IMPLIKASI NIKAH DI BAWAH UMUR TERHADAP HAK-HAK REPRODUKSI PEREMPUAN (Analisa Pasal 7 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan)
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh:
Fatimatuz Zahro’ NIM:105044101366
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH FAKULTAS SYARIAH & HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1430 H/2009 M
IMPLIKASI NIKAH DI BAWAH UMUR TERHADAP HAK-HAK REPRODUKSI PEREMPUAN (Analisa Pasal 7 Undang Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan)
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh:
Fatimatuz Zahro’ NIM: 105044101366
Di bawah bimbingan:
Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA.
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH FAKULTAS SYARIAH & HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1430 H/2009
KATA PENGANTAR
Pertama-tama, tiada kata dan bahasa yang layak penulis ucapkan selain untaian kalimat syukur kehadirat ilahi robb, Tuhan semesta alam. Atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang berlimpah, serta yang senantiasa memberikan nikmat sehat dan iman serta nikmat-nikmat lain yang tak mungkin terlukiskan lewat kata-kata. sehingga sampai detik ini penulis dapat menyusun menyelesaikan skripsi ini, sempurna atau tidak sempurna namun inilah hasil karya sendiri. Sebuah usaha pemindahan teori dari ruang kelas menuju alam luas dan dunia nyata untuk selanjutnya dikembalikan ke dalam jagad penulisan yang hanya mengenal hurufhuruf.
Tentunya
tidak
mudah
bagi
penulis
menerapkan
teori
kemudian
mengejawantahkannya dalam realita lalu merubahnya dalam bentuk tulisan. Pastilah dalam proses itu banyak sekali hal-hal yang tercecer dan tak terangkut. Shalawat bertangkai salam tak lupa penulis haturkan ke junjungan Nabi besar Muhammad Saw yang yang cahaya risalahnya tak pernah redup menerangi umatnya sampai akhir zaman. Dalam perjalanan ini penulis tidak sendirian, penulis selalu ditemani oleh makhluk-makhluk yang penuh semangat dan dedikasi. Karena itu penulis mengucapkan beribu rasa terima kasih atas bimbingan dan pengasuhan yang diberikan kepada penulis selama ini, 1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. KH. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM.
2. Ketua Prodi Ahwal Al-Syakhshiyah, Drs. H.A. Basiq Djalil, SH. MA Orang tua kami yang baik, sekaligus menjadi Pembimbing skripsi penulis, terima kasih atas pengarahan, bimbingannya serta pengertiannya sehingga dapat mempermudah penulisan skripsi ini. Tak lupa ucapan terima kasih kepada Sekretaris Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah, Kamarusdiana, S.Ag, MH. 3. Kepada Drs. Djawahir Hejazziey, SH, MA, dan Dr. Hj. Azizah selaku tim penguji. Terima kasih yang sebesar-besarnya atas arahan, kritikan, dan saransaran yang bermanfaat dalam penulisan skripsi ini. Sehingga menjadi sempurnalah hal yang tidak pernah sempurna ini. 4. Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mencurahkan segala kemampuan untuk berbagi ilmu dan pengalaman kepada kami, terutama Ummina Dra. Hj. Halimah Ismail, Dr. H. A.Djuaini Syukri, Lc, MA., dan lainnya yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu di sini. 5. Segenap staf Perpustakaan beserta para stafnya, baik Perpustakaan Utama maupun Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi perpustakaan. 6. Bapak Rw kampung Bojong, Kemang, Bogor yang telah mempermudah penulis dalam melakukan penelitian. 7. Para narasumber yang sangat berjasa dalam merealisasikan penelitian skripsi. 8. Jauh di sana ada sebuah energi yang selalu mengalirkan ruh semangat kepada penulis, kepada Abah Muqarrabin (alm), semoga mendapatkan ketenangan di alam sana, meskipun tak sempat melihat putri kecilnya menjadi dewasa, dan
ibundaku tersayang yang selalu setia menemani hari-hari penulis dengan ketabahan dan ketulusan kasih seorang ibu, do’a penulis semoga ibunda senantiasa dalam lindungan Allah Swt. 9. Kepada kakak-kakakku yang baik dan penuh perhatian, terutama buat mas Zulfa dan mas Farah Furqon sekeluarga, terima kasih atas kontribusinya selama ini sehingga penulis dapat mencicipi nikmatnya bersekolah sampai hari ini. 10. Kepada kawan-kawan seatap seperjuangan di Peradilan Agama dan di UIN tercinta ini, Lilis darojah, Umu Salamah, yang rela berbagi waktu dan tenaganya untuk bersama-sama belajar dan berbagi cerita di kala suka maupun duka. 11. Keluarga besar Pa’e Abdullah, terima kasih atas perhatiannya selama ini. 12. Teruntuk yang tercinta, terima kasih atas segala sesuatu yang terbahasakan selama ini, suamiku mas Ulil Abshar, M.hum yang dengan segenap jiwa raganya telah banyak berbagi dan berbuat untuk penulis. Tak lupa buat calon “dede” yang tak pernah
rewel dan setia menemani bundanya menyusun
skripsi. 12. Kepada semua pihak yang telah membantu baik secara langsung dan tidak langsung, sehingga terselesainya skripsi ini. Semoga segala bantuan tersebut dicatat sebagai amal baik oleh Allah Swt. Amin. Sebagai penutup penulis berpesan bahwa “tak ada gading yang tak retak”, penulis yakin skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, banyak kekurangan di sana sini. Oleh
karenanya kesempurnaan hanya milik Allah Swt dan kekurangan adalah milik hambanya. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca pada umumnya.
Jakarta, 2009
AR ISI
03
Desember
KATA PENGANTAR........................................................................................................i DAFTAR ISI ....................................................................................................................iv BAB I: PENDAHULUAN..........................................................................................1 A. Latar Belakang Masalah............................................................................1 B. Batasan Dan Rumusan Masalah................................................................6 C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ................................................................7 D. Kerangka Teori..........................................................................................8 E. Review Kepustakaan Terdahulu..............................................................10 F. Metode Penelitian....................................................................................13 G. Sistematika Penulisan..............................................................................16
BAB II:
TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DI BAWAH
UMUR...........................................................................................................17 A. Pengertian Dan Dasar Hukum Perkawinan..............................................17 B. Syarat Dan Rukun Perkawinan......................................................... ......24 C. Tujuan Dan Hikmah Perkawinan........................................................... 26 D. Dasar Hukum Perkawinan Di Bawah Umur ...........................................31 E. Penyebab Perkawinan Di Bawah Umur...................................................44
BAB III:
PENGARUH USIA PERKAWINAN TERHADAP KESEHATAN REPRODUKSI.......................................................................................... ..48 A. Usia Ideal Dalam Perkawinan..................................................................48 B. Tujuan Pembatasan Usia Perkawinan......................................................51 C. Hak Dan Kesehatan Reproduksi Menurut Islam.....................................53
D. Hak Dan Kesehatan Reproduksi Menurut Kesehatan..............................60 E. Pengaruh Usia Perkawinan Terhadap Kesehatan Reproduksi.................64
BAB IV:
ANALISA NIKAH DI BAWAH UMUR DAN IMPLIKASINYA.........69 B. Sejarah Singkat Lahirnya Undang Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.................................................................................69 C. Analisa Nikah Di Bawah Umur...............................................................71 D. Implikasi Nikah Di Bawah Umur............................................................75 E. Analisa Penulis.........................................................................................82
BAB V:
PENUTUP A. Kesimpulan............................................................................................. ..90 B. SaranSaran...............................................................................................91
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................93 LampiranLampiran.......................................................................................................98 A. Wawancara Dengan Ibu Za....................................................................................98 B. Wawancara Dengan Ibu Mi................................................................................100 C. Wawancara Dengan Ibu Siti................................................................................102 D. Wawancara Dengan Ibu Nyai..............................................................................104 E. Wawancara Dengan Ibu Meri..............................................................................106 F. Surat Keterangan Penelitian ................................................................................109
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Perkawinan dalam Islam bukan semata-mata hubungan kontrak keperdataan
biasa. Perkawinan menurut hukum Islam seperti tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau sebuah perjanjian yang kuat (mitsaqan ghalizhan) yang mengandung nilai-nilai transedental (ilahiyyah) sarat dengan dimensi ibadah1. Perkawinan adalah fase yang sangat menentukan dalam membentuk masyarakat kecil dan membangun generasi yang baik dan maju. Dalam hal perkawinan menggariskan dua hal: pertama; perkawinan sebagai penyaluran libido seks laki-laki dan perempuan dengan cara yang halal sesuai ajaran agama. Kedua; perkawinan bermakna ibadah. Kedua hal inilah menjadi bagian dari siklus kehidupan yang telah diatur dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah.2 Oleh karenanya perkawinan antara laki-laki dan perempuan merupakan salah satu cara bereproduksi secara sehat. Karena pada dasarnya perkawinan yang dianjurkan oleh Islam merupakan wahana mewujudkan cinta kasih antara laki-laki
1
Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan Dan Keluarga, (Jakarta: Elsas, 2008), cet. ke-2, h. 187 2
Asep S. Jahar, “Rabi’ul Awal: Maulid Nabi dan Siklus Kehidupan”, dalam Tim Penulis “Perempuan Dalam Hari-Hari Besar Islam”, (Jakarta: PPIM UIN, 2008 ), h. 35
dan perempuan.3 Melalui perkawinan, pasangan suami isteri akan meletakkan pondasi baru dalam mewujudkan keluarga yang tenang dan damai (sakinah) dan penuh kasih sayang (mawaddah). 4 Guna mewujudkan kehidupan rumah tangga yang diharapkan yaitu sakinah dan mawadah, maka kematangan jiwa bagi calon pasangan pengantin sangat diperlukan. Kematangan yang dimaksud adalah kematangan umur perkawinan, kematangan dalam berpikir dan bertindak sehingga tujuan perkawinan tersebut dapat terlaksana dengan baik.5 Walaupun Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah menetapkan batas usia nikah adalah 19 (sembilas belas) tahun untuk laki-laki dan 16 (enam belas) tahun untuk perempuan, hal itu tidak menjamin terciptanya harmonisasi dalam rumah tangga. Pernikahan yang dilaksanakan pada usia tersebut terkadang memicu munculnya perselisihan dalam rumah tangga, meskipun faktor usia dini tidak dapat dijadikan penyebab runtuhnya sebuah biduk tali perkawinan. Hal ini mengindikasikan bahwa adanya pembatasan usia perkawinan yang ditetapkan oleh Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, seolah-olah kurang mempertimbangkan potret sosial masyarakat. Padahal di antara tujuan pembentukan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini adalah 3
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, (Yogyakarta: Lkis, April 2001), cet. ke-1, h. 97 4
5
Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-fatwa…, h. 187
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenadya, September 2006), cet. ke-3, h. 11
memenuhi kebutuhan masyarakat akan hukum dan memberikan solusi terhadap problematika yang muncul daripada masalah perkawinan. Jika demikian, maka perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang dimaksudkan sebagai upaya memelihara kelangsungan kehidupan manusia (hifz alnasl) yang sehat dan mendirikan kehidupan rumah tangga untuk kemaslahatan6 yang didasarkan kepada Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan masih perlu dikaji ulang. Apabila ditinjau dari sisi kesehatan, usia 16 (enam belas) tahun bagi perempuan merupakan usia rentan dalam hal menjaga hak-hak reproduksinya, baik secara biologis maupun sosial. Padahal untuk mencapai maksud perkawinan, upaya menjaga kesehatan reproduksi perempuan merupakan bagian terpenting yang sepatutnya mendapat perhatian dari semua pihak, termasuk di dalamnya adalah pengaturan tentang batas usia perkawinan yang dapat menjamin terpenuhinya kesehatan reproduksi dan kemaslahatan dalam rumah tangga.7 Hak reproduksi secara umum dikaitkan dengan otonomi perempuan untuk menjalankan fungsi reproduksi biologisnya secara tepat dan aman; baik jasmani, mental maupun sosial.8 Sehingga secara detail dapat dijelaskan bahwa kesehatan reproduksi adalah keadaan fisik, mental, dan sosial yang baik serta peluang akses
6
Husein Muhammad. Fiqh Perempuan..., h. 75
7
Ibid., h. 76
8
Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan, (Jakarta: El-Kahfi, 2008), h. 170
pelayanan menyeluruh yang tidak diskriminatif berkaitan dengan sistem reproduksi perempuan, fungsi-fungsinya serta proses-prosesnya. 9 Pada kenyataannya, kebanyakan masyarakat Indonesia masih berpandangan bahwa tanggung jawab dan beban terbesar tentang proses reproduksi lebih bertumpu dan dibebankan kepada perempuan. Seolah perempuan ditempatkan sebagai objek terutama mengenai elemen-elemen reproduksi, bahkan lebih ironis lagi, apabila terjadi kesalahan, maka kesalahan dibebankan kepada perempuan. Begitu beratnya beban perempuan sebagai penanggung fungsi reproduksi umat manusia yang utamanya adalah mengandung, melahirkan dan menyusui anak. Secara tegas beban reproduksi tersebut dalam Al-Qur’an dilukiskan dengan menggunakan istilah yang bernada ta’kid (penguatan) wahnan ’ala wahnin (beban yang berlipat yang membuatnya menjadi payah di atas payah).10 Oleh sebab itu, sudah sepatutnya seorang ibu sebagai pengemban fungsi reproduksi memiliki hak-hak yang harus dipenuhi oleh sang ayah (suami). Hak-hak tersebut meliputi jaminan keselamatan dan kesehatan, jaminan kesejahteraan (nafkah), dan hak dalam pengambilan keputusan menyangkut kepentingan yang berkaitan dengan proses-proses reproduksinya.11
9
Maria Ulfah Ansor, Fikih Aborsi: Wacana Penguatan Hak-Hak Reproduksi Perempuan , (Jakarta: Penerbit Kompas, September 2006), h. 3 10
Masdar F. Mas’udi, Islam dan Hak Reproduksi Perempuan: Dialog Fiqh Pemberdayaan (Bandung: Mizan, 1997), h. 72 11
Ibid., h. 74
Kendati demikian untuk mewujudkan harapan tersebut bukanlah suatu persoalan yang mudah, mengingat perlunya kesadaran dan perhatian serius dari semua pihak, baik di lingkungan keluarga maupun instansi pemerintah. Tercatat bahwa lebih dari separo (104,6 juta orang) dari total penduduk Indonesia adalah perempuan. Namun, kualitas hidup perempuan jauh tertinggal dibandingkan laki-laki. Masih sedikit sekali perempuan yang mendapat akses dan peluang untuk berpartisipasi secara penuh dalam proses pembangunan.12 Rendahnya kualitas hidup perempuan tersebut berdampak langsung pada kualitas kesehatan perempuan, khususnya kesehatan Ibu. Hingga saat ini Indonesia tercatat sebagai negara yang tertinggi tingkat angka kematian ibunya (AKI) di kawasan Asia Tenggara, yakni kematian yang terjadi pada saat kehamilan, persalinan, dan 42 hari pascapersalinan.13 Hal ini antara lain disebabkan oleh nikah di bawah umur, hamil muda, terlalu sering hamil, serta terbatasnya sarana prasarana dan kualitas pertolongan persalinan.14 Berangkat dari masalah tersebut, maka perlu adanya usaha peningkatan kualitas hidup perempuan Indonesia, salah satunya adalah melalui lembaga perkawinan yang erat kaitannya dengan masalah usia calon pengantin. Kualitas hidup perempuan ini
12
Erni Agustini, “Upaya Penanggulangan Angka Kematian Ibu: Agenda Mendesak bagi Pemerintah Daerah dan Pusat”, dalam Edriana Noerdin dkk, Potret Kemiskinan Perempuan, (Jakarta: Women Research Institute, 2006), h. 89 13
14
Ibid., h. 89
DEPAG RI, Keadilan Dan Kesetaraan Jender (Perspektif Islam), (Jakarta:Tim Pemberdayaan Perempuan Bidang Agama DEPAG RI, Desember 2001), cet.ke-1, h. 108
dimungkinkan akan tercapai apabila kedua pihak yang akan berakad benar-benar siap untuk mengarungi bahtera rumah tangga baik secara fisik, mental, maupun material. Oleh karena itu, aturan dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menetapkan 16 (enam belas) tahun sebagai usia minimal bagi perempuan dan usia 19 (sembilan belas) tahun bagi laki-laki untuk menikah perlu ditinjau ulang baik dari sisi kesehatan, psikologis, maupun sosial. Melihat latar belakang yang seperti ini, penulis merasa perlu membahas dan menyusun skripsi dengan judul “Implikasi Nikah Di Bawah Umur Terhadap Hak-Hak Reproduksi Perempuan (Analisa Pasal 7 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan)“.
B. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Batasan Masalah Berangkat dari latar belakang di atas, maka perlu adanya pembatasan masalah agar penelitian menjadi jelas dan dapat memberi arah yang tepat. Oleh karenanya penelitian ini hanya akan membahas tentang “Implikasi Nikah Di Bawah Umur Terhadap Hak-Hak Reproduksi Perempuan (Analisa Pasal 7 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan)”. 2. Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah tersebut, maka rumusan masalah yang hendak dikaji dalam penelitian ini adalah: Dalam Pasal 7 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16
(enam belas) tahun, namun pada kenyataannya di lapangan banyak pernikahan dilakukan di luar ketentuan tersebut. Hal inilah yang ingin penulis telusuri di dalam penelitian ini. Rumusan masalah di atas penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah hukum nikah di bawah umur menurut fikih dan UndangUndang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 2. Bagaimanakah implikasi nikah di bawah umur terhadap hak-hak reproduksi perempuan. 3. Bagaimanakah hubungan hak-hak reproduksi perempuan dengan Pasal 7 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (ayat 1) mengenai batas usia nikah.
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian Tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui hukum nikah di bawah umur menurut fikih dan UndangUndang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 2. Untuk mengetahui implikasi nikah di bawah umur terhadap hak-hak reproduksi perempuan. 3. Untuk mengetahui hubungan hak-hak reproduksi perempuan dengan Pasal 7 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ayat (1) mengenai batas usia nikah.
Adapun manfaat penelitian ini antara lain adalah: 1. Mengetahui kondisi perempuan Indonesia dari berbagai aspek, terutama aspek kesehatan, psikologis, dan sosial berkaitan dengan hak-haknya dalam perkawinan. 2. Melatih peneliti untuk dapat membuat karya tulis ilmiah sesuai dengan obyek penelitian. 3. Menjadikan penelitian ini sebagai bahan renungan dan masukan bagi pemerintah, masyarakat sebagai pelaku hukum, dan civitas akademika dalam dunia intelektual Indonesia.
D. Kerangka Teori Apa yang hendak dilakukan oleh penulis sebenarnya adalah meneliti persoalan nikah di bawah umur yang telah dianggap oleh masyarakat sebagai budaya yang telah turun temurun. Persoalan nikah di bawah umur berkaitan erat dengan masalah hakhak reproduksi perempuan. Di sisi lain, hak-hak reproduksi perempuan memiliki hubungan dengan Pasal 7 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (ayat 1) mengenai batas usia nikah. Oleh karena itu, dalam penelitian ini peneliti menggunakan teori-teori baik itu yang bersumber dari fikih, Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maupun dari segi kesehatan. 1. Teori Fikih dan Hukum Positif
Nikah di bawah umur sebagaimana obyek penelitian ini sebenarnya telah banyak disinggung oleh kitab-kitab fikih klasik dengan istilah al-nikah al-shaghir, namun ulama kontemporer menyebut nikah di bawah umur dengan istilah al-zawaj al-mubakkir. Perbedaan ini hanya sebatas penyebutan saja adapun subtansi dan konsepnya tidak berbeda. 15 Abu Hanifah menyatakan bahwa nikah di bawah umur adalah perkawinan lakilaki atau perempuan sebelum masa baligh, kira-kira 15 (lima belas) tahun menurut mayoritas ahli fiqih dan di bawah 17 (tujuh belas) atau 18 (delapan belas) tahun menurut Abu Hanifah.16 Adapun Undang-Undang Perkawinan di Indonesia menetapkan batas usia nikah adalah 19 (sembilan belas) tahun untuk laki-laki dan 16 (enam belas) tahun untuk perempuan. Pernikahan yang dilakukan salah satu pihak yang usianya lebih rendah daripada batas minimal ketentuan tersebut, maka dapat dikatakan sebagai nikah di bawah umur.
