Investigative Reporting Oleh Farid Gaban (Rakata Center) PENGANTAR Orang sering menyebut jurnalisme investigatif sebagai muckraking atau: “Journalism with an impact” “Reporting on public interest issues” Jurnalisme seperti itu kita perlukan sekarang ini, lebih dibanding pada era Soeharto. Lihatlah pertanyaan-pertanyaan seperti ini:
Apa yang sebenarnya terjadi dengan Wisma Atlet dan Hambalang?
Itu hanya dua dari banyak pertanyaan penting yang bisa—dan berani--kita ajukan sekarang. Namun, meski era kebebasan pers telah kita nikmati, banyak media tidak bisa menjawab pertanyaan “investigative” seperti itu secara relatif jelas. Tenggelam dalam timbunan berita dan peristiwa, banyak media bahkan tidak mampu merumuskan pertanyaan-pertanyaan itu sendiri—langkah awal membuat investigasi. Padahal, membedah kasus korupsi/skandal memberi publik peluang untuk memahami hal-hal fundamental yang mempengaruhi kehidupan mereka secara luas dan mendalam. Untuk mencapai “impak” yang dimaksud, jurnalisme investigasi menuntut:
Pembahasan yang komprehensif (dengan konteks dan background) Proses verifikasi yang matang (tak ada tanda tanya, tak ada lagi kata “konon” atau “kabarnya”) Mementingkan menjawab “how” dan “why” dari elemen 5W-1H Penulisan yang populer, lugas dan gamblang
ETIKA SEORANG WARTAWAN INVESTIGASI Pada dasarnya, etikanya sama wartawan secara umum seperti yang sudah tertera dalam kode etik jurnalistik asosiasi. Secara lebih konkret, kita juga bisa mengadopsi etika ini dari "Sembilan Elemen Jurnalisme" milik Bill Kovach dan Tom Rosenstiel: 1. 2. 3. 4. 5.
Kewajiban utama jurnalisme adalah pada pencarian kebenaran Loyalitas utama jurnalisme adalah pada warga negara Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi Jurnalis harus menjaga independensi dari obyek liputannya Jurnalis harus membuat dirinya sebagai pemantau independen dari kekuasaan
6. Jurnalis harus memberi forum bagi publik untuk saling-kritik dan menemukan kompromi 7. Jurnalis harus berusaha membuat hal penting menjadi menarik dan relevan 8. Jurnalis harus membuat berita yang komprehensif dan proporsional 9. Jurnalis harus diperbolehkan menguji kesadaran personalnya, hati nuraninya. Khususnya untuk liputan investigasi, dari sembilan itu, mungkin tiga elemen pertama perlu ditekankan. Kebenaran? Jurnalis harus mematuhi "prinsip kebenaran, sebuah ketundukan kepada warga negara dan masyarakat secara luas, memberi informasi ketimbang memanipulasi". Jurnalis memiliki tanggungjawab untuk mendapatkan semua fakta serta menyusunnya dalam sebuah konteks yang tepat. Kebenaran di sini adalah kebenaran prosedural. Benar berdasar prosedur jurnalistik. Wartawan harus berupaya keras mencapai itu, lewat liputan, wawancara dan pencarian fakta yang sejauh mungkin. Tapi, boleh jadi, bahkan setelah upaya keras itu, apa yang kita tulisa ternyata keliru. Jika ini terjadi, wartawan harus rela meminta maaf. Bahkan mungkin tidak cukup itu: masuk penjara. Publik? Jurnalis harus memiliki "independensi yang penuh keterlibatan", menjadi "pengamat yang committed", dengan loyalitas utama pada publik Orang kebanyakan. Para pemilih dalam pemilu tak peduli apa partainya. Jurnalisme investigasi sering disebut “Journalism with an impact” atau “Reporting on public interest issues”. Tekanannya adalah pada kepentingan publik dan umumnya bertujuan mengoreksi kebijakan publik yang buruk. Fokus dari liputan investigatif adalah "the abuses of power" (cultural, political, financial and policy), seperti pelanggaran hukum, conflicts of interest, dan hipokrisi. Disiplin Verifikasi? Jurnalis "menghargai fakta di atas segalanya" dan berupaya sungguh-sungguh untuk menggali fakta serta melakukan verifikasi. Liputan investigasi memerlukan kerja keras, ketekunan, passion. Liputan ini juga memerlukan bisa besar dan waktu yang relatif lama. Hanya orang yang punya motivasi kuat bisa melakukan ini. MITOS TENTANG JURNALISME INVESTIGASI
Sulit dan canggih: Yang tersulit hanyalah bagaimana menemukan tema dan merumuskan masalah.
