6
Inspirasi Nyata dari Anak-Anak dengan Tekad dan Perjuangan Hidup yang Luar Biasa
PENDAHULUAN Kesuksesan sering kali diukur dengan besar-kecilnya materi yang kita miliki. Namun sesungguhnya yang paling tepat menjadi tolok ukurnya adalah kemampuan kita dalam menjalani hidup ini. Kehidupan yang tak dapat dipungkiri akan bertaburan pasir halus atau pasir kasar, kerikil, dan batu. Jika kita mampu melewati semua itu dengan baik, kita akan menjadi pribadi yang lebih tangguh dan tegar, serta pastinya lebih baik. Itulah yang layak dikatakan sukses sejati dalam hidup. Karena jika telah sekali teruji dan tahan banting, kita akan mampu melakukannya lagi di lain kesempatan. Hidup kita pun akan terasa lebih berarti dan berharga. Selain itu, dengan menjadi tahan uji dan tahan banting terhadap berbagai persoalan hidup, kita juga akan menjadi terbiasa dengannya. Secara perlahan kita bisa belajar melihat sisi lain dari keadaan tidak menyenangkan tersebut. Kita mulai bisa menunjukkan senyuman dan melangkah lebih ringan di kala mengarungi bab kehidupan yang penuh liku. Sudahkah diri kita masing-masing merasakan sukses sejati dalam hidup kita? Coba sejenak bandingkan dengan anak-anak dalam e-book ini. Di perjalanan hidupnya yang masih terbilang sangat muda
ini, mereka mampu tetap berdiri tegak meski harus menerima berbagai kepahitan dan kegetiran. Tidak sedikit juga yang berhasil memetik prestasi yang membanggakan. Mari kita telusuri bersama kisah kehidupan anak-anak yang penuh perjuangan ini. Tidak hanya itu, diharapkan kita pun bisa mengambil hikmah dan pelajaran penting dari anak-anak ini yang nantinya bisa berguna bagi pembentukan karakter diri kita dan kelanjutan perjalanan hidup kita sendiri.
Salam Sukses,
Andrie Wongso
DAFTAR ISI
#1
Pendahuluan
2
Daftar Isi
4
Ellie Challis, Gadis Tanpa Kaki dan Tangan
5
yang Gemar Bermain Bola #2
“Kembalilah Ma...”
9
#3
Pemulung dengan Prestasi Mendunia
14
#4
Berprestasi karena Gemar Membaca Buku
19
#5
Qian Hongyan, Bocah Cacat Penuh
24
Semangat #6
Pengusaha Sukses Pengidap Disleksia
29
Penutup
35
#1
Ellie Challis, Gadis Tanpa Kaki dan Tangan yang Gemar Bermain Bola
S
uatu pagi Ellie terbangun dengan kesakitan. Panas badannya tinggi dan tangan serta kakinya terasa dingin. Waktu itu ia masih berusia sekitar 1 tahun. Ibunya
segera membawanya ke rumah sakit. Namun karena tidak ada kejanggalan apa pun dari hasil tes darahnya, orangtua Ellie disarankan untuk kembali ke rumah. Setibanya mereka di rumah,
Lisa, ibu Ellie, menemukan tiga bintik merah di punggung Ellie. Hanya berselang 4 jam, badan Ellie sudah tertutup dengan bercak ungu tua. Lisa langsung tahu kalau putrinya itu terserang meningitis. Dengan segera, mereka membawa Ellie kembali ke rumah sakit. Tubuh Ellie membengkak hingga 3 kali lipat. Kondisi Ellie pun makin memburuk dalam waktu singkat. Dalam hitungan menit, tubuhnya sudah menghitam dan membiru. Tak lama setelah itu, jantungnya berhenti berdetak. Dokter yang menanganinya segera memanggil orangtua Ellie dan meminta mereka agar merelakan saja putri tercintanya. Ajaibnya, Ellie bisa melalui itu semua dan detak jantungnya kembali terdengar. Namun, kondisinya malah kian memburuk. Empat hari kemudian, tangan dan kaki Ellie pelan-pelan berubah menjadi hitam. Dokter mengabarkan bahwa tangan dan kaki Ellie harus diamputasi. Sungguh keputusan yang membuat putus asa orangtua mana pun. Setelah operasi amputasi berjalan dengan baik, Lisa sungguh terkejut melihat kondisi putrinya yang hanya menyisakan sedikit bagian tubuh. Ia tak berhenti menangis...
