51
INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN DALAM UPAYA PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA oleh : Lukman Hakim, S.H1 Abstract Judicial independently authority as desired effect of the UUD 1945 constitution independent of government power in an effort to guarantee and protect freedom the peoples of possibility arbitrary of government. This means, the presence of an independent judicial authority is a „conditio sine quanon‟ to realize of state law, guaranteeing the freedom and control over how the state government. An independent judicial authority does not mean that judicial authority can be exercised freely without signs monitoring. Substantive law is a normative limits on freedom of judicial authority that is relative, because it the judge can deviate substantive law. Adjective law or procedural law is the normative limits on freedom of absolute judicial authorities, because it is procedural law must be implemented and should not be deviated by the judge in carrying out the duty judge, to examine and decide a case. Violations of the law of procedure resulted invalidity of the judge's decision. Key words: independence, judicial, normative limits
I. Pendahuluan
Negara Hukum (rechts staat) tidak asing lagi dalam ilmu pengetahuan ketatanegaraan sejak zaman purba hingga sekarang ini. Hanya di dalam praktek ketatanegaraan orang masih menyangsikan apakah negara hukum itu sudah dilaksanakan sepenuhnya. Hal ini dapat dimengerti karena dalam praktek, pengertian yang bersih menurut teori, masih perlu diperhitungkan dengan faktorfaktor yang nyata yang hidup dalam masyarakat menurut waktu dan tempat. Karena itu tidaklah mengherankan, sebab cita-cita yang universal mengenai negara hukum yang diletakkan dalam konstitusi sering dilanggar dalam praktek. Jika keadaan semacam ini terus-menerus terjadi, maka negara hukum hanya bersifat formil, sedangkan kenyataan yang hidup sudah jauh menyimpang daripada yang dituliskan dalam konstitusi seolah-olah negara hukum ini hanya suatu mitos saja yang belum pernah terbukti dalam sejarah ketatanegaraan.
1
Lukman Hakim adalah Mahasiswa Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Islam As-Syafi‟iah Jakarta).
52
Kita tahu bahwa di dalam sebuah negara hukum, ia memiliki ciri – ciri yang antara lain dikemukakan oleh Prof. DR. Sudargo Gautama, SH. yang menyatakan bahwa ada 3 ciri-ciri atau unsur-unsur dari negara hukum, yakni:2 a. Terdapat pembatasan kekuasaan negara terhadap perorangan, maksudnya negara tidak dapat bertindak sewenang-wenang. Tindakan negara dibatasi oleh hukum, individual mempunyai hak terhadap negara atau rakyat mempunyai hak terhadap penguasa. b. Azas Legalitas Setiap tindakan negara harus berdasarkan hukum yang telah diadakan terlebih dahulu yang harus ditaati juga oleh pemerintah atau aparaturnya. c. Pemisahan Kekuasaan Agar hak-hak azasi itu betul-betul terlindung adalah dengan pemisahan kekuasaan yaitu badan yang membuat peraturan perundang-undangan, melaksanakan dan mengadili harus terpisah satu sama lain tidak berada dalam satu tangan. Para jurist Asia Tenggara dan Pasifik seperti tercantum dalam buku “The Dymanics Aspects of the rule of law in the Modern Age”, mengemukakan syarat rule of law sebagai berikut:3 a. Perlindungan konstitusional dalam arti bahwa konstitusi selain daripada menjamin hak-hak individu harus menentukan pula cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin; b. Badan Kehakiman yang bebas dan tidak memihak; c. Kebebasan untuk menyatakan pendapat; d. Pemilihan umum yang bebas; e. Kebebasan untuk berorganisasi dan beroposisi; f. Pendidikan civic (kewarganegaraan). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum.4 Dengan demikian UUD 1945 dengan tegas mengakui supremasi hukum di Negara Republik Indonesia. Dengan kata lain konstitusi UUD 1945 telah menempatkan hukum dalam posisi yang 2
