ISSN 1693-6388
Edisi I, Maret 2009 Vol VIII, No.1 Maret 2009
Kawasan Konservasi di Tengah Pusaran Zaman Obat dari Satwaliar Kuasa Kusuma Raja
S U S U NA N R E DA K S I PENANGGUNG JAWAB Sekretaris Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam PEMIMPIN REDAKSI
Kepala Sub Direktorat Informasi Konservasi Alam
WAKIL PEMIMPIN REDAKSI
Direktur Eksekutif Pusat Informasi Lingkungan Indonesia (PILI-Green Network)
ANGGOTA REDAKSI
Kepala Seksi Analisis Data dan Publikasi Kepala Seksi Pengembangan Sistem Informasi Editor Indonesian Nature Conservation newsLetter PILI-Green Network Asisten Riset PILI-Green Network
KONTRIBUTOR
Seluruh staff lingkup Ditjen PHKA pusat dan daerah Mitra kerja Ditjen PHKA PILI Green-Network
DESAIN
PILI-Green Network
JURNALIS FOTO
Pusat Informasi Konservasi Alam Pusat Informasi lingkungan Indonesia
FOTO cOvER DEPAN:
Juara I “Lomba Foto Konservasi” Judul: Menuju Kawah Karya: Budi Darmawan
SEKRETARIAT
Pusat Informasi Konservasi Alam Jl. Pajajaran No. 79 Warung Jambu - Bogor Telp/ Fax: +62 251 8357960 Email:
[email protected]
Alamat Redaksi
Gedung Pusat Konservasi Alam Jl. Raya Pajajaran No. 79 Bogor Tlp.: +62 251 8357959 Fax: +62 251 8357960 Email:
[email protected]
Diterbitkan oleh Direktorat Jenderal PHKA Departemen Kehutanan dengan tujuan untuk media komunikasi dan penyebarluasan berbagai informasi diantara para pengelola kawasan konservasi, praktisi, peneliti, pemerhati dan berbagai pihak yang terkait dalam upaya konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya
L
ima tahun lalu, pada 2005, muncul sebuah keinginan untuk memiliki taman nasional yang mandiri. Rencana Strategis Departemen Kehutanan dan Rencana Strategis Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) 2005-2009, membeberkan gagasan itu lebih lanjut. Langkah awalnya, membentuk 21 taman nasional model. Setelah berjalan sekitar lima tahun, tepatnya 2009, dua di antara taman nasional model diharapkan siap menjadi mandiri. Cita-cita itu memang pantas diraih. Taman yang bisa mengelola kawasannya dengan kemampuan sendiri, akan menunjukkan bahwa pelestarian bisa bersanding dengan ekonomi. Hal terakhir ini memang banyak bersinggungan dengan soal untung dan rugi. Sebuah ukuran yang tak gampang dicapai oleh taman nasional yang hanya biasa melindungi tandon kekayaan alam bagi masa depan negeri ini. Taman-taman yang menjadi model yang tersebar di seluruh Indonesia ini tentu tak akan mampu meraih hasrat luhur itu tanpa dukungan dari banyak pihak. Siapapun paham, kepentingan terlalu sesak di pinggir kawasan, sementara taman juga diwajibkan membenahi dirinya agar makin efektif bekerja. Prinsip prudensial, atau kehati-hatian, dalam memilih taman nasional model yang akan memasuki era kemandirian agaknya harus dipegang. Wajar, sekali sebuah taman menjadi mandiri, dia tak akan bisa turun kelas menjadi taman nasional biasa. Ini juga bermakna bila 2009 tak satu juga taman nasional model yang siap, harapan mulia itu untuk sementara bisa ditangguhkan. Keberuntungan lazim berpihak kepada mereka yang hati-hati.*** Foto oleh Andika Vega Praputra
Surat dari Redaksi Tanpa terasa kalender 2008 telah hilang dari meja kerja; dan seperti biasa, kini telah terpampang kalender 2009. Selama tahun 2008, buletin Konservasi Alam laksana tidur tanpa pernah mengunjungi para pembaca. Sejatinya, sepanjang 2008 redaksi Konservasi Alam sedang sibuk merancang buletin ini seperti dalam bentuknya sekarang. Ternyata, sepelesepele rumit untuk menghadirkan media ini dalam bentuk majalah. Sepele, karena buletin yang diasuh Pusat Informasi Konservasi Alam (PIKA), Departemen Kehutanan, telah rutin hadir tiap triwulanan. Rumit, karena memang ada keinginan untuk menyajikan tulisan sepopuler mungkin agar menjangkau lebih banyak kalangan. Dibantu oleh Pusat Informasi Lingkungan Indonesia (PILI-Green Network), kini Konservasi Alam telah berwujud majalah, dengan penampilan yang diharapkan lebih baik. Tentu saja masih banyak hal yang bisa diperbaiki demi kesempurnaan media ini. Untuk itu, salah satunya, kami menunggu komentar dan masukan dari Anda, para pembaca. Selamat Membaca
Sumbangan Artikel Redaksi Konservasi Alam menerima sumbangan artikel dari para pembaca, baik akademisi, peneliti, praktisi, pegiat lembaga swadaya masyarakat (LSM) maupun staf Departemen Kehutanan, yang berkaitan dengan perlindungan hutan dan konservasi alam. Artikel ditulis dengan aksara Times New Roman berukuran 12 sepanjang 2000 sampai 3000 kata. Berikut ini tata laksana penulisan artikel: -
-
-
Artikel yang bersifat ilmiah ditulis maksimal 3000 kata, sudah termasuk daftar pustaka. Dalam keadaan tertentu, terutama untuk menghemat jumlah halaman, daftar pustaka akan disimpan di meja redaksi, Artikel populer maksimal 1500 kata, termasuk daftar pustaka, Setiap artikel dilengkapi nama dan identitas, jika tak keberatan juga nomer telepon. Artikel juga bisa dilampiri foto-foto yang berhubungan dengan isi tulisan, Artikel digital bisa dikirim ke:
[email protected]
Redaksi berhak menyunting tulisan yang akan dimuat tanpa merubah isi yang hendak disampaikan.
Laporan U tama
Menanti Era Baru Taman Nasional Hasrat untuk menciptakan taman nasional yang tak hanya melindungi tapi juga mampu mandiri terentang dalam Rencana Strategis Departemen Kehutanan 20052009. Keinginan itu dirintis dengan memunculkan taman nasional model. Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam No. 69/IV-Set/ HO/2006 dan No.128/IV-Set/HO/2006 mengantar 21 unit kawasan mengayunkan langkah menjadi taman nasional model yang bertebaran dari ujung barat hingga timur Nusantara.
Cak rawala
Kawasan Konservasi di Tengah Pusaran Zaman Pengelolaan kawasan konservasi perlu strategi baru dalam menghadapi perubahan arah politik yang menuju otonomi daerah. Menggandeng para pihak menjadi salahsatu faktor yang harus diperhitungkan.
Sudut Pandang
Ekowisata, Jalan Menuju Kemandirian Salah satu cara untuk meraup pendapatan agar taman nasional bisa mandiri.
Flora dan Fauna Kusuma Kuasa Raja
Alam semesta akan mendukung para raja Jawa yang mampu memetik bunga wijayakusuma.
K abar K awasan
Merenda Kesepakatan di Bumi Muka Rimau Untuk meredam beragam ancaman dari luar, para pihak sepakat untuk memantapkan pengelolaan kawasan penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh.
R iset
Obat dari Satwaliar Saat krisis ekonomi mendera, pengobatan tradisional dari tumbuhan dan satwa menjadi pilihan bagi sebagian anggota masyarakat. Perlu adanya standar baku dan pengawasan populasi satwa obat.
Pelestar ian
Membugarkan Pemangsa dalamBayangan Salak Beberapa pihak bergandengan tangan bertekad untuk menyelamatkan sang garuda dan kerabatnya.
Sat waliar
Hidup di luar habitatnya, beragam satwa liar yang dilindungi nyaris luput dari pengawasan dan pemantauan. Untuk menjamin status hukumnya, wajib jenis satwa liar yang dipelihara wajib ditandai.
R esensi Buk u
Menjaga Manusia tetap Manusiawi Mengikat beragam ilmu pengetahuan dalam satu tujuan: menyelamatkan semua makhluk hidup di atas Bumi.
Apa Kabar Penyangga Kehidupan Itu? Sejak dua abad silam umat manusia telah menggagas untuk melindungi suatu kawasan. Bentuknya bisa macam-macam: dari cagar alam, hutan lindung, sampai taman nasional. Kini, jenis kawasan konservasi yang terakhir ini telah bertebaran di muka Bumi. Musim semi taman nasional di Indonesia baru terjadi pada 1980-an. Sejak itu, taman-taman nasional mengayomi setiap jengkal tanah di dalamnya beserta makhluk hidupnya bebas berbiak. Sadar atau tidak, benteng terakhir segala bentuk kehidupan tropis itu telah seperempat abad lebih menghiasi Nusantara.
Foto oleh Rifky
Gedung Pusat Informasi Taman Nasional Gede Pangrango, Jawa Barat.
Foto oleh Kristian Birchall
"
Sebuah bagian dari hak milik nasional di mana setiap orang, yang memiliki sepasang mata berhak untuk menerimanya, dan sebuah hati untuk menikmatinya,” tulis William Wordsworth pada 1811. Sastrawan Inggris itu sedang melukiskan hubungan batin antara alam dengan manusia tentang keasrian Danau District. Sekujur tubuhnya bergetar ketika menikmati keindahan danau yang tenang dan sejuk itu. Dua dekade berselang, 1832, pelukis George Catlin, dalam petualangannya ke Amerika Barat, dilanda perasaan yang campur aduk : antara resah akan nasib pribumi dan sekaligus kagum atas keindahan alamnya. Sang pelukis lantas menulis: perlu kebijakan pemerintah yang melindunginya dalam sebuah taman yang luar biasa. Sebuah taman nasional yang berisikan manusia dan hewan yang berkeliaran dalam keindahan alam yang segar! Dari dua seniman tersebut, muncul inspirasi dasar yang melahirkan perlunya taman nasional, yang meliputi gerakan pelestarian, lingkungan hidup dan hak-hak satwa.
Ratusan taman nasional telah bertebaran di seluruh dunia sejak digagas 200 tahun lalu. Limapuluh satu di antaranya terdapat di Indonesia. Tak lama kemudian, masih pada 1832, tepatnya 20 April, sebuah langkah kecil tapi bermakna besar bagi pelestarian alam diayunkan oleh Amerika Serikat. Di pegunungan Arkansas, yang kemudian dikenal sebagai Hot Springs Reservation, Presiden AS Andrew Jackson mengeluarkan peraturan untuk melindungi sumber air panas di wilayah itu. Sekitar tigapuluh tahun kemudian, pada 30 Juni 1864, Presiden
AS Abraham Lincoln meneken kebijakan untuk melindungi sebuah kawasan yang meliputi Yosemite Valley dan Mariposa Grove di negara bagian California. Belakangan, bentang alam ini disebut Taman Nasional Yosemite. Tak sampai 10 tahun sejak keluarnya kebijakan Lincoln, istilah taman nasional pertama kali digunakan untuk mengukuhkan Taman Nasional Yellowstone yang diresmikan oleh Presiden AS Ul-
Bentang alam Taman Nasional Yosemite, Amerika Serikat, menjadi saksi bagi langkah pertama pelestarian kawasan di muka Bumi. Kelak, banyak negara mengikuti langkah ini hingga bermunculan taman-taman nasional yang melindungi beragam keunikan alam.
ysses S. Grant pada 1 Maret 1872. Inilah taman nasional pertama di dunia. Dari daratan Amerika, janin taman nasional menyebar ke benua lain. Australia menyusul dengan Taman Nasional Royal, sebelah selatan Sydney, disahkan pada 1879. Kemudian, Taman Nasional Banff, waktu itu dikenal sebagai Taman Nasional Gunung Rocky, menjadi taman nasional pertama Kanada pada 1887. Pada tahun yang sama, Selandia Baru memiliki taman nasional pertamanya. Daratan Eropa sedikit terlambat mengikuti perkembangan ini. Baru tahun 1910, Swedia mengikuti langkah mendirikan taman nasional. Pada 1926, di ujung selatan benua hitam, Afrika Selatan meresmikan Taman Nasional Kruger. Usai gejolak Perang Dunia II, puluhan kawasan taman nasional diresmikan di seluruh dunia. Lalu apa yang terjadi di Indonesia? Cikal bakal pelestarian alam tropis di Indonesia bisa dilacak hingga
5
abad ke-18. Masa awal munculnya pelestarian alam sangat dipengaruhi oleh geliat ilmu pengetahuan Barat saat itu. Bangsa Eropa yang menjejak Nusantara kala itu sedang keranjingan dengan eksplorasi sejarah alam dengan mengumpulkan temuan-temuan baru: hewan dan tumbuhan.
Baru pada 1889 benih perlindungan alam dalam bentuk penyisihan kawasan dilakukan oleh Direktur Kebun Raya Bogor yang saat itu mengesahkan cagar alam pertama di Cibodas, Jawa Barat. Cagar ini untuk melindungi hutan pegunungan yang masih perawan di daerah itu.
Gairah itu bisa dilihat dalam karya-karya G.E. Rumphius: deAmboinsche Rareteitkamer, 1705, dan Herbarium Amboinense, 17411750. Dua risalah Rumphius tersebut memuat pertelaan flora-fauna Ambon dan sekitarnya.
Tiga tahun berselang, gagasan melestarikan alam makin menguat dengan berdirinya Nederlandsch Indische Vereeniging Tot Natuurbescherming, atau Perkumpulan Perlindungan Alam Hindia Belanda pada 1912. Dr. S.H. Koorders, ketua perhimpunan, mendesak pemerintah waktu itu untuk mengambil langkah-langkah perlindungan terhadap kawasan dan jenis-jenis tertentu.
Warisan abadi dari abad awal pelestarian bisa dilihat pada diri Alfred Russel Wallace. Tokoh ini dengan jeli menangkap perubahan fauna dari wilayah barat ke timur kepulauan Nusantara. Hingga kini, warisannya dikenang sebagai Garis Wallacea, sebuah batas maya fauna antara Bali dengan Lombok dan memisahkan Kalimantan dengan Sulawesi. Masyarakat keilmuan belakangan, mengakui Wallace, bersama Charles Darwin, sebagai penemu teori evolusi.
Beruntung, Gubernur Jenderal Hindia Belanda A.F.W. Idenburg merespon usulan itu dengan mengesahkan cagar alam di Depok seluas 6 hektar. Sejak ini, pencagaran kawasan dan perlindungan jenis-jenis tertentu terus berlanjut selama Pemerintahan Hindia Belanda.