Bermain Bola dengan Kaki Palsu Namun, tangisan ini tak lantas membuat dirinya dan suaminya
terpuruk dengan keadaan. Mereka lekas bangkit dan bertekad untuk memberikan Ellie kaki buatan yang sefleksibel mungkin sehingga Ellie bisa bergerak layaknya orang normal. Pada Desember 2006, keinginan itu tercapai. Ellie sudah mulai terbiasa dengan kaki barunya yang terbukti sangat membantunya dalam beraktivitas. Pada April 2009, Ellie membuat sejarah baru sebagai orang termuda di dunia dengan kaki buatan yang berbahan khusus untuk olahraga.
Tahun demi tahun yang berlalu menunjukkan bahwa ternyata Ellie memiliki sesuatu yang unik dalam dirinya. Semangat hidupnya ternyata tak ikut teramputasi bersama dengan tangan dan kakinya. Ia bahkan bergabung dengan tim sepak bola di sekolahnya. Ellie memang bisa dibilang penggila bola. Klub favoritnya adalah Arsenal. Di lapangan, Ellie tetap bisa mengimbangi anak-anak lainnya yang bergerak secara leluasa. Ia terlihat tak memiliki masalah di lapangan dan malah sangat bahagia bisa bermain bola.
Menantang Atlet Dewasa Tak hanya semangat hidup tinggi yang dimiliki Ellie. Ia juga mempunyai pemikiran besar yang melampaui tubuhnya yang mungil dan melebihi segala keterbatasan yang dimiliki. Pada 2009 silam, ia dengan berani menantang seorang atlet lari Afrika Selatan bernama Oscar Pistorius yang terkenal sebagai ”pelari tercepat tanpa kaki”. Waktu itu umur Ellie baru 5 tahun, sedangkan Oscar sudah berusia 23 tahun. Perbedaan lainnya: Oscar sudah sangat terbiasa dengan kaki buatan berbahan karbon. Sedangkan, Ellie baru memakainya selama sebulan. Namun, pada pertandingan lari untuk tujuan amal itu, Ellie tidak tampak canggung. Ia terbukti mampu cepat beradaptasi dengan kaki fibernya. Bahkan, saat bersiap-siap di garis start, pandangan mata Ellie tak terlepas dari Oscar. Tatapan berbinar Ellie mewakili keyakinan dan tekadnya untuk mengalahkan pencetak rekor dunia itu. Keberanian dan semangat Ellie sungguh patut diacungi dua jempol. Luar biasa!
Next : “Kembalilah Ma...”
#2
“Kembalilah Ma...”
Z
hang Da harus menanggung beban hidup yang berat ketika usianya masih sangat belia. Tahun 2001, ketika usianya menjelang 10 tahun, Zhang Da harus menerima
kenyataan ibunya lari dari rumah. Sang ibu kabur karena tak tahan dengan kemiskinan yang mendera keluarganya. Yang lebih tragis, si ibu pergi karena merasa tak sanggup lagi mengurus suaminya yang lumpuh, tak berdaya, dan tanpa harta. Dan ia tak mau menafkahi keluarganya.
Maka Zhang Da yang tinggal berdua dengan ayahnya yang lumpuh, harus mengambil-alih semua pekerjaan keluarga. Ia harus mengurus ayahnya, mencari nafkah, mencari makanan, memasaknya, memandikan sang ayah, mencuci pakaian, mengobatinya, dan sebagainya. Yang patut dihargai, ia tak mau putus sekolah. Setelah mengurus ayahnya, ia pergi ke sekolah berjalan kaki melewati hutan kecil dengan mengikuti jalan menuju tempatnya mencari ilmu. Selama dalam perjalanan, ia memakan apa saja yang bisa mengenyangkan perutnya, mulai dari memakan rumput, dedaunan, dan jamur-jamur untuk berhemat. Tak semua bisa jadi bahan makanannya, ia menyeleksinya berdasarkan pengalaman. Ketika satu tumbuhan merasa tak cocok dengan lidahnya, ia tinggalkan dan beralih ke tanaman berikut. Sangat beruntung karena ia tak memakan dedaunan atau jamur yang beracun.
Menjadi Perawat & Tulang Punggung Keluarga Usai sekolah, agar dirinya bisa membeli makanan dan obat untuk sang ayah, Zhang Da bekerja sebagai tukang batu. Ia membawa keranjang di punggung dan pergi menjadi pemecah batu. Upahnya ia gunakan untuk membeli aneka kebutuhan seperti obat-obatan untuk ayahnya, bahan makanan untuk berdua, dan sejumlah buku untuk ia pejalari.
