Inovasi dan Terobosan Pembangunan Kesehatan Nasional PP dan PL 2009-2014 Sehubungan dengan kepindahan Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama, SpP(K), MARS, DTM&H, DTCE sebagai Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes), bersama ini disampaikan oleh Prof. Tjandra mengenai Inovasi dan Terobosan Pembangunan Kesehatan Nasional PP dan PL Tahun 2009-2014. Inovasi Dan Terobosan Pembangunan Kesehatan Nasional Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan 2009-2014 I. Target MDGs TB Sudah Tercapai Milenium Development Goals (MDGs) merupakan target internasional yang harus dicapai. Dalam rangka mencapai target MDGs dibidang Tuberkulosis (TB) dilakukan kerjasama dengan Organisasi Profesi, masyarakat dan Pemerintah Daerah. Kegiatan yang dilakukan : - Meningkatkan kemampuan tenaga kesehatan pengendalian TB di fasilitas pelayanan kesehatan. - Melakukan koordinasi lintas program/lintas sektor dan kemitraan untuk kegiatan pengendalian TB dengan institusi terkait di tingkat kabupaten. - Melaksanakan Pedoman dan SOP yang sudah disusun untuk tatalaksana pasien TB dan mengikuti standar pelayanan pasien TB (International StandardTuberculosis care). - Memperkuat tim pelatih TB di Provinsi (Provincial Training Team) untuk mengatasi kebutuhan tenaga terlatih di daerah. - Meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam mendukung pengendalian TB melalui POS TB Desa. Data tahun 2013 menunjukkan bahwa Target MDGs TB 2015 sudah tercapai. Hal ini terlihat dari Tingkat Pravelensi TB yang turun lebih dari 50 % dari 443/100.000 penduduk pada tahun 1990 menjadi 212/100.000 penduduk pada tahun 2013 dan dan angka mortalitas TB turun sebesar 49 % dari53/100.000 pada tahun 1990 menjadi 27/100.000 penduduk pada tahun 2012. Pelayanan Dan Pendanaan Pasien TB MDR Multi Drug Resistance (MDR) merupakan masalah dalam pengendalian TB. Sementara itu untuk mengendalikannya dilakukan upaya : - Pelaksanaan pelayanan berdasarkan SK Menkes 13/2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Manajemen Terpadu TB Resisten Obat - Tersusunnya Rencana Aksi Daerah untuk perencanaan kegiatan dan pendanaan dalam pelayanan pasien TB Resisten Obat di tingkat daerah
- Bekerjasama dengan Dinas sosial setempat untuk dukungan sosial ekonomi pada pasien TB Resisten Obat saat menjalani pengobatan - Meningkatkan jumlah fasyankes yang dapat melakukan tatalaksana MDR TB Sasaran: minimal 50% kasus TBMDR dijangkau dan diobati pertahun sejak 2015 II. Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal (TMN) (88,7% Kabupaten/Kota, 97,4% Penduduk, 2011) Tetanus Maternal Neonatal (TMN) merupakan salaah satu masalah kesehatan Ibu dan Anak. Kami melakukan upaya pengendalian masalah tersebut dengan cara : - Imunisasi tetanus pada bayi, anak sekolah dan Wanita Usia Subur. - Akselerasi Imunisasi Tetanus pada kabupaten/Kota dengan risiko tinggi. - Bersama Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak meningkatkan persalinan berisiko-aman dan perawatan tali pusar secara benar. - Melakukan pemantauan kasus Tetanus Neonatorum melalui verbal otopsi bagi semua kematian neonatal. WHO dan UNICEF telah melakukan Validasi MNTEdi Indonesia dan hasilnya pada tahun 2010 telah tercapai Eliminasi untuk regional 1 (Jawa-Bali) dan regional 2 (Sumatera), sedangkan tahun 2011 untuk regional 3 (Kalimantan, Sulawesi, NTT dan NTB). Tahun 2014 Indonesia dalam proses akhir untuk mencapai
Status Eliminasi Tetanus
Maternal Neonatal (TMN) secara nasional III. Annual Paracite Incidence Malaria Turun Lebih Dari 50% Dari Tahun 1990 Upaya pengendalian penyakit malaria dimulai sejak tahun 1959 dengan adanya KOPEM (Komando Pembasmian Malaria) di Pusat dan di Daerah didirikan Dinas Pembasmian Malaria yang merupakan integrasi institut Malaria, serta untuk pelatihan didirikan Pusat Latihan Malaria di Ciloto dan 4 pusat latihan lapangan di luar Jawa. Pada periode ini pengendalian malaria disebut sebagai periode pembasmian, dimana fokus pembasmian dilaksanakan di pulau Jawa, Bali dan Lampung. Kegiatan utama yang dilaksanakan adalah dengan penyemprotan insektisida, pengobatan dengan Klorokuin dan profilaksis.
