ISSN: 2460-1144
Volume 1
Nomor 1
Juli 2015
Hesti Sadtyadi
Refleksi Evaluatif Pemahaman dan Pemotivasian Siswa Dalam Mencapai Pendidikan Bermutu
Hariyanto
Pengaruh Perhatian Peserta Didik Dalam Pembelajaran Terhadap Prestasi Belajar Pendidikan Agama Buddha Di Kabupaten Wonogiri Tahun 2014
Mujiyanto
Pengaruh Pelaksanaan Pembelajaran Humanisme di Lembaga Pendidikan Dhamma Sekha terhadap Kemantapan Anak Dalam Meyakini Agama Buddha
Lany Susanti, Hesti Sadtyadi
Pengaruh Kompetensi Profesional Guru Pendidikan Agama Buddha terhadap Prestasi Belajar Siswa Beragama Buddha (Penelitian Dilakukan pada Guru Agama Buddha di Kabupaten Wonogiri)
Santi Paramita
Telaah Kontrasepsi dalam Keluarga Berencana menurut Sila Agama Buddha
Sukodoyo, dkk
Hubungan Self Efficacy dan Solidaritas Kelompok terhadap Minat Pemuda Buddhis dalam Mengikuti Kegiatan Keagamaan di Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang
Sujiono, dkk
Pengaruh Penerapan Metode Bercerita Berdasarkan Gambar terhadap Keterampilan Berbicara (Penelitian Eksperimen di TK Wira Putra, Desa Batur, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang) Penggunaan Media Gambar dalam Upaya Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar Pendidikan Agama Buddha di SD Negeri 01 Kertosari
Ragil Erna Susanti, Hariyanto
Marjianto
Pengaruh Supervisi Kepala Sekolah dan Kompetensi Profesional Guru terhadap Kinerja Guru Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 2 Jatiroto Kabupaten Wonogiri Provinsi Jawa Tengah
M. Chairul Basrun Umanailo
Agama Sebagai Komoditas Bernegara
Diterbitkan Oleh: Asosiasi Dosen Raden Wijaya Bekerjasama dengan Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya Wonogiri Jawa Tengah
76
PENGARUH PENERAPAN METODE BERCERITA BERDASARKAN GAMBAR TERHADAP KETERAMPILAN BERBICARA (Penelitian Eksperimen di TK Wira Putra, Desa Batur, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang) Sujiono, Urip Widodo, Ari Maryono, dan Anik Trikustiani Program Studi Dharmacarya STAB Negeri Raden Wijaya Wonogiri Jawa Tengah
[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan hasil keterampilan berbicara dalam pembelajaran mengungkapkan bahasa dengan menerapkan metode bercerita berdasarkan gambar dan pembelajaran ungkapkan bahasa yang tidak menerapkan metode bercerita berdasarkan gambar pada peserta didik di TK Wira Putra, Desa Batur, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Tempat penelitian ini adalah TK Wira Putra di Desa Batur, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Waktu penelitian adalah lima bulan. Desain penelitian ini menggunakan eksperimen semu (quasi-eksperimen). Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan wawancara, observasi, serta test. Teknik analisis data menggunakan uji normalitas data, uji homogenitas, uji t atau t-test. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan pembelajaran dengan menggunakan metode bercerita berdasarkan gambar terhadap keterampilan berbicara peserta didik. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata nilai posttest kelas eksperimen yang lebih daripada rata-rata nilai kelas kontrol. Rata-rata nilai posttest kelas eksperimen adalah 77 sedangkan rata-rata nilai posttest kelas kontrol adalah 61,9. Demikian juga berdasarkan hasil pengujian uji “t” untuk data posttest diperoleh nilai t hitung sebesar 2,296 diman nilai tersebut lebih besar dari nilai t tabel yaitu 1,729. Hal ini berarti hipotesis alternatif (Ha) diterima dan hipotesis nol (Ho) ditolak. Kata kunci: Metode bercerita, keterampilan berbicara. ABSTRACT This research is aimed to know the difference between students’ speaking skill who are taught by picture story telling method and lecturing method on the Wira Putra.This research took place in Wira Putra Kindergarten, Batur Village, Getasan District, Semarang Regency. This research is conducted for five months. Research design used is quasi experiment research. In collecting the data the reserchers used test, interview and observation. The data is analyzed by using normality test, homogenity test, and “t”-test. Based on the result of the reseacrh and data analysis, can be concluded that there is a significance effect on the students’ speaking skill who are taught by picture story telling method nad lecturing method. It can be seen from the post test mean score of the experiment class which is higher than post test mean score of the controll class. Post test mean score of experiment class is 77 while post test mean score of control class is 61,9. Based on the “t” test from post test data the score of t count is amount 2,296 where those score is higher than the score of t table that is 1,729. It can be concluded that the result of the research accepts alternatif hypothesis (Ha) and rejects null hypothesis (Ho). Keywords: lecturing method, story telling method, students’ speaking skill. PENDAHULUAN Bahasa Indonesia merupakan salah satu ilmu yang di ajarkan di dunia pendidikan dari jenjang Taman Kanan-Kanak sampai dengan Perguruan Tinggi. Melalui pembelajaran bahasa Indonesia peserta didik memperlajari tentang keterampilan berbahasa, yaitu; (1) keterampilan menyimak; (2) keterampilan berbicara; (3) keterampilan
membaca; dan (4) keterampilan menulis. Hal ini senada yang dijelaskan Tarigan (2008: 1) bahwa keterampilan berbahasa (atau language arts, language skills) dalam kurikulum di sekolah biasanya mencakup empat segi, yaitu; (a) keterampilan menyimak/mendengar (listening skills), (b) keterampilan berbicara (speaking skills), (c) keterampilan membaca
77
(reading skills), dan (d) keterampilan menulis (writing skills). Keterampilan berbicara merupakan salah satu indikator pembelajaran yang harus dicapai dalam pendidikan TK. Hal ini sejalan dengan peraturan menteri pendidikan Nomor 58 Tahun 2009 dijelaskan bahwa tingkah pencapain perkembangan anak usia 5-6 tahun dalam pengungkapan bahasa yaitu peserta didik mampu melanjutkan sebagian cerita/dongeng yang telah diperdengarkannya. Berdasarkan kenyataan terampilan berbicara pada peserta didik diperoleh dengan banyak berlatih, dan didukung suasana pembelajaran yang inovatif. Oleh hal itu maka pembelajaran keterampilan bercerita dimulai dari tingkat Taman Kanak-Kanak sebagai dasar menumbuhkan keterampilan berbicara. Mengacu pada teori yang ada bahwa bekal bagi peserta didik di Taman Kanak-Kanak sudah cukup. Namun sampai saat ini keterampilan berbicara peserta didik masih belum memuaskan. Peserta didik masih mengalami berbagai kendala diantaranya, masih kurangnya ketepatan logika urutan cerita, belum optimalnya kelancaran dalam melanjutkan sebagian cerita yang telah diperdengarkan, dan yang lebih menonjol lagi adalah nilai pembelajaran mengungkapkan bahasa masih pas-pasan. Permasalahan tersebut merupakan bukti bahwa keterampilan berbicara peserta didik masih rendah. Rendahnya keterampilan berbicara yang dimiliki peserta didik tentu dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya; (1) belum optimalnya peserta didik dalam dalam mengikuti pembelajaran bercerita; (2) sarana pembelajaran masih kurang memadai; dan (3) saat pembelajaran guru hanya menerapkan metode konvensional. Namun menurut dugaan peneliti penyebab rendahnya keterampilan berbicara peserta didik adalah faktor penerapan metode pembelajaran. Sebagai pendidik tentunya guru berkewajiban memberikan pembelajaran yang seoptimal mungkin sehingga mencerdaskan peserta didiknya. Terkait kewajiban seorang guru terhadap peserta didik telah jelaskan oleh Sang Buddha dalam Sigalovada Sutta. Menurut Sang Buddha (dalam Dhammasiri, 1995: 40) seorag guru memiliki 5 kewajiban terhadap peserta didiknya, yaitu; “ (1) they them so that have been well trained; (2) they hold fast that which is wellheld; (3) they
