LAPORAN PENELITIAN
NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM UPAYA PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA (Refleksi Budaya Huyula dan Pohala’a dengan Teori Restorative Justice dalam Penyelesaian Kasus Kenakalan Remaja di Kota Gorontalo)
Oleh: RIZAL DARWIS, M.H.I.
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT IAIN SULTAN AMAI GORONTALO 2015
LEMBAR IDENTITAS DAN PENGESAHAN LAPORAN PENELITIAN INDIVIDU 1.
2.
3. 4. 5. 6.
a. Judul Penelitian
a. Jenis Penelitian b. Tahun Penelitian Peneliti a. Nama Lengkap dan Gelar Akademik b. Jenis Kelamin c. NIP/Pangkat/Golongan d. Jabatan Jumlah Peneliti Lokasi Penelitian Jangka Waktu Penelitian Sumber Dana
: Nilai-Nilai Kearifan Lokal dalam Upaya Penegakan Hukum di Indonesia (Refleksi Budaya Huyula dan Pohala’a dengan Teori Restorative Justice dalam Penyelesaian Kasus Kenakalan Remaja di Kota Gorontalo) : Studi Lapangan (Field Research) : 2015 : Rizal Darwis, M.H.I. : : : : : : :
Laki-Laki 19790717 200901 1 017 / Penata, III/c Lektor 1 (Satu) Orang Kota Gorontalo 6 (Enam) Bulan DIPA IAIN Sultan Amai Gorontalo Tahun 2015 Gorontalo, 10 Nopember 2015
Kepala LP2M
Peneliti
Dr. Hj. Supiah, M.Pd. NIP. 19640325 199203 2 001
Rizal Darwis, M.H.I. NIP. 19790717 200901 1 017
Mengetahui, Rektor IAIN Sultan Amai Gorontalo
Dr. H. Kasim Yahiji, M.Ag. NIP. 19610522 199003 1 002
ii
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulillah, penulis panjatkan kehadirat Allah swt. yang telah memberikan limpahan rahmat, umur yang panjang dan kesempatan sehingga dapat merampungkan penelitian dengan judul Nilai-Nilai Kearifan Lokal dalam Upaya Penegakan Hukum di Indonesia (Refleksi Budaya Huyula dan Pohala’a dengan Teori Restorative Justice dalam Penyelesaian Kasus Kenakalan Remaja di Kota Gorontalo) Dalam melakukan proses penelitian ini tidak terlepas dari berbagai pihak yang telah membantu demi tersajinya karya yang ada saat ini. Untuk itu sewajarnya dihaturkan terima kasih kepada: 1.
Dr. H. Kasim Yahiji, M.Ag. selaku Rektor IAIN Sultan Amai Gorontalo yang telah menganggarkan dana hibah penelitian di kampus IAIN Sultan Amai Gorontalo
2.
Dra. Aisma Maulasa, M.Th.I. selaku mantan Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LP2M) IAIN Sultan Amai Gorontalo yang telah menyeleksi penelitian ini dan termasuk penentu untuk menyatakan lulus tidaknya sebuah penelitian di lingkungan IAIN Sultan Amai Gorontalo.
3.
Dr. Hj. Supiah, M.Pd. selaku Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LP2M) IAIN Sultan Amai Gorontalo Periode 2015 yang tetap melanjutkan estafet kepemimpinan LP2M IAIN Sultan Amai Gorontalo.
4.
Para responden yang telah berpartisipasi dan bersedia untuk penulis wawancarai.
iii
5.
Pihak-pihak
yang
telah
memfasilitasi
penulis
untuk
bertemu
dan
berkomunikasi dengan para responden. 6.
Seluruh pihak yang telah berpartisipasi dalam proses penelitian ini. Walaupun penulis berusaha maksimal memberikan karya yang terbaik dari
apa yang penulis miliki demi terwujudnya penelitian ini, namun pada akhirnya tetap terdapat kekurangan-kekurangan di dalamnya sebagai akibat keterbatasan penulis, terutama di dalam menghimpun dan menganalisis data yang mendukung penelitian ini. Hanya Allah swt. jualah yang Mahasempurna, kepada-Nyalah yang patut diserahkan segalanya, seraya berharap akan petunjuk dan perlindungan-Nya, dari kealpaan yang setiap saat bisa hadir pada diri manusia.
Gorontalo, 2 Nopember 2015 Peneliti
Rizal Darwis, M.H.I.
iv
DAFTAR ISI Hal. HALAMAN SAMPUL ...................................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN .........................................................................
ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................
v
ABSTRAK ......................................................................................................
vii
BAB I
BAB II
BAB III
PENDAHULUAN ................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah .................................................
1
B. Masalah Penelitian .........................................................
9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................
9
D. Signifikansi Penelitian ...................................................
10
E. Kerangka Teori ..............................................................
11
F. Metode Penelitian ..........................................................
17
KENAKALAN REMAJA DAN PROBLEMATIKANYA DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT ...................
22
A. Pengertian Remaja dan Kenakalan Remaja ...................
22
B. Bentuk-Bentuk Kenakalan Remaja ................................
26
C. Faktor-Faktor Terjadinya Kenakalan Remaja ................
34
D. Upaya Penanggulangan Kenakalan Remaja ..................
39
RESTORATIVE JUSTICE DAN HUKUM ADAT DI INDONESIA ....................................................................
44
A. Gambaran Umum Restorative Justice ............................
44
B. Gambaran Umum Hukum Adat di Indonesia ................
50
v
BAB IV
BAB V
IMPLEMENTASI RESTORATIVE JUSTICE DAN A. Bentuk dan Faktor Penyebab Kenakalan Remaja di Kota Gorontalo ...........................................................
60
B. Penerapan Restorative Justice dan Budaya Huyula dan Pohala’a dalam Penyelesaian Kasus Kenakalan Remaja di Kota Gorontalo ...........................................................
72
C. Restorative Justice dan Budaya Huyula dan Pohala’a dalam Sistem Penegakan Hukum di Indonesia ..............
93
PENUTUP .............................................................................
99
A. Kesimpulan ....................................................................
99
B. Implikasi Penelitian ........................................................
101
DAFTAR PUSTAKA
vi
ABSTRAK Nama : Rizal Darwis Judul Penelitian : Nilai-Nilai Kearifan Lokal dalam Upaya Penegakan Hukum di Indonesia (Refleksi Budaya Huyula dan Pohala’a dengan Teori Restorative Justice dalam Penyelesaian Kasus Kenakalan Remaja di Kota Gorontalo) Penelitian ini membahas nilai-nilai kearifan lokal dalam upaya penegakan hukum di Indonesia. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian adalah: (1) bagaimana bentuk-bentuk dan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya kenakalan remaja di Kota Gorontalo? (2) Bagaimana penerapan restoratif justice dan budaya huyula dan pohala’a dalam penyelesaian kasus kenakalan remaja di Kota Gorontalo? dan (3) Sejauhmana konsep restorative justice dengan budaya huyula dan pohala’a dalam sistem penegakan hukum di Indonesia? Masalah tersebut dikaji melalui pendekatan hukum (yuridis), dan sosiokultural. Penelitian ini termasuk kategori penelitian library research, dan pengolahan datanya dianalisis dengan deskriptif kualitatif denhgan metode deduktif dan perbandingan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Bentuk kenakalan remaja yang terjadi kota Gorontalo antara lain pergaulan bebas, bolos sekolah, perkelahian, minum minuman keras, dan narkoba. Kesemua bentuk kenakalan tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain: faktor internal dan eksternal. Faktor internal, seperti krisis identitas, dan kontrol diri yang lemah. Sedangkan faktor eksternal, antara lain: keluarga dan perceraian orang tua, pendidikan yang salah, teman sebaya yang kurang baik, dan komunitas/lingkungan tempat tinggal yang kurang baik; (2) Restorative justice adalah suatu bentuk model pendekatan baru dalam menyelesaikan perkara pidana dengan fokus pendekatannya kepada pelaku, korban dan elemen-elemen masyarakat dalam proses penyelesaian kasus hukum yang terjadi di antara mereka demi terciptanya suatu keadilan. Dalam kasus kenakalan remaja, konsep restorative justice ini dilakukan dengan beberapa pendekatan, yaitu pendekatan yang murni mengedepankan kesejahteraan anak; pendekatan kesejahteraan dengan intervensi hukum; pendekatan dengan menggunakan sistem peradilan pidana semata; pendekatan edukatif dalam pemnberian hukuman; dan pendekatan penghukuman yang murni bersifat edukatif. Terkait dengan penerapan konsep huyula dan pohala’a pada masyarakat Kota Gorontalo, maka ada beberapa langkah penyelesaian sengketa, yaitu: penyelesaian antara pribadi, keluarga, tetangga; penyelesaian melalui kepala adat; penyelesaian melalui kepala desa. Bentuk penyelesaian pada masyarakat adat ini selalu diupayakan diselesaikan secara musyawarah dengan memegang prinsip huyula (tolong-menolong/kebersamaan) dan pohala’a (persatuan dalam ikatan persaudaraan; dan (3) Penegakan hukum dapat terwujud ketika ketiga elemen dapat terpenuhi, yaitu struktur hukum, aparat hukum dan budaya hukum. Terkait
vii
dengan kenakalan remaja, maka dari segi stuktur hukum itu berupa aturan-aturan perundang-undangan, maka terdapat UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak; dari segi aparat hukum, yaitu elemen-elemen masyarakat dan pemerintah yang diberi kewenangan menangani persoalan hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, kehakiman. Sedangkan dari segi budaya hukum terkait dengan kebisaan yang menjadi pedoman yang baik dalam menjalankan hukum tersebut. Jika terkait dengan budaya, maka masyarakat Kota Gorontalo yang memiliki prinsip budaya huyula dan pohala’a tentunya dapat mengantarkan pada penegakan hukum di Indonesia. Prinsip huyula yaitu gotong-royong yang dianutnya dapat dimanipestasikan bahwa untuk mendukung keberlangsungan hukum yang berkeadilan maka perlu adanya semangat kegotong-royongan untuk melaksanakannya. Begitu pula dengan semangat persatuan dalam bingkai pohalaa menjadi landasan kuat dalam penegakan hukum di Indonesia. Implikasi dari penelitian ini adalah bahwa anak remaja adalah aset yang paling besar dalam meneruskan cita-cita bangsa, negara dan agama. Tentunya peranan berbagai pihak, mulai dari keluarga, sekolah dan masyarakat sangat menentukan nasib anak remaja di kemudian hari. Kontrol dari pihak-pihak tersebut dapat mencegah terjadinya berbagai bentuk kenakalan remaja. Selain itu permasalahan kenakalan remaja tidak sepenuhnya harus dilimpahkan melalui jalur hukum (peradilan), namun juga bisa dilakukan melalui jalur di luar peradilan. Jalur di luar peradilan ini bisa bersinergi dengan kearifan-kearifan budaya yang dimiliki oleh suatu daerah. Gorontalo khususnya, budaya huyula dan pohala’a bisa menjadi landasan kuat dalam penegakan hukum di Indonesia.
viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah sebuah negara yang kaya akan beragam budaya, terletak di garis khatulistiwa dan membawa sebuah keberkahan tersendiri serta membuat negeri ini memiliki potensi sumber kekayaan yang melimpah. Walaupun saat ini pengelolaan dan kebijakan pemerintahnya tidak berpihak kepada rakyat. Namun terlepas dari itu semua, Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic state), hal ini membawa pemahaman bahwa negara Indonesia merupakan negara yang memiliki ribuan pulau yang mengelilingi dan dikelilingi oleh laut, jumlah pulau-pulau tersebut dalam lingkup besar maupun kecil kurang lebih tujuh belas ribu lima ratus delapan pulau.1 Keadaan geografis tersebut melahirkan keanekaragaman suku adat sebagai sebuah konsekuensi logis dari kekayaan pulau di Indonesia. Ragam suku membawa kenyataan bahwa kita memiliki macam-macam bentuk budaya dan kebudayaan. Masing-masing kebudayaan tersebut juga memunculkan corak aturan-aturan hukum tersendiri antara yang satu dengan yang lain dan dikenal dengan hukum adat. Beberapa budaya adat yang besar seperti: (1) Aceh, (2) Gayo, Alas dan Batak (3), Minangkabau, (4) Sumatera Selatan; (5) Daerah Melayu; (6) Bangka Belitung; (7) Kalimantan; (8) Minahasa; (9) Gorontalo; (10) Toraja; (11)
1
Soejitno Hadisapoetro, Pendidikan Kewarganegaraan, Makalah disampaikan dalam perkuliahan strata satu Fakultas Ekonomi UMM tanggal 18 September 2010, Universitas Muhammadiyah Malang, Jawa Timur, h. 5.
1
2
Sulawesi Selatan; (12) Kepulauan Ternate; (13) Ambon Maluku; (14) Papua; (15) Kepulauan Timur; (16) Bali dan Lombok; (17) Jawa tengah; (18) Yogyakarta dan Surakarta; (19) Jawa Barat; (20) Jawa Tengah, Jawa Timur dan Madura.2 Budaya adat dalam perjalanan pemberlakuannya di Indonesia mengalami perjalanan yang cukup panjang antara benturan hukum Islam dan hukum kolonial, di mana dalam konteks sejarah Indonesia, sejak zaman kolonial sebenarnya sudah ada upaya-upaya kodifikasi seperti munculnya compendium-compendium sebagai rujukan aplikasi hukum Islam.3 Pada masa Orde Lama, ada beberapa undangundang dan peraturan yang mencerminkan masuknya hukum Islam dalam materi hukum nasional, seperti Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960. Pada masa Orde Baru muncul beberapa undang-undang dan peraturan pemerintah yang sangat bernuansa Hukum Islam, mulai dari UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No. 7/1975 mengenai implementasi UU No. 1 Tahun 1974 tersebut di atas, Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Hak Milik, Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Peraturan Menteri Agama No. 2 Tahun 1990 tentang petunjuk perkawinan secara Islam dan lain sebagainya.
2
E. K. M. Masinambow, (ed.), Hukum dan Kemajemukan Budaya Sumbangan Karangan Untuk Menyambut Hari Ulang Tahun ke-70 Prof. Dr. T. O. Ihromi (Jakarta: Obor, 2003), h. 6. 3
Misalnya, Compendium Freijer yang digunakan oleh Pengadilan VOC untuk memutuskan perkara perkawinan dan kewarisan Islam (Resolutie der Indisch Regering, tanggal 25 Mei 1760); Cirbonsch Rechboek (Buku Hukum Cirebon Tahun 1757-1765); Compendium der voornaamste javaanisch Wetten Nauwkeuring Getrokken uit het Mohammedaansch Wetboek Mogharraer yang disusun di Semarang pada tahun 1750 dan Compendium Inlandsch Wetten bij De Hoven Van Bone en Goa yang diberlakukan di Sulawesi Selatan. Lihat Mohammad Daud Ali, Asas-Asas Hukum Islam (Jakarta: Rajawali Press, 1990), h. 213-214.
3
Sebelum lahirnya beberapan undang-undang dan peraturan di atas, masyarakat Indonesia dalam realitasnya di beberapa daerah bahwa hukum Islam sejak kedatangannya ke Nusantara merupakan hukum yang hidup (living law) di masyarakat, tidak hanya pada tataran simbol melainkan juga pada tataran praktis. Hal tersebut bukan semata-mata sebuah tanda bahwa mayoritas penduduk di Indonesia adalah Islam, tetapi sudah menjadi tradisi (adat) yang terkadang dianggap sakral.4 Hal itu pula berlaku pada hukum pidana di Indonesia dengan tidak menafikan adanya local wisdom (kearifan lokal) yang terimplementasi dari adat budaya pada daerah-daerah yang masih memegang prinsip-prinsip adat budayanya dalam menyelesaikan kasus-kasus pidana. Kearifan lokal itu mengandung kebaikan bagi kehidupan mereka, sehingga prinsip ini mentradisi dan melekat kuat pada kehidupan masyarakat setempat. Meskipun ada perbedaan karakter dan intensitas hubungan sosial budayanya, tapi dalam jangka yang lama mereka terikat dalam persamaan visi dalam menciptakan kehidupan yang bermartabat dan sejahtera bersama. Dalam bingkai kearifan lokal ini, antar individu, antar kelompok masyarakat saling melengkapi, bersatu dan berinteraksi dengan memelihara nilai dan norma sosial yang berlaku. Gorontalo sebagai salah satu daerah yang banyak memiliki kearifan lokal dengan sejarah lahirnya pemerintahan yang besar dalam satu ikatan kekeluargaan yang disebut Pohala’a. Daerah Gorontalo ada lima Pohala’a, yaitu Pohala’a Gorontalo, Pohala’a Limboto, Pohala’a Suwawa, Pohala’a Boalemo, dan Salmadanis dan Duski Samad, Adat Basandi Syara’: Nilai dan Aplikasinya Menuju Kembali ke Nagari da Surau (Jakarta: Kartina Intan Lestari, 2003), h. 1. 4
4
Pohala’a Atinggola. Dengan hukum adat itu maka Gorontalo termasuk 19 wilayah adat di Indonesia. Antara agama dengan adat di Gorontalo menyatu dengan istilah “Adat bersendikan Syara’ dan Syara’ bersendikan Kitabullah.” Pohala’a Gorontalo merupakan pohala’a yang paling menonjol di antara kelima Pohala’a tersebut. Itulah sebabnya Gorontalo lebih banyak dikenal.5 Terlepas dari itu, perkembangan Gorontalo yang telah menjadi sebuah propinsi6 dan merupakan pemekaran dari Propinsi Sulawesi Utara telah mengalami perkembangan dari berbagai aspek, baik dari segi hukum, sosial, politik, agama dan lain sebagainya. Khususnya dalam bidang hukum, persoalan yang cukup urgen yang terjadi adalah masalah remaja. Hurlock menjelaskan bahwa masa remaja merupakan masa transisi, remaja merasakan keraguan akan peran yang harus dilakukan. Status remaja yang tidak jelas ini juga menguntungkan karena status tersebut memberi waktu kepada mereka untuk mencoba gaya hidup yang berbeda dan menentukan pola perilaku, nilai dan sifat yang sesuai bagi dirinya.7 Karakteristik remaja yang sedang dalam tahap pencarian identitas menjadi rentang terhadap timbulnya permasalahan. Jenis-jenis kenakalan remaja, seperti penyalahgunaan narkoba, seks bebas, tawuran antara pelajar dan lain sebagainya. Dampak kenakalan remaja ini berimbas terhadap pemberlakukan hukum pidana di
5
http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbgorontalo/2014/05/09/sekilas-sejarah-gorontalo _indonesia/ diakses tanggal 27 Mei 2015. 6
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Gorontalo. 7
Elizabeth B. Hurlock, Development Psychology: A Life Span Approach, terj. Istiwidayanti, Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Ed. 5 (Jakarta: Erlangga, 1999), h. 202.
5
Indonesia takkala para pelaku kenakalan remaja tersebut telah masuk ke dalam ranah hukum. Walaupun dampak pidana yang ditimbulkan, tidak serta merta anak remaja langsung mendapatkan hukuman. Anak remaja dalam segala definisinya memiliki perbedaan karakteristik dengan orang dewasa. Ini merupakan titik tolak dalam memandang hak dan kewajiban bagi seorang anak yang akan mempengaruhi pula kedudukannya di hadapan hukum. Dalam pertimbangan UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, seorang anak berhak mendapatkan perlindungan khusus. Menurut Retnowulan, perlindungan anak adalah melindungi manusia dan membangun manusia seutuh mungkin dan hal tersebut tercermin pada hakekat pembangunan nasional. Mengabaikan masalah perlindungan anak berarti tidak akan memantapkan pembangunan nasional, dan akan menimbulkan berbagai permasalahan sosial ang dapat mengganggu penegakan hukum, ketertiban, keamanan dan pembangunan nasional.8 Olehnya itu dalam mengatasi persoalan kenakalan remaja dapat dilakukan dengan sistem restorative justice. Dalam Handbook on restorative justice programmes yang diterbitksan oleh PBB disebutkan bahwa: “restorative justice is an approach to problem solving that, in its various forms, involves the victim, the offender, their social networks, justice agencies and the community.”9 (artinya, restorative justice, yaitu suatu pendekatan dalam memecahkan masalah pidana
8
Romli Atmasasmita (ed), Peradilan Anak di Indonesia (Bandung: Mandar Maju, 1997),
h. 166. 9
United Nations, Handbook on Restorative Justice Programmes (New York: United Nations Publication, 2006), h. 6.
6
yang melibatkan korban, pelaku, serta elemen-elemen masyarakat demi terciptanya suatu keadilan. Terhadap kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak, maka restorative justice system setidak-tidaknya bertujuan untuk memperbaiki/memulihkan (to restore) perbuatan kriminal yang dilakukan anak dengan tindakan yang bermanfaat bagi anak, korban dan lingkungannya yang melibatkan mereka secara langsung (reintegrasi dan rehabilitasi) dalam penyelesaian masalah, dan berbeda dengan cara penanganan orang dewasa, yang kemudian akan bermuara pada tujuan dari pidana itu sendiri yang menurut Barda Nawawi Arief tujuan pemidanaan bertitik tolak kepada perlindungan masyarakat dan perlindungan atau pembinaan individu pelaku tindak pidana.10 Dalam artian restorative justuce system adalah metode yang digunakan dengan metode musyawarah dan kekeluargaan dalam menyelesaikan permasalahan dengan melibatkan korban, pelaku dan elemen masyarakat. Kaitannya dengan sistem hukum nasional di atas, ternyata dalam tradisi atau budaya di daerah Gorontalo memiliki kearifan lokal (local wisdom) dengan nama huyula dan pohala’o. Salah satu sarana untuk membangun karakter bangsa dengan cara mentransformasi nilai-nilai budaya local, yaitu budaya gotong royong (huyula) yang dulu dikenal oleh masyarakat Gorontalo sebagai sarana untuk bekerjasama dalam menyelesaikan suatu pekerjaan demi kepentingan umum. Huyula merupakan suatu sistem gotong royong atau tolong menolong antara anggota masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan bersama yang didasarkan
10
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Jakarta: PT. Kencana Prenada Media Group, 2008), h. 98.
7
pada solidaritas sosial. Hal ini tercermin dalam kegiatan yang dilaksanakan secara bersama oleh seluruh anggota masyarakat seperti halnya dalam kegiatan kekeluargaan ataupun kegiatan pertanian.11 Budaya huyula didalamnya dikenal istilah ambu, yaitu kegiatan tolong menolong untuk kepentingan bersama, misalnya pembuatan jalan desa, tanggul desa dan jembatan. Selain itu, ambu juga digunakan untuk menyelesaikan permasalahan di masyarakat, seperti tawuran antara kelompok pemuda. Nilai-nilai yang terkandung di dalam ambu ini adalah kerjasama, kebersamaan, tanggungjawab, musyawarah, persatuan dan peduli.12 Begitu pula dengan budaya pohala’a yang dibangun berdasarkan filosofi dan nilai-nilai budaya lokal, yaitu persaudaraan. Persaudaraan ini menjadi tekad dan semangat yang mengikat seluruh masyarakat Gorontalo di mana pun mereka berada dalam sebuah ikatan yang disebut limo lo pohala’a (lima bersaudara dalam lokus bumi dan akar kebudayaan yang sama).13
Keanekaragaman budaya tersebut merupakan potensi sosial yang dapat membentuk karakter dan citra budaya tersendiri pada daerah Gorontalo, serta merupakan bagian penting bagi pembentukan citra dan identitas budaya suatu daerah Gorontalo. Di samping itu, keanekaragaman merupakan kekayaan intelektual dan kultural sebagai bagian dari warisan budaya yang perlu dilestarikan. Seiring dengan peningkatan teknologi dan transformasi budaya ke arah kehidupan modern serta pengaruh globalisasi, warisan budaya dan nilai-nilai
Rasid Yunus, “Transformasi Nilai-Nilai Budaya Lokal sebagai Upaya Pembangunan Karakter Bangsa (Penelitian Studi Kasus Budaya Huyula di Kota Gorontalo),” Jurnal Penelitian Pendidikan, Universitas Pendidikan Indonesia, Vol. 14 No. 1, April 2013, h. 67. 11
Rasid Yunus, “Transformasi Nilai-Nilai Budaya Lokal …,” h. 69.
