IMPLIKASI ACFTA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA SEBAGAI AKIBAT PENGARUH PERAN SWASTA DI ASEAN Yusran1 Abstract The aim of this research to explain ACFTA’s implications to Indonesia’s economy. This research used qualitative method. Liberalism as embryo of trade liberalization and privatization concept used to analyze this research. Trade liberalizations in ACFTA’s frame work support by private sector’s influence, especially Singapore, Malaysia, Thailand, Philippines and Indonesia. More of different between ASEAN members consequence to their level of done attentions to enter of ACFTA. The private sector have significant relative role in ASEAN’s members development, include Indonesia. But, Indonesia’s private sector manage different with the other ASEAN members. In other ASEAN countries, the state can to use private sector to support their economy, and to prepare their state to enter in trade liberalization. In Indonesia, private sector in fact making micro economy more and more buried. Indonesia have being not yet to enter to ACFTA. So, Indonesia’s unprepared to ACFTA consequence to negative implications to Indonesia’s economic. Key Words: Trade liberalization, Privatization, ACFTA, and Private sector.
Latar Belakang Melakukan hubungan perdagangan dengan negara lain baik pada tingkat bilateral, regional, maupun internasional tentunya akan berimplikasi. Implikasinya bisa saja positif, namun tidak jarang juga negatif. Semuanya tergantung dari sudut pandang mana menganalisanya. Meningkatnya hubungan perdagangan antar negara yang terjadi tidak dapat dilepaskan dari konsep-konsep yang berhubungan dengan libaralisasi perdagangan (perdagangan bebas). Dalam liberalisasi perdagangan yang semakin marak di berbagai tingkatan seiring dengan munculnya fenomena globalisasi, juga tidak dapat dipisahkan dari peran sektor swasta. Peningkatan peran swasta secara relatif dalam perekonomian sebagian besar negara di dunia terjadi akibat privatisasi yang merupakan konsekuensi logis dari liberalisasi. Privatisasi adalah realisasi dari keutamaan peran individu atau sektor swasta dalam perekonomian negara. Di sisi lain, secara fundamental sektor swasta yang benar-benar memegang teguh prinsip ekonomi – pengorbanan seminimal mungkin untuk mencapai keuntungan semaksimal mungkin – menjadi pendorong utama muncul dan berkembangnya liberalisasi perdagangan. Hal ini tentunya sangat beralasan, mengingat secara prinsip dan realitanya liberalisasi perdagangan bertujuan untuk meminimalisir bahkan menghilangkan segala bentuk perlindungan dan hambatan negara terhadap perdagangan yang 1 Dosen tetap pada Program Studi Hubungan Internasional, Universitas Budi Luhur, Jakarta.
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 2, Juni 2010: Edisi Khusus
dapat mempersulit dan mengurangi keuntungan perdagangan. Sehingga jelaslah bahwa tiadanya kendala perdagangan akan berbanding lurus dengan tingkat keuntungan. Selama dua dekade terakhir ini telah tercatat hampir seluruh negara yang mengikuti Kesepakatan Umum tentang Tarif dan Perdagangan atau GATT (General Agreement on Tarrifs and Trade) yang kemudian berganti nama menjadi WTO (World Trade Organization) telah bergabung dengan negara-negara tetangganya dalam bentuk kesepakatan melalui berbagai mekanisme seperti Regional Intergration Agreement, Preferential Trade Agreement, Regional Trade Agreement, Free Trade Area, dan lain sebagainya. Semua kawasan perdagangan bebas tersebut bertujuan tidak hanya menurunkan tetapi juga menghapus hampir semua perbatasan perdagangan di antara negara-negara anggota yang ikut serta.2 Dari fakta ini dapat dikatakan hampir seluruh negara di dunia yang terbuka terhadap lingkungan global mengikuti kecenderungan liberalisasi perdagangan. Indonesia sebagai negara berkembang yang terbuka terhadap dunia luar dan tengah bercita-cita untuk mencapai kemakmuran tentunya tidak salah jika turut mengikuti trend perdagangan bebas yang sedang berlangsung. Indonesia telah lama tercatat sebagai anggota WTO. Indonesia juga terlibat aktif dalam AFTA (ASEAN Free Trade Area). Selain itu Indonesia juga telah resmi menjadi pelaku liberalisasi perdagangan dalam ACFTA (ASEAN-China Free Trade Agreement). Banyak kalangan yang terkejut dan panik karena realita perdagangan bebas dengan China telah dimulai pada 1 Januari 2010, padahal sesungguhnya kesepakatan itu telah dibuat semenjak tahun 2002.3 ACFTA menimbulkan banyak pro dan kontra baik di kalangan pemerintah sendiri, maupun masyarakat secara umum. Menteri Perindustrian Mohammad S. Hidayat mengatakan, ”Kesepakatan Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China merupakan kesepakatan paling berat bagi Indonesia...”. Sesuai dengan Perjanjian Perdagangan ACFTA sebanyak 1.516 pos tarif sektor industri manufaktur menjadi 0 persen, dari 5 persen sebelumnya. Beberapa sektor industri keberatan dengan alasan belum siap, dan mereka meminta pemerintah meninjau kembali komitmen Indonesia dalam perjanjian itu.4 Selain itu aksi unjuk rasa menolak kesepakan ACFTA yang dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat terjadi hampir merata di seluruh wilayah Indonesia.5 Budiman Hutabarat, dkk., “Analisis Kesepakatan Perdagangan Bebas Indonesia-China dan Kerjasama AFTA dan Dampaknya terhadap Perdagangan Komoditas Pertanian Indonesia”, Makalah Seminar Hasil Penelitian Tahun Anggaran 2007, Pusat Analisis Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, 2007, hlm. 5 3 ECONIT Advisory Group, “Econit Economic Outlock 2010: A Year of The Judgment”, Economis Outlock 2010, Januari 2010, hlm. 58. 4 Mohammad S Hidayat, “ACFTA Paling Berat buat RI, Penerimaan Negara dari PPN Impor Akan Naik” Kompas, 21 Januari 2010. 5 R. Rekotomo, “Ratusan Buruh Tolak ACFTA”, Antara News, Kamis, 21 Januari 2010.
