INSTRUMEN PENDUKUNG LEGISLASI DPR DALAM PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG Pataniari Siahaan, ST, MH Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Trisakti Jakarta Abstract Following the amendment of the 1945 Constitution, the power of making the laws has been shifted from the President to the DPR which consequently should have changed its performance. However, in its implementation, the majority of bills in the Prolegnas of 2005-2009 were still derived from the Government and until July 2008 only 40 bills (14,1 %) were enacted. Constitutionally, there has been a change of legislative power in making the laws , but its implementation does not comply with the indicator set by the Prolegnas. The research results have shown that DPR has certain weaknesses in making the laws as its implementation are not in line with the changes in the Constitution. Of all the regulations that exist in DPR, none were found as an instrument to support the legislation, only limited to the secretariat general as an element assisting administrative and technical matters. Besides, in particular, the making of the laws will need special expertise in spite of members of DPR are not required to possess the expertise. Based on the above elaboration the main issue to be discussed in this paper is, what are the supporting legislative instruments needed by DPR to assists its power in making the laws in accordance to the UUD 1945. Keywords: Amendment, constitution, legislative power, legislation, power. A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Perubahan UUD 1945 tidak terlepas dari adanya kristalisasi ide-ide demokratis dari berbagai komponen bangsa dan refleksi atas perjalanan kehidupan kenegaraan dan kebangsaan selama beberapa puluh tahun (Agung Djojosoekarto, 2004: 1). Hal itu menunjukkan bahwa perubahan UUD 1945 bukan berasal dari ruang hampa, tetapi jelas berpijak di atas sejarah panjang perjalanan bangsa dengan pergumulan pemikiran kenegaraan yang konstruktif dan obyektif. Menurut KC. Wheare, suatu konstitusi diubah hanya dengan pertimbangan yang matang, dan bukan karena alasan sederhana atau serampangan (K.C. Wheare, 2003: 128). Tujuan Perubahan UUD 1945 adalah menyempurnakan aturan dasar penyelenggaraan pemerintahan negara secara demokratis dan modem, antara lain melalui pembagian kekuasaan yang lebih tegas dengan prinsip check and balance yang ketat dan transparan, dan pembentukan lembaga-lembaga negara yang baru untuk mengakomodasi perkembangan kebutuhan bangsa dan tantangan zaman. Implikasi perubahan UUD 1945 tersebut, tampak pada perubahan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Salah satu perubahan mendasar yakni peralihan kekuasaan membentuk UU dari Presiden ke Dewan Perwakilan Rakyat/DPR (K.C. Wheare, 2003: 8586) sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Perubahan UUD 1945. Rumusan naskah asal Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 berbunyi, “Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Menurut A Hamid S. Attamimi arti dari kata “memegang kekuasaan” haruslah diartikan “memegang kewenangan”( I.
Gde Pantja Astawa, 2000: 27.3). Sehingga pada masa itu, hampir semua RUU berasal dan Presiden. Sedangkan DPR seolah-olah hanya memberi persetujuan. Dalam prakteknya, menurut Bagir Malian (Bagir Manan, 2005: 23): Pertama; kekuasaan Presiden menjadi begitu kuat. Termasuk menentukan isi suatu UU. Tidak jarang perbedaan pendapat antara fraksi di DPR atau antara DPR dengan pemerintah mengenai naskah suatu RUU, diselesaikan dengan menuruti kehendak Presiden baik dengan cara mengatakan isi kehendak alau pesan Presiden, atau setelah menghadap Presiden. Kedua; ketentuan isi sangat mengendurkan kemauan DPR untuk menggunakan hak inisiatif mengajukan RUU, walaupun hak isi ditegaskan dalam Penjelasan: Pun Dewan mempunyai hak inisiatif untuk menetapkan UU. Ketiga; seolah-olah setiap RUU harus disetujui seperti disebutkan terdahulu DPR harus menyetujui sesuai kehendak Pemerintah khususnya Presiden. Tidak berarti dalam praktek, tidak ada perubahan-perubahan terhadap RUU yang diajukan oleh Presiden. Sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan kehendak Presiden, perubahan dapat saja terjadi. Pada masa pemerintahan Soeharto RUU penyiaran yang sudah disetujui DPR bersama menteri yang mewakili Pemerintah, dikembalikan Presiden dan kemudian diubah sesuai kehendak Presiden. Setelahperubahan, rumusan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 menjadi berbunyi, “Presiden berhak mengajukan RUU kepada DPR”. Adapun rumusan naskah asli Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 berbunyi, “Tiap-tiap UU menghendaki persetujuan DPR.” Setelah perubahan, rumusan Pasal 2.0 ayat (1) UUD 1945 menjadi berbunyi, “DPR memegang kekuasaan membentuk UU.” Berdasarkan pandangan A Hamid S. Attamimi sebagaimana dikemukakan sebelumnya arti dari kata “memegang kekuasaan” haruslah diartikan “memegang kewenangan”. Dengan pengaturan yang demikian, dipandang dan aspek legal-formal dan konstitusional, posisi DPR secara eksplisit dinyatakan sebagai lembaga pemegang kewenangan membentuk UU. Perubahan kekuasaan membentuk UU dari Presiden kepada DPR, menyebabkan kekuasaan DPR semakin kuat. Hal itu ditegaskan dalam Pasal 20 ayat (2) sampai dengan ayat (5) UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut: 1) Setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. 2) Jika RUU itu tidak mendapat persetujuan bersama, RUU itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu. 3) Presiden mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama menjadi UU. 4) Dalam hal RUU yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak RUU tersebut disetujui, RUU tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan. Selanjutnya Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 secara jelas menyebut adanya tiga fungsi DPR, yaitu fungsi legislasi, fangsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Penempatan fungsi legislasi di awal, bukan tanpa arti. Hal itu memiliki makna luas dan fundamental. Dan sudut pandang struktur dan gramatikal, hal seperti itu dapat dimaknai sebagai suatu inti atau pokok dari dua fungsi yang lain, bahkan dapat bersifat aggregasi. Fungsi anggaran dan pengawasan secara fungsional dapat dilakukan melalui pembentukan UU (fungsi legislasi). Selain itu Pasal 21 UUD 1945 menyatakan Anggota DPR berhak mengajukan usul RUU. Sedangkan ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan UU diatur dengan UU, sebagaimana diatur dalam Pasal 22A UUD 1945.