2. Teori Kesehatan
15
16
Husen Muhammad, Fiqh Perempuan..., h. 6
Al-Kasani, Imam ‘Alauddin Abu Bakar bin Mas’ud, Badai’ al-Shanai’, (Kairo: Dar-alHadis, 1426 H/2005 M), Juz III, h. 358-359, Asy-Syirbini, Syaikh Syamsuddin bin Muhammad bin Khotib, Mughni al-Muhtaj, (Beirut: Dar-al-Fikr), juz.III, h. 191-192
Kesehatan reproduksi perempuan adalah kesehatan yang berhubungan dengan organ-organ tubuh perempuan yang berperan dalam kehamilan dan kelahiran anak.17 Definisi Wordl Health Organisation yang disingkat dengan WHO (1992) merumuskan:“kesehatan reproduksi adalah keadaan kesejahteraan fisik, mental, dan sosial yang utuh bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan. Kesehatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesprosesnya”. Sedangkan proses yang dimaksud adalah hak untuk mendapatkan informasi dan akses terhadap metode-metode Keluarga Berencana yang aman, efektif, terjangkau, dan dapat diterima bagi perempuan maupun laki-laki, dan informasi mengenai metode-metode pengaturan kelahiran yang menjadi pilihan mereka, serta hak-hak untuk mendapat pelayanan kesehatan yang memungkinkan perempuan menjalani kehamilan dan persalinan dengan selamat.18
E. Review Kepustakaan Terdahulu Peneliti telah menemukan beberapa hasil penelitian terdahulu dengan tema serupa, akan tetapi masing-masing memiliki konsentrasi yang berbeda, diantaranya; 1. “Tinjauan Hk.Islam Dan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Tentang Usia Perkawinan (Studi Kasus Di KUA Kec. Sawangan Depok)”. Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2005, disusun 17
Agust Burn dkk. Bila Perempuan Tidak ada Dokter. (Tanpa tempat, 1999: INSIS, JKPIT, Ford Foundation) h. 3 18
WHO, Landasan Aksi Dan Deklarasi Beijing, (Jakarta: Forum Komunikasi Lembaga Swadaya Masyarakat Untuk Perempuan dan Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan), h. 65
oleh: Saepudin. Skripsi ini menjelaskan tentang pandangan hukum Islam dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap usia perkawinan serta pengaruhnya sebelum dan sesudah Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berlaku, pada praktik perkawinan di KUA Kec. Sawangan Depok. Sayangnya, skripsi ini tidak menyinggung hubungan perkawinan di bawah umur dengan hak-hak reproduksi perempuan.19 2. “Perkawinan Di Bawah Umur Akibat Zina Menurut Hukum Islam Dan Undang Undang No.1 tahun 1974 Tentang Perkawinan”. Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2005, disusun oleh: Heri Kusmiadi. Skripsi ini menjelaskan tentang pergaulan bebas di kalangan remaja dan dampaknya terhadap meningkatnya prosentase perkawinan di bawah umur. Subtansi dalam skripsi ini adalah mengenai standarisasi nikah di bawah umur menurut fikih dan hukum positif. Sayangnya, skripsi ini cenderung terhadap studi perbandingan mazhab fikih, bukan menilik terhadap realitas sosial. 20 3. “Eksistensi Hak-hak Reproduksi Perempuan Antara Hukum Islam Dan Hukum Positif”. Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2005, disusun oleh: Yulianti Mutmainnah. Skripsi ini memaparkan secara detail tentang hak-hak dan kesehatan reproduksi perempuan menurut hukum Islam dan
19
Saepudin, “Tinjauan Hk.Islam Dan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Usia Perkawinan (Studi Kasus Di KUA Kec. Sawangan Depok)”, (Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2005) 20
Heri Kusmiadi, “Perkawinan Di Bawah Umur Akibat Zina Menurut Hk.Islam Dan UU No.1 tahun 1974”, (Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2005)
hukum positif. Namun skripsi ini tidak membahas masalah hukum nikah di bawah umur baik menurut fikih maupun Undang-Undang Perkawinan.21 4. ”Manipulasi Usia Perkawinan (Analisa Kritis Pasal 7 Undang Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan)”. Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009, disusun oleh: Debi Zulkarnain. Skripsi ini adalah hasil penelitian lapangan yang mengungkapkan praktik manipulasi usia perkawinan calon pengantin yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu sehingga berakibat pada nikah di bawah umur. Dalam hal usia perkawinan, penulisnya cenderung terhadap Instruksi Mendagri No.27 Tahun 1983 yang mendukung program KB dalam rangka menekan laju kependudukan, namun skripsi ini tidak menjelaskan hubungan nikah di bawah umur dan implikasinya terhadap hak-hak reproduksi perempuan secara detail. 22 Dari hasil review beberapa penelitian yang telah lalu tersebut, penulis menemukan letak perbedaan yang dikaji dalam skripsi ini, yaitu penulis hendak menganalisa permasalahan nikah di bawah umur baik dari sisi legal formal (fikih) maupun Undang-Undang Perkawinan secara detail, serta dihubungkan dengan masalah hak-hak dan kesehatan reproduksi perempuan. Oleh karena itu keberadaan
21
Yulianti Mutmainnah, “Eksistensi Hak-hak Reproduksi Perempuan Antara Hukum Islam Dan Hukum Positif”, (Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2005) 22
Debi Zulkarnain, “Manipulasi Usia Perkawinan (Analisa Kritis Pasal 7 Undang Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan)”, ( Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009)
penelitian yang telah lalu menjadi sangat penting bagi penelitian ini sebagai sumber pendukung dan bahan perbandingan.
F. Metode Penelitian Dalam upaya mendapat data yang akurat, lengkap, dan objektif untuk penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian melalui: 1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian hukum sosiologis atau empiris, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau sekunder yang dikemudian dilanjutkan dengan penelitian terhadap bahan primer di lapangan atau terhadap masyarakat.23 2. Pendekatan Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif-analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden nikah di bawah umur secara tertulis atau lisan, dan perilaku yang nyata, yang dipelajari sebagai sesuatu yang utuh24. Dengan kata lain, penelitian kualitatif ini bertujuan untuk mengungkapkan suatu kebenaran dan memahami kebenaran tersebut.
23
Lihat Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986), cet ke-3, h. 52 24
Ibid., h. 250
3. Sumber Data Data yang diperlukan untuk mendukung penelitian ini adalah data-data yang berkaitan dengan pokok permasalahan dalam penelitian ini. Oleh karena itu, jenisjenis sumber data tersebut adalah: a.
Data Primer: yaitu bahan-bahan yang mengikat.25 yakni; data diperoleh secara langsung dari masyarakat. Data ini meliputi hasil interview dengan pelaku nikah di bawah umur, Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Inpres No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
b. Data Sekunder: yaitu data yang diperoleh dari bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan primer26 seperti buku-buku, majalah-majalah, artikel-artikel, internet, dan sumber bacaan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini. 4. Tehnik Pengumpulan Data Pengumpulkan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mengadakan: a. Studi dokumentasi naskah (studi pustaka) yang meliputi studi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. b. Studi lapangan yang dilakukan dengan wawancara, yaitu situasi peran antar pribadi bertatap-muka, ketika seseorang – yakni pewawancara 25
Soerjono Soekamto & Sri Mamudji, Penelitian Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), h. 13 26
Ibid., h. 13
(peneliti) – mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian dalam skripsi ini kepada para pelaku nikah di bawah umur.27 5. Analisa Data Analisa data yang digunakan dalam penelitian sosiologis ini adalah analisa kualitatif. Yakni menganalisa data-data yang dikumpulkan, yang bersifat monografis atau berwujud kasus-kasus28, yaitu menganalisa hasil penelitian di lapangan dengan cara mengurai dan menggambarkan kasus-kasus nikah di bawah umur dan implikasinya terhadap hak-hak reproduksi perempuan. 6. Penulisan Metode penulisan dalam penelitian ini berpedoman pada aturan dan contohcontoh dalam buku Pedoman Penulisan Karya ilmiah (skripsi, tesis, dan disertasi) Tahun 2007 yang sengaja diterbitkan untuk penulisan penelitian, khususnya di kalangan civitas akademika Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
G. Sistematika Penulisan
27
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004 ), h. 32 28
Ibid., h. 167-168
Agar pembahasan skripsi ini lebih terarah, penulis membuat sistematika sesuai dengan masing-masing bab yang terdiri dari beberapa sub bab yang merupakan penjelasan dari bab tersebut. Adapun sistematika penyusunannya adalah sebagai berikut: Bab Pertama mengenai Pendahuluan yang meliputi: Latar Belakang Masalah, Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Kerangka Teori, Review Kepustakaan Terdahulu, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan. Bab Kedua mengenai Tinjauan Umum tentang Perkawinan Di Bawah Umur, yang meliputi: Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan, Syarat dan Rukun Perkawinan, Tujuan dan Hikmah Perkawinan, Dasar Hukum Perkawinan di Bawah Umur Menurut Fikih dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Penyebab Nikah di Bawah Umur. Bab Ketiga mengenai Pengaruh Usia Perkawinan Terhadap Kesehatan Reproduksi Perempuan, yang meliputi: Usia Ideal Dalam Perkawinan, Tujuan Pembatasan Usia Perkawinan, Hak Dan Kesehatan Reproduksi Menurut Islam dan Kesehatan, Pengaruh Usia Perkawinan terhadap Kesehatan Reproduksi. Bab Keempat mengenai Analisa Nikah di Bawah Umur dan Implikasinya, yang meliputi: Sejarah Singkat Lahirnya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Analisa Nikah di Bawah Umur, Implikasi Nikah di Bawah Umur, Analisa Penulis. Bab Kelima mengenai Penutup yang meliputi: Kesimpulan dan Saran-Saran.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DI BAWAH UMUR A. Pengertian Dan Dasar Hukum Perkawinan 1. Definisi Nikah Istilah perkawinan dalam Islam disebut dengan pernikahan, nikah secara bahasa berasal dari kata nakaha, yang artinya adalah mengawini seorang perempuan.29 Selain kata nakaha juga digunakan kata zawwaja dari kata zauj yang berarti “pasangan” untuk memaknai perkawinan. Ini karena pernikahan menjadikan seseorang memiliki pasangan. Dan kata-kata tersebut memiliki implikasi hukum dalam kaitannya dengan ijab qabul (serah terima) pernikahan. Pernikahan atau tepatnya “Keberpasangan” merupakan ketetapan ilahi atas segala makhluk. Berulangulang hakikat ini ditegaskan oleh Al-Qur’an, antara lain dengan firman-Nya: 30
⌧ $%'()⌧*" !"# Artinya: Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah. Adz-Dzariyat (51) : 49,
$56 12(34 ,"-.0 <☺ :;
78964 D AB-C964 >?@! 29
Tim Penulis Wizaroh al-Auqaf wa al- Syu’un al-Islamiyah, Al-Mausu’at Al-Fiqhiyyah, (Kuwait: Wizaroh al-Auqof wa al-Syu’un al-Islamiyah, 2002), Juz ke-41, h. 205 30
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Penerbit Mizan, November 1996 ), cet.ke-4, h. 191-192
KL
<☺
E?:FG HIJ $%M☺D!$N
Artinya: Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui. Yasin (36) : 36.
Arti kata “nikah” menurut bahasa adalah berkumpul, adapun menurut ahli ushul terdapat tiga pendapat. Golongan pertama dari ahli ushul hanafi mengartikan kata nikah secara bahasa adalah “bersetubuh”, sedangkan secara majazi nikah adalah “akad”, yang dapat menjadikan halal hubungan kelamin antara pria dengan wanita. Sedangkan golongan kedua dari ahli ushul Syafi’iyah mengartikan sebaliknya, yakni nikah memiliki arti asal “akad” sedang arti majazinya adalah “bersetubuh”. Adapun golongan ketiga adalah pendapat Ibnu Hazm dan sebagian ahli ushul Abu Hanifah, mengartikan kata ”nikah” adalah musytarak (gabungan) antara akad dan bersetubuh.31 Namun jika dilakukan penelitian secara mendalam, pada hakikatnya tidak ada perbedaan di antara ulama fikih mengenai definisi nikah. Perbedaan di antara mereka hanya terdapat pada redaksi. Jadi para ulama fikih sependapat bahwa nikah adalah akad yang diatur oleh agama untuk memberikan kepada pria hak memiliki penggunaan faraj (kemaluan) wanita dan seluruh tubuhnya untuk penikmatan sebagai tujuan primer.32
31
A. Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Fiqh dan Kompilasi Hukum Islam, (Penerbit Qalbun Salim, Juni 2006), h. 33-34 32
Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Perkawinan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), jilid I, cet. ke-1, h. 116
Masih dalam kaitan dengan definisi perkawinan kita pun dapat melihat peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dalam kaitan ini UndangUndang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam yang merumuskan demikian: ”Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.33 Definisi ini tampak lebih jauh representatif dan lebih jelas serta tegas dibandingkan dengan definisi perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang merumuskannya sebagai berikut: “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqon ghalidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.34 Jika kedua rumusan perkawinan dalam peraturan perundang-undangan di atas dicermati dengan seksama, terdapat garis perbedaan yang cukup signifikan meskipun tidak bersifat konfrontatif. Perbedaan-perbedaan tersebut menurut hemat penulis dapat dirumuskan sebagai berikut: Pertama, dalam Undang-Undang Perkawinan seperti tersurat dalam anak kalimat ”Ikatan Lahir Batin”, hal ini menyiratkan keharusan adanya ijab qabul di
33
Lebih jelas lihat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
34
Lihat KHI, Pasal 2
dalamnya, sedangkan KHI meskipun menyebutkan ”akad yang sangat kuat”, namun lebih mengisyaratkan kata-kata Mitsaqan Ghalidzan yang terdapat sesudahnya yang tidak menggambarkan pengertian pernikahan, akan tetapi lebih menunjukkan julukan lain dari sebutan akad nikah. Kedua, dalam Undang-Undang Perkawinan disebutkan ”antara seorang pria dengan seorang wanita”, menafikan kemungkinan perkawinan antara sesama jenis di negara Indonesia, seperti yang terjadi di beberapa negara lain beberapa terakhir tahun ini, diantaranya ialah Belanda, Belgia, dan sebagian negara Kanada. Sedangkan KHI tidak menyebutkan dua pihak yang berakad ini meskipun pun sebenarnya KHI sangat mendukung peniadaan kemungkinan menikah antara sesama jenis yang dilarang Undang-Undang Perkawinan. Ketiga, Undang-Undang Perkawinan menyebutkan tujuan perkawinan yaitu” Membentuk keluarga (rumah tangga) kekal dan bahagia, sementara KHI–yang memuat tujuan perkawinan secara terpisah dalam pasal 3–lebih menginformasikan nilai-nilai ritual dari perkawinan seperti dalam kalimat ”Untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”. Ini menunjukkan bahwa aspek muamalah dalam perkawinan jauh lebih menonjol daripada aspek ibadah sungguhpun di dalamnya memang terkandung nilai-nilai ibadah yang cukup sakral dalam perkawinan. 35
35
45-46
M. Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), h.
Namun lepas dari perbedaan definisi perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan dan KHI, menurut hemat penulis kedua definisi tersebut menyiratkan satu titik kesamaan yang merupakan hakikat dalam perkawinan itu sendiri, yaitu perkawinan merupakan wahana bagi umat manusia untuk mempertahankan eksistensinya dalam bingkai rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah. 2. Dasar Hukum Nikah Nikah dalam Islam adalah sebagai landasan pokok dalam pembentukan keluarga. Nikah harus dilakukan manusia untuk mencapai tujuan syari’at yakni kemaslahatan dalam kehidupan.36 Oleh karenanya dalam perspektif fikih nikah disyariatkan berdasarkan dalil AlQur’an, Al-Sunnah dan ijma’. Ayat yang menunjukkan disyari’atkannya nikah adalah firman Allah Swt dalam surah an-Nisa’ (4): 3 berikut:
R "# " $ O4M"FI"P 3TGS#4 S X,!E UVW$ Y,$ZC Artinya: “…..Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat” (al-Nisa’: 3)
Selanjutnya disebutkan dalam surah al-Nur (24):32
UC☺,$N964 D
OO4M"FIJ
$F"?,\]#4
E [
-R .`3$? - )^$.
36
A. Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Keislaman Di Tanah Gayo, (Jakarta: Qalbun Salim, 2007), h. 86
Artinya: ”Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian[1035] diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan” (al-Nur :32).
Adapun hadis Nabi Saw yang menerangkan masalah ini adalah hadis riwayat Bukhari Muslim: ”Wahai pemuda, barang siapa yang mampu untuk kawin, maka kawinlah, karena kawin itu dapat menundukkan pandangan dan lebih memelihara faraj (kehormatan dan kemaluan) dan barang siapa tidak sanggup, maka hendaknya ia berpuasa, karena puasa itu dapat melemahkan syahwat”. (HR. al-Bukhari dan Muslim). Dan dari segi ijma’37, para ulama sepakat mengatakan nikah itu disyari’atkan. 38 Meskipun demikian, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukum pernikahan. Golongan jumhur fuqaha, berpendapat bahwa nikah itu sunah hukumnya. Namun golongan Zhahiri berpendapat lain, mereka mengatakan bahwa nikah itu wajib. Sedangkan para ulama Maliki mutaakhirin berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk sebagian orang, dan sunah untuk sebagian lainnya. Akar silang pendapat ini disebabkan oleh perbedaan mereka dalam menafsirkan shighat amr– bentuk kalimat perintah–dalam beberapa dalil yang tersebut di atas.
37
Jumhur ulama, sebagaimana dikutip Wahabah al-Zuhaili, merumuskan ijma’: “ kesepakatan para mujtahid dari umat Muhammad saw.pada suatu masa, setelah wafatnya Rasulullah saw terhadap suatu hukum syara’.”Lihat: KH. Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), h. 93 Dalam unsur pendefinisian terakhir, Al-Subuki memutlakan obyek ijma’ pada segala persoalan, tidak membatasinya dengan persoalan-persoalan berkaitan dengan hukum syara’. 38
Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah (Ibnu Qudamah), al-Mughni, (Kairo: Hijr,1992), jilid.9, h. 340
Selain hukum asal pernikahan tersebut, para ulama juga memperinci hukum nikah ditinjau dari kondisi seseorang. Sehingga hukum asal pernikahan yang awalnya mubah bisa beralih menjadi sunah, wajib, makruh, dan haram. Adapun perinciannya adalah sebagai berikut: a. Wajib hukumnya menurut jumhur ulama bagi seorang yang mampu untuk menikah dan kuatir akan melakukan perbuatan zina. Alasannya, dia wajib menjaga diri agar terhindar dari perbuatan haram. b. Haram hukumnya bagi seorang yang yakin akan menzalimi dan membawa mudlarat kepada isterinya karena ketidakmampuan dalam memberi nafkah lahir dan batin. c. Sunnah hukumya menurut jumhur ulama bagi seorang yang tidak menikah, namum dirinya sanggup untuk tidak melakukan perbuatan haram, dan apabila menikah ia yakin tidak akan menzalimi dan membawa mudarat kepada isterinya. d.
Makruh hukumnya menurut jumhur ulama bagi yang menikah, namun belum ada biaya untuk hidup sehingga apabila ia menikah hanya akan membawa kesengsaraan hidup bagi isteri dan anak-anaknya. Apabila ia melaksanakannya, maka tidak berdosa dan tidak pula mendapat pahala. Sedangkan apabila ia tidak menikah dengan pertimbangan tersebut, maka ia akan mendapat pahala.39
39
Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz 7, h. 60
B. Syarat Dan Rukun Perkawinan Pada dasarnya perdebatan tentang syarat dan rukun nikah merupakan masalah yang serius di kalangan para ulama dan imam mazhab. Sehingga terjadi silang pendapat berkenaan dengan apa yang termasuk rukun dan mana yang tidak. Bahkan terjadi perbedaan pendapat dalam menentukan mana yang termasuk rukun dan mana yang termasuk syarat. Bisa jadi sebagian ulama menyebutnya rukun dan sebagian lain menyebutnya syarat.40 Menurut penelitian Khoiruddin Nasution, berkesimpulan bahwa tidak seorang pun fuqaha konvensional yang secara tegas memberikan definisi syarat dan rukun perkawinan. Ada memang beberapa fuqaha yang menyebutkan unsur mana yang menjadi syarat dan unsur mana yang menjadi rukun perkawinan. Namun jumlahnya ulama yang menyebut sangat sedikit (tidak mewakili). 41 Seperti halnya Abdur Rahman al-Jaziri dalam kitabnya Al-Fiqh ‘ala Mazahibi al-Arba’ah menyebutkan yang termasuk rukun adalah al-ijab dan al-qabul di mana tidak ada nikah tanpa keduanya. 42 Senada dengan Sayyid Sabiq dalam Fiqh al-
40
Amir Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, Undang Undang No.1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group), cet.ke-ke-3, h. 60 41
Khoiruddin Nasution, Islam Tentang Relasi Suami dan Isteri: (Hukum Perkawinan I), (Yogyakarta: Academia dan Tafazza, 2004), Dilengkapi Perbandingan Undang-Undang Negara Muslim, h. 27 42
12
Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Mazahibi al-Arba’ah, (Dar- al-Fikr, t.th), jilid IV, h.
Sunnah menyimpulkan pendapat fuqaha, rukun nikah terdiri dari ijab qabul. Sedangkan ketentuan yang lain termasuk dalam syarat. Namun terlepas dari istilah yang digunakan oleh ahli hukum Islam di atas, penulis dalam hal ini menggunakan istilah dan rukun syarat perkawinan yang diterima oleh sebagian besar ulama. Meskipun pada penempatannya berbeda-beda. Karena pada dasarnya
perlunya pengaturan syarat dan rukun adalah untuk
merealisasikan pernikahan yang sakinah, mawaddah, warahmah agar tujuan disyari’atkannya perkawinan dapat tercapai. Adapun rukun perkawinan yang disertai syarat-syarat tertentu tersebut, diantaranya yaitu;43 1. Adanya calon suami atau calon mempelai laki-laki. 2. Adanya calon isteri, atau calon mempelai perempuan. 3. Adanya Wali. 4. Ijab qabul. 5. Saksi Nikah. Adapun
Undang-Undang
Perkawinan
menetapkan
bahwa
syarat-syarat
perkawinan diatur dalam Pasal 6 s.d Pasal 11 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang pada pokoknya adalah sebagai berikut44: 1. Terdapat persetujuan kedua mempelai. 43
Zainuddin bin ‘Abd al-Aziz al-Malibary, Fath al-Mu’in bin Syarh al-Qalyubi, (Semarang: Thoha Putra, t.th), h. 99 44
Lihat Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan, h. 142-143
2. Terdapat izin dari orang tua/wali bagi calon mempelai yang belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun. 3. Umur calon mempelai pria sudah mencapai 19 (sembilan belas) tahun dan mempelai wanita sudah mencapai 16 (enam belas) tahun. 4. Antara kedua calon mempelai tidak ada hubungan darah yang dilarang kawin. 5. Tidak terikat hubungan perkawinan dengan orang lain. 6. Tidak bercerai untuk kedua kali dengan suami atau isteri yang sama, yang hendak dikawini. 7. Bagi seorang wanita (janda) tidak dapat kawin lagi sebelum masa tunggu berakhir.45 Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam telah diatur tentang rukun dan syarat perkawinan dalam Pasal 14 yaitu dalam satu perkawinan harus ada: a. Calon suami, b. Calon isteri, c. Wali Nikah, d. Dua orang saksi, e. Ijab dan Kabul. 46
45
Lihat Sayuti Talib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, h.142-143
46
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, h. 116-117
C. Tujuan Dan Hikmah Perkawinan a.
1. Tujuan Perkawinan Dalam Pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dikatakan bahwa yang menjadi tujuan perkawinan sebagai suami isteri adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, selanjutnya dijelaskan bahwa suami isteri itu perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dalam mencapai kesejahteraan spiritual dan material. Dan juga dijelaskan pada Pasal 3 KHI dengan bunyi: “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah”. Terjalinnya ikatan lahir dan batin merupakan pondasi dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal. Perkawinan yang bertujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal, dapat diartikan bahwa perkawinan itu berlangsung seumur hidup dan tidak boleh mudah diputuskan. Putusnya tali perkawinan karena sebab-sebab lain dari kematian, diberikan suatu pembatasan yang ketat. Sehingga suatu pemutusan yang berbentuk perceraian hidup merupakan jalan terakhir, setelah jalan lain tidak dapat ditempuh lagi.
