IMPLEMENTASI REFORMASI BIROKRASI BIDANG SUMBER DAYA MANUSIA (SDM) DI KOTA TANGERANG SELATAN (TANGSEL)
Oleh: Haniah Hanafie
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014
DAFTAR ISI Hal Judul Surat Tugas (Surat Keterangan) Daftar Isi…………………………………………………………………………………i Daftar Tabel……………………………………………………………………………..iv Daftar Gambar………………………………………………………………………….vi Abstrak..................................................................................................................vii BAB I
: PENDAHULUAN………..……………………………………………….…1
A. Latar Belakang Masalah……….………………………………………..........1 B. Perumusan Masalah ………….. ….…………………………………………..8 C. Tujuan Penelitian.………………………………………………………...........8 D. Manfaat Penelitian ………………….……….………………………………...8 BAB II : KAJIAN PUSTAKA…..………………………………………..…….….10 A. Penelitian Terdahulu…………………………………………..……..……….10 B. Reformasi Administrasi …………………………..i………………..……….14 C. Reformasi Birokrasi …………………………..…………………………….28 D. Kontrol Politik Atas Birokrasi………………………………………….…….42 E. Politik Birokrasi………………………………………………………………...43 F. Reformasi SDM ……… …..…………………….……………..…………......47 G. Kerangka Pemikiran ………………………………………………………….58
I
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN……………………………………………59 A. Jenis Penelitian dan Pendekatan Penelitian……………………………….59 B. Fokus Penelitian………………….……………………………………..…….60 C. Lokasi Penelitian………………………………………………………………60 D. Sumber Data………………………...………………………………………...61 E. Prosedur Pengumpulan Data………………………………………………..61 F. Analisis Data ………………………………………………………………….62 BAB IV : GAMBARAN UMUM KOTA TANGERANG SELATAN……………63 A. Sejarah Kota Tangerang Selatan……………….………………………......63 B. Keadaan Geografis……………………………………………………..…….64 C. Pemerintah Daerah……………………………………………………………66 D. Peremkonomian……………………………………………………………….69 E. Politik……………………………………………………………………………70 BAB V : REFORMASI BIROKRASI BIDANG SDM KOTA TANGSEL……….72 A. Pengangkatan dan Penempatan ……………………….…………………..73 B. Pelatihan ………………………. ……………………………………………..97 C. Penggajian …………………………………………………………………..102 D. Kondisi Kerja ……………………………………………………………….. 108 E. Kinerja ……………………………………………………………………….111
ii
BAB VI : ANALISIS…………………………………………………………………117 A. Pengangkatan dan Penempatan ……………………….…………………117 B. Pelatihan ………………………. ……………………………………………124 C. Penggajian …………………………………………………………………..126 D. Kondisi Kerja ……………………………………………………………….. 129 E. Kinerja ……………………………………………………………………….130 F. Kunci Reformasi……………………………………………………………..131 G. Langkah-Langkah Implementasi Reformasi Birokrasi Bidang SDM….132 H. Model Rekomendasi……………………………………………………….133 BAB VII : PENUTUP…………………………………………………………….…..134 A. Kesimpulan…………………………………………………………………...134 B. Rekomendasi……………...…………………………………………………135 Daftar Pustaka……………………………………………………………….……….136
iii DAFTAR TABEL
Tabel 1.1.
: Penempatan Pegawai Yang Tidak Sesuai …………………….6 Kompetensi Lulusan
Tabel 1.2.
: Jumlah PNS di Kelurahan-Kelurahan …………………………..7 Kecamatan Ciputat.
Tabel 2.1.
: Tingkat Pelaksanaan Reformasi Birokrasi……………………26
Tabel 2.3
: Karakteristik Weberian, NPM, Neo Weberianism …………….33 dan Pemerintah Umum
Tabel 2.4.
: Area Perubahan dan Hasil yang Diharapkan ………………………..42
Tabel 4.1.
: Jumlah Kecamatan dan Kelurahan ……………………………65 Kota Tangerang Selatan
Tabel 4.2.
: Jumlah Organisasi Perangkat Daerah Pemda ………………..67 Kota Tangerang Selatan
Tabel 4.3.
: Jumlah Kecamatan dan Kelurahan Pemda Kota……………..68 Kota Tangsel
Tabel 4.4.
: Jumlah Kontribusi Bidang Usaha Di Kota Tangsel……….…..69
Tabel 4.5.
: Jumlah Anggota DPRD Dari Setiap Fraksi Kota ……………..71 Tangsel
Tabel 4.6.
: Jumlah Komisi DPRD Kota Tangsel……………………………71
Tabel 5.1.
: Asal Daerah Pegawai Pindahan ke Pemda Kota Tangsel …..77
Tabel 5. 2.
: Jumlah Kekurangan PNS di Beberapa SKPD………………..81
Tabel 5.3.
: Jumlah PNS Pemda Kota Tangsel……………………………..82 yang Tidak Sesuai Kompetensi
Tabel 5.4.
: Kompetensi Pegawai DPPKAD ……………. ………….………85
Tabel 5.5.
: Jumlah PNS di Kelurahan………………………………...……..89
Tabel 5.6.
iv : Jumlah TKS di Beberapa SKPD…………………………………93
Tabel 5.7.
: Jumlah PNS dan TKS di Beberapa SKPD …………………….94 Pemda Kota Tangsel
Tabel 5.8.
: Jumlah dan Jenis Pelatihan yang Dilaksanakan BKPP……….99
Tabel 5.9.
: Daftar Gaji Pokok PNS…………………………………………..103
Tabel 5.10. : Daftar TP PNS Diterima Aparatur Pemda Kota Tangsel……..103 Tabel 5.11. : Daftar Honor Kegiatan Aparatur Birokrasi Pemda……..……..104 Kota Tangsel Tabel 5.12. : Struktur Penggajian Aparatur Pemerintah……………………..105 Pemerintah Dearah Kota Tangerang Selatan Tabel 5.13. : Honor yang Diterima Tenaga Honor……………………………106 Di Kelurahan Rawa Buntu Per Bulan Tabel 5.14. : Struktur Penggajian yang diterima TKS ……………………….107 Pemda Kota Tangsel
-oo00oo-
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1
: Peta Geografis Kota Tangerang Selatan………………………66
-o0o-
vi
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis masalah pelaksanaan reformasi birokrasi bidang SDM yang telah dilakukan di Kota Tangsel. Teori yang digunakan adalah reformasi birokrasi, kontrol politik atas birokrasi, politik birokrasi dan reformasi SDM. Pendekatan kualitatif digunakan dalam penelitian ini. Wawancara, dokumentasi dan observasi dilakukan dalam teknik pengumpulan data. Teknik analisa data secara deskriptif dengan menggunakan tahapan-tahapan yang dikemukakan oleh MC Nabb. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pengangkatan dan penempatan pegawai, baik pindahan maupun tetap, baik PNS maupun non PNS, tidak berdasarkan kompetensi dan sarat dengan KKN. Merit system belum digunakan sebagai dasar rekrutmen. Pelatihan dilaksanakan tidak didasarkan pada kompetensi untuk meningkatkan kapasitas dan kinerja pegawai. Sedangkan penggajian telah mengikuti sistem yang diatur oleh pemerintah, demikian pula penambahan insentifnya yang relatif besar, tetapi belum diikuti dengan perubahan kinerja. Kondisi kerja sangat tidak kondusif dan tidak efektif, karena berpencar ke beberapa lokasi dan ukuran ruangannya sangat kecil, sehingga pemberian pelayanan tidak efektif.
Kata Kunci: Reformasi birokrasi, Sumber daya manusia
vii
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Refomasi Birokrasi telah dicanangkan pemerintah pada tahun 2010 dalam Grand Desain Reformasi Birokrasi Indonesia (GDRB, 2010) dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 81 Tahun 2010. Tujuannya agar seluruh Kementerian, Lembaga dan Pemerintah Daerah memiliki komitmen dan kekuatan untuk memulai proses pelaksanaan reformasi birokrasi, sehingga tahun 2025, birokrasi pemerintahan yang profesional dan berintegritas tinggi dapat diwujudkan (GDRB, 2010). Reformasi birokrasi merupakan suatu perubahan besar (GDRB, 2010) atau perubahan radikal dalam tata cara pelaksanaan urusan masyarakat sebagai tuntutan pada saat reformasi administrasi ditiupkan tahun 1980 an (Caiden, 1991: 1). Perubahan besar/radikal (Reformasi Birokrasi) harus dilakukan oleh seluruh Kementerian, Lembaga dan Pemerintah Daerah, karena reformasi politik tahun 1998 yang dikenal sebagai reformasi gelombang pertama (GDRB, 2010: 1), belum membawa perubahan di bidang birokrasi. Dan pada tahun 2004, pemerintah menegaskan kembali pentingnya prinsipprinsip clean government dan good governance dalam rangka pemberian pelayanan prima kepada masyarakat. Untuk itu, program utama
yang
dilakukan pemerintah adalah membangun aparatur negara melalui penerapan reformasi birokrasi (GDRB, 2010: 1).
2
UU No 22 tahun 1999 yang direvisi menjadi No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah mewujudkan otonomi daerah sebagai wujud desentralisasi untuk mendekatkan pelayanan pemerintah daerah ke tengah masyarakat, tetapi ternyata pelayanan dan kinerja pemerintah daerah belum menunjukkan hasil optimal. Penyimpangan-penyimpangan di daerah masih terlihat, sehingga terdapat 138 Bupati/Walikota dan 17 Gubernur terjerat korupsi dan menjadi tersangka (Kompas.com, 2011). Korupsi adalah salah satu penyakit birokrasi yang dikenal dengan istilah bureaupathology yang
menjangkiti birokrasi di Indonesia seperti
bersifat kaku, hierarkis, berbelit-belit, korupsi kolusi nepotisme (KKN), tidak efisien & efektif dan biaya mahal (high cost) (Istianto, 2011: 143). Penyakit birokrasi tersebut diperkuat dengan adanya hasil survei tahun 2010, paling
yang menyatakan korup
dari
bahwa Indonesia merupakan negara 16
negara
Asia
Pasifik
(http://nusantaranews.wordpress.com). Demikian pula tahun 2011, PERC masih menempatkan Indonesia di peringkat pertama sebagai negara terkorup dari 16 negara Asia Pasifik yang menjadi tujuan investasi, dengan skor korupsi Indonesia 9,27. Sedangkan berdasarkan laporan Lembaga Transparansi International (Kompas.Com, 28 Juni 2012 ), Indeks Persepsi Korupsi/IPK (Corruption Perception Index/CPI) Indonesia masih rendah (3.0),
karena Indonesia masih berada di peringkat ke-100 bersama 11
negara lainnya dan pada tahun 2011, IPK Indonesia masih tetap di peringkat ke 100 (Kompas, Com, 10 Desember 2012). Selain itu, pemerintah daerah, khususnya tiga provinsi terjerat korupsi dan telah memasuki tahap penyidikan, yaitu
Provinsi
Jawa
3
Timur (119 kasus), Papua (114 kasus) dan Jawa Tengah (79 kasus). Sedangkan tahapan penuntutan banyak terjadi di Kajati Jawa Timur (91 kasus), Sumut (51 kasus) dan Sulut (50 kasus). Dengan demikian, Budaya korupsi belum dapat dihilangkan, karena politik di Indonesia telah terjadi politik kartel (Ulumul Qur’an, Vol. 1, April, 2012), sebagaimana yang terlihat pada kasus Nazarudin (kompas.com 13 September 2011), mantan bendahara partai politik Golkar yang melibatkan kantor Kemenpora, Kemenkeu, anggota legislator serta elit partai politik. Lembaga-lembaga politik seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan lembaga-lembaga politik lainnya telah dibentuk, tetapi sistem administrasi pemerintahan Indonesia belum mampu menciptakan clean government dan good governance. Akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, kualitasnya masih perlu pembenahan termasuk dalam penyajian laporan keuangan yang belum sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP). Opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan keuangan K/L dan Pemda masih banyak yang perlu ditingkatkan menuju ke opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) (GDRB 2010-2025, 2010). Kondisi sistem administrasi Indonesia yang masih belum membaik, merupakan andil birokrasi pemerintahan yang korup, tidak efisien dan tidak efektif. Pada awalnya, Birokrasi dipandang sebagai suatu organisasi yang berskala besar dan memiliki cakupan yang luas, sangat dibutuhkan negara untuk menjalankan tugas-tugas yang begitu komplek, sebagaimana dikatakan Dwiyanto (2011: 22) bahwa Birokrasi publik dikembangkan untuk menanggapi
perluasan
dan
kompleksitas
tugas-tugas
administratif.
4
Kemampuan Birokrasi untuk menangani tugas-tugas tersebut dikarenakan birokrasi
memiliki
karakter
yang
diperlukan
sebagaimana
yang
dikemukakan Weber dalam Harmon dan Mayer (1986) (drtomoconnor.com) yaitu antara lain : a) Division of labor -- the principle of fixed delegation of authority and responsibility inside the organization. b) Structure based on hierarchy -- a pyramid of control like in the military where higher-level officials supervise lower-level officials inside the organization. c) Administration based upon information -- about employees, processes, records, reports, data, etc. d) Employment which presupposes expert training -- all employees hired by the organization must demonstrate their Qualifications for the job through education, training, or experience. e) Employees are full-time career workers -- this fosters increased organizational control over employees. f)
Operation of the organization is based upon rigid and impersonal rules of behavior.
Karakter-karakter birokrasi Weber di atas, sangat diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Hal ini untuk memperlancar pelayanan di sektor publik, meskipun di satu sisi birokrasi dianggap sebagai penghambat, karena hierarkis, tidak efisien, tidak fleksibel dan tidak efektif serta tidak otonom. Untuk itulah pada abad 19 birokratisasi dalam pelayanan publik menjadi tujuan reformasi administrasi (Kyarimpa, 2009: 39). Kini Indonesia telah memasuki Era Globalisasi. Oleh karena itu, sistem
administrasi
Indonesia,
dituntut
untuk
mempersiapkan
diri,
membenahi sistem administrasi pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah. Kesiapan sistem administrasi ini, agar Indonesia dapat bersaing
5
dengan negara-negara lain. Oleh karena itu, pemerintah daerah sebagai ujung tombak harus mampu “membentengi diri” di berbagai bidang dan salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah meningkatkan kapasitas aparatur pemerintahnya (Sumber Daya Manusia) dengan cara melakukan reformasi birokrasi. Salah satu area perubahan reformasi birokrasi adalah sumber daya manusia aparatur. Sumber Daya Manusia (SDM) adalah sumber daya organisasi yang paling berharga sebagaimana dikatakan Turner dan Hulme (1997: 116): organization’s most valuable resources are its staff. Staf di sini adalah
sumber daya manusia yang sangat diperlukan dalam suatu
organisasi. Sebuah organisasi tanpa staf, maka organisasi tidak akan berjalan, karena staflah yang melakukan tugas, koordinasi dan mengatur input menjadi ouput. Untuk itu, pengembangan dan manajemen SDM mendapat perhatian besar dalam reformasi dalam rangka mencapai tujuan efisiensi dan efektivitas birokrasi pemerintahan. Selain
itu,
pengembangan
SDM
dipersiapkan
organisasi
menghadapi tantangan ke depan (Malthis dan Jackson, 2001:13), karena Malaysia dan Singapore telah sukses, menjadikan SDM sebagai pilar kunci reformasi. Kota Tangerang Selatan (Tangsel) dipilih sebagai lokasi penelitian, karena merupakan salah satu kota yang baru dibentuk dari hasil pemekaran pada tahun 2008. Selain itu, masalah aparatur pemerintah (SDM) Kota Tangsel mengindikasikan beberapa permasalahan antara lain : Pertama, jumlah Tenaga Kerja Sukarela (TKS) yang melebihi kebutuhan. Hal ini terlihat di
6
Kantor Sekretariat Negara terdapat 265 orang TKS, sedangkan PNS hanya berjumlah 116 orang, berarti terdapat kelebihan 149 orang. Selain itu, belum
didayagunakan
secara
optimal,
karena
banyak
TKS
yang
menganggur tidak ada pekerjaan/tugas dengan alasan TKS belum menjadi PNS (hasil wawancara, tanggal 28 Juni 2012). Kedua, Pendayagunaan pegawai belum optimal, tampak pada penempatan PNS yang tidak sesuai dengan kompetensinya. Di kantor Sekretariat Daerah, yaitu seorang PNS dengan kompetensi lulusan S1 Pertanian ditempatkan sebagai Kasub Organisasi, lulusan S2 Otonomi Daerah didudukkan sebagai Kasub Humas dan lulusan S1 Hubungan Internasional ditempatkan di bagian pembuatan KTP di Kecamatan. Tabel berikut ini memuat beberapa contoh penempatan pegawai yang tidak sesuai dengan kompetensinya: Tabel 1.1.
No 1 2 3
4 5
6 7
Penempatan Pegawai Yang Tidak Sesuai Kompetensi Lulusan Kompetensi Strata Penempatan Sebagai Lulusan Pertanian S1 Kasub. Organisasi di Sekda Otonomi S2 Kasub. Humas di Sekda Daerah Ilmu Politik S1 Kasi Pengolahan dan Pengembangan Bahan di Kantor Perpustakaan Daerah Ilmu S1 Kasi Pelayanan dan Informasi di Pemerintahan Kantor Perpustakaan Ilmu Pendidikan S2 Kabid Pengkajian dan Bina Hukum di Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Ilmu S2 Kasubid Informasi Lingkungan di Menejemen BLHD Ilmu Hubungan S1 Staf Bagian Pembuatan KTP di Internasional Kecamatan Pamulang
Sumber : Data dikelola dari hasil wawancara. Belum ditemukan dokumen kearsipan Pegawai yang disusun berdasarkan jenis pendidikan.
7
Ketiga, Ketidakdisiplinan terlihat pada TKS, dengan adanya kehadiran yang tidak tepat waktu dan perangkapan kerja di luar kantor Pemerintahan Kota Tangsel TKS (hasil wawancara, tanggal 28 Juni 2012). Keempat, Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) sangat kental terlihat
pada rekruitmen PNS dan TKS di Pemerintahan Kota Tangsel,
karena banyak dipengaruhi atau ditentukan oleh para politisi dari partaipartai politik (anggota DPRD Kota Tengerang Selatan) dan Tim Sukses Pemilihan Kepala Daerah. Persoalan SDM di Pemda Kota Tangsel lainnya, berada di tingkat Kelurahan. Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Tangsel No. 06 Tahun 2010 tentang Organisasi Perangkat Daerah Kota Tangerang Selatan, Kelurahan merupakan salah satu organisasi perangkat daerah, tetapi jumlah PNS di setiap Kelurahan belum mendapat porsi yang semestinya. Di setiap Kelurahan hanya memiliki satu orang PNS dan paling banyak dua orang. Di Kelurahan Pondok Benda Kecamatan Pamulang, justru semua pegawainya tidak berstatus PNS dari 24 orang pegawai. Tabel berikut ini memberikan data jumlah PNS di Kelurahan-kelurahan yang berada dalam Kecamatan Ciputat. Tabel 1.2. Jumlah PNS di Kelurahan-Kelurahan Kecamatan Ciputat NO 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Kelurahan Ciputat Cipayung Serua Serua Indah Sawah Sawah Baru Jombang
Jumlah PNS 2 1 2 1 1 2 1
Yang Menjadi PNS Lurah dan Seklur Sekretaris Lurah Lurah dan Seklur Sekretaris Lurah Sekretaris Lurah Lurah dan Seklur Sekretaris Lurah
Sumber : Hasil wawancara dengan Camat Ciputat, 18 Oktober 2012.
8
Data di atas menggambarkan bahwa status kepegawaian di tingkat Kelurahan Pemerintahan Daerah Kota Tangsel perlu mendapat perhatian serius, karena hal ini menyangkut tingkat kesejahteraan pegawai yang berdampak pada pelayanan dan efektifitas pemerintahan daerah. Selain masalah SDM, kondisi kerja Pemerintahan Kota Tangsel belum efisien, karena lokasi kantor-kantor dinas dan badan-badan masih terpisah-pisah tidak menyatu dalam satu lokasi, sehingga menyulitkan masyarakat dan mempengaruhi efisiensi dan efektifitas pelayanan pemerintah. Dari uraian di atas, maka peneliti ingin mengkaji lebih mendalam tentang implementasi reformasi birokrasi bidang SDM di Kota Tangsel. B.
Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah penelitian ini adalah: Bagaimanakah implementasi reformasi birokrasi bidang SDM di Kota Tangsel ?
C. Tujuan Penelitian Dengan melihat rumusan masalah penelitian di atas, maka tujuan penelitian ini mendeskripsikan dan menganalisis masalah pelaksanaan reformasi birokrasi bidang SDM yang telah dilakukan di Kota Tangsel. D. Manfaat Penelitian Manfaat praktis dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran (deskripsi) secara jelas tentang pelaksanaan reformasi birokrasi bidang SDM di Kota Tangsel, sehingga dapat memberikan sebuah model yang tepat bagi reformasi birokrasi pemerintahan di Kota Tangsel dan diharapkan
dapat
memberikan
kotribusi
bagi
pemerintah
untuk
9
pengembangan kebijakan strategi reformasi birokrasi pemerintahan di daerah. Sedangkan manfaat akademis dalam penelitian ini, diharapkan dapat mengembangkan teori Ilmu Administrasi, khususnya kajian tentang reformasi birokrasi di pemerintahan daerah.
-o00o-
10
BAB II KAJIAN PUSTAKA Untuk
memahami penelitian tentang Implementasi Reformasi
Birokrasi Bidang SDM di Kota Tangsel, kajian pustaka dalam penelitian ini meliputi: a). Teori Reformasi Administrasi dan Birokrasi yang meliputi Teori Reformasi Administrasi dan Reformasi Birokrasi. Di dalam Reformasi Administrasi akan dijelaskan tentang Perkembangan Administrasi dan Konsep Refomasi Administrasi. Sedangkan Reformasi Birokrasi akan dibahas tentang Konsep Birokrasi, Reformasi Birokrasi, Teori Kontrol Politik atas Birokrasi dan Teori Politik Birokrasi serta konseptualisasi tentang SDM. Namun sebelum penjelasan tentang teori, akan dijelaskan tentang penelitian terdahulu dan di bagian akhir digambarkan alur pikir. A. Penelitian Terdahulu Berikut ini terdapat sepuluh hasil penelitian terdahulu yang dapat dikemukakan secara ringkas sebagai berikut : 1. Myung-Jae Moon and Patricia Ingraham dalam Shaping Administrative Reform and Governance An Examination of the Political Nexus Triads (PNT) in Three Asian Countries, tahun 1998. Jae Moon dan Ingraham Penelitain
melihat model PNT di beberapa negara Asia seperti Cina,
Korea dan Jepang, yaitu struktur yang dibentuk oleh proses politisasi di mana politikus, birokrat, dan warga negara berkomunikasi satu sama lain, berusaha untuk melindungi dan meningkatkan daya politik
dan
administrasi. Hasilnya, di Negara Cina ditemui Model PNT nya adalah penurunan pengaruh partai dan peningkatan otonomi birokrasi yang profesional dan perluasan sektor swasta.
Penelitian ini memberikan
11
wawasan bahwa dalam membangun suatu struktur, tidak dapat diserahkan kepada pihak pemerintah, tetapi perlu mendapat dukungan, baik dari masyarakat maupun birokrasi itu sendiri. Dengan demikian, menunjukkan bahwa peran birokrasi amatlah diperlukan. 2.
