Ingin Sukses Berwirausaha? Ayo Magang di Burno!
Oleh Nurhayadi * dan Endang Dwi Hastuti**
Desa Burno merupakan Desa Peduli Kehutanan Tingkat Nasional, Desa Proklim, Desa Mandiri Energi, Desa Mandiri Pangan, serta Percontohan Nasional Perencanaan DAS Mikro. Masyarakat Desa Burno mengembangkan berbagai kegiatan usaha bidang kehutanan dan lingkungan hidup dan telah berhasil meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat serta memberikan dampak positif terhadap kelestarian hutan dan lingkungan hidup. Kegiatan tersebut telah dijadikan percontohan , tempat belajar , pelatihan dan magang berbagai komponen masyarakat. Di Burno Ada Wanawiyata Widyakarya Berjarak ± 21 km dari ibu kota kabupaten, Desa Burno merupakan salah satu dari 12 desa di Wilayah Kecamatan Senduro. Desa Burno terletak di kaki Gunung Bromo, memiliki luas wilayah 2.580,10 ha. Dari luasan tersebut 92, 83 % merupakan Kawasan Hutan dan terletak berbatasan dengan hutan negara Perum Perhutani dengan luas 940,00 hektar dan Kawasan Taman Nasiona seluas 1.055,34 hektar yang berada di kawasan lereng Gunung Semeru.
Bur– No mempunyai arti Tanah Subur Tanduran Ono. Sebagai desa penyangga hutan, Burno memiliki lingkungan alam dengan tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi baik flora dan fauna, sehingga memiliki daya dukung lahan yang baik bagi kehidupan manusia . Pada tahun 2016, Pusat Penyuluhan menetapkan Desa Burno sebagai salah satu lokasi Wanawiyata Widyakarya, yaitu sarana pembelajaran bagi masyarakat untuk mengembangkan kegiatan usaha bidang kehutanan dan lingkungan hidup. Obyek Pelatihan dan Pemagangan
Di Wanawiyata Widyakarya Desa Burno kita dapat melakukan pelatihan, studi banding dan
magang berbagai kegiatan usaha bidang kehutanan dan lingkungan hidup yang dikemas dalam tema “Integrated Mix Farming, Kewirausahaan Ekonomi Kreatif Berbasis Agroforestry”, Kegiatan‐ kegiatan yang ditawarkan sebaagi obyek pelatihan dan pemagangan antara lain :
1. Teknologi peningkatan daya dukung lahan dengan pola dan tata tanam Agroforestry (Bertani Selaras Alam)
Pengunjung dapat melihat dan
mempelajari tentang Teknik pemilihan tanaman, pengaturan ruang tumbuh secara tumpangsari dalam satuan waktu dan luas tertentu antara tanaman kehutanan dengan jenis tanaman pisang, kopi, kapulogo, kakao, pala, durian, pala , hijauan makanan ternak, yang hasilnya secara ekonomi menguntungkan dan secara ekologis dapat di pertanggung jawabkan ( bertani selaras alam ). Disamping itu, pengunjung dapat praktek Teknik grafting ( pengembang biakan vegetative ), dan pembuatan pupuk organic dengan composer bakteri tricoderma.
2. Teknik pengolahan pisang menjadi kripik dan sale pisang, kripik Talas dengan teknologi home industri
Pengujung dapat
berlatih mengolah
buah pisang menjadi kripik berKualitas baik (warna , rasa dan kemasan ) yang bisa menembus gerai retailer di bebagai waralaba. Dengan materi pemilihan bahan baku, meracik bumbu , Teknik perajangan sesuai bentuk yang di inginkan, serta packaging yang baik.
3. Teknologi membuat biogas dari kotoran sapi Biogas adalah pemanfaatan kotoran sapi menjadi
bahan
dekomposisi
bakar
anaerobik
gas
melalui
dengan
proses
pertolongan
mikroorganisme untuk membuahkan gas yaitu berbentuk gas metan (yang mempunyai karakter gampang terbakar) serta karbon dioksida, Disini dapat belajar dan mengenal tentang : teknologi
membangun
instalasi
biogas
,
pemanfaatan serta analisa ekonomi.
4. Budidaya Kapulogo Di Bawah Tegakan Manfaat kapulaga sudah terkenal di berbagai negara seperti India dan Arab. Rempah ini sangat baik untuk menurunkan kolesterol dan mencegah kanker. Dengan demikian tanaman ini memiliki nilai ekonomis tinggi. Tanaman ini bisa tumbuh produktif dengan intensitas cahaya 60 %. Materi pelatihan meliputi : Pengaturan ruang tumbuh, mengidetifikasi spesies tanaman kapulogo yang produktif, teknik pengembang biakan, teknik penananaman , pemeliharaan, dan perlakuan pasca panen, serta analisa ekonomi.
5. Teknik membangun Pembangkit listrik mikro hidro Mikrohidro atau yang dimaksud dengan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH), adalah suatu
pembangkit listrik
menggunakan tenaga air sebagai
skala tenaga
kecil
yang
penggeraknya
seperti, saluran irigasi, sungai atau air terjun alam dengan cara memanfaatkan tinggi terjunan (head) dan jumlah debit air. Teknologi ini bisa diaplikasikan dengan pertimbangan sebagai berikut : 1. Memiliki konstruksi yang sederhana dan dapat dioperasikan di daerah terpencil dengan tenaga terampil penduduk daerah setempat dengan sedikit latihan. 2. Dapat dipadukan dengan program lainnya seperti irigasi dan perikanan.
3. Dapat mendorong masyarakat agar dapat menjaga kelestarian hutan sehingga ketersediaan air terjamin. Materi pembelajaran : Identifikasi sumber energy yang ideal, mengenal komponen yang di persyaratkan, pengetahuan prinsip dasar mekanisme kerja komponen.
6. Budidaya Lebah madu aphis cerena ( Lebah Lokal ) Materi pelatihan : -
Mengenal jenis lebah dan koloninya
Membuat sarang lebah /stup
Teknik pengembang biakan koloni
7. Budidaya Kambing Etawa berkualitas unggul Kambing Etawa Ras Senduro sesuai untuk kambing perah atau pedaging. Kambing etawa Senduro dikenal memiliki ketebalan dan postur yang bagus. Beberapa keunggulan kambing etawa senduro dibandingkan kambing etawa lainnya adalah produksi susu yang cukup banyak atau lebih produktif dan mudah memerahnya. Materi
pembelajaran
Pengembangbiakan, penggemukan.
8. Teknik Budidaya Sapi Perah Peternak sapi perah Burno yang tergabung dalam koperasi , hasil susunya telah menarik minat PT. Nestle untuk membeli , karena Kualitas telah memenuhi kwalifikasi . Maka sangat layak untuk menjadi tempat pelatihan dan pemagangan budi daya sapi perah yang baik.
pembesaran
meliputi dan
9. Pembuatan sabun kecantikan dari susu kambing dan madu Penggunaan kosmetik yang berbahan herbal dan alami saat ini merupakan salah satu dari sekian banyak cara yang paling banyak digunakan, selain aman untuk kulit juga sangat menyehatkan. Dan cara yang alami itu adalah dengan menggunakan Sabun Susu Kambing Etawa serta Sabun Madu. Disini akan di latih untuk mempelajari proses pembuatan sabun susu dan sabun madu secara sederhana.
10. Budidaya Pisang Mas Kirana Kualitas Ekspor Kota Kabupaten Lumajang sudah lama terkenal sebagai KOTA PISANG dengan produk utamanya Pisang Mas atau Gold Banana dengan jenis unggulan yang sudah dipatenkan yaitu Pisang Mas Kirana atau Kirana Gold Banana Pisang Mas Kirana merupakan salah satu varietas pisang dengan kualitas yang baik diantara varietas pisang yang lain di Indonesia. Rasa manis yang legit warna kuning cerah keemasan dan tidak mudah busuk serta tahan lama adalah keunggulan tersendiri yang dimiliki Pisang Mas kirana asal Lumajang. Khusus produk Pisang Mas Kirana Burno telah menembus pasar Ekspor, bermitra dengan PT. Sewu Segar. Materi pembelajaran yang disajikan adalah : Teknik pengembang biakan, transplanting, perawatan, proteksi tanaman, sortir, gradding dan packaging.
11. Budidaya tanaman kakao sistim tumpangsari Di lokasi ini akan di sajikan peragaan sambung pucuk , sambung samping serta pola tumpangsari tanaman kakao dengan manggis, duren, pala . Disamping itu peragaan Teknik pembuatan pupuk organic dengan bakteri tricoderma sebagai composer.
12. Pelatihan kerajinan tangan dari daur ulang sampah plastik . Kerajinan barang
bekas selain
bisa
menyalurkan bakat, juga untuk mengisi waktu luang agar lebih bermanfaat .Juga untuk tetap menjaga kebersihan serta kesehatan lingkungan. Bukan tidak mungkin bisa menjadi peluang usaha keluarga. Disini
di
peragakan
ketrampilan
kerajinan tangan sederhana merubah sampah menjadi berkah.
13. Teknik pembuatan pigura, Album foto dari daun kering ( Herbarium ) Pepohonan dengan aneka ragam bentuk dan warna daunnya banyak ditemui di Burno. Mulai daun saga, daun
pisang,
hingga daun talas yang
berukuran
besar. Daun yang sudah mengering dapat dikreasikan menjadi berbagai hiasan atau ornamen kebutuhan rumah tangga, aksesoris, hingga kebutuhan pakaian nan unik. Pengunjung akan dilatih untuk mengkreasi serakan dedaunan kering menjadi barang yang bernilai seni.