Mahal, membutuhkan energi besar: bisa murah dan membutuhkan sedikit energi jika kita tahu informasi lebih banyak tentang banyak hal; mampu membangun jaringan informasi dengan sumber atau lembaga lain.
Hanya cocok untuk majalah serius: di Amerika, pemenang Hadiah Pulitzer untuk kategori jurnalisme investigasi adalah koran.
Hanya menyangkut skandal politik besar (seperti Watergate): tema seharihari bisa pula sebenarnya menjadi tema investigasi, hal-hal menyangkut public policy dan public services, misalnya, belum banyak digarap.
Hanya menyangkut hubungan antara warga negara dengan pemerintah/politisi: di zaman sekarang, tema yang lebih banyak bisa digali justru antara masyarakat dengan bisnis besar (antara konsumen dengan produsen, antara pasien dengan dokter, antara klien dengan pengacara)
PEMILIHAN TOPIK INVESTIGASI KORUPSI Korupsi tidak hanya terjadi di pemerintahan dan lembaga birokrasi, tapi juga di lingkungan swasta. Dalam beberapa tahun terakhir, korupsi terbesar di Indonesia (ratusan trilyun rupiah) justru terjadi di lingkungan swasta yang menggunakan dana publik (BLBI, fasilitas pemerintah, pemotongan pajak dan sebagainya) MUTU “PUBLIC POLICY” Kebijakan keuangan pemerintah dalam kaitannya dengan IMF dan Bank Dunia adalah sumber korupsi terselubung, yang merugikan publik. Ada banyak kebijakan yang dinilai merupakan wilayah sakral bisnis, namun sebenarnya merugikan publik dan semestinya diputuskan secara politik. Privatisasi air minum dan listrik di beberapa negara dinilai telah menurunkan kualitas layanan air kepada publik. MANIPULASI DAN PROPAGANDA Polisi cenderung menunjukkan rendahnya angka kriminalitas ketika membesarbesarkan prestasi kinerjanya; namun menunjukkan tingginya angka kriminalitas ketika menunut kenaikan anggaran. Membear-besarkan ancaman terorisme juga potensial disalahgunakan untuk meningkatkan ketergantungan masyarakat terhadap polisi dan aparat keamanan. PUBLIC SERVICES Buruknya layanan rumah sakit; makin banyaknya bentuk malpraktek di kalangan dokter. Kemana dana Jamsostek dan Taspen digunakan? Apa bahaya makanan/pangan Genetic Modified yang dipromosikan perusahaan? Benarkah kandungan obat/makanan untuk konsumen persis seperti yang
tertera pada label yang dibuat produsen? Bagaimana tingkat keamanan layanan transportasi kota? ELEMEN LAPORAN INVESTIGATIF Pada intinya, jurnalisme investigasi meliputi kerja mengungkap dan mendokumentasikan aktivitas yang sebelumnya tidak diketahui oleh publik. Ini seringkali melibatkan taktik yang sering digunakan polisi untuk mengungkap kejahatan: REPORTASE DAN WAWANCARA. Reportase terhadap fakta di lapangan dan wawancara terhadap para tokoh yang terlibat, saksi, tersangka, penuduh. DATA PUBLIK. Menggali data publik (public records) yang terserak dan "tertimbun" di berbagai lembaga pemerintahan resmi maupun non-pemerintah. Baik itu lembaran negara, akte notariat, maupun laporan keuangan. Bahkan buku telpon kadang merupakan data yang penting. DOKUMENTASI DAN KLIPING. Wartawan investigasi juga seringkali diuntungkan oleh adanya arsip kliping pemberitaan terdahulu tentang sesuatu hal yang terdokumentasi dengan baik. Peristiwa di masa lalu sering merupakan petunjuk penting bagi kejahatan di masa kini. (Misalnya: untuk "track-record" kejahatan perbankan). PENGGALIAN BAHAN ONLINE. Dalam jurnalisme modern, aspek "data publik" ini kian memegang peran penting. Dan sebagian besar data publik (terutama di negeri maju) terdapat di Internet. Itu sebabnya kemampuan melakukan riset internet menjadi penting. ANALISIS DAN DATABASE. Di tengah era informasi, "computer analysis" juga sering menggantikan observasi langsung oleh wartawan. Jika dipakai secara baik, komputer bisa banyak membantu jurnalisme investigatif yang mendalam, karena laporan itu dapat mengatasi teknik wawancara tradisional dan memproses buktibukti dalam jumlah yang sangat banyak. Banyak kecurangan publik dilakukan dalam jumlah uang yang kecil, namun mengenai orang dalam jumlah sangat besar. Masing-masing orang tidak merasa dicurangi. Kecurangan itu hanya bisa diketahui melalui perhitungan dn analisis data yang luas, seringkali melibatkan komputer. INSIDER DAN WHISTLEBLOWER. Wartawan juga sering dibantu oleh "informan" dari dalam lembaga/organisasi tertentu yang mau (apapun motifnya) untuk mengungkapkan kebusukan lembaga/organisasinya kepada pers. Mereka memberikan dokumen sensitif kepada wartawan atau memberikan "clues" dan tips tentang ke arah mana investigasi harus dilakukan. PENYAMARAN. Dalam beberapa kasus wartawan sendiri yang harus melakukan penyamaran untuk menemukan fakta/data tersembunyi di lapangan, mengamati kegiatan-kegiatan gelap. Ini harus dilakukan hati-hati karena menyangkut konsekuensi hukum.
