Initiative ASEAN Integration (IAI) dan Masalah Kesenjangan Pembangunan ASEAN Monica Agnes Sylvia, Dr. Drs. Fredy Buhama Lumban Tobing, M.Si Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Email:
[email protected]
Abstrak Pasca proses perluasan keanggotaan di akhir dekade 1990-an, diversitas ASEAN telah semakin meningkat baik secara politik maupun ekonomi. Kondisi ini telah memunculkan kondisi two-tiered ASEAN dimana terdapat kesenjangan pembangunan yang besar antara ASEAN-6 dan CLMV. Hal ini menghambat upaya negara-negara anggota ASEAN dalam mencapai Komunitas Ekonomi ASEAN 2015. Berkaitan dengan hal ini, IAI dirancang sebagai sebuah instrumen kerjasama pembangunan regional dalam mempersempit kesenjangan pembangunan di antara negara-negara anggota ASEAN maupun di dalam negara-negara tersebut serta untuk mempercepat integrasi ekonomi negara-negara yang baru bergabung dengan ASEAN (Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam). Semenjak implementasinya pada tahun 2002 hingga sekarang, masih terdapat kesenjangan pembangunan yang signifikan, khususnya antara ASEAN-6 dan CLMV. Berkaitan dengan hal ini, penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi dan menganalisis faktor-faktor yang menghambat IAI dalam mempersempit kesenjangan pembangunan di ASEAN. . Kata Kunci: Initiative ASEAN Integration (IAI), mempersempit kesenjangan pembangunan, kerjasama pembangunan regional.
Initiative ASEAN Integration (IAI) and The ASEAN Development Gap Problem
Abstract Following the enlargement process in the late 1990 decade, ASEAN has become increasingly diverse, politically and economically. This condition has generated two-tier ASEAN where the wide development gap exists between ASEAN-6 and CLMV. It obstructs the effort of ASEAN member states in achieving ASEAN Economic Community in 2015. In this regard, IAI is designed as an instrument of regional development cooperation in narrowing development gap among and within ASEAN member states as well as accelerating the economic integration of the newer member states. Notwithstanding, since the implementation in 2002 until now, the development gap, especially between ASEAN-6 and CLMV, remains significant. In this regard, this research aims to explore and examine some factors that inhibit IAI in narrowing the development gap in ASEAN. Keyword(s): Initiative ASEAN Integration (IAI), narrowing development gap, regional development cooperation.
Pendahuluan Fenomena regionalisme semakin meningkat pasca berakhirnya Perang Dingin yang menghilangkan dua blok dalam sistem internasional. Salah satu perwujudan regionalisme adalah melalui keberadaan ASEAN (Association of Southeast Asia Nations) sebagai sebuah institusi regional di Asia Tenggara. Di awal terbentuknya pada tahun 1967, ASEAN beranggotakan lima negara, yakni Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand. Brunei Darussalam kemudian bergabung pada tahun 1984. Pada dekade 1990-an, terjadi 1 Initiative Asean..., Monica Agnes Sylvia, FISIP, 2014
perluasan keanggotaan ASEAN dengan bergabungnya empat negara Indochina, yakni Vietnam (18 Juli 1995), Laos dan Burma yang kemudian disebut dengan Myanmar pada (23 Juli 1997) serta Kamboja (30 April 1999). Pasca perluasan keanggotaan ini, terjadi peningkatan diversitas di antara negara-negara anggota ASEAN. Diversitas tersebut mencakup tingkat pembangunan, sistem politik, lingkungan investasi dan struktur ekonomi.1 Diversitas tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.2 Negara
Ukuran, km2
Populasi
GDP Per
GDP (US$
(juta)
Kapita (US$)
juta)
Indonesia
1.919
200
2,503
501
Malaysia
333
21,7
6,787
147
Filipina
300
71,8
1,765
127
Singapura
0,6
3,1
15,154
47
Thailand
514
61,4
5,021
308
Inner Core
3.067
358
3,156
1130
Brunei
5,8
0,3
14,301
0,4
Kamboja
181
10,3
1,302
13
Laos
237
5
1,311
0,7
Myanmar
678
48,3
0,719
35
Vietnam
330
76,9
1,339
103
Periferi
1.432
140,8
1,080
152,1
ASEAN-10
4.499
498,8
2,570
1.282,1
Darussalam
Tabel diatas memperlihatkan ukuran masing-masing negara anggota ASEAN berdasarkan luas wilayah, populasi dan pendapatan pada masa awal perluasan keanggotaan ASEAN di tahun 1997. Tabel tersebut juga memperlihatkan bahwa Singapura menjadi negara yang memiliki pendapatan perkapita tertinggi dan Myanmar menjadi negara yang memiliki pendapatan perkapita terendah di ASEAN. Apabila dikalkulasi, pendapatan perkapita Singapura 21 kali lebih besar dari Myanmar. Pada tahun 1999, dua tahun pasca perluasan keanggotaan ASEAN, pendapatan perkapita Singapura sebesar US$27,024 dan Kamboja 1
OECD, “Southeast Asian Economic Outlook 2013: With Perspectives on China and India”, , http://dx.doi.org/10.1787/saeo-2013-en, 242, (diakses pada 19 April 2014). 2 Donghyun Park, “Intra-Southeast Asian Income Convergence”, ASEAN Economic Bulletin 17, no. 3 (2000), 287.
2 Initiative Asean..., Monica Agnes Sylvia, FISIP, 2014
sebesar US$1,286.3 Lima belas tahun pasca perluasan, kondisi kesenjangan masih terjadi di ASEAN. Kondisi tersebut dapat dilihat pada tabel indikator dasar ASEAN tahun 2012 berikut ini.4 Negara Indonesia Malaysia Filipina Singapura Thailand Brunei Darussalam Kamboja Laos Myanmar Vietnam
Ukuran, km2 (‘000) 1.919 333 300 0,6 514 5,8
Populasi (juta) 246 29 96 5 66 0,4
GDP Per Kapita (US$) 3,557 10,432 2,587 52,052 5,480 41,127
GDP (milyar US$) 878 305 250 276 365 16
181 237 678 330
14 6 52 88
0,944 1,417 n/a 1,755
14 9 n/a 155
Tabel diatas memperlihatkan adanya peningkatan pembangunan negara-negara ASEAN. Namun demikian, kesenjangan masih sangat signifikan bahkan cenderung semakin senjang. Hal tersebut dapat dilihat dari pendapatan perkapita Singapura yang sebesar 57 kali pendapatan perkapita Kamboja. Apabila dibandingkan dengan kondisi pada tahun 1997, kesenjangan negara dengan pendapatan perkapita terbesar dengan terkecil sebesar 21 kali. Kondisi perbedaan tingkatan pembangunan tersebut membentuk struktur pengelompokkan di antara ASEAN-6 yang terdiri atas Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Singapura dan Brunei Darussalam dengan CLMV yang terdiri atas Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam. Perbedaan tingkatan pembangunan tersebut menciptakan masalah kesenjangan pembangunan di ASEAN yang mencakup aspek ekonomi dan sosial. Kesenjangan pembangunan tersebut dicoba untuk ditinjau berdasarkan beberapa indikator, salah satunya HDI (Human Development Index) yang dikeluarkan oleh UNDP (United Nations Development Programme) dengan mencakup tiga aspek yakni kesehatan, pendidikan dan pendapatan. Meskipun terdapat tanda positif mengenai kesenjangan yang semakin berkonvergensi, laju konvergensi dan jarak relatif antara kedua kelompok tersebut masih signifikan.5 3
Phar Kim Beng, “The problems of a two-tiered ASEAN,” 20 April 2014, http://atimes.com/atimes/Southeast_Asia/EB20Ae03.html. 4 Data dikumpulkan dari http://data.worldbank.org/. 5 Mark McGillivray, Simon Feeny dan Sasi Iamsiraroj, “Understanding the ASEAN Development Gap,” dalam Narrowing the Development Gap in ASEAN: Drivers and Policy Options, eds. Mark McGillivray dan David Carpenter, (New York: Routledge, 2013), 29.
