EDITORIAL Cyrillus Harinowo Chairman of Perbanas Business School
IMPROVING THE POLICY RESPONSE TO INTERNATIONAL MONETARY SHOCK Perkembangan moneter internasional dewasa ini sesungguhnya berada di simpang jalan. Keseimbangan yang terjadi dewasa ini sebetulnya berlangsung secara semu, karena sumbu-sumbu penting dari sistem moneter internasional tersebut dewasa ini dalam keadaan rapuh. Suatu goncangan yang sedikit keras bukan tidak mungkin akan menyebabkan terjadinya “disequilibrium” yang akhirnya bisa membawa banyak korban. Dalam keadaan yang sedemikian, maka berbagai upaya harus dilakukan agar perkembangan moneter di Indonesia tidak rentan menghadapi gejolak moneter internasional. Pembahasan saya akan mulai dengan melihat gejolak moneter dalam Sistem Moneter paska Perang Dunia II. Bagian tersebut kemudian dilanjutkan dengan Gejolak Moneter paska Sistem Bretton Woods. Bagian ketiga adalah Membaca Tanda-tanda Zaman, dimana gejolak moneter yang mungkin terjadi diprediksikan disini. Bagian terakhir adalah pembahasan mengenai apa yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam merespons gejolak moneter internasional yang mungkin terjadi. Gejolak Moneter Paska Perang Dunia II Sistem Moneter Paska Perang Dunia II, yang dikenal dengan sistem Bretton Woods, umumnya dipandang sebagai Sistem Moneter yang menghasilkan stabilitas sehingga dua puluh lima tahun pertama sesudah Perang Dunia II dianggap sebagai “the golden years”. Sistem moneter yang dirancang di desa Bretton Woods, New Hampshire, Amerika Serikat pada tanggal 1 – 22 Juli 1944 tersebut pada intinya memang ingin menjaga stabilitas moneter global dengan menciptakan Sistem Nilai Tukar Tetap. Dalam hal ini, nilai tukar masing-masing negara dikaitkan dengan nilai Dolar AS sebagai “anchor”. Sementara itu nilai Dolar AS kemudian dikaitkan dengan emas, dimana setiap 1 ounce emas dihargai sebesar 35 Dolar AS. Sistem Moneter tersebut kemudian dijaga oleh International Monetary Fund (IMF) yang dibentuk dalam persidangan di Bretton Woods tersebut bersama-sama dengan Bank Dunia (International Bank for Reconstruction and Development atau IBRD) dan lembaga perdagangan dunia yang akhirnya menjelma menjadi General Agreement on Tariffs and Trades (GATT) beberapa tahun kemudian.1 Oleh karena itu, membicarakan gejolak moneter dalam Sistem Bretton Woods tampaknya seperti mencari jarum ditengah tumpukan jerami. Namun demikian, setelah melihat berbagai peristiwa dalam kurun waktu tersebut secara lebih mendalam, ternyata banyak juga kasus yang bisa dikategorikan sebagai gejolak, meskipun sifatnya tidaklah bersifat sistemik tetapi lebih bersifat lokal. Dua gejolak moneter yang penting yang terjadi selama kurun waktu 25 tahun tersebut adalah proses konvertibilitas Pound Sterling dan krisis moneter Amerika Serikat yang berujung pada berakhirnya Sistem Bretton Woods tanggal 15 Agustus tahun 1971. Gejolak yang pertama, dan ini ternyata berlangsung cukup lama, adalah terjadinya penyesuaian perekonomian Inggris sebagai konsekuensi dari berubahnya mata uang internasional dari Pound Sterling ke Dolar AS. Sebagaimana diketahui, sebelum berlangsungnya Perang Dunia II, Inggris adalah merupakan sebuah negara adidaya yang pengaruhnya sangat dirasakan dihampir sudut-sudut dunia. Pengaruh yang sedemikian besar tersebut akhirnya membuat mata uang Inggris, yaitu Pound Sterling, akhirnya menjadi mata uang utama dunia, dimana bank-bank sentral di seluruh dunia banyak menggunakan mata uang tersebut sebagai cadangan devisa utama mereka.
