BAB II LANDASAN TEORI
A. Bullying 1. Pengertian Bullying Ada banyak definisi bullying dan beragam cara untuk memahaminya (Smith et al., 2002). Dalam bahasa Indonesia, bullying disebut "perisakan", yang berasal dari kata risak. Risak sendiri berarti mengusik, mengganggu secara terus menerus dengan berbagai olok-olokan (Depdiknas, 2008:1213). Namun, istilah tersebut masih belum familiar dan jarang digunakan masyarakat. Heinemann adalah orang yang pertama kali menulis tentang fenomena bullying (Smith et al., 2002). Heinemann menggunakan istilah “mobbning” yang mengacu pada kekerasan kelompok terhadap individu yang menyimpang yang terjadi secara tiba-tiba dan mereda tiba-tiba. Sama halnya dengan istilah “mobbing” di Inggris dan Jerman, istilah ini sebatas untuk tindakan yang dilakukan oleh kelompok terhadap seseorang. Olweus (dalam Smith et al., 2002) pada awalnya juga menggunakan istilah tersebut, namun kemudian definisinya diperluas meliputi serangan antara satu orang terhadap orang lain secara sistematis dari anak yang lebih kuat terhadap yang lemah. Masalah bullying telah dikenal sejak lama, namun baru dijadikan sebagai objek penelitian yang sistematis oleh Dan Olweus pada awal tahun 1970an (Olweus, 1994). Olweus kemudian diakui sebagai pelopor dari penelitian tentang bullying yang terkemuka di dunia. Selama kurang lebih 40 tahun Dan 13
14
Olweus telah terlibat dalam penelitian dan intervensi dalam persoalan bullying di kalangan anak-anak sekolah dan remaja (Flattau et.al., 2011). Olweus (1993) menyatakan bahwa bullying merupakan tindakan agresif yang disengaja, dilakukan berulang-ulang dan dari waktu ke waktu, dan terdapat ketidakseimbangan kekuasaan atau kekuatan. Bullying merupakan tindakan negatif ketika seseorang dengan sengaja menimbulkan atau mencoba untuk melukai atau membuat pada pihak lain merasakan ketidaknyamanan. Tindakan negatif dapat dilakukan melalui kontak fisik, dengan kata-kata, atau dengan cara lain, seperti menunjukkan wajah meremehkan atau gerakan tidak senonoh, dan pengucilan disengaja dari kelompok (Olweus 1993). Dari definisi Olweus tersebut setidaknya bullying mencakup tiga kriteria sebagai berikut: (1) bullying adalah perilaku agresi yang disengaja untuk melukai korban;
(2)
bullying
terjadi
secara
berulang-ulang;
(3)
terdapat
ketidakseimbangan kekuatan antara korban dan pelaku bullying, siswa yang menjadi korban mengalami kesulitan dalam membela drinya dan tidak berdaya melawan siswa yang melecehkan (dalam Harris & Petrie, 2003). Menurut Sullivan (2011) bullying adalah tindakan agresi atau manipulasi atau pengucilan yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan berulang-ulang oleh individu atau kelompok kepada
individu atau kelompok lain.
Selanjutnya, menurut Coloroso (2007) bullying merupakan tindakan intimidasi yang dilakukan pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lebih lemah. Tindakan penindasan ini dapat diartikan sebagai penggunaan kekuasaan atau kekuatan untuk menyakiti seseorang atau kelompok sehingga korban merasa
15
tertekan, trauma, dan tidak berdaya. Adanya unsur ketidakseimbangan kekuatan merupakan pembeda antara bullying dengan konflik lainnya (Wiyani, 2012). Pada konflik antara dua orang yang memiliki kekuatan sama, masing-masing memiliki kemampuan untuk menawarkan solusi dan berkompromi
untuk
ketidakseimbangan
menyelesaikan
kekuatan
masalah.
menhalangi
Pada
pelaku
dan
kasus
bullying,
korban
untuk
menyelesaikan konflik mereka sendiri sehingga diperlukan kehadiran pihak ketiga. Dari berbagai definisi yang telah disampaikan oleh para ahli, dapat disimpulkan bahwa bullying adalah perilaku yang ditujukan untuk menyakiti individu atau sekelompok individu dengan berbagai bentuk baik fisik, verbal ataupun psikologis yang dilakukan secara sengaja dan berulang kali oleh individu atau sekelompok individu yang lebih kuat.
2.
Aspek-aspek bullying. Coloroso (2007) membagi bullying menjadi tiga aspek, yaitu bullying verbal, fisik, dan sosial. Aspek-aspek perilaku bullying tersebut diuraikan secara rinci sebagai berikut: a. Bullying Verbal Kata-kata adalah alat yang kuat dan dapat mematahkan semangat seorang yang menerimanya. Bullying verbal merupakan bentuk yang paling umum digunakan baik oleh anak perempuan maupun laki-laki. Dengan presentase mencapai 70 persen dari seluruh kasus bullying.