Sedangkan menurut Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin tentang faidah melangsungkan perkawinan, maka tujuan perkawinan itu dapat dikembangkan menjadi lima,47 yaitu: 1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan yang sah. 2. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan rasa kasih sayang. 3. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan. 4. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta kewajiban, dan kesungguhan untuk memperoleh harta kekayaan yang halal. 5. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tenteram atas cinta dan kasih sayang. Dalam karangannya Wawasan al-Qur’an, Quraish Shihab mengatakan bahwa pada umumnya yang menjadi tujuan utama dari perkawinan adalah “pemenuhan kebutuhan seksual, dan dengan demikian fungsi utamanya adalah reproduksi”. Dan pendapat tersebut cenderung dinisbatkan kepada muda-mudi. Kendati demikian, sesunnguhnya dalam pandangan ajaran Islam, seks bukanlah sesuatu yang kotor atau najis, tetapi bersih dan harus selalu bersih. Hal ini secara tersirat Allah memerintahkannya melalui law of sex, bahkan secara tersurat antara lain dalam surat
-R9IJ -R (# b$.# <!a 34 R?$d <:(# b$.# fgMI$9N Ee ) -R .;IJ -R *$d $e"P -R .TG HIJ 47
Abdur Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 24
,$#"P O -R $ ⌧H$ O4M $9-4 <!ahFi,$ U -R "# 34 T$9K $ Artinya;”....mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu.” Al-Baqarah (2): 187
Dalam ayat lain Allah Swt. memaparkan tentang pencipataan makhluknya yang berpasang-pasangan dan ini menarik untuk direnungkan dalam konteks perkawinan dan fungsinya, yakni reproduksi.
R8M,☺GG#4 '"P DS "# K!V U jB-C964 ☯V8J -R FG HIJ O ☯V8J lE,!I964 op^"# U n^P -R ) $C*$N M!a O ⌦ st⌧ qn?W☺⌧) h'F]$@#4 Y^☺GG#4 Artinya: (dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasanganpasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.(al-Syura 42: 11).
Binatang ternak berpasangan untuk berkembang biak, manusia pun demikian, begitu pesan ayat di atas.48
48
M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an..., h. 246
2. Hikmah Perkawinan Jika berpegang pada sumber hukum Islam, maka hikmah perkawinan dapat diklasifikasikan menjadi tiga;49 Pertama, menurut al-Qur’an yaitu tujuan perkawinan adalah terciptanya keluarga sakinah, mawadah, warahmah seperti yang tercantum dalam Surat alRuum:21
%J Hqne,$N4 D -R FG HIJ DS "# $56 O4uM[ G$9v# 2☯8J R .[w$ K!V :^"#? y? b%? U 8x☺DnC [b^Mb }~-M"v# {>,$N| @#8"z $%'(⌧H$e$N Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. Surat al-Rum (23): 21 Sakinah artinya bahwa Tuhan menciptakan perjodohan manusia agar dapat merasakan ketenang dan ketenteraman. Mawaddah adalah membina rasa cinta, sedang rahmah adalah rasa sayang. Mawaddah saja kurang menjamin kelangsungan rumah tangga, karena mawadah adalah rasa cinta yang bergejolak yang syarat dengan kecemburuan. Namun seiring perjalanan hidup manusia, maka rahmah akan semakin
49
A. Basiq Djalil, Tebaran Keislaman Di Tanah Gayo, h. 86
bertambah dan mawaddah akan berkurang sehingga tujuan sakinah akan dapat tercapai.50 Kedua, menurut hadis perkawinan mempunyai dua tujuan diantaranya adalah untuk menundukkan pandangan dan menjaga faraj (kemaluan). Itu sebabnya Nabi menganjurkan berpuasa bagi yang telah sampai umur tetapi belum memiliki kemampuan materiil yang memadai. Dan tujuan yang terpenting yaitu sebagai kebanggaan Nabi di hari kiamat nanti. Karena dalam jumlah umat yang banyak itulah terkandung kekuatan yang besar. Tentunya kuantitas umat tersebut disertai dengan kualitas yang bagus Ketiga, menurut akal sehat yang sederhana, tujuan suatu pernikahan adalah untuk melestarikan dan memakmurkan kehidupan di bumi ini yang sebenarnya diperuntukkan bagi umat manusia. Oleh karenanya, untuk dapat meningkatkan jumlah manusia untuk merawat bumi dan seisinya ini tentunya harus dengan perkawinan. Hikmah perkawinan juga dimaknai sebagai sarana ketertiban kehidupan manusia yang berkaitan erat dengan persoalan nasab. Sebab apabila seorang anak dilahirkan melalui perkawinan yang sah, maka akan menjadi jelas nasabnya dan tidak menimbulkan kekacauan yang berakibat pada bencana. Hikmah yang terakhir adalah untuk tujuan ketertiban dalam hal warisan. Melalui prosedur perkawinan yang tertib, maka permasalahan ahli waris dapat diselesaikan dengan tertib pula.
50
Ibid., h. 87-88
Dengan demikian, pernikahan dalam Islam mempunyai hikmah dan manfaat yang sangat besar, baik bagi kehidupan individu, keluarga, masyarakat, bahkan agama, bangsa dan negara serta kelangsungan umat manusia.51
D. Dasar Hukum Perkawinan Di Bawah Umur 1. Menurut Fikih Perkawinan di bawah umur dalam perspektif fikih adalah perkawinan laki-laki atau perempuan yang belum baligh. Apabila batasan baligh itu ditentukan dengan hitungan tahun, maka perkawinan di bawah umur adalah perkawinan di bawah usia 15 (lima belas) tahun menurut mayoritas ahli fikih, dan dibawah usia 17 atau 18 tahun menurut Abu Hanifah.52 Adapun hukum melakukan perkawinan di bawah umur, menurut mayoritas besar ulama fikih–Ibnu Mundzir menganggapnya sebagai ijma’ (konsensus) ulama fikih adalah mengesahkan perkawinan di bawah umur. Menurut mereka, untuk masalah perkawinan, kriteria baligh dan berakal bukan merupakan persyaratan bagi keabsahannya. Beberapa argumen yang dikemukakan antara lain adalah sebagai berikut:53 a. Al-Qur’an, surah al-Thalaq (65) ayat 4:
51
Asrorun Ni’am, Fatwa-Fatwa..., h. 41
52
Al- Kasani, Bada’i al-Shana’i, h. 359
53
Husen Muhammad, Fiqh Perempuan…, h. 68
Gi$N C;,(#4 j^F"☺#4 %? - `3TG?x <!<!"P
E9-{"-C4 #':D(J !x"W,E U D
$"t E"# C;,(#4 Artinya: “Bagi mereka perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan belum haid.” al-Thalaq (65): 4
Ayat ini berbicara mengenai masa iddah (masa menunggu) bagi perempuanperempuan yang sudah menopause dan bagi perempuan-perempuan yang belum haid. Masa iddah bagi kedua kelompok perempuan ini adalah tiga bulan. Secara tidak langsung ayat ini juga mengandung pengertian bahwa perkawinan bisa dilaksanakan pada perempuan pada usia belia atau remaja, karena iddah hanya bisa dikenakan kepada orang-orang yang sudah kawin dan bercerai. 54 Ayat lain adalah dalam surah al-Nur (24):32 berikut:
UC☺,$N964
O4M"FIJ
E [
Artinya : “Dan nikahkanlah mereka yang belum bersuami.” al-Nur (24):32 Kata al-ayama meliputi perempuan dewasa dan perempuan belia atau usia anakanak. Ayat ini secara eksplisit memperkenankan atau bahkan menganjurkan kepada wali untuk mengawinkan mereka. b. Perkawinan Nabi Muhammad Saw dengan Sayyidah Aisyah yang masih belia. Aisyah r.a. mengatakan:“Nabi Mengawiniku pada saat usiaku 6 tahun 54
Ibid., h. 69
dan hidup bersamaku pada usiaku 9 tahun.” Riwayat Al-Bukhari, Muslim, abu Dawud, dan al-Nasa’i.55
Nabi Saw juga mengawinkan anak perempuan pamannya dengan anak lakilaki Abu Salamah. Keduanya ketika itu masih berusia muda (belia). c. Di antara para sahabat Nabi Saw, ada yang mengawinkan putera-puteri atau keponakannya yang dianggap belia. Seperti Abu Bakar mengawinkan anak perempuannya yang bernama Ummi Kultsum dengan Umar bin Khattab. Ummi Kultsum ketika itu juga masih belia. 56 Urwah bin Zubair juga mengawinkan
anak
perempuan
saudaranya
dengan
anak
laki-laki
saudaranya yang lain. Kedua keponakan itu sama-sama masih di bawah umur.57 Adapun syarat dan rukun perkawinan di bawah umur tidak berbeda dengan perkawinan pada umumnya, yaitu seperti yang telah dijelaskan pada bagian terdahulu. Namun demikian, menurut penulis perlu dikemukakan bahwa dalam madzhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali dikenal istilah hak ijbar bagi wali mujbir. Adapun Wali mujbir ialah orang tua perempuan yang dalam madzhab Syafi’i adalah ayah, atau–kalau tidak ada ayah–kakek. Hak ijbar adalah ialah hak ayah atau kakek untuk mengawinkan anak perempuannya baik yang sudah dewasa maupun 55
Mansur ’ala Nasif, al-Taj al-Jami’ al-Ushul fi Ahadits al-Rasul, (Beirut: Dar- al-Kutub al’Arabiyah), jilid II, h. 259 56
Ibnu Qudamah, Abu Muhammmad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad, Al-Mughni, (Beirut: Dar- al-Fikr, 1405 H), juz. VI, h. 487 57
Az-Zuhaili, Al-Fqh Al-Islami Wa Adillatuhu, juz IX, h. 6683
masih berupa belia/kanak-kanak, tanpa harus mendapat persetujuan atau izin terlebih dahulu dari anak perempuan tersebut, asal dia bukan berstatus janda58. Dalam hal ini, hendaklah kita menempatkan pendapat-pendapat para mujtahidin dalam kerangka historis, karena seorang mujtahid adalah putra lingkungan dan zamannya, dan tidak dapat dilupakan unsur mujtahid itu sendiri.59 Imam Syafi’i hidup pada zaman yang jarang sekali kaum wanita mengenal orang yang mengajukan lamaran kepadanya, melainkan hanya keluarganya yang mengenalnya. Oleh sebab itu, seorang ayah diberi wewenang khusus untuk mengawinkan puterinya meskipun tanpa seizinnya. Hal ini didasarkan pada tingginya kasih sayang orang tua (ayah) kepada puterinya, matangnya pertimbangan, dan bagusnya alasan dalam memilih calon suami yang cocok dan serasi untuk anaknya.60 Siapa tahu, seandainya Imam Syafi’i hidup pada zaman sekarang dan mengetahui peradaban serta tingkat ilmu pengetahuan yang dicapai kaum wanita– yang telah mampu membedakan keadaan para lelaki yang mengajukan lamaran kepadanya, dan bila ia dinikahkan tanpa kerelaan—kehidupan rumah tangganya menjadi neraka baginya dan bagi suaminya—barangkali beliau akan merubah pendapatnya, sebagaimana yang beliau lakukan pada masalah-masalah lain. 61
58
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan..., h. 70
59
Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press, Feb 2002), jilid 2, cet.ke-2, h. 468 60
Ibid., h. 468
61
Ibid., h. 469
Berbeda dengan pendapat ini adalah pandangan mazhab Hanafi. Menurut pandangan ini, hak ijbar ini hanya diberlakukan terhadap perempuan di bawah umur dan tidak terhadap perempuan yang sudah dewasa (balighah/’aqilah). Tegasnya berdasarkan ketentuan ini, para wali memiliki hak untuk mengawinkan anak-anaknya yang masih di bawah umur baligh, meski tanpa persetujuan yang bersangkutan. Kaitannya dengan peran wali dan persetujuan wanita (calon isteri) Abu Hanifah berpendapat, adalah bahwa persetujuan wanita gadis (balighah) atau janda harus ada dalam perkawinan. Sebaliknya jika mereka menolak, maka akad nikah tidak boleh dilaksanakan, meskipun oleh bapak.62 Walaupun demikian, hak ijbar ayah atau kakek tidak dengan serta merta dapat dilaksanakan dengan sekehendaknya saja. Madzhab Syafi’iyah (para pengikut imam Syafi’i) mengatakan bahwa untuk bisa mengawinkan anak laki-laki di bawah umur disyaratkan adanya kemaslahatan (kepentingan yang baik). Sedangkan untuk perempuan diperlukan beberapa syarat, antara lain: a. Tidak adanya permusuhan yang nyata antara dia (perempuan) dengan walinya, yaitu, ayah atau kakek. b. Tidak ada permusuhan (kebencian) yang nyata antara dia dengan calon suaminya. c. Calon suami harus kufu (sesuai atau setara). d. Calon suami mampu memberikan maskawin yang pantas. 62
Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundangundangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, h. 171
e. Tidak dinikahkan dengan laki-laki yang menjadikannya menderita dalam pergaulannya, seperti dengan laki-laki tuna netra, tua renta, dan sebagainya63. Berbeda dengan pandangan mayoritas ulama di atas adalah pendapat Ibnu Syubrumah, Abu Bakar al-Asham, dan Utsman al-Batti. Pandangan ini menyatakan bahwa laki-laki atau perempuan di bawah umur atau belia tidak sah dinikahkan. Mereka hanya boleh dinikahkan setelah baligh dan melalui persetujuan yang berkepentingan secara eksplisit.64 Alasan yang mereka gunakan adalah ayat AlQur’an surah al-Nisa’(4): 6: Artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.” al-Nisa’(4) 6:
Menurut mereka, jika anak-anak belia tersebut boleh dinikahkan sebelum baligh, maka apa jadinya ayat ini. Selain itu, mereka sebenarnya belum membutuhkan nikah. Pernyataan tersebut senada dengan pendapat Mahmud Yunus yang mengutarakan bahwa: ”Menurut pendapat Ibnu Hazm (dari ahli zahir) dan Ibnu Syubrumah mengatakan: ”Ayah tidak boleh mengawinkan anak perempuannya yang masih kecil, kecuali apabila telah baligh dan serta mendapat izinnya. Adapun perkawinan antara ’Aisyah dengan Nabi Muhammad adalah terjadi di tanah Mekah sebelum Nabi hijrah, atau dengan
63
Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, h. 469
64
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan..., h. 71
kata lain sebelum datangnya perintah untuk meminta izin kepada seorang gadis. Hal tersebut merupakan kekhususan bagi nabi, sebagaimana Nabi dibolehkan beristri lebih dari empat orang. Namun umatnya tidak boleh mengikuti jejak Nabi mengenai khususiyat tersebut. ”65
Pendapat sebagian ahli fikih tersebut tampaknya menjadi pilihan UndangUndang Perkawinan Indonesia No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, pada Pasal 7 menetapkan: “Batas minimal usia perkawinan adalah 16 (enam belas) tahun bagi perempuan dan 19 (sembilan belas) tahun bagi laki-laki.” Beberapa hal yang menjadi dasar pertimbangan ketentuan ini adalah prinsip istislah atau kemaslahatan, realitas sosial, dan memperhatikan beratnya tanggung jawab perkawinan.66 Seperti yang telah dijelaskan bahwa kasus pernikahan ’Aisyah adalah sebuah kekhususan yang tidak dapat diberlakukan bagi umat Nabi, hal ini disebabkan karena sekalipun ’Aisyah r.a. usianya masih sangat muda, tetapi pertumbuhan badannya demikian cepat sebagimana yang lazim dialami oleh kaum wanita bangsa Arab. Hal ini terjadi karena kondisi sosial-geografis yang melingkupi bangsa arab saat itu. Itulah yang menyebabkan mereka kelihatan tua setelah berusia 20 tahun. 67 Selain itu, kasus ’Aisyah r.a. tak dapat dipisahkan dari sisi historis yang melingkupinya pada saat itu. Pada masa itu, yakni lebih dari 14 abad silam, ’Aisyah r.a. bukanlah remaja putri satu-satunya yang menikah dengan pria seumur ayahnya. 65
Peunoh Daily, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Perbandingan Dalam Kalangan Ahlus Sunnah dan Negara-negara Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1994), cet.ke-2, h. 130-131 66
67
Husen Muhammad, Fiqh Perempuan...., h. 72
Hamid Al-Husaini, Baitun Nubuwwah: Rumah Tangga Nabi Saw, (Jakarta: Pustaka Hidayah, Maret 1994), cet.ke-2I, h. 102
Hal itu sudah menjadi suatu hal yang lazim terjadi dalam masyarakat Arab pra Islam. ‘Abdul Muthallib seorang kakek menikah dengan Halah, anak perempuan paman Aminah binti Wahab. Bahkan pernikahannya itu bersama anak bungsu, yaitu Abdullah yang menikah dengan Aminah binti Wahab. Kasus lain adalah ’Umar ibn Khattab r.a. yang menikah dengan anak perempuan Imam ‘Ali bin Abi Thalib r.a. padahal usia ’Umar sebaya dengan usia imam ‘Ali, bahkan lebih tua. ‘Umar sendiri meminta kepada Abu Bakar r.a. supaya bersedia menikah dengan puterinya yang menjadi janda muda. Padahal perbedaan usia antara Abu Bakar r.a dan puteri ‘Umar itu (Hafsah) sama dengan perbedaan usia antara Rasulullah saw dengan ’Aisyah r.a. dan masih banyak lagi kenyataan-kenyataan serupa di kalangan masyarakat pada zaman itu. 68 Berangkat dari kisah perkawinan ’Aisyah r.a dan sebayanya pada saat itu, sesungguhnya Islam sendiri tidak menciptakan tradisi nikah di bawah umur. Pernikahan anak-anak dipraktekkan dalam Islam karena pengaruh zaman saat itu dan bukan karena Al-Qur’an atau Sunah membolehkannya. Oleh sebab itu, dalam mazhab Syafi’i perkawinan di bawah umur disyaratkan wali dalam pelaksanaannya Hal ini semata-mata demi menjaga hak-hak perempuan yang belum baligh. Dari uraian diatas, menurut hemat penulis sebaiknya perkawinan di bawah umur tidak dilakukan pada konteks problematika kekinian karena sesungguhnya kondisi zaman telah berubah.
