INTERPERSONAL COMMUNICATION THEORIES
1. Symbolic Interactionism Oleh Mead Menurut perspektif interaksi simbolik, perilaku manusia harus di pahami dari sudut pandang subyek. Teori ini memandang bahwa kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Inti pada penelitian ini adalah mengungkap bagaimana cara manusia menggunakan simbol-simbol yang merepresentasikan apa yang akan mereka sampaikan dalam proses komunikasi dengan sesame. Makna yang mereka berikan kepada objek berasal dari interaksi sosial dan dapat berubah selama interaksi itu berlangsung. Inti dari teori interaksi simbolik adalah “self” atau diri. Mead menganggap konsep diri adalah suatu proses yang berasal dari interaksi sosial individu dengan orang lain ( D. Mulyana, 2001:73 ). Makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan
dinegosiasikan
dalam
penggunaan
bahasa.
Negosiasi
itu
dimungkinkan karena manusia mampu menamai segala sesuatu, bukan hanya objek fisik, tindakan atau peristiwa ( bahkan tanpa kehadiran objek fisik, tindakan atau peristiwa itu).(Arnold M Rose 1974:143 dalam D.Mulyana 2001:72). Terbentuknya makna dari sebuah simbol tak lepas karena peranan individu yang melakukan respon terhadap simbol tersebut. Individu dalam kehidupan sosial selalu merespon lingkungan termasuk objek fisik (benda) dan objek sosial (perilaku manusia) yang kemudian memunculkan sebuah pemaknaan . Respon yang mereka hasilkan bukan berasal dari faktor eksternal ataupun didapat dari proses mekanis, namun lebih bergantung dari bagaimana individu tersebut mendefinisikan apa yang mereka alami atau lihat. Jadi peranan individu sendirilah yang dapat memberikan pemaknaan dan melakukan respon dalam kehidupan sosialnya. Namun, makna yang merupakan hasil interpretasi individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan dari faktor-faktor yang berkaitan dengan bentuk fisik (benda) ataupun tujuan (perilaku manusia) memungkinkan adanya perubahan terhadap hasil intrepetasi barunya. Dan hal tersebut didukung pula dengan faktor bahwa individu mampu melakukan proses mental, yakni berkomunikasi dengan dirinya sendiri. Proses mental tersebut dapat berwujud proses membayangkan atau
merencanakan apa yang akan mereka lakukan. Individu dapat melakukan antisipasi terhadap reaksi orang lain, mencari dan memikirkan alternatif kata yang akan ia ucapkan. 2. Expectancy Violations Theory Oleh Judee Burgoon Melalui norma-norma sosial kita membentuk ”harapan” tentang bagaimana orang lain (perlu) bertindak secara verbal dan nonverbal. Ketika kita saling berinteraksi dengan mereka. Harapan merujuk pada pola-pola komunikasi yang diantisipasi oleh individu berdasarkan pijakan normatif masing-masing individu atau pijakan kelompok. Jika perilaku orang lain menyimpang dari apa yang kita harapkan secara khas, maka suatu pelanggaran pengharapan telah terjadi. Apapun “yang diluar kebiasaan” menyebabkan kita untuk mengambil reaksi khusus (menyangkut) perilaku itu. Sebagai contoh, kita akan berekasi ( dan mungkin dengan sangat gelisah/tidak nyaman) jika seorang asing meminta berdiri sangat dekat dengan kita. Dengan cara yang sama, kita akan bereaksi lain jika orang yang penting dengan kita berdiri sangat jauh sekali dari kita pada suatu pesta. Dengan kata lain kita memiliki harapan terhadap tingkah laku nonverbal apa yang pantas dilakukan orang lain terhadap diri kita. Jika perilaku nonverbal seseorang, ketika berkomunikasi dengan kita, sesuai atau kurang lebih sama dengan pengharapan kita, maka kita akan merasa nyaman baik secara fisik maupun psikologis. Persoalannya adalah tidak selamanya tingkah laku orang lain sama dengan apa yang kita harapkan. Bila hal ini terjadi, maka akan terjadi gangguan psikologis maupun kognitif dalam diri kita baik yang sifatnya positif ataupun negatif. Suatu pelanggaran dari harapan nonverbal kita dapat mengganggu ketenangan; hal tersebut dapat menyebabkan bangkitnya suasana emosional. Tiga Asumsi EVT: 1. Expectancy Mendorong Interaksi Manusia 2. Expectancy Untuk Peilaku Manusia Dipelajari 3. Orang Membuat Prediksi Mengenai Prilaku Non-Verbal
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Expectancy: 1. Faktor Individual communicator Gender, kepribadian, usia, penampilan, reputasi. 2. Faktor Relasional Sejarah relasional utama, perbedaan status, tingkat daya tarik. 3. Faktor Konteks Informal/Formal, social/task function, larangan lingkungan, dan norma budaya.