Zhang Da ternyata cerdas. Ia tahu ayahnya tak hanya membutuhkan obat yang harus diminum, tetapi diperlukan obat yang harus disuntikkan. Karena tak mampu membawa sang ayah ke dokter atau ke klinik terdekat, Zhang Da justru mempelajari bagaimana cara menyuntik. Ia beli bukunya untuk ia pelajari caranya. Setelah bisa, ia membeli jarum suntik dan obatnya lalu menyuntikkannya secara rutin pada sang ayah.
Kegiatan merawat ayahnya terus dijalaninya hingga sampai lima tahun. Rupanya kegigihan Zhang Da yang tinggal di Nanjing, Provinsi Zhejiang, menarik pemerintahan setempat. Pada Januari 2006 pemerintah China menyelenggarakan penghargaan nasional pada tokoh-tokoh inspiratif nasional. Dari 10 nama pemenang, satu di antaranya terselip nama Zhang Da. Ternyata ia
menjadi pemenang termuda. Acara pengukuhan dilakukan melalui siaran langsung televisi secara nasional. Zhang Da si pemenang diminta tampil ke depan panggung. Seorang pemandu acara menanyakan kenapa ia mau berkorban seperti itu padahal dirinya masih anak-anak. ”Hidup harus terus berjalan. Tidak boleh menyerah, tidak boleh melakukan kejahatan. Harus menjalani hidup dengan penuh tanggung jawab,” katanya.
Pejuang Tangguh Berhati Mulia Setelah itu suara gemuruh penonton memberinya applaus. Pembawa acara menanyainya lagi. ”Zhang Da, sebut saja apa yang kamu mau, sekolah di mana, dan apa yang kamu inginkan. Berapa uang yang kamu butuhkan sampai kamu selesai kuliah dan mau kuliah di mana. Pokoknya apa yang kamu idamidamkan, sebutkan saja. Di sini ada banyak pejabat, pengusaha, dan orang terkenal yang hadir. Saat ini juga ada ratusan juta orang yang sedang melihat kamu melalui layar televisi, mereka bisa membantumu!” papar pembawa acara. Zhang Da terdiam. Keheningan pun menunggu ucapannya. Pembawa acara harus mengingatkannya lagi. ”Sebut saja!” katanya menegaskan.
Zhang Da yang saat itu sudah berusaha 15 tahun pun mulai membuka mulutnya dengan bergetar. Semua hadirin di ruangan itu, dan juga jutaan orang yang menyaksikannya langsung melalui televisi, terdiam menunggu apa keinginan Zhang Da. ”Saya mau mama kembali. Mama kembalilah ke rumah, aku bisa membantu papa, aku bisa cari makan sendiri. Mama kembalilah!” kata Zhang Da yang disambut tetesan air mata haru para penonton. Zhang Da tak meminta hadiah uang atau materi atas ketulusannya berbakti kepada orangtuanya. Padahal saat itu semua yang hadir bisa membantu mewujudkannya. Di mata Zhang Da, mungkin materi bisa dicari sesuai dengan kebutuhannya, tetapi seorang ibu dan kasih sayangnya, itu tak ternilai. Pelajaran moral yang tampak sederhana, tetapi amat bermakna.
Next : Pemulung dengan Prestasi Mendunia
#3
Pemulung dengan Prestasi Mendunia
N
i Wayan Mertiayani atau biasa dipanggil Ni Wayan atau Sepi merupakan putri sulung almarhum I Nengah Sangkrib dan Ni Nengah Sirem. Sejak ayahnya meninggal,
Mertiayani tinggal bersama ibunya dan adiknya, Ni Made Jati. Sejak itu pula, tiga wanita ini berjuang untuk melanjutkan hidupnya dari hari ke hari.
