PEMBANARUAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI MENUJU ERA SERTIFIKASI EKOLABEE Oleh : Fgkultas Kehutman Institut Bertmim Bogor (IPB) PO Box 168 Bogor 16001
Pengus hutan alam produksi di Indonesia yang dilaks dengan tit& tolak diterbi a UU Polkok Kekutanran No. 5 Tahun 1967, a 28 tahun. Dalam rentang waktu selarna itu, s q a i kini suck& berjal kekayaan a l m hutan produksi telah terbukti marnpu mendukung kebutuhan pernbangunan nasional, temtama dalarn mendukung perolehan devisa dan penyerapan tenaga kerja. Pengusahaan hutan produksi juga &rut mengantarkan perkembangan perolehan pendapatan per kapita penduduk Indonesia, dari hanya sebesar US$ 70,- pada tahun 1969 menjadi US$ 884,- pa& tahun 1994 (Komps, 3 April 1995). Prestasi tersebut dapat dicapai melalui serangkaian pemberian insentif bagi investor swasta bidang kehutanan dengan cara memberikan kesempatm untuk dapat turut serta melaks an pengelolaan hutan alam produksi melalui Hak Pengusaham Hutan (IIPII) serta pembangunan industri pengolahan kayu. Sampai dengan Januari 1995 tercatat banyaknya industri pengolahan kayu berupa : pabnk penggergajian (303 unit), kayu lapis (1 13 unit) pulp (4 unit), chipmill (5 unit) dan blockboard (78 unit), yang terkait dengan WI-I dengan kebutuhan kayu bulat sebesar 43.617.400 m3 per tahun. Sedangkan pabrik penggergajian (2042 unit), chopstick (58 unit), korek api (8 unit), chipmill (8 unit), papan partikel (39 unit), blwkboard (24 unit), kayu lapis (7 unit), pencilslat (9 unit) yang tidak terkait dengan HPH memerlukan bahan baku kayu bulat sebesar 24.235.400 m3 per tahun (DEPHUT, 1995). pembangunan ekonomi selama PJPT I telah terjadi rdaya alam yang mendukung laju pertumbuhannya. Bahan tambang/migas yang sentula menempati posisi utama, kini digafitikan oleh sumberdaya non migas. Oleh karena itu peran sektor kehutanan, terutama peran pengushaan hutan prduksi, menjadi tidak terelakkan untuk senantiasa mendukung pembangunan ekonomi . Apabila dari jumlah kapasitas di atas, antara 70% - 80% merupakan produksi nyata, maka realisasi kebutuhan bahan baku kayu bulat menjadi antara 47,5 juta m3 sampai 54,2 juta m3 per tahun. Sementara itu pasokan kayu bulat
&lam jangka pendek menurut Menteri KeAutman (Bisnis Indonesia, 28 Pebruari 1995) akan mengandalkan hutan alam sebesar 22,5 juta m3, hutan rakyat sebesar 11,4 juta m3 d m ijin p kayu sebesar 3,7 juta m3, sehingga jumlah pasokannya sebesar 37, er tahun. Dengan demikian sebelum HTI marnpu menyumbmgkm hasilnya, setiap tahun &an terjadi defisit kayu bulat antara 9,9 juta m3 smpai 16,6juta m3. Perhatian masyarakat internasional terhadap pennasalahan global di bidang pembangunan sumberdaya a l m secara nyata dimulai pa& Konferensi Bumi (Earth S u m i t ) atau Konferensi PBB mengenai Lingkungm I-Iidup dan Pernbangunan (UN Conference on Environment and development, UNCED), Rio de Janeiro, Juni 1992. Perkembmgmya kini menunjukkm adanya kelompokkelompok di berbagai negara mempunyai penekanan b j u m yang berbeda dalam mrumuskan program sertifikasi ekolabel. Meskipun demiluan secara umum i, .,jtujuan sertifikasi ekolabel &an terdiri atas satu atau lebih dari hal-hal sebagai ? befit : a. Meningkatkm kepedulim konsumen terhadap hubungan antara industri dengan lingkungm hidup. b . Meningkatkm keyakinan d m penerirnaan konsumen c. Unpuk memodifikasi periiaku konsurnen ? d. Untuk meningkatkan kualitas lingkungan global e. Untuk meningkatkan pangsa pasar f. Menyediakan segmentasi produk .' g. Menyediakm tujuan audit terhadap pelaksanaan manajemen hutan h. Mempromoslkan pengelolm hutan produksi lestari i. Menunjukkm bahwa manajemen hutan mengandung unsur-unsur pelestarian produksi d m ekonomi, ekologi dan sosial. Adanya bepturm .gta1:akepentingan ekongmi dg-tuntutan . .. . ...... kepentingm pelesr;ir_harn--funi:~i~hu.tan.