N E R AC A B U DAYA : S E L I S I K N I L A I LU H U R R U WATA N S U K E R TA
Indikator NERACA DEMOKRASI EKONOMI INDONESIA
ISSN: 0853-7143
Angkutan Pelayaran Indonesia Nomor 48/Tahun XXX/2016
Rp11.000,00
MAJALAH MAHASISWA FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS BRAWIJAYA
Pelra, Anak Tiri
Indigenos Indikator
Lembaga Pers Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya
Nomor 48/Tahun XXX/2016 Pelindung Dekan FEB UB Penasihat WD III FEB UB
DIVISI UMUM Pemimpin: Muhammad Naufal Staf Umum dan Administrasi: Shafira Namira, Alfian Nurdiansyah, Fitri Ika P., Genta Fikri H.
Indikator/Ryan
Senyum Kami pun Kembali
N
afas panjang telah dihembuskan, arti dari terselesaikannya perjuangan kami. Bangga itu pasti, karena pengorbanan kami akhirnya terbayarkan. Tak mudah untuk bisa sampai pada titik ini. Berawal dari penggalian ide yang cukup menguras waktu dan tenaga. Inkonsistensi penanggung jawab rubrik (jabrik) turut hadir sebagai hambatan, hingga beberapa jabrik harus diganti. Kemudian kendala pencairan dana reportase yang tersendat di bagian keuangan. Belum lagi adanya penggantian layouter yang cukup memengaruhi penggarapan. Berpegang teguh pada kata militansi dan tanggung jawab membuat kami terus pada jalur yang dibangun bersama-sama. Perlahan senyum kami mulai terbentuk kembali. Sekilas kami paparkan mengenai majalah edisi kali ini. Minimnya dukungan pemerintah terkait kondisi kapal pelayaran rakyat (pelra) yang kurang muatan dan armada tersedia dalam Laporan Utama. Terkait Laporan Khusus, mengulas kelayakan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dari sisi sarana dan prasarana, dana, serta tenaga pengajar yang ada di Malang. Pro kontra penerapan Corporate Social Responsibility (CSR) di Indonesia beserta permasalahannya disajikan dalam Diskusi Ahli Indikator. Kemudian, ruwatan dapat disimak dalam Neraca Budaya sebagai pengingat kembali akan nilai-nilai budayanya. Selain laporan juga ada rubrik khas Indikator yang tak kalah menarik seperti Indifoto, Tribun Bebas, Kolom, dan lain sebagainya. Sebuah pencapaian indah bagi kami. Dedikasi cukup besar telah kami curahkan demi harapan tercukupinya wacana dan informasi untuk pembaca. Semua ini akan terasa sia-sia jika tak ada yang membacanya. Selamat menikmati!
DIVISI MAJALAH Pemimpin: Afif Abrar Wakil Pemimpin Redaksi: Fithri Atika U. Staf Redaktur Pelaksana: Andy Hermawan, Wiwanda Agus W., Monica Nugraha S., Imanirrahma Salsabil, Ariana Nisaa W. Staf Redaktur Artistik: Swesti Astrina V., Luthfan Ramadhan H., Fauzan Setyo A. N., Faizal Adhim Staf Fotografer: Tri Andika N., Renno Abdi P., Deni Ganda W., Mohammad Abid M. Reporter Seluruh Anggota Indikator DIVISI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN Pemimpin: Kurnia Wijaya Staf Pusat Data Dokumentasi dan Refrensi: Reiza Aulia R., Esty Dwi K. N., Dina Meiliana Staf Penelitian dan Penalaran: Ariza Agung P., Farit Bagus T. C., Yulia Indriani, Hanif Amaral J. Staf Sumber Daya Manusia: Dessy Anggraeny, Fandy Rahmadya, Syah Ryan A., Naufal Hilmy F. G. Staf Penerbitan Khusus Indikator: Febri Suci A, Brian Monang S., Eva Kumalasari, Emilia Susanti, Raudatul Hikmah, Ramadhiniyah Wahyuningtias, Aris Sulistiono
Redaksi Indikator Nomor 48/Tahun XXX/2016
DIVISI USAHA Pemimpin: Nania Tamana Staf Sirkulasi: Nuhansyah Arga P., Irsyad Aries P., Janet Celvian D. Staf Pendanaan: Ruly Kurniawan, Niela Ardila, Devi Nurindah S., Nur Rizky A., Favan Abu R., Annida Zahra A. Staf Inventaris: Bella Ginantie, Muhammad Faris A. B.
3
NERACA DEMOKRASI EKONOMI INDONESIA
4
Indikator/Jaya
Indikator
Indeks
Jejeran kapal tua menambat di kaki dermaga, menunggu muatan yang tak pasti
LAPORAN Laporan Khusus Menguak Problematik Pendidikan bagi Penyandang Disabilitas ..................................................................................... 12 Laporan Utama Pelra, Anak Tiri Angkutan Pelayaran Indonesia ................... 26 Diskusi Ahli Indikator Telaah Disorientasi Corporate Social Responsibility di Indonesia ................................................................................ 42 Neraca Budaya Selisik Nilai Luhur Ruwatan Sukerta ....................................... 54 ARTIKEL Rekening Persimpangan Jalan Transaksi Murabahah di Perbankan Syariah .. 22 Bisnis Manajemen Sumber Daya Islami: Argumentasi Para Ahli .................... 34 Multiplier Dampak Kebijakan Liberalisasi Sektor Pangan terhadap Ketahanan Pangan Dunia .................................................................................. 48 Tribun Bebas Menyambut Fajar Media Massa ................................................ 60 KHAS INDIKATOR Indigenos ............................................................................................................. 3 Wacana Menyusun Kembali Asa Kedaulatan Negara ......................................... 5 Kontak Konsumen ............................................................................................. 8 Aktual Media Sosial, Kenali Pendapat Sebelum Dituangkan ........................... 18 English Corner Sustainable Development: A Reminder ................................... 20 Kolom Traktat Ketat Amerika Serikat ................................................................ 32 Indifoto .............................................................................................................. 37 Resensi Lampaui Batas, Kunci Kreativitas ........................................................ 51 Sosok Ekspresikan Diri Lewat Gema Prestasi ................................................... 52 Potensi Daerah Primadona Baru Tulungagung ................................................ 64 Terminal FEB Dibalik Perjalanan Prodi Keuangan Perbankan ...................... 66 Etalase Beradu Peran dalam Kontes Sandiwara ............................................... 68 Sastra Menuai Tebangan: Tutup Mata, Telinga, dan Hati ................................ 70 Klik .................................................................................................................... 72 Indikatoriana .................................................................................................... 74 Kulit muka oleh Fauzan Setyo A. N. dan Kurnia Wijaya. Tata Letak oleh Fauzan Setyo A. N. dan Maria Nivena P. Ilustrasi oleh Fauzan Setyo A. N., Syah Ryan A., Muhammad Naufal, Farit Bagus T. C., Deni Ganda W., dan Faizal Adhim. Foto dan proses kreatif lainnya oleh Syah Ryan A., Renno Abdi P., Kurnia Wijaya, Brian Monang S., Deni Ganda W., Farit Bagus T. C., Monica Nugraha S., dan Wiwanda Agus W. Desain dan tata letak dibuat menggunakan Adobe Indesign CS6, Adobe Photoshop CS3, Corel Draw X6, dan Adobe Illustrator CS6.
Indikator Nomor 48/Tahun XXX/2016
Wacana Menyusun Kembali Asa Kedaulatan Negara
D
elapan belas bulan telah berlalu sejak Joko Widodo dikukuhkan sebagai Kepala Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dikumandangkannya Nawacita sebagai sembilan agenda wajib pembangunan negara, seolah menjadi angin segar yang berhembus kala itu. Terlepas dari pro dan kontra yang m enyelimutinya, Nawacita bak suara yang mampu membius para pendengarnya. Sebuah langkah yang diharapkan mampu membangunkan Indonesia dari tidur panjangnya. Nawacita merupakan kerangka konseptual untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara yang memiliki kedaulatan di bidang politik, sosial, m aupun ekonomi. Makna kedaulatan di sini ialah memiliki kekuasaan tertinggi atas pemerintahan di suatu negara. John Locke, seorang filsuf asal Inggris, mengemukakan bahwa rakyat berfungsi sebagai pemegang kedaulatan negara dan pemerintah sebagai alat yang ditentukan oleh rakyat untuk mengelola negara bagi kepentingan bersama. Sistem demokrasi yang dianut Indonesia menunjukkan bahwa rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi di suatu negara. Pemerintah merupakan konstitusi yang dibentuk oleh m asyarakat guna menjalankan
kekuasaan. Delegasi kekuasaan yang diberikan kepada seorang figur adalah mutlak untuk menjalankan negara demi kepentingan rakyat. Pemerintah sudah sepantasnya berdaulat di tanah air sendiri dalam bentuk mengatur dan menjalankan komponen-komponen negara sesuai dengan Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Kedaulatan saat berhubungan dengan negara lain patut diperkuat demi menjaga martabat bangsa. Salah satu poin Nawacita menegaskan, negara siap m elindungi
Indikator/M. Naufal
segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warganya, melalui politik luar negeri bebas aktif, menciptakan keamanan nasional, serta memperkuat jati diri sebagai negara maritim. Cita ini bukanlah sekadar poin yang dibicarakan lalu hilang. Upaya pemerintah dalam menjaga
kedaulatannya terlihat dari berbagai kebijakan untuk mencegah intervensi dari negara lain memasuki koridor NKRI. Peledakan tiga kapal ikan milik Malaysia yang dilakukan di Aceh pada Selasa (5/04/2016) lalu, merupakan bentuk keseriusan negara dalam menjaga wilayah kedaulatannya. Pemusnahan kapal asing yang kerap dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) seakan menjadi bukti dari pemerintah bahwa kedaulatan maritim bukanlah akad semata. Terhitung sejak Oktober 2015, sudah 23 kapal dimusnahkan oleh KKP akibat illegal fishing di perairan Indonesia. Ketegasan Indonesia dalam mempertahankan kedaulatannya juga terlihat saat Cina mengklaim Perairan Natuna yang notabene masih menjadi teritorial Indonesia berdasarkan Zona Ekonomi Ekslusif. Tanggapan serius diberikan oleh pemerintah Indonesia ketika Cina m enuntut untuk membebaskan delapan anak buah kapal yang ditangkap oleh p ihak keamanan dari KKP. Penambahan kekuatan militer di wilayah Perairan Natuna serta ancaman laporan ke pihak pengadilan hukum laut internasional merupakan aksi nyata yang dilakukan pemerintah untuk menanggapi tuntutan tersebut. Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, merupakan dasar yang digunakan
Indikator Nomor 48/Tahun XXX/2016
5
Wacana p emerintah dalam memberikan sanksi kepada pelanggarnya. Pasal tersebut menyebutkan bahwa pemerintah berhak memberikan hukuman bagi pelanggar ketentuan perundang-undangan yang dilakukan di wilayah teritorial Indonesia. Konsistensi Indonesia dalam menerapkan UU Kelautan dapat menjadi contoh bagi i mplementasi kebijakan lainnya guna menghukum siapa saja yang melanggar ketentuan negara. Pada tahun 2015, keputusan pemberian hukuman mati kepada terdakwa narkotika seringkali terdengar di berbagai media. Pelaksanaan hukuman mati disertai kecaman dari berbagai negara turut menorehkan catatan tersendiri bagi Indonesia. Vonis yang diberikan kepada sepuluh terpidana asing tersebut menghantarkan hubungan diplomatik Indonesia pada titik terendah. Penolakan grasi dan pelaksanaan hasil keputusan sidang semata-mata dilakukan presiden demi meninggikan derajat hukum Indonesia di mata dunia. Keputusan tersebut merupakan upaya menciptakan keamanan nasional yang sejalan dengan Nawacita pada poin pertama. Sektor ekonomi pun tak luput dari tajamnya taring kebijakan pemerintah. Kewajiban pembangunan smelter bagi perusahaan pertambangan mineral merupakan langkah taktis yang dilakukan Indonesia untuk mewujudkan kemandirian ekonomi. Keputusan ini merupakan bentuk implementasi Pasal 33 UUD 1945 terkait penyelenggaraan ekonomi yang demokratis, mandiri, dan b erkelanjutan. Adanya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya M ineral Nomor 1 Tahun 2014 menjadi momok bagi p engusaha nakal yang kerap menjual hasil tambang mentah. Selain menambah pendapatan pemerintah, pembangunan smelter dapat menurunkan angka pengangguran karena membuka lapangan kerja baru. Pembangunan
6
smelter secara tidak langsung mampu meningkatkan perekonomian daerah akibat perputaran uang yang semakin cepat. Mewujudkan Indonesia yang berdikari secara ekonomi tentunya bukan hal yang mustahil apabila penerapan kebijakan dilakukan secara konsisten. Anomali Citra Keadikuasaan Indonesia di kancah internasional berbeda jauh dengan apa yang terjadi di rumah sendiri. N yatanya masih banyak permasalahan dalam negeri yang lambat untuk dieksekusi, baik dalam pembuatan kebijakan maupun melakukan tindakan. Penegakan hukum di Indonesia yang “katanya” tajam ke bawah namun tumpul ke atas seringkali terdengar dari mulut masyarakat. Hal ini merupakan sebab-akibat dari penegakan hukum di Indonesia yang masih pandang bulu. Kasus anak kecil yang didakwa mencuri sandal milik salah satu a nggota
kepolisian sempat menghebohkan panggung pengadilan kala itu. Pencurian barang “remeh” tersebut seolah menjadi perkara besar. Tuntutan penjara maksimal lima tahun dilayangkan sesuai Pasal 362 Kitab UU Hukum Pidana (KUHP). Namun hal berbeda ditunjukkan oleh pengusutan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Kasus korupsi yang terjadi sejak tahun 1998 tersebut merugikan negara hingga 600 triliun rupiah dan sampai saat ini belum d iusut secara tuntas. Tertangkapnya Samadikun Hartono di Tiongkok, salah satu tersangka kasus korupsi BLBI, belum berarti apa-apa jika dibandingkan dengan keseluruhan tersangka dalam kasus tersebut. Penyelesaian kasus BLBI yang jalan di tempat seolah memperlihatkan lemahnya hukum Indonesia dihadapan kasus korupsi. Tarik ulur pengusutan dan tuntutan ringan pun kerap kali mewarnai jalannya penindakan kasus korupsi di Indonesia. Kepercayaan masyarakat akan hukum semakin luntur akibat maraknya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme di dalam badan penegak hukum. Komisi Kejaksaan Republik Indonesia (KKRI) menyebutkan bahwa lembaga kejaksaan memiliki kinerja terburuk di antara institusi pelayanan publik lainnya selama tahun 2015.
Indikator/M. Naufal
Indikator Nomor 48/Tahun XXX/2016
Upaya menciptakan tata kelola p emerintahan yang bersih, demokratis, dan terpercaya semakin sukar untuk dicapai. Adanya dualisme yang ditunjukkan oleh dua koalisi berbeda mengingatkan masyarakat akan peran oposisi dalam sistem demokrasi. Alihalih menciptakan kondisi p emerintahan yang baik, diskusi negara sering kali tersandera oleh kepentingan masing-masing golongan bahkan konfrontasi antar keduanya kadang tak terelakkan. Ketidakmampuan kepala negara dalam mengendalikan situa si politik yang berbeda pandangan ini menjadi sorotan publik karena berdampak pada lambatnya kinerja pemerintah. Salah satu contohnya adalah keterlambatan pengesahan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015 yang berdampak pada pengadaan gabah/beras tak sesuai target. Langkah Badan Urusan Logistik (Bulog) selaku pihak yang bertanggung jawab atas pembelian gabah para petani mandek karena menunggu kepastian regulasi. Akhirnya, petani menjadi pihak yang dirugikan, hasil panen dilepas dengan harga murah kepada tengkulak karena tak kuasa menahan perut yang kian bergolak. Masuknya revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam daftar Program Legislasi Nasional 2016 sempat membuat publik heran akan keseriusan pemerintah dalam perwujudan reformasi sistem yang bebas korupsi. Revisi tersebut dianggap melemahkan KPK sebagai lembaga independen. Wacana pembatasan umur KPK 12 tahun serta adanya dewan pengawas sebagai lembaga yang menjadi pemberi otoritas, dianggap dapat memengaruhi independensi KPK. Moratorium pembahasan revisi UU KPK nyatanya bukanlah hal yang diinginkan publik. Penangguhan tersebut dianggap tak mengurangi probabilitas pembahasan revisi UU KPK yang akan kembali mencuat dalam agenda politik selanjutnya.
Tindak-tanduk pemerintah yang hanya mementingkan golongan seolah kontradiktif dengan makna demokrasi yang sesungguhnya. “Democracy is the government of the people, by the people, for the people” merupakan gagasan dari Abraham Lincoln terkait konsep demokrasi yang sesungguhnya. Konsep tersebut bermakna sama dengan sosio-demokrasi yang diusung oleh Ir. Soekarno. Gagasan itu muncul sebagai antitesis dari demokrasi liberal yang menempatkan kedaulatan rakyat sebagai kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Hal ini menegaskan bahwa para penghuni kursi pemerintahan merupakan kepanjangan tangan rakyat untuk menciptakan kedaulatan dalam suatu negara. Dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 disebutkan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Namun tumpulnya pisau hukum di Indonesia belum mampu merefleksikan nilai-nilai keadilan dan persamaan hak dari pasal tersebut. Diskriminasi yang didasari oleh kepemilikan modal menyebabkan hukum menjadi komoditas jika dihadapkan dengan uang. Kegaduhan politik yang sering terjadi, semakin memudarkan harapan masyarakat terhadap masa depan negara di tangan wakilnya. Manifestasi kedaulatan rakyat yang ada sejak Indonesia merdeka tak diindahkan oleh elite negara. Kemenangan golongan serta keuntungan pribadi selalu menjadi orientasi para penguasa, sedangkan rakyat menjadi pihak yang paling menderita.
Indonesia di kancah internasional memang tergolong kontroversial, namun apresiasi tetaplah harus diberikan karena semuanya demi menjaga keamanan bangsa. Hal yang demikian juga harus dilakukan saat menyelesaikan permasalahan dalam negeri. Sikap tegas terhadap penyelesaian masalah dirasa sangat perlu jika ingin mewujudkan Nawacita yang dianggap ideal oleh pencetusnya. Jika setiap kebijakan luar negeri dibentuk untuk kemaslahatan bersama, sudah menjadi keharusan bahwa keputusan yang dibuat di dalam negeri juga berorientasi pada hal yang sama. Mengacu pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat, maka setiap perumusan kebijakan haruslah relevan dengan kondisi riil yang ada pada masyarakat. Beban tersebut bukanlah milik pemerintah saja, masyarakat juga memiliki andil sebagai pelaku dan target kebijakan. Sikap apolitis bukanlah suatu pilihan bijak jika menginginkan kondisi ideal sesuai dengan nilai luhur pancasila dan UUD 1945. Merujuk pada pemikiran Tan Malaka, kemerdekaan suatu n egara dikatakan utuh apabila segala aspek yang berhubungan dengan negara dipegang oleh rakyat, baik itu dari kaum buruh hingga birokrat sekalipun. Mencapai kondisi ideal memang bukan suatu hal yang mudah. Namun apabila masyarakat dan pemerintah dapat padu, maka birokrasi yang bersih, kemandirian ekonomi, kesejahteraan sosial, serta berbagai poin yang termaktub dalam Nawacita bukan mustahil untuk diwujudkan.
Rekonstruksi adalah Pasti Jika Nawacita merupakan alat untuk memperbaiki kondisi bangsa, maka implementasi yang diterapkan melalui berbagai bentuk kebijakan haruslah representatif berdasarkan tujuan pembangunan. Tindakan yang dilakukan
LPM Indikator
Indikator Nomor 48/Tahun XXX/2016
7
Kontak Konsumen Regulasi untuk Perokok
Indikator Berdiskusi
Pertanyaan: Apakah ada regulasi yang mengatur perokok aktif agar merokok pada zona rokok?
Anasrullah Gama A. Mahasiswa Ilmu Ekonomi 2012
Pertanyaan: Apa saja kegiatan diskusi yang dilakukan Indikator? Karena yang saya ketahui terkadang kegiatan Indikator terjadi hingga dini hari.
Salma Labita Z. Mahasiswi Ilmu Ekonomi 2014
Jawaban: Diskusi Indikator terbagi menjadi Jawaban: tiga jenis, ada yang formal, informal, Untuk regulasi secara formal tidak ada, dan nonformal. Diskusi yang bersifat hal ini sudah pernah disampaikan oleh formal biasa disebut Diskusi Formal. Prof. Dr. Candra F ajri Ananda SE. , M. Diskusi ini sesuai kurikulum wajib Sc. selaku dekan Fakultas Ekonomi dan yang harus dipelajari dan diketahui Bisnis Universitas Brawijaya (FEB oleh Indiers (sebutan bagi anggota UB) bahwa tidak ada undang-undang Indikator). Diskusi yang bersifat ataupun peraturan daerah di Kota informal biasa disebut Gerakan Wacana Malang yang melarang masyarakat Indikator (Gerwani). Dalam diskusi ini, untuk merokok. Tetapi ini kembali tema yang dibawa bebas dan siapa pun kepada etika saja, karena kita sebagai diperbolehkan mengikuti diskusinya. akademisi, s eharusnya bisa paham Tema yang didiskusikan mulai dari dan menghargai hak orang lain yang hal yang ringan sampai hal yang betidak merokok. Oleh karena itu, dekan rat seperti ekonomi dan sebagainya. tidak memberikan peraturan, tetapi Sedangkan, diskusi yang bersifat non emberikan solusi yaitu membangun formal adalah ngopi. Diskusi ngopi m smoking area. Pembangunan smoking tidak terikat waktu, kapan pun diskusi area ini sebagai bentuk perlindungan ini bisa dilakukan. Di sini wadah untuk kepada mahasiswa yang tidak merokok tanpa harus melarang para perokok yang merokok di area kampus.
Radityo Putro H., SE., MM. Staf Ahli Wakil Dekan III Kemahasiswaan
berbagi wacana selain di Diskusi Formal dan Gerwani. Diskusi Formal dan Gerwani memang memakan waktu yang cukup lama karena forum dalam diskusi, khususnya Indiers dituntut untuk m engerti dan mampu mengkritisi tema yang didiskusikan. Tak jarang agenda d iskusi ini berlangsung hingga dini hari. Sedangkan, ngopi biasanya dilakukan pada malam hari, karena hanya pada waktu tersebut Indiers tidak ada jadwal perkuliahan. Ngopi tidak ditentukan kapan mulai dan selesainya, tetapi biasanya agenda ngopi ini juga selesai hingga dini hari.
LPM Indikator
Sistem Regenerasi Indikator Pertanyaan: Bagaimana sistem perekrutan anggota baru LPM Indikator?
Hilmy Alvian M. S. Mahasiswa Ilmu Ekonomi 2014 Jawaban: Di dalam sistem perekrutan anggota baru Indikator, ada beberapa agenda yang harus dilalui. Pertama, ada open recruitment yang diadakan pada agenda Open House seluruh lembaga di FEB UB dalam rangka menyambut mahasiswa baru. Open recruitment dibuka sampai agenda Musyawarah Anggota Tahunan Indikator (MATI) diadakan. Pendaftaran untuk menjadi magang Indikator sendiri mudah, cukup mengisi formulir yang disediakan oleh Indikator, kemudian melaksanakan wawancara dengan pemimpin Indikator. Staf magang Indikator akan mengikuti agenda pendidikan
Indikator/Ryan
8
Indikator Nomor 48/Tahun XXX/2016
p elatihan yang terbagi menjadi dua, Indikator Journalism Today (IJT) dan Out Ward Bond (OWB). Pelatihan mengenai manajemen redaksi, simulasi reportase, dan penulisan dilakukan pada agenda IJT. Sedangkan OWB, pelatihan dilaku kan di alam bebas. Mulai dari reportase langsung ke masyarakat sekitar sampai melakukan penulisan yang terbagi menjadi beberapa aspek, dari perekonomian sampai sosial. Setelah beberapa agenda dilaksanakan, agenda terakhir adalah pengangkatan resmi staf magang Indikator menjadi Indiers yang dilaksanakan pada saat MATI. Setelah diangkat menjadi Indiers, baru dimulai perjalanan panjang sebagai staf tetap Indikator. Indikator/Ryan
Jawaban: LPM Indikator Peraturan itu sebenarnya ada. S etiap awal semester saya m enandatangani surat tugas dosen untuk mengajar yang selalu ada lampiran terkait dengan anjuran dan larangan dalam b ertugas. Salah satunya adalah m erubah Pertanyaan: jadwal kuliah yang harus diketahui Bagaimana aturan tentang perubahan oleh pihak jurusan dan pengajaran. jadwal kuliah yang dilakukan dosen Dalam praktiknya memang kadangtanpa sepengetahuan mahasiswanya kadang kecolongan, misalnya saya sendiri? mengajar hari ini, tapi di satu sisi juga harus pergi tugas ke luar kota. Kalau tidak mengganti jadwal tatap muka Samuel Indra C. L. T. d engan mahasiswa, malah jadi kurang Mahasiswa Manajemen 2013 absensinya. Ini sering terjadi karena
Dilema Aturan Presensi Dosen
untuk peraturan yang benar-benar tertulis dari pihak fakultas itu tidak ada, sehingga bisa menimbulkan kontradiksi tersendiri terhadap dosen. Saya s endiri juga sering begitu karena ada tugas keluar kota. Tapi pasti diganti ke hari lain kecuali Sabtu dan Minggu agar tatap muka bisa terpenuhi selama ada persetujuan antara dosen dengan mahasiswanya. Tatap muka juga akan m emengaruhi absensi dosen. Hal ini ada aturan kepegawaiannya sendiri yang b ernama pokok kehadiran dosen. Jika kuliah tidak sampai 12 kali tatap muka, maka dosen akan dikenakan punishment. Di mana seluruh mahasiswanya bisa ikut ujian tanpa ada pengaruh absensi. Dosen juga tidak akan diikutkan dalam evaluasi. Sayangnya masih ada dosen yang hanya tujuh sampai delapan kali pertemuan saja dengan mahasiswanya, sampai saya sendiri hafal dengan orang yang bersangkutan.
