bothroalternin, a thrombin inhibitor from the venom of Bothrops alternatus. Toxicon. 36: 1903-1912.
Bjarnason, J.B. & J.W. Fox. 1994. Hemorrhagic
Campbell, C.H. & C.N. Chesterman. 1972. The effect of the venom of the Papuan Black Snake
metalloproteinases from snake venoms. Pharmac Ther. 62: 325-372.
(Pseudechis papuanus) on blood coagulation. PNG Med. J. 15(3): 149-154.
Boffa, M.C. & G.A. Boffa. 1976. A phospholipase A2 with anticoagulant activity. II. Inhibition of the phospholipid activity in coagulation. Biochim.
Chen, W., B. Yang, H. Zhou, L. Sun, J. Dou, H. Qian, W. Huang, Y. Mei & J. Han. 2011. Structure-activity relationships of a snake cathelicidin-related peptide, BF-15. Peptides. 32 (12): 2497-2503.
Biophys. Acta. 429: 839-852. Borkow, G. & M. Ovadia. 1992. Inhibition of Sendai virus by various snake venom. Life sciences. 51(16): 1261-1267.
Chiszar, D. & H.M. Smith. 2002. Colubrid envenomations in the United States. J. Toxicol.
Borkow, G. & M. Ovadia. 1994. Echinhibin-1 an
Toxin Rev. 21: 65-78.
inhibitor of Sendai virus isolated from the venom of the snake Echis coloratus. Antiviral Research. 23 (2): 161-176.
Chow, G., S. Subburaju & R.M. Kini. 1998. Purification, characterization, and amino acid sequence determination of acanthins, potent
Boulenger, G.A. 2000. The snake of Europe. The electronic reprint by Arment Biological Press.
inhibitors of platelet aggregation from Acanthophis antarcticus (common death adder) venom. Arch.
Landisville, P.A.
Biochem. Biophys. 354: 232-238.
Braud, S., C. Bon & A. Wisner. 2000. Snake venom proteins acting on hemostasis. Biochimie 82: 851-
Chung, K.H., S.H. Kim, K.Y. Han, Y.D. Sohn, S.I. Chang, K.H. Baek, Y. Jang, D.S. Kim & I.C. Kang. 2003. Inhibitory effect of salmosin, a Korean snake venom derived disintegrin, on the
859 Brook, G.A., L.F. Torres, P. Gopalakrishnakone & L.W. Duchen. 1987. Effects of phospholipase of Enhydrina schistosa venom on nerve, motor endplate and muscle of the mouse. Q.J. Exp. Physiol. 72(4): 571-591.
integrin v-mediated proliferation of SK-Mel-2 human melanoma cells. J. Pharm. Pharmacol. 55 (11): 1577-1582. Costa, T.R., D.L. Menaldo, C.Z. Oliveira, N.A.
Calvete, J.J., C. Marcinkiewicz, D. Monleón, V. Esteve, B. Celda, P. Juárez & L. Sanz. 2005. Snake venom disintegrins: evolution of structure
Santos-Filho, S.S. Teixeira, A. Nomizo, A.L. Fuly, M.C. Monteiro, B.M. de Souza, M.S. Palma, R.G. Sta´ beli, S.V. Sampaio & A.M. Soares. 2008. Myotoxic phospholipases A2 isolated from Bothrops brazili snake venom and
and function. Toxicon. 45(8): 1063-1074. Calvete, J.J. 2011. Proteomics in venom research: a focus on PLA2 molecules. Acta Chim. Slov. 58: 629 -637. Carey, J.E. & E.A. Wright. 1960. Isolation of the
synthetic peptides derived from their C-terminal region: Cytotoxic effect on microorganism and tumor cells. Peptides. 29: 1645-1656.
neurotoxic component of the venom of the sea snake, Enhydrina schistosa. Nature. 185: 103-104.
Conant, R. & J.T. Collins. 1998. A Field Guide to Reptiles and Amphibians of Eastern and Central 16
Fauna Indonesia Vol 12 (2) Desember 2013: 6-23
North America. Third Edition, Expanded. The Peterson Field Guide Series. Houghton Mifflin Co., New York, NY.
activators and activated protein C. Biochem. 28: 5773-5778. Fohlman, J. & D. Eaker. 1977. Isolation and characterization of a lethal myotoxic phospholipase A from the venom of the common sea snake Enhydrina schistosa causing
Cummings, B.S., J.G. Mchowat & R.G. Schnellman. 2000. Phospholipase-A(2)s in cell injury and death. J. Pharmacol. 294: 793-799.
myoglobinuria in mice. Toxicon. 15: 385-393.