2
82
Yusran Implikasi ACFTA Terhadap Perekonomian Indonesia sebagai Akibat Pengaruh Peran Swasta di ASEAN
Pernyataan Menteri Perdagangan yang dapat dikatakan mewakili pemerintah, dan berbagai gejolak yang terjadi dalam masyarakat tersebut menunjukkan betapa Indonesia belum siap untuk memasuki liberalisasi perdagangan. Terlepas dari apapun persoalannya, yang jelas kesepakatan perdagangan bebas ASEAN dengan mitra dialognya seperti China dalam kerangka ACFTA telah berlangsung, dan tak dapat ditampik bahwa Indonesia berperan aktif dalam perwujudan kerjasama tersebut. Oleh karanya, adalah lazim jika setiap pilihan yang ditentukan pemerintah, memiliki konsekuensi terhadap perekonomian dalam negeri. Sebagai konsekuensinya, pemberlakuan ACFTA ini diikuti oleh berbagai implikasi terhadap perekonomian negara terutama secara mikro. Liberalisasi perdagangan memang dapat membawa implikasi positif. Implikasi positif tersebut dapat berupa meningkatnya kompetisi baik antar negara maupun perusahaan; meningkatnya spesialisasi produk sesuai dengan keunggulan komparatif; dan meningkatnya volume perdagangan intra industri.6 Akan tetapi, implikasi negatif juga tidak dapat dihindarkan. Sumber daya, tingkat kemampuan dan kemapanan industri Indonesia yang notabene masih dalam kategori negara berkembang belum dapat bersaing secara agresif dengan China yang telah menyandang prediket sebagai NICs (New Industrial Country). Sebagai akibatnya, jumlah produk asal China meningkat secara signifikan. Disamping itu, harganya yang relatif lebih murah dibandingkan produk lokal menjadikan barang impor asal China lebih laku di pasaran. Hal ini tentunya akan membuat produk lokal kalah bersaing, dan terjadinya indikasi ketidakadilan perdagangan. Liberalisasi perdagangan yang belum siap diterima Indonesia dapat mendorong terjadinya deindustrialisasi. Sebagai efek domino dari beberapa variabel itu adalah fenomena meningkatnya jumlah pengangguran yang sulit untuk dihindari. Dari paparan singkat ini, penulis bermaksud untuk memfokuskan tulisan ini pada analisa implikasi yang terjadi akibat implementasi ACFTA bagi perekonomian Indonesia, sebagai akibat dari pengaruh peran swasta dalam pembangunan negara-negara ASEAN. Sebagai entry point penulis juga melihat mengenai peran sektor swasta dalam mendong terjadinya liberalisasi perdagangan ASEAN dengan China sebagai mitra dialognya, yang dapat juga dimaknai sebagai peran swasta dalam pembangunan negara-negara ASEAN. Liberasasi Perdagangan dan ACFTA Perbincangan mengenai liberalisasi perdagangan tidak dapat dipisahkan dari liberalisme sebagai paham yang mendasarinya. Menurut Marbun, ”Liberalisme dapat dipahami sebagai pembebasan individu dari ikatan (kungkungan) agama, politik dan ekonomi. Di bidang ekonomi, 6 Siti Tri Joelyartini, “Dampak Implementasi Perjanjian ASEAN-CHINA FTA (Free Trade Area) terhadap Ekspor-impor Indonesia”, Buletin KPI, Edisi ke-43, 2007, hlm. 22. 83
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 2, Juni 2010: Edisi Khusus
campur tangan pemerintah jangan terlalu jauh, dan sebanyak mungkin diserahkan kepada inisiatif swasta.”7 Liberalisme tumbuh dengan baik di lingkungan pemerintah yang demokratis. Namun pada abad ke-19 liberalisme semakin berkembang dan memberikan pengaruh yang kuat dalam dunia politik, hingga pada akhirnya juga turut memberikan pengaruh dalam hubungan internasional.8 Dikarenakan liberalisme telah memberikan pengaruh dalam hubungan antar negara, sehingga dapat dikatakan tidak hanya negara demokrasi saja yang dapat menerapkan perdagangan bebas. Negara-negara yang notabene bukan negara demokrasipun dapat terlibat dalam perdagangan bebas. Contohnya di ASEAN sendiri, Malaysia dan Brunei merupakan negara monarki. Namun kedua negara ini tetap dapat melakukan liberalisasi perdagangan karena mengikuti kecenderungan hubungan internasional akibat pengaruh liberalisasi perdagangan yang telah menyebar ke seluruh penjuru dunia. Liberalisasi perdagangan begitu identik dengan peran swasta baik secara individu ataupun kelompok dalam perekonomian negara yang legalitasnya diperoleh dari berbagai kebijakan. Kebijakan paling utama adalah melalui privatisasi. Selain itu keutamaan peran swasta dapat pula diperoleh dari berbagai peraturan yang dikeluarkan negara. Menurut Krisna, ”Privatisasi secara umum dapat diartikan sebagai kebijakan yang diterapakan pemerintah dengan memberi berbagai fasilitas yang memudahkan pihak swasta dalam mengambil alih perusahaanperusahaan milik negara”.9 Sementara itu, Bank Dunia membedakan privatisasi dalam arti sempit dan privatisasi dalam arti luas. Privatisasi dalam arti sempit merupakan bentuk pembebasan perusahaan, tanah, dan aset-aset lain yang dikuasai negara. Privatisasi dalam arti luas didefinisikan sebagai semua tindakan yang menggerakan perusahaan atau suatu sistem perekonomian kearah kepemilikan swasta, atau semua tindakan yang cenderung membuat perilaku perusahaan negara mirip seperti perusahaan swasta.10 Apapun pengertiannya, yang jelas liberalisasi dan privatisasi memerlukan peran aktif negara, dan terjadi akibat pengaruh pola hubungan internasional. Liberalisasi perdagangan dunia awalnya dipelopori oleh GATT yang kemudian berganti nama menjadi WTO. Saat ini perundingan WTO dalam Putaran Doha memang mengalami kebuntuan. Namun bersamaan dengan itu kesepakatan perdagangan bebas kawasan tetap mengalami perkembangan. Perkembangan itu juga diikuti oleh ASEAN. Dalam perdagangan bebas di lingkungan ASEAN, dikenal adanya AFTA yang diputuskan pada pertemuan KTT ASEAN ke-6 di Singapura, 7 B. N. Marbun, Kamus Politik, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003), hlm. 317. 8 J.E. Spence, Doctionary of International Relations, (England: Penguin Books, 1998), 304. 9 Syamsul Ma’arif, “Dinamika peran negara dalam proses liberalisasi dan privatisasi”, Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik, vol. 10, nomor 2, 2006, hlm. 99-114 10 Ibid. 84
Yusran Implikasi ACFTA Terhadap Perekonomian Indonesia sebagai Akibat Pengaruh Peran Swasta di ASEAN