Martin Painter secara kualitatif mendeskripsikan dalam The Politics of Administrative Reform in East and Southeast Asia: From Gridlock to Continuous Self-Improvement ? pada tahun 2004. Painter
ingin
membandingkan pola dan hasil dari reformasi administrasi di empat negara:
Malaysia,
Singapura,
Taiwan,
dan
Thailand
dengan
menggolongkan kepada dua kategori (konsep), yaitu: (a) sistem birokrasi otonom dan (b) sistem birokrasi instrumental. Sistem birokrasi otonom menunjukkan birokrasi berperan, jika dibandingkan dengan eksekutif, baik dalam perumusan kebijakan maupun implementasinya. Sedangkan sistem birokrasi instrumental menunjukkan bahwa birokrasi tetap sebagai jabatan
karir
untuk
penguasa/eksekutif. birokrasi terkait
melayani
Hasil
masyarakat
penelitian
dan
menyimpulkan
dengan reformasi administrasi
di
setia
kepada
bahwa
sistem
Malaysia
dan
Singapura, termasuk sebagai birokrasi instrumental, karena ditunjukkan oleh
kemampuan
pihak
politik
eksekutifnya
menguasai
proses
administrasi, termasuk di dalamnya birokrasi. Selain itu, kedua negara menunjukkan perbaikan di bidang administrasi secara terus menerus yang dilakukan oleh birokrasi. Sedangkan status birokrasi di Thailand dan Taiwan berada dalam masa transisi, karena di Taiwan eksekutif dengan birokrasi masih belum menyatu sebagaimana di Singapura dengan Malaysia. Demikian pula Thailand yang silih berganti penguasa antara
12
sipil dengan militer, sehingga kekuatan kontrol terhadap birokrasi lemah. Metode yang digunakan adalah
membandingkan studi kasus dengan
menerapkan pengujian model. Penelitian Martin Painter memberikan informasi, bahwa dalam melaksanakan reformasi administrasi, termasuk reformasi birokrasi tidak selalu mencapai hasil yang memuaskan dan membutuhkan proses. Selain itu,
kontrol politik eksekutif terhadap birokrasi
harus kuat,
sehingga birokrasi tidak dominan. 3. Public Administration Reforms in Transition Countries: Albania and Romania Between the Weberian Model and the New Public Management yang ditulis oleh Cepiku dan Mititelu dalam Transylvanian Review of Administrative Sciences, No. 30 E
tahun 2010. Menurut Cepiku dan
Mititelu, reformasi juga telah dilakukan oleh Negara-negara Transisi seperti Albania dan Rumania, untuk menghadang strategi desentralisasi, karena di kedua negara tersebut masih terdapat beberapa hal di antaranya: (a) lemahnya kapasitas administrasi baik di tingkat lokal maupun pusat, (b) fragmentasi tinggi, masih tidak dapat mendefinisikan peran
daerah-daerah,
(c)
koordinasi
lemah
dalam
pelaksanaan
desentralisasi, (d) tidak adanya standar layanan yang jelas dan (e) kriteria pengukuran kinerja dalam pelayanan daerah. Penelitian ini justru sangat mendukung penelitian yang akan peneliti lakukan di Pemda Tangsel, agar kapasitas pemerintahan daerah dapat ditingkatkan dengan menunjukkan kinerja yang baik. 4. Selain Albania dan Rumania, Perancis juga telah melakukan reformasi administrasi di bidang SDM, pelayanan dan akuntabilitas. Faktor
13
pendukung reformasi administrasi di Perancis adalah efek Eropanisasi dan
desentralisasi. Seiring dengan itu, tumbuhnya pengaruh prinsip-
prinsip dan praktek NPM juga memberi pengaruh yang besar bagi reformasi administrasi di Perancis. Hal ini terdapat dalam tulisan Alistair Cole dan Glyn Jones yang berjudul Reshaping the State: Administrative Reform and New Public Management in France dalam Governance: An International Journal of Publicy, Administration and Institutions, Vol. 18 No. 4, Oktober Tahun 2005. Informasi Cole dan Jones sangat inspiratif bahwa reformasi administrasi juga diikuti oleh perubahan manajemen yang dikenal dengan istilah New Public Management (NPM). 5. Peter J May dan Soran C. Winter melakukan penelitian yang berjudul Politician, Managers and Street-Level Bureaucrats: Influences on Policy Implementation pada tahun 2007. Penelitian ini dilakukan di Denmark untuk
melihat
pelaksanaan
reformasi
kebijakan
di
bidang
ketenagakerjaan dan ternyata ditemukan bahwa Birokrasi Tingkat Bawah (Street Level Bureaucrat) bervariatif dalam menentukan kebijakan, Birokrasi Tingkat bawah ikut mempengaruhi pengambilan keputusan politik,
Sebagian
besar
birokrat
tingkat
bawah
pada
umumnya
melaksanakan tujuan reformasi dan yang terakhir menunjukkan bahwa Para pekerja Denmark mendukung reformasi
kebijakan pemerintah
pusat. Suatu masukan yang baik bahwa birokrasi di tingkat bawah memiliki
andil
besar
dalam
kesuksesan
penyelenggaraan
suatu
pemerintahan. Untuk itu, keberhasilan reformasi birokrasi di Pemda,
14
harus didukung sepenuhnya oleh birokrasi, termasuk birokrasi di tingkat bawah. B. Reformasi Administrasi Dalam kajian tentang Reformasi Administrasi dan Birokrasi berikut ini diuraikan tentang Konsep Reformasi Administrasi yang meliputi: konsep reformasi administrasi, tujuan,
fokus, bentuk dan strategi reformasi
administrasi. Konsepsi Reformasi Administrasi Di dalam konsepsi reformasi administrasi akan dijelaskan tentang konsep reformasi administrasi, tujuan, fokus, bentuk dan strategi reformasi administrasi. 1. Konsep Reformasi Administrasi Reformasi administrasi adalah sebagai proses perubahan dalam prosedur dan hubungannya di dalam administrasi pemerintahan (Peter, 1994 dalam Farazmand, 2002: 126). Definisi yang dikemukakan Farazmand tidak detail, bersifat universal. Sedangkan Zauhar dan Pollit dan Bouckaert menggunakan kata perubahan dalam reformasi administrasi, tetapi Zauhar lebih detail dengan menambahkan perubahan ke arah struktur, lembaga dan perilaku,
sebagaimana yang dikutip berikut ini: reformasi administrasi
sebagai suatu perubahan yang dilakukan dengan sadar dan terencana untuk mengubah struktur, prosedur (aspek kelembagaan), sikap serta perilaku birokrasi (Zauhar, 1996: 11).
Sedangkan Pollit dan Bouckaert (2000: 8)
hanya ditujukan untuk struktur dan proses untuk mencapai tujuan yang lebih baik (administrative reform as “deliberate changes to the structures and processes of public sector organizations with the objective of getting them (in
15
some sense) to run better).
Tampaknya Farazman, Zauhar dan Pollit –
Bouckaert yang mendefinisikan reformasi administrasi sebagai suatu perubahan terencana, diamini oleh Turner dan Hulme (1997: 106), karena Turner dan Hulme juga menyebut tiga hal yang menjadi unsur reformasi administrasi, yaitu Pertama, perubahan yang disengaja dan terencana untuk birokrasi publik. Kedua, identik dengan inovasi. Ketiga, peningkatan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa reformasi administrasi adalah perubahan struktur, prosedur dan perilaku birokrasi pemerintahan yang direncanakan, untuk peningkatan
efisiensi, efektifitas dan inovasi
dalam pelayanan publik. 2. Tujuan Reformasi Administrasi Sejak reformasi awal abad 19, reformasi administrasi dianggap tidak menggunakan biaya mahal (hight cost), lebih efisien, memfasilitasi program dan menghasilkan pelayanan yang berkualitas, lebih efektif, meningkatkan etika, akuntabilitas dan transparansi dalam pemerintahan (Caiden, 1991). Meskipun demikian, upaya-upaya tersebut tidak selalu mencapai tujuan dan sasaran, karena di beberapa tempat reformasi administratif khas bagi setiap negara tergantung pada konteks lokal, prioritas politisi, elit administratif dan masyarakat sipil (Kyarimpa, 2009: 19-20). Senada dengan Caiden, Pollit dan Bouckaert (2000: 6) juga mengatakan tujuan reformasi untuk mendapatkan tujuan yang lebih baik, yaitu efisiensi, efektifitas dan peningkatan pelayanan publik. Untuk mencapai hal ini harus didukung oleh struktur organisasi yang ramping, prosedur (tata
16
laksana ) pelayanan yang jelas dan tidak hierarkis serta kapasitas sumber daya manusia (SDM) yang memadai. Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan negara, birokrasi sangat diperlukan untuk memperlancar pelayanan di sektor publik, meskipun di satu sisi dianggap sebagai penghambat, karena hierakhis, inefisiensi, kaku (taat) pada aturan dan tidak efektif serta tidak otonom. Untuk itulah pada abad 19 birokrasi sebagai ujung tombak dalam pelayanan publik menjadi tujuan reformasi administrasi (Kyarimpa, 2009: 39). Pada dasarnya, reformasi administrasi ditujukan untuk menilai kinerja pemerintah, agar
harapan
masyarakat terhadap pelayanan pemerintahan di sektor publik mengalami perubahan yang sigfikan. Demikian pula penelitian ini untuk melihat bahwa reformasi birokrasi yang dijalankan oleh pemerintah Kota Tangerang Selatan sebagai unjuk prestasi kinerja Pemerintahan Kota Tangerang Selatan. Selain tujuan reformasi administrasi yang dikemukakan di atas, berikut ini tujuan reformasi administrasi yang dikemukakan Mosher yang disitir Caiden dalam Zauhar (1996: 13) meliputi : (1) Melakukan perubahan inovatif terhadap kebijaksanaan dan program pelaksanaan. (2). Meningkatkan efektivitas administrasi. (3). Meningkatkan kualitas personal. (4).Melakukan antisipasi terhadap kemungkinan kritik dan keluhan pihak luar.
Selain
Mosher,
Dror
masih
dalam
Zauhar
(1996:14)
mengklasifikasikan tujuan reformasi menjadi 6 kelompok. Tiga bersifat intra administrasi dan tiga lainnya berhubungan dengan peran masyarakat. Tiga tujuan internal administrasi meliputi :
17
(1) Efisiensi administrasi (dalam arti penghematan uang) seperti, penyederhanaan formulir. (2). Penghapusan penyakit administrasi seperti korupsi. (3). Pengenalan dan penggalangan sistem merit. Sedangkan Tiga tujuan yang berkaitan dengan masyarakat: (1). Menyesuaikan sistem administrasi terhadap meningkatnya keluhan masyarakat. (2). Mengubah pembagian pekerjaan antara sistem administrasi dan sistem politik, seperti misalnya meningkatkan otonomi professional dari sistem administrasi dan meningkatkan pengaruhnya pada suatu kebijaksanaan. (3). Mengubah hubungan antara sistem administrasi dan penduduk, misalnya melalui relokasi pusat-pusat kekuasaan. 3. Fokus Reformasi Administrasi Yehezkel Dror dalam Zauhar (1996: 6) mengatakan bahwa reformasi administrasi adalah perubahan yang terencana terhadap
aspek utama
administrasi. Sedangkan hasil seminar internasional (1968) oleh EROPA (Eastern Regional Organization for Public Administration) Kuala Lumpur (Zauhar: 1996: 10) menyatakan pengertian reformasi administrasi tidak hanya perbaikan struktur organisasi, akan tetapi meliputi pula perbaikan perilaku orang yang terlibat di dalamnya. Meskipun definisi reformasi administrasi semacam ini juga dikemukakan oleh Jose Veloso Abueva dalam Zauhar (1996: 10): “ essentially a deliberate attempt to use power, authority and influence to change the goals, structure or procedures of the bureaucracy and therefore, to alter the behavior of its personnel”. Selanjutnya Zauhar (1996:9) mengungkapkan lima alat ukur reformasi administrasi yang diambil dari seminar internasional yang diselenggarakan EROPA, yaitu :
18
1) Penekanan baru terhadap program. 2) Perubahan sikap dan perilaku masyarakat dan anggota birokrasi. 3) Perubahan gaya kepemimpinan yang mengarah kepada komunikasi terbuka dan menajemen partisipatif. 4) Penggunaan sumber daya yang lebih efisien. 5) Pengurangan
penggunaan
aturan
yang
ketat
(kaku)
(pendekatan legalistik). Berarti di sini dibutuhkan diskresi.
Di beberapa negara seperti
Albania dan Rumania (Denita Cepiku
dan Cristina Mititelu dalam Jurnal Transylvanian Review of Administrative Sciences No. 3E, 2010: 56) reformasi administrasi yang dilakukan dikarenakan permasalahan kapasitas administrasi yang masih lemah dan korupsi yang terjadi. Hal ini juga terjadi di Negeria, (korupsi di pemerintah daerah), sehingga diperlukan peningkatan kapasitas pemerintah yang lebih baik
(Lawal
dan
Oladunjoye
dalam
Jurnal
Journal
of
Suistanable
Development in Africa. Volume 12. No. 5, 2010: 232). Sedangkan di Negara Berkembang umumnya reformasi administrasi dipusatkan pada birokrasi pemerintahan. Kegiatan dalam setiap pemerintahan diperlukan reformasi dengan maksud agar dapat menyesuaikan dengan berbagai kebutuhan dan tuntutan masyarakat yang cenderung berubah-ubah (Caiden, 1991), namun tidak semua negara berhasil memenuhi tuntutan tersebut. 4. Bentuk Reformasi Administrasi. Berikut ini terdapat bentuk-bentuk reformasi administrasi yang masuk ke Negara Berkembang pada tahun 1980 an, yaitu privatisasi, marketisasi, manajerialisme, desentralisasi, debirokratisasi dan efisiensi
(Farazmand,
2002: 7). Sejalan dengan itu, reformasi administrasi di Negara Barat yang
19
menekankan efisiensi efektifitas dan produktifitas organisasi dilakukan dengan lima langkah (Caiden, 1991) :1. Perampingan birokrasi, 2. Privatisasi, 3.Pembaharuan pelayanan publik, 4.Restrukturisasi pemerintahan, 5.Budaya birokrasi administrasi. Perampingan birokrasi terkait dengan jumlah struktur organisasi birokrasi, baik secara horizontal maupun vertical. Privatisasi dalam hal ini diartikan sebagai upaya pemerintah untuk memberikan akses kepada pihak swasta berpartisipasi dalam pelaksanaan pembangunan dan pelayanan kepada
masyarakat.
Sedangkan
pembaharuan
pelayanan
publik
dimaksudkan adanya inovasi yang dilakukan aparat pemerintah dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat, sehingga tidak monoton dan terpaku pada aturan yang rigid. Hal ini sejalan dengan reformasi administrasi yang diartikan sebagai transformasi aspek-aspek fundamental dari sistem administrasi dengan menekankan perlunya inovasi yang tinggi (Caiden, 1991: 42). Restrukturisasi pemerintahan diharapkan ada penyegaran/perombakan terhadap struktur organisasi yang dianggap tidak berfungsi dan mubazir, sehingga menjadi pemborosan (inefisiency).
Dan yang terakhir, budaya
birokrasi administrasi diharapkan bebas dari KKN, lambat (hierarkhis) dan boros (inefisiency). Untuk Negara Berkembang, bentuk reformasi yang sudah diwujudkan adalah penghematan (efisiensi), liberalisasi, desentralisasi yang diberi label revamping, revitalisasi dan restrukturisasi (Kyarimpa, 2009: 23). Indonesia sendiri sedang menuju kearah yang disebut Kyarimpa. Hal ini terlihat dalam goal yang ingin dicapai dalam rangka reformasi birokrasi pada tahun 2014, antara lain efficient and effective government, competitive and competence
20
civil servant, open and IT based government, participative government (Prasojo, 2012: 6). Keempat tujuan ini sekaligus dijadikan sebagai pilar reformasi birokrasi di Indonesia sampai dengan tahun 2014. Reformasi administrasi yang ditawarkan di bidang pelayanan sipil yaitu :membatasi pengeluaran (efisiensi), meringankan beban birokrasi, membentuk kembali kebijakan sosial yang tidak bisa diberikan, interaksi dengan kekuatan global, perubahan sosial ekonomi dan pasokan ide-ide manajemen baru. Dan jenis perubahan antara lain Sistemic: Inggris, Australia, Selandia Baru, dan Swedia; increamental: AS, Jerman dan berkelanjutan (continuum) : Perancis , Kanada dan Belanda. Sedangkan di negara Dunia Ketiga belum jelas posisinya (Kyarimpa, 2011). 5. Strategi Reformasi Administrasi Strategi adalah variabel yang digunakan untuk mengubah reformasi administrasi, yang mencakup jenis, cakupan dan kecepatan reformasi. Selain itu, strategi juga termasuk dalam pilihan para agen reformasi dan waktu reformasi, sebagaimana yang dikatakan Hahn Been Lee (1970: 13): “Strategy is the manipulative variable of administrative reform. The main object of manipulation is the type, scope and speed of reform,
although strategy is
also involved in the choice of the reform agents and reform agency as well as the timing of reform”. Strategi diperlukan, karena lemahnya agen perubahan, struktur internal lembaga tidak ditujukan untuk perubahan besar serta ruang lingkup dan laju reformasi harus dikompromikan, sebagaiman dikemukakan (1970: 14) di bawah ini:
Lee
21
“Strategy is conditioned by the change agents on one side and the environment on the other. When the change agents are weak and the internal structure of the agency is not geared to a major change, the scope and pace of reform would have to be compromised”.
Untuk melangkah ke pelaksanaan reformasi administrasi, ditawarkan dua strategi, yaitu Comprehensive Strategy dan Incremental Strategy (Lee, 1970: 14-16). Comprehensive Strategy adalah suatu cara atau pola yang digunakan oleh suatu lembaga manajerial pusat dalam mengendalikan beberapa bidang cakupan seperti personil, anggaran dan organisasi. Dalam penerapan strategi ini, diperlukan dukungan politik dari penguasa, sedangkan Legislatif dan partai Politik jarang memberikan dukungan yang memadai (Samonte dan Khosla dalam Lee, 1970: 14). Komitmen politik penguasa diperlukan, mengingat seluruh perencanaan reformasi administrasi yang akan dilakukan dibuat dan harus diketahui penguasa, sehingga goal yang diinginkan akan tercapai. Sebagaimana hasil penelitian di beberapa daerah, ditemukan bahwa salah satu faktor pendukung keberhasilan reformasi birokrasi di daerah adalah komitmen dan political will
kepala daerah
(Prasojo, Maksum dan Kurniawan, 2006: 175-176). Incremental
Strategy
adalah
suatu
pendekatan
yang
melihat
reformasi administrasi secara bertahap dan sebagai rantai yang berurutan, karena
reformasi
dianggap
sebagai
suatu
proses.
Pendekatan
ini
mengutamakan pelatihan yang tidak hanya melibatkan staf dari badan reformasi, tetapi juga orang-orang dari instansi terkait lainnya. Setiap strategi memiliki kelebihan dan keterbatasan. Kelebihan Incremental Strategy dapat membangun kepercayaan di antara agen reformasi. Sedangkan
keterbatasannya pendekatannya bersifat gradual
22
(bertahap), sehingga akan membutuhkan proses yang lebih panjang. Kelebihan Comprehensive Strategy, perubahannya akan menyeluruh dan membutuhkan waktu yang relatif lebih singkat daripada incremental. Keterbatasannya membutuhkan perhatian lebih banyak dari baik dari pemerintah maupun lembaga/instansi yang terkait . Strategi yang dikemukakan Lee lebih bersifat makro yang difokuskan pada reformasi administrasi. Sedangkan strategi reformasi administrasi berikut ini dikemukakan Caiden (1991:75-86) dalam bentuk yang lebih konkrit, yang meliputi: 1) Privatisasi dan koproduksi; menyerahkan kewenangan penyediaan barang dan jasa publik kepada swasta. 2) Debirokratisasi; memangkas struktur dan prosedur birokrasi yang berbelit-belit untuk efisiensi dan efektivitas kepemerintahan. 3) Reorganisasi; menata ulang organisasi publik sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya (tupoksi) agar lebih fleksibel. 4) Manajemen publik yang efektif; memperbaiki proses manajerial pada organisasi publik agar lebih efektif dalam menjalankan fungsinya. 5) Value for money; menghapus kegiatan-kegiatan yang tidak penting, yang menghabiskan anggaran. Debirokratisasi dan Reorganisasi yang dikemukakan Caiden senada dengan konsep Restrukturisasi dari Turner dan Hulme (1997:107-126). Ketiga konsep tersebut difokuskan pada penataan struktur birokrasi. Sedangkan konsep privatisasi pemerintah
swasta
Turner
Caiden sejalan dengan konsep kerjasama dan
Hulme
yang
menitikberatkan
pada
keterlibatan pihak swasta dalam pembangunan. Untuk lebih jelasnya, berikut ini lima agenda reformasi administrasi yang dikemukakan Turner dan Hulme (1997:107-126), yaitu:
23
1) Restrukturisasi; merekayasa ulang struktur organisasi publik baik di tingkat pusat maupun lokal. 2) Partisipasi; memperkuat partisipasi publik di dalam proses pemerintahan. 3) Peningkatan sumber daya manusia; meningkatkan kualitas dan kuantitas aparatur negara sehingga memiliki dedikasi yang tinggi dalam melayani masyarakat. 4) Akuntabilitas; memperjelas mekanisme pertanggung-jawaban aparat pemerintah. Pertanggung-jawaban di sini tidak hanya kepada atasan, tetapi juga kepada publik. 5) Kerjasama pemerintah-swasta; memberdayakan sektor privat dengan membangun kemitraan yang saling menguntungkan. Selain dikemukakan
konsep-konsep di
atas,
strategi
ditambahkan
reformasi juga
administrasi
konsep
yang
debirokratisasi,
perampingan, desentralisasi wewenang dan memperbaiki daya respon organisasi birokrasi terhadap klien/masyarakat ( Turner dan Hulme, 1997: 107). Sedangkan Restrukturisasi sebagaimana telah dijelaskan di atas, dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas organisasi, karena struktur tidak hanya dilihat dalam bentuk kotak dan garis hierarki pada bagan organisasi, tetapi harus dilihat secara keseluruhan organisasi, di mana terdapat pembagian kerja dalam tugas yang berbeda dan koordinasi di antara mereka (Mintzberg (1979 : 2) dalam Turner dan Hulme (1997: 107). Dror dalam Leemans juga melengkapi Caiden , Turner dan Hulme dengan mengemukakan enam kluster strategi reformasi administrasi yang lebih menukik (konkrit) pada persoalan reformasi administrasi. Secara garis besar, sumbangan pemikiran Dror dalam strategi reformasi administrasi menyangkut kebutuhan SDM yang berkualitas, pemisahan pengaruh kekuasaan politik terhadap birokrasi dan perubahan sistem yang mendasar,
24
yaitu dengan melakukan desentralisasi. Di bawah ini enam pemikiran Dror dalam Leemans ( 1976: 129-130)
yang menyangkut strategi reformasi
administrasi, yaitu antara lain: Pertama, menghasilkan efisiensi administrasi, dapat diukur dari aspek penghematan nilai uang, misalnya melalui penyederhanaan prosedur, perubahan prosedur, pengurangan duplikasi proses dan pendekatan yang sama dalam organisasi dan metodenya. Kedua, mengurangi praktik yang memperlemah reformasi administrasi (seperti : korupsi, kolusi, favouritism dan lain-lain). Ketiga, merubah komponen utama sistem administrasi untuk menghasilkan kondisi ideal, misalnya menerapkan merit system dalam kepegawaian, menerapkan system anggaran berbasis program, membangun bank data dan sebagainya. Keempat, menyesuaikan sistem administrasi untuk mengantisipasi efek perubahan sosial akibat modernisasi atau peperangan. Kelima, membagi secara jelas antara pegawai pada sistem administrasi dengam sistem politik, misalnya mengurai kekuasaan birokrat atau aparat pemerintah pada level senior, sehingga lebih patuh pada proses politik. Keenam, merubah hubungan antara sistem administrasi dengan seluruh atau sebagian dari komponen masyarakat, misalnya melalui strategi desentralisasi, demokratisasi dan partisipasi. Pilihan strategi reformasi administrasi di atas membutuhkan sebuah sistem pembuatan kebijakan yang berkualitas tinggi (Dror dalam Leemans: 1976: 128). Argumentasi yang dikemukakan Dror adalah: Pertama, reformasi administrasi membutuhkan pegawai berkualitas tinggi, sehingga potensi melakukan kesalahan dapat dikurangi. Kedua, reformasi administrasi memerlukan kemampuan untuk memilih strategi
yang tepat di antara
25
banyaknya alternative strategi yang ada yang masing-masing dilandasi dengan perbedaan nilai (value), kepentingan (interest) kepribadian (personalities).
organisasi dan
Pilihan tersebut erat kaitannya dengan
perhitungan biaya politik, mencakup bagaimana mempertahankan koalisi, bagaimana mendapatkan dukungan proses rekrutmen, partisipasi dan sebagainya. Ketiga, reformasi administrasi cenderung mendorong terjadinya kekakuan sistem yang lebih besar (over rigidity) kecuali jika strategi yang dipilih tersebut benar-benar flexible, antara lain dengan kemampuan membangun rencana kontigensi secara jelas. Salah satu konsep yang ditawarkan Dror tentang perubahan sistem yang mendasar, yaitu Desentralisasi, sangat tepat dengan pilihan lokasi penelitian di Pemerintahan Daerah Kota Tangsel. Ketepatan ini, mengingat Pemerintahan Daerah Kota Tengsel telah menerapkan Desentralisasi. Dari
perspektif
pelayanan
dan
peningkatan
kinerja
birokrasi
pemerintahan, strategi reformasi diartikan sebagai upaya-upaya peningkatan kualitas pelayanan publik, percepatan pemberantasan korupsi, peningkatan kinerja SDM aparatur, manajemen kepegawaian berbasis kinerja, remunerasi dan meritokrasi, diklat berbasis kompetensi, penyelesaian status tenaga honorer, pegawai harian lepas dan pegawai tidak tetap serta deregulasi dan debirokratisasi (Sarundajang, 2012 :181). Seluruh penjelasan strategi reformasi administrasi telah di jelaskan di atas, berikut ini lebih fokus pada strategi reformasi birokrasi. Pelaksanaan strategi reformasi birokrasi yang dicanangkan dalam GDRB tampaknya tidak bersifat comprehensif, melainkan incremental, karena melalui tahapantahapan, yang meliputi empat tahap , yaitu 1). pelaksanaan, 2). pelaksana,
26
3). program dan 4). metode pelaksanaan. Pada tahap,
pelaksanaan
reformasi dilakukan melalui tiga tingkat pelaksanaan sebagaimana dalam tabel 2.4 berikut ini (GDRB, 2010: 21): Tabel: 2.1. Tingkat Pelaksanaan Reformasi Birokasi Tingkat Pelaksanaan Nasional
Keterangan Makro
Meso
Kementrian/ Lembaga/Pemda
Mikro
Menyangkut penyempurnaan regulasi nasional yang terkait dengan upaya pelaksanaan RB. Menjalankan fungsi manajerial, yakni menerjemahkan kebijakan makro dan mengkoordinir (mendorong dan mengawal) pelaksanaan RB di tingkat K/L dan pemda. Menyangkut implementasi kebijakan/program RB sebagaimana digariskan secara nasional yang menjadi bagian dari upaya percepatan RB pada masing-masing K/L dan pemda.
