Abdur Rozaki, Inovasi Perempuan dari Kawasan Indonesia Timur
INOVASI KAUM PEREMPUAN DARI KAWASAN INDONESIA TIMUR Abdur Rozaki Abstract Of poverty that affects most of Indonesian people, women are the most inerable group based on gender. No wonder if poverty femininity is running. To solve this phenomenon, women have to be placed as subject change. Approach of ABA, GSI and API that are used by ACCESS in Indonesia east region can create critical awareness of women to do development innovation in their surroundings. Women succeed boosting for strengthening local economy, expanding food tenacity, involving in the planning of their village even some who become chairperson of RT, BPD and others. Keywords : poverty, woman, innovation A. Pendahuluan Ketimpangan pembangunan yang berlangsung selama ini telah menghadirkan kemiskinan berwajah perempuan (poverty has a women face), sebagaimana yang dilansir oleh laporan UNDP pada tahun 1995.1 Kondisi semacam ini dialami pula oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, khususnya di tingkat lokal-pedesaan.2 Sejauh ini, pemerintah pusat telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasinya, baik itu melalui regulasi maupun implementasi program pembangunan. Namun berbagai regulasi dan project pembangunan yang digerakkan di tingkat pusat, terkadang kurang efektif implementasinya di tingkat lokal. Dimensi lokalitas terkadang kurang diperhatikan sehingga menghasilkan capaian minimalis dan terkadang berakhir tanpa hasil.3 1
Lihat, Human Development Report (New York: UNDP, 1995). Abdur Rozaki, Mendemokratisasi Negara, Pasar dan Masyarakat Sipil (Yogyakarta: IRE dan The Asia Foundation, 2012), hlm. 5-15. 3 Lihat salah satunya dokumen yang dikeluarkan oleh Tim TN2PK dan Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia, Peta Jalan PNPM Mandiri Menuju Keberlanjutan Program Pemberdayaan Masyarakat: Naskah Konsultasi Publik( Jakarta, 2013). 2
167
WELFARE, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 2, Desember 2012
Tulisan ini berupaya mengangkat isu peran politik kaum perempuan dalam merebut ruang publik dan tata kelola pemerintahan (governance) di tingkat desa yang demokratis untuk menjawab problem kemiskinan yang berwajah perempuan, khususnya yang terjadi di Indonesia bagian timur yang menjadi wilayah dampingan ACCESS (Australian Community Development and Civil Society Strengthening Scheme). Tulisan ini berdasarkan pada pertanyaan kunci, apa problem utama kaum perempuan di desa-desa mitra ACCESS di kawasan Indonesia Timur? Bagaimana pendekatan yang dilakukan dalam mendorong perubahan? Apa saja best practices yang telah dihasilkan selama ini? Melalui tulisan ini, diharapkan para pemegang kebijakan di tingkat pusat dan daerah dapat mengembangkan tata kelola pemerintahan lokal yang demokratis melalui peran keterlibatan politik kaum perempuan di berbagai tempat lainnya di Indonesia. Juga sebagai bentuk pembelajaran lainnya bagi para akademisi dan aktivis sosial dalam memperhatikan dimensi kekuatan kaum perempuan dalam mendorong perubahan di tingkat lokal. B. Feminisasi Kemiskinan dan Gender Perspektif Pembangunan yang berlangsung selama ini bukanlah bebas nilai atau tanpa kepentingan, sebagaimana ditegaskan oleh kedua orang feminis, Vandana Shiva dan Maria Mies.4 Di balik laju pembangunan kapitalistik, bersemai pula ideologi patriarki yang berlangsung di negara-negara industri dan bermetamorfosis pula di negara-negara dunia ketiga. Pembangunan kapitalis patriarki selalu berorientasi pada pertumbuhan ekonomi meski harus merusak ekosistem alam, dan mengkomodifikasi serta memarginalisasi kaum perempuan. Maka tidak heran bila pembangunan semacam ini sangat bias gender dan telah mengakibatkan feminisasi kemiskinan, atau kemiskinan berwajah perempuan. Feminisasi kemiskinan ini indikatornya dapat dilihat dari tiga aspek utama, yakni: Pertama, populasi jumlah warga miskin di dunia lebih banyak dialami atau diisi oleh kaum perempuan. Berdasarkan data PBB, sebanyak 1,3 miliar warga dunia yang masuk kategori miskin, 70% nya adalah perempuan.5 Untuk Kasus Indonesia sendiri, mayoritas jumlah penduduknya juga berjenis kelamin perempuan. Begitu pula dengan jumlah kaum perempuan yang tinggal di desa, populasinya lebih besar 4
Vandana Shiva dan Maria Mies.,Ecofeminism: Perspektif Gerakan Perempuan dan Lingkungan, (alih bahasa Indonesia oleh Kelik Ismunanto, IRE Press: Yogyakarta, 2005), hlm. 65-70. 5 Human Development Report (New York: UNDP, 1995)
168
Abdur Rozaki, Inovasi Perempuan dari Kawasan Indonesia Timur