INTERPRETASI. Dalam berbagai kasus, tak cukup wartawan mengungkap kebusukan saja. Mereka perlu menjelaskan kenapa itu semua bisa terjadi. Diperlukan kemampuan interpretasi di sini, dan pengetahuan yang luas. PROSES INVESTIGASI Berita sekilas Rumor/selentingan Dokumen, hasil riset, foto, rekaman suara/video
Informasi (data dan fakta) awal Penentuan Tema Perumusah Masalah (Mind Mapping/Brainstroming) Membuat Hipotesis dan Outline Kasar) Penggalian dan verifikasi bahan Outline Matang Proses Penulisan
Editor, fact-checker, pengacara
Pengujian Turun Naskah
MENENTUKAN TEMA. Di banyak media, tema investigasi ditentukan melalui rapat yang terencana, melalui perumusan agenda publik yang dipunyai masing-masing media. Namun, bahkan dalam contoh investigasi legendaris (seperti "Skandal Watergate") tema itu muncul secara "tidak sengaja": wartawan atau kelompok wartawan menemukan peristiwa yang nampaknya sepele, namun teguh melakukan penggalian terus-menerus sehingga berhasil menemukan "peristiwa terselubung" yang jauh lebih besar. - Kliping - Dokumentasi/Arsip (laporan lapangan dari wartawan) - Tips informasi dari informan, insider dan whistleblower (perlu hati-hati). MERUMUSKAN MASALAH. Mencari "akar masalah" (bottom-line), merumuskan pertanyaan terpenting yang ingin dijawab. Juga merumuskan apa yang mau dikatakan dengan investigasi ini, se-spesifik mungkin, dalam satu kalimat pendek. Rumusan masalah juga semacam hipotesis dalam penelitian ilmiah (sesuatu yang harus diuji kebenarannya di "laboratorim" atau lapangan).