14. Kerajinan tangan Batik Tulis Motif Alam Sekitar Batik Tulis adalah salah satu jenis hasil proses produksi batik yang teknis pembuatan motifnya langsung ditulis secara manual. Disini akan dilatih dasar dasar proses membatik secara manual secara sederhana * Penyuluh Kehutanan pada Dinas Kehutanan Kab. Lumajang ** Penyuluh Kehutanan pada Pusat Penyuluhan , BP2SDM
SUMBER MATA AIR SESAOT DARI GUNUNG RINJANI KABUPATEN LOMBOK BARAT
IDA NURMAYANTI Widyaiswara Balai Diklat Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bogor
=======================================================================
Abstract
Protected Forest Sesaot has an area of 5950.18 ha, is the catchment area of the watershed Dodokan. This region is very strategic, because it is the catchment area and the water supply for the people of the city of Mataram, West Lombok regency and Central Lombok, both for drinking water through taps local water company Menang Mataram and to meet the needs of water for agricultural irrigation. The Village Sesaot area, there are approximately 40 springs located in the outskirts of the forest and forest areas. The sources of spring water which then flows into the downstream area through several rivers / times that empties in Kota Mataram and Lombok Barat, among others: Kali Tembiras, Lenek Kali, Kali Pemoto, Selepang Kali, Kali and Kali Sesaot Jangkuk. Sesaot protected forest is one of the tourist area of forest in Lombok. Sesaot forest is the springs of Rinjani is making a very appropriate place to unwind
Keywords : Sesaot, watershed Dodokan, Lombok Barat PENDAHULUAN Pengelolaan hutan di Indonesia mengalami perkembangan dan pergeseran sejalan dengan perjalanan sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan titik tolak awal lahirnya Undang Undang Nomor 1 Tahun 1967, Undang Undang Kehutanan Nomor 5 Tahun 1967, Undang Undang Nomor 6 Tahun 1968 dan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990. Pengelolaan hutan era tersebut dalam perjalanannya telah mengubah peran sumber daya hutan dalam mendukung laju pertumbuhan Pembangunan Ekonomi Nasional, terutama dalam mendukung perolehan devisa dan penyerapan tenaga kerja, serta mengantarkan perkembangan perolehan pendapatan per‐kapita penduduk Indonesia. Pada saat itu hasil usaha pertambangan mineral, logam, minyak dan gas yang semula menempati posisi utama, tergeser oleh hasil sumber daya non migas khususnya yang bersumber dari bahan baku hasil hutan kayu dan non kayu. Tetapi besarnya peranan kehutanan dengan memacu aspek ekonomi tersebut, telah membawa dampak buruk terhadap kuantitas dan kualitas sumberdaya hutan (degradation and deforestation), serta menimbulkan kerusakan lingkungan, kerugian ekonomi dan sosial. Kondisi tersebut cenderung terus 1
meningkat seiring dengan meningkatnya keragaman keinginan dan tuntutan kualitas hidup, serta tujuan dan kepentingan berbagai pihak terhadap pemanfaatan sumberdaya hutan. Dalam sejarah pengelolaan hutan di Indonesia bentuk pengelolaan hutan yang dipandang cukup relevan dalam menjawab tujuan manfaat ekonomis, sosial dan ekologis, adalah melalui pendekatan pengelolaan hutan terkecil dan permanen, dan merupakan unit organisasi teritorial, yang dikemas dalam wadah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Bentuk organisasi KPH tersebut telah dilakukan di Pulau Jawa sejak Pemerintahan Hindia Belanda, yang kemudian dikembangkan menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yaitu Perum Perhutani, setelah terbitnya Undang Undang Kehutanan Nomor 5 Tahun 1967. Sedangkan pengelolaan hutan di luar Pulau Jawa sampai saat ini belum menerapkan pengelolaan hutan secara teritorial oleh KPH, sehingga kegiatannya terkesan lebih berorientasi pada eksploitasi kayu, dalam bentuk Hak Pengusaan Hutan (HPH), Hak Pengusahaan Hasil Hutan (HPHH) dan Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK). Gambar 1. Plang Nama Kantor KPHL Rinjani Barat Kebijakan penetapan wilayah KPH di Nusa Tenggara Barat (NTB), memberikan ruang pengelolaan yang secara spasial relatif cukup efektif sebagai satu kesatuan wilayah kelola secara teritorial oleh suatu kelembagaan yang khusus dan spesifik dalam bentuk KPH, sehingga dapat memberi dampak terhadap pengelolaan hutan yang lebih optimal sesuai dengan amanat yang diemban dalam
2
PP 6/2007, jo. PP 3/2008. Dengan mempertimbangkan penetapan wilayah KPH NTB dan Perda/Pergub organisasi KPH tersebut, maka Pemerintah Provinsi NTB berkomitmen untuk mendukung pembangunan KPH di NTB. Dalam rangka mewujudkan komitmen tersebut, pada tahun 2009 Dinas Kehutanan NTB telah mengusulkan KPH Rinjani Barat sebagai KPH Model di Provinsi NTB, dengan pertimbangan antara lain; 1.
Wilayah kerja KPH Rinjani Barat, merupakan catchment area dan hulu sungai (DAS/Sub DAS) yang menjadi kebutuhan vital masyarakat (air minum, irigasi dll) untuk 4 Wilayah Kabupaten/Kota yaitu Kota Mataram, Kabupaten Lombok Barat, Lombok Tengah dan Lombok Utara;
2.
Terdapat beberapa lokasi kegiatan program kehutanan yang dikembangkan secara partisipatif dan menjadi percontohan yang sering dikunjungi baik lembaga Nasional atau Internasional;
3.
Mempunyai potensi obyek daya tarik wisata alam, yang mendukung pariwisata di NTB, seperti potensi air terjun (Sindang Gila, Tiu Teja, Tiu Pupus, Sekeper, Kerta Gangga, Trenggulis dan Timponan), ngarai Tete Batu, dan panorama alam hutan yang berbatasan dengan pantai Batu Bolong, Senggigi, Malimbu, Nipah dll;
4.
Terdapat beberapa kawasan hutan yang dikelola masyarakat adat;
5.
Sebagian masyarakat sekitar hutan sudah mengembangkan wirausaha dengan bahan baku utama dari kawasan hutan seperti kerajinan Ketak (Pakis Kawat), Bambu dan Cukli, industri dodol Nangka/Duren, emping Melinjo, keripik Pisang, gula Aren, serta usaha bibit Gaharu dll;
6.
Mempunyai lokasi yang sangat strategis, karena merupakan KPH yang terdekat dengan Ibu Kota Provinsi; dan
7.
Sebagian
besar
kawasan
hutan
berbatasan
langsung
dengan
pemukiman, yang mempunyai tingkat kepadatan penduduk cukup tinggi (rata‐ rata ± 474 jiwa/Km²). Kehadiran KPH Rinjani Barat sebagai pengelolaan di tingkat tapak, merupakan salah satu langkah strategis untuk mengoptimalkan fungsi sumberdaya hutan, dimana sistem pengelolaan yang dikembangkan menempatkan masyarakat sebagai subjek pengelolaan, dan berusaha meminimalisir konflik
3
dalam pengelolaan SDH seperti yang marak terjadi belakangan ini. Untuk menjamin operasionalisasi KPH di tingkat tapak, saat ini pemerintah telah mempersiapkan instrument pengelolaan dalam bentuk seperangkat peraturan perundangan mulai dari undang‐undang sampai pada peraturan teknis di tingkat daerah. Selain itu, pemerintah juga telah mempersiapkan alokasi anggaran yang cukup besar untuk menopang operasioalisasi KPH tersebut. Namun sangat disayangkan kesiapan instrumen dan pendanaan yang disediakan belum mampu mendorong optimalisasi sistem dan kinerja KPH di tingkat tapak. Meskipun instrumennya sudah memadai namun dalam penerapannya di lapangan ternyata masih menemui kendala‐kendala yang cukup kompleks. Kawasan KPHL Rinjani Barat yang seluas ± 40.983 ha merupakan bagian dari kawasan hutan lindung dan hutan produksi gunung Rinjani. Secara definitive, wilayah KPH Rinjani Barat ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 651/Menhut‐II/2010 tanggal 22 Desember 2010 bersamaan dengan 23 wilayah KPH di NTB yang luasnya ± 448.217 Ha. KPHL Rinjani Barat terdiri dari :
Hutan Lindung seluas ± 28.911 ha,
Hutan Produksi Terbatas seluas ± 6.977 ha dan
Hutan Produksi seluas ± 5.075 ha. Wilayah KPHL Rinjani Barat meliputi seluruh kawasan hutan Lombok
Utara dan sebagian hutan Lombok Barat. Karena sebagaian besar wilayah KPH Rinjani merupakan hutan lindung, maka sesuai PP No. 6/2007, KPH Rinjani Barat dikategorikan sebagai KPH Lindung (KPHL). KPHL Model Rinjani Barat merupakan Unit Pelaksana Teknis Daerah di bawah Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Nusa Tenggara Barat. Dasar hukum pembentukan KPHL Rinjani Barat dibentuk yaitu :
Perda NTB No. 7 Tahun 2008
Pergub NTB No. 23 Tahun 2008
SK Menhut Nomor: SK.785/MENHUT‐II/2009 tentang Organisasi dan Tata kerja Unit Pelaksana Teknis Daerah pada Dinas Daerah dan Unit Pelaksana Teknis Badan pada Inspektorat, Bapedda dan Lembaga Teknis Daerah Provinsi NTB.
4
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.785/Menhut‐II/2009 tentang penetapan KPH Rinjani Barat sebagai KPHL Model di Provinsi NTB.
Gambar 2. Peta Wilayah KPHL Rinjani Barat WISATA ALAM SESAOT Hutan Sesaot seluas 185 ha terletak di Desa Sesaot, Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Secara astronomis Taman Hutan Raya Sesaot berada pada posisi 8°30' ‐ 8°33' LS dan 116°13' ‐ 116°18' BT dengan status Hutan Lindung berdasarkan TGHK No. 758/Kpts/Um/1982 tanggal 12 Oktober 1982 seluas 5.950,79 Ha. Secara umum merupakan dataran landai, bergelombang dan berbukit, dengan elevasi berkisar antara 225 s/d 684 m dpl dan kemiringan tanah bervariasi 15 ‐ 45%. Kawasan Hutan Sesaot saat ini terbagi menjadi kawasan hutan primer, hutan skunder dan sebagai hutan lindung, perkebunan mahoni dan agroforestri dengan berbagai jenis tanaman (Yustitia 2012). Adanya berbagai jenis tanaman yang tumbuh di Hutan Sesaot tersebut menjadikan keberadaan ekosistem hutan tersusun dengan baik, karena peranan dari tumbuhan itu adalah sebagai pemasok oksigen ke lingkungan dan sebagai sumber makanan bagi organisme heterotof. Dalam hal ini tumbuhan merupakan
5
habitat dari berbagai jenis satwa, oleh sebab itu setiap tumbuhan mempunyai peran tertentu yang khas. Kawasan hutan di Desa Sesaot sudah disetujui izin usaha untuk pemanfaatan hutan kemasyarakatan (IUPHKm) dengan masa konsesi selama 35 tahun. Pada tahun 2009, Menteri Kehutanan telah menyerahkan keputusan pencadangan areal hutan untuk HKm bagi tiga kawasan hutan yang ditetapkan sebagai cadangan areal kerja HKm di NTB. Kawasan yang dicadangkan tersebut adalah Sesaot berdasarkan SK Menteri Kehutanan RI No: 445/Menhut‐II/2009 tanggal 4 Agustus 2009 tentang penetapan areal kerja HKm di Kabupaten Lombok Barat, kawasan Santong dan Monggal di Kabupaten Lombok Utara dengan SK Menhut No: 447 /Menhut‐II/2009 dan kawasan hutan Sambelia di Kabupaten Lombok Timur dengan SK Menhut No; 444/Menhut‐II/2009. Pengelolaan hutan Sesaot, Santong dan Sambelia oleh masyarakat di sekitarnya sebagai sumber mata pencaharian, sesungguhnya telah berlangsung cukup lama. Sedikitnya, sejak tahun 1995 sejumlah 6.000 KK atau 18.000 jiwa di kawasan Sesaot, 740 KK di kawasan Santong dan sekitar 400 KK di Kawasan Sambelia, sampai sekarang menggantungkan sumber kebutuhan ekonominya dari pengelolaan kawasan tersebut. Di sisi lain, hutan Lindung Sesaot dengan luas wilayah 5.950,18 ha merupakan daerah tangkapan air dari daerah aliran sungai (DAS) Dodokan. Kawasan ini merupakan kawasan hutan yang sangat strategis, sebab wilayah ini merupakan daerah tangkapan air dan memasok kebutuhan air bagi masyarakat wilayah Kota Mataram, Kabupaten Lombok Barat dan Lombok Tengah, baik untuk kebutuhan air minum melalui PDAM Menang Mataram maupun untuk pemenuhan kebutuhan air bagi irigasi pertanian. Di sekitar wilayah Desa Sesaot, terdapat kurang lebih 40 sumber mata air yang berada di dalam kawasan hutan dan pinggiran kawasan hutan. Sumber‐ sumber mata air ini yang kemudian mengalir ke daerah hilir melalui beberapa sungai/kali yang bermuara di Kota Mataram dan Lombok Barat, antara lain: Kali Tembiras, Kali Lenek, Kali Pemoto, Kali Selepang, Kali Sesaot dan Kali Jangkuk. Setelah mendapatkan IUPHKm maka dua HKm yakni di Desa Sesaot dan Desa Santong, akan mengikuti skema sertitikai LEI untuk hutan rakyat. Jadi, setelah
6
IUPHKM diperoleh, langkah selanjutnya adalah mengikuti sertifikasi LEI, harapannya akan adanya pengakuan dari parapihak bahwa masyarakat sudah bisa mengelola hutan secara lestari, dan kemudian mendapat nilai tambah. Hutan lindung Sesaot merupakan salah satu kawasan wisata hutan di Lombok. Destinasi ini masih alami dengan sumber mata air dari Gunung Rinjani, semakin menjadikan hutan lindung ini sangat pas sebagai tempat melepas lelah. Berada di pedesaan dengan mayoritas penduduknya merupakan Suku Sasak, memiliki luas sekitar 5.999,2 hektar dan 43 % adalah hutan buatan yang sengaja dijadikan sebagai kawasan wisata hutan di Lombok. Bagian tengah hutan ini terdapat sungai “Aiq Nyet” yang memiliki batu kali yang besar. Para pengunjung dapat berenang di sungai tersebut, karena aman dan airnya sangat jernih, sejuk dan bersih. Kebersihan mata air di sungai ini memang penting karena banyak sumber mata air yang bermuara di sungai ini. Para penduduk memiliki peran sangat penting dalam menjaga dan menanam kembali untuk melindungi tanah dari erosi dan longsor. Sungai di hutan lindung ini konon dipercaya sebagai salah satu sungai suci di Lombok karena sumber airnya berasal dari Gunung Rinjani yang merupakan tempat para dewa. Ada yang mengatakan bahwa airnya dapat menjadi obat yang ampuh mengobati beragam jenis penyakit kulit. Selain itu, airnya juga tidak pernah kering walau sedang musim kemarau panjang. Secara umum, hutan ini memiliki 3 area yaitu hutan primer, sekunder, perkebunan Mahoni dan agroforestry yang di kembangkan oleh masyarakat. Untuk para pengunjung wisata ini, dapat mendirikan kemah di sekitar lokasi, menjelajahi hutan dan bermain di berbagai kegiatan outbond. Sehingga kawasan ini sangat ramai di kunjungi, khususnya saat hari libur. Setelah lelah melakukan beragam kegiatan, dapat istirahat sambil menikmati makanan yang banyak dijual di tenda lesehan, seperti sate bulayak, plencing kangkung, ayam taliwang, dan menu khas lainnya.