Violation Valence (Valensi Pelanggaran) “Valensi adalah istilah yang digunakan untuk menguraikan evaluasi tentang perilaku”. Ketika harapan nonverbal kita dilanggar oleh orang lain, kita kemudian melakukan penafsiran sekaligus menilai apakah pelanggaran tersebut positif atau 4egative. Penafsiran dan evaluasi kita tentang perilaku pelanggaran harapan nonverbal itulah yang kemudian disebut Violation Valence atau (Valensi Pelanggaran). 3. Social Penetration Theory Oleh Irwin Altman & Dalmas Taylor Penetrasi
social
adalah
proses
meningkatnya
keintiman
dalam
suatu
hubungan.Teori ini menjelaskan bahwa suatu hubungan akan bergerak dalam proses dari tidak akrab/impersonal ke tingkat ang lebih akrab/intim. Ada dua hipotesis teori ini: 1. Interaksi yang bersifat antar pribadi mengalami kemajuan (perkembangan) secara bertahap, mulai dari tingka prmukaan yang dangkal dan kurang akrab ke lapisan diri yang lebih akrab dan dalam dari para pelaku. Ada empat taha perkembangan suatu hubungan: -
Orientasi: berisi komunikasi yang impersonal, pada saat itu seseorang hanya mengemukakan informasi yang sangat umum tentang dirinya. Bila tahap ini diangap menguntungkan oleh partisipan, mereka akan bergerak ke tahap berikutnya.
-
Menuju pertukaran afektif: mulai bergerak ke tahap yang lebih dalam untuk menyingkapkan topic-topik tertentu yang terpilih
-
Pertukaran afektif: memusatkan perasaan pada tigkat yang lebih dalam. Tahap ketiga ini tidak akan dilalui oleh individu hingga ia menerima imbalan yang substansial pada tahap-tahap sebelumnya.
-
Pertukran stabil (tetap): diandai oleh derajat keintiman yang tinggi, para partisipan berhak untuk memprediksikan perilaku mitranya dan memberikan respons.
2. Peningkatan dari suatu hubungan sangat bergantung kepaa jumlah dan sifat dari imbalan (reward) dan biaya (cost).
Dalam
setiap
hubungan
yang
dikembangkan,
setiap
individu
selalu
mempertimbangkan kemungkinan hasil yang muncul berdasarkan reward dan cost dari ubungan tersebut. Reward mengacu pada kenikmatan, kepuasan, dan imbalan yang dinikmati oleh seseorang. Adapun cost mengacu pada setiap factor yang menghambat, seperti kegelisahan atau hal-hal yang memalukan. 4. Cognitive Dissonance Theory Oleh Leon Festinger Ketidakcocokan kognitif digambarkan sebagai ketidakcocokan sebanyak dua cognitions. Kesadaran mungkin merujuk pada pengetahuan, kepercayaan, berpikir, kepribadian, emosi atau kelakuan. Teori ini menegaskan tekanan yang diakibatkan oleh konflik kedua cognitions seperti dua pikiran membantah, pikiran yang membantah dengan kelakuan atau kepercayaan membantah dengan kelakuan. Kalau konflik ini timbul, orang akan dimotivasi untuk mengatur dengan membuat kepercayaan atau pikiran baru atau berubah kelakuan atau kepribadian untuk mengurangi tekanan. Orang akan mencoba menyerasikan pengetahuan, kepercayaan, pikiran, tokoh, emosi dan kelakuannya. Misalnya, seorang anak belasan tahun yang tak merokok tahu yang berasap jelek untuk kesehatannya. Ketika dia menjadi berumur 20 tahun, dia mulai merokok. Dia menoleh ke belakang dan tersadar bahwa bahwa kelakuan merokoknya membantah kepercayaan yang lalunya bahwa merokok tak sehat yang menyebabkannya tekanan. Dia kemudian membuat-buat sejumlah sebab mengatakan bahwa dia hanya menghisap
