ISSN: 2460-1144
Volume 1
Nomor 1
Juli 2015
Hesti Sadtyadi
Refleksi Evaluatif Pemahaman dan Pemotivasian Siswa Dalam Mencapai Pendidikan Bermutu
Hariyanto
Pengaruh Perhatian Peserta Didik Dalam Pembelajaran Terhadap Prestasi Belajar Pendidikan Agama Buddha Di Kabupaten Wonogiri Tahun 2014
Mujiyanto
Pengaruh Pelaksanaan Pembelajaran Humanisme di Lembaga Pendidikan Dhamma Sekha terhadap Kemantapan Anak Dalam Meyakini Agama Buddha
Lany Susanti, Hesti Sadtyadi
Pengaruh Kompetensi Profesional Guru Pendidikan Agama Buddha terhadap Prestasi Belajar Siswa Beragama Buddha (Penelitian Dilakukan pada Guru Agama Buddha di Kabupaten Wonogiri)
Santi Paramita
Telaah Kontrasepsi dalam Keluarga Berencana menurut Sila Agama Buddha
Sukodoyo, dkk
Hubungan Self Efficacy dan Solidaritas Kelompok terhadap Minat Pemuda Buddhis dalam Mengikuti Kegiatan Keagamaan di Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang
Sujiono, dkk
Pengaruh Penerapan Metode Bercerita Berdasarkan Gambar terhadap Keterampilan Berbicara (Penelitian Eksperimen di TK Wira Putra, Desa Batur, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang) Penggunaan Media Gambar dalam Upaya Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar Pendidikan Agama Buddha di SD Negeri 01 Kertosari
Ragil Erna Susanti, Hariyanto
Marjianto
Pengaruh Supervisi Kepala Sekolah dan Kompetensi Profesional Guru terhadap Kinerja Guru Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 2 Jatiroto Kabupaten Wonogiri Provinsi Jawa Tengah
M. Chairul Basrun Umanailo
Agama Sebagai Komoditas Bernegara
Diterbitkan Oleh: Asosiasi Dosen Raden Wijaya Bekerjasama dengan Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya Wonogiri Jawa Tengah
110
AGAMA SEBAGAI KOMODITAS BERNEGARA M. Chairul Basrun Umanailo Universitas Iqra Buru
[email protected] Abstrak Dalam modernitas, agama kembali dicari, seakan masyarakat kembali candu terhadap agama dan realitasnya. Namun sayang ketika ditemukan kembali agama bukan lagi berada pada fungsi kohesi namun berubah menjadi fungsi pragmatis dari individu, atau mereka yang lagi berkuasa. Agama tidak lagi berada pada profan atau sakral namun sebaliknya tergantung konteks. Agama bukan menjadi kewajiban umat manusia untuk menjalani atau mentaati tiap ajaran dan pedoman yang telah ditetapkan tapi kemudian agama ditarik pada masing-masing gaya berpikir dan gaya kepentingan. Hadirnya agama lebih merupakan celana yang menutupi arut vital bahkan berfungsi untuk menghangatkan namun bila terlepas untuk masing-masing kepentingan maka dominasi antara keduanya semakin membuat pemeluknya frustasi. Negara selalu menjadi pemenang, karena negara punya polisi, punya hukum, punya jaksa bahkan punya Presiden sementara agama ketika tidak mempunyai kekuatan dalam melawan negara. ABSTRACT In modernity, religion is sought again, as if the society craves for religion and its reality. However, unfortunately, when retrieved, it is no longer on cohesion function but on pragmatic function of individual or those who are ruling. Religion no longer abides in profane or sacred ends but it is dependent on context. Religion is not human being’s obligation to undertake or to obey every specified tenet and guideline but then it is pulled to each thinking style and interest. The presence of religion serves to be trousers covering vital aurat (part of the body which may not be visible), and even serves to warm, but when it is removed for each interest, the domination of the two will make its adherents frustrated. State always becomes the winner, because it has police officers, laws, public prosecutor and event president, while religion has no power in resisting the state. Keywords: Religion, commodity, state PENDAHULUAN Agama adalah sistem kepercayaan kepada Yang Mutlak dimana memiliki pengaruh terhadap pemikiran dan perilaku penganutnya. Memeluk suatu agama adalah hak bagi setiap individu, bahkan hak itu tidak boleh dipaksakan maupun dikurangi dalam keadaan apapun. Hal ini sesuai dengan UUD 1945 pasal 28 dan pasal 29, bahwa negara memberi kebebasan kepada masyarakat untuk memeluk suatu agama atau kepercayaan dan beribadat menurut agama atau kepercayaan masingmasing. Secara natural, agama membawa ajaran tentang apa dan bagaimana seharusnya seorang pemeluk agama atau kepercayaan berpikir dan berperilaku dalam kehidupannya di dunia. Di sisi lain, agama atau kepercayaan juga berisi ajaran tentang kehidupan akhirat, kehidupan manusia yang disebut terkahir ini sangat ditentukan oleh ketaatannya kepada ajaran agamanya di dunia. Suatu agama atau kepercayaan tentu saja mengklaim bahwa hanya ajaran-ajarannya saja yang benar dan absah,
karena itu hanya agama atau sistem kepercayaan itulah yang harus dianut dan dipeluk oleh setiap individu. Watak dasar agama yang demikian, acapkali memunculkan gesekan, benturan, dan kekerasan antar pemeluk agama di tengah-tengah masyarakat. Memahami perkembangan agama seperti halnya menunggu momentum, semisalnya terjadi konflik antar pemeluk agama, perdebatan atau pola tindak aliran-aliran tertentu yang melahirkan tindakan anarki, penghinaan terhadap salah satu agama dan lain sebagainya. Hal ini menjadikan agama seperti barang baku yang ketika dibutuhkan baru kemudian dicari keberadaannya. Fenomena yang terjadi yaitu agama sebagai simbol yang berfungsi ganda berlaku sebagai penyekat sekaligus pemersatu dalam koridor-koridor sosial di tengah masyarakat yang semakin dangkal. Jika dikaji lebih jauh, agama adalah sebuah segmentasi dari hakikat pola pikir manusia yang bersifat abstrak, kerangka yang
111