7
Gambar 3. Destinasi Aiq Nyet dan Sate Bulayak di Hutan Sessaot Bersihnya air sungai di hutan Lindung Sesaot ini menunjukkan bahwa sumber air di hulu masih cukup baik. Kebersihan mata air Sesaot sangat penting karena 56 sumber mata air yang bermuara di kali Sesaot. Bisa dibayangkan jika mata air disini terkena limbah. Menurut banyak orang, terpeliharanya sumber mata air Sesaot tidak lepas dari peran warga desa yang ikut menjaga dan menanam sehingga mempertahankan tanah dari erosi dan longsor. Hal itu membuat tanah di hutan lindung Sesaot dapat menyimpan air dengan baik. Inilah bentuk sinergi antara manusia dan alam. Hutan lindung Sesaot yang menjadi objek wisata ini bisa juga mendirikan kemah di sekitar lokasi, selain itu bisa digunakan untuk kegiatan outbond baik untuk pelajar maupun karyawan perkantoran. Kontur tanah, air yang jernih dan aneka pepohonan membuat lokasi ini cocok menjadi tempat bermain sekaligus menguji kekompakan tim. Tak heran jika Sesaot ramai dikunjungi wisatawan pada akhir pekan dan libur panjang sekolah. Mengelilingi hutan ini menjadi aktivitas yang cukup menyenangkan. Ditimpa gemericik air akan melihat betapa hutan ini memberikan hidup bagi daerah sekitar.
8
Gambar 4. Perjalanan wisata alam di hutan Sessaot PENUTUP Hutan Lindung Sesaot memiliki luas wilayah 5.950,18 ha, merupakan daerah tangkapan air dari daerah aliran sungai (DAS) Dodokan. Kawasan ini sangat strategis, sebab merupakan daerah tangkapan air dan memasok kebutuhan air bagi masyarakat wilayah Kota Mataram, Kabupaten Lombok Barat dan Lombok Tengah, baik untuk kebutuhan air minum melalui PDAM Menang Mataram maupun untuk pemenuhan kebutuhan air bagi irigasi pertanian. Di sekitar wilayah Desa Sesaot, terdapat kurang lebih 40 sumber mata air yang berada di dalam kawasan hutan dan pinggiran kawasan hutan. Sumber‐ sumber mata air ini yang kemudian mengalir ke daerah hilir melalui beberapa sungai/kali yang bermuara di Kota Mataram dan Lombok Barat, antara lain: Kali Tembiras, Kali Lenek, Kali Pemoto, Kali Selepang, Kali Sesaot dan Kali Jangkuk. Hutan lindung Sesaot merupakan salah satu kawasan wisata hutan di Lombok. Destinasi ini masih alami dengan sumber mata air dari Gunung Rinjani, semakin menjadikan hutan lindung ini sangat pas sebagai tempat melepas lelah.
9
DAFTAR PUSTAKA Soemarmo. 2010. “Desa Wisata” diakses melalui http://marno.lecture.ub.ac.id tanggal 10 Juli 2014 Suhariyadi dan Wasito Hadi 1980. Pemeliharaan Persemaian dan Tatalaksana Persemaian,Program Bantuan Penghijauan dan Reboisasi, No. 15 Departeman Pertanian,diterbitkan oleh Proyek Pendidikan dan Latihan Petugas Lapangan Program Bantuan Penghijauan dan Reboisasi. Yustitia .2012. Hutan lindung Sesaot[internet]. [diunduh 2013 juni 18]: tersedia pada http://Lombok.Panduanwisata.com.
10
KOPERASI KTH AIR PASIR MAJU, APA KABARMU KINI ??? Oleh : Victor Winarto*) Koperasi KTH Air Pasir Maju berkedudukan di Dusun Air Pasir, Desa Lampur, Kecamatan Sungai Selan, Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Bangka Belitung. Koperasi ini resmi terbentuk berdasarkan Akte Notaris Erfin Febriansyah, SH,M.Kn, Nomor 438 tanggal 18 September 2015 melalui anggaran Fasilitasi Pembentukan Koperasi KTH dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan cq. Pusat Penyuluhan Tahun 2015. Pembentukan koperasi diawali dengan kegiatan sosialisasi dan penyamaan persepsi dari seluruh warga masyarakat yang terlibat. Melalui pertemuan‐pertemuan intensif yang melibatkan Penyuluh Kehutanan, pada akhirnya pembentukan koperasi dapat direalisasikan dalam upaya mewujudkan cita‐cita bersama untuk meningkatkan produktifitas dan kesejahteraan warga masyarakat yang menjadi anggota koperasi. Pada awal pembentukannya, kepengurusan dan keanggotaan koperasi KTH Air Pasir Maju sebanyak 22 orang. Tercatat lebih dari 50 % pengurus/ anggota Koperasi KTH Air Pasir Maju bermatapencaharian sebagai petani dan buruh tani sebagaimana tertuang dalam diagram 1 sebagai berikut :
Matapencaharian Pengurus/ Anggota Koperasi KTH Air Pasir Maju 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 Petani
Buruh tani
Karyawan swasta
Wiraswasta
Pensiunan
Ibu Rumah Tangga
Diagram 1. Matapencaharian Pengurus/ Anggota Koperasi KTH Air Pasir Maju
Bidang Usaha Hasil rapat anggota koperasi memutuskan jenis usaha koperasi KTH Air Pasir Maju meliputi kegiatan simpan pinjam, jual beli bibit tanaman, jual beli pupuk/ pestisida dan jual beli madu/ jamur hutan serta kerajinan.
Foto : Dok Dedy Ardiyansyah
Selama ini kegiatan simpan pinjam telah berjalan di lingkup KTH. Dengan terbentuknya koperasi diharapkan kegiatan ini berjalan lebih baik lagi, dengan keterlibatan anggota dan perputaran uang yang lebih besar serta manajemen yang lebih tertib dan profesional. Sementara itu untuk kegiatan jual beli bibit tanaman, pupuk dan pestisida masih dalam tahap rintisan. Kegiatan ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan para anggota selama musim tanam tiba. Menurut rencana koperasi akan menjalin kerjasama dengan distributor sarana produksi pertanian/ kehutanan. Sehingga untuk mendapatkan kebutuhan yang diperlukan, para anggota tidak perlu pergi jauh‐jauh ke kota tetapi cukup berhubungan dengan koperasi. Sedang untuk pemasaran madu hutan yang lebih dikenal dengan sebutan madu pelawan, baik pengurus maupun anggota koperasi telah berpengalaman. Tercatat sebagian besar anggota secara pribadi sudah melakukan praktek jual beli madu. Hal ini dikarenakan potensi madu pelawan di Bangka Tengah cukup besar dan nilai ekonominya menggiurkan. Permasalahan Salah satu permasalahan yang dihadapi koperasi KTH Air Pasir Maju adalah faktor kelembagaan. Usia koperasi yang baru menginjak 1 tahun masih sangat rentan
bubar apabila kelembagaan yang terbentuk tidak kuat dan solid. Selain itu berdasarkan struktur organisasinya, kepengurusan koperasi KTH Air Pasir Maju dipegang oleh person dengan usia di atas 50 tahun. Faktor ketokohan diduga menjadi pertimbangan anggota koperasi memilih yang bersangkutan untuk memimpin koperasi. Keputusan ini tentu saja mengandung resiko, karena faktor usia sangat berpengaruh terhadap kesehatan, mobilitas dan produktifitas seseorang. Idealnya jabatan pengurus koperasi dipegang oleh figur muda yang memiliki visi yang jelas, enerjik, mampu berorganisasi, dan memiliki jaringan luas. Dengan dipimpin oleh figur yang memiliki kriteria tersebut diharapkan koperasi dapat berjalan dan berkembang sebagaimana diharapkan. Permasalahan lain yang dihadapi oleh koperasi ini adalah terkait modal usaha. Menurut informasi yang diperoleh dari pengurus, modal koperasi KTH Air Pasir Maju sangat kecil, yaitu sebesar Rp. 4.840.000 (Empat juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah), dengan rincian sebagaimana tertera dalam tabel 1, sebagai berikut : No
Jenis Modal
@Rp
Anggota
Jumlah
1.
Modal koperasi
2.
Simpanan pokok
100.000
22
2.200.000
3.