3 Initiative Asean..., Monica Agnes Sylvia, FISIP, 2014
Kondisi kesenjangan pembangunan dalam struktur two-tier seperti yang telah dijelaskan sebelumnya dapat menjadi tantangan sekaligus hambatan besar bagi upaya untuk mencapai integrasi kawasan melalui Komunitas ASEAN 2015 yang disepakati pada ASEAN Summit tahun 1997 di Kuala Lumpur, Malaysia. Menyadari hal tersebut, Narrowing Development Gap (NDG) muncul sebagai kerangka ASEAN dalam mengatasi sejumlah disparitas dalam berbagai bentuk. Dalam kerangka NDG, upaya mengurangi kesenjangan pembangunan di ASEAN dicapai dengan cara mendorong sejumlah negara yang tertinggal untuk mengejar ketertinggalannya, bukan memotong tingkat pembangunan yang telah dicapai secara pesat oleh suatu negara. Secara sederhana, konsep tersebut dapat dipahami berdasarkan gambar di bawah ini.6
Salah satu strategi NDG yang paling terkenal adalah Initiative ASEAN Integration (IAI). IAI dibentuk berdasarkan pengadopsian dokumen Ha Noi Declaration on Narrowing the Development Gap for Closer ASEAN Integration pada tahun 2001. Dalam deklarasi ini dinyatakan mengenai inisiasi pembentukan IAI sebagai sebuah upaya untuk mengurangi kesenjangan pembangunan dan mempercepat integrasi ekonomi antara anggota-anggota ASEAN yang baru, yakni Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam.7 IAI ditujukan untuk menjadi “kerangka” secara “esensial” bagi “negara-negara anggota ASEAN yang lebih berkembang” untuk “membantu negara-negara anggota ASEAN lainnya yang paling membutuhkan.”8
6
Bahan Presentasi NDG Lecture Series No. 2, Japan International Cooperation Agency (JICA), “A New Modality for IAI Work Plan 2”, http://www.asean.org/images/2013/economic/iai/NDG%20Lecture%20Series%20%20No.%202%20Regional%2 0Cooperation%20in%20NDG.zip (diakses pada 17 Mei 2013). 7 “Overview Intitiative for ASEAN Integration,” ASEAN, diakses 9 September 2013, http://www.asean.org/communities/asean-economic-community/category/overview-ndg-iai-iai-work-plan-iaitask-force-idcf. 8 Rodolfo C. Severino, “The Initiative for ASEAN Integration: Mid-Term Review of The Work Plan,” diakses 1 Agustus 2013, http://www.asean.org/images/2012/Economic/IAI/Documents/IAI%20Work%20Plan%20I%20MTR%20Report. pdf.
4 Initiative Asean..., Monica Agnes Sylvia, FISIP, 2014
Dalam pelaksanaannya, IAI melibatkan keterkaitan kerjasama antara ASEAN-6, CLMV dan Dialogue Partners serta pihak eksternal. Kerjasama ini diwujudkan dalam bentuk pemberian bantuan yang mencakup pemberian dana, kajian, program pelatihan dan implementasi kebijakan melalui sejumlah proyek. IAI terdiri atas sub-instrumen yang mencakup IAI Work Plans, IAI Development Forum (IDCF) IAI Task Force dan Initiative ASEAN Integration (IAI) and Narrowing Development Gap (NDG) Division di ASEAN Secretariat. IAI Work Plans yang terdiri atas IAI Work Plan I (2002-2008) dan IAI Work Plan II (2009-2015). Adapun sebagian besar dari implementasi IAI dilakukan melalui IAI Work Plans sehingga IAI Work Plan menjadi instrumen utama pelaksanaan IAI. Negara-negara ASEAN-6 telah berkontribusi sebesar US$ 33,5 juta bagi IAI Work Plan I. Sementara itu, 12 Dialogue Partners dan agensi pembangunan telah memberikan bantuan dana terhadap 84 proyek dengan total US$ 18,4 juta, ¥ 87,516,000 dan € 179,948.9 Per tanggal 4 Oktober 2012, sejumlah 232 proyek di bawah IAI Work Plan I telah selesai dilakukan.10 Keberadaan dokumen-dokumen legal ASEAN serta implementasi IAI menjadi justifikasi keseriusan IAI untuk mengurangi kesenjangan pembangunan akibat kondisi ketertinggalan CLMV dalam hal ekonomi dan pembangunan. Meskipun terdapat upaya serius dalam mengatasi hal ini, masih terdapat kesenjangan yang besar antara CLMV dengan negara-negara anggota ASEAN lainnya.11 Berdasarkan penjelasan tersebut, penelitian ini akan menjawab pertanyaan “Mengapa Initiative ASEAN Integration (IAI) kurang optimal dalam mengurangi kesenjangan pembangunan ASEAN?” (2002-2013). Pada dasarnya terdapat sejumlah penelitian yang telah dilakukan sebelumnya yang berkaitan dengan fenomena kesenjangan pembangunan di kawasan lain maupun juga di ASEAN. Namun demikian, penelitian-penelitian tersebut cenderung untuk membahas masalah masalah kesenjangan pembangunan dan instrumen kerjasama di kawasan dari perspektif ekonometrik, geospasial maupun secara teknis implementasi kebijakan tersebut.12 9
“Status Update of the IAI Work Plan I (2002-2008),” ASEAN Secretariat, diakses 7 September 2013, http://www.asean.org/images/2012/Economic/IAI/IAI%20Work%20Plan%20I.pdf. 10 Ibid. 11 Pou Sovachana, “The Challenges of the CLMV Countries and The Role of Development Partners,” diakses 10 Maret 2014, www.aseancenter.org.tw/upload/files/outlook008-05.pdf. 12 Lihat Mari-Carmen Puigcerver-Peñalver, “The Impact of Structural Funds Policy on European Regions´ Growth: A Theoretical and Empirical Approach,” The European Journal of Comparative Economics 4, no. 2, (2007); Andres Rodriguez-Pose dan Ugo Fratesi, “Between Development and Social Policies: The Impact of European Structural Funds in Objective 1 Regions,” Regional Studies 38, no.1, (2004); Michael H. Stierle, “Conditions for a contribution by the Structural Funds to real convergence of the Recently Acceded Member States,” diakses 8 Desember 2013, http://www-sre.wu.ac.at/ersa/ersaconfs/ersa05/papers/596.pdf.; Basil Jones, “Economic Integration and Convergence of Per Capita Income in West Africa,” African Development Review 14, no. 1, (2002); Gilles Dufrénot dan Gilles Sanon, “Testing Real Convergence in the ECOWAS countries in Presence of Heterogeneous Long-Run Growths : A Panel Data Study,” CREDIT Research Paper no. 05/14.
5 Initiative Asean..., Monica Agnes Sylvia, FISIP, 2014
Penelitian ini berfokus untuk meneliti faktor-faktor yang dapat menghambat optimalitas instrumen kerjasama regional dalam mengatasi masalah kesenjangan pembangunan dari perspektif Ilmu Hubungan Internasional.
