ISBN : 978-602-0951-13-3
Tema Inovasi Dan Hilirisasi Hasil Penelitian Untuk Kesejahteraan Masyarakat Subtema Ekonomi dan Manajemen Surabaya, 27 Nopember 2016
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Hasil Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Negeri Surabaya
SEMNAS PPM
Buku – 4 Tema Inovasi Dan Hilirisasi Hasil Penelitian Untuk Kesejahteraan Masyarakat Subtema Ekonomi dan Manajemen Surabaya, 27 November 2016
Penerbit :
Fakultas MIPA – Universitas Negeri Surabaya
2016
TIM EDITOR I Wayan Susila Suroto Tukiran DESIGN LAYOUT Agus Prihanto PENYUNTING Bayu Agung Prasodi Biyan Yesi Wilujeng Ainul Khafid Andika Pramudya Wardana Yudo Chandrasa Wirasadewa TIM REVIEWER Darni A. Grummy Wailanduw Andre Dwijanto Witjaksono Titik Taufikurohmah Najlatun Naqiyah
Diterbitkan oleh : FAKULTAS MIPA - UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA Gedung D-1 UNESA Kampus Ketintang Jln. Ketintang Surabaya - 60231 Telp. 031-8280009 Email :
[email protected] Cetakan Pertama – Nopember 2016
ISBN :
Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit
SAMBUTAN KETUA PANITIA PADA SEMINAR NASIONAL HASIL PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT TAHUN 2016 UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA Bismillahir rohmannir rohiim Assalamu ‘alaikum Warohmatullahi Wabarokhatuh Selamat siang dan salam sejahtera bagi kita semua Yth. Bapak Rektor Universitas Negeri Surabaya, Bapak Prof. Dr. Warsono, M.S. Yth. Ibu Wakil Rektor Bidang Akademik, Ibu Dr. sc. agr. Yuni Sri Rahayu, M.Si. Yth. Bapak Wakil Rektor Bidang Umum dan Keuangan, Bapak Drs. Tri Wahatnolo, M.Pd, M.T. Yth. Bapak Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni, Bapak Dr. Ketut Prasetyo, M.S. Yth. Bapak Wakil Rektor Bidang Kerjasama dan Perencanaan, Bapak Prof. Dr. Djodjok Soepardjo, M.Litt. Yth. Bapak Prof. Ocky Karna Radjasa, M.Sc., Ph.D, Direktur Riset dan Pengabdian Kepada Masyarakat (DRPM), Kemenristekdikti, selaku narasumber Yth. Bapak Prof. Dr. Muchlas Samani, M.Pd, pemerhati pendidikan dan sekaligus narasumber Yth, Bapak Tritan Saputra, S.T., M.H. Ketua Komite Tetap Pengembangan Usaha Elektronika Bidang Industri Kreatif dari KADIN Jatim sekaligus sebagai narasumber Yth. Bapak Ibu para Dekan selingkung Unesa, Yth. Bapak Direktur Pascasarjana Unesa, Yth. Bapak Ketua LP3M Unesa, Yth. Bapak Ketua dan Sekretaris LPPM Unesa, dan Bapak ibu semua kepala dan sekretaris pusat di LPPM Unesa, serta bapak ibu peserta Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Tahun 2016 yang diselenggarakan di Best Western Papilio Hotel, Jl. A. Yani, Surabaya, yang berbahagia dan saya banggakan. Pertama-tama, marilah kita senantiasa mengucapkan rasa syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, nikmat, dan hidayah-Nya sehingga kita semua bisa berkumpul di ruangan ini dalam keadaan sehat wal afiat dan tak kurang suatu apapun. Bapak Rektor, ibu bapak Wakil Rektor, bapak ibu pimpinan fakultas dan direktur pascasarjana serta pimpinan unit kerja lainnya selingkung Unesa serta bapak ibu hadirin peserta seminar yang saya hormati, Kegiatan Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Tahun 2016 (SEMNASPPM 2016) ini merupakan kegiatan yang secara rutin diselenggarakan oleh LPPM Unesa Surabaya yang biasanya jatuh pada bulan Oktober atau Nopember tiap tahunnya. Kegiatan Seminar Nasional kali ini dilakukan dengan mengusung tema: Inovasi dan Hilirisasi Hasil Penelitian untuk Kesejahteraan Masyarakat. Adapun tema pokok tersebut dapat dijabarkan menjadi sub tema, yaitu: 1) Inovasi Pendidikan, 2) Konservasi, Sains dan Teknologi, 3) Kualitas Hidup dan Pengembangan Sumber Daya, 4) Seni, Budaya, dan Kemasyarakatan, dan 5) Ekonomi dan Manajemen. Dengan diversitas subtema yang diangkat ini, maka kegiatan seminar ini diharapkan dapat memberikan banyak wahana, wacana, dan warna pengetahuan dan keilmuan yang lain dan yang baru sehingga dapat memberikan stimuli untuk berkreasi dan berkarya bagi para dosen dan/atau peneliti ataupun profesi lainnya baik di lingkup kemenristekdikti dan/ataupun lingkup lainnya. Bapak Rektor, ibu bapak Wakil Rektor, bapak ibu pimpinan fakultas dan bapak direktur pascasarjana serta pimpinan unit kerja lainnya selingkung Unesa serta bapak ibu hadirin peserta seminar yang saya muliakan, Untuk dapat mencapai dan sekaligus memperkaya wahana, wacana, dan warna pengetahuan dan keilmuan yang baru tersebut, kami telah mengundang para narasumber yang sangat berkompeten, yaitu bapak Prof. Ocky Karna Radjasa, M.Sc., Ph.D., bapak Prof. Dr. Muchlas Samani, M.pd., dan bapak Tritan Saputra, S.T.,M.H., dimana diantara mereka sudah berada ditengah-tengah kita. Dengan kompetensi, kepakaran dan pengalaman dari masingmasing narasumber, tentu kami sangat yakin akan banyak wacana dan warna informasi penting lainnya yang kita dapatkan hari ini yang tentu pula sangat bermanfaat untuk pengembangan ilmu dan tingkat profesionalitas kita sebagai seorang dosen dan/ataupun peneliti atau profesi lainnya. Bapak Rektor, ibu bapak Wakil Rektor, bapak ibu pimpinan fakultas dan direktur pascasarjana serta pimpinan unit kerja lainnya selingkung Unesa serta bapak ibu hadirin peserta seminar yang saya banggakan, Perkenankan pada kesempatan ini, kami melaporkan bahwa peserta Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat tahun 2016 ini dihadiri oleh sekitar 219 orang, yang terdiri dari 3 narasumber, 13 undangan, 149 pemakalah yang terdiri dari 64 pemakalah oral, dan sisanya pemakalah poster, serta 25 orang
i
panitia. Sesungguhnya, pada satu dua minggu terakhir menjelang hari pelaksanaan seminar ini masih banyak dosen/peneliti atau mahasiswa yang berkeinginan kuat untuk mengirimkan abstrak dan sekaligus sebagai pemakalah. Namun, karena keterbatasan tenaga dan pikiran kami, dengan amat terpaksa dan sangat menyesal kami harus menutupnya. Untuk itu, kami mohon maaf. Selanjutnya, kami berharap kegiatan Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat tahun 2016 ini dapat berlangsung dengan baik, lancar dan sukses. Kami juga mengharapkan partisipasi peserta seminar ini untuk aktif menggunakan momentum dan event ini guna memperoleh banyak wahana, wacana, dan informasi lain yang sangat bermanfaat dan tentu ikut memperlancar kegiatan seminar nasional ini. Event seminar nasional ini tentu menjadi ajang silaturahmi bagi bapak ibu semua sekaligus memberikan ruang dan wadah untuk saling bertukar pikiran dan informasi yang saling menguntungkan serta memberikan kesempatan membangun dan menjalin kerjasama di antara kita ke arah yang lebih. Pada kesempatan ini pula, mohon dengan hormat bapak Rektor Unesa, Prof. Dr. Warsono, M.S. berkenan untuk memberikan sambutan dan arahan terkait tema dalam kegiatan seminar ini dan sekaligus berkenan membuka secara resmi acara seminar nasional ini. Demikian, bapak ibu hadirin semua yang bisa saya sampaikan dan laporkan, mohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan. Wa billahi taufik wal hidayah war ridho wa innayah Wassalamu ‘alaikum Warohmatullahi Wabarokhatuh Maturnuwun Surabaya, 27 November 2016 Ketua Pelaksana Prof. Dr. Tukiran, M.Si.
ii
SAMBUTAN REKTOR PADA SEMINAR NASIONAL HASIL PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT TAHUN 2016 UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA Assalamu alaikum wr, wb. Teriring ungkapan rasa puji syukur kehadirat Allah SWT, pagi hari ini kita bertemu dalam kegiatan yang sangat bermanfaat bagi perjalanan dan kemajuan bangsa ini yaitu Seminar Nasional hasil penelitian dan pengabdian kepada masyarakat Universitas Negeri Surabaya tahun 2016. Kegiatan ini terlaksana berkat rahmat dan hidayah dari Allah Swt. Para peserta seminar yang saya hormati, Salah satu tujuan dari perguruan tinggi adalah menjamin agar mutu pembelajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat mencapai target sesuai yang ditetapkan oleh Standar Nasional Perguruan Tinggi. Terdapat 8 Standar nasional perguruan tinggi dibidang penelitian dan pengabdian kepada masyarakat yaitu standar hasil, standar isi, standar proses, standar penilaian, standar peneliti dan pelaksana pengabdian, standar sarana dan prasarana, standar pengolahan, dan standar pendanaan dan pembiayaan. Delapan standar tersebut merupakan pedoman dan sekaligus target capaian yang harus diupayakan oleh perguruan tinggi yang disesuaikan dengan visi dan misi masing masing perguruan tinggi. Standar hasil penelitian dan pengabdian kepada masyarakat bermuara pada pengembangan IPTEK yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan daya saing bangsa. Untuk mencapai hal tersebut, harus diketahui akar permasalahan dan dan dicarikan peluang serta pemecahannya. Tugas seorang peneliti dan pelaksana pengabdian kepada masyarakat adalah menggali, mengidentifikasi, dan menganalisis akar permasalahan tersebut dengan didasarkan kepakaran yang dimilikinya serta berkolaborasi dengan stakeholder terkait. Seorang peneliti perlu memiliki kecerdasan dalam memetakan tipologi, karakteristik setiap kelompok masyarakat serta memiliki kemampuan memprediksi dampak yang ditimbulkan dari setiap pelaksanaan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Oleh karena setiap wilayah dan kelompok masyarakat memiliki karakteristik yang berbeda maka diperlukan treatment yang berbeda pula. Wilayah Indonesia memiliki potensi yang luar biasa baik dari sumber daya alam, budaya, dan manusia. Potensi tersebut sangat memungkinkan untuk diberdayakan menjadi sebuah kekuatan yang dahsyat untuk membangun bangsa dan menyejahterakan masyarakat. Formula yang ditawarkan adalah inovasi, kreatif, dan produktif berbasis kajian ilmiah dalam bentuk empiris dan pemodelan. Sehingga hasil penelitian aplikatif dan solutif, tidak hanya menjadi koleksi, tetapi bernilai dan bermanfaat langsung pada masyarakat. Program hilirisasi hasil-hasil penelitian dan pengabdian kepada masyarakat yang dicanangkan pemerintah perlu mendapat dukungan penuh. Kehadiran para peneliti dan pengabdian kepada masyarakat sudah sangat ditunggu oleh warga bangsa ini. Dilain pihak, sebagai sebuah lembaga tinggi “techno park” bagi Universitas Negeri Surabaya bukan hanya sebuah mimpi tetapi merupakan target dan sasaran yang harus diupayakan agar bisa menjadi perguruan tinggi berkelas dunia. Berbekal keahlian dan kepakaran yang terus dikembangkan para dosen-dosen Unesa berangsur mampu mencetak interpreneurship di dalam dan diluar lingkungan kampus. Seiring harapan tersebut sangat tepat jika seminar ini mengambil tema Inovasi dan hilirisasi hasil penelitian untuk kesejahteraan masyarakat. Untuk lebih mengoptimalkan dan operasional tema tersebut ditetapkan sub tema seminar tahun ini adalah sebagai berikut: 1) Inovasi pendidikan, 2) Konservasi, sains, dan teknologi, 3) Kualitas hidup dan sumber daya, 4) Seni, budaya, dan kemasyarakatan, 5) Ekonomi dan manajemen. Kiranya dengan 5 sub tema tersebut dapat memberikan kontribusi Universitas Negeri Surabaya terhadap pembangunan bangsa dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Bapak, Ibu peserta seminar yang saya hormati. Selamat berseminar dan semoga sukses. Semoga kerja keras, kerja cerdas dan kerja ikhlas bapak ibu sekalian mendapat balasan dari Allah Swt, yang berlipat lipat dikemudian hari. Wassalamu alaikum wr. wb. Surabaya, 27 November 2016 Rektor Universitas Negeri Surabaya
iii
iv
SUSUNAN PANITIA SEMINAR NASIONAL HASIL PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT 2016 LPPM UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA Pelindung
: Prof. Dr. Warsono, M.S. (Rektor)
Penasihat
: 1. Dr. rer.nat. Yuni Sri Rahayu, M.Si. (WR Bid.Akademik) 2. Drs. Tri Wrahatnolo, M.Pd., M.T. (WR Bid. Umum Keuangan) 3. Dr. KetutPrasetyo, M.S. (WR Bid. KemahasiswaandanAlumni) 4. Prof. DjodjokSoepardjo, M. Litt. (WR Bid. Kerjasama)
PenanggungJawab
: Prof. Dr. Ir. I WayanSusila, M.T.
Ketua
: Prof. Dr. Tukiran, M.Si.
Wakil
: Drs. Suroto, M.A., Ph.D.
Sekretaris
: 1. Dr. NajlatunNaqiyah, M.Pd. 2. Dr. Nurkholis, M.Kes.
Bendahara
: 1. Dr. Rindawati, M.Si. 2. ZulaikhahAbdullah, S.E.
Kesekretariatan
: 1.Dra. Ec. Nurmika Simanullang, M.Pd. 2. IkaPurnamaWati, A.Md.
IT
: 1. Wiyli Yustanti, S.Si., M.Kom. 2. Agus Prihanto, S.Kom, M.T.
Dana/Akomodasi
: 1. Dr. Grummy W., M.T. 2. SitiNurulHidayati, S.Pd.,M.Pd.
Dokumentasi
: Moch. Suyanto
NaskahdanProsiding
: 1. Dr. Andre W., M.Si. 2. Dr. TitikTaufikurrohmah, M.Si.
Humas/Publikasi
: 1. Prof. Dr. Darni, M.Hum. 2. Drs. BudihardjoA.H., M.Pd.
Acara/Sidang/Narasumber
: 1. Prof. Dr. Hj. SitiMaghfirotunAmin, M.Pd. 2. Dian Savitri, S.Pd.,M.Pd.
Umum/Perlengkapan
: 1. Amalia Rachel Manoppo, S.H. 2. Parni
Konsumsi .
: 1.NurHartatik, S.E. 2. Yulia Sukmawati, S.Pd
v
vi
DAFTAR ISI
SAMBUTAN KETUA PANITIA ............................................................................................................................ i SAMBUTAN REKTOR ........................................................................................................................................ iii SUSUNAN PANITIA SEMINAR NASIONAL ..................................................................................................... v DAFTAR ISI ......................................................................................................................................................... vii Studi Eksplorasi Pada Intensi Kewirausahaan: Sebuah Perspektif Wanita Wirausaha Di Surabaya ...................... 1 Anik Lestari Andjarwati1, Nindria Untarini2*), dan Haris Balady3 ...................................................................... 1 Realisasi Penerimaan Dana Zakat di Indonesia: Sebuah Pendekatan Inklusi Keuangan ...................................... 11 Clarashinta Canggih1*), Khusnul Fikriyah2, Ach. Yasin3 .................................................................................. 11 Implementasi Pengukuran Kualitas Corporate Governance pada Perusahaan di Indonesia .................................. 15 Musdholifah1*), Ulil Hartono2 ........................................................................................................................... 15 Pengaruh Variabel Makroekonomi Terhadap Penerbitan Sukuk dan Besaran Bagi Hasil Sukuk Ritel Pemerintah .............................................................................................................................................................................. 21 Prayudi Setiawan Prabowo1*), Rachma Indrarini2 ............................................................................................. 21 Identifikasi Kemampuan Strategi Bersaing dalam Upaya Peningkatan Kinerja UMKM di Gerbangkertasusila Jawa Timur............................................................................................................................................................ 25 Purwohandoko1, Yuyun Isbanah2*), Prayudi Setiawan Prabowo3 ..................................................................... 25 Pelabelan Produk Olahan Ikan: Sebuah Studi untuk Peningkatan Daya Saing UMKM ....................................... 31 Rosa P. Juniarti1*), Rahayu D. S.Y. Mende2 ...................................................................................................... 31 Eksplorasi Kolaborasi Antar UKM dalam Membangun Toko Online Bersama ................................................... 37 Sri Setyo Iriani1*), Sanaji2, Hujjatullah Fazlurrahman 3 ..................................................................................... 37 Upaya Peningkatan Ketrampilan Pembuatan Sabun Detergen dan Laporan Keuangan Sederhana Melalui IPTEK Bagi Wirausaha Jasa Laundry di Sidoarjo ............................................................................................................ 43 Susanti1*), Joni Susilowibowo2, Atik Wintarti3 ................................................................................................. 43 Pemberdayaan Sociopreneurship Masyarakat Nelayan (Studi pada UKM “Crispy Ikan Sunduk” Kabupaten Lamongan) ............................................................................................................................................................ 51 Jun Surjanti1*), Dian Anita Nuswantara2 ........................................................................................................... 51
vii
viii
Studi Eksplorasi Pada Intensi Kewirausahaan: Sebuah Perspektif Wanita Wirausaha Di Surabaya Anik Lestari Andjarwati1, Nindria Untarini2*), dan Haris Balady3 1 Jurusan Manajemen, Universitas Negeri Surabaya, Kota Surabaya. Email:
[email protected] 2 Jurusan Manajemen, Universitas Negeri Surabaya, Kota Surabaya. E-mail:
[email protected] 3 Jurusan Manajemen, Universitas Negeri Surabaya, Kota Surabaya. E-mail:
[email protected] *) Alamat Korespondesi: Email:
[email protected] ABSTRACT Some researchers argue that entrepreneur career choice for women is lower than men. Low desire a career as an entrepreneur in women is unfortunate. The next question that arises is how to increase entrepreneurial intentions in a woman as their career choice. Therefore, the intention may be used as a basic approach that makes sense to understand anyone who would become entrepreneurs. Some researchers have argued that the encouragement career being an entrepreneur can be predicted based on perceived desirability, propensity to act, entreprenurial self-efficacy, and social enviroment. The purpose of this study was to explore women's perceptions about the factors that shape the entrepreneurial intentions and how the role of these factors in influencing the intention of entrepreneurship among women who live in Surabaya. Focus group interviews are used in empirical research, where results found is perceived desirability, propensity to act, entrepreneurial self-efficacy, and social environment capable of encouraging entrepreneurial intentions in women. However, the intention of entrepreneurship can also be formed through openness to experience, situation variable, need for autonomy, and economic approach. This study should contribute and serve as a guide for next researcher in developing entrepreneurial intention models which can lead to the formation of entrepreneurial behavior. Key Words: Perceived desirability, propensity to act, self-efficacy entrepreneurial, social environment, entrepreneurial intentions ABSTRAK Beberapa peneliti mengemukakan bahwa pilihan karir berwirausaha pada wanita lebih rendah dibanding dengan laki-laki. Rendahnya keinginan berkarir sebagai wirausaha pada diri wanita sangat disayangkan. Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah bagaimana meningkatkan intensi wirausaha dalam diri wanita sebagai pilihan karir mereka. Oleh karena itu, intensi dapat dijadikan sebagai pendekatan dasar yang masuk akal untuk memahami siapa-siapa yang akan menjadi wirausaha. Beberapa peneliti mengemukakan bahwa dorongan berkarir menjadi wirausaha dapat diprediksi berdasarkan persepsi atas tingkat kemenarikan karir (career attractiveness), tingkat kelayakan (feasibility) dan keyakinan atas efikasi diri (self-efficay beliefs) untuk memulai usaha dan juga faktor lingkungan social. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi persepsi wanita tentang faktor-faktor yang mampu membentuk intensi kewirausahaan dan bagaimana peran faktor-faktor tersebut dalam mempengaruhi intensi kewirausahaan pada wanita yang berdomisili di Surabaya. Focus group interview digunakan dalam penelitian empiris ini, dimana hasil yang ditemukan adalah perceived desirability, propensity to act, self-efficacy entrepreneurial, dan lingkungan social mampu mendorong intensi kewirausahaan pada wanita. Namun, intensi kewirausahaan juga dapat dibentuk melalui openness to experience, variabel situasi, need for autonomy, dan pendekatan ekonomi. Penelitian ini seharusnya berkontribusi dan berfungsi sebagai panduan untuk penelitian selanjunya dalam mengembangkan model intensi kewirausahaan yang mana dapat berlanjut pada pembentukan perilaku kewirausahaan. Keywords: perceived desirability, propensity ti act, entrepreneurial self efficacy, social environment, intensi kewirausahaan, perilaku kewirausahaan 1. PENDAHULUAN Beberapa peneliti mengemukakan bahwa pilihan karir berwirausaha pada wanita lebih rendah dibanding dengan laki-laki1. Rendahnya intensi berwirausaha pada wanita karena mereka memiliki tingkat keyakinan atas kemampuan dirinya yang
rendah. Wanita cenderung menghindari membuka bisnis sendiri karena mereka merasa kurang memiliki kemampuan bisnis yang diperlukan2. Pakar lain berpendapat bahwa beberapa kesan stereotip disebabkan wanita bertanggung jawab dalam mendukung keharmonisan keluarga dan membesarkan anak-anak, kondisi ini berdampak negatif pada intensi
1
berwirausaha wanita3 dan hal ini didukung dengan kondisi di Indonesia sendiri dimana masyarakat beranggapan bahwa wanita lebih cocok bekerja di kantor atau menjadi ibu rumah tangga. Rendahnya keinginan berkarir sebagai wirausaha pada diri wanita sangat disayangkan. Padahal wanita sebagai salah satu motor penggerak pembangunan dan mewujudkan keluarga sejahtera. Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah bagaimana meningkatkan intensi wirausaha dalam diri wanita sebagai pilihan karir mereka. Intensi telah terbukti menjadi prediktor yang terbaik bagi perilaku kewirausahaan. Oleh karena itu, intensi dapat dijadikan sebagai pendekatan dasar yang masuk akal untuk memahami siapa-siapa yang akan menjadi wirausaha4. Beberapa peneliti mengemukakan bahwa dorongan berkarir menjadi wirausaha dapat diprediksi berdasarkan persepsi atas tingkat kemenarikan karir (career attractiveness), tingkat kelayakan (feasibility) dan keyakinan atas efikasi diri (self-efficay beliefs) untuk memulai usaha5. Di sisi lain, minat karir dapat dibentuk melalui pengaruh keluarga dan pendidikan6 dan pengalaman kerja pertama5. Disamping itu, faktor lingkungan sosial seperti peraturan legal dan dukungan pemerintah merupakan faktor penting dalam mempengaruhi intensi berwirausaha7. Scholars mengindikasikan bahwa faktor lingkungan sosial merupakan variabel yang mendorong berwirausaha yang dikaitkan dengan sikap individu8 . Teori umum yang digunakan untuk mengukur intensi kewirausahaan adalah Entrepreneurial Event Model (EEM) oleh Shapero & Sokol dan Theory of Planned Behavior (TPB) oleh Ajzen. Kolvereid mendemonstrasikan bahwa kerangka yang dibangun Ajzen adalah model yang solid untuk memperkirakan dorongan untuk berwirausaha9. Dorongan adalah anteseden dari perilaku, dimana terkandung tiga variabel yaitu attitude toward the behavior, subjective norm, dan perceived behavior control10. Sedangkan, intensi kewirausahaan dibentuk dari perceived desirability, perceived feasibility, dan propensity to act10. Secara umum permasalahan penelitian ini adalah determinan apa yang sebenarnya mendorong wanita untuk memilih dan memutuskan berwirausaha sebagai pilihan karir mereka mengingat pentingnya kewirusahaan bagi kesejahteraan ekonomi dan sosial. Dengan mengetahui karakteristik dan pola pikir wanita serta faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku wanita dalam berwirausaha diharapkan dapat dibuat model perilaku kewirausahaan bagi wanita dengan memasukkan berbagai aspek yang mempengaruhi terbentuknya perilaku kewirausahaan dengan mendasarkan pada alasan-alasan pemilihan karier yang berbeda dan pelatihan kompetensi yang berbeda. Ketika alasan pemilihan karier dan kompetensi yang dibutuhkan wanita distimulasi, maka karakteristik
entrepreneurship dapat dikembangkan dengan baik pada wanita. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik wanita yang berkeinginan memilih wirausaha sebagai pilihan karirnya dan menghasilkan proposisi yang menunjukkan relasi faktor-faktor yang mempengaruhi intensi wanita dalam berwirausaha sebagai embrio model konsepsi dalam mendorong intensi kewirausahaan dengan mengintegrasikan konsep model intensi kewirausahaan dari Ajzen dan Shapero & Sokol yang ditambah dengan faktor lingkungan sosial. 1.1 Intensi Kewirausahaan Keyakinan memainkan peran penting dalam memahami apa yang terjadi di dalam pola pikir seseorang dan dianggap sebagai relevan dalam pengetahuan baru, bagaimana kita memproses rangsangan dan informasi, dan akhirnya, bagaimana kita menyimpan dan struktur pengetahuan yang dihasilkan. Jika kita gagal untuk menganalisis keyakinan, maka kita tidak akan dapat memahami kewirausahaan karena di balik tindakan kewirausahaan adalah niat kewirausahaan; balik niat kewirausahaan dikenal sikap kewirausahaan; dibalik sikap kewirausahaan adalah struktur kognitif; di belakang struktur kognitif yang mendalam adalah keyakinan yang mendalam. Sejak niat mampu membantu untuk memprediksi perilaku masa depan, pemahaman kewirausahaan akan mengharuskan bahwa seseorang perlu memahami niat11. Ketika perilaku sulit untuk diamati, niat menawarkan wawasan penting ke dalam proses yang mendasari seperti pengakuan kesempatan11. Dengan demikian, niat model menawarkan kesempatan untuk meningkatkan kemampuan kita untuk menjelaskan dan memprediksi aktivitas kewirausahaan. Nniat kewirausahaan sebagai komitmen seseorang untuk memulai bisnis baru12. Ketika seseorang memiliki niat tertentu maka ia yakin bahwa perilakunya sesuai dengan tujuan dalam mencapai niatnya13. Intensi berwirausaha diukur dengan skala entrepreneurial intention14 dengan indikator memilih jalur usaha daripada bekerja pada orang lain, memilih karir sebagai wirausahawan, dan perencanaan untuk memulai usaha. 1.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Intensi Kewirausahaan Teori planned behavior dikembangkan untuk melihat proses dimana individu memutuskan, terikat pada tindakan tertentu. Teori planned behavior (TPB) adalah kelanjutan dari teori reasoned action (TRA) yang memasukkan pengukuran dalam control belief dan perceived behavioral control. Teori planned behavior dikembangkan untuk melihat proses dimana individu memutuskan, terikat pada tindakan tertentu sehingga kerangka yang dibangun Ajzen adalah model yang solid untuk memperkirakan dorongan untuk berwirausaha. Model Entrepreneurial Event milik Shapero merupakan implikasi dari model intensi yang
2
dispesifikasikan pada ruang lingkup wirausaha (entrepreneurship). Dalam Entreprenurial Event, intensi untuk memulai suatu bisnis (wirausaha) akan muncul didukung oleh adanya persepsi atas keinginan (perceptions of desirability), persepsi atas kemungkinan (perceived feasibility) serta kecenderungan bertindak (propensity to act). Model entrepreneurial event ini menunjukkan bahwa niat kewirausahaan dapat diprediksi dari ketertarikan, kelayakan dan kecenderungan untuk bertindak11. Model ini menjelaskan bahwa kegiatan kewirausahaan dapat timbul dari rasa ketertarikan seseorang pada tindakan memulai bisnis, memiliki persepsi bahwa mereka merupakan pribadi yang mampu untuk memulai bisnis dan memiliki kecenderungan untuk bertindak atas keputusan sendiri. Pada model Azjen and model Shapero, mempertimbangkan efikasi diri (self-efficacy) sebagai pengganti dari feasibility. Adanya tumpang tindih di antara dua model niat kewirausahaan pada dua elemen yaitu konstruk persepsi atas keinginan (perceived desirability) oleh Shapero dan Sokol dinyatakan setara dengan konstruk sikap berperilaku (attitude toward behavior) dan norma sibjektif (subjective norm) oleh Ajzen. Sedangkan, persepsi atas keinginan (perceived feasibility) oleh Shapero dan Sokol dinyatakan sama dengan kontrol perilaku yang dirasakan (perceived behavior control) oleh ajzen atau konsep efikasi diri (self efficacy)15. Dari beberapa pernyataan tersebut, maka peneliti menyimpulkan bahwa konstruk sikap berperilaku dan norma subjektif dari model Ajzen memiliki kesamaan makna dengan konstruk persepsi atas keingan dari model Shapero. Sedangkan, konstruk kontrol persepsi atas kemungkinan dari model Shapero memiliki kesamaan makna dengan konstruk control perilaku yang dirasakan dari model Ajzen atau konsep efikasi diri dari model Krueger & Brazeal; Linan, Urbano & Guerrero. Persepsi atas keinginan berwirausaha, kecenderungan bertindak, maupun efisikasi diri atas kemudahan berwirausaha yang dirasakan timbul dari dalam diri seseorang (personal). Padahal dorongan intensi berwirausaha dapat dikembangkan melalui beberapa aspek, salah satunya adalah faktor lingkungan. Karena faktor lingkungan juga diprediksi memiliki dampak pada eberhasilan berwirausaha. Faktor lingkungan seperti modal, informasi, jaringan, maupun peraturan legal dan dukungan pemerintah juga sangat membantu dalam mendorong intensi berwirausaha. 2. METODE Metode penelitian ini meliputi pemilihan desain dan rancangan penelitian, metode pengumpulan data, cara pemilihan peserta kelompok focus, serta analisis data. Berikut penjelasan dari masing-masing metode penelitian sebagai berikut: 2.1 Desain dan Rancangan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami faktor-faktor yang menentukan intensi kewirausahan, yang dilakukan dengan cara ekplorasi.