68
Ibid., h. 102-103
2. Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Dalam agama samawi, masalah perkawinan mendapat tempat yang sangat terhormat dan sangat terjunjung tinggi tata aturan yang telah ditetapkan dalam kitab suci. Demikian juga negara-negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral, masalah perkawinan merupakan suatu hal yang prinsip dalam kehidupan masyarakat, dan sangat dihormati aturan pelaksanaannya sehingga pelaksanaan perkawinan itu sesuai dengan norma dan prinsip yang telah disepakati bersama. Demikian pula dengan negara Indonesia, masalah perkawinan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga pemerintah Indonesia menaruh perhatian yang serius dalam masalah perkawinan ini, yakni dengan membuat aturan perundang-undangan yang mengatur masalah perkawinan ini, di antaranya adalah lahirnya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta beberapa peraturan lainnya yang intinya mengatur tentang perkawinan agar dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan tersebut.69 Selanjutnya dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, setidaknya ada 6 (enam) asas yang dapat dirumuskan sebagai berikut: a. Asas Sukarela, b. Asas Partisipasi Keluarga,
69
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam, h. 2-3
c. Asas Perceraian Dipersulit, d. Asas Poligami Dibatasi Dengan Ketat, e. Asas Kematangan Calon mempelai, f. Asas Memperbaiki Derajat Kaum Wanita, g. Asas Legalitas, h. Asas (prinsip) Selektivitas.70 Dan apabila disederhanakan, asas perkawinan itu mengandung pengertian bahwa: a. Tujuan Perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. b. Sahnya Perkawinan sangat tergantung pada ketentuan hukum agama dan kepercayaan masing-masing. c. Asas Monogami. d. Calon suami dan isteri harus dewasa jiwa dan raganya. e. Mempersulit terjadinya perceraian f. Hak dan kedudukan suami isteri adalah seimbang. Dalam hal ini, masalah usia perkawinan berkaitan erat dengan asas pada point 4 (empat) yakni “Calon suami dan isteri harus dewasa jiwa dan raganya”. Penjelasannya adalah bahwa apabila suami isteri dapat membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, diwajibkan kepada calon mempelai untuk saling mengenal. Perkenalan yang dimaksud
adalah perkenalan atas dasar moral dan tidak
menyimpang dari norma agama yang dianutnya. Orang tua dilarang memaksa anakanaknya untuk dijodohkan dengan pria atau wanita pilihannya, melainkan diharapkan 70
Lihat Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, h. 173
dapat membimbing dan mengarahkan anak-anaknya agar memilih pasangan yang cocok sesuai dengan ajaran agama yang dipeluk. Sesuai dengan prinsip hak asasi manusia, maka segala bentuk kawin paksa yang pada umumnya berdampak pada praktek nikah di bawah umur sangat dilarang Undang-Undang Perkawinan ini. Prinsip kematangan calon mempelai yang mengandung pengertian bahwa calon suami isteri harus matang jiwa dan raganya adalah untuk dapat melangsungkan perkawinan demi mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian.71 Kematangan yang dimaksud adalah kematangan umur perkawinan, kematangan berpikir dan bertindak. Prinsip tersebut pun erat kaitannya dengan masalah kependudukan. Karena dengan adanya pembatasan umur pernikahan bagi wanita maka diharapkan laju kelahiran dapat ditekan semaksimal mungkin. Ternyata bahwa batas usia yang rendah bagi wanita untuk menikah mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi. Dengan demikian program Keluarga Berencana dapat berjalan seiring dengan undang-undang perkawinan ini.72 Sehubungan dengan kedua hal tersebut, maka perkawinan di bawah umur dilarang keras dan harus dicegah pelaksanaannya. Adapun nikah di bawah umur sesuai dengan instruksi Mendagri No.27 Tahun 1983 tentang Usia Perkawinan Dalam
71
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fikih Munakahat dan Undang Undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media Kencana, Agustus 2007), cet ke-2, h. 26 72
DEPAG, Pedoman Konselor Keluarga Sakinah, (DEPAG: Dirjen BIMAS Islam & Penyelenggaraan Haji, Proyek Peningkatan Kehidupan Keluarga Sakinah, 2001), h. 3
Rangka Mendukung program Kependudukan dan Keluarga Berencana, menjelaskan definisi tentang: Perkawinan di bawah umur adalah perkawinan yang dilakukan pada usia di bawah usia 16 tahun bagi wanita dan di bawah 19 tahun bagi pria. Penyimpangan dari batas umur minimal perkawinan ini harus mendapat dispensasi terlebih dahulu dari pengadilan. Pengajuan dispensasi dapat diajukan oleh orang tua wali dari calon mempelai dari calon mempelai yang belum batas minimal sebagaimana tersebut di atas. Antara kedua calon mempelai harus ada kerelaan yang mutlak untuk melangsungkan perkawinan yang mereka harapkan. Mereka harus mempunyai suatu kesadaran dan keinginan bersama secara ikhlas untuk mengadakan akad sesuai dengan hukum agama dan kepercayaannya73. Dalam hal ini, pihak-pihak berkepentingan tidak dibenarkan membantu melaksanakan perkawinan di bawah umur. Pelanggaran terhadap ketentuan yang berlaku dapat dikenakan sanksi dengan peraturan yang berlaku. Tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan rumah tangga bahagia dan sejahtera dengan mewujudakan suasana rukun dan damai dalam rumah tangga yang selalu mendapat taufik dan hidayah dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Agar hal ini dapat terlaksana, maka kematangan calon mempelai sangat diharapkan. umur perkawinan. Kematangan dimaksud adalah kematangan umur perkawinan, kematangan dalam berpikir dan bertindak sehingga tujuan perkawinan
73
Abdul Manan, Aneka Masalah hukum perdata Islam, h. 7
tersebut dapat terlaksana dengan baik. Sesuai dengan hakikat perkawinan itu sendiri. Karena bagi umat Islam, perkawinan bukanlah sekedar suatu ikatan lahiriyah antara seorang pria dan wanita guna memenuhi kebutuhan biologis. Tetapi merupakan sunah Rasulullah saw dan merupakan perbuatan luhur demi mencapai ketenangan (sakinah) dalam kehidupan rumah tangga. Oleh karena itu, suatu perkawinan harus dilaksanakan menurut petunjuk Allah swt dan Rasul-Nya74. Serta tunduk terhadap aturan-aturan yang telah dibukukan menjadi Undang-Undang Perkawinan Indonesia E. Penyebab Nikah Di Bawah Umur Perkawinan di bawah umur masih tetap saja terjadi terutama di kalangan masyarakat pedesaan atau pinggiran kota. Hal ini disebabkan beberapa faktor, diantaranya: 1. Adat Istiadat Dalam kehidupan masyarakat Betawi misalnya, mengawinkan seorang anak merupakan suatu kebanggaan tersendiri. Para orang tua akan merasa malu bila anaknya tak kunjung mendapatkan jodoh. Karena ada anggapan bahwa seorang anak perempuan akan menjadi ”Perawan Tua” bila setelah meningkat remaja belum juga dikawinkan, begitu pula dengan anak laki-lakinya akan menjadi ”Perjaka Tua”. Meskipun usia anak-anak mereka masih di bawah batas usia yang diizinkan dalam Undang-Undang Perkawinan. 2. Agama
74
Hamdan Rasyid, (ed), FIqh Indonesia, HImpunan Fatwa-fatwa Aktual , (t.tp: Al-Mawardi Prima, t.th), h. 171
Adanya penafsiran yang salah dalam menjalankan ajaran agama, ini terutama terjadi di kalangan masyarakat yang mempunyai fanatisme yang tinggi terhadap ajaran suatu agama, sebagaimana yang terdapat dalam sebuah hadits Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Imam Muslim: ”Wahai pemuda, barang siapa yang telah mampu di antara kamu memilkul beban keluarga hendaknya kawin, sebab dngan demikian ia akan lebih menundukkan pandangannya dan akan menjaga kehormatannya. Barang siapa yang benar-benar belum mampu, hendaknya berpuasa. Sesungguhnya berpuasa itu akan menjadi benteng dari perbuatan zina dan tercela”. Biasanya yang menjadi salah tafsir dalam hadis tersebut di atas, yaitu kata mampu, dimana masih ada di antara mereka yang mengartikan kata mampu hanya dalam segi seksualitas saja, sehingga mereka sudah merasa mampu untuk kawin jika sudah merasakan adanya rangsangan seksualitas. Sebenarnya yang dimaksud mampu dalam kejiwaan adalah mampu dalam akal pikiran (dewasa), mampu dalam ekonomi, materiil, dan mampu menegakkan ajaran agama dalam kehidupan berumah tangga antara suami isteri, anak-anak, keluarga, dan masyarakat. 3. Tingkat ekonomi Tingkat ekonomi suatu masyarakat dapat menjadi pendorong terjadinya perkawinan usia muda. Masyarakat yang kemampuan ekonominya sangat lemah mendorong terjadinya perkawinan usia muda. Misalnya, seorang anak wanita yang berasal dari keluarga ekonomi lemah ingin cepat-cepat kawin agar dapat segera keluar dari penderitaannya dengan harapan suaminya dapat menanggung keluarga dari pihak isteri. Gambarannya adalah sebagai berikut:
a. Seorang wanita di bawah umur yang kawin dengan atau dikawinkan dengan seorang kaya yang sudah cukup umur. b. Seorang anak wanita di bawah umur dipaksa kawin oleh orang tuanya karena orang tua dari anak tersebut terlibat hutang atau merasa berhutang budi. Masyarakat yang tingkat ekonominya baik, juga dapat menjadi pendorong perkawinan usia muda. Misalnya, keluarga kaya karena ingin cepat menggendong cucu dapat saja memberi modal kepada anaknya dan mengawinkan mereka. Keberhasilan mencapai kehidupan material secara layak memerlukan kesiapan ekonomi yang memadai sebelum meamasuki kehidupan perkawinan, di samping adanya bekal pendidikan yang memadai. Sedangkan keberhasilan membina anggota keluarga (anak-anak) agar menjadi manusia yang berguna bagi masyarakat, nusa, dan bangsa, serta keberhasilan membina anak-anak menjadi Shalih dan Akrom75, tidak hanya memerlukan suasana ketenteraman dalam rumah tangga, melainkan latar belakang pendidikan orang tua pun sangat dominan.76 Namun demikian, alasan-alasan tersebut tidak dapat dijadikan alasan bagi seseorang atau orang tua serta pihak-pihak yang berkepentingan demi memaksakan keinginannya untuk menikahkan anak yang masih di bawah umur.
75
Shalih : Mampu mewarisi bumi ini dalam arti luas, mengelola, menyeimbangkan, dan melestarikan), Akrom: Lebih bertakwa kepada Allah swt, Lihat: Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqh Sosial, (Yogyakarta: LKIS, Oktober 2003), cet. ke-2, h. 371 76
Sumaya, ”Peranan BP4 dalam Upaya Pencegahan Pernikahan Dini”, (Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), h. 48-49
Dalam hal ini Islam dengan tegas melarang memperlakukan perempuan seperti benda yang dikendalikan oleh orang tuanya atau keluarganya yang laki-laki. Ia harus dimintai pendapat ketika hendak dinikahkan. Ketentuan ini berlaku untuk semua perempuan baik gadis maupun janda. Hal ini dikuatkan dalam sejumlah riwayat77 yang menunjukkan bahwa Rasulullah sangat menghargai hak perempuan untuk memilih jodoh yang ia sukai. Sebagai ayah, beliau selalu meminta pendapat putrinya ketika hendak dilamar seseorang. Perempuan sahabat juga merasakan kebebasan pasangan. Diantaranya adalah al-Khansa’ binti Khidam. Kasus al-Khansa’ adalah dinikahkan secara paksa oleh bapaknya dan ternyata tidak diakui Nabi. Nabi mereka keberatan mereka dan membatalkan pernikahan mereka. Ditambahkan lagi dengan keterangan al-Khansa’ bahwa Nabi saat itu tidak menanyakan status tentang dirinya, apakah gadis atau janda.78 Dengan demikian dalam pandangan Nabi, perempuan adalah manusia yang mempunyai hak pilih sebagaimana laki-laki. 79 Apabila Nabi saja sebagai seorang Rasul dan panutan bagi umat Islam menjunjung tinggi persamaan hak dan prinsip keadilan sesama manusia, menurut penulis sudah sepatutnyalah kita sebagai umatnya mencontoh suri tauladan Rasul tersebut.
77
Dalam Musnad Ahmad ibn Hambal disebutkan: Rasulullah berkata kepada putrinya,“Sesungguhnya si fulan menyebut-nyebut namamu.”Kemudian beliau melihat reaksi mereka. Jika mereka diam, itu pertanda mereka setuju dan pernikahan bias segera dilangsungkan. Namun jika mereka menutup tirai kamarnya, itu pertanda mereka tidak suka dan Rasul pun tidak memaksakan kehendaknya. 78
Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, h. 170
79
DEPAG, Keadilan Dan Kesetaraan Jender..., h. 20-21
BAB III PENGARUH USIA PERKAWINAN TERHADAP HAK-HAK REPRODUKSI PEREMPUAN
A. Usia Ideal Dalam Perkawinan Pada pembahasan skripsi ini penulis bermaksud memaparkan tentang batas usia nikah dan usia ideal dalam perkawinan. Tentunya dengan corak pemahaman fikih dan Undang-Undang Perkawinan yang berlaku di negara hukum Indonesia. Dengan kata lain, sebenarnya kapan saat yang tepat bagi seorang gadis atau jejaka untuk dapat melangsungkan perkawinan. Seperti telah dijelaskan bahwa pada umumnya ulama tidak memberikan batas usia, tetapi lebih mengarah pada tanda-tanda fisik seperti puberitas biologis, seperti yang terjadi pada laki-laki dengan keluarnya mani atau menstruasi bagi wanita. Para ulama sepakat, bahwa awal mulanya baligh yaitu 12 (dua belas) tahun bagi laki-laki dan 9 (sembilan) tahun bagi wanita. Namun mereka berbeda pendapat dalam menetapkan usia akhir baligh.80 Usia tersebut pun tidak dapat dikatakan mutlak, karena perkembangan anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan, kesehatan, geografis, dan kualitas gizi. Pada kenyataannya pernyataan ulama klasik tersebut tidak memberikan kejelasan tentang usia perkawinan. Adapun Majelis Ulama Indonesia (MUI) hanya
80
3-4
Departemen Agama, Ilmu Fiqh, (Jakarta: Departemen Agama, 1984), cet.ke-2, Jilid III, h.
memberikan dua kriteria sebelum melangsungkan pernikahan, yakni spritual dan material.81 Secara spritual, agar di dalamnya memperoleh ketenangan dan ketentraman lahir dan batin yang memungkinkan berkembangnya kasih sayang. Dan secara materil merupakan kesanggupan membayar mahar dan nafkah. Sedangkan dalam Pasal 29 kitab Undang Undang Perdata Burgerlijk Wetboek yang disingkat (BW) dijelaskan ketentuan batas umur yang harus dipenuhi adalah batas umur minimum berkawin adalah 18 (delapan belas) tahun bagi pria dan 15 (lima belas) tahun bagi wanita.82 Akan tetapi dalam hal ini bisa dilakukan penyimpangan, yaitu apabila dalam hal ada alasan yang penting dan memaksa. Namun menurut Pasal 30 BW, dijelaskan pula tentang hal kedewasaan ditentukan pada batas usia 21 (dua puluh satu) tahun ke atas, sedangkan usia 21 (dua puluh) tahun ke bawah dinamakan orang yang belum dewasa. Karena memang umur bukanlah suatu patokan yang mutlak untuk mencapai suatu kedewasaan atau kematangan diri. Pada umumnya para ahli pun berpendapat bahwa kedewasaan atau kematangan seseorang berada pada sekitar umur 21 (dua puluh) tahun. Dapat disimpulkan bahwa usia perkawinan adalah usia yang dianggap cocok secara fisik dan mental untuk melangsungkan perkawinan. Usia perkawinan dalam pengertian ini penekanannya adalah perhitungan atas umur yang secara fisik dan mental siap untuk membangun kehidupan berumah tangga. 81
MUI dan UNICEF, Ajaran Islam Dan Penanggulangan Perkawinan Usia Muda, (Jakarta: MUI, 1991), h. 14 82
R. Subekti dan R. Tjitrosudibyo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2004), cet. ke 7, h. 539
Lalu berapakah batas usia perkawinan yang ideal untuk menikah. Dijelaskan bahwa calon suami atau isteri harus berusia minimal 19 (sembilan belas) tahun karena kematangan usia tersebut idealnya berupa hasil akumulasi kesiapan fisik, ekonomi, sosial, mental, dan kejiwaan, agama, dan budaya. Perkawinan membutuhkan kematangan yang bukan hanya bersifat biologis, tetapi juga kematangan psikologis dan sosial. Sehingga tidak perlu ada perbedaan tingkat usia antara laki-laki dan perempuan, karena perbedaan umur terutama perbedaan yang sangat senjang mengandung potensi pemerasan dan eksploitasi dari satu pihak. Nabi Muhammad saw sendiri menikah pada usia 25 (dua puluh lima) tahun.83 Sedangkan usia yang dianggap ideal dan paling baik untuk berumah tangga menurut kesehatan dan juga program Keluarga Berencana yang disingkat KB adalah usia antara 20-25 tahun bagi wanita dan usia antara 25-30 tahun bagi pria. Lazimnya usia pria lebih dari usia wanita, perbedaan usia ini bersifat relatif. 84 Oleh karenanya perempuan harus menikah setelah usia 19 (sembilan belas) tahun. Karena kawin pada usia dini bagi perempuan rentan menimbulkan berbagai resiko, baik bersifat biologis seperti kerusakan organ-organ reproduksi kehamilan muda disebabkan organ-organ reproduksi tersebut bereproduksi secara sehat, dan resiko
”belum matang” untuk
psikologis berupa ketidakmampuan
mengemban fungsi-fungsi reproduksi (kehamilan, melahirkan, menyusui) dengan 83
M.Zain & Mukhtar Al-Shodiq, Membangun Keluarga Humanis, (Jakarta: Graha Cipta, Januari 2005), cet. ke-1, h. 33 84
Dadang Hawari, Al-Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa Dan Kesehatan Jiwa, (Yogyakarta: PT. Dana Bakti Prima Yasa, 1999), h. 252
baik serta belum mampu dalam menghadapi tantangan dalam hidup berumah tangga.85 Dari uraian tersebut, dapat dipahami bahwa penetapan usia dalam UndangUndang Perkawinan tersebut belumlah dapat dikatakan sebagai usia ideal untuk menikah. Meskipun langkah penentuan usia kawin dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebenarnya secara metodologis telah didasarkan kepada metode maslahat mursalah86 yang kebenarannya relatif, maka ketentuan tersebut tidak bersifat kaku, karena sifatnya yang ijtihadi. Sehingga undang-undang tetap memberi jalan keluar apabila karena sesuatu dan lain hal yang mendesak, perkawinan dari mereka yang usianya di bawah 21 (dua puluh satu) tahun–atau sekurangkurangnya 19 (sembilan belas) tahun untuk pria dan 16 (enam belas) tahun untuk wanita. Pasal 7 ayat (2) menegaskan; ”Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) Pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita. Bedanya apabila usianya kurang dari dua puluh satu tahun meminta izin kepada orang tua, dan apabila kurang dari sembilan belas tahun (bagi pria) dan enam belas tahun (bagi wanita) meminta dispensasi kepada pengadilan. Dengan demikian dapat dianalisis secara jelas bahwa dengan dicantumkannya batasan umur secara eksplisit, menunjukkan apa yang disebut oleh Yahya Harahap
85
Lihat: M.Zain & Mukhtar Al-Shodiq, Membangun Keluarga Humanis , h. 35-37
86
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 1998), h. 67
expressip verbis atau langkah penerobosan hukum adat dan kebiasaan yang sering dijumpai di dalam masyarakat Indonesia. Misalnya di dalam masyarakat adat Jawa, sering kali dijumpai perkawinan anak perempuan yang masih muda usianya. Anak perempuan Jawa dan Aceh seringkali dikawinkan meskipun umurnya masih kurang dari 15 tahun, walaupun mereka belum diperkenankan hidup bersama sampai batas umur yang pantas. Biasanya ini disebut dengan kawin gantung. Dengan adanya batasan umur ini, maka kekaburan terhadap penafsiran batas usia baik yang terdapat di dalam adat ataupun hukum Islam sendiri dapat dihindari.87
B. Tujuan Pembatasan Usia Perkawinan Terbentuknya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan awal reformasi dan pembaruan hukum di bidang keluarga, termasuk masalah batasan usia dalam perkawinan. Oleh karenanya, hal ini telah tertulis dengan jelas pada Pasal 7 ayat (1) Undang Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Pada bab tersebut menyebutkan perkawinan hanya diiizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun. Batas usia yang tercantum dalam Undang-Undang tersebut apabila dikaji lebih lanjut lebih menitik beratkan pada pertimbangan kesehatan. Hal ini menjadi jelas dengan membaca penjelasan dari Undang Undang tersebut, bahwa untuk menjaga 87
Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, Undang Undnag Perkawinan No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sampai KHI, h. 70-71
kesehatan suami-isteri serta keturunan-keturunannya, perlu ditetapkan batas-batas umur untuk perkawinan.88 Sehingga Undang-Undang Perkawinan dalam hal ini meletakkan batas usia nikah lebih menonjolkan pertimbangan kesehatan, daripada segi-segi lain, misalnya segi psikologi dan segi sosial. Secara konsep pembatasan usia nikah dimaksudkan agar amanat Al-Qur’an yaitu agar manusia tidak meninggalkan generasi yang lemah dapat terwujud. Harapannya adalah patokan umur minimal calon mempelai dibutuhkan sebagai ukuran kematangan fisik dan psikis yang cukup sebagai modal dasar mengarungi bahtera rumah tangga. Namun demikian, pada prakteknya, kemungkinan ada hal-hal lain yang bersifat kasuistik dan mendesak, bisa saja ada dispensasi nikah bagi calon mempelai yang kurang memenuhi syarat umur tersebut. Sudah barang tentu dispensasi tersebut diadakan dalam kerangka mewujudkan kemaslahatan dan menghindarkan kemudlaratan yang lebih besar dengan berpijak pada metode maslahah al-mursalah dan saddu al-dzari’ah.89 Tujuan pembatasan usia sangatlah besar gunanya, diantaranya ialah supaya kedua calon suami isteri sudah cukup dewasa untuk memikul tanggung jawab sebagai kepala keluarga dan ibu rumah tangga. Pada usia 21 tahun seseorang sudah dapat 88
Baca Penjelasan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan 89
Ridwan M, Membongkar Fiqh Negara, Wacana Keadilan Gender Dalam Hukum Keluarga Islam, (Yogyakarta: Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto & Unggun Religi, Oktober 2005), cet. ke-1, h. 114
dianggap dewasa dan mampu memikul urusan keluarga, masyarakat, dan negara. Sehingga negara menganggap bahwa anak yang sudah mencapai usia 18 tahun sudah cukup dewasa, dapat diberi hak memilih dan dipilih (sebagai wakil rakyat). Pada usia 21 tahun ini pula tentunya sudah lebih matang tanggung jawabnya terhadap sesuatu yang terpikul atas pundaknya, seperti kesejahteraan dan kebahagiaan rumah tangga.90
C. Hak Dan Kesehatan Reproduksi Menurut Islam Agama Islam, sesuai dengan namanya, sangat memberikan perhatian yang sangat serius terhadap masalah kesehatan dalam arti yang luas. Islam mengenal konsep dinamis tentang kesehatan91 Didalamnya tercakup pengertian shihhah (kesehatan), ialah keadaan jasmani yang memungkinkan seluruh anggota tubuh manusia berjalan dengan baik dan normal. Di dalam shihhah terkandung pengertian ’afiyah, ialah keadaan yang lebih utama dan luas dari shihhah yang dampaknya menjangkau kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat. Kesehatan merupakan salah satu karunia Allah yang menurut Nabi saw. sering terlupakan. Kita baru merasa betapa mahalnya nikmat sehat yang harus dijaga ini adalah kesehatan reproduksi. Membicarakan hak-hak kesehatan reproduksi dalam Islam, maka tak dapat dipisahkan dari perspektif corak fikih pemberdayaan perempuan (fikih al-Nisa’). Tentu saja fikih al-Nisa’ di sini bukan dalam cakupannya secara makro meliputi seluruh aspek perempuan dalam soal ibadah dan muamalah, melainkan lebih 90
Peunoh Daily, Hukum Perkawinan Islam...h. 133
91
MA. Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqh Sosial, h. 87
ditujukan kepada persoalan-persoalan yang khusus, yakni soal reproduksi perempuan atau dalam istilah fikih kontemporer sering disebut dengan huquq al-ummahat. Meskipun khas bagi kaum wanita, fikih al-Nisa’ mempunyai kaitan erat dengan kaum laki-laki.92 Dalam konteks kekinian, harus ada komitmen yang jelas dan tegas dari semua komponen masyarakat untuk mewujudkan hak-hak reproduksi bagi perempuan. Hak reproduksi secara luas dapat diartikan dengan kekuasaan dan sumber daya yang dimiliki kaum perempuan. Yaitu, kekuasaan untuk dapat memutuskan segala sesuatu yang berkaitan dengan fertilitas, kehamilan, perawatan anak, kesehatan ginekologis (ilmu kandungan), aktivitas sesual serta sumber daya untuk melaksanakan keputusankeputusan secara aman dan efektif. Dengan demikian, hak reproduksi bisa diartikan sebagai kesempatan dan cara agar seorang perempuan mampu dan sadar untuk memutuskan serta melaksanakan keputusan-keputusannya secara aman dan kondusif.93 Islam pun telah mengatur tentang hak-hak kesehatan reproduksi yang termuat dalam Al-Qur’an, Al-Sunnah, dan Ijma’ para ulama. Aturan ini bertujuan untuk memuliakan dan menjunjung tinggi derajat manusia, laki-laki dan perempuan. Sebagai pengemban fungsi reproduksi, perempuan (ibu) memiliki hak-hak yang harus
92
MA. Sahal Mahfudz, “Islam dan Hak Reproduksi Perempuan: Perspektif Fiqh”, dalam Syafiq Hasyim (ed). Menakar Harga Perempuan (Bandung: Mizan, P3M dan TFF, 1999), cet. ke-1, h. 113 93
Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan, h. 170-17
dipenuhi oleh sang ayah (suami). Secara garis besar terdapat tiga kategori hak-hak kaum perempuan/ibu sebagai pengemban reproduksi:94 Pertama, hak jaminan keselamatan dan kesehatan. Hak ini mutlak mengingat resiko sangat besar yang bisa terjadi pada kaum ibu dalam menjalankan fungsi-fungsi reproduksinya, mulai dari menstruasi, berhubungan seks, mengandung, melahirkan, dan menyusui. Kedua, adalah hak jaminan kesejahteraan, bukan saja selama proses-proses vital reproduksi (mengandung, melahirkan, menyusui) berlangsung, tapi juga di luar masamasa itu dalam statusnya sebagai isteri dan ibu dari anak-anak, seperti disebutkan dalam Al-Qur’an:
J"3 ^M #-MxIP~4 y$ <!M G) <:!2C F'!xIP~? Artinya: Dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. (Al-Baqarah 2: 233) Besar nafkah yang harus diberikan kepada isteri adalah disesuaikan pada kebutuhan di satu pihak dan kemampuan suami di lain pihak. Yang terpenting adalah anggota keluarganya tidak diterlantar. Al-Qur’an meletakkan tanggung jawab kepada suami untuk memberi nafkah kepada isterinya, meskipun isteri mempunyai kekayaan dan pendapatan. Isteri tidak diwajibkan memberi suaminya apa yang didapatkan atas jerih payahnya sendiri.