12
Alim S. Niode, Pohala’a: Memperkuat Demokrasi Ala Gorontalo, dalam www. http://kebudayaan.kemdikbud.go.id (pdf), diakses tanggal 27 Mei 2014, h. 3. 13
8
tradisional
masyarakat
adat
tersebut
menghadapi
tantangan
terhadap
eksistensinya. Hal ini perlu dicermati karena warisan budaya dan nilai-nilai tradisional tersebut mengandung banyak kearifan lokal yang masih sangat relevan dengan kondisi saat ini, dan seharusnya dilestarikan, diadaptasi atau bahkan dikembangkan lebih jauh. Budaya huyula dan pohala’a adalah sebuah refleksi terhadap aturan budaya yang menjadi suatu hukum adat yang digunakan dalam penegakan hukum di Indonesia, khususnya dalam penyelesaian kasus-kasus kenakalan remaja. Rezim sosiologis yang mendasari kerja dalam sistem peradilan pidana menjadikan segala perkembangan dan segala pemikiran dalam masyarakat dapat diserap dalam proses suatu perkara pidana. Meskipun dalam kerangka normatif banyak dipertanyakan namun dalam kenyataannya terdapat pula praktek-praktek penyelesaian perkara pidana di luar sistem peradilan pidana utamanya oleh lembaga pengadilan adat sebagaimana budaya huyula dan budaya pohala’a di dalam menyelesaikan kasus-kasus kenakalan remaja di daerah Gorontalo pada khususnya. Segala perkembangan yang ada, sudut pandang lain dapat digunakan untuk melihat keberadaan peradilan adat sebagai kebutuhan bagi sistem kekuasaan peradilan formal dalam rangka membantu mengatasi problema kelebihan beban (over loaded) yang dihadapi pengadilan resmi (negara). Banyak kasus perdata dan perkara pidana ringan, pidana anak atau delik aduan akan lebih efektif dan efisien diselesaikan oleh peradilan informal (peradilan adat) yang diharapkan dapat memberikan restorative justice. Penyelesaian kasus melalui peradilan adat yang
9
berbasiskan kearifan lokal dan didasarkan pada musyawarah bisa lebih menjanjikan akan terwujudnya restorative justice tersebut, sehingga penegakan hukum yang berbasis kearifan lokal pada daerah masing-masing di wilayah Indonesia dapat terwujud.
B. Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka permasalahan yang akan dikaji sebagai berikut: 1.
Bentuk-bentuk dan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya kenakalan remaja di Kota Gorontalo?
2.
Bagaimana penerapan restoratif justice dan budaya huyula dan pohala’a dalam penyelesaian kasus kenakalan remaja di Kota Gorontalo?
3.
Sejauhmana konsep restorative justice dengan budaya huyula dan pohala’a dalam sistem penegakan hukum di Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.
Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini, yaitu:
a.
Untuk mengetahui bentuk-bentuk dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kenakalan remaja di Kota Gorontalo.
b.
Untuk mengetahui dan menganalisis penerapan restorative justice dan budaya huyula dan pohala’a dalam penyelesaian kasus kenakalan remaja di Kota Gorontalo.
10
c.
Untuk mengetahui dan menganalisis konsep restorative justice dengan budaya huyula dan pohala’a dalam sistem penegakan hukum di Indonesia. 2.
a.
Kegunaan Penelitian
Kegunaan Ilmiah 1) Untuk menambah pengetahuan peneliti dan pembaca pada umumnya, sehingga dapat meningkatkan pengetahuan dan cakrawala hukum dalam melihat problema kenakalan remaja dewasa ini. 2) Untuk menjadi sumbangsih motivasi dan bahan kepustakaan yang berguna bagi kalangan akademisi dan masyarakat, sehingga nantinya dapat menjadi bahan acuan pada penelitian-penelitian selanjutnya.
b.
Kegunaan Praktis Penelitian
ini
diharapkan
memberikan
konstribusi
ilmiah
dalam
penyelesaian kasus-kasus kenakalan remaja, khususnya di daerah Gorontalo dengan menempatkan nilai-nilai kearifan lokal (lokal wisdom) pada daerah ini, sehingga penegakan hukum di Indonesia dapat terwujud dan diterima oleh masyarakat luas.
D. Signifikansi Penelitian Penegakan hukum di Indonesia tidak terlepas dari awal proses penerimaan hukum. Hal itu nampak dari pergumulan hukum adat, hukum Islam dan hukum kolonial (Belanda). Salah satu daerah yang menjadi daerah adat adalah Gorontalo yang memiliki berbagai nilai-nilai kearifan lokal yang masih melekat dalam kehidupan masyarakatnya.
11
Penelitian ini mengangkat budaya huyula dan budaya pohala’a sebagai bentuk nilai-nilai kearifan masyarakat di Gorontalo. Bentuk refleksi ini dikaitkan dengan teori restorative justice. Penelitian ini sangat penting dilakukan mengingat persoalan penegakan hukum tidak selamanya dilakukan melalui bentuk pemidanaan atau melalui peradilan. Namun dengan konsep kearifan lokal pun bisa saja memberikan penyelesaian yang cukup baik dan memberikan rasa keadilan bagi siapa saja. Penelitian ini memfokuskan pada penyelesaian kasus kenakalan remaja di Gorontalo. Kelompok remaja dijadikan sebagai obyek penelitian karena peranan remaja yang sangat penting sebagai generasi penerus dan pelanjut cita-cita perjuangan dan pembangunan di Indonesia. Penelitian tentang konsep huyula pernah dilakukan Faris Budiman Annas dengan judul Analisis Eksistensi Kearifan Lokal Huyula Desa Bongoime Provinsi Gorontalo. Dalam penelitian ini menitikberatkan pada kajian bidang pertanian dan pengolahan bahan makanan. Nilai-nilai huyula merupakan salah satu solusi yang membantu kaum petani dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya pertanian padi sawah. Penelitian yang lain dilakukan oleh Rasid Yunus dengan judul Transformasi Nilai-Nilai Budaya Lokal sebagai Upaya Pembangunan Karakter Bangsa (Penelitian Studi Kasus Budaya Huyula di Kota Gorontalo). Penelitian ini dilatarbelakangi oleh keberadaan dan keragaman nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yang belum optimal dalam upaya pembangunan karakter bangsa. Temuan dalam penelitian ini menunjukkan budaya huyula mengandung
12
nilai-nilai luhur Pancasila, sehingga dapat dijadikan sebagai sarana pembangunan karakter bangsa di Kota Gorontalo. Selain penelitian di atas beberapa buku yang membahas nilai-nilai budaya gorontalo, seperti Alim S. Niode dalam bukunya: (1) Konfigurasi Aktual NilaiNilai Budaya Gorontalo; (2) Gorontalo: Perubahan Nilai-Nilai Budaya dan Pranata Sosial. Kedua buku itu menggambarkan nila-nilai budaya gorontalo, seperti pohala’a, tradisi pernikahan, tradisi kematian, dan tradisi yang berkembang di Gorontalo. Tradisi-tradisi itu mengalami berbagai perubahan seiring dengan perubahan zaman di era globalisasi dan modernisasi ini. Berdasarkan penelitian-penelitian di atas, maka persoalan yang akan dibahas dalam penelitian ini berbeda, karena penelitian ini mengangkat persoalan kenakalan remaja dengan melihat refleksi nilai-nilai budaya Gorontalo, khususnya budaya huyula dan pohala’a dengan mencermati teori restorative justice, sehingga nantinya penelitian ini akan memberikan nuansa baru.
E. Kerangka Teori Hukum secara teori berfungsi untuk menciptakan keadilan, keamanan dan ketenteraman hidup dalam masyarakat. Hal ini sejalan dengan peran hukum sebagai social control (social change) yang menjadi bagian dari sistem yang mengintegrasikan individu ke dalam masyarakat; dan sebagai social engineering (a tool of social engineering) yang merupakan sarana penegakan masyarakat yang
13
ditujukan untuk mengubah perilaku warga masyarakat sesuai dengan tujuan yang ditentukan.14 Fungsi hukum tersebut juga sangat ditentukan oleh tiga faktor, yaitu: struktur hukum, substansi hukum, dan kultur hukum. Struktur hukum adalah pihak yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan aturan hukum dalam masyarakat (aparat penegak hukum). Substansi hukum adalah norma hukum. Sedangkan kultur hukum adalah bagaimana hukum itu dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat.15 Tindakan pidana yang dilakukan oleh remaja diatur dalam berbagai perundang-undangan nasional, seperti KUHP; UU No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak; UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. Aparat penegak hukum menjadi struktur hukum, dan kesadaran masyarakat dalam memberikan menyikapi perilaku remaja sebagai kuktur hukum. Bentuk ini juga berlaku dalam sistem hukum adat pada berbagai daerah di Indonesia. Pembangunan hukum yang berbasiskan kebudayaan sebenarnya telah diawali sejak zaman kolonial Belanda. Pada tahun 1925, C van Vollenhoven melakukan penelitian untuk memetakan persebaran hukum adat di Indonesia. Penelitian tersebut berhasil melakukan analisis terhadap ciri-ciri khusus atas hukum adat yang terdapat pada masyarakat-masyarakat di daerah-daerah lingkungan hukum adat dan menghasilkan 19 lingkungan hukum adat di Indonesia. Berkat perjuangannya, hukum-hukum negara yang diterapkan (oleh
14
T. Mulya Lubis, Hak Asasi Manusia dan Pembangunan (Jakarta: YLBHI, 1987), h. 21.
15
M. Lawrence Friedman, Law and Society: An Introduction (Englewood Cliff: Prentice Hall Inc., 1977), h. 71-74.
14
badan-badan yudisial pemerintah kolonial) menjadi tidak banyak menyimpang dari hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat.16 Eksistensi hukum adat di Indonesia sampai saat ini telah diakui secara konstitusional. Sebagaimana tertuang dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.” Selanjutnya dalam Pasal 28I ayat (3) dinyatakan bahwa identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan jaman dan peradaban.17 Dalam berbagai undang-undang juga disinggung mengenai eksistensi hukum adat dan masyarakat adat, antara lain dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; UU No. 5 Tahun 1994 tentang pengesahan Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati yang memuat prinsip free and prior inform consent; UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang mengatur prinsip desentralisasi dalam pengelolaan sumber daya alam; dan Pasal 1 ayat (30) UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Apabila ditelusuri lebih lanjut, hukum adat dalam prakteknya adalah berisi kearifan-kearian lokal yang saat ini sedang mengemuka karena kapasitasnya telah terbukti bermanfaat sebagai pendekatan dalam berbagai aspek kehidupan. Secara 16
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya (Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) dan Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat (HUMA), 2002), h. 17. 17
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Tahun 1945 beserta Amandemennya.
15
yuridis formal kearifan lokal telah diperkenalkan dalam Pasal 1 ayat (30) UU No. 32 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari. Dalam undang-undang tersebut juga diperkenalkan asas kearifan lokal dalam pengelolaan lingkungan di Indonesia, yaitu bahwa dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memerhatikan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat. Lingkungan hidup ini adalah lingkungan masyarakat adat di Indonesia. Menyangkut kenakalan remaja dalam studi masalah sosial dapat dikategorikan ke dalam perilaku menyimpang. Dalam perspektif perilaku menyimpang masalah sosial terjadi karena terdapat penyimpangan perilaku dari berbagai aturan-aturan sosial ataupun dari nilai dan norma sosial yang berlaku. Perilaku menyimpang dapat dianggap sebagai sumber masalah karena dapat membahayakan tegaknya sistem sosial. Penggunaan konsep perilaku menyimpang secara tersirat mengandung makna bahwa ada jalur baku yang harus ditempuh, sehingga dalam mengatasi tidak serta merta melakukan jalur hukum formal (melalui peradilan pidana) ketika melakukan tindak pidana kenakalan remaja. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Handbook on Restorative Justice Programmes disebutkan bahwa “Restorative justice is an approach to problem solving that, in its various forms, involves the victim, the offender, their social networks, justice agencies and the community.” (Restorative justice merupakan suatu pendekatan dalam memecahkan masalah pidana yang
16
melibatkan korban, pelaku, serta elemen-elemen masyarakat demi terciptanya suatu keadilan). Sistem peradilan pidana khusus bagi anak tentunya memiliki tujuan khusus bagi kepentingan masa depan anak dan masyarakat yang di dalamnya terkandung prinsip-prinsip restorative justice, definisi restorative justice itu sendiri tidak seragam, sebab banyak variasi model dan bentuk yang berkembang dalam penerapannya. Oleh karena itu, banyak terminologi yang digunakan untuk menggambarkan konsep restorative justice, seperti communitarian justice (keadilan komunitarian), positive justice (keadilan positif), relational justice (keadilan relasional), reparative justice (keadilan reparatif), dan community justice (keadilan masyarakat).18 Konsep restorative justice merupakan sebuah langkah dalam penyelesaian suatu kasus yang memberikan nuansa perlindungan, baik pada diri korban maupun pelaku tanpa harus melalui mekanisme peradilan. Dalam artian adanya saling musyawarah dan perdamaian antara kedua belah pihak. Hal ini juga bisa tergambar dari nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki oleh suatu daerah dalam menyelesaikan persoalan-persoalan hukum. Berdasarkan uraian di atas, maka kerangka pikir dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut: Budaya Huyula Budaya Pohala’a
Restorative Justice
Preventif Refresif Eva Achjani Zulfa, “Mendefinisikan Keadilan Restoratif,” dalam http://evacentre.blog (Mencegah) (Mengatasi) spot.com/2009/11/definisi-keadilan-restoratif.html, diakses tanggal 27 Mei 2014. 18
Kenakalan Remaja
17
Skema 1. Kerangka Pikir
F. Metode Penelitian 1.
Jenis Penelitian Di dalam penelitian hukum dikenal adanya keragaman metode yang dapat
digunakan untuk itu. Keragaman metode ini tidak terlepas dari adanya keragaman konsep yang dihasilkan orang tatkala harus mendefinisikan apakah sesungguhnya hukum itu, yang kemudian menghasilkan beragam makna.19 Keragaman makna hukum ini, pada gilirannya akan berimplikasi pada metode apa yang akan digunakan dalam penelitian hukum. Selain metode penelitian hukum normatif (doktrinal), dalam kajian ilmu hukum juga dikenal adanya metode penelitian hukum empirik (non-doktrinal). FX. Aji Samekto menyatakan, metode apa pun yang menjadi pilihan maka muara dari kajian ilmu hukum tetap sama yaitu 19
Soetandyo Wignyosoebroto menyatakan, bahwa hingga saat ini tercatat sekurangkurangnya ada lima konsep hukum yang dikemukakan orang, yaitu hukum dalam konsep hukum alam, hukum dalam konsep hukum positif, hukum dalam konsep keputusan hakim, hukum dalam konsep realitas sosial yang empirisme, dan hukum dalam konsep realitas sosial yang simbolisme. Dalam konsepnya yang pertama melahirkan penelitian normative metafisik-filosofik, dan dalam konsep yang kedua dan ketiga melahirkan penelitian normative yuridik-positifistik (doktrinal). Sedangkan dalam konsep yang keempat dan kelima melahirkan penelitian sosial yang empirik tentang hukum (non-doktrinal). Soetandyo Wignyosoebroto, “Lima Konsep Hukum dan Lima Metode Penelitiannya,” Makalah yang disampaikan sebagai bahan kuliah pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1999, h. 1-6.
18
mewujudkan tujuan hukum yang diidentifikasikan, menstabilkan pergaulan hidup, merealisasikan ketertiban dan perdamaian serta mewujudkan keadilan.20 Dari ragam metode penelitian hukum, maka tipe penelitian yang digunakan dalam rangka penulisan penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian di sini tidak semata-mata menelaah hukum sebagai sederetan norma atau kaidah perundang-undangan yang berhubungan dengan kenakalan remaja dan proses hukumnya, tetapi juga menelaah bagaimana agar hukum berpengaruh positif dalam kehidupan masyarakat. 2.
Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan dua metode pendekatan, yaitu pendekatan
yuridis dan pendekatan budaya. Pendekatan yuridis akan menelaah secara mendalam
terhadap
asas-asas
hukum,
peraturan
perundang-undangan,
yurisprudensi dan pendapat para ahli hukum. Artinya bahwa bukan saja hukum sebagai seperangkat kaidah yang bersifat normatif atau apa yang menjadi teks undang-undang (law in book), tetapi juga melihat bagaimana bekerjanya hukum (law in action). Sedangkan pendekatan sosial-budaya adalah mencermati kondisi sosial masyarakat dan aspek-aspek budaya yang melekat secara turun temurun dan masyakat tersebut menjadikannya sebagai bentuk nilai-nilai yang diperpegangi dalam kesehariannya. 3.
Teknik Pengumpulan Data
20
FX. Aji Samekto, Justice Not For All: Kritik terhadap Hukum Modern dalam Perspektif Studi Hukum Kritis (Yogyakarta: Genta Press, 2008), h. 11.
19
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini didasarkan atas permasalahan yang dibahas. Olehnya itu digunakan metode library research (penelitian kepustakaan) dan field research (penelitian lapangan). Untuk keperluan penelitian kepustakaan, peneliti menggunakan beberapa buku yang bertemakan hukum atau yang terkait dengan judul penelitian ini. Sedangkan untuk keperluan penelitian lapangan, peneliti menggunakan metode: a.
Pengamatan (Observasi) Observasi adalah upaya peneliti untuk menjelajahi dan melacak
sememadai mungkin realitas fenomena yang tengah diteliti.21 Teknik ini digunakan peneliti untuk mengamati permasalahan tentang kenakalan remaja di Gorontalo. b.
Wawancara (Interview) Wawancara adalah salah satu bentuk teknik dan instrumen pengumpulan
data yang biasa digunakan pada penelitian deskriptif kualitatif maupun deksriptif kuantitatif. Wawancara sebagai bentuk komunikasi vertikal dan proses interaksi antara peneliti dengan sumber data yang berfungsi sangat efektif, karena wawancara juga dapat difungsikan sebagai alat bantu dari teknik observasi. Arikunto mengemukakan dalam meng-interview ada 3 (tiga) bentuk atau cara, yaitu:
21
Menurut Sanapiah Faisal, hal-hal yang dapat diobservasi adalah apa yang terlihat, terdengar, atau terasakan. Kesemuanya dipandang sebagai hamparan kenyataan yang mungkin dapat diangkat sebagai data penelitian. Lihat Sanapiah Faisal, “Pengumpulan dan Analisis Data dalam Penelitian Kualitatif,” dalam Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi (Cet. 2; Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), h. 66.
20
1) Interview bebas (inguided interview), yaitu pewawancara bebas menanyakan apa saja, tetapi juga mengingat akan data apa yang akan dikumpulkan. 2) Interview terpimpin (guided interview), yaitu interview yang dilakukan oleh pewawancara dengan membawa sederetan atau beberapa pertanyaan lengkap dan terperinci. 3) Interview bebas terpimpin, yaitu kombinasi antara interview bebas dan interview terpimpin.22 Kaitannya dengan penelitian ini, peneliti menggunakan jenis interview terpimpin dengan maksud untuk menemukan tingkat validitas data-data yang diperlukan. 4.
Teknik Analisis Data Untuk menganalisis data yang sudah dikumpulkan, peneliti menggunakan
teknik analisis deskriptif kualitatif. Teknik analisis ini memberi gambaran tentang alur logika analisis data, sekaligus memberi masukan terhadap teknik analisis data kualitatif yang digunakan.23 Dalam
teknik
analisis
data
kualitatif
yang
dilakukan, peneliti juga menggunakan data kuantitatif yang diperoleh dari hasil penyebaran angket terhadap responden. Penggunaan data kuantitatif tersebut dimaksudkan untuk mempertajam dan sekaligus memperkaya analisis kualitatif
22
Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), h. 201. 23
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Cet. 10; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999), h. 3.
21
itu sendiri.24
Untuk menganalisis data, peneliti menggunakan display (tampilan)
data melalui 3 (tiga) alur kegiatan, yaitu: a.
Reduksi data (data reduction); dalam hal ini peneliti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting dari catatancatatan tertulis yang diperoleh di lapangan.
b.
Penyajian data (data display); setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah menyajikan data. Penyajian data yang dilakukan peneliti adalah dalam bentuk uraian singkat, tabel dan gambar. Dalam hal ini yang paling sering digunakan untuk menyajikan data pada penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif (cerita).
c.
Penarikan kesimpulan dan verifikasi (conclucion drawing/verification); pada tahap ini, kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat untuk mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Akan tetapi apabila kesimpulan yang diambil pada tahap awal didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan untuk menyimpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.25
Burhan Bungin, “Teknik-teknik Analisis Kualitatif dalam Penelitian Sosial,” dalam Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi (Cet. 2; Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), h. 83-84. 24
25
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2005), h. 92.
BAB II KENAKALAN REMAJA DAN PROBLEMATIKANYA DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT
A. Pengertian Remaja dan Kenakalan Remaja 1.
Pengertian Remaja Masa remaja merupakan masa transisi yang rentang terhadap perilaku
penyimpangan sosial. Hurlock berpendapat bahwa remaja merasakan keraguan akan peran yang harus dilakukan. Status remaja yang tidak jelas ini juga menguntungkan karena status tersebut memberi waktu kepada remaja untuk mencoba gaya hidup yang berbeda dan menentukan pola perilaku, nilai, dan sifat yang sesuai bagi dirinya.1 Istilah remaja berasal dari bahasa latin “adolescere” yang berarti tumbuh menjadi dewasa atau dalam perkembangan menjadi dewasa, sehingga menurut bahasa aslinya, remaja sering dikenal dengan istilah “adolescence”. Menurut Piaget, istilah “adolescence” yang dipergunakan saat ini mempunyai arti yang lebih luas mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik.2 Menurut Muhammad Ali dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern, mengungkapkan bahwa remaja adalah mulai dewasa, sudah sampai waktu untuk kawin.3 Monks mengatakan bahwa masa remaja berlangsung antara
E. B. Hurlock, E.B. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, terj. Istiwidayanti. (Jakarta: Erlangga, 1980), h. 34. 1
2
Desmita, Psikologi Perkembangan (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), h. 189.
3
M. Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern (Jakarta: Pustaka Amani, t.th.), h.
351.
22
23
usia 12 tahun sampai 21 tahun. Dengan pembagian 2 tahun sampai 15 tahun: masa remaja awal; 15 tahun sampai 18 tahun: masa remaja pertengahan; dan 18 tahun sampai 21 tahun: masa remaja akhir.4 Masa remaja adalah masa yang labil, kerena merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Bagian pertama dari masa remaja ditandai dengan perubahan-perubahan pada jasmaninya, tinggi dan berat badannya bertambah relatif lebih cepat, di samping perubahan proporsi badannya serta timbul tanda-tanda kelamin sekunder. Pada anak laki laki suaranya mulai berat, timbul kumis dan bulu betis, otot-ototnya mulai kelihatan kekar, sedangkan pada anak perempuan payudara mulai membesar serta mulai menstruasi. Selain itu, perkembangan intelektualnya ditandai dengan bertambahnya kemampuan daya abstraksi, kemampuan konseptual, kemampuan memahami suatu persoalan, daya imajinasi, serta kemampuan untuk berkomunikasi dan menyesuaikan diri dengan dunia luar. Bagian kedua dari masa remaja, yaitu pada usia 18-20 tahun identitas diri remaja mulai berkembang. Ia mulai melepaskan diri dari keterikatannya pada orang tuanya. Remaja mulai otonom terhadap orangtuanya walaupun secara finansial belum bisa berdiri sendiri. Selanjutnya perkembangan normal suatu remaja, adakalanya mengalami hambatan atau penyimpangan, karena sejak usia yang lebih dini (masa bayi dan kanak-kanak) tidak berkembang sebagaimana mestinya, sehingga masa remaja yang labil itu sering terjadi keteganganketegangan dalam diri remaja itu sendiri, maupun ketegangan antara remaja 4 Monks, dkk. Psikologi Perkembangan Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. (Yogyakarta: Gadjahmada University Press, 2006), h. 262.