dua rokok sehari, dia tidak menghirup asap, dll. Dia merasionalisasi dan mengubah caranya berpikir untuk membandingkan kelakuan sekarangnya untuk mengurangi tekanan. Ini adalah ketidakcocokan kognitif. 5. Coordinated Management of Meaning Oleh Pearce dan Cronan (1980) Teori ini digunakan untuk menjelaskan suatu percakapan (kegiatan komunikasi antar dua orang), di mana para pelaku komunikasinya membentuk realitas sosialnyanya sendiri dengan cara memperoleh pertalian tertentu (coherence), tindakan yang terkoordinasi (coordinating actions), serta pengalaman yang rahasia (experiencing mystery). Coherence adalah suatu konteks terpadu mengenai apa yang telah dibicarakan,
coordinating dalang melanjutkan kehidupan cerita, dan mystery adalah
suatu perasaan kagum atas cerita yang tidak diekspresikan. Sebagai teori yang berciri humanistik maka pendekatan yang digunakan bisa analitis dan sistematis, yang diarahkan kepada peristiwa komunikasi antar dua orang pada situasi dan kondisi tertentu. Teori ini sarat dengan nilai-nilai individual dari masingmasing interpreter. Misalnya ketika kita sebagai ilmuwan sedang mencoba meneliti apa saja yang terjadi dengan telah berlangsungnya kegiatan komunikasi antara dua orang dalam situasi dan kondisi satu, kondisi dua, saat yang satu dan saat yang lain, dsb. Hasilnya tentu sangat bervariasi. Namun demikian, sesuai dengan tujuan akhir dari komunikasi adalah tercapainya kesepahaman antar keduanya, maka nilai-nilai perbedaannya tadi bisa dianggap sebagai faktor variasi atau tambahan. Yang penting dari peristiwa komunikasi untuk kasus seperti ini adalah, dua-duanya memahami posisi masing-masing, dan memahami seperti apa objek yang dikomunikasikannya itu. Dengan kata lain, masing-masing pihak baik posisinya sebagai komunikator maupun sebagai komunikan, atau sebaliknya, memiliki tanggung jawab yang seimbang dengan perannya masing-masing. Pesan atau informasi yang mengalir secara timbal balik dari komunikator kepada komunikan dan sebaliknya, akan menghasilkan kristalisasi pesan yang pada akhirnya dipahami secara bersama. Contoh dalam kasus. Sekali-sekali kita iseng buka SMS (short message service) anak kita yang masih ABG (anak baru gede), perhatikan bahasa yang digunakannya. I lv u (maksudnya I love you), 7an (maksudnya tujuan), plg brg (pulang bareng), jdn (jadian), bgt (banget), skrg (sekarang), btw (by the way), mc (miss call), dll. Kita dibuatnya
bingung, tidak mengerti apa maksudnya. Tapi komunikasi antara mereka yang „sejawat‟ atau seumur dan sebahasa, tidak menjadi persoalan. Mereka sama-sama mengerti isi pembicaraannya. Dunia kita, alam kita sudah berbeda dengan alam dan dunia mereka. Bukankah ketika kita masih ABG juga sering „memberontak‟ terhadap aturan-aturan yang dibuat orang tua kita, bahkan guru kita?. 6. Interpersonal Deception Theory Oleh David Buller & Judee Burgoon Teori ini digunakan untuk menjelaskan kebohongan-kebohongan komunikasi seseorang dengan cara memancing komunikan dengan informasi yang tidak benar sehingga terbongkarlah kenyataan bohongnya. Teori ini secara asumsi tergolong ke dalam kategori humanistik. Sangat sulit dengan teori ini untuk meramalkan peristiwaperistiwa yang telah terjadi pada pikiran manusia. Artinya apakah seseorang melakukan kebohongan atau tidak, agak sulit diramalkan. Dengan kata lain, pesan-pesan yang disampaikan oleh seseorang termasuk yang benar atau tidak, agak sulit diduga. Kecuali kalau sudah lama terjadinya, atau kita melakukan uji lanjutan guna meneliti validitasnya. Selain itu, teori ini juga bisa menjelaskan jenis-jenis tindakan muslihat yang berbedabeda, motivasi melakukan muslihat, dan menjelaskan faktor-faktor yang mengukur keberhasilan upaya melakukan muslihat dari seseorang.
