ISLAMISM REVISITED: MENIMBANG MASA DEPAN ISLAMISME Abdul Muis Naharong Abstract This article aims at explaining the fortune of Islamism. Several scholars contend that Islamism has failed in spite of the statements of several other scholars to the contrary. They argue that no Islamist group has taken over a government of a country, except in Iran, Sudan, and Afghanistan. But in Iran and Sudan, the Islamists have failed to run their respective country according to Islamist ideology. In Afghanistan, they could only hold their power for a short time. Some Islamist groups had resorted to violence and terrorism in their bid to take over a state but it was all to no avail. The only way left for them to achieve their objectives is to participate in the democratic system. And to this system they turn to and, surprisingly, they thrive. But this resulted in the metamorphosis in their ideologies, approaches, and practices to fit the new system they adopt. Because of these changes, several scholars refer to this type of Islamism as postIslamism. Keywords: Islamist, Islamism, Post-Islamism, Islamic Fundamentalism, and the Failure of Islamism.
Pendahuluan Sejak Khomeini berhasil menumbangkan rezim Shah Pahlevi pada tahun 1979, fundamentalisme Islam atau Islamisme1 telah menjadi topik perbincangan dan pusat perhatian para sarjana, pengambil kebijakan, dan wartawan. Banyak artikel dan buku telah diterbitkan untuk menjelaskan gerakan politik keagamaan ini. Hanya saja tulisan-tulisan dan gambaran mereka terhadap kelompok Islamis pada umumnya bersifat negatif. Penilaian seperti ini disebabkan, paling tidak, oleh dua faktor. Pertama, beberapa ajaran dan doktrin keagamaan yang mereka anut, ajarkan dan sebarkan bertentangan dengan prinsip-prinsip toleransi, hidup berdampingan secara damai, dan demokrasi, yang dianut dan dipercayai oleh mayoritas masyarakat di dunia ini, termasuk para penulis buku dan artikel tersebut. Kedua (faktor ini lebih penting dari yang pertama), beberapa peristiwa di berbagai tempat di belahan dunia ini yang melibatkan anggota kelompok Islamis radikal mendukung image dan gambaran negatif
1
Sebutan “Islamisme” dan “Islamis” lebih diterima oleh orang-orang atau kelompok-kelompok yang dilabel demikian dari pada “fundamentalisme Islam” dan “fundamentalis”. Istilah “Islamisme” dan “Islamis” juga digunakan oleh mayoritas sarjana di Barat dan Timur untuk menyebut anggota-anggota atau kelompok-kelompok harakah Islamiyya. Mengenai perdebatan dan perkembangan penggunaan istilah “fundamentalisme Islam” dan “Islamisme,” lihat artikel penulis yang berjudul “Kontroversi di Sekitar Penggunaan Istilah Fundamentalisme Islam,” Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 3, No. 3 (Maret 2005), hlm. 47-80.
Jurnal Universitas Paramadina Vol.6 No. 1, April 2009: 59-82
yang diberikan oleh penulis dan pengarang mengenai kelompok ini. Kejadian dan peristiwa tersebut, antara lain, adalah pembunuhan Presiden Anwar Sadat (1981) dan beberapa orang penting di Mesir, pembunuhan besar-besaran yang dilakukan oleh anggota GIA (Groupement Islamique Armé/Kelompok Islam Bersenjata) selama beberapa tahun sejak 1997 terhadap rakyat Aljazair yang menolak mendukung mereka dan/atau yang memihak pemerintah, pemboman World Trade Center (26 Februari 1993), pemboman fasilitas militer Amerika di Arab Saudi (25 Juni 1996), pembunuhan turis di Luxor, Mesir (17 November 1997), pemboman Kedutaan Besar Amerika di Tanzania dan Kenya (7 Agustus 1998), penghancuran gedung World Trade Center dan sebagian gedung Pentagon (11 September 2001), insiden bom Bali 1 dan 2 (masing-masing pada 12 Oktober 2002 dan 1 Oktober 2005), dan peristiwa-peristiwa lainnya yang sejenis. Insiden-insiden ini membuat Islamis dicap sebagai teroris yang harus diperangi dan dimusnahkan di muka bumi ini, terutama oleh pemerintah Amerika Serikat setelah peristiwa 11 September. Islamis2 dipandang sebagai ancaman dan musuh baru menggantikan Soviet setelah berakhirnya Perang Dingin, dan sebagai objek dari perang melawan teroris yang dikumandangkan oleh pemerintah Amerika Serikat dan sekutunya. Islamis menjadi musuh nomor satu dunia. Persitiwa-peristiwa yang baru saja disebutkan yang menyebabkan timbulnya image negatif terhadap kelompok Islamis, di lain pihak, selain pembantaian yang dilakukan oleh GIA di Aljazair, juga sekaligus bisa dipandang sebagai kesuksesan kelompok Islamis radikal dalam menjalankan beberapa misinya. Keberhasilan ini juga dibarengi dengan kesuksesan kelompok Islamis lainnya merebut kekuasaan di beberapa tempat. Misalnya, di Sudan dengan bantuan militer, di Afghanistan (Taliban) walaupun tidak berumur panjang, dan di Turki dengan keberhasilan AKP (Adalet ve Kalkinma Partisi/The Justice and Development Party) memperoleh mayoritas kursi di parlemen pada pemilihan 2002 dan memenangkan Pemilu 2007 dan mengangkat Menteri Luar Negerinya 2
Mereka tidak membedakan antara Islamis yang moderat dengan yang radikal. Islamis moderat berusaha mencapai tujuan dengan jalan damai, tidak menggunakan kekerasan. Sedangkan Islamis radikal tidak segan-segan menggunakan kekerasan dalam mencapai tujuan. Untuk mengetahui lebih jauh mengenai Islamis, yang moderat maupun yang radikal dan karakteristik mereka, lihat artikel penulis “Fundamentalisme Islam,” Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 4, No. 1 (Juli 2005), hlm. 30-73. Menurut Burgat (2003:178), sarjana yang menganalisa dan mendeskripsikan Islamis dan Islamisme secara garis besar terbagi kepada dua kubu. Kelompok pertama, yang mendapat liputan luas dari media, mendasarkan analisa dan deskripsi mereka pada sayap radikal Islamis untuk menjelaskan seluruh fenomena yang disebut dengan Islamis dan Islamisme. Sedangkan kelompok kedua menekankan aspek-aspek yang didasarkan pada budaya dan identitas nasional. Mereka meletakkan dimensi-dimensi yang murni keagamaan dari fenomena tersebut ke dalam perspektif dan menganggap marginal unsur ektremis Islamis, dan oleh karena itu mereka mengkritik antipati kelompok ekstrimis ini terhadap dinamika modernisasi sosial dan liberalisasi politik. 60
Abdul Muis Naharong Islamism Revisited: Menimbang Masa Depan Islamisme
(Abdullah Gul) sebagai presiden negara tersebut. Di samping itu, di Aljazair FIS (Front Islamique du Salut/Front Penyelamat Islam) berhasil memenangkan pemilihan di tingkat wilayah (Juni 1990) dan tingkat legislatif (Desember 1991), walaupun akhirnya kemenangan ini dibatalkan oleh tentara pada Januari 1992. Di Palestina Hamas berhasil memenangkan pemilu legislatif pada Januari 2006 dengan memperoleh 74 dari 132 kursi, Ikhwan al-Muslimin di Mesir memperoleh 19 % suara (88 kursi) dari 454 kursi di parlemen pada pemilihan 2005, al-Tajmu al-Yamani li al-Islah, partai Islamis di Yaman, memperoleh 23 % suara (46 dari 301 kursi) pada pemilihan anggota parlemen pada April 2003. Sedangkan di Indonesia PKS (Partai Keadilan Sejahtera) berhasil mendongkrak perolehan suara dari pemilu 1999 ketika masih bernama PK (Partai Keadilan), yaitu dari 1,436,565 juta suara (7 kursi) menjadi 8,325,020 juta suara (45 kursi) pada pemilu 2004. Fenomena serupa dijumpai pula di beberapa negara yang mempunyai kelompok Islamis, seperti di Jordania, Kuwait, Bahrain, Maroko, dan lain-lain. Tetapi yang lebih penting dari semua ini adalah kenyataan di setiap negara Arab partai-partai Islamis telah merupakan kelompok oposisi utama terhadap pemerintah yang berkuasa. Di negeri ini, PKS adalah satu-satunya partai Islam yang sangat diperhitungkan oleh partai-partai lainnya. Kesuksesan di bidang politik ini pada umumnya adalah buah dari keberhasilan mereka mempengaruhi pikiran dan menarik hati dan simpati orang-orang Muslim di Timur Tengah. Hal yang serupa terjadi juga di negara-negara lain, termasuk Indonesia, yang mempunyai kelompokkelompok atau partai-partai Islamis. Di dalam wilayah sosial budaya, wacana para Islamis dapat mempertahankan hegemoni di dalam perdebatan publik di kalangan orang-orang Arab, menggantikan Pan-Arabisme dan Marxisme. Islamisme mempunyai pengaruh yang dalam terhadap peran gender, fertilitas, dan kebiasaan makanan yang dikonsumsi. Islamisme juga punya pengaruh terhadap marginalisasi orang-orang Kristen setempat dan sensor terhadap film, sandiwara, dan buku. Praktek-praktek keagamaan yang ketat meluas, yang berakibat berkembangnya tekanan sosial untuk menyesuaikan diri terhadap praktek-praktek tersebut. Jilbab atau hijab merupakan contoh yang paling baik dari kasus ini. Di samping itu, organisasi-organisasi Islamis tumbuh dengan pesat. Media-media Islamis, khususnya majalah, audio dan video tapes, juga berkembang dengan pesat. Aktifisme keagamaan meningkat sebagai jalan utama untuk menyuarakan protes dan keinginan yang kuat terhadap perubahan. Tetapi di atas semuanya, kesuksesan pengusung ideologi Islamisme terletak pada kekuatan asosiasi-asosiasi atau organisasi-organisasi sukarela yang mereka miliki. Kesuksesan kelompok-kelompok Islamis ini membuat seorang diplomat senior Amerika Serikat yang lama bertugas di Syria dan Aljazair mengeluarkan pernyataan di dalam suatu Konferensi pada September 1993 bahwa kawasan Timur Tengah ditakdirkan menyaksikan suatu gelombang