@~~~~-~~~.i~-.-y-~g .mtara lain dtunjukhtan oleh tejadinya defisit pasokan kayu di atas, menunjuMm bahwa pernasalahan utama pengelolaan hutan lestari bersifat makro, sehingga pemecahannya terlebih dahulu perlu.dilakukm pada tingkat ini. Di Iuar masalah makro tersebut, ec~labellingyang pada prinsipnya menghendaki berimgsungnya pengelolam hutan produksi secara lestari, bukanlah sesualu wujud barang baru. Berbegai disiplin i h u ymg diajarkan di seluruh Fahltas Kehutanan memberikm pengertian dan wawasan mengenai ologi, metoda, s e m keterampilan mengenai teknik-teknik untuk peragelolaan hutan secara lestari. Berbagai peraturan pengusahaan hutan produksi telah mengikat apa yang hams dilaksmakan dan apa yang dilarang dilaksanakan. Pemasaiahamya adalah rnengapa peraturan yang ada tidak sepenuhya dapat dialankan. Dengan demikian ha1 yang dimggap paling penting adalah masalah pengendalian perilah pelah ekonomi. x
.
tsJJ
fl-.
1
Dalam makalah ini diutarakan persepsi mengenai ekolabel bagi konsumen dan procfusen, integrasi konsep teknis dan konsep kelernbagaan dalam rangka mengendalikan peril& pelaku ekonorni, rnenentukan prasyarat pengelolaan hutan produksi lestari, serta faktor-faktor yang menentukan pernbahaman kebijaksanan @olicy reform) yang perlu dilaks Dalm kesempatan ini sangat baik apabila berbagai ang terkait dengan pembangunm kehutanan pada u a dan proses sertifikasi ekolabel pa& khususnya &pat memmuskm persepsi yang sama pa& tingkat konsepsi, pennasalahan, serta strategi yang paling tepat untuk mencapai pengelolan hutan secara lestari. Pessepsi terhadap Ekolabel A. Meputusan Konsurnen 1. Pengaruh Daya Beli Konsurnen
dep n i
/
Ekoiabel adalah pemberian atribut Iingkungan terhadap produk, baik kayu maupun non kayu, yang dikehendaki oleh konsumen p tersebut. Atribut linghngan yang hams digunakan sehubungan dengan penggunaan produk kayu adalah dilaksanakannya pengelolaan hutan, sebagai surnber kayu, secara lestari. T-at -perbedan pengertim -- - dengan pengelolaan hutan secara lestari (sustainable Forest ing tergantung kepada tercapainya SFW keabsahan an SFM, juga tergantung dari keabsahm pelaksanaan timber tracking. Sedangkan SFM adalah pelaksanaan pengelolaan hutan yang dapat terkait atau tidak terkait dengan ekolabel. Ekolabel &pat dipersamakan pula dengan sebuah standar prod&, ymg dapat rnernberi dua kemungkinan : a. Dalam perdagangan, produk yang berstandar selalu rnem ebih tinggidafipada produk sempa yang tidak berstandar. ebih .,/ . tfrnggl ini diharapkm dapat memberikan dorongan atau insentif bag1 produsen untuk mencapainya. Apabila ini terjadi, ekolabel sebagai standar benar-benar dapat memberikan nilai ekonomi bagi produsen, sehingga pengelolaan h u m secara lestari dapat diwju&an inhlalui sertifikasl ekolabel. b. Standard produk, dalam ha1 tertentu tidak selalu berhubungan dengan harga produknya, tetapi standar tersebut berguna untuk dagat mernasuki segmen pasar tertentu. Dalam perdagangan akan memberikan pengamh terhadap peningkatan perm (share)produk tersebut untuk memasuki pasar.