MENGGALI BAHAN. Melakukan wawancara terhadap sumber dan tokoh kunci. Mencari dokumen dan bukti terpenting dari lapangan. KOMPARASI. Data tertentu tidak berbunyi apa-apa jika tidak dibandingkan dengan data lain. Data "mark-up" dalam proyek tertentu hanya bisa diketahui merupakan "mark-up" jika kita membandingkannya dengan harga pasar yang wajar. Jika kita ingin memperlihatkan korupsi dalam penyelenggaraan haji, misalnya, kita perlu membandingkannya dengan ongkos haji dari negeri lain. Proses komparasi menjadi penting. MENGUJI. Mengumpulkan semua bahan (wawancara dan dokumen) serta menyortirnya berdasarkan kredibilitas sumber informasi. Memakai dokumentasi itu untuk menguji hipotesis yang telah dibuat (apakah memprkuat atau menggugurkan). MENULIS DAN MENYAJIKAN. Menuliskan laporan secara padat tapi jelas. Namun, yang lebih penting lagi tulisan itu harus argumentatif (memiliki dasar bukti yang kuat dan dibangun dengan logis). Tulisan seringkali harus dilengkapi pemaparan dokumen, foto, dan tabel yang memperkuat tulisan. PRINSIP UTAMA DALAM MENULIS HASIL LIPUTAN INVESTIGASI Yang paling sulit dalam menulis investigasi: kita tidak boleh menggunakan "KONON" atau "KABARNYA". Artinya kita harus sudah siap dengan bukti yang keras, yakni kesaksian on the record, pernyataan (jika perlu dilengkapi data/dokumen yang mendukung), foto, dokumen asli, rekaman. Bagaimana dengan kesaksian "off the record" atau sumber anonim? Sumber anonim bisa dipakai dalam laporan investigasi, namun harus digunakan secara hati-hati. Kita harus menguji kemungkinan motifnya dan menguji pernyataannya. Kebohongan sumber anonim bisa dikurangi jika kita menuntut mereka tidak sekadar membuat pernyatan lisan, tapi juga menyodorkan bukti. Jika kita sepakat dengan anonimisitas, kita harus menghormati kesepakatan itu, tidak boleh membuka sumber bahkan jika penjara adalah ganjarannya. Perlu diingat, ketika menyepakati anonimisitas, kita mengambil-alih seluruh tanggungjawab dari pernyataannya. Termasuk kebenarannya dan implikasi hukumnya. Bagaimana dengan banyaknya bahan? Kesulitan lain dalam menulis investigasi adalah karena umumnya melibatkan terlalu banyak bahan dan data, yang kadang kontradiktif atau berbeda satu sama lain. Kita perlu fokus, pertama-tama dengan merumuskan angle yang tajam bahkan sebelum turun melakukan investigasi (dalam tahap perencanaan). Fokus hanya
bisa dicapai jika kita bisa merumuskan angle atau hipotesis dalam satu kalimat sederhana. Misalnya: Pemerintah berbohong dalam penyaluran subsidi BBM. Akbar Tanjung dan Golkar memakai perusahaan fiktif untuk memproleh dana yang semula ditujukan buat orang miskin. Perusahaan X menang tender Migas lewat kolusi. Mencari "akar masalah" (bottom-line) baik sebelum maupun sesudah adalah keharusan jika kita ingin fokus. Lalu merumuskan pertanyaan terpenting yang ingin dijawab. Bahan yang terlalu banyak bisa disortir dengan beberapa cara: Memakai fakta/data yang paling otentik (kita akan memilih bukti tertulis ketimbang pernyataan lisan; dokumen asli lebih kuat dari fotokopi) Memakai sumber yang paling meyakinkan (seberapa dekat dia dengan masalah, seberapa kecil kemungkinan dia punya kepentingan, seberapa mungkin itu diverifikasi di lapangan, seberapa banyak didukung dengan sumber sekunder seperti dokumen atau foto). Bagaimana bentuk penulisan investigatif? Bentuk tulisan liputan investigatif umumnya adalah narasi dan eksposisi (lihat lampiran). Menuliskan laporan secara padat tapi jelas. Namun, yang lebih penting lagi tulisan itu harus argumentatif (memiliki dasar bukti yang kuat dan dibangun dengan logis). Tulisan seringkali harus dilengkapi pemaparan dokumen, foto, dan tabel yang memperkuat tulisan. AKURASI. AKURASI. AKURASI. Bagaimana menguji akurasi? Akurasi. Akurasi. Dan Akurasi. Investigasi yang bagus adalah yang mampu membuat publik sadar tentang sesuatu masalah yang merugikan mereka. Syukursyukur jika investigasi itu bisa menjadi daya dorong bagi LSM atau lembaga pemerintah untuk melakukan investigasi lebih lanjut secara resmi. (Investigasi wartawan adalah investigasi "tak resmi"). Namun, bahkan meski tak resmi, laporan investigasi melibatkan beberapa aspek sensitif yang harus dipertimbangkan wartawan, karena memiliki konsekuensi hukum dan etik. Untuk bisa menguji akurasi, bertanyalah sebagai berikut:
Percayakah Anda pada fakta yang ada dalam tulisan? Sudahkah Anda menguji ulang semua fakta?