Pada proses pengumpulan data ada beberapa alternatif yang dapat dipilih dalam desain penelitian berbentuk ekploratori dengan rancangan penelitian kualitatif. Penelitian eksploratori bertujuan untuk merumuskan masalah yang lebih presisi, mengidentifikasi alternative keputusan, menentukan variabel dan hubungan antar variabel untuk diuji lebih lanjut, mencari ide untuk mengembangkan pendekatan masalah, dan menetapkan prioritas untuk riset selanjutnya16.. Penelitian ini bertujuan untuk membentuk preposisi dari hubungan antar variabel yang mana akan dilakukan uji lebih lanjut sehingga dapat diperoleh model intensi kewirausahaan yang lebih presisi. 2.2 Metode Pengumpulan data Ada beberapa alternatif teknik pengumpulan data yang digunakan dalam studi kualitatif, yaitu wawancara yang mendalam, kelompok focus, teknik proyeksi, dan analisis kiasan17. Penelitian ini menggunakan kelompok focus dan wawancara mendalam. Focus group interview dilakukan dengan mewawancara sejumlah para pelaku bisnis, yang terbagi menjadi tiga (3) kelompok focus. Masingmasing kelompok focus berjumlah sepuluh (10) orang yang bersifat homogen. Setiap kelompok focus akan dipandu oleh seorang moderator. Moderator dalam hal ini adalah tim peneliti sendiri. Kegiatan wawancara dengan kelompok focus ini berlangsung kurang lebih selama dua (2) jam. Dimana, setiap kelompok focus di awal pertemuan diminta untuk mendekripsikan dirinya sendiri didasarkan demografi, pola pikir dan kondisi ekonomi. Selanjutnya, kelompok focus diminta untuk memberikan pandangan tentang faktor-faktor yang membentuk intensi kewirausahaan dan bagaimana intensi tersebut dapat digunakan sebagai predictor dalam membentuk perilaku. Kuesioner digunakan sebagai instrument penelitian oleh moderator dalam mengarahkan pertanyaan kepada kelompok focus. Agar apa yang disampaikan kelompok focus dapat diingat kembali, maka tim peneliti mencatat dan merekam setiap diskusi pembicaraan antara kelompok focus dengan moderator. Dengan adanya focus group interview ini diperoleh tentang gambaran informasi lebih rinci tentang faktor-faktor yang membentuk kelompok focus dalam berwirausaha dan bagaimana intensi mampu memprediksi perilaku kewirausahaan, kelompok fokus lebih memiliki kebebasan berekspresi karena berada pada kondisi yang sama, dan kecepatan waktu penelitian. 2.3 Pemilihan Populasi Ada berbagai cara untuk merekrut peserta kelompok fokus. Pemilihan dapat dilakukan dengan menggunakan daftar yang ada, pemilihan secara acak, melalui kontak person dengan aplikasi terbuka, misalnya surat kabar harian atau mereka bisa menjadi non-acak memilih. Penelitian ini menggunakan pemilihan kelompok fokus secara non-probablity sampling dengan judgmental sampling dan snowball sampling. Kedua teknik ini dipilih karena dengan pertimbangan mudah mendapatkan populasi yang
3
sesuai dengan kriteria yang diharapkan, seperti pekerja wanita (bukan wirausaha), berusia minimal 17 tahun, berdomisili di Surabaya. Karakteristik dari pilihan sampel non-probabilitas memiliki daya tarik yang cukup besar ketika akurasi tidak sangat penting. Disamping itu, pemilihan sampel non-probabilitas karena desain penelitian ini berbentuk eksplorasi. Memilih responden dengan pengetahuan yang benar tentang daerah penelitian sangat penting untuk penelitian kualitatif. Pada pemilihan kelompok fokus ini, peneliti mengikuti prosedur yang sama dalam memilih responden dan juga meminta bantuan kepada salah satu orang yang telah memiliki karakteristik responden dan selanjutnya meminta bantuan kepada salah satu seorang responden untuk merekeomendasikan responden lainnya yang telah memenuhi syarat dari karakteristik populasi yang ditentukan dan seterusnya. 2.4 Analisis Data Analisis data kualitatif berfokus pada data dalam bentuk kata-kata. Analisis data diyakini terdiri dari "tiga arus bersamaan kegiatan": 1. reduksi data, yaitu proses pemilihan, fokus, menyederhanakan, abstrak, dan mengubah data. Tujuannya adalah untuk mengatur data sehingga kesimpulan akhir dapat ditarik dan diverifikasi. 2. menampilkan data, yaitu mengambil data yang kurang dan menampilkan dengan cara dikompres secara terorganisir sehingga mudah ditarik kesimpulan. 3. kesimpulan menggambar/verifikasi, yaitu memutuskan sesuatu hal-hal berarti - mencatat keteraturan, pola, penjelasan, konfigurasi, hubungan kausal, dan proposisi. Penelitian ini mengikuti langkah-langkah yang diusulkan oleh Miles dan Huberman dimana data pertama dituliskan kalimat demi kalimat dengan bantuan dari tape recorder, dan setelah itu data dikurangi menjadi informasi dikompres. Selanjutnya, dilakukan konsolidasi data dari ketiga kelompok fokus dan tidak membuat perbandingan antara mereka karena peneliti tidak punya niat untuk menekankan pendapat yang berbeda antara kelompok. 3.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian ini dimulai dengan menginterpretasi gambaran kelompok focus yang didasarkan pada demografi, kondisi sosio ekonomi, dan pola pikir dari sekelompok wanita. Hasil identifikasi karakteristik responden ini dianalisis secara deskriptif dalam bentuk tabulasi data sehingga diperoleh prosentase tertinggi karakteristik kelompok focus berdasarkan demografi. Hasil indentifikasi karakteristik responden berdasarkan demografi ditunjukkan pada tabel 1: Tabel 1. Karakteristik Wanita Berdasarkan Demografi
Karakteristik Responden
Usia
Latar Belakang Pendidikan
Pendapatan
Pengetahuan Bisnis Pengalaman Bekerja Pekerjaan Orang Tua
Jumlah
Prosentase
17-24 25-32 33-40 >40 Total Ekonomi dan Bisnis Non Ekonomi Total < 3 juta
12 5 3 10 30
40% 17% 10% 33% 100.00%
15
50%
15 30
50% 100%
9
30%
3 - 5 juta
8
27%
6 - 10 juta
3
10%
> 10 juta
10
33%
Total Ada Tidak Ada Total Ada Tidak Ada Total Wirausaha Bukan wirausaha Total
30
100%
23 7 30 12 18 30 15
77% 23% 100% 40% 60% 100% 50%
15
50%
30
100%
Hasil wawancara dengan kelompok focus diketahui bahwa mereka yang berusia 17 – 24 tahun mendominasi sebanyak 12 orang (40%) dengan sebagian besar pendapatan yang diperoleh lebih dari 10 juta rupiah (33%). Dua puluh tiga (23) orang (77%) menyatakan bahwa sebelumnya telah memiliki wawasan dan pengetahuan dalam berbisnis yang diperoleh ketika mereka sekolah/kuliah, mengikuti seminar, pelatihan, maupun berbagai informasi yang diperoleh dari membaca buku, majalah, artikel maupun internett Meskipun, sebagian besar mereka (60%) belum pernah bekerja sebelumnya, namun hampir sebagian responden (50%) menyatakan bahwa wawasan dan pengetahuan bisnis mereka diperoleh dari latar belakang orang tua yang memiliki usaha bisnis. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa profesi wirausaha pada wanita didominasi usia 17 – 24 tahun. Dimana, mereka sangat tertarik untuk berbisnis produk. Hal ini mengindikasikan bahwa rata-rata usia responden masih relatif muda dan berada pada rentang usia yang produktif. Keberhasilan mereka dalam menjalankan bisnis ini karena mereka memiliki motivasi dan keyakinan yang tinggi bahwa dengan berwirausaha mereka akan mendapat nilai lebih dibanding dengan bekerja kantoran dan umumnya para calon wirausahawan yang berusia muda, cenderung lebih sukses dibanding mereka yang berusia tua. Begitu pula, keberhasilan seseorang dapat dilihat dari usia si calon wirausahawan di saat awal mereka melakukan usahanya. Umumnya usia yang produktif untuk berusaha adalah di sekitar 25 hingga 44 tahun. Pengetahuan bisnis yang mereka peroleh selama sekolah/kuliah, mengikuti kursus, seminar, dan
4
pelatihan sangat membantu dalam merencanakan dan menjalankan suatu bisnis. Hal ini karena latar belakang pendidikan seseorang menentukan tingkat intensi seseorang dan kesuksesan suatu bisnis yang dijalankan. Disamping itu, biasanya program-program kewirausahaan diperoleh saat mereka sekolah maupun magang di perusahaan akan berdampak positif terhadap keinginan menjadi wirausaha. Latar belakang pendidikan kelompk focus juga dapat menstimuli mereka untuk membuka usaha bisnis. Meskipun, ada pula sebagian besar responden dengan latar belakang pendidikan non ekonomi, namun mereka memiliki keinginan dan keyakinan yang kuat bahwa keberhasilan karir seseorang tidak hanya ditentukan dari bekerja kantoran tapi dapat pula diraih dengan wirausaha. Meskipun, umumnya pada fakultas ekonomi, materi perkuliahan maupun kurikulum yang diajarkan akan lebih banyak berkaitan dengan kewirausahaan sehingga dapat membantu tingkat pemahaman tentang kewirausahaan yang lebih tinggi dibanding dengan mahasiswa fakultas non ekonomi (bisnis) yang mana berdampak pada kecenderungan mahasiswa yang kuliah di fakultas ekonomi (bisnis) akan memiliki intensi kewirausahan yang lebih tinggi dibanding dengan mahasiswa fakultas non bisnis. Selanjutnya mereka juga berpendapat bahwa orang tua yang berprofesi sebagai wirausaha, mempermudah bagi mereka untuk menjalankan suatu bisnis. Hal ini karena pola pengasuhan dan pengalaman orang tua yang berprofesi wirausaha akan turut memberi kontribusi penting akan keberhasilan berwirausaha. Disamping itu, pengetahuan dalam memulai dan menjalankan bisnis menurut mereka merupakan prediktor yang penting sebagai modal berwirausaha, karena seorang calon wirausaha yang sukses, tidak cukup hanya memiliki bakat/talenta semata, tetapi juga harus didukung dengan aspek pengetahuan yang memadai. Talenta dapat diwujudkan melalui pendidikan sehingga pendidikan juga turut memberikan rangsangan untuk meningkatkan intensi untuk berwirausaha. 3.1 Kondisi Sosio Ekonomi dan Pola Pikir Kelompok Focus Latar belakang sosio ekonomi juga berperan dalam menstimuli seseorang dalam memulai sebuah usaha. Selama wawancara, kelompok focus berpendapat bahwa ketika mereka berpikir untuk memulai usaha maka yang ada dalam pemikirannya adalah bagaimana nanti bisnis yang dijalankan bisa berkembang, survive, dan bahkan bisa diwariskan ke anak cucunya. Untuk itu, salah satu faktor yang dipertimbangkan mereka dalam membuka usaha bisnis adalah perpseptif ekonomi. Perspektif ekonomi memandang perilaku berwirausaha berdasarkan kondisi kesiapan berwirausaha melalui instrumen ekonomi seperti kondisi ekonomi, modal, aturan pemerintah dan faktor ekonomi lainnya.
Kekuatan ekonomi dalam bentuk akses modal menjadi salah satu penentu rangsangan kelompok fokus untuk melakukan kegiatan usaha. Dimana, kesulitan dalam mendapatkan akses modal dan kendala system ekonomi keuangan dipandang hambatan utama dalam kesuksesan usaha. Jika seseorang memiliki akses modal yang cukup maka intensi kecenderungan membuka usaha akan menjadi lebih tinggi. Peningkatan kondisi ekonomi keluarga juga mendorong kelompok focus untuk tetap berbisnis dibanding menjadi pegawai. Didukung dengan kondisi ekonomi dan status keluarga yang telah mapan, membantu mereka untuk memperoleh dan menambah modal usaha. Latar belakang orang tua sebagai seorang pebisnis juga membantu mereka dalam memperoleh mitra bisnis maupun akses modal dan akses pasar. Kelompok focus percaya bahwa keberhasilan dalam menjalankan usaha bisnis salah satunya adalah perubahan paradigma tentang wirausaha. Mereka berpendapat bahwa jika ingin berhasil dalam bisnis maka perlu pemikiran yang produktif, kreatif, inovatif, dan positif dan lakukan saja (just do it) karena pola pikir tersebut diperlukan jika seorang wirausaha inging mengembangkan bisnisnya lebih maju. Rata-rata kelompok focus berpendapat keberhasilan wirausaha tidak hanya ditentukan oleh seberapa tepat dia menemukan sebuah peluang usaha. Namun, juga harus mau bekerja keras, perencana, mandiri, peduli, fleksibel, suka bergaul, pandai berkomunikasi, suka tantangan, dan tidak takut resiko dalam mencoba hal-hal baru karena adanya dorongan rasa keingintahuan yang tinggi. Wirausaha yang sukses tentunya memiliki kerangka berpikir yang lebih maju dari orang biasa. Pentingnya kerangka berpikir memungkinkan adanya pendukung ide-ide baru untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Disamping itu, dengan ide-ide baru tersebut yang didukung dengan sumber daya yang berkualitas mampu membantu wirausaha dalam mempertahankan daya saing bisnisnya. Pola pikir seseorang yang kreatif, inovatif, melihat peluang sangat membantu dalam mewujudkan peluang yang ada dan sangat penting untuk mempertahankan persaingan ekonomi. Karena kreatifitas merupakan sarana untuk membuka potensi terpendam dalam diri seseorang. Kreatifitas adalah cara untuk menggali potensi kewirausahaan. Individu yang memiliki motivasi prestasi tinggi lebih memilih kegiatan beresiko yang menantang tapi dapat dicapai. Seseorang yang memiliki pola pikir kewirausahaan pada dasarnya memiliki karakteristik psikologik yang spesifik. Seperti halnya pola pikir mereka tentang suatu bisnis. Mereka gemar menghadapi tantangan, bergerak dalam dunia yang penuh persaingan dan menunjukkan kegigihannya dalam berjuang untuk akhirnya muncul sebagai pemenang. Pola pikir tersebut sesuai dengan pola pikir kewirausahaan yang tidak menyenangi kerja yang
5
lamban, dan suka mengambil resiko serta mampu mempengaruhi orang lain agar kerja lebih giat. Kesuksesan dalam membuka usaha bisnis juga tak lepas dari peran pemerintah dalam mendorong pertumbuhan usaha kecil dan menengah. Regulasi pemerintah yang mendorong kemudahan dalam perijinan pendirian usaha, kemudahan dalam perolehan akses modal, dan kemudahan dalam perluasan pasar luar negeri sangat membantu wirausaha dalam memulai usaha bahkan sampai mengembangkan usaha bisnis ke skala lebih besar. 3.2 Peran Faktor-Faktor Pembentuk Intensi Kewirausahaan Berdasarkan hasil jawaban terbuka dari kelompok focus group yang telah dilakukan pada tiga puluh orang para pelaku bisnis, diketahui peran factor perceived desireablity, propensity to act, self efficacy dan lingkungan social dalam membentuk intensi kewirausahaan menunjukkan bahwa hampir sebagian besar responden menyatakan profesi wirausaha sangat menarik dan disukai. Kelompok focus juga meyakini bahwa dengan dukungan keluarga/suami baik dalam bentuk saran maupun modal memudahkan mereka dalam mewujudkan dan mengembangkan usaha bisnis. Pengalaman bekerja dan pengalaman positif atas pandangan dalam berwirausaha menimbulkan kemenarikan dalam intensi berwirausaha. Mereka juga yakin dengan keberhasilan dan keberlanjutan usaha yang dijalankan karena mereka memiliki ketrampilan dan kemampuan berbsinis. Ketrampilan tersebut baik dalam ketrampilan berkomunikasi, ketrampilan teknis, maupun ketrampilan manajerial. Keyakinan akan kemampuan dalam menyelesaikan masalah dan dengan adanya keyakinan kuat dapat membantu mereka dalam membentuk intensi usaha. Keyakinan tersebut distimuli oleh dorongan berwirausaha dalam diri mereka yang cukup besar yang mana berdampak pada dukungan untuk menciptakan usaha baru, dukungan untuk kemudahan untuk menjalankan bisnis, dukungan untuk menyelesaikan permasalahan bisnis. Walaupun, masih ada beberapa kelompok focus yang menyatakan bahwa ketidakberhasilan bisnis bukan merupakan nasib buruk bagi mereka. Namun, keberhasilan suatu bisnis dikarenakan sebelumnya mereka telah memiliki rencana yang tersusun dengan baik dan yakin bahwa rencana tersebut mudah untuk dijalankan. Kondisi inilah yang meyakinkan mereka untuk berhasil dalam mengelola bisnis di masa yang akan datang. Faktor keberhasilan dan keberlanjutan suatu bisnis lainnya menurut responden dimana 28 orang menyatakan kemudahan mereka dalam bisnis didukung oleh jaringan bisnis yang kuat, dan kemudahan akses informasi. Disamping itu, dukungan pemerintah dalam menyusun peraturan pemerintah yang tidak terlalu mengikat dalam ijin aturan mendirikan perusahaan dapat mendukung kelancaran bisnis mereka di masa datang. Meskipun, tidak sedikit
pula responden yang menyatakan bahwa akses modal bukanlah satu-satunya dalam mendorong keinginan memulai bisnis. Keingingan responden untuk memulai dan menjalankan bisnis ditandai dengan pernyataan bahwa profesi wirausaha merupakan tujuan professional mereka dan keingingan mereka yang cukup besar untuk menjadi wirausaha dibanding dengan pegawai. Hal ini karena responden merasa yakin bahwa dengan berwirausaha akan memperoleh penghasilan yang lebih baik dan mampu meningkatkan status social dan harga dirinya. Mereka juga setuju bahwa mereka bersedia mengupayakan segala sesuatu untuk mewujudkan keingingan menjadi wirausaha. 3.3 Pembahasan Hasil temuan dari focus group interview akan dikorelasikan dengan temuan dari tinjauan literatur, penelitian empiris, dan tujuan penelitian sehingga pada akhirnya diperoleh kesimpulan akhir dari kegiatan analisis ini sebagai berikut: 3.3.1 Pengaruh Perceived Desireability Terhadap Intensi Kewirausahaan Perceived desireability merujuk pada sikap kemampuan untuk menjalankan bisnis baru. Keyakinan ini didasarkan pada kemampuan seseorang dari aspek pengetahuan, keahlian dan emosi untuk menjadi wirausaha11. Semakin yakin seseorang memandang bahwa ia mampu melakukannya maka semakin tinggi intensinya berkaitan dengan usaha tersebut. Keyakinan ini tumbuh dari pandangan atas konsekuensi personal pengalaman kewirausahaan (misalnya baik atau buruk), dan tingkat dukungan dari lingkungan (keluarga, teman, kerabat, sejawat, dsb). Argumen ini didukung oleh kelompok focus yang berpendapat bahwa pengalaman kerja sebelumnya maupun pengalaman berbisnis, adanya pengaruh serta dukungan keluarga untuk berwirausaha, dapat digunakan sebagai modal dalam memulai dan mengembangkan karir kewirausahaan. Keinginan yang dirasakan seseorang atas sikap kewirausahaan berdasar pada pengalaman individu baik langsung maupun tidak langsung. Pengalaman kewirausahaan dapat diperoleh dari pengaruh panutan dan pengalaman kerja. 3.3.2 Pengaruh Self Efficacy Terhadap Intensi Kewirausahaan Efikasi diri mempengaruhi kepercayaan seseorang pada tercapai atau tidaknya tujuan yang sudah ditetapkan18. Kelompok focus berpikir bahwa Mereka percaya bahwa tugas-tugas sulit yang harus diselesaikan dalam mengelola usaha bisnis merupakan sebuah tantangan yang harus dihadapi dan bukan merupakan ancaman untuk dihindari. Tantangan tersebut dapat diselesaikan dengan memanfaatkan kemampuan dan ketrampilan kewirausahaan, kematangan mental, rasa percaya diri yang tinggi, keyakinan kuat akan berhasil dalam bisnis, dan yakin bahwa mewujudkan dan menjalankan bisnis itu adalah
6
pekerjaan yang mudah, maka dapat membentuk intensi yang tinggi dalam berwirausaha. Sedangkan, peneliti lain menjelaskan bahwa Efikasi diri diasosiasikan dengan peningkatan ekspektasi dan tujuan, peningkatan kinerja yang berkaitan dengan pekerjaannya19.. Kelompok focus juga berpendapat bahwa kemampuan dan ketrampilan kewirausahaan yang mereka miliki merupakan bekal dalam memulai usaha bisnis dan digunakan sebagai pedoman dalam menumbuhkan kepercayaan diri untuk memutuskan berwirausaha. Di sisi lain, individu dengan self efficacy yang tinggi akan merasa yakin bahwa mereka mampu menjalankan tugas-tugasnya sebagai seorang wirausahawan sehingga pada akhirnya menjadi faktor penting dari munculnya intensi kewirausahaan20. Keyakinan tersebut muncul karena adanya pengalaman di sector tertentu sebelumnya sehingga mampu meningkatkan self efficacy yang pada akhirnya berpengaruh positif pada intensi kewirausahaan21. Namun, kelompok focus berpendapat bahwa mereka tetap memiliki keyakinan yang tinggi atas kemampuan mengelola usaha bisnis, meskipun sebelumnya kurang memiliki pengalaman dalam berbisnis. Mereka juga yakin bahwa di masa mendatang mampu mengembangkan usaha bisnis. Pembelajaran melalui pengamatan secara langsung di dunia usaha digunakan kelompok focus untuk memperkirakan keahlian dan kemampuan diri dalam keinginannya mewujudkan kewirausahaan. Efikasi diri seseorang terhadap karir yang akan ditempuhnya menggambarkan proses pemilihan dan penyesuaian diri terhadap pilihan karirnya tersebut. Semakin tinggi tingkat efikasi diri terhadap kewirausahaan maka akan semakin kuat intensi kewirausahaan. Efikasi diri dalam proses pengambilan keputusan terkait dengan karier seseorang22. Efikasi diri terbukti signifikan menjadi penentu intensi seseorang. Self-efficacy memiliki hubungan langsung dengan teori atribusi yang telah berhasil diterapkan untuk memulai usaha. Argumen ini didukung oleh kelompok focus yang berpendapat bahwa efikasi diri dapat dilihat secara spesifik maupun secara umum tergantung dari ranah atau domain yang melingkupinya23. Efikasi diri merupakan kepercayaan individu atas kemampuannya dalam menyelesaikan pekerjaan, memegang peranan penting dalam mempengaruhi intensi seseorang. Dimana, efikasi diri terlihat dalam mempengaruhi perilaku dan kognisi seseorang. 3.3.3 Pengaruh Propensity to Act Terhadap Intensi Kewirausahaan Kecenderungan untuk berperilaku sangat penting karena intensi yang diterima dan kemudahan yang dirasakan tidak cukup baik untuk menjelaskan niat.. Niat kewirausahaan memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan keinginan, dirasakan kelayakan dan kecenderungan untuk bertindak12. Jika motivasi seseorang tinggi, berarti masih ada
kemungkinan bahwa munculnya intensi kewirausahaan rendah. Hal ini karena seseorang merasa kemampuan yang dimiliki dalam memulai bisnis rendah. Kelompok focus menjelaskan bahwa dorongan berwirausaha dalam diri mereka cukup besar. Dimana, mereka yakin bahwa keberhasilan suatu bisnis sepenuhnya berada di tangan sendiri. Kecenderungan untuk berperilaku memiliki hubungan dekat terhadap kewirausahaan yang didasarkan pada pengalaman individu baik secara langsung maupun tidak langsung13. Argumen ini didukung oleh kelompok focus yang berpendapat bahwa bahwa pengalaman keberhasilan ataupun kegagalan bisnis bukan merupakan satu-satunya nasib baik atau buruk yang menimpa mereka. Namun, pengalaman tersebut merupakan pembelajaran yang sangat berharga sebagai informasi dalam perbaikan usaha kearah yang lebih baik. Pemikiran inilah yang meyakinkan mereka bahwa nantinya ketika mereka ingin memulai sampai dengan mengembangkan bisnis akan berhasil. Ketika propensity to act individu rendah, intensi untuk berwirausaha mempunyai kemungkinan kecil untuk berkembang, dan perceived desirability menjadi prediktor satu-satunya intensi. Tetapi, jika propensity to act individu tinggi, kuantitas pengalaman berwirausaha sebelumnya sebagai tambahan pada perceived feasibility dan desirability secara langsung mempengaruhi intensi11. Kelompok focus berpikir bahwa kecenderungan untuk berperilaku merupakan disposisi pribadi seseorang untuk bertindak atas keputusannya. Hal ini berkaitan dengan sejauh mana seseorang mampu atau tidak mampu memberlakukan perilaku yang bersangkutan khususnya dalam usaha kewirausahaan. Namun, motivasi seseorang yang tinggi atas intensi kewirausahaan bisa terhambat dengan adanya pemikiran atas kemampuan diri yang rendah. 3.3.4 Pengaruh Lingkungan Sosial Terhadap Kewirausahaan Masalah lingkungan yang memiliki dampak pada keberhasilan berwirausaha terletak di faktor modal, informasi, dan jejaring yang dimiliki pewirausaha. Lingkungan kontekstual yang dimaksud adalah konteks dimana individu memiliki akses terhadap modal, informasi serta jaringan social. Kesiapan akses tersebut merupakan kesiapan instrument sebagai predictor terhadap lingkungan4. Aksesibilitas permodalan akan menjadi salah satu penentu rangsangan seseorang untuk melakukan suatu kegiatan usaha24. Akses permodalan sangat mempengaruhi intensionalitas seseorang dalam melakukan kegiatan bisnis. Pendapat umum dari kelompok focus menyatakan bahwa permodalan di lingkungan kewirausahaan adalah masalah penting yang harus difikirkan sebelum usaha dimulai. Aksebilitas modal akan menjadi salah satu penentu rangsangan mereka melakukan kegiatan usaha. Meskipun rata-rata kelompok focus menyatakan
7
bahwa terkadang mereka juga mengalami kesulitan dalam mendapatkan modal, namun dengan kepandaian mengatur dan mengelola keuangan dari keuntungan usaha yang diperoleh, mereka mampu mengembangkan usaha dengan modal yang dimilikinya sendiri. Ketersediaan informasi akan memberikan berbagai pandangan atas kesiapan berwirausaha25. Oleh karenanya, kebutuhan yang tinggi akan informasi dapat dijadikan salah satu bentuk karekteristik untuk melihat kelayakan seseorang menjadi wirausahawan yang sukses dan juga aksesibilitas terhadap informasi mampu meningkatkan sikap mereka terhadap wirausaha sehingga Ketersediaan informasi akan mendorong seseorang untuk membuka usaha baru. Kelompok focus berpikir bahwa informasi diyakini memiliki peran penting dalam menstimuli mereka untuk berwirausaha. Informasi akan memberikan berbagai pandangan atas kesiapan dalam berwirausaha. Pencarian informasi mengacu pada frekuensi kontak yang dibuat oleh seseorang dengan berbagai sumber informasi. Ketersediaan informasi akan mendorong mereka untuk membuka usaha baru. Kondisi lingkungan yang serba tidak pasti, sangat diperlukan sebuah asumsi pada diri para usahawan bahwa keputusan yang diambilnya mengandung banyak resiko26. Hal ini selain disebabkan banyaknya hal-hal yang masih kabur kondisinya, juga dikarenakan kondisi serba tidak pasti menuntut hadirnya keunggulan bersaing di diri mereka. Dengan kata lain, tinggi tidaknya jaringan yang dimiliki calon pewirausaha, akan menentukan mereka untuk mau atau tidak melakukan kegiatankegiatan bisnis. Argumen tersebut didukung oleh kelompok focus yang berpendapat bahwa jaringan merupakan media untuk mengurangi resiko serta meningkatkan ide-ide bisnis maupun akses terhadap modal. Mereka percaya bahwa ketika mereka berada pada kondisi usaha yang serba tidak pasti (ambigu), sangat diperlukan sebuah asumsi pada diri sendiri bahwa keputusan yang diambil mengandung banyak resiko, maka kondisi tersebut dapat dikuasai dengan baik jika memiliki jaringan yang kuat. Dengan kata lain, tinggi tidaknya jaringan yang dimiliki mereka, akan menentukan mereka untuk bersedia atau tidak melakukan kegiatan usaha bisnis. 4.
SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan interpretasi hasil penelitian, analisis penelitian dan pemabahasan dapat disimpulkan dan direkomendasikan sebagai berikut: 1.
Hasil karakteristik kelompok focus berdasarkan demografi, sosio ekonomi dan pola pikir menunjukkan bahwa sebagian besar kelompok focus telah memiliki pengetahuan bisnis, dan belum memiliki pengalaman bekerja sebelumnya. Ada jumlah yang cukup seimbang bagi kelompok focus dengan orang tua yang berprofesi sebagai wirausaha dan kelompok focus dengan latar
belakang pendidikan ekonomi bisnis dan non ekonomi bisnis. Kelompok focus rata-rata berpendapat bahwa kondisi ekonomi yang mapan dapat mempermudah mereka dalam membentuk intensi kewirausahaan dan mereka percaya bahwa keberhasilan dalam berwirausaha didorong adanya perubahan pola pikir yang kreatif, inovatif, produktif, positif, dan just do it. Hal ini mengindikasikan bahwa pengalaman bekerja dan bekal pendidikan yang diperoleh dari mengikuti kuliah, seminar, workshop dapat menjadi bekal dalam membantu mereka nantinya dalam memahami mengelola usaha bisnis. Pola pengasuhan dan pengalaman orang tua berwirausaha turut memberi kontribusi penting dalam pilihan karir bahkan keberhasilan berwirausaha. Begitu pula, kekuatan ekonomi dalam bentuk akses modal menjadi salah satu penentu rangsangan niat berwirausaha. Memperoleh penghasilan yang lebih tinggi dalam berwirausaha dibanding dengan menjadi pegawai juga merupakan faktor pendorong seseorang untuk berkeinginan berwirausaha. Untuk itu, bagi peneliti selanjutnya, dapat mempertimbangkan faktor latar belakang keluarga, pendidikan kewirausahaan, pengalaman, kondisi ekonomi, dan fleksibelitas penghasilan dalam membentuk intensi kewirausahaan. 2.
Kelompok focus menyakini bahwa persepsi atas keinginan (perceived desirability), kecenderungan bertindak (propensity to act), efikasi diri kewirausahaan (entrepreneurial self efficacy), dan lingkungan sosial (social environment) dapat membentuk intensi kewirausahaan pada wanita. Karena kelompok focus memandang bahwa dengan berwirausaha akan mendatangkan manfaat yang lebih besar dibanding menjadi pegawai. Pernyataan ini dapat digunakan sebagai dasar acuan dalam mendukung terbentuknya model perilaku kewirausahaan selanjutnya. Dimana prediksi terbaik dalam membentuk perilaku seseorang dalam berwirausaha adalah dipengaruhi oleh faktor personal dan faktor lingkungan. Faktor personal meliputi perceived desirability, propensity to act, dan self efficacy. Sedangkan, faktor lingkungan adalah lingkungan social.
3.
Salah satu topic yang menarik untuk diketahui dalam studi empiris ini adalah terdapat beberapa faktor yang ternyata dipertimbangkan kelompok focus dalam mendorong hasrat berwirausaha yaitu Pertama, kuatnya hasrat seorang untuk menjadi wirausahawan didorong oleh karakteristik seseorang untuk menjadi kreatif dan inovatif (openness to experience). Opennes to experience secara positif berkorelasi dengan intelejensi yang berhubungan dengan kreativitas. Kedua, variabel situasi, yang digambarkan sebagai kesempatan dalam hidup dikarenakan ketiadaan pekerjaan dan komitmen terhdap rumah dan keluarga yang
8
mendorong seseorang untuk memperkerjakan diri sendiri dari pada menjadi pekerja kantoran. Ketiadaan kerja membuat seseorang memiliki keinginan untuk memiliki self-employment. Variable ini berinteraksi dengan persepsi atau sikap dalam mempengaruhi intensi memulai suatu usaha. Ketiga, dibalik motivasi menjadi wirausaha, terdapan kebutuhan-kebutuhan yang mempengaruhinya, salah satunya adalah kebutuhan akan kemandirian (need for autonomy). Individu dengan nilai kebutuhan akan kemandirian tinggi, mampu dalam mengatur tujuan dan jadwal secara mandiri dan mencari lingkungan yang penuh dengan kebebasan. Keempat, penelitian kewirausahaan dapat dikelompokkan menjadi tiga pendekatan utama, yaitu pendekatan ekonomi, pendekatan psikologis, dan pendekatan sosiologis. Pada fokus ekonomi, aspek relatif diterapkan untuk rasionalitas ekonomi dengan anggapan bahwa kewirausahaan terjadi semata-mata karena alasan ekonomi. Hal ini adalah area menarik untuk dibahas lebih lanjut, apakah keempat faktor tersebut mampu mendorong hasrat seseorang untuk menjadi wirausaha.
10. 11.
12.
13.
14.
15.
16.
5. DAFTAR PUSTAKA 1. Kolvereid. L, (1996). Prediction of Entrepreneurial
17.
Employment Status: Choice Intentions, Entrepreneurship theory and Practice, Vol.21, No.1, 47-57. Fielden. S.L, Davidson. M.J., Dawe, A.J., and Makin. P.J., (2003). Fac-tors Inhibiting the Economic Growth of Female Owned Small Businesses in North West England, Journal of Small Business and Enterprise Development, Vol.10, No. 2, 152-166. Lee. L, Wong. P. K, Foo. M.D and Leung. A, (2011). Entrepreneurial Intentions: the Influence of Organizational and Individual Factors. Journal of Business Venturing, Vol.26, No.1, 124-136. Indarti. Nurul dan Rokhima. Rostiani, (2008). Intensi Kewirausahaan Mahasiswa: Study Perbandingan Antara Indonesia, Jepang dan Norwegia, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol.23, No.4, 1-27. Farzier. Barbara and Linda. S. Niehm, (2008). “FCS Students' attitudes and intentions toward entrepreneur ial careers”, Journal of Family and Consumer Sciences, Vol.100, No.2, 17 Nabi. G, Holden. R and Walmsley. A, (2010). Entrepreneurial intentions among students: towards a re- focused research agenda. Journal of Small Business & Enterprise Development, Vol.17, No.4, 537-551. Stephen. F, Urbano. D, Van Hemmen. S, (2005). The impact of institutions on entrepreneurial activity. Managerial and Decision Economics, 26, pp. 413419. Shapero. A and Sokol. L, (1982). Social Dimension of Entrepreneurship. In: C. Kent, D. Sexton and K. Vesper (eds.). The Encyclopedia of Entrepreneurship, Englewood Cliffs: Prentice-Hall, pp.72-90. Segal. Gerry. Borgia and Jerry. Schoenfeld, (2005). ”The motivation to become an entrepreneur”, International Journal of
18.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
19. 20.
21. 22.
23.
24.
25.
26.
Entrepreneurial Behaviour & Research, Vol. 11 No. 1, 42-57 Ajzen. I, (1991). The Theory of Planned Behavior. Organizational Behavior and Human Decision Processes, 50 (2), pp. 179 – 211. Krueger. N.f. Jr, reilly. M.d, and Carsrud. A.l, (2000). ”Competing models of entrepreneurial intentions”, Journal of business Venturing, Vol.15, No.(5/6), 411-32. Krueger. N.F and Casrud. A.L, (1993). Enterpreneurial Intentions: Appliying The Theory of Planned Behavior. Enterpreneurship & Regional Development, Vol.5, No.4, 315-330. Summer. David. F, (1998). An Empirical Investigationof Personal And Situational factors that relate to the formation of Entrepreneurial Intention. Doctoral dissertation, university of North texas, Ann Arbor, MI: UMI desertation Srevices. Ramayah. T and Harun. Z, (2005). Entrepreneurial Intention Among the Student of Universiti Sains Malaysia (USM). International Journal of Management and Entrepreneurship, Vol.1, 8-20 Linan. Francisco and Chen. Yi-Wen, (2006). Document de Treball: Testing the entrepreneurial intention model on a two-country sample. Universitat Autonoma de Barcelona. Simamora. Henry, (2007). Manajemen Pemasaran Internasional, Jilid II, Edisi 2, Jakarta, PT Rineka Cipta. Schiffman dan Kanuk. (2008). Perilaku Konsumen, Edisi , Jakarta, Indeks. Cromie, (2000). “Assessing entrepreneurial inclinations: some approaches and empirical evidence”, European Journal of Work and Organizational Psychology, Vol.9, No.1, 7-30. Cassar, Friedman, (2009). Does Self-Efficacy Affect Entrepreneurial Investment?, Strategic Entrepreneurship Journal, Vol.3, 241–260. Vecchio. Robert. P, (2003). Human Resource management Review: Entrepreneurship and leadership: common trends and common threads. Notradame. Lane. John, (2004). Self-efficacy, self-esteem and their impact on academic performance, social behavior and personality, UK. Middlesey University. Giles. M., Rea. A, (1999). Career self-efficacy: An application of the theory of planned behaviour, Journal of Occupational and Organizational Psychology, Vol.72, No.3, 261-403 Meyer. G, Zacharakis. A and de Castro. J, (1993). Postmortem of new venture failure: An attribu-tion theory perspective. Paper presented to Babson Entrepreneurship Research Con-ference. Langowitz. N and Minniti. M, (2007). The entrepreneurial propensity of women, Entrepreneurship Theory and Practice. Vol.31, No.3, 341-364. Duh. M, (2003). Family Enterprises as an Important Factor of The Economic Development: The Case of Slovenia, Journal of Enterprising Culture, Vol.11, No.2, 111-130. Kolvereid. L, Iakovleva. T and Kickul. J, (2007). An integrated model of entrepreneurial intentions. Available online at: http://www.babson.edu/ entrep/fer/2006FER/chapter_viii_2.html (diakses September 2016).