Teori Kerjasama Kerjasama dijelaskan sebagai kondisi yang melibatkan terjadinya tawar menawar antara dua negara atau lebih yang selanjutnya mengubah perilaku dan/atau preferensi negaranegara tersebut dengan tujuan untuk mendapatkan tindakan resiprokal satu sama lain.13 Adapun tujuan dari kerjasama adalah untuk mencapai situasi dimana negara-negara menyelaraskan perilaku mereka dengan tujuan untuk mencapai sejumlah tujuan penting yang tidak dapat dicapai sendiri.14 Terdapat beberapa faktor yang menjelaskan tentang kemunculan kerjasama.15 Faktor pertama adalah kepentingan negara-negara yang terlibat. Dalam kerjasama dibutuhkan keberadaan kepentingan yang saling tumpang tindih. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam menentukan apakah negara akan mengambil keputusan untuk bekerjasama, para pemimpin negara akan mempertimbangkan keuntungan yang didapat dari kerjasama serta kerugian yang akan didapatnya apabila tidak bergabung dalam pengaturan kerjasama tersebut. Faktor kedua adalah relasi antara negara-negara yang terlibat. Relasi antara negaranegara berkaitan erat dengan kalkulasi tiap-tiap negara mengenai keterlibatannya dalam kerjasama. Adapun keberadaan rezim atau institusi yang telah ada sebelumnya untuk memfasilitasi terjadinya kerjasama merupakan hal yang mempengaruhi kalkulasi tersebut. Selain itu, dalam konteks kondisi anarki dan ketidakpastian, institusi menyediakan informasi yang dapat secara positif mempengaruhi keputusan nasional untuk melanjutkan dan/atau memperluas kerjasama dengan negara lainnya. Institusi dapat membantu mengurangi kekhawatiran negara akan tindakan cheating yang dilakukan oleh negara lain. Institusi juga mengakhiri sejumlah pilihan-pilihan diantara prosedur dan pengaturan alternatif yang ada. Melalui pemberian informasi yang “tidak bias”, institusi mengklarifikasi distribusi keuntungan dari kerjasama dan meligitimasi distribusi tersebut. Hal ini dapat meningkatkan kemungkinan timbal balik (reciprocity) dalam proses tawar menawar serta dapat 13
Thomas D. Lairson dan David Skidmore, International Political Economy: The Struggle for Power and Wealth, 2nd ed., (___: Holt, Rinehard and Wisnton, Inc, 1997), 128. 14 Ibid. Definisi dan penjelasan selanjutnya dijabarkan oleh Lairson dan Skidmore berdasarkan Robert Keohance, After Hegemony (Princeton: Princeton University Press, 1984), 12, 51-52; Joseph Grieco, Cooperation Among Nations, (Ithaca, Cornell University Press, 1990), 22; dan Robert Putnam dan Nicholas Bayne, Hanging Together: Cooperation and Conflict in the Seven-Power Summits (Cambridge, Harvard University Press, 1987), 2-3. 15 Ibid., 128-131.
6 Initiative Asean..., Monica Agnes Sylvia, FISIP, 2014
meningkatkan iklim kerjasama.16 Dengan demikian, institusi yang berhasil akan menghasilkan keuntungan bagi pihak-pihak yang berpartisipasi di dalamnya. Faktor ketiga adalah power relationship antara negara-negara. Keberadaan sebuah negara yang powerful dengan sumber daya ekonomi yang signifikan serta komitmen yang kuat terhadap kerjasama internasional dapat memainkan peran kunci dalam menentukan apakah negara dapat saling bekerjasama. Lairson dan Skidmore juga menjelaskan sejumlah faktor yang dapat menghambat kerjasama.17 Hambatan yang paling besar adalah kondisi bahwa negara berfungsi sebagai entitas berdaulat yang harus menciptakan perlindungan bagi dirinya sendiri di tengah-tengah kondisi yang anarki. Hal ini berkaitan dengan karakteristik politik internasional yang tidak memiliki sebuah otoritas politik sentral yang dapat menciptakan serta memaksakan peace and order di antara negara-negara. Hal ini berbeda dengan kondisi politik domestik yang memiliki pemerintah sebagai otoritas sentral dan tertinggi dalam menciptakan peace and order. Faktor kedua yang menciptakan hambatan bagi kerjasama antar negara adalah bahwa sejumlah kepentingan yang dimiliki oleh sebuah negara jarang bersifat kesatuan dan kesepakatan kerjasama yang dibuat mungkin dapat membantu sebagian kepentingan, tetapi di saat yang sama juga merugikan kepentingan yang lain. Untuk dapat mengerti tentang kerjasama, diperlukan upaya untuk menyelidiki representasi kepentingan politik pada keputusan nasional serta pada bagaimana kebutuhan domestik dapat dikaitkan dengan kesepakatan internasional. Apabila ada kekuatan kepentingan di dalam sebuah negara yang memiliki pengaruh terhadap pemerintah tidak setuju akan perubahan kebijakan tertentu, kerjasama yang sebenarnya merupakan kepentingan negara dapat tidak terwujud karena kekuatan tersebut. Faktor ketiga yang menjadi hambatan bagi kerjasama terletak pada struktur insentif yang tersedia bagi sebuah negara apakah suatu negara berfokus kepada keuntungan absolut atau keuntungan relatif yang mereka terima. Dalam kerjasama yang dilakukan oleh sebuah negara terhadap negara lain, tiap-tiap negara mengharapkan untuk menerima sejumlah keuntungan. Namun demikian, terdapat peluang dimana negara dapat gagal untuk mencapai kesepakatan karena mereka ingin mendapatkan keuntungannya sendiri, atau karena mereka takut bahwa negara lain dapat mencoba untuk mendapatkan keuntungan tersebut bagi dirinya sendiri. Kondisi dimana negara mengambil kesempatan untuk mendapatkan keuntungan
16
Robert Keohane dan Lisa Martin, “The Promise of Institutionalist Theory,” International Security 20, no. 1, (1995), 39-51. 17 Lairson dan Skidmore, International Political Economy, 130-131.
7 Initiative Asean..., Monica Agnes Sylvia, FISIP, 2014
sendiri serta kondisi ketakutan sebuah negara bahwa negara lain akan mengambil keuntungannya sendiri menghalangi kerjasama sekalipun terdapat keuntungan bersama yang signifikan bagi setiap negara apabila kerjasama tersebut berjalan dengan baik. Berdasarkan penjelasan tersebut, secara singkat dapat disimpulkan bahwa tingkatan dan jangkauan kerjasama bergantung pada empat hal. Pertama, apakah negara-negara tersebut lebih berfokus pada absolute gains yang mereka terima atau pada relative gains. Kedua, pada keberadaan dan kesuksesan institusi yang ada. Ketiga, pada kondisi politik domestik dari negara-negara tersebut yang berkontribusi atau justru mengurangi kerjasama. Keempat, perbandingan konsekuensi dari tidak bekerjasama dengan kecenderungan terjadinya defection dalam kerjasama.
Masalah Kesenjangan Pembangunan di ASEAN Masalah
kesenjangan
pembangunan
di
ASEAN
dapat
dilihat
dari
aspek
makroekonomi yang diukur berdasarkan pendapatan perkapita, dan juga dari aspek sosial yang diukur berdasarkan indikator Human Development Index (HDI).
Grafik diatas memperlihatkan kesenjangan GNI perkapita ASEAN pada tahun 2000 hingga tahun 2011.18 Kondisi peningkatan kesenjangan pembangunan ini terjadi karena pendapatan perkapita ASEAN-6 jauh meningkat secara pesat dalam kurun waktu 2005-2011. Hal ini menghasilkan kesenjangan pendapatan antara kedua kelompok tersebut semakin meluas. Apabila dilakukan pengkajian terhadap sejumlah literatur yang ada mengenai stuktur two-tier ASEAN, dapat ditemukan sebuah hal yang menarik yaitu bahwa tidak terdapat suatu 18
Mark McGillivray, Simon Feeny dan Sasi Iamsiraroj, “Understanding The ASEAN Development Gap” dalam Narrowing the Development Gap in ASEAN : Drivers and Policy Options (New York: Routledge, 2013), 31.