Namun Perang Dunia II berhasil mengubah nasib negara tersebut. Inggris yang meskipun tidak berhasil dikalahkan oleh Jerman namun mengalami kemerosotan ekonomi yang cukup masif. Banyak sektor produksi yang berhenti atupun berubah fungsi menjadi penghasil mesin perang. Sementara itu Amerika Serikat relatif tidak banyak terganggu perekonomiannya selama Perang Dunia II, kecuali Pearl Harbour yang diserang Jepang, dan bahkan mengalami perkembangan yang pesat karena harus menyokong berbagai barang yang dibutuhkan para sekutunya di Eropa. Oleh karena itu, selesainya Perang Dunia II membuat ekuilibrium perekonomian global menjadi bergeser, dimana Amerika Serikat muncul sebagai kekuatan ekonomi yang sangat besar dan akhirnya menggeser peranan ekonomi Inggris. Keadaan inilah yang akhirnya menjadi warna perundingan di Bretton Woods, meskipun pada waktu itu delegasi Inggris dipimpin oleh John Maynard Keynes yang sangat kita kenal. Dengan ditetapkannya Dolar AS sebagai “anchor currency”, maka cadangan devisa berbagai negara di dunia harus digeser menjadi lebih banyak Dolar AS nya dibanding dengan Pound Sterling. Keadaan ini menyebabkan harus dilakukannya proses konvertibilitas1 Pound Sterling kedalam Dolar AS di berbagai negara. Keadaan ini menjadi beban yang sangat berat bagi perekonomian Inggris. Untuk membantu proses tersebut, Amerika Serikat kemudian memberikan pinjaman kepada Inggris dalam bentuk mata uang Dolar AS sejumlah lebih dari 3 milyar dolar. Namun demikian, jumlah tersebut pada akhirnya tidak dirasakan cukup oleh Inggris. Oleh karena itu, Inggris akhirnya meminta bantuan IMF pada bulan September 1947. Dengan demikian Inggris akhirnya menjadi negara pertama yang menjadi pasien IMF, sebuah status yang dewasa ini berkonotasi sangat menyakitkan tersebut.2 Sementara itu, bantuan IMF untuk memperkuat cadangan devisa Inggris tersebut ternyata tidak mencukupi untuk memperbaiki situasi. Oleh karena itu IMF mengijinkan Inggris untuk melakukan devaluasi mata uangnya, yaitu dari 4,03 Dolar AS setiap Pound Sterling menjadi 2,80 Dolar AS.Langkah ini terjadi pada tanggal 18 September 1949. Langkah tersebut kemudian diikuti oleh puluhan negara yang juga melakukan devaluasi. Mengingat problem yang struktural yang dialami, maka Pound Sterling akhirnya kembali didevaluasi 18 tahun kemudian, yaitu dari 2,80 Dolar AS menjadi 2,40 Dolar AS setiap Pound Sterling. Inggris akhirnya kembali memiliki perekonomian yang kokoh pada saat dipimpin oleh Margaret Thatcher sebagai Perdana Menteri. Gejolak yang kedua adalah terjadi pada negara yang menjadi “anchor” dari sistem Bretton Woods itu sendiri, yaitu Amerika Serikat. Negara yang mengalami beban yang berat oleh Perang Vietnam tersebut akhirnya merasakan betapa beratnya beban perekonomian mereka. Dalam hal ini Amerika Serikat mengalami “twin deficits”, mirip dengan apa yang dialami oleh negara tersebut saat ini. Bedanya, pada waktu itu Amerika Serikat adalah negara yang menjadi “anchor” sistem moneter dunia. Dalam keadaan seperti itu, defisit neraca pembayaran yang besar menyebabkan cadangan devisa mitra (atau lebih tepat disebut lawan) dagangnya menjadi menumpuk dengan mata uang Dolar AS. Keadaan ini menjadi lebih diperburuk setelah harga emas meningkat tajam, jauh melebihi harga emas yang dikaitkan dengan nilai Dolar AS dalam Sistem Bretton Woods tersebut. Akhirnya ketimpangan ini menyebabkan beberapa negara untuk “berpikir nakal”, yaitu menukarkan cadangan devisa mereka yang dalam mata uang Dolar AS dengan emas yang dimiliki Bank Sentral AS. Transaksi demikian, yang dimungkinkan dalam Sistem Bretton Woods, menyebabkan terjadinya aliran emas besar-besaran dari Fort Knox di Kentucky AS, tempat penyimpanan emas Bank Sentral AS tersebut, ke negara-negara Eropa. Bahkan pada satu saat, pengiriman emas ke Eropa tersebut dilakukan dengan pesawat angkut yang dikawal pesawat tempur AS.3 Menghadapi “serangan” yang sedemikian, Pemerintah Amerika Serikat akhirnya harus meminta tolong IMF. Amerika Serikat memperoleh bantuan IMF tersebut sebanyak dua kali, yaitu pada tahun 1966 dan tahun 1968. Namun demikian, perkembangan yang terjadi terus memburuk. Pemerintah Amerika Serikat melihat, jika keadaan tersebut terus berlangsung, bukan tidak mungkin cadangan emas mereka akan habis sama sekali atau bahkan kurang untuk dapat memenuhi permintaan penukaran tersebut. Keadaan inilah yang akhirnya memaksa Presiden Nixon pada tanggal 15 Agustus 1971 untuk
mendeklarasikan diputuskannya kaitan Dolar AS dengan nilai emas. Deklarasi ini pada akhirnya menjadi titik terakhir dari berlangsungnya Sistem Bretton Woods tersebut.4 Selain kedua gejolak besar tersebut, sebetulnya Sistem Moneter Bretton Woods juga mengalami gejolak kecil-kecil yang akhirnya harus membutuhkan bantuan dari IMF dari waktu ke waktu. Dalam hal ini dari negara maju anggota G-7, enam negara diantaranya pernah menjadi pasien IMF, kecuali Jerman. Apa yang terjadi dalam Sistem Bretton Woods tersebut bukan tidak mungkin dapat terjadi lagi di masamasa mendatang. Hal ini akan diulas dalam bab ketiga, yaitu “Membaca Tanda-tanda Zaman”. Gejolak Moneter Paska Sistem Bretton Woods Sistem moneter internasional paska Bretton Woods diawali oleh ketidak pastian yang besar. Pada pengertian awam, ketidak pastian tersebut pada hakekatnya merupakan suatu gejolak moneter tersendiri. Gejolak yang pertama adalah terjadinya proses pengambangan mata uang antar negara utama. Dalam tahapan berikutnya, sebagian negara mulai mengkaitkan mata uang mereka pada mata uang yang mereka anggap cukup kuat, yaitu Dolar AS (seperti halnya Indonesia), French Franc (terutama oleh Francophone Africa), Pound Sterling dijadikan acuan oleh Anglophone Africa dan banyak negara lain dan sebagainya. Dari sisi institusi, perkembangan ini kemudian diperkuat oleh apa yang disebut dengan Jamaica Agreement di tahun 1976. Dalam proses tersebut, yang tampak mengerucut adalah proses integrasi mata uang di Eropa. Hal ini sangat mudah untuk dimengerti, sebab dengan mata uang yang berbeda-beda, maka perjalanan barang antara Antwerpen di Belgia, misalnya, menuju Dusseldorf, di Jerman, yang jaraknya tidak lebih dari Jakarta Semarang, terpaksa melewati dua pintu bea cukai dan tiga mata uang. Jika fluktuasi mata uang antara negara begitu besar, maka perjalanan barang tersebut menghadapi risiko nilai tukar yang sangat besar. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bahwa negara Benelux (Belgia, Nederland dan Luxemburg) akhirnya mengikatkan mata uang mereka satu sama lain. Demikian j uga negara-negara Eropa Barat juga mengikatkan mata uang mereka satu sama lain dalam bentuk apa yang disebut dengan SNAKE, yang kemudian dilanjutkan dengan Exchange Rate Mechanism (ERM) yang merupakan pilar utama dari Sistem Moneter Eropa pada tahun 1979. Terakhir, bahkan negara-negara Eropa semakin meningkatkan proses integrasinya sehingga menjadi Euro yang kita kenal sekarang ini.5 Gejolak kedua yang cukup besar adalah kebijakan moneter ketat yang dilaksanakan oleh Gubernur Bank Sentral AS yang baru, yang dipilih pada tahun 1979. Gubernur tersebut, yang bernama Paul Volcker, mempunyai obsesi untuk mengatasi inflasi yang mencapai “double digit” di negaranya dengan melakukan Kebijakan Moneter yang sangat ketat. Suku bunga di Amerika serikat dinaikkannya secara agresif sehingga pada akhirnya mencapai tingkat lebih dari 20 persen di awal tahun 1980 an. Kebijakan yang sebetulnya bersifat lokal tersebut kemudian membawa dampak yang sistemik karena besarnya eksposur hutang dalam Dolar AS yang dialami oleh negara-negara Amerika Latin. Negara-negara Amerika Latin tersebut sedang berada pada puncaknya “keranjingan” Pinjaman Sindikasi dari perbankan internasional, sehingga mencapai ratusan milyar Dolar AS. Jika selama pinjaman tersebut dilakukan suku bunga masih berada pada level “single digit”, maka kenaikan suku bunga sampai mencapai 20 persen menyebabkan beban pembayaran bunga utang mereka jauh melampaui kemampuan mereka untuk membayar. Hal inilah yang akhirnya menimbulkan default yang dimulai oleh Meksiko di tahun 1982, namun kemudian diikuti oleh hampir semua negara Amerika Latin. Permasalahan ini berlangsung hampir satu dasawarsa, sehingga para pengamat mengatakan periode tersebut sebagai dasawarsa yang hilang (the lost decade).6 Gejolak moneter yang ketiga tidak terjadi di negara-negara berkembang, tetapi justru terjadi dinegara maju, yaitu di Eropa Barat pada tahun 1992. Gejolak moneter tersebut diawali oleh proses pembangunan Jerman Timur secara besar-besaran setelah selesainya proses Unifikasi negara tersebut dengan Jerman Barat. Investasi yang sangat besar dibiayai defisit yang mencapai 13 persen dari PDB. Keadaan ini menimbulkan inflasi yang menyebabkan Bundesbank harus menaikkan suku bunga secara agresif sehingga hampir mencapai 10 persen. Dalam sistem moneter yang nilai tukarnya terkait satu
sama lain, maka kenaikan suku bunga di Jerman (padahal dengan nilai tukar antar negara yang tetap) menyebabkan terjadinya aliran modal yang besar dari banyak negara ke Jerman. Keadaan ini menyebabkan perekonomian banyak negara menjadi ambur adul. Inggris, Spanyol dan Italia bahkan akhirnya terpental dari Sistem Moneter Eropa, sedangkan negara-negara Skandinavia mengalami krisis perbankan yang sangat masif.7 Gejolak Moneter yang keempat terjadi di Meksiko di tahun 1994-1995 yang dikenal sebagai Tequila Crisis. Gejolak moneter tersebut menimbulkan Contagion Effect yang besar ke berbagai negara di seluruh dunia. Untungnya, Pemerintahan Presiden Clinton, dibantu oleh Robert Rubin dan Lawrence Summer, berhasil mengatasi permasalahan tersebut secara cepat sehingga akhirnya krisisnya dapat segera diatasi. Namun demikian krisis tersebut membuktikan bahwa permasalahan yang muncul pada suatu negara bukan tidak mungkin menimbulkan gejolak sistemik antar negara. Gejolak Moneter yang kelima telah meninggalkan luka yang dalam kepada kita semua. Gejolak tersebut terjadi di Asia yang dimulai dengan serangan kepada mata uang Thailand yaitu Baht, namun kemudian menjalar kemana-mana. Krisis tersebut akhirnya memporak-porandakan Indonesia, Korea, selain Muangthai, namun juga Turki dan Rusia, serta beberapa negara Amerika Latin terutama Brazil, Argentina dan Uruguay. Dari berbagai gejolak moneter yang terjadi selama periode Paska Bretton Woods tersebut, maka satu hal yang pasti adalah bahwa krisis yang terjadi semakin besar dengan intensitas yang semakin tinggi. Hal ini terutama disebabkan terjadinya globalisasi keuangan, sehingga setiap terjadi krisis di suatu negara akan menyebabkan terjadinya portfolio adjustment pada berbagai investor global sehingga menyebabkan negara-negara yang jauhpun bisa terkena akibatnya. Beroperasinya ribuan Hedge Funds maupun juga para Funds Manager lainnya (baik dari perusahaan Asuransi, Perbankan maupun juga Korporasi yang besar) pada akhirnya membuat upaya penanganan krisis menjadi sangat sulit. Bahkan terakhir dengan banyaknya pinjaman dalam bentuk Obligasi Global oleh banyak negara berkembang, maka setiap terjadi krisis di negara tersebut penanganannya tidak lagi hanya dengan mengkonsolidasikan konsorsium bank, namun harus menjangkau para investor retail yang jumlahnya sungguh sulit untuk dikendalikan. Berbagai upaya sudah dilakukan, baik melalui IMF dan Bank Dunia, maupun juga Kelompok 10 yang beraktivitas di BIS di Basle. Berbagai kelompok tersebut mencoba untuk mengembangkan perangkat Early Warning System, risk management, peningkatan permodalan bank dan sebagainya agar integritas perbankan dapat terus terjaga meskipun krisis menghantam negara yang bersangkutan. Ketahanan sistem keuangan masing-masing negara juga diperiksa melalui sistem yang disebut Financial Sector Assessment Program (FSAP) untuk mengurangi besarnya risiko jika terjadi krisis di negara yang bersangkutan. MEMBACA TANDA-TANDA ZAMAN8 Perkembangan moneter global dewasa ini ditandai oleh beberapa permasalahan besar, yang kalau tidak ditangani secara hati-hati memiliki potensi yang besar untuk menimbulkan disrupsi bagi perekonomian global. Beberapa permasalahan besar yang terjadi adalah twin deficit yang sangat masif yang terjadi di Amerika Serikat, berkembangnya dinamika hutang Pemerintah Jepang yang sangat mengkhawatirkan dan terjadinya pertumbuhan rendah di Uni Eropa. Ini berarti di tiga pilar utama perekonomian dunia masing-masing menyimpan potensi permasalahan yang menjadi beban bagi perekonomin dunia.