Januari 1992.11 Kemudian pada KTT ASEAN-China yang diselenggarakan di Brunei, China datang dengan proposal ASEAN-China FTA dalam 10 tahun. Selanjutnya di Pnon Phen pada 4 November 2002 para pimpinan negara ASEAN dan China menandatangani CEC (Comprehensive Economic Cooperation) yang juga masih berada dalam kerangka FTA. CEC terdiri dari tiga elemen utama yakni liberalisasi, fasilitasi dan kerjasama ekonomi. Liberalisasi perdagangan mencakup tentang perdagangan barang, jasa, dan investasi.12 CEC inilah kemudian yang dikenal dengan Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation between The Association of Southeast Asian Nations and The People’s Republic of China (ACFTA). Prinsip-prinsip kerjasama peradagangan bebas terdiri dari Most Favoured Nation, National Tratment, Tranparency, dan Mutual Benefit.13 Prinsip inilah yang diabsorbsi ASEAN dalam perdagangan bebas dengan China dalam ACFTA. ACFTA bermaksud untuk: (a) memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi, perdagangan dan investasi kedua pihak; (b) meliberalisasikan perdagangan barang, jasa dan investasi (c) mencari area baru dan mengembangkan kerjasama ekonomi yang saling menguntungkan kedua pihak; (d) memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif dengan negara anggota baru ASEAN dan menjembatani gap yang ada di kedua belah pihak. ACFTA juga sepakat untuk memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi melalui (a) penghapusan tarif dan hambatan non-tarif dalam perdagangan barang; (b) liberalisasi secara progresif perdagangan jasa; (c) membangun regim investasi yang kompetitif dan terbuka dalam kerangka ASEAN-China FTA.14 Dalam hal penurunan dan penghapusan tarif perdagangan barang telah disepakati tiga skenario yaitu: (a) Early Harvest Programme (EHP); (b) Normal Track Programme; (c) Sensitive dan Highly Sensitive. EHP bertujuan mempercepat implementasi penurunan tarif produk dimana program penurunan tarif bea masuk ini dilakukan secara bertahap dan secara efektif dimulai pada 1 Januari 2004 untuk produk EHP dan menjadi 0 persen pada 1 Januari 2006. Pada Normal Track programme penurunan tarif bea masuk dimulai tanggal 20 Juli 2005, yang menjadi 0 persen pada tahun 2010. Adapun Produk-produk dalam kelompok Sensitive, akan dilakukan penurunan tarif mulai tahun 2012, dengan penjadwalan bahwa maksimun tariff bea masuk pada tahun 2012 adalah 20 persen dan akan menjadi 0-5 persen mulai tahun 2018. Produk-produk Highly Sensitive akan
11 Hutabarat, dkk., hlm. 12. 12 H. Soesastro, “Indonesia’s Role in ASEAN and Impact on US-Indonesia Relationship” IndonesianQuarterly, Volume 33, hlm. 4. 13 Agus Tjahajana, “Antisipasi Implementasi Perdagangan Bebas” Laporan Sekretaris Jenderal pada Kemeterian Perindustrian Republik Indonesia, hlm. 11. 14 Joelyartini, hlm. 23-24. 85
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 2, Juni 2010: Edisi Khusus
dilakukan penurunan tarif bea masuk pada tahun 2015, dengan maksimum tarif bea masuk pada tahun 2015 sebesar 50 persen.15 Fakta dari fenomena kerjasama ACFTA di atas, tak dapat dipisahkan dari pengaruh paham liberal yang telah diadopsi oleh negaranegara anggotanya. Liberalisasi perdagangan yang terjadi di kawasan ASEAN bersama China sebagai mitra dialognya, adalah berdasarkan aturan, mekanisme, dan prinsip-prinsip liberalisasi perdagangan yang dipopulerkan oleh kaum ekonomi liberal. Berbagai aturan, mekanisme dan prinsip itulah yang secara serta merta semakin meningkatkan peran swasta dalam pembangunan negara-negara ASEAN. Perbedaan Tingkat Kesiapan dan Korelasi Peran Sektor Swasta terhadap Persiapan Beberapa Negara ASEAN dalam Menghadapi ACFTA Fenomena ekonomi politik dan era globalisasi yang semakin mempengaruhi hubungan antar negara dewasa ini terlihat nyata dalam realitas liberalisasi perdagangan yang marak terjadi. Liberalisasi seolah menjadi ”latah” yang harus diikuti oleh setiap negara yang aktif dalam hubungan internasional, terlepas dari sudah siap atau belumkah mereka berkecimpung di arena persaingan bebas tersebut. Di lingkungan ASEAN sendiri tingkat kesiapan masing-masing negara berbeda-beda baik secara mikro maupun makro. Perbedaan itu disebabkan oleh berbagai faktor, mulai dari tingkat perekonomian dan pendapatan perkapita, persiapan birokrasi, maupun kualitas sumber daya manusia seperti pendidikan, kapasitas teknologi dan industri. Namun tidak dapat dipungkiri, perbedaan tingkat kesiapan masing-masing negara akan mengakibatkan perbedaan implikasi pelaksanaan liberalisasi bagi negara-negara tersebut. Data menunjukkan bahwa dalam segi kemakmuran yang dilihat dari tingkat pendapatan per kapita, perbedaan antara negara ASEAN terlihat nyata. Negara yang GDP (Gross Domestic Product) perkapitanya di atas USD 3.000 adalah Singapura, Brunei dan Malaysia. Negara anggota yang GDP perkapitanya rendah (kurang dari USD 500) adalah Laos, Kamboja dan Myanmar. Sedangkan Indonesia, Thailand, Vietnam dan Filipina berada di atara ekstrim tersebut.16 Jika dianalisa berdasarkan tingkat kemakmuran dari data di atas, maka tiga negara ASEAN yakni Malaysia, Singapura dan Brunei tentu memiliki kesiapan yang lebih matang ketimbang tujuh negara lainnya. Terlebih Singapura, negara yang memang sudah lebih dahulu berpaham ekonomi liberal ini kini sudah menjadi finansial center untuk kawasan Asia Tenggara. Jadi, wajar saja jika mereka siap bersaing dalam liberalisasi perdagangan. Namun bagi negara-negara ASEAN lainnya, tingkat kesiapan itu tentunya perlu dipertanyakan, termasuk Indonesia.
15 Ibid. 16 Hutabarat, dkk., hlm. 12. 86
Yusran Implikasi ACFTA Terhadap Perekonomian Indonesia sebagai Akibat Pengaruh Peran Swasta di ASEAN
Dari segi birokrasi, tingkat kesiapan negara ASEAN juga berbeda. Liberalisasi dan globalisasi merupakan fenomena yang tak dapat ditolak keberadaannya. Namun yang terpenting dari itu semua adalah persiapan tata kelola negara yang sangat matang, sehingga implikasi liberalisasi tidak terlalu negatif bahkan diharapkan dapat berimplikasi positif bagi perekonomian negara. Pemerintah negara-negara seperti Thailand, Singapura, Malaysia, dan Filipina telah menanggapi munculnya pasar global dengan melakukan berbagai perubahan jauh sebelum AFTA dan ACFTA berlaku. Mereka memperbaiki kinerja birokrasi dan pelayanan sektor publik dalam rangka melayani kebutuhan pasar global agar tidak tertinggal dalam persaingan. Singapura misalnya, munculnya pasar global ditanggapi perrnerintah dengan meningkatkan kompetensi civil service agar mampu menjawab tantangan zaman dan lebih kompetitif di dunia internasional. Di Malaysia, birokrasi lebih diorientasikan ke bisnis untuk menggantikan peran aktif birokrasi dalam pembangunan dan meredefinisi perannya sebagai fasilitator dalam aktivitas sektor swasta. Di Thailand, munculnya peran birokrasi publik adalah untuk memfasilitasi kebijakan pro-pasar seperti privatisasi dan berbagai aktivitas yang berkaitan dengan sektor swasta seperti business licensing, perdagangan internasional, dan pengawasan fiskal. Perubahan birokrasi di Thailand belakangan ini juga lebih menempatkan dirinya sebagai katalisator untuk memfasilitasi aktivitas ekonomi yang civil service-nya berperan sebagai pendukung dan bukannya pemimpin. Hal yang sama juga dilakukan Filipina.17 Dari realita di atas jelas menunjukkan bahwa perubahan birokrasi itu dilakukan. Tujuannya tentu untuk mengantispasi implikasi negatif liberalisasi terhadap perekonomian negara. Kondisi itu relatif berbeda dengan Indonesia. Indonesia baru “sibuk” melakukan perubahan birokrasi setelah dampak negatif liberalisasi perdagangan mulai dirasakan. Namun yang terpenting, perubahan memerlukan adanya keterbukaan struktural untuk memungkinkan terjadinya pertukaran gagasan dan perubahan inovasi, tidak saling hujat dan menjatuhkan atas kesalahan yang dilakukan antar institusi-institusi penyelenggara negara seperti yang terjadi di Indonesia saat ini. Dalam segi kualitas sumber daya manusia (SDM) juga perlu dipersiapkan. Berikut urutan kualitas SDM beberapa negara ASEAN menurut World Competitiveness Report: Indonesia di urutan ke-107, Singapura (25), Brunei (30), Malaysia (63), Thailand (78), dan Vietnam (105).18 Rendahnya SDM Indonesia menyebabkan daya saing tenaga kerja serta produk Indonesia menjadi sangat rendah. Peringkat daya saing Indonesia berada di tataran bawah dan sangat rendah dari 133 negara. Hal ini terjadi akibat sistem logistik buruk, korupsi, dan pungutan liar. 17 18