9
10
Realisasi Penerimaan Dana Zakat di Indonesia: Sebuah Pendekatan Inklusi Keuangan Clarashinta Canggih1*), Khusnul Fikriyah2, Ach. Yasin3 1
Jurusan Ilmu Ekonomi, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya. Email:
[email protected] 2 Jurusan Ilmu Ekonomi, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya. Email:
[email protected] 3 Jurusan Ilmu Ekonomi, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya. Email:
[email protected] *) Alamat Korespondesi: Fakultas Ekonomi, Kampus UNSA Ketintang, Email:
[email protected]
ABSTRACT The paper aims to find out the amount of zakat fund collection, particularly zakat mal in Indonesia. Numbers of zakat fund collected can be used to predict zakat inclusion from the perspective of zakat payment. The paper uses descriptive quantitative through secondary data collection from several sources. The result shows that the realization of zakat fund collection in Indonesia increases during 2011-2015, so does the number of people who pay zakat. However, it can be seen that the zakat payment inclusion of Indonesian people is still low compare to the number of people who are obligated. It need further research to divulge the reason. Key Words: zakat fund, zakat collection, zakat inclusion
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran realisasi penerimaan zakat, terutama zakat atas pendapatan di Indonesia. Realisasi penerimaan zakat digunakan untuk melihat inklusi zakat dari segi pembayaran oleh masyarakat Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kuantitatif melalui pengumpulan data sekunder dari berbagai sumber. Hasil penelitian menunjukkan bahwa realisasi penerimaan zakat di Indonesia selama periode 2011-2015 mengalami peningkatan.Penerimaan dana zakat yang meningkat, berbanding lurus dengan jumlah pembayar zakat selama periode tersebut. Namun demikian, dari hasil realisasi penerimaan zakat tersebut dapat dilihat bahwa tingkat inklusi pembayaran zakat masyarakat masih rendah jika dibandingkan dengan jumlah penduduk yang wajib berzakat. Dibutuhkan penelitian yang lebih lanjut membuka alasan ini. Kata kunci: dana zakat, pengumpulan zakat, inklusi zakat 1. PENDAHULUAN Zakat merupakan sebuah kewajiban dan bagian dari rukun Islam, yang terpenting setelah sholat. Dalam Al-Quran zakat disebut sebanyak 32 kali, menunjukkan bahwa zakat adalah wajib hukumnya[1]. Zakat adalah bentuk ibadah yang berfungsi sebagai alat pemerataan pendapatan dalam masyarakat untuk mengurangi kesenjangan antara orang yang berkecukupan dengan orang yang kekurangan. Pengelolaan zakat yang tepat diharapkan dapat mewujudkan distribusi kekayaan yang merata. Indonesia, dengan populasi penduduk muslim mencapai 87.21% pada tahun 2013[2], diyakini memiliki potensi zakat yang besar. Dalam penelitian Baznas, Institut Pertanian Bogor (IPB). dan Islamic Development Bank (IDB) dikatakan bahwa potensi zakat nasional sebesar Rp.217 triliun[3]. Dengan angka sebesar itu, harusnya dapat memberikan dampak pada upaya pemerataan pendapatan yang pada akhirnya dapat mengurangi kemiskinan di Indonesia. Namun demikian, realisasi penerimaan zakat ternyata masih sangat jauh dari angka potensi tersebut. Pada tahun 2013, Baznas menyerap dan mengelola hanya sebesar Rp. 2,73 triliun, atau hanya sekitar 1%[4]. Dengan penerimaan dana zakat yang hanya 1% tersebut dapat diperkirakan bahwa jumlah orang yang
membayar zakat juga sedikit. Selaras dengan itu bisa dikatakan bahwa tingkat inklusi zakat dalam segi pembayaran juga masih rendah. Sejauh ini penelitian tentang zakat membahas mengenai potensi zakat, ataupun dampak zakat terhadap kesejahteraan umat. Namun demikian, belum ditemukan penelitian yang melihat pembayaran zakat sebagai bentuk inklusi keuangan dan mengukur tingkat inklusi zakat dari sisi pembayaran oleh masyarakat Indonesia. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk melihat melihat inklusi zakat dari segi pembayaran oleh masyarakat Indonesia selama periode 2011-2015. 2. LANDASAN TEORI 2.1 Inklusi Keuangan Inklusi keuangan dapat diinterpretasikan sebagai pendistribusian jasa keuangan pada tingkat harga yang terjangkau pada masyarakat yang berpendapatan rendah. Menurut Gunawerdhana financial inclusion bertujuan untuk mengatasi financial exclusion – dimana kurangnya akses, dihadapi oleh masyarakat yang paling membutuhkan, terhadap jasa keuangan yang murah, adil dan aman dari penyedia layanan mainstream[5].
11
Inklusi keuangan merupakan isu yang pada umumnya sering terjadi di mayoritas negara yang kurang maupun sedang berkembang. Lebih dari setengah penduduk Indonesia tidak memiliki akses pada lembaga keuangan formal. Hasil survei rumah tangga yang dilakukan Bank Indonesia pada tahun 2010 menunjukkan bahwa 62% rumah tangga tidak memiliki tabungan sama sekali[6]. Hal ini mengindikasikan bahwa Jumlah kepemilikan rekening masyarakat Indonesia dinilai masih rendah. Sementara itu data Bank Dunia menyebutkan bahwa pada tahun 2014, bahwa 35.9% orang dewasa di Indonesia (umur 15 tahun ke atas) memiliki rekening di lembaga keuangan formal[7]. 2.2. Zakat Zakat dapat diartikan sebagai al-barakatu (keberkahan), al-namaa (pertumbuhan dan perkembangan), at-thaharatu (kesucian), as-salahu (keberesan), dan terpuji[1]. Zakat bersifat menyucikan jiwa dari sifat kikir dan tamak, serta menyucikan harta dari hak orang lain yang berada di dalamnya sehingga dapat membawa keberkahan dalam hidup mustahiq serta keberkahan dan perkembangan ekonomi sosial masyarakat sekitar[8]. Zakat merupakan sebuah kewajiban dan bagian dari rukun Islam, yang terpenting setelah sholat. Dalam Al-Quran kata zakat disebut sebanyak 32 kali, 28 kali diantaranya bersandingan dengan kata sholat. Hal ini menunjukkan zakat hukumnya wajib, dan perintah menunaikan zakat hampir sejajar dengan perintah sholat. Adapun syarat-syarat kekayaan yang wajib dizakati adalah: 1) Milik Penuh (Almilkuttam), 2) Berkembang, 3) Cukup Nishab, 4) Lebih Dari Kebutuhan Pokok (Alhajatul Ashliyah), 5) Bebas dari hutang, dan 6) Berlalu Satu Tahun (Al-Haul) [1]. 2.3. Realisasi Penerimaan Zakat di Indonesia Dalam studi yang dilakukan Mukhlis dan Beik disebutkan bahwa dana zakat yang diterima oleh BAZ Kabupaten Bogor selalu mengalami kenaikan dengan nilai yang cukup besar pada periode 2006-2010. Dana zakat maal yang diperoleh oleh BAZ kabupaten Bogor pada tahun 2010 mencapai Rp. 1.5 Milyar, yang mengalami peningkatan sebesar 119% jika dibandingkan tahun 2006[9]. Sementara itu data yang dihimpun oleh BAZNAS, pada tahun 2014 realisasi penerimaan zakat di Indonesia adalah sebesar Rp. 3.2 trilyun [10]. 3. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif karena mendeskripsikan atau menggambarkan tentang inklusi pembayaran zakat di Indonesia. Adapun pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif. Objek penelitian ini adalah realisasi penerimaan zakat di Indonesia. Subjek pada penelitian ini adalah penerimaan zakat dari masyarakat Indonesia. Dalam penelitian ini lebih spesifik kepada zakat maal, karena zakat fitrah umumnya diserahkan langsung dari muzakki kepada
mustahiq secara langsung tanpa campur tangan lembaga zakat dan memiliki batasan waktu pengumpulan dan penyaluran. Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik dokumentasi. Teknik dokumentasi digunakan untuk memperoleh data sekunder mengenai data realisasi penerimaan zakat. Data tersebut diperoleh dari Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), juga Lembaga Amil Zakat Nasional (LAZNAS), dan Badan Pusat Stastistik (BPS). Analisis deskriptif dilakukan untuk memperoleh gambaran realisasi penerimaan zakat di Indonesia. Hasil pengukuran deskriptif tersebut kemudian akan digunakan sebagai dasar untuk memotret inklusi pembayaran zakat masyarakat Indonesia dengan membandingkan jumlah penduduk yang membayar zakat dengan jumlah penduduk yang wajib berzakat. Jumlah penduduk yang membayar zakat dihitung dengan menggunakan dasar jumlah zakat yang dihimpun dibagi dengan proyeksi besaran zakat yang dibayar masyarakat. Proyeksi besaran zakat yang dibayar masyarakat diambil dari nilai pendapatan nasional per kapita dikalikan dengan persentase besaran zakat yang harus dikeluarkan, yakni 2.5%. 4. PEMBAHASAN Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar ke-4 di dunia, dengan jumlah penduduk sebesar 255.461.700 jiwa pada tahun 2015[11]. Dari total jumlah penduduk Indonesia tersebut sebesar 48% merupakan angkatan kerja yakni penduduk usia kerja (15 tahun ke atas) yang bekerja, punya pekerjaan tapi sementara tidak bekerja, dan pengangguran. Dari total penduduk di Indonesia, diasumsikan yang wajib menunaikan zakat maal adalah angkatan kerja beragama Islam yang bekerja. Hal ini dikarenakan mereka mendapatkan penghasilan, termasuk dalam kategori harta, dari pekerjaan atau profesi yang mereka. Data estimasi penduduk yang wajib mengeluarkan zakat maal di Indonesia ditampilkan dalam Tabel 1. Tabel 1. Estimasi Penduduk yang Wajib Berzakat Tahun
Penduduk yang Wajib Zakat Maal 2011 95,643,555 2012 96,635,791 2013 96,632,204 2014 99,967,101 2015 100,133,823 Sumber : [11]–[15], [2] Data diolah
Penduduk Indonesia 244,808,254 248,037,853 251,268,276 254,454,778 257,563,815
Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa rata-rata sekitar 39% dari total penduduk Indonesia, wajib membayar zakat maal. Terjadi peningkatan jumlah penduduk yang wajib berzakat setiap tahunnya selaras dengan pertambahan penduduk. Zakat dapat disalurkan langsung dari mustahiq kepada muzakki atau melalui lembaga amil. Untuk zakat fitrah, umumnya disalurkan langsung kepada muzakki dikarenakan waktu penerimaan dan
12
pendistribusian yang terbatas dan diutamakan langsung diserahkan kepada 8 asnaf yang berhak. Adapun untuk zakat maal, pembayaran dan pendistribusian tidak terbatas pada waktu dan tempat sehingga umumnya dapat disalurkan untuk dikelola dan didistribusikan oleh lembaga amil zakat kepada muzakki. Nominal penerimaan zakat dapat dilihat dari beberapa hal, salah satunya adalah laporan keuangan yang dipublikasikan oleh lembaga amil zakat yang menerima, mengelola, dan mendistribusikan dana. Berikut adalah penerimaan zakat yang dipublikasikan oleh Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) periode 2011-2015. Tabel 2. Realisasi Penerimaan Zakat Indonesia Tahun Realisasi Penerimaan Zakat 2011 32,986,949,797 2012 40,387,972,149 2013 50,741,735,215 2014 69,865,506,671 2015 74,225,748,204 Sumber : [4], [16]–[18]
Dari besaran penerimaan zakat tersebut dapat diperkirakan jumlah orang yang membayar zakat di Indonesia selama periode 2011-2015. Jumlah orang yang membayar zakat di Indonesia dapat dilihat padaTabel 3. Tabel 3. Jumlah Pembayar Zakat Indonesia Tahun Jumlah Pembayar Zakat 2011 53,510 2012 60,901 2013 70,253 2014 89,113 2015 89,972 Sumber : [4], [11]–[18] Data diolah.
Dari Tabel 3. di atas dapat dilihat bahwa seiring dengan peningkatan nilai penerimaan zakat, jumlah orang yang membayar zakat juga mengalami peningkatan selama periode 2011-2015. Dari data hasil perhitungan jumlah orang yang wajib zakat dan jumlah orang yang membayar zakat tersebut dapat dilihat pada Gambar 1 bahwa terjadi ketimpangan yang cukup signifikan antara pembayar zakat dengan orang yang wajib berzakat. Dapat dilihat bahwa persentase orang yang membayar zakat terhadap orang yang wajib berzakat sangat kecil. Pada periode 2011-2015, tidak sampai 0.1% dari orang yang wajib berzakat membayar zakat melalui Badan Amil Zakat. Hal ini menunjukkan bahwa inklusi pembayaran zakat masyarakat Indonesia masih sangat rendah.
Gambar 1. Perbandingan jumlah pembayar zakat dan orang yang wajib zakat di Indonesia Sumber : [11]–[15], [2], [4], [16]–[18] Data diolah
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Syahrullah dan Ulfah. Diindikasikan bahwa tingkat pembayaran zakat, khususnya zakat atas pendapatan, terutama pada kalangan akademisi cukup rendah. Banyak akademisi yang belum membayarkan zakat, terutama zakat pendapatan[19]. Tingkat inklusi pembayaran zakat yang rendah tersebut bertolak belakang dengan fakta penduduk Indonesia yang mayoritas Muslim. Salah satu kemungkinan penyebab rendahnya inklusi pembayaran zakat tersebut adalah masih banyaknya orang yang wajib zakat di Indonesia menyalurkan zakatnya langsung kepada mustahiq tanpa melalui lembaga zakat. Hal ini menyebabkan pembayaran zakat tersebut tidak terdata oleh pengelola zakat[20], [21]. Faktor lain yang juga menjadi salah satu kemungkinan rendahnya tingkat inklusi zakat adalah rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pengelola zakat. Hal ini disebabkan oleh profesionalisme lembaga zakat dan sumber daya manusia yang ada di dalamnya serta kurang terpublikasikannya hasil pengelolaan zakat oleh lembaga zakat kepada masyarakat umum[22], [23]. Tingkat inklusi pembayaran zakat yang rendah ini perlu menjadi perhatian bagi semua pihak yang terlibat. Hal ini menunjukkan banyak hal yang harus dilakukan bagi para pihak yang terkait dengan pembayaran zakat di Indonesia. Syahrullah dan Ulfah menyatakan bahwa semua pihak yang terkait dengan zakat di Indonesia harus mengambil tindakan dan langkah yang nyata untuk mempengaruhi orang membayar zakat, melalui lembaga zakat pada khususnya. Hal ini bisa dilakukan melalui banyak cara misalnya dengan menyediakan informasi yang tepat dan berkelanjutan, seminar, kampanye, dan juga diskusi terbuka tentang isu terkini dalam zakat maal. Pemahaman orang yang wajib membayar zakat juga harus ditingkatkan, karena hal ini mempengaruhi besaran dana zakat yang dihimpun oleh lembaga zakat. Rendahnya pemahaman kewajiban zakat masyarakat menjadi salah satu penyebab rendahnya penerimaan zakat di Indonesia[24]. Jadi perlu diberikan edukasi kepada masyarakat mengenai kewajiban membayar zakat.
13
Selain itu pemerintah juga berperan penting dalam upaya peningkatan pembayaran zakat di masyarakat. Salah satunya dengan kebijakan zakat sebagai pengurang pajak. Bank Indonesia juga menginisiasi penyusunan standardisasi zakat internasional untuk meningkatkan pengumpulan penerimaan zakat dan mengoptimalkan pengelolaan zakat sesuai best practices. 5. KESIMPULAN Pembayaran zakat di Indonesia pada periode 2011-2015 selalu mengalami peningkatan sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk dan penduduk yang wajib berzakat. Namun demikian jumlah orang yang membayar zakat di Indonesia masih sedikit jika dibandingkan dengan orang yang wajib berzakat. Hal ini menunjukkan tingkat inklusi pembayaran zakat masyarakat Indonesia masih sangat rendah. Perlu adanya perhatian dan penanganan dari semua pihak yang terkait. Adanya sinergi yang baik dari pemerintah, lembaga zakat, bank sentral, dan masyarakat dapat mewujudkan inklusi zakat masyarakat Indonesia yang tinggi.
(Statistik Indonesia). Badan Pusat Statistik. [12] BPS, (2012). Statistical Yearbook of Indonesia 2012 (Statistik Indonesia 2012). Badan Pusat Statistik [13] BPS (2013). Statistical Yearbook of Indonesia 2013 (Statistik Indonesia 2013). Badan Pusat Statistik. [14] BPS, (2014). Statistical Yearbook of Indonesia 2014 (Statistik Indonesia 2014). Badan Pusat Statistik. [15] BPS, (2015). Statistical Yearbook of Indonesia 2015 (Statistik Indonesia 2015). Badan Pusat Statistik. [16] BAZNAS, (2015). Laporan Penerimaan Zakat Badan Amil Zakat Nasional 2015. Jakarta: BAZNAS. [17] BAZNAS, (2014). Laporan Penerimaan Zakat Badan Amil Zakat Nasional 2014. Jakarta: BAZNAS. [18] BAZNAS, (2012). Laporan Penerimaan Zakat Badan Amil Zakat Nasional 2012. Jakarta: BAZNAS.
6. DAFTAR PUSTAKA
[19] Syahrullah and M. Ulfah, (2016). Response of Indonesian Academicians Toward Factors Influencing the Payment of Zakat on Employment Income, Res. Humanit. Soc. Sci. ISSN, vol. 6, no. 10, pp. 87–94.
[1]. Y. Al-Qardawi, (1999). Fiqh al Zakah, Vol I. Kingdom Of Saudi Arabia, Ministry Of Higher Education, King Abdulaziz University. Centre for Research in Islamic Economics.
[20] Uzaifah, (2007). Studi Deskriptif Perilaku Dosen Perguruan Tinggi Islam DIY Dalam Membayar Zakat. La_RibaJurnal Ekon. Islam, vol. I, no. 1, pp. 127–143.
[2]. KEMENAG (2013). Jumlah Penduduk Menurut Agama, No. 1.
[21] N. Huda, dan T. Sawarjuwono (2013). Akuntabilitas Pengelolaan Zakat Melalui Pendekatan Modifikasi, Jurnal Akuntansi Multiparadigma, vol. 4. no. 3, 330507.
[3]. M. Firdaus, I. S. Beik, and T. Irawan, (2012). Economic Estimation and Determinations of Zakat Potential in Indonesia. [4]. BAZNAS, (2013). Laporan Penerimaan Zakat Badan Amil Zakat Nasional. Jakarta: BAZNAS. [5]. M. Gunawardhena, (2007). Measures to Increase Financial Inclusion. APB, vol. 19th anniv, no. association of professional bankers-sri lanka, pp. 167– 176. [6]. Bank Indonesia, (2013). Financial Inclusion Development Policy in Indonesia. Jakarta: Banking Research and Regulation Department. [7]. A. Demirgüç-Kunt, L. Klapper, D. Singer, and P. Van Oudheusden, (2015). The Global Findex Database 2014: Measuring Financial Inclusion around the World, World Bank Policy Res. Work. Pap. 7255, no. April, pp. 1–88.
[22] D. Hafidhuddin, (2011). Peran Strategis Organisasi Zakat Dalam Menguatkan Zakat Di Dunia, Al-Infaq J. Ekon. Islam, vol. 2, no. 1, pp. 4–7. [23] H. Wahid, S. Ahmad, and R. Abdul Kader, (2009). Pengagihan zakat oleh institusi zakat kepada lapan asnaf: Kajian di Malaysia, Semin. Kebangs. Ekon. Islam 2008/09 pada 10-11 Februari 2009 di APIUM, pp. 1–17. [24] IMZ and P. FEUI, (2009). Indonesia Zakat & Development Report 2009: Zakat Dan Pembangunan Era Baru Zakat Menuju Kesejahteraan Ummat. Indonesia Magnificence of Zakat (IMZ).
[8]. S.H. Permono, (2005). Formula Zakat Menuju Kesejahteraan Sosial. Surabaya: Aulia. [9]
A. Mukhlis and I. S. Beik, (2013). Analisis Faktorfaktor yang Memengaruhi Tingkat Kepatuhan Membayar Zakat: Studi Kasus Kabupaten Bogor, J. Al-Muzara’ah, vol. I, no. 1, pp. 83–106.
[10] R. Sitorus, (2016). Baznas Targetkan Dana Zakat 2015 sebesar Rp. 4.8 Triliun. [Online]. Available: http://industri.bisnis.com/read/20150630/12/448787/b aznas-targetkan-dana-zakat-2015-sebesar-rp48triliun.html. [Accessed: 20-Mar-2016]. [11] BPS, (2016). Statistical Yearbook of Indonesia 2016
14
Implementasi Pengukuran Kualitas Corporate Governance pada Perusahaan di Indonesia Musdholifah1*), Ulil Hartono2 1 2
Jurusan Manajemen, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya. Jurusan Manajemen, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya *) Alamat Korespondesi: Email:
[email protected]
ABSTRACT Corporate governance is a system to regulate and control the company is expected to provide and enhance the company's value to its shareholders. This study aims to measure the quality of corporate governance in Indonesia using the Internet Based Corporate Governance (IBCG) rating modified. The rating modified IBCG developed from measurements IBCG which adds some research indicators include resource development plan, especially human resources, disclosure regarding whistleblowing systems, and the threat of litigation adapted to the conditions of each country. The population of this research is all companies that go public in Indonesia, while the samples are taken by using purposive sampling technique. Each company rated the quality of their corporate governance by using the modified IBCG rating consists of five aspects of evaluation, namely shareholders, transparency, board of directors, commissioners and technical accessibility. The results show that the majority of companies have a better score in all aspects of the assessment of the quality of corporate governance over the period 2014-2015. It can be concluded that the method of measuring the quality of governance by using modified IBCG rating indicates there is improvement in the quality of corporate governance. This indicates that more and more companies are assessing that aspect of governance is an important part of the company which must continue to be improved. Keyword: Corporate governance, internet, rating modified IBCG, Indonesia ABSTRAK Corporate governance merupakan sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan yang diharapkan dapat memberikan dan meningkatkan nilai perusahaan kepada para pemegang saham. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur kualitas tata kelola perusahaan di Indonesia menggunakan Internet Based Corporate Governance (IBCG) rating modified. IBCG rating modified dikembangkan dari pengukuran IBCG yang menambahkan beberapa indikator penelitian antara lain rencana pengembangan sumber daya, terutama sumber daya manusia, pengungkapan mengenai sistem whistleblowing, dan ancaman litigasi yang disesuaikan dengan kondisi masingmasing negara. Populasi penelitian ini adalah seluruh perusahaan yang go publik di Indonesia, sedangkan sampel diambil dengan menggunakan teknik purposive sampling. Setiap perusahaan dinilai kualitas tata kelola perusahaan mereka dengan menggunakan IBCG rating modified yang terdiri atas 5 aspek penilaian yaitu pemegang saham, transparansi, dewan direksi, dewan komisaris dan aksesbilitas teknis. Hasilnya menunjukkan bahwa sebagian besar perusahaan memiliki skor yang lebih baik dalam semua aspek penilaian kualitas tata kelola perusahaan selama periode 2014-2015. Dapat disimpulkan bahwa metode pengukuran kualitas tata kelola dengan menggunakan IBCG rating modified menunjukkan ada perbaikan kualitas tata kelola perusahaan. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin banyak perusahaan yang menilai bahwa aspek tata kelola merupakan bagian penting dari perusahaan yang harus terus diperbaiki tatanannya. Kata Kunci: Corporate governance, internet, IBCG rating modified, Indonesia. 1. PENDAHULUAN Implementasi tata kelola perusahaan (corporate governance) yang baik di setiap perusahaan telah menjadi kebutuhan. Shleifer dan Vishny menyatakan bahwa corporate governance merupakan cara atau mekanisme yang digunakan untuk meyakinkan para pemilik modal bahwa investasi yang ditanamkan memperoleh imbal hasil yang sesuai[1]. Klapper dan Love mengemukakan bahwa corporate governance merupakan sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan yang diharapkan dapat memberikan dan meningkatkan nilai perusahaan kepada para pemegang saham[2].
Aspek transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, kewajaran dan kesetaraan diperlukan untuk mencapai kesinambungan usaha (sustainability) sekaligus indikator baik buruknya manajemen usaha. Dukungan sistem informasi yang bisa di akses oleh para pihak berkepentingan telah lama diyakini mampu mendorong terciptanya tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance). Transparansi, sebagai ilustrasi, kurang optimal dilaksanakan dan memuaskan semua ketika akses para pihak berkepentingan (stakeholders) terbatas. Sebelum tahun 2003, pengukuran kualitas corporate governance hanya diukur oleh bagian atau
15
komponen-komponennya. Penelitian secara parsial dari komponen corporate governance dilakukan oleh Rajgopal et al.; Suranta dan Machfoedz memanfaatkan kepemilikan institusioal, serta Weisbach dan Hermalin menggunakan komisaris independen[3],[4],[5]. Namun sebagian besar peneliti hanya berfokus pada komponen corporate governance, yang membuatnya sulit untuk menggambarkan corporate governance secara keseluruhan[6]. Menurut Bohren dan Odegaard hubungan antara aspek tertentu dari corporate governance dinilai kurang mampu menangkap hubungan tersebut secara benar, kecuali bahwa aspek tertentu dikendalikan untuk aspek-aspek lain dari corporate governance[7]. Argumentasi ini telah mengilhami beberapa peneliti untuk membangun sebuah indeks tunggal corporate governance. Sebagai contoh, governance index yang telah digunakan oleh Drobetz et al. di Jerman menggunakan Corporate Governance Rating (CGR); dan Bauer et al. memfokuskan penggunaan Governance Metrix International (GMI) di Jepang[8], [6] . Perkembangan selanjutnya, pengukuran kualitas corporate governance melalui rating yang menggunakan governance index yang telah dibangun tersebut mendapat respon (kritik) khususnya dari kalangan ahli teknologi informasi. Problem yang umum dari Governance Metrics International (GMI), Standard & Poors, the Institute of Shareholder Services (ISS), dan lembaga pemeringkat kualitas governance lainnya dalam sistem rating tersebut: “common problem of corporate governance rating systems is that while they consider transparency as a fundamental and obvious feature of good governance, their own rating methodology is far from transparent.” [9] Grzybkowski dan Wójcik selanjutnya mengusulkan suatu model pengukuran kualitas implementasi tata kelola yang disebutnya sebagai IBCG (Internet Based of Corporate Governance) rating [9]. IBCG rating merupakan interaksi antara tata kelola perusahaan dengan teknologi internet. Kelebihan pengukuran tersebut adalah dimasukkannya kategori technical accessibility yang berkaitan dengan pengujian teknologi untuk mengetahui kadar web publishing standards, kegunaan (usability), dan halhal yang berkaitan dengan presentasi data keuangan. Kekurangan pengukuran tersebut dan menjadi bagian pengembangan IBCG Rating antara lain belum tersajinya pengungkapan mengenai whistleblowing system, ancaman litigasi, dan pengembangan SDM perusahaan [10]. Paper ini bertujuan untuk mengungkapkan hasil pengukuran kualitas tata kelola perusahaan dengan menggunakan IBCG rating yang telah dimodifikasi dengan memasukkan beberapa aspek penilaian sebagai bentuk penyempurnaan yang dari metode sebelumnya. Model pengukuran ini disebut dengan IBCG rating
modified. IBCG rating modified diselaraskan dengan Pedoman Good Corporate Govenance Tahun 2006 yang dikeluarkan oleh Komite Nasional Kebijakan Corporate Govenance mengenai mekanisme Corporate Govenance, dan peraturan Bapepam-LK No:KEP-431/BL/2012 tentang penyampaian Laporan Tahunan Perusahaan Publik. 2. LANDASAN TEORI 2.1 Konsep Corporate Governance Jensen dan Meckling dalam Theory of the Firm telah banyak membahas tentang prilaku manajerial, biaya agensi dan struktur kepemilikan sekaligus konflik kepentingan antara berbagai pihak seperti pemegang saham, manajer perusahaan dan pemegang utang. Biaya keagenan timbul karena konflik baik antara manajer dan pemegang saham (biaya keagenan atas ekuitas) atau antara pemegang saham dan debtholders (biaya keagenan atas hutang)[11]. Jensen dan Meckling mendefinisikan hubungan keagenan sebagai suatu kontrak di mana satu pihak (prinsipal) melibatkan pihak lain (agen) untuk melakukan beberapa layanan atas nama mereka[11]. Prinsipal akan mendelegasikan beberapa atau semua otoritas pengambilan keputusan kepada agen, sebagai bagian dari pengaturan ini. Prakteknya, pemegang saham dari kebanyakan perusahaan mendelegasikan otoritas pengambilan keputusan kepada Dewan Komisaris/Board of Directors (BOD). Pada gilirannya, para Dewan Komisaris akan mendelegasikan kekuasaannya kepada Chief Executive Officers (CEO). Masalah keagenan muncul karena ketidaksempurnaan setiap tindakan dari pihak agen yang mempengaruhi keputusan atas kesejahteraan sendiri dan kesejahteraan principal. Bulan April 1998, Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) telah mengeluarkan seperangkat prinsip corporate governance yang dikembangkan secara universal. Hal ini mengingat bahwa prinsip ini disusun untuk digunakan sebagai referensi di berbagai negara yang mempunyai karakteristik sistem hukum, budaya, dan lingkungan yang berbeda. Prinsip itu antara lain: keadilan (fairness), keterbukaan (tranparancy), akuntabilitas (accountability), dan pertanggungjawaban (responsibility). Konsep tentang corporate governance ini, menurut Monk dan Minow baru berkembang selama 22 tahun terakhir, sementara sistem pengembangan dan penerapan praktik-praktik manajemen telah berjalan lebih dari 100 tahun[12]. Mizruchi menyatakan bahwa konsep corporate governance pertama kali dikembangkan oleh Berle dan Means di tahun 1934[13]. Menurut Berle dan Means (1934) dalam Mizruchi, perkembangan perusahaan menyebabkan adanya pemisahan antara kepemilikan dan kontrol atas suatu perusahaan yang modern sehingga memerlukan suatu mekanisme yang dapat menjamin bahwa manajemen akan mengelola perusahaan sesuai dengan kepentingan pemilik[13].
16
2.2 Teori Keagenan (Agency Theory) Teori keagenan dalam penelitian ini digunakan untuk menjelaskan urgensi corporate governance. Jensen dan Meckling menyebutkan bahwa biaya agensi timbul dari perbedaan kepentingan antara pemegang saham dan manajer perusahaan. Biaya keagenan didefinisikan sebagai jumlah dari biaya monitoring, biaya ikatan,dan residual loss[11]. Hubungan keagenan ada ketika pemegang saham (prinsipal) merekrut manajer (agen) sebagai pengambil keputusan dari perusahaan. Masalah keagenan muncul karena manajer tidak akan semata-mata bertindak untuk memaksimalkan kekayaan pemegang saham, mereka dapat melindungi kepentingan mereka sendiri atau mencari tujuan memaksimalkan pertumbuhan perusahaan bukan pendapatan sementara membuat keputusan. Teori keagenan menyatakan bahwa antara manajemen dan pemilik mempunyai kepentingan yang berbeda[11]. Dalam model keagenan dirancang sebuah sistem yang melibatkan kedua belah pihak, sehingga diperlukan kontrak kerja antara pemilik (principal) dan manajemen (agent). Perbedaan kepentingan antara pemilik dan manajemen terletak pada maksimalisasi manfaat (utility) pemilik (principal) dengan kendala (constraint) manfaat (utility) dan insentif yang akan diterima oleh manajemen (agent). Karena kepentingan yang berbeda sering muncul konflik kepentingan antara pemegang saham/ pemilik (principal) dengan manajemen. 2.3 Kualitas tata kelola perusahaan. Pengukuran kualitas tata kelola perusahaan diproxikan dengan the corporate governance index. penelitian ini akan menggunakan model yang disusun oleh Grzybkowski dan Wojcik (2006), yaitu The Internet Based corporate governance Rating (IBCG Rating) (yang selanjutnya akan disebut IBCG Ratting). Model ini terdiri dari 120 kriteria, yang terbagi ke dalam lima kategori utama, yaitu: 1. Shareholders 2. Transparency 3. Boards of Directors 4. Executive Management 5. Technical Accessibility Sistem penilaian dari IBCG Rating adalah berdasarkan atas ‘yes/no responses’, dimana jika terdapat informasi yang diinginkan dari kriteria yang dibutuhkan, maka poin yang diperoleh adalah 1. Akan tetapi jika informasi yang dikehendaki tidak ada maka poin yang diperoleh adalah 0. Tabel berikut memperlihatkan jumlah pertanyaan dan maksimum jumlah poin serta persentase (weighted points) yang dihasilkan bagi setiap kategori[9]. Tabel 1. Kategori utama dari IBCG Rating IBCG Category
Max points
Max weighted points
1. 2. 3. 4. 5.
