Implikasi Hak Kepemilikan Pribadi terhadap Formalisasi Usaha Hutan Rakyat melalui Kebijakan Sertifikasi Oleh: Bramasto Nugroho dan Tatang Tiryana (Staf Pengajar pada Fakultas Kehutanan IPB)
1.
PENDAHULUAN
Hutan rakyat, yang dalam terminologi Undang-undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan merupakan bagian dari hutan hak, didefinisikan sebagai hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Di pulau Jawa dan Madura hutan rakyat telah berkembang secara signifikan. Dengan menganalisis dari berbagai data statistik dan penelitian tentang luasan hutan rakyat, Nugroho (2010) menyebutkan bahwa dalam rentang waktu 2003–2010 terdapat pertumbuhan luas hutan rakyat ±200.000 ha per tahun dengan pertumbuhan volume tegakan persediaan (standing stock) ±8,35 juta m3 per tahun; di mana pada tahun 2003 terdapat luasan hutan rakyat ±1,56 juta ha dengan potensi kayu ±39,50 m3 dan pada tahun 2010 mencapai luasan ±2,80 juta ha dengan potensi kayu ±97,97 juta m3. Data tersebut menggambarkan suatu perkembangan yang cukup menggembirakan karena luas hutan rakyat saat ini telah melampaui luas hutan yang dikelola oleh Perum Perhutani (sebuah BUMN yang bergerak dalam usaha kehutanan) di pulau Jawa, yaitu ±2,43 juta ha yang terdiri dari hutan produksi seluas ±1,77 juta ha dan hutan lindung seluas 0,66 juta ha. Dalam posisi demikian, maka hutan rakyat selain akan menghasilkan kayu dalam jumlah besar, akan dapat pula menghasilkan manfaat sosial, ekonomi dan lingkungan (Cossalter &Pye-Smith 2003). Ada beberapa pemikiran untuk memformalkan usaha hutan rakyat agar usaha hutan rakyat dikelola dengan lestari, terhindar dari pembalakan liar dan dikelola dangan azasazas pengelolaan hutan dengan menerapkan teknik-teknik silvikultur yang baik. Dasar pemikiran itu kemudian melahirkan beberapa kebijakan untuk pengembangan hutan rakyat, salah satunya adalah kebijakan pewajiban sertifikasi legalitas kayu (S-LK) pada hutan rakyat yang secara formal dituangkan dalamPermenhut P.38/Menhut-II/2009 Jo. Nomor P.68/Menhut-II/2011 Jo.Nomor P.45/Menhut-II/2012.Seperti halnya skema sertifikasi pengelolaan hutan alam produksi dan hutan tanaman, sertifikasi pengelolaan hutan rakyat juga merupakan instrumen berbasis mekanisme pasar untuk mendorong
terwujudnya pengelolaan hutan lestari (Rametsteiner & Simula 2003).Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa intervensi kebijakan yang salah dapat saja menimbulkan akibat balik yang justru akan bertentangan dengan maksud dan tujuan diberlakukannya suatu kebijakan (Dunn 2003 dan Dye 2002). Hal demikian sangat mungkin terjadi apabila kebijakan yang diterapkan tidak mampu berperan sebagai insentif, melainkan justru menimbulkan beban yang tidak perlu (dis-insentif)dalamimplementasinya. Salah satu karakteristik penting dari pengelolaan hutan rakyat adalah tingginya tingkat otonomi rumah tangga dalam pengambilan keputusan pada berbagai aspek pengelolaan hutan.Otonomi pengambilan keputusan tersebut dapat
meliputi otonomi dalam
menetapkan alasan untuk terjun ke dalam bisnis penumbuhan pohon (hutan rakyat), mengalokasikan lahan untuk ditanami pohon-pohon kehutanan, memilih jenis pohon yang diusahakan, menetapkan perlakuan silvikultur, melakukan penebangan dan sistem regenerasinya. Dengan karakteristik otonom dalam pengambilan keputusan, maka pada dasarnya petani hutan (pemilik hutan rakyat) dapat pula mengalokasikan lahan yang dimilikinya untuk keperluan dan/atau terjun ke bisnis lain selain penumbuhan pohonpohon kehutanan, apabila bisnis penumbuhan pohon-pohon kehutanan tersebut dirasa tidak menarik yang diakibatkan oleh formalisasi melalui pembebanan kebijakan yang tidak menguntungkan dan merepotkan bagi petani hutan. Ketika hal tersebut terjadi, maka bukan saja kesempatan ekonomi dari bisnis hutan rakyat akan hilang, melainkan juga akan berakibat pada sirnanya manfaat sosial dan lingkungan yang dapat dihasilkan oleh hutan rakyat. Untuk itu segala bentuk formalisasi yang merupakan intervensi eksternal ke dalam sistem yang secara informal telah mapan perlu mendapat kajian yang seksama dengan pokok pertanyaan: perlukah formalisasi semacam itu diterapkan untuk hutan rakyat? Untuk itu penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui sejauh mana keotonomian dalam pengelolaan hutan rakyat yang merupakan hak kepemilikan pribadi melalui penelaahan terhadap praktik-praktik pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan masyarakat serta implikasinya terhadap upaya-upaya formalisasi usaha melalui sistem sertifikasi, baik sistem sertifikasi pengelolaan hutan lestari maupun sistem verifikasi legalitas kayu.
1
2.
METODOLOGI
2.1.
Kerangka Teori
Penelitian ini mengkaitkan antara karakteristik regim hak kepemilikan dengan praktikpraktik pengelolaan sumberdaya hutan, dalam hal ini adalah hutan rakyat. Hak kepemilikan didefinisikan oleh Eggertson (1990) dan Alston & Mueller (2008) sebagai hak yang
dimiliki
individu,
masyarakat
atau
negara
atas
suatu
sumberdaya
(asset/endowment) untuk mengelola, memperoleh manfaat, memindahtangankan, atau bahkan untuk merusaknya. Hak-hak tersebut pada akhirnya akan dituangkan dalam kelembagaan baik yang sifatnya formal maupun informal. North (1990) mengartikan kelembagaan
sebagai
aturan
main,
norma-norma,
larangan-larangan,
dan
peraturan/perundangan yang mengatur dan mengendalikan perilaku individu dalam masyarakat atau organisasi. Dari sudut pandang kelembagaan, khususnya yang terkait dengan teori hak kepemilikan (property rights theory), hak kepemilikan hutan rakyat merupakan hak kepemilikan pribadi/ individu (private property rights). Karakteristik hak kepemilikan pribadi tersebut ditandai dengan sekumpulan hak (bundle of rights) yang melekat padanya, yaitu hak untuk mengakses sumberdaya (access), memperoleh/mengambil manfaat (withdrawal), mengelola (management), mengeluarkan pihak yang tidak berhak (exclusion) dan mengalienasi
pihak
lain
(alienation)
(Schlager
&
Ostrom
1992)
serta
dapat
dipindahtangankan (transferable) dan dapat ditegakkan (enforceable) (Turner et al. 1994). Salah satu implikasi dari sekumpulan hak yang dimiliki pada hak pribadi adalah otonom dalam pengambilan keputusan. Dibandingkan dengan regim hak-hak lainnya seperti hak sewa/mengelola, hak pemanfaatan dan hak akses, hak kepemilikan pribadi merupakan hak yang paling kuat dimiliki oleh seseorang (Alston &Mueller 2008). Menurut Schlager & Ostrom (1992), hak sewa/mengelola dicirikan oleh kumpulan hak yang meliputi hak untuk mengeksklusi, mengelola, memanfaatkan dan memasuki, sedangkan hak pemanfaatan dicirikan oleh kumpulan hak yang meliputi hak untuk memanfaatkan dan memasuki; dan apabila yang dimiliki hanya hak untuk memasuki maka dinamakan hak untuk mengakses. Semakin banyak kumpulan hak yang dimiliki oleh seseorang, maka semakin dapat diharapkan efisiensi alokasinya (Alston & Mueller 2008). Dalam hal ini perilaku pemanfaatan yang berlebihan (over use) dapat ditekan, sementara kemauan untuk 2
meningkatkan
investasi,
menjaga
asset
yang
dimilikinya
dan
efisiensi
dalam
perdagangannya dapat ditingkatkan (Libercap 2009 dan Ostrom 2008). Hal ini dapat dipahami mengingat pada hak kepemilikan yang kuat, maka segala biaya dan kerugian akibat ketidaksempurnaan pengelolaan sumberdaya akan ditanggung oleh pemiliknya sendiri. Hipotesis inilah yang digunakan oleh beberapa negara dalam upaya untuk mengakselerasi pembangunan hutannya terutama yang berbasis masyarakat. Di Kanada akses pemanfaatan hutan negara kepada masyarakat diberikan melalui skema pemberian izin pengusahaan hutan untuk masyarakat (Woodlot Licenses) sejak 1950-an dan dilanjutkan dengan skema kesepakatan pengelolaan hutan dengan masyarakat (Community Forest Agreement) pada 1998. Dengan skema-skema tersebut, jumlah masyarakat penerima izin bertambah, namun belum menunjukkan efektifitasnya yang disebabkan oleh kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada masyarakat disamakan dengan kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada pemegang izin berskala besar sebagai implikasi dari rezim hak yang diberikan yaitu hak kelola/ pemanfaatan (user rights) (Ambus et al. 2007). Cina menggunakan skema tanggung jawab rumah tangga (Household Responsibility System – HRS) yang dimulai sejak 1980-an dengan karakteristik hak yang diberikan sebagai hak pribadi (private property) (Dachang 2001). Pada awalnya ada kekhawatiran penerima HRS akan mengeksploitasi dan menjual asset lahan yang diberikan tersebut, namun ternyata eksploitasi berlebihan dan penjualan asset lahan tidak terjadi (Zhang et al. 2000). Bahkan Rozelle et al. (2002) melaporkan bahwa hingga awal 2000-an hutan rakyat di China tumbuh ±2 juta ha per tahun. Di India, skema pengelolaan hutan bersama masyarakat (Joint Forest Management – JFM) diberlakukan sejak 1990 (Kumar & Saxena 2002 dan Kant 2005). Dengan program JFM ini, Kumar & Saxena (2002) melaporkan adanya penambahan luasan hutan tanaman berbasis masyarakat hingga tahun 2000 sebesar ±1 juta ha per tahun. Sebagaimana telah dijelaskan di muka, dari sudut pandang regim hak kepemilikannya (property right regime) hutan rakyat merupakan hak kepemilikan pribadi. Di satu sisi, hak yang kuat tersebut dapat mendorong kemauan pemiliknya untuk menginvestasikan sumberdayanya untuk investasi jangka panjang (Libecap 2009), ketika terdapat peluangpeluang
keuntungan
yang
disebabkan
oleh
terbukanya
pasar/permintaan
dan
terbentuknya harga yang kompetitif (Nugroho, 2010). Hal ini dapat dibuktikan dengan perkembangan luasan maupun peningkatan volume tegakan persediaan (standing stock)hutan rakyat di pulau Jawa dan Madura. Namun di sisi lain, terdapat karakteristik keotonomiandalam pengambilan keputusan yang apabila salah dalam menerapkan
3
kebijakan dengan maksud formalisasi atau apapun akan justru menghasilkan dampak balik berupa pengkonversian usaha hutan rakyat
ke usaha lain
yang
lebih
menguntungkan dan tidak merepotkan pengusahaannya.