Emil Abeng, “ACFTA, Antara Harapan dan Realitas”, Kompas 4 Februari 2010 Ibid. 87
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 2, Juni 2010: Edisi Khusus
Strategi kebijakan juga merupakan salah satu hal penting yang harus dipersiapkan negara ASEAN dalam menghadapi ACFTA. Thailand misalnya, menjalankan suatu kebijakan dual track economy, yakni insentif untuk mendorong investasi dan industrialisasi terutama untuk perusahaan multinasional secara simultan dengan pemberian insentif untuk produk lokal unggulan dalam rangka menggenjot daya saing produk domestik. Kebijakan yang pro-swasta ini merupakan stategi yang mampu menjadikan Thailand sebagai ikon produk hortikultura hingga saat ini. Jadi, meskipun China juga sedang mengembangkan komoditas yang sama, namun hingga kini Thailand belum merasakan dampaknya.19 Sementara Singapura, mengambil langkah kebijakan teknologi inovatif, yakni memperkuat keunggulan kompetitif agar tidak disaingi oleh produk China. Saat ini negara yang pro-liberal dari segi ekonomi dan terpimpin dalam bidang politik ini tinggal memetik keuntungan dari ACFTA, bahkan ACFTA merupakan peluang besar bagi kemajuan perekonomiannya yang mengandalkan perdagangan luar negeri20 dan Singapura sangat berkepentingan terhadap sistem perdagangan internasional yang terbuka dan bebas. Di satu sisi, Singapura mempunyai keunggulan di sektor knowledge, networking, financial resources dan technological advance. Di Singapura, perusahaan yang dimiliki negara juga bertingkah laku seperti swasta dalam usaha memaksimalkan keuntungan ekonomi.21 Malaysia tak ketinggalan menyiapkan kebijakan manufaktur teknologi tinggi dalam rangka menyiapkan daya saing produk domestik sekaligus menggenjot industri jasa, khususnya pariwisata. Mereka menyadari, tanpa persiapan, mustahil mampu bersaing dengan China yang secara ekonomi mampu memproduksi barang murah.22 Selain itu, sejak masa kepemimpinan Mahathir Malaysia sudah menerapkan the state-business incorporatism, yang kemudian dikenal dengan semangat Malaysia incorporated. Konsep Malaysia incorporated diadaptasi dari Japan incorporated yang muncul pada 1960-an di Jepang tersebut dimaksudkan untuk menghadapi persaingan yang tidak sehat karena dominasi pengusaha dukungan negara. Istilah incorporatism tersebut dipakai Mahathir untuk memperbaiki relasi antara pemerintah dengan sektor swasta, dengan menempatkan pemerintah sebagai pelayan yang baik bagi pertumbuhan dunia usaha yang bergerak di sektor swasta. Malaysia incorporated merupakan sebuah konsep yang diartikan bahwa Malaysia harus dilihat sebagai sebuah company, yang pemilik sekaligus pekerjanya adalah pemerintah dan sektor swasta. Dalam sebuah company, pemilik dan pekerja diharapkan bisa bekerja sama, saling bahu-membahu 19 Ibid. 20 Ibid. 21 Achmad Deni Daruri, “Center for Banking Crisis”, diperoleh dari http://www.mediaindonesia.com/read/2010/04/04/137471/68/11/Model-Pembangunan-EkonomiBerbasis-Keamanan ; Internet, diakses tanggal 5 Mei 2010. 22 Abeng, Kompas 4 Februari 2010 88
Yusran Implikasi ACFTA Terhadap Perekonomian Indonesia sebagai Akibat Pengaruh Peran Swasta di ASEAN
meraih keuntungan dan keberhasilan. Hanya melalui keberhasilan company, pemilik dan pekerja akan memperoleh kesejahteraan yang berkelanjutan. Dengan demikian, keberhasilan mereka ditentukan seberapa baik upaya membangun kerja sama antara pemerintah dengan sektor swasta. Anggaran belanja yang dikeluarkan pemerintah, termasuk belanja untuk pegawai, diperoleh dari pajak dan keuntungan perusahaan serta bisnis sektor swasta. Karena itu, makin besar keuntungan yang diraih sektor swasta, semakin besar pajak dan revenue yang diperoleh pemerintah. Meskipun menuai pro-kontra, namun konsep tersebut berhasil mengembangkan pemerintahan efisien. Aparatur birokrasi terpacu untuk bisa memberikan pelayanan yang terbaik bagi prospek dan kemajuan dunia bisnis. Aparatur pemerintah kian menyadari, dengan pelayanan publik yang memuaskan yang mereka berikan kepada sektor swasta, akhirnya yang menikmati adalah mereka sendiri. Lebih dari itu, hal tersebut juga berdampak pada kemajuan serta kesejahteraan seluruh anak negeri yang berujung pada kesiapan untuk menghadapi segala jenis tantangan yang berasal dari luar.23 Sementara itu, ekonomi Brunei Darussalam diperkirakan tidak akan terlalu terpengaruh dengan ACFTA, karena kapasitas pasar yang terbatas dan produksi minyak yang masih berlebih menyebabkan negara itu sangat mandiri dari sisi keuangan. 24 Sedangkan di Indonesia, tanpa bermaksud untuk meremehkan, terdapat kesan ketidaksiapan dalam menghadapi ACFTA. Pernyataan ini beralasan mengingat pernyataan Menteri Perindustrian Mohammad S. Hidayat yang mengakui bahwa kesepakatan ACFTA merupakan kesepakatan paling berat bagi Indonesia. Beliau juga mengatakan bahwa kesepakatan regional ini akan tetap dilaksanakan, tetapi Indonesia juga akan menggunakan hak-haknya untuk menyatakan keberatan apabila muncul dampak serius terhadap kelanjutan industri dalam negeri.25 Selain itu dalam berbagai kesempatan, pemerintah seakan menyalahkan pemerintah sebelumnya dengan mengatakan perjanjian ACFTA merupakan hasil kebijakan rezim sebelumnya. Berbagai perbedaan tingkat persiapan seperti di atas, akan menimbulkan perbedaan pengaruh liberalisasi bagi negara-negara ASEAN. Data dan fakta yang dikemukakan di atas menunjukkan lebih tingginya tingkat kesiapan dan kematangan Malaysia, Singapura, Thailand dan Brunei dibandingkan dengan Indonesia dalam menghadapi ACFTA. Selain itu, ungkapan bernada pesimis Menteri Perindustrian, dan gejolak protes yang terjadi di dalam negeri menujukkan kurangnya persiapan Indonesia dalam ACFTA. 23 Zainuddin Maliki “Soeharto Corporatism vs Mahathir Incorporatism” Jawa Pos, Rabu, 16 Januari 2008 24 Erna S. U. Girsang, “Peluang China Kuasai Dunia Kian Terbuka”, Bisnis Indonesia, 26 Januari 2010. 25 Ibid. 89
