BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Arisan merupakan bagian dari kegiatan sebagian kelompok masyarakat
Indonesia, terutama kaum perempuan. Arisan bukanlah hal baru untuk kaum perempuan Indonesia. Istilah arisan, ialah sebuah istilah yang digunakan untuk menyederhanakan satu konsep mengenai salah satu sistem regulasi keuangan, khususnya di Indonesia. Rotatting Saving and Credit Association (ROSCA) merupakan salah satu format yang menarik sebagai sebuah lembaga keuangan yang ada di wilayah pedesaan, khususnya Jawa yang kemudian dikenal dengan istilah arisan (Kern, 1986 dalam Hospes, 1992: 371). Arisan disebut sebuah sistem regulasi, karena di dalamnya ada aturan-aturan bagi para anggotanya. Regulasi tersebut kemudian menjadi sistem yang mengatur segala aktivitas terkait dengan uang yang dikelola di dalamnya. Dahulu arisan menjadi salah satu sarana bagi warga desa untuk menabung. Namun hal ini dirasa tidak cukup efisien, dikarenakan orang harus menjadi anggota terlebih dahulu untuk bisa menabung di dalamnya (ibid: 373). Asosiasi kredit dan tabungan atau arisan ini tetaplah hanya lembaga keuangan sederhana yang lebih dilandaskan kepada saling percaya. Arisan tidak cukup kuat untuk menjadi agen pembangunan, dia tetap akan menjadi lembaga keuangan informal yang cenderung statis dan tidak mempengaruhi pembangunan di suatu negara (Eibel dan Marx, 1987 dalam Hospes, 1992: 373).
1
Saat ini, arisan mengalami perkembangan, baik dari jenis maupun bentuk kegiatannya sendiri. Arisan tidak lagi hanya dilakukan oleh perempuan pedesaan, di kota-kota besar saat ini juga sudah marak koleh kegiatan arisan. Dari jenis, ada arisan yang tarikannya berupa uang seperti yang pada umumnya dan pada perkembangannya kini ada arisan yang tarikannya berupa emas atau sederet barang mewah lainnya. Dan dari kegiatan, jika dulu arisan lazimnya dilakukan di rumah, saat ini mereka berpindah tempat dari tempat satu ke tempat lainnya ketika melakukan kegiatan „kocok‟ arisan. Tempatnya juga bukan sembarang tempat. Kenyamanan merupakan hal yang penting yang mempengaruhi mereka kepada tempat untuk melaksanakan kegiatan arisan. Kafe, mall atau lounge sebuah hotel merupakan tempat yang biasa untuk melakukan kegiatan arisan kini. Hal inilah yang menjadi salah satu daya tarik arisan untuk peneliti. Peneliti melihat arisan sebagai pintu masuk untuk mengkritisi gaya hidup masyarakat dewasa ini dan juga menjadi peluang untuk melihat dinamika identitas kelas menengah. Di daerah Tangerang Selatan, tepatnya di Pamulang terdapat satu kelompok arisan yang terdiri dari 13 ibu-ibu paruh baya. Mereka menamakan kelompok arisannya tersebut dengan sebutan Arisan Seleb. Kondisi ekonomi mereka yang mapan, membuat kegiatan arisan ini menarik, karena didominasi oleh kegiatan yang dilakukan di luar rumah dan memerlukan uang yang tidak sedikit. Makan di restoran atau kafe mahal, karaoke, berbelanja, atau hanya sekedar traveling ke kota-kota di Indonesia menjadi agenda yang ada di dalam kegiatan Arisan Seleb. Konsep yang matang juga disiapkan tiap kali para ibu ini akan melakukan kegiatan arisan yang dilakukan 1 kali dalam sebulan.
2
Awalnya Arisan Seleb ini berdiri secara tidak sengaja. Mengapa tidak sengaja? Mulanya mereka hanyalah sekelompok ibu-ibu yang sering bertemu di sekolah anak-anaknya yang secara kebetulan bersekolah di tempat yang sama. Sekolah tersebut adalah salah satu Sekolah Muhamadiyah yang ada di kawasan Jakarta. Hampir setiap harinya mereka bertemu di sekolah ketika mengantar anakanak mereka. Intensitas pertemuan mereka yang cukup sering membuat mereka akrab dalam waktu yang relatif singkat. Ketika anak-anak mereka lulus dari sekolah tersebut, mereka tetap akrab dan menjalin komunikasi melalui pertemuan yang lumayan sering. Arisan Seleb berdiri sejak tahun 2010. Sampai saat ini Arisan Seleb beranggotakan 13 orang. Mereka rutin bertemu dalam kelompok Arisan Seleb ini. Artinya, dari tahun 2010, mereka tidak putus mengadakan kegiatan arisan. Jika sudah habis pada kocokan ke 13, mereka akan memulai kembali dari awal dan seterusnya hingga saat ini tahun 2015. Praktis sudah 5 tahun kelompok arisan ini berdiri dan bertemu setiap bulannya. Iuran arisan ini Rp. 1.500.000 setiap bulannya dan dikocok di awal bulan setiap bulannya. Tarif Rp. 1.500.000 ini berlaku sejak 2 tahun belakangan ini dari sebelumnya sebesar Rp. 1.000.000 setiap bulannya. Angka ini cukup besar mengingat mereka kebanyakan hanya mendapatkan uang dari suaminya yang memang bekerja di luar rumah. Tidak semua arisan didominasi dengan kegiatan menghambur-hamburkan uang atau dengan jumlah tarikan yang fantastis seperti Arisan Seleb. Arisan yang dilaksanakan dalam lingkup tetangga sekitar atau lingkup RT atau RW masih ada hingga kini. Namun yang diproblematisasi dalam penelitian ini ialah bagaimana perkembangan arisan yang kini menjadi bermacam-macam bentuk dan ragamnya.
3
Perbedaan akan ditampilkan dalam kegiatan arisan yang dilaksanakan dalam nuansa kesederhanaan dan arisan yang dilakukan oleh kelompok Arisan Seleb. Hal inilah yang akan mempelihatkan bagaimana saat ini kegiatan arisan menjadi salah satu gaya hidup, khususnya perempuan yang berasal dari kelas menengah atas. Dalam ilmu sosial, gaya hidup (life style) merupakan sebuah cara bagaimana seseorang hidup. Menurut Assael (1984), gaya hidup adalah“A mode of living that is identified by how people spend their time (activities), what they consider important in their environment (interest), and what they think of themselves and the world around them (opinions)”. Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa gaya hidup merupakan bagaimana seseorang hidup, membelanjakan uangnya setelah kebutuhan primernya terpenuhi, serta bagaimana seseorang mengalokasikan waktu luang yang dimilikinya. Gaya hidup saat ini banyak dipengaruhi
oleh aspek dalam kehidupan
seseorang baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial dalam interaksinya dengan masyarakat di lingkungan sosialnya. Ini bisa dilihat dari pilihan-pilihan
seseorang
akan
brand
dari
benda-benda
fashion
yang
dikenakannya, pilihan tempat untuk makan, pilihan orang di mana dia tinggal dan lain sebagainya, yang berhubungan dengan apa yang ingin ia tunjukkan kepada orang lain. Pola perilaku masyarakat dewasa ini lebih banyak menggiring masyarakat kepada budaya konsumerisme. Walaupun perekonomian hanya
4
mengalami peningkatan tipis, namun peningkatan ini tetap mempengaruhi meningkatnya daya beli masyarakat akan barang maupun jasa1 Budaya konsumtif ikut menggeser pola hidup masyarakat dan arus informasi yang mengalir ikut mempengaruhi pola perubahan tersebut. Di dalam perubahan ini, peristiwa konsumsi tidak lagi dapat ditafsirkan sebagai suatu peristiwa dimana masyarakat mengkonsumsi suatu barang ataupun objek berdasarkan nilai gunanya dalam pemenuhan kebutuhan manusia saja, akan tetapi berkaitan juga dengan unsur-unsur simbolik untuk menandai kelas, status, atau simbol sosial tertentu. Materialisme yang diartikan sebagai hasrat dan pemujaan terhadap benda, lebih berorientasi pada konsumsi terhadap barang-barang sebagai simbol status serta tolak ukur sebuah kesuksesan, sehingga orang melakukan aktifitas berbelanja untuk menunjukkan status sosial dirinya. Praktek komsumsi yang kemudian membentuk „realita semu‟ yang tidak lagi diterjemahkan sematamata hanya arus kebudayaan benda di mana segala sesuatu dilihat dari bendabenda yang dipakai dan terlihat semata, melainkan menjadi sebuah panggung sosial yang di dalamnya diperebutkan perang posisi yang tidak ada henti-hentinya. Erving Goffman dalam bukunya The Presentation of Self in Everyday Life (1959:40) mengemukakan bahwa kehidupan sosial terutama terdiri dari penampilan teatrikal yang diritualkan. Maksudnya adalah bahwa kita manusia bertindak sebagai aktor yang sedang memainkan sebuah lakon di atas panggung di
1
Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2015 akan tetap stabil, hanya akan mengalami kenaikan tipis dari 5,1 persen di 2014 menjadi sebesar 5,2 persen. “Pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan akan cenderung stabil dan sedikit meningkat di tahun 2016 menjadi 5,5 persen,” kata Ahya Ichsan, ekonom Bank Dunia untuk Indonesia, Kamis (18/12) dalam acara Sosialisasi dan peluncuran Laporan Perkembangan Perekonomian Indonesia 2014 di perpustakaan UGM. (http://ugm.ac.id/id/berita/9598-bank.dunia.prediksikan pertumbuhan ekonomi indonesia 2015) Diunduh 3 Maret 2015.
