INDEPENDENSI LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM) DI TENGAH KEPENTINGAN DONOR (Studi Kasus LSM Lembaga Kajian untuk Transformasi Sosial (LKTS) dan LSM Lembaga Pertanian Dompet Dhuafa (LPS DD) Republika)
HUSAIN ASSA’DI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Independensi LSM di tengah Kepentingan Lembaga Donor adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Februari 2008
Husain Assa’di NRP A152050051
ii
ABSTRACT
The top-down development approach has been failed in bringing prosperity to Indonesia. The model of development approach by the NGO become an alternative model of development before. But this approach is also not free from problems, the indicator is from rapid development of NGOs cannot reduce the poverty in Indonesia. Each development agencies including NGOs cannot be separated from the various interests. Form of interest relationship happens between NGOs and Donors.This study would like to answer the question that is donors infleunce of the independence of NGOs. In order to answer the research question, the writer is using qualitative method. The financial arrangement network, action, interest, motives and NGOs ideology are the main focus of this study. Two NGOs are observed, namely Lembaga Kajian untuk Transformasi Sosial (LKTS) and Lembaga Pertanian Sehat (LPS). The first NGO is more dependent to international donor where as the second is more dependent to local donor. The first NGO is working at region wide, while the second on local level. This study resulted that LKTS and LPS were dependent in the financial aspect. LKTS was also dependent in action aspects but LPS was independent in this aspect. The NGOs differences were in independences financial aspects and the action. They appeared on the characteristics of the donor, where LKTS collect funds from foreign donors with a greater interest agenda while LPS collect funds from the community in a participatory management of the trust to LPS. In addition, Factors that affected the independence of NGOs to the characteristics of donors were the change that also influenced by internal factors, namely: 1. Militancy of NGOs’ ideology, 2. Fund, 3. NGOs Achievements be the strength variabel in negotiations. Shifting in NGOs Ideology orientation was not directly caused by the donor, but because of the greater increased in financial needs. This occured because of the NGOs’ increasing demand activities (Operational Costs, developing events, staff, and other budget support). Needs should be fulfilled by NGOs to be able to maintain its existence. In the development perspective, NGOs did not necessarily become a social movement organization which realised the dream of success bottom up approach. NGOs that had established its first platform as an independent institution from outside interests and the interests of a civil (civil sphere) appeared to have the problem in dependency on the donor in the field of financial and actions. In addition, NGO had also experienced in shifting ideology orientation. keywords: Social movement organization, NGO, development approach, local participation, empowerment iii
RINGKASAN HUSAIN ASSA’DI. Independensi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Di Tengah Kepentingan Donor. Studi kasus LSM Lembaga Kajian untuk Transformasi Sosial (LKTS) di Boyolali dan LSM Lembaga Pertanian Sehat (LPS) di Bogor. Dibimbing oleh ARYA HADI DHARMAWAN dan SOERYO ADIWIBOWO
Pendekatan pembangunan top down dinilai telah gagal dalam membawa kesejahteraan bagi Indonesia. Model pendekatan pembangunan oleh LSM menjadi alternatif dari model pembangunan sebelumnya. Tetapi pendekatan ini juga tidak bebas dari masalah, Indikasinya adalah pesatnya perkembangan LSM tidak menghasilkan penurunan kemiskinan di Indonesia. Setiap agen pembangunan termasuk didalamnya LSM, tidak lepas dari berbagai kepentingan. Bentuk hubungan kepentingan diantaranya hubungan antara LSM dan donor. Penelitian ini ingin mengetahui apakah kepentingan donor memberi pengaruh pada independensi. Untuk menjawab rumusan permasalahan penelitian, penulis menggunakan metode kualitatif. Fokus penelitian ini adalah pada jejaring donor, aksi, kepentingan, motif, dan ideologi LSM. Dua LSM yang diteliti adalah Lembaga Kajian untuk Transformasi Sosial (LKTS) dan Lembaga Pertanian Sehat (LPS). LKTS lebih dependen dengan donor internasional sementara LPS dependen dengan donor lokal. LKTS berskala regional dan LPS berskala lokal. Penelitian ini mengungkapkan bahwa LKTS dan LPS dependen dalam aspek finansial. LKTS juga dependen dalam aspek aksi tetapi LPS independen dalam aspek ini. Perbedaan independensi LSM pada aspek finansial dan aksi di atas muncul dari karakteristik donor, dimana LKTS menghimpun dana dari donor asing dengan agenda kepentingan yang lebih besar dan LPS menghimpun dana masyarakat secara partisipatif dengan kepercayaan pengelolaan kepada LPS. Faktor yang mempengaruhi independensi LSM selain karakteristik donor, perubahan juga dipengaruhi oleh faktor internal juga dimana 1. Militansi ideologi LSM, 2.Kemapanan LSM dalam dana, 3. Kemapanan Kinerja LSM (Prestasi LSM) menjadi variabel kekuatan dalam negosiasi. Pergeseran orientasi ideologi LSM tidak disebabkan langsung oleh donor, tetapi karena meningkatnya kebutuhan finansial yang semakin besar. Kebutuhan ini terjadi karena meningkatnya aktifitas LSM (Biaya Operasional, pegembangan kegiatan, Staf, Anggaran pendukung lainnya). Kebutuhan tersebut perlu dipenuhi oleh LSM untuk bisa mempertahankan eksistensinya. Dalam perspektif pendekatan pembangunan, LSM tidak serta merta menjadi organisasi gerakan sosial yang mampu mewujudkan mimpi kesuksesan pendekatan bottom up. LSM yang memiliki platform awal berdiri sebagai lembaga yang independen dari kepentingan luar dan membawa kepentingan sipil (civil sphere) ternyata mempunyai masalah ketergantungan pada donor di bidang finansial dan aksi. Selain itu LSM juga mengalami pergeseran orientasi ideologi. iv
@ Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagaian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB
v
Judul Penelitian
: Independensi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di tengah Kepentingan Donor
Nama
: Husain Assa’di
NRP
: A152050051
Program Studi
: Sosiologi Pedesaan
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS
Ketua
Anggota
Mengetahui,
Ketua Program Studi
Dekan
Mayor Sosiologi Pedesaan
Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS.DEA
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal ujian: 30 Januari 2009
Tanggal lulus:
vi
PRAKATA Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT atas karunia Nya sehingga Penulisan Tesis ini berhasil disusun. Tema yang dipilih ialah Respons Komunitas dengan judul: Independensi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di tengah Kepentingan Donor. Terimakasih disampaikan kepada Dr. Ir Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr (Ketua Komisi Pembimbing), dan Dr. Soeryo Adiwibowo,MS (Anggota) atas curahan waktu dan pikiran dalam memberikan bimbingan. Demikian pula kepada Ir. Fredian Tonny, MS yang bersedia menjadi Penguji Luar Komisi. Penghargaan disampaikan pula kepada: -
Rektor IPB Bogor, Dekan SPs, Dekan FEMA dan Ketua PS Sosiologi Pedesaan
-
Orang tua Ibu tercinta dan M. Yazid Chusnadi (Alm) .
-
Isteri tercinta R. Desi Santika, SP serta ananda tersayang Muhammad Telaga Kautsar (Agas) dan Muhammad Pijar Azami (Pijar) atas kesabaran, doa kasih sayang serta motivasinya.
-
Aktivis LSM LKTS dan LPS
-
Rekan-rekan PS SPD khususnya S2 dan S3
Penulis mengharapkan kritik serta masukan demi penyempurnaan tulisan, serta pengembangan penelitian ini. Semoga tulisan ini dapat memberi kontribusi pada proses ‘pendewasaan’ LSM yang sesuai dengan platform awal berdirinya. Semoga semua usaha kita selalu dituntun dan dirahmati oleh Allah SWT. Amin. Bogor, Januari 2009
Husain Assa’di
vii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sukoharjo, 27 Juli 1981 dari Anak kelima dari lima bersaudara pasangan Muhammad Yazid Chusnadi dan Sri Sulami. Penulis menempuh studi SD di Madrasah Muhammadyah 1 Trangsan di Sukoharjo, SMP Al Islam 1 Surakarta, SMU Negeri 4 Surakarta dan menyelesaikan Program Sarjana di Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian, Jurusan Ilmuilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis juga aktif berorganiasasi sejak SMP, tercatat sebagai Ketua OSIS SMP Al Islam 1 Surakarta, Ketua OSIS SMU Negeri 4 Surakarta, dan Ketua Harian Eksternal BKIM IPB. Saat ini penulis aktif sebagai direktur d’sainku advertising, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang disain visual media.
viii
GLOSSARY AUSAID BIMAS CO Cordaid CPSM CRP CRS CSO CSRO DAP DD Depkes FNS IAIN ICCO Inmendagri JAR JAS KSM KTNA KUT LKTS LPS LPSM LSM NGO NPS NPV NU NZAID NZODA OPT ORNOP P3S P3S PASTI PKL PKM PPM Probis QC RI SAE SDC
Australian Aid Pembinaan Masyarakat Community Organizer Catholic Organisation for Relief and Development AID Community for Participatory Social Management Community Recovery Programme Catholic Relief Services Civil Socety Organization Civil Society Resource Organization Development of Australian People (Australian Embassy) Dompet Duafa Departemen Kesehatan Friedrich Naumann Stiftung Institut Agama Islam Negeri Inter-Church Organisation for Development Co-operation Instruksi Menteri Dalam Negeri Jejaring Aset Reform Jejaring Aset Sosial Kelompok Swadaya Masyarakat Kelompok Tani Nelayan Andalan Kredit Usaha Tani Lembaga Kajian untuk Transformasi Sosial Lembaga Pertanian Sehat Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat Lembaga Swadaya Masyarakat Non Government Oranization Nematoda Pengendali Serangga Nuclear Polyhedrosis Virus Nahdlatul Ulama New Zealand Aid New Zealand Overseas Development Agency Organisme Pengganggu Tanaman Organisasi Non Pemerintah Program Pemberdayaan Pertanian Sehat Program Pemberdayaan Petani Sehat Pestisida Hayati Pedagang Kaki Lima Pendidikan Keswadayaan Masyarakat Participation in Development Planning and Management Produksi dan Bisnis Quality Control Republik Indonesia Sehat, Aman, Enak Swiss Development and Cooperation ix
SDM SHO SHPI THK TNC UPS USAID UU Walhi WCC WWF YBKS YLKI ZISWAF
Sumber Daya Manusia Self Help Organization Self Help Promoting Institute Tebar Hewan Kurban The Nature Conservation Usaha Pertanian Sehat United State Aid Undang-Undang Wahana Lingkungan Hidup Women Crisis Centre World Wide Foundation Yayasan Bimbingan Kesejahteraan Sosial Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Zakat, Infaq, Shadawoh dan Wakaf
x
DAFTAR ISI Abstract ............................................................................................................................ iii Ringkasan ......................................................................................................................... iv Halaman Pengesahan ...................................................................................................... vii Prakata ............................................................................................................................ viii Riwayat Hidup ................................................................................................................. ix Glossary ............................................................................................................................ x Daftar Isi .......................................................................................................................... xi Daftar Tabel ................................................................................................................... xiv Daftar Matriks ................................................................................................................. xv Daftar Gambar................................................................................................................ xvi
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................ 1 1.1 Latar Belakang ............................................................................................................ 1 1.2 Perumusan Masalah .................................................................................................. 14 1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................................... 18 BAB II PENDEKATAN TEORITIS ........................................................................................ 19 2.1 LSM sebagai Wujud Konkret Organisasi Gerakan Sosial ........................................ 19 2.2 Teori Ketergantungan kaitannya dengan LSM ......................................................... 24 2.3 LSM dan Model Pengembangan Alternatif .............................................................. 30 2.4 Perubahan Berencana; Narasi Negara dan Sipil........................................................ 32 2.5 Kerangka Pemikiran .................................................................................................. 33 2.6 Hipotesis Pengarah .................................................................................................... 37 BAB III METODE PENELITIAN ............................................................................................. 38 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................................... 38 3.2 Unit Analisis ............................................................................................................. 39 3.3 Strategi Penelitian ..................................................................................................... 39 3.4 Teknik Pengolahan dan Analisa Data ....................................................................... 40 xi
BAB IV PROFIL LSM LPS DAN LKTS .................................................................................. 43 4.1 Pengantar ................................................................................................................... 43 4.2 Sejarah LSM ............................................................................................................. 45 4.3 Lingkup Kerja LSM .................................................................................................. 47 4.4 Fokus Isu yang diangkat............................................................................................ 52 4.5 Mitra Donor LSM ..................................................................................................... 54 4.6 Program Kegiatan ..................................................................................................... 55 4.7 Struktur Organisasi ................................................................................................... 64 BAB V ANALISIS SISTEM PENDANAAN (ASPEK FINANSIAL) LSM .......................... 66 5.1 Pengantar ................................................................................................................... 66 5.2 Sumber Dana LSM.................................................................................................... 71 5.3 Pengelolaan, Monitoring dan Evaluasi ..................................................................... 80 5.4 Adaptasi keberlangsungan LSM dalam Pendanaan .................................................. 85 BAB VI ANALISIS AKSI LSM LKTS DAN LPS .................................................................... 89 6.1 Pengantar ................................................................................................................... 89 6.2 Aksi LSM mulai Insiasi hingga Monitoring ............................................................. 91 6.3 Aksi LSM LKTS ....................................................................................................... 97 6.4 Aksi LSM LPS ........................................................................................................ 110 6.5 Perbandingan Aspek Aksi LKTS dan LPS ............................................................. 121 BAB VII DINAMIKA INDEPENDENSI LSM DI TENGAH KEPENTINGAN DONOR ......................................................................................... 123 7.1 Dinamika Pendanaan dan Ideologi LSM ................................................................ 123 7.2 Dinamika Aksi LSM dan Ideologi LSM ................................................................. 129 7.3 Pergeseran Orientasi Ideologi ................................................................................. 131 7.4 Independensi LSM .................................................................................................. 137 xii
7.5 Implikasi Studi ........................................................................................................ 141 BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................................... 144 8. 1 Kesimpulan ............................................................................................................ 144 8.2 Saran........................................................................................................................ 145 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 147
xiii
DAFTAR TABEL Nomor
Teks
Halaman
Tabel 1. Laporan Keuangan LKTS Tahun 2006 (Dilaporkan Tahun 2007) .................................................................................. 72 Tabel 2. Laporan Keuangan LPS Tahun 2008 ................................................................ 77 Tabel 3. Perbandingan Sumber Dana LKTS Dan LPS (Persentase) ....................................................................................................... 79
xiv
DAFTAR MATRIKS
Nomor
Teks
Halaman
Matriks 1. Pengelolaan Dana LSM ................................................................................. 84 Matriks 2. Strategi LSM Menjaga Keberlangsungan Dana ............................................ 88 Matriks 3. Perbandingan Inisiasi, Aksi Dan Evaluasi LKTS Dan LPS ...................................................................... 97 Matriks 4. Ikhtisar Program LKTS ............................................................................... 108 Matriks 5. Ikhtisar Program LPS .................................................................................. 120 Matriks 6. Dinamika Sistem Pendanaan Dan Ideologi LSM ........................................ 126 Matriks 7. Dinamika Ideologi Dan Aksi LSM .............................................................. 131 Matriks 8. Pergeseran Orientasi Ideologi Independensi LSM ...................................... 135 Matriks 9. Independensi LSM LKTS Dan LSM LPS ................................................... 142
xv
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Teks
Halaman
Gambar 1. Grafik Prosentase Angka Kemiskinan Di Indonesia Tahun 1996-2008 .................................................................... 13 Gambar 2. Kerangka Pemikiran ...................................................................................... 36 Gambar 3. Alur Metodologi Penelitian Independensi LSM ........................................... 42 Gambar 4. Proporsi Sumber Dana LKTS ....................................................................... 74 Gambar 5. Proporsi Sumber Dana LPS........................................................................... 78 Gambar 6. Alur Lembaga Donor Dan Pokok Kegiatan LKTS ....................................... 82 Gambar 7. Alur Sumber Dana Dan Pokok Kegiatan LPS .............................................. 84
xvi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Munculnya gerakan sosial masyarakat sipil yang berlangsung di negara berkembang dapat dipandang sebagai alternatif pendekatan perubahan sosial yang dominan (mainstream approach) atau lebih dikenal dengan perubahan sosial yang direkayasa oleh negara melalui apa yang disebut dengan pembangunan (Fakih, 2000). Modernisasi sebagai salah satu pendekatan pembangunan seringkali menempuh cara/mekanisme pertumbuhan sebagai strategi utamanya. Hal ini antara lain ditunjukkkan oleh diadopsinya Teori Rostow sebagai kerangka pembangunan. Teori ini menjelaskan adanya lima tahapan ekonomi dalam perkembangan suatu negara (Rostow, 1964). Dalam perjalanannya, teori ini telah menuai beragam kritik, diantaranya disampaikan oleh Frank (1973) dengan teori ketergantungan. Menurut Frank (1973), modernisasi ternyata membawa kemacetan ekonomi, krisis ekologi, serta kesengsaraan rakyat di dunia ketiga ketimbang kemajuan dan kemakmuran. Menurut Fakih (2000) praktek-praktek pembangunan selama ini selalu menekankan
pengalihan
modal,
perencanaan
formal,
spesialisasi,
dan
pengendalian oleh pemerintah pusat. Teori-teori pembangunan konvensional yang dijadikan dasar sangat menekankan pentingnya meletakkan tanggung-jawab pengendalian
dan
pengalokasian
sumber-sumber
pembangunan
pada
pemerintahan terpusat, karena dengan demikian dianggap akan dapat dihasilkan 1
pengambilan keputusan yang optimal tentang investasi. Billah (1988) mengatakan bahwa pendekatan sistem komando atas pengelolaan sumber-sumber ini lebih sering menghasilkan pemantapan sistem patronase dan membangun proyekproyek ekonomi yang lembek, mengabaikan kemandirian, meningkatkan ketergantungan pada sumber-sumber luar, dan menggusur prakarsa lokal. Selain itu, pendekatan semacam ini cenderung mendorong ke arah otoritarianisme, dan pemusatan kekayaan dan kekuasaan politik. Sebagai tanggapan terhadap kecenderungan itu, kemudian muncullah suatu tuntutan agar pembangunan lebih berkiblat pada rakyat yang menekankan pentingnya penguatan kapasitas kelembagaan dan sosial yang mendukung pengembangan pengendalian, pertanggung-gugatan
(accountability),
prakarsa,
dan
kemandirian
lokal.
Pengalihan modal dilihat sebagai bukan masalah yang paling utama, dan sebaliknya prioritas diutamakan pada proses demokratisasi. Rakyat didorong untuk memobilisasikan dan mengelola sumber-sumber mereka sendiri. Dengan pendekatan
yang
terdesentralisasikan
dan
penekanan
pada
kemampuan
mengorganisasikan-diri untuk mengelola sumber-sumber pembangunan seperti itu, pada umumnya akan dihasilkan suatu pengelolaan sumber-sumber yang lebih effisien dan produktif, peningkatan prakarsa dan pertanggung-gugatan lokal, dan penguatan disiplin ekonomi. Pendekatan seperti yang disebut terakhir ini seringkali digunakan oleh LSM yang pada prakteknya cenderung memiliki minat yang kuat dalam demokratisasi (Korten, 1987). Kegagalan penerapan modernisasi di Indonesia sudah selayaknya menjadi pelajaran berharga dalam menata kehidupan rakyat kedepannya. Pendekatan yang 2
mengagungkan pertumbuhan ekonomi tanpa melihat secara lebih holistik hubungan manusia dengan alamnya telah nyata membawa kerusakan tidak saja pada alam tetapi juga telah dirasakan membawa petaka bagi manusia. Revolusi Hijau adalah contoh jalan yang baru kemudian diyakini telah merusak lingkungan dan tata sosial. Lenyapnya keanekaragaman hayati, resistensi hama, tanah jenuh karena overdosis pupuk dan hilangnya pola bertani yang ramah lingkungan adalah bukti bahwa kebijakan yang selama ini diambil salah. Selain itu, secara sosiologi pendekatan yang selama ini dilakukan dalam menata kehidupan bernegara lebih bersifat top down (Sheperd, 1998). Masyarakat cenderung dibiarkan pasif, dimanjakan dan dipaksa untuk melaksanakan program yang berasal dari atas tanpa adanya usaha memandirikan mereka. Revolusi Hijau dengan swasembada beras sebagai icon keberhasilan pada era 80-an menjadi bukti bahwa pendekatan top down bukan strategi yang tepat bagi pembangunan di Indonesia. Untuk itulah diperlukan strategi pembangunan yang tepat. Permasalahan pembangunan perdesaan sangatlah kompleks. Pada tataran paradigma pembangunan perdesaan, penekanan prioritas pemerintah terhadap pembangunan perdesaan masa lampau hanya kepada pembangunan pertanian yang goalnya semata-mata hanya menyediakan pangan, sehingga penekanan ini menciptakan banyaknya proyek-peroyek seperti; irigasi, gudang-gudang hasil produksi pertanian/ saprotan, pencentakan sawah, BIMAS dan KUT-KUT, yang semua proyek tersebut diikuti pula oleh kebijakan harga beras yang nilai tukarnya terhadap jenis komuditas lainnya relatif lebih rendah.
3
Pemerintah tidak mengalami kesulitan untuk menyediakan dana pembiayaan proyek-proyek pembangunan pada era tahun 70an hingga 90an, karena saat itu limpahan dollar yang mengalir ke pemerintah begitu dahsyatnya, berasal dari hasil nilai ekspor minyak dan gas bumi yang meningkat tiga kali lipat dari US$1,708 milyar menjadi US$5,153 milyar, selain itu adanya kebijaksanaan-kebijaksanaan keuangan negara-negara luar, seperti misalnya penaman modal asing dan pinjaman hutan luar negeri. Jelas-jelas di depan mata, pemerintah berperan bagaikan ‘sinterklas’ dalam melaksanakan pembangunan (Billah, 2000). Billah (2000) menjelaskan bahwa proyek-proyek tersebut di atas juga menjadi tanda tanya besar, jawaban dari kesemua proyek (wilayah pertanian dan wilayah pantai) adalah Proyek hanya menghasilkan fisik bagaikan yang terbengkalai. Lebih ironis lagi bagi masyarakat perdesaan, mereka mengalami; keterbatasan kesempatan kerja, disparitas pendapatan, keseluruhan hasil komoditas (pertanian, perikanan, kerajinan) tidak berkembang dan perekonomian lokal tidak tumbuh dan berkembang, dengan demikian gol yang nyata adalah kemiskinan pedesaan. Kejadian ini dikarenakan, model pendekatan dan pengelolaan pembangunan perdesaan oleh pihak pemerintah masa itu. Budiman (1998) menyebutkan adanya pola; otoriter instruksi, dominasi melalui birokrasinya, orientasi proyek, tidak mengotonomikan masyarakat perdesaan, dan tidak memperhatikan kerugian sosial dan kerugian sumberdaya alam. Orientasi stabilitas yang dilanjutkan dengan orientasi pertumbuhan dalam pembangunan, dianggap pemerintah sebagai mekanisme pemerataan pendapatan,
4
ternyata tidak berfungsi sama sekali. Peningkatan pendapatan hanya terjadi di lingkungan pemerintah dan swasta pada masyarakat lapisan atas, dengan kata lain nikmat limpahan dollar yang mengalir begitu mengesankan, hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat Indonesia, sedangkan sebagian besar lainya justru menderita proses pemiskinan. Jurang kesejahteraan antara masyarakat lapisan atas dengan masyarakat lapisan bawah jelas-jelas semakin dalam dan melebar. Salah satu dari banyaknya kompleksitas permasalahaan yang menjadi tema sentral adalah kemisikinan struktural. Inti dari kemiskinan struktural adalah relasi antara suatu subyek dengan suatu obyek dan antara subyek dengan subyek yang merupakan bagian dari suatu sistem. Jadi permasalahan struktural adalah masalah kondisi dan posisi subyek - subyek/obyek -obyek dari struktur yang bersangkutan dalam keseluruhan tata susunan/sistem dan fungsi dari komponen tersebut dalam keseluruhan fungsi dari sistem. Apabila masing-masing subyek dan obyek memiliki posisi dan kondisi yang timpang terwujud dalam pola relasinya, maka struktur tersebut dikatakan tidak adil. Ketidakadilan struktural ini semakin diperkuat lagi oleh sifat kemakmuran yang kumulatif. Artinya kemakmuran akan semakin menumpuk di tangan sekelompok kecil orang yang memiliki otoritas, modal, pengetahuan dan keterampilan, sehingga orang-orang yang tidak memilikinya semakin kehilangan kesempatan
untuk
menikmati
kemakmuran
tersebut.
Dengan
demikian
kemiskinan timbul sebagai produk dan ketidakadilan struktur-struktur sosial, ekonomi dan politik yang berlaku. Kemiskinan adalah buatan oleh manusia, dari manusia dan terhadap manusia. 5
Ketimpangan-ketimpangan struktural tidak hanya menghalangi perkembangan suatu ekonomi nasional saja, tetapi juga akan memantapkan struktur ketidakadilan itu sendiri. Jadi, pembangunan perdesaan yang dilaksanakan oleh pemerintah ternyata hanya bersifat asistensialisme, yaitu lebih merupakan penghapusan gejala-gejala yang diperbanyak dengan show ke seantero dunia, sama sekali bukan penanganan sebab-sebab dari problema-problema yang dihadapi masyarakat. Artinya usaha pembangunan yang semata-mata mengutamakan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi justru memantapkan, melangsungkan dan mempertajam ketimpangan-ketimpangan struktural yang sudah pasti tidak akan pernah menciptakan partisipasi, bahkan masyarakat menjadi statis, apatis dan tidak berdaya. Wacana pembangunan yang peduli pada lingkungan dan pembangunan partisipatif dan pemberdayaan masyarakat akar rumput muncul sebagai kritik atas kondisi di atas. Pembangunan yang mementingkan aspek ekologi dan aspek sosial selain ekonomi, akan membawa pada kondisi yang lebih ideal. Diperhatikannya aspek lingkungan dan masyarakat yang berdaya diyakini akan memberikan dampak positif terhadap keberlanjutan pembangunan (sustainable development). Sehingga kemajuan dan kemakmuran rakyat yang dicita-citakan itu dapat terwujud (Budiman, 1988). Shepherd (1998) mengkritik pendekatan pembangunan yang dilakukan oleh negara yang cenderung top down, perlu adanya kelompok sosial yang mampu menggerakkan komunitas sehingga berdaya dimana publik mengenalnya sebagai
6
organisasi gerakan sosial. Gerakan masyarakat sipil yang memperkuat entitas ini berhadapan dengan pasar dan negara. Gerakan sosial yang terorganisir dengan baik, dimana rencana aksi kolektif mewujud dalam perancangan kegiatan nyata pada masyarakat akar rumput, diantaranya ditunjukkan oleh gerakan sosial akar rumput, yang dikenal luas sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Perkembangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Indonesia pada tahun 1970 sangatlah mengesankan bila ditinjau dari jumlah, keragaman, dan letak geografinya (Fakih, 2000). Sebagai kekuatan yang bekerja di akar rumput, LSM mempunyai fungsi strategis sebagai pelopor yang melayani perubahan sosial dalam penguatan ranah sipil. LSM dengan isu lingkungan hidup mengalami perkembangan yang sangat cepat. World Wide Foundation (WWF) misalnya, LSM yang didirikan di Switzerland pada tahun 1961 dengan kantor kecil dan staf hanya 25 orang pada tahun 70an, pada tahun 1980 sudah tumbuh menjadi 300 staf dan pada tahun 2004 LSM ini sudah mempekerjakan lebih dari 4000 staf yang tersebar di 90 negara (Chapin, 2004). Begitupula jika menyimak perkembangan TNC (The Nature Conservation), sebuah LSM yang fokus pada isu konservasi. LSM ini didirikan pada tahun 1951 dan pada tahun 1970 sudah berkembang ke 50 negara (Chapin, 2004). Tidak sekedar jumlah, besarnya perputaran uang pada lembaga ini juga tidak kalah kecil, WWF melaporkan pada tahun 2003 pemasukan lembaga ini mencapai $380 juta (sekitar 3,4 trilyun rupiah). TNC lebih besar lagi, pada tahun 2000 perputaran uang mencapai $786,8 juta (sekitar 7,2 trilyun rupiah) sehingga dijuluki world’s richest conservation organization (Chapin, 2004).
7
Di Indonesia, pertumbuhan jumlah LSM, tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan diskursus pembangunan. Sehingga pembahasan tentang LSM juga tidak dapat dipisahkan dengan wacana yang terkait dengan struktur negara (Eldrigde, 1989). Keberadaan LSM sebagai bagian dari ranah sipil (Civil Sphere) akan berkaitan pengaruh dengan ranah negara (State Sphere) dan ranah pasar (Market Sphere) seperti yang dijelaskan oleh Bebbington dalam Dharmawan (2002). Hasil studi tentang LSM sudah cukup banyak, kaitannya dengan struktur negara dan cakupan wilayah kerja LSM. Nordholt (1987) membagi LSM menjadi tiga tipe, yaitu: LSM Besar (Big NGO), LSM menengah (Regional NGO), dan LSM Lokal (Local NGO). Menurut Nordholt (1987), Semakin besar cakupan wilayah LSM, maka akses ke lembaga-lembaga besar (termasuk didalamnya struktur pemerintah dan pasar) akan semakin mudah. Hal ini akan berimplikasi pada kekuatan nilai tawar dan akses dana. Sementara, LSM kecil pada kondisi ini sebaliknya, LSM kecil memiliki posisi tawar yang rendah dan akses pendanaan yang terbatas. Dalam dasawarsa-dasawarsa terkahir ini, ketika pembangunan di berbagai negaraberkembang mulai dan terus digalakkan, peran LSM dilihat semakin meningkat (Drabek, 1987), dan bahkan Chambers mengenalkan konsep additionally untuk menggambarkan sumbangan potensial dari LSM bagi proses pembangunan. Pada mulanya LSM dilihat sebagai organisasi yang bergerak secara eksklusif pada tingkat lokal dengan tujuan memenuhi kebutuhan kelompok miskin tanpa mempertimbangkan dampak yang luas akan tetapi kemudian terjadi pergeseran
8
yang mendasar yakni bahwa LSM tidak lagi hanya berupaya memenuhi kebutuhan kelompok miskin melainkan juga membantu mereka untuk mengartikulasikan kebutuhan mereka dan memberikan kemampuan kepada mereka
untuk
mengontrol
proses
pengambilan
keputusan
yang
dapat
mempengaruhi kehidupan mereka (Drabek, 1987). Meskipun tujuan dan kegiatan serta pengalaman LSM sangat beranekaragam, sehingga terasa sangat sulit untuk diklasifikasikan (Korten, 1987), akan tetapi LSM Indonesia, menurut Eldridge (1995), memiliki ciri-ciri umum yang kurang lebih sama, yakni antara lain: (1) orientasi mereka kepada penguatan kelompokkelompok komunitas sebagai basis dari masyarakat dan sebagai pengimbang bagi pemerintah; (2) pada umumnya ada komitmen yang kuat terhadap cita-cita partisipasi rakyat di dalam pengambilan keputusan; (3) adanya satu komunitas LSM di Indonesia, dengan banyak hubungan-silang antar pribadi dan kelembagaan, yang saling mendukung, terdapat pertukaran gagasan dan sumberdaya, yang memberikan potensi pada satu tujuan bersama pada berbagai tingkat. Hubungan-silang itu dilatar belakangi oleh bentuk dan skala organisasi serta keaneka-ragaman kegiatan LSM. Hal yang disebut terakhir ini seringkali dianggap sebagai kekuatan komunitas LSM, tetapi sekaligus juga kelemahannya (Eldrige, 1995). Hasil utama yang dicapai oleh LSM pada tingkat makro adalah pemunculan issues dari pengalaman lapangan mereka menjadi agenda politik nasional. LSM juga menyampaikan refleksi dan lebih mengartikulasikan kepedulian umum pada lingkungan hidup, hak-azasi dan demokratisasi. Dampak dari kegiatan LSM yang mempunyai makna politis terlihat pada keseluruhan 9
keseimbangan kekuatan antara kelompok-kelompok sosial dan ekonomi, pemerintah Indonesia dan berbagai agen-agennya. Sampai derajat tertentu LSM menunjukkan kapasitasnya dalam meningkatkan kemandirian pengelolaan organisasi berbagai kelompok yang kurang beruntung, dan memberikan kemampuan kepada kelompok-kelompok itu untuk menghadapi aparat pemerintah dan kekuatan lain yang sangat kuat dalam kedudukan sederajat; singkat kata mereka melayani kepentingan untuk memperkuat masyarakat. Beberapa kajian tentang LSM di Indonesia telah dilakukan oleh beberapa peneliti, dan berbagai kategorisasi juga telah dilakukan. Korten (1987) menggunakan 7 variabel untuk membuat kategorisai LSM di Indonesia, dan hasilnya menunjukkan tiga generasi LSM. CPSM (1993) dan Fakih (2000) cenderung menggunakan pembeda yang kurang lebih sama, yakni segi-segi 'ideologis', sehingga menghasilkan LSM ' developmentalis', LSM 'reformis’, dan LSM 'transformatorif’. Eldridge, (1989) dengan menggunakan empat kriteria, mengemukakan tiga kategori pokok LSM dan satu kategori tambahan berdasarkan perkembangan mutakhir. Tiga kategori pokok itu adalah (a) 'High level Cooperation-Grass-roots Development, (b) 'High level Politics-Grass-roots Mobilization, (c) 'Empowerment from below', dan (d) yang lebih radikal (Eldridge, 1989) Sedangkan Uhlin (1997), mengidentifikasikan empat ciri ideologi dasar, yaitu radikal, liberal, konservatif dan Islam. Drabek (1987) dan CPSM (1993) melihat posisi LSM vis-a-vis negara. Dalam konteks pembahsan mengenai LSM, Negara bukanlah hanya sekedar pemerintah tetapi sebagai satu sistem administratif, legal, birokratik dan paksaan
10
yang berkesinambungan. Satu negara tidak selalu unitary atau monolitik. Setiap negara terdiri dari berbagai bagian, seperti eksekutif, administrasi yang permanen, peradilan (judiciary), aparat pemaksa (coersive). Elite strategis yang ditugasi sebagai aparat negara pada kenyataannya mengontrol semua bagian komponen dari negara secara bervariasi (Stepan, 1978). Pada dasarnya, ada dua pandangan dikotomis LSM tentang negara, yaitu: (a) 'organic stateism', menyatakan bahwa negara otonom (atau hampir sepenuhnya otonom) yang memiliki peran sentral di dalam polity (masyarakat politik), bahwa negara mengatur masyarakat, dan (b) pandangan liberalist pluralist, dan pandangan Marxists mana negara diperlakukan sebagai dependent variable sehingga negara hanya sedikit memiliki kebebasan dan peran di dalam politik, karena masyarakatlah yang memiliki kekuasaan untuk mengatur negara. Meskipun belum ada kajian khusus dan mendalam tentang bagaimana pandangan LSM terhadap negara, akan tetapi ada tanda-tanda awal yang dapat dijadikan petunjuk sementara adanya tiga cara bagaimana LSM memandang negara. LSM yang menganut organic stateism dan/atau corporate stateism adalah, menurut kategorisasi CPSM, (1) LSM yang menganggap dirinya sebagai bagian integral dari pemerintah dan (2) LSM yang menganggap dirinya sebagai mediator antara pemerintah dan masyarakat. Kelompok LSM ini tidak memberi perhatian pada demokrasi, karena kesengsem (ideologically occupied) oleh developmentalisme, dan tetap percaya pada bureaucraticpolity, serta tidak memiliki wawasan perubahan struktural dan bahkan juga pergeseran kontrol dari sistem yang ada (Eldrige, 1990). LSM yang menganut paham liberalist pluralist pada intinya berpendapat 11
bahwa masyarakat dibentuk oleh individu-individu yang mengejar kepentingan ekonomi (pertumbuhan modal), sosial (status), dan politik (power) mereka sendiri-sendiri. Negara diberi tugas berbeda, yaitu: (a) melindungi masyarakat dari kekerasan dan serbuan dari masyarakat lain, (b) melindungi setiap anggota masyarakat dari ketidak-adilan dan penindasan dari anggota lain, (c) melakukan dan memelihara pekerjaan dan lembaga-lembaga publik yang tidak dilakukan oleh orang karena tidak profitable (Stepan, 1978). Kelompok LSM radikal menyatakan bahwa negara adalah alat kekuasaan dari kelas dominan untuk menindas, atau negara adalah alat pemaksa (coercive instrument) dari kelas dominan. Negara pada awalnya muncul sebagai satu alat paksaan yang diperlukan (a necessary means of coertion) ketika terjadi pembagian kerja, dan pada gilirannya menjadi alat penindasan (instrument of oppression) sampai dengan terbentuknya masyarakat nirkelas. Setelah pemilikan pribadi dihapus, dan perbedaan kelas hilang, kebutuhan akan negara sebagai alat penindasan sudah tidak ada lagi, sehingga pada tingkat ini negara tidak lagi diperlukan karena pada dasarnya secara internal masyarakat bisa mengatur dirinya sendiri. Pertumbuhan LSM yang demikian cepat dengan keragaman fokus isu yang diangkat (Fakih, 2000. Nordholt, 1986. Eldridge, 1987) bila bandingkan dengan data angka kemiskinan BPS dari tahun 1996-2008 (BPS, 2008), peningkatan jumlah LSM tidak berpengaruh (lihat Gambar 1).