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 2, Juni 2010: Edisi Khusus
Meninjau berbagai persiapan yang telah dilakukan negara-negara ASEAN seperti Singapura, Malaysia dan Thailand dalam menghadapi liberalisasi perdagangan ACFTA, maka dapat dikatakan terdapat suatu korelasi bahwa kesiapan negara-negara tersebut dalam menghadapi ACFTA tidak dapat dilepaskan dari peran sektor swasta dalam mendukung perekonomian negara. Dengan kata lain, sektor swasta di negara-negara tersebut berkontribusi penuh dalam membantu negara mempersiapkan diri untuk menghadapi persaingan dalam kerangka kerjasama ACFTA. Oleh karenanya, peran sektor swasta berkorelasi terhadap kesiapan negaranegara ASEAN dalam menghadapi ACFTA. Argumen tersebut sangatlah beralasan mengingat realita yang diungkapkan di atas. Thailand dengan kebijakan dual track economy, Malaysia dengan konsep Malaysia incorporated, dan Singapura yang memang penganut ekonomi liberal memperlihatkan kuatnya pengaruh swasta dalam kebijakan ekonomi negara-negara tersebut, karena kebijakankebijakan yang diterapkan oleh negara-negara itu memberikan atmosfir yang sangat positif bagi pertumbuhan dan penguasaan sektor swasta dalam perekonomian negara. Indonesia juga merupakan negara yang perekonomiannya dipengaruhi oleh swasta. Namun pembahasannya akan dikemukakan lebih lanjut pada bagian berikutnya. Sedangkan tingkat kesiapan negara ASEAN lainnya seperti Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam tidak menjadi pembahasan dalam tulisan ini karena ACFTA belum berlaku secara resmi untuk negara-negara tersebut. Singapura, Malaysia, Thailand, Brunei, Indonesia, dan Filipina merupakan representasi negara pengambil keputusan dengan porsi yang besar di ASEAN. Hal itu pula yang turut mengarahkan kebijakan ASEAN untuk melakukan liberalisasi perdagangan baik secara internal maupun dengan mitra dialog-nya. Oleh karenanya kebijakan liberalisasi perdagangan melalui ACFTA tidak terlepas dari keputusan negara-negara tersebut. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, sektor swasta sangat berpengaruh dalam perekonomian negara-negara teresebut. Oleh karenanya dapat diaminkan bahwa terjadinya liberalisasi perdagangan dalam kerangka kerjasama ACFTA tidak terlepas dari pengaruh sektor swasta dalam pembangunan negara-negara ASEAN tersebut. Peran Swasta dalam Pembangunan Negara-Negara ASEAN Peran sektor swasta di sebagian negara-negara ASEAN yang turut mempengaruhi kesiapan dalam menghadapi ACFTA telah dijelaskan sebelumnya. Bagian ini akan spesifik menguraikan tentang peran sektor swasta di Indonesia. Akan tetapi, peran sektor swasta di Indonesia dalam bagian ini tampil berbeda dengan negara-negara ASEAN lain yang dibahas selumnya. Di Indonesia, peran sektor swasta dalam perekonomian malah memberikan implikasi yang negatif terutama dalam menghadapi ACFTA. Pasalnya adalah kurangnya tingkat kesiapan Indonesia dari berbagai faktor yang telah dijelaskan sebelumnya. Walhasil, bagi Indonesia ACFTA masih menjadi kerjasama yang menyisakan berbagai persoalan ekonomi akibat 90
Yusran Implikasi ACFTA Terhadap Perekonomian Indonesia sebagai Akibat Pengaruh Peran Swasta di ASEAN
implikasi negatif yang terjadi karena pemberlakuannya. Terdapat alasan fundamental yang mendasari argumen ini, yakni berdasarkan kebijakankebijakan yang memaksimalkan peran swasta yang diterapkan di Indonesia dan pada kenyataannya malah berimplikasi negatif bagi perekonomian Indonesia. Penguasaan sektor swasta di Indonesia – terutama pihak asing – tidak terjadi begitu saja. Awalnya dimulai dengan adanya pinjaman luar negeri yang semakin intensif sejak masa pemerintahan orde baru, dan di masa reformasi hingga saat ini semakin kuat mempengaruhi perekonomian. Hutang luar negeri yang dikoordinir oleh IMF dan Bank Dunia merupakan celah yang mengawali perkembangan kapaitalisme dan liberalisme karena terdapatnya konsekuensi ”Penyesuaian Struktural” bagi negara yang berhutang. Penyesuaian struktural yang mensyaratkan privatisasi, liberalisasi, pengurangan sibsidi, dan modernisasi itulah yang membuka dan mendorong penguasaan sektor swasta terhadap faktor-faktor produksi penting bagi negara. Dalam jangka panjang kondisi ini mengakibatkan maksimalisasi kepemilikan swasta dalam sektor ekonomi nasional. Contohnya adalah di sektor energi. Data menunjukkan bahwa utang luar negeri yang mendorong liberalisasi menyebabkan 85 persen cadangan Migas nasional dikuasa asing. Selain itu pengambilalihan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) akibat kebijakan privatisasi terus menerus berlangsung sepanjang periode 1991-2006. Undang-Undang Nomor 22/2001 tentang Migas dan Undang-Undang Nomor 20/2002 tentang Ketenagalistrikan merupakan kebijakan restrukturisasi sektor energi yang menjadi acuan liberalisasi sektor energi di Indonesia.26 Di sektor air yang melayani hajat hidup orang banyak, kondisinya tidak jauh berbeda. Kehadiran swasta asing lewat pembuatan UU Sumber Daya Air nomor 7 tahun 2004 menyebabkan tarif air bersih menjadi komersial karena mengikuti hukum full cost recovery sesuai hukum pasar. Selain itu, UU ini juga memungkinkan penguasaan sektor swasta asing terhadap cadangan-cadangan air dan Daerah Aliran Sungai bagi kepentingan komersial. 27 Di sektor investasi, Undang Undang Penanaman Modal nomor 25 tahun 2007 yang memfasilitasi masuknya modal asing memperkuat pengaruh swasta hampir semua sektor strategis dan penting bagi negara. Undang-undang tersebut diikuti dengan penerbitan Peraturan Presiden Nomor 76/2007 tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan persyaratan di Bidang Penanaman Modal dan Peraturan Presiden Nomor 77/2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Kedua Undang26 Dani Setiawan, “Tiada Ekonomi Kerakyatan Tanpa Pengapusan Utang”, diperoleh dari http://www.spi.or.id/wp-content/uploads/PDF/004.pdf ; Internet, diakses tanggal 4 Mei 2010. 27 Ibid. 91
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 2, Juni 2010: Edisi Khusus