Percayakah Anda pada sumber yang memberikan fakta itu? Apakah Anda merujuk semua fakta pada sumber dan dokumen yang kelak bisa dipakai di depan pengadilan? Bisakah Anda memberikan ejaan yang tepat pada nama dan alamat sumber yang disebut? Percayakah Anda bahwa semua pernyataan faktual dalam tulisan itu mencerminkan kebenaran? Beranikah Anda mempertahankan secara publik (jika mungkin di pengadilan) fakta dan metode yang Anda gunakan dalam tulisan itu? Apakah Anda mengutip pernyataan sumber secara fair dan sesuai konteks? Anda mengutip sumber anonim? Kenapa? Beranikah Anda mempertahankannya di pengadilan? Apakah Anda menggunakan materi, dokumen atau foto yang diberikan sumber anonim? Kenapa? Seberapa percaya Anda pada kesahihan materi tadi? Percayakah Anda si sumber tidak punya agenda tersembunyi yang mungkin mendistorsikan kebenaran dalam tulisan? Apakah Anda menggunakan bahasa dan gambar yang kontroversial dalam cerita? Adakah alasan yang meyakinkan untuk menggunakan bahasa yang gambar seperti itu? Apakah cerita akan kurang akurat jika bahasa dan gambar itu dihilangkan?
PERANGKAT PENDUKUNG Penulisan dan penggalian jurnalisme investigasi akan lebih mudah dan berkualitas jika didukung dengan:
Database informasi dan data statistik yang relevan Arsip (kliping dan dokumen lain) Akses yang bagus kepada “public information” (BPS, keputusan dan perundang-undangan, lembaran negara) Jaringan dengan lembaga riset, universitas atau LSM Sumber berita (inside informant)
SEJUMLAH POTENSI DAN KENDALA DI INDONESIA Jurnalisme investigatif masuk kategori “advanced” dalam dunia kewartawanan:
Jurnalisme Dasar Jurnalisme Interpretatif (indepth reporting) Jurnalisme Investigatif (muckraking)
Jurnalisme investigatif menuntut tidak hanya dana, sarana (tools, ketrampilan) dan resources, tapi juga keberanian media dan wartawan mengambil risiko. Karena kesannya yang “sulit”, “berisiko”, “eksklusif” serta “canggih” seperti itu, jurnalisme investigatif cenderung dihindari. “Barrier to entry” jurnalisme investigatif relatif tinggi, baik bagi media maupun wartawan.
Pada era Soeharto, tradisi investigatif hampir sama sekali mati, meski ada sejumlah upaya untuk menumbuhkannya. Kediktatoran dan ketertutupan politik membuat semua risiko investigasi menjadi maksimal:
SIUPP memungkinkan pemerintah mengontrol: mengendalikan arus informasi (monopoli atau oligopoli informasi) dan mencegah pluralisme kepemilikan media maupun isinya. Media yang melenceng bisa dibreidel, membuat pemilik kehilangan bisnis dan karyawan menganggur. Suasana seperti itu menumbuhkan “sensor diri sistematis”—wartawan yang berani bahkan akan dianggap pengkhianat karena mengancam eksistensi koran/majalah tempatnya bekerja. Wartawan yang berani bisa kehilangan kebebasan (dipenjara), bahkan nyawa.
POTENSI Kebebasan pers setelah jatuhnya Soeharto menawarkan iklim lebih baik untuk tumbuhnya tradisi investigatif:
Tanpa SIUPP, banyak media bermunculan. Monopoli dan oligopoli informasi mengalami perlawanan hebat dari ledakan pluaralisme media dan opini. Kebebasan pers juga mempromosikan keberanian wartawan untuk mengungkap hampir apa saja. Jika dulu keberanian menjadi “liabilities” bagi wartawan, kini cenderung menjadi “asset”. Persaingan bisnis media membuat masing-masing berpikir keras membuat keunggulan dan meningkatkan kualitas editorial. Jurnalisme investigatif adalah salah satu cara media (TEMPO salah satunya) untuk bersaing dengan media lain.
KENDALA Namun, tidak semua faktor di era reformasi mendukung tumbuhnya tradisi investigasi. Ledakan media memicu persaingan ketat. Pemasaran media menyempit ke dalam segmen-segmen yang kian kecil. Aspek bisnis menjadi menonjol dengan efisiensi menjadi kata kuncinya:
Media mungkin tidak dibreidel pemerintah, tapi mati akibat bangkrut karena tidak efisien (PANTAU adalah salah satu kasusnya). Media kini bisa mengabaikan pejabat/politisi, tapi mereka menjadi kian peka terhadap bisnis (terutama bisnis besar) karena iklan menjadi nyawa media. (Sensor diri tetap bertahan di kalangan manajemen media) Struktur biaya didominasi oleh biaya percetakan dan kertas (sekitar 30-40% dari cover price), kemudian oleh biaya agen dan distribusi (30%), biaya administrasi (20%) dan pajak (10%). Ketika media melakukan efisiensi, biaya editorial (peliputan dan penulisan) adalah yang paling rawan dikorbankan. Mutu jurnalistik tidak membaik. Beberapa media memilih isu yang bisa diproduksi secara murah, namun menghasilkan oplah atau iklan besar (LAMPU MERAH, dan sejumlah tabloid seks, adalah salah satu kasusnya).