Upaya pengendalian malaria terus dilakukan sehingga terjadi penurunan kasus malaria. Berikut adalah gambaran upaya yang dilakukan: - Kebijakan keharusan penegakan diagnosis malaria konfirmasi dengan laboratorium sejak tahun 2010 - Inisiasi pengobatan dengan ACT (Artesunat Combination Therapy) yang sudah dimulai pada tahun 2006, dan pada tahun 2010 menjadi kebijakan secara nasional. - Pembentukan Malaria Center sebagai pusat koordinasi kegiatan pengendalian malaria dari berbagai aspek dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan yang terkait di bawah koordinasi kepala daerah - Pembentukan Pos Malaria Desa (POSMALDES) sebagai wadah kemandirian masyarakat yang dibentuk oleh dan dari masyarakt khususnya di desa terpencil untuk membantu program dalam penemuan suspek malaria dan promosi kesehatan - Distribusi dan Penggunaan Kelambu Berinsektisida di daerah endemis untuk menghindari kontak gigitan nyamuk malaria Data menunjukkan bahwaAnnual Paracite Incidence (API) Malaria di Indonesia menurun lebih dari 50 % dimana pada tahun 1990 API sebesar 4,68 ‰ dan pada tahun 2012 menjadi 1,69% IV. Penurunan 50% Angka Kesakitan Diare (Tahun 2006; 423/1000 – Tahun 2012; 214/1000 ) Pengendalian Diare difokuskan kepada pencegahan kasus diare dimasyarakat dan pelaksanaan tatalaksana kasus diare di fasilitas pelayanan kesehatan. Berbagai upaya untuk menurunkan angka kesakitan diare antara lain melalui: - Penggunaan zink dalam pengobatan kasus diare - Meninkatkan penyuluhan pencegahan kasus diare di masyarakat - Meningkatkan kapasitas petugas kesehatan di fasilitas pelayaanan kesehatan terhadap tatalaksana kasus diare - Meningkatkan jumlah kabupaten/kota yang melaksanakan sosialisasi tentang diare, upaya penatalaksanaan secara dini dan rehidrasi oral - Membentuk dan terlaksanaanya secara aktif kegiatan pojok oralit di puskesmas dan posyandu sebagai bentuk partisipasi masyarakat - Meningkatkan jumlahkabupaten/kota yang melaksanakan Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa (SKD-KLB) Diare
Melalui peningkatan upaya tersebut menunjukkan hasil dimana angka kesakitan diare (semua umur) melalui Survei Rumah Tangga menurun terus sejak 2006 hingga terakhir tahun 2012. V. Penurunan 50% Kematian Akibat Campak (2000-2010) Pemberian imunisasi campak telah memberikan kontribusi nyata dalam penurunan angka kematian akibat campak sebesar 50% pada tahun 2010 dibandingkan dengan tahun 2000. Keberhasilan tersebut antara lain dilakukan melalui upaya : - Peningkatan peran swasta (Rumah sakit swasta, poliklinik/praktek swasta)dalam pelaksanaan kegiatan imunisasi - Pelaksanaan imunisasi daerah sulit dengan strategiSOS (Sustainable Outreach Services). - Perbaikan sistem pencatatan dan pelaporan dengan aplikasi web. - Pelaksanaan imunisasi tambahan pada desa dengan cakupan rendah(Back log fighting atau crash program) - Advokasi kepada Pemerintah daerah dalam peningkatan komitment terhadap imunisasi terutama dalam penyediaan anggaran Transport petugas, Supervisi, Pengadaan dan pemeliharaan sarana coldchain, dan Distribusi logistik imunisasi. - Peningkatan kesadaran masyarakat melalui pendekatan sosial budaya, agama, kerjasama