thoroughlyn instruct them in the lore of every art; (4) they speak well of them amongst their friends and companions; and (5) they provide for their safety in every quarter.” Mengacu pada kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa guru berkewajiban melatih secara optimal sehingga peserta didik memiliki keterampilan yang baik. Guru berkewajiban mengkondisikan peserta didik untuk menguasai ilmu pengetahuan yang diajarkan. Guru berkewajiban mengajarkan secara mendalam ilmu pengetahuan dalam hal ini salah satunya keterampilan berbicara. Guru berkewajiban berbicara baik tentang peserta didiknya, dalam hal ini guru senantiasa menjaga ucapannya. Guru berkewajiban mempersiapan peserta didiknya untuk mampu menjadi kehidupan yang penuh tangtangan. Keterampilan berbicara merupakan salah satu kegiatan berbahasa. Bagi peserta didik TK keterampilan berbicara sangatlah diperlukan dimana sebagai peserta didik TK yang sedang mengalami masa pertumbuhan dan belajar. Berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau katakata untuk mengekspresikan, menyatakan, serta menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan (Tarigan, 2008:16). Berdasarkan kutipan dari Tarigan dapat diperoleh pemahaman bahwa keterampilan berbicara merupakan suatu kemampuan pada setiap individu manusia dalam mengucapkan bunyibunyi kata-kata yang beraneka ragam yang dapat digunakan untuk menyatakan sebuah pendapat dan perasaan. Menurut Nurgiyantoro (2012: p. 399) menjelaskan bahwa berbicara adalah aktivitas berbahasa kedua yang dilakukan manusia dalam kehidupan bahasa setelah mendengarkan. Berdasarkan bunyi-bunyi (bahasa) yang didengarnya itulah kemudian manusia belajar mengucapkan dan akhirnya mampu untuk berbicara. Pada umum seseorang setelah mendengar rangsangan suara akan melakukan reaksi dan akhirnya memberikan respon dalam bentuk mengucapkan kata-kata. Melalui kegiatan berbicara informasi dapat diberikan kepada orang lain. Lebih lanjut Saddhono dan Slamet (2012: p. 58) menjelaskan berbicara adalah kemampuan menyampaikan ide, gagasan, pikiran atau perasaan dengan tujuan tertentu, yaitu agar
77
78
pesan yang disampaikan dapat dipahami atau diterima oleh pendengarnya. Berpijak dari kutipan para ahli di atas dapat diambil simpulan bahwa berbicara merupakan kegiatan berbahasa kedua dalam bentuk pengucapan kata-kata untuk menyampaikan ide atau gagasaan, pendapat dan informasi kepada orang lain. Keterampilan berbicara sangatlah diperlukan dalam segi kehidupan peserta didik TK. Sebagai peserta didik dalam masa perkembangannya maka keterampilan berbicara bagi peserta didik TK akan memberikan pengaruh dalam kemampuan berbahasa yang lainnya. Tujuan utama berbicara adalah terjadinya komunikasi (Tarigan, 2008: p. 16). Saat terjadi proses berbicara maka secara tidak langsung telah terjadi proses komunikasi. Tujuan berbicara seperti dikemukakan didepan adalah untuk berkomunikasi. Pembicaraan untuk menyampaikan informasi lebih sering terlihat dalam kehidupan sehari-hari baik dalam lingkungan masyarakat maupun dalam lingkup pembelajaran. Pembicaraan menginformasikan lebih berfokus pada pemberian informasi kepada pendengar. Berbijak dari beberapa pendapat ahli di atas maka dapat diambil simpulan bahwa tujuan berbicara untuk berkomunikasi sehingga pembicara mampu menghibur, menginformasikan, menstimuli, menyakinkan dan menggerakaan pendengar. Peserta didik TK memiliki kemampuan berbahasanya. Ada peserta didik yang lancar dalam kegiatan berbicara. Dijumpai peserta didik yang lambat saat diajar berbicara. Ada beberapa cara merangsang anak berbicara, yaitu; (1) membiasakan untuk berbicara dengan baik; (2) memandang mata anak; (3) menghindari kebiasaan berbicara pada anak dengan ejakan yang dibuat-buat; (4) membicarakan apa yang benar-benar dilakukan dan dialami anak; (5) menjawab lebih banyak daripada yang diminta; (6) menggunakan tata bahasa yang benar dalam berbicara; (7) dengan lembut membetulkan kesalahan anak; dan (8) melakukan percakapan dengan baik (Suhartono, 2005: p. 209). Berpijak pada kutipan di atas dapat diambil simpulan bahwa cara merangsang peserta didik aktif berbicara yaitu mengkondisikan peserta didik berbicara untuk menceritakan kembali cerita yang diperdengarkan oleh guru dengan baik. Guru sebagai teman peserta didik dalam menempuh ilmu seyogyanya mengkondisikan peserta
didik untuk lebih banyak mengembangkan kosa kata. Peserta didik harus dikondisikan mendengar banyak kata-kata sehingga kosa kata yang dimiliki semakin meningkat. Setiap proses pembelajaran dilakukan penilaian untuk mengetahui ketercapaian tujuan pembelajaran. Menurut Suwandi (2011: p. 9) menjelaskan bahwa penilaian adalah suatu proses untuk mengetahui apakah proses dan hasil dari suatu program kegiatan telah sesuai dengan tujuan atau kriteria yang telah ditentukan. Lebih lanjut dijelaskan penilaian adalah sebuah cara pengukuran pengetahuan, kemampuan, dan kinerja seseorang dalam ranah yang diberikan (Brown, 2004; 3). Menurut Hamid (2011: p. 28) menjelaskan bahwa penilaian adalah penerapan berbagai prosedur, cara, dan penggunaan beragam alat penilaian untuk memperoleh informasi tentang sejauh mana ketercapaian hasil belajar atau kompetensi (rangkaian kemampuan) peserta didik. Penilaian menjawab pertanyaan tentang sebaik apa hasil atau prestasi belajar peserta didik. Berdasarkan beberapa kutipan di atas, dapat diambil simpulan bahwa penilaian merupakan suatu proses yang sistematis, terstruktur untuk mengetahui tingkat kemajuan belajar peserta didik. Melalui proses penilaian akan dapat diketahui tingkat keberhasilan dari tujuan pembelajaran yang telah dirancang. Melalui proses penilaian akan diperoleh data tentang hasil kemajuan perserta didik. Salah satu alat yang digunakan dalam kegiatan penilaian adalah menggunakan tes. Menurut Brooks (dalam Tarigan, 2008: p. 28) dalam mengevaluasi keterampilan berbicara seseorang harus memperhatikan lima faktor, yaitu; “(1) bunyi-bunyi tersendiri (vokal dan konsonan diucapkan secara tepat; (2) pola-pola intonasi, naik dan turunnya suara, bertekanan suku kata memuaskan; (3) ketepatan ucapan mencerminkan bahwa sang pembicara tanpa referensi internal memahami bahasa yang digunakannya; (4) kata-kata yang diucapkan itu dalam bentuk dan urutan yang tepat?; dan (5) “kelancaran” dan “kewajaran” ataupun “ke-native-speaker-an” yang tercermin bila seseorang berbicara.”