12
30 25 20 15 10 5 0 th th th th th th th th th th th th 1996 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2001
2002
2003
Prosentase 17,47 24,23 23,43 19,14 18,41
Tahun
1996
1998
1999
2000
18,2
17,42 16,66 15,97 17,75 15,42 16,58
2004
2005
2006
2007
2008
Gambar 1. Grafik Prosentase Angka Kemiskinan di Indonesia Tahun 1996-2008 Pada Gambar 1. dapat diketahui bahwa peningkatan jumlah LSM tidak diikuti dengan hasil nyata turunnya angka kemiskinan. Padahal isu kemiskinan adalah isu yang paling banyak menjadi fokus kegiatan LSM di Indonesia (Korten, 1987). Angka kemiskinan pada tahun 1996 sampai dengan menunjukkan kondisi yang relatif tetap, sempat ada kenaikan pada tahun 1998 tetapi bisa dipahami karena pada tahun terebut terjadi krisis ekonomi di Indonesia, dan kemudian terjadi penurunan akibat meredanya krisis. Kondisi ini menarik untuk dicermati, di satu sisi LSM dengan fokus isu kemiskinan berkembang sangat pesat di Indonesia tetapi selama itu tidak terjadi penurunan angka kemiskinan. Sehingga muncul pertanyaan kritis mengenai hasil kinerja LSM
sebagai agen pembangunan
alternatif yang mengalami kesenjangan antara tujuan dan kenyataan yang ada. Salah satu pendekatan untuk memahami masalah ini adalah dengan merujuk hasil penelitian dari Ufford dan Giri (2002) mengenai praktik agen pembangunan 13
alternatif yang tidak memiliki konsistensi dalam memperjuangkan visi dan idealismenya, melainkan hanya menjadi pelaksana kekuatan lain yang lebih besar. Secara ideal LSM adalah organisasi yang muncul dari ranah sipil yang tentunya memperjuangkan hak-hak sipil sebagai agen alternatif pembangunan (Fakih, 2000. Budiman, 1988. Hannam, 1988.),
tetapi pada kenyataannya agen
pembangunan alternatif ini tidak bebas kepentingan (Ufford dan Giri, 2002). Munculnya istilah menjual isu lingkungan, isu kemiskinan, isu pemberdayaan, dengan mengatasnamakan LSM adalah bentuk respon publik terhadap diskursus ini. Dalam konteks ini LSM dicurigai marak membuat pengajuan dana dan kemudian aktivisnya didanai oleh donor dan LSM hanya sebagai kepanjangan tangan dari kepentingan donor. Pada titik inilah penulis melihat ada relevansi pembahasan mengenai LSM sebagai elemen agen pembangunan alternatif ditengah idealismenya memperjuangkan kepentingan sipil dan dinamikanya terhadap kepentingan donor. 1.2 Perumusan Masalah Modernisasi dengan konsep pertumbuhan ekonomi sebagai strategi pembangunan, telah dijalankan oleh Bangsa Indonesia dalam membangun. Pembangunan pedesaanpun tidak lepas dari strategi ini. Shepherd (1998) menyebutnya sebagai paradigma lama pembangunan pedesaan (old paradigm of rural development). Dharmawan (2002) memberikan ilustrasi pendekatan pembangunan ini sebagai pendekatan yang sarat dengan pesan-pesan ekonomi, pertumbuhan, perubahan nilai budaya lokal, westernisasi, dan investasi modal. Yang pada akhirnya, secara 14
nyata telah membawa akibat buruk pada tata kehidupan sosial dan rusaknya lingkungan. Perkembangan LSM di Indonesia yang sangat cepat tidak diiringi dengan hasil yang nyata dalam proses pengentasan kemiskinan. Secara ideal LSM adalah organisasi dengan kesadaran dan semangat kesukarelaan yang muncul dari ranah sipil yang memperjuangkan hak-hak sipil sebagai agen alternatif pembangunan (Fakih, 2000. Budiman, 1988. Hannam, 1988.), tetapi pada kenyataannya agen pembangunan alternatif ini tidak bebas kepentingan (Ufford dan Giri, 2002). Petras dan Veltemeyer (2002) mengemukakan sebagai berikut: “Ornop-ornop di seluruh dunia telah menjadi alat terakhir untuk mobilitas naik bagi kelas-kelas terdidik yang ambisius. Para akademisi, jurnalis dan profesional telah semakin jauh dari kepedulian awal mereka pada gerakan kiri dan miskin dana. Dan mereka kini mengejar karier yang menguntungkan dengan mengelola Ornop yang akan memberikan keterampilan organisatoris dan retorika serta kosa kata populis tertentu. Sekarang ini ribuan direktur Ornop setiap hari naik kendaraan roda empat seharga US $ 40.000 sebagai sarana transportasi dari rumah atau apartemen modern mereka di pinggiran kota ke kantor-kantor dan kompleks bangunan yang sangat lengkap. Sementara mereka meninggalkan anak-anak dan pekerjaan rumah tangga di tangan pembanru dan juga kebun-kebun mereka untuk dirawat oleh para tukang kebun. Mereka lebih akrab dan menghabiskan waktu di tempat-tempat konferensi internasional tentang kemiskinan yang sering mereka ikuti (Washington, Bangkok, Tokyo, Brussels, Roma dan lainnya) dari pada di kampung-kampung berlumpur di negara mereka sendiri. Mereka lebih mahir menyusun proposal baru untuk mendapatkan uang demi para ‘profesional’ yang layak ditolong dari pada mengambil resiko terpukul kepalanya oleh polisi yang menyerang demonstrasi guru sekolah di desa yang gajinya tidak dibayar penuh. Para pemimpin Ornop adalah kelas baru yang tidak mendapatkan harta kekayaan dari kepemilikan atau sumber-sumber pemerintah, tetapi dari dana imperial dan kemampuanyya sendiri untuk mengontrol kelompok-kelompok rakyat yang signifikan”
Pernyataan diatas menyiratkan fakta dilapangan yang jauh dari idealisme LSM sebagai bagian dari masyarakat sipil yang berjuang untuk kesejahteraan masyarakat. LSM menjadi semacam perusahaan profit yang mengambil
15
keuntungan
sebesar-besarnya
di
tengah
penderitaan
rakyat
sipil
yang
diperjuangkann. Lebih lanjut Petras dan Veltmeyer (2002) mengatakan: “Para pemimpin Ornop bisa dipandang sebagai semacam kelompok neokomprador yang tidak memproduksi komoditas apapun yang bermanfaat, tetapi berperan memproduksi jasa untuk negara-negara donor dan menjual kemiskinan domestik untuk kekayaan pribadi”
Petras dan Veltemeyer (2002) memberikan pandangan bahwa LSM melakukan komodifikasi kemiskinan dan isu pembangunan, tanpa melihat lembaga donornya karena semua terjebak pada kondisi ini. Kutipan diatas juga menyiratkan kinerja LSM yang hanya berorientasi keuntungan pribadi atau kelompok LSM dibanding memperjuangkan hak-hak sipil. Munculnya istilah menjual isu lingkungan, isu kemiskinan, isu pemberdayaan, dengan mengatasnamakan LSM adalah bentuk respon publik terhadap diskursus ini. Dalam konteks ini LSM dicurigai marak membuat pengajuan dana dan kemudian aktivisnya didanai oleh donor dan LSM hanya sebagai kepanjangan tangan dari kepentingan donor. Walhi sebagai sebuah LSM lingkungan yang berdiri 15 Oktober 1980 adalah organisasi yang dari awal memposisikan diri mengambil jarak dengan pemerintah. Walhi lebih banyak mendapatkan dana dari donor internasional dari United States Agency for International Development (USAID), Australian Agency for International Development (AusAID), Novib, OXFAM, Asia Foundation , EZE. Belgium’s National Center for Development Cooperation (NCOS), Department for International Development Agency (CIDA) dan lain-lain (Walhi, 2001). Hal ini dilakukan untuk menjamin independensinya dengan pemerintah selama orde 16
baru, Walhi menyadari bahwa dana-dana dari pemerintah tidak akan lepas dari kepentingan, sehingga donor asing menjadi pilihan. Dengan posisi ini Walhi ingin mengambil posisi kritis dan independen terhadap pemerintah. Pada akhir tahun 2000, Walhi membuat perencanaan jangka panjang yang bertolak belakang dari kebijakan awal. Bentuk perencanaannya adalah Walhi akan mulai mengalihkan sumber pendanaan dari donor asing (yang saat itu mencapai 90 persen) menuju dana lokal dari masyarakat lewat kegiatan-kegiatan partisipatif. Perubahan kebijakan ini didasarkan pada pengalaman selama bemitra dengan donor asing dan tarik menarik kepentingan LSM dan donor. (Culla, 2006). Kasus Walhi memberikan gambaran bahwa LSM adalah agen pembangunan alternatif yang dinamis dengan tarik-ulur kepentingan baik dari negara, swasta maupun sipil. Perjalanan Walhi, Penjelasan Petras dan Veltmeyer (2002) tentang LSM, mengetengahkan hangatnya pembahasan mengenai isyu subordinasi kekuasaan LSM dibawah donor dan subordinasi kepentingan, isyu infiltrasi kekuasaan asing, dan komodifikasi gerakan. Pada titik inilah tampak adanya relevansi pembahasan mengenai LSM sebagai elemen agen pembangunan alternatif ditengah idealismenya memperjuangkan kepentingan sipil dan dinamikanya terhadap kepentingan donor. Pertanyaan yang muncul adalah apakah LSM memang akan memilih menjadi agen yang memberdayakan, atau sekedar menjadi kepanjangan tangan dari pemberi donor. Hal ini yang perlu diungkap sebagai bagian dari bentuk hubungan LSM dengan donor pada aspek-aspek yang dapat diteliti. Penelitian ini ingin melihat keragaan
17
independensi LSM dalam konstelasi kepentingan donor, dengan menjawab rumusan pertanyaan sebagai berikut: 1.
Apakah kepentingan donor memberi pengaruh pada independensi LSM dalam aspek finansial, aksi dan orientasi ideologi?
2.
Apakah perubahan donor mempengaruhi independensi LSM?
1.3 Tujuan Penelitian 1.
Mengetahui apakah kepentingan donor memberi pengaruh pada independensi LSM dalam aspek finansial, aksi dan orientasi ideologi.
2.
Mengetahui apakah perubahan donor mempengaruhi independensi LSM.
18
BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 LSM sebagai Wujud Konkret Organisasi Gerakan Sosial Dinamika penguatan potensi ranah sipil, pada hakikatnya adalah proses menuju menuju masyarakat sipil yang berdaya. Untuk mencapai keberhasilan menggalang potensi
sipil,
organisasi
gerakan
sosial
adalah
agen
potensial
dalam
mewujudkannya (Fakih 2000). Wood dan Jackson dikutip oleh Fakih (2000) memberikan deskripsi tentang organisasi gerakan sosial sebagai berikut: Kelompok tak konvensional yang memiliki beragam derajat organisasi formal dan yang berusaha untuk menghasilkan atau mencegah bentuk perubahan radikal ataupun reformis.
Dalam pendapat ini terdapat penekanan pada aspek pengorganisasian, dimana Stzompka (1993) dan Martell (1994) mempunyai gagasan yang sebaliknya. Dalam perkembangannya, gerakan sosial membutuhkan pengorganisasian yang dapat menjamin keberhasilan, kontinuitas, dan efisiensi pencapaian tujuan. Masuknya aspek organisasi dalam proses gerakan sosial, politik dan ekonomi membawa akibat pada formalisasi gerakan. Pada saat itulah, publik mengenal apa yang kemudian dikenal sebagai social movement organization, dimana LSM menjadi salah satu bagiannya (Jenkins, 1983). LSM adalah wujud konkret organisasi gerakan sosial, LSM adalah lembaga yang bukan bagian dari organisasi pemerintah serta didirikan bukan sebagai hasil dari persetujuan antar permerintah. LSM difahami sebagai organisasi gerakan sosial yang menjadi pelopor terciptanya sebuah gerakan sosial untuk perubahan sosial.
19
Sedangkan organisasi gerakan sosial sebagaimana dijelaskan oleh Zald dan McCarhty dalam Fakih (2000) adalah sebagai berikut: Kelompok yang memiliki kesadaran diri yang bertindak inconcerto untuk mengungkapkan apa yang dilihatnya sebagai klaim-klaim penentang dengan menentang kelompok elit, penguasa, atau kelompok elit, penguasa, atau kelompok lain dengan klaim-klaim tersebut. "
Lahirnya LSM dilatarbelakangi kondisi dimana pemerintah tidak dapat menjangkau seeara keseluruhan kebutuhan-kebutuhan rakyat. Sehingga perlu adanya pihak yang mengatasi masalah tadi. Tetapi tidak cukup sampai pada kondisi tersebut, kehadiran LSM juga dipandang sebagai bentuk penyeimbang dari pemerintah atas kekuatan rakyat. Dengan batasan di atas LSM merupakan organisasi non pemerintah yang bergerak untuk menciptakan perubahan sosial (Budiman, 1988). Di Indonesia, istilah LSM baru muncul pada tahun 1978. Sebelumnya konsep LSM, lebih dikenal dengan nama Non Govermental Organization (NGO) atau ORNOP (Organisasi Non Pemerintah). Dalam perkembangannya, istilah non pemerintah dianggap kurang pas dengan situasi yang ada, kata "non" berlawanan dengan kata "ko", dimana kata "non" berkonotasi tidak mau bekerjasama dengan pemerintah (Ismawan, 2002). Dalam situasi yang demikian, kemudian dicari suatu istilah yang tepat untuk menggantikan ORNOP. Merujuk pada Kementrian Kerjasama pembangunan Jerman Barat, maka istilah yang dipakai oleh lembaga ini adalah Self Help Promoting Institute (SHPI) dan Self Help Organization (SHO). Pada tahun 1978, Sayogyo kemudian memperkenalkan istilah Lembaga Pengembangan Swadaya 20
Masyarakat (LPSM) sebagai pengganti SHPI dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai pengganti SHO (Ismawan. 1999). Sugiyanto (2002) melihat setidaknya ada tiga latar belakang lahirnya lembagalembaga non pemerintah di Indonesia. Pemerintah Orde Baru melandaskan strategi pembangunannya pada: 1.
Pendekatan teknokratis dengan birokrasi dominan.
2.
Sangat menekankan pendekatan top down.
3.
Keterbatasan memberikan peluang partisipasi masyarakat.
Ketiga hal inilah menurut Sugiyanto (2002), sebagai penyebab adanya keinginan masyarakat untuk mencari altematif lembaga sosial yang mampu memberikan kontribusi terhadap kemajuan kesejahteraan. Aspirasi ini yang kemudian mewujud dalam Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Istilah LSM didefinisikan lebih tegas lagi dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) No. 8/1990 (dikutip dari, Ismawan, 2002) yang disebutkan sebagai: LSM merupakan wadah partisipasi masyarakat dalam pembangunan sesuai dengan bidang kegiatan, profesi, dan fungsi yang diminati oleh lembaga yang bersangkutan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu perlu dilakukan upaya-upaya yang lebih berdayaguna agar LSM, sebagai mitra pemerintah dalam pembangunan, dapat meningkatkan dan memperluas partisipasi masyarakat tersebut melalui pendayagunaan dan peningkatan partisipasi masyarakat tersebut, melalui pendayagunaan dan peningkatan partisipasinya demi tercapai sasaran pembangunan nasional baik di pusat maupun daerah.
Hyden seperti dikutip oleh Siregar (1988) menyimpulkan lima kepentingan LSM: 1.
NGOs are much closer than the government to the poorer section of society.
2.
NGOs staff are normally highly motivated and altruistic in their behaviour 21
NGOs operate economically 3.
NGOs is their flexibility, a quality that stems from smallsize and the decentralized nature of decission making structurals.
4.
NGOs independent from the government which gives an opportunity to develop demands for public sevices and resources and thus facilitate to work or individual government departements in rural areas.
Williams seperti dikutip oleh Hannam (1988) mengajukan tiga karakteristik LSM sebagai berikut: 1.
Organisasi dibentuk bukan atas inisiatif pemerintah dan berorientasi non profit.
2.
Bebas dari pemerintah dan organisasi lainnya dalan menyusun prioritas kegiatannya.
3.
Membatasi kegiatannya terutama pada kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan dan pembangunan kemasyarakatan.
Budiman (1988) berpendapat bahwa LSM merupakan bentuk lembaga yang menjadi wahana bagi masyarakat kelas menengah untuk mengembangkan masyarakat pedesaan dan membawa perubahan sosial di dalamnya. Perkembangan LSM menurut Budiman (1988) telah memberikan efek positif terhadap perkembangan politik pedesaan, membuka daerah-daerah terisolasi dari kemajuan peradaban. Penjelasan tentang LSM, Hannam (1988) memberikan gambaran tentang pendekatan pengembangan masyarakat. LSM mempunyai metode yang lebih partisipatif dalam mengembangkan masyarakat di tingkat grass root. Menurut Hannam (1988), Budiman (1988), Sugiyanto (2002) fenomena LSM adalah 22
cermin dari kekecewaan atas pendekatan top down yang selama ini dilakukan. Sehingga Hannam (1988), Budiman (1988), Sugiyanto (2002) memahami LSM. Sebagai organisasi yang bertujuan untuk mengembangkan pembangunan ditingkat grass root. Hal ini biasa diejawantahkan dalam bentuk penciptaan dan dukungan terhadap kelompok-kelompok swadaya lokal. Budiman (1988) menjelaskan tujuan yang ingin dicapai oleh LSM adalah menjadikan kelompok-kelompok lokal mempunyai kemandirian. Seperti dikutip oleh Hannam (1988), Ralston menjelaskan lima peranan penting LSM dalam mengembangkan masyarakat. Kelima hal tersebut adalah: 1.
Mengidentifikasi kebutuhan kelompok lokal dan taktik-taktik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
2.
Melakukan mobilisasi dan agitasi untuk usaha aktif mengejar kebutuhankebutuhan yang telah diidentifikasi sebelumnya.
3.
Merumuskan kegiatan jangka panjang untuk mengejar sasaran-sasaran pembangunan lebih umum.
4.
Menghasilkan dan memobilisasi sumber daya lokal dan ekstemal untuk kegiatan-kegiatan pembangunan pedesaan.
5.
Pengaturan perencanaan dan pelaksanaan kegiatan.
Beberapa konsep pemahaman tentang LSM diatas, secara umum dapat dipahami sebagai konsep yang ‘seragam’ dan saling melengkapi. Konsep tentang LSM mengacu pada bentuk lembaga non profit yang berkiprah di akar rumput (grass root) untuk mengembangkan masyarakat dengan pendekatan bottom up. Menurut Budiman (1988) pendekatan pengembangan masyarakat dengan pendekatan
23
bottom up akan melahirkan kemandirian dan keberlanjutan. Masyarakat lebih merasakan dan merasa memiliki program, dibandingkan dengan pendekatan top down yang cenderung memaksa, dan tidak sesuai dengan kebutuhan lokal (Hannam, 1988). 2.2 Teori Ketergantungan kaitannya dengan LSM Perspektif ketergantungan memberikan arahan untuk memperbanyak hubungan alternatif untuk mengatasi ketergantungan. Teori ini pada mulanya adalah teori struktural yang menelaah jawaban yang diberikan oleh teori modernisasi. Teori struktural berpendapat bahwa kemiskinan yang terjadi di negara dunia ketiga yang mengkhusukan diri pada produksi pertanian adalah akibat dari struktur pertanian adalah akibat dari struktur perekonomian dunia yang eksploitatif dimana yang kuat mengeksploitasi yang lemah. Teori ini berpangkal pada filsafat materialisme yang dikembangkan Karl Marx. Salah satu kelompok teori yang tergolong teori struktiral ini adalah teori ketergantungan yang lahir dari 2 induk, yakni seorang ahli pemikiran liberal Raul Prebiesch dan teori-teori Marx tentang imperialisme dan kolonialisme serta seorang pemikir marxis yang merevisi pandangan marxis tentang cara produksi Asia. Ada 6 (enam) inti pembahasan teori ketergantungan: 1.
Pendekatan keseluruhan melalui pendekatan kasus. Gejala ketergantungan dianalisis dengan pendekatan keseluruhan yang memberi tekanan pada sisitem dunia. Ketergantungan adalah akibat proses kapitalisme global, dimana negara pinggiran hanya sebagai pelengkap. Keseluruhan dinamika dan mekanisme kapitalis dunia menjadi perhatian pendekatan ini. 24
2.
Pakar eksternal melawan internal. Para pengikut teori ketergantungan tidak sependapat dalam penekanan terhadap dua faktor ini, ada yang beranggapan bahwa faktor eksternal lebih ditekankan, seperti Frank Des Santos. Sebaliknya ada yang menekan factor internal yang mempengaruhi/ menyebabkan ketergantungan, seperti Cordosa dan Faletto.
3.
Analisis ekonomi melawan analisi sosiopolitik. Raul Plebiech memulainya dengan memakai analisis ekonomi dan penyelesaian yang ditawarkanya juga bersifat ekonomi. AG Frank seorang ekonom, dalam analisisnya memakai disiplin ilmu sosial lainya, terutama sosiologi dan politik. Dengan demikian teori
ketergantungan
dimulai
sebagai
masalah
ekonomi
kemudian
berkembang menjadi analisis sosial politik dimana analisis ekonomi hanya merupakan bagian dan pendekatan yang multi dan interdisipliner analisis sosiopolitik menekankan analisa kelas, kelompok sosial dan peran pemerintah di negara pinggiran. 4.
Kontradiksi sektoral/regional melawan kontradiksi kelas. Salah satu kelompok penganut ketergantungan sangat menekankan analisis tentang hubungan negara-negara pusat dengan pinggiran ini merupakan analisis yang memakai kontradiksi regional. Tokohnya adalah AG Frank. Sedangkan kelompok lainya menekankan analisis klas, seperti Cardoso.
5.
Keterbelakangan melawan pembangunan. Teori ketergantungan sering disamakan dengan teori tentang keterbelakangan dunia ketiga. Seperti dinyatakan oleh Frank. Para pemikir teori ketergantungan yang lain seperti Dos Santos, Cardoso, Evans menyatakan bahwa ketergantungan dan pembangunan bisa berjalan seiring. Yang perlu dijelaskan adalah sebab, sifat dan
keterbatasan
dari
pembangunan
yang
terjadi
dalam
konteks
ketergantungan. 6.
Voluntarisme melawan determinisme. Penganut marxis klasik melihat perkembangan sejarah sebagai suatu yang deterministic. Masyarakat akan berkembang sesuai tahapan dari feodalisme ke kapitalisme dan akan kepada
25
sosialisme. Penganut Neo Marxis seperti Frank kemudian mengubahnya melalui teori ketergantungan. Menurutnya kapitalisme negara-negara pusat berbeda dengan kapitalisme negara pinggiran. Kapitalisme negara pinggiran adalah keterbelakangan karena itu perlu di ubah menjadi negara sosialis melalui sebuah revolusi. Dalam hal ini Frank adalah penganut teori voluntaristik. Asumsi dasar teori ketergantungan ini menganggap ketergantungan sebagai gejala yang sangat umum ditemui pada negara-negara dunia ketiga, disebabkan faktor eksternal, lebih sebagai masalah ekonomi dan polarisasi regional ekonomi global (Barat dan Non Barat, atau industri dan negara ketiga), dan kondisi ketergantungan adalah anti pembangunan atau tak akan pernah melahirkan pembangunan. Terbelakang adalah label untuk negara dengan kondisi teknologi dan ekonomi yang rendah diukur dari sistem kapitalis.
Terdapat beberapa asumsi dasar dalam perspektif dependensi yang disampaikan oleh beberapa ahli. Frank (1973) menyatakan bahwa pemahaman terhadap sejarah ekonomi, sosial dan politik menjadi suatu hal yang penting dalam menentukan kebijakan pembangunan pada suatu negara. Karakteristik suatu negara yang khas dapat dikaji dari perspektif historis. Pendekatan pembangunan yang dilakukan oleh negara terbelakang saat ini sebenarnya merupakan hasil pengalaman sejarah negara maju yang kapitalis seperti negara-negara Eropa dan Amerika Utara. Terdapat perbedaan sejarah yang sangat mendasar antara negara maju dan negara bekas koloni atau daerah jajahan sehingga menyebabkan struktur sosial masyarakatnya berbeda. Frank juga menganggap adanya kegagalan penelitian sejarah dalam menganalisis hubungan ekonomi yang terjadi antara negara 26
penjajah dan negara jajahannya selama masa perdagangan dan imperialisme. Pembangunan ekonomi merupakan sebuah perjalanan menuju sistem ekonomi kapitalisme yang terdiri dari beberapa tahap. Saat ini negara terbelakang masih berada pada awal tahapan tersebut. Frank (1973) menyajikan lima tesis tentang dependensi, yaitu :
1.
Terdapat kesenjangan pembangunan antara negara pusat dan satelitnya, pembangunan pada negara satelit dibatasi oleh status negara satelit tersebut.
2.
Kemampuan negara satelit dalam pembangunan ekonomi terutama pembangunan industri kapitalis meningkat pada saat ikatan terhadap negara pusat sedang melemah. Pendapat ini merupakan antitesis dari modernisasi yang menyatakan bahwa kemajuan negara dunia ketiga hanya dapat dilakukan dengan hubungan dan difusi dengan negara maju. Tesis ini dapat dijelaskan dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu “isolasi temporer” yang disebabkan oleh krisis perang atau melemahnya ekonomi dan politik negara pusat. Frank megajukan bukti empirik untuk mendukung tesisnya ini yaitu pada saat Spanyol mengalami kemunduran ekonomi pada abad 17, perang Napoleon, perang dunia pertama, kemunduran ekonomi pada tahun 1930 dan perang dunia kedua telah menyebabkan pembangunan industri yang pesat di Argentina, Meksiko, Brasil dan Chili. Pengertian isolasi yang kedua adalah isolasi secara geografis dan ekonomi yang menyebabkan ikatan antara “pusat-satelit” menjadi melemah dan kurang dapat menyatukan diri pada sistem perdagangan dan ekonomi kapitalis.
3.
Negara yang terbelakang dan terlihat feodal saat ini merupakan negara yang memiliki kedekatan ikatan dengan negara pusat pada masa lalu. Frank menjelaskan bahwa pada negara satelit yang memiliki hubungan sangat erat telah menjadi “sapi perah” bagi negara pusat. Negara satelit tersebut hanya sebatas sebagai penghasil produk primer yang sangat dibutuhkan sebagai modal dalam sebuah industri kapitalis di negara pusat. 27
4.
Kemunculan perkebunan besar di negara satelit sebagai usaha pemenuhan kebutuhan dan peningkatan keuntungan ekonomi negara pusat. Perkebunan yang dirintis oleh negara pusat ini menjadi cikal bakal munculnya industri kapitalis yang sangat besar yang berdampak pada eksploitasi lahan, sumberdaya alam dan tenaga kerja negara satelit.
5.
Eksploitasi yang menjadi ciri khas kapitalisme menyebabkan menurunnya kemampuan berproduksi pertanian di negara satelit. Ciri pertanian subsisten pada negara terbelakang menjadi hilang dan diganti menjadi pertanian yang kapitalis.
Santos mengamsusikan bahwa bentuk dasar ekonomi dunia memiliki aturanaturan perkembangannya sendiri, tipe hubungan ekonomi yang dominan di negara pusat adalah kapitalisme sehingga menyebabkan timbulnya saha melakukan ekspansi keluar dan tipe hubungan ekonomi pada negara periferi merupakan bentuk ketergantungan yang dihasilkan oleh ekspansi kapitalisme oleh negara pusat. Santos menjelaskan bagaimana timbulnya kapitalisme yang dapat menguasai sistem ekonomi dunia. Keterbatasan sumber daya pada negara maju mendorong mereka untuk melakukan ekspansi besar-besaran pada negara miskin. Pola yang dilakukan memberikan dampak negatif berupa adanya ketergantungan yang dialami oleh negara miskin. Negara miskin akan selalu menjadi negara yang terbelakang dalam pembangunan karena tidak dapat mandiri serta selalu tergantung dengan negara maju. Negara maju identik menjadi negara pusat, sedangkan negara miskin menjadi satelitnya. Konsep ini lebih dikenal dengan istilah “pusat - periferi”.
28
Tesis yang diajukan oleh santos adalah pembagian ketergantungan menjadi tiga jenis yaitu ketergantungan kolonial, ketergantungan industri keuangan dan ketergantungan teknologi industri. Ketergantungan kolonial merupakan bentuk ketergantungan yang dialami oleh negara jajahan. Ketergantungan kolonial merupakan bentuk ketergantungan yang paling awal dan hingga kini telah dihapuskan. Pada ketergantungan kolonial, negara dominan, yang bekerja sama dengan elit negara tergantung, memonopoli pemilikan tanah, pertambangan, tenaga kerja, serta ekspor barang galian dan hasil bumi dari negara jajahan.
Sementara itu, jenis ketergantungan industri keuangan yang lahir pada akhir abad 19, maka ekonomi negara tergantung lebih terpusat pada ekspor bahan mentah dan produk pertanian. Ekspor bahan mentah menyebabkan terkurasnya sumber daya negara, sementara nilai tambah yang diperoleh kecil. Sumbangan pemikiran Santos terhadap teori dependensi sebenarnya berada pada bentuk ketergantungan teknologi industri. Dampak dari ketergantungan ini terhadap dunia ketiga adalah ketimpangan pembangunan, ketimpangan kekayaan, eksploitasi tenaga kerja, serta terbatasnya perkembangan pasar domestik negara dunia ketiga itu sendiri.
Struktur ketergantungan secara bertingkat mulai dari negara pusat sampai periferi disampaikan oleh Galtung (1980). Imprealisme ditandai satu jalur kuat antara pusat di pusat dengan pusat di periferi (CC-CP). Ditambahkan Frank, bahwa daerah desa yang terbelakang akan menjadi penghalang untuk maju bagi negara bersangkutan. Struktur kapitalisme juga dapat dikaitkan dengan Cardoso (1982)
29
tentang dependensi ekonomi. Ketergantungan ekonomi terjadi melalui perbedaan produk dan kebijakan hutang yang menyebabkan eksploitasi finansial.
Dalam pendekatan gerakan sosial, perspektif ketergantungan melihat hubunganhubungan yang dominan dan eksplotatif perlu untuk direkonstruksi secara struktural. Dalam konsteks Indonesia, mulai masa orde baru terjadi pendekatan yang dominan oleh negara. Praktik pendekatan pembangunan seperti ini nyatanyata telah gagal mengantarkan bangsa Indonesia menuju kesejahteraan dan menimbulkan
ketergantungan
dalam
pembangunan.
LSM
adalah
agen
pembangunan alternatif yang secara struktural memberikan alternatif hubungan yang lebih memperkuat posisi masyarakat sipil. Dengan munculnya agen pembangunan alternatif, masyarakat sipil dimungkinkan untuk bisa melakukan proses pembangunan sendiri tanpa ada ketergantungan dengan negara. Masyarakat sipil bisa melakukan proses tersebut dengan inisiatif, pelaksanaan dan evaluasi secara mandiri.
2.3 LSM dan Model Pengembangan Alternatif Dalam konteks situasi, kondisi dan hasil pembanguan perdesaan yang lebih menekankan pendekatan top down eksistensi LSM memiliki relevansi dan urgensi yang cukup mendasar untuk melakukan pengembangan alternatif, sebab berbeda dengan pemeintah dalam: proses, metode, program dan gerakan dalam: 1.
Mengidentifikasi kebutuhan kelompok lokal
dan
taktik-taktik untuk
memenuhi kebutuhan hasil identifikasi. 2.
Melakukan mobilisasi dan persuasi untuk usaha aktif mengejar kebutuhan30
kebutuhan kelompok yang telah diidentifikasi. 3.
Merumuskan kegiatan jangka panjang untuk mengejar sasaran-sasaran pembangunan perdesaan yang lebih esensial.
4.
Menghasilkan dan memobilisasi sumberdaya lokal atau eksternal untuk kegiatan pembangunan perdesaan.
5.
Pengaturan perencanaan dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan pembangunan desa.
Peranan LSM dalam melakukan proses, metode. Program dan gerakan tersebut menekankan persepsi: 1.
Bahwa masyarakat perdesaan bukan hanya sekadar sebagai sumber energi, tetapi juga merupakan sumber informasi. Informasi yang dimiliki masyarakat berupa aset mendesak bagi keberhasilan program pengembangan perdesaan, terlebih pada tahap perencanaan. Persepsi ini dilandaskan pada fakta bahwa hanya masyarakatlah yang paling mengetahui dan kebutuhannya sendiri.
2.
