1
Indonesia masuk ke dalam daftar negara dengan tindak bullying tertinggi setelah Jepang. Data ini diperoleh dari hasil survei global yang diadakan oleh Latitude News pada 40 negara (beritaedukasi.com, 19 Oktober 2012). Sedangkan, pada survei yang dilakukan Plan Indonesia dan Yayasan Sejiwa di tiga kota besar yaitu Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya pada tahun 2008 menunjukkan 67% pelajar SMP dan SMA menyatakan pernah terjadi tindak bullying di sekolah mereka. Berdasarkan hasil kajian Konsorsium Pengembangan Sekolah Karakter tahun 2014 diketahui bahwa kasus bullying hampir terjadi di setiap sekolah baik berupa bullying verbal dan psikologis/ mental. Kondisi ini menunjukkan perlunya intervensi
yang
memadai
sebagai
upaya
preventif
maupun
kuratif.
(http://www.beritasatu.com/gaya-hidup/219515-indonesia-masuk-kategori darurat-bullying-di-sekolah.html). Data yang dihimpun Komnas Perlindungan Anak per November 2009 setidaknya terdapat 98 kasus kekerasan fisik dan 176 kekerasan
psikis
pada
anak
yang
terjadi
di
lingkungan
sekolah(http://dilogi.blogspot.com/2012/11/fenomena-bullying-diindonesia.html). Data yang dilansir dari tahun 2011 sampai Agustus 2014 oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam bidang pendidikan terdapat 369 pengaduan terkait kasus bullying. Jumlah itu sekitar 25 persen dari total pengaduan
di
bidang
pendidikan
sebanyak
1.480
kasus.
(http://www.republika.co.id/berita/koran/halaman-1/14/10/15/ndh4spaduanbullying-tertinggi) Data preliminary dari penelitian sebelumnya di tahun 2013 menunjukkan dari jumlah responden 739 orang yang merupakan siswa kelas XI dari sepuluh
2
SMA Negeri yang berada di Yogyakarta diketahui bahwa 100 orang (13, 53%) siswa merasa dibully, dan 396 orang (53, 58%) pernah melihat temannya dibully. Kondisi ini menunjukkan bahwa bullying masih terjadi di kalangan siswa SMA Yogyakarta dan memerlukan tindakan nyata terhadap pencegahan ataupun penanganan bullying di kalangan remaja.(Kumara, Pratama, Aryuni, PoEh, & Syahputri, 2013). Data mengenai kasus bullying yang telah dihimpun dalam uraian di atas menunjukkan bahwa jumlah kasus bullying yang terjadi dalam dunia pendidikan cukup besar. Besarnya jumlah tersebut menjadi perhatian khusus karena akan berdampak jangka pendek maupun jangka panjang. Dampak negatif yang akan muncul akan berpengaruh pada kondisi psikologis dan penyesuaian sosial siswa (Ttofi & Farrington, 2008). Melihat kondisi tersebut penting bagi kita untuk melakukan pencegahan maupun penanganan yang memadai terhadap masalah bullying yang termasuh masalah sosial yang marak terjadi saat ini. Bullying merupakan perilaku yang dilakukan seseorang atau lebih yang yang dilakukan secara sengaja dan berulang-ulang yang menimbulkan keadaan yang tidak menyenangkan dan menyakitkan (Olweus, 2003). Tindakan bullying dapat dilakukan dalam bentuk verbal maupun fisik terhadap korban yang kekuatan maupun kekuasannya tidak berimbang dengan pelaku bullying(Olweus dalam Cunningham.2007). Selanjutnya Olweus menjelaskan bahwa perilaku bullying mengandung tiga unsur mendasar, yaitu: 1. Bersifat menyerang (agresif) dan negatif. 2. Dilakukan secara berulang kali.