Sepeninggal sang ayah, mereka tinggal di gubuk berdinding bilik bambu dengan satu kamar tidur. Ibunya sudah bertahuntahun menderita ginjal dan harus bekerja serabutan. Untuk menopang kehidupan, tiap sore hingga gelap menyergap, gadis yang sekarang duduk di bangku SMA itu berjualan permen, kue jajanan, dan makanan kecil lain di Pantai Amed, salah satu pusat wisata di bagian timur Karangasem, Bali. Jika dagangannya laku, dia bisa memperoleh pendapatan hingga Rp50 ribu. Tapi lebih sering dia rugi karena banyak yang tidak bayar. “Atau kalau tak habis saya makan sendiri, jadi ya rugi,” ujar Wayan tersipu. Dia bahkan hampir putus sekolah karena tidak punya uang untuk biaya sekolah. Jika hasil berjualannya tidak mencukupi kebutuhan dasarnya, Wayan memulung di seputaran pantai Bali. Usai pulang sekolah atau berjualan, Wayan tidak merasa malu memunguti sampahsampah plastik yang bertebaran di sepanjang pantai. Bahkan, ejekan teman sekolahnya tak dihiraukannya sama sekali. Satu prinsipnya, ”Saya tidak mencuri!”
Terinspirasi Anne Frank Namun, di sela kehidupan keras yang dilaluinya, Wayan biasa meluangkan waktu dengan membaca di perpustakaan milik
Marie Johana Fardan, tetangganya. Dari koleksi perpustakaan inilah, Wayan mengenal sosok Anne Frank dari buku catatan harian Anne Frank berjudul The Diary of Anne Frank. Dari buku ini juga muncul sebuah cita-cita dalam diri Wayan, yaitu ingin menjadi wartawan dan penulis. Wayan mengaku mengagumi Anne Frank, gadis Yahudi korban kekejaman Nazi. Frank bersembunyi dari kekejaman Nazi selama dua tahun sejak tahun 1942. Frank menulis cerita harian yang kemudian diterbitkan dalam berbagai bahasa termasuk Indonesia. “Tiang merasa patuh ajak ceritane Anne Frank,” kata Wayan dalam bahasa Bali, yang artinya, saya merasa hidup saya sama dengan cerita Anne Frank. Alur hidup Mertiayani bisa dikatakan hampir mirip Anne Frank. Sama-sama hidup dalam tekanan, tapi penuh harapan dan citacita. Bedanya, Anne yang keturunan Yahudi besar di bawah tekanan tentara Nazi pada masa itu, sementara besar di bawah tekanan ekonomi.
Mutiara Terpendam yang Akhirnya Bersinar Pada September 2009, saat melakukan aktivitas memulungnya Wayan berjumpa seorang turis asal Belanda, Mrs Dolly Amarhoseija. Mrs Dolly meminjamkan kamera digitalnya
dan mengajarkan Wayan cara membidikannya. Dan Wayan pun menggunakan kamera itu untuk mengambil beberapa foto. Begitu melihat indahnya hasil jepretan Wayan, Mrs Dolly menyarankan Wayan agar menjadi peserta Lomba Fotografi Internasional yang diselenggarakan Yayasan Anne Frank di Belanda. Bermodal sekitar 15 foto, Wayan menjadi pesertanya. Dan ternyata juri dari World Press Photo menilai foto milik Wayan adalah foto terbaik dari ribuan foto yang dikirimkan 200 foto karya 200 fotografer kelas dunia. Foto Wayan ditetapkan sebagai Juara 1 tahun 2009. Foto Wayan ini adalah sebuah potret pohon ubi karet dengan dahan tanpa daun yang tumbuh di depan rumahnya. Seekor ayam bertengger di salah satu dahan, serta handuk berwarna merah jambu dan baju keseharian yang dijemur di bawahnya. Kedua belas juri berpendapat bahwa semua unsur dalam foto Wayan bekerja sangat bagus. “The shape of the tree, the one chicken up in the branches, the color and light. They all work in its favor. All of this relays the photographer’s reality through subtle symbolism,” tulis juri di dalam website resmi Yayasan Anne Frank.
Acara penyerahan hadiah berlangsung pada 3 Mei 2010 di Amsterdam, Belanda. Wayan pun hadir di sana dengan ditemani adiknya. Wayan menerima hadiah berupa kamera Canon G11, bukubuku tentang Anne Frank, dan fotonya sendiri yang menang lomba dari perwakilan Yayasan Anne Frank. Wayan berharap bisa menyelesaikan sekolah dan mewujudkan cita-citanya menjadi jurnalis. “Saya ingin membahagiakan ibu saya,” ujarnya sendu. Matanya bulat menerawang. Dia sangat sadar kemiskinan mengancam kelanjutan pendidikannya. “Anne Frank lebih susah hidupnya. Jika dia tak mengeluh, saya juga seharusnya tidak,” ujarnya kemudian. Kisah hidup Wayan terbukti amat inspiratif karena dalam kondisi hidup serba kekurangan, Wayan tak pernah berhenti berupaya agar roda hidupnya bergulir menjadi lebih baik.