Danse, J.M., S. Gasparini & A. M´enez. 1997. Molecular biology of snake venom phospholipases A2. In Venom Phospholipase A2 Enzymes:
Fox, J.W. & S.M.T. Serrano. 2005. Structural considerations of the snake venom metalloproteinases, key members of the M12
Structure, Function and Mechanism (Kini, R.M., ed.), pp. 29-71, John Wiley, Chichester.
reprolysin family of metalloproteinases. Toxicon. 45: 969-985.
de Silva A, A.S.B. Wijekoon, L. Jayasena et al. 1994. Haemostatic dysfunction and acute renal failure following envenoming by Merrem’s hump-nosed
Frangides, C.Y., V. Koulouras, S.N. Kouni, G.V. Tzortzatos, A. Nikolaou, J. Pneumaticos, C. Pierrakeas, C. Niarchos, N.G. Kounis & C.M.
viper (Hypnale hypnale) in Sri Lanka: first authenticated case. Trans. R. Soc. Trop. Med. Hyg. 88: 209-212.
Koutsojannis. 2006. Snake venom poisoning in Greece. Experiences with 147 cases. European J. Internal Med. 17: 24-27.
Doorty, K.B., S. Bevan, J.D. Wadsworth & P.N. Strong. 1997. A novel small conductance Ca2+activated K+ channel blocker from Oxyuranus scutellatus taipan venom. Re-evaluation of
Fry, B.G., J.C. Wickramaratna, A. Jones, P.F.
taicatoxin as a selective Ca2+ channel probe. J Biol Chem 272(32): 19925-30.
antivenom against the in vitro neurotoxicity of death adder (Acanthophis) venoms. Toxicol. Appl. Pharmacol. 175: 140-148.
Alewood & W.C. Hodgson. 2001. Species and regional variations in the effectiveness of
Ducancel, F., G. Guignery-Frelat, C. Bouchier, A. Ménez & J.C. Boulain. 1988. Sequence analysis of
Evans, H.J., R. Franson, G.D. Qureshi & W.F. Moo-
Galbiatti, C., T. Rocha, P. Randazzo-Moura, L.A. Ponce-Soto, S. Marangoni, M.A Cruz-Höfling & L. Rodrigues-Simioni. 2012. Pharmacological and partial biochemical characterization of Bmaj-9
Penn. 1980. Isolation of anticoagulant proteins from cobra venom (Naja nigricollis). Identity with
isolated from Bothrops marajoensis snake venom. The Journal of Venomous Animals and Toxins
phospholipases A2. J. Biol. Chem. 255: 3793-3797.
including Tropical Diseases. 18(1): 62-72.
a cDNA encoding a PLA2 from the sea-snake Aipysurus laevis. Nucleic Acids Res. 16(18): 9048.
Fatehi, M., E.G. Rowan, A.L. Harvey & J.B. Harris.
Gawade, S.P. & B.B. Gaitonde. 1982a. Isolation and
1994. The effects of five phospholipases A2 from the venom of king brown snake, Pseudechis australis, on nerve and muscle. Toxicon. 32(12):
characterisation of toxic components from the venom of the common Indian sea snake (Enhydrina schistosa). Toxicon. 20(4): 797-801.
1559-1572. Fay, W.P. & W.G. Owen. 1989. Platelet plasminogen
Gawade, S.P. & B.B. Gaitonde. 1982b. Presynaptic and postsynaptic sites of action of enhydrotoxin-a
activator inhibitor: purification and characterization of interaction with plasminogen
(ESNTX-a) isolated from Enhydrina schistosa venom. J. Pharm. Pharmacol. 34: 782-787.
