ISBN : 978-602-0951-13-3
Tema Inovasi Dan Hilirisasi Hasil Penelitian Untuk Kesejahteraan Masyarakat Subtema Inovasi Pendidikan Surabaya, 27 Nopember 2016
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Hasil Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Negeri Surabaya
SEMNAS PPM
Buku – 1 Tema Inovasi Dan Hilirisasi Hasil Penelitian Untuk Kesejahteraan Masyarakat Subtema Inovasi Pendidikan Surabaya, 27 November 2016
Penerbit :
Fakultas MIPA – Universitas Negeri Surabaya
2016
TIM EDITOR I Wayan Susila Suroto Tukiran DESIGN LAYOUT Agus Prihanto PENYUNTING Bayu Agung Prasodi Biyan Yesi Wilujeng Ainul Khafid Andika Pramudya Wardana Yudo Chandrasa Wirasadewa TIM REVIEWER Darni A. Grummy Wailanduw Andre Dwijanto Witjaksono Titik Taufikurohmah Najlatun Naqiyah
Diterbitkan oleh : FAKULTAS MIPA - UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA Gedung D-1 UNESA Kampus Ketintang Jln. Ketintang Surabaya - 60231 Telp. 031-8280009 Email :
[email protected] Cetakan Pertama – Nopember 2016
ISBN :
Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit
SAMBUTAN KETUA PANITIA PADA SEMINAR NASIONAL HASIL PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT TAHUN 2016 UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA Bismillahir rohmannir rohiim Assalamu ‘alaikum Warohmatullahi Wabarokhatuh Selamat siang dan salam sejahtera bagi kita semua Yth. Bapak Rektor Universitas Negeri Surabaya, Bapak Prof. Dr. Warsono, M.S. Yth. Ibu Wakil Rektor Bidang Akademik, Ibu Dr. sc. agr. Yuni Sri Rahayu, M.Si. Yth. Bapak Wakil Rektor Bidang Umum dan Keuangan, Bapak Drs. Tri Wahatnolo, M.Pd, M.T. Yth. Bapak Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni, Bapak Dr. Ketut Prasetyo, M.S. Yth. Bapak Wakil Rektor Bidang Kerjasama dan Perencanaan, Bapak Prof. Dr. Djodjok Soepardjo, M.Litt. Yth. Bapak Prof. Ocky Karna Radjasa, M.Sc., Ph.D, Direktur Riset dan Pengabdian Kepada Masyarakat (DRPM), Kemenristekdikti, selaku narasumber Yth. Bapak Prof. Dr. Muchlas Samani, M.Pd, pemerhati pendidikan dan sekaligus narasumber Yth, Bapak Tritan Saputra, S.T., M.H. Ketua Komite Tetap Pengembangan Usaha Elektronika Bidang Industri Kreatif dari KADIN Jatim sekaligus sebagai narasumber Yth. Bapak Ibu para Dekan selingkung Unesa, Yth. Bapak Direktur Pascasarjana Unesa, Yth. Bapak Ketua LP3M Unesa, Yth. Bapak Ketua dan Sekretaris LPPM Unesa, dan Bapak ibu semua kepala dan sekretaris pusat di LPPM Unesa, serta bapak ibu peserta Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Tahun 2016 yang diselenggarakan di Best Western Papilio Hotel, Jl. A. Yani, Surabaya, yang berbahagia dan saya banggakan. Pertama-tama, marilah kita senantiasa mengucapkan rasa syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, nikmat, dan hidayah-Nya sehingga kita semua bisa berkumpul di ruangan ini dalam keadaan sehat wal afiat dan tak kurang suatu apapun. Bapak Rektor, ibu bapak Wakil Rektor, bapak ibu pimpinan fakultas dan direktur pascasarjana serta pimpinan unit kerja lainnya selingkung Unesa serta bapak ibu hadirin peserta seminar yang saya hormati, Kegiatan Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Tahun 2016 (SEMNASPPM 2016) ini merupakan kegiatan yang secara rutin diselenggarakan oleh LPPM Unesa Surabaya yang biasanya jatuh pada bulan Oktober atau Nopember tiap tahunnya. Kegiatan Seminar Nasional kali ini dilakukan dengan mengusung tema: Inovasi dan Hilirisasi Hasil Penelitian untuk Kesejahteraan Masyarakat. Adapun tema pokok tersebut dapat dijabarkan menjadi sub tema, yaitu: 1) Inovasi Pendidikan, 2) Konservasi, Sains dan Teknologi, 3) Kualitas Hidup dan Pengembangan Sumber Daya, 4) Seni, Budaya, dan Kemasyarakatan, dan 5) Ekonomi dan Manajemen. Dengan diversitas subtema yang diangkat ini, maka kegiatan seminar ini diharapkan dapat memberikan banyak wahana, wacana, dan warna pengetahuan dan keilmuan yang lain dan yang baru sehingga dapat memberikan stimuli untuk berkreasi dan berkarya bagi para dosen dan/atau peneliti ataupun profesi lainnya baik di lingkup kemenristekdikti dan/ataupun lingkup lainnya. Bapak Rektor, ibu bapak Wakil Rektor, bapak ibu pimpinan fakultas dan bapak direktur pascasarjana serta pimpinan unit kerja lainnya selingkung Unesa serta bapak ibu hadirin peserta seminar yang saya muliakan, Untuk dapat mencapai dan sekaligus memperkaya wahana, wacana, dan warna pengetahuan dan keilmuan yang baru tersebut, kami telah mengundang para narasumber yang sangat berkompeten, yaitu bapak Prof. Ocky Karna Radjasa, M.Sc., Ph.D., bapak Prof. Dr. Muchlas Samani, M.pd., dan bapak Tritan Saputra, S.T.,M.H., dimana diantara mereka sudah berada ditengah-tengah kita. Dengan kompetensi, kepakaran dan pengalaman dari masingmasing narasumber, tentu kami sangat yakin akan banyak wacana dan warna informasi penting lainnya yang kita dapatkan hari ini yang tentu pula sangat bermanfaat untuk pengembangan ilmu dan tingkat profesionalitas kita sebagai seorang dosen dan/ataupun peneliti atau profesi lainnya. Bapak Rektor, ibu bapak Wakil Rektor, bapak ibu pimpinan fakultas dan direktur pascasarjana serta pimpinan unit kerja lainnya selingkung Unesa serta bapak ibu hadirin peserta seminar yang saya banggakan, Perkenankan pada kesempatan ini, kami melaporkan bahwa peserta Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat tahun 2016 ini dihadiri oleh sekitar 219 orang, yang terdiri dari 3 narasumber, 13 undangan, 149 pemakalah yang terdiri dari 64 pemakalah oral, dan sisanya pemakalah poster, serta 25 orang
i
panitia. Sesungguhnya, pada satu dua minggu terakhir menjelang hari pelaksanaan seminar ini masih banyak dosen/peneliti atau mahasiswa yang berkeinginan kuat untuk mengirimkan abstrak dan sekaligus sebagai pemakalah. Namun, karena keterbatasan tenaga dan pikiran kami, dengan amat terpaksa dan sangat menyesal kami harus menutupnya. Untuk itu, kami mohon maaf. Selanjutnya, kami berharap kegiatan Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat tahun 2016 ini dapat berlangsung dengan baik, lancar dan sukses. Kami juga mengharapkan partisipasi peserta seminar ini untuk aktif menggunakan momentum dan event ini guna memperoleh banyak wahana, wacana, dan informasi lain yang sangat bermanfaat dan tentu ikut memperlancar kegiatan seminar nasional ini. Event seminar nasional ini tentu menjadi ajang silaturahmi bagi bapak ibu semua sekaligus memberikan ruang dan wadah untuk saling bertukar pikiran dan informasi yang saling menguntungkan serta memberikan kesempatan membangun dan menjalin kerjasama di antara kita ke arah yang lebih. Pada kesempatan ini pula, mohon dengan hormat bapak Rektor Unesa, Prof. Dr. Warsono, M.S. berkenan untuk memberikan sambutan dan arahan terkait tema dalam kegiatan seminar ini dan sekaligus berkenan membuka secara resmi acara seminar nasional ini. Demikian, bapak ibu hadirin semua yang bisa saya sampaikan dan laporkan, mohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan. Wa billahi taufik wal hidayah war ridho wa innayah Wassalamu ‘alaikum Warohmatullahi Wabarokhatuh Maturnuwun Surabaya, 27 November 2016 Ketua Pelaksana Prof. Dr. Tukiran, M.Si.
ii
SAMBUTAN REKTOR PADA SEMINAR NASIONAL HASIL PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT TAHUN 2016 UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA Assalamu alaikum wr, wb. Teriring ungkapan rasa puji syukur kehadirat Allah SWT, pagi hari ini kita bertemu dalam kegiatan yang sangat bermanfaat bagi perjalanan dan kemajuan bangsa ini yaitu Seminar Nasional hasil penelitian dan pengabdian kepada masyarakat Universitas Negeri Surabaya tahun 2016. Kegiatan ini terlaksana berkat rahmat dan hidayah dari Allah Swt. Para peserta seminar yang saya hormati, Salah satu tujuan dari perguruan tinggi adalah menjamin agar mutu pembelajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat mencapai target sesuai yang ditetapkan oleh Standar Nasional Perguruan Tinggi. Terdapat 8 Standar nasional perguruan tinggi dibidang penelitian dan pengabdian kepada masyarakat yaitu standar hasil, standar isi, standar proses, standar penilaian, standar peneliti dan pelaksana pengabdian, standar sarana dan prasarana, standar pengolahan, dan standar pendanaan dan pembiayaan. Delapan standar tersebut merupakan pedoman dan sekaligus target capaian yang harus diupayakan oleh perguruan tinggi yang disesuaikan dengan visi dan misi masing masing perguruan tinggi. Standar hasil penelitian dan pengabdian kepada masyarakat bermuara pada pengembangan IPTEK yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan daya saing bangsa. Untuk mencapai hal tersebut, harus diketahui akar permasalahan dan dan dicarikan peluang serta pemecahannya. Tugas seorang peneliti dan pelaksana pengabdian kepada masyarakat adalah menggali, mengidentifikasi, dan menganalisis akar permasalahan tersebut dengan didasarkan kepakaran yang dimilikinya serta berkolaborasi dengan stakeholder terkait. Seorang peneliti perlu memiliki kecerdasan dalam memetakan tipologi, karakteristik setiap kelompok masyarakat serta memiliki kemampuan memprediksi dampak yang ditimbulkan dari setiap pelaksanaan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Oleh karena setiap wilayah dan kelompok masyarakat memiliki karakteristik yang berbeda maka diperlukan treatment yang berbeda pula. Wilayah Indonesia memiliki potensi yang luar biasa baik dari sumber daya alam, budaya, dan manusia. Potensi tersebut sangat memungkinkan untuk diberdayakan menjadi sebuah kekuatan yang dahsyat untuk membangun bangsa dan menyejahterakan masyarakat. Formula yang ditawarkan adalah inovasi, kreatif, dan produktif berbasis kajian ilmiah dalam bentuk empiris dan pemodelan. Sehingga hasil penelitian aplikatif dan solutif, tidak hanya menjadi koleksi, tetapi bernilai dan bermanfaat langsung pada masyarakat. Program hilirisasi hasil-hasil penelitian dan pengabdian kepada masyarakat yang dicanangkan pemerintah perlu mendapat dukungan penuh. Kehadiran para peneliti dan pengabdian kepada masyarakat sudah sangat ditunggu oleh warga bangsa ini. Dilain pihak, sebagai sebuah lembaga tinggi “techno park” bagi Universitas Negeri Surabaya bukan hanya sebuah mimpi tetapi merupakan target dan sasaran yang harus diupayakan agar bisa menjadi perguruan tinggi berkelas dunia. Berbekal keahlian dan kepakaran yang terus dikembangkan para dosen-dosen Unesa berangsur mampu mencetak interpreneurship di dalam dan diluar lingkungan kampus. Seiring harapan tersebut sangat tepat jika seminar ini mengambil tema Inovasi dan hilirisasi hasil penelitian untuk kesejahteraan masyarakat. Untuk lebih mengoptimalkan dan operasional tema tersebut ditetapkan sub tema seminar tahun ini adalah sebagai berikut: 1) Inovasi pendidikan, 2) Konservasi, sains, dan teknologi, 3) Kualitas hidup dan sumber daya, 4) Seni, budaya, dan kemasyarakatan, 5) Ekonomi dan manajemen. Kiranya dengan 5 sub tema tersebut dapat memberikan kontribusi Universitas Negeri Surabaya terhadap pembangunan bangsa dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Bapak, Ibu peserta seminar yang saya hormati. Selamat berseminar dan semoga sukses. Semoga kerja keras, kerja cerdas dan kerja ikhlas bapak ibu sekalian mendapat balasan dari Allah Swt, yang berlipat lipat dikemudian hari. Wassalamu alaikum wr. wb. Surabaya, 27 November 2016 Rektor Universitas Negeri Surabaya
iii
iv
SUSUNAN PANITIA SEMINAR NASIONAL HASIL PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT 2016 LPPM UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA Pelindung
: Prof. Dr. Warsono, M.S. (Rektor)
Penasihat
: 1. Dr. rer.nat. Yuni Sri Rahayu, M.Si. (WR Bid.Akademik) 2. Drs. Tri Wrahatnolo, M.Pd., M.T. (WR Bid. Umum Keuangan) 3. Dr. KetutPrasetyo, M.S. (WR Bid. KemahasiswaandanAlumni) 4. Prof. DjodjokSoepardjo, M. Litt. (WR Bid. Kerjasama)
PenanggungJawab
: Prof. Dr. Ir. I WayanSusila, M.T.
Ketua
: Prof. Dr. Tukiran, M.Si.
Wakil
: Drs. Suroto, M.A., Ph.D.
Sekretaris
: 1. Dr. NajlatunNaqiyah, M.Pd. 2. Dr. Nurkholis, M.Kes.
Bendahara
: 1. Dr. Rindawati, M.Si. 2. ZulaikhahAbdullah, S.E.
Kesekretariatan
: 1.Dra. Ec. Nurmika Simanullang, M.Pd. 2. IkaPurnamaWati, A.Md.
IT
: 1. Wiyli Yustanti, S.Si., M.Kom. 2. Agus Prihanto, S.Kom, M.T.
Dana/Akomodasi
: 1. Dr. Grummy W., M.T. 2. SitiNurulHidayati, S.Pd.,M.Pd.
Dokumentasi
: Moch. Suyanto
NaskahdanProsiding
: 1. Dr. Andre W., M.Si. 2. Dr. TitikTaufikurrohmah, M.Si.
Humas/Publikasi
: 1. Prof. Dr. Darni, M.Hum. 2. Drs. BudihardjoA.H., M.Pd.
Acara/Sidang/Narasumber : 1. Prof. Dr. Hj. SitiMaghfirotunAmin, M.Pd. 2. Dian Savitri, S.Pd.,M.Pd. Umum/Perlengkapan
: 1. Amalia Rachel Manoppo, S.H. 2. Parni
Konsumsi
: 1.NurHartatik, S.E. 2. Yulia Sukmawati, S.Pd
.
v
vi
DAFTAR ISI SAMBUTAN KETUA PANITIA ............................................................................................................................ i SAMBUTAN REKTOR ........................................................................................................................................ iii SUSUNAN PANITIA SEMINAR NASIONAL ..................................................................................................... v DAFTAR ISI ......................................................................................................................................................... vii Pengembangan Media Pembelajaran Video Tutorial Mata Pelajaran Teknik Pemrograman Tav Kelas X SMK Negeri I Madiun ...................................................................................................................................................... 1 Ahsan Muzakki1*), Fulca Ugratara K.P.2 ............................................................................................................. 1 Project Based Learning dalam Pembelajaran Materi Application Letter and Job Interview untuk Mendukung Daya Saing Mahasiswa ........................................................................................................................................... 7 Arik Susanti1*), Anis Trisusana2 .......................................................................................................................... 7 Penerapan Pelatihan Siaga Bencana dalam Meningkatkan Hard Skill dan Soft Skill Siswa SDN Satak 1 Kabupaten Kediri .................................................................................................................................................. 13 Asnawi1*), Supriyono2 ....................................................................................................................................... 13 Penerapan Multimedia dalam Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning–Pbl) pada Matakuliah Struktur Data ...................................................................................................................................... 17 Bambang Sujatmiko1*), Rina Harimurti2, Anita Qoiriah3 .................................................................................. 17 Peningkatan Kemampuan Guru SMK Negeri Wonosalam Jombang melalui Pelatihan Pembuatan Proposal PTK .............................................................................................................................................................................. 25 Choirul Anna Nur Afifah1*), Siti Sulandjari2, Veni Indrawati3 ......................................................................... 25 Pengembangan Modul Pembelajaran Berbasis Proyek untuk Meningkatkan Higher Order Thinking Skills ....... 31 Danang Tandyonomanu1*), Damajanti Kusuma Dewi2 ..................................................................................... 31 The Influence of Inquiry Based Learning on Students' Knowledge of Control Systems ...................................... 35 Diah Wulandari 1*), Muhamad Syariffuddien Zuhrie 2 ...................................................................................... 35 Validitas dan Kepraktisan Video Pembelajaran Pendekatan Saintifik Berorientasi Project Based Learning ....... 39 Endang Susantini1*), Tjipto Prastowo2, Abdul Kholiq3, Mukhayyarotin Niswati Rodliyatul Jauhariyah4 ........ 39 Penggunaan Trainer Aksi Dasar Sistem Kontrol untuk Meningkatkan Hasil Belajar Mahasiswa Teknik Elektro Unesa pada Mata Kuliah Dasar Sistem Pengaturan .............................................................................................. 47 Endryansyah1*), Puput Wanarti Rusimamto2, Mochammad Rameli3, Eko Setijadi4 ......................................... 47 Pengembangan Media Pembelajaran Berbasis Web di SMK Kota Surabaya ....................................................... 53 Hapsari Peni1*), Puput Wanarti2, Euis Ismayati3, Yuni Yamasari4 .................................................................... 53 IbM MGMP PPKn dan IPS dalam Mengembangkan Asesmen Otentik di Kota Surabaya ................................... 61 Harmanto1*), I Made Suwanda2 ......................................................................................................................... 61 Pengembangan Perangkat pembelajaran berbasis peta konsep no condition untuk memperkuat daya tahan (retensi) keterampilan berpikir tingkat tinggi mahasiswa pendidikan kimia pada materi pokok Keisomeran ...... 67 Ismono1*), Tukiran2, Suyatno3 ........................................................................................................................... 67 Keterampilan Kepala Sekolah dalam Evaluasi Hasil Peningkatan Keunggulan Pembelajaran ............................ 73 Karwanto1*) ....................................................................................................................................................... 73 Pengaruh Self Regulated Learning terhadap Hasil Belajar Kognitif Mahasiswa Melalui Blended Learning Berbasis Web ......................................................................................................................................................... 79 Kusumawati Dwiningsih1*), Sukarmin2, Muchlis3 ............................................................................................ 79 Pengembangan Strategi Pembinaan Minat, Bakat, dan Potensi KarirMahasiswa Prodi Sastra Inggris 2014 dan 2015 ...................................................................................................................................................................... 83 Mamik TW1*), Pratiwi R2, M.Khoiri3 ................................................................................................................ 83
vii
Pengembangan Model Pendidikan Guru Bidang Sains dan Teknologi di Era Digital .......................................... 91 Muchlas Samani1*), Mochamad Cholik2, I.G.P. Asto Buditjahjanto3. ............................................................... 91 Pengembangan Model Pembelajaran Seni Budaya Berbasis Kurikulum 2013 untuk Membantu Mengatasi Kesulitan Guru-Guru SMP di Surabaya ............................................................................................................... 99 Muhajir1*), Nunuk Giari2, Marsudi3 .................................................................................................................. 99 Bimbingan dan Konseling Komprehensif bagi Konselor untuk Meningkatkan Kompetensi Sosial ................... 109 Najlatun Naqiyah1*) ......................................................................................................................................... 109 Peningkatan Profesionalisme Guru – Guru SD di Daerah Tertinggal Melalui Pengembangan Peraga Matematika Berbasis Bahan Lokal di Kabupaten Bangkalan Provinsi Jawa Timur ............................................................... 115 Ninik Wahju Hidajati1*)................................................................................................................................... 115 Media Trainer Praktikum Untuk Penunjang Mata Kuliah Dasar Sistem Telekomunikasi Mahasiswa Teknik Elektro FT-UNESA............................................................................................................................................. 123 Nurhayati1*), Eppy Yundra2............................................................................................................................. 123 Profil Mahasiswa Dalam Kegiatan Perkuliahan Model Sorogan-Bandongan Materi Mekanisme Reaksi Kimia Organik ............................................................................................................................................................... 129 Rinaningsih1*), Suyatno2, Ismono3 .................................................................................................................. 129 Pendampingan Penyusunan Instrumen Penilaian Hasil Belajar Bagi Guru Sekolah Dasar di Kabupaten Bojonegoro .......................................................................................................................................................... 133 Rini Setianingsih1*), Manuharawati2, Abdul Haris Rosyidi3 ........................................................................... 133 Modul Sebagai Alat Bantu Siswa Sekolah Dasar dalam Menyelesaikan Soal Olimpiade Matematika Berbahasa Inggris ................................................................................................................................................................. 139 Slamet Setiawan1*), Ahmad Munir2, Budi Priyo Prawoto3, Dian Rivia Himawati4......................................... 139 Maket Multimedia Interaktif untuk Menanamkan Penguasaan Konsep Lingkungan Sekolah Siswa Tunanetra 145 Sri Joeda .......................................................................................................................................................... 145 Penerapan Model Pembelajaran Inkuiri untuk Meningkatkan Hasil Belajar dan Ketuntasan Belajar Materi Listrik Siswa Kelas VI SD-SMP Satu Atap Singosari Malang....................................................................................... 153 Titin Sunarti1*), Endang Susantini2, Beni Setiawan3 ....................................................................................... 153 Penerapan Model Pembelajaran Langsung dengan Menggunakan Media Audio Visual untuk Meningkatkan Hasil Belajar Membuat Busana Anak Siswa Kelas X SMKN 3 Pamekasan ................................................................ 157 Tri Mutmainnah1*), Fadlilah Indira Sari2 ......................................................................................................... 157 Pengembangan Terapi Holistik dalam Menangani Gangguan Sosial Emosional Siswa Sekolah Dasar ............. 165 Wiwik Widajati1*), Siti Mahmudah2 ................................................................................................................ 165 Peningkatan Kemampuan Membaca Siswa SDN Jono I, Kecamatan Temayang, Kabupaten Bojonegoro Melalui Kegiatan Pembiasaan Membaca Berjenjang ....................................................................................................... 173 Moh. Zamzuri.................................................................................................................................................. 173 Pengembangan Media Pembelajaran Teknik Pemesinan Berbantuan Komputer Yang Efektif Di SMK ........... 179 Yunus1*), Iskandar2 .......................................................................................................................................... 179 Respon Pembaca Pada Majalah Emerald Mahasiswa Jurusan Bahasan dan Sastra Inggris ............................... 187 Diana B.D.1, Mamik Tri Wedawati2*), Adama Damanhuri3 ............................................................................ 187 Pengembangan Instrumen Pengukuran Kadar Keguruan (Tingkat Kompetensi) Mahasiswa Calon Guru dan Guru PJOK Indonesia .................................................................................................................................................. 193 Suroto1*) .......................................................................................................................................................... 193 Implementasi Model Index Card Match pada Mata Pelajaran Akuntansi ........................................................... 203 Rochmawati1*), Agung Listiadi2, Suci Rohayati3 ............................................................................................ 203
viii
Pengembangan Media Pembelajaran Video Tutorial Mata Pelajaran Teknik Pemrograman Tav Kelas X SMK Negeri I Madiun Ahsan Muzakki1*), Fulca Ugratara K.P.2 1 2
Pendidikan Teknologi dan Kejuruan, UNESA, Surabaya. Email:
[email protected] Pendidikan Teknologi dan Kejuruan, UNESA, Surabaya. Email:
[email protected] *) Alamat Korespondesi: Email:
[email protected]
ABSTRACT Medium of learning developed in this study is the media Video Tutorial. Video Tutorial is a method of transferring the knowledge transmitted or formed in the moving image format. Interest Video Tutorial Learning Media development is to increase students' understanding of and interest in the subjects Programming Techniques in SMK Negeri 1 Madiun, and so that teachers can teach more effective, efficient and enjoyable. The method used is a research method Reaseach and Development. The data collected is data validation learning media, student responses and test student learning outcomes. Validation of learning media used to obtain the feasibility of the learning media. Student responses used to determine students' response to instructional media. The test is used to determine the learning results obtained after the use of instructional media. From the research that has been done obtained the following results. The results of the validation involving three Validator obtain the results of 85.5915%, so the validity of instructional media video tutorial included in the excellent category. The results of students' response to media instructional video tutorial obtain the results of 83.7%, so it can be concluded media instructional video tutorial to get a very good response from students. The results of the study conducted in this study were taken from the two groups, without treatment and with treatment group. Without treatment group gained an average yield - average 69.7, while the treatment group gained 75.7 result. After the t-test results diperolehlah t-test and t-table -2.062 -1.70, thus consistent with the hypothesis that has been made, then declared there are differences in learning outcomes between the groups without treatment and with treatment group. Keywords: instructional media, video tutorials, research and development ABSTRAK Media pembelajaran yang dikembangkan pada penelitian ini adalah media Video Tutorial. Video Tutorial adalah metode pentransferan ilmu pengetahuan yang dikirimkan atau dibentuk dalam format gambar bergerak. Tujuan pengembangan Media Pembelajaran Video Tutorial adalah untuk meningkatkan pemahaman dan minat siswa pada mata pelajaran Teknik Pemrograman di SMK Negeri 1 Madiun, serta agar guru dapat mengajar dengan lebih efektif, efisien dan menyenangkan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian Reaseach and Development. Data yang dikumpulkan adalah data validasi media pembelajaran, respon siswa dan tes hasil belajar siswa. Validasi media pembelajaran digunakan untuk memperoleh kelayakan dari media pembelajaran tersebut. Respon siswa digunakan untuk mengetahui respon siswa terhadap media pembelajaran. Tes digunakan untuk mengetahui hasil belajar yang didapat setelah menggunakan media pembelajaran. Dari penelitian yang telah dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut. Hasil validasi yang melibatkan tiga Validator memperoleh hasil 85,5915%, sehingga kevalidan dari media pembelajaran video tutorial termasuk dalam kategori sangat baik. Hasil respon siswa terhadap media pembelajaran video tutorial memperoleh hasil 83,7%, sehingga dapat disimpulkan media pembelajaran video tutorial mendapatkan respon yang sangat baik dari para siswa. Hasil belajar yang dilakukan dalam penelitian ini diambil dari dua kelompok, yaitu kelompok tanpa perlakuan dan kelompok dengan perlakuan. Kelompok tanpa perlakuan memperoleh hasil rata–rata 69,7, sedangkan kelompok dengan perlakuan memperoleh hasil 75,7. Setelah dilakukan uji-t maka diperoleh hasil t-hitung -2,062 dan t-tabel -1,70, sehingga sesuai dengan hipotesis yang telah dibuat, maka dinyatakan terdapat perbedaan hasil belajar antara kelompok tanpa perlakuan dan kelompok dengan perlakuan. Kata kunci: media pembelajaran, video tutorial, penelitian dan pengembangan 1. PENDAHULUAN Pengembangan media pembelajaran adalah suatu hal yang sering dilakukan pada dunia pendidikan. Suatu inovasi memang suatu hal yang dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang ada. Pentingnya pendidikan disebutkan dalam UU No. 20 tahun 2003 pasal 1 tentang sistem pendidikan nasional[1] dijelaskan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Perkembangan teknologi yang terjadi di era global ini sangatlah pesat. Perkembangan teknologi juga banyak mempengaruhi manusia pada umumnya. Maka dari itu manusia pun juga dituntut untuk bisa mengikuti perkembangannya. Perkembangan teknologi pun juga
1
merambah dunia pendidikan dalam bentuk berbagai macam media – media pendidikan, yang mana bisa menunjang proses belajar siswa. Masalah di lapangan yang kami dapatkan antara lain: (1) adanya kesulitan dalam mempelajari materi Teknik Pemrograman, (2) intruksi pelajaran yang kurang jelas, (3) bentuk pembelajaran yang masih dianggap sulit untuk dipahami, (4) tidak adanya media yang menunjang pembelajaran siswa khususnya Video Tutorial, (5) kebutuhan akan suasana pembelajaran yang lebih efektif, efisien dan menyenangkan. Dengan latar belakang yang sudah dipaparkan di atas maka media pembelajaran Video Tutorial diharapkan dapat mendukung pembelajaran yang ada di SMK Negeri 1 Madiun. Media pembelajaran video tutorial adalah media pembelajaran yang menggunakan video sebagai media penunjang proses pembelajaran. Media video memiliki beberapa kelebihan yaitu dapat menampilkan visual dan audio, menarik perhatian dan menghemat waktu[2] dalam jurnalnya menyatakan: Marshall (2002) cites the conclusions of Wiman and Mierhenry (1969), extending Dale’s “Cone of Experience,” that: people will generally remember: 10% of what they read, 20% of what they hear, 30% of what they see, 50% of what they hear and see. Dari kutipan diatas maka dapat diketahui dengan melihat dan mendengar manusia lebih mudah dalam mengingat. Al Mamun[3] dalam jurnalnya juga memaparkan: It (video) makes the classroom interesting removing the monotony of the learners. Moreover, it helps the learners to generate ideas for discussion. It makes the class more interactive and effective. Jadi, video dapat menjadikan kelas lebih menarik, interaktif dan efektif. Sehingga dari beberapa pemaparan ahli di atas digunakanlah media Video Tutorial dalam penelitian ini. Comisky dan McCartan[4] dalam penelitian mereka yang berjudul “Video: An Effective Teaching Aid? An Architectural Technologist’s” juga menyebutkan bahwa 96% siswa memberikan respon yang baik pada media pembelajaran video tutorial. Dari pemaparan di atas maka dirumuskan beberapa tujuan penelitian, yaitu (1) Mengetahui kelayakan media pembelajaran video tutorial untuk mata pembelajaran teknik pemrograman. (2) Mengetahui respon siswa SMK Negeri 1 Madiun terhadap video tutorial mata pelajaran teknik pemrograman. (3) Mengetahui perbedaan hasil belajar siswa yang menggunakan media pembelajaran Video Tutorial dengan yang tidak. Pembuatan media pembelajaran video tutorial dilakukan dengan menggunakan software Camtasia Studio. Software Camtasia Studio berfungsi untuk merekam layar komputer dengan bentuk video. Camtasia Studio dipilih karena tidak hanya dapat merekam layar komputer, tetapi dapat juga merekam suara yang masuk seperti suara dari mikrofon, suara keyboard ataupun suatu klik dari mouse. Perekaman
dengan menggunakan Camtasia Studio dilakukan dengan menggunakan fitur Camtasia Recorder yang akan merekam layar komputer, suara serta pointer dari mouse yang digerakkan. Setelah perekaman selesai maka hasil dari rekaman bisa langsung dijadikan file video ataupun di edit terlebih dahulu dengan Camtasia Studio untuk memberikan efek lebih atau hanya untuk mengurangi atau menambah video hasil rekaman. Jenis file video yang dapat dihasilkan oleh software Camtasia Studio adalah MP4, WMV, MOV dan AVI. 2. METODE Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian Reseach and Development (R&D). Metode penelitian Reseach and Development adalah metode penelitian yang dilakukan untuk menghasilkan produk tertentu, yang kemudian diujikan keefektifan produk tersebut[5]. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian Research and Development karena penelitian ini menghasilkan sebuah produk berupa media pembelajaran video tutorial. Penelitian Pengembangan media pembelajaran video tutorial Teknik Pemrograman akan dilaksanakan di SMK Negeri 1 Madiun kelas X TAV 2. Penelitian Research and Development (R&D) memiliki 10 langkah[5]. 10 langkah tersebut dimulai dari potensi dan masalah, pengumpulan data, desain produk, validasi desain, revisi desain, uji coba produk, revisi produk, uji coba pemakaian, revisi produk, sampai produksi massal.
Gambar 1. Langkah – langkah penelitian R&D.
Dalam penelitian ini kesepuluh langkah tidak digunakan seluruhnya. Ini karena penelitian ini hanyalah penelitian terbatas dan tidak untuk diproduksi secara massal (produk yang dihasilkan hanyalah contoh atau produk awal). Dengan itu tahapan penelitian ini diringkas menjadi tujuh tahap, yaitu:
2
Variabel
Sub Variabel
Indikator 4.
Bahasa
1.
2. 3. Gambar 2. Langkah – langkah penelitian yang dilakukan.
Uji coba pada kelas TAV 2 SMK Negeri 1 Madiun, dilakukan dengan membagi menjadi kelas tersebut menjadi dua kelompok, 1 kelompok eksperimen dan 1 kelompok kontrol. Uji coba dilakukan dengan menerangkan bab Looping dari mata pelajaran Teknik Pemrograman yang kemudian dilanjutkan dengan mengadakan tes praktikum di lab komputer. Setelah semuanya selesai siswa diberi angket respon untuk melihat respon siswa terhadap media pembelajaran Video Tutorial. Teknik pengumpulan data untuk need assessment dilakukan dengan menggunakan wawancara kepada guru pengajar serta beberapa siswa kelas X TAV 2, sedangkan teknik pengumpulan data untuk validasi media dan respon siswa digunkan angket validasi media dan angket respon siswa, kemudian untuk hasil belajar menggunakan tes praktikum. Dalam analisis data validasi media dan respon siswa digunkan kisi – kisi penilaian yang terdiri dari beberapa indikator, kisi – kisi untuk validasi media adalah sebagai berikut : Tabel 1. Kisi – kisi validasi media.
Media pembelajaran video tutorial
Variabel
Sub Variabel Materi & Soal
Indikator 1. 2. 3.
4. Instruksio nal Video
1. 2.
Teknis
3. 1. 2. 3.
Ketepatan isi materi Ketepatan soal latihan Langkah – langkah dalam video materi jelas Kemudahan untuk dimengerti Pemakaian kosa kata benar Memberikan bantuan belajar Kualitas suara baik Keterbacaan Mudah digunakan Kualitas tampilan video baik
Kesesuaian warna dengan background Bahasa yang digunakan pada tampilan aplikasi mudah dipahami Tata bahasa sesuai dengan EYD Bahasa yang digunakan komunikatif
Sedangkan kisi – kisi untuk respon siswa adalah sebagai berikut : Tabel 2. Kisi – kisi respon siswa.
Variabel Respon siswa terhadap media pembelajaran video tutorial
Sub Variabel Materi 1.
Indikator
Materi mudah dipahami 2. Bahasa yang digunakan mudah dipahami Ilustrasi 1. Tampilan Media video jelas 2. Kejelasan teks/huruf 3. Keserasian warna dengan tampilan background 4. Kemudahan penggunaan media 5. Tampilan media menarik Manfaat 1. Media menumbuhkan minat siswa 2. Media menigkatkan pengetahuan siswa Sedangkan untuk hasil belajar akan dihitung dengan menggunakan uji-t (t-test), dengan diuji syarat terlebih dahulu. Uji syarat yang dilakukan adalah uji normalitas dan uji homogenitas, untuk uji normalitas dilakukan dengan menggunakan uji kolmogorof smirnov, dan unutk uji homogenitas digunakan uji levene. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Media pembelajaran video tutorial divalidasi oleh 3 ahli. Hasil validasi media pembelajaran ini dibagi menjadi 4 bagian, yaitu: validasi aspek Materi dan Soal, Teknis (desain), Intruksional video, dan Bahasa.
3
Hasil rata – rata validasi pada aspek Soal dan Materi adalah 91,625%, jadi media pembelajaran video tutorial pada aspek Materi dan Soal termasuk dalam kategori sangat baik. Hasil rata – rata dari validasi pada aspek Teknis (desain) adalah 85,375%, jadi media pembelajaran video tutorial pada aspek Teknis (desain) termasuk dalam kategori sangat baik. Hasil rata – rata validasi pada aspek Instruksional Video media pembelajaran video tutorial adalah 86,066%, jadi media pembelajaran video tutorial pada aspek Instruksional Video dapat dimasukkan dalam kategori sangat baik. Hasil rata – rata validasi pada aspek Bahasa media pembelajaran video tutorial adalah 83,3%, jadi media pembelajaran video tutorial pada aspek bahasa dapat dimasukkan dalam kategori sangat baik. Dari keempat aspek yang divalidasi, yaitu aspek Materi dan Soal, Teknis, Instruksional Video dan Bahasa didapatkan rata – rata validasi dari seluruh aspek sebesar 86,5915%. Dari rata – rata tersebut maka media pembelajaran video tutorial dapat dinyatakan dengan kategori sangat baik.
Gambar 3. Hasil perhitungan validasi media.
Pengambilan respon siswa dilakukan di SMK Negeri 1 Madiun. Respon dilakukan oleh 30 siswa kelas X AV2. Hasil respon diperoleh melalui lembar respon yang diberikan kepada siswa setelah kegiatan pembelajaran selesai. Hasil respon siswa pada indikator pertama yaitu materi mudah dipahami memperoleh hasil 85,8%, yang terdiri dari 17 siswa memberikan nilai 3 dan 13 siswa memberikan nilai 4. Dari perolehan tersebut maka media pembelajaran video tutorial pada indikator materi mudah dipahami termasuk dalam kategori sangat baik. Pada indikator kedua, yaitu bahasa yang digunakan mudah dipahami memperoleh hasil respon sebesar 80%, yang terdiri dari 1 siswa memberikan nilai 2, 22 siswa memberikan nilai 3 dan 7 siswa memberikan nilai 4. Sehingga respon siswa pada indikator ini termasuk dalam kategori sangat baik. Indikator ketiga yaitu tampilan video jelas memperoleh hasil respon 85%, terdiri dari 1 siswa memberikan nilai 2, 16 siswa memberikan nilai 3 dan 13 siswa memberikan nilai 4. Dari hasil tersebut maka indikator tampilan video jelas mendapatkan hasil respon sangat baik. Indikator keempat yaitu kejelasan teks/huruf memperoleh hasil 79,2%, terdiri dari 3 siswa memberikan nilai 2, 19 siswa memberikan nilai 3 dan 8 siswa memberikan nilai 4. Sehingga kejelasan
teks/huruf pada media pembelajaran video tutorial sangat baik. Indikator kelima yang berisi keserasian warna dengan tampilan background memperoleh hasil 79,2%, terdiri dari 25 siswa memberikan nilai 3 dan 5 siswa memberikan nilai 4. Jadi dalam indikator ini media pembelajaran video tutorial termasuk dalam kategori sangat baik. Indikator keenam yaitu kemudahan pengggunaan media memperoleh hasil respon sebesar 81,6%, terdiri dari 1 siswa memberikan nilai 2, 20 siswa memberikan nilai 3 dan 9 siswa memberikan nilai 4. Maka indikator ini termasuk dalam kategori sangat baik. Indikator ketujuh yaitu tampilan media menarik memperoleh hasil respon sebesar 85%, terdiri dari 2 siswa memberikan nilai 2, 14 siswa memberikan nilai 3 dan 14 siswa memberikan nilai 4. Sehingga pada indikator tampilan media menarik media pembelajaran ini termasuk dalam kategori sangat baik. Indikator kedelapan yaitu media menumbuhkan minat siswa memperoleh hasil 87,5%, terdiri dari 4 siswa memberikan nilai 2, 7 siswa memberikan nilai 3 dan 19 siswa memberikan nilai 4. Sehigga media pembelajaran ini pada indikator ini termasuk dalam kategori baik sekali. Indikator kesembilan yaitu media meningkatkan kemampuan siswa memperoleh hasil 90%, yang terdiri dari 2 siswa memberikan nilai 2, 8 siswa memberikan nilai 3 dan 20 siswa memberikan nilai 4. Sehingga pada indikator ini media pembelajaran video tutorial termasuk dalam kategori sangat baik Dari keseluruhan indikator pada hasil respon siswa didapat rata – rata hasil respon siswa terhadap media pembelajran video tutorial sebesar 83,7%. Sehingga menurut rata – rata hasil respon media pembelajaran video tutorial termasuk dalam kategori sangat baik. Analisis dari hasil belajar siswa yang dilakukan, diketahui bahwa nilai rata-rata yang didapatkan kelas yang tidak diberi perlakuan sebesar 69,7 sedangkan kelas yang diberi perlakuan sebesar 75,7 dan setelah diberikan uji normalitas didapatkan nilai signifikansi kedua kelas (0,675 dan 0,985) > 0,05 sehingga dapat dinyatakan bahwa kedua data berdistribusi normal. Uji homogenitas juga dilakukan dan mendapatkan hasil 0,657, karena hasil yang didapatkan > 0,05 maka dinyatakan kedua data homogen. Setelah dilakukan kedua uji syarat di atas dilakukan uji-t dengan hasil thitung adalah 2,062 dengan standar defiasi 28. Sedangkan t-tabel untuk standar defiasi 28 pada taraf signifikansi 0,05 adalah 1,70, maka dari itu jelas bahwa hasil uji-t terdapat pada penolakan H0, sehingga H1 diterima yang berarti terdapat perbedaan hasil belajar antara siswa yang menggunakan media pembelajaran video tutorial dengan siswa yang tidak menggunakan media pembelajaran video tutorial. 4. SIMPULAN DAN SARAN Dari validasi media pembelajaran video tutorial yang dilakukan oleh 3 ahli yaitu 2 dosen dari Universitas Negeri Surabaya dan 1 guru SMK Negeri 1 Madiun, didapat hasil validasi sebagai berikut. Dari
4
aspek Materi dan Soal mendapat hasil validasi sebesar 91,625%, dari aspek Teknis mendapat hasil sebesar 85,375%, dari aspek Instruksional Video mendapat 86,066% dan dari aspek Bahasa mendapat nilai 83,3%. Dari keseluruhan aspek yang divalidasi didapat rata – rata sebesar 86,5915%, sehingga media pembelajaran video tutorial sesuai dengan hasil validasi termasuk dalam kategori sangat baik. Respon siswa terhadap media pembelajaran video tutorial dilakukan oleh 30 siswa. Siswa mengisi angket respon siswa setelah seluruh kegiatan belajar mengajar selesai dan setelah melihat dan mengamati media pembelajaran video tutorial. Dari penelitian yang telah dilakukan didapat hasil respon dari 9 indikator sebesar 83,7%, sehingga respon siswa pada media pembelajaran video tutorial termasuk dalam kategori sangat baik. Dalam pengujian hasil belajar siswa pada penelitian ini sesuai dengan dengan Kompetensi Dasar yang diambil maka pengambilan hasil belajar siswa dilakukan dengan melakukan uji praktikum. Pada pengujian ini terdapat dua kelompok, yaitu kelompok yang diberi perlakuan dan kelompok yang tidak diberi perlakuan. Dari hasil yang didapat, kelompok yang tidak diberi perlakuan mendapat rata – rata nilai sebesar 69,7 dan kelompok yang diberi perlakuan sebesar 75,7. Setelah melakukan uji syarat dan uji-t didapatlah hasil t-hitung sebesar -2,062 dengan standar deviasi 28 dan t-hitung 1,70, sehingga didapat hasil hipotesis dengan penerimaan H1 dan penerimaan H0, itu berarti terdapat perbedaan hasil belajar antara siswa yang tidak menggunakan media pembelajaran video tutorial dengan siswa yang menggunakan media pembelajaran video tutorial. Saran kami agar media pembelajaran ini digunkan sebaik – baiknya sehingga dapat membantu kegiatan belajar mengajar guru, sehingga mengurangi beban yang ditanggung oleh guru serta dapat meningkatkan tingkat pemahaman dan pengetahuan siswa. Dan agar penelitian ini dilanjutkan lagi sehingga menjadi lebih baik, dan untuk memperbaiki kekurangan yang ada.
5. DAFTAR PUSTAKA [1]. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (2003). [2]. Sadiman, Arief S. R Rahardjo. Haryono, Anung. dan Rahardjito. (2007). Media Pendidikan Pengertian, Pengembangan, dan Pemanfaatannya. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. [3]. Al Mamun, Abdullah. (2014). Effectiveness of AudioVisual Aids in Language Teaching in Tertiary Level. Dhaka: BRAC University. [4]. Comiskey, David. Mc Cartan, Kenny. (2011). Video: An Effective Teaching Aid? An Architectural Technologist’s Perspective. CEBE Transactions, Vol. 8, pp 25-40. [5]. Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta, hlm. 407, 409.
5
6
Project Based Learning dalam Pembelajaran Materi Application Letter and Job Interview untuk Mendukung Daya Saing Mahasiswa Arik Susanti1*), Anis Trisusana2 1 2
Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, UNESA, Surabaya. Email:
[email protected] Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, UNESA, Surabaya. Email:
[email protected] *)Alamat korespondensi: Email:
[email protected]
ABSTRACT The purpose of this study was to describe the process of teaching learning using Project-Based Learning in the material Job Application Letter and Job Interview. When the PBL was implemented, the students worked in group to find job vacancy in the internet, magazine or newspaper, writing job application letter and conducting job interview. After they have finished, they presented and the teachers gave comments and suggestions. The results showed that PBL model was an effective way to be implemented in the process of teaching learning since it could encourage the students to increase their creativity, innovation, and critical thinking. Moreover, it could increase the students’ communication competence since they were used to deliver their ideas, arguments and opinion within the group. In short, the use of PBL can create the quality of human resources that are able to face and compete in the ASIAN Economic Society. Key Words: creative, life skills, students’ performance ABSTRAK Tujuan penulisan artikel ini adalah menggambarkan proses belajar mengajar Project Based Learning dengan tema Job Interview and Job Application Letter. Dengan menggunakan model PBL, mahasiswa secara berkelompok mencari lowongan pekerjaan, membuat surat lamaran kerja dan melaksanakan wawancara kerja. Setelah selesai mengerjakan projek yang telah ditentukan, mereka kemudian mempresentasikan hasilnya di depan kelas. Pengajar bertugas untuk memimpin diskusi dan memberikan saran atau komentar hasil projek mahasiswa yang telah dikerjakan. Penggunaan PBL dapat memotivasi mahasiswa untuk mengembangkan kemampuan kreatif dan inovatif serta kemampuan berpikir kritis mahasiswa. Selain itu, kemampuan berkomunikasi mahasiswa juga mengalami peningkatan. Mahasiswa menjadi terbiasa untuk mengungkapkan pendapatnya jika mereka mempunyai pendapat yang berbeda. Disimpulkan bahwa model PBL dapat menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas sehingga mereka mempunyai kesiapan untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN. Kata kunci: kreatif, Life skills, kemampuan kinerja 1.
PENDAHULUAN Untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community) dibutuhkan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi yang mumpuni agar dapat bertahan dalam iklim kompetisi akhir-akhir ini. Tantangan ini harus segera direspon oleh segenap lapisan masyarakat agar masyarakat mempunyai kesiapan dalam menghadapi masyarakat ekonomi ASEAN. Untuk itu sumber daya manusia perlu ditingkatkan melalui berbagai macam ketrampilan baru dan kompetensi yang kompetitif. Perguruan tinggi sebagai ujung tombak daya saing bangsa serta merupakan masyarakat berbasis pengetahuan sudah selayaknya memberdayakan generasi muda agar memiliki pola pikir kreatif dan inovatif dalam rangka memanfaatkan sumber daya yang ada. Diasumsikan bahwa bahwa setiap mahasiswa pasti memiliki daya tetapi terkadang mahasiswa tersebut kurang menyadarinya, atau bahkan belum menyadarinya. Untuk itu, daya dan kompetensi mahasiswa harus terus digali dan dikembangkan[1]. Dijelaskan bahwa pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya, dengan cara mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki serta berupaya untuk mengembangkannya dengan dilandasi proses
kemandirian menuju sikap dan tindakan kreatif dan inovatif. Dengan memiliki semangat dan karakter tersebut maka akan terjadi perubahan yaitu generasi muda siap untuk menghadapi persaingan bebas khususnya menghadapi MEA. Mereka diharapkan mampu menerapkan karkater tersebut sehingga mereka mampu bersaing secara efektif. Untuk itu dibutuhkan strategi yang dapat mendorong mahasiswa untuk memiliki sikap mental yang mandiri, kraetif, inovatif, bertanggung jawab dan tidak mudah menyerah[2]. Salah satu strategi yang digunakan adalah menggunakan model pembelajaran berbasis proyek (Project Based Learning) pada mata kuliah English Correspondence dengan tema menulis surat lamaran kerja (Job Application Letter) dan job Interview. Model pembelajaran berbasis proyek terbukti mampu meningkatkan prestasi akademik siswa atau mahasiswa[3]. Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa mampu melakukan pameran sejarah sehingga siswa tidak hanya meningkatkan kemampuan akaedmik tetapi juga mampu meningkatkan kemampuan interpersonal dan intra personal. Ini berarti model PBL tidak hanya dapat meningkatkan hasil belajar, kemampuan berkomunikasi serta mampu mengembangkan sikap membuat keputusan. Selanjutnya, model PBL juga
7
dapat meningkatkan prestasi akademik mahasiswa, pembelajaran berbasis proyek terbukti memberikan hasil yang memuaskan terhadap hasil belajar siswa, yang mencakup akademik maupun sikap[4]. Pembelajaran berbasis proyek tidak hanya memiliki dampak positif terhadap prestasi dan sikap siswa dalam penerapan pembelajaran bahasa Inggris tetapi juga dapat memotivasi mahasiswa untuk menggunakan bahasa dalam kehidupan nyata (seharihari). Pembelajaran berbasis proyek dapat diartikan sebagai pembelajaran yang berpusat pada proses, relatif berjangka waktu, berfokus pada masalah, unit pembelajaran bermakna dengan memadukan konsepkonsep dari sejumlah komponen baik itu pengetahuan, disiplin ilmu atau lapangan[5]. Berpijak dari hasil penelitian diatas maka pembelajaran English Correspondence dengan tema Job Application Letter dan Job Interview dikembangkan dengan model pembelajaran Project Based Learning (PBL). Dijelaskan bahwa pembelajaran Project Based Learning adalah metoda pembelajaran yang menggunakan proyek sehingga peserta didik akan melakukan eksplorasi, penilaian, interpretasi, sintesis, dan informasi untuk menghasilkan berbagai bentuk hasil belajar[6]. Model PBL merupakan model belajar yang menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru berdasarkan pengalamannya dalam beraktivitas secara nyata. Farida Musa[7] juga mendefinisikan bahwa model pembelajaran PBL adalah suatu pendekatan yang menggunakan pembelajaran yang aktif dan inovatif bagi siswa karena model pembelajaran PBL dapat memotivasi mahasiswa untuk belajar secara mandiri dan berkelompok untuk menghasilkan sebuah produk. Model pembelajaran PBL juga menekankan proses belajar kontekstual melalui kegiatan-kegiatan yang kompleks[8]. Fokus pembelajaran PBL terletak pada konsep-konsep dan prinsip-prinsip inti dari suatu disiplin studi, melibatkan siswa dalam investigasi pemecahan masalah dan kegiatan tugas-tugas bermakna yang lain, memberi kesempatan siswa bekerja secara mandiri untuk mengkonstruksi pengetahuan mereka sendiri, dan mencapai puncaknya menghasilkan produk nyata. Penggunaan model PBL dapat memotivasi mahasiswa untuk menggunakan kemampuan berbahasa dalam bidang akademik maupun professional serta mampu mengimplementasikan dalam dunia nyata. Pembelajaran dengan model PBL juga dapatmengubah lingkungan belajar dan situasi kelas. Lingkungan belajar di kelas tidak lagi diatur oleh mata kuliah yang kaku, tetapi dikuasai oleh mata kuliah yang saling berhubungan dan membantu. Para mahasiswa belajar untuk mengembangkan keterampilannya sesuai dengan tujuan pembelajaran. Selain itu, pembelajaran model PBL juga dapat memotivasi siswa untuk menggunakan berbagai macam keterampilan untuk memecahkan masalah.
Untuk menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan berpikir kreatif, inovatif dan mandiri maka diperlukan pembelajaran Project Based Learning[9] karena dalam pembelajaran PBL mempunyai langkah-langkah sebagai berikut:
Gambar 1. Langkah-langkah Operasional Pembelajaran Berbasis Proyek
Berikut ini dijelaskan langkah-langkah pembelajaran berbasis proyek: (1) penentuan pertanyaan mendasar (start with the essenal question); pembelajaran dimulai dengan pertanyaan esensial, yaitu pertanyaan yang dapat memberi penugasan peserta didik dalam melakukan suatu aktivitas. Mengambil topik yang sesuai dengan realitas dunia nyata dan dimulai dengan sebuah investigasi mendalam. Pengajar berusaha agar topik yang diangkat relevan untuk para mahasiswa, (2) mendesain perencanaan proyek (design a plan for the project); Perencanaan dilakukan secara kolaboratif antara pengajar dengan mahasiswa, dengan demikian mahasiswa diharapkan akan merasa “memiliki” atas proyek tersebut. Perencanaan berisi tentang aturan main, pemilihan aktivitas yang dapat mendukung dalam menjawab pertanyaan esensial, dengan cara mengintegrasikan berbagai subyek yang mungkin, serta mengetahui alat dan bahan yang dapat diakses untuk membantu penyelesaian proyek, (3) menyusun jadwal (create a schedule); pengajar dan mahasiswa secara kolaboratif menyusun jadwal aktivitas dalam menyelesaikan proyek. Aktivitas pada tahap ini antara lain; (a) membuat timeline untuk menyelesaikan proyek, (b) membuat deadline penyelesaian proyek, (c) membawa mahasiswa agar merencanakan cara yang baru, (d) membimbing mahasiswa saat mereka menggunakan cara yang tidak berhubungan dengan proyek, dan (e) meminta mahasiswa untuk membuat penjelasan (reasoning) tentang pemilihan suatu cara, (4) memonitor siswa dan kemajuan proyek (monitor the students and the progress of the project); pengajar bertanggungjawab untuk melakukan monitor terhadap aktivitas mahasiswa selama menyelesaikan proyek. Monitoring dilakukan dengan cara memfasilitasi mahasiswa pada setiap proses. Dengan kata lain pengajar berperan menjadi mentor bagi aktivitas siswa. Agar mempermudah proses monitoring, dibuat sebuah rubrik yang dapat merekam keseluruhan aktivitas yang penting, (5) presentasi hasil (present the outcome); mahasiswa melakukan presentasi atas proyek yang telah mereka lakukan, mahasiswa yang lain memberikan umpan balik atas hasil yang telah dicapai. (6) mengevaluasi pengalaman (evaluate the
8
experience); pada akhir proses pembelajaran, pengajardan siswa melakukan refleksi terhadap aktivitas dan hasil proyek yang sudah dijalankan. Proses refleksi dilakukan baik secara individu maupun kelompok. Pada tahap ini siswa diminta untuk mengungkapkan perasaan dan pengalamannya selama menyelesaikan proyek. Pengajardan siswa mengembangkan diskusi dalam rangka memperbaiki kinerja selama proses pembelajaran, sehingga pada akhirnya ditemukan suatu temuan baru (new inquiry) untuk menjawab permasalahan yang diajukan pada tahap pertama pembelajaran[4]. Dengan demikian, penggunaan model pembelajaran PBL menjadi lebihbermakna bagi mahasiswa karena pembelajaran ini lebih membangun. Berdasarkan bagan diatas dapat dijelaskan bahwa kegiatan pembelajaran diawali dengan upaya pengajardalam mengorganisasikan pikiran mahasiswa pada awal perkuliahan melalui serangkaian pertanyaan yang dapat memotivasi mahasiswa untuk mampu merumuskan sendiri masalah esensial yang akan dipecahkan secara induktif melalui investigasi proyek. Selama proses mencari jawaban atau memecahkan masalah, peran pengajar tetap dan masih diharapkan agar kinerja mahasiswa lebih terarah sesuai indikator yang diinginkan. Untuk itu PBL menjadi salah satu pilihan untuk diterapkan. Hal ini relevan dengan ciri khas pembelajaran bahasa dalam upaya menerapkan/mengimplementasikan bahasa dalam kehidupan nyata serta membangun dan menemukan jawaban atas sebuah permasalahan, yang sekaligus menjadikan temuannya sebagai karya/produk nyata. Pembelajaran dengan pendekatan ini bertujuan untuk mengaktifkan siswa sehingga kreativitas dan aktivitasnya menjadi lebih terarah. Selain itu pembelajaran dengan pendekatan Project Based Learning akan meningkatkan kemampuan hidup (life skills) mahasiswa ketika mereka terjun dimasyarakat. Life skills adalah interaksi berbagai pengetahuan dan kecakapan yang sangat penting dimiliki seseorang sehingga mereka dapat hidup mandiri. Kecakapan ini dapat membantu peserta didik belajar bagaimana memelihara tubuhnya, tumbuh menjadi dirinya sendiri dan mencapai tujuan di dalam kehidupannya. Ada 3 ketrampilan yang dikembangkan sebagai berikut: a. Ketrampilan dasar yaitu ketrampilan berkomunikasi lisan, membaca, penguasaan dasar-dasar berhitung, ketrampilan menulis. b. Ketrampilan berfikir tingkat tinggi yaitu ketrampilan pemecahan masalah, ketrampilan belajar, ketrampilan berfikir kreatif dan inovatif, ketrampilan membuat keputusan. c. Karakter dan ketrampilan afektif yaitu tanggung jawab, sikap positif terhadap pekerjaan, jujur, hati-hati, teliti dan efisien, hubungan antar pribadi, kerjasama dan bekerja dalam tim, percaya diri danmemiliki sikap positif terhadap diri sendiri, penyesuaian diri dan fleksibel, penuh antusias dan motivasi,
mampu bekerja mandiri tanpa pengawasan orang lain. Tentu saja, hal ini sejalan dengan konsep Kurikulum KKNI yang menghendaki setiap jurusan dapat memberikan kompetensi kepada peserta didik yang mereka hasilkan. Dengan kata lain output yang dihasilkan oleh suatu prodi dapat diserap oleh stake holders. Berdasarkan uraian di atas, artikel ini akan menjelaskan bagaimana penerapan pembelajaran English Correspondence dengan model Project Based Learning pada tema Job Application Letter dan Job Interview. 2. METODE PENELITIAN Desain penelitian ini adalah penelitian tindakan yang bertujuan untuk menggambarkan bagaimana proses pembelajaran English Correspondence dengan tema Job Application Letter dan Job Interview berbasis model PBL diterapkan. Subjek penelitian ini adalah mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Inggris yang mengambil mata kuliah English Correspondence dan berjumlah 24 mahasiswa. Instrumen yang digunakan adalah lembar observasi yang digunakan untuk mengetahui bagaimana proses pembelajaran tersebut dapat terlaksana sehingga data yang diperooleh dalam bentuk angka dan tulisan yang kemudian dideskripsikan untuk menggambarkan proses pelaksanaan pembelajarannya. 3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Penelitian Berikut ini dipaparkan hasil penelitian tentang proses pelaksanaan pembelajaran English Correspondence dengan tema Job Application Letter dan Job Interview berbasis model PBL. Tabel 1. Pengamatan pengelolaan pembelajaran No I a. b. c.
Aspek yang diamati Kegiatan Pendahuluan Mempersiapkan dan membuka perkuliahan Menyampaikan tujuan pembelajaran Memotivasi mahasiswa
Skor
d.
Menginformasikan metode pembelajaran yang digunakan
4
II
KEGIATAN INTI ( 80 Menit )
a
Mengajukan pertanyaan pembuka kepada mahasiswa untuk memulai pembelajaran. Pengajar mengidentifikasi masalah untuk melihat respon mahasiswa untuk setiap tujuan pembelajaran. Pengajar membagi kelas menjadi beberapa kelompok kecil untuk menciptakan produk /proyek pada sesuai dengan tujuan pembelajaran Pengajar membimbing kelompok bekerja dan belajar untuk menyiapkan produk yang dihasilkan, untuk memperoleh pengetahuan lebih lengkap dari proses pemecahan masalah, berpikir kreatif dan inovatif pada setiap tujuan pembelajaran untuk menghasilkan proyek Mahasiswa mempresentasikan produk yang dihasilkanpada tiap tujuan pembelajaran yang ditentukan, sebagai bahan diskusi kelas, yang
b
c
d
e
4 4 4
4 4
4
4
4
9
No
f
Aspek yang diamati sebelumnya didiskusikan dalam kelompok belajar masing-masing. Pengajar memimpin jalannya diskusi kelas secara terpimpin. Mahasiswa mencatat berbagai saran atau masukan atas produk yang telah dihasilkan.
III
PENUTUP
a.
Pengajar memberikan penyimpulan dan penekanan terhadap perolehan pemahaman yang harus dikuasai mahasiswa Pengajar menutup perkuliahan disertai dengan penjelasan kegiatan tambahan sebagai tugas terstruktur kepada mahasiswa untuk dikerjakan secara kelompok.
b.
IV a. b. V a.
PENGELOLAAN WAKTU dan KBM Waktu sesuai dengan alokasi PBM Menampakkan ciri model PBL SUASANA KELAS Mahasiswa antusias Pengajar antusias Total skor
Skor
4
3
4
4 4 4 1. 4 63
3.2 Pembahasan Untuk dapat melaksanakan pembelajaran English Correspondence dengan model Project based Learning maka seorang pengajar atau pengajar harus melalui tahapan atau fase[4]. Pada kegiatan awal, seorang pengajar harus menjelaskan tujuan pembelajaran, model pembelajaran PBL dan proyek yang harus diselesaikan oleh mahasiswa, yaitu membuat Job Application Letter and Job Interview. Selain itu, pengajar juga memotivasi mahasiswa dengan memberikan pertanyaan sebagai berikut: What will you do after you graduate from this University? How do you get the information of job vacancy? Can you mention parts of job application letter? Setelah itu, mahasiswa mulai mencari job vacancy di internet, majalah, atau suurat kabar secara berkelompok. Kemudian mulai menyusun job application letter dan Curriculum Vitae (CV). Ini adalah contoh Job Application Letter dan Curriculum Vitae yang telah disusun oleh mahasiswa.
Berdasarkan tabel diatas dapat dijelaskan bahwa pelaksanaan pembelajaran English Correspondence dengan tema Job Application Letter and Job Interview untuk setiap butir aktivitas berkategori baik karena rata-rata mendapat nilai 4. Namun demikian, masih ada beberapa aktivitas yang mendapat nilai cukup baik yaitu untuk penyimpulan dan penekanan terhadap pemerolehan pemahaman yang harus dikuasi oleh mahasiswa. Pembelajaran English Correspondence yang telah dilakukan membuat mahasiswa dan dosen lebih antusias. Selain itu, pembelajaran yang telah dilaksanakan juga membuat mahasiswa lebih aktif untuk belajar karena pembelajaran lebih cenderung berpusat pada mahasiswa.
Gambar 2. surat lamaran kerja
Setelah itu, mahasiswa secara berkelompok membuat job interview. Job Interview yang dibuat dengan cara membuat video recording. Dengan membuat job interview mereka belajar secara nyata dan dapat mengurangi tingkat kecemasan mereka. Tentu saja, ini dapat meningkatkan kemampuan berkomunikasi mahasiswa. Hal ini sejalan dengan pemikiran Kamdi[9] yang menyatakan bahwa model PBL melibatkan mahasiswa dalam investigasi pemecahan masalah dan kegiatan tugas-tugas bermakna yang lain, memberi kesempatan siswa bekerja secara mandiri untuk mengkonstruksi pengetahuan mereka sendiri, dan mencapai puncaknya menghasilkan produk nyata.
10
5. DAFTAR PUSTAKA [1]. Doppelt, Y., (2003). Implementation and Assessment of Project-Based Learning in a Flexible Environment, pp. 255–272. [2]. Efstratia, D., (2014). Experiential Education through Project Based Learning. Procedia - Social and Behavioral Sciences, Vol. 152, pp. 1256–1260. [3]. Ergül, N. R., & Kargın, E. K., (2014). The Effect of Project based Learning on Students’ Science Success. Procedia-Social and Behavioral Sciences, Vol. 136, pp. 537–541. [4]. Grant, M. M., & Branch, R. M., (2005). Project-Based Learning In a Middle School: Tracing Abilities Through The Artifacts of Learning, Vol. 5191, pp. 65–98. [5].
Gambar 3. Daftar riwayat hidup
Setelah itu, mahasiswa mempresentasikan atau mendemonstrasikan setiap produknya kepada kelompok lain, sedangkan pengajar memberi penilaian, saran atau masukkan pada hasil atau produk dari masing-masing kelompok. Hasil masukan dan penilaian dosen dijadikan dasar untuk melakukan revisi atas proyek yang sudah dibuat. Langkah terakhir adalah mengumpulkan proyek tersebut kepada dosen. 4. SIMPULAN DAN SARAN Disimpulkan bahwa model pembelajaran dengan PBL dapat menarik dan minat mahasiswa untuk belajar sehingga dapat meningkatkan hasil belajar mereka. Selain itu, pembelajaran juga menjadi lebih menarik serta dapat membantu mahasiswa untuk berpikir kreatif dan inovatif.Kemampuan kreativitas ini sangat diperlukan untuk menghadapi tantangan zaman. Proses pembelajaran dengan PBL tidak hanya menekankan pada aspek kognitif tetapi juga menekankan pada asppek psikomotorik dan sikap. Mahasiswa belajar untuk menunjukkan kemampuan kinerja sesuai dengan topik yang diperolehnya.Mereka bekerja keras serta bertanggung jawab untuk memperoleh hasil yang maksimal. Disarankan setiap pengajar menggunakan proses pembelajarn yang menarik dan inovatif, khususnya PBL untuk menumbuhkan jiwa kreatif dan imajinatif. Proses pembelajaran juga menjadi lebih efektif dan efisien daripada penggunaan metode ceramah.
Lasauskiene, J., & Rauduvaite, A., (2015). ProjectBased Learning at University: Teaching Experiences of Lecturers. Procedia-Social and Behavioral Sciences, Vol. 197, pp. 788–792.
[6]. Musa, F., Mufti, N., Latiff, R. A., & Amin, M. M., (2011). Project-based Learning: Promoting Meaningful Language Learning for Workplace Skills. Procedia-Social and Behavioral Sciences,Vol. 18, pp. 187–195. [7]. Wang, B. T., Teng, C. W., & Lin, Y. H., (2015). Let‘s Go Traveling – Project-Based Learning in a Taiwanese Classroom, Vol. 5, No. 2, pp. 84–88. [8]. Susanti, Arik dan Trisusana, Anis, (2014). Pengembangan Modul pembelajaran English Correspondence berbasis ICT untuk Meningkatkan Motivasi Belajar Mahasiswa Jurusan Bahasa Inggris. Surabaya: Laporan penelitian LPPM: Tidak dipublikasikan [9]. Kamdi, Waras, (2008). Project-Based Learning: Pendekatan Pembelajaran Inovatif. Makalah. Disampaikan dalam Pelatihan Penyusunan Bahan Ajar Pengajar SMP dan SMA Kota Tarakan, 31 Oktober s.d. 2 November 2008.Universitas Negeri Malang. [10]. Susanti.Arik and Trisusana.Anis, (2014). Improving Student Motivation through ICT-based Module for English Correspondence. Makalah. Disajikan dalam International Conference & Language Festival tanggal 12-13 Desember 2014 di Pusat Bahasa UNESA Surabaya.
11
12
Penerapan Pelatihan Siaga Bencana dalam Meningkatkan Hard Skill dan Soft Skill Siswa SDN Satak 1 Kabupaten Kediri Asnawi1*), Supriyono2 1.
Jurusan Fisika FMIPA, Universitas Negeri Surabaya Email:
[email protected]. 2. Jurusan Fisika FMIPA, Universitas Negeri Surabaya. Email:
[email protected] *) Alamat korespondensi: Email:
[email protected]
ABSTRACT The attitude of disaster awareness, especially for the schools needs to be done early. Isolation of the area and the lack of public knowledge of the school to the knowledge of the disaster became a major contributor to many victims due to volcanic eruptions. The school is the transformation of scientific media are most effective in absorbing and applying knowledge about natural disasters. Similarly coaching hard skills and soft skills in schools was conducted simultaneously and balanced through learning in class, this is in accordance with the recommendation of K-13. Therefore the aim of this study was to describe the effect on the value of disaster preparedness training hard skills and soft skills of students as a conscious effort to improve the attitude of the disaster. The research method is done by surveys, questionnaires and simulation. In this study, involved as many as 35 students from elementary class V. The results show (74.2%) students have a good hard skill to the understanding and mitigation of the volcanic eruptions. Likewise with disaster preparedness training can give a positive value to be soft skills (87.9%) students will their responsiveness in the face of volcanic eruptions that occurred. Key Words: training, disaster preparedness, hard and soft-skills students ABSTRAK Sikap sadar bencana khususnya bagi masyarakat sekolah perlu dilakukan sejak dini. Terisolasinya daerah serta minimnya pengetahuan masyarakat sekolah terhadap pengetahuan tentang kebencanaan menjadi faktor utama timbulnya banyak korban akibat bencana gunung berapi. Sekolah merupakan media transformasi ilmu pengetahuan yang paling efektif dalam menyerap dan mengaplikasikan pengetahuan tentang bencana alam. Demikian halnya pembinaan hard skill dan soft skill disekolah dilaksanakan secara bersamaan dan seimbang melalui pembelajaran dikelas, hal ini sesuai dengan anjuran K-13. Oleh karena itu tujuan kajian ini adalah untuk mendiskripsikan pengaruh pelatihan siaga bencana terhadap nilai hard skill dan soft skill siswa sebagai upaya meningkatkan sikap sadar bencana. Metode penelitian dilakukan dengan survey, kuisioner dan simulasi. Dalam penelitian ini, dilibatkan sebanyak 35 siswa SD kelas V. Hasil penelitian menunjukkan (74.2%) siswa memiliki hard skill yang baik terhadap pemahaman serta mitigasinya terhadap bencana gunung berapi. Demikian halnya dengan pelatihan siaga bencana dapat memberikan nilai positif akan soft skill (87.9%) siswa akan sikap tanggap mereka dalam menghadapi bencana gunung berapi yang terjadi. Kata kunci: pelatihan, siaga bencana, hard dan soft-skill siswa
1. PENDAHULUAN Kepulauan Indonesia terletak di pertemuan dua lempeng tektonik dunia dan dipengaruhi oleh 3 gerakan, yaitu Gerakan Sistem Sunda di bagian barat, Gerakan Sistem pinggiran Asia Timur dan Gerakan Sirkum Australia[1]. Hal itu membuat Indonesia rawan gempa bumi dan letusan gunung api karena mempunyai banyak gunung api aktif. Konsekuensi logis yang akan kita terima dari bencana letusan gunung berapi adalah terjadi kedaruratan di berbagai aspek kehidupan antara lain lumpuhnya pemerintahan, rusaknya fasilitas pendidikan, terganggunya sistem komunikasi dan transportasi, lumpuhnya pelayanan umum. Disamping itu bencana letusan gunung api juga mengakibatkan jatuhnya korban jiwa, hilangnya harta benda. Banyaknya korban jiwa pada setiap bencana alam pada umumnya disebabkan karena ketidak tahuan masyarakat tentang bencana dan bagaimana cara bertindak ketika terjadi bencana [2].
Ketidaktahuan masyarakat tentang bencana dan bagaimana cara bertindak dapat diatasi dengan beberapa sumber belajar yang diperoleh baik dari media cetak atau elektronik. Sumber informasi dari kebencanaan juga dapat dipelajari dengan sendirinya, baik melalui pendidikan formal atau informal (pelatihan), hal ini dilakukan untuk meningkatkan hard dan soft skill siswa terhadap bencana yang terjadi sebagai upaya mereka untuk sikap tanggap bencana di daerahnya. Harapan dari pelatihan siaga bencana ini bisa memberikan kontribusi yang positif terkait banyaknya korban jiwa dalam setiap bencana di Indonesia, hal ini pula yang mendorong peneliti untuk segera menerapkan pendidikan kebencanaan di usia SD. Tanpa pendidikan kebencanaan, anak-anak akan tercerabut dari lingkungannya dan korban akan terus berjatuhan. Masyarakat khususnya siswa SD harus disadarkan bahwa mereka hidup di lingkungan alam yang rawan bencana alam, seperti gempa, letusan
13
gunung api, tsunami, dan tanah longsor. Cara paling efektif untuk menyadarkan itu adalah melalui pendidikan sejak usia dini. Anak-anak termasuk usia yang paling rentan saat terjadi bencana. Anak-anak usia SD memiliki kemampuan yang terbatas untuk mengontrol dan mempersiapkan diri mereka saat terjadinya bencana. Disamping itu rendahnya pemahaman tentang resiko-resiko yang ada disekeliling mereka, yang berakibat tidak adanya kesiapsiagaan mereka dalam menghadapi bencana. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah korban jiwa dan kehilangan setiap tahun diperkirakan sekitar 66 juta anak diseluruh dunia terkena dampak bencana. Sementara itu, jutaan anak-anak yang selamat dari bencana, baik itu bencana alam atau bencana yang disebabkan oleh manusia, kehilangan rumah dan orang-orang yang dicintai. Mereka juga menderita luka-luka, mengalami kekerasan dan trauma psikologis [3]. Upaya guna mengurangi tingkat potensi resiko bencana dapat dilakukan dengan berbagai upaya terkait mitigasi dan sikap sadar bencana khususnya bagi anak-anak SD. Oleh karenanya perlu dilakukan kajian tentang kerentanan bencana dan upaya mitigasi serta sikap sadar bencana di Indonesia. Oleh karena itu pelatihan siaga bencana sebagai implementasi penggunaan modul dilakukan untuk membangun sikap sadar bencana bagi siswa SD di daerah dampak bencana. Seperti kita ketahui usia anak SD memiliki tingkat resiko yang lebih besar jika dibandingkan dengan orang dewasa. Mereka bergantung pada orang yang lebih tua/dewasa untuk berbagai perlindungan dan dukungan terutama dalam situasi bencana. Hal ini diakibatkan tingkat juga perkembangan kognitif anak usia SD, dimana rasa kecemasan dan ketakutan saat terjadinya bencana sangat rendah. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Herdwiyanti dkk.[3], mengenai perbedaan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana ditinjau dari tingkat self-efficacy anak usia SD di daerah bencana akan memberikan effect size yang kecil. Semestinya ketika siswa belajar soal gunung berapi, mestinya guru memberikan pemahaman yang mendalam, termasuk juga bagaimana mengantisipasi jika gunung meletus dan bagaimana membantu pascabencana. Demikian halnya terkait dengan kurikulum di Indonesia seharusnya diimplementasikan dalam materi pelajaran yang dekat dengan lingkungan peserta didiknya. Pendidikan di Indonesia seharusnya mengajarkan anak-anak didik untuk hidup harmonis bersama alam. Dengan pengetahuan lingkungan yang kuat, anak-anak akan mampu memanfaatkan potensi alam untuk kesejahteraan serta menjaga alam sebaikbaiknya guna mencegah terjadinya bencana atau kerugian yang lebih besar dari fenomena alam. Untuk menyelesaikan masalah tersebut, dipandang perlu adanya sebuah kegiatan bersama dengan pemerintah serta dinas terkait untuk merumuskan suatu kebijakan bagi pemerintah kota guna meningkatkan sikap tanggap dan sadar bencana
bagi anak-anak sekolah (SD) utamanya di wilayah Desa Laharpang Kecamatan Puncu Kabupaten Kediri yang memiliki potensi bencana yang paling besar saat gunung kelud meletus. 2. KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pentingnya Pendidikan Kebencanaan Pada Masyarakat Sekolah Kegiatan pendidikan kebencanaan di Indonesia sebagaimana dimandatkan oleh Undang-undang No. 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana harus terintegrasi ke dalam program pembangunan, termasuk dalam sektor pendidikan. Demikian halnya menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 23 tahun 2003, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengedalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara [4]. Sebagai masyarakat yang bergerak dibidang pendidikan/sekolah memiliki peranan yang penting akan pendidikan kebencanaan pada siswa-siswa atau masyarakat sekolah. Perlu diperkenakan materi-materi kebencanaan sebagai bagian aktifitas dalam pembelajaran dikelas. Upaya untuk meningkatkan kesadaran adanya pendidikan kebencanaan masyarakat sekolah seharusnya dilaksakanakan dengan baik sebagai penentu kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan khususnya baik di pusat maupun daerah. Dengan harapan pada seluruh tingkatan yang ada pada masyarakat sekolah memiliki pemahaman yang sama akan pentingnya pendidikan kebencanaan tersebut. Pendidikan kebencanaan secara umum bertujuan untuk mengembangkan sikap tanggap bencana. Dengan berbagai materi, peserta didik dalam hal ini siswa sekolah/masyarakat sekolah diajak untuk sama-sama memahami besarnya potensi bencana masing-masing wilayah dan kemungkinan waktu terjadinya. Peserta didik juga diajarkan cara menyelamatkan diri sendiri dan dan membantu orang lain saat bencana terjadi. Selain itu, diberikan pula materi kesiapan mental untuk bertahan dalam kondisi bencana. Pendidikan kebencanaan dapat dilaksanakan melalui berbagai jenis pendidikan, baik formal, nonformal, maupun informal. Pendidikan kebencanaan secara formal dapat dilaksanakan secara terintegrasi ke dalam muatan kurikulum atau menjadi mata pelajaran sendiri yaitu muatan lokal. Penyelenggaraan pendidikan kebencanaan disesuaikan dengan dengan karakteristik dan kebutuhan sekolah maupun daerah. Pelaksanaannya dapat bermitra dengan berbagai unit atau para pihak terkait sehingga tujuan dari pendidikan ini dapat tercapai secara optimal [4].
14
2.2 Peranan Lembaga Pendidikan/Sekolah dalam Pendidikan Kebencanaan Peran lembaga pendidikan atau sekolah merupakan tempat atau wahana yang strategis untuk pengembangan potensi peserta didik dalam hal pendidikan kebencanaan. Dalam lingkungan sekolah, peserta didik beraktivitas melalui proses pelayanan pedagogis untuk pengembangan berbagai pengetahuan, sikap, dan keterampilan peserta didik. Oleh karena itu, sekolah harus menjadi lingkungan yang menyenangkan, nyaman, dan aman untuk belajar bagi seluruh peserta didik, Kepala sekolah, guru, pegawai administrasi dan tenaga kependidikan lainnya. Berkenaan dengan implementasi pendidikan kebencanaan, sekolah sebagai suatu sistem pelayanan pedagogis bagi peserta didik harus didukung dengan kemampuan kepala sekolah untuk: (1) menumbuhkan semangat keunggulan secara intensif untuk meningkatkan mutu sekolah antara lain dengan membentuk budaya sadar bencana dan mengintegrasikan pendidikan kebencanaan ke dalam kurikulum sekolah; (2) membantu dan mendorong peserta didik untuk mengembangkan potensi dirinya secara optimal, dengan memberikan life skills pendidikan kebencanaan; (3) melaksanakan proses pembelajaran pendidikan kebencanaan secara efektif, menyenangkan,dan kontekstual; (4) mengajak stakeholders untuk bekerja bersama dalam meningkatkan mutu sekolah, khususnya berkenaan dengan implementasi strategi pendidikan kebencanaan; dan (5) melibatkan seluruh warga sekolah dalam pengambilan keputusan untuk implementasi strategi pendidikan kebencanaan di sekolah [4]. Demikian halnya tidak kalah penting peramanan pemerintah dan masyarakat dilingkungan sekolah dalam pendidikan kebencanaan merupakan komponen yang sangat diperlukan untuk memberikan dukungan secara penuh dan langsung kepada lembaga pendidikan dalam implementasi pendidikan kebencanaan disekolah. Peranan pemerintah, baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan, terutama dalam pendidikan kebencanaan dan pemaduannya dengan program pembangunan. Kebijakan pemerintah pusat dan daerah sangat menentukan akan keberhasilan pelaksanaan pendidikan kebencanaan. 2.3 Peranan Hard dan Soft Skill Siswa dalam Kebencanan Hard skills dalam kegiatan kebencanaan merupakan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, dan keterampilan teknis yang harus dikuasai bagi mereka yang berhubungan dengan bidang ilmu kebencanaan. Sementara itu, soft skills adalah keterampilan seseorang dalam berhubungan dengan orang lain dalam segala sesuatu yang terkait dengan masalah kebencanaan dan keterampilan dalam mengatur dirinya sendiri dalam menangani bencana secara maksimal. Soft skill dalam kebencanaan bisa
dimaknai sebagai keterampilan yang digunakan dalam berhubungan serta bekerjasama dengan orang lain dalam menangani permasalahan bencana. Keterampilan-keterampilan yang dimasukkan dalam kategori soft skills bagi masyarakat khususnya bagi masyarakat sekolah dalam menangani bencana adalah :a) Inisiatif siswa selaku masyarakat sekolah dalam menanggulangi dan mencegah terjadinya bencana b). Memotivasi warga/masyarakat sekolah untuk melakukan sikap taggap sadar bencana c). Memiliki etika yang baik untuk warga/masyarakat sekolah dalam berbagai hal terkait dengan bencana d). Dapat bekerja sama dengan tim dalam menangani berbagai permasalahan terkait dengan bencana yang terjadi e). Memiliki jiwa kepemimpinan yang baik dalam menangani berbagai persolaan yang terjadi di daerah bencana dan lain sebagainya Semua profesi yang berkait dengan bencana atau kebencanaan membutuhkan keahlian (hard skill) tertentu. Mengembangkan hard skill bagi siswa yang terkait bencana adalah jawaban utama didalam keberhasilan untuk dapat menangani permasalahan berbagai bencana tersebut. Namun demikian tidaklah cukup hanya kemampuan hard skill saja, tetapi harus diimbangi dengan kemampuan soft skill dalam menghadapi berbagai tantangan saat melakukan /menangani pekerjaan yang terkait dengan bencana. 3. METODE PENELITIAN Metode penelitian ini akan dilakukan dengan pendekatan positifistik kuantitatif dan kualitatif secara longitudinal dengan menggunakan model riset pengembangan (R&D) Borg and Gall[5]. Dikatakan longitudinal karena suatu penelitian sifatnya berkelanjutan untuk jangka waktu yang relative panjang, mengikuti proses interaktif ragam variabel, dengan tujuan untuk menjelaskan dan memahami kejadian yang diobservasi pada rentang waktu tertentu. Desain longitudinal ini dirancang untuk mengumpulkan data pada lebih dari satu kasus dan pada kurun waktu tertentu ketika data dikumpulkan secara kuantitatif dan kualitatif terhadap variabel yang kemudian diuji lewat pengembangan secara empiric di lapangan. 4.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil implementasi modul pendidikan kebencanaan bagi siswa SD dilakukan guna untuk mengetahui hard dan soft skill siswa dalam menghadapi kegiatan kebencaaan, khususnya dalam bencana gunung berapi. Dengan penggunaan modul pendidikan kebencanaan (Gunung Berapi) memberikan pengetahuan siswa akan sikap tanggap sadar bencana, baik sebelum dan sesudah terjadinya bencana. Terkait sikap sadar bencana yang terjadi didaerahnya dari post-test masing-masing pemahanan meliputi :bencana secara umum, bencana gunung berapi, pemahaman mitigasi bencana dan simulasi dari bencana yang dilakukan di sekolah setempat . Adapun penggunaan modul pendidikan terkait sikap sadar
15
bencana yang terjadi didaerahnya dengan soft skill (87.9%) siswa dapat memahami dengan baik test pemahaman siswa meliputi bencana secara umum, bencana gunung berapi, pemahaman mitigasi bencana . demikian halnya dengan hardskill siswa dalam menghadapi bencana dengan prosestasi 74,2% seperti tampak pada Gambar 4.1 berikut ini Grafik Softskill dalam Menghadapi Bencana Gunung Berapi
6. DAFTAR PUSTAKA [1]. http://www.walhi.or.id. (2014). Sejuta Bencana Terencana di Indonesia, Diunggah pada hari Minggu, 23 Pebruari 2014. Jam 11.05. [2]. Wicaksono. (2007). Pedoman Menghadapi Bencana Gempa dan Tsunami, Jakarta: Kreasi Jakarta [3]. Herdwiyanti, F dan Sudaryono. (2012). Perbedaan Kesiapsiagaan Menghadapi Bencana Ditinjau Dari Tingkat Self-Efficacy Pada Anak Usia Sekolah Dasar Di Daerah Dampak Bencana Gunung Kelud, Jurnal Kepribadian dan Sosial Universitas Airlangga
Prosentase
[4]. Supriyono dan Asnawi. (2013). Pengembangan Model Pendidikan Kebencanaan dalam Membangun Sikap Sadar Bencana bagi Masyarakat Kabupaten Malang Selatan Jawa Timur, Laporan Hibah Bersaing, Universitas Negeri Surabaya. S SS
[5]. Borg, R and Gall MD. (1989). Educational Research, New York & London: Longman
Gunung meletus apakah: 1.Saudara sedih 2.Kegiatan sekolah berhenti,banyak siswa merasa sedih 3.Jika banyak siswa belum sadar akan menjaga konservasi lingkungannya, apakah saudara sedih 4.Menelan banyak korban, hal ini membuat saudara/ sedih 5. Menyebabkan banyak warga kehilangan harta benda, membuat saya sedih 6.Saudara takut saat gunung meletus terjadi di wilayah yang sudara tempati 7.Membuat saya/siswa ketakutan akan kehilangan anggota keluarga/teman
Gambar 4.1 Hard dan soft skill siswa dalam memahami kebencanaan 5.
KESIMPULAN Dari uraian makalah ini dapat disimpulkan bahwa74.2% siswa memiliki hard skill yang baik terhadap pemahaman serta mitigasinya terhadap bencana gunung berapi. Demikian halnya dengan pelatihan siaga bencana dapat memberikan nilai positif akan soft skill (87.9%) siswa akan sikap tanggap mereka dalam menghadapi bencana gunung berapi yang terjadi.
16
Penerapan Multimedia dalam Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning–Pbl) pada Matakuliah Struktur Data Bambang Sujatmiko1*), Rina Harimurti2, Anita Qoiriah3 1Pendidikan 2
Teknik Informatika, FT-UNESA Surabaya. Email:
[email protected] Pendidikan Teknik Informatika, FT-UNESA Surabaya. Email:
[email protected] 3Pendidikan Teknik Informatika, FT-UNESA Surabaya. Email:
[email protected] *)Alamat korespondensi: Email:
[email protected]
ABSTRACT Technological developments now require students to have a greater ability in terms of programming. Computer programming requires good planning. Planning skills necessary to develop a computer program that is effective and efficient. To study the ability was not easy so we need tools to facilitate learning lecture Data Structures of participants learn how the storage, preparation, and arrangement of data in computer storage media so that data can be used efficient. Matter in data structures are arrays, pointers , structure, stack, queue, singly linked lists, doubly linked lists, recursively searching, sorting and tree. Matter of abstract data structures, so a bit difficult to learn. To overcome this problem needs to be linked to the real world so easily understand. Model problem-based learning is an instructional model that invites students to actively learn. PBL begins with the provision of the problem which is the daily experience. Then, learners are required to resolve the problem of finding new knowledge. PBL has a stage which consists of five phases that must be passed. These stages require active learners in learning the material. Outcomes of this study is media study in the form of multimedia that can be used as a guide to learners studying data structure with problem-based learning model. Manual prepared according to the stages in the problem-based learning model. Problems are given in each matter to be discussed by the learners are presented in multimedia format for easier understanding. Keywords: Data Structures, Problem Based Learning-PBL, Computer Programming ABSTRAK Perkembangan teknologi saat ini menuntut peserta didik memiliki kemampuan yang lebih dalam hal pemrograman. Pemrograman komputer yang baik memerlukan perencanaan. Kemampuan perencanaan yang diperlukan untuk mengembangkan program komputer yang efektif dan efisien. Untuk mempelajari kemampuan itu tidak mudah sehingga diperlukan alat bantu pembelajaran untuk mempermudah peserta didik.Mata kuliah Struktur Data mempelajari cara penyimpanan, penyusunan, dan pengaturan data di dalam media penyimpanan komputer sehingga data tersebut dapat digunakan secara efisien.Materi dalam struktur data adalah array, pointer, struktur, stack, queue, singly linked-list, doubly linked-list, rekursif, searching, sorting dan tree.Materi struktur data bersifat abstrak sehingga agak sulit dipelajari. Untuk mengatasinya perlu dikaitkan dengan dunia nyata sehingga mudah dipahamai.Model pembelajaran berbasis masalah merupakan model pembelajaran yang mengajak peserta didik untuk aktif belajar. PBL diawali dengan pemberian masalah yang merupakan pengalaman sehari-hari.Kemudian peserta didik diharuskan menyelesaikan masalah tersebut untuk menemukan pengetahuan baru. PBL mempunyai tahapan yang terdiri dari 5 fase yang harus dilalui. Tahapan tersebut menuntut keaktifan peserta didik dalam mempelajari suatu materi. Luaran dari penelitian ini adalah media pembelajarn dalam bentuk multimedia yang dapat digunakan sebagai panduan peserta didik mempelajari struktur data dengan model pembelajaran berbasis masalah. Panduan disusun sesuai tahapan pada model pembelajaran berbasis masalah. Masalah yang diberikan dalam setiap materi untuk didiskusikan oleh peserta didik di presentasikan dalam bentuk multimedia agar lebih mudah dimengerti. Kata kunci: Struktur data, Problem Based Learning-PBL, Pemrograman Komputer 1. PENDAHULUAN Memasuki abad ke-21, bidang teknologi informasi dan komunikasi berkembang dengan pesat.Perkembangan tersebut berpengaruh besar terhadap berbagai aspek kehidupan. Keterampilan bidang teknologi informasi dan komunikasi tidak hanya menuntut keterampilan teknis semata-mata, tetapi juga menuntut kematangan mental dan kemampuan pemecahan masalah. Pendidikan menduduki posisi penting untuk menuju perkembangan dan kemajuan suatu bangsa. Pelaksanaan usaha dalam mencapai tujuan pendidikan merupakan tanggung jawab bersama. Ini berarti
perspektif yang baru pun harus terjadi dalam sistem proses belajar mengajar, adanya integrasi yang sinergi dari beberapa aspek. Kurikulum yang mengacu pada kompetensi yang didukung penuh dari model pembelajaran, perangkat pembelajaran, sarana dan prasarana. Perkembangan teknologi saat ini menuntut peserta didik memiliki kemampuan yang lebih dalam hal pemrograman. Pemrograman komputer yang baik memerlukan perencanaan. Kemampuan perencanaan yang diperlukan untuk mengembangkan program komputer yang efektif dan efisien, bersama-sama dengan umpanbalik yang diberikan oleh sistem
17
komputer, akan memberikan sarana untuk membentuk keterampilan berfikir tingkat tinggi. Pemakaian struktur data yang tepat di dalam proses pemrograman akan menghasilkan algoritma yang lebih jelas dan tepat, sehingga menjadikan program secara keseluruhan lebih efisien dan sederhana. Struktur data merupakan cara menyimpan atau merepresentasikan data di dalam komputer agar bisa dipakai secara efisien. Sedangkan data adalah representasi dari fakta dunia nyata. Fakta atau keterangan tentang kenyataan yang disimpan, direkam atau direpresentasikan dalam bentuk tulisan, suara, gambar, sinyal atau simbol. Oleh karena itu dibutuhkan model pembelajaran yang sesuai untuk mempermudah hal tersebut. Pembelajaran yang efektif perlu memfokuskan pada sifat-sifat pengetahuan metakognitif dari pemrograman. Menurut Tan (2003) dalam Rusman[1] Pembelajaran Berbasis Masalah merupakan inovasi dalam pembelajaran karena proses belajar mengajar kemampuan mahasiswa betul-betul dioptimalkan melalui proses kerja kelompok atau tim yang sistematis, sehingga mahasiswa dapat memberdayakan, mengasah, menguji, dan mengembangkan kemampuan berpikirnya secara berkesinambungan. Dengan melihat latar belakang di atas, pada penelitian ini penulis ingin menerapkan Pembelajaran Berbasis Masalah dalam pembelajaran mata kuliah Struktur Data. Mata kuliah ini diharapkan mampu dijadikan sebagai dasar untuk pengembangan kompetensi peserta didik di bidang pemrograman komputer. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu Hasil penelitian[2] tentang Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Masalah Terhadap Hasil Belajar Melalui Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa menunjukkan bahwa pembelajaran Matematika dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah lebih tinggi daripada pembelajaran konvensional pada hasil belajar melalui kemampuan komunikasi matematik siswa materi pokok sistem persamaan linear dua variabel di kelas VIII SMP Negeri 9 Kendari. Sedangkan pada penelitian[3] disimpulkan bahwa sikap ilmiah dan keterampilan berpikir kritis siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran berbasis masalah (PBL) lebih baik daripada siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran ekspositori. 2.2 Studi Pustaka 2.2.1 Pengertian Model Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL) Menurut Jodion[4] Pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) merupakan salah satu model pembelajaran yang berasosiasi dengan pembelajaran kontekstual. Pembelajaran artinya dihadapkan pada
suatu masalah, yang kemudian dengan melalui pemecahan masalah, melalui masalah tersebut siswa belajar keterampilan-keterampilan yang lebih mendasar. Menurut[5], tahapan model pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning-PBL) adalah seperti pada tabel 1 di bawah ini: Tabel 1. Tahapan Model Pembelajaran Berbasis Masalah FASE-FASE Fase 1: Memberikan orientasi tentang permasalahannya kepada peserta didik
Fase 2: Mengorganisasikan peserta didik untuk meneliti Fase 3: Membantu investigasi mandiri dan kelompok Fase 4: Mengembangkan dan mempresentasikan artefak dan exhibit
Fase 5: Menganalisis dan mengevaluasi proses mengatasi masalah
PERILAKU GURU Guru menyampaikan tujuan pelajaran, mendeskripsikan berbagai kebutuhan logistik penting dan memotivasi peserta didik untuk terlibat dalam kegiatan mengatasi masalah Guru membantu peserta didik untuk mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas-tugas belajar terkait dengan permasalahannya Guru mendorong peserta didik untuk mendapatkan informasi yang tepat, melaksanakan eksperimen, dan mencari penjelasan dan solusi Guru membantu peserta didik dalam merencanakan dan menyiapkan artefak-artefak yang tepat, seperti laporan, rekaman video dan modelmodel dan membantu mereka untuk menyampaikannya kepada orang lain Guru membantu peserta didik melakukan refleksi terhadap investigasinya dan proses-proses yang mereka gunakan.
Dari beberapa pendapat para ahli tersebut maka dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran berbasis masalah (PBL) merupakan model pembelajaran yang mengajak peserta didik untuk aktif belajar. PBL diawali dengan pemberian masalah yang merupakan pengalaman sehari-hari. Kemudian peserta didik diharuskan menyelesaikan masalah tersebut untuk menemukan pengetahuan baru. 2.2.2 Pengertian Struktur Data Mata kuliah Struktur Data mempelajari cara penyimpanan, penyusunan, dan pengaturan data di dalam media penyimpanan komputer sehingga data tersebut dapat digunakan secara efisien. Materi dalam struktur data adalah array, pointer, struktur, stack, queue, singly linked-list, doubly linked-list, rekursif, searching, sorting dan tree.
3. METODE PENELITIAN 3.1 Bagan Alir Penelitian Secara garis besar tahapan penelitian diperlihatkan seperti pada Gambar 1. 1) Studi pendahuluan berupa studi pustaka tentang metode PBL serta penelitian-penelitian yang sudah pernah dilakukan terkait dengan metode PBL, 2) Pemilihan dan penentuan topik mata kuliah struktur data, digunakan untuk menentukan topik apa
18
saja yang akan disusun dalam bahan ajar. Sesuai materi struktur data maka materi yang akan dimasukkan adalah array, pointer, struktur, stack, queue, linked-list, rekursif, searching, sorting dan tree, 3) Selanjutnya menyusun RPS dengan model pembelajaran PBL. Dari RPS ini nanti akan muncul scenario yang diperlukan dalam penyusunan media pembelajaran, 4) Skenario yang sudah disusun dalam RPS kemudian dimplementasikan dalam bentuk multimedia. Pertama yang dibuat adalah permasalahan dari setiap materi yang dipresentasikan dalam bentuk flash agar memudahkan pemahaman peserta didik, 5) Kemudian merancang GUI yang user friendly dalam bentuk adobe portofolio, 6) Merancang panduan pembelajaran berbasis masalah, 7) Mengimplementasikan rancangan panduan pembelajaran berbasis masalah, permasalahan yang disusun dengan flash dan materi yang dibuat dalam bentuk pdf menjadi media pembelajaran dalam bentuk adobe portofolio. Studi Pendahuluan: Studi Pustaka tentang penelitian terdahulu yang menerapkan metode pembelajaran berbasis masalah PBL
Pemilihan dan penentuan topik mata kuliah struktur data
Merancang GUI (Grafical User Interface) untuk animasi
Menyusun pedoman pembelajaran berbasis masalah untuk matakuliah struktur data
Penyusunan RPS mata kuliah struktur data
Menyusun rancangan media dalam bentuk animasi dengan menggunakan Flash
Implementasi rancangan menjadi media pembelajaran bentuk animasi
Gambar 1. Diagram Alir Penelitian
3.2 Pengembangan Perangkat Pembelajaran Model pengembangan perangkat menggunakan model 4-D[6]. Tahap-tahap pelaksanaannya terdiri dari 4 tahap pengembangan, yaitu define, design, develop, dan dessimenate. Berikut uraian keempat tahap beserta komponen-komponen model 4-D. 1) Tahap pendefinisian (define) adalah menetapkan dan mendefinisikan syarat-syarat pembelajaran. Tahap pendefinisian terdiri dari tiga langkah analisis, yaitu: pertama analisis awal-akhir. Langkah ini digunakan untuk menentukan masalah mendasar yang dihadapi
dosen. Dalam analisis awal diperlukan pertimbangan berbagai alternatif pengembangan perangkat pembelajaran. Kedua analisis siswa/ mahasiswa, merupakan telaah tentang karakteristik mahasiswa yang sesuai dengan desain pengembangan perangkat pembelajaran. Karakteristik itu meliputi latar belakang kemampuan akademik (pengetahuan), perkembangan kognitif, serta keterampilan-keterampilan individu atau sosial yang berkaitan dengan topik pembelajaran, media, format dan bahasa yang dipilih. Ketiga analisis tugas dan konsep, adalah kumpulan prosedur untuk menentukan isi dalam satuan pembelajaran, analisis tugas dilakukan untuk merinci isi materi ajar dalam bentuk garis besar, analisis ini mencakup: (1) analisis struktur isi, (2) analisis prosedur, (3) analisis proses informasi, (4) analisis konsep, dan (5) perumusan tujuan. Dan terakhir analisis tujuan, dilakukan untuk menentukan atau merumuskan tujuan-tujuan pembelajaran yang akan dicapai oleh mahasiswa. 2) Tahap Perancangan (Design), bertujuan untuk merancang prototipe perangkat pembelajaran. Tahap ini terdiri dari tiga langkah, (1) Penyusunan tes acuan patokan, langkah ini merupakan penghubung antara tahap define dan design. Tes acuan patokan mengkonversi tujuan-tujuan khusus ke dalam garis besarmateri pembelajaran, (2) Pemilihan media adalah langkah yang dilakukan untuk menentukan media yang tepat dengan penyajian materi pelajaran dan (3) Pemilihan format adalah langkah yang berkaitan erat dengan pemilihan media. 3) Tahap Pengembangan (Develop), adalah untuk menghasilkan perangkat pembelajaran. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penentuan topik bahan ajar mata kuliah struktur data dan penyusunan RPS Penentuan topik bahan ajar disesuaikan dengan Buku Pedoman Universitas Negeri Surabaya, 2016[7]. Fakultas Teknik. Dari pemilihan topik-topik esensial Struktur Data seperti pada[8], maka materi yang akan dimasukkan dalam media pembelajaran adalah: 1. Array, Pointer dan Struktur, 2. Linked List, 3. Stack, 4. Queue, 5. Rekursi, 6. Sorting (pengurutan), 7. Searching (Pencarian), 8. Tree. Setelah ditentukan topiknya, selanjutnya disusun RPS sebagai dasar dari skenario yang akan digunakan dalam penyusunan media pembelajaran. 4.2 Kasus-kasus setiap materi dalam bentuk multimedia Skenario pembelajaran yang akan diterapkan dalam mata kuliah Struktur Data menggunakan model pembelajaran berbasis masalah dengan perangkat pembelajaran berupa multimedia. Sesuai dengan tahapan pada model pembelajaran berbasis masalah,
19
fase pertama adalah memberikan orientasi tentang permasalahannya kepada peserta didik. . Masing-masing topik diawali dengan kasus yang harus diuraikan mahasiswa sehingga membawa mahasiswa sampai pada materi yang akan dipelajari dalam struktur data. Adapun kasus-kasus dari setiap materi tersebut adalah : 1) Array Sebuah supermarket biasanya menjual berbagai macam barang dan berbagai macam merek barang. Jika pengaturan tidak rapi tentu akan menyulitkan didalam pengelolaannya. Terutama saat konsumen mencari berbagai jenis barang yang dibutuhkan. Bagaimanakah cara yang tepat dalam menyelesaikan masalah penempatan barang di supermarket tersebut agar berbagai jenis barang tersebut mudah dalam pengelolaannnya? Untuk membedakan penyimpanan setiap jenis dan merek barang tidak perlu dengan membuatkan bentuk rak yang berbeda-beda. Dalam sebuah supermarket biasanya peletakan barang dikelompokkan berdasar jenis barangnya untuk mempermudah pengelolaan. Rak untuk menyimpan masing-masing kelompok tersebut biasanya mempunyai bentuk berbeda tegantung dari jenis barangnya. Misalnya rak untuk menyimpan kelompok jenis sapu berbeda dengan rak untuk menyimpan jenis sabun mandi. Dalam satu kelompok jenis barang terdapat bermacam-macam merek yang diletakkan dalam slot rak yang berbeda-beda tapi terletak secara terurut. Untuk mengambil sebuah merek tertentu kita dapat langsung menuju rak yang sesuai tanpa harus menelusuri rak secara urut satu persatu.
Gambar 3. Animasi kasus Stack
3) Queue, Saat banyak mobil yang akan masuk ke tempat parkir, maka akan terjadi antrian. Mobil yang berada pada urutan terdepan akan masuk terlebih dahulu. Sedang mobil yang baru dating harus berada di urutan paling belakang.
Gambar 4. Animasi kasus Queue
4) Linked-list, Konsep linkedlist sama seperti kereta api yang terdiri dari serangkaian gerbong dan terdapat lokomotif yang berada di gerbong terdepan.
Gambar 2. Animasi kasus Array
2) Stack Kasus yang digunakan disini adalah bagaimana forlklift menumpuk peti-peti yang diangkut. Peti akan selalu ditumpuk ditumpukan paling atas. Sehingga peti yang paling atas adalah peti yang ditumpuk terakhir. Dan peti yang diambil pasti urut dari tumpukan paling atas.
Gambar 5. Animasi kasus Linkedlist
5) Rekursif, Contoh kasus yang dapat dipecahkan secara rekursif adalah masalah Hanoi Tower.
20
Gambar 6. Animasi kasus Rekursif
6) Searching, Kasus mencari barang tertentu yang tertinggal di salah satu kotak. Untuk mencarinya kotak dibagi 2 dan ditimbang. Yang paling berat dibagi lagi sampai ketemu barang yang dicari.
Gambar 7. Animasi kasus Searching
7) Sorting, Kasus berupa urutan serangkaian warna yang harus diurutkan mulai dari warna tertua.
1) Fase 1: Memberikan orientasi tentang permasalahannya kepada peserta didik. Dosen menyampaikan tujuan pembelajaran, mendeskripsikan berbagai kebutuhan logistik yang penting dan memotivasi mahasiswa untuk terlibat dalam kegiatan mengatasi masalah yang terdapat pada kasus yang dituliskan diawal setiap topik pada modul ajar. 2) Fase 2: Mengorganisasikan peserta didik untuk meneliti. Dosen membantu mahasiswa untuk mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas-tugas belajar terkait dengan permasalahnnya dengan membentuk kelompok-kelompok untuk membahas kasus yang ada. 3) Fase 3: Membantu investigasi mandiri dan kelompok. Dosen mendorong mahasiswa untuk mendapatkan informasi yang tepat, melaksanakan eksperimen, dan mencari penjelasan dan solusi. Pada fase ini tugas dosen mengarahkan sehingga solusi yang didapat dalam pemecahan kasus bisa tetap mengarah pada topik yang harus dipelajari 4) Fase4: Mengembangkan dan mempresentasikan artefak dan exhibit. Dosen membantu mahasiswa dalam merencanakan dan menyiapkan artefak-artefak yang tepat seperti laporan, database, rekaman video, dan model-model, dan membantu mereka untuk menyampaikannya kepada orang lain. Salah satu yang mudah adalah berupa pembuatan mapping dari kasus yang ada, kemudian di pecah menjadi beberapa bagian yang mengarah ke topik, contohnya: a) Stack Kasus pada stack adalah proses untuk menumpuk barang, misalnya menumpuk piring. Saat menumpuk piring maka dari mana kita harus menumpuk dan darimana kita harus mengambil. Contoh peta konsep hasil diskusi kelompok : Tumpukan Piring
Berisi
Gambar 8. Animasi kasus Sorting
Mempunyai
Banyak Barang
Perlakuan Piring Masuk Dalam Tumpukan
8) Tree, Struktur organisasi atau silsilah keluarga dapat digunakan sebagai kasus untuk mempelajari Tree.
Data(ukuran, warna, bahan)
Rangkaian Barang Yang Berurutan Ukuran sudah pasti Array
Ukuran belum pasti
LinkedList
Piring Keluar Dari Tumpukan
Ditumpuk
Diambil
Bentuk pengelomokan variabel Jalan untuk menumpuk dalam data Struktur
Jalan untuk mengambil
Dari Atas
Dari Atas
LIFO
Gambar 9. Animasi kasus Tree
4.3 Panduan Pembelajaran Berbasis Masalah Sesuai dengan fase dalam Pembelajaran Berbasis Masalah:
Gambar 10 . Peta Konsep hasil diskusi Array
b) Queue Antrian pada teller. Antrian terjadi saat jumlah teller lebih sedikit dari jumlah orang yang akan dilayani. Untuk masuk antrian, nasabah harus melalui belakang antrian. Sedangkan nasabah yang dilayani
21
terlebih dahulu adalah nasabah yang berada paling depan Contoh peta konsep hasil diskusi kelompok : Antrian Pada Teller Bank
Obyek Antrian
Nasabah
Sistem Antrian
Susunan
Identitas
Nasabah Masuk
Sederetan Nasabah
Data Nasabah(no rek, nama alamat)
Masuk Antrian
Keluar Antrian
pengelompokan item penyusun data
Arah Masuk
Arah Keluar
Struktur
Dari Belakang
Dari depan
Jmlah sudah pasti
Array
Mempunyai
Jumlah belum pasti
LinkedList
Nasabah Keluar
FIF O (First In First Out)
Gambar 11. Peta Konsep hasil diskusi Queue
Dari hasil peta konsep tersebut selanjutnya tugas masing-masing mahasiswa untuk mencari bahan kajian yang sesuai. 5) Fase 5: Menganalisis dan mengevaluasi proses mengatasi masalah. Dosen membantu mahasiswa melakukan refleksi terhadap investigasinya dan proses-proses yang mereka gunakan. Pada fase ini dosen akan mememeriksa apakah hasil diskusi dari setiap kelompok dan bahan kajian yang didapat sesuai dengan topik yang harus dipelajari saat itu.
Gambar 13. Tampilan Media pembelajaran
Setiap materi dikelompokkan dalam sebuah folder. Pada setiap folder terdapat deskripsi dari setiap materi yang akan dipelajari. Didalam folder terdapat dua buah file yang dapat di unduh. File pertama berupa panduan untuk mempelajari mata kuliah struktur data dengan model pembelajaran berbasis masalah. Dalam file tersebut dimasukkan animasi dari permasalahan yang harus didiskusikan secara berkelompok. Dosen bertugas untuk mengarahkan diskusi agar sesuai dengan tema yang akan dipelajari. Setelah diskusi selesai dan mengarah ke materi kuliah, maka mahsiswa dapat mengunduh file kedua yang berisi materi untuk dipelajari lebih lanjut. Isi folder seperti pada gambar 14.
Gambar 14. Isi Folder Materi
Gambar 12. Panduan pelaksanaan PBL
4.4. Media Pembelajaran Hasil akhir dari penelitian ini adalah berupa sebuah media pembelajaran yang disusun dengan adobe portofolio seperti pada gambar 13 berikut.
22
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Berdasarkan hasil yang dicapai pada penelitian dapat disimpulkan: 1) Pemrograman Berbasis Masalah dalam bidang pemrograman komputer memerlukan contoh-contoh dunia nyata karena pemrograman komputer cenderung bersifat abstrak dan memerlukan keterampilan analisis yang tinggi dan melibatkan peran aktif mahasiswa untuk berfikir dengan kemampuan high order thinking (hot). 2) Media pembelajaran dalam bentuk animasi sebagai permasalahan yang harus dibahas, dapat membantu mahasiswa dalam memahami materi Struktur Data dengan model pembelajaran PBL. 5.2 Saran Berdasarkan hasil yang dicapai pada penelitian ini, maka peneliti menyarankanperlunya untuk menerapkan pembelajaran bebasis masalah pada matakuliah-matakuliah dalam bidang omputer khususnya yang berhubungan dengan pemrograman yang selama ini menjadi matakuliah yang cukup sulit dipahami.