Interpersonal deception merupakan teori yang sangat berguna bagi seseorang yang mencoba melakukan muslihat, atau berpikir seseorang akan melakukanmuslihat kepada orang lain. Teori ini membantu melihat ke belakang, pada situasi yang telah lalu, guna mengevaluasi peristiwa dan perilaku komunikasi verbal ataupun nonverbal dengan tujuan untuk mengungkap apakah seseorang telah melakukan kebohongan atau tidak. Setiap orang pernah berbohong, juga dibohongi. Dengan alasan ini maka teori ini sangat berguna dan sangat praktis dilakukan.
7. The Interactional View Oleh Watzlawick (1967) Pandangan interaksional dalam komunikasi antar persona juga dikenal dengan teori pragmatik, sebab proses komunikasi sangat bergantung kepada situasi tertentu yang ada. Misalnya terjadinya miskomunikasi karena tidak adanya kesamaan pandangan antara anggota dalam komunikasi tersebut, juga bisa terjadi karena masing-
masing orang tidak menggunakan „bahasa‟ yang sama. Ketika isi komunikasi yang disampaikan oleh pihak komunikator tidak dipahami oleh pihak komunikan, maka bisa terjadi miskomunikasi. Asumsi dasar dari teori ini bersifat humanistik. Kreativitas individu dengan segala sifat keunikannya masing-masing orang, sulit sekali didekati dengan menggunakan paham positivistik. Demikian juga situasi di mana komunikasi berlangsung, juga sangat unik, artinya selalu berbeda dari situasi yang satu dengan situasi yang lain. Masingmasing anggota komunikasi (komunikator dan komunikan) dipengaruhi oleh latar belakang dan variabelnya masing-masing, baik yang bersifat personal maupun yang bersifat situasional. Teori ini bisa digunakan untuk menjelaskan kasus-kasus yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, baik di lingkungan keluarga, sekolah, pekerjaan, kelembagaan informasi, atau di mana pun peristiwa komunikasi itu berlangsung. Selain itu, teori ini bisa juga digunakan untukmemberi arahan dan saran-saran tertentu oleh seseorang kepada orang lain dalam suasana keakraban, personal, dan mungkin saja yang bersifat pribadi dan rahasia. Para psikolog, guru BP (Bimbingan dan Penyuluhan), juga banyak menggunakan metode komunikasi antarpersona dengan model pendekatan pragmatis interaktif. Juga peristiwa komunikasi antara suami dan istri, antara dua muda mudi yang sedang berpacaran, dan antara guru dan seorang muridnya yang dipanggil secara khusus karena telah melakukan suatu pelanggaran sekolah. Meskipun yang terakhir ini sudah mengarah kepada jenis komunikasi pendidikan yang lebih aplikatif. Teori-teori komunikasi dalam aplikasi pendidikan juga akan kita bahas pada modul-modul yang akan datang, seperti teori disiplin mental, teori S-R yang behavioristik, dan juga teori yang termasuk ke dalam psikologi kognitif. 8. Uncertainty Reduction Theory (URT) Oleh Berger dan Calabrese (1975) Teori ini digunakan untuk menjelaskan proses komunikasi antar dua orang yang tidak saling kenal sebelumnya, yang biasanya „dicirii‟ (dikenali sifat-sifatnya) dengan pencarian informasi guna mengurangi ketidakpastian. Ketidakpastian ini bisa dikurangi setahap demi setahap pada hal-hal „selfdisclosure’ (membuka diri), „nonverbal-warmth’ (kehangatan gerak tubuh, ekspresi wajah, dll.), dan similarity increase (bertambahnya kesamaan).