lintas program dan lintas sektor serta organisasi profesi dan kemasyarakatan melalui peran aktif kader kesehatan. Angka kematian campak menurun 50%, dimana berdasarkan sumber data Surveilans dengan modelling parameter, Estimasi Angka kematian campak pada tahun 2000 sebesar 10.336, tahun 2010 sebesar 3.731. VI. KLB Rabies Bali (2010) Ditanggulangi Sepenuhnya (2013) Rabies merupakan penyakit yang mematikan baik pada kasus manusia maupun hewan. Pada tahun 2010 Bali mengalami Kejadian Luar Biasa (KLB) Rabies dimana terjadi kasus Lyssa/Rabies pada manusia sebanyak 82 orang, sehingga dilakukan berbagai upaya oleh Pemerintah dan seluruh lapisan maasyarakat dalam rangka penanggulangan Rabies yang meliputi : - Pembentukan Tim Terpadu Penanggulangan KLB Rabies antara Kemenkes dan Kementan - Pembentukan dan penguatan Rabies Center / Pusat Penanganan Kasus Gigitan Hewan Penular Rabies di Puskesmas atau RS pada daerah yang mempunyai kasus tinggi - Pembuatan Pedoman Penanggulangan Rabies di Indonesia dan penyediaan media KIE - Sosialisasi tentang pencegahan rabies melaluitalkshow di radio-radio
- Pelatihan Petugas Kesehatan di daerah yang mempunyai kasus tinggi - Membantu pelaksanaan vaksinasi anjing secara massal - Melaksanakan pertemuan Tim Ahli dan Tim Koordinasi Pengendalian Rabies di Pusat dan Daerah - Penyediaan Vaksin anti Rabes (VAR) dan Serum Anti Rabies (SAR) di Pusat dan Daerah Data Tahun 2013 menunjukkan bahwa KLB Rabies telah berhasil ditanggulangi sepenuhnya dimana jumlah kasus Lyssa/Rabies pada manusia menurun dari 82 kasus pada tahun 2010 menjadi hanya 1 kasus pada tahun 2013. VII. Penurunan Bermakna Kasus Flu Burung Flu burung menjadi masalah kesehatan masyarakat yang sangat penting di Indonesia dan juga masih merupakan masalah kedaruratan yang menjadi kepedulian internasional. Oleh karena itu Indonesia memberikan prioritas yang tinggi pada flu burung dalam kegiatan pencegahan dan pengendalian penyakit menular ini mengingatselama virus flu burung H5N1 masih aktif bersirkulasi pada populasi unggas kemungkinan manusia tertular virus Flu Burung haruslah diantisipasi dengan seksama. Berbagai kegiatan yang dilakukan untuk pengendalian Flu Burung meliputi: - Melakukan Kegiatan Intergrasi dengan Ditjen Peternakan untuk pengendalian Flu burung pada unggas dan manusia. - Berpartisipasi aktif dalam Komnas Zoonosis. - Melakukan Penguatan Tim Pengendalian Flu Burung di Pusat, 33 Provinsi dan 347 Kabupaten/Kota. - Pencanangan Gerakan Peternak Sehat Ternak Sehat (PSTS) di Sukabumitahun 2010 oleh Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian. - Melakukan kajian besaran masalah Influenza di Indonesia. - Melakukan Harmonisasi Surveilans Epidemiologi Avian Influenza di Jakarta Timur. - Sosialisasi Deteksi dini dan tatalaksana kasus FluBurung bagi petugas di pelayanan kesehatan dasar. Kegiatan ini dimulai sejak tahun 2008 dan telah dilatih sebanyak 15.000petugas kesehatan dasar di provinsi tertular Flu Burung pada manusia di 16 Provinsi - Pelatihan Komunikasi Risiko kepada para Pemangku Kebijakan pada sektor swasta dan pemerintahan. - Ketersediaan 100 Rumah Sakit Rujukan Kasus Flu Burung dan Obat Oseltamivir.