17
Fauna Indonesia Vol 12 (2) Desember 2013: 6-23
Gao, R., R.M. Kini & P. Gopalakrishnakone. 1999. Purification, properties, and amino acid sequence of a hemoglobinuria-inducing phospholipase A(2),
taipoxin, of the Australian taipan, Oxyuranus scutellatus. Br. J. Pharmacol. 76(1): 61-75. Hill, R.E. & S.P. Mackessy. 2000. Characterization of venom (Duvernoy's secretion) from twelve species of colubrid snakes and partial sequence of four venom proteins. Toxicon. 38: 1663-1687.
MiPLA-1, from Micropechis ikaheka venom. Arch Biochem Biophys. 05: 181-92. Gao, R., R.M. Kini & P. Gopalakrishnakone. 2002. A novel prothrombin activator from the venom of Micropechis ikaheka: isolation and characterization.
Irwin, K.L. 2004. Arkansas Snake Guide. Natural Resources Drive Little Rock, AR 72205 (800) 364 -4263. Publication of this pocket guide was sponsored in part by The Center for North
Arch Biochem Biophys. 408 (1): 87-92. Gao, R., R.M. Kini & P. Gopalakrishnakone. 2001. Purification and properties of three new phospholipase A2 isoenzymes from Micropechis ikaheka venom. Biochimica Et Biophysica Acta.
American Herpetology. Jamunaa, A., J. Vejayan, I. Halijah, S.H. Sharifah & S. Ambu. 2012. Cytotoxicity of Southeast Asian snake venoms. The Journal of Venomous Animals and Toxins including Tropical Diseases (Jvattd).18
1545(1-2): 30-40. Geh, S.L. & H.T. Toh. 1978. Ultrastructural changes in skeletal muscle caused by a phospholipase A2 fraction isolated from the venom of a sea
(2): 150-156 Joseph, J.K., I.D. Simpson, N.C. Menon, M.P. Jose, K.J. Kulkarni, G.B. Raghavendra & D.A. Warrell. 2007. First authenticated cases of life-threatening
snake, Enhydrina schistosa Toxicon. 16: 633-643. Geh, S.L., A. Vincent, S. Rang, T. Abrahams, J. Jacobson, B. Lang & D.A. Warrell. 1997. Identification of phospholipase A2 and neurotoxic
envenoming by the hump-nosed pit viper (Hypnale hypnale) in India. Trans. R. Soc. Trop. Med. Hyg.
activities in the venom of the New Guinean smalleyed snake (Micropechis ikaheka). Toxicon. 35(1): 101-109.
101: 85-90. Kamiguti, A.S., G.D. Laing & R.D. Theakston. 1994. Biological properties of the venom of the Papuan black snake (Pseudechis papuanus): presence of a phospholipase A2 platelet inhibitor. Toxicon. 32 (8): 915-925.
Geh, S.L. & R.M. Rampal. 1997. Neuromuscular and cardiovascular effects of mulgotoxin, isolated from the venom of the Australian king brown snake, Pseudechis australis. Toxicon. 35(4): 479-479.
Kang, I-C., Y.D. Lee &. D.S. Kim. 1999. A novel disintegrin salmosin inhibits tumor angiogenesis. Cancer. Res. 59:3754-3760.
Gomes, A., S. Bhattacharya, S. Mukherjee, I.H. Tsai & A. Gomes. 2012. Inhibition of toxic actions of phospholipase A2 isolated & characterized from the Indian Banded Krait (Bungarus fasciatus) venom by synthetic herbal compounds. Indian J Med Res. 136: 40-45.
Karlsson, E., D. Eaker, L. Fryklund & S. Kadin. 1972. Chromatographic separation of Enhydrina schistosa venom and the characterization of two principal neurotoxins. Biochem. 11: 4628-4633.
Guinea, M.L., N. Tamiya & H.G. Cogger. 1983. The neurotoxins of the sea snake Laticauda schistorhynchus. Biochem. J. 213: 39-41.
Karthikeyan, R., S. Karthigayan, M. Sri Balasubashini, S. Vijayalakshmi & T. Balasubramanian. 2007. Histopathological
Harris, J.B. & C.A. Maltin. 1982. Myotoxic activity of the crude venom and the principal neurotoxin,
changes induced in mice after inramuscular and intraperitoneal injections of venom from spine18
Fauna Indonesia Vol 12 (2) Desember 2013: 6-23
bellied sea snake, Lapemis curtus (Shaw, 1802). J. Pharmacol. Toxicol. 2(4) 307-318. Karthikeyan, R., S. Balasubashini, S.T.