Pada masa ini juga bisa diterbitkan serentetan peraturan yang melindungi satwa, seperti Dierembeschermingsordonantie (Staadblad tahun 1931, No. 134) yang berlaku di seluruh wilayah Hindia Belanda. Pada saat hampir bersamaan, keluar Jachtordonantie 1931 (Staadblad tahun 1931, No.133) yang mengatur tentang perburuan dan Jachtordonantie Java en Madoera 1940 (Staadblad tahun 1940, No. 733) yang hanya berlaku untuk Jawa dan Madura. Selanjutnya, perlindungan alam diatur dengan Natuurbeschermingordonantie 1941 (Staadblad tahun 1941, No. 167) menggantikan Natuurmonumenten en Wildressrvatendonantie 1932 (Staadblad tahun 1932, No. 17) yang menata soal cagar alam dan suaka margasatwa. Singkat cerita, usai deklarasi Kemerdekaan Indonesia, pada dekade 1960-an di Bogor, kota pusat penelitian dan perlindungan alam selama masa Hindia Belanda, dibentuk Bagian Pengawetan Alam yang bernaung di bawah Kebun Raya Bogor. Pada saat yang sama, lembaga Jawatan Kehutanan memiliki Bagian Perlindungan Alam. Kedua lembaga itu kemudian digabung menjadi Bagian Perlindungan dan Pengawetan Alam (PPA) yang dikelola oleh Jawatan Kehutanan. Musim semi tumbuhnya kawasan konservasi terjadi pada rentang 1974-1983. Dengan dukungan Organisasi Pangan Dunia (Food and Agriculture Organization/FAO), pemerintah melaksanakan Program Pengembangan Taman Nasional. Program ini untuk membangun sistem kawasan konservasi daratan dan perairan di seluruh Indonesia sekaligus menentukan skala prioritasnya. Taman nasional di Indonesia baru benar-benar dibentuk pada 6 Maret 1980, saat Menteri Pertanian mengumumkan lahirnya lima taman nasional. Menyusul pada 1982, bertepatan dengan Konggres Taman Nasional Internasional III, di Bali, jumlah taman nasional bertambah menjadi 10 kawasan. Sampai dengan 2007,Indonesia telah memiliki 50 unit taman nasional dengan luasan 16.380.491,64 hektar.DIGANTI Dengan: Sampai kini, Indonesia telah memiliki 51 unit taman nasional.
Taman Nasional di Indonesia baru lahir pada tahun 1980. Salah satu generasi pertamanya adalah Taman Nasional Gunung Leuseur yang menjaga ekosistem tropika di Pulau Sumatera. Foto oleh Andika Vega Praputra
Perkembangan menonjol terjadi saat Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam mengeluarkan surat keputusan No.69/IV-Set/HO/2006 dan No.SK.128/IV-Set/HO/2006 yang menunjuk 21 taman nasional model. Taman-taman itu diniatkan untuk mempercepat pengelolaan taman nasional secara efisien, efektif, dan optimal hingga mampu mandiri.***
6
Di tengah gejolak zaman yang terus berubah, taman nasional model dipacu untuk berdikari. Foto oleh Swiss Winasis
T
ersebar di seluruh Nusantara, 21 kawasan yang melindungi beragam kehidupan di dalamnya ditabalkan menjadi taman nasional model. Di Pulau Jawa, taman nasional model terserak mulai dari Taman Nasional Ujung Kulon di tepi barat hingga sisi tertimur dengan Taman Nasional Alas Purwo. Di antara keduanya, berbaris taman nasional model yang lain: Gunung Halimun Salak, Gunung Gede Pangrango, Bromo Tengger Semeru, dan Meru Betiri. Selain itu, di perairan lepas pantai Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta terhampar Taman Nasional Kepulauan Seribu. Empatbelas taman nasional model yang lain berderet dari Sumatera, Bali, Kalimantan, Sulawesi, gugusan Nusa Tenggara hingga pojok selatan Papua. Mereka diniatkan menjadi taman nasional model sebagai mandat dari Rencana Jangka Menengah/Rencana
Strategis Departemen Kehutanan 2005-2009. Dalam rentang waktu itu pula dilakukan berbagai tahap kegiatan: inisiasi, persiapan, implementasi, konsolidasi, stabilisasi dan pengembangan. Artinya, kawasan yang mengayomi keindahan alam itu kini berada di ujung langkah untuk meniti tangga selanjutnya, yaitu taman nasional mandiri. Pada 2009 ini diharapkan telah ada dua calon taman nasional model untuk naik kelas menjadi mandiri. Taman yang telah berswadaya kelak akan diberi keleluasaan dalam mengelola semua pendapatan sah yang diterima, termasuk pendapatan negara bukan pajak atau PNBP. Jika semuanya berjalan lancar, taman nasional mandiri bisa mewujud menjadi sebuah badan layanan umum (BLU), perusahaan umum ataupun institusi yang lain. Tak sekadar mampu menanggung biayanya sendiri, mereka yang telah
dinilai mandiri diwajibkan mampu mengelola kawasannya secara efisien, efektif dan lestari. Singkat kata, dari A sampai Z, mereka telah berdikari. Namun sebelum melempar angan-angan hingga posisi berdikari itu, perlu mengintip kembali perjalanan taman nasional model yang telah ditetapkan sejak 2006 silam. Ibarat lomba maraton, 21 taman nasional yang dikelola secara spesifik lokasi itu berangkat dari garis start dengan modal yang berbeda-beda. Hingga akhir 2006, dari sisi penataan batas kawasan, terdapat 11 taman nasional model yang telah ditetapkan kawasannya. Sisanya, dua taman tata batasnya telah temu gelang dan 8 unit belum temu gelang. Sebagai kawasan konservasi yang dikelola berdasarkan pembagian zona, terdapat 16 taman nasional model telah disahkan zonasinya dan lima unit belum disahkan.
Yang cukup melegakan, semua taman nasional model itu telah memiliki rencana pengelolaan taman nasional (RTPN), yang 15 unit di antaranya telah disahkan; selebihnya, belum disahkan. Itu baru salah satu prasyarat. Agar lahir taman yang benar-benar tangguh masih terdapat enam kriteria lain yang harus dipenuhi. Pertama, untuk memompa pendapatan, taman harus mampu mengembangkan wisata alam yang optimal dan pengunjung yang mampir puas dengan layanan yang diberikan. Di dalamnya terdapat kegiatan pengembangan paket wisata alam, promosi, dan informasi. Kedua, memastikan kelestarian jenis satwaliar khas terlindungi yang ditopang oleh rencana dan pengembangan penelitian, peningkatan sumber daya manusia dan pangkalan data. Ketiga, taman nasional mandiri harus ditopang oleh administrasi dan organisasi yang bekerja optimal. Sebagai benteng kehidupan yang memendam beraneka flora dan fauna tropis, taman yang berswadaya juga harus mampu mengembangkan pendidikan konservasi dan penelitian yang optimal. Kriteria keempat dan kelima itu disyaratkan karena untuk menjamin pembinaan konservasi jenis dan ekosistem bisa berjalan baik sembari tidak melupakan penyadartahuan kepada khalayak. Prasyarat terakhir, menjalin hubungan yang harmonis dengan masyarakat. Untuk itu, taman nasional model melakukan pembinaan daerah penyangga melalui pemberdayaan masyarakat, pendidikan dan pelatihan petugas pendamping, pemasaran, dan penyuluhan.
Kriteria yang terakhir ini memang paling menonjol dan nyaris dialami semua kawasan taman. Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, yang terletak di Provinsi Bengkulu dan Provinsi Lampung, misalnya. Taman nasional yang menaungi sepenggal deretan Bukit Barisan ini menghadapi persoalan perambahan. Dari total 356.800 hektar kawasannya, 57.164 hektar di antaranya tergerus oleh perambahan. Secara bertahap, taman nasional ini akan menyapih sedikitnya 18.000 keluarga untuk keluar dan memulihkan areal yang telah dirambah. Rambah-merambah di Bukit Barisan Selatan memiliki sejarah panjang. Pembukaan lahan pertama kali tercatat di Sidorejo, Kabupaten Kaur, Bengkulu, pada 1961. Lima tahun kemudian, 1966, merembet ke sekitar Way Pemerihan, Lampung Barat. Sementara itu, di Way Nipah, Lampung Barat, pembukaan hutan mulai terjadi pada 1970. Kejadian serupa terjadi di Rata Agung, pada 1978, dan Bumi Hantatai, tahun 1981. Hingga tahun 2003, perambahan masih berlanjut dan merangsek ke dalam taman nasional yang lahir saat Konggres Taman Nasional III di Bali ini. Tak mengherankan bila Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam mengembangkan model desa konservasi untuk membina desa-desa di sekitar kawasan konservasi. Tujuannya, agar masyarakat lokal mempunyai kesadaran tentang keberadaan kawasan konservasi. Setiap taman nasional dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), saat ini rajin membina sedikitnya dua desa konservasi, dengan kegiatan yang disesuaikan dengan kondisi setempat.
Selain melalui pendidikan dan penyuluhan, pengembangan model desa konservasi lebih mengarah pada peningkatan sosial ekonomi masyarakat setempat. Dari situ, selanjutnya dapat mendukung fungsi dan tujuan penetapan kawasan konservasi. Di samping perambahan kawasan, gerak zaman juga menyeret taman nasional model ke dalam pusaran aneka kepentingan. Tengok saja Taman Nasional Bunaken di Sulawesi Utara. Pemerintah Kota Manado pernah dikabarkan hendak mengambil alih kawasan taman nasional ini. Kawasan Bunaken berada di wilayah Kotamadya Manado, Kabupaten Minahasa, Minahasa Selatan dan Minahasa Utara. Kisah Bukit Barisan Selatan dan Bunaken hanya dua contoh yang bisa dipetik. Persoalan yang kurang lebih sama juga menghampiri taman-taman nasional model yang lain. Spektrum tantangan yang dihadapi lumayan luas, mulai dari perambahan, pembalakan liar, pencaplokan kawasan, hingga menurunnya populasi dan pencurian satwa yang terancam punah. Konteks terkini itu memang menjadi salah satu ukuran bagi keefektifan pengelolaan taman nasional model. Taman-taman model terus didukung untuk mengelola arealnya secara berhasil guna. Di samping melihat keadaan terkini, terdapat lima ukuran lain untuk melihat keampuhan tata kelola taman: perencanaan, masukan (input), proses, keluaran (output), dan capaian (outcome). Perencanaan menyangkut keadaan yang hendak diraih serta tata cara pencapaianya. Ini meliputi rancangan lokasi, rancangan sistem kawasan lindung dan sta-
8
tus hukumnya. Tujuan yang telah ditetapkan dapat diraih dengan adanya input atau masukan: pengelolaan staf, pendanaan dan semua piranti pengelolaan. Baik perencanaan maupun masukan harus berproses sehingga taman sebagai sebuah sistem bisa berjalan semestinya. Hal itu melibatkan rencana pengelolaan, pengelolaan data dan informasi, pengelolaan keuangan dan pengawasan. Dari situ akan terlihat keluaran yang ada, baik berupa produk maupun jasa. Dalam lingkup yang lebih luas, keluaran yang diraih bisa dilihat pada capaian efektivitas pengelolaan: kondisi ekosistem kawasan serta dampak kegiatan. Dari seluruh matarantai tersebut akan terlihat seberapa efektif pengelolaan taman. Lantaran itu pula, dalam rentang 2005 hingga 2009 sedikitnya terdapat 11 aktivitas utama untuk membangun taman nasional model mulai dari pemantapan kawasan, identifikasi potensi kawasan, tata zonasi, pemanfaatan sumber daya alam, rehabilitasi ekosistem, peningkatan sumber daya manusia, penggalian peluang wisata alam dan jasa lingkungan, promosi ke pihak lain, peningkatan sarana dan prasarana pengelolaan hingga memompa kolaborasi pengelolaan taman. Meski kawasan konservasi ini dikelola berdasarkan pembagian mintakat, bukan berarti tantangan zaman mereda. Berdiri di tengah kepungan manusia dengan berbagai kepentingan yang ada, kawasan taman nasional model laksana medan pertaruhan. Taruhan dengan batas yang teramat tipis: antara membentengi keunikan ekologi dengan gejolak kepentingan saat ini yang terus menusuk-nusuk dari luar taman. Tantangan itu tak menghalangi untuk menciptakan taman yang berdikari. ***
9
Menyimpan jasa lingkungan yang berlimpah di daerah hulu, Gede Pangrango dikukuhkan menjadi taman nasional model. Gede Pangrango juga mengembangkan wisata alam demi mencapai status kemandirian. Foto oleh Rifky
Di jantung taman-taman nasional yang senyap, keanekaragaman hayati negeri ini disisihkan dan disimpan. Berbagai desakan justru menderuderu di pal batas, sebagian malah telah merangsek ke dalam taman. Sejatinya, ini persoalan lama; setua usia taman nasional sejak pertama kali dikukuhkan di muka Bumi. Tarik menarik dua hal itu bisa dipahami dengan melihat apa yang sedang terjadi pada salah satu taman nasional model di Jawa Barat, Gunung Halimun Salak. Bulan Desember 2008 lalu, taman nasional ini melayangkan petisi kepada Pemerintah Daerah (pemda) Kabupaten Lebak. Lewat petisi itu, ratusan orang membubuhkan tandatangannya untuk meredam niat Lebak yang akan menggerus lahan Halimun Salak. Sebelum sampai di meja Pemda Lebak, Bambang Supriyanto, kepala Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak, telah lama menebar petisi itu untuk diteken oleh mereka yang peduli dengan nasib Gunung Halimun Salak. Di sini, Elang jawa, Spizaetus bartelsi, bersama Owa
jawa, Hylobates moloch, memiliki rumah alaminya yang masih hijau. Kawasan ini juga memasok jasa lingkungan yang berlimpah bagi daerah sekitarnya. Contohnya: lipatan bukitbukit antara Halimun dan Salak menjadi tandon air yang menopang kawasan hilir, termasuk DKI Jakarta. Persoalannya manfaat tersebut tak kasat mata. Sebagian besar pihak di luar taman lebih keranjingan dengan untung sesaat. Lansekap taman membentang di Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Bogor, di Provinsi Jawa Barat, dan Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Nah, dari sisi Lebak inilah, kawasan Halimun Salak digerogoti untuk ditambang. Rupanya, bahan tambang di perut Bumi mengundang Pemda Lebak untuk mengeruknya. Tak hanya itu, 314 kampung bersentuhan langsung dengan perbatasan taman; sebagian bahkan berada di dalam kawasan. Dengan kondisi seperti itu, pihak taman tak pernah berhenti mencari jalan keluar. Salah satunya, menerapkan model kam-
pung konservasi. Cara serupa juga diambil oleh taman nasional model lain yang dikitari oleh perkampungan. Ini tak lain untuk memastikan terlaksananya tata kelola taman yang baik. Buat Halimun Salak, kampung konservasi diharapkan mampu melakukan aktivitas perlindungan secara mandiri dan secara ekonomi bisa menyejahterakan masyarakatnya. ”Masyarakat di dalam dan sekitar taman adalah bagian dari ekosistem Halimun Salak, saling tergantung,” papar Bambang melalui surat elektronik. ”Mereka akan menjaga keberadaan dan kelestarian taman nasional, bila mendapatkan manfaat, baik langsung maupun tidak, dari sumber daya alam Halimun Salak.” Model kampung yang menerapkan kaidah pelestarian juga untuk mendorong partisipasi masyarakat memanfaatkan sumber daya alam yang lestari di area taman. ”Nantinya, pengalaman satu kampung bisa ditularkan ke kampung lain,” harap Bambang. Kampung konservasi digelar dengan visi jauh ke
Foto oleh Rifky
depan: masyarakat hidup bersama taman nasional. Berbeda dengan Kabupaten Lebak, Halimun Salak bersama Pemda Sukabumi telah merancang program sistem dukungan bagi masyarakat hulu atau Sisduk. Kerjasama ini dilaksanakan selama 3 tahun antara 2008 hingga 2010. “Program kolaboratif ini telah menyusun rencana kerja tiga tahunan (RKT) dan rencana tahunan 2008, 2009 dan 2010,” jelas Bambang. Sebagai ujicoba, pada 2008 dana sisduk berasal dari Japan International Cooperation Agency (JICA). Sementara dana sisduk 2009 dan 2010 dialokasikan oleh Pemda Sukabumi. Mengiringi langkah kampung konservasi, Halimun Salak juga rajin menata kawasannya dengan menetapkan resort-resort sebagai unit pengelolaan terkecil. Unit ini berguna untuk menjangkau ciri khas tiap resort. Lebih penting lagi, setiap petugas mendukung dua kegiatan: survei partisipatif dan pendampingan masyarakat. “Kuncinya, partisipatif,” jelas Bambang, “karena dalam survei partisi-
11
patif yang paling mendasar adalah tingkat pelibatan pihak luar.” Kegiatan ini dirancang untuk menjembatani perbedaan cara pandang atas realitas di lapangan. Harapannya, setiap tindakan bersama yang dilakukan tidak berasal dari opini melainkan dari realitas yang ditemukan. Berbagai tantangan itu melecut Halimun Salak untuk terus mengibarkan citranya sebagai taman nasional model. Kini, taman ini sedang membentuk karakaternya: Taman nasional terbaik yang dikonstruksi secara sosial dan menjamin kelestarian fungsinya sebagai sistem penyangga kehidupan melalui penguatan kapasitas internal, masyarakat, dan partisipasi para pihak, menuju kemandirian manajemen. Untuk mencapainya, salah satu misi yang diemban Halimun Salak adalah memantapkan penataan hakhak masyarakat sebagai landasan pengelolaan tata ruang kesepakatan. “Selain itu, juga memantapkan perlindungan dan pengawetan ekosistem yang diterapkan secara praktis dan mengoptimalkan pemanfaatan
sumber daya alam taman secara berkelanjutan dan berkeadilan sosial,” jelas Bambang. Pada saat ini tak kurang terdapat 21 institusi baik dari pemerintah, swasta, maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bekerjasama dengan Halimun Salak yang terhimpun dalam Perkumpulan Gede Pahala dan Perkumpulan Suaka Elang. “Ke depan, perkumpulan ini diharapkan dapat menggalang dana publik untuk menopang pengelolaan taman nasional dan pemberdayaan masyarakat yang berkelanjutan,” tutur pria lulusan State University of Ghent, Belgia ini. Dalam perhitungan Bambang, sekurangnya diperlukan dana sebesar US$ 12,8 juta yang akan dikelola oleh manajer keuangan profesional dari kedua perkumpulan tersebut. Bambang berharap dari dana itu dapat dihasilkan keuntungan US$ 750.000 pertahun. Nah, dari keuntungan tersebut, sebesar US$ 650.000 digunakan untuk biaya pengelolaan taman; dan sisanya, US$ 100.000 untuk pemberdayaan masyarakat.***
I
nilah taman-taman yang akan melakoni babak baru pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia. Harapan untuk mempunyai taman nasional yang mampu berpijak di atas kakinya sendiri berada di pundak mereka. Selain wajib menjaga keunikan alam yang dimilikinya secara lestari, mereka juga ditantang untuk menjaring pendapatan untuk membiayai sendiri pengelolaan kawasan. Impian itu nampaknya tak akan mudah digapai. Tapi sebuah kiprah awal telah diayunkan: mendorong taman nasional model untuk terus berbenah di tengah berbagai tantangan dari dalam maupun dari luar.