8 Initiative Asean..., Monica Agnes Sylvia, FISIP, 2014
standar yang jelas dalam klasifikasi pembagian kedua kelompok ini. Apabila dilihat dari indikator makroekonomi, justru kesenjangan jauh lebih besar terjadi di dalam ASEAN-6 dibandingkan antara beberapa negara anggota ASEAN-6 yang relatif berada di tingkat pembangunan bawah dengan CLMV. Hal ini menjadi sebuah kritik pengklasifikasian struktur two-tier ASEAN yang menyatakan bahwa terdapat kesenjangan pembangunan yang besar diantara kedua kelompok ini dan cenderung mengabaikan kesenjangan yang juga terjadi secara signifikan di dalam kelompok ASEAN-6. Selain kesenjangan pembangunan dalam aspek makroekonomi, kesenjangan tersebut juga dapat dilihat dari aspek sosial berdasarkan HDI.
Grafik diatas menunjukkan perbedaan pencapaian Human Development antara ASEAN-6 dan CLMV (1980-2011).
19
grafik di atas memperlihatkan bahwa kesenjangan
dalam dimensi pembangunan manusia pada dasarnya semakin berkurang. Hal tersebut disebabkan karena peningkatan HDI CLMV pada tahun 2001 hingga 2005. Akan tetapi setelah tahun 2006, pengurangan kesenjangan cenderung tidak sebesar tahun-tahun sebelumnya. Berdasarkan gambar 2.6, terlihat bahwa kesenjangan pada dimensi pembangunan manusia antara CLMV dan ASEAN-6 berkurang dari kurun waktu 2000 hingga 2011. Hal ini menjadi fakta yang menarik karena kesenjangan HDI relatif menurun dan hal ini berkebalikan dengan kondisi kesenjangan pendapatan perkapita antara CLMV dan ASEAN-6 yang justru tidak banyak berkurang dan cenderung semakin meningkat pada kurun waktu 2007-2008. Kurun waktu ini menjadi signifikan apabila dikaji bahwa IAI Work Plan I mencapai tenggat waktu selesai pelaksanaannya pada tahun 2008.
19
Mark McGillivray, Simon Feeny dan Sasi Iamsiraroj, “Understanding The ASEAN Development Gap” dalam Narrowing the Development Gap in ASEAN : Drivers and Policy Options (New York: Routledge, 2013), 30.
9 Initiative Asean..., Monica Agnes Sylvia, FISIP, 2014
Kesenjangan pembangunan di ASEAN tidak hanya semata-mata berbicara tentang kondisi sosial ekonomi yang diwujudkan melalui pendapatan perkapita serta HDI. Pemahaman akan kesenjangan pembangunan di ASEAN mencakup hal yang lebih luas, yakni kesenjangan integrasi dan institusional di antara negara-negara anggotanya, khususnya antara CLMV dengan ASEAN-6. Kesenjangan integrasi mencakup kesenjangan keterbukaan antara negara-negara anggota ASEAN baik di tingkat kawasan maupun di tingkat global. CLMV berada pada tahap integrasi dan reformasi internasional yang sangat berbeda dengan ASEAN-6.20 ASEAN-6 cenderung lebih berpengalaman dalam sejumlah kerjasama ekonomi baik di tingkat regional maupun global. . Keaktifan ASEAN-6 telah dimulai sejak CLMV baru mulai bergabung dengan ASEAN pada dekade 1990-an, salah satu contohnya adalah dalam hal keanggotaan WTO (World Trade Organization). Selain kesenjangan integrasi, kesenjangan institusional merujuk kepada kondisi perbedaan kapasitas institusional sebuah negara. Hal tersebut mencakup sejumlah sistem dan struktur yang mencakup dimensi ekonomi, politik maupun pemerintahan. Selanjutnya sistem dan struktur tersebut mempengaruhi performa negara sebagai institusi. Initiative ASEAN Integration (IAI) dan Pelaksanaannya Ide mengenai IAI pertama kali diinisiasikan oleh Perdana Menteri Singapura, Goh Chok Tong dalam ASEAN Summit yang dihadiri oleh para pemimpin negara anggota ASEAN pada tahun 2000. Selanjutnya, inisiasi Perdana Menteri Singapura ini ditindaklanjuti dalam pertemuan tingkat menteri luar negeri pada bulan Juli 2001 dengan mengadopsi Ha Noi Declaration on Narrowing the Development Gap for Closer ASEAN Integration. Pada tanggal 20-22 November 2001, diadakan sebuah workshop di Pnom Penh, Kamboja, yang menghasilkan pembentukan IAI Work Plan I. Workshop ini diadakan dengan bantuan finansial dari Jepang dan melibatkan kehadiran para ahli sektoral dan para pegawai kementerian luar negeri negara-negara anggota ASEAN, ASEAN Secretariat, perwakilan dari beberapa agensi Jepang, Mekong River Commission, UNDP dan World Bank. Selanjutnya, pada tanggal 24-26 April 2002 di Vientiane, Vietnam, diadakan workshop kedua. pada ASEAN Ministerial Meeting (AMM) ke-35 yang diadakan pada 29 Juli 2002 di Brunei
20
Vo Tri Thanh, “Narrowing the Development Gap in ASEAN: Approaches and Policy Recommendations,” dalam Deepening Economic Integration: The ASEAN Economic Community and Beyond, ed. H. Soesastro, ERIA Research Project Report Chiba, (2008), 148.
10 Initiative Asean..., Monica Agnes Sylvia, FISIP, 2014
Darussalam, para menteri luar negeri mengesahkan IAI Work Plan serta sejumlah program dan proposal proyek. Negara
Proyek/ Program
Dana yang Sudah Terjamin (USD)
Brunei Darussalam
12
1.475.332,36
Indonesia
34
1.768.668
Malaysia
65
5.314.065
Filipina
2
30.932
Singapura
59
24.462.263,50
Thailand
14
481.902
Jumlah
186
33.533.162,86
Tabel diatas memperlihatkan kontribusi ASEAN-6 terhadap proyek-proyek IAI Work Plan I.21 Berdasarkan data diatas, terlihat bahwa Singapura menjadi negara yang paling banyak memberikan kontribusi pendanaan bagi IAI Work Plan I dengan jumlah US$24.462.263,50. Hal ini menarik apabila dikaitkan dengan fakta bahwa Singapura merupakan pihak yang menginisiasikan ide pembentukan IAI pada awalnya. Hal ini memperlihatkan besarnya usaha Singapura untuk mendorong tercapainya integrasi regional khususnya integrasi ekonomi. Setelah Singapura, Malaysia dan Brunei Darussalam menempati urutan kedua dan ketiga pendonor dengan kontribusi terbanyak dalam IAI Work Plan I. Myanmar memberikan kontribusi sebesar US$5.246.738 yakni sebesar 22% dari total kontribusi ASEAN-6. Brunei Darussalam memberikan kontribusi sebesar US$1.592.517,80 yakni sebesar 8% dari total kontribusi ASEAN-6. Besarnya kontribusi yang diberikan oleh kedua negara ini dapat diartikan bahwa kedua negara ini relatif telah memiliki pertumbuhan ekonomi dan tingkat pembangunan yang lebih pesat dalam kelompok ASEAN-6. Oleh sebab itu, keduanya dapat berpartisipasi aktif dalam kerangka kerjasama ini karena kondisi domestik negara tersebut memungkinkan kedua negara ini untuk memberikan fokus lebih pada kerangka kerjasama regional. Hal ini juga tidak dapat dilepaskan pada perhitungan cost and benefit dari pencapaian integrasi kawasan melalui KEA 2015. Dengan tercapainya KEA 2015 dan CLMV terintegrasi di dalamnya, hal ini akan memperluas pasar ASEAN. Berdasarkan kalkulasi 21
“Status Update of the IAI Work Plan I (2002-2008)” http://www.asean.org/archive/documents/Status-UpdateIAI-WP-2002-2008.pdf.