6. DAFTAR PUSTAKA [1]. Rusman. (2010). Model-model pembelajaran. (Mengembangkan Profesionalisme Guru), cet.5. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, hlm. 229. [2]. Kadir Tiya & Hasminah. (2012). Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Masalah Terhadap Hasil Belajar Melalui Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa: Jurnal Pendidikan MatematikaVolume 3 Nomor 2 Juli 2012 [3]. I Kadek Urip Astika, I Ketut Suma, I Wayan. Suastra, (2013). Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis Masalah Terhadap Sikap Ilmiah Dan Keterampilan Berpikir Kritis : E-Journal Vol. 3, Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi IPA. [4]. Jodion Siburian,. 2010. Model Pembelajaran Sains, Jambi: Universitas Jambi [5]. Agus Supriyono, (2009). Efektivitas Penerapan Metode (Problem Based Learning) Terhadap Prestasi Belajar Akuntansi Pokok Bahasan Jurnal Khusus Kelas XII IS I SMA PGRI Wirosari Purwodadi. Under Graduates thesis, Universitas Negeri Semarang, hlm 74-76. [6]. Thiagarajan, S., Semmel, D. S & Semmel, M.I. (1974). Instructional Development for Training Teacher of Expectional Children. Minneapolis, Minnesota: Leadership Training institute/Special Education, University of Minnesota. [7]. Tim. (2016). Buku Pedoman Universitas Negeri Surabaya. Fakultas Teknik. [8]. Desphande, P.S and O.G. Kakde. (2012). C & Data Structures. Hingham Massachusetts: Charles River Media, INC
23
24
Peningkatan Kemampuan Guru SMK Negeri Wonosalam Jombang melalui Pelatihan Pembuatan Proposal PTK Choirul Anna Nur Afifah1*), Siti Sulandjari2, Veni Indrawati3 1 Jurusan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga, UNESA, Surabaya. E-mail:
[email protected] Jurusan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga, UNESA, Surabaya, Kota. E-mail:
[email protected] 3 Jurusan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga, UNESA, Surabaya. E-mail:
[email protected] *) Alamat Korespondesi: Email:
[email protected] 2
ABSTRACT Teachers was required to create an innovative works such as classroom action research to promote their functional position. Most of teachers in SMK Negeri Wonosalam said never done classroom action research on their learning or made scientific work . The aim of devotions were to upgrading teachers made proposal of classroom action research and to knows teacher’s response of devotions .Method was applied by training two times during two week. The first time was briefing materials about learning models and classroom action research. Then, coaching proposal at second time. The participants was 28 teachers in SMKN Wonosalam Jombang. .Activities was done in SMKN Wonosalam. Teachers response was known by questionnaire. The first stage lasted 6 hours. The activities were gave materials about learning innovative models, educations device, learning strategy and classroom action research. At the second time, we done proposals research presentation that have been made of participants and bringing science manuscript article. The teacher training as participants was evaluated very well and good. Participants thought that very good for conformity matter (67%) , the depth of material (58%) media uses (42%) , the instructors explained the materials (67 %) , answered questions (75%) and participants motivation (75%). Key Words: training, teacher respons, learning model ABSTRAK Guru diwajibkan membuat karya inovatif berupa penelitian tindakan kelas (PTK) guna kenaikan pangkat jabatan Fungsional. Mayoritas guru di SMK Negeri Wonosalam menyatakan belum pernah melakukan PTK dan membuat karya ilmiah. Tujuan kegiatan pengabdian ini adalah untuk meningkatkan kemampuan guru membuat proposal penelitian tindakan kelas (PTK) dan mengetahui respon guru terhadap pelatihan yang dilakukan. Metode yang diterapkan dengan memberikan pelatihan yang dilakukan selama dua minggu dengan dua kali tatap muka. Tahap I berupa pembekalan materi tentang model pembelajaran dan PTK. Selanjutnya, tahap II berupa pendampingan untuk menyusun proposal. Sasaran kegiatan adalah guru SMKN Wonosalam Jombang sebanyak 28 orang. Pelaksanaan kegiatan dilakukan di SMKN Wonosalam. Respon guru diketahui dari hasil pengisian angket. Tahap pertama berlangsung selama 6 jam dengan kegiatan berupa penyampaian materi tentang metode pembelajaran inovatif, perangkat pembelajaran, strategi pembelajaran, dan penelitian tindakan kelas. Tahap kedua dilakukan dengan waktu yang sama dengan kegiatan utama presentasi proposal yang telah dibuat peserta dan penyampaian materi penulisan artikel ilmiah. Respon peserta terhadap pelatihan menilai sangat baik dan baik. Peserta menilai sangat baik untuk kesesuaian materi (67%), kedalaman materi (58%) penggunaan media (42%), kemampuan instruktur menjelaskan materi (67%), menjawab pertanyaan (75%) dan memotivasi peserta (75%). Kata kunci: pelatihan, respon guru, model pembelajaran 1. PENDAHULUAN Keberhasilan pembangunan nasional Indonesia di segala bidang akan sangat bergantung pada sumber daya manusia sebagai aset bangsa. Untuk mengoptimalkan dan memaksimalkan perkembangan seluruh sumber daya manusia yang dimiliki, dilakukan melalui pendidikan, baik melalui jalur pendidikan formal maupun jalur pendidikan non formal. Perkembangan dunia pendidikan saat ini sedang memasuki era yang ditandai dengan gencarnya inovasi teknologi, sehingga menuntut adanya penyesuaian sistem pendidikan yang selaras dengan tuntutan dunia kerja. Pendidikan harus mencerminkan proses memanusiakan manusia dalam arti
mengaktualisasikan semua potensi yang dimilikinya menjadi kemampuan yang dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat luas. Salah satu lembaga pada jalur pendidikan formal yang menyiapkan lulusannya untuk memiliki keunggulan di dunia kerja, diantaranya melalui jalur pendidikan kejuruan yaitu SMK. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dirancang untuk menyiapkan peserta didik atau lulusan yang siap memasuki dunia kerja dan mampu mengembangkan sikap profesional di bidangnya. Namun Sekolah Menengah Kejuruan dituntut bukan hanya sebagai penyedia tenaga kerja yang siap bekerja pada lapangan kerja yang sesuai dengan kebutuhan dunia usaha atau
25
dunia industri,serta mampu mengembangkan diri melalui wirausaha. Kebijakan pembangunan pendidikan Nasional tahun 2010-2014 diantaranya adalah penyediaan dan peningkatan sarana dan prasarana untuk penerapan sistem pembelajaran SMK berkualitas yang berbasis keunggulan lokal dan relevan dengan kebutuhan daerah yang merata di seluruh provinsi, kabupaten, dan kota. Salah satu SMK yang didirikan dan dikembangkan berbasis keunggulan lokal daerah adalah SMK Negeri Wonosalam Jombang. SMK Negeri Wonosalam berlokasi di Jalam Anjasmoro, Desa Wonosalam, Kecamatan Wonosalam, Jombang. SMK Negeri Wonosalam membuka tiga kompetensi keahlian, yaitu Teknik Kendaraan Ringan, Agribisnis Tanaman Perkebunan, dan Jasa Boga, dengan jumlah siswa sebanyak 425 siswa yang tersebar di 14 kelas pada tahun ajaran 2014/2015. Tenaga pengajar atau guru sebanyak 49 orang, terdiri dari 34 orang guru tetap (PNS/CPNS) dan 15 orang guru tidak tetap atau honorer. Dari total jumlah guru tersebut 21 diantaranya berada pada golongan III dengan rentangan usia guru 27-46 tahun, sehingga memiliki banyak kesempatan untuk meningkatkan jenjang karirnya. Dari dokumen data profil sekolah diketahui jenjang pendidikan guru SMKN Wonosalam mayoritas sarjana (S1) yaitu sebanyak 30 orang, dari jumlah tersebut diketahui terdapat 23 orang yang berlatar belakang sarjana pendidikan dan 7 orang (23%) berlatar belakang non kependidikan. Meskipun mayoitas guru berlatar belakang sarjana pendidikan, namun tidak semua karya ilmiah atau skripsi yang disusun para guru mengambil tema pendidikan sehingga hal ini berpengaruh pada pemahaman dan kemampuan guru untuk melakukan penelitian terutama penelitian tindakan kelas (PTK). Terkait dengan berlakunya Permendiknas Nomor 35 Tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya maka guru dituntut harus aktif membuat karya inovatif berupa penelitian (PTK), karya tulis ilmiah dan sebagainya. Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Enik Indartik, S.Pd selaku wakil kepala sekolah akademik, beliau menyampaikan bahwa pada umumnya guru disini agak terlambat proses kenaikan pangkatnya karena terkendala belum memiliki penelitian dan karya ilmiah yang diseminarkan atau diterbitkan dalam jurnal. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran dari beberapa guru di SMK Negeri Wonosalam, mengingat sejauh ini mereka tidak pernah memperoleh sosialisasi tentang PTK dan mereka berharap ada lembaga yang dapat memberikan informasi atau pelatihan terkait kegiatan penelitian (PTK). Minimnya pengetahun guru tentang PTK berdampak pada kurangnya pengalaman mereka untuk melakukan penelitian dan menulis karya ilmiah. PTK adalah penelitian yang dilakukan oleh guru di dalam kelasnya sendiri melalui refleksi diri (atau dibantu mitra), dengan tujuan untuk memperbaiki
kinerjanya sebagai guru, sehingga hasil belajar siswa meningkat. Tujuan penelitian ini adalah memperbaiki dan meningkatkan kualitas pembelajaran serta membantu memberdayakan guru dalam memecahkan masalah pembelajaran di kelas[1]. Deskripsi di atas menunjukkan untuk melakukan PTK guru harus memiliki kemampuan mengidentifikasi masalah pembelajaran yang dihadapi, menganalisis akar permasalahannya dan memikirkan ide kreatif atau inovatif untuk memecahkan permasalahan tersebut, dimana semua itu perlu dipahami dengan baik oleh guru. Guru juga dituntut untuk mampu menuangkan hasil pemikiran dan mewujudkannya dalam bentuk proposal penelitian, hingga menyusun artikel ilmiah. Berdasarkan pemaparan di atas diketahui permasalahan yang dihadapi oleh mitra atau pihak sekolah adalah mayoritas guru tidak memiliki pemahaman dan pengalaman menyusun proposal serta melaksanakan penelitian tindakan kelas (PTK). Dari identifikasi masalah di atas maka alternatif pemacahan masalah yang bisa dilakukan adalah dengan memberikan pelatihan berupa pembekalan materi tentang PTK, memberikan pendampingan kepada guru dalam membuat proposal PTK yang selanjutnya dapat diterapkan pada proses pembelajaran di kelas. Pelatihan efektif bukan sekedar mengatakan atau menunjukkan kepada seseorang bagaimana melakukan sebuah tugas tetapi upaya untuk mentransfer keterampilan dan pengetahuan sehingga peserta pelatihan menerima dan melakukan latihan tersebut pada saat melakukan pekerjaannya[4]. Target yang diharapkan setelah pelaksanaan kegiatan pengabdian berupa pelatihan penyusunan proposal PTK adalah guru memiliki pemahaman PTK dengan lebih baik, guru memiliki kemampuan mengidentifikasi masalah pembelajaran yang dihadapi, memiliki ide kreatif memecahkan permasalahan selama proses pembelajaran dan dapat menuangkannya dalam bentuk proposal PTK. target yang diharapkan setelah pelaksanaan kegiatan pengabdian berupa pelatihan penyusunan proposal PTK adalah guru memiliki pemahaman PTK dengan lebih baik, guru memiliki kemampuan mengidentifikasi masalah pembelajaran yang dihadapi, memiliki ide kreatif memecahkan permasalahan selama proses pembelajaran dan dapat menuangkannya dalam bentuk proposal PTK. Tujuan yang diharapkan melalui kegiatan pelatihan ini adalah kemampuan atau kompetensi guru dalam menyusun proposal menjadi lebih baik, mampu melakukan penelitian, guru akan termotivasi untuk melakukan inovasi pembelajaran, memecahkan masalah pembelajaran serta menumbuhkembangkan budaya akademik di lingkungan sekolah sehingga tercipta sikap proaktif dalam melakukan perbaikan mutu pendidikan dan pembelajaran secara berkelanjutan (sustainable), disamping memberi dampak positif pula terhadap peningkatan jenjang karir mereka. Adapun luaran yang dihasilkan berupa draf proposal PTK dan respon guru terhadap kegiatan
26
pelatihan yang dilakukan. Luaran berupa proposal PTK relevan dengan mata pelajaran atau kompetensi dasar (KD) yang muncul pada pembelajaran semester berikutnya. 2. METODE Metode yang dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan adalah memberikan pelatihan berupa pembekalan materi tentang konsep PTK, pembuatan proposal dan pendampingan penyusunan proposal PTK. Waktu pelaksanaan kegiatan disepakati dilakukan dua hari. Tempat kegiatan dilakukan di SMK Negeri Wonosalam sebagai wujud partisipasi mitra terhadap kegiatan yang dilakukan. Jumlah peserta yang terlibat sebanyak 28 orang. Penetapan jumlah peserta ini status guru sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN). Berikut ini adalah tahapan metode pelaksanaan kegiatan pengabdian secara rinci yang akan dilakukan:
Waktu pelaksanaan pengabdian disepakati selama dua hari yaitu Sabtu, tanggal 1 dan 15 Oktober 2016 mulai pukul 10.00 WIB sampai dengan 16.00 WIB. Pelaksanaan pelatihan dengan jeda dua minggu untuk memberi kesempatan peserta menyusun proposal PTK sehingga di pertemuan berikutnya peserta telah memiliki draft proposal untuk dibahas dalam workshop. Topik materi yang akan disampaikan berupa Model Pembelajaran Inovatif, Pengembangan Perangkat Pembelajaran, Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dan Pengelolaan Bengkel/Laboratorium. Adapun jadwal pengabdian dijabarkan pada Tabel 2 berikut ini: Tabel 2. Jadwal Pelaksaaan Pelatihan di SMK Negeri Wonosalam Hari/Tanggal Sabtu 1 Okt 2016
12.00 - 13.00 13.00 – 15.00
Tabel 1. Tahapan Pelaksanaan Pelatihan di SMK Negeri Wonosalam No 1
Waktu Pelaksanaan Pertemuan pertama (Minggu I)
2
Pertemuan kedua (Minggu II)
Kegiatan Pembukaan Penyampaian materi tentang: Konsep PTK Prosedur PTK Proposal PTK Pendampingan menyusun proposal PTK Penyampaian materi tentang artikel ilmiah Evaluasi kegiatan Penutup
Pelaksanaan kegiatan dilakukan selama dua kali pertemuan, pada pertemuan pertama (minggu I) peserta mendapat materi tentang PTK hingga pendampingan menyusun proposal PTK. Proses pendampingan terus dilakukan dengan komunikasi secara elektronik (melalui email, SMS, WA, dan sebagainya). Selanjutnya pada pertemuan kedua (minggu II) kegiatan ditekankan pada evaluasi tentang hasil proposal serta proses pelatihan secara keseluruhan. Materi disusun sesuai topik dalam bentuk handout dan media presentasi (ppt) sehingga mempermudah peserta untuk memahami dan menyimak penjelasan dari tim pelaksana. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Kegiatan pengabdian diawali dari koordinasi tim dengan sekolah sasaran yaitu SMK Negeri Wonosalam yang diwakili oleh Kepala Sekolah Bapak Sulikan, S.Pd, MM dan Waka bidang Kurikulum Ibu Enik Indartik, S.Pd. pada hari Sabtu tanggal 17 September 2016. Kegiatan ini diawali dari perkenalan, penjelasan maksud dan tujuan pengabdian dan waktu kegiatan. Hasil dari pertemuan koordinasi berupa ijin yang diberikan oleh pihak sekolah, topik materi yang diberikan berdasarkan kebutuhan guru, waktu dan teknis pelaksanaan kegiatan, jumlah guru yang terlibat dalam pelatihan serta luaran kegiatan.
Jam 10.00 - 10.15 10.15 - 12.00
15.00 – 16.00 Sabtu 15 Okt 2016
10.00 - 12.00 12.00 - 13.00 13.00 – 14.30 14.30 – 15.30 15.30 – 16.00
Kegiatan Pembukaan Model Pembelajaran Inovatif Ishoma Pengemb. Perangkat Pembelajaran PTK Tugas: Menyusun proposal PTK Workshop PTK Ishoma Pengelolaan Bengkel/Lab Evaluasi kegiatan Penutup
Guru yang terlibat sebagai peserta sebanyak 28 orang. Seluruh peserta adalah guru telah berstatus ASN (Aparatur Sipil Negara) dari rumpun keahlian Teknik Kendaraan Ringan, Agribisnis Tanaman Perkebunan, dan Jasa Boga. Kegiatan pengabdian pada pertemuan pertama dilaksanakan hari Sabtu tanggal 1 Oktober 2016 dihadiri oleh 21 peserta. Pertemuan di mulai dari pembukaan oleh Kepala SMK Negeri Wonosalam. Penyampaian materi tentang model pembelajaran inovatif dilakukan melalui diskusi dan tanya jawab. Proses diskusi dimaksudkan untuk menggali atau mendapat informasi mengenai kegiatan pembelajaran yang dilakukan peserta selama ini. Penjelasan materi mengacu pada pertanyaan yang diajukan oleh peserta karena pada dasarnya peserta telah berpengalaman dalam pembelajaran. Dari hasil pertemuan pertama diketahui bahwa terdapat tiga peserta yang pernah mengikuti pelatihan sertifikasi guru dan membuat proposal PTK sebagai tugas akhir dari pelatihan tersebut. Namun, proposal tersebut belum dievaluasi sehingga guru tidak pernah menggunakannya untuk penelitian tindakan kelas. Diketahui pula masih banyak guru yang belum pernah menyusun proposal PTK sehingga pada akhir pertemuan pertama seluruh peserta ditugaskan menyusun proposal PTK agar dapat dievaluasi di pertemuan kedua. Waktu yang diberikan untuk mengerjakan proposal selama dua minggu dan pada rentang waktu tersebut tim pelaksana memberi kesempatan peserta untuk melakukan konsultasi secara online melalui pesan singkat (short massage service), whattsup, facebook atau email.
27
Pelatihan pada pertemuan kedua dihadiri oleh semua peserta yaitu 28 guru. Kegiatan pertemuan kedua berlangsung selama enam jam. Kegiatan dimulai dari berupa workshop dan evaluasi dari proposal PTK yang disusun oleh peserta, penyampaian materi menyusun artikel ilmiah, pengelolaan bengkel serta penutup. Pada kegiatan workshop, para peserta mempresentasikan proposalnya selanjutnya ditelaah oleh tim pelaksana. Jika pada pertemuan pertama diketahui hanya tiga peserta yang pernah menyusun proposal PTK maka pada pertemuan kedua seluruh peserta (100%) telah membuat proposal PTK. Hasil pemaparan proposal peserta, diketahui beberapa peserta belum mampu mengidentifikasi permasalahan pembelajaran yang dihadapi dengan baik (35,7%), media pembelajaran yang digunakan sangat baik (53,57%), perlunya dilengkapi instrumen penilaian dan perangkat pendukung lainnya. Hasil ini menunjukkan adanya peningkatan kemampuan peserta sebelumnya dimana hanya 28,6% yang dapat mengidentifikasi masalah pembelajaran di kelasnya. Masukan serta saran yang diberikan kepada peserta menjadi acuan untuk melakukan revisi terhadap proposal yang telah disusun. Hal ini menggambarkan bahwa bentuk pelatihan berupa coaching dan counselling. Dalam konteks prilaku, pembimbingan dapat dicapai dengan lebih baik jika melibatkan hubungan yang sehat antara fasilitator selaku coach selama peiode waktu mereka mengerjakan pekerjaan mereka[6]. Selain workshop dan reviu proposal, materi pelatihan dilanjutkan dengan penyusunan artikel ilmiah. Materi ini disampaikan guna menindaklanjuti hasil penelitian tindakan kelas agar dapat disusun menjadi artikel yang bisa dipublikasikan dalam jurnal ilmiah nasional yang terakreditasi maupun belum terakreditasi. Melalui penyampaian materi ini diharapkan dapat membantu peserta mendapatkan angka kredit maksimal untuk kenaikan pangkat. Tim pelaksana juga memberikan contoh artikel serta contoh jurnal pendidikan untuk publikasi. Materi terakhir yang disampaikan yaitu pengelolaan bengkel atau laboratorium. Bengkel atau laboratorium merupakan sarana pendukung utama dari pembelajaran yang berlangsung di SMK Negeri Wonosalam karena lulusan sekolah ini diharapkan memiliki keterampilan atau keahlian yang sesuai kompetensi pada level 2 (operator). Pengelolaan laboratorium sangat dibutuhkan oleh guru agar siswa dapat memanfaatkan dan mengoptimalkan secara berlangsung di laboratorium. Pemahaman akan materi dilakukan dengan memberikan handout presentasi kepada seluruh peserta. Pada akhir pertemuan, tim pelaksana membagikan angket respon terhadap kegiatan yang dilakukan. Pengisian angket tersebut dimaksudkan untuk mendapat saran bagi perbaikan serta sebagai dasar tindaklanjut kegiatan selanjutnya. Respon kegiatan pelatihan meliputi penilaian tentang materi dan
penilaian terhadap instruktur. Kriteria penilaian menggunakan skala likert dengan rentang penilaian sangat baik higga tidak baik. Hasil penilaian peserta terhadap angket respon pelatihan secara rinci sebagaimana pada Tabel 3 berikut ini. Tabel 3. Hasil Penilaian Angket Respon Peserta No
1 2
3
4
5
6
Aspek yang dinilai
Kesesuaian materi dgn kebut. peserta Kedalaman, kejelasan dan kemutakhiran materi Tampilan dan kesesuaian media dgn materi Kemampuan instruktur menjelaskan materi Kemampuan instruktur menjawab pertanyaan Kemampuan instruktur memotivasi peserta
Sgt baik 67
Krteria Penilaian (%) Baik Ckp Tdk baik baik 33 0 0
58
42
0
0
42
58
0
0
67
33
0
0
75
25
0
0
75
25
0
0
Dari Tabel 3, diketahui secara umum seluruh peserta memberikan respon yang positif terhadap kegiatan pelatihan. Rentang penilaian peserta pada kriteria baik dan sangat baik, tidak ada peserta yang menilai cukup baik dan tidak baik. Aspek kesesuaian materi dengan kebutuhan peserta dan kemampuan instruktur menjelaskan materi oleh 67% peserta sangat baik. Kemampuan instruktur menjawab pertanyaan dan memotivasi peserta dinilai oleh 75% peserta sangat baik. Kriteria penilaian baik terutama pada tampilan dan kesesuaian media dengan materi yaitu 58% peserta. Data tersebut menunjukkan perlunya perbaikan pada aspek tampilan dan kesesuaian media dengan materi. Hasil pengisian angket juga menunjukkan bahwa mayoritas peserta berharap agar pelatihan penyusunan proposal PTK dilakukan secara berkala atau berkesinambungan. Saran lainnya adalah adanya tindak lanjut dari kegiatan yang dilakukan dan menambahkan contoh-contoh penelitian tindakan kelas. 4. SIMPULAN DAN SARAN 4.1 Simpulan Pelaksanaan kegiatan pengabdian berupa pelatihan secara umum telah terlaksana dengan baik. Pelatihan dilaksanakan dengan dua kali pertemuan selama dua bulan. Hasil pelatihan menunjukkan kemampuan guru untuk mengidentifikasi masalah meningkat sebanyak 35,7%. Respon peserta terhadap pelatihan menilai sangat baik dan baik. Peserta menilai sangat baik untuk aspek kesesuaian materi, kedalaman materi, kemampuan instruktur menjelaskan materi, menjawab pertanyaan dan memotivasi peserta.
28
4.2 Saran Saran dari kegiatan yang telah dilakukan adalah perlunya tindak lanjut dari kegiatan hingga tercapai laran berupa laporan atau artikel yang siap dipublikasikan. 5. DAFTAR PUSTAKA [1]. Aqib, Zaenal, (2008). Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: Yrama Widya. [2]. Arikunto, Suharsimi, (2003). Dasar-Dasar Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara. [3]. Arikunto. Suhardjono. Supardi, (2006). Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: PT Bumi Aksara. [4]. Donalson, Les, dan Edward E Scannel, (1993). Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Gaya Media Pratama. [5]. Gulo, W, (2002). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. [6]. Sule, Ernie Tisnawati and Saefullah, (2009). Pengantar Manajemen. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
29
30
Pengembangan Modul Pembelajaran Berbasis Proyek untuk Meningkatkan Higher Order Thinking Skills Danang Tandyonomanu1*), Damajanti Kusuma Dewi2 1. 2.
Jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Negeri Surabaya. Email:
[email protected] Jurusan Psikologi, Universitas Negeri Surabaya. Email:
[email protected] *) Alamat Korespondesi: Email:
[email protected]
ABSTRACT The purpose of this research is to improve the high-level thinking skills of students. Based on experience, the learning outcomes of students who demonstrated through formative and summative tests showed that they were more demonstrate low-level thinking skills, but failed to answer questions that require higher-level thinking skills. This study developed a project-based learning modules to guide the implementation of learning. With the method of comparison to the development of learning outcomes found that this learning module can increase high-level thinking skills. However, in the case of the module is not a component that gives the dominant contribution, there are other components that contribute to improving HOTS. Key Words: learning modul, HOTS, Project based learning ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan keterampilan berpikir tingkat tinggi mahasiswa. Berdasarkan pengalaman, hasil belajar mahasiswa yang ditunjukkan melalui tes formatif dan sumatif menunjukkan bahwa mereka lebih menguasai keterampilan berpikir tingkat rendah, namun gagal dalam menjawab pertanyaan yang membutuhkan keterampilan berpikir tingkat tinggi. Penelitian ini mengembangkan modul yang berbasis strategi pembelajaran berbasis proyek untuk memberi pedoman pelaksanaan pembelajaran. Dengan metode perbandingan terhadap perkembangan hasil belajar ditemukan bahwa modul pembelajaran ini dapat meningkatkan keterampilan berpikir tingkat tinggi. Namun, modul dalam hal bukan komponen yang memberi kontribusi dominan, terdapat komponen lain yang turut berkontribusi untuk meningkatkan HOTS. Kata kunci: modul pembelajaran, HOTS, pembelajaran berbasis proyek 1. PENDAHULUAN Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berpikir mahasiswa peserta matakuliah psikologi pendidikan. Matakuliah ini merupakan matakuliah wajib bagi prodi kependidikan. Setiap prodi kependidikan memiliki kurikulum yang bervariasi, beberapa memberikan matakuliah dasar seperti pengantar/dasar psikologi; beberapa memberikan matakuliah teori belajar/pembelajaran; dan beberapa tidak memberikan kedua matakuliah tersebut. Berdasarkan hasil ujian formatif dan sumatif pada tahun sebelumnya ditemukan bahwa mahasiswa masih belum mampu mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi (Higher Order thinking skills/HOTS). Berdasarkan taksonomi Bloom, mahasiswa dapat mempratekkan kemampuan pada tingkat ingatan dan pemahaman, namun sedikit yang bisa mengaplikasikan dan bahkan menerapkan pada tingkat yeng lebih tinggi: menganalisis, mengevaluasi dan melakukan sintesa/kreasi. Modul merupakan media yang dipilih untuk mengatasi keragaman pada pelaksanaan perkuliahan. Modul memberikan kemudahan kepada pengajar dan mahasiswa karena dapat menyajikan materi dengan lebih terarah dan terstruktur. Pemanfaatan modul dengan strategi yang tepat juga dapat meningkatkan motivasi dan mendorong berpikir kritis[1].
Pembelajaran berbasis proyek (Project based learning/PjBL) adalah strategi yang dipilih untuk dapat meningkatkan keterampilan berpikir tingkat tinggi, seperti melakukan sintesa, evaluasi, prediksi dan refleksi[2]. Model pembelajaran PjBL ini juga dapat meningkatkan keterlibatan siswa[3] baik mahasiswa yang memiliki ketertarikan yang rendah terhadap materi hingga yang tinggi. Metode ini dapat juga dipergunakan untuk meningkatkan motivasi belajar[4]. 2. METODE Penelitian ini dilaksanakan selama tiga tahun. Pada dua tahun awal adalah proses untuk mengembangkan modul hingga menjadi prototipe produk yang siap digunakan. Sedangkan tahun ketiga adalah desiminasi pemanfaatan dari modul yang dikembangkan, yang dalam hal ini mengukur efektivitas penggunaan modul sesuai tujuan yang diinginkan, yaitu meningkatkan HOTS. Efektivitas ini diukur dan diuji peningkatan secara bertahap sesuai dengan tahapan pembelajaran yang dilaksanakan. Analisis menggunakan uji-t. Adapun rancangan analisis yang dilakukan adalah sebagai berikut:
31
Gambar 1. Alur Analisis Data Tabel 1. Langkah Analisis Data Analisis t-1 t-2 t-3 t-4 t-5
Kegiatan analisis perbedaan tingkat pengetahuan awal ke pemahaman/C3 analisis perbedaan tingkat pemahaman/C3 ke analisis/C4 analisis perbedaan tingkat analisis/C4 ke evaluasi/C5 analisis perbedaan tingkat evaluasi/C5 ke sintesis/C6 analisis perbedaan tingkat pengetahuan awal hingga akhir
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Deskripsi Modul Pembelajaran Sesuai dengan prinsip modul[5], di mana 1. self-instructional, mampu membelajarkan siswa secara mandiri. Oleh sebab itu, modul harus a. berisi tujuan yang jelas, b. berisi materi yang dikemas dalam unit, c. berisi contoh dan ilustrasi, d. berisi soal-soal latihan, e. materi disesuaikan dengan kondisi pengguna, f. menggunakan bahasa yang sederhana dan komunikatif, g. berisi rangkuman, 2. self-contained, seluruh materi pembelajaran dari satu unit kompetensi atau sub kompetensi yang dipelajari terdapat dalam satu modul secara utuh. 3. user friendly, instruksi dan paparan bersifat membantu pemakai, penggunaan bahasa yang sederhana, mudah dimengerti dan menggunakan istilah yang user friendly Berdasarkan konsep-konsep modul di atas, maka modul pembelajaran berbasis proyek, terbagi menjadi 4 bagian, yaitu: Bagian 1, berisi tentang definisi psikologi, pembelajaran dan psikologi pendidikan. Bagian 2, berisi tentang perkembangan peserta didik, yang di bagi menjadi beberapa sub bagian, yaitu: a. Perkembangan (definisi, ciri, prinsip, tugas perkembangan)
b. Perkembangan kognitif c. Perkembangan kepribadian d. Perkembangan moral Bagian 3, berisi tentang teori belajar, yang dibagi menjadi beberapa sub bagian, yaitu: a. Belajar (definisi, ciri, faktor yang mempengaruhi) b. Teori belajar, yang dibedakan menjadi sub-sub bagian, yaitu: 1) teori belajar behavior, mencakup teori belajar dari Thorndike, Skinner dan Pavlov 2) teori belajar kognitif, mencakup teori belajar dari Gestalt dan Piaget Bagian 4, berisi tentang gejala-gejala kejiwaan yang menimbulkan kesulitan belajar, terbagi menjadi beberapa sub, yaitu: a. inteligensi b. motivasi Tiap bagian terdiri dari sub-bagian, di mana tiap sub bagian terdiri dari : 1. deskripsi materi tiap deskripsi materi diakhiri dengan : a. rangkuman, yang terdiri dari beberapa kata b. refleksi, sebagai kegiatan untuk menginterpretasikan materi dan mencari contoh sesuai dengan materi refleksi berfungsi sebagai scaffolding, untuk memahami materi sesuai tujuan pembelajaran 2. kesimpulan, kesimpulan umum dari setiap sub bagian 3. latihan 4. daftar pustaka 3.2 Efektivitaas Modul Pembelajaran Berbasis Proyek Modul pembelajaran berbasis proyek dilaksanakan pada empat kelas dengan mahasiswa sejumlah 123 orang. Pada setiap tahap pembelajaran dilakukan evaluasi formatif untuk mengetahui tingkat pencapaian hasil belajar. Evaluasi formatif dilakukan setelah mahasiswa diberikan perlakuan sesuai dengan tahapan kemampuan berpikir. Hasil pengujian terhadap peningkatan kemampuan berpikir pada setiap tahap dapat dilihat dalam tabel 2. Tabel 2. Analisis uji beda Analisis t-1 t-2 t-3 t-4 t-5
Paired Samples Test t Sig. (2-tailed) -10.064 .000 -12.343 .000 -5.106 .000 6.989 .000 -17.293 .000
Hasil analisis menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kemampuan berpikir mahasiswa dengan penerapan modul pembelajaran berbasis proyek.Pada analisis t-1 adalah melakukan perbandingan dengan melihat kemampuan awal mahasiswa yang masih berada pada level ingatan (C1) dan pemahaman (C2) dapat ditingkatkan dengan menggunakan modul untuk mencapai kemampuan aplikatif (C3). Analisis t-2 yang membandingkan apakah terjadi peningkatan keterampilan berpikir dari aplikatif (C3) menjadi keterampilan berpikir analitis (C4). Analisis
32
menunjukkan terjadi peningkatan dari perbandingan hasil belajar setelah penerapan modul. Demikian juga dengan analisis t-3, t-4 dan t-5, bahwa perlakuan untuk bisa meningkatkan keterampilan berpikir untuk mencapai tingkatan yang lebih tinggi melalui tahapan-tahapan seperti dalam modul secara signifikan dapat meningkatkan pola berpikir dari tahap akhir keterampilan berpikir tingkat rendah, secara bertahap dapat menjadi keterampilan berpikir tingkat tinggi, yaitu dari aplikatif, analitis, evaluatif, dan sintesis. Tabel 3. Analisis Korelasi Analisis t-1 t-2 t-3 t-4 t-5
Paired Samples Correlations Corelation Sig. .236 .008 .316 .000 .517 .000 .170 .060 .070 .444
Treatment Contribution 5.56% 10% 26.73% -
Pada analisis terhadap korelasi (tabel 3) pada kegiatan t-1 yaitu mencari korelasi antara hasil pre test dengan bagian pendahuluan modul yang menekankan pada keterampilan berpikir tingkat aplikasi menunjukkan bahwa modul memberikan kontribusi pada capaian kemampuan aplikasi sebesar 5.56%, sedangkan 94,66% kemampuan berpikir aplikasi dipengaruhi oleh hal lain selain modul yang dipergunakan. Pada analisis terhadap t-2 terdapat peningkatan korelasi antara keterampilan berpikir aplikatif (C3) sebelum penggunaan modul dengan ketermampilan berpikir analitis (C4) pada saat setelah penggunaan modul. Peningkatan peran modul pembelajaran berbasis proyek sebesar 10% dalam membentuk C4, namun 90% ditentukan oleh hal lain di luar penggunaan modul. Demikian juga pada analisis t-3, di mana membandingkan peningkatan keterampilan berpikir dari analitis (C4) menjadi evaluatif (C5). Terjadi peningkatan kontribusi modul dalam pencapaian C5, yaitu menjadi sebesar 26.73%, sedangkan 73.27% ditentukan oleh hal lain. Pada tahapan t-1, t-2 dan t-3 terdapat peningkatan kontribusi modul terhadap peningkatan ketermpilan berpikir tingkat tinggi yaitu pada keterampilan berpikir analitis dan evaluatif. Peningkatan kontribusi modul ini karena terjadi adanya proses pembiasaan terhadap penggunaan modul pembelajaran berbasis proyek. Dalam setiap tahapan terdapat proses refleksi untuk menginterpretasikan materi dan pencarian contoh yang sesuai. Refleksi tersebut juga berfungsi sebagai scaffolding untuk memahami materi dan sebagai dasar untuk melanjutkan pada materi dengan tingkatan lebih tinggi. Namun demikian kontribusi modul tersebut tidak dominan. Terdapat faktor lain di luar modul yang lebih dominan berperan dalam pembentukan keterampilan berpikir tingkat tinggi. Bahkan pada analisis t-4 yang melihat peningkatan keterampilan berpikir menuju
tingkat sistesis, dan juga analisis t-5 yang membandingkan secara keseluruhan tahapan dengan membandingkan hasil pre-test dan tugas akhir yang mengacu pada keterampilan sintesis/kreasi tidak sepenuhnya modul pembelajaran memiliki kontribusi. Keterampilan sistesis/kreasi (C6) sepenuhnya dipengaruhi oleh hal-hal lain di luar modul yang digunakan. Dalam pembelajaran terdapat komponen pembelajaran yang saling terkait, yaitu tujuan pembelajaran, materi, strategi pembelajaran, media, dosen, mahasiswa dan evaluasi. Modul pembelajaran berbasis proyek, merupakan salah satu bentuk media pembelajaran yang di dalamnya memuat tujuan, materi, strategi pembelajaran dan sekaligus evaluasi. Modul lebih bersifat sebagai media mandiri. Dalam setiap tahapan pengembangan kemampuan berpikir memiliki tujuan, materi dan evaluasi yang berbeda. Meskipun komponen strategi masih memiliki kesamaan, yaitu pembelajaran berbasis proyek yang menjadi strategi utama dalam pengembangan modul. Selain modul terdapat komponen pembelajaran lainnya, yaitu dosen dan mahasiswa. Modul ini tidak hanya digunakan oleh dosen yang sama, melainkan oleh beberapa dosen pengampu matakuliah psikologi pendidikan. Setiap dosen memiliki kebutuhan, kemampuan dan motivasi yang berbeda. Demikian juga mahasiswa. Mereka memiliki tingkat intelegensi, latar belakang pengetahuan dan juga memiliki kecepatan belajar yang berbeda. Dalam penelitian ini tidak semua komponen yang terlibat dalam proses pembelajaran menjadi variabel yang diamati. Hanya modul dengan strategi pembelajaran tertentu yang diamati, sedangkan komponen lainnya tidak. Hal ini yang menjadikan kontribusi modul tidak menjadi komponen yang dominan dalam meningkatkan HOTS mahasiswa. 4. KESIMPULAN Modul pembelajaran berbasis proyek dapat meningkatkan HOTS mahasiswa. Namun modul tidak secara dominan sebagai satu-satunya komponen yang berkontribusi terhadap peningkatan peningkatan HOTS. 5. DAFTAR PUSTAKA [1]. Bartcher, K, Gould, B and Nutter, S. (1995). Increasing student motivation through project-based learning. Master’s Research Project, Saint Xavier andIRI Skylight. [2]. Belland, B.R., Ertmer, P.A, and Simons, K.D. (2006). Perceptions of the value of problem-based learning among students with special needs and their teacher. The Interdisplinary Journal of Problembased Learning, 1(2), 1-18; Brush, T and Saye, J. (2008). The Effects of multimedia supported problembase inquiry on student engagement, emphaty, and assumtions about history. The Interdisplinary Journal of Problem-based Learning, 2(1), 21-56 [3]. Horan, C., Lavaroni, C., and Beldon, P. (1996). Observation of Tinker Tech Program students for
33
Critical Thinking and social Participation Behaviots. Novato, CA: Buck Institude for Education [4]. Kasiran, Siti Ezainora, Johari Surif, Nor Hasniza Ibrahim dan Mahani Mokhtar. (2012). Contruction of Modul Celik Mol to Increase The Effectivenest of the Process of Teaching and Learning Science, Learning Science and Mathematic, Issue 7, November 2012, 12-21 [5]. Masek, Alias Bin. (2012). The Effects of Problem Based Learning on Knowledge Acquistion, Critical Thinking and Instrinsic Motivation of Electrical Engineering Students. Faculty of Technical and Vocational Education University Tun Hussein Onn Malaysia. Diakses 23 Juni 2013: http://eprints.uthm.edu.my/2912/1/ALIAS_BIN_MA SEK_1.pdf [6]. Smaldino, Sharon E., Lowther, Deborah l.,and Russell, James D. (2012). Instructional Technology and Media for Learning.10th Eds. Boston: Parson.
34
The Influence of Inquiry Based Learning on Students' Knowledge of Control Systems Diah Wulandari 1*), Muhamad Syariffuddien Zuhrie 2 1
Jurusan Teknik Mesin Unesa, Unesa, Surabaya. Email:
[email protected] 2 Jurusan Teknik Elektro, Unesa, Surabaya. Email:
[email protected] *)Alamat korespondensi: Email:
[email protected]
ABSTRACT The purpose of this research is to know the influence of the use of the inquiry learning using learning materials with the help of software delphi. Development of learning in the form of learning modules and trainer on courses Setting Techniques to increase the knowledge and ability of the student. Validity and effectiveness of quality learning materials at the time used in the learning process can be measured with a data analysis of the results of the observations the observer during the learning. Data pre test and post test were analyzed by t-test to find out the capacity of students. The results showed that materials meet the criteria effectively. From this data are then processed and analyzed so that it can be concluded that materials meet the criteria effectively. The results of the application of learning modules on the subject of the value of formative tests with an average of successively 87.5 for subject 1, as well as 86.25 for subject 2. The difference between before and after the application of the module can be seen from the magnitude of the difference between test results of t test value of pre-and post test-test subject 1 and 2 respectively, i.e. 19.85 9.63 and both of which stated that the use of modules to improve learning achievements of the influential students. Based on the results obtained, it can be concluded that the materials being developed to meet the criteria of valid, effective, and can increase the knowledge and skills of the students. Observation on the activity of Professor overall is good. On student activities, Observation skills to formulate the problem, hypothesis, gather data, formulate hypotheses, analyze test average is at a good level. Key Words: Module, Trainer, inquiry, Delphi, Valid ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan pembelajaran inkuiri menggunakan bahan ajar dengan bantuan software delphi. Pengembangan perangkat pembelajaran yang berupa modul ajar dan trainer pada mata kuliah Teknik Pengaturan untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan mahasiswa. Kevalidan dan keefektifan kualitas bahan ajar pada saat digunakan dalam proses pembelajaran dapat terukur dengan analisa dari data hasil hasil pengamatan observer selama pembelajaran. Data pre test dan post test dianalisis dengan t-test untuk mengetahui peningkatan kemampuan mahasiswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahan ajar memenuhi kriteria efektif. Dari data tersebut kemudian diolah dan dianalisa sehingga dapat disimpulkan bahwa bahan ajar memenuhi kriteria efektif. Hasil penerapan modul pembelajaran pada pokok bahasan nilai tes formatif dengan rata-rata berturut-turut 87,5 pada pokok bahasan 1, serta 86,25 pada pokok bahasan 2. Perbedaan yang terjadi antara sebelum dan sesudah penerapan modul dapat dilihat dari besarnya ttest hasil uji beda antara nilai pre-test dan post-test pada pokok bahasan 1 dan 2 secara berturut-turut yaitu 19,85 dan 9,63 yang keduanya menyatakan bahwa penggunaan modul berpengaruh untuk meningkatkan prestasi belajar mahasiswa. Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa bahan ajar yang dikembangkan memenuhi kriteria valid, efektif, dan dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mahasiswa. Pada pengamatan aktivitas dosen secara keseluruhan adalah baik. Pada Pengamatan aktivitas mahasiswa, untuk ketrampilan merumuskan masalah, hipotesis, mengumpulkan data, menguji hipotesis, merumuskan analisa ratarata berada pada level baik. Kata kunci: Modul, Trainer, Inkuiri, Delphi, Valid 1. Introduction The knowledge and ability of the student should be able to meet the needs of the world of work, that is capable of running the industrial process properly. So the increase in the competence of prospective graduates always done by agencies or institutions of education/training. This research developed modules of learning the basics of learning-based control system of inquiry by using the delphi software-oriented industry. Education of electrical engineering in the development of which UNESA is closely related to the industry will always be sued should be able to equip graduates with
the skills standard of qualification, attitudes and behavior in accordance with the needs of industry or workplace. 2. The Purpose And Benefits Of Research Research Objectives The purpose of this research is to develop a Module Teaching Engineering settings that use the Delphi Software Engineering Courses in the settings. This research resulted in a product that is a teaching module equipped with props to facilitate understanding of the given material. The module is used to provide learning materials that comply with the
35
demands of the curriculum, taking into consideration the needs of the learners. So learning material has a conformity between industry needs and the approach to the learners. 2.1 The Benefits Of Research Learning materials and props in the form of equipment "Engineering settings that use the Delphi Software" would be very beneficial in an attempt of delivery of material in a more effective and efficient so as to enhance the skills of students in understanding and ability in engineering in the Department of electrical engineering settings UNESA. Props help convey the concept with a new form. Props allow the abstract concepts that are presented in the form of concrete. The material became more concrete so that students at the lower levels will better understand and understand what is being taught. Teaching with faster, can address the problem of the limitations of time and place, maintaining the concentration of college students, adding to the sense of power as well as add freshness in teaching so as to enlarge the interest and attention of students. Because students get real experience and independent attitudes can grow on each student.
4. Representation of the curve shape of the shoulder 5. Representation of the curve-S
Fig 1. Fuzzy Logic
4. Research Methods 4.1 Flowchart To effect to compose of learning techniques module settings then do activities as images.
3. Review of the literature Inquiry method is a method of learning that strives to impart the basics of scientific thinking about the students, so that in the process of learning is a lot more students learn by themselves, develop creativity in solving problems. According to[1], the syntax of inquiry based learning cycle 5E: Engage, Explore, Extension, Explanation, Evaluation. Tabel 1.Inquiry Based Learning 5E
No 1.
Syntax Engage
Teacher Activity Generate interest of students by means of asking questions with a phenomenon encountered 2. Explore Investigations by means of observation or observation of various natural phenomena 3. Extension Collect the data relates to the questions asked 4. Explanation Formulate conclusions based on the data 5. Evaluation Ask the alleged or possible answers The fuzzy logic controller is famous for its reliability, easy and gives excellent control as compared to other techniques usually require effort and funds. Application of the theory of this logic is able to create a revolution in technology. Fuzzy logic contains: 1. Membership Function 2. Representation of Curve Triangle 3. Representation of the curve Trapezoid
Fig 2. Research flowchart
4.2 The Subject Of Research The subject of research in the development of learning the instrumentation and Control Modulebased "Software With Delphi Inquiry Based Learning" are curriculum development experts, learning module developers and the students majoring in electrical engineering UNESA. 4.3 Data collection and data analysis techniques The initial collection of data obtained from observations in the field and discussions. So that the desired skills known by the industrialized world. It also acquired a formula formulas topics module materials engineering settings that follow the changing times. 5. Results and Discussion Based on data obtained stating that overall in the preparation of the resulting module is good in terms of characteristics, content, language, illustrations, format and cover are valid. It is seen from the analysis of the average score given by the 3 validator before module is used for data retrieval research.
36
Based on the data obtained shows that the application of the learning modules on each of these subjects is effective. This is evidenced by the average value of a student good post-test in succession is 87.5 for subject 1 and subject 2 at 86.25. 5.1The difference between before and after the application of the learning modules The difference between before and after the application of module teaching techniques of settings in electrical engineering can be seen based on the difference between the value of the test results of the pre-test and post-test for 2 times meeting on the use of formative tests on modules 1 and 2. From the calculations showed that the magnitude of ttest= 19.85 and count is greater than the critical value of the distribution of t = 1.7033. As such, then the use of the module can be expressed efficiently to improve the results of student learning. The second test shows that the magnitude of ttest = 9.63. As such, then the use of the module can be expressed effectively to improve the results of student learning. The observations refers to the cycle of learning the syntax inquiry 5E (Engage, Explore, Extension, Explanation, Evaluation). According to Ibrahim (2010) which is divided into the stages are presented in the form of a percentage of each score. Learning activities that have been implemented by the Lecturers seen from several aspects, namely implementation, management of time and observation of the atmosphere of a class consisting of 16 aspects of the meeting of 1st overall is good. It can be seen from the value that has been given the observatory was 50% (8 aspects) of value 3 (good) and 50% (8 aspects) of value 4 (very good). Learning activities that have been implemented by the Lecturers seen from several aspects, namely implementation, management of time and observation of the atmosphere of a class consisting of 16 aspects of the meeting-2nd overall is very good. It can be seen from the value that has been given the observatory was 29% (5 aspects) of value 3 (good) and 71% (11 aspects) of value 4 (very good). Students ' affective domain observation results at the meeting of 1st overall is good. It can be seen from the value that has been given the observatory was 17% (1 aspect) of value 2 (sufficient), 50% (3 aspects) of value 3 (good) and 33% (2 aspects) of value 4 (very good). Psychomotor domain observations of students at a meeting of the 1st overall is very good. It can be seen from the value that has been given the observatory was 33% (1 aspect) of value 3 (good) and 67% (2 aspects) of value h 4 (very good). Students ' affective domain observations at a meeting of the 2nd overall is good. It can be seen from the value that has been given the observatory was 17% (1 aspect) of value 2 (sufficient), 50% (3 aspects) of value 3 (good) and 33% (2 aspects) of value 4 (very good). Psychomotor domain observations of students at a meeting of the 2nd overall is good. It can be seen
from the value that has been given the observatory was 67% (1 aspect) of value 3 (good) and 33% (2 aspects) of value 4 (very good). 6. Conclusion Based on the results of the analysis and discussion of research data about the development of the engineering module settings in the Electrical Engineering Department of Unesa, then it can be inferred: 1. The form module settings in the Engineering Department of electrical engineering, along with the resulting trainer Unesa are effective, practical and interesting so that it can improve the learning achievements of students. 2. The results of the application of learning modules on the subject of the value of formative tests with an average of 87,5 consecutive, on the subject of 1, as well as 86,25 on the subject 2. This suggests that learning to use the module is one of the effective ways to improve learning achievements of students. The difference between before and after the application of the module can be seen from the magnitude of the difference between test results ttest the value of pre-and post test-test subject 1 and 2 respectively, i.e. 19.85 and 9.63 and both of which stated that the use of the influential module to improve student learning achievement. 7. Bibliography [1]. Ibrahim, Muslimin (2010), Pembelajaran inkuiri. [2]. Adviso F, bernardo (1990). Development Of The National Training Council As The Coordinating Body For Technical And Vocational Trainng, Jakarta: Depdikbud [3]. Blank,WE. (1982). Handbook For Developing Competency Based Training Program. Englewood Cliffs; Prentice Hall. [4]. Bonk CJ, Cummings JA, Hara N, Fischler RB, Lee SM. (2000)A ten level web integration continuum for higher education: new resources, partners, courses, and markets. Abbey B, ed. Instructional and cognitive impacts of web-based education. University of Indiana [5]. Brown S. (1999) Reinventing the university. Assoc Learning Technol J; 6: 30-37. Fender B. The euniversity project. London: Higher Education Funding Council for England. [6]. Carr MM, Reznick RK, Brown DH. (1999) Comparison of computer-assisted instruction and seminar instruction to acquire psychomotor and cognitive knowledge of epistaxis management. Otolaryngol Head Neck Surg; 121: 430-434. [7]. Cochran, Rachel et al.(2007). The impact of InquryBased Mathematics on Context Knowledge and Classroom Practice. Journal. Tersedia:http://www.rume.org/crume2007/papers/coc hran-mayer-mullins.pdf
37
38
Validitas dan Kepraktisan Video Pembelajaran Pendekatan Saintifik Berorientasi Project Based Learning Endang Susantini1*), Tjipto Prastowo2, Abdul Kholiq3, Mukhayyarotin Niswati Rodliyatul Jauhariyah4 1.
Jurusan Biologi, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya. Email:
[email protected] Jurusan Fisika, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya. Email:
[email protected] 3. Jurusan Fisika, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya. Email:
[email protected] 4. Jurusan Fisika, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya. Email:
[email protected] *) Alamat Korespondesi: Email:
[email protected] 2.
ABSTRACT This study developed a physics lesson video intended for prospective teachers how to teach physics Video serve scientific approach oriented Project Based Learning (PPA) on Dynamic Electrical material. The purpose of this study was to describe the validity and practicality of the video media to be applied in the lecture. The study involved three validator and three observers. Validator provides an assessment of Physics learning videos include aspects of physical appearance, presentation, content, and language. Observer observes keterlaksanaan lecture implement video as modeling the physics teacher candidates in order to mimic the PPA in accordance with the teaching of video watched. Data were analyzed qualitatively. The tests showed that the video meets the criteria developed very feasible means, good quality, easy to understand, and in accordance with the context of the study. Observations indicate that all learning step by applying a video that can be developed very successfully. The implication of this research is giving an example of how to teach a particular learning models can take advantage of self-developed video. Keywords: validation, keterlaksanaan lectures, instructional videos Physics, scientific approach, PPA ABSTRAK Penelitian ini mengembangkan video pembelajaran Fisika yang ditujukan bagi calon guru Fisika.Video menayangkan cara mengajar pendekatan saintifik berorientasi Project Based Learning (PjBL) pada materi Listrik Dinamis. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan validitas dan kepraktisan media video yang akan diterapkan dalam perkuliahan. Penelitian ini melibatkan tiga validator dan tiga observer. Validator memberikan penilaian video pembelajaran Fisika meliputi aspek tampilan fisik, penyajian, isi, dan bahasa. Observer mengamati keterlaksanaan perkuliahan yang menerapkan video sebagai modeling bagi calon guru Fisika agar dapat meniru cara mengajar PjBL sesuai dengan video yang ditonton. Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif. Hasil validasi menunjukkan bahwa video yang dikembangkan memenuhi kriteria sangat layak artinya, berkualitas baik, mudah dipahami, dan sesuai dengan konteks kajian. Hasil observasi menunjukkan bahwa semua langkah pembelajaran dengan menerapkan video yang dikembangkan dapat terlaksana dengan sangat baik. Implikasi dari penelitian ini adalah pemberian contoh cara mengajarkan model pembelajaran tertentu dapat memanfaatkan video yang dikembangkan sendiri. Kata kunci: validasi, keterlaksanaan perkuliahan , video pembelajaran Fisika, pendekatan saintifik, PjBL 1.
PENDAHULUAN Pendekatan Saintifik telah banyak diterapkan pada proses pembelajaran dalam kurikulum 2013. Proses pembelajaran pendekatan saintifik memerlukan adanya kegiatan yang memuat tahapan-tahapan saintifik antara lain mengamati, menanya, mengumpulkan data dan informasi, mengasosiasi, dan mengkomunikasi. Bahkan dapat ditambahkan dengan kegiatan mencipta [1]. Guru memiliki tanggungjawab untuk aktif dalam merencanakan pembelajaran dan mendesain pengalaman belajar yang aktif dan memuat tahapantahapan saintifik. Guru diharapkan mampu memfasilitasi siswa dalam mengahasilkan, menguji, menerima atau menolak suatu pernyataan maupun teori ilmiah. Hal tersebut akan mendorong siswa secara aktif membangun pengetahuan mereka sendiri. Oleh karena itu guru harus mempersiapkan diri untuk
menerapkan pembelajaran pendekatan saintifik dan melatih siswa menggunakan pendekatan saintifik pada proses pembelajaran. Hal tersebut menunjukkan bahwa penerapan pendekatan saintifik dalam pembelajaran adalah suatu kebutuhan bagi guru, akan tetapi guru tidak mengetahui cara melatihkannya [2]. Salah satu cara untuk melatihkan keterampilan mengajar dengan pendekatan saintifik pada guru maupun mahasiswa calon guru adalah menggunakan media video pembelajaran. Video pembelajaran dapat membantu guru maupun mahasiswa calon guru untuk memahami tahapan-tahapan atau fase-fase mengajar menggunakan pendekatan saintifik. Penggunaan video pembelajaran dalam perkuliahan akan memberikan gambaran yang lebih konkret dan lebih menarik. Pernyataan tersebut sesuai dengan Agommuoh dan Nzewi[3] yang menyatakan bahwa video adalah alat instruksional yang memiliki kapasitas untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, membangkitkan
39
minat dan pemikiran serta mengkonkretkan pengetahuan. Selain itu, video dapat meningkatkan dorongan untuk belajar, mengingat, dan melakukan keterampilan mengajar yang spesifik[4]. Mahasiswa calon guru dapat belajar dengan lebih banyak, lebih lama bertahan dalam ingatan, dan bahkan dapat mengembangkan keterampilan yang diharapkan melalui penggunaan video sebagai media belajar [5]. Keterampilan yang diharapkan meningkat adalah keterampilan mahasiswa calon guru mengajar menggunakan pendekatan saintifik. Keterampilan tersebut merupakan komponen penting yang harus dimiliki mahasiswa calon guru untuk melakukan pembelajaran di sekolah. Faktanya, video pembelajaran jarang digunakan untuk mengembangkan kemampuan mengajar yang berkaitan dengan tahapan-tahapan pendekatan saintifik [1]. Pendekatan saintifik harus dimasukkan ke dalam model pembelajaran yang spesifik dan mempunyai sintaks atau prosedur yang sistematis mengenai kegiatan guru dan siswa. Beberapa model pembelajaran telah diajarkan kepada para guru maupun mahasiswa calon guru, misalnya Project Based Learning, Problem Based Learning, Inquiry Discovery Learning, Contextual Learning, dan Cooperative Learning[7-12]. Salah satu model pembelajaran yang inovatif mengajarkan berbagai strategi kritis untuk sukses pada abad 21 adalah Project Based Learning (PjBL). Model pembelajaran ini mendorong siswa untuk membangun pengetahuan siswa sendiri melalui inkuiri. Melalui model pembelajaran ini siswa dituntut bekerja secara kolaboratif untuk menemukan dan menciptakan sebuah proyek yang merefleksikan pengetahuan siswa. Siswa akan menemukan sesuatu yang baru, menjadi komunikator dan pemecah masalah yang handal [13]. Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan penelitian pengembangan video pembelajaran pendekatan saintifik berorientasi Project Based Learning (PjBL) yang layak sekaligus dapat digunakan dalam perkuliahan bagi mahasiswa calon guru. Topik yang dipilih dalam pengembangan video adalah Listrik Dinamis pada mata pelajaran Fisika. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan kelayakan video ditinjau dari 1) validitas video, 2) validitas perangkat pembelajaran, 3) keterlaksanaan perkuliahan, dan 4) respon mahasiswa calon guru Fisika terhadap video yang dikembangkan. 2.
METODE Jenis penelitian ini merupakan penelitian pengembangan (Developmental Research) yang mengembangkan video pembelajaran pendekatan saintifik berorientasi Project Based Learning (PjBL) pada materi Listrik Dinamis untuk meningkatkan keterampilan mengajar calon guru Fisika. Metode yang digunakan dalam pengembangan video adalah ASSURE [14]. Secara skematis seperti gambar 1.
Analyze Learner
Analisis mahasiswa (usia, motivasi dalam belajar, pengetahuan prasyarat yang sudah dimiliki)
State Objective
Analisis kurikulum S1 Kependidikan Unesa, khususnya Kelompok Mata Kuliah Keahlian Berkarya (Pembelajaran Inovatif II) Merumuskan Indikator/Tujuan Pembelajaran untuk topik yang akan dibuat video pembelajaran
Select Media and Materials
Utilize Media and Materials
Require Learner Performan ce
Evaluate and Revise
Membuat perangkat pembelajaran Pendekatan Saintifik berorientasi Project Based Learning prodi Fisika Membuat skenario video pembelajaran Memilih, dan membuat tampilan video Menelaahkan perangkat pembelajaran, skenario dan video ke ahli pembelajaran MIPA dan teknologi pendidikan.
Uji coba terbatas video pembelajaran kepada mahasiswa Prodi Pendidikan Fisika Unesa Mengumpulkan data keterlaksanaan & analisis video Mengamati aspek keterampilan mengajar mahasiswa setelah mengamati video pembelajaran di kelas Mengumpulkan data berupa respon mahasiswa
Melakukan evaluasi pada aspek-aspek penting terkait pengembangan video pembelajaran Melakukan revisi dan penyempurnaan video pembelajaran berdasarkan masukan ahli dan ujicoba
Gambar 1. Bagan Skematis Prosedur Penelitian
Deskripsi singkat video pembelajaran yang dikembangkan: Video Pembelajaran Pendekatan Saintifik Berorientasi Project Based Learning (PjBL) pada materi Listrik Dinamis berdurasi 31 menit 40 detik. Video menayangkan seorang Guru Fisika dan 18 siswa SMA dengan seting kegiatan belajar mengajar di kelas. Lokasi pengambilan gambar adalah di Fakultas MIPA Unesa. Video menayangkan kegiatan pembelajaran dengan Pendekatan Saintifik yaitu melatihkan keterampilan saintifik antara lain mengamati, menanya, mencoba, mengasosiasi dan mengomunikasi. Selain itu, di dalam video tersebut menayangkan kegiatan pembelajaran sesuai dengan 6 fase pada Project Based Learning (PjBL) yaitu menentukan pertanyaan mendasar, mendesain sebuah perencanaan proyek, menyusun jadwal kegiatan, memonitor siswa dalam kemajuan proyek, menilai/menguji hasil belajar dan mengevaluasi pengalaman.
40
Materi Fisika yang dipilih adalah Listrik Dinamis. Video menayangkan kegiatan Guru saat memberikan apersepsi mengenai materi rangkaian listrik, Hukum Ohm dan Hukum Kirchoff yang bertujuan untuk mengingatkan kembali siswa pada materi sebelumnya dan berkaitan dengan materi yang akan dipelajari. Kemudian Guru memberikan demonstrasi dan menampilkan video tentang lampu yang dapat dinyalakan atau dimatikan dengan dua saklar, hal ini bertujuan untuk agar siswa dapat menentukan pertanyaan mendasar. Guru memberikan tugas proyek dan membagi siswa dalam kelompok, kemudian menampilkan contoh proyek (maket rumah) pada slide power point. Siswa mendesain perencanaan tugas proyek yaitu gambar maket rumah dan jaringan listrik. Selain itu, siswa menyusun jadwal pelaksanaan tugas proyek. Setiap kelompok mempresentasikan rencana proyek dan jadwal kegiatan selanjutnya mengerjakan tugas proyek di luar jam pelajaran Fisika. Guru memonitor kegiatan siswa di dalam kelas maupun diluar kelas. Setiap kelompok mempresentasikan hasil maket rumah dan jaringan listrik sesuai perencanaan, pada saat presentasi Guru melakukan penilaian. Guru melakukan evaluasi terhadap pengalaman siswa selama melakukan tugas proyek. Validitas video pembelajaran yang dikembangkan diperoleh dari penilaian tiga validator. Penilaian tersebut meliputi tampilan fisik, aspek penyajian, aspek isi, dan aspek bahasa. Skor validasi dihitung menggunakan persamaan (1) yaitu:
SVV
Jumlah Skor yang Diperoleh 4 Skor Maksimum
... (1)
Keterangan: 1. SVV = Skor Validasi Video 2. Kriteria Skor Validasi Video: 1,0<SVV≤1,5 = Tidak layak dan belum dapat digunakan 1,5<SVV≤2,5 = Kurang layak dan dapat digunakan dengan banyak revisi 2,5<SVV≤3,5 = Layak dan dapat digunakan dengan sedikit revisi 3,5<SVV≤ 4 = Sangat layak dan dapat digunakan tanpa revisi Selain validasi terhadap video, validasi dilakukan terhadap perangkat pembelajaran Pendekatan Saintifik berorientasi Project Based Learning (PjBL) meliputi RPP, LKS dan Skenario yang diterapkan dalam video yang dikembangkan. Skor validasi perangkat dihitung menggunakan persamaan (2) yaitu:
Jumlah Skor yang Diperoleh SVP 4 Skor Maksimum
... (2)
Keterangan: 1. SVP = Skor Validasi Perangkat 2. Kriteria Skor Validasi Perangkat: 1,0<SVP≤1,5 = Tidak layak dan belum dapat digunakan
1,5<SVP≤2,5
= Kurang layak dan dapat digunakan dengan banyak revisi 2,5<SVP≤3,5 = Layak dan dapat digunakan dengan sedikit revisi 3,5<SVP≤ 4 = Sangat layak dan dapat digunakan tanpa revisi 3. Sedikit revisi, jika sub komponen kelayakan perangkat pembelajaran yang harus direvisi paling banyak 25% dari seluruh jumlah sub komponen kelayakan perangkat pembelajaran 4. Banyak revisi, jika sub komponen kelayakan perangkat pembelajaran yang harus direvisi lebih dari 25% dari seluruh jumlah sub komponen kelayakan perangkat pembelajaran. Kepraktisan video pembelajaran yang dikembangkan diperoleh dengan teknik observasi terhadap keterlaksanaan perkuliahan yang menerapkan video sebagai modeling bagi mahasiswa calon guru Fisika. Observasi dilakukan menggunakan lembar pengamatan keterlakasanaan pengamatan video pembelajaran Pendekatan Saintifik berorientasi PjBL pada topik Listrik Dinamis. Skor yang diperoleh dihitung menggunakan persamaan (3) yaitu:
SK
Jumlah Skor yang Diperoleh 4 Skor Maksimum
... (3)
Keterangan: 1. SK = Skor Keterlaksanaan 2. Kriteria Skor Keterlaksanaan: 1,0<SK≤1,5 = Kurang Baik 1,5<SK≤2,5 = Cukup Baik 2,5<SK≤3,5 = Baik 3,5<SK≤4 = Sangat Baik Selain itu, kepraktisan video pembelajaran yang dikembangkan dapat dilihat dari hasil analisis mahasiswa calon guru Fisika terhadap video pembelajaran Pendekatan Saintifik berorientasi PjBL pada topik Listrik Dinamis. 3. HASIL 3.1 Validasi Video Pembelajaran Video Pembelajaran Pendekatan Saintifik berorientasi PjBL pada topik Listrik Dinamis yang dikembangkan untuk meningkatkan keterampilan mengajar guru Fisika divalidasi oleh 3 validator. Hasil validasi video disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil Validasi Video Pembelajaran Pendekatan Saintifik berorientasi PjBL pada topik Listrik Dinamis No. Aspek Tampilan Fisik 1 Penyajian 2 Isi 3 Bahasa 4 NILAI VALIDASI SEMUA ASPEK
Skor 3,83 3,39 3,67 3,25 3,53
Kategori Sangat Layak Layak Sangat Layak Layak Sangat Layak
Nilai validasi tertinggi diperoleh pada aspek tampilan fisik yaitu 3,83 sedangkan nilai validasi terendah diperoleh pada aspek bahasa yaitu 3,25.
41
Terdapat dua aspek pada video termasuk kategori sangat layak yaitu tampilan fisik dan isi, sedangkan dua aspek lainnya termasuk kategori layak yaitu penyajian dan bahasa. Nilai validasi video pada keseluruhan aspek diperoleh nilai 3,53 dengan kategori sangat layak. 3.2 Validasi Perangkat Pembelajaran Selain validasi terhadap video yang dikembangkan, validasi dilakukan terhadap perangkat pembelajaran yang diterapkan dalam video tersebut. Data hasil validasi terhadap perangkat pembelajaran disajikan pada Tabel 2.
No. 4.
5. 6.
7.
8.
Tabel 2. Hasil Validasi Perangkat Pembelajaran Pendekatan Saintifik berorientasi PjBL pada topik Listrik Dinamis No. 1 2 3
Perangkat RPP LKS Skenario
Skor 3,63 3,57 3,78
Kategori Sangat Layak Sangat Layak Sangat Layak
Nilai validasi terhadap perangkat pembelajaran menunjukkan bahwa seluruh perangkat termasuk dalam kategori sangat layak. Nilai tertinggi adalah skenario yaitu 3,78 dan nilai terendah adalah LKS yaitu 3,57. 3.3 Kepraktisan Video Video dan perangkat pembelajaran yang digunakan dalam video selanjutnya diujicobakan kepada mahasiswa calon guru Fisika untuk memperoleh data kepraktisan video. 3.3.1 Keterlaksanaan Perkuliahan Kepraktisan video dapat dilihat dari hasil observasi terhadap keterlaksanaan perkuliahan yang menerapkan video. Observasi dilakukan oleh 2 observer. Data hasil observasi keterlaksanaan perkuliahan disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil Keterlaksanaan Pengamatan Video Pembelajaran Pendekatan Saintifik Berorientasi PjBL pada Topik Listrik Dinamis No. 1.
2.
3.
Aspek Pengamatan Pendahuluan Memberikan apersepsi dengan mengingatkan kembali tentang Project Based Learning/PjBL dan pendekatan saintifik. Menjelaskan tujuan hasil belajar yang diharapkan dapat tercapai antara lain mengidentifikasi fase PjBL, langkah pendekatan saintifik, pengembangan sikap dalam pembelajaran PjBL, kelebihan dan kekurangan video yang dianalisis, serta memberi masukan perbaikan pada proses pembelajaran yang diamati (Fase 1 Menyampaikan Tujuan ) Kegiatan Inti Menjelaskan aturan perkuliahan modelling PjBL dengan memanfaatkan video pembelajaran (Fase 2 Menyajikan Informasi)
Skor
Kategori
4
Sangat Baik
4
Sangat Baik
4
Sangat Baik
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
Aspek Pengamatan Membagi mahasiswa dalam kelompok (Fase 3 Mengorganisasi Siswa dalam Kelompok) Membagi LKM kepada setiap mahasiswa Menyajikan video Pembelajaran Pendekatan Saintifik Berbasis Project Based Learning/PjBL pada topik Listrik Dinamis Mahasiswa mengamati video yang disajikan dan mencatat langkah proses pembelajaran yang terdapat dalam video Ketika memperhatikan video, mahasiswa diminta mengecek keterlaksanaan pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru pada tayangan video sesuai dengan pertanyaan pada LKM (mengumpulkan data atau informasi). (Fase 4 Membimbing Kerja Kelompok dan Belajar) Setelah mengamati proses pembelajaran yang ada pada video, mahasiswa diminta berdiskusi dan mengerjakan LKM berdasarkan hasil pengamatannya. Dosen memberi kesempatan memutar kembali video Pendekatan Saintifik Berbasis PjBL pada topik Listrik Dinamis dengan menggunakan laptop kelompok. Memberikan kesempatan mahasiswa untuk bertanya terkait video yang telah diamati terutama mengenai pendekatan saintifik dan PjBL Meminta mahasiswa mengomunikasikan hasil pengamatan yang tertulis dalam LKM Kelompok lain memberikan komentar dan dosen memberikan penjelasan jika ada komentar yang keliru (Fase 5 Memberi Evaluasi) Penutup Memberi penghargaan kepada kelompok mahasiswa yang terbaik dalam memberikan saran perbaikan video (Fase 6 Memberi Penghargaan) Mahasiswa bersama dosen menyimpulkan hasil pembelajaran Rata-Rata
Skor 4
Kategori Sangat Baik
4
Sangat Baik Sangat Baik
4
4
Sangat Baik
3.5
Sangat Baik
3.5
Sangat Baik
4
Sangat Baik
4
Sangat Baik
4
Sangat Baik
4
Sangat Baik
4
Sangat Baik
4
Sangat Baik Sangat Baik
3.93
Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa kegiatan perkuliahan mahasiswa calon guru Fisika dengan menerapkan video pembelajaran yang dikembangkan berlangsung dengan sangat baik dan efektif. 3.3.2 Analisis Video oleh Mahasiswa Calon Guru Mahasiswa calon guru Fisika dibagi menjadi tiga kelompok kooperatif. Kemudian mahasiswa mendapatkan LKM yang digunakan untuk menganalisis video. Setiap kelompok akan mengamati dan menganalisis video pembelajaran yang dikembangkan. Data hasil analisis mahasiswa calon guru terhadap video pembelajaran disajikan pada Tabel 4.
42
Tabel 4. Hasil Analisis Video Pembelajaran Saintifik Berorientasi PjBL pada Topik Listrik Dinamis Pertanyaan Bagian-bagian pembelajaran PjBL manakah yang merupakan fase: a. Menentukan pertanyaan mendasar b. Mendesain sebuah perencanaan proyek c. Menyusun kegiatan
jadwal
d. Memonitor siswa dan kemajuan proyek e. Menilai/menguji hasil belajar
f. Mengevaluasi pengalaman
g. Sikap apa yang ditumbuhkembangkan dalam video tersebut? h. Pada kegiatan apa sikap tersebut ditumbuhkembangkan?
Hasil Diskusi
Siswa mengajukan pertanyaan berdasarkan video Guru membagi siswa dalam kelompok kemudian menjelaskan tugas proyek Guru menjelaskan sistematika proyek dan rambu-rambu desain, Siswa membandingkan serta mendesain rumah dan jaringan listrik, Siswa mengambil bahan dan alat untuk membuat desain, Siswa membuat desain Guru memonitor pekerjaan siswa ketika membuat maket Siswa mempresentasikan hasil desain rumah (maket) beserta jaringan rangkaian listrik, Guru memberikan penghargaan Setelah siswa mempresentasikan hasil, guru menanyakan tentang pelaksanaan tugas proyek dan siswa menceritakan pengalaman selama pengerjaan tugas proyek tersebut Kreatif, Kritis, Rasa ingin tahu, Sikap ilmiah, Sikap sosia (kerja sama), Disiplin, Tanggung jawab, Jujur pengerjaan proyek, mendesain alat, presentasi, pembagian tugas, berkelompok
Hasil analisis mahasiswa calon guru Fisika terhadap video yang dikembangkan menunjukkan bahwa mahasiswa dapat mengidentifikasi fase PjBL dengan baik. Mahasiswa calon guru Fisika mampu menyebutkan kegiatan-kegiatan pembelajaran pada video sesuai fase PjBL. 4.
PEMBAHASAN Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat diketahui bahwa video pembelajaran yang dikembangkan dalam penelitian ini termasuk dalam kategori sangat layak ditinjau dari keseluruhan aspek yang meliputi tampilan fisik, penyajian, isi, dan bahasa dengan hasil SVV 3,53. Apabila ditinjau pada masing-masing aspek maka terdapat dua aspek yang termasuk dalam kategori sangat layak dan dua aspek yang termasuk dalam kategori layak. Pada kategori sangat layak adalah aspek tampilan fisik dengan hasil SVV 3,83 dan aspek isi dengan hasil SVV 3,67. Hasil ini menunjukan bahwa tampilan fisik dan isi videodapat digunakan tanpa revisi. Sedangkan pada aspek yang termasuk dalam kategori layak yaitu aspek penyajian dengan hasil SVV 3,39 dan aspek bahasa dengan hasil SVV 3,25. Hal ini menunjukkan bahwa video dapat digunakan dengan sedikit revisi pada aspek penyajian dan bahasa. Beberapa revisi yang dapat dilakukan terhadap video yang dikembangkan berdasarkan hasil validasi dan saran validator antara lain memperbaiki kualitas tulisan pada video agar mudah dibaca dan memperbaiki kejelasan pengucapan dan
menghilangkan beberapa penggunaan kata yang tidak relevan. Selain validasi terhadap video, pada penelitian ini dilakukan validasi terhadap perangkat pembelajaran yang akan digunakan dalam pembuatan video yang dikembangkan. Perangkat pembelajaran yang divalidasi antara lain RPP dengan hasil SVP 3,63; LKS dengan hasil SVP 3,57; dan Skenario dengan hasil SVP 3,78. Hasil tersebut menunjukkan bahwa semua perangkat pembelajaran yang digunakan termasuk dalam kategori sangat layak sehingga tidak memerlukan adanya revisi. Akan tetapi berdasarkan saran ketiga validator diperlukan sedikit revisi untuk meningkatkan kualitas perangkat pembelajaran dan video yang dikembangkan antara lain revisi terhadap KI dan KD sesuai regulasi terbaru serta perubahan alokasi waktu pembelajaran pada topik listrik dinamis. Selain memperoleh hasil validitas video dan perangkat pembelajaran yang dikembangkan, pada penelitian ini didapatkan data kepraktisan video yang ditinjau dari keterlaksanaan perkuliahan menggunakan media video pembelajaran yang dikembangkan dan hasil analisis mahasiswa calon guru Fisika terhadap video tersebut. Berdasarkan observasi keterlaksanaan perkuliahan yang dilakukan oleh dua observer dapat diketahui bahwa seluruh kegiatan perkuliahan dapat dilaksanakan dengan sangat baik. Hasil SK yang diperoleh pada keseluruhan kegiatan adalah 3,93. Kepraktisan video pembelajaran yang dikembangkan dapat diketahui dari hasil analisis mahasiswa calon guru Fisika terhadap video tersebut. Mahasiswa calon guru Fisika difasilitasi dengan LKM untuk menganalisis video. LKM membantu mahasiswa calon guru Fisika untuk mengintegrasikan antara tahapan-tahapan pendekatan saintifik dengan setiap fase PjBL. Hal tersebut dapat terlihat dari jawaban atau hasil diskusi masing-masing kelompok mahasiswa dalam menganalisis video yang ditayangkan pada saat perkuliahan. Masing-masing kelompok dapat mengidentifikasi keenam fase PjBL dalam kegiatan pembelajaran pada video yaitu menentukan pertanyaan dasar, mendesain sebuah perencanaan proyek, menyusun jadwal kagiatan, memonitor siswa dan kegiatan proyek, menilai/menguji hasil belajar dan mengevaluasi pengalaman sekaligus menemukan tahapan saintifik pada setiap fase PjBL. Kegiatan pembelajaran PjBL dari fase pertama sampai fase keenam memunculkan beberapa tahapan saintifik yaitu mengamati, menanya, mengumpulkan data atau informasi, mengasosiasi dan mengomunikasikan hasil. Bahkan berdasarkan hasil analisis yang dilakukan mahasiswa terhadap video dapat diketahui bahwa pembelajaran yang terdapat di dalam video telah memunculkan High Order Thinking Skill yaitu mencipta. Hal tersebut mengindikasikan bahwa mahasiswa calon guru Fisika dapat mempelajari dan memahami pembelajaran Pendekatan Saintifik berorientasi PjBL melalui video pembelajaran yang telah dikembangkan. Kegiatan mahasiswa calon guru dalam
43
mendeskripsikan dan menganalisis tindakan guru dan siswa dalam tayangan video pada setiap fase PjBL dan tahapan saintifik dapat mempermudah dalam aplikasi strategi yang sama dalam pembelajaran mereka. Mahasiswa dapat mempelajari bagaimana cara mengajar sesuai dengan pemodelan pembelajaran pada video, hal ini sejalan dengan pernyataan Slavin[15] bahwa pembelajaran dapat dilakukan melalui kegiatan pengamatan. Pernyataan yang sama dikemukakan oleh Kucuk[16] bahwa pandangan guru mengenai pendekatan saintifik pada pembelajaran dapat ditingkatkan melalui video pembelajaran yang diikuti dengan pelatihan mengajar. Selain itu, Wong dkk.[17] menyatakan bahwa video pembelajaran memiliki beberapa kelebihan terkait peningkatan keterampilan mengajar guru yaitu dapat menstimulasi guru untuk menyampaikan konsep terkait belajar dan mengajar, mendorong guru untuk mengembangkan ide-ide dalam merespon kondisi belajar mengajar yang sama, menyediakan pembelajaran alternatif di luar pengalaman guru, dan mendukung guru dalam mengembangkan ide-ide untuk mengatasi kompleksitas pembelajaran di kelas. Kegiatan pembelajaran yang terdapat dalam video yang dikembangkan dapat digunakan untuk mempersiapkan dan melatih keterampilan mengajar mahasiswa calon guru pada situasi yang spesifik yang berkaitan erat dengan target kinerja guru[18],[19]. Target kinerja guru dalam penelitian ini adalah mengajar dengan pendekatan saintifik berorientasi PjBL, maksudnya adalah menggabungkan tahap-tahap pendekatan saintifik dalam kegiatan pembelajaran yang berorientasi PjBL pada topik Listrik Dinamis. Video pembelajaran yang dikembangkan dalam penelitian ini memberikan demonstrasi atau pemodelan untuk mengembangkan keterampilan mengajar dengan pendekatan saintifik terutama ketika kegiatan belajar mengajar dilakukan dalam setting PjBL. Mempelajari cara mengajar dari video dapat membantu calon guru untuk memecahkan masalah yang mungkin terjadi pada kelas yang sebenarnya[20],[21]. Hal ini didukung oleh pernyataan Chinna & Dada[22] bahwa video menyediakan pembelajaran yang konkret melalui mekanisme pemutaran atau penayangan yang dapat diputar ulang (replay), dimajukan (fast-forward) maupun dimundurkan (rewind) pada adegan tertentu serta memotivasi siswa untuk memiliki ketertarikan yang besar terhadap apa yang akan dipelajari. Kegiatan analisis terhadap video pembelajaran yang dikembangkan dapat mengembangkan kemampuan calon guru agar dapat memperhatikan interaksi atau kegiatan yang dianggap penting di dalam pembelajaran tersebut[23]. Kegiatan calon guru dalam menuliskan hasil obseravsi mereka terhadap kegiatan pembelajaran dalam video menunjukkan kesadaran mereka terhadap kegiatan pembelajaran di kelas[24]. Melalui kegiatan analisis terhadap video yang dikembangkan mahasiswa calon guru Fisika dapat
menentukan sikap positif yang dapat dikembangkan pada diri siswa saat menerapkan pembelajaran pendekatan saintifik berorientasi PjBL, antara lain mengembangkakan sikap kreatif, kritis, rasa ingin tahu, sikap ilmiah, sikap sosial (kerjasama), tanggungjawab, dan jujur. Sikap positif tersebut dapat dilihat pada beberapa kegiatan pembelajaran, anatar lain pada saat berkelompok, pembagian tugas, mendesain alat, pengerjaan proyek, dan presentasi. Selain itu, mahasiswa calon guru Fisika berpendapat bahwa video pembelajaran yang dikembangkan dalam penelitian ini memiliki beberapa kelebihan anatar lain pembelajaran dapat membantu siswa menerapkan pengetahuan yang dimiliki dalam kehidupan seharihari, memberikan hasil belajar yang aplikatif, menambah pengalaman belajar yang baru, dan menumbuhkan High Thinking Order Skills (HOTS). Keseluruhan hasil pengematan keterlaksanaan perkuliahan dengan menerapkan video pembelajaran yang dikembangkan serta hasil analisis mahasiswa calon guru Fisika terhadap video menunjukkan bahwa video yang dikembangkan adalah praktis. 5.
KESIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa video pembelajaran Pendekatan Saintifik berorientasi Project Based Learning (PjBL) dinyatakan layak digunakan dalam perkuliahan bagi mahasiswa calon guru Fisika. Kelayakan video ditinjau dari validitas video dan kepraktisan video. Kelayakan video diperoleh melalui validasi video dan perangkat pembelajaran yang digunakan dalam video. Hasil validasi terhadap video menunjukkan hasil SVV 3,53 dengan kategori sangat layak dan hasil SVP termasuk dalam kategori sangat layak dengan skor RPP yaitu 3,63; LKS yaitu 3,57; dan skenario 3,78. Kepraktisan video ditinjau dari hasil keterlaksanaan pengamatan video yang menunjukkan hasil sangat baik dengan SK 3,93 serta hasil analisis terhadap video yang menunjukkan bahwa mahasiswa calon guru Fisika dapat mengidentifikasi keenam fase PjBL dan tahapan pendekatan saintifik dalam video pembelajaran yang dikembangkan. 6. DAFTAR PUSTAKA [1]. Susantini, E., Faizah, Ulfi., & Prastiwi, M.S. (2015). Teaching Skills and Views of Pre-Service Biology Teachers on Response to the Instructional Video with Scientific Approach in Cooperative Learning. Prosiding ICTTE FKIP UNS, Vol 1, No 1. [2]. Leden, L., Hanson, l., Redfors, A., & Ideland, M. (2013). Why, When, and How to Teach Nature Science in Compulsory School: Teachers’ views. Paper presented at the 10th conference of the European Science Education research Association (ESERA), Nicosia, Cyprus. [3]. Agommuoh, P. C., & Nzewi, U. M., (2003). Effects of Videotape Instruction on Secondary School students Achievement in Physics. Journal of STAN, 38(1&2), 88-93.
44
[4]. Gaudin, C. & Chalies, S. (2015). Video Viewing in Teacher Education and Professional Development. Educational Research Review, 16, 41-67. [5]. Adelakun, S. A., (2003). Issues in Science Education for the Visually Impaired. In W. O. Fatokun, O. A., Adebimpe, O. K. Omoniyi, & T. Ajoblene (Eds), Science and Technology in Special Education. Oyo: Tobistic Printing and Publishing Ventures. [6]. Gana, E. N., (2006). The use of instructional videotape in the learning of some geographical concepts (Map Reading) in Senior Secondary Schools in Minna. Unpublished M. Tech Education Thesis, Federal University of Technology, Minna. [7]. Giere, R.N. (2001). A New Framework for Teaching Scientific Reasoning. Argumentation, 15, 21-33. [8]. Heafner, L.A., Friedrichsen, P.M., & Zembal-Saul, C. (2006). Teaching with Insects: An Applied Life Science Course for Supporting Prospective Elementary Teachers’ Scientific Inquiry. The American Biology Teacher, Vol. 68, No.4, 206-212. [9]. Moseley, C., Ramsey, S.J, & Ruff, K. (2004). Science Buddies: An Authentic Context for Developing Preservice Teachers’ Understanding of Learning, Teaching, and Scientific inquiry. Joirnal of Elementary Science Education, Vol. 16, No. 2, 1-18. [10]. Wan, Z.H., Wong, s.l., & Zhan, Y. (2013). Teaching Nature of Science to Preservice Science Teachers: A Phenomenographic Study of Chinese Teacher Educators’ Conceptions. Science & Education, 22, 2593-2619. [11]. Welsh, S.M. (2002). Advice to a New Science Teacher: The Importance of Establishing a Theme in Teaching Scientific Explanations. Journal of Science Education and Technology, Vol. 11, No. 1, 9395.
[18]. Star, J. R., Strickland, S. K. (2008). Learning To Observe: Using Video To Improve Preservice Mathematics Teachers’ Ability To Notice. Journal of Mathematics Teacher Education, Vol. 11, No. 2: 107125. [19]. Yung, B.H.W., Wong, S.L., Cheng, M.W., Hui, C.S., Hodson, D. (2007). Tracking Pre-service Teachers’ Changing Conceptions of Good Science Teaching: The Role pf Progressive Reflection with the Same Video. Research in Science Education, 37, 239-259. [20]. Kisa, M.K. (2013). Science teachers’ learning to notice from video cases of the enactment of cognitively demanding instructional class. Retrieved from ProQuest Dissertation & Theses database. UMI No. 3577155. [21]. Lin, P. J., 2005. Using research-based video-cases to help pre-service teachers conceptualize a contemporary view of mathematics teaching. International Journal of Science and Mathematics Education, 3, 351–377. [22]. Chinna, N.C. & Dada, M.G. (2013). Effects of Developed Electronic Instructional Medium on Students’ Achievement in Biology. Journal of Education and Learning, Vol. 2, No. 2, 1-7 [23]. Alsawei, O.N., & Alghazo, I.M. (2010). The Effect of Video Based Approach on Prospective Teachers’ Ability to Analyze Mathematics Teaching. Journal of Mathematics Teacher Education, 13, 223-241. [24]. Fadde, P. & Sullivan, P. (2013). Using Interactive Video to Develop Teachers’ Classroom Awareness. Contemporary Issues in Tachnology and Teacher Eduacation, Vol. 13, No. 2, 156-174.
[12]. Wilke, R.R & Straits, W.J. (2005). Practical Advice for Teaching Inquiry-Based Science Process Skills in the Biological Sciences. The American Biology Teacher, Vol. 67, No. 9, 534-540. [13]. Bell, S. (2010). Project Based Learning for the 21st Century: Skills fi the Future. The Clearing House: A Journal of Educational Strategies, Issues and Ideas Vol. 83. [14]. Heinich, R., Molenda, M., Russel, J.D., & Smaldino, S.E. (2002). Instructional Media and Technologies for Learning (7th ed). New Jersey: Merill Prentice Hall. [15]. Slavin, R. (2009). Educational Psychology: Theory and Practice (9th ed). New Jersey: Pearson Education, Inc. [16]. Kucuk, M. (2008). Improving Preservice Elementary Teachers’ Views of the Nature of Science Using Explicit-Reflective Teaching in a Science, Technology, and Society Course. Australian Journal of Teacher Education, Vol. 33, No. 2, 16-40. [17]. Wong, S. L., Yung, B. H. W., Cheng, M. W., Lam, K. L., Hodson, D. (2007). Setting the Stage for Developing Pre‐service Teachers’ Conceptions of Good Science Teaching: The role of classroom videos. International Journal of Science Education, Vol. 28, No. 1, 1-24.
45
46
Penggunaan Trainer Aksi Dasar Sistem Kontrol untuk Meningkatkan Hasil Belajar Mahasiswa Teknik Elektro Unesa pada Mata Kuliah Dasar Sistem Pengaturan Endryansyah1*), Puput Wanarti Rusimamto2, Mochammad Rameli3, Eko Setijadi4 1
Fakultas Teknik, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya. Email:
[email protected] Fakultas Teknik, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya. Email:
[email protected] 3 Fakultas Teknik Industri. Institut Teknik Sepuluh Nopember, Surabaya. Email:
[email protected] 4 Fakultas Teknik Industri. Institut Teknik Sepuluh Nopember, Surabaya. Email:
[email protected] *) Alamat Korespondensi: Email:
[email protected] 2
ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk mengetahui hasil belajar mahasiswa dalam memahami unjuk kerja kontroller PID pada mata kuliah Dasar Sistem Pengaturan menggunakan trainer aksi dasar sistem kontrol. Objek yang diteliti adalah trainer aksi dasar sistem kontrol hasil rancangan yang telah tervalidasi. Responden penelitian terdiri dari 29 mahasiswa Teknik Elektro Unesa semester 5 angkatan 2014. Instrumen penelitian terdiri atas angket untuk mahasiswa, soal posttest. Analisis data menggunakan analisis deskriptif kuantitatif. Untuk menguji hasil belajar mahasiswa menggunakan trainer aksi dasar sistem kontrol digunakan uji normalitas dan uji signifikansi. Hasil penelitian adalah sebagai berikut. Pertama, Hasil belajar ranah kognitif mahasiswa (µ=72,83) lebih besar dari 66 atau dapat dikatakan bahwa hasil belajar kogitif mahasiswa tuntas. Kedua, hasil belajar afektif mahasiswa (µ=88,49) lebih besar dari 66 atau dapat dikatakan bahwa hasil belajar afektif mahasiswa tuntas. Ketiga, hasil belajar psikomotor mahasiswa (µ=84,37) lebih besar dari 66 atau dapat dikatakan bahwa hasil belajar psikomotor mahasiswa tuntas. Dengan demikian, trainer Aksi Dasar Sistem Kontrol efektif digunakan sebagai sarana pembelajaran praktik dasar sistem pengaturan di laboratorium sistem kendali teknik elektro unesa. Kata kunci: ranah kognitif, ranah afektif, ranah psikomotor, trainer aksi dasar sistem kontrol. 1. PENDAHULUAN Laboratorium Terpadu di Gedung A8 Fakultas Teknik Unesa dengan empat lantai sudah mulai difungsikan pada semester gasal tahun ajaran 20132014. Laboratorium yang berada di Gedung A8 tersebut diisi Laboratorium dari semua jurusan di Fakutas Teknik Unesa. Di antara lab yang bergabung tersebut adalah Lab Sistem Kendali yang terletak di lantai empat. Diantara mata kuliah yang praktikum di lab sistem kendali adalah Teknik Pengaturan untuk mahasiswa S1 prodi Pendidikan Teknik Elektro dan S1 prodi Teknik Elektro dan mata kuliah lain bidang keahlian teknik sistem pengaturan prodi S1 Teknik Elektro. Mempelajari rencana jurusan Teknik Elektro untuk pengembangan laboratorium, khususnya lab sistem kendali, maka tim pengajar teknik pengaturan juga mempersiapkan diri membuat rencana pengembangan laboratorium tersebut dengan memperbanyak modul praktikum disertai dengan trainer atau kit. Untuk menjawab permasalahan tersebut salah satunya adalah melakukan penelitian dengan melibatkan tim peneliti mitra yang sudah mempunyai lab yang berkualitas dan sudah banyak berkontribusi di bidang sistem pengaturan. Dengan adanya infrastruktur berupa bahan ajar (modul) dan alat bantu berupa trainer akan sangat bermanfaat dalam upaya memberikan pengetahuan dan melatih ketrampilan pada mahasiswa dalam pemahaman di bidang teknik pengaturan beserta
aplikasinya pada bidang Teknik Elektro. Hal ini dapat menumbuhkan motivasi belajar mahasiswa dalam mengikuti perkuliahan Teknik Pengaturan di Jurusan Teknik Elektro Unesa, selain itu dosen pengajar maupun instruktur dapat menggali lebih dalam pada setiap topik yang diajarkan. Penggunaan trainer aksi dasar sistem kontrol ini membuat mahasiswa dengan latar belakang kemampuan serta pemahaman yang bervariasi akan tetap dapat mengikuti dan memahami bahan ajar yang ditentukan, selain itu mahasiswa yang memiliki kemampuan explorasi berlebih tetap akan dapat terpenuhi kebutuhannya dan hasil belajar mahasiswa dapat ditingkatkan. 2. KAJIAN LITERATUR Hasil penelitian yang dilakukan oleh Puput Wanarti dkk.[1], penilaian kelayakan terhadap Modul Ajar Mata Kuliah Fisika II untuk Model Pembelajaran Kooperatif Sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas Hasil Pembelajaran di Jurusan Teknik Elektro FT Unesa adalah sebagai berikut: hasil analisa yang didapatkan dari validator adalah 85,1% untuk modul dan 89% untuk trainer, dari respon mahasiswa adalah 83,9% untuk modul dan 84,8% untuk trainer. Sehingga Modul Ajar Mata Kuliah Fisika II untuk Model Pembelajaran Kooperatif yang dikembangkan boleh dan layak diterapkan pada perkuliahan mata kuliah Fisika II. Berdasarkan hasil penelitian tentang media pembelajaran yang menggunakan modul dan trainer
47
hasilnya baik, maka diterapkan media pembelajaran berupa modul dan trainer untuk mata kuliah teknik pengaturan. Dalam pelaksanaannya menggunakan langkah–langkah penyusunan modul untuk membantu mahasiswa memahami materi yang diajarkan dengan harapan modul yang dihasilkan dapat bermanfaat bagi mahasiswa, dosen, dan lembaga yang menggunakan, terlebih memberikan kontribusi yang luar biasa pada laboratorium sistem kendali di jurusan Teknik Elektro Unesa . Pembelajaran Kooperatif Terdapat enam langkah utama atau tahapan di dalam pelajaran yang mengguanakan pembelajaran kooperatif. Pelajaran dimulai dengan guru menyampaikan tujuan pelajaran dan memotiviasi siswa untuk belajar. Fase ini diikuti oleh penyajian informasi, sering kali dengan bahan bacaan daripada secara verbal. Selanjutnya siswa dikelompokkan ke dalam tim-tim belajar. Tahap ini diikuti bimbingan guru pada saat siswa berkerja bersama untuk menyelesaikan tugas bersama mereka. Fase terakir meliputi presentase hasil akhir kerja kelompok atau evaluasi tentang apa yang telah mereka pelajari dan memberi penghargaan terhadap usaha-usaha kelompok maupun individu. Pengertian modul Modul ialah unit program belajar-mengajar terkecil yang secara terinci menggariskan: a) Tujuan instruksional umum, b) Tujuan intruksional khusus, c) Pokok-pokok materi yang akan dipelajari dan diajarkan, d) Kedudukan fungsi satuan dalam kesatuan program yang akan dipakai, e) Kegiatan belajarmengajar, f) Lembaran kerja yang akan dikerjakan selama proses belajar berlangsung[2]. Selanjutnya menurut Nasution[3] modul ialah suatu unit yang lengkap yang berdiri sendiri dan terdiri atas suatu rangkaian kegiatan belajar yang disusun untuk membantu siswa mencapai sejumlah tujuan yang dirumuskan secara khusus dan jelas. 3. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan jenis penelitian pengembangan, karena peneliti ingin mengembangkan modul praktikum sistem pengaturan. Metode penelitian yang digunakan menggunakan metode penelitian Research and Development (R&D). Menurut Sugiyono (2015: 28-30) metode Research and Development diterjemahkan menjadi metode penelitian dan pengembangan. Trainer Aksi Dasar Sistem Kontrol merupakan produk pengembangan media pembelajaran pada penelitian ini. Dengan media ini, diharapkan mahasiswa dapat memahami materi sekaligus mampu mengaplikasikannya. Jika digunakan sebagai media pembelajaran trainer ini selanjutnya digunakan sebagai tes praktik suatu saat nanti. Trainer Aksi Dasar Sistem Kontrol ini telah divalidasi oleh beberapa dosen ahli menurut bidangnya masing – masing untuk
proses validasi antara lain yaitu: ahli desain trainer, ahli desain modul, ahli sistem kontrol, dan ahli substansi. Setelah melewati tahap validasi berikutnya adalah Tes uraian dilakukan untuk mengetahui hasil belajar kognitif setelah dilakukan pembelajaran menggunakan modul yang telah dikembangkan. Tes uraian disusun berdasarkan indikator hasil belajar kognitif. Dari indikator tersebut dibuat kisi-kisi instrument. Agar suatu tes dapat mengukur sesuai dengan tujuannya maka tes tersebut harus valid. Untuk menghasilkan alat ukur yang valid maka dilakukan valditas. Dalam hal ini validitas dilakukan melalui validasi ahli dengan menggunakan lembar validasi. Penilaian dengan rating scale mengacu pada kriteria yang ada pada rubrik. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Basuki dan Haryanto[4] rubrik merupakan suatu skala pemberian nilai (skala penilaian) yang terdiri dari serangkaian kriteria prestasi dan paparan tentang tataran prestasi di dalam pengerjaan tugas-tugas tertentu. Rating scale digunakan untuk mengukur hasil belajar siswa dalam ranah afektif. Tes kinerja digunakan untuk mengukur hasil belajar siswa pada ranah psikomotor. Menurut Basuki dan Hariyanto[4] pengukuran hasil belajar psikomotor ada dua hal yang perlu dilakukan, yaitu membuat soal dan membuat perangkat instrumen untuk mengamati kinerja peserta didik. Soal untuk hasil belajar psikomotor dapat berupa lembar kerja, lembar tugas, perintah kerja, dan lembar eksperimen. Instrumen untuk mengamati kinerja peserta didik dapat berupa lembar observasi atau portofolio. Pada penelitian ini bentuk soal hasil belajar psikomotor berupa lembar kerja. Sedangkan untuk pedoman pemberian skor menggunakan rating scale yang dilengkapi dengan rubrik. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian yang dilakukan meliputi hasil validasi soal postes dan hasil uji coba terdiri dari hasil belajar mahasiswa ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Validasi dilakukan kepada beberapa ahli sebagai validator yang terdiri dari 3 orang Dosen Jurusan Teknik Elektro. 4.1 Hasil belajar mahasiswa ranah kognitif Hasil belajar ranah kognitif diperoleh melalui pemberian post-test setelah seluruh proses pembelajaran menggunakan modul selesai. Post-test diberikan di akhir pertemuan dengan memberikan soal pilihan ganda sebanyak 25 butir. Adapun hasil pengukuran posttest tersebut dapat ditunjukkan pada Tabel 1.
48
Tabel 1. Hasil Belajar Mahasiswa Ranah Kognitif No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
NIM
Nama Mahasiswa
14050874006 14050874021 14050874016 14050874025 14050874008 14050874024 14050874015 14050874011 15050874015 14050874003 14050874005 14050874017 14050874026 14050874002 14050874010 14050874009 14050874022 14050874028 14050874014 14050874019 14050874007 14050874030 14050874012 14050874013 14050874020 14050874001 14050874023 12050874245 14050874004
Eno May Leny Rahmad Hidayat Bagus Rio R Ahmad Sulthoni Agus Nurdiyanto M. Nur Fatah M Dwi Ardianto Johan Firmansah Armanda H Rangga Arif T.S. Wiwit Sri Rahayu Rachmat Agus K Sri Purwandani Suyanti Jordan Teja S M. Fatkur Rozi Rizki Waloyo Rezandy Jalasena M. Juhan Dwi S Satya Hadi S Satria Bagaskara Bonfilio Wahyu Rinda Yuni S Sahat M.P.P. Herlambang S.A Agus Hermawan S Sugeng Dwi M Firman Nur H Didit Ardiyansah
Nilai 68 72 68 80 76 84 56 60 56 76 64 60 68 80 80 76 88 72 60 80 72 80 68 72 68 88 80 76 84
4.2 Hasil Belajar Ranah Afektif Hasil belajar ranah afektif diperoleh melalui penilaian sikap selama kegiatan pembelajaran berlangsung.Hasil belajar ranah afektif diukur menggunakan lembar pengamatan afektif dengan 5 indikator. Indikator dalam penilaian afektif tersebut yaitu: (1) jujur; (2) disiplin; (3) bertanggung jawab; (4) kerjasama; dan (5) saling menghargai. Perolehan pengamatan sikap yang berlangsung selama 4 kali pertemuan dapat ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2. Perolehan Hasil Belajar Ranah Afektif No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jumlah
2112
10
Rata-rata
72,83
11
Berdasarkan Tabel 1dapat diketahui bahwa nilai rata-rata hasil belajar mahasiswa pada ranah kognitif (post-test) adalah sebesar 72,83. Perolehan post-test tersebut juga menunjukkan bahwa nilai terendah yang diperoleh adalah 56 dan nilai tertinggi yang diperoleh adalah 88.Penyebaran data dari perolehan post-test tersebut dapat ditunjukkan pada Gambar 1 di bawah ini.
12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Nama Eno May Leny Rahmad Hidayat Bagus Rio R Ahmad Sulthoni Agus Nurdiyanto M. Nur Fatah M Dwi Ardianto Johan Firmansah Armanda H Rangga Arif T.S. Wiwit Sri Rahayu Rachmat Agus K Sri Purwandani Suyanti Jordan Teja S M. Fatkur Rozi Rizki Waloyo Rezandy Jalasena M. Juhan Dwi S Satya Hadi S Satria Bagaskara Bofilio Wahyu RindaYuni S Sahat M.P.P. Herlambang S.A Agus Hermawan S Sugeng Dwi M Firman Nur H Didit Ardiyansah Rata-rata
1
Nilai pertemuan ke 2 3 4
Rata -rata
85
90
95
88.75
90
95
95
95
93.75
85
85
85
90
86.25
85
90
95
95
91.25
85
85
85
90
86.25
90
85
90
90
88.75
80
95
95
95
91.25
80
85
85
90
85
85
85
85
90
86.25
80
90
90
90
87.5
90
85
90
90
88.75
90
85
90
95
90
85
95
95
95
92.5
85
90
90
95
90
80
90
90
90
87.5
80
90
90
90
87.5
80
90
90
95
88.75
80
85
85
90
85
80
90
90
95
88.75
85
85
85
90
86.25
80
95
95
95
91.25
85
90
90
90
88.75
90 80
85 85
90 90
90 90
88.75 86.25
85
90
90
90
88.75
80
85
85
90
85
80
90
90
90
87.5
85
90
90
95
90
90
90
90
90
90
83,96
88,44
89,65
91,89
88.49
85
Gambar 1. Histogram Hasil Belajar Ranah Kognitif
Berdasarkan perolehan nilai yang ditunjukkan Tabel 2 di atas, maka dapat diketahui bahwa perolehan
49
nilai rata-rata hasil belajar ranah afektif adalah sebesar 88,49. Perolehan tersebut menunjukkan bahwa untuk hasil belajar ranah afektif dengan nilai tertinggi adalah 93,75 dan nilai terendah adalah 85. Penyebaran data hasil belajar ranah afektif ditunjukkan pada Gambar 2.
16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Gambar 2. Histogram Hasil Belajar Ranah Afektif
Hasil Belajar Ranah Psikomotor Hasil belajar ranah psikomotor diperoleh melalui pengamatan keterampilan psikomotor selama praktikum yang dilakukan oleh mahasiswa.Praktikum dilakukan setiap pertemuan sebanyak 4 kali pertemuan.Hasil Perolehan pengamatan psikomotor tersebut dapat ditunjukkan pada Tabel 3.
Ratarata
Kegiatan praktikum ke No.
26 27 28 29
Nama
M. Fatkur Rozi Rizki Waloyo Rezandy Jalasena M. Juhan Dwi S Satya Hadi S Satria Bagaskara Bonfilio Wahyu Rinda Yuni S Sahat M.P.P. Herlambang S.A Agus Hermawan S Sugeng Dwi M Firman Nur H Didit Ardiyansah
1
2
3
4
76.79
84.38
81.25
84.72
81.78
82.14
84.38
87.50
86.11
85.03
83.93
87.50
87.50
90.28
87.30
80.36
68.75
84.38
87.50
80.25
78.57
81.25
87.50
87.50
83.71
83.93
78.13
84.38
86.11
83.13
76.79
84.38
87.50
88.19
84.21
76.79
84.38
84.38
85.42
82.74
82.14
84.38
90.63
89.58
86.68
83.93
84.38
87.50
84.72
85.13
80.36
87.50
84.38
86.81
84.76
82.14
87.50
87.50
86.11
85.81
83.93
81.25
84.38
84.72
83.57
78.57
87.50
90.63
89.58
86.57
Rata-rata
84.37
Tabel 3. Perolehan Hasil Belajar Ranah Psikomotor Ratarata
Kegiatan praktikum ke No.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Nama
Eno May Leny Rahmad Hidayat Bagus Rio R Ahmad Sulthoni Agus Nurdiyanto M. Nur Fatah M Dwi Ardianto Johan Firmansah Armanda H Rangga Arif T.S. Wiwit Sri Rahayu Rachmat Agus K Sri Purwandani Suyanti Jordan Teja S
1
2
3
4
78.57
78.13
87.50
89.58
83.44
82.14
81.25
84.38
84.03
82.95
82.14
81.25
84.38
85.42
83.30
80.36
81.25
90.63
90.28
85.63
80.36
81.25
90.63
89.58
85.45
83.93
87.50
84.38
86.11
85.48
80.36
81.25
87.50
87.50
84.15
83.93
81.25
87.50
88.89
85.39
80.36
81.25
84.38
85.42
82.85
82.14
84.38
87.50
86.81
85.21
80.36
84.38
81.25
85.42
82.85
82.14
84.38
81.25
85.42
83.30
76.79
84.38
84.38
84.72
82.56
83.93
87.50
90.63
90.28
88.08
80.36
84.38
87.50
89.58
85.45
Berdasarkan perolehan nilai yang ditunjukkan Tabel. 3di atas, maka dapat diketahui bahwa perolehan nilai rata-rata hasil belajar ranah psikomotor adalah sebesar 84,37. Perolehan tersebut menunjukkan bahwa untuk hasil belajar ranah psikomotor dengan nilai tertinggi adalah 88,08 dan nilai terendah adalah 80,25. Penyebaran data hasil belajar ranah afektif ditunjukkan pada Gambar 3.
Gambar 3. Histogram Hasil Belajar Ranah Psikomotor
50
5. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut. 1) Hasil belajar ranah kognitif. Berdasarkan hasil olah SPSS diperoleh nilai t=4,043 dan sig=0.000374. Berdasarkan hal ini maka diterima H1. Sehingga dapat disimpulkan bahwa rata-rata hasil belajar kognitif mahasiswa (µ=72,83) lebih besar dari 66 atau dapat dikatakan bahwa hasil belajar kogitif mahasiswa tuntas. 2) Hasil belajar ranah afektif. Berdasarkan hasil olah SPSS diperoleh nilai t=53,820 dan sig=8,16x10 30 . Berdasarkan hal ini maka diterima H1. Sehingga dapat disimpulkan bahwa rata-rata hasil belajar afektif mahasiswa (µ=88,49) lebih besar dari 66 atau dapat dikatakan bahwa hasil belajar afektif mahasiswa tuntas. 3) Hasil belajar ranah psikomotor. Berdasarkan hasil olah SPSS diperoleh nilai t=56,862 dan sig=1,77x10-30. Berdasarkan hal ini maka diterima H1. Sehingga dapat disimpulkan bahwa rata-rata hasil belajar psikomotor mahasiswa (µ=84,37) lebih besar dari 66 atau dapat dikatakan bahwa hasil belajar psikomotor mahasiswa tuntas. Sehingga Penggunaan Traener Aksi Dasar Sistem Kontrol pada Mata Kuliah Teknik Pengaturan layak digunakan untuk meningkatkan hasil belajar dan menambah wawasan tentang sistem kontrol.
6. REFERENSI [1]. Wanarti R., Puput dkk, (2013). Pengembangan Modul Ajar Mata Kuliah Fisika II untuk Model Pembelajaran Kooperatif sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas Hasil Pembelajaran di Jurusan Teknik Elektro FT Unesa, Prosiding STE 2013, ISBN 978-979-028-051-9, Seminar Teknik Elektro dan Pendidikan Teknik Elektro 2013, Unesa. [2]. Wijaya, A., (1996). Pengembangan Media-Media Pembelajaran, Yogyakarta: Andi Offset Yogyakarta. [3]. Nasution, H., (1982). Pengembangan Perangkat Pembelajaran, Yogyakarta: Rineka Cipta [4]. Basuki, Ismet. (2004). Pengembangan Buku Ajar Berbasis Kompetensi. Surabaya: UNESA. [5]. Arikunto, S., (1997). Yogyakarta: Rineka Cipta.
Prosedur
penelitian,
[6]. Buku Pedoman Unesa Kurikulum 2012 – 2013, Unipress Unesa, (2012). [7]. Ibrahim, Muslimin. (2005). Pembelajaran Kooperatif, Unesa University press, Surabaya. [8]. Mulyasa, (2004). Media Pembelajaran, Surabaya: Universitas Negeri Surabaya. [9]. Purdiana, L., (2004). Pengembangan Perangkat Pembelajaran Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata Diklat Pilpt Materi Ilmu Bahan Listrik, Surabaya: Universitas Negeri Surabaya. [10]. Sugiyanto, (2010). Model-model Pembelajaran Inovatif, Surakarta: Yuma Pustaka [11]. Thiagarajan, Sivasailam.Gemmmel, Dorothy S. and Semmel, Melviyn I., (1974). Instruction Development For Training Teachers Of Exceptional Children. Minnesota: Indiana University. [12]. Trianto, (2007). Model Pembelajaran Terpadu dalam Teori dan Praktik, Prestasi Pustaka Publisher: Jakarta. [13]. Wanarti R., Puput, (2012). Pengembangan Modul Ajar Teknik Pengaturan Menggunakan Perangkat Lunak Matlab dengan Inquary Based Learning Berorientasi Industri, JPTE, http://ejournal.unesa. ac.id/index.php/jurnal-pendidikan-teknik-elektro.