16
Bullying verbal mudah dilakukan dihadapan teman sebaya tanpa terdeteksi. Dapat terjadi saat situasi keramaian dikelas sehingga dianggap hanya dialog yang biasa dan tidak ada teman sebaya yang simpatik. Terjadi secara cepat dan tidak menyakitkan pelaku, namun dapat sangat melukai target. Bullying verbal bisa berupa pemberian julukan nama, celaan, fitnah, kritik kejam, penghinaan (baik yang bersifat pribadi maupun rasial), pernyataan-pernyataan berupa ajakan atau pelecehan seksual, perampasan uang saku atau barang-barang, telepon yang kasar, e-mail yang berisi intimidasi, surat kaleng yang berisi ancaman kekerasan, tuduhan-tuduhan yang tidak benar, desasdesus keji yang tidak benar, serta gossip. Dari ketiga bentuk bullying lainnya, bullying verbal adalah satu jenis penindasan yang paling mudah untuk dilakukan, merupakan awal menuju dua bentuk bullying fisik dan sosial, serta merupakan langkah pertama menuju pada kekerasan yang lebih kejam dan merendahkan martabat. b. Bullying Fisik Bullying fisik merupakan bentuk bullying yang paling tampak dan dapat diidentifikasi dibandingkan kedua jenis bullying lain. Namun, meskipun mudah terdeteksi, kurang dari sepertiga kejadian bullying fisik yang dilaporkan oleh siswa. Bullying fisik meliputi memukul, mencekik, menyikut, meninju, menendang, menggigit, mencakar, serta meludahi korban, menekuk anggota tubuh korban hingga kesakitan, dan merusak serta menghancurkan pakaian maupun barang-barang
17
milik korban. Semakin kuat dan semakin dewasa pelaku akan semakin berbahaya jenis bullying ini, bahkan walaupun tidak dimaksudkan untuk menciderai secara serius. Anak yang sering melakukan bullying fisik merupakan penindas yang paling bermasalah diantara penindas lainnya, dan cenderung terlibat dalam tindakan kriminal yang lebih serius. c. Bullying Psikologis/Relasional Bullying psikologis merupakan bullying yang paling sulit untuk di deteksi dari luar. Merupakan pelemahan harga diri korban yang dilakukan secara sistematis melalui tindakan pengabaian, pengucilan, atau penghindaran. Penghindaran merupakan tindakan bullying relasional yang paling kuat. Dapat dilakukan dengan cara menyebarkan gossip agar tidak ada yang mau berteman dengan korban. Bullying relasional dapat digunakan untuk mengasingkan, menolak seseorang, atau sengaja merusak persahabatan. Dapat dilakukan melalui sikap yang agresif, lirikan mata, helaan nafas, cibiran, tertawa mengejek, dan bahasa tubuh yang kasar. Sedangkan menurut Sullivan (2011), bentuk-bentuk bullying adalah sebagai berikut: a. Bullying fisik (direct bullying) Termasuk didalamnya tindakan menggigit, menarik rambut, memukul, menendang, mengunci seseorang di ruangan, mencubit, meninju,
18
mendorong, mencakar, meludahi, merusak barang korban atau bentuk lain dari penyerangan fisik. b. Bullying psikologis (indirect bullying) Merupakan serangan “dalam” yang ditujuka pada orang yang ditargetkan. Tujuannya adalah untuk merugikan individu yang diserang, akan tetapi karena tidak ada tanda fisik sering diasumsikan kurang berbahaya. Menurut Goldstein et al., (dalam Sullivan, 2011) bullying psikologis bisa merusak sama seperti bullying fisik. Bullying psikologis bisa berupa verbal dan non-verbal. 1) Bullying verbal : termasuk perilaku kasar melalui telepon, memeras uang, menggunakan bahasa berbau seksual atau kasar, komentar yang kejam, namecalling, mengirim pesan desas-desus yang jahat (seringkali anonim), ejekan, menyebarkan rumor palsu yang berbahaya. 2) Bullying non-verbal bisa bersifat direct maupun indirect. a) Bullying non-verbal yang direct adalah menunjukkan gestur yang kasar dan ekspresi wajah yang tidak menyenangkan. b) Bullying non-verbal yang indirect adalah manipulasi hubungan seseorang dan merusak persahabatan dengan sengaja tidak mengajak berteman, mengabaikan dan mengisolasi seseorang, dan mengirim pesan jahal. Bisa disebut juga sebagai relational bullying.
19
Penelitian ini menggunakan aspek-aspek bullying dari Coloroso (2007), yaitu bullying verbal, bullying fisik, dan bullying psikologis. Hal tersebut dikarenakan ketiga aspek menurut Coloroso (2007) lebih sesuai untuk mengukur variabel bullying dalam penelitian ini.
3. Faktor-Faktor Penyebab Bullying Beane (2008), dalam bukunya menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan bullying, diantaranya yaitu: 1. Faktor Individu a. Biologis Beberapa
ahli
percaya
bahwa
agresi
adalah
dasar
karakteristik manusia yang melekat, tetapi faktor biologis tertentu dapat meningkatkan tingkat agresi diluar norma yang dapat diterima.
Misalnya,
tingginya
tingkat
testosteron
endogen
mendorong perilaku agresif pada pria yang dirancang untuk membahayakan orang lain, tetapi juga dapat membentuk perilaku antisosial. Misalnya, kadar testosteron telah ditemukan pada beberapa anak prasekolah pelaku bullying. Selain itu, dari studi di University of Michigan diperoleh hasil bahwa otak manusia dapat mendeteksi dan merespon emosi yang dirasakan di wajah orang lain. Misalnya peserta dengan tingkat tstosteron yang tinggi akan merasa menikmati atau dihargai oleh wajah kesal yang disebabkan oleh perlakuan buruk.
20
b.
Tempramen Temperamen anak adalah faktor yang signifikan terhadap bullying. Tempramen dapat didefinisikan sebagai campuran unsurunsur atau kualitas yang membentuk kepribadian seorang individu. Watak secara permanen mempengaruhi cara seseorang bertindak, merasa, dan berpikir. Misalnya, seorang anak dengan temperamen "pemarah", yang aktif dan impulsive lebih cenderung menjadi agresif dibandingkan anak yang memiliki temperamen tenang.
2. Faktor sosial Manusia adalah makhluk sosial yang menjalin relasi dengan orang lain, maka dari itu kita dapat mempengaruhi orang lain dan dipengaruhi oleh orang lain. Seseorang dapat memperoleh dampak positif maupun negatif mulai dari orang tua, teman-teman, media, maupun dari guru dan pihak lain tempat mereka berinteraksi. a. Media Media memiliki dampak yang luar biasa pada anak-anak saat ini. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang melihat banyak kekerasan di televisi, video,video game, dan film menjadi lebih agresif dan kurang empati terhadap orang lain. Dalam penelitian tentang kekerasan di televisi, diperoleh hasil peningkatan dalam perilaku agresif individu setelah menonton televisi kekerasan sebesar 3 - 15% televisi populer dan bahkan talk show berita telah
21
menyajikan konflik. Banyak acara-acara yang secara terus menerus mnunjukkan ejekan, komentar kejam, dan penolakan. Jumlah kekerasan di televisi semakin meningkat, bahkan dalam film kartun. Anak-anak pada usia yang sangat muda melihat agresi dan kekerasan terhadap orang lain sebagai perilaku yang dapat diterima. Efek lainnya dari kekerasan di televisi adalah anak menjadi takut, khawatir, curiga, dan agresif. Selain itu, video game dan siaran olahraga yang sering di tayangkan oleh media juga menjadi contoh yang mengajarkan kekerasan pada anak. Beberapa bentuk kekerasan oleh raga tim diantaranya seperti ice hockey, sepak bola, dan rugby. Seringkali media memperlihatkan
pemain
yang melakukan kekerasan,
kontroversial dan agresif. b. Prasangka Salah satu penyebab yang paling nyata bullying adalah prasangka. Prasangka adalah sikap kita kepada situasi tertentu atau ke arah sekelompok orang, sikap yang kita adopsi tanpa pertimbangan yang cukup fakta tentang situasi atau kelompok. Orang yang berprasangka membuat penilaian tentang orang lain pada
keyakinan
tidak
berdasa.
Perbedaan
individu
dalam
penampilan, perilaku, atau bahasa dapat memicu terjadinya prasangka dan dapat menyebabkan bullying.