Next : Berprestasi Karena Gemar Membaca Buku
#4
Berprestasi karena Gemar Membaca Buku
“Dalam kondisi miskin kita tak akan punya kesempatan untuk pergi
ke mana-mana. Namun dengan buku kita bisa pergi ke mana pun kita mau, bisa jadi orang seperti apa pun, dan bisa melakukan apa pun yang kita inginkan.”
Kata-kata itu diucapkan oleh Ben Carson, seseorang yang dulunya adalah anak tak berprestasi dan biang keributan.
Ketika usianya menginjak tahun ke-8, orangtua Ben bercerai. Ben bersama kakaknya, Curtis, kemudian dibesarkan oleh ibunya seorang diri. Karena ibunya sibuk bekerja hampir sepanjang hari demi menafkahi keluarganya, Ben tumbuh menjadi anak yang bandel. Prestasinya di sekolah sangat mengecewakan. Dia pun menjadi bahan olok-olok teman-temannya. Belum lagi, Ben sering menjadi biang keributan di antara teman-temannya. Karena kebandelan Ben sudah di ambang batas, ibu Ben terpaksa membuat aturan ketat baginya. Jam menonton televisinya dibatasi. Ia dilarang keluar rumah selama PR-nya belum diselesaikan. Selain itu, Ben diharuskan membaca dua buku dalam seminggu yang dipinjam ibunya dari perpustakaan. Ben pun diharuskan membuat laporan setiap buku yang dibacanya itu. Hasil dari upaya ini ternyata luar biasa. Ben mulai memperlihatkan kepintarannya. Bahkan, tak sampai setahun Ben tampil sebagai juara kelas.
Anak Bandel Penggila Buku Sebenarnya pada awalnya Ben sulit menyesuaikan aturan ibunya itu. Ia sering tergoda keluar rumah untuk bermain dengan teman-temannya. Namun, lama-lama terbiasa juga dan bahkan jadi gila buku. Ia jadi termotivasi untuk meraih masa depan
yang lebih baik. “Dalam kondisi miskin kita tak akan punya kesempatan untuk pergi ke mana-mana. Namun dengan buku kita bisa pergi ke mana pun kita mau, bisa jadi orang seperti apa pun, dan bisa melakukan apa pun yang kita inginkan,” ungkap Ben. Sejak itu Ben melahap buku apa pun. Ia membaca buku teknik hingga ensiklopedia. Ia juga terobsesi menjadi ilmuwan. Ia suka belajar praktik sendiri di laboratorium. Ia meneliti berbagai hal dari buku yang dibacanya. Perubahan ini tentu saja mengherankan guru dan teman-temannya. Banyak juga guru yang mendukungnya. Bahkan ada yang bersedia jadi mentornya di laboratorium. Ben lulus SMA dengan nilai yang memuaskan. Sayangnya minatnya melanjutkan sekolah terhalang biaya. Meskipun ia mendapat beasiswa di Yale University di bidang psikologi, ia harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Setelah mengetuk pintu ke sana-sini akhirnya ia bisa bekerja di sebuah
rumah sakit sambil kuliah. Ia menjadi tenaga pembantu medis di situ. Dari sanalah impiannya terbangun. Ia sering mendengar orang mencari-cari Dr. Jones. Begitu hebatnya Dr. Jones sampaisampai ia bermimpi, suatu kali bisa juga orang-orang mencari Dr. Carson. Sejak itulah ia berupaya mengejar pendidikan di bidang kedokteran.
Menerima Penghargaan Presiden Setelah lulus dari Yale pada tahun 1973, Ben melanjutkan ke School of Medicine University of Michigan dan memilih bidang saraf ketimbang psikologis yang jadi pilihannya. Dari sanalah ia membangun kariernya sebagai ahli saraf. Ketika lulus ia sudah dikenal sebagai dokter bedah saraf yang cekatan. Satu kelebihannya adalah ia bisa mengoordinasikan antara mata dan tangan dengan sangat luar biasa saat mengoperasi pasien. Selain itu, ia bisa berpikir tiga dimensi dalam melihat bagian yang dioperasi di dalam tubuh pasien. Kecekatannya ini membuatnya bisa bekerja di John Hopkins Hospital di Baltimore, Maryland, dan menjadi kebanggaan rumah sakit yang terkenal di dunia ini. Bahkan dalam usianya yang ke-33, Ben Carson sudah menjadi profesor di rumah sakit itu dan menjadi direktur Pediatric Neurosurgery. Kepiawaiannya dalam bedah saraf segera didengar ke mana-
mana. Ia pun terlibat dalam berbagai operasi pasien di berbagai negara. Ia makin dikenal sebagai salah seorang ahli bedah saraf dunia yang hebat. Bahkan sebegitu besarnya apresiasi orang pada Ben, pada tahun 2008 Presiden George Bush memberikan penghargaan The Presidential Medal of Freedom. Ben berusaha menyimpulkan kesuksesannya ini dengan berkata, “Ketika saya sedang belajar, ibu saya selalu bilang, ‘Kamu bisa melakukan apa saja yang orang lain lakukan, hanya saja kamu harus melakukannya dengan lebih baik’,” katanya. Ya, Siapa pun kita, bisa sukses asal mengerjakannya lebih baik dan lebih baik lagi.