3
3. Adanya ketidakseimbangan kekuatan antara pihak yang terlibat Olweus menjelaskan dinamika terbentuknya perilaku bullying sebagai sebuah lingkaran. Setiap aktor didalamnya memiliki peranan masing-masing. Dimulai dari korban bullying (victim) yang dikelilingi oleh pelaku(bully). Pelaku memiliki dua jenis pendukung, yang aktif dan pasif. Pendukung aktif(active suppoters) adalah individu yang terlibat atau turut ambil bagian dalam tindakan bullying, sedangkan pendukung pasif (passive suppoters) tidak ikut melakukan bullying tetapi menyetujui tindakan bullying dengan cara memprovokasi pelaku.Selain itu ada sekelompok penonton yang juga sering melihat aksi bullying tersebut tetapi mereka tidak peduli dengan korban (disenged onlookers), kemudian terdapat juga kelompok lain dari penonton yang tidak menyukai perilaku bullying tetapi mereka tidak melakukan sesuatu untuk mencegahnya (potential witnesses). Kelompok terakhir adalah pembela
korban yang tidak
setuju dengan perilaku bullyig dan mencoba untuk membantu korban (defender) (Saleh, 2013). Pelaku bullying dan korban bullying memiliki karakteristik sosial dan psikologis yang berbeda. Pelaku bullying cenderung memiliki tingkat emosional yang tinggi dan kontrol diri yang rendah. Pelaku menikmati status sosialnya diantara rekan sebayanya, mereka menunjukkan empati yang rendah terhadap rekannya dan memiliki kecemasan sosial yang rendah pula. Sedangkan korban bullying cenderung memiliki sedikit teman dan self esteem yang rendah (Cunningham, 2007).
4
Selain itu, bullying memiliki efek negatif baik dalam jangka pendek ataupun jangka panjang. Bagi pelaku, efek jangka pendek yang ditimbulkan adalah munculnya simptom-simptom ADD, depresi, dan OCD (Kumpulainen, dalam Smokowski dan Kopasz, 2005). Efek jangka panjang lain, pelaku bullying menjadi underachiever yang kemudian akan menampilkan performa kerja cenderung rendah dalam lingkungan kerja (Smokowski dan Kopasz, 2005). Studi yang dilakukan oleh Robert (dalam Smokowski dan Kopasz, 2005) menunjukkan bahwa pada usia 30 tahun, pelaku bullying akan melakukan tindakan kriminal dan pelanggaran lalu lintas lebih banyak dibanding rekan seusianya yang tidak melakukan bullying. Studi meta-analisis yang dilakukan oleh Ttofi, Farrington, dan Losel (2012) menunjukan hasil bahwa school-bullying memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku agresif dan kejahatan di masa depan. Korban bullying mendapatkan efek negatif yang lebih besar. Efek jangka pendek yang ditimbulkan adalah kurangnya kemampuan menyesuaikan diri secara sosial maupun akademik, depresi, kecemasan (Evans, C. B. R., Fraser, M. W., &Cotter, K. L, 2014), rendahnya self-esteem (Smokowski dan Kopasz, 2005; Gustina, 2011, Bowllan, 2011), dan menurunnya prestasi akademik (Olweus, 1993; Smokowski dan Kopasz, 2005). Pada penelitian Sahin, Aydin, dan Sari (2012) menyebutkan, terdapat hubungan yang positif antara cyber-bullying dan korban terhadap perubahan simptom psikologis.
Korban cyber-bullying
disebutkan mengalami permasalahan terhadap fungsi psikologisnya dan beberapa permasalahan, seperti simptom depresi, gangguan kecemasan, dan menjadi antisosial.
5
Perlu
dilakukan intervensi untuk mengatasi dan mencegahterjadinya
perilaku bullying tersebut. Olweus (1993) menyatakan bahwa pencegahanperlu dilakukan sehingga dapat menolong korban lebih dini dan menciptakan lingkungan sekolah yang kondusif. Farrel, Meyer & White (2001) juga memaparkansalah satu usaha preventif bagi perilaku bullying dilakukan dengan psikoedukasimengenai bullying kepada siswa. Bullying masih sering terjadi dikalangan remaja, oleh karena itu untuk mengatasinya diperlukan remaja sebagai media penyampai informasi kepada teman sebayanya. Hal ini senada dengan hasil penelitian Ttofi, Farrington dan Baldry (2008) yang menyatakan bahwa metode preventif bullying lebih efektif ketika dilatih dengan jumlah subjek yang kecil, usia di atas sebelas tahun. Selain itu efektif pula bila dilakukan dalam lingkungan teman sebaya dan sekolah (Whitted & Dupper, 2005). Teman sebaya khususnya dapat digunakan sebagai media untukmencegah bullying. Hal ini dinilai efektif jika informasi tersebut disampaikan oleh teman sebaya yang sesuai dengan karakteristik khas remaja.Hasil penelitian Hawkins, Pepler, Craig (2001) menjelaskan bahwa peran teman sebaya membantu menghentikan bullying.Studi longitudinal yang dilakuan oleh Smith & Thompson (2011) menunjukkan bahwa program intervensi bullying dengan pemberdayaan teman sebaya dinilai efektif dalam mencegah danmerespon bullying sehingga menambah pengetahuan, keterampilan dan pengalaman siswa dalam merancangsecara terstruktur dalam upaya mencegah dan mengurangi bullying.