Bahwa pengembangan perdesaan tidak hanya berarti mengatur saja, tetapi juga berarti membantu masyarakat untuk memecahkan problema-problema pengembangan perdesaan yang tidak dapat mereka pecahkan sendiri.
3.
Bahwa masyarakat perdesaan pada hakekatnya bukanlah sifat statis, apatis dan fatalistis, yang mewujud dalam sistem panutan (paternalisme). Sebab kepaternalismean masyarakat perdesaan muncul karena mereka tidak diberi ruang dan peluang untuk secara otonom dalam menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi. Dengan kata lain, sikap manut adalah akibat keterbelakangan dan kemiskinan struktural yang diciptakan.
4.
Bahwa masyarakat perdesaan di Indonesia adalah heterogen, baik dilihat dari segi ekologis, sosiologis maupun dari segi kultural. Dengan demikian; pola, metode dan strategi pengembangan perdesaan yang seragam (uniform) pada akhimya akan mematikan dinamika, kreativitas dan oleh karena itu daya-daya
31
inovatif masyarakat perdesaan itu sendiri. Uniformitas ini akan mencekik partisipasi dan keswadayaan mereka. 5.
Sudah terbukti berdasarkan pengalaman selama ini bahwa persistensi eksistensi masyarakat desa menunjukan adanya satu kemampuan yang tinggi untuk mempertahankan diri dalam menghadapi dan mengatasi problemaproblema mereka sendiri. Oleh karena itu persepsi bahwa masyarakat perdesaan tidak produktif karena miskin materi adalah tidak benar sama sekali.
6.
Bahwa sifat hubungan antara LSM dengan masyarakat perdesaan (kelompok mitra kerja) adalah dialogis dan rembug strategis. Artinya, antara pihak-pihak yang berhubungan terdapat kesamaan derajat. LSM yang datang ke perdesaan bukanlah atasan atau pimpinan masyarakat perdesaan (kelompok mitra kerja), demikian pula sebaliknya. Hubungan dialogis dan rembug strategis ini tidak dapat disederhanakan menjadi sekedar tindakan LSM untuk "menabungkan" gagasan-gagasannya kepada masyarakat perdesaan, atau sekedar sebagai sebuah pertukaran gagasan untuk "dikonsumsikan" oleh masyarakat perdesaan atau LSM. Sebagai satu hubungan horizontal, maka dialog harus pula didasarkan kepada adanya keyakinan pada fitrahnya untuk menjadi manusia seutuhnya (yang bukan hak istimewa kelompok elit, tetapi hak kelahiran semua insan manusia).
2.4 Perubahan Berencana; Narasi Negara dan Sipil Kebanyakan dari batasan-batasan selalu ditemukan dalam Negara-negara berkembang dan sangat membatasi percobaan dengan Participation in Development Planing and Management (PPM) –(Garcia, 1985): 1.
Sebuah sistem politik terpusat yang memandang
inisitif lokal dengan
beberapa kecurigaan. 2.
Sebuah mekanisme yang teliti dalam pengawasan yang ketat terhadap 32
perencanaan nasional yang terkait utnuk pengalokasian sumberdaya yang langka, dimana prioritas politik berperan penting. 3.
Birokrasi nasional cenderung mengesampingkan metode partisipatif sebagai sebuah hambatan/rintangan ekonomi dalam skala yang diinginkan.
4.
Kecenderungan yang belum teruji dari PPM sebagai fasilitator pembangunan. Birokrasi telah sungguh-sungguh meragukan sebuah aktivitas kerja dengan baik dalam sebuah kampung/desa kecil dapat menjadi sama efektifnya sebagai bagian dari program seluruh negeri.
5.
Tidak adanya koordinasi pada tingkat nasional dimana pemerintah tidak segera mampu untuk merumuskan strategi pembangunan terpadu.
6.
Tidak adanya koordinasi pada level nasional dimana tidak ada mekanisme formal untuk agen pembangunan untuk diskusi antara masukan teknik dan fisik yang ada dengan program mereka, berdampak pada program-program untuk aktivitas lain masing-masing atau beberapa urutan dari aktivitas yang dapat membuat tugasnya lebih mudah.
7.
Pada akhirnya terdapat pemisah antaran pemerintahan nasional dan pemerintahan lokal. Pada negera-negara berkembang, banyak sumberdaya pemerintahan terkonsentrasi pada ibukota Negara. Pada umumnya terdapat kekurangan/kelangkaan tenaga kerja, bahkan dengan pelatihan pekerja dengan baik, dalam wilayah Negara lainnya. Jurang pemisah antara pemerintahan nasional dan lokal ini dalam Negara berkembang secara konstan meluas sebab tidak adanya jaringan komunikasi modern.
2.5 Kerangka Pemikiran Konstelasi kekuasaan dalam proses pembangunan menurut Bebbington dikutip oleh Dharmawan (2002) mengenal tiga ranah yang saling mempengaruhi. Masyarakat sipil akan terwujud apabila ranah sipil mempunyai kekuatan .untuk menggeser hegemoni negara dan hegemoni pasar. Usaha memperkuat posisi ruang 33
sipil masyarakat dapat dilakukan dengan pendekatan pembangunan berparadigma baru (Shepherd, 1998). Paradigma ini meniscayakan usaha secara sengaja untuk menegembangkan potensi sosial-ekonomi dan sosial budaya lokal. Perkembangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Indonesia sejak tahun 1970 sangatlah mengesankan bila ditinjau dari jumlah, keragaman, dan letak geografinya (Fakih, 2000). Sebagai kekuatan yang bekerja di akar rumput, LSM mempunyai fungsi strategis sebagai pelopor yang melayani perubahan sosial dalam penguatan ranah sipil. LSM dengan isu lingkungan hidup mengalami perkembangan yang sangat cepat. Di Indonesia, pertumbuhan jumlah LSM, tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan diskursus pembangunan. Sehingga pembahasan tentang LSM juga tidak dapat dipisahkan dengan wacana yang terkait dengan struktur negara (Eldrigde, 1999). Keberadaan LSM sebagai bagian dari ranah sipil (Civil Sphere) akan berkaitan pengaruh dengan ranah negara (State Sphere) dan ranah pasar (Market Sphere) seperti yang dijelaskan oleh Bebbington dalam Dharmawan (2002). Pada kenyataanya, pelaksanaan program-program LSM tidak selalu sesuai dengan idealisme yang didengungkannya. Angka kemiskinan di Indonesia berdasarkan laporan BPS menunjukkan bahwa kondisinya relatif tetap (lihat kembali Gambar. 1). Pertanyaan kritis yang muncul adalah mengapa tren perkembangan LSM yang demikian cepat tidak diiringi dengan hasil pengentasan kemiskinan, padahal menurut Fakih (2000), Korten (1987), Budiman (1988) LSM di Indonesia paling banyak bergerak dalam isu pengentasan kemiskinan dan pada kurun waktu awal
34
1980 hingga saat ini usaha tersebut dilakukan dengan sangat intensif dengan pendanaan yang
sangat besar (Billah, 2000). Kondisi ini menunjukkan
kemungkinan adanya kesalahan baik secara struktural (hubungan-hubungan yang terjadi antara LSM dengan stakeholder-nya) dan kondisi internal LSM. Ufford dan Giri (2002) menganggap ada keterkaitan antara program-program LSM dengan sumber dana. Faktor dana merupakan bidang kajian yang menarik untuk ditelaah, karena bidang ini berhubungan langsung dengan pihak yang berhungan dengan LSM. Dimungkinkan terdapat temuan yang dapat menjelaskan fakta kesenjangan kinerja LSM di atas. Belum banyak penelitian atas hal ini, dari sumber literatur penulis menemukan hasil kajian yang dilakukan oleh SMERU tahun 2002 mengenai akuntabilitas LSM dan kajian yang dilakukan oleh Yayasan TIFA tahun 2005 mengenai ukuran-ukuran akuntabiltas. Tetapi kedua kajian ini baru menjelaskan bagaimana kontrol publik atas kinerja LSM dan belum menjelaskan bagaimana Independensi LSM dalam aksinya. Berdasarkan pemaparan di atas, penelitian ini bertujuan untuk 1. Mengetahui apakah donor memberi pengaruh pada independensi LSM (merujuk pada platform berdirinya LSM) dan 2. Mengetahui apakah perubahan donor mempengaruhi independensi LSM.
35
donor
Pop • Komersia - Non •
Ori
pentingan ke
uasiEva • Pela • Inis •
Aksi
Indep
dipengaruhi oleh Hipotesis Pengarah:
Mo • Pen • Sum •
Fina
ndependensi I LSM
Donor penting Ke
Gambar 2. Kerangka Pemikiran
36
2.6 Hipotesis Pengarah Untuk memberikan arahan penelitian, peneliti mengajukan hipotesis pengarah sebagai berikut: “Independensi LSM, ditentukan oleh (a) kekuatan kepentingan donor
(b) kekuatan militansi ideologi, kemapanan dana, dan kinerja LSM”.
Hipotesis ini akan bermanfaat untuk mengkonfirmasi kesimpulan penelitian dengan rumusan masalah penelitian dan tujuan penelitian.
37
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Boyolali Jawa Tengah (LKTS) dan Cibadak Bogor Jawa Barat (LPS) . Dua Lokasi ini masih terdiri dari beberapa tempat yang berbeda. Di Boyololai ada tempat yang menjadi fokus penelitian yatu di Wonosegoro. Di desa ini ada beberapa KSM dan kordinatornya, setiap satu bulan sekali diadakan pertemuan kader dan aktivis LKTS datang ke tempat ini, pada saat usai pertemuan inilah penulis melakukan wawancara. Selain wawancara konteks tempat dan waktu yang terjadi menjadi bahan penting untuk melakukan penulisan. Untuk tempat penelitian kedua, yaitu LPS penulis melakukan di KSM ketika aktivis LPS usai memberikan pendampingan kepada petani anggota KSM. Selain mendapatkan data primer dari hasil wawancara mendalam, penulis juga mendapakan data-data sekunder berupa laporan perkembangan KSM, profil, dan prestasi yang sudah dimiliki oleh KSM. Penelitian ini dilakukan dalam waktu 6 (enam) bulan. Tepatnya 4 (empat) bulan di LKTS dan 2 (dua) bulan di LPS. Penelitian di LKTS lebih lama karena selain tempatnya yang jauh, periode pertemuan yang dilakukan oleh KSM juga lebih lama (1 bulan sekali). Di LPS penelitian lebih singkat karena lokasi yang lebih dekat dan jarak pertemuan KSM lebih pendek. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari – Juni 2008. Penelitian dilakukan setelah bekal proposal, ijin penelitian, dan pedoman penelitian termasuk pedoman pertanyaan sudah disiapkan.
38
3.2 Unit Analisis Unit analisis studi ini adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak pada masyarakat akar rumput di Indonesia. LSM yang dipilih adalah Lembaga Kajian untuk Transformasi Sosial (LKTS) di Boyolali Jawa Tengah dan Lembaga Pertanian Sehat (LPS) di Bogor dan Sukabumi. Dua LSM ini mewakili tipologi berbeda kaitannya dengan keragaan donor dimana LKTS lebih banyak mendapatkan donor asing sedangkan LPS lebih banyak mendapatkan donor dari masyarakat lokal, LKTS mendapat dana dari lembaga donor internasional dan nasional, LPS memperoleh dana masyarakat melalui pendayagunaan Zakat, Infaq, Shadaqoh dan Wakaf (ZISWAF). LKTS berskala lokal-regional dan LPS berskala lokal, dua LSM ini juga memiliki sistem pendaan yang berbeda. Perbedaan sistem pendanaan LSM akan memberikan gambaran hubungan yang berbeda antara LSM dan lembaga donor. Struktur hubungan antara donor dan LSM inilah yang akan menjadi pembahasan independensi LSM. Independensi LSM diposisikan sebagai variabel dependen sementara kekuatan lembaga donor merupakan variabel independen. 3.3 Strategi Penelitian Independensi LSM sebagai variabel dependen berhadapan dengan pengaruh kepentingan donor akan ditelaah dalam sub variabel finansial, aksi dan orientasi ideologi LSM. Untuk menjawab pertanyaan pada aspek finansial, aksi, dan ideologi metode yang lebih tepat adalah menggunakan metode kualitatif. Metode ini secara epistemologi, bisa meng-investigasi jejaring LSM dan kepentingan yang 39
sebenarnya diperjuangkan secara lebih valid. Selain itu, metode ini dipilih karena relevansinya dengan perumusan masalah yang penulis ajukan, dimana aspek pengaruh donor dan perubahannya kepada LSM perlu dilihat sebagai gejala yang dinamis. Strategi ini juga relevan dengan fokus kajian penulisan, dimana aspek finansial dilihat dari proporsi dana yang ada di LSM. Untuk masalah ini data sekunder diperlukan untuk melihat angka-angka-nya, tidak berhenti samapai disitu, pendalaman atas pertimbangan, ide dan pikiran dengan angka-angka tersebut menjadi penting dan diperlukan strategi untuk menggalinya. Begitu juga pada aspek aksi dan lebih khusus lagi pada aspek orientasi ideologi. 3.4 Teknik Pengolahan dan Analisa Data Penelitian ini diawali dengan penggalian data, baik sekunder maupun primer. Peneltian di LKTS dilakukan di kantor LSM dan dilapang. Peneliti melakukan wawancara berdasarkan daftar pertanyaan yang telah dibuat sebelum turun lapang dilakukan (Lampiran 1.), wawancara dilakukan bersama kordinator-kordinator wilayah Boyolali, Klaten, Semarang dan Sukoharjo. Peneliti juga melakukan wawancara bersama kader 4 (empat) KSM di Wonosegoro Boyolali beserta dengan anggotanya. Selain wawancara, dilakukan studi dokumen dan publikasi yang dimiliki oleh LKTS. Dokumen yang ada adalah laporan keuangan tahunan, laporan kegiatan, dan laporan hasil evaluasi. Media publikasi juga dipelajari sebagai bahan memperkuat data, antara lain buletin pelita, press release, leaflet dan website. Dari bahan-bahan inilah peneliti mengungkap profil LSM mulai dari 40
aspek kesejarahan, visi lembaga, kegiatan, struktur organisasi, aspek finansial, hingga evaluasi dari evaluasi lapang hingga evaluasi dilingkup pimpinan. Hal yang sama peneliti lakukan untuk LPS, karena lokasinya lebih dekat (Bogor) peneliti lebih banyak berinteraksi baik langsung maupun lewat kegiatan-kegiatan yang dilakukan. Sebelum penelitian ini dilakukan baik kepada LKTS maupun LPS
telah terjalin hubungan komunikasi, sehingga untuk penambahan data,
konfirmasi, dan koreksi kadang dilakukan dengan media telepon/HP. Cara seperti ini dilakukan setelah penelitian ini (pada enam bulan awal) selesai dilakukan. Sehingga data yang didapatkan dapat dengan mudah ditambah, dikonfirmasi dan mendapat respon dari aktivis LSM. Data-data tersebut dicatat dalam catatan harian, catatan harian merupan data kunci dari buah pikiran narasumber yang diwawancara yang merupakan refleksi dari fakta dilapang. Kemudian dilakukan pengkodean sesuai dengan topik, pengkodean ini merupakan proses klasifikasi data dengan kebutuhan penelitian. Pada penelitian ini, data diklasifikasikan berdasarkan fokus kajian, untuk kemudian divisualisasikan dalam bentuk diagram untuk menggambarkan jaringan, tabel menunjukkan angka-angka yang berhubungan dengan fokus kajian, matriks dan kutipan pernyataan subyek penelitian untuk menggambarkan pandangan subyek. Sebelum ditarik kesimpulan tetap, ada verifikasi hingga tercapai intersubyektifitas dan penelitian ini tidak untuk menarik generalisasi. Kesimpulan penelitian dihasilkan dengan mengalisa data yang tersedia sesuai dengan fokus kajian.
41
Bentuk analisa dalam penelitian ini menggunakan pijakan teori yang akan dieksplorasi pada tinjauan pustaka. Hasilnya, kesimpulan yang ditarik merupakan hasil analisa teoritik dan fakta di lapang, dan disajikan kembali dalam bentuk tertulis dan untuk memberikan gambaran lebih baik disajikan dalam bentuk tabel, matriks dan kutipan wawancara. Untuk menjelaskan alur metodologi penelitian ini, digambarkan sebagai berikut:
Penelitian
Fokus kajian
“Parameter”
Finansial
Proporsi ‘saham’ LSM
Metode Penelitian Wawancara mendalam Studi Dokumen Wawancara mendalam
Inisiasi
Studi Dokumen Independensi
Aksi
Pelaksanaan (Juknis, Juklak)
Wawancara mendalam Studi Dokumen Wawancara mendalam
Monitoring
Studi Dokumen Ideologi
Wawancara mendalam
Ideal vs Real
Studi Dokumen
Gambar 3. Alur Metodologi Penelitian Independensi LSM
42
BAB IV PROFIL LSM LPS DAN LKTS 4.1 Pengantar LSM sebagais salah satu agen pembangunan memiki posisi penting dalam melakukan insiasi, menjadi fasilitator dan monitoring pengembangan masyarakat. Billah (1988) mengatakan selama ini pembangunan yang terjadi hanya merupakan pemantapan sistem patronase dan membangun proyek-proyek ekonomi yang lembek, mengabaikan kemandirian, meningkatkan ketergantungan pada sumbersumber luar, dan menggusur prakarsa lokal. Selain itu, pendekatan semacam ini cenderung mendorong ke arah otoritarianisme, dan pemusatan kekayaan dan kekuasaan politik. LSM muncul sebagai tanggapan terhadap kecenderungan itu, diantaranya adalah tuntutan agar pembangunan lebih berkiblat pada rakyat yang menekankan pentingnya penguatan kapasitas kelembagaan dan sosial yang mendukung pengembangan pengendalian, pertanggung-gugatan (accountability), prakarsa, dan kemandirian lokal. Pendekatan seperti yang disebut terakhir ini seringkali digunakan oleh LSM yang pada prakteknya cenderung memiliki minat yang kuat dalam demokratisasi (Korten, 1987). Dalam dasawarsa-dasawarsa terakhir ini, ketika pembangunan di berbagai negaraberkembang mulai dan terus digalakkan, peran LSM dilihat semakin meningkat (Drabek, 1987), dan bahkan Chambers mengenalkan konsep additionally untuk menggambarkan sumbangan potensial dari LSM bagi proses pembangunan. Pada mulanya LSM dilihat sebagai organisasi yang bergerak secara eksklusif pada
43
tingkat lokal dengan tujuan memenuhi kebutuhan kelompok miskin tanpa mempertimbangkan dampak yang luas akan tetapi kemudian terjadi pergeseran yang mendasar yakni bahwa LSM tidak lagi hanya berupaya memenuhi kebutuhan kelompok miskin melainkan juga membantu mereka untuk mengartikulasikan kebutuhan mereka dan memberikan kemampuan kepada mereka
untuk
mengontrol
proses
pengambilan
keputusan
yang
dapat
mempengaruhi kehidupan mereka (Drabek, 1987). Perkembangan LSM di Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dengan diskursus di atas. Wacana penguatan akar rumput, peningkatan partisipasi dan kelembagaan dalam penelitian ini dikaji pada aras LSM. Penelitian ini mengkajinya pada tingkat LSM di akar rumput yang mengklain bergerak ditengah-tengah masyarakat akar rumput. Penelitian ini dilakukan di 2 (dua) LSM yaitu Lembaga Kajian untuk Transformasi Sosial (LKTS) dan Lembaga Pertanian Sehat (LPS). Dua LSM ini mempunyai karakteristik yang berbeda, baik pada aspek kesejarahan visi, kegiatan, dan aspek finansial sebagai fokus dari kajian ini. Untuk membahas lebih jauh maka akan dirinci pada aspek sebagai berikut: 1.
Sejarah LSM
2.
lingkup kerja LSM
3.
Fokus Isu yang diangkat
4.
Mitra Donor LSM
5.
Program Kegiatan
6.
Struktur Organisasi
44
4.2 Sejarah LSM 4.2.1 LKTS LKTS (Lembaga Kajian untuk Transformasi Sosial / Institute for Social Transformation Studies) adalah sebuah organisasi independent dan not profit yang didirikan pada tanggal 23 Januari 1995 di Boyolali Jawa Tengah. Organisasi ini berdiri sebagai respon kritis masyarakat warga (civil society) di Indonesia atas berbagai bentuk ketidakadilan sosial yang dilingkupi konstruksi sosial politik yang represif dan diskriminatif. Tingginya angka kemiskinan, rendahnya kwalitas pelayanan public dan diperparah dengan korupsi, kolusi dan nepotisme, jelas-jelas mengabaikan pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya rakyat. Eksploitasi besar-besaran sumberdaya alam dimana pengelolaannya begitu sentralistik, mengakibatkan kesenjangan sosial di tingkat pusat, propinsi dan kabupaten dengan kelompok mayoritas di tingkat basis. Budaya kekerasan dan penyelesaian secara represif oleh aparat negara, benar-benar telah mengabaikan hak dan partisipasi rakyat. Hal ini masih diperparah dengan kondisi perempuan yang selalu mengalami diskriminasi dan kekerasan. Inisiatif untuk mendirikan LKTS, merupakan hasil refleksi dan evaluasi bersama tokoh adat, tokoh agama dan aktivis mahasiswa. Berpijak dari evaluasi kerja-kerja itu, LKTS mengkonsepsikan kerja organisasi yang berbasis kebutuhan masyarakat local sebagai pintu masuk (entry point) dan dilanjutkan dengan proses penyadaran kritis dan transformasi yang berkelanjutan.
45
Dalam konteks tersebut, LKTS meletakkan organisasi-organisasi masyarakat basis sebagai subyek untuk terus bergerak mencapai visi-misinya. Dan senantiasa akan terus mendengarkan setiap persoalan dan realitas yang sedang dan akan dihadapi. Senantiasa menjaga kesinambungan komunikasi dan interaksi serta terus memberikan sebuah perspektif maju. Pemahaman ini biasa disebut dengan metode sosial
partisipatif
(social
participatory
method).
Ketidakadilan
dan
ketidakberdayaan masyarakat itulah yang sampai saat ini tetap menjadi ‘justifikasi’ bagi organizer untuk tetap eksis di tengah-tengah masyarakat. 4.2.2 LPS Lembaga Pertanian Sehat (LPS) Dompet Dhuafa berdiri pada bulan Juni 1999 yang semula bernama Laboratorium Pengendalian Biologi Dompet Duafa (DD) Republika yang berfungsi untuk meneliti dan mengembangkan sarana pertanian tepat guna untuk membantu petani kecil. Pertama kali diproduksi oleh Laboratorium Pengendalian Biologi DD Republika adalah biopestisida (pengendali hama tanaman) berbahan aktif virus serangga NPV (nuclear polyhedrosis virus) yang ramah lingkungan. Produk biopestisida yang berbahan aktif virus patogen serangga hama tersebut, merupakan yang pertama diproduksi di Indonesia dengan nama VIR-L, VIR-X dan VIR-H. Kemudian hasil dari penelitian dan perakitan teknologi tepat guna pada tahun 2000 dihasilkan pupuk organik OFER dan pestisida nabati PASTI berbahan aktif ekstrak akar tuba (Derris sp.)
46
Pada tahun 2002 Laboratorium Pengendalian Biologi berubah nama menjadi Usaha Pertanian Sehat (UPS), hal ini berkaitan erat dengan upaya pengembangan pemasaran produk-produk yang dihasilkan Laboratorium sebelumnya. Pemisahan laboratorium dan usaha dilakukan pada awal tahun 2003 menjadi LPS yang berada di Jejaring Aset Sosial (JAS) dan UPS yang berada di Jejaring Aset Reform (JAR). Selain produk Laboratorium, UPS juga mulai membantu pemasaran produk pertanian dari petani-petani yang telah menggunakan teknologi ramah lingkungan, diantaranya berupa Beras Sehat Bebas Pestisida. Kemudian menginjak awal tahun 2004 Laboratorium Pertanian Sehat dan Usaha Pertanian Sehat disatukan kembali menjadi Lembaga Pertanian Sehat Dompet Dhuafa di bawah koordinasi Jejaring Aset Reform (JAR) dengan mandat yang lebih luas tidak hanya penelitian dan produksi sarana pertanian sehat, tetapi juga berupaya untuk melakukan pemberdayaan petani dhuafa melalui Program Pemberdayaan Pertanian Sehat (P3S). Pada tahun 2005 seiring dengan perubahan internal lembaga holding Dompet Dhuafa, LPS menjadi salah satu jejaring pengembangan ekonomi yang diharapkan dapat menjadi sebuah lembaga mandiri secara finansial dari sektor produksi dan bisnis dengan tetap tidak kehilangan jatidirinya sebagai jejaring dari lembaga nirlaba Dompet Dhuafa. 4.3 Lingkup Kerja LSM 4.3.1 LKTS LKTS mengawali aktivitas dengan kegiatan-kegiatan yang behubungan dengan lingkungan hidup, pada perjalanannya LKTS telah merumuskan lingkup kegiatan 47
yang lebih besar dengan mengangkat isu yang lebih luas. Lingkup kerja LKTS adalah: 1.
Studi Masyarakat (Community studies),
2.
Pengorganisasian berbasis masyarakat luas (Broad-based organizing)
3.
Advokasi Warga (Citizen advocacy)
4.
Penguatan organisasi masyarakat warga (CSO Strengthening)
5.
Aksi partisipatif (Participatory Action)
Penjelasan secara rinci 5 (lima) ruang lingkup LKTS akan dijelaskan dalam paragraf-paragraf dibawah ini: Studi Masyarakat (Community studies), sebuah organisasi dapat menajamkan masalah dan meningkatkan efisiensi dengan program transformasi sosial yang baik. Akan tetapi semua itu harus dilandasi oleh database dari sebuah hasil studi, penelitian dan kajian yang matang dan valid. LKTS melakukan sebuah studi secara regular, tepat dan berdasarkan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat serta melibatkan sepenuhnya proses tersebut dengan masyarakat setempat. Cara ini dilakukan dengan dasar informasi dan data yang akan diperoleh sebagai dasar analisis kritis LKTS dalam menilai sebuah persoalan. Studi tindakan ini adalah suatu usaha dan upaya mengubah pola pikir dan pola kerja suatu komunitas untuk mencapai peningkatan kinerja mereka. Pengorganisasian berbasis masyarakat luas (Broad-based organizing), Pengorganisasian yang dilakukan LKTS adalah suatu upaya dan langkah-langkah untuk mendorong terwujudnya keberdayaan masyarakat untuk memperoleh 48
pemecahan masalah dan memperjuangkan hak-hak mereka. Konsep ini mencakup upaya perbaikan kualitas hidup rakyat yang tidak hanya diukur dari peningkatan kesehteraan ekonomi saja, tetapi juga partisipasi dalam pengambilan keputusan dan percaturan kekuasaan di semua tingkatan. Pengorganisasian seperti ini membutuhkan pemahaman tentang pola relasi kelas, gender antar individu, antara individu dengan kelompok, antar kelompok dan pola relasi manusia dengan komponen-komponen lain dalam lingkungannya. Arah strategi ini adalah terwujudnya cita-cita masyarakat dengan pola relasi yang setara dan
demokratis,
dimana
kelas
bawah
mempunyai
kekuatan
untuk
memperjuangkan kepentingannya, hak asasi dihormati, lelaki dan perempuan berbagi peran dan kekuasaan secara adil dan setara serta terbangunnya antara manusia dengan semua komponen tersebut dalam relasi yang harmonis yang berlanjut dan dinamis. Advokasi Warga (Citizen advocacy), adalah sebuah strategi yang meletakkan korban kebijakan sebagai subyek utama. Proses ini adalah sebuah upaya yang menempatkan dan menghubungkan antara berbagai unsure progresif dalam masyarakat warga (civil society), melalui terbentuknya aliansi-aliansi strategis yang memperjuangkan terciptanya keadilan sosial dengan cara mendesakkan terjadinya perubahan-perubahan kebijakan publik. LKTS berpendapat advokasi adalah sebuah upaya atau sesuatu usaha yang sistematis dan terorganisir untuk mempengaruhi dan mendesakkan terjadinya perubahan dalam kebijakan publik secara bertahap-maju (incremental). Strategi ini merupakan suatu usaha
49
perubahan sosial (social transformation) melalui semua saluran dan piranti demokrasi perwakilan, proses-proses politik dan legislasi yang terdapat dalam sistem yang berlaku di Indonesia. Proses citizen advocacy ini akan melibatkan CO (community organizer) terlatih yang bekerja bagi masyarakat yang dirugikan dalam keadaan yang membuat mereka tidak bisa membela haknya sebagai warga Negara yang baik melalui litigasi dan non litigasi. Penguatan organisasi masyarakat warga (CSO Strengthening), strategi ini dipilih oleh LKTS dengan dasar bahwa warga kebanyakan mampu menghadapi jaringan kekuasaan yang ada bila memiliki sebuah sejarah organisasi masyarakat basis atau gerakan sosial yang efektif. Di Indonesia mencatat bahwa ‘adanya berbagai organisasi rakyat yang cukup berpengaruh di basis’ terbukti sangat efektif dan merupakan persyaratan mendasar untuk memungkinkan rakyat dapat mempengaruhi keputusan pejabat public baik swasta maupun pemerintah. Upaya-upaya tersebut akan didukung LKTS dengan cara memfasilitasi dan mendorong lahirnya organisasi-organisasi yang tumbuh atas dasar kebutuhan dan inisiative warga di komunitas basis. Karena LKTS percaya bahwa semakin banyak lahir organisasi-organisasi di basis maka akan semakin banyak pula proses-proses kebijakan yang akan melibatkan partisipasi warga Negara, karena partisipasi warga adalah mengenai kekuasaan dan penggunaannya oleh berbagai pelaku sosial dalam ruang yang diciptakan untuk interaksi antara warga dan pemegang kekuasaan.
50
Aksi partisipatif (Participatory Action) adalah sebuah proses pendidikan kritis warga yang menggunakan perpaduan antara partisipasi organisasi masyarakat local dan peran Community Organizer (CO). Aksi partisipatif dimaksud sebagai upaya penggalian pengetahuan lokal (local knowledge), sedangkan peran CO adalah sebuah bentuk pemindahan/transfer pengetahuan dan kebajikan untuk membangkitkan dan membangun kesadaran kritis dan kolektif masyarakat lokal. Program ini secara umum bertujuan mendorong terpenuhinya hak-hak perempuan sehingga
tercipta
kondisi
yang
setara
dan
adil
bagi
perempuan.
Aktivitas yang dilakukan antara lain adalah pendidikan kritis dan kursus hukum, Pengorganisasian
dan
penguatan
kapasitas
organisasi
perempuan
lokal,
monitoring kasus kekerasan terhadap perempuan di Jawa Tengah, advokasi (litigasi dan non litigasi) dan pendampingan perempuan korban kekerasan, penyembuhan trauma (trauma healing) bagi perempuan korban pelanggaran masa lalu, advokasi kebijakan pro women budget dan penanganan KTPA secara terpadu dengan model WCC (women crisis centre), dan Radio komunitas perempuan. Program ini bertujuan mendorong terjaminnya kualitas hidup masyarakat yang ramah lingkungan dan mampu melindungi ekosistem global. 4.3.2 LPS LPS sebagai LSM yang bergerak dalam pengembangan pertanian organik mempunyai kegiatan yang tersrtuktur dan sistematis mulai dari proses penelitian sampai proses penerapan di lapang. Lingkup kegiatan ini dimaksudkan agar
51
terjadi kesinambungan proses dan dapat dievaluasi secara sistemik. Lingkup kerja yang merupakan aliran aktivitas dimaksud adalah sebagai berikut LPS adalah: 1.
Meneliti, mengembangkan dan merakit teknologi-teknologi sarana produksi pertanian (saprotan) yang menggunakan bahan baku lokal, murah, sehat dan ramah lingkungan .
2.
Merakit teknologi sistem pertanian terpadu dan berkelanjutan yang berbasis pada potensi sumberdaya alam lokal dan kompetensi petani.
3.
Memfasilitasi sarana dan prasarana pelatihan, pengkaderan dan studi pertanian sehat bagi petani dan masyarakat umum.
4.
Melatih, membina, dan mendampingi kader pertanian sehat melalui program pemberdayaan petani sehat (P3S)
5.
Menjalin kemitraan usaha dengan para petani ataupun pelaku agribisnis lain yang saling menguntungkan
6.
Mengembangkan jaringan pemasaran produk-produk pertanian sehat dalam skala nasional.
7.
Mensosialisasikan dan mempromosikan teknologi dan produk-produk pertanian sehat.
Lingkup kegiatan yang dirinci menjadi 7 (tujuh) merupakan proses yang berurut, pada pelaksanaannya 7 (tujuh) lingkup kegiatan ini menjadi pendoman dasar pelakanaan ditingkat LSM maupun di tingkat KSM. Pedoman inilah yang menjadi dasar evaluasi berkala untuk proses perbaikan kegiatan-kegiatan kedepannya. 4.4 Fokus Isu yang Diangkat LSM mempunyai fokus terhadap masalah apa yang hendak dikerjakan. Perbedaan ruang lingkup kegiatan dengan fokus isu adalah pada tujuan yang ingin dicapai, 52
ruang lingkup kegiatan lebih pada proses yang dilakukan, sedangkan fokus isu adalah pembahasaan untuk publik mengenai apa yang sedang mereka (LSM) kerjakan menyangkut bidang-bidang tertentu. LKTS bergerak dalam isu lingkungan hidup, gender, advokasi serta penguatan kapasitas masyarakat lewat perguliran kredit mikro dan penguatan kelembagaan lokal. 3 (tiga) fokus ini direalisasilkan dalam bentuk program-program kerja yang nanti akan dijelaskan kemudian pada sub bab 4.6.1. Baik isu lingkungan hidup, gender dan ekonomi mikro ketiganya diwujudkan dalam kegiatan teknis dilapang. LPS memiliki ciri khas lembaga pengelolaan sumberdaya yang terintegrasi. Dari mulai sumberdaya manusia yang cukup beragam dari ketrampilan, kemampuan dan latar belakang pendidikannya mempunyai komitmen untuk maju dan berkembang bersama-sama. Karakteristik yang dikembangkan juga khas berkaitan dengan pengembangan bidang pertanian. Kemitraan dan pola kerja sudah mulai dirangkai ke beberapa tempat dan lembaga lain. Ciri lain LPS dalam konteks aktivitas kerja lembaga dalam bidang pertanian adalah fokus pada penanganan penelitian dan pengembangan pertanian, penanganan kegiatan pengembangan masyarakat (Community Development) berbasis sumberdaya pertanian, dan penanganan kegiatan produksi dan bisnis pertanian. Seluruh aktivitas kerja yang berbasis pada sektor pertanian tersebut berjalan secara sinergi dengan strategi yang saling mendukung.
