Irtifaq, Vol. 2, No. 1, Maret 2015 : 1 – 20 ISSN : 2536-0983 _______________________________________________________________
PERANGKAT-PERANGKAT KONSTRUKSI HUKUM ISLAM (Telaah tentang H}ukm, H}a>kim dan Mah}ku>m ‘Alayh) M. Chamim * Abstract A construction of thought certainly has a number of important devices that became a cornerstone of thought itself, no exception in Islamic legal thought. Devices construction of Islamic law is the first and foremost element of Islamic law before being applied to the mah}kum fi>h. There are three devices that became a cornerstone of the construction of Islamic Law, namely: (1) h}ukm/hukum, (2) h}a>kim, (3) mah}kum ‘alayh.. Despite talk of Islamic Law, however, is ultimately up to the implementation to mah}kum fi>h. But on the other hand, the application was actually determined by the readiness of the devices construction. This paper focuses on the discussion of the three sets of construction of Islamic Law and the implications arising from differences related to the understanding of three construction device of Islamic Law itself. Keywords : hukum, h}a>kim, mah}kum ’alayh
*
Dosen pada Fakultas Syari’ah Unhasy Tebuireng, Jombang.
1
Perangkat Konstruksi Hukum Islam .......
(M. Chamim)
A. Pendahuluan Referensi hukum Islam menyebutkan bahwa dalam hukum Islam terdapat dua unsur, yaitu: (1) perangkatperangkat konstruksi hukum Islam dan (2) objek hukum Islam yang lazim disebut mah}kum fi>h. Perangkat-perangkat konstruksi Hukum Islam merupakan unsur pertama dan utama hukum Islam sebelum diterapkan kepada mahku>m fih. Ada tiga perangkat yang menjadi soko konstruksi hukum Islam, yaitu: (1) h}ukm, (2) h}a>kim, (3) mah}ku>m ‘alayh (subjek hukum/ orang mukallaf) sedangkan mah}ku>m fi>h adalah objek hukum, yaitu perbuatan manusia (orang mukallaf) yang terkait dengan titah shari’ (Allah dan Rasul-Nya). Meski bagaimanapun perbincangan tentang hukum Islam, pada akhirnya sampai pada pelaksanaannya kepada mah}ku>m fi>h. Tetapi di sisi lain, penerapan itu justru ditentukan oleh kesiapan perangkat-perangkat konstruksinya. Oleh karena itu, maka persoalan perangkatperangkat konstruksi hukum Islam menjadi penting untuk diprioritaskan pemecahannya dalam pembahasan hukum Islam, sebelum membahas dan menerapkanya kepada mah}ku>m fih. Di samping itu, pentingnya prioritas pembahasan tentang perangkat-perangkat konstruksi hukum Islam dimaksudkan agar dalam penerapannya itu tidak terjadi kesalahpahaman, kesalahtafsiran atau bahkan rekayasa, khususnya oleh penegak hukum (hakim). Dengan memperhatikan paparan di atas, maka penulis ajukan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Hukum Irtifaq, Vol. 2, No. 1, Maret 2015 : 1 – 20
2
Perangkat Konstruksi Hukum Islam .......
(M. Chamim)
a. Apakah pengertian hukum? b. Bagaimanakah pembagian hukum? c. Bagaimanakah diskusi para ahli komposisi hukum dan implikasinya?
tentang
2. H}a>kim a. Apakah pengertian h}a>kim? b. Bagaimanakah otoritas h}a>kim dalam penetapan hukum?
3. Mah}kum ‘alayh a. Apakah pengertian mah}kum ‘alayh dan dasar takli>f? b. Apakah syarat-syarat dan wilayah cakupan mah}kum ‘alayh? Untuk memecahkan masalah-masalah tersebut di atas, penulis menggunakan pendekatan normatif, yaitu pendekatan dalam pemecahan masalah berdasarkan norma-norma tekstual dalam al-Qur’an, sunnah dan usul fiqh. Pendekatan terakhir ini lazim disebut pendekatan filosofis atau dalam konteks ini disebut normatif-filosofis. Sedangkan metode yang digunakan adalah metode deskriptif. Metode deskriptif adalah kajian dengan melukiskan keadaan subjek (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain) berdasarkan faktafakta/ data-data yang tampak sebagaimana apa adanya. Melalui sifatnya itu, metode deskriptif bersifat menemukan fakta-fakta (fact-finding), kemudian memberikan penafsiran terhadapnya.1 1
Handari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1991), 81.
3
Irtifaq, Vol. 2, No. 1, Maret 2015 : 1 – 20
Perangkat Konstruksi Hukum Islam .......