Simpanan wajib
10.000
22
220.000
TOTAL
2.420.000
4.840.000
Dengan modal yang sangat minim, tidak banyak kegiatan yang dapat dilakukan oleh pengurus koperasi. Kecermatan dan ketepatan memilih jenis usaha serta kerja keras dari pengurus dan anggota sangat menentukan keberhasilan koperasi. Perlu Kemitraan Hal lain yang perlu diperhatikan dalam mengelola koperasi antara lain kepiawaian para pengurusnya untuk menjalin kerjasama/ kemitraan dan membuka akses dengan para pihak baik yang bergerak di bidang permodalan, peningkatan kapasitas SDM, produksi dan pemasaran. Permodalan dapat diperoleh melalui pinjaman lunak, penyertaan modal koperasi ataupun hibah dari pihak‐pihak tertentu yang tidak mengikat. Sedang untuk
peningkatan kapasitas SDM koperasi dapat dilakukan dengan mengikutsertakan pengurus koperasi dalam pelatihan manajemen yang diselenggarakan oleh Dinas Koperasi Kabupaten/ Provinsi. Di bidang produksi, untuk menjaga kualitas produk khususnya madu pelawan, koperasi dapat mengajukan bantuan hibah kepada instansi terkait untuk memperoleh bantuan mesin yang mampu menurunkan kadar air madu dan mesin sterilisasi sehingga madu yang diproduksi oleh koperasi lebih terjamin mutu/ kualitasnya. Sementara itu di bidang pemasaran, koperasi ini dapat menjalin kemitraan dengan pelaku usaha yang lain, misal mini/supermarket dan apotik sehingga diharapkan jaringan pasar, khususnya madu pelawan semakin luas dan harga jual yang diperoleh koperasi juga semakin baik. Harapan ke depan Sebagai salah satu koperasi yang bergerak di bidang kehutanan, besar harapan agar koperasi KTH Air Pasir Maju tetap eksis dan usahanya berkembang. Untuk itu perlu pendampingan secara terus‐menerus oleh Penyuluh Kehutanan dan instansi terkait guna meningkatkan kualitas dan kapabilitas pengurus, sehingga koperasi berjalan dengan baik dan dirasakan manfaatnya oleh seluruh anggota. Semoga ....!!! *) Penyuluh Kehutanan pada Pusat Penyuluhan
PENGALAMAN DALAM PENGAMANAN KAWASAN HUTAN TAMAN NASIONAL BERBASIS MASYARAKAT Oleh: Waldemar Hasiholan ABSTRACT THE EXPERIENCES IN PROTECTED OF NATIONAL PARK AREA BASE ON COMMUNITY. Forest protection and security is an activity to take care of and protect forest from various trouble able to bother and destroy of natural resources included fauna and flora, ecosystem, habitat, watering function and others. The target of forest security is to depress and lessen trouble to forest area and forest products. One of the especial conditions in forest area security is the existence of rule of law to the forest area marked with existence of forest area boundary in the field. But in fact many of forest area which have been declared by Minister Forestry not yet been conducted by settlement of boundary in the field. With such condition oftentimes happened conflict usage of area between community and forest manager. Another problem is the law enforcement to the badness which happened in this area become weakness. Base on the experience in forest management the root problem in that case is not yet the existence of confession from each stakeholder to the boundary of forest and boundary of community area. Therefore one of the solution in resolving of the problem is by developing agreement between community and forest manager to implementation of forest boundary participatory. I.
PENDAHULUAN
Perlindungan dan Pengamanan Hutan adalah suatu kegiatan untuk menjaga dan melindungi hutan dari berbagai gangguan yang dapat mengganggu dan merusak sumber daya alam yang ada di dalamnya seperti flora dan fauna, ekosistem, habitat, tata air dan lain‐lain. Dengan pernyataan lain tujuan pengamanan hutan adalah untuk menekan dan mengurangi gangguan terhadap kawasan hutan maupun terhadap hasil hutan. Gangguan tersebut dapat berupa perambahan, penebangan liar (illegal logging), pencurian hasil hutan, perburuan liar, kebakaran hutan, pengembalaan liar, dan gangguan lainnya dari oknum yang tidak bertanggung jawab, sehingga diharapkan hutan dan segala isinya dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Salah satu persyaratan utama dalam pengamanan kawasan hutan adalah adanya kepastian hukum atas kawasan hutan. Berdasarkan Pasal 14 ayat (2) dan pasal 15 ayat (1) UU Nomor 41 Tahun 1999 untuk mendapatkan kepastian hukum maka terhadap kawasan hutan tersebut dilakukan pengukuhan kawasan, melalui proses: a. penunjukan kawasan hutan, b. penataan batas kawasan hutan, c. pemetaan kawasan hutan, dan d. penetapan kawasan hutan.
1
Secara fisik kondisi kawasan hutan yang telah memiliki kekuatan hukum ditandai dengan adanya Pal‐Pal Batas Kawasan Hutan yang diberi Tanda Huruf dan Nomor Pal Batas dengan inisial (B…) dan tanda‐tanda batas lain serta adanya lorong batas yang terlihat jelas di Lapangan.
Gambar 1. Kawasan hutan yang sudah dan belum ditatabatas II. PERMASALAHAN Kenyataan banyak kawasan hutan yang telah ditunjuk oleh Menteri Kehutanan belum selesai dalam proses pengukuhannya menjadi kawasan hutan, dan bahkan sebagaian dari kawasan tersebut belum dilakukan penataan batas di Lapangan. Selain itu beberapa lokasi Kawasan Hutan yang telah ditunjuk tersebut di dalamnya, banyak ditemukan pemukiman, lahan garapan, ladang masyarakat dan kegiatan masyarakat yang sudah ada sebelum kawasan hutan tersebut ditunjuk dan ditetapkan. Dengan kondisi yang demikian seringkali terjadi konflik penggunaan kawasan antara masyarakat dan pengelola kawasan hutan. Berdasarkan pengalaman dalam pengelolaan kawasan konservasi, permasalahan yang ditimbulkan sebagai akibat dari kesenjangan antara Peraturan Penetapan Kawasan Hutan (kriteria, persyaratan dan peraturan yang berkaitan dalam penetapan kawasan hutan) dengan
2
Realisasi Penetapan Kawasan Hutan yang berpotensi menjadi sumber konflik dalam pengelolaan hutan diantaranya adalah sebagaimana disajikan pada tabel berikut ini. Tabel. Identifikasi Potensi Konflik Dalam Pengelolaan Hutan No
Penetapan Kawasan Hutan/Taman Nasional Kriteria Harus didasari pada hasil inventarisasi sumber daya alam/hutan
Umumnya dilakukan dengan penunjukan kawasan hutan atau perubahan fungsi
2.
Harus diterima oleh masyarakat
3.
Masyarakat berhak mengetahui rencana pembangunan kehutanan
Dalam penunjukan taman nasional umumnya belum mendengarkan aspirasi masyarakat yang bermukim di dalam/sekitar kawasan Masyarakat belum banyak tahu rencana pembangunan kehutanan di wilayahnya
4.
Masyarakat berhak mendapatkan kompensasi atas tertutupnya akses dalam pemanfaatan kawasan hutan Peran serta masyarakat dalam pengelolaan taman nasional menjadi kebutuhan utama Adanya program peningkatan kemampuan SDM masyarakat di dalam/sekitar hutan untuk berpartisipasi dalam pengelolaan kawasan nilai‐nilai kearifan tradisional dalam budaya masyarakat dapat dijadikan aturan kesepakatan dalam pengelolaan kawasan Masyarakat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan
6.
7.
8.
Potensi Konflik
Terjadinya perbedaan persepsi dan kepentingan dalam pemanfaanat dan penggunaan kawasan Terjadinya perbedaan dan kepentingan dalam pemanfaatan atau penggunaan kawasan
Terjadi konflik kepentingan penggunaan dan pemanfaatan kawasan Penolakan atau resistensi terhadap keberadaan taman nasional
Terjadinya perbedaan dan kepentingan dalam pemanfaatan atau penggunaan kawasan
Penolakan atau resistensi terhadap keberadaan kawasan hutan Penolakan atau resistensi terhadap penetapan kawasan hutan
Realisasi
1.
5.
Permasalahan
Belum ada mekanisme pemberian kompensasi kepada masyarakat atas hilangnya akses dalam pemanfaatan hutan
Terjadinya ketidakpuasan dan tuntutan untuk tetap mempertahankan kawasan
Peranserta masyarakat belum menjadi kebutuhan utama dalam pengelolaan taman nasional. Program partisipatif masyarakat dalam pengelolaan hutan / taman nasional masih terbatas
Terjadinya ketidakpuasan dan kekecewaan dalam pengelolaan taman nasional Terjadinya ketidakpuasan dan kekecewaan dalam pengelolaan hutan/ taman nasional
Lemahnya dukungan masyarakat dalam pengelolaan taman nasional Lemahnya dukungan masyarakat dalam pengelolaan hutan/taman nasional
Aturan pengelolaan hutan/taman nasional lebih mengutamakan aturan formal atau hukum positif
Terjadinya ketidakpuasan dan kekecewaan dalam pengelolaan hutan/ taman nasional
Lemahnya dukungan masyarakat dalam pengelolaan hutan/ taman nasional
Pemerintah jarang melibatkan masyarakat dalam melakukan pengawasan secara aktif
Terjadinya inefisiensi dalam pengelolaan hutan/taman nasional
Lemahnya dukungan masyarakat dalam pengelolaan hutan/ taman nasional
3
9.
10.
11
12
Perlindungan dan pengakuan atas keberadaan masyarakat adat. hak atas kepemilikan hutan/ taman nasional
Masih sedikit Peraturan Daerah yang mengakui keberadaan masyarakat adat Taman Nasional dikuasai oleh Negara dan belum mengakui kepemilikan masyarakat adat atas kawasan hutan/ taman nasional Unsur‐unsur manajemen Taman Nasional dikelola dengan dana taman nasional dalam keadaan terbatas dan yang cukup dan belum mendapatkan mendapat dukungan dari pemerintah pusat dukungan penuh dari pemerintah pusat dan daerah maupun daerah
Terjadinya inefisiensi dalam pengelolaan hutan/ taman nasional
Peantaan Batas Kawasan Hutan di Lapangan melibatkan masyarakat secara aktif
Banyak lahan‐lahan masyarakat berada di dalam kawasan hutan yang ditatabatas
Seringkali penataan batas di lapangan belum melibatkan masyarakat secara aktif (formalitas)
Terjadinya kegiatan illegal di dalam kawasan hutan/ taman nasional Manajemen taman nasional kuarng efektif
Lemahnya dukungan masyarakat dalam pengelolaan hutan Konflik kepentingan
Program dan kegiatan pengelolaan taman nasional kurang optimal dan kurang mendapat dukungan masyarakat Batas kawasan hutan tidak mendapat pengakuan masyarakat
Berdasarkan pengalaman dalam pengelolaan kawasan hutan/taman nasional, konflik antara masyarakat dengan pengelola kawasan yang sering muncul dipermukaan adalah: 1. Konflik dalam penggunaan sumber daya alam a. Konflik dalam penggunaan ruang, seperti: 1) Pemukiman di dalam kawasan hutan/taman nasional yang keberadannya telah ada sebelum penetapan kawasan hutan/taman nasional, 2) Perladangan masyarakat yang dilakukan secara tetap yang keberadaannya sudah ada sebelum penetapan kawasan hutan/taman nasional, Perladangan berpindah yang dilakukan oleh masyarakat tradisional b. Konflik dalam pemanfaatan sumber daya alam hayati, diantaranya: 1) Pemungutan hasil hutan kayu untuk kepentingan ekonomi keluarga, kepentingan sendiri dan lainnya. 2) Pemungutan hasil hutan bukan kayu untuk kepentingan ekonomi keluarga, kepentingan sendiri dan lainnya. Perburuan tradisional c. Konflik dalam kepemilikan dan penguasaan sumberdaya alam hutan. 2. Konflik sosial dan budaya a. Terjadi pelanggaran hak kelompok khusus, dimana pemerintah secara umum harus memberikan perlakuan dan perlindungan lebih terhadap masyarakat adat sebagai kelompok khusus yang hidup di dalam kawasan hutan. b. Terjadi pelanggaran hak atas adat istiadat, dimana pemerintah secara defacto masih mengakui prosedur dan penegakan hukum adat.