22
Anak-anak berprasangka dapat memutuskan mereka tidak menyukai siswa kulit hitam, siswa yang kelebihan berat badan, siswa penyandang cacat, siswa yang kesulitan dalam berbahasa, kemudian akan menggoda, melecehkan, dan menolak mereka. Mereka telah membentuk sikap tanpa mengetahui fakta-fakta. Menurut Sanford (dalam Beane, 2008), anak-anak kulit hitam lebih cenderung disalahkan oleh rekan-rekan dan orang dewasa untuk kesalahan daripada anak-anak kulit putih di kelas yang sama. c. Kecemburuan Kecemburuan merupakan pendorong yang kuat untuk bullying, terutama di kalangan anak-anak perempuan. Teman perempuan lainnya bisa menjadi sangat cemburu dan mencoba untuk menyakiti anak perempuan yang populer. Anak-anak sering menyerang orangorang yang dianggap lebih baik daripada rata-rata: terlalu menarik, terlalu kaya, terlalu populer, dan sebagainya. Terkadang guru tidak sengaja mendatangkan kecemburuan dengan memuji beberapa anak lebih dari yang lain. Anak-anak sangat sensitif terhadap tindakan pilih kasih ini akan menjadi cemburu. d. Lingkungan Keluarga Unsur-unsur dari lingkungan rumah dapat meningkatkan kemungkinan seorang anak menjadi korban bullying juga membully orang lain. Menurut Olweus, lingkungan rumah seperti ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
23
1) Kurangnya kehangatan dan keterlibatan. 2) Kegagalan untuk menetapkan batas yang jelas untuk perilaku. 3) Aresif terhadap teman sebaya, saudara, dan orang dewasa. 4) Terlalu sedikit cinta dan perhatian, serta terlalu banyak kebebasan. 5) Penggunaan tenaga, terlalu tegas pada anak, metode membesarkan dengan hukuman fisik dan luapan emosi kekerasan. Apakah nantinya mereka ingin menjadi seperti orangtuanya atau tidak, orang tua berperan sebagai model pertama anak-anak mereka. Orang tua yang mengekspresikan kemarahan secara fisik mungkin
akan
menghasilkan
anak-anak
yang
cenderung
mengekspresikan kemarahan secara fisik. e.
Kelompok Pertemanan Anak-anak mungkin ditolak bukan karena perilaku atau karakteristik yang mereka miliki, namun karena peer group membutuhkan target untuk ditolak. Penolakan tersebut membantu kelompok menentukan batas-batas penerimaan mereka dengan membawa kesatuan dalam kelompok. Dengan kata lain, individuindividu yang ditargetkan menjadi kambing hitam berfungsi untuk kepentingan kepaduan kelompok. Ini adalah salah satu alasan siswa
24
begitu bersemangat untuk bergabung di dalam kelompok bahkan ketika mereka tidak sama seperti orang yang ada di dalam. Kebutuhan mereka untuk merasa bersatu dengan rekan-rekan adalah motif yang kuat. Meskipun anggota sebagai individu mungkin tidak ingin menyakiti orang lain, mereka merasa bahwa mereka harus agar tetap dalam kelompok. Imbalan yang mereka dapatkan adalah keamanan, kekuasaan, dan penghargaan telah menjadi bagian kelompok. f. Lingkungan Masyarakat Lingkungan masyarakat tempat tinggal seseorang juga sangat mempengaruhi. Anak-anak yang dikelilingi oleh orangorang dengan moral yang baik akan kecil kemungkinannya untuk menjadi pelaku bullying. g. Lingkungan Sekolah Stephenson, Smith, dan Elliot (dalam Beane, 2008) menytakan beberapa faktor dari lingkungn sekolah antara lain: 1) Moral staf sekolah yang rendah. 2) Standar perilaku yang tidak jelas. 3) Metode disiplin yang tidak konsisten. 4) Pengawasan yang lemah (baik di taman bermain, ruang, toilet, kafetaria). 5) Anak-anak tidak diperlakukan sebagai individu yang dihargai. 6) Kurangnya dukungan untuk terhadap siswa baru.
25
7) Tidak bertoleransi terhadap perbedaan. 8) Guru menunjuk dan berteriak kepada siswanya. 9) Tidak ada prosedur yang jelas untuk pelaporan yang berhubungan dengan tindakan bullying. 10) Bullying diabaikan oleh pihak sekolah. 11) Pihak sekolah yang mempermalukan siswa di depan temanteman. Iklim sosial sekolah dan kualitas pengawasan yang disediakan di sekolah merupakan hal yang penting. Iklim sekolah yang kurang kehangatan dan penerimaan terhadap semua siswa lebih mungkin untuk memiliki masalah bullying dan masalah disiplin. Bullying sering terjadi di tempat yang rendah akan pengawasan dari orang dewasa. Kualitas pengawasan di sekolah sangat penting. Sekolah dengan tingkat pengawasan rendah memiliki pengalaman bullying lebih banyak. Tempat-tempat lain di luar belajar resmi juga memungkinkan terjadinya bullying. Misalnya, waktu yang dihabiskan di taman bermain, loronglorong, halte bus, kafetaria, dan kamar mandi. Siswa relatif bebas untuk berperilaku seperti yang mereka inginkan. Dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan bullying adalah faktor internal dari diri individu sendiri seperti faktor biologis dan tempramen, maupun faktor eksternal dari lingkungan sosial seperti media, prasangka, kecemburuan,
26
lingkungan
keluarga,
kelompok
pertemanan,
lingkungan
masyarakat, dan lingkungan sekolah.
4. Dampak Bullying Bullying
merupakan
permasalahan
yang
dampaknya
harus
ditanggung oleh semua pihak. Baik itu korban, pelaku, maupun bystander. a. Dampak terhadap Pelaku Bagi pelaku bullying gangguan sosial-psikologis yang sering muncul adalah depresi, kesepian, dan isolasi sosial (Crick & Grotpeter dalam Cowie & Jennifer, 2008). b. Dampak terhadap Korban Dalam meta-analisis yang dilakukan oleh Hawker dan Bulton (dalam Cowie & Jennifer, 2008) menemukan hasil bahwa menjadi korban bullying sangat berkaitan dengan depresi, kesepian, dan self-esteem yang rendah. Korban bullying, khususnya korban yang kronis mengalami peningkatan pada masalah kesehatan, keuangan, dan sosial pada masa dewasa (Wolke et al., 2013). Bahkan dampak terparah dari bullying dapat menyebabkan depresi yang berujung pada bunuh diri. Berdasarkan sebuah studi longitudinal di California
yang
mengambil
sampel
sebanyak
11
negara,
menunjukkan hasil bahwa orang dewasa cenderung melakukan bunuh diri ketika mereka menjadi korban bullying di awal masa remaja (Copeland et al., 2013).
27
c. Dampak sebagai pelaku maupun korban Anak-anak yang terlibat dalam bullying baik menjadi korban maupun pelaku memiliki risiko lebih tinggi secara signifikan terhadap masalah psikosomatis dan psikososial daripada anak-anak yang tidak terlibat (Gini, 2008).
Selanjutnya, penelitian dari
Ozdemir & Stattin (2011) menunjukkan bahwa yang berperan sebagai pelaku sekaligus korban maupun korban mengalami permasalahan internal seperti tingkat gejala depresi yang lebih tinggi, rendah diri, dan berperilaku menyakiti diri sendiri. d. Dampak terhadap bystander Bagi bystander, gangguan yang muncul adalah kecemasan dan penurunan kadar kortisol (Carney et al., 2010).