dibandingkan kaum laki-laki. Kedua, adanya disparitas atau diskriminasi dalam pemberian upah kerja antara laki-laki dengan perempuan. Sebagaimana laporan BPS-KPP tahun 2002, untuk kasus yang terjadi di Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT), rata-rata upah perempuan di sektor non pertanian jauh lebih rendah dibandingkan laki-laki.6 Ketiga, minimnya akses perempuan terhadap kepemilikan aset. Ketiga aspek feminisasi kemiskinan ini bekerja dalam kebijakan pembangunan yang efektif mewarnai tata kelola pemerintahan (governance), pasar dan institusi sosial kemasyarakatan lainnya sehingga tak jarang kaum perempuan mengalami realitas kemiskinan yang akut, adanya intensitas yang tinggi adanya praktek kekerasan dalam rumah tangga di dalam masyarakat karena pola relasi sosial patriakis.7 Dalam konteks inilah mengapa sangat diperlukan adanya kebijakan baru pembangunan yang lebih mengedepankan gender perspektif. Mendorong adanya tata kelola pemerintahan yang mengedepankan gender maenstreaming untuk mengatasi feminisasi kemiskinan akibat dari laju pembangunan yang bias gender.8 Sebagaimana mandat utama pembangunan millinium-Millineum Development Goals (MDG’s) yang meletakkan perempuan sebagai prioritas dalam proses dan pencapaian hasil –hasil pembangunan. Meletakkan gender perspektif dalam tata kelola pemerintahan agar berpihak pada kaum perempuan merupakan langkah penting untuk direalisasikan. Agar gender perspektif ini tidak sekadar menjadi wacana dalam politik pembangunan suatu pemerintahan, maka harus didorong kedalam struktur dan sistem politik di dalam tata pemerintahan (governance). Sebab gender perspektif hanya dapat bekerja secara baik dalam struktur dan sistem politik yang demokratis.9 Pendekatan yang paling strategis lainnya adalah dengan melakukan tindakan affirmative action dalam berbagai regulasi yang ada, memperkuat representasi kaum perempuan dalam peran kepartaian 6 Desti Murdiana, Kasus Busung Lapar di NTT, Bukan Faktor Kemiskinan, tetapi juga Pengabaian terhadap Hak hak Perempuan, dimuat dalam Jurnal Perempuan (Jakarta, Edisi 42,2004). hlm.107-111. 7 Vandana Shiva dan Maria, ibid, hlm. 20-30. 8 Sally Baden, Gender, Tata Pemerintahan dan Feminisasi Kemiskinan, dalam Partisipasi Politik Kaum Perempuan dan Tata Pemerintahan Yang Baik, Tantangan Abad 21, (UNDP, 2003).,hlm .301-306. Bandingkan pula dengan Whitehead, Ann, Failing Women, Sustaining Powerty, (London: Report for The UK Gender and Development Network, 2003). 9 Abdur Rozaki., Mendemokratisasi Negara, Pasar dan Masyarakat Sipil, (IRE dan The Asia Foundation: Yogtakarta, 2012), hlm. 199-200.
169
WELFARE, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 2, Desember 2012
dan kepemimpinan pemerintahan dan sosial kemasyarakatan lainnya.10 Peluang ini relatif terbuka dengan adanya UU Nomor 12 Tahun 2003 yang memberi tekanan adanya 30% kouta perempuan di Parlemen. Dengan cara ini maka akses kaum perempuan dalam mempengaruhi kebijakan publik semakin berdaya, khususnya dalam politik penganggaran pembangunan (development budget) lebih berpihak pada kaum perempuan. Perspektif kesetaraan gender yang melekat dalam struktur politik dan sistem pemerintahan akan menciptakan pola relasi yang setara antara kaum perempuan dan laki-laki dalam bingkai kewarganegaraan (citizenship).11 Perempuan sebagai citizen, eksistesinya sebagai warga negara yang utuh tanpa dapat dipilah atau direduksi keperempuannya oleh peran domistifikasi kultural dalam perspektif patriarkhi. Tata kelola pemerintahan yang baik (democratic governance) dalam pembangunan harus terus mempromosikan semangat dan praktek akan hal ini. Bukan sebaliknya, yakni mempromosikan tata kelola pemerintahan yang patriarkhis. Jika hal itu yang terjadi, maka sama saja praktek governance melanggengkan feminisasi kemiskinan. Core isu feminisasi kemiskinan dan mendorong kaum perempuan ‘merebut’ ruang publik dalam governance dan institusi sosial kemasyarakatan lainnya, menjadi setting sosial dan bagian dari kerangka kerja ACCESS di Indonesia bagin timur untuk perempuan yang dimotori oleh kaum perampuan. C. Mutiara Inovatif Desa Mitra ACCESS Dalam lima tahun terakhir ini, di kawasan Indonesia bagian timur yakni di Propinsi Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur, sungguh menarik apa yang dilakukan oleh ACCESS bersama dengan para mitra lokalnya, dalam mendorong tata kelola pemerintahan lokal (baca-desa) yang demokratis. Di dalam mengembangkan program, ACCESS memilih untuk menggunakan pendekatan soft system approach yang meletakkan perubahan sebagai kesepakatan dan persepsi orang-orang yang terlibat di dalamnya. Elan penting dari pendekatan ini adalah adanya kesadaran pada diri pelaku atau agencies yang terlibat untuk melakukan pembelajaran bersama guna mendorong perubahan di dalam lingkungannya. Pendekatan 10 Saward, M.,”Representation and Democracy: Revisions and Possibilities”, Sociology Compas Vol.2 No.3, 2008.,dan Widianto dan Syafa’atun Kariadi, Representasi Popular dalam Penganggaran Partisipatif, (Demos: Jakarta, 2011), hlm. 20-45. 11 Mansour Faqih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996).