53
4.5 Mitra Donor LSM Donor bagi LSM merupakan bagian penting dari proses aksi yang dilaksanakan. Tanpa adanya dana yang memadai tentu LSM akan kesulitas untuk menjalankan visi dan misinya. Dalam penelitian ini, pembahasan mengenai dana menjadi salah satu fokus untuk melihat independensi LSM. LKTS telah membangun jejaring baik dalam konteks finansial dan aksi, dalam aspek finansial LSM ini telah mendapat kepercayaan dari USAID, AUSAID, NZODA, YLKI, SDC, YBKS, PKM, CRP, DAP, KIA, Cordaid, CRS, ICCO, Findland Embasydan Depkes RI. Beberapa donor ini telah menjadi penyangga dana kegiatan sejak tahun 1998. Donor-donor ini bersifat sementara dengan pendekatan proyek. Pada umumnya LKTS membuat pengajuan proposal untuk isu-isu yang sedang ditawarkan oleh donor, LKTS mendapatkan persetujuan, melaksanakan kegiatan dan memberikan laporan. LPS mendapatkan donor dari DD Republika bahkan menjadi bagian integral dari struktur organisasi ini. DD Republika mendapatkan dana langsung dari masyarakat lewat berbagai penjaringan dana yang dilakukan DD Republika. LPS pada perkembangannya beberapa kali mendapat tawaran untuk bekerjasama dengan lembaga donor, tetapi belum pernah menerima tawaran tersebut. LPS menjaga kemitraan dengan donor untuk menghidari berbagai kepentingan diluar fokus kegiatannya. Dan dalam perjalanannya, pendaan dari masyarakat dirasa sudah cukup untuk melaksanakan kegiatannya.
54
4.6 Program Kegiatan LSM dalam melaksanakan misinya sebagai agen perubahan memiliki program kegiatan yang relevan dengan tujuan yang ingin dicapai. Program kegiatan yang dilakukan oleh LKTS dan LPS adalah wujud realisasi dari lingkup kerja dan fokus isu. Program kerja yang dilaksanakan oleh LKTS dan LPS akan dijelaskan secara rinci sebagai berikut: 4.6.1 LKTS Program kegiatan yang dilakukan oleh LKTS meliputi kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan hak asasi perempuan, lingkungan hidup berkelanjutan, program advokasi dan perlawanan terhadap kemiskinan, program penguatan kapasitas organisasi, dan demokasi dan masyarakat sipil. 5 (lima) program kerja ini akan dijelaskan secara rinci sebagai berikut: Hak Asasi Perempuan Program ini secara umum bertujuan mendorong terpenuhinya hak-hak perempuan sehingga tercipta kondisi yang setara dan adil bagi perempuan. Tujuan secara khusus yaitu, mendorong perubahan mindset (cara berfikir) yang mengedepankan perspektif gender dalam relasi personal dan komunitas, memperkuat kapasitas komunitas dan organisasi perempuan di tingkat lokal dalam konteks advokasi kebijakan,
rekonsiliasi,
resolusi
dan
pencegahan
konflik,
melakukan
pendampingan secara hukum maupun non hukum, serta fasilitasi proses penyembuhan trauma bagi perempuan korban kekerasan dan perempuan korban
55
pelanggaran HAM masa lalu, memperkuat perspektif gender dalam kebijakan pemerintah daerah dan mendorong lahirnya kebijakan pro perempuan. Aktivitas yang dilakukan antara lain: 1.
Pendidikan kritis dan kursus hukum
2.
Pengorganisasian dan penguatan kapasitas organisasi perempuan lokal
3.
Monitoring kasus kekerasan terhadap perempuan di Jawa Tengah
4.
Advokasi (litigasi dan non litigasi) dan pendampingan perempuan korban kekerasan
5.
Penyembuhan Trauma (trauma healing) bagi perempuan korban pelanggaran masa lalu
6.
Advokasi kebijakan pro women budget dan penanganan KTPA secara terpadu dengan model WCC (Women Crisis Centre)
7.
Radio komunitas perempuan
Lingkungan Hidup Berkelanjutan Program ini bertujuan mendorong terjaminnya kualitas hidup masyarakat yang ramah lingkungan dan mampu melindungi ekosistem global. Aktivitas yang dilakukan adalah, Pengorganisasian dan konsolidasi rakyat (masyarakat di sekitar sumber air dan wilayah penyangga) Pengembangan sarana air bersih dan sanitasi, kampanye perlindungan lingkungan, advokasi kebijakan yang berperspektif lingkungan.
56
Program Advokasi dan Perlawanan Terhadap Kemiskinan Program ini bertujuan mengorganisasikan dan memperkuat kesadaran kritis masyarakat miskin pedesaan dan perkotaan agar mampu memperjuangkan hakhaknya dan berperan aktif dalam mendorong kebijakan negara yang pro rakyat miskin. Program ini dilaksanakan melalui kegiatan sebagai berikut : 1.
Pengorganisasian dan pendampingan kelompok
2.
Pemetaan kemiskinan partisipatif
3.
Pengembangan lembaga keuangan mikro
4.
Fasilitasi dana bergulir
5.
Pendidikan kritis
6.
Studi dan advokasi kebijakan
Di wilayah pedesaan, partisipan yang terlibat dalam program ini adalah masyarakat miskin, buruh tani dan perempuan usaha kecil. Sedangkan di wilayah perkotaan antara lain pedagang kaki lima (PKL), asongan, buruh transportasi dan lain-lain. Saat ini program tengah berjalan di Kabupaten Boyolali meliputi : Desa Repaking Kecamatan Wonosegoro, Desa Lanjaran Kecamatan Musuk, Desa Mliwis Kecamatan Cepogo, Desa Winong Kecamatan Boyolali, wilayah kota (Lingkungan Terminal, Pasar Sunggingan dan Pasar Boyolali), di Kabupaten Klaten (Desa Polan Kecamatan Polanharjo dan kota Klaten) serta di Kabupaten Sukoharjo (Kecamatan Gatak).
57
Program Penguatan Kapasitas Organisasi Program ini bertujuan menguatkan sistem managemen dan kapasitas sumberdaya manusia guna mendukung pencapaian tujuan organisasi secara efektif dan berkelanjutan. Aktivitas yang dilakukan dalam program ini meliputi : 1.
Perpustakaan LKTS
2.
Website www.LKTS.org
3.
Bulletin PELITA (bulanan)
4.
Penerbitan Media Kampanye (T-shirt, poster, stiker, pin, leaflet dan buku)
5.
Kajian kritis (bulanan)
6.
Mengikuti dan atau menyelenggarakan training atau kursus
7.
Mengikuti dan atau menyelenggarakan program magang
8.
Review sistem dan managemen organisasi secara berkala
9.
Pengadaan sarana dan prasarana kantor
10. Studi banding 11. Inisiasi pendanaan mandiri 12. Pengembangan jaringan Demokrasi dan Masyarakat Sipil Program ini bertujuan 1) memperkuat kapasitas dan mengkonsolidasikan potensi dan sumber daya masyarakat sipil sebagai arus penyeimbang atas mainstream utama yang korup dan stagnan. 2) mendorong lahirnya kebijakan pembangunan daerah yang pro rakyat miskin, dengan menginisiasi proses-proses yang lebih
58
partisipatif dan mengedepankan perspektif HAM, gender dan lingkungan yang berkelanjutan. Aktivitas yang dilakukan adalah : 1.
Pengorganisasian dan konsolidasi simpul-simpul masyarakat sipil
2.
Penguatan kapasitas melaluberbagai training dan pendidikan kritis
3.
Studi kebijakan
4.
Legal and Alternative drafting
5.
Advokasi kebijakan
4.6.2 LPS LPS memliki program kerja yang beorientasi pada pengembangan pertanian organik. Program kerja yang dilakukan merupakan wujud realisasi proses pengembangan pertanian organik dari mulai penelitian hingga penerapannya di lapangan. Rincian program kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut: Program Penelitian & Pengembangan Divisi Litbang sebagai salah satu komponen LPS-DD mempunyai peranan penting dalam kegiatan penelitian dan pengembangan produk pertanian sehat/ramah lingkungan yang terarah dan sistematis. Litbang LPS-DD tetap diharapkan dapat berperan dalam mendukung produk pertanian ramah lingkungan yang mudah diaplikasikan dan dimanfaatkan oleh petani. Untuk itu, litbang LPSDD harus mampu menghasilkan teknologi saprotan yang dibutuhkan untuk mengatasi kendala yang dihadapi petani serta mengembangkan produk meningkatkan kualitas dan mutu produk agar tetap kompetitif.
59
Divisi Litbang LPS-DD menerapkan tiga komponen manajemen Penelitian dan Pengembangan yakni manajemen kualitas produk, manajemen laboratorium dan manajemen pelatihan. a. Manajemen Kualitas Produk Ada kalanya OPT (Organisme Pengganggu Tanaman) mampu beradaptasi bahkan mutasi sehingga kebal (resisten) terhadap pestisida (organik atau an-organik), sehingga produk pestisida juga perlu ditingkatkan kualitasnya. Apalagi mengingat pertanian di lapangan (on-farm) sangat dipengaruhi oleh faktor iklim, lingkungan dan manusia. Hal ini menjadi tantangan bagi litbang untuk meningkatkan kualitas produk agar LPS memiliki produk-produk dengan kualitas yang terjamin. Lima produk unggulan LPS yang memerlukan manajemen kualitas produk secara berkala, diantaranya adalah : beras SAE (non residu pestisida), Bio-pestisida/agen pengendali hayati (Virexi/VIR-X dan Vitura/VIR-L), OFER (kompos), dan PASTI (insektisida hayati). Program Peningkatan Kualitas Produk dilakukan dengan tahapana proses sebagai berikut: 1.
Pengujian dan Peningkatan kualitas produk (menurunkan kontaminasi bakteri & uji jumlah virus)
2.
Pengembangan demplot (uji lapang produk LPS)
3.
Melakukan QC (Quality Control)
60
b. Manajemen Laboratorium Dalam melakukan inovasi dan rancang bangun teknologi, Divisi Litbang LPS-DD menggunakan laboratorium dan fasilitas penunjang kegiatannya. Laboratorium didalam ruangan (indoor) dan laboratorium lapang (outdoor). Pengelolaan manajemen laboratorium ini disesuaikan dengan kebutuhan dan jadwal yang disusun berdasarkan perencanaan dan prosedur yang telah dituangkan dalam rencana kerja lembaga. Prinsip yang dipergunakan adalah Teliti, Objektif dan Prestatif. Kegiatan dalam pengelolaan manajemen laboratorium ini diantaranya adalah; scheduling, action plan, inventarisir, dan lain-lain. Sedangkan output yang dihasilkan antara lain; data-data ilmiah, publikasi ilmiah, dan rekomendasi hasil penelitian. Program Penelitian dan Pengembangan di Laboratorium dilaksanakan dengan tahapan sebagai berikut: 1.
Pengembangan & Penelitian produk terbaru (Pengendali penyakit, NPS, pupuk cair)
2.
Pengembangan publikasi ilmiah (Buku, Buletin, Newsletter)
3.
Pengembangan Jaringan Penelitian & atau Proyek Penelitian
c. Manajemen Pelatihan Perlunya sarana penyampaian teknologi yang dikembangkan LPS-DD membuka peluang kegiatan transfer teknologi dan informasi melalui Pelatihan dan
61
Workshop. Kendala penyampaian informasi ke petani dan masyarakat yang tidak lengkap menjadi salah satu sebab gagalnya program. Untuk mengantisipasi hal tersebut, Divisi Litbang LPS-DD menyusun kegiatan Pelatihan untuk petani dan masyarakat dengan beberapa model pelatihan (Training). Selain mensosialisasikan ke pihak luar, secara internalpun dilakukan dengan model workshop dan kuliah/praktek umum. Sejauh ini beberapa pelatihan–pelatihan sudah rutin dilakukan oleh LPS-DD. Selain dari tujuan khusus tersebut, ada pula tujuan umum dari pelatihan tersebut agar dapat mendukung program–program LPS dan produk–produk LPS lebih cepat tersosialisasi. Optimalisasi dari manajemen pelatihan ini akan mampu membuka jejaring (network) seluas-luasnya dengan pihak-pihak lain serta membuka kemitraan yang saling menguntungkan. Program utama yang ada dalam manajemen pelatihan, program ini dibagi menjadi 3 (tiga) sub program dimana ke tiga program itu adalah sebagai berikut : 1.
Menyelenggarakan Pendidikan & Pelatihan Keterampilan Petani Ramah Lingkungan
2.
Membangun Network dengan pihak luar
3.
Sosialisasi program atau produk-produk yang dikembangkan LPS-DD
Pemberdayaan Masyarakat Divisi Pemberdayaan Masyarakat LPS-DD merupakan salah satu bidang yang memiliki peranan penting dalam kegiatan membangun komunitas petani secara khusus dengan melibatkan masyarakat. Divisi juga merupakan jembatan misi dari 62
lembaga untuk akses dengan sumberdaya masyarakat petani. Divisi diharapkan mampu berperan dalam mendukung program-program lembaga. Proses pemberdayaan petani miskin yang selama ini dilakukan oleh LPS juga telah memantapkan target yang lebih jelas. Salah satu program yang dibangun adalah P3S (Program Pemberdayaan Petani Sehat). Program tersebut tidak hanya karena visi pendistribusian dana sosial umat semata, lebih dari itu P3S merupakan refleksi kepedulian atas nasib petani yang selama ini termarjinalkan dalam lingkaran kemiskinan. Paket program pemberdayaan petani yang dilakukan oleh LPS terfokus pada kegiatan : 1.
Penguatan kapasitas SDM petani
2.
Introduksi dan adopsi teknologi pertanian dengan basis ramah lingkungan
3.
Pembentukkan
dan
pengembangan
kelembagaan
petani.
Selain itu, pengembangan kapasitas sumberdaya permodalan yang bersifat pembiayaan juga dilakukan untuk memperkuat basis program yang akan dijalankan. Seluruh proses pemberdayaan dengan program inti dan program pendukung di atas diarahkan dalam rangka mendorong peningkatan pendapatan petani dan memperkokoh kualitas interaksi sosial antar petani dan stakeholders lainnya. Untuk mendukung kebijakan program dengan arah dan orientasi serta tujuan umum yang telah ditetapkan, maka strategi pemberdayaan dilakukan dalam lingkup: 1.
Penyelenggaraan kegiatan pemberdayaan petani sasaran program, dengan fokus: a. Pembentukkan Kelompok Tani 63
b. Peningkatan Kapasitas SDM Petani c. Penumbuhan Kader Petani Lokal d. Pembinaan dan Pelatihan Pertanian Ramah Lingkungan e. Pembiayaan Mikro Petani f. Penguatan Kelembagaan Petani 2.
Penetapan dan Pembangunan cluster program berbasis pertanian unggul
3.
Pembangunan jaringan sinergi dengan stakeholders pendukung
Untuk mengefektifkan pelaksanaan seluruh strategi program, maka dilakukan pendampingan intensif bagi komunitas sasaran yang ditangani oleh para pendamping pilihan hingga periode waktu yang telah ditentukan. 4.7 Struktur Organisasi 4.7.1 LKTS Struktur organisasi LSM ini terdiri dari pengurus inti, pegawai dan pengurus kader. Pengurus inti adalah pengurus organisasi yang memiliki kewenangan kebijakan LSM yang terdiri dari Direktur Eksekutif, Bidang Gender dan Transformasi Konflik, Bidang Poverty Alleviation, Bidang Demokrasi dan Masyarakat Sipil, Bidang Dokumentasi dan Informasi, Bidang Financial and Office Administration and Monitoring dan Bidang Teknologi Informasi. Bidang administrasi, finansial adalah bidang yang disebut pegawai kantor. Kader adalah orang-orang lokal di lapangan biasanya adalah ketua Kelompok Swadaya Masyarakat sebagai sukarelawan LSM.
64
Keseluruhan bagian dalam struktur organisasi ini mengalami proses pematangan sejak LSM ini berdiri hingga sekarang. Awalnya strukturnya masih sangat sederhana yang meliputi ketua, bendahara, dan fungsi-fungsi umum dimana banyak rangkap jabatan. Seiring perjalan waktu, terjadi perubahan struktur menjadi lebih banyak dan ada spesialisasi. 4.7.2 LPS LPS memiliki struktur organisasi mulai dari direktur, penanggung fungsional, dan ketua kelompok tani sebagai kader dilapangan. LPS juga membangun struktur organisasi pada tingkat petani. Struktur organisasi yang selama ini berjalan sudah mengalami perubahan seiring dengan perubahan bidang yang dikerjakan. Pada awal berdiri LPS berbentuk tim kerja penelitian. Pada saat mulai melakukan aksi pemgembangan komunitas baru struktur mulai dari direktur hingga fungsi opersional di lapang. Pada saat berubah karena penambahan fungsi produksi dan bisnis, unit ini menjadi fungsi yang bersifat semi otonom. Keseluruhan fungsi saat ini bekerja secara profesional sebagai staf LSM. Pembagian kerja dilakukan secara spesifik berdasarkan latar belakang pendidikan dan keahlian. Sampai penelitian ini berlangsung, LSM ini sudah mengenal adanya jenjang karir dalam struktur ini.
65
BAB V ANALISIS SISTEM PENDANAAN (ASPEK FINANSIAL) LSM 5.1 Pengantar Pertumbuhan organisasi masyarakat sipil menimbulkan persoalan baru, yakni bagaimana mempertahankan agar institusi tersebut dapat bertahan. Persoalan sumber pendanaan menjadi hal yang cukup rumit untuk dipecahkan. Mengatasi problem keuangan untuk mempertahankan organisasi masyarakat sipil harus hatihati. Sebab dana yang dimobilisasi dari sumber yang serampangan dapat mengganggu eksistensi organisasi. Syarat utarna bagi dana yang diperoleh oleh organisasi masyarakat sipil seharusnya dapat menjaga independensi organisasi. Dana yang dikelola organisasi diharapkan tidak menjadi kuda tunggangan bagi kepentingan pihak lain untuk mengkooptasi publik. Selain itu sumber-sumber pendanaan seharusnya tidak membuat organisasi menjadi sangat tergantung pada pihak pemberi. Menurut Fakih (2000) LSM mengalami ketergantungan yang cukup kuat terhadap lembaga donor. Sebagaimana diketahui bahwa sejak munculnya organisasi nonpemerintah, yang di Indonesia populer dengan istilah LSM, pada awal 1970, sangat tergantung hibah dari berbagai lembaga donor internasional seperti USAID, FNS, NOVIB, dll. Selain itu, dalam beberapa kegiatan, LSM juga menerima bantuan dana dari lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan Asian Development Bank. Dana yang diterima oleh LSM dari sumber terakhir ini ada yang bersifat hibah, ada pula yang bersifat hutang negara. 66
Apapun bentuknya menurut Uhlin (1997), dana bantuan, baik hibah ataupun hutang negara banyak menimbulkan persoalan. Persoalan pertama dana seperti ini terbukti menimbulkan ketergantungan bagi organisasi. Di awal 1970 hingga saat ini, hibah luar negeri mengalir deras. Sehingga oleh sebagian kalangan dianggap sebagai sumber daya yang mudah didapatkan (easy money). Akibatnya, para pengurus organisasi non-pemerintah terbiasa menggantungkan seluruh kegiatan yang dilakukannya pada hibah luar negeri. Padahal belajar dari berbagai pengalaman, pendanaan yang bersumber dari hibah luar negeri tidak dapat diandalkan keberlanjutannya. Persoalan kedua, dana asing tidak bisa membuat organisasi lokal dapat melakukan program sesuai dengan kebutuhan spesifik. Selama ini yang terjadi adalah organisasi lokal selalu mengikuti arah keinginan pemberi dana (donor driven). Dana yang berasal dari luar negeri menurut CPSM (1993) rnembuat posisi organisasi lokal lemah secara politis. Kelemahan ini terutama dalam menghadapi tuduhan yang menyatakan bahwa organisasi lokal menuruti instruksi kekuatan asing yang mungkin merugikan negara. Seberapa besar tingkat ketergantungan LSM terhadap lembaga donor asing? Sulit untuk menjawab pertanyaan itu karena sampai saat ini belum ada penelitian khusus yang berkaitan dengan masalah tersebut. Namun, direktori CSRO (Civil Society Resource Organization) atau organisasi sumber daya masyarakat sipil yang disusun Ibrahim (2002) mungkin bisa menjadi referensi awal rnengenai pola pendanaan dan komposisi dana yang digunakan oleh LSM di Indonesia. Direktori tersebut menunjukkan bahwa mayoritas LSM kita masih mengandalkan sumber bantuan luar negeri yang 67
besarnya mencapai 65 persen, sementara 35 persen sisanya didapat dari berbagai sumber dalam negeri. Sacara lebih terperinci, sumber dalam negeri meliputi hasil usaha sendiri (33 persen), sumbangan perusahaan dan dana abadi (masing-masing 17 persen), sumbangan individu (14 persen), sumbangan pemerintah (5 persen), sumbangan ornop (3 persen), dan sumber lainnya (11 persen). Ketergantungan LSM terhadap lembaga dana asing ini dinilai sudah sangat kronis dan berdampak pada citra dan efektivitas kerja mereka. Menurut Walhi (2001) Sistem pendanaan asing bak pisau bermata dua, dana asing memberikan manfaat sekaligus masalah bagi LSM di Indonesia. Hal ini ditunjukkan dari pengalaman Walhi mengelola dana bahwa di satu sisi dana asing telah berperan besar dalam mendorong pertumbuhan dan perkembangan LSM Indonesia berikut program dan perjuangannya. Namun, di sisi lain, dana asing juga menciptakan ketergantungan dan mematikan kreativitas LSM. Oleh sebab itulah organisasi seperti Walhi berupaya untuk mengurangi ketergantungannya pada lembaga donor terutama donor asing. Triwibowo (2006) menyebut ketergantungan LSM kita terhadap dana asing juga menyebabkan mereka tidak kreatif, khususnya dalam menggalang potensi lokal. Mereka lebih suka datang dan "menjajakan" programnya ke lembaga donor, ketimbang menggalang dukungan dari masyarakat lokal. Sebagian besar LSM, khususnya LSM yang bergerak di bidang advokasi, masih enggan masuk ke pasar fundraising lokal. Mereka beralasan masyarakat tidak punya kemampuan finansial untuk mendukung dan mendanai program mereka. Sebagian LSM lainnya
68
beranggapan tak banyak masyarakat yang mengerti peran dan fungsi LSM. Mereka juga beralasan bahwa organisasi atau kegiatan mereka bukanlah tergolong organisasi atau kegiatan yang mudah mendapatkan dana atau menarik minat orang untuk mendanainya. Sayangnya, asumsi-asumsi itu belum pernah terbukti karena mereka tidak pernah membuktikannya dengan mencoba masuk ke pasar fundraising lokal. Fakta di atas menunjukkan meskipun dana yang berasal dari luar negeri menimbulkan banyak masalah, akan tetapi tidak ada pilihan yang memadai bagi organisasi lokal. Menurut Fakih (2000) sumber dana dalam negeri tidak mencukupi kebutuhan LSM. Dana pemerintah, misalnya, dianggap tidak memungkinkan selain karena anggaran pemerintah yang sangat kecil pasca krisis ekonomi, dana seperti ini beresiko mengkooptasi kemandirian masyarakat dalam menghadapi kebijakan publik. Penggalian dana yang berasal dari perusahaan dalam negeri juga problematik. Bagi sebagian organisasi non-pemerintah, sektor swasta di Indonesia punya cukup andil dalam permasalahan bangsa. Pada masa orde baru kalangan swasta, terutama, perusahaan besar bersekongkol dengan rezim berkuasa untuk menguras kekayaan alam negara. Salah satu ulah perusahaan besar adalah mengeksploitasi secara besar besaran hutan di Sumatera dan Kalimantan yang ujungnya menimbulkan kerusakan dan bencana alam. Atas dasar ini organisasi lokai tidak serta merta berkeinginan untuk melakukan penggalangan dana terhadap sektor swasta besar.
69
Sindroma ketergantungan pada aspek pendanaan dapat dilihat dari beragam kepentingan sumber dana. Dana yang berasal dari pemerintah pada masa orde baru membawa kepentingan besar yang membuat LSM harus tunduk dengan pemerintah dan menjadi mitra pemerintah (seperti pengalaman Walhi sehingga mengambil jarak dengan pemerintah). Tetapi sumber dana asing juga menimbulkan ketergantungan dengan agenda kepentingan asing. Dana yang berasal dari perusahaan juga mengandung kepentingan bagi perusahaan dan jalan lain dengan mencoba menggalang dana dari masyarakat sipil. Dana merupakan bahan bakar bagi gerak laju LSM untuk melakukan aksinya. LSM yang terkategori mapan salah satunya bisa dilihat dari seberapa mapan menangani masalah pendanaan. Bahkan struktur paling sederhana dalam tubuh LSM, ada bagian yang disebut bendahara, dalam struktur yang lebih kompleks bagian ini dirinci lagi dalam bagian yang lebih spesifik, misalnya bagian bendahara umum, bendahara harian, bendahara perencanaan, dan bendahara audit. Penelitian ini menfokuskan pada dinamika finansial LSM, mulai dari sumber dana, pengelolaan, hingga monitoring dan evaluasi (termasuk laporan). Pada bab ini akan diuraikan secara lebih rinci mengenai sumber-sumber dana, pengelolaan dana dan monitoring atau evaluasi dana. Penelitian ini membuat kategorisasi hubungan sistem pendanaan (BAB V) dengan aksi (BAB VI) LSM dengan donor.
70
Hasil elaborasi studi pustaka diatas menunjukkan adanya 4 model kontinum ketergantungan LSM donor yaitu : 1.
LSM mandiri, bentuk hubungan yang terjadi adalah LSM secara penuh mengontrol inisiasi, aksi dan evaluasi program sesuai dengan visinya. Ini adalah bentuk ideal dari LSM seperti yang dicita-citakan Walhi.
2.
LSM Kemitraan seimbang, hubungan ini memberi porsi yang seimbang antara LSM dan donor. Bentuk hubungan seperti ini ditunjukkan oleh LSMLSM yang bermitra dengan lembaga-lembaga donor dengan intervensi kepentingan yang seimbang. LSM mempunyai kontrol yang sama dengan donor.
3.
LSM kemitraan asimetris, bentuk hubungan ini memberi porsi inisiasi, aksi dan evauasi oleh LSM. Tetapi donor memberi pengaruh yang lebih besar dari pada LSM sendiri. Sebagai contoh adalah beberapa LSM yang bermitra dengan pemerintah.
4.
LSM yang terkooptasi total, LSM pada tipe ini tergantung secara total terhadap donor. LSM hanya sebagai pekerja/pelaksana kepentingan donor. LSM tipe ini banyak ditunjukkan oleh LSM yang hanya berorientasi proyek dan keuntungan semata.
Keempat tipe diatas hanya gambaran awal peta LSM berhadapan dengan lembaga donor dalam aspek dana dan aksi. Lebih lanjut, tulisan ini akan mengulas aspek pendanaan pada BAB V dan mengulas aksi pada BAB VI. Kedua pembahasan ini akan dijelaskan dan dianalisis dengan lebih mendalam pada dua bab ini. 5.2 Sumber Dana LSM Sumber dana LSM dipahami sebagai lembaga dan individu yang memberikan dana kepada LSM. Sumber-sumber pendanaan LSM bisa berasal dari internal dan eksternal. Penelitian ini membahas sumber dana sebagai pihak diluar sistem
71
internal LSM yang tidak bebas dari kepntingan dan pengaruh, sehingga siapa saja yang menjadi sumber pendanan LSM dan berapa proporsi pendaan menjadi pembahasan yang penting. Baik LKTS maupun LPS akan dijelaskan secara rinci sumber-sumber dana dan besarnya dana yang diberikan. 5.2.1 LKTS LKTS memiliki strategi penggalangan dana yaitu Lembaga Donor Asing 88 persen, 9 persen Donor lokal, dan 3 persen keuntungan usaha pendampingan. Seperti laporan keungan terbaru tahun 2007 sebagai berikut:
Tabel 1. Laporan Keuangan LKTS Tahun 2006 (dilaporkan tahun 2007) Item Lembaga Donor (Terikat Kontrak) Lembaga Donor (Tidak Terikat & Hibah) Usaha Mandiri Program Hak Asasi Perempuan Program Penelitian Program Institusional Tanggap Darurat Operasional Lapang Total Saldo per 31 Desember 2006
Debet (Rp) 742.695.000 (85%) 143.488.000 (14%) 2.113.633 (<1%) 888.296.663
Kredit (Rp) 288.424.192 2.122.500 29.260.000 19.280.000 234.000.000 573.086.692 315.209.941
Sumber: Laporan Keuangan 2006 (diterbitkan 2007)
Tabel 1. menunjukkan bahwa besarnya bantuan donor terikat kontrak mendominasi sumber dana LSM ini (85 persen), Bantuan donor tanpa ikatan kontrak termasuk di dalamnya donor lokal adalah sebesar 14 persen, sisanya adalah hasil usaha mandiri dari perguliran kredit mikro, yang sudah berjalan
72
selama 10 tahun yang nilainya tidak lebih dari 1 persen. Bagi LKTS, sumberdana dari donor luar sudah sejak awal menjadi penopang bagi keberlanjutan LSM ini. Wawancara dengan DT (45) aktivis LKTS bidang pengembangan komunitas menunjukkan bahwa LSM ini belum mempunyai alternatif pendanaan selain dari donor, sebagai berikut: Kami sejak awal melakukan kegiatan degan sumber-sumber dari donor. Saya kira ini sudah menjadi kelaziman di dunia LSM. Bahkan, kalau ada pertemuan sesama LSM, kita biasa dengan joke “marilah kita buka acara ini dengan doa sesuai dengan funding kita masing-masing”. LKTS memang merencankan untuk membangun sistem pendanaan mandiri tapi bagi kami itu rencana jangka panjang. Sekarang sudah dilakukan, tetapi prosentasenya masih sangat kecil
DT (45) aktivis LKTS bidang pengembangan komunitas juga menggambarkan perkembangan awal LKTS dalam sistem pendanaan, sebagai berikut: Sejak awal LKTS bertumpu pada sistem pendanaan donor asing, walaupun pada awal-awal berdiri, kami beberapa pendiri suka urunan kalau uangnya ternyata kurang dalam kegiatan, misalya uang bensin, inventaris pribadi seperti motor, komputer juga milik kami pribai yang dipakai untuk pekerjaan ini. Seiring perjalanan waktu, LKTS memang tumbuh lebih besar, kami bisa merapikan barang-barang inventaris, menghitung pengeluaran sekecil apapun, bahkan kadang barang inventaris juga dipakai pribadi. Sistem administrasi yang sekarang, menuntut kami menjadi berhitung lebih detail untuk pengeluaran organisasi, mencatatnya lebih baik, dan konsekwensinya pengeluaran operasonal menjadi besar. Menurut kami hitunghitungan biaya operasional cukup besar, mencapai lebih dari 1 juta perorang pertahun bila dirata-rata, sebelumnya itu tida terhitung secara optimal.
73
Donor Lain tidak mengikat 14%
Usaha Mikro 1%
Donor Asing Terikat 85%
Gambar 4. Proporsi Sumber Dana LKTS Lembaga donor untuk LKTS terdiri dari donor luar negeri, dan donor dalam negeri. Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa proporsi sumber dana LKTS terdiri dari donor asing terikat, donor lain tidak mengikat dan usaha mengikat. Proporsi terbesar sumber dana LKTS adalah Donor Asing Terikat (85 persen). Besarnya persentase dana asing diatas juga disertai besarnya pengaruh pada aksi LSM. Donor memberikan pengaruh besar pada inisiasi, aksi dan evaluasi program-program yang dilaksanakan. Secara lebih rinci penjelasan mengenai pengaruh donor pada aspek aksi akan dijelaskan pada BAB VI per kegiatan. Setiap kegiatan akan dilihat dari mulai proses inisiasi, aksi dan evaluasinya. Adapun lembaga-lembaga Donor bagi kegiatan-kegiatan LKTS adalah: 1. Depkes RI (1998), Departemen Kesehatan sebagai mitra LKTS dalam kegiatan kampanye air bersih dan gaya hidup sehat. Kegiatan ini dilakukan bersamaan dengan kegiatan kampanya lingkungan hidup. 74
LKTS mendapatkan dana dari Depkes karena wilayah yang menjadi target kegiatan LKTS merupakan wilayah kerja Depkes untuk program tersebut. 2. SDC/Swiss Development and Cooperation (1998 – 1999) merupakan lembaga luar negeri pemerintah SWISS yang mempunya agenda pada kegiatan-kegiatan pembangunan berkelanjutan yang meliputi dengan pendekatan lingkungan hidup, tata pemerintahan, dan ekonomi masyarakat terutama di negara-negara dunia ketiga. Kegiatan-kegiatan banyak dilakukan dalam bentuk penelitian dan aksi. Untuk LKTS, SDC membiayai proyek pemetaan sumber air bersih dan pipanisasi air bersih. 3. YBKS – NZAID (1998 – 2001) merupakan lembaga pemerintah luar negeri New Zealand yang membiayai proyek-proyek pemberdayaan sipil dan penguatan hak-hak minoritas dan pengentasan kemiskinan NZAID membiayai LKTS pada proyek gender. 4. PKM/CRP/Community Recovery Programme (2001 – 2002), adalah lembaga nirlaba yang memberikan dukungan pada kegiatan-kegiatan daerah konflik, kekerasan sosial dan penguatan hak-hak sipil. LKTS bermitra dengan PKM/CRP dalam kegiatan advokasi kekerasan pada perempuan. 5. DAP Australian Embassy (2003) adalah lembaga kedutaan Australia yang
banyak
memberikan
dukungan
pada
kegiatan-kegiatan
penguatan demokrasi, kampanye pasar bebas, pluralisme dan liberalisme. LKTS bermitra denga DAP dalam kegiatan kampanye demokratisasi sosial dan kredit ekonomi mikro. 6. KIA (2004) 7. Cordaid
Netherlands
(2002-2005)
adalah
lembaga
nirlaba
internasional yang berasosiasi dengan organisasi-organisasi katolik. Kegiatan dari lembaga ini adalah mengakampanyekan kehidupan 75
beragama yang damai, pluralisme, dan penguatan hak-hak minoritas. LKTS bermitra dengan Cordaid dalam kegiatan gender. 8. CRS (1999-2005), adalah lembaga nirlaba katolik yang mendukung program-program penguatan hak-hak sipil, kesetaraan dan hak-hak minoritas. LKTS bermitra dengan CRS dalam kegiatan-kegiatan advokasi kekerasan terhadap perempuan dan gender. Bekerjasama juga dalam kampanye pluralisme. 9. ICCO and Kerkin Actie Netherlands (2006) adalah asosiasi gereja untuk kegiatan-kegiatan kemanusian, kesetaraan, hak-hak sipil, dan hak-hak minoritas. ICCO banyak berfokus pada kegiatan-kegaitan sosial dan ekonomi mikro. LKTS bermitra dengan ICCO dalam kegiatan ekonomi mikro dan kampanye demokrasi pada masyarakat pedesaan. 10. Finland Embassy (2004-2007) adalah lembaga kedutaan Finlandia yang memberikan dukungan pada kegiatan-kegiatan demokratisasi, liberalisasi, dan pluralisme. LKTS bermitra dengan Finland Embassy dalam kegiatan demokratisasi dan ekonomi mikro. 11. NZODA (2002-2007) adalah salah satu lembaga pemerintah New Zealand yang banyak mendukung kegiatan-kegiatan penguatan hakhak sipil, demokratisasi, HAM dan liberalisasi ekonomi. LKTS bersama NZODA bermitra dalam kegiatan-kegiatan ekonomi mikro, kampanye hak azasi manusia dan demokrasi. 5.2.2 LPS LPS mempunyai model penggalangan dana yang berbeda dengan LKTS, jika LKTS memberikan fokus pada penerimaan dari donor asing. LPS menjalankan roda kegiatannya dengan mengkoleksi dana masyarkat (dana lokal). Secara umum, ada tiga pola penggalangan dana yang dilakukan oleh LPS. Pertama, 76
menggalang dana dari sumber yang tersedia, baik dari perorangan, perusahaan, ataupun pemerintah dengan dengan pendekatan Zakat, Infaq, Shadaqah, dan Wakaf (ZISWAF). Untuk menggalangnya mereka menggunakan beberapa strategi yaitu, direct mail, media campaign, membership, special event, endowment, dan sebagainya. Kedua, menciptakan sumber dana baru. Upaya ini dilakukan dengan cara membangun unit-unit usaha dan ekonomi yang menghasilkan pendapatan bagi lembaga (earned income). Ketiga, Menciptakan dana dari sumber non finansial. Strategi yang diterapkan adalah dengan menggalang sumbangan dalam bentuk in kind dan kerelawanan. Untuk lebih jelas bisa dilihat dalam tabel 2. laporan keuangan periode 2006 berikut:
Tabel 2. Laporan Keuangan LPS Tahun 2008 Item Zakat, Infaq, Shadaqah Produksi dan Bisnis Kegiatan dan operasional Total Saldo per 31 Desember 2006
Debet (Rp) 555.345.000 23.445.000 578.789.000 -
Kredit (Rp) 445.324.000 345.324.000 133.465.000
Sumber Laporan Keuangan LPS 2008
LPS mempunyai sumberdana yang didapatkan dari derma lokal dalam bentuk Zakat, Infaq, Shadaqah dan Wakaf yang dikordinasikan oleh Dompet Duafa Republika. Besaran dana ini mendominasi dibanding sumber dana yang lain yaitu produksi dan Bisnis. LSM ini sama sekali tidak menggunakan donor asing untuk menjalankan aktivitasnya.