Prof. Dr. Ghozali Maski, SE., MS. Wakil Dekan I Bagian Akademik
Redaksi berkenan menerima tulisan ilmiah populer, kolom, esai, maupun artikel di bidang ekonomi, sosial, politik, budaya, dan agama. Juga kartun dan foto karya. Naskah diketik di atas kertas kuarto, spasi ganda, dan dikirim dalam bentuk hard/soft copy ke Redaksi Indikator. Kiriman harap disertai identitas lengkap. Redaksi berhak menyunting tulisan tanpa mengurangi maksud dan tujuan t ulisan. SEKRETARIAT: Lt, II Gedung Aktivitas Kemahasiswaan FEB UB. Jl. MT Haryono 165, Malang 65145. Telp. 085707271451. Website: lpmindikator.feb.ub.ac.id Email: lpmindikator@gmail. com. Bank A/C: Bank Mandiri, a.n. Afif Akbar, No. Rek 9000013216172. ISSN: 0853-7143. Indikator Nomor 48/Tahun XXX/2016
9
Laporan Khusus
Menguak Problematik Pendidikan bagi Penyandang
Disabilitas
Indikator/Renno
Laporan Khusus
“Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya” – Pasal 31 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 Indikator/Renno
S
orak sorai anak-anak memecah keheningan pagi. Dentang bel tengah dilantunkan sebagai pertanda waktu istirahat telah tiba. Tidak sedikit dari mereka bergegas keluar dari kelas. Ada yang tengah sibuk merogoh saku baju dan mulai menuju kantin. Ada pula yang perlahan berderap, menghampiri teman sebayanya yang sedang bermain sepak bola di lapangan sekolah. Namun, tidak dengan lelaki itu. Siswa yang mengenyam pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB) Negeri Malang itu terlihat diam di tengah keramaian. Ia tengah sibuk menyantap makan siangnya. Sesaat ia menatapi lingkungan sekitar, seolah mencari sesuatu yang tak kunjung ditemukan. Sesekali lelaki itu berjalan pelan, lalu tiba-tiba kembali diam berdiri tanpa melakukan aktivitas apapun. Tak lama setelah itu, perempuan yang mengenakan seragam SMPLB Negeri Malang memanggil nama lelaki itu. Perempuan berjilbab cokelat itu tampak berusaha untuk memulai percakapan dengannya. Awalnya lelaki itu hanya menatap lekat, lalu perlahan berbicara seraya mengatakan ‘ada apa’ dengan terbata-bata. Di tempat lain, seorang anak dengan gembira menyambut orang yang datang ke sekolah tempat ia belajar. Tanpa menunggu lama, ia memanggil teman-teman dan gurunya untuk memberitahukan bahwa ada orang yang datang. Dengan sigap ia langsung mempersilakan orang-orang untuk duduk di kursi yang telah disediakan. Tak lama kemudian, ia mulai membuka pembicaraan. Sekilas anak tersebut tampak normal, sama seperti anak pada umumnya. Tetapi, ketika melihat dia berkomunikasi dengan menggunakan bahasa tubuh, barulah kita menyadari bahwa anak tersebut sedikit berbeda dengan anak lainnya. Masyarakat Difabel 3 Desember merupakan hari di mana seluruh masyarakat di dunia memperingati Hari Difabel. Sejumlah masyarakat khususnya difabel akan menampilkan performance terbaiknya kepada dunia bahwa ia juga berhak mendapatkan perlakuan yang sama dengan masyarakat normal lainnya. Lantas apakah sebenarnya difabel itu? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), difabel adalah suatu kekurangan yang menyebabkan nilai atau m utunya
12
Indikator Nomor 48/Tahun XXX/2016
DISABILITAS
kurang baik atau kurang sempurna/ Pusat Data dan Informasi Kesehatan tidak sempurnanya akibat kecelakaan Republik Indonesia yang dikutip atau lainnya yang menyebabkan ke- dari Survei Sosial Ekonomi Nasional terbatasan pada dirinya secara fisik. (Susenas) 2012, penduduk Indonesia Hal yang sama juga dipaparkan oleh yang menyandang disabilitas sebeDendy Arifianto selaku Ketua Inter- sar 2,45%. Sebagian di antaranya nal Forum Mahasiswa Peduli Inklusi merupakan Anak Berkebutuhan Khu(FORMAPI). Ia mengatakan bahwa sus (ABK). Selain itu, menurut Survei difabel menyangkut perbedaan ke- Sosial Ekonomi Nasional Modul 2009, mampuan secara fisik maupun men- Badan Pusat Statistik (BPS) menuntal. Hal tersebut turut dijelaskan oleh jukkan bahwa persentase anak cacat pakar sosiologi, John C. Maxwell. usia sekolah (7-17 tahun) yang belum Menurutnya, difabel adalah seseorang pernah mengecap pendidikan sebesar yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental yang dapat mengganggu maupun meng hambat baginya untuk melakukan aktivitas secara layak atau normal. Dari pernyataan di atas, dapat diketahui bahwa difabel merupakan seseorang yang memiliki keterbatasan dalam hal fisik maupun mental. Menurut Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, Kota Malang yang memiliki jumlah penduduk terbesar menurut tingkat kesulitan masyarakat difabel terba- Sumber: bps.go.id gi menjadi beberapa tipe. Perta- 43,87%. Sedangkan 35,87% ABK sema adalah penyandang cacat fisik. dang sekolah dan sekitar 20,26% berTipe ini merupakan seseorang yang status tidak sekolah lagi. mengalami disabilitas fisik yakni Berdasarkan data di atas, dapat tunanetra (hambatan penglihatan), diketahui bahwa tidak sedikit ABK tunarungu (hambatan pendengaran yang belum merasakan bangku sekolah. dan bicara), dan tunadaksa (cacat Padahal pendidikan bagi difabel juga tubuh seperti mengalami polio dan menjadi sorotan yang patut diperhatigangguan gerak). Tipe selanjutnya ada- kan. Hal ini jelas tertuang pada Pasal lah penyandang cacat mental, seperti 31 ayat 1 UUD 1945 yang m enyatakan tunagrahita (keterbelakangan mental), bahwa setiap warga negara berhak tunalaras (mengalami gangguan emo- mendapatkan pendidikan. Pernyataan si dan sosial), dan autis (mengalami tersebut juga dipaparkan pada World gangguan interaksi, komunikasi, dan Conference on Education for All taperilaku yang b erulang-ulang dan ter- hun 1990. Pada konferensi tersebut dibatas). Sedangkan yang terakhir adalah jelaskan bahwa pendidikan di seluruh penyandang cacat fisik dan mental, dunia merupakan suatu kewajiban bagi yakni seseorang yang menderita lebih seluruh masyarakat. dari satu kecacatan. Tidak hanya dijelaskan melalui Tidak sedikit dari pelbagai tipe landasan hukum secara umum, di atas kerap ditemukan pada setiap pemerintah pun telah menegaskan negara khususnya Indonesia. Menurut pentingnya pendidikan bagi ABK
yang dimuat pada UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. UU tersebut menjelaskan bahwa penyandang cacat diberi kesempatan dalam berbagai aspek kehidupan termasuk pendidikan. Pernyataan yang sama juga dipaparkan oleh negara- negara anggota pada Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 48/96 Tahun 1993 yaitu, “The Standard Rules On The Equalization of Opportunities for Persons with Disabilities”. Pada Resolusi PBB tersebut dijelaskan bahwa setiap masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan, tak terkecuali ABK. Melihat banyaknya landasan hukum yang telah dibuat, dapat disadari bah wa pendidikan mempunyai peranan penting bagi ABK itu sendiri. Itulah alasan pendidikan bagi ABK disediakan melalui dua jalur, yakni Sekolah Luar Biasa (SLB) dan Sekolah Inklusif. Hal tersebut telah dijelaskan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas No.380/G.06/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003 tentang Pendidikan Inklusif. Surat tersebut menjelaskan bahwa pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Iskandar, S.Pd., M.Pd., Kepala Sekolah Dasar Luar Biasa Negeri (SDLBN) Kedungkandang, memaparkan bahwa terdapat perbe daan antara SLB dan Sekolah Inklusif. “Kalau SLB itu sekolah di mana murid-murid difabel tergabung menjadi satu, sedangkan Sekolah Inklusif itu sekolah di mana ABK bergabung
Indikator Nomor 48/Tahun XXX/2016
13
Laporan Khusus dengan anak normal,” jelasnya. Hal yang sama juga dipaparkan oleh Drs. Nuryanto M.Si., Kepala Bidang Taman Kanak-Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), dan Pendidikan Khusus (PK) Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur (Jatim). Menurutnya, pendidikan inklusif adalah jenis layanan pendidikan yang diperuntukkan bagi anak-anak berkebutuhan seperti lambat belajar, ketunaan fisik, mental, motorik, dan lainnya. “Sekolah Inklusif itu m erupakan layanan pendidikan setara tanpa diskriminasi,” akunya. Dengan tersedianya wadah pendidikan bagi ABK, maka masyarakat difabel dapat memperoleh haknya sebagaimana yang tertulis dalam UUD 1945. Pasalnya, dengan mengenyam pendidikan, ABK dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya. “Jadi, kalau anak pintar usaha ya buat aneka kreasi,” ujar Lilik S ulistywati S.Pd., Kepala Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB) Yayasan Pancasila 2 Kedungkandang. Di samping itu, ABK juga dapat berbaur dengan teman sebayanya yang normal, sehingga tidak terjadi gap di antara mereka. Hal tersebut disampaikan oleh Herliny M euthia Ranthy, Ketua Umum FORMAPI. “Teman-teman yang disabilitas masih bisa berbaur dengan teman-teman lainnya,” ungkapnya. Tidak hanya sebatas di situ, ternyata pendidikan bagi ABK dapat membentuk kemandirian yang tertanam di dalam diri ABK itu sendiri. “Mereka layak untuk hidup mandiri dan bermanfaat bagi dirinya maupun lingkungan di sekitarnya,” papar Sri Retno Yulianti, S.Psi, Kepala SLB Autisme River Kids. Masyarakat Difabel di Kota Malang Jatim merupakan provinsi yang memiliki jumlah penduduk terbanyak di Indonesia. Menurut BPS, penduduk Jatim pada tahun 2012 mencapai 38.106.590 jiwa. Dari jumlah
14
tersebut, terdapat 879.022 penduduk yang menyandang disabilitas. Kemudian, menurut data Dinas Pendidikan Provinsi Jatim, peserta didik SLB yang mengenyam pendidikan di Jatim pada tahun 2014 sejumlah 14.097. Pada tahun yang sama, peserta didik Sekolah Inklusif yang menempuh pendidikan berjumlah 7.426 orang. Malang sendiri merupakan salah satu kota dengan jumlah difabel terbanyak di Jawa Timur. Menurut berita dari Solider1 , Kantor Berita Difabel Indonesia, yang dirilis pada tahun 2013 setidaknya terdapat 300.000 difabel berada di Kota Malang. Kota ini pun ternyata memiliki tingkat kepedulian tinggi terhadap pendidikan bagi ABK. Hal ini tersirat jelas di saat Kota Malang menjadi kota pertama yang menyediakan layanan pendidikan inklusif bagi ABK. Karena itulah pemerintah pusat memberikan label Kota Inklusif kepada Kota Malang. Hingga sekarang, kota ini terus menggalakkan pendidikan bagi ABK. Menurut Kementerian Pendidikan Nasional yang dikutip dari kemdiknas. go.id, hingga pertengahan tahun 2009 terdapat 130 SLB di Kota Malang, 41 di antaranya telah memiliki Surat Keputusan (SK) dari pemerintah. 41 SLB tersebut terdiri atas 2 SDLBN, 15 SDLB swasta, 2 SMPLBN, 13 SMPLB swasta, 1 SMALBN, dan 8 SMALB swasta. Sedangkan untuk Sekolah Inklusif tercatat mencapai 18 sekolah. 18 sekolah tersebut terdiri atas 14 SDN Inklusif, 1 SD Inklusif swasta, 2 SMPN Inklusif, dan 1 SMAN Inklusif. Pada tahun yang sama pula, kota yang dijuluki Kota Pendidikan ini belum memiliki SMP Inklusif swasta dan SMA Inklusif swasta. Dengan masih sedikitnya sekolah bagi difabel di Kota Malang, membuat sebagian masyarakat difabel tidak dapat memperoleh haknya. Padiakses dari http://solider.or.id/2013/12/12/pendidikan-inklusi-kota-malang-sebuah-refleksi, pada tanggal 16 Februari 2016. 1
dahal, pemerintah telah menetapkan kebijakan yang mengatur mengenai pendidikan bagi ABK. Hal tersebut telah dijelaskan dalam Peraturan Daerah (Perda) Kota Malang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Pendidikan. Pada Pasal 17 termaktub bahwa s etiap penyandang disabilitas mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan, pada satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan tersebut dilakukan oleh P emerintah Daerah (Pemda) Kota Malang, di mana dalam pelaksanaannya dapat memberlakukan kualifikasi khusus bagi calon dan atau peserta didik sepanjang tidak bersifat diskriminatif. “Jadi ABK mendapat hak yang sama dengan anak normal lainnya, sehingga mereka tidak merasa diasingkan,” ujar Suyitno, SH., Kepala Bidang Sekolah Dasar Dinas Pendidikan Kota Malang. Pada Perda yang sama, Pasal 18 menjelaskan bahwa pendidikan bagi difabel dapat ditempuh melalui dua jalur, yakni SLB dan Sekolah Inklusif. Selanjutnya Pasal 19 ayat 1 menyatakan bahwa sistem pendidikan khusus yang ditempuh melalui SLB ini dimaksudkan untuk memberikan layanan kepada peserta didik penyandang disabilitas dengan kurikulum dan proses pembelajaran khusus. ABK juga berhak mendapatkan bimbingan dan diasuh dengan tenaga pendidik khusus maupun tempat belajar yang khusus pula. Selain itu, dibahas lebih lanjut pada ayat 2 bahwa sistem pendidikan inklusif memberikan peran kepada semua peserta didik dalam suatu iklim dan proses pembelajaran bersama tanpa membedakan latar belakang sosial, politik, ekonomi, etnik, agama dan/ atau kepercayaan, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik maupun mental, sehingga sekolah merupakan miniatur masyarakat. Guna mempermudah proses belajar mengajar siswa-siswi ABK, pemerintah
Indikator Nomor 48/Tahun XXX/2016
DISABILITAS
membentuk acuan untuk mengelola sistem pembelajaran yang dimuat dalam Peraturan Pemerintah dan Perda Kota Malang. Selain itu, pendidikan bagi ABK juga d iatur dalam pembagian dana Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Menurut Suyitno, pemerintah pusat wajib menyalurkan sejumlah dana untuk keperluan pendidikan SLB maupun Sekolah Inklusif. Dana APBN ini berupa Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang digunakan untuk m eringankan beban masyarakat terhadap pembiayaan pendidikan dalam rangka wajib belajar 9 tahun yang bermutu. Selain mendapatkan bantuan b erupa APBN dari pemerintah pusat, ternyata pendidikan bagi difabel juga ditunjang dari APBD yang diberikan oleh Pemda. Dana ini berupa sejumlah uang yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan sekolah seperti bangunan, buku, maupun fasilitas lainnya. “Kalau di Jatim namanya bantuan operasional pendidikan,” papar N uryanto, lelaki kelahiran Solo, 20 September 1958. Tak hanya dibantu dengan a nggaran, baik SLB maupun Sekolah Inklusif
juga diberikan bantuan berupa sarana dan prasarana. M enurut Nuryanto, pemerintah mempunyai kewajiban dalam memberikan bantuan sarana dan prasarana tersebut. “Bantuan untuk sarana dan prasarana berupa buku maupun alat peraga,” ujarnya. Selain itu ia menambahkan bahwa bantuan sarana dan prasarana yang diberikan kepada sekolah berupa dana. “Jadi sekolah menyerahkan proposal, lalu diberikan dalam bentuk dana,” ungkapnya. Di samping itu, tenaga pengajar yang diperuntukkan bagi difabel juga tak luput dari perhatian pemerintah. Hal ini termaktub pada Perda P asal 24 UU Nomor 2 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa untuk meningkatkan kualitas tenaga pendidik, dapat dilakukan melalui pelbagai bentuk pelatihan yang ditujukan untuk guru dalam sekolah khusus dan reguler. Selain itu, pada Pasal 24 ayat 4 poin e menjelaskan bahwa sekolah berhak mendapatkan bantuan dari Pemda berupa guru pembimbing khusus. Hal ini dikarenakan hanya Guru Pendamping Khusus (GPK) yang dapat menangani ABK. Hal tersebut juga dipaparkan
oleh Nuryanto. Menurutnya, GPK yang mengajar di SLB dan Sekolah Inklusif diangkat, dirotasikan, dan dipensiunkan oleh pemerintah kabu paten dan kota. Ia pun menambahkan bahwa GPK juga harus memiliki kriteria agar dapat memaksimalkan kerjanya selama mengajar. Merujuk pada UU Nomor 14 Tahun 2005 ia mengungkapkan bahwa aspek pedagogis dibutuhkan untuk menjadi GPK. “GPK harus mengerti standar proses, standar lulus, standar isi, kompetensi inti, kompetensi dasar, bagaimana melakukan penelitian, pengayaan, remedi, maupun analisis,” paparnya. Karenanya, GPK yang berhak menjadi guru pembimbing bagi ABK adalah seseorang yang telah lulus menempuh jenjang pendidikan perkuliahan sekurang-kurangnya di bidang Ilmu Kependidikan pada Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) dan lulusan S1 Psikologi. Selain itu, GPK juga harus mendapatkan gelar S1 Pendidikan Luar Biasa. Tak hanya itu, kompetensi profesional juga dibutuhkan dalam menjadi GPK. Menurut Nuryanto, standar ini diperlukan agar GPK dapat melakukan
Indikator/Renno
Salah satu SLB di Kota Malang
Indikator Nomor 48/Tahun XXX/2016
15
Laporan Khusus pekerjaannya sesuai tugas yang mereka emban. Selain itu, kompetensi sosial juga menjadi sorotan yang patut diperhatikan dalam menjaring tenaga kerja. Syarat ini memerhatikan apakah tenaga kerja memiliki tingkat kepedulian yang cukup untuk mendampingi difabel. Syarat terakhir adalah GPK yang diutamakan telah mendapatkan pelatihan atau berpengalaman dalam m enangani ABK. Ironisnya, pelbagai kebijakan telah ditetapkan oleh pemerintah, namun tidak berjalan mulus seperti yang diinginkan. Tidak sedikit SLB maupun Sekolah Inklusif di Kota Malang yang masih kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan sekolah dikarenakan alokasi dana yang kurang jelas. “Saya tidak tahu mekanismenya dari pusat seperti apa,” papar Retno. Belum lagi ditambah bantuan pemerintah yang belum mencukupi keperluan sekolah. “Sumbangan Pembiayaan Pendidikan (SPP) dan Biaya Operasional Pendidikan (BOP) tidak boleh digunakan untuk pembangunan. Jadi biaya pembangunan sekolah belum ter-cover dari pemerintah,” tambahnya. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Indrastutik Setyaningtyas. Wanita yang menjabat sebagai Manajer Inklusif di SMPN 18 ini menyatakan bahwa bantuan dari pemerintah belum maksimal. “Dulu pernah beberapa kali kita dapat block grant tetapi sekarang sudah tidak lagi,” ungkapnya. Ia menambahkan bahwa dana yang diberikan oleh pemerintah pun tidak rutin. “Tidak setiap bulan, kadang beberapa bulan sekali,” imbuhnya. Tak hanya itu, akibat keterbatasan dana yang dimiliki oleh sekolah membuat pemotongan program kerja (proker) harus dilakukan. “Jadi kalau dananya kurang, terpaksa harus ada proker yang dipotong”, jawab Indrastutik. Menanggapi hal itu, Nuryanto angkat bicara mengenai kurangnya dana yang dirasakan oleh SLB dan Sekolah Inklusif.
16
“Terkadang bantuan dari pemerintah memang tidak memenuhi, oleh karena itu pendidikan bagi ABK merupakan tanggung jawab bersama,” ujarnya. Selain kurangnya peran pemerintah dalam menyalurkan dana APBN dan APBD, kondisi sarana prasarana SLB dan Sekolah Inklusif turut memengaruhi proses belajar mengajar. Asmuin, S.Pd., selaku Kepala SMPLB Negeri Malang ini memaparkan kondisi sekolah yang dikepalainya. Ia mengatakan bahwa pada saat ini kelas yang dibutuhkan untuk mengajar kurang. “Bantuan-bantuan pemerintah seperti e-learning dan komputer itu diletakkan di ruang kelas yang digunakan untuk belajar mengajar,” ungkapnya. Ia menjelaskan bahwa saat ini kelas yang berjumlah tujuh yang dibagi menjadi dua sekat. Sehingga dalam satu kelas terdapat sekat untuk memisahkan ruangan satu dengan yang lainnya. Untuk mengatasi hal ini pihak sekolah pun telah mengajukan permohonan untuk pengadaan ruang baru. Namun, hal ini terkendala akan minimnya lahan yang ada di lingkungan sekolah tersebut. “Dulu saya pernah mengajukan ruang kelas dan pemerintah menyanggupi, hanya saja lahannya yang ndak ada,” tambahnya. Tidak hanya itu, menurut Retno ia pernah mendapatkan bantuan alat peraga hanya saja tidak rutin diberikan. “Alat peraga edukasi dulu pernah sekali diberikan untuk anak autism, namun sekarang tidak,” ungkap wanita berkerudung ini. Selain kurangnya sarana dan prasarana yang dimiliki oleh sekolah, kurangnya pemetaan dari pemerintah membuat bantuan yang diberikan tidak tepat sasaran. Hal tersebut dirasakan oleh Retno. Kepala sekolah lulusan S1 Pendidikan Luar Biasa Universitas Negeri Surabaya (UNESA) ini memaparkan bahwa pemerintah pernah mengalami kesalahan pemberian fasilitas ke sekolahnya. “Mungkin dari pusat pemetaannya kurang pas, karena kita
tidak ada tunadaksa dan tunagrahita,” ujarnya. Kurang maksimalnya bantuan dari pemerintah juga terlihat dari minimnya bantuan tenaga kerja. Syarat yang ditentukan oleh pemerintah membuat beberapa sekolah menentukan mekanisme sendiri dalam menjaring tenaga kerja. Hal ini dilakukan guna mendapatkan GPK yang dapat mengajar, mendampingi, maupun menangani ABK. “Tentunya pendidikannya disesuaikan, paling tidak kita dapat psikologi atau guru yang bersedia untuk kita tampung,” ungkap Indras. Hal yang sama juga dipaparkan oleh Retno. Wanita kelahiran Solo ini memiliki mekanisme tersendiri dalam menjaring GPK. “Ada tes tulis, tes psikologi, dan wawancara,” ujarnya. Iskandar, pria asal Ngawi ini juga menuturkan bahwa tenaga kerja yang mengajar di sekolahnya masih kurang. “Iya, di SDLB ini masih kekurangan guru,” paparnya. Untuk menangani masalah ini, ia memiliki mekanisme tersendiri dalam menjaring GPK. “Karena dari pemerintah kurang, terpaksa kita merekrut empat guru tidak tetap,” tuturnya. Menurutnya, walaupun masih ada guru yang belum lulusan pegawai negeri, tetapi yang utama ialah kemampuan dalam mengajar ABK. Banyaknya permasalahan yang dialami oleh sejumlah sekolah bagi difabel ternyata memiliki dampak kepada ABK. Salah satunya ialah kelayakan pendidikan bagi difabel. Ketika dana yang diberikan oleh pemerintah tidak dapat mencukupi kebutuhan sekolah, hal ini akan berimbas pada k egiatannya di sekolah. Hal tersebut diungkapkan oleh Aminatun Daimah S.Psi., wanita yang menjadi GPK di SLB Autisme River Kids ini menyatakan bahwa dengan terhambatnya dana yang didapat, ABK menjadi kehilangan tempat pengembangannya. “Jadi area sensorik digunakan untuk area bermain anak-anak karena kita memang belum
Indikator Nomor 48/Tahun XXX/2016
DISABILITAS
punya taman atau area bermain yang khusus,” ujarnya. Selain itu, Retno memaparkan bahwa keinkonsistenan pemberian dana dapat mempersulit keberlangsungan sekolah. Selain memengaruhi kelayakan pendidikan bagi difabel, permasalahan mengenai sarana dan prasarana ternyata dapat menghilangkan hak ABK untuk menempuh pendidikan. Hal ini disampaikan oleh Dendy, lelaki yang tengah berkecimpung dalam FORMAPI ini memiliki pengalaman mengenai keengganan sekolah dalam menerima ABK. Kurangnya fasilitas, sarana, dan prasarana membuat seorang tunanetra tidak dapat diterima sebagai siswa sekolah. “Saya pernah menemani seorang tunanetra mendaftar ke SMA Inklusif, tetapi ditolak karena belum ada fasilitasnya,” paparnya. Melihat keadaan sekolah difabel seperti di atas membuat pemerintah mempunyai andil penting dalam menangani hal tersebut. Menurut Nuryanto, dana APBN dan APBD perlu dipertegas lagi dalam penyalurannya. “Kita mencoba untuk melakukan pendataan ulang agar semua sekolah dapat menerima dana,” jelasnya. Selain itu, ia menambahkan pihak Dinas Pendidikan Provinsi Jatim akan berusaha untuk melakukan pemberian dana dan penyaluran sarana dan prasarana secara rutin. “Ya setelah dana dari pusat turun kita akan melalukan usaha guna memfasilitasi sekolah khusus bagi ABK, baik untuk SLB maupun Sekolah Inklusif,” tambahnya. Menanggapi permasalahan sarana dan prasarana, Nuryanto memaparkan beberapa strategi yang dapat dilakukan guna meminimalkan masalah ini. “Sekolah akan menuliskan data sarana, prasarana, dan infrastruktur yang kurang, sehingga pemerintah bisa tahu,” ujarnya. Selain itu, ia menambahkan bahwa pendataan atau validasi data dapat membantu untuk mengatasi permasalahan ini. Pengoptimalan
Information and Techonolgy (IT) pun turut membantu dalam mendata sekolah. “Jadi, kita bisa memantau sekolah melalui titik koordinat,” tambahnya. Tak hanya itu, Dinas Pendidikan Kota Malang pun telah membahas mengenai kekurangan dalam pengajaran. “Kita di dinas ada kegiatan untuk menambah pengetahuan sosialisasi untuk meningkatkan GPK, misalnya workshop,” jelas Suyitno. Nuryanto juga memaparkan bahwa untuk mengatasi permasalahan GPK telah dibentuk UU Nomor 23 Tahun 2014 yang akan diberlakukan pada tahun 2017. “Berdasarkan UU tersebut akan dijelaskan mengenai kewenangan tentang pendidikan yang salah satunya membahas mengenai GPK,” ungkapnya. Kurang maksimalnya bantuan dari pemerintah tidak menyurutkan semangat masyarakat difabel untuk menempuh pendidikan. Hal itu terlihat jelas pada sosok Yusuf yang kerap dipanggil Ucup. Anak laki-laki yang tengah menempuh pendidikan pada SD Autisme River Kids ini berlari kecil mengambil kartu namanya yang terpajang di dinding ruang bermain. Dengan sigap ia memberikan kepada guru yang tengah menunggunya di ambang pintu. Tak lama kemudian, ia mengambil sejumlah peraga dan duduk di kursi cokelat miliknya. Sesaat ia sibuk dengan alat peraga yang berada di tangannya dan membongkar pasang balok satu demi satu. Hingga a khirnya wajah lugunya menengadah berseri sembari mengulurkan balok yang telah menyerupai pelbagai bentuk. Siang itu pula, canda, dan gelak tawa nampak menghiasi sekolah. Suara mobil beriringan menghampiri bangunan berlantai tiga yang kokoh berdiri di kiri jalan itu. Tak sedikit lusinan barang tergeletak di atas pickup tersebut, kemudian sedikit demi sedikit barang-barang itu diturunkan dari mobil. Bersamaan dengan lantunan bel, anak-anak dengan riang gembira
enyambut kedatangan kardus yang m berisikan buku-buku dan sejumlah alat peraga. Tak lama kemudian, mereka mulai asyik memainkan barang-barang tersebut hingga akhirnya kembali ke ruang belajar. Di ruangan segi empat itu mereka mulai menimba ilmu. Dengan sigap mereka menjawab sejumlah pertanyaan yang disodorkan oleh guru pendamping. Seakan tak mau kalah, anak-anak lainnya mulai melakukan kegiatan belajar mengajar seperti menghitung, menggambar, membaca, dan ada pula yang siap memoleskan kuasnya ke kanvas kecil. Tingginya semangat belajar yang dimiliki oleh ABK membuat Tatik Indriyani, S.Psi., GPK SDN Sumbersari 1 Malang, menyimpan harapan yang besar untuk pendidikan bagi ABK. “Untuk pemerintah supaya care dalam bantuan dana dan bantuan tambahan pengajar,” ujarnya. Asmuin pun turut meyampaikan harapannya kepada pemerintah. Ia berharap bantuan pemerintah perlu ditingkatkan terutama bantuan-bantuan operasional pendidikan. “Karena SLB butuh peralatan yang harus memadai seperti alat peraga,” tambahnya. Tak h anya itu, Dendy, lelaki kelahiran Blitar ini pun turut menyisipkan harapan ke pemerintah. “Koordinasinya lebih ditingkatkan sehingga alur bantuan lebih jelas,” pungkasnya. Menurutnya dengan mengoptimalkan koordinasi, pemerintah dan sekolah dapat memperlancar alur bantuan fasilitas untuk ABK. Besarnya berbagai harapan yang telah disampaikan tersebut menunjukkan bahwa animo terhadap pendidikan bagi difabel pun perlu terus ditingkatkan. Oleh karena itu, diperlukan sinergisitas antara pemerintah, sekolah, dan m asyarakat agar ABK dapat memperoleh pendidikan yang terjangkau, bermutu, dan tanpa diskriminasi.
Indikator Nomor 48/Tahun XXX/2016
Fithri Atika U.
17
Aktual
Media Sosial, Kenali Pendapat Sebelum Dituangkan
P dok.pribadi
Emilia Susanti
Kediri menjadi kota k elahiran mahasiswi Jurusan Ilmu Ekonomi Angkatan 2014 ini. Wanita yang biasa dipanggil Emil ini, m enyukai novel karya Oliver Bowden yaitu Assassin Creed. Sekarang ia aktif sebagai Staf Penerbitan K husus Indikator di LPM Indikator Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya
18
endapat dalam KBBI memiliki arti pikiran, anggapan, buah pemikiran atau perkiraan tentang suatu hal, orang yang mula-mula menemukan atau menghasilkan, dan kesimpulan. Dalam buku Pendidikan Kewarganegaraan yang diterbitkan oleh Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional tertulis bahwa pendapat secara umum diartikan sebagai buah gagasan atau buah pikiran. Mengemukakan pendapat kepada khalayak umum merupakan hak semua orang dan tidak boleh ada siapa pun atau pihak yang melarangnya. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Buah pikiran atau pendapat dapat dikemukakan dalam bentuk lisan, tulisan, maupun gambar. Pendapat secara lisan berupa pidato, dialog, dan diskusi. S ecara tulisan, pendapat tertuang dalam artikel, surat, dan spanduk. Kemudian, pendapat dalam bentuk gambar diaplikasikan berupa poster, karikatur, dan lukisan. Bentuk-bentuk pendapat tersebut dapat disampaikan melalui media cetak dan elektronik. Pendapat di media cetak seperti koran, majalah, dan buku. Sedangkan dalam bentuk media elektronik seperti televisi, radio, dan internet. Media digunakan masyarakat sebagai alat untuk menuangkan p endapatnya. Dewasa ini, orang-orang banyak menuangkan pendapatnya melalui internet, khususnya pada media sosial. Kementerian Komunikasi dan Informatika mengungkapkan pengguna internet di Indonesia mencapai 63 juta dan 95 persen diakses untuk jejaring sosial. Oleh karena itu, pemerintah membuat peraturan untuk mencegah penyalahgunaan internet. Peraturan tersebut yaitu Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). UU ITE ini diberlakukan sebagai rambu-rambu dalam berinteraksi sosial di internet. Selain itu, beberapa ancaman hukuman pidana dan denda juga tercantum pada UU. Menuangkan pendapat pada media sosial adalah salah satu kebebasan berpendapat, misalnya di Twitter, Path, Facebook, dan lain-lain. Sayangnya, kebebasan berpendapat di media sosial memunculkan fenomena baru, yaitu ungkapan kebencian (hate speech). Ungkapan kebencian tersebut harus dihindari karena akan berdampak negatif jika ada orang maupun kelompok masyarakat yang tidak terima. Ungkapan kebencian mengakibatkan adanya pihak yang merasa dirugikan. Hal ini menyebabkan orang tersebut melaporkan penulis ungkapan kebencian kepada pihak berwajib. Contoh ungkapan kebencian yang terjadi di Indonesia beberapa waktu lalu yaitu kasus akun Twitter Trio Macan 2000. Akun tersebut melakukan tweet berupa kritikan terhadap hukum, politik, korupsi, dan yang b erkaitan dengan kekuasaan di Indonesia. Selain itu, akun tersebut sering menulis tuduhan-tuduhan
Indikator Nomor 48/Tahun XXX/2016
terhadap pejabat negara hingga mencemarkan nama baiknya. Misalnya Yusril Ihza Mahendra, melaporkan akun tersebut atas tuduhan yang menyatakan bahwa ia diminta menjadi pengacara oleh Nazarrudin. Kemudian, akun ini dinilai meresahkan oleh para pengguna Twitter karena isi tweet-nya beberapa kali menunjukkan inkonsistensi. Hal itu terlihat pada kasus Anas U rbaningrum dan Pemilihan Umum Kepala D aerah (Pemilukada) di Jakarta. Pada kasus Anas Urbaningrum, akun ini a walnya menjelek-jelekkan Anas, tetapi hal itu berbalik menjadi pujian. Tidak hanya ungkapan kebencian yang dilakukan oleh akun ini, tetapi juga m erembet pada kasus pemerasan petinggi PT. Telkom, dimana jika ia tidak membayar sebesar 50 juta rupiah, maka admin akan menyebarkan berita miring terhadapnya. Namun, dari kasus pemerasan ini akhirnya tiga ad min akun Trio Macan 2000 berhasil ditangkap dan dipidanakan. Selain akun Trio Macan 2000, kasus ungkapan kebencian lainnya adalah kasus Florence Saulina Sihombing. Ia merupakan mahasis wi S2 Ilmu Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) yang divonis bersalah karena telah melanggar UU ITE. Kasus ini bermula dari pernyataannya di media sosial Path yang berbunyi, “Jogja miskin, tolol, dan tak berbudaya. Teman-teman Jakarta-Bandung jangan mau tinggal di Jogja,” Ungkapan Florence menyebabkan masyarakat Jogja tidak terima sehingga beberapa pihak seperti Granat DIY, Komunitas RO Yogyakarta, Foklar DIY-Jateng,
dan berbagai kelompok masyarakat lain melaporkannya ke Polisi D aerah ( Polda) DIY. K asus itu kemudian ditindaklanjuti oleh Polda DIY hingga akhirnya Florence ditetapkan sebagai terdakwa. Contoh kasus akun Trio M acan 2000 dan Florence merupakan bentuk ungkapan kebencian yang meresahkan masyarakat. Dalam
Indikator/Ryan
engatasi kasus ungkapan k ebencian m di Indonesia, pihak berwenang yang menanganinya adalah polisi. Barubaru ini Kapolri mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian. Pada Nomor 2 huruf (f) SE berbunyi, “Ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana yang d iatur dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) dan ketentuan pidana lainnya di luar KUHP, yang berbentuk antara lain: (1) Penghinaan;(2) Pencemaran nama baik;(3) Penistaan;(4) Perbuatan tidak menyenangkan;(5) Memprovokasi;(6) Menghasut;(7) Menyebarkan berita bohong dan semua tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa berdampak
pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan/atau konflik sosial. Kemudian pada nomor 3 SE tersebut menyebutkan bagaimana prosedur polisi dalam menangani perkara terkait ungkapan kebencian. Rujukan dari SE ini salah satunya adalah UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE. Dikeluarkannya SE Kapolri bertujuan untuk mengatasi maraknya ungkapan kebencian yang terjadi di masyarakat. Respon yang diberikan masyarakat terhadap SE K apolri berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Dari sisi positif, SE ini menunjukkan keseriusan Kapolri dalam mengatasi permasalahan ungkapan kebencian. Namun, sisi negatif SE Kapolri tidak lain adalah bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat. Sebagaimana telah tercantum bahwa kebebasan berpendapat adalah hak bagi setiap orang. Semua orang berhak menuangkan pendapatnya dalam berbagai bentuk pada media yang tersedia. SE Kapolri tentang ungkapan kebencian merupakan peringatan bagi setiap orang agar bisa mempertanggungjawabkan apa yang telah ia ungkapkan. Berkaca dari kasus Florence dan akun Trio Macan 2000, masyarakat dituntut untuk lebih berhati-hati dalam mengungkapkan pendapatnya. Berpendapat di tempat umum berarti sudah menjadi tanggung jawab dan risiko dari orang yang mengungkapkan pikirannya. Tanpa disadari, setiap pendapat dari seseorang bisa dengan tidak sengaja menyinggung orang lain ataupun kelompok masyarakat. Emilia Susanti
Daftar Pustaka (https://kominfo.go.id/index.php/content/detail/3415/Kemkominfo%3A+Pengguna+Internet+di+Indonesia+Capai+82+Juta/0/berita_satker, diakses 26 November 2015) (http://news.okezone.com/read/2014/01/21/339/929619/ini-dia-si-pengelola-akun-triomacan2000, diakses 26 November 2015) (http://www.beritasatu.com/nasional/82974-terkonfirmasi-triomacan2000-adalah-raden-nuh.html , diakses 26 November 2015) (http://megapolitan.kompas.com/read/2015/07/15/16544141/Admin.Triomacan2000.Divonis.3-5.Tahun.Penjara, diakses 26 November 2015) (http://nasional.news.viva.co.id/news/read/533619-kronologi-kasus-hinaan-florence-hingga-berujung-bui, diakses 26 November 2015) (http://daerah.sindonews.com/read/1035981/189/banding-florence-sihombing-ditolak-pengadilan-tinggi-yogyakarta-1440287173, diakses 26 November 2015)
Indikator Nomor 48/Tahun XXX/2016
19
English Corner Sustainable Development:
A Reminder
N
dok.pribadi
Atika Dewi Septarini
Perempuan yang akrab disapa Atika ini lahir di Malang, 14 September 1995. Mahasiswi Jurusan Manajemen FEB UB 2014 ini, memiliki moto hidup “Everyone deserves same opportunity”.