79
nilai peserta didik digunakan rumus sebagai berikut: Nilai = ∑ skor yang dicapai X 100 ∑ skor maksimal Berdasarkan contoh rubrik penilaian diatas, maka dalam penelitian ini penulis menggunakan gabungan model dikemukan di atas dengan jumlah skor akhir 100. Metode bercerita merupakan metode penyampaian materi yang disajikan secara lisan dan berbentuk cerita. Menurut Bachri (2005: p. 10) mendefiniskan bercerita adalah menuturkan sesuatu yang mengisahkan tentang perbuatan atau sesuatu kejadian dan disampaikan secara lisan dengan tujuan membagikan pengalaman dan pengetahuan kepada orang lain. Menurut Depdiknas (2004: p. 12) metode bercerita adalah cara bertutur kata dalam menyampaikan cerita atau memberikan penjelasan kepada anak secara lisan, dalam upaya memperkenalkan ataupun memberikan keterangan hal baru kepada anak. Mengacu pada kutipan di atas dapat dipahami bahwa metode bercerita adalah metode pembelajaran yang berbentuk lisan yang didalamnya mengisahkan suatu peristiwa atau perbuatan bertujuan memberikan pengetahuan dan hal yang baru kepada peserta didik. Keterampilan berbicara peserta didik dapat dikondisikan melalui berbagai macam medote pembelajaran. Beberapa macam metode bercerita salah satunya adalah metode bercerita berdasarkan gambar. Rangsangan yang berupa gambar sangat baik untuk dipergunakan anak-anak kelas dasar (Nurgiyantoro, 2012: p. 402). Lebih lanjut Burt ddk (dalam Nurgiyantoro, 2012: p. 402) menjelaskan melalui penyusunan gambargambar menarik dimaksudkan untuk mengungkapkan kemampuan berbicara peserta didik yang potensial untuk tes yang berakar pragmatik. Berdasarkan kutipan di atas dapat diambil simpulan bahwa metode bercerita berdasarkan gambar sangat baik diterapkan pada peserta didik TK. Melalui penerapan metode bercerita berdasarkan gambar merangsang peserta didik dalam pembelajaran mengungkapkan bahasa. Metode bercerita dengan gambar merupakan bentuk bercerita dengan alat peraga tak langsung yang menggunakan gambargambar sebagai alat peraga dapat berupa gambar lepas, gambar dalam buku atau gambar seri yang terdiri dari 2 sampai 6 gambar yang melukiskan gambar ceritanya (Depdiknas,
Sementara itu Suwandi (2011: p. 157) menjelaskan ada lima aspek yang dinilai dalam pembelajaran bercerita yaitu; (1) kelancaran; (2) ekspresi; (3) intonasi; (4) struktur kalimat; dan (5) diksi. Menurut Nurgiyantoro (2011: p. 406) menjelaskan ada 6 aspek yang menjadi kriteria penilaian keterampilan berbicara berdasarkan rangsang gambar, yaitu; (1) keseuaian dengan gambar; (2) ketepatan logika urutan cerita; (3) ketepatan makna keseluruhan cerita; (4) ketepatan kata; (5) ketepatan kalimat; dan (6) kelancaran. Berpijak dari pendapat ahli di atas, bahwa dalam melakukan penilaian keterampilan berbicara peserta didik dapat dilihat dari beberapa aspek yaitu; kelancaran dan menyampaikan cerita, intonasi suara, ketepan ucapan, tata kalimat, dan diksi yang dipilih dalam menyampaikan cerita, dan kesesuain dengan gambar. Adapun rubrik penilaian berbicara berdasarkan rangsang gambar, seperti tampak pada tabel 1 berikut: Tabel 1. Rubrik Penilaian berbicara berdasarkan rangsang gambar No
Aspek yang Dinilai
1
Kesesuaian dengan gambar Ketepatan logika urutan cerita Ketepatan makna keseluruhan cerita Ketepatan kata Ketepatan kalimat Kelancaran Jumlah Skor:
2 3 4 5 6
Tingkat Capaian Kinerja 1 2 3 4 5
Nurgiyantoro (2012, 406) Sementara, menurut Suwandi (2011: p.157158) format penilaian berbicara ditawarkan sebagai terlihat pada tabel 2 berikut ini: Tabel 2. Format penilaian berbicara No
Nama
Aspek yang dinilai Kelan caran
Ekspresi
Intonasi
Struktur Kalimat
Diksi
S k o r
N i L a i
Keterangan: 1 = tidak baik; 2 = kurang baik; 3 = baik; 4 = sangat baik Petunjukan penilaian antara lain; (1) pemberian nilai untuk setiap aspek yang dinilai dengan menuliskan angka sesuai dengan tingkat pencapian pada setiap kolom aspek yang dinilai; (2) pembobotan nilai dilakukan untuk membedakan tingkat kemampuan sebagai penggali angka yang diperoleh masing-masing aspek; (3) untuk menentukan
79
80
2001: p. 18). Jadi saat penerapan metode bercerita berdasarkan gambar nantinya peserta didik akan disajikan rangkaian gambar sebagai upaya merangsan keterampilan berbicara. Metode bercerita berdasarkan gambar merupakan sebuah metode untuk berbagi pengetahuan, pengalaman, dan membina hubungan interaksi pada peserta didik. Menurut Gerlach dan Ely (dalam Sufanti, 2010: p. 70) media gambar dapat digunakan guru untuk memberikan pengalamanpengalaman siswa yang sulit didapat dengan media langsung. Gambar tidak hanya bernilai seribu bahasa, tetapi seribu tahun atau seribu mil. Gambar juga dapat memberikan pengalaman dari waktu kewaktu, bahkan keadaan di waktu yang sudah lampau. Jadi melalui metode bercerita berdasarkan gambar peserta didik akan lebih mudah mengerti apa yang ia katakan, sehingga hal ini akan mempermudah peserta didik dalam menceritakan kembali cerita yang pernah diperdengarkan oleh guru. Metode bercerita berdasarkan gambar pada penelitian ini menggunakan gambar cerita. Hal ini sejalan dengan pendapat Nurgiyantoro (2012: p. 404) yang menjelaskan dilihat dari sifat alamiah bahwa gambar cerita terlihat potensial untuk dijadikan bahan rangsangan berbicara. Gambar cerita adalah rangkaian gambar yang membentuk sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2012: p. 404). Jadi media dalam pembelajaran adalah mirip seperti komik, atau buku-buku gambar cerita yang alur ceritanya disajikan melalui beberapa gambar yang tersusun saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Lebih lanjut Nurgiyantoro (2012: p. 404) menjelaskan bahwa gambar cerita berisi aktivitas, mencerminkan maksud atau gagasan tertentu, bermakna, dan menunjukkan situasi konteks tertentu. Untuk menunjukkan urutan gambar, panel-panel gambar tersebut dapat diberi nomor urut, namun dapat pula tanpa nomornomor agar peserta didik menemukan logika urutannya sendiri. Penerapan metode bercerita berdasarkan gambar memberikan manfaat bagi peserta didik untuk memahami cerita yang disampaikan guru. Peserta didik akan lebih mudah dalam melakukan praktik bercerita, sehingga keterampilan berbicara peserta didik akan lebih optimal. Lebih lanjut dapat dijelaskan beberapa manfaat metode bercerita