170
Abdur Rozaki, Inovasi Perempuan dari Kawasan Indonesia Timur
semacam ini dapat dikatakan sebagai model partisipasi emansipatif, yakni menempatkan warga sebagai bagian pula dari subject utama pelaku perubahan, bukan aktor dari luar yang mendominasi arah dan capaian perubahan yang diharapkan. Adapun metode yang digunakan ACCESS di dalam mendorong adanya transformasi kesadaran para pelaku perubahan di tingkat lokal, beberapa diantaranya adalah community lead action and participatory progres (CLAPP), asset based approach (ABA), penyelidikan apresiatif (appresiative inquiry) dan gender equity and social inclusion (GSI).12 Pendekatan dan metode di dalam menjalankan program ini menjadi bagian penting di dalam membangun pengetahuan dan komitmen para mitra lokalnya, yakni para agencies organisasi masyarakat sipil (OMS) lokal sebagai mitra belajar para aktor lokal di dalam melakukan proses transformasi sosial di lingkungannya. Sudah puluhan bahkan ratusan orang di tingkat desa yang terlatih sebagai fasilitator desa, pendamping desa, kader pembangunan desa dan lainnya untuk menggerakkan Tata Kelola Pemerintahan di tingkat Lokal yang Demokratis (TKPD), yakni dengan mengedepankan nilai-nilai partisipasi, responsifitas, transparansi dan akuntabilitas. Para mitra ACCESS melakukan pengorganisasian terhadap kaum perempuan melalui pengembangan kapasitas, membangun jaringan sosial dan mengakses tata kelola pemerintahan lokal yang berpihak pada kepentingan kaum perempuan dan anak.13 Pendekatan ACCESS di dalam menjalin kemitraan dengan para OMS lokal, para Kader Pembangunan Desa (KAPEDES), dan juga warga masyarakat bukan dengan cara menonjolkan pendekatan uang. Namun dengan pendekatan mengembangkan kesadaran, nilai-nilai baru didalam mengerakkan dinamika perubahan di lingkungan masyarakat dan tata kelola pemerintahan desa.14 Dengan metode CLAPP, warga masyarakat diajak untuk memiliki kesadaran bahwasannya perubahan harus dipimpin oleh masyarakat sendiri dengan cara partisipatif, melibatkan semua pihak, khususnya kaum perempuan dan kelompok miskin di desa. Hanya dengan 12 Abdur Rozaki, Mutiara Dari Sumba Timur: Praktek institusi Desa Yang Baik, Laporan Desk Study Project Stock taking studies program ACCESS untuk advokasi kemandirian desa dan penanggulangan kemiskinan, Kerjasama IRE-ACCESS, 2012. Juga Abdur Rozaki, Dari Desa Krisis Pangan Menuju Desa Mandiri Pangan: Pelajaran Berharga dari Desa Mbatakapidu Sumba Timur, Laporan Field Study Project Stock taking studies program ACCESS untuk advokasi kemandirian desa dan penanggulangan kemiskinan, Kerjasama IRE-ACCESS, 2012. 13 IRE, Narrative Report Project Stock taking studies program ACCESS untuk advokasi kemandirian desa dan penanggulangan kemiskinan, Kerjasama IRE-ACCESS, 2012. 14 Abdur Rozaki, ibid, hlm. 2-8.
171
WELFARE, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 2, Desember 2012
melibatkan kelompok perempuan dan kaum miskin inilah proses untuk mengerakkan pembangunan akan dapat cepat mengenai sasaran dan menciptakan perubahan. Pendekatan asset base mengajak warga memahami dan menyadari terhadap sesuatu yang tidak terpikirkan sebelumnya. Betapa lingkungan dimana meraka tinggal sangat banyak dengan aset: sumber daya manusia, alam, sosial budaya, fisik dan infrastruktur lainnya yang jika dikelola secara baik dapat menjadi jalan keluar mengatasi berbagai kesulitan hidup. Pendekatan gender dan keadilan sosial mengerakkan solidaritas warga untuk saling membangun integrasi dalam tata kelola pemerintahan dan kemasyarakatan yang penuh empati dan keberpihakan. Singkat cerita, kehadiran ACCESS dengan membawa pengetahuan dan nilai-nilai yang bersinergi dengan pengetahuan dan nilai-nilai lokal yang juga dimiliki oleh masyarakat. Persemaian antar nilai-nilai positif inilah yang melahirkan emansipasi lokal di dalam mengerakkan tata kelola pemerintahan lokal yang demokratis (TKLD) guna membuat desa semakin mandiri dan mampu mengatasi persoalan utama yang dihadapi warganya, yakni kemiskinan. Meskipun adanya emansipasi lokal ini tidak mudah bersemai dengan begitu saja, terdapat proses transformasional yang telah diasah sebelumnya oleh para OMS mitra lokal ACCESS dan para agenciesnya seperti KAPEDES, Fasilitator Desa (FASDES) dan lainnya dalam berdinamika dengan warga masyarakat. Cerita di lapangan penuh dengan liku, sebelum akhirnya keberhasilan kecil dapat diraih sehingga mempertebal optimisme dan impian besar membangun perubahan. Sebagaimana pengalaman yang dialami oleh Ibu Naomi Walingara, fasilitator pendamping desa Hobawi Sumba Barat berikut ini : “ Tidak mudah menggerakkan masyarakat desa yang selama ini sudah terbuai dengan bantuan dan uang. Setiap ada kegiatan dari pihak luar yang melibatkan warga desa ada istilah yang dikenal di kalangan warga desa, yakni dengan sebutan ‘uang duduk’. Melalui proses jatuh bangun, khususnya melalui ketegaran KAPEDES (Kader Pembangunan Desa), Melkianus M. Nanga yang dengan gigih dan penuh kesabaran mampu menyakinkan warganya untuk mulai membangun kebiasaan baru, yakni untuk tidak selalu berharap bantuan dan uang ketika ada pihak luar datang ke desa. Kesadaran baru warga mulai tumbuh untuk tidak selalu berharap bantuan dan 172