Didi Nazmi Yunas, Konsepsi Negara Hukum, Angkasa Raya, 1992. ibid 4 UUD 1945, Pasal 1 ayat (3), “Negara Indonesia adalah negara hukum”. 3
53
supreme dan menentukan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Makna yang terkandung dalam negara hukum bahwa dalam membangun sistem hukum harus dapat mewujudkan cita-cita negara hukum, yaitu mewujudkan supremasi hukum dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta jaminan perlindungan hukum terhadap hak dan kepentingan masyarakat warganegara. Supremasi hukum berarti bahwa hukum merupakan kaidah tertinggi untuk mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Di samping itu, supremasi hukum juga berarti bahwa penggunaan kekuasaan untuk menjalankan kehidupan ketatanegaraan dan pelaksanaan pemerintahan harus berdasarkan kepada aturan hukum, maka jika tanpa landasan hukum, kekuasaan tidak memiliki legalitas. Kekuasaan memiliki arti penting bagi hukum, sebab kekuasaan tidak
saja
merupakan instrumen pembentukan hukum (law making), tetapi juga merupakan instrumen penegakan hukum (law enforcement) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hukum juga memiliki arti penting bagi kekuasaan karena hukum dapat berperan sebagai sarana legalisasi bagi kekuasaan formal lembaga-lembaga negara dan unit-unit pemerintahan, serta pejabat negara dan pemerintahan. Legalisasi kekuasaan itu dilakukan melalui penetapan landasan hukum bagi kekuasaan melalui aturan-aturan hukum, di samping hukum dapat pula
berperan
mengontrol
kekuasaan
sehingga
pelaksanaannya
dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum. Dalam penegakan hukum, asas negara hukum menghendaki kekuasaan kehakiman yang merdeka terlepas dari pengaruh pemerintah atau kekuasaan lain. Kekuasaan kehakiman menurut UUD 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Sebagai implementasi Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman di samping Mahkamah Agung, seperti dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 24 tahun 2004, tentang Mahkamah Konstitusi. 54
II. Rumusan Masalah
Pokok pembahasan dalam studi ini mendeskripsikan konsep pemikiran teoritisakademis batas-batas normatif independensi kekuasaan kehakiman dalam upaya penegakan hukum di Indonesia. III. Landasan Teori
Metodologi dimaksud adalah cara-cara untuk memperoleh informasi atau bahan yang diperlukan dalam studi ini. Metodologi penelitian ilmiah adalah ”... the process, principles and prodecures by which approach problems and seek answers. In the social sciene, the term applies to how to conduct research”.5 Metodologi pada hakikatnya berusaha untuk memberikan pedoman tentang caracara seorang ilmuwan untuk mempelajari, menganalisa dan memahami lingkungan-lingkungan yang dihadapinya. Sedangkan yang dimaksud dengan penelitian ialah usaha untuk menghimpun serta menemukan hubungan-hubungan yang ada antara fakta-fakta yang diamati secara seksama. Apabila dikaitkan dengan ilmu hukum, maka penelitian ilmiah merupakan sarana untuk dapat mengembangkan ilmu hukum. Ilmu hukum mencakup kegiatan mengadakan analisa dan konstruksi secara sistematis, konsisten dan tepat, terhadap gejala atau peristiwa-peristiwa hukum dalam perkembangan dan perubahan sosial di dalam masyarakat. Studi ini merupakan studi hukum yang bersifat deskriptif-teoritis-analitis, mendeskripsikan konsep independensi kekuasaan kehakiman dalam upaya penegakan hukum di Indonesia, kemudian dianalisa secara teoritis-akademis. Metode pengkajian yang digunakan adalah kombinasi antara metode kajian normatif dan metode kajian teoritis, dengan bantuan teori-teori yang relevan untuk mengantar pada kegiatan analisa konsep independensi kekuasaan kehakiman dalam upaya penegakan hukum di Indonesia. IV. Pembahasan
Sejak awal kemerdekaan, the founding fathers (para pendiri) negara kesatuan Republik Indonesia, telah memiliki komitmen kuat mewujudkan kekuasaan 5
Robert Bogdan and Steven J. Taylor, Introduction to Qualitative Research Methods, (New York: John Wiley & Sons, 1975), hlm.14.