51
52
Pengembangan Media Pembelajaran Berbasis Web di SMK Kota Surabaya Hapsari Peni1*), Puput Wanarti2, Euis Ismayati3, Yuni Yamasari4 1
Jurusan Teknik Elektro, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya. Email:
[email protected] 2 Jurusan Teknik Elektro, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya. Email:
[email protected] 3 Jurusan Teknik Elektro, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya. Email:
[email protected] 4 Jurusan Teknik Informatika, Universitas Negeri Surabaya, Surbaya. Email:
[email protected] *) Alamat Korespondesi: Email:
[email protected] ABSTRACT Based on preliminary studies on students SMK Kota Surabaya, facility to support the provision of e-learning has indeed been developed, but the implementation is still not optimal. Learning is delivered still tend to use conventional instructional media such as notes from the blackboard and media presentation software PowerPoint. The utilization of information technology is still less effective and interactive because there are no moving images. Especially in Physics, which basically requires understanding not only use the image but also simulation, especially in magnetism. Simulation of magnets representing flux magnetic that can not be viewed in the real human eye. Therefore, learning materials delivered so tend to be boring and less effective for students to understand Physics.By implementing an instructional media-based on e-learning to the student. It was expected to e-learning directly. The media can be easily accessed by students anywhere in the application form of instructional media either on a PC or notebook. In addition, e-learning used responsive techniques so that elearning web can be accessed by mobile devices (such as smartphones) and ultimately to enhance students' understanding of Subjects of Physics of magnetism.The research method to be used is the type of method research and development (R & D). The population of this study was students of SMK Kota Surabaya. The sample was a class XI student of SMK Negeri 5 Surabaya 2015-2016 school year. Keywords: Instructional Media, E-learning, responsive web, mobile learning. ABSTRAK Berdasarkan pada studi pendahuluan pada siswa SMKN Kota Surabaya, fasilitas untuk mendukung pengadaan e-learning memang telah dikembangkan, namun dalam implementasinya masih belum maksimal. Pembelajaran yang disampaikan masih cenderung menggunakan media pembelajaran konvensional seperti mencatat dari papan tulis dan media perangkat lunak presentasi Power Point, dalam pemanfaatan teknologi informasi masih kurang efektif dan interaktif karena tidak ada gambar bergerak. Khususnya pada Mata Pelajaran Fisika, yang pada dasarnya memerlukan pemahaman yang tidak hanya terpaku pada media pembelajaran yang masih menggunakan gambar diam (non multimedia), karena pada dasarnya materi pelajaran Mata Pelajaran Fisika tentang kemagnetan merupakan mata Pelajaran yang membutuhkan suatu simulasi alat atau magnet yang dapat mewakili fluks pada magnet yang tidak dapat dilihat secara nyata oleh mata manusia. Oleh karena itu, materi pembelajaran yang disampaikan jadi cenderung membosankan dan kurang efektif bagi siswa dalam memahami materi pelajaran Mata Pelajaran Fisika tersebut. Dengan menerapkan media pembelajaran berbasis e-learning kepada para siswa tersebut diharapkan e-learning ini secara langsung dapat diakses dengan mudah oleh para siswa di mana saja dalam bentuk aplikasi media pembelajaran baik pada PC maupun notebook. Selain itu, e-learning akan dibangun dengan teknik responsive web sehingga e-leaning akan bersifat mobile learning dan bisa diakses oleh mobile device (seperti smartphone) dan pada akhirnya dapat meningkatkan pemahaman siswa pada Mata Pelajaran Fisika tentang kemagnetan. Metode penelitian yang akan digunakan adalah jenis metode panelitian dan pengembangan (research and development (R & D)). Populasi penelitian pengembangan media pembelajaran ini adalah siswa SMKN Kota Surabaya. Sampel penelitian ini adalah siswa kelas XI SMK Negeri Kota Surabaya tahun pelajaran 2015-2016. Kata Kunci : Media Pembelajaran, E-learning, responsive web, mobile learning. 1. PENDAHULUAN Menurut Smaldino dan Russel[1], belajar adalah mengembangkan pengetahuan baru, keterampilan, dan perilaku yang merupakan interaksi individu dengan informasi dan lingkungan. Lingkungan dalam hal ini tidak hanya bersifat lunak, tetapi juga bersifat fisik, seperti jalan raya, televisi, komputer, dan lain sebagainya. Melihat pada definisi tersebut semakin jelas bahwa belajar tidak terlepas dari sebuah interaksi antara individu dengan lingkungannya, dengan sebuah
media pembelajaran akan tercapai informasi yang ditujukan kepada individu tersebut. Dengan adanya media pembelajaran, peserta didik dengan mudah memahami apa isi materi dari suatu pelajaran tersebut. Hal ini sesuai dengan definisi media pembelajaran itu sendiri. Seperti yang dikemukakan oleh Briggs (dalam Arsyad[2]) bahwa media pembelajaran adalah sarana fisik untuk menyampaikan isi atau materi pembelajaran, seperti: buku, film, video dan sebagainya. Kemudian sarana komunikasi dalam
53
bentuk cetak maupun pandang-dengar, termasuk teknologi perangkat keras. Dalam pelaksanaannya, Kemp & Dayton (dalam Arsyad, 2013: 39) mengelompokkan media ke dalam delapan jenis, yaitu media cetakan, media pajang, overhead transparancies, rekaman audiotape, seri slide dan film strips, penyajian multi-image, rekaman video dan film hidup, serta komputer. Sedangkan dalam aplikasi teknologi saat ini, bahwa media yang mencakup hampir semua jenis media tersebut adalah implementasi dari media pembelajaran e-learning. Berdasarkan pada studi pendahuluan pada siswa SMKN Kota Surabaya, fasilitas untuk mendukung pengadaan e-learning memang telah dikembangkan, namun dalam implementasinya masih belum maksimal. Pembelajaran yang disampaikan masih cenderung menggunakan media pembelajaran konvensional seperti mencatat dari papan tulis dan media perangkat lunak presentasi Power Point, dalam pemanfaatan teknologi informasi masih kurang efektif dan interaktif karena tidak ada gambar bergerak. Khususnya pada mata Pelajaran Fisika yang pada dasarnya memerlukan pemahaman yang tidak hanya terpaku pada media pembelajaran yang masih menggunakan gambar diam (non multimedia), karena pada dasarnya materi pelajaran Fisika sebagian besar merupakan mata Pelajaran yang membutuhkan suatu simulasi alat contohnya magnet yang dapat mewakili fluks pada magnet yang tidak dapat dilihat secara nyata oleh mata manusia. Oleh karena itu, materi pembelajaran yang disampaikan jadi cenderung membosankan dan kurang efektif bagi siswa dalam memahami materi pelajaran mata Pelajaran Fisika tersebut. Dengan menerapkan media pembelajaran berbasis e-learning kepada para siswa tersebut diharapkan e-learning ini secara langsung dapat diakses dengan mudah oleh para siswa di mana saja dalam bentuk aplikasi media pembelajaran pada PC ataupun notebook. Selain itu, e-learning yang akan dibangun menggunakan teknik responsive web sehingga e-leaning akan bersifat mobile learning yang juga bisa diakses oleh mobile device (seperti smartphone) dan pada akhirnya dapat meningkatkan pemahaman siswa pada mata Pelajaran Fisika tentang kemagnetan. Definisi e-learning sendiri menurut Jaya Kumar C. Koran (dalam Hasbullah[3]) adalah sebagai sembarang pengajaran dan pembelajaran yang menggunakan rangkaian elektronik (LAN, WAN, atau internet) untuk menyampaikan isi pembelajaran, interaksi, atau bimbingan. Saat ini semakin banyak pemrogram komputer mengembangkan perangkat lunak penyedia pembuatan aplikasi e-learning ini. Diantaranya adalah perangkat lunak visual seperti C# maupun adobe Flash (CS6) yang mempunyai lingkungan untuk pengembangan animasi dan lain sebagainya. Dengan perangkat lunak tersebut pendidik dapat menggunakannya secara maksimal dalam menyusun konteks pelajaran yang akan diajarkan pada peserta didik.
1.1 Media Pembelajaran Kata media berasal dari bahasa Latin dan merupakan bentuk jamak dari kata medium yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar. Medòê adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan. Terdapat sedikit perbedaan yang dikemukakan oleh beberapa pakar pendidikan. Menurut Asosiasi Teknologi dan Komunikasi Pendidikan (Association of Education and Communication Technology/AECT) (dalam Arsyad[2]) membatasi media sebagai segala bentuk dan saluran yang digunakan orang untuk menyalurkan pesan atau informasi. Sedangkan menurut Gagne’ dan Briggs (dalam Arsyad[2]) secara implisit mengatakan bahwa media pembelajaran meliputi alat yang secara fisik digunakan untuk menyampaikan isi materi pelajaran, yang terdiri dari antara lain buku, tape recorder, kaset, video kamera, video recorder, film, slide, foto, gambar, grafik, televisi, dan komputer. Media pembelajaran memiliki peran yang penting pada proses belajar dan mengajar itu sendiri, diantaranya ada beberapa macam kegunaan media pembelajaran dalam proses belajar mengajar yang secara umum dijelaskan Arsyad[2] sebagai berikut: (a) memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalistis (dalam bentuk kata-kata tertulis atau lisan belaka), (b) mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan daya indera, (c) penggunaan media pembelajaran secara tepat dan bervariasi dapat mengatasi sikap pasif anak didik, (d) dengan sifat yang unik pada tiap siswa ditambah lagi dengan lingkungan dan pengalaman yang berbeda, sedangkan kurikulum dan materi pembelajaran ditentukan sama untuk setiap siswa, maka guru banyak mengalami kesulitan bilamana semuanya itu harus diatasi sendiri. Musfiqon[4] menyatakan bahwa para pakar media pembelajaran telah merumuskan kriteria-kriteria pemilihan media pembelajaran seperti berikut ini: (a) kesesuaian dengan tujuan, (b) ketepatgunaan, (c) keadaan peserta didik, (d) ketersediaan, (e) keterampilan guru dan (f) mutu teknis 1.2 Macro Media Flash Menurut[5], Macromedia Flash adalah perangkat lunak aplikasi untuk animasi yang digunakan untuk Web. Dengan Macromedia Flash, web site dapat dilengkapi dengan beberapa macam animasi, sound, intaraktif animasi dan lain-lain. Gambar hasil dari Macromedia Flash dapat diubah ke dalam format lain untuk digunakan pada pembuatan desain web yang tidak langsung mengadaptasi Flash. Seperti pada perangkat lunak Adobe Flash yang memiliki fungsi sebagai penyedia pembuatan animasi berupa klip film yang kemudian dapat disusun dengan baik sebagai media pembelajaran interaktif dan menarik bagi siswa. Dengan fitur-fitur antarmuka yang menarik, akan menghasilkan format file media pembelajaran yang bersifat interaktif, di mana pada penyampaian suatu materi terdapat audio visual di dalamnya, sehingga pesan informasi yang disampaikan dapat tampil secara
54
menarik dan mudah dipahami oleh siswa atau peserta didik tersebut. 2. METODE Metode penelitian yang digunakan adalah jenis metode panelitian dan pengembangan (research and development (R & D)). Menurut Brog and Gall dalam Sugiyono[6]) menyatakan bahwa penelitian dan pengembangan, merupakan metode penelitian yang digunakan untuk mengembangkan atau memvalidasi produk-produk yang digunakan dalam pendidikan dan pembelajaran. Lebih lanjut menurut Seels & Richey (dalam Mursid[7])menjelaskan bahwa penelitian pengembangan merupakan studi yang sistematis tentang perancangan, pengembangan pengevaluasian, program pengajaran, proses dan produk yang harus memenuhi kriterian konsistensi internal dan keefektifan. Tujuan dari panelitian dan pengembangan menurut Ghufron[8] adalah menjembatani kesenjangan antara sesuatu yang terjadi dalam penelitian pendidikan dengan praktik pendidikan dan menghasilkan produk penelitian yang dapat digunakan untuk mengembangkan mutu pendidikan dan pembelajaran secara efektif. Sedangkan menurut Brog and Gall[9] bahwa prosedur penelitian dan pengembangan pada dasarnya terdiri dari dua tujuan utama, yaitu: pengembangan produk, menguji kualitas dan efektifitas produk dalam mencapai tujuan. Dalam penelitian ini akan meniliti tentang pengembangan media pembelajaran untuk mengetahui seberapa besar efektifitas dan kelayakan media tersebut dalam proses pembelajaran siswa SMKN Kota Surabaya penerapan pada Mata Pelajaran Fisika tahun pelajaran 20152016. Populasi penelitian pengembangan media pembelajaran ini adalah siswa SMK Negeri Kota Surabaya sebanyak 12 SMK Negeri. Sampel penelitian ini adalah siswa SMK Negeri 5 Surabaya tahun pelajaran 2015-2016. Dengan menggunakan metode panelitian dan pengembangan terdapat langkah-langkah yang membedakannya dengan pendekatan penelitian yang lain. Menurut[9] terdapat 4 ciri utama panelitian dan pengembangan, yaitu: mempelajari hasil penelitian yang berhubungan dengan produk yang akan dikembangkan, mengembangkan produk hasil temuan, area pengujian dalam pengaturan yang di mana hal itu akan digunakan nantinya, dan merevisinya untuk memperbaiki kekurangan yang ditemukan dalam tahap uji coba lapangan.dalam penelitian ini peneliti menringkas langkah-langkah tersebut menjadi lima langkah prosedur penelitian dan pengembangan media pembelajaran e-learning seperti pada gambar 1. 1. Metode dan instrumen penelitian merupakan salah satu aspek terpenting dalam suatu penelitian R&D ini. Menurut[10], metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data penelitiannya. Sedangkan instrumen menurut[6] adalah suatu alat yang digunakan mengukur fenomena alam maupun sosial yang diamati. Secara spesifik
semua fenomena ini disebut sebagai variable penelitian. Dalam penelitian ini terdapat tiga variabel penelitian yang akan diukur dengan menggunakan instrumen penelitian tersebut, diantaranya: (a) kualitas media pembelajaran berbasis e-learning yang diterapkan pada Mata Pelajaran Fisika Teknik, (b) efektifitas media pembelajaran berbasis e-learning yang diterapkan pada Mata Pelajaran Fisika Teknik berdasarkan pada peningkatan hasil belajar siswa, (c) respon siswa terhadap media pembelajaran berbasis elearning yang diterapkan pada Mata Pelajaran Fisika .
Gambar 1. Blok Diagram Langkah-langkah Panelitian dan Pengembangan
Jadi terdapat tiga variabel penelitian sebagai dasar pembuatan metode dan instrumen yang digunakan sebagai studi penelitian terhadap media pembelajaran e-learning tersebut. Menurut[10] ada dua macam kisi-kisi yang harus disusun oleh seorang peneliti sebelum menyusun instrumen, yaitu: kisi-kisi umum dan kisi-kisi khusus. Kisi-kisi umum adalah kisi-kisi yang dibuat untuk menggambarkan semua variable yang diukur dan dilengkapi dengan semua sumber data, metode, dan instrumen yang mungkin dapat dipakai. Sedangkan kisi-kisi khusus merupakan kisi-kisi yang dibuat untuk menggambarkan rancangan butir-butir yang akan disusun untuk suatu instrumen. Berikut akan digambarkan kisi-kisi umum pada penelitian pengembangan media pembelajaran elearning seperti yang tertera pada Tabel 1 berikut ini.
55
Tabel 1. Metode & Instrumen Penelitian No.
Variabel
Sumber Data
1
Kualitas media pembelajara n berbasis e-learning yang diterapkan pada Mata PelajaranFis ika Teknik
- Media pembelaja ran elearning - Dosen penilai media - Dosen penilai materi
Angket
2
Efektifitas media pembelajara n berbasis e-learning yang diterapkan pada Mata PelajaranFis ika Teknikberd asarkan pada peningkatan hasil belajar siswa Respon siswa terhadap media pembelajara n berbasis e-learning yang diterapkan pada Mata PelajaranFis ika 1
- Media pembelaja ran elearning - Dosen penilai media - Dosen penilai materi
-Angket -Hasil Belajar
- Media pembelaja ran elearning - Guru dan siswa kelas XI SMKN Kota Surabaya
Angket
3
Metode
Instrumen Lembar validasi kualitas media elearning tersebut sebagai media pembelajara n berupa angket dan skala bertingkat Lembar angket efektifitas media pembelajara n elearning Hasil Evaluasi Siswa
Lembar angket respon siswa terhadap penerapan media elearning tersebut sebagai media pembelajara n berupa angket dan skala bertingkat
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Terkait dengan materi dan media pembelajaran yang telah dibangun, maka halaman utama e-Learning SMKN Surabaya difokuskan terhadap beberapa SMKN yang memiliki prodi Listrik.yaitu SMKN 5.
Gambar 2 Tampilan Halaman Utama e-Learning
Tampilan halaman utama dismartphone diperlihatkan pada gambar dibawah ini. Hal ini menunjukkan bahwa e-Leaning yang dibangun bersifat responsive.
Gambar 3 Tampilan Halaman Utama yang telah mengadopsi resposive mobile learning
Menu pilihan pada e-Learning yang dibangun diperlihatkan pada gambar dibawah ini. Pada tampilan terlihat bahwa masing-masing tingkatan kelas menempuh 2 semester dan setiap semester terdiri dari beberapa pelajaran. Untuk prodi listrik terdapat mata pelajaran fisika teknik dan akan membahas medan magnet pada pertemuan ke IX. Tampilan diperlihatkan pada gambar dibawah ini.
Gambar 4 Menu Pilihan Pada website
Menu pilihan ketika e-Learning diakses pada smartphone yang diperlihatkan pada gambar dibawah ini. Hal ini menunjukkan bahwa e-Leaning yang dibangun bersifat responsive.
56
Gambar 5. Menu pilihan pada smartphone
Tampilan dibawah ini akan muncul ketika link materi pada pertemuan IX mata pelajaran fisika teknik ditekan oleh user.
Gambar 7 Tampilan Materi pada Smartphone
Tampilan dibawah ini memperlihatkan bahwa ada forum interaksi antara guru dan siswa, ketika siswa ingin memperjelas materi yang disampaikan oleh guru diluar jam tatap muka.
Gambar 6 Tampilan Materi pada Wessite
Tampilan materi ketika e-Learning diakses pada smartphone yang diperlihatkan pada gambar dibawah ini. Hal ini menunjukkan bahwa e-Leaning yang dibangun bersifat responsive.
8. Tampilan forum interaktif guru dan murid Tampilan forum ketika e-Learning diakses pada smartphone yang diperlihatkan pada gambar dibawah ini. Hal ini menunjukkan bahwa e-Leaning yang dibangun bersifat responsive.
57
pembelajaran. Hal ini sesuai dengan definisi media pembelajaran menurut Munadi[11] yaitu bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat menyampaikan dan menyalurkan pesan dari sumber secara terencana sehingga tercipta lingkungan belajar yang kondusif di mana penerimanya dapat melakukan proses belajar secara efisien dan efektif. 4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan media pembelajaran e-learning pembelajaran Fisika, materi medan magnet dan hukum faraday mudah dipahami dan efektif untuk pembelajaran mata pelajaran Fisika . 5. DAFTAR PUSTAKA
Gambar 9 Tampilan Forum interaktif pada smartphone Berdasarkan validasi kelayakan dari masingmasing aspek kualitas media pembelajaran oleh ahli materi dan ahli media, secara keseluruhan diperoleh rata-rata persentase kualitas media pembelajaran sebesar 87,4 %. Hal ini berarti bahwa media pembelajaran e-learning berada pada kategori interpretasi skala penilaian kualitas sangat layak menurut penilaian pakar media. Validasi media pada aspek isi materi media mendapatkan persentase kriteria media yang sangat efektif. Kategori tersebut diperoleh berdasarkan tiga belas butir pernyataan yang berkaitan tentang isi materi media. Oleh karena itu, media yang dikembangkan termasuk dalam media yang sangat efektif digunakan sebagai media pembelajaran. Dari hasil penilaian validasi secara umum pada variabel efektifitas media pembelajaran e-learning, dapat diketahui rata-rata presentase efektifitas media adalah 86%. Hal ini menunjukkan bahwa media pembelajaran e-learning berada pada kategori interpretasi skala penilaian sangat efektif menurut penilaian ahli materi. Berikut merupakan penjelasan hasil respon siswa dengan penilaian terhadap setiap aspek yang termasuk dalam kategori penggunaan media pembelajaran berbasis e-learning pada mata pelajaran Fisika . Beberapa aspek tersebut diantaranya adalah format media, isi media, bahasa yang digunakan media, kemudahan pengoperasian media, dan sikap siswa terhadap penggunaan media pembelajaran e-learning. Dari hasil penilaian validasi secara umum pada variabel respon siswa terhadap media pembelajaran elearning, dapat diketahui rata-rata presentase respon media adalah 84,13%. Hal ini bahwa media tersebut memperoleh tanggapan yang sangat baik dari siswa. Dalam tanggapan siswa yang sangat baik, media pembelajaran e-learning tersebut dapat disimpulkan bahwa 84,3% siswa senang terhadap penggunaan media pembelajaran e-learning sebagai media
[1]. Smaldino, Sharon E. & James D. Russel, (2011). Instructional Teknologi and Media for Learning. Yogyakarta: Prenada Media Group. [2]
Arsyad, Azhar, (2013). Media Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Press, hlm. 3-4, 29,
[3]
Hasbullah, (2006). Implementasi E-Learning Dalam Pengembangan Pembelajaran di Perguruan Tinggi (Proceeding). SNPTE 2006. Yogyakarta:UNY, hlm. 5.
[4]
Musfiqon, HM, (2012). Media dan Sumber Pembelajaran. Jakarta: Prestasi Pustaka, 118.
[5]
Sutopo, Hadi, (2000). Macromedia Flash. [online].
[6]
Sugiyono, (2010). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta, hlm. 9.
[7]
Mursid, R., (2013). “Pengembangan Model Pembelajaran Praktik Berbasis Kompetensi Berorientasi Produksi”. Dalam Cakrawala Pendidikan. (Th.XXXII, No.1). Medan, hlm. 30.
[8]
Ghufron, Anik, (2011). “Pendekatan Penelitian dan Pengembangan (R&D) di Bidang Pendidikan dan Pembelajaran”. Dalam http://staff.uny.ac.id/sites/ default/files/HAND%20OUT%20MODEL%20%20R %20&%20D.pdf. 26 November.
[9]
Borg, W. R. & Gall, M. D., (1983). Education research: an instrucduction (4th ed). New York: Longman Inc.
[10] Arikunto, S., (2010). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta, hlm. 201, 203. [11] Munadi, Yudhi, (2012). Media Pembelajaran. Jakarta: Gaung Persada Press. [12] Amri, Sofan, (2013). Pengembangan dan Model Pembelajaran dalam Kurikulum 2013. Jakarta: Prestasi Pustaka. [13] Arikunto, S., (2010). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Edisi 2. Jakarta: Bumi Aksara. [14] Lee, Wei-Meng, (2011). Android™ 4 Application Development Published by John Wiley & Sons, Inc. [15] Bates, A. W., (1995). Technology, Open Learning and Distance Education. London: Routledge.
58
[16] Clark, Ruth Colvin dan Richard E. Mayer, (2008). ELearning and the Science of Instruction. Thrid edition. United States: Pfeiffer. [17] Darwanto, (2007). Televisi Sebagai Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Media
[18] Hamalik, Oemar, (1994). Media Pendidikan. (cetakan ke-7). Bandung: Penerbit Citra Aditya Bakti. [19] Hendratman, Hendi, (2011). The Magic Macromedia Director. Bandung: Informatika.
of
[20] Holmes, Bryn & Gardner, J., (2006). E-Learning: Concepts and Practice. United States : Pine Forge Press [21] Kamarga, Hanny, (2002). Belajar Sejarah melalui elearning; Alternatif Mengakses Sumber Informasi Kesejarahan. Jakarta: Inti Media. [22] Koran, Jaya Kumar C., (2002). Aplikasi E-Learning dalam Pengajaran dan pembelajaran di Sekolah Malaysia. (8 November 2002). [22] Kusanti, Jani. (2013). Modul Flash 8. [online]. (http://kusanti04.files.wordpress.com/2009/11/modulflash-8.pdf, diakses tanggal 25 Mei 2013). [23] Nurtantio, Pulung, (2013). Kreasikan Animasi-mu dengan Adobe Flash dalam Membuat Sistem Multimedia Interaktif. Yogyakarta: Penerbit Andi. [24] Prosser, Michael & Keith Understanding Learning Philadelphia: Open University.
Trigwell, (1999). and Teaching.
[25] Republik Indonesia, (2003). Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas. [26] Rokhim, Moch, (2010). Pengembangan Media Pembelajaran Dengan Model Computer Assisted Instruction (CAI) Pada Materi Fisika Optik Di Jurusan Teknik Elektro Universitas Negeri Surabaya. Skripsi yang tidak dipublikasikan: Universitas Negeri Surabaya. [27] Sadiman, Arief S, dkk. (2010). Media Pendidikan: Pengertian, Pengembangan, dan Pemanfaatannya. Jakarta: Rajawali Pers. [27] Sadiman, Arief S. dkk., (1986). Seri Pustaka Teknologi Pendidikan No.6 Media Pendidikan. Pengertian, Pengembangan, dan Pemanfaatannya. Jakarta : CV Rajawali. [28] Saputro, Febrianto D., (2012). Pengembangan Media Pembelajaran Menggunakan Model Computer Based Instruction (Cbi) Pada Materi Fisika Gelombang. Skripsi yang tidak dipublikasikan: Universitas Negeri Surabaya. [29] Setiawan, Denny, (2011). Komputer dan Media Pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka. [30] Sudrajat, Akhmad, (2008). Media Pembelajaran. [online]. http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/ 01/12/konsep-media-pembelajaran/, diakses tanggal 4 April 2013). [31] (http://www.oocities.org/topaz_art/course_txt/flash/ chap01.pdf, diakses tanggal 25 Mei 2013).
59
60
IbM MGMP PPKn dan IPS dalam Mengembangkan Asesmen Otentik di Kota Surabaya Harmanto1*), I Made Suwanda2 2
1 Prodi PPKn, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Surabaya. Email:
[email protected] Prodi PPKn, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Surabaya. Email:
[email protected] *)Alamat Korespondensi: Email:
[email protected]
ABSTRACT Goals to be achieved in IbM (Knowledge-Technology-Art for Sociaty) Council Subject Teacher (MGMP) Civic Education and Social Studdies in Developing Authentic Assessment in the city Surabaya is (1) Teachers can perform analysis of KI and KD subjects PPKn and IPS SMP, to determine and make assessments authentic by using (the technique of self-assessment, assessment peers, performance assessment, and assessment of products), (2) the teacher can develop self-assessment, assessment peers, performance assessment, and assessment of products on subjects PPKn and IPS SMP start from the conceptual stage to the application in the classroom. Based on the analysis of the situation and problems faced by partners (MGMPs PPKn and IPS) general solution offered is to hold a workshop continuously, in stages, and continuously followed by assistance in every step-step activities that have been prepared on the difficulties faced PPKn and social studies teacher. The model used is IN 1, IN2, ON 1, IN3, and ON 2. That is, when IN conducted workshops, guidance, and practice of assembling authentic assessment, while ON IN using the results to be applied in the field and in the classroom followed by mentoring / school. Results IbM shows that 80% of participants who take the program IbM able to analyze KI and KD in the curriculum in 2013 on subjects PPKn and IPS SMP particular emphasis on basic competencies which must be measured with authentic assessment (using the technique of self-assessment, assessment friend peers, performance assessment, and assessment of the product). 80% of participants in the program IbM able to construct and develop Outentik Assessment. Key Words: MGMP civic education, MGMP social studies, authentik assessment ABSTRAK Tujuan yang hendak dicapai dalam IbM Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) PPKn dan IPS Dalam Mengembangkan Authentic Assessment (asesmen otentik) di kota Surabaya adalah (1) Guru dapat melakukan analisis KI dan KD mata pelajaran PPKn dan IPS jenjang SMP, untuk menentukan dan membuat asesmen otentik dengan menggunakan teknik penilaian diri, penilaian teman sejawat, penilaian unjuk kerja, dan penilaian produk, (2) guru dapat mengembangkan penilaian diri, penilaian teman sejawat, penilaian unjuk kerja, dan penilaian produk pada mata pelajaran PPKn dan IPS jenjang SMP mulai dari tahap konseptual sampai dengan aplikasi di kelas. Berdasarkan atas analisis situasi dan permasalahan yang dihadapi mitra (MGMP PPKn dan IPS) secara umum solusi yang ditawarkan adalah mengadakan workshop secara kontinyu, berjenjang, dan berkesinambungan, kemudian diikuti dengan pendampingan dalam setiap step-step kegiatan yang telah disusun berdasarkan kesulitan-kesulitan yang dihadapi guru PPKn dan IPS. Model yang digunakan adalah IN 1, IN2, ON 1, IN 3, dan ON 2. Artinya, pada saat IN dilakukan workshop, bimbingan, dan praktik menyusun asesmen otentik, sementara ON menggunakan hasil IN untuk diterapkan di lapangan dan diikuti dengan pendampingan di kelas/sekolah. Hasil IbM ini menunjukkan bahwa 80% peserta yang mengikuti program IbM mampu menganalisis KI dan KD dalam kurikulum 2013 pada mata pelajaran PPKn dan IPS jenjang SMP khususnya ditekankan pada KD-KD mana saja yang harus diukur dengan asesmen otentik (menggunakan teknik penilaian diri, penilaian teman sejawat, penilaian performance, dan penilaian produk). 80% peserta yang mengikuti program I bM mampu menyusun dan mengembangkan otentik asesmen. Kata Kunci: MGMP PPKn, MGMP IPS, authentik assessment 1. PENDAHULUAN Salah satu faktor yang sangat penting dalam mempengaruhi kualitas pendidikan adalah tenaga pendidik. Kualitas pendidikan ditentukan oleh kualitas penyelenggaraan dalam proses pembelajaran. Kualitas penyelenggaraan pendidikan sangat dipengaruhi faktor guru/tenaga pendidik [6]. Guru merupakan istrumental input dalam sistem pendidikan nasional. Tanpa denyut keterlibatan aktif korps guru, kebijakan pembaruan pendidikan secanggih apa pun akan
berakhir sia-sia[2]. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kompetensi guru adalah penguatan pada bidang kompetensi pedagogik. Kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki. Hal ini bukan berarti bahwa kompetensi kepribadian, profesioanal, dan sosial tidak perlu dikembangkan,
61
namun untuk kegitan IbM ini lebih difokuskan pada kompetensi pegagogik khususnya dalam peningkatan kemampuan guru PPKn dan IPS untuk mengembangkan authentic assessment (asesmen otentik). Beberapa alasan mendasar yang melatarbelakangi kegiatan IbM bagi MGMP PPKn dan IPSdi kota Surabaya adalah sebagai berikut. Pertama, pemberlakukan Kurikulum 2013 yang memberikan penekanan yang aspek proses pembelajaran yang ditandai adanya Kompetensi Inti (KI) 1 berkaitan dengan religius, KI2 sikap sosial, dan KI4 keterampilan. Hal ini mengandung makna filosofis bahwa asesmen otentik menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam pembelajaran. Asesmen dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan atau proses pengumpulan informasi tentang perkembangan pembelajaran dan pencapaian pembelajaran. Asesmen dilakukan sewaktu proses pembelajaran sedang berlangsung dan setelah proses pembelajaran usai dilaksanakan. Asesmen yang dilakukan selama pembelajaran berlangsung disebut sebagai asesmenproses, sedangkan asesmen yang dilakukan setelah pembelajaran usai dilaksanakan dikenal dengan istilah asesmen hasil/produk (Rusijono, dkk., 2010). Authentic assessment is an evaluation process that involves multiple forms of performance measurement reflecting the student’s learning, achievement, motivation, and attitudes on instructionally-relevant activities. Examples of authentic assessment techniques include performance assessment, portfolios, self-assessment, peer assessment, and attitute assessment (Newman, 1993:20).Perbedaan antara asesmen otentik dibandingkan dengan asesmen tradisional dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Perbandingan asesmen tradisional dan asesmen otentik [3] Traditional Assessment Selecting a Response Contrived Recall/Recognition Teacher-structured Indirect Evidence
Authentic Assessment Performing a Task Real-life Construction/Application Student-structured Direct Evidence
Berdasarkan pengertian, karakteristik, dan tekniknya, otentik asesmen sangat cocok untuk diterapkan dalam mata pelajaran PKn dan IPS [1]. Kedua,berdasarkan atas hasil wawancara, diskusi, observasi, dan dokumensi di sekolah yang dilakukan oleh tim PKM pada pertemuan MGMP PPKn dan IPS kota Surabaya menunjukkan bahwa dari 45 orang anggota aktif MGMP PPKn hanya 10% saja yang mampu mengembangkan asesmen otentik (penilaian diri, penilaian teman sejawat, penilaian performance, dan penilaian produk). Itupun dalam pengembangannya masih belum sempurna khususnya ketepatan dalam mengembangkan rubrik-rubriknya. Kondisi yang tidak jauh berbeda dialami MGMP IPS
dari jumlah 58 guru, hanya 15% yang mampu mengembangkan penilaian performance, dan produk, sementara penilaian diri dan penilaian teman sejawat belum pernah melakukan. Beberapa kesulitan yang dihadapi oleh guru PPKn dan IPS terletak pada kemampuan mengembangkan aspek-aspek yang harus dinilai dalam rubrik penilaian diri, teman sejawat, performance, dan produk serta mengembangkan derajat atau tingkatan dari aspek-aspek yang dinilai ke dalam kategori “baik”, “cukup”, dan “kurang”. Ketiga, berdasarkan atas hasil pendampingan pelaksanaan kurikulum 2013 bagi guru PPKn dan IPS jenjang SMP di kota Surabaya, menunjukkan bahwa beberapa kesulitan yang dihadapi antara lain: a. Mengidentifikasi Kompetensi Dasar (KD) mana saja dalam kurikulum 2013 yang harus diukur dengan menggunakan penilaian diri, penilaian teman sejawat, penilaian performance, dan penilaian produk. b. Pengintegrasian pendekatan saintifik jika dielaborasikan dengan model pembelajaran yang lain seperti: kooperatif learning, pembelajaran berdasarkan masalah, inkuiri, portofolio, dan lainlain, ke dalam kegiatan pembelajaran di kelas. c. Pengisian rapor yang menyertakan penilaian kualitatif untuk baik pada aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan. 1.1 Permasalahan Prioritas untuk Diselesaikan Berdasarkan atas fakta empiris baik dari hasil penelitian maupun studi pendahuluan menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan mengembangkan asesmen otentik mendesak untuk dicarikan solusi pemecahan masalahnya. Pelatihan saja tidak cukup, hal ini didasarkan data hasil penelitian pendahuluan, bahwa guru PKn dan IPS selama kurun waktu 10 tahun terakhir semua sudah pernah mengikuti pelatihan dan workshop tentang penilaian pembelajaran. Namun, hasilnya hampir tidak ada yang menindaklanjuti.Artinya, setelah pelatihan dan workshop guru tidak melakukan mengembangkan lebih lanjut hasil pelatihan untuk mempratikkan di kelas. Berdasarkan hasil wawancara dengan pengurus MPMP PPKn dan IPS di kota Surabaya, yang diperlukan guru setelah mengikuti pelatihan dan workshop adalah pendampingan secara kontinyu dan berkesinambungan dalam mempraktikkan sesuatu sehingga secara berlahan-lahan guru mampu melaksanakan tanpa perlu lagi didampingi. Berbagai permasalahan yang dipaparkan di atas, tim pelaksana kegiatan IbM melakukan diskusi dengan pengurus dan beberapa anggota MGMP yang dilaksanakan pada tanggal 8 Februari 2014. Hasil diskusi atas permasalahan tersebut dihasil kesepakatan tentang prioritas permasalahan yang akan dilakukan pemecahaan dalam IbM adalah sebagai berikut.
62
a. Analisis KI dan KD mata pelajaran PPKn dan IPS jenjang SMP khususnya ditekankan pada KD-KD mana saja yang harus diukur dengan asesmen otentik dengan menggunakan teknik: self asesment, attitute asesment, peer assesment, performance asessment, product asessment (penilaian diri, penilaian sikap, penilaian teman sejawat, penilaian unjuk kerja, dan penilaian produk). b. Mengembangkan penilaian diri, penilaian teman sejawat, penilaian performance, dan penilaian produk pada mata pelajaran PPKn dan IPS jenjang SMP mulai dari tahap konseptual sampai dengan aplikasi di kelas. c. Cara yang dilakukan untuk meningkatkan pemahaman tentang penilaian diri, penilaian teman sejawat, penilaian performance, dan penilaian produk dilakukan melalui model IN-ON-IN-ONIN. Artinya pada saat IN dilakukan workshop dan bimbingan, sementara ON menggunakan hasil IN untuk diterapkan di lapangan. Pada saat ON di lapangan/kelas tim pelaksana IbM akan melakukan pendampingan di kelas secara langsung. Hal ini dilakukan untuk memperbaiki pelaksanaan kegiatan ON tahap kedua, begitu seterusnya sampai denhan IN yang ketiga. Kebaharuannya kegiatan ini adalah (1) dengan menggunakan model IN-ON-IN-ON-IN yang memberikan peluang bagi guru agar mampu mengembangkan penilaian diri, penilaian teman sejawat, penilaian performance, dan penilaian produk secara tuntas, (2) pendampingan secara intensif dan berkesinambungan berdasarkan permasalahan individu dan kelompok guru PPKn dan IPS, (3) menciptakan budaya akademik di lingkungan MGMP yang dapat dijadikan sebagai sarana peningkatan keprofesionalan guru PPKn dan IPS, (4) Model I bM (IN-ON-IN-ON-IN) yang dikembangkan diharapkan dapat didesiminasikan di wilayah lain maupun pada MGMP mata pelajaran lainnya. 2. METODE PELAKSANAAN Berdasarkan atas analisis situasi dan permasalahan yang dihadapi mitra (MGMP PPKn dan IPS) secara umum solusi yang ditawarkan adalah mengadakan workshop secara kontinyu, berjenjang, dan berkesinambungan yang kemudian diikuti dengan pendampingan dalam setiap step-step kegiatan yang telah disusun berdasarkan kesulitan-kesulitan yang dihadapi guru PKn dan IPS. Metode/solusi yang ditawarkan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Metode/solusi yang Ditawarkan dalam IbM MGMP PPKn dan IPS Tahap IN 1
Metode Workshop
a.
Aktivitas Peserta IbM memahami
Hasil Guru yang tergabung
Tahap
Metode
IN 2
Workshop
ON 1
Praktik di Sekolah
IN 3
Workshop
ON 2
Praktik di Sekolah
Aktivitas otentik asesmen secara konseptual b. Praktik membuat otentik asesmen sesuai dengan kelas yang diajar c. Peserta IbM diberi tugas untuk membuat asesmenotentik di luar jam workshop a. Peserta dibimbing pengusul IbM (instruktur) mendiskusikan hasil pmbuatan instrumen asesmen otentik b. Persiapan implementasi Peserta IbM mempraktikkan instrumen otentik asesmen yang telah disusun dalam ON 2
Peserta IbM menganalisis, refleksi, menyempurnakan instrumen otentik asesmen hasil praktik di sekolah masing-masing Peserta IbM mempraktikkan instrumen otentik asesmen yang telah disusun dalam IN 3
Hasil dalam MGMP PPKn dan IPS memahami secara konseptual dan praktik pengembangan asesmen otentik
Guru PPKn dan IPS SMP mempunyai instrumen otentik asesmen yang akan diterapkan di sekolah/kelas masing-masing Instrumen otentik asesmen yang dibuat guru untuk diterapkan di sekolah Hasil analisis praktik instrumen
Instrumen otentik asesmen final yang dibuat guru untuk diterapkan di sekolah
Berdasarkan Tabel 2, jika disusun menjadi bagan metode dan prosedur kerja yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 1. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan solusi yang ditawarkan dan target luaran bagi guru yang aktif dalam MGMP PPKn dan IPS kota Surabaya, dukungan pengurus dan anggota dalam melaksanakan solusi yang ditawarkan untuk mengatasi permasalahan yang ada mutlak diperlukan. Dukungan awal telah dibuktikan dengan kesediaan memberikan data pada saat studi pendahuluan dan kendala-kendala yang dihadapi selama ini. Dukungan berikutnya adalah kesediaan menandatangai nota bekerjasama dengan tim pengusul untuk melaksanakan dan mendukung kegiatan yang telah dirancang dari awal sampai akhir. Pada tahap implementasi di lapangan peran dan dukungan mitra sangat diperlukan agar kegiatan yang telah disusun dapat berjalan lancar sehingga tujuan dan target kuantitatif dan kualitatif dapat
63
tercapai. Untuk itu maka pengurus dan anggota MGMP PPKn dan IPS harus aktif melakukan kegiatan baik pada saat pelatihan secara klasikal maupun klinik secara individual berdasarkan atas kesulitan masingmasing guru. Keaktifan bukan saja datang setiap kegiatan akan tetapi lebih dari itu adalah melaksanakan tugas sesuai dengan target yang telah disepakati bersama antara pelaksana IbM dan guru PPKn dan IPS. Berikut ini merupakan bentuk solusi yang ditawarkan yang disusun secara hirarkhis dari awal sampai akhir kegiatan. (a) Diawali dengan brainstorming tentang masalah yang dihadapi (sudah dilakukan tim dengan MGMP PKn dan IPS pada bulan Desember 2011-Februari 2015). Kegiatan ini dilakukan agar mengetahui akar permasalahan yang sebenarnya. (b) IN 1, Menyusun dan mengembangkan penilaian diri, penilaian teman sejawat, penilaian performance, dan penilaian produk pada mata pelajaran PPKn dan IPS jenjang SMP mulai dari tahap konseptual sampai dengan aplikasi di kelas. Pada tahap ini produk yang dihasilkan adalah membuat Asesmen Autentik sebagai Tugas Mandiri. (c) IN 2 adalah mendiskusikan tugas mandiri untuk sharing pengalaman sekaligus memperbaiki. (d) ON 1, Pemantauan dan pendampingan implementasi penilaian otentik yang telah disusu di sekolah masing-masing. (e) IN 3, diskusi panel dan workshop hasil ujicoba lapangan 1. Pada IN 3 ini guru PPKn dan IPS mempresentasikan hasil uji coba tahap 1. (f) ON 2, secara mandiri guru-guru PPKn dan IPS secara mandiri menggunakan asesmen otentik dalam pembelajaran. Program IbM yang digagas oleh Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat, Kemenrisetdikti memberikan dampak yang sangat baik bagi aktivitas guru yang tergabung dalam MGMP PPKn dan IPS jenjang SMP dalam mengembangkan asesmen otentik. Keterlibatan MGMP PPKn dan IPS ditunjukkan sejak perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan evaluasi. Pada akhir IbM hasil yang telah dicapai dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Perbandingan Antara Target dan Hasil pada Akhir Pelaksnaan IbM No 1 2 3
Indikator Keberhasilan Laporan hasil IbM Artikel yang dimuat dalam prosiding seminar nasional Model pendampingan
Target 100% 100%
Hasil 95% 90%
Ada Model
Ada Model
No 4 5
6
7
Indikator Keberhasilan Asesmen otentik yang dilengkapi dengan rubrik yang dibuat guru PPKn dan IPS Analisis KI dan KD dalam kurikulum 2013 pada mata pelajaran PPKn dan IPS jenjang SMP Menyusun dan mengembangkanOutentik Assesment(penilaian diri, penilaian teman sejawat, penilaian performance, dan penilaian produk) pada mata pelajaran PPKn dan IPS jenjang SMP Memahami Outentik Assesment
Target 80%
Hasil 100%
80%
100%
80%
100%
80%
84%
Berdasarkan atas paparan tentang solusi yang ditawarkan maka target yang telah dicapai sebagai berikut. 1. Bagi tim pengusul IbM: (a) Laporan hasil IbM, laporan telah disusun dan diunggah dalam simlitabmas. (b) Artikel yang dimuat prosiding seminar nasional yang diselenggarakan oleh LPPM Universitas Negeri Surabaya yang dilaksanakan pada tanggal 27 November 2016. (c) Model pendampingan dalam meningkatkan kemampuan mengembangkan asesmen otentik khususnya bagi guru mata pelajaran PPKn dan IPS, yakni IN-ON-IN-ON. Dengan menggunakan model IN-ON-IN-ON, telah berhasil mengembangkan asesmen otentik bagi guru PPKn dan IPS. (d) Asesmen otentik yang dilengkapi dengan rubrik yang dibuat guru PPKn dan IPS sudah dilakukan, seperti pada lampiran 8 yang terpisah dari laporan ini, tetapi, merupakan satu kesatuan dari dokumen laporan IbM secara keseluruhan. 2. Bagi guru PPKn dan IPS dalam MGMP dengan kegiatan IbM ini telah mampu: (a) menganalisis KI dan KD dalam kurikulum 2013 pada mata pelajaran PPKn dan IPS jenjang SMP khususnya ditekankan pada KD-KD mana saja yang harus diukur dengan asesmen otentik (menggunakan teknik penilaian diri, penilaian teman sejawat, penilaian performance, dan penilaian produk). Tolok ukur keberhasilan adalah 80% peserta yang mengikuti program IbM mampu menganalisis KI dan KD dalam kurikulum 2013 pada mata pelajaran PPKn dan IPS jenjang SMP khususnya ditekankan pada KD-KD mana saja yang harus diukur dengan asesmen otentik (menggunakan teknik penilaian diri, penilaian teman sejawat, penilaian performance, dan penilaian produk). Hasil yang dicapai adalah 100%,
64
artinya seemua KD telah dibuat instrumen asesmennya. (b) Mampu memahami Outentik Assesment, baik secara konseptual maupun praktis. Untuk itu maka perlu dilakukan pre-tes dan postes. Tolok ukur keberhasilan adalah 80% peserta yang mengikuti program IbM mampu menyusun dan mengembangkan Outentik Assesment. Hasil yang dicapai adalah 84%. (c) Mampu menyusun dan mengembangkanOutentik Assesment(penilaian diri, penilaian teman sejawat, penilaian performance, dan penilaian produk) pada mata pelajaran PPKn dan IPS jenjang SMP. Hasil yang dicapai adalah 100%. (d) Tolok ukur keberhasilan adalah 80% peserta yang mengikuti program IbM mampu menyusun dan mengembangkan Outentik Assesment. Hasil yang dicapai adalah 100%. 4. PENUTUP 4.1 Simpulan Bahwa pada saat pre tes pemahaman konseptual guru tentang asesmen otentik masih rendah. Hal ini karena rata-rata skor yang diperoleh sebesar 58.18 untuk guru PPKn dan 59.78 untuk guru IPS. Setelah IbM dilaksanakan diperoleh hasil tes akhir, rata-ratanya untuk guru PPKn sebesar 82,90 dan guru IPS sebesar 84,70. Model IN dan ON tepat digunakan karena ada proses internalisasi dari materi yang dilatihkan sehingga berdampak positif terhadap peningkatan pemahaman guru PPKn SMP dalam pengembangan bahan. Tanggapan dari peserta terhadap kemampuan fasilitator dalam kategori baik. Tanggapan dari peserta terhadap falilitas yang diberikan dalam kategori baik. Terbitnya Permendikbud No. 22, 23, dan 24 tahun 2016 menyebabkan pengembangan asesmen oleh guru perlu dicermati ulang dan disesuikan dengan ketentuan yang baru. 4.2 Saran Model IN-ON-IN-ON ini bisa digunakan untuk pelatihan lain yang dapat menunjang kinerja guru dalam meningkatkan kompetensinya. Setiap pelatihan hendaknya dilakukan survey meminta pendapat dari peserta sehingga nanti hasilnya akan lebih efektif dan berkesinambungan.
5. DAFTAR PUSTAKA [1]. Center For Indonesian Civic Education/ CICED. (2009). Democratic Citizens in A Civic Society: Workshop Report. Bandung: CICED. [2]. Komalasari, K., Budimansyah, D. (2008). Pengaruh Pembelajaran Kontekstual dalam Pendidikan Kewarganegaraan terhadap Kompetensi Kewargane-garaan Siswa SMP. Acta Civicus Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan, Vol. 2, No. 1, Oktober 2008. [3]. Mueller, J. (2004). What is Authentic Assessment?. Tersedia di: http://jfmueller.faculty.noctrl.edu/toolbox/whatisi t.htm. (Akses, 11 Maret 2014). [4]. Newman, Delia. (1993). Alternative Assessment: Promises and Pitfalls. In School Library Media Annual. Volume Eleven. Edited by Carol Collier Kuhlthau, 13-20. Englewood, CO: Libraries Unlimited. [5]. Rusijono, Susanto, Supriyono, Murtedjo, Hariadi, E., Kusnanik, N. W., Kasrori, J. (2010). Asesmen dan Penilaian. Surabaya: Unesa Press. [6]. Winataputra, Udin. S. (2001). Jatidiri Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Wahana Sistemik Pendidikan Demokrasi: Suatu Kajian Konseptual dalam Konteks Pendidikan IPS. Disertasi Doktor pada SPS UPI Bandung:Tidak Diterbitkan.
65
66
Pengembangan Perangkat pembelajaran berbasis peta konsep no condition untuk memperkuat daya tahan (retensi) keterampilan berpikir tingkat tinggi mahasiswa pendidikan kimia pada materi pokok Keisomeran Ismono1*), Tukiran2, Suyatno3 1
Jurusan kimia Fmipa Unesa,UNESA, SURABAYA. Email :
[email protected] 2 Jurusan kimia Fmipa Unesa,UNESA, SURABAYA. Email :
[email protected] 3 Jurusan kimia Fmipa Unesa,UNESA, SURABAYA. Email : suyatno_kimunesa@yahoo. *) Alamat Korespondesi: Email:
[email protected] ABSTRACT Learning and teaching organic chemistry requires the ability of understanding the concepts and the ability to higher order thinking skill, because the teaching materials rich in organic chemistry are abstract concepts, organized, and often a close relationship between concept to another concept. It is necessary for adequate learning environment that challenges students and monitor the progress of each individual's level of understanding about the understanding of important concepts such as learning devices. This research is the development of which is the development of learning tools with research subjects include three experts who validate theoretical learning devices and 24 students of chemical education class FMIPA UNESA 2015 taking organic chemistry course 1 in the subject matter isomer for. The results showed that the concept mapping based learning: (1) to have the validity of the theory in either category (2) can be used in practical learning, based on observations and student questionnaires; (3) effectively able to maintain retention concept, even an average score of students post posttest higher than posttest Keywords: Device-based learning concept map no condition, high level thinking skills, retention ABSTRAK Belajar dan mengajar kimia organik memerlukan kemampuan pemahaman konsep dan kemampuan berpikir tingkat tinggi, karena pada materi ajar kimia organik kaya akan konsep-konsep bersifat abstrak, terorganisir, dan seringkali terjadi hubungan yang erat antara satu konsep dengan konsep yang lainnya. Untuk itu diperlukan lingkungan belajar yang memadai yang menantang peserta didik dan memantau kemajuan tingkat pemahaman tiap individu tentang pemahaman konsep-konsep penting seperti perangkat pembelajaran. Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan yaitu pengembangan perangkat pembelajaran dengan subyek penelitian meliputi 3 pakar yang menvalidasi teoritis perangkat pembelajaran dan 24 mahasiswa pendidikan kimia FMIPA UNESA angkatan 2015 yang mengambil matakuliah kimia organik 1 pada materi pokok isomer untuk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perangkat pembelajaran berbasis peta konsep: (1) memiliki validitas teori dalam katagori baik (2) praktis dapat digunakan dalam pembelajaran berdasar hasil pengamatan dan angket mahasiswa; (3) efektif mampu mempertahankan retensi konsep, bahkan skor rata-rata peserta didik pasca postes lebih tinggi daripada postes Kata Kunci: Perangkat Pembelajaran berbasis peta konsep no condition, keterampilan berpikir tingkat tinggi, retensi dan (d) Sebagian besar guru SMA dalam menyusun 1. PENDAHULUAN butir soal cenderung hanya mengukur kemampuan Pendidikan di Indonesia saat ini dihadapkan berpikir tingkat rendah (Low Order Thinking Skills) dengan beberapa isu yang sangat strategis antara lain: yaitu mengukur keterampilan mengingat (recall)[3]. (a) pembelajaran harus melibatkan peserta didik secara Pemerintah Republik Indonesia dalam menghadapi aktif dalam menemukan dan membangun pengetahuan isu-isu tersebut menyusun beberapa langkah strategi melalui inkuiri, penemuan, pemecahan masalah dan dalam pendidikan dan pembelajaran, seperti: (a) bekerja dan belajar secara kolaboratif (collaborative melakukan perubahan dan penyempurnaan kurikulum, learning); (b) peserta didik harus memiliki mulai dari pendidikan dasar dan menengah dikenal kemampuan berpikir tingkat tinggi, menalar, dengan Kurikulum 2013[4] hingga di tingkat menerapkan pengetahuan konseptual dan prosedural pendidikan tinggi dikenal dengan Kerangka untuk memecahkan masalah, dan menyajikan Kurikulum Nasional Indonesia (KKNI), dan (b) keterkaitan konsep materi pembelajaran yang menerbitkan panduan penyusunan soal higher order [1][2] dipelajari secara efektif dan kreatif , (c) hasil thinking SMA[3]. Langkah tersebut merupakan langkah evaluasi PISA, kemampuan keterampilan berpikir nyata pemerintah Indonesia dalam upaya tingkat tinggi (higher order thinking skills, HOTS) meningkatkan kualitas sumber daya manusia, agar siswa Indonesia yang relative rendah, seperti literasi mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain, mulai membaca buku teks, literasi sains (scientific literacy), dari tingkat pendidikan dasar hingga pendidikan
67
tinggi. Elemen-elemen penting dari perubahan tersebut yaitu: (1) pada proses pembelajaran, (a) pendidik dan peserta didik harus memiliki kemampuan inkuiri dan keterampilan berpikir tingkat tinggi serta mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, (b) pembelajaran harus menggunakan pendekatan sains melalui kegiatan mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mencoba, menalar/mengasosiasi, mengomunikasikan, dan mencipta (create), (c) pembelajaran harus mampu melibatkan siswa secara aktif untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri melalui kegiatan bekerja dan belajar secara kolaboratif, berdiskusi, curah pendapat (brainstroming), mampu menumbuhkan budaya inkuri dan keterampilan berpikir tingkat tinggi; dan (2) evaluasi pembelajaran harus berbasis konstektual dan mampu mengukur keterampilan berpikir tingkat tinggi peserta didik[5-10] . Berdasarkan harapan di atas, maka dalam mempelajari sains (kimia) pendidik atau calon pendidik kimia harus memiliki kemampuan inkuri dan keterampilan berpikir tingkat tinggi, dan dapat melatihkan/membelajarkan kepada peserta didik. Salah satu materi yang dapat melatihkan peserta didik dalam berpikir tingkat tinggi dan inkuiri yaitu materi kimia organik, karena untuk mempelajari materi dalam kimia organik dibutuhkan kemampuan pemahaman konsep dan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Materi ajar kimia organik (khususnya keisomeran) merupakan materi yang kaya akan konsep-konsep yang bersifat abstrak, teroganisir, dan seringkali terjadi hubungan antar konsep dengan konsep[11]. Berkaitan dengan hal tersebut maka diperlukan pembelajaran inovatif untuk menciptakan seperti lingkungan belajar di atas yaitu Perangkat Pembelajaran Berbasis Peta Konsep no condition. Perangkat pembelajaran Peta Konsep no condition merupakan perangkat yang dapat digunakan untuk membelajarkan materi yang konseptual, konsep terorganisir secara hirarkhi, dan antar konsep memiliki keterkaitan. Konsep merupakan suatu proses dan fungsi mental yang digunakan sebagai alat untuk mengekspresikan ide-ide atau unit-unit pengetahuan, mengembangkan pikiran, konstruksi simbolik paling dasar yang bertujuan untuk memperlancar komunikasi. Konsep memiliki lima elemen penting yaitu: (a) nama konsep, (b) definisi konsep, (c) atribut-atribut penentu seperti atribut kritis dan atribut variabel, (d) nilai, dan (e) contoh[12-15]. Proses penemuan konsep sering disebut asosiasi konsep atau pemerolehan konsep[16-18]. Thomas Alice & Glenda Thorne (2009), secara detail berpendapat bahwa pembelajaran yang berbasis pemerolehan dan pemahaman konsep merupakan proses yang multi-langkah di antaranya: (a) menentukan nama kritis (utama) fitur konsep; (b) menyebutkan beberapa fitur tambahan dari konsep (atribut kritis dan atribut variabel); (c) jenis konsep, (d) memberikan contoh atau non-contoh atau prototipe
atau non-prototipe konsep (e) mengidentifikasi dan mengelompokkan konsep (utama, superordinat, ordinat, subordinat, sub-subordinat)[19]. Kardi (1997), menyatakan peserta didik dianggap telah dapat memahami konsep, bila peserta didik mampu menempatkan obyek/konsep ke dalam kelompok (hirakhi) tertentu[17]. Pendapat tersebut didukung oleh Ausubel[20]; Joyce Weil dan Showers[21]. Peta konsep (disingkat PK) dikembangkan oleh Joseph D. Novak pada tahun 1972 yang didasari oleh teori belajar bermakna dari Ausubel. Belajar bermakna merupakan upaya sadar manusia ketika pengetahuan baru akan dikaitkan dengan kerangka kerja yang ada pengetahuan sebelumnya. Belajar bermakna sangat berbeda dengan belajar hafalan (atau menghafal), konsep-konsep baru ditambahkan ke kerangka kerja pelajar dengan cara sewenang-wenang dan dihafal apa adanya (verbatim), sehingga menghasilkan struktur pengetahuan yang lemah dan tidak stabil yang cepat terlupakan[20]. Selain itu belajar hafalan sedikit berkonstribusi dalam membangun struktur pengetahuan dan tidak dapat mempromosikan pengkonstruksian pengetahuan, berpikir tingkat tinggi, berpikir reflektif atau pemecahan masalah. Namun dalam pembelajaran bermakna kadangkala dibutuhkan juga kemampuan menghafal[21]. Peta konsep yaitu visualisasi hubungan antar konsep-konsep dalam bentuk representasi grafis dua dimensi dan konsep-konsep direpresentasikan dalam bentuk kotak atau lingkaran. Keterkaitan antara dua konsep atau lebih akan dihubungkan dengan dengan garis anak panah berlabel ( kata penghubung) yang disebut dengan proposisi agar hubungan antar konsep memiliki makna[11, 22]. Peta konsep merupakan salah satu bentuk dari pengajaran bermakna pada konsepkonsep yang bersifat “sulit atau abstrak” memiliki tiga prinsip yaitu: (a) kesiapan peserta didik yang meliputi pengetahuan yang peserta didik miliki saat ini dan menerima pengetahuan/konsep yang baru dan mengkaitkannya dengan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya; (b) ) penggolongan konsep dimulai dari konsep yang paling umum ke yang paling spesifik peserta didik dapat menvisualisasikan dan; (c) menggolongkan konsep-konsep dalam struktur kognitifnya[14, 20]. Ausubel (1986), mengusulkan untuk menjembatani antara pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang dimiliki peserta didik sebelumnya dapat digunakan pemandu awal (advanced organizer). Advanced organizer sebagai suatu cara/strategi untuk membantu atau mengingatkan peserta didik pada materi sebelumnya (yang dimiliki peserta didik) untuk dihubungkan dengan konsep-konsep baru yang akan dipelajari[20]. Teori belajar lain yang mendasari pembelajaran peta konsep yaitu teori pemrosesan informasi (information processing). Teori ini pada hakekatnya menjelaskan bahwa belajar merupakan suatu aktivitas yang berkaitan pemrosesan informasi
68
dimana di dalam proses internal otak manusia terjadi pengorganisasian informasi dan mempertahankan pengetahuan/konsep-konsep untuk digunakan kembali[23]. Model pemrosesan infomasi (MPI) terdiri dari tiga komponen utama yaitu memori sensorik, memori kerja, dan memori jangka panjang. Teori MPI merupakan merupakan salah satu teori yang mendukung pembelajaran berbasis peta konsep[24]. Proses untuk mengorganisir konsep dapat dengan cara menggunakan pembelajaran peta konsep. Pembelajaran peta konsep sesuai untuk digunakan pada pengetahuan yang memiliki karakteristik deklaratif (konseptual) dan prosedural. Pengetahuan deklaratif yaitu pengetahuan yang memerlukan penjelasan, sedangkan prosedural merupakan pengetahuan yang terorganisir secara prosedur seperti langkah-langkah menata konsep secara hirarki. Langkah-langkah dalam menyusun peta konsep memerlukan kemampuan penyelidikan (inkuri), penemuan konsep yang terdapat dalam bahan ajar, dan berpikir tingkat tinggi (Stanley D. Ivie. 1998) [25]. Menurut Krathwohl, (2001), yaitu meliputi keterampilan menganalisis (C4), mengevaluasi (C5), dan mensintesis/ mencipta (C6) [26]. Vygotsky (1978) menyatakan berdasarkan teori konstruktivis dalam mengkonstruksi konsep ada lima prinsip yang mendasarinya yaitu: (1) peserta didik secara aktif mengkonstruksi pengetahuan melalui hubungan antara konsep-konsep/ide-ide dan pengalaman/pengetahuan yang dimiliki sebelumnya; (2) peserta didik secara pribadi akan menciptakan makna melalui kegiatan menganalisis dan mensintesis konsep sehingga pemahaman baru tentang konsep dapat dikonstruksi; (3) konstruktivis percaya bahwa kegiatan belajar harus menumbuhkan integrasi pemikiran, perasaan dan aktivitas (aksi) yang membantu peserta didik dalam proses pengembangan makna; (4) belajar merupakan kegiatan sosial yang dapat ditingkatkan melalui belajar dan penyelidikan bersama; (5) antara peserta didik dengan peserta didik lainnya merupakan sebuah kelompok kerja yang kolaboratif, pendidik sebagai fasilitator yang berperan membantu (scaffolding) peserta didik yang mengalami kesulitan[27]. Pembelajaran peta konsep dengan strategi inkuri secara garis besar dapat dilakukan dengan berbagai tingkatan antara lain tingkat No Conditions, dimana peserta didik harus menemukan konsep-konsep kunci dapat dengan cara menggarisbawahi konsep-konsep suatu bahan ajar, kemudian peserta didik menganalisis dan mengelompokan konsep-konsep kunci dalam kolom matrik konsep, selanjutnya menyusun (create) peta konsep. Evaluasi pada tingkat ini digunakan cara cara yang dikembangkan oleh Markham dkk, 1994[28] yang merupakan pengembangan rubrik dari Novak, dimana temuan tiap konsep kunci diberi skor 1. Tingkatan model pemetaan konsep dapat digambar pada Gambar 1 [29].
Gambar 1 Jenjang pemetaan konsep berdasarkan kemampuan peserta didik (adaptasi dan modifikasi dari Strautmane, 2012).
Berkaitan dengan latar belakang dan landasan teori, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) validas perangkat pembelajaran yang dikembangkan; (2) kepraktisan perangkat pembelajaran yang dikembangkan; dan (3) keefektifan perangkat pembelajaran yang dikembangkan berbasis peta konsep no condition. 2. METODE Desain penelitian ini merupakan penelitian dan pengembangan dengan melalui tahapan seperti pada Gambar 2[31]; dan (2) retensi pemahaman konsep untuk mengetahui kefektifan model [30]. Penelitian dan pengembangan ini mengabdopsi dan mengadaptasikan model penelitian yang dikembangkan Nieveen[32]. Pada tahap pengembangan desain dilakukan validasi teoritis oleh pakar yang meliputi validasi isi dan konstruksi. Berdasarkan hasil validasi teoritis, kemudian dilakukan validasi empiris yaitu diujicobakan kepada 24 orang mahasiswa pendidikan kimia, langkah validasi empiris digunakan untuk melihat kepraktisan dan keefektifan perangkat pembelajaran Peta Konsep no condition. Gambar desain model dapat dilihat pada gambar 2 di bawah ini.
Gambar 2. Desain penelitian dan pengembangan validasi empiris (adopsi dan modifikasi Nieveen, 2007).
Kepraktisan perangkat pembelajaran peta konsep no condition diamati keterlaksanaan pembelajaran,
69
aktivitas mahasiswa, dan respon. Keefektifan perangkat pembelajaran peta konsep no condition dilihat dari hasil belajar mahasiswa yaitu kemampuan daya tahan (retentsi) pemahaman konsep digunakan uji hipotesis (uji t). Dengan desain sebagai berikut.
Uji retensi pemahaman konsep yaitu dengan membandingkan hasil tes akhir (TA) dengan pasca tes akhir (PTA), dengan menggunakan uji t dengan taraf kepercayaan 95% dengan hipotesis <32>. H0 : Tidak ada perbedaan antara TA dengan PTA. Ho: µTA = µPTA H1: µTA ≠ µPTA 3. HASIL Perangkat pembelajaran divalidasi teoritis dilakukan oleh tiga orang pakar yang berkompeten dan berpengalaman di bidangnya. Validasi ini digunakan untuk mengevaluasi kelayakan perangkat pembelajaran secara teoritik meliputi kevalidan konsep, kerunutan konsep, tata bahasa/kalimat, dan format (layout) perangkat. Berdasarkan hasil validasi ternyata masih perlu ada perbaikan beberapa konsep, kesalahan tatakalimat, salah ketik dan format. Ke tiga validator memberi skor rata-rata 3,5-5,7 dengan katagori baik. Rekomendasi dari ketiga validator yaitu perangkat pembelajaran dapat digunakan dengan sedikit perbaikan. Berdasarkan hasil masukan dari validator internal, kemudian dilakukan revisi dan kemudian dilakukan validasi empiris dengan mengujicobakan ke 24 mahasiswa pendidikan kimia 2015 FMIPA Unesa. Data yang diperoleh keterlaksanaan pembelajaran adalah sebagai berikut. Tabel 1. Keterlaksanaan pembelajaran
Keterlaksanaan Tatap muka 1 Tatap muka 2 Tatap muka 3
P1 (%) 92,00 93,25 92,50
P2 (%) 92,25 93,50 93.20
P1 4
P2 4
P3 4
3 4
4 4
4 4
3
4
4
4
4
4
4
3
4
4
4
4
4
4
3
Keterangan P1, P2, P3 = pengamat 1, 2, dan 3
Selesai pembelajaran dilakukan postes, dimana postes dilakukan untuk mengetahui hasil belajar mahasiswa setelah proses pembelajaran dengan menggunakan perangkat pembelajaran no condition yang dikembangkan. Setelah kurun waktu sekitar 1 bulan dilakukan kembali tes hasil belajar pasca posttes (PTA), instrumen PTA “setara” dengan instrument TA dimana indikator hasil belajar dan indikator soal yang ingin dicapai sama. Data PTA akan digunakan untuk mengetahui kemampuan retensi mahasiswa dalam memahami konsep dan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Tabel 3. Skor perbandingan TA dengan PTA Komp onen Mean Sd N
C4 PT A 68,8 84,9 26,9 20,6 24 24 TA
C5 PT A 66,7 75,3 12,9 13,1 24 24 TA
TA 74,2 9.8 24
C6 PTA 82.1 5,7 24
4. PEMBAHASAN P3 (%) 92,50 93,00 92,50
(%) 92,25 93,25 93,40
Data aktivitas mahasiswa selama proses pembelajaran adalah sebagai berikut. Tabel 2. Aktivitas Mahasiswa Aktivitas Pelibatan a. Mendengarkan penjelasan dosen b. Membaca buku ajar c. Menanyakan Asosiasi-akomodasi a. mengidentifikasi konsep-konsep dari bahan ajar b. Berdiskusi dengan teman didekatnya c. Meminta penjelasan dari dosen Kolaborasi a. Berdiskusi dengan tim
Aktivitas b. Berbagi pengetahuan dengan teman satu tim c. Menerima pendapat teman d. Bekerjasama mengevaluasi konsep dan menyusun peta konsep Simulasi a. Menyampaikan hasil kinerja di depan kelompoknya untuk persiapan implementasi (presentasi di depan tim lain) b. Saling memberikan saran untuk perbaikan peta konsep maupun untuk perbaikan presentasi di depan tim lain Implementasi a. Menyampaikan hasil kinerja tim di depan tim lain b. Menggunakan bahasa yang santun c. Terbuka menerima perta nyaan, saran dan kritik perbaikan dari tim lain
P1
P2
P3
3 4 3 4
4 4 3 4
3 4 3 4
4 3 3
4 3 4
4 4 4
Kelayakan Perangkat pembelajaran berbasis peta konsep no condition layak secara teoritis dengan skor 3,5 – 3,7 dengan katagori baik (layak) meskipun masih harus ada sedikit perbaikan seperti tatatulis. Kelayakan empiris model dan perangkat dilakukan dengan ujicoba terbatas pada 24 mahasiswa pendidikan kimia FMIPA Unesa selama 1 bulan (dengan 4 kali tatapmuka). Perangkat pembelajaran berbasis peta konsep no condition memiliki kepraktisan yang layak yaitu keterlaksaaan proses pembelajaran selama tiga kali pertemuan (tabel 1) memperoleh skor rata-rata tiap-tiap tatapmuka cukup tinggi yaitu >92,25%. Perangkat Pembelajaran berbasis peta konsep no condition juga mampu mengaktifkan mahasiswa mulai dari mengamati bahan ajar, berdiskusi, berkolaborasi, berkomunikasi baik melalui kegiatan simulasi maupun implementasi dengan rata-rata skor di sekitar 3 dan 4 (tabel 2) yaitu dalam katagori baik dan sangat baik.
70
Perangkat pembelajaran berbasis peta konsep no condition memiliki keefektifan berdasarkan uji t dengan taraf signifikansi (5%) pada uji retensi kemampuan C4, C5, dan C6 ternyata terdapat perbedaan signifikan thit>ttabel, sehingga hipotesis Ho ditolak. Kemampuan pengetahuan retensi mahasiswa dalam materi isomer dan isomer struktur dalam katagori baik dan bahkan cenderung mengalami peningkatan yaitu skor rata-rata sebagai berikut: C4 (15.83); C5 (8,54) dan C6 (7,9) (tabel 3). Hal ini disebabkan oleh semakin mudahnya mahasiswa mempelajari dan memahami materi isomer dengan menggunakan peta konsep berbasis inkuiri. Pernyataan ini didukung juga oleh data angket dan wawancara kepada mahasiswa yaitu (a) 95% mahasiswa lebih mudah mempelajari dan memahami materi isomer dengan menggunakan peta konsep, (b) 92,5% menyatakan memiliki kemampuan dalam menganalisis, mengevaluasi dan mengorganisasi konsep, dan (c) 100% mahasiswa merasa terbantu dalam merencanakan dan menyampaikan materi pembelajaran dengan menggunakan peta konsep.
http://ylhnews.com/opini/kualitas-doktor-lulusanluar-negeri, akses Feb 2015. [3]
Harris Iskandar, (2015). Penyusunan Soal Higher Order Thinking Sekolah Menengah. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas, Kemendikbud
[4]
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 103 Tahun 2014. tentang Pembelajaran pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah, Jakarta.
[5]
National Science Teachers Association, (NSTA), (2003). Standards for Science Teacher Preparation, USA.
[6]
NRC, (2001). Inquiry and the National Science Education Standards. A Guide for Teaching and Learning, National Academy Press, Washington, DC. http://books.nap.edu/html/inquiry_addendum/ (2 of 2) [9/10/2001 3:37:45 PM] akses juli 2015.
[7]
Anderson and Krathwohl, (2001). Bloom’s Taxonomy Revised, Understanding the New Version of Bloom’s Taxonomy, A succinct discussion of the revisions of Bloom’s classic cognitive taxonomy and how to use them effectively. http://www4.uwsp.edu/education/lwilson/curric/newt axonomy.htm (2001, 2005), revised 2013.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian tersebut yaitu Perangkat pembelajaran berbasis peta konsep no condition yang dikembangan memiliki: (1) validitas teoritis dengan katagori baik skor rata-rata skor 3,5 – 3,7 (rentang skor 1 – 4); (2) praktis dapat digunakan dalam pembelajaran berdasar hasil pengamatan keterlaksanaan pembelajaran, dan aktivitas mahasiswa; dan (3) efektif yang ditandai dengan para mahasiswa mampu mempertahankan retensi berpikir tingkat tinggi dan bahkan skor rata-rata pasca postes mengalami peningkatan dibandingkan dengan postes. Dengan demikian perangkat pembelajaran berbasis peta konsep mengacu dari Nieveen <11> (2007) dapat dikatakan valid baik dari kevalidan teoritis maupun empiris.
[8]
Hammann, Lynne A., (2012). How To Promote Higher-Order Thinking In The Classroom: Reflecting And Writing, Not Reciting And Reacting (with Reflection Questions).
[9]
Sket Barbara, Sasa Aleksij Glazar and Janez Vogrinc, (2015). Concepr Maps as Tool for Teaching Organic Chemical Reaction. Acta Chim, Slov, 2015, Vol. 62, 462–472 DOI: 10.17344/acsi. 2014.1148
Saran yang diusulkan untuk penyempurnaan implementasi perangkat pembelajaran berbasis peta konsep no condition yaitu: (1) perlu adanya pelatihan awal bagi mahasiswa dalam mengidentifikasi, menganalisis, mengevaluasi konsep-konsep penting dalam bahan ajar, dan menyusun peta konsep; (2) perlu tindaklanjut pengmbangan pembelajaran ini dengan jumlah siswa dan kelas yang lebih banyak.
[12] Wolfolk Anita, (2009). Education Psychology (terjemahan), edisi ke 10, Jakarta, Pustaka Pelajar.
5. SIMPULAN DAN SARAN
6. DAFTAR PUSTAKA [1]. Sudrajad Ahmad, (2013). Tantangan Guru Dalam Dunia Pendidikan dan Gambaran Pendidikan dalam Abad 21, http://akhmadsudrajat. wordpress.com/2013/07/02/ paradigma-pendidikanindonesia-abad-ke-2. Akses Mei 2014 [2]
Henuk Yusuf L, (2014). Paradigma Belajar Abad 21 dan Pendidikan Tinggi di Indonesia dalam Era Globalisasi, ISBN: 978-602-8547-81-9.
[10] Novak, J. D., (2002). Meaningful learning: The essential factor for conceptual change in limited or appropriate propositional hierarchies (liphs) leading to empowerment of learners. J. Science Education, Vol. 86, No. 4, 548-571. [11] Solso Robert L, Otto H. Maclin, M. Kimberly Maclin, (2008). Psiokologi Kognitif, Edisi ke delapan, Erlangga, Jakarta.
[13] Safdar Muhammad, Azhar Hussain, Iqbal Shah, Qudsia Rifat, (2012). Concept Maps: An Instructional Tool to Facilitate Meaningful Learning European Journal of Educational, Vol. 1, No. 1, 55-64. [14] Kardi, Soeparman,(1997). Miskonsepsi Terhadap Konsep-konsep Biologi Kemungkingan Penyebab Miskonsepsi dan Cara Penanggulangannya, Pidato Pengkukuhan Guru Besar (tidak dipublikasikan). [15] Herron, J Dudley, (1977). Problem associated with concept analysis. J S E , Vol. 61, No. 2, 185 – 199. [16] Thomas, A., and Thorne, G., (2009). How To Increase Higher Order Thinking. Metarie, LA: Center for Development and Learning. Retrieved Dec. 7, 2009, from http://www.cdl.org/resource-library/articles /HOT.php?type=subject&id=18
71
[17] Thomas Alice and Glenda Thorne, (2009). How to Increase Higher Level Thinking, http://www.cdl.org/articles/how-to-increase-highorder-thinking/ Akses Feb 2015. [18] Ausubel, D. P., (1968). Educational psychology: A cognitive view. New York: Holt, Rinehart & Winston. [19] Barbara Šketa and Saša Aleksij Glažarb., (2005). Using Concept Maps in Teaching Organic Chemical Reactions, Acta Chim. Slov. 2005, 52, 471– 477<24> Arends. R. I. 2012. Learning to teach, 9th Ed. New York. Mc. Graw-Hill Companies, Inc [20] Novak, J.D. & Cañas, A.J., (2006). The Theory Underlying Concept Maps and Howto Construct Them, http://cmap.ihmc.us/Publications/ Research Papers/Theory Underlying ConceptMaps.pdf . Retrieved on 8 September 2006. [21] Arends. R. I., (2012). Learning to teach, 9th Ed. New York. Mc. Graw-Hill Companies, Inc [22] Flavell, J., Miller, P., & Miller, S. (2002). Cognitive development (4 th ed.). Upper Saddle River, NJ: Prentice-Hall. [23] Stanley D. Ivie., (1998). Ausubel's Learning Theory: An Approach To Teaching Higher Order Thinking Skills. (educational psychologist David Paul Ausubel). High School Journal 82.1 (Oct 1998): p35(1). [24] Krathwohl, David R., (2002). A Revision of Bloom's Taxonomy: An Overview, Theory Into Practice, Volume 41, Number 4, Autumn 2002 Copyright (C) 2002 College of Education, The Ohio State University. http://www.unco.edu/cetl/sir/stating_ outcome/documents/Krathwohl.pdf. akses 2013 [25] Vygotsky, L.S., (1978). Mind in society (ed. by M. Cole, V. John-Steiner, S. Scribner, and E. Souberman), Cambridge, MA: Harvard University Press. [26] Markam, K. M., Mintzes, J. J., & Jones, M. G. (1994). The concept map as a research and evaluation tool: Further evidence of validity. Journal of Research in Science Teaching, Vol. 31, No. 1, 91-101. [27] Strautmane, M., (2012). Concept Map-Based Knowledge Assessment Tasks and their Scoring Criteria: An Overview. In A. J. Cañas, J. D. Novak & J. Vanhear (Eds.), Concept Maps: Theory, Methodology, Technology. Proceedings of the Fifth In ternational Conference on Concept Mapping (Vol. 2). Valletta, Malta: University of Malta. [28] Ausubel., (2000). The Acquisition and Retention of Knowledge: A Cognitive View, Springer, SBN 9780-7923-6505-1 . [29] Nieveen, N., McKenney, S., Van D. Akker, (2007). Education design research. New York. Rutledge [30] Sugiyono, (2009). Metode Penelitian Pendidikan :Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif. Dan R&D, Alfabeta: Bandung
72
Keterampilan Kepala Sekolah dalam Evaluasi Hasil Peningkatan Keunggulan Pembelajaran Karwanto1*) 1
Jurusan Manajemen Pendidikan, UNESA, Surabaya. Email:
[email protected] *) Alamat Korespondesi: Email:
[email protected]
ABSTRACT The objective of this research to find out the principal’s skill in evaluating result of the improved learning excellence. This research used a qualitative approach with the design of multi-case study. The data were collected by using interviews, observation, and document. The examining of data credibility was done by triangulation technique, membercheck, and peer discussion. The data collected from the three techniques were organised, interpreted, and analyzed repeatedly, both inside-case analysis and across-case analysis in order to draft concepts and the abstract of research findings. Results of the research show that the principal’s skills in evaluating result of the improved learning excellence during his/her leadership in making good progress for his/her school, creating conducive climate, making a progress in academic field and other prominent skills, such as monitoring the implementation of learning policy, guiding, directing and empowering the teachers in evaluating as well as skill in monitoring the student’s learning progress. Key Words : managerial skill, the principal’s skill in evaluating, excellence of learning. ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan keterampilan kepala sekolah dalam evaluasi hasil peningkatan keunggulan pembelajaran. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan rancangan studi multi kasus. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara, observasi dan dokumentasi. Pengecekan kredibilitas data dilakukan melalui teknik triangulasi, pengecekan anggota, dan diskusi teman sejawat. Data yang terkumpul melalui ketiga teknik tersebut diorganisasi, ditafsir, dan dianalisis secara berulang-ulang, baik melalui analisis dalam kasus maupun analisis lintas kasus guna menyusun konsep dan abstraksi temuan penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterampilan kepala sekolah dalam evaluasi hasil peningkatan keunggulan yaitu kepala sekolah selama memimpin dan mengelola sekolah mampu menjadikan sekolah berprestasi, tidak bermasalah, mampu menciptakan iklim yang kondusif serta ditentukan oleh keterampilan kepala sekolah yang menonjol dalam: memonitor implementasi kebijakan pembelajaran, membina, mengarahkan dan memberdayakan guru dengan baik dalam melakukan evaluasi serta keterampilan dalam memonitor kemajuan belajar siswa. Kata kunci: keterampilan manajerial, keterampilan kepala sekolah dalam evaluasi, keunggulan pembelajaran 1. PENDAHULUAN Keberhasilan suatu sekolah sangat ditentukan oleh kepala sekolah dalam mengkoordinasikan, menggerakkan, mengem-bangkan, memberdayakan dan menyelaraskan semua sumber daya pendidikan. Karena itu, ia dituntut memiliki keterampilanketerampilan yang memadai dalam meningkatkan keunggulan pembelajaran. Kepala sekolah harus mampu mengelola, mengembangkan dan meningkatkan keunggulan pembelajaran. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa keterampilan manajerial kepala sekolah dalam mengelola (me-manage) sekolah benar-benar dituntut dan membutuhkan seni dalam proses pengelolaannya. Penelitian yang dilakukan Camp dkk [1] menyatakan bahwa kegagalan para manajer disebabkan karena: (a) tidak efektifnya keterampilan komunikasi; (b) keterampilan manusiawi/ interpersonal lemah; (c) kegagalan dalam menjelaskan harapan-harapan; (d) pendelegasian wewenang lemah; (e) ketidakmampuan untuk mengembangkan kerjasama kelompok/tim kerja; (f) ketidakmampuan memotivasi orang lain; (g) kurangnya memberi kepercayaan[1]. Peran kepala sekolah secara manajerial terhadap kemajuan sekolah,
pada hakikatnya adalah seorang perencana, organisator, dan pengendali organisasi sekolah (Bafadal, 2007:1), dia harus mampu bekerja bersama dengan dan melalui orang lain (Mantja, 2007:1), yang tugas utamanya adalah meningkatkan kualitas pembelajaran dan mengelola aktivitas pembelajaran secara profesional (Ghaleei, 2006:170). Kendatipun demikian, setiap kepala sekolah memiliki keterampilan yang bervariasi, unik dan menarik dalam menata, meningkatkan serta mengevaluasi hasil peningkatan keunggulan pembelajaran. Berdasarkan hasil obersvasi di lapangan di tiga sekolah SMA dapat dijelaskan sebagai berikut. Di SMA pertama, kepala sekolah memiliki keterampilan konseptual yang memadai, mampu menyelesaikan masalah dengan cerdas, terampil dalam merespon setiap persoalan yang terjadi di sekolah dan terampil dalam membina hubungan baik dengan bawahannya sehingga tercipta iklim sekolah yang kondusif. Di SMA kedua, kepala sekolah terampil dalam mengelola pembelajaran, memiliki kemampuan teknis yang memadai, dan terampil dalam menerapkan kedisiplinan dalam mengelola sekolah. Sedangkan di SMA ketiga, kepala sekolah terampil dalam memberdayakan sumber daya manusia, terampil
73
dalam mengelola bidang akademik, kurikulum dan pembelajaran, dan mempunyai keterampilan yang menonjol dalam merancang keunggulan pembelajaran. Berbagai perbedaan karakteristik mengenai keterampilan kepala sekolah dalam evaluasi hasil peningkatan keunggulan pembelajaran yang dirancang dan dilaksanakan di tiga sekolah inilah yang sangat penting, unik dan menarik untuk diteliti dan diungkap lebih mendalam dalam penelitian. Untuk memahami konsep dasar keterampilan manajerial kepala sekolah, berdasarkan kajian dan pendapat Nottingham dalam Maning 2004[5] keterampilan manajerial dapat dibedakan menjadi tiga yaitu keterampilan konseptual, keterampilan teknis dan keterampilan manusiawi. Keterampilan konseptual yaitu keterampilan dalam menentukan visi, menjelaskan tujuan, memahami sistem organisasi, mempunyai pertimbangan yang baik, dan memahami struktur kekuatan masyarakat. Keterampilan teknis yaitu keterampilan yang dimiliki seseorang terutama terkait dengan: keterampilan berbahasa, memahami pengajaran dan menjadi guru, memiliki teori pembelajaran terkini, familiar dengan berbagai macam kurikulum, dan menjaga hubungan baik dengan dewan guru dan staf. Adapun keterampilan manusiawi adalah meliputi keterampilan-keterampilan sebagai berikut: (1) kemampuan melakukan negoisasi, (2) kepemimpinan catalytic, yaitu kepemimpinan yang mempercepat proses penerapan dan perubahan sekolah menjadi efektif melalui perbaikan-perbaikan dan pelibatan semua unsur untuk mengatasi persoalan, (3) empati, (4) mempunyai harapan yang tinggi (5) loyal, (6) kedewasaan dan (7) memiliki rasa humor. Keterampilan kepala sekolah dalam evaluasi bermaksud untuk membantu kepala sekolah dan anggota staf dalam membuat dan mengambil keputusan-keputusan yang bijaksana, yaitu keputusan yang berdasarkan analisis dari bukti-bukti (data-data) yang telah dikumpulkan dan tidak hanya berdasarkan dugaan-dugaan [6,7] evalusi mengandung keterampilanketerampilan dalam: (a) menentukan tujuan-tujuan dan menetapkan norma-norma untuk mempertimbangkan banyaknya perubahan; (b) mengumpulkan bukti-bukti perubahan; (c) menggunakan kriteria atau ukuran, patokan dan mempertimbangkan manfaat dari perubahan itu; dan (d) merevisi rencana-rencana yang berkaitan dengan pertimbangan-pertimbangan itu. Kepala sekolah yang memiliki keterampilan dalam evaluasi dapat menolong guru-guru dalam aktivitasaktivitas tersebut dalam meningkatkan mutu pembelajaran. Wahab (2008:137-138), teknik dan prosedur evaluasi diantaranya menentukan tujuan penilaian, menetapkan norma/ukuran yang akan dinilai, mengumpulkan data-data yang dapat diolah menurut kriteria yang ditentukan, pengolahan data, dan menyimpulkan hasil penilaian. Melalui evaluasi, guru dan anggota staf lainnya dapat dibantu dalam menilai pekerjaannya sendiri, mengetahui kekurangan dan kelebihannya. Kunci bagi proses evaluasi adalah
adalah memperbaiki diri sendiri (self-evaluation). Kepala sekolah ingin mengetahui berapa banyak kemajuan yang ia telah capai atau kegagalankegagalan yang dialami, bagaimana pergantiannya dengan orang lain, dan cara-cara manakah yang mengurangi kemajuannya. Hal ini, juga membutuhkan evaluasi diri berupa suatu daftar cek (chek-list)[7] dan ditingkatkan mutu perkembangannya dengan cara melatih diri (self-training) dan memperbaiki diri (selfimprovment) secara terus menerus [9]. Berdasarkan pendapat di atas dapat dipahami, keterampilan dalam evaluasi yaitu kemampuan seseorang untuk mengambil keputusan, membantu pengembangan, implementasi, kebutuhan suatu program, pertanggung jawaban, seleksi,motivasi, menambah pengetahuan dan dukungan dengan cara evaluasi diri, melatih diri dan memperbaiki diri secara terus menerus. Keterampilan dalam evaluasi dalam implementasinya membutuhkan keterampilan konseptual yang kecil, keterampilan teknis dan keterampilan manusiawi yang besar. Terkait dengan pengertian keunggulan pembelajaran, Degeng (1997:3), mendefinisikan keunggulan pembelajaran yaitu pembelajaran yang dapat dilihat dari ketepatan strategi yang dipilih untuk mencapai tujuan pembelajaran sesuai dengan kondisi yang ada. Hal senada menurut Rosjidan (1997: 1), keunggulan pembelajaran terletak pada rancangan dan pelaksanaan pembelajaran yang menekankan kepada pemberian perlakuan dan kesempatan yang memadai dengan yang dibutuhkan oleh masing-masing siswa yang mempunyai perbedaan perorangan dalam segi kejiwaan tertentu. Sementara itu, Ardhana (1997:3), pembelajaran unggul adalah kondisi proses belajar mengajar yang memungkinkan semua anak dapat mengembangkan dirinya sampai kepada batas kemampuannya yang maksimal. Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan keterampilan kepala sekolah dalam evaluasi hasil peningkatan keunggulan pembelajaran. 2. METODE PENELITIAN Fokus penelitian ini adalah tentang keterampilan kepala sekolah dalam evaluasi hasil peningkatan keunggulan pembelajaran pada Tiga SMA di Kota Semarang. Untuk mengungkap fokus penelitian tersebut diperlukan pengamatan yang mendalam dan dengan latar yang alami. Penelitian ini menggunkan pendekatan kualitatif karena memerlukan pengamatan yang mendalam dengan latar yang alami, peneliti sebagai instrumen utama dalam penelitian dan wajib terjun ke lapangan secara langsung untuk mengumpulkan data dan menganalisisnya. Latar penelitian ini adalah tiga Sekolah Menengah Atas (SMA) di Kota Semarang. Ketiga sekolah tersebut memiliki karakteristik yang berbeda-beda antara lain dapat dilihat dari: (1) visi; (2) budaya; (3) nilai-nilai; (4) sistem pengelolaan sekolah; (5) wilayah; (6) tempat; (7) organisasi sekolah; dan (8) sistem asrama (boarding school). Berdasarkan perbedaan karakteristik subyek dan fokus penelitian,
74
maka penelitian ini dirancang dengan menggunakan desain studi multi kasus. Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data dan informasi sangat tergantung pada macam studi yang dikembangkan dalam penelitian ini. Prosedur pelaksanaannya disesuaikan dengan kondisi sumber data dan lokasi dimana responden melaksanakan tugasnya.Secara khusus dapat dinyatakan bahwa dalam penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data berupa: wawancara mendalam (indepth interview), observasi partisipan (partisipant observation) dan studi dokumentasi.Analisis data dilakukan dengan cara mencari dan mengatur secara sistematis transkrip wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain yang telah dihimpun oleh peneliti. Kegiatan analsis dilakukan dengan menelaah data, menata, membagi menjadi satuan-satuan yang dapat dikelola, mensintesis, mencari pola, menemukan apa yang bermakna, dan apa yang diteliti dan dilaporkan secara sistematis. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan analisis deskriptif kualitatif melalui tiga proses yaitu reduksi data, penyajian data dan verifiksi atau penarikan kesimpulan.Pengecekan kredibilitas data dilakukan dengan teknik triangulasi, pengecekan anggota, dan diskusi teman sejawat. Data yang terkumpul melalui ketiga teknik tersebut diorganisasi, ditafsir, dan dianalisis secara berulang-ulang, baik melalui analisis dalam kasus maupun analisis lintas kasus guna menyusun konsep dan abstraksi temuan penelitian. 3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam evaluasi, pertanyaan yang harus dijawab adalah “How to evaluate changes we are making?” (Motshana, 2004). Keterampilan kepala sekolah dalam evaluasi hasil peningkatan keunggulan pembelajaran perlu dimiliki oleh kepala sekolah. Dalam mengevaluasi unjuk kerja seorang guru/staf, kepala sekolah perlu memahami mereka, memotivasi mereka baik sebagai individu ataupun kelompok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterampilan kepala sekolah dalam evaluasi hasil peningkatan keunggulan pembelajaran di antaranya: (1) kepala sekolah mampu memonitor implementasi kebijakan pembelajaran dengan memperhatikan: kebersamaan yang tidak meninggalkan kompetisi, materi pembelajaran, pembuatan soal dan kesanggupan anak, serta pelaksanaan rencana strategis dan rencana operasional; (2) kepala sekolah mampu memonitor dan mengevaluasi unjuk kerja guru secara efektif melalui: penekanan pada evaluasi proses (pada saat proses pembelajaran), evaluasi hasil, tertib administrasi dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran, melalui teacher kits dan portofolio; (3) kepala sekolah mampu membina, mengarahkan, dan memberdayakan guru dengan baik dalam melakukan evaluasi terhadap kemajuan belajar siswa dan pengembangan pembelajaran; (4) kepala sekolah mampu mengevaluasi guru secara efektif melalui
penerapan prinsip keterbukaan, akuntabilitas dan evaluasi diri; (5) kepala sekolah mempunyai keterampilan memotivasi yang baik sehingga guru tumbuh dan berkembang secara profesional. Hasil temuan penelitian tersebut mendukung pendapat yang dikemukakan Mazibuko (2007), yang termasuk peran manajerial kepala sekolah meliputi instructional management and support, providing leadership, facilitating meaningful change, supervision, evaluation, building and maintaining a winning team, developing human resources, staf appraisal, monitoring the implementation of educational policies, monitoring of learner progress, managing curriculum and instruction, and promoting a positive school climate. Temuan penelitian berikutnya yaitu: kepala sekolah memiliki keterampilan dalam meningkatkan kualitas hubungan antara guru dan murid untuk meningkatkan keunggulan pembelajaran; kepala sekolah mempunyai emphaty (mampu mengerti kondisi emosi orang lain) yang baik, mempunyai kelebihan dalam bersikap, memanusiakan manusia serta mampu menyadari perbedaan individu dalam melakukan evaluasi; kepala sekolah memiliki keterampilan dalam memonitor kemajuan belajar siswa melalui: evaluasi terhadap kesiapan perangkat proses belajar mengajar yang digunakan, metode pembelajaran, media pembelajaran, fasilitas/saranaprasarana, alat bantu yang dilibatkan dalam pembelajaran, kinerja dari siswa serta kinerja dari hasil belajar. Keterampilan kepala sekolah dalam evaluasi hasil peningkatan keunggulan pembelajaran yang ditemukan dalam penelitian ini tentunya berkaitan dengan faktor manusia dalam mengevaluasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Hersey & Blanchard (1972), mengenai keterampilan manusiawi yaitu kemampuan bekerjasama dengan dan melalui orang lain yang mencakup pemahaman tentang motivasi dan penerapan kepemimpinan yang efektif, dan juga dapat memutuskan konflik [17]; berhubungan dengan komunikasi dan hubungan antar pribadi (communication and interpersonal)[18] pembangun hubungan, terbuka, anggota tim, menilai seseorang, tim kepemimpinan, menyadari perbedaan, mengidentifikasi bakat, mentor, pengembang kepemimpinan, pelatih dan memahami masalah sosial [19]. pengembangan kesadaran diri, mengelola tekanan pribadi, pelatihan, konseling, memotivasi, mengelola konflik secara efektif dan memberdayakan yang lain [1] kemampuan negoisasi; kepemimpinan catalytic (mempercepat proses penerapan dan perubahan sekolah menjadi efektif melalui perbaikan-perbaikan dan pelibatan semua unsur untuk mengatasai persoalan); empathy (mampu mengerti kondisi emosi orang lain); harapan yang tinggi; loyalitas; kedewasaan dan memiliki humor[5]; kemampuan memimpin (leading abilities) dan kemampuan memotivasi (motivating abilities) Robert (t.t), dalam(http://www.aeaaconference.org/repositori.
75
diakses tanggal 16 Mei 2007); mendengarkan (listening), dinamika kelompok (group dynamics) dan penyelesaian konflik (conflict resolution) [21]. Dalam penelitian ini ditemukan kepala sekolah memiliki keterampilan spiritual dan kemampuan berefleksi (evaluasi diri) yang baik. Temuan ini sejalan dengan pendapat Sin (2006), manajer yang efektif pada abad 21 ini harus mempunyai 8 (delapan) keterampilan penting yaitu: (1) keterampilan teknis; (2) keterampilan manusiawi; (3) keterampilan konseptual; (4) keterampilan politis; (5) keterampilan sosial; (6) keterampilan kreatif; (7) keterampilan kekurangbaikan/kesengsaraan; dan (7) keterampilan spiritual. Diantara keterampilan-keterampilan tersebut yang paling sesuai dengan temuan penelitian adalah keterampilan sosial dan keterampilan spiritual. Keterampilan sosial memainkan peranan penting dalam pekerjaan sekarang ini, seperti memfasilitasi, memudahkan, melatih, mempengaruhi dan mengkoordinir orang lain. Keterampilan ini meliputi kecerdasan emosional, kecerdasan sosial, daya ego dan monitoring diri (self-monitoring) yaitu kemampuan untuk memahami situasi sosial secara khusus sedangkan keterampilan spiritual (spiritual skill) berguna untuk menangani dan menyelesaikan masalah yang kompleks dan merubah lingkungan dengan cepat. Temuan penelitian lain menunjukkan kepala sekolah memiliki keterampilan komunikasi yang baik dan efektif. Kepala sekolah dalam mengevaluasi hasil peningkatan keunggulan pembelajaran disampaikan melalui komunikasi tertulis ataupun lisan, melalui teguran, sapaan, kritikan, dan juga disampaikan melalui pertemuan-pertemuan baik pertemuan formal di kantor ataupun pertemuan informal, yang dilakukan di rumah ataupun di tempat-tempat yang sudah direncanakan sebelumnya. Temuan ini memperkuat pendapat Moore & Rudd (2004), keterampilan komunkasi meliputi keterampilan mendengarkan, keterampilan berbicara, merancang komunikasi, keterampilan membaca, komunikasi elektronik, interaksi media dan komunikasi tertulis. Hasil temuan penelitian lain menunjukkan bahwa kepala sekolah mempunyai keterampilan politis, yaitu kepala sekolah pandai mencari dukungan dan piawai dalam menerapkan strategi dalam mengevaluasi hasil peningkatan keunggulan pembelajaran. Hal ini sejalan dengan pendapat Latif (2002), keterampilan politis (political skills), yaitu kemampuan untuk meningkatkan posisi, membangun kekuatan dan membina hubungan yang baik, yang meliputi keterampilan memperoleh kekuasaan dan mempengaruhi. Hal senada menurut Ferris dalam Sin (2006), keterampilan politis melibatkan gaya antar pribadi yang mengkombinasikan kesadaran sosial dengan kemampuan berkomunikasi secara baik. Keterampilan politis bukan suatu sifat, ciri, karakteristik, atau keterampilan tetapi untuk menggabungkan, menguatkan keterampilan dan kemampuan untuk menciptakan dinamika sosial yang sinergis.
Yang menjadi perbedaan mengenai keterampilan kepala sekolah dalam evaluasi hasil peningkatan keunggulan pembelajaran adalah sebagai berikut: (1) di SMA Pertama, kepala sekolah mampu menerapkan kepemimpinan yang efektif dan dapat menciptakan iklim sekolah yang kondusif, dan selama memimpin mampu menjadikan sekolah berprestasi; (2) di SMA Kedua, kepala sekolah mampu memonitor implementasi kebijakan pembelajaran, mempunyai keterampilan komunikasi yang baik; keterampilan spiritual dan kemampuan berefleksi; (3) di SMA Ketiga, kepala sekolah mampu memonitor dan mengevaluasi unjuk kerja guru secara efektif, mampu memonitor kemajuan belajar siswa, mempunyai emphaty yang baik serta mempunyai keterampilan politis, yaitu pandai mencari dukungan dan piawai dalam menerapkan strategi. Persamaan-persamaan mengenai keterampilan kepala sekolah dalam evaluasi hasil peningkatan keunggulan pembelajaran adalah (a) selama memimpin kepala sekolah mampu menjadikan sekolah berprestasi, tidak bermasalah, berprestasi di bidang akademis dan mampu menciptakan iklim sekolah yang kondusif; (b) mampu membina, mengarahkan dan memberdayakan guru dengan baik dalam melakukan evaluasi terhadap kemajuan belajar siswa. Menurut hemat penulis, berdasarkan temuan di lapangan mengenai keterampilan kepala sekolah dalam evaluasi hasil peningkatan keunggulan pembelajaran, ada dua hal yang perlu dicermati dan dikembangkan kepala sekolah, yaitu (1) melakukan evaluasi pada semua program dan layanan pendidikan, memberikan jaminan dan melakukan program pengembangan ke arah yang lebih tepat (2) kemampuan untuk memimpin dan mempelopori perbaikan dan pelaksanaan kurikulum sekolah atau perbaikan pengajaran bersama dengan staf yang dipimpinnya. 4. PENUTUP 4.1 Simpulan Keterampilan kepala sekolah dalam evaluasi hasil peningkatan keunggulan yaitu kepala sekolah selama memimpin dan mengelola sekolah mampu menjadikan sekolah berprestasi, tidak bermasalah, mampu menciptakan iklim yang kondusif serta ditentukan oleh keterampilan kepala sekolah yang menonjol dalam: memonitor implementasi kebijakan pembelajaran, membina, mengarahkan dan memberdayakan guru dengan baik dalam melakukan evaluasi serta keterampilan dalam memonitor kemajuan belajar siswa. 4.2 Saran Dari hasil penelitian, dapat disampaikan saransaran sebagai berikut. (1) bagi guru, untuk meningkatkan keunggulan pembelajaran hendaknya guru yang sudah berpengalaman dan profesional dalam mengajar memberikan informasi, dan sharing ide kepada guru yang belum berpengalaman;
76
melakukan pembelajaran inovatif dengan cara pemberdayaan MGMP, mengikuti workshop, MGMP tingkat kota, propinsi dan pusat; (2) bagi kepala sekolah hendakanya: dapat mempertahankan dan bahkan meningkatkan keterampilan dalam bekerjasama, membina hubungan baik dengan semua orang dan dapat memperluas jaringan sosialnya dengan sekolah-sekolah unggul yang lain; hendakanya melakukan evaluasi pada semua program dan layanan pembelajaran, memberikan jaminan dan melakukan program pengembangan pembelajaran dalam upaya memberikan pelayanan yang prima. 6. DAFTAR PUSTAKA [1]. Latif, D.A., (2002). Model for Teaching the Management Skills Component of Managerial Effectiveness to Pharmacy Student. Bernard J.Dunn School of Pharmacy, Shenandoah University, 1460 University Drive, Winchester VA 22601-5195. American Journal of Pharmaceutical Education Vol. 66 Winter.
[12].Rosjidan., (1997). Pembelajaran Unggul Versi/Kajian Sekolah Laboratorium IKIP Malang. Makalah Disampaikan pada Seminar Pelatihan Nasional Pembelajaran Unggul Menyongsong Abad XXI. Program Studi Teknologi Pembelajaran Program Pascasarjana IKIP Malang Bekerjasama dengan IPTPI Cabang Malang. 24 Oktober. [13].Ardhana, W., (1997). Pembelajaran Unggul: Konsepsi dan Masalah Pelaksanaannya. Makalah Disampaikan pada Seminar Pelatihan Nasional Pembelajaran Unggul Menyongsong Abad XXI. Program Studi Teknologi Pembelajaran Program Pascasarjana IKIP Malang Bekerjasama dengan IPTPI Cabang Malang. 24 Oktober. [14].Motshana, S.S., (2004). The Principal As Leader: Implications For School Effectiveness. Tesis. Faculty of Education and Nursing: Rand Afrikaans University [15].Mazibuko, S.P., (2007). The Managerial Role of The Principal in Whole-School Evaluation In The Context of Disadvantage Schools In Kwazulu-Natal. Doctor of Education in the subject Education Management at the University of South Africa.
[2]. Bafadal, I., (2007). Sistem Seleksi Kepala Sekolah. Makalah disampaikan pada Acara Kunjungan Tim Pengembang Yayasan Daru’l Hikam Cirebon: Cirebon, 21 Mei.
[16].Hersey, P & Blanchard, K.H., (1972). Management of Organizational Behavior: Utilizing Human Resources. New Jersey: Englewood Cliffs, PrenticeHall, Inc.
[3].
Mantja, W., (2007). Profesionalisme Tenaga Kependidikan: Manajemen Pendidikan dan Supervisi Pengajaran. Malang: Wineka Media.
[17].Elsbree, W.S., McNally, H.J., & Wynn, R., (1967). Elementary School Administration and Supervision. (3rd Edition) New York : American Book Company.
[4]. Ghaleei, A., (2006). The Principal’s Role in Teacher Professional Learning. Disertasi. Faculty of Education University of Wollongong.
[18].Katz, R., (1974). Skills of an effective administrator, dalam Harvard Business Review (online), (http://telecollege.dcccd.edu, di akses tanggal 7 Januari 2006).
[5]. Manning, R.J., (2004). A Comparative Analysis of Leadership Skills: Military, Corporate, and Education as a Basis for Diagnostic Principal Assessment. Disertasi. Drexel University. [6]. Indrafachrudi, S., Dirawat., Lamberi, B., (1996). Bagaimana Memimpin Sekolah yang Efektif. Malang: CV Ardi Manunggal Jaya [7]. Sahertian, P.A., (1981). Dimensi-dimensi Administrasi Pendidikan Di Sekolah. Surabaya: Usaha Nasional. [8]. Wahab, A.A., (2008). Anatomi Organisasi dan Kepemimpinan Pendidikan: Telaah terhadap Organisasi dan Pengelolaan Organisasi Pendidikan. Bandung: Kerjasama Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dengan CV. Alfabeta.
[19].Moore, L.L. & Rudd, R.D., (2004). Leadership Skills and Competencies for Extension Directors and Administrators. Journal of Agricultural Education. Volume 45, Number 3. University of Florida. [20].Robert, K.J., (t.t). The Relationship Between Managerial Skills and Teacher Effectiveness.(Online), (http://www.aeaaconference.org , diakses 16 Mei 2007). [21].Sergiovanni, T.J., (1984). The Principalship: A Reflective Practice Perspective. Boston: Allyn and Bacon, Inc. [22].Sin, C., Y., (2006). Managerial Skills For Today. Universitas Zhongshan, Guangzhou, Cina. (Online), (
[email protected], diakses 16 Mei 2007).
[9].Ametembun, N.A., (1981a). Supervisi Pendidikan: Penuntun Bagi Para Penilik, Pengawas, Kepala Sekolah dan Guru-guru. Bandung: Suri. [10].Ametembun, N.A., (1981b). Guru dalam Administrasi Sekolah. Bandung: Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Bandung. [11].Degeng, I.N.S., (1997). Pembelajaran Unggul: Masalah dan Pemecahannya dari TinjauanTeknologi Pembelajaran.Makalah Disampaikan pada Seminar Pelatihan Nasional Pembelajaran Unggul Menyongsong Abad XXI. Program Studi Teknologi Pembelajaran Program Pascasarjana IKIP Malang Bekerjasama dengan IPTPI Cabang Malang. 24 Oktober.
77
78
Pengaruh Self Regulated Learning terhadap Hasil Belajar Kognitif Mahasiswa Melalui Blended Learning Berbasis Web Kusumawati Dwiningsih1*), Sukarmin2, Muchlis3 1,
Jurusan Kimia, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya.Email:
[email protected] 2. Jurusan Kimia, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya.Email:
[email protected] 3. Jurusan Kimia, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya. Email:
[email protected] *) Alamat Korespondesi: E-mail:
[email protected]
ABSTRACT The development of science and globalization results in the innovation of learning method. Blended learning on web bases is a combination of e-learning and face-to face learning in classroom. In contrast, self-regulated learning focuses on one’s importance to learn the discipline of organizing and controlling oneself, especially when facing difficult problems. The interaction between blended learning on web-based method and self regulated learning could enhance students’ cognitive learning outcome. Key Words: blended learning on web bases, self regulated learning, learning outcome ABSTRAK Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan globalisasi yang begitu cepat menghasilkan metode pembelajaran yang mutakhir. Blended learning berbasis web adalah metode pembelajaran yang menggabungkan antara pembelajaran online dengan pembelajaran dalam kelas. Sebaliknya, self regulated learning menempatkan pentingnya seseorang untuk belajar disiplin dalam mengatur dan mengendalikan diri sendiri, terutama bila menghadapi tugas-tugas yang sulit. Interaksi antara metode blended learning berbasis web dan self regulated learning dapat mendukung hasil belajar kognitif mahasiswa. Kata kunci: blended learning berbasis web, self regulated learning, hasil belajar 1. PENDAHULUAN Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan globalisasi yang begitu cepat menyebabkan terjadinya banyak perubahan. Perubahan ini harus diikuti dengan upaya peningkatan mutu pendidikan. Sebagai salah satu upaya peningkatan mutu pendidikan, Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Surabaya (Unesa) secara terus-menerus melakukan perbaikan dengan berbagai cara. Perbaikan tersebut antara lain dalam penyelenggaraan perkuliahan Kimia Anorganik 2 yang membahas tentang ekstraksi logam, pembuatan senyawa, sifat-sifat dan kegunaan dari unsur-unsur golongan utama dalam sistem periodik unsur. Karakteristik materi dalam perkuliahan kimia anorganik 2 ini tergolong banyak teori yang memerlukan pemahaman Salah satu upaya agar mahasiswa dapat memahami materi Kimia Anorganik 2 dengan baik adalah melalui pemilihan metode pembelajaran. Metode yang tepat untuk diterapkan pada pembelajaran Kimia Anorganik 2 adalah blended learning. Blended learning merupakan kombinasi pembelajaran tatap muka dan pembelajaran online, dengan tujuan melengkapi pembelajaran satu sama lain. Metode ini akan mempengaruhi persepsi siswa tentang lingkungan belajar dan, kemudian, studi pendekatan dan hasil belajar mereka. Blended learning bermanfaat dalam memfasilitasi hasil belajar, akses fleksibilitas, penggunaan sumber daya secara efektif[1]. Blended learning diterapkan di perkuliahan dengan memberikan buku ajar, kegiatan tatap muka,
komunikasi melalui email, dilengkapi dengan internet dan sumber online[2]. Blended-learning memerlukan perencanaan dan penanganan matang untuk bisa mencapai efektifitas dalam hasil belajar, yaitu dengan melakukan pengelolaan materi pembelajaran secara tepat[3]. Dengan menerapkan metode blended learning ini, memungkinkan pengguna sumber belajar online terutama yang berbasis web tanpa meninggalkan kegiatan tatap muka. Kevin Kruse (dalam Muksin Wijaya, 2012) mengemukakan bahwa pembelajaran berbasis web memiliki banyak manfaat pagi peserta didik. Bila dirancang dengan baik dan tepat, maka pembelajaran berbasis web bisa menjadi pembelajaran yang menyenangkan, memiliki unsur interaktivitas yang tinggi, menyebabkan peserta didik mengingat lebih banyak materi pelajaran, serta mengurangi biaya-biaya operasional yang biasanya dikeluarkan oleh peserta didik untuk mengikuti pembelajaran. Pemilihan metode pembelajaran yang tepat diharapkan dapat berpengaruh terhadap hasil belajar. Hasil belajar merupakan gambaran tingkat penguasaan mahasiswa atau tingkat keberhasilan mahasiswa terhadap tujuan pembelajaran yang ditetapkan. Bloom [5] mengklasifikasikan hasil belajar menjadi tiga ranah yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Ranah kognitif merupakan sumber sekaligus pengendali ranah lainnya yakni afektif dan psikomotorik. Menurut Love & Kruger (dalam Latipah, 2010)[6] kemampuan kognitif yang amat penting kaitannya
79
dengan proses pembelajaran adalah strategi belajar memahami isi materi pelajaran, strategi meyakini arti penting isi materi pelajaran, dan aplikasinya serta menyerap nilai-nilai yang terkandung dalam materi pelajaran tersebut. Setiap mahasiswa mempunyai hasil belajar yang berbeda. Salah satu hal yang membedakan hasil belajar mereka adalah kemampuan untuk mengendalikan dirinya sendiri yang disebut Self Regulated Learning (SRL). Menurut Kauffman (dalam Frances A. Rowe dan Jennifer A. Rafferty, 2013) [7] komponen kognitif SRL mengacu strategi pembelajaran apa pun yang digunakan untuk menyelesaikan tugas yang diberikan dan termasuk kegiatan yang mendukung manipulasi aktif siswa dari konten akademik. Komponen metakognitif SRL melibatkan pengetahuan dan kesadaran diri siswa harus diri memantau pemahaman dan kognitif proses mereka. Hampir semua model SRL menganggap bahwa motivasi merupakan faktor kunci keberhasilan akademik [9]. Motivasi, atau kemauan untuk belajar, melibatkan keyakinan siswa dalam mereka kemampuan untuk mengatur tugas dan membuat penilaian dalam melaksanakan kursus yang diperlukan tindakan untuk mencapai jenis eksplisit hasil. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: Bagaimana pengaruh Self Regulated Learning terhadap hasil belajar kognitif mahasiswa melalui blended learning berbasis web. Sesuai dengan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh Self Regulated Learning terhadap hasil belajar kognitif mahasiswa melalui blended learning berbasis web. 2. METODE Jenis penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif. Penelitian ini menguji pengaruh Self Regulated Learning terhadap hasil belajar kognitif mahasiswa. Sasaran penelitian ini adalah mahasiswa Kimia B angkatan 2014 dengan jumlah 22 mahasiswa. Rancangan penelitian ini menggunakan “one group pretest posttest design” yang dapat digambarkan sebagai berikut. O1 X O2
Keterangan: O1 : tes awal (pretest) sebelum diberikan perlakuan X : perlakuan terhadap sasaran penelitian yaitu menerapkan metode blended learning O2 : tes akhir (postest) setelah diberikan perlakuan Perangkat pembelajaran yang digunakan adalah buku ajar, LKM, dan web. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah soal tes kognitif untuk pretest dan postest, dan lembar angket Self Regulated
Learning yang terdiri dari aspek metakognisi, motivasi, dan perilaku. Teknik analisis data yang digunakan oleh peneliti adalah teknik uji t untuk mengetahui apakah masingmasing variabel (aspek SRL yaitu metakognisi, motivasi, dan perilaku) secara parsial berpengaruh secara nyata atau tidak pada hasil belajar mahasiswa, dan ANOVA (uji F) untuk mengetahui apakah variabel-variabel independen (aspek SRL yaitu metakognisi, motivasi, dan perilaku) secara simultan berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen (hasil belajar). 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Berikut adalah hasil dari analisis uji t dalam penelitian ini. Tabel 1. Analisis Uji-t Unstandard Coefficients Model B
1
(Constant)
5,108
Std Err or 1,98
Metakognisi _B_X1 Motivasi_B _X2 Perilaku_B_ X3
,067
,034
-,009 ,009
Standar d Coeffici ents Beta
t
Sig.