(M. Chamim)
Dengan metode tersebut, penulis berusaha sedapat mungkin untuk menggambarkan perangkat-perangkat konstruksi hukum Islam yang meliputi h}ukm, h}a>kim dan mah}kum ‘alayh (termasuk bagian-bagian subtansi masalahnya masing-masing) berdasarkan data-data tekstual, sebagaimana apa adanya, kemudian penulis berusaha untuk menafsirkannya sesuai dengan kapasitas topik. B. Hukum 1. Pengertian Hukum Secara etimologis, hukum berarti “al-man’” (mencegah). Sedangkan secara terminologis, hukum berarti khit}a>bullah yang menyangkut perbuatan orang dewasa dan berakal sehat, baik bersifat imperatif, fakultatif, ataupun menempatkan sesuatu sebagai sebab syarat dan penghalang (huwa khit}a>b Allah al-muta’alliq
bi af’a>l al-mukallafi>n bi al-iqtid}a>’ aw al-takhbi>r aw alwad}’).2 Dalam definisi tersebut terkandung lima istilah konseptual, yaitu: (a) khit}a>b (b) iqtid}a (c) al-muta’allaq af’al al-mukallafin (d) takhbi>r dan (e) al-wad}’. Masingmasing istilah tersebut penulis jelaskan sebagai berikut: a. Khit}a>b adalah tuntunan Allah secara mutlak, baik langsung dari Allah seperti al-Qur’an atau dengan perantara seperti sunnah, ijma’, qiyas, dan dalil-dalil syari’at. b. Iqtid}a (imperatif) adalah tuntunan atau adakalanya tuntutan mengerjakan dan tuntunan untuk meninggalkan perbuatan. 2
Wahbah al-Zuhayli, Us}u>l al-Fiqh al-Isla>my wa Adillatuh, Juz I (Beirut: Dar Al-Fikr, 1986), 38.
Irtifaq, Vol. 2, No. 1, Maret 2015 : 1 – 20
4
Perangkat Konstruksi Hukum Islam .......
(M. Chamim)
c. al-Muta’allaq af’a>l al-mukallafi>n adalah perbuatan yang dilakukan oleh manusia dewasa yang berakal sehat. d. Takhbi>r (fakultatif) alternatif kebolehan untuk dikerjakan atau ditinggalkan dengan posisi yang sama. e. al-Wad}’ adalah memposisikan sesuatu sebagai penghubung hukum, baik berbentuk sebab, syarat, ma>ni’, sah, rusak, ‘azi>mah, ataupun rukhsah. 2. Pembagian Hukum Bertitik tolak pada definisi hukum di atas, penulis kemudian menemukan pendapat Abu Zahrah yang membagi hukum menjadi dua bagian, yaitu: a. Hukum taklify Hukum taklify adalah tuntunan Allah yang menuntut manusia untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu, atau memilih antara berbuat atau meninggalkan sesuatu perbuatan. Macam-macam hukum taklify ada lima macam, yaitu: (1) al-I<ja>b, (2) al-nadb, (3) al-iba>h}ah, (4) al-kara>hah dan (5) altah}ri>m. Macam-macam hukum tersebut menuntut perbuatan-perbuatan manusia untuk melaksanakannya, sehingga melahirkan hukum-hukum perbuatan yang disebut wajib, mandu>b, muba>h}, makru>h, dan h}ara>m. Hukum-hukum perbuatan yang dituntut oleh (atau merupakan akibat dari) macammacam hukum tersebut, masuk kategori “pembagian hukum”. Dengan demikian dapat difahami bahwa macam-macam hukum merupakan standar hukum dalam bentuk tuntunan berupa perbuatan nyata. 5
Irtifaq, Vol. 2, No. 1, Maret 2015 : 1 – 20
Perangkat Konstruksi Hukum Islam .......