55
kehakiman yang bebas dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Komitmen ini secara tegas tercantum dalam penjelasan pasal 24 UUD 1945 yang menyatakan, kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Begitupun dalam penjelasan Pasal 1 UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman yang menyebutkan bahwa “ Kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali dalam hal-hal sebagaimana di sebut dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk menegakan hukum dan keadlian berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.“6 Komitmen tersebut merupakan perwujudan tekad para pendiri negara untuk menjadikan Indonesia sebagai negara hukum modern, yang menganut kaedah-kaedah paham negara modern yang konstitusional. Keberadaan kekuasaan kehakiman tersirat dalam Montesquieu yang membagi kekuasaan negara ke dalam tiga jenis kekuasaan yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif (Judisial). Kekuasaan kehakiman adalah salah satu bagian dari kekuasaan negara yang harus bebas dan mandiri agar dapat mengontrol kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif. Dengan demikian kekuasaan kehakiman akan dapat menyatakan secara hukum sah atau tidaknya tindakan pemerintah demi perlindungan terhadap hak-hak masyarakat. Pengertian kekuasaan kehakiman yang bebas dan mandiri berdasarkan buku Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct) yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia memuat serangkaian prinsip-prinsip dasar sebagai moralitas dan wajib dijunjung tinggi oleh para hakim Indonesia baik di dalam maupun di luar kedinasannya.7 Bersikap Mandiri termasuk dalam pengertian ini adalah kata bebas. Prinsip ini bermakna bahwa kemampuan bertindak sendiri 6
Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Yogyakarta: Lintang Pustaka,2006), h. 28. 7 Mahkamah Agung R.I, Pedoman Perilaku Hakim, (Jakarta: Mahkamah Agung, 2006), hlm. 22.
56
tidak tergantung pada pihak lain, bebas dari campur tangan, dan bebas dari pengaruh siapapun. Kebebasan peradilan adalah prasyarat terhadap aturan hukum dan suatu jaminan mendasar atas suatu persidangan yang adil. Oleh karena itu seorang hakim harus menegakkan dan memberi contoh mengenai kebebasan peradilan, baik dalam aspek perorangan, struktur, maupun kelembagaan. Penerapannya antara lain: 1. Seorang hakim wajib menjalankan tugas judisialnya secara bebas atas dasar fakta-fakta dan bebas dari pengaruh luar, bujukan, tekanan, ancaman baik langsung maupun tidak langsung. 2. Seorang hakim wajib bebas dari hubungan yang tidak patut dengan lembaga eksekutif maupun legeslatif serta kelompok lain yang berpotensi mengancam kemandirian (independesi) hakim dan badan peradilan. 3. Seorang hakim wajib babas dari segala bentuk tekanan dalam pengambilan keputusan. 4. Seorang hakim wajib berperilaku baik guna memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap badan peradilan. Asas kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagai salah satu sendi penyelenggaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidak dapat dipisahkan dari asas bahwa negara Indonesia adalah negara berdasarkan konstitusi dan negara hukum. Untuk memahami asas kekuasaan kehakiman yang merdeka, tidak terlepas dari doktrin Montesquieu mengenai tujuan dan perlunya „pemisahan‟ kekuasaan, yaitu untuk menjamin adanya dan terlaksananya kebebasan politik anggota masyarakat negara. Montesquieu memberikan arti kebebasan politik sebagai "a tranquility of mind arising from the opinion each person has of his safety. In order to have this liberty, it is requisite the government be so constituted as one man need not be afraid of another".8 Kebebasan politik ditandai adanya rasa tenteram, karena setiap orang merasa dijamin keamanannya atau keselamatannya. Untuk mewujudkan kebebasan politik tersebut maka badan pemerintahan harus ditata sedemikian rupa agar orang tidak merasa takut padanya, 8
Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, (Bandung: LPPMUNISBA1995), hlm.3.