6
Memperhatikan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap penanganan bullying, dapat ditarik kesimpulan bahwa melibatkan teman sebaya merupakan upaya preventif yang efektif dilakukan dalam penanganan bullying. Penelitian ini akan menerapkan Program “Berbagi untuk Sahabat” yang disusun oleh Aryuni&Kumara (2013). Program tersebut merupakan program pelatihan bagi fasilitator sebaya yang telah diuji validitasnya pada penelitian sebelumnya. Selanjutnya peneliti ingin mengetahui pengaruh penerapan modul ini terhadap penurunan intensi perilaku bullying.Modul “Berbagi untuk Sahabat” telah diuji validasinya, dengan hasil sebagai berikut: 1. Modul
yang
telah divalidasi
dengan analisis
data
kuantitatif
menggunakan statistik non-parametrik uji Mann-Whitney U test dengan menganalisis gain score. Hasil analisis menunjukkan adanya perbedaan gainscore yang signifikan pada keterampilan kelompok eksperimen dibandingkandengan kelompok kontrol, yang berarti bahwa hipotesis diterima dengan Z= -4,172 dan signifikansi p=0,001 (p<0,01). 2. Hasil uji-t sebesar -6,205 dan signifikansi sebesar 0,001 (p<0,01). Hal ini menunjukkan bahwa adanya peningkatan yang signifikan terhadap pengetahuan keterampilan memandu diskusi kasus pada subjek yang berada pada kelompok eksperimen. 3. Hasil analisis diperoleh koefisien reliabilitas sebesar 0,950. Menurut LeBreton & Senter (2008) inter-rater reliability antara 0,7-0,9 tergolong kuat, yang artinya kesepakatan antar observer tergolong kuat.
7
Penelitian ini akan dilakukan melalui dua tahap. Tahap pertama dalam penelitian ini adalah memberi pengetahuan bullying dan melatih keterampilan memandu diskusi kasus kepada subjek yang nantinya menjadi fasilitator sebaya. Tahap pertama penelitian ini menggunakan modul “Berbagi untuk Sahabat” yang telah tervalidasi pada penelitian sebelumnya. Subjek dalam penelitian tahap pertama ini sebanyak 14 siswa kelas Xdari sebuah SMA Negeri Yogyakarta. Selanjutnya, subjek yang telah dilatih menjadi fasilitator sebaya memandu diskusi kasus dengan peserta teman-teman sebayanya (siswa kelas X) pada penelitian tahap kedua. Masing-masing fasilitator sebaya akan memandu diskusi kasus dengan jumlah peserta 5 teman sebaya. Jadi, dari keseluruhan penelitian tahap dua jumlah peserta sebanya 15 orang. Penelitian ini menggunakan dua SMA Negeri di Yogyakarta yang memiliki karakteristik budaya sekolah yang hampir serupa dan sekolah memiliki kasus bullying. Pemilihan kedua sekolah tersebut dengan purposive sampling. Prinsip dari teori sosial kognitif
menjadi landasan dalam proses
pembelajaran yang terjadi dalam program yang diterapkan dalam penelitian ini. Teori sosial kognitif memunculkan beberapa asumsi mengenai proses belajar dan perilaku individu (Schunk, 2008). Asumsi tersebut digambarkan sebagai interaksi resiprokal antara individu, perilaku, dan lingkungan, perbedaan antara pembelajaran enactive dan vicarious, serta perbedaan antara proses belajar dengan performansi (Zimmerman & Schunk, 2003). Pembentukan perilaku dalam teori ini melibatkan beberapa proses dasar seperti menetapkan tujuan, mengantisipasi
8
konsekuensi perilaku, evaluasi progres dari tujuan yang hendak dicapai, dan regulasi pikiran, emosi, maupun perilaku (Bandura, 1997). Bandura menjelaskan bahwa belajar mencakup pemrosesan informasi. Kekuatan modeling terletak pada kemampuannya untuk mempengaruhi proses tersebut. Observational learning memerlukan empat macam proses utama: proses memperhatikan (attentional processes), proses retensi (retention processes), proses produksi, dan proses motivasi. Apakah orang mempraktekkan apa yang sudah dipelajarinya atau tidak, tergantung pada motivasinya. Pengamat akan cenderung mengadopsi perilaku