77
SJ (43) aktivis LPS bidang kemitraan menjelaskan bahwa LPS selama ini tidak menerima donor asing sebagai sumber pendanaan bagi aksinya. sebagai berikut: Pernah kami menerima tawaran untuk melakukan proyek yang didanai oleh lembaga donor. Tapi kami tidak berminat, alasannya, karena prosedurnya yang rumit dan terkesan memaksa. Kami harus membuat semacam proposal untuk diajukan, kemudian proposal itu dipilih, karena kita harus bersaing dengan LSM lain, dari sana ada syarat-syarat yang perlu dipenuhi baik pada aspek perencanaan, pelaksanaan dilapang dan laporannya juga diawasi ketat. Bagi kami, cara demikian kurang sesuai dengan semangat yang kami bangun selama ini.
Penjelasan diatas menguatkan data sumber dana yang dikeluarkan oleh LPS. Pengalaman yang dijalani SJ (43) kordinator bidang pengembangan masyarakat LPS menggambarkan bahwa prosedur penerimaan dana dari donor melewati mekanisme yang mensyaratkan kepentingan donor, kondisi ini dipandang tidak sesuai dengan semangat LSM yang harus independen.
Proporsi Sumber Dana LPS 4%
ZISWAF Probis 96%
Gambar 5. Proporsi Sumber Dana LPS Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa proporsi sumber dana LPS terdiri dari ZISWAF dan Produksi dan Bisnis (Probis). Proporsi kedua sumber dana tersebut
78
masing-masing adalah 96 persen dan 4 persen. Dengan demikian dapat diketahui bahwa sumber dana LPS terbesar diperoleh dari ZISWAF. 5.2.3 Ikhtisar Dana memainkan peranan penting bagi hidup mati LSM. Untuk kebutuhan pelaksanaan kegiatan aksi, operasional, gaji, dan lainnya tentu membutuhkan dana segar. Oleh sebab itu, LSM selalu menempatkan pendaaan sebagai bagian utama dari eksistensi lembaga. Dana juga menjadi penentu keberlangsungan perjalanan aktivitas LSM, sehingga bagi ‘pemiliknya’ keberlangsungan dana menjadi bagian yang dipikirkan. LKTS dan LPS mempunyai sistem sumber pendanaan yang berbeda. LKTS lebih banyak menggunakan dana donor asing (88 persen) dari pada sumber yang lain. Sementara LPS 96 persen dana diperoleh dari derma sosial lokal dalam bentuk Zakat, Infaq, Shadaqah, dan Wakaf (ZISWAF) selebihnya adalah hasil dari produksi hasil penelitian yang dijual secara komersial.
Tabel 3. Perbandingan Sumber Dana LKTS dan LPS (Persentase) NO 1 2
Nama LSM LKTS LPS
Dana Asing (%) 88 0
Dana Lokal (%) 14 96
Dana Lainnya (%) 1 4
Sumber: Data diolah dari data sekunder (2008)
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa LKTS lebih tergantung secara pendanaan dengan donor asing (international agencies), dan LPS lebih tergantung dengan donor lokal (local agencies). Penelitian ini mengungkapkan ada 79
keterkaitan antara independensi dibidang finansial terhadap aksi LSM di lapang. Sumber-sumber dana yang memuat kepentingan donor memberikan pengaruh pada kinerja LSM. Besarnya pengaruh juga ditentukan oleh kemapanan LSM baik dalam bidang finansial, militansi ideologi, dan track record kinerja LSM. LKTS dengan sumber pendanaan yang didominasi oleh donor asing memiliki ketergantungan yang lebih tinggi pula terhadap donor dalam aspek aksi. Sedangkan LPS dengan sumber pendanaan lokal relatif tidak tergantung dengan kepentingan donor dalam aspek aksi. Penjelasan pada aspek ketergantungan aksi maupun ideologi akan dibahas pada bab selanjutnya. Bab ini hanya ingin menunjukkan bahwa kedua LSM berbeda dalam sumber pendanaan. Perbedaan sumber pendanaan baik asing-maupun lokal akan dibahas secara garis besar pada Sub Bab 5.3 sedangkan pembahasan detailnya akan disajikan pada BAB VI pada penjelasan aksi LSM. 5.3 Pengelolaan, Monitoring dan Evaluasi Penilitian ini juga memfokuskan pada pola pengelolaan, monitoring, dan evaluasi dana oleh LSM. Khususnya, untuk apa dana itu digunakan dan bagaimana mekanisme pelaporannya. Untuk membahas lebih lanjut mengenai pengelolaan, monitoring dan evaluasi, penulis membagi pembahasan spesifik pada masingmasing LSM. Walaupun demikian, penjelasan ini masih secara umum belum memberikan penjelasan detail pada masing-masing program LSM. Penjelasan detailnya akan dibahas pada bab selanjutnya.
80
5.3.1 LKTS LKTS dalam perjalanannya telah melakukan program kerja yang secara garis besar terbagi menjadi 5 program kerja pokok yaitu program hak asasi perempuan, lingkungan hidup, penguatan kapasitas organisasi, studi masyarakat dan peningkatan ekonomi. Kegiatan-kegiatan ini dilaksanakan dengan pengelolaan keuangan internal. Pada akhirnya diaudit oleh auditor independen, hasil laporan dipublikasikan kepada publik (hasil audit independen) laporan ini berupa laporan garis besar pengelolaan dana, dan laporan hasil kegiatan rinci tidak dipublikasikan, tetapi hanya untuk internal dan lembaga donor. Laporan kegiatan digunakan untuk mengambil termin terakhir dana dan penilaian keberlanjutan donor,
SH (45)
aktifis
LKTS bidang pengembangan
sosial ekonomi
mengungkapkan sebagai berikut: Perjalanan LKTS memang dinamis, dimulai dari kegiatan-kegiatan dengan isu lingkungan, saat itu proyek air bersih, sanitasi, dan kampanye lingkungan hidup. Kemudian isu gender menjadi lebih dominan untuk aksi kami, antara lain advokasi perempuan korban kekerasan, partisipasi politik perempuan, dan terakhir sampai saat ini, yang kami tangani adalah proyek-proyek pengembangan ekonomi mikro. Kegiatan demi kegiatan adalah rangkaian yang tidak terputus. Laporan kegiatan pada kegiatan sebelumnya adalah bekal untuk mencari donor selanjutnya.
Pengelolaan dana LKTS ditangani oleh bendahara, arah kebijakan keuangan ditentukan pada rapat rutin mingguan dan insidental. Untuk dana-dana terikat donor sebenarnya telah ada petunjuknya berdasarkan proposal kegiatan dan mengalami perubahan pada rapat-rapat tersebut. Sedangkan dana-dana yang tidak terikat biasanya digunakan sebagai tabungan LSM dan kegiatan-kegiatan insidental, seperti bantuan korban bencana gempa di Yogyakarta, kebutuhan kecil
81
seperti pembelian peralatan kantor. Untuk menjelaskan alur lembaga donor dan pokok kegiatan pada Gambar 5.
1999-2002 • Sanitasi, Pipanisasi, health campaign • Funding : YLKI (1998) • Depkes (1998) • SDC/Swiss Development and Cooperation (1998 – 1999)
(Era Gender) • Advokasi Perempuan • Fuding : YBKS – NZAID (1998 – 2001) • PKM/CRP/Community Recovery Programme (2001 – 2002), Cordaid Netherlands (2002-2005)
• Kredit Ekonomi Mikro • Funding : • DAP Australian Embassy (2003) • KIA (2004) • Cordaid Netherlands (2002-2005) • CRS (1999-2005) • ICCO and Kerkin Actie Netherlands (2006) • Finland Embassy (2004-2007) • NZODA (2002-2007)
1997-2000
2001-2008
(Era lingkungan hidup)
(Era Ekonomi Mikro)
Gambar 6. Alur Lembaga Donor dan Pokok Kegiatan LKTS Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh LKTS juga tidak lepas dari lingkup kepentingan donor bila dikaitkan antara profil lembaga donor dengan kegiatankegiatan LKTS.
Misalnya organisasi seperti
Cordaid dan
CRS yang
berlatarbelakang katolik bermitra dengan LKTS dalam kegiatan-kegiatan yang bertema hak-hak sipil, pluraslisme dan hak-hak minoritas. Hal ini merupakan bentuk kepentingan seiring dengan eksistensi lembaga dan misi yang dibawa. 5.3.2 LPS Sistem pengelolaan dana di LPS menjadi tanggung jawab bendahara umum atas koordinasi dalam rapat mingguan. Secara umum LPS telah menetapkan 82
perencanaan anggaran tahunan sebagai platform pengelolaan keuangan. Berdasarkan pengalaman sumberdana yang bersifat tetap dan lebih pasti, pengelolaan keuangan berjalan konsisten dengan perencanaan. Sumber pendaan LPS yang mengandalkan derma lokal dengan penerimaan yang tetap dan cenderung bertambah menjadikan LPS mampu untuk tidak terlalu memikirkan masalah keuangan. Pengelolaan keuangan dalam perjalanan LSM ini juga cenderung konsisten. SJ (43) kordinator bidang pengembangan masyarakat LPS mengungkapkan mengenai rencana sistem pendanaan bagi LPS, sebagai berikut: LPS dalam jangka panjang berupaya mandiri dari donor, ini memang sulit. Tetapi perlu menjadi cita-cita. Dana-dana infaq dan shadaqoh itu kan visinya memberdayakan, jadi supaya nanti bisa menghidupi sendiri, sehingga manfaatnya bisa lebih banyak bagi orang lain. Kami mencanangkan adanya bidang produksi dan bisnis sejak tahun 2004. Bidang ini, kedepannya akan memberikan income bagi kami dan tentunya bagi masyarakat. Penelitian tanaman organik dan saprotan, saat ini sedang booming, orang beralih ke gaya hidup organik, peluang ini perlu kami respon dengan baik, karena bidang kami memang itu. Setelah hasil penelitian ini diterapkan di kelompok-kelompok masyarakat, tentu kami juga perlu mempersiapkan jalur pasarnya. Produkproduk yang kami hasilkan, seperti benih, pupuk, dan pestisida organik juga dibutuhkan dan potensial untuk laku dijual dipasaran. Sehingga ada dua strategi, pertama adalah menjual benih, pupuk dan pestisida ke pasar dan kedua, lewat petani yang kami bimbing dalam kelompok-kelompok tani, mereka bisa memproduksi hasil pertanian organik dan bisa memilih untuk dijual sendiri atau lewat kami. Tetapi saat ini fokus kami adalah melakukan proses edukasi bagi masyarakat. Mereka butuh bimbingan tidak sekedar dalam bercocok tanam, karena mereka tentu lebih pandai dalam hal bercocok tanam, tetapi kesadaran mengenai keberlanjutan pertanian, kelembagaan yang mereka harus bangun, dan jaringan petani yang saya kira akan sangat penting. Sehingga petani-petani ini bisa dengan mudah memperoleh kebutuhan mereka. LPS juga sangat konsen dalam menjembatani hubungan antara petani-petani binaan dengan pemerintah misalnya, walaupun support-nya belum kelihatan. Tetapi menteri pertanian pernah ke daerah petani binaan meninjau masa panen. Paling tidak memberikan motivasi bagi para petani untuk maju. Kelompok tani yang kami bina juga sudah mulai memiliki kekuatan politik ditingkat desa. Pada saat pemilihan kepala desa, kelompok tani-kelompok tani ini mendpatkan perhatian serius dari para calon. Karena jumlahnya banyak, aspirasi mereka juga didengarkan. Walaupun setelah terpilih, banyak janji yang dilupakan. Tetapi posisi tawar para petani juga meningkat dibanding sebeumnya.
83
Penjelasan di atas menjelaskan bahwa kemadirian finansia bagi LSM merupakan hal penting, kemandirian finansial akan memberikan ruang yang lebih luas bagi LSM untuk melakukan langkah-langkah yang independen. Masalah finansial yang dapat diatasi dengan baik, juga akan menyelesaikan kebutuhan-kebutuhan LSM terhadap kinerja dan staf yang dimilikinya. LPS dalam menjalankan agena pendanaan sejak tahun 2004 mulai membuka bidang bisnis, setelah dirasa produk yang dkembangkan oleh LPS dan KSM bisa dijual. Aspek inilah yang membuat LSM ini mulai mengembangkan orientasi pendanaan dari pendanaan dana masyarakat menjadi pendanaan mandiri.
Gambar 7. Alur Sumber dana dan Pokok Kegiatan LPS Untuk sistem pelaporan keuangan adalah dengan laporan tahunan yang di audit secara independen. Hasil rinci laporan dipublikasikan secara umum, dan khusus kepada donatur dikirimkan berkas laporan lengkap. 5.3.3 Ikhtisar Pengelolaan dan monitoring antara LKTS dan LPS agak berbeda dalam pelaksanaan kegiatan. LKTS mempunyai variasi kegiatan yang berupa kegiatan yang terikat dengan donor dan kegiatan yang tidak terikat oleh donor. Sehingga
84
untuk kegiatan yang terikat dengan donor, pengelolaan bersifat baku, sedangkan kegiatan yang bersifat tidak terikat lebih bebas. Berbeda dengan LPS yang tidak mengenal donor terikat dan tidak terikat. Bagi LPS dana yang ada adalah dana kegiatan yang akan dilaporkan, sehingga perencanaan pedanaan menjadi penting, tetapi juga memungkinkan adanya keluwesan saat pelaksanaan. Aspek keberlanjutan pendanaan juga menjadi perbedaan dari dua LSM ini. LKTS dengan dominasi donatur asing dalam kerangka proyek lebih terikat dengan pengelolaan dan pelaporannya, hal ini untuk keberlangsungan dan kepercayaan donor. Berbeda bagi LPS, keberlangsungan dana justru dilakukan di awal dengan kordinasi Dompet Duafa, dengan mengandalkan dana ZISWAF dengan konsekwensi yang lebih luwes. Matriks 1. Pengelolaan Dana LSM NO
Nama LSM
1
LKTS
2
LPS
Pengelolaan • • •
Terikat Donor Kreatifitas LSM Kreatifitas LSM
Publikasi Laporan keuangan • Terbatas • Umum • Umum
Sumber: Data diolah dari data sekunder (2008)
Dari Matriks 1. di atas dapat dilihat bahwa pengelolaan dana LKTS dilakukan dengan keterikatan pada donor dan kreatifitas LSM. Publikasi laporan keuangan LKTS dilakukan secara terbatas dan untuk umum. Pengelolaan dana LPS dilakukan dengan kreatifitas mereka dan terbuka untuk umum. 5.4 Adaptasi keberlangsungan LSM dalam Pendanaan Bagian yang juga cukup penting adalah pola menjaga keberlangsungan terutama bagi LSM. Pemikiran ini muncul karena berbagai pertimbangan kesadaran bahwa 85
lembaga donor asing tidak selamanya akan setia. Karena itu, perlu ada upaya alternative dan diversifikasi sumber dana untuk mengantisipasi rninimnya dana jika suatu saat mereka meninggalkan LSM. Demikian juga LSM yang menjalankan usahanya dari proyek-proyek donor. 5.4.1 LKTS Untuk mengantisipasi masalah pendanaan ini LKTS membuat perencanaan pendanaan sebagai berikut: 1.
Mengembangkan Jaringan Dana, dikembangkan dengan menjalin kerjasama dengan lebih banyak donor, pengusaha, dan LSM lain.
2.
Diversifikasi bidang garapan LSM, LKTS telah melakukan ini dengan mengembangkan bidang garapan yang pada awalnya fokus pada lingkungan hidup dan advokasi hak-hak perempuan mulai merambah ke sektor kredit mikro.
3.
Mempertahankan Donatur (Memperbaiki/mempertahankan servis), selama ini dilakukan dengan melakukan pelaporan tahunan secara berkala, dan pelaporan proyek pada tengah dan akhir proyek.
4.
Surplus
Kredit
Mikro,
Kredit
Pembiayaan
Masyarakat
pada
perkembangannya telah menghasilkan dana tetap dan cenderugn naik. Dari dana yang digulirkan 0.5% dana berputar dari KSM menjadi hak LKTS untuk operasional. Walaupun nilainya baru mencapai 3 juta rupiah pertahun, tetapi pada saat mendatang nilainya makin besar. 5.
Investasi, LKTS telah menggalang pembentukan lembaga pembiayaan masyarakat. Lembaga ini mirip dengan lembaga kredit yang ada, hanya difokuskan untuk anggota KSM dengan bunga dibawah bunga yang berlaku. Dari perguliran dana yang ada LKTS meyakini bahwa anggota KSM bisa dipercaya untuk mengelola dana ini. 86
5.4.2 LPS LPS juga meyakini pentingnya keberlangsungan LSM ini ditopang oleh keberlanjutan pendanaan. LPS lewat Dompet Duafa mengandalan edukasi kepada publik tentang pentingnya ZISWAF dengan pendekatan keagamaan, dan pentingnya penyelamatan lingkungan. Hal-hal yang dilakukan adalah: 1.
Kampanye Publik, Kegiatan ini bertujuan memberikan kesadaran publik tentang 2 (dua) hal yaitu pentingnya ZISWAF dan lingkungan hidup. Dengan kegiatan ini diharapkan minat masyarakat untuk berderma meningkat.
2.
Jaringan Dana, LPS lewat Dompet Duafa menjalin kerjasama dengan pusatpusat perbelanjaan, toko buku, bank, dan lembaga lain sebagai ‘outlet’ untuk mendekatkan pelayanan. Selain itu secara rutin LPS-DD juga memeberikan laporan berkala kepada para donatur, menggelar acara pengumpulan dana, dikelola oleh divisi marketing.
3.
Produksi dan Bisnis, LPS dengan melakukan penelitian dibidang pertanian organik telah menghasilkan produk pertanian ramah lingkungan. Produkproduk ini dijual secara umum, contoh produknya antara lain: Vitura (Sl-NPV gen II, pengendali hama ulat) atas permintaan, Virexi (Se-NPV gen II, pengendali hama ulat), VIR-L (Sl-NPV gen I, pengendali hama ulat), VIR-X (Sl-NPV gen I, pengendali hama ulat), OFER (Kompos), TOP SOIL (Media tanam), PASTI (botanical pesticide), Produk-produk yang masih dalam pengembangan (rancang bangun), NPS (Nematoda Pengendali Serangga), Tricoderma , Gliocladium , Pupuk Cair , Produk-produk Barang yang di pasarkan oleh LPS-DD diantaranya, Beras SAE (Beras Sehat, Aman, Enak), Vitura (Agen Pengendali Hayati), Virexi (Agen Pengendali Hayati), OFER (Kompos Berkualitas), TOP SOIL (Media Tanam Berkualitas), PASTI (insektisida hayati), Bio MENTARI (Pupuk Organik Cair), Produk-produk Jasa yang dipasarkan dan ditangani oleh LPS-DD diantaranya ; Pelatihan
87
Pertanian berbasis Pertanian Sehat (ramah lingkungan), Konsultasi Bidang Pertanian, Pengelolaan Kerjasama Penelitian dan Pengembangan. 5.4.3 Ikhtisar Usaha untuk mempertahankan dan meningkatkan sumber pendanaan bagi LSM menjadi agenda penting. Kegiatan ini dilakukan untuk menjaga keberlangsungan LSM itu. Baik LKTS maupun LPS melakukannya secara intensif. Persamaannya adalah kegiatan-kegiatan alternatif untuk penggalangan dana. LKTS cenderung berorientasi pada mempertahankan dan menambah donor asing sementara LPS meningkatkan edukasi publik untuk mempertahankan dan menambah kesadaran berderma.
Matriks 2. Strategi LSM menjaga keberlangsungan Dana NO 1
2
Nama LSM LKTS
LPS
Strategi
Kegiatan
Mengembangkan Jaringan Dana Diversifikasi bidang garapan LSM Mempertahankan Donatur (Memperbaiki/mempertahankan servis) Surplus Kredit Mikro Investasi Kampanye Publik
Tender proyek, pengajuan program Membentuk sub bidang aktivitas Laporan berkala
Perluasan Jaringan Produksi dan Bisnis
Surplus perguliran dana KSM Pembiayaan Mikro Direct mail, publikasi media massa, membership, special event Perdirian Outlet di Mall, Swalayan, dll Penelitian dan pemasaran produk teknologi pertanian dan hasil pertanian organik
Sumber: Data diolah dari data sekunder (2008)
Dari Matriks 2. di atas dapat dilihat bahwa strategi LKTS dalam menjaga keberlangsungan diversifikasi
dana bidang
adalah
dengan
garapan
mengembangkan
LSM,
jaringan
mempertahankan
dana, donatur
88
(memperbaiki/mempertahankan servis), surplus kredit mikro dan investasi. Kegiatan yang diimplementasikan dari strategi tersebut adalah berupa tender proyek dan pengajuan program, membentuk sub sidang aktivitas, laporan berkala dan surplus perguliran dana KSM serta pembiayaan mikro. Strategi LPS dalam menjaga keberlangsungan dana adalah dengan kampanye publik, perluasan jaringan serta produksi dan bisnis. Kegiatan yang diimplementasikan dari strategi tersebut adalah direct mail, publikasi media massa, membership dan special event, perdirian outlet serta penelitian dan pemasaran produk teknologi pertanian dan hasil pertanian organik.
89
BAB VI ANALISIS AKSI LSM LKTS DAN LPS 6.1 Pengantar Pembahasan mengenai aksi LSM dalam tulisan ini akan dibagi dalam 3 kategori, yaitu inisiasi program aksi, pelaksanaan dan monitoring program. Dari analisis inisiasi, pelaksanaan dan monitoring program bisa dilihat independensi pada aspek aksi ini. Aspek aksi akan menggambarkan perjalanan dinamika LSM dalam bentuk aksi riil ditengah komunitas. Pembahasan mengenai aksi LSM tidak lepas dari pembahasan bab sebelumnya (BAB V) sehingga akan terjawab hubungan porsi sumber keuangan (independensi finansial) dengan independensi aksi. LSM dalam memulai kegiatan dengan masyarakat akan menetapkan apa yang akan dikerjakan fase inilah yang disebut inisiasi. Inisiatif kegiatan akan menunjukkan seberapa besar partisipasi masyarakat, LSM dan intervensi donor. Begitu juga dalam fase pelaksanaan dan monitoring, dua fase ini menggambarkan kekuatan donor dalam proses pelaksanaan program dan evaluasi. Bentuk intervensi dalam pelaksanaan dapat diperlihatkan melalui petunjuk teknis pelakanaan, pada fase evaluasi dapat dilihat sejauh mana evaluasi dan monitoring suatu program bebas dari kekuatan intervensi donor. Pembahasan dalam bab ini akan memberikan penjelasan yang memadai mengenai dinamika kepentingan baik dari LSM maupun donor. Dinamika yang terjadi antara LSM dan donor dalam aspek ini akan memperjelas pembahasan pada bab analisis finansial BAB V.
90
6.2 Aksi LSM mulai Insiasi hingga Monitoring 6.2.1 Inisiasi Program Insiasi program dipahami sebagai pencetusan awal sebuah program/aksi LSM. Inisiasi program menjadi Ide awal munculnya program. Proses inisasi adalah identifikasi awal seberapa jauh LSM mempunyai independensi. LPS pada awalnya LPS merupakan terdiri dari peneliti pertanian organik yang kemudian bergabung dengan Dompet Duafa (DD) Republika, kemudian setelah menjadi bergabung mulai masuk ke tengah-tengah masyarakat. Seperti penuturan DM (35) aktifis lapang LPS sebagai berikut: LPS berawal dari kegiatan penelitian. Sebagian besar dari kami adalah peneliti di balai penelitian. Kami meneliti tentang hal-hal tanaman organik, pupuk organik, dan pestisida organik. Praktiknya, kami menerapkan ditengah-tengah masyarakat. Awalnya memang agak sulit untuk meyakinkan para petani untuk mengadopsi dan mau mempraktekkan pertanian organik, lewat tokoh masyarakat kemudian kami bisa memperkenalkan kepada masyarakat mengenai pertanian organik. Setelah KSM terbentuk program pertanian organik mulai petani merasakan manfaat yang diperoleh, pertama modal untuk program ini memang dari LPS, didampingi oleh LPS dan hasilnya bisa dikembalikan kepada LPS untuk dijual atau petani yang menjual sendiri. Dari situ kemudian petani juga berdiskusi dan melakukan tukarpikiran mengenai pertanian organik, untuk beberapa hal, petani sudah mengenal cara pertanian ini, tetapi ada beberapa yang baru, LPS juga mendapatkan banyak pengalaman dari petani, disinilah terjadi dialog pengetahuan dua arah. Inisiasi mengenai pertanian organik muncul awalnya memang dari LPS, tetapi setelah berjalan, petani banyak menjadi pembuka KSM yang lain. Seringkali ide kegiatan juga muncul dari anggota-anggota KSM, misalnya saja program sistem irigasi pertanian khusus. Sistem ini mampu menggabungkan pertanian dan perikanan. Sawah dengan pertanian organik adalah sawah yang bebas pestisida sehingga sangat memungkinkan ikan dapat hidup. Kegiatan ini kemudian menjadi tamabahan kegiatan yang juga bermanfaat.
LPS mengembangkan inisiasi ditingkat LSM kemudian dipenetrasikan ke tingkat KSM. KSM kemudian melakukan modifikasi teknis dan pada saat evaluasi berkala. Pengalaman lapang muncul dalam bentuk kreativitas kegiatan. Kemudian 91
terjadi akumulasi pengalaman sehingga membentuk pengetahuan baru yang dipertukarkan. Kegiatan LKTS banyak yang diinisiasi oleh proyek dalam hal ini donor, LSM sebagai fasilitator yang menggerakkan komunitas untuk melakukan kegiatan. Ada juga kegiatan yang murni diinisiasi oleh KSM pada perkembangannya, tetapi secara dominan inisiasi proyek lebih banyak. Seperti yang dituturkan oleh SH (45) aktifis LKTS bidang pengembangan sosial ekonomi mengenai inisiasi program, sebagai berikut: Idealnya kegiatan-kegiatan LKTS memang berasal dari masyarakat, tapi memang sulit untuk memilah aspek inisiasi ini, pertama program dari donor biasanya sudah spesifik, kedua pada tataran teknis sering terjadi penyesuaian di masyarakat, ketiga seringnya kamilah (LKTS) yang mengeksekusi kegiatan apa yang dipilih. Tetapi untuk program yang sifatnya terbuka (yang tidak terikat kontrak) memang porsi masyarakat lebih besar, LSM juga memiliki ruang yang lebih besar, dari program-program seperti inilah biasanya kami dapat menambah inventaris kantor seperti meja-kursi , komputer, rak cabinet dll, untuk operasional seperti beli laptop, alat komunikasi dan acara-acara internal yang tidak bisa masuk kedalam program yang terikat kontrak misalnya acara refreshing sambil membicarakan organisasi. Pertanggung jawaban atas dana memang sangat ketat, karena menyangkut pencairan dana. Biasanya, untuk sebuah program uang tidak cair semua-nya di awal, ada termin-termin pencairan yang membuat kami harus jeli membuat target kegiatan, untuk awal program biasanya kami mendapatkan 30%, 30 % apabila progress kegiatan sudah mencapai setengahnya dan diakhir program dengan laporan kami baru bisa mencairkan 40%-nya. Bagi kami degan mekanisme seperti ini perlu juga dana talangan, atau modal kalau perusahaan. Karena dana yang kegiatan seringkali tidak cair di awal kegiatan, bahkan kadangkala harus menunggu 3 tiga sampai 6 bulan kemudian. Ini juga menjadi kendala bagi kinerja LSM, karena LSM harus patuh pada prosedur donor, bahkan juga alur kerja donor. Kalau sekiranya tidak sesuai, argumennya juga harus kuat tetapi tetap harus sesuai dengan ide awalnya. Inilah yang membuat kami menjadi sulit untuk menjawab maslah inisiasi dari program-program LSM.
Inisiasi yang berasal dari KSM dan LSM bisa mendapatkan respon dana dengan mengedepankan argumentasi yang kuat. Penulis menyimpulkan bahwa pada aspek inisiasi pihak donor memiliki intervensi yang cukup kuat untuk mempengaruhi
92
LSM. Dengan kondisi seperti ini LSM akan lebih terbatas untuk mengungkapkan maslah-maslah lokal dan menerjemahkan dalam aksi nyata. Dari berbagai macam bentuk inisiasi program diatas dapat dikatakan bahwa inisiasi suatu program bisa berasal dari: 1.
Prakarsa Masyarakat Sipil, inisiasi berasal murni dari masyarakat sipil berangkat dari kebutuhannya atau pemikiran yang hendak dicapai. Ide-ide ini kemudian menjadi awal dari program yang akan dilajalankan. Dalam konteks hubungannya dengan LSM bentuk inisiasi seperti ini kemudian diakomodasi menjadi sebuah program. Seperti program yang mengharmonikan pertanian dan perikanan pada KSM LPS, petani mempunyai ide untuk membuat pertanian dan budidaya ikan secara bersamaan karena lahan bebas dari pestisida. Ide ini kemudian diakomodasi oleh LSM menjadi kegiatan bersama.
2.
Prakarsa LSM, inisiasi muncul dari hasil kajian atau ide LSM mengenai suatu masalah kemudian mengasilkan gagasan program. Program inilah yang kemudian dilaksanakan di tengah-tengah masyarakat. Bentuk dari inisiasi ini contohnya dalam bentuk proposal program dari LSM yang ditawarkan kepada donor. Contohnya adalah yang terjadi pada LPS dengan program pertanian organiknya.
Berbagai
ide/pemikiran
atas
program
dijalankan
dan
mendapatkan support dana dari masyarat lewat DD Republika. 3.
Prakarsa Donor, inisiasi muncul dari keinginan donor mengenai suatu kegiatan/program. Kemudian program ini ditawarkan kepada LSM untuk dilaksanakan. LSM yang memenuhi kualifikasi akan mendapatkan dana sesuai dengan kesepakatan donor. Kemudian program kegiatan dijalankan oleh LSM. Dalam kasus diatas, LKTS mengalami kondisi berada dalam ketergantungan dengan kepentingan donor. Sehingga yang direncanakan adalah apa-apa yang dikehendaki oleh donor.
93
4.
Prakarsa Campuran, adalah inisiasi yang muncul dari hasil negosiasi dari dua ide atau lebih sehingga menjadi sebuah program. Dalam penjelasan diatas LKTS dengan ide programnya menegosiasikan dengan keinginan donor, sehingga ada jalan tengah dari keinginan keduabelah pihak.
Dari pengantar mengenai inisiasi program di atas nampak bahwa, inisiasi program kegiatan merupakan refleksi dari bermainnya berbagai kepentingan dalam hal ini LSM dan donor. LPS relatif bebas dalam merencanakan kegiatan pada bidang pertanian organik dibanding dengan LKTS yang secara ketat tergantung dengan donor. Tetapi pada beberapa kegiatan yang lain, LKTS memiliki kebebasan menentukan program kegiatan dengan model kepentingan donor yang lebih kecil/tidak ada. 6.2.2 Pelaksanaan Program LSM memilik karakter khas dalam melaksanakan sebuah program. Pendekatanpendekatan bottom up dan civil society platform. Seperti yang dikemukakan oleh Hyden dalam Siregar (1988) menyimpulkan lima kepentingan LSM: 1.
NGOs are much closer than the government to the poorer section of society.
2.
NGOs staff are normally highly motivated and altruistic in their behaviour NGOs operate economically
3.
NGOs is their flexibility, a quality that stems from smallsize and the decentralized nature of decission making structurals.
4.
NGOs independent from the government which gives an opportunity to develop demands for public sevices and resources and thus facilitate to work or individual government departements in rural areas.
94
LSM memiliki kedekatan dengan objek bagi pembangunan oleh pemerintah atau swasta, LSM juga memiliki aktivis yang bisa menelusup masuk secara lebih dalam tanpa atribut pemerintah dan swasta, memiliki fleksibilitas, dianggap tidak membawa kepentingan kekuasaan, dan memiliki pendekatan aksi yang lebih down to earth. Penulis menemukan, pada aspek pelaksanaan aksi inilah LSM cederung bisa independen. Lebih dari itu, keunggulan inilah yang dinilai oleh pemilik kepentingan untuk memanfaatkan keberadaan LSM. Seperti yang disebutkan oleh SH (45) aktivis LKTS bidang pengembangan sosial ekonomi, sebagai berikut: Sepertinya kami LSM, masih eksis karena kami mempunyai karakter yang khas dalam metodologi pengembangan masyarakat, kami memiliki pendekatan yang tidak dimiliki oleh pemerintah, kami mampu masuk dalam suatu komunitas, mengorganisir mereka dan melakukan tujuan –tujuan tanpa prosedur yang nljimet dan birokratis
Sedangkan DM (35) aktifis lapang LPS dari LPS menjelaskan sebagai berikut: LPS dalam melakukan aksi-nya mengedepankan partisipasi masyarakat, karena program pemberdayaan komunitas memang ingin mewujudkan kemandirian. KSM memegang peran penting dalam pelaksanaan teknis di lapang. Seringkali setiap KSM mempunyai pengalaman berbeda, dan dalam forum kordinator KSM, atau forum bersama antar anggota KSM bisa berdiskusi.