5BNBO/BTJPOBM(VOVOH-FVTFS (VHVTBO#VLJU#BSJTBOEFOHBOUJQFFLPTJTUFN ZBOHMFOHLBQ%BFSBIBMJSBOTVOHBJOZBEJMBOEB LFSVTBLBOQBSBI4FMBJOJUV QFSOBIEJSBNBJLBO EFOHBOLBCBSQFNCVBUBOKBMBO-BEJBHBMBTLB
5BNBO/BTJPO
1VTBUSFIBCJMJUBTJQ QZHNFVT4FCBHJB EJLBCBSLBOUFMBIE
5BNBO/BTJPOBM,FSJODJ4FCMBU .FNFOEBNNJTUFSJQSJNBUBCFSKBMBOUFHBL BUBVTFSJOHEJTFCVUTFCBHBJ0SBOHQFOEFL 5FSEBQBU[POBLIVTVTCFSJTJEFTBZBOH EBQBUNFNVOHVUIBTJMIVUBOTFDBSB USBEJTJPOBM
5BNBO/BTJP
4FLPMBIZBOHNFMVMVTL TVNBUFSB &MFQIBTNB EJCFSJUBLBOEJEFSBQFSBNCBI EJCVSVEFOHBO
5BNBO/BTJPOBM#VLJU#BSJTBO4FMBUBO .FOZJNQBOFLPTJTUFNIVUBOEBUBSBOSFOEBIUFSMVBTEJ "TJB5FOHHBSB5BLLVSBOHLFMVBSHBIJEVQEJEBMBN BSFBMUBNBO EJBOUBSBOZBUFMBIEJTBQJILFMVBS
5BNBO/BTJPOBM6KVOH,VMPO #BEBLKBXB 3IJOPDFSPTTPOEBJDVT CFSCJBLCFCBTEJUFQJ CBSBU+BXB1FSOBIEJUVOUVUPMFIXBSHBEJTFLJUBSLBXBTBO VOUVLNFOHFNCBMJLBOIBLBUBTUBOBITFMVBTIFLUBS
5BNBO/BTJPOBM(VOVOH)BMJNVO4BMBL &MBOHKBXB 4QJ[BFUVTCBSUFMTJ EBO0XBKBXB )ZMPCBUFTNPMPDI LFEVBOZB FOEFNJL+BXB NFNJMJLJNBTBEFQBOEJTJOJ5FSVTNFMBLVLBOQFNVMJIBO VOUVLIFLUBSLBXBTBOOZBZBOHNFOHBMBNJEFHSBEBTJ
5BNBO/BTJPOBM(VOVOH(FEF1BOHSBOHP )VUBOQFHVOVOHBOUFNQBUIJEVQMVNVUNFSBIZBOH IBOZBEJUFNVLBOEJ+BXB#BSBU4FDBSBTQPSBEJTNBTJI UFSKBEJQFNCBMBLBOMJBS5FMBINFOHFNCBOHLBOFLPXJTBUB CFSLFMBOKVUBOTFKBL
5BNBO/BTJPOBM(VOVOH#SPNP5FOHHFS4FNFS
,BMEFSBEFOHBOMJNBHVOVOHZBOHNVODVMLFQFSNVLBBO#VNJ*OEPOFT CFSTBNB+FQBOHNFMBLVLBOQFOHIVUBOBOLFNCBMJBSFBMUBNB
5BNBO/BTJPOBM.FSV
.FOBVOHJUBOBIUFSBLIJS)BSJNBVKBXB 1BOUIF TPOEBJDB4FLJUBSIFLUBSEBSJSJCV LBXBTBOOZBSVTBLBLJCBUQFOKBSBIBOEBOBMJIGVOHT
5BNBO/BTJPOBM#FUVOH,FSJIVO 5BNBOOBTJPOBMMJOUBTCBUBTQFSUBNBEJ"TJB4FNQBU EJLFKVULBOBEBOZBIFMJQBEEJUFQJCBUBTLBXBTBO UBNBO1FSOBIEJUFNVLBOCBUBOHLBZV HFMPOEPOHBOZBOHEJEVHBIBTJMQFNCBMBLBOMJBS
OBM5BOKVOH1VUJOH
QFSUBNBCBHJ0SBOHVUBO 1POHP BOLBXBTBOOZB TFLJUBSSJCVIFLUBS EJSPNCBLNFOKBEJLFCVOTBXJU
5BNBO/BTJPOBM-PSF-JOEV .FOKBEJUFNQBUIJEVQQFSTFOCVSVOHLIBT 4VMBXFTJEBOTVNCFSBJS%BOBV-JOEV,BXBTBOOZB EJLFMMJMJOHJPMFIQFSLBNQVOHBONBTZBSBLBU
5BNBO/BTJPOBM#VOBLFO
POBM8BZ,BNCBT
1VTBULFBOFLBSBHBNBOIBZBUJQFSBJSBO USPQJTLBXBTBO*OEP1BTJmL1FNFSJOUBI ,PUB.BOBEPQFSOBIBLBONFOHBNCJM BMJIUBNBOZBOHNFOKBEJMJOUBTBO TFKVNMBIKFOJTNBNBMJBMBVUJOJ
LBOSBUVTBOFLPS(BKBI BYJNVT UFSMBUJI1FSOBI IBOIFCBUTBUXBMJBSOZB NFNCBLBSIBCJUBUOZB
5BNBO/BTJPOBM8BLBUPCJ #FSBEBEJQFSCBUBTBOEVBQVTBULFBOFLBSBHBNBO IBZBUJBOUBSB"TJBEBO"VTUSBMJB1VMBVQVMBVOZB EJTFMJNVUJIVUBOIVKBOUSPQJTZBOHSJNCVO
5BNBO/BTJPOBM,FQVMBVBO4FSJCV 5BNBOZBOHNFOHIJBTJ+BLBSUBZBOHHFSBI 1FSBJSBOOZBTFSJOHEJDFNBSJEFOHBOUVNQBIBO NJOZBLNFOUBI
5BNBO/BTJPOBM%BOBV,FMJNVUV .FNFOEBNLFJOEBIBOUJHBEBOBVQBODBXBSOBEBO NFOZJNQBOTQFTJFTCBSVUBOBNBOQFSEV ZBJUV#FHPOJB LFMJNVUVFOTJT
5BNBO/BTJPOBM,PNPEP .FMFTUBSJLBOLBEBMQVSCB 7BSBOVTLPNPEPFOTJT ZBOH QPQVMBTJOZBUFSVTNFOVSVOBLJCBUUJOEBLBOQBSB QFNCVSVMJBSZBOHNFNCBLBSMBIBOEJBSFBMUBNBO 5FMBINFSJOUJTQFOHFMPMBBOUBNBOTFDBSBQSPGFTJPOBM
5BNBO/BTJPOBM#BMJ#BSBU
SV
$VSJLCBMJ -FVDPQTBSSPUITDIJMEJ NFOJLNBUJUFNQBUUFSTJTBEJUFQJ CBSBU1VMBV#BMJ#VSVOHDBOUJLJOJTFLBMJHVTNFOBSJLQBSBQFODVSJ VOUVLNFNCVSVOZBEJLBXBTBOUBNBOOBTJPOBM
TJB BO
#FUJSJ
5BNBO/BTJPOBM"MBT1VSXP
FSBUJHSJT VIFLUBS TJIVUBO
)BNQJSQFSTFOIVUBOOZBEJUVUVQJCFMBOUBSBCBNCVZBOHMFCBU 4FCBHJBONJOUBLBUQFOZBOHHBOZBUFSBODBNPMFIQFOHFMPMBBOIVUBO CFSTBNBNBTZBSBLBUPMFI1FSVN1FSIVUBOJ
13
5BNBO/BTJPOBM8BTVS 1FSXBLJMBOFLPTJTUFNMBIBOCBTBIUFSMVBTEJ1BQVB 4FMBJOQFSBNCBIBO UBNBOJOJKVHBUFSBODBNPMFI QFOBNCBOHBOQBTJSEJTFQBOKBOHQFTJTJSOZB
Perlu berlapang dada untuk bisa menyaksikan adanya kemandirian taman pada 2009 ini.
Sejak 2005 direntang berbagai upaya untuk membangun 21 taman nasional model. Dua di antaranya diharapkan siap mandiri pada 2009. “Keinginan ideal itu sampai saat ini belum bisa terwujud,” tutur Samedi, kepala Sub Direktorat Kawasan Pelestarian dan Taman Buru melalui surat elektroniknya. “Banyak kendala yang dihadapi. Salah satunya, tak gampang mencapai pengelolaan yang efektif.” Pengelolaan yang berhasil guna itu terutama menyangkut ketersediaan dana. Dari sekian banyak kriteria pengukuhan taman nasional mandiri salah satunya adalah dana yang cukup untuk pengelolaan.