model jika perilaku tersebut: (a) menghasilkan imbalan eksternal; (b) secara internal pengamat memberikan penilaian yang positif; dan (c) pengamat melihat bahwa perilaku tersebut bermanfaat bagi model itu sendiri. Antisipasi terhadap akibat yang positif dan negatif menentukan aspekaspek yang mana dari perilaku model itu yang diamati atau diabaikan oleh pengamat. Pada penelitian Talita, Tanja, Gert, dan Huub (2011) menyebutkan, bahwa observational learning meningkatkan hasil kreativitas khususnya pada domain seni visual. Hasil penelitian ini menguatkan bahwa metode observational learning dapat digunakan untuk mempelajari hal baru, baik dalam bentuk pengetahuan maupun ketrampilan. Proses pembelajaran dalam pelatihan ini mengacu pada keempat tahap observational learning (pembelajaran melalui pengamatan) yang dikemukakan oleh Bandura, yaitu:
9
1. Attention Jika orang belajar melalui modelling, maka mereka harus memperhatikan dan mempersepsi perilaku model secara tepat. Tingkat keberhasilan belajar itu ditentukan oleh karakteristik model maupun karakteristik pengamat itu sendiri. Karakteristik model yang merupakan variabel penentu tingkat perhatian itu mencakup frekuensi kehadirannya, kejelasannya, daya tarik personalnya, dan nilai fungsional perilaku model itu. Oleh sebab itu pelatihan ini dipandu oleh trainer sebagai model bagi fasilitator sebaya sehingga tingkat ketersampaian materi dapat dicapai serta kejelasan informasi pun dapat dipahami fasilitator sebaya. Adapun kriteria trainer dalam pelatihan ini diantaranya mahasiswa Magister Psikologi Profesi bidang Pendidikan dan berpengalaman menjadi faslitator pelatihan khususnya untuk remaja, memiliki pengetahuan tentang bullying,dantelah selesai menempuh Praktek Kerja Profesi Psikologi (PKPP). Selain trainer yang memeiliki kapasitas yang memadai juga diperlukan media yang beragam diantaranya video, gambar, skenario kasus, dan games untuk menarik perhatian siswa sehingga mereka bisa lebih mudah dalam memahami materi yang disampaikan dan mengurangi tingkat kebosanan. 2. Retention Retensi ini dapat dilakukan dengan cara menyimpan informasi secara imaginal atau mengkodekan peristiwa model ke dalam simbol-simbol verbal yang mudah dipergunakan. Dengan penyampaian materi melalui beragam
media dan kesesuain kasus dengan kondisi nyata pun akan
10
mempermudah proses retensi terjadi. Selanjutnya sesi ini diakhiri dengan siswa akan diberi lembar kerja dengan tujuan untuk melihat sejauh mana siswa bisa mengingat materi yang telah diperoleh. 3. Production Pada tahap tertentu, gambaran simbolik tentang perilaku model mungkin perlu diterjemahkan ke dalam tindakan yang efektif. Oleh sebab itu siswa akan melakukan simulasi sebanyak tiga kali yaitu memandu sebuah diskusi kasus dengan menggunakan berbagai media, seperti video dan skenario kasus. 4. Motivation Ketika siswa telah memperoleh suatu pengetahuan ataupun keterampilan melalui proses pembelajaran sebelumnya, maka mereka akan melakukan hal yang sama ketika ada penguatan positif yang diberikan kepada mereka. Penguatan tersebut bisa berupa motivasi atau feedback positif kepada siswa. Menurut Bandura (1986) ada tiga bentuk penguatan dalam observational learning yaitu: incentives direct adalah penguatan yang diberikan secara langsung, misalnya ketika siswa berhasil melakukan sesuatu yang bagus, maka fasilitator langsung memujinya, vicarious reinforcement adalah dengan melihat orang lain memperoleh penguatan positif untuk suatu keterampilan tertentu, maka siswa tersebut dapat meniru keterampilan itu, dan yang terakhir, self produced adalah siswa yang bersangkutan bisa menghasilkan sebuah keterampilan baru yang didasarkan atas keinginan dari dirinya sendiri.