Dengan telah terjadinya perubahan kekuasaan membentuk UU dari Presiden ke DPR, menimbulkan konsekuensi bahwa cara kerja DPR harus berubah dari sebelum memegang kekuasaan. Peran DPR saat itu dalam kenyataan semata-mata terbatas, yakni memberikan persetujuan terhadap RUU yang diajukan oleh Presiden (Luky Djani, Jurnal Hukum Jentera Edisi 10 Tahun III, Oktober 2005: 38). Meskipun pada waktu itu secara konstitusional, DPR mempunyai hak untuk mengajukan RUU. Pihak DPR sekarang yang harus lebih banyak dan lebih sering mengajukan RUU. Bukan lagi pihak pemerintah seperti sebelum perubahan. Jika nanti ternyata kebanyakan RUU masih tetap diajukan oleh Pemerintah, maka perubahan ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 dapat dikatakan tidak sesuai dengan maksud perubahan UUD 1945 (Jimly Asshiddigie, 2004: 199). Sejalan dengan pemikiran tersebut, setelah Perubahan Pertama UUD 1945, pada tahun 2000 disahkan UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004. Undang Undang tersebut mengatur bahwa dalam rangka terciptanya harmonisasi peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat dan kebutuhan pembangunan. Kegiatan pokok pengembangan hukum dilakukan antara lain dengan: (1) menyusun UU yang mengatur tata cara penyusunan peraturan perundang-undangan dengan membuka kemungkinan untuk mengakomodasikan aspirasi masyarakat dengan tetap mengakui dan menghargai hukum agama dan hukum adat; (2) menyempurnakan mekanisme hubungan antara pemerintah dan DPR dalam rangka pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai konsekuensi amandemen Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD 1945; dan (3) meningkatkan peran Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Terkait dengan kekuasaan dan tata cara membentuk UU, telah dibentuk dua UU pada era setelah perubahan UUD 1945 yaitu UU No. 22 Tahun 2003 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan DPR Daerah, dan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 22A UUD 1945. Sebagai pelaksanaan ketentuan dalam UU Nomor 10 Tahun 2004, ditetapkan Peraturan Presiden No. 61 tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional serta Perpres No. 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti UU, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden. Berdasarkan ketentuan dalam UU No. 22 Tahun 2003, untuk melaksanakan fungsi dan tugas DPR, ditetapkan Peraturan Tata Tertib DPR. Dalam Peraturan Tata Tertib ini dimuat mekanisme pembentukan UU dan juga ketentuan yang berkaitan dengan Sekretariat Jenderal sebagai unsur pendukung. Pasal 16 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004 mengatur kewenangan DPR untuk mengkoordinasikan perencanaan pembentukan UU, melalui penyusunan dan penetapan Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Latar belakang pemikiran penyusunan Prolegnas, sesungguhnya mengandung cita-cita hukum yang hendak diwujudkan, selain sebagai instrumen perencanaan pembentukan UU secara terencana, terpadu, dan sistematik dalam bentuk daftar RUU, juga menjadi salah satu sarana untuk meningkatkan produk UU baik dari aspek kuantitas maupun kualitas dengan arah hukum yang dikehendaki dalam kurun waktu tertentu (Teuku Mohammad Radhie, Prisma, Nomor 6 Tahun II Desember 1973: 4). UU yang hendak dibentuk dan berapa jumlahnya sudah tergambar dalam daftar Prolegnas. DPR sebagai koordinator penyusunan dan penetapan Prolegnas, telah menetapkan
Prolegnas untuk satu masa keanggotaan. Pada masa keanggotaan 2004-2009 ditetapkan sebanyak 284, yang ditetapkan dengan Keputusan DPR Nomor: 01 /DPR-RI/III/2004-2005. Data realisasi RUU dari prioritas setiap tahun sebagaimana di atas, dapat diperlihatkan sebagai berikut: a. Tahun 2005 sebanyak 2 RUU, dari 2 RUU ini terdapat 1 RUU yang bersifat kumulatif meliputi 4 RUU pembentukan pengadilan tinggi. Sisanya sebanyak 53 RUU, dan 31 RUU diantaranya diluncurkan ke tahun 2006. Di luar daftar RUU prioritas yang ada, sesuai dengan ketentuan Pasal 17 ayat (3) UU No. 10 Tahun 2004, terdapat 9 RUU yang diselesaikan. Sebanyak 10 RUU di luar prioritas pembahasannya dilanjutkan ke tahun 2006. Dengan demikian, total RUU yang diselesaikan pada tahun 2005 sebanyak 14 RUU; b. Tahun 2006 sebanyak 3 RUU. Sisanya sebanyak 41 RUU, dan 19 RUU di antaranya diluncurkan ke tahun 2007. Di luar daftar RUU prioritas yang, ada, terdapat 36 RUU yang diselesaikan. Dengan demikian total RUU yang diselesaikan sebanyak 39 RUU. Dari 39 RUU yang terselesaikan tersebut, 16 RUU merupakan RUU pembentukan daerah otonom; c. Tahun 2007 sebanyak 1 RUU yang merupakan RUU pembentukan daerah otonom yang terdiri dari 25 judul RUU. Sisanya sebanyak 31 RUU, dan 11 RUU di antaranya diluncurkan ke tahun 2008. Total RUU yang diselesaikan pada tahun 2007 sebanyak 48 RUU yaitu termasuk RUU yang berasal dari luncuran pembahasan tahun 2005 dan tahun 2006. Sebanyak 49 RUU diluncurkan pembahasannya ke tahun 2008; d. Tahun 2008 belum ada RUU prioritas yang diselesaikan. RUU yang diselesaikan sampai dengan Juli 2008, sebanyak 21 RUU yang berasal dari RUU luncuran pembahasan tahun 2007 dan 6 RUU di antaranya merupakan RUU pembentukan daerah otonom. Dari jumlah 284 RUU Prolegnas 2005-2009, sampai dengan bulan Juli 2008, terselesaikan 40 RUU (14,10/6), namun demikian di luar 40 RUU tersebut, terdapat 64 RUU yang telah disahkan yang berkaitan dengan pembentukan daerah otonom, ratifikasi perjanjian internasional, pembentukan pengadilan tinggi, APBN, dan penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU/Perpu (Sekretariat Baleg DPR, 2008). Kondisi hukum di Indonesia pasca kemerdekaan masih belum memuskan (Bagir Manan, makalah Diskusi Panel Nasional Mengkaji Ulang Syariah dan Hukum Menuju Pembentukan Hukum Nasional, Kerjasama Fakultas Hukum Universitas Brawijaya dengan PP Ikatan Hakim Peradilan Agama, Malang : 4 Juni 1997). Menurut Sri Soemantri Martosoewignjo, yang saat itu adalah Ketua Komisi Konstitusi, masih terdapat 388 peraturan perundang-undangan peninggalan kolonial (Pernyataan tersebut disampaikan di Gedung Pusat Pengembangan Ilmu Universitas Brawijaya, tanggal 8 September 2004). Data Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) menunjukkan bahwa peraturan yang pernah dikeluarkan Pemerintah Hindia Belanda sampai tahun 1949 sekitar 7.000 buah. Dalam pandangan B Arief Sidharta, tata hukum Indonesia masih pluralistik, yakni konfigurasi yang tersusun atas produk perundang-undangan nasional sesudah Proklamasi Kemerdekaan, produk perundang-undangan dan yurisprudensi zaman Hindia Belanda (Hukum Belanda), Hukum Adat Lokal, dan Hukum Islam, ditambah sejumlah konvensi internasional dan pranata hukum asing (B. Arief Sidharta, 2000: 80). Secara konstitusional telah terjadi perubahan kekuasaan membentuk UU, tetapi dalam pelaksanaannya tampak belum sesuai dengan Prolegnas yang telah ditetapkan. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi pelaksanaan kekuasaan membentuk UU masih memiliki kelemahan.