Shareholders Transparency Board of directors Executive management Technical accessibility
Total
34 32 26 18
30 30 15 15
10
10
120
100
Sumber: [9] Rumus untuk menghitung nilai IBCG Rating sebagai berikut[9]: IBCG Weighted = ((score/max points) x 100%) x (max weighted points) 2.4. IBCG Rating Modified IBCG rating modified disusun sebagai bentuk pengembangan dari IBCG rating yang dibuat oleh Grzybkowski dan Wojcik yang memasukkan Tambahan kriteria hasil pengembangan yang mengadopsi ketentuan dari BAPEPAM LK No:KEP431/BL/2012 tentang penyampaian Laporan Tahunan Perusahaan Publik dan Pedoman GCG Tahun 2006 dari Komite Nasional Kebijakan CG[9]. Adapun tambahan kriteria tersebut antara lain : laporan perubahan kepemilikan dalam struktur kepemilikan saham; informasi tentang sekretaris perusahaan dalam keberadaan badan (bagian) yang menangani hubungan antar investor; pengumuman hasil rapat pemengang saham dalam pengumuman tentang rapat umum tahunan; pengumuman saham bonus/dividen saham, informasi penambahan modal tanpa hak memesan efek terlebih dahulu, informasi pembelian kembali saham yang dikeluarkan oleh emiten, laporan transaksi material dan perubahan kegiatan bisnis utama, informasi pemeringkatan efek hutang dan atau sukuk dalam keterbukaan informasi; laporan transaksi afiliasi dan benturan kepentingan dalam laporan lain-lain; rencana pengembangan umum perusahaan, dan rencana pengembangan SDM dalam sub kriteria rencana pengembangan; ancaman litigasi; serta wistleblowing system. Empat belas kriteria tersebut menjadi penambah bagi kategori shareholders dan transparency. Sehingga total kriteria penilaian kualitas tata kelola perusahaan menjadi 134 kriteria. 3. METODE PENELITIAN Pendekatan penelitian dalam paper ini adalah penelitian deskriptif yang memberikan gambaran penilaian pengukurankualitas tata kelola perusahaan dengan menggunakan pendekatan IBCG rating modified selama 2 tahun yaitu 2014-2015. Populasi penelitian ini adalah perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Unit analisis penelitian ini adalah perusahaan yang menyampaikan laporan tahunannya di website. Sampel yang digunakan dalam penelitian diseleksi menggunakan metode penyampelan bersasaran/bertujuan berdasarkan kirteria-kriteria tertentu yaitu: 1) Perusahaan memiliki website sendiri, dan tidak sedang dalam perbaikan (maintenance), serta menyediakan
17
laporan tahunan di website perusahaan; dan 2) Perusahaan terdaftar di BEI minimal 3 tahun. Sumber data dalam penelitian ini berupa data sekunder yang bersumber dari website perusahaan dan laporan tahunan (annual report) tahun 2014-2015 yang diperoleh dari website masing-masing perusahaan sampel. Pengukuran IBCG rating dalam naskah aslinya terdiri terdiri dari 120 kriteria, yang terbagi ke dalam lima kategori utama. Hasil pengembangannya di tahun pertama penelitian ini, berupa tambahan 14 kriteria sehingga total criteria yang digunakan dalam pebelitian ini menjadi 134 kriteria. Tabel 2. Kategori utama dari IBCG Rating Modified Category
1. 2. 3. 4. 5. Total
Shareholders Transparency Board of directors Executive management Technical accessibility
Max points 42 38 26 18 10 134
Max weighted points 30 30 15 15 10 100
Prosedur pengukuran the internet based corporate governance Rating cukup komplek. Menurut Grzybkowski dan Wojcik, terdapat beberapa prosedur langkah yang harus dilakukan, antara lain[9]: 1. Melihat secara keseluruhan website perusahaan yang akan diteliti, serta point-point penting yang berkaitan dengan criteria pengukuran IBCG Rating. 2. Melakukan navigasi dengan menelusuri struktur website yang dibangun oleh perusahaan tersebut dengan memperhatikan poin pertanyaan yang harus diisi. 3. Menggunakan sitemaps dan mencoba internal search engines untuk menemukan bagian informasi yang diperlukan. karena terdapat berbagai variasi efisiensi yang ditawarkan oleh bermacam-macam search engines yang ada, maka peneliti hanya akan menggunakan google search sebagai parameter dalam membatasi cara pencarian webpage tersebut. 4. Melihat dokumen-dokumen, baik dalam bentuk format file pdf. atau word yang dipublikasikan oleh perusahaan, termasuk laporan tahunan perusahaan (company annual report). 5. Melakukan pengujian eksternal yang berkaitan dengan standar publikasi web dengan menggunakan World Wide Web Consortium 1 validator. Karena kompleksnya struktur suatu webpages, maka yang akan diuji hanyalah halaman depan dari website tersebut. pengujian website dapat dilakukan dengan mengunjungi situs http://validator.w3.org/ 6. Tahap terakhir dari proses pengujian akan dilakukan pengecekan kembali terhadap setiap poin pertanyaan yang ditetapkan, sehingga apabila tetap tidak memperoleh hasil, maka poin untuk pertanyaan tersebut adalah 0. jika ternyata
ditemukan informasi yang diinginkan setelah dilakukannya pengecekan kembali, maka nilai poin untuk pertanyaan tersebut adalah 1. Rumus untuk menghitung nilai IBCG Rating Modified sama seperti model penghitungan yang dilakukan oleh Grzybkowski dan Wojcik [9]: IBCG Weighted = ((score/max points) x 100%) x (max weighted points) 4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Berdasarkan tabel 3 dapat ditunjukkan bahwa pada tahun 2014 tingkat kualitas corporate governance berdasarkan IBCG Weighted Points dengan nilai indeks tertinggi adalah 65,15 sedangkan nilai terendah adalah 30,37. Tabel 3. Perbandingan Statistik Deskriptif tahun 20142015 IBCG 2014 IBCG modified 2015
Min
Max
Mean
Std. Dev
30,37
65,15
48,26
7,52
34,54
81,95
61,71
9,85
Diskripsi statsitik menunjukkan IBCG rating modified minimum berada pada nilai 30,37 dan maksimum berada pada nilai 65,15. Nilai IBCG Rating modified berkisar antara 0 s.d 100. Nilai semakin mendekati 0 menunjukkan bahwa kualitasnya semakin buruk, sebaliknya semakin mendekati 100 menunjukkan kualitas implementasi corporate governance yang semakin baik. Rentang interval nilai IBCG rating modified antar perusahaan yang relatif pendek tersebut diasumsikan bahwa implementasi tata kelola perusahaan sampel telah dijalankan namun dengan kualitas yg masih beragam. Hal ini dapat dipahami karena beberapa komponen identifikasi IBCG rating juga diatur oleh bapepam terhadap perusahaan-perusahaan yang listed di Bursa Efek Indonesia. Hasil perhitungan IBCG Rating Modified untuk tahun 2015 menunjukkan tingkat kualitas corporate governance berdasarkan IBCG Weighted Points dengan nilai indeks tertinggi adalah 81,95 sedangkan nilai terendah adalah 34,54. Rata-rata terhitung dari keseluruhan nilai IBCG Weighted Points perusahaan-perusahaan tersebut adalah 61,71 naik dari tahun pertama yang sebesar 48,26. Nilai tertinggi yang didapatkan untuk tahun 2015 sebesar 81,95 yang jauh lebih tinggi dibandingkan tahun 2014. Demikian halnya dengan nilai minimum juga menunjukkan pada tahun 2015 yang sebesar 34,54 juga lebih tinggi dibandingkan tahun 2014 yang nilai sebesar 30,37. 5. PEMBAHASAN Tahun 2014 Rata-rata terhitung dari keseluruhan nilai IBCG Weighted Points perusahaan-
18
perusahaan pada adalah 48,26. Jika kita mengasumsikan bahwa batas tengah sebuah perusahaan yang dianggap memiliki tingkat kualitas corporate governance yang baik adalah 50, maka dapat disimpulkan bahwa rata-rata perusahaan yang menjadi sampel penelitian ini memiliki tingkat kualitas tata kelola yang relatif baik dari sudut pandang pengukuran IBCG rating. Pada tahun berikutnya, perusahaan dinilai kualitas tata kelola perusahaan dengan menggunakan IBCG rating modified dan hasilnya menunjukkan bahwa ada perbaikan nilai baik secara rata-rata dimana diperoleh angka sebesar 61,71 maupun nilai tertinggi dan terendah dibandingkan tahun sebelumnya. Jika kita mengasumsikan bahwa batas tengah sebuah perusahaan yang dianggap memiliki tingkat kualitas corporate governance yang baik adalah 50, maka dapat disimpulkan bahwa ratarata perusahaan yang menjadi sampel penelitian ini memiliki tingkat kualitas tata kelola semakin membaik bahkan lebih tinggi jika dibandingkan tahun 2014. IBCG rating modified disusun untuk memberikan perbaikan atas pengukuran IBCG rating[10]. Beberapa perbaikan yang dimasukkan antara ancaman litigasi, wishleblowing system dan rencana pengembangan di dalam perusahaan serta mengadopsi dan menyesuaikan dengan aturan tata kelola perusahaan yang dikeluarkan oleh Bapepam LK. Sehingga diharapkan pengukuran ini lebih bisa menyesuaikan dengan kondisi di negara Indonesia. Dan hal ini terbukti berdasarkan hasil statistik deskriptif bahwa ada peningkatan nilai kualitas tata kelola perusahaan di Indonesia setelah diukur dengan metode IBCG rating modified. Peningkatan nilai kualitas tata kelola perusahaan dari tahun 2014-2015 dimungkinkan juga dikarenakan kepatuhan para emiten terhadap aturan dari Bapepam LK saat itu yang sekarang sudah melebur ke dalam OJK mengenai kewajiban untuk melakukan publikasi atas informasi terkait perusahaan ke dalam laman perusahaan. Kewajiban untuk memiliki dan mempublikasi laporan keuangan dan tahunan ke dalam laman perusahaan tertuang dalam ketentuan Bapepam LK No:KEP431/BL/2012 serta Peraturan OJK no 29 tahun 2016. 6. SIMPULAN Penilaian atas kualitas tata kelola perusahaan dalam paper ini diukur dengan metode IBCG rating dan IBCG rating modified. Hasil penelitian selama dua tahun diperoleh hasil bahwa ada peningkatan kualitas tata kelola perusahaan yang ditunjukkan oleh semakin tingginya nilai rata-rata skor kualitas tata kelola perusahaan dari tahun 2014-2015. Peningkatan kualitas ini disebabkan oleh adanya perbaikan metode pengukuran tata kelola yang menyesuaikan dengan aturan yang berlaku di Indonesia serta kepatuhan para emiten untuk
memenuhi ketentuan yang dibuat oleh para pembuat kebijakan. 7. DAFTAR PUSTAKA [1]
Shleifer, A., dan R.W. Vishny, (1997). A Survey of Corporate Governance, Journal of Finance, Vol. 52, No.2, 737-783
[2]
Klapper, L. and I. Love, (2004). Corporate governance, investor protection and performance in emerging markets. Journal of Corporate Finance, Vol.10, No.5, 703-728.
[3]
Rajgopal, S., T. Shelvin, V. Zamora, (2006). CEOs’ Outside Employment Opportunities and the lack of relative performance evaluation in Compensation Contracts. The Journal of Finance, Vol 61, Issue 4, 1812-1844
[4]
Suranta, E., dan M. Machfoedz, (2003). Analisis Struktur Kepemilikan, Nilai Perusahaan, Investasi dan Ukuran Dewan Direksi. Simposium Nasional Akuntansi VI. Surabaya
[5]
Weisbach, Michael S., dan Benjamin E. Hermalin, (2000). Boards of Directors as an Endogenously Determined Institution: A Survey of the Economic Literature, working paper, http://papers.ssrn.com/.
[6]
Bauer, R., B. Frijns, R. Otten and A. Tourani-Rad, (2008). The impact of corporate governance on corporate performance: Evidence from Japan. Pacific-Basin Finance Journal, No.16,236-251.
[7]
Bøhren Ø., BA Ødegaard. (2006). Governance and Performance Revisited. papers.ssrn.com http://ssrn.com/abstract=2257768
[8]
Drobertz, W., A. Schillhofer and H. Zimmermann, (2004). Corporate governance and expected stock return: Evidence from Germany. Available from http://.ssrn.com.
[9]
Grzybkowski, M. and D. Wojcik, (2006). Internet and corporate governance, working paper. University of Oxford. Available from http://ssrn.com.
[10] Hartono, U., B. Subroto, G. Irianto and Djumahir, (2013). Firm characteristics, corporate governance, and firm value. International Journal of Business and Behavioral Science, Vol. 3, No 8, 83-91 [11] Jensen, M.C., dan W. Meckling, (1976). Theory of the Firm: Managerial Behavior, Agency Costs and Ownership Structure, Journal of Financial Economics No.3, 305-360. [12] Monks.R., dan Minow., (1995). Governance, Cambridge, MA: Blackwell
Corporate
[13] Mizruchi, M.S., (2004). Berle and Means Revisited: The Governance and Power of Large U.S Corporations, Working Paper, University of Michigan.
19
20
Pengaruh Variabel Makroekonomi Terhadap Penerbitan Sukuk dan Besaran Bagi Hasil Sukuk Ritel Pemerintah Prayudi Setiawan Prabowo1*), Rachma Indrarini2 1
Jurusan Ilmu Ekonomi Universitas Negeri Surabaya. E-mail:
[email protected] Jurusan Ilmu Ekonomi Universitas Negeri Surabaya. E-mail:
[email protected] *) Alamat Korespondesi: Email:
[email protected]
2
ABSTRACT The study was to produce a proposition of Inflation, Exchange Rate, the Gross Domestic Product (GDP), Tax Receipts on issuance of government sukuk and yields of sukuk. The study looking for The influence of macroeconomic variables with the issuance of Government sukuk and The magnitude of the yield of government sukuk issuance. Which according to the stated hypothesis, the variables in this study were divided into two, namely; (1) independent variables, and (2) dependent variable. Dependent variable in this research is the amount of sukuk and sukuk yields. Independent variables in this study are the Macroeconomic Factors; Inflation, exchange rate, GDP and Tax Revenue. The study provides a concrete picture of the macroeconomic factors that influence the government and the large issuance of sukuk yields set. Variable exchange rate does not affect the issuance of sukuk as well as the amount of profit sharing. Variable inflation negative effect on the issuance of sukuk, but has no effect on the amount of profit sharing. Influential GDP variable positive for sukuk issuance and the amount of profit sharing. Variable tax revenue positive influence on the issuance of sukuk but a negative effect on the amount of profit sharing. Key Words: Government sukuk Retail , Macroeconomics Variable, Profit sharing, Sukuk Issued ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk menghasilkan proposisi yang menunjukkan pengaruh Inflasi, Nilai Tukar, Produk Domestik Bruto (PDB), Penerimaan Pajak terhadap penerbitan sukuk pemerintah dan imbal hasil sukuk. Di dalam penelitian ini fokusnya adalah mencari pengaruh antar variabel penelitian ini, yakni pengaruh antara variabel Makroekonomi dengan penerbitan sukuk dan hubungan antara variabel Makroekonomi dengan besarnya imbal hasil dari penerbitan sukuk. Dimana berdasarkan Hipotesis yang dikemukakan, variabel-variabel dalam penelitian ini dibagi menjadi 2 yaitu; (1) variabel independen, (2) variabel dependen. Variabel Dependen dalam penelitian ini adalah variabel penerbitan sukuk dan variabel besaran imbal haasil sukuk. Variabel Independen dalam penelitian ini adalah Faktor-Faktor Makroekonomi yakni Inflasi, Nilai tukar, PDB, serta Penerimaan Pajak. Hasil penelitian ini memberikan gambaran konkret terhadap faktor makroekonomi yang mempengaruhi penerbitan sukuk pemerintah dan besarnya imbal hasil yang ditetapkan. Variabel nilai tukar tidak mempengaruhi penerbitan sukuk maupun besaran bagi hasil. Variabel inflasi berpengaruh negatif terhadap penerbitan sukuk, akan tetapi tidak berpengaruh terhadap besaran bagi hasil. Variabel PDB Berpengaruh positif terhadap penerbitan sukuk maupun besaran bagi hasil. Variabel penerimaan pajak berpengaruh positif terhadap penerbitan sukuk akan tetapi berepengaruh negative terhadap besaran bagi hasil. Kata kunci: Sukuk Ritel Pemerintah, Variabel Makroekonomi, Bagi hasil, Penerbitan Sukuk 1. PENDAHULUAN Penelitian tentang sukuk telah banyak dilakukan baik itu penerbitan sukuk oleh korporasi ataupun Negara. Iskandar di dalam penelitiannya menunjukkan bahwa keberadaan sukuk negara pada perbankan syariah yang diukur dengan rasio nilai kepemilikan sukuk negara domestik oleh perbankan syariah terhadap GDP (SUKUK) sebagai bagian penyediaan asset yang aman bagi perbankan syariah (risk free asset) berpengaruh positif dan signifikan terhadap rasio nilai total pembiayaan perbankan syariah terhadap GDP yang mengukur perkembangan perbankan syariah Indonesia[1]. Il’mi di dalam penelitiannya menunjukkan bahwa faktor pergerakan yield itu sendiri yang menjadi faktor yang signifikan dalam perubahan yield sukuk ritel, diikuti oleh variabel suku bunga, perubahan kurs dan inflasi[2].
Secara umum permasalahan penelitian ini adalah bagaimana menemukan hubungan faktor makroekonomi dalam hal ini adalah inflasi, Nilai tukar, Produk Domestik Bruto (PDB), Penerimaan pajak terhadap penerbitan sukuk pemerintah dan imbal hasil sukuk. Berdasarkan perumusan masalah maka tujuan khusus dari penelitian ini yaitu: Bertujuan untuk menghasilkan proposisi yang menunjukkan korelasi antara Inflasi, Produk Domestik Bruto (PDB), Nilai Tukar, Penerimaan Pajak terhadap penerbitan sukuk pemerintah dan imbal hasil sukuk. 1. Menguji dan menganalisis pengaruh inflasi terhadap penerbitan sukuk. 2. Menguji dan menganalisis pengaruh Nilai Tukar terhadap penerbitan sukuk. 3. Menguji dan menganalisis pengaruh Produk domestic Bruto (PDB) terhadap penerbitan sukuk.
21
4. 5. 6. 7.
8.
Menguji dan menganalisis pengaruh Penerimaan Pajak terhadap penerbitan sukuk. Menguji dan menganalisis Pengaruh Inflasi terhadap imbal hasil sukuk. Menguji dan menganalisis pengaruh Nilai Tukar terhadap imbal hasil sukuk. Menguji dan menganalisis pengaruh Produk domestik Bruto (PDB) terhadap imbal hasil sukuk. Menguji dan menganalisis pengaruh Penerimaan Pajak terhadap imbal hasil sukuk.
2. KAJIAN TEORI 2.1 Pengertian Sukuk Sukuk sudah dikenal sejak abad pertengahan, dimana umat Islam menggunakannya dalam kontek perdagangan internasional yang berfungsi sebagai dokumen yang menunjukkan kewajiban finansial yang timbul dari usaha perdagangan dan aktivitas komersial lainnya. Sukuk merupakan representasi kepemilikan yang setara dengan aset dalam kurun waktu tertentu dengan risiko serta imbalan yang dikaitkan dengan cash flow melalui underlying asset yang berada di tangan investor. Sedangkan, Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) mendefinisikan sukuk sebagai suatu surat berharga jangka panjang yang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil, margindan fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo[3]. Menurut Undang-Undang, Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) sukuk adalah surat berharga yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing[4]. 2.2. Sukuk Ritel Pemerintah Sukuk Negara Ritel menggunakan akad ijarah sale and lease back. Artinya, terjadi kesepakatan antara pemerintah dan perusahaan penerbit untuk melakukan jual beli dan penyewaan Barang Milik Negara (BMN) yang dijadikan sebagai asset. Kegiatan penerbitan sukuk ritel terdiri dari: 1. Pemerintah melakukan penjualan BMN kepada perusahaan penerbit untuk digunakan sebagai asset. 2. Perusahaan penerbit menerbitkan Sukuk ritel sebagai bukti atas penyertaan/kepemilikan investor terhadap asset. 3. Penyewaan asset oleh pemerintah dari perusahaan penerbit sukuk untuk digunakan dalam menjalankan kegiatan umum pemerintahan. 4. Pembayaran imbalan atas penyewa asset oleh pemerintah sebagai penrbit sukuk melalui agen pembayar 5. Pembelian asset sukuk oleh pemerintah dari perusahaan penerbit sukuk sebesar nilai normal yang tercantum pada sukuk pada akir sewa untuk membayar nilai nominal sukuk[5].
3. METODE PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Pendekatan penelitian yang digunakan adalah Deskriptif kuantitatif karena, (a) bertujuan mengkuantitatifkan data dan membuat generalisasi hasil sampel dan populasi, (b) jumlah sampelnya banyak, (c) dilakukan secara terstruktur, (d) analisis data menggunakan statisttik, dan (e) hasil penelitian untuk memberi rekomendasi[6]. Sedangkan sifat hubungan antar variabelnya temasuk dalam penelitian kausalitas karena penelitian ini untuk mengetahui pengaruh antar variabel. Pengumpulan data penelitian didasarkan pada kebutuhan sistem yang dilakukan melalui studi pustaka baik itu melalui studi literatur dan mengumpulkan data sekunder dari lembaga terkait dalam hal ini melalui Bank Indonesia (BI), Badan Pusat Statistik (BPS), Serta Kementerian Keuangan. 3.2. Lokasi Penelitian Lokasi pelaksanaan penelitian di dalam penelitian ini lebih mengarah kepada level data yang digunakan, dimana data yang digunakan adalah data tingkat nasional. 3.3. Populasi dan Teknik Pengambilan sampel Populasi penelitian ini adalah variabelvariabel penelitian dalam beberapa tahun. Sampel dari penelitian adalah seluruh variabel penelitian dari tahun 2010-2016. 3.4. Variabel, Hubungan antar Variabel dan Definisi Operasional Di dalam penelitian ini fokusnya adalah mencari hubungan antar variabel penelitian ini, yakni hubungan antara variabel Makroekonomi dengan penerbitan sukuk dan hubungan antara variabel Makroekonomi dengan besarnya imbal hasil dari penerbitan sukuk. Dimana berdasarkan Hipotesis yang dikemukakan, variabel-variabel dalam penelitian ini dibagi menjadi 2 yaitu; (1) variabel independen, (2) variabel dependen. Variabel Dependen dalam penelitian ini adalah variabel penerbitan sukuk dan variabel besaran imbal haasil sukuk. Variabel Independen dalam penelitian ini adalah Faktor-Faktor Makroekonomi yakni Inflasi, PDB, Nilai tukar, serta Penerimaan Pajak. Di dalam Variabel Dependen yang dimaksud dengan Variabel Penerbitan Sukuk adalah besaran angka sukuk yang diterbitkan oleh pemerintah. Kemudian variabel besaran imbal hasil sukuk adalah persentase atas imbal hasil yang ditetapkan ketika sukuk diterbitkan oleh pemerintah. Di dalam Variabel Independen yang dimaksud dengan variabel inflasi adalah besaran persentase inflasi per periode, dimana di dalam penelitian ini ditetapkan bahwa periode penelitian adalah bulanan. Variabel Produk domestik Bruto (PDB) yang dimaksud adalah besaran PDB atas harga konstan tahun 2000. Variabel nilai tukar yang dimaksud adalah besarnya konversi nilai mata uang dari Rupiah ke Dollar Amerika. Variabel Penerimaan
22
Pajak yang dimaksud adalah besaran angka penerimaan pajak yang tertera dalam anggaran pendapatan Negara.
4. PEMBAHASAN
Dari perhitungan yang telah dilakukan, dapat dikatakan bahwa nilai tukar dan inflasi tidak signifikan mempengaruhi besaran bagi hasil sukuk, sedangkan Penerimaan pajak berpengaruh negatif, dan besarnya PDB berpengaruh positif. Adapun ketika Penerimaan pajak naik sebesar 1 satuan akan menurunkan besarnya besaran bagi hasil sukuk sebesar 0,000000868 satuan; sedangkan ketika PDB naik sebesar 1 satuan akan menaikkan besarnya besaran bagi hasil sukuk sebesar 0,000000103 satuan;. Dimana model ini hanya mampu menggambarkan 47,9% keadaan sebenarnya. 5. SIMPULAN Variabel nilai tukar tidak mempengaruhi penerbitan sukuk maupun besaran bagi hasil. Variabel inflasi berpengaruh negatif terhadap penerbitan sukuk, akan tetapi tidak berpengaruh terhadap besaran bagi hasil. Variabel PDB Berpengaruh positif terhadap penerbitan sukuk maupun besaran bagi hasil. Variabel penerimaan pajak berpengaruh positif terhadap penerbitan sukuk akan tetapi berepengaruh negatif terhadap besaran bagi hasil Dari perhitungan yang telah dilakukan, dapat dikatakan bahwa nilai tukar tidak signifikan mempengaruhi penerbitan sukuk, sedangkan inflasi berpengaruh negatif, dan besarnya PDB serta penerimaan pajak berpengaruh positif. Adapun ketika inflasi naik sebesar 1 satuan akan menurunkan besarnya penerbitan sukuk sebesar 4.030.000.000.000 satuan; sedangkan ketika PDB naik sebesar 1 satuan akan menaikkan jumlah penerbitan sukuk sebesar 1370800 satuan; kemudian ketika penerimaan pajak naik 1 satuan akan menaikkan jummlah penerbitan sukuk sebesar 13019753. Dimana model ini telah mampu menggambarkan 91,3% keadaan sebenarnya.
6. DAFTAR PUSTAKA [1]. A. Iskandar, (2014). Pengaruh Penerbitan Sukuk Negara Sebagai Pembiayaan Defisit Fiskal dan Kondisi Ekonomi Makro Terhadap Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia (The Effect of Sovereign Sukuk Issuance as State Fiscal Funding and Macroeconomics on The Islamic Banking Growth in Indonesia), Jurnal of Info Artha Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN), pp. 1–21. [2]. Imam Khadiiqotul Ilmi, (2012). Pengaruh Variabel Ekonomi Makro Pada Yield Surat Berharga Syariah Negara (Studi Pada Sukuk Ritel Seri Sr001). Skripsi. http://lib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/ detail.jsp?id=20320126&lokasi=lokal. [3]. D. A. Fatah, (2011). Perkembangan Obligasi Syari’ah (Sukuk) di Indonesia : Analisis Peluang
23
dan Tantangan, Al-’Adalah, vol. X, no. 1, pp. 281– 301. [4]. KEMENKEU, (1991). Daftar Istilah Surat Berharga Syariah Negara (Sbsn)/Sukuk Negara [5]. T. Hidayat, (2011). Buku Pintar Investasi Syariah. Jakarta: Media Kita. [6]. N. K. Malhotra and D. F. Birks, (2006). Marketing Research: An Applied Approach.
24
Identifikasi Kemampuan Strategi Bersaing dalam Upaya Peningkatan Kinerja UMKM di Gerbangkertasusila Jawa Timur Purwohandoko1, Yuyun Isbanah2*), Prayudi Setiawan Prabowo3 1
Jurusan Manajemen Universitas Negeri Surabaya, Surabaya. E-mail:
[email protected] Jurusan Manajemen Universitas Negeri Surabaya, Surabaya. E-mail:
[email protected] 3 Jurusan Ilmu Ekonomi Universitas Negeri Surabaya, Surabaya. E-mail:
[email protected] *) Alamat Korespondesi: Email:
[email protected] 2
ABSTRACT This research is oriented to develop the theoretical study of the performance of Micro, Small and Medium Enterprises (SMEs). The object are Gerbangkertasusila region SMEs. SMEs have been selected as the research object to the consideration that the rapid development and high competition level. Industry in East Java 54.34% came from SMEs and able to accommodate 98% of the workforce. The method used quantitative descriptive. Variables are identified internal resources, market orientation, entrepreneurship, competitive strategy and performance. Internal resources is measured using seven indicators include: physical resources, financial resources, technological resources, resources, reputation, brand strength of resources, organizational resources, and human resources. Market orientation is measured by three indicators: customer orientation, competitor orientation, and cross-functional coordinator. Entrepreneurial orientation was assessed using three indicators, namely innovation, pro-active, and risk-taking. Measurement of competitive strategy in this study using three indicators, namely cost leadership, differentiation, and focus. Data were collected through in-depth interviews (in-depth interviews) to the owners of SMEs, questionnaire and field observations. The results showed that the competing strategies that can be used to improve the performance of SMEs is to make improvements on the aspects that have low valuations, namely the organization's resources, technology resources, cross-functional coordination, innovation, and focus. ABSTRAK Tujuan penelitian ini berorientasi pengembangan teoritik pada kajian kinerja Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Objek penelitian adalah UMKM di Gerbangkertasusila Jawa Timur. UMKM dipilih sebagai objek penelitian dengan pertimbangan bahwa perkembangannya pesat dan tingkat persaingannya tinggi. Industri di Jawa Timur 54,34% berasal dari UMKM dan mampu menampung 98% tenaga kerja. Metode penelitian yang digunakan deskriptif kuantitatif. Variabel yang diidentifikasi adalah sumber daya internal, orientasi pasar, kewirausahaan, strategi bersaing dan kinerja. Sumber daya internal diukur menggunakan tujuh indikator meliputi: sumber daya fisik, sumber daya keuangan, sumber daya teknologi, sumber daya reputasi, sumber daya kekuatan merk, sumber daya organisasi, dan sumber daya SDM. Orientasi pasar diukur dengan tiga indikator yaitu orientasi pelanggan, orientasi pesaing, dan koordinator lintas fungsi. Orientasi kewirausahaan dinilai dengan menggunakan tiga indikator yaitu keinovatifan, keproaktifan, dan pengambilan risiko. Pengukuran strategi bersaing dalam penelitian ini menggunakan tiga indikator, yaitu kepemimpinan biaya, deferensiasi, dan focus. Data dikumpulkan melalui wawancara yang mendalam (in-depth interview ) kepada pemilik UMKM, pengisian kuesioner dan observasi lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi bersaing yang bisa digunakan untuk meningkatkan kinerja UMKM yaitu dengan melakukan perbaikan pada aspek yang memiliki penilaian rendah yaitu sumber daya organisasi, sumber daya teknologi, koordinasi lintas fungsi, keinovasian, dan focus. 1. PENDAHULUAN Sumber daya merupakan dasar pemilihan dan pelaksanaan strategi untuk menghasilkan keunggulan bersaing. Strategi berbasis sumber daya akan mampu membedakan kinerja antar perusahaan satu dengan yang lain. Priem and Butler [1], menyatakan bahwa perusahaan perlu memasukkan konsep resource based view (RBV) atau cara pandang perusahaan terhadap sumber daya agar dapat memperjelas kriteria pengukuran dan dapat memberikan kontribusi dalam meningkatkan kinerja perusahaan. Tetapi pandangan berbeda mengenai RBV dikemukakan oleh Hooley et al (1996) dalam[2], yang menilai bahwa keberadaan RBV saja perusahaan masih lemah dalam menghasilkan keunggulan bersaingnya bila
mengabaikan pasar dan hanya fokus ke dalam Perusahaan, sehingga dapat menimbulkan resiko yang tinggi bagi kelangsungan perusahaan. Pada kondisi persaingan pasar, tidak ada satupun perusahaan yang tidak ada pesaingnya sehingga strategi bersaing yang dipilih dan dilaksanakan harus efisien dan efektif. Perusahaan perlu memahami kebutuhan pelanggan, baik kebutuhan yang terungkap maupun yang tidak terungkap. Narver et al.[3], menyatakan bahwa konsep orientasi pasar secara total mencakup orientasi pasar yang reaktif dan proaktif. Perusahaan yang orientasi pasarnya proaktif secara terus-menerus berusaha menemukan peluang baru untuk memenuhi kebutuhan pelanggan. Purwohandoko[4] menyatakan Integrasi berbasis
25
sumber daya (RBV) dan berbasis orientasi pasar (MBV) dijadikan dasar perusahaan memilih dan melaksanakan strategi bersaing untuk menghasilkan keunggulan bersaing ternyata secara konsisten dimensi manusia memegang peran kunci dalam menentukan kinerja perusahaan. Konsep tersebut sedikit berbeda jika diterapkan pada industry kecil dan menengah. peningkatan kinerja pada Industry kecil dan menengah Atas tidak bisa mengesampingkan orientasi kewirausahaan yang dimiliki oleh pemilik. Atas dasar pertimbangan tersebut tujuan dari penelitian ini adalah untuk identifikasi faktor sumber daya internal, orientasi pasar, kewirausahaan, strategi bersaing, dan kinerja UMKM. 2. KAJIAN LITERATUR 2.1 Sumber Daya Internal Teori berbasis sumber daya diartikan sebagai alat ekonomi digunakan untuk menerjemahkan sumberdaya strategik yang sesuai dengan perusahaan, sehingga secara prinsip dipandang sebagai dasar menentukan keunggulan bersaing perusahaan dalam mengaplikasikan sekumpulan sumber daya yang bernilai bagi perusahaan (Wernefelt, 1984; Rumelt, 1984 dalam[2]). mengajukan empat kriteria dasar suatu sumberdaya dikatakan bernilai (1) heterogen, (2) dapat memperoleh sumberdaya dengan harga dibawah harga sekarang, (3) sulit ditiru, dan (4) mempunyai nilai bagi perusahaan. sumberdaya bersifat sesuatu yang sulit ditiru oleh para pesaing, sehingga bernilai, heterogen, dan tidak mudah diganti. 2.2 Orientasi Pasar Orientasi pasar mempunyai pandangan bahwa langkah strategis perusahaan dalam menghasilkan kinerja yang lebih penting adalah melakukan identifikasi sumber daya sebagai domain lingkungan internal perusahaan dari pada melakukan analisis lingkungan eksternalnya. Karena strategi yang hanya didasarkan pada lingkungan eksternal akan mudah diikuti banyak perusahaan, sehingga kinerja tidak akan dapat dihasilkannya. 2.3 Kewirausahaan Kewirausahaan merupakan suatu kemampuan kreatif dan inovatif (create new and different) yang dijadikan kiat, dasar, sumberdaya, proses dan perjuangan untuk menciptakan nilai tambah barang dan jasa yang dilakukan dengan keberanian untuk menghadapi risiko. Schumpeter percaya bahwa inovasi adalah karakteristik utama dari kewirausahaan. Para peneliti lain juga telah meneliti berbagai aspek kewirausahaan tingkat perusahaan, seperti diversifikasi, pembaharuan strategis, proses produksi, dan inovasi administrasi.