61
Jurnal Universitas Paramadina Vol.6 No. 1, April 2009: 59-82
revolusi Islamis, berhasil atau gagal, dalam dekade yang akan datang.3 Kekhawatiran dan ketakutan bahwa “the Islamist wave seems unstoppable,” menjangkiti banyak orang, khususnya di Barat. Hal ini dapat dilihat dari munculnya banyak pernyataan4 dan terbitnya tulisan-tulisan yang mencerminkan keadaan tersebut dan kekhawatiran orang-orang Barat terhadap perkembangan ini. Misalnya, The Rising Tide of Islamic Fundamentalism, sebuah artikel yang ditulis oleh Dr. William Millard dari CSIS (Canadian Security Intelligence Service). Di dalam tulisan ini Millard (1993) mengatakan bahwa terdapat ketakutan luas, yang terlalu dibesarbesarkan, di berbagai kalangan di dunia Barat terhadap fundamentalisme Islam. Kelompok ini telah menjadi hantu baru bagi Barat, “naga hijau raksasa” yang siap menyemburkan api dan kehancuran pada semua yang ia lalui. Fundamentalisme Islam, khususnya di Timur Tengah, digambarkan oleh para pengamat Barat sebagai ancaman yang paling besar terhadap perdamaian dan keamanan dunia dan kepentingan-kepentingan Barat pada umumnya sejak lenyapnya hantu komunisme dan ancaman Soviet. Artikel lain yang mencerminkan kekhawatiran dan ketakutan terhadap Islamisme adalah tulisan Ami Isseroff pada 19 Desember 2005, yang berjudul “Islamism – The Tsunami of the future?” Isseroff mengatakan bahwa hampir di semua negara di Timur Tengah partai-partai Islamis nampak-nampaknya bergerak perlahan-lahan mendekati kekuasaan, meskipun atau mungkin karena dorongan demokratisasi oleh Amerika Serikat di daerah tersebut. Dan tidak banyak yang bisa dilakukan untuk membendung gerak laju mereka. Di akhir tulisannya Isseroff menegaskan bahwa “gelombang pasang masa depan” ini harus dihentikan sebelum menghancurkan kita semua. Tsunami tidak baik bagi kita semua. Sadanand Dhume di dalam artikelnya yang berjudul “Step Up the Fight Against Islamism” (2007) menyoroti ancaman kelompok Islamis terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dhume mengatakan bahwa meskipun ada tsunami dan kepanikan terhadap flu burung, tetapi Islam radikal atau Islamisme lah yang merupakan ancaman yang paling besar terhadap masa depan Indonesia. Islamisme telah mengancam prinsip nonsektarian dan tradisi pluralisme dari para pendiri Republik Indonesia. Jika orang-orang radikal tidak dihalangi, maka akibatnya bisa menjalar ke negara-negara tetangga Indonesia. Terlepas dari pernyataan-pernyataan mengenai akan berkuasanya partai-partai atau kelompok-kelompok Islamis dan bahaya atau ancamannya terhadap Barat dan negara-negara lainnya, beberapa orang sarjana berpendapat bahwa sejatinya Islamisme tidak lagi merupakan ancaman dan bahkan telah gagal mencapai tujuannya (merebut kekuasaan).
3
Dikutip di dalam Takeyh dan Gvosdev, 2004:xi. Salah satu dari pernyataan ini adalah yang dikeluarkan oleh Jenderal Willy Claes, mantan Sekjen NATO. Dia mengatakan bahwa Fundamentalisme Islam adalah ancaman besar bagi peradaban Barat (Dikutip di dalam Tibi, 1998:2-3).
4
62
Abdul Muis Naharong Islamism Revisited: Menimbang Masa Depan Islamisme
Artikel ini akan menelusuri pendapat para sarjana yang mengatakan bahwa Islamisme telah gagal, termasuk alasan-alasan kegagalannya dan bentuk perwujudan Islamisme dewasa ini akibat kegagalan tersebut. Artikel ini diakhiri dengan “komentar penutup.” Islamisme telah Gagal Olivier Roy, direktur penelitian di bagian ilmu-ilmu sosial dan humaniora dari Centre National de la Recherché Scientifique (CNRS) di Paris, adalah sarjana yang pertama kali menegaskan bahwa Islamisme telah gagal. Di dalam bukunya yang berjudul The Failure of Political Islam yang terbit pada tahun 1992 (dalam bahasa Prancis) dan 1994 (dalam bahasa Inggris), Roy menyebutkan empat faktor penyebab kegagalan Islamisme. Pertama, kegagalan paradigma (isolasi internasional dan pembusukan dari dalam rejim Sudan dan Iran). Kedua, kegagalan aksi-aksi kekerasan kelompok Islamis dalam menumbangkan pemerintah di Timur Tengah. Ketiga, kebuntuan ideologi Islamis, dan keempat, petro Islam Arab Saudi. Roy mengfokuskan uraiannya khususnya pada dua faktor terakhir. Di dalam bab yang berjudul “Kebuntuan Ideologi Islamis,” Roy (1994:60ff) mengatakan bahwa kelompok-kelompok Islamisme tidak dapat berhasil karena kontradiksi-kontradiksi ideologis internal mereka. Pertama, dalam masalah teks. Sejak terbitnya tulisan-tulisan para pendiri atau pemimpin Islamis (seperti Abu l-A’la Mawdudi, Hasan al-Banna, Sayyid Qutb, Mustafa al-Siba’i , Khomeini, dan lain-lain), yang semuanya muncul sebelum 1978, tidak ada lagi buku-buku sejenisnya yang mereka terbitkan kecuali dalam bentuk brosur, buku yang berisi doa-doa, penjelasan-penjelasan yang lemah terhadap buku-buku yang sudah terbit, dan kutipan-kutipan dari para pengarang terdahulu. Kedua, dalam masalah konsep, yang telah mencapai jalan buntu. Bagi orang-orang Islamis, masyarakat Islam bisa terwujud hanya dengan melalui jalur politik, tetapi lembaga-lembaga politik berfungsi hanya sebagai akibat dari kesalehan orang-orang yang menjalankan lembaga-lembaga tersebut. Sedangkan kesalehan dapat tersebar luas hanya jika masyarakat menjadi Islamis terlebih dahulu. Hal ini merupakan suatu lingkaran setan. Ketiga, dalam masalah aksi/tindakan. Baik revolusi Iran maupun Afghanistan tidak memberikan model mengenai bagaimana masyarakat Islam itu seharusnya. Bagi kalangan Islamis, menurut Roy, lembaga-lembaga politik didirikan untuk memaksa individu menjadi seorang Muslim yang baik. Apabila anggota masyarakat sudah benar-benar baik, maka lembagalembaga tersebut tidak dibutuhkan lagi. Prinsip bersatunya antara agama dengan negara, yang bagi ulama-ulama tradisional berarti memasukkan politik ke dalam wilayah empiris, secara paradox menjadi, bagi kalangan Islamis, suatu penolakan politik itu sendiri demi suatu pencarian kesalehan yang tidak mungkin diperoleh. Karena model politik kelompok Islamis dapat dicapai hanya pada manusia, bukan pada lembaga-lembaga, hanya manusia lah yang menciptakan sebuah negara, maka sebuah negara Islamis tidak mungkin berdiri. 63
Jurnal Universitas Paramadina Vol.6 No. 1, April 2009: 59-82
Roy mengatakan bahwa suatu re-Islamisasi yang berhasil akan menghancurkan suatu masyarakat politik. Jika setiap orang sudah baik, maka negara tidak diperlukan lagi. Negara tinggal diberi peran pedagogis yang sederhana, yaitu menyediakan pembatasan-pembatasan permanen yang, di satu pihak, menghilangkan kesempatan untuk berbuat dosa, dan di lain pihak, menciptakan suatu sistem hukuman yang bertujuan mendirikan kembali kemurnian masyarakat, suatu masyarakat yang bebas dari dosa. Dengan kata lain, negara berfungsi hanya untuk membuat manusia menjadi baik/saleh. Kesuksesan menjalankan misi ini sekaligus merupakan lonceng kematiannya. Apabila semua orang sudah baik/saleh, maka secara otomatis mereka akan hidup rukun. Semakin saleh/baik mereka, maka negara semakin lemah. Di dalam bukunya yang terbit 2001 (bahasa Prancis) dan 2005 (edisi bahasa Indonesia), Roy (2005:v-vi) mengatakan bahwa gerakan Islamisme telah gagal jika ditinjau dari proyek yang mereka bangun. Mereka gagal dalam mengelola negara dan sistim politik yang mereka terapkan, yang mengelola semua aspek masyarakat dan ekonomi, berdasarkan Islam. Mereka juga tidak berhasil menolak pluralisme dalam politik. Kegagalan proyek ideologis ini, menurut Roy, dapat dilihat di semua negara di mana Islamis memegang atau pernah memegang tampuk kekuasaan, seperti di Iran, Sudan, Afghanistan, dan Bosnia. Kelompok-kelompok Islamis ini, baik yang sedang memegang kekuasaan maupun sebagai kelompok oposisi, terbawa masuk ke dalam logika dan politik nasional, yang berakibat kekhasan ideologi mereka menjadi kabur. Mereka menerima demokrasi secara terbuka, seperti partai Wasat di Mesir, atau berubah menjadi gerakan konservatif, seperti gerakan Ikhwan al-Muslimin di Jordania. “Nasionalisasi” gerakan-gerakan Islamis ini, menurut Roy, tidak dapat dihindari. Roy (2004:74),5 mengatakan bahwa kebanyakan gerakan Islamis telah terlibat di dalam proses integrasi politik sebagai akibat dari berbagai macam kegagalan, tekanan, isolasi, pemberdayaan, lelah berperang, kritik diri, dan politik praktis. Yang mendorong mereka memasuki ranah multi-partai politik adalah pengalaman dan politik praktis, bukan karena ideologi. Oleh karena itu, kata Roy (2004:62-63), meskipun mereka mengaku bersifat supranasional, yaitu melampaui batas dan kepentingan nasional, tetapi kebanyakan dari mereka telah dibentuk oleh keadaan-keadaan dan kejadian-kejadian di suatu negara di mana mereka berada. Pemberdayaan memperkuat identifikasi mereka dengan negara, seperti yang terjadi dengan partai-partai komunis pada tahun 1950an dan 1960an. Bedanya adalah gerakan-gerakan Islamis mainstream pada tahun 1990an gagal menghasilkan sesuatu yang menyerupai sebuah “Islamist International” seperti halnya Komunis Internasional (atau Comintern). “Nasionalisasi” Islamisme ini, menurut Roy, nampak paling jelas di negaranegara Timur Tengah. 5
Buku ini terbit pertama kali pada 2002 dengan judul “L’islam mondialise.” Penulis memakai edisi bahasa Inggrisnya yang terbit pada 2004.