Tata cara pembahasan RUU dari periode ke periode DPR senantiasa diatur dalam Peraturan Tata Tertib. Tetapi dari semua ketentuan yang ada, belum pernah ditemukan adanya pengaturan berkaitan dengan sistem pendukung legislasi. Yang mungkin ditemukan) terbatas pada pengaturan sekretariat jenderal sebagai unsur yang membantu di bidang administrasi dan teknis. Setelah makin dipertegasnya peralihan kekuasaan legislatif dari Presiden ke DPR, penulis sepakat dengan pandangan Jimly Asslriddigie (Jimly Asshiddigie, 2004: 199) yang menyatakan, maka implikasinya terhadap dukungan-dukungan teknis yang dibutuhkan oleh DPR perlu benarbenar diperhitungkan. DPR tidak dapat lagi bekerja menurut cara-cara yang selama ini dipraktekkan. DPR perlu dilengkapi dengan aparatur teknis, tidak saja dalam bentuk staf ahli atau tim-tim ahli yang diperbantukan secara ad-hoc, tetapi apabila perlu dukungan-dukungan teknis yang lebih terlembagakan, termasuk dukungan anggaran yang perlu ditingkatkan. Salah satu kemungkinan yang perlu dipertimbangkan, ialah perlu dibentuk KomisiKomisi tetap yang dipimpin oleh anggota DPR, tetapi beranggotakan tokoh-tokoh yang berkeahlian di bidangnya yang berasal dari luar keanggotaan DPR. Di bidang perundangundangan, misalnya, DPR dapat membentuk semacam “Legislative Council “ dan “Legislative Reference Service “ seperti di Kongres Amerika Serikat. Bahkan apabila perlu sebagian dari fungsi instansi seperti Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Perundang-undangan, terutama di bidang Perancangan undang-undang dapat dialihkan ke DPR. Memang benar, Pemerintah dapat saja membuat RUU dan mengajukan RUU sendiri kepada DPR. Akan tetapi, kebiasaan yang ada selama ini harus diubah. Pengajuan RUU oleh Pemerintah hendaklah dibatasi hanya apabila diperlukan saja. Sedangkan yang lebih banyak harus mengajukan RUU adalah DPR; bukan lagi pemerintah (Jimly Asshiddiqie, 2004: 199-200). Selain itu, secara khusus, pembentukan RUU memerlukan keahlian khusus. Padahal anggota DPR tidak dipersyaratkan memiliki keahlian tersebut. Sementara aparat Sekretariat Jenderal DPR tampak tidak bisa terlibat langsung dalam pembentukan UU, karena mereka hanya pegawai biasa yang dilatih, bukan yang sudah bisa. Karena itu kebutuhan terhadap instrumen pendukung adalah keniscayaan. Kekuasaan mengandung makna memiliki kemarnpuan. Tetapi mengapa setelah perubahan UUD 1945 kekuasaan DPR tetap demikian? Banyak pertanyaan yang muncul terkait perubahan kekuasaan ini. 2. Permasalahan Berdasarkan uraian tersebut masalah utama yang akan dibahas dalam makalah ini adalah instrumen pendukung apa sayja yang diperlukan DPR untuk membantu mewujudkan kekuasaan DPR dalam pembentukan UU menurut UUD 1945? B. PEMBAHASAN 1. Instrumen pendukung DPR Dalam Pelaksanaan Kekuasaan Membentuk UndangUndang Hukum memiliki sistem. Pandangan Lawrence M. Friedman yang terkenal “ a legal system in actual opreration is a complex organism in which structure, substance, and culture interact” (Lawrence M. Friedman, 1975:16). Pendapat Friedman ini benar dalam konteks negara maju. Namun demikian pandangan yang cenderung mensimplifikasi persoalan memahami sistem hukum ini, belum mengelaborasi subsistem hukum secara lebih detail. Padahal pada elemen-elemen subsistem hukum itulah terletak bekerjanya hukum sebagai suatu sistem.
Mochtar Kusumaatmadja menyatakan: “Jika kita artikan dalam arti yang luas, hukum itu tidak saja merupakan keseluruhan asasasas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat melainkan meliputi pula lembaga lembaga (institutions) dan proses-proses yang mewujudkan berlakunya kaidah kaidah itu dalam kenyataan”. Pandangan Mochtar lebih luas lagi dengan memandang proses-proses yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah itu dalam kenyataan, merupakan hukum juga. Pandangan yang lebih luas terhadap hukum, jika dilihat sebagai sistem adalah pandangan Sunaryati Hartono. Menurut Sunaryati Hartono (2006: 46-47), jika hukum dilihat sebagai sistem, hukum terdiri dari unsur-unsur: Nilai-nilai tentang kehidupan bermasyarakat, Filsafat hukum, Normanorma hukum, Lembaga-lembaga hukum, Proses dan prosedur di lembaga-lembaga hukum, Sumber daya manusia, Lembaga-lembaga pendidikan hukum dan sistem pendidikan hukum, Sarana dan prasarana, Lembaga-lembaga pembangunan hukum, Anggaran negara yang disediakan untuk pemeliharan dana pembangunan hukum. Kesepuluh unsur sistem hukum itu saling berpengaruh dan bersinergi. Jika satu unsur saja tidak berjalan atau tidak mencukupi (misaluya kurangnya anggaran bagi sarana dan prasarana hukum, atau SDM yang tidak memadai, atau sistem pendidikan hukum yang sudah tidak memadai untuk abad ke 21, DPR yang tidak efektif, dan sebagainya) akan mengakibatkan macetnya seluruh sistem hukum. Di uraian yang lain, menurut Sunaryati Hartono sistem hukum nasional mempunyai komponen-komponen, yakni (Makalah “Implikasi Metodelogi Penelitian Hukum Terhadap Pembangunan Hukum Nasional”, 18 Juli 2006: 3): a. Filsafat hukum nasional; b. Perundang-undangan hukum nasional; c. Yurisprudensi; d. Hukum kebiasaan; e. Aparat penegak hukum; f. Profesi hukum; g. Aparat pelayanan hukum; h. Lembaga-lembaga hukum; i. Pranata-pranata hukum baru; j. Kesadaran hukum masyarakat; k. Sistem dan metode pendidikan hukum; l. Penelitian hukum; m. Ilmu hukum nasional; n. Informasi hukum; o. Perencanaan hukum; p. Sarana dan prasarana penunjang; q. Sumber dana. Koomponen-komponen sistem hukum nasional ini harus dibangun secara akseleratif dan simultan agar dapat mencapai suatu sistem hukum nasional yang dicita-citakan. Berdasarkan pandangan sistemik terhadap hukum, Sunaryati Hartono menambahkan (Sunaryati Hartono, Makalah “Implikasi Metodelogi Penelitian Hukum Terhadap Pembangunan Hukum Nasional”, 18 Juli 2006: 3): “Di dalam sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, setiap bidang hukum yang akan dibangun merupakan bagian dari sistem hukum nasional itu wajib bersumber pada Pancasila dan UUD 1945”.
Sekretariat Jenderal Lama Berperan Sebagai Intrumen Pendukung ? Dari perspektif sejarah, Sekretariat Jenderal didesain sebagai unsur -pendukung yang bersifat administratif dan teknis dan itu berlangsung lama sampai awal era reformasi. Perubahan peran Sekretariat Jenderal terjadi seiring munculnya tuntutan pendukungan di bidang keahlian bagi anggota dan alat kelengkapan DPR. Kebutuhan pendukung di bidang legislasi menguat sejak terjadinya perubahan kekuasaan membentuk UU kepada DPR. Keputusan DPR Republik Indonesia Nomor: 08/DPRRI/1/2005-2006 tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Pasal 3 ayat 3 menyatakan bahwa: “DPR mempunyai sebuah Sekretariat Jenderal. “ Kata mempunyai” dalam Pasal 3 tersebut menggantikan kata “dibantu” dalam Peraturan Tata Tertib sebelumnya. dengan demikian, DPR makin membuka ruang untuk mengatur Sekretariat Jenderal. Sekretariat Jenderal dipimpin oleh orang Sekretais Jenderal yang dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Pimpinan DPR. Sekretaris Jenderal dibantu oleh orang Wakil Sekretaris Jenderal dan beberapa Deputi Sekretaris Jenderal. Pembentukan Deputi secara struktural berada di bawah Sekretaris Jenderal, tetapi secara fungsional dikaitkan dengan fungsi DPR. Ada dan Deputi yang diarahkan untuk mendukung DPR di bidang keahlian yaitu Deputi di Bidang Perundang-undangan dan Deputi di Bidang Anggaran dan Pengawasan, namun sudah dapat Sekretariat Jenderal sendiri yang lebih cenderung penguasaan dan pengalamannya di bidang administrasi dan teknik. Berdasarkan UU No. 22 tahun 2003, DPR dapat mengangkat sejumlah pakar/ahli sesuai dengan kebutuhan yang bertugas membantu kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi DPR. Para pakar/ahli merupakan kelompok pakar/ahli dibawah koordinasi Sekretaris Jenderal DPR. Untuk membantu pelaksanaan tugas alat kelengkapan DPR, Sekretariat Jenderal mentang dapat membentuk Tim Asistensi yang diatur lebih lanjut oleh Sekretariat Jenderal DPR, tetapi hal ini pun sebenarnya tidak akan berperan banyak. Banyak faktor yang menjadi penyebab kurang berperannya Tim Asistensi yang dibentuk Sekretariat Jenderal, sistem pembinaan personil Sekretariat Jenderal cenderung pelayanan. Meskipun UU memberikan hak kepada DPR untuk mengangkat sejumlah pakar/ahli, pengangkatan itu sendiri belum mampu mcndorong peningkatan kinerja DPR, sebab DPR tidak pernah mengeluarkan peraturan mengenai tata kerja dan tugas pakar/ahli tersebut. Pengangkatan pakar/ahli juga bersifat temporer dan rekruitmen juga tidak didasarkan pada seleksi benar-benar untuk pakar/ahli. Ketentuan dalam Pasal 219 Peraturan Tata Tertib DPR mengatur mengenai tugas Sekretariat Jenderal sebagai: a. Memberikan bantuan teknis, administratif, dan keahlian kepada DPR; b. Melaksanakan kebijakan kerumahtanggaan DPR yang telah ditentukan oleh Pimpinan DPR, termasuk kesejahteraan Anggota dan pegawai Sekretariat Jenderal; c. Membantu BURT daam mensinkronisasikan penyusunan rancangan anggaran DPR yang bersumber dari pengajuan masing-masing alat kelengkapan DPR, dengan ketentuan: 1) Hasil sinkronisasi penyusunan rancangan anggaran DPR sebelum disampaikan kepada Pimpinan DPR terlebih dahulu disampaikan kepada BURT untuk diadakan penelitian dan penyempurnaan. 2) Dalam proses penyelesaian rancangan anggaran DPR selanjutnya, Sekretariat Jenderal membantu BURT dan Panitia Anggaran untuk menetapkan plafon anggaran DPR. 3) Membantu Anggota, Komisi, Gabungan Komisi, Badan Legislasi menyiapkan naskah akademis dan naskah awal RUU.