2.2.
Metode
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian deskriptif yaitu penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan sesuatu secara mendalam (Irawan 2007) dan bersifat ekstensif dengan mengkaitkan dengan teori dan kebijakan yang relevan (Elliot 2005). Teori yang dijadikan sandaran utama adalah teori hak kepemilikan. Sedangkan kebijakan yang digunakan untuk mengevaluasi adalah kebijakan pewajiban sertifikasi legalitas kayu (S-LK) kepada pemilik hutan hak (dalam penelitian ini dibatasi pada hutan rakyat) yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) P.38/Menhut-II/2009 Jo. Nomor P.68/Menhut-II/2011 Jo.Nomor P.45/Menhut-II/2012 tentang Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak. Penelitian ini dilakukan di Propinsi Jawa Tengah, yaitu di Kabupaten Blora, Wonogiri, dan Wonosobo. Pengumpulan data lapangan dilakukan pada bulan Maret–Mei 2012 dengan menggunakan teknik wawancara terstruktur, diskusi kelompok terfokus (focus group discussion, FGD), dan pengamatan lapang. Wawancara terstruktur melalui kuesioner dilakukan terhadap 258 responden yang dipilih secara acak di ketiga kabupaten tersebut, yaitu 80 responden dari sembilan desa (Jatirejo, Jurangjero, Kutukan, Ngampel, Plantungan, Sendangharjo, Soko, Tempuran, dan Waru) di Kabupaten Blora, 80 responden dari empat desa (Ngantar, Platarejo, Selopuro, dan Sumberejo) di Kabupaten Wonogiri, dan 98 responden dari dua desa (Besani dan Jonggol Sari) di Kabupaten Wonosobo. Pada setiap responden ditanyakan hal-hal yang berkaitan dengan aspek kepemilikan dan kegiatan-kegiatan pengelolaan hutan rakyat di tingkat petani. Dalam hal kepemilikan, topik wawancara meliputi: 1) jenis, status, dan luas kepemilikan lahan, 2) Jenis dan potensi tegakan, dan 3) alasan pemilihan jenis pohon. Adapun topik wawancara tentang kegiatan-kegiatan pengelolaan hutan meliputi: 1) riwayat pengelolaan, 2) keanggotaan dalam kelompok tani/koperasi, 3) kegiatan-kegiatan
silvikultur
(penanaman,
pemupukan,
penyiangan,
penyulaman,
pengendalian hama/penyakit, pemangkasan, penjarangan), dan 4) kegiatan penebangan
4
(aturan dan teknik penebangan, jumlah penebangan, pemanfaatan kayu, kerusakan akibat penebangan, dan kepedulian terhadap lingkungan). Kegiatan FGD (Focus Group Discussion) dilakukan untuk memperoleh gambaran umum yang lebih menyeluruh tentang pengelolaan hutan rakyat di ketiga kabupaten sampel tersebut. Diskusi lebih difokuskan untuk menggali permasalahan-permasalahan umum yang dihadapi masyarakat dan pemerintah daerah dalam pengelolaan hutan rakyat di wilayahnya. Isu-isu terkait sertifikasi PHBML (Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari), Legalitas Kayu (S-LK), dan peranan kelompok tani atau koperasi hutan rakyat merupakan topik-topik utama yang dibahas dalam kegiatan FGD tersebut. Di Kabupaten Blora dan Wonosobo, kegiatan FGD diikuti oleh kelompok tani yang sudah dan belum memperoleh sertifikat Legalitas Kayu (S-LK), sedangkan di Wonogiri diikuti oleh kelompok tani yang sudah memperoleh sertifikat PHBML dari LEI (Lembaga Ekolabel Indonesia). Pengamatan lapang dilakukan pada beberapa sampel hutan rakyat untuk mengamati keragaman tipe hutan rakyat, praktik silvikultur, dan praktik penebangan tegakan. Wawancara tidak terstruktur dengan pemilik hutan rakyat dilakukan saat kunjungan lapang untuk memperoleh gambaran umum mengenai kegiatan-kegiatan pengelolaan hutan, manfaat hutan rakyat, dan permasalahan yang dihadapi. Data yang diperoleh dari hasil wawancara/kuesioner, kegiatan FGD, dan kunjungan lapang selanjutnya dianalisis secara deskriptif untuk memperoleh informasi mengenai kondisi saat ini (existing condition) dari praktik pengelolaan hutan rakyat. Informasi tersebut selanjutnya dianalisis lebih mendalam untuk mengetahui implikasi upaya formalisasi melalui sertifikasi (legalitas kayu dan pengelolaan hutan lestari berbasis masyarakat) pada hutan rakyat agar pengelolaan hutannya lestari, meminalisir pembalakan liar dan untuk memperbaiki praktik pengelolaan hutan rakyat.
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hutan rakyat memiliki karakteristik yang unik dibanding hutan alam produksi dan hutan tanaman skala besar, sehingga praktik pengelolaannya pun berbeda. Bagianini memaparkan beberapa aspek pengelolaan hutan rakyat di Blora, Wonogiri, dan Wonosobo, untuk memberi gambaran tentang keunikan praktik pengelolaan hutan rakyat yang ada di Jawa Tengah saat ini.
5
3.1.
Motivasi Pembangunan Hutan Rakyat
Hutan rakyat di Wonogiri dan Wonosobo telah berkembang sejak tahun 1960-an, sedangkan di Blora sejak tahun 1970-an (Gambar 1). Berkembangnya hutan rakyat di Wonogiri tidak terlepas dari adanya program penghijauan dari pemerintah, yang disebut Penghijauan Swadaya Terpadu, dengan tujuan untuk memperbaiki kondisi lingkungan yang didominasi lahan-lahan kritis (PERSEPSI 2004). Kondisi lingkungan yang kritis, yang didefinisikan oleh responden sebagaikondisi sulitnya memperoleh sumber air dan tingginya suhu udara, turut mendorong masyarakat Wonogiri untuk menanami lahanlahan miliknya dengan pepohonan penghasil kayu, misalnya jati (Tectona grandis) dan mahoni (Swietenia macrophylla), serta penghasil buah-buahan, misalnyajambu mete (Anacardium occidentale) dan mangga (Mangifera indica) (PERSEPSI 2004). Di Wonosobo, masyarakat memiliki budaya menanam pepohonan secara turun-temurun. Kondisi lahan yang relatif subur memungkinkan masyarakat Wonosobo untuk menanam pepohonan secara tumpangsari dengan tanaman-tanaman pertanian,misalnya salak, kapulaga, dan empon-empon. Berbeda dengan Wonogiri dan Wonosobo, perkembangan hutan rakyat di Blora nampak lebih lambat yakni mulai tahun 1970-an. Hal ini terkait dengan budaya masyarakat Blora yang lebih menggantungkan hidupnya pada hutan tanaman jati di wilayah Perum Perhutanisebagai pesanggem,yaitu masyarakat yang ikut memanfaatkan lahan hutan milik Perum Perhutani untuk ditanami tanaman pangan dengan sistem tumpangsari (mixed cropping). Kesadaran masyarakat Blora untuk membangun hutan rakyat di lahan-lahan milik semakin meningkat ketika hutan tanaman jati di wilayah Perum Perhutani rusak pada masa reformasi (1998–2000), sehingga menyebabkan kesulitan memperoleh sumber air di musim kemarau serta bahaya banjir atau erosi di musim hujan.