NEXT : Qian Hongyan, Bocah Cacat Penuh Semangat
#5
U
Qian Hongyan, Bocah Cacat Penuh Semangat
jian yang menimpa Qian memang sangat berat. Betapa tidak, di usianya yang masih sangat dini—tiga tahun (tepatnya pada bulan Oktober 2000)—ia mengalami
kecelakaan fatal yang mengakibatkan separuh tubuhnya hingga batas pinggang harus diamputasi.
Kondisi itu diperparah lagi dengan keadaan ekonomi orangtua Qian yang tidak berkecukupan. Karena itu, keluarga gadis cilik yang tinggal di Zhuangxia, China itu tak mampu memberikan kaki palsu untuk Qian. Sebagai gantinya, keluarga tersebut menyangga tubuh Qian dengan potongan bola basket. Sebuah solusi yang jauh dari kata nyaman, seperti kaki-kaki palsu lainnya. Namun, meski tumbuh dengan keterbatasan, Qian membuktikan bahwa dunia belumlah tamat bagi dirinya. Ia tumbuh menjadi gadis yang periang dan murah senyum, seolah-olah tak terjadi suatu apa pun dalam dirinya. Dengan memantulkan bola basket di bagian bawah tubuhnya, dan dibantu penyangga untuk membantunya bergerak, Qian tetap bisa menjadi bocah lincah layaknya kebanyakan anak normal.
Gantungkan Cita-Citamu Setinggi Mungkin Dengan kekurangan di tubuhnya, Qian pantang berputus asa, meski ia belum tahu bagaimana masa depannya kelak serta bagaimana ia bisa mengubah hidupnya dengan kondisinya saat itu. Hingga, suatu ketika ia mendatangi sebuah pertandingan olahraga nasional yang diselenggarakan di Kunming pada Mei 2007. Di sana, benih yang menumbuhkan cita-citanya bertumbuh.
Saat itu, Qian setiap hari menyaksikan perjuangan beberapa atlet cacat yang ikut meramaikan pertandingan. Melihat perjuangan rekan senasib yang bertubuh cacat, hati Qian pun tergerak. Jika orang lain mampu berprestasi di bidang olahraga meski dengan tubuh cacat, mengapa dia tidak melakukan hal yang sama? Pikiran itulah yang meletupkan cita-cita Qian Hongyan untuk ikut menjadi seorang atlet. Maka, selepas acara olahraga nasional tersebut, tekad Qian segera diwujudkan dengan bergabung di sebuah klub renang khusus. Tekad itu didukung sepenuhnya oleh orangtua Qian. Maka, mereka pun mendatangi Zhang Honghu, seorang pelatih yang terkenal banyak menjadikan perenang cacat sebagai juara di kejuaraan renang. Qian meminta kesempatan kepada Zhang untuk dilatih menjadi seorang juara. Zhang yang dikenal sebagai pelatih bertangan dingin hanya mengatakan bahwa semua tergantung pada kemauan dan tekad Qian. Sebab, menurutnya, dengan kekurangan separuh tubuh yang tak dimilikinya, agak sulit bagi Qian untuk berenang dengan hanya mengandalkan kedua lengannya. Tetapi, tekad
sangat kuat Qian rupanya berhasil memikat Zhang. Maka, ia pun memberikan porsi latihan khusus bagi Qian agar lebih mampu menyeimbangkan kedua bahu dan lengannya.