4) Memberikan penjelasan dan data yang diperlukan oleh BURT; 5) Melaksanakan ha lain yang ditugaskan oleh Pimpinan DPR; dan 6) Melaporkan secara tertulis pelaksanaan tugasnya selama Tahun Sidang yang lalu kepada Pimpinan DPR pada setiap permulaan Tahun Sidang dengan memberikan tembusan kepada Badan Musyawarah dan BURT. Dan uraian tugas di atas dapat disimpulkan bahwa tugas utama Sekretariat Jenderal lebih dominan bersifat administratif. Untuk itu tugas keahlian di bidang legislasi seharusnya digeser dari posisi di bawah Sekretaris Jenderal menjadi setara dengan Sekretaris Jenderal, bisa dalam bentuk deputi atau badan tetapi langsung berada di bawah DPR dan tugasnya membantu alat kelengkapan DPR. Di bawah ini diketengahkan struktur organisasi Sekretariat Jenderal, yang terdiri dari: a. Deputi Bidang Perundang-undangan; b. Deputi Bidang Anggaran dan Pengawasan; c. Deputi Bidang Persidangan dan Kerja Sama Antar Parlemen; d. Deputi Bidang Administrasi. 3. Deputi Bidang Perundang undangan Deputi Bidang Perundang-undangan dipimpin oleh seorang Deputi yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Sekretaris Jenderal DPR RI. Deputi Bidang Perundang-undangan mempunyai tugas memberikan dukungan teknis, administratif dan keahlian di bidang perundangundangan untuk memperkuat pelaksanaan tugas dan fungsi DPR RI di bidang legislasi. Dalam melaksanakan tugas Deputi Bidang Perundang-undangan menyelenggarakan fungsi : a. Pemberian dukungan teknis, administratif, dan keahlian di bidang perundang-undangan kepada alat kelengkapan DPR RI yang bertanggung jawab di bidang legislasi : b. Pemberian saran dan pertimbangan teknis, administratif, dan keahlian di bidang perundangundangan kepada alat kelengkapan DPR RI yang bertanggung jawab di bidang legislasi. 4. Deputi Bidang Anggaran dan Pengawasan Deputi Bidang Anggaran dan Pengawasan dipimpin oleh seorang Deputi yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Sekretaris Jenderal DPR RI. Deputi Bidang Anggaran dan Pengawasan mempunyai tugas memberikan dukangan teknis, administratif, dan keahlian di bidang anggaran dan pengawasan untuk memperkuat pelaksanaan tugas dan fungsi DPR RI di bidang anggaran dan pengawasan. Dalam melaksanakan tugas, Deputi Bidang Anggaran dan Pengawasan menyelenggarakan fungsi: a. Pemberian dukungan teknis, administratif, dan keahlian di bidang anggaran dam pengawasan kepada DPR RI; b. Pemberian saran dan pertimbangan teknis, administratif, dan keahlian di bidang anggaran dan pengawasan kepada DPR RI.
Gambar 1 : Bagan Organisasi Sekretariat Jenderal DPR-RI
Pengaturan mengenai Sekretariat Jenderal ditetapkan dengan Peraturan Presiden, ini memang sejalan dengan kedudukan Sekretariat Jenderal sebagai kesekretariatan lembaga negara dimana personilnya berstatus PNS, sehingga seolah-oleh DPR tidak memungkinkan membuat aturan mengenai Sekretariat Jenderal. Padahal pada masa keanggota DPR 1982-1987 atau pada era Orde Baru, DPR diberikan kewenangan untuk mengatur Susunan organisasi dan tata kerja sekretariat jenderal DPR ditetapkan oleh Pimpinan DPR setelah mendengar pertimbangan BURT dengan mengindahkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal itu dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 161 Keputusan DPR Republik Indonesia Nomor: 10/DPR-RI/III/82-83 tentang Peraturan Tata Tertib DPR.. Kewenangan DPR untuk mengatur organisasi instrumen pendukung dari perspektif regulasi tentu DPR akan mengatur dan menata organisasi instrumen pendukung yang tepat dan langsung bersinergi dengan kelembagaan DPR dan tugas yang diberikan kepada intrumen pendukung langsung berasal dari DPR, tidak bersifat antisipatif tetapi bersifat delegati f sehirgga kecil kemungkin.an muncul permasalahan bagi Sekretariat Jenderal dengan DPR dalam melaksanakan tugasnya. 5. Badan Khusus Perancangan Undang-Undang Jumlah Tenaga/Staf Ahli di DPR RI masih terbatas. Merujuk hasil penelitian National Democratic Institute for International Affairs/NDI (The National Democratic Institute for International Affairs, 2005: 43), di USA tahun 2000 dipekerjakan 24.000 professional, staf independen dan non partisan, mencakup 11.692 staf pribadi, 2.492 staf komite, 274 staf pimpinan, 5.034 staf lembaga, 747 staf pelayanan penelitian Kongres, 232 staf Kantor Anggaran Kongres, dan 3.500 staf Kantor Akuntan Umum Kongres. Ratarata, setiap anggota DPR USA mempunyai 14 staf dan setiap anggota Senat mempunyai 34 staf. Anggota Staf pribadi ini menyediakan keahlian khusus yang tinggi untuk mendukung pekerjaan anggota DPR. Mereka terdiri dari asisten administrasi, tenaga ahli surat menyurat, pengelolaan pengaduan konstituen, tenaga ahli perundang-undangan, pembuat jadwal dan penerima tamu, dan staf hubungan masyarakat. Bagaimana dengan DPR, sejak tahun 2003 memang terjadi perubahan instrumen pendukung, anggota, alat kelengkapan, dan fraksi dapat mengangkat asisten dan tenaga ahli dengan jumlah yang sangat terbatas, untuk anggota tidak lebih dari satu, dan untuk alat
kelengkapan semula hanya 3 orang tetapi terakhir terjadi penambahan sampai 5 orang kecuali untuk Badan Legislasi mencapai 20 orang dan Panitia Anggaran 15 orang. Sistem rekruitmen dilakukan berdasarkan usul anggota, alat kelengkapan, atau fraksi, sehingga tidak ada kriteria dan standar keahlian dan dalam kenyataan tidak sedikit anggota yang mengangkat orang tertentu bukan karena dasar keahlian tetapi karena kekeluargaan. Demikian juga pada alat kelengkapan pimpinan membawa sendiri, stafnya kecuali, Badan Legislasi yang mengadakan rekruitmen secara khusus dengan mengadakan pengumuman di surat kabar dan juga meminta melalui surat kepada beberapa fakultas hukum. Pakar/ahli yang diangkat tidak ada pengorganisasian, karena itu tidak dapat diukur bagaimana pengaruh pakar/ahli terhadap kinerja DPR. Apakah ini yang dimaksud dengan instrumen pendukung untuk memperlancar pelaksanaan tugas dan wewenang