Ditambahkan oleh SH (45) aktifis LKTS bidang pengembangan sosial ekonomi mengenai aksi LKTS, sebagai berikut: Seperti LSM yang lain, LKTS memiliki keunggulan aksi yang dekat dengan masyarakat, kita sering membangun kegiatan dengan kelompok masyarakat secara langsung. Tetapi ada beberapa kegiatan yang sudah jelas petunjuk-nya, tahapan programnya, wilayah, objek, sampai pada target-target yang harus dipenuhi.
Pada tataran aksi, LKTS banyak melakukan kegiatan dimana petunjuk aksi sudah ada, dan LPS lebih fleksibel. Tetapi keduanya memang sangat konstekstual dilapang, modifikasi dan kombinasi terjadi. Bisa ditarik kesimpulan bahwa donor memiliki pengaruh yang lebih besar kepada LKTS dibandingkan LPS. 95
6.2.3 Monitoring Program (Evaluasi Aksi) Program yang dilaksanakan oleh LSM akan dimonitor menurut kebutuhan monitoring/laporan program tersebut. Bagi LSM yang memiliki sistem pelaporan yang sudah mapan. Untuk mendiskripsikan aksi LSM secara rinci akan diuraikan satu-persatu kegiatan dan akan dilihat dari dari inisiator, pelaksana dan monitoring dan evaluator program. SH (45) aktifis LKTS bidang pengembangan sosial ekonomi aktivis LKTS mejelaskan sebagai berikut: Dalam beberapa program kami mempunyai kewajiban memberikan laporan secara berkala, laporan perencanaan, on going report, dan laporan hasil, sebenarnya laporan tersebut adalah syarat pencairan dana dari donor. Yang biasnya terdiri dari termin-termin. Tetapi untuk program yang tidak terikat kontrak, untuk pelaporan lebih fleksibel. Setiap tahun LKTS juga diaudit oleh auditor independen, biasnya auditor hasil audit ini menjadi semacam profil kepentingan LSM, kalau track record auditnya bagus, maka sebuah LSM akan lebih mudah mendapatkan dana.
Penjelasan DM (35) aktifis lapang LPS sebagai berikut: Monitoring program lebih banyak dari KSM, evaluasi yang dilakukan berkala sebagai media tukar pikiran. Laporan untuk para donatur sebatas pada laporan berkala tentang penyaluran dana.
Pada aspek monitoring, LKTS lebih ketat, dimana kegiatan harus dilaporkan kepada donor. Berbeda dengan LPS yang pada titik pelaporan tidak terlalu ketat, tetapi lebih banyak melakukan evaluasi pada awal, proses dan akhir kegiatan. Mekanisme pelaporan untuk lembaga donor mensyaratkan LKTS melakukan pelaporan mulai inisiasi program hingga evaluasi. Hal ini disebabkan karena mekanisme pelaporan berpengaruh pada pencairan dana bagi LKTS. Hal ini tidak terjadi di LPS, mekanisme pelaporan untuk LPS hanya bersifat laporan tanpa ada
96
konsekuensi pencairan dana. Untuk menjelaskan 3 tahap diatas bisa dilihat pada Matriks 3.
Matriks 3. Perbandingan Inisiasi, Aksi dan Evaluasi LKTS dan LPS
LSM LKTS
LPS
• • • • •
Inisiasi Donor LSM KSM LSM KSM
Pihak yang melakukan Aksi • Donor • LSM • KSM • LSM • KSM
Evaluasi/Monitoring • Donor • LSM • KSM • LSM • KSM
Sumber: Data Primer diolah (2008) Dari Matriks 3. di atas dapat dilihat bahwa pihak yang melakukan inisiasi, aksi dan evaluasi/monitoring pada LKTS adalah donor, LKTS dan KSM. Pihak yang melakukan inisiasi, aksi dan evaluasi/monitoring pada LPS adalah LPS dan KSM.kondisi ini menunjukkan LPS memiliki derajat independensi lebih tinggi dibandingkan LKTS. 6.3 Aksi LSM LKTS 6.3.1 Program Lingkungan Hidup dan Sanitasi Air Bersih LKTS melakukan kegiatan dalam bidang lingkungan hidup pada era awal berdirinya LSM ini. Kegiatan yang telah dilakukan antara lain Kampanye Lingkungan Hidup untuk menjaga kelestarian alam, Riset potensi sumber daya air sebagai awal dari kegiatan pipanisasi di daerah-daerah rawan air bersih, Pengadaan sarana air bersih di desa Repaking dan Tegalrejo sebagai bentuk kepedulian kepada daerah rawan air dan kampanye hidup bersih (Environmental 97
health promotion) yang dilakukan bersama dengan Departemen Kesehatan (Depkes) RI. Beberapa kegiatan diatas dilaksanakan di di Boyolali, Grobogan, dan Klaten. Dari kegiatan-kegiatan di atas, LKTS mulai merintis kegiatan yang lebih besar, dengan pengembangan kegiatan yang lebih beragam pada bidang lain. LKTS juga mulai mengembangkan jaringan dana dengan portofolio kegiatan-kegiatan diatas. Sehingga kegiatan pada bidang lingkungan hidup sebenarnya adalah awal dari kiprah LKTS dalam dunia lembaga nirlaba. Organisasi nirlaba memerlukan pengalaman melakukan proyek/program sebagai portofolio untuk mendapatkan program lain. Kegiatan ini merupakan program dengan tujuan untuk melakukan peningkatan mutu kesehatan air bersih oleh Depkes RI. Tetapi pada perkembangannya, kegiatan ini juga dilanjutkan dengan pemetaan sumber air bersih di daerah Klaten, Boyolali, Semarang, Sukoharjo dengan donor yang berbeda yaitu SDC (Swiss Development Cooperation) bekerjasama juga dengan lembaga donor dari Perancis. Bila dikaitkan dengan isyu privatisasi sumber air kegiatan ini mengindikasikan adanya keterkaitan kepentingan donor, karena donor yang mendanai proyek ini ada hubungannya dengan perusahaan yang melakukan privatisasi air bersih. Dengan data yang dihasilkan dari pemetaan sumber air di daerah ini, perusahaan tersebut mempunyai peta daerah dan kualitas air. Sehingga kegiatan pemetaan air bersih ini sarat dengan muatan kepentingan dari perusahaan tersebut. LSM mendapatkan dana membangun fasilitas pipanisasi air bersih di 3
98
daerah berikut anggaran opersional, tetapi data di 3 kabupaten yang di kaji menjadi salat satu laporan untuk donor. 6.3.2 Advokasi dan penguatan hak-hak perempuan Program advokasi dan penguatan hak-hak perempuan berasal dari tawaran funding dan ditanggapi positif oleh LKTS. Inisiasi program berasal dari YBKS – NZAID (1998 – 2001). PKM/CRP/Community Recovery Programme (2001 – 2002), Cordaid Netherlands (2002-2005). Berbeda dengan program lingkungan hidup yang pada awalnya diinisiasi oleh LSM yang kemudian diakomodasi oleh Depkes, program advokasi dan penguatan hak-hak perempuan berasal dari tawaran lembaga donor yang dimuat media nasional. Program yang pada awalnya ditawarkan oleh YBKS-NZAID ini berlanjut dengan pengembangan jaringan YBKS yaitu dengan PKM-CRP dan dilanjutkan dengan Cordaid. Dalam tataran pelaksanaan, program ini mengkombinasikan antara konsep pelaksanaan dari lembaga donor dan diadaptasi dengan penyesuaian dari pihak LSM. Bentuk kegiatan dari program ini adalah: 1.
Penguatan
kapasitas
jaringan
dalam
analisis
konflik,
mediasi
dan
penyembuhan trauma 2.
Desiminasi informasi alternatif tentang kekerasan terhadap perempuan pada tragedi 1965
3.
Advokasi dan pendampingan kasus kekerasan terhadap perempuan
4.
Advokasi kebijakan pro women budget
5.
Mendorong berdirinya radio komunitas
99
6.
Kursus hukum dan pendidikan kritis bagi perempuan
7.
Promosi keseraraan gender dan kesehatan reproduksi
Monitoring dari program ini dilakukan oleh kedua pihak, yaitu pihak LSM dan lembaga donor. LSM berkepentingan untuk menjaga agar proyek atas program ini bisa berkesinambungan karena pihak donor akan memperpanjang masa kontrak kegiatan dengan syarat pihak LSM melaksanakan program dengan standar yang telah ditetapkan oleh pihak donor. LKTS melakukan program ini di Boyolali, Grobogan, Klaten, Semarang, Sukoharjo. Program ini bentuk dari pragmatisme LSM untuk membuat sebuah kegiatan yang berbeda dengan kegiatan awal (Lingkungan Hidup). Kegiatan ini membuat LKTS perlu membangun penyesuaian atas ide sebelumnya. Berawal dari kegiatankegiatan ini pula LKTS mengalami perubahan dalam jumlah staf dan sistem organisasi. Tetapi kondisi ini diakui oleh LKTS sebagai awal perubahan menuju perabaikan organisasi, pada proyek ini LKTS banyak dituntun untuk lebih rapi dalam administrasi, melakukan pembagian kerja berdasarkan keahlian dan peningkatan media publikasi. LKTS mulai membuat website, membuat bulletin, dan menerbitkan majalah. Kegiatan-kegiatan ini memang menjadi tuntutan dari proses proyek yang dilaksanakan. Isyu ini dengan suport donor yang ada, mampu membuat perubahan yang signifikan dalam diri LKTS, paling tidak ada dua akibat yang muncul pertama adalah LKTS lebih banyak stafnya, mempunyai sistem keorganisasian yang lebih spesifik, sistem admnistrasi yang lebih rapi dari sebelumnya dan media publikasi. 100
LKTS juga mempunyai mitra donor baru yaitu CRP, Cordaid, YBKS, dan NZAID, dan pada perkembangan program pada isyu ini LSM harus menyesuaikan dengan sistem kerja seperti perecanaan, monitoring dan evaluasi. Kekuatan donor dalam isyu ini membuat LKTS harus menyesuaikan diri dengan perencanaan, cara kerja, dan monitoring-nya. LKTS mengakui bahwa ada kesulitan untuk bisa bebas dari pengaruh donor. Paling tidak ada dua alasan yang membuat mereka harus menyesuaikan dengan donor yaitu kemapanan organisasi dan ketergantungan dana. Seperti yang dijelaskan SH (45) aktifis LKTS bidang pengembangan sosial ekonomi berikut ini: “Kami harus memperbaiki sistem administrasi terutama keuangan. Kami juga perlu merekrut orang-orang baru yang mempunyai kompetensi dalam program gender, sehingga perlu tenaga-tenaga dengan kompetensi. Proses ini kami jalani dengan arahan lembaga donor dibantu dengan mitra donor yang ada daerah semarang-solo dan sekitarnya. Sistem pelaporan yang perlu rapi dan perlu mendapatkan persetujuan dari donor yang membuat kami makin matang dalam sistem administrasi dan organisasi.”
Kondisi ini satu sisi membuat LKTS lebih baik dari administrasi dan keorganisasian tetapi menjadi lemah dari kemandirian. Hal ini ditunjukkan dengan mudahnya donor mengatur kerja LSM dari mulai perencanaan, aksi hingga monitoring dan evaluasi dan ketergantungan yang tinggi LSM terhadap pendanaan. Pada tahapan ini, LSM memiliki ketergantungan pada aspek finansial dan aspek aksi, dua hal ini ditunjukkan dengan fakta diatas. 6.3.3 Penguatan Ekonomi Mikro Penguatan ekonomi mikro bisa disebut sebagau kegiatan yang sampai sekarang masih eksis. Kegiatan ini lebih bertahan lama karena aspek keberlanjutan perguliran dana diantara KSM berjalan dengan baik. Kegiatan ini antara lain 101
bertujuan untuk mendorong berdirinya lembaga keuangan mikro yang langsung dikelola masyarakat miskin, melakukan pendampingan dan penguatan kelompok , memberikan fasilitas dana bergulir. KSM yang mengenyam hasil dari kegiatan ini sudah mencapai 40 KSM yang tersebar di 5 kabupaten yaitu Boyolali, Grobogan, Klaten, Semarang, dan Sukoharjo. LKTS dinilai berhasil dengan program ini sehingga donor bertahan sampai 8 (delapan) tahun. Kegiatan ini juga telah menghasilkan ide keuangan mandiri bagi LKTS. Salah satu usaha yang mulai dirintis adalah pembiayaan mikro. Kegiatan ini berawal dari maraknya proyek serupa pada tahun 2002 tepatnya setelah krisis ekonomi 1998 tetapi baru 2003 LKTS mendapatkan proyek program ini. Isyu gender pada tahun 2003 memang sudah meredup, dimana LKTS tidak lagi banyak mendapatkan dana-dana proyek serupa pada tahun-tahun itu. Isyu ini ditangkap sebagai peluang pekerjaan bagi LKTS. Karena sudah memiliki kader di beberapa wilayah di Boyolali, Klaten, Semarang, dan Sukoharjo LKTS membentuk KSM. Karena jejaringnya sudah ada sejak program pipanisasi dan program-program isyu gender LKTS tidak memerlukan waktu lama untuk membuat KSM sebagai basis program ini. Basis kelompok menjadi syarat program ekonomi mikro untuk mendapatkan pencairan dana, dengan proposal yang diajukan, LKTS mendapatkan dana untuk 5 kelompok (KSM) di daerah Wonosegoro Boyolali. Pada tahun pertama dan kedua, KSM-KSM ini sukses dibina oleh LKTS, kemudian pada tahun berikutnya, LKTS mendapatkan dana lebih besar untuk 4 kabupaten di Boyolali, Klaten, Semarang, dan Sukoharjo. Perkembangan ini membuat LKTS kembali berkerja setelah mulai berkurang 102
aktivitasnya. Perkembangan ini juga menimbulkan makin banyaknya staf yang harus direkrut, karena masing-masing KSM mempunyai penanggung jawab sehingga diperlukan SDM yang lebih banyak. Fakta ini menunjukkan bahwa aktivitas LKTS tergantung pada program yang dilakukannya,
dan
program
berjalan
karena
adanya
dana.
Kendala
ketidakadaannya dana membuat LKTS mengurangi kegiatan (masa peralihan isyu gender menuju isyu ekonomi mikro), dan LKTS kembali aktif dengan adanya dana lewat kegiatan-kegiatan ekonomi mikro. Ketergantungan pada dana inilah yang menyebabkan naik turunnya volume kegiatan, bahkan volume kebutuhan staf . 6.3.4 Penguatan Demokrasi dan Civil Society Penguatan demokrasi dan civil society meliputi aktivitas pengorganisasian dan penguatan kapasitas forum rakyat, monitoring dan advokasi kebijakandan penguatan partisipasi publik. Ketiga kegiatan ini ingin menggalang kekuatan akar rumput untuk meraih dukungan dari pengambil kebijakan yaitu pemerintah. Kegiatan yang pernah dilakukan adalah dengan melakukan pelatihan-pelatihan organisasi, dan secara langsung berberapa kader menjadi kordinator di daerahnya. Sehingga dia berkesempatan untuk belajar mengelola organisasi. Kegiatan ini telah membuahkan hasil, diantaranya adalah posisi tawar KSM yang tinggi. Hal ini ditunjukkan pada saat pemilihan kepala desa di Desa Repaking, KSM LKTS merupakan lembaga masyarakat yang banyak dilamar oleh calon kepala desa. Dalam berbagai keputusan desa, KSM juga selalu diturutsertakan. 103
Kegiatan ini juga telah meningkatkan partisipasi lokal dengan munculnya tokohtokoh baru dari KSM ini di daerah setempat. Kegiatan ini adalah paket dari kegiatan ekonomi mikro yang dilaksanakan, donor yang memberikan dana juga sama. Kegiatan ini berupaya untuk meningkatkan kinerja KSM dengan memperkenalkan kegiatan administrasi yang lebih modern (Akuntansi untuk kas masuk dan keluar). Kegiatan-kegiatan ini tercantum dalam butir kesepakatan dengan donor, tetapi praktiknya diserahkan kepada LSM untuk mengimplementasikan secara bebas. LSM mewujudkan kegiatan-kegiatan ini dalam bentuk pelatihan kader yang kemudian diterapkan dalam pertemuanpertemuan bulanan. LSM memiliki tergantung dalam inisiasi, tetapi bebas dalam menerapkan secara teknis program penguatan demokrasi. Bila dilihat dari bentuk kegiatan ini maka kegiatan yang didanai oleh Australian Embassy, KIA, CordAid, ICCO, Finland Embassy dan NZODA ini adalah kegiatan yang bertema ekonomi pasar yang dikembangkan oleh negara-negara liberal, sistem politik yang mendukung untuk pelaksanaan bentuk ekonomi pasar adalah demokrasi liberal. Pada titik inilah LSM sebenarnya berada pada kepentingan donor dan justru menjadi bagian untuk mengkampanyekan proses liberalisasi ekonomi dan politik di tingkat pedesaan. 6.3.5 Media Publikasi Untuk memberikan informasi yang memadai LKTS memiliki beberapa media dan publikasi. Media
dan publikasi juga
menjadi
ukuran
donor terhadap
perkembangan LSM. Dari media yang ada LKTS bisa mempublikasikan laporan 104
kegiatan hingga laporan keuangan kepada publik. Media Publikasi ini mulai dikeluarkan sejak program-program gender digulirkan. Program ini memang mensyaratkan untuk membuka media-media publikasi berupa website, Bulletin, atau media yang lain. Berberapa media publikasi yang telah diterbitkan adalah: 1.
Perpustakaan LKTS
2.
Website www.LKTS.org
3.
Buletin PELITA (bulanan)
4.
Penerbitan Media Kampanye
Media yang diterbitkan oleh LKTS pada awalnya adalah perpustakaan kecil di sekretariat di Boyolali. Setelah tumbuh 2 (tahun) LKTS membuat website karena LSM akan lebih mudah dikenal dengan profil lengkap di internet. Setelah LKTS mencanangkan program bidang gender, mulai diterbitkan Buletin Pelita, media ini mulai tidak terbit setelah program kegiatan berhenti. Berhentinya Buletin Pelita lebih disebabkan karena berhentinya donor yang mendanai penerbiatan media tersebut. LKTS tidak Media yang lain adalah bahan kampanye, media ini secara insidental sering diterbitkan sebagai media untuk kegiatan-kegiatan kampanye publik sesuai dengan tema program yang sedang diusung. Hal ini menunjukkan bahwa LKTS tergantung kepada lembaga donor dalam penerbitan media publikasi. Media publikasi yang tidak lagi memperoleh dana berhenti terbit, dan media yang masih bisa berdiri walaupun support dana berkurang hanya website, karena biaya perawatan terjangkau. Hal ini juga menunjukkan bahwa ketergantungan LSM terhadap dana untuk membiayai media publikasi menentukan apakah media tersebut bisa terus terbit atau tidak. 105
6.3.6 Insidental Kegiatan insidental adalah kegiatan yang dilakukan tanpa perencanaan pada awal tahun kegiatan. Kegiatan ini biasanya dilakukan pada saat terjadinya bencana alam, atau kejadian luar biasa. LKTS pernah melakukannya pada saat terjadi gempa di yogyakarta antara lain dalam bentuk program tanggap darurat gempa, Pelayanan medis di Kecamatan Wedi, Gantiwarno, Bayat dan Prambanan. Mobilisasi relawan pembersihan puing reruntuhan bangunan, Pembangunan 300 rumah sederhana di Desa Gesikan Kecamatan Gantiwarno dan Desa Sumber Kecamatan Trucuk, Penyembuhan trauma melalui permainan, lomba agustusan dan pengajian. Dalam sistem pendanaan LKTS memang dianggarkan untuk kegiatan taktis. Untuk kasus gempa Yogyakarta, LKTS menjadi kordinator relawan dengan pendanaan dari berbagai lembaga. Antara lain adalah dari Pemda, dan Depkes RI. Dalam kasus ini, penulis juga menyimpulkan bahwa kegiatan yang dilakukan dengan adanya kucuran dana cukup besar bisa dimanfaatkan sebagai alternatif kegiatan bagi LKTS. Kegiatan-kegiatan insidental seperti penanggulangan bencana gempa di Jogja menjadi perhatian yang cukup besar dari berbagai pihak termasuk pemerintah dan organisasi-organisasi donor. Aliran dana yang besar tersebut juga dimanfaatkan dalam program penanggulangan bencana di lapang oleh LKTS. Berbeda dengan bencana serupa yang menimpa daerah sekitar area kerja LSM, seperti bencana banjir di Sukoharjo, lava di lereng merapi merbabu kabupaten Boyolali tidak mendapatkan perhatian yang sama. Karena bencana banjir di Solo dan di Boyolali ini tidak ada dana-nya. Perhatian atas kegiatan 106
kemanusiaan dalam hal ini masih terikat dengan ada atau tidaknya dana. Pada kondisi ini LSM tergantung secara finansial untuk melakukan aksi-aksi kemanusiaan yang insidental. Kegiatan-kegiatan kemanusian bukan hanya bernilai nilai kemanusiaan tetapi juga kepentingan sumberdana. 6.3.7 Ikhtisar Program LKTS Dari uraian penjelasan diatas, disajikan dengan Matriks 4. dalam matriks berikut dapat dilihat ikhtisar Program LKTS mulai 1997 hingga 2008. Sebagian besar inisiasi program dilakukan oleh donor. Untuk pelaksanaan program sebagian diatur oleh donor dan sebagian independen dilaksanakan oleh LSM. Sebagian besar monitoring melibatkan lembaga independen. Proses monitoring dan evaluasi lebih banyak mendapat intervensi dari donor. Dalam pelaksanaan aksi, LKTS lebih banyak tergantung secara finansial, dan pada tataran aksi juga tergantung kepada donor. Di antara beragam program, Penguatan Ekonomi Mikro merupakan salah satu program LKTS yang berkelanjutan, mulai 2001 hingga 2009 kegiatan ini mendapatkan support dana sampai sekarang. Untuk memberikan gambaran yang lebih ringkas dari penjelasan aksi LKTS, disajikan dalam bentuk Matriks 4.
107
Matriks 4. Ikhtisar Program LKTS Program
Tahun
Lembaga Donor
Inisiasi
Pelaksanaan LSM Donor Masyarakat
Monitoring LSM Donor Lembaga Independen
• Program Lingkungan Hidup dan Sanitasi Air Bersih • Kampanye Lingkungan Hidup • Riset potensi sumber daya air • Pengadaan sarana air bersih • Environmental health promotion • Advokasi dan penguatan hak-hak perempuan • Penguatan kapasitas jaringan dalam analisis konflik, mediasi dan penyembuhan trauma • Desiminasi informasi alternatif tentang kekerasan terhadap perempuan pada tragedi 1965 • Advokasi dan pendampingan kasus kekerasan terhadap perempuan • Advokasi kebijakan pro women budget • Mendorong berdirinya radio komunitas • Kursus hukum dan pendidikan kritis bagi perempuan • Promosi keseraraan gender dan kesehatan reproduksi
19972000
Depkes (1998) SDC/Swiss Development and Cooperation (1998 – 1999)
Donor
19982005
YBKS – NZAID (1998 – 2001) PKM/CRP/Comm unity Recovery Programme (2001 – 2002), Cordaid Netherlands (2002-2005), CRS
Donor
LSM Donor Masyarakat
LSM Donor Lembaga Independen
• Penguatan Ekonomi Mikro • Mendorong berdirinya lembaga keuangan mikro yang langsung dikelola masyarakat miskin • Pendampingan dan penguatan kelompok • Fasilitasi dana bergulir • Riset dan advokasi kebijakan
20012008
DAP Australian Embassy (2003) KIA (2004) Cordaid Netherlands (2002-2005) CRS (1999-2005) ICCO and Kerkin Actie Netherlands (2006) Finland Embassy (2004-2007) NZODA (20022007)
Donor
LSM Donor Masyara kat
LSM Donor Lemba ga Indepe nden
108
Program
Tahun
Lembaga Donor
Inisiasi
• Penguatan Demokrasi dan Civil Society • Pengorganisasian dan Penguatan kapasitas forum rakyat • Monitoring dan advokasi kebijakan • Penguatan partisipasi public
20012008
Donor
• Media dan Publikasi
20002008
DAP Australian Embassy (2003) KIA (2004) Cordaid Netherlands (20022005) CRS (1999-2005) ICCO and Kerkin Actie Netherlands (2006) Finland Embassy (2004-2007) NZODA (20022007) Dana LSM
• Perpustakaan LKTS Website www.LKTS.org Bulletin PELITA (bulanan) Penerbitan Media Kampanye
Pelaksanaan LSM Donor Masyara kat
Monitoring LSM Donor Lembaga Independen
LSM Donor
LSM
LSM Donor
• Penguatan Kapasitan SDM dan Institusi
19982008
Dana LSM, Donor
LSM Donor
LSM
LSM Donor
• Insidental • Program tanggap darurat gempa
20022007
Dana LSM, Dana Masyarakat
LSM
LSM Donor Masyara kat
LSM Donor Masyarakat
• Kajian kritis (bulanan) Mengikuti dan atau menyelenggarakan training atau kursus Mengikuti dan atau menyelenggarakan program magang • Review sistem dan managemen organisasi secara berkala Pengadaan sarana dan prasarana kantor • Study banding
Sumber: Diolah dari data sekunder (2008) Pada Matriks 4.. ini menunjukkan alur aksi LKTS lebih tergantung pada donor. LKTS lebih bersifat hanya menjalankan program dari proyek-proyek donor. Di lapangan, ada modifikasi dan kombinasi tetapi tidak berarti LKTS independen, karena dalam evaluasi sebagian besar kegiatan diawasi dan dimonitor oleh donor. 109
6.4 Aksi LSM LPS 6.4.1 Program Penelitian & Pengembangan Lembaga Pertanian Sehat (LPS) Dompet Dhuafa berdiri pada bulan Juni 1999 yang semula bernama Laboratorium Pengendalian Biologi Dompet Duafa (DD) Republika yang berfungsi untuk meneliti dan mengembangkan sarana pertanian tepat guna untuk membantu petani kecil. Pertama kali diproduksi oleh Laboratorium
Pengendalian
Biologi
DD
Republika
adalah
biopestisida
(pengendali hama tanaman) berbahan aktif virus serangga NPV (nuclear polyhedrosis virus) yang ramah lingkungan. Produk biopestisida yang berbahan aktif virus patogen serangga hama tersebut, merupakan yang pertama diproduksi di Indonesia dengan nama VIR-L, VIR-X dan VIR-H. Kemudian hasil dari penelitian dan perakitan teknologi tepat guna pada tahun 2000 dihasilkan pupuk organik OFER dan pestisida nabati PASTI berbahan aktif ekstrak akar tuba (Derris sp.). sehingga awal mula LPS adalah lembaga yang bergerak dibidang penelitian, dimana kegiatan-kegiatan penelitian kini di tangani oleh Divisi Litbang. Divisi Litbang sebagai salah satu komponen LPS-DD mempunyai peranan penting dalam kegiatan penelitian dan pengembangan produk pertanian sehat/ramah lingkungan yang terarah dan sistematis. Litbang LPS-DD berperan dalam mendukung produk pertanian ramah lingkungan yang mudah diaplikasikan dan dimanfaatkan oleh petani. Untuk itu, litbang LPS-DD harus mampu menghasilkan teknologi saprotan yang dibutuhkan untuk mengatasi kendala yang 110
dihadapi petani serta mengembangkan produk meningkatkan kualitas dan mutu produk agar tetap kompetitif. Divisi Litbang LPS-DD menerapkan tiga komponen manajemen Penelitian dan Pengembangan yakni manajemen kualitas produk, manajemen laboratorium dan manajemen pelatihan. Kegiatan-kegiatan Divisi Litbang lebih banyak diinisiasi oleh LPS sendiri dari proses penelitian yang dilakukan. Beberapa hal yang berasal dari masyarakat dalam proses penelitian pengalaman petani berupa kendala dan pengalaman keberhasilan tetang suatu hal, misalnya teknik budidaya pertanian dan perikanan sekaligus. Sehingga proses inisiasi kegiatan lebih banyak dari LSM. LSM bebas melakukan penelitian asal masih dalam kerangka pertanian organik dan hal-hal yang mendukungnya. Beberpa kegiatan dalam kerangka penelitian dan pengembangan antara lain adalah manajemen kualitas produk, peningkatan kualitas produk, kegiatan laboratorium, dan program penelitian produk baru dan berbagai pelatihan. Untuk lebih jelas akan dirinci sebagai berikut: Manajemen Kualitas Produk Ada kalanya OPT (Organisme Pengganggu Tanaman) mampu beradaptasi bahkan mutasi sehingga kebal (resisten) terhadap pestisida (organik atau an-organik), sehingga produk pestisida juga perlu ditingkatkan kualitasnya. Apalagi mengingat pertanian di lapangan (on-farm) sangat dipengaruhi oleh faktor iklim, lingkungan dan manusia. Hal ini menjadi tantangan bagi litbang untuk meningkatkan kualitas produk agar LPS memiliki produk-produk dengan kualitas yang terjamin.
111
Lima produk unggulan LPS yang memerlukan manajemen kualitas produk secara berkala, diantaranya adalah : beras SAE (non residu pestisida), Bio-pestisida/agen pengendali hayati (Virexi/VIR-X dan Vitura/VIR-L), OFER (kompos), dan PASTI (insektisida hayati). Program Peningkatan Kualitas Produk : 1.
Pengujian dan Peningkatan kualitas produk (menurunkan kontaminasi bakteri & uji jumlah virus)
2.
Pengembangan demplot (uji lapang produk LPS)
3.
Melakukan QC (Quality Control)
Manajemen Laboratorium Dalam melakukan inovasi dan rancang bangun teknologi, Divisi Litbang LPS-DD menggunakan laboratorium dan fasilitas penunjang kegiatannya. Laboratorium didalam ruangan (indoor) dan laboratorium lapang (outdoor). Pengelolaan manajemen Laboratorium ini disesuaikan dengan kebutuhan dan jadwal yang disusun berdasarkan perencanaan dan prosedur yang telah dituangkan dalam rencana kerja lembaga. Prinsip yang dipergunakan adalah Teliti, Objektif dan Prestatif. Kegiatan dalam pengelolaan manajemen laboratorium ini diantaranya adalah; scheduling, action plan, inventarisir, dan lain-lain. Sedangkan output yang dihasilkan antara lain; data-data ilmiah, publikasi ilmiah, dan rekomendasi hasil penelitian.
112
Program Penelitian dan Pengembangan di Laboratorium : 1.
Pengembangan & Penelitian produk terbaru (Pengendali penyakit, NPS, pupuk cair)
2.
Pengembangan publikasi ilmiah (Buku, Buletin, Newsletter)
3.
Pengembangan Jaringan Penelitian & atau Proyek Penelitian
Manajemen Pelatihan Perlunya sarana penyampaian teknologi yang dikembangkan LPS-DD membuka peluang kegiatan transfer teknologi dan informasi melalui Pelatihan dan Workshop. Kendala penyampaian informasi ke petani dan masyarakat yang tidak lengkap menjadi salah satu sebab gagalnya program. Untuk mengantisipasi hal tersebut, Divisi Litbang LPS-DD menyusun kegiatan Pelatihan untuk petani dan masyarakat
dengan
beberapa
model
pelatihan
(Training).
Selain
mensosialisasikan ke pihak luar, secara internalpun dilakukan dengan model workshop dan kuliah/praktek umum. Sejauh ini beberapa pelatihan–pelatihan sudah rutin dilakukan oleh LPS-DD. Selain dari tujuan khusus tersebut, ada pula tujuan umum dari pelatihan tersebut agar dapat mendukung program–program LPS dan produk–produk LPS lebih cepat tersosialisasi. Optimalisasi dari manajemen pelatihan ini akan mampu membuka jejaring (network) seluas-luasnya dengan pihak-pihak lain serta membuka kemitraan yang saling menguntungkan.
113
Program utama yang ada dalam manajemen pelatihan : 1.
Menyelenggarakan Pendidikan & Pelatihan Keterampilan Petani Ramah Lingkungan
2.
Membangun Network dengan pihak luar
3.
Sosialisasi program atau produk-produk yang dikembangkan LPS-DD
Kegiatan-kegiatan diatas berjalan secara bertahap melalui proses yang berkelanjutan. Misalnya kebutuhan akan pelatihan muncul ketika ada kebutuhan untuk melakukan tukar pengalaman tentang penelitian. Kegiatan penelitian produk baru muncul setelah LPS berhasil menjual produk baru dan berbeda dengan yang ada di pasar. Demikian juga kegiatan pengawasan mutu adalah kebutuhan LSM dan KSM ketika produk yang dihasilkan harus distandarisasi. Kegiatan-kegiatan ini dikembangkan secara bebas oleh LSM bersama KSM. Donor tidak memberikan intervensi pada kegiatan-kegiatan penelitian. 6.4.2 Pemberdayaan Masyarakat Setelah LPS eksis menjadi lembaga penelitian dengan berbagai produk pertanian organik, bentuk aplikasinya dirancang program pemberdayaan masyarakat. Program ini bertujuan membina petani-petani dhuafa dengan pertanian oragnik. Divisi Pemberdayaan Masyarakat LPS-DD merupakan salah satu bidang yang memiliki peranan penting dalam kegiatan membangun komunitas petani secara khusus dengan melibatkan masyarakat. Divisi juga merupakan jembatan misi dari lembaga
untuk
akses
dengan
sumberdaya
masyarakat
petani.
Proses
pemberdayaan petani miskin yang selama ini dilakukan oleh LPS juga telah
114
memantapkan target yang lebih jelas. Salah satu program yang dibangun adalah P3S (Program Pemberdayaan Petani Sehat). Program tersebut tidak hanya karena visi pendistribusian dana sosial umat semata, lebih dari itu P3S merupakan refleksi kepedulian atas nasib petani yang selama ini termarjinalkan dalam lingkaran kemiskinan. Inisiasi kegiatan pemberdayaan masyarakat muncul dari LPS yang ingin memberikan manfaat yang lebih besar dari hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan. Ide ini mendapatkan respon positif dari DD Republika, bahkan LPS menjadi lembaga yang terpisah dari manajemen DD Republika. Program pemberdayaan yang dicanangkan, sepenuhnya diserahkan kepada LPS termasuk rekrutmen staf dan pengembangannya. DD Republika memberikan syarat pengembangan masyarakat pada masyarakat petani yang tergolong miskin sehingga dana yang disaluran sesuai dengan tujuan ZISWAF, selebihnya diserahkan kepada LPS pengelolaannya. Hal ini menunjukkan bahwa dari mulai inisiasi, pelaksanaan dan monitoring, kegiatan pemberdayaan masyarakat relatif bebas ditentukan oleh LSM. 6.4.3 Produksi Dan Bisnis Kegiatan produksi dan bisnis merupakan kegiatan LPS yang dilaksnakan setelah program penelitian dan pengembangan masyarakat membuahkan hasil yang bisa dipasarkan. Divisi Produksi bekerja merakit beberapa teknologi yang mudah, murah, praktis dan tepat guna bagi petani. Selain itu Divisi ini bertanggung jawab
115
membuat/ memproduksi seluruh temuan teknologi yang sudah melalui uji produk dan prototipe (produk-produk yang dihasilkan terlampir di Lampiran 3.). Produk-produk yang dirakit dan dikembangkan adalah sarana produksi pertanian yang berbasis sumber bahan baku lokal, murah, mudah, dan ramah lingkungan. Tujuan dari kegiatan ini diantaranya untuk memutus rantai kapitalistik di bisnis saprotan sintetik dan memutus ketergantungan petani terhadap bahan-bahan kimia yang selain harganya semakin mahal sekaligus memiliki dampak negatif terhadap kesehatan manusia, ekosistem pertanian dan lingkungan. Divisi Produksi LPSDD dituntut mampu memproduksi saprotan-saprotan yang mempunyai nilai jual, berkualitas, ramah lingkungan, harga terjangkau dan mampu menopang pergerakan bisnis lembaga. Garis Besar yang dilakukan Divisi Produksi ; 1.