Sumber: GDRB, 2010: 21.
Terakhir dari strategi reformasi birokrasi yang dikemukakan dalam GDRB adalah metode pelaksanaan yang dilakukan dengan empat cara (GDRB, 2010:23) yaitu: 1). Preemtif Memprediksi kemungkinan terjadinya praktek birokrasi yang dipandang inefisien, inefektif, menimbulkan proses panjang, membuka peluang KKN dan lainnya serta melakukan langkah-langkah antisipatif. 2). Persuasif Melakukan berbagai upaya reformasi birokrasi seperti melalui sosialisasi, public campaign, internalisasi membangun keasdaran dan komitmen individual. 3). Preventif. Mencegah kemungkinan terjadinya praktek birokrasi yang dipandang inefisien, inefektif, menimbulkan proses panjang, membuka peluang KKN, dan lainnya. Melalui perubahan mind set, culture set. 4). Tindakan/sanksi Menerapkan sanksi atau punishment bagi mereka yang tidak perform dalam pelaksanaan reformasi birokrasi.
27
Di dalam GDRB, strategi yang ditawarkan sudah sampai ke tingkat /tahap program, sehingga sasarannya jelas, sehingga dapat dijadikan pedoman bagi organisasi pemerintahan K/L dan Pemda. Selain itu juga terdapat Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2010 yang mengatur tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014. Hal ini wajar mengingat akan dijadikan pedoman bagi aparatur birokrasi pemerintahan. Rewansyah (2009: 140-141) mengemukakan enam strategi reformasi birokrasi yang lebih menitikberatkan pada kelembagaan, kualitas SDM, kapasitas, teknologi, sistem reward dan etika. Berikut ini rinciannya yaitu: 1) Panataan kembali kelembagaan/organisasi, SDM dan tatalaksana dengan ukuran yang pas (rightsizing). 2) Peningkatan kapasitas dan kapabilitas birokrat. Kapasitas dalam perumusan kebijakan, pelayanan dan pemberdayaan kepada masyarakat. Kapabilitas dengan meningkatkan pendidikan dan pelatihan bagi aparatur birokrasi. 3) Perbaikan sistem tatakelola urusan pemerintahan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi.
dengan
4) Perbaikan sistem reward dan punishment yang adil. Pemberian gaji yang layak dan hukuman bagi yang melanggar aturan. 5) Perbaikan etika dan moralitas aparatur. Menegakkan etika dan pengawasan baik internal maupun eksternal. 6) Penetapan proyek-proyek percontohan untuk dijadikan contoh.
Sebenarnya
aparatur
birokrasi
pemerintahan
telah
bekerja
menjalankan tugas, tetapi belum mampu menunjukkan kinerja secara optimal, sehingga dianggap belum effektif. Untuk itu, reformasi birokrasi dipandang sebagai suatu upaya pembentukan kembali birokrasi yang dianggap “gagal” menuju perbaikan. Berikut ini beberapa upaya yang perlu dilakukan birokrasi (Istianto, 2010: 155-165), yaitu:
28
1) Disiplin. Baik waktu, komitmen dan konsistensi pelaksanaan pekerjaan, sehingga dengan disiplin, birokrasi diharapkan dapat meningkatkan produktifitas organisasi pemerintahan. 2)
Inovasi. Birokrasi diharapkan menemukan ide-ide baru yang dapat dikembangkan dan berdayaguna.
3) Harus Memiliki Kompetensi. SDM yang direkruit harus memiliki “keahlian” di bidangnya. Untuk itu merit sistem harus dilaksanakan dalam perekruitan pegawai, sehingga dalam menghadapi persoalan, birokrasi mampu menyelesaikannya. 4) Kreatifitas. Birokrasi dituntut tidak harus mengikuti aturan-aturan yang rigid, tapi harus mampu berkreasi, dengan ide-ide baru dalam melayani masyarakat. 5) Profesionalisme. Sebaiknya dimiliki oleh birokrasi, baik melalui pendidikan atau pelatihan. Profesionalisme ini sangat penting, agar birokrasi dalam bekerja akan lebih profesional (ahli) di bidangnya. 6) Responsivenes. Persoalan-persoalan di masyarakat yang semakin berkembang dibutuhkan birokrasi yang tidak lamban. Untuk itu, birokrasi harus cepat tanggap menghadapi permasalahanpermasalahan yang ada dalam masyarakat. Cepat tanggap (Responsif) terhadap persoalan dalam hal pencegahan (musibah) maupun untuk pengembangan ke depan (Responsif untuk antisipatif). 7) Akutabilitas. Birokrasi dituntut memiliki rasa tanggungjawab (moral obligation), baik kepada diri sendiri, masyarakat dan Tuhan. Dengan demikian, maka tugas yang diembannya akan dijaga sedemikian rupa, agar tidak menimbulkan “kecacatan”/kerugian baik bagi diri sendiri atau orang lain. C. Reformasi Birokrasi Kajian Birokrasi. Istilah Birokrasi dengan cepat menjadi bagian dari perbendaharaan istilah politik internasional. Dalam bahasa Perancis disebut Bureaucratie, dalam bahasa Jerman disebut sebagai Bureaukratie dan akhirnya menjadi Burokratie. Di Italia sendiri dikatakan Burocrazia dan dalam bahasa Inggris disebut
Bureaucracy,
yang
akhirnya
diturunkan
menjadi
Bureaucrat
29
Bureaucratic, Bureaucratism, Bureaucratist dan Bureaucratization (Albrow, 1989: 3). Secara etimologis dalam perbendaharaan bahasa abad ke 18 (Albrow, 1989: 2-3), Birokrasi berasal dari kata “biro” (“bureau”) yang berarti meja tulis, yang selalu diartikan sebagai suatu tempat yang di sana para pejabat bekerja dan cracy atau cratos yang berarti pemerintahan (Riyadi, 2008: 102)
dan secara harfiah diartikan sebagai pemerintahan yang
dilakukan dari atas meja. Jadi kegiatan-kegiatan yang dilakukan melalui meja-meja yang berada di kantor-kantor pemerintahan itulah disebut sebagai birokrasi. Dengan demikian, konotasi birokrasi dalam konteks ini hanya terbatas pada organisasi pemerintahan. Istilah Birokrasi di populerkan Balzac di
Perancis melalui novel-
novelnya pada Tahun 1836. Namun ada juga yang mengatakan istilah, tersebut berasal dari Jerman yang dimunculkan oleh Christian Kraus, tapi yang paling berjasa memasyarakatkan di Jerman pada abad 19 adalah Johan Gorres seorang wartawan dan penulis roman dalam karyanya dan salah satu karyanya berjudul Germany and the Revolution Tahun 1819 (Albrow, 1989: 3-6). Menurut Albrow (1989: 6), pada gagasan awal, Birokrasi dipandang sebagai suatu bentuk pemerintahan yang di dalamnya kekuasaan berada di tangan para pejabat, tetapi juga merupakan suatu pertanda bagi pejabatpejabat tersebut. Selain mengacu pada suatu bentuk pemerintahan, Birokrasi juga menunjukkan prosedur-prosedur administrasi. Dalam Ilmu Administrasi Publik menurut Albrow, (1989:116-117) birokrasi dapat diartikan beberapa makna antara lain sebagai pemerintahan
30
yang dijalankan oleh suatu biro (offcialism); badan eksekutif pemerintah; dan keseluruhan pejabat publik, baik tingkat tinggi, maupun rendah. Senada dengan Albrow, Yahya Muhaimin dalam Jurnal Prima No. 10 (1980) mengatakan bahwa Birokrasi adalah aparat pemerintah, baik sipil, maupun militer yang mendapat tugas dari pemerintah dan digaji. Dengan demikian, maka yang dimaksud Birokrasi oleh Albrow dan Yahya Muhaimin adalah pegawai pemerintahan. Berbeda dengan Albrow dan Yahya Muhaimin, Louis C Gawtrop (1969) dalam Miftah Thoha (1991: 101-102) mengartikan
bahwa Birokrasi
itu merupakan karakteristik dari semua hal yang berskala besar, organisasi yang kompleks baik di kalangan pemerintahan atau non pemerintahan. Jadi adanya organisasi Birokrasi tidak hanya di kantor pemerintah, tetapi juga di kantor-kantor swasta. Blau dan Meyer (1987: 4) mengartikan Birokrasi adalah “jenis organisasi yang dirancang untuk menangani tugas-tugas administratif dalam skala besar serta mengkoordinasikan pekerjaan banyak orang secara sistematis”. Selanjutnya masih menurut Blau dan Meyer (1987: 5) yang juga dikutip Riyadi (2008: 102) dan Kausar As (2009: 33-34), Birokrasi adalah lembaga yang sangat kuat
dengan kemampuan untuk meningkatkan
kapasitas-kapasitas potensial terhadap hal yang baik maupun buruk karena birokrasi merupakan instrument administrasi nasional yang netral pada skala besar. Mengingat masalah-masalah administrasi yang kompleks dapat ditemui pada hampir semua organisasi besar, maka birokrasi menurut Blau dan Meyer (1987) tidak hanya ditemui dalam departemen-departemen militer sipil atau sipil sebagaimana yang dikemukakan oleh Yahya Muhaimin (1980),
31
tetapi
dalam
bidang-bidang
bisnis,
perserikatan,
organisasi
gereja,
universitas dan bahkan perkumpulan baseball. Apa yang dikatakan Louis C Gawtrop dan Blau & Meyer, memiliki kesamaan dalam memandang Birokrasi, yaitu Birokrasi dilihat sebagai suatu organisasi yang tidak hanya dalam lembaga pemerintahan, tetapi juga lembaga-lembaga swasta. Almond dan Powel dalam Bambang Istianto (2011: 55) mengartikan birokrasi pemerintahan sebagai suatu bentuk perkumpulan secara formal mengorganisir kantor dan tugas dalam mata rantai subordinat untuk melakukan perannya secara formal dalam pembuatan keputusan. Sedangkan pengertian dari
Lance Catles masih dalam Bambang Istianto (2011: 55)
hampir sama dengan yang dikemukakan Yahya Muhaimin dan Albrow. Karakteristik Birokrasi Max Weber dianggap sebagai orang pertama yang mengemukakan tentang
Birokrasi dalam bukunya Economy and Society tahun 1922.
Berikut
ini, Denita Cepiku dan Cristina Mitilelu (2010: 57), mengutip
beberapa karakteristik Birokrasi yang dikemukakan Weber (1922 : 956-963) dalam Transylvanian Review of Administrative Sciences No. 30 E, yaitu: (1). “A rational-functional organization”. Artinya Birokrasi dilihat sebagai sebuah organisasi yang memiliki fungsi dan menjalankan fungsi tersebut secara rasional, sehingga kurang fleksibel. (2). “A rule-based organization”. Birokrasi bekerja didasarkan pada aturan yang ketat. Dalam hal ini, Birokrasi dianggap terlalu kaku, karena bekerjanya dibatasi oleh aturan-aturan, sehingga seringkali Birokrasi dipandang bersifat impersonal, tanpa pandang bulu dalam melayani atau menjalankan fungsinya. (3). “A hierarchical organization”. Birokrasi yang berjenjang, sehingga kalau menjalankan fungsinya, birokrasi tergantung kepada pimpinannya. Dengan demikian, akan sulit mengambil keputusan yang cepat, karena harus berkonsultasi atau dikomunikasikan terlebih dahulu dengan pimpinannya. Dengan demikian, kemandirian bagi birokrasi sulit didapat dan hal ini menyulitkan
32
Birokrasi untuk melakukan diskresi dan secara tidak langsung mempengaruhi pada kreatifitas dan inovasi. Mohtar Mas‟oed dan Collin MacAndrew (1989: 17) juga merujuk pada Weber, ketika menjelaskan karakteristik Birokrasi, tetapi ditambahkan lebih banyak jika dibandingkan dengan Denita Cepiku dan Cristina Mitilelu. Mohtar Mas‟oed mengatakan Birokrasi memiliki enam tipe ideal seperti pembagian kerja (spcialization), hierarki wewenang (authority hierarchy, pengaturan perilaku
jabatan
(seperangkat
aturan/rule
based),
impersonalitas
(impersonality), kemampuan teknis (skill) dan karier (career). Tipe rationalfungtion tidak disinggung Mochtar Mas‟oed, sedangkan impersonalitas, skill dan karir tidak disinggung oleh Denita dan Cristina. Tipe ideal Birokrasi yang dikemukakan Mohtar Mas‟oed memiliki kesamaan dengan yang dikemukakan oleh Blau dan Meyer (1987: 27-31), tanpa ada penambahan atau pengurangan, karena Blau dan Meyer juga merujuk pada Weber. Adapun rinciannya sebagai berikut :Pertama, spesialisasi; Kedua, prinsip khierarkis; Ketiga, pelaksanaan tugas diatur oleh suatu sistem peraturan-peraturan abstrak yang konsisten;
Keempat,
melaksanakan tugas secara formal dan tidak bersifat pribadi (impersonality); Kelima, pekerjaan organisasi birokrasi mencakup suatu jenjang karier serta terdapat suatu sistem kenaikan pangkat yang didasarkan pada senioritas atau prestasi atau keduanya dan Keenam, tipe organisasi administratif yang murni berciri birokratis, dilihat dari sudut pandangan yang semata-mata bersifat teknis. Menurut Miftah Thoha (1991: 102), Birokrasi ala Weber ini lebih tepat diterapkan
pada
instansi
pemerintah
atau
dapat
disebut
sebagai
“bureaucratic authority“, kalau di bidang swasta disebut “bureaucratic
33
management”. Namun dalam paradigma baru administrasi, birokrasi ala Weber ini dianggap sebagai birokrasi klasik yang harus dirubah, karena tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Meskipun demikian, justru fenomena yang masih tampak dalam realita kehidupan birokrasi
saat ini
adalah Birokrasi ala Weber, terutama pada kantor-kantor pemerintah atau yang disebut birokrasi model “neo Weberian”. Berikut ini dapat dilihat dalam tabel 2.2 tentang karakteristik Weberian, NPM, Neo weberianism dan Pemerintahan Umum. Tabel 2.3.
Weberian characteristics Dominance of rule of law, focus on rules and policy systems
Karakteristik Weberian, NPM, Neo Weberianism dan Pemerintah Umum Neo-Weberian NPM characteristics characteristics
Public Governance characteris-tics
Inward focus on (private sector) management techniques
External orientation towards citizens needs
Outwards focus and a systematic approach
Central role for the bureaucracy in the policy making and implementation
Input and output control
Central role of professional managers
Process and outcome control
Unitary state
Fragmented state
Unitary state and collaboration
Plural and pluralist state (networks)
Public service ethos
Competition and market place
Public service ethos
Neo-corporatist
Supplementation of democracy with Participative decision consultation and making participation Sumber : Denita Cepiku dan Cristina Mitelu. 2010. “ Public Administration Reforms in Transition Countries: Albania and Romania Between The Weberian Model and The New Public Management” dalam jurnal Transylvanian Review of Administrative Sciences No. 3E, hal. 61. Representative democracy as the legitimating element
Client empowerment through redress and market mechanisms
Selain karakteristik yang dijelaskan di atas, birokrasi, juga memiliki penyakit yang melekat pada diri birokrasi atau disebut sebagai bureaucracy pathology (patologi birokrasi). Pengkajian patologi dalam Ilmu Administrasi Publik untuk memahami berbagai penyakit yang melekat dalam suatu birokrasi sehingga menyebabkan birokrasi mengalami disfungsi (Dwiyanto, 2011:
59).
Jay
M
Shafritz
(2000:
132)
menggunakan
istilah
34
bureaupathologies.
Caiden sendiri untuk menjelaskan berbagai bentuk
penyakit birokrasi, sedangkan Dehoog dalam
Shafritz (2000: 133)
menggunakan istilah bureaupathologies sebagai pola perilaku yang membuat masyarakat tidak aman (gelisah), dikarenakan dominasi kewenangan dan kontrol mereka (birokrasi). Patologi yang diderita birokrasi bermacam ragam, namun secara garis besar dapat disimpulkan menjadi tiga yaitu, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dan penyebabnya adalah: Diskresi yang terlalu besar, Budaya Paternalistik dan Patron Client Realtioanship. tombak dalam pelaksanaan penyelenggaraan
Birokrasi sebagai ujung pemerintahan daerah yang
masih bersifat kaku, berbelit-belit, KKN, tidak efisien & efektif
dan biaya
mahal (high cost) inilah yang disebut Istianto sebagai “patologi birokrasi” (Istianto, 2011: 143). Persoalan korupsi, menurut Dutt (2009: 181), seringkali menjadikan birokrasi mudah melakukan penyimpangan seperti korupsi. Salah satu temuan Dutt, penyebab korupsi
adalah diskresi yang terlalu besar yang
dilakukan Birokrasi dalam pengambilan keputusan (kebijakan) dan korupsi menurut Lawal dan Oladunjoye (2010: 233), dapat menghancurkan nilai-nilai demokrasi (seperti:respon, akuntabilitas, partisipasi dan pembangunan manusia diabaikan), pembangunan terhambat, aturan hukum ditumbangkan diganti dengan kekuatan otot, pengembangan SDM & peningkatan kapasitas menjadi lesu. Lawal dan Olandunjoye melihat penyebab korupsi di Nigeria adalah: tidak ada demokrasi, pemerintah lemah, pemerintah perilakunya tidak baik, tidak ada kontrol, gaji rendah, ketamakan, pejabat takut miskin, tidak akuntabel dan tidak taat pada aturan.
35
Sedangkan Dwiyanto (2011: 59-107) mengatakan bahwa yang dapat dikategorikan patologi Birokrasi adalah birokrasi paternalistik, pembengkakan anggaran,
prosedur
yang
berlebihan,
pembengkakan
birokrasi
dan
fragmentasi birokrasi. Khusus Birokrasi paternalistic ini disebabkan struktur birokrasi yang hierarkis yang membuat bawahan memperlakukan atasan secara berlebihan. Konsep patron client relationship dan budaya feodalisme juga masih melekat dalam tubuh birokrasi, karena mempengaruhi pola hubungan yang terjadi dalam perilaku birokrasi. Hal ini akan mengakibatkan menurunnya kinerja birokrasi pemerintahan daerah (Kausar, 2009: 12), karena patron client relationship ini dapat mengarah ke hal-hal negatif, seperti korupsi, kolaborasi dan nepotisme yang merugikan rakyat. Hubungan Patron Client
Relationship diartikan sebagai hubungan
tidak setara antara seorang bangsawan dengan sejumlah rakyat biasa sebagai pengikutnya berdasarkan pertukaran barang dan jasa termasuk kekuasaan, yang di dalamnya kebergantungan klien kepada patron diimbali dengan perlindungan patron terhadap klien (Kauzar, 2009: 12). Di
sini
menunjukkan
bahwa
hubungan
keduanya
saling
ketergantungan, karena ada pertukaran, meskipun posisi klien tetap berada di bawah Patron. Hubungan Patron Client ini sering diilustrasikan hubungan antara bawahan dengan atasan di kantor pemerintahan. Hubungan mereka sangat dekat (patron client), sehingga setiap perilaku atasan yang notabene negatif, akan dilindungi oleh bawahan, karena bawahan balas jasa kepada atasannya yang telah merekruitnya . Dalam konteks hubungan semacam ini, maka patron client relationship dapat menjurus ke arah perilaku birokrasi
36
yang menyimpang dan merugikan masyarakat seperti KKN (Korupsi, Kolaborasi dan Nepotisme). Kedekatan Klien dan Patron dapat dikarenakan faktor kekerabatan, ikatan kedaerahan, persahabatan dan asal sekolah atau disebut Diffuse flexibility (Scott: 1972: 92). Berikut ini beberapa ciri ikatan patron client relationship Scott (1972: 92) dalam Kausar (2009: 17) yaitu: (a) Diffuse flexibility adalah Ikatan yang bersifat luwes dan meluas. Ikatan ini tidak hanya didasarkan pada kekerabatan, tetapi bisa karena beragam status sosial seseorang . Tidak terbatas pada uang dan jasa, tetapi bisa juga tenaga dan dukungan kekuatan. (b) Inequality of exchange yaitu ketidaksamaan dalam pertukaran.Dalam hal ini, posisi Client tetap berada di bawah Patron, sehingga di sini ada kesungkanan (segan) client terhadap Patron. Ketidaksamaan ini disebabkan oleh perbedaan status social antara client dan patron, sehingga patron memiliki “hutang budi” kepada client. (c) face to face character. Adanya sifat tatap muka. Kedua belah pihak memahami bahwa hubungan tersebut ada untung ruginya bagi kedua pihak. Namun kedekatan hubungan lebih dirasakan. Selain itu, Dwiyanto (2011: 118) mengatakan bahwa munculnya berbagai penyakit birokrasi khusus di Indonesia tidak hanya pada persoalan struktur pemerintahan dan birokrasi publik, tetapi juga pada system nilai, system insentif yang berlaku di birokrasi publik serta lingkungan birokrasi, baik lingkungan politik, ekonomi dan budaya serta kurangnya kontrol dari masyarakat madani. Dengan melihat patologi birokrasi yang ada, maka sangat sulit untuk mendapatkan kinerja birokrasi pemerintah yang baik, apabila tidak dilakukan reformasi birokrasi atau dan transformasi birokrasi. Selain itu, kuatnya budaya dan nilai yang dianut birokrasi dalam suatu sistem kerja yang sudah
37
terbangun lama, membuat birokrasi sulit melakukan perubahan-perubahan dan lambat laun patologi tersebut semakin kuat dan berakar sehingga sulit dihilangkan. Apalagi kurangnya kemampuan masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap perilaku birokrasi. Patologi birokrasi diharapkan dapat dijadikan kacamata untuk melihat kelemahan atau kekurangan
birokrasi pemerintahan Kota Tangerang
Selatan. Apakah indikator-indikator patologi terdapat juga dalam organisasi birokrasi Kota Tangerang Selatan atau justru tidak ada sama sekali, mengingat Kota Tangerang Selatan sebagai kota yang baru muncul dengan birokrasi yang “serba baru”, karena baru dibentuk tahun 2008. Rancang bangun (grand design) Reformasi birokrasi di Indonesia yang dilakukan, belum ada yang menyeluruh, padahal negara kita adalah negara kesatuan. Jadi
masih bersifat parsial, untuk itu, perlu dilakukan
reformasi birokrasi yang mengarah kepada kesatuan strategis pembaharuan (Thoha, 2009: 52). Berkaitan dengan hal tersebut, reformasi birokrasi dimaknai sebagai sebuah perubahan besar dalam paradigma dan tata kelola pemerintahan Indonesia. Perubahan besar di sini dimaksudkan adalah mengubah atau membentuk organisasi pemerintahan menjadi lebih efektif dan efisien dalam mengemban tugas dan fungsinya dari yang sudah ada (Rewansyah, 2009: 119). Hal ini senada dengan reformasi birokrasi yang dikemukakan Harry Mulya Zein (2011: 7), yaitu mengubah manajemen pemerintahan dari berorientasi pada aspek pemerintahan (Government) kepada kepemerintahan (Governance). Perbedaan orientasi ini menunjukkan bahwa
konotasi government adanya dominasi peran pemerintah dalam
birokrasi, sedangkan governance, telah memberi akses kepada masyarakat,
38
sehingga peran birokrasi mulai beralih ke pelibatan partisipasi masyarakat atau dengan kata lain tidak lagi berdasarkan birokrasi Weber yang kaku, hierarkhis dan tidak efisien. Selain itu dalam GDRB (2010), reformasi birokrasi juga diartikan sebagai
sebuah
pertaruhan
besar
bagi
bangsa
Indonesia
dalam
menyongsong tantangan. Khusus untuk pemerintahan daerah, karena pelayanan
prima
harus
diwujudkan
pemerintahan
daerah
sebagai
implementasi otonomi daerah. Untuk itu, reformasi pemerintahan daerah dipandang perlu, karena tiga alasan (Sarundajang, 2002: 111), yaitu : Pertama, struktur organisasi dan administrasi pemerintahan daerah dipandang tidak efektif lagi. Hal ini diperlihatkan dengan gemuknya struktur aparat birokrasi pemerintah daerah, banyaknya jumlah belanja pegawai, tetapi
lemah
kapasitas
yang
ditunjukkan.