B. Secure Attachment dengan Orang tua
1. Pengertian Secure Attachment dengan Orang Tua Istilah attachment atau kelekatan antara orang tua dengan anak pertama kali diperkenalkan oleh John Bowlby pada tahun 1958. Attachment adalah ikatan emosional yang kuat antara dua orang (Santrock, 2012). Lebih lanjut, Papalia (2013) menjelaskan bahwa attachment adalah ikatan emosional menetap yang bersifat timbal balik antara bayi dan pengasuh, yang masing-masing berkontribusi terhadap kualitas hubungan tersebut.
28
Bayi mengalami attachment dengan orang tua di awal kehidupannya. Akan tetapi kualitas attachment tersebut berbeda-beda sesuai tingkat respon orang tua terhadap kebutuhan mereka. Ainsworth (dalam Santrock, 2012) mendeskripsikan bayi memiliki secure attachment atau insecure attachment (dalam tiga jenis insecure attachment) terhadap pengasuh: a.
Secure attachment (kelekatan aman) Bayi
memanfaatkan
pengasuh
sebagai
basis
aman
untuk
mengeksplorasi lingkungannya. Ketika pengasuhnya hadir, bayi dengan secure attachment mengeksplorasi
lingkungan. Ketika
pengasuh meninggalkannya, bayi dengan secure attachment akan sedikit protes. Ketika pengasuh hadir kembali maka bayi ini akan menjalin interaksi yang positif lain dengannya, seperti dengan tersenyum atau memanjat ke pangkuannya. b. Insecure avoidant attachment (kelekatan tidak aman dan menghindar) Bayi memperlihatkan kelekatan tidak aman melalui tindakan menghindar dari pengasuh. Dalam situasi asing, bayi ini tidak banyak berinteraksi dengan pengasuh, tidak merasa tertekan ketika pengasuh meninggalkannya. Bayi biasanya tidak menjalin kontak kembali ketika pegasuh hadir kembali di hadapannya, dan bahkan mungkin membelakangi pengasuh tersebut. c. Insecure resistant attachment (kelekatan tidak aman dan menolak) Bayi sering kali melekat pada pengasuhnya kemudian menolaknya, mungkin dengan cara menendang atau mendorong pergi. Dalam situasi
29
asing, bayi-bayi ini sering kali bersandar dengan cemas ke pengasuhnya dan tidak mengeksplorasi ruangan. Ketika pengasuh pergi, mereka sering kali menangis dengan keras. Ketika pengasuh kembali untuk menenangkannya, bayi itu justru mendorongnya pergi. d. Insecure disorganized attachment (kelekatan tidak aman dan tidak teratur) Memiliki karakteristik tidak teratur dan disorientasi. Dalam situasi asing, bayi–bayi ini mungkin terlihat linglung, bingung, dan takut. Untuk dapat diklarifikasikan sebagai bayi tidak teratur harus terdapat pola menghindar atau menolak yang kuat atau memperlihatkan perilaku spesifik tertentu, seperti merasa sangat kuat ketika berada di dekat pengasuhannya. Attachment diperlukan seseorang sepanjang masa kehidupannya, bahkan saat remaja yang ditandai dengan mencari otonomi, attachment dengan orang tua tetap menjadi sesuatu yang penting (Santrock, 2014). Menurut Morrison (2002) secure attachment adalah keterikatan yang aman berupa kasih sayang yang diberikan orangtua pada anak secara konsisten dan responsif sehingga menumbuhkan rasa aman dan kasih sayang. Secure attachment tersebut menjadi landasan penting bagi perkembangan selanjutnya di masa kanak-kanak, remaja, dan dewasa (Santrock, 2014). Hubungan orang tua dan anak yang baik berfungsi sebagai secure base dimana anak dapat mengeksplorasi lingkungan mereka (Bowlby, 1988). Orang tua yang sensitif dan responsif terhadap anak akan
30
menciptakan secure attachment. Kemudian anak menjadikan orang tua sebagai tempat bergantung dan mereka menggunakan strategi yang konsisten untuk memperoleh pengasuhan. Menurut Ainsworth dan Bowlby, pengalaman awal dengan pengasuh akan membentuk model kerja internal (internal working model) atau seperangkat
harapan
mengenai
keberadaan
figur
kelekatan
dan
kemungkinan mereka memberikan dukungan selama masa-masa tertekan (Berk, 2012). Selama ibu memberikan respon yang sama, model kerja tersebut bertahan. Model kerja internal ini kemudian menjadi bagian penting dari kepribadian, berfungsi sebagai panduan bagi semua hubungan dekat di masa depan. Model kerja bayi tentang kelekatan ini berhubungan dengan basic trust Erickson (Papalia, 2013). Elemen kritis dalam mengembangkan trust adalah perawatan yang sensitif, responsif, dan konsisten. Secure attachment mencerminkan rasa percaya dan insecure attachment mencerminkan rasa tidak percaya. Bila rasa percaya lebih dominan seperti seharusnya, anak akan mengembangkan nilai kebijakan (virtue) harapan, yaitu keyakinan bahwa orang tua dapat memenuhi kebutuhan mereka dan mendapatkan yang mereka inginkan (Erickson, dalam Papalia 2013). Selanjutnya, bila mistrust lebih dominan maka anak akan memandang dunia tidak ramah dan tidak terduga serta akan mengalami masalah dalam menjalin hubungan.
31
Kenyamanan fisik dan perawatan yang peka merupakan hal yang esensial untuk mencapai kepercayaan dasar pada bayi (Santrock, 2012). Selanjutnya, kepercayaan pada masa bayi merupakan basis seumur hidup bahwa dunia akan menjadi tempat yang baik dan menyenangkan untuk dihuni (Santrock, 2012). Anak-anak dengan orang tua yang sensitif dan responsif tersebut mengembangkan secure attachment dengan model kerja yang positif dari diri mereka sendiri dan orang lain. Anak-anak dengan secure attachment mampu berpisah dari sosok attachment dengan keyakinan dan memperoleh bantuan dan kenyamanan saat mereka merasa terancam. Hubungan orang tua dengan anak yang gagal memberikan secure attachment memiliki efek yang merugikan pada cara anak melihat diri mereka dan menanggapi orang lain. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa secure attachment dengan orang tua adalah keterikatan yang aman berupa kasih sayang yang diberikan orangtua pada anak secara konsisten dan responsif sehingga menumbuhkan rasa aman dan kasih sayang.
2. Aspek-aspek Secure Attachment dengan Orang Tua Armsden dan Greenberg (1987) menyatakan bahwa secure attachment anak kepada orang tua memiliki tiga aspek, yaitu: a. Kepercayaan (trust) Kepercayaan (trust) difedinisikan sebagai kepercayaan anak bahwa orang tua memahami dan menghormati kebutuhan dan hasrat mereka.