Beberapa perkembangan penting Perekonomian Amerika Serikat
Dewasa ini Amerika mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, namun pada hakekatnya mengandung suatu permasalahan besar yang sebetulnya sangat eksplosif. Permasalahan tersebut adalah berupa twin deficit yang sangat masif. Sebagai mana diketahui, salah satu permasalahan besar yang dihadapi negara tersebut adalah defisit neraca pembayaran. Defisit ini sudah terjadi selama bertahun-tahun. Namun permasalahan yang kedua, yaitu defisit APBN, sebetulnya pernah terkoreksi pada saat periode pemerintahan Presiden Clinton yang kedua, di mana dari tahun 1998 sampai dengan 2000, APBN dari Amerika Serikat mengalami surplus yang semakin besar. Namun demikian, hanya dalam hitungan tahun, surplus yang membesar tersebut tiba-tiba berbalik menjadi defisit yang semakin lama juga semakin besar. Pada akhir tahun 2006, hutang kotor Pemerintah Amerika Serikat (gross debt) sudah mencapai 8,5 trilyun Dolar AS, atau tumbuh sekitar 2,5 trilyun Dolar AS dibandingkan dengan posisi pada saat akhir pemerintahan Presiden Clinton. Tingkat gross debt sebesar itu merupakan sekitar 70 persen dari total PDB Amerika Serikat.9 Perkembangan tersebut menimbulkan permasalahan tersendiri bagi Pemerintah maupun Bank Sentral AS. Dalam keadaan perekonomian yang mengalami pertumbuhan yang tinggi, maka tekanan inflasi yang terjadi di negara tersebut akan menyebabkan bank sentral AS mengambil langkah pengketatan moneter untuk mengeremnya. Namun demikian, jika tingkat bunga dinaikkan terlalu tinggi, maka hal ini akan menyebabkan beban pembayaran bunga bagi Pemerintah Amerika Serikat juga menjadi semakin berat. Jika selama beberapa tahun suku bunga Federal Funds berada diposisi terendah, yaitu 1 persen, maka suku bunga obligasi Pemerintah Amerika Serikat berada pada level sekitar 3 – 4 persen. Dengan adanya kenaikan suku bunga Federal Funds menjadi 5 persen dewasa ini, maka suku bunga obligasi Pemerintah yang berjangka waktu 10 tahun bisa mengalami peningkatan menjadi lebih dari 5 persen. Padahal, dengan tingkat utang yang dimiliki Pemerintah Amerika Serikat sekarang ini, maka setiap terjadi kenaikan suku bunga obligasi sebesar 1 persen, maka dampaknya adalah kenaikan pengeluaran dalam APBN sebesar 80 milyar dolar AS sebagai tambahan pembayaran bunga saja. Dengan terjadinya twin deficit yang tampaknya akan berlangsung lama, dan bukan tidak mungkin juga akan menjadi semakin parah, maka upaya pencapaian keseimbangan hanya bisa dilakukan oleh investor luar negeri, terutama bank-bank sentralnya. Hal inilah yang membuat cadangan devisa bankbank sentral Asia mengalami kenaikan yang sangat tajam dari waktu ke waktu. Yang menjadi pertanyaan adalah sampai dimana batas atas dari cadangan devisa tersebut yang bisa ditolerir oleh bank-bank sentral di seluruh dunia. Adakah peristiwa sejarah yang menuntun kita untuk melihat tandatanda zaman terjadinya permasalahan di masa mendatang?. Perekonomian Jepang Jepang dewasa ini sudah berada pada track bagi pemulihan ekonomi. Selama beberapa tahun pemerintahan Perdana Menteri Koizumi, perekonomian Jepang memang sudah semakin berada pada arah yang benar. Investasi yang dilakukan oleh perusahaan Jepang maupun investor Asing sudah mulai dilakukan di dalam negeri Jepang. Ini jelas suatu perkembangan yang patut disyukuri, setelah bertahuntahun banyak korporasi Jepang yang melakukan investasi di luar negeri. Perkembangan investasi yang semula lebih banyak dilakukan di luar negeri tersebut telah menimbulkan suatu dikotomi yang kuat, dimana korporasi Jepang banyak mengalami keuntungan yang besar. Toyota bahkan dewasa ini telah muncul sebagai perusahaan mobil terbesar di dunia, setelah dalam nilai sahamnya bertahun-tahun menjadi korporasi di bidang otomotif yang memiliki kapitalisasi pasar terbesar di dunia. Namun demikian, perkembangan ekonomi Jepang tersebut sayangnya terjadi setelah selama sepuluh tahun lebih mengalami stimulasi fiskal yang salah sasaran, sehingga pada akhirnya kapasitas ekonomi tidak mengalami peningkatan, tetapi jumlah utang Pemerintah justru berkembang dengan pesat. Dengan defisit APBN yang besarnya sekitar lebih dari 8 persen setiap tahunnya, maka dengan cepat utang Pemerintah mengalami peningkatan yang pesat. Jika pada tahun 1989, yaitu tahun sebelum