Data tahun 2013 menunjukkan penurunan bermakna kasus Flu Burung pada manusia di Indonesia dimana pada tahun 2006 yang sebanyak 55 kasus dan pada tahun 2013 menjadi 3 kasus. VIII. Penurunan 27 % Jumlah Kematian Pada Arus Mudik Lebaran (2008-2013) Upaya kesehatan pada situasi khusus mudik Lebaran merupakan salah satu upaya kesehatan matra lapangan. Melalui upaya kesehatan yang dilaksanakan dengan melibatkan seluruh lapisan maasyarakat pada saat arus mudik lebaran diharapkan dapat mencegah terjadinya masalah-masalah kesehatan saat mudik termasuk mencegah terjadinya kematian. Untuk itu dilakukan berbagai kegiatan yang meliputi: - Peningkatan jumlah Pos Kesehatan. - Penyebarluasan Media KIE untuk masyarakat terkait TIPS Sehat, Aman dan selamat saat Mudik. - Penyuluhan Kesehatan di terminal,pelabuhan,stasiun, dan bandara udara dan tempattempat peristirahatan pemudik serta tempat-tempat wisata. - Melaksanakan Apel Siaga Pelayanan Mudik Lebaran Bidang Kesehatan dalam menghadapi Arus Mudik setiap tahun sejak tahun 2009. - Pemeriksaan Kesehatan bagi Pengemudi Bus yang meliputi pemeriksaan Amfetamin, Alkohol, Gula Darah Sewaktu dan Tekanan Darah sejak 2011. - Menyiapkan dukungan logistik berupa paket obat pelayanan dasar, emergency kit, leaflet, spanduk dan banner. Data tahun 2013 menunjukkan penurunan jumlah kematian pada saat aruas mudik sebesar 27 % dimana pada tahun 2008 jumlah kematian mencapai 1092 jiwa menjadi 795 jiwa di tahun 2013.
IX.
Implementasi
Layanan
Komprehensif
Berkesinambungan
(LKB)
Dalam
Pengendalian HIV-AIDS Dalam rangka pelaksanaan kebijakan Pengendalian HIV-AIDS Tahun 2010-2014 yang dilakukan dengan cara meningkatkan advokasi, sosialisasi, dan pengembangan kapasitas, kemampuan
manajemen
dan profesionalisme dalam
pengendalian
HIV-AIDS,
aksesibilitas dan kualitas pengendalian HIV-AIDS serta jangkauan pelayanan pada kelompok masyarakat berisiko tinggi dilakukan Implementasi Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB).