57
seperti halnya setiap orang tidak merasa takut terhadap orang lain di sekitarnya. Penataan badan negara atau pemerintahan yang akan menjamin kebebasan tersebut, menurut Montesquieu dilakukan dengan cara pemisahan badan pemerintahan ke dalam tiga cabang kekuasaan. Tanpa pemisahan itu, maka tidak akan ada kebebasan. Dikemukakan oleh Montesquieu dalam „The Spirit of The Laws‟ dalam doktrin separation of power, ”Apabila kekuasaan kehakiman digabungkan dengan kekuasaan legislatif, maka kehidupan dan kebebasan seseorang akan berada dalam suatu kendali yang dilakukan secara sewenang-wenang. Di lain pihak, kalau kekuasaan kehakiman bersatu dengan kekuasaan eksekutif, maka hakim mungkin akan selalu bertindak semena-mena dan menindas.9 Dengan demikian, ditinjau dari ajaran separation of power, kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan bagian dari upaya untuk menjamin kebebasan dan mencegah kesewenang-wenangan, sebagai suatu „conditio sine quanon‟ bagi terwujudnya negara hukum, terjaminnya kebebasan serta pengendalian atas jalannya pemerintahan negara. Negara hukum atau rechtsstaat merupakan penamaan yang diberikan oleh para ahli hukum pada permulaan abad ke-20 terhadap gagasan konstitualisme.10 Konsep negara hukum yang digunakan pada masa awal abad ke-21 ini sebenarnya adalah konsep negara hukum formal yang muncul pada abad ke-19 dan berkembang menjadi gagasan mengenai negara hukum material yang dikenal dewasa ini. Menurut Carl J. Friedrich sebagaimana dikutip oleh Miriam Budiardjo:11 “Gagasan bahwa pemerintah merupakan suatu kumpulan aktivitas yang diselenggarkan atas nama rakyat, tetapi yang tunduk kepada beberapa pembatasan yang dimaksud untuk memberi jaminan bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk memerintah itu tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah. Setelah abad ke-20 terjadi perubahan
9
Ibid Moh. Mahfud. MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Studi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan, (Yogyakarta: Liberty, 1993), hlm. 27 11 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1985), hlm. 58. 10
58
dalam gagasan mengenai negara hukum sehingga timbul pemikiran yang mengenai negara hukum modern”. Salah satu ciri negara hukum adalah adanya kebebasan dan kemandirian dari kekuasaan
kehakiman
terutama
dalam
fungsinya
untuk
menegakkan
hukum dan keadilan. Dalam pengertian lain, kebebasan berarti kekuasaan kehakiman dalam menjalankan tugasnya tidak dipengaruhi oleh badan eksekutif
ataupun
menjalankan aturan
kekuasaan
tugasnya
hukum
Kemandirian
dan
badan
dalam
kekuasaan
nilai-nilai
kekuasaan
lain
etika
kehakiman
yang
kehakiman
masyarakat.
hidup
berarti
Dalam
berpedoman dalam
keberadaan
pada
masyarakat. dari
badan
kekuasaan kehakiman itu tidak tergantung pada badan eksekutif atau badan legislatif. Badan kekuasaan kehakiman itu keberadaannya dijamin oleh konstitusi.
Dalam
mempunyai
persepektif
kontrol
terhadap
liberal
badan
pelaksanaan
kekuasaan
kekuasaan
kehakiman
negara
yang
dijalankan oleh badan eksekutif dan badan legislatif sebagai pelindung hak-hak
dasar
manusia,
badan
kekuasaan
kehakiman
diberikan
kewenangan untuk meninjau kembali undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.12 Dengan
demikian,
kehakiman Dalam
dapat
dikatakan
kenyataannya
bekerjanya
pandangan
tentang
merupakan
perkembangan
kekuasaan
tersebut
kebebasan pandangan
kekuasaan
dipengaruhi
kekuasaan yang
kehakiman
oleh
ideal.
dan
faktor-faktor
cara politik,
sejarah, sosial, budaya dan perkembangan ekonomi, serta tidak kalah pentingnya sumber yang
daya
manusia.
berbeda-beda
Faktor-faktor
yang
itulah
berpengaruh
yang
pada
melahirkan
kedudukan,
kondisi
peran,
dan
cara bekerjanya kekuasaan kehakiman di tiap-tiap negara. Tidak akan ada kekuasaan
kehakiman
kehakiman
tidak
Apabila
kekuasaan
yang
dipisahkan kehakiman
bebas dari
dan
mandiri
kekuasaan
digabung,
maka
apabila
legislatif
dan
kebebasan
kekuasaan eksekutif. para
warga
12
Mas Achmad Santosa, Reformasi Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, (Jakarta: ICEL 1999), hlm. 21.