dibangun antara limit rasional dan irasional sehingga setiap pemeluk agama berada pada dua tatanan yang bersinergitas antara pembuktiaan dan kepercayaan. Dan seluruh agama kemudian memiliki ruangnya tersendiri sebagai implementasi pemaknaan terhadap apa yang hendak dijadikan pegangan. Negara dalam hal ini berkewajiban untuk melindungi ruang gerak tiap agama bukan sebaliknya agama dijadikan komoditas dalam berpolitik maupun komoditas dalam berkuasa. Agama dan politik merupakan dua aspek fundamental dalam kehidupan manusia, dan persoalan hubungan antara keduanya juga telah menjadi bahan pemikiran para ilmuwan, filsuf maupun teolog sepanjang sejarah. Hubungan antara agama dan politik selalu menarik untuk dikaji, karena keduanya sama-sama memainkan peran penting dalam kehidupan manusia. Politik selalu memengaruhi agama, sekurang maupun sebanyak agama mempengaruhi politik. Dan usaha untuk memahami keduanya secara terpisah, cenderung untuk mengaburkan persoalan,dan bukan memperjelasnya (Hadi, 2011: p. 227-228). Kesadaran beragama agaknya telah berakar dalam fitrah manusia. Bila diselami dari lubuk hati manusia, dengan tiada mengingat berbagai bentuk dan kelahiran dari bermacammacam agama, maka akan sampai kepada asalmuasal dari manakah pertanyaan tentang keagamaan itu bermula. Para peneliti di bidang psikologi ilmu bangsa-bangsa dan sosiologi telah sampai kepada kesimpulan yang lebih mendasar lagi, akan hadirnya sifat azali dalam diri manusia. Dibalik sistem-sistem agama tersebut, dan bersamaan dengan perbedaan diantara agama dengan agama yang lain, maka ada suatu aturan sejarah yang tetap, selalu menyelaraskan manusia dalam suatu tatanan tertentu dan cenderung mengejawantahkan dalam bentuk keagamaan (Samad, 1990). Menurut Hendro puspito agama adalah suatu jenis sistem sosial yang di buat oleh penganut-penganutnya yang berproses pada kekuatan-kekuatan non empiris yang dipercayainya dan didaya gunakannya untuk mencapai keselamatan bagi mereka dan masyarakat luas umumnya. Adapun menurut sebagian tokoh lain mengatakan bahwa agama adalah sebuah sandaran hidup bagi penganutnya. Merumuskan pengertian agama bukan suatu perkara mudah, dan ketidaksanggupan manusia untuk mendefinisikan agama karena
disebabkan oleh persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kepentingan mutlak dan tidak dapat ditawar-tawar lagi, karena itu tidak mengherankan jika secara internal muncul pendapat-pendapat yang secara apriori menyatakan bahwa agama tertentu saja sebagai satu-satunya agama samawi, meskipun dalam waktu yang bersamaan menyatakan bahwa agama samawi itu meliputi beberapa agama besar di dunia. Sumber terjadinya agama terdapat dua katagori, pada umumnya agama Samawi dari langit, agama yang diperoleh melalui Wahyu Ilahi antara lain Islam, Kristen dan Yahudi. Dan agama Wad’i atau agama bumi yang juga sering disebut sebagai agama budaya yang diperoleh berdasarkan kekuatan pikiran atau akal budi manusia antara lain Hindu, Buddha, Tao, Khonghucu dan berbagai aliran keagamaan lain atau kepercayaan. Pengkategorian agama seringkali menjadi perdebatan panjang ketika dogma agama menjadi instrument dalam memahami agama lain, padahal dogma merupakan suatu postulat dalam alur beragama yang tentunya berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Batasan agama lainnya yang dapat dikemukakan di sini ialah definisi Emile Durkheim yang mengandung pengertian bahwa agama sebagai suatu kesatuan daripada keyakinan dan tingkah laku yang dihubungkan dengan hal yang dianggap keramat atau yang suci di mana pengaruhnya bersatu dalam suatu paguyuban hidup. Atau kesatuan antara sistem kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek yang hubungannya dengan suci, yakni hal-hal yang terlepas dari kehidupannya sehari-hari. Kepercayaan-kepercayaan dan praktik-pratik itu yang menyatukan masyarakat ke dalam suatu umat yang disebut Church yaitu semua orang yang percaya kepadaNya (Ganie, 2008: p. 29). Secara tegas Durkheim memasukan kepercayaan dan ritus ke dalam batasannya, yang nampaknya merupakan suatu kesatuan dan kemudian juga merupakan suatu kesatuan pandangan dari para Sosiolog agama bahwa kedua unsur tersebut seharusnya mendapat perhatian dalam menganalisa agama. Kepercayaan dan bentuk ritus dalam semua agama itu menurut Nottingham mempunyai peranan, baik dalam diri pribadi manusia maupun dalam masyarakat. Oleh karena itu maka ia memberikan prioritas pada doktrin, yang justru Weber tidak mau memasukan Tuhan (doktrin) sebagai pelaku sosial di
111
112
samping moral dan simbol. Antara pelaku agama dan yang gaib terdapat hubungan dimana justru masih merupakan keraguan pokok bagi sementara para ahli ilmu sosial karena tidak memperhatikan doktrin agama (Ganie, 2008: p. 29). JENIS PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode studi kepustakaan, Studi kepustakaan merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis, gambar maupun elektronik yang dapat medukung proses penulisan (Sugiyono,2005:83). PEMBAHASAN Peran Agama Dalam Kehidupan Bermasyarakat Secara sosiologis, agama ditempatkan pada ruang sosial yang sangat eklusif, artinya agama memiliki ranah serta habitus yang sedianya akan mengatur praktik setiap individu maupun kelompok masyarakat. Agama memiliki daya perekat yang bersifat konsktruktif maupun dekstruktif sehingga peran agama dalam kehidupan keseharian semestinya menjadi vital guna pencapaian suatu harmonisasi sosial. Pada konteks kehidupan beragama seharihari, terkadang sulit untuk membedakan antara sesuatu yang murni agama dan hasil pemikiran atau interpretasi dari agama. Sesuatu yang murni agama, berarti berasal dari Tuhan, absolut dan mengandung nilai sakralitas. Hasil pemikiran agama, berarti berasal dari selain Tuhan (manusia), bersifat temporal, berubah, dan tidak sakral. Pada aspek realisasi, kadang mengalami kesulitan membedakan keduanya karena terjadi tumpang-tindih dan terjadi pencampuradukan makna antara agama dengan pemikiran agama, baik sangaja atau tidak. Perkembangan selanjutnya, hasil pemikiran agama kadang-kadang telah berubah menjadi agama itu sendiri, sehingga ia disakralkan dan dianggap berdosa bagi yang berusaha merubahnya. Apakah agama adalah kebudayaan atau agama bagian dari kebudayaan ataukah dalam setiap kebudayaan, agama adalah bagian yang paling berharga dari seluruh kehidupan sosial(Sanaki, 2005: p. 1). The Division of Labor in Society adalah karya monumental dari Durkheim dan merupakan karya sosiologi klasik yang