DPR? Untuk menjawab hal itu, ada baiknya memperhatikan Ketetapan MPR Republik Indonesia Nomor X/MPR/200I tentang Laporan Pelaksanaan Putusan MPR Republik Indonesia Oleh Lembaga Tinggi Negara Pada Sidang Tahunan MPR Republik Indonesia Tahun 2001, dalam Ketetapan itu disebutkan bahwa : “dalam rangka peningkatan kinerja DPR di bidang legislasi, perlu dibentuk suatu lembaga yang mempunyai tugas khusus membantu Dewan untuk menyiapkan RUU” (Sekretariat Jenderal MPR RI 2001: 95-96). Di Amerika Serikat, untuk membantu Congress di bidang perancangan undang-undang terdapat satu lembaga khusus yaitu Office of Legislative Counsel yang didukung oleh para ahli hukum, mereka bertugas merumuskan RUU dan membantu komisi ketika membahas RUU. Begitu pula halnya dengan parlemen Australia yang memiliki Office of Parliamentary Counsel. Badan seperti ini diperlukan DPR untuk menyiapkan RUU dan membantu DPR ketika membahas RUU bersama Pemerintah. Badan ini tidak bersifat temporer tetapi permanen dan didukung oleh tenaga profesional memahami teori dan teknik perundang-undangan dengan baik. Susunan, organisasi, dan tugas badan ini diatur dengan peraturan DPR. Sejalan dengan pikiran ini Jimly Asshiddigie (1998: 66) berpendapat sebagai berikut: “Salah satu kemungkinan yang perlu dipertimbangkan ialah perlunya dibentuk KomisiKomisi Tetap yang dipimpin oleh anggota DPR, tetapi beranggotakan tokoh tokoh ysurg berkeahlian dibidangnya yang berasal dari luar keanggotaan DPR. Di bidang perundangundangan, misalnya DPR dapat membentuk semacam “Legislative Counsel” dan “Legislative Reference Service” seperti di Kongres Amerika Serikat. Bahkan apabila perlu sebagian dari fungsi instansi seperti Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Perundang-undangan terutama dibidang Perancangan undangundang dapat dialihkan ke DPR-RI. Memang benar, Pemerintah dapat saja membuat RUU dan mengajukan RUU sendiri ke DPR.Akan tetapi, kebiasaan yang ada selama ini harus diubah”. Pengajuan RUU oleh Pemerintah hendaklah dibatasi hanya apabila memang diperlukan saja. Sedangkan yang lebih banyak harus mengajukan RUU adalah DPR, bukan lagi pemerintah. Sebagai contoh lain adalah Komisi Hukum dan Perundang-undangan yang seharusnya berada dibawah DPR-RI bukan dibawah Presiden seperti sekarang. Komisi ini sangat mendesak untuk dibentuk dibawah DPR-RI, sehingga DPR-RI dimasa yang akan datang dapat memperoleh masukan-masukan dari para ahli mengenai upaya harmonisasi dan pembaruan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dengan begitu, rumusan Pasal 20 ayat (1) baru UUD 1945 yang menyatakan:” DPR memegang kekuasaan membentuk UU” dapat benar-benar mempunyai arti.”
6. Sistem Informasi Legislasi Beberapa tahun terakhir ini, DPR telah melakukan reformasi di berbagai bidang, termasuk dengan memperkuat pembangunan kapasitas institusi. Hal ini sangat penting dalam menunjang kinerja DPR. Penguatan pembangunan kapasitas institusi melibatkan berbagai element dalam parlemen, antara lain, anggota parlemen, dukungan sumberdaya manusia, struktur lembaga, dan dukungan sistem informasi. Dalam menjalankan fungsinya di bidang legislasi, DPR memerlukan sistem informasi yang memadai yang dapat membantu DPR dalam menyebarluaskan RUU yang akan dibahas, meyerap aspirasi masyarakat, serta mensosialisasikan UU yang baru disahkan serta membantu anggota DPR dalam memantau perkembangan pembahasan RUU. Sistem informasi yang mendukung hal-hal tersebut kemudian di.sebut sebagai Sistem Informasi Legislasi. Mengenai sistem informasi, terdapat beberapa definisi, antara lain: a. Sistem Informasi terdiri dari dua kata yaitu Sistem dan Informasi. Sistem sendiri berarti gabungan dari beberapa sub sistem yang bertujuan untuk mencapai satu tujuan. Informasi berarti sesuatu yang mudah dipahami oleh si penerima. Sistem Informasi memiliki makna sistem yang bertujuan menampilkan informasi. b. Sistem informasi adalah sekumpulan komponen pembentuk sistem yang mempunyai keterkaitan antara satu komponen dengan komponen lainnya yang bertujuan menghasilkan suatu informasi dalam suatu bidang tertentu(http://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_informasi). Secara umum sistem adalah sekelompok elemen-elemen terintegrasi dengan maksud yang sama untuk mencapai suatu tujuan (Raymond Mc Leod, 1996). Berdasarkan definisi diatas, maka seharusnya sistem informasi legislasi merupakan sistem yang bertujuan untuk menampilkan suatu informasi dalam bidang legislasi. Jika dilihat dari proses pembuatan UU maka kebutuhan akan sistem informasi legislasi meliputi: a. Penyerapan aspirasi masyarakat dalam perencanaan legislasi nasional; b. Penyebarluasan RUU yang akan dibahas; c. Penyerapan aspirasi masyarakat terhadap RUU yang akan dibahas; d. Pensosialisasian UU yang baru disahkan; e. Sejarah pembentukan undang-undang dan peraturan pelaksananya . 1) Sistem Informasi Online DPR Bagi masyarakat, informasi mengenai proses pembuatan UU haruslah transparan, karena pada akhirnya UU yang disahkan akan berimplikasi pada kehidupan mereka. Mulai dari perencanaan suatu RUU, pembahasan dan pengesahan RUU menjadi UU menjadi sangat penting untuk dipantau dan diikuti perkembangannya. Oleh karena itu, informasi dan aspirasi harus buka melalui berbagai macam cara. Beberapa tahun belakangan ini, DPR telah menyediakan sarana informasi berbasis teknologi yang berkaitan dengan penyediaan informasi melalui berbagai media, antara lain melalui situs resmi DPR RI dengan alamat: http://www.dpr.go.id yang apat diakses oleh siapapun melalui jaringan internet. Informasi yang tersedia di website antara lain: Selain informasi mengenai kelembagaan DPR diatas yang cukup memberikan pengertian dan gambaran mengenai DPR, tersedia pula informasi yang sangat penting tentang produk yang dihasilkan DPR yaitu, UU. Dalam menu “Fungsi DPR” di bidang Legislasi” terdapat 3 kategori data yang dapat lihat, yaitu:
1. 2. 3. 4.