11 Initiative Asean..., Monica Agnes Sylvia, FISIP, 2014
rasional, keuntungan yang akan didapatkan oleh kedua negara ini akan lebih besar apabila dibandingkan dengan biaya yang mereka keluarkan melalui kontribusi yang diberikan dala IAI Work Plan I. Selain ASEAN-6, terdapat 12 Dialogue Partners dan agensi pembangunan yang juga telah turut berkontribusi memberikan bantuan dana terhadap 84 proyek. Total kontribusi dari pendanaan seluruh proyek tersebut sebesar US$ 18,4 juta, ¥ 87.516.000 and €179.948. Penjelasan rinci mengenai jumlah kontribusi ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini.22
No.
Dialogue Partners Pembangunan
1.
Jepang a.
&
Agensi
Pemerintah Jepang
b.
2. 3. 4.
5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Japan-ASEAN General Exchange Fund (JAGEF) c. Melalui ASEANFoundation (JapanASEAN Solidarity Fund) d. Japan International Cooperation Agency (JICA) e. Japan Overseas Development Cooperation (JODC) f. Japan-ASEAN Integration Fund Korea Selatan India Uni Eropa
Denmark Selandia Baru United Nations Development Programme (UNDP) Bank Dunia Hanns Seidel Foundation Australia ASEAN Bankers Association (ABA) ASEAN University Network (AUN) TOTAL
Jumlah Proyek 47 2 1 16
Dana yang diberikan oleh donor (dalam US$) 6.414.700
Dana yang diberikan oleh donor (dalam mata uang lain)
¥ 87.516.000 2.946.251
4
350.928
19
697.976
1
30.000
4
1.806.378
6 5 3 1 1 1 2 7
5.125.127 3.272.066 812.246
2 3 3 2 1 84
391.913 66.047 1.043.350 19.159,01 34.800 18.434.170,01
€ 110.000 € 69.948 622.395 176.056 456.310
€ 179.948 ¥ 87.516.000
Berdasarkan tabel 3.1, IAI Work Plan I tidak hanya melibatkan aktor negara, melainkan juga melibatkan aktor non-negara seperti institusi internasional dan pihak swasta. Adapun jumlah tersebut cukup signifikan, yakni mencapai lebih dari setengah kontribusi yang diberikan oleh ASEAN-6.
22
“Status Update of the IAI Work Plan I (2002-2008)” http://www.asean.org/archive/documents/Status-UpdateIAI-WP-2002-2008.pdf)
12 Initiative Asean..., Monica Agnes Sylvia, FISIP, 2014
Kesenjangan Institusional antara ASEAN-6 dan CLMV Struktur ekonomi yang relatif terbuka, politik domestik yang relatif lebih stabil serta kualitas pemerintahan yang cenderung lebih baik telah mendorong ASEAN-6 untuk berfokus pada upaya untuk mencapai integrasi ekonomi di kawasan. Sebaliknya, kondisi sistem politik domestik masih menjadi fokus CLMV sehingga menghambat upaya nasional dalam meningkatkan pembangunannya sekalipun restrukturisasi ekonomi telah dilakukan. Hal tersebut diperparah dengan kondisi kualitas pemerintahan yang kurang baik sehingga membuat kapasitas institusional CLMV cenderung menjadi lemah. Dalam hal ini, terlihat adanya perbedaan kapasitas institusional yang kontras antara ASEAN-6 dengan CLMV dan mempengaruhi perbedaan tingkat pembangunan di kedua kelompok ini. Untuk dapat mendorong CLMV mengejar ketertinggalan pembangunannya, diperlukan upaya untuk meningkatkan kapasitas institusional CLMV, khususnya dalam dimensi politik dan kualitas pemerintahan. Apabila dikaitan dengan keberadaan IAI, upaya yang dilakukan oleh IAI untuk meningkatkan kapasitas institusional CLMV ini cenderung hanya mencakup dimensi ekonomi dan kualitas pemerintahan. Apabila dianalisis lebih mendalam, kualitas pemerintahan yang dibutuhkan bukan hanya kualitas teknis tetapi juga transparansi dan akuntabilitas dalam prosedur birokrasi, khususnya yang berkaitan dengan ekonomi. Fokus ini yang belum terlalu ditekankan dalam IAI. IAI cenderung membangun sejumlah kapasitas teknis pemerintah melalui proyek-proyeknya, akan tetapi akuntabilitas serta transparansi birokrasi pemerintah cenderung belum diupayakan secara maksimal dalam IAI. Negara-negara CLMV mengalami hambatan karena kondisi politik domestik yang cenderung belum stabil karena kompetisi perebutan kekuasan internal masing-masing negara dan upaya untuk mempertahankan kekuasaan yang ada. Hal tersebut menjadi fokus utama negara-negara CLMV sehingga hal ini melemahkan kapasitas institusional CLMV. Apabila dikaitkan dengan IAI, isu politik domestik yang masih menjadi fokus utama CLMV telah menghambat IAI sebagai kerjasama pembangunan di kawasan. Hal tersebut disebabkan karena upaya yang dilakukan dalam IAI cenderung hanya dilakukan sekedarnya tanpa diiringi dengan upaya nasional yang optimal untuk mengejar ketertinggalan pembangunan dari ASEAN-6. Padahal, dinamika reformasi yang paling efektif akan terjadi ketika pemerintah menunjukkan komitmen yang diwujudkan dengan melakukan tindakan konkret (bukan hanya
13 Initiative Asean..., Monica Agnes Sylvia, FISIP, 2014
sekedar rencana dan pernyataan) dan direspon oleh pemberian bantuan finansial dan teknis dari donor.23 Apabila dikaitkan dengan IAI yang bertujuan untuk mengurangi kesenjangan pembangunan di ASEAN dengan cara mendorong CLMV mengejar ketertinggalan pembangunannya, kondisi kesenjangan integrasi ini seharusnya menjadi elemen yang dijembatani oleh IAI. IAI seharusnya mencakup elemen yang dapat mendorong CLMV untuk lebih terbuka terhadap kesenjangan pembangunan. Berdasarkan pemaparan pada bab III, elemen ini tidak menjadi fokus dari IAI. IAI cenderung berfokus pada upaya alokasi pemberian bantuan dari ASEAN-6, Dialogue Partners serta partner eksternal ASEAN terhadap CLMV. Pada lampiran “Initiative for ASEAN Integration (IAI) Strategic Framework and IAI Work Plan 2 (2009-2015)” pada bagian prinsip umum formulasi IAI Work Plan, tertera bahwa capacity building dan pengembangan sumber daya manusia merupakan elemen kunci bagi IAI. Selain itu, dinyatakan pula bahwa terdapat kebutuhan untuk semakin meningkatkan pengembangan infrastruktur sebagai cara untuk mendorong integrasi ASEAN. Hal ini memperlihatkan bahwa fokus IAI terletak pada upaya distribusi dan alokasi bantuan bagi CLMV. Padahal, salah satu faktor penentu agar CLMV dapat mengejar ketertinggalannya adalah keterbukaan CLMV dan integrasinya terhadap sistem internasional. Kesenjangan ini menjadi salah satu faktor yang menghambat IAI untuk dapat mencapai tujuannya secara optimal.