Menyusuri sungai yang menderas di Taman Nasional Gunung Leuseur bisa menjadi andalan wisata yang lestari sembari memberi penyadartahuan publik tentang peran penting taman nasional dalam pelestarian alam. Foto oleh Rifky
Foto oleh Rifky
Pembiayaan kawasan konservasi di Indonesia baru berkisar antara US$ 5 sampai US$ 6 untuk setiap hektar per tahun. Sebagai perbandingan, di negara-negara maju, pengelolaan dipandang telah efektif bila rerata pem-
biayaan sebesar US$ 20 per hektar setiap tahun. “Artinya, masih ada kesenjangan pendanaan yang cukup besar,” terang Samedi. Lantaran itu pula, menurut Samedi, pemerintah ingin mencoba membangun sejumlah taman nasional sebagai model pengelolaan yang efektif sesuai dengan karakteristik kawasannya. Dari sini diharapkan dapat dikembangkan taman nasional mandiri yang dapat membiayai pengelolaannya secara berkelanjutan. “Bila kemandirian diartikan mampu membiayai dirinya sendiri, tak mudah untuk menaksir taman yang bisa mandiri dalam waktu dua atau lima tahun mendatang,” jelas Samedi. Saat ini saja masih belum ada pedoman khusus untuk pengelolaan taman nasional model. Selain itu, pola pembiayaan yang bersumber dari dana pemerintah juga tidak dibedakan antara taman yang menjadi model dengan taman nasional yang lain. Selain itu, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, bersama beberapa sejumlah mitranya, pernah mengevaluasi efektivitas pengelolaan pada 2004 silam. Dengan metode Rapid Assessment and Prioritization of Protected Areas Management (RAPPAM) yang menganalisis empat elemen: perencanaan, masukan (input), proses, dan keluaran (output). Hasilnya, lima taman dengan nilai tertinggi: Bali Barat, Komodo, Rinjani, Takabone Rate dan Kepulauan Seribu. Dari evaluasi itu pula, terlihat pengelolaan 50 taman nasional di Indonesia bernilai di bawah rata-rata. Meski begitu, menurut Samedi, ada beberapa taman yang dalam
15
2 - 5 tahun mendatang, siap ‘jual’ melalui ekowisata, jasa lingkungan, seperti air dan keanekaragaman hayati, dan mungkin juga dari perdagangan karbon. Sebagai contoh: Gunung Halimun Salak dengan penguatan pangkalan data keanekaragaman hayati dan penjaringan dana secara kreatif melalui pemanfaatan jasa lingkungan serta pembentukan sistem pembiayaan berkelanjutan. Komodo juga dapat dijadikan contoh. “Meski belum sempurna, di sana dikembangkan pengelolaan kolaboratif bersama sektor swasta bagi pembiayaan taman nasional,” tutur pria yang pernah menjabat kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam DKI Jakarta ini. Pendapatan-pendapatan dari usaha-usaha tersebut belum tentu dapat menutup kekurangan dana taman untuk menjadikan pengelolaan yang efektif. “Harus dicari selalu usaha-usaha penggalian pendapatan kreatif,” kata Samedi. Taman-taman nasional model rupanya harus pintar mengail dana seraya tetap melestarikan kawasannya. Selain itu, dalam usaha mencapai kemandirian taman nasional model, juga diperlukan lembaga yang berfungsi secara operasional dalam melayani publik. Lembaga itu adalah badan layanan umum, atau BLU, sebagai transformasi dari instansi pemerintah. Mengingat wataknya yang operasional, BLU akan berada di unit pelaksana teknis (UPT), baik taman nasional atapun balai Konservasi Sumber Daya Alam. Saat ini, Direktorat Jenderal Perlingungan Hutan dan Konservasi Alam membentuk sebuah tim yang akan menggodok dan mempersiapkan BLU. Untuk tahap awal, BLU akan dicoba pada
beberapa UPT. Di Departemen Kehutanan sendiri sudah ada satu BLU di Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. Menurut Undang-undang UU No. 1/tahun2004 tentang Perbendaharaan Negara, BLU diartikan sebagai instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. BLU juga berperilaku ala korporasi yang otonom dengan mengedepankan efisiensi dan produktivitas. Dia juga dapat memanfaatkan pendapatan dan sumbangan yang diperolehnya secara langsung serta tidak bertujuan untuk menjaring laba. Organisasi BLU, yang berperan sebagai pengelola keuangan ini, memiliki kelonggaran untuk digerakkan oleh pegawai negeri sipil maupun tenaga profesional dari luar pemerintahan. Singkatnya, BLU dikendalikan melalui anggaran dan akuntabilitas, tetapi lentur dalam manajemen operasionalnya. Mengingat BLU sebagai wadah intermediasi antara publik dan pemerintah, pembinaan teknisnya berada di bawah menteri kehutanan atau kepala SKPD; sementara menteri keuangan atau pejabat pengelolaan keuangan daerah membina dari sisi keuangan. Secara internal, pemeriksaan dilakukan oleh satuan pemeriksa BLU; dan, secara����������������� eksternal, pemeriksaan sesuai dengan peraturan perundangan. Dewan pengawas dapat dibentuk untuk melaksanakan pembinaan BLU yang memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.***
Kawasan Konservasi di Tengah
Pusaran Zaman
Ir. Wiratno, MSc
Pengelolaan kawasan konservasi perlu strategi baru dalam menghadapi perubahan arah politik otonomi daerah. Menggandeng para pihak menjadi salahsatu faktor yang harus diperhitungkan. Strategi konservasi alam di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sejarah konservasi sejak jaman Belanda. Awalnya, kebijakan konservasi lebih mengarah pada upaya preservasi-perlindungan. Dengan watak konservasi seperti itu, muncul kawasan-kawasan cagar alam, suaka alam atau suaka margasatwa. Pada umumnya luasannya relatif kecil karena hanya untuk melindungi spesies tertentu. Kawasan cagar alam di Bengkulu, misalnya, yang khusus melindungi Rafflesia arnoldi, hanya seluas beberapa hektar. Namun demikian, pada jaman kolonial juga ada kawasan suaka alam yang cukup luas, yaitu Leuser, 400.000 hektar, yang ditetapkan pada 1934. Pada era 1980-an, muncullah kawasan konservasi taman nasional, yang sebenarnya diadopsi dari pemikiran dan gerakan konservasi dari Amerika Serikat. Lima taman nasional pertama dideklarasikan di Bali, yaitu Gunung Leuser, Gede Pangrango, TN Ujung Kulon, Baluran, dan Komodo, dengan luas total 1,4 juta hektar. Tentu saja, saat itu cara mengelola taman nasional masih belum jelas dan mencari bentuk. Sepuluh Foto oleh Andika Vega Praputra
tahun kemudian, baru lahir Undang-undang No.5 tahun 1990 yang mensyaratkan tidak kurang 11 peraturan pemerintah untuk melaksanakan pengelolaan taman nasional. Selanjutnya berbagai upaya penunjukkan kawasan konservasi terus dilakukan dan cenderung mengarah pada sistem ‘taman nasional’. Tidak kurang dari 65 persen dari kawasan konservasi adalah taman nasional.
Persoalan Pengelolaan
Pengelola kawasan konservasi menghadapi berbagai persoalan yang kompleks dan beragam. Persoalan dapat dikelompokkan ke dalam persoalan internal dan eksternal. Persoalan Internal Yang dimaksud persoalan internal adalah menyangkut organisasi dan kelembagaan balai taman nasional
Sistem Perencanaan Pengelolaan suatu kawasan konservasi didasarkan pada rencana pengelolaan atau RP yang berjangka 20-25 tahun, yang diterjemahkan dalam Rencana Karya Lima tahun (RKL), dan Rencana Karya Tahunan (RKT). Persoalannya, sebagian besar kawasan konservasi belum memiliki RP. Kelemahan RP adalah kurangnya proses konsultasi publik, sehingga banyak pihak tidak memahami apa saja yang akan dikerjakan oleh balai taman nasional. Kedua, RKL yang lebih bersifat strategis didasarkan pada data dan informasi yang masih lemah. Isu-isu strategis yang harus dikerjakan belum dapat diidentifikasi. Kawasan belum ditetapkan zonasinya, dan batas kawasan masih belum mantap (belum temu gelang,
17
digugat pihak lain, pal batas tidak diakui masyarakat). Terlebih, RKL tidak dijadikan dasar baik dalam pembuatan RKT maupun pengusulan anggaran. Kelemahan terdapat di daerah dan di pusat, karena pusatóBagian Program Anggaranótidak (sempat) menganalisis usulan kegiatan Unit Pelaksana Teknis (UPT) berdasarkan dokumen perencanaan yang ada (minimal RKL). Pemangkuan Kawasan Organisasi belum mampu membangun sistem pengelolaan yang berbasis pada pola pemangkuan kawasan. Resort-resort sebagai unit terkecil manajemen kawasan di tingkat lapangan belum dibangun. Sejumlah taman nasional di Pulau Jawa telah memulai sistem ini. Konsep Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Perum Perhutani bisa dijadikan teladan: kawasan hutan dibagi habis sampai ke tingkat RPH (Resort Polisi Hutan). Mereka bekerja di tingkat lapangan, dengan peta kerja skala 1:10.000. Dengan demikian, semua informasi tentang kawasan dapat dipetakan dan dijadikan dasar untuk melakukan tindakan perencanaan dan manajemen kawasan secara rinci. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam sedang mengarahkan pola pengelolaan dengan basis resort ini. Tentu saja disesuaikan dengan keunikan setiap kawasan. Resort di kawasan konservasi tidak akan melakukan tindakan polisional, tetapi lebih pada mengembangkan kolaborasi, pendampingan, dan fasilitasi. Masyarakat diposisikan sebagai bagian dari solusi: subyek pengelolaan. Leadership dan Manajemen Pola pemangkuan kawasan berbasis resort mensyaratkan kemampuan leadership dan mana-
jerial keproyekan yang mencukupi. Dukungan kebijakan dari pusat untuk merealisasikan konsep inipun harus dilakukan secara konsisten dan komprehensif. Pemimpin akan mengarahkan ke mana organisasi akan dibawa untuk mencapai tujuan tertentu. Manajemen akan mengawal Tim Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) untuk mendukung tujuan yang telah ditetapkan agar dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Dasar pemikiran dari kebijakan baru ini sangat sederhana. Terjadinya illegal logging, perambahan kawasan, perburuan satwa, kebakaran hutan dan lahan, disebabkan karena absennya staf di lapangan. Jadi, beragam persoalan tersebut hanya gejala. Penyakit atau core problem-nya adalah kawasan tidak dijaga, atau tidak dikelola di tingkat lapangan. Strategi penjagaan kawasan tidak akan pernah berhasil bila dilakukan secara sepihak; karena, jelas, sumber daya manusia, dana, dan sarana/prasarana tidak akan pernah mencukupi. Karena itu, harus dikembangkan strategi baru: kolaborasi multipihak. Arahan kebijakan ini telah dituangkan dalam Permenhut P.19/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Diperlukan waktu 24 tahun–apabila dihitung dari deklarasi lima taman nasional pertama tahun 1980–untuk mendorong pola-pola baru dalam pengelolaan kawasan konservasi. Persoalan Eksternal Dalam rentang waktu 38 tahun, pembangunan nasional Indonesia telah merubah wajah ruang dan lahan di hampir seluruh pulau. Perubahan tutupan lahan di Sumatera yang didominasi oleh perkebunan sawit, hutan tana-
man industri (HTI), dan kawasan terbuka, akan berdampak langsung pada pola tekanan terhadap kawasan konservasi. Kawasan konservasi menjadi lebih terbuka, mudah dijangkau, terpotong-potong (fragmented) karena kepentingan pembangunan ruas jalan bagi hak pengusahaan hutan (HPH), pertambangan, HTI, perluasan kabupaten/kota, dan seterusnya. Perubahan politik menuju otonomi daerah sejak 1998, melahirkan banyak provinsi dan kabupaten/ kota baru. Semua itu memerlukan kawasan hutan. Banyak kabupaten baru yang seluruh arealnya masuk dalam kawasan konservasi, seperti Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Raja Ampat. Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam membengkak menjadi 23 kabupaten/kota atau hampir 200 persen; Provinsi Kalimantan Tengah dari 6 menjadi 13 kabupaten, dan seterusnya. Lahirnya kabupaten/provinsi baru jelas memerlukan ruang, dan kawasan hutan menjadi sasaran pertama. Perebutan Ruang dan Aset Ekonomi Kabupaten maupun provinsi baru akan mendorong investasi yang cepat saji. Umumnya, investasi perkebunan, terutama sawit, menjadi pilihan pertama, diikuti pertambangan, baik yang terbuka dan tertutup. Muncullah tumpang tindih perijinan antara perkebunan dengan HPH/HTI, pertambangan dengan HPH/ HTI, dan seterusnya. Dalam kondisi yang kompetitif ini, peran kawasan konservasi terus dipertanyakan: apa manfaat kawasan konservasi bagi pemerintah daerah dan masyarakat? Perebutan, lebih tepatnya penyerobotan ruang atau kawasan, den-
gan motif ekonomi telah lama terjadi. Di Bukit Barisan Selatan, misalnya, perambahan lebih dari 50.000 hektar untuk perkebunan kopi rakyat, sementara di Gunung Leuser, seluas 20.000 hektar kawasan rusak, 4.000 hektar sudah ditanami sawit yang diorganisir kelompok elite. Di Pantai Timur Sumatera Utara, Suaka Margasatwa (SM) Karang Gading dibongkar menjadi tambak dan hutan bakaunya ditebang untuk industri arang; SM Bentayan dan SM Dangku dirambah untuk penambangan emas tanpa ijin (PETI). Sementara di Kalimantan Timur, Taman Nasional Kutai yang kaya akan kandungan batubara, terancam dilepas kawasannya seluas 23.000 hektar atas permintaan Bupati Kutai Timur, dengan mengatasnamakan kepentingan legalisasi tujuh desa di dua kecamatan. Masih berderet panjang kasus-kasus serupa di seluruh Indonesia. Diperlukan dukungan dari aparat penegak hukum dan dukungan politik dari DPR, media massa, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Posisi Masyarakat Adat Persoalan khusus era reformasi yang mendesak untuk ditangani secara komprehensif adalah keberadaan masyarakat asli, masyarakat setempat, masyarakat tradisional yang berada di sekitar atau dalam kawasan konservasi. Beberapa taman nasional memiliki ciri khas seperti ini. Sejumlah contoh: Kayan Mentarang, diakui dimiliki oleh 12 suku Dayak; masyarakat Kubu sangat dekat dengan Bukit Dua Belas; suku Talangmamak di seputar Bukit Tigapuluh; dan di Siberut dekat dengan suku Mentawai. Pola pengelolaan kawasan konservasi dengan latar belakang seperti ini perlu melibatkan masyar-
akat adat sepenuhnya. Pemberlakuan UU No.5/1990 ataupun UU No 41/1999, beserta peraturan pemerintah lainnya, tidak akan berjalan efektif bila keliru dalam melakukan pendekatan. Isu-isu yang akan muncul justru persoalan HAM, dan hak adat. Pihak kehutanan akan dibenturkan dengan persoalan-persoalan sosial yang dapat memicu konflik horizontal. Masyarakat setempat seharusnya diposisikan sebagai subyek dan bagian dari solusi pengelolaan kawasan konservasi. Pola pengelolaan berbasis resort, akan mendorong staf balai taman nasional untuk bekerja di tingkat lapangan dan bersama masyarakat. Mereka akan ikut terlibat dalam menjaga dan pengelolaan kawasan konservasi. Permenhut P.19/2004 adalah payung untuk memulai melakukan berbagai inisiatif kemitraan. Sinergi Kemitraan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam adalah Eselon I Departemen Kehutanan yang memiliki mitra paling banyak, baik kerjasama bilateral, multilateral, maupun dukung lembaga konservasi internasional. Beberapa lembaga konservasi yang memiliki peran penting antara lain Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dengan jaringannya di seluruh kabupaten, WWF, The Nature Conservancy (TNC), Conservation International Indonesia (CII), Fauna Flora Internatioal (FFI), Borneo Orangutan Society (BOS), Sumatra Orangutan Conservation Program (SOCP), Yayasan Burung Indonesia, Yayasan Leuser International, WARSIJambi, dan sebagainya. Dukungan dari berbagai negara juga diperlukan: JICA (Jepang), DFID
18
(Inggris), USAID, AusAID, GTZ, UNESCO, dan lain sebagainya. Isu kunci dalam pengembangan kemitraan adalah membangun visi bersama sebagai dasar bagi program-program sinergis. Per-
bedaan titik pandang atas isu-isu strategis akan berdampak pada perbedaan prioritas program. Hal ini dapat menjadi salah satu kendala tercapainya tujuan konservasi.
Sejak memasuki era otonomi daerah, kawasan konservasi menjadi lebih terbuka, gampang dijangkau dan terpecah-pecah. Patroli rutin selalu dilakukan untuk memastikan keamanan kawasan. Foto oleh Andika VEga Praputra
19
Dari berbagai persoalan tersebut di atas, beberapa hal dapat disimpulkan sebagai vberikut: 1. Pengelolaan kawasan konservasi menyangkut berbagai persoalan yang beragam dengan dinamika perubahan yang tinggi. Diperlukan dukungan berbagai cabang ilmu, sesuai dengan tipologi persoalan dan/atau potensi yang dapat dikembangkan. 2. Perubahan tata guna lahan di sekitar kawasan konservasi sebagai akibat dari perubahan politik menuju otonomi, harus dijadikan salah satu pertimbangan arah pengelolaan ke depan. 3. Penguatan organisasi balai taman nasional merupakan salah satu upaya terpenting, khususnya menyangkut pola perencanaan, arah pengelolaan, pembinaan staf, kemampuan leadership dan manajerial, serta upaya membangun berbagai mekanisme kolaborasi pengelolaan. Balai taman nasional harus mampu menjadi entitas yang selalu belajar (learning organization) agar dapat mengadaptasi perubahan. 4. Perlu perubahan pola pengelolaan kawasan konservasi, dengan membangun berbagai inisiatif, terobosan, dan inovasi pengelolaan, dengan mempertimbangan faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi arah pengelolaan dan kelestarian kawasan konservasi. 5. Pola-pola pengambilan keputusan atas berbagai persoalan dan pengembangan potensi pengelolaan harus didasarkan pada data dan informasi spasial dan nonspasial yang terbarui dan akurat, dengan mendorong dikembangkannya scientific-based decision making process.