terjadi resesi yang berkepanjangan, rasio utang terhadap PDB Pemerintah Jepang berada pada tingkat 50 persen, suatu tingkat yang bisa dikatakan relatif aman, maka pada tahun 1999 rasio utang tersebut menjadi 99 persen dari PDB. Tahun 2004 rasio tersebut meningkat dengan tajam, yaitu menjadi sebesar 160 persen, dan dewasa ini bahkan sudah mencapai 175 persen.10 Dengan rasio utang yang sedemikian besar, maka setiap kenaikan suku bunga sebesar 1 persen, maka ini berarti kenaikan beban pembayaran bunga utang Pemerintah sebesar 1,75 persen dari PDB.11 Dinamika utang yang sedemikian inilah yang akhirnya memperoleh perhatian IMF dalam diskusi tahunan baru-baru ini, dimana defisit APBN Jepang diharapkan dapat diturunkan secara bertahap sehingga pada suatu saat nanti diharapkan menjadi surplus kembali. Dengan rasio utang yang sedemikian, mudah dimengerti bahwa akhirnya terjadi ketegangan yang tinggi antara Bank of Japan, bank sentral negara tersebut, dengan Pemerintah Jepang. Pada saat ini bank sentral negara tersebut mulai melihat perlunya untuk melakukan sedikit pengereman moneter dengan mengarahkan tingkat suku bunga ke tingkat yang lebih masuk akal dibandingkan dengan tingkat yang mendekati nol dewasa ini. Namun demikian, rencana kenaikan suku bunga tersebut berhadapan dengan kekhawatiran Pemerintah Jepang terhadap “meledak”nya dinamika utang di negara tersebut. Tarik-menarik inilah yang kita perlu perhatikan, meskipun substansi diskusinya sendiri sering tidak transparan. Perekonomian Uni Eropa Uni Eropa juga mengalami dinamika tersendiri yang patut menjadi perhatian kita semua. Pada saat ini , beberapa negara yang menjadi pilar penting dari Uni Eropa, yaitu Jerman, Perancis dan Italia mengalami pertumbuhan yang rendah setelah beberapa tahun mengalami resesi. Bahkan untuk tahun ini Italia diperkirakan akan mengalami pertumbuhan yang sangat rendah sehingga Pemerintah Italia diperkirakan akan melanggar lagi kesepakatan untuk menahan defisit APBN dibawah 3 persen.12 Namun demikian, secara keseluruhan begitu banyak harapan yang ditumpahkan pada Uni Eropa. Beberapa negara anggota Uni Eropa yang kecil, terutama Irlandia, Spanyol, Portugal dan Yunani, mengalami percepatan pertumbuhan ekonomi selama masa pembentukan pakta ekonomi tersebut. Demikian juga harapan yang ditumpahkan negara-negara anggota baru yang berasal dari Eropa Timur dan Eropa Tengah, prospek dari Uni Eropa diperkirakan masih akan cerah dalam beberapa dekade mendatang. Perkembangan yang sedemikian itu pada akhirnya membawa dampak pada pergeseran-pergeseran kekuatan perekonomian global yang akan mewarnai dekade mendatang. Sebagaimana diketahui, Airbus, misalnya, sudah menjadi kekuatan tandingan yang bahkan sudah mulai melampaui Boeing (yang bahkan sudah merger dengan Mc Donnell Douglas). Nokia, misalnya, sudah menjadi kekuatan yang penting dalam industri telekomunikasi baru. Bahkan kalau kita melihat daftar urutan negara dalam Global Competitiveness Index yang dikeluarkan oleh World Economic Forum, maka tampak benar dominasi dari negara-negara Eropa dalam daftar tersebut. Potensi Ledakan Besar Dengan melihat perkembangan tersebut, kita dapat membaca tanda-tanda zaman mengenai apa yang mungkin terjadi di masa mendatang. Sementara perekonomian Amerika Serikat, meskipun dewasa ini mengalami pertumbuhan yang tinggi, mengalami permasalahan struktural yang semakin berat, sementara Jepang juga menghadapai permasalahan dinamika utang yang semakin besar, maka Uni Eropa, meskipun dewasa ini mengalami permasalahan pertumbuhan yang rendah, telah menawarkan diri sebagai kawasan ekonomi yang relatif paling sehat dan memiliki prospek yang cukup menjanjikan. Sementara itu, yang menjadi konsolasi bagi perkembangan tersebut, perekonomi- an dunia beruntung bahwa muncul pusat pertumbuhan baru, yang bahkan kalau dilihat secara keseluruhan bisa memberikan pengaruh yang sangat positif bagi negara-negara di kawasan tersebut, termasuk Indonesia. Pusat pertumbuhan baru tersebut adalah benua Asia dengan dua powerhouse yang baru,
yaitu Cina dan India. Perkembangan yang terjadi di dua negara tersebut juga dilengkapi dengan perkembangan di kawasan sekitarnya, terutama Korea dan ASEAN. Perkembangan yang memiliki sifat komplementaritas yang tinggi tersebut, meskipun disana-sini juga diwarnai persaingan yang cukup tajam, membuat kawasan Asia dapat tumbuh sebagai benua yang bisa menghidupi diri sendiri (self-