Abdur Rozaki, Inovasi Perempuan dari Kawasan Indonesia Timur
uang karena Bapak Melkianus memulai dari dirinya sendiri saat berdinamika dengan warga untuk tidak mengambil keuntungan pribadi dari program yang tengah dijalankan di desa. Dengan penuh komitmen ia berproses bersama warga untuk membangun perubahan secara bersama-sama. Rasa percaya warga yang mulai tumbuh tidak saja mengerakkan partisipasi warga dalam even-event kegiatan yang diadakan olef Fasdes atau KaPedes, lebih dari itu warga ikut berswadaya menyediakan kue-konsumsi untuk pertemuan-pertemuan selanjutnya di desa. Sungguh perubahan kebiasaan baru yang tidak mudah seperti membalik telapak tangan”, tutur Naomi Walingara. Dari cerita ini menyiratkan makna betapa melakukan perubahan kebiasaan itu tidak bisa hanya sekadar dengan kata-kata. Keteladanan dan integritas diri yang didorong oleh komitmen dan kesabaran sebagaimana yang dilakukan oleh Bapak Melkianus-KAPEDES, lebih membuka mata hati dan kesadaran warga masyarakat untuk mengkoreksi diri dan memulai tindakan baru yang lebih bermakna dari sekedar berharap bantuan dan uang. Kesadaran untuk memulai kebiasaan baru yang lebih bermakna di kalangan warga untuk berpartisipasi menjadi kekuatan tersendiri untuk mendorong setahap demi setahap menapak perubahan dan kemajuan di desanya. Adanya keteladanan dan integritas dari pelaku perubahan mampu membangunkan potensi perubahan yang sebenarnya dimiliki oleh warga yang selama ini terpendam oleh kebiasaan buruk para pemimpin atau pelaku perubahan sendiri yang mengalami krisis integritas dan keteladanan dihadapan warga. Pengalaman ini juga menunjukkan betapa masyarakat sebenarnya dapat diajak pula sebagai aktor utama untuk melakukan perubahan secara bersama-sama. Tak ada lain yang lebih bermakna di dalam mendorong perubahan, selain adanya rasa percaya warga untuk terlibat melakukan tindakan-tindakan yang produktif sebagai bagian dari langkah dan tahapan dari perubahan yang kecil menuju perubahan yang besar. Dari sini pula dapat dilihat, betapa pembangunan untuk mendorong perubahan itu tidak mesti harus dengan uang dan bantuan fisik lainnya sebagaimana yang sebelum ini dilakukan oleh pemerintah yang selalu mengedepankan money driven development (MDD), seperti program bantuan langsung tunai (BLT) dan sejenisnya. Pendekatan value driven 173
WELFARE, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 2, Desember 2012
development (VDD) jauh lebih membuat masyarakat bermartabat, dan penuh emansipasi mengerakkan potensi yang terdapat di dalam diri dan komunitasnya untuk lebih bertanggung jawab dan peduli didalam mengatasi berbagai permasalahan di lingkungannya. Kini memang sudah bukan zamannya lagi memberi “ikan” pada warga yang membuatnya selalu berharap dan kehilangan inisiatif serta tergantung dari pihak luar untuk membangun kemajuan di lingkungannya. Saatnya warga diberi dengan “pancing” atau bekal kesadaran kritis untuk membangun potensi yang dimilikinya sehingga lebih kreatif dan penuh inisiatif dalam melakukan perubahan pada diri dan komunitasnya. Selama 5 tahun bermitra dengan warga masyarakat di Kawasan Indonesia Timur yang desa mitra ACCESS, kini hasilnya mulai menggembirakan, yakni terjadi perubahan secara signifikan pola relasi antara kaum perempuan (miskin utamanya) dengan kaum laki-laki dalam memainkan peranan dalam keluarga dan proses membangun keterlibatan dalam urusan tata pemerintahan.15 Kaum perempuan kini tidak sekedar bergorganisasi sebatas di PKK, namun mengalami perluasan berdasarkan isu publik melampaui batasan desanya. Kaum perempuan, khususnya yang tergabung pada Kader Penggerak Pembangunan Desa (KaPeDes) dan Fasilitaor Pendamping Desa (Fasping) menjadi motor utama dalam proses penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) dan Rencana Kerja Program Desa (RKPDes) yang sensitif gender dan kaum miskin di desanya. Kaum perempuan juga terlibat aktif dalam proses Musrenbangcam dan Musrebangkab.16 Bahkan saat memimpin desa, sebagaimana yang dilakukan oleh Ibu Andi Hidayati, Kepala Desa Bongaya, Kabupaten Kepulauan Selayar Sulawesi Selatan sungguh mengagumkan, sebagai Kepala ia membuat kebijakan pendidikan dengan menyelenggarakan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan memberi insentif guru pengajarnya, sedangkan untuk sektor kesehatan memperkuat program Posyandu agar kebutuhan Ibu dan anak terlayani dengan baik. Kebijakan ini proses pendanaannya dialokasikan dari APBDes. 15
Puthut EA dan IBK Yoga Atmaja, Metamorfosa Negeri Savana: Rampai Kisah Perubahan Personal, Lembaga dan Komunitas, Penerbit ACCESS dan Kawanusa, Bali, 2011, hlm. 15-56. 16 Peluang setiap warga negara untuk terlibat aktif dalam sistem perencanaan dan penganggaran terbuka sebagaimana yang diatur dalam UU No.UU 25 Th 2004 tentang SPPN. Meskipun keterlibatan warga dalam forum perencanaan ini terkadang belum mencapai hasil yang maksimal., Lihat, im IRE, Reformasi SPPN untuk Memperkuat Representasi Warga, Policy Brief, 2012.