Dengan
demikian
terjadi
pemborosan uang negara dengan sia-sia, tanpa menghasilkan kinerja yang berarti. Untuk itu, menurut Lawal dan Oladunjoye dalam Journal of Sustainaible development in Africa Volume 12, No. 5 (2010: 227) yang melihat kasus korupsi di Nigeria, bahwa reformasi birokrasi diperlukan di tingkat pemerintah daerah dengan tujuan
untuk meningkatkan kapasitas
pemerintah yang baik dan melayani masyarakat. Kedua, lemahnya sensivitas dan kinerja aparatur pemerintahan daerah. Rekruitmen pegawai yang didasarkan KKN akan menghasilkan rendahnya kompetensi aparatur birokrasi pemerintah daerah. Ketiga, citra (image) masyarakat tentang organisasi pemerintah daerah sudah semakin jelek. Karakter aparat birokrasi pemerintah daerah seperti KKN, berbelit-belit, boros-tidak efisien dan efektif menjadikan
39
masyarakat tidak respek dan percaya kepada aparat birokrasi, sebagaimana ditemukan di
Denmark,
bahwa sebagian besar birokrasi akar rumput
(street-level bureaucrats) pada umumnya melaksanakan tujuan reformasi (May dan Winter, 2007: 470), tetapi juga melakukan korupsi (Dwiyanto, 2011: 216). Berikut ini terdapat beberapa prinsip-prinsip reformasi birokrasi dalam GDRB antara lain : 1. Outcomes oriented. Seluruh program dan kegiatan yang dilaksanakan dalam kaitan dengan reformasi birokrasi harus dapat mencapai hasil (outcomes) yang mengarah pada peningkatan kualitas kelembagaan, tatalaksana, peraturan perundang-undangan, manajemen SDM aparatur, pengawasan, akuntabilitas, kualitas pelayanan publik, perubahan pola pikir (mind set) dan budaya kerja (culture set) aparatur. 2. Terukur Pelaksanaan reformasi birokrasi yang dirancang dengan outcomes oriented harus dilakukan secara terukur dan jelas target serta waktu pencapaiannya. 3. Efisien Pelaksanaan reformasi birokrasi yang dirancang dengan outcomes oriented harus memperhatikan pemanfaatan sumber daya yang ada secara efisien dan profesional. 4. Efektif Reformasi birokrasi harus dilaksanakan secara efektif sesuai dengan target pencapaian sasaran reformasi birokrasi. 5. Realistik Outputs dan outcomes dari pelaksanaan kegiatan dan program ditentukan secara realistik dan dapat dicapai secara optimal. 6. Konsisten Reformasi birokrasi harus dilaksanakan secara konsisten dari waktu ke waktu, dan mencakup seluruh tingkatan pemerintahan, termasuk individu pegawai. 7. Sinergi Pelaksanaan program dan kegiatan dilakukan secara sinergi. Satu tahapan kegiatan harus memberikan dampak positif bagi tahapan
40
kegiatan lainnya, satu program harus memberikan dampak positif bagi program lainnya. 8. Inovatif Reformasi birokrasi memberikan ruang gerak yang luas bagi K/L dan Pemda untuk melakukan inovasi-inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, pertukaran pengetahuan, dan best practices untuk menghasilkan kinerja yang lebih baik. 9. Kepatuhan Reformasi birokrasi harus dilakukan sesuai dengan peraturan perundang undangan. 10. Dimonitor Pelaksanaan reformasi birokrasi harus dimonitor secara melembaga untuk memastikan semua tahapan dilalui dengan baik, target dicapai sesuai dengan rencana, dan penyimpangan segera dapat diketahui dan dapat dilakukan perbaikan. Tujuan dan Arah Reformasi Birokrasi Dalam GDRB (2010: 3), apabila reformasi birokrasi berhasil dilaksanakan dengan baik, maka akan mencapai tujuan yang diharapkan, di antaranya: 1. Mengurangi dan akhirnya menghilangkan setiap penyalahgunaan kewenangan publik oleh pejabat di instansi yang bersangkutan. 2. Menjadikan negara yang memiliki most-improved bureaucracy. 3. Meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat. 4. Meningkatkan mutu perumusan dan pelaksanaan kebijakan /program instansi. 5. Meningkatkan efisiensi (biaya dan waktu) dalam pelaksanaan semua segi tugas organisasi. 6. Menjadikan birokrasi Indonesia antisipatif, proaktif, dan efektif dalam menghadapi globalisasi dan dinamika perubahan lingkungan strategis.
Untuk itu, reformasi birokrasi di bidang kelembagaan (struktur organisasi) birokrasi pemerintahan, system (proses dan prosedur) dan SDM
41
(sumber daya manusia) yang akan dijadikan fokus dalam penelitian ini sangat diharapkan untuk menuju pelayanan prima.
Hal ini didukung
Sarundajang (2012 :181) dengan mengatakan: “bahwa tujuan reformasi birokrasi dilakukan untuk membangun aparatur negara yang efektif dan efisien serta membebaskan aparatur negara dari praktik KKN dan perbuatan tercela lainnya, agar birokrasi pemerintah mampu menghasilkan dan memberikan pelayanan publik yang prima. Salah satu penopang reformasi birokrasi adalah terciptanya sistem manajemen yang baik, meliputi sistem pelembagaan dan pengorganisasian, manajemen kepegawaian berbasis kinerja, ketatalaksanaan, pengelolaan aset dan barang milik negara, pengelolaan keuangan, perencanaan dan penganggaran, pengawasan dan akuntabilitas”.
Selaras dengan yang dikemukakan Sarundajang di atas, di dalam GDRB juga dikatakan bawa reformasi birokrasi bertujuan untuk menciptakan birokrasi
pemerintah
yang
profesional
dengan
karakteristik
adaptif,
berintegritas, berkinerja tinggi, bersih dan bebas KKN, mampu melayani publik, netral, sejahtera, berdedikasi, dan memegang teguh nilai-nilai dasar dan kode etik aparatur negara (GDRB: 16) Selain itu menurut Lawal dan Oladunjoye (2010: 227), reformasi birokrasi masih diperlukan, khususnya di tingkat pemerintahan daerah dengan tujuan untuk: Pertama, meningkatkan kapasitas pemerintah yang baik. Kedua, untuk melayani masyarakat pedesaan. Ketiga, diharap untuk memobilisasi dan memanfaatkan sumber daya lokal dan memastikan pemanfaatan efektif dengan dukungan negara bagian dan pusat (federal), sehingga efisiensi dapat dicapai (Richard Mulgan, 2008: 6). Adapun
arah kebijakan reformasi birokrasi yang dituang dalam
GDRB tahun 2010-2025, didasarkan pula pada UU No. 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025 dan Perpres No. 5 tahun 2010 tentang RPJMN
42
2010-2014 yang meliputi : Pertama, pembangunan aparatur negara dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk meningkatkan profesionalisme aparatur negara dan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, baik di pusat
maupun
di
daerah,
agar
mampu
mendukung
keberhasilan
pembangunan di bidang lainnya. Kedua, kebijakan pembangunan di bidang hukum dan aparatur diarahkan pada perbaikan tata kelola pemerintahan yang baik melalui pemantapan pelaksanaan reformasi birokrasi. Secara rinci area perubahan yang diharapkan dari reformasi birokrasi terlihat sebagai berikut : Tabel 2.3. Area Perubahan dan Hasil yang Diharapkan NO
Area
1 2
Organisasi Tatalaksana
3
5
Peraturan Perundangundangan Sumber daya manusia Aparatur Pengawasan
6 7
Akuntabilitas Pelayanan public
4
Hasil yang diharapkan Organisasi yang tepat fungsi dan tepat ukuran (rightsizing). Sistem, proses dan prosedur kerja yang jelas, efektif, efisien, terukur dan sesuai dengan prinsip-prinsip good governance. Regulasi yang lebih tertib, tidak tumpang tindih dan kondusif. SDM apatur yang berintegritas, netral, kompeten, capable, profesional, berkinerja tinggi dan sejahtera. Meningkatnya penyelenggaraan peme-rintahan yang bersih dan bebas KKN. Meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi. Pelayanan prima sesuai kebutuhan dan harapan masyarakat.
8
Pola pikir (mind set) Birokrasi dengan integritas dan kinerja yang tinggi dan Budaya Kerja (culture set) Aparatur Sumber: GDRB 2010-2025, hal 16
D. Kontrol Politik atas Birokrasi. Teori Kontrol politik atas birokrasi beranjak dari perspektif dikotomi antara politik dengan administrasi yang dikemukakan Wilson. Dalam teori ini, terdapat beberapa dua model dalam teori kontrol politik atas birokrasi. Pertama, bahwa terdapat perbedaan antara kebijakan administrasi (Wilson, 1987/1941 dan Goodnow,1900 dalam dan Smith, 2003: 18). Berikut ini gambarnya :
dan
Frederickson
43
Gambar 2.1 Tujuan
Sarana
Politik/ Kebijakan
Administrasi
Sumber: Frederickson dan Smith, 2003:18
Kedua, model dalam gambar 2.2 di bawah ini menunjukkan bahwa birokrat sering ikut dalam pembuatan agenda kebijakan dan pembuatan kebijakan (Kingdon, 1995; Bardach, 1977 dalam Frederickson, 2003: 18) dan sebaliknya pejabat terpilih (eksekutif/politisi) sering terlibat dalam persoalanpersoalan administrasi (Gilmour dan Halley, 1994). Gambar 2.2 Tujuan
Sarana
Politik/Kebijakan
Administrasi Sumber: Frederickson dan Smith, 2003:5
E. Politik Birokrasi. Teori politik birokratik ini berupaya menjelaskan bahwa antara administrasi dengan politik tidak dapat dipisahkan, karena secara praktek, administrasi bukan aktivitas teknis dan netral nilai yang dipisahkan dari politik. Waldo beranggapan bahwa administrasi adalah politik (Frederickson and Smith, 2003: 41). Apabila politik diartikan sebagai alokasi secara otoritatif nilai, atau proses yang memutuskan “siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana (Easton, 1965; Lasswell, 1936 dalam Frederickson and Smith, 2003: 41), maka birokrasi dan Birokrat yang dianggap secara rutin mengalokasikan nilai dan memutuskan siapa mendapat apa, atau yang disebut Meier, (1993)
44
bahwa birokrasi secara logis terlibat dalam “politik tingkat satu” (Frederickson and Smith, 2003: 41). Dalam mengalokasikan nilai-nilai secara otoritatif tersebut, birokrasi tidak dipandang sebagai pelaksana yang netral, tetapi sebagai partisipan aktif dalam menentukan kemauan negara. Dan keputusan yang dibuat adalah produk
dari
penawaran
dan
negosiasi
antara
aktor
politik
yang
berkepentingan (Frederickson dan Smith, 2003: 48). Namun dalam hal ini eksekutiflah
sebagai
pemain
sentralnya.
Berikut
ini
model-model
pengambilan keputusan yang dikemukakan Alisson dalam bukunya : Essence of Decision (1971) sebagai dasar untuk melihat bagaimana sebuah kebijakan
dibuat
dan
siapa
yang
menentukan/mempengaruhinya
(Frederickson dan Smith, 2003: 49-50) 1. Model I (Model Klasik/Model Aktor Rasional): Model ini menyatakan bahwa keputusan pemerintah dapat dipahami sebagai produk aktor tunggal untuk memenuhi kepentingan sendiri. Dalam hal ini pemerintah akan mempertimbangkan untung ruginya. Model ini tidak melibatkan elemen masyarakat yang lain. 2. Model II (Paradigma proses organisasi): Model ini menyatakan bahwa sejumlah orang terlibat dalam proses pembuatan keputusan dan melalui proses SOP (Standart Operational Procedure). Artinya bahwa prosedur yang dilalui secara formal yang telah ditetapkan, sehingga tidak keluar dari jalur atau ketentuan yang ada. 3. Model III (Paradigma Politik Birokratik): Model ini menjelaskan aksi pemerintah sebagai produk penawaran dan melakukan kompromi-kompromi dengan berbagai elemen organisasi di cabang eksekutif. Model ini dibuat dengan empat proposisi (dalil) dasar yaitu: a. Cabang Eksekutif berisi sejumlah organisasi dan individu yang memiliki tujuan dan agenda berbeda yang nantinya akan memasukkan kepentingan dan motivasinya yang beragam ke setiap persoalan. Dengan demikian, kompromi-kompromi harus dilakukan dengan berbagai organisasi dan individu yang beragam kepentingan.
45
b. Tidak ada individu atau organisasi yang lebih kuat daripada lainnya. Dengan kata lain tidak ada satu actor di cabang eksekutif yang bertindak unilateral (menyeluruh). Presiden dapat menjadi aktor paling kuat untuk persoalan tertentu, tapi dia bukan satu-satunya aktor dan pengaruhnya masih terbatas. Artinya di antara elemen masyarakat yang memiliki kepentingan, presidenlah yang paling menentukan, meskipun pada dasarnya tidaklah demikian. c. Keputusan akhirnya adalah sebuah „Resultan politik” dengan kata lain apa yang perlu dilakukan pemerintah adalah hasil penawaran dan kompromi yang merupakan produk dari sebuah proses politik. Siapa yang memiliki sumber daya yang kuat dan mumpuni, maka akan muncul sebagai pemenangnya. Biasanya faktor ekonomi (uang) menjadi faktor penentu. d. Ada perbedaan antara pembuatan kebijakan /keputusan dan pelaksanaan. Dalam pengambilan keputusan sering terpengaruh oleh prosedur dan kepentingan pelaksana (Rosati, 1981). Dalam hal ini, prosedur bisa ditentukan oleh pelaksana, dalam hal ini birokrasi (street level bureaucrat). Meskipun posisinya pelaksana, tetapi sangat menentukan, karena basis kekuasaan birokratik diasumsikan berasal dari otoritas pembuatan keputusan diskresioner yang dimilikinya, karena tidak semua scenario implementasi dan penegakan bisa sesuai dengan Undang-Undang/aturan yang ada (Frederickson dan Smith, 2003: 62). Demikian pula apa yang ditemukan Gaus bahwa Birokrasi menjadi kekuatan politik tersendiri, karena mampu membuat kebijakan-kebijakan yang diskresioner dan independen yang membuat dirinya menjadi spesifik (Frederickson dan Smith, 2003: 42). Selain tiga
model yang dikemukakan di atas,
Allison juga
mengemukakan bahwa penguasa yang memiliki otoritas yang paling tinggilah yang menentukan atau
mempengaruhi birokrasi dalam pengambilan
keputusan. Dan dalam keputusan tersebut terdapat permainan penawaran (Frederickson dan Smith, 2003: 50) dan ditambahkan oleh Seidman bahwa birokrasi sering menfokuskan pada permainan politik yang lebih luas dan intens (Frederickson dan Smith, 2003: 57). Untuk memahami teori politik birokratik, terdapat dua dimensi organisasi, yaitu : Pertama, perilaku. Kedua struktur institusi dan distribusi
46
kekuasaan (Frederickson dan Smith, 2003: 53). Dimensi perilaku bertujuan menjelaskan mengapa birokrat melakukan hal tertentu. Presumsinya umumnya adalah birokrasi menindaklanjuti misi penting masyarakat
dan
membuat sejumlah keputusan kebijakan, dengan panduan tidak jelas dari UU. Sedangkan Dimensi struktur institusi dan distribusi kekuasaan bertujuan memahami bagaimana lini otoritas formal dari birokrasi, hubungan dengan institusi lain dan program serta kebijakan yang ada dalam jurisdiksi yang semua digabungkan untuk menentukan pengaruh politik relatif dari sejumlah aktor politik. Struktur organisasi membentuk perilaku institusi dan individu di dalamnya, ini berimplikasi besar bagi pihak yang ingin menjelaskan peran pembuatan kebijakan dari birokrasi. Alasan mengapa birokrasi berperan dalam pembuatan kebijakan karena (Wilson lihat Frederickson dan Smith, 2003: 54): a. Birokrat mempunyai wewenang/diskresi dalam pembuatan keputusan. b. Birokrat bebas memilih wacana aksi. c. Didorong oleh sejumlah insentif seperti : Memenuhi kebutuhan kerja, Harapan rekan kerja, Kolega professional di tempat lain. d. Kebutuhan klien. Menurut Wilson (Frederickson dan Smith, 2003: 54), perilaku birokrasi cenderung purposive, tepatnya dimotivasi oleh tujuan atau target, tetapi bukan oleh legislatur. Misi birokrat tidak jelas, karena tidak memberikan panduan misi
yang jelas. Dalam istilah Wilson, tujuan ini tidak
mendefinisikan “tugas operator” atau tepat nya tidak memberitahu tugas yang
47
harus dijalankan pekerja garis depan birokrasi (street level bureaucrat), maka yang terjadi adalah mengikuti prosedur yang ada dan going by the book memberikan panduan bagi operator tentang resiko rendah. Dengan mengacu pada teori ini, diharapkan keputusan-keputusan politik yang dibuat Pemerintah Kota Tangerang Selatan dalam kerangka reformasi birokrasi adalah suatu keputusan yang rasional untuk memenuhi pelayanan
bagi
masyarakat,
bukan
dipengaruhi
oleh
kepentingan-
kepentingan politik atau kekuasaan politisi terpilih (pejabat terpilih dan para anggota DPRD). Dengan demikian, struktur organisasi yang dibentuk, kapasitas SDM yang ada dan prosedur pengambilan keputusan yang dilalui sesuai dengan ketentuan atau peraturan yang berlaku. Reformasi sebagai proses menulis kembali kontrak antara politisi terpilih dengan pejabat birokrasi sebagaimana dikatakan Haggard (1997) dikutip Kyarimpa (2009: 21) semoga tidak ditemukan di Kota Tangerang Selatan. F. Reformasi SDM Untuk
menunjang
suatu
organisasi
agar
survive,
diperlukan
SDM/tenaga kerja/karyawan yang cakap dan memiliki motivasi. Untuk itu, diperlukan perencanaan yang matang atau terintegrasi yang disesuaikan dengan kebutuhan organisasi. Beberapa unsur berikut ini yang merupakan bagian dari sistem tenaga kerja, yaitu antara lain: proyeksi kebutuhan, analisa
pekerjaan,
perekruitan
tenaga
kerja,
seleksi,
pelatihan
&
pengembangan, tangga karier, perpindahan, pemberhentian sementara dan pengunduran diri (Strauss dan Sayles, 1980:3). Jadi sebagai sebuah organisasi, unsur-unsur tersebut harus direncanakan terlebih dahulu, karena perencanaan SDM pada hakekatnya merupakan langkah strategis guna
48
menjamin suatu organisasi tersedia SDM yang tepat untuk mengisi berbagai posisi dalam organisasi, sehingga akan mendapatkan tenaga kerja/SDM yang berkualitas dan tujuan organisasi tercapai, karena salah satu aspek pengukuran kinerja pemerintah daerah adalah SDM yang berkualitas (Satibi, 2011: 74) . Menciptakan SDM yang berkualitas, bukan berarti tanpa persoalan. Berikut ini beberapa persoalan internal yang dihadapi dalam system kepegawaian
negara
penghargaan
(reward),
yaitu
meliputi
pengukuran
:
rekruitmen,
kinerja,
penggajian
promosi
jabatan
dan dan
pengawasan (Prasojo, 2009: 83). Untuk itu, penataan sumber daya manusia atau aparatur pemerintah dilaksanakan dengan memperhatikan : sistem merit, sistem diklat, standar dan peningkatan kinerja, pola karier, standar kompetensi jabatan, klasifikasi jabatan, beban tugas yang proporsional, rekruitmen sesuai prosedur, penempatan sesuai keahlian, remunerasi dan sistem informasi manajemen kepegawaian (Sedarmayanti, 2009: 94). Apa yang diuraikan di atas, senada dengan amanah UU No. 43 tahun 1999 tentang Manajemen PNS dalam pasal 1 dikatakan bahwa Menajemen Pegawai Negeri Sipil adalah keseluruhan upaya untuk meningkatkan efesiensi, efektivitas dan derajat profesionalisme penyelenggaraan tugas, fungsi, dan kewajiban kepegawaian yang meliputi: perencanaan, pengadaan, pengembangan kualitas, penempatan, promosi, penggajian, kepegawaian, dan pemberhentian. Dengan demikian, terdapat empat hal kesamaan antara Strauss, Prasojo, Sedarmayanti dan UU No. 43/1999 terhadap masalah SDM, yaitu :
49
rekruitmen, seleksi, pelatihan dan pengembangan karier.
Sedangkan
masalah penggajian tidak disinggung strauss. Berikut ini akan dijelaskan tentang rekruitmen, seleksi, pelatihan, pengembangan karier dan penggajian. Rekruitmen Salah satu faktor yang menyebabkan bertambahnya jumlah SDM di daerah adalah adanya kebijakan otonomi daerah yang mendorong terjadi pemekaran wilayah yang berdampak pada penambahan pembentukan satuan kerja pemerintah daerah, tanpa melihat kebutuhan riil daerah tersebut (layanan Publik, Edisi XXXVII, 2011: 21). Untuk mendapatkan kesesuaian antara hasil
rekruitmen dengan kebutuhan riil, maka diperlukan analisis
terhadap pekerjaan secara sistematis atau disebut juga analisis beban kerja (ABK). Salah satu cara melakukan rekruitmen adalah dengan merit system yaitu suatu proses yang teratur dan fair, pemekerjaan, pembayaran, pengembangan, pempromosian dan rotasi, pendisiplinan serta pensiun atas dasar kemampuan dan kinerja (Woodrod, 2000: 14). Selain itu, prinsip sistem merit bahwa pengangkatan, promosi dan tindakan personil lainnya secara eksklusif yang dilakukan atas dasar kemampuan pegawai dan kinerjanya Negro dan Negro dalam Woodrod, 2000: 15). Di negara modern, sistem merit di pemerintahan modern adalah sistem kepegawaian di mana perbandingan prestasi dan kecakapan menentukan penseleksian individu dan karier dalam pekerjaan. Untuk memudahkan sistem merit maka perlu dicari elemenelemen yang terdapat dalam sistem merit.
50
Persoalan dalam melakukan rekruitmen dengan fair menggunakan sistem merit adalah kekuatan eksternal
yang mendorong terjadinya
intervensi politik. Hal ini disebabkan birokrasi di Indonesia yang belum terpisah secara total dengan politik (Prasojo, 2009: 85 ) atau terdapat kontrol politis atas birokrasi (Frederickson dan Smith, 2003). Penelitian reformasi birokrasi akan melihat bagaimana proses penyelenggaraan rekruitmen Pemerintah Daerah Kota Tangerang Selatan. Mulai dari perencanaan, analisas jabatan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan riil pemerintah daerah, penggunaan sistem merit sampai dengan pengaruh/intervensi politik terhadap birokrasi dalam pengambilan keputusan terhadap rekruitmen tersebut. Seleksi Seleksi diperlukan terhadap pegawai guna mendapatkan sesuai dengan kebutuhan. Dan salah satu tujuan seleksi agar memperoleh SDM yang memiliki kompetensi sesuai dengan posisi yang dibutuhkan. Untuk itu dibutuhkan mekanisme/prosedur yang standar, objektif
yang
biasa
dilakukan dalam penyeleksian pegawai. Berikut ini proses seleksi yang biasa dilakukan antara lain (Rivai, 2004: 172): Terdapat dokumen tertulis seperti surat lamaran, TPA, Tes Kepribadian, Tes psikologi, drug test, honesty test, handwriting test dan assessment center serta wawancara. Pelatihan Beberapa mekanisme pengembangan sumber daya birokrasi, di antaranya melalui (Sulistiyani, 2004 : 39): 1. Learning process approach Pembelajaran tidak hanya dalam pengertian sempit melainkan juga dalam dimensi yang lebih luas dalam rangka terciptanya aparatur pemerintah yang profesional.