Kebebasan pers juga disertai keberanian publik untuk menuntut media/wartawan dari aspek hukum. Tuntutan akurasi liputan dan penulisan menjadi lebih tinggi.
Walhasil, risiko jurnalisme investigatif yang dihadapi media/wartawan di masa reformasi tetap sama besarnya. Sementara itu iklim politik-sosial belum pulih benar dari krisis yang kita warisi:
Risiko tinggi dalam jurnalisme investigasi di era Soeharto telah membuat kita kekurangan sumber daya manusia (wartawan investigatif adalah mahluk langka) dan kelemahan ketrampilannya. Pendidikan jurnalisme cenderung menghasilkan pejabat humas, bukan wartawan. Pendidikan internal media tidak memberikan “insentif” memadai untuk peningkatan ketrampilan dalam investigasi. Ketertutupan politik di era lama membuat kita, para wartawan, terjebak dalam “teori konspirasi” yang berbau tahyul dan diilhami kemalasan. Kita tidak terbiasa menggali bahan dan menemukan data/informasi empiris dari lapangan.
Tapi, bahkan wartawan yang berhasrat dan berani mengambil risiko melakukan investigasi tidak mudah melakukannya. Jurnalisme investigasi menuntut tidak hanya keberanian, tapi juga ketrampilan, sarana dan resources:
News Cycle. Ledakan pers telah membuat dunia informasi kita seperti “rimba berita”. Disibukkan oleh breaking-news dan news-cycle yang cepat dan bertubitubi, wartawan dituntut memiliki pengetahuan dan ketrampilan lebih baik untuk bisa melakukan investigasi.
Public information. Pada era sekarang akses wartawan ke lembaga negara maupun lembaga swadaya masyarakat sudah lebih bagus tapi kendalanya: data yang mereka miliki belum tentu ada (available), dan jika ada belum tentu bisa dipercaya (reliable)
BAGAIMANA MENGATASINYA? Meski iklim telah membaik, bagi banyak media dan wartawan “barrier to entry” ke dunia jurnalisme investigatif masih tetap tinggi. Jika kita ingin mempromosikan tradisi ini maka ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan: Perubahan Sudut Pandang Jurnalisme investigasi perlu dipopulerkan dengan sedikit mengurangi mitosnya sebagai jenis jurnalisme yang “sulit” dan “canggih”. Jurnalisme investigasi tidak hanya monopoli majalah serius, misalnya, seperti yang selama ini dipercaya. Jurnalisme seperti itu bahkan cocok untuk koran dan tabloid. Asosiasi Perlu ada asosiasi (AJI misalnya) yang gigih mempromosikan tradisi ini dan melakukan advokasi:
Mempromosikan pentingnya jurnalisme investigasi baik ke publik maupun ke media. Membangun jaringan dengan asosiasi serupa (lokal, nasional maupun internasional) Memberi insentif kepada wartawan/media yang mengusahakan jurnalisme investigasi: memberi penghargaan (“award”), mencarikan dana untuk liputan investigatif. Memberikan pendidikan/workshop untuk jurnalisme investigatif Membela wartawan investigatif dari tekanan manajemen media maupun publik.
Database dan Jaringan Perlu dikembangkan database (apa saja) dan membangun jaringan dengan akademisi/lembaga riset yang bisa membantu wartawan melakukan investigasi secara mudah. Orang seperti Lin Che Wei dan lembaga semacam Transparancy International, misalnya, bisa membantu dalam Kasus Lippo. Situs Rujukan:
Philippine Center for Investigative Journalism (PCIJ) - covering politics and government news with special investigative reports on current issues. (www.pcij.org/)
International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) - a network of the world's best investigative journalists producing in-depth, global reports on pressing issues that transcend national borders. (www.icij.org/)
Investigative Reporters and Editors, Inc. (IRE) (www.ire.org/)
Mother Jones Magazine (www.motherjones.com/)
The Poynters Institute (www.poynters.org/)