174
Abdur Rozaki, Inovasi Perempuan dari Kawasan Indonesia Timur
Begitu juga yang dilakukan oleh Ibu Chandra Kumala—Ketua Badan Perwakilan Desa (BPD) Bontokape Kecamatan Bolo Kabupaten Bima NTB, yang memotori peran pengawasan menjadi partner pemerintahan desa yang baik. Ia melalui institusi BPD mampu mengerakkan kaum perempuan di desa untuk melakukan kontrol dan pengawasan pada pembelian belanja barang dan jasa dari pemerintah yang masuk ke desanya, khususnya yang terkait dengan Posyandu. Melalui peran pengawasan ini, belanja barang dan jasa di desanya tak lagi muncul praktek korupsi dan kecurangan lainnya. Selain aktif mempengaruhi kebijakan pembangunan di desa, kaum perempuan juga terlibat langsung dalam proses pemberdayaan masyarakat. Mulai dari isu lingkungan, seperti ketahanan pangan, permodalan usaha ataupun pendidikan anak. Hal ini sebagai bagian dari proses mengatasi feminisasi kemiskinan, sebagaimana yang terjadi di Desa Mbatakapidu Kecamatan Waingapu Sumba Timur, yakni peranan Kelompok Wanita Tani (KWT) Tapa Walla Badi yang dimotori oleh Marlina Rambu Meha dan Konda Ngguna menorehkan prestasi yang cukup membanggakan. KWT ini menjadi pengerak kaum perempuan dengan memanfaatkan aset lokal yang dimilikinya untuk berdikari secara ekonomi melalui kegiatan usaha kerajinan tenun ikat, kini produknya sudah mulai merambah pasar di Jakarta, kegiatan peternakan hewan kecil dan kemampuannya mengelola lahan kering di Jawa Wula (4.200 meter persegi) dan Wailingga (1,5 hektar) dengan aneka jenis tanaman lokal seperti jagung, kacang-kacangan, sorgum, jawawut, umbi-umbian dan pisang. Dengan bimbingan BP3K, KWT ini berhasil melakukan uji coba singkong mukibat-hasil persilangan antara jenis lokal dan singkong karet. Dari satu pohon singkong mukibat menghasilkan sekitar 22 kg umbi segar. Sementara singkong lokal hasilnya hanya 2 kg per pohon). Tak heran bila KWT ini berhasil menembus 16 nominasi peserta peraih Kehati Award ke 7 dari 100 peserta perseorangan/kelompok. Penghargaan Kehati ini untuk kategori ketahanan pangan pada perseorangan atau kelompok yang berjuang keras untuk mengusahakan ketahanan pangan dengan mengandalkan berbagai jenis pangan lokal17. Sedangkan untuk peran sosial ekonomi, yakni dengan melakukan kegiatan arisan simpan pinjam yang besarannya Rp. 100.000 per orang/ bulan. Uang arisan ini berasal dari pendapatan yang mereka sisihkan dari hasil penjualan tenun. Sedangkan yang paling unik dari sekian 17
Kompas, 6/3/2012.