dengan gambar bagi peserta didik TK, sebagai berikut: “(1) Melatih daya serap atau daya tangkap anak TK, artinya anak usia TK dapat dirangsang, untuk mampu memahami isi atau ide-ide pokok dalam cerita secara keseluruhan. (2) Melatih daya pikir anak TK, untuk terlatih memahami proses cerita, mempelajari hubungan bagian-bagian dalam cerita termasuk hubungan-hubungan sebabakibatnya. (3) Melatih daya konsentrasi anak TK, untuk memusatkan perhatiannya kepada keseluruhan cerita, karena dengan pemusatan perhatian tersebut anak dapat melihat hubungan bagian-bagian cerita sekaligus menangkap ide pokok dalam cerita. (4) Mengembangkan daya imajinasi anak, artinya dengan bercerita anak dengan daya imajinasinya dapat membayangkan atau menggambarkan suatu situasi yang berada di luar jangkauan inderanya bahkan yang mungkin jauh dari lingkungan sekitarnya, ini berarti membantu mengembangkan wawasan anak. (5) Menciptakan situasi yang menggembirakan serta mengembangkan suasana hubungan yang akrab sesuai dengan tahap perkembangannya, anak usia TK senang mendengarkan cerita terutama apabila gurunya menyajikannya dengan menarik. (6) Membantu perkembangan bahasa anak dalam berkomunikasi secara efektif dan efesien sehingga proses percakapan menjadi komunikatif (Dhieni et al, 2005: p. 6.6). Berpijak pada kutipan di atas dapat diambil simpulan bahwa penerapan metode bercerita berdasarkan gambar akan bermanfaat bagi peserta didik dalam pembelajaran mengungkapkan bahasa. Media gambar cerita yang digunakan akan melatih daya serap peserta didik dalam memahami isi cerita yang telah disampaikan oleh guru, peserta didik akan dilatih daya pikirnya sehingga lebih mudah memahami proses jalannya cerita, melatih konsentrasi anak dalam mengikuti cerita, membantu mengembangkan daya imajinasi peserta didik sehingga akan lebih banyak memperoleh pengetahuan dari cerita yang diperdengarkan oleh guru, menciptakan situasi yang menggembirakan karena cerita
81
dikemas dalam suasana yang menyenangkan hati peserta didik, dan membantu perkembangan bahasa peserta didik sehingga proses komunikasi akan terjalan dengan baik. Menurut (Dhieni et al, 2005: p. 628) adapun langkah-langkah pelaksanaan penerapan metode bercerita berdasarkan gambar cerita dapat dijelas, sebagai berikut: “ (1) Dengan bimbingan guru, anak mengatur posisi duduknya. (2) Anak memperhatikan guru pada saat menyiapkan alat peraga. (3) Anak termotivasi untuk mendengarkan cerita guru. (4) Anak diberi kesempatan memberikan judul cerita. (5) Anak mendengarkan cerita guru dan memperhatikan gambar yang diperlihatkan oleh guru. (6) Anak mendengarkan guru bercerita secara berurutan sesuai gambar yang dipegang ke-1, ke-2, ke-3 dan ke-4 pada saat cerita gambar kesatu gambar ke-1 dan ke-3 tidak diperlihatkan, begitupun ketika bercerita ke-2 gambar ke-1 tidak diperlihatkan. (g) Setelah selesai bercerita seluruh gambar dari ke-1 sampai dengan ke-4 diperlihatkan kepada anak. (7) Anak diberi kesempatan untuk memberi kesimpulan isi cerita. (8) Guru melengkapi kesimpulan cerita anak. Mengacu pada kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa langkah-langkah penerapan metode bercerita berdasarkan gambar saat pembelajaran mengungkapkan bahasa yaitu: 1. Diawali guru membimbing peserta didik mengatur posisi duduk. 2. Guru mengkondisikan peserta didik untuk memperhatikan guru saat menyiapkan cerita gambar yang akan dibawakan oleh guru. 3. Guru memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk memberikan judul cerita gambar. 4. Tahap berikutnya guru memperdengarkan cerita gambar yang telah dipersiapkan, sehingga peserta didik termotivasi dalam menyimak cerita yang disajikan. 5. Peserta didik dikondisikan mendengarkan cerita gambar yang sajikan guru.
6.
Peserta didik mendengarkan cerita berdasar gambar yang telah dipersiapkan. 7. Peserta didik diberi kesempatan untuk memberikan kesimpulan terhadap cerita yang diperdengarkan oleh guru. Terkait dengan pelaksanaan penilaian dalam pembelajaran mengungkapkan bahasa dijelaskan menurut (Dhieni et al, 2005: 6.28) yaitu setelah selesai bercerita, guru bertanya tentang isi cerita, tokoh dalam cerita, isi gambar dan memberi kesempatan pada satu atau dua orang anak untuk menceritakan kembali cerita tersebut. Berdasarkan kutipan di atas dapat diambil simpulan bahwa dalam pelaksanaan penilaian yaitu guru memberikan pertanyaan kepada peserta didik terkait tokoh cerita, isi, nilai pendidikan, dan moral yang terdapat dalam cerita gambar yang telah disajikan oleh guru. Sedangkan untuk melakukan penilaian keterampilan berbicara yaitu setiap peserta didik untuk memceritakan kembali cerita yang telah diperdengarkan oleh guru. Kegiatan pembelajaran mengungkapkan bahasa di kelas kontrol berbeda dengan kelas ekperimen. Pada kelas kontrol guru hanya membacakan cerita tanpa menggunakan media gambar cerita. Jadi pembelajaran dilakukan secara langsung. Terkait pelaksanaan penilaian keberhasilan pembelajaran yaitu guru memberikan beberapa pertanyaan terkait, tokoh dalam cerita, isi cerita, nilai pendidikan dan nilai moral yang terkandung dalam cerita. Terkait penilaian keterampilan berbicara yaitu memerintahkan peserta didik untuk menceritakan kembali cerita yang telah diperdengarkan oleh guru. Indikator pembelajaran dalam penelitian ini adalah bercerita. Materi yang peneliti pergunakan sebagai dasar gambar bercerita adalah cerita jataka tentang “Kisah Pangeran Monyet”. Materi cerita jataka peneliti kutip dari buku Buddhist Tales for Young and Old, Volume 2 King Fruitful. New York karya Piyatissa. Alasan peneliti memilih materi tentang “Kisah Pangeran Monyet” karena dalam cerita jataka ini sarat dengan nilai-nilai edukatif diantaranya; (a) kejujuran; (b) kewaspadaan; dan (c) kebijaksanaan. METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di TK Wira Putra yang berada di Desa Batur, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. 81
82
Waktu Penelitian dilakukan dari bulan Agustus sampai dengan bulan Desember Tahun Pelajaran 2014/2015.Subyek dalam penelitian ini adalah peserta didik di TK Wira Putra Desa Batur, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang Tahun Pelajaran 2014/2015. Dimana TK tersebut jumlah keseluruhan populasi dalam penelitian ini adalah 21. Dalam hal ini keseluruhan populasi dijadikan sampel penelitian, hal ini dikarenakan terbatasnya jumlah peserta didik di TK Wira Putra. Desain penelitian ini menggunakan eksperimen semu (quasi-eksperimen). dengan pre-test dan post-test serta kelas eksperimen dan kelas kontrol. Kelas eksperimen dan kelas kontrol akan dipisah kemudian akan dibandingkan apakah kelas eksperimen lebih signifikan kemampuan berbicaranya daripada kelas kontrol. Kedua kelas tersebut diberi pretest untuk mengetahui kemampuan berbicaranya. Kemudian kelas eksperimen diajar dengan menggunakan metode bercerita berdasarkan gambar dan kelas kontrol dengan metode langsung. Materi, lamanya pengajaran dan teknik evaluasi kedua kelas tersebut sama. Hal ini bertujuan untuk mengurangi kemungkinan munculnya pengaruh atau gangguan lain diluar metode yang diterapkan. Setelah 4 kali pertemuan pada masing-masing kelas maka peserta didik diberikan post-test untuk mengetahui apakah ada perbedaan yang signifikan antara kelas kontrol dan kelas eksperimen dalam hal kemampuan berbicaranya untuk menceritakan kembali cerita yang telah diperdengarkan oleh guru. Ada 2 variabel dalam penelitian ini; variabel bebas (penggunaan metode bercerita berdasarkan gambar), variabel terikat (kemampuan berbicara peserta didik). Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan wawancara, observasi, serta test. Wawancara dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui kekurangan serta masalah-masalah utama yang terjadi selama proses belajar mengajar berlangsung. Proses wawancara dilakukan sebanyak 2 kali yaitu pada saat sebelum pretest, dan setelah pelaksanaan postest. Pelaksanaan observasi dilakukan peneliti untuk memperoleh informasi terkait peristiwa pelaksanaan pembelajaran mengungkapkan bahasa. Observasi dilaksanakan saat proses
pembelajaran bercerita baik di kelas kontrol dan kelas eksperimen. Test yang dilakukan adalah test untuk mengetahui kemampuan berbicara peserta didik yaitu dengan panduan penilaian atau rubrik. Tes yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah hasil menceritakan kembali cerita .Bentuk penilaian keterampilan berbicara yaitu penilaian subjektif. Instrumen penilaian subjektif keterampilan berbicara yaitu peserta didik menceritakan kembali cerita yang telah diperdengarkan oleh guru. Panduan penilaian atau rubrik yang digunakan untuk mengevaluasi kemampuan berbicara peserta didik adalah dengan menggunakan standar baku yang diadopsi dari ahli. Adapun aspekaspek yang dinilai dalam keterampilan berbicara peserta didik sebagai berikut; (1) kesesuaian dengan gambar; (2) ketepatan logika urutan gambar; (3) ketepatan makna keseluruhan cerita; (4) ketepatan kata; (5) ketepatan kalimat; dan (6) kelancaran. Uji normalitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunanakan metode kolmogrov-smirnov. Data ditransformasikan dalam nilai z untuk dapat dihitung luasan kurva normal sebagai probabilitas komulatif normal. Pengujian homogenitas adalah pengujian mengenai sama tidaknya variansi-variansi dua buah distribusi atau lebih. Uji homogenitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji homogenitas variansi. Uji homogenitas adalah untuk mengetahui data yang ada pada variabel X dan Y bersifat homogen atau tidak. Peneliti dalam hal inimenggunakan t-test untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan kemampuan berbicara peserta didik yang signifikan antara peserta didik yang diajar dengan menggunakan metode bercerita berdasarkan gambar dengan peserta didik yang diajar dengan menggunakan metode langsung. HASIL PENELITIAN Taman Kanak-Kanak Wira Putra adalah di bawah naungan Lembaga Pendidikan Buddhis Wira Putra. Peserta didik TK ditanamkan nilai-nilai karekter Buddhis. Sekolah ini berdiri pada tanggal 12 Juli 2010 yang berlokasi di Dusun Thekelan, Desa Batur Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Data yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari hasil tes. Tes yang diberikan berupa pretest dan posttest. Pretest diberikan sebelum melakukan proses belajar mengajar
83
Sebelum dilakukan pengolahan data lebih lanjut terlebih dahulu dilakukan pengujian prasyarat penelitian yaitu normalitas, setelah dilakukan pengolahan data diperoleh normalitas pretest untuk kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Dalam penelitian ini uji normalitas yang dipakai adalah uji Kolmogrov smirnov yakni untuk mengetahui apakah data berdistribusi normal atau tidak diukur pada taraf signifikansi dan tingkat kepercayaan α= 0,05. Pada prinsipnya ada 2 cara untuk mengetahu apakah data berdistribusi normal atau tidak. Yang pertama adalah dengan membandingkan nilai hitung dengan nilai tabel jika nilai hitung lebih besar dari nilai tabel (Lo>Lt) maka data berdistribusi normal, sebaliknya jika nilai hitung lebih kecil dari nilai tabel (Lo
sedangkan posttest diberikan setelah menerapkan pembelajaran kemampuan mengungkapkan bahasa dengan pokok bahasan bercerita menggunakan metode bercerita berdasarkan gambar (kelompok eksperimen) dan pembelajaran kemampuan mengungkapkan bahasa dengan pokok bahasan bercerita dengan menggunakan metode ceramah (kelompok kontrol). Hasil pretest kelompok kontrol diperoleh nilai tertinggi 67 dan nilai terendah 31, rata-rata sebesar 51,9, dan standar deviasi 12,52. Sedangkan dari hasil perhitungan data penelitian yang didapat dari skor pretest kelompok eksperimen diperoleh nilai tertinggi 68 dan nilai terendah 35, rata rata sebesar 53,27 dan standar deviasinya adalah 12,86. Tabel 5. Deskripsi Data Nilai Rata-rata Pretest Kelompok Kontrol dan Kelompok Eksperimen No
Data
1. 2.
N RataRata Standar Deviasi
3.
Kelompok Kontrol 10 51,9
Kelompok Eksperimen 11 53,27
12,86
12,53
Tabel 6. Hasil Uji Normalitas Pretest Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen Tests of Normality Kelompok
nilai Nila i
54 53
1,00
Eksperime n
52
nilai
KolmogorovSmirnov(a) Statisti D c f Sig. ,20 ,187 10 0 (*) ,20 ,206 11 0 (*)
Shapiro-Wilk Statisti D c f Sig. ,928
10
,42 7
,878
11
,09 8
51 kelompok eksperimen
Mengacu tabel diatas dapat dilihat pada tabel kolmogrov smirnov diketahui bahwa nilia signifikansi untuk kedua kelas, eksperimen dan kontrol adalah sama yaitu 0,200. Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai pretest pada kelas eksperimen dan kelas kontrol berdistribusi normal. Berdasarkan tabel pada kolom kosmogrov smirnov dapat dilihat bahwa nilai signifikansi data kelas eksperimen dan kelas kontrol adalah sama yaitu 0,200. Sehingga dapat disimpulkan bahwa data skor pretest pada kedua kelompok, eksperimen dan kontrol, berdistribusi normal. Hal ini dikarenakan nilai signifikansinya 0,200 dimana nilai tersebut lebih dari 0,05 yang berarti data memiliki distribusi yang normal.
kelompok kontrol
Gambar 3. Perbandingan pretest rata-rata kelompok kontrol dan kelompok eksperimen Berdasarkan gambar diatas pada kelompok eksperimen diperoleh rata-rata sebesar 53,86. Pada kelompok kontrol diperoleh rata-rata sebesar 51,9. Berdasarkan perbandingan hasil belajar antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, maka kelompok eksperimen lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol. Kelompok eksperimen lebih tinggi 1,96 poin dari hasil selisih rata-rata kelompok kontrol.