(M. Chamim)
b. Hukum wad}’iy3 Hukum wad}’iy adalah tuntunan Allah yang menuntut untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang dari sesuatu yang lain. Macam-macam hukum wad}’iy ada tujuh yaitu: sebab, syarat, ma>ni’ (penghalang), sih}h{a>h} (sah), ba>t}il, fasa>d (rusak), ‘azi>mah (penetapan sejak awal) dan rukhs}ah (keringanan untuk kondisi tertentu). c. Perbedaan hukum takli>fy dan hukum wad}’iy Ada empat perbedaan antara hukum takli>fy dan hukum wad}’iy, sebagaimana penjelasan berikut4: 1) Dalam hukum takli>fy terkandung tuntutan untuk melaksanakan, meninggalkan, atau memilih berbuat atau tidak berbuat. Sedangkan dalam hukum wad}’iy mengandung keterkaitan antara dua persoalan, sehingga salah satu di antara keduanya dapat dijadikan sebab, penghalang, atau syarat. 2) Hukum takli>fy merupakan tuntutan langsung kepada mukallaf untuk dilaksanakan, ditinggalkan, atau dipilih untuk diperbuat atau tidak. Sedangkan hukum wad}’iy tidak dimaksudkan agar langsung dilakukan oleh mukallaf. Hukum wad}’iy ditentukan oleh Sha>ri’ agar dapat dilaksanakan hukum takli>fy. Misalnya, zakat itu hukumnya wajib (hukum takli>fy). Tetapi kewajiban ini tidak dapat 3
Abu Zahrah, Us}u>l al-Fiqh, (Beirut : Da>r al-Fikr al-Isla>my, t.th.), 27. Periksa ‘Abd al-Wahab Khallaf, ‘Ilm Us}u>l al-Fiqh, (Kuwait: Da>r alQalam, 1983) 116; periksa juga Zakiy al-Di>n Sha’ba>n, Us}u>l al-Fiqh al-Isla>my, (Mesir: Da>r al-Ta’ri>f, 1961), 248 dan Muhammad Zakaria al-Bardisi, Us}u>l al-Fiqh, (Mesir Dar al-Nahz}ah al-’Arabiyyah, 1969), 51. 4
Irtifaq, Vol. 2, No. 1, Maret 2015 : 1 – 20
6
Perangkat Konstruksi Hukum Islam .......
(M. Chamim)
dilaksanakan apabila harta tersebut tidak mencapai ukuran satu nis}ab dan belum hawl. Ukuran satu nis}ab merupakan penyebab (hukum wad}’iy) wajib zakat dan hawl merupakan syarat (hukum wad}’iy) wajib zakat. 3) Hukum takli>fy harus sesuai dengan kemampuan melaksanakan atau meninggalkannya, karena hukum tersebut tidak boleh ada kesulitan (mashaqqah) dan kesempitan (h}araj) yang tidak mungkin dipikul oleh mukallaf. Sedangkan dalam hukum wad}’iy hal seperti itu tidak dipersoalkan, karena mashaqqah dan h}araj dalam hukum wad}’iy kadang kala dapat dipikul oleh mukallaf (seperti menghadirkan saksi sebagai syarat dalam pernikahan) dan kadang kala diluar kemampuan mukallaf (seperti tergelincirnya matahari bagi wajibnya salat duhur). 4) Hukum takli>fy ditunjukan kepada mukallaf, yaitu orang telah baligh dan berakal sehat, sedangkan hukum wad}’iy ditujukan kepada semua manusia baik yang mukallaf maupun yang belum seperti anak kecil dan orang gila. d. Diskusi para ahli tentang hukum takli>fy dan implikasinya Diskusi ini hanya bersekitar persoalan “macammacam hukum” takli>fy, yang melibatkan perbedaan pandangan antara jumhur ulama atau mutakallimi>n dan ulama Hanafiyah.5 Menurut ulama atau mutakallimi>n, macam-macam hukum takli>fy mencakup tujuh macam, yaitu: al-i>ja>b, al-nadb, al5
Sayf al-Di>n al-Amidy, al-Ih}ka>m fi Us}u>l al-Ah}ka>m, Jil.I (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1983), 91-101.
7
Irtifaq, Vol. 2, No. 1, Maret 2015 : 1 – 20
Perangkat Konstruksi Hukum Islam .......
iba>h}ah},
al-kara>hah
dan
(M. Chamim)
al-tah}ri>m.
Sedangkan menurut Ulama’ Hanafiyah, macam-macam hukum takli>fy mencakup tujuh macam, yaitu: Iftira>d, I<ja>b,
nadb, iba>h}ah}, kara>hah tah}ri>miyyah, tah}ri>m.
tanzihiyyah,
kara>hah
Dari perbedaan pendapat kedua aliran tersebut, dapat diagenda lima catatan pokok, sebagaimana penjelasan berikut: 1) Sebagaimana Ulama’ Hanafiyah membagi tingkatan hukum makru>h menjadi makru>h tanzi>h dan makru>h tah}ri>m, Jumhur Ulama’ usul fiqh juga membagi hukum mandu>b kepada beberapa tingkatan. Hukum mandu>b mereka dibagi menjadi sunnah mu’akkadah, sunnah ghayr muakkadah, dan sunnah za>idah. Meskipun demikian, mereka menempatkan bagian ini sebagai bagian tersendiri dari hukum takli>fy. 2) Perbedaan antara yang Fard}u dan yang wajib menimbulkan implikasi yang membingungkan. Misalnya, membaca surat al-Fa>tih}ah dalam setiap shalat. Apabila pembagian tersebut diikuti, maka akibatnya adalah bacaan itu fard}u bagi Rasulullah SAW. dan sahabat yang langsung menerima dan mendengar hadits dari Rasul, sehingga kalau tidak dibaca, shalatnya batal. Sedangkan bagi sahabat lain yang tidak menerima dan mendengarkan langsung hadits itu dari Rasulullah dan generasi sesudahnya, maka hukum membacanya menjadi wajib, sehingga apabila ditinggalkan maka tidak membatalkan shalatnya, karena hadits yang menjelaskan alFa>tih}ah dalam shalat hanyalah hadits ahad. Hal seperti ini jelas tidak diterima oleh syara’, karena tidak ada perbedaan antara Rasul, para sahabat yang Irtifaq, Vol. 2, No. 1, Maret 2015 : 1 – 20
8
Perangkat Konstruksi Hukum Islam .......