5
mana lingkungan sosial yang ada di sekitarnya memiliki peranan sebagai penonton yang baik secara langsung ataupun tidak langsung melihat pertunujukannya. Lalu apa sebenarnya yang dipertunjukkan itu? Segala sesuatu yang dilakukan dan melekat pada dirinya itulah yang dipertontonkan di hadapan semua orang. Lalu timbullah berbagai interpretasi atas apa yang dikenakan seseorang maupun yang dikonsumsinya. Interpretasi atas apa yang dipakainya itu menghasilkan pandangan mengenai kelas ataupun strata ekonomi. Hal tersebutlah yang dapat menjadi faktor mengapa orang berlomba-lomba untuk melakukan konsumerisme dan menunjukkannya kepada khalayak. Makanan, minuman serta barang-barang mewah hanya diperuntukkan bagi mereka dari golongan kelas atas. Bagi golongan ini kegiatan konsumsi ini mewah dan terhormat. Mereka melakukan kegiatan tersebut sebagai bentuk upaya mencari kesenangan dan mencari sensasi. Mereka dikendalikan oleh apa yang disebut dengan logika hawa nafsu. Menurut Chaney, “penampakan luar menjadi salah satu situs penting bagi gaya hidup. Hal-hal yang berada di permukaan akan menjadi lebih penting ketimbang substansinya (Chaney, 1996: 158). Kegiatan mengonsumsi menjadi hal yang sangat penting dalam masyarakat industri karena industrilah yang menyuplai kebutuhan untuk gaya
hidup
seseorang atau satu masyarakat. Kondisi ini semakin jelas terlihat dalam masyarakat kapitalis di mana semua orang berhak untuk menikmati kesenangan tanpa batas. Menurut Anthony Giddens (1991: 198) proyek jati diri manusia kemudian diterjemahkan menjadi proyek pemilikan barang-barang yang diinginkan dan pengejaran gaya hidup yang dibingkai secara artifisial. Selain itu, pada
masyarakat
kapitalis
kegiatan
mengkonsumsi
barang-barang
yang
6
merupakan bagian dari gaya hidup boros memang dirangsang untuk keperluan sesaat. Di Asia, menurut Chua Beng Huat (2000: 18), bentuk konsumsi menjadi berbeda terutama setelah resesi 1997. Adalah menarik, menurut Chua, dimana pasca 1997, nilai simbolik dari konsumsi menjadi penting di Asia. “The need to „maintain‟ a lifestyle is all the more necessary for one of the newly rich to communicate to the world that is falling apart around him/her that he/she remains „unaffected‟ and continues to be doing well economically, in hope of retaining the confidence of colleagues and business associates”. Dan menurut pendapatnya lagi, ritual keseharian telah bertransformasi menjadi gaya hidup yang berbeda dengan konsumsi barang atau jasa yang dapat dilihat sebagai munculnya „orang kaya baru‟ di Asia, sebuah kelompok yang tersusun oleh kelas baru dari pebisnis dan kemunculan kelas menengah professional dan birokrat (ibid: hal.2). Di Indonesia menurut Solvay Gerke (dalam Chua. 2000: 135) demonstrasi simbolik dari kelas dan kelompok dalam gaya hidup terbentuk sebagai upaya demonopolisasi hierarki yang dulu didominasi oleh budaya kraton Jawa dan oleh golongan Neo-Priyayi dari pegawai sebelum rezim Orde Baru. Benih kelas menengah di Indonesia menurut Gerke, telah muncul ketika pemerintah kolonial berada di Indonesia2. Munculnya Neo-Priyayi dimulai ketika sekumpulan masyarakat pribumi yang bekerja di pemerintahan kolonial sebagai pejabat. Sehingga dengan berakhirnya masa kolonial, maka otomatis merekalah yang menduduki posisi-posisi pemerintahan dan dianggap memiliki pengaruh di 2
Pandangan lain mengenai kelas menengah misalnya adalah kelas menengah dalam Islam dalam Heffner (1993 dalam Indonesia, Vol. 56 (Oktober 1993) pp 1-35 )
7
masyarakat dan menjadi golongan baru, yakni Neo-Priyayi yang kemudian bertransfomasi menjadi kelas menengah. Gerke melihat gaya hidup Indonesia berakar dari dominasi kelas Kraton Jawa dan Neo-Priyayi, maka Heryanto (dalam Pinches. 1999: 160) mengemukakan bahwa kelas kaya didominasi oleh „orang Barat‟ dan „etnis China‟ (Chinese), kalaupun ada yang dapat ditambahkan adalah pegawai kelas atas pemerintah, meski ia berada di bawah kedua kelas di atas
1.2
Gated Community dalam Kelompok Arisan Seleb Komunitas berpagar atau yang lebih dikenal dengan istilah Gated
Community juga bisa menjadi pintu masuk ketika kita mau menelaah mengenai gaya hidup, khususnya masyarakat perkotaan. Gated Community merupakan bagian dari suburbanisasi (Blakely dan Synder, 1997 dalam Rangi Farida, 2008: 28). Tren ini muncul ketika pusat kota telah kehilangan posisinya sebagai tempat „terkuat‟ dalam hierarki metropolis. Tangerang Selatan yang menjadi tempat tinggal Rani dan kawan-kawan merupakan perluasan wilayah yang sebelumnya masih bagian dari Jakarta Selatan. Perkembangan infrastuktur yang luar biasa terjadi wilayah ini. Perguruan tinggi terkemuka hingga Bandara Udara Soekarno Hatta kini ada di wilayahnya. Jakarta sebagai kota metropolitan tidak lagi menjadi pusat pembangunan infrastruktur. Bintaro, Serpong, Sentul, Depok hingga Tangerang Selatan kini berdiri menjadi kota yang mandiri lengkap dengan segala infrastrukturnya termasuk keberadaan komunitas berpagar ini. Gated Community tumbuh sebagai akibat dari pengembangan perkotaan. Kondisi kota yang semakin tidak bersahabat dengan padatnya pembangunan yang berpusat di tengah kota, membuat sebagian masyarakat berpindah tempat tinggal
8
ke daerah suburban yang memiliki potensi sebagai wilayah tempat tinggal yang lebih baik. Tujuh dari 13 anggota Arisan Seleb tinggal di lingkungan perumahan yang sama. Mereka berkumpul di dalam satu komplek perumahan di kawasan Pamulang, Tangerang Selatan di mana bisa dikatakan sebagai kelompok Gated Community. Rani, yang merupakan ketua dari Arisan Seleb ialah orang yang pertama kali tinggal di perumahan tersebut. Sudah hampir 20 tahun dia tinggal di situ lalu menyusul anggota arisan yang lainnya. Di Indonesia, komunitas berpagar ini tumbuh dengan pesat. Akan tetapi pertumbuhan ini justru membuat batasan dengan persoalan sosial dan masalah keamanan yang ada di luar lingkungan tersebut. Komunitas berpagar di Indonesia dihuni oleh mereka yang bukan mewakili golongan kaya raya semata. Mereka juga berasal dari “kalangan menengah pekerja” yang mempunyai kecenderungan konsumsi dan gaya hidup mewah. Kesan eksklusif menempel pada identitas penghuni komunitas berpagar, tak terkecuali para anggota Arisan Seleb. Munculnya Gated Community khususnya di Indoensia justru melahirkan fregmentasi kota (Blakely dan Snyder, 2003 dalam Widhyharto, 2009: 205). Rani dan kawan-kawan yang berasal dari kelas menengah atas pada akhirnya hanya menjalin keakraban dengan kelompok yang tinggal di situ dengan kondisi ekonomi yang tidak jauh berbeda. Rumah mereka menjadi pengejawantahan dari cerminan budaya, ras, kelas dan identitas para penghuninya. Rani yang bersuamikan seorang pejabat tinggi perusahaan kapal terbang milik negara akan nyaman tinggal di situ. Aset yang terlihat berupa 4 mobil miliknya akan terasa lebih aman jika ditaruh di lingkungan dengan keamanan tingkat tinggi karena minimnya akses keluar – masuk bagi penghuni di sekitarnya.