Pathophysiol. Haemostasis Thromb. 34: 200-204. Klein, J. D. & F.J. Walker. 1986. Purification of a
Karthigayan, M. Sri Somasundaran & T.
protein C activator from the venom of the southern copperhead snake (Agkistrodon contortrix contortrix). Biochem. 25: 4175-4179.
Balasubramanian. 2008. Inhibition of Hep2 and HeLa cell proliferation In vitro and EAC tumor growth In vivo by Lapemis curtus (Shaw 1802) Venom. Toxicon. 51:157.
Kogan, A.E., G.V. Bashkov, I.D. Bobruskin, E.P. Romanova, V.A. Makarov & S.M. Strukova. 1993. Protein C activator from the venom of Agkistrodon blomhoffi ussuriensis retards thrombus formation in the arterio-venous shunt in rats.
Kartikasari, S.N., A.J. Marshall & B.M. Beehler. (Eds). 2012. Ekologi Papua. Seri Ekologi Indonesia Jilid VI. Yayasan Obor Indonesia dan Conservation International. Jakarta.
Thromb. Res. 70: 385-393. Koh, D.C.I, A.A. Armugan & Jeyaseelan. 2006. Snake components and their application in bio medicine. Cell.Mol.Life.Sci. 63: 3030-3041.
Kasturiratne, A., A. Wickremasinghe, N. de Silva, N.K. Gunawardena, A. Pathmeswaran & R. Premaratna. 2008. The global burden of snakebite: a literature analysis and modeling based on regional estimates of envenoming and deaths.
Komori, Y., T. Nikai, T. Tohkai & H. Sugihara. 1999. Primary structure and biological activity of snake venom lectin (APL) from Agkistrodon p. piscivorus (Eastern cottonmouth). Toxicon. 37(7): 1053-1064
PLoS Med. 5: 1591-604. Kim, H.S. & N. Tamiya. 1981a. The amino acid sequence and position of the free thiol group of a short-chain neurotoxin from common-death-
Kordi, D. 2011. Evolution of Phospholipase A2 toxins in venomous animals. Acta Chim. Slov.58: 638-646
adder (Acanthophis antarcticus) venom. Biochem. J. 199: 211-218.
Kulakarni, M.L. & S. Anees. 1994. Snake venom poisoning, experience with 633 patients. Indian
Kim, H.S. & N. Tamiya. 1981b. Isolation, properties and amino acid sequence of a long-chain
Paediatr. 31: 1239-43.
neurotoxin, Acanthophis antarcticus b, from the venom of an Australian snake (the common death adder, Acanthophis antarcticus). Biochem. J. 193: 899-906.
Kumar, B.K., S.S. Nanda, P. Venkateshwarlu, Y.K. Kumar & R.T. Jadhav. 2010. Antisnake venom serum (ASVS). Inter. J. Pharmaceut. Biomed. Res. (IJPBR). 1(3): 76-89.
Kim, H.S. & N. Tamiya. 1982. Amino acid sequences
Lalloo, D.G., A.J. Trevett, A. Saweri, S. Naraqi,
of two novel long-chain neurotoxins from the venom of the sea snake Laticauda colubrina. Biochem J. 207(2): 215-23.
R.D.G. Theakston & D.A. Warrell. 1994. Neurotoxicity and haemostatic disturbances in patient's envenomed by the Papuan black snake (Pseudechis papuanus). Toxicon. 12(8): 927-936.
Kim, S.I, K.S. Kim, H.S. Kim, M.M. Choi, D.S. Kim, K.H. Chung & Y.S. Park. 2004. Inhibition of
Lalloo, D.G., A.J. Trevett,, A. Saweri, S. Naraqi, R.D.G. Theakston and D.A. Warrell. 1995. The epidemiology of snake bite in Central Province and National Capital District, Papua New Guinea. Trans. Roy. Soc. Trop. Med. Hyg. 89: 178182.
angiogenesis by salmosin expressed in vitro. Oncol. Res. 14(4-5): 227-233. Kini, R.M. 2005. Serine proteases affecting blood coagulation and fibrinolysis from snake venoms. 19
Fauna Indonesia Vol 12 (2) Desember 2013: 6-23
Lind, P. & D. Eaker. 1981. Amino acid sequence of a lethal myotoxic phospholipase A2 from the venom of the common sea snake (Enhydrina schistosa).
