Aedeagusdr os ophi l i d
Fauna Indonesia merupakan Majalah llmiah Populer yang diterbitkan oleh Masyarakat Zoologi Indonesia (MZI). Majalah ini memuat hasil pengamatan ataupun kajian yang berkaitan dengan fauna asli Indonesia, diterbitkan secara berkala dua kali setahun
ISSN 0216-9169
Redaksi Mohammad Irham Pungki Lupiyaningdyah Nur Rohmatin Isnaningsih Conni Margaretha Sidabalok
Sekretariatan Yulianto Yuni Apriyanti
Alamat Redaksi Bidang Zoologi Puslit Biologi - LIPI Gd. Widyasatwaloka, Cibinong Science Center JI. Raya Jakarta-Bogor Km. 46 Cibinong 16911 TeIp. (021) 8765056-64 Fax. (021) 8765068 E-mail:
[email protected]
Foto sampul depan : Aedeagus drosophilid - Foto : Awit Suwito Aedeagus drosophilid - Foto: Awit Suwito
PEDOMAN PENULISAN
Redaksi FAUNA INDONESIA menerima sumbangan naskah yang belum pernah diterbitkan, dapat berupa hasil pengamatan di lapangan/ laboratorium atau studi pustaka yang terkait dengan fauna asli Indonesia yang bersifat ilmiah popular. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia dengan summary Bahasa Inggris maksimum 200 kata dengan jarak baris tunggal. Huruf menggunakan tipe Times New Roman 12, jarak baris 1.5 dalam format kertas A4 dengan ukuran margin atas dan bawah 2.5 cm, kanan dan kiri 3 cm. Sistematika penulisan: a. Judul: ditulis huruf besar, kecuali nama ilmiah spesies, dengan ukuran huruf 14. b. Nama pengarang dan instansi/ organisasi. c. Summary d. Pendahuluan e. Isi: i. Jika tulisan berdasarkan pengamatan lapangan/ laboratorium maka dapat dicantumkan cara kerja/ metoda, lokasi dan waktu, hasil, pembahasan. ii. Studi pustaka dapat mencantumkan taksonomi, deskripsi morfologi, habitat perilaku, konservasi, potensi pemanfaatan dan lain-lain tergantung topik tulisan. f. Kesimpulan dan saran (jika ada). g. Ucapan terima kasih (jika ada). h. Daftar pustaka. 5. Acuan daftar pustaka: Daftar pustaka ditulis berdasarkan urutan abjad nama belakang penulis pertama atau tunggal. a. Jurnal Chamberlain. C.P., J.D. BIum, R.T. Holmes, X. Feng, T.W. Sherry & G.R. Graves. 1997. The use of isotope tracers for identifying populations of migratory birds. Oecologia 9:132-141. b. Buku Flannery, T. 1990. Mammals of New Guinea. Robert Brown & Associates. New York. 439 pp. Koford, R.R., B.S. Bowen, J.T. Lokemoen & A.D. Kruse. 2000. Cowbird parasitism in grasslands and croplands in the Northern Great Plains. Pages 229-235 in Ecology and Management of Cowbirds (J. N.M. Smith, T. L. Cook, S. I. Rothstein, S. K. Robinson, and S. G. Sealy, Eds.). University of Texas Press, Austin. c. Koran Bachtiar, I. 2009. Berawal dari hobi , kini jadi jutawan. Radar Bogor 28 November 2009. Hal.20 d. internet NY Times Online . 2007.”Fossil find challenges man’s timeline”. Accessed on 10 July 2007 (http://www.nytimes.com/nytonline/NYTO-Fossil-Challenges-Timeline.html).
6.
Tata nama fauna: a. Nama ilmiah mengacu pada ICZN (zoologi) dan ICBN (botani), contoh Glossolepis incisus, nama jenis dengan author Glossolepis incisus Weber, 1907. b. Nama Inggris yang menunjuk nama jenis diawali dengan huruf besar dan italic, contoh Red Rainbowfish. Nama Indonesia yang menunjuk pada nama jenis diawali dengan huruf besar, contoh Ikan Pelangi Merah. c. Nama Indonesia dan Inggris yang menunjuk nama kelompok fauna ditulis dengan huruf kecil, kecuali diawal kalimat, contoh ikan pelangi/ rainbowfish.
7.