9
Ada dalam lingkungan perumahan yang sama, membuat mereka memiliki pola-pola kehidupan yang sama. Dengan tingkat ekonomi yang mapan, gaya hidup mereka yang tinggal di dalamnya juga menjadi nyaris sama. Kelompok yang menjadi subjek penelitian peneliti juga merupakan kelompok yang tinggal dalam lingkungan gated community. Tidak hanya memiliki kesamaan tempat tinggal, tetapi juga memiliki kesamaan dalam hal insitusi pendidikan. Mereka memilih sekolah yang sama untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Hal ini yang membuat mereka semakin akrab. Profesi sebagian subjek ini yang merupakan ibu rumah tangga, membuat ruang gerak mereka lebih longgar untuk berkegiatan bersama. Waktu luang yang mereka miliki bersama, juga menjadi salah satu alasan mengapa pertemanan mereka kuat karena mereka memang sering menghabiskan waktu luang bersama-sama. Profesinya sebagai ibu rumah tangga, yang tidak terikat waktu pekerjaan, fasilitas yang dimiliki seperti kendaraan dan supir pribadi membuat mereka semakin leluasa. Para ibu-ibu anggota Arisan Seleb ini mengisi waktu luang yang dimiliki dengan kegiatan-kegiatan arisan, makan bersama di luar, belanja bersama di mall ataupun kafe, hingga pergi ke salon kecantikan bersama. Gated Community tidak hanya dipandang sebagai sebuah lingkungan tempat tinggal. Di dalamnya banyak pola-pola yang bisa dilihat lebih dalam lagi. Seperti pola interaksi para penghuninya yang sudah pasti berbeda dengan pola kehidupan masyarakat yang membaur dan tinggal di luar komunitas ini. Gaya hidup mereka dapat dikaji lebih dalam sebagai fenomena gated community, karena dalam lingkungan tersebut terbentuk identitas-identitas para penghuninya yang terbangun di atas nilai-nilai ekonomi yang sama.
10
1.3 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, pertanyaan masalah yang ingin dijawab dalam penelitian adalah: 1.
Bagaimana bentuk dan praktek konsumsi yang ada dalam Arisan Seleb di setiap kegiatan yang mereka lakukan sehingga menjadi gaya hidup bagi setiap anggotanya?
2.
Bagaimana pola dalam kelompok Arisan Seleb dan apa yang mempersatukan mereka hingga terbentuk satu kelompok yang relatif bertahan lama?
3.
Bagaimana dinamika relasi kuasa sang ketua arisan di Arisan Seleb dalam kegiatan mereka?
1.4
Tujuan Penelitian Arisan dan segala pola konsumsi yang ada di dalamnya menjadi perhatian
tersendiri bagi peneliti. Menjadi menarik ketika mereka masih mencari identitas dalam kegiatan arisan yang diikuti melalui pola konsumsi yang ada di dalam kegiatan Arisan Seleb. Praktek konsumsi yang ada menjadi unik karena dilakukan dalam sebuah institusi bernama arisan yang mengikat semua orang yang tergabung di dalamnya untuk melakukan pola yang sama. Hal ini menjadi salah satu ciri pembeda dengan arisan terdahulu yang saat ini juga masih berlangsung namun berbeda dengan Arisan Seleb. Perbedaan itulah yang ingin dilihat oleh peneliti. Penelitian ini menjabarkan pola-pola konsumsi yang dilakukan semua anggota arisan tersebut sebagai bagian dari masyarakat konsumsi. Sebagai
11
individu kita memang tidak bisa lepas dari praktek konsumsi. Namun, apakah arisan dan segala praktek konsumsi yang ada di dalamnya benar-benar merupakan sebuah kebutuhan sosial yang harus dipenuhi? Melalui penelitian ini akan dijabarkan sejauh mana para subjek penelitian ini menjelaskan pentingnya akan kegiatan arisan yang diikutinya.
1.5
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu memberikan penjelasan deskriptif dan
analitis bagaimana gaya hidup dalam masyarakat konsumerisme dewasa ini khususnya melalui kegiatan arisan. Arisan tidak lagi menjadi ajang bertemu di rumah tetangga untuk menjalin keakraban, namun telah menjadi ajang unjuk diri akan kemampuan ekonomi masing-masing. Kegiatan mengonsumsi tidaklah lagi berarti sebagai satu lalu lintas perekonomian benda semata, melainkan telah menjadi sebuah panggung, arena kontestasi kebudayaan dimana di dalamnya makna-makna diperebutkan dan terjadi perang-perang posisi yang tidak ada hentihentinya. Kegiatan arisan dalam hal ini menjadi pintu masuk untuk mengungkapkan hal-hal tersebut di atas, mengingat kegiatan arisan dengan format dan bentuknya saat ini sarat akan nilai-nilai dan pola konsumerisme.