2,579
,020
,451
1,999
,063
,035
-,059
-,264
,795
,032
,062
,275
,787
Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa pada variabel X1 terdapat nilai sig 0,063. Nilai sig lebih besar dari nilai probabilitas 0,05 atau nilai 0,063>0,05, maka H1 ditolak dan Ho diterima. Variabel X1 mempunyai t hitung yaitu 1,999 dengan t tabel=2,12. Jadi t hitung
0,05, maka H2 ditolak dan Ho diterima. Variabel X2 mempunyai t hitung yaitu 0,059 dengan t tabel=2,12. Jadi t hitung0,05, maka H3 ditolak dan Ho diterima. Variabel X3 mempunyai t hitung yaitu 0,275 dengan t tabel=2,12. Jadi t hitung
80
positif menunjukkan bahwa X3 mempunyai hubungan searah dengan Y. Jadi dapat disimpulkan bahwa X3 tidak berpengaruh signifikan terhadap resiko beta. ANOVA dalam penelitian ini. Tabel 1. Analisis ANOVA (Uji-F)
ANOVAa Model
1
Sum of Squares
Regre ,797 ssion Resid 2,969 ual Total 3,766
df
Mean F Square
3
,266
16
,186
Sig.
1,432 ,270b
motivasi belajar mahasiswa dan peningkatan hasil belajarnya. Menurut Jeffrey, L. M., Milne, J., Suddaby. G., & Higgins, A. (2014) [13] menyatakan bahwa efektivitas blended learning yaitu meningkatkan pengalaman belajar baik online dan tatap muka. Melalui pemilihan dan desain dari pembelajaran yang ditetapkan oleh dosen akan berpengaruh terhadap sifat dan kualitas belajar mahasiswa. Apa yang dipelajari mahasiswa ditentukan oleh kesempatan yang mereka miliki ketika terlibat dalam pengalaman dan kegiatan yang dirancang oleh dosen.
19
Dari data di atas, diperoleh F hitung sebesar 1,432, sedangkan F tabel 3,239. F hitung < F tabel maka Ho diterima, sehingga dengan menggunakan taraf signifikansi 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa deskripsi yang diberikan dari data tidak ada pengaruh signifikan antara X1 (metakognisi), X2 (motivasi), X3 (perilaku) terhadap Y (hasil belajar). Berdasarkan hasil dan analisis pada uji t dan uji F diketahui bahwa variabel X1 (metakognisi), X2 (motivasi), X3 (perilaku) tidak memiliki kontribusi terhadap Y (hasil belajar). Pengaruh yang diberikan terhadap hasil belajar yaitu pengaruh tidak langsung, namun terdapat sumbangan pengaruh X1 (metakognisi), X2 (motivasi), X3 (perilaku) terhadap Y(hasil belajar) sebesar 21,2%. Hal ini menunjukkan bahwa SRL secara tidak langsung mempengaruhi hasil belajar walaupun tidak signifikan. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Barnard et al (2010) [8] bahwa terdapat hubungan positif antara Self Regulated Learning terhadap hasil belajar serta penelitian Eko Budi Susatyo, dkk (2009) yang menyatakan bahwa Self Regulated Learning berpengaruh terhadap ketuntasan hasil belajar. Mahasiswa yang memiliki SRL akan mengetahui kapan dan bagaimana mencegah diri mereka dari kebingungan yang dapat menganggu proses belajar [10]. Self Regulated Learning menempatkan pentingnya seseorang untuk belajar disiplin mengatur dan mengendalikan diri sendiri, terutama bila menghadapi tugas-tugas yang sulit [11]. Pada lingkungan pembelajaran online, siswa dituntut untuk mengembangkan keterampilan belajarnya mulai dari perencanaan kegiatan belajar sampai dengan kegiatan evaluasi pembelajaran, pembangunan organisasi dalam dunia internet yang aktif dilakukan oleh dosen dan mahasiswa. Jadi Self Regulated Learning sangat diperlukan dalam pembelajaran blended learning berbasis web. Hal ini didukung oleh penelitian Ratna Novitayati (2013) yang menyatakan bahwa interaksi antara metode blended learning dan self regulated learning dapat mendukung hasil belajar kognitif siswa. Penelitian ini didukung oleh penelitian Ali (2007) yang menyatakan bahwa penerapan blended learning memberikan manfaat yang signifikan terhadap
4. PENUTUP 4.1 Kesimpulan Berdasarkan data hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pengaruh Self Regulated Learning terhadap hasil belajar adalah pengaruh tidak langsung, dengan sumbangan pengaruh X1 (metakognisi), X2 (motivasi), X3 (perilaku) terhadap Y (hasil belajar) sebesar 21,2%. 4.2 Saran Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa data tidak ada pengaruh signifikan antara X1 (metakognisi), X2 (motivasi), X3 (perilaku) terhadap Y (hasil belajar), maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh Self Regulated Learning terhadap hasil belajar, dan menambah variabel penelitian. 5. DAFTAR PUSTAKA [1]. Ali, M., (2007). Analisis Dampak Implementasi Model Blended Learning (Kombinasi Pembelajaran di Kelas dan E-Learning) pada Mata Kuliah Medan Elektromagnetik, Laporan Penelitian, dipublikasikan, Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. [2]. Barnard, et al., (2010). Profiles in Self Regulated Learning in the Online Learning Environment, Review of Research in Open and Distance Learning, (Online), Vol.11, No. 1, 61-80, (http://www.eric.ed.gov/pdfs/ej881578.pdf) diakses tanggal 2 Desember 2016. [3]. Bawaneh, Shamsi S, (2011). The Effects of Blended Learning Approach on Students’ Computerized Accounting Course, International Journal of Humanities and Social Science, Vol. 1, No. 6, 63-69. [4]. Hendrawati, Retno dan Asriana Issa Sofia, (2014). Peningkatan Mutu Pembelajaran dengan Integrasi Sistem Blended Learning dan Sistem Manajemen Pengetahuan, Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST), 349-356. [5]. Jeffrey, L. M., Milne, J., Suddaby. G., & Higgins, A., (2014). Blended Learning: How Teachers Balance the Blend of Online and Classroom Components,
81
Journal of Information Technology Research, Vol. 13, 121-140.
Education:
[6]. Latipah, Eva, (2010). Strategi Self Regulated Learning dan Prestasi Belajar: Kajian Meta Analisis, Jurnal Psikologi, Vol. 37, No. 1, 110-129. [7]. Novitayati, Ratna, (2013). Pengaruh Metode Blended Learning dan Self Regulated Learning, Jurnal Penelitian Kependidikan, Tahun 23, No. 1, 48-57. [8]. Poon, Joanna, (2013). Blended Learning: An Instutituonal Approach for Enhancing Students’ Learning Experiences, MERLOT Journal Online Learning and Teaching, Vol. 9, No. 2, 271-289. [9]. Rowe, Frances, dan Jennifer A. Rafferty, (2013). Instructional Design Interventions for Supporting Self-Regulated Learning: Enhancing Academic Outcomes in Postsecondary E-learning Environments. MERLOT Journal Online Learning and Teaching, Vol. 9, No. 4, 590-601. [10]. Sudjana, Nana, (2009). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, Bandung : Remaja Rosdakarya. [11]. Susatyo, Eko Budi, dkk, (2009). Penggunaan Model Learning Start With a Question dan Self Regulated Learning pada Pembelajaran Kimia, Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol. 3, No. 1, 406-412. [12]. Tjalla, Awaluddin dan Eva Sofiah, (2015). Effect of Methods of Learning toward Outcomes of Learning Social Studies, Journal of Education and Practice, Vol. 6, No. 23, 16-20. [13]. Wijaya, Muksin, (2012). Pengembangan Model Pembelajaran E-Learning Berbasis Web dengan Prinsip E-Pedagogy dalam Meningkatkan Hasil Belajar, Jurnal Pendidikan Penabur, No. 19, 20-31.
82
Pengembangan Strategi Pembinaan Minat, Bakat, dan Potensi KarirMahasiswa Prodi Sastra Inggris 2014 dan 2015 Mamik TW1*), Pratiwi R2, M.Khoiri3 2
1 Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, UNESA, Surabaya. Email: [email protected]. Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, UNESA, Surabaya, E-mail: [email protected] 3 Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, UNESA, Surabaya, E-mail: [email protected] *) Alamat Korespondesi: Email: [email protected].
ABSTRACT English Department majoring lingusitics and literature have a big challenge in contributing students with good skill which will be useful after they graduate from the Department and they will be able to compete sportive and positively in the real world. There must be solution to support students’s interests, talents, career potential as a strategy to fulfill students expectation on skills they could learn and have after they graduate from English Department. Some students already have an idea of what they will be after graduation, most of them are still making plans, many others do not have any plans after graduation. This is an issue that must be looked for solutions so students can immediately optimize all skills they have and they can apply to their real occupation in teh future. Research using qualitative techniques will process data as well as qualitative and quantitative experiments. From both these data will have one group for treatment actions at a time will be given a very simple observation to get a complete description of the processes. The basic concept of KKNI, students, and potential careers and choices will give a basic understanding of the issues being studied. The research shows that 63 students tend to explore their talent in writing, 51 students want to develop their interest in writing, and 28 students have a big passion in being focus as a writer. In accomodating student’s talent, interest, and potential career, English Department held a workshop in writing delivered by the stakeholders which is also alumni of English Department. This activity will always be continued in the next close future. Key Words: interest, talent, career potential ABSTRAK Prodi Sastra Inggris Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris UNESA memiliki tantangan yang besar perihal apa yang bisa diberikan oleh prodi untuk membekali mahasiswa setelah mereka lulus untuk mamlam meraih pekerjaan dan bersaing secara positif dalam dunia kerja Beberapa mahasiswa sudah memiliki gambaran akan menjadi apa mereka setelah lulus, sebagian dari mereka masih membuat rencana, sebagian yang lain belum memiliki rencana apapun setelah lulus. Hal tersebut menjadi masalah yang harus segera dicarikan solusi supaya para mahasiswa dapat segera mengoptimalkan segala kemampuan yang mereka miliki dan dapat mereka usahakan. Tim berusaha Penelitian ini akan menjawab pertanyaan: bagaimana minat, bakat, dan potensi karir mahasiswa Prodi Sastra Inggris angkatan 2014 dan 2015 serta bagaimana pengembangan strategi pembinaan minat, bakat, dna potensi karir. Penelitian yang menggunakan teknik kualitatif akan mengolah data secara kualitatif dan kuantitatif serta eksperimen. Dari kedua data tersebut akan dipilih satu kelompok untuk diberi perlakuan tindakan sekaligus akan diberikan observasi sangat sederhana untuk mendapatkan deskripsi secara lengkap tentang proses yang terjadi. Konsep dasar tentang KKNI, mahasiswa, dan potensi karir serta pilihannya akan memberikan dasar pemahaman akan masalah yang sedang dikaji. Penelitian ini memberikan hasil bahwa 63 mahasiswa memiliki bakat menulis, 51 mahasiswa memiliki minat menulis, dan 27 mahasiswa ingin fokus dengan pilihan karir sebagai penulis. Prodi Sastra Inggris berusaha mengakomodasi apa yang menjadi keinginan mahasiswa dengan mengadakan workshop menulis yang disampaikan oleh pihak pengguna lulusan yang juga merupakan alumni Prodi Sastra Inggris. Kegiatan tersebut akan terus dilakukan dalam waktu dekat sebagai keberlanjutan pengembangan mahasiswa. Keywords: bakat, minat, karir, eksperimen 1. PENDAHULUAN Fenomena baru yang muncul banyak generasi muda berusia 20-24 patut dijadikan perhatian yang besar terutama jika hal tersebut menyangkut dunia pendidikan. Mereka bertanya-tanya pada diri mereka tentang karir apa yang akan mereka tekuni atau jalani nantinya setelah mereka lulus dari bangku perkuliahan
dimanapun mereka berada dan di bidang apapun yang mereka geluti sehari-hari selama kurang lebih 4 tahun. Beberapa dari mereka yang telah aktif di organisasi kemahasiswaan baik intra ataupun ekstra dan bahkan tidak sedikit yang juga telah bekerja disela atau diluar jam kuliah masih merasa ragu dengan potensi atau kemampuan (skill) yang mereka miliki untuk dapat
83
meraih suatu jenis pekerjaan dan karir apa yang sesuai dengan kepakaran dari bidang yang telah mereka tekuni. Sesungguhnya apa yang para calon lulusan Perguruan Tinggi cari adalah akumulasi dari apa yang telah mereka dapatkan, pelajari, alami, lakukan dan pikirkan sejak pertama mereka terlibat dalam pendidikan dasar 9 tahun. Pendidikan dasar 9 tahun merupakan program pemerintah Republik Indonesia yang tidak bisa ditawar lagi oleh siapapun dan ini wajib hukumnya bagi seluruh warga negara Indonesia. Penambahan 3 tahun untuk mematangkan dan lebih mempersiapkan generasi muda untuk siap bertarung dengan calon pekerja dari wilayah dan negara lain, kebijaksanaan pemerintahpun masih belum bias dirasakan masyarakat ndonesia secara luas. Namun di tahun 2016 ini sudah banyak yang merasakan pentingnya seotrang anak mendapatkan pendidikan lebih tinggi diantara permasalahan lain yang muncul. Disana masih terdapat rasa optimis yang besar. Menginjak tahun 2016, seluruh perguruan tinggi di Indonesia sedang mempersiapkan diri bahkan telah melakukan banyak mengembangan dalam penyusunan kurikulum baru. Mereka memberi nama KKNI; Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia. KKNI (Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia) Prodi Sastra Inggris memiliki visi Unggul di bidang ilmu Kebahasaan dan Kesastraan Inggris dan Profesional dalam Persaingan Global. Dalam rangka mewujudkan visi salah satu rumusan misinya adalah menghasilkan lulusan Sastra Inggris yang unggul dan profesional melalui proses belajar mengajar yang berkualitas dan menjunjung sikap nilai-nilai kejujuran, kemandirian, dan etika akademik serta bersikap kreatif dan kritis. Misi tersebut diperjelas kembali dengan butir tujuan dari disusunnya KKNI untuk Prodi Sastra Inggris ialah menghasilkan sarjana sastra yang (a) menguasai dan mampu menerapkan ilmu bahasa dan sastra Inggris yang berwawasan multikultural pada bidang yang ditekuni; (b) memiliki perilaku mandiri, kreatif dan berpikir kritis dan berakhlaq mulia dalam persaingan global; (c) mempunyai sikap, nilai, kebiasaan, dan kepribadian yang menunjang pelaksanaan tugas keprofesionalan. Secara matang kurikulum Prodi Sastra Inggris disusun dengan baik dan sungguh-sungguh. Dengan niat dan pemikiran yang baik, para dosen sangat ingin membekali anak didik; para mahasiswa dengan ilmu dan kemampuan yang dapat mereka gunakan dan manfaatkan dengan sebaik-baiknya sehingga dapat memberikan mereka keberhasilan. Dalam rangka mendapatkan informasi untuk melengkapi data yang dibutuhkan prodi sehingga rencana dan konsep dapat terwujud. Tim ini bermaksud melaksanakan penelitian menelusuri minat, bakat, dan potensi karir mahasiswa Prodi Sastra Inggris angkatan 2014-2015. Prodi Sastra Inggris menerima tidak kurang 80 mahasiswa baru setiap tahunnya. Prodi yang berdiri sejak tahun 1998 telah berhasil meluluskan mahasiswa kurang lebih 750 mahasiswa dengan kurun rentang
1998-2008. Telah banyak dari para lulusan Prodi Sastra Inggris yang menekuni karir di berbagai bidang, diantaranya jurnalisme, bisnis-kewirausahaan, pendidikan, perhotelan-restoran, manajemen, perbanakan, televisi, penulis, pewarta berita, dan hiburan. Pilihan karir yang beragam menjadi tantangan para mahasiswa baru untuk dapat mengikuti apa yang telah dicapai mahasiswa sebelumnya dan bahkan lebih baik. Dengan dasar latar belakang diatas, tim peneliti menentukan permasalahan yang akan dibahas panjang dalam penelitian, yaitu: . a. Bagaimanakah bakat mahasiswa Prodi Sastra Inggris angkatan 2014 dan 2015? b. Bagaimanakah minat mahasiswa Prodi Sastra Inggris angkatan 2014 dan 2015? c. Bagaimanakah potensi karir mahasiswa Prodi Sastra Inggris angkatan 2014 dan 2015? d. Bagaimanakah pengembangan strategi pembinaan bakat, minat, dan potensi karir mahasiswa Prodi Sastra Inggris angkatan 2014 dan 2015? Penelitian ini, tim telah menyebarkan angket pada angkatan 2014 sejumlah 90 mahasiswa dan 2015 sejumlah 85 mahasiswa. Dari anglet yang disebar, tim peneliti selanjutnya mendapatkan petunjuk untuk menentukan rencana selanjutnya berkaitan dengan pertanayaan ke-4. Dengan perencanaan yang baik maka kegiatan yang akan dikembangkan untuk membina bakat, minat, dan potensi karir mahasiswa dapat secara bertahap dan reguler diselenggarakan. 2. KAJIAN PUSTAKA 2.1 KKNI Prodi Sastra Inggris
Dalam buku draft KKNI (2015), disampaikan bahwa visi Prodi Sastra Inggris adalah Unggul di bidang ilmu Kebahasaan dan Kesastraan Inggris dan Profesional dalam Persaingan Global. Dari visi tersebut di jabarkan lebih jauh lagi dalam tiga butir misi, yaitu a. Menghasilkan lulusan Sastra Inggris yang unggul dan profesional melalui Proses Belajar Mengajar yang berkualitas dan menjunjung sikap nilai-nilai kejujuran, kemandirian, dan etika akademik serta bersikap kreatif dan kritis; b. Mengembangkan budaya akademis yang kondusif dan melaksanakan manajemen prodi yang akuntabel untuk meningkatkan profesionalisme dosen dalam melaksanakan tridharma perguruan tinggi; c. Mengembangkan pusat kegiatan literasi sebagai wahana yang unggul dalam aktualisasi keilmuan mahasiswa dan dosen pada kegiatan pelayanan kepada masyarakat; Dengan tiga rumusan misi Prodi Sastra Inggris, mahasiswa dan prodi ingin mewujudkan prodi yang menghasilkan Sarjana Sastra yang (a) menguasai dan mampu menerapkan ilmu bahasa dan sastra Inggris yang berwawasan multikultural pada bidang yang ditekuni; (b) memiliki perilaku mandiri, kreatif dan berpikir kritis dan berakhlaq mulia dalam persaingan
84
global; (c) mempunyai sikap, nilai, kebiasaan, dan kepribadian yang menunjang pelaksanaan tugas keprofesionalan. Dalam rumusan KKNI juga memiliki deskripsi lulusan yang ingin dicapai, yaitu Lulusan S1 Sastra Inggris Fakultas Bahasa dan Seni Univeristas Negeri Surabaya, adalah a. Pengulas karya sastra dan non sastra, Penyunting Karya Sastra dan Non Sastra,Copy Editor, pewarta media cetak dan Elektronik), , Copywriter, Penulis karya sastra, Penerjemah (Translator/Intepreter/Subtitler/Transkripsionist), yang menguasai konsep ilmu bahasa dan sastra (Inggris) serta mampu mengaplikasikanprinsipprinsip kebahasaan dan kesastraan dengan menggunakan ketrampilan bernalar (critical thinking)secara profesional untuk menghasilkan (mengambil keputusan) karya kreatif, inovatif, original dan berwawasan multikultural serta mampu mengkomunikasikannya dengan penuh tanggung jawabmelalui bentuk lisan maupun tulis dengan menjunjung nilai moral. b. Penelitidan instruktur Bahasa Inggris yang menguasaiilmu bahasa dan sastra mampu memecahkan (mengaplikasikan & mengambil keputusan) masalah ilmu bahasa dan sastra Inggris dengan menggunakan ketrampilan bernalar (critical thinking) danberbagai metode penelitian bahasa dan sastra, yang dipertanggungjawabkan secara moral dan akademik secara tulis dan lisan dalam lingkungan akademis dan sosial kemasyarakatan. Kedalaman dan keluasan lulusan S1 sastra inggris yang merupakan kualifikais tingkat 6 yaitu a. Pengulas dan Penyunting Karya Sastra dan Non Sastra, b. Pewarta media cetak dan Elektronik, c. Copy Editor, d. Copywriter, e. Penulis Cerita, f. Penulis Naskah (Scriptwriter), g. Penerjemah (Translator/Intepreter/Subtitler/Transkripsionist), h. Peneliti, akademisi /instruktur bahasa Inggris i. di bidang media (cetak maupun elektronik), kehumasan, periklanan, perbankan, pariwisata, dan ilmu pengetahuan/pendidikan Para lulusan ini merupakan tujuan yang Program Sastra Inggris ingin wujudkan, adalah mencetak Sarjana Sastra merupakan praktisi bahasa dan sastra Inggris, pencipta karya seni tulis bahasa dan Sastra Inggris, creativepreneur, dan peneliti/akademisi /instruktur bahasa Inggris yang menguasai dan mengaplikasikan prinsip-prinsip kebahasaan dan kesastraan Inggris dengan menggunakan ketrampilan bernalar (critical thinking) di bidang media (cetak maupun elektronik), penerjemahan, periklanan, kehumasan, perbankan, pariwisata, dan ilmu pengetahuan. 2.2. Mahasiswa.
Pengertian definisi mahasiswa dalam Peraturan Pemerintah RI No.30 tahun 1990 adalah peserta didik yang terdaftar dan belajar di perguruan tinggi tertentu. Selanjutnya menurut Sarwono mahasiswa adalah setiap orang yang secara resmi terdaftar untuk mengikuti pelajaran di perguruan tinggi dengan batas usia sekitar 18-30 tahun. Mahasiswa merupakan suatu kelompok dalam masyarakat yang memperoleh statusnya karena ikatan dengan perguruan tinggi. Mahasiswa merupakan suatu kelompok dalam masyarakat yang memperoleh statusnya karena ikatan dengan perguruan tinggi. Mahasiswa juga merupakan calon intelektual atau cendekiawan muda dalam suatu lapisan masyarakat yang sering kali syarat dengan berbagai predikat. Pengertian Mahasiswa adalah merupakan insan-insan calon sarjana yang dalam keterlibatannya dengan perguruan tinggi (yang makin menyatu dengan masyarakat), dididik dan diharapkan menjadi calon-calon intelektual. Menurut UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab VI bagian ke empat pasal 19 bahwasanya ‚ mahasiswa ‛ itu sebenarnya hanya sebutan akademis untuk siswa/ murid yang telah sampai pada jenjang pendidikan tertentu dalam masa pembelajarannya. Dalam proses pemilihan pekerjaan apa yang sesuai atau diinginkan, setiap individu akan selalu mempertimbangkan segala minat, bakat, potensi, kecerdasakn maupun harapan yang akan dicapai. Jenis pekerjaan yang akan ditekuni nantinya pun merupakan suatu proses atau aktivitas individu dalam usaha mempersiapkan diri untuk memasuki karir yang berhubungan dengan pekerjaan melalui suatu rangkaian proses kegiatan yang terarah dan sistematis, sehingga mampu memilih karis sesuai dengan yang diinginkan atau yang dapat dilakukan. Dalam diri setiap mahasiswa memiliki apa yang disebut minat, bakat, dan potensi karir. Ketiga hal tersebut berbeda antara satu individu dengan yang lainnya. Ketiga hal tersebut merupakan kondisi psikologis dari mahasiswa yang merupakan subyek penelitian ini. Kondisi Psikologi. Beberapa faktor psikologis yang utama, yang dapat mempengaruhi proses dan hasil belajar yaitu: a. Menurut J.P. Chaplin dalam (Slameto, 2003:56 (1)) intelegensi adalah kecakapan yang terdiri dari kecakapan untuk menghadapi dan menyesuaikan diri kedalam situasi yang baru dengan cepat dan efektif, mengetahui atau menggunakan konsepkonsep yang abstrak secara efektif, mengetahui relasi dan mempelajarinya dengan cepat. M. Dalyono dalam (Djamarah, 2000:160 (2)) mengatakan bahwa seseorang yang memiliki intelegensi yang tinggi umumnya mudah belajar dan hasilnya pun cenderung baik. Sebaliknya orang yang intelegensinya rendah cenderung mengalami kesukaran-kesukaran dalam belajar, lambat berpikir, sehingga prestasi belajarnya pun rendah. Namun walaupun demikian, siswa yang memiliki
85
tingkat intelegensiyang tinggi belum tentu berhasil dalam belajarnya. Hal ini disebabkan karena belajar merupakan suatu proses yang kompleks dengan banyak faktor yang mempengaruhinya dan intelegendi merupakan salah satu faktor di antara faktor yang ada. Faktor-faktor tersebut saling mempengaruhi satu sama lainnya. Jika salah satu faktor berpengaruh negatif dalam belajar maka siswa akan gagal dalam belajar. Siswa yang memiliki intelegensi yang tinggi namun tidak mempunyai motivasi belajar yang tinggi maka hasil belajarnya pun akan cenderung rendah. b. Bakat sering diakui sebagai kemampuan bawaan yang merupakan potensi yang masih perlu dikembangkan atau dilatih (Sunarto & Hartono, 1999:119 (3)). Menurut Hilgard, bakat adalah kemampuan untuk belajar. Kemampuan itu baru akan terealisasi menjadi kecakapan yang nyata sesudah belajar atau berlatih. Jadi bakat merupakan faktor yang besar pengaruhnya terhadap proses dan hasil belajar seseorang. Hampir tidak ada orang yang membantah, bahwa belajar pada bidang yang sesuai dengn bakat akan memperbesar kemungkinan berhasilnya usaha tersebut. Akan tetapi, banyak hal-hal yang menghalangi untuk terciptanya kondisi yang sangat diinginkan oleh setiap orang. Dalam perguruan tinggi misalnya, tidak selalu perguruan tinggi tempat orang belajar menjanjikan studi yang benar-benar sesuai dengan bakat orang tersebut. Hal lain yang menjadi penghambat adalah faktor orang tua yang memaksakan kehendaknya untuk menyekolahkan anaknya pada jurusan atau keahlian tertentu tanpa mengetahui bakat yang dimiliki anaknya itu. c. Minat Menurut Slameto (2003:180) minat adalah suatu rasa lebih suka dan rasa ketertarikan pada suatu hal atau aktivitas, tanpa ada yang menyuruh. Minat yang besar terhadap sesuatu merupakan modal yang besar untuk memperoleh benda atau tujuan yang diamati itu. Timbulnya minat belajar dapat disebabkan oleh berbagai hal, antara lain karena keinginan yang kuat untuk menaikkan martabat atau 20 memperoleh pekerjaan yang baik serta ingin hidup senang dan bahagia. Menurut Dalyono dalam (Djamarah, 2000:157) minat belajar yang besar cenderung menghasilkan prestasi yang tinggi, sebaliknya minat belajar yang kurang akan menghasilkan prestasi yang rendah. d. Motivasi menurut Noehi Nasution dalam (Djamarah, 2000:166) motivasi adalah kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Jadi motivasi belajar adalah kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk belajar. Dalam kenyataannya motivasi belajar ini tidak selalu timbul dalam diri siswa. Sebagian siswa memiliki motivasi belajar yang tinggi tetapi sebagian lagi motivasi belajarnya rendah bahkan tidak ada sama sekali. Ngalim
Purwanto (1995: 61 (4)) mengatakan bahwa banyak bakat siswa yang tidak berkembang karena tidak diperolehnya motivasi yang tepat. Jika seseorang mendapatkan motivasi yang tepat, maka akan tercapai hasil belajar yang diinginkan. Motivasi belajar dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: a. Cita-cita atau aspirasi Cita-cita atau aspirasi adalah suatu target yang ingin dicapai oleh seseorang. Menurut W.S Winkel, cita-cita adalah tujuan yang ditetapkan dalam suatu kegiatan yang mengandung makna bagi. Siswa yang memiliki cita-cita yang tinggi akan memiliki motivasi yang tinggi untuk meraihnya. b. Kemampuan Dalam belajar dibutuhkan beberapa kemampuan. Kemampuan ini meliputi beberapa aspek psikis yang terdapat dalam diri siswa, misalnya pengamatan, perhatian, ingatan, daya pikir dan fantasi. c. Kondisi Siswa Kondisi siswa meliputi kondisi jasmani dan rohani yang akan mempengaruhi motivasi belajar. Kondisi siswa yang sedang sakit, lapar atau marahmarah akan mengganggu konsentrasi belajar. d. Kondisi Lingkungan Siswa Lingkungan siswa dapat berupa keadaan alam, lingkungan tempat tinggal, pergaulan teman sebaya, dan kehidupan masyarakat. Sebagai anggota masyarakat , siswa dapat terpengaruh oleh lingkungan sekitar. e. Unsur-unsur dinamis dalam belajar. Unsurunsur dinamis dalam belajar adalah unsurunsur yang keberadaannya dalam proses belajar tidak stabil, kadang-kadang kuat, kadang-kadang lemah, dan bahkan hilang sama sekali, khususnya kondisi-kondisi yang sifatnya kondisional. Misalnya keadaan emosi siswa, gairah belajar, situasi dalam keluarga dll. f. Upaya Guru Dalam Membelajarkan Siswa Upaya yang dimaksud disini adalah bagaimana guru mempersiapkan diri dalam membelajarkan siswa, mulai dari penguasaan materi, cara menyampaikan, menarik perhatian siswa, mengevaluasi hasil belajar siswa. Bila upaya tersebut dilaksanakan dengan berorientasi pada kepentingan siswa maka diharapkan upaya tersebut dapat menimbulkan motivasi belajar siswa. ( Dimyati & Mudjiono, 2002 : 97-100 (5)) e. Emosi Menurut CP. Chaplin, emosi dapat dirumuskan sebagai suatu keadaan terangsang dari individu, mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam sifatnya dan perubahan perilaku. (CP. Chaplin, 1989: 163 (6)). Keadaan emosi yang labil seperti mudah marah, tersinggung, merasa tertekan, merasa tidak aman dapat mengganggu keberhasilan anak dalam belajar. Perasaan aman, gembira, bebas,
86
merupakan aspek yang mendukung dalam kegiatan belajar. 2.3 Karir, Potensi, dan Pilihannya.
Potensi karir adalah kemampuan yang dimiliki dalam diri seseorang yang akan mendukung apa yang dilakukan berdasarkan jenis atau tipe pekerjaan. Dalam potensi karir terdapat pilihan karir. Manusia adalah makhluk yang senantiasa tumbuh dan berkembang. Perkembangan individu juga mencakup perkembangan cita-cita atau pilihan tentang karirnya. Seseorang dalam hidupnya tidak jarang merasa ada bagian dalam dirinya yang ingin dikembangkan guna mencari kepuasan dan juga untuk memenuhi kebutuhannya di masa depan. Pengertian pilihan karir Menurut Winkel (1991:512 (7)) pilihan karir merupakan suatu proses pemilihan jabatan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor psikologis, sosiologis, kultural geografis, pendidikan, fisik ekonomis, dan kesempatan yang terbuka yang bersama-sama membentuk jabatan seseorang, di mana seseorang tadi memperoleh sejumlah keyakinan, nilai kebutuhan, kemampuan, keterampilan minat, sifat kepribadian, pemahaman, dan pengetahuan yang semuanya berkaitan dengan jabatan yang dipangkunya. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam pilihan karir meliputi 2 faktor, internal dan eksternal. Menurut Sukardi (1987:44-45 (8)): 1. Faktor internal: kemampuan intelegensi, bakat, minat, sikap, kepribadian, nilai, hobi, prestasi, keterampilan, penggunaan waktu senggang, aspirasi dan pendidikan sekolah, pengalaman kerja, pengetahuan dunia kera, kemampuan dan keterbatasan fisik, masalah dan keterbatasan pribadi 2. Faktor eksternal: kelompok primer dan kelompok sekunder Perencanaan Pilihan Karir Menurut Sukardi dan Sumiati (1993:23 (9)), merencanakan karir terdiri dari beberapa bagian yaitu: 1. Penilaian diri 2. Menelaah dan eksplorasi jabatan 3. Menyusun jadwal kegiatan 4. mengantisipasi masalah yang timbul 5. Meninjau rencana dan kemampuan diri. Ragam dan jenis pilihan karir terdapat beberapa pilihan yang dipilih untuk kelanjutan karir setelah lulus dari perguruan tinggi, diantaranya adalah melanjutkan ke jenjang pasca sarjana/pendidikan magister (S2), pendidikan profesi, dan bekerja. Klasifikasi pekerjaan menurut Winkel dan Hastuti (1991:749 (10)), pengelompokan macam-macam pekerjaan menurut bidangnya dapat dibagi menjadi , antara lain: 1. teknik dan industry, 2. niaga, 3. perkantoran, 4. pelayanan masyarakat/jasa, dan 5. pekerjaan lapangan.
data berupa angka dan keterangan. Data kuantitatif dalam penelitian ini yaitu data persentase minat dan bakat baik akademik ataupun non-akademik, pilihan karier mahasiswa, faktor penyebab dan relevansi jurusan dengan arah pilih karier yang dipilih, data ini diperoleh melalui penyebaran angket. Sedangkan data kualitatif merupakan hasil wawancara dengan mahasiswa yang memiliki ketertarikan yang beragam antar satu mahasiswa dengan lainnya, memiliki alternatif pilihan karier yang sama, untuk memperoleh informasi yang lebih dalam mengenai alternatif karier yang dipilih tersebut data ini mencakup persiapan yang telah dilakukan mahasiswa dalam memilih karier lanjutan, maupun faktor pendukung dan penghambatnya. Data ini diperoleh melalui wawancara. Pada penelitian awal untuk mengambil data tentang minat, bakat dan potensi karir yang dipilih mahasiswa angkatan 2014 dan 2015 akan dilakukan dengan menyebarkan angket pilihan karier untuk mahasiswa dan dan sumber data kualitatif (subyek penelitian) yang akan diwawancarai untuk memperoleh informasi yang lebih dalam tentang pilihan kariernya. Sampel dalam penelitian ini adalah mahasiswa Prodi Sastra Inggris angkatan 2014 dan 2015, FBS, UNESA. Sesuai dengan data siakad Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris UNESA, terdapat 746 mahasiswa yang terdaftar aktif sebagai mahasiswa Prodi Sastra Inggris dengan detil jumlah 90 mahasiswa angkatan 2014 dan 85mahasiswa angkatan 2015. Sehingga penelitian tersebut tidak menggunakan rumus atau formula tertentu. Setelah sumber data utama didapatkan, penelitian akan melakukan eksperimen 3.2. Lokasi Penelitian
Penelitian tersebut akan dilaksanakan di jurusan bahasa dan sastra inggris UNESA. Lebih tepatnya, di Unesa kampus lidah wetan gedung T4 dan T8. 3.3. Data dan Sumber Data
Penelitian Penelusuran Minat, Bakat dan Potensi Karir Mahasiswa Prodi Sastra Inggris UNESA menggunakan data primer hasil dari kuesioner yang disebarka mahasiswa Prodi Sastra Inggris angkatan 2014 da 2015. Data primer lainnya yaitu data yang diambil dari wawancara dengan mahasiswa. Selain data primer, data sekunder berupa data prestasi mahasiswa jurusan Bahasa inggris tahun 2013-2015 juga akan membantu dalam memberikan informasi pendahuluan tentang kondisi mahasiswa Prodi Sastra Inggris. Data tersebut diambil dari data awal penyusunan boring akreditasi jurusan Bahasa dan sastra inggris UNESA. 3.4. Teknik Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian
3. METODE PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian
Dengan judul “Penelusuran Minat, Bakat dan Potensi Karir Mahasiswa Prodi Sastra Inggris UNESA”, penelitian ini akan melakukan penelitian deskriptif dengan menggunakan desain kuantitatif dan kualitatif (kuantilatif). Data yang dikumpulkan berupa
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner tertutup (responden harus memilih jawaban yang paling sesuai) dan terbuka (responden dapat memformulasikan sendiri jawabannya). Data dikumpulkan dengan menggunakan teknik kuesioner yang rencana akan
87
disebar pada 90 mahasiswa Prodi Sastra Inggris angkatan 2014 dan 85 mahasiswa angkatan 2015. 3.5. Teknik Pengolahan Data
Teknik pengolahan data yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah dengan cara: a. Penyusunan data. b. Klasifikasi data. c. Pengolahan data. d. Interpretasi hasil pengolahan data. Pada penelitian ini akan menggunakan 2 jenis data, data kualitatif dan data kuantitatif. Pengolahan data kualitatif dalam penelitian akan melalui tiga kegiatan analisis yakni sebagai berikut. a) Reduksi data. b) Penyajian data. c) Menarik kesimpulan/verifikasi. Pengolahan Data Kuantitatif meliputi: a) Mengelompokkan data. b) Mengelompokkan Data. Agar data dapat dikelompokkan secara baik, perlu dilakukan kegiatan awal sebagai berikut. (a) Editing, (b) Coding, (c) Tabulating, 4. ANALISA Penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui secara tepat dan benar akan apa yang sedang dihadapi mahasiswa dalam menyambut persiapan mereka menuju duani kerja setelah selama 4 tahun menempuh pendidikan tinggi di jurusan bahasa dan sastra inggris unesa. Pengambilan data sengaja dilakukan pada mahasiswa tahun angkatan 2014 dan 2015 dengan alasan tim peneliti dapat memberikan usulan sekaligus membatu menyelenggarakan kegiatan yang merupakan bagian dari solusi yang ditawarkan untuk diberikan pada mahasiswa.sasaran utama penelitian tersebut adalah mahasiswa. Berangkat dari cerita, keluh, kesah, peran, saran beberapa mahasiswa selama beberapa periode bahwa mahasiswa merasakan ada yang kurang yang belum mereka dapatkan di kelas dan dapat menunjang kemampuan akademik mereka. Mereka yang berpandapat tersebut adalah mahasiswa yang diantaranya telah menempuh ujian sidang skripsi dan menunggu waktu wisuda, mahasiswa yang sedang menempuh masa penyusunan skripsi, dan mahasiswa yang telah lulus namun masih sering bermain ke jurusan bahasa dan sastra inggris,unesa. Dari semua apa yang telah disampaikan secara lisan pada tim peneliti memberikan ide untuk menyusun penelitian guna mencari tahu lebih banyak dan dalam permasalahan yang dihadapi mahasiswa. Dari penelitian awal ini kami menyusun 4 pertanyaan penelitian, yaitu berfokus pada bakat, minat, potensi apa yang dimiliki mahasiswa, dan jenis kegiatan yang merupakan strategi yang dapat dilaksanakan jurusan untuk membekali mahasiswa sebelum terjun ke dunia kerja. Data penelitian berkaitan dengan perntanyaan yang telah disusun didapatkan dengan menyebarkan angket pada mahasiswa prodi sastra inggris angkatan 2014 dan 2015.
4.1 Bakat mahasiswa Prodi Sastra Inggris 2014 dan 2015
Bakat sering diakui sebagai kemampuan bawaan yang merupakan potensi yang masih perlu dikembangkan atau dilatih (sunarto & hartono, 1999:119). Hasil pertama yang didapatkan dari angket adalah petanyaan tentang bakat yang dimiliki oleh masing-masing mahasiswa yang diberi angket. Tabel 1. Bakat mahasiswa Prodi Sastra Inggris 2014 dan 2015 No 1 2 3 4
Bakat Menulis Seni Kemampuan bicara Tidak menjawab
Jumlah 63 56 44 12
Dari 90 mahasiswa angkatan 2014 dan 85 angkatan 2015, semua angket kembali pada tim peneliti dengan data yang lengkap guna membahas 4 pertanyaan diatas (tabel 1). Data pertama adalah perihal bakat yang dimiki mahasiswa. Angket yang kembali pada peneliti 175 dengan rincian 63 memiliki bakat menulis, 56 bakat seni, 44 berbakat dalam kemampuan bicara, dan 12 menyatakan tidak memiliki jawaban. 63 mahasiswa yang memiliki bakat menulis menyatakan secara detil bahwa bakat mereka diantaranya menulis cerita, puisi, drama, teks, essai, dan lirik lagu. Jumlah tertinggi kedua, 56 mahasiswa menyatakan bahwa bakat mereka adalah di dunia seni, diantaranya seni suara, tari, gambar, desain, menghias, beladiri, busana, merangkai, memasak, dan fotografi. Pada tingkat ketiga, 44mahasiswa cenderung menyukai aktifitas yang berhubungan dengan kemampuan berbicara. Pada tingkat keempat 12 mahasiswa masih menyatakan bingung, ragu, dan bahkan tidak tahu meski dalam angket telah diberikan gamabaran sederhana tentang apa yang dimaksud dengan bakat dan minat. Keterangan tersebut bertujuan supaya mahasiswa tidak perlu bingung akan pengertian dari masing-masing kata kunci yang dipakai, bakat,minat, dan potensi karir. Pada pertanyaan kedua, yang merupakan rasa ketertarikan mahasiswa. Minat menurut slameto (2003:180) minat adalah suatu rasa lebih suka dan rasa ketertarikan pada suatu hal atau aktivitas, tanpa adayang menyuruh. Hasil angket kedua adalah pernyataan maahasiswa perihal minat yang mahasiswa miliki.
88
4.2 Minat mahasiswa Prodi Sastra Inggris 2014 dan 2015 Tabel 2. Minat mahasiswa Prodi Sastra Inggris 2015 dan 2016 No 1 2 3 4 5 6 7 8
Minat Menulis Seni Budaya Public speaking Penerjemahan Teknologi informasi Pengajaran Tidak tahu minat yang disukai
Jumlah
total
51 27 27 26 20 7 1 27 175
Sejumlah 51 menyenangi menulis; 27 menyenangi bidang seni, fotografi, masak; 27 senang bidang budaya, pariwisata, periklanan; 26 senang pada bidang public speaking; 20 senang bidang penerjemahan; 7 senang bidang teknilogi informasi, gaming; 1 senang pada pengajaran; dan 27 lainnya tidak tahu apa yang mereka senangi sekaligus bingung. Ragam jawaban pada pertanyaan kedua tersebut berjumlah lebih banyak karena selera yang diminati mahasiswa lebih bervariasi. Hal lainnya adalah mahasiswa juga cederung ingin mengambangkan ketertarikan mereka pada lebih dari 1 bidang. Banyak diantara mereka yang tertarik pada 2-4 bidang. Namun yang dijadikan pedoman pada penelitian ini adalah pada pilihan pertama atau jawaban pertama akan tetapi tetap mempertimbangkan kesesuaian dengan bakat yang mahasiswa miliki. 4.3 Potensi karir mahasiswa Prodi Sastra Inggris 2014 dan 2015
Pada pertanyaan ketiga, tim peneliti berusaha menjaring pendapat dari mahasiswa perihal jenis pelatihan apa yang mereka butuhkan untuk menunjang kemampuan akademik. Potensi karir atau pilihan karir pilihan karir menurut winkel (1991:512) pilihan karir merupakan suatu proses pemilihan jabatan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor psikologis, sosiologis, kultural geografis, pendidikan, fisik ekonomis, dan kesempatan yang terbuka yang bersama-sama membentuk jabatan seseorang, di mana seseorang tadi memperoleh sejumlah keyakinan, nilai kebutuhan, kemampuan, keterampilan minat, sifat kepribadian, pemahaman, dan pengetahuan yang semuanya berkaitan dengan jabatan yang dipangkunya. Tim berhasil menghimpun ragam pelatihan yang dikehendaki mahasiswa, diantaranya: a. Pelatihan dasar menulis b. Pelatihan menulis kreatif c. Pelatihan jurnalistik d. Pelatihan untuk menjadi guru e. Pelatihan akuntansi, perbankan f. Pelatihan dasar/pengenalan menjadi pramugari/a g. Pelatihan membaca al-quran h. Pelatihan enterpreneur i. Pelatihan keorganisasian j. Pelatihan teknologi informasi k. Pelatihan ilmu komunikasi
l. Pelatihan bidang periklanan m. Pelatihan editing n. Pelatihan bidang public speaking/public relation o. Pelatihan kewirausahaan, bisnis p. Pelatihan bidang kepariwisataan q. Pelatihan bidang agama r. Pelatihan bahasa s. Pelatihan penerjemahan t. Pelatihan desain gambar, ruang, busana u. Pelatihan wawancara kerja, psikolog, karakter. Dari sekian banyaknya jenis pelatihan yang diinginkan mahasiswa, pelatihan menulis menjadi jenis yang paling diminati mahasiswa selain pelatihan tersebut merupakan bidang yang ingin dikembangkan oleh jurusan bahasa dan sastra inggris. Dengan teridentifikasinya bakat, minat, ragam pelatihan yang dikehendaki mahasiswa, penelitian ini akan melengkapi data dari mahasiswa dengan jenis profesi atau pekerjaan yang ingin digelui oleh mahasiswa sampai pada pilihan ketiga. Angket yang disebar pada 175 mahasiswa memberikan hasil pilihan selera mahasiswa, yaitu: Tabel 3. Profesi yang diminati mahasiswa Prodi Sastra Inggris 2014 dan 2015. N o 1 2 3 4 5 6 7
8 9
10
Profesi Pengulas dan penyunting karya sastra dan non sastra, Pewarta media cetak dan elektronik, Copy editor Copywriter, Penulis cerita, Penulis naskah (scriptwriter), Penerjemah (Translator/Intepreter/Subtitler/transkrips ionist), Peneliti, akademisi /instruktur bahasa inggris Di bidang media (cetak maupun elektronik), kehumasan, periklanan, perbankan, pariwisata, dan ilmu pengetahuan/pendidikan, lain-lain (pendakwah, penceramah). total
Jumla h 9 23 14 17 28 14 24
19 27
5 175
Dari 175 mahasiswa yang memberikan respon balik didapat jumlah terbanyak jenis pekerjaan yang ingin ditekuni mahasiswa Prodi Sastra Inggris dari jumlah tertinggi sampai terendah adalah penulis cerita, di bidang media, penerjemah, pewarta media cetak dan elektronik, peneliti akademisi, copywriter, copyeditor, penulis naskah, pengulas dan penyunting karya sastra dan non sastra, dan lain-lain. 4.4 Pengembangan strategi pembinaan bakat, minat, dan potensi karir mahasiswa prodi sastra inggris angkatan 2014 dan 2015
Dari keseluruhan data yang diperoleh, dapat disampaikan bahwa 63 mahasiswa memiliki bakat menulis, mencapai nilai paling tinggi. Memiliki jumlah mahasiswa yang minat menulis juga dipilih oleh 51 orang. Jenis pelatihan yang diminati mahasiswa dan jenis profesi yang ingin ditekuni mahasiswa setelah lulus adalah menulis, meraih jumlah mahasiswa paling tinggi. Hal tersebut
89
menunjukkan bahwa kedepannya prodi dapat memberikan perhatian lebih pada program atau kegatan yang menunjang aktivitas menulis. Kegiatan menulis tersebut dapat divariasi diantaranya menulis cerita, naskah, essai, berita, makalah, artikel, laporan, dan blog. Frekuensi penyelenggaraan pelatihan dapat dilakukan minimal 1 kali dalam 1 semester dengan nama pelatihan yang berbeda. Frekuensi pelatihan juga dapat disesuaikan jumlahnya dengan kegiatan peningkatan kemampuan non-akademik mahasiswa yang juga akan diselenggarakan untuk mahasiswa, diantaranya kewirausaan dan basar, workshop dasar menulis untuk mahasiswa baru, dan pelatihan keorganisasian dasar-menengah-lanjutan. Jenis pelatihan lainnya yaitu pelatihan public speaking, perbankan, perhotelan, enterpeneurship, periklanan, komputer, teknologi informasi, seni (desain, gambar, fotografi, dekorasi, busaha, gerak), dan sebagainya. Namun begitu beberapa kegiatan pengembangan potensi mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris sudah dapat terakomodasi oleh kegiatan yang diselenggarakan oleh HMJ (Himpunan Mahasiswa Jurusan) melalui beberapa divisi kegiatan, yaitu bola basket, futsal, sepakbola, musik, drama, iro-iro (gambar animasi), media, SKI, dance, dan fotografi. Dalam satu tahun masing-masing divisi memiliki kegiatan rutin dan insidentil (lomba atau penampilan). Penelitian ini juga merencanakan diadakannya pelatihan sederhana tentang menulis yang diisi oleh alumni mahasiswa Prodi Sastra Inggris. Agung Putu Iskandar adalah alumni Prodi Sastra Inggris yang menekuni bidang jurnalisme. Agung pernah menjadi wartawan harian pagi Jawa Pos dan sekarang menjadi tetap menjadi penulis lepas beberapa media cetak surabaya dan jakarta. Pelatihan menulis yang dihadiri oleh 30 mahasiswa, diselenggarakan gratis selama 4 jam dengan memakai format workshop dengan target beberapa tulisan mahasiswa dapat dimasukkan sebagai bahan tulisan majalah jurusan edisi 2. Kegiatan ini berhasil dilaksanakan pada hari Rabu, 9 November 2016 memakai ruang kelas T8.01.02 mulai pukul 9.0013.00. Selanjutnya akan dijadwalkan pelatihan menulis oleh alumni mahasiswa Prodi Sastra Inggris Kuntari dengan tema pelatihan menulis kreatif. Kuntari adalah penulis cerita dan beberapa kali berhasil membuat tulisan scriptwriter di beberapa perusahaan televisi swasta di Jakarta. Saat ini Kuntari juga menekuni dunia tulisan melalui dunia maya.
5. DAFTAR PUSTAKA [1]. Slameto, (2003). Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta. [2]. Djamarah, S.B, (2000). Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif. Jakarta. Rineka Cipta [3].Sunarto H. dan Hartono, B.Agung, (1999). Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: PT Rineka Cipta. [4]. Purwanto, Ngalim, (1995). Psikologi Pendidikan, Bandung : PT Remaja Rosdakarya. [5]. Dimyati & Mudjiono, (2002). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. [6]. Chaplin, C.P, (1989). Kamus Lengkap Psikologi. (diterjemahkan Kartini Kartono). Jakarta: Rajawali Press. [7]. Winkel W.S, (1991). Bimbingan dan Konseling di Sekolah Menengah. Jakarta: PT. Grasindo. [8]. Sukardi, Dewa Ketut, (1987). Bimbingan Karir di Sekolah. Jakarta: Ghalia. [9]. Sukardi, Dewa Ketut dan Sumiati, Desat Mede, (1991). Panduan Perencanaan Karir. Surabaya: Usaha Nasional. [10]. Winkel, W.S; Hastuti, Sri, (2007). Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Yogyakarta : Media Abadi.
90
Pengembangan Model Pendidikan Guru Bidang Sains dan Teknologi di Era Digital Muchlas Samani1*), Mochamad Cholik2, I.G.P. Asto Buditjahjanto3. 1.
Pendidikan Teknik Mesin, Universitas Negeri Surabaya. Email: [email protected] Pendidikan Teknik Mesin, Universitas Negeri Surabaya Email: m.cholik @unesa.ac.id 3. Teknik Elektro. Universitas Negeri Surabaya. Email: [email protected] *) Alamat Korespondesi: Email: [email protected] 2.
ABSTRACT In fact, technology is changing patterns of human life. Digital technology has changed the patterns of life and work. Various studies have found digital era requires competence different working with industrial era. Competence or the 21stcentury digital era leads to multi-tasking, cross-culture collaboration, and creativity. Far different from the competence of the industrial era that relies on manual skills are specialized and dominated by direct instruction (DI). Seen through the lens of education, graduated from Vocational High School greatly affected the above changes, because changes in the pattern of employment in the industry have consequences for the changing patterns of teaching in schools. The subjects productive in SMK which has a core of learning technology, it is inevitable to be in contact automation, the pattern of learning is different from the direct instruction (DI), Project based learning (PBL), or a problem-based learning. in connection with the learning of the digital age that leads to multi-tasking, cross-culture collaboration, and creativity, it needs to be thought appropriate learning conditions in the 21st century. Project based learning (PBL) and problem-based learning have the potential to foster creativity, but the practice learning SMK technology has the risk of equipment damage and accidents, it is not easy to apply the pattern of learning for learning in vocational school in the 21st century requires a touch of automation. With respect to the necessary learning patterns above, it is necessary depth study and collaborates on appropriate learning patterns that are likely to be applied in Vocational Education. Keywords: collaboration learning patterns,
ABSTRAK Secara fakta teknologi mengubah pola kehidupan manusia. Teknologi digital telah mengubah pola hidup dan pola kerja. Berbagai studi menemukan era digital memerlukan kompetensi kerja yang berbeda dengan era industri. Kompetensi era digital atau abad 21 mengarah ke multi tasking, cross culture collaboration dan kreativitas. Jauh berbeda dengan kompetensi era industri yang bertumpu pada keterampilan manual yang terspesialisasi dan didominasi oleh direct instruction (DI). Dilihat dari kacamata pendidikan, lulusan Sekolah Menengah Kejuruan sangat terpengaruh perubahan di atas, karena perubahan pola kerja di industri membawa konsekwensi perubahan pola pembelajaran di sekolah. Mata pelajaran produktif di SMK yang memiliki inti pembelajaran teknologi, tidak dapat dihindarkan akan bersentuhan otomasi, yang pola pembelajarannya tentu berbeda dengan direct instruction (DI), Project based learning (PBL), atau pembelajaran berbasis masalah. Berkaitan dengan pembelajaran era digital yang mengarah ke multi tasking, cross culture collaboration dan kreativitas, maka perlu pemikiran pembelajaran yang sesuai kondisi di abad 21 ini. Project based learning (PBL) dan pembelajaran berbasis masalah punya potensi untuk menumbuhkembangkan kreativitas, tetapi pembelajaran praktik SMK Bidang Teknologi yang memiliki resiko kerusakan alat dan kecelakaan, tidak mudah menerapkan pola pembelajaran tersebut untuk pembelajaran di SMK yang pada abad 21 ini memerlukan sentuhan otomasi. Sehubungan dengan pola pembelajaran yang diperlukan di atas, maka perlu kajian yang mendalam dan berkolaborasi terhadap pola pembelajaran yang sekiranya tepat untuk diterapkan di Sekolah Menengah Kejuruan. Kata kunci: kalaborasi pola pembelajaran,
1. PENDAHULUAN Universitas penghasil guru (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan/LPTK) yang menghasilkan guru Sekolah Menengah Bidang Sains dan Teknologi telah menyiasati dengan cara menghadirkan matakuliah Praktek Industri dengan tujuan agar mahasiswa calon guru belajar perkembangan teknologi di dunia industri yang dalam kenyataannya lebih cepat beradaptasi dengan perkembangan teknologi. Beberapa Sekolah Menengah Bidang Sains dan Teknologi yang maju juga menyiasati dengan mengirim guru untuk “magang” di industri. Namun siasat tersebut belum sepenuhnya mampu menutup gap antara kemajuan teknologi yang digunakan di industri dengan yang ada di sekolah/univesitas penghasil guru. Pada hal kemajuan teknologi semakin cepat dan dunia industri juga terus berpacu satu dengan lainnya untuk
menggunakan teknologi terbaru. Sementara universitas penghasil guru tentu sangat berat untuk mengikuti persaingan itu. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), khususnya Bidang Teknologi paling banyak terimbas perkembangan tersebut, karena lulusannya diharapkan segera terjun bekerja di industri yang mengalami perubahan cepat. Oleh karena itu banyak riset untuk menemukan model Pendidikan Teknologi dan Kejuruan (PTK) yang di dalamnya tercakup SMK. Jika model pembelajaran berubah karena dampak teknologi, tentunya peran guru juga akan berubah dan pada akhirnya kemampuan guru yang diperlukan juga akan berubah. Sampai saat ini pendidikan guru masih menggunakan model pendidikan untuk melayani pembelajaran yang dirancang untuk era industri. Ketika pola pembelajaran berubah akibat era informasi
91
yang dipacu teknologi digital, tentu diperlukan perubahan kompetensi gurunya. Pada hal saat inipun dari sekolah bidang teknologi sudah sering mengeluhkan pendidikan calon guru yang dianggap kurang dapat mengikuti perkembangan. Apa yang dipelajari di sekolah tertinggal dengan perkembangan teknologi di industri, sehingga ketika mengajar, apa yang dijelaskan sudah tertinggal dengan perkembangan teknologi di industri. Project based learning (PBL) dan pembelajaran berbasis masalah punya potensi untuk menumbuhkembangkan kreativitas, tetapi pembelajaran praktik SMK Bidang Teknologi yang memiliki resiko kerusakan alat dan kecelakaan, tidak mudah menerapkan pola pembelajaran tersebut untuk pembelajaran di SMK yang pada abad 21 ini memerlukan sentuhan otomasi. Mata pelajaran produktif di SMK yang memiliki inti pembelajaran teknologi, tidak dapat dihindarkan akan bersentuhan otomasi, yang pola pembelajarannya tentu berbeda dengan direct instruction (DI), Project based learning (PBL), atau pembelajaran berbasis masalah. Berkaitan dengan pembelajaran era digital yang mengarah ke multi tasking, cross culture collaboration dan kreativitas, maka perlu pemikiran pembelajaran yang sesuai kondisi di abad 21 ini. Pembelajaran yang banyak melibatkan tentang otomasi berkaitan dengan perkembangan teknologi mutakhir yang membahas tentang diagram elektrik yang digunakan di industri dan menjadi dasar dalam perancangan sebuah sistem produksi yang terotomasi, berbagai peralatan yang digunakan untuk menyusun sebuah sistem otomasi, sistem komunikasi data, dasar sistem pengendalian peralatan di industri, perancangan part dan perencanaan proses dengan memperhatikan sistem produksi yang terotomasi, teknologi dan pemrograman CNC, industrial logic control systems, Programmable Logic Controllers (PLC), dan sistem otomasi terintegrasi (CAD/CAM). Saat ini sudah mulai muncul riset dan pengembangan pola pembelajaran yang dianggap cocok dengan era informasi. Trillling dan Fadel (2009) menjelaskan bagaimana inovasi yang dilakukan di The Napa New Tech High School di Nothern California. Cepat munculnya temuan baru membuat dinamika perkembangan pendidikan juga cepat berubah. Jika tidak apa yang dipelajari di sekolah (universitas) akan usang ketika siswa/mahasiswa lulus dan terjun ke lapangan kerja. Itulah yang dikeluhkan oleh Wagner (2008) dalam buku The Global Achievement Gap: Why Even Our Best Schools Don’t Teach the New Survival Skills Our Children Need and What We Can Do About It. Wagner menggambarkan lapangan berkembang sangat cepat sebagai dampak teknologi, sementara sekolah belum banyak berubah. Uraian di atas memberi gambaran seperti apa model pembelajaran untuk SMK di era digital. 2. KAJIAN TEORI 2.1 Pokok-Pokok Kompetensi di Era Digital
Perkembangan teknologi sedemikian cepatnya, cetak berwarna sejelas gambar yang dicontoh sulit dibedakan mana yang tiruan dan yang asli, di Jepan dikembangkan alat pengirim bau (aroma). Jelasnya apakah resep bumbu rendang yang dimasak oleh orang Padang sama aromanya dengan yang dimasak oleh orang Jepang di Tokyo yang pada waktu yang sama mereka memasak di tempat yang berbeda. Kedua orang yang dimaksud dapat bertukar aroma masakannya. Ini adalah perkembangan teknologi yang luar biasa. Dengan kemajuan teknologi tersebut, akan banyak pekerjaan yang semula dianggap tidak mungkin sekarang dapat terwujud, yang semula ditangani manusia akan diambil alih oleh “alat”, yang lebih cermat, lebih cepat dan lebih tidak berisiko. Akan terjadi pembagian pekerjaan apa yang sebaiknya dikerjakan oleh manusia dan apa yang dikerjakan oleh alat. Schmidt dan Cohen (2014: 254-255) menggambarkan: “In the future, computers and humans will increasingly split duties according to what each does well. We will use human intellegence for judgment, intuition, nuance and uniquely human interaction; we will use computing power for infinite memory, infinitely fast processing and actions limited by human biology. We will use computers to run how they are interrogated and handled thereafter will remain the purview of human and their lawa. Robots in combat will prevent death through greater precision and situational awareness, but human judgments will determine the context in which they are used and what actions they can take.” Apa yang diungkapkan oleh Schmidt dan Cohen tersebut sudah dapat kita saksikan indikatornya. Mahasiswa Teknik Perkapalan sudah tidak perlu susah menghitung perencanaan bangunan kapal yang sangat ribet. Perhitungan dapat dilakukan oleh software, sehingga tugas mahasiswa adalah memikirkan desain dengan segala pertimbangannya. Membuat peta daerah dengan pesawat tak berawak yang dapat menjelejah tempat-tempat yang sulit dengan resiko yang kecil. Masih banyak contoh lain yang menunjukkan mana pekerjaan yang lebih baik dilakukan oleh alat dan mana pekerjaan yang harus ditangani oleh manusia, karena tidak dapat dilakukan oleh mesin. Dengan fenomena itu terjadi pergeseran kemampuan atau kompetensi yang diperlukan untuk bekerja di masa depan yang ternyata berbeda dengan masa lalu. Wagner (2008) menyebutnya dengan the survival skills, sebagai berikut: 1. critical thinking and problem solving, 2. collaboration across network and leading by infulence, 3. agility and adaptibility, 4. initiative and entrepreneurialism, 5. effective oral dan written communication, 6. accesing and analyzing information, dan
92
7. curiosity and imagination. Serupa dengan hal itu, Trilling dan Fadel (2009) menyampaikan apa yang dia sebut kompetensi abad 21 (21st Century Skills), sebagai berikut: 1. learning and innovation yang mencakup critical thinking and problem solving, communication and collaboration, creativity and innovation; information, 2. media and technology skills yang mencakup: information literacy, media literacy and ICT literacy, dan 3. life and carrer skills yang mencakup flexibility and adaptability, initiative and self direction, social and cross-cultural interaction, productivity and accountability and leadership and responsibility. Kalau di cermati, apa yang dikatakan oleh Wagner (2008) dan Trilling dan Fadel (2009) itu merupakan konsekwensi dari pola kerja di era digital. Studi Samani (2014) menemukan urutan bekerja di era digital sebagai berikut: 1. Mencari informasi. Dalam bekerja orang akan selalu menghadapi masalah untuk dipecahkan dan atau mencari sesuatu untuk dikembangkan. Untuk itu langkah awal adalah mencari informasi yang relevan. Di era digital, maka melek informasi dan melek ICT menjadi modal penting. Rasa ingin tahu (curiosity) sangat penting untuk mendorong mencari informasi. 2. Jika informasi sudah diperoleh, tahap berikutnya akan menganalisnya secara kritis dan menggunakan hasil analisis itu untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Pemecahan masalah harus dilakukan secara arif dan kreatif. Arif artinya tidak boleh menabrak norma kehidupan, kreatif artinya melalui cara-cara yang baru. Disinilah pentingnya daya imaginasi. 3. Dalam bekerja, kemampuan fleksibilitas, adaptasi, komuniasi dan kerjasama sangat penting, karena hampir tidak ada pekerjaan yang tidak dikerjakan dalam tim. Smart team seringkali lebih penting dari individu yang pandai. Tentu harus dicatat bahwa apa yang dikemukakan oleh Wagner, Trilling dan Fadel serta Samani tersebut terkait dengan bidang keahlian yang ditangani. Dalam istilah lain, soft skills tersebut harus dipadukan dengan hard skills (bidang keahlian), sehingga menjadi utuh menjadi apa yang disebut dengan life skills. Uraian diatas menunjukkan bahwa kompetensi esensial di era di era digital sangat berbeda dengan kompetensi esensial di era industri. Dari kacamata pendidikan yang bertugas menyiapkan anak didik memasuki era tersebut, muncul pertanyaan penting
yaitu “pola pembelajaran seperti apa yang tepat untuk menumbuhkembangkan kompetensi tersebut”. 2.2 Model Pembelajaran pada Sekolah Menengah Kejuruan di Era Digital 2.2.1 Model Pembelajaran dalam Kurikulum K13 Kurikulum 2013 menggunakan 3 (tiga) model pembelajaran utama (Permendikbud No. 103 Tahun 2014) yang diharapkan dapat membentuk perilaku saintifik, perilaku sosial serta mengembangkan rasa keingintahuan. Ketiga model tersebut adalah: model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning), model Pembelajaran Berbasis Projek (Project Based Learning), dan model Pembelajaran Melalui Penyingkapan/Penemuan (Discovery/Inquiry Learning). Disamping model pembelajaran di atas dapat juga dikembangkan model pembelajaran Production Based Education (PBE) sesuai dengan karakteristik pendidikan menengah kejuruan. Tidak semua model pembelajaran tepat digunakan untuk semua KD/materi pembelajaran. Model pembelajaran tertentu hanya tepat digunakan untuk materi pembelajaran tertentu. Sebaliknya materi pembelajaran tertentu akan dapat berhasil maksimal jika menggunakan model pembelajaran tertentu. Oleh karenanya guru harus menganalisis rumusan pernyataan setiap KD, apakah cenderung pada pembelajaran penyingkapan (Discovery/Inquiry Learning) atau pada pembelajaran hasil karya (Problem Based Learning dan Project Based Learning) 2.2.2 Model Pembelajaran Tingkat Tinggi Berpikir merupakan bagian dari ranah kognitif, hirarki Bloom yang terdiri atas tingkatan-tingkatan. Bloom mengkalisifikan ranah kognitif ke dalam enam tingkatan: (1) pengetahuan (knowledge); (2) pemahaman (comprehension); (3) penerapan (application); (4) mengalisis (analysis); (5) mensintesakan (synthesis); dan (6) menilai (evaluation). Keenam tingkatan ini merupakan rangkaian tingkatan berpikir. Berdasarkan tingkatan itu, maka dapat diketahui bahwa berpikir untuk mengetahui (knowledge) merupakan tingkatan berpikir yang paling bawah (lower) sedangkan tingkatan berpikir paling tertinggi (higher) adalah menilai (evaluation). Separuh dari hirarki Bloom ini adalah berpikir tingkat bawah yang terdiri atas: (1) pengetahuan (knowledge); (2) pemahaman (comprehension); (3) penerapan (application). Sedangkan separuh hirarki Bloom yang lain adalah berpikir tingkat atas yang terdiri atas: (4) mengalisis (analysis); (5) mensintesakan (synthesis); dan (6) menilai (evaluation). Dalam Wikipedia Indonesia, berpikir tingkat tinggi adalaha concept of Education reform based on learning taxonomies such as Bloom’s Taxonomy. The idea is that some types of learning require more cognitive processing than others, but also have more
93
generalized benefits. In Bloom’s taxonomy, for example, skills involving analysis, evaluation and synthesis (creation of new knowledge) are thought to be of a higher order, requiring different learning and teaching methods, than the learning of facts and concepts. Higher order thinking involves the learning of complex judgmental skills such as critical thinking and problem solving. Higher order thinking is more difficult to learn or teach but also more valuable because such skills are more likely to be usable in novel situations (i.e., situations other than those in which the skill was learned). Dari definisi itu maka dapat dikatakan berpikir tingkat tinggi membutuhkan berbagai tahapan pembelajaran dan pengajaran yang berbeda, tidak hanya mempelajari fakta dan konsep semata. Dalam berpikir tingkat tinggi meliputi aktivitas pembelajaran terhadap keterampilan dalam mengambil sikap yang bersifat kompleks. Berpikir tingkat tinggi adalah berpikir pada tingkat lebih tinggi daripada sekedar menghafalkan fakta. Berpikir tingkat tinggi secara singkat dapat dikatakan sebagai pencapaian berpikir terhadap pemikiran tingkat tinggi dari sekedar pengulangan fakta-fakta. Berpikir tingkat tinggi mengharuskan melakukan sesuatu atas faktafakta, dengan harus memahamnya, menghubungkan, memanipulasi, menyandingkan, menggabungkan dengan yang serupa untuk menjadikan sesuatu yang baru dengan cara dan metode yang lain. dan menerapkannya dalam mencari terobosan baru terhadap persoalan-persoalan yang perlu dicarikan jawaban. Berkaitan dengan model pembelajaran tingkat tinggi di SMK kiranya perlu memperhatikan hal-hal yang berkaiatan dengan apa yang berdapat dalam berpikir tingkat tinggi sebagaimana tertulis diatas.
2.3 Pembelajaran dalam Dunia Usaha dan Industri Praktek Kerja Lapangan (PKL) dalam Kurikulum 2013 atau yang sering lebih dikenal sebagai Praktek Kerja Industri (PRAKERIN) merupakan Program pembelajaran yang dilaksanakan secara khusus dengan mengambil alokasi waktu tertentu dan melibatkan pihak lain diluar sistem sekolah. Tempat pelaksanaan prakerin bisa jadi Dunia Industri atau Dunia Usaha. PKL pada kurikulum 2013 disusun bersama antara sekolah dan masyarakat (Institusi Pasangan/Industri) dalam rangka memenuhi kebutuhan peserta didik, sekaligus merupakan wahana berkontribusi bagi dunia kerja (DU/DI) terhadap upaya pengembangan pendidikan di SMK. Tujuan Praktik Kerja Lapangan (PKL) antara lain sebagai berikut: 1. Memadukan secara sistematis dan sistemik program pendidikan di sekolah (SMK) dan program latihan penguasaan keahlian di dunia kerja (DU/DI).
sekolah (SMK) dan yang dapat dilaksanakan di Institusi Pasangan (DU/DI) sesuai dengan sumberdaya yang tersedia di masing-masing pihak. 3. Memberikan pengalaman kerja langsung kepada peserta didik di DU/DIdalam rangka menanamkan iklim kerja positif yang berorientasi pada peduli mutu proses dan hasil kerja. 4. Memberikan bekal etos kerja, sikap kerja, disiplin kerja yang tinggi bagi peserta didik untuk memasuki dunia kerja dalam menghadapi tuntutan pasar kerja global. (https://haedarrauf.wordpress.com) Uraian di atas memberi gambaran jelas bahwa dengan adanya prakerin memberi kesempatan kepada dunia usaha dan industri untuk ikut berpartisipasi dan bertanggungjawab dalam melaksanakan pendidikan SMK. Prakerin ini memberi bekal kepada siswa SMK tentang kerja nyata di industri. Kerja nyata ini sangat erat dengan teknologi yang berkembang saat ini. Sehingga melalui prakerin ini siswa dapat segera mengetahui dan memiliki pengalaman tentang perkembangan teknologi yang berkembang dewasa ini. 2.4 Hasil Kajian Literatur dan Studi Banding di Jerman Model pembelajaran akan sangat menentukan kompetensi yang dihasilkan, sehingga harus dirancang sebaik-baiknya. Trailling dan Fadel memberikan contoh bagaimana menggabung kan tiga ranah kompetensi, kognitif, afektif dan psikomotor dalam satu kesatuan utuh melalui Learning Bicycle model, seperti Gambar 1. Model pembelajaran harus punya keseimbangan antara guided instruction dengan collaborative insruction. Guided instruction diperlukan pada tahap awal belajar untuk menghindari kekeliruan kerja yang sangat mungkin berisiko. Namun pola itu harus diakhiri, ketika siswa sudah cukup terampil dan saatnya diberikan kesempatan belajar mandiri secara kelompok (collaborative construction). Dan pada akhir tahapan, siswa perlu mendapatkan kesempatan memecahkan masalah dengan mendapatkan trouble shooting lewat project based learning (PjBL) atau paling tidak problem based learning (PBL).
2. Membagi topik-topik pembelajaran dari Kompetensi Dasar yang dapat dilaksanakan di
94
Gambar 1. 21st Century Project Learning Bicycle Model (Sumber: Trilling & Fadel, 2009) Menurut riset Trilling dan Fadel, model pembelajaran harus memberikan tantangan agar merangsang munculnya keinginan siswa untuk mecapai itu. Namun tantangan itu tidak boleh terlalu tinggi, sehingga membuat siswa takut mencobanya. Lingkungan sekolah termasuk guru harus memberikan keyakinan siswa mampu menguasai LA yang dipelajari, karena dukungan seperti itu ibarat angin yang mendorong siswa dari belakang. Bagaimana lingkungan itu diciptakan? Gambar 2 menunjukkan bagaimana guru yang tidak mengajar, tetapi siap untuk memberikan pencerahan, memandu dan memotivasi siswa ketika memecahkan masalah. Siswa bekerja secara kelompok dan guru siap di sekitarnya tanpa memberitahu apa-apa, kecuali siswa yang meminta atau ada hal yang membayakan. Ketika siswa bertanya guru tidak memberikan jawaban langsung, tetapi justru memandu agar siswa menemukan sendiri jawabannya. Misalnya dengan mengajukan guided question atau probling question.
Gambar 2. Learning Enviroment to Support Students’ Learning (Sumber: Trilling & Fadel, 2009) Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa setiap semester siswa TVET di Jerman mempelajari 2 LA. Setiap LA dipelajari selama 3 minggu di sekolah dan 6 minggu (2x3 minggu) di DUDI. Pembelajaran di sekolah difokuskan pemahaman konsep sampai dengan logika teoritiknya. Untuk itulah konsep/teori
pendukung LA, misalnya Matematika, Fisika, Kimia dan sebagainya dipelajari saat itu. Tahapan ini penting agar siswa memahami kemengapaannya. Misalnya Konsep siswa belajar LA tentang sistem roda, tentu konsep Fisika mekanika, kinematika dan dinamika terapan sederhana perlu dipelajari agar dapat mengerti mengepa roba balans atau tidak, mengapa posisi roda depan mobil distel seperti itu, mengapa ketika mengganti ban mobil ban yang baru selalu dipasang di roda depan dan sebagainya. Konsep itu dipelajari secara terpadu dengan LA sistem roda dan diajarkan oleh guru bidang TVET dan bukan guru MIPA. Ternyata cara itu lebih efektif karena antara LA dengan konsep mendukung menjadi satu kesatuan, sehingga peserta langsung memahami. Dari aspek waktu juga efisien, karena siswa hanya memperlajari konsep pendukung yang benar-benar diperlukan dalam bekerja. Namun guru harus memiliki bekal cukup tentang konsep pendukung agar mampu menjelaskan dengan baik. Ketika selama 6 minggu di DUDI, siswa langsung belajar mempraktekkan apa yang sudah dipelajari di sekolah. Namun karena apa yang dipelajari di sekolah dan dipelajari di DUDI sudah dirancang, maka perpindahan belajar dari sekolah ke DUDI tidak menjadi masalah. Itulah salah satu kelebihan gual system di Jerman. Mengapa DUDI bersedia ketempatan belajar siswa TVET? Ternyata DUDI mendapat manfaat dari keberadaan siswa yang sedang praktek karena dianggap dan diperlakukan sebagai orang yang magang dengan tanpa membayar. Mengapa hal itu dapat terjadi? Pengaturan jumlah siswa yang sesuai dengan daya tampaung DUDI, pemberian bekal yang baik sehingga siswa dapat langsung berkerja sebagai orang magang, serta pengaturan jadwal belajar yang baik yang menguntungkan DUDI. 3. METODE PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk menemukan kompetensi lulusan Sekolah Menengah Bidang Sains dan Teknologi di era digital, model pembelajaran yang tepat untuk menghasilkan lulusan tersebut, kompetensi guru yang mampu mengelola pembelajaran tersebut dan model pendidikan guru yang mampu menghasilkan guru itu. Penelitian menggunakan metode kualitatif yang memiliki karakter eksploratori, sehingga dapat mengungkap apa dibalik yang tampak (Flick, 2009: 28). Eksplorasi informasi dilakukan dengan sungguh-sungguh, dengan melacak ke dokumen, observasi di Sekolah Menengah Bidang Sains dan Teknologi maupun lembaga pelatihan yang setingkat dengan itu, wawancara dengan guru, instruktur serta focus group discussion (FGD) dengan para guru, sehingga ditemukan rangkaian informasi yang komprehensif. Walaupun menggunakan metode penelitian kualitatif bukan berarti tidak menggunakan data kuantitatif. Data kuantitatif tetap diperlukan, misalnya mencari frekwensi mana kompetensi yang penting dan
95
yang kurang. Namun pemaknaannya tidak diarahkan untuk generalisasi, melainkan mendeskkripkan suatu fenomena secara kasuistik dan untuk itu selalu dikonformasikan melalui wawancara mendalam. 3.1 Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan: (1) studi literatur dan dokumen, (2) observasi terhadap fenomena yang relevan, (3) wawancara semi terstruktur yang diikuti dengan wawancara mendalam (indepth interview), dan (4) focus group discussion (FGD) studi banding ke Jerman sebagai negara maju dan memiliki tradisi pendidikan menengah bidang sains dan teknologi sangat baik. Kelima metode pengumpulan data diterapkan secara simultan dan saling melengkapi. Studi literantur dan dokumen difokuskan untuk mendapatkan konsep dan teori serta kajiankajian masa depan, serta berbagai informasi di negara maju. Artikel dalam jornal IJRVET (International Journal on Research for Vocational Education and Research) dikaji secara mendalam, karena banyak yang memuat inovasi pembelajaran yang relevan. Hasil riset Roland Burger Strategis Consutants (2011) yang dimuat dalam Compadium 2013 dikaji mendalam, khususnya bagian T5 tentang dynamic technoogy and innovation yang memberi gambaran perkembangan inovasi teknologi yang akan masuk ke bidang pendidikan. Hasil riset majalah The Econimist (2015) yang dimuat dalam Driving Skills Agenda: Preparing Students for the Future juga dikaji secara mendalam karena memberi gambaran kompetensi yang sangat diperlukan di era digital. Observasi dilaksanakan secara cermat untuk mengetahui pola pembelajaran yang saat ini terjadi, baik yang konvensional maupun yang inovatif, baik di Sekolah Menengah Bidang Sains, baik di ruang kelas maupun workshop. Sesudah observasi disambung dengan wawancara mendalam (indepth interview) dengan guru untuk mengetahui mengapa pembelajaran dilaksanakan seperti itu. Wawancara sekaligus untuk mengetahui kompetensi guru, baik dalam isi materi yang diajakarkan maupun pedagogik sebagai bekal mengajar. 3.2 Pengembangan Model Pengembangan model pembelajaran menggunakan metode stratejik instruktional (instructional strategies model) dari Taba (Luneburg, 2011:3-4) yang merupakan model induktif. Model ini dipilih karena bertumpu pada faktor eksternal, yaitu perubahan teknologi yang sangat berpengaruh pada program pendidikan. Di samping itu model ini mempunyai argumentasi teoritik yang sangat kokoh, walapun relatif lebih kompleks, Model selengkapnya tampak pada Gambar 3.
Gambar 3. Metode Stratejik Instruksional Pada tahun kedua, yaiu tahap pengembangan model pendidikan guru Sekolah Menengah Bidang Sains dan Teknologiakan digunakan metode systematic-aestetic dari Eisner. Metode ini dipilih karena sangat komprehensif dan tidak hanya melihat kurikulum tetapi juga struktur lembaga sekolah/universitas. Yang dimaksud dengan struktur sekolah tidak hanya struktur organisasi di dalam sekolah, tetapi juga hubungannya dengan lembaga lain khususnya pihak pengguna lulusan. Pada gambar 4 tampak bahwa lima komponen model (konsep dasar kurikulum, pengendalian mutu pembelajaran, model evaluasi hasil belajar, evaluasi program sekolah secara komprehensif dan struktur kelembagaan) saling terhubung dengan anah panah restropektif, sehingga menunjukkan adanya saling mempengaruhi. Dengan demikian penyelarasan harus dilakukan secara komprehensif untuk semua komponen.
Gambar 4. Model Systematic-Aestetic Mengingat tujuan ini mengembangkan model pendidikan guru Sekolah Menengah Bidang Sains dan Teknologi di era digital yang sangat mungkin masih asing bagi kalangan LPTK, maka perbandingan dengan model pendidikan guru di negara maju akan menjadi salah satu data penting. Berdasarkan data tersebut akan dikembangkan draft model untuk Indonesia dengan metode systematic-aestetic. Draft
96
tersebut selanjutnya akan divalidasi dengan expert review dan teknik Delphi. 3.3 Analisis Data Data dianalisis dengan analisis isi (content analysis) karena dapat memaknai data-data naratif hasil wawancara, data deskriptif hasil observasi dan FGD maupun data dokumen dan literatur [13]. Pemaknaan berbagai jenis data yang berbeda bentuk sangat penting agar dapat disambungkan untuk membangun sebuah proposisi. Sebelum dilakukan analisis, validasi data dilakukan secara silang (cross validity) dan triangulasi, sesuai dengan jenis datanya. Validasi silang diterapkan untuk menguji validitas informasi yang data yang diperoleh dari sumbe yang berbeda, yaitu dokumen, wawancara, FGD maupun studi literature[3]. 4. PEMBAHASAN Perkembangan teknologi dewasa ini demikian cepat. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), khususnya Bidang Teknologi paling banyak terimbas perkembangan itu, karena lulusannya diharapkan segera terjun bekerja di industri yang mengalami perubahan cepat. Oleh karena itu banyak riset untuk menemukan model Pendidikan Teknologi dan Kejuruan (PTK) yang di dalamnya tercakup SMK. Jika model pembelajaran berubah karena dampak teknologi, tentunya peran guru juga akan berubah dan pada akhirnya kemampuan guru yang diperlukan juga akan berubah. Sampai saat ini pendidikan guru masih menggunakan model pendidikan untuk melayani pembelajaran yang dirancang untuk era industri. Ketika pola pembelajaran berubah akibat era informasi yang dipacu teknologi digital, tentu diperlukan perubahan kompetensi gurunya dan perubahan pelayanan pembelajaran terhadap siswa. Pada hal saat inipun dari sekolah bidang teknologi sudah sering mengeluhkan pendidikan calon guru yang dianggap kurang dapat mengikuti perkembangan. Apa yang dipelajari di sekolah tertinggal dengan perkembangan teknologi di industri, sehingga ketika mengajar, apa yang dijelaskan sudah tertinggal dengan perkembangan teknologi di industri. Hal ini juga membawa dapak model pembelajaran yang diberikan kepada siswa. Fenomena pergeseran kemampuan atau kompetensi yang diperlukan untuk bekerja di masa depan yang ternyata berbeda dengan masa lalu. Wagner (2008) menyebutnya dengan the survival skills, yaitu: 1) critical thinking and problem solving, 2) collaboration across network and leading by infulence, 3) agility and adaptibility, 4) initiative and entrepreneurialism, 5) effective oral dan written communication, 6) accesing and analyzing information, dan 7) curiosity and imagination. Fenomena ini tentu akan mengubah model pengajaran guru dan model pengajaran di SMK. Fenomena ini juga disebabkan oleh perkembangan industri yang demikian pesat di segala sector.
Separuh dari hirarki Bloom ini adalah tingkat berpikir bawah yang terdiri atas: (1) pengetahuan (knowledge); (2) pemahaman (comprehension); (3) penerapan (application). Sedangkan separuh hirarki Bloom yang lain adalah tingkat berpikir atas yang terdiri atas: (4) mengalisis (analysis); (5) mensintesakan (synthesis); dan (6) menilai (evaluation). Untuk pengajaran di SMK perlu model pengajaran yang menggunakan berpikir tingkat atas. Salah satu tujuan prakerin adalah memadukan secara sistematis dan sistemik program pendidikan di sekolah (SMK) dan program latihan penguasaan keahlian di dunia kerja (DU/DI). Hal ini dimaksudkan agar kemajuan-kemajuan yang ada di dunia industri dan dunia usaha dapat diserap oleh siswa SMK. Dengan adanya prakerin ini siswa SMK dapat merasakan tentang iklim kerja di DU/DI, membentuk kedislipinan diri, melatih menjadi tim kerja yang solid. Hal penting dalam prakerin ini adalah memberi pengalaman kerja di DU/DI, yang pengalaman itu tidak di dapat di Sekolah. Berkaitan dengan prakerin ini siswa SMK harus dekat dan akrap dengan DU/DI agar kekurangan-kekurangan siswa di SMK dapat dilengkapi di DU/DI. 5. SIMPULAN Model pembelajaran untuk SMK di era digital dari jabaran diatas kiranya dapat disimpulkan sebagai berikut: Model pengajaran harus memperhatikan kompetensi yang perorientasi kepada industri, dan siswa SMK harus akrap dengan dunia industri dan dunia usaha. Kompetensi harus merupakan integrasi antara kerampilan dalam bidang kerja yang dipelajari dengan kemampuan berpikir tinggi, kemampuan bekerjasama dan kemauan berlajar tentang teknologi baru. Berpikir analisis yang diterapkan pada bidang keahlian menjadi kompetensi sangat penting, karena sebagian besar peralatan kerja menggunakan micro computer based. Kompetensi komunikasi dan kerjasama sangat penting, karena sebagai pekerjaan dikerjakan dalam team work. Work based learning tidak dapat digantikan dengan belajar di sekolah, karena di lingkungan kerja siswa tidak hanya belajar keterampilan tetapi juga sikap dan budaya kerja. Oleh karena itu dual system sangat ideal. Dalam setiap komptensi model pembelajaran guided instruction sampai collaborative project based learning harus diterapkan. Guided instructi-on diterapkan di awal ketika siswa berlatih keterampial dan menghindari kecelakaan kerja, collaborative project based diterapkan ketika siswa belajar trouble shooting. 6. SARAN Perlu segera dilakukan job apa yang disasar untuk ditempati oleh lulusan SM Bidang Sains dan Teknologi. Berdasarkan job tersebut dilakukan
97
identifikasi apa saja yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya (job analysis). Untuk setiap tugas dianalisis kompetensi apa saja yang diperlukan untuk melaksanakan-nya. Rangkaian kompetensi inilah yang menjadi inti kurikulum SM Bidang Sains dan Teknologi. Agar dual system dalam berjalan baik, setiap sekolah sebaiknya memiliki partner dudi yang jelas. Kompetensi apa yang dipelajari di sekolah dan di dudi disepakati bersama. Dudi ikut bertanggung jawab terhadap kompetensi yang dicapai siswa, sehingga proses belajar di dudi berjalan efektif.
Indigenization. Paper presented at Biennial Conference - St Augustine Campus: April 23 – 25, 2013 [12]. Mourshed, M., Chijioke, C., & Barber, M. (2010). How the world's most improved school systems keep getting better. New York, NY: McKinsey & Company. [13]. Neuendorf, Kimberly A., (2002). The Content Analysis Guidbook. London: Sage Publication Inc. [14]. Pirto, Jane, (2011). Creativity for 21st Century Skills: How to Embed Creativity into the Curriculum. Boston: Sense Publishers.
7. DAFTAR PUSTAKA [1]. ALPTKI, (2009). Rancangan Revitalisasi LPTK dalam Penyelenggaraan Pendidikan Profesi Pendidik. Bandung: ALPTKI. [2].
Arends, Richard I., (1997). Classroom Instrucation and Management. New York: Mc Graw Hill Humanities/SocialSciences.
[3]. Cohen, Louis; Lawrence Manion & Keith Morrison. (2011). Research Methods in Education. 7th Edition. London: Routledge. [4]. Dit. Belmawa. (2013). Panduan Pengembangan Kurikulum LPTK (Program Akademik dan Program Profesi Guru). Jakarta: Dit Belmawa Ditjen Dikti. [5]. Friedman, Thomas L., (2006). The World is Flat: The Globalized World in the Twenty-First Century. London: Penguin Group. [6]. Friedman, Thomas L., (2013). “The Shanghasi Secret” dimuat di The New York Times. Edisi 22 Oktober 2013. [7]. Goldin, Claudia and Lawrence F. Katz., (2009). The Race between Education and Technology. Boston: Harvard University Press. [8].
Handy, Charles, (1997). The Sense in Uncertainty di dalam Rowan Gibson (ed). Rethinking the Future: Business, Principles, Competation, Control Leadership, Market and the World. London: Nicholas Brealey Publishing.
[9]. Kurnia, Dadang, (2013). Post-Study Pre-Service Practical Training Programme for TVET Teacher Students. Shanghai: Regional Cooperation Platform for Vocational Teacher Education in Asia (RCP) [10]. Loose, Gert& Georg Spöttl, (2015). Securing quality in TVET - A compendium of “best practices”: fourteen main principles for the improvement of Technical and Vocational Education and Training” (www.tvet-online.asia. Diunduh tanggal 4 Februari 2015 pukul 06:25). [11]. Morris, Halden A. 2013. Advancing Education through a Culture of Inquiry, Innovation and
98
Pengembangan Model Pembelajaran Seni Budaya Berbasis Kurikulum 2013 untuk Membantu Mengatasi Kesulitan Guru-Guru SMP di Surabaya Muhajir1*), Nunuk Giari2, Marsudi3 1.
Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Unesa, Surabaya. Email: [email protected] Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Unesa, Surabaya. Email: [email protected] 3. Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Unesa, Surabaya. Email: [email protected] *)Alamat korespondensi: Email: [email protected]
2.
ABSTRACT This paper is based on research carried out in two years with the aim of (1) Generate a learning model Arts and Culture-Based Curriculum 2013 for SMP consisting of RPP, Media, and instructional videos (2) Describe the learning model development Arts and Culture began the initial stage until Dissemination to targets teachers, subject teachers ie SMP Cultural Art in the city of Surabaya. RPP, Media, and instructional videos are developed based on three basic competence (KD) that is KD: Drawing the composition of flora and fauna as well as the geometric into decorative (Class VII), Drawing Illustration with manual techniques and Digital (class VIII), Designing and Conducting exhibit (class IX). Video learning model that was developed just choosing one that is considered the most complex KD Designing and Organizing the exhibition (class IX). The first year produces RPP and instructional media of the three KD above, from product design to validation expert and revision. In the second year is focused on the production of video learning model, validation, and testing by a group of teachers to all the products produced, namely lesson plans, instructional media, and video learning model, which ended with Dissemination results to teachers of Art and Culture in the city of Surabaya , Keywords: model of learning, art and culture, curriculum 2013 ABSTRAK Tulisan ini didasarkan pada penelitian yang dilaksanakan dalam dua tahun dengan tujuan (1) Menghasilkan model pembelajaran Seni Budaya Berbasis Kurikulum 2013 untuk SMP yang terdiri atas RPP, Media, dan video pembelajaran (2) Mendeskripsikan pengembangan model pembelajaran Seni Budaya mulai tahap awal hingga deseminasi kepada para guru sasaran, yakni guru mata pelajaran Seni Budaya SMP di wilayah kota Surabaya. RPP, Media, dan video pembelajaran yang dikembangkan mengacu pada tiga kompetensi dasar (KD) yakni KD: Menggambar gubahan flora dan fauna serta geometrik menjadi ragam hias (Kelas VII), Menggambar Ilustrasi dengan teknik manual dan Digital (kelas VIII), Merancang dan Menyelenggarakan pameran (kelas IX). Video model pembelajaran yang dikembangkan hanya memilih satu KD yang dinilai paling kompleks yakni Merancang dan Menyelenggarakan pameran (kelas IX). Penelitian tahun pertama menghasilkan RPP dan media pembelajaran dari tiga KD di atas, dari tahap perancangan produk hingga validasi ahli dan revisi. Pada tahun kedua difokuskan pada produksi video model pembelajaran, validasi, dan uji coba oleh kelompok guru terhadap semua produk yang dihasilkan, yaitu RPP, Media pembelajaran, dan video model pembelajaran, yang diakhiri dengan deseminasi hasil kepada guru-guru Seni Budaya di wilayah kota Surabaya. Kata kunci: model pembelajaran, seni budaya, kurikulum 2013 1.
PENDAHULUAN Makalah ini disarikan dari hasil penelitian yang dilaksanakan dalam dua tahun dengan judul “Pengembangan Model Pembelajaran Seni Budaya Berbasis Kurikulum 2013 Untuk Membantu Mengatasi Kesulitan Guru-guru SMP di Surabaya.” Tujuan penelitian dimaksud ialah (1) Menghasilkan model pembelajaran Seni Budaya Berbasis Kurikulum 2013 untuk SMP (dengan produk berupa RPP, Media pembelajaran, dan video model pembelajaran) yang dicapai melalui tahap penyusunan desain, validasi pakar dan uji coba oleh sekelompok guru (2) Mendeskripsikan proses pengembangan model pembelajaran Seni Budaya mulai tahap awal hingga deseminasi kepada para guru sasaran, yakni guru mata pelajaran Seni Budaya
SMP di wilayah kota Surabaya. Secara konkret model pembelajaran ini terkemas dalam video model pembelajaran yang menggambarkan sosok utuh pembelajaran yang di dalamnya terjadi interaksi antara guru, siswa dan materi pembelajaran yang mencakup pula pendekatan, dan metode pembelajaran. Model pembelajaran ini juga disertai dengan RPP dan Media pembelajaran yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan para guru Seni Budaya di wilayah kota Surabaya. Dengan alasan keterbatasan waktu, tenaga, dan biaya, pengembangan model pembelajaran difokuskan pada bidang seni rupa, tidak mencakup bidang seni yang lain yakni seni musik, seni tari, dan seni teater. Selanjutnya untuk tiap-tiap kelas dipilih satu butir Kompetensi Dasar (KD). Untuk tiap-tiap KD
99
dikembangkan perangkat pembelajaran yang terdiri atas RPP dan Media Pembelajaran. Sementara untuk rekaman video model pembelajaran tidak dibuat seluruhnya (tiga KD/tiga pembelajaran) akan tetapi dipilih salah satu KD yang dipandang paling penting berdasarkan harapan guru sasaran, yakni KD: Merancang dan menyelenggarakan pameran. Para guru merasa perlu mendapatkan gambaran tentang pelaksanaan pembelajaran Merancang dan menyelenggarakan pameran, karena kegiatan ini sangat kompleks, tidak sederhana seperti materi pelajaran yang lain semisal Menggambar flora fauna dan benda alam, Menggambar Model, Menggambar Ilustrasi dan semisalnya. Sasaran pengguna model pembelajaran Seni Budaya ini adalah para guru SMP di wilayah kota Surabaya. Namun dalam penelitian ini, dengan berbagai pertimbangan, khususnya aspek biaya, deseminasi di lakukan terhadap 40 guru Seni Budaya (30% jumlah SMP di Surabaya), dengan cara membagikan/mengirimkan CD berisi Rekaman Video Model Pembelajaran, disertai soft file RPP dan Media Pembelajaran. 2.
KAJIAN TEORI Implementasi kurikulum 2013 dimaksudkan untuk menyempurnakan kurikulum tahun 2006 yang dikenal dengan sebutan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Penyempurnaan tersebut dilakukan sebagai upaya menyesuaikan perkembangan dan tuntutan jaman serta kebutuhan masyarakat yang senantiasa berubah dan berkembang. Berkenaan dengan kurikulum setidaknya terdapat tiga perspektif, yakni kurikulumipandang dari segi konseptual, kurikulum dilihat dari segi pedagogis, dan kurikulum ditinjau dari segi yuridis. Tiga aspek penting pembaharuan yang ditemukan dalam kurikulum 2013 ialah (1) pemetaan (penetapan) Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar/KI-KD (2) pendekatan pembelajaran (3) penilaian. Terdapat empat Kompetensi Inti dalam setiap mata pelajaran, yakni Kompetensi Sikap Spiritual, Kompetensi Sikap Sosial, Kompetensi Pengetahuan, dan Kompetensi Keterampilan. Kompetensi sikap spiritual menggambarkan tentang hubungan (vertical) peserta didik dengan Tuhan, kompetensi sikap sosial tentang hubungan (horizontal) dengan masyarakat/lingkungan, kompetensi pengetahuan menggambarkan aspek kognitif dengan berbagai tingkatannya, kompetensi keterampilan menggambarkan tentang keterampilan penerapan para pesereta didik baik penerapan dalam aspek mentalintelektual maupun dalam aspek kinestetik/psikomotor (Lampiran Permendikbud No.68 tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum SMP/M.Ts). Pendekatan pembelajaran yang sangat dianjurkan dalam kurikulum 2013 ialah pendekatan pembelajaran scientific, yakni mengamati, menanya, mengasosiasi, mengeksplorasi, dan mengkomunikasikan. Dengan pendekatan “lima me” tersebut peserta didik
diharapkan mampu mengembangkan kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara optimal melalui tiap-tiap mata pelajaran, termasuk mata pelajaran Seni Budaya. Sementara itu untuk mengukur kompetensi peserta didik yang diperoleh melalui pembelajaran dengan pendekatan scientific tersebut, menggunakan penilaian autentik, yakni penilaian yang diyakini dapat mengukur/menggambarkan kompetensi peserta didik yang sebenarnya, yang tidak semu. Beberapa jenis penilaian autentik yang dianjurkan ialah penilaian sikap, penilaian kinerja, penilaian tertulis, penilaian projek, dan penilaian portofolio. Dalam struktur kurikulum 2013 SMP, tercantum 10 mata pelajaran, di mana mata pelajaran Seni Budaya tertera pada urutan ke delapan, dengan alokasi waktu tiga jam pelajaran perminggu selama 40 menit setiap satu jam pelajaran. Berbeda dengan kurikulum 2006 (KTSP) yang standar kompetensinya terpetakan menjadi dua, yakni apresiasi dan ekspresi, kompetensi inti (KI) kurikulum 2013 tidak mengenal pemetaan seperti itu, tetapi kompetensi intinya terpetakan menjadi kompetensi sikap spiritual, sikap sosial, pengetahuan, dan keterampilan yang berlaku untuk semua mata pelajaran. Sebagai konsekuensi dari pemetaan “apresiasi dan ekspresi” versi kurikulum 2006, maka dalam praktik pembelajaran Seni Budaya, kompetensi apresiasi (yang berkonotasi teori) dilaksanakan secara terpisah dengan kompetensi ekspresi (yang berkonotasi praktik berkesenian). Pembelajaran yang terkotak-kotak, yakni apresiasi dan ekspresi seperti ini tidak terjadi dalam kurikulum 2013. Dengan kata lain dalam kurikulum 2013 kompetensi teori (apresiasi) dan kompetensi praktik berkesenian (ekspresi) lebur menjadi satu dalam sebuah pembelajaran. Pelatihan Penerapan Kurikulum 2013 di wilayah provinsi Jawa Timur sudah mulai dilaksanakan menjelang tahun ajaran baru 2013/2014. Harapannya pada tahun ajaran baru 2013/2014 hasil pelatihan tersebut sudah dapat diterapkan dalam pembelajaran di sekolah. Pemerintah Provinsi Jawa Timur merespon kebijakan pemerintah pusat ini dengan penuh antusias, meskipun kritikan banyak bermunculan. Sampai dengan Desember 2013 Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur telah melatih 5.600 guru, meliputi guru SD, SMP, dan SMK. Pada tahun 2014 lagi-lagi Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur menggelar pelatihan implementasi kurikulum 2013 kepada 6.200. Selain itu, Kantor Kementrian Agama Provinsi Jawa Timur juga sudah melatih 1500 guru madrasah, khususnya di Surabaya. Di sisi lain Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Jawa Timur akan menangani 66.600 guru di Jawa Timur. Model pembelajaran adalah pola interaksi antara mahasiswa, dosen, dan materi pembelajaran yang mencakup strategi, pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran [1]. Dengan demikian model pembelajaran mempunyai makna yang lebih luas daripada suatu strategi, pendekatan, metode, atau prosedur. Lebih rinci Komara dalam endang komara’s
100
blog, 24 Oktober 2013 menyatakan bahwa model pembelajaran merupakan contoh pola atau struktur pembelajaran siswa yang didesain, diterapkan, dan dievaluasi secara sistematis dalam rangka mencapai tujuan. Suatu contoh bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru di kelas. Dalam model pembelajaran terdapat sintaks, strategi pencapaian kompetensi siswa dengan pendekatan, metode, & teknik pembelajaran. Model Pembelajaran Seni Budaya Berbasis Kurikulum 2013 untuk SMP yang dikembangkan ini dimaksudkan sebagai suatu contoh bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir, disajikan oleh guru di kelas, yang didalamnya mencakup strategi pencapaian kompetensi siswa dengan pendekatan, metode, & teknik pembelajaran yang sesuai. Model pembelajaran ini diharapkan dapat membantu mengatasi kesulitan guru-guru SMP di Surabaya dalam menerapkan pembelajaran berdasarkan kurikulum “baru” 2013. Sebagai contoh yang utuh model pembelajaran ini selain tergambar dalam rekaman video pembelajaran juga dilengkapi dengan perangkat pembelajaran yakni RPP dan media pembelajaran. Kerangka Berpikir Dasar pemikiran dan analzisis permasalahan penelitian ini adalah pengkajian terhadap kebijakan kurikulum 2013 dan implementasinya pada mata pelajaran Seni Budaya di SMP. Pengkajian tersebut meliputi 1) pengkajian Permendikbud No.68 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar & Struktur Kurikulum SMP/MTs; 2) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2014 tentang Pembelajaran pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah; 3) pengkajian mata pelajaran Seni Budaya Berdasar Kurikulum 2013; 4) pengkajian tentang pelaksanaan Pelatihan Implementasi Kurikulum 2013 di Jawa Timur; 5) pengkajian tentang Model-model Pembelajaran; 6) pengkajian penelitianpenelitian terdahulu yang relevan. Berdasarkan kajian aspek-aspek di atas dapat diuraikan beberapa permasalahan, antara lain; (1) Kebijakan pemerintah menerapkan kurikulum 2013 menghadapi berbagai kendala, termasuk pelaksanaan pelatihan bagi para guru, (2) Kuantitas peserta pelatihan implementasi kurikulum 2013 belum diiringi oleh kualitas proses dan hasil, yang ditandai oleh kebingungan sejumlah guru peserta pelatihan, (3) Belum seluruh guru mata pelajaran seni budaya mendapatkan pelatihan penerapan kurikulum 2013, (4) Guru-guru yang pernah mengikuti pelatihan penerapan kurikulum 2013 belum memperoleh gambaran yang lengkap, karena pelatihan terbatas pada penyusunan RPP, (5) Belum tersedia model pembelajaran yang utuh terkemas dalam video yang dapat memberikan gambaran praktis tentang pembelajaran seni budaya (Seni Rupa) di jenjang pendidikan SMP.
Gambar 1 Kerangka Berpikir Pada tahun I telah dilakukan penelitian yang difokuskan pada: (1) pengkajian tentang kesulitan guru dalam mengimplementasikan pembelajaran berdasarkan K-13, (2) menyusun draft model RPP dan Media Pembelajaran, (3) validasi draft model RPP dan Media Pembelajaran. Sedangkan luaran yang telah dihasilkan oleh penelitian tahun I adalah; (1) laporan penelitian, (2) artikel ilmiah, (3) draft model RPP dan Media Pembelajaran. Kegiatan penelitian pada tahun I diakhiri dengan seminar, revisi Laporan Penelitian, dan pemuatan artikel pada prosiding dalam Seminar Nasional Hasil Peneltian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Negeri Surabaya pada tanggal 31 Oktober 2015. Pada tahun II, penelitian difokuskan untuk pembuatan video model pembelajaran yang dikembangkan dari salah satu RPP produk tahun I yakni “Merancang dan Menyelenggarakan Pameran.” Pengembangan video model pembelajaran meliputi (1) tahap pembuatan skenario rekaman video model pembelajaran, (2) rekaman/produksi video, (3) editing, (4) validasi video model pembelajaran oleh pakar (5) revisi, (6) uji coba oleh sekelompok guru calon pengguna. Pada tahap uji coba ini juga mencakup RPP dan media pembelajaran yang telah dihasilkan pada tahun I. Uji coba oleh sekelompok guru calon pengguna dipandang perlu, karena dapat memberikan masukan atau koreksi berdasarkan keterlaksanaannya di lapangan, (7) revisi (8) deseminasi model pembelajaran. Dengan demikian luaran atau output penelitian pada tahun II adalah;(1) Laporan hasil penelitian, (2) artikel, (3) Model Pembelajaran Seni Budaya SMP yang terkemas dalam video model pembelajaran dengan dilengkapi RPP dan Media pembelajaran. 3.
METODE PENELITIAN
101
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian pengembangan. Yakni pengembangan model pembelajaran seni budaya (bidang seni rupa) berdasarkan kurikulum 2013. Prosedur penelitian dan pengembangan ini mengacu Borg & Gall, yang tergambar pada skema di bawah, namun kemudian diadaptasi sebagaimana penjelasan berikutnya.
1.
2.
3.
4.
Gambar 2. Penelitian dan Pengembangan Tahap I: Studi Pendahuluan Penelitian dan pengumpulan informasi awal dengan menerapkan pendekatan deskriptif kualitatif yang diawali mengkaji literatur yang relevan, yakni kurikulum dan pembelajaran (khususnya kurikulum 2013 dan pembelajaran seni budaya), respon pemerintah daerah Jawa Timur terhadap penerapan kurikulum 2013 dalam bentuk penyelenggaraan pelatihan bagi para guru, efektivitas pelatihan kurikulum 2013 khusunya bagi guru seni budaya SMP di Surabaya. Tahap II: Pengembangan Model Pengembangan model pembelajaran Seni Budaya ini mempertimbangkan berbagai ketentuan dan aspek yang tercantum dalam kurikulum 2013, sebagai berikut. Tahun 1 Menyusun draft/desain RPP yang dikembangkan dari Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 68 tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum SMP/MTs, terutama pada bagian Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) mata pelajaran Seni Budaya (Bidang Seni Rupa). Disamping itu juga memperhatikan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2014 tentang Pembelajaran pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah. RPP dipilih dari salah satu kompetensi dasar (KD) Kelas VII, kelas VIII, kelas IX. KD terpilih yang dimaksud ialah Kelas VII KD 4.2: Menggambar Gubahan flora, Fauna dan benda alam; kelas VIII-KD 4.2: Menggambar Ilustrasi dengan teknik manual dan digital; kelas IX-KD 4.4: Merancang dan Menyelenggarakan pameran Seni Rupa. Secara konkret langkah-langkah yang dilakukan ialah sebagai berikut.
Membuat draft/desain RPP yang dikembangkan dari tiga KD, yakni KD 4.2 kelas VII, KD 4.2 kelas VIII dan KD 4.4 kelas IX. Membuat draft/desain Media Pembelajaran powerpoint dengan mengacu pada RPP yang telah dibuat, dengan demikian menghasilkan tiga media pembelajaran masing-masing untuk kelas VII, kelas VIII, dan kelas IX. Validasi Desain RPP dan Media Pembelajaran mencakup aspek konten dan aspek desain. Validasi dilakukan oleh empat orang ahli, masing-masing dua orang validator RPP dan dua orang sebagai validator media pembelajaran. Revisi desain RPP dan Media Pembelajaran yang dilakukan berdasarkan koreksi para validator baik dari sisi format, konten, maupun keterbacaan.
Tahun II 1. Pembuatan desain dan produksi video model pembelajaran yang dipilih dari salah satu RPP produk tahun I, ialah KD 4.4 Kelas IX: Merancang dan Menyelenggarakan Pameran. Pertimbangan yang diberikan ialah karena materi pembelajaran dalam KD tersebut cukup kompleks, tidak se-sederhana seperti KD Menggambar Gubahan flora, Fauna dan benda alam atau pun KD Menggambar Ilustrasi. Untuk melaksanakan pembelajaran dengan materi Menggambar Gubahan flora, Fauna dan benda alam atau pun Menggambar Ilustrasi para guru relative tidak mengalami kesulitan. Di samping itu untuk memperoleh video model pembelajaran praktik “Menggambar” juga relative mudah, sementara tidak gampang mendapatkan video model pembelajaran Merancang dan Menyelenggarakan Pameran. 2. Validasi video model pembelajaran oleh dua orang validator, masing-masing seorang pakar pembelajaran yang memfokuskan diri pada aspek materi dan metode pembelajaran, serta seorang pakar yang menekankan pada aspek skenario dan audiovisual. 3. Revisi video model pembelajaran yang dilakukan berdasarkan koreksi/masukan validator. 4. Uji coba video model pembelajaran oleh sekelompok guru calon pengguna, untuk memberikan penilaian atas kelayakan penggunaannya di lapangan. Dalam uji coba ini sekaligus di lakukan terhadap RPP dan media pembelajaran yang telah dihasilkan sebelumnya. 5. Revisi produk dilakukan berdasarkan koreksi atau masukan sekelompok guru untuk meningkatkan kualitas produk sesuai tujuan.
102
Tahap III: Desiminasi Deseminasi ialah tahap menyebarluaskan atau menyampaikan hasil pengembangan (model final) kepada para pengguna, yakni para guru mata pelajaran Seni Budaya SMP di wilayah kota Surabaya. Desiminasi ditempuh dengan cara menyebarluaskan hasil, yakni mengirimkan produk Video model pembelajaran yang dilengkapi dengan RPP dan media pembelajaran dalam bentuk CD kepada 40 guru seni budaya di wilayah kota Surabaya.