pertama. Di dalamnya Durkheim memanfaatkan ilmu sosiologi untuk meniliti sesuatu yang disebut sebagai krisis moralitas. Selama hidupnya, Durkkheim merasa adanya krisis moralitas di Perancis akibat adanya revolusi Perancis. Revolusi Perancis telah mendorong orang untuk terpusat pada hak-hak individual, yang merupakan reaksi kontra terhadap dominasi gereja. Dalam kerangka teorinya, Durkheim mengutamakan arti penting masyarakatstruktur, interaksi dan institusi social dalam memahami pemikiran dan perilaku manusia. Hal ini dapat dicermati dari penekanan Durkheim yang ingin melihat hampir seluruh perubahan utama manusia yaitu persoalan hukum, moralitas, profesi, keluarga dan kepribadian, ilmu pengetahuan, seni dan juga agama, dengan menggunakan sudut pandang sosial. Durkheim mengklaim bahwa tanpa adanya masyarakat yang melahirkan dan membentuk semua itu, maka tak ada satupun yang akan muncul dalam kehidupan. Di sisi lain, Durkheim juga mengungkapkan bahwa fakta sosial itu jauh lebih fundamental dibandingkan dengan fakta individu dan fakta sosial sama nyatanya dengan fakta fisik dan individu sering disalah pahami ketika pengaruh masyarakat yang begitu kuat terhadapnya di kesampingkan atau tidak dipahami dengan teliti. Dengan mengadopsi kerangka organis yang dikemukakan Comte yang berwatak positivis, maka pemikiran Durkheimpun kental dengan nuansa positivis. Namun tanpaknya pandangan Durkheim berbeda dengan pemikiran Comte. Sebab ciri khas pemikiran positivism Durkheim adalah usaha satu-satunya untuk mendekati masyarakat sebagai sebuah kenyataan organis yang independen yang memiliki hukum-hukumnya sendiri. Holisme metodologi Durkheim berkaitan dengan sebuah pendirian yang sangat deterministikyang berpendapat bahwa individu-individu tidak berdaya dihadapan pembatasan-pembatasan dari kekuatan-kekuatan sosial yang menghasilkan penyesuaian diri dengan normanorma sosial atau tingkah laku yang disebabkan oleh norma sosial tersebut. Durkheim, juga mengkombinasikan pengambilan jarak ilmiah dan determinisme kausal dengan kepercayaan bahwa ilmu masyarakat memberi semacam jawaban untuk masalah-masalah etis normatif dari filsafat tradisional.
113
Implikasi pandangan ”positivistik” Durkheim terhadap ”moral dalam terapan”, dikategorikan sebagai sebuah ”fakta sosial”. Fakta sosial tersebut didefinisikan sebagai ”cara-cara bertindak, berpikir dan merasa”, yang ”berada di luar individu” dan dilengkapi atau dimuati dengan sebuah kekuatan memaksa yang dapat mengontrol individu. ”Fakta sosial” itulah yang akan mempengaruhi setiap tindakan, pikiran dan rasa dari individu. Durkheim, menyatakan apa yang dipikirkan adalah kebiasaan-kebiasaan, adat istiadat dan cara hidup umum manusia sebagai sesuatu yang terkandung dalam institusi, hukum, moral dan ideologi-ideologi politis. Semua itu dapat saja bekerja dalam kesadaran individu, tetapi menurutnya semua itu merupakan fenomenafenomena yang dapat dibedakan dan ditemukan dengan mengamati tingkah laku manusia pada umumnya dan bukan dengan memeriksa isi pikiran individu tersebut. Durkheim, juga menjelaskan ”fakta sosial” yang berada ”di luar” diri individu dalam arti bahwa ”fakta itu datang kepadanya dari luar dirinya sendiri” dan dapat menguasai tingkah lakunya (Sanaki, 2005: 7-8). Pemikiran positivis banyak diadopsi sebagai kerangka peran agama dalam kehidupan beragama di Indoensia, maka tidak heran kemudian agama menjadi sentral berperilaku dan sentral berpikir bagi proses berkehidupan yang sedia kalanya. Disinilah peluang terbesar kemudian agama menjadi pengendali tindakan masyarakat yang bagi individu tertentu bisa saja salah dipergunakan. Ukuran bertindak dan berperilaku terpasung oleh nilai-nilai agama yang seringkali melahirkan standar ganda antara struktur nilai yang ada dalam agama dan struktur nilai lingkungan seperti pemerintah maupun nilainilai lokalitas. Dan apa yang menjadi penilaiannya Durkheim dalam Patologi menjadi kekakuan dan kebuntuan berekspresi individu ketika ancaman tersebut terus diusung oleh masyarakat yang berpikir positivis. Di Indonesia trend agama telah menjadi instrument bertindak dan berpikir dalam kehidupan bermasyaraka. Hal ini menjadikan peran agama semakin besar untuk mengontrol tindakan maupun perilaku tiap-tiap individu. Dimana masyarakat terkesan tanpa sadar telah terhegemoni dan terdominasi dengan agama. Kondisi ini terlihat sesuatu yang sederhana namun tanpa kekritisan tidak mengherankan jika agama menjadi bahan untuk
mempermainkan masyarakat lewat standar nilai ini dan itu, yang sebenarnya agama merupakan suatu privasi yang menjadi hak asasi tiap pemeluknya. Ada banyak contoh bagaimana agama dengan kekuatan nilai harus berhadapan dengan kekuatan lokalitas yang saling bersinggungan. Ketika pakaian bikini menjadi problem pada pandangan pemeluk Islam, terhadapkan pada fenomena masyarakat Papua dengan segala adat istiadat dan keunikan lokalitas mereka. Kemudian beramai-ramai menghujat mereka sebagai manusia yang pornografi atau pornoaksi. Namun tidak demikian ketika nilainilai agama yang telah dipahami ditempatkan pada porsinya bukan kemudian diwacanakan agar berlaku universal. Artinya ajaran dalam agama besifat eklusif, dan berlaku bagi para pemeluknya, tidak bisa dipaksakan untuk seluruh bagian masyarakat menaati apa yang diatur dalam agama tertentu. Terkait hal tersebut dapat dijelaskan bahwa kandungan nilai-nilai yang berada dalam setiap agama pastilah menginginkan keharmonisan dalam bertindak berperilaku dan berinteraksi, namun tidak kemudian peran agama berubah dari pengayom menjadi pengendali atas kehidupan masyarakat secara umum. Dogma menjadi indah ketika mampu mensinergikan pemeluknya dengan lingkungan sekitar agar bukan menjadi pengendali atas kenyataan hidup yang dijalani oleh pemeluknya. Agama bukanlah sesuatu yang bersifat subordinatif terhadap kenyataan sosialekonomis. Agama pada dasarnya bersifat independen yang secara teoritis bisa terlibat dalam kaitan saling mempengaruhi dengan kenyataan sosial-ekonomis. Agama sebagai unit independen penganutnya mempunyai kemungkinan yang tinggi untuk menentukan pola perilaku manusia dan bentuk struktur sosial. Sehingga ajaran agama (atau aspek kultural dari agama), mempunyai kemungkinan untuk mendorong atau bahkan menahan proses perubahan sosial, yaitu suatu proses yang mengulangi kemantapan struktur dan mempersoalkan keberlakuan nilai-nilai lama. Sudah barang tentu agama mempunyai berbagai pranata dan lembaga yang memungkinkan ajarannya lebih langsung dapat ditangkap oleh individu-individu penganutnyadan lebih mungkin terpantul dalam pengaturan hubungan dan sistem perilaku sosial. Dalam Islam, yang tidak mempunyai sistem kelembagaan yang
113
114