1.6
Tinjauan Pustaka Dalam sebuah penelitian, khususnya penelitian ilmiah tentu saja dibutuhkan
orisinalitas dari pembahasan yang terkandung dalam penelitian tersebut. Hal tersebut dilakukan melalui tinjauan pustaka. Selain untuk menunjukan orisinalitas dari sebuah penelitian, tinjauan pustaka juga dapat memberi manfaat lebih, yakni
12
sebagai penambah infomasi mengenai penelitian yang kita lakukan. Dengan hal ini tentu dapat ditemukan kesamaan pemilihan topik yang telah dilakukan oleh peneliti lain Tesis
Nova
Setyaningrum
(2012)
berjudul
Perempuan
dan
Keperempuanan: Analisis Posfeminisme Terhadap Celebrity Shopper dan Confessions of a Shopaholic. Penelitian ini menitikberatkan pada bagaimana citra perempuan dibangun melalui novel-novel popular (Chick Lit) khususnya melaui kegiatan berbelanja atau kegiatan mengkonsumsi. Novel Chick Lit merupakan kumpulan novel yang memang hadir dengan penuh „perempuan‟, baik dari segi karakter yang ada dalam novel tersebut, penulis, pembaca, maupun tema ceritanya. Dalam Chick Lit digambarkan bagaimana perempuan yang peduli dengan penampilannya, menjadikan make up dan busana yang fashionable sebagai tuntutan utamanya. Pada tingkat yang lebih baik, perempuan dapat mengidentifikasikan dirinya dan menyadari berbagai pilihan yang dapat diambilnya. Salah satu yang menonjol ialah tema konsumerisme dalam Chick Lit ini yang secara tidak langsung menghasilkan perempuan-perempuan yang gila belanja sekaligus gila bekerja. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan dalam thesis ini dimana fokusnya adalah praktik konsumsi yang dilakukan oleh ibu-ibu yang dispesifikan kepada ibu-ibu yang tidak bekerja dan tergabung dalam kelompok-kelompok arisan. Benda-benda fashion khususnya tas dengan merk dan harga mahal menjadi bagian dari arisan ini. Tesis Ade Irma Sukmawati (2012) yang berjudul Lifestyling Dalam Late Night Sale Sebagai Usaha Produksi Identitas Pramuniaga Perempuan Centro Departement Store. Dalam tesis ini Ade Irma juga melakukan sebuah kajian
13
mengenai gaya hidup serta budaya konsumerisme. Namun dalam pemelitiannya ini Ade Irma memfokuskan penelitiannya kepada pegawai pramuniaga perempuan yang bekerja di Centro Departement Store Ambarukmo Plaza Yogyakarta. Konsumsi yang dilakukan oleh para pramuniaga juga hanya pada saat-saat tertentu, yakni Late Night Sale, di mana mereka saling berebut barang-barang branded pada saat itu sebagai upaya produksi identitas. Barang – barang branded masih banyak dipandang oleh khalayak sebagai representasi citra dan selera kelas sosial atas. Program belanja Late Night Sale yang diciptakan oleh Centro Departement Store Yogyakarta memang menyedot banyak konsumen. Karena pada event tersebut Centro Departement Store menjual merk menjadi sangat terjangkau dengan diskon khusus. Kegiatan konsumsi
yang dilakukan oleh
pramuniaga perempuan Centro Departement Store pada event tersebut memiliki tujuan yang sama. Barang branded yang masih menjadi representasi kelas atas pada akhirnya mendorong mereka untuk melakukan produksi identitas, seolaholah mereka dari golongan ekonomi kelas atas juga yang mampu mengkonsumsi bareng-barang mahal tersebut. Barang branded kemudian menjadi sebuah kebutuhan bagi pramuniaga perempuan dalam upaya menaikan identitas mereka. Identitas menjadi kata penghubung antara thesis yang ditulis oleh Ade Irma dan yang akan peneliti lakukan. Tetapi tentu ada perbedaan yang cukup signifikan. Jika pada penelitian Ade Irma, praktek konsumsi dilakukan oleh pramuniaga perempuan Centro Departement Store memerlukan usaha yang sangat keras. Dikatakan dengan sangat keras karena mereka hanya bisa melakukan praktek konsumsi barang branded hanya ketika Late Night Sale. Itu artinya pada
14
saat event itu tidak diselenggarakan, para pramuniaga tersebut tidak memiliki akses terhadap barang-barang branded yang memang dijual di Centro Departement Store karena memang harga yang sangat mahal dan tidak terjangkau oleh para pramuniaga tersebut. Seangkan ibu-ibu yang tergabung dalam kelompok arisan ini dapat dengan mudah mendapatkan barang-barang branded tersebut. Namun di dua kasus ini identitas menjadi kata penghubung yang mengaitkan keduanya. Berbeda dengan penelitian Ade Irma yang menjadikan para pramuniaga yang sebagian besar berasal dari kelas menengah bawah, peneliti memfokuskan penelitian pada sekelompok ibu-ibu yang berburu identitas di mana ibu-ibu tersebut lebih mapan secara tingkat ekonomi. Menjadi menarik bagi peneliti untuk mengungkap hal-hal yang dilakukan ibu-ibu tersebut dalam upaya mencari identitas melalui kegiatan arisan. Peneliti ingin mengungkap identitas seperti apa yang mereka cari dalam kondisi ekonomi yang sudah mapan. Muhammad Fadli menulis sebuah tesis yang berjudul Kontestasi Citra Sosial Dalam Praktik Ritual Haji, Sebuah Analisis Terhadap Gaya Hidup Muslim Kelas Menengah di Yogyakarta (2011). Dalam tesisnya ini Muh. Fadli menuliskan bagaimana haji yang merupakan sebuah ritual keagamaan telah berubah fungsi dan maknanya. Praktik haji tidak semata-mata merupakan tampilan ruang keagamaan yang simbol dan status dari gelar haji itu sendiri, melainkan juga berorientasi pada kepentingan pasar/modal/industri/kapitalisme haji menjadi ajang akumulasi kapital . Mulai kapital murni berupa uang, kapital sosial dan kapital kebudayaan berupa pendidikan dan rasa keagamaan, serta kapital simbolik berupa legitimasi/prestise/identifikasi/diferensiasi/status dan lain sebagainya. Karena
15
itulah gelar haji bagi seseorang tidak hanya memiliki kekuatan ritual yang menunjukan eksistensinya sebagai seorang Muslim tetapi ritual haji juga dimaknai sebagai sebuah kegiatan yang bernilai dan mengandung prestise baik bagi si pelaku maupun masyarakat yang ada dalam lingkungan sosial yang menyaksikan. Tesis dari Cho Youn-Mee pada tahun 1997 yang berjudul Gaya Hidup dan Budaya Konsumen: Kasus Konsumen Galeria di Yogyakarta. Dalam tulisannya ini Cho Youn-Mee melakukan sebuah usaha dalam menginterpretasikan proses reproduksi kebudayaan masyarakat lokal (dalam hal ini masyarakat Yogyakarta) di dalam era globalisasi. Dalam penelitian ini penulis menggunakan aspek-aspek gaya hidup yang tampak dari perilaku konsumsi, khususnya kasus konsumen Galeria di Yogyakarta. Kehadiran gedung-gedung pusat perbelanjaan (mall) memang dapat menjadi sebuah ruang baru bagi masyarakat modern yang hidup dalam budaya konsumtif. Keberadaan shopping mall juga melahirkan gejala yang menarik. Selain fasilitas belanja, di dalam mall juga disediakan fasilitas hiburan seperti gedung bioskop, arena permainan, tempat karaoke yang memang dikemas dalam suasana yang sesuai dengan selera masyarakat. Dengan berbagai fasilitas yang disediakan oleh gedung-gedung pusat perbelanjaan (mall) yang terdapat dalam satu ruang, para konsumen yang datang dapat mengkombinasikan beberapa aktivitas dengan leluasa dan menikmati kesenangan yang timbul dari gabungan aktivitas tersebut. Dalam hal ini aktivitas konsumen di Galeria Yogyakarta membangun sebuah rutinitas yang modern yang membuka ruang-ruang imaji mengenai makna dan identitas seseorang. Aktivitas–aktivitas yang dilakukan para konsumen di mall telah memperoleh makna baru yang berkaitan dengan fungsi lain, yakni
16