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil dan pembahasan difokuskan pada aktivitas tahun II yakni (1) pengembangan video model pembelajaran berdasar pada salah satu RPP yang telah dibuat pada tahun pertama, (2) validasi video model pembelajaran, (3) revisi, (4) uji coba, (5) revisi, (6) deseminasi hasil. Tahap 4, 5, dan 6 mencakup pula produk yang dihasilkan pada tahun pertama, yakni RPP dan media pembelajaran. 4.1 Pembuatan Video Model Pembelajaran Pembuatan video model pembelajaran Pameran Karya Seni Rupa siswa SMP dilakukan melalui beberapa tahapan sebagai berikut (1) Pembuatan skenario (2) Simulasi pembelajaran (3) rekaman (4) editing. Pembuatan Skenario Rekaman Model Pembelajaran Secara garis besar scenario rekaman model pembelajaran Pameran Karya Seni Rupa siswa SMP berisi sejumlah adegan dalam beberapa setting suasana sebagai berikut (1) Suasana pembelajaran di dalam kelas (2) Diskusi perencanaan pameran (3) Persiapan Pameran (4) Pelaksanaan Pameran (4) Refleksi/Evaluasi. Simulasi Rekaman Model Pembelajaran Simulasi pembelajaran dengan topik Penyelenggaraan Pameran Seni Rupa dilakukan dengan maksud mengkondisikan agar saat rekaman video pembelajaran berjalan lancar. Simulasi dilakukan tiga kali. Pertama dilakukan di kampus, dalam hal ini di jurusan seni rupa, Fakultas bahasa dan seni Universitas Negeri Surabaya, di mana tim peneliti berasal. Adapun yang berperan sebagai guru adalah Bu Anggun, guru muda alumni program studi S-1 Pendidikan Seni Rupa dan S-2 Pendidikan Seni Budaya, Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Surabaya. Kedua, dilakukan di SMPN 19 Surabaya, dengan menggunakan siswa yang sebenarnya sebanyak 25 siswa. Demikian pula simulasi ketiga juga dilakukan di SMPN 19 Surabaya, sesaat sebelum rekaman/shooting video dilaksanakan. Beberapa catatan penting terkait simulasi pembelajaran ialah sebagai berikut. Setting tempat duduk siswa diubah secara berkelompok, ada lima kelompok, masingmasing lima siswa Lima jenis tugas siswa untuk mencari informasi kepada nara sumber yang dua tugas sama. Agar tidak sama, sebaiknya yang satu tugas
wawancara dengan seniman, yang satunya tugas melihat pameran, atau wawancara dengan panitia pameran. Untuk kepentingan efisiensi waktu, pertemuan kedua sebaiknya tidak perlu adegan do’a dan mengabsen siswa, tetapi langsung ke pembelajaran Pertanyaan yang disampaikan oleh siswa, dan juga jawaban yang diberikan siswa tampak raguragu, kurang jelas dan kurang tegas Saat rekaman/shooting nanti siswa dianjurkan membawa alat tulis dan buku pelajaran yang sesuai. Guru sebaiknya menggantikan kata “jobdisk” dengan kata “uraian tugas” Perlu dibuatkan nama-nama anggota kelompok, untuk memudahkan guru menghafal.
Rekaman Video Model Pembelajaran Rekaman video model pembelajaran yang menggunakan format AVI dengan durasi 30 menit ini terdiri atas 20 adegan sesuai scenario. Aktivitas rekaman dilaksanakan dalam dua hari, yakni tanggal 24 dan 25 Agustus 2016. Rekaman pada hari pertama menampilkan pembelajaran pertemuan 1 dan 2, sedang rekaman pada hari ke dua mengkover adegan-adegan pertemuan ke 3. Hari pertama Pertemuan ke 1: Menampilkan pembelajaran di dalam ruang kelas yang diawali dengan apersepsi dan penyampaian tujuan pembelajaran oleh guru. Materi pelajaran berkisar pada pengertian pameran, tujuan dan manfaat pameran, jenis pameran, prosedur pelaksanaan pameran. Aktivitas siswa yang menonjol pada tahap ini adalah mengamati dan menanya. Siswa dibagi menjadi lima kelompok, tiap-tiap kelompok diberi tugas untuk mengumpulkan informasi terkait pameran, dengan sumber informasi yang berbeda-beda. Satu kelompok mencari informasi lewat katalog, kelompok yang lain masing-masing ke perpustakaan, ke tempat pameran, ke seniman, dan melalui internet. Pertemuan ke 2 Siswa tiap-tiap kelompok diberi kesempatan untuk mempresentasikan (tahap mengkomunikasikan) hasil kerja kelompoknya masing-masing, yakni penggalian informasi terkait pameran seni rupa sesuai dengan tugas masing-masing. Guru memimpin diskusi siswa dalam pembentukan panitia pameran, yang ditindaklanjuti dengan penentuan tema pameran, membuat proposal pameran sekolah, membuat katalog, membuat media publikasi, menyiapkan karya untuk dipilih/diseleksi, dan mendisplay (memajang) karya.
103
Hari kedua Pertemuan ke 3 Panitia pameran dengan dibimbing oleh guru Seni Budaya mempersiapkan acara pembukaan/peresmian pameran. Salah seorang siswa putri berperan sebagai MC membuka acara. Salah seorang siswa yang berperan sebagai ketua panitia menyampaikan laporan, lalu ditindaklanjuti dengan sambutan kepala sekolah sekaligus membuka/meresmikan pameran. Guru bersama siswa merefleksi dan mengevaluasi seluruh kegiatan pembelajaran tentang penyelenggaraan pameran seni rupa, mulai tahap perencanaan hingga tahap pelaksanaan. Guru juga mengkaitkan manfaat yang dapat dipetik oleh para siswa yang dapat diterapkan dalam kehidupan seharihari. 4.2 Validasi Video Model Pembelajaran Validasi video model pembelajaran dilakukan oleh dua orang pakar, yakni Wayan Setiadarma, M.Pd (validator 1) seorang pakar media dan audiovisual dan Dr. Trisakti, M.Si (validator 2 ), yang memiliki kepakaran dalam bidang pembelajaran Seni Budaya. Dengan demikian validator 1, menguasai aspek teknis audiovisual, sedang validator 2 menguasai aspek materi dan strategi/pendekatan pembelajaran. Validasi video model pembelajaran dilakukan dengan mengacu instrument yang telah dipersiapkan tim peneliti. Secara garis besar Instrumen yang dimaksud mencakup tiga komponen, yaitu (1) Petunjuk pengisian instrument, (2) aspek penilaian/aspek yang divalidasi, (3) komentar/saran perbaikan. Sementara aspek penilaian meliputi aspek format, aspek isi, dan aspek bahasa. Aspek penilaian format meliputi (1) Kejelasan petunjuk penggunaan, (2) Keserasian dan pemakaian warna secara umum dalam mendukung tampilan video, (3) Kesesuaian pemilihan huruf dan warna teks dengan topik materi, terbaca dan jelas, (4) Kesesuaian setting gambar dan animasi pada tampilan video, (5) Kesesuaian musik pengiring dan narasi pada tampilan video, (6) Kejelasan audio pada musik pengiring dan narator, (7) Kemudahan menggunakan video, (8) Kesesuain durasi waktu, (9) Progam video dapat berfungsi dengan baik. Selanjutnya penilaian aspek isi terdiri (1) Kesesuaian urutan penyajian materi dengan vieo, sehingga mudah dipahami, (2) Kejelasan konsep yang disampaikan melalui video sesuai topik materi, (3) Kesesuaian dengan tujuan pembelajaran. Sementara itu penilaian aspek bahasa meliputi (1) Kebakuan bahasa yang digunakan, (2) Keefektifan kalimat yang digunakan, (3) Kejelasan dan kelengkapan informasi dalam video yang disampaikan dengan bahasa atau kalimat, (4) Kemudahan memahami bahasa yang digunakan. Komentar, saran, dan koreksi perbaikan diberikan oleh validator sebagai berikut. 1. Durasi terlalu panjang, akan membosankan. Perlu dikurangi dengan tidak menghilangkan bagian yang penting.
2. Proses belajar mengajar tidak perlu ditampilkan menyeluruh, munculkan saja peradegan yang penting. 3. Lokasi setting masih noise, perlu dihilangkan 4. Perlu ditambahkan teks tahap-tahap pembelajaran 5. Masih ada beberapa gambar tayangan yang tidak sesuai dengan suara guru. 6. Beberapa slide perlu dihilangkan karena ditayangkan secara berulang-ulang. 7. Pada time note 02:42 muncul suara sutradara : “Action,” yang sangat mengganggu dan harus dihilangkan. 8. Pada time note 07:28 ada pandangan yang mengganggu dan sebaiknya dihilangkan, yaitu di bagian belakang nampak juru kamera dan seorang yang sedang duduk di kursi. 9. Pada time note 10:06 –10:44 muncul suara/vocal guru yang tumpang tindih dan sangat mengganggu. Maka harus dijernihkan atau, kalau sulit, lebih baik dihilangkan. 10. Setelah NARASI 3 selesai dibacakan perlu diberikan musik pengisi suasana, agar tidak terasa beku. 11. Adegan mengisi daftar hadir pada time note 04:18 - 05:25 terlalu lama, terutama kepala sekolah dan Wakil Kepala sekolah. Sebaiknya dipersingkat. 12. Adegan Kepala Sekolah yang tengah berbisikbisik dengan guru Seni Budaya pada time note 04:54-05:08 , nampak kurang etis dan mubazir, karena itu perlu dihilangkan. Sebagaimana telah dipaparkan di depan, produksi Video model pembelajaran hanya memilih satu KD, yakni “Merancang dan Menyelenggarakan Pameran Seni Rupa.” Dengan menggunakan instrument yang telah dipersiapkan, kedua validator memberikan penilaian 85,93 dan 93,75 atau rata-rata 89,84. Dengan mengikuti kriteria penilaian yang ditetapkan, berarti Video model pembelajaran tersebut sangat baik digunakan. 4.3 Uji Coba Perangkat Pembelajaran Uji coba melibatkan 15 orang guru SMP di wilayah kota Surabaya. Peserta uji coba dikelompokkan menjadi tiga, yaitu kelompok uji coba RPP, kelompok uji coba media pembelajaran dan kelompok uji coba video model pembelajaran. Bentuk konkret dari uji coba yang dimaksudkan di sini ialah kelompok uji coba memberikan penilaian terhadap RPP, media pembelajaran dan video model pembelajaran dengan menggunakan instrument penilaian yang telah disiapkan yang dilengkapi dengan ruang komentar/saran perbaikan. Selanjutnya peserta uji coba RPP dikelompokkan menjadi tiga kelompok masing-masing terdiri atas tiga orang yang menguji coba instrument kelas VII, VIII, dan IX, sedang kelompok uji coba media pembelajaran dan kelompok
104
uji coba video model pembelajaran masing-masing tiga orang. Hasil Uji Coba RPP Hasil uji coba terhadap tiga RPP memperoleh angka penilaian sebagai berikut (1) RPP kelas VII: 87,50; 87,50; 87,50 (rata-rata 87,50); RPP kelas VIII: 92,50; 92,50; 92,50 (rata-rata 92,50); RPP kelas IX: 100; 87,50; 95 (rata-rata 94,0). Dengan mengikuti kriteria penilaian yang ditetapkan, maka RPP tersebut tergolong sangat baik digunakan. Namun demikian, secara kualitatif kelompok uji coba memberikan komentar/saran perbaikan, sebagai berikut. RPP kelas VII, KD: Menggambar gubahan flora dan fauna serta geometric menjadi ragam hias. Seharusnya KI 1-4 ditulis pada kompetensi dasar dan indikator pencapaian kompetensi Penulisan KD dan Indikator sebaiknya dibuat matrik agar mudah pembacaannya Pada IPK 3.2.4; 3.2.5 dan 4.2.1; 4.2.2 terdapat kata “berbagai.” Kata berbagai tersebut bukan merupakan kata operasional. Pada pembelajaran Remidial pokok bahasan (a) Review materi pembelajaran regular harus tertuju pada kompetensi yang belum tercapai, sedangkan pada kelompok (b) Tugas menggambar hanya diberikan pada satu materi saja. RPP kelas VIII, KD: Menggambar Ilustrasi dengan teknik manual dan digital Pada contoh gambar ilustrasi objek manusia dibutuhkan perbandingan proporsi anggota tubuh. Misalnya badan, kepala, kaki, dan sebagainya. Alokasi waktu pembelajaran tidak cukup kalau hanya satu kali pertemuan, setidaknya tiga kali pertemuan. Untuk contoh gambar ilustrasi teknik digital perlu dbuat lebih bervariasi. Sumber belajar sangat beragam, mulai buku teks, literature di perpustakaan, hingga sumber internet. Karena itu bisa mencari mana yang secara teknik paling mudah dipelajari siswa. Indikator pengamatan pada instrumen penilaian sikap spiritual dan social terlalu banyak. Cukup dengan indicator no.1, 2 , 3, 4, 8, karena 5, 6, 7 sudah tercakup di dalamnya. RPP kelas IX, KD: Merancang dan Menyelenggarakan Pameran Perlu diberikan keterangan Materi Reguler, remedial, dan pengayaan Pembelajaran remedial dan pengayaan dapat dimasukkan dalam materi pembelajaraan dengan urutan (1) materi regular, (2) materi remedial (3) materi pengayaan, meskipun materi remedial dan pengayaan baru akan diberikan setelah penilaian. Dalam penilaian aspek pengetahuan perlu disertakan kisi-kisi soal dan kunci jawaban soal.
Proses saintifik boleh tidak dituliskan secara rinci dan tidak harus runtut karena diharapkan sudah otomatis melekat pada sintaks sesuai model pembelajaran yang dipilih. Penulisan materi boleh tidak dicantumkan pada RPP, tetapi dibuat tersendiri pada lampiran, begitu juga penilaian.
4.5 Uji coba Media Pembelajaran Uji coba media pembelajaran power point dilakukan oleh tiga orang guru, tiap-tiap guru menguji coba tiga media powerpoint, yakni media kelas VII, kelas VIII, dan kelas IX. Aspek yang dinilai Kesesuaian dengan Indikator Pencapaian Kompetensi, Kesesuaian dengan Topik/Materi Pembelajaran, Pemilihan font dan penataan, Gambar/ilustrasi, Keterbacaan. Hasil uji coba terhadap tiga Media pembelajaran memperoleh angka penilaian sebagai berikut (1) Media kelas VII: 82,22; 86,66; 88,88 (ratarata 85,92); Media kelas VIII: 80; 82,22; 86,66 (ratarata 82,96); Media kelas IX: 91,11; 84,44; 80 (rata-rata 85,18). Dengan menggunakan kriteria penilaian yang ditetapkan, maka Media pembelajaran tersebut tergolong sangat baik digunakan. 4.4 Uji coba Video Model Pembelajaran Instrumen Uji coba Video model Pembelajaran secara garis besar terdiri atas tiga bagian: (1) Petunjuk uji coba, (2) Aspek penilaian, (3) komentar dan saran untuk perbaikan. Hasil uji coba terhadap Video model pembelajaran oleh tiga orang guru mendapatkan angka penilaian 98; 96; 100, atau rata-rata 98. Dengan menggunakan kriteria penilaian yang ditetapkan, maka Video model pembelajaran tersebut tergolong sangat baik digunakan. Tetapi, meskipun hasil penilaian “sangat baik,” mereka menuliskan saran untuk perbaikan seperti yang diminta. Komentar dan saran yang diberikan sebagai berikut. Adegan siswa bersalaman dengan guru bagus dalam rangka membangun karakter siswa Intonasi guru dalam pembelajaran terlalu cepat, sehingga agak menyulitkan pemahaman siswa. Adegan menggali informasi melalui literature di perpustakaan, internent dan wawancara kepada nara sumber sangat menarik/bagus. Presentasi siswa sebaiknya diikuti dengan tanya jawab agar lebih menarik Pelaksanaan pameran di sekolah tidak mudah dilakukan karena adanya berbagai kendala, terutama sarana ruang. Karena itu pameran di sekolah sebaiknya dilakukan sebagai pameran sekolah bukan pameran kelas. Durasi video pembelajaran terlalu panjang, sehingga bisa membuat orang merasa jenuh. Untuk memudahkan pemahaman para pemirsa, sebaiknya perlu dituliskan dalam tagline :
105
“Pertemuan 1, Pertemuan 2, Pertemuan 3,” dan seterusnya. Video ini sangat menarik dan bisa membantu guru seni budaya untuk mengembangkannya sendiri sesuai dengan keadaan di sekolah masingmasing.
4.6 Deseminasi Deseminasi, yaitu kegiatan penyebarluasan hasil penelitian, yakni RPP, Media Pembelajaran, dan Video Model Pembelajaran Seni Budaya/Seni Rupa dalam bentuk CD dilakukan setelah produk final. Penyebar luasan dilakukan dalam minggu pertama dan kedua bulan Oktober 2016, dengan menggunakan jasa kurir/pengiriman kepada 40 SMP di wilayah kota Surabaya, untuk para guru Seni Budaya. 5. SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Kegiatan pengembangan model pembelajaran Seni Budaya berjalan sesuai dengan rencana. Pertama, prosedur pengembangan diawali dengan merancang draft RPP dan media pembelajaran dengan KD yang telah dipilih, yaitu KD 4.2: Menggambar Gubahan Flora dan fauna serta geometric menjadi ragam hias, KD 4.2: Menggambar Ilustrasi dengan teknik manual dan digital, dan KD 4.4: Merancang dan Menyelenggarakan pameran, masing-masing untuk kelas VII, VIII, dan IX. Kedua, draft tersebut kemudian divalidasi oleh dua orang validator sebagai bahan perbaikan. Ketiga, memproduksi video model pembelajaran dengan memilih salah satu RPP, yakni Merancang dan Menyelenggarakan Pameran. Draft video model pembelajaran tersebut kemudian divalidasi oleh dua pakar sebagaimana dilakukan pada RPP dan media pembelajaran pada tahap sebelumnya. Keempat, tiga macam produk tersebut, yaitu RPP, media, dan video model pembelajaran diujicobakan kepada sekelompok guru sebagai calon pengguna untuk bahan perbaikan. Keempat, diseminasi, yaitu penyebarluasan produk yang telah dikemas dalam Compac dish (CD) kepada 40 SMP di kota Surabaya. Hambatan yang dialami oleh penelitian pengembangan model pembelajaran ini ialah ketidak sesuaian antara skedul yang telah dirancang dengan pelaksanaannya, terutama pada saat shooting video model pembelajaran, yang melibatkan pihak sekolah. Konkritnya, begitu dana penelitian cair tidak lama kemudian memasuki bulan Ramadan, di mana sekolah “libur” selama sebulan. Dengan demikian jadwal shooting mengalami kemunduran hingga minggu keempat bulan Agustus 2016. Sementara itu, masih ada beberapa tahapan proses pasca rekaman video, yakni editing untuk menghasilkan video draft 1, validasi ahli, uji coba, dan diseminasi hasil. Karena itu solusinya adalah mendisiplinkan diri, dalam arti memperketat jadwal untuk menyelesaikan tahapan proses berikutnya. Namun secara umum pelaksanaan penelitian pengembangan model pembelajaran Seni Budaya
berbasis kurikulum 2013 ini berhasil. Keberhasilan yang dimaksud mencakup dua hal. Pertama, prosedur pengembangan relative berjalan lancar, meskipun dengan jadwal yang agak mundur. Produk yang dihasilkan dinilai “sangat baik” oleh calon pengguna, yakni para guru Seni Budaya. Kedua, penelitian ini mampu mencapai target luaran yakni (1) produk pengembangan: RPP, Media, dan Video pembelajaran (2) Laporan penelitian (3) Artikel ilmiah sesuai dengan waktu yang disediakan. 5.2 Saran Berdasarkan respon positif para guru terhadap produk pengembangan, terutama video model pembelajaran, maka kegiatan-kegiatan pelatihan tentang pembelajaran hendaknya disertai video model pembelajaran, agar peserta lebih mudah menyerap, memahami dan mempraktikkan dalam pembelajaran di kelas. Lebih lanjut kegiatan serupa ini akan bermanfaat membantu guru apabila produksi video model pembelajaran juga dikembangkan untuk kompetensi dasar (KD) yang lain dan juga mata pelajaran lain. Jika tidak memungkinkan untuk seluruh KD, sekurang-kurangnya dapat diwakili satu KD untuk setiap mata pelajaran dan tingkat kelas. 6. DAFTARPUSTAKA [1]. Arends, R.I., (2007). Learning to Teach. New York: McGraw Hill Companies [2]. Hasyim, Budihardjo Achmadi, dkk., (2011). Pengembangan Model Pembelajaran Muatan Lokal Sebagai Implementasi KTSP Pada Sekolah Menengah Kejuruan (Laporan Penelitian). [3]. Ratyaningrum, Fera, dkk., (2013). Pengembangan Model Perangkat Pembelajaran Kriya Tekstil Tentang Motif Batik Jawa Timur dan Pewarnaan Alam Sebagai Upaya MeningkatkanKualitas Pembelajaran Seni Budaya di Jawa Timur. (Laporan Penelitian). [4]. Setyosari, Punaji, (2013). Metode Penelitian Pendidikan dan Pengembangan. Jakarta: Kencana Prenada Media. [5]. Tim Peneliti Ekspresi Estetika, (2007). Pengembangan Model Pembelajaran Ekspresi Estetika Inovatif Untuk Pendidikan Dasar,.Departemen Pendidikan Nasional: Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan (Laporan Penelitian). [6]. Trisakti, dkk., (2009). Pengembangan model Pembelajaran Berbasis Life Skill Untuk MemperbaikiKualitas Pembelajaran Seni Budaya di SMPN Surabaya. (Laporan Penelitian). [7]. Yuwana, Setya, dkk., (2010). Pengembangan Model Pembelajaran Bahasa Jawa SMP/MTs di Jawa Timur Berbasis Budaya Lokal.” (Laporan Penelitian). [8]. Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 68 tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah..
106
[9]. Dokumen Kurikulum 2013, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2012. [10]. Jawa Pos-Metropolis, 26 November 2013. [11]. Jawa Pos-Metropolis, 29 November 2013. [12]. Jawa Pos-Metropolis, 9 Desember 2013.
107
108
Bimbingan dan Konseling Komprehensif bagi Konselor untuk Meningkatkan Kompetensi Sosial Najlatun Naqiyah1*) 1
Jurusan Bimbingan dan Konseling, UNESA, Surabaya. Email : [email protected] *) Alamat Korespondesi:Email: [email protected]
ABSTRACT The training conducted for the purpose for writing this paper is to train skills of counselors in Kraksaan, Probolinggo (East Java, Indonesia) in implementing a comprehensive guidance and counseling, especially for improving the social potential of children. The training was attended by 22 teachers. They come from kindergarten and elementary school (SD). They are trained in roles and responsibilities as being teachers and counselors at their school. Materials provided in the training include a comprehensive understanding, the philosophical foundation and rational, comprehensive guidance and counselling, areas of personal-social, learning and career, indicators and social competence for children in ages of 0-12, duties and social emotional development of children and models of social skills play therapy. The results of the training show an increase in the skills of teachers in a comprehensive guidance and counseling. The results of test initial capability prior to take part in the training, teachers earned an average grade of 55. After training with the model approach of Andragogy, discussion, question and answer, as well as project tasks, it shows an increase in the average grade on 83. The expected implication of the training is for the teachers to be able to explore the potential of social students with creative and innovative methods of game. Teachers encourage children to behave in accordance to religious values, rules of school, and norms and ethics in society. Teachers hopefully create media of creativity and innovation through project tasks that scheduled in every Saturday. It is recommended that the schools provide rewards for the teachers whom active and creative in so doing. Thus, in turn, they optimally seek to develop children's potential. Key Words: guidance and counselling, comprehensive counselling, children ABSTRAK Tujuan pelatihan bimbingan dan konseling komprehensif bagi konselor dalam rangka penulisan artikel ini adalah untuk meningkatkan potensi sosial. Pelatihan ini diikuti oleh 22 guru-guru di Kraksaan, Probolinggo (Jawa Timur) Para Guru mengajar Taman Kanak-kanak (TK) dan Sekolah Dasar (SD) Namira. Peran dan tanggung jawab guru dan pembimbing serta konselor di sekolah membantu siswa memecahkan masalah. Para guru sebagai penolong anak-anak memiliki kemampuan memecahkan masalahnya sendiri. Materi pelatihan meliputi pengertian BK komprehensif, landasan filosofis dan rasional BK Komprehensif, bidang-bidang pribadisosial, belajar dan karier, indikator dan kompetensi bidang sosial bagi anak usia 0-12 tahun, tugas perkembangan emosi dan sosial anak dan model-model terapi permainan keterampilan sosial. Hasil pelatihan menunjukkan adanya peningkatan keterampilan guru di yayasan sekolah Namira dalam bimbingan dan konseling komprehensif. Hasil tes kemampuan awal para guru sebelum diberikan pelatihan memperoleh rata-rata kelas 55. Setelah mengikuti pelatihan dengan model pendekatan andragogi, diskusi dan tanya jawab serta proyek tugas, maka terjadi peningkatan nilai rata-rata kelas 83. Implikasinya, guru sekolah Namira perlu menggali potensi sosial siswa dengan metode permainan kreatif dan inovasi. Guru mampu mendorong anak melakukan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai relegius, aturan sekolah, norma dan etika di masyarakat. Guru menciptakan media kreativitas dan inovatif melalui tugas proyek yang terjadwal setiap sabtu. Yayasan Namira memberi reward pada para guru yang aktif dan kreatif menciptakan media pembelajaran sehingga pada gilirannya dapat mengembangkan potensi sosial anak secara optimal. Kata kunci: bimbingan konseling, konseling komprehensif, anak
1. PENDAHULUAN Pencegahan terhadap kekerasan anak lebih baik daripada mengobati. Maraknya kekerasan anak di sekolah seperti pemukulan dan kekerasan verbal serta saling curiga memerlukan bantuan guru pembimbing. Kemahiran guru pembimbing dalam menolong anak mencegah, menghadapi kekerasan yang muncul perlu memperoleh perhatian. Guru pembimbing membutuhkan keterampilan dan kecakapan sosial. Guru pembimbing membantu anak mengembangkan diri dan potensi sosial. Guru pembimbing perlu
memahami bimbingan dan konseling[1]. Fungsi guru adalah menolong anak menghadapi situasi krisis[2]. Keterampilan guru bisa ditingkatkan dengan mengikuti pendidikan dan pelatihan. Pelatihan bimbingan dan konseling komprehensif bisa diterapkan disekolah. Bimbingan dan konseling bersifat integral dengan program pendidikan. Guruguru di yayasan Namira membutuhkan keterampilan sosial. Guru menjalankan fungsi dan perannya sebagai pembimbing anak. Karakteristik sekolah namira adalah memiliki keunggulan dalam kurikulum tahfidz
109
dan bahas Inggris serta kegiatan ekstra kurikuler robotik, public speaking dan komputer serta sains dan matematika. Lembaga Namira perlu memenuhi harapan sosial. Harapan sosial orang tua perlu diperhatikan oleh lembaga Namira. Orang tua menginginkan anak-anak mereka memiliki kesadaran dalam mengerjakan solat lima waktu, memiliki pengetahuan bahasa inggris dan matematika. Harapan sosial ke lembaga namira diperoleh dari komunikasi dengan orang tua. Harapan sosial juga diperoleh dari perwakilan orang tua di komite sekolah. Mereka menginginkan keselamatan anak selama berangkat sampai pulang kerja. Keselamatan fisik dan psikologis anak menjadi hal utama. Perhatian dan pengembangan program keselamatan bagi anak bisa dijalankan melalui kecakapan social meskipun pada dasarnya perbedaan gender berpengaruh pada aktivitas fisik, seperti kemampuan mengontrol obyek lebih dominan pada anak laki-laki dan kemampuan lokomotor didominasi anak perempuan[3]. Kesadaran untuk berinteraksi yang sehat dan memilih pergaulan positif. Anak memiliki peran sosial yang bisa dilalui dengan bimbingan yang mengedepankan komunikasi yang efektif, sikap budi pekerti luhur dan kebiasaan berinteraksi yang positif. Membiasakan anak mengucapkan terima kasih. Selalu bersyukur pada Allah SWT atas nikmat yang telah diterima dan bersyukur pada orang tua. Keselamatan anak adalah bagian dari kompetensi dan indikator dari kecakapan pribadi sosial. Kecakapan pribadi sosial pada anak-anak sebelum sekolah meliputi pengenalan lingkungan rumah dan keluarga serta teman-teman sekitar. Mengidentifikasi peran individu dalam keluarga dan beradaptasi dengan lingkungan keluarga karena model transaksional sesuai dengan relasi antara problem prilaku anak dengan pengasuhan[4]. Belajar bersosialisasi dengan teman-teman sebaya serta memiliki pengetahuan tentang peran gender. Rencana materi yang akan diberikan dalam pelatihan adalah pengertian, tujuan dan manfaat bimbingan dan konseling komprehensif. BK komprehensif adalah upaya membantu anak didik untuk mengembangkan diri dalam bidang pribadi, sosial, dan belajar serta karier. Kurikulum Bimbingan dan konseling bisa dilakukan secara perorangan dan kelompok, serta klasikal. Bimbingan memberikan bantuan agar peserta didik mengetahui kebutuhan, bakat, minat, dan nilai-nilai yang dianut berdasarkan pengalaman hidup. Layanan bimbingan memberikan arah individu menemukan cara belajar yang efektif. Anak mampu mengembangkan keterampilan sesuai dengan bakat dan kemampuan[5]. Bimbingan bisa memberikan pemahaman individu untuk mengetahui perencanaan dan pengembangan karier masa depan. Kegiatan bimbingan dan konseling akan berjalan dengan baik apabila dirangkai dalam suatu program bimbingan. Untuk mewujudkan suatu program bimbingan dan konseling didasarkan pada prinsipprinsip dan bidang layanan. Bidang layanan
bimbingan dan konseling mengacu pada definisi bimbingan dan konseling. Dalam pelatihan BK komprehensif ada empat bidang yaitu pribadi, sosial, belajar dan karier. Dalam pelatihan ini memfokuskan pata bidang sosial. Tujuannya agar konselor memiliki pemahaman dan melaksanakan bimbingan sosial pada anak sehingga pada akhirnya anak dapat mengetahui cara-cara pencegahan pada kekerasan. Bimbingan dan konseling dalam bentuk layanan dasar berfungsi sebagai preventif, terutama berbasis pada keluarga[6]. Fungsi pencegahan yang perlu dilakukan pada konselor ialah memberikan materimateri bimbingan sosial pada peserta didik. Potensi sosial dapat ditumbuhkan dengan cara-cara pemberian informasi, latihan langsung dan diskusi. Bimbingan dan konseling Bimbingan yang bersifat preventif. Pencegahan dapat diartikan upaya untuk mempengaruhi individu dengan cara positif sehingga individu selamat dari ancaman dan kesulitan yang akan dihadapi serta mengetahui resiko yang akan terjadi apabila dilakukan. Bimbingan dapat mengantisipasi dan berusaha mengantisipasi terjadinya kekerasan pada waktu yang akan datang dengan menempuh beberapa langkah, seperti: membekali keterampilan pemecahan masalah bagi individu yang membutuhkan, mengadakan perubahan lingkungan yang dapat mencegah timbulnya kekerasan pada waktu yang akan dating serta screening [7]. Kecakapan konseling individu adalah kemampuan individu untuk memahami, menilai dan melakukan serta mengembangkan kecakapan hidup yang sesuai dengan perkembangan individu[8]. Tugas perkembangan pribadi sosial untuk anak-anak sebelum sekolah ialah mampu mengidentifikasi perasaanperasaan dan dapat mengekspresikan perasaan yang tepat. Bimbingan sosial adalah kecakapan siswa dalam melakukan interaksi dengan orang lain. Anak mampu menyadari dan berinteraksi dengan orang lain[9]. Upaya konselor dalam langkah preventif bisa dilakukan dengan cara sebagai berikut, (1) mendorong perbaikan lingkungan yang apabila dibiarkan akan berdampak negatif terhadap perkembangan individu yang bersangkutan, (2) mendorong perbaikan kondisi individu, (3) meningkatkan kemampuan individu untuk mengantisipasi hal-hal yang dapat mempengaruhi perkembangan individu, (4) mendorong individu untuk tidak melakukan sesuatu yang dapat memberikan resiko besar, (5) melakukan sesuatu yang memberi manfaat dan menggalang dukungan kelompok terhadap sesuatu yang bersangkutan. Pelatihan ini bermanfaat untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman para orang tua, guru dan konselor dalam meningkatkan potensi sosial anak. Dengan adanya pengabdian kepada masyarakat diharapkan mampu melatih orang tua, guru dan konselor dan diharapkan dapat menerapkan kepada anak dan siswa. Pelatihan bimbingan dan konseling komprehensif dapat membantu orang
110
tua/guru/konselor memberikan layanan bimbingan dan konseling yang lebih luas di lingkungan sekitarnya. Adapun strategi yang dipilih adalah dengan pendekatan andragogi (dewasa) dimana peserta pelatihan diperlakukan sebagai orang dewasa yang bisa memecahkan masalah dan berpikir kritis. Pelatih menjadi fasilitator bagi konselor dalam melakukan pelatihan BK komprehensif. Perguran tinggi Universitas Negeri Surabaya sangat layak untuk melakukan pengabdian perlindungan anak dengan pemberian pelatihan bimbingan dan konseling komphrehensif bagi konselor. Hal ini disebabkan oleh visi Universitas Negeri Surabaya untuk menumbuhkan karakter yang kuat sebagai pribadi yang akan menjadi pemimpin dan guru masa depan. Dengan visi tersebut Unesa sebagai perguruan tinggi yang memiliki fakultas ilmu pendidikan dan jurusan bimbingan dan konseling memiliki kelayakan dalam menyediakan tenaga fasilitator yang akan melatih para konselor untuk terampil mengaplikasikan BK komprehensif. Jurusan bimbingan dan konseling memiliki laboratorium BK yang bisa dijadikan sebagai ruang riset selama pelaksanaan pengabdian ini untuk mendiskusikan dan melakukan refleksi dalam pembuatan analisa dari hasil pengabdian. Unesa sebagai perguruan tinggi yang mencetak ribuan guru di sekolah memiliki sarana sumber daya manusia yang memadai dan layak untuk memberikan pelatihan. Terlebih pada jurusan bimbingan dan konseling, yang memiliki dosen dengan keahlian bidang bimbingan dan konseling. SDM Unesa terdiri dari dosen yang memiliki kemampuan dalam bidang bimbingan dan konseling, psikologi dan evaluasi pembelajaran dapat melatih konselor dalam meningkatkan komptensi sosial. 2. HASIL PELAKSANAAN Pola Kekerasan yang dialami oleh anak disekolah Yayasan Namira School disebabkan belum tercapainya tugas perkembangan sosial siswa. Dimana pada usia sekolah dasar anak sangat aktif dalam kegiatan motorik. Anak-anak seringkali mengganggu teman untuk mengekspresikan diri dengan menendang, memukul, meninju, dan berlari. Anakanak yang aktif tidak bisa duduk tenang selama pelajaran berlangsung. Mereka sering ijin keluar kelas, berlarian dikelas, jalan-jalan keliling kelas dan mengganggu peralatan dan mencari perhatian guru. Ada juga anak-anak yang sering naik turun tangga dan berlari-lari di sekitar sekolah. Kekerasan juga muncul dipicu oleh iklim dan cuaca panas. Suasana kelas siswa gaduh dan panas setelah jam 09.00. butuh AC secepatnya, solusi, kelas sementara dipindah ke musolla atau di rolling setiap hari bergantian. Setiap hari ada kekerasan berupa Pemukulan, pengeroyokan diantara siswa, solusi akan mengadakan sosialisasi tentang sanksi tindak kekerasan dengan berkunjung ke polres bagian perlindungan anak.
Lembaga Namira adalah lembaga yang membantu siswa mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. Untuk itu perlu melatih guru-guru dengan pelatihan bimbingan dan konseling komprehensif bagi guru bimbingan dan konseling. Bentuk pelatihan dengan menggunakan metode klasikal. Latihan kepembimbingan bagi guru di lembaga namira school dengan prosedur sebagai berikut; Jenis layanan : Layanan dasar Materi: Pengertian Bimbingan dan Konseling Komprehensif untuk Meningkatkan potensi sosial Tujuan: Guru memahami dan membuat program bimbingan dan konseling komprehensif di lembaga namira sesuai dengan kebutuhan peserta didik di Tk dan SD. Pelaksanaan: Hari Minggu, tanggal 12 Oktober 2016 Tempat: Aula TK Namira Peserta: 22 Guru TK dan SD Tujuan: Memahami Bimbingan dan Konseling Komprehensif Materi: Definisi bimbingan dan konseling komprehensif, program BK komprehensif, komptensi sosial anak usia bayi dan anak-anak. Peran dan tanggung jawab guru pembimbing di sekolah. Media: Power point, vidio, dan lcd Metode: Ceramah, tanya jawab dan latihan Hasil: dalam pertemuan tersebut konselor, Dr. Najlatun Naqiyah memberikan ceramah dengan menggunakan media PPT tentang BK komprehensif. Secara rasional BK komprehensif memiliki landasan filosofis dan rasional. Rasional ini keyakinan yang perlu dipegang teguh oleh guru bahwa : a. Setiap anak pasti memiliki kebaikan dan kelebihan. Anak-anak lahir telah dilengakapi dengan kecerdasan masing-masing. anak-anak mampu mengembangkan kebaikan dalam diri sendiri dengan proses pendidikan dan pertolongan dari guru dan orang tua. Kelebihan yang dimiliki adalah bawaan masing-masing individu. Mereka nampak senang jika membantu orang lain, saling berbagi makanan dan minuman dengan teman, saling bercerita dan melakukan kerjasama dalam bermain dan mengerjakan tugas-tugas kelompok di kelas. Anak-anak pada dasarnya baik. Mereka ingin memperoleh perhatian dari guru untuk mengeksplorasikan kebaikan diri. Mereka akan mudah menangkap arahan dan contoh perlakuan yang guru berikan dalam kelas dan luar kelas. Anak-anak senang mengenal satu dengan lainnya. Kemampuan bekerjasama nampak dalam area permainan yang digelar oleh anak-anak. Misalnya, permainan ayunan, anak-anak sukarela saling mendorong ayunan sementara yang lainnya duduk diatas ayunan.
111
b.
c.
d.
e.
Mereka sukarela bergantian turun dan bergantian menggunakan alat-alat bermain dengan senang hati. Anak itu unik. Setiap anak memiliki kekhasan masing-masing. anak satu dengan lainnya tidak sama persis. Mereka punya sikap dan kemampuan dalam merespon sesuatu peristiwa dengan cara mereka sendiri. Bahkan menggunakan bahasa dan berkomunikasi dengan gaya-gaya masing-masing yang unik dan lucu. Anak-anak usia 4 (empat) tahun memproduksi bahasa dan berlatih melafalkan bahasa dengan kreatifitas masing-masing anak. Orang tua berperan untuk melatih anak dengan bahasa ibu dan bahasa daerah setempat pada usia peka (3-5 tahun). Cara ibu menuntun anak menggunakan bahasa dalam kemampuan verbal anak membuat anak berkembang dengan kecepatan masing-masing. anak-anak belajar merespon ucapan dengan bahasa dan gaya yang unik setiap anak. Keunikan anak nampak dari bahasa, bentuk tubuh, gaya hidup, dan emosi yang diekspresikan dari masing anak dalam meresposn peristiwa belajar akan berbeda. Setiap anak berhak untuk berhasil. Anak berhasil mengerjakan tugas sekolah dengan cara-cara tertentu. Anak belajar dengan gaya auditori, visual dan kinestetik memiliki kelebihan masing-masing. dalam pembelajaran anak-anak di TK melakukan latihan untuk memeprsiapkan lomba bagi anak-anak. Anakanak memeprsiapkan diri dengan potensi yag dimiliki, diantaranya bersaing melalui olimpiade atau lomba-lomba. Keberhasilan anak dalam lomba akan menunbuhkan rasa bangga dan percaya diri akan kemampuan yang dimiliki. Setiap anak memerlukan dukungan dari orangorang terdekat baik dari keluarga , guru, maupun seorang teman. Rasa kepedulian orang dewasa pada anak akan membantu anak mencapai perkembangan hidup. Kepedulian orang tua atau guru mendorong anak untuk mengeksplorasi potensi dalam hidupnya. Anak membutuhkan perhatian untuk menceritakan pengalaman hidup yang telah dialami, kemudian orang tua mendengarkan anak untuk merencanakan harapan agar bisa dilakukan. Anak perlu motivasi dari internal dan eksternal guna menguatkan diri dalam disiplin, ketekunan serta kesungguhan dalam belajar. Setiap anak perlu bantuan dari berbagai pihak. Kesiapan anak dalam sekolah perlu bantuan keluarga. Keluarga menyiapkan anak mengerjakan tugas-tugas rumah, menyiapkan pelajaran di rumah, sehingga ketika berangkat sekolah anak memiliki kesiapan belajar. Atribut sekolah seperti seragam, alat tulis dan uang saku perlu dibantu oleh orang tua. Bantuan bekal makanan selama berangkat dan pulang
sekolah serta transportasi. Anak perlu memperoleh kenyaman dalam belajar dan mengembangkan diri. Untuk menolong siswa, guru perlu memiliki pengetahuan tentang bimbingan atau konseling. Bimbingan dan konseling adalah bantuan yang dilakukan oleh beberapa ahli untuk membantu siswa dalam memecahkan suatu masalah, dikatakan ahli apabila sudah bisa melakukan sesuatu yang sesuai dengan prosedurnya. Berbeda dengan nasehat karena bimbingan atau konseling siswa sendiri yang memecahkan masalah. Tugas konselor ialah : a. Pembimbing b. Konsultan c. Pelaksana program d. Fasilitator e. Penolong Dalam menjalankan perannya, konselor perlu memahami jika ada anak yang hiperaktif , maka konselor memberikan siswa tugas, agar bisa mengalihkan keaktifan pada tugas yang di berikan oleh konselor. Model bimbingan konseling komperhensif : a. Layanan dasar adalah layanan klasikal atau kelompok yang dilakukan oleh konselor di kelas. Konselor berinteraksi langsung dengan siswa untuk membimbing siswa dalam pengembangan diri. Materi layanan dasar diharapkan dapat membentuk siswa efektif dalam menjalani kehidupan. Melatih keterampilan hidup dan akhirnya berkembang secara optimal. Strategi dalam pemberian layanan dasar dapat berupa informasi, orientasi, bimbingan kelompok, konselor berkolaborasi dengan guru kelas dan melakukan pengumpulan data. b. Perencanaan individual bantuan yang diberikan pada siswa agar mampu memiliki perencanaan hidup. Perencanaan masa depan dalam bidang pendidikan dan pekerjaan. Perencanaan jangka pendek dan jangka panjang siswa dapat membantu membuat target dan capaian yang akan dilakukan. Dengan memiliki perencanaan yang detail akan kehidupannya, siswa dapat beraktivitas secara efektif dan terus mengembangkan diri. c. Layanan responsif ialah adalah layanan yang bersifat segera dan cepat untuk menolong konseli dalam keselamatan diri dan hidupnya. Layanan responsif sangat bergantung pada kebutuhan konseli. Konseling individu adalah salah satu layanan responsif untuk mengatasi kondisi krisis yang dialami konseli. Layanan responsif meliputi konseling, referal, kunjungan rumah dan konferensi kasus. d. Dukungan sistem adalah kegiatan manajemen untuk mengembangkan sumber daya manusia dan sarana prasarana guna mendukung terselenggaranya program bimbingan dan konseling. Dukungan pada pengembangan staf BK, biaya kegiatan serta kebijakan yang
112
dilakukan secara sistemik. Pengembangan jaringan seluruh guru, pengawai tata usaha dan kepala sekolah serta dinas pendidikan serta komunitas di lingkungan sekitar. Bimbingan konseling ada 3[10] yaitu : Belajar untuk hidup meliputi pemahaman diri, identitas diri dan pemahaman sosial dan keterampilan sosial. Belajar untuk belajar meliputi kemampuan intelektual dan pemahaman dunia sekolah. Belajar untuk bekerja meliputi keterampilan tugas-tugas, dunia kewirausahaan, pemahaman ekonomi, pemahaman dunia kerja serta penggunaan waktu luang. Standar kompetensi dan indikator kompetensi sosial : Keterampilan menghargai diri dan orang lain Menghormati orang lain Mengembangkan rasa kekeluargaan Keterampilan komunikasi interpersonal Sikap prososial Mengembangkan keterampilan mendengarkan yang efektif Terapi untuk membantu anak menggunakan pendekatan kognitif, humanistik, dan behavior. Pendekatan tersebut berkembang dengan pendekatan eklektik, disesuaikan dengan kebutuhan siswa. Pendekatan kognitif menekankan pada pola pikir terhadap peristiwa yang terjadi, kepercayan dan keyakinan yang irrasional dirubah menjadi rasional. Model humanistik ialah sikap guru pembimbing atau konselor yang menjadi pusat perubahan siswa. Untuk itu sikap guru perlu introspeksi diri atau dirubah dan perbaiki kapasitas guru terlebih dahulu baru kemudian murid. Sikap konselor : a. Empati b. Tulus c. Menerima tanpa syarat d. Jujur Model behavior mengutamakan modifikasi lingkungan. Guru pembimbing memberikan atau menciptakan stimulus, respon, dan konsekuensi. Belajar untuk bekerja yaitu pengenalan dunia kerja pada murid dan siswa mampu menunjukkan sifat positif terhadap orang lain. Layanan responsif yaitu layanan yang bersifat segera. Seperti layanan konseling individu atau kelompok, konsultasi, dan konseling krisis. Sedangkan dukungan sistem adalah layanan pendukung yang diperlukan agar program bimbingan dan konseling dapat dilaksanakan dengan menggunakan kapasitas pendukung di lembaga pendidikan. Program manajeman dan pengembangan sumber daya manusia terutama guru pembimbing atau konselor menjadi fokus dalam pengembangan staf. Pengembangan staf yang dilakukan di Namira school antara lain, memberikan beasiswa pada guru untuk mengambil studi lanjut pada jenjang sarjana S1,
membangun kerjasama antar lembaga sekolah dan dinas pendidikan dan rumah sakit. Mengirimkan delegasi guru pada program magang dan mengikuti pelatihan serta seminar. Hasil dari peserta yang mengikuti pelatihan BK komprehensif untuk meningkatkan kompetensi sosial memperoleh hasil sebagai berikut; 1.1. Tabel Hasil Pretes dan Postes No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Nama NIF NQM AMD ALN NLA HNK SSH KKH MRN ISS KMA ASK AAR NRA SDY NLH SLA RHM NFH IRA EMH KMM
Pretes 72 60 57 77 60 49 61 67 49 74 37 72 57 60 54 35 46 80 35 35 51 20
Postes 88 80 87 100 97 97 94 87 80 97 57 92 77 97 91 87 84 90 86 87 71 83
Peningkatan 16 20 30 23 37 48 33 20 31 23 20 20 20 37 37 52 38 10 51 52 20 63
Tabel diatas menjelaskan bahwa hasil pretes yang diperoleh oleh 22 guru di Namira mencapai rata-rata 55. Dan setelah mengikuti pelatihan bimbingan dan konseling komprehensif untuk meningkatkan kompetensi sosial mengalami peningkatan rata-rata nilai mencapai 83. 3. KESIMPULAN 1) Pelatihan BK komprehensif oleh guru pembimbing atau konselor dilembaga Namira school diikuti oleh 22 orang. Materi pelatihan meliputi pengertian BK komprehensif, landasan filosofis dan rasional BK Komprehensif, bidang-bidang pribadi-sosial, belajar dan karier, indikator dan kompetensi bidang sosial bagi anak usia 0-12 tahun, tugas perkembangan emosi dan sosial anak dan model-model terapi permainan keterampilan sosial. 2) Kecakapan sosial anak usia 0-12 tahun yang perlu dikembangkan oleh guru pembimbing meliputi keterampilan menghargai diri dan orang lain, menghormati orang lain, mengembangkan rasa kekeluargaan, keterampilan komunikasi interpersonal, sikap prososial, mengembangkan keterampilan mendengarkan yang efektif, empati dan kemampuan mengelola konflik. 3) Hasil tes kemampuan awal para guru sebelum diberikan pelatihan memperoleh rata-rata kelas 55. Setelah mengikuti pelatihan dengan model pendekatan andragogi, diskusi dan tanya jawab
113
serta proyek tugas, maka terjadi peningkatan nilai rata-rata kelas 83. Dengan demikian, pelatihan BK komprehensif dapat meningkatkan kompetensi sosial guru dan konselor, sehingga diharapkan para guru mampu membantu anak mengembangkan kecakapan sosial.
5. DAFTAR PUSTAKA [1] Ray, Dee C. (2016). A Therapist’s Guide to Child Development: The Extraordinarily Normal Years. New York: Routledge. [2] DeDiego, Amanda C., Wheat, Laura S. & Flecher, Terese B. (2016). Overcoming Obstacles: Exploring the Use of Adventure Based Counseling in Youth Grief Camps, Journal of Creativity in Mental Health, Vol. 11. [3] Cliff, D. P., Okely, A.D, Smith, L. & Mckeen, K. (2009). Relationships between fundamental Movement Skill and Objectively Measured Physical Activity in Preschool Children. Pediatric Exercise Science, 21 (4), 436-439. [4] Baker, B.L., Mclntyre, L. L, J. Blacher, K. Crnic, C. Edelbrock & C. Low (2003). Pre-school Children With and Without Developmental Delay: Behaviour Problems and Parenting Stress over Time. Journal of Intellectual Disability Research, Vol. 47, No 4/5, 217230. [5] Carness-Holt K., Bratton, S. C. (2014) The Efficacy of Child Parent Relationship Therapy for Adopted Children With Attachment Disruptions.. Journal of Counseling & Development, Vol. 92, No. 3, 328-337. [6] Hogue, A., Liddle, H.A., Becker, D., Johnson-Leckrone, Jodi. (2002). Family-Based Prevention Counseling for High-Risk Young Adolescents: Immediate Outcomes. Journal of Community Psychology, Vol. 30, No. 1, 1-22. [7] Amar, A., Laughon, A., Sharps, P., Campbell, J., et al. (2013). Screening and Counseling for Violence against Women in Primary Care Setting. American Academy of Nusing on Policy. [8] Swan, Karrie L., Schottelkorb, April A. & Lancaster Sarah, (2015) Relationship Conditions and Multicultural Competence for Conselors of Children and Adolescents, Journal of Counseling & Development, Vol. 93, Issue 4 (October 2015). [9] Pachucki, M. C., Ozer, E. J., Barrat A., Cattuto, C (2014). Mental Health and Social Networks in Early Adolescence: A Dynamic Study of ObjectivelyMeasured Social Interaction Behaviors. Social Science & Medicine, Vol. 125, 40-50. [10] Rex, J. (2008). The South Carolina Comprehensive Developmental Guidance and Counseling Program Model. Columbia.
114
Peningkatan Profesionalisme Guru – Guru SD di Daerah Tertinggal Melalui Pengembangan Peraga Matematika Berbasis Bahan Lokal di Kabupaten Bangkalan Provinsi Jawa Timur Ninik Wahju Hidajati1*) 1
Jurusan T Sipil, Universitas Negeri Surabaya, Kota Surabaya. Email : [email protected] *) Alamat Korespondesi: Email : [email protected]
ABSTRACT Study more detailed characteristics of the elementary schools in disadvantaged areas which include the condition of the building classrooms, teacher profiles, profiles of students using direct observation, documentation and interview. This information is used as a material consideration flourescent mathematics and drafting Handbook manufacture and use of such aids in mathematics corresponding to SD lagging especially in Bangkalan East Java Province. Increasing professionalism of elementary school teachers in disadvantaged areas through the development of teaching math test based on local ingredients in improving the quality of learning in mathematics. Information about math materials that are considered difficult in the delivery of learning in the classroom during the time in Bangkalan are: (1) the Commission and the FPB, (2) Multiplication and division, (3) Problem Stories and (4) Root rank. This information is used as reference in making props mathematical prototype design adapted to the potential of the natural surroundings. Results of research on the mathematics test props showed that teachers carry out the study seemed enthusiastic and interested in the material given. The conclusion of this study show that: first, by applying mathematical understanding props teachers can be increased. Second, by using props mathematics Elementary school teachers are more skilled in presenting in the class. Keyword:. Elementary Mathematics Viewer tool, understanding teachers, teacher skills ABSTRAK Studi karakteristik yang lebih rinci tentang SD di daerah tertinggal yang meliputi kondisi bangunan ruang belajar, profil guru, profil siswa dengan menggunakan pengamatan langsung, dokumentasi dan wawancara. Informasi ini dipakai sebagai bahan pertimbangan pembuatan alat peraga matematika dan penyusunan Buku Panduan pembuatan dan penggunaan peraga tersebut dalam pembelajaran matematika yang sesuai untuk SD tertinggal khususnya di Kabupaten Bangkalan Provinsi Jawa Timur. Peningkatkan profesionalisme guru SD di daerah tertinggal melalui uji coba pengembangan peraga matematika berbasis bahan lokal dalam usaha peningkatan kualitas pembelajaran matematika. Informasi tentang materi matematika yang dianggap sulit dalam penyampaian pembelajaran di kelas selama ini di Kabupaten Bangkalan adalah : (1) KPK dan FPB, (2) Perkalian dan Pembagian, (3) Soal Cerita dan (4) Akar Pangkat. Informasi ini dipakai sebagai acuan dalam pembuatan prototype alat peraga matematika yang desainnya disesuaikan dengan potensi alam sekitar. Hasil penelitian pada uji coba alat peraga matematika menunjukkan bahwa guru-guru yang melaksanakan pembelajaran tersebut nampak antusias dan tertarik dengan materi yang diberikan. Kesimpulan penelitian ini menunjukkan bahwa: pertama, dengan menerapkan alat peraga matematika pemahaman guru-guru dapat meningkat. Kedua, dengan menggunakan alat peraga matematika guru-guru SD lebih terampil dalam menyampaikan materi di kelas Kata kunci : Alat Peraga Matematika SD, pemahaman guru, ketrampilan guru 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada dasarnya, pendidikan itu merupakan usaha sistematik untuk mencapai masyarakat yang maju, cerdas, dan mandiri. Tantangan umum pembangunan bidang pendidikan adalah bagaimana membangun sistem pendidikan agar semakin mampu membentuk manusia dan masyarakat yang maju dan mandiri serta tanggap menghadapi perubahan zaman, perkembangan Iptek dan tuntutan pembangunan. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa kualitas produk pendidikan dan daya serapnya masih perlu ditingkatkan. Khususnya untuk mata pelajaran matematika yang ilmunya sangat abstrak sehingga banyak anggapan
bahwa matematika ilmu yang membosankan dan menakutkan. Dalam hal ini perlu strategi dalam upaya peningkatan pemahaman terhadap mata pelajaran matematika. Pendekatan yang akan dilakukan adalah dengan menerapkan pendidikan matematika secara realistik, yaitu guru dalam proses pembelajaran dengan menghadirkan masalah-masalah kontekstual dan realistik menggunakan bantuan alat peraga matematika dari bahan-bahan yang mudah didapatkan di lingkungan sekitar . Diharapkan pembelajaran matematika akan lebih bermakna dan menarik bagi siswa, terlebih ditujukan pada SD tertinggal, khususnya yang terletak di Kabupaten yang tergolong daerah tertinggal. Penetapan kriteria daerah tertinggal memperhitungkan enam kriteria dasar, yaitu
115
perekonomian masyarakat, sumberdaya manusia, prasarana (infrastruktur), kemampuan keuangan (celah fiskal), aksesibilitas dan karakteristik daerah, serta berdasarkan keberadaannya di daerah perbatasan antarnegara dan gugusan pulau kecil, daerah rawan bencana, dan daerah rawan konflik. Dikatakan oleh mentri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal, Helmi Faizal Zaini (2013), umumnya daerah tertinggal memiliki kualitas sumberdaya manusia yang rendah, yang dicirikan oleh indeks pembangunan manusia (IPM), yaitu rendahnya rata-rata lama sekolah (RLS), angka melek huruf (AMH), dan angka harapan hidup (AHH). Daerah tertinggal umumnya juga memiliki keterbatasan prasarana dan sarana komunikasi, transportasi, air bersih, irigasi, kesehatan, pendidikan dan pelayanan lainnya. "Sehingga mereka kesulitan melakukan aktivitas ekonomi dan sosial," jelasnya. 1.2. Masalah Penelitian Dalam rangka meningkatkan kecerdasan kehidupan bangsa, setiap warga negara berhak mendapatkan layanan pendidikan. Sebagai konsekuensi dari komitmen tersebut, setiap warga negara tanpa mengenal latar belakang, baik yang normal maupun yang berkelainan, yang berkemampuan cerdas maupun rendah, berstatus sosial ekonomi tinggi, menengah maupun rendah, memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu dan fungsional setidaktidaknya selama 9 Tahun. Berkaitan dengan hal tersebut, penyelenggaraan pendidikan dapat dilakukan melalui pendidikan di sekolah dan di luar sekolah. Adapun kendala-kendala yang terjadi pada pendidikan tingkat sekolah dasar di Daerah Tertinggal , antara lain : (1) sarana dan prasarana pendidikan belum memadai, (2) kekurangan guru di daerah terpencil, sehingga aspek pemerataannya menimbulkan permasalahan, (3) kualitas guru SD masih banyak yang belum memenuhi standar yang diharapkan, (4) kesejahteraan guru di daerah terpencil masih dirasakan rendah. Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) Helmy Faisal Zaini (2012), menyatakan ada 5 kabupaten di wilayah Jawa Timur yang tergolong sebagai daerah tertinggal. Yakni, Bondowoso, Situbondo, Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan. Menteri PDT menambahkan bahwa jumlah daerah tertinggal di seluruh Indonesia sebanyak 183 kabupaten/kota, lima di antaranya berada di Jawa Timur. Kementerian PDT menargetkan daerah kategori miskin akan berkurang sebanyak 50 kabupaten dari total 183 kabupaten yang ada saat ini hingga akhir 2014. Penentuan 183 kabupaten tertinggal tersebut didasarkan enam kriteria utama, yakni perekonomian masyarakat, sumber daya manusia (SDM), infrastruktur berupa prasarana, kemampuan keuangan lokal (celah fiskal),
aksesibilitas, dan karakteristik daerah. “Kementerian PDT berusaha untuk mengembangkan ekonomi lokal daerah tertinggal sehingga mampu mendongkrak pendapatan asli daerah (PAD) kabupaten setempat,” kata menteri yang kementraiannya pernah dipimpin oleh Syaifullah Yusuf yang saat ini menjabat sebagai WakiL Gubenur Jawa Timur ini. Kementerian PDT berupaya mengurangi daerah tertinggal agar sama daerah lain dengan berkoordinasi dan memfasilitasi kementerian atau lembaga lainnya melalui program peningkatan infrastruktur perdesaan, pengembangan ekonomi lokal, peningkatan pelayanan kesehatan yang berkualitas, terjangkau, dan peningkatan pelayanan pendidikan di daerah tertinggal. Sekolah dasar di wilayah terpencil ini sangat sulit untuk berkomunikasi dengan sekolah dasar lain maupun sumber-sumber belajar yang lain. Kondisi yang demikian menyebabkan SD yang berlokasi di wilayah tersebut mengalami ketinggalan dibandingkan di SD lain, terutama sarana dan prasarana belajar yang memadai. Di SD tertinggal terdapat sedikit alat bantu belajar, termasuk alat bantu berupa peraga untuk belajar matematika. Kemampuan para guru dalam menjalankan tugasnya juga sangat rendah. Apabila kondisi ini tidak segera ditangani, maka mustahil bagi SD Tertinggal untuk menghasilkan lulusan dengan kompetensi seperti yang diharapkan. Mengingat jumlah SD tertinggal di Jawa Timur yang tidak sedikit khususnya di wilayah kabupaten Bondowoso, Situbondo, Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan. Dalam artikel ini disampaikan untuk wilayah Kab Bangkalan. Oleh sebab itu penelitian untuk mengembangkan alat bantu belajar khususnya mata pelajaran matematika serta Buku Panduanyang berupa panduan penggunaannya yang sesuai untuk SD tertinggal perlu dilaksanakan. Pengembangan alat peraga disertai dengan Buku Panduan penggunaan alat peraga matematika tersebut diharapkan akan dapat meningkatkan profesionalisme kemampuan para guru dalam menyelenggarakan KBM khususnya guru untuk mata pelajaran matematika. Apabila penelitian seperti ini berhasil maka merupakan bantuan yang berharga bagi SD tertinggal untuk menyelenggarakan KBM yang sesuai pada kurikulum 2013. Dengan demikian dapat menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi yang diharapkan.. Penelitian ini bekerja sama dengan Dinas Pendidikan tingkat Kabupaten Bangkalan sebagai sumber informasi tentang SD tertinggal yang mendesak untuk ditangani. Keberhasilan dari penelitian ini diharapkan dapat diterapkan di sekolah-sekolah lain yang kondisinya hampir sama dengan SD tertinggal. 2. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif.
116
2.1. Tahapan Penelitian Adapun tahapan pelaksanaannya adalah sebagai berikut : a. Koordinasi Internal Koordinasi internal dilakukan oleh tim peneliti untuk mendiskusikan garis besar pelaksanaan kegiatan, surat menyurat untuk keperluan penelitian, pembagian tugas dan tanggungjawab, batas waktu penyelesaian pekerjaan, target luaran yang harus diperoleh serta strategi pengumpulan data di lapangan agar dapat berlangsung secara efektif dan efsien. b. Penyusunan Instrumen Penelitian Penelitian ini menggunakan pengamatan langsung , kuesioner, wawancara, dan observasi untuk mengumpulkan data di lapangan. Penyusunan instrumen berupa kuesioner, panduan wawancara, dan lembar observasi dilakukan oleh tim peneliti digunakan untuk mengungkap karakteristik SD tertinggal . Karakteristik tersebut meliputi kondisi bangunan, keadaan dan jumlah ruang belajar serta sarana dan prasarana yang terdapat di dalamnya, profil guru yang meliputi jumlah, pendidikan terakhir, pengalaman penataran/pelatihan yang sesuai dengan tugasnya, komitmen terhadap tugas, motivasi, profil siswa meliputi jumlah, keadaan sosial ekonomi, kemampuan akademik, motivasi belajar, dan hal-hal lain yang dirasa perlu. Data-data tersebut dianalisis menggunakan analisis deskriptif kualitatif. c. Koordinasi eksternal Koordinasi eksternal dilakukan oleh tim peneliti untuk menyampaikan ijin penelitian serta tujuannya kepada Diknas Kabupaten di daerah tertinggal Provinsi Jawa Timur, yaitu Diknas Kabupaten Bangkalan. Koordinasi eksternal dilakukan dengan membawa surat pelaksanaan penelitian beserta kelengkapan instrumen yang telah divalidasi. d. Pengumpulan data dan kompilasi data Pengumpulan data menggunakan kuesioner, lembar observasi dan panduan wawancara. Pengumpulan data dilakukan oleh tim peneliti dengan dibantu dari pihak diknas. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. e. Pengolahan data Data primer dan sekunder yang telah diperoleh selanjutnya dikompilasi dan dinarasikan sesuai tujuan penelitian pada setiap Kabupaten. Pada tahun ke-1 menghasilkan informasi karakteristik sekolah dasar (SD) di daerah tertimeliputi kondisi bangunan, kondisi dan jumlah ruang belajar serta sarana dan prasarana yang terdapat di dalamnya, profil guru yang meliputi jumlah, pendidikan terakhir,
pengalaman penataran/pelatihan yang sesuai dengan tugasnya, komitmen terhadap tugas, motivasi, profil siswa meliputi jumlah, keadaan sosial ekonomi, kemampuan akademik, motivasi belajar, dan hal-hal lain yang dirasa perlu. Data tersebut akan digunakan sebagai bahan pertimbangan pembuatan prototipe alat peraga matematika dan penyusunan Buku Panduan penggunaan alat peraga yang sesuai untuk SD di daerah tertinggal. f. Analisis Data Analisis data yang dilakukan setiap tahunnya berbeda, pada tahun ke – 1 dilakukan analisa deskriptif terkait karakteristik SD di daerah tertinggal . Informasi tentang potensi alam sekitar SD tersebut dan macam materi khususnya materi mata pelajaran matematika di tingkat SD kelas 4 – 5 yang siswa dirasa sulit memahami, akan dipakai sebagai dasar pembuatan prototipe alat peraga guna sebagai sarana selama proses pembelajaran untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Analisa data tahun ke-2, berupa hasil instrumen yang diberikan pada guru-guru setelah diberikan sosialisasi tentang pembuatan dan cara pemakaian peraga matematika tersebut. g. Penyusunan laporan Susunan laporan mengacu pada sistematika panduan penelitian edisi X yang merupakan uraian lebih lanjut dari bab I-III pada proposal ditambah dengan hasil penelitian berikut pembahasannya, serta kesimpulan dan saran. 2.2. Teknik Pengumpulan Data Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2012). Populasi dalam penelitian ini adalah Kabupaten yang masih merupakan daerah tertinggal di Propvinsi Jawa Timur, yaitu Kabupaten Bangkalan. Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut . Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini mengunakan probability sampling dengan metode yang digunakan adalah simple random sampling, yaitu pengambilan anggota sampel yang dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata (Sugiyono, 2012). Sampel pada penelitian ini diambil lima SD dan penentuan SD berdasarkan informasi dan pemilihan dari pihak Diknas Pendidikan Kabupaten Bangkalan. Variabel-variabel yang dipakai dalam penelitian ini, yaitu variabel dependen (variabel terikat) merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas Sugiyono (2012). Keberhasilan proses KBM khususnya untuk mata pelajaran matematika
117
terkait dengan hasil belajar siswa sebagai variabel dependen. Sedangkan variabel independen (variabel bebas) adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen (terikat) Sugiyono (2012). Faktor perekonomian siswa, faktor fasilitas di SD, faktor guru, faktor kelasdan faktor sarana dan prasarana merupakan variabel independen dalam penelitian ini. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Profile Kabupaten Bangkalan Kabupaten Bangkalan , merupakan daerah hutan disuatu perdesaan yang terpencil serta jaraknya jauh yaitu rata-rata 17,7 km dari ibukota kecamatan. Untuk keperluan utama selama proses pembelajaran rata-rata sudah bisa terpenuhi, yaitu ruang kelas, kamar mandi dan ruang guru meskipun dengan kondisi apa adanya. Rata-rata semuanya guru kelas (100%) bukan guru bidang studi dan sudah Sarjana (100%). Tingkat sosial ekonomi siswa rata-rata tingkat sedang (60 %) dan mata pencaharian orang tua terbanyak adalah petani (100%). Potensi alam wilayah sekitar sekolah adalah padi dan ketela pohon. 3.2. Prototype Alat Peraga Matematika SD Prototipe alat peraga matematika yang didesain dan dibuat sesuai tingkat kebutuhan guru-guru di SD daerah tertinggal , khususnya di daerah Kabupaten Bangkalan. Berdasarkan hasil responden, materi yang sulit dipahami siswa di SDN di daerah Kabupaten Bangkalan secara berurut adalah : a. KPK dan FPB b. Akar pangkat c. Soal cerita d. Perkalian dan pembagian e. Skala f. Perbandingan Profesionalime Guru di Kabupaten Bangkalan perlu ditingkatkan dalam rangka peningkatan sumberdaya manusia . Uji Coba alat peraga dalam rangka pengembangan alat peraga matematika dalam rangka peningkatan pemahaman khususnya mata pelajaran matematika. Peraga yang akan dipakai diusahakan dibuat dari bahan yang gampang didapatkan berdasarkan potensi alam disekitarnya dengan mempertimbangkan profil guru dan siswanya. Prototype alat peraga yang dibuat untuk menungkatkan pemahaman materi matematika tersebut adalah :
a.. KPK dan FPB
Gambar 1. Peraga materi KPK dan FPB
b. Akar Pangkat Dalam kehidupan sehari-hari muncul berbagai macam masalah. Masalahmasalah tersebut dapat diselesaikan dengan menggunakan bermacammacam cara. Mencari akar pangkat, khususnya pada akar pangkat tiga, untuk mendapatkan hasilnya tergolong ‘semikonkret’, siswa tidak menggunakan peraga tetapi dengan sedikit berlogika. Untuk menentukan hasil penarikan akar pangkat tiga dengan menggunakan bantuan Tabel Bilangan Kubik. c. Perkalian dan Pembagian
Gambar 2. Peraga materi Perkalian dan Pembagian
d. Perbandingan atau Skala
Gambar 3. Peraga materi Pembagian atau Skala
3.3.Uji Coba Alat Peraga Matematika di Kabupaten Bangkalan Uji coba pembelajaran Matematika bagi Guru-guru Sekolah Dasar di daerah terpencil tersebut, merupakan penerapan dan pemanfaatan
118
alat peraga sebagai sarana menanamkan konsep matematika kepada para guru yang nantinya bisa disampaikan kepada para siswa selama proses belajar mengajar. Dengan pemahaman konsep oleh para guru diaharapkan dapat meningkatkan profesionalisme Guru-guru Sekolah Dasar, terutama yang terletak didaerah tertinggal. Penggunakan alat peraga selama proses pembelajaran diharapkan dapat menciptakan suasana pembelajaran matematika menjadi lebih menarik dan menyenangkan sehingga dapat menghilangkan kesan pelajaran matematika merupakan mata pelajaran yang membosankan dan momok bagi siswa. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pada umumnya para guru dalam menerangkan matematika hanya teori saja, tetapi kurang dalam mengkaitkan dalam realita kehidupan sehari-hari. Dengan bantuan alat peraga matematika ini diharapkan matematika bisa menjadikan pelajaran yang menarik dan menyenangkan , sehingga dapat membantu dalam proses pemahaman konsep, khususnya bagi siswa yang mempunyai sumberdaya manusianya dibawah rata-rata. Uji coba Penggunaan Media Pembelajaran Matematika Sekolah Dasar berbasis bahan lokal di Kabupaten Bangkalan , diadakan selama 2 hari yaitu pada tgl 18 – 19 Juli 2016. Acara dimulai dengan Pembukaan oleh Kabid Bidang TK/SD/SDLB Dinas Pendidikan Kab. Bangkalan , yaitu Bapak Drs. Fauzi, M.Pd. Peserta Uji coba sebanyak sepuluh guru dari lima Sekolah Dasar yang diambil secara sampling sesuai Sekolah Dasar terpilih di tahun pertama kemaren. Setiap Sekolah Dasar diikuti masing-masing dua guru yang mengajar kelas 4 dan kelas 5, yaitu : a. SDN Genteng 4 b. SDN Lerpak 1 c. SDN Beber 3 d. SDN Durjan 3 Kokop e. SDN Bandang Laok 1 Kec. Kokop Berikut serangkaian acara Uji coba Penggunaan Media Pembelajaran Matematika Sekolah Dasar berbasis bahan lokal di Kabupaten Bangkalan, dimulai dari Pembukaan
dari peserta dalam memperagakan dari setiap materi yang mereka dapatkan. Hal ini bisa dilihat berdasarkan bukti dokumentasi sebagai berikut,
Gambar 5. Semangat Peserta dalam mengikuti serangkaian acara uji coba
Acara Uji coba sebelum berakhir, para peserta dievaluasi Pembelajaran Matematika dengan menggunakan Alat Peraga Bagi Guru SD. Adapun hasil evaluasi akhir Pemahaman Uji Coba di Kabupaten Bangkalan adalah sebagai berikut, Tabel 1. Hasil Evaluasi Akhir Pemahaman Uji Coba Alat Peraga SD
SDN BANDANG SDN GEGER 3 SDN DURJAN 3 SDN LERPAK 1 SDN GENTENG 4
Kategori : < 75 75 – 85 86 – 95 > 95
Peserta Guru 1 Guru 2 Guru 3 Guru 4 Guru 5 Guru 6 Guru 7 Guru 8 Guru 9 Guru 10
Nilai 88.9 88.9 80.0 100.0 95.6 86.7 100.0 88.9 91.1 93.3
RataRata Nilai 88.9 90.0 91.1 94.4 92.2
: kurang : cukup : baik : baik sekali
Berdasarkan Tabel 1. diatas disimpulkan bahwa hasil evaluasi pemahaman uji coba oleh Guru-guru di Kabupaten Bangkalan mendapatkan nilai rata-rata antara (86 – 95), artinya tingkat kepahaman Guruguru terhadap materi selama uji coba berkategori baik
Gambar 4. Uji coba Alat Peraga
Peserta Uji coba kelihatan sangat antusias sekali dalam memperhatikan materi yang disampaikan, hal ini kelihatan dengan semangat
119
5. DAFTAR PUSTAKA [1] . Blum, W. and Niss, M., (1989), Mathematical Problem Solving, Modelling, Applications, and Links to Other Subjects – State, Trends and Issues in Mathematics Instruction. In: W. Blum, M. Niss, and I. Huntley (Eds.), Modelling, Applications and Applied Problem Solving: teaching mathematics in a real contexts, Chichester: Ellis Horwoord Gambar 6. Grafik Evaluasi Akhir Pemahaman Uji Coba Peraga Matematika di Kabupaten Bangkalan
Acara uji coba diakhiri dengan pemberian satu paket media peraga matematika kepada ke-5 SD terpencil di daerah tertinggal Kab. Bangkalan tersebut serta berfoto bersama. 4. SIMPULAN DAN SARAN 4.1 Simpulan Beberapa hal yang dapat disimpulkan pada laporan akhir pada penelitian ini adalah sebagai berikut : Prototipe alat peraga matematika yang didesain dan dibuat sesuai tingkat kebutuhan guru-guru di SD daerah tertinggal adalah alat peraga untuk materi pecahan dan perbandingan, materi perkalian dan pembagian, materi bangun ruang, materi FPB dan KPK , materi operasi penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat , materi akar dan pangkat , materi hitung jam serta sebagai pengayaan ditambahkan peraga untuk menjelaskan konsep luas lingkaran dan rumah perkalian untuk meningkatkan ketrampilan perkalian, pembagian dan faktorisasi bagi siswa. Hasil evaluasi Guru-guru pada saat uji coba alat peraga di Kabupaten Bangkalan menunjukan pemahaman guru-guru terhadap hubungan antara materi dan penggunaan alat peraga matematika dapat meningkat dengan baik . Rata-rata dari ke5 SDN yang dijadikan sampel menyatakan setuju dengan dibantu alat peraga selama proses pembelajaran matematika di kelas. 4.2 Saran Untuk membuktikan ketermanfaatan alat peraga matematika tersebut , perlu dilakukan try out terhadap siswa-siswa SDN , disesuaikan antara materi dan alat peraga dari jenjang kelas yang terkait. Keberhasilan penelitian ini memungkinkan digunakannya prototipe alat peraga untuk belajar matematika dan Buku Panduan pedoman panduan alat peraga matematika yang dikembangkan untuk diterapkan di sekolahsekolah lain yang kondisinya mirip dengan sekolah-sekolah tertinggal
[2] . De Lange, J. ,(1995), Assessment: No change without problem. In: T. Romberg (ed.) Reform in school mathematics and authentic assessment. Albany NY: State Univeristy of New York Press. [3]. Fauzan, Ahmad. (2001). “ Pendidikan Matematika Realistik: Suatu Tantangan dan Harapan.” , disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika Realistik di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta tanggal 14- 15 November 2001. [4]. Gravemeijer, K.P.E. (1994). Developing realistic mathematics education. Utrecht: CD- Press, the Netherlands. [5]. Hadi, Sutarto. (2001). ‘PMRI : Beberapa Catatan Sebelum Melangkah Lebih Jauh.”, disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika Realistik di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta tanggal 14 – 15 November 2001. [6]. Marpaung, Y. 2001. Pendekatan Realistik dan Sani dalam Pembelajaran Matematika, disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika Realistik di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta tanggal 14 – 15 November 2001. [7]. Ninik, W.H. 2007. PMRI Suatu Inovasi Pendekatan Pembelajaran Matematika, disajikan pada seminar di Jurusan Teknik Mesin FT UNESA, tgl 19 Juli 2007 [8]. Ratini, dkk. 2001. Pengalaman dalam Melaksanakan Uji Coba Pembelajaran Matematika secara Realistik di MIN Yogyakarta II, disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika Realistik di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta tanggal 14 – 15 November 2001. [9]. Sri Wardhani. (2005). Pembelajaran Matematika Kontekstual. Bahan Ajar Diklat di PPPG Matematika, Yogyakarta: PPPG Matematika [10]. Tim PPPG Matematika. (2003). Beberapa Teknik, Model dan Strategi Dalam Pembelajaran Matematika. Bahan Ajar Diklat di PPPG Matematika, Yogyakarta: PPPG Matematika.
120
[11].KENDAL,KOMPAS.Com, Rabu, 13 Februari 2013. 183 Kabupaten Berstatus Daerah Tertinggal [12]. Depdiknas, (2004), Kurikulum 2004: Standar Kompetensi Mata Pelajaran Matematika Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah Jakarta: Depdiknas Yogyakarta: PPPG Matematika.
121
122
Media Trainer Praktikum Untuk Penunjang Mata Kuliah Dasar Sistem Telekomunikasi Mahasiswa Teknik Elektro FT-UNESA Nurhayati1*), Eppy Yundra2 1 2
Jurusan Teknik Elektro, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya. E-mail: [email protected] Jurusan Teknik Elektro, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya. E-mail:[email protected] *) Alamat Korespondensi: Email: [email protected]
ABSTRACT The meaning of learning is activity that can improve new knowledge, skills, and behaviors. It can happened if there are collaborate from individual with information and environment. To support the course of basic telecommunications system, trainers is created as media to enhance learning process. This study aims to know validation of trainer for basic telecommunications system courses and to know the response of students to the trainer that supporting basic telecommunications system experiment courses. This research used pre experiment design and it is named as one-shot case study. In this designed there were a group that is given a treatment and observations. The sample is students of Electrical Engineering whom taken basic telecommunications system courses. The product from this research is trainer. It can include with oscillator, filter, modulator and amplifier that is integrated in one trainer box. The modulator includes of amplitude modulation (AM), frequency modulation (FM), pulse amplitude modulation (PAM), amplitude shift keying (ASK), frequency shift keying (FSK). From the validation results showed that the average results of the validation as 83%. From validation, it denoted that construction and material can support learning process. But the value of trainer construction less than material of the trainer. Based on the recapitulation of the student response, it gets 85% with good ratings. From that resulted, it can be concluded that trainer can improve electrical engineering student’s competency. Key Words: media, learning, trainer, modulation, validation ABSTRAK Pengertian belajar adalah kegiatan mengembangkan pengetahuan baru, keterampilan, dan perilaku. Hali ini dapat terjadi jika terjadi interaksi individu dengan informasi dan lingkungan. Untuk mendukung mata kuliah praktikum dasar sistem telekomunikasi, maka dibutuhkan trainer sebagai sarana pendukung media pembelajaran. Penelitian ini bertujuan untuk membuat trainer pendukung yang layak untuk mata kuliah praktikum dasar sistem telekomunikasi serta mengetahui respon mahasiswa terhadap trainer pendukung mata kuliah praktikum dasar sistem telekomunikasi. Desain penelitian yang digunakan adalah jenis pre experiment design dengan bentuk one-shot case study. Dalam desain ini terdapat suatu kelompok dan diberi treatment/perlakuan dan dilakukan observasi. Sampel penelitian ini adalah mahasiswa prodi S1 Teknik Elektro yang mengambil mata kuliah praktikum dasar sistem telekomunikasi. Produk yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah terbentuknya trainer pendukung dengan materi Oscilator, Filter, penguat dan modulator meliputi amplitude modulation (AM), frequency modulation (FM), pulse amplitude modulation (PAM), amplitude shift keying (ASK), frequency shift keying (FSK) yang terintegrasi dalam satu box trainer. Dari hasil validasi didapatkan bahwa rata-rata hasil validasi sebesar 83%. Rata-rata validasi didapatkan dari penilaian format tampilanmendapatkan hasil rating yang lebih rendah dibandingkan dengan hasil rating materi trainer. Berdasarkan rekapitulasi hasil respon mahasiswa sebesar 85% dengan penilaian baik. Dari hasil yang didapatkan dapat disimpulkan bahwa trainer dapat digunakan untuk meningkatkan kompetensi mahasiswa teknik elektro. Kata kunci: Media, pembelajaran, trainer, modulasi, validasi. 1. PENDAHULUAN Menurut Smaldino[1] belajar adalah mengembangkan pengetahuan baru, keterampilan, dan perilaku yang merupakan interaksi individu dengan informasi dan lingkungan. Lingkungan dalam hal ini tidak hanya bersifat lunak, tetapi juga bersifat fisik, seperti jalan raya, televisi, komputer, dan lain sebagainya. Melihat pada definisi tersebut semakin jelas bahwa belajar tidak terlepas dari sebuah interaksi antara individu dengan lingkungannya, dengan sebuah
media pembelajaran baik akan tercapai informasi yang ditujukan kepada individu tersebut. Praktikum dasar sistim telekomunikasi merupakan mata kuliah wajib yang harus diambil oleh mahasiswa program studi S1 Teknik Elektro. Mata kuliah tersebut memiliki topik seperti oscillator, amplitude modulation (AM), frequency modulation (FM), pulse amplitude modulation (PAM), amplitude shift keying (ASK), frequency shift keying (FSK), filter dan amplifier. Untuk mendukung mata kuliah tersebut dibutuhkan trainer sebagai sarana pendukung praktikum bagi mahasiswa. Namun kondisi dilapangan
123
trainer yang dimiliki oleh Laboratorium Telekomunikasi sangat terbatas, hanya menggunakan simulasi computer dan proses belajar mengajar menjadi kurang optimal. Sehingga sangat dibutuhkan trainer pendukung untuk praktikum mata kuliah tersebut. Trainer merupakan suatu set peralatan di laboratorium yang digunakan sebagai media pendidikan. Trainer praktikum dasar sistim telekomunikasi ini dibuat karena terbatasnya jumlah media pembelajaran pada mata kuliah tersebut. Trainer merupakan media yang dapat dilihat dan digunakan sebagai pengalaman nyata bagi mahasiswa dan dapat menarik perhatian dalam upaya meningkatkan komptensi mahasiswa prodi S1 Teknik Elektro FT-Unesa Keutamaan dari penelitian ini adalah penerapan dari pendukung trainer lebih terintegrasi dan tidak parsial sehingga mahasiswa lebih mudah memahami materi perkulihan praktikum tersebut yang merupakan kompetensi dasar bagi seluruh mahasiwa prodi S1 Teknik Elektro FT-Unesa. Penelitian bertujuan menghasilkan trainer pendukung yang layak untuk mata kuliah praktikum dasar sistim telekomunikasi dan mengetahui respon mahasiswa terhadap trainer pendukung untuk mata kuliah praktikum dasar sistem telekomunikasi. 2. TINJAUAN PUSTAKA Media Pembelajaran Trainer Trainer merupakan suatu set peralatan yang digunakan sebagai media pendidikan. Trainer praktikum dasar sistim telekomunikasi ini dibuat karena terbatasnya jumlah media pembelajaran pada mata kuliah tersebut. Trainer merupakan media yang dapat dilihat dan digunakan sebagai pengalaman nyata bagi mahasiswa dan dapat menarik perhatian dalam upaya meningkatkan komptensi mahasiswa prodi S1 Teknik Elektro FT-Unesa. Agar bisa memenuhi fungsi tersebut maka media pembelajaran yang akan dikembangkan harus memiliki kualitas baik. Indikator media pembelajaran yang baik dapat diketahui berdasarkan kelayakan dari media pembelajaran tersebut. Kelayakan ini terdiri dari 3 (tiga) aspek yaitu validitas, kepraktisan, dan keefektifan[2]. Menurut Sugiyono[3], validitas isi dapat dilakukan dengan membandingkan antara isi bahan ajar dengan materi pelajaran yang diajarkan. Sedangkan validitas konstruk dilihat berdasarkan penyelidikan terhadap konstruk psikologis. Stimulus respon terdiri dari tiga komponen yaitu komponen kognisi (pengetahuan), komponen afeksi (sikap), dan komponen psikomotor (tindakan). Pengetahuan berhubungan dengan bagaimana seseorang memperoleh pemahaman tentang dirinya dan lingkungannya serta bagaimana dengan kesadaran itu bereaksi terhadap lingkungannya. Materi Praktikum
Trainer yang dibuat pada penelitian ini terdapat beberapa rangkaian percobaan yaitu rangkaian osilator, penguat, filter, modulator. Osilator (oscillator) adalah suatu rangkaian elektronika yang menghasilkan sejumlah getaran atau sinyal listrik secara periodik dengan amplitudo yang konstan. Gelombang sinyal yang dihasilkan ada yang berbentuk gelombang sinus (sinusoide wave), gelombang kotak (square wave) dan gelombang gigi gergaji (saw tooth wave). Pada dasarnya sinyal arus searah atau DC dari pencatu daya (power supply) dikonversikan oleh rangkaian osilator menjadi sinyal arus bolak-balik atau AC sehingga menghasilkan sinyal listrik yang periodik dengan amplitudo konstan. Rangkaian modulator ada yang berupa modulator analog dan digital. Perbedaan modulasi analog dan digital dapat dilihat dari bentuk sinyal informasi yang diinputkan. AM, FM merupakan contoh modulasi analog sedangkan ASK, FSK merupakan contoh sistem modulasi digital.
Gambar 1. Rangkaian Osilator
Gambar 2. Rangkaian Filter
Gambar 3. Modulator AM
124
Gambar 7. Rangkaian penguat Gambar 4. Modulator PAM
Gambar 5. Rangkaian ASK
Gambar 6. Rangkaian FSK
3. METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Desain penelitian yang digunakan adalah jenis metode panelitian kualitatif jenis pre experiment design dengan bentuk one-shot case study. Dalam desain ini terdapat suatu kelompok dan diberi treatment/perlakuan dan selanjutnya dilakukan observasi hasilnya [3]. Tujuan panelitian menurut Ghufron[4] adalah menjembatani kesenjangan antara sesuatu yang terjadi dalam penelitian pendidikan dengan praktik pendidikan dan menghasilkan produk penelitian yang dapat digunakan untuk mengembangkan mutu pendidikan dan pembelajaran secara efektif. Menurut Brog and Gall[5] bahwa prosedur penelitian dan pengembangan pada dasarnya terdiri dari dua tujuan utama, yaitu: pengembangan produk, menguji kualitas dan efektifitas produk dalam mencapai tujuan. Penelitian pembuatan trainer pendukung ini dilaksanakan di Jurusan Teknik Elektro Fakuktas Teknik Universitas Negeri Surabaya dan waktu pelaksanaan penelitian selama 8 bulan. Populasi penelitian pembuatan trainer pendukung adalah mahasiswa Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Negeri Surabaya. Sampel penelitian ini adalah mahasiswa prodi S1 Teknik Elektro yang mengambil matakuliah praktikum dasar sistem telekomunikasi.
Rancangan Penelitian Rancangan penelitian ini menggunakan rancangan one-shot case study design[6] dengan pola sebagai berikut:
Gambar 8. One-shot case study design
Keterangan: X = mahasiswa dibelajarkan dengan menggunakan trainer pendukung pada mata kuliah praktikum dasar sistem telekomunikasi
125
O = Pengambilan data peserta didik berupa respon mahasiswa
Tabel 1. Hasil Validasi No 1
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Hasil dari penelitian ini adalah terbentuknya produk Trainer yang mendukung mata kuliah Dasar Sistem Telekomunikasi yang dapat mendukung perkuliahan mahasiswa Pendidikan Teknik Elektro maupun mahasiswa Teknik Elektro. Trainer yang terbentuk kemuadian divalidasi berupa deskripsi data hasil validasi dan angket respon mahasiswa. Hasil penelitian ini divalidasi oleh 3 validator yang terdiri dari 3 orang Dosen Teknik Elektro Universitas Negeri Surabaya. Dari hasil validasi yang telah dinilai oleh para ahli, kemudian hasil validasi tersebut akan dihitung rating dari tiap-tiap indikator yang kemudian hasil rating tersebut dikategorikan menurut kriteria skala penilaian.
Gambar 8. Tampilan Trainer tampak atas
Pada pembuatan trainer terdapat 3 jenis trainer dengan menggunakan PCB dan terdapat beberpa kegiatan praktikum yang dilengkapi gambar rangkaian percobaan tiap percobaan. Pada trainer terdapat rangkaian osilator, penguat, filter, modulasi AM, FM, PAM, modulasi ASK dan FSK. Mahasiswa dapat menghubungkan sinyal input untuk sinyal informasi maupun sinyal pembawa menggunakan Audio Function Generator dan melihat input dan output gelombang menggunakan osiloskop. Pembahasan 1. Hasil Validasi Instrument Hasil rating validasi trainer, oleh 3 orang dosen jurusan Teknik Elektro, yang terdiri dari: (a) Perwajahan dan konstruksi dan (b) Materi, yang didapatkan rata-rata hasil validasi tingkat kelayakan pada trainer tersebut. Hasil dari validasi yang telah dilakukan adalah sebagaimana terlihat pada Tabel 1 berikut.
2
Jenis Intrumen Perwajahan dan konstruksi Materi
Rata-Rata
Hasil
Keterangan
77%
Valid
89%
Sangat valid
83%
Sangat valid
Berdasarkan rekapitulasi pada Tabel 1 didapatkan rata-rata penilaian hasil validasi perwajahan dan konstruksi trainer sebesar 77% dengan kategori valid dan rata-rata hasil validasi materi sebesar 89% dengan kategori sangat valid. Sesuai dengan skala Likert[7] bahwa instrument penelitian dinyatakan valid apabila mempunyai angka 63% 81% dan dinyatakan sangat valid jika berada pada skala 82-100%. Rata-rata keseluruhan dari hasil validasi trainer oleh 3 validator sebesar 83% dengan kategori sangat valid. Validasi perwajahan dan tata letak hanya mendapatkan 77% hal ini disebabkan perwajahan dan konstruksi trainer masih banyak kekurangan baik dari segi penampilan, keterbacaan penunjuk pada trainer maupun dalam pengoperasian trainer. Dari hasil validator ada yang memberi saran agar ada tata letak rangkaian diperbaiki dimana peletakan rangkaian mempertimbangkan urutan sinyal sistem pemancar agar pemahaman mahasiswa semakin baik. Pembuatan trainer ini masih belum sempurna terutama dalam tata letak rangkaian. Selain itu penataan kabel untuk menghubungkan ke sumber input dan output dan juga penamaan sumber input dan output kurang jelas. Tetapi dengan adanya trainer pendukung praktikum maka mahasiswa lebih terbantu dalam proses pembelajaran dimana mereka lebih paham mengenai sinyal input dan output dari rangkaian osilator, penguat, proses modulasi dan mereka bisa membedakan beberapa sinyal output dari beberapa sistem modulasi. Dari hasil validasi dapat disimpulkan bahwa traner sangat valid digunakan untuk mendukung mata kuliah Dasar Sistem Telekomunikasi dengan hasil rating sebesar 83%.
Hasil Validasi 90% 80%
89% 77%
70% Perwajahan dan Konstruksi
Materi
Gambar 9. grafik hasil validasi
Dari kedua hasil rating tersebut dapat dibuat rata-rata hasil validasi trainer sebesar 83%. Pada akhirnya, dapat disimpulkan trainer dapat digunakan untuk
126
mendukung kegiatan pembelajaran praktik untuk mata kuliah dasar sistem telekomunikasi. 2. Hasil Respon Berdasarkan hasil respon angket, yang terdiri dari (a) Desain media, (b) Trainer dapat menunjang perkuliahan, (c) Trainer dapat mempermudah pemahaman materi, dan (d) trainer dapat menambah motivasi dan minat belajar, yang diperoleh dari mahasiswa jurusan Teknik Elektro didapatkan hasil respon yang berbeda. Namun secara keseluruhan dapatterlihat mereka senang dengan adanya kegiatan pembelajaran menggunakan trainer dibandingkan dengan hanya menggunakan simulasi computer. Hasil dari angket respon mahasiswa yang telah dilakukan adalah sebagai berikut sebagaimana terlihat pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil Respon Mahasiswa No
Jenis Intrumen
Hasil
Keterangan
1
Desain media Trainer data menunjang perkuliahan Trainer mempermudah pemahaman materi Trainer dapat menambah motivasi
76%
Baik Sangat Baik Sangat Baik Sangat Baik Sangat Baik
2 3 4
Rata-Rata
89% 89% 85% 85%
membantu dalam pemahaman materi bila disbanding hanya diterangkan tanpa menggunakan media. Dengan menggunakan trainer mereka bisa mengetahui secara langsung rangkaian osilator, penguat, filter, modulator AM, FM, PAM, ASK dan FSK. Mahasiswa dapat mengetahui bentuk sinyal input dan perbedaan sinyal output yang dihasilkan dari beberapa jenis rangkaian modulator. Mahasiswa menjadi paham cara mengoperasikan alat ukur seperti Audio signal generator, catu daya dan penggunaan osiloskop dalam membaca sinyal. Hanya terdapat kendala jumlah audio signal generator yang ada di laboratorium telekomunikasi terbatas. Dari ketiga trainer yang dihasilkan juga keterangan input dan output, tata letak penataan komponen ada yang kurang baik sehingga data yang diambil juga menjadi kurang optimal. Namun mahasiswa sangat senang dengan adanya trainer karena mereka bisa melihat rangkaian secara langsung dan melihat gelombang input dan output dari beberapa rangkaian pada satu trainer/box. Dengan adanya trainer kegiatan psikomotorik dan kognitif dapat terlaksana secara real jika dibandingkan dengan menggunakan simulasi menggunakan program simulasi seperti multisim ataupun proteus. Mereka juga bisa membandingkan hasil keluaran gelombang dari hasil simulasi dan pengukuran secara langsung.
Berdasarkan rekapitulasi hasil angket terlihat bahwa rata-rata hasil respon mahasiswa sebesar 85% dengan penilaian kualitatif sangat baik. Jika digambarkan dengan grafik terlihat seperti Gambar 10 dibawah ini.
HASIL RESPON 90% 85% 80% 75% 70% 65%
89%
89%
Gambar 11. Proses pengujian trainer 1
85%
76%
Gambar 10. Hasil respon mahasiswa
Hasil penilaian format desain media trainer 78%, respon mengenai trainer dapat menunjang perkuliahan dan dapat mempermudah pemahaman materi diperoleh hasil rating sebesar 89%, sedangkan trainer dapat menambah motivasi didapatkan hasil rating sebesar 86%. Sebagian mahasiswa merasa senang dengan pembelajaran yang bervariasi, dan mereka mempunyai pengalaman belajar yang lebih, serta lebih memahami konsep materi yang berhubungan sistem modulasi dan terdapat trainer pendukung yang
Gambar 12. Proses pengujian trainer 2
127
5. DAFTAR PUSTAKA
Gambar 13. Trainer 3
4. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1) Trainer pendukung praktikum dapat digunakan untuk mendukung mata kuliah dasar sistem telekomunikasi untuk mahasiswa Teknik Elektro. Hal ini dapat dilihat dari rekapitulasi rata-rata hasil validasi sebesar 83% dengan kategori sangat valid. Rata-rata validasi didapatkan dari rata-rata penilaian format perwajahan dan konstruksi sebesar 77%, dan validasi isi materi yang dapat tersampaikan dari trainer sebesar 89%. Sesuai dengan skala Likert bahwa instrument penelitian dinyatakan sangat valid apabila mempunyai angka 81% - 100%. Hal ini menunjukkan bahwa trainer dapat digunakan untuk mendukung perkuliahan praktikum dasar sistem telekomunikasi. 2) Berdasarkan rekapitulasi hasil angket didapatkan bahwa rata-rata hasil respon mahasiswa sebesar 85 % dengan penilaian kualitatif sangat baik yang didapatkan dari rata-rata hasil penilaian desain media trainer 76%, respon trainer dapat menunjang perkuliahan sebesar 89%, hasil rating trainer dapat mempermudah pemahaman perkuliahan sebesar 89%, dan trainer dapat menambah motivasi dan minat belajar sebesar 85%. Dalam melakukan kegiatan pembelajaran menggunakan trainer maka mahasiswa akan mempunyai pengalaman belajar yang lebih karena adanya visualisasi secara real mengenai rangkaian, komponen pendukung, gelombang input dan output, cara pengambilan data, sehingga lebih memahami konsep materi dan dapat membandingkan dengan hasil simulasi.
[1]. Smaldino, Sharon E. & James D. Russel, (2011). Instructional Technology and Media for Learning, Yogyakarta: Prenada Media Group. [2]. Nieveen, N., (1999). Design Approaches and Tools in Education and Training, J. Akker et al (Eds): Formative evaluation in educational design research. Netherlands: Kluwer Academic Publisher. [3]. Sugiyono, (2014). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. [4]. Ghufron, Anik, (2011). Pendekatan Penelitian dan Pengembangan (R&D) di Bidang Pendidikan dan Pembelajaran. [5]. Borg R. Walter and Gall Meredith, D., (1989). Educational Research: An Introduction, Fifth Edition, London: Longman, Inc. [6]. Fraenkel, J. R., Wallen, N. E., & Hyun, H.H., (2012). How To Design And Evaluate Research In Education (8th ed.), New York: McGraw-Hill. [7]. Riduwan, (2012). Skala Pengukuran VariabelVariabel Penelitian. Bandung: CV Alfabeta.
Saran 1) Perlu adanya penyempurnaan bentuk tampilan trainer dari penataan letak rangkaian, kejelasan tulisan, serta kemudahan dalam menghubungkan dengan input output rangkaian. Trainer juga perlu diperbanyak sehingga dapat dgunakan untuk banyak kelompok. 2) Dalam melakukan praktikum sebaiknya peralatan laboratorium harus mencukupi sehingga mahasiswa tidak saling bergantian menggunakan peralatan input dan output.
128
Profil Mahasiswa Dalam Kegiatan Perkuliahan Model SoroganBandongan Materi Mekanisme Reaksi Kimia Organik Rinaningsih1*), Suyatno2, Ismono3 1
2
Jurusan Kimia, UNESA, Surabaya. E-mail: [email protected] Jurusan Kimia, UNESA, Surabaya. E-mail: [email protected] 3 Jurusan Kimia, UNESA, Surabaya. E-mail: [email protected] *) Alamat Korespondensi: Email: [email protected]
ABSTRACT Model lectures Sorogan-Bandonga are models a combination of the two methods that is methods sorogan and methods Bandongan. Sorogan method is a method to individual learning where the student must submit the results (Sorog) concept has been understood to lecturers. Bandongan method is a method lecture where students get learning in groups and given an opportunity to discuss the material to be taught. In a preliminary study tested a model Sorogan-Bandongan using descriptive qualitative method with the syntax: Student reading and writing tasks on teaching materials; The diagnostic test; Explanation of material; Student worksheets student (sorogan); Classroom discussion reinforcement material (Bandongan) and final tests as the closing lecture. Results obtained test students' understanding of the concept of the reaction mechanism after reading the explanation before lecturers teaching materials, two students 25% , 50% 13 students, 10 students 75%, and no student is 100% understand the teaching materials before the discussion of the lecturer. The diagnostic results obtained learning difficulties 32% Question 1; 40% Question 2; 18% Question 3; 83% about the number 4. There is a learning outcome at 11.07. Recommended that the model Sorogan-Bandongan effective as a model lecture Organic Chemistry. Key Words: Model Sorogan-Bandongan, Reaction Mechanism Organic Chemistry ABSTRAK Model perkuliahan Sorogan-Bandongan merupakan model gabungan dari dua metode yakni metode Sorogan dan metode Bandongan. Metode Sorogan adalah metode pembelajaran individual dimana mahasiswa harus menyerahkan hasil (sorog) konsep yang telah dipahaminya kepada dosen. Metode Bandongan adalah suatu metode perkuliahan dimana mahasiswa mendapat pembelajaran secara kelompok dan diberikan kesempatan untuk berdiskusi tentang materi yang akan diajarkan. Pada penelitian pendahuluan diujicobakan model SoroganBandongan menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif dengan sintak: Mahasiswa membaca dan mengerjakan tugas pada bahan ajar; Tes diagnostik; Penjelasan materi; Mahasiswa mengerjakan lembar kerja mahasiswa (Sorogan); Diskusi kelas penguatan materi (Bandongan) dan tes akhir sebagai penutup perkuliahan. Hasil ujicoba didapatkan pemahaman mahasiswa konsep mekanisme reaksi setelah membaca bahan ajar sebelum penjelasan dosen, 2 mahasiswa 25%, 13 mahasiswa 50%, 10 mahasiswa 75% serta tidak ada mahasiswa yang 100% memahami bahan ajar sebelum pembahasan dosen. Hasil diagnostik kesulitan belajar didapatkan 32% soal nomor 1; 40% soal nomor 2; 18% soal nomor 3; 83% soal nomor 4. Terdapat peningkatan hasil belajar sebesar 11,07. Direkomendasikan bahwa model Sorogan-Bandongan efektif sebagai model perkuliahan Kimia Organik. Kata kunci: Model Sorogan-Bandongan, Mekanisme reaksi Kimia Organik.
1. PENDAHULUAN Model Sorogan-Bandongan merupakan model pembelajaran gabungan dari metode Sorogan dan metode Bandongan yang diterapkan di Pondok pesantren. Metode Sorogan adalah metode pembelajaran individual dimana santri harus menyerahkan hasil (sorog) materi konsep yang telah dipahaminya kepada Kyai (guru) [1, 2, 3, 4]. Kyai (guru) sebagai penerima hasil perkembangan belajar individual santrinya harus memberikan suatu umpan balik baik penguatan ataupun pembenaran apabila terjadi kesalahan dari santri, dalam hal ini Kyai (guru) adalah sumber ilmu [5, 6]. Metode Bandongan adalah suatu metode pembelajaran dimana siswa mendapat pembelajaran secara kelompok dan diberikan
kesempatan untuk berdiskusi tentang materi yang diajarkan [4, 7]. Indikator keberhasilan implementasi metode Sorogan dan metode Bandongan di Pesantren adalah seberapa besar penerimaan masyarakat terhadap keberadaan pesantren. Semakin Termasyur suatu pesantren Kyai semakin karismatik, wibawa dan terampil dalam menerapkan Sorogan-Bandongan [5, 8]. Semakin mahir Kyai dalam menerapkan SoroganBandongan semakin banyak muncul teknik, gaya serta strategi yang muncul dalam menyampaikan konsep (materi) pelajarannya[6, 4]. Implementasi Sorogan-Bandongan di Pondok Pesantren mutlak dilakukan baik di pesantren tradisional, modern maupun komprehensif, karena ruh metode tersebut sudah ada pada para pengajar baik
129
Kyai maupun ustadz (asisten Kyai). Salah satu syarat yang tidak tertulis dalam dunia pesantren untuk jadi seorang kyai atau ustadz apabila sudah pernah menyelesaikan (katam) kitab Ta’lim Muta’alim [9, 10]. Implementasi beberapa metode dalam perkuliahan mekanisme reaksi dapat meningkatkan perhatian [11], perkuliahan lebih efektif, melibatkan mahasiswa, kreatif, berpusat pada mahasiswa, [12] meningkatkan penggunaan teknologi , meningkatkan semangat belajar [13], meningkatkan kemampuan kinerja [14], Percaya diri [15] dan lebih efisien. Hal ini bisa dilakukan dengan ujian lisan, pemberian tugas rumah (PR), penataan ruang kelas, pengembangan silabus, soal kuis, ppt menggunakan IT [16] dan perkuliahan terpadu [17], sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar serta meningkatkan kesadaran dalam merancang dan mensintesis kimia organik alami, dengan pendekatan eksperimen kimia hijau yang dapat merubah sikap dan tingkah laku ramah lingkungan [18]. Kesulitan dalam mempelajari mekanisme reaksi diantaranya pada penentu reaksi, prinsip Le Chatelier’s, sulit menuliskan mekanisme reaksi dari kurva energi potensial, serta tidak dapat membedakan antara komplek aktivasi dan reaksi intermediet menggunakan besarnya energi dari unsur-unsur yang terdapat pada grafik [19]. Kesulitan - kesulitan ini dapat diatasi dengan menggunakan instrumen kimia, hasil analisis instrumen kimia membantu mengerti kejadian pada level molekuler mekanisme reaksi secara nyata [20] sehingga mekanisme reaksi dapat diuji [21]. Tujuh ide dalam sintesis kimia organik: mencerminkan praktek kimia organik, menyediakan informasi kontekstual, menyediakan referensi literatur, membuat masalah terbuka, mencakup permasalahan unsur yang familiar, membuat permasalahan yang semestinya penuh dengan tantangan, menyediakan akses referensi bahan ketika mahasiswa akan menyelesaikan masalah [22] . Perkuliahan mekanisme reaksi seharusnya dirancang dengan memberikan kesempatan berdiskusi, berlogika dan menentukan prioritas sintesis dalam industri. Penentuan mekanisme reaksi yang paling tepat bermanfaat untuk menentukan cara sintesis dalam industri. Hasil kinerja mahasiswa merupakan modifikasi praktis dan peningkatan mendasar untuk tantangan dan rekayasa kimia [23]. 2. PROSEDUR PENELITIAN Pada ujicoba penelitian pendahuluan menggunakan model perkuliahan Sorogan-Bandongan dengan metode deskriptif kualitatif. Langkah-langkah pembelajaran yang dilakukan yakni mahasiswa membaca dan mengerjakan tugas pada bahan ajar, tes diagnostik, penjelasan materi, mahasiswa mengerjakan LKM (Sorogan), Diskusi kelas penguatan materi (Bandongan) dan tes akhir sebagai penutup perkuliahan.
Hasil penelitian yang dibahas meliputi proses perkembangan hasil belajar mahasiswa, sebagaimana tertera pada Gambar 1 di bawah ini:
Gambar 1. Perkembangan Hasil Belajar Mahasiswa
Dalam menentukan efektifitas model sorogan – bandongan pada penelitian ini dapat dilakukan dengan melihat perkembangan hasil belajar mahasiswa. Potensi perkembangan individu dilakukan dengan membandingan antara pengetahuan awal siswa dan hasil belajarnya. membandingkan antara hasil diagnostik kesulitan belajar awal merupakan pre-test dengan kesulitan materi pada tes akhir menunjukkan bahwa terjadi penurunan kesulitan yang sangat drastis dari 32% pada pre-test menjadi 3% pada tes akhir untuk pengertian reaksi substitusi. Begitu juga pada kesulitan dalam mempelajari SN1 pada pre-test sebesar 83% pada tes akhir hanya 4,5%. dan SN2 pada pre-test sebesar 48% sedang pada tes akhir sebesar 20% (soal nomor 4, item 1 dan 3). Konsep prasyarat pada pre-test terbaca untuk asam basa Lewis sebesar 90%, konfigurasi elektron sebesar 23%, pengisian orbital 13%, hibridisasi 23%. Struktur Lewis 55%, elektronegatifitas 65%. Bila dirata – rata konsep prasyarat pada pre-test sebesar 44% hasil tersebut hampir setara pada tes akhir sebesar 46%. Kesetaraan menunjukkan bahwa konsep prasyarat memerlukan waktu tersendiri dalam perkuliahan karena keterbatasan waktu dalam tatap muka pada perkuliahan. Sejalan dengan pemikiran Cui[24] Pre-test sebagai alat pengukur pengetahuan awal mahasiswa sebagai diagnosa terhadap tahapan belajar siswa, menentukan langkah pembelajaran individual bagi masing-masing mahasiswa. Langkah pembelajaran dari hasil diagnostik tersebut merupakan kunci dari pembelajaran individual. Pembelajaran individual yang dilakukan dibantu oleh LKM yang telah dikembangkan berdasarkan langkah-langkah pembelajaran sesuai dengan ketentuan peta diagnostik. Hasil rata-rata pre-test sebesar 47,90 sedangkan post test sebesar 58,97 ada peningkatan sebesar 11,07 yang menunjukkan strategi dan metode Sorogan dan Bandongan yang diimplementasikan efektif dipergunakan dalam perkuliahan Kimia Organik.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
130
5. DAFTAR PUSTAKA
Gambar 2. Tes diagnostik pada konsep-konsep yang prasyarat SN1 dan SN2
Pada Gambar 2 terlihat bahwa konsep prasyarat yang dikuasai mahasiswa yaitu asam basa Lewis. Kemampuan mahasiswa pada konsep asam basa Lewis belum cukup dipergunakan dalam membangun konsep mekanisme reaksi SN1 dan SN2, sehingga perlu konsep prasyarat lain nukleofilisitas, konfigurasi elektron, pengisian orbital, hibridisasi, penentuan struktur, elektronegatifitas serta pemahaman terhadap reaksi substitusi.
Gambar 3. Profil Pekerjaan Rumah Mahasiswa
Pada Gambar 3 di atas merupakan profil mahasiswa dalam mengerjakan handout. Terdapat grafik berwarna merah pada mahasiswa ke 8 yang mana mahasiswa tersebut mendapatkan nilai tugas rumah sebesar 30, pada grafik tampak bahwa mahasiswa tersebut tidak mendapatkan nilai terendah, yang sebenarnya mahasiswa tersebut terlihat tidak sungguh-sungguh dalam mengerjakan tugas. Sebenarnya, nilai tugas mahasiswa tersebut bias mencapai 100 seperti mahasiswa 1. Handout pada penelitian ini merupakan adopsi dari kitab kuning yang harus ada dalam implementasi model SoroganBandongan. 4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil ujicoba terbatas penelitian dapat disimpulkan bahwa Model Sorogan-Bandongan efektif dipergunakan dalam kurikulum perkuliahan kimia organik materi mekanisme reaksi SN1 dan SN2.
[1]. Tan, C., (2014). Educative Traditional and Islamic schools in Indonesia; Journal of Arabicand Islamic Studies; Vol. 14: 47-62. [2]. Zuchairiny, A., (2013). Penguatan Islam Tradisional: studi Kasus Model Pembelajaran Kitab Kuning di Pesantren Alkhairaat Madinatul Ilmi Dolo Sulawesi Tengah: ISTIQRA’, Jurnal Penelitian Ilmiah; Vol.1, No. 2, 273-282. [3]. Sulistyo, L., Priyo., (2014). Implementasi Pembelajaran Matematika dengan Model Sorogan Berbantuan CD Pembelajaran; Jurnal DISPROTEK; Volume 5, No.2, 28-43. [4]. Kuswandono, P., Gandana, I., Rohani, S., Zulfikar, T., (2011). Revisiting Local Wisdom: Efforts to Improve Education Quality in Indonesia; Conference Proceedings [5]. Rifa’i, F., A., (2013), Analisis dan Implementasi Aplikasi Penerjemah dan Penambah Harakat Kitab Klasik/Kitab Kuning; Journal Kaunia; Vol. IX, No. 2, 85-95. [6]. Astuti, A., S., (2014). Pesantren dan Globalisasi; Jurnal Tarbawiyah, Vol. 11 No. 1, 16-35. [7]. Al hamdani, D., M., H., (2013). Introduction Curriculum Multiculturalism Boarding School; Journal of Education and Practice; Vol. 4, No.23, 5762. [8]. Fadhil, M. (2011). Inovasi Pesantren dalam Pengembangan Keilmuan; Innovatio, Vol. X, No.1, 59-81. [9]. Syukur, F., (2012). Pesantren - Based Madrasah Management; AL ALBAB- Borneo Journal of Religious Studies (BJRS); Vol. 1 No. 1, 109 – 129. [10]. Azhari. (2014). Eksistensi Sistem Pesantren Salafi Dalam Menghadapi Era Modern; Islamic Studies Journal; Vol. 2, No. 1, 51-65. [11]. Dicks, P., A., et al. (2012). Undergraduate Oral Examinations in a University Organic Chemistry Curriculum. Journal of Chemical Education. Published: October 18, 1506-1510. [12]. Franz, K., A. (2011). Organic Chemistry You Tube Writing Assignment for Large Lecture Classes. Journal of Chemical Education. Published: November 29, 497-501. [13]. Parker, L.,L. & Loudon, M.,G. (2012) Case Study Using Online Homework in Undergraduate Organic Chemistry: Result and Student Attitudes. Journal of Chemical Education. Published: November 12, 37-44. [14]. Muthyala, S., R. & Wei, W. (2012). Does Space Matter? Impact of Classroom Space on Student Learning in an Organic-First Curriculum. Journal of Chemical Education. Published: November 26, 4550. [15]. Collison, G.,C., et al. (2012) An SN1-SN2 Lesson in an Organic Chemistry Lab Using a Studio-Based Approach. Journal of Chemical Education. Published: March 21, Vol. 89, 750-754. [16]. Aldahmash, H.,A., et al. (2009). Kinetic Versus Static Visual for Facilitating College Students Understanding of Organic Reaction Mechanism in Chemistry.Journal of Chemical Education. Published: December Vol. 86, No. 12, 1442-1446. [17]. Giinersel, B.,A. & Fleming, A.,S., (2013). Qualitative Assessment of a 3D Simulation Program: Faculty, Students, and Bio-Organic Reaction. Journal of Chemical Education. Published: June 25, 988-994.