-
Penelitian di USA (1993) terhadap 12.000 konsumen dengan pendapatan lebih besar dari US$ 50,000,- per tahun menunjukan bahwa apabila ada ekolabel, 68% diantaranya bersedia rnembayar lebih besar dari harga furniture yang biasa ditawarkan, sedangkan sisanya tidak bersedia. Dari 68% konsumen tersebut, 26% bersedia mernbayat 1 - 5% lebih tinggi, 33% bersedia membayar 6 - 10% lebih tinggi dan sisanya 8% bersedia membayar ill - 15% lebih tinggi. Sementara itu penelitian 1UK (1991), tidak disebutkan ju respondemya, 33% konsumen bersedia membayar 13% lebih tinggi daripada harga yang biasa berlaku (ITTO, 1994). Tentu saja +a-angka di atas belurn &pat menggarnbarkan kenaikan harga yang sesungguhya, karena sangat banyak faktor lahnya yang hams dipertimbangkm. Namun demikian, dengan semakin be a potensi sediaan kayu dibandngkan dengan perkembangan pemin di masa mendatang, kenaikan harga kayu akan lebih banyak daripada standar produk. Dalam skala kecil, bagi konsumen di &lam negeri, kondisi ini dapat dilihat dalarn perdagmgan kayu di DKT Jakarta. Masyardat Jakarta cendemng selalu menerima kayu gergajian yang dipasarkan meskipun ukurannya kurang memenuhi standar (undersize).
-
Sifat lain yang spesifik dari ekolabel adalah sifat tidak eksklusif. Penerapan kriteria dan indikaar yang dapat menguhr pengelojlaan hutan secara lestari tergantung gada : a. Apakah indikator tersebut-diberlakukan pada tingkat internasional, nasional, regional atau lokal ? b. Apakah akan diterapkan pa& hutan milik negara atau hutan rakyat, pada hutan alam atau hutan tanaman ? c. Apakah type hutan mempengamhi penetapan kriteriia dan indikator ? d. Apakah penetapan indlkator tersebut dipengamhi oleh kondisi sosial ekonomi dan linghngm setempat ? Antara tingkat penilaian, kepernilikan sumberdaya, type hutan, serta kondisi spesifik sosial dan lingkungan berpengamh satu sama lain dalam penetapan kriteria dan indikator pengelolaan hutan produksi lestari. Kornpleksnya faltor-faktor yang mempengaruhi penetapan kriteria d m indikator ini memberikan potensi kurangnya keabsahan infomasi penilaiannya. Di samping itu keabsahan infomasi masih sangat tergantung dari mekanisnie tata niaga yang sedang berjalan, hasil tirnbm tracking, serta kredibilitas lernbaga yang memberikan sertifikasi. Hal ini sangat berbeda bila standard produk yang dimaksudkan bempa jenis kayu, ketepatan ukuran, design, dll. yang dapat dinila~ secara langsung oleh konsumen sehingga dapat diperkirakan berapa harga yang pantas untuk dibayar
3. Pengaruh Liberalisasi Perdagangan
-
0 Perdagangan multilateral diatur bersama oleh kelompok GA Kebijaksanaan GATT dalam mgendalikan perdagangan intemasional &an dilaksanakan dengan mengurangi segala jenis hambatan pemasaran agar menuju tercapainya pasar persaingan sempuma. Melalui SK Menteri Keuangan No. 534KMK.0 13/92, Indonesia saat ini masih memberlakuh pajak ekspor cukup tinggi untuk kayu gergajian (US$250 - US$4,800 per m3) dan untuk kayu bulat (US$ 500 - US$ 4,800 per m3). Pada saatnya pajak ekspor ini juga harus ditunmkaan. Tentunya ha1 ini membawa problerna tersendiri yang perlu dikaji dmpak positif dan dampak negatifnya. Dalam kaitmya dengan sertifikasi lingkungan ditetapkan Agrrernent of Technical Barrier to Trade (TBT) yang bertujuan untuk