64
Abdul Muis Naharong Islamism Revisited: Menimbang Masa Depan Islamisme
Pada tahun 2006 Roy kembali menjelaskan apa yang ia maksud dengan pernyataan bahwa Islamisme telah gagal. Roy (2006) mengatakan bahwa dengan judul “The Failure of Political Islam,” ia bermaksud mengatakan bahwa ideologi orang-orang Islamis sama sekali tidak jalan. Ideologi mereka tidak memberikan dasar untuk mendirikan suatu masyarakat baru, suatu negara baru, atau menawarkan alternatif terhadap demokrasi Barat dan Komunisme. Hal ini, kata Roy, nampaknya juga disadari oleh orang-orang Islamis karena mereka telah hampir meninggalkan ide bahwa negara Islam adalah suatu cara merobah masyarakat global. Sebagai akibatnya, terjadi pergeseran utama menuju Islam-nationalisme. Kebanyakan partai dan pergerakan Islamis pada satu setengah dekade terakhir telah menyusun tujuan mereka di dalam termaterma nasionalis, meskipun mereka tidak meninggalkan ide bahwa shari’a harus menjadi dasar negara. Di samping itu, agenda kebanyakan kelompok ini, seperti Hamas, Iran (termasuk agenda Mahmoud Ahmadinejad), AKP di Turkey, FIS di Aljazair, Al-Nahda di Tunisia, dan bahkan untuk taraf tertentu Jamaat-i-Islami di Pakistan, jauh lebih nasionalis dari pada Islamis. Hal ini juga terjadi di cabang-cabang (gerakan-gerakan lokal) Ikhwan al-Muslimin di Mesir.6 Akibat dari perubahan orientasi ini muncul lah kelompok-kelompok Islamis yang dilabel oleh Roy sebagai postIslamisme. Mengenai post-Islamisme ini akan dijelaskan nanti. Sarjana berikutnya yang menyatakan bahwa Islamisme sudah menemui jalan buntu alias sudah gagal adalah Emmanuel Sivan. Sivan (1998) mengatakan bahwa meskipun Islamisme berhasil dalam ranah sosial dan budaya, tetapi gagal dalam mencapai kekuasaan. Sivan mengatakan bahwa Islamis7 atau orang-orang radikal telah mencoba tiga cara untuk merebut kekuasaan, yaitu kekerasan, da’wah dan parlemen, tetapi ketigatiganya gagal. A. Kekerasan Sivan menyatakan bahwa banyak gerakan-gerakan radikal yang menggunakan kekerasan untuk merebut kekuasaan. Dengan harapan dapat mengikuti jejak Iran, Sudan dan Afghanistan, mereka berusaha merebut kekuasaan dari atas dan mengontrol negara. Tetapi usaha mereka tidak berhasil. Kegagalan ini terutama disebabkan oleh tingginya dan semakin efektifnya perlawanan pemerintah dari negara bersangkutan. Aparat pemerintah melakukan operasi counter terorisme yang berhasil dengan baik, bergantung pada operasi-operasi intelijen yang menimbulkan kerugian di pihak lawan, dan perubahan undang-undang, seperti mengijinkan penahanan orang-orang yang dicurigai akan berbuat kejahatan, penggeledahan tanpa surat perintah, dan memindahkan orang-orang yang 6
Hal yang serupa terjadi juga di kalangan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Indonesia.
7
Sivan menggunakan istilah “Islamisme,” “Islam radikal” dan “militan Islam” untuk menyebut gerakan yang biasa disebut dengan nama “fundamentalisme Islam.”
65
Jurnal Universitas Paramadina Vol.6 No. 1, April 2009: 59-82
dicurigai kepada pengadilan militer. Aparat keamanan di banyak negara Timur Tengah mengadakan kerjasama dengan rekan mereka di negaranegara Muslim lainnya, termasuk Turki dan Pakistan, dan juga dengan negara-negara Barat. Beberapa rejim diktator membabat habis gerakangerakan yang aktif di negara mereka. Saddam Husain membunuh kaderkader mereka pada 1980 dan memadamkan pemberontakan pada bulan Maret 1991. Hafiz Asad melakukannya di tahun 1982 dengan meratakan kota Hama dengan tanah dan membunuh 22,000 orang penduduknya, dan Mu’ammar Qadafi melakukan hal yang sama di Libya kecuali di Wadi alAnjil. Di samping cara-cara militer ini, rezim penguasa di Timur Tengah juga melakukan perang pemikiran untuk mempengaruhi pikiran dan menarik simpati masyarakat. Untuk medeligitimasi kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang Islamis, mereka menggunakan para ulama untuk meng-counter paham-paham Islamis yang mendorong anggotanya melakukan kekerasan. Di samping itu, mereka juga memakai industri hiburan dalam usaha mereka melawan ide-ide radikal Islamis. Dalam hal ini, pemerintah Mesir telah memproduksi film-film yang berhasil seperti “The Terrorist” dan “Terror and Meatballs,” serta mini-series Televisi “Layla and the Dervishes.” Kegiatan-kegiatan anti-teroris yang tersebar luas ini, kata Sivan, mungkin sebagai penyebab timbulnya keretakan dan perpecahan di kalangan orang-orang Islamis. Pimpinan organisasi al-Jihad dan Jama’ah Islamiyah yang berada di dalam penjara di Mesir telah menyerukan kepada anggotanya untuk menghentikan aksi-aksi teror,8 meskipun banyak pemimpin kedua organisasi ini yang melarikan diri ke luar negeri menentangnya. Seruan serupa juga dikeluarkan oleh para pimpinan FIS dan sayap militernya, AIS (Armée Islamique du Salut/Tentara Penyelamat Islam) di Aljazair. Tetapi seruan ini ditolak mentah-mentah oleh kelompok GIA.
8
Alasan yang sama seperti dikemukakan oleh Sivan juga diberikan oleh Stacher (2002). Sedangkan menurut Maguid (2003), perubahan sikap ini disebabkan oleh dua faktor. Pertama, kegagalan merobah sistem politik Mesir dengan kekuatan. Tindakan kekerasan dan pembunuhan yang dilakukan oleh anggota Jama’ah Islamiyah membuat aparat keamanan bereaksi dengan menangkap dan membunuh beberapa anggota kunci dan memaksa sebagian dari mereka melarikan diri ke luar negeri. Tindakan keras ini berhasil mengacaukan jalur komunikasi Jama’ah Islamiyah untuk melakukan aktifitas yang terencana dengan baik. Kedua, studi agama yang mendalam yang dilakukan oleh pemimpin kelompok ini di dalam penjara. Sebelum ini, mereka hanya mempunyai pendidikan agama yang terbatas berdasarkan beberapa buku yang membangkitkan imaginasi kekerasan anak-anak muda. Di dalam penjara hal ini berubah. Aparat keamanan membolehkan anggota Jama’ah memperoleh dan membaca buku-buku agama, dan mereka menggunakan waktu di penjara untuk memperluas pengetahuan keagamaan. Gerges (2005) juga memberikan uraian yang baik mengenai perubahan sikap kedua pimpinan kelompok ini yang berada di penjara Mesir dan seruannya untuk menghentikan aksi-aksi teror.