59
negara akan dihadapkan kepada pengawasan yang bersifat kesewenangan, oleh karena hakim akan bertindak juga sebagai pencipta undang-undang. Kekuasaan
kehakiman
berasal
dari
istilah
dan
terjemahan
bahasa
Belanda “Rechtspreken de macht” artinya hak untuk menyelesaikan suatu sengketa oleh pihak ketiga yang tidak memihak yaitu hakim.
Secara
teknis yuridis hakim berarti orang yang diberi tugas untuk menentukan hukumnya dalam suatu sengketa.13 Dengan
demikian
kekuasaan
kehakiman
diartikan
kewenangan
untuk menentukan hukumnya dalam suatu sengketa/perkara atau kewenangan untuk
mengadili
suatu
sengketa/perkara.
Dengan
kata
lain
kekuasaan
kehakiman adalah suatu kekuasaan yang berwenang menentukan bagaimana ketentuan hukumnya yang, harus diterapkan terhadap sengketa perkara yang dihadapkannya. Dari
konsep
negara
hukum
seperti
digariskan
dalam
konstitusi
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, maka dalam rangka melaksanakan Pasal 24 UUD 1945,
harus
secara
tegas
melarang
kekuasaan
pemerintahan
negara
atau eksekutif untuk membatasi dan mengurangi wewenang kekuasaan kehakiman yang merdeka atau hakim yang bebas dalam proses peradilan yang telah dijamin oleh konstitusi tersebut. Dalam kaitannya kekuasaan kehakiman
yang merdeka, Scheltema
dalam „de Rechtsstaat‟, berpendapat bahwa dalam penyelesaian sengketa hukum oleh suatu kekuasaan kehakiman yang merdeka (hakim yang bebas), merupakan dasar bagi berfungsinya sistem hukum dengan baik. Dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka, setiap orang akan mendapat jaminan bahwa pemerintah akan bertindak sesuai dengan hukum yang berlaku, dan dengan hanya berdasarkan hukum yang berlaku itu kekuasaan kehakiman yang merdeka bebas memutus suatu perkara.14 Kekuasaan kehakiman yang merdeka bukan berarti bahwa kekuasaan kehakiman 13 14
dapat
dilaksanakan
sebebas-bebasnya
tanpa
rambu-rambu
Ibid op.cit., Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia ... hlm.5-6.
60
pengawasan, oleh karena dalam aspek beracara di pengadilan dikenal adanya asas umum untuk berperkara yang baik (general principles of proper justice),
dan peraturan-peraturan
yang bersifat prosedural atau
hukum
acara yang membuka kemungkinan diajukannya berbagai upaya hukum. Dengan demikian dalam hal fungsi kehakiman adalah keseluruhan rangkaian kegiatan dengan
berupa
mengadili
suatu
perkara
konsep
kekuasaan
kehakiman
sengketa
yang
dalam
merdeka,
kaitannya
yang
dalam
konteks hukum meliputi wewenang, otoritas, hak dan kewajiban, maka kekuasaan kehakiman
dapat
diartikan apa
sebagai dan
kekuasaan,
bagaimana
hak
norma
dan
kewajiban
untuk
menentukan
hukum
terhadap
kasus
yang diajukan kepadanya, maka kekuasaan kehakiman terikat pada
peraturan-peraturan yang bersifat prosedural yang disebut Hukum Acara. Kekuasaan
kehakiman
yang
merdeka
terwujud
dalam
kebebasan
hakim dalam proses peradilan, dan kebebasan hakim dalam menjalankan kewenangannya ini, ada rambu-rambu aturan hukum formal dan hukum material,
serta
norma-norma
tidak
tertulis
yang
disebut
asas
umum
penyelenggaraan peradilan yang baik (general principles of proper justice). Dengan kata lain, kekuasaan peradilan terikat pada aturan hukum material dan
peraturan-peraturan
yang
bersifat
prosedural
yakni
hukum
acara.