(M. Chamim)
mendengar dan menerima hadits secara langsung dari Rasul, dan kaum muslim lainnya mengenai kewajiban membaca surat al-Fa>tih}ah dalam shalat. 3) Hukum-hukum syara’ yang bersifat qat}’iy , baik dari segi periwayatan maupun dala>lahnya sangat terbatas. Hal ini juga mambawa akibat, terbatasnya hukum fard}u sebagaimana pendapat Ulama’ Hanafiyah. 4) Perbedaan lafal fard}u dan wajib secara etimologis tidak membawa pengaruh dalam hukum dan tidak dapat dikuatkan oleh salah satu di antara keduanya. Karena pembicaraan para ulama’ usul fiqh tentang fard}u dan wajib adalah dalam pengertian terminologisnya. Di samping itu, al-Qur’an menggunakan kedua hal tersebut (fard}u dan wajib) untuk makna yang sama. Misalnya firman Allah dalam surat al-Baqarah: 197:
وق َوال َ َوال فُ ُس الز ِاد َّ فَِإ َّن َخحي َر
ِ ا حْل ُّج أَ حشهر معلُومات فَمن فَر ث َ َض في ِه َّن ا حْلَ َّج فَال َرف َ َ ٌُ َ ح َ ٌ َ ح َ ِ ِج َد َال ِِف ا حْلَ ِّج َوَما تَ حف َعلُوا م حن َخ حٍْي يَ حعلَ حمهُ اللَّهُ َوتََزَّوُدوا ِ ِ ُوِل األلحب اب َ ِ التَّ حق َوى َواتَّ ُقون يَا أ
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, Maka tidak boleh rafats, berbuat Fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan Sesungguhnya Sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal. 9
Irtifaq, Vol. 2, No. 1, Maret 2015 : 1 – 20
Perangkat Konstruksi Hukum Islam .......
(M. Chamim)
Kata fard}u dalam ayat ج َّ َض فِي ِه َّن ا حْل َ ( فَ َم حن فَ َرsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu untuk mengerjakan haji) itu berarti awjab (diwajibkan). 5) Perbedaan lafal fard}u dan wajib di kalangan kedua aliran usul fiqh tersebut semata-mata perbedaan lafal dan istilah, sesuai dengan ungkapan al-Amidi: “wa bi al-jumlah fa al-mas’alah lafdhiyyah” (Prinsipnya, Perbedaan itu hanya bersifat lafdhi). Sedangkan para Ulama’ Usul sendiri mengatakan: “la musha>h}ah fi al-istila>h} “ (Tidak ada pengaruh dalam perbedaan istilah, selama kandungan dan maknanya sama). Perbedaan pendapat antara kedua aliran usul fiqh tersebut bertolak dari sisi kekuatan dalail hukum dan tentu saja dikemas dalam gaya presentasi dan penjelasannya masing-masing. Di balik itu, yang lebih menarik lagi untuk diperhatikan adalah implikasi-implikasi yang muncul, sebagai berikut: 1) Apabila suatu tuntutan fard}u atau tah}ri>m diingkari oleh seseorang, menurut Ulama’ Hanafiyyah hukumnya kafir, karena fard}u atau tah}ri>m ditetapkan berdasarkan dalil qat}’iy yang tidak mungkin ditakwilkan. Apabila tuntutan i>ja>b (wajib) diingkari oleh seseorang, maka dia tidak dihukumi kafir, karena hukum wajib itu ditetapkan berdasarkan dalil z}anniy. Tetapi, Jumhur Ulama’ Usul fiqh atau mutakallimin tidak membedakan antara fard}u dan wajib. Orang yang mengingkari suatu fard}u, wajib, dan haram tidak dihukumi kafir. Irtifaq, Vol. 2, No. 1, Maret 2015 : 1 – 20
10
Perangkat Konstruksi Hukum Islam .......