94
Masdar F. Mas’udi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan..., h. 75-76
Bahkan jika si suami miskin dan dia kaya, suami harus memberinya nafkah sesuai kemampuannya. Pemberian nafkah tersebut meliputi makanan, tempat tinggal, dan pakaian (tho’am, maskan, dan kiswah).95 Ketiga, hak ikut mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan perempuan (isteri) khususnya yang berkaitan dengan proses-proses reproduksi. Hak kategori ini, kiranya jelas dapat dipahami dari penegasan umum ayat Al-Qur’an tentang bagaimana suatu keputusan yang menyangkut pihak-pihak dalam lingkup apa pun harus diambil secara bersama.
1CM (
-R!a'J -Rd[w$
Artinya: ...”sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; (Asy-Syura (42):38
”Tidak satu keputusan yang menyangkut orang lain bisa diambil secara sepihak, juga urusan reproduksi antara suami-isteri.” Sebagai pengemban fungsi reproduksi, perempuan (ibu) memiliki hak-hak yang harus dipenuhi oleh sang ayah (suami).96 Selain itu, beberapa hal yang perlu diperhatikan berhubungan dengan hak-hak dan kesehatan reproduksi. Antara lain adalah; 1. Memilih Pasangan Islam adalah ajaran spritual moral berdasarkan kesadaran manusia sebagai hamba Allah. Sebab itu mana yang menjanjikan kebaikan (kemaslahatan) bagi hamba 95
Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan Dalam Islam, (Yogyakarta: LSPPA (Lembaga Studi dan Pengembangan Perempuan dan Anak, Agustus 2000), h. 177-178 96
Masdar F. Mas’udi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan…, h. 77
Allah, itu yang diunggulkan. Dalam memilih pasangan atau jodoh, mana yang baik (lahiriyah maupun batiniyah, duniawi maupun ukhrowinya) bagi yang bersangkutan, itulah yang patut jadi pilihan.97 Tentunya dengan tetap memperhatikan tujuan pernikahan, membangun keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah. 2. Menikmati Hubungan Seks. Hubungan seks bagi wanita itu selain merupakan sebuah kewajiban, tetapi juga sebuah hak. Bedanya adalah apabila hubungan seks bagi perempuan (isteri) adalah hak, maka baginya ada ruang untuk memilih, apakah akan melakukannya atau tidak, juga ruang untuk memilih waktu dan caranya. Hubungan seks tersebut itu pun bisa merupakan kenikmatan baginya Namun jika semata-mata sebagai kewajiban melayani suami, maka tidak mustahil hubungan seks akan lebih dirasakan sebagai beban, bahkan mungkin derita.98 Menurut Zaitunah Subhan, kebersamaan di dalam menikmati hubungan seksual adalah merupakan hak perempuan dan laki-laki secara seimbang sebagai suami isteri. Sehingga tidak ada yang menikmati sementara yang lain menderita. Berdasarkan asas keadilan dan kesetaraan laki-laki dan perempuan, persoalan hubungan seksual sesungguhnya dapat berlaku terhadap suami ketika dia menolak melayani isterinya. Ibnu Abbas pernah mengatakan ”aku suka berdandan untuk isteriku seperti dia suka berdandan untukku” Ucapan ini mengandung arti bahwa suami dan isteri perlu saling memberi dan menerima dalam suasana hati yang menggairahkan. 99 3. Kehamilan Mengenai penciptaan manusia, Al-Qur’an menyatakan: 97
Masdar F. Mas’udi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan…, h. 89
98
Ibid., h. 105-106
99
Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan, h. 172-173
"x⌧HDC[#4 [ \E!E "x"!#4 ["P [x"$d "x$ D
☺#4 ["P [x$ D
E," !#4 $I-MTG""P ☺," P n,$IP$J \E!E ☺$n 34 ⌧C$@$9"P U $'4 $l?,"N4 TGDnJ Artinya: ”Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang. Lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain, Maka Maha Suci Allah, Pencipta Yang Paling Baik”. (QS. Al-Mu’minun:14)
Penjelasan Al-Qur’an tersebut sejalan dengan ilmu kedokteran dan embriologi modern, termasuk diciptakannya panca indera. Seperti pendengaran, penglihatan, dan hati. 4. Kontrasepsi Dan Keluarga Berencana Masalah Keluarga Berencana dalam Islam pada mulanya merupakan kontroversi yang seru di kalangan masyarakat, khususnya masyarakat agama.100 Sampai kini pun kontroversi itu belum selesai dan mungkin tidak akan bisa selesai. Ada pihak yang mendukung dan ada yang menolaknya. Berbeda dengan ulama di Saudi, misalnya, ulama Indonesia umumnya cenderung membolehkan ikhtiar mengatur kehamilan (tanzhim al-nasl), sebagaimana yang dikehendaki pemerintah. Tetapi keputusan Islam sendiri atas hukum ini, tergantung apakah Keluarga Berencana itu maslahah atau tidak bagi umat? Kemaslahatan ini harus jadi kunci utama karena dampak pemakaian kontrasepsi ditanggung manusia sendiri. Karena
100
Masdar F. Mas’udi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan…, h. 134
sebagai manusia, pilihan apapun yang dilakukan oleh kaum perempuan merupakan suatu hak yang dijamin oleh Deklarasi Hak Asasi Manusia, termasuk dalam hal ini adalah melakukan Keluarga Berencana. Karena Keluarga Berencana sendiri bagi perempuan bukan suatu kewajiban.101 Sehingga apabila Keluarga Berencana bagi seorang wanita (ibu) tidak memberikan kemaslahatan, maka tidak boleh dipaksakan dan harus dicarikan solusi yang tepat dan aman sehingga tidak merugikan sang ibu. 5. Aborsi Menurut kedokteran, aborsi adalah berhentinya dan dikeluarkannya kehamilan sebelum 20 (dua puluh) minggu (dihitung dari haid terakhir) atau berat janin kurang dari 500 gram atau panjangnya kurang dari 25 cm. Dalam fikih sendiri aborsi ada lima macam, spontan (al-isqath al-dzati), darurat (al-isqath al-dlaruri), khilaf/tidak sengaja (khata’), menyerupai kesengajaan (syibh ’amd), dan sengaja dan terencana (al-’amdu). Masing-masing itu ada sanksi hukumnya, dari yang teringan (tidak ada sanksi) sampai terberat (hukuman pidana sesuai usia kandungan).102 Meski di Indonesia, isu aborsi masih kontroversial karena adanya asumsi hanya terjadi pada kasus luar pernikahan, tapi Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri tidak menutup rapat-rapat mengenai aborsi ini. Dalam fatwanya No. 4/2005 tentang Aborsi
101
Abdul Moqsit Ghazali, Badriyah Fayumi, Marzuki Wahud, dan Syafiq Hasyim, Keluarga Berencana Dalam Islam, Tubuh, Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan, Bunga Rampai Pemikiran Ulama Muda, (LKIS, Rahima, Maret 2002), h. 101 102
Lihat Ulfah Ansor, Fikih Aborsi..., h. 38-39
disebutkan, aborsi bisa dilakukan bila kehamilan disebabkan perkosaan atau incest (hubungan seks sedarah), dan dilakukan saat usia janin tidak lebih dari 40 hari. 103 Hak-hak reproduksi perempuan dalam Islam seperti telah dijelaskan, sesungguhnya begitu lengkap (komprehensif). Tetapi masalahnya seberapa jauh hakhak itu telah terpenuhi, atau diupayakan secara sungguh-sungguh untuk dipenuhi.
D. Hak Dan Kesehatan Reproduksi Menurut Kesehatan Kesehatan Reproduksi yang disingkat dengan kespro, berasal dari dua kata, Kesehatan atau ”sehat” yaitu kondisi nyaman atau fit, baik fisik, mental, sosial, dan Reproduksi yaitu kemampuan seseorang untuk ”membuat kembali”. Jadi kesehatan reproduksi merupakan kemampuan seseorang mendapatkan keturunan atau suatu proses melanjutkan keturunan pada manusia demi kelestarian hidup manusia. Dalam ICPD ( International Conference of Population and Development) Programme of Action pada tahun 1994, mendefiniskan secara jelas pengertian dan hak-hak reproduksi dan kespro yang mencakup ”kesehatan fisik, mental, dan sosial, yang baik secara menyeluruh dalam semua hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi dan fungsi-fungsinya serta proses-prosesnya.”104 Pengertian kespro tersebut senada dengan definisi WHO (1992) merumuskan bahwa “kesehatan reproduksi adalah keadaan kesejahteraan fisik, mental, dan sosial yang utuh bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan. Kesehatan dalam segala 103
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI, 2005
104
Maria Ulfah, Fikih Aborsi..., h. 3
aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta proses-prosesnya”. Sedangkan proses yang dimaksud adalah hak untuk mendapatkan informasi dan akses terhadap metode-metode Keluarga Berencana yang aman, efektif, terjangkau, dan dapat diterima bagi perempuan maupun laki-laki, dan informasi mengenai metodemetode pengaturan kelahiran dan yang menjadi pilihan mereka, serta hak-hak untuk mendapat pelayanan kesehatan yang memungkinkan perempuan menjalani kehamilan dan persalinan dengan selamat.105 Merujuk dari definisi ini, maka pelayanan kespro secara luas dapat dipahami sebagai konstelasi metode, tekhnik, dan pelayanan yang berkaitan dengan cara mencegah dan memecahkan masalah kespro.106 Oleh karenanya kespro ini tidak hanya terkait pada organ reproduksi lelaki dan perempuan. Tapi kesehatan reproduksi meliputi alat reproduksi, kehamilan, persalinan, pencegahan kanker leher rahim, metode kontrasepsi dan KB, seksual dan gender, perilaku sosial yang sehat dan tidak beresiko, pemeriksaan payudara dan panggul, impotensi, HIV AIDS, infertilitas, kespro remaja laki-laki dan perempuan, perempuan usia lanjut, infeksi saluran reproduksi, safe motherhood, kesehatan ibu dan anak, aborsi, serta infeksi menular seksual. Deklarasi Alma Atta yang dikeluarkan oleh WHO dan United Nation International Children Education Foundation (UNICEF) pada tahun 1998 bahkan 105
WHO, Landasan Aksi Dan Deklarasi Beijing, (Jakarta: Forum Komunikasi Lembaga Swadaya Masyarakat Untuk Perempuan dan Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan), h. 65 106
Maria Ulfah Ansor dkk, Kesehatan Reproduksi Bagi Komunitas Islam, (Jakarta: PT. Fatayat NU, 2005), h. 45
menambahkan syarat baru, yaitu: “Sehingga setiap orang akan mampu hidup produktif, baik secara ekonomis maupun sosial”. Dengan penambahan syarat baru ini, tersirat bahwa dalam definisi kesehatan tercakup pula soal kualitas hidup. 107 Oleh sebab itu, kespro ini sangat penting diperhatikan. Karena persoalan kesehatan reproduksi sangat berkaitan erat dengan kualitas hidup manusia di masa mendatang. Jika kesehatan reproduksi terganggu maka dalam jangka panjangnya akan mengganggu kualitas hidup manusia secara keseluruhan.108 Adapun menurut Iskandar MB kesehatan reproduksi adalah ”kondisi yang mencakup dimana wanita dan pria dapat melakukan hubungan secara aman, dengan atau tanpa tujuan terjadinya kehamilan, dan bila kehamilan diinginkan, wanita dimungkinkan menjalani kehamilan dengan aman, melahirkan anak yang sehat serta dalam kondisi siap merawat anak yang dilahirkan.” 109 Dengan demikian kespro menyiratkan bahwa setiap orang dapat menikmati kehidupan seks yang aman dan menyenangkan, dan mereka memiiki kemampuan untuk bereproduksi serta memiliki kebebasan untuk menetapkan kapan dan sering mereka ingin bereproduksi. Pada konferensi Kependudukan dan Pembangunan yang diadakan di Kairo, Mesir menghasilkan kesepakatan bahwa kespro adalah bagian yang tak terpisahkan 107
Artikel diakses pada tanggal 06 Juni 2009, http//situskesrepro.info/genderlaw
108
Sururin dkk, Pendidikan Kesehatan Reproduksi Bagi Calon Pengantin, (Jakarta: PT. Fatayat NU, September 2007), h. 16 109
Een Sukaedah, “Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Sikap Terhadap Kesehatan Reproduksi Remaja,” Studi Kasus pada siswa Kls.2 SMU Negeri Kota Tangerang, h. 11
dari Hak Asasi Manusia (HAM). Indonesia termasuk salah satu negara yang menandatangani kesepakatan tersebut. Di antara hak-hak tersebut adalah: 1. Hak untuk menentukan jumlah anak; 2. Hak atas kesehatan seksual; 3. Hak untuk memperoleh informasi dan layanan kesehatan reproduksi. 110 Program kesehatan reproduksi di Indonesia bertujuan terutama meningkatkan kesadaran dan kemandirian masyarakat dalam mengatur fungsi dan peran reproduksinya, termasuk kehidupan seksualnya, sehingga hak-hak reproduksinya dapat terpenuhi yang ada pada akhirnya menuju peningkatan kualitas hidupnya. 111 Adapun tujuan Program Kesehatan Reproduksi, antara lain adalah; 1. Meningkatnya kemandirian perempuan dalam memutuskan peran dan fungsi reproduksinya; 2. Meningkatnya hak dan tanggung
jawab sosial perempuan dalam
menentukan kehamilan, jumlah anak, dan jarak antara kehamilan dan meningkatnya peran sosial laki-laki terhadap akibat dari perilaku sosial dan fertilitasnya kepada kesejahteraan isteri dan anak-anaknya. 112
110
Kartono Muhammad, Kespro sebagai Hak dalam Jurnal Perempuan, edisi Mei, 2007, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan), h. 11 111
Een Sukaedah, “Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Sikap Terhadap Kesehatan Reproduksi Remaja..., h. 12 112
Maria Ulfah, Kesehatan Reproduksi Bagi Komunitas Islam, h. 47
Berangkat dari penjelasan di atas, maka persoalan kehamilan harus menjadi concern bersama, baik suami–isteri, masyarakat, dan pemerintah. E. Pengaruh Usia Perkawinan terhadap Kesehatan Reproduksi Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengandung nuansa Islam yang sangat dominan, meskipun tidak dapat dikatakan bahwa undang-undang tersebut merupakan hukum Islam, karena undang-undang tersebut merupakan hukum nasional yang menyerap nilai-nilai Islam dan mengakomodir sebagian besar perkara umat Islam, khususnya dalam hal perkawinan. Apabila seseorang melangsungkan perkawinan pada usia yang sangat belia, maka pada dasarnya Islam menganggap perkawinan itu sah dengan ketentuan rukun dan syarat terpenuhi, akan tetapi dikhawatirkan keluarga atau rumah tangga yang dibentuk nantinya potensial mengalami situasi yang berakhir dengan perceraian. Karena itulah faktor usia menjadi salah satu komponen terpenting dalam persiapan perkawinan. Usia seseorang akan menjadi ukuran apakah ia sudah cukup dewasa dalam bersikap dan berbuat ataukah belum. Ketentuan batas usia perkawinan yang tercantum dalam Undang Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, meskipun telah ditetapkan usia 19 (sembilan belas) tahun untuk pria dan 16 (enam belas) tahun untuk wanita, namun undang-undang ini juga menganut prinsip bahwa seseorang yang melangsungkan perkawinan hendaklah telah matang baik jiwa maupun raganya.113
113
Djuber Z, Hukum Perkawinan Islam dan Relevansinya Dengan Kesadaran Hukum Masyarakat, (Jakarta: Dewa Ruci Press, t. th), h. 79
Berdasarkan asas ini maka secara teoritis diharapkan bahwa mereka akan mewujudkan tujuan perkawinan. Beberapa aspek yang melatarbelakangi adanya asas ini adalah sebagai berikut: 1. Perkawinan yang dilaksanakan pada usia matang mudah dalam penyesuain diri antara pasangan suami isteri, karena mereka telah dewasa baik dalam sikap, tingkah laku, maupun perbuatannya. 2. Perkawinan yang dilaksanakan pada usia 21 sampai 30 tahun, kemungkinan akan mendapatkan keturunan yang sehat. 3. Perkawinan yang dilaksanakan pada usia yang relatif muda berarti tidak memberikan kesempatan untuk mencapai pendidikan yang memadai, karena pada saat-saat yang seharusnya digunakan untuk belajar, beralih kepada penanganan soal rumah tangga.114 Berdasarkan ketiga aspek tersebut, maka secara impliisit dijelaskan bahwa sesungguhnya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mendukung adanya praktik nikah muda atau di bawah umur, kecuali ada alasanalasan tertentu. Asas kematangan jiwa dan raga tersebut senada dengan perspektif kesehatan bahwa secara biologis usia paling baik bagi wanita dan pria untuk menikah
114
Ibid., h. 80
adalah antara 20-25 tahun. Bahkan dalam program KB, usia tersebut dapat ditambah menjadi 25 tahun bagi perempuan.115 Hal ini dikhawatirkan ibu yang melahirkan pada usia kurang dari 20 tahun rentan mengalami kehamilan beresiko. Kehamilan beresiko adalah kehamilan yang akan menyebabkan resiko baik kepada bayi yang dilahirkan maupun kepada ibu yang melahirkan. Pada usia di bawah 20 tahun, rahim dan panggul belum berkembang dengan baik, sehingga dapat menyebabkan kesulitan persalinan. 116 Ibu akan lebih sering mengalami bayi lahir kurang bulan, berat badan bayi kurang ini juga akan berdampak pada angka kematian bayi yang relatif tinggi. Secara rinci kehamilan beresiko yang sering terjadi adalah karena:117 1. Terlalu muda untuk hamil (kurang dari 20 tahun), 2. Terlalu tua untuk hamil (lebih dari 35 tahun), 3. Terlalu sering hamil (anak lebih dari 4, beresiko terlalu tinggi), 4. Terlalu dekat/rapat jarak kehamilannya (kurang dari 2 tahun). Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa usia terbaik bagi perempuan untuk hamil adalah antara 20-30 tahun. Dan jarak kehamilan yang baik adalah 3 tahun, dengan pertimbangan pemulihan organ-organ reproduksi si ibu serta dalam rangka memberi kesempatan yang baik bagi anak yang lahir untuk tumbuh dan berkembang
115
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. Pedoman dan Tuntutan Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: t.th), h. 2 116
Sururin dkk, Pendidikan Kesehatan Reproduksi Bagi Calon Pengantin, h. 53
117
Ibid., h. 54-55
dengan perhatian yang penuh kasih sayang. Bukankah dalam al-Qur’an pun terkandung anjuran untuk menyusui bayinya dengan sempurna selama dua tahun, mungkin hal inilah yang menjadi alasan pengaturan jarak kelahiran tersebut. Di samping itu, sampai saat ini yang masih merupakan masalah utama kesehatan reproduksi adalah soal kesehatan dan status gizi perempuan. Masalah ini pun semakin memprihatinkan dengan adanya krisis ekonomi yang berkepanjangan. Data menunjukkan, pada Tahun 2002-2003, Angka Kematian Ibu sebesar 307 kematian per 100.000 kelahiran, 70% diakibatkan oleh persalinan, infeksi, kurang gizi, dan kurang darah, status perempuan yang rendah, tingkat pendidikan kurang serta status sosio ekonomi yang juga rendah.118 Gambaran mengenai kondisi perempuan tersebut antara lain dapat dilihat dari dokumen negara, seperti GBHN (1999-2004) yang mengakui secara gamblang bahwa status dan peranan perempuan dalam masyarakat Indonesia dewasa ini masih bersifat subordinatif dan belum sampai pada posisi sebagai mitra sejajar dengan laki-laki.119 Kondisi yang timpang tersebut tercermin pada kualitas hidup perempuan Indonesia yang menduduki peringkat paling rendah di ASEAN. Kualitas hidup perempuan yang rendah tercermin pada tingginya jumlah angka kematian ibu melahirkan, dan rendahnya tingkat kesehatan dan status gizi. Aspek lain yang menggambarkan
118
Mariana Aminuddin, Angka Kematian Ibu: Agenda Utama Masalah Hak Dan Kesehatan Reproduksi Perempuan dalam Jurnal Perempuan, edisi Mei, 2004, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan), h. 56 119
DEPAG RI, Keadilan Dan Kesetaraan Jender..., h. 108
rendahnya posisi dan kedudukan perempuan di Indonesia adalah aspek pendidikan, ekonomi, dan politik. Melihat kenyataan di atas, dapat dianalisis bahwa demi pertimbangan kesehatan, maka hendaknya menikah pada usia belia/remaja, terlebih di bawah usia (di bawah 16 tahun) bagi wanita dihindari. Calon pengantin hendaknya memperhatikan masalah kematangan usia. Calon pengantin kedua-duanya sudah cukup dewasa, laki-laki berumur antara 25-30 tahun dan perempuan setelah umur 2025 tahun. Pada usia demikian, mereka dianggap telah dewasa secara jasmani dan siap secara mental.120 Mereka telah mengerti dan dapat berperan sebagai pasangan seks yang baik. Dapat menciptakan kehidupan yang sehat lahir batin, dalam hal ini termasuk hak-hak reproduksi. Ketika hak-hak reproduksi ini terpenuhi, maka kualitas perempuan akan terjamin, bisa sehat dan selamat dalam menjalankan proses reproduksi, dan dengan sendirinya manusia-manusia yang dilahirkan dan dididik dari asuhannya akan menjadi generasi sehat dan berkualitas. 121
120
Sururin dkk, Pendidikan Kesehatan Reproduksi Bagi Calon Pengantin, h. 4-5
121
Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan, h. 179
BAB IV ANALISA NIKAH DI BAWAH UMUR DAN IMPLIKASINYA
A.