Jalan Menuju Kemandirian Sudradjat Wiriadinata
Melalui Surat Keputusan (SK) No.69/ IV-Set/HO/2006 dan No.SK.128/ IV-Set/HO/2006, Direktur Jenderal Perlindungsn Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA) menunjuk 21 taman nasional model. Salah satu cara untuk meraup pendapatan bisa dengan pengembangan ekowisata.
Antara Model dan Mandiri Sekurangnya ada tiga alasan yang melatarbelakangi lahirnya surat keputusan tersebut. Pertama, keinginan kuat untuk memiliki taman yang dapat disejajarkan dengan taman nasional negara lain, terutama untuk menghasilkan devisa negara. Kebijakan ini memang layak diambil. Sejak 1980, saat pertama kali diumumkan lima taman nasional di Indonesia, dan kini menjadi 50 kawasan, belum satu pun di antaranya yang dapat dikategorikan sebagai taman yang mandiri. Alih-alih menghasilkan devisa negara. Bahkan sebagian besar taman masih didera berbagai macam masalah, terutama konflik kepentingan, baik dengan masyarakat sekitar kawasan maupun instansi lain. Menurut Ditjen PHKA tahun 2006, sejumlah taman nasional model masih dalam tahap pengukuran atau penataan batas. Tata batas itu belum benar-benar temu gelang. Agaknya, pemantapan kawasan harus menjadi prioritas pertama. Kedua, kontribusi sektor ke-hutanan bagi pendapatan negara semakin menurun terutama
Foto oleh Rifky
dalam satu dekade terakhir. Lalu, perhatian dialihkan kepada hasil hutan nonkayu (HHNK), termasuk pelestarian hutan dan konservasi alam yang masih memiliki potensi jasa lingkungan. Di samping itu, tampaknya perdagangan resmi tumbuhan dan satwa liar (TSL), beserta turunannya, dari tahun ke tahun akan semakin meningkat. Belajar dari nasib kayu, upaya-upaya pembudidayaan dan penangkaran TSL yang telah dilakukan harus lebih ditingkatkan dan diintensifkan. Ketiga, kemampuan keuangan negara semakin terbatas. Selama ini kegiatan konservasi sumber daya alam dinilai sebagai cost center, hanya menghabiskan dana. Dengan keadaan seperti itu, sangat beralasan bila kawasan konservasi, termasuk taman nasional, dipacu untuk memberikan kontribusi bagi pemasukan keuangan negara. Atau, sedikitnya kawasan konservasi dapat membiayai pengelolaannya sendiri. Tantangan itu mendorong para konservasionis dan ahli ekonomi untuk membuktikan bahwa pelestarian tidak hanya menghabiskan biaya tetapi juga berfaedah ekonomi tinggi. Hasil studi Dudung dan Widada pada 2004 di Taman Nasional Gunung Halimun Salak menunjukkan, nilai total ekonomi kawasan itu ternyata jauh lebih tinggi dari biaya pengelolaannya. Manfaat ekonomi dalam studi itu adalah nilai faedah yang telah dinikmati seseorang yang sepantasnya dibayar dan diterima kembali oleh Halimun Salak. Besaran nilai yang dinyatakan dalam rupiah disetarakan dengan harga pasar barang dan jasa bersangkutan bila diperjualbelikan di pasar. Jadi, nilai ekonomi untuk ekowisata, air, atau fungsi penyerap karbon, adalah nilai potensial dan bukan nilai nyata rupiah yang
21
masuk ke kas pengelola. Karena itu, untuk mengetahui seberapa besar pendapatan yang diperoleh pengelola ekowisata pada waktu tertentu, secara sederhana dapat dirunut dari jumlah pengunjung dan harga tiket atau biaya yang harus dibayar. Apapun alasannya, kebijakan taman nasional model ini merupakan langkah maju bagi pengelolaan kawasan konservasi. Dengan satu syarat, pengelolaannya secara sungguh-sungguh sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Terwujudnya otonomi taman dapat juga digunakan sebagai bukti bahwa kegiatan konservasi bukanlah cost center, tetapi juga dapat berkontribusi dalam menghasilkan dana tanpa harus merusak ekosistem. Sesungguhnya Ditjen PHKA tidak perlu menetapkan sebanyak 21 taman nasionak model. Beberapa alasan dapat dikemukakan. Pertama, kata model yang berasal dari bahasa Inggris, menurut Kamus Bahasa Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris dari Wojowasito (1981), diterjemahkan sebagai contoh. Taman nasional model berarti contoh taman nasional. Nah, untuk percontohan, tidak perlu sebanyak itu, cukup dua atau tiga taman nasional. Andaikan memang diperlukan banyak model, hal ini lebih ditujukan untuk perwakilan dari kelompok yang berbeda. Misalnya, suatu taman nasional model dengan ekosistem daratan, sementara yang lainnya ekosistem perairan. Kedua, dalam kondisi keuangan negara yang terbatas, secara matematis, dengan jumlah pembagi yang besar, jumlah model yang banyak, maka perolehan dana juga akan lebih kecil. Dengan jumlah taman model yang kecil, dana yang diterima akan cukup besar. Dengan begitu, pembangunan
dan kemandirian taman nasional model akan segera terwujud. Hal itu dilatari sejumlah alasan. Pertama, pengelolaan kawasan konservasi TN sudah berlangsung 28 tahun. Dengan begitu, penerapan kriteria dan indikator pembangunan taman jauh lebih mudah. Kedua, pembangunan taman nasional model memerlukan dana yang cukup besar dan masih harus ditanggung oleh pemerintah. Ketiga, kelembagaan seluruh taman sudah cukup mantap dengan level Eselon III ke atas. Hal ini penting untuk meningkatkan kepercayaan diri dan posisi tawar. Dari kenyataan tersebut, sejatinya dapat dengan mudah dipilih taman nasional yang akan dijadikan model dan memacu pembangunannya secara cepat, efektif dan efisien, dengan dana yang cukup tanpa tersendat-sendat. Ekowisata atau Wisata Alam? Di Indonesia, istilah wisata alam telah lama dikenal dan seringkali disebut dalam peraturan perundangan ataupun kebijakan pemerintah. Peraturan Pemerintah (PP) No. 18 tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam, misalnya, menyebutkan bahwa wisata alam adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati gejala keunikan dan keindahan alam, di taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam. Sementara itu, istilah ekowisata, terjemahan dari eco-tourism, baru dikenal di Indonesia sekitar pertengahan 1990-an, setelah keluarnya PP No. 18 di atas. Pada awal 1998 di Bogor diselenggarakan sebuah simposium yang telah merumuskan ekowisata sebagai penyelenggaraan kegiatan wisata yang bertanggung jawab di tempat-tempat alami dan/atau
daerah-daerah yang dibuat dengan kaidah alam, yang mendukung berbagai upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya) dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat (Astriani, Penerapan Konsep Ekowisata pada Taman Nasional Gede Pangrango, 2002). Wisata alam sebenarnya meliputi: wisata petualangan, nature based, wildlife, dan ekowisata. Sepintas keempat jenis wisata alam tersebut terlihat sama. Perbedaannya, ada pada aktivitas utamanya. Wisata petualangan menekankan kepada aktivitas fisik pada kondisi alam yang ekstrem, seperti arung jeram, panjat tebing, dan lain-lain. Nature based mengarah pada aktivitas menikmati keindahan alam seperti danau, pantai, air terjun, pegunungan. Wildlife menekankan aktivitas mengamati kehidupan satwa liar seperti pengamatan burung. Ekowisata adalah wisata yang melibatkan unsur pelestarian alam dan lingkungan budaya setempat. Dengan pembagian tersebut, jelas tidak semua wisata alam bisa serta-merta dianggap sebagai ekowisata. Peluang Pendapatan Ekonomi Ibarat suami-istri, terdapat hubungan yang serasi antara taman nasional dan ekowisata. Taman nasional bisa diibaratkan sebagai isteri, sementara ekowisata sebagai suami yang harus mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya. Jika penghasilan sang suami tidak mencukupi kebutuhan keluarganya, tentu harus mencari sumber penghasilan lain. Begitulah, seharusnya penyelenggaraan ekowisata dalam taman nasional model. Nilai manfaat ekonomi ekowisata di Halimun Salak misalnya, hanya 60 persen dari biaya pengeluaran/pengelolaannya. Padahal, itu masih nilai potensial, pemasukan nyata dalam bentuk rupiah dipastikan
lebih kecil. Kecuali bila dilakukan peningkatan kualitas produk wisata dan sarana penunjangnya. Bagi Halimun Salak, masalah aksesibilitas dan infrastrukturnya yang masih lemah masih bisa dilakukan peningkatan sehingga kualitas produk wisatanya lebih baik. Hasil observasi singkat di Gede Pangrango menunjukkan, pada 2007 jumlah wisatawan yang berkunjung lebih dari 70.000 orang dengan harga tiket masuk Rp 2.500 per orang dan diperoleh pemasukan dana sebesar Rp 244.000.000. Pendapatan sebesar ini sudah dipastikan jauh dari cukup untuk membiayai kegiatan pengelolaannya yang setiap tahunnya berjumlah lebih dari Rp 1,5 miliar. Upaya Pengembangan Melihat keadaan yang berkembang saat ini, selain penggalian potensi sumber jasa lingkungan, masih diperlukan upaya-upaya pengembangan ekowisata, antara lain: a) Meningkatkan tarif tiket. Ambil contoh Gede pangrango. Untuk wisatawan mancanegara bisa lebih mahal, misalnya US$ 2,00; sementara wisatawan nusantara sebesar Rp 6000. b) Meningkatkan fungsi pelayanan. Banyak sarana wisata yang perlu diganti, diperbaiki ataupun ditambah. Pun, sistem pemanduan dengan pengelompokan pengunjung serta interpreter yang terlatih dan profesional. c) Perluasan pemasaran. Kerjasama dengan biro-biro perjalanan wisata juga perlu dilakukan lebih intensif untuk promosi dan pemasaran. d) Menggali potensi sumber pajak negara bukan pajak (PNBP) dan peningkatan partisipasi masyarakat. e) Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) Ekowisata. Sebagaimana disebutkan oleh Sekartjakrarini (Pengemban-
gan Wisata Alam, 2003), tak ada pengembangan yang tidak menimbulkan dampak. Oleh karena itu, dalam mengelola dampak pengembangan, baik positif maupun negatif, sangat dibutuhkan SDM yang mumpuni. Pelatihan Sumber Daya Manusia Sekartjakrarini telah mendeteksi tujuh standar kompetensi pengetahuan yang harus dikuasai oleh para pemamgku kepentingan yang terkait dengan ekowisata, yaitu: 1.) Pengetahuan tentang ekowisata, 2.) Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, 3.) Keragaman sosial dan budaya, 4.) Komunikasi dan pelayanan (prima), 5.) Pemberdayaan masyarakat dalam ekowisata, 5.) Pengelolaan konflik, dan 6.) Prosedur kesehatan, keselamatan dan keamanan. Mengenai kebutuhan pendidikan dan latihan (diklat) ini, Ditjen PHKA bekerjasama dengan Institut Pertanian Bogor (IPB) telah melaksanakan IKD (Identifikasi Kebutuhan Diklat) ekowisata di Indonesia pada tahun 2000 dengan merekomendasikan beberapa prioritas diklat menurut kategori kawasan taman nasional, taman hutan rakyat dan taman wisata alam. Khusus untuk taman nasional, diklat prioritas ekowisata tersebut antara lain: 1.) Teknik Perancangan Sistem Informasi Pengembangan Produk Wisata Alam, 2.) Teknik Perancangan Promosi Wisata Alam, 3.) Teknik Pemantauan dan Evaluasi Kualitas Informasi, 4.) Perencanaan Penanganan Konflik, 5.) Teknik Pemetaan Partisipatif, serta 6.) Perancangan Sarana dan Prasarana yang Ramah Lingkungan. Dengan adanya diklat ini diharapkan dapat meningkatkan kompetensi dan profesionalisme di bidang ekowisata.***
22
Foto oleh Cyd inn
T. Satyatama, S.Hut, MP.
H
anya seluas 1 hektar, cagar alam ini merupakan kawasan konservasi peninggalan jaman kolonial Belanda. Pertama kali ditunjuk sebagai kawasan cagar alam berdasarkan Besluit Gubernur Jenderal Hindia Belanda No. 26 Staatblad 382, 24 Juli 1923. Kini, cagar alam ini masuk dalam kewenangan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Tengah. Pada salah satu pojoknya, berdiri megah dua bongkah batu karang besar yang ditumbuhi pohon Wijayakusuma, Pisonia silvestris. Lantaran itu pula, cagar alam ini dinamai Wijayakusuma.
Berada di sisi selatan Pulau Nusakambangan, Jawa Tengah, kawasan cagar alam ini diselimuti mitos. Alam semesta akan mendukung para raja Jawa yang mampu memetik bunga wijayakusuma.
Meski Wijayakusuma tidak hanya tumbuh di cagar alam ini, namun keberadaannya diliputi beragam mitos. Ini seperti lazimnya beberapa jenis tumbuhan di Indonesia yang mempunyai mitos atau kepercayaan tertentu, semisal Dewandaru, Stigi dan Kalimasada. Dalam kepercayaan Jawa, Wijayakusuma diyakini sebagai tumbuhan yang mempunyai mitos sakral: raja Mataram yang baru dinobatkan tidak akan sah diakui dunia kasar dan halus, kalau belum berhasil memetik bunga Wijayakusuma sebagai pusaka keraton.