Perbaikan dalam manajemen produksi dan operasi
2.
Peningkatan kuantitas dan kualitas hasil produksi
3.
Pengembangan produk (Produk terlampir)
BISNIS Bisnis/usaha yang dilakukan oleh LPS-DD merupakan upaya penguatan lembaga dalam rangka kemandirian. Untuk itu LPS-DD membentuk Divisi Pemasaran dan Distribusi yang diberi tugas mengelola produk-produk yang telah dihasilkan oleh lembaga, baik yang bersifat barang maupun jasa hingga bisa dipergunakan konsumen (user).
116
Pelaksanaan misi lembaga bagi kegiatan pemasaran dan distribusi adalah ; 1.
Menjalin kemitraan usaha dengan para petani ataupun pelaku agribisnis lain yang saling menguntungkan.
2.
Mengembangkan jaringan pemasaran produk-produk pertanian sehat dalam skala nasional.
3.
Mendapatkan keuntungan yang layak, halal, dan berkah.
LPS-DD berusaha mensejajarkan diri dengan perusahaan/lembaga lain dalam rangka kegiatan pemasaran terhadap produk-produknya. Beberapa strategi sudah mulai diterapkan di lembaga. Kegiatan pemasaran LPS termasuk kedalam pemasaran multiproduk. Artinya bahwa berbagai produk yang dihasilkan dari hasil penelitian dan pengembangan merupakan produk utama yang harus bisa dipasarkan oleh bagian ini. Metode penentuan prioritas pemilihan produk unggulan sedang dilakukan oleh LPS, sehingga dalam waktu yang akan datang akan lebih fokus. Kemampuan dan jumlah SDM juga menjadi alasan yang cukup relevan terhadap pemasaran multiproduk ini. Upaya-upaya penguasaan tehniktehnik pemasaran dan metode-metodenya juga penting. Dalam mencapai sasaran strategi pemasaran untuk meningkatkan kebutuhan terhadap produk, bagian Pemasaran melakukan langkah-langkah sebagai berikut; Peningkatan jumlah pemakai produk-produk yang dipasarkan oleh LPS atau meningkatkan pasar baru (konsumen baru yang belum pernah menggunakan produk). Menjalankan
strategi informasi
tentang manfaat-manfaat
yang
terkandung didalam produk tertentu; misalnya Beras SAE merupakan beras bebas residu pestisida sehingga sangat berbeda dengan beras biasa. Tentunya hal ini 117
didukung dengan penerapan teknologi ramah lingkungan yang dilaksanakan petani pada saat menanam bahan baku (padi) Beras SAE dan dukungan uji bebas residu pestisida yang dilakukan secara rutin. Upaya penetapan harga yang bersaing juga menjadi salah satu strategi peningkatan penggunaan produk-produk LPS; misalnya dikemasan Beras SAE dituliskan slogan ”Jangan Korbankan Kesehatan Anda, Mulailah mengkonsumsi produk Bebas Pestisida, Kesehatan Anda Lebih Mahal Harganya”, diharapkan dengan penekanan ini konsumen merasa tidak akan rugi membeli walaupun lebih mahal tetapi dengan harapan kesehatannya lebih terjamin. Hal ini juga bukan isapan jempol. Sebab menurut penelitian beberapa waktu yang lalu, hampir seluruh beras yang diuji coba mengandung residu bahan kimia berbahaya melebihi ambang batas yang diperbolehkan. Produk-produk Barang yang di pasarkan oleh LPS-DD diantaranya ; 1.
Beras SAE (Beras Sehat, Aman, Enak)
2.
Vitura (Agen Pengendali Hayati)
3.
Virexi (Agen Pengendali Hayati)
4.
OFER (Kompos Berkualitas)
5.
TOP SOIL (Media Tanam Berkualitas)
6.
PASTI (Insektisida Hayati)
7.
Bio MENTARI (Pupuk Organik Cair)
Produk-produk Jasa yang dipasarkan dan ditangani oleh LPS-DD diantaranya ; 1.
Pelatihan Pertanian berbasis Pertanian Sehat (ramah lingkungan) 118
2.
Konsultasi Bidang Pertanian
3.
Pengelolaan Kerjasama Penelitian dan Pengembangan
Dalam penjelasan ini, LPS telah melakukan bisnis sebagai bagian dari proses menuju kemandirian finansial. LPS memanfaatkan jejaring yang sudah ada untuk memasarkan hasil penelitian. LPS juga mendapatkan manfaat dari pengalaman penerapan teknologi dari KSM. Inisisai usaha produktif dan bisnis muncul karena kebutuhan LPS yang semakin besar seiring dengan perkembangan staf dan kegiatannya. Usaha produksi dan bisnis bertujuan untuk membangun keuangan yang mandiri dan meningkatkan kesejahteraan staf LSM. Hal ini menunjukkan bahwa prses inisiasi, pelaksanaan dan evaluasi dalam kegiatan ini bebas ditentukan oleh LSM. 6.3.4 Ikhtisar Program LPS Kegiatan yang dilakukan oleh LPS baik dari proses, inisiasi, pelaksanaan hingga evaluasi tidak terikat dengan donor. LPS bebas untuk menentukan arah kegiatan selama masih pada bidang pertanian organik yang menjadi fokus dari kegiatan LSM ini. LPS juga tidak terlalu berkepentingan kepada donor untuk memberikan evaluasi atas kinerja LSM ini. Kegiatan penelitian, pengembangan masyarakat dan kegiatan produksi-bisnis muncul karena kebutuhan LSM. tiga kegiatan ini lebih bersifat rangkaian kegiatan yang semakin besar tetapi tetap pada visi awal, yaitu memajukan pertanian organik. Garis besar tujuan itulah yang menjadi syarat donor memberikan dananya. Kegiatan inisiasi, pelaksanaan hingga monitoring bebas ditentukan oleh LPS. Dari Matriks 5. dapat diketahui bahwa inisiasi,
119
pelaksanaan dan monitoring program LPS sebagian besar dilakukan oleh LPS bersama masyarakat. Program LSM dimulai dari 1998 hingga 2008. Seluruh program LPS berlangsung hingga 2008. Matriks ini juga menunjukkan intervensi donor yang tidak besar. Kepentingan donor juga dirasakan tidak besar dalam kegiatan yang dilakukan oleh LPS.
Matriks 5. Ikhtisar Program LPS Program
Tahun
• Penelitian dan Pengembangan • manajemen kualitas produk (Pengujian dan Peningkatan kualitas produk, Pengembangan demplot (uji lapang produk LPS), Melakukan QC (Quality Control) • manajemen laboratorium Pengembangan & Penelitian produk terbaru, Pengembangan publikasi ilmiah, Pengembangan Jaringan Penelitian & atau Proyek Penelitian • manajemen pelatihan • Menyelenggarakan Pendidikan & Pelatihan Keterampilan Petani Ramah Lingkungan • Membangun Network dengan pihak luar • Sosialisasi program atau produk-produk yang dikembangkan LPS-DD
19982008
Lembaga Donor Dana ZISWAF melalui DD
Inisiasi
Pelaksanaan
Monitoring
LSM
LSM Masyarakat
LSM Masyarakat
120
Program
Tahun
Lembaga Donor Dana ZISWAF melalui DD
Inisiasi
Pelaksanaan
Monitoring
• Pemberdayaan Masyarakat • Pembentukkan Kelompok Tani di Bogor & Sukabumi Peningkatan Kapasitas SDM Petani Penumbuhan Kader Petani Lokal Pembinaan dan Pelatihan Pertanian Ramah Lingkungan Pembiayaan Mikro Petani Penguatan Kelembagaan Petani Penetapan dan Pembangunan cluster program berbasis pertanian unggul Pembangunan jaringan sinergi dengan stakeholders pendukung
20012008
LSM Masyarakat
LSM Masyarakat
LSM Masyarakat
• Produksi dan Bisnis • Perbaikan dalam manajemen produksi dan operasi • Peningkatan kuantitas dan kualitas hasil produksi • Pengembangan produk • Menjalin kemitraan usaha dengan para petani ataupun pelaku agribisnis lain yang saling menguntungkan. • Mengembangkan jaringan pemasaran produk-produk pertanian sehat dalam skala nasional. • Mendapatkan keuntungan yang layak, halal, dan berkah • Peningkatan Kapasitas SDM dan Organisasi • Media dan Publikasi • Penerbitan Bulletin • Website : www.pertaniansehat.com • Perpustakaan
20042008
Dana ZISWAF melalui DD
LSM Masyarakat
LSM Masyarakat
LSM Masyarakat
19982008 19982008
LSM
LSM
LSM
LSM
LSM Dana ZISWAF melalui DD
LSM
LSM
LSM
Sumber: Diolah dari data sekunder (2008)
6.5 Perbandingan Aspek Aksi LKTS dan LPS Uraian program LSM yang telah dibahas menunjukkan adanya perbedaan antara LKTS dan LPS baik dalam inisiasi, pelaksanaan, muapun monitoring program.
121
Pada aspek inisiasi, LKTS lebih banyak mengambil ide program dari lembaga donor. Sedangkan LPS lebih banyak mengambil ide dari visi LSM dan masyarakat. Pada aspek pelaksanaan kedua LSM merealisasi program dengan secara mandiri bersama-sama masyarakat, dan pada aspek monitoring, hasil dan evaluasi dari program tergantung dari mana kepentingan dana dan insiasi berasal. Oleh sebab itu, monitoring hasil aksi LKTS lebih banyak oleh lembaga donor sedangkan LPS lebih banyak dilakukan oleh LSM sendiri dan hasilnya dilaporkan kepada masyarakat sebagai pertanggungjawaban. Kondisi ini menunjukkan, bahwa LSM dengan sistem pendanaan lembaga donor memiliki ketergantungan lebih besar dibanding dengan LSM dengan sistem pendanaan masyarakat. Inisiasi aksi LSM LKTS lebih terbatas dibandingkan dengan LPS. Begitu juga pada aspek keberlanjutan program yang dilakukan. LKTS memiliki program yang beragam tetapi bersifat lebih pendek dan terikat dengan lembaga donor (Donor Driven). Sedangkan LPS program lebih berkesinambungan (Mission Driven).
122
BAB VII DINAMIKA INDEPENDENSI LSM DI TENGAH KEPENTINGAN DONOR
7.1 Dinamika Pendanaan dan Ideologi LSM Masalah penelitian yang ingin dijawab adalah ingin memahami sejauhmana kepentingan donor memberi pengaruh pada independensi LSM (merujuk pada platform berdirinya LSM) dan mengetahui sejauh mana perubahan pergeseran kepentingan donor mempengaruhi independensi LSM. Pada aspek finansial terdapat kesimpulan bahwa LSM menempatkan pendanaan sebagai persoalan utama bagi aksi yang akan dilakukan dan LSM yang menggunakan dana dari lembaga donor, lebih tergantung dibandingkan dengan LSM yang menggunakan dana masyarakat. LSM melakukan upaya-upaya untuk melanggengkan sumber-sumber pendanaan yang sudah ada, melakukan pencarian sumber-sumber baru, bahkan LSM juga berusaha secara mandiri aktif melakukan usaha-usaha profit. Ciri ini nampak pada dua LSM ini. Perbedaannya adalah siapa yang menjadi target sumbersumberdana. LKTS lebih memprioritaskan penggalian sumberdana dari donor asing, sedangkan LPS lebih banyak menggali dari sumber-sumber dana masyarakat. Dua strategi ini menghasilkan arah yang berbeda, LKTS lebih tergantung kepada lembaga-lembaga donor yang tidak bebas kepentingan, sedangkan LPS dengan dana masyarakat cenderung tidak tergantung dengan
123
kepentingan atas dana yang dikumpulkan. DM (35) aktifis lapang LPS mengungkapkan, bahwa dana masyarakat cukup potensial untuk pengembangan lembaga-lembaga swadaya dan pengembangan komunitas. Berikut kutipan wawancaranya: LPS tidak begitu kesulitan dalam hal pendanaan, DD Republika mempunyai track record yang baik dalam menggalang dana. Akuntabilitas DD Republika selalu di laporkan dalam bulletin, booklet, web dan laporan-laporan langsung kepada donatur. Donatur DD Republika meningkat dari tahun ke tahun, hal ini bisa dilihat dari tren Zakat, Infaq dan Shodaqoh yang masuk ke DD Republika. Kegiatan THK (Tebar Hewan Kurban) bisa menjadi cermin yang ideal sistem pendananaan yang cukup baik.
SH (45) aktifis LKTS bidang pengembangan sosial ekonomi mengungkapkan bahwa LKTS sulit untuk keluar dari lingkaran kekuasaan donor, sebagai berikut: Kami pada awalnya memang ingin dalam jangka menengah dan panjang untuk mandiri dari pendanaan funding. Baik itu lewat pendanaan dari masyarakat secara partisipatif atau usaha mandiri. Tapi bagi kami itu sulit, untuk cara pertama, LKTS tidak memiliki basis donatur lokal dari awalnya, agak beresiko juga kalau kami banting stir untuk sumber dana, jadi pilihan untuk mencari donatur lokal secara partisipatif agak sulit. Pilihan kedua juga kami rasa agak sulit, kami aktivis, bukan wirausaha, memang beberapa donor juga ada program mandiri dimana LSM dalam jangka panjang lewat usaha-usaha mikro bisa mengelola masyarakat untuk kedepannya, sehingga dari pemberdayaa masyarakat LSM bisa menjadi manajer dari usaha-usaha masyarakat itu, seperti menjadi agen distribusi usaha produksi. Hal ini sudah kami jalani, seperti menjadi fasilitator untuk penjualan furniture rotan, dan bebek, tapi masyarakat lebih berpengalaman dalam usaha-usaha ini. Terakhir, kami menakumulasi modal kredit mikro dan kami membuka semacam pembiayaan, ini sedang berjalan dan mekanisme-nya lebih mudah.
SH (45) aktifis LKTS bidang pengembangan sosial ekonomi juga menambahkan sebagai berikut: LKTS pada saat berdiri memiliki aktivis hanya 5 (lima) orang, saat itu memang kita punya minat yang sama. Kita sama-sama aktivis di kampus dan menikmati pekerjaan sebagai aktivis LSM. Setelah LKTS membesar, mulai memerlukan lebh banyak aktivis, atau lebih tepatnya staf, karena mereka bekerja dengan jadwal kerja yang teratur, gaji, dan deskripsi kerja yang jelas. Aktivis direkrut berdasarkan keahlian tanpa harus mensyaratkan memiliki loyalitas terhadap aktivisme. Awalnya tidak pernah terlintas LKTS akan menjadi lembaga yang mencari keuntungan atau menjadi lembaga bisnis. Tetapi perkembangan LKTS dengan
124
banyaknya staf, biaya operasional dan kebutuhan-kebutuhan yang makin besar, maka kami juga harus memikirkan kemandirian. Untuk itulah kami mencoba untuk membuat usaha mandiri. Tetapi itupun sulit, LSM bukanlah lembaga bisnis, aktivisnya juga bukan para wirausaha, oleh karena itu LKTS juga pada posisi sulit pada titik ini. Kegiatan-kegiatan yang ada idak menghasilkan profit langsung. Untuk kegiatan kredit mikro kami memang ada porsi untuk profit LSM sebesar 0,5% dari angsuran KSM tetapi itu sangat kecil, sehingga tidak kami jadikan sebagai solusi bagi kemandirian LSM. Kami berencana untuk membuka semacam pembiayaan mikro, ini adalah alternatif bagi anggota KSM untuk mendapatkan dana segar dengan interes yang tidak terlalu tinggi. Sejauh ini, paling tidak, kita sudah punya track record siapa saja anggota KSM yang dipercaya, cara seperti ini juga sudah kita laksanakan walaupun skalanya masih kecil, tapi kelak saya lihat ini cukup berpotensi sebagai salah satu sumber pendanaan LKTS. Komitmen kami kepada masyarakat sebagai bagian dari proses ini adalah yang utama. Masyarakat adalah subjek dari pengembangan mereka. Perlu adanya kesadaran ini bagi para aktivisnya. Tetapi tidak semua aktivis LSM khususnya staf baru yang mempunyai kesadaran yang sama. Orientasi staf yang bekerja adalah penghasilan.
Kepentingan atas dana yang dikeluarkan berbeda antara dana dari masyarakat dan dana dari donor luar. DM (35) aktifis lapang LPS mengungkapkan mengapa orang memberikan dananya kepada LPS DD Republika, sebagai berikut: Kesadaran adalah alasan paling kuat mengapa orang mengeluarkan ZISWAF, pemberian mereka sering tanpa pamrih, sehingga program marketing kami adalah menumbuhkan kesadaran untuk mengeluarkan ZISWAF baik dari pendekatan agama, kemanusiaan maupun pendekatan perasaan.
Penulis meyakini sumberdana LSM dalam penelitian ini, diakui tidak ada yang bebas akan kepentingan seperti pandangan Ufford dan Giri (2002). Yang berbeda adalah derajat kepentingan dari pemberi dana (donor) kepada LSM sebagai lembaga yang melakukan aksi. Dari penelitian ini diketahui bahwa dana dari lembaga donor asing, pemerintah asing, perusahaan dan pemerintah mempunyai kepentingan lebih tinggi dari pada dana dari masyarakat. Kepentingan ini ditunjukkan dengan banyaknya syarat yang diajukan oleh lembaga donor kepada LSM baik itu dari aspek inisiasi program, pelaksanaan dan monitoring-nya.
125
Pada titik inilah terjadi hubungan dinamis antara kebutuhan dana oleh LSM disatu sisi dengan misi yang ingin dijalankan oleh LSM disisi yang lain. Keragaan dinamika tersebut penulis gambarkan dalam matriks berikut ini.
Matriks 6. Dinamika Sistem Pendanaan dan Ideologi LSM Sumber Dana Orientasi Ideologi Selaras Tidak Selaras
Eksternal Interest Sinergi Dinamika: 1. Re-orientasi ideologi, 2. Distorsi Ideologi (Negosiasi), 3. Penolakan atas dana
Non Interest -
Internal Interest Sinergi Dinamika 1.Re-orientasi ideologi (Penyusupan Sukses) 2.Negosiasi, 3.Penolakan anggota (dikeluarkan)
Non Interest -
Sumber : Data Primer diolah, 2008 Matriks ini menunjukkan hubungan antara ideologi LSM (terkait dengan visi & misi LSM) dengan sumberdana. Sumber dana dibagi menjadi 2 (dua) sumber yaitu eksternal LSM dan internal LSM, keduanya lantas dibagi menjadi 2 (dua) yaitu sumber-sumber dana yang mempunyai kepentingan dan sumber-sumber dana yang bebas kepentingan. Sementara pada aspek ideologi terdapat dua pembeda, yaitu dana-dana dari sumber yang tidak selaras dengan dana-dana dari sumber yang selaras. Dana dari sumber-sumber yang selaras dengan ideologi, visi misi dan kegiatan LSM akan membuat hubungan LSM dengan lembaga donor menjadi sinergis, sementara sebaliknya, jika terjadi ketidakselarasan ideologi, akan terjadi kemungkin-kemungkinan, yaitu re-ideologi, negosiasi, atau pada titik ekstrim terjadi penolakan dana oleh LSM dari lembaga donor.
126
Kondisi ini terjadi baik pada sumber-sumber dana ekternal maupun internal. Sumber-sumber dana eksternal bisa berasal dari pemerintah, perusahaan, masyarakat, donor asing, pemerintah asing, LSM lain baik dalam negeri maupun luar negeri. Sedangkan dana internal berasal dari individu yang berada di dalam lingkaran LSM. Hanya saja, bentuk ektrem dari penolakan dana dari individu bisa berupa pemecatan individu tersebut dari keanggotaan/kepengurusan LSM tersebut. Pada saat terjadi ketidakselarasan antara LSM dengan sumberdana selain reideologisasi LSM dan penolakan. Ditengahnya ada proses negosiasi, dalam proses ini hal-hal yang mempengaruhi kekuatan negosiasi LSM adalah: 1. Militansi ideologi LSM, 2.Kemapanan LSM dalam dana, 3. Kemapanan Kinerja LSM (Prestasi LSM). Sumberdana terkadang pada posisi yang membutuhkan, sehingga 3 hal ini menjadi pertimbangan LSM bisa pada posisi ideologinya. Dinamika ideologi LSM dengan aksi yang dilakukan terjadi pada tiga titik, yaitu proses inisiasi program, pelaksanaan program dan monitoring/evaluasi program. Untuk menjelaskannya akan dijelaskan pada matriks di atas. Hasil wawancara dengan SH (45) aktifis LKTS bidang pengembangan sosial ekonomi, merupakan refleksi perubahan orientasi LSM dari plaform awalnya. Kutipan wawancaranya sebagai berikut: LSM ini berdiri awalnya karena kami dulu hanya lima orang, sama-sama aktif dikegiatan teater kampus di IAIN walisongo, setelah kami lulus pada tahun 1997an, kami masih sering ketemu karena masih tinggal di sanggar, sambil masing-masing mencari kerja. Kemudian, ada salah seorang dari kami yang punya jaringan dengan teman yang bekerja sebagai relawan di desa-desa. Mulai saat itu, lewat teman kami tersebut kami berkenalan dengan aktivis LSM yang tergabung dalam Lakspedam NU, sebuah komunitas muda NU yang saat
127
itu banyak mendapatkan proyek-proyek untuk program-program pengembangan komunitas. Mulai dari itu kami berpikiran untuk mendirikan kelompok seperti mereka. Karena kalau mau ikut menawarkan proyek, bentuknya harus kelompok yang kemudian kami tahu kalau kelompok seperti ini dikenal dengan LSM. Kami memberi nama Lembaga Kajian untuk Transformasi Sosial disingkat LKTS. Dengan kedaraan inilah kami mulai bekerja. Awalnya kami mendapatkan proyek untuk perbaikan sanitasi di daerah-daerah terpencil. Kegiatan ini adalah memetakan sumber-sumber air kemudian mengalirkannya ke penduduk sekitarnya. Di banyak tempat di daerah Boyolali, perbatasan semarang purwodadi banyak sekali dareah yang kalau megambil air bersih harus berjalan lebih dari 2 kilo meter. Kami mulai di daerah wonosegoro, Boyolali. Daerah ini memang sulit didapatkan air bersih untuk keperluan sehari-hari. Air di dapat dari bukit kecil yang jarakya 2 km dari desa itu, sehingga kalau pagi-pagi orang harus berjalan untuk mendapakan air, sore hari juga demikian. Selain itu air didapatkan dari tampunga air hujan dan sungai, tetapi sungai pada musim hujan juga airnya menipis, mereka mengambil dari mbilik yaitu cekungan-cekungan air. Kedatangan kami dalam kondisi ini disambut baik. Pada awalnya memang ada kecurigaan warga, karena daerah ini juga tertutup dengan orang luar tetapi setelah kami menjelaskan maksud kami, mereka secara suka ikut membantu. Kami mulai memetakan mata air yang ada di daerah tersebut, dan dengan warga membuat pipanisasi ke masjid-masjid. Dari masjid-masjid itulah air dialirkan ke rumah-rumah sekitarnya. Program ini mendapat apresiasi dari warga, sehingga kami menjadi dekat dengan mereka. Kami berlima menjadi puas, ternyata dapat memberikan sesuatu kepada masyarakat dalam bentuk yang real. Sesuai dengan cita-cita awal kami pada waktu itu. Dari kegiatan itu, kami mulai merasa lebih siap sebagai sebuah LSM untuk mengerjakan lebih banyak kegiatan. Bekerja sama dengan LSM yang sudah mapan, kami mulai menata administrasi, cara kerja, membangun sekretariat, dll. Dalam perjalannya, LKTS semakin besar dan semakin banyak kegiatannya. Keadaan ini membuat kebutuhan organisasi makin meningkat. Kebutuhan staf meningkat dan akhirnya terakumulasi dengan kebutuhan dana yang juga meningkat. Hal inilah yang membuat kami semakin banyak memerlukan kepastian sumber-sumber dana.
Pada kutipan di atas menunjukkan bahwa kepentingan dari dana yang ada terjadi baik pada sumber-sumber dana ekternal maupun internal. Sumber-sumber dana eksternal bisa berasal dari pemerintah, perusahaan, masyarakat, donor asing, pemerintah asing, LSM lain baik dalam negeri maupun luar negeri. Sedangkan dana internal berasal dari individu yang berada di dalam lingkaran LSM. Hanya saja, bentuk ektrem dari penolakan dana dari individu bisa berupa pemecatan individu tersebut dari keanggotaan/kepengurusan LSM tersebut.
128
Pada saat terjadi ketidakselarasan antara LSM dengan sumberdana selain reideologisasi LSM dan penolakan. Ditengahnya ada proses negosiasi, dalam proses ini hal-hal yang mempengaruhi kekuatan negosiasi LSM adalah: 1.
Militansi ideologi LSM
2.
Kemapanan LSM dalam dana
3.
Kemapanan Kinerja LSM (Prestasi LSM)
Sumberdana terkadang pada posisi yang membutuhkan, sehingga 3 (tiga) hal ini menjadi pertimbangan LSM bisa pada posisi ideologinya. Seperti kutipan wawancara bersama SH (45) aktifis LKTS bidang pengembangan sosial ekonomi berikut ini: LSM dengan mudah bisa keluar dari lingkaran keinginan-keinginan donor apabila mempunyai prinsip yang kuat, tetapi prinsip yang kuat saja tidak menjamin LSM bisa hidup, kecuali memang pihak donor tidak terlalu berkepentingan dengan program kerja, tetapi ini jarang ada. LSM memerlukan kemandirian dana, saya kira LSM dengan sistem pendanaan mandiri lebih bisa mempunyai kekuatan untuk bernegosiasi, dan yang ketiga adalah kualitas kinerja LSM. Semakin bagus kualitas LSM, kinerjanya baik, pengalamannya bagus akan mempunyai posisi tawar yang lebih tinggi.
Kutipan di atas menunjukkan bahwa LSM memiliki posisi tawar yang lebih tinggi apabila memiliki keteguhan terhadap prinsip yang kuat, tidak saja itu, kemapanan finansial, dan kinerja LSM juga menjadi faktor penting. Kekuatan yang bersifat internal ini menjadi modal dalam proses negosiasi dengan donor. 7.2 Dinamika Aksi LSM dan Ideologi LSM Dinamika Ideologi LSM dengan Aksi LSM realitasnya, memiliki dimensi yang berbeda dengan dinamika ideologi terhadap sumberdana. LSM sebagai organisasi yang bergerak di ranah sipil memiliki karakteristik yang khas. Seperti yang 129
dikemukakan oleh Hannam dalam
Siregar (1988) menyimpulkan lima
kepentingan LSM: 1.
NGOs are much closer than the government to the poorer section of society (populism).
2.
NGOs staff are normally highly motivated and altruistic in their behaviour NGOs operate economically (voluentarism)
3.
NGOs is their flexibility, a quality that stems from smallsize and the decentralized nature of decission making structurals.
4.
NGOs independent from the government which gives an opportunity to develop demands for public sevices and resources and thus facilitate to work or individual government departements in rural areas (non comersialism).
LSM memiliki kedekatan dengan objek bagi pembangunan oleh pemerintah atau swasta, LSM juga memiliki aktivis yang bisa menelusup masuk secara lebih dalam tanpa atribut pemerintah dan swasta, memiliki fleksibilitas, dianggap tidak membawa kepentingan kekuasaan, dan memiliki pendekatan aksi yang lebih down to earth. Penulis menemukan, pada aspek pelaksanaan aksi inilah LSM cederung bisa independen. Lebih dari itu, keunggulan inilah yang dinilai oleh pemilik kepentingan untuk memanfaatkan keberadaan LSM. Seperti yang disebutkan oleh AG (45) aktifis LKTS bagian pengembangan internal, sebagai berikut: “Kami masih eksis karena kami mempunyai karakter yang khas dalam metodologi pengembangan masyarakat, kami memiliki pendekatan yang tidak dimiliki oleh pemerintah, kami mampu masuk dalam suatu komunitas, mengorganisir mereka dan melakukan tujuan –tujuan tanpa prosedur yang nljimet dan birokratis”
130
Dinamika ideologi LSM dengan aksi yang dilakukan terjadi pada tiga titik, yaitu proses inisiasi program, pelaksanaan program dan monitoring/evaluasi program. Untuk menjelaskannya akan dijelaskan pada matriks berikut.
Matriks 7. Dinamika Ideologi dan Aksi LSM Ideologi Selaras Tidak Selaras
Inisiasi Sinergi Asinergi, Dinamika: 1. Mengikuti 2. Negosiasi 3. Penolakan
Pelaksanaan Sinergi Asinergi, Dinamika: 1. Mengikuti 2. Negosiasi 3. Penolakan
Monitoring Sinergi Asinergi, Dinamika 1. Mengikuti 2. Negosiasi 3. Penolakan
Sumber: Data Primer diolah, 2008
Matriks diatas menjelaskan dua kemungkian pada tataran idelogi sehingga ada dua kemungkinan pada aspek aksi, yaitu sinergi atau asinergi. Kondisi sinergi terjadi ketika aksi LSM selaras dengan pihak sumberdana, pada kondisi asinergi, ketika terjadi ketidak selaras maka kemungkinannya adalah, LSM akan mengikuti apa yang diingikan sumberdana, kalau tidak akan ada penolakan, ditengah proses itu terjadi negosiasi yang bisa menghasilkan resultan yang lain. 7.3 Pergeseran Orientasi Ideologi Sebagian besar literatur tetang LSM menjelaskan ciri-ciri sekaligus kekuatan lembaga ini sebagai agen yang bisa diharapkan menjadi alternatif pendekatan pembangunan, seperti yang dikemukakan oleh Sheperd (1998), Korten (1987) Hannam dalam Siregar (1988), maupun Fakih (2000). LSM sebagai lembaga yang memiliki kekuatan pada 2 (tiga) ciri utama non-komersialisme dimana LSM merupakan lembaga yang nirlaba atau nonprofit, dan populisme dimana LSM
131
mempunyai keberpihakan kepada masyarakat sipil dengan tujuan untuk mencapai kesejahteraan. Kedua ini LSM pada awal berdirinya memiliki ciri-ciri seperti yang disebutkan diatas. Pada perkembangannya, orientasi ideologi bergeser dengan tren lebih rendah. Seperti yang dikemukakan oleh
SH (45) aktifis LKTS bidang
pengembangan sosial ekonomi sebagai berikut: LKTS pada saat berdiri memiliki aktivis hanya 5 (lima) orang, saat itu memang kita punya minat yang sama. Kita sama-sama aktivis di kampus dan menikmati pekerjaan sebagai aktivis LSM. Setelah LKTS membesar, mulai memerlukan lebh banyak aktivis, atau lebih tepatnya staf, karena mereka bekerja dengan jadwal kerja yang teratur, gaji, dan deskripsi kerja yang jelas. Aktivis direkrut berdasarkan keahlian tanpa harus mensyaratkan memiliki loyalitas terhadap aktivisme. Awalnya tidak pernah terlintas LKTS akan menjadi lembaga yang mencari keuntungan atau menjadi lembaga bisnis. Tetapi perkembangan LKTS dengan banyaknya staf, biaya operasional dan kebutuhan-kebutuhan yang makin besar, maka kami juga harus memikirkan kemandirian. Untuk itulah kami mencoba untuk membuat usaha mandiri. Tetapi itupun sulit, LSM bukanlah lembaga bisnis, aktivisnya juga bukan para wirausaha, oleh karena itu LKTS juga pada posisi sulit pada titik ini. Kegiatan-kegiatan yang ada idak menghasilkan profit langsung. Untuk kegiatan kredit mikro kami memang ada porsi untuk profit LSM sebesar 0,5% dari angsuran KSM tetapi itu sangat kecil, sehingga tidak kami jadikan sebagai solusi bagi kemandirian LSM. Kami sedang menggalang sebuah usaha semacam pembiayaan mikro, ini adalah alternatif bagi anggota KSM untuk mendapatkan dana segar dengan interes yang tidak terlalu tinggi. Sejauh ini, paling tidak, kita sudah punya track record siapa saja anggota KSM yang dipercaya, cara seperti ini juga sudah kita laksanakan walaupun skalanya masih kecil, tapi kelak saya lihat ini cukup berpotensi sebagai salah satu sumber pendanaan LKTS. Komitmen kami kepada masyarakat sebagai bagian dari proses ini adalah yang utama. Masyarakat adalah subjek dari pengembangan mereka. Perlu adanya kesadaran ini bagi para aktivisnya. Tetapi tidak semua aktivis LSM khususnya staf baru yang mempunyai kesadaran yang sama. Orientasi staf yang bekerja adalah penghasilan.
Atau ungapan dengan redaksi yang berbeda dikemukakan oleh FK (39) bidang perencanaan LKTS, sebagai berikut: Dalam perjalannya, LKTS semakin besar dan semakin banyak kegiatannya. Keadaan ini membuat kebutuhan organisasi makin meningkat. Kebutuhan staf meningkat dan akhirnya terakumulasi dengan kebutuhan dana yang juga
132
meningkat. Hal inilah yang membuat kami semakin banyak memerlukan kepastian sumber-sumber dana.