66
Abdul Muis Naharong Islamism Revisited: Menimbang Masa Depan Islamisme
B. Infiltrasi Budaya Kalau Islamisasi dari atas dengan kekerasan sebagai alat untuk mencapai kekuasaan sedang mengalami kemunduran, tidak demikian halnya dengan Islamisasi dari bawah, yaitu infiltrasi jangka panjang ke dalam setiap bagian masyarakat sebagai cara untuk mencapai kekuasaan. Strategi kedua ini lah yang dipakai oleh kelompok Ikhwan Muslimin di Mesir dan negara-negara lainnya. Mereka terlibat di dalam usaha-usaha penerapan hukum Islam, cara berpakaian, peraturan yang lebih ketat terhadap turis, pelarangan terhadap alkohol, pornografi, dan cakram satelit televisi. Di Mesir, Lebanon, Jordania, dan Kuwait para fundamentalis melakukan perlawanan pengadilan dan kampanye surat kabar melawan penulis dan artis yang permisif. Mereka memobilisasi masyarakat memprotes hubungan dengan Israel (sebuah topik yang penting di Jordania), melakukan pemogokan menentang tingginya biaya hidup (di Lebanon dan Marokko), atau melakukan demonstrasi mendukung konstitusi (di Bahrain). Menurut Sivan, ada dua faktor utama yang mendukung strategi tersebut. Pertama, pesan kelompok Islamis yang mengatakan bahwa negara gagal memberikan kesejahteraan kepada masyarakat adalah karena buruknya moral dan paham sekularisme yang aparat pemerintah anut. Pesan ini sederhana, efektif dan menarik bagi suatu budaya yang secara dalam tertanam di dalam diri anggota masyarakat yang menghubungkan keresahan-keresahan pribadi ke keresahan-keresahan publik. Kedua, struktur organisasi Islamis yang rumit tetapi cukup elastis itu mudah diubah disertai desentralisasi dengan sedikit hierarki. Kelompok semacam ini menjamin persamaan status di kalangan anggota Islamis tanpa menghambat pengambilan keputusan. Hal ini dilakukan dengan mengangkat figur lokal yang karismatik. Cara ini tidak menimbulkan kesan represi dan memberi anggota suatu perasaan pemberdayaan dan solidaritas kelompok. Gerakan Islam radikal mendapat bantuan ketika para rezim, menyadari bahwa ideologi nasionalis dan statis telah hilang daya tariknya, mencoba mendongkrak popularitasnya dengan legitimasi keagamaan. Mereka memasukkan banyak mata pelajaran agama ke dalam sistem sekolah sehingga anak yang dididik dalam sistem seperti itu mudah menerima pandangan hidup orang-orang radikal yang disampaikan dalam wacana yang mereka kenal dengan baik. Karena sistem sekolah di negaranegara tersebut adalah hafalan, maka anak-anak muda dikondisikan untuk menerima pesan-pesan yang dogmatis tanpa adanya sikap kritis, suatu pola pikir di mana radikalisme berkembang dengan subur. Semua ini membantu menjelaskan kelangsungan hidup organisasi dan budaya Islam radikal. Meskipun demikian, faktor-faktor ini tidak menyebabkan kekuasaan politik mereka meningkat. Hal ini, menurut Sivan, disebabkan oleh gerakan-gerakan Islamis bertujuan untuk menghentikan, sebelum terlambat, kejatuhan Timur 67
Jurnal Universitas Paramadina Vol.6 No. 1, April 2009: 59-82
Tengah yang nampaknya tidak dapat dihindari menuju kemurtadan, modernitas dan sekularisme. Ini adalah usaha jangka panjang dan kampanye seperti itu hampir-hampir tidak dapat membangkitkan rasa ketertarikan anggota-anggotanya yang kebanyakan terdiri dari anak-anak muda yang berumur 15 sampai 25 tahun. Para anggota Ikhwan al-Muslimin, misalnya, percaya bahwa berkat krisis yang sedang melanda negara dan kemampuan mereka mencari jalan, mereka pada akhirnya akan menginfiltrasi elite negara dan menciptakan popular base untuk melakukan tekanan terhadap para elite yang telah tersekulerkan ini untuk berubah. Mereka yakin, pada akhirnya, akan menempatkan elite-elite pemerintah baru yang telah terislamkan. Akan tetapi keyakinan ini, kata Sivan, tidak terwujud dalam kenyataan. Pengalaman telah menunjukkan adanya kekuatan-kekuatan budaya yang berlawanan dengan usaha-usaha para Islamis. Kekuatankekuatan budaya tersebut berupa pesan-pesan hedonistik yang dipancarkan oleh TV dan radio yang mengecilkan dan melemahkan slogan “Islam is the solution” dari kelompok Islamis. Dayatarik budaya consumer, sepatu sniker dan film bikinan Amerika Serikat mempesona banyak anak-anak muda tempat orang-orang tua menumpukan harapan mereka. C. Parlemen Kegagalan jalan kekerasan dan da’wah menyebabkan kelompok Islamis lebih mempertimbangkan dari sebelumnya untuk menempuh jalan parlemen atau demokrasi. Kelompok yang menganjurkan jalan ini menunjuk kepada sifat-sifat yang baik dari sistem parlementer tersebut. Misalnya, sistem ini membolehkan mereka memperkenalkan pembaruanpembaruan hukum, menentukan bentuk/arah pembuatan kebijakan, mengalokasikan dana untuk hal-hal yang dianggap penting oleh kelompok Islamis, seperti pendidikan Islam. Yang jadi masalah adalah tidak semua anggota kelompok Islamis setuju dengan jalan parlemen atau demokrasi ini. Mereka yang menolak demokrasi memberikan beberapa alasan penolakan mereka. Pertama, demokrasi itu merupakan nilai yang hanya dianut oleh para elite yang “mabuk Barat” yang dibenci. Demokrasi tidak mampu menghentikan kejatuhan masyarakat ke dalam kekafiran, apalagi membalikkan ke arah sebaliknya. Sebuah sistem yang disandarkan kepada kedaulatan manusia itu bertentangan dengan kedaulatan Tuhan yang dipercayai oleh orang Islam. Menurut mereka, demokrasi dapat diterima paling banter hanya sebagai alat, dan dalam keadaan seperti itu demokrasi terbukti gagal. Kedua, di negara-negara di mana partai-partai yang bercorak agama dilarang, seperti Aljazair, Tunisia dan Mesir, orang-orang Islamis dilarang mencalonkan diri atau diperbolehkan hanya sebagai calon independen atau bergabung dengan partai lain. Kegiatan mereka selalu mendapat gangguan dari pemerintah dan aktivis mereka tidak diberi kebebasan berekspresi dan bepergian. Mereka juga bisa digeledah dan ditahan tanpa alasan yang kuat, atau bisa kehilangan pekerjaan di pemerintahan. Ketiga, tidak ada partai 68
Abdul Muis Naharong Islamism Revisited: Menimbang Masa Depan Islamisme
oposisi Arab yang pernah meraih kekuasaan atau bahkan suara terbanyak melalui pemilihan. Pengembalian suara dimanipulasi oleh penguasa. Dan ketika FIS di Aljazair memenangkan pemilihan pada putaran pertama pada Juni 1991, militer membatalkan hasil pemilihan tersebut. Keempat, Islamis tidak mempunyai keunggulan yang berarti untuk bermain di dalam sistim parlementer dan oleh karena itu adalah suatu kesalahan untuk ikut ambil bagian dalam pemerintahan. Di samping itu pengaruh mereka dalam pembuatan undang-undang dan kebijakan sangat minim. Pos menteri yang diberikan kepada partai Islam yang bergabung dengan pemerintah biasanya adalah kementerian yang kecil dan oleh karena itu usaha-usaha partai ini untuk membuat perubahan sering dihalangi. Sebagai akibatnya, partai ini menjadi jelek di dalam pandangan para pemilihnya dan dituduh sebagai penghianatan atau sebagai tidak efektik, dan akibat selanjutnya mereka kehilangan dukungan. Kegagalan atau nasib yang kurang baik yang menimpa partai-partai Islamis di Timur Tengah, menurut Sivan, tidak hanya sebagai akibat kebijakan dari rezim terhadap mereka. Tetapi hal tersebut juga berasal dari kalangan liberal dari para elite penguasa yang tidak menghendaki Islamis, yang mempunyai sifat anti demokrasi dan merupakan kekuatan oposisi yang paling penting di dalam masyarakat, menjadi kelompok yang memetik keuntungan dari peralihan tersebut, yang dapat mengarah kepada model rezim di Sudan dan Iran. Menurut Sivan, meskipun prospek orang-orang radikal atau Islamis di Timur Tengah kecil sekali untuk mengambil alih kekuasaan, tetapi salah kalau mereka dipandang ditakdirkan gagal dalam bidang politik. Nasib mereka bisa berubah kalau terjadi perubahan ekonomi dan lingkungan politik. Mereka masih dapat meraih kekuasaan baik melalui ballot (surat suara) maupun bullet (peluru), sebagai akibat dari kekalahan militer, krisis pergantian rezim, atau situasi ekonomi yang memburuk secara drastik. Gilles Kepel, seorang Guru Besar Studi Timur Tengah di Institute for Political Studies di Paris, adalah sarjana lain yang menyatakan kegagalan Islamis. Kepel (2002: 207) mengatakan bahwa catatan dari 10 tahun terakhir abad 20 sepintas lalu memberikan kesan kekuatan Islam politik sedang meningkat di semua negara. Meskipun terdapat kesan seperti itu, tetapi realitas yang sebenarnya menunjukkan bahwa kelompok moderat dan radikal di dalam gerakan Islamis tidak mampu lagi membangkitkan pergolakan sosial dalam skala yang dapat membawa kepada kemenangan yang bertahan lama seperti halnya dengan revolusi Iran. Kekerasan yang terjadi berulangkali di dekade tersebut terutama merupakan suatu refleksi dari kelemahan struktural gerakan ini, bukan pertanda kekuatan mereka. Di samping itu gerakan ini tidak mampu melahirkan ideolog baru sekaliber Maududi, Sayyid Qutb, dan Khomeini. Sedangkan para imitator mereka tidak mampu menawarkan sebuah visi menyeluruh yang dapat melampaui permusuhan-permusuhan masyarakat.