Dengan demikian aturan hukum material dan peraturan-peraturan yang bersifat prosedural, dapat dikatakan sebagai batas normatif terhadap kebebasan kekuasaan peradilan atau kebebasan hakim dalam proses peradilan. Kekuasaan yang
kehakiman
dilimpahkan
kepada
merupakan
suatu
kekuasaan
mandat
kehakiman.
kekuasaan Mandat
negara
kekuasaan
negara untuk sepenuhnya mewujudkan hukum dasar yang terdapat dalam ‟cita hukum‟ untuk diterapkan pada suatu perkara hukum dan diwujudkan dalam suatu keputusan hukum. Dengan kalimat lain, kekuasaan kehakiman dapat diartikan
sebagai
kewenangan
dan
kewajiban
untuk
menentukan
apa
61
dan bagaimana norma hukum terhadap kasus yang diajukan kepadanya dengan memperhatikan hukum dasar negara.15 Jadi independensi yudikatif dibatasi oleh asas-asas umum untuk berperkara yang baik, oleh hukum yang berlaku, serta oleh kehendak para pihak yang berperkara. Dengan kata lain, kebebasan tersebut terikat atau terbatas (gebonden vrijheid).16 Kekuasaan kehakiman harus diimplementasikan menurut nilai keadilan, rambu-rambu hukum prosedural maupun substantif/materiil, serta kepentingan pihak yang berperkara merupakan batasan bagi kekuasaan kehakiman. Batasan atau rambu-rambu yang harus diperhatikan dalam implementasi kebebasan kekuasaan kehakiman adalah terutama aturan-aturan hukum itu sendiri. Ketentuan-ketentuan hukum, baik segi substansial maupun prosedural merupakan batasan bagi kekuasaan kehakiman agar dalam melakukan independensinya tidak melanggar hukum dan bertindak sewenang-wenang. Tingginya kemandirian atau kebebasan suatu profesi atau lembaga, memungkinkan profesi atau lembaga tersebut bertindak sewenang-sewenang. Jika demikian kemandirian atau kebebasan kekuasaan kehakiman yang merdeka dapat menjadi suatu jalan bagi munculnya kesewenang-sewenangan atau penindasan oleh kalangan profesional yang melembaga (kekuasaan kehakiman). Untuk itu perlu ditetapkan ukuran-ukuran pertanggungjawaban kehakiman (judicial accountability). Pertanggungjawaban ini dapat bersifat individual-perorangan maupun kolektif kelembagaan. Pertanggungjawaban kekuasaan kehakiman ini dibangun di atas prinsip yang merupakan harmonisasi antara tanggungjawab politik dan kemasyarakatan (political and sicietal responsibility) dengan
15
Paulus Effendie Lotulung, Kemandirian Kekuasaan Kehakiman Dalam Konteks Pembagian Kelkuasaan Dan Pertanggungan Jawab Politik, dalam Seminar Hukum Nasional KeVII Reformasi Hukum Menuju Masyarakat Madani, (BPHN: Departemen Kehakiman,1999) hlm.156-170. 16 A. Hamzah, “Kemandirian Dan Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman” dalam BPHN, Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, hlm 51.