Naskah dikirim secara elektronik ke alamat:
[email protected]
KATA PENGANTAR
Fauna Indonesia edisi penghujung tahun 2013 ini menampilkan ulasan-ulasan menarik dari dunia fauna Indonesia. Sembilan topik ulasan yang disampaikan kepada pembaca meliputi hasil-hasil eksplorasi, eksperimenn dan kajian pustaka yang tentunya akan menambah wawasan tentang kekayaan hayati nusantara. Topik artikel kali ini sangat bervariasi mulai dari informasi biologis satwa-satwa yang unik seperti cumi-cumi kerdil dan siput ektoparasit pada ekosistem terumbu karang sampai kepada paparan fauna yang berpotensi ekonomi tinggi. Artikel-artikel pada edisi ini sangat relevan dengan kondisi keanekaragaman hayati dan program pemerintah Indonesia. Keanekaragaman hayati Indonesia yang tinggi masih banyak belum terungkap sementara itu laju kehilangannya jauh lebih cepat dari penemuan-penemuannya. Oleh karena itu, apapun hasil penelitian yang berbasis keanekaragaman hayati sangat penting bagi usaha konservasi dan pemanfaatannya. Studi-studi yang mendukung ketahanan pangan dan ekonomi rakyat menjadi salah satu aspek penting dalam penggalian potensi fauna nusantara. Dalam edisi ini tiga artikel menjabarkan potensi ekonomis dari satwa Indonesia, yaitu penangkaran kura-kura, serangga pada umbi taka dan Rusa Timor di tanah Papua. Jika ditilik lebih lanjut maka potensi fauna dapat terkait pada potensi sebagai satwa kesayangan, hama pada tanaman dan sumber protein. Hal-hal tersebut jika dikembangan dengan baik niscaya penilaian dan pandangan masyarakat terhadap keanekaragaman hayati Indonesia semakin positif. Semoga banyak pencapaian positif pada tahun 2013 bagi para pembaca Fauna Indonesia dan Selamat Tahun Baru 2014 semoga satwa kita semakin lestari dan termanfaatkan dengan bijak.
Selamat membaca.
Redaksi
i
DAFTAR ISI
PENGANTAR REDAKSI ......................................................................................................................
i
DAFTAR ISI ..............................................................................................................................................
ii
KAJIAN ULANG STATUS KODOK Rhacophorus bifasciatus van Kampen 1923 DAN Rachoporus poecilonotus Boulenger, 1920 ASAL SUMATRA.............................................................. Hellen Kurniati
1
KOMPOSISI DAN PATOFISIOLOGI BISA (VENOM) ULAR SERTA NILAI TERAPI DAN AKTIVITAS FARMAKOLOGISNYA ................................................................................... Aditya Krishar Karim
6
PERTUMBUHAN KURA-KURA DADA MERAH JAMBU Myuchelys novaeguineae schultzei (VOGHT,1911) DI PENANGKARAN (Bagian 2) ........................................................................... Mumpuni
24
ASPEK BIOLOGI DAN EKOLOGI SIPUT EKTOPARASIT FAMILI EPITONIIDAE (GASTROPODA: MOLLUSCA) ......................................................................................................... Ucu Yanu Arbi
29
Idiosepius STEENSTRUP, 1881 CUMI-CUMI KERDIL DARI PERAIRAN INDONESIA (CEPHALOPODA : IDIOSEPIIDAE) ................................................................................................ Nova Mujiono
38
KARAKTER SERANGGA PADA TANAMAN KECONDANG (TACCACEAE: Tacca leontopetaloides) DI KARIMUNJAWA, JAWA TENGAH ................. Erniwati
43
TEKNIK MENGGAMBAR SPESIMEN FAUNA SECARA DIGITAL.................................... Awit Suwito
52
PROFIL Rusa Timor (Cervus timorensis moluccensis Müller, 1839) YANG DIPELIHARA DI MANOKWARI ................................................................................................................................... Freddy Pattiselanno
ii
61
Fauna Indonesia Vol 12 (2) Desember 2013: 24-28
PERTUMBUHAN KURA-KURA DADA MERAH JAMBU Myuchelys novaeguineae schultzei (VOGHT, 1911) DI PENANGKARAN (Bagian 2)
Mumpuni Museum Zoologicum Bogoriense, Bidang Zoologi, Puslit Biologi – LIPI
Summary Observation of breeding activities and growth of pink-bellied Snapping turtles Myuchelys novaeguineae schultzei at captive breeding has been conducted in 2011. Adult females lay egg four times a year. Each clutch contains 6 – 8 eggs. Length of egg incubation in nest until hatch was between 80 and 101 days. Egg incubation in rainy season is longer than that in dry season. A total of 7 hatchlings were hatched in June by observing their growth to measure body weight, long and wide of carapace every 3 months. Growth of body weight in the second 3-month was faster than that in the first-3 month; and on the contrary, growth of length and width of carapace at the first 3-month was bigger than those of hatchlings at the age of the second 3-month. Hatching during 2011 reach 26 hatchlings where 4 hatchlings have forms and structures of abnormal scale carapace.