2.4 Strategi Bersaing Keunggulan bersaing hanya dapat diperoleh jika perusahaan memiliki strategi bersaing yang tepat. Melalui cara demikian, perusahaan dapat memberikan superior value pada konsumennya. Superior value bagi konsumennya inilah yang menentukan apakah perusahaan dapat bersaing atau tidak dalam industri, yang selanjutnya menjadi penentu kinerja perusahaan. Studi empiris [5] yang menggunakan strategi bersaing Porter, yang diuji pengaruhnya terhadap kinerja perusahaanmenunjukkan bahwa strategi bersaing terbukti berpengaruh terhadap kinerja perusahaan. Perbedaan posisi keunggulan di pasar ternyata menghasilkan kinerja yang berbeda pula, terutama dalam ukuran efisiensi dan efektifitas. Marketing differentiation terbukti berpengaruh positif terhadap kinerja efektifitas dan efisiensi, diferensiasi inovasi berpengaruh positif terhadap kinerja efektifitas, sedangkan strategi low cost berpengaruh positif terhadap kinerja efisiensi. 2.5 Kinerja Perusahaan Salah satu tujuan keputusan keuangan adalah memaksimumkan nilai perusahaan, maka memakmurkan pemilik perusahaan menjadi fokus tujuannya, sehingga secara simultan perlu mengoptimalkan sumberdaya yang dimilik perusahaan sebagai keunggulan dan merespon pasar sebagai konsekuensi persaingan dan kepuasan pelanggan. Pengukuran kinerja keuangan setiap periode sebagai dasar perencanaan bermanfaat untuk memprediksi masa depan dan sekaligus sebagai refleksi dari strategi bersaing masa lalu dan menrumuskan kembali strategi bersaing masa yang akan datang. Kaplan dan Norton[6], memformulasikan pengukuran kinerja perusahaan yang diturunkan dari visi dan strategi secara seimbang melalui 4 (empat) perspektif; (1) pelanggan, (2) internal bisnis proses, (3) pembelajaran dan pertumbuhan, dan (4) keuangan. Perusahaan menggunakan scorecard sebagai sistem manajemen strategis untuk mengelola strategi jangka panjang. 3. METODE PENELITIAN Pendekatan penelitian yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif. Pengumpulan data penelitian dilakukan melalui studi pustaka dan survey lapangan. Survey lapangan lebih difokuskan pada pendapat pakar, wawancara yang mendalam (in-depth interview ) kepada pemilik UMKM, pengisian kuesioner dan observasi lapangan. Populasi penelitian ini adalah UMKM makanan minuman di Gerbangkertasusila Jawa Timur. Sampel UMKM yang dipilih adalah UMKM yang terdaftar di Dinas Koperasi dan UMKM serta memiliki nilai penjualan yang cenderung meningkat. Kajian dianalisis dalam penelitian meliputi: sumber daya internal, orientasi pasar, kewirausahaan, strategi bersaing, dan kinerja. Tabel 1. Indikator Pengukuran
26
Kajian Analisis Sumber daya internal
Orientasi pasar
Kewirausahaan
Strategi bersaing
Kinerja
-
Indikator Pengukuran Sumber daya fisik Sumber daya keuangan Sumber daya teknologi Sumber daya reputasi Sumber daya kekuatan merk Sumber daya organisasi Sumber daya Manusia Orientasi pada pelanggan Orientasi pada pesaing koordinasi antar fungsi Inovasi Proaktif Pengambilan risiko Kepemimpinan biaya Diferensiasi Fokus Perspektif pelanggan Perspektif internal proses Perspektif pembelajaran dan pertumbuhan Perspektif keuangan
4. HASIL PENELITIAN Penelitian ini menggunakan 60 perusahaan sebagai sampel penelitian. Jumlah sampel tersebar merata di enam Kabupaten/Kota di Gerbangkertasusila (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, sidoarjo, dan Lamongan. Menurut skala usahanya, perusahaan sampel meliputi perusahaan mikro, kecil, menengah, dan besar. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik klasifikasi skala usaha berdasarkan jumlah tenaga kerja yaitu usaha mikro (1-4 tenaga kerja), usaha kecil (5-19 tenaga kerja), usaha menengah (20-99 tenaga kerja), dan usaha besar (100 atau lebih tenaga kerja). Distribusi responden menurut Skala Usaha ditunjukkan dalam tabel berikut: Tabel 2. Distribusi Responden (skala usaha) Skala Usaha Mikro Kecil Menengah Total
Perusahaan Jumlah % 39 65 19 31,67 2 3,33 60 100
Tenaga Kerja Jumlah % 105 35,47 125 42,23 66 22,30 296 100
Responden penelitian meliputi 65 % perusahaan skala mikro; 31,67% perusahaan skala kecil, dan 3,33 % perusahaan skala menengah. Dari ke-60 responden proporsi penyerapan jumlah tenaga kerja variatif. Proporsi terbesar adalah perusahaan kecil dengan persentase sebesar 42,43%. selanjutnya perusahaan mikro dengan persentase 35,47%, dan terakhir perusahaan menengah 22,30%. Deskripsi variabel digunakan untuk mendeskripsikan mengenai kondisi UMKM agar memudahkan dalam mengkaji kelima variabel tersebut untuk memahami bagaimana kausalitas sumber daya internal, orientasi pasar, strategi bersaing, kewirausahaan, dan kinerja UMKM di Gerbangkertasusila. Untuk mengetahui kekuatan sumber daya internal, tingkat orientasi pasar yang dilakukan, kecenderungan strategi bersaing, orientasi kewirausahaan, dan kinerja UMKM dilakukan analisis statistik deskriptif.
4.1 Kekuatan Sumber Daya Internal UMKM di Gerbangkertasusila Sumber daya internal diukur menggunakan tujuh indikator meliputi: sumber daya fisik, sumber daya keuangan, sumber daya teknologi, sumber daya reputasi, sumber daya kekuatan merk, sumber daya organisasi, dan sumber daya SDM. Semakin tinggi nilai indikator menunjukkan semakin kuat perusahaan tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ratarata responden menilai perusahaannya memiliki sumber daya internal yang kuat. Akan tetapi terdapat perbedaan kekuatan sumber daya internal menurut jenis sumber daya dan menurut wilayah usaha. Sumber daya kekuatan merek merupakan sumber daya yang memiliki penilaian tertinggi dari keseluruhan responden. Sesuai instrumen pertanyaan di angket, hal ini menunjukkan bahwa UMKM mampu menghasilkan produk melalui proses higienis sesuai dengan harapan pelanggan, produk memiliki rasa yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan, dan produknya mudah didapatkan. Dari ketujuh sumber daya internal, sumber daya organisasi mendapat penilaian terendah. Hal ini mengindikasikan bahwa UMKM di Gerbangkertasusila secara umum belum memiliki struktur organisasi yang baku. Belum ada pembagian kerja yang jelas antar fungsi di dalam organisasi. Hal ini mengakibatkan kontrol dan evaluasi atas hasil kerja terhambat. Penilaian terendah kedua terdapat pada sumber daya teknologi. Kemampuan UMKM dalam merespon perubahan teknologi masih belum optimal. Pemanfaatan teknologi pada UMKM masih terbatas pada teknologi sederhana baik pada pengolahan, proses, pengemasan, maupun distribusi. Atas dasar temuan tersebut maka dapat diidentifikasi bahwa sumber daya organisasi merupakan indikator yang paling penting untuk dikendalikan perusahaan. Selanjutnya yang harus dikendalikan perusahaan yang kedua adalah sumber daya teknologi. Hal tersebut ditujukan untuk memperoleh keunggulan bersaing secara berkelanjutan. 4.2 Aktivitas Pelaksanaaan Orientasi Pasar UMKM di Gerbangkertasusila Di lingkungan eksternal, pengetahuan perusahaan dalam menilai karakteristik pasar (atau dikenal dengan orientasi pasar) juga menjadi faktor penting yang harus diperhatikan pelaku usaha. Orientasi pasar diukur dengan tiga indikator yaitu orientasi pelanggan, orientasi pesaing, dan koordinator lintas fungsi. Agar diperoleh hasil maksimal ketiga indikator tersebut harus bersinergi secara optimal. Hasil penelitian menunjukkan orientasi pasar UMKM di Gerbangkertasusila Jawa Timur dilaksanakan dengan baik yaitu sebesar 40,19%. Sedangkan responden yang menilai sangat tidak baik hanya sebesar 3,43%. Orientasi pelanggan menempati posisi tertinggi dibandingkan dengan indikator orientasi pasar yang lain. Hal ini mengindikasikan bahwa UMKM telah memahami, memonitor dan merespon
27
dengan baik dinamika kebutuhan dan keinginan pelanggan. Sedangkan indikator koordinasi lintas fungsi berada pada posisi terendah. Maknanya UMKM secara umum belum melakukan koordinasi lintas fungsi dengan optimal. Temuan ini sejalan dengan belum jelasnya struktur organisasi dan pembagian kerja di UMKM. 4.3 Orientasi Kewirausahaan UMKM di Gerbangkertasusila Kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kiat dan sumber daya untuk mencari peluang menuju kesuksesan bagi UMKM di Gerbangkertasusila Jatim secara umum menunjukkan nilai “cukup”. Orientasi kewirausahaan dinilai dengan menggunakan tiga indikator yaitu keinovatifan, keproaktifan, dan pengambilan risiko. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orientasi kewirausahaan UMKM di Gerbangkertosusila Jawa Timur dilaksanakan dengan cukup baik yaitu sebesar 37,13%. Selanjutnya 27,69% responden menilai baik; 24,03% responden menilai kurang baik; sedangkan sisanya sebesar 6,53% dan 4,63% menilai sangat baik dan sangat tidak baik. Berdasarkan indikator yang digunakan, keproaktifan memberi sumbangan tertinggi dalam pembentukan orientasi kewirausahaan. Sedangkan keinovatifan merupakan indikator dengan skor terendah paling banyak. Hal ini mengindikasikan bahwa kemampuan UMKM untuk menciptakan inovasi masih belum optimal. 4.4 Strategi bersaing UMKM di Gerbangkertosusila Keunggulan bersaing hanya dapat diperoleh jika perusahaan memiliki strategi bersaing yang tepat. Melalui cara demikian, perusahaan dapat memberikan superior value pada konsumennya. Superior value bagi konsumennya inilah yang menentukan apakah perusahaan dapat bersaing atau tidak dalam industri, yang selanjutnya menjadi penentu kinerja perusahaan. Pengukuran strategi bersaing dalam penelitian ini menggunakan tiga indikator, yaitu kepemimpinan biaya, deferensiasi, dan fokus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi bersaing UMKM di Gerbangkertasusila Jawa Timur dilaksanakan dengan baik, yaitu sebesar 33,98%. Selanjutnya 29,68% menilai cukup baik; 17,45% menilai sangat baik. Hanya 1,76% responden menilai sangat kurang baik dan 17,13% menilai kurang baik. Secara umum UMKM telah mengadopsi strategi bersaing sesuai dengan karakter industri dan produknya masing-masing. Dari tiga indikator strategi bersaing, strategi diferensiasi paling banyak diadopsi oleh UMKM. Sedangkan indikator fokus memiliki nilai terendah dalam strategi bersaing. Hal ini mengindikasikan bahwa perusahaan belum optimal dalam: (a) memasarkan produk dalam segmen tertentu, (b) memilih pasar dengan pesaing yang lebih rendah,
dan (c) menyesuaikan produk dengan kebutuhan pada pasar tertentu. 4.5
Kinerja UMKM di Gerbangkertosusila Kinerja perusahaan merupakan konsekuensi dari implementasi strategi bersaing. Pengukuran kinerja setiap periode sebagai dasar perencanaan bermanfaat untuk memprediksi masa depan dan sekaligus sebagai refleksi dari strategi bersaing masa lalu dan merumuskan kembali strategi bersaing masa yang akan datang. Pengukuran kinerja dalam penelitian ini menggunakan perspektif Balance Score Card (BSD) yang terdiri dari kinerja perspektif pelanggan, kinerja perspektif keuangan, kinerja perspektif proses internal, dan kinerja perspektif pembelajaran dan pertumbuhan Sumber Daya Manusia. Tabel berikut mengikhtisarkan kinerja UMKM di Gerbangkertasusila. Hasil statistic deskriptif, menunjukkan bahwa tingkatan kinerja UMKM di Gerbangkertasusila ratarata responden menilai baik yaitu sebesar 36,79%. Sedangkan jumlah responden yang menilai sangat tidak baik yaitu sebesar 4,54%. Menurut masingmasing perspektif ditemukan bahwa kinerja perspektif pelanggan memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan indikator lainnya. Sedangkan nilai terendah ditunjukkan oleh indikator kinerja perspektif pembelajaran dan pertumbuhan SDM. Atas dasar temuan tersebut, untuk meningkatkan kinerja UMKM harus memperhatikan aspek kinerja berbasis pembelajaran dan pertumbuhan SDM. 5. KESIMPULAN Upaya peningkatan kinerja UMKM dapat dilakukan melalui implementasi strategi bersaing. UMKM harus mengkaji dan menganalisis beberapa unsur yang memiliki penilaian rendah. Dari hasil identifikasi terhadap sumber daya internal diketahui bahwa sumber daya organisasi dan sumber daya teknologi merupakan indicator utama yang harus mendapat perbaikan. Dari sisi orientasi pasar yang harus diperbaiki adalah koordinasi lintas fungsi. Secara umum pelaku UMKM masih memiliki daya inovasi yang rendah. Dalam pelaksanaan strategi bersaing UMKM juga belum mampu focus dalam pelaksanaan bisnisnya. Hasil temuan tersebut bisa menjadi acuan perbaikan untuk meningkatkan kinerja UMKM khususnya untuk UMKM yang memiliki karakteristik sejenis. 6. DAFTAR PUSTAKA [1]. Priem, R.L. and Butler, J.E., (2001). Is the ResourceBase Theory a Useful Perspective for Strategic Management Research?, Academy of Management Review Vol 26, No. 1, 22-40. [2]. Barney, J.B. and Arikan, Asli M., (2000). The Resource-Base View: Origins and Implication, Journal of Management, 124-128. [3]. Narver, John C and Slater, Stanley F., (1990). The Effect of Market Orientation on Business
28
Profitability, Journal of Marketing, Vol. 20, No. 10, 20-35. [4]. Purwohandoko, (2009). Integrasi Sumber Daya Internal dan Orientasi Pasar sebagai Basis Strategi Bersaing pada perusahaan AMDK di Jawa Timur. Disertasi: Universitas Brawijaya Malang. [5]. Menguac, Bulent and Auh, Seigyoung, (2008). Conflict, leadership, and Market Orientation, Journal of research in Marketing, Vol 25, 34-45. [6]. Robert S.Kaplan, David P. Norton, (1996), The Balance Scorecard, Harvard Business School Press Boston, Massachusetts.
29
30
Pelabelan Produk Olahan Ikan: Sebuah Studi untuk Peningkatan Daya Saing UMKM Rosa P. Juniarti1*), Rahayu D. S.Y. Mende2 1 2
Jurusan Manajemen, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya. E-mail:
[email protected] Jurusan Tata Boga, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya. E-mail:
[email protected] *) Alamat Korespondesi: Email:
[email protected]
ABSTRACT This study aimed to explore the design label marketable processed fish products that can be applied by SMEs. Participants who are students of marketing asked to provide input for improvement of existing labels by providing long label may be graffitied and given feedback. The response of respondents in the market shows good reception will be processed fish products with a new label. This study adds to the literature contribute to the labeling on the products of SMEs and enhance product competitiveness of SMEs. This research is limited to only one type of label. Subsequent research may involve a comparison of various types of labels appropriate for specific target markets. Key Words: label, marketing communication, SME, proceeded food ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mencari desain label produk olahan ikan yang marketable yang dapat diterapkan oleh UMKM. Partisipan yang merupakan mahasiswa pemasaran diminta untuk memberi masukan untuk perbaikan label yang sudah ada dengan memberikan label lama yang boleh dicorat-coret dan diberi masukan. Respon dari responden di pasar menunjukkan penerimaan yang baik akan produk olahan ikan dengan label baru. Penelitian ini berkontribusi untuk menambah literature pelabelan pada produk UMKM dan meningkatkan daya saing produk UMKM. Penilitian ini terbatas pada satu jenis label saja. Penelitian selanjutnya dapat melibatkan perbandingan beragam jenis label yang sesuai untuk pasar sasaran yang spesifik. Kata kunci: label, komunikasi pemasaran, UMKM, makanan olahan 1. PENDAHULUAN Pengembangan UMKM terus dilakukan oleh pemerintah. Berbagai program pengembangan telah dibuat oleh pemerintah seperti pelatihan, pemberian kredit lunak, pameran, dan lain-lain. Pengembangan UMKM penting karena kontrubusinya terhadap perekonomian nasional. UMKM di Indonesia berkontribusi terhadap pembentukan PDB sebesar 56 persen. Jumlah tersebut berasal dari sekitar 56.2 juta UMKM yang ada seluruh Indonesia. Besarnya peran UMKM juga dirasakan pada peranannya dalam menyerap tenaga kerja. Sekitar 97 persen tenaga kerja di Indonesia bekerja di sektor UMKM[1]. Keadaan ini memprediksikan bahwa ketika UMKM Indonesia berkembang dan kuat, maka hampir seluruh tenaga kerja dan kelurganya akan hidup sejahtera. Pengembangan UMKM dalam hal komunikasi pemasaran dapat dimulai dengan pemerekan, pengemasan, dan pelabelan. Merek makanan menggunakan serangkaian atribut kemasan, yang mengombinasikan warna, desain, bentuk, simbol, dan pesan[2]. Atribut kemasan menarik dan memperpanjang perhatian, membantu konsumen mengidentifikasi gambar yang disajikan[3]. Pentingnya desain kemasan dan penggunaan kemasan sebagai sarana komunikasi dan branding sedang bertumbuh[4]. Kemasan mengambil peran yang mirip dengan unsurunsur komunikasi pemasaran lainnya. Salah satu alasan dari fakta sederhana tersebut adalah konsumen mungkin tidak berpikir terlalu dalam mengenai keseluruhan merek sebelum mereka pergi ke toko
untuk membeli[3]. Keputusan pembelian dibuat seringkali dibuat di titik penjualan[5]. Kemasan menjadi faktor yang penting dalam proses pembuatan keputusan konsumen karena kemasan mengomunikasikan kepada konsumen di saat merek benar-benar memutuskan di toko. Elemenelemen komunikasi di dalam kemasan, memengaruhi pilihan dan menjadi kunci sukses untuk banyak strategi pemasaran produk makanan[3]. Daya tarik sebuah produk dapat ditingkatkan dengan kemasan. Meskipun demikian, produk yang kurang menguntungkan konsumen secara signifikasn tidak akan membuat konsumen bersedia membeli[6]. Ada sebuah asosiasi kuat mengenai kemasan dan keputusan pembelian[7]. Kemasan harus menunjukkan kualitas produk dan nilai merek dalam menghindari kekecewaan konsumen[8]. Sehingga, pemahaman kebutuhan pengguna merupakan pembeda yang penting atara produk baru yang menjadi pemenang dan pesaingnya[9]. Dalam proses mendesain, pemasar dan desainer kemasan harus memperhitungkan pengalaman, kebutuhan, dan keinginan konsumen, memahami bagaimana elemen-elemen desain kemasan membuat konsumen memperhatikan kemasan dan memperhatikan pesan dalam kemasan; dan secara umum, mengevaluasi desain kemasan dan label untuk efektiviras dalam upaya komunikasi[3].
31
Penelitian ini bertujuan untuk mencari desain kemasan produk olahan ikan yang marketable yang dapat diterapkan oleh UMKM. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Relevansi kemasan dalam Pengembangan Produk Baru Kemasan telah menerima cakypan yang luas dan tersebar dalam literatur pemasan sebagai hasil dari perluasannya antar batas banyak disiplin pemasaran[10]. Kemasan juga merupakan bagian integral dari penawaran produk yang secara efektif dapat menjadi produk di mata konsumen[7]. Dalam pengembangan produk baru, pengembangan kemasan membentuk bagian penting dari proses. Konsumen menggunakan kemasan (bersma isyarat lain, seperti harga dan merek) untuk membentuk persepsi sebuah produk[11]. Dalam beberapa produk baru, konsumen memiliki sedikit atau tidak sama sekali informasi lain untuk menarik kesimpulan dan membentuk persepsi[12]. 2.2 Kemasan dan keputusan pembelian untuk produk makanan dalam kemasan Fitur-fitur kemasan secara keseluruhan dapat menggarisbawahi keunikan dan orisinalitas produk. Penilaian akan kualitas sangat dipengaruhi oleh karakteristik produk yang tecermin dalam kemasan. Hal ini berperan dalam pemilihan merek, Jika kemasan mengomunikasikan kualitas tinggi, konsumen seringkali beranggapan bahwa produk berkualitas tinggi. Sebaliknya, jika konsumen menunjukkan kualitas yang rendah, konsumen memindahkan persepsi kualitas rendah pada produk itu sendiri[7]. Kemasan menjadi simbol yang mengomunikasikan makna yang tersirat mengenai produk. Konsumen lebih mungkin untuk membayangkan aspek-aspek bagaimana tampilan, rasa, perasaan, aroma, atau suara sebuah produk secara spontan ketika melihat gambar produk dalam kemasan[13]. Ekspektasi mengenai produk makanan dapat dihasilan dari isyarat-isyarat seperti kemasan, label, informasi produk, dan stereotip. Pengaruh warna adalah yang dipelajari dengan paling jelas dan baik[14]. Persepsi konsumen akan warna berhubungan dengan persepsi dari atribut kualitas, seperti rasa dan nutrisi, dan juga dengan tingkat kepuasan. Pengaruh positif dapat dicapai dengan memanipulasi satu atau lebih variabel kemasan, termasuk warna kemasan, kemasan yang bening yang memungkinkan untuk melihat warna makanan, cahaya masuk, dan tata mana dan penampilan nama merek[3]. Citra visual pada kemasan adalah atribut penting lainnya. Perlu diperhatikan pada titik penjualan, gambar pada kemasan dapat menjadi sebuat metode strategis diferensiasi, yang akan menambah akses ke kesadaran konsumen. Ini disebabjan gambar merupakan stimuli yang sangat jelas dibanding kata-
kata[13] dan juga lebih cepat dan mudah bagi konsumen untuk memroses di situasi keterlibatan rendah (low involvement). Informasi kemasan visual dapat menarik perhatian konsumen dan mengatur ekspektasi untuk konten. Citra produk yang diproduksi dengan baik memungkinkan untuk membangkitkan asosiasi yang patut diingat dan positif dengan produk[3] 2.3
Fungsi kemasan Kemasan berperan di logistik atau pemasaran. Fungsi logistik kemasan terutama adalah untuk melindungi produk selama perpindahan melalui rantai distributi. Ini dapat menyebabkan biaya pengemasan tambahan, namun membantu mengurangi peristiwa kerusakan, kerugian, atau kehilangan akibat pencurian atau salah meletakkan produk. Fungsi kedua dari kemasan adalah penting intuk peran pemasaran. Kemasan menyediakan sebuah metode atraktif untuk menyampaikan pesan mengenai atribut produk pada konsumen. Ini tidak dapat lepas dari menjalankan fungsi pemasaran, bahkan jika sebuah perusahan tidak mengenali aspek pemasaran dari kemasan secara eksplisit. Hal ini memuculkan bahaya mengomunikasikan kesan secara negatif, namun sebuah kemasan yang didesain dengan baik untuk fungsi pemasarannya membantu menjual produk dengan menarik perhatian dan mengomunilkasikan secara positif[3]. Kemasan memberikan kesempatan pada pemasar untuk mendapatkan keuntungan kompetitif. Desain kemasan yang khas akan memperjelas apa yang perlu dipegang dan dalam bentuk apa, jumlah, daur hidup yang diperlukan dan dalam kondisi apa, persyaratan titik komunikasi penjualan, persayaratan pemerekan, kondisi untuk mengakses atau mengeluarkan isi, teks (copy) atau ilustrasi yang dibutuhkan untuk mendorong penggunaan maksimal[2]. Desain kemasan akan menentukan pemasaran dan persyaratam legal dari kemasan. Secara umum, pemasar terlibat dalam pendesainan kemasan dalam hal peluncuran produk atau varian baru, revitalisasi kemasan yang telah jenuh atau usang, reposisi produk (untuk merubah dengan siapa produk berkompetisi atau merubah manfaat fungsional atau simbolik produk), merubah pasar sasaran, ketika diperlukan pengurangan biaya pengemasan, ketika diperlukan persyaratan legal atau regulasi, atau ketika ada teknologi kemasan baru[2]. 2.4 Elemen kemasan Review dari literatur-literatur yang relevan mengindikasi bahwa ada empat elemen utama kemasan yang berpotensi memengaruhi keputusan pembelian. Mereka dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu elemen visual dan informasional. Elemen visual terdiri atas gambar dan ukuran atau bentuk kemasan. Elemen informasional berhubungan dengan informasi produk dan informasi mengenai teknologi yang digunakan dalam kemasan[3].
32
2.5 Elemen visual 2.5.1 Gambar dan warna Orang-orang yang berbeda merespon kemasan dengan cara yang berbeda, bergantung pada keterlibatan (involvement) mereka[15]. Karena evaluasi atribut kurang penting dalam keputusan pembelian dengan keterlibatan rendah, faktor-faktor yang mudah dilihat seperti gambar dan warna menjadi penting dalam pemilihan produk dengan keterlibatan rendah[16]. Di sisi lain, perilaku konsumen terhadap produk dengan keterlibatan tinggi kurang dipengaruhi masalah citra. Untuk keterlibatan rendah, ada pengaruh yang kuat terhadap pengambilan keputusan konsumen dari pengembangan pasar melalui komunikasi pemasaran, termasuk pembangunan citra[17]. 2.5.2 Penempatan elemen visual Penelitian psikologi mengindikasi bahwa otak secara lateral menghasilkan asimetri dalam persepsi elemen dalam desaun kemasan[4]. Recall elemen kemasan memungkinkan dipengaruhi oleh posisi lateral mereka terhadap kemasan, dan oleh faktorfaktor lain yang biasanya dikenali, seperti gaya, ukuran dan warna huruf[3]. 2.5.3 Ukuran dan bentuk kemasan Ukuran dan bentuk juga muncul sebagai dimensi penting. Satu cara di mana konsumen muncul untuk menggunakan hal-hal ini adalah sebagai heuristik visual sederhana untuk membuat penilaian volume. Umumnya, mereka melihat kemasan yang lebih memanjang menjadi lebih besar, bahkan ketika mereka sering membeli kemasan ini dan berpengalaman menggunakannya. Diskonfirmasi dari ukuran kemasan setelah konsumsi tidak dapat menyebabkan konsumen merevisi penilaian volume mereka secara memadai dalam jangka panjang, terutama jika perbedaan tersebut tidak terlalu besar[18]. 2.6 Elemen informasional 2.6.1 Informasi produk Salah satu fungsi kemasan adalah untuk mengkomunikasikan informasi produk, yang dapat membantu konsumen dalam membuat keputusan dengan hati-hati. Contoh informasi yang signifikan tersebut adalah label makanan. Kecenderungan makan sehat telah menyoroti pentingnya pelabelan, yang memungkinkan konsumen berkesempatan untuk berhati-hati mempertimbangkan alternatif dan membuat pilihan makanan yang diinformasikan[19]. Tata letak kemasan penting untuk presentasi informasi. Penelitian sebelumnya terkait kemasan makanan menghasilkan temuan bahwa panel informasi nutrisi harus ditata dengan cara yang sama untuk semua produk makanan sehingga konsumen mudah untuk memahami dengan cepat[20].
2.6.2 Citra teknologi Teknologi kemasan menyampaikan informasi yang sering dikaitkan dengan gaya hidup konsumen. Dengan kata lain, teknologi yang dikembangkan untuk kemasan datang langsung dari tren produk dan perilaku konsumen saat ini. Teknologi pengembangan kemasan dibatasi dalam pesan dikomunikasikan melalui teknologi yang sepenuhnya harus memenuhi kriteria konsumen dan perlu disajikan secara visual sebagai salah satu elemen komunikasi[21]. 3. METODE PENELITIAN Label produk yang akan diteliti dalam penelitian ini merupakan hasil dari pengembangan produk olahan ikan sunduk di Lamongan[22]. Pasar sasaran yang akan dituju adalah pasar di Surabaya dan SidoarjoPengembangan label Sunduk Crispy dilakukan untuk mengetahui persepsi audiens terhadap label Sunduk Crispy di tahun pertama. 30 mahasiswa Manajemen Pemasaran di Universitas Negeri Surabaya dikumpulkan di laboratorium pemasaran pada Mei 2016 untuk mencermati label Sunduk Crispy di tahun pertama. Seluruh mahasiswa yang terlibat dalam pre-test ini belum pernah terpapar dan mencoba produk Sunduk Crispy di penelitian pertama. Mahasiswa-mahasiswa tersebut diminta untuk mendeskripsikan apa yang mereka lihat dalam label dan apa yang mereka pikirkan setelah melihat label tersebut. Selanjutnya, ,mereka diminta menilai preferensi mereka akan label Sunduk Crispy, seberapa label tersebut bagus, menarik, kreatif, dan informatif dengan skala semantik diferensial 1 sampai 8. Gambar label juga disiapkan untuk dicorat-coret dan diberikan masukan. Gambar label dapat dilihat pada gambar 1. Selanjutnya, angket ditabulasi untuk kemudian dianalisis secara kualitatif.
Gambar 1. Label yang diujikan
4. HASIL & PEMBAHASAN Rata-rata partisipan menilai positif label Sunduk Crispy, baik dari hal preferensi, bagus, menarik, dan kreatif. Namun, label tersebut dirasa kurang informatif sehingga partisipan berusaha menebak-nebak bentuk ikan dan bentuk produk yang ditawarkan dengan
33
menyantumkan label tersebut. Hal ini nampak dari beberapa pernyataan partisipan seperti di bawah ini. “...tidak jelas produk apa...” “yang terpikir adalah label camilan yang tidak jelas ” sebuah makanan yang asing atau tidak pernah diketahui?” Hal ini terjadi karena partisipan memang belum pernah terpapar segala komunikasi mengenai produk Sunduk Crispy sebelumnya dan desain label dinilai oleh partisipan secara terpisah dengan kemasan dan produk Sunduk Crispy. Untuk itu, label selanjutnya direvisi dengan menambahkan background suasana laut untuk lebih menekankan bahwa produk Sunduk Crispy ini merupakan olahan ikan laut. Selanjutnya, meskipun partisipan hanya dipaparkan oleh label saja, label tersebutdinilai sudah dapat dipahami partisipan dengan baik. Hal ini terlihat dari pernyataan-pernyataan seperti di bawah ini. “sunduk crispy merupakan makanan camilan yang enak, gurih dan bergizi khas Lamongan di produksi oleh koperasi unit desa minatani kecamatan brondong. Lamongan” “merek makanan ringan yaitu " sunduk crispy" yang diproduksi di kabupaten lamongan” “sebuah label berwarna kuning, dengan tulisan " sunduk crispy " di tengah besar merupakan camilan enak, gurih, renyah, dan bergizi khas daerah LA – mongan” Hasil penelitian menunjukkan label Sunduk Crispy, yaitu jenis font seperti api memberikan kesan pedas, padahal produk Sunduk Crispy yang ditawarkan adalah rasa original, yang maksudnya tanpa tambahan rasa lainnya selain rempah-rempah dan garam. Hal ini disebabkan kesalahan pemilihan bayang-bayang (shadow) pada nama merek Sunduk Crispy. Ini diketahui dari pendapat-pendapat partisipan di bawah ini. “berdasarkan label sunduk crispy kelihatanya enak gurih dan renyah yg terbuat dari daging ikan dan keliatan pedas” “label tersebut merupakan lebel yang mendeskripsikan produk olahan mekanan yang saya sampulkan bahwa olahan makanan tersebut rasanya pedas,karena saya melihat adanya desain kobaran api” “sesuatu, camilan, yang rasanya crispy. Karena tulisan " crispy" ada efek seperti api yang menyala , kemungkinan rasanya pedas Gambar ikan sunduk dirasa partisipan terlalu kecil sehingga beberapa responden mengatakan bahwa gambar tersebut terlihat seperti udang dan kail seperti pada pendapat di bawah ini. “sunduk crispy bentuknya kayak kail pancing …” “ikan gambar tidak merepresentasikan bahan baku terlalu kecil” “gambar udang tidak jelas” “udang maksudnya apa?“
Logo KUD Minatani dinilai terlalu besar sehingga tampak mendominasi seperti yang disampaikan partisipan berikut ini. “label koperasi terlalu besar” “mungkin bisa diperkecil lagi logo koperasinya” “logo koperasi terlalu besar dan menyerupai ukuran font merk” Hasil penelitian tersebut selanjutnya digunakan untuk merevisi desain label untuk produk Sunduk Crispy seperti yang dapat dilihat pada gambar 2. Label tersebut digunakan untuk pengembangan produk olahan ikan sunduk di Lamongan di tahun kedua untuk perluasan pasar ke Surabaya dan Sidoarjo. Selain untuk penelitian, label tersebut juga digunakan untuk memasarkan produk Sunduk Crispy di Surabaya dan Sidoarjo sejak 2016. Label tersebut ditempelkan pada sebuah wadah aluminium foil dengan plastik transparan di bagian depan sehingga produk dapat dilihat di luar kemasan. Kemasan dipres sehingga kedap udara dan membuat produk tahan lebih lama seperti yang terlihat pada gambar 3. Penelitian ini hanya terbatas pada satu jenis label saja, yaitu label Sunduk Crispy yang sudah dipasarkan di 2015. Penelitian selanjutnya dapat dilakukan dengan membandingkan beragam jenis label untuk mendapat analisis label yang lebih optimal dan sesuai dengan yang disukai pasar. Penelitian selanjutnya juga dapat dilakukan secara bertahap untuk mendapatkan label yang lebih sempurna.
Gambar 2. Label yang telah direvisi sesuai hasil penelitian
34
[14]. N. Imram, (1999). The role of visual cues in consumer perception and acceptance of a food product, Nutr. Food Sci., vol. 5, pp. 224–8. [15]. T. Vakratsas, D. and Ambler, (1999). How advertising works: what do we really know?, J. Mark., vol. 63, pp. 26–43. [16]. J. Z. Grossman, R.P. and Wisenblit, (1999). What we know about consumers’ colour choices, J. Mark. Pract. Appl. Mark. Sci., vol. 5, pp. 78–88. [17]. B. Kupiec, B. and Revell, (2001). Measuring consumer quality judgments, Br. Food J., vol. 103, no. 1, pp. 7–22.
Gambar 3 Produk Sunduk Crispy yang sudah dikemas dan dilabeli
5. DAFTAR PUSTAKA [1]. Republika, (2013). UMKM Serap 97 Persen Tenaga Kerja Di Indonesia, Republika.co.id, 03-Jul-2013. [2]. C. Nancarrow, L. T. Wright, and I. Brace, (1998). Gaining competitive advantage from packaging and labelling in marketing communications, Br. Food J., vol. 100, no. 2, pp. 110–118. [3]. P. Silayoi and M. Speece, (2007). The importance of packaging attributes: a conjoint analysis approach, Eur. J. Mark., vol. 41, no. 11/12, pp. 1495–1517, Nov. [4]. R. Rettie and C. Brewer, “The verbal and visual components of package design,” J. Prod. Brand Manag., vol. 9, no. 1, pp. 56–70, 2000.