131
[18]. Karpudewan, M., Ismail, Z., Roth, M., W. (2012). Promoting pro-environmental attitudes and reported behaviors of Malaysian pre-service teachers using green chemistry experiments. Journal of Environmental Education Research. Published: 03 Nov 2011, Vol. 18, No. 3, 375-389. [19]. Tastan, O., Yalcinkaya, E. & Boz Y. (2010). PreService Chemistry Teachers’ Ideas about Reaction Mechanisme. Journal of Turkish Science Education, Vol. 7, Issue 1, March 2010. [20]. Kenzie, M.N. et al. (2012) Synthesizing Novel Anthraquinone Natural Product-Like Compounds to Investigate Protein-Ligand Interaction in Both an in Vitro and in Vivo Assay: an Integrated Research-Based Third- Year Chemical Biology Laboratory Course. Journal of Chemical Education. Published: April 6, 743-749. [21]. Ahiakwo & Macson, J. (2012). Organic Reaction Mechanism Controversy: Pedagogical Implication for Chemical Education. AJCE, Vol.2, No. 2, 51-65. [22]. Raker, R., J. & Towns, H., M. (2012). Designing Undergraduate-level Organic Chemistry Instructional Problem: Seven Ideas from a Problem-Solving Study of Practicing Synthetic Organic Chemists. Journal of Chemistry Education Research and Practice. Vol.13 277-285. [23]. Mercer, M.,S., et al. (2011) Choosing the Greenest Synthesis: A Multivariate Metric Green Chemistry Exercise. Journal of Chemical Education. Published: December 5, 215-220. [24]. Cui, Y., Gierl, J., M. (2012). Estimating Classification Consistency and Accuracy for Cognitive Diagnostic Assessment. Journal of Educational Measurement Spring. Vol. 49, No. 1, 1938.
132
Pendampingan Penyusunan Instrumen Penilaian Hasil Belajar Bagi Guru Sekolah Dasar di Kabupaten Bojonegoro Rini Setianingsih1*), Manuharawati2, Abdul Haris Rosyidi3 1
Jurusan Matematika, Universitas Negeri Surabaya. Email: [email protected] Jurusan Matematika, Universitas Negeri Surabaya. Email: [email protected] 3 Jurusan Matematika, Universitas Negeri Surabay. Email: [email protected] *) Alamat Korespondensi: Email: [email protected] 2
ABSTRACT The objectives of this Community Services (PKM) is to improve the ability of elementary school teachers in Bojonegoro in creating an assessment instrument that measures Higher Order Thinking Skills (HOTS), and in accordance with curriculum 2013. The undertaken activities were in the form of training and workshop. After presentation of workshop material by the speakers, then the participants were given individual tasks to make the assessment instrument which measures HOTS.in any subject he/she teaches at school. Thus, the products of this project are in the form of assessment instruments which are ready to be implemented in real class. The results of these activities are as follows: (1) Of the 50 assessment instruments produced by the participants, 10 instruments (20%) included in the category of Very Good, and 40 assessment instruments (80%) included in the Good category. In general, participants responded positively to the implementation of this project. Some of the instances cited participants with regard to positivity of this projects are that a total of 40 respondents (100%) stated that the training activities and workshops "Useful" or "Very Useful." In addition, it adds insight and improve the skills of teachers in preparing instruments that measure HOTS and in accordance with the curriculum 2013. Keywords: Preparation of instruments, Assessment of Learning Outcomes, HOTS, Primary School Teachers. ABSTRAK Tujuan kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) ini adalah melakukan pendampingan kepada guru-guru SD di Kabupaten Bojonegoro dalam menyusun instrumen penilaian hasil belajar yang mengukur Higher Order Thinking Skills (HOTS). Metode kegiatan yang dilakukan adalah pelatihan dan pendampingan/ workshop. Setelah pemaparan materi oleh narasumber, para peserta diberi tugas individu membuat instrumen penilaian beserta rubriknya, yang mengukur Higher Order Thinking Skills (HOTS) sesuai dengan mata pelajaran yang dibina. Sehingga, salah satu produk dari kegiatan ini adalah instrumen penilaian dan rubriknya yang siap diimplementasikan di kelas sesungguhnya. Adapun hasil kegiatan ini adalah sebagai berikut: (1) Dari 50 instrumen penilaian yang dihasilkan peserta, 10 instrumen (20%) termasuk dalam kategori Baik Sekali; 40 instrumen penilaian (80%) termasuk dalam kategori Baik. Secara umum, peserta merespon positif terhadap pelaksanaan kegiatan PKM ini. Beberapa hal yang dikemukakan peserta berkenaan dengan “positifnya” kegiatan ini adalah sebagai berikut. Sebanyak 40 responden (100%) menyatakan bahwa kegiatan pelatihan dan workshop ini “Bermanfaat” atau ‘Sangat Bermanfaat.” Selain itu, dapat menambah wawasan dan meningkatkan keterampilan guru dalam menyusun instrument hasil belajar yang mengukur HOTS dan yang sesuai dengan kurikulum 2013. Kata kunci: Penyusunan instrumen, Penilaian Hasil Belajar, HOTS, Guru Sekolah Dasar. 1. PENDAHULUAN Untuk memperoleh informasi tentang baik atau buruknya proses dan hasil kegiatan pembelajaran, seorang guru harus melakukan penilaian. Di sisi lain, penilaian merupakan salah satu komponen sistem pembelajaran. Hal ini berarti, penilaian merupakan kegiatan yang tak terelakkan dalam setiap kegiatan pembelajaran. Dengan kata lain, kegiatan penilaian merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari kegiatan pembelajaran. Penilaian hasil belajar menekankan kepada diperolehnya informasi tentang seberapakah perolehan siswa dalam mencapai tujuan pengajaran yang ditetapkan. Penilaian hasil belajar dilakukan oleh guru untuk memantau proses, kemajuan, perkembangan belajar siswa sesuai dengan potensi yang dimiliki dan kemampuan yang
diharapkan secara berkesinam-bungan. Penilaian juga dapat memberikan umpan balik kepada guru agar dapat menyempurnakan perencanaan dan proses pembelajaran. Implementasi Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Sistem Pendidikan Nasional membawa implikasi terhadap model dan teknik penilaian yang dilaksanakan di kelas. Dalam peraturan pemerintah tersebut dinyatakan bahwa penilaian terdiri atas penilaian eksternal dan penilaian internal. Penilaian eksternal merupakan penilaian yang dilakukan oleh pihak lain yang tidak melaksanakan proses pembelajaran. Sedangkan penilaian internal adalah penilaian yang direncanakan dan dilakukan oleh guru pada saat proses pembelajaran berlangsung. Penilaian kelas merupakan bagian dari penilaian internal
133
(internal assessment) untuk mengetahui hasil belajar siswa terhadap penguasaan kompetensi yang diajarkan oleh guru. Tujuannya adalah untuk menilai tingkat pencapaian kompetensi siswa yang dilaksanakan pada saat pembelajaran berlangsung dan di akhir pembelajaran. Pada Permendikbud RI No. 23 tahun 2016 dinyatakan bahwa, “Penilaian adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik.” Lebih lanjut, dalam Permendikbud nomor 22 tahun 2016 dijelaskan bahwa penilaian proses pembelajaran menggunakan pendekatan penilaian otentik (authentic assesment) yang menilai kesiapan peserta didik, proses, dan hasil belajar secara utuh. “Penilaian autentik adalah pendekatan, prosedur, dan instrumen penilaian proses dan capaian pembelajaran siswa dalam penerapan sikap spiritual dan sikap sosial, penguasaan pengetahuan, dan penguasaan keterampilan yang diperolehnya dalam bentuk pelaksanaan tugas perilaku nyata atau perilaku dengan tingkat kemiripan dengan dunia nyata, atau kemandirian belajar.” Dengan demikian, penilaian yang dilakukan di sekolah harus meliputi penilaian untuk aspek pengetahuan, aspek sikap, dan aspek keterampilan. Keterpaduan penilaian ketiga komponen tersebut akan menggambarkan kapasitas, gaya, dan perolehan belajar siswa yang mampu menghasilkan dampak instruksional (instructional effect) pada aspek pengetahuan dan dampak pengiring (nurturant effect) pada aspek sikap. Hasil penilaian otentik digunakan guru untuk merencanakan program perbaikan (remedial) pembelajaran, pengayaan (enrichment), atau pelayanan konseling. Selain itu, hasil penilaian otentik digunakan sebagai bahan untuk memperbaiki proses pembelajaran sesuai dengan Standar Penilaian Pendidikan. Selain itu, evaluasi proses pembelajaran yang dilakukan saat proses pembelajaran, dilakukan dengan menggunakan instrumen berupa: lembar pengamatan, angket sebaya, rekaman, catatan anekdot, dan refleksi. Sedangkan evaluasi hasil pembelajaran yang dilakukan pada saat proses pembelajaran dan di akhir satuan pelajaran, dilaksanakan dengan menggunakan metode dan instrumen: tes lisan/perbuatan, dan tes tulis. Hasil evaluasi akhir diperoleh dari gabungan evaluasi proses dan evaluasi hasil pembelajaran. Berdasarkan hasil wawancara Ketua Tim Pelaksana PKM ini dengan Kepala Bidang TK dan SD pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bojonegoro pada tanggal 27 Februari 2016, diperoleh informasi bahwa para guru SD di Bojonegoro masih mengalami kesulitan dalam menyusun instrumen penilaian hasil belajar, baik guru-guru di SD yang “maju” maupun SD yang “belum maju.” Kondisi seperti ini juga tercermin dalam saran-saran yang ditulis oleh guru-guru peserta kegiatan PKM yang kami lakukan di Surabaya pada tahun 2014 dan 2015. Oleh karena itu, diperlukan kegiatan pendampingan yang dapat meningkatkan
kemampuan guru dalam menyusun instrumen penilaian yang sesuai Permendikbud nomor 22 dan 23 tahun 2016, serta Kurikulum 2013, khususnya di Kabupaten Bojonegoro. 2. METODE PELAKSANAAN Kegiatan PKM ini dilaksanakan pada tanggal 2728 Agustus 2016 bertempat di Kampus UT, Jalan Mangga, Kelurahan Mulyoagung, Kecamatan Kota Bojonegoro. Sebagai khalayak sasaran antara yang strategis pada kegiatan ini adalah Kepala Bidang Pendidikan TK/SD pada Dinas Pendidikan Kota Bojonegoro. Sedangkan khalayak sasarannya adalah para Ketua dan Sekretaris KKG dari 28 Kecamatan yang ada di Kabupaten Bojonegoro. Keterlibatan Kepala Bidang Pendidikan TK/SD pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bojonegoro diharapkan dapat mengawal keberlanjutan penerapan materi yang diperoleh pada kegiatan ini. Secara umum, kerangka pemecahan masalah dalam pelaksanaan kegiatan PKM ini dapat digambarkan dalam bagan alir sebagai berikut.
Gambar 1. Kerangka Pemecahan Masalah
Langkah awal yang dilakukan dalam program PKM ini adalah koordinasi awal dengan Kepala Bidang Pendidikan TK/SD pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bojonegoro. Hasilnya adalah adanya kesediaan dari Dinas Pendidikan untuk menjadi mitra dalam pelaksanaan PKM. Kepala Dinas Pendidikan mengundang Ketua dan Sekretaris KKG dari 28 Kecamatan yang ada di Kabupaten Bojonegoro sebagai peserta. Selain itu, Dinas Pendidikan juga akan mengundang calon peserta workshop/ pendampingan serta menyediakan tempat untuk pelaksanaan kegiatan PKM ini. Selanjutnya tim pelaksana melakukan penyusunan materi pelatihan. Tim pelaksana berbagi tugas dalam menyusun materi pelatihan yang terdiri dari (a) Prinsip-prinsip Umum Penilaian Hasil Belajar; (b) Penilaian Hasil Belajar untuk Model/Pendekatan Pembelajaran yang Berpusat pada Siswa dan yang
134
Mengukur Higher Order Thinking Skills (HOTS); (c) Penilaian Hasil Belajar oleh Pendidik dalam Kurikulum 2013 (Perencanaan, Penyusunan Instrumen, dan Pelaksanaan Penilaian; (d) Lembar kerja peserta pelatihan dan workshop; (e) Angket respon peserta pelatihan dan workshop. Metode yang digunakan untuk mencapai tujuan kegiatan ini adalah dengan mengadakan kegiatan pendampingan dan workshop tentang penyusunan instrumen penilaian hasil belajar. Kegiatan ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu: (1) Pemaparan (a) Prinsipprinsip Umum Penilaian Hasil Belajar; (b) Penilaian Hasil Belajar untuk Model/Pendekatan Pembelajaran yang Berpusat pada Siswa dan yang Mengukur Higher Order Thinking Skills (HOTS); (c) Penilaian Hasil Belajar oleh Pendidik dalam Kurikulum 2013 (Perencanaan, Penyusunan Instrumen, dan Pelaksanaan Penilaian); dan (2) Workshop tentang penyusunan instrumen penilaian hasil belajar beserta rubrik penilaiannya. Pada saat berlangsung kegiatan workshop/ pendampingan penyusunan instrumen penilaian hasil belajar. para peserta pelatihan diberi tugas individu membuat rancangan penilaian beserta kunci jawaban, serta rubrik penilaiannya sesuai dengan kelas yang dibina. Pada hari kedua pelatihan, ada beberapa peserta yang diminta untuk mempresentasikan hasilnya di depan seluruh peserta pelatihan guna memperoleh masukan terhadap instrumen yang sudah dibuat. Kegiatan ini diakhiri dengan merevisi instrumen penilaian tersebut berdasarkan masukan saat presentasi. Oleh karena itu, salah satu produk dari kegiatan ini adalah instrumen penilaian, beserta kunci jawaban dan rubrik penilaiannya yang siap diimplementasikan di kelas sesungguhnya. 3. HASIL YANG DICAPAI Sebelum menguraikan tentang hasil yang dicapai dalam kegiatan PKM ini, akan dijelaskan terlebih dulu tentang rancangan evaluasi terhadap keberhasilan kegiatan ini. Evaluasi dalam kegiatan pendampingan ini dilakukan dengan cara: (a) Melakukan penilaian terhadap tugas individu peserta dalam menyusun instrumen penilaian hasil belajar; (b) Memberi angket kepada peserta setelah pelaksanaan workshop menyusun instrumen penilaian hasil belajar. Kegiatan PKM ini dikatakan berhasil jika memenuhi kriteria berikut: (a) Hasil kerja peserta dalam menyusun instrumen penilaian hasil belajar minimal termasuk dalam kategori “Baik”; (b) Peserta memberikan respon positif terhadap pelaksanaan keseluruhan kegiatan PKM yang meliputi pemaparan konsep dan workshop tentang penyusunan instrumen penilaian hasil belajar beserta rubrik penilaiannya. Hasil yang dicapai melalui kegiatan PKM ini dapat dituangkan dalam bentuk hasil kegiatan pada ketiga tahap pelaksanaan, yaitu tahap perencanaan, tahap pelaksanaan workshop/ pendampingan, dan tahap evaluasi. Adapun kegiatan yang dilakukan pada tahap perencanaan meliputi sosialisasi kegiatan PKM
kepada Dinas Pendidikan Kabupaten Bojonegoro (khalayak sasaran), yang dilakukan pada bulan Juli 2016 dalam bentuk silaturahmi dengan Kepala Bidang TK/SD Dinas Pendidikan Kabupaten Bojonegoro, yaitu Dr. Sukarni, S.Pd., M.M. Kegiatan silaturahmi ini juga merupakan tindak lanjut dari pertemuan awal yang dilakukan pada bulan Februari 2016, dan pembicaraan via telepon yang sudah dilakukan beberapa kali. Kegiatan lain yang dilakukan pada tahap perencanaan adalah penyusunan program pendampingan. Program ini disusun berdasarkan hasil identifikasi masalah, hasil analisis permasalahan yang ada, dan hasil analisis kebutuhan. Tahap kedua kegiatan PKM ini merupakan tahap pelaksanaan pendampingan penyusunan instrumen penilaian hasil belajar. Kegiatan ini dilaksanakan selama dua hari berturut-turut, yaitu pada tanggal 27 dan 28 Agustus 2016. Adapun kegiatan utama yang dilakukan terdiri atas: (1) Paparan tentang: (a) Prinsipprinsip umum penilaian hasil belajar; (b) Penilaian hasil belajar untuk model/pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa dan yang mengukur Higher Order Thinking Skills (HOTS); (c) Penilaian Hasil Belajar oleh Pendidik dalam Kurikulum 2013 (Perencanaan, Penyusunan Instrumen, dan Pelaksanaan Penilaian). Setelah pemaparan materi selesai, dilanjutkan dengan workshop/ pendampingan penyusunan instrumen penilaian hasil belajar. Para peserta workshop diberi tugas individu membuat instrumen penilaian hasil belajar beserta kunci jawaban dan rubrik penilaiannya sesuai dengan kelas yang dibina. Pada hari kedua pelatihan, ada beberapa peserta yang diminta untuk mempresentasikan hasilnya di depan seluruh peserta pelatihan guna memperoleh masukan. Kegiatan ini diakhiri dengan merevisi instrumen penilaian berdasarkan masukan saat presentasi, baik dari sesama peserta maupun dari narasumber. Fotofoto berikut ini menunjukkan aktivitas narasumber maupun para peserta workshop.
135
hasilnya sangat menggembirakan, karena seluruh instrumen yang dihasilkan peserta (100%) termasuk dalam kategori “Baik atau Baik Sekali”. Ini berarti, salah satu indikator keberhasilan kegiatan PKM terpenuhi, yaitu bahwa hasil kerja peserta minimal termasuk dalam kategori “Baik.” Berikut ini contoh tugas individu peserta workshop.
Gambar 4. Contoh kisi-kisi penulisan soal yang dihasilkan peserta workshop.
Gambar 2. Pemaparan materi oleh Anggota Tim Pelaksana (Abdul Haris Rosyidi, M.Pd.)
Gambar 3. Sesi tanya jawab yang dimanfaatkan dengan baik oleh peserta. Ini menunjukkan antusiasme yang tinggi dari para peserta kegiatan.
Tahap ketiga dari rangkaian kegiatan PKM ini adalah tahap evaluasi. Produk yang dihasilkan dalam kegiatan ini adalah 50 (lima puluh) instrumen penilaian hasil belajar beserta kunci jawaban dan rubriknya untuk siswa Sekolah Dasar. Peserta memilih sendiri kompetensi dasar dalam kurikulum, kemudian menuliskan indikator pencapaian kompe-tensinya. Selanjutnya, para peserta menyusun kisi-kisi penilaian, kemudian menyusun instrumen penilaian dan pedoman penskorannya. Pada kegiatan pendampingan hari kedua, para peserta diminta maju ke depan untuk menyajikan hasil kerjanya. Pada saat itulah para peserta lain dan narasumber memberi masukan, khususnya ketika penyaji melakukan analisis kualitas instrumen penilaian hasil belajar yang disusunnya. Selain itu, pada tahap ini tim pelaksana melakukan evaluasi terhadap seluruh instrumen penilaian yang dihasilkan peserta, dengan menggunakan instrumen yang dirancang oleh tim pelaksana. 4. PEMBAHASAN Pelaksanaan workshop pendampingan penyusunan instrument hasil belajar ini dievaluasi berdasarkan 2 (dua) hal, yaitu instrumen penilaian hasil belajar yang disusun oleh para peserta, dan respon peserta terhadap pelaksanaan seluruh rangkaian kegiatan workshop. Berdasarkan hasil evaluasi,
Gambar 5. Soal ulangan harian yang dikembangkan dari kisi-kisi penulisan soal pada Gambar 4.
Dalam hal respon peserta terhadap pelaksanaan workshop/ pendampingan, secara umum peserta merespon positip terhadap pelaksanaan kegiatan pemantapan kemampuan guru dalam menyusun instrumen penilaian hasil belajar ini. Beberapa hal yang dikemukakan peserta berkenaan dengan “positifnya” kegiatan ini tercermin dalam jawaban peserta terhadap angket yang dibagikan di akhir kegiatan. Sebanyak 40 (empat puluh) responden mengembalikan angket yang telah diisinya. Untuk pertanyaan pertama, “Apakah kegiatan ini bermanfaat untuk memperluas wawasan/ pengetahuan guru tentang penyusunan instrumen penilaian hasil belajar yang mengukur keterampilan berpikir tingkat tinggi (HOTS) siswa?” Sebanyak 35 responden (87,5%) menyatakan bahwa kegiatan pemantapan ini ‘Sangat Bermanfaat” dan 5 responden (12,5%) menyatakan bahwa kegiatan ini “Bermanfaat.” Dengan kata lain, seluruh responden (40 orang) (100%) menyatakan bahwa kegiatan pendampingan/ workshop ini “Bermanfaat” atau “Sangat Bermanfaat” memperluas wawasan/ pengetahuan guru tentang penyusunan instrumen penilaian hasil belajar, khususnya yang mengukur keterampilan berpikir tingkat tinggi (HOTS) siswa.
136
Untuk pertanyaan kedua, “Apakah kegiatan pendampingan ini bermanfaat dalam upaya meningkatkan kemampuan guru menyusun instrumen penilaian hasil belajar sesuai kurikulum 2013 dan yang mengukur keterampilan berpikir tingkat tinggi?” Dalam menjawab pertanyaan ini, 13 responden (32,5%) menyatakan bahwa kegiatan pendampingan ini “Bermanfaat”, sedangkan 27 responden (67,5%) menyatakan “Sangat Bermanfaat.” Dengan kata lain, seluruh responden (100%) menyatakan bahwa kegiatan pendampingan ini “Bermanfaat” atau “Sangat Bermanfaat” dalam meningkatan kemampuan guru menyusun instrumen penelitian hasil belajar. Pertanyaan ketiga dalam angket ingin mengetahui hal positif apa yang dapat diambil dari kegiatan workshop ini. Terdapat 4 (empat) jawaban dominan, yaitu (1) Untuk menambah pengetahuan dan memperluas wawasan (29,63%), (2) Memperoleh pengetahuan tentang HOTS (Higher Order Thinking Skills) (31,48%), (3) Mengetahui cara mengajar yang sesuai dengan tuntutan kurikulum 2013, (4) Memperoleh kesempatan untuk praktik menyusun instrumen penilaian yang mengukur HOTS dan sesuai dengan K-13 (9,26%). Sisanya, yaitu 18,32% responden memberikan jawaban yang bervariasi. Ada hal yang perlu dicatat oleh tim pelaksana sebagai bentuk apresiasi dari peserta. Pada pertanyaan angket berikutnya, yang menanyakan apa yang membedakan kegiatan workshop ini dengan kegiatan workshop yang pernah diikuti sebelumnya, responden memberi jawaban sebagai berikut. (a) Narasumber menguasai materi dan menyajikan materi dengan menyenangkan sehingga situasi menjadi cair, (b) Workshop ini lebih sederhana dan praktis karena langsung pada contoh dan penugasan dan diskusi, serta lebih terfokus pada materi, (c) Adanya interaksi yang baik antara narasumber dengan peserta workshop, (d) Melibatkan aktif peserta workshop, (e) Workshop ini mampu menumbuhkan wawasan berpikir yang kreatif dan inovatif, (f) Workshop ini amat menarik muatan materinya dan benar-benar sangat dibutuhkan guru, dan (g) Disajikan secara interaktif. Jawaban-jawaban responden untuk seluruh pertanyaan dalam angket menunjukkan bahwa indikator kedua yang mencerminkan keberhasilan pelaksanaan PKM telah terpenuhi. 5. SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan yang disajikan pada sub-bab sebelumnya, Tim Pelaksana kegiatan PKM ini dapat menarik simpulan sebagai berikut: 1. Pada kegiatan PKM ini dihasilkan 50 instrumen penilaian hasil belajar yang mengukur ketermpilan berpikir tingkat tinggi dan yang sesuai dengan Kurikulum 2013 untuk berbagai mata pelajaran. Hasil penilaian terhadap instrumen penilaian tersebut menunjukkan bahwa seluruh instrumen
penilaian (100%) yang disusun peserta workshop termasuk dalam kategori “Baik” atau “Baik Sekali.” Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan PKM ini berhasil meningkatkan kemampuan guruguru SD di Kabupaten Bojonegoro dalam menyusun instrumen penilaian yang mengukur HOTS dan yang sesuai dengan kurikulum 2013. 2. Secara umum, para peserta memberi respons positif terhadap pelaksanaan kegiatan PKM ini. Seluruh responden (40 orang) (100%) menyatakan bahwa kegiatan pendampingan/ workshop ini “Bermanfaat” atau “Sangat Bermanfaat” memperluas wawasan/ pengetahuan guru tentang penyusunan instrumen penilaian hasil belajar, khususnya yang mengukur keterampilan berpikir tingkat tinggi (HOTS) siswa. Seluruh responden (100%) juga menyatakan bahwa kegiatan pendampingan ini “Bermanfaat” atau “Sangat Bermanfaat” dalam meningkatan kemampuan guru menyusun instrumen penelitian hasil belajar. Karena kedua indikator pencapaian keberhasilan dipenuhi, maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan pendampingan/ workshop penyusunan instrumen hasil belajar ini telah berhasil mencapai tujuan. 5.2. Saran Secara umum, dalam rangka peningkatan profesionalitas guru, dan secara khusus dalam rangka meningkatkan kemampuan guru dalam menyusun instrumen penilaian, pada masa mendatang, kegiatan semacam ini hendaknya dapat mengakomodasi harapan peserta, yang antara lain sebagai berikut, (1) Perlu adanya tindak lanjut dan kegiatan yang berkesinambungan, (2) Perlu kegiatan pelatihan/ pendampingan tentang penyusunan instrumen yang mengukur HOTS sampai tuntas, (3) Perlu pelatihan bedah kompetensi dasar (KD), menyusun indikator pencapaian kompetensi sampai tuntas, (4) perlu workshop tentang model-model pembelajaran inovatif, (5) Perlunya kegiatan ini dilakukan di tingkat kecamatan, (6) Hendaknya sering dilakukan pelatihan semacam ini dengan waktu yang cukup lama agar guru semakin terampil menyusun instrumen penilaian. Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam kegiatan PKM ini, Tim Pelaksana menyampaikan beberapa saran sebagai berikut: 1. Para Ketua dan Sekretaris KKG sebagai peserta kegiatan PKM ini agar melakukan deseminasi pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh, khususnya dalam menyusun instrumen penilaian sesuai kurikulum 2013dan yang mengukur Higher Order Thinking Skills (HOTS). 2. Para guru agar menggunakan instrumen penilaian yang dihasilkan dalam workshop pada kelas yang sesungguhnya, dan diharapkan pula agar menyusun instrumen penilaian untuk materi yang
137
lain. Hal ini merupakan salah satu indikator agar seorang guru layak disebut sebagai guru yang profesional. 6. DAFTAR PUSTAKA [1] Arifin, Z. (2012). Evaluasi Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosda Karya. [2] Asmawi. (2004). Tes dan Asesmen di SD. Cetakan ketiga. Jakarta: Universitas Terbuka. [3] Chico, G.J. & Horne, C.R. (2007). Teacher's Guide to Preparing Classroom Assessments. Illinois State Board of Education. Illinois State Board of Education. www.isbe.net [4] Danielson, C. (1997). A Collection of Performance Task and Rubrics: Middle School Mathematics. Larchmont, NY: Eye on Education, Inc. [5] Grounlund, N.E. (1982). Constructing Achievement Test. Third Edition. Englewood Cliff: Prentice Hall. [6] Gregory, K. (2001). Authentic Assessment for Mathematical Achievement. Student Edition. ACE Papers. [7] Herliyani, E. dkk. (2009). Penilaian Hasil Belajar untuk Guru SD. Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Ilmu Pengetahuan Alam (PPPPTK IPA) untuk Program BERMUTU. [8] Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Sistem Pendidikan Nasional. [9] Peraturan Mendikbud RI nomor 21 tahun 2016 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah. [10] Peraturan Mendikbud RI nomor 22 tahun 2016 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah [11] Peraturan Mendikbud RI nomor 22 tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan. [12] Ott, J. (1994). Alternative Assessment (in the Mathematics Classroom). New York: McGrawHill Companies, Inc. [13] Sinaga, B. (2008). Rencana Pelaksanaan Pembelajaran dan Asesmen Autentik. Jurusan Matematika Universitas Negeri Medan. [14] Suurtamm, C.A. (2004) "Developing Authentic Assessment: Case Studies of Secondary School Mathematics Teacher's Experiences." Canadian Journal of Science, Mathematics & Technology Education. 4.4, pp. 497-513. [15] Suwandi, S. (2010). Model Asesmen dalam Pembelajaran. Surakarta: Yuma Pustaka. [16] Widoyoko, S.E.P. (2012). Evaluasi Program Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
138
Modul Sebagai Alat Bantu Siswa Sekolah Dasar dalam Menyelesaikan Soal Olimpiade Matematika Berbahasa Inggris Slamet Setiawan1*), Ahmad Munir2, Budi Priyo Prawoto3, Dian Rivia Himawati4 1
Jurusan Bahasa Inggris, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya. E-mail: [email protected] Jurusan Bahasa Inggris, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya. E-mail: [email protected] 3 Jurusan Matematika, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya. E-mail: [email protected] 4 Jurusan Bahasa Inggris, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya. E-mail: [email protected] *) Alamat Korespondesi: Email: [email protected]
2
ABSTRACT Mathematical Olympiad in the last decade has been followed by various countries including Indonesia as a way to get a prestige, ranging from primary school level to higher education. However, the results of Indonesian children have not been satisfactory. In fact, elementary students are constrained by their English skills. Researcher have developed a strategy for effective learning to teach mathematics olympiad in English at primary school level. This paper is a continuation of the development of the strategy, namely the development of modules mathematics olympiad elementary level corresponding to the learning strategies that have been developed previously. A module that consists of 12 chapters, of which each chapter is composed of learning objectives, mathematics materials, mathematical terms in English, examples of problems in which there are transformations of language and settlement measures, exercises, and a glossary, has been developed. From the try out results, all students stated that they gain knowledge of how to resolve an issue in terms of understanding the English language. Moreover, 90% of students feel that the vocabulary and grammar exercises in each chapter can be used to overcome their language problems eventhough 10% of them said the opposite. Key Words: Mathematics Olympiad, Module, Development ABSTRAK Olimpiade Matematika Internasional pada dekade terakhir ini marak diikuti oleh berbagai negara termasuk Indonesia sebagai ajang pemerolehan label prestise, mulai dari tingkat sekolah dasar hingga pendidikan tinggi. Namun, hasil anak-anak Indonesia belum memuaskan. Faktanya, siswa SD terkendala oleh kemampuan bahasa Inggrisnya. Peneliti telah mengembangkan strategi pembelajaran yang efektif guna membelajarkan soal olimpiade matematika berbahasa inggris pada tingkat sekolah dasar. Makalah ini merupakan kelanjutan pengembangan strategi tersebut yaitu pengembangan modul olimpiade matematika tingkat sekolah dasar yang bersesuaian dengan strategi pembelajaran yang telah dikembangkan sebelumnya. Dengan menggunakan model pengembangan Plomp, disusun suatu modul yang terdiri dari 12 bab yang masing-masing bab tersusun atas judul unit, tujuan pembelajaran, materi matematika, istilah matematika dalam bahasa inggris, contoh soal berbahasa inggris yang didalamnya terdapat transformasi bahasa dan langkah-langkah penyelesaian, latihan soal, dan glosarium. Dari hasil uji coba, semua siswa menyatakan bahwa mereka mendapatkan pengetahuan bagaimana mengatasi masalah pemahaman bahasa inggris dalam soal. Ada 10% siswa yang merasa latihan tentang vocabulary dan grammar di masing-masing bab masih kurang dalam mengatasi masalah kebahasaan. Kata Kunci: Olimpiade Matematika, Modul, Pengembangan 1. PENDAHULUAN Keberhasilan soal olimpiade matematika berbahasa Inggris tidak terlepas dari dua faktor, yaitu kemampuan siswa memahami unsur-unsur bahasa dan pemahaman soal matematika secara menyeluruh. Penelitian terdahulu yang dilakukan pada sebuah Klinik Pendidikan MIPA yang berkonsentrasi pada pembelajaran Olimpiade MIPA mengenai pemahaman terhadap unsur-unsur kebahasaan/linguistics elements menunjukkan kebanyakan siswa tidak memiliki pemahaman kebahasaan yang cukup untuk menyelesaikan soal matematika berbahasa Inggris (Setiawan :2015). Pemahaman kebahasaan yang dimaksud adalah pemahaman terhadap unsur-unsur kebahasaan di tingkat kata, frasa, dan kalimat. Ketika siswa gagal memahami unsur-unsur kebahasaan pada
tingkat kata, frasa dan kalimat bisa dipastikan mereka pasti akan gagal memahami soal matematika tersebut. Selain bahasa ternyata ada faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan siswa mengerjakan soal matematika, yaitu faktor memahami soal matematika secara keseluruhan. Pada kasus ini adalah (1) pemahaman siswa terhadap operasional matematika atau bahasa teknis matematika, dan (2) transformasi bahasa verbal menjadi bahasa operasional matematika. Istilah teknis ini mutlak dipahami untuk mendapatkan jawaban yang benar. Faktor ketiga penentu keberhasilan siswa menyelesaikan soal matematika berbahasa Inggris adalah kepiawiaaan siswa mengubah bahasa verbal ke dalam bahasa operasional matematika. Setiawan dkk., (2015) telah mengembangkan strategi pembelajaran yang efektif guna
139
membelajarkan soal olimpiade matematika berbahasa inggris pada tingkat sekolah dasar. Strategi yang dikembangkan adalah strategi pre atau whilst working. Guna mendukung strategi tersebut, maka perlu dikembangkannya modul pembelajaran untuk mengatasi permasalahan kebahasaan maupun pemahaman soal cerita matematika berbahasa Inggris bagi siswa SD di Indonesia. 2. METODE PENELITIAN Langkah-langkah yang peneliti lakukan mengikuti tahapan pengembangan sebagai hasil modifikasi model pengembangan yang dikemukakan oleh Plomp (1997), yang disebut model umum pemecahan masalah pendidikan (The general model of educational problem solving). Model ini terdiri dari lima tahap, yakni: Investigasi Awal (Preliminary Investigation), Desain (Design), Realisasi/Konstruksi (Realization/Construction), Pengujian, Evaluasi, dan Revisi (Test, Evaluation, and Revision), Implementasi (Inplementation). Kelima tahap tersebut digambarkan oleh Plomp (1997: 5) sebagai berikut. Preliminary Investigation Design
Implementation
Realization/Constructing
Test, Evaluation, and Revision
Implementation
Gambar 1. Model Umum Pemecahan Masalah Pendidikan (Sumber: Plomp, 1997: 5)
Peneliti hanya melakukan empat tahap pengembangan yaitu sampai pada tahap uji coba, evaluasi dan revisi. berikut adalah uraian tiah tahapan yang dilakukan. 1. Investigasi awal Pada tahap ini, peneliti melakukan investigasi tentang segala hal yang berkaitan dengan modul olimpiade matematika, dan lingkungan subjek penelitian yaitu siswa dan instruktur (guru) KPM (Klinik Pendidikan Matematika) di Surabaya, menganalisis siswa, menganalisis kurikulum yang berlaku, dan melakukan refleksi terhadap realitas yang ada di sekolah dasar. 2. Desain Pada tahap ini, peneliti melakukan beberapa kegiatan, yaitu: - Menetapkan teori-teori yang melandasi isi dan konstruksi modul olimpiade matematika
3.
4.
berbahasa inggris untul level sekolah dasar, serta mencari referensi yang relevan. - Merancang garis besar isi modul olimpiade matematika berbahasa inggris untuk level sekolah dasar yang bersesuaian dengan strategi pre atau whilst working. Relisasi Pada tahap ini disusun secara rinci modul olimpiade matematika berbahasa inggris untuk level sekolah dasar yang terdiri dari 12 unit yang masing-masing unit memuat judul unit, tujuan pembelajaran, materi matematika, istilah matematika dalam bahasa inggris, contoh soal berbahasa inggris yang didalamnya terdapat transformasi bahasa dan langkah-langkah penyelesaian, latihan soal, dan glosarium. Dihasilkan prototype 1 modul olimpiade matematika berbahasa inggris untuk level sekolah dasar. Uji coba, evaluasi, dan revisi Tahap ini dimaksudkan untuk memperoleh prototype final modul olimpiade matematika berbahasa inggris untuk level sekolah dasar yang memiliki kualitas baik dan dapat digunakan secara umum. Kegiatan uji coba dilakukan pada subjek penelitian yaitu siswa kelas 5 berbakat dan instruktur di KPM Surabaya. Uji coba modul dilaksanakan pada tanggal 8 Oktober 2016 pada kelas berbakat A KPM di SMP Baitussalam Surabaya.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Telah dikembangkan modul olimiade mateamtika berbahasa inggris untuk level sekolah dasar yang terdiri dari 12 unit. Ke-12 unit tersebut masing-masing adalah sebagai berikut. Unit 1. bilangan bulat, bilangan rasional dan representasinya (pecahan, desimal dan persentase) Unit 2. pengurutan bilangan, perpangkatan bilangan Unit 3. pemfaktoran bilangan, FPB, KPK Unit 4. rasio dan perbandingan Unit 5. segi tiga (luas, keliling, kesebangunan dan kekongruenan, garis-garis pada segitiga, sudut pada segitiga) Unit 6. segi empat: persegi, persegi panjang, jajaran genjang, trapesium, layang-layang, belah ketupat (luas, keliling) Unit 7. Lingkaran (luas, keliling, juring, tembereng, sudut pusat dan sudut keliling) Unit 8. sudut dan ukurannya (garis tranversal) Unit 9. Bangun ruang: kubus, balok, tabung, prisma dan limas (luas dan volum) Unit 10. Rata-rata, rata-rata gabungan Unit 11. Waktu, operasi hitung satuan waktu Unit 12. Jarak dan kecepatan Pada uji coba diperoleh bahwa 100% siswa menyatakan bahwa mereka mendapatkan pengetahuan tentang bagaimana mengatasi masalah pemahaman
140
bahasa Inggris dalam soal olimpiade matematika berbahasa Inggris dengan skor 3,6 dari skor maksimal 4. Sedangkan guru memberikan skor 3,2 pada hal yang sama. Skor 3,5 diberikan oleh siswa untuk pernyataan bahwa mereka mendapatkan pengetahuan tentang bagaimana mengatasi masalah kebahasaan dalam soal olimpiade matematika berbahasa Inggris, sedangkan guru memberikan skor 3. Pada pernyataan “Secara umum “Language tasks” di setiap bab membantu Anda belajar bahasa Inggris melalui soal olimpiade matematika”, siswa memberikan skor 3,1. Sedangkan guru, pada pernyataan yang sama, memberikan skor 3. Berikut adalah table hasil angket yang diberikan kepada siswa dan guru. Ada sebanyak 10 siswa dan 5 guru yang mengisi angket tentang modul yang telah disusun. Tabel 1. Hasil Angket Siswa Pernyataan Karakteristik Anda dapat mempelajari modul ini secara mandiri tanpa guru. Anda dapat menyelesaikan semua materi dalam modul ini dalam waktu yang ditetapkan oleh KPM Anda mendapatkan pengetahuan tentang bagaimana mengatasi masalah kebahasaan dalam soal olimpiade matematika berbahasa Inggris Anda mendapatkan pengetahuan tentang bagaimana mengatasi masalah pemahaman bahasa Inggris dalam soal olimpiade matematika berbahasa Inggris Anda termotivasi untuk mengatasi sendiri masalah kebahasaan setelah membaca modul ini Anda termotivasi untuk mengatasi masalah sendiri masalah pemahaman soal bahasa Inggris setelah membaca modul ini Isi Setiap bab mempunyai tujuan pembelajaran yang jelas Materi modul sesuai isi pelatihan olimpiade matematika di KPM Materi antar bab mempunyai keterkaitan yang jelas Latihan tentang vocabulary dan grammar di masing-masing bab membantu Anda mengatasi masalah kebahasaan Anda
1
Kriteria 2 3 20% 80%
20%
40%
80%
4
40%
20%
100%
20%
20%
1
2
40%
40%
40%
40%
3 50%
4 50%
40%
60%
30%
70%
Pernyataan Latihan tentang pemahaman soal bahasa Inggris masing-masing bab Anda memahami soal lain dalam olimpiade matematika Penugasan di modul mendorong Anda untuk mengaitkan isinya dengan soal-soal olimpiade yang lain Secara umum “Language tasks” di setiap bab membantu Anda belajar bahasa Inggris melalui soal olimpiade matematika Bahasa Penggunaan bahasa Inggris mudah dipahami Susunan kalimat sesuai dengan kaidah bahasa dan kosakata sesuai dengan tata bahasa Bahasa Inggris yang baik dan benar Petunjuk dan perintah dalam modul mudah untuk dipahami Ilustrasi Ilustrasi (gambar, tabel, dan denah) dalam modul jelas dan teratur Ilustrasi dan materi saling terkait Ilustrasi dalam modul tidak bias dengan SARA Format Modul ini menggunakan jenis dan ukuran huruf yang sesuai Format batas (margin) dalam modul ini sudah sesuai Alinea dan spasi ditata rapi dan konsisten Sistem penomoran dalam modul ini jelas dan teratur Penggunaan tandatanda/icon yang berupa gambar, cetak tebal, cetak miring, garis bawah sudah sesuai Perwajahan atau cover Sampul (cover) memiliki daya tarik dan menimbulkan keinginan untuk dibaca Ilustrasi pada sampul memberikan gambaran tentang isi modul
1
1
Kriteria 20% 60%
20%
30%
50%
20%
90%
10%
2 20%
3 30%
4 50%
10%
40%
50%
20%
40%
40%
2 10%
3 30%
4 6%
10%
20%
70% 100%
1
2 20%
3 30%
4 50%
10%
10%
50%
30%
20%
20%
60%
10%
30%
60%
30%
70%
2 40%
3 40%
4 20%
30%
60%
10%
Kriteria 2 3 50% 20%
4 30%
30%
10%
1
Tabel 2. Hasil Angket Instruktur
10%
80%
10%
Pernyataan Karakteristik Anda dapat mempelajari modul ini secara mandiri tanpa guru. Anda dapat menyelesaikan semua materi dalam modul ini dalam waktu yang ditetapkan oleh KPM
1
20%
40%
141
Pernyataan Anda mendapatkan pengetahuan tentang bagaimana mengatasi masalah kebahasaan dalam soal olimpiade matematika berbahasa Inggris Anda mendapatkan pengetahuan tentang bagaimana mengatasi masalah pemahaman bahasa Inggris dalam soal olimpiade matematika berbahasa Inggris Anda termotivasi untuk mengatasi sendiri masalah kebahasaan setelah membaca modul ini Anda termotivasi untuk mengatasi masalah sendiri masalah pemahaman soal bahasa Inggris setelah membaca modul ini Isi Setiap bab mempunyai tujuan pembelajaran yang jelas Materi modul sesuai isi pelatihan olimpiade matematika di KPM Materi antar bab mempunyai keterkaitan yang jelas Latihan tentang vocabulary dan grammar di masing-masing bab membantu Anda mengatasi masalah kebahasaan Anda Latihan tentang pemahaman soal bahasa Inggris masing-masing bab Anda memahami soal lain dalam olimpiade matematika Penugasan di modul mendorong Anda untuk mengaitkan isinya dengan soal-soal olimpiade yang lain Secara umum “Language tasks” di setiap bab membantu Anda belajar bahasa Inggris melalui soal olimpiade matematika Bahasa Penggunaan bahasa Inggris mudah dipahami Susunan kalimat sesuai dengan kaidah bahasa dan kosakata sesuai dengan tata bahasa Bahasa Inggris yang baik dan benar Petunjuk dan perintah dalam modul mudah untuk dipahami Ilustrasi Ilustrasi (gambar, tabel, dan denah) dalam modul jelas dan teratur
Kriteria 50%
40%
30%
40%
1
2
40%
40%
50%
60%
30%
20%
3 80%
4 20%
40%
40%
20%
20%
80%
40%
40%
20%
20%
60%
20%
80%
20%
20%
60%
20%
2 20%
3 60%
4 20%
Pernyataan Ilustrasi dan materi saling terkait Ilustrasi dalam modul tidak bias dengan SARA Format Modul ini menggunakan jenis dan ukuran huruf yang sesuai Format batas (margin) dalam modul ini sudah sesuai Alinea dan spasi ditata rapi dan konsisten Sistem penomoran dalam modul ini jelas dan teratur Penggunaan tandatanda/icon yang berupa gambar, cetak tebal, cetak miring, garis bawah sudah sesuai Perwajahan atau cover Sampul (cover) memiliki daya tarik dan menimbulkan keinginan untuk dibaca Ilustrasi pada sampul memberikan gambaran tentang isi modul
Kriteria 40% 60% 20%
40%
40%
2 60%
3 40%
4
40%
40%
20%
40%
60%
20%
60%
40%
60%
1 40%
2 40%
3 20%
20%
60%
20%
1
20%
4
4. SIMPULAN Hasil yang diperoleh pada penelitian ini adalah modul olimpiade matematika berbahasa inggris untuk level sekolah dasar yang bersesuaian dengan strategi pembelajaran pre atau whilst working yang terdiri dari 12 unit dengan susunan pada masing-masing unit adalah judul unit, tujuan pembelajaran, materi matematika, istilah matematika dalam bahasa inggris, contoh soal berbahasa inggris yang didalamnya terdapat transformasi bahasa dan langkah-langkah penyelesaian, latihan soal, dan glosarium. 5. DAFTAR PUSTAKA
1
100%
1
60%
40%
2 40%
3 60%
4
[1]. Setiawan, Slamet dkk., (2015). Strategi Pembelajaran Untuk Masalah Kebahasaaan Matematika Dalam Membelajarkan Soal Olimpiade Matematika Berbahasa Inggris. Seminar Nasional PPM Unesa. [2]. Setiawan, Slamet dkk., (2015). Winning International Mathematic Olympiad Through Creative English Teachers: Applied Linguistic Perspective. ICELT 2015 University Putera Malaysia. [3]. Plomp, Tjeerd, (1997). Educational and Training System Design. Enschede. The Netherlands: University of Twente. [4]. Abedi, Jamal, and Lord, Carol, (2001). The language factor in mathematics tests. Applied Measurement in Education Vol. 14, No. 3, 219-234. [5]. Astawa, I Wayan Puja, (2007). Model Pembinaan Olimpiade Matematika Sekolah Dasar Di Propinsi Bali. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA Vol. 40, No. 2, 270-287. [6]. Dick, Walter & Carey, Lou, (2001). The Systematic Design of Instruction. South Florida: Harper Collins. [7]. Hasan Saputra, R. (2003, April 23). Klinik Pendidikan Matematika. Retrieved April 10, 2014, from Klinik Pendidikan Matematika web site: kpmseikhlasnya.com
142
[8]. Neville-Barton, Pip, and Barton, Bill. (2005). The Relationship between English Language and Mathematics Learning for Non-native Speakers. Wellington, New Zealand: Teaching and Learning Research Initiative.
143
144
Maket Multimedia Interaktif untuk Menanamkan Penguasaan Konsep Lingkungan Sekolah Siswa Tunanetra Sri Joeda Jurusan Pendidikan Luar Biasa, FIP, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya. Email: [email protected] Alamat Korespondensi: Email: [email protected] ABSTRACT Based on field studies, shows that blind students with visual barriers often have limited movement in its environment. Vision capabilities are less influential on the activities of their daily lives. Development of interactive multimedia mockups based orientation and mobility to instill the concept of mastery of the school environment to seek help overcome the problems of blind students can study with a comfortable, safe and happy, courageous selfsustainable and sustained hopes to be private successfully undergo daily activities. This development specifically aims to produce prototype mockups interactive multimedia-based orientation and mobility to instill the concept of mastery of the school environment on SLB blind students. The research design of this development model of Educational Research and Development (R & D). As for the manufacture of mock interactive multimedia using the model ASSURE and produce prototype mockups based interactive multimedia orientation and mobility to instill mastery of the concept of neighborhood schools on blind students SLB provides the realization of product design, yaitu1) guide to access the building and the road leading to various places the school environment with the concept audio programs and writing braille, 2) form of mock multimedia contained directions, 3) the operation of pressing the button corresponding to a desired destination and is available in a mock building school environment, and 4) an assessment tool for the mastery of the concept of the environment with an authentic assessment as a success in orientation and mobility. Then the mockup prototype products based interactive multimedia orientation and mobility to instill the concept of environmental mastery school blind students produced can be used as an attempt to introduce social learning environment with an easy, convenient, and fun. Keywords: mockups interactive multimedia, environment concept mastery. ABSTRAK Berdasarkan studi lapangan, menunjukkan bahwa siswa tunanetra penyandang hambatan penglihatan seringkali mengalami keterbatasan gerakan di dalam lingkungannya. Kemampuan penglihatan yang kurang berpengaruh terhadap aktivitas kehidupannya sehari-hari. Pengembangan maket multimedia interaktif berbasis orientasi dan mobilitas untuk menanamkan penguasaan konsep lingkungan sekolah mengupayakan membantu mengatasi permasalahan siswa tunanetra dapat belajar dengan nyaman, aman dan senang, berani berjalan mandiri dan harapan berkelanjutan menjadi pribadi sukses menjalani aktivitas sehari-hari. Pengembangan ini secara khusus bertujuan menghasilkan produk prototipe maket multimedia interaktif berbasis orientasi dan mobilitas untuk menanamkan penguasaan konsep lingkungan sekolah pada siswa tunanetra SLB. Penelitian pengembangan ini menggunakan desain model Educational Research Development (R&D). Sedangkan untuk pembuatan maket multimedia interaktif menggunakan model ASSURE dan menghasilkan produk prototipe maket multimedia interaktif berbasis orientasi dan mobilitas untuk menanamkan penguasaan konsep lingkungan sekolah pada siswa tunanetra SLB berisi realisasi rancangan produk, yaitu1) panduan akses bangunan dan jalan menuju ke berbagai tempat lingkungan sekolah dengan konsep program audio dan tulisan braille, 2) bentuk maket multimedia yang terdapat petunjuk arah, 3) pengoperasian cara menekan tombol sesuai dengan tempat tujuan yang dikehendaki dan tersedia dalam maket bangunan lingkungan sekolah, dan 4) alat penilaian untuk penguasaan konsep lingkungan dengan penilaian autentik sebagai keberhasilan dalam orientasi dan mobilitas. Kemudian produk prototipe maket multimedia interaktif berbasis orientasi dan mobilitas untuk menanamkan penguasaan konsep lingkungan sekolah pada siswa tunanetra yang dihasilkan dapat dipergunakan sebagai upaya mengenalkan lingkungan sosial belajar dengan mudah, nyaman, dan menyenangkan. Kata kunci: maket multimedia interaktif, penguasaan konsep lingkungan.
1. PENDAHULUAN Sebagai akibat ketunanetraan yang disandang bagi siswa, maka pengenalan konsep lingkungan terhadap dunia luar tidak diperoleh secara utuh. Individu tunanetra dalam struktur fisiologisnya, dan pengganti fungsi indera penglihatan dengan inderaindera lain untuk mempersepsi lingkungannya.
Lowenfeld dalam Lydy Reidmiller, Lauri (2003), menyatakan bahwa ketunanetraan pada seseorang dapat mengakibatkan tiga bentuk keterbatasan, yaitu (1) keterbatasan konsep dan keanekaragaman pengalaman, (2) keterbatasan dalam berinteraksi dengan lingkungan, (3) keterbatasan dalam orientasi dan mobilitas. Dengan demikian siswa penyandang tunanetra seringkali mengalami keterbatasan gerak di
145
dalam lingkungannya. Hal tersebut terjadi karena siswa tunanetra tidak memiliki penguasaan konsep yang baik terhadap lingkungan sekitar. Keterkaitan dengan siswa tunanetra pada konsep lingkungan yang minim, maka berdampak terhadap kemampuan orientasi dan mobilitas yang dimiliki, dan hal tersebut berpengaruh negatif terhadap pengenalan lingkungan di sekitarnya. Bila siswa mengalami hambatan dalam penguasaan konsep lingkungan, maka secara otomatis orientasi dan mobilitasnya juga akan terganggu. Kecenderungan yang terjadi pada siswa tunanetra menjadi pasif dalam bergerak karena khawatir akan tersesat atau celaka ketika berjalan di lingkungan sekitar. Keterbatasan tersebut dialami oleh setiap individu yang menyandang tunanetra. Di tempat yang terlalu luas, seperti di lingkungan sekolah, tunanetra terkadang merasa kebingungan bila berjalan di lokasi yang jarang diaksesnya. Walaupun yang bersangkutan mempunyai kemampuan orientasi dan mobilitas yang dimiliki lumayan baik. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya aktivitas yang dilakukan tunanetra di masyarakat secara mandiri. Namun demikian, ketidakjelasan mengenali konsep suatu tempat juga dapat membuat kemampuan orientasi dan mobilitas yang dimiliki oleh tunanetra tidak banyak membantu. Orientasi dan mobilitas yang dikenal oleh siswa tunanetra salah satunya lingkungan sekolah. Sekolah untuk siswa tunanetra sebagai bagian lingkungan terdekat kedua selain rumah di samping keluarga. Selama 8 jam dalam sehari atau bila dipresentasi lebih kurang 33 % waktu siswa tunanetra dihabiskan pada lingkungan sekolah. Bahkan bagi siswa tunanetra yang tinggal di asrama, sekolah justru dianggap sebagai lingkungan paling utama bagi dirinya dalam melakukan berbagai aktivitas kehidupan. Di samping itu dalam kegiatan belajar mengajar guru tidak hanya memanfaatkan satu ruangan belaka untuk belajar. Guru sering berpindah kelas atau ruangan saat proses pembelajaran yang sesuai dengan mata pelajarannya. Bila siswa tunanetra tidak menguasai konsep lingkungan sekolah dengan baik, maka tunanetra akan selalu tertinggal dari temannya atau bahkan kebingungan saat berjalan menuju tempat yang dimaksudkan. Oleh karena itu, pengenalan terhadap lingkungan sekolah merupakan hal yang penting bagi siswa tunanetra. Hal tersebut sesuai pengembangan kurikulum pelajaran Orientasi dan Mobilitas yang salah satu kompetensi dasarnya menyebutkan bahwa siswa tunanetra mampu berjalan mandiri di ruangan outdoor maupun indoor. Dalam mengenalkan lingkungan sekolah kepada siswa tunanetra guru dapat menggunakan pembelajaran berbasis lingkungan (environment learning). Dengan memanfaatkan lingkungan sekolah, siswa diajak secara langsung memperoleh pemahaman konsep dan pengalaman yang penting akan benda atau objek di luar dirinya. Pembelajaran dengan memanfaatkan lingkungan di luar ruangan kelas (outdoor) dirasa sesuai bila diterapkan dalam
pembelajaran orientasi dan mobilitas. Dalam pembelajaran orientasi dan mobilitas, siswa banyak dilatih melakukan orientasi terhadap suatu objek atau benda, dan itu dapat dilakukannya pada lingkungan luar kelas. Melakukan kegiatan belajar mengajar di luar kelas dapat membentuk siswa lebih mandiri untuk beraktivitas. Pelatihan mobilitas juga sangat baik bila dilakukan di luar kelas. Di lingkungan outdoor siswa tunanetra dilatih untuk menemukan landmark/ciri medan dan clue atau tanda-tanda yang dapat dijadikan arahan dalam berjalan. Temuan lapangan tersebut, didukung dari hasil wawancara bulan Januari 2015 dengan beberapa siswa tunanetra mengenai penguasaan konsep terhadap lingkungan sekolah, menunjukkan bahwa siswa tunanetra masih bingung ketika berjalan di lingkungan sekolah yang jarang mereka datangi. Siswa tunanetra lebih mengenal pada lingkungan di sekitar ruangan kelasnya. Kelemahan lain pada siswa tunanetra kurang memahami kondisi semua posisi bangunan dan akses jalan yang ada di lingkungan sekolah. Kompleksitas permasalahan siswa tunanetra dalam penguasaan konsep lingkungan yang rendah dalam orientasi dan mobilitas mengenai lingkungan sekolah yang terlalu luas sehingga menyulitkan untuk memahami kondisi sekolah. Di samping itu informasi yang diperoleh siswa mengenai lingkungan sekolah hanya bersifat verbalistis berupa perkataan dari guru atau teman lainnya. Informasi yang didapat tersebut bisa jadi dipahami salah oleh siswa tunanetra yang bersangkutan. Dasar fakta yang ditemukan tersebut siswa tunanetra mengalami permasalahan dalam memahami suatu objek yang terlalu luas seperti lingkungan sekolah. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, ada dua cara yang harus dilakukan seorang guru. Langkah pertama yaitu dengan memberikan bekal keterampilan orientasi dan mobilitas kepada siswa tunanetra. Dengan keterampilan orientasi dan mobilitas dapat dijadikan pegangan bagi siswa tunanetra untuk melakukan berbagai aktivitas di dalam lingkungan sekolah. Sedangkan langkah kedua yaitu dengan mengembangkan sebuah media pembelajaran yang dapat memberikan gambaran tentang lingkungan sekolah kepada siswa tunanetra. Pengembangan maket multimedia yang dikemas berbasis teknologi pembelajaran. Teknologi pembelajaran (instructional technology) dalam desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan serta evaluasi tentang proses dan sumber untuk belajar [27]. Teknologi pembelajaran berupaya untuk merancang, mengembangkan, dan memanfaatkan aneka sumber belajar sehingga memudahkan atau memfasilitasi seseorang untuk belajar di mana saja, kapan saja, oleh siapa saja, dan dengan cara sumber belajar apa saja yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya. Untuk memilih sebuah media yang tepat bagi siswa tunanetra, maka terlebih dahulu perlu memperhatikan karakteristik siswa didik. Tunanetra merupakan individu yang lebih banyak menggunakan
146
rabaan dan pendengarannya dalam melakukan pengamatan. Jadi media yang dihadirkan juga harus mampu dioptimalkan tunanetra melalui rabaan dan pendengarannya. Selain itu media yang dipilih juga harus bisa dikontrol oleh siswa secara langsung serta mampu menciptakan interaksi antara tunanetra dengan objek dan pebelajar lainnya. Oleh karena itu media yang tepat dihadirkan untuk siswa tunanetra guna menanamkan penguasaan konsep lingkungan sekolah yaitu berupa multimedia interaktif. Multimedia interaktif telah banyak digunakan oleh pendidik untuk meningkatkan prestasi belajar siswa, dan hasilnya sangat positif. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Nandi (2012)[20] tentang penggunaan multimedia interaktif dalam pembelajaran geografi di persekolahan. Hasil yang diperoleh siswa lebih termotivasi untuk belajar Geografi sehingga hasil prestasi belajarnya juga meningkat. Menurut Heinich, Molenda, Russell dan Smaldino (1999: 229)[12] mengatakan multimedia merujuk kepada berbagai kombinasi dari dua atau lebih format media yang terintegrasi ke dalam bentuk informasi atau program instruksi. Multimedia interaktif adalah suatu multimedia yang dilengkapi dengan alat pengontrol yang dapat dioperasikan oleh pengguna, sehingga pengguna dapat memilih apa yang dikehendaki untuk proses selanjutnya. Karakteristik terpenting dari multimedia interaktif adalah siswa tidak hanya memperhatikan media atau objek saja, melainkan juga dituntut untuk berinteraksi selama mengikuti pembelajaran. Berdasarkan uraian di atas, mengembangkan maket multimedia interaktif berbasis orientasi dan mobilitas untuk menanamkan penguasaan konsep lingkungan sekolah pada siswa tunanetra. Amran, (1997: 106), menyebutkan bahwa maket adalah bentuk tiruan tentang sesuatu dalam ukuran kecil. Media maket memberikan impresi tiga dimensi dari obyek nyata baik yang hidup maupun tidak. Media maket atau model sangat membantu mengkomunikasikan hakikat dari berbagai benda, baik yang terlalu besar, terlalu luas, terlalu jauh, dan lain-lain. Keterkaitan maket multimedia interaktif ini dirancang dengan program audio untuk memberikan panduan kepada siswa tunanetra menuju ke berbagai tempat yang ada di lingkungan sekolah. Selanjutnya, desain maket multimedia interaktif ini dilengkapi tulisan huruf Braille untuk setiap bangunannya, sehingga memudahkan siswa tunanetra mengenali setiap bangunan yang akan dituju pada tempat sekolah luar biasa. Kelengkapan program audio yang didengar siswa tunanetra ini sebagai panduan menuju ke berbagai tempat yang tersedia pada lingkungan sekolah, dan akan terekam serta diingat dalam otak siswa untuk dijadikan pengetahuan. Pemahaman pengetahuan tersebut akan dikonfirmasi oleh siswa tunanetra melalui rabaan, salah satunya menggunakan maket multimedia interaktif yang dilengkapi dengan tulisan huruf braille.
Pengorientasian maket multimedia interaktif melalui rabaan siswa tunanetra dapat membayangkan posisi dari masing-masing tempat bangunan tiruan yang ada di sekolah, sehingga maket tersebut yang telah diraba sebagai sebuah pemahaman konsep. Dampak potensi siswa tunanetra setelah memahami konsep lingkungan sekolah melalui produk maket multimedia interaktif berbasis orientasi dan mobilitas, maka mereka dapat performance secara nyata di lingkungan sekolahnya. Maket multimedia interaktif ini sebagai alternatif menanamkan konsep lingkungan sekolah yang dapat dirancang pada lingkungan (outdoor) yang lebih luas, sehingga siswa tunanetra dapat dengan mudah memahami kondisi lingkungan sosialnya. Penegasan Ungar, Blades, dan Spencer, (1999)[28], menunjukkan bahwa untuk memberikan penguasaan konsep bagi tunanetra di antaranya penggunaan peta timbul dan maket dalam menginformasikan pemahaman belajar akan lebih baik hasilnya dengan setting lingkungan (outdor) yang relatif asing bagi tunanetra. Berdasarkan kondisi tersebut menunjukkan bahwa, siswa tunanetra mengalami kesulitan dalam penguasaan konsep lingkungan sekolah, sehingga berdampak terhadap lemahnya kemampuan orientasi dan mobilitasnya. Lingkungan sekolah yang terlalu besar dan luas sangat susah diorientasi oleh siswa tunanetra secara keseluruhan. Kompleksitas akses jalan dan posisi bangunan orientasi dipersepsikan salah oleh siswa tunanetra, sehingga ketika bermobilitas sering terhambat bahkan salah dalam menuju tempat yang dikehendaki. Permasalahan tersebut muncul karena siswa tunanetra kurang memiliki gambaran/pemetaan yang sempurna terhadap lingkungan sekolah. Oleh karena itu pengembangan maket multimedia interaktif dapat mewakili keberadaan lingkungan sekolah yang dapat diamati melalui perabaan siswa tunanetra. Selanjutnya maket multimedia interaktif berbasis orientasi dan mobilitas sebagai alternatif yang dapat menanamkan penguasaan konsep mengenai lingkungan sekolah pada siswa tunanetra. Penggunaan media maket di Indonesia telah banyak digunakan sebagai media pembelajaran dengan hasil sangat memuaskan. Perwujudan hasil menggunakan media maket ini tidak hanya mengkongkritkan gambaran suatu bentuk atau lingkungan yang terlalu besar dan luas, akan tetapi berpotensi memotivasi dan menyenangkan semangat belajar bagi siswa. Oleh karena itu media maket yang sudah ada sekarang ini memerlukan pengembangan menjadi sebuah multimedia interaktif yang lebih menarik dan memudahkan belajar memahami konsep bagi siswa tunanetra. Pengupayaan ini dengan mewujudkan pengembangan sebuah produk maket multimedia interaktif berbasis orientasi dan mobilitas untuk menanamkan penguasaan konsep lingkungan sekolah pada siswa tunanetra. Berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan bagaimanakah pengembangan hasil produk prototipe maket multimedia interaktif
147
berbasis orientasi dan mobilitas untuk menanamkan penguasaan konsep lingkungan sekolah pada siswa tunanetra SLB? 1.1 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian pengembangan ini adalah menghasilkan produk prototipe maket multimedia interaktif berbasis orientasi dan mobilitas untuk menanamkan penguasaan konsep lingkungan sekolah pada siswa tunanetra SLB. 2. METODE PENELITIAN PENGEMBANGAN 2.1 Pendekatan Dan Jenis Penelitian Jenis penelitian pengembangan dengan pendekatan research and development (R&D) menggunakan model dari Borg and Gall (1983)[29]. Dalam penelitian ini menghasilkan produk prototipe maket multimedia interaktif berbasis orientasi dan mobilitas untuk menanamkan penguasaan konsep lingkungan sekolah pada siswa tunanetra SLB. Dalam pengembangan maket multimedia interaktif berbasis orientasi dan mobilitas untuk menanamkan penguasaan konsep lingkungan sekolah pada yang menjadi subyek penelitian adalah siswa tunanetra SLB. 2.2 Model Penelitian Dan Pengembangan Pengembangan maket multimedia interaktif ini menggunakan desain model ASSURE yang dikembangkan oleh Smaldino, Sharon E & Russell, James D (2005)[26], menegaskan bahwa produk pengembangan tidak saja berupa media pembelajaran, tetapi dapat berupa prosedur, instrumen dan proses pembelajaran. Kemudian model ASSURE sebagai tahapan awal dalam penelitian menghasilkan produk berupa maket multimedia interaktif berbasis orientasi dan mobilitas untuk menanamkan penguasaan konsep lingkungan sekolah pada siswa tunanetra. Pengembangan maket multimedia interaktif berbasis orientasi dan mobilitas untuk menanamkan penguasaan konsep lingkungan sekolah pada siswa tunanetra SLB ini menggunakan model pengembangan Borg and Gall (1983)[29]. Penyebaran dan implementasi ini dilakukan apabila produk yang dikembangkan telah memenuhi standar kelayakan dan produk akhir yang memiliki hasil baik selama pengujian. Secara prosedur penelitian dengan model Borg and Gall (1983)[29]. Berdasarkan gambar di atas bawah maket multimedia interaktif berbasis orientasi mobilitas untuk menanamkan penguasaan konsep lingkungan sekolah pada siswa tunanetra yang dikembangkan dalam penelitian ini pada tiga tahapan pembuatan produk prototipe. Artinya melalui tiga tahapan penelitian pengembangan ini telah menghasilkan produk akhir prototipe maket multimedia interaktif berbasis orientasi mobilitas untuk menanamkan
penguasaan konsep lingkungan sekolah siswa tunanetra sekolah luar biasa. Jenis data pada pengembangan ini berupa data deskriptif kualitatif. Data kualitatif berupa (1) informasi lapangan mengenai program pembelajaran orientasi dan mobilitas yang diperoleh melalui wawancara dengan guru SLB-A dan Kepala Sekolah, (2) informasi mengenai program pembelajaran orientasi dan mobilitas yang diperoleh melalui wawancara dengan pihak peserta didik tunanetra, (3) kajian referensi dari artikel dan buku tentang pengembangan maket multimedia interaktif berbasis orientasi dan mobilitas. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik observasi dan performance hasil pembuatan produk prototipe. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Pengembangan 3.1.1 Hasil Pengembangan Maket Multimedia Interaktif Berbasis Orientasi Dan Mobilitas Untuk Menanamkan Penguasaan Konsep Lingkungan Sekolah Bagi Tunanetra Dalam analisis Kebutuhan pembelajaran Orientasi dan Mobilitas untuk menanamkan penguasaan konsep lingkungan sekolah bagi tunanetra ini difokuskan pada pengembangan kurikulum pembelajaran Orientasi dan Mobilitas. Salah satu kompetensi dasar dalam pembelajaran Orientasi dan Mobilitas menyebutkan bahwa siswa tunanetra mampu berjalan mandiri di ruangan outdoor maupun indoor. Dalam mengenalkan lingkungan sekolah kepada siswa tunanetra guru dapat menggunakan pembelajaran berbasis lingkungan (environment learning). Dengan memanfaatkan lingkungan sekolah, siswa diajak secara langsung memperoleh pemahaman konsep dan pengalaman yang penting akan benda atau objek di luar dirinya. Pembelajaran dengan memanfaatkan lingkungan di luar ruangan kelas (outdoor) dirasa sesuai bila diterapkan dalam pembelajaran orientasi dan mobilitas. Dalam pembelajaran orientasi dan mobilitas, siswa banyak dilatih melakukan orientasi terhadap suatu objek atau benda, dan itu dapat dilakukannya pada lingkungan luar kelas. Melakukan kegiatan belajar mengajar di luar kelas dapat membentuk siswa lebih mandiri untuk beraktivitas. Pelatihan mobilitas juga sangat baik bila dilakukan di luar kelas. Di lingkungan outdoor siswa tunanetra dilatih untuk menemukan landmark/ciri medan dan clue atau tanda-tanda yang dapat dijadikan arahan dalam berjalan. Untuk mencapai tujuan dari pengembangan maket multimedia interaktif berbasis orientasi dan mobilitas untuk menanamkan penguasaan konsep lingkungan sekolah bagi tunanetra diperlukan langkah-langkah sebagai berikut. 1. Asesmen Dalam pengembangan orientasi dan mobilitas asesmen adalah metode yang sistimatis untuk mengetahui tentang:
148
a. Apa yang sudah dikuasai b. Apa yang belum dikuasai c. Apa yang dibutuhkan Materi pengembangan yang sudah diketahui dan materi yang belum diketahui, tapi tidak dibutuhkan maka materi tersebut tidak perlu diprogramkan dan materi yang belum dikuasai dan dibutuhkan itu saja yang perlu diprogramkan untuk dilatihkan pada tunanetra. 2. Menetapkan prioritas materi latihan Berdasarkan hasil asesmen, materi yang belum diketahui mungkin lebih dari satu maka guru harus memilih materi yang mana yang perlu lebih dulu untuk dilatihkan. 3. Menetapkan tujuan latihan Setelah ditetapkannya materi yang dilatihkan, maka guru menyusun dan menetapkan tujuan yang akan dicapai. Tujuan harus memiliki unsur: A= Audiens maksudnya siapa yang akan mencapai tujuan B= Behavior adalah perilaku yang harus ditunjukkan C= Condition pada saat kondisi apa perilaku itu ditampilkan/ditunjukkan oleh (audiens) D=Degree (Derajat) sebagai kriteria bahwa tingkah laku yang ditampilkan (performance behavior) menerangkan telah berhasil menguasai pengetahuan dan keterampilan dan diajarkan. Berdasarkan tujuan di atas dalam mengembangkan produk maket multimedia berbasis orientasi dan mobilitas wacananya pada area lingkungan sekolah dengan kondisi berwujud bangunan dan ruangan yang digunakan sebagai aktivitas pembelajaran. Berikut ini gambaran ruangan-ruangan dan area yang dijadikan aktivitas lingkungan sekolah sebagai rancangan arah orientasi dan mobilitas untuk pembuatan maket multimedia interaktif. a. Ruang kelas b.Ruang Guru c. Ruang Kepala sekolah d.Ruang Kesenian. e. Laboratorium Komputer. f. Ruang Perpustakaan. g. Mushola. h. Gedung Serba Guna. i. Area Lapangan untuk pembelajaran olahraga. j. Asrama putri k. Asrama putra l. Kamar Kecil atau toilet m. Halaman sekolah n. Gudang o. Rumah penjaga sekolah
Gambar 1. Landscape Maket Lingkungan Sekolah
Gambar 2. Perangkat Program Audio Dalam Tempat Bangunan Maket
Dalam mengoperasikan perangkat program audio dalam maket multimedia interaktif ini tunanetra menekan tombol yang telah disediakan dalam tempat bangunan. Di samping itu maket multimedia interaktif dilengkapi dengan teks braille yang dapat mempermudah dan membantu penyandang tunanetra mengenali setiap gedung yang akan dituju. Di bawah ini gambaran akhir produk prototipe maket multimedia interaktif untuk menanamkan konsep lingkungan sekolah bagi siswa tunanetra sekolah luar biasa.
Pengembangan maket multimedia interaktif yang digunakan untuk membimbing penyandang tunanetra dalam berorientasi dan mobilitas sebagai upaya menanamkan konsep lingkungan sekolah melalui tahapan berikut ini (Borg and Gall, 1983)[29].
149
Gambar. 3. Maket Multimedia Interaktif Berbasis Orientasi dan Mobilitas
Produk yang dihasilkan dari penelitian pengembangan ini adalah produk prototipe maket multimedia interaktif berbasis orientasi dan mobilitas sebagai upaya menanamkan penguasaan konsep lingkungan sekolah pada siswa tunanetra SLB. Maket multimedia interaktif berbasis orientasi dan mobilitas ini dikembangkan untuk memberikan kebermanfaatan bagi siswa tunanetra untuk mengenalkan lingkungan sekolah luar biasa. Maket multimedia interaktif ini dikonsep dengan program audio yang berisi panduan akses jalan ke berbagai tempat yang ada di lingkungan sekolah. Dalam memahami masing-masing bangunan pada maket diberikan dengan menggunakan keterangan yang berwujud tulisan huruf braille ini berfungsi sebagai perantara untuk memberikan gambaran tentang lingkungan sekolah. Adapun produk maket multimedia interaktif berbasis orientasi dan mobilitas untuk menanamkan penguasaan konsep lingkungan sekolah pada siswa tunanetra, sebagai berikut: 1. Panduan akses bangunan dan jalan menuju keberbagai tempat lingkungan sekolah dengan konsep program audio dan tulisan braille. 2. Bentuk maket multimedia yang terdapat petunjuk arah. 3. Pengoperasian dengan cara menekan tuts sesuai dengan tempat tujuan yang dikehendaki dan tersedia pada maket bangunan lingkungan sekolah. 4. Alat penilaian untuk penguasaan konsep lingkungan dengan penilaian autentik sebagai keberhasilan dalam orientasi dan mobilitas 3.2 Pembahasan Sudjana dan Rifai (2005)[30] mengemukakan bahwa maket atau model adalah tiruan tiga dimensi dari beberapa benda nyata yang terlalu besar, terlalu jauh, terlalu kecil, terlalu mahal, terlalu jarang, atau terlalu ruwet untuk dibawa ke dalam kelas dan dipelajari peserta didik dalam wujud aslinya. Dari pandangan tersebut dapat dipahami bahwa model (maket) sebagai bahan ajar tiga dimensi adalah tiruan benda nyata untuk menjembatani berbagai kesulitan yang bisa ditemui, apabila menghadirkan objek atau
benda tersebut langsung ke dalam kelas. Dengan demikian, nuansa asli dari benda tersebut masih bisa dirasakan oleh peserta didik tanpa mengurangi struktur aslinya, sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna.Konsep maket ini sebagai benda tiruan tiga dimensi yang dibuat guna mewakili kehadiran benda asli yang terlalu besar, terlalu kecil, terlalu jauh, dan terlalu luas, sehingga dapat diamati secara langsung oleh siswa tunanetra melalui rabaannya. Sedangkan multimedia dipertegas oleh Niken dan Dany (2010;11)[4] mengutip definisi multimedia dalam Turban, dkk (2002), multimedia adalah kombinasi dari paling sedikit dua media input atau output. Media ini dapat berupa audio (suara, musik), animasi, video, teks, grafik dan gambar. Selanjutnya pengertian lain yang dikemukakan oleh Zeembry (2008)[31],menjelaskan bahwa Multimedia (sebagai kata sifat) adalah media elektronik untuk menyimpan dan menampilkan data-data multimedia. Berdasarkan definisi-definisi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa multimedia adalah perpaduan dari dua media yang dapat berupa audio (suara, musik), animasi, video, teks, grafik ataupun gambar yang dimanfaatkan sebagai penyampai pesan kepada publik. Multimedia interaktif sebagai suatu multimedia yang dilengkapi dengan alat pengontrol yang dapat dioperasikan oleh tunanetra, dengan cara memilih apa yang dikehendaki untuk proses mobilitas selanjutnya. Multimedia interaktif menggabungkan dan mensinergikan semua media yang terdiri dari: a) teks; b) grafik; c) audio; dan d) interaktivitas (Bonk, Curtis J and Graham, Charles R. 2006)[6]. Pemanfaatan teknologi multimedia pembelajaran interaktif yaitu sebagai salah satu sarana pembelajaran bagi siswa tunanetra, mempunyai beberapa kekuatan dasar, yang dikemukakan oleh Phillips dalam (Bonk, Curtis J and Graham, Charles R. 2006)[6], yaitu. a. Mixed media Dengan menggunakan teknologi multimedia, berbagai media konvensional yang ada dapat diintegrasikan ke dalam satu jenis media interaktif, seperti media teks (papan tulis), audio, video, yang jika dipisahkan dapat membutuhkan lebih banyak media. b. User control Teknologi multimedia memungkinkan pengguna untuk menelusuri materi ajar, sesuai dengan kemampuan dan latar belakang pengetahuan yang dimilikinya. c. Simulasi dan visualisasi Simulasi dan visualisasi merupakan fungsi khusus yang dimiliki oleh multimedia interaktif, sehingga dengan teknologi animasi, simulasi dan visualisasi komputer, pengguna akan mendapatkan infromasi yang lebih nyata dari informasi yang bersifat abstrak. Dalam beberapa kurikulum dibutuhkan pemahaman yang kompleks, abstrak, proses dinamis dan mikroskopis, sehingga dengan simulasi dan visualisasi peserta didik akan dapat
150
mengembangkan mental model dalam aspek kognitifnya. Tapi bagi siswa tunanetra fungsi simulasi lebih ditekankan karena siswa dapat mencoba secara langsung dalam pemanfaatan media. d. Gaya belajar yang berbeda Multimedia interaktif mempunyai potensi untuk mengakomodasi pengguna dengan gaya belajar yang berbeda-beda. Nandi (2012)[20], mengemukan enam kriteria untuk menilai multimedia interaktif, yaitu: (1) kemudahan navigasi, (2) kandungan kognisi, (3) presentasi informasi, (4) integrasi media, (5) artistik dan estetika, dan (6) mempunyai fungsi secara keseluruhan. Kompleksitas permasalahan siswa tunanetra dalam penguasaan konsep lingkungan yang rendah dalam orientasi dan mobilitas mengenai lingkungan sekolah yang terlalu luas sehingga menyulitkan untuk memahami kondisi sekolah. Di samping itu informasi yang diperoleh siswa mengenai lingkungan sekolah hanya bersifat verbalistis berupa perkataan dari guru atau teman lainnya. Informasi yang didapat tersebut bisa jadi dipahami salah oleh siswa tunanetra yang bersangkutan. Dasar fakta yang ditemukan tersebut siswa tunanetra mengalami permasalahan dalam memahami suatu objek yang terlalu luas seperti lingkungan sekolah. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, ada dua cara yang harus dilakukan seorang guru. Langkah pertama yaitu dengan memberikan bekal keterampilan orientasi dan mobilitas kepada siswa tunanetra. Dengan keterampilan orientasi dan mobilitas dapat dijadikan pegangan bagi siswa tunanetra untuk melakukan berbagai aktivitas di dalam lingkungan sekolah. Sedangkan langkah kedua yaitu dengan mengembangkan sebuah media pembelajaran yang dapat memberikan gambaran tentang lingkungan sekolah kepada siswa tunanetra. Pengembangan maket multimedia yang dikemas berbasis teknologi pembelajaran. Teknologi pembelajaran (instructional technology) dalam desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan serta evaluasi tentang proses dan sumber untuk belajar [27]. Teknologi pembelajaran berupaya untuk merancang, mengembangkan, dan memanfaatkan aneka sumber belajar sehingga memudahkan atau memfasilitasi seseorang untuk belajar di mana saja, kapan saja, oleh siapa saja, dan dengan cara sumber belajar apa saja yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya. Lahav, O and Mioduser, D. (2002)[17], menyebutkan orientasi adalah kemampuan untuk memahami hubungan antara satu objek dengan objek yang lain; penciptaan dari suatu pola mental dari lingkungan. Sedangkan mobilitas yang dimaksud adalah mencakup perolehan keterampilan dan teknik yang menjadikan orang-orang yang memiliki hambatan penglihatan dapat bepergian lebih mudah di lingkungannya. Pelatihan mobilitas mencakup perolehan keterampilan dan teknik yang menjadikan
orang-orang yang memiliki hambatan penglihatan dapat bepergian lebih mudah di lingkungannya. Dalam orientasi dan mobilitas, konsep arah dan jarak merupakan dua hal penting yang harus dimengerti oleh siswa tunanetra. Karena dengan memahami konsep arah dan jarak, maka siswa tunanetra akan dapat bermobilitas secara tepat dan efektif. Tepat dalam arti siswa dapat mencapai tempat tujuan sesuai dengan yang dikehendakinya. Sedangkan efektif artinya siswa dapat sampai ke tempat tujuan yang diinginkan dengan selamat serta dengan waktu yang singkat. Pemahaman konsep mengenai arah mata angin sangat berguna untuk membangun kemandirian siswa tunanetra dalam melakukan orientasi dan mobilitas di lingkungan sekolah. Konsep ini memberikan dan menanamkan pemahaman kepada siswa tentang delapan penjuru arah mata angin dan cara menentukan sudut yang dibentuk oleh arah mata angin tertentu. Arah mata angin bagi tunanetra dirasa sangat penting untuk diketahui dan dipahami melalui praktik langsung. Namun untuk siswa tunanetra yang masih tergolong anak-anak, konsep kiri, kanan, depan, dan belakang merupakan konsep arah yang perlu dikenalkan terlebih dahulu. Konsep jarak juga harus dipahami dengan baik oleh siswa tunanetra. Konsep jarak ini penting dipahami agar siswa mampu memperkirakan jarak yang akan dia tempuh untuk menuju ke suatu tempat yang dikehendakinya. Dalam berorientasi dan mobilitas ukuran jarak pada umumnya mempergunakan yaitu meter, depa, dan langkah kaki. Akan tetapi, untuk memudahkan siswa tunanetra terhadap konsep jarak, maka cukup menggunakan patokan langkah kaki. Namun, di samping konsep arah dan jarak, ada satu hal penting lagi yang harus dipahami oleh siswa tunanetra ketika ingin mengenal lingkungan sekolah dengan baik. Hal itu adalah penguasaan konsep mengenai lingkungan sekolah yang terbayang dalam pemikiran siswa tunanetra. Untuk menanamkan penguasaan konsep dalam pemikiran siswa tunanetra tidaklah mudah. Bagi siswa yang mengalami ketunanetraan sejak lahir, mereka miskin akan konsep sehingga sulit untuk menggambarkan suatu objek. Apalagi bila objek yang digambarkan tersebut hanya diinformasikan melalui bahasa verbal. Begitu pula pada siswa yang mengalami ketunanetraan pasca melihat, konsep yang mereka miliki belum dapat mendukung penciptaan pemetaan kognisi mereka terhadap obyek lingkungan yang terlalu luas. Oleh karena itu perlu adanya sebuah media yang berbentuk konkret untuk penggambaran lingkungan sekolah yang dapat diamati secara langsung oleh siswa tunanetra melalui pendengaran dan rabaannya. 4. SIMPULAN Di bawah ini kesimpulan yang menunjukkan pengembangan maket multimedia interaktif berbasis orientasi dan mobilitas untuk menanamkan
151
penguasaan konsep lingkungan sekolah pada siswa tunanetra, yaitu menghasilkan produk prototipe maket multimedia interaktif berbasis orientasi dan mobilitas untuk menanamkan penguasaan konsep lingkungan sekolah pada siswa tunanetra yang terdiri dari. a) panduan akses bangunan dan jalan menuju keberbagai tempat lingkungan sekolah dengan konsep program audio dan tulisan braille, b) bentuk maket multimedia yang terdapat petunjuk arah, c) pengoperasian dengan cara menekan tuts sesuai dengan tempat tujuan yang dikehendaki dan tersedia pada maket bangunan lingkungan sekolah, dan d) alat penilaian untuk penguasaan konsep lingkungan dengan penilaian autentik sebagai keberhasilan dalam orientasi dan mobilitas 5. REFERENSI [1]. Adri, Muhammad. (2007). Strategi Pengembangan Multimedia Instructional Design. http:// ilmu komputer.com. diakses pada tanggal 16 oktober 2014. [2]. Aldridge, J; Goldman, R. (2002). Current Issues and Trends in Education. Boston : A. Pearson Education Company. [3]. Anderson, Ronald. (1994). Pemilihan dan Pengembangan Media untuk Pembelajaran. Diterjemahkan oleh Yusuf Hadi Miarso, dkk dari buku aslinya: Selecting And Developing Media for Instruction. Jakarta : Penerbit Raja Grafindo Persada. [4]. Ariyani, Niken, dkk. (2010). Pembelajaran Multimedia di Sekolah: Pedoman Pembelajaran Inspiratif. Konstruktif dan Prospektif. Jakarta: Prestasi Pustaka. [5]. Bahri (2008). Pengertian Konsep Menurut Para Ahli. http://Satria 2008,diakses pada tanggal 15 oktober 2014. [6]. Bonk, Curtis J and Graham, Charles R. (2006). The Handbook Of Blended Learning. San Fransisco: Published by Pfeiffer, by John Wiley & Sons, Inc. [7]. Borg, W.R. and Gall, M.D. (1983). Educational Research: An Introduction. London: Longman, Inc. [8]. Cole, P.& Lorna, Chan. 1990. Methods and Strategies for Special Education. Sydney : Prentice Hall Ltd. [9]. Effendi (2009). “Definisi Pemahaman Konsep”. http://www.usershare.net.diakses tanggal 18 Oktober 2014 [10]. Hadi, Purwaka. (2005). Kemandirian Tunanetra. Jakarta: Depdiknas. [11]. Heinich. Molenda. Russel. (1982). Instuctional Media And The New Technologies Of Instruction. Printed I the United State Of America. [12]. Heinich, Molenda, Russell dan Smaldino. (1999). Instructional Technology and Media for Learning. Ohio, Columbus: by Pearson Education, Inc. [13]. Asrulbakri. (2010). Langkah-langkah Pembelajaran Multimedia Interaktif. MEDTEK Jurnal. Diakses tanggal 18 Oktober 2014 [14]. Husamah, (2014). Pembelajaran Bauran (Blended Learning). Terampil Memadukan Keunggulan Pembelajaran Face To Face, E-Learning OfflineOnline dan Mobile Learning. Penerbit Prestasi Pustakaraya, Jakarta Indonesia. [15]. Husamah, (2013). Pembelajaran Luar Kelas (Outdoor Learning) Ancangan Strategis Mengembangkan Metode Pembelajaran Yang
[16].
[17].
[18].
[19]. [20].
[21].
[22]. [23]. [24].
[25].
[26].
[27].
[28].
[29].
[30]. [31].
Menyenangkan, Inovatif dan Menantang. Penerbit Prestasi Pustakaraya, Jakarta Indonesia. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2014). Program Pengembangan Kekhususan Pedoman Pengembangan Orientasi Mobilitas, Sosial dan KOmunikasi Untuk Peserta didik Tunanetra. Dirjen Pendidikan Dasar : Jakarta. Lahav, O and Mioduser, D. (2002). Multisensory virtual environment for supporting blind persons’ acquisition of spatial cognitive mapping, orientation, and mobility skills. Hungary: Intl Conf. Disability, Virtual Reality & Assoc. Tech., Veszprém. Mercer, Cecil D & Mercer Ann R. (1993). Teaching Student with Learning Problems. Ohio: Published by Merrill Publishing Company,A Bell & Howell Information Company. Mukhtar, dan Iskandar. (2012). Desain Pembelajaran Berbasis TIK. Jakarta : Penerbit Referensi. Nandi (2012). Penggunaan Multimedia Interaktif Dalam Pembelajaran Geografi Di Persekolahan. Jurnal. Diakses tanggal 18 Oktober 2014 Nurjannah (2006). Pengertian Konsep Menurut Para Ahli. http://Satria2008.diakses pada tanggal 19 oktober 2014 Pranata, Moeljadi. 2010. Teori Multimedia Instruksional. Malang : Universitas Negeri Malang. Rogow. (2005). A Developmental Model Of Disabilities. . Journal of Counseling and Development Vol 20 - No. 2. Schwiebert, L Valerie; Karen A. Sealander and Jean L. Dennison. (2002). Strategies for Counselors Working With High School Students With High School Students With AttentionDeficit/Hyperactivity Disorder. Journal of Counseling and Development Volume 80 Number 1 Winter: 3-10. Schalfer, Charles. (2000). Bagaimana Membimbing, Mendidik dan Mendisiplinkan Anak Secara Efektif, (terjemahan R. Tarman Sirait). Jakarta:Radar Jaya Ofset. Smaldino, Sharon E & Russell, James D. (2005). Instructional Technology and Media for Learning. Ohio, Columbus: by Pearson Education, Inc. Barbara B. Seels, Rita . Richey. (1994). Instructiuonal Technology: The Definition and Domains of The Field. AECT Washington DC Blades, M., Ungar, S., & Spencer, C. (1999). Map using by adults with visual impair- ments. Professional Geographer, 51, 539–553 Borg, W. R. & Gall, M. D. (1983). Educational research: An introduction (4ed.). New York: Longman. Sudjana, Nana., dan Rivai, Ahmad., (2005). Media Pengajaran. Bandung: Sinar Baru Algensindo Zeembry. (2005). 123 Tip & Trik. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
152
Penerapan Model Pembelajaran Inkuiri untuk Meningkatkan Hasil Belajar dan Ketuntasan Belajar Materi Listrik Siswa Kelas VI SDSMP Satu Atap Singosari Malang Titin Sunarti1*), Endang Susantini2, Beni Setiawan3 1
2
Jurusan Fisika, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya. E-mail: [email protected] Jurusan Biologi, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya. E-mail: [email protected] 3 Jurusan IPA, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya. E-mail: [email protected] *) Alamat Korespondesi: Email: [email protected].
ABSTRACT The purpose of this study is to improve student learning outcomes Primary and Junior Secondary One Roof Singosari Malang and describe the students' response to the implementation of inquiry learning model. Object of this research is 31 students of class VI in Electrical matter. This type of research is pre-experimental, by applying One Group Pre-test and Post-test design. Questionnaire method used to obtain the student response data includes the aspect of assurance, relevance, interest, assessment, and satisfication. Test results for the Electrical matter were obtained that learning outcomes and student responses were analyzed by quantitative analysis techniques descriptive. Student learning outcomes on average experienced a modest increase (gain score of 0.65). The thoroughness of the average student learning outcomes increased by 87.10%. Student responses on assurance aspects: 72.58, relevance: 89.74, interest: 85.54, assessment: 90.32, and satisfication: 96.06. The average student responses on all aspects of the show 86.85% of students satisfied with the implementation of inquiry learning model. Key Words: SD-SMP One Roof, Inquiry Model ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan hasil belajar siswa SD-SMP Satu Atap Singosari Malang dan mendeskripsikan respon siswa terhadap penerapan model pembelajaran inkuiri. Penelitian penerapan ini dilaksanakan mengikuti One Group Pretest and Posttest Design. Obyek penelitian ini adalah 31 siswa kelas VI pada materi Listrik. Metode angket digunakan untuk mendapatkan data respon siswa yang ditinjau dari aspek assurance, relevance, interest, assessment, dan satisfication. Data hasil belajar dan respon siswa dianalisis dengan teknik analisis deskripstif kuantitatif. Hasil belajar siswa rata-rata mengalami peningkatan sedang (gain skor 0,65). Ketuntasan hasil belajar rerata siswa meningkat sebesar 87,10%. Respon siswa pada aspek assurance: 72,58, relevance: 89,74, interest: 85,54, assessment: 90,32, dan satisfication: 96,06. Rata-rata respon siswa pada semua aspek menunjukkan 86,85% siswa puas terhadap penerapan model pembelajaran inkuiri. Kata kunci: SD-SMP Satu Atap, Model inkuiri 1. PENDAHULUAN Karakteristik Kurikulum 2013 adalah penggunaan pendekatan saintifik (scientific approach) dalam proses pembelajaran di sekolah[1]. Tujuan penggunaan pendekatan saintifik yang dalam pembelajaran adalah agar siswa dapat lebih aktif dalam menemukan konsep sehingga mendapatkan pemahaman yang lebih baik daripada memperoleh konsep dengan cara diberitahu secara langsung oleh guru. Keterlibatan siswa menemukan konsep dapat mengembangkan keterampilan dan sikap untuk membangun pemahaman yang bermakna dan logis[2]. Pembelajaran pada Kurikulum 2013 menuntut siswa untuk terlibat aktif dalam memperoleh konsepkonsep materi dan menyelesaikan permasalahan yang ditemukan. Pembelajaran yang sesuai untuk memfasilitasi siswa terlibat aktif menemukan konsep materi secara ilmiah salah satunya ialah pembelajaran berbasis inkuiri. Inkuiri adalah suatu pendekatan inovatif dalam pembelajaran yang menekankan kegiatan siswa untuk mengembangkan pengetahuan
ilmiah dan pemahaman tentang bagaimana ilmuan bekerja[3]. Inkuiri membantu siswa mengembangkan intelektual dan proses keterampilan ilmiah[4]. Inkuiri meningkatkan sikap ilmiah siswa pada kelas fisika, berbeda dengan hasil pengamatan kelas fisika yang tidak berbasis inkuiri[5]. Pembelajaran inkuiri memberi kesempatan siswa untuk mengembangkan keahlian sesuai yang dibutuhkan di kehidupan, melakukan aktivitas untuk mendapatkan pemahaman lebih jelas, dan mencari solusi sekarang dan akan datang[6]. Pembelajaran menggunakan inkuiri dapat mengurangi kejenuhan siswa dan membuat siswa lebih menikmati proses pembelajaran karena siswa lebih leluasa memutuskan melakukan sesuatu saat terlibat dalam pembelajaran[7]. Hasil studi di sekolah dasar menunjukkan bahwa pembelajaran IPA berbasis inkuiri mendapat peningkatan respon baik sebesar 33,4%[8]. Hasil studi lainnya melaporkan bahwa penerapan model pembelajaran inkuiri dapat meningkatkan prestasi
153
belajar siswa dengan nilai gain yang dinormalisasi sebesar 0,75[9]. Penerapan model pembelajaran inkuiri dapat meningkatakan hasil belajar dan ketuntasan belajar siswa pada mata pelajaran IPA Sekolah Dasar[10]. SD-SMP Satu Atap Singosari, Malang merupakan sekolah yang menerapkan Kurikulum 2013. Penerapan model pembelajaran inkuiri di SDSMP Satu Atap Singosari diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar siswa kelas VI SD pada materi listrik dan mendeskripsikan respon siswa terhadap penerapan model pembelajaran inkuiri. 2. METODE Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen yang mengikuti desain pre-eksperimen yang menggunakan desain kelompok tunggal dangan pretes - postes. Objek penelitian adalah 31 siswa kelas VI SD Satu Atap Singosari, Malang. Hasil Pretest-post test di analisis secara kuantitatif kemudian dihitung skor normalized gain dengan rumus: Spost Spre ............ (1) g S max Spre Keterangan: 1. Spost = Nilai postes 2. Spre = Nilai pretes 3. Smax = Nilai Maksimal Tabel 1. Kriteria Normalized Gain Skor N-Gain Kriteria N-Gain 0,70 < N-Gain Tinggi 0,30 < N-Gain Sedang N-Gain < 0,30 Rendah
Peningkatan ketuntasan hasil belajar siswa ditentukan dengan rumus: 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑖𝑠𝑤𝑎 𝑡𝑢𝑛𝑡𝑎𝑠 𝑝𝑜𝑠𝑡 𝑡𝑒𝑠𝑡 − 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑖𝑠𝑤𝑎 𝑙𝑢𝑙𝑢𝑠 𝑝𝑟𝑒 𝑡𝑒𝑠𝑡 × 100% 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑖𝑠𝑤𝑎
Hasil respon siswa dianalisis secara kuantitatif berdasarkan aspek assurance, relevance, interest, assessment, dan satisfication. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Skor N-Gain diperoleh dari hasil analisis nilai pre test dan post test siswa. Skor dan Kriteria N-Gain siswa disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Skor dan Kriteria N-Gain Siswa No. Absen N-Gain Kriteria 1 0,45 sedang 2 0,55 sedang 3 0,69 sedang 4 0,63 sedang 5 0,62 sedang 6 0,69 sedang 7 0,64 sedang 8 0,64 sedang 9 0,64 sedang 10 0,69 sedang 11 0,75 tinggi 12 0,69 sedang 13 0,20 rendah 14 0,53 sedang 15 0,67 sedang 16 0,60 sedang 17 0,69 sedang 18 0,73 tinggi 19 0,62 sedang 20 0,64 sedang 21 0,75 tinggi 22 0,80 sedang 23 0,64 sedang 24 0,69 sedang 25 0,62 sedang 26 0,54 sedang 27 0,62 sedang 28 0,63 sedang 29 0,60 sedang 30 0,79 sedang 31 0,75 sedang 0,65 sedang Rata-rata
Rata-rata skor N-Gain dari 31 siswa adalah 0,65 tergolong sedang dengan rincian 10 siswa mendapatkan kriteria N-Gain rendah, 18 siswa mendapatkan kriteria N-Gain sedang, dan 3 siswa mendapatkan kriteria N-Gain tinggi. Data di atas menunjukan bahwa model pembelajaran inkuiri membantu siswa meningkatkan hasil belajarnya pada bab Listrik. Fakta adanya peningkatan hasil belajar siswa setelah menggunakan model pembelajaran inkuiri yang diperoleh sesuai dengan hasil penelitian dari Khasanah[9]; dan Damayanti [10], yakni model pembelajaran inkuiri dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Terdapat 3 siswa mendapatkan N-Gain tinggi, 1 siswa N-Gain rendah, dan 27 siswa N-Gain sedang. siswa yang mendapatkan N-Gain rendah adalah siswa No. absen 13 dengan N-Gain 0,20. Siswa No. absen 13 mendapatkan skor pretes 75 dan skor postes 85. Meskipun memiliki N-Gain rendah, namun siswa tersebut dinyatakan tuntas pada pretes dan postes. Ketuntasan hasil belajar siswa pada pretes dan postes disajikan pada Gambar 1.
154
Nomor Absen Siswa
31 30 29 28 27 26 25 24 23 22 21 20 19 18 17 16 15 14 13 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1
0
50
100
Skor Postes
Pretes
Gambar 1. Ketuntasan Hasil Belajar Siswa pada Pretes dan Postes
Data Jumlah Siswa Tuntas Pretes dan Postes disajikan pada Gambar 2.
35 29
30 25 20 15 10
5 0
sesuai untuk siswa kelas VI SD Satu Atap Singosari pada bab Listrik. Siswa tidak hanya mendapatkan konsep listrik dari guru, namun siswa membangun pemahamannya dengan menjadikan diri mereka seperti seorang peneliti yang mencari tau tentang konsep Listrik. Siswa mendapatkan pemahaman yang lebih jelas tentang materi Listrik, sesuai dengan pernyataan Alberta [6] bahwa inkuiri dapat membantu siswa melakukan aktivitas untuk mendapatkan pemahaman yang lebih jelas. Model pembelajaran inkuiri juga memberi kesempatan siswa terlibat aktif dalam pembelajaran yang dapat membangun pemahaman logis siswa [2], yang selanjutnya memberi andil dalam peningkatan ketuntasan hasil belajar siswa. Peningkatan ketuntasan juga sesuai dengan hasil penelitian Damayanti [10], yakni pembelajaran dengan inkuiri mampu meningkatkan ketuntasan hasil belajar siswa mata pelajaran IPA Sekolah Dasar. Data hasil analisis angket respon diketahui bahwa 84,33% siswa puas terhadap kegiatan belajar mengajar dengan menggunakan model pembelajaran inkuiri. Pembelajaran dengan inkuiri membuat siswa percaya diri dengan nilai assurance: 72,14. Pembelajaran dengan inkuiri juga dianggap siswa relevan pada materi listrik dengan nilai relevance: 87,92. Siswa yang aktif belajar merasa tertarik, dibuktikan dengan nilai interest: 81,18. Hal ini sesuai dengan pernyataan Luke [7] bahwa inkuiri dapat mengurangi kejenuhan siswa. Siswa lebih tertarik belajar dengan inkuiri yang belajar seperti cara para ilmuan bekerja. Siswa merasa penilaian yang diterapkan bersifat adil dan holistik dengan nilai assessment: 87,14. Nilai satisfication sebesar 93,24 menunjukkan bahwa siswa puas dengan model pembelajaran inkuiri. 4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa setelah pembelajaran menggunakan inkuiri hasil belajar siswa rata-rata mengalami peningkatan, demikian halnya dengan jumlah siswa yang tuntas juga mengalami peningkatan. Selain itu, 86,85% siswa memberikan resposns positif terhadap pembelajaran yang dilakukan. Rata-rata respon siswa pada semua aspek menunjukkan 86,85% siswa puas terhadap penerapan model pembelajaran inkuiri. 5. DAFTAR PUSTAKA
2 Pretes
Postes
Gambar 2. Jumlah Siswa Tuntas Pretes dan Postes
Jumlah siswa tuntas pada pretes sebanyak 2 orang, sedangkan pada postes sebanyak 29 orang. Ketuntasan hasil belajar siswa meningkat 87,10%. Peningkatan hasil belajar sebesar 87,10% menunjukkan bahwa model pembelajaran inkuiri
[1].Anonim, (2013). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 65 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah. Kemendikbud: Jakarta. [2]. Barrow, H.L. (2006). A brief history of inquiry: From Dewey to Standards. Journal of Science Teacher Education, Vol. 17, 265-278. [3]. National Research Council. (1996). National Science Education Standards. Washington, DC: National Academy Press. [4].Wenning, C.J. (2005a). Levels of inquiry: Hierarchies of pedagogical practices and inquiry processes.
155
Journal of Physics Teacher Education Online, Vol. 2, No. 3, 3-11. [5]. Arion, D., Crosby, K., & Murphy, E. (2000). Casestudy experiments in the introductory physics curriculum. The Physics Teacher, Vol. 38, No. 6, 373-376. [6]. Alberta, (2004). Focus on Inquiry: A Teacher’s Guide to Implementing Inquiry-based Learning. Canada: Alberta Learning. [7]. Luke, L., (2010). Self-monitoring to Minimize Student Resistance to Inquiry, Journal of Physics Teacher Education Online, Vol. 5, No. 3, 11-23. [8]. Yeo, S. & Zadnik, M. (2001). Introductory thermal concept evaluation: Assessing students’ understanding. Physics Teacher, Vol. 39, 496-504. [9]. Khasanah, K., (2013). Perbandingan Penerapan Model Pembelajaran Guided Inquiry dengan Interactive Demonstration dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Fisika Siswa SMA. Universitas Pendidikan Indonesia: repository.upi.edu. [10]. Damayanti, I., (2014). Penerapan Model Pembelajaran Inkuiri untuk Meningkatkan Hasil Belajar Mata Pelajaran IPA Sekolah Dasar. JPGSD. Vol. 2, No. 3.
156
Penerapan Model Pembelajaran Langsung dengan Menggunakan Media Audio Visual untuk Meningkatkan Hasil Belajar Membuat Busana Anak Siswa Kelas X SMKN 3 Pamekasan Tri Mutmainnah1*), Fadlilah Indira Sari2 1 2
S2 Pend. Teknologi Kejuruan, Universitas Negeri Surabaya, E-mail: [email protected] S2 Pend. Teknologi Kejuruan, Universitas Negeri Surabaya. E-mail: [email protected] *) Alamat Korespondesi: Email: [email protected]
ABSTRACT The purpose of this study was to 1) determine how the activities of teachers, 2) determine how the student activity, 3) determine student learning outcomes, and 4) evaluate the response of the students after participating in learning activities using direct learning model using audio-visual media. This type of research is the Classroom Action Research (CAR), which is composed of two cycles. Each cycle consists of planning, action, observation, and reflection. Data collection methods include observation, testing, and student questionnaire responses. Analysis of the data used the average of learning outcomes and student response used in form of percentages. The results were obtained: 1) Activities of teachers during the learning process outlines two cycles increased. In the first cycle for the learning of students are not familiar with the direct learning model, but for the second cycle there is an improvement with the use of audio-visual media that attract students. 2) Activity student learning process two cycles in general have increased. This was demonstrated their power to attract students in participating in learning. 3) The results of students in the first cycle there were 10 students who did not complete from a total of 30 students, but all students in the second cycle has been completed. 4) The response of students to the direct learning model by using audio-visual media in the sub competence to make clothes children receive positively. Key Words: The direct model of teaching-learning process, audio-visual media, students’ score of making childern clothes. ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk 1)mengetahui bagaimana aktifitas guru, 2) mengetahui bagaimana aktifitas siswa, 3) mengetahui hasil belajar siswa, dan 4) mengetahui respon siswa setelah mengikuti kegiatan belajar mengajar menggunakan model pembelajaran langsung menggunakan media audio visual. Jenis penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang terdiri dari dua siklus. Masing-masing siklus terdiri atas tahap perencanaan, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Metode pengumpulan data mencakup observasi, tes, dan angket respon siswa. Analisis data menggunakan rata-rata hasil belajar dan respon siswa menggunakan prosentase. Hasil penelitian diperoleh: 1) Aktivitas guru selama proses pembelajaran dua siklus secara garis besar mengalami peningkatan. Pada siklus I selama pembelajaran berlangsung siswa belum terbiasa dengan model pembelajaran langsung, namun untuk siklus II ada perbaikan dengan penggunaan media audio visual yang menarik minat siswa. 2) Aktivitas siswa proses pembelajaran dua siklus secara umum mengalami peningkatan. Hal ini ditunjukkan adanya daya menarik minat siswa dalam mengikuti pembelajaran. 3) Hasil belajar siswa pada siklus I terdapat 10 siswa yang tidak tuntas dari total 30 siswa, namun pada siklus II seluruh siswa telah tuntas. 4) Respon siswa terhadap model pembelajaran langsung dengan menggunakan media audio visual pada sub kompetensi membuat busana anak memperoleh hal positif. Kata kunci: Model pembelajaran langsung, media audio visual, hasil belajar membuat busana anak 1.