Sejarah singkat lahirnya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Lahirnya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berlaku
bagi semua warga negara RI tanggal 02 Januari 1974 untuk sebagian besar telah memenuhi tuntutan masyarakat Indonesia.122 Tuntutan organisasi-organisasi wanita Indonesia dari masa ke masa, sejak zaman penjajahan, zaman permulaan kemerdekaan hingga zaman pembangunan Indonesia dewasa ini telah berhasil selangkah. Meskipun belum sepenuhnya terpenuhi, namun sebagai langkah pertama dalam memenuhi kehendak masyarakat Indonesia.123 Tuntutan yang telah dikumandangkan pada Kongres Perempuan Indonesia pertama tahun 1928 kemudian dikedepankan dalam beberapa kesempatan, berupa harapan perbaikan kedudukan wanita dalam perkawinan, terutama bagi golongan ”Indonesia Asli” yang beragama Islam dimana hak dan kewajibannya dalam perkawinan tidak diatur dalam hukum tertulis, namun tercantum dalam kitab fikih.
122
A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia: (Gemuruh Politik Hukum (Hukum Islam, Hukum Barat, dan Hukum Adat) dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang Surut Lembaga Peradilan Agama hingga Lahirnya Peradilan Syari’at Islam Aceh, (Kencana Prenada Media, 2006), h. 85 123
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan di Indonesia, h. 45
Menurut sistem hukum Indonesia tidaklah dapat digolongkan dalam kategori hukum tertulis, karena tidak tertulis dalam Peraturan Pemerintah.124 Masalah-masalah yang menjadi perhatian organisasi wanita saat itu adalah: (1) Perkawinan Paksa; (2) Poligami; (3) Talak yang sewenang-wenang. Setelah Indonesia merdeka langkah-langkah perbaikan diadakan oleh pemerintah antara lain dengan mengeluarkan Undang-Undang Pencatatan Nikah dan Rujuk Tahun 1946. Setelah itu disusul dengan Peraturan Menteri Agama mengenai wali hakim dan tata cara pemeriksaan perkara pasif nikah, talak, dan rujuk di Pengadilan Agama. Namun demikian, perbaikan yang dituntut belumlah dipenuhi karena Undang Undang dan peraturan-peraturan itu hanyalah mengenai formil belaka, tidak mengenai hukum materiilnya yakni Undang-Undang yang mengatur perkawinan itu sendiri. 125 Pada tahun 1950 Pemerintah RI telah berusaha memenuhi dengan membentuk panitia yang membuat Rancangan Undang-Undang Perkawinan kemudian dibahas dalam sidang DPR pada tahun 1958/1959, tapi tidak berhasil mewujudkan Undang Undang. Antara tahun 1967-1972 Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia juga telah membahasnya tapi nasibnya sama dengan Rancangan Undang-Undang sebelumnya.126 Tahun 1973 pemerintah kembali mengajukan Rancangan Undang-Undang tersebut kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan setelah mendapat tanggapan pro dan 124
Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia..., h. 86
125
Ibid., h. 86
126
Ibid., h. 86
kontra akhirnya dicapailah satu konsesus yang membawa pengaruh pada sidangsidang selanjutnya sehingga tercapai kata mufakat di antara anggota DPR. Setelah mendapat persetujuan dari DPR, pemerintah mengundangkan Undang-Undang Perkawinan pada tanggal 02 Januari 1974 dalam Lampiran Nomor yang kebetulan sama tahun dan nomornya yakni No.1 Tahun 1974. Kemudian pada 01 April 1975, setelah 1 tahun 3 bulan Undang-Undang Perkawinan diundangkan, lahirlah Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan demikian, mulai 01 Oktober 1975 UndangUndang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah dapat berjalan dengan efektif. 127
B. Analisa Nikah di Bawah Umur Dalam rancangan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dijelaskan bahwa ”Hukum Perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan, yang selanjutnya mempunyai hubungan terhadap jumlah anak dan terhadap persoalan keluarga berencana (KB). Undang-Undang Perkawinan ini menentukan batas umur minimum untuk kawin dan ternyata batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk kawin itu mempunyai pengaruh terhadap ”rate” kelahiran jika dibandingkan dengan umur yang lebih tinggi untuk kawin. Selain daripada itu, batas umur tersebut merupakan jaminan agar calon suami isteri telah
127
Ibid., h. 87
masak jiwa raganya, supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian serta mendapat keturunan yang baik dan sehat”.128 Dari penjelasan Rancangan Undang-Undang tersebut, menunjukkan bahwa sesungguhnya pembentukan Undang-Undang Perkawinan memiliki tujuan-tujuan tertentu selain untuk memenuhi tuntutan masyarakat pada saat itu. Sepertinya halnya aturan batasan usia nikah bagi perempuan (16 tahun) yang tujuannya adalah untuk menekan laju angka kelahiran. Namun bila ditilik dari aspek kesehatan, batasan umur tersebut perlu ditinjau dan direvisi ulang, apalagi dikatkan dengan masalah hak-hak dan kesehatan reproduksi yang semakin hari semakin kompleks. Alasannya karena kesehatan merupakan hal yang primer bagi manusia, begitupun masalah hak-hak reproduksi perempuan yang merupakan cakupan daripada hak asasi manusia yang biasa disebut dengan istilah al-dharuriyat al-khams (keharusan yang lima). Hak tersebut dalam perspektif Islam modern dianggap sebagai prototipe hak asasi manusia karena memang cakupannya yang memang bersifat universal atas hak-hak dasar manusia.129 Oleh sebab itu, menurut pandangan penulis batasan umur 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita perlu ditinjau ulang dalam konteks problematika kekinian.
128
Yayan Sopyan, Sejarah Hukum Perkawinan di Indonesia (Seri kumpulan Rancangan UU), (Jakarta: Fak. Syari’ah & Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2007) 129
Al-dharuriyat al-khams (al-kuliyyat al-khams) meliputi: hak beragama (hifz al-din), hak hidup (hidz al-nafs), hak berpikir ( hifz al-‘Aql), hak berketurunan (hifz al-nasl) , dan hak memiliki harta (hifz al-mal). Sebagian ulama lain menambahkan dengan harga diri (hifz al-‘irdh). Lihat Sahal Mahfudz, “Islam dan Hak Reproduksi Perempuan: Perspektif Fiqh”, dalam Syafiq Hasyim (ed). Menakar Harga Perempuan, h. 114
Dengan demikian, pemikiran tersebut sesuai dengan prinsip hukum Islam yang dinamis (cocok untuk setiap zaman),130 dimana hukum Islam merespon segala problematika kontemporer yang terjadi pada masyarakat sesuia dengan perubahan zaman (perkembangan sosial, budaya, politik, dan ekonomi) yang bertujuan pada kemaslahatan sebagai amanah syari’ah yang suci. Adanya asumsi demikian karena didukung oleh fakta praktik perkawinan di bawah umur yang hingga kini masih menjadi fenomena yang hidup di masyarakat. Ini menunjukkan bahwa Undang-Undang Perkawinan bagi sebagian umat Islam dianggap ”tidak mewakili” hukum Islam. Melalui wawancara mendalam terungkap bahwa responden nikah di bawah umur sebagian adalah berasal dari keluarga yang secara turun temurun mempraktikkan nikah di bawah umur. Seperti halnya responden, orang tua dan saudara-saudaranya adalah pelaku nikah di bawah umur. Hanya saja mereka mempelakukan anak laki-laki dan perempuan tidak sama. Pada umumnya anak perempuan menghadapi tekanan yang lebih berat untuk segera melangsungkan perkawinan dibandingkan laki-laki. Dari penelitian lapangan terungkap pula lingkungan sosial yang ”mendukung” praktik nikah di bawah umur. Faktor ekonomi budaya dan adat istiadat seringkali menjadi alasan serta motivasi utama responden, meskipun ditemukan pula sebagian responden yang menikah atas dasar kerelaan dengan laki-laki pilihannya. Dari hasil 130
Sifat dan karakteristik Hukum Islam: 1) Sempurna (al-Kamil), 2) Elastis, 3) Universal dan Dinamis, 4) Sistematis, 5) Bersifat Ta’abbudi dan Ta’aqquli. Lihat Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, h. 49
penelitian faktor nikah di bawah umur tersebut dapat diidentifikasi, faktor pendorong utama nikah di bawah umur adalah faktor sosial budaya, ekonomi, agama, dan gabungan dari ketiganya. Dalam praktik, penulis menemukan gabungan antara nilai-nilai agama dan sosial-budaya, yang menekan perempuan untuk segera menikah karena kekhawatiran orang tua terhadap anaknya akan pergaulan bebas. Disinilah faktor agama menjadi pemicu, yaitu karena kesalahpahaman orang tua atau pihak-pihak dalam memahami teks-teks agama mengenai perintah menikah. Hal ini terlihat dari keluarga yang memiliki empat orang anak. Tiga orang anak laki-laki dan dua orang perempuan.131 Responden sendiri adalah anak keempat dalam keluarga tersebut. Dengan kondisi ekonomi yang relatif mapan, ketiga anak laki-laki tersebut disekolahkan hingga menjadi sarjana. Sedangkan responden sendiri hanya menamatkan sampai SMP dan menikah pada usia 14 tahun. Namun kasus dari responden tersebut menurut penulis adalah sebuah keunikan dimana responden sebenarnya adalah keturunan keluarga mampu, namun sejak kecil berada dalam pengasuhan orang tua angkat yang juga berasal dari keluarga mampu. Dalam praktik yang sering terjadi adalah gabungan antara nilai-nilai sosialbudaya dan kesulitan ekonomi, yang menekan perempuan dari berbagai arah untuk segera memenuhi tuntutan sosial menjadi ibu dan anak. Bahwa ada stereotip/vonis ”perawan tua’, ”tak laku” merupakan suatu aib yang tidak hanya harus dihadapi oleh perempuan lajang, melainkan juga keluarga perempuan. Sehingga orang tua segera 131
Wawancara dengan Ibu Meri, Tangerang pada 07 November 2009
mencarikan pendamping untuk mereka tidak peduli suka atau tidak, calon suami sekufu atau tidak. Dalam kondisi seperti ini, tidak ada peluang bagi perempuan untuk berpikir dengan kepala dingin dan memilih apakah ia ingin menikah atau tidak, kapan menikah, dengan siapa menikah, kapan memiliki anak dan berapa jumlah anak yang diinginkan. Dalam kondisi seperti ini menjadi tidak penting (bagi perempuan dan keluarganya) untuk mendiskusikan kualitas kehidupan perkawinan yang semata-mata sebagai pemenuhan tuntutan sosial. Sehingga kasus nikah di bawah umur yang terjadi karena faktor sosial-budaya dan ekonomi tersebut, rentan menimbulkan dampak luas terhadap hak-hak reproduksi perempuan, baik dari segi kesehatan, psikologis, maupun sosial.132
C. Implikasi Nikah di Bawah Umur 1. Aspek Kesehatan a. Tingginya angka kelahiran anak133, dalam hal ini perempuan tidak diberikan haknya untuk ikut mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan perempuan (isteri). Termasuk hak untuk menentukan berapa jumlah anak yang diinginkan. Pada wawancara mendalam kami mendapatkan seorang responden yang menikah pada usia 15 tahun. Pada usia 22 tahun responden
132
Indarwasri “Fenomena Kawin Muda dan Aborsi: Gambaran Kasus”, dalam Syafiq Hasyim (ed). Menakar Harga Perempuan, h. 144 133
Wawancara dengan Ibu Za, Jakarta pada 05 Agustus 2009
telah mengalami kehamilan selama lima kali. Tiga dari lima kehamilan tersebut, responden mengalami kelahiran prematur yang berakibat pada kematian bayinya. Adapun sepuluh tahun kemudian pada usia 32 tahun, ia telah mempunyai lima orang anak. Dan tujuh tahun kemudian pada usia 40 tahun, anaknya telah berjumlah 9 orang. Sehingga apabila responden tidak mengalami kelahiran prematur tersebut, jumlah anaknya adalah 12 orang. b. Jarak kelahiran yang terlalu dekat. Hal ini pula yang dialami oleh responden tersebut. Jarak kelahiran yang terlalu dekat menjadikan responden sering hamil dan memiliki banyak anak. c. Beban reproduksi yang amat berat. Hal ini berkaitan dengan hak jaminan kesejahteraan, bukan saja selama proses-proses vital reproduksi (mengandung, melahirkan, menyusui) berlangsung, tapi juga di luar masa-masa itu dalam statusnya sebagai isteri dan ibu dari anak-anak
Perempuan di desa pada
umumnya menanggung beban reproduksi yang teramat berat, selain mengemban fungsi reproduksinya (mengandung, melahirkan), seorang ibu mengerjakan pekerjaan domestik dan terkadang bekerja pula untuk menopang perekonomian keluarga. d. Resiko kelahiran pada bayi. Bayi yang dilahirkan dari seorang ibu muda resiko mengalami masalah, baik berat badan lahir rendah (BBLR), kecacatan, kelahiran muda bahkan kematian/keguguran. e. Tidak mendapatkan informasi dan pelayanan kesehatan yang memadai. Hal ini disebabkan minimnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang
kesehatan reproduksi. Sehingga responden tidak berusaha mendapatkan akses informasi dan pendidikan yang diharapkan yang dapat memberikan perlindungan terhadapnya untuk mengakses semua informasi baik yang menguntungkan maupun yang merugikan dari pengaruh metode KB agar keputusan yang diambil sesuai yang diharapkan.134 Pada praktiknya seringkali seorang isteri yang lemah selalu mengalah dan tak berani menuntut haknya. Oleh karenanya, apabila responden dan suaminya tersebut sadar dan mampu melakukan hal yang terbaik, tentunya akan membawa kebaikan dan manfaat yang besar untuk keluarganya. Karena mengatur keturunan itu merupakan perbuatan yang baik selama untuk mewujudkan kemaslahatan pokok bagi suami isteri atau bagi salah satunya atau bagi masyarakatnya. 135 Kasus responden tersebut merupakan salah satu gambaran daripada fenomena nikah di bawah umur yang dialami oleh sebagian perempuan Indonesia. Kasus-kasus lain yang menimpa kaum perempuan kemungkinan berdampak lebih serius lagi, seperti mengalami kekerasan seksual, persalinan yang beresiko kematian sang ibu serta kualitas hidup ibu yang rendah karena kekurangan gizi dan lain sebagainya. 2. Aspek Psikologis Sesungguhnya makna keluarga bagi wanita adalah memberikan arena bermain dan jaminan sekuritas untuk melaksanakan fungsi-fungsi kewanitaannya, selanjutnya 134
135
2, h. 238
Maria Ulfah, Fikih Aborsi..., h. 106-161 Abdul Halim al- Syauqh, Kebebasan Wanita, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), cet. ke-
memainkan berbagai peranan sosial (sebagai isteri, ibu dan anggota masyarakat), sehingga menjadikan wanita tersebut semakin positif dan semakin produktif. Kesuksesan dalam memainkan peranan-peranan tersebut memberikan rasa bahagia dan puas, dan kestabilan jiwa dalam hidupnya. Oleh karena itu, sesungguhnya status perkawinan lebih banyak memberikan kesempatan untuk memperkaya kehidupan psikis wanita, daripada wanita tersebut tidak kawin. 136 Tetapi, dalam kenyataannnya ada banyak wanita yang tidak bahagia dengan perkawinannya, sebenarnya bukan disebabkan oleh status perkawinan itu an sich. Akan tetapi disebabkan oleh tidak siap dan kurangnya kemampuan wanita tersebut memainkan beberapa peranan atau peranan ganda yang berbeda-beda dalam status perkawinan. Dengan demikian, dalam kasus pernikahan di bawah umur yang sering terjadi adalah faktor ketidak-siapan mental dan belum adanya kedewasaan psikis untuk mampu melaksanakan macam-macam peranannya, meskipun seiring berjalannya waktu dan pengaruh kehidupan serta lingkungan, kedewasaan tersebut akan tumbuh dengan sendirinya.137 Namun kemampuan tersebut tidak hanya diperlukan dalam kondisi perkawinan saja, akan tetapi juga berlaku pada setiap kondisi kehidupan manusia.
136
Kartini Kartiono, Psikologi Wanita, Mengenal Wanita Sebagai Ibu & Nenek, (Bandung: CV:Mandar Maju), 1992), cet. ke-4, h. 7-9 137
Wawancara dengan ibu Mi, 01 November 2009, Wawancara dengan Ibu Meri, 07 November 2009
Ketidak-siapan mental tersebut merupakan indikasi usia responden yang pada saat menikah baru berusia sekitar 14-18 tahun. Pada usia seseorang baru dapat dikatakan pada tahap remaja. Periode remaja adalah waktu untuk tumbuh dan dan berkembang serta bergerak dari ketidak-matangan masa kanak-kanak menuju ke arah kematangan pada usia dewasa.138 Periode remaja ini adalah masa transisi secara biologis, psikologis, sosiologis dan ekonomi pada individu. Pada anak perempuan, masa transisi secara biologis ini ditandai dengan haid (menarche, menstruasi pertama), namun menurut Dadang Hawari bukan berarti anak tersebut telah siap untuk kawin. Perubahan biologis tadi baru merupakan pertanda bahwa proses pematangan organ reproduksi mulai berfungsi, namun belum siap untuk bereproduksi (hamil dan melahirkan).139 Apalagi bila ditinjau dari aspek kejiwaan/psikologik, anak remaja masih jauh dari kematangan dan kemantapan berpikir serta bertindak. Kondisi kejiwaannya masih labil dan masih belum bisa dipertanggungjawabkan sebagai suami-isteri, apalagi sebagai orang tua (ayah/ibu), Masa remaja baru berhenti pada usia 19 tahun dan kestabilan emosi umumnya terjadi pada usia 24 tahun. Dan pada usia 20-24 tahun, baru dikatakan usia dewasa muda. Masa ini adalah masa transisi dari gejolak remaja ke masa dewasa yang lebih
138
Zahrotun Nihayah dkk, Psikologi Perkembangan: Tinjauan Psikologi Barat dan Psikologi Islam, (Jakarta: UIN Press, 2006), h. 105-106 139
Dadang Hawari, Al-Qur’an, Ilmu Kedokteran Jiwa Dan Kesehatan, h. 251
stabil. Maka jika pernikahan dilakukan di bawah umur 20 tahun secara emosi si remaja masih ingin berpetualang.140 Jadi, dalam aspek psikologis penulis memberi kesimpulan sementara bahwa seorang akan melangsungkan perkawinan hendaknya memilki kesiapan mental dan kedewasaan psikis akan bisa dicapai apabila seseorang telah berusia 25 tahun ke atas, baik bagi laki-laki maupun wanita. Dengan demikian akan tercipta kestabilankeseimbangan, jiwa dan kebahagiaan hidup serta rumah tangganya. 3. Aspek Sosial Idealnya semua perempuan menginginkan keadilan dan persamaan pada segala dimensi kesehariannya, seperti di bidang politik, ekonomi, dan sosial. Namun harapan itu hanya sebatas mimpi yang sulit untuk diwujudkan. Pada dimensi sosial misalnya, perempuan seringkali tersobordinasi oleh realitas yang meminggirkan perannya di wilayah publik.141 Ketidaksetaraan itu muncul ketika perempuan harus menikah dan mengerjakan pekerjaan domestik, serta mengabaikan peran publik. Bahkan, pada kasus pernikahan dini, umumnya perempuan tidak memiliki kecakapan hidup (life skill) yang memadai untuk berperan aktif dalam tataran relasi sosial. Hal ini disebabkan perempuan yang menikah di usia dini tersebut berpendidikan rendah. Sehingga menyebabkan potensinya tenggelam dan keterbatasan memasung kreativitasnya. Pasungan itu bisa 140
Edi Nur Hasmi dalam artikel Banani Bahrul Hasan, “Jalan Ketiga Nikah Dini-Seks Bebas” “Majalah Syir’ah”, Edisi Mei, 2005, h. 25 141
Najlah Naqiyah, Otonomi Perempuan, (Jatim: Bayu Media Publishing, Februari 2005), cet. ke-1, h.1
diciptakan oleh dirinya sendiri atau muncul dari proteksi orang-orang dekatnya. Misalnya, pembatasan suami yang tidak memperbolehkan isterinya melanjutkan sekolah tinggi, atau sekedar mendapatkan pendidikan non-formil lainnya. Alasannya bisa beragam faktor ekonomi, beban urusan domestik, dan untuk melindungi perempuan secara berlebihan dari kepayahan. 142 Pada pernikahan di bawah umur, yang sering menjadi masalah adalah pendidikan yang tidak memadai baik dari pihak suami maupun isteri. Secara ekonomi mereka pun belum mapan, keterampilan mereka belum memadai dan mencukupi untuk bekerja, sehingga permasalahan tersebut berimplikasi pada kehidupan setelah pernikahan yang mengharuskan perempuan untuk bersaing dan bekerja keras memenuhi tuntutan hidup. Perempuan mempunyai kerja dobel, yakni bekerja di wilayah domestik dan bekerja di publik mencari nafkah. Pilihan pekerjaan pada usia dini pun bersifat serabutan dan kasar, seperti bekerja sebagai pembentu rumah tangga, menjadi tenaga kerja di sektor industri/pabrik, atau menjadi buruh tani. Kondisi ini membuat keprihatinan yang mendalam apabila perempuan tidak memiliki pendidikan yang cukup untuk bekerja. Dan apabila hal seperti ini terus dilestarikan, maka akan membuat mata rantai kemiskinan di Indonesia semakin kuat dan kemiskinan adalah permasalahan sosial yang tiada habisnya di negara ini.143
142
Ibid., h. 2
143
Ibid., h. 6
Secara kultural perempuan pedesaan lebih banyak bekerja baik secara fisik maupun psikis yang biasanya akan mengalami risiko kekurangan gizi, terganggunya kesehatan, dan hidup miskin karena gaji yang sangat rendah digunakan oleh anggota keluarga. Belum lagi jika mereka menghadapi masalah serius dalam rumah tangganya yang berujung pada perceraian.144 Perceraian tersebut tentu membawa dampak moral yang berat dan rasa trauma yang mendalam bagi pelaku nikah di bawah umur tersebut. Terlebih jika harus menanggung tanggapan masyarakat sekitar yang bermacam-macam dan tidak semuanya baik serta menyenangkan, hal ini menambah problem yang kompleks akibat perkawinan di bawah umur. Demikian menurut analisa penulis, secara sosial pernikahan di bawah umur sebaiknya tidak dilakukan. Karena pada usia yang masih muda seseorang belum mampu menanggung beban serta tanggung jawab dalam kehidupan rumah tangga, masyarakat, dan berbangsa dan bernegara.