menghindari ketidak pastian pernecahan hambatan perdagangan yang t h b u l . Perlu kesamaan atau gersamaan atas standar internasiond rneskipun satu dengan lainnya tidak sama, untuk mengurangi hambatan perdagangan. Prinsip tidak lebih rnembatasi perdagangan daripada yarag seharusnya membedan pengertian bahwa ecolabelling merupakan standar yang bersifat sukarela (on vohntary basis). Pejanjian TBT mengisyaratkan bahwa d a l m penetapan ecolabelhg perm pemerintah diperkecil atau bahkm ditiadakan. Produk yang diirnpor dari wilayah negara-negara anggota hams diperlakukan s m a dengan yang berasal dari negaranya sendiri dan yang dari negara m m p u n juga. Bagaimma sikap konsumen-Indonesia apabila AFTA yang pelaksanaannya akm dimajukm rnenjadi tahun 2000 jadi dilaksanakm ? Apabila suatu saat konsumen Indonesia bisa mendapatkan mebel buatan Jepang atau Taiwan dengan kualitas lebih bagus dan harga lebih murah daripada misalnya, Ligna, apakah konsumen Indonesia juga menghendaki ekolabel dari produk impor tersebut ? Bagaimana kalau kayu yang dipergunakan sebagai bahan baku mebel tersebuc berasal dari Indonesia ? Dengm peraturan GATT di atas, apabila produk asing diberlahkm ekolabel dan diperdagangkan di &lam negeri, maka secara otomatis produk asing merninta persamaan haknya terhadap produk dalam negeri yang menjadi pesaingnya. Dengan dernikian atas tuntutan persmaan perlakuan, berarti Ligna, atau produk merk lain yang dijual di dalam negeri juga perlu ekolabel. -
.
-
B. Keplatusan Produsen
D a l m ha1 sertifikasi ekolabel sebagai faktor penentunya, serta dengan memperhatikm ketentuan perdagangan ifiternasional oleh GA
produsen juga dapat memiliki sikap sukarela untuk me menu^ atau ti& konsumen, dengan alasan sebagai berikut : hi atribut lingkungan yang diminta konsumen memerlukan biaya tambahan lebih tinggi daripada harga tambahan yang bisa dibayar konsumen, maka sepanjang ada segmen pasar l a m y a yang dapat menerima produk tanpa atribut lingkungan, produsen dapat menghindar~ ekolabel. kondisi tersebut, tetapi produsen mendapat insentif laimya, misalnya b. baik dalarn lingkungan bisnis nasional maupun internasional, ada harapan prdusen akan &pat memenuhi pemi konsumen yang berupa atribut lingkungan. c. Apabila untuk memenuhi atribut lingkungm yang konsurnen memerlukan biaya tarnbahan lebih rendah daripada harga tarnbahan yang bisa dibayar prdusen, akan ada harapan bahwa produsen &an berusaha mendapatkan sertifikasi ekolabel. 2. Pengaruh Integrasi Vertikal MPN-Industri
D a l m ha1 perdagangan, produsen yang dimaksud adalah penjual, yaitu pabrik pengoldan kayu, asosiasi perdagangan, dan distributorlretailer, yang melaksanakan penjualamya secara langsung kepada konsumen, yaitu plhak yang secara langsung dapat menihati keuntungan (imsentifl atau menderita kerugian (disinsenti4) akibat mengikuti atau tidak menghti sertifikasi ekolabel. D a l m ha1 pengelolm hutan produksi, maka produsen yang dimaksud. Oleh karena itu perlu kan adalah pemegang I-ZPH, baik swasta ataupun B memberikan penelahaan bagaimana hubung ra produsen versi perdegangan dan produsen versi pengelolaan huban produksi. Atau hubungan antara distriburit/asosiasi/pabrik pengoldan kayu di satu pihak dengan EPH cb pihak lain. D a l m kaitan ini, apakah bila distributir1asosiasY pabrik pengolaan kayu mendapatkan keuntungan, berarti HPW juga akan m e n d a p a h keuntungan ? Dalam kondisi IIPH dan pabrik pengolahan kayu terpisd pemilikannya, yang berarti terpisah dalam pengmbilan keputusan pemsahm, maka &an terbentuk pasar kayu bulat yang harganya dapat dipengamhi oleh timbulnya insentif kenaikan harga produk pabrik perkayuan akibat sertifikasi ekolabel. 