RUU Yang Sedang Dibahas RUU Yang Disahkan Rapat Paripurna Undang-Undang Jika salah satu menu diatas di-klik, maka akan muncul daftar RUU/UU berdasarkan kategori tersebut. Dan bila salah satu judulnya di klik, maka makin muncul naskah asli dari RUU/UU tersebut. Naskah RUU/UU itulah yang kemudian dapat dicermati oleh masyarakat. Sehingga dapat dikatakan bahwa hal ini menjadi salah satu cara bagi DPR untuk menyebarluaskan RUU yang akan/sedang dibahas, dan/atau mensosialisasikan UU yang baru disahkan oleh Rapat Paripurna atau UU yang sudah ditetapkan oleh Presiden. Namun 3 kategori diatas belum lah cukup. Seharusnya, data mengenai halhal dibawah ini juga tersedia dalam situs resmi DPR, agar masyarakat dapat memperoleh gambaran yang lebih lengkap inengenai kinerja DPR: a. Daftar RUU program legislasi nasional lima tahunan dan prioritas tahunan b. Daftar RUU yang berada dalam tahap harmonisasi dan sinkronisasi c. Daftar RUU yang di-judicial review oleh Mahkamah Konstitusi Dcngan mnenggunakan media Internet, informasi ini dapal diakses oleh anggota DPR, tenaga pendukung parlemen, orang-orang yang terlibat dalam kegiatan DPR, terutama oleh masyarakat luas dan kedepan diharapkan situs ini dapat memfasilitasi orang dalam mengakses informasi mengenai pembuatan UU atau untuk membuka proses legislasi agar lebih transparan. Yang unik dari media internet adalah, selain dapat memberikan informasi bagi masyarakat dimanapun mereka berada, media ini juga menyediakan ruang untuk masyarakat memberikan masukan, aspirasi, keluhan, aduan dan kritik kepada DPR. Melalui menu “Pengaduan”, masyarakat dapat menemukan satu kolom isian yang dapai diisi secara bebas tentang masukan, aspirasi, keluhan, aduan dan kritik yang ingin diberikan kepada DPR. Dari sini komunikasi dua arah terbangun sekaligus memberikan jalan bagi terlaksananya “partisipasi masyarakat” dalam pembentukan UU, sebagaimana diatur dalam bab X Pasal 53 UU No. 10 Tahun 2004 menyatakan bahwa: “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penetapan maupun pembahasan RUU dan rancangan peraturan daerah”. Melalui kolom“pengaduan”, masyarakat bebas memberikan masukan secara tertulis kepada DPR. Penyerapan aspirasi secara online ini selain mempermudah masyarakat untuk berpartisipasi juga sangat membantu DPR dalam menerima masukan dan aspirasi mereka secara cepat. Seluruh data yang ada dalam kolom pengaduan ini seharusnya kemudian diolah oleh Sekretariat Jenderal dan kemudian dilaporkan kepada pimpinan kornisi/alat kelengkapan, untuk kemudian menjadi bahan diskusi UU terkait. Selain melalui kolom pengaduan diatas, seharusnya dibuat juga satu alamat email khusus, misalnya:
[email protected], dimana masyarakat dapat secara bebas menyampaikan aspirasinya dengan melampirkan data pendukung melalui attachment file. Dengan tersedianya informasi ini di situs resmi DPR, dimana masyarakat dapat mengaksesnya dimana pun mereka berada, maka menjadi suatu kemudahan bagi masyarakat untuk memberikan aspirasinya kepada DPR secara langsung. Masyakarat menjadi tahu bahwa aspirasi apapun dapat diberikan kepada anggota Dewan atau alat-alat kelengkapan secara langsung dengan cara-cara yang ditentukan diatas.
Selain untuk kepentingan masyarakat diatas, Sistem Informasi juga dibutuhkan untuk memperoleh data dan informasi dalam rangka penyusunan RUU, dan dalam tahap penyusunan dan pembahasan RUU. Diantaranya yang penting juga adalah sejarah pembentukan undang-undang dan peraturan pelaksanaannya. Begitupula hanya dengan berbagai peraturan perundangundangan yang pernah berlaku di Indonesia,baik yang berasal dari jaman kolonial maupun jaman setelah kemerdekaan. Di Australia konon mereka punya “link system “yang sangat membantu didalam proses pembentukan undang-undang sejak dari awal proses. 2) Perbandingan: Sistem Informasi Online Negara Lain Ketersediaan informasi dalam situs resmi DPR memang terlihat komprehensif. Namun sebenarnya, bila dibandingkan dengan sistem informasi online miliki negara lain, maka situs resmi DPR sedikit tertinggal teknologinya. Contoh saja, sites resmi parlemen negara bagian Lousiana Amerika Serikat. Situs resmi parlemen negara bagian Lousiana dilengkapi dengan searching engine atau mesin pencari data yang memungkinkan masyarakat untuk mencari UU tertentu. Sebenarnya searching engine bukan hal yang baru pada teknlogi internet dan bahkan beberapa situs resmi pemerintah kita sudah ada yang menggunakan searching engine untuk pencarian data, seperti situs resmi sekretaris negara di url: http://www.setneg.go.id Pencarian data dengan searching engine pada situs parlemen negara bagian Lousiana, selain dapat dilakukan berdasarkan tahun atau nomor UU, juga dapat dilakukan berdasarkan subjek UU, sesi pembahasan, atau pengusul UU. Hal ini sudah pasti sangat membantu masyarakat untuk mendapatkan informasi yang mereka butuhkan secara cepat dan spesifik. Secara spesifik maksudnya, tidak nasskah UU yang mereka dapatkan, akan tetapi, pencarian berdasarkan kategori tersebut memungkinkan masyarakat untuk memperoleh informasi terkait dengan record (data) dari RUU usulan seorang anggota dewan. Semua fasilitas diatas merupakan rangkaian dari sistem infonnasi online yang bertujuan untuk membuka akses seluas-luasnya bagi masyarakat untuk terlibat dan memantau langsung proses pembentukan UU di parlemen. Pada gambar 14 dibawah ini diberikan contoh tampilan situs resmi parlemen dari salah satu negara bagian di Amcrika Serikat yaitu, Parlemen Lousiana. Gambar 2 : Tampilan situs resmi parlemen negara bagian Lousiana – US
Menurut Sri Soemantri, ketentuan yang berbunyi, (Sri Soemantri M., Makalah, Lokakarya 30 Tahun Prolegnas 19 s/d 21 2007: 3). “DPR memegang kekuasaan membentuk UU” harus kita artikan” DPRlah yang menentukan substansi sebuah UU”. Dengan demikian, apabila terdapat perbedaan antara DPR dan Pemerintah tentang materi muatan yang akan diatur dalarn sebuah UU, pendapat DPR-lah yang harus diikuti”. Menurut Mahfud MD, badan pendukung legislasi yang ada di DPR sekarang perlu dipermanenkan dan diisi oleh birokrasi yang tetap dan terdiri dari orang-orang ahli, Mereka bisa menjadi think tank bagi anggota-nggota DPR yang keanggotaannya memang tidak permanen (Wawancara di DPR RI, tanggal 23 Oktober 2008). Menurut A. M. Ramli, Kepala BPHN, anggota DPR sangat tepat diberikan hak di samping secara kelembagaan DPR sudah diberikan kekuasaan, sebab pencantuman ketentuan Pasal 21 UUD RI Tahun 1945 merupakan penegasan terhadap Pasal 20A UUD RI yang menyatakan “DPR memiliki fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan”. Ketentuan Pasal 20A UUD RI 1945 lebih menyatakan secara kelembagaan bahwa DPR mempunyai hak legislatif sedangkan Pasal 21 UUD RI 1945 lebih menegaskan hak anggota DPR terhadap pelaksanaan fungsi legislasi DPR (A. M. Ramli, wawancara di DPR RI, tanggal 24 Oktober 2008). C. PENUTUP 1. Kesimpulan a. Upaya penguatan untuk mewujudkan kekuasaan DPR dalam pembentukan UU menurut UUD 1945 adalah: 1) Dan perspektif pendekatan kelembagaan, pewujudan kekuasaan membentuk UU bersifat dialogis, tidak mungkin terletak semata-mata pada DPR, tetapi juga tergantung kepada Presiden. Untuk itu diperlukan komitmen bersama dari kedua belah pihak untuk menaati ketentuan UUD dan ketentuan perundang-undangan. Di pihak DPR berdasarkan UU, membentuk mekanisme penyusunan dan pembahasan RUU dalam peraturan tata tertib. Sedangkan dilingkungan pemerintah perlu koordinasi yang lebih baik dan tidak mengutamakan ego sektoral. 