4
3. Konflik Terhadap Akses a. Akses informasi. Terjadi pelanggaran hak atas informasi, dimana pemerintah tidak memberikan dan menyediakan informasi yang cukup, adil dan transparan dalam kebijakan taman nasional dan kebijakan pemerintah secara umum. b. Akses peran serta. Terjadi pelanggaran hak untuk berpartisipasi, dimana pemerintah tidak membuka dan mengajak partisipasi masyarakat di dalam / sekitar hutan untuk turut serta dalam perencanaan, perumusan dan implementasi kebijakan kehutanan, khususnya atas penyusunan rencana pengelolaan hutan. c. Akses pengembangan diri. Terjadi pelanggaran hak atas pengembangan diri, dimana program pemerintah haruslah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Dengan kondisi yang seperti ini menyebabkan upaya perlindungan dan pengamanan kawasan hutan menjadi sangat terbatas, yang pada ahirnya upaya penegakan hukum terhadap gangguan kawasan hutan menjadi lemah. Dari uraian permasalahan tersebut diatas, berdasarkan pengalaman dapat disimpulkan bahwa inti persoalan yang dihadapi adalah BELUM ADANYA PENGAKUAN dari masing‐masing pihak atas keberadaan wilayah masyarakat, wilayah kawasan hutan dan wilayah bukan kawasan hutan. III. UPAYA PEMECAHAN MASALAH Dengan tetap berdasar pada Undang‐Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dan Peraturan Pemerintah lainnya, maka upaya untuk menanggulangi konflik penggunaan kawasan hutan dan upaya untuk mendapatkan dukungan masyarakat atas pengamanan kawasan hutan di Lapangan, dilakukan antara lain: 1. Membangun kesepakatan untuk saling mengakui atas batas‐batas wilayah pemanfaatan ruang oleh para pihak khususnya masyarakat tempatan melalui Penataan Batas Hutan secara partisipatif termasuk di dalamnya kegitan, Penataan Batas Pemukiman dan Ladang masyarakat dalam Kawasan Hutan secara partisipatif. 2. Mengembangkan kolaborasi dalam perlindungan dan pengamanan kawasan hutan melalui kegiatan community patroll (Pengamanan hutan berbasis masyarakat)
5
3. Membangun co‐ownership (saling memiliki) dengan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pengukuhan hutan khususnya dalam perencanaan dan penataan batas kawasan hutan. 4. Memberikan akses kepada masyarakat dalam pengelolaan hutan, terutama pemanfaatan hasil hutan bukan kayu.
Dalam TN
Luar TN
Z ona hutan C UZ
Perumahan D aerah P eny angga
Pertanian
Bat as T N
CUZ
Co ntoh zon asi d i CUZ
Gambar 2. Pengembangan Kesepakatan Batas Partisipatif Pengalaman menunjukan bahwa dengan upaya tersebut diatas telah menumbuhkan kepercayaan dan dukungan masyarakat kepada pengelola kawasan dalam rangka pengelolaan dan pengamanan kawasan hutan. Demikian pula Pemerintah Kabupaten akan memberikan dukungan penuh dalam pengelolaan kawasan hutan. IV. PENUTUP Kesimpulan 1. Pengamanan Kawasan Hutan sangat bergantung pada pengakuan para pihak khususnya masyarakat tempatan terhadap batas‐batas kawasan hutan. 2. Peran Pemerintah Kabupaten dalam pengamanan kawasan hutan sangatlah penting. Oleh karena itu Bupati selaku Ketua Panitia Tata Batas Hutan merupakan faktor kunci dalam penentuan Batas‐batas hutan di Lapangan. 3. Peranserta masyarakat dalam pengamanan kawasan hutan merupakan kekuatan yang besar dalam rangga menanggulangi gangguan‐gangguan hutan. Saran 1. Sambil menunggu pengukuhan hutan yang memerlukan waktu lama, tehadap kawasan‐ kawasan hutan yang statusnya masih penunjukan diperlukan upaya percepatan melalui penataan batas partisipatif.
6
2. Dalam rangka mewujudkan pengelolaan hutan yang efektif khususnya pencegahan dan pengamanan kawasan hutan dari gangguan hutan perlu segera meningkatkan peran serta masyarakat. Pengalaman kekuatan 1 Regu Pengamanan Hutan Berbasis Masyarakat (Community Patrol) yang terdiri atas 1 Orang POLHUT dan 5 Orang Anggota Masyarakat telahmenunjukkan hasil yang nyata dalam pencegahan dan penurunan tingkat gangguan hutan di Tingkat Desa. DAFTAR PUSTAKA Departemen Kehutanan. Undang‐Undang Nomor. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Jakarta. 1990 Departemen Kehutanan. Undang‐Undang Nomor. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Jakarta. 1999 Departemen Kehutanan. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 Tentang Perlindungan Hutan. Jakarta. 2004 Departemen Kehutanan. 2007. Pembangunan Bidang PHKA. Jakarta. Departemen Kehutanan. 2005. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bukit Duabelas. Jambi. Sekretariat Negara Republik Indonesia. 2008. RUU Pemberantasan Pembalakan Liar. Jakarta. Waldemar, H. 1997. Panduan Pengamanan Hutan Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Unit Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Rengat. Waldemar, H. 1998. Pengalaman Lapangan Dalam Pengamanan Hutan. Lokakarya Kepala Balai KSDA dan Taman Nasional. Departemen Kehutanan. Bogor. Waldemar, H. 2006. Perlindungan dan Pengamanan Hidupan Liar. Sumatran Tiger Conservation Program. Bogor. Waldemar, H. 2007. Perlindungan dan Pengamanan Hutan. Pusat Diklat Kehutanan. Departemen Kehutanan. Bogor.
7
Menengok kesuksesan Rehabilitasi Hutan di Hutan Organik Megamendung Bogor Melalui Pola Agroforestry Oleh : Binti Masruroh Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) menurut Undang–Undang Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999, dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktifitas dan peranannya dalam mendukung sistem keidupan tetap terjaga. Kegiatan RHL salah satunya adalah penanaman pohon. Penanaman merupakan program yang sudah sangat terkenal dan mungkin sering kita lakukan. Berbagai macam program penanaman telah dilakukan namun hasilnya belum terlihat. Mengapa demikian? Sebagian program penanaman tidak diikuti dengan pemeliharaan sehingga banyak bibit mati di lapangan. Dalam silvikultur (ilmu yang mempelajari budidaya pohon) pemeliharaan tanaman harus dilakukan setelah penanaman, diantaranya adalah penyiraman, pemupukan, pembersihan gulma, penjarangan, pengendalian hama penyakit. Jika dihitung, biaya untuk pemeliharaan memang lebih besar dibandingkan dengan biaya penanaman. Mungkin karena itu, program pemeliharaan tidak dilaksanakan. Tapi, apalah arti sebuah penanaman jika hasilnya tidak dapat dinikmati oleh masyarakat? Di tengah rasa galau, pesimis dan menutup mata tentang sebuah program penanaman yang “belum berhasil”. Mata saya terhentak dan jiwa rimbawan saya bangkit dengan binar sebuah rasa OPTIMIS. Takjub saya melihat hamparan hijau meluas dari lembah sampai pucuk bukit dengan variasi rimbun tajuk berlapis lapis yang menandakan hamparan hutan yang kaya akan berbagai jenis vegetasi penyusunya. Dari keringat kerja keras Bambang istiawan beserta istri dan anaknya bukit yang gundul tandus, kering dan tak terasa lagi iklim mikronya berubah menjadi hutan yang rimbun, asri dan bermunculan mata air yang segar. Hutan organik, nama kelompok tani hutan yang dimotori oleh Bambang Istiawan dan keluarganya terletak di Blok S, Cipendawa, Megamendung dengan luas 12 Ha. Mengapa dinamakan hutan organik? Karena pemeliharaan hutan tersebut 100% menggunakan bahan organik yang ada di sekitar hutan.
Kegiatan yang dilakukan adalah 1.
Melaksanakan percobaan pada seluruh tingkatan penghutanan kembali (rehabilitasi hutan) a.l. pembibitan, pemeliharaan bibit , pohon dan lingkungannya, dalam pola konservasi untuk menguji dampak perbaikan ekosistemnya.
2.
Pengembangan pupuk organik yg diperlukan untuk penciptaan hutan alam.
3.
Melaksanakan percobaan penghutanan kembali dgn metode sendiri dan juga melakukan penerapan metode yang diterima dan dikenal dunia a.l. agroforestry dan atau metode lain untuk mendapatkan contoh progress rehabilitasi ekosistem yang alamiah.
4.
Melaksanakan uji coba penghutanan kembali yang terintegrasi dan memiliki dampak ekonomi langsung pada pelakunya.
5.
Melaksanakan percobaan penerapan standard dunia yang terkait dgn Lingkungan Hidup, Keselamatan, Hutan dan Manajemen dalam pekerjaan rehabilitasi ekosistem. Termasuk pertanian , peternakan organik.
6.
Melaksanakan secara terus menerus monitoring, pencatatan dan perbaikan / penyempurnaan terhadap seluruh hasil, dampak dan atau akibat dari seluruh pekerjaan yang dilakukan di kebun percobaan.
7.
Secara periodik melakukan sosialisasi hasil percobaan kepada pihak terkait
SEBELUM RHL
SETELAH RHL
Apa kunci sukses rehabilitasi di hutan organik? Pola agroforestry adalah kunci sukses keberhasilan rehabilitasi di hutan organik. Definisi agroforestry menurut ICRAF, agroforestry adalah kumpulan istilah untuk sistem dan teknologi pemanfaatan lahan
dimana tanaman kayu yang berumur panjang (pohon, semak, palma, bambu dll.) dibudidayakan secara sengaja dalam satu unit pengelolaan lahan dengan tanaman pertanian dan/atau ternak dengan pengaturan ruang dan waktu
tertentu.
Pada
sistem
agroforestry terdapat interaksi antar komponen ekonomis.
secara
ekologis
Secara
dan
ekologis
agroforestry berfungsi sebagai sistem penyangga kehidupan yaitu dapat mengendalikan erosi, penyedia oksigen, sumber mata air serta sumber keanekaragaman hayati. Secara ekonomis agroforestry dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat karena menghasilkan berbagai sumber pangan yang berasal dari tanaman pertanian maupun tanaman MPTs (multi purpose trees species). Tingginya variasi produk yang bisa dihasilkan lahan agroforestry diharapkan dapat mengubah pola pikir masyarakat yang memandang hutan hanya sebagai penghasil kayu sehingga keberadaan hutan dapat dipertahankan.
Kombinasi antara tanaman kehutanan dan tanaman pertanian pada hutan organik
sangat mendukung program rehabilitasi. Jenis tanaman kehutanan yang diusahakan adalah jati, mahoni, damar, kayu afrika, sungkai, sengon, bambu, kelapa dll. Jenis tanaman pertanian yang diusahakan adalah, cabai, tomat, wortel, seledri, jahe, kunyit, lengkuas, akar wangi, kapulaga dll. Dengan adanya tanaman pertanian di sekeliling tanaman kehutanan maka tanaman kehutanan akan terpelihara dengan baik. Petani dengan rutin akan memelihara tanaman pertanianya, memupuk, menyiram, membersihkan gulma maupun mengendalikan hama penyakit. Pemupukan dilakukan menggunakan pupuk organik yang berasal dari ternak berupa kambing yang dibudidayakan di lahan agroforestry. Penyiraman dilakukan dengan mengandalkan mata air muncul di sekitar hutan. Setiap pagi petani dapat memanen hasil sayuran organik dan memasarkanya.
Pemilihan jenis tanaman pertanian disesuaikan dengan kondisi tajuk tanaman. Saat
kondisi tajuk masih terbuka maka kita dapat memilih jenis tanaman pertanian yang membutuhkan cahaya matahari maksimal (intoleran) contohnya cabai, kacang tanah,
kacang panjang, tomat, terong, kangkung, bayam, wortel, kucai dll. Apabila tajuk pohon mulai tertutup maka kita bisa memilih tanaman pertanian dapat tumbuh di bawah tegakan (toleran) contohnya adalah kapulaga, lengkuas, jahe, kunyit, kencur dan kincung. Dengan pemilihan jenis tanaman pertanian yang tepat maka hasil produktivitas lahan semakin meningkat dan pemeliharaan terhadap lahan juga semakin intensif.