'ifetapi apabila terdapat integrasi vertikal antara P-TPH d m pabrik pengolahan kayu, dimana pengmbil keputusan diantara keduanya berada dalam satu tangan, maka ~nsentifyang ada belum tentu dapat dinihati oleh HPW sebagai sumber bahan bakunya. Dengan kata lain, nilai akumulasi kapital yang dlperoleh pabrik perkayuan sebagai akibat dari keuntungan yang digeroleh tidak semra langsung rnenjadi insentif bagi IU?H miliknya sendiri. Pencip bagi KPH sangat tergankng kepada apakah tindakan menyalurkan kapital dari
pabrik pengolahan kayu ke IIPH tersebut mempunyai opportunity cost yang tinggi. Oleh karena itu dalam pandangan ekonorni, meskipun sertifikasi ekolabel marnpu mernberikan nilai lebih atas produ perkayuan yang diperdagangkan, n m u n bila pabnk pengolahan kayu tersebut berintegrasi secara vertikal dengan I-IPH, nilai lebih tersebut belum tentu &pat ati oleh 'HPhya. Dengan kata lain, seandainya sertifikasi ekolabel rnampu mernberikm insentif ekonomi, IFPH-IFPH yang berintegrasi secara vertlkal dengan industrn perkayuan beIum tentu mendapatkan insentif ekonomi dari adanya sertifikasi ekolabel tersebut.
Bagi produsen, salah satu cara untuk &pat bersaing dalam era liberalisasi perdagangan dan kemdian ditambah pula berl ekolabel adalah meningkatkan efisiensi proses produksi yang d i l a k s a n h . Hal ini sudah menjadi pengetahurn umum misahya melalui media m a , bahwa peningkatm efisiensi mernpwyai kaitan sangat erat dengan distorsi pasar yang saat ini terjadi seperti monopoli, oligopoli, kartel. Di s w i n g itu juga dipengamhi oleh kondisi tertentu yang menyebakm ekonorni biaya tinggi, seperti telah diungkapkmya masalah K2 (kompsi dan kolusi). Secara akademik kondisi-kondsi seperti itu sangat berpengaruh terhadap pencapaim efisiensi proses produksi. b y a saja pembahasmya selama ini terasa sangat tertutup. Padaha1 dengan mengabaikan masalahrnasalah seperti itu s m a saja dengan menutup salah satu kemungkinan tercagainya pengelolaan hutan secara lestari.
6. Posisi Ekolabel Dalan jangka pendek, sebagai akibat dari adanya integrasi vertikal antara industri perkayuan dm I-IIPW dianggap sudah menjadi prasyarat dan belum menentunya rnekanisme pelaksanaan timber tracking yang hams dilaksanakan, maka secara teoritis sertifikasi ekolabel ti& &an mernberikan h g s i esensiahya, yaitu memberikan insentif atau keuntu ymg melaksanakmya. Bengan dernikian para pencinta linghngan yang mencoba untuk memaksakan kehendaknya melalui mekanisme perdagangan internasional tidaklah s e p e n h y a tepat sasaran. Bahwa akhimya dengan a h y a ekolabel pemerintah darn pihak lain memberikan law enforcement untuk rnelaksanakm pengelolaan hutan produksi secara lestari, addah langkah lain di luar esensi sertifikasi ekolabel itu sendiri. Artinya, apabila melalui Paw enforcement sebagai pendek dilatar-belakangi oleh pelaksanaan sertifikasi ekolabel.