Harmonisasi Kepentingan Aktor-Aktor dalam IAI Terdapat perbedaan kepentingan tiap-tiap aktor yang terlibat dalam kerangka kerjasama IAI. Arah kepentingan serta besaran kepentingan aktor-aktor tersebut berbeda-beda satu sama lain, mulai dari ASEAN-6 dengan CLMV, internal ASEAN-6, Dialogue Partners serta pihak eksternal lainnya yang menjadi donor dalam IAI. Kepentingan yang ingin dicapai oleh ASEAN-6 dalam kerangka kerjasama IAI semata-mata bukan hanya untuk mengurangi kesenjangan pembangunan, akan tetapi juga untuk mendorong CLMV agar lebih terintegrasi dengan ASEAN sehingga integrasi ASEAN dapat tercapai dan memberikan keuntungan melalui pasar yang semakin besar. Hal ini menjadi fokus yang ingin dicapai oleh Singapura, Brunei Darussalam dan Malaysia karena kesiapan ketiga negara tersebut yang relatif jauh lebih baik dalam menghadapi kompetisi dalam integrasi ekonomi regional. Sementara itu,
23
Toshiyasu Kato (et.al), “Cambodia: Enhancing Governance for Sustainable Development”, Working Paper, no. 14, (Pnom Penh: Cambodia Development Resource Institute, 2000), 32.
14 Initiative Asean..., Monica Agnes Sylvia, FISIP, 2014
CLMV belum berfokus pada kepentingan jangka panjang untuk mencapai keuntungan dari integrasi lewat kesenjangan pembangunan yang semakin menyempit. Dalam perumusan dan pelaksanaan IAI, kepentingan tersebut dapat dilihat dari inisiatif dan keaktifan partisipasi tiap-tiap negara yang terlibat dalam mekanisme kerjasama ini. Dalam IAI, keaktifan cenderung bersifat satu arah dari ASEAN-6 dan bahkan cenderung didominasi oleh satu negara yaitu Singapura. CLMV cenderung bertindak lebih pasif dalam kerangka kerjasama ini. Hal tersebut terlihat dari inisiasi yang datang dari ASEAN-6 dan upaya nasional CLMV yang cenderung belum optimal dalam mengupayakan peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan apabila dibandingkan dengan ASEAN6. Adapun keikutsertaan CLMV dalam IAI dapat dijelaskan melalui perhitungan cost and benefit dalam kerjasama tersebut. Apabila CLMV tidak bergabung dalam kerangka kerjasama ini, negara-negara tersebut akan terasing dari interaksi di kawasan dan kehilangan sejumlah keuntungan yang didapat baik secara langsung maupun tidak langsung dari IAI. Apabila CLMV bergabung dalam IAI, CLMV setidaknya mendapatkan keuntungan daripada tidak bergabung sama sekali, meskipun sebenarnya tujuan akhir dari kerjasama tersebut bukanlah merupakan tujuan utama yang ingin dicapai oleh CLMV. Apabila dianalisis lebih lanjut, terlihat adanya permasalahan dalam harmonisasi kepentingan antara ASEAN-6 dengan CLMV. Hal tersebut terlihat dari keberadaan sejumlah arah dan kepentingan yang belum sepenuhnya berjalan beriringan menuju satu tujuan, yakni ASEAN yang bersifat concert. Fokus kepada kepentingan nasional bagi sebagian besar negara masih jauh lebih besar dari kepentingan kawasan dalam relasi intra-regional ASEAN. Dengan kata lain kepentingan nasional masih menjadi faktor yang mendominasi negara-negara anggota ASEAN dalam mengambil keputusan. Padahal, seharusnya kepentingan regional dapat mendorong negara-negara anggota ASEAN untuk mengharmonisasikan tindakannya. Hal yang menjadi permasalahan kepentingan di antara negara-negara anggota ASEAN adalah kondisi kesenjangan politik yang masih menjadi dilema tetapi ASEAN telah bergerak dengan sejumlah rencana ambisius dalam aspek ekonomi. Rencana tersebut diantaranya adalah rencana untuk mencapai integrasi ekonomi regional pada tahun 2015. Kesenjangan politik yang dimaksud adalah kepentingan nasional dan kedaulatan negara yang cenderung sulit untuk dikompromikan bagi kerjasama untuk mencapai kondisi concert dalam integrasi di kawasan. Kesenjangan pembangunan bukan hanya terjadi antara ASEAN-6 dengan CLMV. Kesenjangan yang signifikan juga terjadi di antara negara-negara yang termasuk ke dalam 15 Initiative Asean..., Monica Agnes Sylvia, FISIP, 2014
kelompok ASEAN-6. Jarak antara negara dengan tingkat pembangunan tertinggi di ASEAN-6 dengan yang terendah relatif jauh lebih besar apabila dibandingkan dengan jarak antara negara dengan tingkat pembangunan terendah di ASEAN-6 dengan negara dengan tingkat pembangunan tertinggi di CLMV. Hal yang menjadi permasalahan adalah bahwa terdapat beberapa negara di ASEAN-6 yang juga cenderung masih mengalami tingkat pembangunan yang minim seperti Indonesia dan Filipina. Hal ini menghambat harmonisasi kepentingan yang terjadi di dalam ASEAN-6 dalam memberikan bantuan bagi CLMV karena beberapa negara masih terhambat pembangunannya dan masih harus berfokus pada upaya nasional untuk mendorong pembangunan tersebut. Kondisi tersebut menciptakan permasalahan kepentingan yang belum terharmonisasi di dalam internal ASEAN-6. Di antara negara-negara tersebut terdapat ukuran besaran kepentingan yang berbeda-beda. Singapura menjadi aktor yang berperan paling aktif dalam pengaturan kerjasama pembangunan ini. Hal tersebut terlihat dari peranan negara ini sebagai inisiator awal mengenai ide untuk mengurangi kesenjangan pembangunan ASEAN melalui IAI. Selain itu, Singapura menjadi negara pemberi kontribusi terbesar bagi IAI, baik dalam IAI Work Plan I maupun IAI secara keseluruhan. Adapun Malaysia menempati posisi kedua negara ASEAN-6 pemberi kontribusi terbesar dalam IAI Work Plan I. Meskipun demikian, jumlah ini tetap saja dikatakan jauh di bawah jumlah kontribusi Singapura. Sementara itu, jumlah kontribusi Indonesia, Thailand dan Filipina jauh lebih sedikit lagi. Hal tersebut dapat dijelaskan dengan kondisi pembangunan negara-negara
tersebut
yang
juga
masih
berjuang
dalam
meningkatkan
taraf
pembangunannya. Kondisi ini memperlihatkan bahwa sekalipun negara-negara ASEAN-6 sepakat untuk memberikan bantuan kepada CLMV melalui mekanisme kerjasama IAI, akan tetapi terdapat perbedaan ukuran kepentingan negara-negara tersebut yang terwujud dalam jumlah kontribusi bantuan yang diberikan. menghambat IAI untuk bergerak secara optimal dalam mendorong CLMV mengejar ketertinggalannya dari ASEAN-6. Permasalahan harmonisasi kepentingan juga berkaitan dengan kepentingan Dialogue Partners dan pihak-pihak eksternal ASEAN yang menjadi donor dalam IAI Work Plan. Berdasarkan penjelasan mengenai implementasi IAI pada bab 3, terlihat adanya perkembangan dalam pelaksanaan kerjasama pembangunan ini yakni penambahan pihak yang terlibat, yakni Dialogue Partners dan pihak eksternal seperti sejumlah agensi pembangunan internasional dan institusi nonpemerintah lainnya. Hal ini merupakan perkembangan dari ide awal IAI yang sebelumnya hanya bertujuan sebagai mekanisme ASEAN-6 untuk membantu 16 Initiative Asean..., Monica Agnes Sylvia, FISIP, 2014
CLMV. Konsekuensi logis dari perkembangan ini adalah semakin banyaknya kepentingan yang muncul di dalam pelaksanaan IAI. Hal ini membuat fokus IAI menjadi melebar karena keterlibatan pihak eksternal (Dialogue Partners) yang tentunya memiliki prioritas kepentingan masing-masing yang ingin diwujudkan melalui IAI. Masing-masing Dialogue Partners memiliki prioritas area yang berbeda-beda dalam keterkaitannya dengan ASEAN.24 Hal tersebut berdasarkan prioritas masing-masing Dialogue Partners yang menjadi motivasi untuk membangun kemitraan dengan ASEAN. Prioritas tersebut berkaitan dengan kepentingan masing-masing Dialogue Partners. Apabila ditinjau dalam konteks IAI yang melibatkan Dialogue Partners sebagai pihak eksternal, hal ini menjadi sebuah hal yang menarik karena sejumlah proyek yang dilakukan dalam IAI Work Plan I dan II diimplementasikan berdasarkan bantuan yang diberikan oleh Dialogue Partners. Padahal, tidak semua dari Dialogue Partners tersebut berfokus pada upaya untuk mengurangi kesenjangan pembangunan di ASEAN. Apabila dianalisis, banyaknya kepentingan yang sebenarnya bukan berfokus kepada upaya mengurangi kesenjangan pembangunan di ASEAN telah membuat sejumlah proyek berjalan dengan tujuan yang tidak terharmonisasi. Akibatnya, IAI seolah terlihat didukung oleh banyaknya kontribusi pendanaan dari sejumlah donor, akan tetapi tidak semua proyek tersebut tepat sasaran untuk mendorong upaya nasional CLMV dalam mengejar ketertinggalan pembangunannya dari ASEAN-6.