Curr. Top. Med. Chem. 7(8): 743-756. McCue, M.D. 2005. Enzyme activities and biological functions of snake venoms. Applied Herpetology. 2: 109-123.
Toxicon. 19: 11-24. Liu, C.S., C.L. Wang & R.Q. Blackwell. 1975. Isolation and partial characterization of pelamitoxin a from Pelamis platurus venom. Toxicon. 13(1): 31-32.
McMullen, B.A., K. Fujikawa & W. Kisiel. 1989. Primary structure of a protein C activator from Agkistrodon contortrix contortrix venom. Biochem. 28: 674-679.
Liu, C.S. & R.Q. Blackwell. 1974. Hydrophitoxin b from Hydrophis cyanocinctus venom. Toxicon. 12 (5): 543-546
Millers, E.K., M. Trabi, P.P. Masci, M.F. Lavin, J. de Jersey J & L.W. Guddat LW. 2009. Crystal structure of textilinin-1, a kunitz-type serine
Lu, Q., J.M. Clemetson & K.J. Clemetson. 2005. Snake venoms and hemostasis. J. Thromb. Haemostasis 3: 1791-1799.
protease inhibitor from the venom of the Australian common brown snakes (Pseudonaja textiles). FEBS J. 276: 3163-3175.
Maduwage,
K.,
W.C.
Hodgson,
N.
Mori, N. & A.T. Tu. 1988. Isolation and primary
Konstantakopoulos, M.A. Margaret A O'Leary, I. Gawarammana & G.K. Isbister. 2011. The in vitro toxicity of venoms from South Asian Hump-
structure of the major toxin from sea snake, Acalyptophis peronii, venom. Arch Biochem Biophys. 260(1): 10-17.
nosed pit vipers (Viperidae: Hypnale). J. Venom. Res. 2: 17-23.
Mori, N., H. Ishizaki & A.T. Tu. 1989. Isolation and characterization of Pelamis platurus (yellow-bellied
Maeda, N. & N. Tamiya. 1976. Isolation, properties
sea snake) postsynaptic isoneurotoxin. J. Pharm.
and amino acid sequences of three neurotoxins from the venom of a sea snake, Aipysurus laevis. Biochem J. 153(1): 79-87.
Pharmacol. 41(5): 331-334. Mukherjee, A.K., R. Doley & D. Saikia. 2008. Isolation of a snake venoms phospholipase A2 (PLA2) inhibitor (AIPLAI) from leaves of Azadirachta indica (Neem): mechanism of PLA2 inhibition by AIPLAI in vitro condition. Toxicon. 51: 1548-53.
Maeda, N. & N. Tamiya. 1978. Three neurotoxins from the venom of a sea snake Astrotia stokesii, including two long-chain neurotoxic proteins with amidated C-termini. Biochem. J. 175(2): 507-517. Manci, A.C., A.M. Soares, S.H. Andrio-Ecarso, V.M. Faca & L.J. Greene. 1998. The analgesic activity of crotamine, a neurotoxin from Crotalus durissus terrificus (South American rattlesnake) Venom: a
Nagamizu, M., Y. Komori, K.I. Uchiya, T. Nikai & A.T. Tu. 2009. Isolation and chemical characterization of a toxin isolated from the venom of the sea snake, Hydrophis torquatus aagardi. Toxins. 1: 162-172
biocemichal and pharmacological study. Toxicon. 36:1927-1937.
Nair, D.G., B.G. Fry, P. Alewood, P.P. Kumar & R.M. Kini. 2007. Antimicrobial activityof omwaprin, a new member of the waprin family of snake venom protei. Biochem J. 402: 93-104.
Marcussi S, C.D. Sant'Ana, C.Z. Oliveira, A.Q. Rueda, D.L. Menaldo, R.O. Beleboni, R.G. Stabeli J.R. Griglio, M.R. Fontes & A.M. Soares. 2007. Snake venom phospholipase A2 inhibitors: medicinal chemistry and therapeutic potential.