Oleh karena itu untuk mencapai pengelolaan hutan produksi llestari lebih dikembalikan hutan yang esensinya meliputi tiga tujuan a. M e n ~ p akelestarian i prduksi b. M e n q a i kelestarim fungsi sosial-budaya c. Meneapgi kelestarian fimgsi lingkungm
b&
Integrasi Konsep T e ~ dm s Konsep K e k r n b a g w Sebelurn membahas materi unhnk mencapai pengelolaan hutan secara an atau pendebtan yang subyek ataupun obyek untuk yang menja$i obyek misahya &ah
k a w m hutan dengan
pengedan jenisnya, kesesuaian mbuhnya, kondisi pemu ya, invenhrisasi potensinya, cars menebangnya, dl. Sernua ini sangat penthg, karena tanpa p e n g d u a n teknis yang memadai, tidak mun& pengelolaan hutan yang benar &pat dilaksan Berdasarkan penge&uan teknis tersebut kerndim bbuatlah peraturan d m petunjuk teknis untuk menjdankan atau melarang kegiatan tertentu. Namun cfernikan, bagairnana teknis tersebut dapat dilaks tidak c h p hanya aga kerja yang ahli d m sanggup untuk melds ya. Ofeh karena itu perlu jawabm atas pertanyam, misalnya peraturm yang tick& beqalan ? Pendekatan kelernbagaan mengatur hubungan anhr selumh pelaku yang terlibat, agar di antara yang terlibat itu mengetahui secara jelas batas-batas kewenangmya biurisdictional boundary) d m selumh kewajibmya sehingga t~dakada yang dimgikm. Hubungan ini ternyata sangat unik karena sangat tergantung dari sifat surnberdaya yang &kelola. D a l m pengelolam hutarm, sifat yang sangat Whas a&l& keny bahwa hutan a l m produksi milk negara (stateprogem). lapabila pengelolaan hutan produksi diserahkan kepada pihak lain (swash atau koperasi), hak-hak yang diberikan kepada rnereka hams : 1. Jelas dan spesifik (eksklusif) serta sesuai dengan karakteristik badan usaha yang melaksanakannya. Apabila h&-ha& tersebut tidak spesifik, &an terjadi kerancum persepsl dan interprehsi yang pa& gilirannya &an meningkatkan biaya untuk menjalankan d m menjaga (policing & exclusion cosi) hak-hak tersebut. Badan usaha mempunyai karaScteristik tertentu, misalnya swasta senmtiasa &an men peroleh hnmngm. Oleh karena itu perlu spesifikasi aktivitas ymg sesuai dengan karaktehistik
swasta. Hal-ha1 yang menyanght kebu publik ti& &an menarik bagi swasta, s e b g g a p e m e ~ perlu a mengmbil alih. 2. Hak-hak tersebut harus enforceable dan transferable, sehingga pihak yang menerirna hak benar-benar mernilk hak tersebut, &lam arti dapat menjadi asset yang perlu dipellhara agar nilainya ti& m u m . Tanpa memperhatikan spesifikasi hak un& melaksanakan pengelolaan hutan, secara teoritis pemegang hak ti& pernah rnendagatkan insentif untuk &pat menjalankan misi usahanya &lam jangka panjang, sehingga aktivitas yang diutarnakan hanya menyangkut aktivitas yang berkaitan dengan hal-ha1 yang mendatan&m penghasllan dalam jangka pend hutan adalah b h w a hutan Sifat spesifik yang kedua dari pengus sebagai surnberdaya a l m bersifat ter rniliki biaya peng (excIusion cost) tinggi. Pengmanan yang m e n g a n g art1 : rnelebihi riapnya a yang tidak efisien. an hutan, bukan hanya pennasalahan peng diperlukan upaya pengavvasan d m kontrol, tetapi lebih daripada itu diperlukan upaya kelernbagaan. Sistem pengusahaan hutan harus benar-benar meIllberikan transfer hak pernilikan @roferty right) sehingga hutan, secara ekonomi ada yang memilikinya. Penyerafian hak pengusahaan hutan dari pemerina kepada wash atau koperasl perlu dibarengi adanya semacm garansi dengan nila~yang cukup, s e b g g a apabila hutan tersebut rusak atau hilang, pemegang hak akan rnenderita kerugian. Adanya garansi ini secara teoritis akan mewuJiudkan seyinterest bag1 pernegang hak untuk mengmank Hal lain yang penting adalah sistem pernungutan pajak. Secara ideal pajak hasil hutan yang saat ini bempa DR clan IUM, berdasarkan pohon berdiri. Kesulitan-kesu ha1 tersebut tidak dapat dilaksanakan Darnpak positif, apabila pajak ditetapkan berdasarkan pohon berdiri adalah : a. Volume per ha hasi cruising baik mengenai jumlh pohon, volume, rnaupm kornposisi jenis