69
Jurnal Universitas Paramadina Vol.6 No. 1, April 2009: 59-82
Menurut Kepel (2002:362), ada tiga faktor penyebab kemunduran Islamisme. Pertama, menurunnya nilai mimpi-mimpi utopis di bawah tekanan waktu dan kekuasaan. Kedua, konflik-konfik yang terjadi di antara berbagai komponen Islamis. Ketiga, kegagalan mereka menerapkan prosedur demokrasi. Kepel (2002:375) menegaskan bahwa kemunduran gerakan ini bisa dilihat dengan munculnya bentuk-bentuk terorisme yang dilakukan oleh kelompok Islamis, yang paling dahsyat dari semuanya itu adalah serangan 11 September 2001. Serangan ini, kata Kepel, adalah satu usaha untuk membalikkan proses kemunduran tersebut. Tetapi serangan ini sejatinya adalah suatu simbol keputusasaan dari isolasi, fragmentasi dan kemunduran gerakan Islamis. Di samping itu, eksperimen-eksperimen politik Islam seperti yang diperlihatkan di Aljazair, Sudan, Iran, dan Afghanistan, menurut Kepel (2002:373), telah kadaluarsa. Meskipun demikian, seperti halnya Olivier Roy, Kepel juga mengatakan bahwa akibat kegagalan cara yang mereka tempuh untuk mencapai kekuasaan, kelompokkelompok atau partai-partai Islamis telah merobah orientasi menuju arah Post-Islamisme. Ray Takeyh (2001:102) mempunyai penilaian yang sama dengan Kepel ketika ia mengatakan bahwa masa Islam politik sekarang telah lewat. Pernyataan ini lebih tegas dituangkan pada judul tulisannya, “Islamism: R.I.P. [Rest In Peace],” yaitu Islamisme atau Fundamentalisme Islam sudah mati. Sebagaimana halnya dengan Kepel, Takeyh juga mendasarkan pendapatnya pada keadaan kelompok-kelompok Islamis di beberapa negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam, seperti Mesir, Aljazair, dan pemerintahan Islam di Iran, tiga negara yang dianggap barometer sukses tidaknya gerakan-gerakan serupa yang ada di negaranegara lain. Dan menurut penilaian Takeyh (2001: 98-99), Islamisme telah gagal di semua negara tersebut disebabkan Islamisme tidak lebih dari suatu ideologi yang kosong. Islamisme pada dasarnya, menurut Takeyh dan Gvosdev (2004:xi), merupakan ideologi yang cacat yang tidak dapat menyediakan pola yang dapat dipakai untuk memerintah. Meskipun Islamisme merupakan ideologi yang tidak solid, tetapi ia mampu menimbulkan pemberontakan dan mengarahkan keresahan dan kemarahan masyarakat. Berdasarkan pengalaman AKP9 di Turki yang memperoleh suara terbanyak pada pemilihan parlemen 2002, Takeyh dan Gvosdev (2004:164) mengatakan bahwa penggabungan nilai-nilai Islam dengan prinsip-prinsip liberal nampaknya lebih dapat menarik pendukung daripada mengusung visi utopis yang ketat dari sebuah Masa Keemasan yang telah hilang. 9
Pemimpin partai ini, Recep Tayyip Erdogan, menjelaskan bahwa partainya bukanlah sebuah gerakan radikal tetapi suatu kelompok konservatif yang mendukung nilai-nilai seperti halnya dengan Kristen Demokrat Eropa. Erdogan percaya bahwa AKP dapat berhasil mengintegrasikan etika Muslim dengan demokrasi liberal dan partainya telah bertekad untuk melakukan pembaharuan yang diperlukan untuk membawa Turki ke dalam keanggotaan penuh Uni Eropa (Lih. Takeyh dab Gvosdev, 2004:164).
70
Abdul Muis Naharong Islamism Revisited: Menimbang Masa Depan Islamisme
Cameron S. Brown (2006), deputi direktur dari the Global Research in International Affairs (GLORIA) Center, mengatakan bahwa sejak revolusi Iran 1979, dunia telah menantikan munculnya revolusi yang sama seperti di Iran. Tetapi sampai dia menulis artikel ini belum ada gerakan Islam yang dapat merebut kekuasaan dengan menumbangkan pemerintah yang sedang berkuasa. Berdasarkan pengalaman selama seperempat abad yang lalu, para penguasa telah belajar dari peristiwa di Iran, yaitu seorang penguasa harus bersedia melakukan apa saja untuk mempertahankan kekuasaannya. Menurut Brown, ada empat cara yang dilakukan oleh para penguasa untuk tetap berkuasa. Pertama, mereka menggunakan kekuatan, seperti penahanan masal, pemenjaraan, hukuman mati, penyiksaan, untuk mengalahkan lawan-lawan mereka dari kalangan Islamis. Kedua, mengkooptasi kelompok Islamis dengan memberi mereka kekuasaan terbatas, seperti memberi mereka jabatan menteri di kementerian kecil yang tidak berhubungan dengan keamanan. Ketiga, para penguasa memakai legitimasi Islam untuk menyaingi klaim para Islamis. Para penguasa ini menampakkan kesalehan dan rajin melakukan ritus-ritus keagamaan dalam usaha mengambil kembali kartu keagamaan dari para Islamis. Keempat, beberapa negara, seperti Arab Saudi dan Mesir, penguasa bekerja sama dengan lembaga keagamaan mengeluarkan peraturan-peraturan dan menyampaikan khutbah-khutbah yang mendukung rezim yang berkuasa dan kebijakan-kebijakan mereka. Brown mengatakan bahwa sampai saat ini para Islamis telah menggunakan empat strategi dalam usaha mereka merebut kekuasaan, yaitu kudeta, terorisme, perang saudara/revolusi, dan demokrasi. A. Kudeta Beberapa kelompok Islamis telah mencoba menyusup ke dalam lingkaran penguasa untuk melancarkan kudeta, tetapi, kecuali di Sudan, semua usaha ini telah gagal dan nampak-nampaknya tidak akan pernah berhasil. Penguasa di setiap negara, baik yang mencapai kekuasaan juga dengan kudeta atau karena telah melihat kudeta terjadi di negara tetangga, memastikan untuk tidak kehilangan kepalanya dalam suatu kudeta, paling tidak, dengan menempuh dua cara. Pertama, para pemimpin sering membersihkan angkatan bersenjata mereka dengan memecat orang-orang yang dicurigai dari kalangan Islamis dan orang-orang yang berpotensi menjadi musuh. Di samping itu, mereka juga mengangkat pendukung mereka yang setia menempati jabatan atau posisi kunci di tubuh militer. Tidak jarang mereka bergantung kepada orang-orang yang berasal dari suku yang sama dengan mereka. Kedua, dan paling penting adalah bahwa setiap pemimpin negara tersebut telah berhasil memecah belah dan menaklukkan tentaranya sendiri. Angkatan bersenjata di negara-negara tersebut dilanda hal-hal yang berlebihan. Seperti badan inteligen tidak pernah satu, tetapi bisa dua belas. Tentara juga tidak mempunyai komunikasi antar lembaga, khususnya di antara angkatan bersenjata.
71
Jurnal Universitas Paramadina Vol.6 No. 1, April 2009: 59-82
Meskipun sekali-sekali kelompok Islamis berhasil menyusup sampai tingkat tertentu ke dalam tubuh tentara, tetapi ancaman terbesar dari hal ini hanyalah membunuh pemimpin dari negara bersangkutan, tidak menggantinya. Contoh yang paling baik dari kasus ini adalah pembunuhan Presiden Anwar Sadat 1981. Meskipun mereka berhasil membunuhnya, tetapi mereka tidak mempunyai kemampuan merebut kekuasaan di Mesir. Berdasarkan kasus ini, kata Brown, strategi ini (kudeta) sangat kecil kemungkinannya untuk berhasil di masa yang akan datang. Keberhasilan Islamis mengambil alih kekuasaan di Sudan merupakan kasus tersendiri yang tidak mempunyai efek berantai. B. Terorisme Meskipun akhir-akhir ini terorisme merupakan taktik yang paling luas digunakan, tetapi, kata Brown, taktik ini bahkan lebih kecil kemungkinannya untuk berhasil membawa kelompok Islamis mencapai kekuasaan. Alasan utamanya adalah bahwa meledakkan benda atau menembak orang tidak memberi kelompok Islamis jalan menuju kekuasaan—yaitu tidak menyebabkan rezim yang sedang berkuasa jatuh. Para ahli menjelaskan bahwa Islamis menempuh strategi terorisme adalah untuk menimbulkan kekacauan yang akan merusak ekonomi negara bersangkutan, khususnya sektor parawisata. Jika ekonomi negara hancur, maka ketidakpuasan publik akan meningkat dan hal ini akan mempengaruhi stabilitas rezim yang sedang berkuasa. Strategi ini, kata Brown, pada umumnya menyerang balik kalangan Islamis sendiri. Serangan teroris terhadap turis dan sasaran-sasaran lokal memperkuat penguasa, bukan melemahkannya. Menumpahkan darah orang-orang yang tidak berdosa dan merusak mata pencaharian orang tentu saja tidak membuat mereka bersimpati kepada kelompok Islamis. Kemarahan besar terhadap orang-orang Islamis setelah pembantaian turis di Luxor pada 1997 dan ungkapan kemarahan yang sama yang diperlihatkan oleh orang-orang Jordania pada 2005 (pemboman hotel di Amman oleh anggota Islamis) membuktikan ketidakefektifan terorisme. Selanjutnya kemarahan publik ini memberi rezim legitimasi yang ia butuhkan untuk melakukan operasi keamanan yang agresif, termasuk penangkapan besar-besaran terhadap anggota Islamis. Ketika aparat keamanan menangkap atau membunuh sejumlah besar pemimpin dan anggota Islamis tanpa memberi mereka kesempatan untuk menggambarkan diri mereka sebagai martir atau direpresi secara tidak adil, hal ini pasti melemahkan kelompok-kelompok Islamis. Memang, kata Brown, terorisme yang sasarannya adalah orangorang Barat (khususnya Amerika Serikat dan Israel) sangat efektif di dalam meningkatkan dukungan rakyat terhadap organisasi Islamis. Tetapi dari segi ini pun strategi terorisme tidak berhasil secara luas mencapai tujuannya. Pertama, hanya karena tindakan teror mereka mendapat dukungan yang luas dari masyarakat tidak berarti masyarakat pada umumnya ingin hidup di bawah pemerintahan Islamis. Kedua, bahkan 72