Berbagai kegiatan yang dilakukan meliputi : - Pelatihan pada tenaga kesehatan dan kader pada Rumah sakit dan 5 Puskesmas disekitar wilayah RS tersebut begitu juga kader di wilayah kerja Puskesmas tersebut. - Penyediaan perangkat peralatan penunjang yang mendukung kegiatan LKB seperti layanan IMS di Puskesmas. - Penyediaan mesin CD4 di RS provinsi dan RS daerah rujukan LKB. - Bekerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat dalam meningkatan akses pelayanan. Pada Tahun 2013 jumlah Kabupaten /Kota yang memiliki Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB) telah mencapai 75 Kabupaten/Kota dibandingkan tahun 2012 yang baru mencapai 15 Kabupaten /Kota. X. Treatment as Prevention Dalam Pengendalian HIV-AIDS Pengendalian HIV-AIDS memasuki era baru dengan mengedepankan Treatment as prevention untuk meningkatkan pencegahan terjadinya transmisi penularan. Berbagai kegiatan yang dilakukan meliputi : - Melaksanakan Workshop Strategic use of ARV di 13 Kabupaten /Kota dengan melibatkan semuastakeholder terkait untuk mendukung dan mendapatkan komitmen kegiatan tersebut - Memperluas cakupan tes HIV dengan melakukan penawaran tes pada populasi berisiko dan kelompok tertentu ( ibu hamil, pasien TB dan pasien Hepatitis ) - Penawaran pengobatan ARV dini kepada kelompok tersebut tanpa memandang nilai CD4 - Penyediaan FDC ARV untuk meningkatkan kepatuhan dan retensi pengobatan ARV - Penyediaan mesin CD4 di RS provinsi dan RS daerah rujukan LKB - Penyedian mesin Viral Load, tahap awal di tempatkan di beberapa RS provinsi XI. Penggunaan EWARS Untuk Deteksi Dini KLB (2009) Early Warning and Respons System/EWARS atau Sistem Kewaspadaan Dini dan Respon (SKDR)merupakan penguatan dari SKD – KLB (Sistem Kewaspadaan Dini-Kejadian Luar Biasa). Melalui Penggunaan EWARS ini diharapkan terjadi peningkatan dalam deteksi dini dan respon terhadap peningkatan trend kasus penyakit khususnya yang berpotensi menimbulkan KLB. Upaya yang dilakukan dalam rangka penggunaan EWARS antara lain :
- Menyiapkan sistem piranti lunak (software) yang dapat memberikan sinyal peringatan dini (alert) peningkatan kasus penyakit berpotensi KLB - Menyiapkan Algoritma Deteksi Dini dan Respon penyakit berpotensi KLB - Melakukan pelatihan pemanfaatan piranti lunak SKDR dan peningkatan kemampuan melakukan deteksi dini dan respon bagi petugas kesehatan - Melakukan advokasi dan sosialisasi kepada Pemerintah Daerah untuk implementasi kegiatan termasuk dalam penyediaan anggaran operasional dan kesinambungan kegiatan Data sampai tahun 2013 menunjukkan EWARS telah diaplikasikan pada 24 provinsi di 371 Kabupaten/Kota dan 7.529 Puskesmas XII. Dimulainya Program Nasional Pengendalian Hepatitis (2010) Hepatitis merupakan program yang perlu kita kembangkan, karena sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk di Indonesia. Hasil Riset Kesehatan Dasar Biomedis yang dilakukan oleh Badan Litbangkes tahun 2007 menunjukkan prevalensi Hepatitis B sebesar 9,4%, ini menandakan bahwa Indonesia merupakan negara dengan endemisitas tinggi. (Negara dengan HBsAg (+) > 8% merupakan negara dengan endemisitas tinggi). Dalam rangka pengendalian Hepatitis di Indonesia telah dilakukan berbagai upaya yang meliputi : - Indonesia menjadi sponsor utama bersama Brazil dalam menghasilkan resolusi mengenai Hepatitis Virus pada sidang WHA (World Health Assembly) ke 63 di Geneva tanggal 20 Mei 2010. Inti dari Resoluasi adalah menyerukan semua negara di dunia supaya melakukan penanganan hepatitis B secara komprehensif, mulai dari pencegahan sampai pengobatan, meliputi berbagai aspek termasuk Surveilans dan penelitian - Meningkatkan jumlah bayi yang mendapatkan imunisasi hepatitis B < 12 jam - Melaksanakan Skrining Hepatitis B pada 5.000 Ibu Hamil dan 1.000 Petugas Kesehatan di 42 Puskesmas di DKI Jakarta. - Tahun 2012 telah disusun Pedoman Pengendalian Hepatitis bersama pakar dari perguruan tinggi dan Organisasi Profesi - Meningkatnya jumlah tenaga kesehatan yang mendapatkan vaksinasi hepatitis B XIII. Dimulainya Program Posbindu PTM (2011) Posbindu PTM (POS Pembinaan Terpadu Pengendalian Penyakit Tidak Menular) merupakan upaya monitoring dan deteksi dini faktor risiko penyakit tidak menular di masyarakat.