Undang tersebut mendorong dominasi kepemilikan swasta asing terhadap sektor-sektor produksi nasional serta mengabaikan aspek kedaulatan ekonomi Indonesia sebagai bangsa.28 Kuatnya peran swasta juga terjadi di industri semen yang merupakan sektor penting untuk pembangunan infrastruktur Indonesia. Pada saat ini empat perusahaan multinasional yang memiliki saham di produsen semen nasional, yaitu Cemex SA DE CV (Meksiko) mengusai 25,53% saham PT Semen Gresik Group, Holcim (Swiss) menguasai 77,33% saham PT Semen Cibinong, Heidelberger Zement (Jerman) menguasai 61,70% saham PT Semen Indocement dan Cementia Holding AG - Lafarge (Prancis) menguasai 88% saham PT Semen Andalas. Dilihat dari kepemilikan saham keempat MNC tersebut, MNC mendominasi kepemilikan saham pasar semen nasional, yaitu menguasai 22,735 juta ton produksi semen nasional sama dengan 48%.29 Hal yang membuat miris banyak pihak adalah proyek privatisasi kampus melalui UU Badan Hukum Pendidikan (BHP). Melalui UndangUndang ini pendidikan dibiarkan berjalan dengan intervensi pasar lewat peran pihak swasta yang semakin dominan peranannya dalam menentukan arah kebijakan kampus. Sungguh ironis. Ditengah gencarnya banyak kalangan yang mendesak pemerintah agar mau menasionalisasi beberapa BUMN yang sudah terlanjur dipindahtangankan ke pihak swasta, pemerintah justru menambah deretan panjang privtisasi aset bangsa ke pihak asing – baik itu lokal maupun asing.30 Di sektor pangan, swasta juga memainkan peranan yang sangat vital. BULOG sebagai satu satunya alat perlindungan harga dan penyangga stok beras nasional telah diubah bentuknya menjadi perusahaan umum (Perum) yang menjalankan prinsip berdasar bisnis semata. Hal ini merupakan konsekuensi dari kesepakatan Agriment on Agriculture WTO dimana Indonesia sebagai negara anggotanya.31 Produk dari petani Indonesia yang sebagian besar adalah petani gurem dan tanpa proteksi negara, harus bertarung di pasar yang liberal, dengan produk dari petani negara maju yang disubsidi besar besaran oleh negaranya. Peran sektor swasta juga terlihat dalam bidang perbankan melalui UU No.10/1998 tentang perbankan. Bab Umum dari penjelasan UU No. 10/2998 menyebutkan: “Upaya liberalisasi di bidang perbankan dilakukan sedemikian rupa sehingga dapat sekaligus meningkatkan kinerja perbankan nasional. Oleh karena itu, perlu diberikan kesempatan yang lebih besar kepada pihak asing untuk berperan serta dalam memiliki bank 28 Ibid. 29 M. Udin Silalahi, “Persaingan dalam industri semen nasional”, CSIS Working Paper Series, Jakarta, Juni 2003, hlm. 5. 30 Muhammad Muiz L., “Sisi Lain BHP”, diperoleh dari http://www.pmii-ciputat.or.id/buletinlocal-wisdom/169-sisi-lain-bhp-mekanisme-liberalisasi.html ; Internet, diakses tanggal 5 Mei 2010. 31 “Saatnya Membela Petani” diperoleh dari www.krkp.org ; Internet, diakses tanggal 5 Mei 2010. 92
Yusran Implikasi ACFTA Terhadap Perekonomian Indonesia sebagai Akibat Pengaruh Peran Swasta di ASEAN
nasional sehingga tetap terjadi kemitraan dengan pihak nasional”. Undangundang ini berbicara dengan sangat eksplisit mengenai liberalisasi perbankan di Indoensia. Dengan aturan ini, pihak asing bisa memiliki hingga 99% saham bank di Indonesia. Ini jauh lebih tinggi dai komitmen Indonesia di WTO yang pada awalnya adalah 49% lalu dinaikkan menjadi 51%. Indonesia bahkan lebih liberal dari negara negara Amerika Serikat, Austrlia, Kanada, Singapura dan sebagainya yang menerapkan pembatasan kepemilikan asing dalam sektor perbankan.32 Salah satu contoh kebijakan privatisasi yang paling utama adalah UU No.23 tentang BUMN. UU ini adalah yang pertama di Indonesia yang memberikan landasan hukum eksplisit terhadap pelaksanaan privatisasi. 33 Di segi benih pertanian, sektor swasta juga amat dominan di Indoensia. Pada tahun 2002, pasar benih Indonesia dikuasai oleh tiga perusahaan benih multinasional yakni BISI, Du Pont, dan Monagro (anak perusahaan Monsanto di Indonesia). Pada 2004, benih hasil rekayasa genetika produksi Monsanto mencapai luas 88% di Indoensia, dan di seluruh dunia Monsanto menguasai seperempat pangsa pasar benih kedelai, 91% benih kedelai hasil rekayasa genetik, dan 97% benih jagung hasil rekayasa genetik.34 Masih banyak lagi contoh nyata kuatnya pengaruh swasta di Indonesia. Namun yang jelas, data-data di atas menunjukkan bahwa besarnya pengaruh swasta dalam perekonomian Indonesia tidak dapat ditampik. Sektor swasta menguasai secara komprehensif di berbagai bidang kehidupan bernegara. Mulai dari sektor pendukung, hingga sektor yang paling vital. Kenyataan seperti inilah yang pada akhirnya membuat perekonomian Indonesia semakin kesulitan dalam menghadapi persaingan dalam liberalisasi perdagangan, akibat tidak adanya kekuatan sendi-sendi perkonomian yang memadai. Analisa Implikasi ACFTA terhadap Perekonomian Indonesia ”ASEAN 6” (Singapura, Malaysia, Brunei, Indonesia, Thailand dan Philipina) telah meresmikan pemberlakuan ACFTA pada 1 Januari 2010. Sedangkan CLMV (Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam) baru akan efektif pada tahun 2015. Dengan struktur ekonomi dan tingkat kesiapan yang berbeda pada masing-masing negara, ACFTA berpotensi memberikan implikasi yang berbeda-beda pula bagi masing-masing negara tersebut. Bagi negara yang telah memiliki persiapan seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Brunei, ACFTA diperkirakan tidak akan membawa pengaruh 32Antonio Pradjasto, “Liberalisasi Pasar untuk Demokrasi:, diperoleh dari www.demosindonesia.org/pdf/Anton-Liberalisasi_Pasar_Demokratisasi.pdf ; Internet, diakses 5 Mei 2010. 33 Ibid.. 34“Dominasi Perusahaan Benih Multinasional”, diperoleh dari http://desasejahtera.org /artikel/14- dominasi-perusahaan-benih-multinasional.html ; Internet, diakses tanggal 5 Mei 2010. 93
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 2, Juni 2010: Edisi Khusus
negatif yang signifikan, bahkan merupakan momentum yang dinantikan. Namun bagi Indonesia yang perispannya masih setengah-setengah, implikasi negatif penerapan ACFTA adalah hal yang sulit untuk dihindari. Bagi Indonesia ACFTA merupakan pengalaman ke-dua dalam mengikuti kelompok perdagangan bebas kawasan, setelah pengalaman pertamanya mengikuti kawasan perdagangan bebas pada AFTA. Kecenderungan perkembangan liberalisasi perdagangan menjadikan Indonesia sangat membutuhkan informasi dan data yang dapat dipakai sebagai pertimbangan dalam mengambil keputusan setuju tidaknya melakukan perdagangan bebas dengan negara atau kelompok negara lain, paling tidak dari sisi manfaat ekonomi dan perdagangan. Hal ini amat diperlukan untuk menghindari implikasi negatif yang terlalu dalam bagi Indonesia. ACFTA dianggap sebagai kerjasama yang akan memberikan peluang bagi ASEAN, termasuk Indonesia sebagai salah satu anggotanya. Namun pada dasarnya, ACFTA merupakan kebutuhan strategis bagi China untuk mendukung diversifikasi pasar luar negeri dan mendukung ekspansi ekspornya.35 China saat ini telah ikut bermain dalam ”pentas” global sebagai sebuah ekonomi manufaktur yang dominan.36 China mempunyai competitive advantage dalam hal upah dan produktivitas tenaga kerja secara relatif terhadap berbagai industri di ASEAN. Analisis empiris Voon and Yue (2003) menunjukkan China mempunyai competitive advantage yang lebih tinggi dibanding ASEAN untuk ekspor manufacturing. Wong dan Chan (2002) menekankan bahwa China yang lebih kompetitif mengancam ekonomi ASEAN dimana terjadi pergerakan dalam menciptakan produk industri yang bernilai tambah yaitu dari labor-intensive products menuju capital-and technology intensive products.37 Dari penjelasan di atas, dan dihubungkan dengan kondisi ril yang bisa dicermati dalam lingkungan masyarakat Indonesia saat ini, setidaknya penulis menganalisa beberapa implikasi yang dapat terjadi akibat implementasi ACFTA bagi perekonomian Indonesia. Analisa yang tentunya ditelusuri dari penjelasan-penjelasan sebelumnya, membuat penulis menetapkan bahwa setidaknya terdapat empat implikasi implemetasi ACFTA bagi perekonian Indonesia. Meningkatnya jumlah produk asal China China merupakan pesaing utama bagi banyak negara berkembang karena umumnya mampu memproduksi secara massal dengan harga yang kompetitif. Bagi Indonesia sendiri, China merupakan saingan terberat. Di pasar Amerika Serikat misalnya, China mampu mendongkrak pangsa pasarnya hingga hampir tiga kali lipat, sedangkan Indonesia justru