24
dengan orangtua atau gurunya. Ketegangan dapat terjadi karena pertentangan dalam dirinya antara dorongan untuk mencoba coba hal-hal yang baru baginya, mencari pengalaman baru, keinginan akan bertanya tentang sesuatu di satu pihak, norma, nilai-nilai kehidupan, harapan orang tua dan masyarakat untuk tidak melakukan sesuatu yang mengundang resiko bahaya, atau melakukan hal-hal yang tabu atau rawan. Interkasi sosial remaja dalam kehidupan sehari-harinya menggunakan media sosial atau lingkungan sosial tertentu. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh pengetahuan yang diserap dalam lingkungan sosial tersebut, sehingga kehidupan remaja menjadi fase dalam mengenal berbagai keadaan dalam kehidupan sosialnya. 2. Pengertian Kenakalan Remaja Berbagai pengertian dikemukan oleh para ilmuwan untuk menjelaskan pengertian kenakalan remaja. Sudarsono mengemukakan bahwa istilah kenakalan remaja merupakan kata lain dari kenakalan anak yang terjemahan dari “juvenile delinquency.”5 Kartini Kartono menjelaskan bahwa kata juvenile berasal dari bahasa Latin “juvenilis” yang artinya anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda, sifat-sifat khas pada periode remaja. Sedangkan kata delinquent juga berasal dari bahasa Latin “delinquere” yang artinya terabaikan, mengabaikan, dan kemudian diperluas artinya menjadi jahat, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau, penteror, tidak dapat diperbaiki lagi, durjana dan
5
Sudarsono, Etika Islam tentang Kenakalan Remaja (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1991), h.
5.
25
dursila.6 Dengan kata lain, kenakalan anak dan remaja dimaknai sebagai suatu bentuk perilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma yang hidup di tengah masyarakat. Perilaku anak yang tidak sesuai dengan norma itu dianggap sebagai anak yang cacat sosial.7 Bimo Walgito mengemukakan pengertian kenakalan remaja sebagaimana dikutip Sudarsono bahwa arti “juvenile delinquency” yaitu tiap perbuatan, jika perbuatan tersebut dilakukan oleh orang dewasa, maka perbuatan itu merupakan kejahatan, jadi merupakan perbuatan melawan hukum jika dilakukan oleh anak, khususnya anak remaja.8 Peter Salim dan Yeni Salim menjelaskan bahwa kata “nakal” dalam istilah bahasa Indonesia diartikan sebagai perbuatan yang tidak baik (tidak mematuhi adanya norma dan peraturan yang ada). Akar kata “nakal” terbentuk kata “kenakalan” yang berarti memiliki sifat nakal atau perbuatan nakal. Artinya kenakalan adalah perilaku yang menyimpang dari norma dan hukum yang berlaku di masyarakat.9 Evi Aviyah dan Muhammad Farid mengutip pendapat Santrock bahwa kenakalan remaja sebagai kumpulan dari berbagai perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial sampai tindakan kriminal.10 Sebagaimana juga disepakati oleh Badan Peradilan Amerika Serikat pada saat pembahasan Undang-Undang 6
Kartini Kartono, Psikologi Sosial 2: Kenakalan Remaja (Jakarta: Rajawali Press, 2003),
h. 6. 7
Kartini Kartono, Psikologi Sosial 2: Kenakalan Remaja …, h. 93.
8
Sudarsono, Etika Islam tentang Kenakalan Remaja …, h. 11.
9
Peter Salim dan Yeni Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (Jakarta: Modern English Press, 1991), h. 1020. 10 Evi Aviyah dan Muhammad Farid, “Religiusitas, Kontrol Diri dan Kenakalan Remaja,” Persona, Jurnal Psikologi Indonesia, Mei 2014, Vol. 3, No. 02, h. 127.
26
Peradilan Anak di negara tersebut sepakat bahwa kenakalan anak merupakan perbuatan atau tingkah laku yang bersifat anti sosial.11 Berdasasarkan beberapa pengertian kenakalan remaja di atas, maka kesimpulannya bahwa kenakalan remaja adalah sebuah perilaku yang dilakukan oleh seorang anak yang dalam proses transisi ke remaja yang perbuatannya merupakan perilaku menyimpang dan berdampak kepada tindakan pelanggaran hukum.
B. Bentuk-Bentuk Kenakalan Remaja Kenakalan remaja dalam studi sosial dapat dikategorikan ke dalam perilaku menyimpang. Hal ini terjadi karena terdapat penyimpangan perilaku dari aturan-aturan sosial atau pun dari norma sosial yang berlaku. Perilaku yang menyimpang dapat dianggap sebagai sebuah sumber masalah yang dapat membahayakan tegaknya sistem sosial dalam masyarakat. Kenakalan remaja adalah sebuah kelainan tingkah laku atau tindakan remaja yang anti sosial, melanggar norma sosial, agama serta ketentuan hukum yang berlaku dalam masyarakat.
Ada berbagai bentuk kenakalan yang dapat terjadi dalam kehidupan sosial seorang remaja. Sunarwiyati berpendapat sebagaimana dikutip Saliman bahwa menurut bentuknya kenakalan remaja dibagi ke dalam tiga tingkatan: (1) kenakalan biasa, seperti suka berkelahi, suka keluyuran, membolos sekolah, pergi dari rumah tanpa pamit; (2) kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan 11
Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak (Bandung: Refika Aditama, 2008), h. 9.
27
kejahatan seperti mengendarai mobil tanpa Surat Izin Mengemudi (SIM), mengambil barang orang tua tanpa izin; (3) kenakalan khusus seperti penyalahgunaan narkotika, hubungan seks di luar nikah, pemerkosaan dan lainlain.12 Singgih D. Gumarso mengatakan dari segi hukum kenakalan remaja digolongkan dalam dua kelompok yang berkaitan dengan norma-norma hukum, yaitu: (1) kenakalan yang bersifat amoral dan sosial serta tidak diantar dalam undang-undang sehingga tidak dapat atau sulit digolongkan sebagai pelanggaran hukum; (2) kenakalan yang bersifat melanggar hukum dengan penyelesaian sesuai dengan undang-undang dan hukum yang berlaku sama dengan perbuatan melanggar hukum bila dilakukan orang dewasa.13 Menurut Kartono, bentuk-bentuk perilaku kenakalan remaja dibagi menjadi empat berdasarkan faktor penyebab dan ciri-ciri tingkah laku yang ditimbulkan,14 yaitu:
1.
Kenakalan terisolir (delinkuensi terisolir) Kelompok ini merupakan jumlah terbedar dari remaja nakal. Pada
umumnya remaja nakal tidak menderita kerusakan psikologis. Perbuatan nakal remaja nakal didorong oleh faktor-faktor sebagai berikut:
12
Saliman, “Kenakalan Remaja sebagai Perilaku Menyimpang Hubungannya dengan Keberfungsian Sosial Keluarga,” http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pengabdian/saliman-drsmpd/kenakalan-remaja.pdf (diakses tanggal 14 Agustus 2015). 13
Singgih D. Gumarso, et. al., Psikologi Remaja (Jakarta: BPK Gunung Mulya, 1988), h.
19. 14
Kartini Kartono, Psikologi Sosial 2: Kenakalan Remaja …, h. 96-100.
28
a.
Keinginan meniru dan ingin konform dengan kelompoknya, tidak ada motivasi, kecemasan atau konflik batin yang tidak dapat diselesaikan.
b.
Remaja nakal kebanyakan berasal dari daerah kota yang transisional sifatnya yang memiliki sub kultur kriminal. Sejak kecil remaja melihat adanya kelompok-kelompok kriminal sampai kemudian ikut bergabung. Remaja merasa diterima, mendapatkan kedudukan hebat, pengakuan dan prestasi tertentu.
c.
Pada umumnya remaja berasal dari keluarga berantakan, tidak harmonis, dan mengalami banyak frustasi. Sebagai jalan keluarnya, remaja memuaskan semua kebutuhan dasarnya di tengah lingkungan kriminal. Kelompok remaja nakal memberikan alternatif hidup yang menyenangkan.
d.
Remaja dibesarkan dalam keluarga tanpa atau sedikit sekali mendapatkan supervisi dan latihan kedisiplinan yang teratur, sebagai akibatnya remaja tidak sanggup menginternalisasikan norma hidup normal. Remaja nakal mencari panutan dan rasa aman dari kelompoknya, namun pada usia dewasa mayoritas remaja nakal ini meninggalkan perilaku kriminalnya, paling sedikit 60% dari remaja menghentikan perilakunya pada usia 21-23 tahun. Hal ini disebabkan oleh proses pendewasaan dirinya, sehingga remaja menyadari adanya tanggung jawab sebagai orang dewasa yang mulai memasuki peran sosial yang baru.
2.
Kenakalan neurotik (delinkuensi neorotik)
29
Pada umumnya remaja nakal tipe ini menderita gangguan kejiwaan yang cukup serius, antara lain berupa kecemasan, merasa selalu tidak aman, merasa bersalah dan berdosa dan lain sebagainya. Ciri-ciri perilakunya adalah: a.
Perilaku nakalnya bersumber dari sebab-sebab psikologis yang sangat dalam, dan bukan hanya berupa adaptasi pasif menerima norma dan nilai sub kultur kelompok yang kriminal itu saja.
b.
Perilaku kriminal remaja nakal merupakan ekspresi dari konflik batin yang belum terselesaikan, karena perilaku jahat merupakan alat pelepas ketakutan, kecemasan dan kebingungan batinnya.
c.
Biasanya remaja ini melakukan kejahatan seorang diri dan mempraktekkan jenis kejahatan tertentu, misalnya suka memperkosa kemudian membunuh korbannya, kriminal dan sekaligus neurotik.
d.
Remaja nakal ini banyak yang berasal dari kalangan menengah, namun pada umumnya keluarga mereka mengalami banyak ketegangan emosional yang parah, dan orangtuanya biasanya juga neurotik atau psikotik.
e.
Remaja memiliki ego yang lemah dan cenderung mengisolir diri dari lingkungan.
f.
Motif kejahatannya berbeda-beda. Remaja nakal ini melakukan berbagai kejahatan, seperi mencuri, membunuh, menganiaya dan lain sebagainya.
g.
Perilakunya menunjukkan kualitas kompulsif (paksaan). Remaja ini dalam berbuat kenakalan tidak serta merta merupakan sesuatu yang biasa dilakukan, namun kualitasnya paksaan disebabkan ingin memperoleh perhatian dari kalangan tertentu.
30
3.
Kenakalan psikotik (delinkuensi psikopatik) Kenakalan ini sedikit jumlahnya, akan tetapi dilihat dari kepentingan
umum dan segi keamanan. Remaja psikopatik merupakan oknum kriminal yang paling berbahaya. Ciri tingkah laku remaja ini antara lain: a.
Hampir seluruh remaja ini berasal dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang ekstrim, brutal, diliputi banyak pertikaian keluarga, berdisiplin keras, namun tidak konsistensi, dan orang tuanya selalu menyia-nyiakan remaja ini, sehingga remaja psikopatik tidak mempunyai kapasitas untuk menumbuhkan afeksi dan tidak mampu menjalin hubungan emosional yang akrab dan baik dengan orang lain.
b.
Remaja psikopatik tidak mampu menyadari arti bersalah, berdosa, atau melakukan pelanggaran.
c.
Bentuk kejahatannya majemuk, tergantung pada suasana hatinya yang kacau dan tidak dapat diduga. Remaja psikopatik pada umumnya sangat agresif dan impulsif, biasanya remaja ini residivis yang berulang kali keluar masuk penjara dan sulit sekali diperbaiki.
d.
Remaja tipe ini selalu gagal dalam menyadari dan menginternalisasikan norma-norma sosial yang umum berlaku, juga tidak peduli terhadap norma sub kultur kelompoknya sendiri.
e.
Kebanyakan dari remaja tipe psikopatik juga menderita gangguan neurologis, sehingga mengurangi kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri. Psikopat merupakan bentuk kekalutan mental dengan karakteristik, antara lain: tidak memiliki pengorganisasian dan integrasi diri; orangnya tidak pernah
31
bertanggung jawab secara moral; selalu mempunyai konflik dengan norma sosial dan hukum. Remaja tipe ini sangat egoistik, anti sosial dan selalu menentang apa dan siapa pun, sikapnya kasar, kurang ajar dan sadis terhadap siapa pun tanpa sebab. 4.
Kenakalan defek moral (delinkuensi defek moral) Defek (defect, defectus) artinya rusak, tidak lengap, salah, cedera, cacat,
kurang. Kenakalan tipe ini mempunyai ciri-ciri selalu melakukan tindakan anti sosial, walaupun pada dirinya tidak terdapat penyimpangan, namun ada disfungsi pada inteligensinya. Kelemahan para remaja ini adalah mereka tidak mampu mengendalikan dan mengaturnya, selalu ingin melakukan perbuatan kekerasan, penyerangan dan kejahatan, rasa kemanusiaannya sangat terganggu, sikapnya sangat dingin tanpa afeksi. Remaja nakal merasa cepat puas dengan prestasinya, namun perbuatannya sering disertai agresivitas yang meledak. Remaja yang defek moralnya biasanya menjadi penjahat yang sukar diperbaiki. Di antara penjahat residivis, kurang lebih 80% mengalami kerusakan psikis berupa disposisi dan perkembangan mental yang salah atau menderita defek mental, dan kurang dari 20% yang menjadi penjahat disebabkan oleh faktor sosial atau lingkungan sekitar. Jensen membagi kenakalan remaja menjadi empat bentuk berdasarkan kerugian yang ditimbulkan. Hal ini sebagaimana dikutip Sarwono, yaitu: 1.
Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain, seperti perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan.
2.
Kenakalan yang menimbulkan korban materi, seperti: perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan.
32
3.
Kenakalan sosial yang menimbulkan bahaya diri sendiri dan oran lain, seperti pelacuran, penyalahgunaan obat terlarang, kebut-kebutan dan hubungan seks bebas.
4.
Kenakalan yang melawan status, menimbulkan pelanggaran hukum atau aturan, seperti mengingkari status anak; pelajar membolos, minggat dari rumah, membantah perintah.15 Mulyono menggolongkan bentuk kenakalan remaja menjadi dua kelompok
besar sesuai kaitannya dengan norma hukum, yaitu: 1.
Kenakalan yang bersifat amoral dan anti sosial yang tidak diatur oleh undangundang, sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum, seperti membolos, berbohong atau memutar balikkan kenyataan dengan tujuan menipu diri,
berpakaian
tidak
pantas,
memiliki
dan
membawa
benda
yang
membahayakan orang lain, meminum-minuman keras, menggunakan bahasa yang tidak sopan dan tidak senonoh, kabur dari rumah, keluyuran atau pergi sampai larut malam, dan bergaul dengan teman yang dapat menimbulkan pengaruh negatif.
2.
Kenakalan yang bersifat melanggar hukum dengan penyelesaiannya sesuai dengan undang-undang dan hukum, seperti berjudi, mencuri, menjambret, merampok, merampas dengan atau tanpa kekerasan, menggelapkan barang, penipuan dan pemalsuan, memiliki dan membawa senjata tajam yang dapat
15 Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja, Edisi Revisi (Jakarta: Rajawali Press, 2010), h. 256.
33
membahayakan orang lain, pengguguran kandungan, percobaan atau terlibat pembunuhan dan penganiayaan.16 Kesimpulannya bahwa bentuk kenakalan remaja itu terbagi menjadi tiga, sebagai berikut: 1.
Kenakalan ringan/biasa; kenakalan ini bersifat amoral dan anti sosial, yaitu kenakalan yang melanggar aturan-aturan yang ada di sekitar lingkungan tempat individu berada, misalnya lingkungan sekolah dan lingkungan keluarga. Kenakalan ini tidak diatur oleh undang-undang dan tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum, seperti membolos, suka keluyuran, suka berkelahi, berpakaian tidak sopan, berkata tidak sopan dan senonoh, dan meninggalkan rumah tanpa izin orang tua dimana kenakalan ini merupakan kenakalan yang melawan status.
2.
Kenakalan sedang, yaitu jenis kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan. Kenakalan ini diatur oleh hukum dan dapat merugikan masyarakat, seperti mengendarai mobil tanpa Surat Izin Mengemudi (SIM), mengambil barang orang tua tanpa izin yang dapat menimbulkan korban fisik dan materi pada orang lain.
3.
Kenakalan berat/khusus, yaitu kenakalan yang melanggar hukum dan mengarah kepada tindakan kriminal, seperti berjudi, mencuri, menjambret, penipuan, penyalahgunaan narkoba, pemerkosaan, hubungan seks di luar nikah, penggelapan barang dan terlibat pembunuhan serta penganiayaan. Kenakalan ini
16 Y. Bambang Mulyono, Pendekatan Analisis Penanggulangannya (Yogyakarta: Kanisius, 1993), h. 22-24.
Kenakalan
Remaja
dan
34
merupakan kenakalan yang dapat menimbulkan korban fisik, menimbulkan korban materi dan tidak menimbulkan korban di di pihak orang lain.
Bentuk-bentuk kenakalan yang dilakukan remaja di atas pada intinya merupakan suatu pelanggaran batas-batas konsep dan kewajaran yang berlaku dalam masyarakat dan perbuatan yang menyimpang dari norma-norma dalam masyarakat, serta dapat mengakibatkan pelanggaran hukum.
C. Faktor-Faktor Terjadinya Kenakalan Remaja Ada berbagai faktor yang menyebabkan kenakalan terjadi pada remaja, antara lain: 1.
Kegagalan dalam mengontrol diri Menurut Santrock, salah satu penyebab kenakalan pada remaja yaitu
kegagalan remaja untuk mengembangkan kontrol diri yang cukup dalam hal tingkah laku. Menurutya beberapa anak gagal mengembangkan kontrol yang esensial yang sudah dimiliki orang lain selama proses pertumbuhan. Kebanyakan mereka telah mempelajari perbedaan antara tingkah laku yang dapat diterima dan tingkah laku yang tidak dapat diterima. Namun remaja yang melakukan kenakalan tidak mengenali hal ini. Mereka mungkin gagal membedakan tingkah laku yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima, atau mungkin sebenarnya mereka sudah mengetahui perbedaan antara keduanya namun gagal mengembangkan
35
kontrol yang memadai dalam menggunakan perbedaan itu untuk membimbing tingkah laku para remaja tersebut.17 Kartono mengemukakan bahwa pada umumnya kenakalan merupakan kegagalan dari sistem pengontrol diri terhadap aksi-aksi instinktif; juga menampilkan ketidakmampuan seseorang mengendalikan emosi-emosi primitif untuk disalurkan pada perbuatan yang bermanfaat.18 Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Faridh bahwa ada korelasi negatif yang signifikan antara regulasi emosi dengan kecenderungan kenakalan remaja.19 2.
Faktor individu Jensen dalam Sarwono mengatakan bahwa kenakalan remaja disebabkan
karena remaja lebih mementingkan faktor individu dibandingkan dengan faktor lingkungan (rational choice). Kenakalan yang dilakukannya adalah atas pilihan, interest, dan motivasi atau kemauannya sendiri. Misalnya kenakalan remaja disebabkan karena kurangnya iman dalam diri remaja itu sendiri.20 3.
Religiusitas remaja Kenakalan remaja juga bisa dipengaruhi oleh religiusitas remaja.
Diasumsikan jika remaja memiliki religiusitas rendah maka tingkat kenakalannya tinggi artinya dalam berperilaku tidak sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya
17
John W. Santrock, Adolescence Perkembangan Remaja (Jakarta: Erlangga, 2003), h.
524. 18
Kartini Kartono, Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan (Bandung: Mandar Maju, 2007), h. 227. 19
Ridhayati Faridh, “Hubungan antara Religiusitas dengan Kecenderungan Kenakalan Remaja,” Penelitian (Jakarta: Universitas Islam Indonesia, 2008), h. 9. 20
Sarlito W. Sarwono, Psikologi Remaja, Edisi Revisi (Jakarta: Rajawali Press, 2010), h.
255.
36
dan sebaliknya semakin tinggi religiusitas maka semakin rendah tingkat kenakalan pada remaja artinya dalam berperilaku sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya karena ia memandang agama sebagai tujuan utama hidupnya sehingga ia berusaha menginternalisasikan ajaran agamanya dalam perilakunya seharihari.21 Hal tersebut dapat dipahami karena agama mendorong pemeluknya untuk berperilaku baik dan bertanggungjawab atas perbuatannya. Selain itu agama mendorong pemeluknya untuk berlomba-lomba dalam kebajikan. Hal senada juga dikemukakan oleh Sudarsono menurutnya anak-anak remaja yang melakukan kejahatan yang sebagian besar disebabkan karena lalai menunaikan perintah-perintah agama.22 Pendapat ini diperkuat oleh Sutoyo, menurutnya individu melakukan suatu penyimpangan disebabkan karena fitrah iman yang ada pada setiap individu tidak bisa berkembang dengan sempurna atau imannya berkembang tetapi tidak bisa berfungsi dengan baik, sehingga menyebabkan individu melakukan perbuatan-perbuatan yang bersifat negatif atau menyimpang dari aturan-aturan yang berlaku di lingkungannya. 23 Remaja yang kadar keimanannya masih labil akan mudah terjangkit konflik batin dalam berhadapan dengan kondisi lingkungan yang menyajikan berbagai hal yang menarik hati dan keinginannya, tetapi kondisi ini bertentangan dengan norma agama.24 Agama adalah unsur terpenting dalam diri seseorang.
21 Miftah A. Andisti dan Ritandiyono, “Religiusitas dan Perilaku Seks Bebas pada Dewasa Awal,” Jurnal Psikologi, Vol. 1, No. 2, h. 173. 22
Sudarsono, Kenakalan Remaja (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), h. 120.
23
Anwar Sutoyo, Bimbingan dan Konseling Islami: Teori & Praktik (Semarang: CV. Widya Karya Semarang, 2009), h. 99. 24 Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), h. 144.
37
Apabila keyakinan beragama telah menjadi bagian integral dalam kepribadian seseorang, maka keyakinanya itulah yang akan mengawasi segala tindakan, perkataan bahkan perasaannya. Menurut Desmita, dibandingkan dengan masa anak-anak keyakinan agama remaja telah mengalami perkembangan yang cukup berarti. Pada masa remaja, mereka mungkin berusaha mencari sebuah konsep yang lebih mendalam tentang Tuhan dan eksistensinya.25 Dengan kata lain, perkembangan pemahaman remaja terhadap keyakinan agama ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan kognitifnya. Pendapat ini diperkuat oleh Seifert dan Hoffnung sebagaimana dikutip Desmita, menurutnya meskipun pada awal masa kanak-kanak ia telah diajarkan agama oleh orang tua mereka, namun karena pada masa remaja mereka mengalami
kemajuan
dalam
perkembangan
kognitif,
mereka
mungkin
mempertanyakan tentang kebenaran keyakinan agama mereka sendiri.26 Jalaluddin mengungkapkan bahwa usia remaja memang dikenal sebagai usia rawan. Remaja memiliki karakteristik khusus dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Remaja memiliki sikap kritis terhadap lingkungan yang sejalan dengan perkembangan intelektual yang dialaminya. Bila persoalan tersebut gagal diselesaikan, maka para remaja cenderung untuk memilih jalannya sendiri.27 Situasi kebingungan dan konflik batin menyebabkan remaja berada di persimpangan jalan. Dalam situasi yang semacam ini, maka peluang munculnya perilaku menyimpang terkuak lebar. Penyelesaian yang mungkin dilakukan sangat 25
Desmita, Psikologi Perkembangan (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008), h. 208.
26
Desmita, Psikologi Perkembangan …, h. 208.
27
Jalaluddin, Psikologi Agama, Edisi Revisi (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), h.
80.
38
tergantung dari kemampuan memilih. Bila tingkat rasa bersalah dan berdosa yang lebih dominan, biasanya remaja cenderung untuk mencari jalan pengampunan, sebaliknya bila perilaku menyimpang dianggap sebagai pembenaran, maka keterlibatan mereka pada perilaku menyimpang akan semakin besar. Tindakan ini akan mendorong mereka terbiasa dengan pekerjaan tercela itu. Jalaluddin mengungkapkan bahwa tingkat religiusitas pada remaja akan berpegaruh terhadap perilakunya. Apabila remaja memiliki tingkat religiusitas yang tinggi, maka remaja akan menunjukkan perilaku ke arah hidup yang religius pula, sebaliknya remaja yang memiliki tingkat religiusitas rendah, mereka akan menunjukkan perilaku ke arah hidup yang jauh dari religius pula. Hal ini berarti remaja memiliki potensi untuk melakukan penyimpangan-penyimpangan atau kenakalan-kenakalan terhadap ajaran agama yang dianutnya. 28 4.