[18]. P. Raghubir and A. Krishna, (1999). Vital dimensions in volume perception: can the eye fool the stomach?, J. Mark. Res., vol. 36, no. 3, pp. 313–26. [19]. N. S. Coulson, (2000). An application of the stages of change model to consumer use of food labels, Br. Food J., vol. 102, no. 9, pp. 661–8. [20]. V. W. Mitchell and V. Papavassiliou, (1999). Marketing causes and implications of consumer confusion, J. Prod. Brand Manag., vol. 8, no. 4, pp. 319–39. [21]. J. D. Rembeth, (2011). Silabus IMC, pp. 14–16. [22]. J. Surjanti, D. A. Nuswantara, and R. D. S.Y.Mende, (2015). Pengembangan Rintisan Produk Unggulan Daerah Melalui Pendampingan Kelompok Bisnis Makanan Berbahan Dasar Ikan Di Kabupaten Lamongan.
[5]. A. Connolly and L. Davidson, (1996). How does design affect decisions at point of sale?, J. Brand Manag., vol. 4, no. 2, pp. 100–7. [6]. J. B. Lord, (2000). New product failure and success, Developing New Food Products for a Changing Marketplace, pp. 55–86. [7]. M. Silayoi, O. and Speece, (2004). Packaging and purchase decisions. an exploratory study on the impact of involvement level and time pressure, Br. Food J., vol. 106, no. 8, pp. 607–628. [8]. R. Coles, Introduction, (2003). Food Packa. Blackwell Publishing Ltd. [9]. R. S. Cooper, (2014). The Assessment and Collection of Kharāj Tax in Medieval Egypt, J. Am. Orient. Soc., vol. 120, no. 3, pp. 377–382. [10]. A. Ahmed, A., Ahmed, N. and Salaman, (2005). Critical issues in packaged food business, Br. Food J., vol. 107, no. 10, pp. 760–780. [11]. N. Ampuero, O. and Vila, (2006). Consumer perceptions of product packaging, J. Consum. Mark., vol. 23, no. 2, pp. 100–112. [12]. H. Deliza, R. and MacFie, (2001). Product packaging and branding in A European Perspective of Consumers, Food Choices, Springer, 2001, pp. 55– 74. [13]. R. R. Underwood, R.L., Klein, N.M. and Burke, (2001). Packaging communication: attentional effects of product imagery, J. Prod. Brand Manag., vol. 10, no. 7, pp. 403–22.
35
36
Eksplorasi Kolaborasi Antar UKM dalam Membangun Toko Online Bersama Sri Setyo Iriani1*), Sanaji2, Hujjatullah Fazlurrahman 3 1
Jurusan Manajemen Universitas Negeri Surabaya, Surabaya. E-mail:
[email protected] 2 Jurusan Universitas Negeri Surabaya, Surabaya. E-mail:
[email protected] 3 Jurusan Manajemen Universitas Negeri Surabaya, Surabaya. E-mail:
[email protected] *) Alamat Korespondesi: Email:
[email protected] ABSTRACT SMEs play a strategic role in economic development, but they face many inhibited to market its products. The emerging of internet technology, especially online store, is expected can reduce the inhibited, but it is still unclear how the online store model that effective for SMEs. This article aims to model the adoption process online store by members of the cooperative untill the early initial implementation phase. A qualitative approach was used to collect data, including observation, interviews, and documentation. Based on the results of data analysis shown that (1) the close relationship between members strengthen collaboration in building co-online store; (2) the presence of leaders strengthen the commitment collaboration; (3) lack of knowledge and technical skills are still a inhibition to implement co-online stores, and (4) the variaty of products offered by members in co-online store adds the complexity to design and promote products. The latest issue that inhibit co-online store implementation include governance aspects. In this issue, institution needs to formulate a business relationship with SMEs members in concrete manner to provide certainty of rights and responsibilities among SMEs, cooperatives, web administrators, and consumers. Key Words: online store adoption, SMEs, collaboration ABSTRAK UKM memiliki peran strategis dalam pembangunan ekonomi, tetapi dinilai menghadapi kendala-kendala dalam memasarkan produk-produknya. Kehadiran internet, terutama toko online, berpotensi mengurangi kendala pemasaran produk-produk UKM, tetapi masih belum dapat dipastikan bagaimana model penerapan toko online yang efektif bagi UKM. Artikel ini bertujuan memodelkan proses adopsi toko online oleh anggota koperasi hingga tahap implementasi awal. Pendekatan kualitatif digunakan untuk mengumpulkan data, meliputi observasi, wawancara, dan dokumentasi. Berdasarkan hasil analisis data diketahui bahwa (1) kedekatan hubungan antar anggota memperkuat kolaborasi dalam mewujudkan toko online bersama; (2) kehadiran pemimpin untuk kolaborasi memperkuat komitmen berkolaborasi; (3) keterbatasan pengetahuan dan ketrampilan teknis masih menjadi kendala dalam penerapan toko online, dan (4) keberagaman produk yang ditawarkan anggota pada toko online menambah kompleksitas dalam desain toko online dan pemilihan program promosi toko online dan produk di toko online. Selain itu dari aspek kelembagaan pengelola perlu dirumuskan hubungan bisnis dengan UKM anggota secara konkrit untuk memberi kepastian hak dan kewajiban antar UKM, koperasi, administrator web, dan konsumen. Kata kunci: adopsi toko online, UKM, kolaborasi 1. PENDAHULUAN Usaha kecil dan menengah (UKM) memiliki peran strategis bagi perekonomian Indonesia, dan telah lama terbukti sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi nasional sebuah Negara[1][2]. Oleh sebab itu pengembangan UKM menjadi sangat penting walaupun masih banyak menghadapi kendala dalam memasarkan produk-produknya. Hal ini disebabkan banyaknya keterbatasan yang dimiliki para pelaku UKM antara lain keterbatasan modal, pengetahuan, standartisasi produk, manajemen yang masih konvensional serta sulitnya menghadapi perubahan lingkungan. Mengingat tuntutan global saat ini tidak bisa dihindari lagi bahwa pera pelaku UKM harus mulai beradaptasi memanfaatkan teknologi dalam
mendukung kegiatan operasionalnya. Oleh sebab itu, kehadiran teknologi internet memungkinkan UKM untuk mengembangkan cara pemasaranya dengan merancang toko online (online store) secara mandiri, yang dapat memperluas pangsa pasarnya. Namun demikian, keterbatasan sumber daya, maka pembuatan toko online mandiri akan memberatkan UKM, sehingga harus berkolaborasi dengan sesama UKM yang dimungkinkan dapat membantu UKM dalam merealisasikan pendirian toko online yang dikelola secara bersama. Dilandasi pada teori adopsi inovasi dari Rogers[3] yang menjelaskan bahwa adopsi inovasi merupakan serangkaian tahapan penerimaan awal terhadap suatu objek (inovasi: ide/gagasan yang dianggap baru) hingga kemudian diterapkan dan digunakan. Maka
37
konsep toko online bagi UKM ini dipandang sebagai suatu inovasi, sehingga artikel ini bertujuan memodelkan proses adopsi toko online oleh UKM anggota koperasi pengrajin Sidoarjo (Kapersi) hingga tahap implementasi awal. Pembahasan difokuskan pada proses pengambilan keputusan adopsi dan kendala yang dihadapi dalam imlplementasi di tahap awal. 2. KAJIAN PUSTAKA 2.1 Keputusan adopsi inovasi toko online Toko online merupakan bentuk toko dalam dunia maya yang difasilitasi oleh internet. Meskipun UKM telah banyak yang memanfaatkan teknologi internet, misal email, browsing, dan media sosial (facebook, twitter, instagram), akan tetapi bagi sebagian UKM, menjual produk melalui toko online masih merupakan hal baru. Toko online merupakan inovasi dalam keputusan saluran distribusi, karena praktek sebelumnya dalam pemasaran adalah menggunakan cara konvensional, yaitu menjual produk secara offline. Inovasi merupakan gagasan, tindakan atau barang yang dianggap baru oleh seseorang[3]. Terdapat tiga jenis keputusan adopsi inovasi, yaitu keputusan opsional, keputusan otoritas, dan keputusan kolektif[3]. Keputusan menggunakan toko online bersama termasuk jenis keputusan kolektif, yaitu keputusan yang diambil secara konsensus dari berbagai unit pengambil keputusan. Terkait model inovasi toko online, Viera dan Claycomb[4] mengklasifikasikan menjadi lima model, yaitu: (1) satu penjual ke banyak pembeli, (2) banyak penjual ke satu agregator (intermediary) ke banyak pembeli, (3) satu penjual ke satu broker ke banyak pembeli, (4) banyak penjual ke satu pembeli, dan (5) banyak penjual ke banyak pembeli. Kelima model tampak pada Gambar 1.
pilihan. Pada model 2, beberapa penjual tergabung dalam satu situs yang umumnya dikelola perusahaan independen atau site commerce sebagai perantara untuk memasarkan produknya ke banyak pembeli. Keputusan adopsi inovasi berlangsung melalui lima tahap, yaitu knowledge, persuasion, decision, implementation, dan confirmation[3]. Tahap knowledge adalah tahap pengenalan atau kesadaran adanya inovasi. Rogers menekankan terbentuknya awareness terhadap inovasi, sebagai tahap awal adopsi. Tahap kedua persuassion, yaitu tahap pembentukan sikap (attitude) terhadap inovasi. Pada tahap ini adopter melakukan penilaian/persepsi terhadap karakteristik inovasi. Rogers mengikhtisarkan lima karakteristik inovasi menurut persepsi adopter yang mempengaruhi kecepatan adopsi, yaitu: keuntungan relatif (relative advantage), kompatibilitas (compatibility), kompleksitas (complexity), trialability, dan observability. Tahap ketiga keputusan, yaitu tahap memutuskan menerima atau menolak inovasi. Tahap keempat adalah implementasi, yaitu ketika inovasi mulai digunakan. Implementasi merupakan tahap yang paling kritis dalam proses adopsi, karena baru pada tahap inilah adopter benar-benar dapat mengevaluasi secara nyata. Tahap terakhir adopsi adalah konfirmasi. Pada tahap ini seseorang mencari penguat bagi keputusan inovasi yang telah dibuatnya, apakah sesuai dengan tujuan awal mengadopsi inovasi, yaitu memperoleh manfaat fungsional dari penggunaan inovasi. Dari Gambar 2, tampak ada 4 kemungkinan perilaku adopter ketika melakukan konfirmasi. Adopter dapat merubah keputusannya jika ia memperoleh informasi yang bertentangan. Jika hasil evaluasi inovasi sesuai dengan harapan awal, adopter akan meneruskan menggunakannya, atau jika tidak sesuai, adopter mungkin menghentikan. Antecedent
Process
Consequence
Communication Channels Prior Conditions 1. Previous Practice 2. Felt needs/ problems 3. Innovativeness 4. Norms of the social systems
Knowledge
Persuasion
Decision
Implementation
1. Adoption Characteristics of the DecisionMaking Unit 1. Socioeconomic Characteristics 2. Personality variables 3. Communication behaviour
Perceived Characteristics of the Innovation 1. Relative advantage 2. Compatibility 3. Complexity 4. Trialability 5. Observability
Confirmation
Continued adoption Later adoption Discontinuance
2. Rejection
Continued rejection
Gambar 2. Model Keputusan Adopsi Inovasi Gambar 1. Model toko online
Model 1 (satu penjual ke banyak pembeli) dan model 2 (banyak penjual ke satu agregator ke banyak pembeli), merupakan model yang paling banyak diaplikasikan. Pada model satu, toko online dikelola mandiri oleh satu perusahaan, dan pada model dua terdapat agregator yang dapat berperan sebagai perantara bagi penjual untuk melayani banyak pembeli. Bagi UKM yang kurang memiliki dukungan sumber daya memadai, maka model 2 banyak menjadi
Berbeda dengan keputusan individual atau sukarela, pada keputusan kolektif, unit yang terlibat dalam pengambilan keputusan jumlahnya relatif banyak. Masing-masing memiliki karakteristik bisnis berbeda dalam hal produk, pasar, dan strategi yang dijalankan. Oleh karena itu, keputusan kolektif bersifat lebih kompleks. Berbeda dengan keputusan individual atau sukarela, pada keputusan kolektif, unit yang terlibat dalam pengambilan keputusan jumlahnya relatif banyak. Masing-masing memiliki karakteristik bisnis berbeda dalam hal produk, pasar, dan strategi
38
yang dijalankan. Oleh karena itu, keputusan kolektif bersifat lebih kompleks. Pada konteks keputusan menggunakan toko online bersama, keputusan ini dapat dianalogikan dengan suatu bentuk kerjasama atau kemitraan bisnis antar perusahaan dalam hal memasarkan dan saluran distribusi. Beberapa faktor turut mempengaruhi pembentukan kemitraan, yaitu keikatan (embeddedness) lingkungan, keikatan antar organisasi, dan keikatan dyadik[5]. Ketiga unsur memperkuat terbentuknya kolaborasi antar perusahaan. Keikatan lingkungan terkait dengan keiikatan para partisipan dalam menghadapi tantangan lingkungan bisnis, keikatan antar organisasi terjalin karena para partisipan telah memiliki hubungan bisnis sebelumnya, dan keikatan dyadik terkait dengan intensitas interaksi antar perusahaan. Dalam perspektif strategis, kolaborasi antar perusahaan tersebut bertujuan meminimalkan biaya transaksi memaksimalkan nilai transaksi[6]. Menurut teori biaya transaksi (transaction cost theory), setiap pertukaran memerlukan biaya, dan biaya akan semakin besar jika frekuensi transaksi semakin tinggi sementara volume transaksi rendah. Hal ini bisa direduksi dengan cara menggabungkan berbagai macam transaksi dalam satu transaksi. 3. METODOLOGI Artikel ini disusun berdasarkan pelaksanaan kegiatan pengabdian kepada masyarakat dalam skema KKN-PPM 2016 kepada 13 UKM anggota Kapersi yang bertujuan meningkatkan kemampuan dan keterampilan UKM anggota Kapersi mengaplikasikan electronic marketing (e-marketing). Sesuai skema program, kegiatan ini melibatkan 37 mahasiswa dari Fakultas Ekonomi yang sebelumnya telah dilatih dalam manajemen content web toko online dan promosi web di media sosial. Selama pelaksanaan kegiatan, mahasiswa melakukan asistensi dan pendampingan kepada UKM dengan bimbingan dosen, serta dilengkapi formulir pengumpul data untuk laporan progres yang kemudian divalidasi oleh dosen dalam monitoring dan evaluasi. Secara keseluruhan kegiatan tersebut dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut: (1) pemilihan target atau kasus, yaitu Kapersi dan anggotaanggotanya melalui pendekatan informal kepada pengurus dan dilanjutkan secara formal; (2) sosialisasi program, yaiu penjelasan tentang apa saja kegiatan yang akan dilaksanakan dan target yang ingin dicapai, (3) dua kali workshop internet marketing kepada mahasiswa dan UKM, (4) focus group disscussion pemilihan desain dan jenis toko online dengan UKM, (5) merancang toko online dan content web, (6) implementasi, dan (7) monitoring dan evaluasi. Catatan-catatan pengamatan (observasi) dan diskusi selama pelaksanaan kegiatan tersebut dijadikan sebagai instrumen pengumpul data utama didukung dengan wawancara kepada UKM peserta.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Profile Kapersi dan Toko Online Koperasi Pengrajin Sidoarjo (Kapersi) dibentuk tahun 2009 oleh para pengrajin/UKM yang bergerak dalam berbagai bisnis, seperti fashion, asesoris, makanan, alat peraga pendidikan, dan kaligrafi. Kapersi beranggotakan 20 UKM dan 13 UKM bersedia mengikuti program KKN-PPM seperti terangkum pada tabel di bawah ini. Tabel 1. Profil sektor usaha UKM No 1
5
UKM Imutz Collection Raddin Handycraft Joyo Meil Collection Adha store/ Sofia Food Alya Handmade
6
Nadee Pernique
2 3 4
7 8
Sumber Relief Kaligrafi Soris Handicraft Fleam Shop
9 UD. Srikandi 10 11 12 13
UD. Hikmah Omira Brownies Batik Namiroh Griya Annisa
Produk Aksesoris fashion, bross Tas rajut dan bordir Aksesoris, tempat tissu, sarung bantal kursi Alat peraga edukasi / Teri balado, ayam crispy Tudung saji, toples kue Baju lukis , sepatu bordir, dompet lukis , dan tas lukis Kaligrafi timbul dari fiber Aksessoris handmade Baju, busana muslim, jilbab, mukena, sepatu, tas, dan dompet. Tahu bulat, keripik tahu, kremesan tahu Sepatu bordir Brownies dan kue kering Batik tulis khas sidoarjo Baju bordir dan kerudung bordir
Sebagian besar anggota Kapersi adalah pengusaha perempuan. Ide membentuk koperasi diawali oleh kesadaran bersama untuk saling berbagi informasi, kerjasama, dan memperkuat daya tawar dalam melakukan bisnis. Seperti dituturkan oleh ketua Kapersi, Ibu Dwi Mei Lisianawati, mereka saling berhubungan karena mengikuti kegiatan pameran bersama di berbagai kota, baik dilakukan atas inisiatif sendiri ataupun difasilitasi oleh Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Kabupaten Sidoarjo, baik yang terkait dengan pelatihan Manajemen maupun ketrampilan produk. Untuk memperluas pasar produk anggota, diinisiasi penggunaan e-marketing yang difasilitasi oleh fasilitasi tim dosen FE Unesa. E-Marketing diwujudkan dalam toko online yang beralamat di www.geraikapersi.com. Toko online ini dirancang menggunakan templete marketica dari Wordpress, yang mudah diaplikasikan dan memberikan menu lengkap untuk membuat profile UKM, display produk, update teks dan gambar, kotak pemesanan, dan konfirmasi pembayaran.
39
Ketua Kapersi berperan penting sebagai acuan pendapat dan jembatan informasi antar anggota. Meskipun, tidak tampak menonjol sebagai pioner dalam penggunaan teknologi internet, akan tetapi posisinya sebagai ketua Kapersi dapat mengarahkan anggota-anggotanya bahwa penggunaan toko online bersama adalah usaha untuk mencapai kemajuan bersama para anggota ke depan.
Gambar 3. Toko Online www.geraikapersi.com
4.2 Keputusan adopsi toko online bersama Keputusan yang terkait dengan adopsi toko online meliputi model toko online dan nama toko. Dua alternatif yang dikembangkan dalam memilih model toko online, yaitu toko online bersama dan toko online untuk setiap UKM. Toko online bersama memerlukan satu alamat web dan toko online individu menggunakan alamat sejumlah UKM. Para anggota berdiskusi untuk menentukan model apa yang dipilih dan selanjutnya diputuskan menggunakan model toko online bersama. Ada dua alasan utama keputusan ini, yaitu (1) menjaga kebersamaan antar anggota yang telah terjalin sebelumnya dan (2) efektifitas pengelolaan. Seperti disampaikan oleh Ibu Namiroh yang memiliki usaha batik tulis dan anggota tertua, “karena kita berangkat dari koperasi, maka sebaiknya toko ini kita buat untuk semua anggota”. Pilihan ini didukung oleh ketua koperasi dan anggota lainnya. Proses pengambilan keputusan berlangsung tidak terlalu lama, yaitu dalam satu kali rapat. Alasan kedua adalah efektifitas pengelolaan. Hal ini didasari oleh pengakuan bahwa para anggota memiliki keterbatasan keterampilan dan waktu jika harus mengelola sendiri toko online. Temuan bahwa para UKM memilih model toko online bersama mengindikasikan bahwa kedekatan hubungan antar anggota yang telah terbentuk sebelumnya turut mempengaruhi adopsi inovasi toko online. Antar anggota sudah terbentuk rasa saling percaya yang turut mempermudah terbentuknya kolaborasi antar perusahaan dalam membangun toko online bersama. Rasa saling percaya (trust) merupakan modal sosial penting dalam kolaborasi antar perusahaan untuk membangun kerjasama penggunaan teknologi informasi[7]. Lebih lanjut, pemilihan toko online bersama dengan alasan kemudahan dalam aspek pengelolaan juga selaras dengan tujuan mereduksi biaya transaksi[5], meliputi biaya set-up awal manajemen toko dan transaksi dengan pihak pembeli. Temuan ini sesuai dengan teori dari Rogers[3] yang menjelaskan bahwa proses adopsi inovasi akan akan sangat dipengaruhi oleh kedekatan komunikasi interpersonal. Sehingga bangunan inovasi yang diputuskan secara bersama dalam anggota kapersi dapat mempercepat proses adopsi. Dalam proses pengambilan keputusan, kepemimpinan kelompok tampak sangat mempengaruhi kecepatan pengambilan keputusan.
4.3 Kendala dalam adopsi toko online bersama Meskipun proses pengambilan keputusan adopsi berlangsung relatif cepat, akan tetapi dalam realisasinya ditemui hambatan-hambatan. Dua hambatan utama adalah keterbatasan pengetahuan dan ketrampilan teknis, dan yang kedua keberagaman produk yang ditawarkan anggota. Temuan ini mendukung hasil penelitian dari Stroeken dan Coumans[8] yang menjelaskan bahwa para pelaku UKM memiliki kemampuan dan keinginan yang rendah dalam adopsi inovasi yang dirasa sangat kompleks. Walaupun sebagian dari para UKM sebenarnya sudah terbiasa dalam media sosial, tetapi khusus untuk implementasi toko online masih menemui banyak kesulitan, dalam hal pengisian konten toko, misal membuat katalog produk. Pembuatan katalog produk memerlukan keterampilan dalam pengambilan dan pemilihan gambar foto produk, membuat deskripsi produk dan display di laman toko. Ditambah dengan kesulitan memilih produk apa yang akan ditampilkan, keterbatasan tersebut menghambat proses pembuatan toko online. Keberagaman produk antar UKM (Tabel 1) juga menjadi penghambat desain toko online, karena menambah kompleksitas dalam desain toko online dan pemilihan program promosi toko online dan produk di toko online. Kendala pengetahuan dan ketrampilan teknis tersebut di atas terkait dengan kesiapan teknologis (technology readiness) yang harus dimiliki UKM ketika akan memutuskan dan mengimplementasikan toko online[9]. Kesiapan teknologi ini menjadi modal penting bagi UKM dalam dalam berkolaborasi untuk memanfaatkan teknologi informasi[10]. Problem berikutnya yang masih menjadi kendala dalam implementasi toko online bersama adalah terkait kelembagaan pengelola. Keputusan sudah diambil bahwa model toko online yang dipilih adalah toko online bersama yang melayani semua pembeli. Untuk dapat menjalankan toko online bersama ini masih diperlukan bagaimana model pengelolaannya, bagaimana hubungan bisnis antar UKM dalam toko online, investasi biaya operasional yang diperlukan, serta kepastian hak dan kewajiban antar UKM, koperasi, administrator web, dan konsumen. 4.4 Model Keputusan Adopsi Toko Online Bersama Berdasarkan hasil pengamatan untuk mengeksplorasi adopsi toko online bagi UKM anggota Kapersi diperoleh pemahaman yang diilustrasikan pada model Gambar 4.
40
Kedekatan hubungan antar UKM
Variasi produk
Kolaborasi pembentukan toko online bersama
Kepemimpinan antar UKM
Keberhasilan implementasi
Kejelasan tata kelola toko online bersama
Sumber daya dan kompetensi UKM
Gambar 4. Model Keputusan Adopsi dan Implementasi Toko Online Bersama
Pada tahap keputusan kedekatan hubungan antar anggota dan kepemimpinan kelompok mempermudah dan memperkuat kolaborasi antar UKM dalam mewujudkan toko online bersama. Selanjutnya, pada tahap implementasi keterbatasan pengetahuan dan ketrampilan teknis menjadi kendala dalam penerapan toko online, dan keberagaman produk yang ditawarkan anggota pada toko online menambah kompleksitas dalam desain toko online dan pemilihan program promosi toko online dan produk di toko online. Lebih lanjut, aspek kelembagaan pengelola yang masih belum dapat dirumuskan kepastiannya juga menjadi kendala dalam implementasi toko online bersama. Beberapa faktor tersebut akan ikut mempengaruhi keberhasilan penggunaan toko online yang bertujuan meningkatkan penjualan UKM anggota Kapersi. 5. SIMPULAN DAN SARAN Dari hasil kegiatan KKN PPM Unesa yang bertujuan membangun Toko Online secara bersama dari UKM anggota Kapersi dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Apada tahap keputusan, kedekatan hubungan antar anggota dan kepemimpinan kelompok mempermudah dan memperkuat kolaborasi antar UKM dalam mewujudkan toko online bersama. 2. Pada tahap implementasi keterbatasan pengetahuan dan ketrampilan teknis menjadi kendala dalam penerapan toko online. 3. Kelembagaan pengelola yang masih belum dapat dirumuskan kepastiannya juga menjadi kendala dalam implementasi toko online bersama. Dalam meningktakan daya saing UKM melalui pemanfaatan IT maka diperlukan adanaya : 1. Pendampingan yang optimal kepada para UKM dari lembaga pemerintah dalam hal ini Dinas Koperasi dan UMKM serta Perguruan Tinggi melalui kegiatan Tridharma Perguruan Tinggi. 2. Komunikasi interpersonal dari para anggota UKM untuk saling berbagi ilmu sebagai wujud pendampingan tutor sebaya.
6. DAFTAR PUSTAKA [1] M. R. Akhtar, (1997). Partnership financing of microenterprises. International Journal of Social Economics, 24(12), 1470-1480. [2] T. Mazzarol, T. Volery, N. Doss, and V. Thein, (1999). Factors influencing small business start-ups: a comparison with previous research. International Journal of Entrepreneurial Behavior & Research, Vol. 5, No. 2, 48-63. [3] E. Rogers, (2003). Diffusion of Innovation, 5th Edition, New York: The Free Press. [4] P. B. Vieyra and C. Claycomb, (2001). Businessto-Business E-commerce: Models and Managerial Decisions, Business Horizon, MayJune 2001, 13-20. [5] J. Hagedoorn, (2006). Understanding the crosslevel embeddedness of interfirm partnership formation. Academy Of Management Review, Vol. 31, No. 3, 670-680. [6] J. H. Dyer, (1997). Effective interfirm collaboration: how firms minimize transaction costs and maximize transaction value. Strategic Management Journal, Vol. 18, No. 7, 535-556. [7] F. T. Chan, A. Y. L. Chong, and L. Zhou, (2012). An empirical investigation of factors affecting e-collaboration diffusion in SMEs. International Journal of Production Economics, Vol. 138, No. 2, 329-344. [8] J. Stroeken and J. Coumans, (1998). The actual and potential use of information technology in small and medium sized enterprises. Prometheus, Vol. 16, No. 4, 469483. [9] R. Rahayu and J. Day, (2015). Determinant Factors of E-commerce Adoption by SMEs in Developing Country: Evidence from Indonesia. Procedia-Social and Behavioral Sciences, Vol. 195, 142-150. [10] L. Raymond and F. Bergeron, (2008). Enabling the business strategy of SMEs through ebusiness capabilities: A strategic alignment perspective. Industrial Management & Data Systems, Vol. 108, No. 5, 577-595.