Kembang Para Raja
Dalam cerita pewayangan, Wijayakusuma adalah senjata ampuh Batara Kresna, titisan Dewa Wisnu yang menjadi Raja Dwarawati, yang hanya digunakan untuk membantu para putra Pandawa ketika terdesak. Wijayakusuma sendiri berasal dari kata wijaya, yang berarti menang; dan kusuma, yang artinya kembang atau bunga. Wijayakusuma, bermakna bunga kemenangan. Syahdan, pohon Wijayakusuma merupakan jelmaan pusaka keraton Dwarawati yang dilempar bersama dengan kendaganya ke
“Pohon Wijayakusuma memang terbilang langka tetapi tidak dilindungi undang-undang. Hal ini mungkin diakibatkan oleh kenyataan bahwa tumbuhan ini jarang berbunga. Laut Selatan, dekat Pulau Nusakambangan, sebelum Kresna moksa ke alam Swargaloka. Tutup kendaga, yang berbentuk bundar, menjelma menjadi Pulau Majeti; wadah bagian bawahnya, menjadi Pulau Karang Bandung. Sementara itu, kembang Wijayakusuma jatuh di pulau (karang) yang sekarang menjadi CA Wijayakusuma. Menurut Babad Tanah Jawi, rajaraja Jawa keturunan Bhre Wijaya (sering disebut Brawijaya) dari Majapahit, yang merupakan titisan Wisnu, sudah sepantasnya mewarisi pusaka keraton yang maujud menjadi kembang itu. Raja Mataram yang baru dinobatkan juga diwajibkan untuk memetik bunga pusaka yang keramat itu. Mitos ini masih dituturkan turun-temurun. Selain itu, ada cerita lain tentang pohon Wijayakusuma ini. Suatu masa di jaman dulu di Jawa Timur (Kediri) ada seorang raja bernama Prabu Aji Pramosa. Suatu hari, sang prabu tiba di sebuah daerah yang sekarang dikenal sebagai Cilacap. Di tepi pantai, muncul seekor naga besar. Aji Pramosa dengan sigap melepas anak panahnya tepat mengenai perut si naga. Dia lantas hilang tergulung ombak. Ternyata naga tersebut jelmaan dari seorang putri cantik yang kemudian menghampiri sang raja. Berkat panah sang raja, ia bisa mewujud kembali menjadi manusia. Sebagai ucapan terima kasih, putri cantik itu menghaturkan bunga Wijayakusuma dan mengatakan: ‘Kembang Wijayakusuma
tidak mungkin bisa diperoleh dari alam biasa, barang siapa memiliki kembang itu bakal menurunkan raja-raja yang berkuasa di tanah Jawa’. Hingga kini mitos itu masih berkelebatan dalam kehidupan modern. Meski telah memasuki zaman yang serba rasional, bunga yang menjadi simbol kekuasaan itu masih diburu. Konon, almarhum HM Soeharto, mantan Presiden RI, pernah memerintahkan anak buahnya untuk mengambil bunga wijayakusum di Pantai Selatan Jawa. Pohon Wijayakusuma memang terbilang langka tetapi tidak dilindungi undang-undang. Hal ini mungkin diakibatkan oleh kenyataan bahwa tumbuhan ini jarang berbunga. Pengalaman menunjukkan, usaha pembiakan vegetatif bunga ini melalui stek batang seringkali gagal. Dari segi botani, pohon itu masih sekerabat dengan Kol Banda (Pisonia alba) yang banyak dipelihara orang. Perbedaannya, semua daun Wijayakusuma, baik yang tua maupun yang muda, berwarna hijau; sedangkan Kol Banda hanya daun muda yang berwarna kuning. Wijayakusuma memiliki bunga majemuk, sebanyak 10 malai. Tiap malai tumbuh menjadi 20 kuntum bunga berbentuk terompet. Jumlahnya, bisa sampai ratusan yang semuanya hanya berukuran 6 milimeter. Tetapi, sayangnya pohon itu jarang berbunga. Begitu tenarnya Wijayakusuma, namanya banyak dipakai di
wilayah Banyumas dan sekitarnya. Selain sudah sangat terkenal sejak dahulu kala, nama ini juga bermakna atau perlambang kejayaan. Panglima Besar Jenderal Soedirman, sebelum masuk militer, memberi nama koperasi yang didirikannya: Persatuan Koperasi Indonesia Wijayakusuma. Korem 71 Purwokerto juga memiliki nama Wijayakusuma. Kabupaten Cilacap juga menggunakan Wijayakusuma sebagai lambang daerahnya.
Wijayakusuma Hias
Masyarakat luas mengenal jenis tumbuhan yang juga disebut Wijayakusuma, atau tepatnya, Wijayakusuma hias, Epiphyllum oxypetalum. Wijayakusuma yang satu ini di kalangan masyarakat Indonesia keturunan Tionghoa dikenal sebagai Keng Hwa, yang berarti bunga indah nan anggun. Bunganya dipercaya bisa membawa hoki, terutama bagi mereka yang beruntung melihat mekarnya kuntum bunga di tengah malam. Rupanya, bunga ini hanya mekar dalam waktu yang sangat singkat. Pasalnya, pada keesokan pagi, bunga Wijayakusuma hias ini sudah layu dan tidak segar lagi. Wijayakusuma hias sebenarnya berasal dari Amerika Selatan, menyebar ke Cina lalu ke Indonesia sejak zaman Hindia Belanda. Tumbuhan ini sejenis kaktus tapi dari marga yang tidak berduri. Awalnya, tumbuh menempel pada batang pohon lain sebagai epifit seperti anggrek. Tak jarang juga ditanam di taman atau dalam pot.***
24
Untuk meredam beragam ancaman dari luar, para pihak sepakat untuk memantapkan pengelolaan kawasan penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh.
D
engan ekosistem hutan hujan tropika dataran rendah, Bukit Tigapuluh awalnya berstatus sebagai Hutan Lindung Haposipin, Provinsi Riau dan Hutan Lindung Singkati Batang Hari, Provinsi Jambi. Pada 1995, melalui surat keputusan Menteri Kehutanan No. 539/KptsII/1995, dua kawasan itu berfungsi sebagai taman nasional. Menghampar terpisah dari rangkaian Pegunungan Bukit Barisan, Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) mewakili ekosistem unik seluas 144.223 hektar. Selain itu, taman nasional yang berada di
perbatasan Provinsi Jambi dan Riau ini juga menopang daerah sekitarnya sebagai kawasan tangkapan air yang membentuk sungai-sungai besar. Beberapa fauna yang dapat dijumpai di TNBT, antara lain: harimau sumatera, beruang madu, tapir, siamang, kancil, babi hutan, burung rangkong, kuau, dan berbagai jenis satwa lainnya; sedangkan jenis flora langka yang diduga endemik di kawasan tersebut adalah Cendawan muka rimau (Raflesia hasselti). Selain merupakan habitat dari berbagai jenis flora-fauna langka
dan dilindungi, kawasan TNBT juga merupakan tempat hidup dan bermukim beberapa komunitas suku pedalaman seperti suku Talang Mamak, suku Kubu (Anak Rimba) dan suku Melayu Tua. Taman Nasional Bukit Tigapuluh berperan sebagai: • Contoh ekosistem hutan hujan dataran rendah yang kian langka yang menjadi habitat flora dan fauna yang langka dengan tingkat keanekaragaman hayati tinggi, • Daerah tangkapan air bagi hulu sungai-sungai besar ke daerah sekitar, seperti Sungai Batang
• •
•
•
•
Hari, S. Batang Sumai, S. Batang Gangsal, dan lain-lain, Menjaga keunikan geologi yang terdapat di bagian timur Pulau Sumatera, Tempat hidup dan sumber penghidupan masyarakat tradisional Suku Anak Dalam, Suku Talang Mamak, dan Suku Melayu Tua, yang secara turun-temurun bermukim di kawasan tersebut, Bagian dari "paru-paru dunia" yang memproduksi oksigen bagi kehidupan manusia dan salah satu objek wisata alam potensial di masa mendatang, Sumber penghasil hutan nonkayu, seperti: getah, buah, madu, jernang, rotan, obatobatan dan lain-lain, Laboratorium alam untuk pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan budidaya.
Tantangan Taman nasional dapat dianggap sebagai benteng terakhir pelestarian hutan alam dan ekosistem asli di Indonesia. Ancaman dan tekanan menyebabkan degradasi ekosistem taman nasional. Pola penggunaan lahan ekstensif oleh masyarakat setempat, kebutuhan lahan bagi pendatang, dan konversi lahan hutan bagi kepentingan pembangunan di luar bidang kehutanan adalah sejumlah bentuk ancaman bagi kelestarian dan keutuhan ekosistem taman nasional. Hal ini menyebabkan keberadaan daerah penyangga sangat penting artinya dalam meredam ancaman-ancaman tersebut. Hal ini berimplikasi pada pengelolaan daerah penyangga yang memerlukan kesatuan persepsi dan keterpaduan aksi para pihak. Khusus untuk TNBT, masyarakat berada di daerah penyangga dan dalam kawasan adalah Suku Melayu, Talang Mamak, Anak Dalam (Orang Rimba) dan masyarakat
pendatang ‘Minang, Jawa, dan Batak’. Kegiatan perekonomian masyarakat secara umum bertumpu pada usaha pertanian dan pengumpulan hasil hutan. Selain masyarakat, pihak perusahaan, seperti hak pengusahaan hutan tanaman industri (HPHTI), perkebunan sawit dan pertambangan batubara juga beroperasi di sekitar dan berbatasan langsung dengan TNBT. Ada realitas ekonomi dan sosial budaya yang perlu mendapat perhatian antara lain: terdapat sekitar 23 desa dengan tingkat penghasilan yang relatif masih rendah, dan sangat bergantung sumber daya hutan; dan, pertambahan penduduk yang pesat dengan prediksi pada tahun 2010 akan terdapat sekitar 27.000 jiwa.
Menggalang Kesepahaman Bertempat di Kota Rengat, 6 Maret 2008, diselenggarakan Workshop Pemantapan Pengelolaan Daerah Penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Hadir pada kesempatan itu, para pemangku kepentingan terkait dan beberapa narasumber, antara lain Direktorat Konservasi Kawasan Departemen Kehutanan, Balai TN Bukit Tigapuluh, Bappeda Indragiri Hulu, Dinas Kehutanan Indragiri Hulu, WWF Riau dan pihak perusahaan yang diwakili Riau Pulp. Dalam workshop tersebut, para pihak menyepakati antara lain: 1. Dalam menunjang kemantapan pengelolaan daerah penyangga mutlak diperlukan peran para pihak sesuai dengan potensi sumber daya yang ada, serta mengoptimalkan kembali peran dari lembaga atau badan pengelola yang telah terbentuk. 2. Semua pihak yang terlibat dalam forum ini memiliki kepedulian dalam hal penyelamatan ekosistem daerah pe-
nyangga Bukit Tigapuluh sebagai bagian dari lanskap Bukit Tigapuluh secara menyeluruh. 3. Keberadaan perusahaan pemilik konsesi di daerah penyangga TNBT dapat berperan besar dalam hal perlindungan kawasan. Menyinergikan pembentukan dan pemberdayaan satuan tugas pengaman hutan dengan perusahaan untuk memberikan dampak positif bagi perlindungan kawasan TNBT. Selanjutnya, perlu dibuat mekanisme pengamanan bersama antara pihak TNBT dan masyarakat dengan pemilik konsesi. 4. Perlu mempercepat proses rasionalisasi TNBT melalui pertimbangan teknis dinas kehutanan tingkat kabupaten dan provinsi serta rekomendasi dari bupati dan gubernur Riau. 5. Adanya komitmen nyata perusahaan pemegang konsesi, Hak Guna Usaha dan Kuasa Pertambangan untuk menjadikan sebagian arealnya yang berbatasan dengan TNBT menjadi areal konservasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. 6. Melakukan pengelolaan kolaborasi di TNBT dan daerah penyangganya melalui kegiatan operasi pengamanan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemberdayaan masyarakat dan berbagi tanggung jawab. 7. Meningkatkan koordinasi dan konsultasi antara parapihak terkait yang diprakarsai oleh fasilitator. 8. Ancaman yang telah diidentifikasi oleh patroli gabungan dikomunikasikan dengan parapihak, untuk ditindak lanjuti mitigasi ancaman tersebut. 9. Kesepakatan ini ditindaklanjuti melalui fasilitasi dari Bappeda Indragiri Hulu, Bapedalda Indragiri Hulu dan Balai TN Bukit Tigapuluh. ***
26
Diyah Kartikasari
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia memaksa sebagian orang untuk melirik pengobatan tradisional dari tumbuhan dan satwaliar. Perlu adanya standar baku dan pengawasan populasi satwa obat.
K
ekayaan hayati berpotensi besar sebagai sumber pangan, papan, sandang, obat-obatan serta kebutuhan hidup yang lain. Nilainya, mencapai triliunan rupiah dan berpeluang besar untuk dikembangkan. Meskipun Indonesia memiliki keanekaragaman hayati serta endemisme yang tinggi namun ancaman terhadap kelestarian spesies dan genetiknya juga tinggi. Penyebab utamanya, di antaranya: kerusakan habitat dan pemanfaatan yang tidak terkendali. Jawa Tengah memiliki beberapa tipe hutan yang menjadi habitat beraneka satwa. Penduduknya yang sebagian besar berasal dari suku Jawa terkenal dalam pemakaian obat-obat tradisional. Keanekaragaman jenis satwa liar serta pengetahuan yang dimiliki
masyarakat Jawa Tengah tentang penggunaannya sebagai obat merupakan aset yang bernilai penting. Penelitian dan pustaka satwa sebagai obat masih sangat sedikit. Masih banyak jenis satwa sebagai bahan obat yang belum tergali potensinya secara optimal namun keberadaannya di alam sedang terancam punah. Musnahnya satwa-obat berarti hilangnya senjata baru untuk menyembuhkan penyakit. Di negara-negara maju, satwa-obat sudah banyak diteliti dan menghasilkan produk-produk obat modern. Sebagai contoh, Grifo et al. (The origin of presciption drugs dalam Biodiversity and Human Health, 1997) menelisik 150 merek dagang obat-obatan dalam daftar IMS Amerika, 27 jenis di antaranya berasal dari mamalia dan
reptilia. Potensi satwa-obat sangat besar dan menjadi salah satu alasan bagi pelestarian alam. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: keanekaragaman jenis satwa liar, bagian organ yang digunakan serta cara penggunaannya sebagai obat; menghitung nilai ekonomi satwa liar yang digunakan sebagai obat dan mengetahui jalur pemasarannya serta mengidentifikasi permasalahan yang berkaitan dengan penggunaan satwa liar sebagai obat. Penelitian dilakukan pada 102 orang responden (pemungut, pengumpul, peracik dan penjual) di 19 kabupaten/kota di Jawa Tengah dengan metode snowball sampling. Dari hasil wawancara dengan responden diketahui 54 jenis satwa digunakan sebagai obat. Dari 54 jenis tersebut, terdiri dari 42 je-
30
25 bisa cangkang/karapas daging darah duri ekor empedu hati kulit cairan/lendir lidah minyak otak paruh sarang sisik sumsum tanduk tangkur telur tulang madu semua bagian
Jumlah jenis satwa (jenis)
20
15
10
5
0 Bagian satwa yang digunakan sebagai obat
Gambar 1 Jumlah jenis satwa berdasarkan bagian-bagiannya yang digunakan sebagai obat.