Ekses dari struktur keluarga berantakan dan kriminal Keluarga dan rumah tangga merupakan unit sosial terkecil yang
memberikan pondasi primer bagi perkembangan anak dengan lingkungan sekitar. Oleh karena itu baik buruknya struktur keluarga dan masyarakat sekitar memberikan pengaruh baik atau pertumbuhan kepribadian anak.
Kualitas rumah tangga jelas memainkan peran paling besar dalam membentuk kepribadian remaja delinkuen. Misalnya, rumah tangga berantakan disebabkan oleh kematian ayah atau ibu, perceraian, hidup terpisah, poligami.
28
Jalaluddin, Psikologi Agama …, h. 75.
39
Ayah mempunyai simpanan istri lain dan lain-lain. Semua itu merupakan sumber yang subur untuk memunculkan kenakalan remaja, disebabkan anak kurang mendapat perhatian, kasih sayang, dan tuntunan pendidikan orang tua, kebutuhan fisik maupun psikis anak-anak remaja menjadi tidak terpenuhi, dan anak-anak tidak pernah mendapatkan latihan fisik dan mental. Akibatnya anak menjadi risau, binggung, sedih, malu, sering meliputi perasaan dendam benci, sehingga anak menjadi kacau dan liar dan kemudian mereka mencari kompensasi bagi kerisauan batin sendiri di luar lingkungan keluarga, yaitu menjadi orang kriminal.
D. Upaya Penanggulangan Kenakalan Remaja Masa remaja sebagai periode merupakan suatu periode yang sarat dengan perubahan dan rentan munculnya masalah kenakalan remaja. Untuk itu perlu adanya perhatian khusus serta pemahaman yang baik serta penanganan yang tepat terhadap remaja merupakan faktor penting bagi keberhasilan remaja di kehidupan selanjutnya, mengingat masa ini merupakan masa yang paling menentukan. Upaya penanggulangan kenakalan anak memang harus benar-benar dilakukan sedini mungkin. A Phelps dan Henderson mengemukakan sebagaimana dikutip Sarwirini berdasarkan suatu penelitian ditemukan bahwa 80% anak-anak delinkuen jika tidak ditangani secara benar akan dapat berkembang menjadi penjahat (criminal) pada masa dewasanya. Di lain pihak, kejahatan atau kenakalan anak itu sendiri sangat kompleks, oleh karena itu banyak teori atau pendekatan yang membahas permasalahan kenakalan anak. Dalam perspektif kriminologi,
40
para ahli sering membahasnya melalui pendekatan-pendekatan (approaches) biologis, psikologis, dan sosial.29 Kartini Kartono mengemukakan bahwa tindakan kenakalan anak remaja banyak menimbulkan kerugian materiil dan kesengsaraan batin, baik pada subyek pelaku sendiri maupun pada para korbannya. Oleh karena itu, masyarakat dan pemerintah dipaksa untuk melakukan tindak preventif dan penanggulangan secara kuratif.30 1.
Tindakan Preventif Tindakan preventif adalah sebuah usaha yang dilakukan individu dalam
mencegah terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan. Prevensi secara etimologi berasal dari bahasa latin, pravenire yang artinya datang sebelum atau antisipasi atau mencegah untuk tidak terjadi sesuatu. Dalam pengertian yang sangat luas, prevensi diartikan sebagai upaya secara sengaja dilakukan untuk mencegah terjadinya gangguan, kerusakan, atau kerugian bagi seseorang atau masyarakat.31 Tindakan preventif untuk penanggulangan kenakalan remaja antara lain: (a) meningkatkan kesejahteraan keluarga; (b) perbaikan lingkungan, yaitu daerah slum, kampung-kampung miskin; (c) mendirikan klinik bimbingan psikologis dan edukatif untuk memperbaiki; (d) tingkah laku dan membantu remaja dari kesulitan mereka; (e) menyediakan tempat rekreasi yang sehat bagi remaja; (f) membentuk badan kesejahteraan bagi anak-anak; (g) mengadakan panti asuhan; (h) 29
Sarwirini, “Kenakalan Anak (Juvenile Deliquency): Kausalitas dan Upaya Penanggulangannya,” Perspektif, Volume XVI No. 4 Tahun 2011 Edisi September, h. 249. 30
Kartini Kartono, Patologi Sosial 2: Kenakalan Remaja …, h. 95-97.
31 Yuni Oktavia, “Promotif, Preventif, Kuratif, Rehabilitatif,” http://yunivia88.blogspot.co.id /2013/05/promotifpreventifkuratifrehabilitatif.html, diakses tanggal 12 Nopember 2015.
41
mengadakan
lembaga
freformatif
untuk
memberikan
latihan
korektif,
pengoreksian dan asistensi untuk hidup mandiri dan susial kepad anak-anak dan para remaja yang membutuhkan; (i) membuat badan supervise dan pengontrol terhadap kegiatan anak delinkuen, disertai program yang korektif; (j) mengadakan pengadilan anak; (k) menyusun undang-undang khusus untuk anak dan remaja; (l) mendirikan sekolah bagi anak gembel (miskin); (m) mengadakan rumah tahanan khusus untuk anak dan remaja; (n) menyelenggaran diskusi kelompok dan bimbingan kelompok untuk membangun kontak manusiawi di antara para remaja delinkuen dengan masyarakat luar; (o) mendirikan tempat latihan untuk menyalurkan kreativitas para remaja delinkuen dan yang nondelinkuen, misalnya berupa latihan vokasional, latihan hidup bermasyarakat, latihan persiapan untuk bertransmigrasi dan lain-lain; (p) Tindakan hukuman bagi anak remaja delinkuen antara lain berupa: menghukum mereka sesuai dengan perbuatannya, sehingga dianggap adil, dan bisa mengugah berfungsinya hati nurani sendiri untuk hidup susila dan mandiri.
2.
Tindakan Kuratif Tindakan kuratif adalah tindakan yang diambil setelah terjadinya tindak
penyimpangan sosial. Tindakan ini ditujukan untuk memberikan kesadaran kepada para pelaku penyimpangan agar dapat menyadari kesalahannya dan mau
42
serta mampu memperbaiki kehidupannya, sehingga di kemudian hari tidak lagi mengulangi kesalahannya.32 Tindakan kuratif bagi usaha penyembuhan anak dan remaja delinkuen berupa: (a) menghilangkan sebab-musabab timbulnya kejahatan remaja, baik yang berupa familial, sosial ekonomis dan kultural; (b) melakukan perubahan lingkungan dengan jalan memberikan orang tua angkat/asuh dan memberikan fasilitas yang diperlukan bagi perkembangan jasmani dan rohani yang sehat bagi anak-anak remaja; (c) memindahkan anak-anak nakal ke sekolah yang lebih baik, atau ke tengah lingkungan sosial yang baik; (d) memberikan latihan bagi para remaja untuk hidup teratur, tertib, berdisiplin; (e) memanfaatkan waktu senggang untuk membiasakan diri bekerja, belajar dan melakukan rekreasi sehat dengan disiplin tinggi; (f) menggiatkan organisasi pemuda dengan program-program latihan vokasional untuk mempersiapkan anak remaja delinkuen itu bagi pasaran kerja dan hidup di tengah masyarakat; (g) memperbanyak lembaga latihan kerja dengan program kegiatan pembangunan; (h) mendirikan klinik psikologi untuk meringankan dan memecahkan konflik emosional dan gangguan kejiwaan lainnya, memberikan pengobatan medis dan terapi psikoanalitis bagi mereka yang menderita gangguan kejiwaan. Untuk menanggulangi terjadinya tindak kenakalan remaja, maka tindakan preventif dan tindakan kuratif ini adalah sebuah langkah yang cukup strategis, di mana tindakan preventif adalah usaha untuk melakukan pencegahan supaya
32 Dimas Krisyanto, “Pengertian Tindakan Preventif, Represif, Persuasif, Kuratif, beserta Contoh Kasusnya,” http://globespotes.blogspot.co.id/2012/08/pengertian-tindakan-preventifrepresif. html, diakses tanggal 12 Nopember 2015.
43
remaja tidak melakukannya, sedangkan tindakan kuratif adalah usaha untuk melakukan pembinaan dan penyembuhan bagi yang remaja telah melakukan tindakan tersebut.
BAB III RESTORATIVE JUSTICE DAN HUKUM ADAT DI INDONESIA
A. Gambaran Umum Restorative Justice 1.
Pengertian Restorative Justice Restorative justice dalam pandangan beberapa masyarakat seperti
Braithwaite, Umbreit and Cary, Richardson, Graef dan Du Pont mengartikannya “as a philosophy, a prosecc, an idea, a theory and a intervention.”1 (sebagai sebuah filsafat, sebuah proses, suatu ide, sebuah teori dan suatu perantaraan). Restorative justice adalah peradilan yang menekankan perbaikan atas kerugian yang disebabkan atau terkait dengan tindak pidana dan dilakukan melalui proses kooperatif yang melibatkan semua pihak. Konsep restorative justice telah muncul lebih dari dua puluh tahun yang lalu sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana dengan pelaku anak. 2 Konsep asli praktek keadilan restoratif ini berasal dari praktek pemeliharaan perdamaian yang digunakan suku bangsa Maori, yaitu salah satu penduduk asli suku di Selandia Baru. Bilamana timbul konflik, praktek restoratif akan menangani pihak pelaku, korban, dan para stakeholders. Jeff Christian mengemukakan bahwa sesungguhnya peradilan restoratif telah dipraktekkan banyak masyarakat ribuan
1
Darrel Fox, “Social Welfare and Restorative Justice,” Journal Krimonologija Socijalna Integracija Year 2009, Vol. 17 Issue 1 Pagerecord No. 55-68, 2009, London Metropolitan University Department of Applied Social Sciences, h. 56. 2 Reyner Timothy Danielt, “Penerapan Restorative Justice Terhadap Tindak Pidana Anaka Pencurian oleh Anak Di Bawah Umur,” Lex et Societatis, Vol. II/No.6/Juli/2014, h. 18.
44
45
tahun yang lalu, jauh sebelum lahirnya hukum negara yang formalitas seperti sekarang yang kemudian disebut hukum modern. 3 Konsep restoratif justice dalam perkara pidana anak dan remaja yang mana perkara pidana dengan pelaku anak nenurut UU No. 1 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak menggunakan istilah anak yang berkonflik dengan hukum: “Anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi berlum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.4 Dalam Konveksi Hak Anak pasal 40 ayat (1) sebagaimana dikutip oleh Saraswati, anak yang berkonflik dengan hukum didefinisikan sebagai “anak yang disangka, dituduh, atau diakui sebagai anak yang telah melanggar undangundang hukum pidana.”5 Anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang kebutuhannya tidak terpenuhi, sering mengalami tindak kekerasan, berada di luar lingkungan keluarga dan membutuhkan perlindungan dan keamanan diri. Tentunya dalam hal ini peran dari orangtua utamanya serta masyarakat di sisi lain sangat diperlukan dalam memberikan perlindungan tersebut, apalagi jika anak tersebut telah melakukan tindak pidana. Banyaknya anak yang berkonflik dengan hukum yang melewati proses peradilan dan akhirnya dijatuhi pidana penjara, maka konsep restorative justice bisa dijadikan masukan dalam rangka memberikan perlindungan kepada anak yang berkonflik dengan hukum dengan tujuan utama adalah perbaikan atau 3
Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak, Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa Pemidanaan (Jakarta: Gramedia, 2010), h. 196. 4
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, pasal 1 ayat (3). 5 Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak di Indonesia (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2009), h. 113.
46
pergantian kerugian yang diderita oleh korban atau masyarakat akibat tindakan anak tersebut. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memberikan definisi restorative jusctise sebagaimana tertuang dalam Handbook on Restorative Justice Programmes disebutkan bahwa: Restorative justice is an approach to problem solving that, in its various forms, involves the victim, the offender, their social networks, justice agencies and the community.6 (Keadilan restoratif adalah sebuah pendekatan untuk pemecahan masalah itu, dalam berbagai bentuknya, melibatkan korban, pelaku, jaringan sosial mereka, lembaga peradilan dan masyarakat) Restorative justice merupakan suatu bentuk model pendekatan baru dalam menyelesaikan perkara pidana dengan fokus pendekatannya kepada pelaku, korban dan elemen-elemen masyarakat dalam proses penyelesaian kasus hukum yang terjadi di antara mereka demi terciptanya suatu keadilan.7 Kesimpulannya bahwa restorative justice ini merupakan cara lain peradilan pidana dengan mengedepankan integrasi pelaku di satu sisi dan korban atau masyarakat di lain sisi sebagai satu kesatuan untuk mencari solusi serta kembali pada pola hubungan baik dalam masyarakat. 2.
Konsep Restorative Justice dalam Penyelesaian Sengketa Hukum bagi Remaja Pertikaian dalam masyarakat dewasa ini telah dan akan terus menjadi
sebuah fenomena dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, baik terkait dengan
6
United Nations, Handbook on Restorative Justice Programmes (New York: United Nations Publication, 2006), h. 6. 7 Septa Candra, “Restorative Justice: Suatu Tinjauan terhadap Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia (Restorative Justice: a Review of Criminal Law Reform in Indonesia), Jurnal Rechtsvinding: Media Pembinaan Hukum Nasional, Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013, h. 263.
47
dua individu maupun lebih. Pertikaian ini akan semakin sulit apabila semua sengketa diproses oleh lembaga peradilan. Oleh karenanya diperlukan upayaupaya lain di luar prosedur persidangan agar masyarakat tidak hanya tergantung pada proses persidangan yang telah ada, namun tetap mendapatkan keadilan dan penyelesaian masalah dengan bentuk upaya hukum lainnya. Salah satu bentuk solusi yang ditawarkan adalah proses penyelesaian dengan model restorative justice. Model ini merupakan suatu pendekatan yang lebih menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana beserta korbannya. Prosesnya berupa dialog dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku. Dalam artian restorative justice itu memiliki makna keadilan yang merestorasi. Pandangan hukum mengatakan bahwa dalam sebuah peristiwa kejahatan, penderitaan orang yang telah menjadi korban tidak saja pada orang itu sendiri, tetapi juga berdampak pada orang-orang di sekitarnya, baik masyarakat maupun negara. Posisi korban dalam praktek peradilan pidana diperlakukan sebagai saksi korban tanpa berhak ikut serta berperan aktif dalam sidang pengadilan. Korban didudukkan sebagai instrumen dalam rangka membantu aparat penegak hukum untuk menjatuhkan hukum bagi pelaku, tanpa pernah berlanjut pada apa yang perlu diberikan untuk kepentingan korban. Oleh karena itu lahirlah model pendekatan restorative justice yang meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku. Bentuk pemulihan hubungan ini bisa didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban dan pelaku.
48
Pihak korban dapat menyampaian kerugian yang dideritanya dan pelaku pun diberi kesempatan untuk menebusnya melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja sosial dan kesepakatan-kesepatakan lainya. Dewasa ini sistem peradilan di Indonesia hanya pengadilan saja tempat yang paling baik dalam menyelesaikan konflik hukum dan mencari keadilan. Partisipasi aktif dari masyarakat seakan tidak penting, karena semuanya hanya bermuara pada putusan pengadilan dalam bentuk pemidanaan tanpa melihat esensinya. Padahal dalam suatu peradilan pidana, pihak-pihak yang berperan adalah penuntut umum, hakim, terdakwa, penasehat hukum dan saksi-saksi. Pihak korban diwakili oleh penuntut umum dan untuk menguatkan pembuktian saja. 8 Namun belum memberikan dampak atau manfaat yang nyata bagi korban kejahatan. Restorative justice bertujuan merestorasi kesejahteraan masyarakat, memperbaiki diri dengan cara menghadapkan anak sebagai pelaku berupa pertanggungjawaban kepada korban atas tindakanya. Contoh pertanggungjawaban kepada korban dalam tindak pidana pencurian, anak sebagai pelaku dapat mengganti kerugian, atau mengembalikan barang yang telah dia curi dari korban. Konsep Restorative justice tidak akan berjalan secara efektif tanpa adanya kerjasama dan keterlibatan antara korban, pelaku, dan masyarakat. Jika antara kedua belah pihak antara korban dan pelaku tidak menghendaki proses penyelesaian konflik secara musyawarah, proses peradilan baru berjalan. Artinya, perkara betul-betul dipegang oleh aparat penegak hukum yang mempunyai minat, 8 Bambang Waluyo, Viktimologi Perlindungan Saksi dan Korban (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 8.
49
perhatian, dedikasi
memahami masalah anak dan telah mengikuti pelatihan
restorative justice, dan penahanan dilakukan sebagai cara terakhir dengan mengindahkan hak dari anak yang berkonflik. Konsep restorative justice secara yuridis memiliki landasan hukum yang kuat. Sebagaimana dalam UUD 1945, “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan kembang, serta berhak atas perlindungan dan diskriminasi.” 9 Konsep restorative justice selanjutnya diimplementasikan dalam beberapa perundangan-undangan, antara lain: UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dibuat sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak yang diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun1990; UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Peradilan pidana dengan konsep restorative justice bertujuan antara lain: (a) mengupayakan perdamaian antara korban dan anak; (b) mengutamakan penyelesaian di luar proses peradilan; (c) Menjauhkan anak dari pengaruh negatif proses peradilan; (d) menanamkan rasa tanggung jawab anak; (e) mewujudkan kesejahteraan anak; (f) menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan; (g) mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan (h) meningkatkan keterampilan hidup anak.10
9
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Tahun 1945, pasal 28 ayat (2).
10
Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 133.
50
Kesimpulannya
restorative
justice
adalah
sebuah
konsep
yang
memberikan keadilan kepada pihak pelaku, korban dan masyarakat dengan jalan perdamaian di luar proses persidangan.
B. Gambaran Umum Hukum Adat di Indonesia 1.
Pengertian Hukum Adat Adat atau ‘urf berasal dari bahasa Arab yang secara leksikal berarti “yang
baik” dan secara terminologis adalah kebiasaan mayoritas umat dalam perkataan maupun perbuatan.11 Dalam Kamus Sosiologi ditulis bahwa tradisi (tradition) adalah adat istiadat dan kepercayaan yang secara turun temurun dipelihara.12 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adat istiadat adalah tata kelakuan yang kekal dan turun-temurun dari generasi yang satu ke generasi yang lain sebagai warisan, sehingga kuat integrasinya dengan pola perilaku masyarakat.13 Hilman Hadikusuma sebagaimana dikutip I Gede A. B. Wiranata bahwa terminologi adat diduga berasal dari tata bahasa Arab, yaitu adah yang merujuk pada ragam perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang. Adat diartikan sebagai kebiasaan yang menurut asumsi masyarakat telah terbentuk, baik sebelum maupun sesudah adanya masyarakat.14
11 Abdul Azis Dahlan, et. al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jil. 4 (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 1877. 12
Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1993), h. 520.
13
Kementerian Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), h. 7. 14 I Gede A. B. Wiranata, Hukum Adat Indonesia: Perkembangannya dari Masa Ke Masa (Cet. 1; Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2005), h. 3.
51
Pada seminar hukum adat tahun 1975 telah disimpulkan bahwa hukum adat merupakan salah satu sumber hukum yang penting, sebagai bahan pembinaan hukum nasional menuju unifikasi hukum. Hukum adat yang merupakan salah satu sumber hukum nasional tersebut, bukan diambil semuanya secara utuh, tetapi hanya konsep, asas dan lembaga hukumnya saja. Hal inipun masih akan disaring sesuai dengan perkembangan dan diharapkan hukum adat tersebut memberikan kontribusi bagi pembinaan hukum nasional.15 Istilah adat biasa disandingkan dengan kata hukum. Namun istilah hukum adat di kalangan masyarakat umum (awam) sangat jarang dijumpai. Masyarakan cenderung mempergunakan istilah adat yang mengarah pada suatu kebiasaan, yaitu serangkaian perbuatan yang pada umumnya harus berlaku pada struktur masyarakat bersangkutan. Adat merupakan pencerminan dari kepribadian sesuatu bangsa, merupakan satu penjelmaan jiwa bangsa bersangkutan dari abad ke abad.16 Tentunya Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, ras, dan budaya memiliki adat istiadat dan budaya yang beranekaragm pula. Menurut Soerjono Soekanto bahwa hukum adat diartikan sebagai kompleks adat-adat. Kompleks adat ini kebanyakan tidak dikitabkan, tidak dikodifikasikan, dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi, sehingga memiliki akibat hukum.17 Pengertian ini memberikan pemahaman bahwa apabila dalam sebuah adat terdapat sanksi, maka dapat dinyatakan sebagai hukum adat. 15
Tias Vidawati, “Peranan Kepala Adat dalam Penyelesaian Sengketa Tanah (Studi Kasus Pada Suku Dayak Tobak Desa Tebang Benua Kecamatan Tayan Hilir Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat,” Tesis (Semarang: Univesitas Diponegoro, 2009), h. 1. 16
Tias Vidawati, “Peranan Kepala Adat dalam Penyelesaian Sengketa Tanah..., h. 3-4.
17
Soerjono Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 2002), h.
2.
52
Sedangkan apabila tidak ada sanksi, otomatis tidak memiliki akibat hukum, maka hal tersebut disebut adat istiadat saja. 2.
Corak Hukum Adat Suatu sistem adalah keseluruhan yang tersusun dari berbagai bagian di
mana antara bagian satu dengan yang lain saling bertautan atau berhubungan. Tiap hukum merupakan suatu sistem, sehingga kompleks norma-normanya itu merupakan suatu kebulatan sebagai wujud pengejawantahan dari kesatuan alam pikiran yang hidup dalam masyarakat itu sendiri. Unsur-unsur atau corak yang mewarnai pembentukan sistem hukum adat antara lain:18 a.
Keagamaan Ciri keagamaan/religius ini memperlihatkan bahwa masyarakat hukum
adat sebagai suatu keseluruhan percaya pada adanya dunia gaib yang mengatasi kekuatan manusia (magis religius). Dunia gaib itu mempengaruhi bahkan menentukan nasib manusia. Kompleksitas kehidupan dalam kelompok dan menjadikan keseimbangan dunia nyata dan tidak nyata. Kepercayaan yang sempat tumbuh subur di Indonesia adalah konsep animisme (semua benda memiliki jiwa) dan dinamisme (semua benda memiliki unsur ruh-gerak). Masyarakat hukum adat mempertahankan keseimbangan ini sebagai suatu keharusan. Gangguan terhadap keseimbangan akan menimbulkan keresahan atau ketidakseimbangan masyarakat dan memunculkan juga gangguan oleh makhluk
18
I Gede A. B. Wiranata, Hukum Adat Indonesia …, h. 61-68.
53
gaib. Apabila kondisi seperti ini muncul diperlukan upaya tertentu untuk memulihkan pada kondisi semula, seperti sesajian, pembacaan doa, dan lain-lain. b.
Kebersamaan Pada tatanan berpikir kebersamaan/komunal, individu senantiasa akan
menempatkan pola tingkah laku pengutamaan ego kelompok. Ego personal akan dikalahkan oleh superioritas kelompok. Sebagai anggota kelompok, manusia di dalam hukum adat adalah orang yang terikat kepada masyarakat. Oleh karena itu, tingkah laku dari individu harus selalu dilaksanakan dalam kedudukannya sebagai anggota persekutuan dan di dalam rangka kesatuan dari persekutuan. Seluruh lapangan hidup diliputi oleh rasa kebersamaan dengan memperhatikan kepentingan sesama anggota keluarga, kerabat, serta tetangga atas dasar tolong menolong dan saling membantu satu sama lainnya. Contoh penerapan kebersamaan dalam hukum adat, seperti: di Jawa ada perbuatan “gugur gunung” untuk bekerja bergotong royong membersihkan desa, membangun rumah dan lain-lain; dalam hal kematian pada suku Jawa bersemboyan “dudu sanak dudu kandang, yen mati melu kelangan” (bukan sanak, bukan saudara, kalau mati ikut merasa kehilangan/kedukaan). Sementara di Minangkabau masih bertahan konsep kepemilikan “rumah gadang” dan “tanah pusako.” c.