kayunya rnenjadi bagian sangat genting. Karena ha1 ini sangat menentukan jurnlah pajak yang harus dibayar. Pentinpya data hasil cruising ini diharapkan menjadi pemicu untuk melaksanakmya dengan sungguh-sun@. Bila perlu untuk menetapkan kebenaran data hasil cruising dapat dilaksanakan melalui kontrol silang dengan berbaga~pihak misalnya perguruan tinggi, lernbaga penelitian atau ESM. b. Apabila jumlah pajak ditetqkan berdasarkan tegakan berdiri, pelaksanam pelnungutan kayu akan dengan sendirinya akan dilakukm dengan efisien. Apabila tidak dilaksanakan, biaya produksi per rn3 kayu bulat akan semakin besar. Hal ini memberikan implikasi yang cukup luas, karena untuk dapat
melaksana9tan efisiensi diperlukan tenaga profesional. S e b a l h y a apabila keputusan perusaham untuk &pat menirngkatkan keuntungannya &pat dilaksanakan tanpa melaIui efisiensi, maka penghargaan terhadap tenaga profesional akan berkurang. Beberapa aspek kelembagam dan ekonomi tersebut di atas merug jawaban &lam hipotetis terhadap hambatan-hambatan dalam pela;ksmaarn aturm-aturan teknis. Dengan demikim, aspek kelembagaan ini menjadi bagim yang tidak terpisahkan ddam upaya untuk mencapai pengelolaan hutan secara lestari. Ura~an di atas memberikm i I b&wa pengukuran kinerja dperformance) pengelolaan hutan ti& dapat hanya dikaitkm dengan unit pengelolamya WM) saja. Tetapi perlu pula dikaitkm dengan bentuk-bentuk aturan main dan organisasi pemerintah yang mengatur dan melaksmakan sistem pengusahaan hutan yang telah ditetapkan.
Sikap yang dianggap terbaik untuk meneqatkan ekolabel adalah dengan menganggap sebagai exiernal pull JwIctor unmk melaksanaikan percepatan dicapainya pelestarian hutan (alam) produksi. Kriteria dan indikatol;/' penetapan pengeiolam hutan produksi lestari perlu &%angun, tetapi yang sesungguhya jauh lebih penting adalah rnenciptakan kondisi agar kriteria dan indikator tersebut seluruhya dapat d i a l d m di lapangan. DaIam pelaksanaan penilaian kriteria dan indikator, bukan hanya persoalan lulus atau tidak lulus. Uang Lebih penting adalah bila tidak lulus, dapat ditentukan jenis kegiatm mana yang sangat penting dan rnenjadi prioritas untuk dperbaiki sehingga dapat lulus. Untuk pembahaman kebijakan, yang pelaksan pemernntah: prasyarat penting yang hams dipertimbarngkan untuk melandasi pelaksanam pengelolaan hutan produksi lestari adalah : 1 . Kebijaksanaan alokasi pemmfaatan sumberdaya hutan, yaitu perlunya menetapkan keseimbangan antara kemampuan maksimal jumlah produksi y m g dihasilkan dari hutan produksi dengan jumlah konsumsi yang seharusnya dipenuhi, baik untuk kebutuhan dalam negeri maugun ekspor. Saat ini terdapat ketimbangan alokasi bahan baku tersebut. Jurnlah maksimal produksi hutan alam secara lestari sudah jauh lebih kecil daripada kebutuhan kayu dalam negeri dm ekspor yang ditargetkan. 2. Kepastian tata ruang, yaitu untuk memberikan kepastian usaha jangka panJang baik secara dejure maupun secara cfefacto. 3. Penyempumaan kelembagam pengusahaan hutan, meliputi upaya untuk me peraturan yang berlaku secara nasional rnenuju pel yay yang sesuai dengan kondisi spesifik wilayah, menata atau
memmuskan kembali bentuk-bentuk insentif ekonomi yang diperlukan dalam pelaksanaan pengusham hutan, rmnirnisas~ biaya transaksi (transaction h u h m (law enforcement). cost) melalui debirokratisasi, serta peneg 4. Memelihara dan mengembangkan kelembagaan masyarakat dan menumbuhkm peran serta masyarakat untuk b r u t memanfaatkan, menjaga tarikan hutan. pasar kayu bulat dan kayu olahm baik di dalm negeri m u p u n ekspor untuk mengurangi distorsi pasar dan mengantisipasi akan diberlakukannya perdagangm inte Prasyarat tersebut &an rnendorong dan memungki&an pelestarian hutan dapat menjadi kepentkgan semua pihak. Karena hutan alam dl Indonesia dikuasi oleh pemerintah, maka pemerintah memegang perm sangat penting . untuk rnengatur bagaimma sehamsnya tujuan tersebut dapat dicapai, melalui pemb&amm kebGakan (policy reform).