Untuk itu dilakukan berbagai kegiatan antara lain: - Melakukan advokasi dan sosialisasi kepada Lintas Program dan Lintas Sektor terkait - Melakukan Pelatihan Pengendalian Faktor Risiko PTM di Masyarakat kepada Petugas dan Kader Kesehatan - Menyediakan alat kesehatan dalam rangka deteksi dini faktor risiko PTM - Menyediakan media KIE Sejak mulai dikembangkan pada tahun 2011 Posbindu PTM pada tahun 2013 telah berkembang menjadi 7225 posbindu di seluruh Indonesia XIV. Gerakan Nasional Perumpuan Melawan Kanker (2011) Program deteksi dini yang dilaksanakan adalah Deteksi dini kanker leher rahim dilakukan menggunakan metode Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) yang bertujuan untuk menemukan lesi prakanker, pemeriksaan dengan cara mengamati dengan menggunakan spekulum melihat leher rahim yang telah dipulas dengan asam asetat atau asam cuka 3 - 5 % dan deteksi dini kanker payudara menggunakan metode pemeriksaan klinis payudara oleh petugas kesehatan terlatih atauClinicial Breast Examination (CBE) Upaya yang dilakukan : - Membentuk Tim Trainer yang saat ini telah berjumlah 405 orang yang terdiri dari Onkolog obsgyn, onkolog bedah, obsgyn,dokter bedah, dokter umum, dan bidan. - Melakukan pelatihan kepada petugas kesehatan di puskesmas, saat ini telah ada 1682 provider (dokter umum dan bidan). - Pelaksanaan deteksi dini telah dilaksanakan di 32 provinsi, 207 kabupaten dan 717 puskesmas serta cakupan deteksi dini adalah 644.951 orang. - Meningkatkan penyuluhan kepada masyarakat untuk memiliki kesadaran melakukan deteksi dini penyakit kanker. - Melakukan deteksi dini secara terintegrasi dengan program Infeksi Menular seksual ( IMS) dan program Keluarga Berencana. - Meningkatkan kerja sama dengan organisasi profesi, SIKIB, Yayasan Kanker Indonesia (YKI), Female Cancer Programme(FCP) serta organisasi masyarakat lainnya. XV. Berbagai Upaya Pengendalian Merokok Jumlah Kematian akibat rokok terus meningkat dari 41,75 persen pada tahun 1995 menjadi 59,7 persen di 2007. "35 persen diantaranya akibat rokok,". Selain itu Dalam Survei
Ekonomi Nasional 2006 disebutkan penduduk miskin menghabiskan 12,6 persen penghasilannya untuk konsumsi rokok. Untuk itu dilakukan berbagai kegiatan dalam rangka pengendalian merokok yang antara lain meliputi : - Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan (PP 109/2012). - Kesepakatan Aliansi Bupati/Walikota dalam rangka peningkatan jumlah Kabupaten/Kota yang memiliki Kawasan Tanpa Rokok. - Penetapan Peraturan Menteri Kesehatan No. 28 Tahun 2012 tentang Pencantuman Peringatan Kesehatan dan Informasi Kesehatan Pada Kemasan Produk Tembakau. - Penetapan Permenkes No. 40 tahun 2013 tentang Peta Jalan Pengendalian Dampak Konsumsi Rokok bagi Kesehatan yang bertujuan untuk mewujudkan penyelenggaraan upaya pengendalian dampak konsumsi rokok yang terintegrasi, efektif, dan efisien. - Melakukan Konseling Berhenti Merokok di Puskesmas dan Pelayanan Kesehatan Primer lainnya. Data menunjukkan bahwa jumlah Provinsi yang memiliki Peraturan Kawasan Tanpa Rokok meningkat dimana pada tahun 2013 telah mencapai 31 Provinsi sedangkan pada tahun 2010 hanya sebanyak 16 Provinsi. Demikian juga dengan jumlah Kabupaten/Kota yang