Konkret dan Visual Konkret artinya jelas, nyata, berwujud. Sedangkan visual artinya kasat
mata, dapat dilihat langsung, terbuka, tidak tersembunyi. Tiap-tiap perbuatan atau keinginan atau hubungan hukum tertentu dalam masyarakat hukum adat
54
senantiasa dinyatakan dengan perwujudan benda/perlambang, nyata, diketahui dan dilihat, serta didengar orang lain, ijab qabul-nya jelas. Makna antara kata dan perbuatan berjalan secara bersama-sama. Setiap kata yang disepakati selalu diikuti oleh perbuatan nyata secara bersamaan. Contohnya pada hukum perkawinan dikenal “peningset” di Jawa Tengah dan “panyangcang” atau “pangjadi” di Jawa Barat, dapat berwujud barang yang diserahkan oleh pihak keluarga mempelai laki-laki kepada keluarga mempelai wanita. Konsekuensinya adalah masing-masing pihak harus menjaga kesepakatan itu, yaitu mewujudkan pelaksanaan pernikahan. d.
Dapat Berubah dan Mampu Menyesuaikan Diri Pada struktur perubahan sosial dan masyarakat, hukum adat senantiasa
dapat menerima masuknya unsur-unsur yang datang dari luar, sejauh tidak bertentangan dengan jiwa hukum adat itu sendiri. Hukum adat bersahaja, tidak rumit, dan tidak rumit administrasinya, mudah menerima unsur/pengaruh hukum lain karena sifatnya yang sarat dengan keterbukaan. Contohnya: masuknya agama Hindu dikenal konsep “kawin anggau,” yaitu jika suami wafat, isteri kawin lagi dengan saudara pihak suami; di Jawa dengan masuknya pengaruh agama Islam dikenal “sepikul segendong,” yaitu bagian warisan ahli waris seorang pria 2:1 dengan bagian wanita. Perubahan hukum adat tidak selalu dilakukan dengan menghilangkan ketentuan adat yang lama dan menggantikannya dengan ketentuan adat yang baru. Namun dengan cara membiarkan kegiatan adat yang lama membentuk lagi sesuatu yang baru dengan tetap mempertahankan prinsip pokoknya. Misalnya
55
pada masyarakat Lampung dahulu apabila melaksanakan perkawinan secara adat “jujur” wajib membayar uang jujur kepada keluarga mempelai wanita sebesar 24 rial, 12 rial, atau 8 rial sesuai dengan tinggi rendahnya kedudukan mempelai wanita dalam struktur adatnya. Pada saat ini ketika moderninasasi sekarang ini dan mata uang rial tidak dikenal lagi, masyarakat menyesuaikan besaran uang jujur ini dengan nilai uang rupiah dengan komposisi kelipatan tetap seperti masa lalu. e.
Terbuka dan Sederhana Hukum adat sangat terbuka dalam menerima perubahan yang timbul
dalam struktur tatanan perilaku dalam masyarakat. Sebagai akibat terbuka dan dapat menerima masuknya unsur dari luar, hukum adat senantiasa dapat berubah menurut keadaan, waktu dan tempat. Contohnya di masyarakat Minangkabau, konsep “harta pusako” yang semula milik kerabat secara bersama, sekarang beralih menjadi “harta suarang,” yaitu di bawah penguasaan atau perwalian perseorangan. f.
Tidak Dikodifikasi Kodifikasi yang dimaksud adalah suatu rumusan aturan yang tertuang
secara tertulis, sistematis dan alfabetis. Hukum adat kebanyakan tidak dikodifikasi, dan juga tidak tertulis. Namun pada masa pemerintahan raja-raja dan masa penjajahan memang ada yang sempat dihimpun dan ditulis kitab, misalnya: Kitab Kutaramanawa (Bali), Kitab Hukum Gajahmada dan Kitab Hukum Adigama (zaman Majapahit), Kitab Amanna Gappa (Bugis), Kuntara Raja Niti dan Kuntara Raja Asa (Sumatera Selatan).
56
g.
Musyawarah dan Mufakat Struktur kehidupan masyarakat dalam hukum adat menghendaki
keserasian dan keseimbangan dalam perilaku yang saling menghormati. Walaupun secara struktural tidak ada lembaga peradilan resmi, namun peranan pimpinan persekutuan masyarakat lebih dititikberatkan pada peranan dan usaha penengah untuk “pemakat” bukan “pemutus” dalam perselisihan yang muncul dalam kehidupan sehari-hari. h.
Tradisional Perilaku turun-temurun, klasik dan tradisional cenderung mewarnai
kehidupan masyarakat hukum adat. Kehidupan ini sudah berjalan sejak nenek moyang. Berbagai tatanan kebiasaan telah ada, bahkan tetap dipertahankan, namun ada rasa tidak enak kalau tidak dilaksanakan apalagi harus ditinggalkan. Misalnya di Sulawesi Utara dikenal perkawinan sesama marga. Sejarah perkembangan hukum di Indonesia tidak terlepas dari adanya pergumulan antara hukum Barat dan hukum adat. Pada masa kolonial, kepentingan pemberdayaan lembaga pengadilan adat menjadi pertimbangan atas kebutuhan lembaga peradilan bagi penduduk asli. Melalui sejumlah staadblad lembaga ini diberdayakan, di antaranya: (a) Staatsblad No. 83/Tahun 1881 untuk Aceh Besar; (b) Staatsblad No. 220/Tahun 1886 untuk Pinuh (Kalimantan Barat); (c) Staatsblad No. 90/Tahun 1889 untuk daerah Gorontalo, dan lain-lain.19 Adanya berbagai Staatblad ini tidak kemudian diartikan bahwa keberadaan lembaga-lembaga ini hanya di tempat-tempat tertentu saja, karena 19 Eva Achjani Zulfa, “Keadilan Restoratif dan Revitalisasi Lembaga Adat di Indonesia,” Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol. 6 No. II Agustus 2010, h. 184.
57
dalam kenyataannya keberadaan lembaga-lembaga ini ada diberbagai daerah diseluruh Indonesia. Keberadaan berbagai staatblad ini juga tidak dapat diartikan bahwa tidak ada campur tangan dari pemerintah kolonial terhadap keberadaan lembaga ini. Berbagai bentuk campur tangan pemerintah seperti campur tangan peradilan government yang juga terjadi terhadap berbagai pengadilan adat di berbagai wilayah yang terlihat dalam: a.
Staatsblad No. 80 Tahun 1932 tentang Regeling van de Inheemsche Rechtsspraak in rechtsstreeks bestuurd gebied (pengadilan adat);
b.
Zelfbestuursregelen 1938 tentang pengadilan swapraja; serta
c.
Staatsblad No.102 Tahun 1935 menyisipkan Pasal 3a ke dalam Reglement Ordonantie yang mengatur mengenai kewenangan hakim-hakim dari masyarakat-masyarakat hukum kecil untuk memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang menjadi kewenangannya. Kewenangan hakim ini tidak mengurangi kewenangan para pihak untuk setiap saat menyerahkan perkaranya kepada hakim.20 Melalui staatblad ini, maka kedudukan pengadilan desa diakui. Sehingga
dalam kenyataannya selama pemerintahan Kolonial, terdapat dua pengadilan yang pada dasarnya tidak memiliki perbedaan yang prinsipil, yaitu pengadilan adat dan pengadilan desa. Sinclair Dinnen memahami bahwa posisi peradilan adat dalam sistem hukum formal kerap dipertanyakan, bukan hanya terkait dengan pola
20 Eva Achjani Zulfa, “Keadilan Restoratif dan Revitalisasi Lembaga Adat di Indonesia,”… h. 184-185.
58
hubungannya bila keduanya akan diterapkan, akan tetapi juga mencakup sejumlah keraguan berkaitan dengan keberadaan institusi peradilan adat ini, yaitu: a.
Fakta yang menyatakan bahwa kebanyakan peradilan adat dipegang oleh mereka yang sudah tua, di mana kerangka berfikir dari mereka kerap kali tidak melihat kepada perkembangan kondisi yang ada pada masyarakat khususnya generasi muda. Hal ini mempengaruhi putusan yang mereka buat seperti bahwa putusannya mendiskriminasi perempuan dan anak-anak (khususnya dalam masyarakat patrilineal);
b.
Dugaan bahwa dalam peradilan adat pun budaya nepotisme dan korupsi rentan terjadi;
c.
Kekuatan memaksa dari putusan peradilan adat kerap kali diragukan;
d.
Prinsip dan tujuan pemidanaan dari peradilan adat yang berbeda dengan sistem formal yang ada sehingga dampak dari putusan yang dihasilkan pun akan sangat berbeda;
e.
Bahwa institusi peradilan adat hanya akan efektif dan mengikat dalam masyarakat tradisional yang homogen, akan tetapi akan sangat berbeda jika diterapkan dalam lingkup urban-area.21 Kesemua hal tersebut di atas memberikan ruang kepada pengadilan adat
untuk menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi di masyarakat, tanpa melalui proses peradilan/hukum negara, disebabkan kearifan lokal pada suatu daerah masih diperpegangi oleh sebagian masyarakat adat di wilayah Indonesia. 21 Sinclair Dinnen, “Interfaces between Formal and Informal Justice System to Strengthen Access to Justice by Disadvantaged System,” Paper was presented at Practice in Action Workshop UNDP Asia-Pasific Rights and Justice Initiative, Ahungala Sri Lanka, 19-21 November 2003, h. 3-4.
59
BAB IV IMPLEMENTASI RESTORATIVE JUSTICE DAN FALSAFAH BUDAYA GORONTALO TERHADAP PENYELESAIAN KASUS KENAKALAN REMAJA DI KOTA GORONTALO
A. Bentuk dan Faktor Penyebab Kenakalan Remaja di Kota Gorontalo Kenakalan remaja di era modern ini sudah melebihi batas yang sewajarnya. Remaja dengan kondisi idealnya yang banyak melakukan kenakalan, banyak anak di bawah umur yang sudah mengenal rokok, narkoba, freesex, dan terlibat banyak tindakan kriminal lainnya. Fakta ini sudah tidak dapat dipungkiri lagi. Meningkatnya tingkat kriminal di Indonesia tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa, tetapi banyak juga dari kalangan para remaja. Tindakan kenakalan remaja sangat beranekaragam dan bervariasi dan lebih terbatas jika dibandingkan tindakan kriminal orang dewasa. Juga motivasi para remaja sering lebih sederhana dan mudah dipahami, misalnya: pencurian yang dilakukan oleh seorang remaja hanya untuk memberikan hadiah kepada mereka yang disukainya dengan maksud untuk membuat kesan impresif yang baik atau mengagumkan. Akibatnya, para orangtua mengeluhkan perilaku anak-anaknya yang tidak dapat diatur, bahkan terkadang bertindak melawan mereka. Konflik keluarga, mood swing, depresi, dan munculnya tindakan berisiko sangat umum terjadi pada masa remaja dibandingkan pada masa-masa lain di sepanjang rentang kehidupan. Fakta kemudian menunjukkan bahwa semua tipe kejahatan remaja itu semakin lajunya perkembangan industrialisasi dan urbanisasi. Di kota-kota industri dan kota besar yang cepat berkembang secara fisik, terjadi kasus
60
61
kejahatan yang jauh lebih banyak daripada masyarakat di desa-desa. Kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak muda remaja pada intinya merupakan produk dari kondisi masyarakatnya dengan segala pergolakan sosial yang ada didalamnya. Kejahatan anak-anak remaja ini disebut sebagai salah satu penyakit masyarakat atau penyakit sosial.1 Gorontalo termasuk salah satu kota di Indonesia yang tidak luput dari urbanisasi dan industrialisasi, sehingga memungkinkan remaja yang berada di kota tersebut melakukan kenakalan. Salah satu gejala yang dapat menghambat pembangunan adalah adanya beberapa tindakan kaum remaja sendiri yang sangat bertentangan dengan norma-norma sosial yang ada dalam masyarakat, yaitu yang dikenal dengan istilah kenakalan remaja. Semakin berkembangnya perabadan bangsa ini, justeru trend pergaulan bebas anak muda yang menyimpang dari nilai-nilai dan norma dalam masyarakat semakin meningkat pula. Sudah begitu banyak catatan pergaulan bebas maupun kenakalan anak muda yang diberitakan oleh berbagai macam media baik itu media nasional dan lokal (elektronik maupun cetak), yang dianggap oleh berbagai kalangan masyarakat sudah sangat meresahkan. Meresahkan bagi mereka secara pribadi, keluarga/kelompok, daerah hingga bangsa ini. Beberapa bentuk kenakalan remaja yang terjadi di Kota Gorontalo sebagai berikut: 1.
Pergaulan Bebas (Seks Bebas)
1
Kartini Kartono, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja (Jakarta: Rajawali Press, 2010, h.
3-4.
62
Seks bebas merupakan trend kenakalan anak muda yang seakan menjadi “tradisi” penting (bahkan wajib) dalam sebuah hubungan jalinan kasih dua insan anak muda. Bagi mereka (anak muda) pacaran jika tidak berciuman bahkan sampai berhubungan badan bukanlah “pacaran” atau lebih diperhalus lagi dengan sebutan tidak saling mencintai. Jadi persepsi itulah yang kini membentuk gaya berpacaran anak muda saat ini. Fenomena ini jugalah yang tengah menjadi trend gaya berpacaran anak muda di Kota Gorontalo. Sudah menjadi rahasia umum, tempat-tempat sepi dan sunyi baik itu malam maupun siang menjadi tempat para anak muda yang sedang menjalin hubungan kasih melakukan perbuatan yang seharusnya belum layak untuk mereka lakukan dan juga menyimpang dari nilai dan norma dalam masyarakat. Khususnya masyarakat Gorontalo yang dikenal religius. Pemaparan dari H. Yusuf Akuba bahwa: Pergaulan bebas atau bahasa kerennya freeseks atau kumpul kebo. Hal inilah yang kiranya perlu dipikirkan bersama, untuk merubahnya dengan solusi yang solutif dan inovatif. Memang kita sadari bersama, persoalan ini bukanlah perkara mudah untuk merubahnya. Namun menurut saya, jika tidak ada niatan yang baik dari kita sebagai generasi penerus bangsa untuk merubahnya maka perubahan itupun tidak akan pernah terjadi.2 Berdasarkan hal tersebut, jelas bahwa wprubahan dapat terjadi jika ada aktor yang ingin melakukan perubahan tersebut. Perubahan bisa terjadi apabila ada kolaborasi sinergi antara anak muda selaku aktor yang ingin melakukan perubahan tersebut dengan pemerintah selaku pengambil keputusan, dalam hal ini Walikota Gorontalo. Kiranya, dalam persoalan seks bebas di kalangan anak muda
2 H. Yusuf Akuba, Imam Wilayah Kelurahan Huangobotu, Wawancara, tanggal 21 Oktober 2015.
63
di Kota Gorontalo ini, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Daerah tentang Pencegahan Perbuatan Maksiat serta kebijakan lain yang mengatur untuk pemberantasan maksiat di Kota Gorontalo. Namun, melihat realita yang ada peraturan serta kebijakan tersebut belum berjalan sesuai yang diharapkan bersama. Oleh sebab itu, perlu adanya solusi tepat dan inovatif guna mewujudkan peraturan dan kebijakan berkenaan dengan pergaulan bebas tersebut. 2.
Bolos Sekolah Salah satu faktor penyebab perilaku membolos sekolah adalah terkait
dengan masalah kenakalan remaja secara umum yang terjadi pada siswa sekolahan. Kenakalan siswa merupakan suatu bentuk perilaku siswa yang menyimpang dari aturan sekolah. Kenakalan siswa banyak macamnya. Salah satunya ialah membolos atau masuk tidak teratur. Membolos disebut kenakalan remaja karena membolos sudah merupakan perilaku yang mencerminkan telah melanggar aturan sekolah. Siti Yohana mengungkapkan bahwa: Ada beberapa faktor penyebab perilaku membolos di kalangan pelajar/remaja, yaitu: Pertama, faktor sekolah, di mana kebijakan mengenai pembolosan yang tidak konsisten, interaksi yang kurang an tara orang tua siswa dengan pihak sekolah, dan lain-lain; Kedua, faktor personal, misalnya terkait dengan menurunnya motivasi pelajar, kondisi ketinggalan pelajaran, atau karena kenakalan pelajar itu sendiri; Ketiga, faktor keluarga meliputi pola orang tua dalam mengasuh anak atau kurangnya partisipasi orang tua dalam mendidik anak.3 Maryam N. Ibrahim mengungkapkan pula bahwa:
3
Siti Yohana, Guru SMK Negeri 1 Gorontalo, Wawancara, tanggal 23 Oktober 2015.
64
Perilaku membolos sangat merugikan dan bisa menjadi sumber masalah baru. Apabila membolos sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan terus menerus, maka yang bertanggung jawab atas semua ini bukan saja dari siswa saja melainkan dari pihak sekolah ataupun guru yang menjadi orang tua di sekolah juga ikut andil dalam masalah ini.4 3.
Perkelahian dan Bentrokan Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Hal ini
terbukti dengan peristiwa-peristiwa tawuran para remaja/pelajar yang saat ini sedang maraknya terjadi. Perilaku remaja/pelajar yang anarkis berasal dari banyak faktor yang mempengaruhi baik faktor internal ataupun eksternal. Tawuran pelajar bukan hanya mengakibatkan kerugian harta benda atau korban cidera tetapi bisa sampai merenggut nyawa orang lain. Di mata mereka nyawa tidak ada harganya, bahkan mereka merasa bangga jika berhasil membunuh pelajar sekolah lain yang mereka anggap musuh mereka. Kekerasan dianggap sebagai solusi yang paling tepat untuk menyelesaikan suatu masalah tanpa memikirkan akibat-akibat buruk yang ditimbulkan. Ayuddin memaparkan: Perkelahian antar pelajar, khususnya mahasiswa beberapa kali terjadi di kampus UNG, misalnya pada tahun 2011, yaitu tawuran antar mahasiswa Fakultas teknik dan pertanian yang saling bersebelahan itu, dipicu oleh masalah sepele, hanya karena salah seorang mahasiswa teknik memainmainkan gas motornya, dan berujung pada pengeroyokan mahasiswa pertanian. Tahun 2014 antarmahasiswa Fakultas Teknik dengan Fakultas Kesehatan dan Olahraga. Insiden memalukan ini terjadi saat kedua fakultas sedang mengikuti acara pembukaan Pekan Olahraga Mahasiswa (POM) I di Gedung Serba Guna UNG. Mereka saling serang dengan menggunakan batu, serta senjata tajam.5 4
Maryam N. Ibrahim, Guru SMK Negeri 1 Gorontalo, Wawancara, tanggal 23 Oktober
2015. 5 Ayuddin, Dosen Fakultas Teknik Universitas Negeri Gorontalo, Wawancara, tanggal 27 Oktober 2015.
65
Wiwin Koni mengungkapkan pula bahwa: Bentuk kenakalan remaja yang terjadi di Gorontalo ini ada dua jenis, yaitu: Pertama, kenakalan yang berbentuk fisik, seperti perkelahian; Kedua, kenakalan yang berbentuk non fisik, misalnya bolos sekolah, minum minuman keras, berjudi, hamil di luar nikah, menghamili. Kalau kenakalan fisik biasanya langsung ditangani oleh pihak yang berwajib. Sedangkan kenakalan yang berbentuk non fisik biasanya ditangani melalui proses musyawarah kekeluargaan (modulohupo).6 4.
Minum Minuman Keras dan Narkoba Trend gaya hidup manusia, terutama yang hidup di perkotaan biasanya
berubah-ubah sesuai dengan pengaruh dari bangsa atau pihak lain yang dianggap sebagai pemimpin trend, yang kemudian diadaptasi sesuai dengan kebiasaan masyarakat sekitar. Salah satu trend gaya hidup yang berhubungan dengan hiburan, kecenderungan bersosialisasi dan menampilkan eksistensi diri adalah meminum minuman beralkohol (minuman keras) dan narkoba. Trend ini bukan hanya di kalangan orang dewasa, akan tetapi dari kalangan remaja sampai kalangan anak-anak. Penuturan dari Maskur terungkap bahwa: Kalangan remaja sangat rentang terhadap minuman keras (alkohol) dan narkoba. Hal ini disebabkan adanya trend atau gaya hidup anak muda yang selalu ingin tampil seperti gaya barat. Padahal banyak sekali efek negatif yang ditimbulkan akibat meminum minuman keras dan narkoba, seperti kanker hati, kerusakan sel-sel syaraf sampai efek kematian.7
6
Wiwin Koni, Dosen IAIN Sultan Amai Gorontalo, Wawancara, tanggal 27 Oktober
2015. 7
Maskur, Anggota Kepolisian Polda Gorontalo, Wawancara, tanggal 18 Oktober 2015.
66
H. Suleman Hunowo memaparkan bahwa: Beberapa kejadian yang terjadi di kalangan remaja, khususnya pelajar dikarenakan ada kebiasaan buruk yang meminum minuman keras dan mengisap narkoba, apalagi di Gorontalo ini sekarang darurat narkoba. Kejadian perkelahian antar sesama pelajar biasanya terjadi akibat setelah meminum minuman keras. Ini tentunya harus menjadi perhatian kita semua sebagai masyarakat untuk senantiasa memantau pergaulan anak-anak remaja kita.8 Berdasarkan beberapa wawancara di atas diketahui bahwa bentuk-bentuk kenakalan remaja yang terjadi Kota Gorontalo antara lain: pergaulan bebas, bolos sekolah, perkelahian, minum minuman keras dan narkoba. Bentuk kenakalan remaja tersebut bisa mengarah kepada bentuk tindak pidana yang berakibat hukum. Tidak terlepas dari bentuk-bentuk kenakalan di atas, maka ada beberapa faktor penyebab terjadinya kenakalan remaja di Kota Gorontalo, antara lain: 1.
Faktor internal a. Krisis identitas Perubahan biologis dan sosiologis pada diri remaja memungkinkan
terjadinya dua bentuk integrasi. Pertama, terbentuknya perasaan akan konsistensi dalam kehidupannya. Kedua, tercapainya identitas peran. Kenakalan ramaja terjadi karena remaja gagal mencapai masa integrasi. Hal ini diungkapkan oleh Ulfa Said bahwa: Masa remaja adalah masa transisi, dimana masa peralihan dari anak-anak ke remaja. Pada masa ini proses mengenal dirinya sangat tinggi, sehingga muncul proses keingintahuan terhadap sesuatu yang dilakukan oleh orang-
8
H. Suleman Hunowo, Tokoh Adat Gorontalo, Wawancara, tanggal 15 Oktober 2015.
67
orang dewasa. Apabila mereka lepas kendali, bisa mengakibatkan kenakalan remaja.9 b.
Kontrol diri yang lemah Remaja yang tidak bisa mempelajari dan membedakan tingkah laku yang
dapat diterima dengan yang tidak dapat diterima akan terseret pada perilaku ‘nakal’. Begitupun bagi mereka yang telah mengetahui perbedaan dua tingkah laku tersebut, namun tidak bisa mengembangkan kontrol diri untuk bertingkah laku sesuai dengan pengetahuannya. H. Yusuf Akuba mengungkapkan: Anak-anak remaja yang melakukan berbagai kenakalan remaja disebabkan oleh tidak adanya kontrol diri dari mereka. Bisa jadi dikarenakan kontrol dari orang tua yang tidak benar, sehingga anak-anak mereka tidak bisa dikendalikan. Apalagi anak-anak tidak dibekali dengan pengetahuan agama.10 2.
Faktor eksternal Kenakalan remaja dapat terjadi dikarenakan faktor eksternal yang dialami
oleh remaja. Faktor eksternal tersebut antara lain: a.