20
owadays, Indonesia has been suffering many kind of disasters that caused by its development in construction. As we realize, the most common disasters in Indonesia is flood. It has been going on since decades and still going on every year. We know that flood doesn’t provide any advantages for the people and has been suffocating our people, clearly. Other disasters were also caused by the construction. Recently in May 2015, public was shocked by the allegations of landslides due to an explosion of a gas tank belonging to a company. These entire disasters appear caused by the constructions in the past that were not considered carefully. Indonesia is a large country with high population growth. Certainly, these disasters hurt many people and give negative impacts on the development of Indonesia itself. Mentioning there are flood, landslide, and other disasters that have been occurred in Indonesia. There is one big reason about how these could happen, it was the construction. There will be no flood if the water disposal system works well. And the landslide, even if it wasn’t caused by the company’s explosions, the reason will still related to the construction. How so? A sloping soil won’t stay still without any support. So there are lacks on them caused by a construction without careful thought or consideration. Then, a big question has been bugging me all this time; what is actually happening behind these entire construction projects in Indonesia? Many building’s functions in Indonesia are less precise such as residential, agricultural, commercial, industrial, botanical, etc. Many regions of uptake were supposed to overcome the flood had been converted into an industrial area, agricultural region with fertile soil also transformed into an elite residential area, and so on. This imbalance construction raises many other problems such as air pollution, bad waste treatment, flood, migration, until traffic jam. Further, this situation will result in wastage and exploitation of areas and lands that led to the exhaustion of natural resources which should be enjoyed by future generation. In other countries, the government classifies the area based on its building function. Considering carefully is needed to prevent inadequacy of development areas or lands in the future. So the industrial area won’t cause any e nvironmental problems in residential area such as pollutions, bad waste treatment, etc. Commercial and residential areas which are combined won’t cause such a mess traffic jam and other problems. The benefit of it, government may find it easier to decide a suitable infrastructure building and provide a better way in waste treatments. This condition may has been conducted by Indonesia, but not fully. All these times, government more likely focuses on the implementation of Environmental Sustainable Development (ESD) in business sector but mostly industrial sector and indeed it made changes. Strict regulations and requirements had made in it for their profit. But, let’s see what happen in the construction problems that I’ve mentioned before. There must be a reason on its lack. People forgot that
Indikator Nomor 48/Tahun XXX/2016
the ESD should be implemented in any aspect of constructing projects. Whether they are; industrial sector, public infrastructure, commercial sector, getaways, real estates, or many more. What an irony! Our nations had already known about ‘ESD’ t heory since Emil Salim o fficiated as a Minister of State for Development Supervision and Environment in 1983-1993. This theory aims to reach the public w elfare to meet human needs and aspirations. Basically, sustainable development is intended to seek equitable development between generations both in present and future. How can it be fulfilled? It can be achieved by t aking care and maintaining our natural environment, along with considering and estimating carefully in constructing. Instead of being selfish thinking all that we can get just for now. What will the future generations get if the development continuously offhand? According to reports from the World Summit in 2005, S ustainable Development consist of three main factors; Economic, Social, and Environment. These three factors are interdependent and strengthen towards each other. Relationship between Economic and Social will create a peace (equitable). Whereas the relationship between Economic and Environment are expected to be continuously existing (viable). Last but not least, the relationship between Social and Environment supposed to last forever (bearable). Therefore, by paying attention to these three a spects, we can create a sustainable condition. Most of Indonesia’s agricultural
areas will soon turn into buildings. Then to fulfill public’s need of agricultural areas, botanical areas will be sacrificed and turned into agricultural areas. Maybe we forget ecological sustainability is the thing that will ensure the sustainability of the earth’s ecosystem itself. The main purpose of d evelopment sustainability is maintaining the constructing plans as well as m aintaining ecological sustainability or the environmental
a spect (as m entioned before in viable and bearable factor). We cannot maintain the integrity of the environmental order if we keep converting botanical areas into agricultural area. Today we lost 40% of botanical areas (Kompas, 2015) to make them into agricultural and industrial areas. Sooner or later we will ran out of botanical areas, the earth’s life s upport system is not g oing to be ensured. Where else can we get system productivity, adaptability, and restoration of soil, water, air, and all sustainable aspects of life if we no longer have botanical areas? To ensure the ecological sustainability should be pursued the following matters; maintaining
biodiversity in the diversity of life that determine the sustainability of ecological processes. The three aspects of biodiversity are genetic diversity, species, and environmental order. Botanical area consists of many biodiversity aspects. We need the following things if we still want to continue our earth’s system p roductivity, adaptability, and restoration of soil, water, air, and all sustainable aspects, namely; maintaining natural ecosystems and r epresentatives area of the peculiarities of the biological resources so that can’t be modified, maintaining the widest possible area modified ecosystems for biodiversity and sustainability of species diversity, conservative against the conversion of agricultural land. Imagine our life without floods, pollutions, landslides, and so on. Implementing sustainable development also bring us better place to live for today, tomorrow, next month, next year, until next Indikator/Ryan decade. We can say we’re about to p ostpone the end of the world. And now we remember about all of these. Are we still going to be selfish? Or we will fix this together as young generation of this Nation. Or perhaps we can just wait for Mother Nature to pay back all the things we did. Think critically, the decision is yours, and yours becomes ours.
Indikator Nomor 48/Tahun XXX/2016
Atika Dewi S.
21
Rekening
Persimpangan Jalan Transaksi Murabahah di Perbankan Syariah
S
dok.pribadi
ejak awal era pertumbuhan perbankan syariah hingga awal dekade ini transaksi syariah didominasi oleh transaksi murabahah. Statistik per Desember 2010 (BI, 2010) menunjukkan bahwa sebesar 37,5 triliun dari total 68,1 triliun seluruh pembiayaan yang dilakukan oleh perbankan syariah adalah transaksi murabahah. Dengan demikian, murabahah merupakan instrumen penting dalam perbankan syariah di Indonesia. Secara harfiah murabahah berasal dari kata “ribh” yang berarti tambahan, keuntungan atau laba (Ayub, 2007). Usmani dalam Widodo (2010) mendefinisikan murabahah sebagai “Is simply a sale” yaitu jual-beli yang pembayarannya bisa secara tunai atau sesuai kesepakatan antar kedua belah pihak. Antonio (2001), Karim (2010), Nurhayati & Wasilah (2008) IAI (2009), dan Zaid (2009) mendefinisikan sebagai moda jual-beli dengan menyebutkan harga perolehan Achmad Zaky SE.,MSA.,Ak.,SAS.,CMA.,CA. dan tambahan keuntungan yang disepakati. Dengan demikian, akad transaksi murabahah merupakan suatu akad transaksi pertukaran dua zat yang berbeda antara Pria kelahiran Malang ini m enjabat dua pihak dengan motif untuk mencari keuntungan. Karakteristik murabahah yang sebagai Dosen Tetap Jurusan menghendaki pengungkapan harga perolehan dan keuntungan disepakati oleh Akuntansi FEB UB dari tahun 2010 pihak penjual dan pembeli (Nurhayati & Wasilah, 2008). Pengungkapan tersebut hingga sekarang. Dia juga menjadi menunjukkan harga jual (imbalan) sebanding dengan pengorbanan atau biaya pengurus Ikatan Akuntan I ndonesia perolehan (investasi) serta sebanding dengan keuntungan yang akan diperoleh (IAI) Kompartemen Akuntan maupun disepakati. Pendidik Wilayah Jawa Timur. Pria yang lahir pada 24 Oktober Zaid (2009) memaparkan bahwa ulama fiqih terdahulu mengategorikan 1984 ini meraih gelar magisternya murabahah sebagai bagian dari jenis jual-beli amanah, dikarenakan adanya di Fakultas Ekonomi dan Bisnis pengungkapan biaya perolehan serta diikuti dengan adanya keuntungan yang Universitas Brawijaya disepakati. Sifat dasar murabahah adalah jual-beli, sehingga murabahah juga dikenakan syarat jual-beli (Widodo, 2010). Adapun persyaratan jual-beli terdiri dari: 1) Barang yang menjadi objek murabahah harus sudah ada pada saat akad terjadi; 2) Barang yang menjadi objek murabahah telah sepenuhnya menjadi milik dan dalam penguasaan penjual; 3) Transaksi murabahah dilangsungkan tanpa ada syarat; 4) Penyerahan barang dilangsungkan pada saat akad dilaksanakan. Antonio (2001) menambahkan syarat lain, yaitu: 1) Penjual wajib menyampaikan kepada pembeli semua hal yang berkaitan dengan pembelian dan kondisi barang; 2) Transaksi harus bebas riba; 3) Pembeli memiliki kebebasan untuk melakukan pilihan (khiyar). Selain syarat-syarat yang telah disebutkan, Badri (2009) dan IAI (2009) juga menekankan bahwa transaksi jual-beli harus dengan objek yang halal dan bebas dari unsur ketidakpastian (gharar) dan perjudian (maysir).
22
Indikator Nomor 48/Tahun XXX/2016
Berbagai pendapat ahli menunjukkan bahwa secara konsep, murabahah merupakan suatu bentuk transaksi jualbeli, sehingga seluruh syarat, rukun, dan karakteristik jual-beli senantiasa melekat dalam transaksi ini. Berdasarkan Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah: “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat.” Lebih lanjut dalam ayat 7 disebutkan: “Bank Syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.” Sedangkan pada ayat 8: “Bank Umum Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.” Berdasarkan definisi yang dituangkan dalam UU tersebut menunjukkan bahwa kegiatan utama bank syariah lebih pada sektor finansial, bukan pada sektor riil. Hal ini menjadikan substansi operasional bank syariah masih tidak berbeda jauh dengan bank konvensional. Munandar (2011) dan Badri (2009) menilai definisi pada P asal 1 inilah yang menjadikan perbankan s yariah di Indonesia belum dapat melaksanakan prinsip syariah. Ketiadaan fungsi mengelola keuangan dalam definisi bank syariah menjadikan operasional
Peraturan Bank I ndonesia. Oleh karena itu, seluruh akad dan pelaksanaannya haruslah sesuai dengan prinsip syariah. Jika hal ini benar-benar dilaksanakan maka tentu saja Pasal 1 dengan Pasal 19 dan 20 terkesan saling bertentangan. Sebagai contoh, prinsip murabahah yang didasarkan pada fatwa DSN MUI Nomor 4 Tahun 2000 mengindikasikan bahwa murabahah merupakan transaksi dengan prinsip jual beli yang harus memenuhi prinsip jual-beli. Hal tersebut menjadikan bank syariah yang menerapkan prinsip murabahah haruslah terjun pada sektor riil dengan menyediakan/memiliki persediaan barang yang siap dijual. Namun, jika mendasarkan pada Pasal 1 maka bank tidak diijinkan untuk melaksanakan kegiatan perdagangan seperti ini. Sehingga dalam praktiknya, bank syariah menyiasati dengan melaksanakan dua akad, yaitu wakalah yang dilanjutkan dengan murabahah. Secara legal memang akad ini menjadi sah dan tidak menyalahi fatwa DSNMUI. Namun, jika substansi transaksi murabahah dijadikan dalam implementasi, maka tidak ubahnya akad utangpiutang yang tentu saja memiliki risiko m enyimpang dari akad murabahah yang sesungguhnya. Risiko ketidakpatuhan Indikator/Farit tersebut makin besar apabila bahwa penekanan utama dalam im- dikaitkan dengan kapan dilakukannya plementasi produk perbankan harus akad murabahah dan wakalah serta mengedepankan prinsip syariah. Prin- keberadaan uang muka. Apabila uang sip syariah tersebut dituangkan dalam muka telah dibayarkan nasabah kepada bentuk fatwa Dewan Syariah Nasional vendor atau pihak k etiga maka semaMajelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) kin nyatalah bahwa s ubstansi transaksi yang dilanjutkan dengan menyusun murabahah telah sirna. bank pada dasarnya tidak beda jauh dengan bank konvensional. Bank syariah dapat terjebak pada mekanisme penyaluran dana melalui mekanisme utang-piutang yang “dibungkus” dalam mekanisme berbagai akad. Situasi makin kontradiktif jika dihadapkan pada Pasal 19 dan 20 UU Nomor 21 Tahun 2008 yang mengindikasikan
Indikator Nomor 48/Tahun XXX/2016
23
Rekening UU Nomor 21 Tahun 2008 juga makin menegaskan bahwa produk utama bank syariah adalah dalam bentuk pembiayaan, sehingga kegiatan utama diwujudkan dalam bentuk penyediaan dana yang dapat dipersamakan dalam transaksi jualbeli, sewa-menyewa, bagi hasil, dan utang-piutang berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank syariah dan/atau Unit Usaha Syariah (UUS) dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil. Situasi ini mendorong akad murabahah berada pada persimpangan jalan, sebagai suatu moda jual beli murni ataukah mampu menyesuaikan amanat UU Nomor 21 Tahun 2008 sebagai bagian moda pembiayaan. Reaksi berbagai kalangan yang menduga tingginya kemiripan transaksi di perbankan konvensional dengan perbankan syariah mendorong m unculnya tekanan pada regulator. DSN-MUI merasakan hal ini sehingga terlahirlah fatwa Nomor 84 Tahun 2012 yang mengijinkan pengakuan keuntungan dengan metode anuitas sehingga lahirlah konsep tamwil bil al murabahah (pembiayaan murabahah). Sayangnya, metode ini tidak dapat diakomodasi oleh Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Syariah 102 tentang Murabahah. PSAK 102 masih berpegang erat pada fatwa Nomor 4 yang menganggap murabahah adalah transaksi jual-beli murni, serta penerapan metode anuitas sangat identik d engan implementasi prinsip time value of money yang berbasis bunga. Kondisi ini diperkuat dengan praktik p erbankan syariah yang enggan melakukan tran-
24
saksi jual beli riil, sehingga pada dasarnya perbankan syariah tidak pernah memiliki persediaan. Namun, kondisi keumuman praktik, tekanan praktisi dan kemunculan fatwa DSN Nomor 84 Tahun 2012 mendorong adanya revisi PSAK 102. PSAK Syariah 102 Revisi 13 November 2013 tentang Murabahah, memberikan benteng substansi praktik transaksi agar tetap pada koridor kesesuaian syariah. Revisi PSAK 102 Tahun 2013 memberikan penekanan bahwa suatu entitas dikategorikan melakukan transaksi murabahah sebagai moda jual-beli, apabila telah m enanggung risiko signifikan atas kepemilikan persedian sebagai objek jual-belinya. Persediaan dinilai benar-benar dimiliki atau dikuasai oleh pembeli apabila entitas penjual telah menanggung risiko secara signifikan dari persediaan tersebut. Adapun risiko tersebut antara lain: 1) Risiko perubahan harga persediaan; 2) Keusangan dan kerusakan persediaan; 3) Biaya pemeliharaan dan penyimpanan persediaan; 4) Risiko pembatalan pesanan pembelian secara sepihak. Kenyataannya, bank syariah telah mampu meminimalkan bah kan cenderung telah menghilangkan berbagai risiko tersebut dengan jalan: 1) Bank tidak melakukan murabahah yang tanpa disertai pesanan, sehingga risiko perubahan harga dapat d ihilangkan; 2) Situasi ini ditunjang dengan melakukan wakalah kepada calon nasabah, sehingga risiko pembatalan dapat ditekan dengan signifikan. Selain itu, kondisi ini menjadikan bank tidak pernah menyimpan persediaan yang secara otomatis biaya pemeliharaan, risiko keusangan dapat dihilangkan. Minimnya risiko yang ditanggung oleh bank syariah inilah yang meningkatkan
keyakinan dalam melakukan transaksi murabahah sejatinya tidak melakukan akad jual-beli, namun secara substansi adalah aktivitas pembiayaan murabahah. Situasi semakin ironis ketika Revisi PSAK 102 Tahun 2013 menghendaki apabila entitas yang s ubstansinya melaksanakan pembiayaan murabahah harus merujuk pada PSAK konvensional. Dimana penyajian transaksi merujuk pada PSAK 50, pengakuan dan pengukuran merujuk pada PSAK 55 dan pengungkapan merujuk pada PSAK 60. Situasi ini semakin memperkuat kesan bahwa substansi transaksi murabahah yang diterapkan dalam praktik perbankan syariah saat ini tidak berbeda dengan praktik perkreditan konvensional. Dengan demikian, esensi murabahah sebagai akad transaksi jual-beli menjadi sebatas konsep teoretis, belum terwujud dalam tataran praktis. Murabahah dalam tataran implementasi di perbankan syariah benar-benar berada pada persimpangan antara menjadi suatu moda pembiayaan ataukah moda jual-beli sebagaimana amanat konsep yang ada.
Indikator Nomor 48/Tahun XXX/2016
Achmad Zaky
Laporan Utama
Pelra, Anak Tiri
Angkutan Pelayaran Indonesia
Indikator/Jaya
Laporan Utama
Dulu ia merupakan tonggak maritim yang menjaga ketahanan pangan negara… Menjadi basis penghubung kepulauan Nusantara… Kini ia hanya jejeran kapal tua yang menambat di kaki dermaga… Meronta akan pahitnya kompetisi, telantar oleh muatan yang tak pasti… Sekadar bermimpi akan ulur tangan pemerintah yang tak kunjung menepi… Dan menyerah pada kesejahteraan yang dinanti… Indikator/Jaya
I
ndonesia adalah negara yang wilayahnya berupa kepulauan, terdiri lebih dari 17.000 pulau besar dan kecil, membentang di jalur khatulistiwa dari Sabang sampai Merauke. Berdasarkan Dokumen Kementerian Perdagangan Indonesia yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik, total luas daratan Indonesia adalah 1.910.931,32 km². Sedangkan luas lautnya sejauh 3.544.743,9 km² yang terbagi menjadi luas laut teritorial, zona ekonomi eksklusif, dan laut 12 mil. Hal ini membuktikan bahwa 2/3 dari luas wilayah Indonesia merupakan perairan. Maka dari itu, jaringan transportasi laut sangat penting bagi perekonomian dan ketahanan bangsa. Namun, dewasa ini masih terjadi disparitas ekonomi khususnya perbedaan harga Sembilan Bahan Pokok (sembako) antara wilayah barat dan timur Indonesia. Berdasarkan harga harian pada website ews.kemendag.go.id tanggal 28 April 2016, harga beras di Semarang berkisar pada Rp 9.500,- sedangkan di Jayapura mencapai Rp 14.000,-. Hal ini dikarenakan masih kurangnya akses terhadap sarana-prasarana pendukung ekonomi untuk masyarakat di Indonesia bagian timur. Berangkat dari ihwal tersebut, maka dibutuhkan fasilitas, jaringan, layanan, dan koneksi antar pulau di seluruh Indonesia, khususnya melayani perdagangan. Dalam hal ini, Presiden Joko Widodo menggagas kebijakan tol laut yang mulai berjalan sejak pertengahan tahun 2015. Program ini bertujuan untuk menghubungkan pelabuhan di seluruh Nusantara demi tercapainya kelancaran distribusi barang dan mengurangi disparitas harga antar wilayah. Namun sangat disayangkan, armada kapal yang terbilang besar ini belum mampu mengakomodasi distribusi barang ke pulau-pulau kecil serta pelabuhan yang masih minim infrastruktur. Oleh karena itu diperlukan salah satu jenis usaha pelayaran yang sejak dulu memiliki andil dalam membangun interkoneksi perdagangan antar pulau, baik besar maupun kecil di Indonesia, yaitu Pelayaran Rakyat (Pelra). Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, “Angkutan laut pelayaran rakyat adalah usaha rakyat yang bersifat tradisional dan mempunyai karakteristik tersendiri untuk melaksanakan angkutan di perairan dengan menggunakan kapal layar, kapal layar bermotor, dan/atau kapal motor sederhana berbendera Indonesia dengan ukuran tertentu”. Pelra pada umumnya identik dengan kapal kayu menggunakan layar yang dioperasikan dengan manajemen sederhana.
26
Indikator Nomor 48/Tahun XXX/2016
1 Sjafril Karana, “Armada Pelayaran Rakyat Sebagai S arana Transportasi Angkutan Antar Pulau Dalam Era Pasar Bebas” diakses dari http://ejurnal. bppt.go.id/index.php/alami/article/view/1055/965, pada tanggal 15 Desember 2015.
kayu, pupuk, dan beberapa bagian sembako. “Sekarang muatan yang banyak itu pupuk dan barang kelontong karena barang ini harganya murah dan makan tempat, jadi tidak layak untuk dimasukkan ke dalam container, itulah yang menjadi pangsa kita,” ujar Pemindahan muatan dari truk menuju kapal Drs. M. Yusuf selaku Ketua DPC Pelra Surabaya. Dedy Hermanto, bahwa draft kapal Pelra tidak begitu dalam yaitu h anya Peranan dan Kelebihan Pelra kisaran 2 meter saja, lain halnya Sampai saat ini, Pelra masih dengan kapal besi yang bisa sampai 4 memiliki peran penting dalam men- meter. Sehingga armada Pelra memijaga koneksi pasokan bahan pokok liki akses untuk masuk ke ruas-ruas ke daerah-daerah terpencil yang ti- wilayah yang perairannya dangkal. dak dapat dijangkau oleh angkutan Kelebihan lain yang dimiliki oleh pelayaran lainnya. Rozaq memapar- kapal Pelra yaitu rute pelayaran yang kan, secara geografis Indonesia me bebas dan tidak tetap. Berdasarkan rupakan negara kepulauan, banyak Pasal 16 ayat 3 dalam UU Nomor 17 pulau kecil dan sungai-sungai yang Tahun 2008, armada angkutan laut tentunya tidak bisa dijangkau oleh pelayaran rakyat dapat dioperasikan kapal besar. M enurutnya, di sana lah di dalam negeri dan lintas batas, baik fungsi kapal Pelra, yaitu melakukan dengan trayek tetap dan teratur maupun distribusi pemerataan komoditas, trayek tidak tetap dan tidak teratur. baik itu sembako maupun kebutuhan Adanya keleluasaan dalam hal trayek lain. Armada yang menjadi kearifan ini memberikan keuntungan bagi Pelra lokal ini, dalam operasionalnya, ti- dalam kegiatan usahanya, seperti yang dak banyak bergantung pada infra- dikatakan oleh Zain Arif, Ketua DPC struktur pelabuhan seperti peralatan Pelra Kalianget, Madura, “Kalau kapal bongkar muat, air tawar, dan d ocking. besar kan sudah ada trayek tetapnya, ini “Kalau kapal Pelra sendiri cukup ke mana, itu ke mana. Nah kalau Pelra hanya mengandalkan tenaga manusia tidak begitu, ia bebas memakai jalur pun juga masih bisa untuk bongkar yang mana saja, yang penting sebelum muat, jadi mayoritas untuk kegia- pemberangkatan ada izin terakhir dari tan dermaga itu disesuaikan dengan syahbandar setempat,” tuturnya. kepentingan dan k ebutuhannya,” ungkap Supriyanto, SH., MH., selaku Pe- Kondisi Hari Ini… meriksa Kapal untuk Penerbitan Surat Keistimewaan yang dimiliki oleh Persetujuan Berlayar (SPB) Pelabuhan kapal nenek moyang ini ternyata Tanjung Perak. Hal serupa juga dipa- berbanding terbalik dengan kondiparkan oleh Kepala Seksi Tramper dan si Pelra pada sepuluh tahun terakhir. Pelayaran Rakyat, Direktorat Jendral Kenyataannya, jasa angkutan laut ini Perhubungan Laut (Dirjen Hubla), semakin surut dan tertinggal seiring
Indikator Nomor 48/Tahun XXX/2016
27
Indikator/Jaya
Seiring dengan banyaknya jumlah perusahaan Pelra yang ada di Nusantara, dibentuklah Persatuan Pengusaha Pelra Indonesia. Struktur o rganisasinya terdiri dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP), Dewan Pimpinan Daerah (DPD), Dewan Pimpinan Cabang (DPC), dan anggota. Masing-masing dewan pimpinan menempati ibu kota, provinsi, dan kotamadya atau kabupaten. Ketua DPD Surabaya yang saat ini menjabat, Salehwangen Sahib Bsc., menjelaskan bahwa fungsi perhimpunan adalah sebagai wadah aspirasi bagi a nggotanya sehingga mampu menjadi mediator antara pengusaha dan pemerintah serta mempermudah arus informasi dan koordinasi antar wilayah. Persatuan pengusaha ini juga berfungsi untuk memberikan pembinaan kepada anggotanya. “Fungsi kita melaksanakan pembinaan terkait aktivitas mereka (pengusaha Pelra), baik dalam aturan berlayar di laut maupun saat berada di sandaran pelabuhan,” tambah Abdul Rozaq selaku Wakil Ketua I DPC Gresik. Ada banyak jenis armada kapal Pelra seperti lete, lambo, nade, dan pinisi. Saat ini, hampir semua armada Pelra yang digunakan merupakan Kapal Layar Motor (KLM). Seperti yang diungkapkan oleh Rozaq, “Mayoritasnya sekarang berbentuk pinisi dan ciri khasnya pasti ada tiang layar dan dibantu mesin pendorong, berarti KLM,” tuturnya. Sjafril (2003) menuliskan bahwa sejak zaman dahulu, usaha Pelra sudah dikenal baik sebagai sarana untuk mengangkut hasil-hasil pertanian, perkebunan, produksi, dan ternak. Pelra juga bisa mengangkut penumpang dari daerah-daerah terpencil atau pedalaman yang volumenya relatif terbatas1. Adapun muatan yang diangkut oleh armada Pelra hari ini biasanya terdiri dari
Laporan Utama
Indikator/Jaya
ABK yang sedang mempersolek tubuh armadanya dengan perkembangan zaman serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang transportasi perkapalan. Meningkatnya kebutuhan dan tuntutan masyarakat, baik kualitas maupun kuantitas membuat keberadaan Pelra semakin tersingkir dan menghadapi tantangan pasar yang semakin besar. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan jumlah kapal Pelra pada tahun 1997 tercatat sebanyak 2.973 unit, pada tahun 2014 turun menjadi 1.357 unit. Demikian juga dengan jumlah perusahaan Pelra yang tadinya 760 perusahaan pada tahun 2005, menyusut pada tahun 2014 menjadi 653 perusahaan (Dirjen Hubla, 2005 dan 2014)2. Begitu pula dengan muatan Pelra pada 2012 tercatat sebanyak 883.610 ton, pada 2014 turun menjadi 616.441 ton3. Tergerusnya eksistensi Pelra juga merugikan bagi beberapa pihak lain. Asmiati dkk. (2012), menyatakan bahwa dampak buruk akibat dari berkurangnya kapal Pelra adalah hilangnya penghasilan dan kesempatan kerja bagi Anak Buah Kapal (ABK), buruh bongkar muat, dan pengusaha. Menurut
Sekretaris Jenderal DPP Pelra yang menjabat pada masa itu, bahwa dari 200 unit kapal Pelra yang ditahan oleh aparat kepolisian dan bea cukai yang tersebar di seluruh Indonesia, telah berdampak paling sedikit menghilangkan 3.600 ABK, 500 sopir, serta 5.000 buruh pelabuhan4. Seperti ungkapan sudah jatuh tertimpa tangga, jasa angkutan laut yang merupakan warisan budaya ini kadang kala mendapat penyamarataan aturan terkait sanksi dari instansi pengamanan laut dalam hal kelengkapan administrasi. Yusuf memaparkan, “Ada ketidak adilan saat kapal-kapal kami mengalami pelanggaran, misalnya saat ABK diperiksa di tengah laut kemudian tidak dilengkapi dengan buku pelaut dan administrasi, lalu sanksi yang dikenakan sama dengan angkutan pelayaran lainnya,” tegasnya. Sanksi mempekerjakan ABK dengan tidak melengkapi surat-surat, dikenakan hukuman enam tahun penjara dengan denda senilai 300 juta rupiah. Ia menambahkan bahwa posisi Pelra sementara ini dalam tahap pembinaan untuk bisa memenuhi
2 Dirjen Hubla, Buku I Statistik Perhubungan 2010. 3 Kompas, 17 Maret 2015, hlm 18.
4 Asmiati, M. Yamin Jinca, dan Syamsu Alam, Manajemen Usaha Pelayaran Rakyat Business Management Of Traditional Shipping, Teknik Transportasi, Pascasarjana Universitas Hasanuddin, 2012, hlm 3 dan 4.
28
ketentuan-ketentuan dan persyaratan yang ada, seharusnya juga ada kemudahan dan regulasi mengenai hal tersebut. Realitas yang dihadapi Pelra saat ini tak lepas dari pelbagai persoal an yang sudah menumpuk dan di biarkan terombang-ambing dengan penyelesaian setengah hati. Pokok permasalahan utama adalah sulitnya mendapatkan bahan baku pengolahan kapal. Hal tersebut menyebabkan tidak adanya penambahan jumlah armada baru bahkan cenderung mengalami penurunan. Prof. Dr.-Ing. M. Yamin Jinca, MSTr., Dosen Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin mengungkapkan, “Umur daripada armada Pelra rata-rata 15 sampai 20 tahun, agak sulit bagi mereka untuk mengganti maupun menambah armadanya karena peraturan pemerintah terkait dengan penebangan hutan yang merupakan bahan pokok untuk pembuatan perahu sekarang dibatasi,” tuturnya. Ketua Sub. Direktorat Transportasi Laut, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Ir. Bastian, MBA., menambahkan bahwa kayu yang dilindungi tidak boleh keluar dari kabupaten asal kayu tersebut. Mayoritas kayu yang digunakan sebagai bahan pengolahan adalah kayu ulin yang saat ini sulit untuk didapat. Menurut Rozaq, tersedianya bahan baku kayu ulin yang ada di daerah asal yaitu Kalimantan, beberapa tahun ini sangat sedikit. Akibat dari kelangkaan ini mendorong pemerintah untuk menjadikannya aset yang harus dilindungi. Hal tersebut diatur dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Ia juga menambahkan, karakteristik kayu ulin dijadikan bahan pembuatan kapal karena bentuknya yang padat dan seratnya yang halus sehingga tidak mudah menyerap air. Faktor ketiadaan armada baru dan sukarnya peremajaan kapal memunculkan stigma tidak aman di
Indikator Nomor 48/Tahun XXX/2016
benak masyarakat. Ditambah tidak adanya jaminan asuransi yang dimiliki oleh Pelra berimbas pada beralihnya pengguna jasa ke kapal yang lebih terjamin keselamatan barangnya. Seperti yang diungkapkan oleh Yusuf, “Ada barang-barang tertentu yang memang sudah tidak mau dimuat di kapal Pelra. Karena mungkin barang yang bernilai tinggi takut rusak,” jelas sarjana ekonomi ini. Lembaga asuransi pun tak urun memberikan layanannya karena kapal Pelra tidak memiliki sertifikat maupun kualifikasi tertentu dari Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) agar terukur kualitas armadanya. Yamin memberikan penjelasan, “Perusahaan asuransi enggan memberikan layanan karena Pelra dianggap kurang safety, persoalannya adalah waktu dia (Pelra) membangun kapal tidak diawasi oleh BKI sehingga tidak ada sertifikat pada waktu dibangun,” tuturnya. Bastian menambahkan bahwa, kendala dari Pelra adalah kapal dibuat secara tradisional sehingga tidak memakai gambar ataupun desain. Sedangkan syarat asuransi adalah mendapat pengakuan dari BKI. Walaupun konstruksinya masih bersifat tradisional, armada Pelra memiliki ketahanan yang tak kalah kuat dengan pelayaran lain, seperti yang diungkapkan oleh Rozaq. “Faktanya kapal Pelra ini lebih kuat dari kapal besi, kapal besi dua tahun itu wajib ke dock kalau kapal Pelra masih bisa berlayar. Nah, kendala kita hanya di BKI, kapal besi mendapat sertifikat dari BKI, makanya asuransi berani menjamin mereka,” jelasnya. Merosotnya jumlah pengguna jasa Pelra mengakibatkan waktu pengiriman barang semakin lama karena kapal harus menunggu muatan penuh agar bisa berangkat. Yusuf memaparkan, “Karena Pelra tidak memiliki gudang, jadi barang langsung diantar dari toko atau pabrik ke kapal sehingga
kita harus menunggu muatan, setelah penuh baru berangkat,” ungkapnya. Ia juga menambahkan bahwa lama waktu kapal bersandar di pelabuhan tergantung dari cepatnya muatan terisi. Selain itu, adanya regulasi dari pemerintah terkait tata niaga kayu dan alih fungsi lahan menyebabkan berkurangnya jenis komoditas yang dulu diangkut oleh Pelra. Yamin, dosen yang hobi berenang ini menceritakan, “Dulu saat kayu masih menjadi komoditas yang diangkut, merupakan booming kejayaannya Pelra kala itu, terlepas sifatnya legal atau ilegal, peranan untuk mengangkut kayu dari seluruh Indonesia diambil oleh Pelra,” sejenak beliau bernostalgia. Rozaq juga membenarkan bahwa alih fungsi lahan hutan tanaman industri menjadi hutan produksi kelapa sawit menyebabkan langkanya komoditas kayu dan bahan-bahan hasil kehutanan lain yang selama ini menjadi angkutan primadona bagi Pelra. Adapun minimnya kapasitas dan fasilitas pelabuhan turut menjadi kendala tersendiri bagi Pelra. Seperti yang diungkapkan oleh Zain, “Kendalanya buat kita selaku Pelra di dermaga umum (Pelindo III), tidak bisa dipakai untuk Pelra sepenuhnya karena banyaknya kapal penumpang, perintis, sabuk, express, dan sebagainya sehingga mau sandar khusus Pelra itu agak kesulitan,” tutur pria asal Pamekasan ini. Ia juga menambahkan bahwa sudah ada dermaga yang telah dibangun oleh pemerintah, namun pengerjaannya mangkrak di tengah jalan dan dibiarkan tidak terurus. Di lain tempat, khususnya Pelabuhan Kalimas Surabaya, Yusuf memaparkan, “Masalah kemacetan Pelabuhan Kalimas karena terlalu banyak kapal, kemudian fasilitasnya terbatas. Misalnya lebar pelabuhan hanya 60 meter dan kedalaman hanya 3,5 meter, sementara kapal-kapal mesin melebihi dari kapasitas itu jadi membuat kemacetan,” keluhnya. Rozaq
juga menambahkan, apabila melihat di Gresik, sudah bukan rahasia lagi jika kapasitas pelabuhan kurang memadai. Terbatasnya kapasitas dermaga, ditambah banyaknya kunjungan dari kapal lain yang datang, menyebabkan terjadinya penumpukan kapal s ehingga butuh waktu cukup lama agar bisa keluar. Fasilitas penunjang lain seperti galangan kapal juga dibutuhkan oleh Pelra untuk melakukan reparasi atau sekadar mempersolek tubuh kapal dengan cat. Yamin menuturkan, “Kalau dulu perindustrian ikut di dalamnya untuk memberi bantuan, bahkan ada tiga galangan kapal yang dibantu perindustrian untuk dikelola oleh Pelra. Sekarang sudah tidak ada lagi,” sesalnya. Ia menambahkan, jika Pelra ingin melakukan reparasi, Pelra biasanya harus naik ke galangan kapal nasional. Menurutnya, galangan kapal nasional terlalu membebani Pelra sebab mahalnya biaya docking sehingga ada ketidakseimbangan antara pengeluaran dengan jumlah muatan yang bisa diangkut. Selain itu, masih kurangnya sinkronisasi mengenai “kekhususan” bagi Pelra turut menjadi kendala. Yusuf memberikan penjelasan bahwa posisi Pelra sementara ini masih dalam tahap pembinaan untuk bisa memenuhi ketentuan-ketentuan atau persyaratan yang ada. Ia juga memaparkan bahwa adanya surat edaran dari Dirjen Hubla yang masih memberikan keringanan kepada Pelra dalam pengadaan buku pelaut atau yang lain-lain. Di sisi lain, Yamin memiliki pandangan, “Toleransi seperti itu memiliki poin positif y aitu membantu menghidupkan kembali Pelra tetapi di lain pihak sebenarnya menjerumuskan ke arah kecelakaan laut. Tinggal dari aspek mana kita mau lihat,” tuturnya. Selain segi kemudahan dalam berlayar, aspek keselamatan sebenarnya juga perlu diperhatikan. Rozaq dalam hal ini memaparkan
Indikator Nomor 48/Tahun XXX/2016
29
Laporan Utama b ahwa pihak otoritas pelabuhan seharusnya lebih intensif memberi pelatihan, seperti pendidikan yang bernama Basic Safety Training (BST) untuk para ABK. Persoalan lain turut hadir dalam bentuk permodalan bagi perintis jasa angkutan laut ini. Pengusaha Pelra cenderung menggunakan mo dal sendiri dalam kegiatan usahanya karena sukar mendapatkan bantuan dari lembaga keuangan, khususnya perbankan. Salehwangen menegaskan bahwa pengusaha Pelra membangun kapal menggunakan kantong pribadi mereka sendiri bukan uang dari pihak kreditur atau perbankan. Aliran mo dal dari lembaga keuangan tersumbat oleh tidak adanya agunan sebagai salah satu syarat perbankan pada umumnya. Yusuf menjelaskan mengenai hal tersebut, “Jadi untuk mendapatkan pinjaman itu sulit dari segi jaminan. Armada tidak bisa dijadikan jaminan karena barang bergerak,” tukas pria yang lahir pada Juli 1955 ini. Padahal untuk operasional bisnis, pemeliharaan, dan penambahan armada baru membutuhkan banyak biaya. Seperti yang dipaparkan oleh Rozaq, bahwa pembiayaan untuk jasa angkutan laut ini tidaklah sedikit, yaitu untuk membangun kapal beserta pembelian mesinnya, ditambah biaya operasional untuk bahan bakar dan upah bagi ABK. Pembinaan dan Upaya Pemerintah Kenyataan kondisi pasang-surut yang dialami oleh Pelra tentu mencemaskan. Selama ini kapal-kapal Pelra telah memberikan banyak manfaat, khususnya dalam menjaga stabilitas ekonomi ke daerah dan pulau-pulau terpencil. Sangat disayangkan, semangat pemerintah untuk menumbuhkan ekonomi maritim belum menyentuh kalbu Pelra. Angkutan pelayaran ini seperti ditelantarkan layaknya anak tiri oleh negara. Realitasnya selama ini telah ditemukan beberapa kelemahan
30
m eliputi terbatasnya permodalan, sistem pengelolaan Pelra yang masih bertumpu pada sistem tradisional, kondisi armada yang kian merenta, dan sistem pelayaran yang mengandalkan atau menyesuaikan sumber dan tujuan muatan. Berdasarkan amanat UU Nomor 17 Tahun 2008, pembinaan terhadap Pelra dilaksanakan agar kehidupan usaha dan peranan penting angkutan pelayaran ini tetap terpelihara sebagai bagian dari potensi angkutan laut nasional. Pengembangan armada Pelra dapat dilakukan oleh pemerintah dalam bentuk pengaturan, bimbingan, dan pelatihan dengan memanfaatkan karakteristiknya. Selanjutnya dalam Pasal 16, diperinci bahwa pengembangan Pelra dilaksanakan untuk: a) meningkatkan pelayanan ke daerah pedalaman dan/atau perairan yang memiliki alur dengan kedalaman terbatas termasuk sungai dan danau; b) meningkatkan kemampuannya sebagai lapangan usaha angkutan laut nasional dan lapangan kerja; c) meningkatkan kompetensi sumber daya manusia dan kewiraswastaan dalam bidang usaha angkutan nasional. Menilik iklim usaha Pelra yang serba tidak menguntungkan menjadi fakta bahwa masih minimnya usaha pemerintah dalam melakukan pembinaan terhadap sub-sistem angkutan laut nasional ini. Yamin menyinggung, “Regulasi, baik itu UU, PP, maupun materi aturannya sudah bagus, tapi implementasi terhadapnya masih dipertanyakan,” jelas profesor lulusan Jerman ini. Hal serupa juga dirasakan oleh Bastian, “Melihat beberapa tahun terakhir ini dari pemerintah belum maksimal upaya-upayanya, pembinaan dalam bentuk regulasi sekarang diserahkan ke pemerintah daerah, pemerintah daerah juga masih terasa kurang pembinaannya,” ungkap pria berkacamata ini saat diwawancarai di ruang kerjanya.