(M. Chamim)
2) Ulama’ Hanafiyyah mengatakan bahwa apabila seseorang meninggalkan pekerjaan fard}u dalam suatu ibadah, maka ibadahnya batal dan dia wajib mengulanginya dari awal. Misalnya, Seseorang meninggalkan ruku’ atau sujud dalam shalat (hukum keduanya fard}u), maka shalatnya batal, dan dia wajib mengulanginya dari awal. Tetapi, apabila yang ditinggalkannya itu adalah pekerjaan yang wajib, maka amalannya tidak batal, melainkan tidak sempurna. Misalnya: meninggalkan bacaan surat alFa>tih}ah dalam setiap raka’at shalat. Orang yang tidak membaca al-Fa>tih}ah dalam shalat, Shalatnya kurang sempurna, Dia boleh mengulanginya atau juga melanjutkannya dengan resiko dosa, Karena telah meninggalkan perbuatan wajib. Pendapat tersebut berbeda dengan pendapat jumhur ulama’ Usul Fiqh atau Mutakallimin yang mengatakan bahwa apabila amalan shalat yang wajib atau yang fard}u ditinggalkan oleh seseorang, maka shalatnya batal, karena dia tidak membedakan antara yang fard}u dan yang wajib. Oleh sebab itu, apabila dia meninggalkan bacaan al-Fa>tih}ah dalam shalat, maka shalatnya batal dan dia wajib mengulanginya. 3) Perbuatan yang masuk dalam kara>hah tah}ri>miyyah, Menurut Ulama’ Hanafiyyah, Apabila dikerjakan mendapat dosa, meskipun orang yang mengingkarinya tidak dihukumi kafir. Sedangkan perbuatan yang termasuk kara>hah tanzihiyyah, pelakunya tidak dihukum, tidak dicela, dan tidak dikenai sanksi dosa, akan tetapi perbuatan itu tidak termasuk perbuatan yang bernilai. Tetapi menurut Jumhur Ulama’ Usul Fiqh atau mutakallimin, 11
Irtifaq, Vol. 2, No. 1, Maret 2015 : 1 – 20
Perangkat Konstruksi Hukum Islam .......
(M. Chamim)
kara>hah itu hanya satu bentuk, pelakunya tidak dikenai sanksi hukuman, tetapi dicela. Sedangkan kara>hah tah}ri>miyyah, dalam peristilahan Hanafiyyah, sama dengan h}urmah dalam peristilahan Jumhur Ulama’ Usul Fiqh atau Mutakallimin. C. H}a>kim H}a>kim merupakan persoalan mendasar dalam perspektif usul fiqh, karena berkaitan dengan “siapa pembuat hukum sebenarnya dalam syari’at Islam, siapakah yang menentukan hukum syara’”, apakah akal sebelum datangnya wahyu mampu menentukan baik buruknya sesuatu, sehingga orang yang berbuat baik diberi pahala dan yang berbuat buruk dikenakan sanksi.” Dalam ilmu usul fiqh, h}a>kim disebut juga dengan Sha>ri’. Mengenai pengertian h}a>kim, tidak ada perbedaan pendapat diantar para ulama usul fiqh bahwa yang dimaksud h}a>kim adalah Allah SWT6, kecuali pada pengertian hukum sebelum Nabi Muhammad SAW diangkat sebagai Rasulullah. Kekecualian tersebut mengundang diskusi perbedaan pendapat antara aliran Ahl al-Sunnah wa alJama>’ah dan Mu’tazilah, tentang siapa yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menjelaskan hukum (pengertian kedua tentang h}a>kim) sebelum Nabi Muhammad SAW diangkat sebagai 6
Al-Zuhaily, Us}u>l al-Fiqh ......., 115. Dalam hal ini dijumpai dua pengertian hakim, yaitu (1) pembuat, yang menetapkan, yang memunculkan, dan sumber hukum. (2) yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan dan menyingkap-kan hukum. Bandingakan dengan Nasrun Harun, Ushul Fiqh (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 258.
Irtifaq, Vol. 2, No. 1, Maret 2015 : 1 – 20
12
Perangkat Konstruksi Hukum Islam .......