35 Ibid. 36 Joseph E. Stiglitz, Making Globalization Work, (London: Penguin Books, 2006), hlm.xi. 37 Joelyartini, hlm. 26. 94
Yusran Implikasi ACFTA Terhadap Perekonomian Indonesia sebagai Akibat Pengaruh Peran Swasta di ASEAN
kehilangan pangsa pasar hingga 70 persen.38 Dengan kondisi ini, dapat dilihat bahwasanya China merupakan ancaman bagi pasaran produk Indonesia. Keadaan ini tidak hanya terjadi di luar negeri. Di dalam negeri Indonesia sendiri, indikasi kalah bersainganya produk Indonesia sudah mulai dapat dirasakan. Hal ini dilihat dari peningkatan impor barang China, dan penurunan nilai ekspor Indonesia. Total ekspor Indonesia tahun 2009 (Januari-November) mencapai USD 103,15 miliar atau turun -19.5 persen dibanding periode yang sama di 2008, dengan ekspor nonmigas tercatat USD 86,64 miliar atau turun -13,7 persen dibanding periode sama di 2008.39 Sementara itu impor produk pertanian dan makanan ke Indonesia tumbuh tinggi. Tahun 2008 misalnya, nilai impor bawang putih Indonesia menempati urutan keempat impor terbesar senilai USD 151 juta. Komoditas pertanian lain, seperti jeruk, apel dan tembakau juga termasuk dua puluh produk impor utama Indonesia dari China. Hal yang sama terjadi pada produk manufaktur nasional yang telah kalah bersaing, produk tekstil dan alas kaki impor asal China yang telah membanjiri pasar domestik.40 ECONIT Advisory Group memprediksikan pada tahun 2010 pertumbuhan impor akan mengalami pertumbuhan yang jauh lebih tinggi dibanding tahun 2009, yakni sebesar 15 persen Ada beberapa hal yang mendorong impor. Salah satunya adalah meningkatnya impor berbagai kategori barang konsumsi, dengan berlakunya ACFTA.41 Data-data di atas secara jelas telah menunjukkan bahwasanya peningkatan angka impor Indonesia atau dengan kata lain peningkatan ekspor China ke Indonesia akan menyebabkan meningkatnya jumlah produk China yang beredar di pasaran Indonesia. Dengan peningkatan jumlah yang signifikan produk-produk China di Indonesia tentu akan berimbas terhadap daya jual produk lokal Indonesia. Terlebih lagi dengan kecenderungan China yang mampu menjual produknya dengan harga yang lebih murah dari pada produk lokal, akan membuat produk China semakin digemari. Secara otomatis, produk lokal menjadi tidak begitu diminati. Kondisi secamacam ini tentunya lambat laun akan memberikan pengaruh yang negatif bagi perekonomian Indonesia. Indikasi ketidakadilan perdagangan Perlambatan pertumbuhan berbagai sektor industri yang semakin cepat paska ACFTA dprediksikan akan terjadi karena setelah AFTA tahun 2003, neraca perdagangan Indonesia dengan beberapa negara ASEAN terus 38 Mudrajat Kuncoro, “Industri Indonesia di Persimpangan Jalan”, Kompas, 19 Februari 2005. 39 Robert James Bintaryo, “Sasaran 2010: Peningkatan Daya Saing, pengamanan Pasar, dalam Negeri dan Pencitraan Produk Indonesia”, Briefing Awal Tahun Menteri Perdagangan RI, diperoleh dari www.depdag.go.id ; Internet, diakses tanggal 3 Maret 2010. 40 ECONIT Advisory Group, “Econit Ecomomic Outlock 2010: A Year of The Judgment”, Economis Outlock 2010, Januari 2010, hlm. 7. 41 Ibid, hlm. 35-36. 95
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 2, Juni 2010: Edisi Khusus
mengalami defisit yang makin besar. Data tahun 2008 menunjukkan defisit Indonesia dengan Thailand USD 2,67 milyar, Malaysia USD 2,58 milyar dan Singapura USD 8,93 milyar. Dampak ACFTA akan semakin besar dibanding AFTA karena sebelum implementasi ACFTA, defisit neraca perdagangan Indonesia-China telah cukup besar. Pada tahun 2008, misalnya, neraca perdagangan telah menunjukkan defisit sebesar USD 3,61 milyar dan tahun 2009 (Januari-Oktober) sebesar USD 3,9 milyar.42 Hal yang sama terjadi pada produk manufaktur nasional yang telah kalah bersaing. Bila tahun 2004 baru sekitar 32 persen, maka pada tahun 2007 telah mencapai 78 persen. Inilah yang mengakibatkan pertumbuhan sektor industri tekstil, barang kulit dan alas kaki yang pada tahun 2003 masih tumbuh 6,2 persen. Sejak tahun 2007 telah tumbuh negatif sekitar 3,7 persen.43 Kondisi semacam ini tentunya menghkawatirkan bagi perekonomian Indonesia ke depan, jika tidak segera dilakukan pembenahan. Pemerintah (Menteri Perdagangan) menyatakan bahwa dengan ACFTA peluang pasar akan membesar, dengan mendekati 2 miliar penduduk di kawasan ASEAN dan China. Kenyataannya, jika pelaku bisnis kita kalah bersaing, Indonesia tidak dapat memanfaatkan ACFTA, tetapi justru akan kehilangan potensi ekonomi dan lost generation. Menteri Perdagangan juga menyatakan akan mencari solusi bagi pelaku ekonomi nasional yang terkena dampak negatif ACFTA. Namun, akan sangat terlambat jika baru ditangani sekarang karena pelaku ekonomi nasional telanjur dirugikan secara finansial ataupun ketenagakerjaan. Dalam berbagai kesempatan, pemerintah seakan menyalahkan pemerintah sebelumnya dengan mengatakan perjanjian ACFTA merupakan hasil kebijakan rezim sebelumnya. Ini sikap tidak tepat mengingat pemerintah seharusnya menerima tugas apa pun guna mencari penyelesaian problematika bangsa, bukan mencari kambing hitam. 44 Negara-negara lain telah mempersiapkan diri setidaknya lima tahun. Thailand dengan kebijakan dual track economy, Singapura dengan mengambil langkah kebijakan teknologi inovatif, dan Malaysia dengan menyiapkan kebijakan manufaktur teknologi tinggi dalam rangka menyiapkan daya saing produk domestik sekaligus menggenjot industri jasa, khususnya pariwisata. Mereka menyadari, tanpa persiapan, mustahil mampu bersaing dengan China yang secara ekonomi mampu memproduksi barang murah. Bagaimana dengan Indonesia?45 Dengan liberalisasi ugal-ugalan ekonomi Indonesia saat ini, dikawatirkan akan terjadi reinkarnasi ekonomi neokolonial di Indonesia. Indonesia akan kembali set-back menjadi negara penyedia kebutuhan bahan baku bagi industri maju di dunia. Kembali pada posisi Indonesia pada masa 42 43 44 45 96
Ibid, hlm. 7-8. Ibid, hlm. 72. Abeng, Kompas, 4 Februari 2010. Ibid.