32
Secure attachment dengan orang tua akan membuat anak merasa percaya bahwa orang tua akan selalu ada apabila dibutuhkan. b. Komunikasi (communication) Komunikasi (communication) merujuk pada kualitas dan tingkat komunikasi verbal yang dilakukan antara orang tua dan anak. Orang tua yang menerapkan secure attachment akan menunjukkan sikap hangat dan sensitif, menggunakan gaya komunikasi yang santai dan fleksibel, sehingga membuat anak merasa nyaman dalam menerima dan memperbaiki masalah emosional yang dihadapinya. c. Keterasingan (alienation) Keterasingan
(alienation)
menggambarkan
perasaan
disingkan,
kemarahan dan isolasi interpersonal. Orang tua dengan secure attachment pada anak tidak akan melakukan pengasingan terhadap anak, mereka akan menerima keadaan anak sehingga anak merasa dicintai, dihargai, dan diperhatikan. Penelitian ini menggunakan aspek-aspek yang diutarakan oleh Armsden dan Greenberg (1987) untuk mengukur secure attchment. Aspekaspek tersebut yaitu trust, communication dan alienation. Penggunaan aspek-aspek tersebut dikarenakan dapat menggambarkan kualitas kelekatan pada masa remaja.
33
3. Tahap Perkembangan Attachment Menurut Bowlby (dalam Berk, 2012), hubungan antara bayi dan orang tua bermula sebagai rangkaian sinyal bawaan yang memanggil orang dewasa untuk mendekat pada bayi. Seiring waktu, ikatan kasih sayang sejati berkembang, dengan dukungan kemampuan kognitif dan emosional baru serta riwayat pengasuhan yang hangat dan peka. Attachment berkembang dalam empat tahap (Berk, 2012), yaitu: 1. Fase Prakemelekatan Fase prakemelekatan dimulai sejak bayi lahir hingga usia 6 minggu. Bayi memiliki kemampuan bawaan untuk memegang, tersenyum, menangis, dan menatap mata orang dewasa. Melalui cara tersebut bayi melakukan kontak dengan orang lain yang menghibur mereka. Bayi di usia ini mengenali bau dan suara ibu mereka. Akan tetapi bayi belum mengalami kelekatan dengan ibu karena masih tidak masalah apabila ditinggal bersama orang dewasa yang tidak dikenal. 2. Fase Pembentukan Kelekatan Fase pembentukan kelekatan terjadi pada usia 6 minggu hingga 6-8 bulan. Bayi memberikan respon yang berbeda pada seorang pengasuh akrab dibandingkan orang asing. Ketika bayi belajar bahwa tindakan mereka mempengaruhi perilaku orang-orang di sekitar mereka, mereka mulai mengembangkan rasa percaya (sense of trust). Sense of trust tersebut berupa harapan bahwa pengasuh akan merespon saat diberikan
34
sinyal. Akan tetapi mereka masih belum memprotes saat terpisah dari pengasuhnya. 3. Fase Kelekatan Tegas Fase kelekatan tegas terjadi pada usia 6 - 8 bulan hingga 18 bulan - 2 tahun. Pada fase ini, kelekatan pada pengasuh akrab sudah terlihat. Bayi memperlihatkan kecemasan untuk berpisah (separation anxiety), marah apabila ditinggalkan oleh pengasuh terpercaya mereka. Selain memprotes kepergian orang tua mereka, bayi usia lebih tua dan balita berupaya keras agar orang tua mereka tidak pergi. Mereka mendekati, mengikuti, dan naik ke pangkuan orang tua saat orang lain hadir. Mereka menggunakan pengasuh akrabnya sebagai titik tolak aman bagi eksplorasi. 4. Pembentukan Hubungan Timbal-Balik Pembentukan hubungan timbal-balik terjadi pada usia 18 bulan – 2 tahun dan seterusnya. Di akhir tahun kedua, terjadi pertumbuhan pesat dalam representasi dan bahasa. Hal tersebut membantu balita memahami sejumlah faktor yang mempengaruhi datang dan perginya orang tua serta memprediksikan kedatangannya kembali. Akibatnya, protes pada keterpisahan menjadi berkurang. Dalam fase ini, anak bernegosiasi dengan pengasuhnya dengan menggunakan permintaan dan rayuan untuk mengubah tujuannya. Menurut Bowlby (1988), sosok kelekatan memenuhi dua fungsi penting dalam perkembangan anak. Fungsi pertama adalah untuk
35
memberikan bayi basis aman dimana eksplorasi dapat terjadi. Fungsi kedua adalah untuk memberikan pedoman bagi internal working model atau model kerja internal. Tanggapan yang sensitif dan konsisten dari pengasuh membentuk suatu hubungan dimana bayi merasa aman dan percaya diri untuk menjelajahi dunia. Pengalaman-pengalaman awal membentuk pola dalam pikiran bayi dan diinternalisasi sebagai model kerja
internal
kenyamanan
tersebut.
dan
Pengalaman
kesempatan
untuk
mendapatkan melakukan
perlindungan,
eksplorasi
akan
membentuk model kerja internal sebagai diri yang independen, dicintai, layak, dan mandiri. Sebaliknya, ketika bayi memiliki pengalaman penolakan dari kebutuhan akan kenyamanan dan eksplorasi, bayi kemungkinan mengembangkan model kerja internal diri sebagai kurang layak, kurang dicintai, dan kurang mandiri. Dengan cara ini, eksplorasi yang dilakukan sehari-hari oleh anak memiliki fungsi pengujian hipotesis tentang dirinya dan dunianya. Anak belajar menghubungkan masa lalu, sekarang, dan interaksi masa depan yang merupakan dasar bagi pengembangan model kerja internal. Oleh karena itu, model ini dapat digambarkan sebagai sekelompok harapan diri dan orang lain yang dihasilkan oleh relasi kelekatan.
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Secure Attachment Berk (2012) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kelekatan ada empat, yaitu:
36
a. Peluang Kelekatan Beberapa anak tidak memiliki kesempatan untuk menjalani kelekatan dengan pengasuhnya. Misalnya seperti bayi di panti asuhan yang hanya diletakkan di bangsal dan mendapatkan pengasuhan yang tidak konsisten. O‟Connor et.al., (dalam berk 2012) anak-anak yang demikian memiliki potensi untuk mengalami gangguan kognitif, penolakan rekan sebaya, kurang perhatian, hiperaktif, serta perilaku menganggu. b. Kualitas Pengasuhan Pengasuhan peka (sensitive caregiver) atau merespon dengan cepat, konsisten, dan tepat pada bayi berkaitan dengan secure attachment. Rasa aman yang didapatkan seorang anak tergantung pada pengasuhan yang penuh perhatian. Sedangkan pengasuhan yang tidak memadai merupakan prediksi yang kuat bagi gangguan kelekatan. c. Karakteristik Bayi Kelekatan merupkan hasil dari hubungan antara dua belah pihak, karakter bayi berdampak pada seberapa mudah kelekatan itu bisa terbentuk. Bayi dengan tempramen emosional reaktif dan sulit lebih berpeluang besar mengembangkan kelekatan tidak aman di kemudian hari. d. Kondisi Keluarga Kondisi keluarga akan mempengaruhi kelekatan apada anak. Orang tua yang mengalami kehilangan pekerjaan, perceraian, dan kesulitan
37
keuangan dapat merusak kelekatan dan mengganggu kepekaan mereka terhadap anak.