51
2. Learning to be effective Pendekatan ini memberi toleransi bagi kesalahan yang dilakukan birokrasi. 3. Learning to be efficient Dari kesalahan untuk belajar efektif, maka birokrat akan melangkah menjadi efisien. 4. Learning to be expand Setelah efisien, birokrat akan belajar berkembang. Karier (Promosi Jabatan) Karier atau promosi jabatan yaitu penempatan seseorang pada jabatan tertentu sebagai promosi jabatan harus berdasarkan kompetensi, profesionalisme, kualitas dan kinerja. Bukan berdasarkan pada like and dislike, kepentingan kelompok, KKN atau tekanan politik dan balas budi. Untuk itu, pengembangan sistem informasi manajemen sangat diperlukan dalam menentukan penempatan posisi seseorang. Selain itu, optimalisasi analisis jabatan dan beban kerja (ABK) harus dilaksanakan, sehingga dapat diketahui posisi-posisi apa saja yang diperlukan dan tepat diberikan pada siapa. Berkaitan dengan penelitian yang dilakukan, maka akan dijelaskan mengapa seseorang ditempatkan pada posisi tertentu sebagai promosi jabatan oleh Pemerintah Daerah Kota Tangerang Selatan dan landasan apakah yang digunakan pemerintah daerah dalam penempatan tersebut. Penggajian Tingkat kesejahteraan PNS sangat mempengaruhi kinerja dan perilaku PNS. Hal ini disebabkan ketidakseimbangan antara kebutuhan dengan gaji yang diterima (Prasojo, 2009: 85). Struktur sistem penggajian membuat pendapatan seorang PNS dapat jauh lebih besar daripada gaji
52
yang sebenarnya. Gaji sebenarnya hanya berkisar 20-30 %, tetapi tunjangantunjangan dan honor-honor proyek yang seringkali memperbesar pendapatan seseorang. Selain itu, pendapatan PNS tidak transparan, sehingga gaji sesungguhnya tidak diketahui. Dengan demikian, praktek gratifikasi dan suap cenderung marak mewarnai penyelenggaraan pemerintahan. Selain itu, sistem penggajian tidak didasarkan pada sistem kinerja, sehingga antara pegawai yang rajin dengan yang tidak, gajinya sama besarnya (Prasojo, 2009: 86). Dengan demikian, system penggajian sebagai salah satu yang terkait dengan reformasi SDM harus dirubah. Sistem penggajian harus dibayar sesuai dengan pengukuran kinerja, kemudian memangkas honor-honor yang selama ini diterima. Untuk itu, penilaian pengukuran kinerja juga harus benar-benar adil dan transparan. Penataan SDM Dengan adanya kebijakan desentralisasi, bukan berarti pemerintah daerah tidak memiliki masalah, justru banyak persoalan yang harus diselesaikan. Untuk itu, pemerintah daerah dituntut untuk menunjukkan kinerjanya. Untuk memenuhi kinerja yang dituntut, maka pemerintahan daerah membutuhkan
peningkatan kualitas
sumber daya aparatur yang
terdiri dari ( Satibi, 2011: 76-81): 1. Menata ulang perencanaan Sumber Daya Aparatur Perencanaan SDM pada hakekatnya merupakan langkah strategis yang diambil oleh manajemen guna lebih menjamin bahwa organisasi tersedia sumber manusia yang tepat untuk mengisi berbagai posisi sesuai dengan tuntutan kebutuhan organisasi. 2. Optimalisasi analisis terhadap pekerjaan secara sistematis, komprehensif dan konsisten. Merupakan suatu usaha yang sistematis dalam mengumpulkan, menilai dan mengorganisasikan semua jenis pekerjaan yang terdapat dalam organisasi.
53
3. Optimalisasi pengembangan Sumber Daya Aparatur. Hal ini menjadi investasi yang penting dalam suatu organisasi. Untuk itu harus mendapat perhatian yang serus. Namun dapat juga menjadi kendala manakala keberadaan mereka tidak memberi kontribusi yang nyata. Untuk itu, PNS harus memberi nilai tambah (Majalah Layanan Publik , Edisi XXIV, 2008: 32). 4. Rasionalisasi Aparatur Hal ini dilakukan karena beban kerja tidak seimbang dengan jumlah pegawai, anggaran untuk pegawai terlalu besar, perkembangan teknologi, sehingga jumlah pegawai yang banyak tidak diperlukan dan sebagai pemicu kinerja bagi pegawai yang lain.
Selain
peningkatan kualitas
persoalan yang menyangkut SDM
SDM,
untuk
mengatasi
berbagai
(kepegawaian), maka perlu dilakukan
berbagai pengungkit (leverage) perubahan sistem untuk menuju
arah
perubahan yang dikehendaki (Prasojo, 2009: 89-90), yaitu: 1). Penerapan sistem merit, 2). Penguatan kode etik dan pengawasan perilaku, 3). Reformulasi dan demiliterisasi pendidikan aparatur, 4). Pembangunan paradigma, mentalitas dan budaya public entrepreneur, 5). Penertiban partisipasi aktif PNS dalam pemilihan. Penerapan sistem merit terkait dengan reformasi rekruitmen PNS, reformasi sistem remunerasi PNS dan Reformasi pengukuran kinerja aparatur. Sedangkan penguatan kode etik dan pengawasan dalam rangka pengawasan moral terhadap setiap keputusan dan tindakan yang dilakukan oleh aparatur negara yang terkait dengan mandat kedaulatan rakyat. Demiliterisasi dalam pendidikan untuk menghindari tindak kekerasan yang dilakukan aparatur pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Bukan “kekuasaan” yang berbicara, tetapi performance dalam kinerja yang harus ditunjukkan sebagai abdi masyarakat. Mentalitas entrepreneur dimaksudkan agar budaya efisiensi diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan
54
daerah dan budaya untuk memuaskan “pelanggan” harus ditunjukkan. Penertiban PNS dalam pemilihan-pemilihan kepala daerah dalam rangka menjaga kenetralan birokrasi sebagai abdi masyarakat yang bersifat apolitis. Tidak diharapkan birokrasi sebagai aparatur pemerintahan yang jumlahnya cukup banyak terkooptasi dan dipolitisasi, sehingga akan mempengaruhi keberpihakan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Salah satu program yang dicanangkan dalam pelaksanaan reformasi birokrasi di Indonesia di tingkat mikro baik bagi K/L dan Pemda dalam road map reformasi birokrasi (RMRB) adalah penataan sistem manajemen SDM aparatur. Adapun tujuan program ini untuk meningkatkan profesionalisme SDM aparatur pada masing-masing K/L dan Pemda yang didukung oleh sistem rekruitmen dan promosi aparatur berbasis kompetensi, transparan serta memperoleh gaji dan bentuk jaminan kesejahteraan yang sepadan. Sedangkan target yang ingin dicapai dalam program ini adalah (Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Bidang Pendayaan Aparatur Negara Jilid II, 2011: 109-110): a) Meningkatnya ketaatan terhadap pengelola SDM aparatur. b) Meningkatnya transparansi dan akuntabilitas. c) Meningkatnya disiplin SDM aparatur. d) Meningkatnya efektivitas SDM aparatur. e) Meningkatnya profesionalisme SDM aparatur. Pada poin ini ingin memperlihatkan bahwa aparatur pemerintahan daerah Kota Tangerang Selatan menjadi SDM yang profesional, berkinerja, efisien, bebas KKN dan bersifat netral.
55
Faktor-Faktor Yang Mendukung Reformasi Birokrasi. Faktor-Faktor yang mendukung keberhasilan Reformasi Birokrasi di daerah menurut Prasojo, Maksum dan Kurniawan (2006: 175-176) sebagai berikut: a)
Komitmen dan political will kepala daerah.
b)
Kemampuan Kepala Daerah beserta aparatnya untuk melibatkan organisasi lokal seperti LSM, tokoh masyarakat dan pihak-pihak terkait lainnya dalam penyusunan prioritas program, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program.
c)
Adanya program efisiensi pembangunan di semua sektor serta adanya upaya mengubah paradigma dan budaya birokrasi.
d)
Pemilihan prioritas program. Keberhasilan program juga ditentukan oleh keberpihakan program-program tersebut terhadap kepentingan masyarakat. Selain itu, dalam implementasi suatu program hendaknya selalu menerapkan KISS (koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan simplifikasi). Kemampuan Kepala Daerah beserta aparatnya untuk melibatkan organisasi lokal seperti LSM, tokoh masyarakat dan pihak-pihak terkait lainnya dalam penyusunan prioritas program, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program.
Selain factor pendukung reformasi birokrasi yang dikemukakan Prasojo di atas, keberhasilan reformasi birokrasi juga harus didukung oleh kemitraan (Silaban (ed), 2012: 57-62). Kemitraan ini dibutuhkan, karena reformasi birokrasi adalah everybody’s business, semua stakeholder berkepentingan akan peningkatan pelayanan publik yang dicapai melalui pelaksanaan reformasi birokrasi. Kemitraan di sini termasuk akademisi, profesional, media dan masyarakat itu sendiri. Pelibatan institusi akademisi dan profesional sebagai perwujudan kemitraan yang diharapkan dapat melakukan pencarian, pemilihan dan pengembangan anak-anak bangsa yang terbaik sebagai pelayanan publik.
56
Selain itu, ikut mengevaluasi, memperbaiki sistem rekruitmen dan jabatan dalam rangka menciptakan pejabat publik profesional. Media juga dapat menjadi patner dalam pelaksanaan reformasi birokrasi. Penyebaran informasi dan membantu menciptakan masyarakat madani yang respon positif terhadap perkembangan dan pembangunan bangsa merupakan peran yang diharapkan terhadap media. Dan yang tak kalah penting adalah kemitraan dengan masyarakat itu sendiri. Peran masyarakat sangat diharap dalam mengawal reformasi birokrasi dengan
melakukan pemantauan dan
pengawasan proses reformasi birokrasi tersebut (Silaban (Ed), 2012). Kemitraan politis juga sangat diperlukan selain kemitraan yang disebukan di atas. Yang dimaksud kemitraan politis di sini adalah Partai politik dan organisasi masyarakat (Silaban (ed), 2012: 61). Tujuannya untuk mencapai resonansi yang lebih besar, agar reformasi birokrasi bergema ke seluruh komponen bangsa dengan membawa prinsip dan
etika dalam
pelayanan publik. Dan yang lebih utama lagi dukungan kemitraan politis ini diharapkan dalam perumusan kebijakan, penyusunan perundang-undangan dan anggaran, agar pelaksanaan reformasi birokrasi berjalan lancar. Di dalam pelaksanaan reformasi birokrasi, tidak hanya terdapat faktor pendukung, tetapi juga faktor penghambat, sebagaimana yang ditemui di Afrika.
Faktor penghambatnya yaitu pelayanan publik yang buruk, yang
diakibatkan korupsi merajalela, moral dan motivasi pekerja rendah dan sumber daya serta peralatan kurang (Kyarimpa, 2009:26). Dengan kata lain, yang menjadi penghambat kegagalan reformasi birokrasi secara tidak langsung karena rendahnya moralitas dan motivasi SDM.
57
Masalah Sumber Daya Manusia (SDM) juga didukung
EE
Mangindaan (Mantan KemenPAN dan RB) mengatakan bahwa kenyataan yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa hambatan untuk melakukan reformasi birokrasi seringkali justru datang dari dalam birokrasi itu sendiri, baik karena lemahnya kemampuan atau rendahnya kemauan. (Majalah Layanan Publik, Edisi XXXVII, 2011: 9). Sebagai analog (perbandingan), hal ini dialami Jepang, ketika desentralisasi diberlakukan, para birokrat Jepang merasa
kepentingan-kepentingannya
terancam
dengan
adanya
desentralisasi tersebut (Nakamura, 1996: 5). Selain itu, dari perspektif bisnis, rendahnya kinerja birokrasi disebabkan ketidaktahuan birokrasi siapa “pelanggannya”, karena dana yang diperoleh birokrat tidak berasal dari para pelanggannya secara langsung. Berbeda dengan sektor bisnis yang memberi pelayanan kepada pelanggan dengan memuaskan, karena pelayanan yang baik berkaitan dengan dana yang masuk dari para pelanggannya (Osborne dan Gaebler dalam Herman Sismono, 2011: 66). Kajian reformasi birokrasi pemerintahan Kota Tangsel akan berupaya melihat sampai sejauhmana faktor-faktor seperti komitmen dan good will kepala daerah, partai politik dan stakeholder seperti akademisi, profesional, media dan masyarakat serta birokrasi aparatur mendukung pelaksanaan reformasi birokrasi yang dilaksanakan di Pemerintahan daerah Kota Tangerang Selatan.
58
G. Kerangka Pemikiran Kondisi Riil: 1. Adanya GDRB 2. Kebijakan Desentralisasi (Otda) 3. Kondisi Birokrasi Ind. (Penyakit Birokrasi) 4. Era Globalisasi
Kondisi Birokrasi Pemda Tangsel : 1. Jumlah SDM Melebihi Kebutuhan 2. Pendayagunaan SDM belum optimal 3. Tingkat kedisiplinan Rendah 4. Korupsi
PERLUNYA REFORMASI BIROKRASI BIDANG SDM
SDM APARATUR BIROKRASI PEMERINTAH KOTA TANGSEL
Pengangkatan Berbasisi Analisa Jabatan (ANJAB) dan Analisa Beban Kerja (ABK) serta Merit System Jabatan Sesuai Kompetensi Pelatihan Mendukung Kapasitas Sistem Penggajian Berbasis Kinerja Kondisi Kerja Kondusif (Sistem Pelayanan Terpasu)
TARGET REFORMASI BIROKRASI TERCAPAI Clean Government Peningkatan Kualitas pelayanan publik k Peningkatan Kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi
59
59
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Metodologi adalah salah satu kesatuan rangkaian metode yang digunakan dalam melakukan penelitian Implementasi Reformasi Birokrasi Bidang SDM di Kota Tangsel. Di dalam metodologi dijelaskan
tentang
pendekatan penelitian, fokus penelitian, lokasi penelitian, sumber data, prosedur pengumpulan data dan terakhir analisis data. A. Jenis Penelitian dan Pendekatan Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan untuk meneliti Implementasi Reformasi Birokrasi Bidang SDM Di Kota tangsel
adalah
Deskriptif.
Pemilihan jenis penelitian ini, karena untuk pemaparan secara terperinci fenomena sosial tertentu dan biasanya dilakukan tanpa perumusan hipotesa (Andi
Prastowo,
2011:
203;
Singarimbun,
1983:
4)
dan
hanya
menggambarkan gejala atau keadaan “apa adanya” (Suharsimi Arikunto, 2003: 310 dalam Andi Prastowo, 2011: 203). Selain itu penelitian deskriptif berusaha untuk memecahkan masalah yang
ada
berdasarkan
penyajian
data-data,
menganalisis
dan
menginterpretasikannya atau dengan kata lain sebagai pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat (Whitney dalam Andi Prastowo, 2011: 201 ) dan ditujukan untuk Ary, 2007: 447).
pemecahan masalah pada masa sekarang (Donaldy
60
2. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan untuk memotret penelitian Implementasi Reformasi Bidang SDM di Kota Tangsel adalah
pendekatan dengan
menggunakan Paradigma Kualitatif Paradigma kualititatif dalam penelitian ini karena dalam analisa datanya, tidak menggunakan dasar perhitungan-perhitungan dengan rumus statistic. Penelitian ini untuk mengungkapkan dan memahami sesuatu di balik fenomena Reformasi Birokarsi Bidang SDM di Kota Tangsel yang belum diketahui atau untuk mendapatkan wawasan tentang pelaksanaan reformasi birokrasi bidang SDM di Kota Tangsel yang baru diketahui oleh peneliti, sebagaimana dikatakan bahwa Pendekatan kualitatif dapat digunakan untuk mengungkapkan dan memahami sesuatu di balik fenomena yang sedikitpun belum diketahui atau juga digunakan untuk mendapatkan wawasan tentang sesuatu yang baru diketahui (Anselm Strauss & Juliet Corbin, 2009: 5). Penggunaan pendekatan kualitatif juga membantu peneliti untuk mengungkap fenomena yang sulit diungkap oleh pendekatan kuantitatif (Anselm Strauss & Juliet Corbin, 2009: 5). B. Fokus Penelitian Adapun fokus penelitian Implementasi Refomasi Birokrasi Bidang SDM di Kota Tangsel
meliputi : 1). Pengangkatan, 2). Pelatihan, 3).
Penggajian, 4). Kondisi Kerja dan Kinerja. C. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pemerintahan Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten. Pemilihan Kota Tangsel, karena merupakan kota yang baru dibentuk sebagai hasil pemekaran
pada 26 Nopember 2008 dari Kota
61
Tangerang, Banten. Kota Tangsel salah satu penyangga bagi DKI Jakarta dan salah satu kota yang belum masuk kategori kota yang berkinerja dalam evaluasi pemerintahan daerah oleh Pemerintah tahun 2011.
Diharapkan
Kota Tangsel yang baru dapat mengimplementasikan reformasi birokrasi termasuk dalam bidang SDM. D. Sumber Data Data yang digunakan berasal dari data primer dan data sekunder. Data Primer berasal dari wawancara dan observasi. Wawancara dilakukan dengan beberapa key informan yang dijadikan sebagai narasumber. Key informan tersebut berasal dari Kantor Pemerintahan Daerah Kota Tangsel. Key Inforan ini terdiri dari : 1. Kantor Sekda yang terdiri dari : 2. Dinas-Dinas dan Badan badan 3. Kecamatan dan Kelurahan Data Sekunder terdiri dari dokumen-dokumen dan arsip-arsip yang relevan dengan penelitian ini, misalnya Peraturan Pemerintah, Perda-perda, Buku-buku, Hasil laporan, dan sebagainya. Dengan demikian, sumber data dalam penelitian ini adalah key informan, dokumen-dokumen dan arsiparsip. E. Prosedur Pengumpulan Data. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Observasi, melakukan pengamatan terhadap aktifitas-aktifitas yang dilakukan di Kantor Pemerintahan Kota Tangerang Selatan, terutama difokuskan pada kantor-kantor pelayanan pada masyarakat, misalnya Rumah Sakit, Kantor Catatan Sipil, Kantor Perizinan, Kantor Sekretariat Daerah dan BLHD (Badan Lingkungan Hidup Daerah). Teknik ini
62
digunakan apabila data-data yang diperlukan belum terungkap secara lengkap dari key informan yang ada. 2. Wawancara dengan menggunakan key informan yang memahami permasalahan penelitian yang terkait dengan reformasi birokrasi bidang SDM di Kota Tangsel. 3. Data sekunder, baik hasil dokumentasi, laporan-laporan, maupun hasil statistic, dan lain-lain. Key informan ini dipilih secara purposive sampling, yaitu sampel di pilih berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu (Masri Singarimbun, 1983: 110). Apabila data yang diterima belum mencukupi, maka akan digunakan teknik snow ball sampling. Untuk mendapatkan keabsahan data, maka prosedur yang dapat dilakukan adalah a) Peer Debriefing (diskusi dengan teman) dilakukan dengan orangorang/teman-teman yang peneliti anggap ahli,
mengetahui dan
memahami tentang reformasi birokras bidang SDM di Kota Tangsel. b) Triangulasi dilakukan sebagai cross check dengan sesama aparatur birokrasi, kepala dinas atau badan serta anggota legislatif. F. Analisis Data Teknik analisa data yang metode deskripstif
digunakan dalam penelitian ini adalah
(Deskriptif analisis), mengingat Kota Tangsel relative
masih baru berdiri, sehingga banyak fenomena (fenomenon) dapat di gali secara mendalam dan dijelaskan secara rinci (detal). Untuk itu, metode yang tepat digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis. -oo00oo-
63
BAB IV GAMBARAN UMUM KOTA TANGERANG SELATAN Pada bab IV dijelaskan gambaran umum Pemerintahan Kota Tangsel, baik dari sejarah terbentuknya, geografis, pemerintah daerah, keadaan ekonomi dan politik. Deskripsi ini didukung dengan data-data yang berasal dari data sekunder, seperti data statistik, dokumen-dokumen berbentuk peraturan dan laporan-laporan tertulis yang telah didokumentasikan dalam bentuk buku, maupun pengamatan peneliti. Selain itu dukungan dalam bentuk wawancara. A. Sejarah Kota Tangerang Selatan Kota Tangsel dibentuk pada tahun 2008 sebagai hasil pemekaran dari Kabupaten Tangerang Provinsi Banten dan dianggap kota termuda dibandingkan dengan kota-kota lain di Indonesia. Nama Tangerang Selatan dikarenakan pemekaran tersebut terletak di daerah selatan Kabupaten Tangerang, maka dinamakan Kota Tangerang Selatan (Profile Kota Tangsel, Bappeda, 2012: 4). Kota Tangsel disahkan pada Sidang Paripurna DPR RI Hari Rabu, tanggal 29 Oktober 2008 berdasarkan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2008, setelah melalui perjuangan panjang diawali dengan wacana pembentukan Kota Cipasera sejak tahun 2000. Hal tersebut sebagaimana diungkap oleh Kepala BLHD: “Kota Tangsel dulu sebelum dibentuk, diawali wacana penggabungan oleh kelompok (konsorsium) antar wilayah Kecamatan Ciputat, Pamulang, Serpong dan Pondok Aren (Cipasera) yang dimotori tokoh-tokoh masyarakat. Prof Bhenyamin pernah diminta pendapatnya dan berdiskusi dengan kelompok Cipasera. Kebetulan saya juga pernah ikut” (Wawancara tanggal 17 Juni 2013). Berdasarkan Undang-Undang No. 51 tahun 2008 tentang Pembentukan Kota Tangsel, maka kedudukan pusat kota, seharusnya berada di Kelurahan
64
Sarua, Kecamatan Ciputat yang berdampingan dengan Kelurahan Pondok Benda, Kecamatan Pamulang. Kedekatan posisi inilah, sehingga masyarakat menyebut wilayah tersebut sebagai wilayah Pamulang. Selain itu, karena berada di samping atau bahkan dianggap berada di area Perumahan Pamulang II. Undang-Undang No. 51 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kota Tangsel yang juga di dalamnya berisi ketentuan lokasi pusat perkantoran walikota, ternyata belum dipenuhi, karena masih dalam tahap pembangunan. Saat penelitian inidilakukan, Kantor Walikota dan Sekretariat Daerah berada di area wilayah Kecamatan Setu, tetapi sebelumnya menumpang di Kantor Kecamatan Pamulang. Lokasi pusat perkantoran walikota yang ditentukan Undang-Undang No. 51 Tahun 2008, sedang diproses pembangunannya dengan melakukan pembebasan lahan untuk memperluas pembangunan perkantoran pemerintah Kota Tangerang Selatan. Berikut gambar Kantor Walikota Tangerang Selatan yang menumpang pada Kecamatan Pamulang. B. Kadaan Geografis Kota Tangsel terletak di bagian timur Provinsi Banten yaitu pada titik koordinat 106’38’-106’47’ Bujur Timur dan 06’13’30-06’22’30 Lintang Selatan. Kota Tangerang Selatan diapit 4 kota, yaitu sebelah utara berbatasan dengan Provinsi
DKI
Jakarta
Kota Tangerang, sebelah timur berbatasan dengan
Provinsi DKI Jakarta dan Kota Depok, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan
Kota Depok serta sebelah barat berbatasan dengan
Kabupaten Tangerang. Secara administrasi, Kota Tangsel terdiri dari 7
kecamatan, 49
kelurahan dan 5 desa dengan luas wilayah 147,19 Km2 atau 14.719 Ha atau sebesar 1,63 % dari luas wilayah Provinsi Banten.
Di antara 7 kecamatan
65
tersebut, hanya kecamatan Setu yang memiliki
desa berjumlah 5 dan 1
kelurahan. Adapun jumlah kecamatan dan kelurahan serat luasnya secara rinci dapat dilihat dalam tabel di bawah ini : Tabel: 4.1. Jumlah Kecamatan dan Kelurahan Kota Tangerang Selatan No
Nama Kecamatan
Luas Wilayah (KM2) 24,04
(%)
Kelurahan
(%)
16,33
9
18,37
1
Serpong
2
Serpong Utara
17,84
12,12
7
14,28
3
Ciputat
18,38
12,49
7
14,28
4
Ciputat Timur
15,43
10,48
6
12,24
5
Pamulang
26,82
18,22
8
16,33
6
Pondok Aren
29,88
20,30
11
22,45
7
Setu
14,80
10,06
1
2,05
Jumlah
147,19
100
49
100
Sumber: Tangsel Dalam Angka, 2012: 22.