41
42
Upaya Peningkatan Ketrampilan Pembuatan Sabun Detergen dan Laporan Keuangan Sederhana Melalui IPTEK Bagi Wirausaha Jasa Laundry di Sidoarjo Susanti1*), Joni Susilowibowo2, Atik Wintarti3 1
Jurusan Pendidikan Ekonomi Fakultas Ekonomi, UNESA, Surabaya. E-mail:
[email protected] Jurusan Pendidikan Ekonomi Fakultas Ekonomi, UNESA, Surabaya,
[email protected] 3 Jurusan Pendidikan Ekonomi Fakultas Ekonomi, UNESA, Surabaya,
[email protected] *) Alamat Korespondesi: Email:
[email protected]
2
ABSTRACT Laundry service business is growing in every place both in large cities as well as in the village. As with the laundry business in general, laundry service business which is located in the village of the District Tropodo Waru Sidoarjo regency also has had consumer service users from all walks of life. However, based on interviews with some of the entrepreneurial researchers such services, there are problems of raw material needs and financial reporting. Therefore, in this research study aims to determine: (1). The training through science and technology manufacture of detergent and simple financial statements for entrepreneurs laundry services, (2). The results of science and technology training through the manufacture of detergent and simple financial statements for entrepreneurs laundry services, and (3). Response entrepreneurs laundry services with the training of science and technology manufacture of detergent and simple financial statements in Sidoarjo. Using descriptive qualitative research methods. Data were analyzed using observation, documentation and questionnaire responses entrepreneurs. The conclusion of this study were (1). The training through science and technology manufacture of detergent and simple financial statements for entrepreneurs laundry services with excellent category (2). The results of science and technology training through the manufacture of detergent and simple financial statements for entrepreneurs laundry services with excellent category, and (3). Response entrepreneurs laundry services with the training of science and technology manufacture of detergent and simple financial statements in Sidoarjo very positive. Key words: skill, detergent, financial statements, laundry entrepreneurship ABSTRAK Usaha jasa laundry semakin berkembang disetiap tempat baik di kota besar maupun di desa. Sebagaimana dengan usaha laundry pada umumnya, usaha jasa laundry yang beralamat di Desa Tropodo Kecamatan Waru Kabupaten Sidoarjo juga telah mempunyai konsumen pengguna jasa dari berbagai kalangan. Namun demikian, berdasarkan hasil wawancara peneliti bersama beberapa wirausaha jasa tersebut, terdapat permasalahan kebutuhan bahan baku dan pembuatan laporan keuangan. Oleh karena itu, studi dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1). Pelaksanaan pelatihan melalui IPTEK pembuatan sabun detergen dan laporan keuangan sederhana bagi wirausaha jasa laundry, (2). Hasil pelatihan melalui IPTEK pembuatan sabun detergen dan laporan keuangan sederhana bagi wirausaha jasa laundry, dan (3). Respon para wirausaha jasa laundry dengan adanya pelatihan IPTEK pembuatan sabun detergen dan laporan keuangan sederhana di Sidoarjo. Metode penelitian menggunakan deskriptif kualitatif. Teknik analisis data menggunakan pengamatan, dokumentasi dan angket respon wirausaha. Kesimpulan dari penelitian ini adalah (1). Pelaksanaan pelatihan melalui IPTEK pembuatan sabun detergen dan laporan keuangan sederhana bagi wirausaha jasa laundry dengan kategori sangat baik (2). Hasil pelatihan melalui IPTEK pembuatan sabun detergen dan laporan keuangan sederhana bagi wirausaha jasa laundry dengan kategori sangat baik, dan (3). Respon para wirausaha jasa laundry dengan adanya pelatihan IPTEK pembuatan sabun detergen dan laporan keuangan sederhana di Sidoarjo sangat positif. Kata Kunci: ketrampilan, sabun detergen, laporan keuangan, wirausaha laundry 1. PENDAHULUAN Saat ini usaha jasa laundry semakin berkembang di setiap tempat mulai dari kota besar sampai di desa. Usaha ini menjamur di berbagai tempat yang banyak terdapat rumah kos, kontrakan, dimana penyewa kos atau kontrak tidak sempat untuk mencuci dan setrika baju sendiri dikarenakan kesibukan mereka. Bahkan saat ini tidak hanya anak kos (anak sekolah, mahasiswa dan pekerja) tetapi ibu
rumah tangga pun saat ini juga beralih menggunakan jasa laundry untuk mencuci baju mereka. Banyak diantara mereka lebih memilih untuk melakukan cara instan dan cepat untuk membantu aktivitas bekerja. Selain itu usaha laundry ini memiliki berbagai pelayanan yang dibutuhkan oleh semua pihak diantaranya cuci basah, cuci kering, cuci setrika, bisa memilih aroma detergen pengharum sendiri dan dengan harga yang relative dapat dijangkau berbagai
43
kalangan. Harga yang ditawarkan pun bervariasi mulai dari harga per potong pakaian dan ada pula dengan pembayaran berdasarkan hitungan kilogram (bukan perpotong pakaian). Usaha ini banyak diminati oleh pelanggan apalagi pada saat musim penghujan. Selain itu, karena berkembangnya aneka model busana dengan pernak-pernik yang beragam dan sulit untuk dilakukan pencucian maka solusi yang dilakukan ketika para wanita tidak bisa mencuci adalah dengan cara memanfaatkan jasa laundry. Usaha laundry masuk dalam jenis perusahaan yang bergerak dibidang jasa. Perusahaan jasa adalah perusahaan yang memberikan pelayanan berupa jasa[1]. Perusahaan ini tidak menjual beli barang dan tidak mengubah bentuk barang. Pencatatan laporan keuangan pada perusahaan jasa lebih mudah daripada perusahaan dagang dan manufaktur. Di dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK), laporan keuangan perusahaan jasa, dagang dan manufaktur terdiri dari laporan laba rugi, laporan perubahan ekuitas, laporan posisi keuangan, laporan arus kas dan catatan atas laporan keuangan[2]. Umumnya, jasa laundry merupakan usaha rumahan sehingga pengelolaan pencatatan keuangan dilakukan secara manual dan sederhana. Kegiatan pencatatan keuangan yang dilakukan setiap harinya adalah ketika ada konsumen datang, maka dibagian penerimaan/ kasir akan membuatkan nota penyerahan secara manual. Banyak diantara mereka yang hanya menghitung untung rugi berdasarkan hasil nota laundry dan tidak dilanjutkan pencatatan dalam sebuah laporan keuangan. Sehingga dalam hal ini para wirausaha tidak mempunyai catatan laba rugi, perubahan modal, dan neraca/laporan posisi keuangan yang seharusnya digunakan untuk mengambil keputusan perkembangan usaha laundry pada periode berikutnya. Alasan kebanyakan wirausaha laundry tidak membuat laporan keuangan adalah karena mereka tidak memahami cara membuat laporan keuangan, dan tidak mengetahui apa manfaat yang didapatkan dengan membuat laporan keuangan. Kesadaran dalam membuat laporan keuangan sangat rendah. Kondisi rendahnya kesadaran para wirausaha jasa laundry dalam membuat laporan keuangan adalah karena tingkat pendidikan yang rendah. Hal ini dibuktikan dari hasil wawancara tim PKM bersama beberapa wirausaha jasa Laundry yang beralamat di Kecamatan Waru Sidoarjo pada tanggal 13 Maret 2015 sampai dengan 14 Maret 2015. Pada umumnya, para wirausaha jasa laundry mengalami permasalahan yang sama. Banyak diantara wirausaha laundry disana yang tidak membuat laporan keuangan dan tidak memahami cara membuat laporan keuangan. Fenomena ini menjadikan masalah kepada para wirausaha laundry, jika tidak dilakukan sosialisasi tentang manfaat dan cara pembuatan laporan keuangan, maka para wirausaha akan kebingungan dalam mengetahui pengeluaran dan penerimaan yang seharusnya terjadi, tidak mengetahui untung rugi, pendapatan, beban-
beban yang terjadi, jumlah kenaikan atau penurunan modal, aset dan liabilitas perusahaan. Di Kecamatan Waru Sidoarjo terdapat sekitar 47 wirausaha jasa Laundry. Dari segi aspek manajemen, usaha bisnis wirausaha jasa laundry di kecamatan Waru Sidoarjo ini umumnya merupakan usaha rumah tangga. Usaha ini masih belum menerapkan prinsip-prinsip manajemen yang baik. Hal ini dibuktikan dengan hasil wawancara dengan mitra bahwa dalam hal pengelolaan keuangan usaha, belum melaksanakan pembuatan laporan keuangan secara benar dan rutin. Bahkan terkadang membuat dan terkadang tidak membuat laporan keuangan. Ketika membuat laporan keuangan pun, sistem pencatatan tidak jelas. Sebagai contohnya adalah keuangan usaha jasa laundry dengan keuangan pribadi pemilik masih digabungkan menjadi satu. Mereka belum mengerti bagaimana cara membuat laporan keuangan. Selain terdapat permasalahan dalam hal pencatatan laporan keuangan, para wirausaha Laundry di Kecamatan Waru Sidoarjo juga mengalami permasalahan lain dalam melangsungkan usaha mereka. Setiap bulan, dilihat dari kebutuhan rutin usaha jasa laundry ini memiliki kebutuhan bahan baku, kebutuhan peralatan dan perlengkapan yang hampir sama. Perbedaannya hanya terletak kepada besar kecilnya usaha mereka. Adapun kebutuhan bahan baku yang harus disediakan untuk produksi setiap bulan adalah detergen bubuk, detergen cair, pewangi dan softener. Para wirausaha ini dalam menyediakan kebutuhan bahan baku selalu membeli dari luar sehingga mereka memerlukan biaya untuk membeli kebutuhan bahan baku setiap bulan. Ketika hargaharga bahan baku naik maka wirausaha jasa laundry terpaksa melakukan perubahan dalam takaran bahan untuk melaundry seperti mengurangi pewangi pakaian dari takaran biasanya, sehingga hasil laundry mereka kurang wangi daripada sebelumnya. Hal ini mereka lakukan karena tidak ada alternatif untuk mengurangi harga jasa laundry, sehingga mereka akan mengurangi takaran pewangi dan softeren untuk pakaian pelanggan. Berdasarkan pada fenomena yang terjadi di lapangan tentang permasalahan wirausaha jasa laundry, maka perlu untuk dilakukan pelatihan dan pendampingan. Mitra yang dipilih untuk bekerjasama dengan tim PKM adalah mitra yang memiliki potensi untuk bisa dikembangkan baik aspek manajemen maupun aspek produksi. Akhirnya dipilihlah Aneka Laundry yang beralamat di Desa Tropodo dan Internal Laundry yang beralamat di Wisma Tropodo Kecamatan Waru Kabupaten Sidoarjo. Pelatihan dan pendampingan kepada wirausaha laundry ini diharapkan dapat membantu para wirausaha jasa laundry untuk mengatasi masalah seperti yang telah diungkapkan pada sebelumnya yaitu kelengkapan kebutuhan bahan baku dengan cara melatih kedua mitra membuat detergen dan pewangi secara mandiri yang bertujuan untuk membantu para wirausaha mendapatkan keuntungan yang lebih besar daripada
44
membeli detergen dengan harga yang semakin naik. Dengan adanya pelatihan pembuatan sabun detergen, dan pewangi pakaian secara mandiri, diharapkan agar setiap bulan para wirausaha jasa laundry tersebut bisa menghemat pengeluaran untuk membeli sabun detergen dan pewangi pakaian. Tidak menutup kemungkinan, hasil dari pembuatan sabun detergen dan pewangi pakaian ini pada akhirnya bisa pula dijual jika ada yang berminat membelinya. Sehingga hal ini bisa meningkatkan aspek produksi dan ekonomi usaha kedua mitra. Menurut[3], bahwa jika bisa membuat sabun detergen sendiri di rumah, maka sesungguhnya jauh lebih ramah lingkungan, mudah untuk membuat dan jauh lebih murah daripada detergen komersiil yang ada di pasaran. Selain itu, untuk membantu permasalahan mitra terkait dengan masalah pelaporan keuangan, tim PKM akan melakukan pendampingan dalam rangka membantu para wirausaha membuat laporan keuangan sederhana. Dengan adanya pelatihan dan pendampingan ini, harapan tim PKM adalah bisa meningkatkan aspek manajemen sumber daya manusia kedua mitra yaitu dapat membuat laporan keuangan yang benar. Dengan membuat laporan keuangan, maka para wirausaha laundry bisa mengetahui berbagai macam kondisi keuangan bisnis mereka. Mereka akan lebih mudah menghitung arus kas masuk dan kas keluar, aset dan hutang usaha, modal, pendapatan, beban, laba/rugi usaha, data pelanggan yang melakukan hutang piutang dan sebagainya. Manfaat selanjutnya yaitu dengan memiliki laporan keuangan yang benar, para wirausaha lebih mudah dalam mendapatkan kredit dari lembaga pemberi pinjaman (bank) dan memudahkan pengajuan bantuan kepada perusahaan yang dapat memberikan bantuan CSR (Corporate Social Responsibility). Oleh karena itu, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: (1). Bagaimana pelaksanaan pelatihan melalui IPTEK pembuatan sabun detergen dan laporan keuangan sederhana bagi wirausaha jasa laundry, (2). Bagaimana hasil pelatihan melalui IPTEK pembuatan sabun detergen dan laporan keuangan sederhana bagi wirausaha jasa laundry, dan (3). Bagaimana respon para wirausaha jasa laundry dengan adanya pelatihan IPTEK pembuatan sabun detergen dan laporan keuangan sederhana di Sidoarjo. 2. METODE PENELITIAN Pendekatan dalam penelitian ini adalah deskripsi. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Dikarenakan penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisa fenomena serta persepsi responden tentang adanya upaya yang dilakukan oleh peneliti untuk membantu meningkatkan IPTEK bagi wirausaha jasa laundry dengan adanya pelatihan pembuatan sabun dan pewangi pakaian serta pembuatan laporan keuangan sederhana. Subyek penelitian dalam penelitian ini adalah para wirausaha jasa laundry sebanyak 25 wirausaha
jasa laundry di Desa Tropodo Kecamatan Waru Sidoarjo. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan cara (1). Wawancara, (2). Observasi yaitu melalui pengamatan langsung terhadap obyek yang diteliti, dan (3). dokumentasi berupa foto dan angket respon wirausaha jasa laundry terhadap IPTEK yang diberikan. Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah dengan cara: (1). Narasi hasil pengamatan dan dokumentasi dan (2). Tabulasi data, ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran deskripsi respon wirausaha terhadap pemberian ketrampilan IPTEK pembuatan sabun detergen dan laporan keuangan sederhana yang didapatkan pada prosentase hasil angket. 3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil Penelitian Dalam rangka mendapatkan jawaban dari rumusan masalah maka upaya yang dilakukan oleh Tim PKM adalah mengadakan pelatihan kepada wirausaha jasa laundry berupa IPTEK pembuatan sabun detergen dan laporan keuangan sederhana. Pelatihan ketrampilan pembuatan sabun detergen dan pewangi pakaian serta pembuatan laporan keuangan sederhana ini telah dilaksanakan pada tanggal 22 Mei 2016 mulai pukul 08.00 s/d pukul 17.30 WIB, oleh tim Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM). Adapun hasil pelatihan ini dapat dijabarkan pada poin 3.1.1 tentang pelatihan pembuatan detergen dan pewangi pakaian, dan 3.1.2 3.1.1. Pelatihan Pembuatan Detergen dan Pewangi Pakaian Adapun alat dan bahan yang dibutuhkan dalam membuat detergen dan pewangi pakaian dapat dilihat pada gambar sebagai berikut:
Gambar 1. Alat-alat yang dibutuhkan untuk pembuatan detergen dan pewangi pakaian
Seperti pada gambar 1 diatas dijelaskan bahwa alat alat yang dibutuhkan berupa bak, baskom, pengaduk, gayung dan timbangan yang dibutuhkan dalam pembuatan detergen dan pewangi pakaian. Sebagai tempat pewangi pakaian dan detergen cair dibutuhkan botol aqua dan plastik pembungkus. Untuk membersihkan tangan dari zat kimia diberikan lap kain secukupnya.
45
Sedangkan bahan-bahan yang dibutuhkan dalam pelatihan ini adalah sebagai berikut:
4) Masukan sodim bicarbonate 300 gram, aduk sampai rata 5) Masukan sodium sulfat 100 gram, aduk sampai rata 6) Masukan sodim klorida 100 gram, aduk sampai rata
7) Masukan parfum 10ml, aduk sampai rata Sumber: [5] Adapun dokumentasi saat pelaksanaan pembuatan detergen dan pewangi pakaian adalah sebagai berikut: Gambar 2. Bahan - Bahan yang dibutuhkan dalam pembuatan detergen dan pewangi pakaian
Bahan-bahan yang sudah didapatkan dari toko kemudian dikemas berdasarkan ukuran masingmasing yang selanjutnya akan dilakukan percampuran dengan bahan lain. Adapun bahan-bahan yang sudah dikemas dapat dilihat pada gambar 3 sebagai berikut: Gambar 4. Tahap Penjelasan teori akuntansi perusahaan jasa dan siklus akuntansi perusahaan jasa oleh Dr. Susanti, M.Si.
Gambar 3. Bahan-Bahan yang dibutuhkan dalam pembuatan detergen dan pewangi pakaian yang sudah dikemas berdasarkan ukuran masing-masing
Seperti pada gambar 2 di atas, bahan-bahan yang dibutuhkan dalam membuat detergen diantaranya adalah soda ash light, sodium bicarbonate, texapone, sodium sulfat, sodium klorida, STTP, parfum sneppy dan pewarna. Bahan dicampur (seperti pada gambar 3). Adapun cara membuat pewangi dengan bahan yang harus disediakan adalah softener sereal (150 gram), air panas (1 liter), air biasa (2 liter), pewarna makanan (secukupnya), pewangi snappy (10ml), dan Fixative (10 ml) Cara membuat: 1) Larutkan softener sereal 150 gram ke air panas 1 liter, aduk sampai larut 2) Beri air 2 liter, aduk rata sampai larut 3) Beri pewarna makanan secukupnya 4) Beri pewangi snappy 10 ml Sumber: [4] Sedangkan untuk membuat detergen bubuk, maka bahan yang harus disediakan adalah: Soda ash light (400 gram), Sodium bicarbonate (300 gram), Texapone (50 gram), Sodium sulfat (100 gram), Sodium klorida (100 gram), STPP (50 gram), Parfum snappy (10 ml) dan Bio enzim (5 gram). Cara membuat: 1) Timbang soda ash light 400 gram, masuk wadah 2) Tambahkan texapone 50 gram, aduk sampai rata 3) Masukkan STPP 50 gram, aduk sampai rata
Gambar 5. Tahap Penjelasan dan praktek tentang bahan kimia yang dapat dimanfaatkan dalam pembuatan detergen dan pewangi serta praktek pembuatan detergen dan pewangi oleh Dra. Atik Wintarti, M.Kom
Gambar 6. Tahap penjemuran bahan yang sudah dicampur menjadi detergen bubuk
Gambar 7 Detergen bubuk, detergen cair dan Pewangi Pakaian yang sudah jadi hasil olahan para wirausaha jasa laundry.
46
Dalam rangka menggali informasi mengenai respon wirausaha terhadap pelaksanaan kegiatan peningkatan ketrampilan Pembuatan Sabun Detergen dan Laporan Keuangan Sederhana Melalui IPTEK Bagi Wirausaha Jasa Laundry di Sidoarjo, maka para wirausaha diberikan angket dan menghasilkan data sebagai berikut:
Gambar 8 Foto ketiga Tim PKM bersama dengan para peserta pelatihan pembuatan detergen dan pewangi pakaian.
Tabel 1. Respon Wirausaha Jasa Laundry dengan adanya IPTEK Ketrampilan Membuat Sabun detergen dan pewangi pakaian serta pembuatan laporan keuangan di Sidoarjo Respon Wirausaha No. Keterangan A B C D E 1.
Berdasarkan pada gambar diatas terlihat bahwa peserta sangat antusias dalam pelaksanaan pelatihan pembuatan detergen dan pewangi pakaian tersebut. Pewangi pakaian diberi pewarna biru, pink dan putih sesuai selera dan diberi pengharum sesuai keinginan. Hasil dari olahan baik detergen maupun pewangi karya wirausaha jasa laundry di Sidoarjo tidak kalah dengan molto dan softener soklin yang mereka beli di pasar. 3.1.2. Pelatihan Pembuatan Laporan Keuangan Sederhana Pelatihan pembuatan laporan keuangan sederhana, dimulai dengan cara Tim PKM menjelaskan perusahaan jasa, sampai pada siklus dan cara membuat laporan keuangan perusahan jasa. Adapun alat yang dibutuhkan adalah buku panduan, modul laporan keuangan sederhana, alat tulis dan kolkulator. Berikut adalah beberapa dokumen pada saat pelaksanaan kegiatan pelatihan pembuatan laporan keuangan sederhana:
2.
3.
Gambar 9 Drs. Joni Susilowibowo, M.Pd sedang menjelaskan pembuatan laporan keuangan sederhana untuk jasa laundry
Berdasarkan pada gambar diatas, terlihat bahwa para peserta antusias dalam mendengarkan pelatihan teori dan praktek pembuatan laporan keuangan sederhana. Setelah mendapatkan materi tentang pembuatan laporan keuangan sederhana, maka peserta pelatihan diberikan tugas untuk membuat laporan keuangan sederhana menurut aktivitas usaha laundry mereka dan dikumpulkan dua minggu pasca pelatihan tersebut. Setelah dua minggu kemudian, Tim PKM kembali ke Sidoarjo untuk mengambil laporan para wirausaha jasa laundry. 3.1.3 Hasil Angket Respon Wirausaha Jasa Laundry dengan adanya IPTEK Pembuatan Sabun Detergen dan Laporan Keuangan Sederhana di Sidoarjo
4.
5.
Pendapat Wirausaha 100% tentang materi pelatihan IPTEK pembuatan sabun detergen dan pewangi pakaian serta pembuatan laporan keuangan merupakan sesuatu hal yang baru bagi wirausaha Pendapat wirausaha 88% 12% jasa laundry bahwa materi pelatihan yang diberikan dapay membantu untuk dapat meningkatkan kemampuan dalam membuat sabun dan detergen serta laporan keuangan sederhana Pendapat wirausaha 80% 20% jasa laundry tentang keuntungan yang didapatkan dari adanya pelatihan IPTEK ketrampilan ini adalah mendapatkan gambaran yang konkrit bahwa jika menerapkan hasil pelatihan ini untuk kegiatan usaha, maka dapat meningkatkan kesadaran dalam membuat laporan keuangan sederhana sehingga dapat mengelola keuangan dengan baik Pendapat wirausaha 84% 16% jasa laundry tentang keuntungan yang didapatkan dari adanya pelatihan IPTEK ketrampilan ini adalah mendapatkan gambaran yang konkrit bahwa jika menerapkan hasil pelatihan ini untuk kegiatan usaha, maka dapat membuat sabun sendiri sehingga menghemat pengeluaran untuk beli sabun detergen dan pewangi Pendapat wirausaha 60% 28% 12% jasa laundry tentang
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
47
No.
6.
7.
8.
9.
Keterangan perlunya menerapkan hasil pelatihan untuk kegiatan usaha laundry dengan membuat sabun dan detergen sendiri dan membuat laporan keuangan sederhana secara rutin dikemudian hari Pendapat wirausaha jasa laundry tentang keefektivan pelaksanaan kegiatan IPTEK ketrampilan pembuatan sabun dan pewangi serta pembuatan laporan keuangan sederhana Pendapat wirausaha jasa laundry tentang waktu yang diberikan untuk IPTEK apakah sesuai? Pendapat wirausaha jasa laundry tentang kemenarikan pelaksanaan IPTEK ketrampilan membuat sabun dan pewangi serta laporan keuangan sederhana Pendapat wirausaha jasa laundry tentang pelaksanaan pemberian materi oleh Dosen yang sangat menyenangkan dan mudah dimengerti selama memberikan penjelasan
A
Respon Wirausaha B C D E
88% 12%
-
-
-
80% 20%
-
-
-
84% 26%
-
-
-
3.2. Pembahasan 3.2.1. Pelaksanaan pelatihan melalui IPTEK pembuatan sabun detergen dan laporan keuangan sederhana bagi wirausaha jasa laundry Pelaksanaan pelatihan melalui IPTEK pembuatan sabun detergen dan laporan keuangan sederhana bagi wirausaha jasa laundry di Sidoarjo telag berjalan dengan lancar. Hal ini terbukti selama pelatihan berlangsung, para wirausaha antusias dan semangat untuk mengikuti pelatihan tersebut mulai pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 17.30 WIB. Pelaksanaan kegiatan pelatihan ini dilakukan selama 1 hari yaitu pada hari minggu tanggal 22 Mei 2016. Hal ini dikarenakan disesuaikan dengan jadwal free para wirausaha jasa laundry dan kondisi cuaca yang bagus untuk proses pembuatan dan penjemuran bahan sabun detergen. Adapun jadwal pelaksanaan pelatihan dapat ditunjukkan pada tabel 2 sebagai berikut: Tabel 2. Jadwal Kegiatan IPTEK Pembuatan Sabun dan Pewangi Pakaian serta Pembuatan Laporan Keuangan Sederhana No.
84% 16%
-
-
-
Pukul
1. 08.00 – 09.00 Penjelasan Teori tentang Bahan Kimia yang tidak berbahaya dan bisa digunakan untuk bahan laundry 2.
09.00 –12.00
Keterangan Tabel: = Merupakan hal yang baru/sangat membantu/sangat mendapatkan gambaran konkrit/sangat setuju sekali untuk menerapkan hasil pelatihan/sangat efektif/sangat seimbang/sangat menyenangkan dan sangat jelas B = Merupakan hal yang lama tapi perlu dilakukan pelatihan lagi/membantu/mendapatkan gambaran konkrit/setuju untuk menerapkan hasil pelatihan/ efektif/ seimbang/ menyenangkan dan jelas C = Merupakan hal yang biasa dan perlu dilakukan pelatihan lagi/cukup membantu/cukup mendapatkan gambaran konkrit/cukup setuju untuk menerapkan hasil pelatihan/ cukup efektif/ cukup seimbang/ cukup menyenangkan dan cukup jelas D = Merupakan hal yang kurang perlu untuk dilakukan pelatihan lagi/kurang membantu/kurang mendapatkan gambaran konkrit/kurang setuju untuk menerapkan hasil pelatihan/ kurang efektif/kurang seimbang/ kurang menyenangkan dan kurang jelas E = Merupakan hal yangtidak perlu dilakukan pelatihan lagi/tidak membantu/tidak mendapatkan gambaran konkrit/tidak setuju untuk menerapkan hasil pelatihan/tidak efektif/ tidak seimbang/ tidak menyenangkan dan tidak jelas.
A
Berdasarkan pada Tabel 1 diatas, dapat disimpulkan bahwa secara umum para wirausaha memberikan respon positif terhadap pelaksanaan pelatihan IPTEK berupa ketrampilan membuat sabun dan pewangi pakaian serta laporan keuangan sederhana. Terbukti dengan hasil jawaban responden dengan banyak yang memilih jawaban A dan B.
Kegiatan
Praktek Pembuatan Sabun Detergen dan Pewangi Pakaian
Pelaksana Dra. Atik Wintarti, M.Kom
Tim PKM
3. 12.00 – 13.00 Istirahat, Sholat dan Makan siang
Tim PKM dan Peserta
4.
13.00 -14.00
Praktek Pembuatan Sabun Detergen dan Pewangi Pakaian
Tim PKM
5.
14.00 -15.00
Penjelasan Teori tentang Siklus Akuntansi Perusahaan Jasa
Dr. Susanti, M.Si
6. 15.00 – 15.30 Istirahat dan Sholat Ashar
Tim PKM dan Peserta
7. 15.30 – 17.30 Praktek Pembuatan Laporan Keuangan Sederhana
Drs. Joni Susilowibowo , M.Pd
48
Berdasarkan pada tabel 2 diatas dapat disimpulkan bahwa semua Tim PKM memunyai kualifikasi yang sesuai dengan bidangnya dan bersama-sama saling bersinergi untuk memberikan IPTEK bagi wirausaha jasa laundry di Sidoarjo. 3.2.1. Hasil Pelatihan melalui IPTEK pembuatan sabun detergen dan laporan keuangan sederhana bagi wirausaha jasa laundry Hasil pelatihan melalui IPTEK pembuatan sabun detergen dan laporan keuangan sederhana dapat dijabarkan sebagai berikut: 3.2.1.1. Hasil Pelatihan Pembuatan Sabun Detergen dan Pewangi Pakaian Selama pelatihan pembuatan sabun detergen dan pewangi pakaian berlangsung, para wirausaha dapat berkreasi membuat sabun detergen dan pewangi sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masingmasing. Tim PKM memberikan alat dan bahan yang dibutuhkan. Pada awalnya tim memberikan petunjuk pemakaian melalui penjelasan dan diberikan modul untuk memandu para wirausaha dalam mencampurkan bahan-bahan yang sudah disediakan. Ketika sudah mengerti, maka para wirausaha dapat mencampur bahan-bahan yang tersedia. Mulai dari bibit pewangi snappy, edta dan sebagainya. pilihan warna untuk pemanis tampilan disediakan 3 warna yaitu putih, pink dan biru. Untuk menambah aroma agar harum, maka para wirausaha dapat memberi tambahan bibit pewangi sesuai selera mereka. Sedangkan untuk membuat detergen, maka para wirausaha dapat mencampurnya berdasarkan bahan yang sudah disediakan. Dan untuk hasil maksimal maka, perlu diadakan proses penjemuran pada sinar matahari langsung. Proses penjemuran ini membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Jika suasana mendung maka hasil kurang maksimal sehingga perlu dilakukan penjemuran ulang di kemudian hari. Hasil dari pembuatan sabun detergen dan pewangi tampak pada gambar 7 diatas. Adapun manfaat yang diperoleh para wirausaha jasa laundry selama pelatihan berlangsung adalah selain mendapatkan pengetahuan, para wirausaha dapat dengan leluasa terampil meracik sabun detergen dan pewangi yang mereka inginkan. Kualitas sabun detergen yang dibuat sendiri tidak kalah dengan produk di pabrik seperti molto, downy, rinso dan attack. Jika dijual maka harganyapun bisa bersaing dengan produk hasil olahan pabrik. Semakin wangi aroma maka harga pewangi semakin mahal. Hal ini dapat mereka terapkan sebagai tambahan bisnis selain jasa laundry dan dapat menghemat pengeluaran mereka dalam pembelian parfum instan. Para wirausaha mendapatkan manfaat ketika mereka mendapatkan pelatihan ini. 3.2.1.2. Hasil Pelatihan Pembuatan Laporan Keuangan Sederhana Laporan keuangan sederhana bagi perusahaan jasa terutama untuk usaha laundry adalah terutama dalam membuat laporan laba rugi usaha. Selama
pelatihan pembuatan laporan keuangan sederhana berlangsung, para wirausaha jasa laundry diajarkan untuk mengidentifikasi penerimaan dan pengeluaran yang terjadi setiap bulan. Hal ini dilakukan dengan cara para wirausaha membuat daftar list pelanggan selama satu bulan beserta pesanan yang diinginkan. Misalnya adalah cuci kering satu Bad cover atas nama Tuan Ali pada tanggal 1 Mei 2016 denga total pembayaran Rp. 25.000,00. Maka hal itu akan ditotal sampai satu bulan berlangsung. Adapun hasil identifikasi yang ada bahwa rata-rata penerimaan para wirausaha jasa laundry tergolong cukup menguntungkan. Setelah penerimaan mereka susun, lalu data pengeluaran selama satu bulan juga harus disusun untuk mengetahui laba atau rugi bersih usaha mereka. Berdasarkan hasil penelitian tentang hasil pembuatan laporan keuangan, terlihat bahwa para wirausaha dapat membuat laporan keuangan yang pada waktu sebelumnya belum mereka buat. Hal ini membuat mereka dapat mengetahui laba atau rugi yang sebelumnya hanya diperkirakan saja. Dan mereka mulai membuat pelaporan keuangan sebagai bahan pertimbangan untuk mengambil keputusan bisnis mereka dimasa depan. Selama pemantauan berlangsung, Mereka juga lebih teliti dengan cara menyendirikan data keuangan usaha dengan data keuangan keluarga. Karena sebelumnya, data keuangan usaha digabungkan dengan data keuangan pribadi sehingga tidak tampak keuntungan yang didapatkan dari bisnis laundry tersebut. 3.2.2. Respon para wirausaha jasa laundry Setelah kegiatan berakhir, para wirausaha jasa laundry diberikan angket untuk menggali informasi tentang pelaksanaan kegiatan pelatihan IPTEK pembuatan sabun detergen dan pewangi serta pelaporan keuangan sederhana. Adapun respon para wirausaha terhadap pelatihan ini sangat positif. Terbukti pada tabel 1 diatas, dapat dijelaskan bahwa: 1) Semua para wirausaha menyatakan bahwa pelatihan ini merupakan pelatihan yang baru mereka dapatkan dan sangat mereka butuhkan. Menurut mereka, ini adalah hal yang baru dan sangat dibutuhkan untuk wirausaha jasa laundry 2) Respon para wirausaha tentang IPTEK pembuatan sabun detergen dan pewangi serta laporan keuangan ini menurut mereka sangat membantu meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan mereka. 3) Respon para wirausaha tentang IPTEK pembuatan sabun detergen dan pewangi serta laporan keuangan ini menurut mereka telah mendapatkan gambaran yang konkrit. Hal ini terbukti hasil angket dengan pilihan jawaban terbanyak adalah jawaban A dan B. Para Tim PKM memberikan gambaran tentang materi secara konkrit dengan penuh semangat dan memberikan penjelasan yang diinginkan oleh wirausaha jasa laundry
49
4) Para wirausaha jasa laundry juga sangat setuju dan setuju untuk menerapkan hasil pelatihan ini. 5) Menurut mereka, bahwa pelatihan ini sangat efektif, dengan waktu yang seimbang, menaik dan sangat menyenangkan serta sangat jelas. 4. KESIMPULAN Berdasarkan pada penjelasan pada bab diatas, dapat disimpulkan bahwa: (1). Pelaksanaan IPTEK pembuatan sabun detergen dan pewangi pakaian serta pembuatan laporan keuangan sederhana bagi para wirausaha jasa laundry di Sidoarjo berjalan dengan baik tanpa suatu halangan yang berarti, (2). Hasil pelatihan IPTEK pembuatan sabun detergen dan pewangi pakaian serta pembuatan laporan keuangan sederhana bagi para wirausaha jasa laundry di Sidoarjo adalah dapat memberikan manfaat untuk wirausaha dalam membuat sabun detergen dan pewangi, selain itu juga dapat menghemat pengeluaran dalam membeli sabun instan dan dapat meningkatkan aspek ekonomi jika hasil olahan mereka jual kepada pelanggan. Hasil pelatihan pembuatan laporan keuangan memberikan manfaat kepada wirausaha untuk menentukan laba atau rugi usaha yang telah mereka jalankan serta lebih teliti dalam mengelola keuangan, memisahkan laporan keuangan pribadi dengan usaha laundry dan akhirnya dapat membuat mereka sadar akan pentingnya membuat laporan keuangan setiap bulan. (3). Respon wirausaha jasa laundry sangat positif dengan adanya pelatihan IPTEK pembuatan sabun detergen dan pewangi pakaian serta pembuatan laporan keuangan sederhana. 5. DAFTAR PUSTAKA [1]. Warren, Carls S, et al. (2014). Pengantar Akuntansi. Adaptasi Indonesia. Jakarta: Salemba Empat. [2]. Ikatan Akuntan Indonesia, (2012). Standar Akuntansi Keuangan, Per 1 Oktober. Jakarta: Dewan Standar Akuntansi Keuangan. [3]. Nagata, Jasa, (2014). Bahan dan Cara Membuat Detergen Laundry Bubuk + Cair. (online). http://sedotwcnagata.com/blog/bahan-cara-membuatdeterjen-laundry-bubuk-cair/. Diakses pada tanggal 16 Maret 2015. [4]. IndoTech Group, (2014). Cara Membuat Parfum Laundry Pewangi Tahan Lama. (online). http://www.bisnislaundrykiloan.com/cara-membuatparfum-laundry-pewangi-tahan-lama/. Diakses pada tanggal 16 Maret 2016. [5]. ________, (2014). Cara Membuat Detergen Bubuk Bahan Detergen. (Online). http://caramembuatmu. blogspot.com/2013/12/cara-membuat-deterjen-bubukbahan-deterjen.html. Diakses pada tanggal 16 Maret 2016.