Pemerintah telah mengupayakan beberapa bentuk pembinaan terhadap Pelra. Supriyanto memaparkan bahwa Syahbandar Pelabuhan Tanjung P erak selalu memberikan pengarahan dan pengawasan, baik itu cara menghadapi cuaca buruk dan antisipasinya, juga melakukan pelarangan untuk kapal berlayar demi keselamatan. Di lain sisi, Dedy mengatakan, “Kalau dari kami sih setiap ada kegiatan nasio nal terkait dengan pelayaran, selalu melibatkan mereka untuk update in formasi, update perkembangan, baik tol laut kemarin kan ada UU mereka juga. Dari aspek bahan bakar, mereka juga sudah dapat subsidi,” jelasnya. Ia juga menambahkan bahwa, DPP harus selalu menginformasikan laporan akan kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) agar pihaknya bisa membuat regulasi. Pasalnya Pelra seringkali terlambat meng-input data akan laporan potensi armada, perusahaan, dan keperluan BBM. Total BBM bersubsidi yang digunakan oleh Pelra tahun 2014 seba nyak 10.143 kiloliter dari jumlah 1.449 kapal yang tersebar pada 52 pelabuhan di Indonesia. Selain subsidi BBM, Dirjen Hubla juga sudah mengupayakan pemberian bantuan berupa radio, mesin kapal, buku pelaut gratis, pendidikan, dan pelatihan BST. Selain itu, Rozaq juga membenarkan bahwa Pelra selama ini sudah mendapat BBM bersubsidi. Hal yang lebih genting menurutnya adalah pencarian solusi terkait materi pembuatan kapal Pelra. “Pada waktu Pak SBY–JK (Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla), saya pernah ke istana dan menyampaikan terkait permasalahan kayu ini, sempat di akomodasi, tetapi sampai saat ini belum ada tindakan,” tutur pria kelahiran Gresik ini. Dalam beberapa pertemuan antara Pelra dan pemerintah, sempat muncul wacana mengenai pembuatan kapal Pelra dengan baja, akan tetapi hal tersebut juga akan mengubah status Pelra yang
Indikator Nomor 48/Tahun XXX/2016
bersifat tradisional. Hal ini diungkapkan oleh Yamin, “Teorinya sih bisa saja, tapi masih kita pikirkan bahwa ciri tradisionalnya lama-kelamaan hilang nanti. Kemudian organisasi di dalam Pelra barangkali bisa keluar. Masuknya nanti di pelayaran nasional,” jelasnya. Ia juga menuturkan bahwa, UU yang berlaku sekarang dapat tersingkirkan sehingga banyak fasilitas yang telah diperoleh, terutama keringanan dan sebagainya bisa tidak didapatkan lagi karena adanya perubahan status. Jika ditelisik, pemerintah sudah berupaya untuk melakukan pembinaan terhadap Pelra. Sayangnya, proses pembinaan baru diterjemahkan sebatas pemberian “hadiah”, belum sampai tahap penyelesaian masalah. Untuk meningkatkan peranan Pelra, perlu dilakukan kajian dalam pengelolaan model manajemen yang baik dengan perencanaan bisnis yang terarah dan sistematis. Upaya pemerintah hendaknya dapat mem berikan nuansa baru terhadap Pelra. Yamin, menekankan arah kebijakan pada beberapa poin penting yaitu pengembangan armada Pelra, penggunaan teknologi yang sesuai kebutuhan transportasi laut, pembinaan terkait masalah keselamatan, kelayakan kapal, sertifikasi terhadap ABK, dan kebijakan mengenai muatan. Pengembangan armada Pelra dapat dilakukan melalui kerja sama dengan Kementerian Perindustrian (Kemenperin). Yamin berpendapat, “Pembinaan kita harapkan datang dari Kemenperin terutama pembinaan terhadap pengrajin perahu Pelra. Selama ini cara yang dilakukan masih tradisional, barangkali bisa kita padukan dengan nontradisional atau lebih modern,” ucapnya. Ia juga menambahkan bahwa, proses pembuatan kapal bisa bekerja sama dengan BKI agar memiliki standardisasi dan mendapatkan kepercayaan perusahaan asuransi. Fasilitas dan layanan infrasruktur
yang memadai juga perlu didapatkan oleh Pelra. Bastian memaparkan bahwa, ada keluhan di pelabuhan Pelra di mana penataannya masih kurang baik. “Kalau Pelindo melihatnya dari sisi bisnis, mungkin Pelra tidak menarik bagi Pelindo. Seperti itu harusnya pe-
Indikator/Ryan
merintah turun tangan, ke depannya lebih baik seperti itu,” tambahnya. Bappenas dalam Laporan Implemen5 tasi Konsep Tol Laut (2015) , juga sudah merumuskan beberapa kebijakan afirmatif untuk menyelesaikan problematik Pelra. Pertama, perlunya ditindaklanjuti surat Kementerian Perhubungan ke Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tentang kewajiban untuk memberikan porsi distribusi produk BUMN tertentu kepada Pelra, terutama untuk distribusi pelayan publik
(obat-obatan, buku BOS, dsb). Kedua, diperlukan konsesi hutan tanaman industri kayu kapal. Masih terdapat 22 juta hektare hutan yang boleh dikonversi (bukan dilindungi). Setidaknya 100 ribu hektare boleh dikonversi menjadi bahan baku ulin. Ketiga, perlunya rebranding Pelra untuk meningkatkan perhatian dan kebanggaan terhadap Pelra sebagai bagian dari realisasi moto politik ‘Bangsa Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia’. Pengakuan pemerintah terhadap peranan Pelra untuk melancarkan sistem logistik nasional serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat perlu ditindaklanjuti dengan g erakan konkret dalam kurun waktu s esingkat-singkatnya. Salah seorang pengusaha Pelra, PT. Noaly Jaya Sejahtera cabang Kalianget, Abdus Salam, menyampaikan harapannya, “Pemerintah tetap harus membina perusahaan Pelra, jangan diacuhin. Karena memang masih tradisional, perlu adanya modernisasi,” ungkapnya. Yusuf juga berharap, “Masalah pembangunan armada dengan bahan baku dari kayu itu supaya dibuka. Artinya bukan dibuka untuk perdagangan tetapi khusus untuk pembangunan armada,” pintanya. Ia pun meminta agar wacana pembangunan armada Pelra sebanyak 500 unit kapal bisa terealisasi secepatnya. Rozaq juga menorehkan harapan agar apa yang sudah menjadi janji pemerintah segera terealisasi, dengan harapan keberadaan Pelra bisa mewarnai pendistribusian komoditas. “Ini kan juga ada wacana tol laut, makanya kami berharap distribusi barang ini bisa lebih lancar, seperti sebuah jalan tol,” tutupnya.
5 Bambang Prihartono, Bastian, dan Wayan Deddy Wedha Setyanto, Laporan Implementasi Konsep Tol Laut 2015 – 2019, Direktorat Transportasi, Kementerian PPN/Bappenas. Jakarta Pusat, 2015, hlm 50.
Indikator Nomor 48/Tahun XXX/2016
Kurnia Wijaya
31
Kolom
Traktat Ketat Amerika Serikat
D dok.pribadi
Anggit Setiadi
Mahasiswa Jurusan Ilmu Ekonomi Prodi Ekonomi Islam Angkatan 2013 ini biasa dipanggil Agit. Pria kelahiran Klaten, 27 Agustus 1995 ini memiliki hobi berdiskusi dan mendengarkan musik. Sekarang ia menjabat sebagai Presiden BEM FEB UB 2016.
emi meningkatkan ekonomi tanah air, pemerintah tak ubahnya mengerahkan segala cara, salah satunya dengan menyepakati kerja sama perdagangan bilateral, kawasan, maupun regional. Free Trade Agreement (FTA) dengan negara lain dianggap sebagai salah satu faktor penting dalam memperlancar perputaran roda perekonomian nasional. Berbagai alasan pun m enjadi pertaruhan pemerintah dalam pengambilan keputusan, mulai dari perluasan pasar, peningkatan iklim investasi, hingga efisiensi ekonomi. Pada hakikatnya, tujuan utama FTA adalah berupaya mengurangi atau menghilangkan hambatan perdagangan. Melalui FTA, suatu negara dapat menghasilkan produk sesuai dengan keunggulan komparatif negara tersebut melebihi demand dalam negerinya. Kemudian excess supply yang dihasilkan dapat ditawarkan ke pasar internasional sehingga memperluas pasar dan meningkatkan keuntungan. Di sisi lain, excess demand terhadap produk yang tidak dihasilkan negara tersebut dapat dipenuhi dengan melakukan impor dari negara lain. Akhirnya, konsumen dapat memilih dari keranjang konsumsi yang lebih luas guna menghasilkan tingkat utilitas lebih tinggi. Selain itu, FTA akan membuka keran aliran modal, baik sifatnya masuk maupun keluar yang pada akhirnya menghadirkan efisiensi ekonomi terhadap negara pelaku p erdagangan internasional. Terlepas dari semua keunggulan tersebut, kompetisi antar negara dalam perdagangan internasional tidak sepenuhnya menghadirkan efisiensi ekonomi. FTA yang hakikatnya bertujuan mencari keuntungan bersama, justru dijadikan alat guna melumasi berbagai kepentingan masing-masing negara dalam rangka ekspansi taring ekonomi. Trans Pacific Partnership (TPP) menjadi salah satu perjanjian multilateral yang belakangan ini hangat diperbincangkan karena dianggap sebagai aras baru bagi perekonomian Indonesia. TPP yang awalnya (2005) merupakan gagasan Selandia Baru bersama Cile, Singapura, dan Brunei Darussalam dengan sebutan Trans-Pacific Strategic Economic Partnership (TPSEP), pada tahun 2008 dirombak oleh Amerika Serikat (AS) dengan mengikutsertakan Australia, Peru, Vietnam, dan Malaysia. Tidak lama kemudian, Jepang, Meksiko, dan Kanada bergabung sebagai “latecomers” dengan syarat tidak mengubah kesepakatan yang sudah dicapai. Ketiga negara tersebut juga tidak memiliki hak veto terhadap halhal yang sudah dan akan disepakati anggota asli TPP-9. Traktat ini merepresentasikan 40% PDB dunia lantaran negara-negara yang tergabung di dalamnya memiliki dominasi PDB global1. AS khususnya, memiliki PDB sebesar US$ 17,41 T atau 16,3% terhadap total perekonomian global pada akhir 2014. Ditambah dengan negara anggota lainnya yaitu Jepang (US$ 4,60 T), Kanada (US$ 1,79 T), Australia (US$ 1,45 T), Meksiko (US$ 1,28 T), M alaysia (US$ 0,326 T), Singapura (US$ 0,307 T), Cile (US$ 0,258 T), Peru (US$ 0,202 T), Selandia Baru (US$ 0,188 T), Vietnam (US$ 0,186 T), dan Brunei Darussalam (US$ 0,017 T)2. Namun demikian, sejak akhir 2013 AS bukan lagi negara dengan perekonomian terbesar di dunia. Tiongkok secara resmi mengambil alih posisi n egeri “Paman 1 http://www.imf.org/external/pubs/ft/weo/2015/02/index.htm, diakses pada 12/11/15 pukul 19.21 WIB 2 http://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.MKTP.CD, diakses pada 12/11/15 pukul 19.44 WIB
32
Indikator Nomor 48/Tahun XXX/2016
Sam” sebagai negara perekonomian adidaya, di mana Tiongkok memiliki PDB sebesar US$ 17,6 T atau 16,5% dari total PDB dunia dan diprediksi akan terus melesat. Inilah yang menjadi salah satu kilah AS membentuk TPP, yakni untuk membendung ekspansi perdagangan Tiongkok khususnya di Asia Pasifik melalui aturan-aturan ketat. Bagaimana dengan Indonesia? Kabar dari pemerintah Indonesia pasca lawatan ke AS pada 26 Oktober 2015 lalu m enghadirkan kekhawatiran yang cukup dalam bagi khalayak ramai. Banyak pihak menganggap keinginan Presiden Joko Widodo membawa Indonesia kedalam TPP hanya akan mengusik kedaulatan nasional. S elain itu, kemitraan ini juga akan mengerdilkan ekonomi Indonesia dengan berkaca pada kesiapan perekonomian nasional. Betapa tidak? TPP mutlak bertujuan memperkuat agenda neoliberalisme. Hampir semua agenda TPP sejalan dengan tiga agenda besar n eoliberalisme, yaitu perdagangan bebas barang dan jasa, sirkulasi bebas kapital, dan kemerdekaan dalam berinvestasi3. Dengan demikian, termaktub jelas bahwa TPP menjadi ladang strategis AS dalam menanamkan pundipundi ideologi yang tentunya banyak berseberangan dengan kepentingan nasional. Untuk mewujudkan misi neoliberalisme, TPP akan memaksa negara anggotanya membongkar semua aturan pajak serta eksporimpor yang merintangi masuk dan keluarnya barang maupun jasa. Seperti diklaim oleh AS, sedikitnya 18.000 aturan pajak di 12 negara anggota TPP akan dibongkar untuk memudahkan masuknya barang dan jasa. Lebih dari itu, TPP menghapuskan 98% (targetnya hingga 0%) t arif untuk beragam produk, termasuk susu, daging, gula, beras, produk hortikultura, makanan laut, produk pabrikan, sumber daya alam, enghilangkan serta energi4. TPP juga m 3 Susan George, 1999, The Lugano Report: On preserving capitalism in the 21st century, Pluto Press. 4 http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2015/10/151006_dunia_kesepakatan_ tpp, diakses pada 10/12/15 18.12
semua kebijakan yang berusaha melindungi produk d alam negeri termasuk larangan kampanye membeli produk lokal. Dengan begitu, TPP sangat berpotensi menggilas industri dalam negeri serta Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). TPP akan menjamin kemerdekaan investor di atas kepentingan publik dan negara. Setiap anggota TPP diharuskan membuka semua sektor ekonominya bagi investor asing, termasuk layanan publik (pendidikan, kesehatan, dll) dan barang publik (listrik, air, dll). TPP
UMKM UR HANC
MN BU UR NC HA
N ATA AUL L KED SIONA NA
lir
mu
For
n
tara
daf
Pen
TPP
Indikator/Adhim
sangat tegas mempreteli hak istimewa BUMN dan m emperlakukannya sama dengan usaha swasta, karena usaha yang dikelola secara bebas (swasta) dianggap sebagai jalan pintas dalam mengembangkan usaha. Kemudian TPP juga menderegulasi semua a turan yang menghambat atau m erintangi kebebasan berinvestasi, termasuk menghilangkan aturan yang m elindungi hak-hak buruh dan proteksi terhadap lingkungan. Lebih nista lagi, TPP menerapkan mekanisme Investor-State Dispute Settlement (ISDS), di mana investor diberi kewenangan untuk menggugat pemerintah apabila mereka mengganti atau membuat aturan yang
merugikan investor. Pada tahun 2012, Veolia, perusahaan pengolah limbah asal P erancis menggugat sebesar US$ 110 juta kepada pemerintah Mesir karena kebijakan menaikkan upah minimum dan memperbaiki UU ketenagakerjaannya. Masih kasus yang sama, korporasi rokok raksasa Philip Morris menggugat pemerintah Australia sebesar US$ 50 juta karena kebijakan melarang merek dagang di pembungkus rokok. Singkat kata, TPP memberikan ruang kewenangan yang cukup besar bagi korporasi, bahkan disetarakan dengan negara untuk menggugat pemerintah apabila mengeluarkan regulasi atau kebijakan yang mengganggu prospek keuntungannya. Menjadi hal yang m engkhawatirkan bagi publik ketika pemerintah Indonesia berkeinginan bergabung dengan TPP. Guru besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Prof. Hikmahanto Juwana mengatakan TPP tidak berpihak bagi kepentingan Indonesia karena tidak memperbolehkan perlakuan istimewa pada BUMN. Padahal, dalam Pasal 33 ayat 2 UUD 1945 menjelaskan bahwa pemerintah bisa saja memberi monopoli kepada perusahaan pelat merah sepanjang jenis usahanya menguasai hajat hidup orang banyak.5 Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) juga akan terjual apabila ada negara anggota yang mampu mengembangkan penemuan baru dari negara anggota lainnya. Sangat tidak baik apabila Indonesia memencilkan diri, tetapi lebih tidak baik lagi jika Indonesia membuka diri tanpa persiapan yang diniscayakan. Pemerintah yang memutuskan suatu kebijakan yang merugikan rakyat bisa berubah, tapi pemerintah penggantinya tak bisa begitu saja membatalkan persepakatan itu. Pemerintah bisa silih berganti, tetapi penderitaan rakyat tetap. Imperia transferri, passus populi manent.
5 ekbis.sindonews.com/read/1058485/34/pengamat-kepentingan-ri-tak-terakomodasi-di-tpp-1446539387, diakses pada 8/1/16 07.58
Indikator Nomor 48/Tahun XXX/2016
Anggit Setiadi
33
Bisnis
Manajemen Sumber Daya Islami: Argumentasi Para Ahli
K dok.pribadi
etika manajemen sumber daya islami menjadi topik dalam berbagai discourses, penemuan dalam penelitian terdahulu para ahli merupakan hal yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Selama bertahun-tahun, penelitian terkait manajemen sumber daya telah dilakukan dan dikupas dari berbagai sudut pandang, dengan segala macam pro dan kontra yang mengiringi. Pada kenyataannya, sebuah teori tidak selalu sesuai dengan fakta, namun terkadang hal itulah yang menjadi pusat perhatian topik penelitian di seluruh penjuru d unia. Bagaimana pun juga, menilik manajemen sumber daya dari perspektif religius sangatlah berbeda. Pepatah mengatakan, “keindahan tergantung dari siapa yang memandangnya”. Bagian ini akan membahas mengenai manajemen sumber daya islami dari dua sudut pandang: Barat dan Negara Islam.
Cakti Indra G., SE., MM., Ph.D
Pria kelahiran Purwokerto ini meraih gelar S3 di School of Business, The University of New England. Ia merupakan Dosen FEB UB yang memiliki hobi menulis ide dan membuat buku ilmiah. Salah satu buku karangannya yakni,“Nyanyian Hati Nurani” yang terbit pada tahun 2002.
34
Perspektif Barat Memasukkan unsur religi ke dalam sistem yang sudah berkembang selama bertahun-tahun dapat terasa menantang sekaligus menakutkan. Kita dapat mengatakan bahwa perspektif barat yang dimaksud di sini datang dari “sisi luar”, karena sistem manajemen sumber daya islami masih terhitung asing bagi mereka. Mengaplikasikan unsur agama berarti berusaha membangun sistem yang baru di luar tembok tinggi yang telah dibangun oleh barat selama beberapa dekade secara metafora. Beberapa peneliti bahkan mengklasifikasikan kelompok peneliti menjadi dua, yaitu pengikut paham Marxisme dan mereka yang bukan pengikut, dengan kata lain mereka yang netral dalam hal kepercayaan atau tidak beragama, dan yang beragama. Menurut Einarsen dan Hoel (1999), Tawney (1926: 22), Brodsky (1976: 150), dan Budd-Arvey (1996), dalam dunia kerja, diskriminasi eksis. Pada Gambar 1 terlihat bahwa kasus diskriminasi dalam 17 tahun terakhir di Amerika Serikat telah bertambah dua kali lipat dari jumlah awalnya. Agama dan kepercayaan merupakan isu besar bagi setiap manusia, dan sayangnya begitu juga halnya bagi perusahaan tempat mereka bekerja. Tidak hanya agama yang menjadi masalah dalam dunia kerja, namun tampaknya bagi preferensi seksual pun berlaku sama. Salah satu solusi yang ditawarkan oleh para peneliti masa kini adalah kembali menggunakan cara lama seperti menggunakan budaya lokal. Melalui penelitian yang dilakukan oleh Hofstede dalam Hollinshead (2009), negara-negara yang maju dalam sisi ekonomi sering kali mengalami isu-isu diskriminasi tersebut dalam dunia manajemen sumber daya para pekerja mereka. Sementara itu, Beekun (1997) menemukan bahwa pada suatu agama tertentu, karyawan tidak diperlakukan sebagai pelayan perusahaan melainkan hanya seorang pekerja
Indikator Nomor 48/Tahun XXX/2016
Gambar 1
Sumber: Equal Employment Opportunity Commission Statistics, 2014
belaka. Karyawan justru memegang peranan sebagai nilai harta perusahaan di tempat mereka bekerja. Dalam kasus ini, agama tersebut adalah Islam. Banyak perdebatan yang telah terjadi seiring waktu berlalu, namun satu fakta yang disepakati oleh hampir semua peneliti: agama memang berperan penting dalam mengembangkan manajemen sumber daya islami dari masa ke masa. Jackson, Susan E, dan Schuler (1995) menyatakan bahwa korporasi global di masa kini juga menghadapi tantangan dan realitas sosial dan politik yang sama. Beberapa contoh yang dapat diambil adalah fakta bahwa di beberapa negara, hukum pemerintah dan hukum agama hidup berdampingan untuk bergabung dalam satu konteks kesatuan yang sama bagi manajemen sumber daya (Florkowski & Nath 1993). Kegunaan utama manajemen sumber daya manusia terletak pada peningkatan performa dan kinerja perusahaan. Manajemen sumber daya islami tidak hanya bekerja pada lingkup tersebut, namun juga dipercaya dapat meningkatkan kesetaraan dan pada akhirnya akan mengembangkan performa ekonomi di suatu n egara (Caroline, et al, 2004). Walaupun demikian, beberapa pihak masih m eragukan dan menyuarakan adanya manfaat dari memasukkan unsur agama ke dalam sistem, karena hal tersebut dipercaya
hanya akan menimbulkan isu-isu sosial di masa depan. Perspektif Negara-Negara Islam Mempelajari bagaimana peneliti Islam memandang manajemen sumber daya islami memang berbeda dengan gagasan yang diberikan oleh k omunitas barat. Kedua pihak mendiskusikan hal yang sama, hanya saja sudut pandang yang digunakan berbeda. Salah satu alasan yang dikemukakan oleh Ali (2008) bahwa Islam bukanlah sekadar kepercayaan bagi pengikutnya; Islam merupakan satu-satunya cara melaksanakan berbagai kegiatan sehari-hari, mulai dari sosial hingga ekonomi. Menurut Abbasi, Rehman dan Abbasi (2010) dan Asad (2007), Islam mengatur segala aspek dalam kehidupan Muslim seperti spiritual, intelektual, komunal, dan personal. Untuk sebagian orang hal ini mungkin merepotkan, namun bagi umat Muslim, hal tersebut adalah wajib hukumnya (Rahman, Alias, Shahid, Hamid, dan Alam, 2013). Tidak ada yang lebih membahagiakan seorang Muslim selain menuruti perintah pemimpin, yakni Allah dan Rasulullah (Abuznaid, 2006). Islam menekankan bahwa esensi hubungan antar manusia bersifat egalitarian, dan selanjutnya mendorong para pemimpin untuk berkonsultasi dengan para bawahan mereka
terkait dengan keputusan-keputusan organisasi (Tayeb, 1997). Definisi tersebut memiliki arti bahwa setiap proses pembuatan keputusan, atau setiap tahap dalam manajemen sumber daya manusia harus melalui tahapan itu. Sense keadilan sangat dijunjung tinggi dalam manajemen sumber daya manusia Islam. Kerjasama tim dalam lingkungan kerja harus berjalan selayaknya hubungan dalam keluarga, tidak hanya sebatas hubungan antar karyawan dan atasan serta rekan kerja tanpa adanya dukungan dan kerjasama timbal balik antar pegawai. Etika bekerja sangat dipandang serius oleh Islam. Kepuasan karyawan akan mengarah kepada keuntungan perusahaan pula. Jika persepsi yang diraih positif, maka perusahaan tidak akan tampak injustice di mata karyawan. Oleh karena itu, pendekatan menyeluruh pada manajemen sumber daya manusia Islam sangat diperlukan. Melalui sudut pandang tersebut, pengenalan akan praktik manajemen sumber daya manusia berbasis Alquran telah digagas. Pendekatan ini berfokus pada setiap usaha untuk memfasilitasi manajer dengan cara-cara efektif dalam mengelola hubungan manusia. Bagaimana cara mengaplikasikan sebuah ideologi tanpa melenceng terlalu jauh dari sumber aslinya? Jawaban akan pertanyaan ini ditemukan oleh Hashim (2008) dengan menggunakan pendekatan manajemen sumber daya manusia berbasis Alquran. Bagaimana cara kita m elakukannya jika ingin melangkah lebih jauh? Pertama, harus diingat bahwa Alquran hanya mengajarkan kebaikan dan melarang keburukan pada umat manusia, sehingga pengetahuan manajemen sumber daya berbasis Alquran bermanfaat tidak hanya bagi manajer Muslim. Hashim m enekankan bahwa manajer non-Muslim dapat mengambil keuntungan dari sistem tersebut, karena pemahaman akan
Indikator Nomor 48/Tahun XXX/2016
35
Bisnis Gambar 2
Sumber: Razimi, et al, 2014
p erilaku karyawan di tempat kerja menjadi lebih mendalam. Dengan keadilan sebagai nilai tertinggi dalam sistem, sangat tidak mungkin bagi karyawan untuk merasakan ketidakadilan dalam perusahaan. Razimi, (et al 2014) mendukung teori bahwa menggunakan pendekatan Islam dalam praktek manajemen sumber daya manusia akan membawa hasil yang lebih baik. Kesetaraan dalam manajemen sumber daya manusia Islam dapat dicapai
melalui beberapa kualitas perilaku dan karakteristik dari manajer. Beberapa peran tersebut dikupas secara mendalam dalam Gohar, (et al 2008). Sementara itu, sebuah studi di B angladesh menjelaskan bagaimana manajemen sumber daya manusia Islam telah diaplikasi pada perusahaan-perusahaan di negara tersebut. Sejumlah tujuh bank syariah dipilih dan total 236 responden diambil untuk menjelaskan aplikasi manajemen sumber daya manusia Islam di sana (Rahman, et al, 2013). Penemuan menjelaskan bahwa Alquran dan hadis adalah sumber dari nilai kualitatif, standar moral, konsep, dan tuntunan fundamental untuk terciptanya harmoni antara pegawai d engan organisasi tanpa diskriminasi. Oleh karena itu, pengetahuan, pemahaman,
dan praktik prinsip-prinsip manajemen sumber daya islami meningkatkan kepercayaan karyawan di perusahaan secara positif (Seidu, 2006). Kesimpulan Manajemen sumber daya m anusia berbasis Islam, walaupun berada di barat sekalipun, tetap sama halnya dengan yang berada di negara-negara Islam tempat terlahirnya agama tersebut. Manajemen sumber daya manusia Islam tidak berbeda jauh dengan manajemen sumber daya manusia konvensional dari segi sistem, namun nilai-nilai yang mendasari tentu jauh berbeda. Banyak permasalahan yang umum timbul dalam manajemen sumber daya manusia konvensional yang dapat diatasi dengan sendirinya bila nilai-nilai Islam dimasukkan ke dalam praktik riilnya.
Cakti Indra G.
Daftar Pustaka Abbasi, A.S., Rehman, K., & Abbasi, S.H. (2010). Welfare and protection model for organizational management: The Islamic perspective. African Journal of Business Management, 4, 739-747. Ali, A.J. (2008), ‘Islamic work ethic: A critical review’, Cross Cultural Management: an International Journal, Vol. 18, No.1, pp. 5 -19. Beekun, R. (1997). Islamic business ethics. International Institute of Islamic Thought. Herndon, Va. Branine, Mohamed. (2011). Human Resource Management with Islamic Management Principles: A Dialectic for A Reverse Diffusion In Management. University of Aber tay, Dundee, Scotland. Brodsky, C. M. (1976). The Harassed Worker. Lexington: D.C. Heath and Company. Budd, J. W. and Arvey, R. D. and Lawless, P. (1996). 'Correlates and consequences of workplace violence'. Journal of Occupational Health Psychology Vol 1 p.197-210. Caroline Cintas , Berangere Gosse , Eric Vatteville . 2013. "Religious identity: a new dimension of HRM? A French view". Employee Relations, Vol. 35 Iss: 6, pp.576 – 592. Einarsen, S. - Hoel, H. (1999). Perceptions of sexual harassment: a cross-cultural perspective. Research at Department of Psychological Science, University of Bergen. Equal Employment Opportunity Commission. 2014. Religion-Based Charged 1997-2014. Enforcement and Litigation Statistics. http://www.eeoc.gov/eeoc/statistics/ enforcement/religion.cfm Florkowski GW, Nath R. 1993. MNC responses to the legal environment of international human resource management. Int. J. Hum. Res. Manage. Vol 4 (305-24). Gohar, et al. 2008. Islam and Management Principles: Evidence and Literature. Journal and Managerial Sciences Vol 7 (no 2). Hashim, Junaidah. 2008. The Quran-Based Human Resource Management and its Effects on Organisational Justice, Job Satisfaction and Turnover Intention The Journal of International Management Studies, Vol 3(no 2). Hollinshead, Graham. (2009). Institutional and Comparative Human Resource Management. McGraw-Hill Higher Education. Jackson, Susan E and Schuler. 1995. Understanding Human Resource Management in The Context of Organizations and Their Environments. Anna Rev. Psychol Vol 46 (no 237-6) Razimi, et al. (2014). The Concept of Dimension in Human Resource Management from Islamic Management Perspective. Middle East Journal of Scientific Research Vol 20 (no 9). Seidu, A.M. (2006). Islamic Concept of Employer-Employee Relationships. Islamic Economics Research Centre. King Abdul Aziz University, Jeddad, Saudi Arabia. Tawney, R. H. (1926). Religion and the Rise of Capitalism. New York: Harcourt, Brace and Co Tayeb, M., 1997. Islamic revival in Asia and human resource management. Employee Relations. Vol 19 (no 4).