(M. Chamim)
Rasulullah. Diskusi tesebut menajam ke persoalan baik-buruk dan kemampuan akal7. Sebagian ulama usul fiqh Ahl al-Sunnah wa alJama>’ah mengatakan bahwa sebelum Nabi Muhammad SAW diangkat sebagai Rasulullah, tidak ada h}a>kim dan tidak ada hukum shar’iy. Alasan mereka adalah bahwa hukum tidak dapat diperoleh kecuali melalui Rasul, sedangkan akal tidak mampu mencapainya. Oleh karena itu, menurut mereka, h}a>kim adalah Allah SWT. Ulama Mu’tazilah mengatakan bahwa h}a>kim adalah Allah SWT, tetapi akal mampu menemukan hukum-hukum Allah dan mampu menyingkapkan serta menjelaskan, sebelum datangnya shara’. Persoalan tersebut oleh ulama usul fiqh dikenal dengan istilah “al-tah}si>n wa al-taqbi>h}” ada empat perbandingan pengertian yang dikemukakan oleh ulama usul fiqh tentang “al-h}usn” dan “al-qabh}” sebagaimana penjelasan berikut: 1. “Al-h}usn” berarti seluruh perbuatan yang sesuai dengan tabiat manusia, seperti rasa manis, menolong orang yang tenggelam. Sedangkan “al-qabh}” berarti sesuatu yang tidak disenangi oleh tabiat manusia, seperti pahit, mengambil harta orang lain secara aniaya. 2. “al-h}usn” berarti sifat yang sempurna, seperti pengetahuan, kemuliaan, sedangkan “al-qabh}” berarti sifat yang negatif, berupa kekurangan seseorang, seperti bodoh, kikir.
7
Nasrun Harun, Ushul Fiqh,.... 288-292.
13
Irtifaq, Vol. 2, No. 1, Maret 2015 : 1 – 20
Perangkat Konstruksi Hukum Islam .......
(M. Chamim)
3. “al-h}usn” berarti sesuatu yang boleh dikerjakan oleh manusia, dia mengetahui kebaikannya. Sedangkan “al-qabh}” berarti sesuatu yang tidak boleh dikerjakan oleh manusia dan tidak dapat dicapai oleh akal. 4. “al-h}usn” berarti sesuatu yang apabila dikerjakan maka orang yang mengerjakannya mendapat pujian di dunia dan mendapat imbalan di akhirat, seperti taat. Sedangkan “al-qabh}” berarti sesuatu yang apabila dikerjakan maka orang yang mengerjakannya mendapat cercaan di dunia dan siksaan di akhirat. Dari keempat pengertian tersebut, pengertian pertama dan kedua disepakati oleh seluruh ulama bahwa hal itu dapat dicapai oleh akal. Sedangkan pengertian ketiga dan keempat menjadi persoalan dikalangan para ulama, apakah hal tersebut dapat dicapai oleh akal atau tidak. Ahl al-sunnah wa al-jama>’ah berpendapat bahwa ssebelum diangkatnya Rasul dan turunya syariat, akal manusia tidak mampu menetapkan hukum. Akal manusia tidak mengetahui bail buruk tanpa perantaraan rasul dan kitab-kitab samawi. Argumentasinya adalah QS an-Nisa’: 165:
ِِ ِ ين لِئَال يَ ُكو َن لِلن ُّ َّاس َعلَى اللَّ ِه ُح َّجةٌ بَ حع َد ُالر ُس ِل َوَكا َن اللَّه َ ين َوُمحنذر َ ُر ُسال ُمبَ ِّش ِر ِ يما ً َع ِز ًيزا َحك “(Mereka Kami utus) selaku Rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya Rasul-rasul itu. dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” Irtifaq, Vol. 2, No. 1, Maret 2015 : 1 – 20
14
Perangkat Konstruksi Hukum Islam .......
(M. Chamim)
Pemahaman dari ayat ini menurut Ahl al-sunnah wa al-jama’ah adalah “Kami tidak akan mengajak seseorang sebelum kami mengutus seorang rasul”. Sedangkan mu’tazilah megemukakan bahwa akal manusia mampu menemukan hukum-hukum Allah, sebelum datangnya syariat. Akal manusia dapat menentukan baik buruk tanpa perentaraan rasul dan kitab samawi. Sesuatu dikatakan baik atau buruk terletak pada zatnya. Oleh karena itu, baik dan buruk dapat dicapai dan ditetapkan melalui akal. Argumentasinya adalah ayat yang dikemukakan oleh Ahl al-sunnah wa al-jama>’ah diatas. Menurut mu’tazilah, kata “Rasul” dalam ayat itu berarti akal. Oleh karena itu, terjemahan ayat tersebut adalah “kami tidak akan mengazab seseorang sampai kami berikan akal kepadanya. D. Mah}ku>m ‘Alayh 1. Pengertian Mahkum ‘alayh dan Dasar Taklif Para ulama usul fiqh mengatakan bahwa yang dimaksud mah}kum ‘alayh adalah seseorang yang perbuatanya dikenai khita>b Allah SWT, yang disebut mukallaf.8 Demikian juga pendapat yang dikemukakan oleh Wahbah al-Zuhaili.9 Secara etimologis, mukallaf berarti yang dibebani hukum. Dalam usul fiqh, istilah mukallaf disebut juga mah}kum ‘alayh (subjek hukum). Mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum. Baik hukum yang berhubungan dengan perintah Allah maupun larangan-Nya. Seluruh tindakan hukum 8 9
Ibid, 304 al-Zuhaily, Us}u>l al-Fiqh,.....158.