50
Pemberdayaan Sociopreneurship Masyarakat Nelayan (Studi pada UKM “Crispy Ikan Sunduk” Kabupaten Lamongan) Jun Surjanti1*), Dian Anita Nuswantara2 1 2
Jurusan Manajemen, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya. E-mail:
[email protected] Jurusan Akuntansi, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya. E-mail:
[email protected] *) Alamat Korespondesi: Email:
[email protected]
ABSTRACT Nawacita program must be followed up through the establishment of sustainable patterns of empowerment, which one of them through the empowerment sociopreneurship on SMEs, which became one of the economic driving in the community. In 2015-2016, we have examined the empowerment of SMEs Sunduk Crispy in KUD Mina Tani Lamongan. We did empowerment by strengthening production and market expansion of Sunduk Crisppy. This study uses a qualitative method. The research object is sociopreneur on SMEs Sunduk Crispy in Lamongan. Data obtained by interview and observation. Researchers become direct participants. The study was conducted in two years. The results showed that the organization still follows the cooperative, has not been able to put together a managerial, attempts were made to get sociopreneur but still not ideal, and there are still weaknesses to be called sociopreneur, that there are limited usefulness for those around him and tranparasi in business management. The potential of SMEs are motivation and cooperation. The problems SMEs are natural constraints (the raw material of fish), continuity of production, capital, marketing and business transparency. Key Words: empowerment, SME, socio-preneurship ABSTRAK Program Nawacita dalam membentuk jati diri sebagai Negara kemaritiman perlu ditindaklanjuti melalui pembentukan pola pemberdayaan yang berkelanjutan, yang salah satunya melalui pemberdayaan sociopreneurship pada UKM, yang menjadi salah satu penggerak perekonomian di masyarakat. Pada tahun 20152016 telah dilakukan penelitian pemberdayaan UKM “Crispy Ikan Sunduk” yang ada di KUD Mina Tani Kabupaten Lamongan. Pemberdayaan yang telah dilakukan adalah penguatan produksi dan perluasan pasar produk crispy ikan sunduk yang telah dihasilkan. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif studi kasus observasi merupakan pengujian secara rinci terhadap satu latar atau satu orang subjek, yaitu pengusaha UMKM “Crispy Ikan Sunduk” di Kabupaten Lamongan. Obyek penelitian adalah sociopreneur pada UMKM “Crispy Ikan Sunduk” di Kabupaten Lamongan. Teknik pengambilan datanya dengan wawancara dan observasi, peneliti sebagai partisipan langsung. Penelitian dilakukan selama dua tahun yang diamati pada setiap periode kegiatan produksi crispy ikan sunduk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa organisasinya masih mengikuti koperasi, secara organisasi belum mampu menyusun manajerial, usaha sudah diupayakan untuk menuju sociopreneur tetapi masih belum optimal, masih ada kelemahan untuk disebut sebagai sociopreneur, yaitu sebatas ada kebermanfaatan untuk orang-orang sekitarnya dan tranparasi dalam pengelolaan usaha. Potensi UMKM ini adalah motivasi dan kerjasama. Permasalahan UMKM adalah kendala alam (bahan baku ikan), kontinuitas produksi, modal, pemasaran dan transparansi usaha. Kata kunci: pemberdayaan, UMKM, sociopreneurship 1. PENDAHULUAN Potensi Kabupaten Lamongan terhadap makanan berbahan baku ikan laut, masih memungkinkan untuk dikembangkan secara luas. Potensi ini memberikan inspirasi bagi pengembangan produk pada makanan yang berbahan baku ikan. Pada penelitian MP3EI tahun 2015 yang dilakukan Surjanti dkk., telah ditemukan hasil yang menggembirakan terhadap pemberdayaan UMKM Crispy Ikan Sunduk di Kabupaten Lamongan[1], [2]. Potensi ini didukung oleh data yang menunjukkan bahwa Kabupaten Lamongan sebagai penyedia bahan baku produksi ikan sunduk. Tahun 2011 total produksi ikan di Lamongan mencapai 107.922,63 ton. Produksi ini adalah yang terbesar dari total produksi perikanan yang mencapai 1,3 juta ton di Jawa Timur. Lamongan
memiliki potensi perikanan budidaya dengan luas tambak 1.750,40 hektar, pembudidaya 159.440 orang dan kolam 341,66 hektar. Sedangkan tahun 2012 lalu, untuk hasil ikan tangkapan nelayan mencapai 72.000 ton pertahun. Belum lagi ditambah hasil ikan budidaya 37.000 per tahun[3]. Berdasarkan Bab II Pasal 2 beserta penjelasannya pada UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM azasazasnya, pada point 1 menunjukkan bahwa azas yang melandasi upaya pemberdayaan UMKM sebagai bagian dari perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasarkan atas dasar demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efesiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, keseimbangan, kemajuan, dan kesatuan ekonomi nasional untuk kesejahteraan seluruh rakyat
51
Indonesia[4]. Penelitian yang telah dilakukan di Kabupaten Lamongan selama ini telah sejalan dengan pemberdayaan UMKM yang telah ditetapkan dalam UU. Kegiatan penelitian pemberdayaan UMKM menuju pada satu titk pembangunan kesatuan ekonomi nasional, seperti yang tercantum pada point 9. Hasil penelitian Surjanti dkk. dari program Stranas menunjukkan bahwa telah terjalin hubungan (networking) antara KUD Mina Tani-Unesa-PT Kelola Mina Laut dalam pemberdayaan masyarakat, dengan pengembangan produk hasil tangkapan berupa nugget, abon ikan, dan krupuk ikan pada nelayan dan keluarga nelayan di desa Brondong kecamatan Paciran kabupaten Lamongan[5]. Kegiatan pemberdayaan ini brdampak pada peningkatan pendapatan 30%-40% dari pendapatan sebelumnya. Dari penelitian ini disarankan untuk memperluas lapangan kerja dan semakin meningkatkan pendapatan keluarga nelayan. (1) KUD Mina Tani dapat membentuk Cluster atau kelompok-kelompok usaha: kelompok nugget, abon ikan, dan kerupuk ikan. Anggota cluster terdiri dari peserta pelatihan ditambah keluarga nelayan yang tidak mengikuti pelatihan, dan (2) Unesa dapat membantu membentuk networking baru yang lebih dibutuhkan untuk pengembangan usaha yaitu masalah pembiayaan, dan Unesa telah membentuk nerworking dengan lembaga keuangan bank Syariah Mandiri. Penelitian dilanjutkan dengan penelitian Surjanti tentang minat nelayan pada kelompok tani “Rukun Nelayan” di Kec. Paciran Lamongan menunjukkan bahwa nelayan berminat pada pengembangan hasil tangkapan laut, yang terdiri dari pembuatan nugget ikan, abon ikan dan kerupuk ikan. Surjanti dkk. telah dilakukan penguatan produk yang dengan cara diversifikasi produk, standar mutu produk, dan pengemasan dari hasil tangkapan, hasil penelitian menunjukkan telah dihasilkan dua varian produk krispi ikan sunduk, yakni original dan jeruk purut yang telah tersertifikasi PIRT[1]. Penelitian pada tahun 2016 dilanjutkan penelitian perluasan pasarnya[2]. Sesuai dengan azas pemberdayaan UMKM di Indonesia tentang keberlanjutan, maka peneliti tertarik untuk mengamati upaya pemberdayaan sosiopreneur UMKM ”Crispy Ikan Sunduk” untuk mengamati pola pemberdayaan yang telah dilakukan dalam rangkaian penelitian yang telah dilakukan di Kabupaten Lamongan khususnya pada UMKM ”Crispy Ikan Sunduk” yang telah dilakukan pada tahun 2015-2016. Dalam rangka turut serta memberdayaan UMKM Yang telah dicanangkan dalam gerakan Nawacita dalam memperkuat Negara kemaritiman dalam program pengembangan produk berbahan ikan. Penelitian ini akan mengamati pola terbentuknya sosiopreneur. Sociopreneur adalah perhatian kewirausahaan social, yaitu pengembangan kewirausahaan sosial di dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial seperti kemiskinan, kerusakan lingkungan, pengangguran maka perlu ada perubahan pengembangan kewirausahaan sosial baik dari aspek
paradigma, substansi program dan objek sasaran. Obyek dan sasaran penelitian ditujukan pada penelitian pada UKM “Crispy Ikan Sunduk” secara sinergis berdampak positif pada peningkatan kesejahteraan pada orang di sekitarnya secara berkelanjutan.Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan salah satu faktor kunci dalam upaya meningkatkan daya saing ekonomi Indonesia. Dalam rangka ikut membangun kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), maka Perguruan Tinggi harus aktif berpartisipasi menghasilkan produk/teknologi yang dapat dimanfaatkan masyarakat melalui kegiatan penelitian dan pengabdian pada masyarakat, seiring dengan masuknya PT dalam Kementerian Ristek dan Dikti sejak tahun 2014. Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (LPPM) Unesa merupakan salah satu lembaga yang telah melaksanakan berbagai kegiatan penelitian dan PKM. Penelitian dan kegiatan PKM yang telah dilakukan sudah banyak, namun hasilnya perlu disosialisasikan pada masyarakat. Untuk itu LPPM Unesa merasa perlu mengajak para peneliti dan pelaksana PKM se Indonesia untuk bekerjasama dalam rangka menyampaikan hasil penelitian dan PKM yang dimiliki. Berkaitan dengan hal tersebut, maka perlu untuk menyelenggarakan kegiatan dalam bentuk Seminar Nasional dengan tema: “INOVASI DAN HILIRISASI HASIL PENELITIAN UNTUK KESEJAHTERAAN MASYARAKAT”. Sementara, subtema Seminar Nasional ini terdiri dari 5 (lima), yaitu: a. Inovasi Pendidikan b. Konservasi, Sains dan Teknologi c. Kualitas Hidup dan Pengembangan Sumber Daya d. Seni, Budaya, dan Kemasyarakatan e. Ekonomi dan manajemen 2. RUMUSAN MASALAH 1) Bagaimanakah pemberdayaan nelayan melalui sosiopreneur UKM “Crispy Ikan Sunduk Kab. Lamongan? 2) Potensi pemberdayaan nelayan melalui sosiopreneur UKM “Crispy Ikan Sunduk Kab. Lamongan? 3) Tantangan pemberdayaan nelayan melalui sosiopreneur UKM “Crispy Ikan Sunduk Kab. Lamongan? 3. TUJUAN 1) Untuk mengetahui pemberdayaan nelayan melalui sosiopreneur UKM “Crispy Ikan Sunduk Kab. Lamongan 2) Untuk mengetahui potensi pemberdayaan nelayan melalui sosiopreneur UKM “Crispy Ikan Sunduk Kab. Lamongan 3) Untuk mengetahui tantangan pemberdayaan nelayan melalui sosiopreneur UKM “Crispy Ikan Sunduk Kab. Lamongan
52
4. KAJIAN TEORI 4.1 Pemberdayaan UKM Pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. pemberdayaan masyarakat merupakan sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat “people-centered, participatory, empowering, and sustainable. Jadi, dalam pemberdayaan masyarakat mengandung 4 (empat komponen), yaitu: berorientasi pada manusia, yaitu nelayan sebagai kelompok masyarakat marginal yang membutuhkan pengembangan, yang dilakukan oleh pihak yang memiliki kemampuan lebih untuk meningkatkan potensi nelayan dari keterbelakangan ekonomi. Komponen partisipatori, artinya ada peran serta dari pihak masyarakat, yaitu nelayan yang menjadi subyek untuk diberdayakan dan memiliki kemauan dan kemauan untuk diberdayakan. Pemberdayaan dapat dilakukan oleh berbagai pihak untuk meningkatkan potensi masyarakat nelayan, yang dalam hal ini dilakukan oleh pemerintah, lembaga pendidikan, lembaga pemilik modal, atau pihak luar yang memiliki kepedulian untuk pemberdayaan nelayan. Sustainable, artinya, pemberdayaan itu dilakukan secara berkelanjutan dengan memperhatikan nilai tambah dan kemanfaatan bagi diri dan lingkungan pada jangka panjang[6]. Kebijaksanaan pemberdayaan masyarakat secara umum dapat dipilah dalam tiga kelompok yaitu : pertama, kebijaksanaan yang secara tidak langsung mengarah pada sasaran tetapi memberikan dasar tercapainya suasana yang mendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Kedua, kebijaksanaan yang secara langsung mengarah pada peningkatan kegiatan ekonomi kelompok sasaran. ketiga, kebijaksanaan khusus yang menjangkau masyarakat miskin melalui upaya khusus[7]. Pemberdayaan pada masyarakat masayarakat nelayan selama ini, didukung oleh KUD Mina Tani Lamongan yang memiliki tugas dan fungsi untuk memberdayaan masyarakat nelayan. Kegiatan pemberdayaan yang telah dilakukan selama ini adalah kegiatan yang bersifat produktif untuk pengolahan makanan berbahan baku ikan hasil tangkapan nelayan untuk ditingkatkan nilai gunanya. Upaya khusus yang dilakukan adalah melalui cara dan tahapan yang dirancang perguruan tinggi, yaitu Tim peneliti Unesa, yang diharapkan mampu meningkatkan pendapatan nelayan. Jumlah UMKM di Jawa Timur sangat besar, tetapi belum optimal. Menurut data, UMKM sebanyak 534.343 telah memiliki berbadan usaha dan sekitar 8.389.185 masih belum meiliki berbadan usaha. Dari UMKM yang ada masih memiliki tingkat pemanfaatan teknologi jaringan telekomunikasi yang rendah[8]. Di sisi lain trend perkembangannya selalu menunjukkan angka positif, hal ini disampaikan
Direktur Utama Bank UMKM Jawa Timur R. Soeroso yang mengatakan bahwa kredit ke sektor usaha mikro, kecil, dan menengah di Jawa Timur selama triwulan I 2014 melonjak signifikan. Bank UMKM Jawa Timur telah menyalurkan kredit Rp 1,369 triliun untuk executing, yaitu skema kredit yang resikonya ditanggung kreditur dan Rp 140 miliar untuk program channeling yaitu skema kredit yang risiko kreditnya ditanggung debitur. Adapun sampai dengan Februari 2014, realisasi penyaluran kredit kepada UMKM di Jatim sebesar Rp 90 triliun atau 29,3 persen dari total kredit yang disalurkan Rp 307,54 triliun[9]. Sementara itu, kondisi UMKM makanan olahan berbahan dasar ikan di Lamongan masih sangat memerlukan pembinaan. Industri makanan olahan berbahan dasar ikan ini masih banyak menghadapi kelemahan dan kendala usaha. Sebagaimana yang diungkapkan Arif Soedjanarta, Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan pada Dinas Perikanan Kelautan Kabupaten Lamongan, kelamahankelemahan tersebut antara lain: 1) produk-produk itu masih berkualitas rendah karena menggunakan bahan baku yang kurang baik, 2) proses produksi yang masih sederhana dan kurang higienis, dan 3) pasar yang masih terbatas lokal, dan 4) tanpa memiliki branding merek yang jelas[10]. Strategi pemberdayaannya bersifat partisipatori yang bersifat penggabungan antara topdown dan buttonup. Penelitian untuk pemberdayaan diawali dengan mengamati permasalahan dan potensi anggota KUD Mina Tani, yng beranggotakan nelayan, pada kegiatan sebelum penelitian dilakukan pemberdayaan yang mengamati potensi pengembangannya. Kgiatan dilanjutkan dengan program yang diajukan pada program. Program secara topdown memberikan dana pendampingan untuk penelitian, sehingga diharapkan akan menjadi strategi yang sinergis untuk pemberdayaan masyarakat. Nelayan merupakan salah satu jenis pekerjaan, yang sebenarnya dapat dikembangkan ke jenis pekerjaan yang sifatnya masih mengembangkan hasil laut, di antaranya adalah kegiatan untuk memproses hasil olahan yang diperoleh pasca panen. Upaya untuk mengoptimalkan pendapatan dan kesejahteraan nelayan, yang pada saat ini memiliki keterbatasan untuk mendapatkan hidup yang layak. Perluasan pekerjan ini menurut UU No. 31 Tahun 2004 pasal 25 menyatakan bahwa usaha perikanan adalah sistem bisnis perikanan yang meliputi kegiatan pra-produksi, produksi, pengolahan dan pemasaran hasil perikanan[11]. Oleh sebab itu kegiatan perikanan pada prinsipnya mencakup usaha: 1) perikanan tangkap, 2) perikanan budidaya, 3) pengolahan hasil perikanan, dan 4) pemasaran hasil perikanan. Perluasan usaha yang dilakukan nelayan dapat disesuaikan dengan kemampuannya dalam mengelolanya. Posisi nelayan adalah pada pengertian kegiatan proses penangkapan ikan. Di Kab. Lamongan di wilayah laut tidaklah memungkinkan untuk
53
mengembangkan budidaya ikan, mengingat potensi wilayahnya bukan bergerak pada pengembangan ikan hias, tetapi cenderung pada ikan yang dikonsumsi sehari-hari. Bidang pengelolahan pasca panenlah yang sangat memungkinkan untuk dikembangkan, pada kegiatan ini adalah kegiatan produksi, yang dapat dikembangkan pada kegiatan pemasaran hasil olahan tangkapan yang siap dikonsumsi. Ujicoba pengolahan produk telah dilakukan Surjanti, dkk. pada penelitian MP3EI. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nelayan mampu dan memiliki pengetahuan untuk mengembangkan UKM pada pengolahan pasca panen. UKM yang telah diteliti salah satunya adalah UKM Giono yang telah menghasilkan produk ikan crispy yang berstandar PIRT[1]. 4.2 Kebijakan Pemerintah dalam Pemberdayaan Nelayan Berdasarkan data Bappenas, Kebijakan pemberdayaan koperasi dan UMKM secara umum diarahkan terutama untuk mendukung pelaksanaan prioritas pembangunan nasional melalui: (1) peningkatan ekonomi lokal dengan mengembangkan usaha skala mikro dalam rangka mendukung peningkatan pendapatan kelompok masyarakat berpendapatan rendah; dan (2) peningkatan produktivitas dan akses UKM pada sumber daya produktif untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, termasuk ekonomi daerah, sekaligus menciptakan lapangan kerja[12]. UMKM adalah bentuk usaha yang tahan krisis ekonomi global yang mendukung perekonomian Indonesia. UMKM senantiasa memberikan dukungan pada masyarakat untuk selalu berkembang. Permasalahan yang belum terpecahkan hingga saat ini adalah keterbatasan modal kerja, sumber daya manusia yang rendah, dan kurang cakapnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi[13]. Kendala lain yang dihadapi oleh UKM adalah hubungan dengan prospek bisnis yang kurang jelas dan visi perencanaan dan misi yang belum stabil. Pemberian informasi dan jaringan pasar, kemudahan akses pendanaan dan pendampingan serta peningkatan kapasitas teknologi informasi merupakan beberapa strategi peningkatan daya saing UMKM Indonesia. Oleh karena itu diperlukan sinergi semua pihak terutama antara pemerintah dan lembaga keuangan mikro[14]. Pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla, saat ini sedang merancang sembilan agenda prioritas Sembilan program itu disebut Nawa Cita. Program ini digagas untuk menunjukkan prioritas jalan perubahan menuju Indonesia yang berdaulat secara politik, serta mandiri dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. Kebijakan yang paling utama adalah terbentuknya jati diri sebagai Negara kemaritiman yang melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, melalui politik luar negeri bebas aktif, keamanan
nasional yang terpercaya dan pembangunan pertahanan negara Tri Matra terpadu yang dilandasi kepentingan nasional dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim. Salah satu agenda dalam Nawa Cita yang paling banyak dibahas bahkan diperdebatkan oleh publik adalah poin nomor 8 yakni, revolusi karakter bangsa atau lazim disebut revolusi mental, melalui sistem pendidikan harus diarahkan untuk membantu membangun identitas bangsa Indonesia yang berbudaya dan beradab, yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral agama[15]. Program ini, tentunya dibarengi oleh programprogram yang mendukung terbentuknya kembali Negara kemaritiman, tentunya penelitian ini memberikan support terhadap program pemerintah tersebut. Melalui program penelitian ini, masyarakat menerima nilai manfaat yang diberikan perguruan tinggi, sebagai salah satu lembaga pendidikan yang mempunyai tanggung jawab merevolusi karakter bangsa, yaitu memberdayakan masyarakat untuk menuju sociopreneur yang berkelanjutan untuk kepentingan lingkungan masyarakat di masa yang akan datang. Program nawacita ditindaklanjuti melalui program yang lebih operasional dalam kegiatan kegiatan penyuluhan kelautan dan perikanan dan peran penyuluh perikanan di lapangan tetap dipentingkan terlebih penyuluh perikanan sebagai wakil Negara di tengah masyarakat. Mencermati program Nawa Cita, terdapat dua program yang terkait dengan penyuluhan KP yaitu No. 6 Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional dan 7 Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakan sektor-sektor strategis ekonomi domestik dengan uraian[16]: Tabel 1. Program NAWACITA NAWA CITA
Peran Penyuluhan Perikanan
6.
Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional
7.
Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi dan domestik
1. Melakukan penumbuhan kelompok pelaku utama dan usaha KP 2. Melakukan pendampingan program prioritas KKP (minapolitan, industrialisasi KP, blue economy) di daerah 1. Melakukan penumbuhkan pelaku usaha baru di bidang KP 2. Melakukan pengembangan kelompok pelaku utama dan usaha KP menjadi kelompok mandiri (kelas madya dan utama) sehingga dapat mengembangkan usahanya
Peneliti telah berupaya melanjutkan program ini melalui kegiatan penelitaian untuk memberdayaan masyarakat melalui peningkatan potensi nelayan di Kab. Lamongan. 4.3 Sosiopreneurship Berbagai pendapat dan tinjauan pengertian sosiopreneur, adalah dari beberapa kajian, di antaranya:
54
1) Dr Hempri Suyatna, Direktur Pelaksana SOPREMA Yousure FISIPOL UGM, yang menyatakan bahwa sociopreneur (kewirausahaan sosial) pengembangan kewirausahaan sosial di dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial seperti kemiskinan, kerusakan lingkungan, pengangguran maka perlu ada perubahan pengembangan kewirausahaan sosial baik dari aspek paradigma, substansi program dan objek sasaran. Kurikulum-kurikulum pengajaran dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi pun cenderung berorientasi pada wirausaha bisnis. Implikasinya mindset masyarakat hanya sekadar memandang wirausaha sekadar bisnis semata[17]. Dari aspek substansi program, perlu ada upaya memperbaiki program pengembangan sociopreneur. Selama ini, program-program sociopreneur masih dijalankan parsial. Ada tiga aspek yang penting diperhatikan dalam pengembangan sociopreneur yakni passion, value (nilai) dan reliogisity. Aspekaspek ini seharusnya menjadi dasar dalam pengembangan sociopreneur. Dengan demikian, sinergi pengembangan spiritual dengan pengembangan socioprenuer urgen untuk diperhatikan karena kata kunci di dalam memulai aktivitas kewirausahaan sosial ini adalah adanya kepekaan sosial dan semangat untuk berbagai bersama.Dukungan struktural pengembangan sociopreneur seperti fasilitasi permodalan, pemasaran, teknologi dan sebagainya perlu untuk dilakukan. Pengembangan kampung-kampung digital yang saat ini gencar dilakukan perlu disinergikan dengan pengembangan sociopreneur. Inisiasi start up kewirausahaan sosial dan pendampingan perlu untuk terus dikembangkan. Pusatpusat inkubasi sociopreneur perlu dikembangkan untuk memfasilitasi start up dan pendampingan kewirausahaan sosial ini. Program-program CSR perusahaan juga perlu di dorong untuk memfasilitasi pengembangan sociopreneur. 2) Fajar Anugerah (Program Manager at Global Entrepreneurship Program Indonesia), Social entrepreneur itu memang semacam ‘mahluk hybrid’. Wirausaha sosial atau social enterprise/entrepreneur umumnya merujuk pada orang/organisasi/lembaga yang memiliki tujuan sosial/lingkungan hidup yang jelas, menggunakan kegiatan ekonomi/usaha untuk mencapai tujuannya (sebagian besar pendapatannya digunakan untuk mencapai tujuan tersebut). Di Eropa, wirausaha sosial yang dianggap terbaik adalah yang dikelola secara demokratis (pengambilan keputusan melibatkan berbagai pemangku kepentingan) untuk memastikan akuntabilitasnya. Jadi fokusnya lebih kepada organisasinya (enterprise) dan bukan pelakunya (entrepreneur)[18]. 3) Dahlan Iskan, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan menyatakan bahwa
mengaku akan menekuni dunia sociopreneur dengan menjalankan usaha di bidang biomass. Nantinya, keuntungan yang didapat dari usahanya tidak akan digunakan untuk kepentingan pribadinya. "Saya sudah mempersiapkan diri bergerak di bidang sociopreneur. Sociopreneur itu pekerjaan sosial tetapi harus dikelola secara korporasi, harus menguntungkan[19]. Dalam tulisan Windu Merdekawati mengkutip pendapat Hery yang menyatakan bahwa “Building New Sociopreneur Generation for Sustainable Development” Entrepreneur yang berwawasan sosial. Entrepreneur yang bisnisnya tidak hanya menghasilkan uang atau profit semata buat dia, namun menghasilkan manfaat buat lingkungan sekitar. "Di desa ada banyak potensi alam. Tapi, kebanyakan mereka menjual raw material (bahan mentah). Produk lokal desa bisa menjadi lebih baik dan mampu mendongkrak pendapatan daerah setempat[20]. Harapan selanjutnya, di masa yang akan datang produk kudapan berbahan baku ikan akan dapat meningkatkan pendapatan Kabupaten Lamongan. 5. METODE PENELITIAN Penelitian ini tergolong penelitian kualitatif, pada jenis Menurut Bogdan dan Bikien, studi kasus observasi merupakan pengujian secara rinci terhadap satu latar atau satu orang subjek[21], yaitu pak Giono sebagai pengusaha UMKM “Crispy Ikan Sunduk” di Kabupaten Lamongan. Obyek penelitian adalah sociopreneur pada UMKM “Crispy Ikan Sunduk” di Kabupaten Lamongan. Teknik pengambilan datanya dengan wawancara dan observasi, peneliti sebagai partisipan langsung. Penelitian dilakukan selama dua tahun yang diamati pada setiap periode kegiatan produksi crispy ikan sunduk. (Periode 1, saat singkronisasi program dan ujicoba. Periode 2, kegiatan produksi, dan periode 3, pendampingan usaha dan perluasan usaha). 6. PEMBAHASAN 6.1 Pemberdayaan nelayan melalui sosiopreneur UKM “Crispy Ikan Sunduk Kab. Lamongan Kegiatan penelitian pemberdayaan nelayan ini dilakukan melalui bagan aliran penelitian, sebagai berikut:
55
Gambar 2.
KUD MinaTani Lamongan
Gambar 3. Subyek Penelitian: Pak Giyono Gambar 1. Bagan Aliran Penelitian
Penelitian pemberdayaan ini, diawali dari penelitian tahun pertaman, tentang diversifikasi produk makanan olahan berbahan dasar ikan, dengan tiga tahapan kegiatan. Kegiatan meliputi pelatihan produksi, praktik produksi produk berstandar mutu, pengembangan produk berstandar mutu dalam kemasan dan pendaftaran PIRT. Pada tahun kedua dilakukan, pengembangan produk dalam kemasan. Kegiatan yang dilakukan adalah survey pasar produk unggulan, validasi hasil, pengemasan dan penguatan jaringan pasar. Kegiatan lanjutan yang akan dilakukan pada tahun mendatang adalah pembentukan model jaringan pemasaran produk. Pengambilan data, pada periode 1 yaitu tentang singkronisasi program, pada kegiatan ini pengusaha melakukan koordinasi dengan pengurus koperasi Mina Tani tentang kegiatan yang dilakukan, ketua pengurus koperasi, yang saat itu bapak Katsulasa memberikan wewenang pengusahaan pada pak Giono selaku penanggung jawab usaha. Pak Giono diberikan mandat untuk melibatkan warga sekitar. Dari wawancara Pak Giono menyatakan kesediaannya dengan menjawab “ ya pak mangke gorengipun direncangi kalian Bu Sri dan Mbak Giyanti tonggo kulo , pak”. Lha terus bagaimana filletnya, Pak Gik, tanya peneliti. Nggeh bu, kulo mangke direncangi Mbak Nur, Bu Win, Bu Sri kaliyan Mbak Giyanti. Nggeh bu, Mas Mujiono kaliyan Mbak Darmi nggeh ngerencangi kulo. Kegiatan selanjutnya, kegiatan yang lain apa Pak Gik, kegiatan mengepak, buk….P Gik dibantu sinten. Kulo direncangi Bu Sri kaliyan Mbak Giyanti. Hasil penelitian pemberdayaan, yang dilakukan dalam kegiatan ini dapat dilihat pada Gambar 2 s.d. Gambar 8 di bawah ini.
Gambar 4. Kegiatan Koordinasi penyamaan Persepsi, Peneliti, UKM dan Staf pengurus Koperasi
Gambar 5. Kegiatan Rangkaian Proses produksi, peneliti dan pekerja yang terlibat
Gambar 6. Bagian Fillet: Nur, Winanti, Sri Sugiyarti, Mujiono, mbah Darmani
56
Gambar 7. Bagian Goreng: Sri Sugiyarti, Giyanti
Gambar 8. Bagian Packing: Sri Sugiyarti, Giyanti
Secara, periode kegiatan pak Giono sudah melakukan sosiopreneur, yaitu dengan cara pengusaha pak Giono telah melakukan kegiatan ekonominya dengan cara melibatkan orang lain untuk meningkatkan pendapatnyanya. Pendapatan yang diperolehnya diimbaskan pada orang-orang sekitar tempat tinggalnya, bahkan lebih jauh dapat digunakan untuk mengembangkan koperasi KUD Mina Tani, yang mana pak Giono sebagai anggota koperasi tersebut. Pak Giono telah mampu meningkatkan pendapatnnya secara mandiri dan dapat bermanfaat untuk orang-orang sekitarnya. Sebenarnya kegiatan pola semacam ini, sebaiknya akan bisa bermanfaat secara nasional dengan pembinaan pada kelompokkelompok yang lain. wirausaha sosial yang dilakukan pada penelitian ini, dianggap baik, karena kegiatan pengembangan produk crispy ikan sunduk ini dikelola secara demokratis (pengambilan keputusan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, yang dalam hal ini adalah pengurus KUD Mina Tani. Meskipun secara akuntabilitas KUD Mina Tani belum dapat mewujudkan secara detail, karena sifatnya belum melibatkan dana dari anggota koperasi yang lain. Modal kopearsi masih bersifat pinjaman mandiri dengan pertanggung jawaban secara mandiri. Kegiatan ini berorientasi pada perseorangan belum pada organisasinya (enterprise). Organisasinya masih mengikuti koperasi tetapi masih belum optimal, masih ada kelemahan untuk disebut sebagai sociopreneur tetapi sebatas ada kebermanfaatan untuk orang-orang sekitarnya. Bila dilakukan pembinaan selanjutnya oleh pihak-pihak yang berempati maka hal ini akan menjadi fenomena global yang perlu dikembangkan lebih lanjut di masa yang akan datang. 6.2 Potensi pemberdayaan nelayan melalui sosiopreneur UKM “Crispy Ikan Sunduk Kab. Lamongan Dari hasil pengamatan, peneliti di lapangan mengamati adanya potensi pada pemberdayaan UKM Crispy ikan sunduk Kab. Lamongan, yaitu : Motivasi
yang besar dari pengurus KUD Mina Tani Kab. Lamongan, pak Giono sebagai subyek penelitian dan motivasi dari masyarakat sekitar yang mau terlibat, antara lain : Nur, Winanti, Sri Sugiyarti, Mujiono, mbah Darmani. Kerjasama yang saling sinergi ditunjukkan dengan cara mereka mau menerima masukan dan saran dari peneliti dengan perhatian yang baik. Hasil penelitian menunjukkan telah terbentuk embrio sociopreneur, tetapi belum optimal. Tenaga kerja secara keseluruhan bisa diprediksi pada pengajian yang sesuai UMR. Selain itu belum ada keterbukaan laporan keuangan dari UKM, mengingat mereka berusaha dengan modal sendiri. 6.3 Tantangan pemberdayaan nelayan melalui sosiopreneur UKM “Crispy Ikan Sunduk Kab. Lamongan Tantangan yang ditemui dari pemberdayaan UKM Crispy ikan sunduk, antara lain: Tantangan terbesar adalah dari bahan baku. Peneliti pernah melakukan pemesanan yang tak terencana, tanggapan pak Giono, dengan lugunya menyatakan, “buk… la bagaimana ini ikan tidak ada musim angin bu”. Hal ini menunjukkan bahwa kontinuitas usaha terhalang oleh pengadaan bahan baku yang tergantung musim. Dan didukung dengan adanya kondisi, pak Giono pernah telepon pada peneliti tentang melimpahnya bahan baku, buk… niki kathah iwak pesen sakniki mawon ngeh”. Pengusaha masih mengalami produksi yang belum stabil. permasalahan yang lain, masih pada pemasaran yang belum stabil, pada saat hari raya banyak konsumen yang suka produk crispy untuk pengganti makanan kudapan yang berkolesterol tinggi, ikan menjadi penggantinya. Pernyataan ini, berasal dari salah satu respoden, yang menyatakan bahwa….wah niki enak bu yun untuk yang diet…tapi kok awis. Hal ini terbikti pada hasil penelitian yang menunjukkan bahwa yang mampu membeli adalah masyarakat yang golongan ekonomi menengah ke atas. Harganya masih relative mahal karena bahan dasarnya ikan juga sudah mahal. Harga HPP per 200 gr adalah Rp 25.000,00 dan harga jual hingga mencapai Rp 27.500,00 sampai Rp 30.000,00. Permasalahan yang berkaitan dengan sociopreneur adalah tentang transparan laporan keauangan, permasalan permodalan selama ini diupayakan oleh pengusaha secara mandiri, koperasi membantu tetapi tidak berhak meminta pertanggungjawaban pada UKM karena resiko ditanggung seluruhnya oleh anggota sebagai pengusaha. Meskipun pada awalnya diberikan permodalan yang sifatnya barang modal dan perbaikan tempat usaha. Jadi permasalahan yang timbul adalah masalah yang dihadapi sebagian besar UKM, yaitu kendala alam (bahan baku ikan), kontinuitas produksi, modal, pemasaran dan transparansi usaha.
57
7. SIMPULAN 1) Organisasinya masih mengikuti koperasi, secara organisasi belum mampu menyusun manajerial, usaha sudah diupayakan untuk menuju sociopreneur tetapi masih belum optimal, masih ada kelemahan untuk disebut sebagai sociopreneur, yaitu sebatas ada kebermanfaatan untuk orang-orang sekitarnya dan tranparasi dalam pengelolaan usaha. 2) Motivasi dan kerjasamayang besar dari pengurus KUD Mina Tani Kab. Lamongan, pak Giono sebagai subyek penelitian dan motivasi dari masyarakat sekitar yang mau terlibat, antara lain : Nur, Winanti, Sri Sugiyarti, Mujiono, mbah Darmani. 3) Jadi permasalahan yang timbul adalah masalah yang dihadapi sebagian besar UKM, yaitu kendala alam (bahan baku ikan), kontinuitas produksi, modal, pemasaran dan transparansi usaha. 8. SARAN 1) Selanjutnya perlu diperluas jaringan dampak usaha pada lingkungan yang lebih luas. Kegiatan ini perlu dikembangkan pada jenis usaha perluasan usaha pengembagan produk berbahan baku ikan yang bisa dikembangkan oleh nelayan yang lain. 2) Perlu dikembangkan pada kegiatan peningkatan motivasi dan kerjasama diantara para nelayan, dilakan upaya perluasan pasar untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan, melalui peran serta pemerintah dan lembaga yang berkemampuan dalam pengembangan usaha nelayan. 3) Koperasi sebagai lembaga perantara antara masyarakat dan pemerintah, secara terus menerus berupaya untuk membantu nelayan di bidang pengadaan bahan baku, produksi, permodalan dan memberikan tempat dan jaringan pemasaran yang mendukung optimalisasi kesejahteraan anggotanya. 9. DAFTAR PUSTAKA [1]. J. Surjanti, D. A. Nuswantara, and R. D. S.Y.Mende, (2015). Pengembangan Rintisan Produk Unggulan Daerah Melalui Pendampingan Kelompok Bisnis Makanan Berbahan Dasar Ikan Di Kabupaten Lamongan (MP3EI DP2M). [2]
J. Surjanti, D. A. Nuswantara, R. D. S.Y.Mende, and R. P. Juniarti, (2016). Pengembangan Rintisan Produk Unggulan Daerah Melalui Pendampingan Kelompok Bisnis Makanan Berbahan Dasar Ikan Di Kabupaten Lamongan (MP3EI DP2M).
[3]
BAPPEDA, (2016). BAPPEDA Jatim 2016. [Online]. Available: http://bappeda.jatimprov.go.id/
[4]
UU-RI, (2008). UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM.
[5]
J. Surjanti, (2009). Model Peningkatan Pendapatan Nelayan Dan Perluasan Lapangan Kerja Melalui Pengembangan Produk Hasil Tangkapan
Kelompok Tani Lamongan.
”Rukun
Nelayan”
Paciran-
[6]
G. Kartasasmita, (1996). Pembangunan untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Jakarta: PT. Pustaka Cidesindo.
[7]
G. Sumodiningrat, (1998). Pemberdayaan Masyarakat dan Jaring Pengaman Nasional. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
[8]
Kompas.com, (2013). Bidik Pasar UMKM, Telkom Geber Program SSLBB di Surabaya. Kompas.com.
[9]
Tempo.com, (2014). Kredit UMKM di Jawa Timur Melonjak. Tempo.com, 08-Apr-2014.
[10] Kompas.com, (2012). Lamongan Penghasil Ikan Terbesar Di Jawa Timur. Kompas.com., 18-Dec2012. [11] UU-RI, (2004). UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. [12] Bappenas, (2016). Pemberdayaan Koperasi dan UMKM. Bappenas. [Online]. Available: http://www.bappenas.go.id/files/5613/ 5229/8326/bab20__20091007094529__2158__21.pd f [13] Sudaryanto and A. Hanim, (2002). Evaluasi kesiapan UKM Menyongsong PasarBebas Asean (AFTA): Analisis Perspektif dan Tinjauan Teoritis, J. Ekon. Akunt. dan Manaj., vol. 1, no. 2. [14] R. Sudaryanto and W. R. Rahma, (2014). Pusat Kebijakan ekonomi BKF. Kemenkeu: Kemenkeu. [15] Kompas, (2014). Nawa Cita, 9 Agenda Prioritas Jokowi-JK, Kompas.com, 21-May-2014. [16] P. Penyuluhan, (2016). Program Nawacita dalam Penyuluhan Kelautan dan Perikanan, Kpp.go.id, 6. [Online]. Available: http://pusluh.kkp.go. id/arsip/c/1676/ [17] H. Suyatna, (2016). Menuju Generasi Sociopreneur, Kedaulatan Rakyat, 06-Sep-2016. [18] F. Anugerah, (2016). Anugerah, Fajar. Sociopreneur Harapan di Masa Depan, kinciakincia.com, 21-Mar2016. [19] Sindonew, (2014). Tekuni Sociopreneur Pasca Tak Jadi Menteri, Sindonew, 25-Sep-2014. [20] W. Merdekawati, (2015). Jangan Orientasi Profit, Tebarkan Juga Manfaat Sosial, Baratamedia, 15Jun-2015. [21] R. C. Bogdan and S. K. Biklen, (1982). Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory and Methods. Boston: Allyn and Bacon, Inc,
58
59