Gambar 1. Periode (a) dan tujuan (b) pembangunan hutan rakyat di Kabupaten Blora, Wonogiri, dan Wonosobo
6
Minat masyarakat dalam membangun hutan rakyat nampak meningkat dari satu dekade ke dekade berikutnya (Gambar 1a). Jika pada tiga dekade awal (1960–1990) pembangunan hutan rakyat lebih didorong oleh program-program penghijauan dari pemerintah, maka pada dua dekade terakhir (1991–2012) pembangunan hutan rakyat banyak dilakukan oleh masyarakat secara swadaya dengan berbagai tujuan (Gambar 1b). Umumnya masyarakat di Blora (68%) membangun hutan rakyat dengan tujuan sebagai tabungan (saving) untuk memenuhi keperluan rumah tangga yang mendesak (misalnya biaya sekolah anak dan kenduri). Di Wonosobo, motivasi masyarakat membangun hutan rakyat untuk tabungan guna memenuhi keperluan mendesak (50%) serta adanya tradisi dan warisan (49%) untuk menanam pepohonan yang tujuan utamanya juga untuk memenuhi kebutuhan mendesak.Adapun di Wonogiri, sebagian besar masyarakat (54%) mengelola hutan rakyat sebagai tradisi dan warisan keluarga yang dapat digunakan sewaktu-waktu untuk keperluan yang mendesak. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hutan rakyat umumnya dianggap sebagai tabungan (saving) yang sewaktu-waktu dapat dimanfaatkan kayunya guna memenuhi kebutuhan keluarga yang mendesak (misalnya kenduri, biaya sekolah anak, dan renovasi rumah). Tujuan ekonomi seperti itu sangatlah wajar karena masyarakat ingin memperoleh tambahan pendapatan selain dari usaha sektor pertanian.Motivasi ekonomi seperti inilah yang melandasi para pemilik hutan rakyat untuk melakukan tebang butuh dengan frekuensi dan intensitas yang beragam sesuai kebutuhan masing-masing pemiliknya.Hal serupa terjadi di Finlandia dimana tujuan ekonomi merupakan faktor pendorong bagi para pemilik hutan untuk memperluas kepemilikannya (Suuriniemi et al. 2012).
3.2.
Kepastian Hak Hutan Rakyat
Masyarakat Blora, Wonogiri, dan Wonosobo membangun hutan rakyat pada lahan-lahan milik berupa pekarangan, kebun, tegalan, dan sawah (Tabel 1). Tipe lahan yang paling umum dijadikan hutan rakyat di ketiga kabupaten tersebut adalah tegalan (79–92%) dengan luasan rata-rata 0,6–0,8 ha. Penggunaan sawah (luas rata-rata 0,5–0,6 ha) untuk hutan rakyat di Blora dan Wonogiri lebih dominan (3,2–6,2%) dibanding kebun (0–1,5%). Sebaliknya, masyarakat Wonosobo lebih cenderung menggunakan lahan kebun (15,2%) dibanding sawah (3,7%) untuk hutan rakyat. Penggunaan sawah sebagai hutan rakyat tidak berarti masyarakat mengkonversi areal persawahan menjadi hutan, melainkan hanya menanam pepohonan pada areal-areal yang relatif masih kosong (seperti
7
pematang sawah dan pinggiran lahan sawah) atau menanam pepohonan secara tumpangsari dengan tanaman padi. Tabel 1. Tipe, luas, dan status kepemilikan lahan untuk hutan rakyat di Blora, Wonogiri, dan Wonosobo Penggunaan lahan Kabupaten
Blora
Tipe
Persen(%)
Luas kepemilikan lahan (ha) Status kepemilikan RataMinimum Maksimum rata
Pekarangan
1.9
0.08
0.01
0.25
Kebun
0.0
0.00
0.00
0.00
Tegalan
91.9
0.61
0.04
4.10
Tanah milik (98.7%, lahan garapan (1.3%)
Sawah
6.2
0.60
0.13
1.50
Tanah milik (100%)
100.0
0.64
0.04
4.35
16.1
0.27
0.03
1.10
Tanah milik (100%)
1.5
1.00
1.00
1.00
Tanah milik (100%)
Tegalan
79.3
0.77
0.01
3.00
Tanah milik (98.6%), lahan garapan (1.4%)
Sawah
3.2
0.54
0.03
1.50
Tanah milik (66.7%), lahan sewa (33.3%)
100.0
0.89
0.13
3.07
0.0
0.33
0.02
1.05
Tanah milik (100%)
Kebun
15.2
0.37
0.03
1.05
Tanah milik (100%)
Tegalan
81.1
0.60
0.05
2.30
Tanah milik (98.8%), lahan garapan (1.2%)
Sawah
3.7
0.30
0.13
0.48
Tanah milik (85,7%), lahan garapan (14.3%)
100.0
0.51
0.02
2.30
Seluruh lahan Pekarangan Kebun Wonogiri
Seluruh lahan Pekarangan
Wonosobo
Seluruh lahan
Tanah milik (100%)
Status lahan (pekarangan, kebun, tegalan, dan sawah) yang dijadikan hutan rakyat sebagian besar (86–100%) adalah tanah milik, walaupun ada diantaranya yang berstatus lahan garapan (1,2–14,3%) dan lahan sewa (33,3%). Dalam penelitian ini, lahan garapan didefinisikan sebagai lahan milik orang lain yang dijadikan hutan rakyat dengan sistem bagi hasil, sedangkan lahan sewa merupakan lahan milik orang lain yang disewa untuk dijadikan hutan rakyat. Status
kepemilikan
lahan
dibuktikan
dengan
Surat
Keterangan
Desa,
Surat
Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT), Letter C, Surat Keterangan Jual Beli, Sertifikat Hak Milik, atau Surat Gadai Sertifikat. Bukti-bukti kepemilikan lahan tersebut memperkuat status kepemilikan hutan rakyat sebagai kekayaan pribadi (private property) dari pemiliknya. Karena kejelasan status kepemilikan tersebut, berdasarkan FGD dan wawancara diperoleh informasi bahwa pengelolaan hutan rakyat umumnya terbebas dari
8
konflik tenurial dan pembalakan liar (illegal logging) yang umum terjadi dalam pengelolaan hutan negara skala besar, baik di hutan alam produksi maupun hutan tanaman. Relatif kecilnya luas kepemilikan hutan rakyat di Blora, Wonosobo, dan Wonogiri (ratarata ≤1 ha, Tabel 1) mendorong para pemilik hutan rakyat di ketiga kabupaten tersebut untuk mengoptimalkan setiap lahan yang dimilikinya (pekarangan, kebun, tegalan, dan sawah) untuk ditanami pohon-pohonan.Pola tumpangsari, yang mengkombinasikan tanaman pertanian dengan pohon-pohonan, merupakan pola umum hutan rakyat di ketiga kabupaten tersebut.Hal ini tak terlepas dari pertimbangan ekonomi dari pemiliknya guna memperoleh nilai tambah ekonomi dari setiap lahan yang dimilikinya.Intensifikasi lahan hutan rakyat tersebut dapat dianggap sebagai solusi efektif ketika ekstensifikasi lahan sulit dilakukan, mengingat hak-hak tenurial di Pulau Jawa relatif telah tertata dengan baik.Kondisi ini berbeda dengan di Finlandia dimana para pemilik hutan yang berusia muda (dengan luas kepemilikan hutan rata-rata 10 ha) cenderung melakukan ekstensifikasi lahan hutan guna meningkatkan nilai ekonomi dari hutan miliknya (Suuriniemi et al. 2012).
3.3.