Penerapan agroforestry sangat membantu keberhasilan program rehabilitasi dalam
bentuk 1. Pemeliharaan tanaman kayu (tanaman rehabilitasi) sangat terbantu dengan keberadaan tanaman pertanian karena dengan merawat tanaman pertanian tanaman rehabilitasi juga terawat dan terpenuhi kebutuhan air maupun nutrisinya 2. Biaya pemeliharaan dapat ditekan karena menggunakan pupuk organik yang berasal dari kotoran kambing hasil peternakan di lokasi agroforestry 3. Produktivitas lahan meningkat dan kesejahteraan petani meningkat, hasil panen berupa wortel, kapu laga, kopi, jahe, kunyit, tomat, cabai, sawi, kucai, akar wangi 4. Kelestarian hutan terjaga karena pola pikir “hutan sebagai penghasil kayu” bergeser menjadi hutan sebagai sumber pangan sehingga masyarakat akan lebih menjaga dan merawat hutan Jenis tanaman kayu yang cukup berkembang di hutan organik adalah damar dan kayu afrika. Dimater kayu afrika umur 8 tahun dapat mencapai 100 cm. Pertumbuhan yang cukup cepat. Untuk pohon damar juga banyak di jumpai di hutan organik, batangnya lurus dan memiliki nilai estetika yang tinggi Kayu afrika umur 8 tahun dengan diameter 100 cm (2015)
Keberhasilan rehabilitasi hutan di hutan organic megamendung merupakan magnet yang cukup kuat untuk menarik pengunjung dari berbagai lapisan. Sebagai wisata edukasi, berbagai sekolah mulai tingkat TK sampai perguruan tinggi berkunjung ke tempat tersebut. Tamu dari berbagai belahan dunia juga sering datang untuk melihat keberhasilan rehabilitasi karya putra bangsa Indonesia. Berbekal dengan kemauan dan kerja keras lahan
yang tandus berubah menjadi hutan yang lestari. Semoga bisa memberikan inspirasi bagi kita untuk membangun kembali hutan Indonesia sebagai paru paru dunia. Minimal dimulai dari lingkungan sekitar kita
TEH DAUN GAHARU BUKAN SEMBARANG TEH Produksi KTH Gaharu Harapan I Oleh : Harowansa Edi Admaja Penyuluh Kehutanan Kab. Bangka Tengah PENDAHULUAN Gaharu adalah sejenis kayu dengan warna yang khas (coklat‐kehitaman) dan memiliki kandungan kadar damar wangi (Badan Standarisasi Nasional 2011). Gaharu bukanlah nama tumbuhan, tetapi sebagai hasil dari pohon atau kayu tertentu. Pohon penghasil gaharu pada umumnya berasal dari famili Thymelaeaceae, dengan 8 (delapan) genus yang terdiri dari 17 species pohon penghasil gaharu, salah satunya dari genus Aquilaria dengan 6 jenis. Di Sumatera khususnya Bangka Belitung tanaman penghasil gaharu banyak berasal dari jenis Aquilaria malaccensis yang merupakan penghasil gaharu yang terbaik di dunia (Gayuh, 2009). Gaharu yang dalam perdagangan internasional dikenal dengan sebutan agarwood, eaglewood, atau aloewood adalah produk Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dalam bentuk gumpalan, serpihan atau bubuk yang memiliki aroma keharuman khas bersumber dari kandungan bahan kimia berupa resin (a‐ oleoresin). Selain mengandung resin (a‐~ oleoresin), gaharu juga mengandung essens yang disebut sebagai minyak essens (essential oil) yang dapat dibuat dengan ekstraksi atau penyulingan dari gubal gaharu. Essens gaharu ini digunakan sebagai bahan pengikat (fixative) dari berbagai jenis parfum, kosmetika, dan obat‐obatan herbal. Selain itu, serbuk atau abu dari gaharu dapat digunakan sebagai bahan pembuatan dupa/hio dan bubuk aroma therapy, dan daun pohon gaharu bisa dibuat menjadi teh yang dapat membantu kebugaran tubuh. Di alam, kurang dari 5% dari populasi pohon gaharu menghasilkan gaharu, dan jika gaharu terbentuk, jumlahnya biasanya kurang dari 10% dari biomassa kayu dari pohon yang terinfeksi. Karena bernilai ekonomis tinggi eksploitasi gaharu alam dilakukan tanpa pertimbangan yang tepat dari kelestariannya. Akibatnya, populasi spesies gaharu menurun dengan cepat, sehingga spesies ini termasuk dalam Appendix II CITES (Santoso et al, 2007) yaitu tanaman yang dikategorikan dikhawatirkan punah sehingga peredaran dan perdagangannya diatur oleh konvensi
internasional. Kini pohon gaharu telah banyak dibudidayakan kembali oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia di berbagai wilayah terutama di provinsi Kep. Bangka Belitung Khususnya di Kabupaten Bangka Tengah sesuai Keputusan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Nomor SK. 22/V‐BPS/2010 tentang Penetapan Jenis Hasil Hutan Bukan Kayu Unggulan Nasional dan Lokasi Pengembangan Klaster. Data dari Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Bangka Tengah, sampai dengan desember 2015 jumlah pohon gaharu alam 2.193 pohon dan gaharu budidaya berjumlah 681.303 pohon tersebar di 6 (enam) kecamatan di Kab. Bangka Tengah. Budidaya gaharu mulai banyak dikembangkan tetapi untuk menunggu hasil yang dapat diberikan oleh tanaman gaharu memerlukan waktu yang sangat lama sedangkan petani tetap membutuhkan biaya produksi termasuk pemeliharaan hingga tanaman gaharu menghasilkan gubal gaharu yang baik. Hal yang dapat dilakukan yaitu dengan pemanfaatan daun gaharu sebagai minuman atau teh yang merupakan alternatif dan solusi bagi petani gaharu sehingga gaharu telah bernilai ekonomis sebelum menghasilkan gubal. Berdasarkan uraian diatas maka perlu dilakukan usaha yang kreatif dan inovatif untuk memanfaatkan daun gaharu selagi menunggu resin ataupun gubalnya nya dapat dipanen sehingga dapat berdaya guna terutama bagi kesehatan. Proses Pembuatan Teh Daun Gaharu Proses pembuatan teh ini dilaksanakan di Pabrik Teh Gaharu Desa Lubuk Pabrik Kecamatan Lubuk Besar Kabupaten Bangka Tengah. Pelaksanaan pembuatan teh disupervisi oleh seorang apoteker dari Dinas Kesehatan Pemerintah Kabupaten Bangka Tengah dan pembinaan dari Dinas Perkebunan dan Kehutanan serta Dinas Perindustrian Kabupaten Bangka Tengah. Bahan yang dipakai dalam pembuatan teh gaharu ini adalah 100% daun gaharu, kemasan primer gaharu yaitu kantong teh, tali; kemasan sekunder berupa metalizer/alumunium foil, kemasan tersier yaitu kotak. Sedangkan peralatan yang dipakai adalah timbangan analitik, gunting, bak pencuci daun, pengering daun gaharu, pencacah daun dan alat pengemas berupa countinous sealer. Metode yang digunakan adalah metode eksplorasi dan hasil penelitian Dinas
Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Bangka Tengah dengan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Sriwijaya. Pengambilan daun di lapangan. Daun gaharu dipetik menggunakan gunting yaitu daun gaharu yang dipetik 7 daun dari pucuk pada pagi hari. Kemudian disortasi basah kemudian dicuci dengan bak pencuci yang berisi air mengalir. Sortasi dilakukan guna pemisahan daun yang cacat (daun kuning, rusak, berpenyakit), kotoran‐kotoran dan bahan asing lainnya seperti ranting yang ikut terambil. Pencucian dilakukan untuk mengurangi jumlah pengotor dan cemaran mikroba yang melekat pada daun kemudian ditiriskan. Pengeringan dan pencacahan daun gaharu. Daun yang telah ditiriskan kemudian dikeringkan dengan menggunakan bak pengering sehingga kadar air daun mencapai 5%. Daun yang sudah cukup kering yang ditandai dengan mudahnya daun dihancurkan dengan tangan. Selanjutnya dilakukan pencacahan daun dengan memasukkannya ke dalam mesin pencacah daun. Pengemasan serbuk daun gaharu. Setelah daun gaharu dicacah hingga halus menyerupai serbuk maka ditimbang sebanyak 1 gr kemudian dimasukkan ke dalam kantong kemasan teh ,diberi tali dan disealer sedemikian rupa sehingga menyerupai teh celup. Kemudian kantong teh dimasukkan ke dalam alumunium foil atau metalizer, disealer dan terakhir dimasukkan ke dalam kotak kemasan dan siap untuk dipasarkan. Gambar 1. Proses pembuatan teh gaharu : (a) pohon gaharu yang daunnya sudah siap diambil (b) daun gaharu yang telah dipetik (c) daun gaharu yang telah disortir dilakukan pencucian (d) pengeringan (e) pencacahan (f) pengemasan (g) teh gaharu siap dipasarkan.
HASIL Hasil yang diperoleh yaitu proses pembuatan daun gaharu menjadi teh gaharu dan tentu saja berupa teh celup daun gaharu sebagai hasil dari pemanfaatan daun gaharu ketika gubal gaharu belum menghasilkan (gambar 1). Hingga tahun 2016 telah diproduksi teh gaharu sebanyak 50 kg dengan uraian setiap kg menghasilkan 1.000 kantong teh dan setiap kotak teh terdapat 10 kantong teh siap celup dan dipasarkan dengan harga Rp 10.000,‐/kotak. Bukan Sembarang Teh Teh gaharu yang diberi nama Aqilla yang dihasilkan oleh Kelompok Tani Hutan Gaharu harapan 3 yang tergabung dalam Gapoktan Alam Jaya Lestari kecamatan Lubuk, Kabupaten Bangka Tengah bukan sembarang teh tetapi teh yang telah dikaji dan dilakukan uji klinis oleh Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya bekerja sama dengan Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Bangka Tengah dan telah mendapatkan sertifikat halal, hingga saat ini dalam kepengurusan BP POM RI. Hasil kajian menunjukkan bahwa teh gaharu merupakan teh yang aman untuk dikonsumsi. Beberapa uji yang dilakukan terhadap teh menunjukkan hasil yang positif terhadap kesehatan diantaranya sebagai berikut : 1. Hasil pemeriksaan fisik terhadap objek menunjukkan hasil Insomia rating scale (IRS) menurun yang mana artinya dapat mengobati insomia dengan dinyatakan tidur lebih pulas dan bangun di pagi hari menjadi lebih lebih segar; 2. Dapat menaikan kadar kolesterol baik dengan menurunnya kekentalan pada daerah yang sangat berperan dalam penurunan radikal bebas sehingga mampu mencegah terjadinya penaykit degeneratif seperti diabetes, stroke. 3. Mampu menurunkan kadar gula darah; 4. Dapat meningkatkan kesuburan dan meningkatkan aktifitas seksual bagi pria dan wanita; 5. Tidak mengganggu produksi ASI; 6. Tidak menganggu sistem darah (hematopetik);
7. Tidak menganggu fungsi hati dan lever. Hal ini sangat sesuai pernyataan bahwa daun gaharu berpotensi sebagai antioksidan (Moosa, 2010), antidiabetika (Yunus dkk., 2015), hepatoprotektif terhadap hepatotoksik yang diinduksi parasetamol pada tikus (Alam dkk., 2016), antimikroba terhadap bakteri S. flexneri dan P. aeruginosa pada ektrak airnya dan terhadap B. subtilis pada ekstrak metanolnya (Dash dkk., 2008), antikanker terhadap sel kanker serviks HeLa (Fatmawati dan Hidayat, 2016). Ekstrak metanol daun gaharu memiliki aktivitas antioksidan dengan IC50 1938 µg/mL, sedangkan ekstrak air daun gaharu memiliki IC50 1091 µg/mL (Wil dkk., 2014). Daun gaharu mengandung alkaloid, flavonoid, tritepenoid, steroid, saponin, dan tanin (Wil dkk., 2014). Adapun senyawa‐ senyawa tersebut dapat berperan sebagai antioksidan alami. Antioksidan alami dinilai lebih aman daripada antioksidan sintetik yang dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan mutagenik dan karsinogenik (Amarowicz dkk., 2000). Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron atau reduktan, yang mampu menginaktivasi berkembangnya reaksi oksidasi, dengan cara mencegah terbentuknya radikal dan mengikat radikal bebas maupun molekul yang sangat reaktif sehingga kerusakan sel dapat dihambat (Winarsi, 2007). Radikal bebas yang berasal dari lingkungan maupun dalam tubuh (Winarsi, 2007) akan terlibat langsung dalam proses degeneratif tubuh seperti penuaan, kanker, penyakit kardiovaskuler, arteriosklerosis, kelainan saraf, iritasi kuit, dan peradangan (Winarsi, 2007). Oleh karena itu, diperlukan antioksidan untuk menetralisir kelebihan senyawa radikal di dalam tubuh guna mencegah terjadinya penyakit‐penyakit degeneratif yang dapat diperoleh dari daun gaharu sebagai sumber antioksidan alaminya. Banyak penelitian sebelumnya menyebutkan daun gaharu memiliki aktivitas antioksidan baik pada ekstrak air (Wil dkk., 2014), ekstrak metanol maupun pada fraksi n‐heksana, diklormetan, etil asetat, dan n‐butanol (Moosa, 2010). Dari penelitian Wil dkk. (2014) sebelumnya hanya dapat diketahui aktivitas antioksidan dan kandungan fenol total dari ekstrak etanol dan airnya, tetapi belum diketahui kandungan flavonoid totalnya. Flavonoid diketahui memiliki aktivitas antioksidan karena dalam struktur senyawanya terdapat sistem yang dapat mereduksi radikal bebas dengan cara memberi elektron sehingga mampu menginaktivasi berkembangnya reaksi oksidasi.