175
WELFARE, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 2, Desember 2012
banyak arisan itu adalah arisan pendidikan anak yang dilakukan oleh 24 orang ibu yang dipimpin oleh Ibu Desa—istri Kepala Desa Mbakatapidu Sumba Timur. Arisan pendidikan ini di kopyok(diundi) sebulan sekali, perorang iurannya sebanyak 25 ribu rupiah. Setiap pemenang hanya boleh mengambil sebanyak 60 ribu rupiah, sisanya yang sebanyak 480.000,- langsung masuk tabungan rekening pendidikan anak. Para ibu yang menang arisan, hanya boleh mengambil uang tersebut ketika sang anak sudah lulus SMA. Ibu Konda Ngguna—yang juga anggota KWT Tapa Walla Badi-- mulai merasakan manfaat arisan pendidikan ini. Uang dari hasil arisan pendidikan digunakannya saat anaknya berhasil melanjutkan ke jenjang Perguruan Tinggi. Sebagaimana yang disampaikan oleh Ibu desa saat saya temui, program arisan pendidikan ini untuk melahirkan banyak sarjana dari Desa Mbatakapidu, sehingga melalui pendidikan yang meningkat sampai ke jenjang sarjana maka diharapkan kemajuan Desa Mbatakapidu akan semakin baik di masa depan. Praktek baik lainnya dari prestasi yang ditorehkan kaum perempuan ini sebagaimana yang juga terjadi di Kabupaten Kupang.18 Kaum perempuan yang tergabung di JARPUK (Jaringan Kerja Perempuan Usaha Kecil) mampu mengeser peran para rentenir dalam mengintervensi kebutuhan permodalan usaha warga desa. JARPUK tidak hanya memberikan akses permodalan, namun juga melakukan capacity building usaha kaum perempuan agar memiliki produksi yang berkualitas dan laku di pasar. JARPUK ini memiliki 13 KPUK di empat kecamatan, dan masingmasing KPUK terdiri dari 10 s/d 15 PUK yang bergerak di bidang industri makanan, kerajinan, dan pertanian. Untuk JARPUK Ina Fo’a saja, kini memiliki keanggotaan sekitar 500 PUK yang tergabung dalam lebih dari 20 KPUK, dengan bidang usaha peternakan babi dan ayam, pengolahan makanan lokal, tenun ikan dan kerajinan, simpan pinjam, kebun pertanian, dan pemasaran hasil usaha. Sedangkan JARPUK Feto Hamutuk, yang didirikan tahun 2006, memiliki anggota 11 KPUK atau 109 orang yang sebagian besar bekerja sebagai pedagang kecil di pasar Oesao, salah satu pasar yang sangat aktif di kecamatan Kupang Timur.19 18 Widuri, Dyah dan Patje Saubaki, Partisipasi Warga dalam Pengentasan Kemiskinan: Pelajaran Berharga dari Kabupaten Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur, Laporan Desk Study Project Stock taking studies program ACCESS untuk advokasi kemandirian desa dan penanggulangan kemiskinan, Kerjasama IRE-ACCESS, 2012. 19 Widuri, Dyah dan Patje Saubaki, Ibid, hlm. 15-25.
176
Abdur Rozaki, Inovasi Perempuan dari Kawasan Indonesia Timur
Hal yang tidak kalah menariknya adalah adalah advokasi pelayanan publik yang berpihak kepada warga. Adanya kesadaran warga untuk semakin kritis terhadap berbagai bentuk pelayanan pubik diorganisir oleh Mitra lokal ACCESS, yakni Stimulant Institute yang bekerja di 4 kelurahan tersebar yang tersebar di 2 kecamatan, Kambera dan Kota Waingapu Sumba Timur. Dalam menjalankan programnya, Stimulant Institute membuat Pusat Sumber Daya warga (PSDW) atau disebut pula CRC (community resources centre) yang berbasis di tingkat Rukun Tetangga (RT). Anggotanya 20 RT di 4 kelurahan (Kelurahan Kambaniru, Kelurahan Prailiu, Kelurahan. PSDW ini merupakan wadah bagi warga untuk menyampaikan keluhan dan apresiasi tentang layanan publik.20 Mulai tahun 2005, Stimulant telah aktif untuk melakukan penelitian tentang isu PLN dan PDAM. Namun saat itu hanya sebatas publikasi hasil penelitian. Melalui kerjasama dengan ACCESS Phase II, Stimulant menggunakan pendekatan dan strategi yang berbeda. Penelitian tentang pelayanan publik dilanjutkan dengan advokasi untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik dengan cara memperkuat kapasitas PSDW terkait manajemen pengelolaan, pengetahuan tentang regulasi, pengorganisiasian masyarakat, pendekatan berbasis asset, strategi membangun jaringan serta pendampingan teknis yang dilakukan lewat interaksi rutin. Pengetahuan dan ketrampilan ini, dimanfaatkan oleh PSDW untuk mengorganisir dan membangun kesadaran warga agar peka terhadap pelayanan publik. Kemudian PSDW bersama warga membangun interaksi dengan pemerintah daerah, DPRD dan penyedia pelayanan publik lainnya untuk menyampaikan fakta-fakta tentang kualitas layanan yang mereka temukan. Berdasarkan laporan Ibu Martha Hebi,21 sejak Maret 2011 PSDW telah melakukan interaksi dengan dengan PDAM, PLN, DPRD, sekolah dan Pemerintah Daerah. Dalam interaksi dengan PDAM, PSDW dan warga menyampaikan informasi distribusi air yang tidak merata di beberapa lokasi, pembayaran yang tidak sesuai dengan pemakaian air, pipa yang patah, meteran yang tidak berfungsi. PDAM memberikan respon positif dengan mendistribusikan air menggunakan mobil tangki ke lokasi yang jaringan distribusi air dari PDAM macet. Selain itu, ada perbaikan pelayanan pencatatan meteran, penyambungan pipa yang patah, perbaikan meteran yang rusak. PSDW diminta oleh Pemerintah Daerah untuk bergabung dalam Forum Pelanggan yang menjadi pusat 20 21
ACCESS, laporan Bulanan PO Sumba, 2010-2011. ACCESS, Laporan Bulanan PO Sumba, 2010- 2011.