Di antara tujuh kecamatan, Kecamatan Pondok Aren merupakan kecamatan terluas di Kota Tangsel dengan luas 29,88 kilometer persegi, Sedangkan Setu merupakan kecamatan terkecil dengan luas 14,80 kilometer persegi. Wilayah Kota Tangsel dilintasi oleh Kali Angke, Kali Pesanggrahan dan Sungai Cisadane sebagai batas administrasi kota di sebelah barat. Letak geografis Kota Tangsel yang berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta memberikan peluang pada Kota Tangsel sebagai salah satu daerah penyangga provinsi DKI Jakarta dan penghubung antara Provinsi Banten dengan Provinsi DKI Jakarta. Selain itu, Kota Tangsel juga menjadi salah satu daerah yang
66
menghubungkan Provinsi Banten dengan Provinsi Jawa Barat.
Peta
berikut
memperlihatkan geografis Kota Tangsel.
Gambar 4.1. Peta Kota Tangerang Selatan
C. Pemerintahan Daerah Di dalam penyelenggaraan pemerintahan, Kota Tangsel mempunyai organisasi perangkat daerah yang diatur dalam Peraturan Walikota (Perwal) No. 6 Tahun 2010 tentang Organisasi Perangkat Daerah Kota Tangsel yang merujuk pada Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Organisasi perangkat daerah dinamakan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Jumlah SKPD Kota Tangsel berjumlah 33 buah termasuk kecamatan dan kelurahan. Tabel berikut memperlihatkan jumlah SKPD Kota Tangsel.
67
Tabel 4.2. Jumlah Organisasi Perangkat Daerah Pemda Kota Tangerang Selatan NO 1 2
3 4 5 6 No
7 8 9 10 11 12 13 14 15
16 17 18 19 20 21
Nama SKPD Sekretariat Daerah Sekretariat DPRD DINAS-DINAS: Dinas Pendidikan Dinas Kesehatan Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air Dinas Tata Kota, Bangunan dan Nama SKPD Pemukiman Dinas Pemuda dan Olahraga Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Dinas Sosial, Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Dinas Perindustrian dan Perdagangan Dinas Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Dinas Kebersihan, Pertamanan dan Pemakaman Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan LEMBAGA TEKNIS DAERAH : Badan: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Badan Lingkungan Hidup daerah Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan perempuan dan KB Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Kantor:
22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Kantor Arsip Daerah Kantor Pemadam Kebakaran Kantor Kebudayaan dan Pariwisata Kantor Pananaman Modal Kantor Perpustakaan Daerah Inspektorat Kota Satuan Polisi Pamong Praja Rumah Sakit Umum Kota Tangerang Selatan Kecamatan ( 7 Kecamatan) Kelurahan (49 Kelurahan) Lembaga Lain: 32 Badan Penanggulangan Bencana Daerah 33 Sekretariat Dewan Pengurus KORPRI Sumber: Peraturan Daerah Kota Tangerang Selatan No. 06 Tahun 2010 Tentang Organisasi Perangkat Daerah Kota Tangerang Selatan.
SKPD yang terdapat dalam tabel di atas, termasuk kecamatan dan kelurahan sebagai organsiasi perangkat daerah yang terendah di Kota Tangsel. Selain itu, masih terdapat desa, RW dan RT, tetapi ketiga unsur tersebut tidak
68
termasuk dalam perangkat daerah yang dimaksud dalam Perwal No. 6 tahun 2010. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa jumlah kecamatan terdapat 7 dan kelurahan sebanyak 49. Selain itu terdapat 5 desa, 686
Rukun Warga
(RW) dan 3.535 Rukun Tetangga (RT). Pondok Aren adalah kecamatan yang memiliki kelurahan terbanyak , yaitu 11 kelurahan. Adapun jumlah dan namanama kecamatan dan kelurahan terdapat dalam tabel berikut:
No 1.
Tabel 4.3. Jumlah Kecamatan dan Kelurahan Pemda Kota Tangsel Nama Kecamatan Nama Kelurahan Serpong
2.
Serpong Utara
3.
Ciputat
4.
Ciputat Timur
5.
Pamulang
6.
Pondok Aren
1. Buaran 2. Ciater 3. Rawa Mekar Jaya 4. Rawa Buntu 5. Serpong 6. Cilenggang 7. Lengkong Gudang 8. Lengkong Gudang Timur 9. Lengkong Wetan 1. Lengkong Karya 2. Jalupang 3. Pondok Jagung 4. Pondok Jagung Timur 5. Pakulonan 6. Paku Alam 7. Paku Jaya 1. Sarua 2. Jombang 3. Sawah Baru 4. Sarua Indah 5. Sawah 6. Ciputat 7. Cipayung 1. Pisangan 2. Cirendeu 3. Cempaka Putih 4. Rempoa 5. Rengas 6. Pondok Ranji 1. Pondok Benda 2. Pamulang Barat 3. Pamulang Timur 4. Pondok Cabe Udik 5. Pondok Cabe Ilir 6. Kedaung 7. Bambu Apus 8. Benda Baru 1. Perigi Baru 2. Pondok Kcg Barat 3. Pondok Kcg Timur 4. Perigi 5. Pondok Pucun 6. Pondok Jaya 7. Pondok Aren 8. Jurang Mangu Barat 9. Jurang Mangu Timur
69
10. 11. 7.
Pondok Karya Pondok Betung.
Setu
1. Kranggan 2. Muncul 3. Kademangan 4. Setu (Desa) 5. Babakan 6. Bakti Jaya Sumber: Kota Tangsel Dalam Angka, BPS Kota Tangsel, 2012: 23.
D. Perekonomian Berdasarkan data sementara PDRB tahun 2011, struktur ekonomi Kota Tangsel didominasi oleh sektor tersier, yaitu perdagangan, hotel dan restoran; pengangkutan dan komunikasi; perbankan dan lembaga keuangan serta jasajasa yang memberikan kontribusi hingga 72,75%. Sektor sekunder (industri pengolahan; listrik, gas dan air bersih; dan bangunan) memberikan kontribusi 26,37%, dan sektor primer (pertanian, pertambangan dan penggalian) hanya memberikan kontribusi 0,88% (Profil Kota Tangsel, Bappeda, 2012: 59). Secara rinci tabel berikut ini dapat menjelaskan kontribusi di atas: Tabel 4.4. Jumlah Kontribusi Bidang Usaha di Kota Tangerang Selatan No
Sektor Usaha
Jumlah (Rp)
1
Jasa Konstruksi
Rp.
217.358.100.000
2
Jasa Kesehatan
Rp.
207.972.258.000
3
Industri Pengolahan
Rp.
104.127.482.000
4
Transportasi
Rp. 7.850.599.813.000
5
Jasa Hotel Restoran
Rp.
9.638.000.000
6
Pertanian
Rp.
687.573.500.000
7
Keuangan
Rp. 71.066.345.764.000
8
Pendidikan
Rp.
8.325.000.000
9
Real Estate
Rp.
250.867.725.000
10
Listrik Gas
Rp.
163.788.375.000
11
Perdagangan
Rp. 2.909.645.541.790
12
Jasa Lainnya
Rp.
Total
Rp. 83.528.327.474.790
Sumber: Profil Kota Tangerang Selatan, Bappeda, 2012: 54.
41.986.916.000
70
Melihat tabel di atas, ternyata sektor usaha yang paling dominan di Kota Tangsel adalah sektor perdagangan, keuangan dan
transportasi. Ketiga sektor
ini termasuk sektor tersier, tetapi menjadi leading sektor usaha dalam memberikan kontribusi kepada perekonomian Kota Tangsel dan pemasukan bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pada tahun 2012, PAD Kota Tangsel berjumlah Rp. 443.737.453.353,00 (Profil Kota Tangerang Selatan, 2012: 66). Selain Perdagangan dan Jasa, sektor Pertanian juga memberikan kontribusi sebanyak Rp. 687.573.500.000. Salah satu hasil pertanian yang menjadi kompetensi hasil industri Kota Tangsel adalah Bunga Anggrek dan akan dijadikan identitas Kota Tangsel (sedang dalam proses penelitian), selain makanan dan industri konfeksi. Kota
Tangsel
tidak
memiliki
perusahaan
industri
berat,
karena
perusahaan-perusahaan yang diberi izin adalah perusahaan yang non polutan. Terdapat beberapa industri menengah dan kecil di Kota Tangsel, seperti PT. Indah Kiat yang berkiprah di bidang kertas, PT Pratama, yang bergerak di bidang keramik dengan merk Toto serta perusahaan home industy seperti konfeksikonfeksi pakaian jadi (Wawancara dengan Kasubdit Perekonomidan dan Perdagangan Kantor Bappeda Kota Tangsel, 9 April 2013). E. Politik Persoalan politik, tidak terlepas dari eksistensi partai politik. Seiring dengan penerapan demokratisasi di Indonesia, maka partai politik menjadi pilar sekaligus pemegang peran penting dalam perpilitikan tingkat nasional, maupun lokal. Terdapat 5 Partai politik yang memiliki kursi secara independen di DPRD Kota Tangsel, yaitu Partai Demokrat, PKS, Partai Golkar, PAN dan PDIP, sedangkan 7 partai lainnya, yaitu PPP, Hanura, PKB, Partai Keadilan &
71
Persatuan Indonesia, PBB, Partai Penegak Demokrasi Indonesia dan PDS bergabung dengan nama MADANI menduduki kursi di DPRD Kota Tangsel. Tabel berikut memperlihatkan jumlah anggota sesuai dengan fraksi yang dibentuk: Tabel 4.5. Jumlah Anggota DPRD Dari Setiap Fraksi Kota Tangsel No
Partai Politik
Jumlah Kursi
(%)
1.
Demokrat
12
27
2.
Keadilan Sejahtera
7
16
3.
Golongan Karya
6
13
4.
PDIP
4
9
5.
Amanah Indonesia Raya (AIR)
5
11
6.
MADANI
11
24
Jumlah
45
100
Sumber: Kota Tangerang Selatan dalam Angka, 2012, hal. 21.
Fraksi yang paling banyak menduduki kursi di DPRD Kota Tangsel berasal dari Partai Demokrat 12 orang (27 %) dan PKS menduduki posisi kedua 7 orang (16 %). Fraksi AIR dan MADANI adalah fraksi gabungan dari beberapa partai politik yang tidak memenuhi syarat untuk membentuk fraksi tersendiri. Selain fraksi, tabel berikut ini memperlihatkan jumlah komisi di DPRD Kota Tangsel: No
Nama Komisi
Tabel 4.6. Jumlah Komisi DPRD Kota Tangsel Bidang Yang Ditangani Jumlah
(%)
1
Komisi A
Pemerintahan
11
24,44
2
Komisi B
Perekonomian dan Kesejahteraan
11
24,44
3
Komisi C
Keuangan
10
22,23
4
Komisi D
Pembangunan
13
28,89
45
100
Jumlah Sumber: Tangsel Dalam Angka, 2012: 35
-OO-
72
72
BAB V REFORMASI BIROKRASI SDM DI KOTA TANGERANG SELATAN
Di Dalam roadmap reformasi birokrasi 2010-2014, terdapat delapan area perubahan yang diharapkan oleh pemerintah. Salah satu area perubahan yang diinginkan
tersebut
adalah
sumber
daya
manusia
(aparatur
birokrasi
pemerintahan) yang menjadi pusat dari perubahan itu sendiri. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa Sumber Daya Manusia (untuk selanjutnya disebut SDM) sejak awal harus menjadi pelaku utama dalam reformasi birokrasi. Untuk itu, dalam membangun SDM khususnya di daerah, harus dilakukan penataan
aparatur
birokrasi
pemerintah,
baik
dari
segi
perencanaan,
pengangkatan, penempatan dan promosi yang lebih transparan, akuntabel dan profesional, sebagaimana dikemukakan dalam pasal 1 Undang-Undang No. 43 tahun 1999 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (untuk selanjutnya disebut PNS) bahwa: “Menajemen Pegawai Negeri Sipil adalah keseluruhan upaya untuk meningkatkan efesiensi, efektivitas dan derajat profesionalisme penyelenggaraan tugas, fungsi, dan kewajiban kepegawaian yang meliputi: perencanaan, pengadaan, pengembangan kualitas, penempatan, promosi, penggajian, kepegawaian, dan pemberhentian”. Oleh karena itu, dalam melihat reformasi birokrasi bidang SDM diuraikan tentang pengangkatan dan penempatan, pelatihan, penggajian, kondisi kerja, dan kinerja. Unsur-unsur yang dijelaskan tersebut, juga terkait dengan SDM sebagai salah satu dimensi capacity building yang dikemukakan oleh Grindlle (1997: 9).
73
A. Pengangkatan dan Penempatan Untuk melihat reformasi birokrasi bidang SDM aparatur birokrasi Pemerintahan Daerah Kota Tangsel, maka terlebih dahulu dipetakan menjadi dua, yaitu: dari segi asal SDM dan status SDM. Dari Segi Asal SDM Asal SDM aparatur birokrasi Pemda Kota Tangsel dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: 1). SDM yang berasal dari pelimpahan provinsi/kabupaten induk, 2). Perpindahan SDM dari daerah/provinsi lain. 3) SDM yang berasal dari seleksi murni. 1). SDM Yang Berasal dari Pelimpahan Provinsi atau Kabupaten Induk. Kota Tangsel adalah kota yang dimekarkan dari Kabupaten Tangerang sebagai kabupaten induknya pada tahun 2008, sehingga konsekuensi hasil pemekaran tersebut berdampak pula pada pelimpahan pegawai dari provinsi dan kabupaten induk. Tampak telah diantisipasi oleh Pemda Kota Tangsel dengan membuat Peraturan Walikota (Perwal) No. 39 tahun 2011 tentang Perpindahan PNS di Kota Tangerang Selatan dan prosedur tetap (Protap) dikeluarkan oleh Kepala BKPP Kota Tangsel No. 824/343-BKPP/2011 tentang Prosedur tetap (Protap) Perpindahan PNS dari dan ke Instansi di Luar Pemerintah Kota Tangsel, sehingga status kepegawaian akibat pelimpahan tersebut diakui secara hukum dan implikasi selanjutnya akan menjadi tanggungjawab Pemda Kota Tangsel. Konsekuensi pelimpahan pegawai ke Kota Tangsel tersebut, membuat Pemda Kota Tangsel tidak berdaya untuk melakukan penyaringan terlebih dahulu, sehingga kualitas pegawai atau kualifikasi kompetensi tidak menjadi pertimbangan. Prioritas penerimaan pelimpahan pegawai pada waktu itu, untuk memenuhi kebutuhan pegawai bagi Kota baru seperti Tangsel.
Sedangkan
74
pegawai Pemda Kota Tangsel berasal dari kabupaten dan provinsi induk, serta beberapa kabupaten sekitar Provinsi Jawa Barat, jumlahnya cukup banyak, sebagaimana dikatakan oleh Kabid Kepegawaian, BKPP bahwa: “Jumlah pegawai yang dilimpahkan dari kabupaten dan provinsi induk sekitar 3000 an orang, ketika Pemda Kota Tangsel baru didirikan. Sedangkan yang berasal dari kabupaten di sekitar provinsi Banten tidak dapat dirinci, karena pola pendataan yang kami lakukan secara menyeluruh, tidak memperhatikan perincian berdasarkan daerah asal” (Wawancara tanggal 17 Juni 2013). Jawaban dari Kabid Kepegawaian, BKPP tersebut di atas, senada dengan pernyataan Kasubid Informasi dan Pengelolaan Data Pegawai (Wawancara tanggal 8 Mei 2013) ketika ditanya tentang rincian pelimpahan. Pernyataan tersebut terkesan untuk menghindari anggapan bahwa SDM aparatur pemerintah daerah Kota Tangerang Selatan lebih didominasi dari wilayah di luar Tangsel daripada Kota Tangsel sendiri. Namun dari jumlah sebanyak itu (3000 orang), telah menunjukkan bahwa aparatur birokrasi pemerintah Kota Tangsel didominasi 57 % dari luar wilayah Kota Tangsel. Dominasi sekitar 50 % juga dinyatakan oleh Kasub Regulasi, BP2T sebagaimana diungkapkan berikut: “Saya awalnya dari Kabupaten Tangerang (Kabupaten induk) yang dipindahkan ke Kota Tangerang Selatan, sebagai perintis. Ada 9 orang yang pertama menangani BP2T. Jumlah pegawai pindahan dari Provinsi Banten dan Kabupaten Tangerang banyak, ada sekitar 50 % dari Tangsel. Sedangkan sisanya campuran (dari berbagai daerah dan instansi lain)” (Wawancara dengan kasub Regulasi BP2T, tanggal 8 Juli 2013). Dominasi dari luar Kota Tangsel didukung pernyataan dari anggota DPRD bahwa pegawai Kota Tangsel didominasi oleh kelompok yang berasal dari wilayah CIPASERA (Cilegon, Pandeglang, Serang dan Rangkas), sebagaimana yang dikatakan oleh anggota DPRD Komisi I dari Fraksi PKS bahwa:
75
“Saat ini santer terdengar istilah pegawai Pemda Kota Tangsel lebih dikuasai oleh kelompok CIPASERA (Cilegon, Pandeglang, Serang dan Rangkas), sehingga pada saat penerimaan dan penempatan pegawai, 90 % berasal dari CIPASERA dan 10 % berasal dari Tangerang Selatan. Selain itu, fakta menunjukkan bahwa mutasi pegawai seringkali terjadi hampir 8 atau 9 kali dalam sebulan dalam rangka memperkuat kelompok CIPASERA tersebut” (Wawancara tanggal 10 Juni 2013). Kelompok CIPASERA yang disebutkan oleh Komisi I DPRD mendominasi kepegawaian di Kota Tangsel, memperlihatkan budaya patrimonialisme di dalam tubuh aparat birokrasi pemerintah daerah Kota Tangsel masih kental atau konsep patron clien relationship (Kauzar, 2009: 12) terdapat di dalam aparatur birokrasi pemerintah daerah Kota Tangsel, yaitu hubungan antara atasan bawahan yang sangat dekat karena ikatan kedaerahan, kedekatan dan kekerabatan. Pengabaian terhadap kualitas atau kompetensi pegawai tidak hanya dikarenakan pelimpahan dari provinsi atau kabupaten induk (Provinsi Banten atau Kabupaten Tangerang), tetapi juga dikarenakan pengaruh para politisi dan tim sukses pemilihan kepala daerah untuk memasukkan sanak saudara dan teman. Beberapa contoh berikut menunjukkan bahwa di sebagian SKPD, terdapat praktek nepotisme. Hal ini diakui oleh salah satu anggota Satpol PP bahwa terdapat sejumlah pegawai Satpol PP dikarenakan kedekatan dengan pejabat, sebagaimana dikatakan bahwa: “Jumlah TKS memang banyak di sini, untuk mengejar status PNS, ada juga mantan pengacara dan banyak anggota Satpol PP yang dibawa oleh para pejabat, bahkan terdapat ayah dan anak menjadi anggota Satpol PP” (Wawancara tanggal 31 Mei 2013). Pada saat politisi PKS (anggota DPRD Komisi 1) ditanya, apakah memang terdapat andil anggota DPRD (politisi) dalam pengangkatan pegawai di
76
Pemda Kota Tangsel, ternyata diakui memang itu ada, sebagaimana disampaikan bahwa: “Dalam pengangkatan pegawai di Tangsel, memang terdapat politisi ikut mempengaruhi dengan memasukkan sanak famili dan teman dekat, tetapi itu hanya sedikit sekitar 20 %, sedangkan sisanya lagi 80 % justru karena dipengaruhi oleh pihak eksekutif. Jadi yang paling banyak pengaruhnya ya eksekutif” (Wawancara tanggal 10 Juni 2013). Seorang pegawai Kelurahan Rawa Buntu bekerja sejak tahun 1993, beberapa waktu
lalu diturunkan jabatannya dari Kepala Seksi Ekonomi dan
Pembangunan menjadi staf pelaksana ekonomi pembangunan, karena Lurah baru membawa “anak buah”. Hal ini diungkap sebagai berikut: “Sejak Lurah lama di ganti pada tahun 2011 dengan Kepala Lurah baru, jabatan saya dicopot, karena Kepala Lurah baru bawa rombongannya (maksudnya orang-orang dekat) ada empat orang. Semua berpendidikan SMA dan sekarang saya hanya sebagai staf pelaksana ekonomi pembangunan” (Wawancara dengan staf Kelurahan Rawa Buntu, tanggal 2 Juli 2013). Nepotisme sangat kental dalam pengangkatan dan penempatan pegawai di Pemda Kota Tangsel, sehingga Humas Dinas Pendidikan mengatakan bahwa: “Untuk melihat seseorang dapat jabatan dalam pemerintahan Kota Tangsel, ditentukan tiga hal, yaitu: 1). Tim Sukses, 2). Kedekatan, karena saudara dan kedaerahan, 3). Duit. Pernah seorang pegawai baru tes menjadi guru, lulus dan disuruh mengajar tidak mau, akhirnya lari ke struktural. Mau ditolak/digagalkan tidak bisa, karena itu adiknya kepala dinas” (Wawancara Humas Dinas Pendidikan, tanggal 2 Juli 2013). 2). SDM Yang Berasal dari Perpindahan Daerah atau Provinsi Lain. Kota Tangsel tidak hanya memiliki walikota yang tercantik di seluruh Indonesia, tetapi juga bagaikan terdapat beberapa pegawai
bunga yang diburu oleh kumbang, karena
pindahan dari luar Kota Tangsel seperti dari
Sumatra Barat dan Kabupaten-kabupaten wilayah provinsi Banten, ikut mewarnai jumlah SDM aparatur birokrasi di Kota Tangsel. Perpindahan tersebut dengan alasan
mengikuti suami, dan lokasi tempat tinggal lebih dekat. Untuk
77
mengantisipasi persoalan perpindahah pegawai dari luar ke Kota Tangsel, telah dibuat
Peraturan Walikota (Perwal) No. 39 tahun 2011 yang isinya tentang
Perpindahan PNS di Kota Tangsel dan Keputusan Kepala BKPP No. 824/343BKPP/2011 tentang Protap Perpindahan PNS dari dan ke Instansi di Luar Pemkot Tangsel. Tabel berikut ini menunjukkan asal daerah pegawai pindahan. Tabel 5.1. Asal Daerah Pegawai Pindahan ke Pemda Kota Tangsel No
Asal Pegawai
1
Provinsi Banten
2
Kabupaten Tangerang
3
Kabupaten Cilegon
4
Kabupaten Pandeglang
5
Kabupaten Serang
6
Kabupaten Rangkas
7
Provinsi Sumatera Barat
8
Instansi lain: Depag
9
Metro Lampung
Sumber : Data Sekunder BP2T dan Diolah dari Wawancara.
3). SDM Yang Berasal dari Seleksi Murni.