fungsi hiburan yang telah terlepas dari fungsi primer belanja. Ada sebuah benang merah dalam penelitian yang dilakukan oleh Cho Youn-Mee dengan penelitian yang mengenai kegiatan arisan ini, yaitu sama-sama mengungkap apa yang sebenarnya ada di balik sebuah kegiatan konsumsi. Youn-Mee lebih menitik beratkan pada aktivitas-aktivitas konsumsi yang terjadi di dalam gedung pusat perbelanjaan Galeria Yogyakarta. Bagaimana masyarakat, khususnya masyarakat Yogyakarta menggunakan ruang yang diberikan oleh Galeria Yogyakarta sebagai sebuah arena rekreasi baru yang berbau modern. Sedangkan pada penelitian ini titik berat lebih difokuskan kepada kegiatan arisan, yang juga pada beberapa kesempatan dilakukan di pusat perbelanjaan atau mall. Praktek-praktek konsumsi yang ada di dalamnya telah menjadi sebuah gaya hidup di masyarakat dewasa ini. Persoalan leisure memang sangat menarik untuk dibicarakan, karena melalui berbagai kegiatan di dalamnya dapat mendorong pola perilaku masyarakat menjadi lebih konsumtif. Identitas, kontestasi, citra merupakan kata-kata kunci yang ada dalam kajian gaya hidup yang menghubungkan ketiga tulisan; milik Nova Setyaningrum, Ade Irma Sukmawati dan Cho Youn-Mee. Subjek-subjek penelitian di antara ketiganya jelas memiliki perbedaan namun dapat membuahkan sebuah potret yang hampir sama mengenai gambaran masyarakat konsumen. Dalam penelitiannya Nova Setyaningrum menggunakan novel chick lit sebagai subjek kajiannya, Ade Irma Sukmawati menggunakan aktifitas night sale di Amabarukmo Plaza Yogyakarta dan Cho Youn-Mee menggunakan para konsumen Galeria Mall Yogyakarta sebagai subjek penelitiannya. Sedangkan Muh. Fadli menggunakan ritual haji sebagai bahan penelitian. Thesis ini menggunakan kegiatan arisan
17
sebagai sebuah arena yang dapat memberi gambaran kepada kita mengenai gaya hidup serta arena perluasan makna bagi si pelaku maupun masyarakat lain yang menyaksikannya. Studi literatur yang tidak kalah pentingnya adalah penelitian mengenai arisan itu sendiri. Makalah penelitian berjudul The Rotating Credit Association: A "Middle Rung" in Development karya Clifford Geertz (1962) mempunyai posisi penting dalam penelitian ini. Pertama makalah ini bercerita mengenai arisan yang menjadi fenomena umum di Asia. Kedua, makalah penelitian itu banyak menceritakan tentang bagaimana arisan di Mojokuto, Indonesia pada 1953 hingga 1954. Dengan menggunakan metode etnografi, Geertz melihat terdapat dua jenis arisan yang bergantung pada struktur masyarakatnya. Arisan di wilayah desa tradisional berbeda dengan arisan yang diselenggarakan di wilayah urban. Geertz menyimpulkan bahwa perkembangan arisan adalah sebuah produk dari 'retakan' bentuk masyarakat agraris yang berkembang menjadi masyarakat yang lebih komersial. Retakan itu bias terjadi dengan sangat lambat atau sebaliknya, sangat cepat. Geertz melihat arisan sebagai proses differensiasi dan reintegrasi sebuah struktur sosial (1962: 261). Sementara penelitian ini dibangun atas dasar kritik terhadap konsumerisme. Thesis ini mengembangkan penelitian Geertz secara temporal dan spasial. Secara temporal di sini maksudnya ialah terdapat perbedaan waktu yang berpengaruh terhadap perbedaan konteks penelitian di anatara keduanya. Geertz melakukan penelitian ini di tahun 1950an, dan penelitian ini dilakukan saat ini di mana sudah terdapat banyak perkembangan. Kedua, terdapat
18
perbedaan tempat di antara kedua penelitian tersebut. Geertz melakukan penelitian di Mojokuto, sementara penelitian ini dilakukan di Jakarta. Selain Geertz adalah Hanna Papanek and Laurel Schwede (1988) yang menulis Women Are Good with Money: Earning and Managing in an Indonesian City. Dengan metode kuantitatif Papanek dan Schwede fokus pada isu gender di wanita kelas „menengah ke bawah„ dan „menengah‟ Jakarta. Namun ketika meneliti perempuan dalam rumah tangga mereka juga membahas arisan. Tiga perempat wanita yang mereka teliti mengikuti satu atau lebih kelompok arisan; yang didefinisikan oleh Papanek dan Schwede sebagai "informal groups formed for the limited purpose of saving a spesific sum of money over a predeterminded period of time" (1988: 81). Apa yang menjadikan arisan signifikan dalam segi finansial adalah ia dapat menjadi sebuah "lumpsum" yang tersedia dalam sebuah waktu yang terbatas. Arisan bagi ibu rumah tangga, tulis Papanek dan Schweede tak lain adalah strategi penyimpanan bagi ibu rumah tangga. Meski gagasan mengenai arisan dalam penelitian Papanek dan Schweede terjadi di Jakarta, penelitian ini berbeda dalam beberapa hal. Dari segi perspektif, penelitian ini melihat arisan bukan hanya strategi finansial semata sebagaimana yang diyakini Papanek dan Schweede. Penelitian ini mempunyai asumsi dimana di balik alasan keuntungan finansial tersebut, tersembunyi hasrat yang ditumbuhkan oleh konsumerisme dalam bentuk kegiatan menghabiskan waktu luang yang dimiliki sambil menghabiskan uang. Dari sejumlah penelitian yang telah dilakukan sebelumnya sebagaimana tertera di atas, memungkinkan masih terbukanya peluang untuk dilakukan penelitian-penelitian lain mengenai bagaimana praktek-praktek konsumsi dalam
19
masyarakat modern dibarengi dengan produksi identitas melalui praktek arisan. Kajian-kajian yang ada sebelumnya mengenai praktek konsumsi semakin jelas memperlihatkan peran benda-benda komoditas dalam membangun interaksi dengan manusia lain. Penelitian ini dilakukan untuk menambah khasanah wacana tersebut.
1.7
Kerangka Pemikiran Penelitian ini merupakan kajian gaya hidup melalui kegiatan arisan yang di
dalamnya terdapat pola-pola dan praktek konsumsi. Dalam komunitas Gated Community, terdapat pola-pola keseharian yang hampir sama bagi yang tinggal di dalamnya. Bagi para ibu-ibu rumah tangga yang dalam kesehariannya tidak bekerja, arisan menjadi salah satu saluran kegiatan mereka dalam mengisi waktu luang. Kegiatan arisan kini menjadi sebuah gaya hidup di masyarakat, khususnya Jakarta, tempat dimana penelitian dilakukan. Kajian mengenai gaya hidup dan konsumsi memang bukan hal baru dalam ilmu sosiologi, bahkan sudah mulai dibicarakan pada akhir abad ke-19 meskipun dalam porsi yang masih terbatas. Karl Marx (1973) dalam bukunya The Grundrisse: Foundation of the Critique of Political Economy mendiskusikan tentang hubungan dialektik antara konsumsi dan produksi. Marx juga melahirkan konsep commodity fetishism (pemujaan komoditas) yang dianggap sebagai bentuk eksploitasi kaum kaptalis melalui kegiatan produksi. Ia mengkritik ahli ekonomi dari golongan borjuis yang memandang komoditas sebagai sebuah objek netral yang mendapatkan nilai dari relasi pasar dengan objek-objek lain. Relasi ini mengaburkan nilai komoditas yang sebenarnya. Sistem pasar kapitalis membuat relasi antar objek terlihat lebih
20
kuat dan nyata daripada relasi antar manusia yang sesungguhnya. Atau secara sederhana dapat dikatakan bahwa nilai-nilai sosial yang ada dalam hubungan antar masyarakat telah mengalami pergeseran. Pemujaan terhadap komoditas terlihat lebih dominan daripada relasi antar sesama manusia itu sendiri. Kegiatan arisan yang dahulu dilakukan secara sederhana, saat ini sarat akan hal-hal yang bersifat mewah. Pada akhirnya bukan relasi antar anggotanya yang dipentingkan, namun bagaimana kegiatan arisan itu dikemas dalam kegiatankegiatan konsumsi. Jika dahulu dilakukan di rumah salah satu anggotanya, saat ini dilakukan di restoran, kafe, mal atau tempat-tempat mahal lainnya. Yang dahulu tidak dibungkus dengan seragam, saat ini para anggotanya harus mengenakan seragam dalam kegiatannya. Yang dahulu iuran arisannya tidak besar, saat ini iurannya sangat tinggi. Hal-hal yang terjadi dalam kegiatan arisan saat ini tidak bersinggungan atau tidak berhubungan dengan upaya membangun relasi yang dapat mempererat hubungan antar anggotanya tetapi bisa juga menjauhkan karena masing-masing anggota membuat jarak dengan anggota lain melalui benda-benda fashion yang dipakai dan menjadi pembeda antar sesama anggota arisan. Georg Simmel (1978) dalam The Philosophy of Money. Mengatakan bahwa di satu sisi, masyarakat dibanjiri oleh melimpahnya tawaran berbagai produk yang mendorong lahirnya permintaan palsu (artificial demand), yang cenderung memanipulasi pemikiran masyarakat. Namun di sisi lain berbagai produk yang menyerbu masyarakat membuka peluang bagi setiap individu untuk mengekspresikan kebebasan dan individualitasnya. Kegiatan serta praktek konsumsi yang dilakukan seseorang dalam kegiatan arisan merupakan luapanluapan ekspresi individu tersebut dalam merepresentasikan dirinya sebagai upaya
21
pembentukan identitas. Di mana arisan itu dilaksanakan, menggunakan merk apa saja dia dalam arisan, secara langsung maupun tidak langsung merepresentasikan dari kelas sosial mana seseoramg berasal. Proses ini merupakan gambaran hubungan antara keinginan manusia dengan benda-benda di sekelilingnya, dan menjadi sumber lahirnya nilai-nilai sosial baru di masyarakat yakni masyarakat konsumerisme.