62
tanggungjawab hukum (legal responsibility).17 Di atas prinsip inilah kekuasaan kehakiman dapat bersikap responsif terhadap perkembangan masyarakat. Pelaksanaan peradilan juga memerlukan pengawasan internal maupun eksternal. Di lingkungan internal MA, menurut Pasal 32 UU No. 5/2004, MA melakukan pengawasan tertingi atas penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman. Untuk itu, MA berwenang mengawasi tingkah laku dan perbuatan para hakim di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan tugasnya, berwenang meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari semua lingkungan Mengenai pengawasan eksternal, UUD 1945 membentuk Komisi Yudisial yang independen yang “mempunyai wewenang ... dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim” (Pasal 24 B). Pembentukan KY dimaksudkan untuk melakukan pengawasan terhadap hakim, karena sistem pengawasan internal dianggap tidak efektif dan tidak berhasil, karena adanya semangat korps yang salah, tidak adanya transparansi dan akuntabilitas, serta tidak adanya metode pengawasan yang efektif. Undang-undang No. 22/2004 tentang Komisi Yudisial mengatur lebih lanjut susunan, kedudukan, dan hal-hal lainnya yang terkait dengan wewenang KY. Tersedia berbagai pilihan untuk mendesain mekanisme pengawasan tersebut, termasuk membangun KY “model” baru. Jadi walaupun secara jelas kekuasaan kehakiman diatur dalam konstitusi serta undang-undang organik lainya, akan tetapi dalam pelaksanaannya sangat tergantung pada kualitas, integritas, dan kinerja sumber daya manusia hakim sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman, hal ini juga dikemukakan oleh Philipus M.Hadjon 18 “Walaupun menurut Undang-Undang Dasar dan undang-undang kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka dari campur tangan 17
Goesniadhie, Kusnu, S, Harmnisasi Hukum Dalam Perspektif Perundang-undangan (Lex Specialis Suatu Masalah), (Surabaya: JP-Books,2006), hlm.162. 18 Philipus M.Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, Cetakan kedelapan, 2002), hlm. 296.
63
siapapun dalam menyelenggarakan peradilan, akan tetapi dalam kenyataan hal itu tergantung pada pribadi hakim”. Dalam catatan perjalanan perilaku hakim, setidaknya telah terjadi sebanyak 1600 hakim dilaporkan ke Komisi Yudisial sebagai hakim nakal. Jumlah tersebut terhitung sejak Januari hingga November 2011.19 Hal ini membuktikan bahwa sangat diperlukannya peningkatan pengawasan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dalam mengawasi para hakim di semua lingkungan peradilan. Kekuasaan
kehakiman
tidak
berada
pada
ruang
yang
hampa
dan
independensinya tidak bersifat absolut. Hakim bukanlah manusia yang sempurna dan sangat mungkin melakukan kesalahan, karena itu kemandirian hakim harus disertai tanggungjawab (accountability). Pada awal reformasi kalangan peradilan menyadari pentingnya transparansi dan akuntabilitas yudikatif sebagai pendukung independensi
kekuasaan
kehakiman.
Jadi,
judicial
independence
and
accountability seharusnya menjadi tema pokok reformasi peradilan. Kategori-kategori pertanggungjawaban kehakiman (judicial accountability) tersebut: (i) pertanggungjawaban politik hakim dan lembaga kehakiman, di mana keduanya dapat dimintai tanggungjawab oleh parlemen atau DPR; (ii) pertanggungjawaban publik-kemasyarakatan hakim dan lembaganya, yaitu bahwa keduanya dapat dikritik oleh mayarakat; caranya dengan mengekpose kepada masyarakat, yaitu melalui publikasi putusan pengadilan termasuk perbedaan pendapat
di
antara
pertanggungjawaban
anggota hukum
majelis baik
hakim
eksklusif
(dissenting maupun
opinion); inklusif.