Dari hasil wawancara diatas menunjukkan adanya pergeseran nilai-nilai nonkomersialisme dalam LSM. Pada aspek ini,
LSM
mengalami pergeseran,
awalnya LSM sebagai lembaga yang murni menjadi inisiator pengembangan masyarakat. Karena faktor kebutuhan LSM yang makin besar, dan LSM perlu memastikan sumber-sumber dana. Maka LSM mulai mengembangkan usahausaha penggalangan dana alternatif. LKTS melakukan usaha pembiayaan kredit mikro. Kegiatan ini mirip dengan usaha pembiayaan bank konvensional hanya dengan bunga yang lebih rendah. Kegiatan pembiayaan mikro yang dilakukan juga menjadi indikasi memanfaatkan KSM yang ada sebagai objek dari kegiatan ini. Kondisi ini menggambarkan memudarnya populisme LKTS terhadap masyarakat. Begitu juga yang terjadi dengan LPS, awalnya LPS berdiri sebagai lembaga peneitian dan pengembangan masyarakat kemudian mulai bergeser setelah masuknya bidang produksi dan bisnis yang secara eksplisit adalah bentuk komersialisme LPS karena bertujuan profit baik menjadi distributr bagi produk dari masyarakat, memasarkan hasil penelitian untuk KSM maupun untuk pasar umum. Kondisnya hampir sama dengan LKTS, LPS berawal dari kumpulan aktivis dengan visi yang sama. Setelah makin besar dengan kebutuhan SDM makin banyak dan beragam, LSM tidak lagi melihat visi aktivis sebagai dasar rekrutmen. Profesionalitas lebih menjadi dasar rekrutmen, sementara pada saat yang sama staf aktifis LSM lebih mengukur kinerja dengan gaji. Aktifis LSM tidak memandang
133
visi sebagai dasar utama. Sebagai pekerja dengan deskripsi kerja yang jelas, waktu yang jelas, dan gaji yang jelas. Masuknya ruh bisnis sejak tahun 2004, membuat LSM ini mengalami pergeseran keberpihakan. Awalnya LSM melakukan pengembangan masyarakat, kemudian dengan kegiatan bisnis, LSM menjadikan KSM sebagai pasar penjualan produk pupuk dan pestisida, LSM juga menjadi distributor produk hasil pertanian dari KSM. LSM juga menjadikan keberhasilan KSM sebagai komoditas iklan penjualan produk LPS kepada masyakat umum. Kondisi ini menunjukkan pergeseran orientasi populisme LSM. Seperti yang dikemukakan oleh AG (45) aktifis LKTS bidang pengembangan sosial ekonomi, sebagai berikut: Setelah KSM terbentuk program pertanian organik mulai petani merasakan manfaat yang diperoleh, pertama modal untuk program ini memang dari LPS, didampingi oleh LPS dan hasilnya bisa dikembalikan kepada LPS untuk dijual atau petani yang menjual sendiri. Dari produk yang dihasilkan dan ternyata layak dipasarkan, Pada saat inilah LPS mulai mengembangkan bidang produksi dan bisnis kira-kira sejak tahun 2004. Program inilah yang diharapkan nanti bisa menopang sistem pendanaan di LPS. Alhamdulillah, program ini bisa menghasilkan profit bagi LSM. Kami bisa menjadi fasilitas penjualan untuk produk pertanian organik hasil KSM yang kami bina, kami juga bisa menjual pupuk, pertisida maupun benih kepada KSM dan karenahasilnya sudah terbukti, kami bisa menjualnya ke pasar umum.
Pergeseran orientasi
ideologi yang dijelaskan diatas bisa digambarkan pada
matriks 8 dan gambar 7.
134
Matriks 8. Pergeseran Orientasi Ideologi Independensi LSM Orientasi Ideologi NonKomersialisme
Populisme
Awal LKTS LPS tidak ada kegiatan tidak ada komersial kegiatan (berorientasi profit) komersial dalam kegiatan (berorientasi bersama profit) dalam masyarakat. kegiatan bersama masyarakat
Saat ini LKTS LPS Mulai ada mulai ada kegiatan kegiatan komersial seperti produksi dan surplus kredit bisnis. Kegiatan mikro, ini berorientasi pembiayaan pada pemasaran mikro produk penelitian dan produksi KSM. Kesimpulan: Terjadi pergesaran dengan tren penurunan tingkat nonkomersialisme LKTS dan LPS. kegiatan kegiatan kegiatan kegiatan berorientasi pada berorientasi pada berorientasi pada berorientasi pada peningkatan peningkatan peningkatan peningkatan kesejahteraan kesejahteraan kesejahteraan kesejahteraan masyarakat. masyarakat. masyarakat. masyarakat LSM masih ada. menjadikan Tetapi mulai KSM sebagai beralih menjadi target pasar LSM yang lembaga melakukan pembiayaan aktivitas Bisnis mikro dan memanfaatkan KSM sebagai konsumen produk LSM. LSM juga menjadi distributor produk KSM dengan orientasi profit Kesimpulan: Terjadi pergesaran dengan tren penurunan tingkat populisme LKTS dan LPS
Sumber : Data primer diolah, 2008 Matriks 8. Menjelaskan adanya pergeseran orientasi ideologi LSM baik LPS maupun LKTS. Pada matriks ini, kedua orientasi ideologi ideal LSM (non komersialisme dan populisme) mengalami tren penurunan. Penurunan yang terjadi diakibatkan oleh perjalanan aksi LSM berdinamika dengan berbagai kebutuhan
135
dan kepentingan. LSM dalam aspek orientasi non-komersialisme mengalami pergeseran dari LSM yang awalnya murni gerakan non-profit menjadi lembaga yang berusaha melakukan usaha mandiri (orientasi profit). Untuk kasus LKTS dengan membuka kegiatan kredit pembiayaan mikro sedangkan LPS terang-terangan melakukan usaha bisnis menjual produk penelitian kepada masyarakat dan menjadi distributor dari program KSM. Kegiatan yang bersifat profit dilakukan sebagai salah satu cara untuk mempertahankan keberlangsungan dana LSM. Kegiatan ini juga dimaksudkan untuk melepaskan diri dari ketergantungan finansial kepada donor. Dalam hal populisme juga menurun, keberpihakan awal yang total diberikan kepada masyarakat pada perjalanannya melemah. Untuk LKTS, pada saat awal LSM memang melakukan aksi pengembangan masyarakat dengan perguliran kredit mikro. Dari kegiatan ini LSM bisa mendapatkan data siapa saja anggota KSM yang bisa dipercaya, dari sini ditawarkan dana untuk pemibiayaan (ekstra) dengan mekanisme angsuran dengan tambahan yang lebih besar dibandingkan dengan kredit mikro. Perbedaan antara kredit mikro dengan kredit pembiayaan, adalah pada besarnya dana yang bisa dipinjam, jika kredit mikro berkisar antara Rp 500.000,- maka pembiayaan mikro bisa antara Rp 1.000.000,- hingga Rp 5.000.000,- . Fakta ini menunjukkan terjadi pergesan nilai-nilai populisme LSM. LPS pada awalnya menjadikan KSM sebagai bagian yang melakukan uji coba produk dan diberikan pupuk, pestisida dan benih secara cuma-Cuma. Pada perkembanannya KSM menjadi membeli produk-produk tersebut walaupun dengan harga dibawah pasar. LSM dengan pengalaman KSM sebagai media 136
ujicoba bisa menjual produknya ke pasar dengan dasar kisah sukses yang dialami oleh KSM. LSM juga mendapatkan banyak pengalaman lapang mengenai produkproduk hasil penelitiannya. Fakta ini menunjukkan adanya pergeseran keberpihakan dan kondisi memanfaatkan KSM untuk laboratorium lapang. Sehigga LPS bisa berkembang dengan menjadikan KSM sebagai pasar, menjadikan KSM sebagai produsen, dan KSM sebagai laboratorium lapang. Pada Matriks 8. memperlihatkan bahwa komitmen LSM makin rendah terhadap masyarakat, memperlihatkan juga bahwa aspek non-komersialisme LSM makin meluntur. Hal ini disebabkan karena perkembangan LSM membawa akibat makin besarnya LSM, konsekwensinya bagi LSM adalah meningkatnya jumlah staf, operasional dan kebutuhan lainnya. Dalam kasus LSM tidak ada dana yang bersifat abadi, bahkan proyek-proyek yang dilaksanakan oleh LKTS adalah proyek-proyek jangka pendek. Sehingga LSM perlu mengembangkan strategi pendanaan yang dibahas pada Bab V. 7.4 Independensi LSM Akhirnya independensi LSM dalam penelitian ini bila dilihat dari aspek finansial LSM, aksi LSM kaitannya dengan orientasi ideologi LSM. Bagi LSM, orientasi ideologi yang dimaksud adalah non-komersialisme (LSM sebagai lembaga nirlaba/non profit) dan keberpihakan pada masyarakat sipil (populisme). Hasil analis pada Bab V mengenai aspek finansial LSM menunjukkan bahwa LKTS sebagai LSM yang lebih banyak menerima dana dari donor asing (lihat kembali Tabel. 1) sulit untuk keluar dari lingkaran kepentingan donor. Hal 137
ini ditunjukkan dengan pengelolaan dan monitoring dana yang terikat dengan kepentingan pihak donor (lihat kembali Gambar 5.) Demikian juga pada aspek Aksi, inisiasi, aksi dan monitoring program kegiatan tidak bisa dilepaskan dari kepentingan donor (lihat kembali Matriks 3.) yang menunjukkan besarnya pengaruh donor pada 3 tahapan aksi LKTS. Seperti juga yang diungkapkan oleh SH (45) aktifis LKTS bidang pengembangan sosial ekonomi, sebagai berikut: ...Idealnya kegiatan-kegiatan LKTS memang berasal dari masyarakat, tapi memang sulit untuk memilah aspek inisiasi ini, pertama program dari donor biasanya sudah spesifik... ... Pertanggung jawaban atas dana memang sangat ketat, karena menyangkut pencairan dana. Biasanya, untuk sebuah program uang tidak cair semua-nya di awal, ada termin-termin pencairan yang membuat kami harus jeli membuat target kegiatan, untuk awal program biasanya kami mendapatkan 30%, 30 % apabila progress kegiatan sudah mencapai setengahnya dan diakhir program dengan laporan kami baru bisa mencairkan 40%-nya. Bagi kami degan mekanisme seperti ini perlu juga dana talangan, atau modal kalau perusahaan. Karena dana yang kegiatan seringkali tidak cair di awal kegiatan, bahkan kadangkala harus menunggu 3 tiga sampai 6 bulan kemudian. Ini juga menjadi kendala bagi kinerja LSM, karena LSM harus patuh pada prosedur donor, bahkan juga alur kerja donor... ...Seperti LSM yang lain, LKTS memiliki keunggulan aksi yang dekat dengan masyarakat, kita sering membangun kegiatan dengan kelompok masyarakat secara langsung. Tetapi ada beberapa kegiatan yang sudah jelas petunjuk-nya, tahapan programnya, wilayah, objek, sampai pada target-target yang harus dipenuhi... ...Dalam beberapa program kami mempunyai kewajiban memberikan laporan secara berkala, laporan perencanaan, on going report, dan laporan hasil, sebenarnya laporan tersebut adalah syarat pencairan dana dari donor. Yang biasnya terdiri dari termin-termin. Tetapi untuk program yang tidak terikat kontrak, untuk pelaporan lebih fleksibel. Setiap tahun LKTS juga diaudit oleh auditor independen, biasnya auditor hasil audit ini menjadi semacam profil kepentingan LSM, kalau track record auditnya bagus, maka sebuah LSM akan lebih mudah mendapatkan dana...
Penjelasan di atas menunjukkan besarnya pengaruh donor terhadap kinerja LKTS. Kondisi ini sulit dihindari karena ketergantungan dana terjadi seiring dengan perkembangan LKTS yang makin besar dengan kebutuhan yang semakin besar juga. Pada aspek idelogi, LKTS mengalami pergeseran orientasi ideologi
138
karena kebutuhan yang semakin besar akan staf dengan keahlian tertentu, jaminan kebutuhan dana sehingga masyarakat yang menjadi alternatif yang dapat memenuhi tuntutan kebutuhan tersebut, dengaan menjadikan mereka konsumen dari produk jasa pembiayaan oleh LSM. Bagi LPS dengan sumber dana donor lokal lewat ZISWAF (lihat Tabel 2. Dan Gambar 4.), menghasikan bentuk yang berbeda. Baik pada pengelolaan maupun monitoring dilakukan oleh LSM bukan oleh donor. Pada aspek aksi, pihak donor tidak melakukan intervensi pada tahap inisiasi, aksi maupun monitoring. Kondisi ini menyebabkan LPS dalam pelaksanaan kegiatan lebih bebas. (lihat Gambar 6. dan Matriks 3.), seperti yang diungkapkan oleh SJ (43) kordinator bidang pengembangan masyarakat LPS, sebagai berikut: ...LPS tidak begitu kesulitan dalam hal pendanaan, DD Republika mempunyai track record yang baik dalam menggalang dana. Akuntabilitas DD Republika selalu di laporkan dalam bulletin, booklet, web dan laporan-laporan langsung kepada donatur. Donatur DD Republika meningkat dari tahun ke tahun, hal ini bisa dilihat dari tren Zakat, Infaq dan Shodaqoh yang masuk ke DD Republika. Kegiatan THK (Tebar Hewan Kurban) bisa menjadi cermin yang ideal sistem pendananaan yang cukup baik... ...Pernah kami menerima tawaran untuk melakukan proyek yang didanai oleh lembaga donor. Tapi kami tidak berminat, alasannya, karena prosedurnya yang rumit dan terkesan memaksa. Kami harus membuat semacam proposal untuk diajukan, kemudian proposal itu dipilih, karena kita harus bersaing dengan LSM lain, dari sana ada syarat-syarat yang perlu dipenuhi baik pada aspek perencanaan, pelaksanaan dilapang dan laporannya juga diawasi ketat. Bagi kami, cara demikian kurang sesuai dengan semangat yang kami bangun selama ini... ...LPS dalam perkembangannya bebas menentukan arah kegiatan, kami memilih untuk membuat rencana yang berkesinambungan sehingga hasilnya lebih kuat. Pertama basis penelitian, dilanjutkan dengan pengembangan masyarakat dan dilanjutkan dengan kegiatan produksi dan bisnis. Kegiatan produksi dan bisnis adalah usaha kami untuk mandiri secara finansial, dalam jangka panjang, kegiatan ini akan menjadi sumber utama dana bagi LPS..
139
Penjelasan diatas menunjukkan bahwa ketersediaan dana yang dihimpun dari donatur lokal lewat ZISWAF memberikan keleluasaan bagi LPS untuk mengelola dan mengevaluasi dari guliran dana. Donor dalam hal ini masyarakat yang memberikan dana-dana ZISWAF mempercayakan sepenuhnya pengelolaan dana kepada lembaga ini. Sehingga walaupun sumber dana bukan sumber dana mandiri, LSM bisa sepenuhnya mengelola dan mengevaluasi perguliran dana tersebut. LPS dalam aspek aksi memiliki kebebasan untuk menentukan ide program (inisiasi), pelaksanaan, dan monitoring kegiatan secara penuh bersamasama dengan KSM, donatur mempercayakan aspek ini kepada LPS. Kepercayaan inilah yang membuat LPS bebas menentukan strategi aksi baik dari inisiasi, pelaksanaan
hingga
pelaporan.
Faktor
ini
yang
membuat
LPS
lebih
berkesinambungan dan fokus kepada tujuan yang hendak dicapai yaitu pertanian organik. Pada aspek orientasi ideologi, LPS juga mengalami pergeseran nilainilai non-komersialisme dan populisme yaitu menurunnya nilai-nilai tersebut. Perjalanan aksi LPS yang semakin besar cakupan kerja, area, dan spesifikasi teknis menyebabkan kebutuhan staf yang semakin besar, sehingga tidak semua staf yang direkrut mempunyai visi ideal LSM. Staf-staf ini memiliki hanya memiliki orientasi material (gaji) tidak lagi semangat yang visioner. LPS juga mulai masuk kedunia profit dengan menjual berbagai produk penelitian, baik kepada KSM maupun pasar. LPS juga menjadi distributor (membeli produk) dari petani organik untuk kemudian dijual ke pasar dengan jaringan yang dimiliki oleh LPS. Transaksi-transaksi yang dilakukan oleh LPS dengan KSM menunjukkan nilai-nilai populisme yang meluntur. 140
Penelitian ini mengungkapkan terjadinya pergeseran ideologi LSM baik LKTS maupun LPS (lihat kembali Sub Bab 7.3). Pada aspek ini, faktor internal dalam merespon perubahan yang terjadi (baik pada aspek finansial dan aksi) menjadikan LSM berubah orientasi ideologinya. Pihak donor tidak secara langsung mengintervensi perubahan orientasi ideologi LSM, LSM-lah yang memutuskan pada posisi mana berdiri. 7.5 Implikasi Studi Penelitian ini selain menjawab perumusan masalah penelitian, juga menghasilkan poposisi
tipologi
LSM.
Pembahasan
pada
aspek
finansial
dan
aksi
mengidentifikasi adanya 2 tipe LSM yaitu LSM yang independen pada aspek finansial yang biasanya juga independen dalam aspek aksi, dan LSM yang idak independen, dalam proposisi ini dibedakan menjadi LSM dengan independensi finansial rendah dan tinggi. Pada aspek ideologi, LSM terdiri dari 2 tipe yaitu LSM yang tidak mengalami perubahan orientasi ideologi dan LSM yang mengalami perubahan orientasi ideologi. Dua tipe ini apabila disilangkan kan membentuk 4 kuadran/tipologi LSM.
141
Matriks 9. Independensi LSM LKTS dan LSM LPS Independensi
Aksi Dependen (inisiasi, pelaksanaan dan monitoring program)
Aksi Independen (inisiasi, pelaksanaan dan evaluasi program)
Finansial Rendah Tipe I Memiliki ciri-ciri sumber-sumber dana tergantung kepada donor dan kegiatannya terikat dengan kepentingan donor Dalam penelitian ini LKTS lebih mendekati tipe ini Tipe III Memiliki ciri-ciri sumber-sumber dana tergantung pada sumbersumber dana tetapi memiliki independensi terhadap pengelolaan dana Dalam penelitian ini LPS lebih mendekati tipe ini.
Finansial Tinggi Tipe II Memiliki ciri-ciri sumbersumber dana tidak tergantung kepada donor dan kegiatannya terikat dengan kepentingan donor Tipe IV Memiliki ciri-ciri sumbersumber dana tidak tergantung kepada donor dan idependen terhadap pengelolaan dana
Sumber : Data primer diolah, 2008
Posisi dua LSM ini, berada pada kuadran yang berbeda, LKTS berada pada kuadaran independensi finansial rendah dengan ketergantungan dalam aspek aksi di lapang. Sementara LPS pada posisi independensi finansial rendah tetapi memiliki independensi dalam menginisiasi, melaksanakan dan mengevaluasi aksi di lapang. LKTS tidak mandiri dalam aspek finansial dan tergantung pada donor, sedangkan LPS walaupun secara finansial tidak mandiri, dana yang dihimpun secara bebas dapat dikelola dalam aksi LPS di lapang. Perbedaan ini disebabkan oleh karakteristik dana yang didapatkan. Dana yang dihimpun dari masyarakat tidak mempunyai kepentingan yang tinggi, sementara dana dari donor asing tidak lepas dari kepentingan-kepentingan. Matriks ini tidak memberikan penjelasan mengenai pergeseran ideologi LSM. Perubahan orientasi ideologi LSM dalam penelitian ini tidak secara langsung sebagai akibat hubungan antara LSM dan donor. Tetapi lebih dari itu, dinamika
142
perjalanan LSM baik secara internal dan eksternal telah memberikan corak yang lain pada orientasi ideologi yang diemban oleh lembaga ini. Kebutuhan yang perlu dipenuhi oleh LSM untuk bisa eksis dan menjadi lembaga yang represntatif bagi anggota dan masyarakat menjadi bagian penting dari proses bergesernya orientasi ideologi LSM.
143
BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN 8. 1 Kesimpulan Penelitian ini mengungkapkan bahwa kepentingan donor menyebabkan ketergantungan pada LKTS pada aspek finansial dan aksi, dalam hal ini LKTS dependen
terhadap lembaga donor. Sementara untuk LSM LPS,
kepentingan donor tidak memberikan pengaruh terhadap aksi LSM artinya LSM independen terhadap donor. LKTS selain tergantung secara finansial, lembaga ini juga tergantung dalam aksi baik dari aspek inisiasi, pelaksanaan maupun evaluasi. Sedangkan LPS walaupun sumber dana dari luar (dana masyarakat) tetapi pengelolaan dan evaluasi atas dana sepenuhnya menjadi wewenang LPS (Independen), LPS bebas melakukan inisiasi, melaksanakan, dan evaluasi atas program yang dibangun bersama KSM. Perbedaan independensi LSM pada aspek finansial dan aksi di atas muncul dari karakteristik donor, dimana LKTS menghimpun dana dari donor asing dengan agenda kepentingan yang lebih besar dan LPS menghimpun dana masyarakat secara partisipatif dengan kepercayaan pengelolaan kepada LPS. Perubahan kepentingan donor menyebabkan perubahan fokus kegiatan LSM seperti yang dilakukan oleh LKTS. Perubahan kepentingan donor tidak terjadi pada LPS. LPS menolak masuknya donor diluar dana masyarakat dari ZISWAF, sehingga fokus kegiatan bisa lebih berkelanjutan. Faktor yang mempengaruhi pergeseran independensi LSM selain kepentingan donor
144
adalah faktor kekuatan internal LSM. Faktor tersebut adalah: 1. Militansi ideologi LSM, 2.Kemapanan LSM dalam dana, 3. Kemapanan Kinerja LSM (Prestasi LSM) menjadi variabel kepentingan LSM dalam negosiasi atas kepentingan donor. Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa perubahan orientasi ideologi LSM tidak secara langsung sebagai akibat hubungan antara LSM dan donor. Pergeseran orientasi
ideologi LSM lebih disebabkan oleh meningkatnya
kebutuhan LSM dan pengalaman LSM untuk memiliki pendanaan mandiri. Kebutuhan LSM yang dimaksud adalah kebutuhan keuangan yang semakin besar karena meningkatnya aktifitas LSM. Kebutuhan tersebut perlu dipenuhi oleh LSM untuk bisa eksis dan menjadi lembaga yang represntatif bagi anggota dan masyarakat. Dalam perspektif pendekatan pembangunan, LSM tidak serta merta menjadi organisasi gerakan sosial yang mampu mewujudkan mimpi kesuksesan pendekatan bottom up. LSM memiliki platform awal berdiri sebagai lembaga yang independen dari kepentingan luar dan membawa kepentingan sipil (civil sphere) mempunyai masalah ketergantungan pada donor di bidang finansial dan aksi dan LSM juga mengalami pergeseran orientasi ideologi. 8.2 Saran Penelitian ini perlu dikembangkan pada LSM dengan tipologi lebih beragam. Misalnya LSM yang bekerja untuk pemerintah, LSM yang bekerja untuk swasta
145
(perusahaan) lokal dan swasta (perusahaan) asing. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai dinamika ini secara kuantitatif, perlu juga memperdalam penelitian pada aspek finansial, aksi dan ideologi. Khusus untuk aspek idelogi perlu lebih dalam dipahami secara kualitatif dengan melakukan studi kesejarahan LSM di Indonesia.
146
DAFTAR PUSTAKA Billah, M.M. dan Nusantara, Abdul Hakim G. 1988. Lembaga Swadaya Masyarakat di Indonesia Perkembangan dan Prospeknya. Prisma No 4, Tahun XVII. LP3ES. Jakarta _________, 2000. Perkembangan Ornop di Indonesia. Proceeding Seminar Wawasan LSM di Indonesia. SMERU. Jakarta Budiman, A. 1988. Menampung Aspirasi Masyarakat Lapisan Bawah. Prisma No 4, Tabun XVII. LP3ES. Jakarta BPS, 2008. http://www.bps.go.id/releases/files/kemiskinan-01jul08.pdf
.
Cardoso, FH. 1982. Dependency and Development in Latin America in Introduction to The Sociology of Developing Countries. Monthly Review Express. New York Christenson, J. A. and Jerry W. R.. 1989. Community Development in Perspective. Iowa State University Press. Iowa Chapin,
M. 2004. A Challenge November/December. Pp. 17-31
To
Environmentalists.
World
Watch
CPSM. 1993. Gerakan Transformasi Sosial Untuk Menegakkan Kedaulatan Rakyat di dalam Masyarakat Sipil yang Kokoh. Fajar Baru. Jakarta Culla, A.S. 2006. Rekonstruksi Civil Society; Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia. LP3ES. Jakarta . Daldjoeni, N dan Suyitno, A. 1986. Pedesaan, Lingkungan dan Pembangunan.Penerbit Alumni. Bandung Dharmawan, A.H. 2001. Farm Household Livelihood Strategies and Socio-Economics Changes in Rural Indonesia. Wissenchaftsverlag Vauk. Kiel Dharmawan, A. H. 2002. Modul Pengembangan Komunitas Pedesaan Berkelanjutan. Program Magister Profesional Pengembangan Masyarakat. Sosek. Institut Pertanian Bogor. Bogor Drabek, A. 1987. Development alternatives: The challenge for NGOs.World Development. Vol 15. Pp 221-245 Eldridge, P. J.1989. LSM dan Negara. Prisma No.7. LP3ES. Jakarta Eldridge, P. J. 1995. Non-Government Organisation and Democratic Participation in Indonesia. Oxford University Press. Oxford Eyerman, R dan Jamison, A. 1995. Social Movement. Smelser (eds). Media, Culture & Society. Pp. 449-468
147
Fakih, M. 2000. Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial: pergolakan ideologi LSM Indonesia. Pustaka Pelajar. Yogyakarta Federke, J et al . 1999. Economic Growth and Social Capital: A critical Reflection. Kluwer Academic Publishers. Netherlands Frank, A.G. 1973. The Development of Underdevelopment in C.K Wilber The Political Economy of development. Random house. New York Freire, P. 1984. Pendidikan, Pembebasan, dan Perubahan Sosial. Penerbit Sangkala Pulsar. Jakarta Galtung, J. 1980. A Structural Theory of Imperialism in Dialectics of third World Development. Montelair. New York. Glen, A. 1993. Methods and Themes in Community Practice. In Butcher, H et al .(eds) Community And Public Policy. London Garcia, J. 1985. Can Participative Planning and management Be Institutionalized in Developing Countries? In Public Participation in Development Planing and Management Cases from Africa and Asia, by Jean Calude Garcia-Zamor (edited). London: Westivew Press Hannam, P. 1988. Pengembangan Bentuk Pembangunan Alternatif: Pengalaman LSM di Indonesia, Prisma, No. 4 Ismawan, B. 2002. Pemberdayaan Orang Miskin. Puspa Swara. Jakarta
Ibrahim, Rustam (2000). Direktori Organisasi Sumberdaya Masyarakat Sipil: Indonesia. The SynergosInstitute. Series on Foundation Building in Southeast Asia. Ife, J. 1995. Community Development, Creating community alternatives-vision, analysis and practice. Longman House. Melbourne Jenkins, J. C. 1983. Resource Mobilization Theory and The Study of Social Movements. Annual Review of Sociology. Vol. 9, pp 193-234 Johnson, D. PI. 1981. Sociological Theory Classical Founders and Contemporary Perspectives. John Wiley & Son. New York Korten, 1987. Third Generation NGO Strategies: A Key to People-Centered Developmen. World Development, Vol. 4. Pp 29-61 Lippit, R. 1985. Planed Change. Harcourt: Brace and World, Inc. Martell, L. 1994. Social Movement and Social Change. C. University. New York Nordholt. 1987. LSM dan Negara. Prisma. No. 3, Tahun XVI. LP3ES. Jakarta
148
Petras, J. Dan Veltemeyer, H. 2002. Imperialisme Abad 21. Kreasi Wacana. Yogyakarta Rostow, W.W. 1964. The Stages of Economic Growth: A Non Communist Manifesto. Cambridge University Press. New York Santos, D. 1970. The Structure of Dependence. American Economic Review, volume 3, pp 123-145 Stepan, A.C. 1978. The State and Society, Peru in Comparative Perspective. Pricenton University Press. New Jersey Sajogyo. 1982. Modernization Without Development. The Journal of Social Studies. Bacca, Bangladesh Shepherd, A.1998. Sustainable Rural Development. Macmillan. Basingstoke. London Siregar, A. E. 1988. Pertumbuhan dan Pola Komunikasi LSM/LPSM. Prisma No 4, Tahun XVII. LP3ES. Jakarta Sztompka, Piotr. 1993. Sosiologi Perubahan Sosial.Pernada Media.Jakarta Sugiyanto. 2002. Lembaga Sosial. Global Pustaka Uta ma. Yogyakarta Sunarto, K. 2000. Pengantar Sosiologi. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Idonesia. Jakarta Tribowo, D. 2006. Gerakan Sosial; Wahana Civil Society bagi Demokratisasi. Pustaka LP3ES. Jakarta Ufford, PQ. dan Giri, AK. 2002. Kritik Moral Pembangunan. Kanisius. Jakarta. Uhlin. 1997. Oposisi Berserak: Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia. Penerbit Mizan. Bandung Uphoff. N. 1986. Local Institutional Development: An Annual Sourcebook, with Cases. Kumarian Press. West Hartford Walhi. 2001. Mencoba Tegar di Tengah Badai Transisi, Laporan Tahunan Walhi. Dokumen Laporan. Jakarta Walhi. t.thn. Manifesto WALHI: Metamorfosa Gerakan Lingkungan Hidup Indonesia. Jakarta
149
LAMPIRAN 1. DAFTAR PERTANYAAN PENELITIAN (66 PERTANYAAN WAWANCARA) “Dinamika Independensi LSM ditengah Kepentingan donor” Tentang LSM (11 pertanyaan) 1.
Apa latar belakang berdirinya LSM ini?
2.
Apa fokus awal LSM ini berdiri?
3.
Siapa yang memprakarsai berdirinya LSM ini?
4.
Kapan dan Di mana LSM ini didirikan?
5.
Dari mana pendanaan awal berdirinya LSM?
6.
Berapa staf LSM ini?
7.
Apa latar belakang masing-masing staf?
8.
Bagaimana struktur organisasinya?
9.
Bagaimana kepengurusan terbentuk?
10. Apakah struktur kepengurusan berjalan sesuai deskripsi kerjanya? 11. Siapa yang menjadi target kerja LSM ini?
Tentang Finansial LSM (13 pertanyaan) 1.
Darimanasajakah sumberdana LSM?
2.
Apakah LSM ini menerima dana dari pemerintah?
3.
Apakah LSM ini menerima dana dari perusahaan?
4.
Apakah LSM ini menerima dana dari LSM lain?
5.
Apakah LSM ini menginduk LSM lain?
6.
Berapa besar proporsi dari masing-masing sumber dana? 150
7.
Apakah LSM ini menarik dana dari masyarakat?
8.
Apakah LSM ini menarik dana dari pengurus?
9.
Apakah LSM ini mempunyai bidang usaha mandiri?
10. Bagaimana perkembangan pendanaan LSM ini dari sejak berdiri hingga sekarang? 11. Apakah LSM ini mempunyai sumberdana tetap? 12. Apakah LSM ini mempunyai harapan mempunyai dana mandiri dengan mempunyai sayap usaha mandiri yang bersifat profit? 13. Apa bentuk usaha mandiri tersebut?
Aksi LSM (25 pertanyaan) Inisiasi (6 pertanyaan) 1.
Dari manakah biasanya ide kegiatan muncul?
2.
Apakah LSM ini biasa melakukan tender project tertentu?
3.
Bagaimanakah LSM menempatkan masyarakat dengan segala pengetahuan dan kebutuhannya?
4.
Sejak LSM berdiri apasajakah kegiatan yang pernah dilakukan?
5.
Dari kegiatan yang ada, apa saja kegiatan yang diinisiasi oleh LSM, oleh lembaga donor, dan oleh masyarakat?
6.
Apakah LSM ini melakukan studi pemetaan masalah ditengah-tengah masyarakat?
Pelaksanaan (Petunjuk Teknis-Petunjuk Pelaksanaan) (8 pertanyaan) 1.
Dalam
melakukan
kegiatan,
siapakah
yang
membuat
petunjuk
teknis/pelaksanaan kegiatan? 2.
Dalam pelaksanaan proyek yang didanai eksternal siapa yang biasanya
151
membuat juknis/juklaknya? 3.
Apakah LSM ini mempunyai prosedur kerja yang baku?
4.
Sejak kapan LSM ini mempunyai prosedur kerja baku, dan atas ide siapa?
5.
Apakah LSM ini mempunyai fleksibilitas dalam pelaksanaan kegiatan?
6.
Siapa sajakah yang biasanya melakukan aktivitas kegiatan?
7.
Apakah LSM ini biasa mengambil ‘volunter’ tambahan untuk proyek tertentu?
8.
Apakah ada pelatihan khusus pada setiap proyek yang tergolong baru/kompleks?
Monitoring (11 pertanyaan) 1.
Apakah LSM ini diaudit?
2.
Siapakah yang melakukan audit?
3.
Apa sajakah yang biasanya dilaporkan?
4.
Kepada siapa LSM ini melaporkan hasil kegiatan?
5.
Apakah laporan menjadi instrument penting?
6.
Selama ini, dalam bentuk apa laporan dibuat?
7.
Apakah lembaga donor berkepentingan dengan laporan kegiatan?
8.
Apa fungsi laporan bagi LSM ini?
9.
Apakah hasil-hasil kegiatan dipublikasikan?
10. Selama ini, apasajakah publikasi yang pernah dibuat? 11. Apakah publikasi yang ada dijual?
152
Ideologi (17 pertanyaan) 1.
Apa tujuan LSM ini didirikan?
2.
Fokus kegiatan selama ini apakah sudah menjawab tujuan yang diharapkan?
3.
Bagaimana rekrutmen pengurus dilakukan?
4.
Apakah pengurus/staf digaji?
5.
Apakah ada standar tertentu dalam menentukan gaji?
6.
Kegiatan apa saja yang menjadi prioritas?
7.
Apakah ada/tidaknya dana dalam satu isu mempengaruhi kegairahan LSM ini?
8.
Dalam perubahan rejim pemerintahan, apakah LSM ini secara dinamis juga ikut berubah pada orientasi ideologinya?
9.
Bagaimana LSM ini melakukan pilihan atas isu yang hendak disikapi?
10. Dalam bentuk apasaja sikap LSM menghadapi isu yang ada? 11. Apakah pernah aktivis LSM ini aktif pada LSM lain? 12. Apa isu yang digarap LSM lain tersebut? 13. Apakah ada aktivis LSM ini mendirikan LSM baru? 14. Apa isu LSM baru tersebut? 15. Sejauhmana LSM ini konsisten dengan fokus kajian yang ditekuni sejak awal? 16. Apakah ada pergeseran fokus kajian? 17. Bagaimanakah aktivis LSM menekuni bidang yang menjadi focus kajian?
153
LAMPIRAN 2. Produk-produk yang telah diproduksi LPS: 1.
Vitura (Sl-NPV gen II, pengendali hama ulat)
2.
Virexi (Se-NPV gen II, pengendali hama ulat)
3.
VIR-L (Sl-NPV gen I, pengendali hama ulat)
4.
VIR-X (Sl-NPV gen I, pengendali hama ulat)
5.
OFER (Kompos)
6.
TOP SOIL (Media tanam)
7.
PASTI (botanical pesticide)
8.
Produk-produk yang masih dalam pengembangan (rancang bangun);
9.
NPS (Nematoda Pengendali Serangga)
10. Tricoderma 11. Gliocladium 12. Pupuk Cair 13. Beras SAE dan OFER yang diproduksi oleh cluster/mitra tani LPS-DD.
154