Pemilihan Jenis Pohon
Keragaman jenis pohon merupakan salah satu ciri khas dari hutan rakyat, yang menunjukkan adanya keragaman pertimbangan masyarakat dalam memilih suatu jenis pohon. Di Blora, jenis pohon utama yang ditanam masyarakat di hutan rakyat adalah jati (Tectona grandis;99,5%) dan mahoni (Swietenia macrophylla;0,4%), dan sebagian kecil jenis-jenis cepat tumbuh seperti akasia (Acacia mangium;0,07%) dan gmelina (Gmelina arborea;0,02%). Hal serupa terjadi di Wonogiri, dimana jati (50,7%) dan mahoni (28,5%) merupakan jenis-jenis pohon utama di hutan rakyat, selain jenis-jenis cepat tumbuh yang tidak terlalu dominan seperti akasia (14,5%), sengon (Paraserianthes falcataria;5,1%), mindi (Melia azedarach;0,7%), gmelina (0,5%), dan sonokeling (Dalbergia latifolia;0,1%). Sebaliknya di Wonosobo, umumnya masyarakat menanam jenis-jenis pohon cepat tumbuh, yaitu sengon (94%), jenitri (Elaecorpus ganitrus, 1,9%), suren (0,5%), akasia (0,3%), sonokeling (0,1%), gmelina (0,03%), tisuk (Hibiscus macrophyllus;0,03%), waru (Hibiscus tiliaceus;0,02%), dan mindi (0,01%), dan sebagian kecil jenis-jenis pohon lambat tumbuh seperti mahoni (2,8%) dan jati (0,6%).
9
Tingginya keragaman jenis-jenis pohon di hutan rakyat merupakan konsekuensi logis dari kebebasan masyarakat dalam memilih jenis pohon berdasarkan alasan-alasan tertentu. Masyarakat Blora umumnya memilih jati dan mahoni sebagai jenis pohon utama di hutan rakyat karena kedua jenis pohon tersebut dapat tumbuh dengan baik pada lahan-lahan yang kurang subur, walaupun tergolong jenis-jenis lambat tumbuh (slow growing species). Keputusan masyarakat Blora untuk menanam jati juga didasarkan atas pengalaman mereka yang membuktikan bahwa jenis-jenis pohon cepat tumbuh (selain akasia dan gmelina) umumnya tidak dapat tumbuh dengan baik pada lahan-lahan marjinal. Selain pertimbangan kesesuaian tempat tumbuh, jati dan mahoni juga memiliki harga yang tinggi dan mudah menjualnya (Tabel 2). Hal serupa terjadi di Wonogiri, dimana lahan-lahan kritis umumnya hanya dapat ditanami dengan baik oleh jati dan mahoni, dan hanya sebagian kecil lainnya oleh beberapa jenis pohon cepat tumbuh (akasia, sengon, gmelina, dan mindi). Seperti halnya di Blora, harga kayu jati dan mahoni di Wonogiri pun cukup tinggi sehingga menjadi salah satu pertimbangan utama masyarakat dalam memilih kedua jenis pohon tersebut (Tabel 2). Faktor kesesuaian tempat tumbuh juga menjadi pertimbangan utama masyarakat Wonosobo untuk memilih sengon sebagai jenis pohon utama di hutan rakyat. Selain untuk dijual, kayu sengon dapat digunakan untuk keperluan rumah tangga, misalnya sebagai bahan bangunan (untuk membangun atau renovasi rumah), mebel, dan tabungan jika perlu uang segera (Tabel 2). Pohon jati tidak banyak ditanam masyarakat Wonosobo karena tidak sesuai dengan kondisi tempat tumbuh yang umumnya berupa pegunungan dengan intensitas curah hutan yang cukup tinggi. Dari uraian tersebut di atas terlihat bahwa petani hutan cukup rasional dalam memilih jenis tanaman yang diusahakan. Selain mempertimbangkan kecocokan tempat tumbuh, pertimbangan utama lainnya adalah mudahnya pemasaran dan tingginya harga jenisjenis pohon yang dipilih. Dengan perkataan lain, harapan keuntungan atas penanaman jenis-jenis pohon yang diusahakan menjadi orientasi utama dalam menetapkan keputusan pengusahaan lahannya. Tabel 2. Pertimbangan masyarakat Blora, Wonogiri, dan Wonosobo dalam pemilihan jenis pohon untuk hutan rakyat Pertimbangan dalam pemilihan jenis pohon
Persentase (%) jawaban responden Blora
Wonogiri
Wonosobo
Bantuan bibit dari pemerintah
21.1
1.4
4.2
Harga tinggi dan mudah dijual
44.7
38.4
9.2
Keperluan keluarga (bangunan, mebel, tabungan)
11.8
20.5
32.4
10
Persentase (%) jawaban responden
Pertimbangan dalam pemilihan jenis pohon
Blora
Kesesuaian tempat tumbuh
Wonogiri
Wonosobo
17.1
38.4
35.9
Kualitas kayu bagus
2.6
1.4
7.0
Mudah ditanam
0.0
0.0
4.2
Variasi jenis
2.6
0.0
7.0
3.4.
Perlakuan Silvikultur
Salah satu aspek penting dalam pengelolaan hutan adalah perlakuan silvikultur (pemupukan, penyiangan, penyulaman, pengendalian hama, pemangkasan, dan penjarangan) untuk mengoptimalkan pertumbuhan tegakan.Sebagian besar (77–89%) masyarakat yang mengelola hutan rakyat di Blora melakukan pemupukan, penyiangan, dan penyulaman terutama untuk pohon-pohon jati (Tabel 3). Masyarakat menyadari bahwa semai jati yang baru ditanam memerlukan tambahan hara melalui pemupukan untuk dapat tumbuh dengan baik pada lahan-lahan marjinal. Harga jual pohon jati yang tinggi merupakan faktor pendorong masyarakat untuk melakukan penyiangan (agar terbebas dari gulma), penyulaman (jika ada semai yang mati), dan pemangkasan (agar batang tumbuh lurus) pohon-pohon jati lebih intensif dibanding jenis-jenis pohon lainnya (misalnya mahoni). Hal serupa terjadi di Wonosobo, dimana sebagian besar masyarakat (61–87%) melakukan perlakuan-perlakuan silvikultur yang lebih menyeluruh (yaitu pemupukan, penyiangan, penyulaman, dan pemangkasan) terhadap pohon-pohon sengon sebagai jenis pohon utama di hutan rakyat (Tabel 3). Kondisi sebaliknya terjadi di Wonogiri, umumnya masyarakat yang memiliki hutan rakyat (>58%) tidak melakukan perlakuanperlakuan silvikultur (pemupukan, penyiangan, penyulaman, dan pemangkasan) terhadap jati (sebagai jenis pohon utama) dan jenis-jenis lainnya (Tabel 3). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar petani hutan rakyat di Wonogiri masih berprinsip ―membiarkan pohon tumbuh dengan sendirinya‖ dibanding melakukan perlakuan-perlakuan silvikultur yang dapat meningkatkan pertumbuhan tegakan. Tabel 3. Perlakuan-perlakuan silvikultur pada jenis-jenis pohon dominan pada hutan rakyat di Blora, Wonogiri, dan Wonosobo Kabupaten
Jenis pohon
Pemupukan
Penyiangan
Ya
Ya
Tidak
Tidak
Penyulaman Ya
Tidak
Pengendalian hama Ya
Tidak
Pemangkasan Ya
Tidak
Penjarangan Ya
Tidak
Jati
87.3
12.7
88.6
11.4
77.2
22.8
5.1
94.9
82.3
17.7
34.2
65.8
Mahoni
22.2
77.8
22.2
77.8
0.0
100.0
0.0
100.0
11.1
88.9
0.0
100.0
Blora
11
Akasia Wonogiri
9.1
90.9
0.0
100.0
0.0
100.0
0.0
100.0
0.0
100.0
0.0
100.0
41.0
59.0
38.5
61.5
34.6
65.4
3.8
96.2
42.3
57.7
23.1
76.9
Mahoni
9.1
90.9
0.0
100.0
0.0
100.0
0.0
100.0
0.0
100.0
0.0
100.0
Mahoni
68.8
31.3
53.1
46.9
9.4
90.6
3.1
96.9
28.1
71.9
3.1
96.9
Sengon
86.2
13.8
87.2
12.8
63.8
36.2
33.0
67.0
60.6
39.4
40.4
59.6
Jati
Wonosobo
Seperti halnya
tanaman pertanian, tanaman
kehutanan
juga
rentan
terhadap
hama/penyakit terutama jika ditanam secara monokultur. Namun untuk hutan rakyat di Blora, Wonogiri, dan Wonosobo, mayoritas masyarakat (>67%) tidak melakukan pengendalian hama dan penyakit. Hanya sebagian kecil pemilik hutan rakyat (<6% di Blora, <4% di Wonogiri, dan <34% di Wonosobo) yang melalukan pengendalian hama/penyakit, itu pun terbatas hanya pada jenis-jenis pohon utama (jati dan sengon; Tabel 3). Pohon jati (di Blora dan Wonogiri) dan sengon (di Wonosobo) lebih rentan terhadap serangan hama/penyakit karena jenis-jenis pohon ini umumnya ditanam secara monokultur, sedangkan jenis-jenis lainnya (seperti mahoni dan akasia) ditanam sebagai tanaman sela atau pengisi diantara jenis-jenis pohon utama. Dari hasil wawancara dan FGD diperoleh informasi bahwa umumnya masyarakat melakukan pencegahan dan penanggulangan hama/penyakit dengan cara membiarkan pohon hingga mati atau bahkan menebangnya agar tidak menular ke pohon-pohon lainnya. Hal menarik lainnya terkait perlakuan silvikultur di hutan rakyat adalah penjarangan tegakan. Dalam pengelolaan hutan tanaman skala luas (misalnya di Perhutani), penjarangan dilakukan secara rutin dan terencana untuk mengoptimalkan pertumbuhan tegakan dengan cara menebang pohon-pohon yang pertumbuhannya jelek. Namun dalam pengelolaan hutan rakyat di Blora, Wonogiri, dan Wonosobo, sebagian besar (>60%) masyarakat tidak melakukan penjarangan tegakan (Tabel 3) karena mereka berprinsip ―sangat sayang untuk menebang pohon yang sudah ditanam dengan susah payah‖. Prinsip tersebut nampaknya melekat pada sebagian besar petani hutan rakyat, yang diperkuat dengan kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap tujuan dan manfaat penjarangan untuk mengoptimalkan pertumbuhan tegakan. Hanya sebagian kecil petani hutan rakyat (<41%) yang melakukan penjarangan, khususnya untuk jati dan sengon (Tabel 3), setelah mereka mengetahui dan meyakini tujuan dan manfaat penjarangan dari para penyuluh kehutanan.