177
WELFARE, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 2, Desember 2012
pengaduan pelanggan PDAM. Dalam melakukan interaksi dengan PLN, PSDW dan warga memberikan inofrmasi tentang pembayaran rekening listrik yang salah penghitungan antara pemakaian dengan yang tercatat dalam pembayaran, pelayanan listrik yang belum menjangkau warga miskin di kota. Dari interaksi ini, PLN mengakui kekeliruan pencatatan dan penghitungan. Hal yang menarik dari pola interaksi PSDW dengan pemerintah, DPRD, penyedia pelayanan public, metode yang dikembangkan adalah dialog yang santun disertai data-data dari lapangan. Selain aktif melakukan advokasi, PSDW juga melahirkan bintang-bintang yang berpengaruh dalam melakukan negosiasi dan interaksi dengan penyedia pelayanan public. DI dalam PSDW mulai muncul perempuan bintang seperti Mira Kaddi Hari, Kelurahan Prailiu, ada Ibu Debora Jonas yang terkenal memiliki keahlian menghitung pembayaran listrik. Mereka inilah yang selama ini menginisiasi pertemuan dengan manajemen PLN untuk lebih teliti dalam melakukan pencatatan meteran. Yanti Jacob dari PSDW Titu Hari, Kelurahan Kambaniru menjadi negosiator ulung di tingkat 4 PSDW dalam melakukan interaksi dengan pemerintah maupun penyedia layanan lainnya. Ada Ferdinan Mahat, pedagang sayur dari PSDW Ninda Li Kahaungu yang aktif mengorganisir RT di kelurahannya. Di PSDW Matawai ada Ibu Yuliana Lu yang antusias untuk meyakinkn warga tentang hak-haknya. Geliat PSDW memberikan arti tersendiri dalam potret pelayanan public di Sumba Timur. Warga makin aktif untuk menyampaikan apresiasi terhadap perbaikan layanan public serta temuan fakta terkait pelayanan public yang belum diperbaiki. Saat ini banyak permintaan warga, Ketua RT dan pemerintah kelurahan di luar lokasi program agar PSDW membantu mereka untuk memberikan informasi bagimana mengisiasi pembentukan pusat sumber daya warga di tempat mereka. Dari laporan Martha Hebi diatas, terdapat pelajaran yang menarik untuk diambil, betapa PSDW dengan berbasis RT, dimana RT yang semula hanya mengurus adminitrasi desa, kini mulai memiliki kesadaran politis akan hak warga terhadap pelayanan publik yang adil dan berkualitas. Kesadaran politis untuk peduli terhadap kualitas pelayanan ini membuat penyedia pelayan publik akan semakin bekerja secara profesional karena memperoleh kotrol atau pengawasan warga yang dimotori para kaum ibu. Proses dan dinamika yang menggembirakan terjadi di tingkat lokal ini sudah selayaknya didorong dan direplikasi diberbagai tempat 178
Abdur Rozaki, Inovasi Perempuan dari Kawasan Indonesia Timur
lainnya sehingga cakupannya juga lebih luas, tidak hanya di lingkaran desa dan kecamatan, juga kabupaten, propinsi sampai pemerintahan di tingkat nasional. Dalam konteks ini pula, sudah selayaknya program pembangunan di tingkat pemerintahan dan juga sektor swasta lainnya benar-benar melatekkan kaum perempuan sebagai subyek pembangunan. Semakin memberi penghargaan terhadap prestasi dan capaian mereka melalui adanya akses yang diperluas terhadap sumbersumber resources lainnya. D. Kesimpulan Upaya untuk mengatasi feminisasi kemiskinan yang telah menyebabkan kaum perempuan termarginalisasi dan tidak memiliki akses terhadap kebijakan pembangunan dan pelayanan publik lainnya, dengan belajar dari pengalaman ACCESS dan mitra-mitra lokalnya yang konsisten menggunakan pendekatan ABA, GSI dan API mampu memecah kensunyian yang penuh senyap yang dialami oleh kaum perempuan sebelumnya. Kaum perempuan di kawasan Indonesia bagian timur yang menjadi mitra ACCESS kini memahami hak-haknya dan terlibat dalam proses perencanaan pembangunan di desanya, terlibat dalam aksi pemberdayaan membangun perekonomian rumah tangga dan komunitasnya. Aktif melakukan komplain terhadap pelayanan publik, seperti air bersih PDAM dan listrik-PLN yang semula asal-asalan dalam memberi pelayanan menjadi lebih apresiatif dan responsif dalam memberikan pelayanan yang baik untuk warga. Kaum perempuan juga mulai aktif mengembangkan representasi bagi komunitas dengan menjadi delegasi desa dan menduduki jabatan publik seperti menjadi kepala desa, ketua RT/RW dan sejenisnya. Kaum perempuan aktif mempeloperi perubahan di lingkungannya ini menjadi mutiara yang menyinari di tengah gelapnya pembangunan yang masih di rasakan dibelahan bagian Indonesia lainnya. Di butuhkan jejaring kerja untuk memperluas best practicesnya ini antara pemerintah, swasta, lembaga donor dan kelompok masyarakat sipil. Pemerintah perlu mendorong perannya agar semakin terbuka (open goverment) terhadap peran kaum perempuan agar membuat legitimasi pemerintah juga semakin kredibel dihadapan masyarakatnya. Begitu juga dengan masyarakat politik (parpol) dan masyarakat sipil perlu terus memberi akses dan tempat bagi keterlibatan kaum perempuan. Misalnya, dengan mendorong gender perspektif menyatu dalam struktur politik dan sistem pemerintahan, baik di tingkat pusat, 179