Contoh dalam kasus keseharian. Ketika Anda untuk pertama kali bertemu dengan orang yang belum Anda kenal sebelumnya. Kata pertama yang muncul barangkali adalah „salam pembuka‟ atau cikal bakal perkenalan, meskipun tidak selalu berkenalan secara formal. Mungkin bertanya tentang hal-hal yang ada sangkut-pautnya dengan persoalan yang sama-sama sedang dihadapi, misalnya tentang materi seminar kalau Anda sedang di forum seminar, tentang keluarga kalau Anda kedatangan calon besan, dll. Kita sering diperlakukan dengan „sopan‟ dan „akrab‟ ketika sedang di hadapan kounter di suatu bank, di toko-toko swalayan, dan di tempat mana saja yang biasanya menyangkut kepentingan bisnis mereka.
9. Social Judgment Theory Oleh Sherif, M. dan Hovland (1961) .Teori ini menjelaskan kepada kita tentang suatu pesan atau pernyataan diterima atau ditolah itu didasarkan atas peta kognitif kita sendiri terhadap pesan tersebut. Seseorang menerima atau menolak suatu pernyataan atau pesan-pesan tertentu, bergantung kepada keterlibatan egonya sendiri. Ketika orang menerima pesan, baik verbal ataupun nonverbal, mereka dengan segera men-judge (memperkirakan, menilai) di
mana
pesan
harus
ditempatkan
dalam
bagian
otaknya
dengan
cara
membandingkannya dengan pesan-pesan yang diterimanya selama ini. Teori ini juga menjelaskan tentang bagaimana individu menilai pesan-pesan yang mereka terima. Ia juga mampu memprediksi bahwa seseorang menerima atau menolak terhadap pesan-pesan yang masuk. Selain itu teori ini juga melahirkan hipotesis-hipotesis baru dan memperluas rentangan pengetahuan seseorang, termasuk kita ketika sedang menerima pesan-pesan, dan juga memiliki kekuatan terorganisir melalui pengorganisasian pengetahuan yang ada di dalam otak kita mengenai suatu sikap. Social judgment theory juga merupakan teori ilmiah. Secara epistemologis, terdapat satu interpretasi umum atas teori ini yakni dalam hal orang selalu menilai pesan-pesan yang mereka terima. Sedangkan secara ontologis, teori ini bersifat deterministik, di mana perilaku seseorang bisa diprediksi. Sedangkan secara aksiologis teori ini bersifat netral nilai, artinya proposisi-proposisinya bersifat objektif, tidak bias.
10. Elaboration Likelihood Model (ELM) Oleh Petty dan Cacioppo (1986) Dalam ELM, terdapat dua jalan dalam persuasi, yakni jalan utama (central) dan jalan tambahan (peripheral). Dengan jalan sentral, orang mengelaborasi pesan dengan menggunakan ide-ide yang cermat, dengan menetapkan kebaikan-kebaikannya dan merenungkan kemungkinan-kemungkinan akibat yang ditimbulkannya. Sedangkan dengan jalan tambahan, bisa dihasilkan penerimaan secara cepat tanpa adanya pertimbangan-pertimbangan yang panjang. Asumsi ontologis dari teknik peripheral ini adalah bahwa manusia memiliki karakter yang reaktif terhadap rangsangan yang datang dari luar dirinya, sekecil apapun rangsangan yang ada. Dan adanya stimulus atau rangsangan tersebut, maka seseorang berubah sikapnya, meskipun terkadang hanya sesaat. Contoh dalam aplikasi kasus. Meskipun iklan untuk produk-produk tertentu hanya ditayangkan sesaat saja melalui televisi, toh sanggup „merubah‟ sikap sebagian pemirsanya untuk sekadar mencoba membeli produk dimaksud. Sikap pemirsa berubah. Namun jika ternyata produk tadi tidak cocok dengan keinginannya, apalagi kualitasnya tidak sebanding dengan iklannya, maka sikap pemirsa tadi pun berubah lagi. Kali ini mereka beralih kepada produk yang lain. Sikap memang bisa berubah karena adanya terpaan informasi yang terus menerus (Krech, dkk., 1962). 