Karakteristik IAI sebagai mekanisme kerjasama pembangunan regional ASEAN IAI merupakan bentuk kerjasama pembangunan regional yang lebih bersifat “influencing” daripada “imposing” dalam mencapai dua hal. Pertama, untuk mengurangi kesenjangan pembangunan di ASEAN. Kedua, untuk mendorong CLMV ke dalam integrasi ekonomi yang ingin diwujudkan melalui KEA 2015. Hal tersebut berarti bahwa kekuatan IAI hanya sebatas pada mekanisme kerjasama yang mempengaruhi, bukan memaksa aktor-aktor yang terlibat. Oleh sebab itu, kekuatan IAI terbatas pada upaya mempengaruhi CLMV untuk mengejar ketertinggalan pembangunannya dari ASEAN-6. Adapun upaya tersebut ditentukan oleh upaya masing-masing negara CLMV. Sebenarnya IAI bertindak sebagai mekanisme pelengkap kebijakan nasional, bukan sebagai pengganti kebijakan nasional CLMV dalam mengejar ketertinggalannya dari ASEAN-6. Berdasarkan hal tersebut, kajian akan upaya
24
Vanrith Chheang, “ASEAN and Dialogue Partners”, diakses 26 Juni 2012, www.aef.org.kh/th8aef/.../S5-Dr.%20Chheang%20Speech.doc.
17 Initiative Asean..., Monica Agnes Sylvia, FISIP, 2014
nasional CLMV menjadi instrumen utama bagi negara-negara ini dalam mengejar ketertinggalan pembangunannya. Berdasarkan analisis terhadap kondisi internal CLMV dalam dimensi ekonomi maupun politik natur IAI yang bersifat sebagai suplemen upaya nasional menjelaskan mengapa masih terdapat kesenjangan pembangunan yang signifikan. Hal tersebut disebabkan karena implementasi IAI menjadi tidak optimal. Hal tersebut disebabkan oleh terhambatnya peranan IAI sebagai suplemen upaya nasional akibat upaya nasional CLMV yang bermasalah karena masih berfokus pada stabilitas politik domestik. Selain itu, IAI juga cenderung memiliki karakter yang loose dalam mencapai tujuannya. Hal tersebut terlihat dari kajian terhadap dokumen-dokumen IAI yang tidak memberikan pernyataan secara jelas mengenai seberapa besar kesenjangan pembangunan antara ASEAN-6 dan CLMV ingin dipersempit. Kondisi ini mengurangi urgensi negara-negara tersebut untuk melakukan upaya mengurangi kesenjangan pembangunan ASEAN. Akibatnya, implementasi kerjasama pembangunan ini menjadi tidak optimal. Natur IAI sebagai mekanisme kerjasama pembangunan regional yang cenderung loose tersebut tidak dapat dilepaskan dari karakteristik ASEAN sebagai institusi regional yang juga cenderung loose. Hal tersebut terlihat dari prinsip „ASEAN Way’ yang dianut oleh ASEAN melalui mekanisme non-intervensi dan konsensus. ASEAN cenderung terbuka akan konvergensi regional dalam aspek ekonomi, akan tetapi tidak untuk aspek politik.25 Apabila dianalisis, permasalahan kesenjangan pembangunan di ASEAN cenderung terhambat pada prinsip kedaulatan yang dimaknai secara kaku sehingga menghambat upaya harmonisasi kepentingan negara-negara yang terlibat dalam IAI, khususnya pada tingkatan internal ASEAN. Pada dasarnya, ASEAN sebagai institusi regional pada umumnya, dan IAI sebagai mekanisme kerjasama khususnya, dapat mengatasi permasalahan ini. Hal tersebut dapat dilakukan melalui upaya penyebaran informasi di dalam pengaturan kerjasama untuk dapat meminimalisir terjadinya security dilemma yang dapat menyebabkan negara-negara tersebut enggan untuk bekerja sama lebih lagi. Permasalahan yang terjadi di ASEAN adalah bahwa fungsi penyebaran informasi tersebut kurang diselenggarakan dengan baik. Hal tersebut terjadi di dalam proses perumusan kerjasama dan pertemuan-pertemuan seperti yang dijelaskan dalam thesis SarinnaAreethamsirikul. Akibatnya, permasalahan harmonisasi kepentingan tidak teratasi dengan baik sehingga IAI berjalan dengan kurang optimal dalam mencapai tujuannya.
25
Areethamsirikul, “The Impact of ASEAN Enlargement,” 6.