D. Analisa Penulis Apabila ditinjau dari ranah fikih, praktik nikah di bawah umur yang hingga kini masih menjadi fenomena, baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi ini sebenarnya tidak dapat dipisahkan dari pemahaman masyarakat terhadap teks-teks agama yang berisi anjuran untuk menikah dan keberadaan kitab-kitab fikih klasik yang masih tetap menjadi rujukan dan pedoman bagi sebagian masyarakat Indonesia, terutama masyarakat pedesaan atau pesantren yang sampai saat ini masih memegang
144
Wawancara dengan Ibu Siti, 01 November 2009
kuat nilai-nilai tradisi dalam lingkungannya. Boleh jadi sikap masyarakat seperti itu karena mereka mengganggap Undang-Undang Perkawinan tidak mewakili hukum Islam dan kepentingan mereka. Sebaliknya, teks-teks fikih yang terdapat dalam kitabkitab klasik dipandang sebagai ajaran yang benar-benar islami, karena itu harus sepenuhnya diterapkan.145 Padahal jika dicermati, kitab-kitab fikih klasik tersebut tidak secara ekspilisit membolehkan atau bahkan menganjurkan nikah di bawah umur. Hanya saja secara hukum jumhur ulama mengesahkan perkawinan tersebut dengan argumen tidak adanya ketetapan yang jelas dari nashsh Al-Qur’an maupun Al-Sunnah tentang aturan usia nikah. Tentu saja kita tidak akan menemukan nashsh yang jelas-jelas mencantumkan aturan usia nikah dalam Al-Qur’an maupun Alsunnah, karena memang demikianlah sifat dari nashsh yang terbatas, sebaliknya problematika-problematika masyarakat akan terus berkembang tidak akan pernah selesai. Oleh sebab itu, terhadap problematika-problematika kontemporer tersebut dibutuhkan adanya ijtihad dari ahli hukum Islam dan ketetapan pemerintah yang bermuara pada keadilan dan kemaslahatan. Menurut pandangan penulis dengan mengutip pendapat Husein Muhammad dalam karangannya Fiqh Perempuan, jika mempertimbangkan pandangan ahli fikih mengenai nikah di bawah umur maka tampak jelas bahwa mereka memandang perkawinan di bawah umur adalah sesuatu yang kurang baik (mustahab). Indikasinya adalah pendapat Imam Syafi’i yang mewajibkan adanya wali mujbir bagi gadis yang belum dewasa yang tujuannya adalah demi melindungi kepentingan gadis tersebut. 145
Lihat Husen Muhammad, Fiqh Perempuan…, h. 73
Imam Syafi’i mengatakan bahwa ”Sebaiknya ayah tidak mengawinkannya (anak perempuan belia) sampai dia baligh, agar dia menyampaikan izinnya, karena perkawinan akan membawa berbagai kewajiban (tanggung jawab).” Perkawinan menurut mazhab Syafi’i, termasuk bagi orang dewasa menjadi makruh hukumnya, ketika yang bersangkutan tidak dapat mampu memenuhi kewajiban-kewajibannya yang harus dipikul sebagai suami isteri. Selain itu juga dia bisa nenahan diri. Demikan pula makruh bagi laki-laki yang tidak ingin menikah dan tidak mampu untuk memberikan mahar dan nafkah. Kendatipun ia telah mampu atas biaya-biaya tersebut, tetapi pada saat yang sama tidak memiliki alasan untuk menikah, sebaliknya hatinya lebih condong untuk beribadah, maka makruh pula hukumnya nikah baginya. Demikianlah perkawinan dilihat dari kondisi seseorang, tidak berbeda dengan perkawinan di bawah umur yang apabila seorang gadis maupun laki-laki belia dinikahkan dan sebenarnya mereka belum mampu melaksanakan kewajiban sebagai suami/isteri dalam kehidupan rumah tangga. Karena sesungguhnya perkawinan dimaksudkan untuk suatu kemaslahatan atau kebaikan semua pihak. Pada hakikatnya, pandangan seperti inilah yang dipegang teguh oleh para ulama. Pandangan ini pun menjadi komitmen para mazhab fikih yang lain. Mazhab Hanafi berpendapat yang kurang lebih adalah senada dengan pernyataan Imam Syafi’i bahwa ”pernikahan menjadi haram apabila seseorang meyakini bahwa pernikahannya akan membawa mudlarat terhadap orang lain, oleh karena pernikahan sebenarnya dianjurkan oleh
agama dalam rangka menjaga kemaslahatn jiwa (hifz al-nasl) serta mengharapkan pahala dari Tuhan.146 Dari keterangan tersebut, dapat dianalisis bahwa persoalan paling krusial tentang nikah di bawah umur menurut pandangan para ahli, adalah faktor ada tidaknya
kemaslahatan atau ada tidaknya kekhawatiran terhadap kemungkinan
terjadinya hubungan seksual yang tidak dibenarkan (pergaulan bebas). Apabila perkawinan di bawah umur itu menimbulkan kemadlaratan (kerusakan dan keburukan), sedangkan pada saat yang sama faktor-faktor kekhawatiran akan terjerumus ke dalam pergaulan bebas tidak dapat dibuktikan, maka kesimpulannya adalah perkawinan di bawah umur tersebut tidak dapat didukung. Alasan kuat yang selalu dikemukakan daripada tujuan pembatasan usia perkawinan dan sikap penolakan pernikahan di bawah umur sejak awal pembahasan skripsi ini adalah untuk tujuan kemaslahatan. Fuqaha sering menegaskan bahwa sesungguhnya tujuan Syari’at Islam adalah untuk menggapai cita kemaslahatan semesta dan berupaya menghindari jenis mafsadah dari setiap jengkal sudut bumi. Adapun pendefinisian maslahah secara umum adalah, maslahah merupakan nilai kebahagiaan yang ukurannya telah ditentukan oleh syari’at.147 Walaupun demikian, syari’at tidak menepikan konstruksi kehidupan manusia dan segala aspek yang mengitarinya. Berkaitan dengan persoalan sah atau tidak sahnya perkawinan, 146
147
Ibid., h. 75
‘Izzuddin bin ‘Abd al-Salam dalam Qawa’id al-Shughro mendefinisikan maslahah sebagai kebahagiaan, kegembiraan, kesenangan, dan sebab-sebab yang menyertainya. Lihat: Komunitas Kajian Ilmiah Lirboyo, Formulasi Nalar Fiqh: Telaah Kaidah Fiqh Konstektual, (Kediri: Khalista, 2005), h. 262
sesungguhnya fikih hanya bersifat mengatur hal-hal yang zhahir dan tidak menghukumi hal-hal yang batin. Namun demikian, kemaslahatan yang tercermin dalam hukum-hukum (fikih) maupun metodologi ushul fikih, menunjukkan bahwa fikih dalam menerapkan ajaran-ajarannya adalah tidak pernah lepas dari pertimbangan etika hukum, sebab fikih dalam konteksnya adalah diperuntukkan bagi manusia, bukan terhadap ruang hampa dan kosong. Sehingga fikih tidak pernah bersikap ekstrim dan kaku dalam menerapkan ajaran-ajarannya. Untuk itu, jika ada kesulitan atau bahaya dalam mengaplikasikan hukum-hukum syari’at, maka fikih mendorong untuk menghindarinya. Hal ini adalah tidak lain agar umat Islam terhindar dari hal-hal yang bersifat destruktif (merusak), baik merusak agama, jiwa, raga, keluarga, harta-benda, keturunan, dan hal-hal yang bersifat primer-fundamental lainnya.148 Demikianlah analisa penulis tentang baik buruknya perkawinan di bawah umur ditinjau dari ranah hukum fikih. Penulis sendiri lebih cenderung terhadap pendapat tidak diperbolehkannya perkawinan di bawah umur yang disandarkan pada prinsip kemaslahatan dan maqasid syari’ah. Dari ranah fikih ke ranah hukum positif, perkawinan di bawah umur jika melihat dari tataran normatif adalah menjadi suatu hal yang menarik untuk dicermati bahwa mematok usia minimal 16 (enam belas) tahun bagi perempuan sesungguhnya bertentangan dengan isi bunyi Pasal 1 ayat (2) Undang Undang No.4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak yang menyatakan bahwa: ”Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin”. 148
Komunitas Kajian Ilmiah Lirboyo, Formulasi Nalar FIqh…, h. 264
Penetapan ini juga bertentangan dengan isi Konvensi International tentang Hak Anak yang diratifikasi Indonesia pada tahun 1990 yang menegaskan usia anak adalah 18 (delapan belas) tahun. Dalam hal ini melegalkan perkawinan bagi perempuan umur 16 (enam belas) tahun berarti pemerintah melegitimasi perkawinan anak-anak dan ini berarti tindakan kekerasan terhadap anak yang melanggar Hak Asasi Manusia. 149 Hasil penelitian Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Jakarta tahun 2000 mengungkapkan temuan bahwa rata-rata usia ideal perempuan untuk menikah berkisar 19,9 tahun dan usia laki-laki 23,4 tahun. Yang penting perlu dicatat kematangan usia tersebut berupa hasil akumulasi kesiapan fisik, ekonomi, sosial, mental dan kejiwaan, agama, dan budaya. Perkawinan membutuhkan kematangan yang tidak hanya bersifat biologis, melainkan juga kematangan psikologis dan sosial. Batas minimal usia nikah bagi laki-laki dan perempuan tersebut perlu ditambah menjadi 20 (dua puluh tahun), kira-kira setelah lulus SMU dan tidak perlu ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan.150 Ukuran kedewasaan bukanlah pada saat seseorang telah mencapai masa akilbalig. Karena masa akil-balig biasanya dialami oleh seseorang pada rentang usia 1417 tahun, yang biasanya ditandai dengan datangnya mimpi basah bagi laki-laki dan menstruasi bagi perempuan. Akan tetapi dalam masa sekarang datangnya mimpi basah atau menstruasi tidak sejalan dengan telah cukup matangnya pikiran seseorang 149
Siti Musdah Mulia, Islam &Inspirasi Kesetaraan Gender, (Yogyakarta: Kibar Press, Agustus, 2007), h. 141 150
Ibid., h. 141-142
sehingga dia telah memiliki kedewaaan berpikir. Generasi yang lahir pada zaman sekarang banyak yang telah memiliki kemasakan atau kematangan seksual, tetapi belum memiliki kedewasaan berpikir.151
Sehingga menurut hemat penulis
perkawinan di bawah umur hendaknya dihindari karena akan membawa efek yang kurang baik bagi pelakunya. Adapun praktik nikah di bawah umur apabila ditinjau dari perspektif hukum merupakan suatu pelanggaran, di mana para pelakunya seharusnya dapat dikenai sanksi. Namun, sayangnya dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak terdapat ketentuan pidana bagi para pihak yang melanggar ketentuan dalam Undang-Undang tersebut. Sanksi tersebut hanya dapat dikenakan kepada pihak yang membantu pelaksanaan nikah di bawah umur tersebut, yaitu terhadap Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang melanggar ketentuan dalam UndangUndang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut, yaitu dikenakan hukuman kurungan selama-selamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya 7.500;(tujuh ribu lima ratus rupiah), sebagaimana yang tertulis pada Pasal 45 ayat (1) point (b) Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dengan rumusan sebagai berikut: ”Pegawai Pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat (1), 11, 13, 14 Peraturan Pemerintah ini dengan hukuman selama-lamanya 3 (tiga bulan) atau denda setinggi-tingginya Rp.7.500;-(tujuh ribu lima ratus rupiah)”. 151
2002), h. 47
Mohammad Fauzil ‘Adzim, Indahnya Pernikahan Dini ,(Jakarta: Gema Insani Oress,
Ketentuan pidana tersebut apabila dikaitkan dengan kondisi sekarang sangatlah rendah dan sangat tidak cocok untuk diterapkan, mengingat sanksi kurungan yang terlalu ringan dan angka nominal yang terlalu rendah. Solusi terbaik adalah perlunya revisi ulang Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang masih banyak ditemukan kekurangan dan bias gender dalam pasal-pasalnya, di antaranya: Pertama; Masalah batas usia yang perlu ditingkatkan lagi dan tidak perlu ada lagi perbedaan usia dalam menetapkan batas usia antara laki-laki dan perempuan.152 Sebaiknya batas minimal usia nikah bagi laki-laki dan perempuan adalah 20 tahun, kira-kira setelah lulus SLTA. Dengan demikian tidak ada bias gender dalam menetapkan hukum perkawinan. Kedua; Ketentuan pidana yang konkrit dan tegas, dalam arti ketentuan pidana dicantumkan satu paket dalam sebuah undangundang, karena jika ditinjau dari ilmu perundang-undangan, salah satu adalah dicantumkannya ketentuan pidana (jika diperlukan). Namun, untuk lebih bersifat antispatif dan preventif maka ketentuan pidana ini mutlak diperlukan.153
152
153
Siti Musdah Mulia, Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender, h. 197
Dalam Penyusunan Peraturan Perundang-undangan harus memuat: a) Judul; b) Pembukaan; c) Batang tubuh yang memuat; 1. Ketentuan umum; 2. Materi pokok yang diatur; 3. Ketentuan pidana (jika diperlukan), 4. Ketentuan peralihan (jika diperlukan), dan 5. Ketentuan penutup; d) Penutup; e) Penjelasan (jika diperlukan); f) Lampiran (jika diperlukan). Lihat pada lampiran Undang Undang No.10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari pembahasan dan uraian yang penulis kemukakan pada bab sebelumnya, maka ada kesimpulan besar yang perlu penulis ungkapkan pada bab ini: Pertama, Dalam kitab-kitab fikih klasik tidak ditemukan nash-nash, baik secara eksplisit maupun implisit mengenai aturan batas usia nikah. Sehingga tidak terdapat ketentuan yang mengharamkan pelaksanakan nikah nikah di bawah umur. Sedangkan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menetapkan bahwa Perkawinan di bawah umur adalah perkawinan yang dilakukan pada usia di bawah usia 16 tahun bagi wanita dan di bawah 19 tahun bagi pria. Hukum perkawinan di bawah umur adalah dilarang keras dan harus dicegah pelaksanaannya. Kedua, Nikah di bawah umur seringkali berimplikasi negatif terhadap perempuan dalam hal hak dan kesehatan reproduksi. Meskipun secara kasuistis nikah di bawah umur pun dapat membawa dampak positif bagi pelakunya. Hak-hak reproduksi tersebut meliputi kesehatan perempuan baik secara fisik, mental, dan sosial. Adapun dampak negatif dari nikah di bawah umur ini gambarannya adalah terhadap fungsi-fungsi reproduksi, seperti ketidaksiapan mental dalam memiliki dan mengasuh anak, memilii banyak anak, dan mengalami kegagalan dalam rumah tangga sehingga berakibat terhadap perceraian pada usia yang relatif muda. Pelaku nikah di
bawah umur pada umumnya adalah laki-laki dan perempuan berpendidikan rendah yang mengenyam pendidikan hanya sebatas MI/SD, sehingga pengetahuan mereka sangat minim terutama terhadap 1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, khususnya Pasal 7 ayat (1) mengenai batas usia nikah, 2) Hak dan kesehatan reproduksi perempuan. Ketiga, Dalam hal Pasal 7 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 ayat (1) memiliki kaitan erat dengan masalah hak dan kesehatan reproduksi perempuan. Bahwa dengan batas usia yang rendah bagi seorang perempuan untuk menikah yaitu 16 tahun, maka permasalahan yang muncul daripada penerapan Pasal 7 tersebut semakin kompleks.
B. Saran-saran Dari kesimpulan tersebut di atas maka penulis hendak mengajukan beberapa saran kepada masyarakat pada umunya, pemerintah dan civitas akademika pada khususnya. Pertama, bagi masyarakat dan civitas akademika perlunya menafsir ulang beberapa nashsh-nashsh agama yang berkaitan dengan perintah menikah secara kontekstual. Artinya hendaklah teks-teks tersebut tidak dimaknai secara tekstual, namun lebih melihat pada sisi sosiologis suatu masyarakat dengan berpedoman pada maqashid al-syari’ah. Kedua, bagi pemerintah perlunya sosialisasi Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, berkaitan dengan batas usia pernikahan dan konsekuensi serta dampak-dampak negatif nikah di bawah umur. Sosialisasi tersebut dapat dilaksanakan
melalui berbagai macam seperti media cetak dan elektronik, ataupun secara langsung melalui penyuluhan-penyuluhan yang dilakukan oleh pejabat dalam lingkup kelurahan atau desa dengan bekerjasama dengan para pekerja kesehatan yang memadai. Ketiga, bagi pemerintah dan civitas akademika perlunya peninjauan kembali Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, berhubungan dengan adanya perbedaan batas usia nikah antara laki-laki dan perempuan. Karena hal ini sangat bias gender apalagi melihat perkembangan wanita Indonesia saat ini yang secara kualitas tidak berbeda dengan laki-laki. Sebagai bahan pertimbangan penulis mengajukan batas minimal usia pernikahan baik laki-laki maupun perempuan adalah 20 tahun. Keempat,
bagi
pemerintah
dan
instansi
penegak
hukum
perlunya
mengefektifkan ketentuan pidana bagi pihak-pihak yang bersangkutan dengan pelanggaran terhadap Pasal 7 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, terutama terhadap Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang dalam hal ini adalah bertindak sebagai seorang pejabat hukum. Kelima, bagi civitas di bidang pendidikan perlunya menggalakkan kesadaran dan pembelajaran terhadap masalah hak-hak dan kesehatan reproduksi perempuan semenjak dini yaitu bagi pelajar SLTP (remaja) dengan memasukkan kurikulum pendidikan reproduksi di sekolah-sekolah formal. Selain itu, perlunya peningkatan kurikulum pendidikan keagamaan bagi para pelajar pada khususnya dan terhadap masyarakat pada umumnya agar tidak mudah terjerumus dalam lingkar pergaulan remaja yamg semakin hari semakin memprihatinkan. Dengan demikian, upaya-upaya
yang dilakukan bersama-sama oleh masyarakat, civitas akademika, dan pemerintah diharapkan dapat meminimalisir dan terlebih mencegah adanya praktik pernikahan di bawah umur yang masih membudaya pada masyarakat Indonesia.
.
DAFTAR PUSTAKA Al- Qur’an Al-Karim Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Akademika Pressindo, 1995, Cet.I, Al-Husaini, Hamid, Baitun Nubuwwah, Rumah Tangga Nabi Saw, Jakarta: Pustaka Hidayah, Maret 1994, Cet.XXI Ali Nasif, Mansur, al-Taj al-Jami’ al-Ushul fi Ahadits al-Rasul, Beirut: Dar- alKutub al- ’Arabiyah jilid II Al-Jaziri, Abdurrahman, Al-Fiqh ‘ala Mazahibi al-Arba’ah, (Dar- al-Fikr, t.th), jilid IV Al-Kasani, Imam ‘Alauddin Abu Bakar bin Mas’ud, Badai’ al-Shanai’, Kairo: Daral-Hadis, 1426 H/2005 M, Juz III Al-Malibary, Zainuddin Fath al-Mu’in bin Syarh al-Qalyubi, Cirebon: al-Maktabah al-Misriyah, t.th Al-Mausu’at Al-Fiqhiyyah, Kuwait: Wazaroh al-Auqof wa al-Syu’un al-Islamiyah, 2002, Juz ke-41 Asy-Syirbini, Syaikh Syamsuddin bin Muhammad bin Khotib, Mughni al-Muhtaj, Beirut: Dar-al-Fikr, juz.III Al- Syauqah, Abdul Halim, Kebebasan Wanita, Jakarta: Gema Insani Press, 1999, cet. II Aminuddin, Mariana, Angka Kematian Ibu: Agenda Utama Masalah Hak Dan Kesehatan Reproduksi Perempuan dalam Jurnal Perempuan, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, edisi Mei, 2004, Amin, Ma’ruf, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, Jakarta: Elsas, 2008 Ansor, Maria Ulfah, Fikih Aborsi , Jakarta: Penerbit Kompas, September 2006, Cet. I.