C. Kontrol Diri 1. Pengertian Kontrol diri Kontrol diri didefinisikan sebagai kemampuan untuk memonitor, menghambat, bertahan dan beradaptasi terhadap perilaku, emosi, pikiran dan keinginan untuk mencapai sasaran tertentu (Moffitt, 2011). Seseorang yang memiliki kontrol diri yang baik akan mampu menahan diri dari emosi yang dimiliki. Hal ini didukung oleh pendapat dari Sarafino (2012) yang menyatakan bahwa kontrol diri adalah kemampuan untuk menahan diri dari emosi yang kita miliki, impuls, dan keinginan. Sedangkan Chaplin (2004) mendefinisikan kontrol diri sebagai kemampuan untuk membimbing tingkah laku sendiri, kemampuan untuk menekan atau merintangi tingkah laku impulsif. Roberts (dalam Ghufron 2010) kontrol diri adalah suatu jalinan yang secara utuh atau terintegrasi antara individu dengan lingkungannya. Individu yang memiliki kontrol diri yang tinggi berusaha menemukan dan menerapkan cara yang tepat untuk berperilaku dalam situasi yang bervariasi. Kontrol diri akan mempengaruhi individu untuk mengubah perilakunya sesuai dengan situasi sosial sehingga dapat mengatur kesan lebih responsif terhadap petunjuk situasional, fleksibel, dan bersikap hangat serta terbuka. Selanjutnya Tangney et.al., (2004), kontrol diri adalah kemampuan seseorang untuk
38
mengontrol atau mengubah respon dari dalam dirinya untuk menghindarkan diri dari perilaku yang tidak diharapkan. Berdasarkan perspektif ini, kontrol diri berkontribusi dalam menghasilkan berbagai hasil positif dalam kehidupan. Gottfredson dan Hirschi (dalam Gibson, 2010) menyatakan bahwa kontrol diri merupakan blokade yang menjembatani individu dengan aktivitas yang
menyimpang.
Kontrol
diri
menunjukkan
kemampuan
untuk
meninggalkan kesenangan jangka pendek yang berpotensi menimbulkan konsekuensi jangka panjang yang negatif. Gottfredson dan Hirsch (dalam Gibson, 2010) menyatakan bahwa kontrol diri yang rendah meningkatkan kemungkinan
pada
hampir
semua
jenis
tindakan
kejahatan
dan
penyimpangan yang membawa kesenangan, kepuasan, dan pemenuhan dalam jangka pendek.
Seperti
kenakalan
remaja,
tindakan kriminal,
dan
penyimpangan umum sepanjang kehidupan. Gottfredson
dan
Hirschi
menambahkan
bahwa
orang
dengan
pengendalian diri yang rendah diduga menunjukkan enam karakteristik: Mereka impulsif, egois, dan cepat marah, dan mereka lebih memilih tugastugas sederhana daripada yang kompleks, suka mengambil risiko, dan lebih memilih kegiatan fisik dari pada aktivitas yang melibatkan pemikiran (dalam Gibson, 2010). Dari berbagai dafinisi yang telah diuraikan di atas dapat disimpulakan bahwa kontrol diri adalah kemampuan individu untuk mengendalikan
39
impuls, dorongan, keinginan melalui pertimbangan-pertimbangan sehingga mampu membuat keputusan dan mengambil tindakan yang efektif.
2. Aspek-Aspek Kontrol Diri Tangney, Baumeister, dan Boone (2004) menyatakan bahwa terdapat 5 aspek kontrol diri, yaitu: a. Self-discipline Self-discipline yaitu mengacu pada kemampuan individu dalam melakukan disiplin diri. Hal ini berarti individu mampu memfokuskan diri saat melakukan tugas. Individu dengan self-discipline mampu menahan dirinya dari hal-hal lain yang dapat mengganggu konsentrasinya. b. Deliberate/nonimpulsive Deliberate/nonimpulsive yaitu kecenderungan individu untuk melakukan sesuatu dengan pertimbangan tertentu, bersifat hati-hati, dan tidak tergesagesa. Individu yang tergolong nonimpulsive mampu bersifat tenang dalam mengambil keputusan dan bertindak. c. Healthy habits Healthy habits yaitu kemampuan mengatur pola perilaku menjadi kebiasaan yang menyehatkan bagi individu. Maka dari itu, individu dengan healthy habits akan menolak sesuatu yang dapat menimbulkan dampak buruk bagi dirinya meskipun hal tersebut menyenangkan. Individu dengan healthy habits akan mengutamakan hal-hal yang memberikan
40
dampak positif bagi dirinya meski dampak tersebut tidak diterima secara langsung. d. Work Ethic Work Ethic menilai tentang regulasi diri dari etika individu dalam melakukan suatu aktivitas sehari-hari. Individu yang memili work ethics akan mampu menyelesaikan tugasnya tanpa dipengaruhi hal-hal yang ada diluar tugasnya. Individu dengan work ethic mampu memberikan perhatiannya pada pekerjaan yang sedang dilakukan. e. Reliability Reliability terkait dengan penilaian individu terhadap kemampuan dirinya dalam pelaksanaan rancangan jangka panjang untuk pencapaian tertentu. Individu ini secara konsisten akan mengatur perilakunya untuk mewujudkan setiap perencanaannya. Penelitian ini menggunakan aspek-aspek yang diutarakan oleh Tangney, Baumeister, dan Boone (2004) untuk mengukur kontrol diri. Aspek-aspek tersebut yaitu self-discipline, deliberated/nonimpulsive, healthy habits, work ethic, dan reliability.
3.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kontrol Diri Menurut Ghufron dan Risnawati (2010) faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kontrol diri seorang individu yaitu:
41
a.
Faktor internal. Faktor internal yang turut berperan dalam kontrol diri adalah usia. Semakin bertambahnya usia individu maka akan semakin baik memampuan dalam mengontrol dirinya.
b.
Faktor eksternal. Faktor eksternal yang mempengaruhi adalah lingkungan keluarga. Kontrol diri individu dipengaruhi oleh lingkungan keluarga, terutama orang tua. Apabila orang tua menerapkan kepada anaknya sikap disiplin secara intens sejak dini, dan orang tua bersikap konsisten terhadap semua konsekuensi yang dilakukan anak apabila tindakannnya menyimpang
dari
peraturan,
maka
sikap
konsisten
ini
akan
diinternalisasi oleh anak dan kemudian akan menjadi kontrol diri baginya.