Nirthanan, S., R. Gao, P. Gopalakrishnakone, M.C.E. Gwee, H.E. Khoo, L.S. Cheah & R.M. Kini. 20
Fauna Indonesia Vol 12 (2) Desember 2013: 6-23
2002. Pharmacological characterization of mikatoxin, an alpha-neurotoxin isolated from the venom of the New-Guinean small-eyed snake
Peichoto, M.E., F.L. Tavares, L. Marcelo, M.L. Santoro & S.P. Mackessy. 2012. Venom proteomes of South and North American opisthoglyphous (Colubridae and Dipsadidae) snake species: A preliminary approach to
Micropechis ikaheka. Toxicon. 40(7): 863-871. Oguiura, N., M. Boni-Mitake, R. Affonso & G. Zhang. 2011. In vitro antibacterial and haemolytic activities of crotamine, a small basic myotoxin from rattlesnake Crotalus durissus. J Antibiot. 64
understanding their biological roles. Comp. Biochem. Physiol., D (2012), http:// dx.doi.org/10.1016/j.cbd.2012.08.001.
(4):327-331.
Petricevich, V.L. & R.Z. Mendonca. 2003. Inhibitory potential of Crotalus durissus terrificus venom on measles virus growth. Toxicon. 42(2):143-153.
Omran, M.A.A., S.A. Fabb & G. Dickson. 2004. Biochemical and Morphological analysis of cell death induced by Egyptian cobra venom (Naja haje) venom on cultured cells. J. Venom. Anim.
Possani, L.D., B.M. Martin, A. Yatani, J. MochcaMorales, F.Z. Zamudio, G.B. Gurrola & A.M. Brown. 1992. Isolation and physiological
Toxins. Incl. Trop. Dis.10(3): 219-241.
characterization of taicatoxin, a complex toxin with specific effect on calcium channels. Toxicon. 30(11): 1343-1364.
O’Shea, M. 1996. A Guide to The Snakes of Papua New Guinea. Published in Papua New Guinea by Independent Publishing, Independent Group Pty Ltd, PO.Box 168, Porst Moresby.
Rasmussen, A.R., J. Elmberg, P. Gravlund & I. Ineich. 2011. Sea snakes (Serpentes: subfamilies Hydrophiinae and Laticaudinae) in Vietnam: a comprehensive checklist and an updated
Otten, E.J. 1998. Venomous animal injuries. In: Rosen P, Barkin R, editors. Emergency Medicine concepts and clinical practices. New York: Mosby;
identification key. Zootaxa. 2894: 1-20.
1998. pp. 924-940.
Ramos, O.H.P. & H.S. Selistre-de-Araujo. 2006. Snake venom metalloproteases-structure and function of catalytic and disintegrin domains.
Ouyang, C. & C.M. Teng. 1976. Fibrinogenolytic enzymes of Trimeresurus venom. Biochim. Biophys. Acta. 420: 298-308.
Comparative Biochemistry and Physiology Part C: Toxicology & Pharmacology. 142(3-4): 328-346.
Pahari, S., D. Bickford, B.G. Fry & R.M. Kini. 2007. Expression pattern of three-finger toxin and phospholipase A2 genes in the venom glands of
Reid, H.A. 1961. Pathology of sea-snake poisoning. British Medical Journal. I: 1290-1293.
two sea snakes, Lapemis curtus and Acalyptophis peronii: comparison of evolution of these toxins in
Reid, H.A. 1979. Symptomology, pathology and treatment of the bites of sea snakes. In Handbook of Experimental Pharmacology (Editor, C.Y. Lee).
land snakes, sea kraits and sea snakes. BMC Evol. Biol. 7:175.
Vol 52, pp.922-955. Springer-Verlag, Berlin.
Palmer, W.M. & A.L. Braswell. 1995. Reptiles of North Carolina. Univ. North Carolina Press, Chapel Hill. Parikh, C.K. 1996. Parikh's Textbook of Medical Jurisprudence, Forensic Medicine and
Rivero, J.V., F.O. Castro, A.S. Stival, M.R. Magalhães, J.R. Carmo & I.A. Pfrimer. 2012. Mechanisms of virus resistance and antiviral activity of snake venoms. The Journal of Venomous
Toxicology. 5th ed. New Delhi: Publisher and Distributors.
Animals and Toxins including Tropical Diseases. 17 (4):387-393.