Keluarga dan perceraian orangtua Keluarga adalah unit sosial terkecil yang didalamnya terdapat interaksi-
interaksi sosial antara anggota keluarga. Keluarga yang bahagia, tenteram dan damai adalah dambaan setiap orang. Namun, terkadang dalam kehidupan keluarga terjadi ketidakharmonisan, misalnya antara hubungan suami isteri dan berakibat putusanya hubungan perkawinan.
9
Ulfa Said, Guru/Koordinator BK SMP Kristen Maesa Gorontalo, Wawancara, tanggal 20 Oktober 2015. 10 H. Yusuf Akuba, Imam Wilayah Kelurahan Huangobotu, Wawancara, tanggal 21 Oktober 2015.
68
Pada sebagian anak yang orangtuanya mengalami perpisahan, juga tidak bisa menghindar bahwa kondisi itu berpengaruh cukup besar bagi mereka. Banyak kasus kenakalan remaja datang dari keluarga broken home. Selain itu tidak adanya komunikasi antar anggota keluarga, atau perselisihan antar anggota keluarga bisa memicu perilaku negatif pada remaja. Hal ini terungkap dari wawancara dengan MK bahwa: Hubungan bapak dan ibu saya tidak harmonis, mereka sering bertengkar, anak-anak tidak mendapat perhatian. Akhirnya karena kurang pengawasan, maka saya sering membolos bersama teman-teman, merokok, dan minum minuman keras.11 b.
Pendidikan yang salah Orang tua memegang peranan penting dan amat berpengaruh atas
pendidikan anak-anaknya. Namun pendidikan yang salah di keluarga pun, seperti terlalu memanjakan anak, tidak memberikan pendidikan agama, atau penolakan terhadap eksistensi anak, bisa menjadi penyebab terjadinya kenakalan-kenakalan remaja. Ulfa Said mengungkapkan: Anak-anak yang biasa dimanjakan, segala keinginannya diikuti bisa berakibat menimbulkan perilaku nakal. Dalam artian ketika anak-anak mereka tidak mendapatkan sesuatu seperti kebiasaannya, maka mereka akan menuntut atau ketika mereka berbuat salah, mereka berangapan orang tuanya tidak marah. Hal ini tentunya merupakan kesalahan pendidikan yang ditanamkan orang tua di keluarga.12
c.
Teman sebaya yang kurang baik 11
MK, Remaja di Kelurahan Huangobotu Kota Gorontalo, Wawancara, tanggal 16 Oktober 2015. 12 Ulfa Said, Guru/Koordinator BK SMP Kristen Maesa Gorontalo, Wawancara, tanggal 20 Oktober 2015.
69
Awal mula seorang remaja terjerumus ke dalam tindak kenakalan remaja adalah salah bergaul dan mudah terpengaruh oleh temannya yang tidak benar. Kebanyakan remaja ini ingin dipuji dan dikatakan gaul oleh teman-temannya tanpa memikirkan dampak dan akibat yang berkelanjutan. Wawancara dengan salah satu remaja “SA” mengatakan: Bergaul dengan teman yang salah adalah salah satu faktor yang menyebabkan saya terbiasa membolos, minum minuman beralkohol, berbohong sama orang tua. Pada awalnya saya hanya coba-coba mengikuti tingkah teman-teman saya tersebut, namun akhirnya menjadi kebiasaan saya.13 d.
Komunitas/lingkungan tempat tinggal yang kurang baik. Lingkungan atau tempat tinggal adalah salah satu penyebab terjadinya
sebuah karakter. Jika seorang anak hidup dalam lingkungan yang keras atau lingkungan tersebut kurang peduli terhadap sesama maka yang terjadi adalah anak akan meniru komunitas tersebut. Lingkungan yang di sekelilingnya terbiasa dengan tindak kekerasan, maka lambat laun anak-anak yang berada di lingkunga tersebut dapat melakukan tindak kekerasan tersebut. Wawancara dengan Maskur terungkap bahwa: Setiap anak pada dasarnya dilahirkan seperti kertas putih bersih tidak ada coretan atau noda yang melekat. Anak juga dilahirkan dengan penuh kepolosan dan tidak ada dosa. Namun jika lingkungan tempat mereka tinggal tidak mendukung, pada akhirnya seorang anak atau remaja yang tumbuh di dalam lingkungan tersebut cepat atau lambat akan terpengaruh dengan kondisi lingkungan sekitarnya.14 Informasi dari hasil wawancara di atas disimpulkan bahwa untuk mengatasi kenakalan remaja yang kian komplek, maka para orangtua harus 13
SA, Remaja di Kelurahan Limba U Kota Gorontalo, Wawancara, tanggal 10 Oktober
2015. 14
Maskur, Anggota Kepolisian Polda Gorontalo, Wawancara, tanggal 18 Oktober 2015.
70
memberi fondasi yang kuat terutama dasar keagamaan. Hal ini akan menjadi bekal anak ketika beranjak remaja, sehingga tidak jatuh ke dalam kenakalan remaja. Jika fondasi kurang kuat, maka resiko dipengaruhi oleh lingkungannya yang lebih besar. Hal-hal yang bisa dilakukan atau cara mengatasi kenakalan remaja, antara lain: 1.
Kegagalan menghadapi identisan peran dan lemahnya kontrol diri bisa dicegah atau bisa diatasi dengan prinsif keteladanan. Remaja harus bisa mendapatkan sebanyak mungkin figur orang-orang dewasa yang telah melampaui masa remajanya dengan baik, juga mereka berhasil memperbaiki diri setelah sebelumnya gagal pada tahap ini.
2.
Kemauan orang tua untuk membenahi kondisi keluarga sehingga tercipta keluarga yang harmonis, komunikatif, dan nyaman bagi mereka.
3.
Kehidupan beragama keluarga dijadikan salah satu ukuran untuk melihat keberfungsian sosila keluarga yang menjalankan kewajiban agamanya secara baik berarti mereka akan menanamkan nilai-nilai dan norma yang baik. Artinya secara teoritis bagi keluarga yang menjalankan kewajiban agamanya secara baik, maka anak-anaknyapun akan melalukan hal-hal yang baik sesuai dengan norma-norma agama.
4.
Untuk menghindari
masalah
yang
timbul akibat
pergaulan, selain
mengarahkan untuk mempunyai teman bergaul yang sesuai, orang tua juga hendaknya memberikan kesibukan dan mempercayakan tanggungjawab rumah tangga kepada si remaja. Pemberian tanggungjawab ini hendaknya
71
tidak dengan pemaksaan maupun mengada-ada. Berilah pengertian yang jelas dahulu, sekaligus berilah teladan pula. Sebab dengan memberikan tanggungjawab dalam rumah akan dapat mengurangi waktu anak “keluyuran” tidak karuan dan sekaligus dapat melatih anak mengetahui tugas dan kewajiban serta tanggungjawab dalam rumah tangga. Mereka dilatih untuk disiplin serta mampu memecahkan masalah sehari-hari. Mereka dididik untuk mandiri. Selain itu, berilah pengarahan kepada mereka tentang batasan teman yang baik. 5.
Orang tua hendaknya membantu memberikan pengarahan agar anak memilih jurusan sesuai dengan bakat, kesenangan, dan hobi si anak. Tetapi apabila anak tersebut tidak ingin bersekolah yang sesuai dengan hobinya, maka berilah pengertian kepadanya bahwa tugas utamanya adalah bersekolah sesuai dengan pilihannya. Sedangkan hobi adalah kegiatan sampingan yang boleh dilakukan bila tugas utama telah selesai.
6.
Mengisi waktu luang diserahkan kepada kebijaksanaan remaja. Remaja selain membutuhkan materi, juga membutuhkan perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya. Oleh karena itu, waktu luang yang dimiliki remaja dapat diisi dengan kegiatan keluarga sekaligus sebagai sarana rekreasi. Kegiatan dapat berupa melakukan berbagai bentuk permainan bersama, misalnya scrabble, monopoli, catur dan lain sebagainya. Selain itu, dapat pula berupa tukar pikiran berbicara dari hati ke hati, misalnya makan malam bersama atau duduk santai di ruang keluarga. Kegiatan keluarga ini hendaknya dapat diikuti oleh seluruh anggota keluarga.
72
7.
Remaja hendaknya pandai memilih lingkungan pergaulan yang baik serta orang tua memberi arahan arahan di komunitas mana remaja harus bergaul.
8.
Remaja membentuk ketahanan diri agar tidak mudah terpengaruh jika ternyata teman-teman sebaya atau komunitas yang ada tidak sesuai dengan harapan.
B. Penerapan Restorative Justice dan Budaya Huyula dan Pohala’a dalam Penyelesaian Kasus Kenakalan Remaja di Kota Gorontalo 1.
Penerapan Restorative Justice dalam Penyelesaian Kasus Kenakalan Remaja di Kota Gorontalo Restorative justice sebagai suatu proses semua pihak yang berhubungan
dengan tindak pidana tertentu duduk bersama-sama untuk memecahkan masalah dan memikirkan bagaimana mengatasi akibat pada masa yang akan datang. Proses ini pada dasarnya dilakukan melalui diskresi (kebijakan) dan diversi, yaitu pengalihan dari proses pengadilan pidana ke luar proses formal untuk diselesaikan secara musyawarah. Penyelesaian melalui musyawarah sebetulnya bukan hal baru bagi Indonesia, bahkan hukum adat di Indonesia tidak membedakan penyelesaian perkara pidana dan perdata, semua perkara dapat diselesaikan secara musyawarah dengan tujuan untuk mendapatkan keseimbangan atau pemulihan keadaan. Dengan menggunakan metode restorative, hasil yang diharapkan ialah berkurangnya jumlah anak anak yang ditangkap, ditahan dan divonis penjara, menghapuskan stigma dan mengembalikan anak menjadi manusia normal, sehingga diharapkan dapat berguna kelak di kemudian hari.
73
Adapun sebagai mediator dalam musyawarah dapat diambil dari tokoh masyarakat yang terpercaya dan jika kejadiannya di sekolah, dapat dilakukan oleh kepala sekolah atau guru. Syarat utama dari penyelesaian melalui musyawarah adalah adanya pengakuan dari pelaku serta adanya persetujuan dari pelaku beserta keluarganya dan korban untuk menyelesaikan perkara melalui musyawarah pemulihan, proses peradilan baru berjalan. Dalam proses peradilan harus berjalan proses yang diharapkan adalah proses yang dapat memulihkan, artinya perkara betul betul ditangani oleh aparat penegak hukum yang mempunyaai niat, minat, dedikasi, memahami masalah anak dan telah mengikuti pelatihan restorative justice serta penahanan dilakukan sebagai pilihan terakhir dengan mengindahkan prinsip-prinsip dasar dan konvensi tentang hak-hak anak yang telah diadopsi ke dalam undang-undang perlindungan anak. Apabila anak terpaksa harus ditahan, penahanan tersebut harus di Rumah Tahanan (Rutan) khusus anak, dan apabila terpaksa harus dipenjara maka harus ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) anak. Baik di Rutan maupun di Lapas, anak harus tetap bersekolah dan mendapatkan hak-hak asasinya sesuai dengan The Beijing Rules agar mereka dapat menyongsong masa depan yang cerah karena pengabaian terhadap hak-hak anak adalah juga pengabaian terhadap masa depan bangsa dan negara. Model restorative justice juga berlandaskan dengan due process model bekerjanya sistem peradilan pidana, yang sangast menghormati hak hak hukum setiap tersangka seperti, hak untuk diduga dan diperlakukannnya sebagai orang yang tidak bersalah jika pengadilan belum memvonisnya bersalah, hak untuk membela diri dan hak untuk mendapatkan
74
hukuman yang proposional dengan pelanggaran yang telah dilakukan. Dalam kasus
anak
pelaku
pelanggaran
hukum,
mereka
berhak
mendapatkan
pendampingan dari pengacaranya selama menjalani proses peradilan. Di samping itu adanya kepentingan korban yang juga tidak boleh diaabaikan, namun demikian tetap harus memperhatikan hak-hak asasi anak sebagai tersangka. Oleh karena itu, anak anak ini sebisa mungkin harus dijauhkan dari tindakan penghukuman sebagaimana yang biasa dilakukan kepada penjahat dewasa. Terdapat 5 (lima) macam pendekatan yang bisa digunakan dalam menangani pelaku pelanggaran hukum usia anak, yaitu: 1.
Pendekatan yang murni mengedepankan kesejahteraan anak,
2.
Pendekatan kesejahteraan dengan intervensi hukum,
3.
Pendekatan dengan menggunakan/berpatokan pada sistem peradilan pidana semata,
4.
Pendekatan edukatif dalam pemberian hukuman, dan
5.
Pendekatan penghukuman yang murni bersifat retributif. Adanya kelima bentuk pendekatan tersebut, tidak terlepas dari
pertentangan antara dua pendekatan dominan dalam menangani juvenile delinquency, yaitu pendekatan kesejahteraan dengan pendekatan keadilan dan juga mencerminkan
perubahan
atau
dinamika
pemikiran
masyarakat
dalam
memberikan respon terhadap pelaku pelanggaran usia anak. Jika pendekatan kesejahteraan merepresentasikan keinginan Pengadilan untuk mendiagnosa masalah utama yang melibatkan anak-anak sebagai pelaku pelanggaran dan memperlakukan anak tersebut, seperti mengobati anak, pendekatan keadilan,
75
merepresentasikan perhatian tradisional dari hukum yang bertujuan menghukum pelaku pelanggaran menurut derajat atau keseriusan atas akibat yang ditimbulkannya. Restorative justice berbeda dengan peradilan pidana biasa dalam beberapa hal. Pertama, melihat tindakan kriminal secara komprehensif. Tidak saja mendefinisikan kejahatan sebagai pelanggaran hukum semata, namun memahami bahwa pelaku merugikan korban, masyarakat bahkan dirinya sendiri; Kedua, restorative justice melibatkan banyak pihak dalam merespon kejahatan, tidak hanya sebatas permasalahan pemerintahan dan pelaku kejahatan, melainkan permasalahan korban dan masyarakat; Ketiga, restorative justice mengukur kesuksesan dengan cara yang berbeda, tidak hanya dari seberapa besar hukuman yang dijatuhkan, namun juga mengukur seberapa besar kerugian yang dapat dipulihkan atau dicegah. Mengingat prinsip dasar dalam menangani permasalahan anak adalah demi tercapainya kepentingan yang terbaik untuk anak, maka pendekatan restorative justice adalah salah satu alternatif yang dipandang baik dalam mencapai kepentingan tersebut. Restorative justice merupakan usaha untuk mencari penyelesaian konflik secara damai di luar Pengadilan. Khusus untuk anak yang berkonflik dengan hukum, restorative justice penting untuk diterapkan karena faktor psikologi anak harus diperhatikan. Dalam prosesnya, restorative justice tersebut akan melibatkan korban dan keluarganya, pelaku dan keluarganya, wakil masyarakat, dan didukung oleh lembaga swadaya masyarakat. Para pihak secara bersama-sama melakukan musyawarah pemulihan dengan putusan sebisa
76
mungkin tidak bersifat menghukum dan lebih mengedepankan solusi dengan memperhatikan kepentingan terbaik dari anak, korban, dan masyarakat. Keadilan restoratif kepada anak pada prinsipnya berlandaskan pada pasal 28B ayat (2) UUD NRI 1945 hasil amandemen, di mana negara menjamin setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pengaturan mengenai hak-hak anak tersebut kemudian diwujudkan dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). SPPA bertujuan untuk menjaga harkat dan martabat anak, kemudian anak berhak mendapatkan pelindungan khusus, terutama pelindungan hukum dalam sistem peradilan. Oleh karena itu, SPPA tidak hanya ditekankan pada penjatuhan sanksi pidana bagi anak pelaku tindak pidana, melainkan juga difokuskan pada pemikiran bahwa penjatuhan sanksi dimaksudkan sebagai sarana mewujudkan kesejahteraan anak pelaku tindak pidana tersebut. Aparat hukum dalam UU SPPA wajib mengupayakan diversi dalam sistem peradilan pidana anak, yakni pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Anak yang berkonflik dengan hukum ditangani secara terlebih dahulu dan dilanjutkan dengan restorative justice. Diversi berarti tidak dilakukan melalui cara pidana, melainkan perdamaian dengan mempertemukan korban dan pelaku beserta keluarganya, serta pihak lain beserta penegak hukum. Para pihak ini kemudian secara bersama-sama mencari
77
penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orang
tua/walinya,
korban
dan/atau
orang
tua/walinya,
pembimbing
kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional berdasarkan pendekatan keadilan restoratif. Selain itu juga, dalam hal diperlukan, musyawarah tersebut juga dapat melibatkan
tenaga
kesejahteraan
sosial,
dan/atau
masyarakat.
Hal
ini
mengindikasikan bahwa harus ada keaktifan dari korban dan keluarganya dalam proses diversi, agar proses pemulihan keadaan dapat tercapai sesuai dengan keadilan restoratif. Bentuk-bentuk hasil kesepakatan diversi antara lain dapat berupa perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian, penyerahan kembali kepada orang tua/wali, keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan, pelayanan masyarakat. 15 Hasil kesepakatan tersebut dituangkan dalam bentuk kesepakatan diversi. Apabila proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan atau kesepakatan diversi tidak dilaksanakan, maka proses peradilan pidana anak dilanjutkan untuk setiap tingkatannya.16 Ada 4 (empat) kriteria kasus anak yang berkonflik dengan hukum dalam wilayah Kota Gorontalo yang dapat diselesaikan dengan model restorative justice: Pertama, kasus itu tidak mengorbankan kepentingan umum dan bukan pelanggaran lalu lintas; Kedua, anak itu baru pertama kali melakukan kenakalan Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, pasal 11. 15
16 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, pasal 13.
78
dan bukan residivis; Ketiga, kasus itu bukan kasus yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, luka berat, atau cacat seumur hidup; dan Keempat, kasus tersebut bukan merupakan kejahatan kesusilaan yang serius
menyangkut kehormatan.
Namun, apabila seorang anak yang dilaporkan dan ditangkap untuk tindak pidana ringan, misalnya karena mengutil/pencurian ringan, perkelahian ringan, tidak usahlah dipenjara, cukup panggil orangtuanya dan dinasihati. Penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan Hakim pun tidak perlu menjatuhkan hukuman. Untuk kasus itu seharusnya tidak apa-apa jika pihak penegak hukum melakukan diskresi (mengambil sikap sendiri).
2.
Penerapan Budaya Huyula dan Pohala’a dalam Penyelesaian Kasus Kenakalan Remaja di Kota Gorontalo Saat ini hukum adat sebagai hukum masyarakat Indonesia semakin
mendapat perhatian, terutama dalam rangka pembangunan hukum nasional, karena itu dalam pembangunan yang sedang dilaksanakan sekarang ini pembangunan bidang hukum adat tidak ketinggalan juga. Hukum adat yang merupakan salah satu sumber hukum akan dimasukan dalam pembentukan hukum nasional mendapat perhatian pula. Permasalahan penerapan hukum adat dan fungsionalisasi lembaga peradilan adat dalam kenyataannya kerap dibenturkan dengan hukum formal. Kenyataan ini berangkat dari realitas sejarah di mana dekade kolonialisme menyebabkan hukum Eropa mendominasi bentuk dari sistem hukum di banyak negara di dunia.17 Rezim sosiologis yang mendasari kerja dalam sistem peradilan 17 Sinclair Dinnen, “Interfaces between Formal and Informal Justice System to Strengthen Access to Justice by Disadvantaged System,” Paper was presented at Practice in Action Workshop
79
pidana menjadikan segala perkembangan dan segala pemikiran dalam masyarakat dapat diserap dalam proses suatu perkara pidana.18 Rezim ini melihat dalam paradigma yang berbeda dari rezim normatif. Hukum pidana disisikan sebagai upaya terakhir dalam penyelesaian suatu perkara pidana, sehingga stelsel-stelsel kemasyarakatan lain seharusnya digunakan dan diupayakan terlebih dahulu dari hukum pidana. Salah satu stelsel pemidanaan yang dimaksud dalam prakteknya terkait dengan sistem hukum tradisional yang banyak hidup dalam masyarakat asli. Meskipun dalam kerangka normatif banyak dipertanyakan, namun dalam kenyataannya terdapat pula praktek penyelesaian perkara pidana di luar sistem peradilan pidana utamanya oleh lembaga pengadilan adat. Hal ini memperoleh dukungan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Declaration on the Rights of Indigenous People (Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-hak Masyarakat Asli) yang disahkan pada tanggal 7 September 2007, yaitu: Pasal 5 Masyarakat adat berhak untuk mempertahankan dan memperkukuh lembaga-lembaga politik, hukum, ekonomi, sosial dan budaya mereka, sementara tetap mempertahankan hak mereka untuk mengambil bagian sepenuhnya kalau mereka juga memilih, dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya dari Negara.19 Pasal 34
UNDP Asia-Pasific Rights and Justice Initiative, Ahungala Sri Lanka, 19-21 November 2003, h. 2-4 18
Roeslan Saleh, Hukum Pidana sebagai Konfrontasi Manusia dengan Manusia (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), h. 14. United Nations, Declaration on The Rights of Indigenous People, article 5.
19
80
Masyarakat adat berhak untuk memajukan, mengembangkan dan memelihara struktur kelembagaan dan adat, kerohanian dan tradisi, prosedur, praktek mereka yang berbeda, dan dalam kasus jika ada, sistem peradilan mereka atau adat, sesuai dengan standar-standar hak asasi manusia internasional.20 Adat adalah salah satu budaya bangsa yang sangat berharga yang dimiliki oleh daerah di seluruh Indonesia. Pada Seminar Hukum adat dan pembangunan hukum nasional, Lembaga Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, di Yogyakarta, merumuskan hukum adat adalah hukum aslinya golongan rakyat pribumi, yang merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan mengandung unsur-unsur nasional yang asli, yaitu sifat kemasyarakatan dan kekeluargaan, yang berasaskan keseimbangan serta diliputi oleh suasana keagamaan.21 Khususnya adat Gorontalo, mempunyai norma atau kaidah yang menjadi pegangan dan petunjuk dalam pergaulan hidup di tengah-tengah masyarakat yang terdiri dari: (a) Wu’udu (peraturan kebiasaan) yang mempunyai sangsi tapi tidak diletakkan oleh hukum. Contoh, Wulea lo lipu (camat), yang tidak memakai kopiah tidak boleh dihormati secara tubo (penghormatan secara adat) oleh Tauda’a (kepala desa); (b) Aadati (wu’udu yang mempunyai sangsi) yang dalam masyarakat adat Gorontalo disebut hukum adat; (c) Tinepo (peraturan kesopanan) yaitu pedoman untuk bertingkah laku dalam pergaulan sehari-hari guna penghormatan kepada sesama. Contoh, adat penyambutan terhadap pejabat tinggi negara yang tidak masuk dalam pulanga (jabatan dalam adat); (d) Tombula’o (peraturan kesusilaan) yang merupakan petunjuk bagi setiap orang untuk tidak United Nations, Declaration on The Rights of Indigenous People, article 34.
20 21
Boedi Harsono, Sejarah Hukum Agraria Indonesia (Jakarta: Djambatan, 2008), h. 179.
81
saja mengetahui, tapi harus dapat membedakan apa yang baik dan yang buruk. Kaidah ini mencegah perbuatan sewenang-wenang dari pihak penguasa dan mencegah tindakan apatis dari yang dikuasai; (e) Butoqo (hukum) adalah hukum dari Olongia (raja), Baate (pemangku adat), yang merupakan petunjuk menyelesaikan sesuatu perkara yang terjadi dalam masyarakat.22 Akar nilai yang diusung oleh keadilan restoratif berakar dari nilai-nilai tradisional dalam masyarakat tradisional seperti nilai keseimbangan, harmonisasi serta kedamaian dalam masyarakat. Oleh karena itu di beberapa negara tercatat bahwa lembaga peradilan adat tetap dipertahankan sebagai sarana bagi masyarakat untuk menyelesaikan sengketa atau permasalahan yang dialaminya termasuk didalamnya perkara pidana. Kenyataan demikian melahirkan tantangan memberdayakan lembaga peradilan adat adalah meletakkannya dalam mekanisme sistem yang berlaku. Adalah kenyataan bahwa pengaruh sistem hukum Eropa di berbagai negara di dunia sebagai hasil dari kolonialisme pada masa lalu menyebabkan sistem ini mendominasi sistem hukum yang ada dan berlaku saat ini. Permasalahan terjadi sejak diterapkannya hukum ”Barat” di berbagai negara dan tersingkirnya lembaga tradisional yang sebelumnya berlaku dan terjadi konflik di mana dua sistem hukum tidak dapat berjalan seiring. Daerah Gorontalo yang merupakan salah satu daerah adat di Indonesia dalam tatanan kehidupan masyarakatnya dikenal adanya: (a) perangkat-perangkat adat, seperti: baate, wu’u, mayulu, handhalo, sikili, longgo; (b) perangkat22 Moh. Karmin `, “Sendi Adat dan Eksistensi Sastra; Pengaruh Islam dalam Nuansa Budaya Lokal Gorontalo,” el Harakah Vol. 12 No. 2 Tahun 2012, h. 295.