Atlet Renang yang Pantang Mengeluh Kepercayaan Zhang pun dijawab dengan kesungguhan Qian. Dengan porsi latihan cukup berat, apalagi dengan kesulitan yang dialami sejak awal latihan, Qian tak pernah sekali pun mengeluh. Baginya, impian untuk menjadi atlet adalah cita-cita yang tak boleh padam. Dalam sehari, setidaknya jarak 2.000 meter ditempuh Qian di arena air untuk melatih otot-ototnya. Selain itu, latihan lain seperti sit-up, mengangkat beban, hingga berbagai jenis latihan dilakukannya dengan bersemangat. Semangat inilah yang membuat Qian kini dikenal di seantero China dan bahkan dunia. Kisah hidup dan tekad kuatnya telah menginspirasi banyak orang agar mampu mendobrak segala keterbatasan. Kisah Qian banyak dimuat di berbagai media baik cetak maupun online sehingga mengangkat namanya. Kini, ia ingin mendunia dengan usahanya mewakili China pada tahun 2012 pada kejuaraan renang di olimpiade khusus orang cacat. Tak tanggung-tanggung, Qian mematok target menjadi juara dunia renang pada kejuaraan olimpiade tersebut. Dia bekerja
keras untuk mewujudkan impiannya tersebut. Jika melihat kesungguhan dan tekadnya, sepertinya impian itu tak mustahil untuk dicapai. Sebab, sejatinya kesungguhan dan tekad kuat yang dilandasi kerja keras akan mampu menaklukkan segala tantangan.
NEXT : Pengusaha Sukses Pengidap Disleksia
#6
Pengusaha sukses pengidap disleksia
S
ejak usia balita, Ben Way (Benjamin Peter Bernard Way) sudah menunjukkan gejala menderita disleksia. Disleksia adalah sebuah kondisi ketidakmampuan belajar pada
seseorang yang disebabkan oleh kesulitan pada orang tersebut dalam melakukan aktivitas membaca dan menulis. Pada kasus Ben, kondisi ini lebih diperparah dengan perceraian orangtuanya.
Masa-masa itu menjadi waktu yang sangat berat bagi Ben yang masih berusia lima tahun. Karena itulah, ia menjadi anak yang hiperaktif, emosional, dan sering kali berteriak-teriak, lari ke sana kemari, dan merusak segala hal di sekitarnya. Televisi, pemanggang roti, lemari jadi sasarannya. Itu pula yang membuatnya tak bisa masuk play group karena di sekolah Ben akan merusak kursi, meja, dan perlengkapan sekolah lainnya yang membuat pengelola sekolah tak mau ambil risiko. Sifatnya yang seperti itu makin merepotkan ibunya yang saat itu masih harus mengurusi bayinya—adik Ben—bernama Hermione. Sang ibu menjadi orangtua tunggal yang bekerja sebagai guru. Profesi ibunya inilah yang memberikan kesempatan bagi Ben untuk mendapat pendidikan gratis di sekolah tempat ibunya bekerja.
Frustasi Karena Tak Bisa Membaca dan Menulis Namun saat menjalani hari-harinya di sekolah, Ben seperti baru menyadari penyakit yang dideritanya. Ia sulit mengikuti pelajaran. Setiap pelajaran yang didengarnya tidak mampu dituangkannya dalam bentuk catatan di buku tulisnya. Seolah tak ada sedikit pun bahan pelajaran yang bisa tergambar dalam benaknya. Hal ini membuat Ben frustrasi dan sebagai pelampiasannya ia jadi pemarah dan mengacau. Setiap kali
dimarahi oleh gurunya, Ben berlari ke kelas tempat ibunya mengajar dan bersembunyi di kolong meja. Kejadian seperti itu berlangsung terus-menerus dan dalam waktu setahun ibunya menyerah. Ben pun keluar dari sekolah itu. Ben kemudian pindah ke rumah dekat kakek Ben dari pihak ayah. Ben sekolah lagi. Namun, tetap menghadapi kekacauan serupa. Ben bahkan sempat dikunci di dalam ruang kelas sendirian karena gurunya begitu kesal padanya. Mendapat perlakuan demikian, Ben mengamuk. Lemari dijungkirkan. Guru lalu memarahi Ben. Salah satu umpatannya, menyakitkan hati Ben yang saat itu sudah berusia tujuh tahun. “Kamu tak akan pernah bisa membaca dan menulis, kamu tak akan bisa membuat apa pun,” ujar gurunya. Ben pun terpukul. Ia jadi makin takut menghadapi hari demi hari dalam hidupnya. Kondisi Ben yang semakin parah membuat ibunya tak kuat lagi mengurus Ben. Sang ibu kemudian berunding dengan mantan suaminya yang kini sudah menikah lagi. Akhirnya diputuskan bahwa Ben harus ikut ayahnya. Ternyata hidup bersama ayahnya tak juga menolongnya. Di sekolahnya yang baru, Ben tetap tak mampu belajar. Ia selalu berada di urutan bawah di kelasnya dan itu membuatnya frustrasi. Terlebih-lebih ayahnya. Apalagi ayahnya tak bisa lembut seperti ibunya. Ben terombang-ambing dalam keputusasaan.