36
Indikator Nomor 48/Tahun XXX/2016
Indifoto
Sambutan Mentari Rahnata Renaldy Lokasi Kamera Speed ISO Aperture Olah Digital
Menatap, Cepat Renno Abdi P. Lokasi Kamera Speed ISO Aperture Olah Digital
: Stadion Kanjuruhan : Nikon D7000 : 1/50 : 100 : F/5.6 : VSCOcam
: Bromo Tengger Semeru : GoPro HERO4 Silver : 1/538 : 100 : F/2.8 : VSCOcam
The Fading Yellow Dhira D. Arya
Lokasi Kamera Speed ISO Aperture Olah Digital
Merah Zakiah Labibah Lokasi Kamera Speed ISO Aperture Olah Digital
: Museum Bank Indonesia : Canon EOS 1100D : 1/6 : 3200 : F/5.6 :-
:: Sony ILCE-5000 : 1/160 : 250 : F/5 : Adobe Photoshop Lightroom
Melawan Keras Hidup Renno Abdi P. Lokasi Kamera Speed ISO Aperture Olah Digital
: Pasar Besar Malang : Nikon D3200 : 1/80 : 800 : F/5.3 : VSCOcam
Mrene Lho Dolan Renno Abdi P.
Lokasi Kamera Speed ISO Aperture Olah Digital
: Desa Sumber Maron : Nikon D3200 : 1/125 : 250 : F/5.6 : VSCOcam
Ramai Sesak Renno Abdi P. Lokasi Kamera Speed ISO Aperture Olah Digital
The Icon Dhira D. Arya Lokasi Kamera Speed ISO Aperture Olah Digital
: Australia : Canon PowerShot SX500 IS : 1/1000 : 125 : F/5.6 : Adobe Photoshop Lightroom
: Pasar Besar Malang : Nikon D3200 : 1/125 : 800 : F/5 : VSCOcam
Diskusi Ahli Indikator
Telaah Disorientasi
Corporate Social Responsibility di Indonesia
Indikator/Deni
Diskusi Ahli Indikator
“Continuing commitment by business to behave ethically and contribute to economic development while improving the quality of life the workforce and their families as well as of the local community and society at large” - The Word Council For Sustainable Development Indikator/Deni
C
orporate Social Responsibility (CSR) telah menjadi budaya baru bagi dunia bisnis internasional. Hal ini dapat dilihat dari kesadaran perusahaan untuk mengelola bisnisnya dengan ramah lingkungan serta terus berupaya menghasilkan produk yang berkualitas dengan harga yang layak. Sering kita dengar produk-produk Body Shop memiliki reputasi baik dan banyak menjadi pilihan masyarakat. Perusahaan ini dianggap memiliki etika moral yang tinggi karena menghasilkan produk berbahan herbal menggunakan animal testing. Pengembangan lingkungan masyarakat melalui kegiatan pemberdayaan oleh perusahaan juga terus dapat kita lihat sepak terjangnya. Tak terkecuali kiprah Bill Gates dalam memberi bantuan kepada sekolah-sekolah di Afrika untuk bisa memiliki fasilitas pembelajaran menggunakan komputer serta memiliki akses internet.
Corporate Social Responsibility Hendrik Budi Untung, dalam Iqbal (2009) memaparkan bahwa istilah CSR mulai populer setelah Howard Bowen menerbitkan buku Social Responsibility of Businessman pada tahun 1953. Ide dasar yang dikemukakan Bowen adalah kewajiban entitas bisnis menjalankan usahanya agar selaras dengan perkembangan nilai serta tujuan yang ingin dicapai masyarakat tempat perusahaan beroperasi. Bowen menggunakan istilah sejalan dalam konteks ini demi meyakinkan dunia usaha tentang perlunya memiliki visi yang melampaui kepentingan finansial perusahaan1. Dalam perkembangannya, banyak penelitian tentang manfaat CSR bagi perusahaan. Salah satu yang paling terkenal adalah Thomas Jones, pakar ekonomi asal Amerika Serikat. Penelitian Jones mendapati adanya korelasi positif antara peran perusahaan dalam merealisasikan CSR terhadap kinerja keuangannya. Penelitian ini membuka jalan bagi konsep CSR untuk mendapat perhatian serius dari dunia bisnis. Seiring dengan perhatian besar yang diberikan terhadap perkembangan konsep CSR, lahirlah International Organization for Standardization (ISO) 26000 sebagai hasil harmonisasi yang melibatkan berbagai ahli di bidang bisnis, konsumen, buruh, dan universitas dalam proses perumusannya. Mulai 1 November 2010, 93% negara anggota termasuk Indonesia m enyepakati ISO 26000 sebagai panduan internasional perusahaan yang menerapkan good CSR. 1 Muhammad Iqbal, 2009. Pengawasan Implementasi Corporate Social Responsibility (CSR) PT. Inalum terhadap Masyarakat dan Lingkungan Sekitar Perusahaan. Skripsi. Medan: Universitas Sumatra Utara, hlm 24
42
Indikator Nomor 48/Tahun XXX/2016
2 Richard Robinson B. dan John Pearce, 2013, Manajemen Strategis : Formulasi, Implementasi, dan Pengendalian. Salemba Empat. Jakarta (tanya wiwi)
juga aturan tentang ketenagakerjaan, perlindungan konsumen, perpajakan, dan banyak lagi aturan lain yang mengatur kegiatan bisnis di suatu negara. Ethical responsibility, menekankan perusahaan agar berperilaku yang benar dan layak di suatu lingkungan masyarakat. Pada dimensi ini, suatu perusahaan dalam menjalankan bisnisnya dituntut untuk memperhatikan dan menyeimbangkan dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Discresionary responsibility atau kesukarelaan adalah konsep tanggung jawab sosial yang paling tinggi. Pada level ini perusahaan telah berkomitmen untuk memberikan manfaat pada lingkungan dan masyarakat. Meskipun telah diatur oleh perundang-undangan formal yang berlaku di suatu negara, namun secara sukarela perusahaan memiliki kesadaran untuk melampaui regulasi yang ada. Perusahaan berupaya terus mengembangkan tanggung jawab sosialnya untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya pada masyarakat. Archi Carrol, dalam Iqbal (2009) mengemukakan stakeholder theory yang menyatakan bahwa tanggung jawab perusahaan sebetulnya melampaui kepentingan finansial, serta berkaitan erat dengan masyarakat secara keseluruhan yang menentukan eksistensi perusahaan3. Perusahaan dalam merumuskan pihak-pihak yang menjadi penerima CSR-nya menggunakan pendekatan stakeholder theory. Teori ini mengategorikan stakeholder-nya menjadi beberapa ring. P enggolongan ini didasarkan pada kelompok masyarakat yang paling memengaruhi dan dipengaruhi oleh aktivitas perusahaan. Daniel Sugama Stephanus, SE., MM., MSA., AK., CA., dosen Akuntansi Fakultas Ekonomi Uni versitas Ma Chung menjelaskan, “Mereka yang paling terdampak atau
b erpengaruh tergolong pada ring satu yang disebut dengan stakeholder primer. S elanjutnya, yang terdampak atau berpengaruh lebih kecil termasuk ring dua atau stakeholder sekunder,” ujarnya. Bentuk CSR Hendrik Budi Untung, dalam Iqbal (2009) menjelaskan pula dua metode yang umum diterapkan dalam CSR, yaitu cause branding dan venture philanthropy. Cause branding adalah pendekatan top-down, dalam hal ini perusahaan menentukan permasalahan apa yang perlu mereka benahi. Berkebalikan dengan ventura philanthropy yang berpendekatan bottom-up, di sini perusahaan membantu suatu kelompok masyarakat sesuai dengan apa yang mereka kehendaki. Metode cause branding biasanya dilakukan perusahaan dengan mendesain program yang berkaitan dengan branding produk atau yang lainnya. Tujuannya adalah membuat masyarakat lebih akrab dengan m erek dagang, tetapi dalam jangka panjang model ini bermanfaat untuk
Indikator/Wiwanda
Meskipun sampai saat ini masih ada perdebatan mengenai definisi dan ruang lingkup CSR oleh para akademisi dan praktisi. Pada prinsipnya, konsep dasar ISO 26000 memiliki kesamaan dengan teori Carrol yang menggolongkan CSR ke dalam em pat level. Dr. C hristin Susilowati, SE., M.Si., CSRS., dosen Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya ini angkat bicara. “Teori Carrol itu m engilustrasikan CSR seperti piramida yang terdiri dari economic, legal, ethical, dan d iscretionary. Sebuah bisnis paling tidak akan memenuhi CSR pada level economic dan legal, karena itu bukan hanya tanggung jawab tapi telah menjadi kewajiban perusahaan,” tuturnya. Christin juga mencontohkan bahwa economic responsibility itu perusahaan membayar gaji karyawan, sedangkan legal responsibility perseroan harus membayar pajak. Pada tingkatan ethical dan discresionary responsibility, korporasi telah sampai di level komitmen, bukan tanggung jawab lagi. Economic responsibility merupakan tanggung jawab perusahaan yang paling mendasar. Para ekonom memandang bahwa tanggung jawab pertama dan paling utama dari sebuah entitas bisnis adalah menghasilkan kinerja keuangan yang baik serta m enyejahterakan pemegang saham. Pada level ini, R obinson dan Pearce (2013) menjelaskan bahwa economic responsibility perusahaan juga menyangkut kesejahteraan karyawan serta menyediakan barang dan jasa berkualitas dengan harga yang layak. Berikut juga dijelaskan mengenai legal, ethical, serta discresionary responsibility2 . Legal responsibility, mencerminkan kewajiban perseroan untuk mematuhi hukum yang berlaku di suatu negara. Hukum yang dimaksud bukan hanya tanggung jawab untuk ber-CSR tapi
Dr. Christin Susilowati, SE., M.Si., CSRS.
3 Muhammad Iqbal, Op.cit., hlm 26
Indikator Nomor 48/Tahun XXX/2016
43
Diskusi Ahli Indikator
4 Ibid, hlm 27 5 Muhammad Iqbal, loc.cit.
44
keuangan dan potensi risiko yang harus ditanggung oleh perusahaan,” ungkap Dosen F akultas Hukum sekaligus Wakil Rektor II Bidang Administrasi dan Keuangan Universitas Brawijaya. Walaupun besaran anggaran yang harus dialokasikan perseroan telah dimuat di Permen PKBL BUMN, namun mekanisme pengaduan dan s anksi bagi perusahaan yang melanggar aturan maupun yang tidak menjalankan CSR belum diatur secara jelas. Akibat
dok.pribadi
Aplikasi CSR di Indonesia BerdasarkanPasal 74 Nomor 40 Tahun 2007 Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU PT), telah disebutkan mengenai kewajiban perusahaan untuk peduli pada lingkungannya. Khususnya untuk perseroan di bidang atau berkaitan dengan pengolahan sumber daya
alam, telah diwajibkan untuk menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan. UU tersebut telah dirinci oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2012 yang secara khusus mengatur tentang CSR. Namun, aturan ini masih dirasa kurang secara substansial oleh Hayyik Ali Muntaha Mansur, Wakil Koordinator Eksternal Malang C orruption Watch (MCW). “UU yang mengatur CSR di Indonesia ini kurang lengkap.
Istimewa
perusahaan4. Metode cause branding lebih banyak dipilih oleh perusahaan swasta di Indonesia. “Pemerintah dianggap belum memberikan privilege kepada perusahaan yang menjalankan CSR, sehingga perusahaan masih berusaha mencari benefit dari biaya yang mereka keluarkan,” ungkap Christin. Ia juga menambahkan bahwa CSR swasta lebih berorientasi pada kegiatan yang bisa memberikan advantage untuk perusahaan, seperti aktivitas yang ada hubungannya dengan branding atau input proses produksi. Sehingga banyak perusahaan yang menargetkan CSRnya berupa pembangunan f asilitas publik atau membina masyarakat penyuplai bahan baku industrinya. Dipaparkan juga oleh Hendrik Budi Untung, dalam Iqbal (2009) bahwa metode venture philanthropy menjelaskan peran perusahaan untuk membantu masyarakat agar mampu menjadi bagian dalam memecahkan masalah serta menciptakan sendiri sumber penghidupan baru5. Metode inilah yang lebih dekat dengan praktik CSR oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Indonesia. Mengacu pada Peraturan Menteri (Permen) BUMN Nomor 9 Tahun 2015, tujuan pendirian BUMN mengemban fungsi sosial disamping memperoleh profit. BUMN dituntut untuk memiliki tanggung jawab sosial yang tinggi dalam memberdayakan masyarakat serta menjaga kelestarian lingkungan dalam bentuk Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL).
Daniel Sugama S. SE., MM., MSA., AK. CA.
Karena aturan itu hanya mewajibkan perusahaan untuk melakukan CSR. Tapi besaran dana yang harus dikeluarkan, penyalurannya, mekanisme pengaduan, serta sanksi bagi yang melanggar itu belum ada,” jelasnya. Besaran dana yang harus dikeluarkan perusahaan, belum diatur dalam perundang-undangan tersebut. Hal ini sering kali disalahgunakan perusahaan untuk mengeluarkan dana CSR di bawah kepatutan dan kewajaran yang dituliskan dalam aturan tersebut. Dr. Sihabudin, SH., MH., mencoba menafsirkan, “Kepatutan dan kewajaran tersebut dapat diartikan sebagai kebijakan perseroan yang disesuaikan dengan kemampuan
Hayyik Ali Muntaha Mansur
dari aturan yang longgar tersebut, banyak perusahaan yang mengelak dari kewajibannya menjalankan CSR. Hayyik menambahkan bahwa perusahaan yang tidak memiliki kepentingan secara langsung dengan pelaksanaan CSR, cenderung tidak menjalankannya. Dewasa ini berkembang tren CSR yang dijadikan sebagai alat untuk membangun image perusahaan. Reputasi menjadi konsekuensi logis ketika perusahaan melakukan CSR. Tak dapat dipungkiri, brand yang didapat dalam CSR ini mampu mendongkrak penjualan produk. Seperti yang diterangkan oleh Daniel, “Hampir semua perusahaan melakukan branding. Paling tidak perusahaan melakukan sebuah publisitas bahwa telah ber-CSR, entah itu di
Indikator Nomor 48/Tahun XXX/2016
website atau media-media lain,” ungkapnya. Memasang logo atau bahkan merek dagang menjadi cara mudah dalam mengomunikasikan bahwa CSR tersebut adalah pemberian suatu perusahaan tertentu. CSR sebagai Pemberi Competitive Advantage Dunia bisnis di Indonesia masih memandang CSR sebagai bagian dari biaya atau tindakan reaktif untuk
d ifferentiation. Di tengah persaingan pasar yang kian kompetitif, CSR dapat memberikan citra perusahaan yang khas, baik, serta etis di mata publik. Citra ini pada gilirannya akan menciptakan customer loyalty. Christin memberikan contoh pada perusahaan air mineral dalam kemasan yang sangat terkenal di Indonesia. Perusahaan tersebut pada awalnya melakukan inovasi dalam hal kualitas produk serta kemasan. Namun ketika produk
dok.pribadi
Indikator/Wiwanda
Dr. Sihabudin, SH., MH.
Prof. Dr. Mustain Mashud, Msi.
mengantisipasi penolakan masyarakat. Perusahaan berupaya mengangkat status CSR lebih tinggi dengan menjadikanya bagian dari brand building dan corporate image. Entitas bisnis terus berusaha menjadikan CSR sebagai bagian dari perencanaan strategis mereka dalam upayanya menambah nilai positif perusahaan di mata publik. “CSR memang harus berstrategi agar mampu membentuk brand image perusahaan, jadi apa yang kita keluarkan itu tidak hanya memberikan manfaat untuk masyarakat tapi ada feedback untuk kita juga,” papar Christin yang juga merupakan konsultan CSR profesional. Hal lain yang coba didapat melalui aktivitas CSR adalah brand
ereka telah sampai pada titik jenuh m dalam hal inovasi, caring kepada lingkungan lah yang digunakan untuk tetap mendapatkan competitive advantage. Perseroan yang menjalankan CSR dapat mendorong pemerintah dan publik memberi lisence to operate bisnis mereka. Perusahaan juga dianggap telah memenuhi standar operasi serta kepedulian terhadap lingkungan dan masyarakat luas. Seperti yang dijelaskan oleh Christin, “Sebelum mendirikan pabrik di wilayah tertentu, perusahaan harus menjalin hubungan baik dulu dengan masyarakat sekitar, karena akan mengamankan investasi,” imbuhnya. Korporasi biasanya membangun fasilitas publik
serta infrastruktur terlebih dahulu untuk mengamankan bisnis mereka dari komplain masyarakat sekitar lokasi perusahaan berdiri. Mengembangkan program CSR yang berkelanjutan dan berkaitan dengan bidang usaha menjadi kon sekuensi mekanisme pasar. Oleh karena itu, CSR masih dimaknai se bagai pengaman supply chain perusahaan. Christin mengungkapkan bahwa praktik ini dapat dilihat pada industri pengolahan susu kemasan. Perusahaan lebih memilih membina peternak sapi daripada masyarakat secara umum dalam pemberian CSR-nya. Selain memenuhi tanggung jawab ber-CSR, mereka juga memiliki maksud untuk mengamankan suplai pasokan bahan baku industrinya. Muncul pandangan berbeda mengenai praktik CSR yang berorientasi menciptakan competitive advantage. Hal ini disampaikan oleh Abdul Kodir S.Sosio., M.Sosio., dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Negeri Malang. “CSR yang sebenarnya itu bersemangatkan komitmen yang baik dari suatu entitas bisnis, namun dalam praktiknya menjadi alat mujarab untuk melakukan branding perusahaan,” kritiknya pada penyimpangan orientasi CSR. CSR sejatinya merupakan komitmen moral perusahaan untuk peduli pada lingkungan sosial, kerap kali dipahami berbeda saat ini. Dalam UU PT beserta semua aturan yang melengkapinya, jelas menekankan bahwa CSR seharusnya berlandaskan pada sustainibility development. Pembangunan berkelanjutan yang menjadi semangat CSR, sering kali dinafikan menjadi aktivitas yang bersifat charity. Daniel berpandangan bahwa CSR tidak bisa dipisahkan dengan konsep triple bottom line, di mana perusahaan tidak hanya leading profit, tapi juga melakukan environmental conservation dan
Indikator Nomor 48/Tahun XXX/2016
45
Diskusi Ahli Indikator social development. S ehingga CSR korporasi dapat terbebas dari kepentingan apapun selain pembangunan berkelanjutan. Penyertaan logo yang berlebih menjadi indikasi utama bahwa aktivitas CSR yang dilakukan lekat dengan upaya untuk mengangkat brand image perusahan. Pandangan tersebut muncul dari Hayyik, menurutnya aplikasi CSR yang selama ini dilakukan perusahaan, khususnya di Malang, tak ubahnya sebagai proses marketing. “Perusahaan membangun fasilitas publik dengan dalih kepedulian lingkungan, tapi pada ujungnya mereka mem-branding CSR itu dengan logo mereka,” tegasnya. Bentuk lain dari CSR yang tak kalah populer adalah dengan m engusung konsep kepedulian konsumen. Bagi konsumen yang membeli produk perusahaan, sama dengan telah ikut peduli dan menyumbang untuk pembangunan fasilitas publik di daerah terpencil. Seperti yang dikatakan oleh Daniel, “Semangat CSR sekarang ini sudah bergeser dari komitmen ke asal tanggung jawab. Orang bukan lagi disentuh pada pemikirannya, tapi pada kesadaran untuk turut memiliki kepedulian yang pada akhirnya digiring untuk membeli produk mereka,” keluhnya. Praktik CSR seperti ini bukan hanya diselewengkan dengan berorientasi untuk mengangkat corporate image tapi justru sarat akan muatan promosi. Sanggahan juga muncul mengenai CSR yang diorientasikan sebagai pengaman pasokan bagi perusahaan. Masyarakat yang berhak menerima CSR adalah pihak yang secara langsung memengaruhi dan dipengaruhi aktivitas perusahaan. “Biasanya itu tokoh masyarakat serta pemuka agama yang menjadi fokus utama CSR perusahaan karena dianggap memiliki pengaruh besar di lingkunganya,” jelas D aniel yang juga pemerhati CSR Kota Malang. Ketika perusahaan memandang CSR sebagai
46
pengaman rantai pasokan, mereka cenderung memilih stakeholder yang mampu mengamankan bisnisnya. Alokasi Anggaran CSR Tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana yang di maksud oleh UU PT, mengamanatkan bahwa CSR merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perusahaan. Semua dana CSR dianggap biaya perusahaan yang dianggarkan sebagai bagian dari biaya operasi bisnis pada awal tahun penyusunan rencana kerja. Harus diakui bahwa perusahaan di Indonesia telah turut serta dalam membangun dan mengembangkan masyarakat untuk menjadi lebih mandiri. Bagi BUMN, dana yang harus dialokasikan untuk PKBL, telah ditentukan sebesar 2% dari laba. Christin menegaskan mengenai alokasi anggaran PKBL. “Untuk BUMN, dana PKBL mereka termasuk ke dalam biaya perusahaan. Jadi, sudah ada biaya-biaya yang disediakan untuk PKBL perusahaan,” jelasnya. Dana tersebut telah dianggarkan pada awal periode penyusunan rencana kerja. Sehingga, bagaimana pun kinerja BUMN pada tahun itu, mereka harus mengeluarkan dananya sesuai rencana kerja yang telah disepakati. Meski aturan untuk korporasi swasta tidak dijelaskan secara rinci mengenai besaran dana yang harus dikeluarkan, perusahaan-perusahaan ini tetap menjalankan CSR-nya. “Bagaimana pun dunia usaha telah berpartisipasi dalam pengembangan masyarakat dan dana CSR dari perusahaan itu luar biasa dampaknya kalau dikelola dengan baik,” ungkap Prof. Dr. Mustain Mashud, MSi. selaku Guru Besar Sosiologi Pembangunan Universitas Airlangga. Kenyataannya pada beberapa perseroan, dana untuk CSR disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan sebagai manajemen risiko maupun kepentingan
reputasi. Bahkan dalam beberapa kasus, dana CSR merupakan bagian dari biaya marketing perusahaan. “Ketika masyarakat di sekitar perusahaan ingin mengadakan kegiatan atau melakukan pembangunan sesuatu, maka diambilkan dari dana marketing sebagai dana CSR perusahaan,” ungkap Hayyik. Konsekuensi saat biaya CSR merupakan bagian dari dana marketing, seolah ada kewajiban bagi penerima, paling tidak mencantumkan logo atau menyebutkan nama perusahaan dalam aktivitasnya. Hal ini juga dipandang efisien bagi perusahaan, karena satu biaya untuk dua benefit, yaitu kewajiban menjalankan CSR serta branding perusahaan. Kewajiban perusahaan menjadikan dana CSR sebagai biaya perusahaan juga dapat diselewengkan. Aktivitas yang bahkan tidak berkaitan dengan CSR, bisa dimasukkan ke dalamnya dengan tujuan untuk mengurangi pajak. Seperti yang diungkapkan oleh Daniel, “Di sini memunculkan masalah karena dana CSR tidak menjadi objek pajak, perusahaan berupaya memasukkan pos-pos yang sebenarnya di luar kepentingan CSR dengan tujuan untuk mengurangi pajak perusahaan,” selisiknya. CSR BUMN dalam Bentuk Program Kemitraan Tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungannya menjadi berbeda apabila perusahaan itu berbentuk BUMN. Mengacu pada Permen BUMN Nomor 9 Tahun 2015, selain memperoleh keuntungan, BUMN juga memiliki fungsi sosial berupa kewajiban untuk melakukan pembinaan serta memberikan manfaat kepada masyarakat. Pembinaan kepada masyarakat oleh BUMN dijabarkan melalui pelaksanaan program kemitraan yang diberikan kepada usaha kecil dalam bentuk kredit mikro. Program ini bertujuan
Indikator Nomor 48/Tahun XXX/2016
menanggapi pernyataan tersebut, “Program kemitraan dengan bentuk kredit mikro ini kadang disalahpahami oleh BUMN. Karena mereka tahunya keberhasilan program k emitraan adalah dari tingkat pengembalian usaha binaan, akhirnya mereka secara terselubung mensyaratkan adanya agunan. Tujuanya agar UMKM itu mengembalikan kreditnya sesuai perjanjian,” t ukasnya. Dalam Permen Pasal 25 Nomor 7 Tahun 2015, menyebutkan bahwa kinerja program kemitraan merupakan indikator kinerja kunci direksi dan komisaris pengawas usaha binaan. Berdasarkan poin tersebut, ukuran keberhasilan BUMN dalam menjalankan program kemitraan dapat dilihat dari tingkat pengembalian dananya oleh usaha binaan. Walaupun tujuannya untuk digulirkan kembali pada usaha lain, secara tidak langsung akan mendorong BUMN membebankan agunan pada pemberian program kemitraan mereka. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan kepastian bahwa dana yang diberikan akan kembali. Senada dengan pendapat Daniel, Hayyik menuturkan bahwa CSR yang merupakan bentuk tanggung jawab perusahaan terhadap masyarakat, harusnya dipandang murni sebagai b alas budi atas apa yang telah perusahaan peroleh dari lingkungannya. Layaknya sebuah komitmen, saat BUMN memberdayakan lingkungannya, perusahaan dan masyarakat akan bertumbuh dengan sehat secara ekonomi. “Jadi nggak ada bedanya dong program kemitraan itu dengan konsep lembaga perkreditan yang lain. Harusnya UMKM ini tidak dituntut untuk mengembalikan, cukup dibina proses pertanggungjawabannya saja,” tambahnya.
dok.pribadi
eningkatkan kemampuan usaha kem cil agar menjadi tangguh dan mandiri melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN. Keunggulan utama program kemitraan adalah mampu menjangkau Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang nonbank able atau belum mampu memenuhi persyaratan yang diwajibkan perbankan. Bunga yang dibebankan juga tergolong rendah yaitu sebesar 6%. dikarenakan bentuknya kredit dan sifatnya yang berupa dana bergulir, UMKM penerima program kemitraan BUMN berkewajiban untuk mengembalikan dananya agar dapat digulirkan kembali kepada usaha lain. Program kemitraan juga ditujukan untuk mendorong BUMN melakukan pembinaan. Sehingga bantuan yang diberikan bukan hanya permodalan, tapi juga memberikan pendampingan guna meningkatkan kapasitas UMKM dalam mengelola bisnisnya. Christin memaparkan, “Program kemitraan itu harus dikembalikan. Karena jika bantuannya charity, maka BUMN tidak memiliki kewajiban untuk membina. Ketika program kemitraan itu wajib dikembalikan, maka BUMN pemberi program kemitraan akan tertuntut untuk memberikan pembinaan,” jelas dosen yang kerap menjadi pembicara dan pembina UMKM di kota Malang. Hal lain yang coba dibangun oleh program ini adalah mentalitas UMKM untuk bertanggung jawab atas bantuan yang mereka terima. Saat diberikan kredit dan dikenakan bunga, UMKM akan bekerja keras supaya mampu mengembalikan pokok dan bunganya. “Tujuan program kemitraan itu untuk melatih UMKM bertanggung jawab mengembalikan pinjaman serta bekerja keras supaya dapat untung lebih dari bunganya,” ungkap Dr. Erwin Saraswati, Ak., CPMA., CSRA., dosen Akuntansi FEB UB yang juga accesor CSR di Malang. Kritik pedas disuarakan oleh Daniel
Dr. Erwin Saraswati, Ak., CPMA., CSRA.
p emberdayaan masyarakat oleh dunia usaha. Hal ini jelas memberi dampak positif bagi masyarakat dan negara. Maka sudah seharusnya potensi ini dikelola dengan baik oleh pemerintah dengan menyediakan aturan main yang jelas. Pemerintah juga dituntut untuk lebih aktif dalam menjembatani keinginan perusahaan untuk melakukan CSR sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Tujuannya adalah untuk mempermudah korporasi dalam menyusun konsep CSR mereka. Kematangan konsep dan aplikasi yang konsisten akan menjadi pendorong pelestarian lingkungan serta kemandirian masyarakat. Hal itu hanya bisa terjadi ketika perusahaan memiliki komitmen untuk memenuhi filosofi CSR yang berlandaskan pembangunan berkelanjutan. Saat perilaku branding hampir tidak bisa dilepaskan dari aktivitas CSR, setidaknya perusahaan juga harus memiliki kesadaran untuk mengoptimalkan tanggung jawab mereka agar sebesar-besarnya dimanfaatkan demi kemakmuran rakyat.
Konsistensi pada Pembangunan Berkelanjutan Menjamurnya praktik CSR tentu menambah semarak upaya
Indikator Nomor 48/Tahun XXX/2016
Wiwanda Agus W.
47
Multiplier Dampak Kebijakan Liberalisasi Sektor Pangan
Terhadap Ketahanan Pangan Dunia
I dok.pribadi
Ajeng Kartika Galuh, SE., ME. Learn from yesterday, live for today, hope for tomorrow menjadi moto hidup wanita kelahiran Ciamis, 21 Desember 1985 ini. Salah satu dosen Jurusan Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijawa ini memiliki hobi membaca.