contained region). Sementara itu, cadangan devisa yang dimiliki oleh bank-bank sentral negara-negara di kawasan Asia menunjukkan peng gelembungan yang semakin lama semakin besar. Data bulan Maret 2006 yang lalu, misalnya, menunjukkan cadangan devisa Jepang sudah mencapai 875 milyar dolar AS. Jumlah ini membuat Cina sebagai negara yang menduduki tingkat pertama dalam pengumpulan cadangan devisa, melampaui Jepang untuk pertama kalinya, dan terus meningkat dari waktu ke waktu. Sementara itu, cadangan devisa Korea selatan sudah melampaui 200 milyar dolar AS sehingga berada pada tingkat yang kurang lebih sama dengan Taiwan dan Hong Kong. India, yang selama bertahun-tahun dulu hanya memiliki cadangan devisa sekitar 30 milyar dolar AS, dewasa ini sudah mengalami lonjakan cadangan devisa sehingga menjadi sekitar 150 milyar dolar AS. Dengan berbagai perkembangan tersebut, maka sekitar lebih dari 70 persen cadangan devisa dunia ada di kawasan Asia. Kepemilikan devisa yang hampir dikuasai negara-negara Asia tersebut membawa konsekuensi yang sangat penting bagi stabilitas moneter internasional di masa mendatang. Dalam hal ini, pengaturan komposisi portofolio dari cadangan devisa tersebut akan membawa perubahan yang sangat mendasar di masa mendatang. Jika keseluruhan cadangan devisa yang dimiliki bank-bank sentral Asia berjumlah 2.500 milyar dolar AS, maka setiap terjadi perubahan portofolio sebesar 10 persen saja akan mengakibatkan terjadinya pergeseran sebesar 250 milyar dolar AS. Sebagai contoh, jika bank-bank sentral negara-negara di Asia sepakat untuk mengubah komposisi cadangan devisanya, dengan menggantikan cadangan devisa dalam dolar AS sebesar 10 persen menjadi Euro, misalnya, maka perubahan ini akan menyebabkan terjadinya pergesaran cadangan devisa, dimana devisa dalam dolar AS akan turun sebesar 250 milyar Dolar AS sedangkan devisa dalam Euro akan meingkat dengan 250 milyar Dolar AS. Sebagaimana diulas dalam bagian yang pertama, keadaan semacam itu pernah terjadi dalam sejarah, yaitu pada saat mata uang “anchor” dunia berpindah dari Pound Sterling menjadi Dolar AS, yaitu melalui persidangan di Bretton Woods pada tahun 1944. Sebagaimana kita ketahui, konsekuensi perubahan tersebut sangat fatal bagi perekonomian Inggris, yang akhirnya menjadi seperti paria selama 20 tahun lebih. Inggris menjadi pasien IMF yang pertama dan terus berlanjut selama 20 tahun kemudian. Keadaan tersebut dapat berulang, dan potensinya bahkan mungkin muncul setiap saat, jika bank-bank sentral negara-negara Asia melihat bahwa masa depan perekonomian global sudah diujung tanduk karena permasalahan ekonomi AS yang struktural tersebut. Permasalahan tersebut merupakan hal utama yang memiliki potensi ledakan yang besar bagi goncangan moneter internasional. Sementara itu, goncangan lain tetap mungkin timbul karena aliran modal global yang semakin lama semakin besar. Dampak dari berpindahnya aliran modal global tersebut pada akhirnya merupakan suatu hal yang harus dicermati terus menerus dalam perjalanan hidup kenegaraan kita di masa-masa mendatang ini. Aliran modal yang sedemikian besar tersebut mungkin akan menghadapi batunya jika mereka “mengganggu” negara-negara yang memiliki cadangan devisa yang besar, karena dengan cadangan devisa tersebut maka kekuatan intervensi dari bank sentral akan menjadi hal yang membentengi mereka. Oleh karena itu, sebagai negara yang memiliki cadangan devisa yang relatif belum terlalu besar, kehati-hatian kita dituntut untuk terus tetap dijaga. UPAYA UNTUK MERESPONS GEJOLAK MONETER INTERNASIONAL Gejolak moneter internasional sudah beberapa kali mempengaruhi perekonomian Indonesia. Gejolak moneter yang besar seperti ERM Crisis di tahun 1992 tidaklah membawa pengaruh yang langsung kepada Indonesia. Gejolak moneter internasional yang pertama kali dirasakan di Indonesia adalah
Tequila Crisis di Meksiko yang membawa dampak ke seluruh dunia. Namun demikian, gejolak tersebut secara cepat bisa diatasi. Sementara itu, sebagaimana kita maklumi, krisis Asia telah menghancurleburkan perekonomian Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, gejolak internasional masih juga datang dan pergi, meskipun dalam skala yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan pasa saat krisis Asia. Semakin terintegrasinya perekonomian dunia memang pada akhirnya menuntut kesigapan yang tinggi pada para pengelola moneter dan Pemerintah di seluruh dunia. Banyak juga langkah yang dilakukan secara bersama sebagaimana ditanda tanganinya Repo Agreement di antara berbagai negara di Asia selama beberapa waktu terakhir. Namun demikian, pertahanan terakhir menghadapi gejolak moneter internasional tersebut pada akhirnya terpulang kepada para pengelola moneter dan Pemerintah masing-masing negara tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, dibawah ini adalah beberapa langkah yang telah maupun yang bisa dilakukan untuk memperkuat ketahanan kita terhadap gejolak moneter internasional.