memiliki Peraturan Kawasan Tanpa Rokok juga meningkat dimana pada tahun 2013 telah mencapai 113 Kabupaten/Kota sedangkan pada tahun 2010 hanya sebanyak 28 Kabupaten/Kota. XVI. Sistem Informasi Berbasis Teknologi Dimulai Sejak Tahun 2010 Kebutuhan informasi dan data terkait pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan menjadi suatu hal yang sangat penting untuk menjadi dasar dalam pengambilan Kebijakan terkait Program dan Kegiatan yang akan dilaksanakan. Dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut dilakukan berbagai upaya yang meliputi: - Peningkatan kapasitasperangkat keras/hardware. - Peningkatan akses jaringan internet untuk memudahkan implementasi sistem informasi. - Pengembangan web site yang berbasis kebutuhan informasi dalam mendukung program pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan. - Melaksanakan
sosialisasi
dan
advokasi
kepada
Pemangku
Kepentingan
implementasi dan kesinambungan pelaksanaan sistem informasi berbasis teknologi. - Melaksanakan Pelatihan bagi pengelola sistem informasi.
untuk
Beberapa Sistem Informasi Berbasis Teknologi yang telah dikembangan : - www.pppl.depkes.go.id - www.penyakitmenular.info - website UPT Ditjen PP dan PL - Sistem Informasi Terpadu TB (SITT) - Sistem Informasi HIV/AIDS (SIHA) - Sistem Informasi Imunisasi - Monev STBM - Portal web PPTM - Sistem Informasi Malaria (SISMAL) XVII. Imunisasi Pentavalen Dimulai (2013) Program imunisasi diperkuat dengan penggunaan vaksin pentavalen (DPT-HB-Hib). Vaksin ini adalah pengembangan vaksin dari tetravalen yang dulu hanya 4 antigen yaitu DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus ) dan Hepatitis B, sekarang di tambah dengan antigen HiB (Haemophilus Influenzae Type B). Dengan digunakan vaksin pentavalen (DPT-HB-Hib) bersama vaksin campak, polio dan BCG, maka kalau setiap anak bisa menyelesaikan imunisasi dasar lengkap bisa menyelamatkan anak-anak kita dari 8 penyakit yaitu polio, TBC, campak, difteri, pertusis (batuk rejan), tetanus, hepatitis B dan Pneumonia serta Meningitis pada anak. Dalam rangka pelaksanaan imunisasi dengan penggunaan vaksin pentavalen dilakukan berbagai antara lain : - Advokasi kepada pemangku kebijakan - Sosialisasi adanya vaksin baru kepada seluruh lapisan masyarakat termasuk, tokoh agama, budaya dan lain-lain - Pelatihan terhadap pengelola program dan pelaksanaan imunisasi dilapangan - Penyebarluasan Media KIE melalui media cetak maupun elektronik. - Penyediaan vaksin dan logistik pendukung Tahun 2014 imunisasi pentavalen akan dilaksanakan di seluruh provinsi XVIII. Program Adaptasi Perubahan Iklim Di Sektor Kesehatan (2013) Perubahan iklim yangsecara faktual sudah terjadi di tingkat lokal, regional maupun global memberi konsekuensi berupa terganggunya persyaratan mendasar untuk kesehatan seperti udara bersih, airminum yang aman,makanan yang cukup dan tempat tinggal aman.
Dampak kesehatan yang timbul akibat perubahan iklim dipengaruhi variabel iklim (suhu, curah hujan) atau variabel antara (iklim ekstrim, kenaikan permukaan air laut, bencana banjir/longsor). Meningkatnya suhu udara di beberapa wilayah Indonesia akan diperkirakan akan meningkatnya penyakit tular vektor seperti malaria, DBD, Ch.