formal-hirarkis, peralatan yang paling strategis untuk hal-hal tersebut ialah ulama dan lembaga pendidikan. Bahkan tidaklah terlalu berlebihlebihan jika dikatakan bahwa dinamika dari kedua halini adalah ukuran yang paling sesuai untuk meninjau masyarakat Islam. Sebab itulah, penelitian yang semula direncanakan, akan membahas berbagai aspek yang menyangkut hubungan agama, khususnya Islam, dengan perubahan sosial, menjadikan peranan ulama dan lembaga pendidikan sebagai fokus yang paling awal untuk diselidiki (Abdulah, 1983: p. 8). Tantangan ini menjadi alasan mengapa filsafat dalam paradigma postmetafisik mulai berpaling kepada agama. Agama diharapkan dapat berperan sebagai ratu adil yang bisa menyelamatkan gerbong kereta api modernitas dari jurang kehancuran. Agama dipandang sebagai instansi moral yang mengandung kekuatan emansipatoris. Namun pemahaman tentang agama seperti ini cenderung menjadikan agama sebagai alat. Agama diinstrumentalisasi ketika masyarakat berada dalam bahaya. Agama direduksi menjadi sebuah instansi moral semata. Dalam kenyataan agama sesungguhnya mengemban fungsi sosial yang jauh lebih kaya daripada sekadar sebagai sumber moralitas. Agama berperan untuk menata kehidupan kultural. Agama membantu manusia menyelesaikan situasi batas atau mengolah pengalamannya sebagai makhluk kontingens. Sosiolog Niklas Luhman berpendapat, peran agama ialah mentematisasi hubungan antara yang imanen dan transenden. Maka, pertanyaan tentang moral hanyalah salah satu aspek dari fungsi sosial agama (Madung, 2011: p. 263). Di Indonesia setiap individu dapat memilih agama sesuai dengan keyakinannya, karena beragama merupakan suatu hak yang melekat pada setiap individu yang hidup dimana pun. Hal ini dilegitimasi oleh pasal 28 dan 29 dimana negara kita menjamin kebebasan beragama, dinyatakan dalam pasal ini disebutkan bahwa pasal 28 e yang berbunyi “setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, dan memilih tempat tinggal diwilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”. Akan tetapi, tidak semua masyarakat menerima undang-undang tersebut, hal ini dibuktikan oleh peristiwa-peristiwa konflik beragama di tanah air.
Negara secara formal hanya mengakui enam agama di Indonesia yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu (Qoyim, 2004: p. 28). Dengan demikian, hanya agama-agama tersebut yang memiliki representasi di Kementerian Agama baik di tingkat pusat maupun daerah. Agama-agama yang mendapat pengakuan memiliki ruang untuk mengekspresikan ajaran-ajaran melalui praktik-praktik keagamaan seperti ibadah dan perayaan-perayaan. Agama-agama tersebut memiliki struktur organisasi yang lengkap yang menunjang keberlangsungan pelaksanaan dan penyebaran ajaran. Dengan struktur organisasi seperti ini, agama-agama tersebut dimanjakan dengan fasilitas-fasilitas penunjang eksistensi di masa datang (Hasse, 2010: p. 146). Disamping Kementerian Agama, keberadaan beberapa organisasi keagamaan seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWGI), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Perwalian Umat Buddha Indonesia (WALUBI), dan MajelisTinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN) juga membuktikan keberpihakan Negara terhadap agama-agama tertentu, khususnya keenam agama tadi. Organisasiorganisasi tersebut mencerminkan pengakuan negara terhadap agama yang diwakili masingmasing organisasi. Keberadaan wadah pendukung yang hanya terbatas dimiliki oleh enam agama menegaskan keterbatasan paham pluralitas yang dianut oleh negara (Kholiludin, 2009: p. 16). Pluralitas hanya dipahami sebatas agama resmi saja dan mengesampingkan keberadaan agama-agama lokal yang hadir bahkan lebih awal dari agama-agama besar saat ini. Persoalan intervensi, yang merupakan salah satu bentuk diskriminasi, negara terhadap agama di Indonesia juga telah menjadi bagian dari perhatian para peneliti. Di antara penelitiyang mengfokuskan kajian pada tema ini adalah Jazim Hamidi dan M. Husnul Abadi (2001) yang melihat bentuk-bentuk intervensi negara terhadap agama di Indonesia yang menciptakan ruang baru yang sempit bagi kebebasan beragama. Negara telah menunjukkan kekuatannya melalui berbagai regulasi yang mengatur bahkan membatasi ruang ekspresi agama-agama tertentu (Hasse, 2010: p. 147-148). Hubungan negara dan agama telah menjadi suatu perdebatan yang cukup hangat
115
dalam sejarah dan kancah perpolitikan di Indonesia. Wacana hubungan negara dan agama terjadi dikalangan politikus dan tokoh masyarakat. Polemik memperlihatkan adanya suatu perbedaan pendapat tentang hubungan negara dan agama di Indonesia. Perbedaan ini mengakibatkan lahirnya ketegangan-ketegangan politik ideologi. Polemik tentang sekular state memperlihatkan bahwa persoalan hubungan negara dan agama menjadi bidang kajian yang penting atas beberapa alasan. Pertama, hubungan negara dan agama telah menjadi perdebatan panjang untuk menentukan batasan-batasan dalam hal apa negara dapat ikut campur dalam urusan agama. Hubungan negara dan agama ini memperlihatkan tingkat otonomi dan pengakuan agama sebagai hak asasi individual yang urusannya diserahkan pada lembagalembaga agama yang bebas dan otonom. Hubungan ini memperlihatkan tingkat otoritas individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk mengatur sendiri peribadatan sesuai dengan keyakinan masing-masing. Hal tersebut penting untuk dikaji dalam konteks Indonesia yang memiliki dasar-dasar berpikir berbeda dalam melihat peran dan fungsi negara dalam kehidupan publik. Kedua, perdebatan mengenai hubungan negara dan agama menjadi penting karena persoalan ini merupakan gejala masyarakat yang berakar dari permasalahan lahirnya gerakan sekularisasi dalam sejarah pemikiran Barat. Perdebatan tentang hubungan negara dan agama juga melahirkan pemikiran atau teori yang dapat menerangkan hubungan negara dan agama dalam pemikiran politik modern. Dalam konteks ke-Indoensiaan perdebatan ini juga mendapat perhatian yang sangat serius, terutama diawal pembentukan negara bangsa (nationstate) Indoensia oleh para pendiri negara. Masalah ini sering mendapat perhatian baik dikalangan politikus maupun intelektual, terutama dikalangan politikus dan intelektual Islam. Ketiga, masalah kontekstualisasi tipe negara (state type) merupakan suatu hal yang penting dalam hubungan negara dan agama di Indonesia. Hal ini menjadi penting karena dalam perjalanan sejarah pembentukan Negara, bangsa Indonesia merupakan negara dengan komposisi mayarakat paling majemuk di dunia. Hampir 17 persen dari jumlah etnik dunia bermukim di kepulauan Nusantara ini (Armawy, 2009:1-2).