3.5.
Penebangan dan Regenerasi
12
Seperti halnya pengelolaan hutan skala besar (di hutan alam produksi atau hutan tanaman), kegiatan penebangan di hutan rakyat dilakukan untuk memperoleh hasil kayu. Setelah penebangan, kegiatan regenerasi (penanaman kembali) dilakukan untuk mengganti pohon-pohon yang sudah ditebang guna menjamin kelestarian sumberdaya hutan. Sebagian besar pemilik hutan rakyat di Blora (84%), Wonogori (96%), dan Wonosobo (80%) melakukan penebangan dengan sistem tebang pilih, yaitu menebang secara selektif pohon-pohon tertentu yang dianggap layak untuk ditebang, dan hanya sebagian kecil lainnya melakukan penebangan dengan sistem tebang habis (disebut juga tebasan). Di Blora dan Wonogiri, masyarakat menebang pohon jati mulai diameter 7 cm (dikenal dengan istilah piton), sedangkan pohon sengon di Wonosobo ditebang mulai umur 5 tahun dengan diameter mencapai 20 cm. Kegiatan penebangan umumnya dilakukan dengan jumlah dan frekuensi penebangan sesuai kebutuhan keluarga, yang dikenal dengan istilah ―tebang butuh (harvesting for needs)‖. Mayoritas pemilik hutan rakyat di Blora (>70%), Wonogiri (>50%), dan Wonosobo (>72%) mempraktikkan tebang butuh tersebut (Tabel 4) untuk memperoleh uang secara cepat guna memenuhi keperluan keluarga yang mendesak (kenduri, biaya sekolah anak, dsb). Walaupun harga kayu sedang tinggi, masyarakat umumnya tidak serta-merta menebang hutannya jika tidak ada keperluan yang mendesak (Tabel 4). Karena sifatnya ―tebang butuh‖, waktu penebangan di hutan rakyat cukup sulit ditentukan secara pasti. Mayoritas masyarakat di Blora (62%), Wonogiri (65%), dan Wonosobo (63%) melakukan ―tebang butuh‖ sewaktu-waktu (tidak menentu); sedangkan sebagian kecil lainnya bervariasi mulai dari 1 kali per bulan (1% di Wonosobo), 1–5 kali per tahun (38% di Blora, 35% di Wonogiri, dan 25% di Wonosobo), hingga 1 kali per 2–10 tahun (11% di Wonosobo). Jika pemilik hutan rakyat memerlukan uang banyak (misalnya untuk membeli tanah) maka sistem tebang habis kadang kala dilakukan. Misalnya di Blora, ada pemilik hutan rakyat yang melakukan tebang habis tegakan jati pada areal sekitar 0,25 ha dengan pendapatan sekitar Rp 70 juta untuk membeli sawah. Tabel 4. Motivasi penebangan hutan rakyat di Blora, Wonogiri, dan Wonosobo Motivasi penebangan
Persentase (%) responden Blora
Wonogiri
Wonosobo
Harga kayu tinggi
2.3
1.4
1.0
Masak tebang
0.0
1.4
0.0
Membangun kebun
0.0
0.0
1.0
Membangun/renovasi rumah
11.4
14.9
1.0
Tebang butuh
84.1
81.1
94.8
13
Persentase (%) responden
Motivasi penebangan
Blora
Terkena penyakit
2.3
Wonogiri 1.4
Wonosobo 2.1
Pemilik hutan rakyat umumnya menjual tegakannya dengan menggunakan satuan batang/pohon, bukan satuan volume seperti lazimnya dalam pengelolaan hutan skala besar (hutan alam produksi atau tanaman). Cara ini dianggap lebih praktis, terutama karena masyarakat belum mengetahui cara penentuan volume pohon. Jika kesepakatan harga tercapai, pemilik terlebih dahulu meminta pembeli untuk membayar secara kontan sebelum
mengijinkan
pohonnya
ditebang.
Umumnya,
kegiatan
penebangan,
pengangkutan, dan pengurusan surat-surat ijin penebangan dilakukan oleh pihak pembeli. Dalam kegiatan penebangan dengan sistem tebang pilih (Gambar 2a), masyarakat menerapkan teknik-teknik penebangan yang cukup ramah lingkungan. Sebagai contoh, penebangan pohon sengon (yang ditanam dengan pola tumpangsari) di Wonosobo dilakukan dengan terlebih dahulu memangkas cabang-cabang bagian atas dan mengikat bagian-bagian batang ke pohon-pohon sekitarnya. Cara tersebut dilakukan agar tidak menyebabkan kerusakan pada tanaman-tanaman pertanian (khususnya salak) yang tumbuh di bawahnya, sehingga tingkat kerusakan tegakan pun dapat diminimalkan. Untuk penebangan dengan sistem tebang habis (Gambar 2b), keterbukaan lahan cenderung lebih luas dibanding sistem tebang pilih, tetapi masih relatif lebih kecil dibanding keterbukaan lahan akibat penebangan di areal Perum Perhutani.
14
(a)
(b)
(d)
(c)
Gambar 2. Penebangan pohon dengan sistem tebang pilih (a), dan tebang habis (b), serta regenerasi tegakan dengan cara trubusan (c), dan cangkokan (d).
Tampaknya kepedulian pemilik hutan rakyat terhadap kelestarian lingkungan masih perlu ditingkatkan. Sebagian besar pemilik hutan di Blora (60%), Wonogiri (54%), dan Wonosobo (76%) masih melakukan penebangan pohon pada areal-areal yang dilindungi, misalnya sekitar sumber air, sempadan sungai, dan areal-areal yang rawan longsor. Faktor ekonomi merupakan alasan utama yang mendorong para pemilik hutan tersebut melakukan penebangan pada daerah-daerah yang seharusnya dilindungi. Bagi sebagian kecil (<40%) pemilik hutan lainnya, kesadaran untuk tidak melakukan penebangan pada areal-areal dilindungi tersebut telah tumbuh seiring dengan meningkatnya pemahaman dan wawasan mereka yang diperoleh dari penyuluh kehutanan dan pertanian. Pada
areal-areal
yang
ditebang,
umumnya
masyarakat
melakukan
regenerasi
(penanaman kembali) dengan jenis-jenis pohon yang sama dengan jenis pohon yang ditebang, karena jenis tersebut sudah terbukti cocok dengan kondisi tanah, kualitas kayunya bagus, mudah memasarkannya dan harganya tinggi. Banyak pemilik hutan rakyat yang melakukan regenerasi dengan menggunakan cara trubusan, yaitu memelihara tunas yang tumbuh dari tunggak pohon yang ditebang (Gambar 2c). Selain dengan trubusan, regenerasi tegakan sengon di Wonosobo juga dilakukan dengan cara cangkokan (Gambar 2d). Kedua cara regenerasi tersebut dianggap paling murah dan efektif oleh masyarakat daripada membeli dan menanam anakan/semai yang harganya relatif mahal. Namun kualitas pohon yang tumbuh dengan cara trubusan umumnya tidak sebaik pohon yang ditanam dari semai, karena pangkal batang cenderung bengkok
15
dengan sistem perakaran yang tidak terlalu kuat sehingga mudah roboh jika terkena angin kencang.