Pembaharum Kebijakan Pengelolaan Nutan Produksi Dengan memperhatikan keterkaitan problema peleskrian hutan produksi seperti disajikan dalam Gambar I, unsur-unsur pernbahaman kebiljdan yang perlu dilaksanakan adalah seperti disajikan &lam Tabel I. Tabel 1. kngkasan Bentuk Pembaharuan Kebijaksanaan Pengelolaan Hutan Produksi Lestari
hutan bagi masya-
yang timbui akibat ketidak
setiap region tertentu berbeda.
hutan yang menjadi haknya tidak dilaksanakan.
4. Property right
self interest masyarakat dalam pengamanan dan pelestarian-
Beberapa fasilitas hak pengusahaan hutan dapat merupakan aset mum sehingga me-
Masyarakat lokal yang mempunyai historis tertentu terhadap kawasan hutan produksi perlu mendapat kesempat. untuk berpendapat &lam pengambilan keputusan dalam
yang terkena damp& negatif pelaksanaan pengusahm
Dirangkum di atas
S W
I IIutanRakyat : P&el>unan
Oligopili Inefisiasi Misalokasi . . . . _ _ _...................__ _ htegrasi YaUkal Oiigcipoli
Ineftsid Tzt,tber Trucking
Tirnbrr Trockinp
Dcfisir Srippiy
..............................................
1)alam Ncgm Pajak Ekqor -. . - .- . .- .-. . - .- . - .- . - - . - .- . Luar Negeri
- . - .......-.
..................
Scgma pa.w/ Peningkatan harga
Timber
0 j j
:
L
De_fi.rit
A
.
aGi-*j : Timber
Defisir
j
.VUP&%V
rocking
............................................................. .... . . - .-. .--........................
:
I
EKOLABEI.
Aliran Kayu
C;6dar I. Diagram Pennasalahan mkro (Tingkat Nasional) Pencapaian Pagelolaan Hutan Produksi Lestani
'
Secara umum, pelestarian hutan produksi yang menjad bagian dari Pembangunan Berkelanjutan mempakm upaya multi disiplin dan multi sektor. Banyak aspek yang mempengaruhi pengambilan keputusan sebagai upaya pelestarim hutan produksi. Dalam memjudkan konsep pelestariarn hutan produksi, ha1 yang sangat penting adalah menggabungkm keselumhan aspek tersebut menjadi suatu sistem yang di dal a terdapat kejelasm kebij&sanaan serta dlketahui pula hubungan antar kebijaksarnaan-kebijaksmm yang dmrnuskan. Adanya sistem pengelolaan yang jelas, yang bersifat nasional, diharapkm @at dipergunakan untuk menentukan hen*-bentuk optimasi yang diperlukan, karena dengan adanya multi hngsi hutan produksi yang akan dicapai, kebljaksanaan yang satu dapat bersifat tmcrfeoflterhadap kebijaksanam yang lain.