82
perangkat syara, seperti: qadhi, imam wilayah, saradaa, kasisi; dan (c) perangkat pemerintah, seperti ketua RT/RW, lurah/kepala desa (ayahanda/ibunda), camat, bupati. Baate dan wu’u (buatulo adati) adalah pemangku adat dan berkedudukan sama. Baate digunakan di Limboto, Wu’u digunakan di Suwawa, sedangkan di Kota Gorontalo, Bulango (Tapa) dan Atingola keduanya dipergunakan sama.23 Mayulu artinya petugas keamanan adat.24 Peranan perangkat-perangkat adat tersebut adalah membantu pihak pemerintah dalam menangani persoalanpersoalan sosial kemasyarakatan yang terjadi atau berlangsung di masyarakat. Terkait persoalan kenakalan remaja yang terjadi di Kota Gorontalo, maka berdasarkan beberapa wawancara diperoleh informasi bahwa: H. Suleman Hunowo mengemukakan: Peranan pemangku adat, tokoh agama dan tokoh masyarakat di Gorontalo, sangatlah besar dan penting. Persoalan sosial kemasyarakatan dapat dipertanyakan dan diselesaikan melalui orang-orang tersebut. Masyarakat masih menjunjung tinggi kedudukan para pemimpin mereka di dunia. Hal ini karena kultur adat masih mendominasi dalam kehidupan masyarakat Gorontalo.25 Nilai-nilai universal hukum adat selanjutnya adalah asas persetujuan sebagai dasar kekuasaan umum, merupakan salah satu unsur demokrasi Indonesia asli yang tercermin dalam tata kehidupan tradisional Bangsa Indonesia. Kekuasaan umum ini dijalankan oleh Kepala Adat atau disebut sebagai Kepala
23
http://ingorontalo.tumblr.com/post/89956219990/baate-atau-pemangku-adat-gorontalosering-terlihat, diakses tanggal 4 September 2015. 24
Moh. Karim Baruadi, “Tradisi Sastra Dikili dalam Pelaksanaan Upacara Adat Maulidan di Gorontalo,” el Harakah, Vol. 16 No. 1 Tahun 2014, h. 14. 25
H. Suleman Hunowo, Tokoh Adat Gorontalo, Wawancara, tanggal 15 Oktober 2015.
83
Rakyat yang bertugas memelihara hidup hukum di dalam persekutuan, menjaga supaya hukum dapat berjalan dengan selayaknya. 26 Seorang Kepala Rakyat sebagai pamong desa ketika menjalankan tugasnya tidak bertindak sendiri, tetapi selalu bermusyawarah dengan anggota dalam pemerintahan desa, bahkan dalam banyak hal bermusyawarah dalam rapat desa dengan para warga desa dalam soal-soal yang tertentu. Dengan demikian, pimpinan persekutuan selalu berjalan di bawah pengawasan dan pengaruh langsung dari rakyat. Hal ini mencerminkan nilai musyawarah sebagai perwujudan dari asas demokrasi.27 Aktivitas kepala rakyat dapat dibagi dalam 3 (tiga) hal, yaitu: (a) tindakan mengenai urusan tanah berhubung dengan adanya pertalian erat antara tanah dan persekutuan (golongan manusia) yang menguasai tanah itu; (b) penyelenggaraan hukum sebagai usaha untuk mencegah adanya pelanggaran hukum (preventieve rechtszorg), supaya hukum dapat berjalan semestinya; (c) menyelenggarakan hukum sebagai pembetulan hukum, setelah hukum itu dilanggar (repressieve rechtszorg).28 Berkaitan dengan tugas Kepala Rakyat yang bertindak sebagai hakim perdamaian desa (dorpsjustitie), yaitu apabila ada perselisihan antara teman-teman sedesa, apabila ada perbuatan- perbuatan yang bertentangan dengan hukum adat, maka Kepala Rakyat bertindak untuk memulihkan keseimbangan dalam suasana desa untuk memulihkan hukum (rechtsherstel), di mana ada pertentangan antara 26 R. Soerojo Wignyodipoero, Kedudukan serta Perkembangan Hukum Adat setelah Kemerdekaan (Jakarta: Gunung Agung, 1988), h. 61. 27
R. Soepomo, Bab-Bab tentang Hukum Adat (Jakarta: Pradnya Paramita, 2007), h. 66.
28
R. Soepomo, Bab-Bab tentang Hukum Adat …, h. 66.
84
teman- teman sedesa satu sama lain, kepala rakyat berusaha supaya kedua belah pihak mencapai kerukunan, supaya masing-masing pihak tidak menuntut 100% haknya masing-masing. Tujuan terutama adalah untuk mencapai penyelesaian sedemikian rupa, sehingga perdamaian adat dapat dipulihkan Sesungguhnya asas perwakilan dan permusyawaratan dalam sistem adat, tidak lain merupakan pengejawantahan daripada corak khas tata kehidupan masyarakat adat tradisional yang memiliki sifat kebersamaan, yaitu gotong royong dan kekeluargaan. Artinya masalah-asalah yang menyangkut kepentingan bersama mengharuskan pemecahannya secara bersama pula, yang dilakukan lewat perwakilan dan permusyawaratan. Setiap anggota masyarakat yang dianggap mampu dituntut untuk menyumbangkan tenaga, pikiran dan pendapatnya, khususnya dalam penyelesaian kasus-kasus kenakalan remaja. Kaitannya dalam menghadapi seorang remaja ada beberapa hal yang harus selalu diperhatikan, yaitu bahwa jiwa seorang remaja adalah jiwa yang penuh gejolak “strum and drang.” Lingkungan seorang remaja juga ditandai dengan perubahan sosial yang cepat apalagi di daerah kota-kota besar dan daerah yang sudah terjangkau oleh sarana dan prasarana komunikasi dan perhubungan yang mengakibatkan kesimpangsiuran norma. Jika kondisi intern dan ekstern seorang remaja sama-sama bergejolak, inilah yang menyebabkan masa remaja lebih rawan daripada tahap-tahap lain dalam perkembangan manusia. Sarwono menjelaskan bahwa untuk mengurangi benturan antar gejolak itu dan untuk memberi kesempatan agar remaja dapat mengembangkan diri secara
85
optimal, maka perlu diciptakan kondisi lingkungan terdekat yang sestabil mungkin, khususnya lingkungan keluarga.29 H. D. K. Usman mengatakan: Huyula bagi masyarakat Gorontalo penerapannya dapat dilihat dalam beberapa jenis, yaitu: Pertama, Ambu merupakan kegiatan tolong-menolong untuk kepentingan bersama atau lebih dikenal dengan istilah kerja bakti, misalnya pembuatan jalan desa, tanggul desa, jembatan dan sebagainya. Selain itu, ambu merupakan salah satu cara yang digunakan oleh masyarakat untuk menyelesaikan permasalahan di masyarakat seperti perkelahian antara warga; Kedua, Hileiya adalah merupakan kegiatan tolong-menolong secara spontan yang dianggap kewajiban sebagai anggota masyarakat, misalnya pertolongan yang diberikan pada keluarga yang mengalami kedukaan dan musibah lainnya; dan Ketiga, Ti’ayo adalah kegiatan tolong-menolong antara sekelompok orang untuk mengerjakan pekerjaan seseorang, contohnya kegiatan pertanian, kegiatan membangun rumah, kegiatan membangun bantayo (tenda) untuk pesta perkawinan.30
Lebih lanjut diungkapkan oleh H. D. K. Usman bahwa: Ketika terjadi seorang anak remaja melakukan tindak kenakalan, seperti seorang remaja laki-laki menghamili seorang remaja perempuan, maka persoalan tersebut tidak serta merta langsung dilaporkan ke pihak berwajib, namun terlebih dahulu dilakukan secara kekeluarga, di mana pihak-pihak yang bermasalah bersama keluarga bermusyawarah untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Sistem musyawarah ini disebut dulohupo.31
Wawancara dengan Wiwin Koni diperoleh informasi bahwa: Berbagai bentuk kenakalan remaja di Gorontalo ini tidak selamanya harus diselesaikan melalui proses hukum, tetapi dalam budaya Gorontalo ada dikenal istilah modulohupa. Istilah ini secara umum berarti musyawarah. Jadi kalau misalnya ada anak yang bermasalah dengan seringnya membolos atau tidak masuk sekolah, maka pihak sekolah tidak langsung memberikan Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja (Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada,
29
2007), 30
H. D. K. Usman, Tokoh Adat Gorontalo, Wawancara, tanggal 12 Oktober 2015.
31
H. D. K. Usman, Tokoh Adat Gorontalo, Wawancara, tanggal 12 Oktober 2015.
86
tindakan hukuman, melainkan pihak sekolah menghubungi pihak keluarga si remaja tersebut untuk mencarikan solusi terhadap perilaku anak tersebut.32 Wawancara dengan Iswad Pakaya, menjelaskan bahwa: Hukum sebagai aturan yang mengontrol masyarakat dalam bertingkah laku, harus dapat ditaati sebagai alat kontrol dalam kehidupan bermasyarakat. Akan tetapi, saat ini pelanggaran hukum semakin sering terjadi, dan kerap melibatkan para remaja. Penyebabnya, selain tingginya tingkat kenakalan remaja yang terjadi di lingkungan masyarakat. Juga kurangnya pengetahuan masyarakat khususnya remaja, mengenai dampak hukum yang ditimbulkan akibat perbuatan melanggar peraturan serta norma yang berlaku di masyarakat tersebut.33 Usaha untuk penegakan hukum di dalam menanggulangi perkelahian pelajar, dapat dilakukan mulai dari pembinaan kehidupan beragama, kasih sayang orangtua dan memberikan aktivitas kegiatan bagi seorang pelajar. Diperlukan juga pembinaan dilingkungan sekolah, pembinaan dan kesadaran di bidang hukum agar masyarakat patuh akan norma-norma hukum, norma-norma susila, norma-norma agama dan norma-norma lainnya berdasarkan kesadaran hukum yang tinggi sehingga dengan kesadaran hukum yang tinggi itu masyarakat dapat lebih memahami akan hak dan kewajibannya untuk saling menjaga ketertiban dan keamanan bersama-sama sebagai institusi masyarakat. Penyelesaian sengketa terkait kenakalan remaja menurut hukum adat selalu ditujukan untuk memulihkan neraca keseimbangan tatanan masyarakat yang terganggu akibat terjadinya sengketa. Corak musyawarah dan mufakat ini dalam penyelesaian perselisihan biasanya didahului oleh adanya semangat itikad
32
Wiwin Koni, Dosen IAIN Sultan Amai Gorontalo, Wawancara, tanggal 27 Oktober
2015. 33 Iswad Pakaya, Kasubag Hukum dan KUB Kantor Wilayah Kementerian Agama Propinsi Gorontalo, Wawancara, tanggal 19 Oktober 2015.
87
baik, adil, dan bijaksana dari orang yang dipercaya sebagai penengah perkara (mediator). H. Ishak Bumulo mengatakan bahwa: Hakekat dari pohala’a dalam budaya Gorontalo adalah nilai-nilai persaudaraan suku Gorontalo. Ketika makna pohala’a ini dikaitkan dengan penyelesaian kasus-kasus yang terjadi di masyarakat, maka masyarakat suku Gorontalo seyogyaknya mengedepankan persaudaraan dalam penyelesaian kasus yang terjadi di masyarakat. Contoh kasus jika seorang anak remaja putra menghamili seorang remaja putri, maka penyelesaiannya ini diselesaikan secara musyawarah kekeluargaan dengan berlandasarkan pohala’a tersebut, yaitu bahwa sama-sama suku Gorontalo.34
K. H. Abdul Rasyid Kamaru mengungkapkan bahwa: Pohala’a sebagai sebuah kearifan lokal memiliki akar historis yang kuat, original dan sudah teruji untuk menata, mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang harmoni dalam bingkai demokrasi, khususnya penegakan hukum. Pohala’a yang mengandung makna persatuan, secara luas bisa diartikan persatuan antara masyarakat suku Gorontalo. Artinya bahwa ketika terjadi sengketa pada suku Gorontalo, maka dengan ikatan pohala’a tersebut, maka penyelesaiannya dapat dibingkai dalam nuansa musyawarah dan kekeluargaan.35 Lebih lanjut dikemukakan tentang makna huyula dalam budaya suku Gorontalo, sebagaimana diungkapkan oleh H. Ishak Bumulo: Huyula itu berarti kerjasama dalam berbagai hal yang terkait dengan nilai sosial dalam masyarakat. Ketika dikaitkan dengan problematika yang terjadi di masyarakat, misalnya ada anak remaja yang masih bersekolah sering membolos, merokok, menghisap narkoba, maka dengan prinsip huyula, keluarga dan masyarakat sekitarnya bersama-sama mencari solusi dalam penanganan kenakalan anak remaja tersebut dengan sama-sama melakukan dulohupa (musyawarah).36
34
H. Ishak Bumulo, Tokoh Adat Gorontalo, Wawancara, tanggal 2 Nopember 2015.
35
K. H. Abdul Rasyid Kamaru, Qadhi Gorontalo, Wawancara, tanggal 3 Nopember 2015.
36
H. Ishak Bumulo, Tokoh Adat Gorontalo, Wawancara, tanggal 2 Nopember 2015.
88
Hasil wawancara dari responden diketahui bahwa prinsip-prinsip hidup yang dimiliki suku adat Gorontalo berupa prinsip huyula dan pohalaa menjadi pedoman dalam menjalani kehidupan bermasyarakat mereka. Kerjasama dan persatuan yang terpatri dalam jiwa mereka dalam menangani kasus-kasus kenakalan remaja yang terjadi di lingkungan mereka dapat diatasi melalui musyawarah kekeluargaan (modulohupa). Artinya bahwa sebelum persoalan yang terjadi di bawah ke ranah hukum, maka prinsip modulohupa diutamakan demi terjalinnya kerjasama dan persatuan antar sesama suku Gorontalo. Prosesi dari modulopa terkait dengan penyelesaian kasus kenakalan remaja menurut penuturan Wiwin Koni, yaitu: Jika kasus kenakalan remaja berupa hamil di luar nikah, maka keluarga laki-laki mendatangi pihak keluarga perempuan membicarakan secara kekeluargaan persoalan yang terjadi di antara anak mereka, sehingga persoalan tersebut jangan sampai diketahui dan menyebabkan keluarga malu.37
pihak untuk anakorang
Ulfa Said mengemukakan pula: Anak-anak yang melakukan pelanggaran sekolah berupa membolos atau merokok, maka pihak kampus menyurati pihak orang tua/wali dari anak yang bermasalah tersebut untuk datang ke sekolah untuk membicarakan dan bermusyawarah cara menangani anak tersebut.38
H. Yusuf Akuba memaparkan pula: Jika kenakalan remaja berupa perkelahian antara remaja, maka pihak keluarga meminta bantuan kepada beberapa elemen, misalnya pihak pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh agama atau pun tokoh adat di daerah tersebut. Mereka ini memediasi agar supaya persoalan tersebut bisa
37
Wiwin Koni, Dosen IAIN Sultan Amai Gorontalo, Wawancara, tanggal 27 Oktober
2015. 38 Ulfa Said, Guru/Koordinator BK SMP Kristen Maesa Gorontalo, Wawancara, tanggal 20 Oktober 2015
89
diselesaikan secara kekeluargaan dan tidak berujung pada laporan ke pihak kepolisian.39 Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa responden di atas dapat diketahui bahwa proses penyelesaian kasus-kasus kenakalan remaja di Kota Gorontalo dengan melibatkan beberapa elemen masyarakat, baik dari pihak korban, pihak keluarga, dan pihak masyarakat (guru, pemerintah, tokoh adat, tokoh masyarakat, dan tokoh agama). Kehadiran mereka dalam rangka bermusyawarah (modulohupa) untuk mencari solusi terhadap penyelesaian kasus kenakalan remaja yang terjadi di daerah mereka. Hadikusuma menjelaskan mekanisme penyelesaian sengketa dalam masyarakat hukum adat antara lain:40 a.
Penyelesaian antara pribadi, keluarga, tetangga Jika terjadi suatu perselisihan atau perbuatan delik adat di kampung, di
tempat pemukiman atau tempat pekerjaan dan lain sebagainya, maka untuk memulihkan gangguan keseimbangan msyarakat, perselisihan diselesaikan langsung di tempat kejadian antara pribadi yang bersangkutan. Bisa juga diselesaikan di rumah keluarga salah satu pihak antara keluarga yang bersangkutan. Dalam pertemuan tersebut kedua belah pihak yang bersengketa mengadakan perundingan secara damai, saling memaafkan, membicarakan tentang ganti kerugian sampai dengan diselenggarakannya upacara selamatan guna mengembalikan keseimbangan masyarakat yang terganggu akibat sengketa yang terjadi. 39
H. Yusuf Akuba, Imam Wilayah Kelurahan Huangobotu, Wawancara, tanggal 21 Oktober 2015. 40 Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Inddonesia (Bandung: Mandar Maju, 1992), h. 242-245.
90
b.
Penyelesaian Kepala Kerabat atau Kepala Adat Penyelesaian Kepala Kerabat atau Kepala Adat, biasanya dilakukan
manakala pertemuan yang diselenggarakan oleh para pihak, keluarga atau tetangga tidak mencapai kesepakatan, sehingga perkaranya memerlukan bantuan Kepala Kerabat atau Kepala Adat kedua belah pihak. Perundingan Kepala Kerabat atau Kepala Adat menyangkut perselisihan khusus di kalangan masyarakat adat kekerabatan, ganti kerugian immaterial, pembayaran denda adat, selamatan, penutup malu atau penggantian nyawa karena adanya kehilangan nyawa. c.
Penyelesaian Kepala Desa Penyelesaian Kepala Desa dilakukan apabila dimintakan oleh pihak warga
yang bersengketa (adanya aduan), sehingga kepala desa dapat menyelenggarakan peradilan desa (dorpjustitie) bertempat di balai desa. Menurut Hadikusuma bahwa langkah yang dapat ditempuh oleh kepala desa dalam penyelesaian sengketa sebagai berikut: 1) Menerima dan mempelajari pengaduan; 2) Memerintahkan perangkat desa atau kepala dusun untuk menyelidiki perkara, dengan menghubungi para pihak yang bersangkutan; 3) Mengatur dan menetapkan waktu persidangan serta menyiapkan persidangan di balai desa; 4) Mengundang para sesepuh desa yang akan meendampingi kepala desa untuk memimpin persidangan; 5) Mengundang para pihak yang berselisih, para saksi u ntuk di dengar keterangannya;
91
6) Membuka persidangan dan menawarkan perdamaian di antara kedua belah pihak; 7) Memeriksa perkara, mendengarkan keterangan saksi, pendapat para sesepuh desa; 8) Mempertimbangkan dan menetapkan keputusan berdasarkan keesepakatan kedua pihak. Setiap perselisihan atau sengketa yang terjadi dalam masyarakat adat pada hakekatnya selalu diupayakan untuk diselesaikan secara musyawarah sebagai esensi dari proses mediasi antara para pihak yang bersengketa. Apabila pada tahap ini masih belum tercapai kesepakatan, penyelesaian dapat dimintakan kepada Kepala Adat atau Kepala Rakyat masing-masing pihak. Kemudian, Kepala Adat sebagai mediator melakukan pendekatan kepada para pihak untuk mencari akar permasalahan yang terjadi. Pendekatan kepada para pihak dapat dilakukakan melalui beberapa kali pertemuan, mengingat kompleksnya permasalahan atau bahkan dengan persetujuan kedua belah pihak yang bersengketa, Kepala Adat dapat meminta bantuan kepada tokoh adat yang lain yang bersifat netral untuk mempercepat proses mediasi. Selanjutnya jika para pihak sudah mengarah pada alternatif penyelesaian sengketa, Kepala Adat dapat membahasakan bentuk penyelesaian damai yang disepakati melalui bahasa adat maupun bahasa agama yang menjadi kepercayaan kedua belah pihak yang bersengketa. Penyelesaian damai yangg disepakati melalui proses mediasi diperkuat dengan dilaksanakan upacara atau prosesi adat.
92
Hal ini berarti bahwa hasil mediasi mengikat kuat kepada kedua belah pihak yang bersengketa untuk beriktikad baik sesegera mungkin melaksanakan hasil mediasi. Pelaksanaan hasil mediasi dalam masyarakat adat, tidak hanya menjadi tanggung jawab para pihak yang bersengketa, tetapi juga menjadi tanggung jawab tokoh adat sebagai mediator. Keluarga atau kerabat para pihak yang bersengketa, berperan sebagai pendorong supaya kesepakatan mediasi dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Di sisi lain peran masyarakat adat yang lain juga sangatlah penting sebagai kontrol terhadap pelaksanaan hasil mediasi. Apabila salah satu pihak tidak bersedia melaksanakan hasil mediasi, maka pihak tersebut akan mendapatkan sanksi adat dari masyarakat hukum adat. Sanksi ini tergantung pada tingkat pengingkaran terhadap kesepakatan, dan juga tergantung pada dampak yang ditimbulkan terhadap nilai-nilai sosial dalam masyarakat hukum adat. Sanksi yang diberikan berupa pengucilan dari bahkan sampai kepada pengusiran dari komunitas hukum adat. dan jika masih belum tercapai kata sepakat, barulah dimintakan penyelesaian kepada Kepala Desa, di mana termasuk di dalamnya tugas Kepala Desa adalah dalam hal pembinaan ketenteraman dan ketertiban desa yang bersangkutan.
C. Restorative Justice dan Budaya Huyula dan Pohala’a dalam Sistem Penegakan Hukum di Indonesia Indonesia adalah sebuah negara yang kaya akan beragam budaya, terletak di garis khatulistiwa dan membawa sebuah keberkahan tersendiri serta membuat negeri ini memiliki potensi sumber kekayaan yang melimpah. Walaupun saat ini pengelolaan dan kebijakan pemerintahnya tidak berpihak kepada rakyat. Terlepas
93
dari itu semua, Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic state), hal ini membawa pemahaman bahwa negara Indonesia merupakan negara yang memiliki ribuan pulau yang mengelilingi dan di kelilingi oleh laut, jumlah pulaupulau tersebut dalam lingkup besar maupun kecil kurang lebih 17.508 pulau.41 Keadaan geografis tersebut melahirkan keanekaragaman suku adat sebagai sebuah konsekuensi logis dari kekayaan pulau di Indonesia. Ragam suku membawa kenyataan bahwa masyarakat Indonesia memiliki macam-macam bentuk budaya dan kebudayaan. Masing-masing kebudayaan tersebut juga memunculkan corak aturan-aturan hukum tersendiri antara yang satu dengan yang lain dan dikenal dengan hukum adat. Beberapa budaya adat yang besar seperti; (1) Aceh, (2) Gayo, Alas dan Batak (3), Minangkabau, (4) Sumatera Selatan; (5) Daerah Melayu; (6) Bangka Belitung; (7) Kalimantan; (8) Minahasa; (9) Gorontalo; (10) Toraja; (11) Sulawesi Selatan; (12) Kepulauan Ternate; (13) Ambon Maluku; (14) Papua; (15) Kepulauan Timur; (16) Bali dan Lombok; (17) Jawa tengah; (18) Yogyakarta dan Surakarta; (19) Jawa Barat; (20) Jawa Tengah, Jawa Timur dan Madura.42 Keberadaan daerah adat tersebut dengan sejarah perkembangan kerajaankerajaan di Nusantara yang cukup panjang tidak terlepas dari sistem penerapan pemerintahan yang berlandaskan atas hukum yang dianut. Pemerintahan kerajaan di Nusantara biasanya dalam sistem peradilannya menerapkan peradilan adat dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi di lingkungan masyarakatnya. Soejitno Hadisapoetro, “Pendidikan Kewarganegaraan,” Makalah, disampaikan dalam perkuliahan strata satu Fakultas Ekonomi pada tanggal 18 September 2010, Universitas Muhammadiyah Malang, h. 5. 41
42 E.K.M. Masinambow (ed.), Hukum dan Kemajemukan Budaya Sumbangan Karangan Untuk Menyambut Hari Ulang Tahun ke-70 Prof. Dr. T.O. Ihromi (Jakarta: Obor, 2003), h. 6.