1.7.1 Leisure Class dan Gaya Hidup Beberapa teori sosial memang tidak secara langsung dan khusus membicarakan konsumsi dan arisan. Thorstein Veblen (1957: 25) membahas konsumsi yang dalam bukunya berjudul The Theory of the Leisure Class, yang menjadi titik awal lahirnya sosiologi konsumsi. The Leisure class merupakan sebuah kelompok masyarakat yang mungkin lebih tepat disebut dengan istilah nouveau riche, suatu golongan atas baru yang ada di Amerika pada akhir abad 19. Masyarakat yang ada dalam kelas sosial baru ini oleh Veblen disebut juga dengan kelas senggang, kelas pemboros. Kegiatan seseorang yang termasuk dalam golongan ini adalah mendemonstrasikan statusnya kepada publik melalui penggunaan benda-benda material dari aktivitas konsumsi mereka. Leisure class milik Veblen ini adalah kelas yang berkaitan dengan pola konsumsi, khususnya conspicuous consumption dan conspicuous leisure. Suatu pola pengonsumsian yang berlebihan dilakukan sebagai suatu gaya hidup untuk menunjukkan kesejahteraan, kepemilikan, kekayaan, status, dan arena kompetisi untuk mencapai prestise individu. Dia mengemukakan bahwa pertama, leisure class ini adalah kelompok kelas tertentu yang ada dalam masyarakat, yang
22
mengisi waktu luangnya, dengan keunikan sendiri yang berbeda dengan kelompok kelas bawah. Kedua, leisure class punya gaya hidup dan perilaku kita sendiri yang telah ada sehai-hari, di mana tanpa kita sadari seringkali kitapun melakukan gaya seperti itu.. Ketiga, konsep leisure class karena merupakan realitas sosial, yang di dalamnya akan selalu mengalami perubahan dan perkembangan sesuai dengan apa yang dikonsumsi. Kegiatan arisan yang dilakukan oleh Arisan Seleb merupakan perwujudan dari kegiatan bersenang-senang. Kegiatan yang mereka lakukan membedakan dengan apa yang dilakukan oleh orang atau kelompok yang secara kelas sosial berada di bawah mereka. Perbedaan itu mereka rayakan dengan kegiatan arisan yang didominasi oleh kegiatan konsumsi sebagai bentuk kesenangan. Konsumsi yang mereka lakukan berhubungan dengan selera, identitas dan gaya hidup. Tempat yang mereka pilih sebagai tempat kegiatan akan sesuai dengan selera mereka yang hanya bisa diakses oleh kalangan ekonomi atas. Dalam hal ini waktu luang yang dimiliki oleh anggota Arisan Seleb dan diwujudkan dalam kegiatan arisan diartikan sebagai perwujudan nyata dari kemampuan mengkonsumsi barang dan waktu luang secara berlebihan. Namun dalam perspektif leisure class gaya hidup yang mereka lakukan merupakan kebiasaan yang masuk dalam irama kehidupan mereka sehari-hari. Mulai dari gaya menggunakan bahasa, gaya berpakaian, jenis barang kegemaran, makanan yang disukai hingga pola rekreasi mereka. Pada masyarakat konsumerisme, kegiatan mengonsumsi tidak lagi sematamata kegiatan mengkonsumsi sebuah benda (materil maupun non materil) sesuai dengan fungsinya. Kebiasaan mengonsumsi barang dengan tidak mementingkan
23
fungsinya sudah menjadi gaya hidup di era modern ini. Gaya hidup di sini juga berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk memilih barang atau produk yang disuka tanpa memikirkan jumlah uang yang dikeluarkan. Kegiatan mengonsumsi melebihi yang diperlukan, tidak hanya “ada”, tetapi juga hidup di dalam kesaharian. Karena konsumsi merupakan cara untuk mendukung kelasnya. Kegiatan mengonsumsi saat ini telah melahirkan fungsi baru, yakni fungsi sosial dan memroduksi makna karena semakin menunjukkan perbedaan nilai (Baudrillard, 1970 dalam Haryatmoko, 2013: 2). Praktik konsumsi membentuk gaya hidup dan identitas seseorang atau sekelompok orang. Ketika sekelompok arisan mengadakan kegiatan arisan di restoran yang ada di sebuah hotel mewah, sudah barang tentu kelompok mereka bukanlah berasal dari kelompok sosial bawah. Hal ini sesuai dengan pendapat Fuad Firat (1995), “you are what you eat, wear and drive… in short, you are what you consume”. Restoran yang ada di sebuah hotel berbintang dengan segala fasilitasnya yang dipakai untuk sebuah kegiatan arisan merupakan representatif kelas dari kelompok sosial yang memang dapat mengakses fasilitas tersebut. Ada nilai-nilai simbolik yang lain daripada hanya sekedar sebuah praktek konsumsi. Konsumsi sebagai sebuah praktik sosial, memiliki dimensi ruang dan waktu yang tanpa disadari oleh para pelakunya telah tersusun dan terorganisir, bersifat cair, tidak stabil dan tidak pasti. Akan tetapi bukan berarti tidak memiliki tujuan tertentu (Jenkins, 2002: 69-71). Selera, menjadi hal yang penting dalam kajian gaya hidup, khususnya untuk pemikiran Bordieu. Selera yang akhirnya menentukan diferensiasi antar anggota kelompok masyarakat dan melahirkan kelas sosial. Selera memainkan fungsi sosial dalam reproduksi struktur kelas. Dalam menunjukkan bahwa batas-
24
batas kelas ditentukan oleh kekuasaan simbolik, Bourdieu menggunakan konsep ruang sosial. Konsep ruang sosial ini menempati posisi sentral di dalam teori Bourdieu tentang kelas sosial. Sentralitas ruang sosial ini, misalnya, dinyatakan Bourdieu, 1996: 21 bahwa: “social class is not exsitst...what exists is social space, a space of differences, in wich classes exist in some sense in a state of virtuality, not as something given but something to be done” Dalam hal ini, menurut perspektif Bourdieu, yang nyata ada di dalam realitas sosial adalah ruang sosial, yaitu ruang perbedaan-perbedaan. Di dalam ruang sosial atau ruang perbedaan-perbedaan itulah kelas sosial dapat diindentifikasi dengan memetakan prinsip diferensiasi yang menstruktur perbedaan-perbedaan tersebut. Kelas sosial terbentuk oleh kepemilikan material sebagai representasi yang diproduksi oleh agen-agen sosial dan kemudian terekspresikan melalui gaya hidup (Bordieu, 1989:15). Melalui gaya hidup, individu menjaga tindakannya melalui selera agar dapat menyesuaikan diri dengan ruang-ruang sosial yang terbentu berdasarkan
habitus,
modan
dan
posisinya
di
dalam
ruang
sosial.