83
84
Setelah kedua sampel penelitian tersebut dinyatakan berdistribusi normal. Selanjutnya dicari nilai homogenitasnya dengan kriterian pengujian yang digunakan pada taraf kepercayaan α= 0,05 dan derajat kebebasan 19. Sama halnya pada uji normalitas data pada uji homogenitas juga ada 2 cara untuk mengetahui apakah data tersebut homogen atau tidak. Yang pertama adalah dengan membandingkan nilai hitung dengan nilai tabel jika nilai hitung lebih kecil dari nilai tabel (Fhitung
Ltabel) maka data tersebut tidak homogen. Yang kedua adalah dengan melihat nilai signifikansinya, jika nilai signifikansinya lebih dari 0,05 maka data homogen, sebaliknya jika nilai signifikansinya kurang dari 0,05 maka data tersebut tidak homogen. Untuk lebih jelasnya perhatikan tabel berikut: Tabel 7. Hasil Uji Homogenitas Pretest Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen Test of Homogeneity of Variance
Skor
Based on Mean Based on Median Based on Median and with adjusted df Based on trimmed mean
Tabel 8. Hasil Pretest Uji “t” Kemampuan Berbicara Peserta Didik Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol Variabel
Levene Statistic
df1
,004
1
19
,953
,002
1
19
,961
,002
1
18,99 2
,961
,004
1
19
,947
df2
apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara kedua metode pembelajaran tersebut. Cara pertama adalah dengan membandingkan nilai t hitung dengan nilai t tabel. Jika nilai t hitung lebih besar dari t tabel maka hipotesis diterima, sebaliknya jika nilai t hitung lebih kecil dari t tabel maka hipotesis ditolak. Cara yang kedua adalah dengan melihat nilai signifikansinya. Jika nilai signifikansinya kurang dari 0,05 maka hipotesis diterima, sebaliknya jika nilai signifikansinya lebih dari 0,05 maka hipotesis ditolak. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan uji “t” untuk pretest kelompok kontrol dan kelompok eksperimen diperoleh harga thitung= 0,247, dari tabel distribusi “t” untuk taraf signifikansi α= 0,05 dan derajat kebebasan 19, diperoleh ttabel= 1,729. Selain itu nilai signifikansinya adalah 0,807. Untuk lebih jelasnya data akan disajikan pada tabel berikut:
Sig.
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa nilai signifikansi data penelitian adalah 0,953. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kedua kelompok berasal dari populasi yang homogen karena nilai signifikansinya lebih dari 0,05. Pengolahan data selanjutnya yaitu pengujian hipotesis dan dilakukan setelah uji normalitas dan uji homogenitas. Uji hipotesis ini menggunakan uji t (“t” test), untuk menguji hipotesis nihil (Ho) yang mengatakan bahwa tidak ada pengaruh metode bercerita berdasarkan gambar terhadap kemampuan berbicara peserta didik. Menguji hipotesis digunakan uji “t” pada taraf signifikansi α= 0,05 dan derajat kebebasan 19. Ada 2 cara untuk mengetahui
Kemampuan berbicara peserta didik kelas eksperimen dan kelas control
Jumlah Sampel
t hitung
t tabel
Kesimpulan data
Nkontrol= 10 Neksperime n= 11
0,247
1,72 9
Menerima Ho Menolak Ha
Berdasarkan tabel dapat dilihat bahwa nilai t hitung < t tabel (0,247< 1,729) sehingga Ho diterima. Dengan demikian hasil pretest yang belum mendapat perlakuan pembelajaran menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kelas kontrol dan kelas eksperimen. Sehingga dari uji hipotesis yang telah dilakukan pada kedua kelompok yang belum mendapat perlakuan, dapat disimpulkan bahwa terdapat kemampuan kognitif yang sama antara kelas kontrol dan kelas eksperimen. Berdasarkan hasil perhitungan data penelitian yang didapat dari posttest kelas kontrol diperoleh nilai tertinggi 82 dan nilai terendah adalah 52, nilai rata-ratanya adalah 68,7 dan standar deviasi sebesar 10,12. Hasil data penelitian dari kelas eksperimen didapat nilai tertingginya adalah 86 dan nilai
85
terendahnya sebesar 65, nilai rata-ratanya adalah 77 dengan standar deviasi sebesar 6,14.
adalah dengan membandingkan nilai hitung dengan nilai tabel jika nilai hitung lebih besar dari nilai tabel (Lo>Lt) maka data berdistribusi normal, sebaliknya jika nilai hitung lebih kecil dari nilai tabel (Lo
Tabel 9. Deskripsi Data Rata-rata Posttest Kelompok Kontrol dan Kelompok Eksperimen N o 1. 2. 3.
Data N Rata-Rata Standar Deviasi
Kelompo k Kontrol 10 68,7 10,12
Kelompok Eksperimen 11 77 6,14
Tabel 10.
Hasil Uji Normalitas Posttest Kelas Kontrol dan Kelas Tests of Normality Eksperimen
nil ai
Based on Mean Based on Median Based on Median and with adjusted df Based on trimmed mean
Gambar 4. Perbandingan Posttest Rata-rata Kelompok Kontrol dan Kelompok Eksperimen
Leven e Statisti c
df 1
2,937
1
19
,103
2,425
1
19
,136
2,425
1
15,5 00
,140
3,062
1
19
,096
df2
Sig.
Berdasarkan tabel pada kolom kosmogrov smirnov dapat dilihat bahwa nilai signifikansi data kelas eksperimen dan kelas kontrol adalah sama yaitu 0,200. Sehingga dapat disimpulkan bahwa data skor posttest pada kedua kelompok, eksperimen dan kontrol, berdistribusi normal. Hal ini dikarenakan nilai signifikansinya 0,200 dimana nilai tersebut lebih dari 0,05 yang berarti data memiliki distribusi yang normal. Setelah kedua sampel penelitian tersebut dinyatakan berdistribusi normal. Selanjutnya dicari nilai homogenitasnya dengan kriterian pengujian yang digunakan pada taraf kepercayaan α= 0,05 dan derajat kebebasan 19. Sama halnya pada uji normalitas data pada uji homogenitas juga ada 2 cara untuk mengetahui apakah data tersebut homogen atau tidak. Yang pertama adalah dengan membandingkan nilai hitung dengan nilai tabel jika nilai hitung lebih kecil dari nilai tabel (FhitungLtabel) maka data tersebut tidak homogen. Yang kedua adalah dengan melihat nilai signifikansinya, jika nilai signifikansinya lebih dari 0,05 maka data
Berdasarkan grafik diatas, pada kelompok eksperimen diperoleh rata-rata sebesar 77, sedangkan pada kelompok kontrol diperoleh rata-rata sebesar 68,7. Berdasarkan perbandingan kemampuan berbicara antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen, maka kelompok eksperimen lebih unggul 9 poin dari hasil selisih rata-rata kelompok kontrol. Sebelum dilakukan pengolahan data lebih lanjut maka dilakukan pengujian prasyarat penelitian yaitu uji normalitas data, setelah dilakukan pengolahan data diperoleh normalitas data posttest untuk kedua kelompok, yaitu kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Uji normalitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan uji kolmogrov smirnov, yaitu untuk mengetahui apakah data berdistribusi normal atau tidak diukur pada taraf signifikansi dan tingkat kepercayaan α= 0,05. Pada prinsipnya ada 2 cara untuk mengetahu apakah data berdistribusi normal atau tidak. Yang pertama
85
86
homogen, sebaliknya jika nilai signifikansinya kurang dari 0,05 maka data tersebut tidak homogen. Untuk lebih jelasnya perhatikan tabel berikut: Tabel 11. Hasil Uji Homogenitas Pretest Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen Test of Homogeneity of Variance Kelo mpok
Nilai
1,00 Berce rita
KolmogorovSmirnov(a) Stati D stic f Sig. 1 ,200 ,168 0 (*) 1 ,200 ,110 1 (*)
Shapiro-Wilk Statis tic Df Sig. ,943
10
,584
,953
11
,679
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa nilai signifikansi data penelitian adalah 0,103. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kedua kelompok berasal dari populasi yang homogen karena nilai signifikansinya lebih dari 0,05. Pengolahan data selanjutnya yaitu pengujian hipotesis dan dilakukan setelah uji normalitas dan uji homogenitas. Uji hipotesis ini menggunakan uji t (“t” test), untuk menguji hipotesis alternatif (Ha) yang mengatakan bahwa terdapat pengaruh atau perbedaan yang signifikan antara model pembelajaran bercerita dengan gambar jika dibandingkan dengan metode ceramah terhadap kemampuan berbicara siswa. Untuk menguji hipotesis digunakan uji “t” pada taraf signifikansi α= 0,05 dan derajat kebebasan 19. Ada 2 cara untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara kedua metode pembelajaran tersebut. Cara pertama adalah dengan membandingkan nilai t hitung dengan nilai t tabel. Jika nilai t hitung lebih besar dari t tabel maka hipotesis diterima, sebaliknya jika nilai t hitung lebih kecil dari t tabel maka hipotesis ditolak. Cara yang kedua adalah dengan melihat nilai signifikansinya. Jika nilai signifikansinya kurang dari 0,05 maka hipotesis diterima, sebaliknya jika nilai signifikansinya lebih dari 0,05 maka hipotesis ditolak. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan uji “t” untuk posttest kelompok kontrol dan kelompok eksperimen diperoleh harga thitung= 2,296, dari tabel distribusi “t” untuk taraf signifikansi α= 0,05 dan derajat kebebasan 19, diperoleh ttabel= 1,729. Selain itu
nilai signifikansinya adalah 0,03. Untuk lebih jelasnya data akan disajikan pada tabel berikut: Tabel 12.