15
Irtifaq, Vol. 2, No. 1, Maret 2015 : 1 – 20
Perangkat Konstruksi Hukum Islam .......
(M. Chamim)
mukallaf harus dipertanggung jawabkan. Apabila dia mengerjakan perintah Allah, maka dia mendapat imbalan pahala dan kewajibanya terpenuhi. Tetapi apabila dia mengerjakan larangan Allah, maka dia mendapat resiko dosa dan kewajibannya belum terpenuhi.10 Atas dasar penjelasan tersebut, dapat dikatakan bahwa mukallaf adalah orang yang terbebani hukum, karena secara hukum dia dipandang mampu bertindak hukum. Kemudian, status mukallaf tersebut dalam kajian hukum Islam terkait secara langsung dengan takli>f (pembebanan hukum). Seorang manusia belum dikenakan takli>f, sebelum dia dinilai cakap oleh hukum untuk bertindak hukum. Berkaitan dengan takli>f tersebut, para ulama’ usul fiqh mengemukakan bahwa dasar takli>f adalah akal dan pemahaman. Maksudnya adalah seseorang dapat dibebani hukum apabila dia berakal dan dapat memahami secara baik takli>f yang ditujukan kepadanya. Dengan demikian, orang yang tidak atau yang belum berakal , seperti orang gila dan anak kecil, tidak dikenakan taklif. Oleh karena mereka tidak atau belum berakal, maka mereka dianggap tidak dapat memahami takli>f dari syara’. Termasuk ke dalam golongan ini adalah orang yang dalam keadaan tidur, mabuk, dan lupa. Orang yang sedang tidur, mabuk, atau
10
Sa’ad al-Di>n, Mas’u>d ibn Umar al-Taftazany, Sharh} al-Talwi>h ‘ala al-Tawd}i>h, (Mekkah Al-Mukarramah, Da>r al-Ba>z, t.th.), 142; Amir Bad Shah, Taysi>r al-Tah}ri>r, Jil II, (Mesir: Mustafa al-Ba>b, al-Halabi, 1351 H.), 238, Sha’ban, Us}u>l al-Fiqh, ..... 297.
Irtifaq, Vol. 2, No. 1, Maret 2015 : 1 – 20
16
Perangkat Konstruksi Hukum Islam .......
(M. Chamim)
lupa, tidak dikenai takli>f, karena dia dalam keadaan tidak sadar.11 Penjelasan tersebut seirama dengan sabda Rasulullah SAW:
الصغِ ِْي َح ََّّت يَكحبَ َر َو َع حن َّ ظ َو َع حن َ ُرفِ َع الح َقلَ ُم َع حن ثََالثٍَة َع حن النَّائِ ِم َح ََّّت يَ حستَ حي ِق ِ ِ ِ يق َ الح َم حجنُون َح ََّّت يَ حعق َل أ حَو يُف
“pembebanan hukum akan ditiadakan dari tiga jenis orang: orang tidur sampai dia bangun, anak kecil sampai dia baligh, orang gila sampai dia sembuh”. 2. Syarat-syarat dan wilayah cakupan mah}kum ‘alayh
Para ulama usul fiqh sepakat bahwa perbuatan seseorang dapat dikeani taklif apabila dia telah memenuhi dua syarat, yaitru13: a. Mampu memahami khitab syara’ (tuntunan syara’) yang dikandung dalam al-Qur’an dan Sunnah, baik secara langsung maupun melalui orang lain. Demikian ini karena seseorang yang melakukan pekerjaan, baik itu disuruh atau dilarang, tergantung pada pemahamannya terhadapa suruhan dan larangan yang menjadi khita>b Sha>ri’. Dengan demikian, orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk memahami khita>b Sha>ri’ tidak mungkin untuk melaksanakan takli>f. Implikasi dari syarat pertama 11
Haroen, Ushul Fiqh, 307. Hadith Riwayat al-Bukha>ry, Abu> Dawu>d, al-Tirmi>z}i, al-Nasa’iy, Ibn Maja>h, dan al-Daruqut}ny. 13 Al-Amidi, al-Ih}ka>m ...., 137; Muhammad ibn Ali ibn Muhammad al-Shaukany, Irsha>d al-Fuh}u>l, (Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.), 11; Abu Bakar Ibn Ahmad Ibn Abu Sahal al-Sarakhsy, Us}u>l al-Sarakhsy, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993), 340. 12
17
Irtifaq, Vol. 2, No. 1, Maret 2015 : 1 – 20
Perangkat Konstruksi Hukum Islam .......