D. Hubungan antara Secure Attachment dengan Orang Tua dan Kontrol Diri dengan Bullying 1. Hubungan antara Secure Attachment dengan Orang Tua dan Kontrol Diri dengan Bullying Olweus (1999) bullying merupakan tindakan negatif atau agresif yang disengaja, dilakukan berulang-ulang dan dari waktu ke waktu, serta terdapat ketidakseimbangan kekuasaan atau kekuatan. Siswa akan menjadi korban bullying apabila dia tidak bisa membela dirinya sendiri dari perilaku agresif pelaku. Bentuk bullying dapat bersifat fisik, verbal, dan
42
psikologis. Bullying fisik seperti memukul, menampar, dan memalak. Bullying verbal seperti memaki, menggosip, dan mengejek. Bullying psikologis seperti mengintimidasi, mengucilkan, mengabaikan, dan mendiskriminasi. Dalam kejadian bullying biasanya terdapat pelaku, korban, dan penonton (bystander). Bagi sebagian orang bullying mungkin hanya dianggap sebagai sebuah candaan dan bersifat wajar. Padahal bullying merupakan masalah yang dampaknya harus ditanggung oleh semua pihak, pelaku, korban, maupun penonton (bystander). Anak-anak yang terlibat dalam bullying baik menjadi korban maupun pelaku memiliki risiko lebih tinggi secara signifikan terhadap masalah psikosomatis dan psikososial daripada anakanak yang tidak terlibat (Gini, 2008). Sedangkan bagi bystander, gangguan yang muncul adalah kecemasan dan penurunan kadar kortisol (Carney et al., 2010). Penyebab seseorang menjadi pelaku bullying tidak dapat dilepaskan dari konteks lingkungan, salah satunya orang tua. Orang tua menjadi sosok utama dalam interaksi sosial anak. Dari orang tua seorang anak pertama kali merasakan kasih sayang. Adanya attachment antara anak dengan orang tua akan membawa dampak jangka panjang pada kehidupan. Secure attachment (kelekatan aman) menghasilkan dampak jangka panjang yang positif pada kognitif, sosial, dan perilaku, sementara insecure attachment (kelekatan tidak aman) akan memberikan akibat yang merugikan (Flaherty & Sadler, 2011). Secure attachment di masa anak-
43
anak merupakan pusat pengembangan kompetensi sosial (Santrock, 2014). Semakin secure attachment seorang anak terhadap orang dewasa yang bersifat
mengasuh
akan
membuat
anak
semakin
mudah
untuk
mengembangkan hubungan yang baik dengan orang lain (Papalia, 2013). Anak dengan secure attachment yang mendapatkan pengasuhan hangat, konsisten, dan keterikatan secara emosional, kemungkinan akan mengembangkan
hubungan
sosial
menjadi
positif
dan
produktif
(Weinfield et al., 1999). Salah satu hasil paling konsisten dari penelitian attachment pada masa remaja adalah temuan bahwa secure attachment dengan orang tua terkait dengan hubungan pertemanan yang positif (Allen & Miga, 2010). Dengan demikian, mereka tidak mungkin untuk melakukan bullying terhadap orang lain karena pelecehan memiliki dampak negatif dan kontraproduktif pada hubungan dengan orang lain (Troy & Sroufe, 1987). Bahkan, penelitian menunjukkan bahwa mereka sebenarnya bisa cenderung untuk membela korban bullying (Nickerson et al., 2008). Selain itu, karena orang tua mereka telah menunjukkan model empati, kebaikan, dan kasih sayang, anak-anak dengan secure attachment cenderung menampilkan perilaku serupa dalam interaksi mereka dengan teman sebaya. Anak-anak yang tidak mendapatkan secure attachment akan mengalami insecure attachment. Anak dengan insecure attachment membawa harapan bahwa orang lain tidak ada ketika dibutuhkan dan pertukaran sosial yang negatif atau tidak bermanfaat (Renken et al., 1989).
44
Bias negatif tentang interaksi sosial ini cenderung mengakibatkan interpretasi bermusuhan terhadap perilaku orang lain dan melakukan reaksi agresif terhadap teman-temannya. Dampak negatif dari tidak diperolehnya secure attachment inilah yang menyebabkan timbulnya perilaku agresif seperti bullying. Selain faktor eksternal, terdapat faktor internal dari diri remaja yang diduga turut berperan dalam bullying, yaitu kontrol diri. Tangney et.al., (2004) menyatakan bahwa kontrol diri adalah kemampuan seseorang untuk mengontrol atau mengubah respon dari dalam dirinya untuk menghindarkan diri dari perilaku yang tidak diharapkan. Gottfredson dan Hirschi (dalam Gibson, 2010) menyatakan bahwa kontrol diri merupakan blokade yang menjembatani individu dengan aktivitas yang menyimpang. Kontrol diri menunjukkan kemampuan untuk meninggalkan kesenangan jangka pendek yang berpotensi menimbulkan konsekuensi jangka panjang yang negatif. Gottfredson dan Hirsch (dalam Gibson, 2010) menyatakan bahwa kontrol diri yang rendah meningkatkan kemungkinan pada hampir semua jenis tindakan kejahatan dan penyimpangan yang membawa kesenangan, kepuasan, dan pemenuhan dalam jangka pendek. Seperti kenakalan remaja, tindakan kriminal, dan penyimpangan umum sepanjang kehidupan. Seseorang yang memiliki kontrol diri yang baik akan melakukan pengendalian diri dari dorongan untuk melakukan perilaku yang menimbulkan dampak negatif, seperti bullying. Sehingga, dengan adanya
45
kontrol diri yang baik pada diri seseorang akan berpengaruh negatif pada bullying. Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan, bahwa bullying yang dilakukan remaja dimungkinkan terkait dengan secure attachment dengan orang tua dan kontrol diri. Remaja yang memiliki secure attachment dengan orang tua dan kontrol diri yang baik akan memiliki interaksi sosial yang baik dengan teman-temannya dan mampu mengendalikan diri dari perilaku negatif. Dengan demikian, secure attachment dengan orang tua dan kontrol diri akan mengurangi kemungkinan terjadinya bullying.