94
Istilah “Peradilan Adat” atau “Pengadilan Adat” tidak begitu lazim dipakai oleh masyarakat adat maupun masyarakat lokal lainnya. Istilah yang sering digunakan adalah “sidang adat” atau “rapat adat” dalam ungkapan khas masingmasing komunitas. Menariknya, dalam adat tidak dikenal istilah “adil”, sebab kata adil itu sendiri berasal dari bahasa Arab. Oleh karena itu, pengadilan adat tidak mengenal keadilan, yang ada hanya ketika dilakukan penyelesaiaan suatu sengketa dalam masyarakat adat tidak ditujukan untuk menemukan keadilan, tetapi
untuk
memulihkan
keseimbangan
dan
keselarasan
hubungan
kekeluargaan.43 Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa peradilan adat ini sangat dekat dengan tradisi musyawarah. Ini dibuktikan oleh banyaknya konsep yang digunakan oleh sejumlah suku bangsa dengan cara yang beragam, misalnya di Kalimantan Barat, Pengadilan Adat dikenal dengan istilah ‘beduduk’, di Sumatara Utara, khususnya Kabupaten Karo dikenal dengan ‘harungguan.’44 Perdamaian dan keseimbangan merupakan muara akhir dari peradilan adat. Musyawarah menjadi metode untuk menemukan perdamaian. Pelaksanaan ritual tertentu, seperti makan bersama, upacara saling memaafkan atau mengucapkan ikrar serta pelaksanaan hukuman denda, dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan alam fisik dan sosial. Musyawarah dilakukan pada setiap tingkatan peradilan atau sidang adat. Perdamaian selalu diupayakan ketika sengketa dimulai diselesaikan di tingkat keluarga. Setiap keluarga dari pihak yang bersengketa Anonim, Sistem Peradilan Adat dan Lokal di Indonesia, Peluang & Tantangan (Jakarta: Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)-Partnership for Governance Reform, 2003), h. 8. 43
44 H. Abdurrahman, Laporan Akhir Kompendium Hukum tentang Penyelesaian Perkara Pidana dalam Hukum Adat (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI., 2013), h. 51.
95
selalu berusaha agar penyelesaian sengketa berakhir pada musyawarah keluarga. Jika tidak bisa diselesaikan dan akhirnya harus dibawa ke tingkat kampung, ini akan membuat malu para pihak keluarga, sebab perkaranya sudah diketahui oleh masyarakat umum. Meskipun demikian kewenangan dari hakim peradilan adat tidak sematamata terbatas pada perdamaian saja, tetapi juga kekuasaan memutus semua silang sengketa dalam semua bidang hukum yang tidak terbagi ke dalam pengertian pidana, perdata, publik, dan lain-lain. Dalam statusnya yang demikian peradilan adat selalu didasarkan pada asas kerukunan, keselarasan dan kepatutan untukhasil dan proses penyelesaian yang bisa diterima semua pihak. Anutan asas ini menegaskan bahwa proses peradilan adat dibimbing oleh nilai-nilai yang bersifat sosiologik. Karena itu pilihan metode musyawarah dalam setiap proses sidang adat menjadi bisa dipahami, karena hanya dengan proses ini bisa sampai pada keputusan yang bisa diterima oleh para pihak. Indonesia sebagai masyarakat yang pada waktu itu masih terdiri dari persekutuan persekutuan kecil, dengan kedudukannnya yang otonom, mempunyai sistem pemerintahan, harta kekayaan dan sistem hukum sendiri serta kewenangan untuk menyelesaiakan perselisihan antar warganya dengan menegakkan hukum adatnya. Meskipun istilah yang digunakan pada waktu itu bukan pengadilan atau peradilan, hakikatnya tetap pada misi untuk menyelesaikan permasalahanpermasalahan yang ada. Tujuan dari penyelesaian masalah tersebut diutamakan untuk pencapaian cita-cita dan tujuan dari masyarakat tersebut, yaitu ketentraman dan kedamaian
96
melalui penciptaan harmoni dengan sesama, dengan alam dan dengan sang pencipta. Dengan demikian tujuan dari proses penyelesaian sengketa tidak saja ditujukan untuk menegakkan keadilan, tetapi jauh lebih dari itu. Penggunaan istilah ini tidak berarti, bahwa proses yang dipraktekkan itu sama sekali tidak memperhatikan aspek keadilan seperti yang dipersepsikan oleh hukum modern. Untuk melakukan penegakan hukum menurut Freudman Laurence harus terpenuhi 3 (tiga) elemen, yaitu: struktur hukum, aparat hukum, dan budaya hukum. Terkait budaya hukum ini adalah bagaimana masyarakat dalam kehidupan sehari-harinya terbiasa melakukan sesuatu yang sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, sehingga hal ini tentunya berdampak terhadap pembangunan karakter bangsa. Salah satu sarana untuk membangun karakter bangsa dengan cara mentransformasi nilai-nilai budaya lokal, yaitu budaya gotong-royong atau kerjasama (huyula) yang dulu dikenal oleh masyarakat Gorontalo sebagai sarana untuk bekerja sama dalam menyelesaikan suatu pekerjaan demi kepentingan umum. Huyula merupakan suatu sistem gotong-royong atau tolong-menolong antara anggota masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan bersama yang didasarkan pada solidaritas sosial. Mochtar mengungkapkan bahwa huyula adalah pernyataan kebersamaan dalam membangun, atau kebiasaan memusyawarahkan setiap kebijakan yang akan diambil yang berhubungan dengan kepentingan dan hajat hidup orang banyak.45 Hal yang sama diungkapkan oleh Daulima, huyula adalah melakukan suatu 45 Mohammad Mochtar, et al., Menggagas Masa Depan Gorontalo (Yogyakarta: HPMIG Press, 2005), h. 230.
97
pekerjaan bersama oleh sekelompok orang atau anggota masyarakat dalam arti saling membantu dan timbal balik.46 Huyula bagi masyarakat Gorontalo merupakan suatu sistem tolong menolong antara anggota-anggota masyarakat, untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan bersama yang didasarkan pada solidaritas sosial melalui ikatan keluarga tetangga dan kerabat.47 Berdasarkan pendapat tersebut huyula merupakan bentuk musyawarah dalam hal merumuskan kebijakan yang akan menjadi dasar dalam pelaksanaan pembangunan demi kepentingan bersama. Selain prinsip budaya huyula tersebut, masyarakat adat Gorontalo memegang pula prinsip pohalaa, yaitu suatu ikatan solidaritas antara sesama masyarakat Gorontalo bahwa mereka adalah satu ikatan persaudaraan. Kedua bentuk prinsip budaya ini ketika dibawa ke ranah penegakan hukum di Indonesia bisa menjadi sebuah landasan yang kokoh bagi masyarakat adat Gorontalo. Ikatan gotong-royong yang dianutnya dapat dimanipestasikan bahwa untuk mendukung keberlangsungan hukum yang berkeadilan maka perlu adanya semangat kegotong-royongan untuk melaksanakannya. Begitu pula dengan semangat persatuan dalam bingkai pohalaa menjadi landasan kuat dalam penegakan hukum di Indonesia. Bentuk kearifan lokal itu tentunya mengandung kebaikan bagi kehidupan mereka, sehingga prinsip ini mentradisi dan melekat kuat pada kehidupan masyarakat setempat. Meskipun ada perbedaan karakter dan intensitas hubungan sosial budayanya, tapi dalam jangka yang lama mereka terikat dalam persamaan 46
Farhan Daulima, Aspek-Aspek Budaya Masyarakat Gorontalo (Banthayo Pobo’ide Limboto: Fitrah, 2004), h. 82. 47 Yayasan 23 Januari 1942, Perjuangan Rakyat di Daerah Gorontalo, Menentang Kolonialisme dan Mempertahankan Negara Proklamasi (Jakarta: Gobel Dharma Nusantara, 1982), h. 9.
98
visi dalam menciptakan kehidupan yang bermartabat dan sejahtera bersama demi terciptanya penegakan hukum. Dalam bingkai kearifan lokal ini, antar individu, antar kelompok masyarakat saling melengkapi, bersatu dan berinteraksi dengan memelihara nilai dan norma sosial yang berlaku.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian ini, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1.
Masa remaja adalah masa transisi dari anak-anak ke tingkat yang lebih dewasa lagi. Hal ini tentunya membawa dampak pada fisik dan psikologis dari remaja tersebut. Perubahan fisik dan psikilogis tersebut mempengaruhi interaksi sosial dan lingkungannya. Anak remaja yang tidak dapat membendung gejolak keremajaannya seringkali terjerumus ke dalam kenakalan remaja. Bentuk kenakalan remaja yang terjadi kota Gorontalo antara lain pergaulan bebas, bolos sekolah, perkelahian, minum minuman keras, dan narkoba. Kesemua bentuk kenakalan tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain: faktor internal dan eksternal. Faktor internal, seperti krisis identitas, dan kontrol diri yang lemah. Sedangkan faktor eksternal, antara lain: keluarga dan perceraian orang tua, pendidikan yang salah, teman sebaya yang kurang baik, dan komunitas/lingkungan tempat tinggal yang kurang baik.
2.
Restorative justice adalah suatu bentuk model pendekatan baru dalam menyelesaikan perkara pidana dengan fokus pendekatannya kepada pelaku, korban dan elemen-elemen masyarakat dalam proses penyelesaian kasus hukum yang terjadi di antara mereka demi terciptanya suatu keadilan. Dalam
99
100
kasus kenakalan remaja, konsep restorative justice ini dilakukan dengan beberapa pendekatan, yaitu pendekatan yang murni mengedepankan kesejahteraan anak; pendekatan kesejahteraan dengan intervensi hukum; pendekatan
dengan
pendekatan
edukatif
menggunakan dalam
sistem
pemnberian
peradilan hukuman;
pidana dan
semata;
pendekatan
penghukuman yang murni bersifat edukatif. Terkait dengan penerapan konsep huyula dan pohala’a pada masyarakat Kota Gorontalo, maka ada beberapa langkah penyelesaian sengketa, yaitu: penyelesaian antara pribadi, keluarga, tetangga; penyelesaian melalui kepala adat; penyelesaian melalui kepala desa. Bentuk penyelesaian pada masyarakat adat ini selalu diupayakan diselesaikan secara
musyawarah
dengan
memegang
prinsip
huyula
(tolong-
menolong/kebersamaan) dan pohala’a (persatuan dalam ikatan persaudaraan). 3.
Penegakan hukum dapat terwujud ketika ketiga elemen dapat terpenuhi, yaitu struktur hukum, aparat hukum dan budaya hukum. Terkait dengan kenakalan remaja, maka dari segi stuktur hukum itu berupa aturan-aturan perundangundangan, maka terdapat UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak; dari segi aparat hukum, yaitu elemen-elemen masyarakat dan pemerintah yang diberi kewenangan menangani persoalan hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, kehakiman. Sedangkan dari segi budaya hukum terkait dengan kebisaan yang menjadi pedoman yang baik dalam menjalankan hukum tersebut. Jika terkait dengan budaya, maka masyarakat Kota Gorontalo yang memiliki prinsip budaya huyula dan pohala’a tentunya dapat mengantarkan pada penegakan
101
hukum di Indonesia. Prinsip huyula yaitu gotong-royong yang dianutnya dapat dimanipestasikan bahwa untuk mendukung keberlangsungan hukum yang berkeadilan maka perlu adanya semangat kegotong-royongan untuk melaksanakannya. Begitu pula dengan semangat persatuan dalam bingkai pohalaa menjadi landasan kuat dalam penegakan hukum di Indonesia.
B. Implikasi Penelitian Pembentukan hukum nasional di Indonesia tidak terlepas dari benturan antara hukum produk Kolonial Belanda, hukum adat dan hukum Islam. Tujuan daripada
adanya
hukum
adalah
untuk
memberikan
jaminan
terhadap
kelangsungan hidup masyarakat. Artinya bahwa hukum itu hendaknya menjadi living law dalam masyarakat. Oleh karena itu penelitian ini diharapkan berimplikasi bahwa: 1.
Setiap daerah pastilah memiliki kearifan lokal (local wisdom) yang mengatur hubungan interaksi sosial masyarakatnya. Kearifan lokal itu tak terkecuali dimiliki oleh daerah Gorontalo. Oleh karena itu diharapakan berbagai elemen masyarakat Gorontalo dapat terus menggali kearifan lokal yang dimilikinya demi keberlangsungan dan kesejahteraan masyarakatnya.
2.
Anak remaja adalah aset yang paling besar dalam meneruskan cita-cita bangsa, negara dan agama. Tentunya peranan berbagai pihak, mulai dari keluarga, sekolah dan masyarakat sangat menentukan nasib anak remaja di kemudian hari. Kontrol dari pihak-pihak tersebut dapat mencegah terjadinya berbagai bentuk kenakalan remaja.
102
3.
Permasalahan kenakalan remaja tidak sepenuhnya harus dilimpahkan melalui jalur hukum (peradilan), namun juga bisa dilakukan melalui jalur di luar peradilan. Jalur di luar peradilan ini bisa bersinergi dengan kearifan-kearifan budaya yang dimiliki oleh suatu daerah. Gorontalo khususnya, budaya huyula dan pohala’a bisa menjadi landasan kuat dalam penegakan hukum di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, H. Laporan Akhir Kompendium Hukum tentang Penyelesaian Perkara Pidana dalam Hukum Adat. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI., 2013. Ali, M. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern. Jakarta: Pustaka Amani. Ali, Mohammad Daud. Asas-Asas Hukum Islam. Jakarta: Rajawali Press, 1990. Andisti, Miftah A. dan Ritandiyono, “Religiusitas dan Perilaku Seks Bebas pada Dewasa Awal,” Jurnal Psikologi, Vol. 1, No. 2. Anonim. Sistem Peradilan Adat dan Lokal di Indonesia, Peluang & Tantangan. Jakarta: Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)-Partnership for Governance Reform, 20038. Arief, Barda Nawawi. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Jakarta: PT. Kencana Prenada Media Group, 2008. Arikunto, Suharsini. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta, 2006. Atmasasmita, Romli (ed). Peradilan Anak di Indonesia. Bandung: Mandar Maju, 1997. Aviyah, Evi dan Muhammad Farid, “Religiusitas, Kontrol Diri dan Kenakalan Remaja,” Persona, Jurnal Psikologi Indonesia, Mei 2014, Vol. 3, No. 02. Baruadi, Moh. Karim. “Tradisi Sastra Dikili dalam Pelaksanaan Upacara Adat Maulidan di Gorontalo,” el Harakah, Vol. 16 No. 1 Tahun 2014. Baruadi, Moh. Karmin. “Sendi Adat dan Eksistensi Sastra; Pengaruh Islam dalam Nuansa Budaya Lokal Gorontalo,” el Harakah Vol. 12 No. 2 Tahun 2012. Bungin, Burhan. “Teknik-teknik Analisis Kualitatif dalam Penelitian Sosial,” dalam Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Cet. 2; Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003. Candra, Septa. “Restorative Justice: Suatu Tinjauan terhadap Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia (Restorative Justice: a Review of Criminal Law Reform in Indonesia), Jurnal Rechtsvinding: Media Pembinaan Hukum Nasional, Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013.
Dahlan, Abdul Azis, et. al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jil. 4. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996. Danielt, Reyner Timothy. “Penerapan Restorative Justice Terhadap Tindak Pidana Anaka Pencurian oleh Anak Di Bawah Umur,” Lex et Societatis, Vol. II/No.6/Juli/2014. Daulima, Farhan Aspek-Aspek Budaya Masyarakat Gorontalo. Banthayo Pobo’ide Limboto: Fitrah, 2004. Desmita. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008. Dinnen, Sinclair. “Interfaces between Formal and Informal Justice System to Strengthen Access to Justice by Disadvantaged System,” Paper was presented at Practice in Action Workshop UNDP Asia-Pasific Rights and Justice Initiative, Ahungala Sri Lanka, 19-21 November 2003. Djamil, Nasir. Anak Bukan Untuk Dihukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2013. Faisal, Sanapiah. “Pengumpulan dan Analisis Data dalam Penelitian Kualitatif,” dalam Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Cet. 2; Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003. Faridh, Ridhayati. “Hubungan antara Religiusitas dengan Kecenderungan Kenakalan Remaja,” Penelitian. Jakarta: Universitas Islam Indonesia, 2008. Fox, Darrel. “Social Welfare and Restorative Justice,” Journal Krimonologija Socijalna Integracija Year 2009, Vol. 17 Issue 1 Pagerecord No. 55-68, 2009, London Metropolitan University Department of Applied Social Sciences. Friedman, M. Lawrence. Law and Society: An Introduction. Englewood Cliff: Prentice Hall Inc., 1977. Gumarso, Singgih D. et. al., Psikologi Remaja. Jakarta: BPK Gunung Mulya, 1988. Hadikusuma, Hilman. Pengantar Ilmu Hukum Adat Inddonesia. Bandung: Mandar Maju, 1992. Hadisapoetro, Soejitno. “Pendidikan Kewarganegaraan,” Makalah, disampaikan dalam perkuliahan strata satu Fakultas Ekonomi pada tanggal 18 September 2010, Universitas Muhammadiyah Malang. Harsono, Boedi. Sejarah Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Djambatan, 2008.
Hurlock, E.B. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, terj. Istiwidayanti. Jakarta: Erlangga, 1980. _______. Development Psychology: A Life Span Approach, terj. Istiwidayanti, Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Ed. 5. Jakarta: Erlangga, 1999. Jalaluddin. Psikologi Agama. Edisi Revisi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002. Kartono, Kartini. Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja (Jakarta: Rajawali Press, 2010. ______. Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan). Bandung: Mandar Maju, 2007. ______. Psikologi Sosial 2: Kenakalan Remaja. Jakarta: Rajawali Press, 2003. Kementerian Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2001. Krisyanto, Dimas. “Pengertian Tindakan Preventif, Represif, Persuasif, Kuratif, beserta Contoh Kasusnya,” http://globespotes.blogspot.co.id/2012/08/ pengertian-tindakan-preventif-represif. Html. Lubis, T. Mulya. Hak Asasi Manusia dan Pembangunan. Jakarta: YLBHI, 1987. Masinambow, E. K. M. (ed.). Hukum dan Kemajemukan Budaya Sumbangan Karangan Untuk Menyambut Hari Ulang Tahun ke-70 Prof. Dr. T. O. Ihromi. Jakarta: Obor, 2003. Mochtar, Mohammad, et al., Menggagas Masa Depan Gorontalo. Yogyakarta: HPMIG Press, 2005. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Cet. 10; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999. Monks, dkk. Psikologi Perkembangan Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjahmada University Press, 2006. Mulyono, Y. Bambang. Pendekatan Analisis Kenakalan Penanggulangannya. Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Remaja
dan
Niode, Alim S. Pohala’a: Memperkuat Demokrasi Ala Gorontalo, dalam www. http://kebudayaan.kemdikbud.go.id (pdf).
Oktavia, Yuni. “Promotif, Preventif, Kuratif, Rehabilitatif,” http://yunivia88.blogspot.co.id/2013/05/promotifpreventifkuratif rehabilitatif.html. Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 beserta Amandemennya. ______. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. ______. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. ______. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Gorontalo. Saleh, Roeslan. Hukum Pidana sebagai Konfrontasi Manusia dengan Manusia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983. Salim Peter, dan Yeni Salim. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta: Modern English Press, 1991. Saliman. “Kenakalan Remaja sebagai Perilaku Menyimpang Hubungannya dengan Keberfungsian Sosial Keluarga,” http://staff.uny.ac.id/sites/ default/files/pengabdian/saliman-drs-mpd/kenakalan-remaja.pdf Salmadanis, dan Duski Samad. Adat Basandi Syara’: Nilai dan Aplikasinya Menuju Kembali ke Nagari da Surau. Jakarta: Kartina Intan Lestari, 2003. Samekto, FX. Aji. Justice Not For All: Kritik terhadap Hukum Modern dalam Perspektif Studi Hukum Kritis. Yogyakarta: Genta Press, 2008. Santrock, John W. Adolescence Perkembangan Remaja. Jakarta: Erlangga, 2003. Saraswati, Rika. Hukum Perlindungan Anak di Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2009. Sarwirini. “Kenakalan Anak (Juvenile Deliquency): Kausalitas dan Upaya Penanggulangannya,” Perspektif, Volume XVI No. 4 Tahun 2011 Edisi September. Sarwono, Sarlito W. Psikologi Remaja, Edisi Revisi. Jakarta: Rajawali Press, 2010. Soekanto, Soerjono. Kamus Sosiologi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1993. ______. Meninjau Hukum Adat Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 2002. Soepomo, R. Bab-Bab tentang Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita, 2007.
Soetodjo, Wagiati. Hukum Pidana Anak. Bandung: Refika Aditama, 2008. Sudarsono. Etika Islam tentang Kenakalan Remaja. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1991. ______. Kenakalan Remaja. Jakarta: Rineka Cipta, 2008. Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta, 2005. Supeno, Hadi. Kriminalisasi Anak, Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa Pemidanaan. Jakarta: Gramedia, 2010. Sutoyo, Anwar. Bimbingan dan Konseling Islami: Teori & Praktik. Semarang: CV. Widya Karya Semarang, 2009. United Nations, Handbook on Restorative Justice Programmes. New York: United Nations Publication, 2006. ______. Declaration on The Rights of Indigenous People. Vidawati, Tias. “Peranan Kepala Adat dalam Penyelesaian Sengketa Tanah (Studi Kasus Pada Suku Dayak Tobak Desa Tebang Benua Kecamatan Tayan Hilir Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat,” Tesis. Semarang: Univesitas Diponegoro, 2009. Waluyo, Bambang. Viktimologi Perlindungan Saksi dan Korban. Jakarta: Sinar Grafika, 2011. Wignjosoebroto, Soetandyo. Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) dan Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat (HUMA), 2002. _______. Kedudukan serta Perkembangan Hukum Adat setelah Kemerdekaan. Jakarta: Gunung Agung, 1988. _______. “Lima Konsep Hukum dan Lima Metode Penelitiannya,” Makalah yang disampaikan sebagai bahan kuliah pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1999. Wiranata, I Gede A. B. Hukum Adat Indonesia: Perkembangannya dari Masa Ke Masa. Cet. 1; Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2005. Yayasan 23 Januari 1942. Perjuangan Rakyat di Daerah Gorontalo, Menentang Kolonialisme dan Mempertahankan Negara Proklamasi. Jakarta: Gobel Dharma Nusantara, 1982.
Yunus, Rasid. “Transformasi Nilai-Nilai Budaya Lokal sebagai Upaya Pembangunan Karakter Bangsa (Penelitian Studi Kasus Budaya Huyula di Kota Gorontalo),” Jurnal Penelitian Pendidikan, Universitas Pendidikan Indonesia, Vol. 14 No. 1, April 2013. Yusuf, Syamsu. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009. Zulfa, Eva Achjani. “Keadilan Restoratif dan Revitalisasi Lembaga Adat di Indonesia,” Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol. 6 No. II Agustus 2010. Zulfa,
Eva Achjani. “Mendefinisikan Keadilan Restoratif,” dalam http://evacentre.blog spot.com/2009/11/definisi-keadilan-restoratif.html.
http://ingorontalo.tumblr.com/post/89956219990/baate-atau-pemangku-adatgorontalo-sering-terlihat http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbgorontalo/2014/05/09/sekilas-sejarahgorontalo _indonesia/ diakses tanggal 27 Mei 2015.