(iii) Untuk
tanggungjawab eksklusif maka lembaga kehakiman ikut bertanggungjawab atas kekeliruan hakim dalam melaksanakan tugasnya kepada publik, sedangkan tanggungjawab inklusif hanya dibedakan kepada hakim; (iv) pertanggungjawaban hukum yang bersifat individual, yaitu tanggungjawab hakim terhadap ketentuanketentuan pidana termasuk korupsi, perdata, serta disiplin dan kode etik profesi.20 Sisi lain dari rambu-rambu akuntabilitas tersebut adalah adanya integritas dan sifat transparansi dalam penyelenggaraan dan proses memberikan keadilan 19 20
http://news.okezone.com/read/2011/12/10/ky-1600-hakim-dilaporkan. Philipus M.Hadjon Op.cit.,
64
tersebut, hal mana harus diwujudkan dalam bentuk publikasi putusan-putusan badan pengadilan serta akses publik yang lebih mudah untuk mengetahui dan membahas putusan-putusan badan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sehingga karenanya putusan-putusan tersebut dapat menjadi objek kajian hukum dalam komunitas hukum. V. Kesimpulan
Negara Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana yang diamanatkan dalam konstitusinya, yaitu Pasal 1 ayat (3) Undang – Undang Dasar Tahun 1945, tentunya memerlukan sebuah perangkat atau sistem penegakan hukum yang menjamin terwujudnya rasa keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam upaya mewujudkan itu, kebebasan kekuasaan kehakiman menjadi faktor penting agar dapat terbebas dari segala interfensi dan atau tekanan baik oleh pemerintah maupun oleh ekstra yudikatif lainnya, Kebebasan Kekuasaan kehakiman tidak dapat mengambil alih atau menerobos kekuasaan legislatif dalam membuat undang-undang dengan mengeluarkan produk hukum yang materi muatannya adalah materi muatan undang-undang. Hukum materiil merupakan batas normatif terhadap kebebasan kekuasaan kehakiman yang bersifat relatif. Oleh karena batas normatif yang bersifat relatif, maka dalam melaksanakan tugas mengadili, memeriksa dan memutuskan suatu perkara, dalam keadaan tertentu yakni dalam hal (i) terjadi pertentangan konflik norma hukum (geschild van normen); (ii) kekosongan norma hukum (leemten van normen); (iii) kekaburan atau ketidak jelasan norma hukum (vage van normen); hakim dapat menyimpangi hukum materiil. Hukum formal atau acara merupakan batas normatif yang bersifat absolut terhadap kebebasan kekuasaan kehakiman. Oleh karena batas normatif yang bersifat absolut, maka hukum acara harus dilaksanakan dan tidak boleh disimpangi oleh hakim dalam melaksanakan tugas mengadili, memeriksa dan memutus suatu perkara. Pelanggaran terhadap hukum acara mengakibatkan tidak sahnya putusan hakim. VI. Saran
65
Perlu ditetapkan ukuran-ukuran pertanggungjawaban kebebasan kehakiman (judicial accountability) yang lebih tegas dan jelas. Pertanggungjawaban ini dapat bersifat
individual-perorangan
maupun
kolektif
kelembagaan.
Pertanggungjawaban kebebasan kekuasaan kehakiman ini dibangun di atas prinsip yang merupakan harmonisasi antara tanggungjawab politik dan tanggungjawab kemasyarakatan (political and sicietal responsibility) dengan tanggungjawab hukum (legal responsibility). Di atas prinsip inilah kebebasan kekuasaan kehakiman dapat bersikap responsif terhadap perkembangan masyarakat bangsa.
DAFTAR PUSTAKA A. Hamzah, “Kemandirian Dan Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman” dalam BPHN, Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII. Bogdan, Robert and Steven J. Taylor, Introduction to Qualitative Research Methods, New York: John Wiley & Sons, 1975. Budiardjo, Miriam Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1985. Goesniadhie, Kusnu, S, Harmnisasi Hukum Dalam Perspektif Perundangundangan (Lex Specialis Suatu Masalah), Surabaya: JP-Books,2006. Hadjon, Philipus M.Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, Cetekan kedelapan, 2002. http://news.okezone.com/read/2011/12/10/ky-1600-hakim-dilaporkan. Lotulung, Paulus Effendie, Kemandirian Kekuasaan Kehakiman Dalam Konteks Pembagian Kelkuasaan Dan Pertanggungan Jawab Politik, dalam Seminar Hukum Nasional Ke-VII Reformasi Hukum Menuju Masyarakat Madani, BPHN: Departemen Kehakiman,1999. Manan, Bagir, Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, Bandung: LPPMUNISBA1995. Mahkamah Agung R.I, Pedoman Perilaku Hakim, Jakarta: Mahkamah Agung, 2006. Majalah Hukum Varia Peradilan, No.178, Juli 2000. MD, Moh. Mahfud. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Studi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan, Yogyakarta: Liberty, 1993. Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Yogyakarta: Lintang Pustaka,2006.
66
Mas Achmad Santosa, Mas Achmad, Reformasi Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, Jakarta: ICEL 1999. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Yunas, Didi Nazmi Konsepsi Negara Hukum, Angkasa Raya, 1992.
67