PENDAHULUAN
para peneliti herpetofauna termasuk penelitian molekuler yang menghasilkan perubahan taksonomi
Kura-kura Dada Merah Jambu merupakan salah satu satwa herpetofauna asal Papua (termasuk Papua Nugini) yang memiliki potensi ekonomi tinggi karena termasuk satwa yang banyak diperdagangkan
(Auliya 2007, Mumpuni 2011, Artner, 2008, Thomson & Georges 2009, Georges &Thomson 2010). Meskipun informasi status jenis ini telah diungkapkan, perilaku kehidupan Kura-Kura Dada Merah Jambu belum banyak diketahui (Aulia 2007, Iskandar 2000). Beberapa rujukan ilmiah dapat mengacu pada hasil penelitian kerabat kura-kura ini di
dan diekspor keluar negri. Pemanfaatan kura-kura ini adalah untuk memenuhi pasar satwa peliharaan karena memiliki bentuk dan warna yang indah. Oleh karena itu supaya pemanfaatan satwa ini tidak mengganggu kelestariannya dialam maka diperlukan usaha untuk
Australia (Cann 1998). Untuk mengetahui perikehidupan Kura-kura Dada Merah Jambu, penelitian berbasis penangkaran telah dilakukan. Tulisan ini merupakan kelanjutan dari tulisan sebelumnya yang memaparkan
mengembangbiakannya secara ex-situ. Sebelum usaha penangkaran ini dilakukan maka hal yang terpenting adalah mengetahui status biologi jenis ini dengan jelas. Pertelaan dan taksonomi Kura-kura Dada Merah Jambu sudah dijabarkan oleh
pertumbuhan pada umur 2 sampai 3 bulan pertama (Mumpuni 2011). Pada tulisan kali ini akan 24
Fauna Indonesia Vol 12 (2) Desember 2013: 24-28
diinformasikan beberapa data mengenai perkembangbiakan dan pertumbuhan kura-kura pada
HASIL DAN PEMBAHASAN
umur enam bulan pertama.
Perkembangbiakan MATERI DAN METODA
Hasil pengamatan selama tahun 2011 dari sepasang induk kura-kura Myuchelys n. schultzei yang
Kura-kura Myuchelys novaeguineae schultzei yang digunakan dalam penelitian ini adalah sepasang
dipelihara di kolam penangkaran, ternyata melakukan aktifitas kawin di dalam air pada siang hari. Induk betina bertelur pada waktu pagi atau sore hari dalam sarang yang dibuat oleh induk betina dengan menggali
induk koleksi MZB. Panjang karapas induk jantan 18 cm dan betinanya 20 cm. Keduanya dipelihara bersama dalam kolam dengan luas kandang 1,5 x 0,6 m dan tinggi 0,8 m. dua pertiga kandang berupa kolam
tanah dengan kedua kaki belakang sedalam sekitar 10 cm. Telur dikeluarkan satu persatu ke dalam sarang bertumpukan sampai selesai (Gambar 1.) Selanjutnya secara bertahap lubang sarang ditutup kembali dengan
dan sepertiga bagian berupa daratan berupa campuran tanah dan pasir 1 : 1. Pemberian pakan berupa pellet ikan 50 gram setiap hari dan daging ikan tuna segar 50 gram dua kali dalam seminggu. Air kolam diganti
tanah dengan menggunakan kedua kaki belakangnya secara bergantian sambil dipadatkan. Waktu bertelur pada tahun 2011 terjadi empat kali, yaitu antara bulan
setiap dua kali seminggu dan di bagian darat/ tanah di basahi dengan menyemprotkan air secukupnya. Perkembangbiakan induk kura-kura seperti waktu kawin, waktu bertelur, jumlah telur, ukuran telur, lama inkubasi, berat dan ukuran tukik yang menetas. Tukik/anakan kura-kura hasil tetasan dipelihara
Januari s/d September. Jumlah telur bervariasi antara 6 – 8 butir tiap clutch (setiap kali bertelur ) dengan rataan 7 butir. Selang waktu bertelur dari clutch ke clutch yang berikutnya bervariasi dari 2 sampai 3 bulan.