48
su bencana kelaparan dan malnutrisi selalu menyedot perhatian dunia. Selain papan dan sandang, pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang wajib dipenuhi oleh negara untuk rakyatnya. Ketahanan pangan merupakan aspek vital dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat, sekalipun suatu negara tidak berbasis pertanian. Menurut Food and Agriculture Organization (FAO) pada 1996 terdapat sekitar 800 juta penduduk dunia yang menderita kurang pangan, diantaranya 200 juta balita menderita malnutrisi. Salah satu penyebab kelaparan disinyalir karena tidak meratanya distribusi pangan dunia. Maka, lembaga World Trade Organization (WTO) melalui aturan di bidang pertanian yaitu Agreement on Agriculture (AOA) dan Trade Related Aspects on Intellectual Property Rights (TRIPs) berupaya menerapkan l iberalisme perdagangan komoditas pangan dunia yang antiproteksi guna k elancaran arus pangan dunia. Kehadiran WTO memberi harapan bagi banyak negara untuk menikmati transaksi perdagangan internasional antiproteksi dalam sistem yang adil, karena adanya aturan main yang jelas. Satu dekade penerapan program perdagangan bebas di sektor pangan tidak membuahkan hasil yang menggembirakan. Kenyataannya, pada 2006 angka kelaparan meningkat hingga 920 juta orang. Bahkan pada tahun 2009, angka kelaparan mencapai 1,02 miliar orang (FAO newsroom, 2011). Penderita kelaparan dunia 60% berada di Asia dan Pasifik, 24% di negara-negara Sub-Sahara dan Afrika, serta 6% berada di Amerika Latin dan Karibia. Indonesia sebagai salah satu negara anggota WTO pun belum mampu bangkit dari keterpurukan bencana kelaparan. The Jakarta Post (26 Mei 2005), mengabarkan sekitar 332 orang menderita kekurangan gizi di Lombok. Padahal Thamrin Rayes, Wakil Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) pada saat itu mengumumkan, bahwa NTB mengalami surplus produksi padi dan menjualnya ke provinsi lain. Pada 20 Juni 2005, The Jakarta Post kembali memuat berita mengenai 32 anak di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) meninggal karena kekurangan gizi. Angka ini tiga kali lipat dari yang dilaporkan Dinas Kesehatan setempat. Kekurangan gizi mencakup maramus (kekurangan karbohidrat) dan kwasiorkor (kekurangan protein) atau gabungan dari keduanya. Kondisi ini umumnya terjadi di negara-negara miskin Afrika. Lebih ironis lagi, terdapat 13 kasus gizi buruk melanda Jakarta, sementara itu 8.450 anak lain mengalami rawan gizi buruk. Jakarta adalah ibu kota negara yang mendapatkan porsi pembangunan terbesar, dengan 75% uang beredar di kawasan ini (The Jakarta Post, 17 Juni 2005). Begitu juga halnya di Sumatera Barat, 54.000 anak dilaporkan menderita gizi buruk. Masyarakat di sana
Indikator Nomor 48/Tahun XXX/2016
engonsumsi beras pecah butir berm mutu rendah dari Vietnam, sementara beras Solok dan Nundam yang wangi nan tersohor dijual ke Medan, Batam, bahkan Malaysia. Sedangkan rakyat miskin Indonesia terus bertahan untuk hidup di tengah himpitan ekonomi karena tidak mampu membeli bahan pangan. Banyak di antara mereka harus berutang, mengganti pola makan agar hemat, bahkan ada yang bunuh diri. Salah satu kasus bunuh diri terjadi pada Januari 2011, yaitu suami istri Maksum (35) dan Rohani (33) d engan tiga orang anak yang berprofesi sebagai buruh kebun tebu di Cirebon dengan penghasilan hanya Rp 25.000,- per hari. Peristiwa selanjutnya adalah kasus kematian enam orang bersaudara yang keracunan tiwul karena keluarga mereka tidak mampu membeli beras. Peristiwa tersebut bersamaan dengan pernyataan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Januari, 2011) yang mengumumkan berbagai keberhasilan pertumbuhan ekonomi Indonesia (www.indoprogress.com). Fenomena kelaparan juga diungkap United Nations Development Programme (2010), bahwa 80% penderita kelaparan di dunia adalah rakyat pedesaan, yang separuh diantaranya adalah petani kecil. Sejak 1996, k risis panjang di sektor pertanian telah mendorong 200 ribu petani kecil India bunuh diri. Pada November 2005, kembali dikabarkan dua petani (padi) Korea Selatan berunjuk rasa dengan melakukan bunuh diri. Info terbaru yang dilansir www. kompas.com berdasarkan penelitian FAO yang dirilis Mei 2015, di Asia Tenggara masih terdapat sekitar 60 juta orang menderita kelaparan dan sepertiga dari jumlah tersebut atau sekitar 19,4 juta orang penderita kelaparan ada di Indonesia (30/5/2015). Sebagian besar penduduk Indonesia yang menderita kelaparan berada di wilayah Timur seperti Papua, NTT,
NTB, dan Maluku. Lalu timbullah pertanyaan besar, mengapa kebijakan perdagangan bebas sektor pangan dan pertanian guna pemerataan distribusi pangan dunia semakin memperburuk kondisi krisis pangan dan kelaparan dunia? Padahal di saat bersamaan produksi pangan dunia mengalami peningkatan. Hasil produksi gandum dunia mengalami peningkatan hingga 9,34 juta ton antara tahun 2006 dan 2007. Produksi gula dunia juga meningkat sebesar 4,44 juta ton sepanjang tahun 2007. Bahkan produksi jagung dunia pada tahun 2007/2008 mencapai rekor produksi 792,3 juta ton atau meningkat 80,1 juta ton. Hanya komoditas kedelai yang mengalami penurunan produksi sebesar 17% akibat adanya penyusutan lahan di Amerika Serikat sebesar 15% untuk digunakan sebagai proyek agrofuel (Ya’kub, 2008). Peningkatan beberapa produksi pangan ternyata juga diikuti oleh kenaikan harga komoditas pangan dunia sebagai awal terjadinya krisis pangan. Pada tahun 2008, FAO merilis data indeks harga pangan dunia meningkat sebesar 84% antara 2002-2008. Kenaikan drastis terjadi pada komoditi gandum sebesar 314% dan kedelai sebesar 87%. Harga beras melonjak 74% dan jagung sebesar 31%. Lonjakan harga pangan dunia tak pelak semakin mengancam negara-negara pengimpor pangan dan makin tak terjangkau oleh daya beli negara miskin. Hingga saat ini, Indonesia masih harus mengimpor kedelai sekitar 70-80% total kebutuhan kedelai nasional, 100% kebutuhan gandum nasional, jagung, dan beras sebesar 1 juta ton per tahun. Indonesia juga mengimpor pangan lainnya, seperti gula, susu, hingga daging. Fenomena di Sektor Pangan Menurut
Balik
Liberalisasi
Gimenez-Peabody
(2008), ketergantungan pangan sesegera mungkin tercipta seiring dengan terbukanya pasar komoditas pangan global di negara-negara berkembang sebelum mereka mampu membangun industri pertanian da lam negeri. S elain itu, pemberlakuan perdagangan bebas sektor pangan disertai dengan kesepakatan antara Internasional Monetary Fund (IMF) dan pemerintah negara berkembang untuk membuat kebijakan penghapusan dan atau pengurangan subsidi bagi petani, penurunan tarif impor komoditas pangan dan deregulasi pemerintah terhadap harga dan stok pangan domestik. Dengan kata lain, petani harus bersaing dengan masuknya pangan impor dan makin terancam dengan penghapusan bertahap subsidi domestik bagi petani. Menjadi tidak adil, ketika petani negara berkembang sangat minimal dengan fasilitas subsidi, mempunyai lahan yang terbatas, dengan cara pertanian yang tradisional dan subsisten. Sementara, petani negara-negara maju menikmati subsidi melimpah dan bea masuk atas impor tinggi, menggunakan teknologi maju dan diproduksi melalui lahan-lahan yang luas (sektor pertanian yang dikembangkan dengan tujuan komersial). Perlu menjadi catatan, beberapa negara maju adalah penganjur utama perdagangan bebas hasil-hasil pertanian pangan. Hingga situasi ini pun menciptakan monopoli perusahaan multinasional terhadap sistem produksi dan distribusi pangan dunia yang membuat lonjakan harga pangan d unia. Krisis pangan dunia niscaya berkaitan erat dengan ketergantungan negaranegara berkembang terhadap pangan impor yang berasal dari perusahaan multinasional di negara maju. Keterlibatan perusahaan multinasional di sektor pangan berawal dari ketertarikan pelaku pasar keuangan pada produk derivatif komoditas pangan di pasar keuangan. Kepopuleran produk derivatif tersebut
Indikator Nomor 48/Tahun XXX/2016
49
Multiplier meningkat pasca peristiwa subprime mortage yang menyebabkan Lehman Brothers bangkrut dan krisis finansial Amerika Serikat (AS). Pelaku industri jasa keuangan memperdagangkan komoditas derivatif yang melibatkan 25 perbankan di AS. Pada tahun 2009, bank terbesar AS menguasai $28 triliun perdagangan derivatif. Di Eropa, pedagang komoditas derivatif utama adalah Credit Suisse, Deutsche Bank, HSBC, dan Rabo Bank. Perdagangan komoditas derivatif di pasar uang melibatkan perusahaanperusahaan agribisnis multinasional, seperti Cargill, ADM, dan Bunge. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) (2012), menyebutkan jumlah kontrak komoditas derivatif melonjak 500% antara 2002-2008. Ditengarai spekulan mendominasi kontrak komoditi, di antaranya jagung sebesar 65%, kedelai 68%, dan gandum 80%. Transaksi tersebut meningkatkan laba perusahaan investasi rata-rata antara 67% hingga 86%. Lonjakan laba juga dinikmati oleh perusahaan distributor multinasional seperti Tesco, Carrefour, dan Walmart. Perusahaan-perusahaan agribisnis seperti Cargill dan M onsanto masing-masing mengalami lonjakan laba 60% dan 45%. Maraknya spekulasi k omoditas pangan oleh bankir dan lembaga pendanaan investasi perlu disikapi secara serius melalui regulasi untuk membatasi transaksi kontrak berjangka komoditas pangan, pengetatan aturan disertai transparansi pasar derivatif komoditas pangan. Upaya-upaya tersebut untuk menutup celah bagi para s pekulan pemburu laba dan m enghilangkan dominasi segelintir pelaku pasar komoditas pertanian pada negara maju di wilayah produksi maupun wilayah perdagangan, sehingga tidak terjadi lonjakan harga pangan dan bencana kelaparan dunia dapat diminimalkan.
50
Pembaruan Sistem Pangan Dunia: Sebuah Upaya Perwujudan Kedaulatan Pangan Pasar bebas di berbagai sektor ekonomi, khususnya sektor pangan dan pertanian tidaklah membantu efisiensi alokasi sumber daya p angan dan meningkatkan kesejahteraan petani. Bahkan secara nyata makin menjerumuskan negara miskin ke dalam bencana kelaparan, jebakan utang akibat defisit neraca pembayaran (guna impor pangan), ketergantungan, dan kemerosotan peri kehidupan sosial. Dalam Briefing Paper oleh Koalisi Anti Utang (KAU), Serikat Petani Indonesia, dan WALHI (2012) mengungkapkan perlunya mengembalikan kedaulatan dan kontrol pangan ke tangan seluruh rakyat, khususnya negara-negara berkembang. Upaya mewujudkan kedaulatan pangan me merlukan perombakan tatanan atau sistem pertanian global, dalam lingkup tata produksi, tata alokasi, dan tata niaga pangan. Pertama, perombakan tata p roduksi pertanian global yang oligopolis dan neokolonialis menjadi demokratis penuh kedaulatan akan alat-alat produksi pertanian (tanah, benih, pupuk, mesin, pembasmi hama). Pertanian rakyat berorientasi keswadayaan untuk mengikis habis ketergantungan pada produk impor Multinasional Corporation (MNC) dan negara maju. Semangat keswadayaan terwujud melalui penguatan kelembagaan s erikat-serikat petani yang berbasis kekeluargaan, pola pertanian terpadu dan organik. Sistem pertanian swadaya bertujuan mempersempit gerak korporasi global dalam eksploitasi sumber daya alam, penguasaan pasar, dan intervensi kebijakan pertanian pangan di negara berkembang. Kedua, perombakan tata alokasi pertanian global yang saat ini bertumpu pada mekanisme pasar dan berorientasi
pada komodifikasi, menjadi pertanian untuk pemenuhan kebutuhan dan hak pangan semua orang. Lembaga negara menjamin cukupnya ketersediaan pangan nasional atau ketahanan pangan. Produksi pangan dalam negeri guna pemenuhan kebutuhan pangan dalam negeri dan negara lain yang k ekurangan. Peran pemerintah mutlak dibutuhkan untuk memastikan p emerataan alokasi pangan, hal yang tidak mampu dilakukan oleh pasar. Dengan begitu, jaminan bahwa semua warga negara dan dunia terbebas dari kelaparan, kekurangan, dan ketergantungan pangan impor. Ketiga, perombakan tata niaga pertanian global yang saat ini bertumpu pada perdagangan bebas (free trade), di mana korporasi, lembaga keuangan global, dan negara maju sebagai aktor utama penentu harga k omoditas pangan dunia menjadikannya perdagangan yang adil (fair trade) dengan menjunjung tinggi solidaritas, kebersamaan, dan kedaulatan nasional. Perombakan tata produksi dan alokasi akan membawa dampak tata niaga pertanian global serta harga pangan global dapat ditentukan secara adil, terbuka, wajar, sesuai biaya produksi, dan di bawah n egara produsen maupun n egara tujuan. Maka, tata produksi, a lokasi, dan niaga pangan tidak perlu lagi lewat perantara pasar yang dikuasai oleh pemodal dan spekulan pemburu rente dari transaksi internasional. Aturan dunia baru mengenai kebijakan pangan adalah menjamin negara di dunia, khususnya negara berkembang untuk mengatur produksi, alokasi, dan harga pangannya secara mandiri dan terbebas dari spekulasi. Penerapan kebijakan pangan dunia haruslah berlandaskan pada kesetaraan, solidaritas, dan kedaulatan pangan nasional.
Indikator Nomor 48/Tahun XXX/2016
Ajeng Kartika G.
Resensi
Lampaui Batas, Kunci Kreativitas “Kreatif itu berbeda, kreatif itu membalikkan cara pandang, dan kreatif itu butuh niat kuat” – Wahyu Aditya
W
ahyu Aditya adalah s eorang animator muda, pintar, dan kreatif yang telah berhasil membuka gerbang animasi di Indonesia. Berawal dari hobi m enggambarnya, pria yang akrab disapa Wadit ini mulai menekuni bidang animasi dan desain. Berangkat dari kondisi dunia animasi Indonesia yang masih tertinggal, memicunya untuk fokus pada pengembangan keterampilan di bidang animasi dan desain. Keseriu san dalam dunia animasi dan desain mendorongnya untuk meneruskan jenjang pendidikan di KvB Institute of Technology Sydney, Australia Jurusan Interactive Multimedia. Di sana ia mendalami bidang animasi dan desain yang kemudian membuatnya mendapatkan predikat sebagai Best Student. Menjadi finalis Asian Film Festival yang diselenggarakan di Korea Selatan juga merupakan salah satu pencapaiannya di bidang animasi.
rit
tor/Fa
Indika
Judul : Sila ke-6: Kreatif Sampai Mati Penulis : Wahyu Aditya Penerbit : Bentang Pustaka Tebal : 320 Halaman
Dedikasi Wadit dalam dunia animasi ia tunjukkan dengan mendirikan sebuah kursus animasi dan desain yang diberi nama Hello Motion Academy pada tahun 2004. Ia juga menciptakan salah satu festival pop kultur terbesar di Indonesia yang diberi nama HelloFest. Setiap tahunnya festival ini dapat menarik lebih dari 20.000 penonton muda dan profesional dalam satu malam. Pria yang mengaku sebagai aktivis di dunia animasi dan desain ini turut menuangkan pemikiran kreatifnya pada sebuah tulisan. Dia menulis sebuah buku berjudul Sila ke-6: Kreatif Sampai Mati yang bercerita tentang cara menumbuhkan kreativitas pada diri manusia. Selain itu, buku ini ingin memengaruhi pembaca untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran kreatif sekaligus menerapkannya dalam tindakan nyata. Buku ini mencoba membongkar teka-teki tentang cara memunculkan kekuatan kreatif di dalam diri manusia. Berbagai studi kasus yang ditampilkan berisi tentang bagaimana seseorang dapat merangkul dan memanipulasi keterbatasannya, sehingga dapat menjadi sesuatu yang unik dan kreatif. Gaya penulisan secara acak menjadi salah satu kelemahan dalam buku ini. Pembahasan yang berbeda serta tidak adanya korelasi antara bab satu dengan bab lainnya kerap kali membingungkan pembaca. Namun, hal tersebut dapat diantisipasi oleh penulis dengan mengemas buku ini dalam bentuk scrap book. Hal itu merupakan seni m enempel foto atau
gambar dalam media kertas dan menghiasnya hingga menjadi karya yang kreatif. Pemilihan kalimat yang ringan serta adanya ilustrasi pada s etiap halaman mempermudah pembaca dalam memahami isi setiap babnya. Pada buku ini, penulis menyediakan tempat bagi pembaca untuk membuat cover sesuai dengan kreativitasnya. Akan tetapi pemilihan jenis kertas yang bertekstur licin membuat pengguna pensil warna dan krayon tidak bisa maksimal jika ingin menggambar dan mewarnainya. Walaupun judul dari buku ini kreatif sampai mati, tetapi buku ini tidak hanya membahas tentang definisi kreatif saja. Buku ini membahas bagaimana mengubah pola pikir tentang kreativitas dan membuatnya menjadi hal yang mudah. Jenis buku seperti ini cocok untuk pembaca yang lebih menyukai tulisan bergambar. Buku ini memiliki banyak pembahasan yang menarik di se tiap bagiannya. Salah satu babnya memaparkan tentang hambatan pada proses kreativitas, berimajinasi dan hal menarik lain yang disertai ilustrasi unik. Berbagai pembahasan yang ada bertujuan untuk merangsang pembaca dalam membuka gerbang kreativitas. Bagian penting dalam buku ini adalah tidak harus menjadi seorang seniman untuk menjadi orang yang kreatif, cukup temukan duniamu dan lakukan hal yang membuatmu nyaman.
Indikator Nomor 48/Tahun XXX/2016
Farit Bagus T. C.
51
Sosok
Ekspresikan Diri
Gema Prestasi
Indikator/Monic
Lewat
Nama Panggilan TTL Hobi
: Rieka Aprilia Hermansyah : Rieka : Tegal, 12 April 1992 : Berenang, Modeling, Jalan-jalan
S
eorang gadis bertubuh tinggi semampai berjalan ke arah gazebo Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB). Ia adalah Rieka Aprilia Hermansyah, seorang mahasiswi Jurusan Manajemen FEB UB. Gadis berkerudung ini sama seperti orang pada umumnya. Tetapi ketika melihatnya menggerakkan tangan untuk menunjukkan isyarat, orang akan sadar bahwa ia adalah seorang penyandang tunarungu/tuli. Meskipun begitu, keadaan tersebut tidak m enghalangi Rieka untuk berkegiatan seperti biasa. Rieka menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi dalam kesehariannya. Sayangnya, tidak semua orang mengerti akan hal itu, sehingga ia pun merasa sukar dalam berkomunikasi. Melalui bahasa isyarat yang diterjemahkan pendamping dari Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD) UB, Rieka menjelaskan pengalamannya. “Ini kampus inklusif, sedangkan dari dulu saya di Sekolah Luar Biasa (SLB). Makanya untuk komunikasi sering kali tidak nyambung,” ungkap gadis kelahiran tahun ’92 ini. Ia pun mengajari teman-teman hearing bahasa isyarat sehingga lama kelamaan mereka bisa menyesuaikan dengan dirinya. Sedangkan saat di kelas, Rieka menyesuaikan diri dengan bantuan pendamping yang menerjemahkan penjelasan dosen. Kendala yang ia alami dalam kelas atau pergaulan tidak pernah membuatnya minder. “Saya bangga jadi tuli. Kalau memang ada yang membicarakan saya ya sudah, lagi pula kan saya tidak bisa mendengar,” ungkapnya sambil tersenyum. Rasa percaya diri ini ia buktikan dengan aktif dalam berbagai macam organisasi dan kegiatan. Ia sempat aktif menjadi Staf Kementerian Ekonomi Eksekutif Mahasiswa UB dan menjabat sebagai bendahara di Komunitas AkarTuli. “Dengan ikut organisasi saya bisa dapat pengalaman dan kenal orang baru. Sekaligus untuk memperkenalkan bahasa isyarat kepada orangorang,” tambahnya. Selain aktif dalam organisasi, Rieka juga kerap mengikuti beragam lomba. “Saya suka ikut lomba untuk cari pengalaman, menang atau kalah itu urusan belakang,” ungkapnya dengan senyum. Sesuai dengan fisiknya yang tinggi semampai, ia kerap mengikuti lomba modeling. Lomba terakhir yang ia ikuti adalah Lomba Hijab Kampus yang diadakan UB pada bulan Maret 2015 lalu. “Saingan saya semuanya orang normal. Saya jadi satu-satunya penderita difabel yang masuk ke 10 besar,” tambah Rieka dengan bangga. Meski sibuk dengan aktivitas organisasi dan lomba, Rieka tidak lupa dengan tugas utamanya sebagai mahasiswa. Selain belajar sendiri, orang-orang di sekitar Rieka pun turut membantu dalam urusan belajar. Termasuk teman-teman sekelas dan pendamping. “Biasanya pendamping juga membantu ketika belajar, tidak hanya menerjemahkan saja saat di kelas,” ujar Rieka. Runner Up IV Putra Putri Tunarungu/Tuli ini melihat pendidikan sebagai hal yang sangat penting. Menurutnya semua orang berhak untuk mendapatkan pendidikan, termasuk orang difabel. “Sayang akses yang diberikan masih kurang,” ungkap gadis yang suka berenang ini. Rieka dengan semangat mengungkapkan harapannya untuk masyarakat kampus. “Berharap sekali masyarakat kampus bisa lebih sadar soal keberadaan orang difabel di sekitarnya. Akses yang diberikan juga sebaiknya lebih diratakan dan ditingkatkan.” Ia juga menaruh harapan agar diskriminasi terhadap kaum difabel hilang dari masyarakat. “Untuk temanteman difabel, jangan putus asa. Terus berusaha untuk menggali kemampuan dan potensi diri, ” pesannya sambil tersenyum. Monica Nugraha S.
52
Indikator Nomor 48/Tahun XXX/2016
Neraca Budaya
Selisik Nilai Luhur Ruwatan Sukerta
Indikator/Deni
Neraca Budaya
“Hai Batara Kala yang menimbulkan malapetaka…kecelakaan…hentikanlah niatmu. Hai kamu yang datang menyerang, hentikanlah kelebihan kekuatanmu. Hai kamu yang menyebabkan kelaparan, berilah kemakmuran yang menyenangkan. Hai kamu yang menyiksa, hentikanlah penganiayaanmu. Hai kamu yang tidak setia, utamakanlah kemanusiaanmu. Hai kamu yang menjadikan lawan, resapilah rasa kasih sayangmu.” Indikator/Ryan
S
ajak di atas merupakan mantra yang diucapkan oleh sang Dalang Kanda Buwana untuk mengusir sesosok makhluk jahat yang hendak memakan manusia. Dalang yang juga dikenal sebagai Batara Wisnu itu mengucap mantra untuk menyucikan orang-orang yang kotor. Maksud dari mantra tersebut adalah sebagai pengingat bagi manusia agar berbuat baik kepada sesama dan bersedia menjadi penolong bagi orang lain. Hingga saat ini mantra tersebut masih sering diucapkan dalam pewayangan Murwakala yang dilakukan dalam suatu upacara adat Jawa bertajuk Ruwatan Sukerta. Secara harfiah, ruwat berasal dari bahasa Jawa yang memiliki arti kata merawat atau membersihkan. Sedangkan kata ruwatan dimaknai sebagai merawat atau menyucikan dari segala sesuatu yang membahayakan. Dalam cerita sastra Jawa Kuno, para dewa yang dikutuk menjadi raksasa atau hewan buas disucikan kembali oleh dewa lainnya agar dapat kembali ke keadaan semula. Ruwatan pada dasarnya ialah suatu upacara yang dilakukan untuk membebaskan seseorang dari sesuatu yang jahat atau sukerta. Kata sukerta sendiri juga merupakan bahasa Jawa yang memiliki arti kotor atau cacat. Sukerta merujuk pada orang yang berada dalam keadaan kotor atau hina dan selalu menemui hambatan dalam kehidupannya. Hambatan tersebut dikarenakan seseorang lahir dalam kondisi yang buruk atau disebabkan oleh perbuatannya yang merugikan orang lain. Menurut serat Resi Kala dalam Pustaka Raja Purwa disebutkan bahwa ada 36 jenis sukerta yang dikelompokkan berdasarkan cacat kelahirannya serta 135 golongan yang cacat karena perbuatannya. Namun, Serat Pustaka Raja Purwa karangan R. Ng. Ranggawarsita menyebutkan bahwa terdapat 26 jenis sukerta dan 133 golongan sukerta akibat perbuatannya. Golongan orang sukerta ini bermacam-macam, karena berbagai sumber menyebutkan jumlah sukerta yang berbeda-beda. Namun bila disimpulkan, setidaknya terdapat tiga macam golongan manusia yang dikatakan sukerta. Pertama adalah manusia yang cacat karena kelahirannya. Contohnya seperti ontang-anting, yakni anak tunggal atau semata wayang. Lalu ada sendang kapit pancuran yaitu tiga bersaudara dengan satu anak perempuan yang lahir ditengah-tengah. Dua bersaudara laki-laki dan perempuan juga merupakan golongan sukerta yang biasa disebut dengan Kadana-Kadini. Jenis sukerta yang kedua ialah kondisi seseorang yang kotor akibat kelalaiannya. Lalai disini adalah suatu perbuatan yang dilakukan tidak pada tempatnya. “Kelalaian tersebut dikarenakan ia jatuh pada sifat sembrononya,” ujar Soedjathi Kusumo, seorang dalang wayang purwa.
54
Indikator Nomor 48/Tahun XXX/2016
Memanjat pohon pada siang yang terik merupakan salah satu contoh bentuk kelalaian. “Matahari di atas itu mempunyai garis lurus dengan bumi, akibatnya garis lurus ini bisa dialiri oleh energi-energi yang keras, kalau manusia gak kuat menahannya maka bisa pingsan,” jelas pria yang akrab disapa Djati tersebut. Golongan sukerta yang ketiga ialah sukerta yang terjadi akibat tertimpa suatu musibah. Menurut dr. Djoko Santoso M.Kes., DAHK., beberapa kejadian yang berakibat fatal sebenarnya merupakan pengingat untuk manusia dan lingkungannya agar lebih berhati-hati. Ambruknya dandang saat menanak nasi merupakan salah satu contoh peristiwa yang dianggap sukerta. “Sisi sosiologisnya lingkungan rumah tangga yang hati-hati, karena nggulingno dandang itu akan merugikan lingkungan, sehingga keluargamu sendiri tidak jadi menanak nasi karena dandangnya rusak,” ucap Djoko Santoso yang juga akrab disapa Ki Djoko Gondo Husodo. Jatuhnya nasi ke tanah juga merupakan suatu sukerta, karena dapat merugikan orang lain. Djoko Santoso memaparkan bahwa peristiwa tersebut mengandung makna agar selalu berhati-hati dalam berperilaku. Apabila dalam mengerjakan sesuatu kita bertindak ceroboh maka orang lain juga akan terkena dampaknya. Asal Muasal Ruwat Sukerta Sejatinya, para sukerta tersebut merupakan makanan dari sang Batara Kala, yaitu sosok raksasa sebesar gunung dengan wajah menyeramkan yang lahir akibat kecerobohan dari Batara Guru yang tidak sanggup menahan birahinya. Dalam cerita Murwakala disebutkan bahwa Batara Guru, sang penguasa kahyangan, sedang melakukan perjalanan bersama istrinya yaitu Dewi Uma dengan menaiki lembu
ndini. Di tengah perjalanan, tepatnya A di atas samudera, Sang Hyang G irinata (nama lain Batara Guru-red) ingin memadu kasih dengan istrinya. Namun sang istri menolak karena dirasa kurang pantas melakukan hal seperti itu di tempat terbuka. Penolakan tersebut berakhir dengan jatuhnya kama atau sperma Batara Guru ke laut akibat tak kuasa menahan nafsunya. Kama yang jatuh ke laut tersebut dalam cerita Jawa disebut dengan kama-salah. Kemudian lahirlah seorang raksasa bernama Batara Kala yang berasal dari campuran air laut dan kama-salah tersebut. Batara Guru mengakui raksasa tersebut sebagai anak setelah men-
Indikator/M. Naufal
cabut kedua taringnya di kahyangan. Kemudian, Batara Guru memerintahkan Batara Kala untuk turun ke bumi dan diperbolehkan memakan manusia yang tergolong sukerta. Batara Kala pun dibekali sebuah parang yang digunakan untuk memotong manusia sebelum ia makan. Khawatir jumlah manusia sukerta yang disebutkan tadi terlalu banyak, Batara Guru meminta Batara Wisnu menyucikan orang-orang sukerta yang berada di bumi. Dalam perjalanannya di bumi, Batara Kala pun akhirnya bertemu dengan Batara Wisnu dalam suatu pertunjukkan. Kekalahan Batara Kala terjadi setelah Ki Dalang Kanda Buwana memba-
cakan kidung yang berisikan riwayat hidup Batara Kala. Batara Wisnu juga memerintahkan sang raksasa pergi ke Hutan Krendawahana dan tidak mengganggu orang sukerta lagi. Setelah dibacakan mantra penyucian dan dimandikan dengan air kembang, Batara Kala meninggalkan Batara Wisnu dan menuju ke Krendawahana. Cerita penyucian Batara Kala ini kemudian diyakini oleh orang-orang Jawa sebagai pakem dalam melakukan upacara ruwatan, termasuk golongan-golongan yang dianggap sukerta. Hal ini diperkuat dengan adanya Kitab Tantu Panggelaran yang ada sejak jaman kerajaan Majapahit. Kitab Tantu Panggelaran merupakan sebuah teks prosa yang berisikan kisah penciptaan manusia di Pulau Jawa beserta aturan-aturan yang harus ditaati. “Orang-orang Jawa melaksanakan ruwatan dengan berfigur pada pewayangan Batara Kala itu awalnya mengambil dari Tantu Panggelaran, yaitu zaman Majapahit,” ungkap Suwardono yang merupakan seorang peneliti bidang purbakala klasik. Tradisi ruwatan yang berangkat dari cerita pewayangan Batara Kala tersebut mampu mengakar kuat di benak masyarakat Jawa kala itu. Hingga agama Islam masuk pun, tradisi ruwatan tetap berjalan. Bahkan Walisongo selaku orang yang menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa mengakomodasi tradisi tersebut dengan mengakulturasikan dua agama yang berbeda. “Islam sendiri mengakomodasi tradisi Hindu yang bermanfaat dan di-Islamkan,” ujar Dr. H. Abdul Latif Bustami, M.Si., dosen sosiologi Universitas Negeri Malang. Hal senada juga diungkapkan oleh Djoko Santoso, ia memaparkan bahwa Islam menyusup ke dalam ruwatan sukerta melalui pembacaan doa karena melihat adanya unsur edukasi dalam cerita Murwakala. “Sunan Kalijaga memanfaatkan momen ini
Indikator Nomor 48/Tahun XXX/2016
55
Neraca Budaya sebagai syiar Islam dan sarana pendidikan karena pada dasarnya ketentuan sukerta mengandung makna filosofis maupun edukatif,” imbuh Djoko Santoso. Sampai saat ini prosesi ruwatan pun terus berlangsung dengan mengikuti pakem dari Kitab Tantu Panggelaran. Berdasarkan Pedoman Ruwatan Murwakala yang diterbitkan Duta Wacana University Press tahun 1992, prosesi ruwatan diawali dengan sungkeman. Prosesi ini bertujuan untuk meminta doa restu kepada orang tua, agar ruwatan yang dilakukan sang sukerta dapat terlaksana dengan baik. Kemudian dilanjutkan dengan kirab yaitu pawai yang dilakukan para peserta sebagai bentuk publikasi bahwa sang sukerta akan menjalani ruwatan. Setelah dilakukan kirab, sang sukerta menempati tempat duduk yang telah disediakan lalu dimulailah pewayangan Murwakala yang dipimpin oleh seorang dalang. Dalam prosesi ruwatan juga terdapat pembacaan doa yang dipimpin oleh seorang dalang, kemudian dilanjutkan dengan prosesi pemotongan rambut. Djoko Santoso menilai bahwa pemotongan rambut dilakukan sebagai bentuk simbolis bahwa keburukan dari sang sukerta telah dihilangkan. Selanjutnya prosesi siraman dilakukan dengan menggunakan air yang berasal dari tujuh sumber berbeda dan dicampur dengan bunga. Siraman adalah bentuk penyucian sang sukerta yang dilakukan oleh dalang. Setelah prosesi ini dilakukan sang dalang mengembalikan anak yang diruwat kepada orang tuanya. Sesajen dalam ruwatan sukerta juga perlu disediakan, sebagai simbol permohonan kepada yang Maha Kuasa agar senantiasa diberikan kesejahteraan. “Sesajen merupakan bentuk rasa syukur manusia di nusantara karena hidup sudah didampingi oleh alam-alam yang sangat menjanjikan,” ujar Djati. Menurut Suwardono, dalang
56
merupakan posisi penting dalam suatu upacara ruwatan sukerta. “Dalang itu sebagai yang memainkan, mediator, dan meritualkan,” ungkapnya. Arkeolog yang juga seorang guru sejarah di SMAN 7 Malang ini memaparkan bahwa, penyucian dalam ruwatan sukerta harus dilakukan oleh seorang dalang. Hal ini berbeda dengan bentuk upacara adat Jawa lainnya yang dapat menggunakan dukun atau orang tua sebagai mediator ritual. Hal senada juga diungkapkan oleh Djoko Santoso, menurutnya dalang dalam ruwatan sukerta merupakan wakil dari sang Dalang Kanda Buwana yang merupakan jelmaan dari Batara Wisnu. Diceritakan bahwa sosok Dalang Kanda Buwana merupakan tokoh yang pandai dan bijaksana karena dapat menguasai Batara Kala dengan cara membaca sastra yang berada di dada, kening, lidah, punggung, dan tubuh sang raksasa. Sehingga pemahaman akan cerita Murwakala sangatlah penting. Menurut Djoko Santoso di dalam cerita Murwakala terdapat suatu pesan moral yang berisi nasihat-nasihat atau ilmu yang disebut kawruh sejatining urip. Dalang yang juga berprofesi sebagai dokter ini mengatakan bahwa penting bagi seorang dalang untuk mengetahui cerita Murwakala, baik secara historis maupun filosofisnya. “Intinya harus menguasai historis kenapa Kala itu terjadi. Kalau orang wawasannya gak luas ya gak bisa,” timpalnya. Murwakala bukanlah sekedar cerita yang didalangkan dalam ruwatan sukerta. Cerita dengan tokoh utama Batara Kala dan K i Dalang K anda Buwana sebenarnya menyimpan suatu nilai yang hendak dihantarkan kepada para sukertanya. “Murwakala adalah menyinkronkan gelombang magnetis antara makrokosmos d engan mikrokosmos,” ujar Djoko Santoso. Makrokosmos dalam pandangan orang Jawa merupakan suatu sikap serta pandangan hidup terhadap alam semesta yang
