Infinitas Rasa Judul : Infinitas Rasa Penulis : Shinta Theresia Cover & Layout: Nuzula Fildzah Diterbitkan melalui : www.nulisbuku.com Penerbit: Nulisbuku.com undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2: 1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pidana Pasal 72: 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
2
Rasa tidak duduk diam, ia berkelana
3
Daftar Isi Infinitas Rasa
5
Kota dengan Segenggam Rasa
54
Ini Hanya Cerita, Sayang
62
Kamu
68
Kotak Warna
77
Sendiri
85
Keajaiban
90
Mimpi Yakni Memori
99
Kenangan
110
Cinta Jelita
114
Remember You
121
Kamu Berubah, Dis
128
Malam
136
Sial
143
Rokok
150
4
Infinitas Rasa
A
ku tercenung, menatap sekeliling yang kini penuh dengan manusia. Mengamati ratusan orang dengan baju hitam yang berkeliaran, mencoba mencocokkan wajah demi wajah dengan seseorang yang selalu menghantui pikiran selama waktuwaktu belakangan. Kamu. Mungkin kini dengan gurat kecil di pinggir bibir. Atau dengan mata bengkak. Atau kulit yang lebih kecoklatan dari sebelumnya, karena kamu penggemar olahraga air. Entahlah. Ah, aku ingat. Jika aku mencarimu, maka kerumunan bukan tempat yang tepat. Kamu benci keramaian. Kamu benci pekak yang menghantui telinga dan mata. Kamu benci kesendirian, tetapi kamu jauh lebih membenci bising yang ada dari kepenuhan. Dan jelas, berada diantara manusia-manusia ini pasti menjadi pilihan terakhir bagimu. Aku mengikuti intuisi, mencari dirimu di titiktitik tepi dari ruangan yang kini mulai terasa sesak karena kehadiran banyak orang. Aku harus bertemu kamu. Kamu harus melihat diriku. Kita harus sama saling menatap dan 5
menyadari kehadiran satu sama lain, mengakui rindu yang mengikat dan selalu memilin. Benar saja, kamu terselip dipojokan; memakai jaket baseball hitam putih dan duduk sendirian. Menatap lantai seakan disana ada contekan yang tersedia, tips and trick untuk menghadapi persoalan kehidupan. Ternyata segalanya masih sama; postur tubuh, wajah, bahkan potongan rambut. Jelas seperti tiga tahun yang lalu. Setengah mati aku berusaha mengontol rindu yang membuncah agar tidak dimuntahkan langsung saat ini. Agar aku tidak berlari menuju tubuhmu dan merengkuh, tanpa harus melepas lagi. Langkahku perlahan menatap wajahmu yang selama ini kurindukan, sampai aku melihat gerakanmu yang mencolok mata. Merogoh kantung celana, mengambil sekotak rokok yang setengah mati aku usahakan agar kamu menjauhinya. “Ini didalam ruangan, you can’t do that.” Aku merenggut sebatang rokok yang akan kamu sulut, sebelum api menyala dari korek yang kamu genggam. Kamu mendongak, mungkin kesal. Terlihat dari tatapanmu yang begitu marah karena aku mengambil sejumput kebahagiaan yang menurutmu bisa hadir dari setiap hisapannya. “Sejak kapan kamu merokok lagi?” aku bertanya. Aku menatap miris sepasang bola mata yang kini kehilangan cahaya. Mata yang sama seperti tiga tahun lalu, sewarna cokelat terang. Hanya saja pancarannya berbeda. Kini terangnya pucat, seakan habis disedot kekuatannya. “What are ya’ doing?” kamu mendecak, kesal. Aku 6
berusaha untuk tetap menjauhkan rokok ini dari tanganmu yang bergerak maju, berusaha merebutnya. Aku yakin kamu tahu bahwa usahamu akan sia-sia, karena kini aku menyelipkannya di dalam kantung rok. Aku tahu, kamu sopan. Terlalu sopan, malahan. “Kevin, stop. You won’t do this if I say don’t. Iya kan?” aku melemas menatap matamu yang kini memelas, senjatamu yang paling aku rindu. Selalu berhasil membuatku memberikan apapun, bahkan hidupku. Tetapi kali ini aku harus menguatkan diri, karena yang tengah kamu minta kali ini adalah kesempatan untuk memperpendek usiamu sendiri. Kamu hanya diam menatap, sambil mendengarkan. Tanpa menggerakkan tangan, namun masih mencoba mencari perhatian. Aku menunggu respon lain, cemas. Khawatir kejadian tiga tahun lalu membuatmu tidak lagi mempercayaiku sebagai tempat berkeluh kesah. “Everything’s gonna changed since now.” Kamu berhenti membalas tatapanku, kembali menatap dingin lantai. Detik kemudian, nafasku tercekat. Bukan hanya karena kesedihan yang menyeruak begitu kental dari auramu, tetapi juga karena kedua tanganmu yang kini sudah melingkari pinggangku. Setengah pasrah sambil menyenderkan kepala ke perutku. Seolah kamu menemukan oksigen yang selama ini hilang dari sana. Kamu menghela nafas panjang, dan aku menyadari bahwa kekhawatiranku akan hubungan ini tidak beralasan. Segala sesuatunya masih sama, seperti apa yang kita tunjukkan 7
kepada semua orang. Topeng yang menutupi rasa diantara aku dan kamu. Menyelubungi aroma cinta yang sebenarnya tidak perlu dilapisi, tetapi justru masuk nominasi untuk ditutupi. “Ikuti saja permainan hidup,” aku meletakkan tangan kananku keatas kepalamu, membelainya pelan. Rambutmu kini terasa lebih halus dibandingkan tiga tahun lalu. Atau rasa rindu yang membuat segala sesuatu terasa lebih halus? “yang berubah, biarkan saja. Berdoa saja agar yang berubah bergerak kearah yang lebih baik,” “Kamu doaku,” kamu bersuara tanpa melepaskan posisi. “Beberapa saat yang lalu aku berharap agar ada seseorang yang bisa menjadi sandaranku saat ini, kemudian kamu datang,” aku menatap pucuk kepalamu penuh duka. Cinta yang kamu rasakan pastinya masih begitu besar, tetapi pasti tidak mungkin lebih besar dari yang aku miliki. Bahkan setelah tiga tahun berjarak yang kita coba ciptakan. Setelah tiga tahun yang kita pilih untuk menjadi jarak diantara. Dalam keheningan yang ada diantara, aku memberi pelukan di lehermu. Pelukan yang membentuk begitu banyak arti; rindu, hibur, pilu, tabu.
8
Biodata Penulis Penulis bernama lengkap Shinta Theresia adalah seorang gadis berdarah Batak yang lahir di Jakarta, 31 Oktober pada tahun yang disembunyikan dari publisitas :p Selain menulis, ia juga seorang mahasiswi serta pemusik yang belum sempat memproduksi lagu-lagunya -_Infinitas Rasa adalah buku kumpulan cerpen pertama yang ia buat. Sebelumnya ia juga pernah membuat buku kumpulan puisi Meniti Hari yang diterbitkan melalui nulisbuku. Beberapa karya lainnya seperti cerbung, cerpen dan puisi juga pernah diterbitkan di beberapa media cetak dengan inisial Gadis Hujan.
9
10