21
Fauna Indonesia Vol 12 (2) Desember 2013: 6-23
Rowan, E.G., A.L. Harvey, C. Takasaki & N. Tamiya. 1989. Neuromuscular effects of a toxic phospholipase A2 and its nontoxic homologue
Importance in India: Is the Concept of the “Big 4” Still Relevant and Useful?. Wilderness Environ Med. 18: 2-9.
from the venom of the sea snake, Laticauda colubrina. Toxicon. 27(5): 587-91.
Stocker, K., H. Fischer, J. Meier, M. Brogli & L. Svendsen. 1986. Protein C activators in snake venoms. Behring Inst. Mitt. 79: 37-47.
Rowan, E.G., A.L. Harvey, C. Takasaki & N. Tamiya. 1989. Neuromuscular effects of a toxic phospholipase A2 and its nontoxic homologue
Stocker, K., H. Fischer, J. Meier, M. Brogli & L. Svendsen. 1987. Characterization of the protein C activator Protac from the venom of the southern copperhead (Agkistrodon contortrix ) snake.
from the venom of the sea snake, Laticauda colubrina. Toxicon. 27(5): 587-91. Ryan, S. & J. Yong. 1997. The nephrotoxicity of fractionated components of Aipysurus laevis venom. Experim. Toxicol. Pathol. 49(1-2): 47
Toxicon 25: 239-252. Sundell, I.B., R.D. Theakston, A.S. Kamiguti, R.J. Harris, A.T. Treweeke, G.D. Laing, J.W. Fox, D.A. Warrell & M. Zuzel. 2001. The inhibition of platelet aggregation and blood coagulation by
-55 Ryana, S.E. & J.L.C. Yong. 2002. Acute myotoxic and nephrotoxic effects of Aipysurus laevis venom following intramuscular injection Experim. Toxicol. Pathol. 54(1): 61-67
in
Micropechis ikaheka venom. Brit. J. Haematol 114 (4): 852-60.
mice.
Supriatna, Y. 1981. Ular Berbisa di Indonesia. Bhratara Karya Aksara. 75 Hal.
Saini, R.K., S. Sharma, S. Singh, & N.S. Pathania. 1984. Snake bite poisoning: A preliminary report. J. Assoc. Phys. India. 32(2):195-197.
Takasaki, C., S. Kimura, Y. Kokubun & N. Tamiya. 1988.
Sakurai, Y., M. Shima, T. Matsumoto, H. Takatsuka, K. Nishiya, S. Kasuda, Y. Fujimura & A. Yoshioka. (2003) Anticoagulant activity of M-
Isolation, properties and amino acid
sequences of a phospholipase A2 and its homologue without activity from the venom of a sea snake, Laticauda colubrina, from the Solomon Islands. Biochem J. 253(3): 869-875.
LAO, L-amino acid oxidase purified from Agkistrodon halys blomhoffii, through selective inhibition of factor IX. Biochim. Biophys. Acta 1649: 51-57.
Takeda, S., H. Takeya & S. Iwanaga. 2012. Snake venom metalloproteinases: Structure, function and
San, T.M., J. Vejayan, K. Shanmugam & H. Ibrahim. 2010. Screening antimicrobial activity of venoms
relevance to the mammalian ADAM/ADAMTS family proteins. Biochimica et Biophysica Acta (BBA)-Proteins and Proteomics.1824(1): 164-176.
from snake commonly found in Malaysa. J. Applied.Sci. 10:2328-2332.
Tamiya, N., N. Maeda & H.G. Cogger. 1983. Neurotoxins from the venom of the sea snakes
Seneviratne, U. & S. Dissanayake. 2002. Neurological manifestations of snakebite in Sri Lanka. J. Postgrad. Med. 48: 275-278.
Hydrophis ornatus and Hydrophis lapemoides. Biochem. J. 213: 31-38. Tan, P.T.J., M.A. Khan & V. Brusic. 2003. Bioinformatics for venom and toxin sciences. Brief. Bioinform. 4: 53-62
Sharma, N, S. Chauhan, S. Faruqi, P. Bhat & S. Varma. 2005. Snake envenomation in a north Indian hospital. Emerg Med J. 22: 118-120.