3.6. Sertifikasi Hutan Rakyat Hutan rakyat yang berkembang cukup pesat, khususnya di pulau Jawa, dapat menjadi alternatif solusi terhadap kelangkaan pasokan kayu akibat menurunnya potensi hutan alam produksi dan rendahnya produktifitas hutan tanaman yang ada saat ini.Dari sisi sosial, berkembangnya hutan rakyat dapat pula menyediakan lapangan kerja baik pada usaha hutan rakyatnya (on forest) maupun pada industri-industri perkayuan yang menyerap kayu dari hutan rakyat (off forest). Sedangkan dari sisi lingkungan, berkembangnya hutan rakyat akan memperluas tutupan lahan oleh pepohonan yang dapat memperbaiki iklim mikro, memperbaiki hidro-orologi, penyerapan dan penyimpanan karbon, dan manfaat-manfaat lainnya. Oleh karena itu, ada beberapa pemikiran untuk memformalkan usaha hutan rakyat agar usaha hutan rakyat dikelola dengan lestari, terhindar dari pembalakan liar dan dikelola berdasarkan azas-azas pengelolaan hutan dengan menerapkan teknik-teknik silvikultur yang baik. Dasar pemikiran itulah yang mendorong dikeluarkannya kebijakan pewajiban sertifikasi legalitas kayu (S-LK) pada hutan rakyat yang secara formal dituangkan dalamPermenhut P.38/Menhut-II/2009 Jo. Nomor P.68/Menhut-II/2011 Jo.Nomor P.45/Menhut-II/2012. Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK) adalah surat keterangan yang diberikan kepada pemegang izin atau pemilik hutan hak yang menyatakan bahwa pemegang izin atau pemilik hutan hak telah mengikuti standard legalitas kayu (legal compliance) dalam memperoleh hasil hutan kayu. Untuk memperoleh S-LK perlu dilakukan serangkaian verifikasi legalitas kayu (VLK) yang mengikuti Standar Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dengan rangkaian tahapan yang secara ringkas diuraikan pada Gambar 3.
16
Sumber: Permenhut P.38/Menhut-II/2009 Jo. Nomor P.68/ Menhut-II/2011 Jo. Nomor P.45/Menhut-II/2012
Gambar 3. Tahapan perolehan S-LK Selain itu, terdapat pula ketentuan-ketentuan pokok S-LK bagi hutan rakyat yang dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. S-LK hutan rakyat akan berlaku selama 10 tahun dengan penilikan (surveillance) selambat-lambatnya 2 tahun. 2. Untuk periode pertama, biaya sertifikasinya akan ditanggung oleh Kementerian Kehutanan. 3. Bagi industri perkayuan yang bahan bakunya terkait dengan hutan rakyat diwajibkan memfasilitasi hutan rakyat untuk memperoleh S-LK. 4. Verifier utama untuk verifikasi legalitas kayu (V-LK) hutan rakyat adalah dokumen kepemilikan/ penguasaanlahan yang sah(alas titel/dokumen yang diakui pejabat yang berwenang) seperti Sertifikat Hak Milik, Leter B, Girik, atau Leter C, atau surat atau dokumen lainnya yang diakui oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) dengan cara mengkonfirmasi ke BPN dan tersedianya peta/sketsa lokasi serta terdapat tanda-tanda jelas (dapat berupa patok, ataupun pematang, atau tanaman pagar).
17
Selain S-LK yang diwajibkan (mandatory) oleh pemerintah, di Indonesia berkembang pula sistem sertifikasi pengelolaan hutan lestari (PHL) yang dikembangkan oleh Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) dan Forest Stewardship Council (FSC) sejak tahun 1994, di mana kedua skema tersebut basisnya adalah sukarela (voluntary). Pada tataran praktis, lembaga-lembaga swadaya masyarakat turut berperan aktif dalam proses pendampingan kelompok-kelompok petani guna mewujudkan pengelolaan hutan rakyat yang lestari, misalnya PERSEPSI (2004) yang aktif mendampingi masyarakat di Kabupaten Wonogiri.
3.7.
Formalisasi Hutan Rakyat
Upaya formalisasi dimaksudkan untuk mentransformasi usaha hutan rakyat yang selama ini dikelola secara informal dengan penerapan sistem manajemen tradisional dan tidak terdaftar pada pemerintah menuju pada pengelolaan yang lebih formal, menerapkan pengelolaan hutan dan silvikultur yang sesuai dengan standar ilmu kehutanan untuk menjamin pengelolaan hutan lestari, menangkal terjadinya pembalakan liar, berorientasi bisnis/pasar, menjamin keberlanjutan sistem ekonomi dan penghidupan (lifelihood system) para pelaku yang terlibat dan terdaftar pada lembaga pemerintah yang berwenang. Pintu masuk (entry point) yang digunakan untuk formalisasi tersebut adalah sertifikasi baik S-PHPL maupun S-LK. Pertanyaannya kemudian adalah perlukah formalisasi semacam itu diterapkan untuk hutan rakyat yang dari temuan-temuan di atas memiliki karakteristik ditanam pada lahan hak/milik, memiliki otonomi dalam pengambilan keputusan, dan usaha dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi (keuangan) yang mendesak? Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa umumnya hutan rakyat ditanam pada lahan milik dengan bukti-bukti kepemilikan terdiri dari Surat Keterangan Desa, Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang(SPPT), Letter C, Surat Keterangan Jual Beli, Sertifikat, atau Surat Gadai. Dengan demikian status kepemilikan hutan rakyat merupakan kekayaan pribadi (private property) dari pemiliknya menurut tipologi hak oleh Alston & Mueller (2008) dan Schlager & Ostrom (1992), sehingga efisiensi pemanfaatan dan keberlanjutan pengelolaannya dapat diharapkan (Libercap 2009 dan Ostrom 2008). Efisiensi pemanfaatan ditunjukkan dengan motivasi penanaman (dalam perspektif ekonomi yang lebih luas dapat diartikan sebagai motivasi untuk terjun dalam bisnis hutan rakyat) dan penebangannya.
18
Implikasi dari kepastian status kepemilikan tersebut, pertama pengelolaan hutan rakyat terbebas dari konflik tenurial yang umum terjadi dalam pengelolaan hutan skala besar pada kawasan hutan negara (state property) baik di hutan alam maupun hutan tanaman yang dalam banyak kejadian menjadi faktor utama terjadinya ketidaklestarian pengelolaan hutan.Kedua risiko terjadinya pembalakan liar (illegal logging) pada hutan rakyat dapat diminimalisir (untuk tidak mengatakan dapat dihilangkan sama sekali). Dengan hak kepemilikan yang jelas secara otomatis mendorong pemiliknya untuk menjaga sumberdaya yang telah dibangunnya tanpa harus diwajibkan oleh pihak manapun. Hal tersebut dapat ditunjukkan dari perilaku pengelolaan hutan rakyat oleh petani di ketiga kabupaten contoh, seperti pemilihan jenis pohon yang disesuaikan dengan tempat tumbuh dan kegunaannya, penanaman kembali pohon-pohon yang ditebang, penerapan sistem penebangan pohon tebang pilih sebagai implikasi tebang butuh, dan penerapan teknik-teknik penebangan yang cukup ramah lingkungan.Kondisi demikian terjadi karena manfaat dari menjaga pohon-pohon milik sendiri akan dapat dinikmati oleh pemiliknya. Berbeda dengan pengelolaan sumberdaya hutan yang memiliki karakteristik sumberdaya milik bersama (common-poll resources), seperti halnya pada pengelolaan kawasan hutan negara, umumnya akan sangat mudah (berisiko) menjadi sumberdaya dengan akses terbuka
(open
access resources),
apalagi
jikasumberdaya
tersebut
tidak
ada
pengelolanya dan tidak mendapat pengawasan ketat dari pihak pemerintah. Pada pengelolaan hutan dengan karakteristik sumberdaya demikian, maka eksploitasi berlebihan baik yang berbekal legalitas (semisal pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam) maupun illegal (semisal pembalakan liar dan perambahan hutan) akan sangat mudah terjadi. Hal tersebut dikarenakanketiadaan insentif yang sepadan dari pemegang izin untuk berperilaku lestari. Misalnya, siapa yang dapat menjamin bahwa hasil upaya penjagaan terhadap sumberdaya hutan danhasil rehabilitasi areal bekas tebangan akan dinikmati oleh pemegang izin? Dalam konteks ekonomi, fenomena tersebut dapat dikatakan sebagai eksternalitas yang tidak dapat diinternalisasikan. Apabila hal demikian terjadi, maka kelestarian hutan akan terganggu. Oleh karenanya perhatian utama untuk mengatasi pembalakan liar dan dorongan pengelolaan
hutan
lestari
semestinya
diarahkan
kepada
sumberdaya
dengan
karakteristik common pool resources, bukan pada sumberdaya dengan kepemilikan pribadi. Dari penjelasan tersebut, formalisasi melalui kebijakan sertifikasi (SVLK dan PHBML) di hutan rakyat untuk menjamin pengelolaan hutan lestari dan mengatasi pembalakan liar,
19
tampaknya tidak tepat sasaran. Sepanjang tersedia pasar kayu rakyat, harga kayu rakyat dapat dipelihara agar kompetitif, tersedia infrastruktur jalan dan kepastian hak kepemilikan, maka tanpa ada pewajiban dalam bentuk apapun masyarakatakan tetap melestarikan dan menjaga sumberdaya hutannya. Ketiga terdapat kebebasan (otonomi) dalam pengambilan keputusan dalam hal tujuan penanaman yang utamanya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga yang mendesak (tebang butuh), pemilihan jenis tanaman, dan praktik-praktik silvikultur termasuk penebangan dan regenerasi hutan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa petani sangat mungkin untuk mengambil keputusan untuk tidak menanam pohon-pohon hutan, ketika usaha hutan rakyat tidak menguntungkan. Selain itu, karakteristik kelembagaan pengelolaan