Secara garis besar, arah kebijakan pemerintah di bidang penataan danpembinaan kehidupan keagamaan di Indonesia dapat dibagi menjadi dua bagian penting: 1) menjamin kebebasan dan kemerdekaan beragama; 2) mengembangkan sikap hormat dan toleran di kalangan para pemeluk berbagai agama dalam rangka untuk mencapai kerukunan antarumat beragama. Demi tercapainya tujuan kebijakan tersebut, maka pada tanggal 2 Januari 1946, pemerintah membentuk Departemen Agama. Secara global, ada tiga fungsi, tujuan utama dan misi pokok Departemen Agama yaitu: 1) memberikan pelayanan-pelayanan keagamaan, 2) mengembangkan pendidikan agama, dan 3) membina kerukunan antarumat beragama. Dari ketiga hal tersebut, akan diberikan uraian ringkas sejauh mana pemerintah telah melaksanakan kebijakannya di bidang keagamaan, sebagai berikut: Melalui Departemen Agama, pemerintah memberikan pelayanan-pelayanan keagamaan kepada lima agama yang dikelola secara resmi dengan diberikan kesempatan menyelenggarakan program siaran keagamaan melalui televisi nasional secara bergiliran untuk keperluan pembinaan rohani bagi kelompok komunitas masing-masing. Sejak masa awal kemerdekaan hingga sekarang, kedudukan pendidikan agama di sekolah semakin kukuh, yaitu didasarkan atas Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Pengajaran pada tahun 1947. Bahkan sejak tahun 1966 pendidikan agama sudah diatur dalam TAP MPR dan GBHN, dan yang terakhir adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) yang antara lain, mempertegas bahwa pendidikan agama merupakan subsistem dari sistem pendidikan nasional, dan bahwa agama merupakan mata pelajaran wajib yang harus diajarkan di sekolah-sekolah dari tingkat Sekolah Dasar sampai ke Perguruan Tinggi. Di samping itu yang terkait dengan umat Islam adalah seperti penayangan pelajaran bahasa Arab seminggu sekali di TVRI, penetapan bulan puasa sebagai hari libur dan keputusan pemerintah tahun 1991, yang mengubah kebijakannya dengan memperbolehkan para pelajar wanita Muslim memakai jilbab ke sekolah. Dalam rangka membina dan mengembangkan sendi-sendi kerukunanan antar umat beragama, pemerintah telah mengidentifikasi beberapa masalah yang dapat
115
116
menimbulkan titik rawan di bidang kerukunan antar umat beragama. Masalah-masalah rentan tersebut adalah: pendirian tempat ibadah, penyiaran agama, bantuan luar negeri, perkawinan berbeda agama, perayaan hari-hari besar keagamaan, penodaan agama, kegiatan aliran sempalan, dan aspek-aspek non agama (Hadi, 2011:238). Menelisik pada perkembangan hubungan agama dengan negara, pada pertengahan abad ke XIX muncul konotasi baru yang khas dalam hubungannnya dengan konsep secular, yakni apa yang dikenal dengan istilah sekularisme (secularism). Sekularisme dipakai sebagai istilah dalam sistem etika dan filsafat yang bertujuan untuk memberi interpretasi terhadap tata kehidupan manusia dengan meninggalkan kepercayaan kepada Tuhan, Bible, dan “hari kemudian”. Sekularisme dimaksudkan untuk memberikan jawaban atas segala persoalan yang berkaitan dengan eksistensi manusia, sehingga dipandang sebagai gagasan yang mampu menggantikan fungsi agama. Pancasila yang kemudian dijadikan sebagai dasar falsafah negara dan ini merupakan model ideal pluralisme versi Indonesia. Pancasila adalah hasil perpaduan dari keberhasilan para Bapak Pendiri yang berpandangan toleran dan terbuka dalam beragama dan perwujudan nilai-nilai kearifan lokal, adat, dan budaya warisan nenek moyang. Sebagai ideologi negara, Pancasila seakan menegaskan bahwa Indonesia bukan negara agama, tetapi juga bukan negara sekuler. Hal ini merupakan konsep ideal untuk menciptakan kerukunan aktif di mana anggota masyarakat bisa hidup rukun di atas rasa kesepahaman pemikiran. Intensionalitas negara dan agama terletak pada sila Ketuhanan Yang Maha Esa dari Pancasila, karena sila tersebut merupakan prinsip yang terdalam, dasar dan tujuan yang terakhir. Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama memberikan sifat religious kepada negara Indonesia. Ia dipandang sebagai dasar dan sumber yang harus menjiwai pelaksanaan sila-sila yang lain. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa juga memegang peranan penting sebagai alat pemersatu dua unsur yang berbeda sifatnya, yaitu negara di satu pihak dan agama di pihak lain (Armawy, 2009:13). Berkaca pada Laicité atau sekularisme ala Perancis pun menjadi salah satu konsep ideal untuk menciptakan kerukunan beragama. Undang-Undang Laicité 1905 mengatur