Ansor, Maria Ulfah dkk, Kesehatan Reproduksi Bagi Komunitas Islam, Jakarta: PT. Fatayat NU, 2005 Burn, Agust dkk. Bila Perempuan Tidak ada Dokter, t.tp: INSIS, JKPIT, Ford Foundation, 1999 Daily, Peunoh, Hukum Perkawinan Islam Suatu Perbandingan Dalam Kalangan Ahlus Sunnah dan Negara-negara Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1994 DEPAG RI, Keadilan Dan Kesetaraan Jender (Perspektif Islam), Jakarta:Tim Pemberdayaan Perempuan Bidang Agama DEPAG RI, Desember 2001, Cet.I. DEPAG, Pedoman Konselor Keluarga Sakinah, (DEPAG: Dirjen BIMAS Islam & Penyelenggaraan Haji, Proyek Peningkatan Kehidupan Keluarga Sakinah, 2001 Djalil, A.Basiq, Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Fiqh dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Penerbit Qalbun Salim, Juni 2006 Djalil, A. Basiq Tebaran Pemikiran Keislaman Di Tanah Gayo, Jakarta: Qalbun Salim, t,th Djalil, A. Basiq, Peradilan Agama di Indonesia: (Gemuruh Politik Hukum (Hukum Islam, Hukum Barat, dan Hukum Adat) dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang Surut Lembaga Peradilan Agama hingga Lahirnya Peradilan Syari’at Islam Aceh, Kencana Prenada Media, 2006 Engineer, Asghar Ali, Hak-hak Perempuan Dalam Islam, Yogyakarta: LSPPA Lembaga Studi dan Pengembangan Perempuan dan Anak, Agustus 2000, Cet.II Hasmi, Edi Nur Psi (Direktur BKKBN), dalam Artikel Banani Bahrul Hasan, “Jalan Ketiga Nikah Dini-Seks Bebas” , Majalah Syir’ah: Edisi Mei, 2005 Hawari Dadang, Al-Qur’an, Ilmu Kedokteran Jiwa Dan Kesehatan, Yogyakarta: PT. Dana Bakti Prima Yasa, 1999 Hosen, Ibrahim, Fiqh Perbandingan Masalah Perkawinan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003, jilid I, Cet.I Ibnu Qudamah, Abu Muhammmad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad, Al-Mughni, Beirut: Dar- al-Fikr, 1405 H, juz.VI Jahar, Asep S., “Rabi’ul Awal: Maulid Nabi dan Siklus Kehidupan”, dalam Tim Penulis “Perempuan Dalam Hari-Hari Besar Islam”, Jakarta: PPIM UIN, 2008
Kartini Kartiono, Psikologi Wanita, Mengenal Wanita Sebagai Ibu & Nenek, Bandung: CV: Mandar Maju, 1992, Cet.I Kartono Muhammad, Kespro sebagai Hak dalam Jurnal Perempuan, edisi Mei, 2007 Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan Komunitas Kajian Ilmiah Lirboyo, Formulasi Nalar Fiqh: Telaah Kaidah Fiqh Konstektual , Kediri: Khalista, 2005 M, Ridwan Membongkar Fiqh Negara, Wacana Keadilan Gender Dalam Hukum Keluarga Islam, Yogyakarta: Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto & Unggun Religi, Oktober 2005, Cet.I Mahfudz, MA. Sahal, “Islam dan Hak Reproduksi Perempuan: Perspektif Fiqh”, dalam Syafiq Hasyim (ed). Menakar Harga Perempuan Bandung: Mizan, P3M dan TFF, 1999, Cet.I Mahfudz, Sahal, Nuansa Fiqh Sosial , Yogyakarta: LKIS, Oktober 2003, Cet.II Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Di Indonesia, Jakarta: Kencana renadya, Sept 2006, Cet. III. Mas’udi, Masdar F, Islam Dan Hak-hak Reproduksi Perempuan: Dialog Fiqh Pemberdayaan, Bandung: Mizan, Januari 1997, Cet.I Moleong, Lexy J., Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1998, Cet.ke-IX Moqsit, Abdul Ghazali, Badriyah Fayumi, Marzuki Wahud, dan Syafiq Hasyim, Keluarga Berencana Dalam Islam, Tubuh, Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan, Bunga Rampai Pemikiran Ulama Muda, LKIS, Rahima, Maret 2002 Mulia, Siti Musdah, Islam Dan Inspirasi Kesetaraan Gender, Yogyakarta: Kibar Press, Agustus 2007, Cet.II Muhammad, Husein, Fiqh Perempuan: Refleksi Kyai atas Wacana Agama dan Gender, Yogyakarta: Lkis April 2001, Cet.I.
Muzdhar, M.Atho’ & Dr. Khoiruddin Nasution.,Ed, Hukum Keluarga Di Dunia Islam Modern “Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern Dari Kitab Fiqh”, Jakarta: Ciputat Press, Oktober 2003 MUI dan UNICEF, Ajaran Islam Dan Penanggulangan Perkawinan Usia Muda, Jakarta: MUI, 1991 Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI, 2005 Naqiyah, Najlah, Otonomi Perempuan, Jatim: Bayu Media Publishing, Februari 2005, Cet.I Nasution, Khoiruddin, Islam Tentang Relasi Suami dan Isteri: Hukum Perkawinan I Dilengkapi Perbandingan UU Negara Muslim, Yogyakarta: Academia dan Tafazza, 2004 Nasution, Khoiruddin, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundangundangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, Jakarta: INIS, 2002 Nihayah Zahrotun dkk, Psikologi Perkembangan: Tinjauan Psikologi Barat dan Psikologi Islam, Jakarta: UIN Press, 2006 Nuruddin, Amir & Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No.1/1974 sampai KHI, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cet.III Rahman, Abdul Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Mazahibi Al-Arba’ah, Dar- al-Fikr, t.th, Jilid IV Ramulyo, M. Idris, Hukum Perkawinan, Hk. Kewarisan, Hk. Acara Pengadilan Agama Dan Zakat Menurut Hk. Islam , Jakarta: Bumi Aksara, 1999 Rasyid, Hamdan, ed, Fiqh Indonesia: Himpunan Fakta-fakta Aktual, t.tp: AlMawardi Prima, t.th Soekamto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986, Cet.III Soekamto, Soerjono, & Sri Mamudji, Penelitian Normatif suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006 Sopyan, Yayan, Sejarah Hukum Perkawinan di Indonesia (Seri kumpulan Rancangan UU), Jakarta: Fak. Syari’ah & Hukum Universitas Islam Negeri, 2007
Subekti, R dan R. Tjitrosudibyo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2004, Cet.VII, Subhan, Zaitunah, Menggagas Fiqh Pemberdayaan, Jakarta: el-Kahfi, 2008 Sukaedah, Een “Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Sikap Terhadap Kesehatan Reproduksi Remaja,” Studi Kasus pada siswa Kls.2 SMU Negeri Kota Tangerang, Tesis Program Pasca Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001 Suma, M. Amin, Himpunan Undang Undang Perdata Islam & Peraturan Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2005 Suma, M.Amin, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2004 Sumaya, ”Peranan BP4 dalam Upaya Pencegahan Pernikahan Dini”, Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006 Sururin dkk, Pendidikan Kesehatan Reproduksi Bagi Calon Pengantin, Jakarta: PT. Fatayat NU, September 2007 Sholeh, Asrorun Ni’am, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan Dan Keluarga, Jakarta: Elsas, 2008, Cet.II Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudlu’i Terhadap Pelbagai Problematika Umat , Bandung: Penerbit Mizan, Nov 1996 , Cet.IV Singgon, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003 Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fikih Munakahat dan UU Perkawinan, Jakarta: Prenada Media Kencana, Agustus 2007, Cet II, Thalib, Sayuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: UI Pers, 1998 WHO, Landasan Aksi Dan Deklarasi Beijing, Jakarta: Forum Komunikasi Lembaga Swadaya Masyarakat Untuk Perempuan dan Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan. t.th Zaini, M & Mukhtar Al-Shodiq, Membangun Keluarga Humanis, Jakarta: Graha Cipta, Januari 2005), Cet.I
Zuhaily, Wahbah, Juz.VII
Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, Beirut, Dar Al-Maktabah,
http://situskesreproinfo/genderlaw Diakses pada tanggal 06 Juni 2009
Lampiran 1: Wawancara dengan Ibu Za (Nama Samaran), pada 05 Agustus 2009 1. T: Kapan dan dimana anda dilahirkan? J: Tangerang, 40 tahun lalu 2. T: Apa pendidikan terakhir anda? J: MI 3. T: Apa pendidikan terakhir orangtua anda? J: Aliyah/SD, kini mereka telah berpisah 4. T: Apa pekerjaan orang tua anda? J: PNS/ Dagang 5. T: Anak keberapakah anda? J: Kedua, saudara saya yang pertama meninggal 6. T: Berapa jumlah saudara anda? J: Sekarang Satu (kandung) 7. T: Kapan dan dimanakah anda menikah? J: Tangerang, saya lupa waktu itu umur saya 15 tahun 8. T: Sudahkah anda memiliki anak? J: Ya, 9. T: Jika sudah, berapakah jumlah anak anda? J: Sembilan orang 10. T: Berapa usia anak sulung (pertama) anda? J: -+ 25 tahun 11. T: Apa pendidikan terakhir anak anda? J: Aliyah, kalau anak kedua saya D3 12. T: Apakah pendidikan terakhir suami anda? J: Tsanawiyah
13. T: Apakah pekerjaan suami anda? J: Wiraswasta 14. T: Tahukah anda tentang UU Perkawinan? J: Tahu, tapi tidak detail 15. T: Jika tahu, dapatkah anda menyebutkan salah satu aturan yang terdapat dalam UU tersebut? J: Masalah Usia Perkawinan 16. T: Pernahkah anda mendengar tentang kesehatan reproduksi perempuan? J: Tidak jelas 17. T: Jika iya, dapatkah anda menjelaskan tentang apakah kesehatan reproduksi itu? J: Mungkin soal kelahiran seperti itu. 18. T: Menurut anda pentingkah kesehatan reproduksi dipelajari oleh remaja, khususnya kaum perempuan dan Mengapa? J: Ya, Penting sekali 19. T: Pernakah anda mengikuti penyuluhan tentang rumah tangga J: Tidak 20. T: Jika pernah dimana dan siapa yang memberikan penyuluhan tersebut? J: – 21. T: Mengapa anda menikah di usia dini/muda? J: Karena adat 22. T: Anda menikah atas dasar kerelaan atau keinginan ortu/pihak tertentu? J: Bapak 23. T: Bagaimanakah anda menikah? J: di KUA 24. T: Apakah ada penambahan usia dalam perkawinan anda? J: Tidak tahu, Orang tua saya yang mengurus.
25. T: Apakah ada biaya dalam penambahan usia tersebut? J: – 26. T: Bagaimana keadaan Rumah Tangga anda sekarang? J: Baik, hanya saja kerepotan soal biaya hidup sehari-hari dan sekolah anak-anak 27. T: Bagaimana anda menyikapi keadaan Rumah Tangga anda sekarang? J: Saya tetap tabah menjalani apa adanya, walaupun hari-hari saya diliputi kesulitan saya sudah terbiasa. Tapi namanya manusia terkadang saya merasa sangat kecewa dan sedih dengan nasib dan kehidupan saya.
Lampiran 2: Wawancara dengan Ibu Mi (Nama Samaran), pada 01 November 2009 1. T: Kapan dan dimana anda dilahirkan? J: Tahun 1982, sekarang usia 27 tahun 2. T: Apa pendidikan terakhir anda? J: SD 3. T: Apa pendidikan terakhir orangtua anda? J: SD 4. T: Apa pekerjaan orang tua anda? J: Kuli/Dagang 5. T: Anak keberapakah anda? J: Tiga 6. T: Berapa jumlah saudara anda? J: Tiga 7. T: Kapan dan dimanakah anda menikah? J: Bogor, tahun 1997/umur 15 tahun 8. T: Sudahkah anda memiliki anak? J: Ya, 9. T: Jika sudah, berapakah jumlah anak anda?
J: Tiga orang 10. T: Berapa usia anak sulung (pertama) anda? J: Sebelas tahun 11. T: Apa pendidikan terakhir anak anda? J: Kelas 6 SD 18. T: Apakah pendidikan terakhir suami anda? J: SD 19. T: Apakah pekerjaan suami anda? J: Dagang 20. T: Tahukah anda tentang UU Perkawinan? J: Tidak 21. T: Jika tahu, dapatkah anda menyebutkan salah satu aturan yang terdapat dalam UU tersebut? J: – 22. T: Pernahkah anda mendengar tentang kesehatan reproduksi perempuan? J: Tidak pernah 23. T: Jika iya, dapatkah anda menjelaskan tentang apakah kesehatan reproduksi itu? J: – 18. T: Menurut anda pentingkah kesehatan reproduksi dipelajari oleh remaja, khususnya kaum perempuan dan Mengapa? J: Ya, penting 20. T: Pernakah anda mengikuti penyuluhan tentang rumah tangga J: Tidak Pernah 20. T: Jika pernah dimana dan siapa yang memberikan penyuluhan tersebut? J – 23. T: Mengapa anda menikah di usia dini/muda?
J: Karena adat 24. T: Anda menikah atas dasar kerelaan atau keinginan ortu/pihak tertentu? J: Kerelaan sendiri 23. T: Bagaimanakah anda menikah? J: di KUA 24. T: Apakah ada penambahan usia dalam perkawinan anda? J: Menikah usia lima belas tahun, tidak ada penambahan 25. T: Apakah ada biaya dalam penambahan usia tersebut? J: – 26. T: Bagaimana keadaan Rumah Tangga anda sekarang? J: Baik-baik, hanya saya merasa lelah merawat anak 27. T: Bagaimana anda menyikapi keadaan Rumah Tangga anda sekarang? J: Santai, biasa-biasa saja.
Lampiran 3: Wawancara dengan Ibu Siti (Nama Samaran), pada 01 November 2009 1. T: Kapan dan dimana anda dilahirkan? J: Bogor/24 tahun lalu 2. T: Apa pendidikan terakhir anda? J: SD 3. T: Apa pendidikan terakhir orangtua anda? J: SD 4. T: Apa pekerjaan orang tua anda? J: Tani 5. T: Anak keberapakah anda? J: Pertama 6. T: Berapa jumlah saudara anda? J: Tiga 7. T: Kapan dan dimanakah anda menikah?
J: Tahun 1997 di Bogor 8. T: Sudahkah anda memiliki anak? J: Sudah 9. T: Jika sudah, berapakah jumlah anak anda? J: Satu orang/perempuan 10. T: Berapa usia anak sulung (pertama) anda? J: Delapan tahun 11. T: Apa pendidikan terakhir anak anda? J: Kelas 4 SD 12. T: Apakah pendidikan terakhir suami anda? J: STM, Sudah berpisah 13. T: Apakah pekerjaan suami anda? J: – 14. T: Tahukah anda tentang UU Perkawinan? J: Tidak tahu 15. T: Jika tahu, dapatkah anda menyebutkan salah satu aturan yang terdapat dalam UU tersebut? J: Tidak, tapi pada saat menikah saya tahu umur saya belum mencukupi 16. T: Pernahkah anda mendengar tentang kesehatan reproduksi perempuan? J: Tidak pernah 17. T: Jika iya, dapatkah anda menjelaskan tentang apakah kesehatan reproduksi itu? J: Tidak, saya tahunya saya melahirkan dengan selamat dan anak saya sehat. 18. T: Menurut anda pentingkah kesehatan reproduksi dipelajari oleh remaja, khususnya kaum perempuan dan Mengapa? J: Ya penting…. 19. T: Pernakah anda mengikuti penyuluhan tentang rumah tangga
J: Tidak pernah, belum pernah ada kegiatan seperti itu di kampung.. 20. T: Jika pernah dimana dan siapa yang memberikan penyuluhan tersebut? J: – 21. T: Mengapa anda menikah di usia dini/muda? J: Adat/tradisi di kampong ini 22. T: Anda menikah atas dasar kerelaan atau keinginan ortu/pihak tertentu? J: Rela 23. T: Bagaimanakah anda menikah? J: di KUA 24. T: Apakah ada penambahan usia dalam perkawinan anda? J: Ya ada ditambah menjadi dua puluh satu tahun 25. T: Apakah ada biaya dalam penambahan usia tersebut? J: Sepertinya tidak ada, lancar-lancar saja 26. T: Bagaimana keadaan Rumah Tangga anda sekarang? J: Sudah berpisah kira-kira dua tahun lalu 27. T: Bagaimana anda menyikapi keadaan Rumah Tangga anda sekarang? J: Tegar, saya mempunyai warung kecil-kecilan untuk biaya hidup
Lampiran 4: Wawancara dengan Nyai, pada tanggal 01 November 2009 1. T: Kapan dan dimana anda dilahirkan? J: Februari, 15-06-1984 2. T: Apa pendidikan terakhir anda? J: SD 3. T: Apa pendidikan terakhir orangtua anda? J: SD 4. T: Apa pekerjaan orang tua anda? J: Tani 5. T: Anak keberapakah anda?
J: ke enam 6. T: Berapa jumlah saudara anda? J: Lima 7. T: Kapan dan dimanakah anda menikah? J: Bogor, Sept 1999/usia 15 tahun (Buku Nikah Ditunjukkan) 8. T: Sudahkah anda memiliki anak? J: Sudah 9. T: Jika sudah, berapakah jumlah anak anda? J: Satui 10. T: Berapa usia anak sulung (pertama) anda? J: Delapan tahun/laki-laki 11. T: Apa pendidikan terakhir anak anda? J: Kelas 2 SD 12. T: Apakah pendidikan terakhir suami anda? J: SD 13. T: Apakah pekerjaan suami anda? J: Dagang 14. T: Tahukah anda tentang UU Perkawinan? J: Tidak tahu… 15. T: Jika tahu, dapatkah anda menyebutkan salah satu aturan yang terdapat dalam UU tersebut? J: – 16. T: Pernahkah anda mendengar tentang hak-hak dan kesehatan reproduksi perempuan? J: Tidak pernah 17. T: Jika iya, dapatkah anda menjelaskan tentang apakah kesehatan reproduksi itu? J: –
18. T: Menurut anda pentingkah kesehatan reproduksi dipelajari oleh remaja, khususnya kaum perempuan dan Mengapa? J: Ya, penting 19. T: Pernakah anda mengikuti penyuluhan tentang rumah tangga J: Tidak pernah ada di kampung 20. T: Jika pernah dimana dan siapa yang memberikan penyuluhan tersebut? J: – 21. T: Mengapa anda menikah di usia dini/muda? J: Adat 22. T: Anda menikah atas dasar kerelaan atau keinginan ortu/pihak tertentu? J: Rela 23. T: Bagaimanakah anda menikah? J: di KUA 24. T: Apakah ada penambahan usia dalam perkawinan anda? J: Ada ditambah menjadi dua puluh tahun 25. T: Apakah ada biaya dalam penambahan usia tersebut? J: Tidak ada, hanya nembak Rt/Rw 26. T: Bagaimana keadaan Rumah Tangga anda sekarang? J: Baik-baik saja, repo mengurus anak 27. T: Bagaimana anda menyikapi keadaan Rumah Tangga anda sekarang? J: Ya gini-gini aja Lampiran 5: Wawancara dengan Ibu Meri, pada 07 November 2009 1. T: Kapan dan dimana anda dilahirkan? J: Jakarta 45 tahun lalu 2. T: Apa pendidikan terakhir anda? J: SMP 3. T: Apa pendidikan terakhir orangtua anda?
J: Orang tua angkat/SMA 4. T: Apa pekerjaan orang tua anda? J: Pertamina 5. T: Anak keberapakah anda? J: Ke-Sepuluh 6. T: Berapa jumlah saudara anda? J: Sembilan (saudara angkat) 7. T: Kapan dan dimanakah anda menikah? J: Tahun 1978/Usia 14 tahun, di Jakarta Kota 8. T: Sudahkah anda memiliki anak? J: Sudah, sudah ada yang menikah 9. T: Jika sudah, berapakah jumlah anak anda? J: Tiga orang 10. T: Berapa usia anak sulung (pertama) anda? J: Tiga puluh tahun 11. T: Apa pendidikan terakhir anak anda? J: S2 12. T: Apakah pendidikan terakhir suami anda? J: S3 13. T: Apakah pekerjaan suami anda? J: Pelayaran 14. T: Tahukah anda tentang UU Perkawinan? J: Tahu sedikit 15. T: Jika tahu, dapatkah anda menyebutkan salah satu aturan yang terdapat dalam UU tersebut? J:
Soal aturan umur nikah
16. T: Pernahkah anda mendengar tentang kesehatan reproduksi perempuan?
J: Pernah, meskipun nikah muda tapi saya orangnya gaul dan rasa ingin tahu saya besar. Saya juga orangnya sangat sadar dengan kesehatan. 17. T: Jika iya, dapatkah anda menjelaskan tentang apakah kesehatan reproduksi itu? J:
Soal kehamilan, kelahiran dan sebaginya
18. T: Menurut anda pentingkah kesehatan reproduksi dipelajari oleh remaja, khususnya kaum perempuan dan Mengapa? J:
Penting sekali, supaya aman dari penyakit dll..1
19. T: Pernakah anda mengikuti penyuluhan tentang rumah tangga J: Tidak Pernah 20. T: J:
Jika pernah dimana dan siapa yang memberikan penyuluhan tersebut? –
21 . T: Mengapa anda menikah di usia dini/muda? J: Keyakinan agama orang tua angkat (Islam) saya/kekhawatiran orang tua akan pergaulan bebas. 22. T: Anda menikah atas dasar kerelaan atau keinginan ortu/pihak tertentu? J: Dijodohin, awalnya terpaksa. Waktu itu mental saya belum siap dan saya langsung hamil. Saya tidak tau apa-apa soal hamil, melahirkan dan lain-lain. 23. T: Bagaimanakah anda menikah? J: di KUA 24. T: Apakah ada penambahan usia dalam perkawinan anda? J: Tidak ada 25. T: Apakah ada biaya dalam penambahan usia tersebut? J: – 26. T: Bagaimana keadaan Rumah Tangga anda sekarang? J: Alhamdulillah sangat harmonis dan bahagia. Awal-awal saya mengalami schok tapi setelah melahirkan anak pertama saya amat bahagia. 27. T: Bagaimana anda menyikapi keadaan Rumah Tangga anda sekarang?
J: Bahagia sekali, suami saya orangnya amat sayang dan pengertian dan berpendidikan meskipun saya harus sering berpisah karena tugas.