18 Initiative Asean..., Monica Agnes Sylvia, FISIP, 2014
Hambatan Teknis IAI Selain hambatan substansial, optimalitas IAI juga terkendala pada hambatan teknis. Pertama, keterbatasan kurangnya pendanaan secara internal dalam teknis pelaksanaan IAI. Hal tersebut berimplikasi pada tindakan untuk melibatkan pihak-pihak di luar ASEAN dalam implementasi IAI. Pihak-pihak eksternal yang dimaksud mencakup Dialogue Partners, agensi pembangunan internasional, pihak swasta dan yayasan serta pihak-pihak eksternal lainnya. Kedua, kurang terharmonisasinya tujuan dan pelaksanaan proyek satu dengan lainnya. Apabila dianalisis, proyek-proyek tersebut sangat beragam dan tidak secara langsung mengarah pada upaya mengurangi kesenjangan pembangunan karena sasaran dari sebagian besar dari program tersebut adalah sejumlah kalangan terbatas seperti orang-orang yang bekerja di pemerintahan, diplomat, maupun kalangan yang berkaitan secara langsung dengan IAI. Padahal, untuk dapat mendorong CLMV dalam mengejar ketertinggalannya, hal tersebut dapat dilakukan dengan merujuk kepada sejumlah faktor-faktor yang mendorong pertumbuhan suatu negara seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada bagian kerangka pemikiran. Faktor-faktor tersebut adalah modal fisik, keterbukaan terhadap perdagangan, modal sumber daya manusia, pembangunan sektor keuangan, pemerintahan, mobilitas tenaga kerja, FDI, external development finance.26 Ketiga, proses dan koordinasi yang lemah dalam perumusan proyek, pengkajian, implementasi dan pengawasan. Kesimpulan Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan beberapa hal dalam menjelaskan terhambatnya optimalitas IAI sebagai sebuah kerjasama pembangunan regional dalam mengurangi masalah kesenjangan pembangunan di ASEAN. Faktor pertama adalah kesenjangan institusional antara ASEAN-6 dengan CLMV yang mencakup sistem dan struktur ekonomi, politik serta pemerintahan. Faktor kedua adalah masalah harmonisasi kepentingan antar aktor yang terlibat di dalam IAI, khususnya antara ASEAN-6 dan CLMV. Faktor ketiga adalah karakteristik IAI yang cenderung loose dan bersifat sebagai suplemen bagi upaya nasional CLMV dalam mengejar ketertinggalannya. Faktor keempat adalah hambatan teknis dalam implementasi IAI. Hambatan teknis tersebut
26
Mark Mc.Gillivray, Simon Feeny dan Sasi Iamsiraroj, Narrowing the Development Gap in ASEAN, 45. Berdasarkan D. Brooks, “Closing Development Gaps: Challenges and Policy Options”, ADB Economics Working Paper Series no.209 (Manila: Asian Development Bank) dan Jayant Menon, “Narrowing the Development Divide in ASEAN: The Role of Policy”, ADB Working Paper Series on Regional Economic Integration no.100 (Manila: Asian Development Bank).
19 Initiative Asean..., Monica Agnes Sylvia, FISIP, 2014
mencakup hambatan finansial, harmonisasi tujuan dan pelaksanaan proyek, serta koordinasi yang lemah dalam pengawasan. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, dapat dibuat sebuah model analisis dalam menjelaskan keterkaitan dari sejumlah faktor-faktor tersebut.
Dari proses analisis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa relasi negaranegara dalam politik internasional tidak dapat terlepas dari interaksinya dengan politik domestik. Secara lebih spesifik, dapat disimpulkan bahwa kerjasama regional pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh kondisi dan kepentingan domestik negara-negara yang terlibat, khususnya dimensi politik yang nantinya mempengaruhi dimensi ekonomi dan pemerintahan. Dengan kata lain, politik domestik dan politik internasional saling mempengaruhi satu sama lain. Berdasarkan hal tersebut, untuk dapat melihat performa kerangka kerjasama regional, dibutuhkan upaya untuk menganalisis kondisi dan kepentingan domestik negara-negara yang terlibat serta upaya untuk melihat keberadaan pihak eksternal dalam kerjasama tersebut.
20 Initiative Asean..., Monica Agnes Sylvia, FISIP, 2014
DAFTAR PUSTAKA ASEAN. “A New Modality for IAI Work Plan 2”, http://www.asean.org/images/2013/economic/iai/NDG%20Lecture%20Series%20%20 No.%202%20Regional%20Cooperation%20in%20NDG.zip ASEAN. “Overview Intitiative for ASEAN Integration,” ASEAN, diakses 9 September 2013, http://www.asean.org/communities/asean-economic-community/category/overviewndg-iai-iai-work-plan-iai-task-force-idcf. ASEAN. “Status Update of the IAI Work Plan I (2002-2008)” http://www.asean.org/archive/documents/Status-Update-IAI-WP-2002-2008.pdf. Brooks, D. “Closing Development Gaps: Challenges and Policy Options”. ADB Economics Working Paper Series no.209 (Manila: Asian Development Bank) Donghyun Park. “Intra-Southeast Asian Income Convergence”. ASEAN Economic Bulletin 17, no. 3 (2000). Dufrénot, Gilles dan Gilles Sanon, “Testing Real Convergence in the ECOWAS countries in Presence of Heterogeneous Long-Run Growths : A Panel Data Study,” CREDIT Research Paper no. 05/14. Grieco, Joseph. Cooperation Among Nations, (Ithaca, Cornell University Press, 1990). Jones, Basil. “Economic Integration and Convergence of Per Capita Income in West Africa,” African Development Review 14, no. 1, (2002); Keohance, Robert. After Hegemony. (Princeton: Princeton University Press, 1984). Lairson, Thomas D. dan David Skidmore, International Political Economy: The Struggle for Power and Wealth, 2nd ed., (___: Holt, Rinehard and Wisnton, Inc, 1997), 128. Menon, Jayant. “Narrowing the Development Divide in ASEAN: The Role of Policy”. ADB Working Paper Series on Regional Economic Integration no.100 (Manila: Asian Development Bank). McGillivray, Mark dan David Carpenter, Narrowing the Development Gap in ASEAN: Drivers and Policy Options, New York: Routledge, 2013. OECD.“Southeast Asian Economic Outlook 2013: With Perspectives on China and India”. , http://dx.doi.org/10.1787/saeo-2013-en, 242, (diakses pada 19 April 2014). Phar Kim Beng, “The problems of a two-tiered ASEAN,” 20 April 2014, http://atimes.com/atimes/Southeast_Asia/EB20Ae03.html. Pou Sovachana, “The Challenges of the CLMV Countries and The Role of Development Partners”. www.aseancenter.org.tw/upload/files/outlook008-05.pdf. 21 Initiative Asean..., Monica Agnes Sylvia, FISIP, 2014
Puigcerver-Peñalver, Mari-Carmen. “The Impact of Structural Funds Policy on European Regions´ Growth: A Theoretical and Empirical Approach,” The European Journal of Comparative Economics 4, no. 2, (2007). Putnam Robert dan Nicholas Bayne. Hanging Together: Cooperation and Conflict in the Seven-Power Summits (Cambridge, Harvard University Press, 1987). Robert Keohane dan Lisa Martin, “The Promise of Institutionalist Theory,” International Security 20, no. 1, (1995). Rodriguez-Pose Andres dan Ugo Fratesi. “Between Development and Social Policies: The Impact of European Structural Funds in Objective 1 Regions,” Regional Studies 38, no.1, (2004). Severino, Rodolfo C. “The Initiative for ASEAN Integration: Mid-Term Review of The Work Plan,” diakses 1 Agustus 2013. http://www.asean.org/images/2012/Economic/IAI/Documents/IAI%20Work%20Plan %20I%20MTR%20Report.pdf. Stierle, Michael H. “Conditions for a contribution by the Structural Funds to real convergence of the Recently Acceded Member States”. http://wwwsre.wu.ac.at/ersa/ersaconfs/ersa05/papers/596.pdf. Toshiyasu Kato (et.al), “Cambodia: Enhancing Governance for Sustainable Development”, Working Paper, no. 14, (Pnom Penh: Cambodia Development Resource Institute, 2000), 32. Vanrith Chheang, “ASEAN and Dialogue Partners”, diakses 26 Juni 2012, www.aef.org.kh/th8aef/.../S5-Dr.%20Chheang%20Speech.doc. Vo Tri Thanh, “Narrowing the Development Gap in ASEAN: Approaches and Policy Recommendations,” dalam Deepening Economic Integration: The ASEAN Economic Community and Beyond, ed. H. Soesastro, ERIA Research Project Report Chiba, (2008), 148. World Bank Website. http://data.worldbank.org/.
22 Initiative Asean..., Monica Agnes Sylvia, FISIP, 2014