Abdul Muis Naharong Islamism Revisited: Menimbang Masa Depan Islamisme
terorisme yang dilakukan di dalam negara-negara Barat (seperti 11 September 2001 dan pemboman Madrid) agak kontra produktif bagi gerakan Islamis. Tindakan teror tersebut dapat meningkatkan dukungan di kalangan orang Timur Tengah, tetapi perbuatan ini membuat pada korban menyatukan kekuatan pada level operational dan kebijakan yang sebelumnya sama sekali tidak terbayangkan. Serangan ini juga memaksa negara-negara Barat membuat undang-undang yang memberi agen-agen penegak hukum kekuasaan yang sangat luas untuk melacak dan menangkap calon-calon teroris. Terakhir, serangan ini membuat warga negara Barat, yang tadinya apatis, menilai kembali masyarakat Muslim yang hidup di tengah-tengah mereka, dan mempertimbangkan kembali kebijakan visa dan imigrasi mereka. C. Perang Saudara atau Revolusi Meskipun revolusi berhasil di Iran dan perang saudara berhasil di Afghanistan, tetapi keduanya tidak mungkin berhasil di tempat lain. Ini terutama karena, seperti yang terjadi di Aljazair dan Syria, aparat negara lebih kuat dari para Islamis. Aparat negara mempunyai kemampuan inteligen dan sistem persenjataan kuat yang tidak dimiliki oleh para Islamis. Dan yang paling penting adalah mereka bersedia bertempur tanpa rasa takut kelihatan kejam. Oleh karena itu, tanpa bantuan militer dan ekonomi yang sangat besar dari pihak luar, kesempatan memenangkan perang saudara atau pemberontakan sangat kecil. Di samping itu pertumpahan darah yang mengerikan di Aljazair telah membuat takut para Islamis di banyak negara, khususnya di Afrika Utara. Oleh karena itu lebih kecil kemungkinannya dari sebelumnya mereka mencoba menggunakan senjata untuk merebut kekuasaan. Meskipun demikian, ada kemungkinan banyak kelompok Islamis yang saat ini meninggalkan kekerasan akan mempertimbangkan untuk menggunakan kembali strategi ini suatu saat pada masa yang akan datang. Hal ini terjadi kalau dua kondisi terpenuhi. Pertama, kalau Islamis percaya bahwa rezim telah mengalahkan mereka dan tidak punya alternatif untuk mencapai kekuasaan (khususnya melalui pemilihan secara demokratis); Kedua, kalau mereka mendapat dukungan dari mayoritas masyarakat dan paling tidak dari beberapa elite penting (yaitu dari ahli ekonomi dan militer). Kalau rezim dianggap lemah, khususnya karena tekanan eksternal, juga dapat menyebabkan masyarakat mendukung Islamis. Kondisi yang kedua ini lah (dukungan dari mayoritas masyarakat) yang membuat kegiatan da’wa yang dilakukan oleh kelompok Islamis bisa berbahaya bagi kelangsungan kekuasaan suatu rezim. D. Demokrasi Karena jalan kekerasan untuk memperoleh kekuasaan sangat besar kemungkinannya untuk gagal, maka kebanyakan kelompok Islamis sekarang mencoba mencari keuntungan dari keterbukaan demokratis untuk menguasai aparat negara. Dan kelihatannya strategi semacam ini berhasil. 73
Jurnal Universitas Paramadina Vol.6 No. 1, April 2009: 59-82
Di semua negara Timur Tengah, seandainya diadakan pemilihan terbuka hari ini, partai Islamis akan menjadi pemenang atau paling tidak menempati urutan nomor dua. Contoh yang paling jelas mengenai potensi kekuatan pemilih dari partai atau kelompok Islamis yang diberikan oleh Brown adalah di Palestina. Di pemilihan Lembaga Legislatif Palestina pada Januari 2006, Hamas meraih 74 dari 132 kursi, Sedangkan Fatah yang sedang berkuasa hanya memperoleh 45 kursi, sisanya dibagi di antara tiga partai liberal. Pemilihan parlemen di Mesir pada 2005 juga memperlihatkan trend yang sama. Ikhwan al-Muslimin memperoleh 88 dari 454 kursi. Perolehan kursi ini sebenarnya terhitung besar kalau diingat bahwa Ikhwan al-Muslimin hanya memperebutkan sepertiga dari keseluruhan kursi di parlemen. Ini berarti dari 148 kursi yang diperebutkan, 88 kursi (mayoritas) jatuh ke tangan kelompok Ikhwan alMuslimin. Kelompok atau partai Islamis di negara lain di kawasan ini (Yaman, Jordania, Kuwait, Lebanon, dan Maroko) juga memperlihatkan gambaran yang sama. Alasan utama dari hal ini, kata Brown, adalah ketidakmampuan para rezim yang sedang berkuasa menyediakan kebutuhan rakyat mereka. Pengangguran tersebar luas dan ekonomi tidak mengalami kemajuan selama empat dekade. Dari segi militer, para rejim ini telah dipermalukan oleh Israel dan Amerika Serikat, atau bahkan lebih jelek lagi mereka tidak berusaha membantu “saudara-saudara” mereka yang sedang berperang. Sementara itu organisasi-organisasi Islamis telah mencoba membuktikan bahwa mereka dapat memerintah lebih efektif dengan mendirikan pelayanan kesehatan, sekolah, dan sistem bantuan alternatif untuk orang-orang yang membutuhkan (welfare systems). Dan ternyata sistem pelayanan kesehatan dan kesejahteraan mereka pada umumnya dipandang relatif lebih efektif di dalam memenuhi kebutuhan penduduk lokal dari pada sistem yang sama milik pemerintah. Salah satu alasan utama kenapa para Islamis lebih efisien dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat adalah karena pada umumnya mereka menghindari kesalahan yang merupakan kunci dari seluruh ketidakefektifan setiap rezim, yaitu korupsi yang sangat luas. Dalam hal ini para Islamis menggambarkan diri mereka sebagai orang-orang yang tidak tersentuh korupsi. Hal tersebut yang merupakan kunci bagi popularitas mereka yang semakin meningkat. Brown menyebut AKP di Turki sebagai contoh partai Islamis dengan predikat bersih dari korupsi. Predikat ini merupakan salah satu faktor kenapa banyak yang memilih AKP, walaupun sebenarnya mereka belum tentu orang-orang yang religius. Mereka kecewa terhadap korupsi yang tersebar luas di kalangan politisi dan ketidakmampuan partai-partai yang sudah mapan memberikan solusi terhadap masalah ekonomi dan sosial yang sudah berlangsung lama di Turki. Keadaan serupa terjadi juga pada Hamas yang memenangkan pemilihan Lembaga Legislatif pada 2006. Pada kesempatan ini, orang-orang Palestina memilih Hamas terutama karena agenda sosial atau kesediaan 74
Abdul Muis Naharong Islamism Revisited: Menimbang Masa Depan Islamisme
mereka berperang melawan Israel, tetapi karena partai yang sedang berkuasa dianggap sebagai partai yang sangat korup dan sama sekali tidak mampu memecahkan masalah rakyat. Semua keterangan tadi, kata Brown, menunjukkan bahwa demokrasi adalah sebuah jalan yang dapat membawa kelompok Islamis mencapai kekuasaan. Sedangkan melalui kudeta, teror, dan perang saudara/revolusi kelompok Islamis nampaknya tidak akan bisa merebut kekuasaan. Post-Islamisme Di atas telah disebutkan bahwa Olivier Roy dan Gilles Kepel mengatakan bahwa gerakan-gerakan Islamis sekarang ini menuju atau berorientasi kepada post-Islamisme. Roy (2004:3-4) menjelaskan bahwa masyarakat post-Islamis adalah sebuah masyarakat di mana eksperimen-eksperimen kontemporer telah merubah secara mendalam hubungan antara Islam dengan politik dengan memberikan masalah politik hak untuk menempati tempat yang khusus di dalam masalah keagamaan atas nama agama itu sendiri. Berbeda dengan Islamisme yang hendak menyatukan politik dan agama, post-Islamisme menganggap ranah agama dan politik masing-masing berdiri sendiri. PostIslamisme tidak berarti agama menurun, tetapi ia mengungkapkan krisis hubungan antara agama dengan politik dan antara agama dengan negara. Post-Islamisme juga mengungkapkan suatu trend menuju fragmentasi otoritas dan identitas keagamaan, dan berkembangnya suatu bentuk keagamaan yang baru dan berbeda yang bisa bertentangan satu sama lain, dan secara paradoks memudarnya batas-batas religiusitas antara Kristen dengan Muslim. Menurut Roy, Post-Islamisme tidak berarti munculnya sebuah masyarakat sekuler “an sich”. Tetapi berarti penegasan kembali otonomi politik, perjuangan untuk merebut kekuasaan, logika kepentingan nasional dan etnis, dan tempat khusus politik atas “agama”. Ini berarti bahwa meskipun di dalam sebuah negara ‘Islam’ seperti Iran, peran dan status agama ditentukan oleh politik. Kepel menjelaskan konsep post-Islamisme pertama kali di dalam artikelnya yang berjudul “Islamism Reconsidered.” Di bawah sub judul “Menuju Post-Islamisme,” Kepel (2000) menyatakan bahwa gerakan-gerakan dan partai-partai Islam pada abad 21 berusaha keras untuk menjadikan diri mereka sebagai gerakan-gerakan demokratis dan mengutuk represi yang mereka rasa telah ditimpakan kepada mereka. Mereka sekarang menyuarakan hak-hak asasi manusia dan tidak lagi mengeritiknya seperti halnya di masa lampau. Mereka juga mendukung nilai-nilai Barat, seperti kebebasan berekspresi dan kebebasan wanita. Kepel mengutarakan lagi pendapat ini di dalam bukunya yang terbit dua tahun kemudian (2002:371). Kepel (2002:368) menambahkan bahwa kelompok-kelompok ini, atas nama demokrasi dan hak-hak asasi manusia, sedang mencari common ground dengan kelas menengah yang sekuler. Mereka telah meninggalkan ideologi radikal Sayyid Qutb, Mawdudi, dan 75