Tergerak karena Tertantang Pada suatu malam, sang ayah memintanya mempelajari agenda waktu. Tapi itu tak berhasil juga. Ben malah meminta ayahnya membelikan mainan kapal-kapalan. Ayahnya tentu tak senang. Dengan sedikit marah ia mengatakan, kalau mau beli kapalkapalan kamu harus mengumpulkan uang sendiri. Ben berpikir, perlu waktu berapa lama agar ia bisa membeli kapal-kapalan itu. Ternyata tantangan itu bisa dia tangkap dan dia bergairah untuk melakukannya dengan mengumpulkan uang. Tantangan itu bahkan ibarat cahaya yang menyinari kegelapan otaknya selama ini. Sejak saat itu, ia menemukan jawaban kesulitan belajarnya yang selama ini ia alami. “Ternyata bagi penderita disleksia harus ada alasan untuk melakukan sesuatu,” ujarnya. Dari sanalah ia mulai bisa belajar berhitung, yakni berhitung dengan praktik pada kejadian sehari-hari. Proses belajarnya terus berlanjut sampai suatu kali ia menyukai komputer yang ia lihat di kantor ayahnya. Ayahnya memahami ketertarikannya lalu meminta perusahaan membelikan satu laptop untuk Ben. Sebulan kemudian laptop itu datang. “Benda itu begitu berat, tetapi bagi saya itu sangat hebat dan menakjubkan. Ternyata komputer dan otak saya bisa nyambung dan begitu lengket,” cerita Ben.
Menjadi Pengusaha di Usia 15 Tahun Ke mana pun Ben pergi, laptop selalu ada di tasnya. Mereka seakan tak terpisahkan. Ia bahkan mengibaratkan laptop itu sebagai pemandunya. Menurutnya, laptop itu ibarat kacamata pada orang yang pandangannya kabur. Apa pun yang diinginkannya bisa diterjemahkan oleh laptop itu. Melalui laptop itu, Ben bisa merancang software sendiri dengan cara belajar autodidak. Ia kemudian jadi ahli software komputer. “Pada usia 11 tahun saya sudah bisa membuat program komputer. Pada usia 15 tahun saya sudah memiliki perusahaan. Dan pada usia 17 tahun saya sudah bisa menghasilkan satu juta poundsterling pertama saya,” ujarnya. Bahkan pada tahun 2000, ia mendapat penghargaan dari
Perdana Menteri Inggris Gordon Brown sebagai New Business Millennium Young Entrepreneur of The Year. Ternyata penghargaan ini membuka jalan kariernya sebagai ahli software komputer yang dilirik pemerintah. Tak lama kemudian ia mendapat tawaran dari Gedung Putih dan pemerintah Inggris untuk menjadi salah satu konsultan dalam proyek inkubator internet kerja sama kedua negara itu yang bernama NetB2B2 PLC. Lalu, Ben mengepalai sebuah divisi teknologi pada sebuah perusahaan besar sambil menjadi dosen di Imperial College.
PENutup Sahabat yang luar biasa, setelah membaca kisah nyata dari 6 anak tersebut, tentunya ada pembelajaran luar biasa yang bisa kita dapatkan. Melalui mereka, dan banyak anak lain yang belum disampaikan kisahnya di sini, kita bisa belajar apa makna sukses sebenarnya dan bagaimana meraihnya. Selalu ada perjuangan menuju kesuksesan, tapi ketahuilah bahwa kekurangan kita tidak seharusnya menghambat semangat kita dalam meraih impian! Seperti juga yang sering saya katakan bahwa, “Tidak ada jalan rata menuju kesuksesan. Jadilah buldozer yang meratakan jalanjalan menuju kesuksesan itu!”. Nantikan berbagai e-book berikutnya dari kami, dapatkan informasinya dengan follow account social media kami.
Salam Sukses,
Andrie Wongso
Produced by: Digital Media & Production Dept.
www.andriewongso.com
© 2014 Andrie Wongso Motivation Industry. All rights reserved.