dalam bak-bak plastik dengan luas 60 x 45 cm dan tinggi 40 cm, di dalamnya diisi denga air setinggi 10 – 15 cm dan disediakan daun-daun kering untuk berlindung. Pemeliharaan secara berkelompok sesuai
Telur berbentuk bulat panjang berukuran rataan 42,1 x 24,21 mm dan rataan berat 18,08 gram. Telur-telur yang dihasilkan, dibiarkan dalam sarang yang dibuat oleh induk betinanya atau ditetaskan secara alami.
dengan umurnya. Air dalam bak plastik diganti setiap 2 – 3 kali dalam seminggu. Pakan yang diberikan sama dengan induknya tetapi dengan ukuran dan jumlah lebih sedikit, yaitu pelet ikan koi 2,5 gram/ ekor/hari dan daging ikan tuna segar 12,5 gram /ekor/hari. Pemberian pelet sekali dalam sehari dan ikan
Suhu sarang berkisar antara 26 - 27ºC. Telur-telur dalam sarang menetas setelah 80 sampai 101 hari. Variasi waktu inkubasi telur ini tampaknya dipengaruhi musim terutama fluktuasi suhu lingkungan di sekitar sarang. Peneluran pada Juni adalah paling cepat menetas 80 hari dan peneluran September menetas setelah 101 hari. Sedangkan peneluran pada Januari dan Maret menetas setelah 92 hari. Dari 4 kali peneluran 3 kali berhasil menetas 100 % dan sekali dengan kegagalan menetas 1 butir
diberikan 2 kali dalam seminggu. Pengukuran pertumbuhan dilakukan setiap 3 bulan dengan cara menimbang kura-kura menggunakan timbangan pegas dan mengukur panjang serta lebar karapasnya menggunakan caliper. Hasil penimbangan bobot badan dan pengukuran panjang dihitung rata-ratanya dan dibuat grafik untuk melihat laju pertumbuhannya.
diantara 7 butir telur yang terjadi pada Agustus. Kegagalan ini karena telur tidak dibuahi, hal ini tampak dari isi telur berwarna kuning dan tidak busuk. Tukik yang menetas akan keluar dari sarang dengan membuat lubang (Gambar 2) dan masuk menuju ke air. 25
Fauna Indonesia Vol 12 (2) Desember 2013: 24-28
Pengamatan pada bobot badan dan ukuran karapas tukik yang baru menetas dilakukan tukik yang menetas pada Juni dan Desember (Gambar 3). Bobot badan, panjang dan karapas tukik yang menetas pada Juni,yaitu
Pertumbuhan
pada 2011 lebar pada
Kura-kura yang digunakan dalam pengamatan pertumbuhan adalah anakan dari hasil tetasan peneluran kedua sebanyak 7 ekor. Pertumbuhan pada 3 bulan pertama dengan rataan pertambahan bobot badan 9,02 gram, panjang karapas 16,25 mm dan lebar
umur sehari berturut-turut adalah 8,24 gram (7,5 – 8,9), 37,08 mm( 35,61 – 37,79) dan 32,99 mm (26,66 – 35,10). Sedangkan telur hasil penetasan pada Desember memiliki bobot badan dan ukuran
karapas 17,71 mm. Sedangkan pertumbuhan pada 3 bulan kedua dengan rataan pertambahan bobot badan 28,06 gram, panjang karapas 12,28 mm dan lebar karapas 10,95 mm. Jika dibandingkan antara pertumbuhan 3 bulan pertama dan 3 bulan kedua tampak bahwa pertambahan bobot badan anakan kura
panjang dan lebar karapas berturut-turut adalah 10,66 gram (9,5 – 11), 32,96 mm (37,2 – 38,6) dan 34,57 mm (34 – 35,5).