Selain pelimpahan dari provinsi/kabupaten induk dan pindahan dari daerah/provinsi lain, keberadaan SDM aparatur birokrasi Pemda Kota Tangsel juga ditentukan oleh seleksi murni melalui tes PNS. Selama Kota Tangsel didirikan pada tahun 2008, telah dilakukan rekrutmen sebanyak 2 kali yaitu pada tahun 2009 dan 2010 masa pemerintahan Pejabat Sementara Walikota HM. Shaleh dan Pejabat Sementara Walikota H. Eutik Suarta. Sedangkan tahun 2013 masa Walikota Airin Rachmy Diany akan direncanakan membuka penerimaan pegawai baru. Namun sebelum penerimaan pegawai baru berjalan, pada bulan Mei 2013 telah diproses Tenaga Honor yang telah lama bekerja (sebelum tahun 2005) untuk dites sebagai Calon PNS dengan kategori 2 (Kategori 2 berarti
78
Tenaga Honor yang memenuhi persyaratan PP No. 48 tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honor dan tidak dibiayai dari APBN/APBD) yang berjumlah 1466 orang. Adapun prinsip-prinsip dasar penerimaan CPNS adalah sebagai berikut: 1). Objektif, 2). Transparan, 3). Kompetitif, 4). Akuntabel dan 5). Bebas KKN (Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan SPNS, Deputi Bidang Informasi Kepegawaian Tangerang Selatan, 17 Oktober 2012). Nepotisme
dalam rekrutmen pegawai belum dapat dihilangkan dari
Pemerintahan Daerah Kota Tangsel. Pengangkatan pegawai baru (rekrutmen) dari orang-orang dekat walikota terpilih sebagai ucapan terima kasih terhadap tim sukses, tampaknya merupakan fenomena umum di setiap daerah yang baru dimenangkan oleh kepala daerah terpilih. Padahal amanah UU No. 43 tahun 1999 tentang Manajemen PNS dalam pasal 1 dikatakan bahwa Menajemen Pegawai Negeri Sipil adalah keseluruhan upaya untuk meningkatkan efesiensi, efektivitas dan derajat profesionalisme penyelenggaraan tugas, fungsi, dan kewajiban kepegawaian. Tujuan efisiensi dan efektifitas tidak akan tercapai, jika dalam rekrutmen pegawai tidak berjalan secara profesional, transparan dan objektif. Dalam pengangkatan pegawai baru tahun 2010, aroma KKN sangat kental, sehingga salah satu anggota DPRD Komisi I mengatakan bahwa: “Pengangkatan pegawai sengaja diprioritaskan (90 %) yang berasal dari daerah CIPASERA (Cilegon, Pandeglang, Serang dan Rangkas). Sedangkan sisanya 10 % berasal dari Daerah Tangerang Selatan. Rotasi pegawai sering terjadi sampai 8-9 kali. Dalam rotasi tersebut baik di level bawah atau atas menggunakan “energi” yang besar dalam hal ini uang” (Wawancara Tanggal 10 Juni 2013). Istilah Cipasera tidak hanya dikemukakan oleh anggota DPRD Komisi I, tetapi juga oleh Humas Dinas Pendidikan, sebagaimana dikatakan bahwa:
79
“Di Kota Tangsel banyak posisi “Kopral”, tapi pemikiran “Jenderal” dan sebaliknya yang menjabat “Jenderal”, tapi pemikiran “Kopral”. Hal ini dikarena masalah politik dan ada rezim CIPASERA (Cilegon, Pandeglang, Serang dan Rangkas) yang menguasai, dari Rangkas sampai Serang. Mestinya orang sini (Tangsel) yang diangkat duduk” (Wawancara tanggal 2 Juli 2013) Maksud ucapan tersebut di atas bahwa terdapat orang-orang pintar, tetapi posisi rendah dan sebaliknya, banyak pejabat, tetapi pemikiran rendah. Jabatan diberikan kepada orang-orang terdekat penguasa dan biasanya diutamakan dari daerah Cipasera. Seharusnya orang-orang berasal dari Tangerang Selatan juga diutamakan. Dilanjutkan oleh Humas Dinas Pendidikan bahwa: “Pengangkatan pegawai di Kota Tangerang Selatan bersifat politis, karena pengangkatan dan penempatan pegawai tidak didasarkan pada kebutuhan, melainkan sasaran atau tujuan yang penting” (Wawancara tanggal 2 Juli 2013). Sistem
kekerabatan
ini
sengaja
diciptakan
untuk
memperkuat
pemerintahan Walikota Tangerang Selatan, dibantu oleh Sekretaris Daerahnya yang kebetulan keduanya berasal dari daerah CIPASERA tersebut (Wawancara dengan anggota DPRD, tanggal 10 Juni 2013) . Penerimaan (Rekrutmen) pegawai baru masa jabatan Walikota Airin, pertama kali akan dibuka pada tahun 2013 (pelamar umum), apabila disetujui oleh
KemenPAN
dan
Reformasi
Birokrasi,
tetapi
dengan
ketentuan,
sebagaimana dikemukakan oleh Kabid Kepegawaian BKPP : “ Setelah proses pegawai kategori II, pasti ada yang ditolak. Nah mereka yang ditolak ini, apakah mau dibehentikan atau menjadi pelamar baru, belum diketahui, nanti tunggu keputusan dari KemenPAN dan RB. Tahun ini (2013) rencana ada penerimaan pegawai baru, tetapi ada syaratnya dari KemenPAN dan RB, yaitu 1). Tidak memiliki pegawai dengan kategori 1, 2). Harus menyampaikan Analisa Beban Kerja (ABK), Anjab dan redistribusi pegawai sesuai kualifikasi pendidikan dan jabatan. 3). Jumlah anggaran belanja pegawai tidak boleh >50 % dari APBD, sedangkan Kota Tangsel hanya 38 %. 4). Memiliki Analisis kebutuhan
80
pegawai 5 tahun ke depan” (Wawancara Kabid Kepegawaian BKPP tanggal 17 Juni 2013). Untuk kebutuhan penerimaan pegawai baru sebagaimana diungkap di atas, telah dipersiapkan oleh Bidang Kepegawaian BKPP dengan membuat persyaratan yang diwajibkan oleh KemenPAN dan RB, yaitu analisis kebutuhan pegawai 5 tahun ke depan. Namun yang terpenting di sini, bahwa analisis kebutuhan tersebut didasarkan pada sistem pendataan yang permanen, tidak bersifat insidental. Artinya Sistem Informasi Management (SIM) Kepegawaian Kota Tangsel dilembagakan secara formal, sehingga basis data kepegawaian dapat digunakan, tidak hanya untuk seleksi penerimaan pegawai baru, tetapi juga untuk promosi dan rotasi pegawai. Dari Segi Status SDM. Dari segi status SDM, dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu 1). PNS, 2). Tenaga Honor dan 3). Tenaga Kerja Sukarela.
Ketiga status tersebut dapat
dibedakan dari segi status kepegawaian dan gaji yang diterima (hak dan kewajibannya). 1). Pegawai Negeri Sipil (PNS) PNS yang dimaksud di sini adalah Pegawai Negeri Sipil Daerah, yang gajinya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan bekerja pada Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota atau dipekerjakan di luar instansi induknya (Peraturan Pemerintah RI No. 9 tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil, pasal 1, ayat 2). Jumlah PNS Pemda Kota Tangsel pada tahun 2012 sebanyak 5335 orang. Setiap rekrutmen dilakukan pemerintah daerah, harus disesuaikan dengan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 26
81
Tahun 2011 tentang Pedoman Perhitungan Jumlah Kebutuhan PNS Untuk Daerah. Dari jumlah tersebut, dapat dikatakan bahwa Pemda Kota Tangsel masih kurang jumlah PNSnya. Kekurangan tersebut dapat dilihat pada beberapa SKPD Kota Tangsel dalam tabel di bawah ini: Tabel 5. 2. Jumlah Kekurangan PNS di Beberapa SKPD No
Nama SKPD
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Jumlah Ideal PNS
Jumlah Riil PNS 120 39 76 28 7 32 29 53 20 53 457
Kantor Sekda 132 Disperindag 48 DKPPKAD 144 DKUKM 48 KPD 24 BLHD 44 Satpol PP 54 Disdik * 56 Kesbangpolinmas 54 Bappeda 52 Jumlah 656 Sumber: Diolah dari hasil wawancara dan data sekunder. *Jumlah tersebut belum termasuk tenaga fungsional (guru-guru).
Kekurangan PNS 12 21 68 20 17 12 25 3 34 +1 211
Jumlah ideal PNS pada tabel di atas, dihitung berdasarkan Peraturan MenPAN dan RB No. 26 Tahun 2011 tentang Pedoman Perhitungan Jumlah Kebutuhan PNS di Daerah. Kekurangan PNS, hanya dihitung pada 10 SKPD dari 33 SKPD. Dapat diambil kesimpulan bahwa rata-rata SKPD di Kota Tangsel kekurangan jumlah PNS. Kekurangan PNS juga diakui oleh Kabid Kepegawaian. Namun kekurangan tersebut dapat ditutupi dengan pengangkatan TKS, sebagaimana dinyatakan di bawah ini: “ jika disesuaikan dengan Peraturan MenPAN dan RB No. 26 tahun 2011. maka jumlah pegawai Pemda Kota Tangsel seharusnya 5600 an, sekarang (tahun 2013) jumlahnya 5186 .Untuk menutupi kekurangan itu dan demi kepentingan masyarakat, kita mengangkat TKS. Untuk 5 tahun ke depan kita butuh 10.973 orang.Jadi Kota Tangsel masih kurang 5787 orang pegawai” (Wawancara dengan Kabid Kepegawaian BKPP, tanggal 17 Juni 2013). Kekurangan pegawai yang dikemukakan Kabid Kepegawaian, BKPP di atas, apabila dikurangi dengan kelebihan 11 buah struktur yang dimiliki Kota
82
Tangsel, tetap Kota Tangsel masih kekurangan pegawai. Pengangkatan TKS untuk menutupi kekurangan PNS, tidak optimal, karena TKS yang diangkat tidak sesuai
dengan
kebutuhan,
sehingga
tidak
optimal
pendayagunaannya.
Sekiranya TKS yang direkrut tersebut dipersiapkan sebagai calon yang akan diangkat sebagai PNS, maka sebaiknya pengangkatannya sesuai kebutuhan, baik dari segi jumlah maupun kualifikasi, bukan berdasarkan politis (nepotisme), sehingga kelak ketika pengangkatan calon PNS, Pemda Kota Tangsel tidak mengalami kesulitan, karena kriteria /kompetensi yang diperlukan telah dimiliki sesuai kebutuhan, terlatih dan pengalaman. Selain jumlah PNS yang masih kurang di Pemerintah Daerah Kota Tangsel, dari segi kompetensi tidak atau belum sesuai dengan kebutuhan, meskipun rata-rata tingkat pendidikan tinggi, yaitu S1, S2 dan S3 = 3413 (63, 98%) dan golongan PNS juga dapat dikategorikan tinggi, yaitu rata-rata golongan
II dan III sebanyak 3575 (67,01). Berikut terlihat ketidakkompetensian PNS Kota Tangsel dalam tabel berikut ini: Tabel 5.3. Jumlah PNS Pemda Kota Tangsel yang Tidak Sesuai Kompetensi No 1
Nama Instansi BKPP
2
Jabatan
Latar Belakang Pendidikan
Jumlah
Kabid Pembinaan Kabid Mutasi
STPDN S.Pd (Sarj. Penddik)*
2
DKUKM
Kabid Koperasi Kabid FPP dan Evls. Kasie Monev Evaluasi. Kasie Analisa Data Kasie Pemberd. UMKM Kasie Promosi
S2 (Magister Pendk) S1 (Sarj I. Politik) S.Pd. (Sarj.Pendk) S.Pd. (Sarj. Pendik) S1 (Sarj. Teknik) S1 (Sarj. Statistik)
6
3
BP2 T
Satpol PP
5
Bappeda
S2 (Magister Teknik) S.Pd. (Sarj. Pendik) S1 (Sarj. I. Pol) S.Pd. (Sarj. Pendik) S1 (Sarj. Perpust.) ST (Sarj. Teknik)** S1 (Sarj. KesMas)** S.Pd.(Sarj. Pendik) S.Pd (Sarj. Pendik) S2 (Magister Manaj.) S2 (Magister Teknik) S2 (Magister Teknik) S1 (Sarj. Teknik) S.Pd. (Sarj.Pendk)
7
4
Kabid Pelay. & Pemb Kabid Eko. dan Kesra Kabid Pen. & Pengend. Kabid Pelayn. E. Kesra Kasub Umum Staf Pelayanan Staf Pelayanan Kabag. TU Kasi Ketertiban Usaha Kabid Pem. Umum Kabid Sos Kesmas Kasubid Perenc. Pendik Kasubid PPA Polhum. Kasub
2 5
83
6 7
KPD Kasie Pelayanan Kelurahan Lurah Rawa Buntu 8 Kecamatan Camat Serpong Sekretaris Camat Sumber: Diolah dari hasil wawancara dan data sekunder. *Selain S1 (S.Pd), juga memiliki gelas M.Si. **Masih berstatus TKS.
S.Pd.(Sarjana Pendidikan) S.Pd.(Sarjana Pendidikan)
1 1
S.Pd. (Sarjana Pendidikan) S.Pd. (Sarjana Pendidikan)
2
Tabel di atas, menunjukkan masalah kompetensi belum mendapat perhatian, sehingga seseorang berpendidikan guru (M.Pd) dapat menduduki jabatan sebagai Kabid Koperasi di Dinas Koperasi dan UKM, Kabid Ekonomi dan Kesra di BP2T, Kasub Umum di BP2T, Kabag TU dan Kasi Ketertiban Usaha di Satpol PP serta lulusan STPDN menduduki posisi Kabid Pembinaan di BKPP, Lurah, Camat dan Sekretaris Camatpun berpendidikan guru. Penempatan guruguru (tenaga edukatif) ke dalam struktur-struktur yang ada seperti pada tabel di atas, seharusnya tidak perlu terjadi, karena guru (tenaga edukatif) tugasnya adalah mengajar di sekolah-sekolah. Selain
itu,
penempatan
pegawai
di
Dinas
Perpustakaan
yang
berkualifikasi sebagai pustakawan, hanya berjumlah 2 orang (Wawancara dengan staf umum Dinas Perpustakaan , tanggal 8 Mei 2013 dan Data Sekunder). Padahal dari sisi fungsi, Dinas Perpustakaan seharus memiliki lebih dari dua orang pustakawan, karena melayani masyarakat di sekolah-sekolah di tingkat kelurahan dan kecamatan. Artinya persoalan kompetensi kepegawaian belum mendapat perhatikan dengan baik dari Pemda Kota Tangsel. Penempatan pegawai yang tidak berdasarkan kompetensi, dianggap sebagai KKN dan mengganggu promosi yang didasarkan pada karier (merit sistem), sebagaimana dikemukakan Sekban Kesbangpolinmas berikut: “Mutasi seringkali dilakukan oleh pemerintah dan aroma berbau KKN sangat kuat, pertemanan, kerabat dekat. Ada guru yang naik menjadi pejabat di posisi struktural. Hal ini justru mengganggu promosi berdasarkan karier” (Wawancara dengan Sekban Kesbangpolinmas, tanggal 23 April 2013).
84
Masalah KKN dan intensitas mutasi sebagaimana dikemukakan di atas, juga dikemukakan oleh salah satu anggota DPRD Komisi I Fraksi PKS tentang intensitas rotasi pegawai di lingkungan Pemda Kota Tangsel. Rotasi tersebut disinyalir menggunakan uang. Pernyataan tersebut sebagaimana tertulis di bawah ini: “Rotasi yang dilakukan sampai 8-9 kali. Selain itu, di level bawah maupun atas, berupaya untuk menduduki posisi tertentu dengan menggunakan “energi” yang besar (uang) untuk mencapai tujuan. Untuk itu, tempat-tempat “basah”, sengaja dipelihara untuk mendukung kepentingannya” (Wawancara tanggal 10 Juni 2013). Kompetensi sangat diperlukan, karena kompetensi adalah kemampuan dan karakteristik yang dimiliki oleh seorang PNS berupa pengetahuan, keahlian dan sikap perilaku yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas jabatannya (Bab I dalam Ketentuan Umum, Pasal 1 Perwal No. 39 tahun 2011 tentang Perpindahan PNS di Kota Tangsel). Dengan demikian, penempatan pegawai tidak sesuai dengan kompetensinya, bertentangan dengan peraturan yang dibuat oleh walikota sendiri, yaitu Peraturan Walikota (Perwal) No. 39 Tahun 2011 tentang Perpindahan PNS di Kota Tangsel, pasal 3, butir c) yang berbunyi: “Pegawai pindahan dari luar Kota Tangsel yang pindah tugas ke Kota Tangsel, harus memenuhi persyaratan antara lain: memenuhi kualifikasi jenis pendidikan, kepangkatan, usia, keahlian dan pengalaman sesuai kebutuhan pemerintah daerah”. Salah satu SKPD yang dapat memenuhi ketentuan Perwal di atas adalah Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD), karena rata-rata pegawainya berpendidikan akuntansi, ekonomi, manajemen dan teknik informatika (hanya 2 orang berpendidikan administrasi negara). Kriteria pendidikan tersebut sesuai dengan kebutuhan DPPKAD,
mengingat bidang
yang ditangani berhubungan dengan masalah keuangan, pajak dan aset-aset
85
daerah, sehingga membutuhkan kualifikasi pendidikan tersebut. Tabel berikut menunjukkan kekompetensian pegawai dimiliki DPPKAD: Tabel 5.4. Kompetensi Pegawai DPPKAD No
Jabatan
Jenis Pendidikan
Seksi PAD 1.
Pemungut pajak daerah
2.
Pengelola Data PAD
3.
Pengelola Administrasi PAD
S1 Akuntansi STM Listrik D3 Perpajakan D3 Ilmu Komputer S1 Ilmu Komputer
4.
Seksi Dana Perimbangan dan lain-lain Pendapatan Pengelola Dau dan DAK
S1 Akuntansi
5.
Pengelola Lain-lain Pendapatan
S1 Ilmu ekonomi
6.
Pengelola Adm. Dana Perimbangan dan Lain-lain Pendapatan Seksi Intensifikasi dan Ekstensifikasi Pendapatan Pemungut PBB dan BPHTB
S1 Ilmu Ekonomi D3 Ilmu Komputer
S1 Ilmu Komputer S1 Ilmu Ekonomi
9.
Pengelola Intensifikasi dan Ekstensifikasi Pendapatan Seksi Akuntansi Penerimaan dan Pengeluaran Penatausahaan Akuntansi
10.
Program Komputer
S1 Ilmu Komputer
11.
Manajemen Ekonomi
S1 Ilmu Ekonomi
7. 8.
S1 Perpajakan
S1 Akuntansi
Seksi Akuntansi Pelaporan 12.
Penatausahaan Akuntansi
13.
Program Komputer
14.
Penatausahaan Manajemen Akuntansi Akuntasi Analisis dan Evaluasi Pelaporan Program Komputer
15.
16. Manajemen Ekonomi
S1 Akuntansi D3 Akuntansi S1 Tek. Informatika S1 Akuntansi D3 Perpajakan
S1 Tek. Informatika D3 Ilmu Komputer S1 Akuntansi
86
17. Administrasi Niaga No
Jabatan
S1 Manajemen Keuangan
Jenis Pendidikan
Seksi Penyusunan Anggaran
18. Pengolah Data Perencanaan Anggaran
S1 Adm. Negara S1 Akuntansi S1 Ilmu Ekonomi S1 Tek. Informatika D3 Ilmu Komputer
Seksi Pelaksanaan Anggaran
19. Pengolah Data Pelaksanaan Anggaran
Seksi Evaluasi Pengendalian Anggaran 20. Pengolah Data Pengendalian Anggaran
S1 Adm. Negara S1 Akuntansi S1 Ilmu Ekonomi D3 Ilmu Komputer
S1 Adm. Negara S1 Akuntansi S1 Ilmu Ekonomi S1 Tek. Informatika D3 Ilmu Komputer
Seksi Administrasi Aset
21. Operator Komputer
D3 Ilmu Komputer
22. Programmer
S1 Tek. Informatika
23. Administrasi Akuntansi Aset
D3 Akuntansi
Seksi Mutasi Aset
24. Pengolah Data
D3 Ilmu Komputer
25. Legal Drafter
S1 Ilmu Hukum
Pemanfaatan dan Pemberdayaan Aset 26. Pranata Komputer
D3 Ilmu Komputer
27. Legal Drafter
S1 Ilmu Hukum
28. Planning Advisor
S1 Planologi
29. Surveyor
S1 Sosial STM Bangunan
Sumber: Struktur Organisasi DPPKAD
87
Mencermati tabel di atas, menunjukkan bahwa khusus SDM di DPPKAD telah memenuhi kualifikasi berbasis kompetensi, karena jenis pendidikan dengan tugas, sebagian besar telah sesuai. SDM-SDM berbasis kompetensi tersebut memang dibutuhkan dan keharusan dipenuhi atau dimiliki oleh suatu instansi (SKPD), sehingga keterpaduan antara kompetensi dengan kinerja terealisir. Status WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) diraih oleh Pemda Kota Tangsel, tidak mengherankan, karena didukung oleh SDM-SDM berbasis kompetensi. 2). Tenaga Honor. Tenaga Honor, yaitu seseorang yang diangkat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian atau pejabat lain dalam pemerintahan untuk melaksanakan tugas tertentu pada instansi pemerintah atau yang penghasilannya menjadi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (Pasal 1 PP No. 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honor Menjadi PNS. PP ini kini telah dirubah menjadi PP No. 43 Tahun 2007 dan Perubahan kedua menjadi PP No. 56 Tahun 2012). Para aparatur birokrasi pemerintahan daerah Kota Tangsel yang belum ditetapkan sebagai PNS dan masih berstatus Tenaga Honor, dialami oleh para pejabat
di tingkat kelurahan. Sungguh ironis, karena selama ini status
kepegawaian para Lurah belum di proses, sedangkan kelurahan sebagai ujung tombak pelayanan kepada masyarakat dan Lurah merupakan jabatan struktural dalam suatu SKPD. Lurah seharusnya dijabat oleh pegawai yang telah memiliki status sebagai PNS, karena hal ini merupakan amanah dari peraturan, sebagaimana dikatakan oleh salah satu anggota DPRD Komisi I Fraksi PKS Pemda Kota Tangsel bahwa: “Sesuai aturan, seharusnya jabatan Lurah berstatus PNS, karena Lurah adalah jabatan struktural dalam suatu SKPD dan sebagai ujung
88
tombak pelayanan kepada masyarakat”. Mestinya diperhatikan oleh pemerintah, karena jumlahnya cukup banyak 44 orang, sehingga dalam hal ini komisi kami harus menyampaikan dalam rapat paripurna, agar status lurah segera ditetapkan” (Wawancara tanggal 10 Juni 2013). Aturan dimaksud oleh anggota DPRD Komisi I tersebut adalah Permendagri No. 28 Tahun 2006 tentang Pembentukkan, Penghapusan, Penggabungan dan Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan dalam pasal Pasal 10, ayat (1) yang menyatakan bahwa: “Desa yang berubah status menjadi Kelurahan, Lurah dan Perangkatnya diisi dari Pegawai Negeri Sipil yang tersedia di Kabupaten/Kota bersangkutan”. Jabatan Lurah yang masih berstatus Tenaga Honor di pemda Kota Tangsel, menunjukkan bahwa Peraturan Mendagri (Permendagri) No. 28 Tahun 2006 tidak diperhatikan oleh Pemda Kota Tangsel, sehingga terdapat 44 orang Lurah belum diproses menjadi PNS. Terdapat Lurah yang telah dipilih selama dua kali (2 periode), tetapi tetap diangkat sebagai Lurah. Penetapan tersebut berarti penyimpangan terhadap UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pasal 204, mengatur masa jabatan kepala Desa (Kelurahan) 6 tahun dan boleh dipilih kembali 1 periode lagi, berarti dapat memegang jabatan selama 12 tahun. Penyimpangan pasal 204, dilihat sebagai unsur kesengajaan Pemerintah Daerah Kota Tangsel, agar mendapatkan loyalitas langgeng dari para Lurah, sebagaimana dikatakan oleh salah satu anggota DPRD Kota Tangsel, bahwa: “Terdapat jabatan Lurah telah diperpanjang 2 X, seharusnya sudah diganti, tetapi masih diangkat terus. Pemerintah butuh loyalitas dari pejabat Kelurahan, sehingga Lurah-lurah masih dipertahankan. Bagaikan orang yang terdesak, kemudian dibantu, maka dia akan memberikan loyalitas sebagai ucapan terima kasih. Persoalan semacam ini seharusnya diketahui oleh Pemda, dan harus segera ditangani, sehingga tidak berlarut-larut” (Wawancara tanggal 10 Juni 2013).
89
Status Lurah masih menjadi Pelaksana Tugas (Plt),
juga menjadi
perhatian pihak DPRD Pemda Kota Tangsel, sehingga pada rapat paripurna DPRD Kota Tangsel tanggal 25 April 2013, Komisi I (satu) merekomendasikan agar Pelaksana Tugas (Plt) di tingkat kelurahan,
status segera ditetapkan
(Peneliti mengikuti Rapat Paripurna tanggal 25 April 2013 dan tertulis dalam Dokumen Usulan Komisi II DPRD Pemda Kota Tangsel). Tabel berikut, dapat dilihat status kepegawaian pejabat di tingkat kelurahan: Tabel 5.5. Jumlah PNS di Kelurahan No 1
Kecamatan
1. 2. 3. 4.
7. 8. 9.
Rawa Buntu Serpong Cilenggang Lengkong Gudang Barat Lengkong Wetan Lengkong Gudang Timur Buaran Ciater Rawa Mekar Jaya
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kec. Setu Setu Kademangan Kranggan Muncul Babakan Bakti Jaya
5. 6.
2
3
4
Jumlah PNS
Kelurahan Kec. Serpong
Status Kepegawaian Lurah
Sek. Lurah
2 1 2 1
PNS Tenaga Honor PNS Tenaga Honor
PNS PNS PNS PNS
2
PNS
PNS
2
PNS
PNS
2 1 2
PNS Tenaga Honor PNS
PNS PNS PNS
0 0 0 1
Tenaga Honor Tenaga Honor Tenaga Honor PNS
Tenaga Honor Tenaga Honor Tenaga Honor Tenaga Honor
Tenaga Honor
PNS
Tenaga Honor
PNS
Tenaga Honor
PNS
PNS Tenaga Honor PLt PNS
PNS PNS PNS PNS
PNS Tenaga Honor PNS Tenaga Honor Tenaga Honor
PNS PNS PNS PNS
Kec. Serpong Utara 1. Lengkong Karya 2. Pandok Jagung 3. Pondok Jagung Timur 4. Pakulonan 5. Paku Alam 6. Paku Jaya 7. Jalupang
Kec. Ciputat 1. 2. 3. 4.