KESIMPULAN Teh gaharu adalah teh yang berasal dari daun gaharu yang merupakan tanaman hutan Indonesia mempunyai potensi sebagai minuman sehat yang sangat baik untuk kesehatan, sangat layak dan aman untuk dikonsumsi. Daun gaharu dapat memberikan manfaat secara ekonomis dan kesehatan sebelum tanaman gaharu menghasilkan gubal gaharu siap panen. Pemanfaatan daun gaharu sebagai bahan minuman (teh) sangat tepat karena daun gaharu mengandung bahan yang sangat bermanfaat bagi tubuh terutama mengandung antioksidan yang tinggi, menurunkan kadar gula menjaga kualitas tidur (terhindar dari insomia), meningkatkan vitalitas dan mencegah penyakit degeneratif. Diperlukan banyak kajian lagi untuk diversifikasi produk teh sendiri sehingga lebih dapat berdaya dan berhasil guna agar dapat meningkatkan perekonomian petani gaharu secara nyata.
TEKNIK PEMBIBITAN MERBAU (Intsia bijuga) Oleh : Budi Budiman, S.Hut, M.Sc Penyuluh Kehutanan Pusat Merbau merupakan salah satu jenis pohon yang menghasilkan kayu dengan kualitas yang baik. Kualitas ini tercermin dari sifat kayunya yang merupakan kayu keras, awet dan tahan terhadap jamur pelapuk kayu. Seiring dengan maraknya ilegal loging di berbagai tempat di Indonesia membuat jenis ini diambang kepunahan. Menurut IUCN (1998) merbau termasuk kedalam jenis tumbuhan terancam kepunahan dengan kategori rawan (Vulnerable A1). Jenis tumbuhan yang dirnasukkan kategori ini telah mengalami risiko kepunahan yang tinggi di alam bahkan dalam waktu dekat dapat menjadi punah. Untuk mencegah kepunahan pohon merbau dari bumi Indonesia, maka diperlukan suatu upaya agar jenis pohon ini tetap lestari dan dapat menjadi primadona penghasil kayu berkualitas tinggi. Upaya pelestarian pohon merbau dapat dimulai dengan membudidayakannya secara mandiri. Untuk mendukung upaya tersebut, maka sudah sepatutnya kita mengetahui teknik pembibitan pohon merbau. Pohon, Kayu dan Benih merbau
Pohon merbau (Intsia bijuga (Colebr.) Kuntze) merupakan anggota famili caesalpiniaceae. Tumbuh secara alami di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Timor dan Irian Barat. Pohon merbau tumbuh di hutan primer lahan kering pada tempat yang tidak tergenang air atau sewaktu‐waktu digenangi air, diatas tanah pasir atau berbatu‐batu, pada lapangan yang rata atau miring, hidup tersebar pada ketinggian 0‐50 m dpl. Di beberapa tempat pohon ini dikenal juga dengan nama lokal bajan. Di wilayah Maluku dan Papua Barat kayu ini dikenal dengan nama kayu besi, sedangkan di wilayah Papua Nugini kayu ini dikenal dengan nama kwila. Kayu ini di dunia internasional dikenal dengan nama mirabow, Moluccan iron wood, Malacca teak dan lain‐lain. Kegunaan Kayu merbau termasuk kelas I – II, yang artinya kayu ini memiliki penyusutan yang sangat rendah, sehingga tidak mudah menimbulkan cacat apabila dikeringkan. Kayu Merbau banyak dimanfaatkan sebagai bahan konstruksi berat seperti balok, tiang dan bantalan di bangunan rumah atau jembatan. Oleh karena kekuatan, keawetan dan penampilannya yang menarik, sekarang kayu merbau juga dimanfaatkan secara luas untuk pembuatan kusen, pintu dan jendela, lantai parket (parquet flooring), papan‐ papan dan panel, mebel, badan truk, ukiran dan lain‐lain. Kayunya juga dapat digunakan sebagai pengekstrak warna. Kulit kayu dan daun merbau biasa digunakan sebagai obat tradisional. Teknik perkecambahan Untuk mempercepat proses perkecambahan benih merbau diperlukan perlakuan skarifikasi benih, karena kulit benih merbau memiliki kulit yang keras. Skarifikasi adalah usaha memecah dormasi benih yang bertujuan untuk menghilangkan sifat dormansi fisik benih terhadap gas dan air sehingga mempercepat perkecambahan (Harjadi, 2002). Skarifikasi akan mempercepat imbibisi, sehingga dengan perlakuan skarifikasi yang tepat proses imbibisi akan berjalan dengan baik dan benih dapat berkecambah dalam waktu yang relatif seragam (Wulandari et al, 2015).
Perlakuan skarifikasi benih merbau dapat dilakukan dengan melakukan pengikiran kulit benih tanpa merusak embrio benih. Benih yang sudah dikikir tersebut kemudian direndam dalam air dingin selama 30 menit (Yuniarti, 2010). Cara lain perlakuan pendahuluan benih merbau adalah dengan cara merendam benih merbau dalam larutan asam sulfat dengan konsentrasi 40% selama 20 menit (Purwani, 2006). Hasil penelitian Wulandari et al, 2015 menunjukkan bahwa benih merbau yang memiliki berat >3,49 gram berpengaruh terhadap prosentase kecambah benih 80,25%. Hal ini berarti benih merbau yang lebih berat akan menghasilkan prosentase perkecambahan benih merbau yang lebih baik. Hal ini diduga benih berbobot berat memiliki jumlah cadangan makanan yang lebih banyak sebagai sumber energi untuk proses perkecambahan karena fungsi utama cadangan makanan dalam biji yaitu memberi makan pada embrio maupun tanaman yang masih muda sebelum tanaman itu mampu memproduksi zat makanan, hormon, dan protein (Ashari, 2006). Benih yang telah mengalami perlakuan pendahuluan kemudian ditabur dalam media perkecambahan. Media perkecambahan yang digunakan adalah campuran tanah dan pasir dengan perbandingan 1:1. Media perkecambahan tersebut telah mengalami proses sterilisasi terlebih dahulu dengan cara penggorengan selama 2 jam (Yuniarti, 2010). Fase perkecambahan benih Merbau Proses perkecambahan benih merbau dimulai pada hari ke‐7 sampai dengan hari ke‐9 setelah penaburan benih. Tipe perkecambahan benih merbau termasuk tipe epigeal dimana hipokotil benih merbau tumbuh memanjang yang mengakibatkan kotiledon dan
plumula sampai keluar ke permukaan tanah, sehingga kotiledon terdapat di atas tanah. Setelah muncul sepasang daun semai merbau siap untuk disapih ke polybag. Kecambah merbau siap sapih Media semai untuk polybag menggunakan campuran tanah dan pasir dengan perbandingan 1 : 1. Untuk merangsang pertumbuhan semai sebaiknya diberi super‐ fosfat dalam bentuk kapur (Sasaki, 1981). Ukuran polybag yang disarankan adalah polybag dengan ukuran 15 x 20 cm. Bibit merbau siap siap ditanam di lapangan setelah berumur 3 bulan.
Bibit merbau siap tanam Kesimpulan Merbau merupakan salah satu jenis pohon penghasil kayu dengan kualitas yang baik namun terancam punah, maka diperlukan pengetahuan mengenai teknik pembibitan sebagai upaya pelestarian jenis tersebut. Perlakuan skarifikasi benih merbau adalah dengan mengikir kulit benih kemudian direndam dalam air dingin selama 30 menit atau cara lainnya dengan merendam benih merbau dalam larutan asam sulfat dengan konsentrasi 40% selama 20 menit. Media perkecambahan yang digunakan adalah campuran tanah dan pasir dengan perbandingan 1:1 yang telah melalui proses sterilisasi selama 2 jam. Tipe perkecambahan benih merbau termasuk tipe epigeal dengan proses perkecambahan dimulai pada hari ke 7‐9 setelah penaburan. Semai siap disapih setelah tumbuh sepasang daun. Media semai untuk polybag adalah campuran tanah dan pasir dengan perbandingan 1 : 1. Ukuran polybag yang disarankan adalah polybag dengan ukuran 15 x 20 cm. Bibit merbau siap siap ditanam di lapangan setelah berumur 3 bulan.
Daftar Pustaka Ashari, S. 2006. Hortikultura Aspek Budidaya. Buku. Universitas Indonesia. Jakarta. 19‐‐ 27p. Harjadi, M.M. 2002. Pengantar Agronomi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Purwani, A. 2006. Pengaruh lama perendaman pada berbagai konsentrasi larutan asam sulfat terhadap perkecambahan benih merbau darat. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 39 p. Sasaki, S dan F.S.P. Ng. 1981. Physiological andles on generation and seedling ducloment in Intsia palembanica (Mandau). The Malaysian Forester 44 (1) : 43‐59 Wulandari, W, Afif Bintoro dan Duryat, 2015. Pengaruh ukuran berat benih terhadap perkecambahan benih merbau darat (Intsia palembanica). Jurnal Sylva Lestari Vol. 3 No. 2., (79‐88). Universitas Lampung. Bandar Lampung. IUCN,
1998.
lntsia bijuga. The IUCN Red List of Threatened Species.
(www.iucnredlist.org). Diakses tanggal 30 Mei 2016. Yuniarti, 2010. Merbau (Intsia spp). Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid I. Publikasi khusus Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor vol 4 no 3 cetakan ketiga. Badan Litbang Kehutanan Bogor.