pemisahan negara dan agama di Perancis.Laicité lahir dari suatu konflik berkepanjangan antara kalangan gerejawi yang ingin mempertahankan kuasa dan pengaruhnya dan kalangan nasionalis yang menolak keberadaan agama dalam ranah politik. Laicité secara filosofis berarti negara sama sekali tidak mengakui apa pun bentuk agama dan kepercayaan. Tetapi, negara menjaga kebebasan beragama dan berpikir, karenanya negara menjaga para pemeluknya, kitab suci, dan simbol. Negara melindungi setiap pemeluk agama bukan karena nilai metafisik agama tersebut, tapi karena negara harus melindungi kebebasan beragama masing-masing orang agar hak-hak mereka tidak dilukai. Pancasila dan Laicité pada prinsipnya sama sebagai ideologi dan falsafah negara untuk menciptakan kerukunan antar umat beragama. Tetapi, di dalam kesamaan itu ternyata ada beberapa perbedaan yang cukup tajam. Pertama, di Perancis kehidupan agama merupakan wilayah pribadi. Ia tidak boleh masuk ke dalam wilayah publik. Sedangkan di Indonesia, agama menjadi wilayah publik. Agama dibicarakan di mana saja dan kapan saja. Tidak jarang ibadah yang bersifat sangat pribadi menjadi urusan pemerintah. Kedua, di Perancis orang tidak beragama, bahkan ateis sekalipun diakui haknya untuk hidup di dalam negara. Sementara di Indonesia, ateis tidak mempunyai hak hidup. Jangankan ateis, orang kepercayaan atau penganut agama leluhur pun tidak diakui. Ketiga, di Perancis negara netral terhadap agama dalam masalah keuangan. Negara tidak membiayai kepentingan agama dan mengatur urusan peribadatan. Di Indonesia, negara membiayai acara keagamaan dan pembangunan tempat ibadah, bahkan mengatur urusan peribadatan (Utriza, 2008: p. 1-2). Dengan demikian maka konstruksi Pancasila mapun Laicite merupakan penjewatahan eksistensi kehidupan manusia yang dianggap menjadi bagian yang terpisah dan tidak terpisah dengan kehidupan bermasyarakat. Eksistensi dari kedua pandangan tersebut menjadi sangat berarti ketika kesadaran bernegara dan beragama tumbuh sebagai kekuatan melengkapi bukan
117
sekedar saling mendistorsi atas kepentingan masing-masing.
dan kekuatan senjata dan menjadikan perlawanan terhadap negara semakin kentara dalam bentuk yang lebih halus, terlihat dalam politik Islam yang ingin menjadikan negara sebagai instrumen pemaksa aktualisasi syariah agenda yang dikedepankan adalah menkoversi Indonesia menjadi negara Islam. Potensi agama sebagai bargaining power untuk menyudutkan negara dibentengi dengan legitimasi pertentangan agama dan nasionalisme. Fondasi dari proses delegitimasi ini adalah temuan kesadaran yang diadvokasi intelektual muslim bahwa Islam memiliki watak inklusif, dan fungsi agama yang utama bukanlah untuk pijakan inklusivisme diri (Santoso, 2001: p. 275). Membaca trend keberagamaan di Indonesia dewasa ini, terlihat sekali bahwa spirit agama belum menjadi commondenominator (kalimatun sawa’) dalam merancang etika kebangsaan dan kenegaraan. Yang terjadi agama justru dijadikan komoditas kepentingan (politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya), sehingga pesan agama dalam membangun persaudaraan dan perdamaian seringkali tersendat, terlantar, bahkan tergadaikan. Sejarah mencatat bahwa sidang konstituante tahun 1950-an gagal mencapai kesepakatan dikarenakan elite politik menjadikan agama sebagai komoditas kepentingan, sehingga rumusan agenda kebangsaan gagal terwujud. Berbeda dengan yang dilakukan para Wali Songo. Agama ditangan para wali justru tampil sebagai spirit dalam melakukan kerja-kerja kebangsaan. Spirit agama tampil digarda depan untuk membuka kran-kran penindasan dan penjajahan (Mufid, 2006). Sejarah telah banyak membuktikan dan menjelaskan, bahwa agama menjadi motor penggerak handal dalam upaya melawan dominasi negara. Sebagai contoh dalam cerita Kahar Muzakar, Daud Bareureuh, Kartosuwiryo, bagaimana mereka mampu mengemas agama sebagai perekat untuk melawan negara. Kekuatan dalam perlawanan terletak pada dogma-dogma yang tercipta bahwasanya agama lebih utama ketimbang negara. Bisa juga melihat fenomena kerusuhan dimana aparat keamananpun tidak serta merta mengayomi namun dilain sisi membantu umat seagamanya. Hal ini karena kekuatan agama mampu masuk hingga sel terkecil dari struktur budaya maupun struktur berpikir manusia Indonesia. Agama memiliki tanda yang
Agama Sebagai Komoditas Agama dapat pula dilihat sebagai potensi transformasi, karena berbagai nilai yang diperjuangkan, sekaligus dapat difungsikan untuk menopang terwujudnya aspirasi bernegara. Ia juga merupakan tali pengikat yang dominan dalam interaksi antar manusia, sehingga mampu berperan menumbuhkan rasa solidaritas kebangsaan. Agama dapat berperan sebagai penyatu dan pengutuh berbagai perbedaan pendapat yang timbul dalam masyarakat. Karena itu, agama juga mampu mengkondisikan dan memberikan kontribusi yang mempertinggi moralitas bangsa dan negara yang menginginkan keadilan, sehingga terciptanya suatu masyarakat adil dan makmur. Oleh karena itu, umat beragama berkewajiban untuk memberi sumbangan dalam rangka tanggungjawab bersama untuk meletakan landasan moral, etik dan spiritual serta tetap memperhatikan dan menghormati nilai-nilai tradisional maupun nilai-nilai religious yang menjadi penghayatan bersama dalam memperkokoh pembangunan masyarakat Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa agama juga komoditi politik yang mudah dimobilisasi untuk kepentingan-kepentingan non-agama, atau seolah-olah merupakan kepentingan agama. Fenomena yang banyak terlihat dari Agama Islam sebagai pemeluk mayoritas aktualisasi politik memiliki peranan penting dalam membingkai kohesi nasional. Digunakannya Islam sebagai identifikasi komunitas muslim secara sosiologis, adalah suatu kewajaran. Yang menjadi persoalan, kompetisi untuk menggalang solidaritas kelompok. Terlebih-lebih lagi penggalangan solidaritas ternyata dilakukan dalam lingkup varian-varian kelompok muslim, bukannya dalam entitas muslim Indonesia secara keseluruhan. Akibatnya, persaingan antar kelompok muslim memperumit peta konflik primodial yang sudah ada. Masyarakat selalu menyeret primodialisme kearah yang disintegrative. Keperluan memobilisasi primodialisme (termasuk agama) terjadi karena didorong oleh keperluan untuk melawan atau menguasai negara. Pada saat Indonesia dalam lilitan krisis di tahun 1950-an mobilisasi primodialisme dan ikatan keagamaan diperkuat dengan militansi