11
Interaksi dengan teman sebaya
merupakan permulaan hubungan
persahabatan dan hubungan peer. Menurut Santrock, peers adalah individuindividu yang memiliki usia dan tingkat kematangan yang sama (Santrock, 2007). Konsep peergroup secara khusus menunjuk pada sebuah kelompok pertemanan yang telah mengenal satu sama lain dan menjadi sumber informasi atau perbandingan antara satu sama lainnya (Wolman, 1982).Pengamatan terhadap model yang dilakukan berfungsi untuk: 1.
Mengajari observer keterampilan dan aturan-aturan berperilaku.
2.
Menghambat ataupun memperlancar perilaku yang sudah dimiliki orang
3.
stimulus dan isyarat bagi orang untuk melaksanakan perilaku yang sudah dimilikinya.
4.
Modeling menstimulasi munculnya emosi.
5.
Symbolic modelling dapat membentuk citra orang tentang realitas sosial karena menggambarkan hubungan manusia dengan aktivitas yang dilakukannya. Program “Berbagi untuk Sahabat” dalam tahap pertamaakan melatih siswa
yang akan menjadi fasilitator sebayaagar memiliki keterampilan memandu diskusi kasus sebagai metode penyampaian informasi mengenai bullying(Kumara dan Aryuni, 2013). Metode diskusi kasus memanfaatkan studi kasus, yaitu deskripsi tentang suatusituasi yang disajikan secara tertulis, lewat rekaman audio, atau lewat rekamanvideo, untuk disimak atau dipelajari oleh peserta dan kemudian mendiskusikannya dengan panduan pertanyaan-pertanyaan yang disiapkan oleh
12
fasilitator. Lazimnya diskusi difokuskan pada isu-isu yang terdapat dalam situasi yang dideskripsikan yaitu: tindakan apa yang perlu dilakukan atau pelajaranpelajaran apa saja yang bisa dipetik, dan cara mengatasi atau mencegah agar situasi sejenis tidak terjadi dimasamendatang, sehingga metode ini dirasa cocok digunakan untuk menyampaikan informasi pencegahan bullying kepada siswa (Supratiknya, 2011). Dalam metode ini fasilitator akan menyajikan beberapa kasus yang nantinya akan didiskusikan oleh peserta, dengan tujuan agar mereka bisa saling memberikan pendapatnya, ide, berbagi pengetahuan tentang fenomena bullying, cara mencegahnya serta solusi untuk menangani perilaku bullying. Selanjutnya peserta yang beperan sebaga fasilitator sebaya akan mempraktekkan keterampilan memandu diskusi dan pengetahuannya mengenai bullying kepada teman sebayanya. Hasil transfer pengetahuan tersebut teman sebaya akan dinilai intensinya terhadap perilaku bullying. Penentu terpenting perilaku seseorang adalah intensi untuk berperilaku. Intensi individu untuk menampilkan suatu perilaku adalah kombinasi dari sikap untuk menampilkan perilaku tersebut dan norma subjektif. Sikap individu terhadap perilaku meliputi kepercayaan mengenai suatu perilaku, evaluasi terhadap hasil perilaku, norma subjektif, kepercayaankepercayaan normatif dan motivasi untuk patuh.
13
PROSES PELATIHAN BAGI FASILITATOR SEBAYA Program "Berbagi untuk Sahabat" melatih siswa SMA menjadi fasilitator diskusi kasus untuk teman sebaya.Program dilaksanakan selama satu bulan dengan menerapkan proses belajar sosial yang dikemukkan oleh Bandura.
Peserta mendapatkan pengetahuan mengenai bullying, ketrampilan menjadi fasilitator diskusi kasus, dan mampu menampilkan pola perilaku seperti model (trainer) sebagai fasilitator diskusi kasus untuk teman sebaya.