Gaya hidup bukanlah sesuatu yang terisolir, ia berdampingan bersama gaya hidup lain di dalam ruang sosial. Pola pengonsumsian barang dan waktu yang berlebihan seperti yang dikemukan Veblen lebih berlaku untuk kelas bangsawan. Namun hal ini menjadi berbeda bagi Bordieu. Ruang-ruang sosial yang dibangun melalui praktek konsumsi bisa dilakukan siapa saja yang memiliki modal ekonomi sehingga dia menjadi individu aatau kelompok yang berbeda. Kelompok Arisan Seleb telah melakukannya. Kegiatan arisan yang mereka lakukan akhirnya menciptakan ruang
25
tersendiri yang berbeda dengan arisan yang dilakukan oleh ibu-ibu di kampung. Dan hal itu karena adanya praktek-praktek konsumsi yang mereka lakukan dalam kegiatannya. Menurut Chris Barker (2004), identitas dapat dimaknai melalui tandatanda selera, kepercayaan, sikap dan gaya hidup. Identitas bukanlah merupakan sebuah entitas yang tetap, merupakan sebuah konstruksi diskursif yang akan berubah maknanya menurut ruang, waktu dan pemakaian. Identitas dianggap personal sekaligus sosial dan menandai bahwa kita sama atau berbeda dengan orang lain. Ada pergesaran serta transformasi pada logika konsumsi yang terjadi di lingkungan sosial. Akses yang dimiliki seseorang dalam mengkonsumsi barang tentu berhubungan dengan kondisi ekonomi yang dimiliki. Hal itulah yang akan membuat orang di luar sana memandang lain ketika seseorang mampu melakukan atau mengonsumsi hal yang ia sukai. Tingkat kemapanan itulah yang akan dilihat oleh orang lain tanpa melihat fungsi dan guna dari barang yang dikonsumsinya tersebut. Melalui gaya hidup, yang diperlihatkan seseorang melalui fashion, lingkungan tempat tinggal, gadget yang dipergunakan, kendaraan yang dimiliki merupakan cara seseorang untuk memisahkan dirinya dengan kelompok lain, khususnya kelompok yang secara tingkat kemapanan ekonomi lebih rendah. Gaya hidup menjadi penting sebagai cara integrasi sosial baru bagi kelas menengah di Indonesia, dimana tidak hanya sebagai penanda identitas diri namun juga untuk membangun dan menjaga keanggotaan dalam identitas kolektif sebagai anggota kelas menengah. Sebagai bagian dari proses pembentukan kelas, maka produksi
26
gaya hidup tidak lagi hanya merupakan masalah personal melainkan telah terhubung dengan pembangunan ikatan sosial dalam suatu kelompok yang bertujuan untuk membangun identitas kolektif. Dengan kata lain produksi identitas kolektif dilakukan melalui gaya hidup dan keanggotaan dari suatu kelompok kelas diekspresikan melalui presentasi gaya hidup tertentu (Gerke, 2000: 146-151). Fashion juga berhubungan erat di dalam gaya hidup masyarakat dewasa ini. Fashion merupakan hal yang paling mudah terlihat dari seseorang ketika ia berpenampilan. Fashion dapat mencerminkan diri seseorang dalam kehidupan sehari-harinya. Fashion dapat menjadi sarana komunikasi seseorang terhadap lingkungannya yang kemudian lahirlah identitas melalui persepsi orang lain yang melihatnya. Fungsi identitas pakaian meliputi identitas agama, sosial, budaya, dan sebagainya. Fungsi dan makna tersebut yang membuat Thomas Carlyle, seorang ahli komunikasi, melontarkan kata “I speak with my cloth” (Ibrahim, 2007).
1.8
Metode Penelitian Metodologi penelitian observasi partisipatoris yang dilakukan dalam sebuah
penelitian pada dasarnya merupakan sebuah metode penelitian berbasis etnografi. Etnografi sebagai sebuah metode dapat memberikan sumbangan penting sebagai cara pengumpulan data dalam kajian budaya pop, termasuk kajian gaya hidup (Heryanto, 2008: 5) Etnografi sebagai sebuah metode dipercaya dapat memberikan sebuah sajian cukup mendalam pada sebuah penelitian. Hal tersebut dikarenakan dalam sebuah penelitian yang menggunakan metode etnografi membutuhkan adanya keterlibatan secara langsung atau observasi partisipatoris
27
dalam mengumpulkan data penelitiannya. Hal ini diharapkan menghasilkan pembacaan yang cermat dan teliti terhadap fenomena yang diangkat dalam penelitian tersebut. Etnografi merupakan sebuah pendekatan atau metode milik ilmu antropologi. Creswell (2009: 13) mendefinisikan etnografi sebagai sebuah strategi penelitian di mana peneliti akan mempelajari sebuah kelompok masyarakat ataupun budaya secara alami dan dalam jangka waktu yang lama. Dalam jangka waktu tersebut peneliti melakukan proses pengumpulan data dengan pengamatan dan wawancara. Dalam metode etnografi proses penelitiannya lebih fleksibel. Perkembangan penelitiannya kontekstual sesuai kondisi yang ditemukan di lapangan. Creswell menegaskan etnografi merupakan sebuah penelitian yang berfokus penuh pada sebuah kelompok budaya atau juga bisa kelompok masyarakat. Kelompok yang menjadi fokus tersebut bisa saja dalam lingkup yang kecil (sekumpulan individu), atau dalam skala yang lebih besar dan terkait dengan sekumpulan orang atau banyak orang yang saling berinteraksi sepanjang waktu, seperti sebuah komunitas sosial dari kelompok pekerja (ibid: 15). Peneliti yang bisa disebut sebagai etnografer mencoba mengamati suatu kelompok dan mencoba mempelajari pola perilaku, tata cara, gaya hidup, yang tercermin dalam keseharian yang ada di kelompok tersebut. Peneliti berusaha menguji dan mempelajari keseharian kelompok tersebut sebagai suatu proses. Penelitian juga dilakukan
dengan
wawancara
terhadap
nara
sumber
untuk
kemudian
menghasilkan data yang dianalisa. Di observasi partisipatoris sang peneliti melibatkan diri dalam kelompok tertentu. Observasi dilakukan dengan meleburkan diri dan mencoba menggali data
28
dan informasi secara mendalam dan menyeluruh mengenai fenomena yang ada pada komunitas tersebut. Dalam observasi yang dilakukan, peneliti mencoba mempelajari arti dari tingkah laku, bahasa, dan interaksi kebudayaan yang terjadi dalam kelompok tersebut. Namun seiring dengan berjalannya waktu, etnografi telah mengalami transformasi dan modifikasi. Paula Saukko mengatakan perubahan ini terjadi dalam hal metode penelitian serta pendekatan yang dilakukannya. Hal ini terjadi karena dalam metode serta pendekatannya diwarnai oleh cultural studies (Saukko, 2003). Refleksi merupakan hal penting dari semangat new-ethnografi yang dikemukakan oleh Saukko. Secara lebih spesifik penggunaan etnografi baru dalam penelitian ini sebagai sebuah metode menjadi dasar untuk melakukan telaah lebih dekat tehadap praktik konsumsi terhadap benda-benda fashion dan kehidupan sosial pelakunya dengan menjadi bagian dari kelompok yang biasa disebut kaum sosialita ini baik secara individu maupun kolektif.
1.9
Korpus Penelitian Penelitian di dalam kegiatan Arisan Seleb ini berfokus (korpus penelitian)
pada kegiatan arisan dan pola konsumsi di dalamnya menjadi gaya hidup masyarakat dewasa ini. Penelitian ini juga melihat bagaimana relasi kuasa antar anggota arisan. Peneliti juga ingin melihat bagaimana kegiatan arisan tersebut menjadi sebuah ruang pertunjukan dan pembentukan makna bagi si pelaku arisan tersebut. Penelitian ini berlangsung di Jakarta dengan fokus penelitian kepada kelompok arisan bernama “Arisan Seleb” yang beranggotakan 13 orang. Peneliti juga ingin lihat bagaimana perlakuan mereka terhadap kegiatan arisan dan pola
29
konsumsi yang mengikat di dalamnya yang secara langsung maupun tidak langsung mendorong pembentukan identitas di antara mereka. Selain itu peneliti juga ingin melihat aroma persaingan di antara mereka dalam melakukan kegiatan tersebut, sehingga terjadi sebuah arena pertarungan serta persaingan dari aktivitas konsumsi dalam arisan tersebut.