engandung kekuatan gaib dengan m Tuhan sebagai pusatnya. Menurut Djoko Santoso ruwatan merupakan cara manusia mendekatkan diri kepada sang penciptanya. “Dengan ruwat itu berarti mendekatkan diri dengan tuhan pencipta alam ini. Hal ini merupakan bentuk kesadaran moral bagi yang diruwat maupun yang meruwat,” ucap pria kelahiran Kediri tersebut. Bentuk pendekatan diri manusia dengan sang penciptanya ini dapat dilihat dalam prosesi doa yang berada di dalam ruwatan. Doa merupakan bentuk permohonan agar sang sukerta setelah diruwat diberikan kelancaran dalam hidupnya. Hal senada diungkapkan oleh Drs. Tri Joko Sri Haryono, M.Si., menurut dosen Antropologi Universitas Airlangga ini ruwatan merupakan bentuk syukur orang tua atas anugerah anak yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa. S. Reksosusilo (2006) dalam Aspek Etis Ruwatan Jawa menurut Lakon Murwakala (2002:6062) menyatakan bahwa manusia harus menyembah ke Yang Ilahi, di tengah kekhawatiran ada jalan membersihkan diri yaitu mendekat ke Hyang Ilahi dan melaksanakan ruwatan. Selain makrokosmos yang merupakan alam semesta, juga terdapat mikrokosmos yang identik dengan penggambaran dunia nyata. Hal ini tercermin pada tata kehidupan manusia sehari-hari atau susunan manusia dalam masyarakat. “Manusia adalah makhluk yang hidupnya berkumpul dan bekerja bersama untuk kepentingan bersama, bercampur itu bahasa Arabnya musyarokat maka pelakunya adalah masyarakat,” ungkap A ji Prasetyo. Cerminan mikrokosmos juga digambarkan bagaimana hubungan manusia dengan lingkungannya. Inti dari ruwatan sebagai bentuk penyelarasan antara makrokosmos dengan mikrokosmos menempatkan lingkungan sebagai suatu hal yang harus dijaga oleh penghuninya, yaitu manusia. “Mak rokosmos dalam ilmu pengetahuannya,
Indikator Nomor 48/Tahun XXX/2016
itu terdiri dari lima unsur yaitu tanah, api, air, angin, udara, dan lima unsur ini ada pada diri kita,” ucap Suwardono. Nilai terakhir yang dimiliki dalam ruwatan sukerta ialah keterkaitan antara manusia dengan waktu. Batara secara harfiah diartikan sebagai dewa, sedangkan Kala merupakan arti kata dari waktu. Dalam tafsiran modern, turunnya Batara Kala ke dunia merupakan suatu pengingat bagi manusia agar bersikap bijak dalam menggunakan waktu. “Kala ini merupakan dewa pengingat manusia yang menyia-nyiakan waktu. Artinya bagi yang melanggar dan tidak bisa mengendalikan waktu dengan baik akan kena musibah,” ucap Djoko Santoso. Ruwatan Sukerta Kini Perkembangan zaman yang ditandai dengan hadirnya teknologi canggih dan modern berkorelasi negatif terhadap pemahaman ruwatan sukerta di masyarakat. Budaya luhur yang mengandung nilai esensial ini kian larut terbawa arus globalisasi. Djoko Santoso pun menyepakati bahwa pengaruh modernisasi menyebabkan masyarakat hari ini banyak meninggalkan budayanya, khususnya budaya Jawa tempat ruwatan sukerta dibesarkan. Hal ini tercermin dari banyaknya degradasi moral di masyarakat. “Jadi sekarang ini terjadi degradasi moral. Moral dalam arti hubungan antara manusia terganggu karena kemajuan zaman,” ucap Djoko Santoso. Hal senada juga diungkapkan Tri Joko, menurutnya kemajuan teknologi hari ini menunjukkan pertentangan nilai-nilai budaya yang ada di masyarakat. “Teknologi zaman dulu kan ditunjukkan dengan adanya mainan-mainan tradisional yang memang mengarahkan pada bentuk-bentuk kebersamaan,” ucap pria yang akrab disapa Joko tersebut. Ia menambahkan bahwa kemajuan teknologi, terutama di alat komunikasi membuat manusia hari ini bersikap
individualis. “Alat komunikasi itu mengeratkan hubungan yang secara fisik jauh. Tapi yang secara fisik dekat, belum tentu mereka bisa berinteraksi secara intensif,” imbuhnya. Hal senada diungkapkan oleh Djoko Santoso, menurutnya nilai kebersamaan dalam tatanan masyarakat yang makin memudar ini disebabkan oleh tuntutan atas pemenuhan kebutuhan manusia sehingga ia harus mandiri. “Kita dicetak (menjadi) masyarakat yang individu. Saat kita melihat konflik buruh, konflik petani, kita menganggap itu bukan masalah kita. Nilai individu ini memang dicetak oleh zaman,” ungkap Aji Prasetyo menanggapi sikap masyarakat yang semakin individu. Sikap manusia yang mulai meninggalkan budaya gotong royong tidak hanya terjadi dalam lingkungan sosial secara horizontal saja. “Hubungan antar manusia dibagi dua yaitu vertikal dan horizontal. Vertikal itu sangat struktural, horizontal adalah sama dengan lingkungannya,” ujar Djoko Santoso. Hubungan antar sesama manusia secara vertikal ini dapat dilihat dalam tatanan pemerintah yang diinterpretasikan pada sesosok wakil rakyat. Masih lekat di benak kita akan kasus pencatutan nama presiden yang dilakukan oleh seorang wakil rakyat demi keuntungan diri sendiri. Seorang wakil rakyat yang notabene merupakan penyalur aspirasi masyarakat di ranah legislatif maupun eksekutif hendaknya mendengarkan apa yang diinginkan oleh orang-orang yang diwakilkannya. Definisi tersebut seolah menjadi bias saat maraknya kasus korupsi yang dilakukan oleh jajaran legislatif untuk memperkaya diri mereka sendiri. Ketidakmampuan para politisi dalam mengemban amanah merupakan contoh lain dari adanya degradasi moral. “Jabatan itu amanah, jabatan itu berpengaruh terhadap nasib banyak orang. Tetapi tidak mereka jalankan,” sesal Aji Prasetyo. Pola komunikasi
yang dilakukan karena kepentingan politik semata pun juga kerap terjadi menjelang pemilihan umum di berbagai daerah. Komunikasi yang dilakukan dengan masyarakat bawah pun dilakukan dengan kepentingan untuk menggaet simpati para calon pemilih. “Sekarang, ketemu orang itu karena ada kepentingan tertentu, ada fungsi tertentu terhadap orang yang kita hubungi,” ucap Joko. Imbasnya, timbul sikap tidak peduli terhadap sistem pemerintahan yang berbanding lurus dengan menguatnya budaya apolitis di masyarakat. “Kita apolitis karena menganggap bahwa semua orang kalau jadi pejabat pasti tidak benar. Maka setiap menghadapi pemilu pasti akan memutuskan untuk golput,” terang Aji Prasetyo. Sikap acuh tak acuh yang diperlihatkan masyarakat terhadap pemerintahan inilah yang disesali oleh pria yang akrab disapa Aji ini. “Masyarakat kecil macam kita itu punya hak untuk mengontrol. Kalau ada pejabat gak beres ya kita ikut mengontrol, kita ikut mengingatkan,” ungkap Aji. Kemajuan peradaban juga menjadi salah satu penyebab terjadinya ketidakselarasan antara makrokosmos dengan mikrokosmos yang menjadi inti dari adanya ruwatan sukerta. “Ketidakselarasan antara makro dan mikrokosmos akan berdampak hukum sebab-akibat,” terang Djoko Santoso. Dalam cerita pewayangan, alam merupakan suatu sumber kekuatan yang dahsyat sehingga manusia harus merawatnya dengan baik. ”Jadi, diri manusia itu tidak terpisah dengan alam semesta dan kekuatan alam semesta akan mempengaruhi kekuatan individu manusia,” ucap Djoko Saryono. Namun, industrialisasi yang menjamur di negara-negara berkembang menciptakan jarak antara manusia dengan alam lingkungannya, tak terkecuali di Indonesia. Hal ini berdampak pada sifat manusia yang
Indikator Nomor 48/Tahun XXX/2016
57
Neraca Budaya menempatkan diri sejajar dengan alam. “Di situlah eksploitasi, penggundulan hutan, perusakan alam terjadi, karena posisi alam adalah benda,” jelas Djoko Saryono. Salah satu sektor industri yang menjadi tumpuan pemerintah untuk mendatangkan devisa bagi negara ialah pertambangan. Sektor ini dianggap mampu dalam menyerap tenaga kerja dan dijadikan tumpuan untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik serta mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Namun kerusakan lingkungan menjadi sorotan utama akibat adanya kegiatan pertambangan. Menurut Tri Pranadji, parahnya kerusakan lingkungan akibat aktivitas pembangunan yang berporos pada pertumbuhan ekonomi kerap kali dilakukan para pelaku ekonomi kapitalis. Sehingga kerusakan lingkungan hanya dianggap sebagai bagian dari ekses pembangunan ekonomi1. Membuang sampah sembarangan dan penggundulan hutan merupakan contoh lain dari ketidakharmonisan manusia dengan alamnya. “Peristiwa banjir kalau diurutkan dari awal disebabkan karena hutannya dibabati. Berarti si manusia tidak menjaga keseimbangan alam,” ucap Djoko Santoso. Tak jauh berbeda dengan Tri Joko, menurutnya bencana alam yang sering terjadi disebabkan oleh perilaku tak bertanggungjawab dari manusia itu sendiri. “Perilaku manusia yang muncul karena keserakahan itulah yang mendorong untuk mengeksploitasi alam secara maksimal tanpa memedulikan generasi ke depan,” ungkapnya. Manusia berkacamata kuda, begitulah analogi yang sekiranya dapat disematkan kepada masyarakat hari ini. Tuntutan kebutuhan yang diimbangi dengan sifat dasar manusia yang tak pernah puas, mendorong 1 Pranadji, Tri. Tanpa Tahun. Pintu Gerbang Pencermatan dan Penguatan Nilai-nilai Budaya Indonesia pada Milenium ke-3. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
58
kegiatan eksploitasi alam yang tak bertanggungjawab demi memenuhi hasrat diri sendiri. “Dimensi waktu itu juga untuk saat ini, bagaimana kita memenuhi kebutuhan saat ini agar dapat terpenuhi, tanpa kemudian mempedulikan bagaimana kelestariannya,” ucap Tri Joko. Tergerusnya nilai kebersamaan dalam budaya masyarakat semakin kentara di tengah tuntutan zaman yang mendorong manusia untuk bersifat konsumtif. Tri Joko menceritakan bahwa orang Jawa memiliki ungkapan
Indikator/M. Naufal
“mangan ora mangan waton kumpul” yang mengandung nilai kebersamaan. “Mereka merasa nyaman untuk hidup bersama dan mereka tidak butuh untuk berjauh-jauhan karena kebutuhan mereka sudah terpenuhi,” ujarnya. Namun seiring budaya barat yang masuk, waktu bukan lagi dimaknai sebagai sebuah simbol kebersamaan. Sikap masyarakat yang menjadi pragmatis pun terlihat dari banyaknya urbanisasi di kota-kota besar. “Sekarang mereka beramai-ramai untuk pergi meninggalkan daerah, jadi perantau. Daerah mana saja mereka mau, yang penting bisa dapat penghasilan banyak untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri,” ujar Joko. Sikap pragmatisme
dalam pemenuhan kebutuhan inilah yang disoroti oleh Joko. “Inilah bagian dari sebuah bentuk pragmatisme ke arah materialisme. Ini adalah sebuah bentuk untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat kebendaan sebanyakbanyaknya pada saat itu juga,” imbuh pria kelahiran April 1958 tersebut. Selain pemahaman masyarakat yang kurang terkait ruwatan sukerta, tradisi ini juga mengalami kelangkaan. Dalang yang merupakan mediator penting dalam upacara adat ini semakin susah untuk ditemukan. Menurut Djati, masuknya budaya luar menyebabkan budaya-budaya lokal menjadi tersisihkan. “Bukan hanya dalangnya yang makin degenerasi, makin kurang. Tapi bahkan orang meruwat sekarang jarang,” ujar Djoko Santoso. Regenerasi yang kurang ini disebabkan adanya disorientasi pada dalang muda yang cenderung mengejar profit. “Dalang-dalang sekarang lebih pada teknis. Apik sabetan e, lucu banyolan e, tapi filosofi dari pedalangan ini makin minim,” sesal Djoko Santoso. Syarat menjadi dalang ruwatan sukerta yang cukup berat juga mempengaruhi kesiapan dari dalang-dalang yang ada. Nilai filosofis yang berada pada cerita Murwakala pun cenderung lebih dipegang oleh dalang tua yang sudah berpengalaman. “Umumnya, dalang ruwat itu wes sepuh. Dalang muda itu jarang karena ilmunya masih dangkal,” tegas Djoko Santoso. Hal senada juga diucapkan oleh Suwardono, “Dalang ruwat itu nggak sembarangan, kalau dalang untuk cerita wayang, asal bisa ya gapapa. Tapi kalau untuk ruwatan harus bisa milih. Orang yang sudah tua juga belum tentu bisa,” ucap guru yang gemar menulis buku tentang arkeologi ini. Revitalisasi Ruwatan Sukerta Pemahaman masyarakat yang
Indikator Nomor 48/Tahun XXX/2016
kurang terkait esensi ruwatan sukerta sedikit banyak dipengaruhi oleh minimnya pengadaan upacara tradisi peninggalan kaum kejawen di lingkungan sekitar mereka. Biaya yang tinggi merupakan faktor pemicu kurangnya pengadaan ruwat sukerta di masyarakat. Djoko Santoso mengungkapkan bahwa pelaksanaan ruwatan hari ini tak lebih dari sekadar simbol untuk menunjukkan kemampuan materi seseorang. Melihat kondisi yang demikian, berbagai lembaga yang menaruh perhatian pada budaya pun bergerak untuk mengakomodasi pengadaan ruwatan sukerta bagi orang-orang yang kekurangan biaya. Seperti yang diungkapkan oleh Sujud Frastono, S.Sos., pria yang menduduki Kepala Sub Bagian Layanan Publik di Radio Republik Indonesia (RRI) Kota Malang ini menyatakan bahwa pengadaan ruwatan sukerta secara massal yang dilakukan oleh pihak RRI merupakan bentuk kepedulian terhadap budaya Jawa tersebut. Hal yang sama juga diutarakan Budiyoso Kuntoyo, “Alasan pertama ya untuk melestarikan tradisi budaya leluhur karena ini peninggalan leluhur kita yang harus kita lestarikan secara berkesinambungan,” ungkap pria yang menjabat sebagai Kepala Seksi Pembinaan dan Pengembangan Kebudayaan di Dinas Pemuda, Olahraga, Budaya, dan Pariwisata (Disporabudpar) Kabupaten Mojokerto tersebut. Menanggapi hal tersebut, Bambang Supomo selaku Kepala Seksi Kesenian Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Malang menyatakan bahwa nantinya upacara adat seperti ruwatan sukerta ini dapat dijadikan suatu objek wisata budaya. “Ruwatan bisa sebagai event tradisi budaya daerah. Dan itulah nanti bisa mendatangkan masyarakat,” kata Budiyoso. Namun menurut Aji Prasetyo, pengadaan suatu upacara tradisi perlu
juga diimbangi dengan sosialisasi kepada masyarakat agar mereka memahami esensi dari tradisi tersebut. “Penerjemahan itu yang paling penting. Kenapa ada budaya ini harus diterjemahkan esensinya. Baru nanti tertangkap oleh masyarakat kita,” ujar pria berambut panjang tersebut. Salah satu bentuk sosialisasi yang ditawarkan oleh Budiyoso adalah pemahaman akan budaya-budaya peninggalan leluhur yang dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan formal. “Diajarkan dalam bentuk materi dalam mata pelajaran seni budaya, maupun terintegrasi dalam mata pelajaran lainnya lalu nilai luhurnya itu yang dibahas,” ujar Abdul Latif. Langkah sosialisasi yang serupa juga sudah dilakukan oleh pihak RRI Kota Malang. “Kita mempunyai program saluran budaya, di mana saluran tersebut memang bertujuan untuk melestarikan budaya Jawa,” ungkap Novi Herayanti, SH., selaku Kepala Subseksi Pengembangan Usaha RRI Kota Malang. Ia melanjutkan bahwa saluran tersebut memang dikhususkan pihak RRI Kota Malang untuk memberi informasi serta mengupas budaya yang berada di jawa, tak terkecuali ruwatan sukerta. “Generasi muda kita juga mereka supaya tahu. Bagaimana pun juga, kita mempunyai budaya seperti itu,” tambahnya. Pemikiran yang berbeda justru diutarakan oleh Aji Prasetyo, menurutnya sifat budaya adalah dinamis, sehingga diperlukan suatu peremajaan dalam budaya agar dapat diterima oleh masyarakat modern. “Rejuvinasi, peremajaan nilai-nilai luhur itu diperlukan,” ucap Djoko Saryono. Peremajaan yang dimaksud dapat dilakukan dengan mengubah kemasan dari budaya ruwat itu sendiri. “Media-media populer yang dipakai untuk membuat generasi modern itu tetap bisa memahami esensi, nilainilai lama,” ujar Aji. Komikus tersebut
menuturkan, bahwa sosialisasi maupun menanamkan pemahaman terkait ruwatan sukerta dapat dilakukan dengan menggunakan media komik maupun gambar lainnya. “Membuat penyederhanaan, dalam bentuk kartun, bahasa yang mudah ditangkap, perlambangan yang mudah dicerna, membuat orang akhirnya paham dengan cara yang lebih gampang,” ucap pria kelahiran Pasuruan ini. Melalui komik, ruwatan sukerta dapat dikenalkan kepada generasi sekarang. Pengenalan tersebut dapat meliputi sejarah adanya ruwatan sukerta, serta tujuan dan esensi yang ada di dalamnya. “Akhirnya apa yang bisa kita pertahankan sampai sekarang tentang esensinya, itu bisa dilakukan. Asal pendekatannya harus logis,” ujar Aji. Nilai-nilai yang dimiliki ruwatan sukerta setidaknya bisa dijadikan suatu pembelajaran dalam hidup tentang menghormati antar sesama. Pemahaman secara logis terkait nilainilai dalam ruwatan sukerta setidaknya perlu diterapkan sebagai bentuk penguatan dari tradisi itu sendiri. Meski ruwat kerap kali mendapat pertentangan dari para pemuka agama, hal ini seharusnya dijadikan momentum revitalisasi budaya yang dikemas sesuai ajaran agama. Sampai saat ini, tak jarang beberapa agama mengakomodasi budaya tertentu menjadi suatu bentuk kegiatan yang religius. Seperti Sunan Kalijaga yang menyisipkan ajaran agama dalam ruwatan sukerta karena melihat tradisi tersebut memiliki suatu nilai luhur yang mengajarkan manusia agar hidup selaras, serasi, dan seimbang.
Indikator Nomor 48/Tahun XXX/2016
Muhammad Naufal
59
Tribun Bebas
Menyambut Fajar Media Massa
C dok.pribadi
Eva Kumalasari
Wanita kelahiran Gresik, 10 Agustus 1996 ini biasa disapa Eva. Alumni SMAN 1 Gresik ini sekarang menjadi mahasiswi Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB). Dia juga aktif sebagai staf P enerbitan Khusus Indikator di LPM Indikator FEB UB.
60
ontoh-contoh media massa seperti televisi, radio, surat kabar, dan majalah kini telah akrab di kalangan masyarakat. Selaras dengan definisinya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, media massa merupakan sarana dan saluran resmi sebagai alat komunikasi untuk menyebarkan berita dan pesan kepada masyarakat luas. Sedangkan media cetak ialah sarana media massa yang dicetak dan diterbitkan secara berkala. Media massa memulai sejarahnya semenjak manusia mengenal aksara, dengan kata lain media cetak merupakan yang pertama di dunia. Menurut bukti sejarah yang ada, aktivitas jurnalistik tertua ada pada zaman romawi kuno dengan adanya tradisi menuliskan peraturan-peraturan negara dalam lembaran-lembaran dan diletakkan di tempat-tempat yang mudah dilihat dan dibaca oleh masyarakat. Lembaran-lembaran yang berisi peraturan ini disebut Acta Diurna, sedangkan tempat pemasangan lembaran itu disebut Forum Romanum. (Ermanto, 2005:24) Acta Diurna, yang berarti catatan harian ini merupakan cikal bakal surat kabar. Berawal dari catatan proses dan keputusan hukum, kemudian isi dari catatan harian ini berkembang menjadi pemberitahuan publik dan informasi sehari-hari seperti kelahiran, perkawinan, dan kematian. Di Indonesia mulai mengenal media cetak dengan beredarnya surat kabar di masa Kolonial Belanda. Surat kabar yang beredar saat itu berbahasa Belanda dengan konten seputar kehidupan di Eropa. Berikutnya di tahun 1856 Soerat Kabar Bahasa Melajoe di Surabaya hadir sebagai promotor terbitnya surat kabar berbahasa Melayu lainnya. Sejak saat itu, media cetak lain seperti majalah dan tabloid mulai menjadi variasi dalam pemenuhan kebutuhan informasi bagi masyarakat. Bila dibandingkan dengan media massa lain, media cetak memiliki ciri khasnya sendiri. Frekuensi publikasi dari media cetak dapat dikatakan lebih teratur karena penerbitan pada umumnya dilakukan secara berkala, yakni harian, mingguan, bulanan, atau bahkan tahunan. Dalam proses pengerjaannya, media cetak menerapkan manajemen redaksi yang konsisten. Diawali dengan penggalian ide, manajemen redaksi dilanjutkan dengan penentuan tema dan sudut pandang berita. Kemudian proses berlanjut dengan diadakannya rapat redaksi, dimana nantinya akan dihasilkan Term of Reference (TOR) yang terdiri dari outline, target operation, dan draft pertanyaan. Berlanjut pada tahap reportase, di sini para reporter diterjunkan langsung ke lapangan demi memenuhi informasi yang dibutuhkan dalam tahap berikutnya yakni penulisan. Setelah selesai, tulisan masih harus diproses dalam tahap editing. Tulisan-tulisan yang telah selesai diedit ini nantinya akan memasuki tahap layouting dan kemudian disusul dengan cek display. Terakhir, tulisan akan siap untuk naik cetak dan diterbitkan.
Indikator Nomor 48/Tahun XXX/2016
Sepanjang perjalanannya, loyalitas pembaca di Indonesia tertuju pada media cetak, khususnya surat kabar. Konten-konten berita yang dinilai premium serta aktual ternyata mampu merebut perhatian masyarakat di berbagai kalangan. Terbit setiap pagi, surat kabar mulai menciptakan sebuah budaya baru bagi masyarakat Indonesia. Surat kabar selalu setia terhimpit di lengan-lengan pejalan kaki, bersanding dengan secangkir teh manis di pagi hari, atau pun tergeletak lusuh di meja-meja warung pertanda intens terjamah. Bahkan surat kabar pun turut menemani para pembaca setianya sampai pada kegiatan rutin kamar mandi yang dilakukan di pagi hari. Surat kabar seolah telah melekat erat pada kehidupan masyarakat Indonesia. Di era serba modern kini, media cetak seperti surat kabar mulai mendapat pengaruh yang cukup berarti dari perkembangan teknologi, salah satunya ialah menurunnya minat para pembaca. Kini masyarakat Indonesia dirasa telah menemukan pendamping lain di kesehariannya. Surat kabar tak lagi mampu menyita perhatian masyarakat seperti dahulu. Berbagai macam bentuk gadget yang merupakan wujud dari perkembangan teknologi saat ini lebih mampu menghipnotis masyarakat. Kecanggihan gadget semakin menggiurkan dengan adanya sambungan internet. Tak hanya informasi, komunikasi dan hiburan pun sudah dapat dengan mudah dirasakan. Kemudahan-kemudahan yang disajikan ini membuat masyarakat memiliki kecenderungan atas hal-hal yang instan, termasuk dalam mengakses
sebuah berita. Masyarakat tak lagi dapat bersabar menanti berita hangat hari ini pada esok pagi. Cukup dengan internet, pembaca dapat bersantai di kamar atau teras rumah dan dengan satu klik mampu menemukan beragam berita yang diinginkan. Dampak dari perkembangan teknologi ini ternyata turut andil dalam menurunnya jumlah pengiklan pada media cetak. Pembaca dan pengiklan merupakan sumber kehidupan bagi media cetak. Jumlah pembaca yang berangsur menurun tentunya
In
rit
/Fa
tor
a dik
berbanding lurus dengan jumlah pengiklan pada suatu media cetak. Pemasangan iklan yang dulunya dirasa menjanjikan, kini mulai dipertimbangkan kembali. Kehilangan bagian terpenting membuat media cetak mau tak mau mengambil tindakan untuk mempertahankan eksistensinya. Inovasi dilakukan dengan menyesuaikan perkembangan teknologi yang sedang
terjadi. Media Dalam Jaringan (Daring) atau yang lebih akrab dikenal dengan media online akhirnya dijadikan solusi. Metode ini memanfaatkan internet sebagai perantara dalam menyajikan informasi bagi khalayak ramai. Dalam praktiknya, media daring memiliki berbagai perbedaan bila dibandingkan dengan media cetak, khususnya dari segi konten. JawaPos.com - Polisi menangkap tiga orang di wilayah Depok, Jawa Barat, Jumat (15/1) pagi karena diduga punya kaitan dengan serangan teror di Sarinah. Ketiganya adalah Saiful, Iro, dan Sudirman. Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes M Iqbal mengatakan, ketiga orang itu ditangkap di Kelurahan Bojong Pondok Terong, Kecamatan Cipayung, Depok. “Yang mimpin penangkapan Pak Krishna Murti (Direktur Reserse dan Kriminal Umum Polda Metro Jaya, red),” kata Iqbal. Selanjutnya, ketiga pelaku ini langsung menjalani pemeriksaan intensif di Mapolsek Cimanggis. Pilisi meyakini ketiga pelaku itu ada kaitan dengan teror di kawasan Sarinah, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (14/1). Namun, Iqbal belum menjelaskan barang-barang yang disita dari penangkapan itu. Sebab, polisi masih di lapangan. (elf/JPG) Contoh di atas menunjukkan bahwa konten berita pada media daring memang dibuat cenderung lebih singkat. Berbeda dengan media cetak yang telah lebih dulu dikenal dengan pembahasan-pembahasannya
Indikator Nomor 48/Tahun XXX/2016
61
Tribun Bebas yang mendalam terkait konten berita. Tak hanya itu, kekurangan pun masih terasa dari segi keredaksionalan yang digunakan oleh media daring. Tak jarang pula ditemukan kesalahankesalahan penulisan dalam sebuah berita. Dalam penulisan judul misalnya, media daring memiliki cara yang berbeda dengan media cetak. Contohnya saja salah satu judul berita yang diterbitkan detik.com, “Wow! PLN Raup Untung Rp 2,8 Triliun dalam 3 Bulan”. Penggunaan bahasa dari media daring yang dirasa informal ini ditakutkan akan memberi kesan buruk di mata para pembaca terkait kapasitasnya sebagai sebuah media penyedia informasi. Dalam penggarapannya, media daring menitikberatkan kecepatan sebagai nilai unggulnya dengan cara menerbitkan beritanya hanya dalam hitungan jam. Hal ini sukses mengalahkan surat kabar yang sebelumnya dinilai memiliki aktualitas tinggi dengan penerbitan di setiap pagi. Surat kabar dalam penerbitannya melalui proses manajemen redaksi yang panjang demi memperoleh berita berkualitas. Verifikasi terkait informasi yang diperoleh juga selalu dilakukan dengan tepat agar berita nantinya dapat terjamin akurasinya. Sistem pengeditan berita yang panjang dan teliti turut menjadi pembanding antara media cetak dengan media daring yang terfokus agar berita dapat segera diterbitkan. Media-media daring saat ini memang berlomba untuk menjadi yang pertama dalam menerbitkan suatu berita demi meraih loyalitas para pembaca. Hal ini memang bukan suatu kekeliruan karena sudah menjadi perbedaan yang dimiliki oleh media daring. Akan tetapi, berita-berita yang diproses serba cepat ini sesungguhnya memiliki dampaknya sendiri. Pemrosesan berita yang relatif lebih singkat nantinya dapat menurunkan kualitas dari sebuah
62
tulisan. Konten berita yang dibuat terlampau minim ini membuat pembaca hanya mengetahui sebuah berita dari kulit luarnya saja. Media-media daring sepertinya lebih mengutamakan agar para pembacanya mengetahui sebuah peristiwa dengan segera,
ik
Ind
bukannya memahami apa yang sedang terjadi. Tak cukup sampai di situ, gaya penulisan yang tak jarang mengalami kesalahan serta penggunaan bahasa informal justru dapat membuat para pembaca menganggap bahwa media tidak serius atau bahkan tidak memahami kaidah bahasa. Kondisi seperti ini yang nantinya dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap media daring. Informasi berkualitas merupakan hal yang dibutuhkan para pembaca di Indonesia. Kehadiran media daring pada era modern ini seharusnya mampu mencerdaskan masyarakat dengan segala kemudahan akses yang sudah ada. Memiliki jumlah pembaca yang lebih banyak dari media cetak, seharusnya mampu membuat media daring untuk terus membenahi diri. Inovasi yang dilakukan oleh mediamedia ini hendaknya tak hanya melulu mengenai bagaimana mendapatkan banyak pembaca dan mengedepankan kecepatan, namun juga menyediakan informasi yang berkualitas. Kemudian setelah melewati segala perbaikan
an
uz
/Fa
r ato
nantinya, media-media daring diharapkan mampu mendapatkan kepercayaan penuh dari para pembaca. Karena tak dapat dipungkiri bahwa dengan seiring berjalannya waktu, teknologi akan terus mengalami perkembangan. Masyarakat harus mulai dibiasakan dengan media daring, karena bukan hal yang mustahil bila suatu saat nanti media ini yang akan menjadi primadona seperti media cetak di masanya.
Indikator Nomor 48/Tahun XXX/2016
Eva Kumalasari
Potensi Daerah
Primadona Baru
Tulungagung A
kses jalan untuk menjangkau tempat ini dengan melewati Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Dengan menggunakan roda dua kita berangkat dari Kota Malang, Jawa Timur. Untuk menuju lokasi ini memerlukan waktu hingga lima jam perjalanan. Perjalanan diawali dengan menuju Tulungagung, yang mana memakan waktu hingga tiga jam. Sampai di Tulungagung, kita kesulitan mencari arah lokasi ini. Oleh karena itu cara termudah adalah mengikuti petunjuk arah menuju Pantai Sine. Hal ini dikarenakan lokasi dari tempat ini bersebelahan dengan Pantai Sine. Pantai ini sudah terkenal lama di Tulungagung sehingga petunjuk arah menuju pantai ini banyak terpampang
Indikator/Monang
Potensi Daerah Setelah berkendara mengikuti petunjuk arah ke Pantai Sine selama satu setengah jam, sampailah kita di Desa Pucang Laban. Dari sini arah Pantai Sine dan lokasi yang kita cari mulai berbeda. Namun dari titik ini pula petunjuk lokasi yang kita tuju mulai nampak. Petunjuk jalan menuju lokasi ini bisa dilihat dari papan kayu kecil yang tertempel di pohon, sehingga harus cermat mencarinya. Di titik ini perjalanan terasa sulit, selain mencari petunjuk arah yang minim dan kecil, ditemui juga jalan aspal yang rusak. Jalan berkelok juga mewarnai perjalanan. Tak hanya jalan aspal yang rusak, jalan bebatuan juga h arus dilewati. Ditambah lagi tanjakan curam dengan beralaskan jalan bebatuan juga wajib dilalui di titik ini. Setelah menempuh sekitar tiga puluh menit perjalanan, tepat di sebelah kanan jalan terdapat banner yang diikatkan di antara kedua pohon yang menjulang tinggi. Banner tersebut bertuliskan
“Pintu Masuk Kedung Tumpang”. Dengan ditemuinya tulisan tersebut, maka sampailah kita di gerbang masuk lokasi yang dicari, yakni Kedung Tumpang. Tak sampai sini, ternyata perjalanan masih berlanjut. Sayangnya dari sini pengunjung yang m enggunakan roda empat dilarang masuk. Hal ini dikarenakan jalan hanya bisa dilalui roda dua. Tapi, di sebelah timur p intu masuk terdapat tempat parkir mobil yang dikelola warga sekitar. S elain itu terdapat pula warga yang berinisiatif membuka jasa ojek untuk mengantarkan pengunjung ke l okasi. Tarifnya d ipatok Rp10.000,00 untuk sekali antar, sehingga total tarif dari parkiran mobil menuju lokasi dan kembali ke tempat parkir adalah Rp20.000,00. Dari pintu masuk menuju lokasi, perjalanan makin sulit. Jalan yang d ilewati adalah jalan tanah. Pengguna motor harus berhati–hati, sebab k emungkinan jatuh terpeleset sangat tinggi akibat jalan
tanah yang kadang dibumbui pasir lebat. Tak hanya itu, tanjakan juga harus dilalui. Bedanya tanjakan kali ini tidak hanya curam, jalannya juga berukuran satu ban motor. Ditambah lagi selama tanjakan, bila melihat kanan kiri yang ada hanyalah jurang. Hal ini menambah ekstrem perjalanan. Tak lama kemudian, di depan terdengar suara ombak laut yang masuk ke telinga. Ternyata hal tersebut m enandakan lokasi sudah dekat. Dilihat dari atas bukit, terdapat motor yang berjajar di bawah. Di situ lah tujuan yang dicari. Kita telah sampai di Wisata Kedung Tumpang. Sebelum masuk di depan, nampak penjaga sedang menarik uang dari para pengunjung. Uang yang ditarik sebesar Rp5.000,00 yang mana itu untuk biaya parkir. Akhirnya kita sampai di Kedung Tumpang. Dari sini terlihat pemandangan yang memanjakan mata. Tebing-tebing berdiri kukuh, beralaskan pantai yang bersih dari jejak
Indikator/Monang
Kolam alami Kedung Tumpang
64
Indikator Nomor 48/Tahun XXX/2016
Indikator Nomor 48/Tahun XXX/2016
65
Indikator/Monang
kaki. Selain itu, di sini juga terdapat barisan tenda biru yang menjajakan makanan dan minuman bagi para p engunjung. Ternyata pemandangan indah ini bukanlah tempat utama. Perjalanan masih harus berlanjut. Bedanya kali ini kita tidak bisa menggunakan kendaraan apapun. Kita harus jalan kaki ke bawah sekitar dua puluh menit. Permasalahannya adalah medan jalan masih alami. Sepanjang perjalanan hanyalah turunan curam dengan jalan dilapisi bebatuan tajam. Untuk membantu perjalanan disediakan tali tampar yang diikatkan di beberapa sudut s ebagai Lubang - lubang karang hasil pengikisan gelombang laut pegangan untuk membantu perjalanan. muncul akibat hempasan ombak sering datang saat pagi,” ungkap Kehati-hatian adalah hal utama dalam laut. Air ini terlihat jernih, sehingga Poit Hadiwijaya p enjaga area Kedung perjalanan kali ini. D engan medan memperlihatkan isi di dalam lubang Tumpang. Poit juga menambahkan yang sepenuhnya adalah turunan karang tersebut. Jernihnya air jika sebenarnya untuk bisa berenang di curam, maka kaki dan tangan haruslah menghipnotis kita untuk membuka genangan ini tidak hanya harus datang menahan beban tubuh agar tidak jatuh. baju dan berenang di sana. Tak berpikir pagi, melainkan juga harus melihat Tangan harus siap sedia memegang panjang kita nikmati pesona Kedung tanggal. Air laut surut biasanya terjadi tali tampar yang kasar dan kadang bisa Tumpang dengan menceburkan tubuh pada awal bulan hingga pertengahan melukai telapak tangan. Kemudian pada genangan ini. Airnya terasa bulan. “Nah kalau di tanggal 25-30 kaki harus menapak pada bebatuan, segar dan dingin di badan, saat air biasanya ombaknya besar.” Tegas dan memilih pijakan yang kuat agar ini memasuki mulut, lidah terasa asin. lelaki yang juga biasa disebut Boywood tidak tergelincir. Oleh karena itu, Saat berenang panorama lain muncul, Kedung Tumpang. kondisi fisik juga menentukan dalam ombak dari laut menghempas ke karang perjalanan kali ini. Tak lama setelah tempat kita b erenang, sehingga sesekali melewati turunan curam itu, sampailah genangan air menimbulkan gelombang. kita di lokasi u tama Kedung Tumpang. Sayangnya tidak setiap saat pengunjung Sampai di lokasi utama Kedung bisa berenang di genangan air ini. Tumpang, kita disuguhi lautan luas Mengingat lokasi tempat kita berenang tanda megahnya Samudera Hindia. adalah tebing dekat laut lepas, s ehingga Panorama alam dengan k arang- ombak terkadang menyapu bersih karang basah akibat hempasan ombak tempat itu. Berbahaya jika berenang laut juga menyambut kita setiba di disaat ombak sedang besar. Ada w aktusana. Sedikit berjalan ke arah timur waktu khusus untuk bisa berenang dengan dilanjutkan menuruni karang, di sini, yakni saat laut sedang surut. terlihat banyak lubang karang yang “Kebanyakan pengunjung mengira saat terisi genangan air. Genangan ini pagi laut sedang surut, jadi p engunjung Brian Monang S.