11. Constructivisme Oleh Jesse Delia (1982) Model konstruktivisme ini adalah: Cognitive complexity - rhetorical design logic – sophisticated. Teori ini bisa menjelaskan bahwa orang yang memiliki persepsi kognitif yang kompleks terhadap orang lain, akan memiliki kapasitas berkomunikasi secara canggih (rumit) dengan hasil yang positif. Orang seperti ini mampu menyusun pesanpesan retorik yang logis yang dapat menciptakan pesan-pesan yang berfokus kepada orang, yang secara serempak dapat mencapai tujuan-tujuan komunikasi secara berganda. Sebagai suatu teori, konstruktivisme berkaitan dengan proses kognitif seseorang yang melakukan komunikasi pada situasi tertentu. Kemampuan orang dalam menyusun atau membingkai pesan-pesan komunikasi untuk situasi dan kondisi tertentu relatif akan lebih berhasil dibandingkan dengan mereka yang melakukannya tanpa
persiapan. Dan orang yang mempersiapkan pelaksanaan komunikasi dengan berbekal pengalaman kognitif yang kompleks juga akan lebih berhasil dalam berkomunikasi dibandingkan dengan yang melakukannya secara apa adanya. Contoh di lapangan misalnya, kita lebih mudah mengerti jika mendapatkan penjelasan
dari
orang
yang
kompleks
pemikirannya
(biasanya
ilmuwan
dan
berpendidikan) dibandingkan dengan orang kebanyakan, misalnya. Penjelasanpenjelasan dari para ilmuwan relatif lebih lengkap. Latar belakang, aspek, dan variabelvariabel yang menyertai suatu objek yang dijelaskannya pun relatif teratur dan sistematis. Hal ini tentu berbeda jika dijelaskan oleh orang yang tidak mengerti di bidangnya. 12. Relational Dialectics Oleh Baxter & Montgomery (1988) Teori tentang dialektika sebenarnya sudah ada sejak lama. Karya-karya Leon Tostsky (15 Desember1939, terjemahan anonim) tentang pemikiran dialektis juga bisa mengingatkan kepada kita bahwa konsep dialektika itu bersifat bebas dan berubah, dalam segala aspeknya. Kita lihat cuplikan pemikirannya sebagai berikut: Pemikiran ilmiah kita hanyalah satu bagian dari keseluruhan tindak praktek kita, termasuk teknik-teknik. Bagi konsep-kopsep, eksistensi "toleransi" juga ada. Toleransi ini ditegakkan bukan dengan logika formal yang berasal dari aksioma "A" adalah sama dengan "A", misalnya, tetapi dengan logika dialektis yang berasal dari aksioma bahwa semua hal selalu berubah. "Akal sehat" dikarakterisasi oleh kenyataan bahwa ia secara sistematis melampaui "toleransi" dialektis. Pikiran dialektis menganalisa semua hal dan fenomena dalam perubahannya yang terus berlangsung, sambil menetapkan dalam kondisi-kondisi material dari perubahan-perubahan tersebut yang batas kritis di luar hal yang "A" berhenti menjadi "A". Dalam skala yang lebih kecil dan lebih interpersonal, teori hubungan dialektika bisa menjelaskan adanya proses hubungan yang terjadi di sepanjang proses komunikasi berlangsung. Dua orang yang terlibat dalam hubungan interpersonal, secara dialektis bisa berubah ke arah yang tidak diketahui. Namun sebagai pribadi yang unik dengan masing-masing membawa variabelnya sendiri-sendiri, juga kebutuhan dan keinginannya
yang setiap saat berbeda, berubah, pada saat-saat tertentu bisa timbul keteganganketegangan tertentu. Sebagai bandingan, kita bisa melihat hubungan dialektika yang melibatkan dua organisasi atau dua budaya besar, yakni antara agama dan budaya khususnya seni tradisi. Oleh karena itu, biasanya terjadi dialektika antara agama dan seni tradisi tersebut. Agama memberikan warna (spirit) pada seni tradisi, sedangkan seni tradisi memberi kekayaan terhadap agama. Namum terkadang dialektika antara agama dan seni tradisi atau budaya lokal ini berubah menjadi ketegangan. Karena seni tradisi, budaya lokal, atau adat istiadat sering dianggap tidak sejalan dengan agama sebagai ajaran Ilahiyah yang bersifat absolut.
By Wardah Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin Makassar