2) Didalam penetapan anggota yang duduk didalam Pansus, fraksi seyogyanya menugaskan anggotanya yang menguasai atau setidaknya memahami substansi RUU yang akan dibahas. Untuk itu fraksi-fraksi perlu meningkatkan kemampuan anggotanya dibidang teknik perundang-undangan. Agar jangan terjadi seperti yang selama ini dimana sebagian anggota justru mempelajari substansi RUU pada saat memasuki pembahasan RUU, baik itu RUU dari DPR maupun dari Presiden. Kedepan pembentukan pansus gabungan sejogianya dikurangi dan lebih mengutamakan pansus komisi. Sedangkan untuk RUU yang materi muatannya bersifat lintas sektoral, pembahasannya ditugaskan kepada Baleg
Yang anggotanya memang berasal dari lintas komisi dan berbagai fraksi. Kebijakan untuk mendukung anggota DPR, dengan mengangkat tenaga ahli dan asisten, tanpa ukuran yang jelas harus dirubah. Untuk itu perlu dilakukan perbaikan kebijakan berdasarkan kompetensi dan ukuran yang jelas, agar bermanfaat untuk mendukung terhadap kinerja anggota dalam rangka pelaksanaan kekuasaan membentuk UU. b. Instrumen pendukung dalam membantu mewujudkan kekuasaan pembentukan UU, berupa peraturan pembentukan UU yang rinci agar efektif dan efisien dilingkungan DPR, yang mengatur proses pembentukan UU secara rinci agar efektif dan efisien, Sistem Informasi Legislasi dengan link system, suatu Badan Perancang Undang-Undang sebagaimana di Kongres Amerika Serikat, Parlemen Australia maupun Parlemen di Perancis. 2. Saran a. Diharapkan instrumen pendukung DPR dalam membantu pelaksanaan membentuk UU perlu dibentuk kelembagaan khusus, tidak berada di bawah Sekretariat Jenderal, tetapi berada di bawah DPR secara operasional dan fungsional dapat berada di bawah Badan Legislasi atau Pimpinan DPR. Sumberdaya Manusia untuk lembaga ini direkrut secara khusus dengan persyaratan khusus pula yaitu mempunyai pengetahuan di bidang perundangundangan dan pengalaman perancangan undang-undang. Selain itu, diperlukan kelengkapan lain yaitu sistem informasi legislasi dengan link system seperti pada OPC di Parlemen Australia, yang mampu menyajikan data dan informasi serta mampu mendistribusikan berbagai masukan dari masyarakat. b. Dalam pembentukan UU yang berkualitas, diperlukan keahlian dalam teknik perundangundangan, untuk itu perlu adanya ketersediaanya keahlian bagi masyarakat. Fakultas hukum, sebagai institusi pendidikan, dengan memperhatikan dinamika perkembangan pembangunan hukum terutama hukum tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan sebagai mata kuliah wajib. Kelemahan penguasaan teknik perundang-undangan akan menjadi salah satu faktor penghambat di dalam proses pembentukan UU DPR. D. DAFTAR PUSTAKA 1. Buku A. D. A De Kat Angelino, Colonial Policy, Martinus Nijhoof, The Hague, 1931. Agung Djojosoekarto, Dinamika dan Kapasitas DPRD dalam Tata Pemerintahan Demokratis, Konrad Adenaeur Stiftung, Jakarta, 2004. Albert Hasibuan, Pelaksanaan Fungsi DPR Republik Indonesia Periode Tahun 1977-1982. Disertasi Doktor Ilmu Hukum Universitas, Gadjah Mada, Jog jakarta, 1992. Anom Surya Putra, Bahasa Hukum yang Pharmacon: Keluar dari Logos. Jurnal Hukum Jentera. Edisi 01 Tahun 2002. Aruan Sakijo dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana: Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990 B. Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum. Sebuah Penelitian Tentang Fondasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuwan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia (Mandar Maju, Bandung, 2000)
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia edisi revisi, Alumni, Bandung, 1997. Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, Ind. Hill.Co, Jakarta, 1992. Bagir Manan, DPR, DPD dan MPR Dalam UIID 1945 Baru, FH UI Press, Yogyakarta, 2005. Buku Panduan Pemasyarakatan UU Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Sesuai dengan Urutan Bab, Pasal, dan Ayat, Sekretariat Jenderal MPR RI, Jakarta: 2005. Dickerson, F. Reed, The Fundamentals of Legal Drafting, Second Edition, Boston, Little, Brown and Company, 1986. Harman Benediktus, Perkembangan Pemikiran Mengenai Perlunya Pengujian UU Terhadap UUD Dalam Sejarah Ketatanegaraan Indonesia (1945-2004) Disertasi, Fakultas Hukum Program Pascasarjana UI, Jakarta, 2006. I Gde Pantja Astawa, dan Suprin Na’a, Dinamika Hukum dan Ilmu Perundang-undangan di Indonesia, Alumni, Bandung, 2008. I. Gde Pantja Astawa. Hak Angket Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Menurut UU Dasar 1945, Disertasi, Universitas Padjadjaran, Bandung, 2000. J. E. Sahetapy, Runtuhnya Etik Hukum, Kompas, Jakarta, 2009. Jeremy Bentham, Teori Perundang-undangan: Prinsip-Prinsip Legislasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana, Penerbit Nusamedia & Penerbit Nuansa, cetakan 1, Bandung, 2006. Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Ketelah Perubahan Keempat, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2002. ______________, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2004. ______________, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007. ______________, Agenda Pembangunan Hukum Nasional di Abad Globalisasi, Balai Pustaka, Jakarta, 1998. ______________, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, 2006. K.C. Wheare, Konstitusi-Konstitusi Modern, terjemahan Muhammad Hardani, Pustaka Eureka, Surabaya, 2003. Kesimpulan Kongres Pancasila 29 Mei - 1 Juni 2009 di Jogyakarta, Negara Hukum Dalam Perspektif Pancasila.
Komisi Ad Hoc Persahi, Kerangka Landasan Pembangunan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1997. Kongres Pancasila di Jogyakarta 29 Mei-1 Juni 2009. Lawrence M. Friedman. The Legal System. A. Social Science Perpective. Russel Sage Foundation New York, 1975. Loth. M. A., Bahasa dan Hukum, Sebuah Metodologi Kecil, alih bahasa Linus Doludjawa, DitJen Peraturan Perundang-undangan, Depkumham, Jakarta, 2007. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Putusan Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001, Sekretariat Jenderal MPR RI 2001 Majelis Permusyawaratan Rakyat RI, Panduan Pemasyarakatan UU Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Sesuai dengan Urutan Bab, Pasal, dan Ayat, Sekjen MPR RI, Jakarta, 2005. Maria
Farida Indrati Soeprapto., Ilmu Perundang-undangan; Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, 1998.