PENDAHULUAN Belajar pada hakikatnya adalah proses interaksi terhadap semua situasi yang ada di sekitar individu. Belajar dapat dipandang sebagai proses yang diarahkan kepada tujuan dan proses berbuat melalui berbagai pengalaman. Belajar juga merupakan proses melihat, mengamati dan memahami sesuatu. Sebagai sebuah proses, aktivitas belajar mengajar tentunya telah banyak metode, model dan media pembelajaran yang diterapkan guna mencapai hasil maksimal dan berkualitas. Mulai dari pemilihan kurikulum, penentuan metode belajar mengajar, media pembelajaran yang digunakan hingga pada pemenuhan
instrumen atau perangkat pembelajaran. Akan tetapi, Pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang menekankan pada keterlibatan secara penuh dari peserta didik serta guru sehingga akan tercipta kondisi dimana semua saling berproses untuk mencapai kualitas yang di inginkan[1]. Ketercapaian standar kompetensi memerlukan adanya pengolaan proses pembelajaran yang baik, salah satunya dengan menggunakan media audio visual dengan model pembelajaran yang dapat memberikan hasil belajar yang optimal yaitu Model Pembelajaran langsung. Dari hasil observasi di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) rata-rata guru
157
masih mengunakan metode pengajaran yang konvensional, yaitu berupa ceramah dan pengajaran klasik sebagai metode yang dipandang baik dari segi efisiensi waktu. Model Pembelajaran Langsung dengan media audio visual diterapkan pada standar kompetensi membuat busana anak dengan tujuan untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik, di SMKN 3 Pamekasan memiliki Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) ≥ 75, untuk nilai hasil belajar tahun pelajaran 2012-2013 ketuntasan belajar peserta didik sebesar 70 % dari jumlah 30 peserta didik. Ketuntasan belajar tersebut menunjukkan bahwa ada 20 peserta didik yang mendapatkan nilai diatas 75 dan ada 10 peserta didik yang mendapatkan nilai kurang dari 75, sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil belajar peserta didik masih belum tuntas dalam standar kompetensi membuat busana anak. Pentingnya diterapkan Model Pembelajaran langsung dengan media audio visual pada standar kompetensi membuat busana anak kompetensi dasar menjahit busana anak, karena model pembelajaran langsung mengharuskan guru untuk merumuskan pertanyaan-pertanyaan penting, dimana pertanyaan ini mendorong peserta didik untuk berpikir secara mendalam dan membangun karakter peserta didik, sedangkan media audio visual yang digunakan dapat membantu untuk memahami langkah-langkah menjahit busana anak sesuai dengan tertib kerja, dan dapat mengembangkan pemahaman mereka terhadap ide-ide besar akan perkembangan busana anak. Model pembelajaran ini menantang peserta didik untuk memahami ide-ide baru dan kembali mengeksplorasi pengetahuan yang sudah mereka peroleh sebelunmya. Sehingga pada membuat busana anak, peserta didik diharapkan mampu menyusun dan mengeksplorasi materi yang diberikan. Mulai dari mengelompokkan macam-macam busana anak, memotong bahan, menjahit busana anak, menyelesaikan busana hingga melakukan pengepresan. 2. KAJIAN PUSTAKA 2.1 Media Pembelajaran Audio Visual Bovee (dalam Zain, 2010:125 ) menyatakan Media pembelajaran audio visual merujuk kepada media pembelajaran yang padanya mengandung komponen (unsur) berupa visual (pemandangan/ gambar/ dilihat) dan audio (suara/didengar). Jadi media pembelajaran audio visual adalah perantara atau penyampai pesan pembelajaran yang mengandung komponen visual dan suara. Karena menggunakan lebih dari satu indera dalam pemanfaatannya, maka media audiovisual seringkali juga dimasukkan ke dalam kelompok multimedia 2.2 Model Pembelajaran Langsung Pembelajaran langsung adalah model pembelajaran yang berpusat pada guru, yang mempunyai 5 langkah dalam pelaksanaannya, yaitu: menyiapkan peserta didik menerima pelajaran,
demontrasi, pelatihan terbimbing, umpan balik, dan pelatihan lanjut (mandiri) (Nur, 2000:7). Pengembangan model pengajaran langsung dilandasi oleh latar belakang teoritik dan empirik tertentu. Di antaranya adalah ide-ide dari bidang sistem analisis, teori pemodelan sosial dan prilaku, serta hasil penelitian tentang keefektifan guru dalam melaksanakan fungsinya. Secara historis, beberapa aspek dari model pengajaran langsung berasal dari prosedur pelatihan dalam industri. Pengajaran langsung paling cocok diterapkan untuk mata pelajaran yang berorientasi pada keterampilan (Nur, 2000:9). 2.3 Kompetensi Membuat Busana anak Kompetensi membuat busana anak diberikan pada kelas X semester 2 dengan alokasi waktu sebanyak 72 jam dalam 1 semester. Dalam standar kompetensi membuat busana anak terdapat beberapa kompetensi dasar, yaitu: Mengelompokkan macammacam busana anak ; Membuat pola dan memeotong bahan ; Menjahit busana anak ; Menyelesaikan busan dengan menggunakan jahitan tangan; Menghitung harga jual ;Melakukan pengepresan 2.4 Aktifitas Guru Guru adalah pendidik atau tenaga pengajar yang mengendalikan, memimpin dan mengarahkan events pengajaran. Guru disebut sebagai obyek pengajaran, sedangkan peserta didik sebagai yang terlibat langsung, sehingga ia dituntut keaktifannya dalam proses pengajaran, peserta didik disebut obyek pengajaran kedua, karena pengajaran itu tercipta setelah ada beberapa arahan dan masukan dari obyek pertama (guru) selain kesediaan dan kesiapan peserta didik (Uno, 2011.:14). 2.5 Aktifitas Siswa Aktivitas peserta didik merupakan sikap suka atau tidak suka pada suatu objek, aktivitas peserta didik dapat dilihat dari semangat atau tidaknya peserta didik dalam proses belajar. Sikap belajar merupakan salah satu faktor penting dalam belajar. Sebagian hasil belajar ditentukan oleh sikap dan kebiasaan yang dilakukan oleh peserta didik dalam belajar. Sebagian sikap dan kebiasaan peserta didik dapat diketahui melalui pengamatan yang dilakukan di dalam kelas (Uno, 2011.:19). 2.6 Hasil Belajar Menurut Benjamin S. Bloom (dalam Arikunto, 2012) tiga ranah hasil belajar, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Menurut A.J. Tomizowski (dalam Arikunto, 2012). Hasil belajar merupakan keluaran (output) dari suatu system pemrosesan masukan (input). Masukan tersebut berupa bermacam- macam inforrnasi sedangkan keluarannya adalah perbuatan atau kinerja (Hamalik, 2004). Dapat disimpulkan bahwa hasil belajar merupakan kemampuan yang diperoleh dari proses
158
belajar yang dilakukan dalam waktu tertentu mencakup afektif, kognitif dan psikomotorik. Untuk memperoleh hasil belajar, dilaksanakan evaluasi atau penilaian yang merupakan tindak lanjut atau cara untuk mengukur tingkat penguasaan peserta didik. Kemajuan prestasi tidak hanya diukur dari tingkat penguasaan ilmu pengetahuan tetapi juga sikap dan keterampilan. Pencapaian tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan memuat kemampuan kognitif, afektit; dan psikomotorik. Seperti yang dikutip Arikunto (2012: 127), 2.7 Respon Peserta Didik Menurut Berio yang dikutip Sanjaya (2010), Merumuskan respon sebagai sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang sebagai hasil atau akibat menerima stimulus. Stimulus tersebut merupakan sesuatu yang dapat diterima oleh seseorang melalui salah satu penginderanya. Dan menurut Oemar Hamalik (2010:46) Peserta didik memberikan respon terhadap suatu stimulus dengan berbagai tingkat kekuatan dan tujuan dari rencana proses pembelajaran. Kekuatan ini sebagaian berasal dari kondisi jasmani peserta didik, sebagian lagi dari pengamatan dan motivasi. Selain itu proses belajar mengajar yang efektif dan efisien juga dapat berpengaruh terhadap hasil belajar peserta didik. Dari paparan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa respon peserta didik adalah orang yang menanggapi setelah diberikannya suatu rangsangan atau stimulus yang mempengaruhi hasil akhir dari proses belajar.
3. METODE 3.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian ini, maka rancangan penelitiian yang dipergunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) atau sering disebut Classroom Action Reseacrh (CAR). Penelitian Tindakan Kelas (PTK) atau sering disebut Classroom Action Reseacrh (CAR) adalah suatu penelitian yang dilakukan dikelas untuk untuk mengetahui akibat tindakan yang diterpkan dengan tujuan memperbaiki / meningkatkan mutu praktik pembelajaran. ( Trianto, 2011 : 13 ). 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian di SMK Negeri 3 Pamekasan, Jl. Kabupaten No. 103, Pamekasan (0324 – 322576 ). Waktu Penelitian dilakukan pada bulan Mei 2016. 3.3 Subyek dan Obyek Penelitian Subyek penelitian ini adalah peneliti bertindak sebagai guru dan peserta didik kelas X Busana di SMKN 3 Pamekasan. Obyek penelitian ini adalah keterlaksanaan proses pembelajaran langsung pada standar Kompetensi membuat busana anak, hasil belajar siswa, dan respon siswa.
3.4 Teknik Analisis Data Teknik pemgumpulan data yang dilakukan menggunakan metode sebagai berikut : 3.4.a Metode Observasi Metode observasi dilakukan melalui pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang muncul. Pengamatan dilakukan peneliti untuk mengamati aktivitas peserta didik secara langsung saat proses belajar mengajar, dan pengamatan terhadap pengelolaan pembelajaran oleh guru (peneliti) yang dilakukan oleh guru mata pelajaran membuat busana anak dan dilakukan saat kegiatan pembelajaran sedang berlangsung. Lembar observasi ini diisi oleh observer dari kalangan guru. 3.4.b Test Teknik tes digunakan untuk mengukur pengetahuan dan kemampuan peserta didik baik secara kognitif maupun kinerja terhadap kompetensi dasar yang diajarkan. Tes dibuat oleh guru yang telah disesuaikan dengan tujuan instruksional pembelajaran standar kompetensi membuat busana anak dan kemudian dikerjakan oleh peserta didik. 3.4.c Angket Angket ini digunakan untuk mengetahui respon peserta didik akan media audio visual yang digunakan. Angket yang dibuat akan diisi oleh peserta didik setelah kegiatan belajar mengajar selesai. 4. HASIL PENELITIAN 4.1 Siklus I 4.1.a Aktifitas Guru Dari data hasil pengamatan aktifitas guru pada pembelajaran langsung membuat busana anak siklus I diatas dapat dibuat diagram sebagai berikut: 4 3 2 1 0 Kegiatan Kegiatan Kegiatan Awal Inti Penutup Gambar 1. Hasil pengamatan aktifitas guru pada siklus I
Berdasarkan Diagram 4.1 dapat di deskripsikan bahwa aktifitas guru saat proses pembelajaran berlangsung pada siklus I, pengamatan diamati oleh dua orang pengamat, pada kegiatan awal di dapatkan skor rata-rata 3,5 dengan kriteria baik; kegiatan inti mendapatkan skor dengan rata-rata 3 dengan kriteria cukup; dan kegiatan penutup dengan skor rata-rata 3 kriteria cukup.
159
4.1.b Aktifitas Siswa Dari data hasil pengamatan aktifitas siswa pada pembelajaran langsung membuat busana anak siklus I diatas dapat dibuat diagram sebagai berikut:
4
4 3 2 1 0 Kegiatan Awal
3 2
Kegiatan Inti
Kegiatan Penutup
Gambar 4. Hasil pengamatan aktifitas guru pada siklus II
1 0 Kegiatan Awal
Kegiatan Inti
Kegiatan Penutup
Gambar 2. Hasil pengamatan aktifitas siswa pada siklus I
Berdasarkan Diagram 4.2 dapat di deskripsikan bahwa aktifitas siswa saat proses pembelajaran berlangsung pada siklus I, pengamatan diamati oleh dua orang pengamat, pada kegiatan awal di dapatkan skor rata-rata 3,5 dengan kriteria baik; kegiatan inti mendapatkan skor dengan rata-rata 3 dengan kriteria cukup; dan kegiatan penutup dengan skor rata-rata 3 kriteria cukup. 4.1.c Hasil Belajar Pada siklus I terdapat sepuluh orang siswa yang mendapatkan nilai dibawah SKM yang berarti siswa tersebut tidak tuntas. Secara garis besar pada siklus ini dari 30 orang siswa 10 mendapat nilai ≤ 75, 20 siswa mendapat nilai antara 75-89 dan tidak ada siswa yang mendapat nilai antara 90-100. Nilai ratarata kelas pada siklus I adalah 74,63. hasil belajar tuntas Hasil belajar tidak tuntas
33%
67% Gambar 3. Hasil belajar pada siklus I
4.2 Siklus II 4.2.a Aktifitas Guru Dari data hasil pengamatan aktifitas guru pada pembelajaran langsung membuat busana anak siklus II dengan menggunakan media audio visual dapat dibuat diagram sebagai berikut:
Berdasarkan Diagram 4.4 dapat di deskripsikan bahwa aktifitas guru saat proses pembelajaran berlangsung pada siklus II, pengamatan diamati oleh dua orang pengamat, pada kegiatan awal di dapatkan skor rata-rata 4 dengan kriteria sangat baik; kegiatan inti mendapatkan skor dengan rata-rata 4 dengan kriteria sangat baik; dan kegiatan penutup dengan skor rata-rata 4 kriteria sangat baik. 4.2.b Aktifitas Siswa Data hasil pengamatan aktifitas siswa pada pembelajaran langsung membuat busana anak siklus II dengan menggunakan media audio visual adalah sebagai berikut:
4 3 2 1 0 Kegiatan Awal
Kegiatan Inti
Kegiatan Penutup
Gambar 5. Hasil pengamatan aktifitas siswa pada siklus II
Berdasarkan Diagram 4.5 dapat di deskripsikan bahwa aktifitas siswa saat proses pembelajaran berlangsung pada siklus II, pengamatan diamati oleh dua orang pengamat, pada kegiatan awal di dapatkan skor rata-rata 4 dengan kriteria sangat baik; kegiatan inti mendapatkan skor dengan rata-rata 4 dengan kriteria sangat baik; dan kegiatan penutup dengan skor rata-rata 4 kriteria sangat baik. 4.2.c Hasil Belajar Pada siklus II tidak ada siswa yang mendapatkan nilai dibawah SKM. Dari 30 orang siswa 7 mendapat nilai 75-79, 13 siswa mendapat nilai antara 80-89 dan 10 siswa yang mendapat nilai antara 90-100. Nilai rata-rata kelas pada siklus II adalah 84,46.
160
hasil belajar tuntas
Hasil belajar tidak tuntas
100%
Gambar 6. Hasil belajar siswa pada siklus II
4.3 Respon Siswa Angket respon siswa digunakan untuk mengetahui tanggapan siswa terhadap model pembelajaran langsung pada sub kompetensi membuat busana anak dengan menggunakan media audio visual. Siswa kelas X Busana Butik 1 SMKN 3 Pamekasan yang telah mengikuti pembelajaran sejumlah 30 siswa dengan 13 aspek pertanyaan yang mengacu pada jawaban “ya” dan “tidak”. Berikut ini hasil prosentase dari respon siswa : 100% 80% 60% 40% 20%
P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10 P11 P12 P13
0%
Gambar 7. Hasil respon siswa terhadap model pembelajaran langsung pada sub kompetensi membuat busana anak dengan menggunakan media audio visual
4.4 PEMBAHASAN 4.4.a Aktifitas Guru Pada siklus I Aktifitas guru pada kegiatan awal mendapatkan kriteria cukup, hal ini kurang maksimal karena awal pertemuan, siswa masih merasa asing ini berkaitan dengan fase 1 mengenai penyampaian tujuan dan mempersiapkan siswa. Dalam kegiatan inti mencakup fase 2 mengenai demonstrasi pengetahuan dan keterampilan, fase 3 mengenai bimbingan pelatihan, dan fase 4 tentang mengecek pemahaman dan memberi umpan balik pada siswa mendapatkan skor dengan rata-rata 3 dengan kriteria cukup. Hal ini karena materi yang disajikan kurang menarik membuat siswa tidak terlalu memperhatikan. Untuk fase 5 mengenai pelatihan lanjutan dan penerapan pada kegiatan penutup mendapatkan kriteria cukup, karena siswa kurang paham akan materi yang disampaikan sehingga saat merangkum dan melakukan tes ada beberapa siswa yang kurang paham. Setelah dilakukan perubahan dan perbaikan pada siklus II ternyata ada peningkatan yang signifikan. Pada kelima fase diperoleh nilai maksimal
karena siswa sudah mulai tertarik pada media pembelajaran yang digunakan sehingga siswa menjadi aktif. Untuk keterlaksanaan pembelajaran pada siklus ini diperoleh penilaian baik dari observer karena guru telah melaksanakan kelima fase model pembelajaran langsung seperti yang dikemukakan Trianto (2007:31) dengan baik dan optimal. Penilaian pada siklus meningkat dikarenakan analisis refleksi pada tiap siklus baik dan perbaikan pada siklus selanjutnya juga baik. 4.4.b Aktifitas Siswa Pada siklus I Aktifitas siswa pada kegiatan awal mendapatkan kriteria cukup, hal ini kurang maksimal karena awal pertemuan, siswa kurang percaya diri. Ini berkaitan dengan fase 1 kurangnya keaktifan guru saat menyampaikan tujuan dan mempersiapkan siswa. Dalam kegiatan inti mencakup fase 2 mengenai demonstrasi pengetahuan dan keterampilan, fase 3 mengeanai bimbingan pelatihan, dan fase 4 tentang mengecek pemahaman dan memberi umpan balik pada siswa mendapatkan skor dengan rata-rata 3 dengan kriteria cukup. Hal ini karena materi yang disajikan kurang menarik sehingga membuat siswa tidak terlalu memperhatikan. Untuk fase 5 mengenai pelatihan lanjutan dan penerapan pada kegiatan penutup mendapatkan kriteria cukup, karena siswa kurang paham akan materi yang disampaikan dan malu untuk bertanya. Pada siklus II terjadi peningkatan sintaks dengan didapat penilaian dengan kriteria sangat baik. Peningkatan ini terjadi karena perbaikan dari siklus I yakni memperbaiki strategi dengan teknik menjelaskan materi menggunakan media audio visual. Sehingga siswa tertarik untuk memperhatikan penjelasan guru dan menjadi paham akan materi yang disampaikan. Kepahaman secara klasikal ini berdampak pada berkurangnya siswa yang meminta penjelasan ulang secara individu. Peningkatan perolehan nilai dari observer dikarenakan guru telah melaksanakan pembelajaran langsung dengan antusias dan menarik sehingga siswa aktif untuk belajar membuat busana anak sesuai dengan pendapat Trianto (2007:41) 4.4.c Hasil belajar siswa Analisis ketuntasan hasil belajar sub kompetensi menjahit busana anak. Pada siklus I ketuntasan siswa diperoleh hanya sebagian dikarenakan belum semua siswa bisa langsung beradaptasi dengan model pembelajaran langsung. Materi yang disajikan kurang menarik minat siswa untuk memperhatikan, sehingga siswa tidak memperhatikan, dan beberapa siswa malu untuk bertanya. Semua kendala ini membuat hasil belajar siswa tidak maksimal. Namun demikian hal ini sudah mengalami peningkatan yang signifikan pada siklus kedua. Pada siklus II ketuntasan hasil belajar siswa secara total. Hal ini berarti penyerapan materi oleh siswa berjalan dengan baik. Berdasarkan analisis data ketuntasan
161
siswa selama dua siklus diperoleh hasil akhir rata-rata proses pembelajaran sub kompetensi membuat busana anak pada siklus II dinyatakan lulus secara keseluruhan. Peningkatan yang dialami dari siklus I dan siklus II dikarenakan pembelajaran langsung dengan menggunakan media audio visual membuat busana anak telah diserap dengan baik oleh siswa. Hasil belajar tercermin dari pengetahuan, keterampilan maupun sikap siswa. 4.4.d Respon Siswa Respon biasanya muncul setelah diberikan suatu rangsangan. Pada penelitian ini ransangan berupa tindakan pembelajaran menggunakan model pembelajaran langsung dengan menggunakan media audio visual. Dari diagram prosentase respon siswa terhadap model pembelajaran langsung dengan menggunakan media audio visual menunjukkan bahwa respon siswa sangat baik terhadap model pembelajaran ini. Hal tersebut berarti model pembelajaran langsung dengan menggunakan media audio visual merupakan hal baru dan baik untuk pembelajaran membuat busana anak (romper). Namun tidak semua memperoleh respon “ya” secara keseluruhan. Saat menggunakan audio visual ada beberapa siswa yang merasa kurang menarik diandingkan belajar biasa. Selain itu untuk musik pengiring saat media audio visual diputar ada yang tidak dapat berkonsentrasi pada materi. Kemudian ada beberapa siswa pula yang merasa media audio visual tidak mempermudah dalam mengerjakan praktek menjahit busana anak. Merujuk pendapat dari Nur (2011:24) bahwa model pembelajaran langsung membuat busana anak dengan menggunakan media audio visual mendapat respon yang positif dari siswa. Respon positif dari siswa tersebut dibuktikan dengan adanya ketertarikan antara keterlaksanaan proses pembelajaran dengan hasil belajar siswa yang meningkat dibandingkan dengan sebelumnya. Semakin baik keterlaksanaan proses pembelajaran maka semakin baik pula hasil belajar siswa. 5. PENUTUP 5.1 Simpulan Pada siklus I aktifitas guru meliputi kegiatan pendahuluan, inti dan penutup, saat kegiatan pendahuluan belum maksimal karena guru belum mengenal siswa sehingga tidak terjadi interaksi dengan baik. Saat kegiatan inti penggunaan model pembelajaran langsung dengan metode ceramah membuat siswa bosan dan tidak tertarik akan materi yang disampaikan, selain itu siswa juga merasa asing terhadap model pembelajaran langsung. Sehingga hal tersebut berpengaruh terhadap kegiatan penutup yang meliputi penilaian dan evaluasi siswa dengan hasil kurang maksimal pula. Hal ini ditandai dengan minimnya partisipasi siswa seperti bertanya atau meminta penjelasan ulang kepada guru.
Dengan demikian aktifitas guru pada siklus I saat kegiatan pendahuluan, inti sampai penutup dikatakan kurang berhasil dalam menarik minat siswa. Berdasarkan situasi yang demikian guru melakukan perbaikan mengenai model pembelajaran langsung, dengan menggunakan media audio visual pada siklus II. Setelah dilakukan perubahan pada siklus II, ternyata ada peningkatan yang signifikan sebesar 0,5 point. Hal ini dibuktikan dengan ketertarikan dan keaktifan siswa selama kegiatan belajar mengajar berlangsung pada siklus II. Sedangkan aktifitas siswa pada siklus I juga meliputi kegiatan pendahuluan, inti dan penutup. Saat kegiatan awal siswa merasa kurang percaya diri terhadap adanya guru baru sehingga membuat siswa kurang memperhatikan guru. Dalam penyampaian materi pada kegiatan inti siswa belum terbiasa dengan model pembelajaran langsung sehingga membuat siswa kurang memperhatikan materi yang disampaikan oleh guru. Hal tersebut berpengaruh terhadap kegiatan penutup yang meliputi penilaian dan evaluasi, karena banyak siswa yang belum paham dan malu untuk bertanya membuat hasil belajar siswa kurang maksimal. Setelah guru mengadakan perbaikan mengenai media yang digunakan pada siklus II yaitu dengan menggunakan media audio visual membuat busana anak dapat menarik perhatian dan minat siswa. Sehingga terjadi interaksi yang aktif anatara siswa dan guru dengan peningkatan 1 point pada setiap kegiatan pembelajaran dari siklus I ke Siklus II. Untuk hasil belajar siswa dalam sub kompetensi membuat busana anak menggunakan model pembelajaran langsung dengan menggunakan media audio visual pada siklus I terdapat 10 siswa yang tidak tuntas dari jumlah keseluruhan 30 siswa dengan nilai rata-rata kelas 74,63. Peningkatan terjadi pada siklus II yang mana tidak ada siswa yang tidak tuntas. Dengan kata lain pada siklus II secara keseluruhan siswa mendapat predikat tuntas dengan nilai rata-rata kelas 84,46. Berdasarkan predikat ketuntasan siswa diatas, menggambarkan respon positif siswa terhadap model pembelajaran langsung dengan menggunakan media audio visual pada sub kompetensi membuat busana anak. Meskipun demikian bukan berarti seluruh siswa tertarik akan penggunaan media audio visual, ada beberapa siswa yang merasa kurang menarik diandingkan belajar biasa. Namun dari diagaram respon siswa diperoleh rata-rata jumlah prosentase 90 %. Sehingga model pembelajaran langsung dengan menggunakan media audio visual dapat meningkatkan aktifitas dan hasil belajar siswa. 5.2 Saran Dari hasil penelitian dan kesimpulan yang diperoleh dapat diajukan beberapa saran antara lain : 1. Sub kompetensi membuat busana anak merupakan pelajaran praktik, hendaknya proses pembelajaran
162
dengan pendekatan pembelajaran langsung karena terdapat pengetahuan deklaratif dan prosedural. 2. Standart kompetensi membuat busana anak hendaknya menggunakan pembelajaran langsung dengan pengemabangan media yang digunakan untuk menarik minat dan hasil belajar siswa. 3. Tugas untuk perbaikan nilai sebaiknya dilaksanakan disekolah sebab guru dapat memantau hasil belajar siswa secara langsung.
DAFTAR PUSTAKA Trianto. 2011. Panduan Lengkap Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. A.M., Sardiman. 2011. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: rajawali Press. Arikunto, Suharsimi. 2009. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Arikunto, Suharsimi. 2012. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Darmadi, Hamid. 2011. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta Djamarah, Syaiful Bahri dan Zain, Aswan. 2010. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. Gafur, Abd. 1989. Disain Instruksional. Solo: Tiga Serangkai. Hamalik, Oemar. 2004. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara. Hamalik, Oemar. 2010. Psikologi Belajar & Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algesindo Mulyasa, E. 2010. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya Nur, Muhammad. 2011. Model Pengajaran Langsung. Surabaya: UNESA Press Rusman. 2012. Model-Model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: Rajawali Press. Sadiman, Arief S. dkk. 2010. Media Pendidikan: Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatannya. Jakarta: Rajawali Press. Sanjaya, Wina. 2012. Perencanaan dan Desain system Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Sudaryono. dkk. 2013. Pengembangan Instrumen Penelitian Pendidikan. Yogyakarta: Graha Ilmu Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta Trianto, 2007. Model Pembelajaran dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Prestasi pustaka Publisher [1]. Trianto. 2011. Panduan Lengkap Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher Trianto. 2011. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher Uno, Hamzah B. 2011. Model Pembelajaran: Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang Kreatif dan Efektif. Jakarta: Bumi Aksara
163
164
Pengembangan Terapi Holistik dalam Menangani Gangguan Sosial Emosional Siswa Sekolah Dasar Wiwik Widajati1*), Siti Mahmudah2 1 2
PLB FIP, Universitas Negeri Surabaya, Kampus Lidah Wetan Surabaya. Email: [email protected] PLB FIP, Universitas Negeri Surabaya, Kampus Lidah Wetan Surabaya. Email: [email protected] *) Alamat Korespondesi: Email: [email protected]
ABSTRACT Problems experienced by students, including emotional social problems that students are less able to socialize and control emotions, social intelligence emotional decreased or less than optimal, avoiding learn, too late, or do not want to do chores, lack of concentration, motivation to learn less, frustrating, annoying friends, etc. It is very annoying when left in the learning process and can lead to learning difficulties study results trend to decrease or lower. The long term goal of this research is to improve the ability of teachers in intervention the emotional social problems of students. Results of the research are 1) handling or intervention emotional social problems students is important to do given the number of students who have learning disability because of emotional social problems is increasing, 2) Elementary School largely unaware of emotional social problems management program students. In addition, teachers also lack an understanding of the emotional social problems that students in dealing with the thing is not optimal, and 3) this research also produced programs, books for teacher and assessment for the treatment of emotional social disorder with holistic therapies include plays, music, religion, relaxation, and modeling. Key Words: holistic therapy, emotional social disorder, elementary school student ABSTRAK Masalah yang dialami siswa, diantaranya masalah sosial emosional yaitu siswa kurang mampu bersosialisasi dan mengendalikan emosi, kecerdasan sosial emosional menurun atau kurang optimal, menghindari belajar, terlambat atau tidak mau mengerjakan tugas, kurang konsentrasi, motivasi belajar kurang, frustasi, mengganggu teman, dan sebagainya. Hal ini bila dibiarkan sangat mengganggu siswa dalam proses pembelajaran dan bisa menyebabkan kesulitan belajar sehingga hasil belajar cenderung menurun atau rendah. Tujuan jangka panjang penelitian ini yaitu meningkatkan kemampuan guru dalam menangani masalah sosial emosional siswa. Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan dan hasil penelitian adalah 1. penanganan masalah sosial emosional siswa di sekolah dasar penting untuk dilakukan mengingat jumlah siswa yang mengalami kesulitan belajar atau ketidakmampuan belajar karena masalah sosial emosional semakin meningkat, 2. Sekolah Dasar sebagian besar belum memiliki program penanganan masalah sosial emosional siswa. Selain itu guru juga kurang memahami gangguan sosial emosional siswa sehingga dalam menangani hal tersebut kurang optimal, 3. penelitian ini juga menghasilkan program, buku guru dan asesmen untuk penanganan gangguan sosial emosional dengan terapi holistik meliputi bermain, musik, religi, relaksasi, modeling. Kata Kunci: terapi holistik, gangguan sosial emosional, siswa sekolah dasar 1. PENDAHULUAN Masalah siswa sering muncul bersamaan dengan kompleksitas permasalahan dan tuntutan perkembangan maupun perubahan di masyarakat. Masalah siswa diantaranya masalah sosial emosional sangat mengganggu siswa dalam proses pembelajaran di sekolah dan menimbulkan kesulitan belajar atau ketidakmampuan belajar serta hasil belajar rendah atau cenderung menurun. Kenyataan juga menunjukkan sekarang ini siswa yang mengalami masalalah sosial emosional semakin meningkat. Masalah sosial emosional adalah masalah dalam perkembangan sosial emosional berupa perilaku yang berbeda/tidak wajar untuk anak seusianya dan dapat berdampak pada kualitas hubungan yang buruk dengan orang lain. Masalah sosial merupakan masalah yang dialami individu/siswa dengan ciri kurang/tidak mampu
bersosialisasi, kecerdasan social (social intelligence) menurun atau kurang, tidak mampu mengadakan adaptasi atau menanggulangi stressor psikososial, sok kuasa, jarang tersenyum atau bercanda, suka mencuri benda-benda, sering tenggelam dalam lamunan, sering bertengkar, tidak mampu mengubah perilaku yang salah, suka berbohong, sering merusak, agresif, egosentris, suka menggertak[1, 2]. Sedangkan masalah emosional adalah masalah yang dialami individu/siswa dengan ciri kurang/tidak mampu mengendalikan emosi, kecerdasan emosi (emotional intelligence) menurun atau kurang, cepat marah, sering merasa cemas dan menarik diri, merasa gelisah, malu, rendah diri, ketakutan, sangat sensitif atau perasa, emosi tidak stabil[2, 3]. Untuk itu perlu penanganan intensif, diantaranya melalui terapi holistik, meliputi bermain, musik, religi, relaksasi, modeling. Hal ini
165
dapat menyebabkan berbagai kesulitan hidup yaitu kesulitan belajar atau ketidakmampuan belajar, kesulitan berperilaku, kesulitan sosial dan kesulitankesulitan lain yang saling kait-mengkait. Berkaitan dengan hal ini guru diharapkan mampu membantu mengatasi, memecahkan, mengurangi masalah siswa tersebut sehingga siswa bisa belajar dan mencapai tujuan belajar serta hasil belajar dengan lebih baik, diantaranya penanganan dengan terapi holistik meliputi bermain, musik, religi, relaksasi, dan modeling. Terapi/penanganan holistik perlu dilakukan untuk menangani anak/siswa yang mengalami masalah sosial emosional. Terapi holistik adalah usaha untuk mengurangi, menghilangkan menyembuhkan masalah yang berkaitan dengan psikis, fisik, dan sosial, sekaligus untuk meningkatkan, mengoptimalkan perkembangan individu secara holistik atau menyeluruh, terpadu meliputi agama, organobiologik, psiko-edukatif dan sosial budaya[1, 2]. Dengan terapi/penanganan holistik ini diharapkan anak/siswa lebih bisa menyesuaikan diri dalam masyarakat dan situasi pembelajaran serta mampu mengendalikan emosi. Bermain merupakan kegiatan anak/siswa yang menyenangkan dan menimbulkan motivasi diri serta memberi peluang kepada anak/siswa untuk tumbuh dan berkembang juga bersosialisasi dengan baik. Bermain dapat mengurangi atau menghilangkan gangguan atau penyimpangan perilaku, fisik, psikis, emosi, sosial, sensorik dan komunikasi serta mengambangkan kemampuan yang dimiliki secara optimal[4]. Bermain juga merupakan sarana menghilangkan sikap pemarah, agresif, pasif, menarik diri, hiperaktif, memunculkan harga diri, mengembangkan sosialisasi, bermain bersama, meningkatkan hubungan yang sehat dalam kelompok (berteman). Dengan hal tersebut diharapkan gangguan sosial emosional siswa di Sekolah Dasar (SD/SD Inklusif/SDLB/SLB) bisa berkurang. Musik, merupakan hal yang tidak asing lagi sebab hampir semua aspek kehidupan manusia berkaitan dengan musik. Musik bukanlah merupakan bagian yang kecil dari hidup manusia sebagaimana anggapan dahulu. Saat ini tidaklah demikian yakni musik tidak hanya merupakan hiburan belaka akan tetapi merupakan pengembang atau pembentuk aspek mental (inteligensi), fisik, emosi, psikis dan sosial terutama yang melakukan sesuatu yang berkaitan dengan musik maupun pendengar musik. Setiap individu memiliki multiple inteligency (kecerdasan ganda) salah satunya adalah kecerdasan musik[5]. Musik dapat digunakan sebagai media penyembuhan atau terapi juga media mendidik untuk mengembangkan dan meningkatkan perkembangan fisik, psikis, sosial individu/anak/siswa. Musik adalah bagian dari kehidupan dan perkembangan manusia, dapat digunakan untuk membantu atau menolong, mencegah, memperbaiki, mengurangi, mengatasi suatu kekurangan atau gangguan psikis, emosi, fisik,
kognitif, sosial dalam rangka meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan individu seoptimal mungkin[6]. Anak yang pasif, tidak mau bersosialisasi dapat diarahkan untuk beraktivitas dan bersosialisasi dengan menggunakan musik sebagai media belajar anak tersebut[7]. Musik juga dapat menimbulkan rasa persatuan dan kesatuan, rasa kebangsaan, rasa keagamaan, rasa kagum, rasa gembira, memberi pengaruh yang kuat terhadap perkembangan emosi, pikiran, kekuatan dalam jiwa, membentuk watak[2]. Religi adalah agama atau spiritual merupakan fitrah manusia, kebutuhan dasar manusia, mengandung nilai moral, etika, aturan dalam melaksanakan ibadah dan beriman kepada Allah Yang Maha Kuasa. Sedangkan doa adalah peraturan dan perintah Allah Yang Maha Kuasa, permohonan bantuan kepada Allah Yang Maha Kuasa[1]. Relaksasi adalah cara atau teknik untuk mengurangi ketegangan batin, perasaan cemas, stres dengan melatih kesanggupan mengendorkan otot secara relaks, santai, senang dan nyaman[8]. Meditasi merupakan cara atau teknik menenangkan diri baik fisik maupun psikis dengan melatih pernapasan yaitu menghirup dan menghembuskan napas serta memfokuskan pikiran, perasaan pada hal-hal yang menyenangkan, menarik, indah, positif, optimis, membahagiakan[2]. Modeling merupakan cara atau teknik mengurangi masalah fisik, psikis, sosial dengan mengamati, mempelajari dan meniru sikap, perilaku, pikiran model atau orang teladan untuk membentuk sikap, perilaku, pikiran baru, baik, benar, positif dalam diri individu [8] [2]. Dalam modeling perilaku tidak sekedar akibat dari stimulus dan atau penguatnya, tetapi sebenarnya dalam diri individu ada proses mental internal. Proses mental ini akan menentukan apakah perilaku tersebut akan diimitasi untuk diinternalisasi atau tidak. Dalam pelaksanaan modeling (observarvation learning, imitation, atau social learning), ada empat fase dalam membentuk perilaku yaitu fase perhatian (attentional phase), fase retensi (retention phase), fase reproduksi (reproduction phase), dan fase motivasi (motivational phase). Secara fase tersebut dapat digambarkan sebagai berikut. Guru diharapkan memiliki kemampuan atau kecakapan untuk menyampaikan materi belajar, melatih, membimbing, membina dan mendidik. Hal ini menyangkut pula kemampuan menyelesaikan masalah siswa, konflik dan ketegangan batin siswa, memberi kasih sayang, menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, menolong pribadi siswa secara individual, dan sebagainya. Guru sebaiknya memiliki kemampuan mengajar, melatih, membimbing, membina, mendidik, juga sebagai psikoterapis dan konselor. Kemampuan guru ini diharapkan bisa menunjang lancarnya belajar siswa sehingga mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien. Selain itu salah satu prinsip pelaksanaan proses pendidikan adalah menyangkut perkembangan dan belajar anak yang baik, dapat terjadi pada lingkungan masyarakat yang
166
secara psikologis dapat memberikan rasa aman, penghargaan dan kebutuhan fisik, psikis, sosial terpenuhi. Sikap guru yang mendukung prinsip tersebut dapat mengembangkan sikap, perilaku, emosi, kecerdasan, sosial, fisik untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan. Masalah sosial emosional merupakan salah satu faktor yang bisa mengakibatkan kesulitan belajar atau ketidakmampuan belajar yaitu suatu keadaan anak didik/siswa tidak dapat belajar sebagaimana mestinya karena berbagai sebab, diantaranya masalah sosial emosional sehingga hasil belajar rendah atau cenderung menurun. Kesulitan belajar menunjuk pada berbagai kesulitan yang dimanifestasikan dalam bentuk tulisan yang nyata dalam penggunaan kemampuan mendengarkan, bercakap-cakap, membaca, menulis, menalar, matematika, dan lainlain[9]. Ketidakmampuan belajar adalah siswa yang menunjukkan kinerja yang secara signifikan di bawah tingkat yang diharapkan, mengingat kemampuan yang lainnya normal[10]. Ketidakmampuan belajar adalah gangguan yang merintangi kemajuan akademik individu yang tidak mengalami keterbelakangan mental. Kesulitan belajar atau learning disabilty adalah kesulitan yang dialami individu atau siswa untuk melakukan kegiatan belajar secara efektif, kesulitan dalam menguasai keterampilan belajar dan melaksanakan tugas-tugas spesifik yang dibutuhkan dalam belajar[11]. Adapun faktor penyebab kesulitan atau ketidakmampuan belajar atau masalah belajar adalah faktor fisik, psikis, sosial, non-sosial, meliputi faktor intern (dari dalam diri manusia/individu itu sendiri: kognitif, sensori, gangguan emosi, dan sebagainya) dan faktor ekstern (faktor dari luar manusia/individu: kesempatan belajar kurang, sosial budaya ekonomi kurang menguntungkan, sistem pembelajaran tidak tepat, dan sebagainya). Realita sekarang ini menunjukkan anak-anak yang mengalami masalah sosial emosional semakin banyak dan dikhawatirkan akan meningkat dari tahun demi tahun akibat berbagai faktor dan bila tidak diupayakan penanganan yang lebih baik di sekolah maupun di luar sekolah (hasil wawancara peneliti dengan guru dan orangtua). Guru memiliki peranan yang penting dalam proses pembelajaran siswa karena gurulah yang menyampaikan materi belajar, melatih, membimbing, membina dan mendidik. Diantara tugastugas guru, salah satu diantaranya adalah guru diharapkan mampu menyelesaikan masalah sosial emosional siswa, konflik sosial dan ketegangan batin siswa, memberi terapi, mengurangi rasa takut, memberi kasih sayang, menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, menolong pribadi siswa secara individual, dan sebagainya yang kesemuanya bisa menunjang lancarnya belajar siswa sehingga mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien. Dengan peran guru tersebut diharapkan masalah sosial emosional yang mengakibatkan kesulitan belajar siswa bisa berkurang. Peranan guru disamping sebagai
pengajar, pelatih, pembimbing, pembina, pendidik juga sebagai psikoterapist dan konselor. Kenyataan menunjukkan selama ini guru di sekolah tingkat pendidikan dasar (SD, SD Inklusif, SLB) dan orang tua kurang memahami berbagai program untuk menangani kesulitan belajar akibat masalah sosial emosional siswa, yang ada sekarang baru program remedial yaitu upaya guru yang bersifat menyembuhkan, membetulkan, membuat menjadi lebih baik pembelajaran dan hasil belajar siswa agar tercapai tujuan pembelajaran yang optimal[12], dan biasanya lebih berkaitan dengan mata pelajaran. Untuk program-program lain yang bisa meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan, rileks fisik dan psikis serta sosial kurang dipahami diantaranya terapi holistik meliputi bermain, musik, religi, relaksasi, modeling. Kenyataan juga menunjukkan masih ada guru yang kurang mendalami masalah siswa termasuk masalah sosial emosional yang mengakibatkan kesulitan belajar secara mendalam sehingga intervensi pada anak didik secara keseluruhan baik fisik, psikis maupun sosial kurang optimal. Disamping itu kemungkinan setiap sekolah memiliki psikoterapis dan konselor belum bisa dipastikan. Untuk itu perlu sosialisasi dan penelitian tentang program untuk menangani masalah siswa khususnya masalah sosial emosional sebagai upaya mengoptimalkan kemampuan guru-guru di Sekolah Dasar (SD, SD Inklusif, SDLB/SLB) melalui terapi holistik meliputi bermain, musik, religi, relaksasi, modeling. Paradigma baru pendidikan di era otonomi daerah juga menuntut adanya kemandirian dan kreatifitas guru dalam menangani masalah siswa agar bisa mencapai hasil belajar dan tujuan pendidikan dengan lebih efektif dan efisien. Berbagai hal tersebut mendorong perlu segera diupayakan mengoptimalkan kemampuan guru dalam menangani masalah sosial emosional, diantaranya melalui pemahaman dan pembuatan program terapi holistik meliputi bermain, musik, religi, relaksasi, modeling. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, penulisan dan pembahasan ini difokuskan pada pengoptimalan kemampuan guru dalam penanganan masalah sosial emosional siswa, diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai tambahan pengetahuan dan memperluas wawasan guru dalam meningkatkan kemampuan sehingga dapat memberikan penanganan masalah sosial emosional siswa dengan lebih baik sehingga siswa tidak mengalami kesulitan belajar atau ketidakmampuan belajar akibat masalah sosial emosional. Penelitian terdahulu yang berkaitan dengan program penanganan masalah siswa diantaranya masalah masalah sosial emosional yang bisa mengakibatkan kesulitan belajar telah dilakukan juga oleh beberapa pakar dari berbagai bidang ilmu karena masalah ini termasuk masalah yang melibatkan berbagai disiplin ilmu. Penelitian yang telah dilakukan terdahulu, secara konsisten menunjukkan bahwa siswa dengan gangguan emosi dan perilaku beresiko untuk prestasi akademik. Selain itu hasil Penelitian juga
167
menunjukkan bahwa musik dapat mengurangi stress, ketegangan dan kecemasan. 2. METODE Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan (research & development), penelitian untuk mengembangkan produk berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian yang telah dilakukan. Secara garis besar pelaksanaan penelitian ini adalah pada tahun pertama dilakukan identifikasi dengan jalan melakukan wawancara dan diskusi dengan guru untuk mengkaji kebutuhan dan kendala dalam masalah sosial emosional, kemudian dilanjutkan dengan aksi atau pelaksanaan yaitu pengembangan prototype buku guru yang berisi materi, instrumen asesmen, program terapi holistik meliputi bermain, musik, religi, relaksasi, modeling untuk menangani masalah sosial emosional siswa disertai petunjuk implementasinya. Observasi untuk mengamati situasi pembelajaran siswa di Sekolah Dasar (SD, SD Inklusif, SDLB/SLB), selain itu juga menerima masukan (feedback) dari berbagai pihak mengenai kelebihan dan kekurangan dari prototype paket penanganan masalah sosial emosional berupa materi, instrumen asesmen, program penanganan masalah sosial emosional juga telah dilakukan oleh beberapa pakar dari berbagai bidang ilmu karena masalah ini termasuk masalah yang melibatkan berbagai disiplin ilmu. Berbagai uraian tersebut di atas menunjukkan bahwa: 1) diperlukan program-program untuk menangani masalah sosial emosional dan kesulitan belajar akibat masalah sosial emosional siswa di sekolah, 2) belum adanya panduan penanganan gangguan sosial emosional, khususnya bagi guru di Sekolah Dasar, 3) guru belum memperoleh pembekalan dalam menangani gangguan sosial emosional siswa, dan 4) perlu adanya pembekalan dan panduan untuk guru tentang asesmen siswa yang mengalami masalah/gangguan sosial emosional dan kesulitan belajar akibat hal tersebut, termasuk didalamnya mengembangkan tujuan-tujuan terapi holistik. Fase terakhir dari keseluruhan kegiatan ini adalah melakukan refleksi dengan cara evaluasi dan diskusi untuk menjaring data dari para guru sebagai terapis, pakar pendidikan. Kegiatan ini untuk mengetahui kendala yang dihadapi selama uji coba, monitoring, dan evaluasi kegiatan intervensi atau pembuatan program dan panduan penanganan masalah sosial emosional. Hasil refleksi ini ditindaklanjuti dengan melakukan diagnosis lanjutan sebagai upaya memperoleh instrumen, program dan panduan yang benar-benar relevan dan sesuai. Tahapan penelitian ini adalah: 1) Perencanaan: penelitian melakukan diskusi dengan pihak sekolah (guru dan kepala sekolah) tentang situasi pembelajaran dan penanganan masalah sosial emosional di tempat penelitian, diskusi ini untuk mengetahui kondisi dan kendala dalam penanganan masalah siswa yaitu gangguan/masalah sosial emosional, selanjutnya membuat perencanaan, 2)
Pelaksanaan tindakan dan observasi: peneliti dan guru membuat program penanganan masalah sosial emosional. Peneliti berperan serta dalam diskusi dan mengobservasi kegiatan pembuatan program penanganan masalah sosial emosional, mengadakan pertemuan dan rapat dengan guru, memberikan masukan berkaitan penanganan masalah sosial emosional atau pembelajaran siswa, melakukan pengamatan atau observasi terhadap pembuatan program penanganan masalah sosial emosional siswa oleh guru, mengikuti pertemuan dan observasi pada saat pembelajaran bagi siswa yang mengalami masalah sosial emosional. Disamping peneliti, kepala sekolah dan guru lain juga mengadakan observasi terhadap program penanganan masalah sosial emosional dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan. Kehadiran peneliti dan guru merupakan modal dasar untuk mewujudkan tujuan penelitian, dan 3) Refleksi: upaya untuk mengkaji/menilai apa yang telah terjadi dan apa yang menjadi keluaran sekaligus apa kelebihannya. Dengan istilah lain refleksi adalah mengkaji apa yang telah dihasilkan atau belum dapat dituntaskan dalam penelitian kemudian melakukan revisi atau penyempurnaan program dan panduan penanganan masalah sosial emosional siswa di Sekolah Dasar. Sedangkan secara lebih terperinci pelaksanaan penelitian ini adalah: 1) penelusuran dan pengumpulan informasi: studi pustaka, kegiatan ini untuk mendapatkan acuan tentang masalah sosial emosional dan terapi holistik untuk menangani masalah sosial emosional siswa, studi lapangan, kegiatan ini dilaksanakan dengan wawancara, observasi dan mengkaji dokumentasi untuk mendapatkan informasi kondisi objektif di lapangan. Kegiatan studi pustaka dan studi lapangan ini sebagai dasar untuk melaksanakan tahap berikutnya, 2) perencanaan: untuk mendapatkan gambaran program penanganan masalah sosial emosional siswa di Sekolah Dasar, 3) pengembangan format produk awal: berupa penyusunan prototype program materi, instrumen dan panduan penanganan masalah sosial emosional siswa di Sekolah Dasar, 4) revisi prototype produk: kegiatan ini dilakukan untuk mendapatkan masukan dari berbagai pihak sebagai dasar untuk melaksanakan perbaikan prototype, dan 5) penyusunan prototype produk: kegiatan ini diupayakan untuk mendapatkan hasil prototype produk yang mampu untuk menangani masalah sosial emosional siswa di Sekolah Dasar. 3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pelaksanaan penelitian ini sebagai awal dari pengembangan program penanganan masalah sosial emosional siswa melalui cara pengumpulan data berupa wawancara, observasi dan dokumentasi sebagai dasar untuk melakukan analisis data dalam pembuatan prototype produk yang akan dikembangkan. Selain iru perolehan hasil pengumpulan data dari studi lapangan dan studi pustaka dikembangkan serta dijadikan tcilak ukur sebagai sumber data yang representatif untuk
168
pembuatan prototype pengembangan program penanganan masalah sosial emosional siswa (SD, SD Inklusif, SDLB/SLB) maupun buku panduan guru untuk hal tersebut. Kondisi tersebut di atas sebagai manifestasi permasalahan yang akan dipecahkan dalam penelitian ini dan dijadikan sumber data dalam pembuatan prototype pengembangan program dan buku panduan penanganan masalah sosial emosional siswa di Sekolah Dasar. Pada tahun pertama penelitian ini mempersiapkan suatu prototype penanganan masalah sosial emosional siswa di Sekolah Dasar yaitu instrumen asesmen, program dan buku panduan guru untuk penanganan masalah sosial emosional siswa tersebut, meliputi instrumen asesmen, program bermain, musik, religi, relaksasi, modeling beserta buku panduan guru yang berkaitan dengan penanganan masalah sosial emosional tersebut. Pada saat pengumpulan data dalam penelitian ini tim peneliti mengobservasi proses pembelajaran siswa yang mengalami masalah sosial emosional di Sekolah Dasar. Hal ini untuk mengetahui bahwa ada sebagian siswa di Sekolah Dasar yang mengalami gangguan/masalah sosial emosional dan ini bisa dijadikan sumber data untuk pengembangan program penanganan gangguan/masalah sosial emosional serta pembuatan program dan buku panduan guru untuk menangani gangguan/masalah sosial emosional yang bisa mengakibatkan kesulitan belajar. Tim peneliti juga melakukan pengamatan dan wawancara di lapangan untuk mencari informasi yang akan dijadikan pendukung data awal sebelum pembuatan program dan buku panduan penanganan gangguan/masalah sosial emosional siswa. Sumber data pendukung lain yang diwawancarai di Sekolah Dasar adalah kepala sekolah, wali kelas, dan guru bidang studi, dengan hasil wawancara: 1) menginginkan adanya buku panduan penanganan gangguan/masalah sosial emosional bagi siswa yang mengalami hal tersebut di Sekolah Dasar sehingga siswa bisa belajar sesuai potensi yang dimiliki, dan 2) banyak faktor yang menyebabkan terjadi gangguan/masalah sosial emosional pada siswa di Sekolah Dasar, antara lain: sikap masa bodoh orang tua, orang tua sibuk kerja atau tidak bekerja, pendidikan orang tua yang rendah sehingga kesadaran akan pentingnya pendidikan anak tidak ada, keluarga tidak harmonis, perceraian orang tua, makanan kurang seimbang, sering sakit, sekolah sambil bekerja membantu orang tua, tempat tinggal jauh, lingkungan rumah dan sosial kurang mendukung, sarana dan prasarana belum memadai dan sebagainya, 3. sebagian siswa di Sekolah Dasar (SD, SD Inklusif, SDLB/SLB) mengalami masalah atau gangguan sosial emosional, 4. Sebagian besar guru kurang memahami dan kurang bisa menangani siswa yang mengalami gangguan/masalah sosial emosional, 5. Sebagian besar sekolah belum memiliki psikoterapis atau konselor atau petugas bimbingan konseling, 6. Sarana prasarana untuk menangani siswa gangguan/masalah sosial
emosional kurang atau belum memadai, 7. Tidak membeda-bedakan siswa yang mengalami gangguan/masalah sosial emosional dengan siswa lainnya, 8. menginginkan adanya seminar atau workshop tentang gangguan/masalah sosial emosional dan penanganan siswa gangguan/masalah sosial emosional, dan 9. perlu adanya instrumen asesmen, program dan panduan guru untuk menangani siswa yang mengalami gangguan/masalah sosial emosional, diantaranya program bermain, musik, religi, relaksasi, modeling. Berdasarkan informasi di atas, perolehan data sebagai manifestasi dari kondisi di Sekolah Dasar, dijadikan sumber data penelitian dalam melaksanakan program penanganan gangguan/masalah sosial emosional siswa sesuai kebutuhan siswa dan kondisi sekolah sehingga tercapai daya guna untuk masa depan dan keberhasilan siswa dalam proses pembelajaran, kehidupan serta tercapainya tujuan pendidikan. Meskipun berbagai sekolah tingkat dasar masingmasing memiliki situasi, kondisi, sarana prasarana proses pembelajaran yang agak berbeda, namun semua berkeinginan untuk menangani masalah/gangguan sosial emosional yang bisa mengakibatkan kesulitan belajar siswa. Adapun hasil penelitian ini adalah: 1) penanganan siswa yang mengalami gangguan/masalah sosial emosional di Sekolah Dasar penting untuk dilakukan mengingat jumlah siswa yang mengalami kesulitan belajar semakin meningkat karena berbagai faktor penyebab termasuk gangguan/masalah sosial emosional yang menyebabkan siswa mengalami kesulitan belajar. Hal ini perlu segera mendapatkan penanganan yang tepat dan efektif, 2) Sekolah Dasar sebagian belum memiliki program penanganan gangguan/masalah sosial emosional siswa (program bermain, musik, religi, relaksasi, modeling), yang ada baru program remedial. Selain itu guru juga kurang memahami siswa yang mengalami gangguan/masalah sosial emosional sehingga dalam menangani hal tersebut belum optimal. Sekolah sebagian besar tidak memiliki konselor atau psikoterapis, mengingat jumlah Sekolah Dasar yang banyak sementara jumlah konselor dan psikoterapis relatif masih kurang. Hal ini mengharuskan guru bisa menangani masalah siswa termasuk masalah gangguan/masalah sosial emosional, dan 3) Penelitian ini juga menghasilkan program dan materi, buku panduan guru, instrumen asesmen yang berkaitan dengan terapi holistik untuk penanganan gangguan atau masalah sosial emosional siswa di Sekolah Dasar meliputi bermain, musik, religi, relaksasi, modeling (pada tahun pertama berupa draft prototype paket penanganan). Program penanganan gangguan/masalah sosial emosional siswa dalam penelitian ini adalah: a. program terapi bermain yaitu usaha untuk menghilangkan, mengurangi, mengatasi gangguan atau penyimpangan fisik, psikis, sosial dan meningkatkan kemampuan yang dimiliki siswa melalui media bermain, b. program terapi musik yaitu
169
program untuk mencegah, mengurangi, mengatasi, memperbaiki, menyembuhkan gangguan atau kekurangan fisik, psikis, sosial siswa sehingga pertumbuhan dan perkembangannya meningkat seoptimal mungkin melalui music, c. Program religi adalah program untuk mengurangi masalah sosial emosional melalui agama atau spiritual, melaksanakan ibadah dan beriman kepada Allah Yang Maha Kuasa serta permohonan bantuan kepada Allah Yang Maha Kuasa, d. program relaksasi yaitu program untuk mengurangi ketegangan batin, perasaan cemas, stres dengan melatih kesanggupan mengendorkan otot secara relaks, santai, senang dan nyaman sehingga dalam beraktivitas menjadi lebih baik, termasuk aktivitas yang berkaitan dengan sosial emosional juga menjadi lebih baik, e. program modeling adalah program untuk mengurangi masalah fisik, psikis, sosial dengan mengamati, mempelajari dan meniru sikap, perilaku, pikiran model atau orang teladan untuk membentuk sikap, perilaku, pikiran yang baru, baik, benar, positif dalam diri individu yang berkaitan dengan sosial emosional individu, 4. hasil penelitian juga menunjukkan bahwa dalam proses pembelajaran di Sekolah Dasar (SD, SD Inklusif, SLB) menyiratkan bahwa ada sebagian siswa di Sekolah Dasar yang mengalami gangguan atau masalah sosial emosional, 5. pada setiap Sekolah Dasar (SD, SD Inklusif, SLB) masing-masing memiliki berbagai faktor yang menyebabkan penanganan pada siswa yang mengalami gangguan atau masalah sosial emosional menjadi berbeda, diantaranya: a. lokasi tempat sekolah dan jarak sekolah dari rumah siswa, b. sumber daya manusia (SDM) dari masing-masing sekolah; kemampuan guru di sekolah dalam memahami dan menangani masalah siswa diantaranya gangguan/masalah sosial emosional siswa; ketersediaan tenaga yang berkaitan dengan penanganan gangguan/masalah sosial emosional (misal: psikoterapis, konselor, psikolog, dan sebagainya) bila hal itu tidak memungkinkan maka guru yang sebaiknya berusaha mengatasi gangguan/masalah sosial emosional agar tidak menimbulkan kesulitan belajar siswa, c. sarana prasarana sekolah, d. situasi dan kondisi sekolah, dan e. ketersediaan dana yang diburuhkan dalam penanganan gangguan/masalah sosial emosional siswa. Pembuatan program dan buku panduan guru untuk menangani gangguan/masalah sosial emosional siswa dalam pelaksanaannya melalui prosedur yaitu: 1) Mengacu pada kebutuhan, karakteristik, permasalahan siswa yang mengalami masalah sosial emosional berdasar hasil asesmen, 2) Mengacu pada tujuan penanganan gangguan/masalah sosial emosional siswa di Sekolah Dasar, 3) Menyiapkan format ukuran program dan buku panduan guru, 4) Melakukan analisis isi program penanganan gangguan/masalah sosial emosional siswa di sekolah tingkat dasar, 5) Melakukan analisisisi materi buku panduan guru untuk menangani gangguan/masalah
sosial emosional, 6) Menjabarkan materi program penanganan gangguan/masalah sosial emosional siswa, 7) Menjabarkan materi buku panduan guru untuk menangani gangguan/masalah sosial emosional siswa di Sekolah Dasar (SD, SD Inklusif, SLB), 8) Review materi program penanganan gangguan/masalah sosial emosional siswa di Sekolah Dasar, 9) Review materi buku panduan guru untuk penanganan gangguan/masalah sosial emosional siswa di Sekolah Dasar, 10) Membuat prototype program penanganan gangguan/masalah sosial emosional siswa di Sekolah Dasar, dan 11) Membuat prototype buku panduan guru untuk menangani gangguan/masalah sosial emosional siswa di Sekolah Dasar. Meskipun demikian untuk menentukan program dan buku panduan guru untuk menangani gangguan sosial emosional siswa bukan semata-mata pekerjaan tim pelaksana penelitian tetapi hasil kerja kolaboratif antara kelompok peneliti dan pihak sekolah serta melihat kondisi lapangan dari siswa yang mengalami gangguan/masalah sosial emosional. Akhimya langkah tersebut dapat direalisasikan dalam pembuatan program dan buku panduan penanganan gangguan/masalah sosial emosional sesuai dengan hasil diskusi dan disesuaikan dengan kebutuhan sekolah dan siswa yang mengalami gangguan/masalah sosial emosional dengan penanganan melalui terapi holistik, meliputi terapi bermain, musik, religi, relaksasi, modeling. Program terapi holistik, meliputi terapi bermain, musik, religi, relaksasi, dan modeling merupakan program yang dirancang untuk menangani gangguan sosial emosional siswa di sekolah tingkat dasar (SD/SD Inklusif/ SLB). Selain itu dengan adanya gangguan sosial emosional siswa di sekolah tingkat dasar, perlu segera dibuat program penanganan beserta panduan untuk menangani gangguan sosial emosional siswa tersebut sehingga siswa bisa belajar sebagaimana mestinya, tidak mengalami kesulitan belajar dan memperoleh hasil belajar yang lebih baik. Selain hal-hal di atas di sekolah tingkat dasar banyak kendala yang dihadapi terutama pada kesiapan sumber daya manusia, diantaranya guru belum atau kurang memahami gangguan atau masalah sosial emosional siswa. Oleh karena itu perlu diadakan pelatihan agar guru dapat memahami dan menangani gangguan atau masalah sosial emosional siswa di sekolah tingkat dasar. Realisasi kepedulian lembaga pendidikan atas pcrmasalahan sosial emosional siswa di sekolah tingkat dasar adalah melalui diadakannya penelitian tentang program penanganan gangguan atau masalah sosial emosional dan tertuang dalam fokus dari tujuan penelitian ini dan target yang ingin dicapai yaitu mengupayakan pengembangan program penanganan gangguan atau masalah sosial emosional siswa untuk mengoptimalkan dan membekali guru dalam menangani gangguan atau masalah sosial emosional siswa yang menjadi tanggung jawabnya dan berpotensi memahami dan mendalami karakteristik, kebutuhan, permasalahan, dari siswa yang mengalami
170
gangguan atau masalah sosial emosional baik dari aspek fisik, psikis maupun sosial. 4. SIMPULAN DAN SARAN 4.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian tentang pengembangan terapi holistik dalam menangani gangguan sosial emosional siswa, melalui pengumpulan data lapangan dengan observasi, wawancara, dan dokumentasi, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) telah tersusun program penanganan gangguan/masalah sosial emosional siswa di sekolah tingkat dasar dengan terapi holistik (terapi bermain, musik, religi, relaksasi, modeling), pada tahun pertama berupa draft, 2) tersusun buku panduan guru untuk menangani gangguan/masalah sosial emosional siswa yaitu buku panduan guru tentang terapi holistik (bermain, musik, religi, relaksasi, modeling), pada tahun pertama berupa draft protoptype, 3) selama penelitian tahun pertama keinginan guru untuk menangani gangguan/masalah sosial emosional siswa telah ada dengan disusunnya buku panduan guru (pada tahun pertama berupa draft prototype), 4) sesuai data yang diperoleh secara empirik, minat dan kebutuhan guru untuk bisa menangani gangguan atau masalah sosial emosional siswa cukup besar, apalagi guru-guru di kelas rendah sekolah tingkat dasar, dan 5) program penanganan gangguan atau masalah sosial emosional yang telah dikembangkan, masih diperlukan pengembangannya lebih lanjut pada penelitian tahun kedua. 4.2 Saran Saran yang dapat diberikan adalah: 1) Guru di sekolah tingkat dasar sebaiknya tetap berusaha memahami dan menangani siswa yang mengalami gangguan atau masalah sosial emosional agar siswa tidak mengalami kesulitan belajar sehingga hasil belajar menjadi lebih baik, 2) Sekolah sebaiknya menyediakan sarana prasarana yang memadai berkaitan dengan penanganan gangguan/masalah sosial emosional siswa, 3) Pengembangan program penanganan gangguan/masalah sosial emosional siswa ini agar mcndapatkan prioritas untuk dilanjutkan pada penelitian tahun-tahun berikutnya, karena memang dibutuhkan oleh siswa yang mengalami gangguan/masalah sosial emosional dan untuk mengoptimalkan kemampuan guru-guru di sekolah tingkat dasar dalam hal penanganan gangguan/masalah sosial emosional siswa, dan 4) Perlu adanya pelatihan untuk guru-guru di sekolah tingkat dasar tentang pembuatan program penanganan gangguan/masalah sosial emosional siswa, agar hasil yang telah diperoleh bisa dikembangkan lebih lanjut dan diterapkan untuk menangani gangguan atau masalah sosial emosional yang dialami siswa di sekolah tingkat dasar.
5. DAFTAR PUSTAKA [1]. Hawari, D., (1995). Religi Dalam Praktek Psikiatri dan Psikologi. Jakarta: FKUI. [2]. Nugraha, A., dkk, (2008). Metode Pengembangan Sosial Emosional. Jakarta: Universitas Terbuka. [3]. Somantri Sutjihati, S., (2006). Psikologi ALB. Bandung: PT. Refika Aditama. [4]. Chalidah, E. S, (2005). Terapi Permainan Bagi Anak Yang Memerlukan Layanan Pendidikan Khusus. Jakarta: Depdiknas. [5]. Gardner, (2006). Multiple Intelligences. New York: Basic Books. [6]. Djohan, (2006). Terapi Musik, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Galang Press. [7]. Astati, (1995). Terapi Okupasi, Bermain dan Musik Untuk Anak Tunagrahita. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. [8]. Purwanta, E, (2005), Modifikasi Perilaku. Jakarta: Ditjend Dikti Depdiknas. [9]. Louise, M, (2004). Kecerdasan Musik. Terj. Oleh : Sindoro, L. Batam: Lucky Publishers. [10]. Woolfolk, Anita, (2008). Educational Psychology. Boston: Pearson Education, Inc. 142-150. [11]. Slavin, Robert, E, (2009). Educational Psychology Theory and Practice. New Jersey: Pearson Education, Inc. 162-167. [12]. Fakihuddin, L, (2007). Pengajaran Remedial dan Pengayaan. Malang: Bayumedia Publisher.
171
172
Peningkatan Kemampuan Membaca Siswa SDN Jono I, Kecamatan Temayang, Kabupaten Bojonegoro Melalui Kegiatan Pembiasaan Membaca Berjenjang Moh. Zamzuri Guru SDN Jono I, Kab. Bojonegoro, E-mail: [email protected] *) Alamat korespondensi: Email: [email protected].
ABSTRACT The purpose of this study are: (1) describe the implementation of habituation reading school student Jono I, District Temayang, Bojonegoro (2) describe the students' reading ability of SDN Jono I, District Temayang, Bojonegoro, and (3) describe the students' response to the activities of habituation reading SDN Jono I, District Temayang, Bojonegoro. This research method is classroom action research (classroom action research). The approach used is qualitative descriptive approach. The instrument used in this study is the observation sheet of activities of teachers and students, students' reading ability rubric that is focused on the ability to predict, understand the vocabulary and punctuation, to understand the content of reading and summarizing and student questionnaire responses. The results of this study were: (1) the activities carried out by the three-tiered reading strategies, namely: reading together, guided reading and independent reading; (2) The ability to read students has increased in the first cycle of 75% and the second cycle by 82%; and (3) The response of students to the reading tiered very positive. Key Words: the ability to read, habituation, read tiered ABSTRAK Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) mendeskripsikan pelaksanaan kegiatan pembiasaan membaca siswa SDN Jono I, Kecamatan Temayang, Kabupaten Bojonegoro (2) mendeskripsikan kemampauan membaca siswa SDN Jono I, Kecamatan Temayang, Kabupaten Bojonegoro, dan (3) mendeskripsikan respon siswa terhadap kegiatan pembiasaan membaca di SDN Jono I, Kecamatan Temayang, Kabupaten Bojonegoro. Metode penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (classroom action research). Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan deskriptif kualitatif. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar observasi aktivitas guru dan siswa, rubrik kemampuan membaca siswa yang difokuskan pada kemampuan memprediksi, memahami kosa kata dan tanda baca, memahami isi bacaan, dan merangkum dan angket respon siswa. Hasil penelitian ini adalah (1) kegiatan membaca berjenjang dilaksanakan dengan tiga strategi yaitu: membaca bersama, membaca terbimbing dan membaca mandiri; (2) Kemampuan membaca siswa mengalami peningkatan pada siklus I sebesar 75% dan siklus II sebesar 82%; (3) Respon siswa terhadap kegiatan membaca berjenjang sangat positif. Kata kunci: kemampuan membaca, pembiasaan, membaca berjenjang 1. PENDAHULUAN Membaca memilik peran penting dalam belajar, hal ini dikarenakan pengetahuan diperoleh melalui membaca. Jika siswa memiliki kemampuan membaca yang baik maka semakin baik pula pencapaian akademiknya. Sebaliknya jika siswa tidak memiliki kemampuan membaca yang baik dapat dipastikan akan mengalami kesulitan dalam mempelajari berbagai mata pelajaran. Oleh karena itu, kemampuan membaca harus dikuasi oleh siswa dan perlu dibiasakan sejak dini agar menjadi kegemaran dan menjadi kebutuhan siswa. Hal ini sejalan dengan salah satu tujuan Peraturan Menteri Pendikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti, yaitu untuk menumbuhkan kebiasaan yang baik dan membentuk generasi berkarakter positif. Salah satunya adalah melalui pembiasaan menggunakan lima belas menit sebelum hari pembelajaran untuk membaca buku
selain buku mata pelajaran[1]. Menurut Faizah dkk. (2016:2), dalam jangka panjang kegiatan pembiasaan membaca akan menumbuhkan budaya literasi dan menjadikan peserta didik menjadi pembelajar sepanjang hayat[2]. Berdasarkan hasil investigasi awal berupa wawancara antara peneliti dengan guru kelas III SDN Jono I yang dilakukan pada hari Selasa tanggal 4 Oktober 2016 menunjukkan bahwa kemampuan membaca siswa kelas III tergolong rendah. Siswa kesulitan memahami kosa kata dan tanda baca serta memahami isi bacaan. Hal ini didukung dengan data observasi kegiatan pembiasaan membaca, masih banyak ditemukan kesalahan dalam membaca dengan intonasi yang tepat, kesalahan tanda baca, kurang memahami isi bacaan. Sehingga ketuntasan kelas dari KKM yang ditentukan sebesar 75, hanya 57% yang memperoleh nilai sama atau di atas 75. Sebagian besar
173
siswa tidak fokus membaca dan cenderung kurang tertarik dengan kegiatan membaca. Upaya yang telah dilakukan oleh guru sehubungan dengan kegiatan pembiasaan membaca adalah dengan menugaskan siswa untuk memilih buku yang digemari untuk dibaca sebelum pembelajaran dimulai. Kemudian guru menanyakan isi bacaan sesuai dengan yang dibaca. Namun kenyataannya banyak siswa yang tidak dapat menyebutkan isi bacaan yang telah dibaca. Artinya pemahaman siswa terhadap isi bacaan masih tergolong rendah. Upaya lain yang dilakukan guru agar siswa lancar membaca adalah memberikan bimbingan khusus bagi siswa yang kurang lancar membaca. Hasilnya siswa sudah lancar membaca namun dalam pelafalan dan intonasi serta tanda baca masih banyak terjadi kesalahan. Salah satu faktor penyebab rendahnya kemampuan membaca siswa ini adalah pemilihan strategi yang kurang tepat serta pengelolaan kelas yang kurang tepat pula, sehingga berakibat siswa kurang termotivasi dan kemampuan membacanya rendah. Membaca adalah proses yang dilakukan dan dipergunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan yang hendak disampaikan oleh penulis melalui media tulis[3]. Sementara itu, untuk memahami isi bacaan diperlukan daya nalar, seperti yang diketengahkan oleh Tampubolon[4] bahwa membaca adalah suatu kegiatan atau cara dalam mengupayakan pembinaan daya nalar. Jika demikian, membaca merupakan suatu aktifitas yang rumit dan kompleks karena bergantung pada tingkat penalaran pembaca dan keterampilan berbahasanya. Pada dasarnya kegiatan membaca melibatkan dua hal, yaitu (1) pembaca yang berimplikasi adanya pemahaman dan (2) teks yang berimplikasi adanya penulis[5]. Dalam hubungan ini, membaca adalah kegiatan memperoleh pemahaman dari teks. Makna teks dapat diperoleh dari interaksi timbal balik antara pengetahuan dasar pembaca dengan teks. Sebagaimana yang diungkapkan Nurhadi[6] bahwa kekayaan akan kata-kata akan menjamin kelancaran mencerna setiap kata yang dibaca seseorang. Jadi makna dapat berubah bergantung pengalaman yang dimiliki pembaca yang berbeda-beda. Dari pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa membaca adalah proses yang dilakukan pembaca dalam mengupayakan daya nalar untuk memperoleh pemahaman terhadap teks yang dibaca. Sehubungan dengan itu, untuk memahami makna bacaan tiap orang dapat berbeda-beda bergantung pada pengetahuan dasar masing-masing pembaca. Selanjutnya Syafi’ie[7] menyebutkan hakikat membaca adalah: (1) Pengembangan keterampilan, mulai dari keterampilan memahami kata-kata, kalimatkalimat, paragraf-paragraf dalam bacaan sampai dengan memahami secara kritis dan evaluatif keseluruhan isi bacaan, (2) Kegiatan visual, berupa serangkaian gerakan mata dalam mengikuti baris-baris tulisan, pemusatan penglihatan pada kata dan kelompok kata, melihat ulang kata dan kelompok kata
untuk memperoleh pemahaman terhadap bacaan, (3) Kegiatan mengamati dan memahami kata-kata yang tertulis dan memberikan makna terhadap kata-kata tersebut berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang telah dipunyai, (4) Suatu proses berpikir yang terjadi melalui proses mempersepsi dan memahami informasi serta memberikan makna terhadap bacaan, (5) Proses mengolah informasi oleh pembaca dengan menggunakan informasi dalam bacaan dan pengetahuan serta pengalaman yang telah dipunyai sebelumnya yang relevan dengan informasi tersebut, (6) Proses menghubungkan tulisan dengan bunyinya sesuai dengan sistem tulisan yang digunakan, dan (7) Kemampuan mengantisipasi makna terhadap barisbaris dalam tulisan. Kegiatan membaca bukan hanya kegiatan mekanis saja, melainkan merupakan kegiatan menangkap maksud dari kelompok-kelompok kata yang membawa makna[7]. Menurut Anderson dalam Akhadiah[8] ada lima ciri membaca, yaitu: (1) membaca adalah konstruktif; (2) membaca harus lancar; (3) membaca harus dilakukan dengan strategi yang tepat; (4) membaca memerlukan motivasi; dan (5) membaca merupakan keterampilan yang harus dikembangkan secara berkesinambungan. Senada dengan pendapat tersebut, dalam modul pembelajaran membaca di kelas awal dikatakan bahwa membaca berjenjang adalah kegiatan membaca yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa yaitu menerapkan beragam strategi pembelajaran dan pemilihan bacaan sesuai dengan kebutuhan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kemampuan dan minat siswa membaca. Strategi yang digunakan dalam membaca berjenjang, antara lain: membaca bersama, membaca terbimbing, dan membaca mandiri[9]. Membaca bersama, kegiatannya melibatkan semua siswa satu kelas. Bahan bacaan yang digunakan buku besar. Guru memodelkan berbagai keterampilan dan melibatkan siswa selama proses membaca dilakukan. Keterampilan yang dilatihkan adalah memprediksi, memahami kosakata dan tanda baca, memahami isi bacaan, dan merangkum. Sementara, membaca terbimbing, dengan cara mengelompokkan siswa yang memiliki kemampuan yang setara (homogen) untuk diberikan bimbingan dalam kelompok dengan bahan bacaan yang sama, sedangkan siswa yang tidak termasuk bimbingan kelompok diberikan tugas tertentu. Keterampilan yang dilatihkan adalah memprediksi, memahami kosakata dan tanda baca, memahami isi bacaan, dan merangkum. Kemudian membaca mandiri, kegiatannya dilakukan dengan cara siswa secara individu atau berpasangan memilih sendiri buku yang akan dibaca sesuai dengan minat dan kemampuan siswa. Ketika siswa memilih buku guru memberikan pendampingan pada siswa. Salah satu teknik yang digunakan agar buku yang dibaca siswa sesuai dengan kemampuannya adalah teknik lima jari. Guru meminta membaca satu halaman. Jika dalam membaca mengalami lebih dari
174
lima kesalahan atau kesulitan, maka buku tersebut tidak sesuai dengan kemampuan siswa. Selain itu buku bacaan yang dibaca hendaknya mengandung informasi yang sederhana atau kejadian sehari-hari, isi cerita mengandung nilai optimisme, bersifat inspiratif, dan mengembangkan imajinasi, buku dapat bergenre fantasi dengan tokoh binatang (fabel), buku mengandung pesan nilai-nilai sesuai dengan tahapan tumbuh kembang peserta didik dalam berbagai aspek, antara lain moral, sosial, kognitif, pesan moral cerita disampaikan dengan tidak menggurui. Dengan membaca berjenjang kegiatan membaca sesuai dengan kebutuhan siswa, membuat siswa nyaman, dan akan memotivasi siswa untuk senang membaca. Berdasarkan latar belakang tersebut, tujuan dari penelitian ini adalah: (1) mendeskripsikan pelaksanaan kegiatan pembiasaan membaca siswa SDN Jono I, Kecamatan Temayang, Kabupaten Bojonegoro (2) mendeskripsikan kemampauan membaca siswa SDN Jono I, Kecamatan Temayang, Kabupaten Bojonegoro, dan (3) mendeskripsikan respon siswa terhadap kegiatan pembiasaan membaca di SDN Jono I, Kecamatan Temayang, Kabupaten Bojonegoro. Manfaat dari penelitian ini antara lain: (1) bagi siswa meningkatkan kemampuan membaca; (2) bagi peneliti menambah wawasan dan masukan mengenai pembiasaan membaca; (3) bagi guru menambah wawasan menggunakan salah satu strategi kegiatan pembiasaan membaca; dan (4) bagi sekolah sebagai referensi dalam mengambil kebijakan dalam kegiatan pembiasaan membaca. 2. METODE PENELITIAN Metode penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (Classroom Action Research), yaitu penelitian yang bersifat reflektif dengan melakukan tindakantindakan tertentu agar dapat memperbaiki dan atau dapat meningkatkan praktik pembelajaran secara profesional[10]. Menurut Frankel and Wallen (2006) dan Kemmis (1986) dalam Supriatna[10] daur penelitian tindakan dan refleksi berbentuk spiral seperti Gambar 1 berikut.
Waktu penelitian pada minggu ke-2 sampai dengan minggu ke-4 bulan Oktober tahun 20016. Subjek penelitian dan sumber data utama adalah siswa Kelas III SDN Jono I, Kecamatan Temayang, Kabupaten Bojonegoro yang berjumlah 28 anak. Berdasarkan pada rancangan penelitian dan data yang ingin diperoleh dalam penelitian ini, maka prosedur penelitian ini terdiri dari tiga tahap, yaitu: (1) Tahap persiapan, kegiatan yang dilakukan pada tahap persiapan adalah membuat perangkat kegiatan membaca dan intrumen-intrumen penelitian, (2) Tahap pelaksanaan, pelaksanaan kegiatan membaca berjenjang pada kegiatan membaca dengan menerapkan tiga strategi yaitu: membaca bersama, membaca terbimbing dan membaca mandiri, dan (3) Tahap pengumpulan dan analisis data, data tentang pelaksanaan kegiatan membaca diperoleh melalui pengamatan/observasi dikumpulkan dengan instrumen observasi berupa skala penilaian (rating scale). Untuk mengumpulkan data tentang kemampuan membaca siswa diperoleh melalui rubrik penilaian unjuk kerja. Kemudian data tentang respon siswa diperoleh melalui angket. Instrumen penelitian yang digunakan adalah: (1) lembar pengamatan aktivitas guru dan siswa; (2) lembar pengamatan unjuk kerja siswa dalam kegiatan membaca; dan (3) angket respon siswa. Data yang dianalisis adalah hasil observasi aktivitas guru dan siswa selama proses kegiatan membaca berjenjang berlangsung, kemampuan membaca siswa dan respon siswa. Data-data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan teknik analisis sebagai berikut: 2.1 Data hasil observasi Untuk menganalisis data hasil observasi yang diperoleh dari lembar observasi aktivitas guru dan siswa, digunakan rumus Persentase Skor Hasil Observasi (PSHO) sebagai berikut: PSHO = ∑
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑆𝑘𝑜𝑟 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑢𝑚
𝑥100%
Dengan kriteria keterlaksanaan aktivitas guru dan siswa disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Kriteria Keterlaksanaan Aktivitas Guru dan Siswa Interval Presentasi 80% ≤ PSHO 100% 70% ≤ PSHO < 80% 55% ≤ PSHO < 70% PSHO < 55%
Kategori Sangat baik Baik Cukup baik Sangat kurang
(Sumber: diadopsi dari Arikunto dengan modifikasi [11] Keberhasilan guru dalam melaksanakan kegiatan membaca berjenjang dapat dilihat dari hasil observasi aktivitas guru dan siswa dengan minimal keberhasilannya masuk dalam kategori baik. 2.2 Data kemampuan membaca siswa Gambar 1. Daur Penelitian Tindakan
Penelitian dilaksanakan di SDN Jono I, yang beralamat di Jalan Raya Jono-Temayang Km 23, Kecamatan Temayang, Kabupaten Bojonegoro.
Menganalisis hasil rubrik unjuk kerja siswa dengan menjumlahkan skor yang diperoleh kemudian dibagi skor maksimum.
175
NS =
𝑆𝑘𝑜𝑟 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑜𝑙𝑒ℎ 𝑆𝑘𝑜𝑟 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑢𝑚
𝑥100
Selanjutnya untuk menentukan persentase ketuntasan kelas dengan membagi banyaknya siswa yang tuntas dengan jumlah siswa seluruhnya. Kriteria ketuntas kelas yang ditetapkan adalah 75. Presentase Ketuntasan =
𝑏𝑎𝑛𝑦𝑎𝑘 𝑠𝑖𝑠𝑤𝑎 𝑡𝑢𝑛𝑡𝑎𝑠 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑠𝑖𝑠𝑤𝑎
𝑥100
Kesimpulan analisis disesuaikan dengan presentase ketuntasan kelas yang ditetapkan sehingga dapat diketahui kemampuan membaca siswa. Peningkatan kemampuan membaca siswa pada kegiatan pembiasaan membaca berjenjang ini ditunjukkan oleh jika banyaknya siswa yang tuntas atau memperoleh nilai 75% -100% dibanding dengan banyak seluruh siswa sama dengan 75% atau lebih. 2.3 Data respon siswa Data angket respon siswa yang digunakan untuk mengetahui data respon siswa terhadap pelaksanaan kegiatan pembiasaan membaca berjenjang, misalnya: setuju atau tidak terhadap pembiasaan membaca berjenjang. Untuk menganalisis data respon siswa diperoleh dari angket respon siswa, dengan menggunakan rumus Angket Respon Siswa (ARS) sebagai berikut: ARS = ∑
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑝𝑒𝑟 𝑘𝑎𝑡𝑒𝑔𝑜𝑟𝑖 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑖𝑠𝑤𝑎 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ𝑛𝑦𝑎
𝑥100%
Kesimpulan analisis disesuaikan dengan persentase setiap pertanyaan yang menunjukkan pernyataan setuju tidak setuju. Penelitian ini menggunakan desain penelitian tindakan kelas yang diadopsi dari Khemmis dan Taggart dalam Riyanto[12] dengan dua rancangan siklus, setiap siklus terdiri dari tahapan: perencanaan, pelaksanaan/tindakan, observasi, dan refleksi[12]. Siklus I Perencanaan I, yang meliputi tiga pertemuan, yaitu: Pertemuan ke-1 Membaca bersama, guru mengatur posisi duduk peserta didik agar semuanya dapat melihat buku yang dibacakan. Menjelaskan apa yang harus dilakukan peserta didik (misalnya, apakah mereka dapat langsung membaca bersama atau menunggu kalimatkalimat dibacakan). Menyebutkan judul, pengarang dan ilustrator atau menyebutkan sumber bahan bacaan. Dengan menunjuk sampul depan, minta peserta didik untuk menebak isi bacaan. Guru dan peserta didik membaca materi bacaan (paragraf/kalimat) yang sama. Guru dan peserta didik membaca ulang alinea atau paragraf yang dianggap penting. Guru berhenti membaca sejenak dan memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menebak alur cerita selanjutnya. Guru mengajukan pertanyaan-pertanyaan terkait konten buku, kosakata, tatabahasa atau tanda baca
untuk meyakinkan bahwa peserta didik memahami jalannya cerita. Guru meminta peserta didik untuk menanggapi isi bacaan. Guru dapat mengajak peserta didik untuk membuat daftar kosakata baru dan menuliskannya pada flip chart. Guru dapat menjadikan kegiatan membaca bersama sebagai hadiah atas pencapaian peserta didik Pertemuan ke-2 Membaca terbimbing, guru mengucapkan salam dan menyapa siswa. Kemudian guru mengelompokkan siswa menjadi dua kelompok, satu kelompok bimbingan 7 siswa dan sisanya kelompok tidak terbimbing. Membuat kesepakatan Menunjukkan sampul buku bacaan Bertanya jawab judul bacaan Menggali pengetahuan latar dan pengalaman peserta didik. Memperhatikan ilustrasi dan memprediksi alur cerita. Guru memeragakan membaca kalimat atau paragraf dan meminta peserta didik untuk menirukan atau meneruskan membaca secara bergiliran. Guru meminta peserta didik untuk mencatat kosakata baru, kalimat yang menarik, tokoh utama atau tokoh lain yang menarik. Meminta peserta didik untuk menceritakan kembali isi bacaan dengan kata-katanya sendiri. meminta peserta didik untuk membuat daftar kata-kata sulit. Meminta peserta didik untuk membuat peta cerita. Pertemuan ke-3 Membaca mandiri, guru mendampingi dan mengetahui bacaan yang dipilih peserta didik. agar: Bacaan sesuai dengan tingkat pemahaman peserta didik atau sedikit di atasnya. Konten bacaan sesuai dengan usia peserta didik atau mendukung tema atau sub tema materi ajar. Guru melakukan pra-baca untuk mengetahui ringkasan buku yang akan dibaca peserta didik. Dapat menjawab peserta didik apabila mereka bertanya. Mengembangkan diskusi dengan topik yang relevan. Meminta peserta didik untuk membaca secara mandiri. Mengingatkan peserta didik untuk menerapkan strategi membaca, misalnya: Membaca judul dan mempelajari ilustrasi sampul muka untuk dapat menebak isi bacaan. Menebak kata-kata sulit dengan mempelajari ilustrasi atau konteks kalimat. Membuat daftar pertanyaan terkait bacaan. Guru meminta peserta didik untuk: mencari informasi lebih lanjut tentang bacaan atau pengarang maupun ilustrator buku. membuat daftar kosakata baru. membuat peta cerita atau peta konsep isi bacaan. meringkas isi bacaan dengan kata-kata sendiri, baik secara lisan, gambar, atau tertulis. melakukan kegiatan lanjutan untuk menanggapi isi bacaan. Pelaksanaan Tindakan I, guru melaksanakan tindakan sesuai dengan perencanaan yang telah dibuat oleh peneliti dalam proses pembiasaan membaca. Observasi I, observasi dilakukan selama kegiatan pembiasaan membaca berlangsung dengan mengisi lembar observasi guru dan siswa. Refleksi I, dilaksanakan untuk mengetahui kekurangan dan kelemahan pada saat pelaksanaan
176
siklus I, dan digunakan sebagai bahan acuan tindakan berikutnya. Siklus II Melaksanakan kegiatan-kegiatan seperti siklus I, namun terjadi pemantapan bila siklus I berjalan baik atau dengan perbaikan bila ada kekurangan dalam siklus I.
Tabel 4 menunjukkan ada peningkatan persentase kemampuan membaca siswa dengan diterapkan pembiasaan membaca berjenjang. 4. Hasil Respon Siswa Berikut adalah hasil angket respon siswa terhadap proses pembiasaan membaca berjenjang, seperti diperlihatkan pada Tabel 5 berikut.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Penelitian Penelitian tindakan kelas ini terdiri dari perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan, observasi, dan refleksi. Pada siklus I terdiri dari tiga pertemuan dan siklus 2 terdiri dari tiga pertemuan dengan masing-masing pertemuan dilaksanakan dalam 1 x 15 menit. Penelitian ini dimulai pada tanggal tanggal 4 Oktober 2016 dan selesai pada tanggal 22 Oktober 2016. Selama proses penelitian berlangsung, ada beberapa hasil yang diperoleh seperti yang penulis paparkan berikut. 1. Hasil Observasi Aktivitas Guru
Tabel 5. Angket Respon Siswa
Pertemuan
I II
1, 2, dan 3 1, 2, dan 3
Persentase Keberhasilan 91, 29 93, 72
Taraf Keberhasilan Sangat baik Sangat baik
Tidak Menjawab 7%
100%
0%
0%
75%
18%
7%
93%
7%
0%
82%
0%
18%
100%
0%
0%
Pertanyaan
Setuju
I
Apakah pembiasaan membaca berjenjang menyenangkan? Apakah pembiasaan membaca berjenjang memudahkan siswa belajar membaca? Apakah pembiasaan membaca berjenjang meningkatkan kemampuan membaca?
II I
II
I
Tabel 2. Taraf keberhasilan aktivitas guru Siklus
75%
Tidak Setuju 18%
Siklus
II
Tabel 2 menunjukkan ada peningkatan persentase keberhasilan guru dalam menerapkan kegiatan membaca berjenjang dari siklus 1 ke siklus 2 dan berada pada taraf keberhasilan sangat baik.
Tabel 5 menunjukkan ada peningkatan persentase respon positif siswa dengan diterapkan pembiasaan membaca berjenjang.
2. Hasil Observasi Aktivitas Siswa
3.2 Pembahasan
Tabel 3. Taraf keberhasilan aktivitas siswa Siklus
Pertemuan
I II
1, 2, dan 3 1, 2, dan 3
Persentase Keberhasilan 89, 50 92, 25
Taraf Keberhasilan Sangat baik Sangat baik
Tabel 3 menunjukkan ada peningkatan persentase keberhasilan siswa dengan diterapkan kegiatan membaca berjenjang dari siklus 1 ke siklus 2 dan berada pada taraf keberhasilan sangat baik. 3. Hasil Kemampuan Membaca Siswa Berikut adalah hasil kemampuan membaca siswa yang mencakup empat (4) keterampilan, seperti disajikan pada pada Tabel 4 berikut. Tabel 4. Kemampuan Membaca Siswa Keterampilan Memprediksi Kosa Kata dan Tanda Baca Memahami isi bacaan Merangkum bacaan Rata-rata Ketuntasan siswa
Siklus I 75%
Siklus II 77%
Keterangan Meningkat 2%
79%
80%
Meningkat 1%
82%
83%
Meningkat 1%
79%
80%
Meningkat 1%
79% 75%
80% 82%
Meningkat 1% Meningkat 7%
Berdasarkan hasil penelitian pada kegiatan pembiasaan membaca berjenjang. Pelaksanaan pembiasaan membaca berjenjang meliputi membaca bersama, membaca terbimbing dan membaca mandiri. Pada saat kegiatan membaca bersama buku yang digunakan guru adalah buku besar. Siswa diajak duduk lesehan di atas karpet. Kemudian guru mengenalkan sampul buku dengan menggali pertanyaan dan meminta siswa memprediksi judul dan isi bacaan. Selanjutnya guru memberi contoh membaca kalimat, dilanjutkan guru dan siswa membaca ulang kalimat yang dianggap penting. Guru berhenti membaca sejenak dan memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menebak alur cerita selanjutnya. Kemudian pada kegiatan membaca terbimbing, buku yang digunakan adalah buku bacaan berjenjang dengan judul yang sama. Guru mengelompokkan siswa menjadi dua kelompok, satu kelompok bimbingan ada tujuh siswa dan sisanya kelompok tidak terbimbing. Guru memberikan lembar kerja bagi siswa yang tidak terbimbing. Kemudian guru memulai kegiatan pada kelompok terbimbing guru dan siswa membuat kesepakatan. Selanjutnya meminta siswa memperhatikan sampul buku bacaan. Guru bertanya jawab judul bacaan. Kemudian menggali pengetahuan latar dan pengalaman peserta didik. Selanjutnya siswa memperhatikan ilustrasi dan memprediksi alur cerita.
177
Guru membaca kalimat dalam paragraf dan meminta peserta didik untuk meneruskan membaca secara bergiliran. Guru meminta peserta didik untuk mencatat kosakata baru, kalimat yang menarik, tokoh utama atau tokoh lain yang menarik. Selanjutnya pada kegiatan membaca mandiri guru berperan sebagai pendamping, guru meminta siswa menunjukkan bacaan yang dipilih. Guru meminta siswa membaca satu halaman dan menanyakan tingkat kesulitan memahami yang dibaca. Kemudian guru meminta siswa untuk membaca secara mandiri, sambil mengingatkan peserta didik untuk membaca judul dan mempelajari ilustrasi sampul muka untuk dapat menebak isi bacaan. Pada kegiatan akhir guru meminta siswa untuk membuat daftar kosakata baru, meringkas isi bacaan dengan kata-kata sendiri. Setelah peneliti melaksanakan refleksi terhadap pelaksanaan membaca berjenjang selama siklus I, ketika membaca bersama guru tidak membuat kesepakatan sehingga siswa masih sering ramai. Pada siklus II untuk membaca bersama pelaksanaan kegiatan berjalan dengan baik dan guru telah membuat kesepakatan awal. Selanjutnya pada kegiatan membaca terbimbing siswa yang tidak memperoleh bimbingan ramai menanyakan lembar kerja yang diberikan. Kemudian pada siklus II untuk membaca terbimbing guru memberikan petunjuk pada lembar kerja dengan jelas. Sementara, pada kegiatan membaca mandiri sudah berjalan dengan baik. Pada siklus II kegiatan membaca mandiri berjalan lebih baik. Berdasarkan hasil rubrik unjuk kerja siswa pada siklus I dapat diketahui kemampuan membaca siswa dari keterampilan memprediksi 75%, keterampilan kosa kata dan tanda baca 79%, keterampilan memahami isi bacaan 82%, dan keterampilan merangkum bacaan 79%. Rata-rata dari keempat keterampilan tersebut adalah 79%. Dari hasil tersebut sebanyak 21 anak memperoleh nilai sama atau melebihi 75 dan 7 anak memperoleh kurang dari 75 sehingga diketahui 75% tuntas. Kemampuan membaca siswa ini mengalami peningkatan pada siklus II dari hasil rubrik unjuk kerja siswa dapat diketahui keterampilan memprediksi 77%, keterampilan kosa kata dan tanda baca 80%, keterampilan memahami isi bacaan 83%, dan keterampilan merangkum bacaan 80%. Rata-rata dari keempat keterampilan tersebut adalah 81%. Dari hasil tersebut sebanyak 23 anak memperoleh nilai sama atau melebihi 75 dan 4 anak memperoleh kurang dari 75 sehingga diketahui 82% tuntas. Dari keempat keterampilan yang menjadi fokus untuk ditingkatkan maka dengan kegiatan membaca berjenjang mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Selanjutnya respon siswa berdasarkan hasil angket siswa pada setiap siklus menunjukkan respon positif. Hal ini menunjukkan kegiatan membaca berjenjang
dapat meningkatkan motivasi pembiasaan membaca siswa.
dalam
kegiatan
4. KESIMPULAN Dari hasil penelitian tindakan kelas di SDN Jono I dapat disimpulkan bahwa: (1) pelaksanaan kegiatan pembiasaan membaca berjenjang melalui tiga strategi yaitu: membaca bersama, membaca terbimbing, dan membaca mandiri. Keterampilan yang dilatihkan fokus pada memprediksi, kosa kata dan tanda baca, memahami isi bacaan, dan merangkum, (2) kemampuan membaca siswa meningkat melalui kegiatan pembiasaan membaca berjenjang. Hal ini dapat ditunjukkan dengan kemampuan siswa dalam memprediksi judul bacaan, isi bacaan, kosa kata dalam bacaan, memahami tanda baca dan melafalkannya, memahami isi bacaan, dan merangkum isi bacaan; Ketuntasan kelas pada siklus I sebesar 75% dan siklus II menjadi 82%, dan (3) Respon siswa terhadap kegiatan pembiasaan membaca berjenjang sangat positif, hal ini menunjukkan kegiatan membaca berjenjang dapat memotivasi siswa untuk melaksanakan kegiatan pembiasaan membaca. 5. DAFTAR PUSTAKA [1] Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti, Jakarta. [2] Faizah, Dewi Utama, Susanti Sufyadi, Lanny Anggraini, Waluyo, Sofie Dewayani, Wien Muldian, dan Dwi Renya Roosaria, (2016). Panduan Gerakan Literasi Sekolah Di Sekolah Dasar, Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Dasar Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. [3] Tarigan, Henry Guntur, (1990). Membaca sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa, Bandung: Angkasa. [4] Tampubolon, (1987). Kemampuan Membaca, Teknik Membaca Efektif dan Efesien, Bandung: Angkasa. [5] Kridalaksana, H., (1982). Tata Bahasa Deskriptif Bahasa Indonesia Sintaksis, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. [6] Nurhadi, (1989). Membaca Cepat dan Efektif, Bandung: Sinar Baru. [7] Syafi’ie, Imam. (1994). Pengajaran Membaca Terpadu. Bahan Kursus Pendalaman Materi Guru Inti PKG Bahasa dan Sastra Indonesia, Malang: IKIP. [8] Akhadiah, Sabari M.K., (1992). Bahasa Indonesia I, Jakarta: Depdikbud. [9] Anonim, (2006). Pembelajaran Membaca di Kelas Rendah, Jakarta: Usaid Prioritas. [10] Supriatna, Endang K, Supardi, Abdul Aziz (2009). Penelitian Guru Bahasa, Bandung: Adhi Aksara Abadi Nusantara. [11] Arikunto, S. (2009). Evaluasi Program Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta. [12] Riyanto, Yatim, (2012). Metodologi Penelitian Pendidikan, Surabaya: SIC.
178
Pengembangan Media Pembelajaran Teknik Pemesinan Berbantuan Komputer Yang Efektif Di SMK Yunus1*), Iskandar2 1
Jurusan Pendidikan Teknik Mesin FT-Unesa. E-mail: [email protected] 2 Jurusan Pendidikan Teknik Mesin. E-mail: [email protected] *) Alamat koresponden: E-mail: [email protected]
ABSTRACT This study aims to develop learning media machining techniques are effective in SMK. The research method is based on the design of research and development (research and development). This research has produced a learning tool in the form of draft learning tool machining techniques in SMK validated and revised based on suggestions and feedback from the validator. The products of this research consisted of: (a) a draft KI-KD technique of machining, (b) a draft syllabus engineering machining, (c) a draft RPP technique Machining, (d) a draft module engineering machining, (e) a draft job-sheet technique of machining, (f) draft assessment guidelines machining techniques, and (g) media PBK-TP that has been validated with a mean score of 3.60 that fall into the category of very valid. The trial results showed, bahws there is a difference in student learning outcomes on cognitive and psychomotor aspects on the subjects of Mechanical Machining between the model PBK-TP with conventional learning models, where the average value of the cognitive aspects of the experimental class of 81.5 higher than the control class is 77.08, and the average value of the results of the experimental class practices of 81.92 higher than the control class at 78.14. The trial results showed media device PBK-TP generated feasible and effective for use in teaching subjects in vocational Lathe Machining Techniques. Key Words: Media development PBK-TP, Decent, Effective ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model media pembelajaran teknik pemesinan yang efektif di SMK. Metode penelitian didasarkan atas rancangan penelitian dan pengembangan (research and development). Penelitian ini telah menghasilkan produk perangkat pembelajaran dalam bentuk draf perangkat pembelajaran teknik pemesinan di SMK yang telah divalidasi dan direvisi berdasarkan saran dan masukan dari validator. Produk penelitian ini terdiri dari: (a) draf KI-KD teknik pemesinan, (b) draf silabus teknik pemesinan, (c) draf RPP teknik Pemesinan, (d) draf modul teknik pemesinan, (e) draf job-sheet teknik pemesinan, (f) draf panduan penilaian teknik pemesinan, dan (g) media PBK-TP yang telah divalidasi dengan rerata skore 3,60 yang masuk dalam kategori sangat valid. Hasil uji coba menunjukan, bahws terdapat perbedaan hasil belajar siswa pada aspek kognitif dan aspek psikomotor pada mata pelajaran Teknik Pemesinan antara yang menggunakan model PBK-TP dengan model pembelajaran konvensional, dimana nilai rata-rata aspek kognitif kelas eksperimen sebesar 81,5 lebih tinggi dibandingkan dengan kelas kontrol sebesar 77,08, dan nilai rata-rata hasil praktik kelas eksperimen sebesar 81,92 lebih tinggi dibandingkan dengan kelas control sebesar 78,14. Hasil uji coba menunjukkan perangkat media PBK-TP yang dihasilkan layak dan efektif untuk digunakan dalam pembelajaran mata pelajaran Teknik Pemesinan Bubut di SMK. Kata Kunci: Pengembangan media PBK-TP, layak, Efektif
1.
PENDAHULUAN Pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang bertugas mempersiapkan siswa untuk bekerja dalam bidang tertentu. Pendidikan kejuruan memiliki peran strategis dalam menyiapkan tenaga kerja, fokus kegiatannya adalah memberikan bekal pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja kepada siswa agar dapat diaplikasikan dalam dunia kerja, baik dalam dunia usaha maupun dunia industri. Finch & Crunkilton (1979:111) menjelaskan bahwa pendidikan kejuruan menekankan pada pengembangan ketarampilan, kemampuan dan sikap
kerja, dan penyiapan untuk mendapatkan pekerjaan. Pendidikan kejuruan tidak hanya terkait dengan pengembangan keterampilan, tetapi juga pengembangan seluruh kompetensi yang dimiliki siswa untuk mengekspresikan dirinya dalam bekerja. Sedangkan dari hasil pengamatan empirik yang dilakukan sebagai studi pendahuluan terhadap pelaksanaan pembelajaran teknik pemesinan yang terjadi di SMKN 3 Buduran Sidoarjo menunjukan bahwa pelaksanaan pembelajaran teknik, khususnya teknik pemesinan belum dirancang dengan baik, yang secara umum masih menekankan pada aspek
179
keterampilan dan pengetahuan kurang memperhatikan aspek sikap kerja siswa (prosesnya), pada hal kompetensi mencakup ketiga hal tersebut. Hal ini bisa dilihat dari aspek penilaian yang hanya difokuskan pada hasil akhir pembelajaran teknik (benda kerja yang dihasilkan) saja, sedangkan penilaian terhadap prosesnya kurang diperhatikan. Dengan kata lain bila penilaian dilakukan pada hasil akhir kerja teknik saja, maka hasil belajar yang diperoleh siswa belum mencerminkan kompetensi siswa yang sesungguhnya. Kompetensi yang sesungguhnya selain mencerminkan dari pengetahuan dan keterampilan kerja, tetapi juga sikap kerja. Dengan demikian sistem penilaian yang terjadi di sekolah masih belum dapat menjamin kompetensi lulusan secara utuh. Penilaian hendaknya mencerminkan pemahaman tentang pembelajaran yang terintegrasi. Penilaian terhadap kompetensi kejuruan dapat dilakukan lebih akurat bila dilihat dari aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja. Selain itu penilaian juga dilihat dari berbagai faktor penentu yang berkaitan langsung dengan pencapaian kompetensi, misalnya model pembelajarannya. Dengan demikian gambaran tentang kualitas siswa dapat diperoleh secara komprehensip. Berdasarkan fenomena dan fakta di atas, penilaian kompetensi siswa yang tepat bukan saja berguna untuk mengetahui keberhasilan belajar siswa yang sesungguhnya, tetapi juga berguna untuk pengembangan lembaga pendidikan. Kompetensi kejuruan yang dimaksud difokuKIan pada kompetensi pemesinan perkakas. Permasalahan yang dihadapi pendidikan nasional saat ini berkisar pada kompetensi lulusan yang belum relevan dengan kebutuhan dunia usaha dan dunia industri, kualitasnya masih rendah dan belum mampu memenuhi kompetensi siswa (Zahrial Fakri, 2007:3). Lembaga pendidikan belum bisa menghasilkan lulusan siap pakai yang sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan perkembangan dunia industri. Hal ini didukung hasil kesimpulan pengamatan empirik yang dilakukan Depdiknas (2004:1) menunjukkan bahwa sebagian besar lulusan SMK di Indonesia bukan saja kurang mampu memyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga kurang mampu mengembangkan diri dan kariernya di dunia kerja. Fakta tersebut menunjukkan betapa belum efektifnya pendidikan kejuruan di Indonesia. Lulusan SMK belum memiliki kesiapan kerja yang baik. Berdasarkan permasalahan tersebut di atas dan hasil studi pendahuluan terhadap pelaksanaan pembelajaran teknik pemesinan yang terjadi di SMKN yang menunjukan bahwa pelaksanaan pembelajaran teknik, khususnya teknik pemesinan belum dirancang secara komprehensip, yang secara umum masih
menekankan pada aspek keterampilan dan pengetahuan dan kurang memperhatikan aspek sikap kerja siswa (prosesnya), pada hal kompetensi mencakup ketiga hal tersebut. Hal ini bisa dilihat dari aspek penilaian yang hanya difokuskan pada hasil akhir benda kerja yang dihasilkan saja, sedangkan penilaian terhadap prosesnya kurang diperhatikan. Dengan kata lain bila penilaian dilakukan pada hasil akhir kerja teknik saja, maka hasil belajar yang diperoleh siswa belum mencerminkan kompetensi siswa yang sesungguhnya. Kompetensi yang sesungguhnya selain mencerminkan dari pengetahuan dan keterampilan kerja, tetapi juga sikap kerja. Dengan demikian sistem penilaian yang terjadi di sekolah masih belum dapat menjamin kompetensi lulusan secara utuh. Penilaian hendaknya mencerminkan pemahaman tentang pembelajaran yang terintegrasi yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja. Dengan demikian gambaran tentang kualitas kompetensi siswa dapat diperoleh secara komprehensip. Selain itu penilaian juga dilihat dari berbagai faktor penentu yang berkaitan langsung dengan pencapaian kompetensi, misalnya model pembelajarannya. Untuk itu diperlukan suatu solusi yang dapat menjembatani tercapainya kompetensi siswa, khususnya kompetensi teknik permesinan perkakas melalui pengembangan model pembelajaran teknik pemesinan yang efektif di SMK. Dari uaraian tersebut, permasalahan dalam penelitian ini adalah: “Bagaimanakah mengembangkan model pembelajaran teknik pemesinan yang efektif di SMK ?” 2. METODE PENELITIAN Subyek penelitian yang terlibat dalam kegiatan penelitian Pengembangan Model Pembelajran Teknik Pemesinan yang efektif di SMK ini yakni praktisi pengelola pendidikan kejuruan, yakni kepala dan wakil kepala SMK, guru/instruktur, siswa SMK, serta dunia usaha dan industri yang menjadi mitra kerjasama SMK. Pengelola SMK yang menjadi partisipan penelitian mencakup kepala sekolah, wakil kepala sekolah bidang kurikulum, dan guru SMK yang menjadi obyek penelitian ini, khususnya yang mengajar mapel Teknik Pemesinan. Lembaga pendidikan (SMK) yang dipilih menjadi obyek penelitian yakni SMKN 3 Sidoarjo.
180
Analisis mukabelakang
Analisis konsep
Difine
Analisis siswa
Analisis tugas
Analisis tujuan
Pemilihan format dan media (Perangkat Pembelajaran)
Disign
Penyusunan tes
Desain awal Perangkat Pembelajaran Validasi Analisis dan Revisi I Uji Coba I
Uji Coba II
Develop
Analisis dan Revisi II
Analisis dan Revisi III Uji Coba III Analisis dan Revisi (Perangkat Pembelajaran Final yang berkualitas dan valid)
Dessiminate
Gambar 2. Bagan alir penelitian four-D model
Terdapat delapan target yang ingin dicapai dalam penelitian ini, yakni dihasilkannya: (1) Instrumen Need Assessment bidang pemesinan, (2) Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar (KI-KD) Teknik Pemesinan; (3) Silabus Teknik Pemesinan, (4) RPP Teknik Pemesinan, (5) Modul Teknik Pemesinan, (6) Job-sheet Teknik Pemesinan, (7) Panduan Penilaian Teknik Pemesinan, dan (8) Media PBK Teknik Pemsinan Penelitian ini didasarkan atas rancangan penelitian pengembangan dengan prosedur pelaksanaan dikelompokkan menjadi dua tahap. Rancangan penelitian tersebut adalah: (1) tahap pertama dikembangkan rancangan survai dan rancangan pengembangan melalui teknik workshop, brainstorming, validasi dan diskusi fokus grup; (2) tahap kedua, dikembangkan penelitian pengembangan
dan penelitian kuasi eksperimen dengan rancangan pre-posttest group only. Pengembangan model pembelajaran teknik pemesinan yang efektif pada SMK ini dilaksaanakan selama dua tahun dengan menggunakan four-D models yang dikembangkan oleh Thiagarajan, Semmel and sammel (1974), yakni difine, design, develop, and disseminate. Kegiatan penelitian setiap tahunnya dapat dilihat pada Gambar 2. Secara ringkas model pengembangan four-D sebagaimana ditunjukkan dalam gambar 2, dijelaskan sebagai berikut. Tahap define pada dasarnya merupakan tahap awal untuk menentukan format dan substansi atau isi dari perangkat pembelajaran yang disusun. Pada tahap penetapan ini, dilakukan melalui lima sub tahap, yaitu analisis ujung-depan (front-end analysis), analisis siswa (leaner analysis), analisis konsep (concept analysis), analisis tugas dan analisis tujuan pembelajaran. Analisis muka-belakang merupakan studi pustaka dan survai lapangan. Studi pustaka dilakukan dengan mencermati KI-KD teknik pemesinan dalam struktur kurikulum mata pelajaran teknik pemesinan yang sudah ada dan jenis jenis kompetensi yang dibutuhkan di industrti pemesinan. Berdasarkan hasil analisis studi pustaka dan surve lapangan, disusunlah instrument penilaian kebutuhan (need assessment) jenis-jenis kompetensi di industri pemesinan dan Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) teknik pemesinan. Jenis-jenis kompetensi yang dibutuhkan oleh industri pemesinan hasil dari need assessment disinkronkonkan dengan Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) teknik pemesinan, yang selanjutnya dapat disusun konsep silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) teknik pemesinan (Job-Sheet) serta modul pembelajaran teknik pemesinan, dan panduan penilaian teknik pemesinan. Selain melihat dari referensi kurikulum yang telah dikeluarkan secara nasional juga dilakukan penyusunan format perangkat yang akan digunakan survai lapangan merupakan need assessment yang dilakukan dengan wawancara terbuka dan diskusi kelompok terfokus para pengelola pendidikan menengah, kalangan ahli pendidikan dan teknologi pembelajaran dan pakar kurikulum untuk menggali pendapat tentang konsep atau format mata pelajaran teknik pemesinan (termasuk KI, KD silabus dan RPP) yang dikembangkan. Setelah perangkat pembelajaran teknik pemesinan seleseai, untuk materi tertentu yang sulit dijelaskan kepada siswa secara langsung, akan digunakan media pembelajaran berbantuan komputer dalam bentuk video dan power point yang dapat dipelajari secara mandiri. Analisis siswa digunakan untuk mengkaji tingkat perkembangan kognitif mereka, sehingga nantinya dapat digunakan sebagai pijakan menelaah buram pokok bahasan KI dan KD dan indikator siswa SMK. Analisis dilakukan dengan mengkaji berbagai hasil riset yang terkait dengan tingkat perkembangan
181
kognitif siswa, baik di Indonesia dan di negara berkembang lainnya melalui referensi yang diperoleh. Analisis konsep diterapkan untuk menganalisis pokok bahasan hasil kajian teknik pemesinan yang akan diterapkan di SMK. Analisis konsep menggunakan kriteria bahwa KI dan KD memuat subsub kompetensi penting, belum dikuasai siswa, dan sulit dipelajari dari sumber lain serta memiliki peran penting untuk membekali kompetensi kepada siswa. KI dan KD inilah yang selanjutnya akan dituangkan dalam Silabus mata pelajaran teknik pemesinan, RPP, Job-Sheet, dan pada modul teknik pemesinan. Analisis tugas dilakukan untuk menentukan atau membuat tugas-tugas yang bisa dijadikan sarana untuk penguatan pemahaman siswa terhadap materi pada perangkat pembelajaran, terutama yang dibuat dalam bentuk modul dan media pembelajaran berbantuan komputer dalam bentuk video dan power point yang dapat dipelajari secara mandiri. Melalui tugas ini siswa dapat menguatkan pemahaman materi yang disajikan dalam modul dan media pembelajaran berbantuan komputer dalam bentuk video dan power point dengan mengerjakannya di rumah. Dalam pembuatan tugas harus mengacu pada tujuan pembelajaran. Sehingga tugas yang diberikan dapat bermanfaat dan membantu siswa untuk memahami materi dalam perangkat pembelajaran. Analisis tujuan pembelajaran dilakukan untuk menentukan tujuan pembelajaran yang harus dikuasai oleh siswa guna mencapai penguasaan kompetensi di bidang teknik pemesinan yang relevan dengan kebutuhan masyarakat, dunia usaha dan dunia industri. modul yang dibuat. Dengan telah ditentukannya tujuan pembelajaran yang harus diuasai oleh siswa, maka dapat disusun perangkat pembelajaran dengan isi atau materi yang relevan dengan kompetensi yang ingin dicapai. Untuk menjamin content dan face validity dan pokok-pokok KI dan KD tersebut direviu dalam diskusi kelompok terfokus (focus group discussion) dan diteruskan dengan penilaian oleh pakar (expert judgment). Pakar yang dilibatkan dalam diskusi kelompok terfokus dan expert judgment adalah pakar bidang pendidikan dasar dan menengah, kurikulum, teknologi pendidikan, manajemen pendidikan, pihak DUDI dan bahasa Indonesia. Dengan demikian pada tahap define akan dihasilkan kerangka dasar produk penelitian yang telah melalui tahap pembahasan, mencakup format need assessment, Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) Mata Pelajaran teknik pemesinan, Silabus mata pelajaran teknik pemesinan, Job-Sheet teknik pemesinan, Modul pembelajaran mata pelajaran teknik pemesinan, panduan penilaian dan penduan pelaksanaan teknik pemesinan. Berdasarkan kerangka dasar tersebut kemudian diteruskan pada tahap develop, yakni penulisan draf dokumen produk penelitian dan reviu pakar. Naskah produk penelitian tersebut ditulis oleh peneliti bersama pakar dan praktisi yang relevan.