-kura pada 3 bulan kedua sangat mencolok bila dibandingkan dengan pertambahan pada 3 bulan pertama seperti terlihat pada Grafik 1. Sedangkan pertambahan panjang dan lebar karapas pada umur 3 bulan pertama menunjukkan sedikit lebih besar bila dibandingkan dengan pertambahan pada umur 3 bulan kedua seperti terlihat pada Grafik 2 dan 3. Gambar 1. Telur dalam sarang 50 45
Bobot badan (gram)
40 35 30 25 20 15 10 5
Gambar 2. Sarang yang sudah ditinggalkan oleh tukik
0 1hari
3 bulan
6 bulan
Umur
Grafik 1. Laju pertambahan bobot badan kura-kura umur 6 bulan pertama
Gambar 3. Tukik umur sehari dengan penandaan individu 26
Fauna Indonesia Vol 12 (2) Desember 2013: 24-28
ekor tukik yang menetas pada Juni, satu ekor memiliki sisik internukhal dan satu ekor tukik memiliki sisik vertebral tambahan terletak di belakang vertebral pertama (Gambar 5). Kelainan bentuk dan susunan sisik umum terjadi pada bangsa Testudinata.
70
Panjang karapas (mm)
60 50 40
Pengamatan pada kura-kura Trachemys dorbigni sebanyak 51 ekor dewasa, 7 ekor remaja dan 46 ekor tukik yang dikoleksi dari alam di Brasil ditemukan 6 sampai 14 % populasinya memiliki variasi bentuk dan
30 20 10
susunan sisik abnormal pada bagian karapas maupun plastron (Bujis & Verrastro, 2007). Kelainan sisik ini kemungkinan pengaruh dari suhu lingkungan pada musim kemarau yang tinggi selama inkubasi telur
0 1hari
3 bulan
6 bulan
Umur
Grafik 2. Laju pertambahan panjang karapas kura-kura
dalam sarang karena suhu lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pada masa pembentukan karapas maupun plastron.
umur 6 bulan pertama
70
60
Lebar karapas (mm)
50
40 30
20 10
0 1hari
3 bulan
6 bulan
Umur
Gambar 4. Kura-kura dengan sisik internukhal Grafik 3. Laju pertambahan lebar karapas kura-kura umur 6 bulan pertama
Anomali Sisik Ditemukan dari tukik yang dihasilkan pada tahun 2011 yaitu individu dengan susunan sisik yang tidak normal sebagaimana mestinya. Dari 4 kali peneluran, ditemukan 4 individu yang menetas dengan kondisi sisik abnormal. Dua ekor tukik yang menetas pada Maret memiliki sisik internukhal yang terletak di antara sisik nukhal (tengkuk) dan sisik vertebral Gambar 5. Kura-kura dengan tambahan sisik vertebral
(punggung) pertama (Gambar 4 ). Sedangkan dua 27
Fauna Indonesia Vol 12 (2) Desember 2013: 24-28
Cann, J. 1998. Australian Freshwater Turtles. Craft Print Pte Ltd. Singapore. Pp.202.
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini didanai oleh Proyek DIPA Pusat Penelitian Biologi-LIPI Sub Kegiatan Kajian
Georges, A. & Thomson, S. 2010. Diversity of Australasian freshwater turtles, with an annotated
Nutrisi Satwaliar dan Konservasi Ex Situ tahun Anggaran 2011. Kepada Mulyadi dan Saiful penulis mengucapkan terima kasih yang telah membantu
synonymy and keys to species. Zootaxa 2496: 1 –37. Iskandar, D.T. 2000. Kura-kura dan Buaya Indonesia dan Papua Nugini. Palmedia Citra, Bandung. 191.
dalam pemeliharaan kura-kura.
DAFTAR PUSTAKA Artner, H. 2008. The world's extant turtle species, Part 1. Emys 15: 4-32.
Mumpuni, 2011. Pertumbuhan Kura-kura Dada Merah Jambu (Myuchelys novaeguineae schultzei (Voght, 1911) ) di Penangkaran. Fauna Indonesia 11(1): 11-15
Aulia, M. 2007. An Identification Guide to the Tortoises and Freshwater Turtles of Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Papua New Guinea, Philipines, Singapore and Timor Leste. Traffic Southeast Asia, Petaling Jaya, Malaysia. 99
Thomson, S. & Georges, A. (2009) Myuchelys gen. nov. a new genus for Elseya latisternum and related forms of Australian freshwater turtle (Testudines: Pleurodira: Chelidae). Zootaxa 2053: 32–42.
Bujes, C & L. Verrastro. 2007. Supernumerary epidermal shields snd carapace Variation in Orbigny’s slider turtles, Trachemys dorbigni (Testudines, Emydidae). Revista Brasileira de Zoologia 24 (3): 666- 672
Mumpuni Museum Zoologicum Bogoriense Bidang Zoologi, Puslit Biologi – LIPI Gd. Widyasatwaloka, Jl. Raya Jakarta – Bogor KM. 46 Cibinong 16911 Email:
[email protected] 28