FASILITATOR SEBAYA Fasilitator sebaya menyampaikan materi bullying kepada siswa lain, dengan harapan dapat menurunkan intensi perilaku bullying.Pelaksanaan hingga follow-up direncanakan akan dilakukan selama tiga minggu. Kriteria fasilitator sebaya yaitu, fasilitator memiliki hasil posttest pengetahuan dan keterampilan memandu diskusi yang lebih tinggi dibanding rekan-rekannya Gambar 1 Alur Penelitian
Intensi adalah faktor motivasional yang mempengaruhi perilaku sebagai indikasi seberapa kuat keinginan individu untuk mencoba dan seberapa besar usaha yang direncanakan atau dilakukan untuk menampilkan perilaku tertentu.Hal terpenting dari wujudnya perilaku yang disengaja adalah timbulnya perilaku tersebut diakibatkan oleh dorongan individual. Terdapat berapa fator yang mempengaruhi intensi diantaranya kepribadian, attitudes toward people, dan variabel demografi (Ajzen & Fishbein, 1980). Dalam sebuah penelitian yang dilakukan Zakai tahun 2005 dikatakan bahwa pengetahuan mempengaruhi intensi seseorang. Dengan pemberian psikoedukasi dari fasilitator sebaya terhadap
14
temannya maka asumsinya akan mempengaruhi intensi bullying pada remaja SMA tersebut. Terdapat empat hal yang diperhatikan dalam pengukuran intensi. Pengukuran tersebut harus sesuai dengan sasaran pengukuran yang dituju (target), tingkah laku (behavior) yang dilibatkan, situasi (situation) tempat tindakan itu terjadi, dan waktu (time) yang tepat untuk mewujudkan tingkah laku (Fishbein &Ajzein, 1975). Keempat elemen itu selau terlibat dalam setiap pengukuran tingkah laku, baik itu secara verbal ataupun non verbal. Menurut Fishbein dan Ajzen, pengukuran sikap yang terbaik agar dapat memperkirakan munculnya perilaku adalah dengan memasukkan sekaligus keempat elemen intensi tersebut yaitu target, perilaku, konteks dan waktu. Intensi memiliki 3 aspek yaitu attitude toward behavior, subjective norm, dan perceived control, berikut uraiannya: 1. Attitude toward behavior adalah keyakinan terhadap tingkah laku dan evaluasi hasil. Behavioral beliefs ditentukan oleh keyakinan yang paling menonjol pada diri individu terhadap tingkah laku tertentu. Setiap salient beliefs menghubungkan tingkah laku dengan hasil tertentu
atau
dengan
atribut
tertentu
sehubungan
dengan
ditampilkannya tingkah laku tersebut. 2. Subjective norm adalah aspek intensi yang merupakan persepsi individu
terhadap
tuntutan
dari
lingkungan
sosialnya
untuk
menampilkan tingkah laku tertentu. Norma subjektif adalah persepsi individu mengenai harapan orang-orang yang penting bagi dirinya baik
15
perorangan ataupun kelompok untuk menampilkan perilaku tertentu atau tidak. Subjective norm ditentukan oleh keyakinan namun keyakinan di sini berbeda dengan keyakinan pada attitude towar behavior. Keyakinan dalam subjective norm adalah keyakinan seseorang akan individu atau kelompok dekatnya terhadap persetujuan atau tidak persetujuannya diwujudkannya suatu perilaku. 3. Perceived Behavior Control adalah faktor yang memberikan gambaran mengenai persepsi individu mengenai kemudahan atau kesulitan individu dalam menampilkan perilaku dan diasumsikan sebagai refleksi dari pengalaman yang telah terjadi sebelumnya serta hambatan-hambatan yang diantisipasi. Berkaitan dengan tujuan penelitian yaitu mengetahui pengaruh fasilitator sebaya terhadap penurunan intensi bullying siswa SMA. Secara praktis manfaat penelitian ini diharapkan bisa menjadi salah satu referensi yang dapat memberikan manfaat bagi sekolah-sekolah yang akan menggunakan pendekatan teman sebaya untuk mencegah perilaku bullying di sekolah melalui metode diskusi kasus dan menurunkan intensi bullying. Program “Berbagi untuk Sahabat” diharapkan dapat meningkatkan ketrampilan menjadi fasilitator diskusi kasus kasus dan meningkatkan pengetahuan bullying. Modal tersebut yang akan digunakan oleh fasilitator untuk menyampaikan materi mengenai bullying kepada teman sebaya, yang diharapkan dapat menurunkan intensi perilaku bullying. Dinamika yang akan terjadi dari proses tersebut tampak dari bagan di bawah ini.
16 BEHAVIORAL Keterampilan menjadi fasillitator sebaya
PERSON Pengetahuan bullying dan memandu diskusi kasus yang baik
ENVIRONMENT Pemberian pengetahuan bullying dan contoh dari trainer dalammemimpin diskusi kasus
Gambar 2. Dinamika Penelitian Tahap 1
BEHAVIORAL Munculnya perilaku bullying
ENVIRONMENT Penilaian lingkungan terhadapbullying sebagai suatu permasalahan sosial dan adanya peer facilitator
PERSON Intensi untuk melakukan bullying
Gambar 3. Dinamika Penelitian Tahap 2