Yusran Implikasi ACFTA Terhadap Perekonomian Indonesia sebagai Akibat Pengaruh Peran Swasta di ASEAN
kolonial. Menanam tanaman yang diperlukan oleh negara-negara industri dunia. Mengekspor bahan baku dan bahan mentah di satu sisi dan mengimpor berbagai produk jadi di sisi lain.46 Dari kondisi semacam ini, maka indikasi terjadinya ketidakadilan perdagangan akan dirasakan oleh Indonesia, yang juga akan berimbas pada perekonomian. Jika apa yang dikhawatirkan bahwa liberalisasi perdagangan telah membawa Indonesia mengalami neo-kolonialisme, hal ini jelas-jelas merupakan indikasi ketidakadilan perdagangan yang nyata bagi Indonesia. Betapa tidak, dengan kesepakatan liberalisasi perdagangan yang berlaku, China dapat semakin meningkatkan ekspor bahan jadinya, sekaligus mempermudah impor bahan baku yang akan semakin meningkatkan produktivitas produksinya. Dengan produktivitas industri dan besarnya peluang ekspor dan pasar tanpa hambatan, maka keuntungan perdagangan yang diperoleh China akan berlipat ganda. Akan tetapi, ironisnya di sisi lain Indonesia semakin mengalami penurunan ekspor barang jadi akibat ”gulung tikar” karena kalah bersaing dengan produk asal China. Pangsa pasar yang berhasil direbut oleh produk China mengakibatkan inefektifitas produksi dalam negeri. Sementara itu ekspor bahan mentah semakin meningkat dan membuat Indonesia menjadi ketergantungan barang ekspor. Tidak dapat dinafikan bahwasanya globalisasi telah berhasil membuat sebagian besar masyarakat Indonesia menjadi konsumtif dan bangga bila menggunakan produk luar negeri. Fenomena semacam inilah yang akan semakin memperburuk atmosfir industri lokal. Keadaan yang berlangsung perlahan namun pasti ini akan semakin memperjelas indikasi terjadinya ketidakadilan perdagangan akibat perdagangan bebas bagi Indonesia. Terdorongnya deindustrialisasi Dua variabel di atas, jika terjadi secara terus-menerus akan berakibat pada terjadinya deindustrialisasi. Pertumbuhan sektor manufaktur yang mengalami perlambatan secara konsisten sejak tahun 2004 menunjukkan tanda-tanda terjadinya percepatan deindustrialisasi. Daya saing produk nasional akhirnya semakin jauh tertinggal dibanding produk impor. Sektor manufaktur terus mengalami percepatan deindustrialisasi dalam beberapa tahun terakhir, pada tahun 2009 hanya tumbuh 1,4 persen (turun dari 3,7 persen tahun 2008). Pertumbuhan tersebut merupakan yang terendah setelah terus mengalami perlambatan pertumbuhan sejak 2004, yang pada saat itu masih tumbuh sebesar 6,4 persen. Sektor pertanian juga mengalami penurunan pertumbuhan menjadi hanya 3,4 persen untuk tahun 2009 (turun dari 4.8 persen pada tahun 2008).47
46 ECONIT Advisory Group, hlm. 71-72. 47 Ibid, hlm.12. 97
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 2, Juni 2010: Edisi Khusus
Bagi Indonesia, percepatan deindustrialisasi yang terus berlanjut dan semakin ketatnya persaingan dan pelaksanaan pasar bebas ACFTA akan menghambat pemulihan berbagai sektor ekonomi secara signifikan. Deindustrialisasi lebih jauh akan berdampak pada pertumbuhan kredit yang rendah. Selain itu, deindustrialisasi juga akan mengakibatkan penurunan penerimaan pajak.48 Dari data ini dapat diindikasikan bahwa deindustrialisasi akan berakibat relatif buruk bagi perekonomian Indonesia. Meningkatnya pengangguran Pertumbuhan yang terus melambat mengakibatkan kemampuan sektor manufaktur untuk menyerap tenaga kerja semakin terbatas. Premature deindustrialization yang terajadi akibat liberalisasi perdagangan ini tentu sangat berbahaya bagi negara dengan jumlah penduduk besar dan masih menghadapi masalah pengangguran tinggi dan kemiskinan. Deindustrialisasi menjadikan banyak industri terlalu cepat memasuki tahap sun-set. Akibatnya, kemampuan ekonomi untuk menciptakan lapangan kerja semakin rendah, sehingga akan mendorong semakin banyaknya orang menganggur.49 Meningkatnya pengangguran adalah efek domino yang tidak dapat dihindarkan dari perdagangan bebas yang terjadi antara Cina dengan Indonesia sebagai salah satu negara anggota ASEAN. Terjadinya peningkatan jumlah pengangguran adalah bentuk konsekuensi logis dari variabel-variabel sebelumnya. Meningkatnya jumlah produk asal China di pasaran yang dijual dengan harga lebih murah dari produk lokal, menjadikan produk China sebagai pilihan bagi para konsumen ketimbang produk lokal yang berharga lebih mahal. Sebagai konsekuensinya produk lokal menjadi kurang laku dipasaran. Kondisi semacam ini akan membuat produsen lokal mengurangi jumlah produksinya. Dengan pengurangan jumlah produksi, otomatis tenaga kerja akan dikurangi jumlahnya. Pengurangan jumlah tenaga kerja oleh para produsen lokal inilah penulis anggap sebagai gejala awal meningkatnya angka pengangguran. Kesimpulan Berlakunya perdagangan bebas ACFTA di lingkungan ASEAN merupakan bentuk implementasi dari liberalisasi perdagangan. Liberalisasi perdagangan identik dengan peran swasta dalam perekonomian negara. Implementasi ACFTA juga didorong oleh kuatnya pengaruh sektor swasta di negara-negara berpengaruh ASEAN seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Indonesia dan Filipina. Akan tetapi, dianatra negara-negara tersebut terdapat perbedaan kesiapan dalam menghadapi ACFTA. Meskipun sama-sama terdapat indikasi kuatnya peran swasta, namun dalam dalm kenyataannya kemampuan memanfaatkan sektor 48 49 98
Ibid, hlm. 19-20. Ibid, hlm. 65
Yusran Implikasi ACFTA Terhadap Perekonomian Indonesia sebagai Akibat Pengaruh Peran Swasta di ASEAN
swasta untuk pembangunan negara berbeda oleh masing-masing negara anggota. Singapura, Malaysia, dan Thailan mampu mengoptimalkan peran swasta sehingga mendorong perekonomian mereka dalam menghadapi ACFTA. Akan tetapi, di Indonesia sektor swasta malah semakin memperparah kondisi perekonomian mikro yang merupakan pondasi utama perekonomian Indonesia. Hal inilah yang berujung pada belum siapnya Indonesia bersaing dalam kerjasama ACFTA. Ketidaksiapan Indonesia itulah yang pada akhirnya melahirkan implikasi negatif dari pemberlakuan ACFTA bagi perekonomian Indonesia. Penulis menyimpulkan hal ini dengan menganalisa berdasarkan beberapa fakta yang dikemukakan sebelumnya. Perlahan namun pasti, ACFTA akan memberikan pengaruh yang semakin negatif bagi perekonomian Indonesia ke depan, jika pemerintah tidak segera membenahi perekonomian dengan seksama. Hal ini penting agar ekonomi Indonesia mampu memanfatkan globalisasi dan liberalisasi perdagangan yang terjadi seperti negara-negara tetangganya. Perlu adanya perbaikan institusional serta perubahan kebijaksanaan mikro maupun makro ekonomi, sehingga analisa implikasi negatif seperti yang penulis jabarkan di atas, dapat diminimalisir, bahkan dihilangkan. ___________ Daftar Pustaka Abeng, Emil, “ACFTA, Antara Harapan dan Realitas”, Kompas, 4 Februari 2010 ECONIT Advisory Group, “Econit Economic Outlock 2010: A Year of The Judgment”, Economis Outlock 2010, Januari 2010. Girsang, Erna S. U. “Peluang China kuasai dunia kian terbuka”, Bisnis Indonesia 26 Januari 2010. Hidayat, Mohammad, S, “ACFTA Paling Berat buat RI, Penerimaan Negara dari PPN Impor Akan Naik” Kompas, 21 Januari 2010. Hutabarat, Budiman, dkk., “Analisis Kesepakatan Perdagangan Bebas IndonesiaChina dan Kerjasama AFTA dan Dampaknya terhadap Perdagangan Komoditas Pertanian Indonesia”, Makalah Seminar Hasil Penelitian Tahun Anggaran 2007, Pusat Analisis Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, 2007. Joelyartini, Siti, Tri, “Dampak Implementasi Perjanjian ASEAN-CHINA FTA (Free Trade Area) terhadap Ekspor-impor Indonesia”, Buletin KPI, Edisi ke-43, 2007. Ma’arif, Syamsul, “Dinamika peran negara dalam proses liberalisasi dan privatisasi”, Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik, vol. 10, nomor 2, 2006.
99
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 2, Juni 2010: Edisi Khusus
Marbun, B. N., Kamus Politik, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003. Pradjasto, Antonio, “Liberalisasi Pasar untuk Demokrasi:, diperoleh dari www.demosindonesia.org/pdf/Anton-Liberalisasi_Pasar_Demokratisasi.pdf Rekotomo R., “Ratusan Buruh Tolak ACFTA”, Antara News, Kamis, 21 Januari 2010. Silalahi, M. Udin, “Persaingan dalam industri semen nasional”, CSIS Working Paper Series, Jakarta, Juni 2003. Soesastro, H., “Indonesia’s Role in ASEAN and Impact on US-Indonesia Relationship” IndonesianQuarterly, Volume 33. Spence, J.E., Doctionary of International Relations, England: Penguin Books, 1998. Stiglitz, Joseph, E., Making Globalization Work, London: Penguin Books, 2006.
100