Terminal FEB Di balik Perjalanan Prodi Keuangan Perbankan
F
Indikator/Deni
akultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) merupakan salah satu fakultas tertua dalam sejarah berdirinya Universitas Brawijaya (UB). Terdapat tiga jurusan yang berada dalam naungan FEB UB yaitu Akuntansi, Manajemen, dan Ilmu Ekonomi (IE). Sejak tahun 2011, Jurusan IE membuka program studi (prodi) baru yakni Keuangan Perbankan (KP) dan Ekonomi Islam (Ekis). Menurut Prof. Dr. Ghozali Maski, SE., MS. selaku Wakil Dekan 1 menuturkan bahwa latar belakang pembentukan prodi ini merupakan hasil respon yang diberikan oleh Jurusan EP terhadap permintaan rektorat untuk membuka prodi baru di masing-masing fakultas. “Tahun 2009 semua fakultas diminta membuka prodi baru. Nah fakultas ekonomi yang merespon hanya EP saja,” tutur pria yang pernah menjabat sebagai ketua jurusan IE. Menindaklanjuti respon tersebut, segala persiapan mulai dirancang oleh pihak dekanat untuk melahirkan prodi baru di FEB seperti kurikulum, tenaga pengajar, fasilitas penunjang hingga segala administrasi perizinan.
66
Di tahun 2011 prodi ini resmi dibuka dan menerima pendaftaran mahasiswa baru melalui beberapa jalur seleksi yang disediakan. Menurut Putu Mahardika Adi Saputra, SE., M.Si., MA., Ph.D., pembukaan prodi ini sudah melalui persetujuan dari rektor. “Mulai tahun 2011, berdasarkan persetujuan rektor, jurusan IE membuka prodi KP bersamaan dengan Ekis”, ujar Putu. Dwi Budi Santoso, SE., MS., Ph.D selaku Ketua Jurusan IE pun mengakui bahwa pembukaan prodi baru tersebut dikarenakan tingginya minat dalam konsentrasi Ekis maupun KP, serta adanya kesiapan kompetensi dari tenaga pengajar di FEB UB. Selang beberapa tahun kemudian, izin pembukaan prodi baru untuk Ekis resmi diturunkan oleh Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Dikti) dengan berpedoman pada ketersediaan nomenklatur di Badan Akreditasi N asional Perguruan Tinggi (BAN-PT) “Ekis langsung turun izinnya karena memang itu nomenklaturnya sudah ada di Dikti, bahkan sudah terakreditasi A itu setelah izin keluar,” tambah Ghozali. Keberhasilan Ekis dalam memperoleh izin
dan akreditasi tersebut ternyata tidak diikuti oleh Prodi KP. Prodi KP justru mengalami hambatan dengan belum turunnya perizinan untuk pembukaan prodi baru dari Dikti setelah enam bulan proses pengajuan pembukaan prodi baru. Ghozali mengakui bahwa perizinan belum turun karena nomenklatur Prodi KP yang ada di BAN-PT masih ditujukan untuk program Vokasi atau Diploma sedangkan untuk S1 belum tersedia. Hal senada juga d isampaikan oleh Dr. Rachmad K resna Sakti, SE., M.Si. “Keuangan perbankan nomenklaturnya tidak pada S1, nomenklaturnya itu D4,” ujar dosen yang juga menjabat sebagai Ketua Prodi KP. Belum tersedianya nomenklatur ternyata menjadi penghambat dalam proses perolehan akreditasi prodi. Kondisi ini ternyata menimbulkan kekhawatiran terkait kejelasan status prodi kepada mahasiwa KP. Rahmania Aurora selaku mahasiswi KP angkatan 2012 mengatakan sempat khawatir terhadap kejelasan status lulusan Prodi KP nantinya. Kekhawatiran lain juga diungkapkan oleh Adam Abdul Aziz “Gelisah itu pasti, hasilnya juga masih mengambang, klarifikasi kejelasan Prodi KP belum ada, dekanat juga belum transparan,” paparnya. Selain itu, Dhimas Arfiansyah mahasiswa KP angkatan 2013 juga mengungkapkan kekhawatiran, “Setiap semester itu kurikulumnya selalu ganti-ganti bahkan berbeda dari yang ada di buku panduan. Jadi pasti pas Kartu Rencana Studi (KRS) itu selalu bingung,” ungkapnya. Menanggapi kekhawatiran tersebut, menurut Andhi Rama Setyawan di tahun 2014 pernah ada pertemuan antara Mahasiswa KP dari semua angkatan dengan
Indikator Nomor 48/Tahun XXX/2016
pihak dekanat guna membahas kondisi Prodi KP, “Untuk sementara kita diikutkan di Prodi EP, dikonsentrasikan dengan akreditasi A,” ungkap mahasiswa asli Malang ini. Hal ini ternyata sesuai dengan solusi yang diberikan oleh pihak jurusan dengan mengembalikan status prodi KP sebagai konsentrasi. “Kebijakan dan keputusan pihak dekanat, yaitu mahasiswa KP akan dibawa ke konsentrasi. Jadi, ijazah yang mereka terima nantinya diperoleh dari jurusan IE Prodi EP dan Konsentrasi KP,” ujar Putu. Solusi mengembalikan prodi ini ke konsentrasi akhirnya menjadi langkah yang diambil dekanat untuk menghindari terjadinya pelanggaran peraturan yang telah ditetapkan oleh Dikti. Untuk sementara, anjuran rektor untuk ditutupnya penerimaan mahasiswa baru untuk prodi KP tahun 2015. “Kita tidak menerima mahasiswa KP pada tahun 2015, sekarang kita setop setahun,” tutur Putu. Meskipun terjadi penutupan Prodi KP, hal ini tidak menyurutkan u paya pihak jurusan maupun dekanat untuk mengajukan KP sebagai prodi baru. Di pertengahan tahun 2015 pengajuan Prodi KP kembali diupayakan oleh pihak dekanat karena adanya permintaan Dikti untuk mengajukan kembali Prodi KP dengan persyaratan yang baru. Pengajuan tersebut ternyata membuahkan hasil dengan turunnya surat rekomendasi dari Dikti. Menurut Dwi Budi, rekomendasi tersebut berupa perintah bagi FEB UB untuk membuka lagi Prodi KP sebagai cabang IE yang telah diakui oleh Dikti untuk S1 dengan nama Ekonomi Keuangan Perbankan (EKP). Putu menilai bahwa turunnya surat rekomendasi sebenarnya menjadi modal penting bagi FEB untuk membuka kembali Prodi KP dengan nama, kurikulum, dan sistem yang baru. Tetapi, hal ini masih dirasa sebagai tahap awal adanya Prodi EKP, “Kita masih di tahap awal, kita sudah membentuk
tim untuk mengisi format atau standar dari Dikti, mudah-mudahan tahun depan 2016 status kita lebih baik dari akreditasi C,” ujar Putu. Sedangkan dalam kurikulum yang akan digunakan oleh Prodi EKP, Dwi Budi mengatakan penerapan kurikulum tersebut masih akan menggunakan kurikulum lama yang telah diterapkan di Prodi KP sebelumnya. “Jadi program EKP itu mengikuti kurikulum yang m emang
Indikator/Deni
sudah disediakan,” ungkap pria yang juga dosen di Jurusan IE. Namun, hal ini tidak menutup kemungkinan akan ada perubahan ataupun penyesuaian untuk kurikulum baru nantinya. Menurut Putu, penyesuaian tersebut bisa jadi memunculkan hal baru dengan adanya keunikan dalam besaran Satuan Kredit Semester (SKS) yang ada di Prodi EKP, “Mungkin akan ada sedikit keunikan, kalau program EKP itu bisa mempunyai jumlah mata kuliah yang jauh lebih sedikit ketimbang prodi lain di Jurusan IE. Jadi bisa saja mata kuliah
memiliki bobot lebih dari 3 SKS.” Selain persyaratan administrasi dan akademik yang terus dipenuhi, persiapan lain seperti tenaga pengajar dan fasilitas penunjang juga harus diperhatikan untuk memenuhi kebutuhan dalam pembentukan prodi baru EKP. Terkait tenaga pengajar, Kresna menganggap bahwa ada kemungkinan untuk mengambil tenaga pengajar dari luar berupa outsourcing untuk m enutup kekurangan dalam pengembangan kurikulum baru. Selain itu ketersediaan fasilitas penunjang juga akan mulai ditambah .“Kita sudah mendapat software perbankan syariah, ditambah kerjasama dengan Bank Rakyat Indonesia (BRI) membuat bank mini atau real banking serta pembenahan pojok Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk praktik transaksi saham. Jadi nanti ada tiga laboratorium,” ujar Ghozali. Adanya prodi baru EKP ini memunculkan harapan dari berbagai pihak, Adam dan Rama berharap bahwa pembukaan prodi baru EKP nanti diharapkan dapat membawa angin segar terkait kejelasan status mahasiswa, kurikulum, maupun a kreditasinya. Dwi Budi mengharapkan adanya Prodi EKP dapat melahirkan output lulusan yang lebih baik karena ditunjang dengan peningkatan kompetensi maupun peningkatan input lainnya. Hal senada juga diutarakan oleh Ghozali, beliau mengungkapkan adanya Prodi EKP mampu melahirkan akademisi-akademisi baru dari prodi ini, “Harapan saya, lulusannya itu jadi pemerhati perbankan seperti evaluasi kebijakan-kebijakan perbankan,” ujarnya. Putu juga berharap bahwa apa yang terjadi bisa menjadi pelajaran untuk terus memberikan pelayanan terbaik untuk mahasiswa dan tidak menyurutkan semangat mahasiswa untuk terus belajar.
Indikator Nomor 48/Tahun XXX/2016
Febri Suci A.
67
Etalase
Indikator/Ryan
S
eorang wanita tua berambut putih tampak sedang menangis tersedu-sedu. Wanita muda yang merupakan anaknya memeluk berusaha menenangkan. Di sisi lain, seorang pria dengan tubuh kecil tampak memegang sebuah kaos dan peci yang basah terkena hujan. Sedangkan saudara perempuannya yang lain berlutut di lantai sambil menangis. “Jadi ayah melompat ke sungai karena tidak tahan menerima penghinaan dariku? Ayah yang dulu dielu-elukan dan sekarang jatuh miskin? Aku baru saja membunuh ayahku sendiri! AYAAAAH!!!” seru pria tersebut. Tangisan dari ketiga wanita lainnya pun mengakhiri adegan itu. Sedetik kemudian ruangan menjadi gelap, diikuti dengan gemuruh tepuk tangan dari seluruh penonton. *** Setelah sempat vakum selama setahun, Komunitas Teater Universitas Brawijaya (KUTUB) kembali mengadakan Festival Teater Brawijaya (FESTAWIJAYA) di tahun 2016. Bertajuk tema “Membangun Bangsa dengan Karya”, FESTAWIJAYA III diadakan pada 17-20 April 2016 di Gedung Kebudayaan Mahasiswa
68
(GKM). Alasan ditiadakannya acara ini pada tahun lalu dikarenakan padatnya kegiatan sanggar teater yang ada di Universitas Brawijaya (UB). “Karena banyak sanggar yang pentas, akhirnya tahun 2014 kita pending lalu dibuka kembali di awal tahun ini,” ungkap Amira Bilhuda selaku Koordinator Divisi Acara FESTAWIJAYA III. Tahun ini, terdapat 15 SMA/SMK sederajat seJawa Timur dan 11 fakultas di UB yang mengikuti acara ini. Banyaknya peserta menjadi peluang antar sanggar teater untuk saling merekatkan diri. “Pertama untuk merekatkan teater antar fakultas. Lalu kami mencoba merangkul pihak SMA supaya tahu bahwa di kampus ada teater,” ujar Ikhda Eskapraja Andrian selaku ketua pelaksana. Hari pertama dibuka oleh SMAN 2 Pasuruan yang membawakan naskah “Ayahku Pulang”. Peserta berikutnya dari SMAN 7 Malang membawakan naskah “Pinangan” dengan cukup unik dan ramai. Aktor dan aktris menampilkan naskah dalam tiga versi yaitu ending yang bahagia, menyedihkan, dan bergenre komedi. Kemudian, peserta selanjutnya yaitu SMAN 1 Kademangan membawakan pentas dengan naskah yang sama.
Sekitar pukul 17.30 WIB, pementasan ditunda untuk istirahat-sholat-makan (ishoma). Pukul 18.30 WIB pementasan pun kembali dilanjutkan dengan penampilan dari Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) yang membawakan naskah berjudul “Orang Asing”. Setelah FIA, giliran Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) yang tampil dengan naskah berjudul “Pada Suatu Hari”. Semakin malam suasana pun semakin ramai. GKM dipadati oleh para suporter dari fakultas yang sedang tampil. Pementasan pada hari pertama ditutup dengan penampilan unik dari Teater Lingkar Fakultas Ilmu Budaya (FIB) yang membawakan naskah berjudul “Zero”. Tokoh utama terdiri dari empat wanita dengan riasan cantik menyerupai bunga dan seorang pria dengan dandanan alis dan kumis berwarna kuning. Tidak hanya berakting, para aktor dan aktris juga bernyanyi dan menari dengan kompak. Nyanyian “Zero, zero, zero, zero, zero, one, two, three,” terdengar ikut dinyanyikan oleh seluruh penonton. Hari kedua, giliran penampilan SMAN 4 Bojonegoro dan SMA Budi Utomo Jombang yang sama-sama
Indikator Nomor 48/Tahun XXX/2016
membawakan naskah berjudul “Wek Wek”. Karena masih pagi, penonton yang datang tidak sebanyak ketika malam hari. Hal ini ternyata cukup berpengaruh terhadap penampilan peserta. “Penonton itu jadi moodbooster kita supaya lebih semangat,” kata Ken Budi Luhur salah satu aktor dari SMA Budi Utomo Jombang. Penampilan terakhir sebelum ishoma ditutup oleh SMKN 1 Gempol dengan naskah berjudul “Pinangan”. Pada pukul 13.00 WIB, FESTAWIJAYA III dimulai. Kali ini, ada tiga peserta yang mementaskan naskah “Wek Wek” yakni, SMAN 5 Malang, SMA Brawijaya Smart School (BSS) 1, dan SMAN 1 Kepanjen. Sedangkan SMKN 11 Malang menampilkan lakon “Pinangan”. Sesi kedua lalu dimulai selepas magrib dengan menampilkan pementasan dari sanggar-sanggar teater fakultas. Kali ini giliran Teater Gendhis dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) yang tampil dengan membawakan naskah berjudul “Pada Suatu Hari”. Pukul 20.00 WIB, Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) tampil dengan membawakan naskah “Orang Asing”. Musik genderang yang dimainkan di belakang panggung membuka sekaligus mengakhiri pementasan FKH. Hari ketiga dibuka oleh penampilan SMKN 1 Tuban dan SMAN 1 Trenggalek yang mementaskan naskah berjudul “Wek Wek”. Pementasan dilanjutkan dengan penampilan SMA BSS 2 yang membawakan naskah “Pinangan”. Setelah ishoma, SMKN 5 Malang beradu peran dalam naskah “Wek Wek”. Pada naskah ini, SMKN 5 membuat tokoh bernama ‘Bodong’ menjadi agak kemayu. Tiga puluh menit kemudian, giliran SMK Kesehatan Adi Husada mementaskan naskah berjudul “Ayahku Pulang”. Pukul 16.00 WIB, pertunjukan dilanjutkan dengan penampilan Teater SAAT Fakultas Teknik (FT). Kali ini
naskah yang dibawakan belum pernah dipilih oleh peserta lainnya, yaitu “Pakaian dan Kepalsuan”. Selang sekitar satu jam kemudian, penampilan dari FT selesai. Para peserta sekaligus suporter langsung meneriakkan jargon kebanggaan mereka. Teriakan “SATU.. DUA.. TIGA.. TEKNIK,” menggelegar ke seluruh ruangan. Tidak mau kalah dengan FT, suporter dari penampil selanjutnya yaitu Fakultas Hukum (FH) pun mulai terlihat memadati ruangan. Teater Kertas FH menampilkan pertunjukan dengan judul naskah “Lawan Catur”. Walau penonton sempat dibuat menunggu, tetapi aktor serta aktris dari FH dapat menampilkan perannya dengan memukau. Pukul 19.00 WIB, acara yang sempat ditunda untuk ishoma kembali dilanjutkan. Kali ini adalah giliran Teater TBC dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) yang membawakan naskah berjudul “Pakaian dan Kepalsuan”. Pementasan pada hari itu ditutup oleh penampilan dari Teater EGO Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) yang mementaskan naskah “Orang Asing”. Jika teater dari fakultas lain memilih aktor untuk memerankan anak yang hilang, maka kali ini Teater EGO memilih aktris untuk memerankan anak yang hilang. Di hari terakhir, Fakultas Peternakan (FAPET) dan Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) membawakan naskah berjudul “Orang Asing”. Tak lama setelah pementasan, juri yang terdiri dari tiga orang, Darmanto Radjab Mpd., Rahmat Giryadi, dan Hidayatullah diberi waktu berdiskusi untuk menentukan pemenang dari FESTAWIJAYA III. Karenanya, acara ditunda hingga pukul 15.00 WIB. Pukul 15.30 WIB, penonton pun mulai berduyun-duyun masuk dan mencari tempat duduk yang nyaman. Acara dibuka dengan penampilan spesial dari Teater Kaki Langit Universitas Negeri Surabaya (UNESA)
selaku guest star. Pertunjukan dari Teater UNESA ini diberi judul “Koyakan Api Memperkosa Ibu”. Para penonton dibuat terpukau dengan aksi unik tiga aktor dalam pementasan ini. Bagian yang ditunggu-tunggu pun akhirnya tiba. Pukul 16.43 WIB, MC kembali masuk ke area panggung dan meminta ketiga juri untuk maju ke depan membacakan daftar pemenang. Untuk tingkat SMA/SMK sederajat, juara I, II, dan III masing-masing diperoleh Teater Micro SMKN 1 Tuban, Teater Catur SMAN 2 Pasuruan, dan Teater Keong SMAN 7 Malang. Untuk tingkat fakultas, juara umum diraih Teater Cowboy FAPET. Petang itu Teater Cowboy langsung merebut tiga nominasi penghargaan sekaligus yakni, penata panggung terbaik, penata lampu terbaik, dan sutradara terbaik. Sedangkan untuk nominasi aktor dan aktris terbaik diraih oleh Teater Kertas FH. Nominasi penata lampu terbaik diraih oleh Teater SAAT FT, penata rias dan kostum terbaik dimenangkan Teater Lingkar FIB, dan peserta terfavorit diberikan kepada Teater Vertebrae FKH. Raut gembira terlihat di wajah para pemenang. Perasaan senang ini langsung diungkapkan oleh sutradara dari Teater Cowboy, Wisnu Raharjo. “Pastinya sangat senang karena setelah tiga kali mengikuti FESTAWIJAYA kami berhasil mendapatkan piala yang sudah diincar sejak pertama,” kata lelaki berpostur tinggi itu. Berakhirnya FESTAWIJAYA III turut mendatangkan harapan dari sejumlah pihak khususnya dari juri. Darmanto, M.Pd., mengusulkan agar di FESTAWIJAYA selanjutnya diadakan lomba menulis naskah. “Nantinya dapat menghasilkan antologi naskah yang berkualitas sehingga dapat dijadikan naskah wajib,” tutup pria berkacamata tersebut.
Indikator Nomor 48/Tahun XXX/2016
Monica Nugraha S.
69
Sastra Menuai Tebangan: Tutup Mata, Telinga, dan Hati
S Indikator/Jaya
Esty Dwi Khoirun Nisa
Mahasiswi Jurusan Manajemen Angkatan 2014 ini biasa d ipanggil Esty. Perempuan dengan hobi memasak ini kini aktif sebagai staf Pusat Data Dokumentasi dan Referensi di Lembaga Pers Mahasiswa Indikator Fakultas Ekonomi dan Bisnis U niversitas Brawijaya.
inar mentari pagi melewati celah-celah atap kandang, menciptakan bayangbayang. Teriknya menyinari burung-burung di sarangnya. Hangatnya membelai lembut membangunkan hewan-hewan ternak. Ayam jago pun mulai membangunkan tuan-tuannya yang sedang terbuai mimpi. Sawah telah menanti, siap untuk dikerjakan. Sayup-sayup, terdengar suara celotehan warga. Penduduk pria mulai berangkat menuju sawah maupun kantor yang menanti mereka. Ibu-ibu saling menyapa, mengerumuni pedagang sayur yang lewat. Sedangkan anak-anak kecil bermain di jalanan, menghabiskan sedikit waktu sebelum berangkat sekolah. Ada yang aneh pagi itu. Tak biasanya jalan desa tersebut dilewati truk. Bahkan yang lebih anehnya, mobil kepala desa memimpin truk-truk tersebut. Truk itu memaksa penduduk untuk menyisihkan sebagian besar badan jalan. Iring-iringan truk kemudian berhenti di depan kantor kepala desa. Kepala desa pun keluar dari mobil dan berbincang dengan salah seorang yang ikut dalam iringan truk. Tak lama, iring-iringan tersebut berangkat menuju hutan desa tanpa kepala desa. Desa pun kembali pada rutinitasnya, seolah tak terjadi apa-apa. “Siapa mereka? Apa yang mau mereka lakukan di hutan?” pikir salah seorang pemuda di desa itu. Ia pun menemui kepala desa untuk mencari jawaban. “Siapa mereka, Pak? Apa yang mau mereka lakukan dengan truk-truk itu di hutan?” “Mereka hanya mau mencari kayu untuk usaha mereka, Mas.” “Dengan menebang pohon? Yang benar saja, Pak! Nanti bisa-bisa banjir.” “Sudah, jangan mencampuri hal ini. Lagi pula mereka bisa menjadi sumber rezeki desa ini. Jika Anda kemari hanya untuk membicarakan ini, sebaiknya Anda pulang. Saya sibuk.” ***
Berkali-kali dia melewati jalan itu. Selama tiga bulan ini dia rajin melewatinya. Setiap hari, setiap sore menjelang. Hanya cangkul berlumpur yang setia menemani. Teriknya mentari tidak mengganggunya. Tentu saja, topi caping bertengger kuat di kepalanya. Hanya kaos berlengan pendek dan celana hitam panjang yang melekat di tubuhnya. Tak lupa, sandal jepit yang sudah tipis. Dia terus berjalan meski peluh sudah menetes. Hanya satu tujuannya, kantor kepala desa. Deru dari truk-truk yang melewatinya seakan hanya angin lalu. Cibiran dan pandangan warga yang menusuk seolah hanya serangga lewat. Setiap kali dia lewat, selalu dibicarakan. Ya, dia sekarang menjadi orang terkenal di desanya. Dia disebut sebagai orang yang ingin desanya tetap miskin. Namun, itu salah. Dia juga menginginkan desanya maju, tapi bukan begini caranya. “Kenapa Bapak biarkan mereka bekerja di sini? Pekerjaan mereka itu merusak, Pak,” protesnya pada kepala desa. “Tentu saja saya izinkan, Mas Idrus. Pendapatan masyarakat desa ini akan meningkat jika ada mereka. Masyarakat desa bisa mendapat penghasilan tambahan. Saya harus menjelaskan berapa kali?” jawab kepala desa. “Tapi dalam jangka panjang, desa ini bisa hancur. Pohon-pohon di hutan sekitar
70
Indikator Nomor 48/Tahun XXX/2016
desa ini mereka tebang. Mereka juga tidak pilih-pilih dalam menebangnya. Penanaman kembali juga tidak ada. Nanti tidak akan ada lagi yang m enyerap hujan, Pak. B isa-bisa nanti banjir dan tanah longsor. Sungai juga sudah agak kotor dan banyak sampahnya. Lagipula, apa mereka punya izin dari pemerintah pusat?” d esaknya. “Jangan ajari saya! Tahu apa Anda tentang mengatur perekonomian warga? Anda hanya petani! Saya ini kepala desa! Sebaiknya Anda pulang. Saya sibuk.” “Lalu, surat izin mereka, Pak?” “Mas Idrus! Sebaiknya Anda pulang sekarang!’’ “Saya hanya ingin tahu surat izin mereka, Pak. Jika surat ijin mereka tidak sah, maka sebaiknya mereka dihentikan. Bahaya, Pak.” “Diam! Tahu apa Anda tentang surat izin? Saya yang punya k ewenangan di sini! Saya yang lebih mengerti!” Dia pun diusir dari kantor kepala desa. Lagi-lagi, adegan pengusirannya menjadi tontonan gratis untuk w arga desa. Cibiran dan pandangan yang tidak mengenakkan kembali diterimanya. Dengan langkah gontai, jalan yang kini rusak itu kembali dilaluinya. Dia sibuk berpikir, sehingga tanpa terasa dia telah sampai di rumahnya. Namun, ayahnya malah menyambutnya dengan ucapan sinis. “Diusir lagi sama kepala desa? Ngotot sih. Mereka itu membawa berkah untuk desa ini. Tetangga-tetangga kita semakin kaya raya karena bekerja dengan mereka. Lebih baik kamu seperti Bapak, ikut bekerja dengan mereka juga.” “Harus berapa kali saya bilang, Pak? Dalam jangka panjang, desa ini akan hancur karena ulah mereka, saya tahu risikonya jika ada penebangan liar. Apa bekerja sebagai penggarap sawah orang dan makelar sapi masih kurang, Pak? Kalau mereka tidak punya izin resmi, sudah pasti itu ilegal!”
“Kamu ini susah sekali diberi tahu! Urus saja ayam jagomu itu! Pokoknya mereka itu membawa berkah untuk desa ini. Jangan protes tentang mereka lagi, atau Bapak jual ayam jagomu itu!” “Tapi, Pak, bukannya bermaksud tidak sopan, saya hanya mengingatkan. Apa tidak sebaiknya Bapak meninggalkan pekerjaan dengan mereka?” “Tidak bisa! Seharusnya kamu bersyukur Bapak bisa dapat penghasilan tambahan. Dasar anak durhaka, tidak tahu terima kasih!” Amarah sang ayah m embungkam Idrus. Sudah berkali-kali dia dimarahi dengan alasan yang sama, yaitu protesnya tentang para penebang liar. Namun, dia tetap bersikeras menghentikan penebangan liar di desanya. Di balik jendela rumah, dilihatnya hutan sekitar desanya. Hutan yang dulu hijau dan lebat, sekarang sudah berbeda. Gundul. Kosong. Tidak ada lagi yang berwarna hijau. Tidak ada lagi suara burung-burung yang selalu terbang di atas hutan itu. Tidak ada lagi ketenangan. Berisik. Hanya suara pekerjaan mereka yang memenuhi udara. Suara gergaji-gergaji mesin, truk pengangkut kayu, dan pohon-pohon yang roboh. Seolah melengkapi kekosongan. L angit pun gelap. Mendung. Awan besar hitam menggantung di atas hutan. Dengan hati sedih, disudahinya memandangi hutan itu. Dilangkahkan kakinya ke halaman belakang. Petok, petok. Terdengar suara ayam dari halaman belakang. Suara ayam jago Idrus seakan menjawab kegelisahan tuannya. Didekatinya Idrus. Sambil mengepakkan sayap, ayam jago itu mematuk kaki Idrus. Seolah-olah ingin mengabarkan sesuatu, namun tidak bisa mengucapkan. “Aduh! Ada apa, Go? Kamu lapar? Sebentar aku ambilkan jagung.” Dipatuknya lagi kaki Idrus, lalu
pergilah ayam jago ke depan rumah. Idrus pun mengejarnya. Namun, betapa kagetnya Idrus saat keluar dari h alaman rumahnya. Banyak orang p anik. Hewan-hewan ternak memberontak, berteriak-teriak, ingin pergi. Tak lama, terdengar suara gemuruh. Muncul kilat, lalu hujan. Gawat, batin Idrus. Segera ia masuk ke dalam rumah, mencari ayahnya. “Pak, ayo kemasi barang-barang kita dan pergi! Sudah hujan, Pak. Bisa-bisa banjir!” “Ini hanya hujan! Kamu laki-laki, jangan jadi pengecut!” Idrus pun meninggalkan ayahnya di ruang tamu. Dikemasinya pakaian, makanan secukupnya, dan barang berharga lainnya. Terdengar hujan semakin deras. Angin bertiup kencang. Langit semakin gelap. Atap-atap w arga seakan mau lepas. Air sudah masuk ke dalam rumah Idrus, meski hanya setinggi mata kaki. Semoga m asih sempat, batinnya. Diajaknya lagi ayahnya untuk pergi. Namun, ayahnya masih bersikeras untuk tetap tinggal. “Pak, ayo kita pergi! Banjir, Pak, banjir.” “Apa-apaan kamu? Banjir setinggi ini nanti juga akan surut.” “Tapi, Pak, dengan hujan seperti ini, nanti bisa banjir bandang. Sungai juga sudah agak terbendung sampah.” “Idrus! Tidak akan terjadi apa-apa. Jangan jadi pengecut!” Tak lama, muncul suara gemuruh, lalu hening. Tidak ada suara, bahkan angin sekalipun. Hening. Tiba-tiba muncul suara ledakan. Tubuh Idrus dan ayahnya terhempas, begitu pula rumah mereka. Luluh lantak. Hanya puing-puing bangunan dan tubuh kaku warga yang nampak terapung. Banjir telah menelan desa itu. Mengubur semua jejak kehidupan yang pernah ada di desa tersebut.
Indikator Nomor 48/Tahun XXX/2016
Esty Dwi K. N.
71
Klik Kuat Menebas
Siap Diolah
Teliti Memahat
Cermat Mengerat
Pesawat mungil lepas landas Menuju langit lepas Terbang bebas Berkelana melampaui batas
Fokus Merakit Perjuangan Belum Usai
Pesawat Perjuangan Pesawat mungilmu megamakna Banyak cerita, penuh cinta Beribu doa, berjuta usaha Perjuangan tiada tara, tak putus asa
Fotografer Renno Abdi P.
Narasi
Nania Tamana
Tata Letak
Fauzan Setyo A. N.
Indikatoriana
Indikator/Fauzan