Hasil Posttest Kemampuan Peserta Didik
Variabel
Jumlah Sampel
Kemampuan berbicara peserta didik kelas eksperimen dan kelas kontrol
Nkontrol= 10 Neksperimen= 11
t hitung
2,296
Uji “t” Berbicara
t tabel
Kesimpulan data
1,729
Menolak Ho Menerima Ha
Berdasarkan tabel dapat dilihat bahwa nilai t hitung > t tabel (2,296>1,729) sehingga Ho ditolak dan Ha diterima. Dengan demikian hasil posttest dalam penelitian ini dapat menguji kebenaran hipotesis alternatif (Ha) yang menyatakan terdapat pengaruh yang signifikan dalam kemampuan berbicara peserta didik jika diajar dengan menggunakan metode bercerita dengan gambar. Sehingga penelitian ini dapat menunjukkan bahwa kemampuan berbicara siswa akan lebih baik jika diajar dengan menggunakan metode bercerita dengan gambar jika dibandingkan dengan metode ceramah. Berdasarkan observasi yang dilakukan oleh peneliti, para siswa juga cenderung kurang memperhatikan ketika memberikan cerita. Siswa lebih suka bermain dengan teman yang lain atau berlari kesana kemari dan cenderung bermain dengan mainan yang ada. Selain itu guru dalam menyampaikan ceritanya juga kurang memperhatikan situasi yang ada. Ketika bercerita guru juga kadang harus memotong ceritanya dikarenakan para siswa yang sibuk dengan permainannya atau lari kesana kemari. Tentu saja hal tersebut membuat siswa kesulitan untuk mengingat cerita disisi lain daya ingat dan kemampuan bahasa mereka juga masih rendah. Pada kelas eksperimen siswa terlihat sangat antusias dan memperhatikan arahan serta cerita yang disampaikan oleh guru. Hal ini dikarenakan selain metode yang menarik terdapat pula gambar-gambar yang menarik sehingga mereka merasa terhibur dan tertarik pada gambar-gambar yang ada. Dengan menggunakan metode ini guru lebih mudah untuk menyampaikan urutan cerita, selain itu
87
guru juga lebih mudah untuk mengontrol situasi siswa karena mereka telah antusias sehingga atmosfer pembelajaran berjalan dengan sangat baik. Selama pembelajaran dengan metode bercerita dengan gambar peserta didik tidak jarang bertanya mengenai gambar yang ada maupun mengenai cerita yang sedang disampaikan oleh guru. Pertanyaan dan perhatian-perhatian tersebut menunjukkan ketertarikan siswa pada metode yang digunakan oleh guru. Berdasarkan hal tersebut sangat dimungkinkan bahwa perubahan nilai yang signifikan pada posttest kelas eksperimen adalah dikarenakan pada metode yang digunakan. Pembelajaran bercerita dengan gambar mampu mencakup dua cara belajar sekaligus yaitu belajar secara audio dan belajar secara visual. Kedua cara belajar tersebut tentu saja sangat membantu peserta didik hal ini dikarenakan setiap peserta didik memiliki gaya belajar yang berbeda-beda. Pada siswa TK tentu saja gaya belajar dengan visual menjadi sangat penting karena mereka cenderung tertarik pada sesuatu yang tidak bersifat abstrak melainkan dapat dilihat dengan mata sehingga mereka mampu mengingat dengan baik berdasarkan gambar yang ada. Selama kegiatan belajar berlangsung pada kelas eksperimen peserta didik terlihat mampu mengingat dengan baik apa yang disampaikan oleh guru, bahkan mereka sesekali bercerita dengan teman terkait dengan gambar yang ditunjukkan oleh guru. Hal-hal seperti ini tentu saja menunjukkan perhatian dan konsentrasi serta ketertarikan peserta didik pada metode yang digunakan, sehingga dapat dimungkinkan bahwa nilai baik yang didapat pada posttest dikarenakan oleh penggunaan metode ini. Ketika posttest berlangsung sebagian besar siswa kelompok eksperimen mampu menyampaikan cerita dengan baik. Urutan atau kronologis cerita juga mampu mereka sampaikan dengan tepat. Sedikit kekurangan adalah terletak pada kosakata atau pemilihan kata yang sesuai. Mereka cenderung menggunakan kata-kata yang sering mereka dengar dalam kehidupan sehari-hari daripada kata yang lebih sesuia pada alur cerita, misalnya kata “terus” kata ini lebih sering digunakan oleh peserta didik daripada kata “kemudian” sebagai penyambung alur cerita. Secara keseluruhan mereka mampu menyampaikan cerita dengan sangat baik.