Jurnal Universitas Paramadina Vol.6 No. 1, April 2009: 59-82
Khomeini. Mereka menganggap doktrin-doktrin jihadi-salafi yang dikembangkan di tempat-tempat pelatihan di Afghanistan adalah sebuah sumber ketakutan. Sebagai gantinya mereka memuji dan menerapkan “ajaran-ajaran inti yang demokratis” dari Islam. Para Islamis yang sedang membela hak-hak asasi manusia bahu membahu dengan kelompok demokrat yang sekuler menghadapi pemerintah otoriter yang represif. Pilihan untuk memakai jilbab tidak lagi dinyatakan sebagai tanda mentaati perintah agama tetapi dipandang sebagai melaksanakan hak-hak asasi manusia dari individu-individu dalam hal kebebasan berekspresi. Sarjana lain yang menjelaskan pengertian “post-Islamisme” adalah Asef Bayat,10 direktur akademik dari International Institute for the Study of Islam in the Modern World (ISIM). Bayat (2005) mengatakan bahwa postIslamisme menggambarkan suatu keadaan dan proyek yang bisa terdapat di dalam sebuah gerakan multi dimensional. Sebagai suatu keadaan, postIslamisme menunjuk kepada suatu kondisi sosial dan politik di mana, setelah suatu fase eksperimentasi berakhir, daya tarik, energi, dan sumbersumber legitimasi Islamisme menghilang walaupun di kalangan orang-orang yang pernah sangat mendukungnya. Para Islamis menjadi sadar akan anomali dan kekurangan sistem mereka ketika mereka mencoba menormalkan dan melembagakan kekuasaan mereka. Percobaan yang terus menerus membuat sistem mereka rentang terhadap pertanyaan-pertanyaan dan kritik. Sebagai akibat kontradiksi-kontradiksi internalnya sendiri dan oleh tekanan masyarakat, Islamisme terpaksa menciptakan kembali dirinya tetapi hal ini berakibat terjadinya pergeseran kualitatif. Transformasi wacana keagamaan dan politik yang luar biasa di Iran selama 1990an merupakan contoh dari kecenderungan ini. Sebagai suatu proyek, Islamisme merupakan suatu percobaan yang disengaja untuk menkonsepkan dan menstrategikan alasan-alasan dan caracara untuk membumikan Islam di dalam ranah sosial, politik, dan intelektual. Post-Islamisme menggambarkan suatu usaha untuk menggabungkan religiusitas dengan hak-hak, keyakinan dengan kebebasan, Islam dan kemerdekaan. Post-Islamisme adalah suatu percobaan untuk membalikkan prinsip-prinsip dasar Islamisme dengan menekankan hak dan bukan kewajiban, pluralitas pendapat yang otoritatif dan bukan hanya satu, historisitas dan bukan Kitab Suci yang tidak dapat berubah, masa depan dan bukan masa lalu. Post-Islamisme hendak menggabungkan Islam dengan pilihan dan kebebasan individu, Islam dengan demokrasi dan modernitas (sesuatu yang ditekankan oleh Islamis) untuk mencapai apa yang mereka sebut “modernitas alternatif.” Post-Islamisme diungkapkan dalam bentuk kebutuhan-kebutuhan sekuler yang mendesak, kebebasan dari kekakuan, 10
Menurut Bayat (2005), dia lah yang pertama kali mencetuskan istilah “post-Islamisme” di dalam artikelnya yang berjudul “The coming of a Post-Islamist Society,” di dalam jurnal Critique: Critical Middle East Studies, no. 9 (Fall 1996): 43-52.
76
Abdul Muis Naharong Islamism Revisited: Menimbang Masa Depan Islamisme
dan dalam penghapusan monopoli kebenaran keagamaan. Singkat kata, kalau Islamisme ditandai oleh bersatunya agama dengan tanggungjawab, maka post-Islamisme menekankan religiusitas dan hak-hak. Post-Islamisme bisa menemukan ekspresinya di dalam berbagai macam praktek sosial, ideide politik dan pemikiran keagamaan. Menurut Bayat, post-Islamisme bermula pada saat perang antara Iran dengan Irak berakhir (1988), Ayatollah Khomeini meninggal (1989), dan program pembangunan kembali pasca perang di bawah Presiden Rafsanjani. Sebagai gerakan yang multi-dimensional, post-Islamisme Iran mengejawantah di dalam kecenderungan-kecenderungan dan gerakangerakan sosial dan intelektual yang luar biasa, yang diungkapkan di dalam wacana-wacana keagamaan yang inovatif oleh para pemuda, mahasiswa, wanita, dan intelektual agama, yang menuntut demokrasi, hak-hak individu, toleransi, persamaan gender, dan pemisahan agama dari negara. Meskipun demikian, mereka sama sekali tidak membuang sensibilitas keagamaan. Mereka menuntut cara beragama yang Inklusif. Resistensi dan perjuangan aktor-aktor dari orang kebanyakan ini memaksa para pemikir keagamaan, ‘ulama’, dan aktor-aktor politik untuk melakukan suatu perubahan paradigmatik yang penting. Sejumlah orang revolusioner dari kalangan Islamis menanggalkan ide-ide mereka yang lama dan mengingatkankan akan bahaya negara agama terhadap agama dan negara. Menurut Bayat, post-Islamisme bukanlah sebuah fenomenon yang khas Iran. Pengalaman post-Islamis Iran telah memberikan sumbangan terhadap perubahan ideologis di beberapa gerakan Islamis, seperti partai yang dipimpin oleh Rashed Ghannoushi di Tunisia. Di samping itu, dinamika internal dan kekuatan-kekuatan global sejak awal tahun 1990an memainkan peranan yang lebih besar di dalam mendorong beralihnya gerakan-gerakan di dunia Islam ke post-Islamisme. Seperti berdirinya Partai al-Wasat pada tahun 1996 di Mesir sebagai partai alternatif bagi Islamis militan dan Ikhwan al-Muslimin, kebijakan dan praktek-praktek Inklusif dari partai Islam di Turki (Refah, Virtue, dan AKP), atau munculnya di Arab Saudi suatu trend “Islam liberal” di akhir tahun 1990an yang mencari kompromi antara Islam dan demokrasi. Setiap gerakan ini masing-masing memperlihatkan beberapa versi yang berlainan dari kecenderungan post-Islamisme di dalam masyarakat Muslim dewasa ini. Di dalam setiap kasus ini post-Islamisme menunjukkan suatu peralihan atau penyimpangan, meskipun tingkatnya bervariasi, dari paket ideologis Islamis yang bercirikan universalisme, monopoli kebenaran agama, eksklusivisme, dan kewajiban. Dengan kata lain post-Islamisme mengakui ambiguitas, keragaman, perangkulan semua pihak, dan kompromi di dalam prinsip dan praktek. Di akhir tulisannya Bayat menegaskan bahwa kategori ‘Islamisme’ dan ‘post-Islamisme’ berfungsi terutama sebagai bangunan teoritis untuk menunjukkan perubahan, perbedaan, dan akar perubahan. Akan tetapi dalam prakteknya orang-orang Islam bisa secara bersamaan menganut aspek-aspek kedua wacana tersebut. Kemunculan post-Islamisme tidak 77
Jurnal Universitas Paramadina Vol.6 No. 1, April 2009: 59-82
harus berarti berakhirnya masa Islamisme. Yang dimaksud adalah lahirnya, sebagai akibat pengalaman Islamis, suatu wacana dan politik yang secara kualitatif berbeda. Di dalam kenyataan, kata Bayat, kita bisa menyaksikan untuk beberapa waktu lamanya proses Islamisasi dan post-Islamisasi secara bersamaan. Kesimpulan Uraian di atas menunjukkan bahwa usaha-usaha kelompok Islamis untuk merebut kekuasaan dengan jalan kekerasan seperti kudeta, terorisme, revolusi atau perang saudara kelihatannya tidak akan dapat membawa mereka berhasil merebut kekuasaan di suatu negara yang penduduknya mayoritas umat Islam. Hal ini nampak-nampaknya disadari juga oleh banyak pemimpin kelompok Islamis radikal. Kekerasan dan perbuatan-perbuatan teror yang mereka lakukan selama ini tidak membawa hasil seperti yang mereka harapkan. Malahan sebaliknya. Di samping aparat negara yang semakin represif terhadap mereka, mereka juga kehilangan simpati dari masyarakat umum akibat kekerasan dan perbuatan teror yang mereka lakukan, yang tidak jarang menimbulkan jatuhnya banyak korban orang-orang yang tidak bersalah. Menyadari hal ini ditambah dengan pendalaman pemahaman keagamaan yang mereka lakukan, khususnya yang berada di dalam penjara, banyak dari pemimpin kelompok Islamis yang menyerukan kepada para pengikutnya untuk meninggalkan metode kekerasan dan teror dalam usaha mencapai tujuan. Dengan demikian, satu-satunya jalan yang mungkin dapat membawa mereka mencapai kekuasaan adalah dengan mengikuti sistem demokrasi. Inilah yang ditempuh oleh mayoritas kelompok atau partai Islamis moderat dewasa ini. Tetapi langkah ini menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan yang mendasar di dalam ideologi, pendekatanpendekatan, dan praktek-praktek yang digunakan oleh mereka. Para pemimpin dan anggota kelompok atau partai Islamis mengambil sikap pragmatis dan melakukan kompromi-kompromi dalam doktrin mereka dan melakukan adaptasi terhadap realitas sosial yang berada di luar jangkauan mereka, meskipun dalam waktu yang sama mereka juga berusaha sebisa mungkin untuk tetap setia kepada ide-ide pokok mereka. Sebagai akibatnya, mereka meninggalkan ide-ide dan proyek revolusioner mereka yang hendak mengambil alih negara dan mendirikan negara Islam dan, akhirnya, khilafah Islamiyya. Sebagai gantinya, mereka menerima negara tempat mereka beraktifitas sebagai entitas yang sah, dan bersedia bergabung dengan sistem demokrasi dan mendirikan partai politik. Nasionalisasi, meminjam istilah Olivier Roy, kelompok Islamis ini nampak di dalam wacana-wacana dan program-program yang mereka keluarkan dan jalankan, walaupun tidak jarang dibungkus dan diungkapkan di dalam idiom-idiom keagamaan. Perubahan paradigma ini membuat tujuan partai Islamis menjadi menyempit ruang lingkupnya. Mereka tidak lagi berusaha untuk menyatukan agama dan politik atau negara dan agama dan selanjutnya 78