WAHYU KARYONO Menjadi PKSM untuk memenuhi Panggilan Hati Oleh : Ryke L.S. Siswari Seperti umumnya di kabupaten‐kabupaten di Indonesia, jumlah penyuluh Kehutanan PNS di Kabupaten Kebumen masih jauh dari mencukupi. Untuk 26 kecamatan yang ada, Kabupaten Kebumen hanya memiliki 18 orang penyuluh kehutanan PNS. Dengan kondisi yang demikian, kehadiran penyuluh kehutanan swadaya masyarakat sebagai mitra penyuluh kehutanan PNS menjadi sangat penting. PKSM dapat membantu mengisi kekosongan yang tidak bisa dijangkau oleh PK PNS bahkan kadang‐kadang malah menjadi andalan dalam kegiatan penyuluhan. Saat ini, Kabupaten Kebumen memiliki 39 Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat (PKSM) yang melayani 15 kecamatan. Salah satu PKSM yang sangat aktif di Kabupaten Kebumen adalah Wahyu Karyono. Kiprahnya dalam penyuluhan kehutanan dan pembangunan kehutanan secara umum mengantarkannya sebagai PKSM terbaik II nasional pada Lomba Wana Lestari tahun 2015. PKSM
Wahyu
Karyono
membagikan
ilmunya tentang kupu‐kupu kepada anak‐ anak sekolah yang berkunjung ke Taman Kupu‐kupu Alian
Memenuhi Panggilan Hati Meski baru dikukuhkan sebagai PKSM oleh Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan pada tahun 2015, Wahyu sebenarnya telah memulai kegiatannya sejak tahun 2008. Awalnya adalah keprihatinannya terhadap banyaknya lahan kritis dan terlantar di Desa Kalirancang, Kecamatan Alian yang merupakan tempat tinggalnya. Wahyu merasa terpanggil untuk ikut menyelamatkan daerahnya. Aktivitas pertama yang dilakukannya adalah upaya pemanfaatan lahan kritis seluas 3.8 ha milik kerabatnya.
Dengan dukungan pemilik lahan, Wahyu merancang pengelolaan lahan kritis tersebut dengan pola wana tani. Pola ini dipilih karena akan mampu memberikan hasil antara sebelum hasil utama berupa kayu dapat dinikmati. Dari hasil konsultasi dengan pihak Dinas Kehutanan dan Perkebunan serta Penyuluh Kehutanan, juga dari mempelajari sendiri kondisi lingkungan serta kesesuaian lahan, dipilihlah tanaman pokok berupa kayu jati dengan tanaman tumpangsari kacang tanah dan rumput gajah. Kacang tanah dipilih karena cocok untuk penutup lahan dan peningkatan kesuburan tanah, sedangkan rumput dipilih untuk penguat/penahan teras sekaligus makanan ternak. Sambil mengelola lahan yang diberi nama Taman Tunggal Wahyu Jati, Wahyu juga mulai melakukan pendekatan kepada masyarakat sekitar untuk melakukan pengelolaan lahan‐ lahan kritis/ terlantar di daerahnya. Melihat lahan kritis yang dikelola Wahyu mulai menghijau dan memberikan hasil berupa kacang tanah serta hijauan makanan ternak, masyarakat pun sedikit‐seidkit mulai tergerak untuk menngelola dan memanfaatkan lahan terlantar yang mereka miliki. Hutan Jati dengan Pola Wana Tani Seiring dengan hal tersebut, Wahyu juga berusaha meningkatkan kapasitas dirinya dengan mengikuti berbagai pelatihan. Baik dengan biaya sendiri maupun sebagai peserta undangan kafena namanya sudah mulai dikenal. Wahyu mulai sering diundang untuk mengikuti pelatihan, magang dan studi banding yang dilaksananakn oleh pemerintah kabupaten maupun pihak lainnya. Setiap kali mengikuti kegiatan peningkatan kapasitas, selalu ada hasil yang dipraktekkan langsung di lahannya, yang dijadikannya tempat praktek atau unit percontohan/demplot bagi Kelompok tani. Dengan mempraktekkan ilmu pengetahuan yang diperolehnya, Wahyu juga belajar langsung dari kegiatannya, menemukan masalah‐masalah sekaligus upaya pemecahannya. Belakangan, Wahyu juga sering diundang untuk menjadi fasilitator maupun pendamping bagi kelompok‐kelompok tani bahkan di luar kecamatan Alian. Inilah awal mula Wahyu menjadi PKSM, memenuhi panggilan hati untuk menyelamatkan lahan sekaligus berbagi pengetahuan dan ketrampilan. Hasil Hutan Itu Bukan Hanya Kayu Dalam perjalanannya mengembangkan hutan rakyat, Wahyu juga belajar bahwa hutan rakyat yang dikembangkannya memiliki banyak potensi lain yang bisa dikembangkan. Setelah mengikuti pelatihan perlebahan, Wahyu mulai mengembangkan budidaya lebah di lahan yang dikelolanya
sekaligus mengembangkan demplot kaliandra sebagai sumber pakan lebah. Ia juga berhasil mendorong masyarakat yang dilatihnya untuk melakukan budidaya lebah karena pasar yang memanng cukup menjanjikan. Pada tahun 2014, Wahyu bersama kelompok‐kelompok yang dibinanya mampu mensuplai 450 stup lebah untuk kegiatan MP3EI Jawa Tengah dengan harga Rp 200.000/stup atau senilai keseluruhan sebesar Rp.90.000.000 Kegiatan Wahyu pun semakin berkembang. Hutan rakyat dengan pola wana tani yang dikembangkan bersama masyarakat kini sudah mencapain 420 ha. Jenis tanaman tumpangsari pun tidak hanya kacang tanah dan rumput, tetapi juga mulai ditanam buah‐buahan, jahe, kunyit dan kapulaga. Dengan demikian hasil tambahan dari hutran rakyat semakin meningkat. Wahyu juga mulai belajar melakukan penangkaran satwa dari jenis rusa, merak dan kupu‐ kupu. Dimulai dengan 3 ekor rusa dan 3 ekor merak, saat ini Wahyu telah memiliki 4 ekor rusa dan 6 ekor merak. Diperkirakan pada bulan oktober ini rusa kembali beranak dan saat ini ada 5 butir telur merak yang sedang dierami induknya. Penangkaran kupu‐kupu dimulai dengan penangkaran jenis kupu‐kupu lokal yang mencapai 22 jenis di antaranya adalah Troides helena, Losaria coob, Popilio memmon, Popilio polythes, Graphium agamemmon, Leptosia nina, Hypolimnas bolina. Saat ini bahkan telah dibangun Taman Wisata Kupu‐Kupu Alian,
yang
diresmikan
oleh
Bupati
Kebumen pada tanggal 11 Juni 2015. Anak‐anak merak yang baru menetas Sentra Penyuluhan dan Edukasi bagi Masyarakat Dengan berbagai jenis kegiatan yang dilaksanakan secara terpadu tersebut, lahan yang dikelola oleh Wahyu berkembang menjadi tempat pembelajaran bagi masyarakat tidak hanya unbtuk kegiatan kehutanan tetapi juga menjadi tempat wisata edukasi. Sasaran penyuluhan tidak hanya petani hutan tetapi berkembang ke anak sekolah, TNI, para santri dan lain‐lain. Bahkan Taman Wisata Kupu‐kupu Alian juga menjadi tempat penelitian bagi mahasiswa dan menumbuhkan peneliti‐peneliti kecil dari Sekolah‐sekolah Dasar di sekitarnya di bawah bimbingan Wahyu.
Taman Kupu‐kupu Alian, bagian dari wisata edukasi yang dimanfaatkan sebagai sarana penyuluhan
Bersamaan dengan itu, PKSM yang berprinsip “kuasai ilmunya dan bagikan dengan sesama” ini pun semakin mantap berkiprah. Tak pelit berbagi ilmu, ia juga tidak pernah berhenti berusaha menambah ilmu kemana saja. Tidak saja belajar melalui pendidikan dan latihan tetapi juga belajar dari alam dan pengalaman. Saat ia menemukan bahwa kupu‐kupu ternyata menyukai bunga lada hutan, iapun mulai mengembangkan tanaman lada hutan sebagai salah satu jenis tanaman tumpangsari. Wahyu juga selalu berusaha membangun jaringan seluas‐luasnya. Untuk menambah pengetahuannya tentang penangkaran kupu‐kupu misalnya, Wahyu telah melakukan studi banding mandiri ke Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang memang terkenal dengan kupu‐ kupunya. Selain itu, ia juga mulai mengakader masyarakat yang berminat dan berpotensi untuk menjadi Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat. Dampak Kegiatan PKSM Dampak dari karya nyata Wahyu sebagai PKSM sangat luas dan terasa. Yang jelas terlihat adalah :
Berkembangnya hutan rakyat mencapai luasan 420 ha dengan pola wanatani dengan jenis tanaman pokok kayu jati dan tanaman bawah tegakan, buah‐buahan, kacang tanah, rumput, empon‐empon dan lada hutan. Dengan berkembangnya hutan rakyat ini tentu saja jumlah lahan kritis dan terlantar menjadi jauh berkurang
Berkembangnya usaha perlebahan dan demplot kaliandra sebagai sumber pakan lebah
Berkembangnya minat masyarakat untuk ikut berperan dalam kegiatan pembangunan khutanan
Berkembangnya Kelompok Tani Hutan dan PKSM di Kecamatan Alian
Berkembangnya Penangkaran Merak, rusa dan kupu‐kupu menjadi wadah wisata edukasi bagi masyarakat
Masyarakat teredukasi tentang kehutanan dan lingkungan
Menumbuhkan peneliti‐peneliti kecil mengenai flora dan fauna dari sekolah‐sekolah di sekitar lokasi
Kiprahnya sebagai PKSM tidak hanya mengantarkan Wahyu memenangi Lomba Wana Lestari Nasional tahun 2015, tetapi juga mendapat kehormatan untuk menyampaikan paparan tentang Hasil Hutan Bukan Kayu di depan Gubernur Jawa Tengah dan peserta Jambore Penyuluhan tahun 2015. Sukses Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat Dari pengalaman Wahyu sebagai PKSM, dapat diketahui beberapa hal yang dapat menjadi kunci suksesnya. Diantaranya adalah :
Membangun Jejaring Terbangunnya jejaring dengan berbagai pihak akan memudahkan akses informasi, teknologi, manajemen, permodalan maupun pemasaran.
Selalu Berusaha Meningkatkan Pengetahuan Peningkatan kapasitas dalam bentuk pengetahuan maupun ketrampilan diperlukan dalam melaksanakan kegiatan. Dengan menguasai ilmunya, kegiatan apapun akan dapat terlaksana dengan lebih baik. Pengembangan pengetahuan juga diperlukan guna menambah agar kegiatan yang dilakukan semakin beragam dan dapat dimanfaatkan dalam segala situasi.
Memanfaatkan setiap peluang dan kesempatan Peluang dan kesempatan biasanya tidak datang dua kali. Untuk itu, jangan ragu memanfaatkan setiap peluang dan kesempatan dalam bentuk apapun. Kesempatan untuk belajar, membangun jejaring , dan kerjasama akan sangat bermanfaat dalam melaksanakan kegiatan.
Mempraktekan Ilmu yang Diperoleh Dengan mempraktekkan ilmu yang diperoleh akan langsung didapatkan pengalaman sekaligus menemu kenali permasalahan‐permasalahan dan upaya pemecahannya.
Tidak Pelit Berbagi Ilmu
Berbagi ilmu akan semakin mempertajam pengetahuan yang dimiliki, sekaligus memperluas dan menguatkan jejaring yang dibangun Penutup Keberhasilan Wahyu karyono sebagai PKSM memang tidak hanya ditentukan oleh faktor‐faktor internal yang dimilikinya seperti yang telah diuraikan di atas. Dukungan dari berbagai pihak juga memberikan pengaruh atas keberhasilannya. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kebumen memberikan banyak peluang untuk mengikuti berbagai pelatihan dan mengundangnya sebagai narasumber dalam berbagai kesempatan. Dan dengan berbagai karya nyatanya, penyandang dana pun tidak ragu untuk memberikan bantuannya. Dan untuk sampai kepada titik keberhasilan itu memang diperlukan kerja keras, keuletan dan keiklasan untuk berbagi ilmu agi sesama