Kesigapan untuk selalu memperhatikan perkembangan eksternal Sebagaimana diketahui, aliran modal di Indonesia berlangsung sangat bebas. Dalam keadaan yang sedemikian, berlaku suatu adagium “the impossibility of the holy trinity”. Dalam keadaan mobilitas modal yang sedemikian bebas, maka dua hal tidak bisa terjadi sekaligus, yaitu independensi kebijakan moneter dan penetapan nilai tukar.5Dua hal terakhir ini sering sekali ingin dilakukan bersamaan oleh Otoritas Moneter maupun Pemerintah Indonesia. Seperti kita ketahui, suku bunga yang rendah merupakan hal yang memang sangat diinginkan oleh dunia usaha maupun juga Pemerintah. Namun demikian, Otoritas Moneter juga sangat ingin memiliki nilai Rupiah yang kuat, tampaknya sebagai legacy dari berbagai gejolak moneter dasawarsa yang lalu dan diperkuat dengan krisis Asia. Dengan latar belakang semacam itu, sangat mudah dimaklumi jika Otoritas Moneter sangat enggan untuk menaikkan suku bunga. Langkah semacam itu diperkirakan pasti akan menimbulkan kritik, baik dari media maupun juga dari sebagian kalangan di Pemerintahan. Namun keterlambatan untuk menyesuaikan suku bunga berakibat pada melemahnya nilai tukar Rupiah. Jika keterlambatan terjadi, maka diperlukan kenaikan suku bunga yang lebih besar untuk bisa efektif, sehingga bukan tidak mungkin akhirnya menyebabkan timbulnya overshooting. Dengan melihat pengalaman tersebut, Otoritas Moneter dan Pemerintah dituntut untuk tetap arif dalam menyikapi perkembangan yang terjadi di luar negeri.14 Kemampuan Untuk Melakukan Intervensi Dalam keadaan nilai Rupiah tertekan, maka diperlukan langkah untuk mengurangi fluktuasinya, yang umumnya dilakukan melalui upaya intervensi. Intervensi ini bisa dilakukan diam-diam, yaitu melalui bank-bank (Pemerintah) yang menjadi kepanjangan tangan dari Bank Indonesia maupun dilakukan oleh Bank Indonesia sendiri. Dalam perjalanan hidup Bank Indonesia, berbagai cara tersebut sudah dilakukan. Pada saat berlakunya rezim nilai tukar tetap maupun juga pada saat berlangsungnya sistem nilai tukar managed floating, Bank Indonesia bertindak sebagai pemain yang pasif. Setiap kali nilai Rupiah sudah menerabas batas bawah atau batas atas, maka bank-bank akan melakukan penjualan ataupun pembelian devisa ke Bank Indonesia. Pada saat sistem mulai berubah menjadi sistem nilai tukar mengambang yaitu pada 15 Agustus 1997, maka seyogyanya kemampuan Bank Indonesia untuk melakukan intervensi secara aktif merupakan suatu keharusan. Dalam hal ini, karena pergerakan nilai tukar tidak hanya berlangsung setiap hari tetapi juga setiap jam, menit dan bahkan detik, maka kemampuan serupa juga diperlukan keberadaannya. Kemampuan intervensi tidak boleh terlambat karena harus melalui prosedur birokrasi yang panjang.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka European Central Bank memutuskan untuk selalu berada di pasar setiap saat dengan menawarkan kuotasi jual dan beli. Keberadaan seperti ini membuat ECB selalu bisa mempengaruhi arah pergerakan nilai tukar dan tidak hanya bereaksi secara terlambat. Kemampuan sebagaimana dimiliki ECB inilah yang menurut hemat kami ideal untuk diterapkan di Indonesia.15 Kemampuan semacam itu dapat diperoleh dengan mudah, yaitu dengan meminta bantuan ECB untuk melakukan training kepada para pejabat dan dealer Bank Indonesia. Penguatan perbankan Di Indonesia perdebatan mengenai penyebab krisis 1997 belumlah tuntas benar. Namun demikian, sebetulnya perbankan Indonesia lebih banyak menjadi korban dari krisis daripada menjadi penyebabnya. Sistem perbankan yang kuat pada akhirnya akan banyak membantu perekonomian dalam mengurangi daya hancur dari krisis. Oleh karena itu, upaya untuk memperkuat perbankan tetap perlu dilakukan. Salah satu penyebab dari banyaknya bank yang bangkrut di tahun 1998 adalah bergeraknya nilai tukar Rupiah secara ekstrem. Dalam hal ini, penerapan peraturan Net Open Position secara benar (baik secara absolut maupun juga dengan matching jangka waktu yang benar) bisa mengurangi secara drastis risiko semacam itu. Dewasa ini penerapan Risk Management di perbankan Indonesia sedang digalakkan. Oleh karena itu upaya untuk mengurangi risiko perbankan, baik itu risiko kredit, risiko likuiditas, risiko pasar (yaitu suku bunga dan nilai tukar) dan sebagainya terus perlu dilakukan. Dalam hal penerapan kebijakan suku bunga, diperlukan kehati-hatian yang tinggi agar jangan sampai risiko yang dihadapi bank menjadi terlalu tinggi. Denmark pernah menaikkan suku bunga overnight sampai sebesar 600 persen pada saat puncaknya ERM Crisis. Namun demikian, mereka tetap gagal untuk mempertahankan nilai tukar mereka, sementara bank-banknya mengalami kehancuran. Oleh karena itu, sementara risiko kenaikan suku bunga dicoba dibentengi oleh perbankan, namun gerakan suku bunga yang terlalu ekstrem juga perlu dihindari oleh Bank Indonesia. Mengurangi Intensitas Mobilitas Modal ? Langkah keempat ini terus menjadi bahan perdebatan. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, lalu lintas modal yang sedemikian tinggi menyebabkan independensi pengenaan kebijakan moneter menjadi jauh berkurang. Oleh karena itu, Chili menerapkan kebijakan untuk memberikan disinsentif bagai lalu lintas modal semacam itu. Jika aliran modal masuk hanya berlangsung kurang dari satu tahun, maka modal tersebut dikenai pajak yang tinggi agar bisa tinggal lebih lama di negara tersebut. Upaya yang dikenal dengan Tobin Tax ini sering menjadi acuan dari IMF dan Bank Dunia jika mereka memberikan rekomendasi kepada negara-negara anggotanya yang rentan terhadap krisis. Langkah ini mungkin mudah dipelajari. Gurunya cukup banyak dan dapat didatangkan kapan saja. Yang menjadi persoalan justru apakah kita bisa menerapkannya secara baik di alam di mana berbagai penyelundupan bisa dengan mudah terjadi. Sementara itu, masih banyak lagi yang masih beranggapan bahwa langkah sedemikian merupakan suatu langkah mundur. Karena pendapat demikian muncul dari kalangan mainstream, maka mudah dipahami jika wacana semacam ini tidak bergerak kemana-mana. Endnotes 1
2
Cerita lebih lengkap mengenai persidangan tersebut dapat diperoleh dari beberapa websites maupun buku Margaret Garritsen de Vries :”The Bretton Woods-GATT System” yang diedit oleh Orin Kirshner dan M.E.Sharpe dan diterbitkan tahun 1995. Informasi yang cukup lengkap juga dapat diperoleh pada buku karangan Cyrilus Harinowo : “IMF: Penanganan Krisis & Indonesia Pasca IMF” yang diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2004. Istilah “konvertibiltas” disini rasanya terdengar aneh karena mirip dengan tingkat mata uang yang bisa dipertukarkan secara global. Namun dari berbagai literatur, istilah itulah yang memang dipergunakan pada waktu itu. Bisa dibayangkan betapa “sakit”nya Inggris pada waktu itu. Dari negara adidaya sebelum Perang Dunia II,
3
4
5
6
7
8 9
10
11
12
13
14
15
akhirnya menjadi pasien IMF hanya dalam waktu yang tidak terlalu lama. Status tersebut disandang Inggris dalam waktu yang cukup lama, yaitu sekitar 20 tahun. Perkembangan ini digambarkan secara menarik oleh John Williamson, ekonom ternama dari Institute of International Economics. Perkembangan yang lebih lengkap mengenai hal ini dapat dilihat pada buku Cyrillus Harinowo:”IMF: Penanganan Krisis dan Indonesia Pasca IMF” halaman 115. Jacques Delor merupakan arsitek dari Sistem Moneter Eropa sekarang ini melalui komisi yang dipimpinnya yang menghasilkan Delor’s Report. Penjelasan lebih lengkap mengenai hal ini dapat diperoleh pada buku Cyrillus Harinowo : “IMF : Penanganan Krisis dan Indonesia Pasca IMF” pada bab 15 dan 16. Inggris, yang akhirnya menderita kerugian oleh ulah spekulator George Soros, yang mengalami keuntungan sampai 1 milyar dolar AS, sampai saat ini tidak kembali lagi bergabung dengan Sistem Moneter Eropa. Sementara itu Spanyol dan Italia akhirnya bergabung kembali dan dewasa ini menjadi negara yang menggunakan mata uang Euro. Judul bagian ini diambil dari tulisan Cyrillus Harinowo dalam kolom majalah Tempo bulan Juli 2003. Data gross debt tersebut dapat diperoleh pada website U.S Bureau of Public Debt. Sementara itu, ratio Debt to GDP Amerika Serikat dapat pula diperoleh dari World Economic Outlook edisi April 2006 yang diterbitkan oleh IMF. Rasio utang terhadap PDB sebesar 175 persen tersebut dapat dilihat pada World Economic Outlook edisi April 2006 yang diterbitkan oleh IMF. Untuk memperoleh persepektif yang benar, kita bisa membandingkan dengan beban pembayaran bunga utang secara keseluruhan dari APBN Indonesia yang “hanya” mencapai sebesar 2,2 persen dari PDB. Sementara di Jepang, untuk kenaikan suku bunga sebesar 1 persen saja sudah merupakan tambahan beban sebesar 1,75 persen dari PDB. Dalam Maastricht Treaty tahun 1992 yang menjadi Anggaran Dasar pendirian Uni Eropa, terdapat ketentuan yang membatasi defisit APBN negara anggota maksimum sebesar 3 persen. Ketentuan ini merupakan bagian dari Convergence Criteria, yang belakangan dikukuhkan menjadi Stability and Growth Pact dalam KTT Uni Eropa di Dublin tahun 1996. Holy trinity nya adalah terdiri dari mobilitas modal yang sangat tinggi (bebas), kebijakan moneter yang independen serta kemampuan untuk menentukan tingkat nilai tukar. Kenaikan suku bunga yang sangat tajam di Amerika Serikat telah menyebabkan bangkrutnya negara-negara Amerika Latin di tahun 1982. Tajamnya kenaikan suku bunga di Jerman telah menyebabkan terjadinya ERM Crisis dan menyebabkan terpentalnya Inggris, Spanyol dan Italia dari ERM pada waktu itu serta hancurnya perbankan negara-negara Skandinavia.. Amerika Serikat tidak memiliki kemampuan untuk melakukan intervensi. Cadangan devisanya sangat kecil, yaitu kurang lebih sama dengan cadangan devisa Bank Indonesia atau sekitar 42 milyar dolar AS. Oleh karenanya AS menganut prinsip benign neglect dimana intervensi diserahkan kepada mitra bank sentralnya. Jepang melakukan intervensi secara sekali-sekali. Namun cadangan devisa yang sedemikian besar membuat para spekulan keder jika Departemen Keuangan sudah menyatakan akan melakukan intervensi. (Intervensi di Jepang memang dilakukan oleh Departemen Keuangan bukan Bank of Japan).