Tahap reviu pakar dimaksudkan untuk memperoleh masukan tentang kebenaran substansi yang dikembangkan oleh penulis berdasarkan kerangka substansi yang ada. Di samping itu, langkah ini dimaksudkan untuk memperoleh validasi tentang : (a) kebenaran konsep, (b) tujuan pembelajaran, (c) kebenaran tata-tulis, (d) kualitas gambar dan ilustrasi lainnya, (e) relevansi pertanyaan/tugas terhadap tujuan pembelajaran, dan (f) kualitas layout. Sesuai dengan indikator yang digunakan dalam reviu maka pakar yang dilibatkan dalam kegiatan ini mencakup: praktisi industri, teknologi pendidikan, pakar kurikulum pendidikan dasar dan menengah, bahasa Indonesia, dan disain grafis. Selanjutnya, naskah draf produk penelitian direvisi berdasarkan masukan dan hasil validasi. Pada tahap ketiga dilakukan ujicoba empirik naskah draf produk penelitian yang telah disusun. Naskah draf produk penelitian sebenarnya sudah mendekati final. Meskipun demikian, untuk memperoleh bukti empiris bahwa produk penelitian telah layak pakai maka produk penelitian tersebut dilakukan uji coba secara empiris pada kalangan terbatas. Uji coba dilaksanakan pada siswa di SMK yang telah dipilih sebagai tempat penelitian. Hasil uji coba terbatas digunakan sebagai bahan perumusan rekomendasi pemakaian produk penelitian (tahap disseminate). Pelaksanaan ujicoba empirik dilakukan dengan rancangan kelas kontrol dan kelas eksperimen pada SMK yang dipilih sebagai sample ujicoba. Pelaksanaan ujicoba akan disesuaikan dengan jadual kalender akademik yang ada di SMK. Ujicoba ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah perangkat pembelajaran teknik pemesinan yang telah dikembangkan efektif dalam meningkatkan hasil belajar siswa. Di samping itu ingin diketahui bagaimana keterbacaan perangkat pembelajaran yang telah dikembangkan tersebut. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Deskripsi Data Hasil Validasi Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model pembelajaran teknik pemesinan di SMK agar proses pembelajaran dapat berjalan secara efektif dan efisien guna meningkatkan ketercapaian penguasaan kompetensi bidang pemesinan lulusan SMK. Berdasarkan pada tujuan umum penelitian ini, maka tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah dihasilkannya perangkat pembelajaran teknik pemesinan yang memberikan kemudahan bagi siswa dalam memahami materi dipelajarinya. Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, dalam pelaksanaan penelitian tahun pertama ini telah dihasilkan instrumen need assessment dan naskah draf perangkat pembelajaran yang telah valid, yakni: (1) draf KI-KD teknik pemesinan berdasarkan hasil need assessment, (2) draf silabus teknik pemesinan, (3) draf RPP teknik Pemesinan, (4) draf modul teknik
182
pemesinan, (5) draf job-sheet teknik pemesinan, (6) draf panduan penilaian teknik pemesinan, dan (7) media PBK-TP dalam bentuk video dan power point. Selanjutnya produk penelitian yang sudah divalidasi dan direvisi ini akan dilakukan diuji coba, FGD dan direvisi untuk menghasilkan produk perangkat pembelajaran yang lebih terjamin kualitasnya, lebih valid dan layak untuk didesiminasikan. Untuk mendapatkan model perangkat pembelajaran yang teruji validitasnya, maka sebelum melakukan kegiatan uji coba, terhadap perangkat pembelajaran dan instrumen-instrumen pendukungnya, terlebih dahulu dilakukan validasi secara konseptual. Saran-saran dari validator dikaji untuk menjadi bahan acuan dalam merevisi instrumen, sedangkan hasil penilaian validator dalam bentuk lembar penilaian dianalisis menggunakan statistik deskriptif. Penilaian hasil validasi dengan skore penilaian satu (1), dua (2), tiga (3) dan empat (4), diinterpretasikan kedalam kriteria penilaian setiap aspek yang dinilai, dengan penetapan kriteria kualitas perangkat instrumen mengacu pada Saifuddin Anwar (2010: 109) sebagai berikut: 3,51 ≤ M ≤ 4,0 kategori sangat valid 3,51 ≤ M ≤ 3,5 kategori valid 2,51 ≤ M ≤ 3,5 kategori kurang valid 1,00 ≤ M ≤ 2,5 kategori tidak valid M = rerata skor untuk setiap aspek yang dinilai
Tabel 3. Penilaian Kelayakan Instrumen Penelitian No
1
2
3
4
Lembar Penilaian instrument NA Lembar Penilaian Silabus Lembar Penilaian RPP Lembar Penilaian modul
Penilaian Validator
Frek
Frek
5
6
7
Nama Instrumen Lembar Penilaian Job Sheet Lembar Penilaian Panduan Penilaian Teknik Pemesinan Lembar Penilaian media PBKTP
Penilaian Validator
Frek
Frek
Simpulan
A
A
2
-
TR
A
A
2
-
TR
B
A
1
1
SR
Keterangan: A = Dapat digunakan tanpa revisi B = Dapat digunakan, sedikit revisi TR= Tanpa revisi SR= Sedikit revisi Berdasarkan Tabel 3 tersebut dapat disimpulkan bahwa ada tiga instrumen yang tidak perlu direvisi yaitu: lembar penilaian RPP, lembar penilaian Job Sheet, dan lembar penilaian Panduan Penilaian Teknik Pemesinan. Sedangkan instrumen yang perlu sedikit perbaikan ada 4 yaitu: instrument need assessment, lembar penilaian silbus, lembar penilaian modul, dan lembar penilaian media PBK-TP dalam bentuk video dan power point. Tabel 4. Rekapitulasi Hasil Validasi Instrumen dari Validator
Hasil analisis validasi instrumen-instrumen perangkat pembelajaran direkapitulasi dan dikalkulasi sehingga mendapatkan nilai rerata setiap aspek dan ditabulasikan kedalam tabel-tabel rekapitulasi data. Hasil validasi kelayakan instrumen secara keseluruhan yang dikategorikan menjadi empat yaitu: (a) dapat digunakan tanpa revisi (A), (b) dapat digunakan dengan sedikit revisi (B), (c) dapat digunakan dengan banyak revisi (C), (d) belum dapat digunakan (D). Dari keempat kategori tersebut, penilaian validator berada pada kategori A yaitu instrumen dapat digunakan tanpa revisi, dan kategori B yaitu instrumen dapat digunakan dengan sedikit revisi. Kelayakan instrumen yang telah divalidasi disajikan pada Tabel 3. Nama Instrumen
No
Simpulan
1
2
A
B
B
A
1
1
SR
B
B
-
2
SR
A
A
2
-
TR
A
B
1
1
SR
No
Nama Instrumen
1
Lembar Penilaian instrument NA Lembar Penilaian Silabus Lembar Penilaian RPP Lembar Penilaian modul Lembar Penilaian Job Sheet Lembar Penilaian Panduan Penilaian Teknik Pemesinan Lembar Penilaian media PBK-TP
2 3 4 5 6
7
Total Rerata
Skor Rerata 3.44
Keterangan Valid
3.45
Valid
3.68 3.55
Sangat Valid Sangat Valid
3.69
Sangat Valid
3.75
Sangat Valid
3.75
Sangat Valid
3.62
Sangat Valid
Untuk melengkapi kelayakan instrumen, berikut divisualisasikan rekapitulasi hasil validasi kedua validator pada Tabel 4. Berdasarkan Perhitungan pada Tabel 4 dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan instrumen pengembangan model pembelajaran teknik pemesinan yang efektif di SMK sangat valid yang berarti dapat digunakan. Adapun validasi masing-masing perangkat pembelajaran dengan instrumen yang telah divailidasi oleh dua orang guru pengajar, dalam pengembangan model pembelajaran teknik pemesinan yang efektif di SMK ini, hasilnya dirangkum dalam Tabel 5. Tabel 5. Rekapitulasi Hasil Validasi Perangkat Pembelajaran
183
No 1 2 3 4 5
Nama Perangkat Pembelajaran Silabus RPP Modul Job-sheet Video Teknik Pemesinan Bubut Rerata
Skor Rerata Hasil Validasi 3.60 3.57 3.56 3.71
Sangat Valid Sangat Valid Sangat Valid Sangat Valid
3.58
Sangat Valid
3.60
Sangat Valid
Keterangan
Berdasarkan hasil validasi instrumen penelitian dan perangkat pembelajaran oleh para ahli dan praktisi pendidikan, selanjutnya dari hasil validasi direvisi sesuai saran dan penilaian validator sehingga menghasilkan instrumen dan perangkat pembelajaran yang siap untuk diujicobakan. Perangkat pembelajaran teknik pemesinan yang telah divalidasi dan direvisi ini akan dilakukan uji coba dalam pelaksanaan penelitian tahun kedua. Uji coba dilakukan sebanyak dua kali, yaitu uji coba terbatas (kelompok kecil) dilaksanakan tiga kali tatap muka (jadwal disesuaikan dengan kalender akademiki sekolah). Siswa yang menjadi subjek coba adalah siswa SMK kelas XI program keahlian Teknik Pemesinan. Setelah uji kelompok kecil dilakukan FGD dengan guru pengajar, siswa, dan pengamat, untuk memperoleh berbagai masukan yang belum terekam dalam instrumen penelitian. Hasil uji kelompok kecil yang telah direvisi, menjadi bahan untuk pelaksanaan uji coba kelompok besar. Setelah merevisi berbagai instrumen uji kelompok kecil, kemudian diujicobakan lagi pada kelompok yang lebih luas (uji kelompok besar), dilaksanakan dua kali tatap muka, dengan subjek coba siswa SMK kelas XI program keahlian Teknik Pemesinan, yang dilaksanakan sesuai dengan kalender akademik sekolah. Guru pengajar yang menjadi subjek coba pada pembelajaran kelompok kecil dan besar sama. Setelah selesai uji kelompok besar juga dilaksanakan FGD dengan guru pengajar, lima orang perwakilan siswa, dan pengamat, untuk memperoleh berbagai masukan. Setelah uji coba kelompok besar dilakukan, dan diadakan sedikit perbaikan maka diperoleh model pembelajaran teknik pemesinan yang efektif dan siap diaplikasikan secara luas di SMK 3.2 Deskripsi Data Hasil Uji Coba Setelah hasil validasi direvisi sesuai saran dan penilaian validator sehingga menghasilkan perangkat pembelajaran dan instrumen yang valid, langkah selanjutnya adalah melakukan ujicoba. Uji coba dilaksanakan empat kali tatap muka, dengan subjek coba siswa SMK kelas XI program keahlian Teknik Pemesinan, yang dilaksanakan sesuai dengan kalender akademik sekolah. Uji coba dilakukan terhadap dua kelas XI program keahlian Teknik Pemesinan, yakni kelas XI TPM-1 sebagai kelas eksperimen dan kelas XI TPM-2 sebagai kelas kontrol. Setelah uji coba kelompok besar dilakukan, dan diadakan sedikit perbaikan maka diperoleh perangkat model
pembelajaran teknik pemesinan yang efektif dan siap diaplikasikan dilapangan dan digunakan secara luas. Untuk mengetahui efektifitas media PBK-TP dalam pembelajaran teknik pemesinan di SMK, dilakukan uji coba. Pengumpulan data hasil uji coba dilakukan dengan menggunakan instrument berupa tes obyektif dan tes ketrampilan, yakni nilai dari hasil pretest, post-test dan tes ketrampilan praktik membubut sesuai dengan jobsheet. Berikut akan disajikan data hasil belajar pada kelas eksperimen yang proses pembelajarannya menggunakan media PBK-TP dan kelas kontrol yang pembelajarannya masih menggunakan model pembelajaran konven-sional, yakni model pembelajaran yang dilakukan oleh guru selama ini yang masih monoton, metode mengajar yang kurang bervariasi dan kurang memberi kesempatan kepada siswa untuk berpikir secara kreatif. Data yang diperoleh dari hasil uji coba diuraikan sebagai berikut. 3.2 .1 Data hasil pre test Data nilai hasil pre test peserta didik pada kelas eksperimen dan kelas kontrol dapat dilihat pada lampiran 8. Berikut grafik frekuensi dari data statistik hasil pre test kelas ekperimen dan kelas control. 20 15 10
Jumlah Siswa
5 0 60-70
71-80
81-90
91-100
Grafik 3. Nilai Pre Test Kelas Eksperimen
Berdasarkan analisis grafik data di atas, sebelum menggunakan model pembelajaran PBK-TP pada kelas eksperimen diperoleh nilai tertinggi yaitu 84, nilai terendah peserta didik adalah 60, dengan rata-rata 72,2. Nilai di atas median sebanyak 58,3% dan dibwah median sebanyak 41,7%. Sedangkan hasil analisis data untuk kelas kontrol dapat dilihat pada grafik nilai berikut ini:
Grafik 4. Nilai Pre Test Kelas Kontrol
Berdasarkan analisis data yang diperoleh dari Pre Test, nilai tertinggi kelas kontrol adalah 84, nilai terendah 60, rata-rata 73,7, nilai di atas median
184
sebanyak 58,3% dan di bawah median sebanyak 41,7%. Dari gambar grafik nilai kedua kelas di atas, dapat disimpulkan bahwa sebelum dilakukan perlakuan, kelas kontrol memperoleh rata-rata nilai kelas sedikit lebih tinggi dibandingkan kelas eksperimen, yakni 73,7 untuk nilai kelas kontrol dan 72,2 untuk kelas eksperimen. Namun jumlah nilai di atas median untuk kedua kelas di atas sama besar, yakni 58,3% dan nilai di bawah median kedua kelas tersebut sebesar 41,7%. 3.2.1 Data hasil post test 3.2.2.1 Data hasil post test aspek kognitif Data hasil post test aspek kognitif berupa nilai yang diperoleh siswa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol setelah kedua kelas tersebut diberikan pembelajaran mata pelajaran teknik pemesinan dengan materi yang sama, dimana pada kelas eksperimen dilakukan pembelajaran dengan menggunakan media PBK-TP dan pada kelas kontrol dilakukan pembelajaran konvensional. Data nilai post 25 20 15 Jumlah Siswa
10 5 0 60-70
71-80
81-90
91-100
Gambar 5. Grafik Nilai Post Test Kelas Kontrol
test aspek kognitif kelas eksperimen dan kelas kontrol dapat pada grafik frekuensi nilai post test kelas ekperimen dan kelas kontrol.
Dari hasil analisis data pada Garfik 5 diperoleh nilai tertinggi kelas pada kontrol setelah pembelajaran adalah 91, nilai terendah peserta didik adalah 65, dengan ratarata 77,08, nilai di atas median (78) sebanyak 41,6% dan di bawah median sebanyak 58,4%. 25 20 15 Jumlah Siswa
10
eksperimen berbeda dibandingkan dengan nilai ratarata kelas control dengan nilai kelas eksperimen lebih tinggi, yakni nilai rata-rata kelas eksperimen 81,5 dan nilai rata-rata kelas control 77,08. 84 82 80 78 76 74 72 70 68 66
Sebelum Pembelajaran
Konvensional Kontekstual
Setelah Pembelajaran
Gambar 7. Grafik Hasil Belajar Aspek kognitif Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
3.2.2.2 Data hasil post test aspek psikomotor Data hasil praktik membubut, diperoleh dari nilai siswa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol setelah kedua kelas tersebut diberikan pembelajaran mata pelajaran teknik pemesinan dengan materi yang sama, dimana pada kelas eksperimen dilakukan pembelajaran dengan menggunakan media PBK-TP dan pada kelas kontrol dilakukan pembelajaran konvensional. Berdasarkan analisis data setelah pembelajaran dengan menggunakan model media PBK-TP pada kelas eksperimen, diperoleh nilai praktik tertinggi 91, nilai terendah peserta didik adalah 73, dengan rata-rata 81,94, sedangkan pada kelas kontrol, diperoleh nilai praktik tertinggi 91, nilai terendah peserta didik adalah 65, dengan rata-rata 78,14. Dari hasil ini dapat diketahui bahwa hasil nilai rata-rata kelas kelas eksperimen berbeda dibandingkan dengan nilai rata-rata kelas control dengan nilai kelas eksperimen lebih tinggi, yakni nilai rata-rata kelas eksperimen 81,94 dan nilai rata-rata kelas control 78,14.
85 80 75 70 65
KELAS KONTRO L/ KONVEN SIONAL
5 0 60-70
71-80
81-90
91-100
Gambar 6. GrafikNilai Post Test Kelas Eksperimen
Grafik 7. Grafik Hasil Belajar Aspek kognitif Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
Dari analisis data kelas eksperimen dan kelas kontrol seperti yang ditunjukkan pada gambar grafik di atas dapat diketahui bahwa hasil nilai rata-rata kelas
3.3 Pembahasan Hasil Penelitian Pembahasan hasil dilakukan beberapa tahapan yaitu sebelum pembelajaran, saat proses pembelajaran,
185
dan setelah pembelajaran. Melalui ketiga langkah tersebut diperoleh data hasil penelitian, hasil belajar peserta didik dapat diperoleh dari proses belajar mengajar yang diukur melalui tes. Kegiatan tes dilakukan dua kali yaitu tes sebelum pembelajaran dan tes setelah pembelajaran. Pengalaman belajar peserta didik sebelum proses belajar mengajar dapat diukur dengan pre test. Nilai tersebut menunjukan tingkat pemahaman awal peserta didik terhadap materi pembelajaran. Dari hasil tes ini dapat diketahui besarnya penguasaan dan pegetahuan awal terhadap materi pembelajaran yang akan di sampaikan, sehingga seorang pengajar dapat menselaraskan antara pegetahuan yang di kuasai peserta didik saat ini dengan materi yang harus diberikan kemudian. Dari nilai pre test, kelas kontrol memiliki rata nilai kelas sebesar 73,7, sedangkan kelas eksperimen memiliki rata-rata nilai kelas sebesar 72,2. Namun perbedaan yang signifikan tergambar pada hasil nilai, setelah perlakuan. Pada skala nilai (0-100), nilai ratarata kelas kontrol setelah perlakuan untuk aspek kognitif adalah 77,08, sedangakan nilai rata-rata untuk kelas eksperimen adalah 81,5. Sedangkan nilai ratarata kelas kontrol setelah perlakuan untuk aspek psikomotor adalah 78,14 sedangakan nilai rata-rata untuk kelas eksperimen adalah 81,92. Berdasarkan perbedaan rata-rata hasil belajar pada mata pelajaran Teknik Pemesinan dapat disimpulkan, bahwa kelas eksperimen yang menggunakan model pembelajaran PBK-TP memperoleh hasil belajar lebih baik dari pada peserta didik yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran konvensional. Hasil ini mrnunjukkan bahwa Model Pembelajaran PBK-TP yanag dikembangkan terbukti efektif.
kelas kontrol sebesar 77,08 dan lebih tingginya nilai rata-rata aspek psikomotor kelas eksperimen yakni sebesar 81,92 dibandingkan dengan kelas kontrol sebesar 78,14. 5. DAFTAR PUSTAKA [1].Finch, C. R., and Crunkilton, J. R., (1979). Curiculum Development in Vocational and Technical Education: Planning, Content, and Implementation. Boston, Massachusetts: Allyn and Bacon, Inc. [2]. Zahrial Fakhri, (2007). Reposisi pendidikan kejuruan menjelang 2020. Jurnal elektronik. Sumber: http://www.aceh forum.or.id/ pendidikan-kejuruan-dit9553.html.03-08. [3].Depdiknas, (2006). Penyelenggaraan Sekolah Menengah kejuruan. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan. [4]. Thiagarajan, S., Semmel, D. S & Semmel, M. I. (1974). Instructional Development for Training Teachers of Expectional Children. Minneapolis, Minnesota: Leadership Training Institute/Special Education, University of Minnesota. [5].Azwar, Saifuddin. (2010). Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
4 KESIMPULAN Pelaksanaan penelitian ini talah menghasilkan produk penelitian perangkat pembelajaran teknik pemesinan di SMK yang terdiri dari rumusan: (a) KIKD teknik pemesinan berdasarkan hasil need assessment, (b) silabus teknik pemesinan, (c) RPP teknik Pemesinan, (d) modul teknik pemesinan, (e) draf job-sheet teknik pemesinan, (f) panduan penilaian teknik pemesinan, dan (g) media PBK-TP. Hasil uji coba perangkat pembelajaran model PBK-TP yang telah dilakukan menunjukkan bahwa perangkat pembelajaran model PBK-TP teruji efektif untuk pembelajaran mata pelajaran Teknik Pemesinan di SMK. Hal ini dapat dilihat dari tes tulis untuk aspek pengetahuan (kognitif) dan tes praktik membubut untuk aspek keterampilan (psikomotor). Hasil uji coba menunjukkan terdapat perbedaan hasil belajar aspek kognitif dan aspek psikomotorik peserta didik pada mata pelajaran Teknik Pemesinan antara yang menggunakan model PBK-TP dibandingkan dengan yang menggunakan model pembelajaran konvensional. Hal ini ditunjukkan dengan lebih tingginya nilai rata-rata aspek kognitif kelas eksperimen yakni sebesar 81,5 dibandingkan dengan
186
Respon Pembaca Pada Majalah Emerald Mahasiswa Jurusan Bahasan dan Sastra Inggris Diana B.D.1, Mamik Tri Wedawati2*), Adama Damanhuri3 1
Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya, E-mail: Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya. E-mail: [email protected]. 3 Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya, E-mail: 2
ABSTRACT The following is a research that will gain responds from students as readers which will be the suggestion for the next edition of Emerald magazine written by students of English Department. Emerald magazine has been published again in 2015 after being vacum since 1986. In the era, Emerald became the icon of English Department and the students including the alumny. Nowadays, Emerald wants to find its new form. The responds from readers are really meaningful for Emerald next edition. Furthermore, Emerald which will be distributed to all students, getting good responds from students. This requires an analysis of academic to sustain it. As the initial focus of the analysis this research focused on the layout and the type of writing. The data shows that most responses give good value that will drive it in developing the quality and quantity of the magazine Key Words: Emerald, magazine, reader respond ABSTRAK Majalah Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris telah diterbitkan kembali tahun 2015 sejak awal terbitannya di tahun1986. Dimasanya majalah yang bernama Emerald telah menjadi ikon dan dokumen penting bagi jurusan dan alumninya. Karena alasan tertentu, majalah ini vakum dan tidak diterbitkan lagi selama lebih dari 20 tahun. Untuk alasan itu perlu dipahami respon dari pembacanya sehingga dapat melanjutkan keberlangsungannya. Terbitan terakhir dengan bahasa pengantar Inggris memiliki wajah yang baru. Lebih lanjut, setelah majalah dikontribusikan ke tiap angkatan, animo pembaca terlihat respon yang baik. Hal ini memerlukan analisis yang akademis tntuk mempertahankan keberadaannya. Sebagai awal analisis fokus dititikberatkan pada layout dan jenis tulisan dan data enunjukkan bahwa sebagian besar respon memberi pilihan nilai baik sehingga dapat mengembangkan kualitas dan kuantitas majalah. Kata Kunci: Emerald, majalah, respon mahasiswa 1. PENDAHULUAN Pada tahun 2016, Indonesia mencanangkan revolusi mental yang bisa diartikan sebagai kritisi dan inovasi dalam melakukan pengembangan. Terutama selingkung dengan ruang pendidik dan pendidikan. Untuk menjadi kritis dan inovatif memerlukan pengetahuan dan tindakan yang konkrit. Dua hal tersebut dapat diimplikasikan dalam bentuk karya dan resepsi pembaca. Mahasiswa Jurusan Bahasa Inggris melahirkan kembali majalah yang dahulu pernah meramaikan suasana akademik dan non-akademik Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris. Diberi nama yang sama, Emerald, majalah mahasiswa tersebut baru mulai dirintis kembali tahun 2015. Pada tahun 2016 telah terbit edisi pertama. Salah satu hasil karya mahasiwa Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris yang bermanfaat sebagai proses pembelajaran dan pengalaman hidup adalah majalah mahasiswa. Majalah seperti ini sudah pernah terbit perdana di tahun 1980an. Setelah beberapa kali penerbitan, keberadaanya sulit dipertahankan dan bahkan baru bisa terbit lagi di tahun 2015. Dengan terbitnya majalah yang secara sengaja diberi nama yang sama dengan majalah yang pernah
ada di jurusan bahasa dan sastra inggris UNESA, akan memberi nuansa baru dalam kehidupan akademik dan non-akademik khususnya pada mahasiswa baik dari pendidikan dan non-kependidikan. Para mahasiswa dapat menikmati karya yang ditulis, diatur, diproduksi oleh mahasiswa yang berasal dari angkatan yang beragam, yaitu 2012, 2013, dan 2014. Terbit dengan nama yang sama dengan periode sebelumnya, Emerald; pada tahun 2015, mahasiswa menyusun materi dengan format yang lain. Majalah yang disusun untuk pembaca dewasa usia antara 1745 tahun berisi 36 halaman, isinya terdiri atas: cover story, feature, event, short story, poems, book review, hobbies, dan game. Mahasiswa merencanakan untuk memiliki tema yang berbeda untuk setiap edisinya. Tema-tema yang dipilih yaitu tema yang kekinian dan kekal. Keberagaman isi majalah menjadikannya sebuah karya sastra. Majalah telah menjadi bagian terdekat dari karya sastra seperti cerita pendek, puisi, drama, esei baik berupa teks asli ataupun terjemahan[1]. Secara rutin majalah memberikan ruang yang luas pada teks karya sastra. Terbitnya majalah Emerald tidaklah terbit tanpa peran serta pihak lain. Para alumni yang sekaligus
187
merupakan praktisi di bidang media dan dosen pengajar juga kami libatkan secara aktif. Dimulai dengan pelatihan dan workshop sampai pada tahap praktek dan konsultasi, semua pihak tetap saling berkoordinasi dengan baik. Dosen pengajar jurusan membimbing dalam menentukan topik, membentuk redaktur, proses penyusunan, editing, dan cetak untuk memperlancar kegiatannya. Pada proses editing, perbaikan tulisan yang diterbitkan lebih menekankan pada perbaikan kebahasaan karena masih berkaitan dengan salah satu matakuliah yaitu menulis kreatif. Disisi lain, pemahaman terhadap teks memperlihatkan kesulitan antar fiksi dan non fiksi. Pendapat ini sebagian besar terserap melalui diskusi antara redaktur dan pengajar. Pengajar sebagai pembaca menemukan banyak kelemahan pada kedua jenis teks. Artikel yang berbentuk report dan bercerita masih banyak kesalahan struktur bahasa dan kekeliruan dalam pengungkapan konteks. Pemahaman menjadi tidak jelas sehingga harus berkali-kali diperbaiki. Perbaikan tulisan yang diterbitkan lebih menekankan pada perbaikan kebahasaan karena masih berkaitan dengan salah satu matakuliah yaitu menulis kreatif. Disisi lain, pemahaman terhadap teks memperlihatkan kesulitan antar fiksi dan non fiksi dan ini perlu disosialisasikan pada masyarakat. 2. READER RESPOND Reader responds atau resepsi pembaca berasal dari bahasa Latin, recipere yang artinya penerimaan atau penyambutan pembaca[2]. Resepsi pembaca adalah teori yang menghubungkan antara penulis, teks dan pembaca. Teks dapat diinterpretasikan melalui pemaknaan dari sudut pandang penulis dan pembaca. Pemaknaan teks dari sudut pandang pembaca merupakan pendekatan yang sering digunakan pada penelitian mutakhir karena berusaha menjawab pertanyaan yang lebih bervariatif dalam memaknai teks seperti melalui keterkaitan teks dengan pembacanya[3]. Dalam menikmati suatu bentuk karya sastra, pembaca juga dapat memberikan tanggapan atau sambutan. Tanggapan dari seorang pembaca akan dipengaruhi uang, wkatu, dan golongan social[4]. Lebih jauh lagi Davis dan Womack menjelaskan bahwa teks merepresentaikan nilai budaya, struktur bahasa dan ide penulisnya. Ketiga hal ini membantu pembaca untuk memahami teks berdasarkan pengetahuannya sehingga perbedaan yang muncul merupakan data yang kemudian dapat diolah kembali. Bentuk yang konkrit adalah interpretasi yang berbeda pada tiap pembacanya dan bahkan pada penulisnya. Menurut Pradopo yang dimaksud resepsi adalah ilmu keindahan yang didasarkan pada tanggapantanggapan pembaca terhadap karya sastra. Teeuw (dalam Pradopo[1]) menegaskan bahwa resepsi termasuk dalam orientasi pragmatik. Karya sastra sangat erat hubungannya dengan pembaca, karena karya sastra dibuat untuk dinikmati oleh pembaca sedangkan penulis akan memperoleh kemanfaatan dari tulisannya jika tulisannya mendapatkan tanggapan dari
pembaca. Pembaca menentukan makna dan nilai dari karya sastra, sehingga karya sastra mempunyai nilai karena ada pembaca yang memberikan nilai. Resepsi yang bersifat positif akan membuat pembaca senang, tertawa, dan segera mereaksi dengan perasaannya. Hal ini sejalan dengan pemikiran Mukarovsky (dalam Endraswara[5]) yang menyebutkan bahwa peranan pembaca sangat penting, yaitu sebagai pemberi makna teks sastra. Pengalaman pembaca sebagai pembaca memiliki makna yang besar. Pengalaman membaca yang banyak dan lama dapat mempengaruhi pemahaman pembaca yang beragam dalam menerima efek teks yang dibacanya. Pembacaan yang beragam dalam periode waktu yang berbeda akan menunjukkan efek yang berbeda pula. Pengalaman pembaca dapat memberikan nilai yang besar terutama jika menggabungkan tanggapan lama dan baru pembacanya terhadap teks yang membawanya hadir dalam aktivitas pembacaan pembacanya. Dalam hal ini, kesejarahan sastra tidak bergantung pada nilai-nilai sastra tetapi dibangun oleh pengalaman kesastraan yang dimiliki pembaca atas pengalaman sebelumnya. Pradopo[1] mengemukakan bahwa penelitian resepsi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara sinkronis dan diakronis. Penelitian sinkronis merupakan penelitian resepsi terhadap sebuah teks sastra dalam masa satu periode. Penelitian ini menggunakan pembaca yang berada dalam satu periode. Sedangkan penelitian diakronis merupakan penelitian resepsi terhadap sebuah teks sastra yang menggunakan tanggapan-tanggapan pembaca pada setiap periode. Menurut Ratna[6], resepsi sinkronis merupakan penelitian resepsi sastra yang berhubungan dengan pembaca sezaman. Dalam hal ini, sekelompok pembaca dalam satu kurun waktu yang sama, memberikan tanggapan terhadap suatu karya sastra secara psikologis maupun sosiologis. Resepsi diakronis merupakan bentuk penelitian resepsi yang melibatkan pembaca sepanjang zaman. Penelitian resepsi diakronis ini membutuhkan data dokumenter yang sangat relevan dan memadai. Pada penelitian resepsi sinkronis, umumnya terdapat norma-norma yang sama dalam memahami karya sastra. Tetapi dengan adanya perbedaan horizon harapan pada setiap pembaca, maka pembaca akan menanggapi sebuah karya sastra dengan cara yang berbeda-beda pula. Hal ini disebabkan karena latar belakang pendidikan, pengalaman, bahkan ideologi dari pembaca itu sendiri. Penelitian resepsi sinkronis ini menggunakan tanggapan-tanggapan pembaca yang berada dalam satu kurun waktu. Penelitian ini dapat menggunakan tanggapan pembaca yang berupa artikel, penelitian, ataupun dengan mengedarkan angket-angket penelitian pada pembaca. Resepsi diakronis umumnya menggunakan pembaca ahli sebagai wakil dari pembaca pada tiap periode. Pada penelitian diakronis ini mempunyai kelebihan dalam menunjukkan nilai
188
senia sebuah karya sastra, sepanjang waktu yang telah dialuinya[1]. Menurut Endraswara[5] proses kerja penelitian resepsi sastra secara sinkronis atau penelitian secara eksperimental, minimal menempuh dua langkah sebagai berikut: 1. Setiap pembaca perorangan maupun kelompok yang telah ditentukan, disajikan sebuah karya sastra. Pembaca tersebut lalu diberi pertanyaan baik lisan maupun tertulis. Jawaban yang diperoleh dari pembaca tersebut kemudian dianalisis menurut bentuk pertanyaan yang diberikan. Jika menggunakan angket, data penelitian secara tertulis dapat dibulasikan. Sedangkan data hasil penelitian, jika menggukan metode wawancara, dapat dianalisis secara kualitatif. 2. Setelah memberikan pertanyaan kepada pembaca, kemudian pembaca tersebut diminta untuk menginterpretasikan karya sastra yang dibacanya. Hasil interpretasi pembaca ini dianalisis menggunakan metode kualitatif. Dalam penelitian diakronis, untuk melihat penerimaan sejarah resepsi, digunakan strategi dokumenter melalui kepuasan media massa. Hasil kupasan tersebut yang nantinya akan dikaji oleh peneliti[5]. Menurut Abdullah (dalam Jabrohim[6]), penelitian resepsi secara sinkronis dan diakronis, dimasukan ke dalam kelompok penelitian resepsi menggunakan kritik teks sastra. Dalam penelitian resepsi sastra, Abdullah membagi tiga pendekatan, yaitu: (1) penelitian resepsi sastra secara eksperimental, (2) penelitian resepsi lewat kritik sastra, dan (3) penelitian resepsi intertekstualitas. Secara umum, dari tiga pendekatan ini dapat dimasukkan ke dalam penelitian sinkronis dan diakronis, tidak hanya pada penelitian melalui kritik sastra saja. Penelitian eksperimental dapat dimasukan ke dalam peneitian sinkronis, karena dalam penelitian eksperimental ini mengunakan subjek penelitian yang berada dalam satu kurun waktu. Sedangkan penelitian dengan pendekatan yang ketiga, yaitu melalui intertekstualitas, dapat dimasukkan ke dalam penelitian diakronis. Karena dapat diteliti hasil konkretisasi melalui teks-teks sastra yang muncul pada setiap periodenya. Tetapi penelitian ini dapat digunakan pada teks sastra yang memiliki hubungan intertekstual dengan teks sastra yang menjadi acuan penelitian. 3. METODE PENELITIAN Teknik pengolahan data yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah dengan cara: 1. Penyusunan data. Data yang sudah ada perlu dikumpulkan semua agar mudah untuk mengecek apakah semua data yang dibutuhkan sudah terekap semua. Kegiatan ini dimaksudkan untuk menguji hipotesis penelitian. Penyusunan data harus dipilih data yang ada hubungannya dengan penelitian, dan
benar-benar otentik. Adapun data yang diambil melalui wawancara harus dipisahkan antara pendapat responden dan pendapat interviwer. 2. Klasifikasi data. Klasifikasi data merupakan usaha menggolongkan, mengelompokkan, dan memilah data berdasarkan pada klasifikasi tertentu yang telah dibuat dan ditentukan oleh peneliti. Keuntungan klasifikasi data ini adalah untuk memudahkan pengujian hipotesis. 3. Pengolahan data. Pengolahan data dilakukan untuk menguji hipotesis yang telah dirumuskan. Hipotesis yang akan diuji harus berkaitan dan berhubungan dengan permasalahan yang akan diajukan. Semua jenis penelitian tidak harus berhipotesis akan tetapi semua jenis penelitian wajib merumuskan masalahnya, sedangkan penelitian yang menggunakan hipotesis adalah metode eksperimen. Jenis data akan menentukan apakah peneliti akan menggunakan teknik kualitatif atau kuantitatif. Data kualitatif diolah dengan menggunakan teknik statistika baik statistika non parametrik maupun statistika parametrik. Statistika non parametrik tidak menguji parameter populasi akan tetapi yang diuji adalah distribusi yang menggunakan asumsi bahwa data yang akan dianalisis tidak terikat dengan adanya distribusi normal atau tidak harus berdistribusi normal dan data yang banyak digunakan untuk statistika non parametrik adalah data nominal atau data ordinal. 4. Interpretasi hasil pengolahan data. Tahap ini menerangkan setelah peneliti menyelesaikan analisis datanya dengan cermat. Kemudian langkah selanjutnya peneliti menginterpretasikan hasil analisis akhirnya peneliti menarik suatu kesimpulan yang berisikan intisari dari seluruh rangkaian kegiatan penelitian dan membuat rekomendasinya. Menginterpretasikan hasil analisis perlu diperhatikan hal-hal antara lain: interpretasi tidak melenceng dari hasil analisis, interpretasi harus masih dalam batas kerangka penelitian, dan secara etis peneliti rela mengemukakan kesulitan dan hambatan-hambatan sewaktu dalam penelitian. Pada penelitian ini akan menggunakan 2 jenis data, data kualitatif dan data kuantitatif. Pengolahan data kualitatif dalam penelitian akan melalui tiga kegiatan analisis yakni sebagai berikut. 1. Reduksi Data. Reduksi data dapat diartikan sebagai suatu proses pemilihan data, pemusatan perhatian pada penyederhanaan data, pengabstrakan data, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Dalam kegiatan reduksi data dilakukan pemilahan-pemilahan tentang: bagian data yang perlu diberi kode, bagian data yang harus dibuang, dan pola yang harus dilakukan peringkasan. Jadi dalam kegiatan reduksi data dilakukan: penajaman data, penggolongan data, pengarahan data, pembuangan data yang tidak perlu,
189
pengorganisasian data untuk bahan menarik kesimpulan. Kegiatan reduksi data ini dapat dilakukan melalui: seleksi data yang ketat, pembuatan ringkasan, dan menggolongkan data menjadi suatu pola yang lebih luas dan mudah dipahami. 2. Penyajian Data. Penyajian data dapat dijadikan sebagai kumpulan informasi yang tersusun sehingga memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian yang sering digunakan adalah dalam bentuk naratif, bentuk matriks, grafik, dan bagan. 3. Menarik Kesimpulan/Verifikasi. Sejak langkah awal dalam pengumpulan data, peneliti sudah mulai mencari arti tentang segala hal yang telah dicatat atau disusun menjadi suatu konfigurasi 4. tertentu. Pengolahan data kualitatif tidak akan menarik kesimpulan secara tergesa-gesa, tetapi secara bertahap dengan tetap memperhatikan perkembangan perolehan data. Pengolahan Data Kuantitatif meliputi: 1. Mengelompokkan Data. Ada dua jenis data, yaitu data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif tidak memerlukan perhitungan matematis. Sebaliknya, data kuantitatif memerlukan adanya perhitungan secara matematis. Oleh sebab itu, data kuantitatif perlu diolah dan dianalisis antara lain dengan statistik. Untuk mengolah dan menganalisis data, ada dua macam statistik, yaitu statistik deskriptif dan statistik inferensial. Statistik deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan variabel penelitian melalui pengukuran. Statistik inferensial digunakan untuk menguji hipotesis dan membuat generalisasi. 2. Kegiatan Awal dalam Mengelompokkan Data Agar data dapat dikelompokkan secara baik, perlu dilakukan kegiatan awal sebagai berikut. a. Editing, yaitu proses memeriksa data yang sudah terkumpul, meliputi kelengkapan isian, keterbacaan tulisan, kejelasan jawaban, relevansi jawaban, keseragaman satuan data yang digunakan, dan sebagainya. b. Coding, yaitu kegiatan memberikan kode pada setiap data yang terkumpul di setiap instrumen penelitian. Kegiatan ini bertujuan untuk memudahkan dalam penganalisisan dan penafsiran data. c. Tabulating, yaitu memasukkan data yang sudah dikelompokkan ke dalam tabel-tabel agar mudah dipahami. 3. Pengolahan Statistik Sederhana. Pengolahan statistik adalah cara mengolah data kuantitatif sehingga data mempunyai arti. Biasanya pengolahan data dilakukan dengan beberapa macam teknik, misalnya distribusi frekuensi (sebaran frekuensi) dan ukuran memusat (mean, median, modus).
4. ANALISIS Hasil respon terhadap majalah Emerald mengandung dua unsur yaitu unsur kelemahan dan kelebihan majalah secara umum. Kedua hal tersebut disimpulkan berdasar rubrik yang disebar ke mahasiswa. Alasan mengapa hanya mahasiswa saja karena memerlukan masukan dari pembaca terdekat dan menentukan awal permasalahan. Dengan teridentifakasi informasi ini, dibuatlah rubrik untuk menangalisis lebih lanjut temuannya. Dalam penelitian ini akan dibahs lebih jauh analisis rancangan, rubrik artikel, dan rubrik isi. 4.1. Analisis Rancangan Ada dua rubrik yang dibuat untuk menganalisis permasalahan yaitu yang berkaitan dengan rancangan dan artikel majalah. Pemilihan jenis rubrik ini berdasarkan permasalahan teknis. Permasalahan ini bersifat praktis tetapi detail. Uraian pertanyaan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Rubrik reader respond terhadap Emerald No 1
2
3
4
Keterangan Bagaimanakah menurut anda lay out dan design EMERALD? Bagaimanakah menurut anda material dan kualitas cetakan EMERALD? Bagaimanakah menurut anda format ukuran kertas EMERALD? Bagaimanakah menurut anda ukuran ketebalan kertas EMERALD?
1
2
3
4
Rincian pertanyaan yang diutarakan adalah yang berkaitan dengan rancangan/layout. Peneliti menyebutkan detailnya seperti layout dan desain, material dan kualitas kertas, serta ketebalan kertas. Majalah Emerald yang baru terbit pertama kali setelah lama tidak cetak memberikan suatu suasana baru dalam mewujudkan ide dan kreatifitas mahasiswa berkaitan dengan jurnalisme. Terbit dengan penampilan yang sangat bagus memberi dasar untuk menarik pendapat para pembaca terdekat; mahasiswa tentang hal teknis majalah Emerald. Alasan teknis menjadi data awal adalah sebelum diadakan penelitian ini, Emerald sudah diterbitkan kembali dan sepintas memiliki daya tarik tersendiri. Oleh sebab itu pertanyaan-pertanyaan diatas dimasukkan dalam materi kuesioner. Dengan diperolehnya data dari para pembaca, yaitu mahasiswa, majalah Emerald berusaha mencari bentuknya yang baru dan paling sesuai dengan selera yang ada. Selanjutnya data yang diperoleh dari pembaca akan membantu proses cetak majalah Emerald edisi kedua. Daftar pertanyaan yang diberikan pada pembaca Emerald tidak bersifat mendikte tetapi memberi kesempatan mahasiswa untuk menelaah pertanyaan dengan baik kemudian memilih nomor yang sesuai. Langkah seperti ini memberi penilaian yang akurat dan
190
praktis dan mempercepat pengumpulan data. Dari penyajian pertanyaan diatas didapatkan 50 mahasiswa menyatakan majalah emerald memiliki lay out dan design yang sangat baik, 30 mahasiswa menyatakan baik dan sisanya 20 mahasiswa menyatakan cukup baik. Tanggapan perihal materi dan kualitas cetakan, 60 mahasiswa menyatakan sangat baik, 30 mahasiswa menyatakan baik, dan 10 mahasiswa menyatakan cukup baik. 65 mahasiswa memberikan respons baik pada format ukuran kertas majalah emerald, 35 mahasiswa menyatakan baik. Sedangkan pada tanggapan ukuran ketebalan kertas mahasiswa menyatakan sangat baik (65 mahasiswa), baik (30 mahasiswa), dan cukup baik (5 mahasiswa). Dari data diatas dapat disampaikan bahwa secara keseluruhan pembaca (mahasiswa) menyenangi majalah emerald cetakan pertama dengan hasil kuesioner diatas 50 mahasiswa menyatakan sangat baik. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembaca memberikan tanggapan yang baik kepada rancangan majalah emerald yang baru. Tanggapan yang baik ini dapat dijadikan rujukan untuk cetakan majalah emerald selanjutnya. 4.2. Rubrik Artikel Bahasa pengantar dalam majalah adalah bahasa Inggris. Sebaran rubrik tidak menganalisis tentang struktur kebahasaan atau kreatifitas tetapi lebih pada pendapat umum tentang jenis-jenis artikel seperti di Tabel 2 berikut. Tabel 2. Rubrik reader respond terhadap Emerald No 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Keterangan Bagaimanakah menurut anda isi dari rubrik ED News (p.10-11)? Bagaimanakah menurut anda isi dari rubrik cover story Reasons why you should abroad (p.12)? Bagaimanakah menurut anda isi dari rubrik cover story Tips and Tricks (p. 13)? Bagaimanakah menurut anda isi dari rubrik feature Mr. Santiko Budi (p.14-15)? Bagaimanakah menurut anda isi dari rubrik ED News ESC Students Poll Result (p. 16-17)? Bagaimanakah menurut anda isi dari rubrik short story (p.18-21)? Bagaimanakah menurut anda isi dari rubrik Poems (p. 22-23)? Bagaimanakah menurut anda isi dari rubrik book review Percy Jackson’s Greek Gods (p.24-25)? Bagaimanakah menurut anda isi dari rubrik book review Eleonor and Park (p. 26-27)? Bagaimanakah menurut anda isi dari rubrik Hobbies (p. 28-30)?
1
2
3
4
No 11
Keterangan Bagaimanakah menurut anda isi dari rubrik Jokes and Riddles (p. 31-32)?
1
2
3
4
Disebutkan jenis sub judul seperti cover story, feature, short story dan lain-lain untuk mempermudah responded membedakan artikel. Penggunaan bahasa kedua telah mempersulit pemaknaan pada pertanyaan sehingga beberapa pertanyaan diajukan ke peneliti untuk memastikan arti pertanyaan. Pada rubrik isi ini mahasiswa memiliki penilaian yang lebih tinggi. Mahasiswa menilai bahwa isi dari rubrik pada majalah emerald sangat baik dengan adanya tanggapan dari 50 mahasiswa, 35 mahasiswa menyampaikan baik dan 15 mahasiswa menyatakan cukup. Isi dari rubrik cover story Reasons why you should abroad ditanggapi sangat baik oleh 55 mahasiswa, dinilai baik oleh 45 mahasiswa dan dinilai cukup oleh 5 mahasiswa. Isi rubrik cover story Tips dan Tricks dinilai sangat baik oleh 40 mahasiswa, dinilai baik oleh 40 mahamasiswa, dinilai cukup oleh 10 mahasiswa dan dinilai kurang baik oleh 10 mahasiswa. Isi rubrik feature Mr. Santiko dinilai sangat baik oleh 45 mahasiswa, dinilai baik oleh 40 mahasiswa, dan dinilai cukup oleh 5 mahasiswa. Isi rubrik ED News ESC Students Poll Result dinilai secara berurutan sangat baik, baik, cukup, dan kurang dengan jumlah 25, 60, 13, dan 2 mahasiswa. Isi rubrik dari short story dan poems dinilai berurutan dengan jumlah 20, 45, 30, dan 5 mahasiswa. Isi rubrik book review Percy Jackson’s Greek Gods dan Eleonor dan Park dinilai berurutan dengan jumlah sangat baik, baik, cukup, dan kurang dengan jumlah 40, 30, 30, dan 0; sedangkan review Eleonor Gods pada jumlah 30, 20, 45, 5. Mahasiswa menilai isi rubrik Hobbies sangat baik, baik, cukup dan kurang dengan jumlah 35, 35, 25, dan 0; sedangkan pada rubrik Jokes dan Riddles dinilai 30, 40, 20, dan 10 mahasiswa. Pada umumnya pilihan jawaban berkisar pada 3 dan 4. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul saat pengisian rubrik memberi kontribusi pada penelitian tentang pengetahuan responden terhadap istilah-istilah jurnalis sehingga jawaban lebih didasarkan pada rancangannya. Hal ini memberikan interpretasi yang berbeda dalam proses pembacaan data. Data belum bisa memberikan analisa lebih jauh berkaitan dengan pengetahun pembaca. Hasil yang baik pada sub bagian memiliki pemaknaan yang ganda. Pengetahuan dan penyusunan pertanyaan perlu diperhatikan pada penelitian lanjutan sehingga muncul komunikasi searah antara responden dan peneliti. 4.3. Rubrik Isi Tujuan pengisian rubrik isi adalah menekankan pada kepentingan informasi yang terkandung dalam artikel-artikel yang dimuat. Sebagai majalah terbitan terakhir setelah tahun 1988, pemutakhirannya perlu diperhatikan untuk mempersiapkan terbitan
191
berikutnya. Bentuk rubrik dapat dilihat di bagan dibawah ini:
sekaligus meningkatkan kualitas kreativitas dan pribadi mereka secara bertahap dan harapannya majalah emerald ini terus ada dengan regenerasi yang baik. Penelitian pada majalah emerald tersebut akan dilanjutkan dengan berangkat dari hasil temuan yang diperoleh saat ini. Temuan ini muncul karena jawabannya belum bisa mewakili opini mereka. Dari hasil ini dapat dijadikan evaluasi sekaligus berlanjut pada upaya perbaikan kualitas dan mutu isi yang baik. Hasil penilaian dari data rubrik terakhir juga berkisar antara 3 dan 4 yang berarti sajian yang ada dalam majalah emerald dinilai baik dan sangat baik. 5. DAFTAR PUSTAKA [1]. Pradopo, Rachmat Djoko. (2007). Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 211. [2]. Rahmawati, Dini Eka. (2008). Resepsi Cerita Rakyat Bledhug Kuwu. Skripsi. Semarang: Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang, 22. [3]. Connel, Jeanne. (1996). Assessing The Influence of Dewey’s Epistemology on Rosenblatt’s Reader Response Theory. Ilinois: University of Ilinois. [4]. Sastriyani, Siti Hariti. 2001. Karya Sastra Perancis Abad ke-19 Madame Bovary dan Resepsinya di Indonesia. Jurnal Humaniora, Vol.13, No. 3, 253. [5]. Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Media Pressindo, 127. [6]. Ratna, Nyoman Kutha, (2009). Teori, Metode, Dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. [7].Jabrohim, (2001). Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widia. 2001. H.162-163
Data rubrik isi perihal bahasa yang digunakan 100 mahasiswa menyatakan mudah memahami. Rubrik pesan yang disampaikan dalam materi majalah dinyatakan mudah dipahami oleh 80 mahasiswa dan 20 mahasiswa sangat mudah memahami. Rubrik keterkaitan antara gambar dan tulisan dalam majalah emerald dinilai terkait,dengan jumlah 90 mahasiswa dan 10 mahasiswa menyatakan sangat terkait. 95 mahasiswa menyatakan setuju jika majalah emerald terbit sekali dalam satu semester. Tanggapan perihal ide konten majalah yang berhubungan dengan peristiwa yang terjadi di jurusan bahasa Inggris 75 mahasiswa menyatakan tertarik, 15 menyatakan sangat tertarik dan 10 tidak tertarik. Isi berkaitan erat dengan latar belakang responden yaitu Program Studi Sastra Inggris. Dengan bahasa pengantar bahasa inggris dalam mayoritas semua perkuliahan, dalam proses kreatif dengan target luaran tertentu mahasiswa seharusnya juga harus bisa mempraktekkan kemampuan bahasa inggris dengan baik dan benar. Selain majalah yang diterbitkan, buku, makalah, penelitian dan fiksi dihasilkan oleh prodi sehingga responden kritis terhadap jawabannya. Majalah emerald merupakan suatu bentuk kreativitas dan apresiasi mahasiswa terhadap lingkungan mereka menggunakan bahasa inggris. Dengan majalah emerald juga, mahasiswa juga dapat mengembangkan
192
Pengembangan Instrumen Pengukuran Kadar Keguruan (Tingkat Kompetensi) Mahasiswa Calon Guru dan Guru PJOK Indonesia Suroto1*) 1
Jurusan Pendidikan Olahraga, Universitas Negeri Surabaya *) Alamat Korespondesi: Email: [email protected].
ABSTRACT Teacher’s competency became the main determinant of the quality of the process and learning outcomes. Efforts on improving quality of teacher requires competency measurement tools and competence building activities. Although the government has made an UKG (teacher competency test) as formally and yearly instrument, but on the other hand it could not be used as a daily instrumen by prospective and physical education (PE) teachers. In addition it measure pedagogic and professional competence only. Therefore, it needs a valid and practical measurement for measuring competencies that cover four competencies (pedagogical, professional, personal, and social) for the daily needs of teachers and prospective teachers as well as for research purposes. This instrument is intended to measure the level of competence of prospective teachers and PE teachers that developed based on 24 sub competence of Indonesian subject matter teachers (Permendiknas 16, 2007). Prospective teachers or PE teachers can determine their level of competence and describes himself after answering the physical evidence of their appropriate answer. Reality physical evidence and correspondence between the physical evidence with response categories determine the validity of the answer. This instrument can also be filled by the data collector after conducting interviews with prospective teacher or PE teachers. The maximum score for a prospective teacher is 62 while the maximum score for PE teacher is 100. These instruments have been declared valid by 3 validators that can be used according to the charging procedure. Key Words: measurement instruments, competence, prospective teacher, physical education teacher ABSTRAK Kompetensi guru menjadi penentu utama kualitas proses dan hasil pembelajaran. Upaya pembinaan keprofesian berkelanjutan membutuhkan alat ukur kompetensi dan kegiatan peningkatan kompetensi. Meskipun pemerintah telah membuat instrumen UKG secara formal dan berkala, namun selain tidak bisa digunakan seharihari oleh mahasiswa dan guru, jangkauannyapun hanya mengukur kompetensi pedagogik dan profesional saja. Oleh karena itu dibutuhkan alat ukur kompetensi yang valid dan praktis yang menjangkau 4 kompetensi (pedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial) untuk keperluan sehari-hari guru maupun calon guru serta untuk keperluan penelitian. Instrumen ini dimaksudkan untuk mengukur tingkat kompetensi mahasiswa calon guru maupun guru PJOK yang dikembangkan berdasarkan 24 sub kompetensi guru mata pelajaran pada Permendiknas 16 tahun 2007. Mahasiswa atau guru dapat mengetahui tingkat kompetensi dirinya setelah menjawab dan mendeskripsikan bukti fisik dari jawabannya secara tepat. Realitas bukti fisik dan kesesuaian antara bukti fisik dengan kategori jawaban menentukan validitas jawabannya. Instrumen ini juga dapat diisi oleh pengumpul data setelah melakukan wawancara dengan mahasiswa atau guru yang hendak diukur tingkat kompetensinya. Skor maksimal untuk mahasiswa adalah 62 sedangkan skor maksimal untuk guru adalah 100. Instrumen ini telah dinyatakan valid oleh 3 validator sehingga dapat digunakan sesuai prosedur pengisian. Kata Kunci: instrumen pengukuran, kompetensi, calon guru, guru PJOK
1. PENDAHULUAN Masalah pendidikan menjadi tidak pernah ada habisnya dibahas mengingat masih banyak hal yang perlu diperbaiki. Guru menjadi satu variabel krusial yang menjadi pokok bahasan dalam dunia pendidikan. Sedikitnya ada empat permasalahan dalam pendidikan yang menyangkut keberadaaan guru yaitu: pendidikan guru yang masih belum memadai secara nasional, kesejahteraan para guru, pembinaan karir yang tidak berjalan sesuai tujuan, masalah sistem rekrutmen atau pengangkatan dan distribusi guru yang tidak merata[1]. Selesainya masalah pada guru ini akan memberikan peluang besar bagi majunya dunia pendidikan di Indonesia.
Saat ini, Indonesia tidak lagi kekurangan guru, secara kuantitas guru di Indonesia sudah lebih dari cukup. Jumlah guru di Indonesia sebanyak 3 juta orang, tercatat sejak tahun 1999/2000 ada peningkatan guru sebanyak 823 persen, akan tetapi peningkatan jumlah peserta didik hanya 17 persen[2]. Selanjutnya, menurut Bank Dunia rasio guru dan siswa di Indonesia pada tahun 2010 mencapai 19.012, pada tahun 2011 angka tersebut menjadi 18.980, pada 2012 terjadi penurunan lagi menjadi 18.592, sampai pada tahun 2013 rasio guru-siswa di Indonesia berada pada posisi 16.094[1]. Angka-angka tersebut membuktikan bahwa Indonesia benar-benar tidak lagi kekurangan jumlah guru.
193
Idealnya semakin sedikit siswa yang diawasi oleh guru, maka semakin intensif guru tersebut membelajarkan siswa. Sehingga guru semakin mudah memonitor perkembangan siswa dan memberikan layanan yang optimal sesuai dengan kebutuhan belajar siswa. Akan tetapi, pada kenyataannya hal tersebut masih belum terwujud, kondisi pendidikan di Indonesia masih saja terpuruk. Hasil survei TIMS and Pirls menepatkan Indonesia di posisi 40 dari 42 negara. Sedangkan World Education Forum di bawah naungan PBB menempatkan Indonesia di posisi 69 dari 76 negara. World Literacy merangking kita di urutan 60 dari 61 negara[3]. Keadaan tersebut membuktikan bahwa hasil pendidikan di Indonesia masih belum optimal dibandingkan dengan negara-negara di Dunia. Data tersebut membuktikan bahwa banyaknya guru saja tidak cukup untuk mempertinggi hasil pendidikan, perlu peningkatan kualitas guru dalam membimbing siswa melalui pembelajaran. Kualitas guru seakan tidak bisa ditinggalkan dalam setiap pembahasan tentang pendidikan. Kualitas guru menjadi kunci untuk mempertinggi hasil pembelajaran[4, 5]. Pada tahun 2012 dan 2013 dilaksanakan pemetaan kualitas guru Indonesia secara nasional oleh pemerintah melalui Uji Kompetensi Guru (UKG). Hasil dari UKG tersebut menunjukkan bahwa rata-rata nasional kompetensi profesional dan pedagogik guru adalah 43,82 pada tahun 2012 dan 47,84 di tahun 2013[6]. Berdasarkan hasil UKG inilah pemerintah merasa penting untuk memberikan pengembangan kualitas guru agar semakin meningkat. Guru sering disebut sebagai garda terdepan dalam proses pembangunan manusia Indonesia melalui pendidikan. Penyiapan tenaga guru harus benar-benar dilakukan secara serius oleh lembaga-lembaga penghasil guru. Seharusnya, guru telah mendapatkan pengenalan ilmu keguruan dan pengalaman tentang pengajaran mulai sejak mereka mengikuti proses pendidikan calon guru[7]. Mutu guru menjadi satu bahasan penting dalam dunia pendidikan sehingga pemerintah mengupayakan berbagai program yang mampu memberikan pelayanan kepada guru agar memiliki profesionalitas yang tinggi. Sedikitnya terdapat empat program pemerintah yang bertujuan untuk mempertinggi kualitas guru yaitu program sertifikasi guru, uji kompetensi guru, tunjangan profesi pendidik, dan guru pembelajar [8]. Program-program sertifikasi merupakan programprogram pemerintah yang memberikan peluang kepada guru untuk dapat mempertinggi profesionalitas[9]. Uji kompetensi guru dilakukan untuk pemetaan kualitas guru secara nasional yang dapat digunakan untuk merumusakn program perbaikan kualitas guru. Tunjangan profesi digunakan untuk menjamin kesejahteraan guru. Guru pembelajar merupakan program pemerintah untuk mendorong guru selalu belajar untuk mengembangkan diri demi mengoptimalkan layanan pembelajaran pada peserta didik[10].
Guru sebagai pemegang profesi seharusnya dapat tampil sebagai sosok yang benar-benar ahli dalam bidangnya. Khususnya guru PJOK, mereka harus mampu meyakinkan orang lain bahwa tidak ada guru lain yang layak mengajar mata pelajaran PJOK selain mereka. Tentunya guru PJOK yang profesional minimal memiliki latar belakang pendidikan yang sesuai dengan bidangnya[11]. Mereka telah mendapatkan pendidikan khusus ilmu keguruan tentang keolahragaan. Namun nampaknya, mata pelajaran PJOK masih belum mendapatkan haknya secara penuh terkait tenaga pengajar. Banyak guru dari berbagai latar belakang pendidikan keguruan yang mendapatkan tempat untuk tampil sebagai guru PJOK[12]. Pandangan yang beragam dari masyarakat dan pemangku kebijakan menjadikan profesi guru PJOK dapat dipegang oleh berbagai latar belakang pendidikan, bahkan dari mereka yang berlatar belakang non-keguruan. Hal logis yang menjadikan guru-guru tidak sesuai kualifikasi tersebut dapat tampil sebagai guru PJOK adalah sistem rekrutmen tenaga pengajar di sekolah[1]. Ada sekolah yang masih tidak mementingkan latar belakang calon guru untuk menjadi tenaga pengajar. Kejadian ini sering melanda sekolah-sekolah yang memiliki memang kesulitan dalam mendapatkan tenaga pendidik. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyatakan bahwa guru wajib memiliki empat kompetensi yaitu: kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional[11]. Sayangnya, kompetensi guru PJOK semakin lama bekerja tidak menunjukkan semkain ahli mereka membelajarkan siswa. Semakin lama mereka mengajar tidak diikuti oleh semakin tingginya kompetensi yang dimiliki[5]. Bahkan terjadi krisis identitas PJOK di sekolah yang disinyalir kurang berkualitasnya proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru[13]. Seharusnya guru senantiasa mengoreksi diri dalam setiap proses pembelajaran. Guru senantiasa melakukan kegiatan refleksi terhadap kualitas kinerja diri mereka. Dengan begitu program-program dalam pengembangan diri guru dapat dilakukan sesuai dengan kebutuhan. Tanpa mengetahui kebutuhan pengambangan diri guru, program-program pengembangan kompetensi guru tidak akan berjalan dengan efektif. UKG sebetulnya adalah satu dari empat program pemerintah yang ditujukan untuk mengetahui kebutuhan belajar guru untuk mengembangkan kompetensi guru. Akan tetapi, pelaksanaan UKG hanya terbatas pada kompetensi pedagogik dan profesional, dua kompetensi lainnya yaitu sosial dan kepribadian masih belum terukur dalam kegiatan tersebut. Selain itu, penggunaan pengukuran ini masih belum mampu memberikan gambaran kepada guru terkait kelemahan dan kelebihan guru pada kompetensi yang diukur.
194
Untuk itu, perlu instrumen yang dapat digunakan oleh guru setiap hari dan mencakup empat kompetensi guru.
melakukan tindakan reflektif, dan (5) Memanfaatkan TIK untuk berkomunikasi dan mengembangakan diri.
2. TUNTUTAN PEMERINTAH TERHADAP KOMPETENSI GURU Pemerintah telah menetapkan bahwa guru harus memiliki empat kompetensi, yaitu: (1) kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional[11]. Aturan ini juga dapat digunakan sebagai tolok ukur kualitas prospective PE teacher. Selanjutnya, untuk memperjelas isi dari empat kompetensi tersebut pemerintah memecah empat kompetensi tersebut ke menjadi 24 kompetensi inti[14]. Kompetensi pedagogik. Kompetensi inti dalam bagian pedagogik terdiri atas sepuluh hal yaitu: (1) Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, sosial, cultural, emosional, dan intelektual, (2) Menguasai teori belajar dan prinsip pembelajaran yang mendidik, (3) Mengembangkan kurikulum yang terkait mata pelajaran yang diampu, (4) Menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik, (5) Memanfaatkan TIK untuk kepentingan pembelajaran, (6) Memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik, (7) Berkomunikasi efektif, empatik, dan santun ke peserta didik, (8) Menyelenggarakan penilaian evaluasi proses dan hasil belajar, (9) Memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran, dan (10) Melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran. Kompetensi Kepribadian. Kompetensi inti dalam bagian kepribadian terdiri atas lima hal yaitu: (1) Bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial dan budaya bangsa, (2) Penampilan yang jujur, berakhlak mulia, teladan bagi peserta didik dan masyarakat, (3) Menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa, (4) Menunjukkan etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan rasa percaya diri, dan (5) Menjunjung tinggi kode etik profesi guru. Kompetensi Sosial. Kompetensi inti dalam bagian sosial terdiri atas empat hal yaitu: (1) Bersikap inklusif, bertindak obyektif, serta tidak diskriminatif karena pertimbangan jenis kelamin, agama, raskondisifisik, latar belakang keluarga, dan status sosial keluarga, (2) Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua dan masyarakat, (3) Beradaptasi di tempat bertugas di seluruh wilayah RI yang memiliki keragaman sosial budaya, dan (4) Berkomunikasi dengan lisan maupun tulisan. Kompetensi Profesional. Kompetensi inti dalam bagian profesional terdiri atas lima hal yaitu: (1) Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung pelajaran yang diampu, (2) Mengusai standar kompentensi dan kompetensi dasar mata pelajaran/bidang pengembangan yang diampu, (3) Mengembangkan materi pembelajaran yang dimampu secara kreatif, (4) Mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan
3. PENGEMBANGAN INSTRUMEN 3.1. Model pengukuran kompetensi Instrumen penelitian yang dimaksud adalah instrumen pengukuran kadar keguruan (tingkat kompetensi) mahasiswa calon guru dan guru PJOK indonesia (KKMCG-GPJOKI) yang dikembangkan berdasarkan 24 sub kompetensi guru mata pelajaran pada permendiknas 16 tahun 2007. Model pengukuran kompetensi calon guru dan guru PJOK yang digunakan adalah self-assessment, dengan harapan para calon guru dan guru PJOK dapat secara berkala menilai kompetensi mereka sendiri sesuai dengan keinginan guru. Penilaian diri dapat memberi keuntungan berupa auto-feedback untuk pengembangan kompetensi diri selama mengikuti program pendidikan di perguruan tinggi dan selama menjadi guru PJOK. Mahasiswa atau calon guru dan guru PJOK dapat mengetahui tingkat kompetensi dirinya setelah menjawab dan mendeskripsikan bukti fisik dari jawabannya secara tepat. Realitas bukti fisik dan kesesuaian antara bukti fisik dengan kategori jawaban menentukan validitas jawabannya. Instrumen ini juga dapat diisi oleh pengumpul data setelah melakukan wawancara dengan mahasiswa atau guru yang hendak diukur tingkat kompetensinya. 3.2. Validasi instrumen Instrumen ini telah divalidasi dan direvisi berdasarkan masukan dari 3 validator (Prof. Dr. Adang Suherman, MA - Guru besar UPI, Prof. Dr. Hari Amirullah, M.Pd. - Guru besar UNY, dan Prof. Dr. M.E. Winarno, M.Pd. - Guru besar UM) sehingga dapat digunakan sesuai prosedur dalam deskripsi. Ketiga validator menyatakan 100% item dalam instrumen valid dan dapat digunakan untuk mengukur kompetensi calon guru dan guru PJOK. Selain menyatakan valid, para validator juga memberikan masukan berupa: 1. Prof. Dr. Adang Suherman, M.A. menyatakan bahwa pola pertanyaannya konsisten dari mulai no 1 sd no 24, dan pemakaian skala nilai setiap item perlu lebih diperjelas agar pemakai mudah mengerti. 2. Prof. Dr. Hari Amirullah, M.Pd. menyatakan bahwa kata “Keprofesionalan” diganti “keprofesian” sesuai Permenpan 16/2009. 3. Prof. Dr. M.E. Winarno, M.Pd. menyatakan bahwa sebaiknya pernyataan awal instrumen dibuat bervariasi misal: Saudara sebagai guru PJOK. Berdasarkan tiga masukan tersebut dapat disumpulkan bahwa tidak ada revisi yang membuat instrumen berubah secara signifikan. Untuk itu, instrumen dapat direvisi sesuai dengan masukan dan langsung dapat disosialisasikan kepada subjek penelitian. Selanjutnya dapat digunakan untuk mengukur kompetensi calon guru dan guru PJOK.
195
3.3. Aturan penilaian kompetensi Jumlah pertanyaan dalam instrumen ini sebanyak 24 item. Setiap item memiliki jumlah kategori masingmasing. Rentang nilai yang digunakan dalam instrumen mulai 0-5. Nilai ini menunjukkan tingkat kompetensi yang dimiliki oleh guru. Nilai dari setiap item dijumlah untuk menjadi nilai kompetensi guru. Nilai maksimal untuk mahasiswa adalah 62 sedangkan
nilai maksimal untuk guru adalah 100. Perincian nilai maksimal untuk setiap item pada pengukuran kompetensi calon guru dan guru PJOK dapat dilihat pada tabel 1. Untuk menentukan kategori kompetensi guru, nilai hasil penjumlahan dibagi dengan nilai maksimal. Hasil dari pembagian tersebut dijadikan persen yang dikategorikan menggunakan aturan pengkategorian sebagai berikut:
Tabel 1. Pengaturan Nilai Maksimal pada Setiap Kompetensi Inti Guru No.
Nilai Maksimal Guru Calon Guru
Kompetensi Inti Guru
Kompetensi Pedagogik 1 Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, spiritual, sosial, kultural, emosional, dan intelektual. 2 Menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik. 3 Mengembangkan kurikulum yang terkait dengan mata pelajaran yang diampu. 4 Menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik. 5 Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan pembelajaran. 6 Memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki. 7 Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik. 8 Menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar. 9 Memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran. 10 Melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran. Kompetensi Kepribadian 11 Bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia. 12 Menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat. 13 Menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa. 14 Menunjukkan etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan rasa percaya diri. 15 Menjunjung tinggi kode etik profesi guru. Kompetensi Sosial 16 Bersikap inklusif, bertindak objektif, serta tidak diskriminatif karena pertimbangan jenis kelamin, agama, ras, kondisi fisik, latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi. 17 Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua, dan masyarakat. 18 Beradaptasi di tempat bertugas di seluruh wilayah Republik Indonesia yang memiliki keragaman sosial budaya. 19 Berkomunikasi dengan komunitas profesi sendiri dan profesi lain secara lisan dan tulisan atau bentuk lain. Kompetensi Profesional 20 Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu. 21 Menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran yang diampu. 22 Mengembangkan materi pembelajaran yang diampu secara kreatif. 23 Mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan tindakan reflektif. 24 Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk mengembangkan diri. Jumlah Total
5
2
5 5 3 4 4
3 3 1 2 2
4 5 4 4
1 3 2 2
4 4
2 2
4 4
2 2
4
2
4
4
4
4
4
4
4
2
4
4
4 5 4 4 100
4 5 2 2 62
Kategori 1 = 0.0% ≤ buruk ≤ 20.0% Kategori 2 = 20.0% < kurang ≤ 40.0% Kategori 3 = 40.0% < biasa ≤ 60.0% Kategori 4 = 60.0% < baik ≤ 80.0% Kategori 5 = 80.0% < hebat ≤ 100.0% 4. BUKTI KETERANDALAN INSTRUMEN Instrumen ini telah digunakan oleh Suroto dkk dalam mengukur kompetensi calon guru PJOK di Program Studi S1 Pendidikan Jasmani, Kesehatan, dan Rekreasi, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Surabaya. Pengukuran dilakukan kepada mahasiswa tahun pertama sampai dengan tahun keempat. Selanjutnya tingkatan tahun tersebut digunakan sebagai dasar pembeda kompetensi calon guru. Idealnya, calon guru pada tingkat yang lebih tinggi mendapatkan peluang untuk menguasai
kompetensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan level mahasiswa yang lebih rendah. Diasumsikan bahwa setiap level memiliki pengalaman belajar yang berbeda dan pembekalan ilmu yang berbeda dari kegiatan perkuliahan. Semakin tinggi level maka semakin banyak bidang ilmu yang dikaji. Semakin banyak bidang ilmu yang dikaji diharapkan semakin tinggi tingkat kompetensi mahasiswa calon guru PJOK. Untuk itu, perlu diuji perbedaan kompetensi mahasiswa calon guru PJOK berdasarkan level mereka (lihat Gambar 1).
196
7. DAFTAR PUSTAKA
50 40
30 20 10 0
Level 1
Level 2
Level 3
Level 4
Kompetensi Calon Guru PJOK Gambar 1. Perbandingan Kompetensi Calon Guru PJOK Berdasarkan Tahun Mengikuti Pendidikan di Lembaga Pendidikan Guru
5. SIMPULAN Berdasarkan kepentingan guru untuk melakukan refleksi diri untuk mengembangkan kompetensi diri, maka perlu disusun instrumen yang memberikan peluang kepada guru untuk mengetahui kebutuhan pengembangan diri. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru maka dapat dikembangkan instrumen KKMCG-GPJOKI. Hasil validasi oleh tiga ahli, instrumen KKMCG-GPJOKI sudah dinyatakan valid. Hasil pengukuran yang dilakukan pada calon guru PJOK menunjukkan bahwa pemanfaatan instrumen KKMCG-GPJOKI telah mampu membedakan kompetensi calon guru PJOK berdasarkan level. Sehingga dapat disimpulkan bahwa instrumen KKMCG-GPJOKI dapat digunakan dalam mengukur kompetensi calon guru dan guru PJOK. 6. IMPLIKASI Model pengukuran kompetensi calon guru dan guru PJOK menggunakan self-assessment tergantung pada tingkat objektivitas pengisi. Hanya calon guru dan guru PJOK yang memiliki tingkat objektivitas yang tinggi yang dapat memanfaatkan hasil pengukuran secara optimal. Jika tuntutan objektivitas tidak terpenuhi maka dapat mengurangi keberfungsian dari hasil pengukuran kompetensi menggunakan instrumen ini.
[1] Ganefri, (2016). Kolaborasi Strategi Pemberdayaan Lintas Institusi dan Participatory Management Menuju Sistem Rekrutmen dan Distribusi Guru yang Proporsional-Efektif di Indonesia, in Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia (KONASPI) VIII Tahun 2016, 35–40. [2] Anonim, (2016). Kualitas Guru Indonesia Masih Terendah, Jawa Pos Online, 1–2, 27-Apr-2016. [3] Anomin, (2016). SEDIH! Ini Peringkat Pendidikan Indonesia versi 5 Lembaga Survei Internasional,” Jawa Pos National Network, No. April, Jakarta, 26-Apr2016. [4] S. R. Mas, (2008). Profesionalitas Guru dalam Peningkatan Kualitas Pembelajaran, INOVASI, Vol. 5, No. 2, 1–10. [5] A. Maksum, (2010). Kualitas Guru Pendidikan Jasmani di Sekolah : Antara Harapan dan Kenyataan, No. 3, 1–32. [6] Kemendikbud, (2014). Paparan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI: Pengembangan Kurikulum 2013, Press Workshop: Implementasi Kurikulum 2013. 27–28. [7] K. A. R. Richards, K. L. Gaudreault, and T. J. Templin, (2014). Understanding the Realities of Teaching: A Seminar Series Focused on Induction, J. Phys. Educ. Recreat. Danc., Vol. 85, No. 9, 28–35. [8] Suroto, (2016). Peran Sekolah dan Perguruan Tinggi dalam Mewujudkan Guru PJOK Profesional yang Pembelajar, in Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia (KONASPI) VIII Tahun 2016, 1425–1430. [9] S. Surapranata et al., (2016). Sertifikasi Guru Dalam Jabatan Tahun 2016. [10] Syamsu, (2016). Pengertian dan Program Guru Pembelajar, Guru Pembelajar Online, 2016. [Online]. Available: http://www.gurupembelajaronline.com/2016/06/pengert ian-dan-program-guru-pembelajar-2016.html. [11] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. 2005. [12] B. B. Prakoso and S. C. Y. Hartati, (2013). Latar Belakang Guru Pemula, Efektivitas Pembelajaran, Pendidik. Olahraga dan Kesehat., Vol. 1, No. 1, 240– 246. [13] B. B. Prakoso, (2014). Upaya Peningkatan Kualitas Proses Belajar Mengajar PJOK melalui Evaluasi Diri Guru, in Optimalisasi Hasil-Hasil Penelitian dalam Menunjang Pembangunan Berkelanjutan, No. 64, 510– 523. [14] Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. 2007, 1– 31.
197
INSTRUMEN PENGUKURAN KADAR KEGURUAN GURU PJOK IDENTITAS: Nama Guru Hari & Tanggal Pengisian Masa Kerja (tahun) Satuan Pendidikan
: : : :
..................................................... ..................................................... ..................................................... .....................................................
NIP Level Proporsi Kategori
: ................................................ : ................................................ : ................................................ : ................................................
PETUNJUK PENGISIAN: Jawablah pertanyaan berikut dengan cara menyilang angka 0, 1, 2, 3, 4 atau 5 yang sesuai dengan kondisi riil saudara pada semester ini. Kemudian deskripsikan secara singkat CONTOH NYATA dokumen/ kegiatan yang menjadi bukti fisik yang mendukung pilihan jawaban saudara. No. 1
2
3
4
5
Kompetensi Inti Guru Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, spiritual, sosial, kultural, emosional, dan intelektual.
Menguasai teori belajar dan prinsipprinsip pembelajaran yang mendidik.
Mengembangkan kurikulum yang terkait dengan mata pelajaran yang diampu.
Menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik.
Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan pembelajaran.
Pertanyaan
Nilai
Sebagai guru PJOK yang hebat, saudara mestinya selalu memanfaatkan seluruh data fisik, moral, spiritual, sosial, kultural, emosional dan intelektual peserta didik dalam mempersiapkan dan melaksanakan pembelajaran PJOK. Seperti apakah kondisi saudara saat ini? (Opsi jawaban tersedia 0-5) Sebagai guru PJOK yang hebat, saudara mestinya selalu menerapkan teori belajar yang mendasari pembentukan sikap, penguatan pemahaman, belajar gerak, dan peningkatan derajad kebugaran jasmani peserta didik, dalam tahap mempersiapkan dan melaksanakan pembelajaran PJOK. Seperti apakah penguasaan teori saudara semester ini? (Opsi jawaban tersedia 0-5) Sebagai guru PJOK yang hebat, saudara mestinya selalu mengacu standar isi, standar proses, standar kompetensi (KI, KD, dan Lulusan), dan standar penilaian dalam tahap mempersiapkan dan melaksanakan pembelajaran PJOK. Seperti apakah tingkat kemampuan saudara dalam mengembangkan kurikulum PJOK pada semester ini? (Opsi jawaban tersedia 0-5)
0 1 2 3
Sebagai guru PJOK yang hebat, saudara mestinya selalu melaksanakan pembelajaran PJOK dengan tujuan yang jelas sesuai dengan standar kompetensi yang belaku dan mengarahkan semua aktivitas dalam pembelajaran untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan. Seperti apakah tingkat penyelenggaraan PJOK saudara pada semester ini? (Opsi jawaban tersedia 0-3) Sebagai guru PJOK yang hebat, saudara mestinya selalu memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan pembelajaran. Seperti apakah tingkat pemanfaatan saudara pada ICT (internet, sms, media sosial, telepon) untuk kepentingan pembelajaran PJOK pada semester ini? (Opsi jawaban tersedia 0-4)
0
4 5 0 1 2 3 4 5 0 1 2 3 4 5
1 2 3
0 1
2 3 4
Kategori
Deskripsi Bukti Fisik
Saya belum pernah mengukur Saya pernah mengukur sebagian aspek Saya pernah mengukur seluruh aspek Saya pernah memanfaatkan seluruh/ sebagian aspek Saya selalu memanfaatkan sebagian aspek Saya selalu memanfaatkan seluruh aspek Saya belum pernah mengetahui teori belajar Saya pernah mengetahui teori belajar Saya mengetahui sebagian besar teori belajar Saya pernah melaksanakan pembelajaran berbasis teori Saya sering melaksanakan pembelajaran berbasis teori Saya selalu melaksanakan pembelajaran berbasis teori Saya belum pernah mengetahui standar nasional pendidikan Saya pernah mengetahui 4 standar yang menjadi dasar kurikulum Saya memahami 4 standar yang menjadi dasar kurikulum Saya pernah mengembangkan kurikulum PJOK berdasarkan 4 standar Saya sering mengembangkan kurikulum PJOK berdasarkan 4 standar Saya selalu mengembangkan kurikulum PJOK berdasarkan 4 standar Saya belum pernah melaksanakan pembelajaran Saya pernah menyelenggarakan pembelajaran PJOK yang mendidik Saya sering menyelenggarakan pembelajaran PJOK yang mendidik Saya selalu menyelenggarakan pembelajaran PJOK yang mendidik
Saya belum menggunakan ICT Saya menggunakan ICT tetapi belum pernah digunakan untuk pembelajaran PJOK Saya pernah memanfaatkan dalam pembelajaran PJOK Saya sering memanfaatkan dalam pembelajaran PJOK Saya selalu memanfaatkan dalam pembelajaran PJOK
198
No. 6
7
8
Kompetensi Inti Guru Memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki.
Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik.
Menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar.
Pertanyaan
Nilai
Sebagai guru PJOK yang hebat, saudara mestinya selalu mengembangkan segala potensi keolahragaan peserta didik dengan cara memilih, melatih, dan mengikutsertakan peserta didik yang berbakat olahraga dalam perlombaan/ kejuaraan. Seperti apakah tingkat kemampuan saudara dalam pengembangan bakat olahraga peserta didik pada semester ini? (Opsi jawaban tersedia 0-4)
0
Sebagai guru PJOK yang hebat, saudara mestinya selalu berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik saudara (mencatat pendapat, saran, pertanyaan, permintaan yang disampaikan peserta didik). Seperti apakah tingkat kemampuan saudara dalam berkomunikasi dengan peserta didik pada semester ini? (Opsi jawaban tersedia 0-4)
0
Sebagai guru PJOK yang hebat, saudara mestinya selalu membuat catatan kemajuan belajar/ skor peserta didik (menilai) dan membandingkan dengan target/ tujuan yang telah dicanangkan sampai dengan hari itu (mengevaluasi) dan hasilnya dinyatakan benar oleh kepala sekolah/ pengawas. Seperti apakah tingkat kemampuan saudara dalam menilai dan mengevaluasi hasil belajar peserta didik pada semester ini? (Opsi jawaban tersedia 0-5)
0
1
2
3
4
1
2
3 4
1
2
3
4
5
9
10
Memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran.
Melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran.
Sebagai guru PJOK yang hebat, saudara mestinya selalu memanfaatkan catatan kemajuan belajar/ skor peserta didik (nilai) dan hasil evaluasi untuk kepentingan perbaikan pembelajaran. Seperti apakah tingkat kemampuan saudara dalam memanfaatkan nilai dan hasil evaluasi peserta didik untuk perbaikan pembelajaran PJOK pada semester ini? (Opsi jawaban tersedia 0-4)
0
Sebagai guru PJOK yang hebat, saudara mestinya selalu mampu merefleksi (menemukan kelebihan dan kelemahan) dari pembelajaran PJOK nya sendiri dan berusaha mengurangi/ menghilangkan kelemahan yang ada di pembelajaran berikutnya. Seperti apakah tingkat kemampuan saudara dalam merefleksi pembelajaran PJOK untuk
0
1
2
3
4
1 2 3 4
Kategori
Deskripsi Bukti Fisik
Saya belum pernah mengecek bakat peserta didik Saya pernah menyeleksi peserta didik berdasarkan bakat/ prestasi/ potensi olahraganya Saya pernah mengikutsertakan peserta didik yang berbakat dalam kejuaraan/ perlombaan olahraga Saya sering mengikutsertakan peserta didik yang berbakat dalam kejuaraan/ perlombaan olahraga Saya selalu mengikutsertakan peserta didik yang berbakat dalam kejuaraan/ perlombaan olahraga Saya belum pernah berkomunikasi dengan peserta didik dalam konteks pembelajaran PJOK Saya pernah berkomunikasi dengan peserta didik dalam pembelajaran PJOK guru lain Saya memiliki peserta ddik sendiri tetapi belum pernah mencatat informasi dari mereka Saya sering berkomunikasi secara efektif (tercatat) dengan peserta didik Saya selalu berkomunikasi secara efektif (tercatat) dengan peserta didik saya Saya belum pernah menilai dan mengevaluasi peserta didik PJOK Saya pernah membantu guru PJOK lain dalam menilai/ mengevaluasi hasil belajar PJOK Saya memiliki hasil penilaian dan evaluasi tetapi belum pernah dilegitimasi/ diakui benar oleh orang lain Saya pernah menilai dan mengevaluasi hasil belajar PJOK dan diakui kebenarannya oleh kepala sekolah/ pengawas/ ahli Saya sering menilai dan mengevaluasi hasil belajar PJOK dan diakui kebenarannya oleh kepala sekolah/ pengawas Saya selalu menilai dan mengevaluasi hasil belajar PJOK dan diakui kebenarannya oleh kepala sekolah/ pengawas Saya belum pernah memiliki nilai dan hasil evaluasi peserta didik PJOK Saya pernah memiliki nilai dan hasil evaluasi peserta didik PJOK tetapi belum pernah memanfaatkannya Saya pernah memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk memperbaiki RPP Saya sering memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk memperbaiki RPP Saya selalu memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk memperbaiki RPP Saya belum pernah mengetahui cara merefleksi pembelajaran PJOK Saya pernah mengetahui cara merefleksi pembelajaran PJOK Saya pernah praktik cara merefleksi pembelajaran PJOK Saya sering merefleksi pembelajaran PJOK nya sendiri Saya selalu merefleksi pembelajaran PJOK nya sendiri
199
No.
11
Kompetensi Inti Guru
Pertanyaan
peningkatan kualitas pada semester ini? (Opsi jawaban tersedia 0-4) Bertindak sesuai Sebagai guru PJOK yang hebat, dengan norma agama, saudara mestinya selalu bertindak hukum, sosial, dan sesuai dengan norma agama, kebudayaan nasional norma hukum, norma sosial, dan Indonesia. budaya Indonesia. Seperti apakah tingkat kepatuhan saudara terhadap seluruh norma dan budaya Indonesia pada semester ini? (Opsi jawaban tersedia 0-4)
Nilai
0
1
2
3
4
12
13
Menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat.
Menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa.
Sebagai guru PJOK yang hebat, saudara mestinya selalu tampil sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat. Seperti apakah tingkat keteladanan dalam kejujuran dan akhlal mulia pada semester ini? (Opsi jawaban tersedia 0-4)
0
Sebagai guru PJOK yang hebat, saudara mestinya selalu tampil sebagai pribadi yang dewasa, arif, dan berwibawa. Seperti apakah tingkat penampilan pribadi saudara pada semester ini? (Opsi jawaban tersedia 0-4)
0
1 2 3 4
1 2 3 4
14
Menunjukkan etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan rasa percaya diri.
Sebagai guru PJOK yang hebat, saudara mestinya selalu menunjukkan etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan rasa percaya diri. Seperti apakah tingkat etos kerja, tanggung jawab, kebanggaan, dan kepercayaan diri saudara pada semester ini? (Opsi jawaban tersedia 0-4)
0
1
2
3
4
15
Menjunjung tinggi kode etik profesi guru.
Sebagai guru PJOK yang hebat, saudara mestinya selalu menjunjung tinggi kode etik profesi guru. Seperti apakah tingkat kepatuhan saudara terhadap kode etik profesi guru Indonesia pada semester ini? (Opsi jawaban tersedia 0-4)
0 1 2 3 4
16
Bersikap inklusif, bertindak objektif, serta tidak diskriminatif karena pertimbangan jenis kelamin, agama, ras, kondisi fisik, latar
Sebagai guru PJOK yang hebat, saudara mestinya dalam bergaul dengan orang lain selalu bersikap inklusif, bertindak objektif, serta tidak diskriminatif karena pertimbangan jenis kelamin, agama, ras, kondisi fisik, latar
0 1 2
Kategori
Deskripsi Bukti Fisik
Saya belum pernah mengindentifikasi norma dan budaya yang seharusnya dipatuhi guru PJOK Saya pernah mengindentifikasi norma dan budaya yang seharusnya dipatuhi guru PJOK Saya pernah praktik penerapan norma dan budaya yang seharusnya dipatuhi guru PJOK Saya sering menerapkan norma dan budaya yang seharusnya dipatuhi guru PJOK Saya selalu menerapkan norma dan budaya yang seharusnya dipatuhi guru PJOK Saya belum pernah mengidentifikasi ciriciri jujur dan akhlak mulia Saya pernah mengidentifikasi ciri-ciri jujur dan akhlak mulia Saya pernah praktik penerapan sikap jujur dan akhlak mulia Saya sering menampilkan sikap jujur dan akhlak mulia Saya selalu menampilkan sikap jujur dan akhlak mulia Saya belum pernah mengindentifikasi ciri-ciri dewasa, arif, dan berwibawa Saya pernah mengindentifikasi ciri-ciri dewasa, arif, dan berwibawa Saya pernah praktik penerapan sikap dewasa, arif, dan berwibawa Saya sering menampilkan sikap dewasa, arif, dan berwibawa Saya selalu menampilkan sikap dewasa, arif, dan berwibawa Saya belum pernah mengindentifikasi ciri-ciri selalu menunjukkan etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan rasa percaya diri Saya pernah mengindentifikasi ciri-ciri selalu menunjukkan etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan rasa percaya diri Saya pernah praktik kerja dengan etos, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan rasa percaya diri Saya sering menampilkan etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan rasa percaya diri Saya selalu menunjukkan etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan rasa percaya diri Saya belum pernah mengetahui kode etik guru Indonesia Saya pernah mengetahui kode etik guru Indonesia Saya pernah praktik menerapkan kode etik guru Indonesia Saya sering menampilkan sikap sesuai mengetahui kode etik guru Indonesia Saya selalu menampilkan sikap sesuai mengetahui kode etik guru Indonesia Saya tidak pernah ingin mengetahui urusan orang lain Saya pernah melibatkan diri dalam urusan orang lain Dalam berurusan dengan orang lain, saya jarang tanpa diskriminatif dan bersikap objektif
200
No.
17
Kompetensi Inti Guru belakang keluarga, dan status sosial ekonomi.
Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua, dan masyarakat.
Pertanyaan belakang keluarga, dan status sosial ekonomi. Seperti apakah tingkat objektivitas dan keterbukaan saudara pada semester ini? (Opsi jawaban tersedia 0-4) Sebagai guru PJOK yang hebat, saudara mestinya selalu berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua, dan masyarakat. Seperti apakah tingkat keefektifan dan kesantunan komunikasi saudara pada semester ini? (Opsi jawaban tersedia 0-4)
Nilai 3
4
0
1
2
3
4
18
Beradaptasi di tempat bertugas di seluruh wilayah Republik Indonesia yang memiliki keragaman sosial budaya.
Sebagai guru PJOK yang hebat, saudara mestinya selalu mampu beradaptasi di tempat bertugas di seluruh wilayah Republik Indonesia yang memiliki keragaman sosial budaya. Seperti apakah kesiapan dalam beradaptasi dengan lingkungan baru saudara pada semester ini? (Opsi jawaban tersedia 0-4)
0 1 2
3
4
19
Berkomunikasi dengan komunitas profesi sendiri dan profesi lain secara lisan dan tulisan atau bentuk lain.
Sebagai guru PJOK yang hebat, saudara mestinya selalu berkomunikasi dengan komunitas profesi sendiri dan profesi orang. Seperti apakah kedekatan hubungan dengan organisasi profesi saudara pada semester ini? (Opsi jawaban tersedia 0-4)
0 1
2
3
4
20
21
Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu.
Sebagai guru PJOK yang hebat, saudara mestinya selalu menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran PJOK. Seperti apakah penguasaan bidang PJOK saudara pada semester ini? (Opsi jawaban tersedia 0-4)
Menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran yang diampu.
Sebagai guru PJOK yang hebat, saudara mestinya selalu menguasai kompetensi inti dan kompetensi dasar mata pelajaran PJOK. Seperti apakah penguasaan KI KD PJOK saudara pada semester ini? (Opsi jawaban tersedia 0-4)
0 1 2 3 4 0 1 2 3 4
Kategori
Deskripsi Bukti Fisik
Dalam berurusan dengan orang lain, saya sering tanpa diskriminatif dan bersikap objektif Dalam berurusan dengan orang lain, saya selalu tanpa diskriminatif dan bersikap objektif Saya belum pernah mendapat kesempatan berkomunikasi selaku pendidik Saya pernah berkomunikasi dengan sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua, dan masyarakat akan tetapi belum terasa efektif, empatik, dan santun Saya pernah berkomunikasi dengan sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua, dan masyarakat secara efektif, empatik, dan santun Saya sering berkomunikasi dengan sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua, dan masyarakat secara efektif, empatik, dan santun Saya selalu berkomunikasi dengan sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua, dan masyarakat secara efektif, empatik, dan santun Saya ingin bertugas sebagai guru PJOK di dalam wilayah kabupaten saya sendiri Saya ingin bertugas sebagai guru PJOK di dalam wilayah propinsi saya sendiri Saya ingin bertugas sebagai guru PJOK di mana saja asal banyak penduduk yang berasal dari kabupaten saya sendiri Saya siap bertugas sebagai guru PJOK di seluruh Indonesia kecuali di beberapa suku Saya selalu siap bertugas sebagai guru PJOK di seluruh Indonesia dan bergaul dengan masyarakat yang berbeda sosial dan budaya Saya belum mengenal organisasi profesi untuk guru PJOK Saya mengetahui adanya KKG/ MGMP Mapel PJOK tetapi tidak pernah hadir dalam kegiatan Saya mengetahui adanya KKG/ MGMP Mapel PJOK tetapi jarang hadir dalam kegiatan Saya mengetahui adanya KKG/ MGMP Mapel PJOKdan sering hadir dalam kegiatan Saya mengetahui adanya KKG/ MGMP Mapel PJOK dan selalu hadir dalam kegiatan Saya belum mengenal ilmu PJOK sama sekali Saya pernah mengenal ilmu PJOK Saya menguasai sebagian kecil ilmu PJOK Saya menguasai sebagian besar ilmu PJOK Saya menguasai seluruh ilmu PJOK Saya belum pernah mengenal KI KD mapel PJOK Saya pernah membaca KI KD mapel PJOK Saya menguasai sebagian kecil KI KD mapel PJOK Saya menguasai sebagian besar KI KD mapel PJOK Saya menguasai seluruh KI KD mapel PJOK
201
No. 22
Kompetensi Inti Guru Mengembangkan materi pembelajaran yang diampu secara kreatif.
Pertanyaan Sebagai guru PJOK yang hebat, saudara mestinya selalu mengembangkan materi pembelajaran PJOK secara kreatif. Seperti apakah pengembangan materi pembelajaran PJOK saudara pada semester ini? (Opsi jawaban tersedia 0-5)
Nilai 0 1 2 3 4 5
23
Mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan tindakan reflektif.
Sebagai guru PJOK yang hebat, saudara mestinya selalu mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan tindakan reflektif. Seperti apakah pengembangan keprofesionalan saudara pada semester ini? (Opsi jawaban tersedia 0-4)
0 1 2
3
4
24
Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk mengembangkan diri.
Sebagai guru PJOK yang hebat, saudara mestinya selalu memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk mengembangkan diri. Seperti apakah kemampuan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi saudara pada semester ini? (Opsi jawaban tersedia 0-4)
0 1
2 3 4
Kategori
Deskripsi Bukti Fisik
Saya belum pernah mengenal materi mapel PJOK Saya pernah membaca materi mapel PJOK Saya mengembangkan materi mapel PJOK Saya sudah mengembangkan sebagian kecil materi mapel PJOK Saya sudah mengembangkan sebagian besar materi mapel PJOK Saya sudah mengembangkan seluruh materi mapel PJOK Saya belum pernah mengenal pengembangan profesi guru PJOK Saya ingin menjadi guru mapel PJOK yang sukses Saya mulai merasa menjadi guru mapel PJOK yang profesional setelah melakukan refleksi diri Saya merasa hampir menjadi guru mapel PJOK yang profesional karena terus memperbaiki diri Saya merasa sudah menjadi guru mapel PJOK yang profesional yang selalu tampil sukses Saya belum menggunakan ICT Saya menggunakan ICT tetapi belum pernah digunakan untuk pengembangan diri Saya pernah memanfaatkan dalam pengembangan diri Saya sering memanfaatkan dalam pengembangan diri Saya selalu memanfaatkan dalam pengembangan diri
202
Implementasi Model Index Card Match pada Mata Pelajaran Akuntansi Rochmawati1*), Agung Listiadi2, Suci Rohayati3 1
Jurusan Pendidikan Ekonomi, Universitas Negeri Surabaya, [email protected] Jurusan Pendidikan Ekonomi, Universitas Negeri Surabaya,[email protected] 3 Jurusan Pendidikan Ekonomi, Universitas Negeri Surabaya,[email protected] *) Alamat Korespondesi: Email: [email protected]
2
ABSTRACT The purpose of this research is to develop a learning model that is able to regenerate the stimulation of interest, contextual nature, able to increase motivation and learning habits and capable of overcoming the difficulties of learning subjects in accounting. This type of research is developmental research by using a developmental model according to Thiagarajan i.e. 4 D Model (four D method) that consists of a definition phase (define), stage the restyling (design), stage of development (develop), and the deployment stage (disseminate). The results showed that at definition phase (define) materials that are available in the support application of inadequate scientific approach to Curriculum implementation in 2013. Overall the students have a good study motivation against the material to be learned in the classroom. At this stage of design produces draft index card match the integrated worksheet are printed. This stage of disseminate in 2 of the city is Surabaya and Sidoarjo. Key Words: model of learning, index card match, accounting subjects ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan model pembelajaran yang mampu menumbuhkan stimulation of interest, bersifat kontekstual, mampu meningkatkan motivasi dan kebiasaan belajar serta mampu mengatasi kesulitan belajar mata pelajaran akuntansi. Jenis penelitian ini adalah penelitian pengembangan dengan menggunakan model pengembangan yang digunakan yaitu model pengembangan menurut Thiagarajan yaitu model pengembangan 4D (four D method) yang terdiri dari tahap pendefinisian (define), tahap pendesainan (design), tahap pengembangan (develop), dan tahap penyebaran (disseminate). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada tahap pendefinisian (define) bahan ajar yang tersedia kurang memadai dalam menunjang penerapan pendekatan saintifik dalam pengimplementasian Kurikulum 2013. Secara keseluruhan siswa memiliki motivasi belajar yang baik terhadap materi yang dipelajari di dalam kelas. Pada tahap design menghasilkan draft index card match yang terintegrasi worksheet secara tercetak. Tahap disseminasi dilakukan di 2 kota yaitu Surabaya dan Sidoarjo. Kata Kunci: model pembelajaran, index card match, mata pelajaran akuntansi 1. PENDAHULUAN Pembelajaran aktif merupakan model pembelajaran yang lebih banyak melibatkan peserta didik dalam mengakses berbagai informasi dan pengetahuan untuk dibahas dan dikaji dalam proses pembelajaran di kelas, sehingga mereka mendapatkan berbagai pengalaman yang dapat meningkatkan kompetensinya[1]. Selain itu, belajar aktif juga memungkinkan peserta didik dapat mengembangkan kemampuan analisis dan sintesis serta mampu merumuskan nilai-nilai baru yang diambil dari hasil analisis mereka sendiri. Secara harfiah active learning maknanya adalah belajar aktif. Kebanyakan praktisi dan pengamat menyebutnya sebagai model learning by doing. Pendekatannya, memandang belajar sebagai proses membangun pemahaman lewat pengalaman dan informasi[2]. Dengan pendekatan ini, persepsi pengetahuan dan perasaan peserta didik yang unik ikut mempengaruhi proses pembelajaran.
Model pembelajaran active learning merupakan salah satu model dalam belajar mengajar yang bertujuan untuk meningkatkan mutu atau kualitas pendidikan dengan memberdayakan peserta didik secara aktif dalam proses pembelajaran. Pembelajaran aktif (active learning) adalah suatu proses pembelajaran dengan maksud untuk memberdayakan peserta didik agar belajar dengan menggunakan berbagai cara atau strategi secara aktif[3]. Hasil riset dari Abraham[4] terhadap siswa senior High school di Australia menyatakan bahwa dalam pembelajaran akuntansi, teaching style (gaya mengajar guru) mempengaruhi proses pembelajaran siswa, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa stimulation of interest (rangsangan yang menarik) antara lain: penjelasan yang mudah dimengerti,empati dengan kebutuhan siswa, tujuan yang jelas, dan umpan balik yang sesuai, adalah menunjukkan hubungan yang positif signifikan antara gaya mengajar guru dengan nilai pengajaran yang baik (good teaching). Menurut Abraham[5] mahasiswa mengalami disinterested
203
terhadap akuntansi dikarenakan subject matter akuntansi tidak relevan/ kontekstual dengan kehidupan dunia nyata. Adapun menurut hasil penelitian Khafid[6] terhadap siswa SMA/MA di Jawa Tengah menunjukkan masih banyak anak yang masih kesulitan dalam mata pelajaran akuntansi. Hal ini dapat dilihat dari hasil ujian tengah semester dengan nilai rata-rata 4,49, padahal standar ketuntasan belajar yang diharapkan adalah 7,00. Hasil tersebut menunjukkan bahwa prestasi yang dicapai masih jauh di bawah nilai yang diharapkan. Faktor intern yang meliputi kondisi kesehatan, minat belajar, motivasi belajar dan kebiasaan belajar berpengaruh negatif terhadap kesulitan belajar akuntansi pada siswa SMA/MA sebesar 28,73%. Semakin tinggi kualitas faktor intern akan diikuti dengan penurunan kesulitan belajar siswa, sebaliknya semakin rendah kualitas faktor intern diikuti dengan kenaikan kesulitan belajar siswa. Dengan demikian permasalahan pokok dan mendasar yang harus dipecahkan adalah perlunya upaya mengembangkan suatu model pembelajaran dan bahan ajar yang mampu menumbuhkan stimulation of interest, bersifat kontekstual atau berdasarkan pada realitas kehidupan nyata, mampu meningkatkan motivasi dan kebiasaan belajar serta mampu mengatasi kesulitan belajar akuntansi. Selama ini pembelajaran akuntansi di SMA/MA hanya menggunakan LKS ataupun buku paket saja. Hal ini jelas dapat menyebabkan siswa mengalami disinterested, kurang termotivasi dan mengalami kesulitan dalam belajar akuntansi. Buku paket dan LKS akuntansi ditingkat SMA/MA tidak memberikan contoh-contoh bukti transaksi keuangan yang dipergunakan dalam kehidupan nyata. Buku paket akuntansi hanya berisi konsep-konsep akuntansi, sedangkan LKS akuntansi hanya berisi latihan soal yang hanya menyebutkan saja bukti transaksinya tetapi tidak menggambarkan secara nyata bentuk fisik dari bukti transaksi tersebut. Dengan demikian siswa tidak mengetahui wujud fisik daripada bentuk-bentuk bukti transaksi ini. Dengan demikian penelitian model pengembangan ini sangat penting dalam rangka menciptakan pengalaman belajar pada siswa sehingga mampu menumbuhkan stimulation of interest, bersifat kontekstual atau berdasarkan pada realitas kehidupan nyata, mampu meningkatkan motivasi dan kebiasaan belajar serta mampu mengatasi kesulitan belajar akuntansi. Dengan penciptaan pengalaman belajar sesuai dengan kondisi dunia nyata, maka tidak hanya mampu menumbuhkan pengetahuan tetapi juga skill dalam akuntansi. Sehingga pengalaman belajar yang ditargetkan adalah siswa tidak hanya memahami teori akuntansi tetapi siswa juga dapat mempraktekkan transaksi akuntansi seperti dalam dunia bisnis yang sesungguhnya. 2. METODE PENELITIAN Model pengembangan dapat berupa model prosedural, model konseptual dan model teoritik. Model prosedural adalah model yang bersifat
deskriptif, yaitu menggariskan langkah-langkah yang harus diikuti untuk menghasilkan produk. Penerapan dari model pengembangan ini adalah produk berupa Indexs Card Match yang kontekstual dan terintegrasi dalam worksheet. Model pengembangan yang digunakan yaitu model pengembangan menurut Thiagarajan dalam Trianto[7, 8], yaitu model pengembangan 4D (four D method), yang terdiri dari tahap pendefinisian (Define), tahap perancangan (Design), tahap pengembangan (Develop), dan tahap penyebaran (Disseminate). 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Pembahasan ini memaparkan keseluruhan hasil pengembangan secara rinci dan jelas. Pembahasan yang dipaparkan berupa proses dan kelayakan bahan ajar indexs card match yang kontekstual dan terintegrasi dalam worksheet. Secara keseluruhan proses pengembangan bahan pembelajaran indexs card match yang kontekstual dan terintegrasi dalam worksheet pada materi siklus akuntansi perusahaan dagang di SMA Kelas XII yang mendapatkan pembelajaran Akuntansi telah sesuai dengan model pengembangan 4-D (four D Models), yaitu tahap pendefinisian (define), tahap perancangan (design), tahap pengembangan (develop), dan tahap penyebaran (disseminate). 3.1 Tahap Pendefinisian (Define) Pada tahap pendefinisian dilakukan analisis ujung depan, analisis siswa, analisis tugas, analisis konsep, dan perumusan tujuan pembelajaran. Tahap pertama, yaitu peneliti melakukan analisis ujung depan dimana pada analisis ini dicari permasalahan dasar yang terjadi pada pembelajaran akuntansi di SMA kelas XII, yaitu bahwa pembelajaran akuntansi masih bersifat abstrak. Sifat abstrak ini terlihat pada materi yang digunakan sebagai bahan ajar tidak menunjukkan bukti transaski atau dokumen yang sesungguhnya dipakai dalam transaksi keuangan. Sehingga siswa mengalami kesulitan dalam memahami dan mencerna transaksi keuangan. Tahap kedua, yaitu analisis siswa, analisis siswa ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan kognitif siswa, dimana kemampuan kognitif siswa SMA kelas XII terdapat pada tingkat penerapan. Tahap ketiga, yaitu analisis tugas, agar siswa mampu memahami secara utuh proses penyusunan laporan keuangan, maka siswa diberikan tugas menyusun laporan keuangan siklus akuntansi perusahaan dagang dengan menggunakan bukti transaksi yang sesungguhnya, dan untuk membiasakan siswa dengan pengerjaan akuntansi melalui IT maka proses penyusunan worksheet dilakukan dengan menggunakan bantuan aplikasi computer spreadsheet. Tahap keempat, yaitu analisis konsep, analisis konsep ini bertujuan untuk mengidentifikasi konsep materi yang akan digunakan siswa dalam kegiatan pembelajaran. Adapun konsep yang dikembangkan adalah siklus akuntansi perusahaan dagang. Siklus perusahaan dagang memiliki 2 kompetensi dasar yang dikembangkan dalam penelitian ini, yaitu:
204
Menganalisis siklus akuntansi perusahaan dagang dan Mempraktikkan tahapan siklus akuntansi perusahaan dagang. Pada tahap kelima yaitu perumusan tujuan pembelajaran, tahap ini dilakukan untuk menjadi dasar pembelajaran dalam mengetahui tingkat ketercapaian siswa dalam kegiatan belajar mengajar. dari kelima analisis tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa masalah yang terjadi dapat diatasi dengan mengembangkan bahan ajar cetak indexs card match yang kontekstual dan terintegrasi worksheet yang dibuat dengan menggunakan card dan aplikasi spreadsheet. 3.2 Tahap Perancangan (Design) Pada tahap ini dilakukan pembuatan kerangka kisi-kisi soal yang meliputi pemilihan bentuk dan jenis tes alat evaluasi pembelajaran. Pemilihan bentuk dan jenis tes dilakukan disesuaikan dengan materi yang akan digunakan. Pemilihan materi mengelola dokumen transaksi dikarenakan materi ini merupakan materi awal yang harus dipahami oleh siswa dan dijadikan sebagai dasar siswa untuk memahami materi selanjutnya karena materi dalam akuntansi ini berkelanjutan. Setelah indeks card match tesebut dibuat, maka diintegrasikan ke dalam worksheet dengan menggunakan aplikasi spreadsheet. Indeks card match yang tercetak tersebut berupa card sehingga bahan ajar ini dapat dilihat dan dipegang oleh siswa secara langsung karena mempunyai wujud fisik. 3.3 Tahap Pengembangan (Develop) Tahap ini diawali dengan telaah ahli evaluasi dan ahli materi kemudian revisi yang menghasilkan draft 2 dan divalidasi oleh para ahli. Setelah menjadi draft 2, selanjutnya indeks card match yang sudah disusun di uji coba soal untuk mengetahui kualitas indeks card match dalam memahami proses penyusunan laporan keuangan. Setelah melakukan uji coba soal kemudian melakukan revisi yang akhirnya akan menghasilkan draf 3. Setelah menjadi draf 3, dilakukan uji coba terbatas kepada 20 siswa SMA kelas XII yang mendapatkan pembelajaran Akuntansi. Dari uji coba terbatas dilakukan revisi untuk penyempurnaan bahan ajar cetak indexs card match yang kontekstual dan terintegrasi worksheet. Tahap pengembangan yang terakhir adalah revisi dari draft 3 berdasarkan masukan dari uji coba terbatas sehingga menjadi draft final. Hasil validasi terhadap bahan ajar cetak indexs card match yang kontekstual dan terintegrasi worksheet pada materi siklus akuntansi perusahaan dagang menurut para validator baik validator media maupun bahasa menyatakan bahwa bahan ajar cetak indexs card match yang kontekstual dan terintegrasi worksheet layak untuk dipergunakan dalam proses pembelajaran akuntansi. Sebagian besar siswa memberikan tanggapan atau respon yang positif terhadap setiap aspek yang ditanyakan pada lembar angket respon siswa terhadap alat evaluasi berbasis ICT yang dikembangkan oleh peneliti. Dari hasil uji coba terbatas, siswa menyatakan
bahwa bahan ajar cetak indexs card match yang kontekstual dan terintegrasi worksheet layak untuk dipergunakan dalam membantu memahami proses penyusunan laporan keuangan pada siklus akuntansi perusahaan dagang 3.4 Tahap Penyebaran (Disseminate) Pada tahap ini dilakukan di 2 (dua) lokasi kota yaitu di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) yang ada di Surabaya dan di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) yang ada di Sidoajo. Ke 2 sekolah ini sudah mewakili untuk tahap penyebaran (disseminate) dalam penelitian ini. 4. SIMPULAN DAN SARAN 4.1 Simpulan Penelitian berhasil mengembangkan bahan ajar indexs card match yang kontekstual dan terintegrasi worksheet melalui model pengembangan 4D Thiagarajan. Bahan ajar yang dihasilkan adalah bahan ajar tercetak yang dapat dipergunakan dalam proses penyusunan laporan keuangan pada materi siklus akuntansi perusahaan dagang. Bahan ajar tersebut telah diimplementasikan pada mata pelajaran Ekonomi/Akuntansi di Surabaya dan Sidoarjo. 4.2 Saran Adapun saran yang dapat disampaikan adalah: 1) diperlukan kerjasama dengan ahli desain grafis, 2) diperlukan kerjasama dengan perusahaan dagang/retail yang memiliki kecukupan bukti transaksi, dan 3) diperlukan adanya kerjasama dengan asosiasi profesi akuntansi untuk melakukan Disseminate. 5. DAFTAR PUSTAKA [1]. Morable Linda, (2000). Using Active Learning Techniques. Exclusive Copyright is retained by the U.S. Department of Education, the Texas Higher Education Coordinating Board, and Richland College. [2]. Horton William, (2002). Speakers_ Experiences and Audience Design: Knowing When and Knowing How To Adjust Utterances To Addressees. Journal of Memory and Language, Vol. 47, 589–606. [3]. Silberman, Mel., (2001). Active Training Techniques: Promoting Learning By Doing. [4]. Abraham A., (2006a). Perceptions of The Linkages Between Teaching Context, Approaches To Learning and Outcomes. Research Online institutional repository for the University of Wollongong. [5]. Abraham A., (2006b). Teaching and Learning in Accounting Education: Students'. [6]. Khafid Muhammad, (2007). Faktor–Faktor yang Mempengaruhi Kesulitan Belajar Akuntansi. Jurnal Pendidikan Ekonomi, Vol. 2. No.1. [7]. Trianto, (2013). Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. [8] Trianto, (2014). Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif, Konsep, Landasan dan Implementasinya Pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
205
206