WELFARE, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 2, Desember 2012
daerah dan desa agar representasi dan akses kaum perempuan dalam proses pengambilan kebijakan pembangunan semakin kuat. Hal ini nantinya dapat tercermin dari mulai perencanaan dan penganggaran pembangunan yang berpihak terhadap kaum perempuan. Memperkuat kouta affirmative action perempuan di berbagai sektor lembaga pemerintahan, partai politik dan organisasi kemasyarakatan lainnya, dari pusat hingga desa. Melalui kebijakan ini peluang bagi kaum perempuan untuk lebih terlibat lagi secara lebih mendalam di dalam menjalan peran-peran kewarganegaraan agar lebih leluasa sehingga tidak menjadi warga negara kelas dua (the second citizenship). Sudah semestinya stakeholders yang ada, khususnya institusi pemerintahan dan swasta mempromosikan, memperluas dan memperdalam berbagai prestasi kaum perempuan dalam mendorong perubahan sosial kedalam skema kebijakan yang nantinya dikembangkan sehingga dengan cara ini efek perubahannya akan semakin tampak nyata dan berkelanjutan. Adanya proses kebijakan yang meresistensi terhadap praktek yang baik sebagaimana prestasi yang dibuat oleh kaum perempuan sebagaimana terurai diatas, haruslah sedapatkan mungkin dihindari karena hal itu langkah mundur dari semangat berdemokrasi. Praktek baik yang diinisiasi oleh kaum perempuan ini memberi harapan pula untuk lahirnya dunia baru yang lebih menghargai kaum perempuan secara utuh, yakni sebagai manusia (human) dan juga sebagai warga negara (citizen). ***
180
Abdur Rozaki, Inovasi Perempuan dari Kawasan Indonesia Timur
DAFTAR PUSTAKA Baden Sally, Gender, Tata Pemerintahan dan Feminisasi Kemiskinan, dalam Partisipasi Politik Kaum Perempuan dan Tata Pemerintahan Yang Baik, Tantangan Abad 21, UNDP, 2003. Faqih,Mansour, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Human Development Report, New York: UNDP, 1995. Rozaki, Abdur, Mutiara Dari Sumba Timur: Praktek institusi Desa Yang Baik, Laporan Desk Study Project Stock taking studies program ACCESS untuk advokasi kemandirian desa dan penanggulangan kemiskinan, Kerjasama IRE-ACCESS, 2012. Rozaki, Abdur, Dari Desa Krisis Pangan Menuju Desa Mandiri Pangan: Pelajaran Berharga dari Desa Mbatakapidu Sumba Timur, Laporan Field Study Project Stock taking studies program ACCESS untuk advokasi kemandirian desa dan penanggulangan kemiskinan, Kerjasama IRE-ACCESS, 2012. Rozaki, Abdur., Mendemokratisasi Negara, Pasar dan Masyarakat Sipil, (IRE dan The Asia Foundation: Yogtakarta, 2012). Puthut EA dan IBK Yoga Atmaja, Metamorfosa Negeri Savana: Rampai Kisah Perubahan Personal, Lembaga dan Komunitas, Penerbit ACCESS dan Kawanusa, Bali, 2011. Saward, M.,”Representation and Democracy: Revisions and Possibilities”, Sociology Compas Vol.2 No.3, 2008. Shiva, Vandana dan Maria Mies, Ecofeminism: Perspektif Gerakan Perempuan dan Lingkungan, IRE Press: Yogyakarta, 2005. Tim IRE, Reformasi SPPN untuk Memperkuat Representasi Warga, Policy Brief, 2012. Whitehead, Ann, Failing Women, Sustaining Powerty, London: Report for The UK Gender and Development Network, 2003. Widianto dan Syafa’atun Kariadi, Representasi Popular dalam Penganggaran Partisipatif, Demos: Jakarta, 2011. Widuri, Dyah dan Patje Saubaki, Partisipasi Warga dalam Pengentasan Kemiskinan: Pelajaran Berharga dari Kabupaten Kupang Provinsi Nusa 181
WELFARE, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 2, Desember 2012
Tenggara Timur, Laporan Desk Study Project Stock taking studies program ACCESS untuk advokasi kemandirian desa dan penanggulangan kemiskinan, Kerjasama IRE-ACCESS, 2012.
Abdur Rozaki, Dosen Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga, Deputy Program Institute for Research and Empowerment (IRE) sejak tahun 2001, kini sebagai Deputy Program IRE (2011-2013). Beberapa karya yang telah dihasilkan diantaranya (1) Menabur Kharisma Menuai Kuasa: Kiprah Kiai dan Blater sebagai Rezim Kembar di Madura, Penerbit Pustaka Marwa: Yogyakarta, 2003. (2) Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era Reformasi, Penerbit IRE Press dan CSEAS Kyoto University, 2005. (3) Semarak Pasar Modern Suramnya Pasar Tradisional, Penerbit IRE, 2011.(4) Mendemokoratisasi Negara, Pasar dan Masyarakat Sipil, Penerbit IRE dan The Asia Foundation: Yogyakarta, 2012. Email contact,
[email protected]
182