Daging merupakan bagian yang paling banyak digunakan (24,04 persen), empedu (14,42 persen), semua bagian (10,58 persen) dan hati (8,65 persen), dan minyak (8,65 persen). Lihat Gambar 1. Satwa tersebut dipercaya bisa menyembuhkan sekitar 50 macam penyakit yang tergolong dalam 21 kelompok penyakit (Gambar 2). Sekitar 14,49 persen (20 jenis) satwa dipercaya dapat mengobati kelompok penyakit saluran pernafasan (asma, TBC, batuk, step [kejang karena demam], paruparu); 13,04 persen (18 jenis) untuk penyakit kulit dan 10,14 persen (14 jenis) untuk penambah stamina dan nafsu makan. Selain
21 kelompok penyakit tersebut, terdapat satwa yang digunakan untuk penyembuhan penyakit secara magic yaitu kukang dan gagak. Berdasarkan cara penggunaan satwa sebagai obat dibedakan
Satwa liar yang paling banyak ditangkap adalah tokek dengan volume 974.880 ekor/tahun. Bila dilihat dari kuota wilayah Provinsi Jawa Tengah tahun 2007, kuota untuk jenis ini hanya 7000 ekor, berarti pengambilan di alam adalah 139 kali lebih banyak dari kuota yang ditetapkan. Juga ular koros dan ular kobra. Kuota ular koros wilayah Jawa Tengah adalah 500 (kering) dan 1500 (hidup) dan ular kobra: 65.000 (kulit) dan 100 (hidup). Tetapi pengambilannya di alam sekitar 130.896 ekor setahun. Dua kali lipat kuota. Jumlah satwa yang ditangkap sebagian besar jauh melebihi kuota yang ditentukan. Berdasarkan UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya
25
Jumlah jenis satwa yang dipakai
nis satwa liar bertulang belakang (vertebrata), 10 jenis satwa yang tidak bertulang belakang (avertebrata) dan 2 jenis satwa ternak. Sebanyak 42 jenis satwa liar vertebrata tersebut terbagi dalam 5 kelas yaitu amfibia, reptilia, mamalia, aves, pisces dan terdiri dari 30 familia. Terdapat 23 bagian satwa yang digunakan untuk bahan ramuan obat tradisional.
menjadi 7 macam, yaitu: dimakan (38,02 persen), diminum (33,88 persen), ditelan (13,22 persen), dioles (11,57 persen), dipakai sebagai pipa rokok (1,65 persen), ditempel (0,83 persen), dibasuh (0,83 persen).
20
15
10
5
0
Kelompok penyakit
Gambar 2 Jumlah jenis satwa obat berdasarkan kelompok penyakit yang disembuhkan
28
Alam Hayati dan Ekosistemnya, dan PP No 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa, lima jenis satwa masuk dalam daftar dilindungi undangundang yaitu trenggiling, landak, rusa, penyu, buaya; satu jenis masuk daftar Apendiks I; 12 jenis Apendiks II dan 2 jenis Apendiks III CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora). Sementara itu, menurut IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources)Red List of Threatened Species, satu jenis tercatat dalam kategori “genting”; empat jenis masuk kategori “rentan” dan 13 jenis berkategori “resiko rendah”. Jalur pemasaran satwa liar untuk obat terdiri dari 2 jalur: untuk masyarakat lokal dan untuk ekspor. Jalur pemasaran untuk masyarakat lokal adalah: pemungut– pengumpul kecil–pengumpul besar–peracik/penjual–konsumen, sedangkan jalur pemasaran untuk ekspor adalah: pemungut–pengumpul kecil–pengumpul besar–eksportir. Total pendapatan seluruh responden dari pemanfaatan satwa liar untuk obat diperkirakan sebesar Rp. 1.421.714.004/ tahun. Dari
analisis statistik yang dilakukan ternyata jumlah anggota keluarga, lama bekerja, jumlah jenis satwa yang dimanfaatkan, tingkat pendidikan dan status konservasi satwa tidak memberikan pengaruh yang nyata pada pendapatan responden. Beberapa permasalahan dalam pemanfaatan satwa liar sebagai obat antara lain: (1) Penentuan kuota tangkap belum didasarkan pada data yang akurat tentang populasi, habitat (asal satwa) dan informasi ilmiah lainnya. (2) Belum adanya standar baku tentang dosis, cara pemakaian, lama pemakaian satwa liar untuk obat. Secara ilmiah belum diketahui secara pasti zat aktif yang terkandung dalam tubuh satwa dan belum adanya pengawasan keamanan pemanfaatannya. Sejumlah organ satwa dikonsumsi mentah-mentah seperti darah, empedu, sumsum, hati dan sebagainya. Sekitar 94 persen reptil mengandung Salmonella spp. yang merupakan agen utama penyakit pada reptil. Salmonella juga dapat menyerang dan mematikan manusia. Beberapa organ dan jaringan termasuk
tulang dan empedu dapat menjadi sumber dari Salmonella yang dapat menyebabkan diare kronis dan endotoxic shock; (3) Satwa obat telah menjadi sumber matapencaharian pokok bagi masyarakat. Hal ini menyebabkan tekanan yang semakin kuat terhadap satwa liar obat di alam, karena masyarakat sering tidak mengindahkan asas konservasi dalam pemanfaatannya. Agar pemanfaatan satwa liar dapat lestari, strategi konservasi yang harus dilakukan antara lain: 1 Peningkatan kesadaran dan pemberdayaan masyarakat, 2 Monitoring dan penertiban peredaran satwa liar bersamasama dengan stakeholder yang lain untuk mencegah punahnya satwa liar obat di suatu daerah tertentu, 3 Sensus/survey inventarisasi dan monitoring populasi satwa liar untuk memperoleh data dasar yang meliputi: kondisi habitat dan populasi, informasi ilmiah dan teknis lain untuk penentuan kuota yang tepat dan strategi konservasi satwa liar obat pada daerah tangkap asalnya, 4 Penelitian terhadap zat aktif yang dikandung oleh satwa liar obat, terutama jenis satwa yang banyak digunakan, bagi pengembangan selanjutnya, 5 Mengembangkan jaringan kerja dengan stakeholders, 6 Usaha penangkaran untuk mengurangi ketergantungan masyarakat akan pengambilan satwa liar dari alam terutama untuk jenis-jenis yang terancam punah.***
Harimau Sumatera: tubuhnya biasa diperdil untuk segala macam pengobatan. Perburuan ilegal satwa ini menjadi contoh perlunya pengawasan populasi satwaliar yang lain. Foto oleh Ian Michael Thomas
29
Beberapa pihak bergandengan tangan bertekad untuk menyelamatkan sang garuda dan kerabatnya.
Semula larikan kandang besi itu masih kosong. Tanpa penghuni. Tapi, sejak 22 November 2008 silam kandang-kandang tersebut mulai riuh dengan pekikan burung pemangsa atau elang. Saat pagi yang cerah, 12 ekor elang tiba seusai diboyong dari Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga (PPSC) Sukabumi, Jawa Barat. Elang jawa, Spizaetus bartelsi, menjadi salah satu jenis dari rombongan burung pemangsa yang tiba. Bersama Elang ular (Spilornis cheela), Elang brontok (Spizaetus chirhatus) dan Elang hitam (Ictinaetus malayensis), elang berjambul panjang itu akan dibugarkan tubuhnya di Suaka Elang, Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Nasib Elang jawa, yang hanya hidup di Pulau Jawa, memang sedang di bibir kepunahan. Di alam bebas, elang yang sering dipandang sebagai Sang Garuda lambang negara Indonesia, jumlahnya tak sampai 400 ekor. Tempat tinggalnya pun habis terpecah-pecah dan terus terdesak oleh populasi manusia. Tak heran jika elang unik ini masuk dalam kategori terancam punah atau endangered dalam daftar merah menurut lembaga International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN RedList 2008). “Saat ini degradasi hutan di Pulau Jawa sudah mencapai 1,3 persen dan habitat terbaik bagi spesies tersebut ada di hutan alam yang hanya terdapat di kawasan taman nasional,” kata Bambang Supriyanto, kepala Balai TNGHS, mencoba memberi gambaran tentang masa depan sang garuda dan kerabatnya.
Di atas lahan pada ketinggian 700 meter dari permukaan laut, Suaka Elang berdiri tegak yang diniatkan untuk menjadi tempat pemulihan para elang yang telah lama dikerangkeng. Memelihara burung elang dalam kandang yang kecil sebenarnya melanggar nalurinya yang suka melanglang tinggi dengan jelajah yang luas. Jika tak bisa pulih, entah karena cacat atau sebab lain, para elang itu akan menghuni kandang suaka khusus. Di kandang yang luas dan lebar ini, elang yang tak beruntung untuk kembali mengangkasa dipelihara secara layak dan benar.
Di kaki Gunung Salak itu, sang garuda, bersama para kerabatnya yang lain, bisa memiliki masa depan. Kawasan Halimun Salak sendiri menjadi rumah terakhir bagi Elang jawa yang juga dikepung oleh populasi manusia. Taman nasional yang berlogo Elang jawa itu, bersama dengan sejumlah pihak, mencoba langkah baru untuk melestarikan Elang jawa. Selain Taman Nasional Gunung Halimun Salak, terlibat pula Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga (PPS Ci-
Dari Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga, Sukabumi, Jawa Barat, burung-burung pemangsa diboyong ke Suaka Elang di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.
kananga), International Animal Rescue (IAR), Raptor Conservation Society (RCS), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), PT. Chevron Geothermal Salak, Pusat Informasi Lingkungan Indonesia (PILI-Green Network), Raptor Indonesia (RAIN), Mata Elang dan Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam (BBKSDA) Jawa Barat. Suaka Elang menjadi muara bagi para pihak tersebut untuk bermitra menyelamatkan burung yang juga dikenal sebagai pemangsa ini. “Selain melakukan penyelamatan, suaka dan pelepasliaran burung pemangsa, jaringan ini juga memiliki misi penyadartahuan masyarakat akan keragaman hayati, khususnya di kawasan Halimun Salak. Jaringan ini juga menjadi gerbang pelestarian habitat melalui aktivitas mitra dan masyarakat,” ungkap Pam E. Minnigh, direktur PILI-Green Network, saat peresmian Suaka Elang, 25 November 2008. Acara peresmian yang juga dihadiri oleh Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Departemen Kehutanan Toni Suhartono, itu diisi dengan penandatanganan nota kesepahaman dan prasasti. Selain itu, untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat dilangsungkan pula diskusi tentang konservasi spesies, konservasi elang, kemitraan konservasi serta penegakan hukum dan penanganan satwa liar sitaan.
Foto oleh Rifky
31
Pemahaman publik nampaknya jadi pekerjaan penting bagi para pegiat konservasi. Dengan bertambahnya pemahaman masyarakat luas akan pentingnya konservasi satwa, diharapkan bertambah pula dukungan upaya pelestarian. ***
Koleksi Satwaliar Dilindungi:
Wajib Beridentitas Ivan Juhandara, Staf Balai Konservasi Sumber Daya Alam Nusa Tenggara Barat
Hidup di luar habitatnya, beragam satwa liar yang dilindungi nyaris luput dari pengawasan dan pemantauan. Untuk menjamin status hukumnya, satwa liar yang dipelihara wajib ditandai. Ratusan jenis tumbuhan dan satwa liar (TSL) yang dilindungi hidup di luar habitat aslinya (ex-situ) dan tersebar dimiliki oleh perorangan, masyarakat, lembaga konservasi dan perusahaan penangkaran. Masalahnya, kepemilikan tumbuhan dan satwa liar tersebut, baik hidup, mati, maupun organ-organnya, tidak tercatat secara benar dan rapi. Keadaan ini diperburuk dengan belum adanya pembakuan sistem penandaan. Akibatnya, pemantauan dan penegakan hukum menjadi kian sulit. Telah banyak diakui upaya ini bisa melengkapi pelestarian in-situ. Lagipula, pemberian tanda ini ibarat kartu identitas bagi status dilindungi dari satwa yang dikoleksi. Upaya pembekalan bagi sumber daya manusia, pengadaan sarana dan prasarana penandaan sudah dilakukan. Beragam piranti untuk penandaan TSL pun telah ada. Inti dari semua bentuk penandaan itu untuk memberikan identitas yang relatif tetap, tidak mudah hilang/lepas dan berkekuatan hukum melalui sertifikat atau Berita Acara Penandaan yang disahkan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA). Mengingat pentingnya kepastian status hukum TSL, maka kegiatan penandaan hendaknya menjadi salah satu prioritas bagi Balai KSDA yang di wilayahnya terdapat individu, lembaga konservasi, penangkar, dan pusat penyelamatan satwa (PPS) yang mengoleksi satwa liar. Dengan adanya penandaan TSL dilindungi itu akan menjamin pemantauan yang tepat serta mendukung upaya pengendalian dan penegakan hukum bagi populasinya. Mengingat begitu banyak satwa dan tumbuhan yang dilindungi, maka perlu adanya prioritas bagi pemberian tanda, antara lain: 1. Mamalia besar, seperti: harimau sumatera, badak, gajah, beruang, dan lumba-lumba, 2. Mamalia kecil, terutama: kuskus, tarsius, kangguru dan trenggiling,
3. Burung, 4. Reptilia dan amfibia, terutama: komodo, buaya, ular dan penyu, 5. Ikan, terutama: arwana (Scleropages formosus) dan arwana irian (Scleropages jardini), 6. Terumbu karang hasil transplantasi.
Metode Penandaan
Tanda dipasang pada satwa liar dilindungi yang telah mati—berupa opsetan atau awetan utuh dan bagianbagian tubuh tertentu, dan satwa yang hidup. Opsetan utuh Mamalia Penanda berupa anting (ear tag) di telinga, terbuat dari logam, karet atau plastik. Pada pejantan, anting dipasang di telinga kanan; sedangkan betina, di telinga kiri. Burung Tanda berupa cincin atau gelang (ring) yang dipasang di kaki, terbuat dari logam dengan ukuran yang sesuai tubuh. Reptilia dan amfibia Penanda dapat berupa self-piercing tag, wire on fish tag atau lock-seal tag dan cincin. Biasanya terbuat dari logam dan/atau plastik. Opsetan bagian-bagian tubuh Untuk opset bagian-bagian tubuh satwa, seperti kulit (terkecuali kulit buaya menggunakan penanda baku CITES), gading, tanduk, cula, kuku, taring dan derivat lainya dilakukan dengan sertifikasi. Selain itu, hal paling lazim dijumpai adalah spesies satwa yang dilindungi dipelihara dalam keadaan hidup. Berikut ini cara penandaan bagi satwa yang masih hidup. Mamalia besar Penandaan dengan tato dan transponder. Mamalia kecil Pemasangan tanda dengan pemasangan transponder. Burung Berupa cincin (ring) pada kaki, penanda sayap (wing marker) dan pemasangan transponder. Reptilia dan Amfibia Ditandai dengan tag/band pada bagian tubuh tertentu (misal: pada penyu dipasang pada flipper kiri dan kanan dan pada buaya di ujung ekor), cincin pada kaki (misal: pada varanus atau soa-soa) terbuat dari logam dan pemasangan transponder. Ikan Penandaan hanya dengan pemasangan transponder pada bagian belakang insang atau perut bagian depan.
33
Piranti Penandaan
Untuk penandaan dibutuhkan sejumlah alat dan bahan sesuai dengan tanda yang hendak dipasang pada satwa. Cincin Pemasangan cincin dengan tang. Ada juga tang untuk merapikan atau membuka cincin yang telah terpasang. Cincin biasanya terdiri dari berbagai ukuran terbuat dari logam atau plastik. Anting Anting dipasang dengan bantuan aplikator anting. Tanda anting bisa terbuat dari logam atau plastik. Penanda sayap Tanda dipasang dengan aplikator penjepit. Penanda sayap terbuat dari plastik tertentu dengan berbagai ukuran sesuai besar-kecilnya burung dan kancing penjepit. Tato Dibutuhkan mesin dan perlengkapan untuk membuat tato dengan bahan tinta tato. Transponder Penanda ini berupa microchip dan diperlukan pembaca kode pada microchip (reader). Microchip tersedia dalam berbagai ukuran. Reader adalah alat untuk membaca kode/nomor chip yang sudah dipasang pada satwa; sementara aplikator untuk memasukkan chip ke satwa yang berisi kode 9 digit angka, contoh: AVID 123456789.