hutan
rakyat
tampaknya
bukan
suatu
entitas
bisnis
formal,
melainkandikembangkan dengan tujuan utama untuk pemenuhan kebutuhan keluarga akan uang yang relatif besar baik yang terencana maupun tidak terencana (tebang butuh). Intervensi eksternal (pemerintah, LSM, donor atau apapun) yang berisiko untuk meningkatkan
biaya
transaksi
(semisal
sertifikasi)
akan
kontra
produktif
bagi
pengembangan hutan rakyat, yang kini telah mencapai luasan ± 2,8 juta ha di Pulau Jawa dan Madura dan telah pula memberikan manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan. Karakteristik autonomous dalam pengambilan keputusan pada pemanfaatan lahan milik pribadi dapat berimplikasi pada pengkonversian hutan rakyat ke penggunaan lain selain hutan. Apabila hal demikian terjadi, maka menerapkan kebijakan dengan maksud formalisasi atau apapun akan justru menghasilkan dampak balik berupa pengkonversian usaha hutan rakyat ke usaha lain yang lebih menguntungkan dan tidak merepotkan pengusahaannya. Sebaliknya untuk dapat mempertahankan keputusan pemilik hutan rakyat agar terus berbisnis pada hutan rakyat, diperlukan insentif-insentif. Dari sisi pengelolaan hutannya, tampak bahwa motivasi utama untuk menanam adalah untuk tabungan guna memenuhi kebutuhan mendesak yang dalam bahasa petani diistilahkan sebagai ―tebang butuh‖ dan sebagai tradisi turun menurun. Tebang butuh mengindikasikan bahwa petani akan menebang ketika mereka membutuhkan uang yang bersifat mendesak dan untuk keperluan yang jumlahnya banyak seperti khitanan, pernikahan dan biaya anak sekolah. Artinya walaupun pohon-pohon yang telah mereka miliki telah masak tebang, mereka tidak akan menebangnya kecuali ada kebutuhan yang mendesak. Walaupun terjadi pula sebaliknya, pohon-pohon yang mereka miliki belum masak tebang, tetapi bila ada kebutuhan yang mendesak akan mereka tebang pula. Fenomena tebang butuh tersebut mengindikasikan bahwa sepanjang kebutuhankebutuhan mendesak dapat dicukupi, maka kejadian penebangan pohon-pohon muda
20
dapat dihindari. Pemenuhan kebutuhan mendesak tersebut dapat dilakukan dengan cara membangun aksi kolektif melalui penguatan kelompok tani sehingga memungkinkan terjadinya saling pinjam di antara anggota kelompok tersebut. Cara lain adalah dengan menghadirkan lembaga keuangan mikro yang dapat mendanai keperluan mendesak rumah tangga petani dengan mekanisme ―kredit tunda tebang‖. Oleh karenanya, formalisasi yang dapat menjawab persoalan riil pengelolaan hutan rakyat adalah formalisasi yang dapat mengarahkan terjadinya aksi kolektif dan atau penyediaan lembaga keuangan mikro yang dapat mengatasi persoalan tebang butuh. Tebang butuh dalam pengelolaan hutan rakyat juga mengindikasikan bahwa sebagian kepentingan petanipada dasarnya digantungkan pada keberadaan hutan rakyat yang mereka miliki. Ketergatungan ini secara psikologis menyebabkan keberadaan hutan rakyat menjadi sangat berharga bagi petani. Situasi psikologis tersebut akan mendorong petani untuk selalu berupaya melestarikan dan menjaga hutannya dari segala gangguan termasuk dari pembalakan liar. Sebagai instrumen berbasis pasar, sertifikasi PHL seringkali dikaitkan dengan sejumlah harapan berupa peningkatan harga kayu (premium price) dan perluasan akses pasar kayu bersertifikat (Rametsteiner & Simula 2003).Apabila peningkatan harga kayu dan perluasan akses kayu bersertifikat ini dapat diwujudkan, maka formalisasi melalui sertifikasi akan dapat meningkatkan pendapatan petani. Namun apabila manfaat sertifikasi tersebut tidak dapat diwujudkan, maka kebijakan sertifikasi hanya akan meningkatkan biaya transaksi bagi petani yang pada gilirannya akan menurunkan tingkat keuntungan usaha hutan rakyat. Harapan adanya peningkatan harga kayu bersertifikat tersebut muncul di kalangan para petani hutan rakyat di Desa Selopuro dan Sumberejo, Kabupaten Wonogiri, ketika mereka mulai berproses untuk mengelola hutan rakyat berdasarkan prinsip-prinsip PHL. Namun setelah berhasil meraih sertifikat Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML) dari LEI pada tahun 2004, para petani hutan rakyat merasa kecewa karena tidak adanya premium price dari kayu-kayu bersertifikat LEI tersebut. Sementara itu, para petani
harus
menanggung
biaya
yang
cukup
besar
untuk
proses
sertifikasi
PHBML.Kondisi seperti ini seringkali menurunkan semangat para petani dalam mengelola hutan rakyat secara lestari. Harapan adanya premium price juga muncul di kalangan petani hutan rakyat di Wonosobo dan Blora ketika pemerintah mulai menggalakkan Sertifikasi Legalitas Kayu (S-LK) pada tahun 2009. Untuk mendukung pelaksanaan S-LK, pemerintah daerah
21
(khususnya dinas kehutanan) dan LSM ARUPA (Aliansi Relawan untuk Penyelamatan Alam) turut memfasilitasi terbentuknya beberapa Gabungan Kelompok Tani Hutan (Gapoktanhut) atau Asosiasi Pemilik Hutan Rakyat (APHR), misalnya Gapoktanhut Jati Mustika di Blora dan APHR Joko Madu di Wonosobo sebagai bentuk formalisasi unit usaha pengelolaan hutan rakyat. Para petani yang tergabung dalam kelompok-kelompok tani tersebut melakukan upayaupaya perbaikan praktik pengelolaan hutan rakyat di daerahnya guna mendukung aspek legalitas sumber kayu yang diperdagangkan.Gapoktanhut Jati Mustika di Blora dan APHR Joko Madu di Wonosobo berhasil memperoleh S-LK pada tahun 2011 (berlaku hingga tahun 2014).Namun setelah memperoleh S-LK, para petani di Blora dan Wonosobo pun merasa kecewa karena tidak ada premium price bagi kayu-kayu yang diperdagangkan. Bahkan, kini para petani dihadapkan pada masalah ketidakadaan biaya untuk proses penilikan (surveillance) S-LK yang pada awalnya harus dilakukan setiap tahun (Permenhut P.38/Menhut-II/2009) dan kini dilakukan setiap 2 tahun (Permenhut P.45/Menhut-II/2012), yang berdasarkan informasi dari FGD diperkirakan akan memerlukan biaya sebesar Rp 50.000.000 untuk perolehan S-LK dan sekitar Rp. 25.000.000 untuk penilikannya. Hal ini dapat dimaklumi karena kegiatan pengelolaan hutan rakyat yang ada saat ini bukan merupakan kegiatan bisnis formal, tetapi merupakan kegiatan yang bersifat subsisten untuk pemenuhan kebutuhan keluarga yang mendesak baik yang terencana maupun tidak terencana. Terlepas dari masalah tidak adanya premium price bagi kayu-kayu rakyat di ketiga kabupaten tersebut, proses pendampingan oleh LSM (PERSEPSI dan ARUPA) dalam perolehan sertifikasi PHMBL (di Wonogiri) dan S-LK (di Blora dan Wonosobo) dalam kerangka program bantuan dari donor Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) dan Multistakholders meningkatkan
Forestry wawasan
Program dan
(MFP)
pengetahuan
memberikan
dampak
masyarakat
tentang
positif
dalam
praktik-praktik
pengelolaan hutan rakyat. Sebagai contoh, para petani hutan rakyat di Wonogiri telah memahami bahwa pengukuran diameter pohon seharusnya dilakukan pada ketinggian 1,3 m di atas permukaan tanah (dikenal dengan istilah diameter setinggi dada, diameter at breast height). Pengetahuan tentang cara pengukuran diameter pohon tersebut bermanfaat bagi para petani agar terhindar dari praktik-praktik curang para pembeli kayu yang biasanya mengukur diameter pohon pada ketinggian di atas 1,3 m guna memperoleh taksiran volume pohon yang lebih kecil dari yang seharusnya. Selain itu, pengetahuan tentang manfaat penjarangan pohon telah mendorong sebagian kecil petani
22
untuk melakukan tindakan penjarangan guna mengoptimalkan pertumbuhan tegakan (lihat Tabel 3). Namun demikian, perbaikan sistem pengelolaan dan peningkatan pengetahuan masyarakat tersebut di atas pada dasarnya sebagai akibat dari pendampingan, bukan karena kebijakan S-LK. Karena Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LVLK) tidak dimaksudkan untuk mendampingi petani, melainkan untuk memverifikasi legalitas kayu. Sedangkan dalam kasus di ketiga kabupaten contoh ini, pendampingan diadakan sebagai akibat dari adanya bantuan keproyekan dari LEI maupun MFP. Dengan demikian ada atau tidak ada kebijakan S-LK, pendampingan tersebut dipandang sangat bermanfaat bagi perbaikan dan peningkatan pengetahuan pengelolaan hutan rakyat bagi petani. Terlebih secara umum dapat dikatakan bahwa praktik pengelolaan hutan rakyat di ketiga kabupaten tersebut masih memerlukan peningkatan melalui program-program penyuluhan dan pendampingan oleh dinas kehutanan atau instansi terkait lainnya.