117
118
dipahami bersama oleh setiap pemeluknya, namun demikian mudahnya ketika seseorang memahami kondisi tersebut dan mampu mengambil manfaat atas simbol yang selayaknya sakral. Terlepas dari suka atau tidak, kepatuhan dan kepatutan pemeluk terhadap ajaran-ajaran agama terkadang membuat sebagian dari pemeluk lebih memilih untuk bertindak dari sebuah kebiasaan atau tradisi yang berlawanan, maka dengan demikian terbukalah agama yang kemudian dijadikan komoditas untuk pencapaian tujuan. Layar televisi selalu mengiklankan halal dan haram, iklan halal diartikulasikan dengan perempuan berjilbab maupun tampilan dengan antribut agama. Perbuatan baik hanya dengan simbol orangorang kalah namun dibalik semua itu ada peluang hegemoni untuk mengajak pada pemirsa maupun masyarakat luas bahwasanya halal yang kami tawarkan adalah kesesuaian dengan citra yang ada dalam kepala tiap manusia. Padahal kita ditarik pada masifikasi yang sebenarnya hanya berbalut simbol-simbol agama. Muslimah yang ditampilkan dengan produk apapun selalu dianggap baik karena pencitraan dengan simbol-simbol agama jauh lebih mumpuni untuk menarik peminat ketimbang menjelaskan fungsi dan dampak dari produk tersebut. Agama Sebagai Instrumen Pencapaian Kekuasaan Betapa peliknya hubungan antara agama dan politik, terlebih dalam konteksmodern, diuraikan dengan jelas oleh J. Philip Wogemen. Secara garis besar terdapat tiga pola umum hubungan politik dan agama. Pertama, pola teokrasi di mana agama menguasai negara; kedua, erastianisme bila yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu negara mengkooptasi agama; dan ketiga hubungan sejajar antara agama dan negara dalam pemisahan yang unfriendly dan friendly. Pemisahan yang unfriendly antara agama dan negara merupakan hal yang mustahil, karena kehidupan keagamaan selalu memiliki dimensi sosial dan dengan demikian bersentuhan dengan aspek hukum yang menjadi wewenang negara. Dan Wogeman menganggap alternatif terbaik adalah pemisahan yang friendly meskipun tetap menyimpan persoalan (Hadi, 2011: p. 228). Dalam kerangka teorinya, Durkheim mengutamakan arti penting masyarakat struktur, interaksi dan institusi sosial, dalam
memahami pemikiran dan perilaku manusia. Hal ini dapat dicermati dari penekanan Durkheim yang ingin melihat hampir seluruh perubahan utama manusia yaitu persoalan hukum, moralitas, profesi, keluarga dan kepribadian, ilmu pengetahuan, seni dan juga agama, dengan menggunakan sudut pandang sosial. Durkheim mengklaim bahwa tanpa adanya masyarakat yang melahirkan dan membentuk semua itu, maka tak ada satupun yang akan muncul dalam kehidupan. Di sisi lain, Durkheim juga mengungkapkan bahwa fakta sosial itu jauh lebih fundamental dibandingkan dengan fakta individu dan fakta sosial sama nyatanya dengan fakta fisik dan individu sering disalah pahami ketika pengaruh masyarakat yang begitu kuat terhadapnya dikesampingkan atau tidak dipahami dengan teliti (Sanaky, 2005: p. 3). Dalam agama juga kita menyaksikan reaksi kritis atau penolakan terhadap tendensi homogenisasi teknis budaya global. Tendensi ini dianggap menghancurkan yang sakral atau yang kudus dalam agama-agama. Berbagai model fundamentalisme yang merebak akhirakhir ini merupakan reaksi atas kecenderungan penyeragaman tersebut gerakan fundamentalisme menggunakan instrument rasional teknis-ilmiahjarak jauhguna melindungi yang sakral dan kudus dari kehancuran. Agama bermimpi tentang mimpi kembalinya tradisi-tradisi lokal serta mewartakan perang terhadap masyarakat global, namun di sisi lain tetap menggunakan metode-metode yang akan meluluhlantahkan mimpi tersebut.” Lewat fenomen imunitas otonom seperti ini agama menentukan perkembangan budaya. Agama tampil sebagai praksis budaya yang menggunakan model budaya postmodern guna melindungi yang sakral dari kehancuran. Inilah salah satu ciri khas penting agama dewasa ini dalam konstelasi global. Selain itu menurut Derrida, fenomen kebangkitan agama-agama hanya dapat dipahami jika akar atau asal-usul kulturalnya turut ditematisasi. Kebangkitan agama-agama terjadi dalam proses globalisasi dan juga dalam paradigma berpikir Barat tentang agama. Di sini aspek multi dimensional agama kurang nampak. Alasannya, refleksi tentang kebangkitan agama-agama dalam konteks globalisasi masih sangat ditentukan oleh konsep tentang agama yang sangat kuat dalam Kekristenan. Pemahaman agama dalam
119
Warga yang beragama melihat negara dan agama sebagai celana dan sabuk, ketika celana terasa longgar maka sabuklah yang mengencangkannya. Bukan kemudian saling meninggalkan, bayangkan kalau sabuk meninggalkan celana, mungkin saja celana itu akan melorot dan jatuh ke tanah, namun sebaliknya bagaimana kalau celana yang meninggalkan sabuk. Artinya bahwa agama dan negara saling berkorelasi, ketika mereka berkorelasi akan terjadi tertib sosial, namun sebaliknya jika tidak berkorelasi akan terjadi disharmoni dalam masyarakat ataupun negara.