Abdul Muis Naharong Islamism Revisited: Menimbang Masa Depan Islamisme
mengubah masyarakat berdasarkan doktrin-doktrin keagamaan mereka. Sebaliknya, dengan semangat yang tinggi mereka memperjuangkan pelaksanaan shari’ah bukan sebagai sebuah cetak biru bagi negara tetapi sebagai suatu kerangka moralitas masyarakat. Di negeri ini bisa dilihat, misalnya, pada usaha-usaha mereka menjadikan undang-undang pornografi disahkan oleh pemerintah. Kesibukan dalam mengubah dan memperbaiki moralitas masyarakat ini merupakan salah satu ciri utama dari setiap gerakan Islamis moderat. Mereka percaya bahwa krisis yang melanda suatu negara disebabkan oleh krisis moral yang terjadi di dalam masyarakat. Oleh karena itu mereka berusaha mengendalikan moral masyarakat dalam rangka membangun suatu negara yang baik dan aparat yang bersih dari segala macam penyelewengan. Untuk mencapai tujuan ini, maka setiap individu harus diperbaiki moralnya lebih dulu, kemudian keluarga, kelompok masyarakat kecil, seterusnya masyarakat secara luas. Kalau masyarakat pada umumnya sudah baik, maka otomatis akan terbentuk suatu negara yang baik. Ini berbeda dengan kelompok Islamis yang bertujuan menguasai negara terlebih dahulu baru kemudian berusaha mengislamkan masyarakat. Perubahan dalam doktrin mereka dan kesediaan mengikuti sistem demokrasi juga nampak di dalam kesediaan beberapa partai Islamis menjadi partai terbuka dengan bersedia menerima non-Muslim sebagai anggota partai, bahkan menjadi pendiri atau/dan pengurus partai. Partai (Hizb) alWasat,11 yang didirikan pada 1996 di Mesir dan merupakan pecahan dari Ikhwan al-Muslimun, mempunyai tiga orang Kristen di antara 93 orang pendirinya (Stacher, 2002). Sedangkan PKS mempunyai anggota dan pengurus partai yang non-Muslim. Perubahan-perubahan (dalam doktrin, pendekatan, dan praktek) ini lah yang menjadikan mereka disebut post-Islamisme oleh beberapa orang sarjana. Mereka telah meninggalkan proyek-proyek utopis Islamis yang hendak mengambilalih kekuasaan di suatu negara dan mendirikan dawla Islamiyya atau khilafah Islamiyya. Perubahan-perubahan ini bukan suatu kegagalan. Yang bisa dikategorikan sebagai kegagalan adalah proyek-proyek Islamis radikal yang ingin merebut kekuasaan di suatu negara dengan jalan kekerasan dan teror. Oleh karena itu perubahan-perubahan ideologis, pendekatan dan praktek-praktek yang terjadi di kalangan Islamis moderat sejatinya merupakan satu strategi yang digunakan oleh mereka akibat berubahnya keadaan, baik domestik maupun internasional. Manusia adalah makhluk dinamis yang tidak hanya diam dalam menghadapi perubahanperubahan. Dalam keadaan yang tidak menguntungkan, manusia berusaha membuat penyesuaian-penyesuaian dan kompromi untuk mencapai tujuannya. 11
Untuk informasi lebih lanjut mengenai partai ini, lihat antara lain Stacher (2002), Norton (2005:133-160) dan Baker (1997:115-134). 79
Jurnal Universitas Paramadina Vol.6 No. 1, April 2009: 59-82
Daftar Pustaka Baker, Raymond William. 1997. Invidious Comparisons: Realism, Postmodern Globalism, and Centrist Islamic Movements in Egypt. In Political Islam: Revolution, Radicalism, or Reform?, edited by John Esposito, pp. 115-133. Boulder, CO: Lynne Rienner. Jurnal Universitas Paramadina Vol.6 No. 1, Maret 200: 65-74
Bayat, Asef. 2005. What is Post-Islamism? International Institute for the Study of Islam in the Modern World (ISIM) Review 16 (Autumn). Brown, Cameron. 2006. ‘Waiting for the Other Shoe to Drop: How Inevitable is an Islamist Future?’ The Middle East Review of International Affairs (MERIA), Vol. 10, No. 2 (June). Available at http://meria.idc.ac.il/journal/2006/issue2/jv10no2a7.html, diakses 1/22/2007. Burgat, Francois. 2003. Face to Face with Political Islam. London: I.B. Tauris. Cochrane, Joe and Jonathan Kent. 2006. Drifting Toward Extremism. Newsweek (December 4): 38-42. Dhume, Sadanand. 2007. ‘Step Up the Fight Against Islamism.’ Far Eastern Economic Review, (July/August). Available at http://www.asiasociety.org/about/dhume_FEER_indonesia_0707.pdf, diakses 08/15/2007. Eteraz,
Ali. 2007. Post-Islamism. Available http://commentisfree.guardian.co.uk/ali_eteraz/2007/10/postislamism..., diakses 11/8/2007.
at
Gerges, Fawaz A. 2005. The Far Enemy: Why Jihad Went Global. New York: Cambridge University Press. Glain, Stephen. 2007. ‘Mideast: The New Muslim Brotherhood.’ Newsweek (30 April). Available at http://www.msnbc.msn.com/id/18246924/site/newsweek/print/1/displ..., diakses 4/23/2007. Hafez, Mohammed M. 2004. From Marginalization to Massacres: A Political Process Explanation of GIA Violence in Algeria. In Islamic Activism: A Social Movement Theory Approach, edited by Quintan Wiktorowicz, pp. 37-60. Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press. Isseroff, Ami. 2007. Islamism – The Tsunami of the future? Available at http://www.mideastweb.org/log/archives/00000415.htm, diakses 8 Maret 2007. Karawan, Ibrahim. N.D. Islam, Islamism, and the Middle East After Iraq. Available at http://www.gcsp.ch/E/meetings/Security_challenges/Human_Security/Meetin g_Conf/ISF-Ibrahim.pdf, diakses 6/25/2007. 80
Abdul Muis Naharong Islamism Revisited: Menimbang Masa Depan Islamisme
Kepel, Gilles. 2000. ‘Islamism Reconsidered.’ Harvard International Review, Vol. 22, No. 2. Available at http://findarticles.com/p/articles/mi_hb137/is_2_22/ai_n28801196/pri..., diakses 12/1/2008. _______. 2002. Jihad: The Trail of Political Islam. Translated by Anthony F. Roberts. Cambridge, MA: The Belknap Press of Harvard University Press. Maguid, Wahid Abdel. 2003. Egypt’s Gama’ah Islamiyah: The Turnabout and its Ramifications. Available at http://www.ahram.org.eg/acpss/eng/ahram/2004/7/5/EGYP16.HTM, diakses 6/4/2007. Millward, William. 1993. ‘The Rising Tide of Islamic Fundamentalism (II).’ Commentary No. 31. Available at http://www.csisscrs.gc.ca/en/publications/commentary/com31.asp?pri..., diakses 1/16/2007. Norton, Augustus Richard. 2005. Thwarted Politics: The Case of Egypt’s Hizb alWasat. In Remaking Muslim Politics: Pluralism, Contestation, Democratization, edited by Robert W. Hefner, pp. 133-160. Princeton and Oxford: Princeton University Press. Roy, Olivier. 1994. The Failure of Political Islam. Translated by Carol Volk. London: I.B. Tauris. _______. 2004. Globalised Islam: The Search for a New Ummah. London: Hurst & Company. _______. 2005. Geneologi Islam Radikal. Diterjemahkan oleh Nasrullah Ompu Bana. Yogyakarta: Genta Press. _______.
2006. Islamism’s Failure, Islamists’ Future. Available http://www.opendemocracy.net/node/4043/pdf, diakses 12/11/2008.
at
Sherif, El, Ashraf. 2006. “Democratic Islamic Yuppies: Post-Islamism or another Islamism?” Paper presented at AMSS 35th Annual Conference “Muslim Identities: Shifting Boundaries and Dialogues.” Available at http://www.amss.net/pdfs/35/finalpapers/AshrafElsherif.pdf, diakses 5/28/2007. Sivan, Emmanuel. 1998. ‘Why Radical Muslims aren’t Taking over Governments.’ Middle East Review of International Affairs (MERIA), Vol. 2, No. 2 (May). Available at http://meria.biu.ac.il/journal/1998/issue2/jv2n2a2.html, diakses 3/30/2007. Stacher, Joshua A. 2002. ‘Post-Islamist Rumblings in Egypt: The Emergence of the Wasat Party.’ The Arabist. Available at http://arabist.net/post-islamistrumblings-in-egypt-the-emergence-of-t..., diakses 3/10/2007. Takeyh, Ray. 2001. ‘Islamism: R.I.P.’ National Interest, No. 63 (Spring): 97-102. 81
Jurnal Universitas Paramadina Vol.6 No. 1, April 2009: 59-82
Takeyh, Ray and Nikolas K. Gvosdev. 2004. The Receding Shadow of the Prophet: The Rise and Fall of Radical Political Islam. Westport, CT: Praeger. Tibi, Bassam. 1998. The Challenge of Fundamentalism: Political Islam and the New World Order. Berkeley and Los Angeles: University of California Press. White, Jenny B. 2005. The End of Islamism? Turkey’s Muslimhood Model. In Remaking Muslim Politics: Pluralism, Contestation, Democratization, edited by Robert W. Hefner, pp. 87-111. Princeton and Oxford: Princeton University Press
82