Teknik Penandaan
Keputusan Direktur Jenderal PHKA No. 35/IVKKH/2004, tentang Penandaan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar Dilindungi (Hidup atau Mati) di Luar Habitatnya (ex-situ), telah mengatur bentuk tanda dan cara penandaanya untuk setiap satwa yang dikoleksi. Peraturan ini mencakup pemberian tanda untuk satwa awetan maupun yang masih hidup. Cara menandai kelompok atau jenis satwa liar yang dilindungi dalam bentuk opsetan atau awetan, sebagai berikut: 1. Mamalia ditandai dengan anting. Cara penandaan: pejantan, anting dipasang di telinga kanan sedangkan betina, di telinga kiri, 2. Burung dengan tanda cincin pada kaki kiri atau kanan, 3. Penyu, ditandai dengan tag standar SEAFDEC yang dikenakan pada sirip kiri atau kanan, 4. Ular menggunakan tanda wire on fish tag, yang dipasang pada tubuh yang mudah terlihat, aman bentuk asli opsetan dan estetika, 5. Buaya, menggunakan lockseal (modifikasi tanda Foto oleh Rifky CITES/Convention on International Trade in En-
dangered Species of Wild Fauna and Flora) yang dipasang pada pangkal ekor atas, 6. Soa-soa dan biawak, ditandai dengan cincin pada kaki belakang. Untuk satwa liar yang masih hidup, penandaan dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1. Harimau sumatera, beruang, dan primata Ditandai dengan dua bentuk penanda: • Tato Harimau dibius. Kaki belakang bagian dalam dicukur rambutnya sampai bersih, lalu disterilkan dengan alkohol 70 persen dan dibersihkan dengan betadine. Pada kulit yang sudah dibersihkan, ditulis nomor induk/studbook yang sudah ditentukan dengan alat penato. Setelah selesai penulisan diberi antiseptik dan alkohol lalu diolesi salep antibiotik. Untuk harimau jantan dan primata jantan, tato ditoreh pada bagian dalam paha kanan, sementara si betina pada bagian dalam paha kiri, • Transporder Pada scapula harimau yang telah terbius dibersihkan dengan alkohol. Lalu disuntikkan microchip di bawah kulit (subcutan). Setelah itu, dibaca dengan reader. 2. Badak Ditandai dengan transporder. Cara penandaan: badak dimasukkan ke kandang jepit, kulit bawah telinga kiri dibersihkan dengan alkohol 70 persen, kemudian disuntikkan microchip. Dan, terakir dibaca dengan reader. 3. Gajah Penanda untuk satwa ini berupa transporder. Gajah direstrain oleh perawat satwa, kulit bawah telinga kirinya dibersihkan dengan alkohol 70 persen, kemudian microchip disuntikkan, lalu dibaca dengan reader. 4. Lumba-lumba Penandaan hewan ini dilakukan dengan memasang transporder 5. Kuskus Satwa ini ditandai dengan transporder. Sebelum dipasang tanda, kuskus direstrain dengan cara memegang kepala dan ekornya. Pada scapulanya, yang akan disuntikkan microchip, dibersihkan dengan alkohol 70 persen. Lantas microchip disuntikkan di bawah kulit (subcutan), kemudian dibaca dengan reader. 6. Kangguru Seperti halnya kuskus, hewan berkantong ini ditandai dengan transporder. Kangguru direstrain dengan cara diangkat ekornya, kemudian pegang leher
dan kaki belakangnya. Cara pemasangan microchip sama dengan kuskus. 7. Tarsius dan trenggiling Penanda kedua jenis satwa ini berupa transporder. Untuk tarsius harus hati-hati saat restrain. Pemasangan microchip tidak berbeda dengan kangguru. 8. Burung Terdapat tiga bentuk tanda bagi satwa ini, yaitu: • Cincin Burung dipegang dengan cara yang aman. Pada burung jantan cincin dipasang di kaki kanan dan burung betina di kaki kiri, • Penanda sayap Burung dipegang dengan aman. Kemudian, sayapnya dibuka dan bagian yang tidak berpembuluh darah dibersihkan dengan alkohol 70 persen, lalu dipasang penanda sayap yang direkatkan dengan aplikator, • Transporder Burung dipegang secara aman. Kemudian dibaringkan terlentang, dada kiri dibersihkan dengan alkohol 70 persen, lalu disuntikkan microchip. 9. Buaya Ada dua jenis tanda untuk hewan ini: • Tag atau band yang terbuat dari plastik dan dipasang pada ekor, • Transporder, buaya direstrain manual, kulit bagian atas pangkal ekor dibersihkan dengan alkohol 70 persen, kemudian disuntikkan microchip. 10. Komodo Seperti buaya, komodo juga diberi tanda dengan transporder. Cara pemasangannya sama dengan pada buaya. 11. Ular Penandaan satwa ini sama dengan komodo, yaitu dengan transporder. Hanya saja, microchip pada ular dipasang pada kulit bagian dorsal 1/3 badan arah kepala. 12. Penyu Penyu ditandai dengan tag modifikasi SEAFDEC, yang dipasang ditepi tempurung atau karapas. Tag bisa juga dipasang pada sirip kiri atau kanan dengan menggunakan aplikator.
Penutup
Pemberian tanda pada satwa liar yang dilindungi yang berada di tengah-tengah masyarakat bisa menjadi langkah penting dalam mendukung pelestariannya di alam (in-situ). Sejatinya, upaya ini hanya salah satu dari berbagai langkah penegakan hukum untuk mengurangi maraknya pemeliharaan satwa yang dilindungi secara tidak sah.***
34
Judul buku: Biologi Konservasi Penulis: Mochamad Indrawan, Richard B. Primack, Jatna Supriatna Penerbit: Yayasan Obor Indonesia Tebal: 625 + xvii halaman
Mengikat beragam ilmu pengetahuan dalam satu tujuan: menyelamatkan semua makhluk hidup di atas Bumi.
K
laatu datang suatu saat ketika putus asa menyelimuti Bumi. Berwahana bola asing yang meraksasa, dari luar dunia sana, dia hinggap di Bumi. Bola unik itu datang dengan niat mulia: mengabarkan Bumi telah remukredam akibat keserakahan manusia dan rasa memilikinya yang terlalu besar. Berbeda dengan kelaziman genre film fiksi ilmiah serupa, The Day The Earth Stood Still mengangkat sebuah kisah yang diilhami tentang penyelamatan makhluk Bumi. Keanu Reeves yang berperan sebagai Klaatu, datang untuk menyelamatkan semua makhluk
hidup dengan memboyongnya ke dalam bola-bola raksasa. Hanya satu spesies yang dibiarkan tinggal di Bumi yang sekarat: Homo sapien. Manusia! Gagasan melestarikan makhluk hidup, sebenarnya bukan hal yang mengejutkan; tapi cara penyelamatan yang ditayangkan film itu sungguh menohok. Manusia nampaknya dianggap benar-benar keras kepala dan tak tahu diri sehingga tak perlu diselamatkan. Selama empat dekade lebih sejak tahun 1960-an, selalu saja ada kabar muram, mulai dari ratusan spesies yang terancam punah, po-
lusi yang meracuni lingkungan, sampai rimba-rimba yang dibabat. Para peneliti, filsuf, sastrawan, budayawan, dan pegiat pelestarian tanpa mengenal lelah telah lama mewanti-wanti tentang ringkihnya Bumi. Perspektif Bumi memiliki sifat ‘superorganisme’ telah lama hadir dalam belantara pemikiran di lingkar para pelestari alam. Perspektif yang terangkum dalam ‘Hipotesis Gaia’ ini memandang bahwa seluruh komponen kimia, fisika dan biologi Bumi saling berinteraksi untuk mengatur karakteristik atmosfer dan iklim (hal. 13) yang menyamankan para penghuninya.
“Pada banyak agama, manusia secara fisik dan spiritual diyakini mempunyai hubungan dengan tumbuhtumbuhan dan satwa di lingkungan sekitarnya.” Sudut pandang yang diajukan oleh James Lovelock itu menemukan relevansinya jika menyimak persoalan paling mengancam abad ini: pemanasan global. Karena perubahan komposisi zat-zat kimiawi yang mengisi atmosfer, suhu Bumi menghangat dan lapisan ozon berlubang. Atmosfer yang berfungsi menjadi pelindung, berbalik membekap pengap planet biru. Dampaknya berantai, mengancam siapapun yang hidup di atas tanah, di bawah langit. Hipotesis Gaia, menurut para penulis buku ini, adalah salah satu benih yang memunculkan ilmu baru, yakni biologi konservasi. Benih-benih yang lain, salah satunya, sejak awal-mula telah ditebar oleh berbagai agama dan aliran filsafat. Pada banyak agama, manusia secara fisik dan spiritual diyakini mempunyai hubungan dengan tumbuh-tumbuhan dan satwa di lingkungan sekitarnya. Hubungan itu terputus ketika alam semesta diubah atau dirusak oleh aktivitas manusia (hal. 12). Dalam zaman modern, tumbuhan dan satwa (juga manusia) itu terikat dalam frasa keanekaragaman hayati, yang mencakup seluruh spesies makhluk hidup, komunitas biologi tempat hidup spesies, dan interaksi tingkat ekosistem dari komunitas dengan lingkungan fisik dan kimianya (hal 82). Meski bisa bermakna macammacam, frasa itu menjadi pusat dari biologi konservasi. Pustaka
ini mengajukan tiga tingkatan yang menyusun keanekaragaman hayati: spesies, genetik dan komunitas. Pada ketiga ranah itulah, ilmu ini terentang. Dengan cakupan yang luas seperti itu, biologi konservasi dipahami sebagai sintesis berbagai disiplin ilmiah yang berhubungan dengan krisis luar biasa dalam keanekaragaman hayati saat ini. Interaksi lintas-ilmu itu digambarkan berwatak timbal balik: Dari ilmu–ilmu dasar bisa diperoleh pendekatan dan ideide baru yang disalurkan kepada ilmu terapan (seperti pertanian, pengelolaan satwaliar dan sebagainya); seterusnya, dari ilmu terapan, ilmu dasar memperoleh pengalaman lapangan dan penelitian yang dibutuhkan. Demikian seterusnya, sehingga kedua ilmu yang nampak terpisah itu berpadu secara holistik, saling memengaruhi, dan berinteraksi dinamis untuk menjaga keanekaragaman hayati tetap awet. Kerja keras para penulis untuk membumikan apa dan bagaimana ilmu biologi konservasi di Indonesia, dengan mengundang beberapa penulis, layak dihargai. Dalam lembarlembar buku bertaburan teladan-teladan pelestarian yang telah diterapkan di bumi yang kaya keanekaragaman hayati ini. Bahkan, Bab 6 dan Bab 7 secara khusus mengupas ihwal keanekaragaman hayati serta kebijakan dan praktik konservasi di Indonesia.
Soal kebijakan, misalnya, terdaftar ratusan peraturan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. Saking banyaknya, sejumlah peraturan justru saling bertabrakan. Sebagai disiplin lintas-ilmu, biologi konservasi membuka peluang untuk menarik ujung benang kusut pelestarian dari sisi hukum, lalu mengurai satu per satu untuk mencari jalan keluar. Penegakan hukum, satu persoalan yang sangat menonjol di negeri yang suka membuat undang-undang tapi malas menegakkannya. Pembabatan hutan yang terjadi secara masif dan liar adalah contoh yang hingga kini masih meninggalkan jejak ribuan hektar hutan gundul. Sementara itu, komplotan pembalak liar masih banyak yang lepas dari jeratan hukum. Lepas dari gambar sampul yang nampak dipaksakan, sehingga ikan badut yang berwarna cerah dalam gumulan anemon terlihat kabur dan muram, khazanah dalam pustaka ini bisa memberi cakrawala yang luas bagi para pembacanya. Salah satu akar biologi konservasi adalah mengembalikan manusia pada pusat alam semesta. Dari Diri-yang-Sadar (the Self), kearifan akan menyebar-mendalam hingga ke seluruh penjuru alam semesta; menembus segala macam batas. Hakikatnya, menebar rahmatan lil alamin yang pada akhirnya menjaga agar manusia tetap manusiawi. Tak perlu menunggu Klaatu dari antahberantah.***
36
Sang Penyerbu yang Tangguh
N
amanya cantik, Merremia peltata, tapi berwatak penyerbu. Sekali tumbuh, tanaman ini merambati dan melilit semua tumbuhan yang hidup di sekitarnya. Perlahan, tapi tanpa ampun, tumbuhan yang juga disebut hag hag toroi oleh suku Mentawai ini merambah semua tanah kosong yang ada. Taman Nasional Bukit Barisan Selatan saat ini sedang menghadapi beranak pinaknya tumbuhan ini. Saat terbentuk rumpang di rimba raya Bukit Barisan Selatan, segera si Merremia tumbuh dan berkembang. Dia lihai menyerbu tanaman lain karena mampu mendominasi perebutan hara tanah dan sinar matahari. Pohon-pohon yang menjulang tinggi dan bertajuk lebar pun tak mampu menghadapi tanaman ini. Dari akar pohon, tumbuhan, yang dinamai rabana uding oleh masyarakat Palembang ini,
Divisi Kelas Bangsa Suku Marga Jenis
: : : : : :
Magnoliophyta Magnoliopsida Solanes Convolvulaceae Merremia Merremia peltata (L) Merr.
Dampak: memadati lahan-lahan kosong, merangkak, dan melilit, pohon-pohon besar hingga mati.
merambat halus hingga ke puncak tajuk. Sang pohon pun sekujur tubuhnya diselimuti tanaman ini. Pelan-pelan, mati. Dia tumbuh pada lahan-lahan hutan yang baru saja terbuka atau dibuka. Dengan begitu, sebagai bagian dari anggota alam hutan tropis, tanaman ini berada di garis depan dalam suksesi tumbuhan. Masalahnya, di Bukit Barisan Selatan terbukanya tanah hutan akibat ulah manusia, entah perambahan maupun penebangan liar. Kelahirannya bak ‘anak haram’, tak dikehendaki. Tanpa upaya serius untuk mengendalikan tanaman ini, Bukit Barisan Selatan sedang menghadapi musuh dalam selimut: menyerang dari dalam, yang akhirnya bisa menimbulkan bencana ekologi. Dengan daya tumbuhnya yang agresif, dia bisa merombak sebagian lansekap Bukit Barisan Selatan.
Sebaran Asli: mulai dari Madagskar, Mauritus, Tanzania, Indonesia, Malaysia, Filipina hingga bagian utara Australia. Pengendalian: di kawasan konservasi, secara teknis bisa dibabat hingga habis. Tapi karena berwatak pionir dan tangguh, pembabatannya harus dilakukan dengan telaten.
Juara Harapan I “Lomba Foto Konservasi” Judul: Memotret Hutan Karya: I Gusti Ngurah Bagus Pradnyana
Cetakan I dibiayai dari DIPA 2009 Direktorat Konservasi Kawasan