1.9.1. Gambaran Beberapa Anggota Arisan Seleb - Rani Rani seorang ibu rumah tangga yang dalam kesehariannya tidak bekerja dan hanya mengurus keperluan rumah tangganya. Suaminya seorang petinggi perusahaan kapal terbang milik negara. Dari hasil gaji suaminya, mereka kini sudah meiliki beberapa usaha, seperti beberapa rumah kontrakan, sebuah bengkel dan sebuah toko alat tulis dan fotokopi yang cukup besar dan berada di dekat sebuah universitas negeri di Jakarta. Rani merupakan ketua Arisan Seleb. Dia yang mengatur segala sesuatu yang diperlukan oleh Arisan Seleb. Selain Arisan Seleb, Rani mengikuti 2 arisan lainnya, yang salah satunya merupakan arisan kelompok alumni SMA Rani terdahulu. - Cahya Memiliki peran yang sama dengan Rani, Cahya juga seorang ibu rumah tangga yang tidak bekerja. Suaminya seorang petinggi salah satu kementrian di Jakarta, sehingga dia difasilitasi banyak oleh suaminya. Sebuah mobil dan seorang supir pribadi menemani aktifitasnya sehari-hari. Anak Rani dan Cahya dahulu sekolah di sekolah yang sama, hal ini yang membuat mereka dahulu bertemu dan
30
rutin hingga kini. Selain Arusan Seleb, Cahya mengikuti 3 kegiatan arisan lainnya. - Imelda Imelda merupakan seorang ibu rumah tangga dan memiliki 2 anak perempuan. Seperti Rani, dalam kesehariannya Imelda juga berperan sebagai ibu rumah tangga yang mengurusi keperluan rumah dan keluarganya. Untuk mengisi kesehariannya, Imelda memiliki sebuah butik baju busana muslim perempuan di kawasan Bintaro, sementara suaminya bekerja sebagai petinggi sebuah perusahaan swasta di Jakarta. Ada 2 arisan yang diikuti Imelda, Arisan Seleb dan arisan bersama pembeli-pembeli setia busana muslim yang dijual di tokonya. - Rima Seperti halnya Rani, Cahya dan Imelda, Rima juga berperan sebagai ibu rumah tangga yang mengurus rumah dan kedua putrinya yang masih kecil-kecil. Suaminya merupakan pejabat salah satu Bank swasta di Indonesia. Rima juga diberi fasilitas lengkap berupa mobil dan supir untuk mengantar dan menjemput anak-anaknya beraktifitas di sekolah dan di tempat les, juga mengantarkan Rima berpergian ke tempat lainnya. Perbedaannya dengan Rani, Cahya dan Imelda di mana anak-anaknya bersekolah di tempat yang sama, putri dari Rima bersekolah di tempat lain. Yang menyamakan hanya tempat tinggal. Mereka tinggal di komplek perumahan yang sama. Hal inilah yang membuat mereka akrab dalam berteman. - Mini Berbeda dengan Rani dan Cahya yang tidak bekerja, Mini merupakan seorang perempuan bekerja. Status Mini yang merupakan seorang janda, membuat
31
dia harus bekerja atau berbisnis lebih tepatnya. Mini memiliki usaha katering untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Namun karena usahanya ini sudah cukup mapan, membuat Mini tidak perlu hadir setiap saat dalam usahanya tersebut karena ia sudah memiliki karyawan-karyawan kepercayaan di kegiatan operasional kateringnya tersebut. - Ira Perempuan paruh baya ini merupakan salah satu karyawan di perusahaan minyak milik asing di Jakarta. Statusnya yang masih lajang dengan penghasilan yang besar, membuat dia bebas melakukan apa saja terutama dalam memenuhi hasratnya dalam berbelanja barang fashion dan kegiatan arisan. Untuk setiap bulannya, Ira mengalokasikan uangnya sebesar 5 juta untuk 2 kegiatan arisan, yaitu Arisan Seleb dan satu lagi arisan bersama teman-teman wanitanya di kantor. Statusnya yang lajang, tidak membuat Ira canggung berteman dengan anggota Arisan Seleb lainnya. Hal ini karena memang usia Ira tidak berbeda jauh dengan anggota lainnya. Di samping itu mereka juga tinggal dalam komplek perumahan yang sama. Hal ini yang membuat hubungan mereka semakin cair.
1.9.2. Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan cara melakukan penelitian langsung ke lokasi target penelitian dan mengikuti berbagai kegiatan yang dilakukan Arisan Seleb. Adapun cara pengambilan serta pengumpulan data dapat dilakukan dengan berbagai cara:
32
1.9.2.1. Observasi Partisipan Observasi partisipan merupakan syarat mutlak jika seorang peneliti hendak melakukan penelitian dan menggunakan etnografi sebagai metodenya. Tinggal bersama nara sumber yakni Jakarta. Peneliti tinggal di sekitar para nara sumber ini tinggal dan mengikuti banyak kegiatan mereka ketika melangsungkan kegiatan arisan. Hal ini bertujuan untuk lebih membangun hubungan emosional di anatara para peneliti dan juga mengetahui konteks budaya dan sosial dari para nara sumber ini. Peneliti juga akan mengikuti berbagai kegiatan yang dilakukan oleh kelompok arisan serta pengajian yang ada di wilayah Jakarta. Kegiatan–kegiatan tersebut dapat berupa ketika mereka berkumpul dalam kegiatan “kocok arisan” maupun mendatangi secara personal orang yang tergabung dalam kelompok arisan tersebut. 1.9.2.2. Wawancara Wawancara yang akan dilakukan oleh peneliti berupa wawancara mendalam atau in-depth interview. Wawancara akan dilakukan senatural mungkin, seperti datang ketempat di mana para informan terbiasa berkumpul ketika mereka mengadakan pengajian, arisan, ataupun hanya sekedar shopping di mall, atau makan-makan di restoran. Dalam etnografi, wawancara digunakan juga sebagai cross check terhadap hasil observasi.
1.9.3. Analisis Data Melalui data yang diperoleh di lapangan, kemudian dilakukan analisis terhadap data tersebut menggunakan teori yang cocok. Penelitian ini menitikberatkan pada individu selaku konsumen dari produk-produk fashion yang
33
mereka kenakan sebagai gaya hidup. Berdasarkan hal tersebutlah analisis dari penelitian ini akan mengulas individu-individu yang menjadi objek kajian. Analisis akan menganalisa jawaban penelitian dari peserta arisan.
1.9.4. Struktur Penulisan Penelitian ini akan disajikan ke dalam lima bab. Bab I merupakan bab pendahuluan yang berisi latar belakang masalah mengapa penelitian ini dilakukan. Selanjutnya dalam bab ini juga terdapat tinjauan pustaka, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, metodologi penelitian dan terakhir struktur penulisan dari penelitian ini. Rumusan masalah penelitian yang disajikan dalam bab I ini akan dijawab dengan uraian lengkap pada bab-bab selanjutnya. Bab II penelitian ini memberikan gambaran mengenai perbedaan yang ada di kegiatan arisan terdahulu dan arisan sekarang. Pada bab ini juga akan dijabarkan awal mulanya ada kegiatan arisan khususnya di Indonesia. Jakarta sebagai kota metropolitan memfasilitasi berbagai kebutuhan hidup masyarakatnya sampai kebutuhan akan gaya hidup, termasuk kegiatan arisan yang menjadi objek penelitian ini. Pada bab II juga akan dijabarkan sedikit mengenai arisan dan perkembangannya saat ini sehingga menjadi gaya hidup. Bab III berisi pembahasan tentang bagaimana kegiatan arisan yang dilakukan sekelompok perempuan di Jakarta. Berasal dari kelas mana saja para anggota ini, bagaimana kelompok ini arisan ini terbentuk hingga kegiatankegiatan yang dilakukan. Arisan yang dilakukan bukan hanya sekedar kegiatan kumpul-kumpul saja, melainkan menjadi sebuah gaya hidup karena praktek
34
konsumsi di dalamnya menjadi lebih dominan dari pada hanya sekedar kegiatan kumpul-kumpul dalam ajang silaturrahmi. Bab IV akan lebih spesifik membongkar peranan penting sang ketua arisan yang berpengaruh besar dalam kelompok tersebut serta pola-pola konsumsi yang ada dalam kegiatan arisan tersebut. Praktek konsumsi akan benda-benda fashion yang memang menonjol dalam kegiatan arisanini. Dari praktek konsumsi itu kita dapat melihat arisan sebagai sebuah arena di mana di dalamnya terjadi pembentukan makna serta identitas si pelaku arisan tersebut. Dan pada bab terakhir, yakni bab V kesimpulan. Kesimpulan ini merupakan refleksi dari hasil penelitian yang diambil berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya.
35