Mereka tidak lupa alur ceritanya, mereka tidak lupa tokoh-tokohnya serta dalam menyampaikan ceritapun mereka sangat lancar mungkin hanya ada satu atau dua yang masih tersendat-sendat. Pengucapan kata-katanyapun tepat, mungkin masih ada satu atau dua kesalahan dalam pengucapan kata tapi itu tidak begitu berpengaruh signifikan. Selama kegiatan belajar mengajar berlangsung kelas kontrol yang menggunakan metode ceramah cenderung kurang kondusif. Hal ini ditunjukkan banyaknya peserta didik yang sibuk sendiri serta bermain sendiri. Mereka kurang memperhatikan apa yang disampaikan oleh guru bahkan tak jarang guru harus berkali-kali mengingatkan para siswa untuk tenang dan tidak sibuk sendiri. Hal ini tentu saja mempengaruhi kemampuan siswa untuk menceritakan kembali cerita serta untuk berbicara sesuai dengan kosakata yang benar. Kelemahan dari metode ini adalah siswa cenderung jenuh dan bosan. Mereka kurang tertarik dengan apa yang disampaikan oleh guru karena guru tidak menggunakan media lain guru hanya berceramah dan bercerita. Siswa yang diajar menggunakan metode ini cenderung lupa pada alur cerita maupun pada tokoh utamanya. Selama kegiatan belajar mengajar berlangsung pada kelas kontrol, siswa terlihat kebingungan dengan apa yang disampaikan oleh guru. Hal ini terlihat ketika sesekali guru mengajukan pertanyaan. Peserta didik tidak mampu menjawab pertanyaan tersebut justru mereka terlihat kebingungan, hal ini menunjukkan kurangnya perhatian siswa serta ketidakpahaman siswa pada cerita. Saat posttest berlangsung kelas kontrol banyak yang kurang mampu menyampaikan cerita dengan baik, beberapa siswa tidak tepat dalam menyampaikan alur cerita. Selain itu pengucapan beberapa kata juga kurang tepat.. Penguasaan kosakatanya juga sangat kurang mereka kebingungan untuk mengembangkan cerita karena keterbatasan penguasaan kata. Hal ini membuat mereka menjadi tersendatsendat serta tidak lancar ketika bercerita. Bahkan ada beberpa peserta didik yang tidak mau melanjutkan ceritanya. Hasil penelitian memunjukkan bahwa penerapan metode berdasarkan gambar sangat memberikan pengaruh untuk meningkatkan keterampilan berbicara. Pencapaian nilai posttest yang mencapai rata-rata 77 menggambarkan keterampilan berbicara
87
88
peserta didik menjadi lebih baik bila dibandingkan dengan kelas kontrol. Hasil penelitian dari penelitian sangat sejalan dengan metode pengajaran yang telah diterapkan oleh Guru Agung Buddha Gotama dalam mengajarkan Dhamma. Dalam Kitab Anggutara Nikaya Buddha sering mengulang kotbah-Nya yang penting pada berbagai kesempatan “Sering mengulang pelajaran membuahkan pengetahuan yang mendalam” (A. V, 136) Selain narasi deskripsi dan analisis, Buddha banyak menyampaikan ajaran-Nya dalam bentuk cerita dan syair. Pengungkapan konsep mingkin menghadapi keterbatasan kata-kata karena itu yang dipentingkan adalah mengkap maknanya. Selain memakai sinomim, berbagai perumpamaan, contoh-contoh, visualisasi, atau peragaan dipergunakan untuk memberi penjelasan. Teknik-teknik semacam ini mudahkan para umat untuk memahami dan menghafal apa yang telah diajarkan. Selain teori harus didukung oleh praktik atau latihan (Mukti, 2003: p. 319) Berpijak dari kutipan di atas penerapan metode bercerita berdasarkan terbukti berpengaruh terhadap keterampilan berbicara. Penerapan metode bercerita berdasarkan gambar peserta didik memperoleh manfaat dan kemampuan dalam menceritakan kembali cerita yang diperdengarkan oleh guru. Metode bercerita juga telah dipergunakan Guru Agung Buddh Gotama dalam mengajarkan Dhamma. Penerapan metode cerita yang telah dilakukan Guru Agung Buddha Gotama terbukti sangat efektif dalam pengajaran Dhamma. DAFTAR PUSTAKA Asrori, Mohammad. 2008. Psikologi Pembelajaran. Bandung: CV Wacana Prima. Bachri, S Bachtiar. 2005. Pengembangan Kegiatan Bercerita, Teknik dan Prosedurnya. Jakarta: Depdikbud. Brown,
H. Douglas., 2004. Language Assessment, Principles and Classroom Practices. San Francisco: Longman.
Departemen Pendidikan Nasional Dirjen Pendidikan Dasar & Menengah, 2001. Didaktik Metodik di Taman Kanakkanak. Jakarta: Depdiknas Dirjen
Pendidikan Dasar & Menengah Dirjen TK & SD. Depdiknas. 2004. Apa, Mengapa, dan Siapa Bertanggungjawab Terhadap Anak Usia Dini. Jakarta: Depdiknas. Dhammasiri, K. 1995. The Sigalovada in Picture A Pictorial Presentation of the Advice to Sigala. Buddha Dharma Education Association Inc. Dhieni,
Nurbiana dkk. 2005. Pengembangan Bahasa. Universitas Terbuka.
Metode Jakarta:
Hamid, Sholoh, 2011. Standar Mutu Penilaian dalam Kelas. Yogyakarta: Diva Press. Mukti, Krisnanda Wijaya. 2003. Wacana Buddha-Dharma. Jakarta: Yayasan Dharma Pembangunan dan Sangha Agung Indonesia. Nurgiyantoro, Burhan. 2012. Penilaian Pembelajaran Bahasa Berbasis Kompetensi. Yogyakarta: BPFEYogyakarta. Saddhono, Kundharu dan St. Y Slamet. 2012. Meningkatkan Keterampilan Berbahasa Indonesia: Teori dan Aplikasi. Bandung: Karya Putra Darwati. Subidyo, Bambang. (2009). Peraturan Menteri Pendidikan Rebublik Indonesia Nomor 58 Tahun 2009. Tentang Standar Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Menteri Pendidikan Nasional, online www.paudni.kemdikbud.go.id, diunduh tanggal 18 Maret 2014. Sufanti, Main, 2010. Strategi Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Surakarta: Yuma Pustaka. Suhartono. 2005. Pengembangan Keterampilan Anak Usia Dini. Jakarta: Depdiknas. Suwandi, Sarwiji. 2011. Model Asesmen dalam Pembelajaran. Surakarta: Yuma Pustakaan.
89
Tarigan, Henry Guntur. 2008. Berbicara Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
89
PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL UNTUK JURNAL PENDIDIKAN, SAINS SOSIAL DAN AGAMA
1. Jurnal Pendidikan, Sains Sosial dan Agama memuat hasil hasil penelitian, maupun kajian
yang terkait dengan hasil penelitian pengembangan, maupun penelitian penerapan dalam bidang pendidikan, ilmu sosial dan agama. Artikel yang dikirim ke redaksi belum pernah dipublikasikan dan dikemas kembali sesuai dengan format artikel jurnal. 2. Panjang naskah + 20 halaman A4, minimal 7000 kata, satu setengah spasi, Times New Roman, font 11, dan ditulis menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. 3. Artikel ditulis dengan ketentuan sebagai berikut: a. Judul maksimal 15 kata, dengan font 14. Peringkat judul disusun sebagai berikut: PERINGKAT SATU (HURUF BESAR SEMUA, TEBAL, font 14, di tengah-tengah halaman) PERINGKAT DUA (HURUF BESAR, TEBAL, di tengah-tengah) PERINGKAT TIGA (HURUF BESAR, TEBAL, di tengah-tengah) b. Nama penulis tanpa gelar ditulis di bawah judul: untuk Tim semua nama penulis dicantumkan c. Nama instansi ditulis di bawah nama: email ditulis di bawah nama instansi d. Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris, satu spasi, 100-200 kata, satu paragraf dan font 11. e. Kata kunci merupakan inti permasalahan, bisa satu kata atau lebih, ditulis miring di bawah abstrak dengan jarak satu spasi. f.
Batang tubuh artikel: artikel kajian terdiri dari Pendahuluan (permasalahan, kerangka pikir, dan atau kerangka analisis), sub-sub judul pembahasan, dan kesimpulan; sedangkan artikel hasil penelitian terdiri dari pendahuluan ( latar belakang permasalahan, dan landasan teori), metode penelitian, hasil penelitian dan pembahasan, kesimpulan, dan saran.
4. Kutipan harus disebutkan nama pengarang, tahun ,dan p. nomor halaman. Contoh: (Triyatno, 2014, p.89). kutipan langsung (persis aslinya) lebih dari tiga baris ditulis satu spasi, rata kiri dan menjorok ke kanan 7 ketukan. 5. Artikel rangkap dua disertai soft copynya dikirim ke sekretariat redaksi Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan, penulis dari luar kota bisa mengirimkan artikel secara elektronik melalui email: [email protected] 6. Daftar pustaka disusun dengan tata cara seperti beberapa contoh berikut dan diurutkan secara alfabetis nama pengarang. Tata cara yang tidak ada pada contoh merujuk pada APA style.