4.
KESIMPULAN
Dari uraian tersebut di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1.
Lahan usaha hutan rakyat berada pada lahan dengan status hak kepemilikan pribadi (private property rights). Dengan hak demikian, maka internalisasi eksternalitas akan mudah dilakukan dalam artian bahwa segala kerugian atas kesalahan pengelolaan akan ditanggung sendiri oleh pemiliknya, termasuk keteledoran dalam penjagaan asset sumberdaya hutannya. Kondisi demikian akan mendorong pemilik hutan rakyat untuk melestarikan dan menjaga hutannya dari segala gangguan, termasuk dari pembalakan liar.
2.
Untuk menjaga kelestarian sumberdayanya petani menerapkan pemilihan jenis pohon yang disesuaikan dengan tempat tumbuh dan kegunaannya, penanaman kembali pohon-pohon yang ditebang, penerapan sistem penebangan pohon tebang pilih sebagai implikasi tebang butuh, dan masyarakat menerapkan teknik-teknik penebangan yang cukup ramah lingkungan.Praktik-praktik pengelolaan hutan tersebut merupakan kreasi sendiri yang merupakan hasil interaksi petani dengan lingkungan biofisik dan sosialnya (otonom dalam pengambilan keputusan).
3.
Formalisasi melalui sertifikasi (legalitas kayu maupun pengelolaan hutan lestari) dengan tujuan untuk menjaga kelestarian hutan rakyat dan mencegah pembalakan liar tampaknya merupakan upaya yang berlebihan untuk diterapkan pada usaha
23
hutan rakyat yang umumnya ditanam pada lahan hak milik pribadi (private property rights). Sedangkan tujuan untuk meningkatkan pendapatan petani melalui premium price, pada kenyataannya tidak terjadi dan bahkan mengecewakan petani hutan rakyat. 4.
Upaya formalisasi melalui intervensi kebijakan seharusnya diarahkan untuk mengurangi biaya transaksi, penghapusan kebijakan-kebijakan yang memperumit sistem perdagangan kayu (Surat Keterengan Asal Usul Kayu, Sertifikasi Legalitas Kayu, dan Sertifikasi Pengelolaan Hutan Lestari), meningkatkan kemanfaatan ekonomi pada pengusahaan hutan rakyat dan penyediaan insentif langsung maupun tidak langsung untuk mempertahankan dan mendorong minat masyarakat untuk berusaha di hutan rakyat. Selain itu formalisasi yang diperlukan masyarakat adalah bentuk formalisasi yang dapat mengatasi persoalan ―tebang butuh‖ melalui mekanisme ―kredit tunda tebang‖ oleh suatu lembaga formal (misal: koperasi, kelompok tani, dls).
5.
Pendampingan petani hutan rakyat di lokasi penelitian sangat bermanfaat bagi perbaikan sistem pengelolaan dan peningkatan pengetahuan masyarakat.Namun pendampingan tersebut bukan akibat dari adanya Sertifikasi Legalitas Kayu dan Sertifikasi Pengelolaan Hutan Lestari dalam kerangka kebijakan Standard Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) melainkan akibat dari adanya bantuan donor untuk mendukung sertifikasi. Oleh karenanya, ada maupun tidak ada kebijakan sertifikasi, pendampingan tersebut tetap diperlukan.
6.
Kesalahan intervensi kebijakan dikhawatirkan akan berdampak kontra produktif dalam pengembangan hutan rakyat sebagai implikasi otonomi pengambilan keputusan pada pemanfaatan private property rightsyaitu berupa pengkonversian hutan rakyat kepada usaha lain yang lebih menguntungkan dan sederhana dalam tata usaha perdagangan produknya.
Ucapan Terimakasih Kajian ini merupakan bagian dari penelitian ―PRO-FORMAL: Policy and Regulatory Options to recognise and better integrate the domestic timber sector in tropical countries‖, sebuah kerjasama penelitian internasional antara CIFOR dengan PSP3 IPB. Ucapan terimakasih juga ditujukan kepada Nur Isiyana Wianti, SP, MSi; Marwoto, S.Hut; M. Sidiq, S.Hut; Nining Assyh, S.Hut; Frida Yulianti, S.Hut; Nuva, SP, MSc yang telah membantu dalam pengumpulandata lapangan untuk penelitian ini.
24
DAFTAR PUSTAKA Alston LJ, Mueller B. 2008. Property Rights and the State. Di dalam: Ménard C, Shirley MM, editor. Handbook of New Institutional Economics. Heidelberg: SpringerVerlag Berlin Heidelberg. hlm 573-590. Ambus LD, Case D, and Tyler S. 2007. Big expectations for small forest tenures in British Columbia. BC Journal of Ecosystems and Management 8(2): 46–57. Cossalter, C andC. Pye-Smith. 2003. Fast-Wood Forestry: Myths and Realities. CIFOR. Bogor. Indonesia. Dachang L. 2001. Tenure and Management of Non-State Forests in China since 1950: A Historical Review. Environmental History 6(2): 239-63. Dunn WN. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Terjemahan dari Public Policy Analysis: An Introduction oleh Penterjemah: Samodra Wibawa, Diah Asitadani, Agus Heruanto Hadna dan Erwan Agus Purwanto. Gadjah Mada University Press. Jogjakarta. Dye TR. 2002. Understanding Public Policy. Prentice-Hall. USA Eggertsson T. 1990. Economic Behavior and Institutions. New York: Cambridge University Press. Elliott J. 2005. Using Narrative in Social Research: Qualitative and Quantitative Approaches. London: SAGE Publications. Irawan P. 2007. Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: DIA Fisip UI Press. Kant S. 2005. Organizations, Institutions, External Setting and Institutional Dynamics. Di dalam: Kant S, Berry RA, editor. Institutions, Sustainability, and Natural Resources: Institutions for Sustainable Forest Management. Netherlands: Springer. hlm 83-113. Kumar N and Saxena NC. 2002. India’s Forest: Potential for Poverty Allevation. Di dalam: Uma Lele, editor. Managing A Global Resource. Transaction Publishers. USA. hlm: 99-165. Libecap GD. 2009. The tragedy of the commons: property rights and markets as solutions to resource and environmental problems. The Australian Journal of Agricultural and Resource Economics 53: 129-144. North DC. 1990. Institutions, Institutional Change and Economic Performance. New York: Cambridge University Press. Nugroho, B. 2010. Pembangunan Kelembagaan Pinjaman Dana Bergulir Hutan Rakyat. Jurnal Manajemen Hutan Tropika XVI (3): 118–125. PERSEPSI. 2004. Dokumen Pengajuan Sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBML) dengan Sistem LEI untuk Unit Manajemen FKPS Kelurahan Selopuro Kecamatan Batuwarno, Kabupaten Wonogiri, Jawa
25
Tengah, Indonesia. Klaten: Perhimpunan untuk Studi dan Pengembangan Ekonomi Sosial (PERSEPSI). Rametsteiner E and Simula M. 2003. Forest certification—an instrument to promote sustainableforest management?Journal of Environmental Management 67: 87–98. Rozelle S, Huang J, Lele U. 2002. China: The World’s Largest Experiment in Conservation and Development. Di dalam: Uma Lele, editor. Managing A Global Resource. Transaction Publishers. USA. hlm: 73-98 Santosa H. 2011. Model dan Demplot Pembangunan Hutan Rakyat. Makalah pada Diskusi Publik Pembangunan Unit Percontohan Penyuluhan Kehutanan, BP2SDM. Jakarta, 10 November 2011. Schlager E, Ostrom E. 1992. Property-Rights Regimes and Natural Resources: A Conceptual Analysis. Land Economics 68(3): 249-262. Suuriniemi I, Matero J, Hanninen H, Uusivuori J. 2012. Factors affecting enlargment of family forest holdings. Silva Fennica 46: 253–266. Turner RK, Pearce D, Bateman I. 1994. Environmental Economics. New York: Harvester Wheatsheaf. Zhang Y, Uusivuori J, Kuuluvainen J. 2000. Impacts of economic reforms on rural forestry in China. Forest Policy and Economics 1: 27–40.
26