(M. Chamim)
adalah anak kecil, orang gila, orang lupa orang terpaksa dan orang tersalah (khat}a’) tidak dikenakan takli>f, karena status mereka tidak atau belum memahami dalil syara’ b. Cakap bertindak hukum, yang dalam usul fiqh disebut ahliyyah. Maksudnya, apabila seseorang belum atau tidak cakap bertindak hukum, maka seluruh perbuatan yang dilakukannya belum atau tidak dapat dipertanggung-jawabkannya. Oleh karena itu, anak kecil yang belum baligh, belum cakap bertindak hukum dan tidak dikenakan tuntunan syara’. Orang gila juga tidak dibebani hukum karena hilang kecakapannya bertindak hukum. Demikian juga orang pailit dan orang yang berada di bawah pengampuan (hajr), dalam masalah harta, dianggap tidak cakap bertindak hukum, karena kecakapannya bertindak hukum dalam masalah harta dianggap hilang. E. Penutup Perangkat-perangkat konstruksi merupakan salah satu dari unsur hukum Islam. Perangkat-perangkat tersebut adalah hukum, hakim, dan mahkum ‘alayh. Hukum adalah tuntutan Allah (khit}a>b Allah) yang menyangkut perbuatan orang dewasa dan berakal sehat, baik bersifat imperatif, fakultatif ataupun penentuan sebab, syarat dan penghalang. Hukum terbagi kedalam dua klasifikasi besar, yaitu hukum takli>fy dan hukum wad}’iy. Dalam hal macam-macam hukum takli>fy terdapat perbedaan pendapat antara jumhur ulama usul fiqh atau
Irtifaq, Vol. 2, No. 1, Maret 2015 : 1 – 20
18
Perangkat Konstruksi Hukum Islam .......
(M. Chamim)
mutakallimin
dan ulama Hanafiyah. Implikasiimplikasi yang muncul dari perbedaan itu adalah: 1. Problematika status kafir bagi orang yang mengingkari hukum-hukum fard}u, wajib atau haram. 2. Status batalnya ibadah dan konsekuensi pergantian atau pengulangannya 3. Sanksi moral, dosa, dan atau status kafir bagi pelaku kara>hah Tidak ada perbedaan tentang pengertian h}a>kim, yang tidak lain adalah Allah SWT, kecuali untuk masa sebelum Nabi Muhammad SAW diangkat sebagai Rasul. Kekecualian ini melibatkan diskusi antara aliran Ahl al-sunnah wa al-Jama>’ah dan Mu’tazilah, sampai ke persoalan baik buruk dan kemampuan akal. Mah}kum ‘alayh adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khit}a>b Allah, yang disebut mukallaf atau orang yang terkena pembebanan hukum (takli>f). Dasar takli>f adalah akal dan pemahaman. Kemudian syarat-syarat mah}ku>m ‘alayh (subjek hukum) adalah: mampu memahami khit}ab Allah dan cakap bertindak hukum.
19
Irtifaq, Vol. 2, No. 1, Maret 2015 : 1 – 20
Perangkat Konstruksi Hukum Islam .......
(M. Chamim)
Daftar Pustaka Al-Amidi, Sayf al-Din, al-Ih}ka>m fi Us}u>l al-Ah}ka>m, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983 Bardisi, Muhammad Zakariyya, Us}u>l al-Fiqh, Mesir Dar al-Nahdah al-‘Arabiyyah, 1969. Harun, Nasrun, Usul Fiqh, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. Khalaf, ‘Abd Wahhab, ‘Ilm Usul al-Fiqh, Kuwait: Dar al-Qalam, 1983 Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1991 Sarakhsi, Abu Bakar Muhammad ibn Ahmad ibn Abu Sahl, Ushul al-Sarakhsi, Beirut: dar al-Kutub al‘Ilmiyah, 1993. Sya’ban, Zakiy al-Din, Usul al-Fiqh al-Islami, Mesir: Dar al-Ta’lif, 1961. Shah, Amir Bad, Taysir al-Tahrir, Jil II, Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1351 H. Shawkani, Muhammad bin Ali ibn Muhammad, Irsha>d al-Fuh}u
l al-Fiqh, Dar alFikri al-Islami, t.th. al-Zuhaili, Wahbah, Us}u>l al-Fiqh al-Islami, Juz I, Beirut: Dar al-Fikr, 1986.
Irtifaq, Vol. 2, No. 1, Maret 2015 : 1 – 20
20