2. Hubungan antara Secure Attachment dengan Orang Tua dengan Bullying Ainsworth, Klaus & Klaus (dalam Zanden et al., 2007) menyatakan, attachment adalah ikatan emosional yang dibentuk seorang individu dengan orang lain yang bersifat spesifik, mengikat mereka dalam suatu kedekatan yang bersifat kekal sepanjang waktu. Attachment dengan orang tua tidak hanya terbatas pada masa bayi, namun berlangsung sepanjang masa. Bagi remaja, orang tua biasanya tetap menjadi sumber kelekatan primer. Greenberg (1987) menyatakan bahwa attachment dengan orang tua tetap menjadi sumber utama dalam memberikan rasa aman pada remaja. Menurut Bowlby, pada pengalaman awal seorang bayi akan membentuk „internal working model‟ tentang diri dan dunianya. Ketika pengasuh secara konsisten sensitif, mendukung, responsif, dan menerima
46
perilaku anak mereka menghasilkan secure attachment (Weinfield et al., 1999). Anak dengan secure attachment akan mengembangkan internal working model sebagai diri yang independen, dicintai, layak, dan mandiri. Secure
attachment
dengan
orang
tua
tersebut
kemudian
akan
mempengaruhi perkembangan hubungan interaksi sosial dengan orang lain. Anak dengan secure attachment dikaitkan dengan kompetensi sosial, penerimaan teman sebaya, dan popularitas yang tinggi. Kegagalan dalam membangun secure attachment dengan orang tua akan mempengaruhi bagaimana anak menganggap diri mereka sendiri dan merespon orang lain. Anak-anak yang tidak mengalami basis yang aman menumbuhkan harapan bahwa orang lain akan menjadi tidak responsif atau tidak dapat dipediksi dalam memenuhi kebutuhan mereka. Pengalaman belajar mengenai harapan ini kemudian mempengaruhi interpretasi mereka terhadap suatu perilaku (Main, 2000). Crittenden dan Ainsworth (dalam Eliot & Cornell, 2009) menyatakan bahwa anak-anak tidak melekat secara aman mengembangkan pandangan dunia sebagai tempat yang tidak aman dan karena itu cenderung selektif disertai isyaratisyarat sosial bermusuhan. Dodge et al. (dalam Eliot & Cornell, 2009) menunjukkan bahwa anak-anak yang memiliki atribusi bermusuahan pada interaksi yang netral dengan teman lebih cenderung berperilaku agresif terhadap teman-temannya. Rasa permusuhan adalah salah satu dari bias kognitif yang dapat menyebabkan perilaku agresif dan bullying (Guerra et al., dalam Eliot & Cornell, 2009).
47
Anak-anak yang agresif memiliki representasi kognitif bahwa perilaku agresif merupakan cara yang efektif dan disetujui secara sosial dalam berhadapan dengan teman-temannya. Anak tersebut kemudian mengembangkan sikap dan persepsi bermusuhan yang mengakibatkan interaksi agresif terhadap teman-temannya. Siswa dengan secure attachment lebih sedikit mengalami masalah, baik itu masalah kenakalan dan agresi (Morreti & Pelled, 2004). Lebih lanjut, sebuah penelitian dilakukan oleh Bloodworth (2015) untuk menguji hubungan attachment dan perilaku agresif. Hasilnya menunjukkan bahwa seseorang yang dengan secure attachment memiliki perilaku agresif yang lebih rendah. Penelitian dari Walden dan Beran (2010), bahwa siswa dengan attachment yang rendah cenderung menjadi korban maupun pelaku bullying dibandingkan siswa dengan secure attachment. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa siswa dengan insecure attachment dilaporkan lebih terlibat dalam bullying (Kokkinos, 2013). Siswa dengan secure attachment mengembangkan hubungan sosial menjadi positif dan produktif terhadap orang lain (Weinfield et al., 1999). Mereka akan cenderung menjalin pertemanan yang baik dan menghindari dari terlibat perilaku bullying. Bahkan, penelitian menunjukkan bahwa mereka sebenarnya bisa cenderung untuk membela korban bullying (Nickerson et al., 2008). Berdasarkan penelitian dan uraian tersebut, munculnya bullying pada remaja dapat dipengaruhi oleh secure attachment dengan orang tua dengan
48
anaknya. Anak-anak dengan yang tidak memperoleh secure attachment lebih mungkin untuk melakukan bullying terhadap orang lain. Semakin tinggi secure attachment yang dimiliki remaja maka mereka akan cenderung tidak terlibat sebagai pelaku bullying. 3. Hubungan antara Kontrol Diri dengan Bullying Kontrol diri merupakan kemampuan yang sangat diperlukan oleh remaja dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Dalam kehidupan seharihari remaja tidak dapat dipisahkan dari berbagai permasalahan yang muncul, mulai dari masalah pribadi, masalah di lingkungan keluarga hingga sekolah. Di sekolah terjadi berbagai permasalahan yang timbul, seperti bullying. Bullying dapat dihindari apabila seseorang memiliki kontrol diri yang baik. Kontrol diri merupakan pengendalian tingkah laku dimana seseorang melakukan
pertimbangan-pertimbangan
terlebih
dahulu
sebelum
memutuskan untuk bertindak sesuatu. Semakin tinggi kontrol diri yang dimiliki seseorang, maka akan semakin intens pula orang tersebut mengadakan pengendalian terhadap tingkah laku. Sedangkan menurut Sarafino (2012) kontrol diri adalah kemampuan untuk menahan diri dari emosi yang kita miliki, impuls, dan keinginan. Gottfredson dan Hirsch (dalam Gibson, 2010) yang menyatakan bahwa kontrol diri yang rendah meningkatkan kemungkinan pada hampir semua jenis tindakan kejahatan dan penyimpangan yang membawa kesenangan, kepuasan, dan pemenuhan dalam jangka pendek. Seperti
49
kenakalan remaja, tindakan kriminal, dan penyimpangan umum sepanjang kehidupan. Kontrol diri yang rendah seringkali dikaitkan dengan berbagai tindakan menyimpang, seperti perilaku delikuen (Permono, 2014), bahkan tindak kriminal. Remaja yang melakukan kontrol diri yang baik akan cenderung melakukan perimbangan-pertimbangan terlebih dahulu sebelum bertindak. Mereka akan memikirkan dampak dari perbuatannya terhadap dirinya sendiri dan orang lain. Sehingga remaja dengan kontrol diri yang baik akan memilih untuk tidak terlibat dalam berbagai perilaku negatif seperti bullying. Beberapa penelitian mencoba mengaitkan antara kontrol diri dan perilaku bullying. Chui dan Chan (2013) melakukan penelitian terhadap 365 siswa di Macau yang berusia antara 10 dan 17 tahun. Dari penelitian tersebut menunjukkan hasil bahwa bullying berhubungan negatif dengan tingkat kontrol diri siswa. Penelitian terbaru dari Moon dan Alarid (2015) dengan partisipan 300 orang pemuda, mendapatkan hasil bahwa pemuda dengan kontrol diri yang rendah kemungkinan besar akan terlibat bullying fisik dan psikologis. Kontrol diri yang baik akan menjembatani dari berbagai dorongandorongan dan tingkah laku negatif, termasuk bullying. Dengan demikian, kontrol diri dimungkinkan menjadi salah satu penyebab timbulnya bullying di sekolah. Remaja memiliki kontrol diri yang baik cenderung
50
tidak melakukan bullying. Sementara remaja yang memiliki kontrol diri yang rendah cenderung akan melakukan bullying. E. Kerangka Pemikiran H2 Secure Attachment Dengan Orang Tua H1
Bullying
H3 Kontrol Diri
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Keterangan:
Anak panah H1: Hipotesis 1 Anak panah H2: Hipotesis 2 Anak panah H3: Hipotesis 3
F. Hipotesis Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Terdapat hubungan antara secure attachment dengan orang tua dan kontrol diri dengan bullying pada siswa SMA negeri 8 Surakarta. 2. Terdapat hubungan antara secure attachment dengan orang tua dengan bullying pada siswa SMA negeri 8 Surakarta. 3. Terdapat hubungan antara kontrol diri dengan bullying pada siswa SMA Negeri 8 Surakarta.