Kekristenan sering bersifat monistis dan kerena itu menimbulkan persoalan dalam konteks pluralitas sosial dan agama dewasa ini. Dari perspektif liberal penting untuk diperhatikan agar penyempitan konseptual yang mempermiskin realitas plural tersebut dihindari (Madung, 2011: p. 266). Semakin sulit dan tak terurai kepentingan agama atas negara atau sebaliknya negara yang semakin mantap mendominasi agama. Seperti halnya kita saksikan masa pemilihan Presiden di tahun kemarin. Mengapa tiba-tiba kelompokkelompok agama begitu dominan? Mengapa para capres lebih sering ke komunitaskomunitas maupun kelompok-kelompok agama? Ada apa dengan mereka?. Agama dan politik memiliki domain yang sama yaitu keselarasan kehidupan bermasyarakat. Jadi sekiranya agama sebagai sebuah institusi yang memiliki pengikut dengan kesadaran akan sangat mudah untuk ditarik pada suatu kepentingan ketika sang pemilik kepentingan mampu menggunakan simbol-simbol agama dengan cerdas. Apa yang saat ini bisa kita saksikan berbanding terbalik, kapan lagi para pemimpin melirik kelompok-kelompok agama sebagaimana mereka belum mendapatkan kekuasaan, adakah tindakan dan pemikiran buat mereka yang semakin termarjinal akibat kebijakan. Tidak, pemerintah terlalu sibuk dengan permasalahan KPK dan POLRI, masalah BBM, masalah hukuman mati. Lalu kapan kelompok-kelompok agama yang memiliki kontribusi dalam bernegara diperhatikan. Yang pasti tunggu momentum pemilihan presiden periode depan.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Dr. Taufik. 1983. Agama Dan Perubahan Sosial. CV. Rajawali, Jakarta, bekerjasama dengan Yayasan Ilmu Ilmu Sosial (YIIS) Armawy, Armaidy. 2009. Pemikiran Filosofis Hubungan Negara dan Agama Di Indonesia. Program Doktor Ilmu Filsafat. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta Ganie,
Drs. Fathuddin Abdul. 2008. Sekali lagi; Sosiologi Agama. Perpustakaan Digital UIN Kaligaja Yogyakarta
Hadi, Sofyan. 2011. Relasi Dan Reposisi Agama Dan Negara.Millah Vol. X, No 2, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Jember. Hasse J. 2010.Kebijakan Negara Terhadap Agama Lokal Di Indonesia.Jurnal Studi Pemerintahan Volume 1 Nomor 1
KESIMPULAN Kalau dahulu kita selalu berpikir, Negara yang menunggangi Agama. Keberhasilan agama dalam membangun pondasi kehidupan bernegara dikooptasi oleh penguasa atas nama ketertiban dan kendali sosial. Namun saat itu kalimat tersebut sudah kurang berarti lagi.Yang terjadi mereka saling bermutualisme. Negara menjadi kendaraan kelompok-kelompok beragama untuk mendapatkan kekuasaan dan negara juga menggunakan kelompok-kelompok agama sebagai katup pengaman kekuasaannya. Tidak ada yang dirugikan atau juga terkalahkan, namun sebaliknya adalah pemeluk selalu menjadi korban dari mutualisme yang terjadi diantara keduanya.
Kholiludin, Tedi. 2009. Kuasa Negara Atas Agama.Semarang: RaSAIL. Madung, Otto Gusti. 2011. Relasi Agama Dan Moralitas Masyarakat Postsekular Negara (Telaah Atas Pemikiran Juergen Habermas)Millah Vol. X, No 2. STFK Ledalero Maumere 86122 Flores NTT Mufid,Ahmad Syafi'i. 2006. Tarekat Kebangkitan Agama di Jawa. Jakarta. Obor. Qayim, Ibnu. 2004. Pengobatan Nabi. Jakarta: Griya Ilmu Sanaky, Hujair. 2005. Sakral (Sacred) dan Profan, Studi Pemikiran Emile
119
120
Durkheim Tentang Sosiologi Agama. Program Doktor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Santoso, Purwo. 2001. Merajut Kohesi Nasional.Jurnal Ilmu Sosial dan Politik. volume 4 Nomor 3 Samad, Ulfat Aziz-us. 1990. Great Religions of the World. Sugiyono. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta Utriza,
Ayang. 2008. Mencari Model Kerukunan Antarumat Beragama.Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) UniversitasParamadina Jakarta.
PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL UNTUK JURNAL PENDIDIKAN, SAINS SOSIAL DAN AGAMA
1. Jurnal Pendidikan, Sains Sosial dan Agama memuat hasil hasil penelitian, maupun kajian
yang terkait dengan hasil penelitian pengembangan, maupun penelitian penerapan dalam bidang pendidikan, ilmu sosial dan agama. Artikel yang dikirim ke redaksi belum pernah dipublikasikan dan dikemas kembali sesuai dengan format artikel jurnal. 2. Panjang naskah + 20 halaman A4, minimal 7000 kata, satu setengah spasi, Times New Roman, font 11, dan ditulis menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. 3. Artikel ditulis dengan ketentuan sebagai berikut: a. Judul maksimal 15 kata, dengan font 14. Peringkat judul disusun sebagai berikut: PERINGKAT SATU (HURUF BESAR SEMUA, TEBAL, font 14, di tengah-tengah halaman) PERINGKAT DUA (HURUF BESAR, TEBAL, di tengah-tengah) PERINGKAT TIGA (HURUF BESAR, TEBAL, di tengah-tengah) b. Nama penulis tanpa gelar ditulis di bawah judul: untuk Tim semua nama penulis dicantumkan c. Nama instansi ditulis di bawah nama: email ditulis di bawah nama instansi d. Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris, satu spasi, 100-200 kata, satu paragraf dan font 11. e. Kata kunci merupakan inti permasalahan, bisa satu kata atau lebih, ditulis miring di bawah abstrak dengan jarak satu spasi. f.
Batang tubuh artikel: artikel kajian terdiri dari Pendahuluan (permasalahan, kerangka pikir, dan atau kerangka analisis), sub-sub judul pembahasan, dan kesimpulan; sedangkan artikel hasil penelitian terdiri dari pendahuluan ( latar belakang permasalahan, dan landasan teori), metode penelitian, hasil penelitian dan pembahasan, kesimpulan, dan saran.
4. Kutipan harus disebutkan nama pengarang, tahun ,dan p. nomor halaman. Contoh: (Triyatno, 2014, p.89). kutipan langsung (persis aslinya) lebih dari tiga baris ditulis satu spasi, rata kiri dan menjorok ke kanan 7 ketukan. 5. Artikel rangkap dua disertai soft copynya dikirim ke sekretariat redaksi Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan, penulis dari luar kota bisa mengirimkan artikel secara elektronik melalui email:
[email protected] 6. Daftar pustaka disusun dengan tata cara seperti beberapa contoh berikut dan diurutkan secara alfabetis nama pengarang. Tata cara yang tidak ada pada contoh merujuk pada APA style.