Dasar-Dasar
dan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Prolegnas Tahun 2005-2009. Makalah Seminar Implementasi UU Nomor 10 Tahun 2004 dalam Legislasi Daerah berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004, Surabaya, 25 Mei 2005 Miriam Budiardjo dan Ibrahim Ambong, Fungsi Legislatif Dalam Sistem Politik Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995. Mochtar Kusumaatmadja. Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Bandung, 2002. Moh. Kusnardi, Bintan R.Saragih, Ilmu Negara edisi revisi, Gaya Media Pratama, cet. Keempat, Jakarta, 2000. Moh. Mahfud MD, Permasalahan Aktual Koordinasi Prolegnas. Makalah, Lokakarya 30 Tahun Prolegnas 19 s/d 21 2007 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia, 2007 ______________, Perdebatan Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, LP3ES, Jakarta, 2007. ______________, Politik Hukum, LP3ES, Jakarta, 1998. Mohammad Noor Syam, Penjabaran Filsafat Pancasila Dalam Filsafat Hukum (Sebagai Landasan Pembinaan Sistem Hukum Nasional), Laboratorium Pancasila IKIP Malang, 2000.
NDI Indonesia. Menuju DPR Yang Lebih Efektif: Pilihan-Pilihan Untuk Perubahan Positif Menurut Anggota Dewan. The National Democratic Institute for International Affairs, 2005 O. Hood Philips, Paul Jackson, and Patricia Leopold, Constitutional and Administrative Law, Sweet & Maxwel, London, 2001. Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM, 30 Tahun Prolegnas 1977 - 2007 Rekomendasi Kongres Pancasila di Jogyakarta, 29 Mei-1 Juni 2009 Saldi Isra. Agenda Pembaharuan Hukum: Catatan Fungsi Legislasi DPR. Jentera Jurnal Hukum. Edisi 3 Tahun II November 2004 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1982. Seidman, Ann dkk, Penyusunan RUU Dalam Perubahan Masyarakat Yang Demokratis, Diterjemahkan oleh Johanes Usfunan dkk, (Penerbit Elips.2001) Sekretariat Baleg DPR, Laporan Evaluasi Pelaksanaan Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2008, Baleg DPR, Jakarta, 2008. Soetandyo Wignjosoebroto. Hukum dan Pemaknaannya Menurut Pengalaman Kebahasaan Para Penggunanya. Sebuah Pengantar Ke arah ‘Kajian Hukum dengan Pendekatan Semiotik’. Jurnal Hukum Jentera. Edisi 01 Tahun 2002 Solly Lubis, Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan, Mandar Maju, Bandung, 2009. Sri Soemantri M., Penyusunan Naskah Akademik Pengharmonisasian Draf RUU Dalam Mengantisipasi Potensi Judicial Review Oleh Mahkamah Konstitusi. Makalah, Lokakarya 30 Tahun Prolegnas 19 s/d 21 2007 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia, 2007 Sri Soemantri M., Penyusunan Naskah Akademik, Pengharmonisasian Draf RUU Dalam Mengantisipasi Potensi Judicial Review Oleh Mahkamah Konstitusi. Makalah, Lokakarya 30 Tahun Prolegnas 19 s/d 21 2007 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia, 2007 Sri Soemantri M., Penyusunan Naskah Akademik, Pengharmonisasian Draf RUU Dalam Mengantisipasi Potensi Judicial Review Oleh Mahkamah Konstitusi. Makalah, dalam Lokakarya 30 Tahun Prolegnas 19 s/d 21 Nopember 2007 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia Suhariyono AR, Peningkatan Kualitas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, Makalah disampaikan dalam Pelatihan Legislative Drafting Tenaga Ahli Baleg DPR RI di Jakarta, 18 - 22 Mei 2009, diselenggarakan oleh Ditjen Peraturan
PerundangUndangan DEPKUMHAM Bekerjasama Dengan Center For International Legal Cooperation (CILC) Netherland Suharyati Hartono, “Prolegnas Antara Harapan dan Kenyataan”, Makalah disampaikan dalam Lokakarya 30 Tahun Prolegnas 19 s/d 21 Nopember 2007. BPHN Depkumham ______________, Implikasi Metodelogi Penelitian Hukum Terhadap Pemabangunan Hukum Nasional, Makalah pada Seminar Metodelogi Penelitian Hukum di Universitas Airlangga Surabaya pada Tanggal 18 Juli 2006 ______________, Bhinneka Tungga Ika Sebagai Asas Hukum bagi Pembangunan Hukum Nasional. PT Citra Aditya Bakti. Bandung, 2006 ______________, Upaya Menyusun Hukum Ekonomi Indonesia Pasca Tahun 2003 dalam Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Seminar Pembangunan Hukum Nasional, Bali, 14-18 Juli 2003, Buku 3. Perum Percetakan Negara Republik Indonesia, Jakarta, 2003. Taufiqurrohman Syahuri, Proses Perubahan Konstitusi (UUD Negara RI Tahun 1945 dan Perbandingannya Dengan Negara Lain. Disertasi Universitas Indonesia, Jakarta, 003. Yuliandri, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik, PT Rajagrafindo Perkasa, Jakarta, 2009. 2. Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susduk MPR DPR dan DPRD. ______________, UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. ______________, Keputusan DPR Republik Indonesia Nomor: 01/DPR-III/2004-2005 tentang Persetujuan Penetapan Prolegnas Tahun 2005-2009. ______________, Keputusan DPR Republik Indonesia Nomor: 08/DPR-RI/2005-2006 tentang Peraturan Tata Tertib DPR Republik Indonesia ______________, Keputusan DPR Republik Indonesia Nomor: 08/DPR-RI/2005-2006 tentang Peraturan Tata Tertib DPR Republik Indonesia ______________, Keputusan DPR Republik Indonesia Nomor: 08/DPR-RI/2005-2006 Tentang Peraturan Tata Tertib DPR Republik Indonesia, Pasal 42 ayat (2) ______________, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2005. 3. Jurnal Hukum Agus Priyanto, Membumikan Bahasa Hukum, Jurnal Hukum Jentera. Edisi 01 Tahun 2002.
Ahmad Ubbe, Instumen Prolegnas Dalam Pembentukan Peraturan Perundang undangan yang Terencana dan Terpadu. Jurnal Legislasi Indonesia. Vol. 2 No. 1-Maret 2005. Forum, Bahasa Hukum Indonesia: Krisis Bahasa di antara Pakem dan Frase, Jurnal Hukum Jentera. Edisi 01 Tahun 2002. Gregory Churchill, Badai Bahasa: Tanda-tanda Arah Perubahan dari Kosa-kata Hukum. Jurnal Hukum Jentera Edisi 01 Tahun 2002. Luky Djani, mengemukakan, “Efektivitas-Biaya Dalam Pembuatan Legislasi,” Jurnal Hukum Jentera Edisi 10 Tahun III, Oktober 2005. Teuku Mohammad Radhie, “Pembaharuan dan Politik Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional,” Prisma, Nomor 6 Tahun II Desember 1973, LP3ES, Jakarta, 1973. 4. Internet Arief Setyanto, Sistem Informasi Berbasis Multimedia (Multimedia Based Information Systems) http://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_informasi” Office of the Legislative Counsel, http://www.house.gov/legcoun/. Akses 1 September 2009 Rtr/Redl, “Gaji Anggota Legislatif’, Potensi No 03 Juni 1992 hal 54.) dalam Muchtar Pakpahan. Pelaksanaan Tugas dan Hak Dewan Perwakilan Rakyat Masa Kerja 1982-1987. Disertasi (Jakarta: Universitas Indonesia, 1993) www.hukumonline.com, Kinerja Legislasi Rendah, Perlu Ada Evaluasi dan DPR dan Pemerintahlm