Tu, A.T., T.S. Lin & A.L. Bieber. 1975. Purification and chemical characterization of the major
Simpson, I.D. & R.L. Norris. 2007. Snakes of Medical 22
Fauna Indonesia Vol 12 (2) Desember 2013: 6-23
neurotoxin from the venom of Pelamis platurus. Biochem. 14(15): 3408-3413.
the clinical management of snakebite in the Southeast Asian Region. SE Asian J. Trop. Med. Pub. Hlth. 30: 1-85.
Tu, T., A.T. Tu & T.S. Lin. 1976. Some pharmacological properties of the venom, venom
Warrell, D.A. 2010. Guidelines for the management of snake-bites. World Health Organization, Regional Office for South-East Asia, Indraprastha
fractions and pure toxin of the yellow-bellied sea snake Pelamis platurus. J. Pharm. Pharmacol. 28: 139-145.
Estate, Mahatma Gandhi Marg, New Delhi-110 002, India. 153p.
Tyler, M.I., K.V. Retson-Yip, M.K. Gibson, D. Barnett, E. Howe, R. Stocklin, R.K. Turnbull, T.
Wickramaratna, J.C. & W.C. Hodgson. 2001. A pharmacological examination of venoms from
Kuchel & P. Mirtschin. 1997. Isolation and amino acid sequence of a new long-chain neurotoxin with two chromatographic isoforms (Aa e1 and Aa e2) from the venom of the Australian death adder
three species of death adder (Acanthophis antarcticus, Acanthophis praelongus and Acanthophis pyrrhus). Toxicon. 39: 209- 216.
(Acanthophis antarcticus). Toxicon. 35: 555-562.
Wickramaratna, J.C., B.G. Fry, M.I. Aguilar, R.M. Kini & W.C. Hodgson. 2003. Isolation and
van der Weyden, L., P. Hains, M. Morris & K. Broady. 1997. Acanthoxin, a toxic phospholipase A2 from the venom of the common death adder
pharmacological characterization of a phospholipase A2 myotoxin from the venom of the Irian Jaya death adder (Acanthophis rugosus).
(Acanthophis antarcticus). Toxicon. 35(8): 13151325.
Br. J. Pharmacol. 138: 333-342.
van der Weyden, L., P. Hains, K. Broady, D. Shaw & P. Milburn. 2001. Amino acid sequence of a
Wiscomb, G.W. & T.A. Messme. 2010.Venomous Snakes. Wildlife Damage Management Series.
neurotoxic phospholipase A2 enzyme from common death adder (Acanthophis antracticus) venom. J. Nat.Toxins. 05: 33-42.
Utah State University Cooperative Extension. Yap, M.K.K, N.H. Tan & S.Y. Fung. 2011. Biochemical and toxinological characterization of Naja sumatrana (Equatorial spitting cobra) venom. The Journal of Venomous Animals and Toxins including Tropical Diseases. 17(4): 451-459.
Verheij, H.M., M.C. Boffa, C. Rothen, M.C. Bryckert, R. Verger & G.H. de Haas. 1980. Correlation of enzymatic activity and anticoagulant properties of phospholipase A2. Eur. J. Biochem. 112: 25-32.
Zhou, H., J. Dou, J. Wang, L. Chen, H. Wang, W. Zhou, Y. Li & C. Zhou. 2011.The antibacterial activity of BF-30 in vitro and in infected burned rats is through interference with cytoplasmic membrane integrity. Peptides. 32(6):1131-1138.
Vishwanath, B.S., R.M. Kini & T.V. Gowda. 1987. Characterization of three edema-inducing phospholipase A2 isoenzymes from Habu (Trimeresurus flavoviridis) venom and their interaction with the alkaloid aristolochic acid. Toxicon. 25: 501-15.
Zug, G.R, L.J. Vitt & J.P. Cadwell. 2001. Herpetology: An introductory biology of amphibians and reptiles. 2nd Ed. Academic Pres Limited. London. 630p
Wang, Y.M., Y.F. Liew, K.Y. Chang & I.H. Tsai. 1999. Purification and characterization of the venom phospholipases A2 from Asian monotypic Crotalinae snakes. J. Nat. Toxins. 8: 331-340.
Aditya Krishar Karim Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi FMIPA,Universitas Cenderawasih Email :
[email protected]
Warrell, D.A. 1999. WHO/SEARO Guidelines for 23