Ciputat Cipayung Serua Serua Indah
2 1 2 1
90
5. Sawah 6. Sawah Baru 7. Jombang
1 2 1
PNS Tenaga Honor
PNS PNS PNS
Sumber : Di olah dari Hasil Wawancara dan data sekunder.
Penegasan larangan pengangkatan Tenaga Honor dalam PP No. 48 Tahun 2005, pasal 8
telah ditetapkan
yang menyatakan bahwa sejak
ditetapkannya Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2005, semua Pejabat Pembina Kepegawaian dan pejabat lain di lingkungan instansi, dilarang mengangkat tenaga honorer atau sejenis, kecuali ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dan telah diumumkan oleh Kementerian Dalam Negeri melalui Surat Edaran No. 814.1/169/SJ, tanggal 10 Januari 2013. Namun peraturan pemerintah dan surat edaran tersebut
tidak diperhatikan, sebagaimana
dikatakan bahwa: “Memang Surat Edaran itu ada dari Kemendagri, tetapi tidak mendapat perhatian pemerintah daerah, karena berapapun jumlah tenaga honor yang direkrut, akhirnya diserahkan tanggungjawabnya kepada pemerintah daerah”, sehingga rerutmen Tenaga Honor terus berjalan, terutama yang berstatus TKS”. (Wawancara, dengan Kasubid Perencanaan BKPP tanggal 8 Mei 2013). Kini seluruh Tenaga Honor Pemda Kota Tangsel telah
masuk dalam
kategori 1 dan kategori 2 yang sedang diproses untuk pengangkatan CPNS. Jumlah Tenaga Honor untuk kategori 1 sebanyak 20 orang dan honor bagi yang bersangkutan harus berasal dari APBN/APBD. Sedangkan Tenaga Honor untuk kategori 2 sebanyak 1466 orang terdiri dari Dinas Kesehatan 67 orang, 969 Dinas Pendidikan (Guru) dan sisa 430 berasal dari SKPD-SKPD. Honor untuk kategori 2 diperbolehkan tidak berasal dari APBN/APBD (PP No. 48 Tahun 2005 kini telah dirubah menjadi PP No. 43 Tahun 2007 dan yang terakhir PP No. 56 tahun 2012). Pengaturan pengangkatan Tenaga Honor sebagai CPNS dalam PP tersebut di atas, diperkuat oleh pendapat Kabid Kepegawaian, BKPP bahwa:
91
“Tenaga Honor untuk kategori 1 yang dikirim Pemda Kota Tangsel diproses pengangkatan menjadi CPNS berjumlah 20 orang dan honornya harus berasal dari APBN/APBD, karena amanah dari pemerintah. Sedangkan Tenaga Honor untuk kategori 2 yang diajukan Pemda Kota Tangsel untuk CPNS pada bulan Mei 2013, berjumlah 1466 orang dan honornya bukan berasal dari APBN/APBD, karena sesuai dengan Peraturan Pemerintah” (Wawancara tanggal 17 Juni 2013). Selain diatur dalam peraturan pemerintah dan pernyataan Kabid Kepegawaian , BKPP tersebut di atas, di dalam Kompas (Rabu, 21 September 2011: 5) juga dinyatakan bahwa: “Tenaga honorer direkrut sampai tahun 2005 dibagi dua, yakni mereka yang digaji dari APBN/APBD (kategori I) dan yang digaji bukan dari APBN/APBD (kategori II). Tenaga honorer kategori I akan diangkat tahun 2011 segera setelah penetapan rancangan peraturan pemerintah (PP) tentang perubahan kedua atas PP No. 48 tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honor”. Dengan demikian, terdapat kesamaan antara peraturan pemerintah, data/informasi dari BKPP Kota Tangsel dan Media Massa bahwa Tenaga Honor kategori II diusulkan sebagai CPNS, honor bukan berasal dari APBN/APBD. Meskipun Tenaga Honor kategori 2 sedang diproses sesuai dengan ketentuan peraturan pemerintah, objektifitas pelaksanaan, terutama dari pemerintah daerah, khusus Pemda Kota Tangsel harus dipantau/dikontrol masyarakat.
Kekhawatiran intervensi politisi dan penguasa (tim sukses)
terhadap rekrutmen dapat terjadi, mengingat Kota Tangsel baru berdiri dan rentan nepotisme, meskipun Kabid Kepegawaian BKPP telah mengatakan bahwa: “Pengangkatan Tenaga Honor kategori 2, pemerintah daerah tidak dapat melakukan intervensi, karena semuanya diatur oleh Tim Penerimaan dalam bentuk Konsorsium kerjasama antara KemenPAN dan RB beserta 10 Perguruan Tinggi”. Untuk jumlahnya yang akan diterima, akan dihitung berapa quota untuk Pemda Kota Tangsel. Sedangkan sisanya akan diberi kesempatan untuk mengikuti seleksi umum CPNS yang direncanakan tahun 2013, tetapi hal ini menunggu keputusan dari pemerintah pusat” (Wawancara tanggal 17 Juni 2013).
92
Respon masyarakat Kota Tangsel ternyata lebih cepat dari dugaan, organisasi HIMATA (Himpunan Mahasiswa Tangerang) telah datang ke Kantor BKPP Pemda Kota Tangsel pada tanggal 8 Juni 2013, menanyakan tentang pengajuan Tenaga Honor kategori 2 sebagai CPNS. Intinya HIMATA mencoba melakukan kontrol terhadap Pemda Kota Tangsel, khususnya Kantor BKPP, agar pengajuan atau pengangkatan Tenaga Honor tersebut tidak terdapat indikasi KKN (Wawancara dengan Kasubid Perencanaan BKPP melalui telpon, tanggal 11 Juni 2013). Setelah
proses
pengangkatan
Tenaga
Honor
untuk
kategori
2
berdasarkan quota dan terdapat sisa tidak lulus, maka akan diproses sesuai ketentuan pemerintah, sebagaimana diungkapkan Kabid Kepegawaian BKPP di bawah ini: “setelah proses pengangkatan Tenaga Honor Kategori 2 dan jika ada yang tidak lulus, maka akan diputuskan, apakah diberhentikan, diangkat kembali, atau ikut sebagai pelamar baru. Hal tersebut tergantung kepada keputusan pemerintah pusat. Sampai saat ini belum turun aturannya, tetapi hal itu sudah direncanakan. Jadi kami menunggu keputusan dari pemerintah. Kemungkinan tahun 2013 dibuka untuk pelamar umum sebagai CPNS” (Wawancara tanggal 17 Juni 2013). Pemberian izin dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk membuka penerimaan pegawai dari pelamar baru, tentu tidak mudah, karena harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan oleh pemerintah pusat. Adapun ketentuan tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Kabid Kepegawaian BKPP bahwa: “Untuk seleksi bagi pelamar umum CPNS akan diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah melalui KemenPAN dan RB dengan ketentuan, apabila: 1). Tidak memiliki pegawai dengan kategori satu dan dua, 2). Harus menyampaikan Analisa Beban Kerja (ABK), Analisa Jabatan (Anjab) dan Redistribusi sesuai kualifikasi pendidikan dan jabatan, 3). Perkiraan kebutuhan pegawai daerah 5 tahun ke depan” (Wawancara tanggal 17 Juni 2013).
93
Dengan persyaratan sedemikian ketat tersebut di atas, diharapkan memperoleh pegawai tepat, sesuai kualifikasi pendidikan dan kompetensi serta kebutuhan pemda, sehingga dapat dihindari nepotisme atau rekrutmen yang tidak didasarkan merit sistem. 3). Tenaga Kerja Sukarela (TKS). Tenaga Kerja Sukarela (TKS), yaitu tenaga kerja diangkat oleh pemerintah daerah melalui SKPD masing-masing. Jumlah TKS Pemda Kota Tangsel secara keseluruhan sekitar 2700 orang tersebar di beberapa SKPD (Wawancara dengan Kabid Kepegawaian BKPP, tanggal 17 Juni 2013). Untuk lebih jelas, berikut terlihat jumlah TKS di beberapa SKPD Pemda Kota Tangsel: Tabel 5. 6. No
Jumlah TKS di Beberapa SKPD
NAMA SKPD
Jumlah TKS
(%)
1
DKPPKAD
73
8,27
2
Kantor Perpustakaan
68
7,70
3
Kantor Sekda
265
30,01
4
BLHD
27
3,06
5
Satpol PP
268
30,34
8
Disperindag
42
4,76
9
Kesbangpolinmas
40
4,53
10
DKUKM
30
3,40
11
Dinas Pendidikan
70
7,93
Jumlah
883
100
Sumber: Diolah dari hasil wawancara dan data sekunder.
Mekanisme pengangkatan TKS tidak dikelola oleh Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan Pemda Kota Tangsel, tetapi diserahkan kepada setiap
94
SKPD,
sehingga
rekrutmen
tidak
transparan.
Kebebasan
penentuan
pengangkatan TKS dan ketidaktransparanan menyebabkan jumlah TKS membengkak dan seleksi menjadi longgar, tanpa memperhatikan kualifikasi pendidikan dan kompetensi, karena rata-rata berpendidikan SLTA, sehingga kualitas SDM TKS tidak terkontrol. Pengangkatan TKS juga dipengaruhi para politisi, sehingga aroma KKN sangat kental, sebagaimana dikatakan Ketua BLHD bahwa: “Rekrutmen TKS sering dipengaruhi para politisi dan tim sukses kepala daerah, sehingga SKPD harus menerima apa adanya, tidak dapat memilih sesuai kebutuhan. Meskipun begitu, TKS yang berada di BLHD, jika melanggar aturan, akan ditegur, tidak perduli TKS tersebut masih kerabat pejabat. Pernah salah satu TKS di BLHD sering tidak masuk kantor, kemudian saya panggil, dan ditanya kamu masih kerabat siapa ? di jawab ketua DPRD, kemudian saya bilang, kamu mau saya laporkan ke ketua DPRD atau kamu yang laporkan ke ketua DPRD ?.Akhirnya TKS tersebut diam dan saya bilang, kalau masih mau kerja di di sini, harus rubah perlaku” (Wawancara tanggal 17 Juni 2013). Ketiadaan seleksi secara ketat terhadap pengangkatan TKS, juga membawa dampak kapada perilaku yang kurang disiplin. Untuk itu, harus ada ketegasan dari setiap pimpinan SKPD dalam memperlakukan TKS tersebut. Prosentase jumlah TKS, seringkali melebihi jumlah PNS, hal ini mengingat keterbatasan pengangkatan jumlah pegawai tetap (PNS) yang ditentukan oleh pemerintah pusat. Berikut ini data yang menunjukkan bahwa perbandingan jumlah PNS dengan TKS di beberapa SKPD. Tabel 5.7. Jumlah PNS dan TKS di Beberapa SKPD Pemda Kota Tangsel No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
SKPD TKS DKPPKAD 73 68 KPD 265 Kantor Sekda BLHD 27 268 Satpol PP DKUKM 30 70 Dinas Pendidikan 42 Disperindag 40 Kesbangpolinmas Jumlah 883 Sumber: Diolah dari hasil wawancara dan data sekunder.
PNS 76 7 120 32 29 28 53 27 20 392
95
Dari tabel di atas, terlihat jumlah TKS melebihi PNS pada Kantor Perpustakaan Daerah (KPD), Kantor Sekda, Satpol PP, Dinas Pendidikan, Disperindag dan Kesbangpolinmas. Dan yang terbanyak pada Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) sebanyak 268 TKS dan Kantor Sekretariat Daerah (Sekda) sebanyak 265 TKS. Penempatan pegawai di Kota Tangsel seharusnya didasarkan pada analisa jabatan, sebagaimana telah diamanahkan dalam Peraturan Menteri PAN dan RB No. 33 Tahun 2011 tentang Pedoman Analisis Jabatan, pasal 4 yang mengatakan bahwa “Kementerian Negara/Lembaga dan Pemerintah Daerah wajib melaksanakan analisis jabatan sebagai alat untuk menyusun peta jabatan dan uraian jabatan”. Namun ternyata analisa jabatan Pemda Kota Tangsel belum tersusun
dengan
sempurna
meskipun
telah
dipersiapkan
sejak
2012
(Wawancara dengan Bagian Kelembagaan Kantor Sekda, tanggal 1 Mei 2013), karena analisa jabatan yang telah dibuat, hanya untuk jabatan-jabatan struktural, itupun belum selesai semua. Sedangkan untuk tenaga non struktural belum dibuat, karena anggaran masih terbatas (Wawancara dengan Kasub Anjab, Bagian Organisasi Kantor Sekda Kota Tangsel, tanggal 17 Mei 2013). Menurut PermenPAN No. 33 Tahun 2011 tentang pedoman Anjab, hasil analisa jabatan harus berbentuk sebagai berikut: 1). Rumusan jabatan struktural dan fungsional.2). Uraian jabatan struktural dan fungsional. 3). Peta jabatan berupa bentangan seluruh jabatan struktural dan fungsional sebagai gambaran menyeluruh jabatan yang ada dalam unit organisasi. Ketiadaan penempatan
analisa
seseorang
jabatan pada
(anjab),
posisi
tentu
tertentu,
akan sehingga
mempengaruhi menimbulkan
ketidaksesuaian antara kompetensi dengan jabatan. Dengan demikian, kinerja
96
aparatur pemerintahan daerah sulit diwujudkan.
Selain itu, ketiadaan anjab
menyebabkan sering terjadi pergantian dan penyempurnaan posisi pegawai, tanpa memperhitungkan jenjang karier, sebagaimana dikatakan Sekretaris Badan Kebangpolinmas di bawah ini: “Sering terjadi pergantian posisi (mutasi) dalam waktu singkat (dua bulan-dua bulan) dan banyak dari tenaga fungsional seperti guru menduduki posisi-posisi struktural. Ketidaksesuaian kompetensi dengan posisi mengakibatkan sistem kenaikan pegawai karir menjadi tidak teratur” (Wawancara, Tanggal 23 April 2013). Selain intensitas penempatan pegawai tidak sesuai komptensi, juga nuansa KKN sangat kuat, sebagaimana dikatakan oleh Kabid Koperasi, DKUKM: “ Saya dulu guru, karena aktivitas saya sampai ke Kabupaten dan Provinsi, jadi dikenal, sehingga diminta masuk ke pemerintahan. Mulamula ditempatkan di Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan sekarang menduduki posisi di sini (Kabid Koperasi di Dinas Koperasi dan UKM)” (Wawancara dengan Kabid Koperasi, Dinas Koperasi dan UKM, tanggal 1 Mei 2013). Budaya KKN
dikarenakan pertemanan, kedekatan, kekeluargaan dan
balas budi, juga diamini oleh pihak legislatif dengan menyebut sebagai budaya transaksional, sebagaimana dikutip berikut: “ ya memang sebagian pengangkatan pegawai dipengaruhi oleh anggota DPRD, tapi sebagian lagi diisi oleh pihak eksekutif (pemkot Tangsel) dengan istilah budaya transaksional”(Wawancara dengan Ketua dan Wakil Ketua Komisi II dari Fraksi PKS dan Demokrat DPRD Pemda Kota Tangsel, Tanggal 25 April 2013). Status SDM yang dikemukakan di atas, memperlihatkan bahwa jumlah PNS masih kurang, tidak sesuai dengan kebutuhan, meskipun tingkat pendidikannya tinggi. Penempatannya tidak sesuai dengan kompetensi, masih kental aroma KKN nya, sehingga dalam pelaksanaan promosi tidak transparan. Jumlah Tenaga Honor masih banyak, terutama di Kelurahan-kelurahan dan masa kerjanya lama dan belum diangkat-angkat (saat ini telah diusulkan pengangkatannya), sehingga diindikasikan terdapat unsur kesengajaan (bersifat
97
politis) terhadap perpanjangan jabatan beberapa lurah yang seharusnya tidak boleh diperpanjang. Sedangkan TKS adalah salah satu bentuk status SDM di Pemerintah Kota Tangsel, aroma KKN (pengaruh polisi dan eksekutif) sangat kental dalam pengangkatannya, sehingga tanpa seleksi ketat, mengabaikan kualifikasi, karena rata-rata yang diangkat berpendidikan SMA, tidak transparan dan jumlahnya bahkan melebihi jumlah PNS dalam SKPD bersangkutan. B. Pelatihan Pelatihan diartikan berbagai usaha pengenalan untuk mengembangkan kinerja tenaga kerja pada pekerjaan yang dipikulnya (Bernardin dan Russell (1998:172) dalam http://id.wikipedia.org/wiki/pelatihan). Bidang Pendidikan dan Pelatihan Pemda Kota Tangsel berada di bawah Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) yang dulu dikenal dengan nama Badan Kepegawaian Daerah (BKD). Bidang Pendidikan dan Pelatihan mempunyai dua sub bidang, yaitu Bidang Diklat Penjenjangan dan Bidang Teknis dan Fungsional. Pendidikan dan Pelatihan-pelatihan
banyak diikuti oleh pegawai
Pemerintah Daerah Kota Tangerang Selatan, baik yang dilaksanakan secara internal, maupun eksternal (pengiriman ke luar Kota Tangsel). Internal dilakukan dan dikoordinasi oleh Bidang Diklat, Badan Kepegawaian, Pelatihan dan Pendidikan (BKPP). Sedangkan secara eksternal, mengikuti kegiatan pelatihan yang
diiaksanakan oleh daerah-daerah di seluruh Indonesia. Contohnya di
Provinsi Sumatra Selatan, salah seorang staf subbag kelembagaan pernah mengikuti Diklat penyusunan SOP dan Analisa Jabatan (Wawancara dengan bagian Kelembagaan, Kantor Sekda, tanggal 1 Mei 2013). Demikian pula di BLHD, sering mengirim secara stafnya untuk ikut kursus atau pelatihan tentang
98
Amdal, Audit Lingkungan dan SPPL di tingkat Nasional (Wawancara dengan Kepala BLHD, tanggal 17 Juni 2013). Adapun tujuan diklat penjenjangan dilaksanakan untuk kenaikan pangkat seorang PNS, baik untuk golongan II, III dan IV. Sedangkan diklat teknis dan fungsional ditujukan agar seorang PNS memiliki wawasan, ketrampilan dan kapasitas dalam melaksanakan tugas di bidang masing-masing. Pelaksanaan diklat ini juga sering bekerjasama dengan lembaga-lembaga yang sudah terakreditas seperti LAN (Wawancara dengan Kabid Diklat BKPP, tanggal 8 Mei 2013). Pelatihan sebagaimana
Teknis
dikatakan
dan
Fungsional
Bernardin
inilah
dan
yang
Russell
harus
dilakukan,
(1998:172)
dalam
(http://id.wikipedia.org/wiki/pelatihan, diunduh tanggal 18 Juni 2013) bahwa: “Pelatihan untuk mewujudkan perubahan perilaku, sikap, keahlian, dan pengetahuan yang khusus atau spesifik. Dan agar pelatihan menjadi efektif maka di dalam pelatihan harus mencakup suatu pembelajaraan atas pengalaman-pengalaman, pelatihan harus menjadi kegiatan keorganisasian yang direncanakan dan dirancang di dalam menanggapi kebutuhan-kebutuhan yang teridentifikasi”. Data berikut ini memperlihatkan jumlah dan jenis pendidikan dan pelatihan yang telah dilaksanakan oleh BKPP, baik Bidang Penjenjangan maupun Teknis dan Fungsional.
99
Tabel 5.8. No
Jumlah dan Jenis Pelatihan yang Dilaksanakan BKPP
Nama Pelatihan
Thn. 2010 (jumlah)
Thn. 2011 (jumlah)
Thn. 2012 (jumlah)
Thn. 2013 (jumlah)
Diklat Penjenjangan: 1
Diselenggarakan sendiri
-
2
3
1
2
Pengiriman
4
3
3
3
3 4
Akan diselenggarakan Sedang direncanakan/ telah di Agendakan Diklat Teknis dan Fungsional Diselenggarakan sendiri
-
-
-
-
8
8
8
-
1
2
Pengiriman
-
-
2
-
3
Akan diselenggarakan
-
-
-
6*
4
Sedang direncanakan/Telah diagendakan
-
-
-
1**
Sumber: BKPP Bagian Pendidikan dan Pelatihan, 2013. Catatan: * Ketika Peneliti ke Lapangan, bulan Mei 2013 kegiatan ini masih direncanakan, tetapi telah diagendakan. * *Rencana akan dikirimkan (telah diagendakan) sebanyak 34 orang.
Diklat
Penjenjangan
meliputi
pendidikan
dan
latihan
tentang
kepemimpinan II sampai dengan kepemimpinan IV, dapat dilaksanakan sendiri maupun pengiriman (mengikuti instansi di luar Pemda Kota Tangsel). Selama Tahun 2010-2013, telah dilakukan sendiri (internal) sebanyak 6 kali dan 13 kali melalui pengiriman. Jadi lebih banyak mengikuti daerah di luar Kota Tangsel. Total seluruhnya 19 kali. Sedangkan pada Tahun 2012, Diklat di bidang penjenjangan dilakukan selama enam kali melalui peneyelenggaraan sendiri 3 kali dan pengiriman 3 kali. Bidang Teknis dan Fungsional dselenggarakan sendiri sebanyak 8 kali dan 2 kali
100
melalui pengiriman, berarti total terdapat 10 kali kegiatan. Adapun bentuk kegiatannya meliputi : 1) Bimtek Pengadaan Barang dan Jasa Angkatan 1-6 2) Diklat untuk Kepala Sekolah Dasar 3) Diklat Penyidik PNS 4) Bimtek Pengadaan Barang dan Jasa Angkatan 7 5) Diklat Akuntansi lanjutan 6) Diklat PBB 7) Diklat Manajemen Tingkat Lurah 8) Bimtek Public Speaking 9) Bimtem MC 10) Perancangan Peraturan Perundang-undangan Dari tabel di atas, menunjukkan masih sedikit sekali Diklat yang dilaksanakan oleh Pemda dalam rangka peningkatan kapasitas para pegawai, terutama Diklat di bidang Teknis dan Fungsional atau Diklat Berbasis Kompetensi, karena diklat bidang ini justru yang penting untuk memperkaya dan membekali aparatur birokrasi pemerintah daerah Kota Tangsel dengan pengetahuan, ketrampilan dan wawasan yang berhubungan langsung dengan bidang/tugas/keahlian masing-masing. Namun pelatihan-pelatihan yang dilakukan belum ditujukan untuk mengisi/mendukung
kompetensi
pegawai,
sehingga
dapat
meningkatkan
kapasitas SDM aparatur birokrasi pemerintahan daerah Kota Tangsel. Hal tersebut diakui oleh Kabid Kepegawaian BKPP dengan menyatakan bahwa; “Diklat-diklat yang diselenggarakan oleh BKPP bukan diklat berbasis kompetensi, tetapi diklat yang diselenggarakan hanya berbasis kebutuhan. Misalnya untuk mendukung bagaimana membuat
101
pelaporan keuangan yang baik, maka dibuatlah diklat tentang pelaporan keuangan” (Wawancara tanggal 17 Juni 2013). Selain pernyataan Kabid Kepegawaian BKPP di atas, Kepala BLHD juga menyatakan demikian, sebagaimana terlihat dalam pernyataan di bawah ini: “Diklat yang diselenggarakan BKPP kurang berkualitas, karena secara internal belum memiliki instruktur atau pengajar yang ahli. Seharusnya mengundang instruktur/pengajar dari luar. Mungkin dananya tidak dianggarkan dalam program mereka. Untuk itu, pelatihan-pelatihan staf BLHD, kita ikutkan keluar yang berskala nasional, justruk BLHD yang paling sering, karena di BKPP belum ada pengajarnya tentang masalah lingkungan hidup ” (Wawancara tanggal 17 Juni 2013). Meskipun demikian, BKPP masih mempunyai program kegiatan pelatihan di Bidang Teknis dan Fungsional yang telah diagendakan, tetapi belum dilaksanakan untuk tahun 2013 sampai dengan bulan Mei (saat wawancara belum diselenggarakan), meliputi: 1). Penyusunan dan Pelaporan Anggaran Belanja Daerah.
2). Manajemen Pengelolaan Barang dan Aset Daerah.
3).
Pengelolaan dan pelaporan Keuangan daerah Bagi Bendahara dan Pembantu Bendahara. Adapun alasan pelatihan bidang keuangan dan aset daerah yang direncanakan tersebut, sebagaimana dikemukakan oleh Kabid Diklat BKPP: “Pelatihan tentang pelaporan keuangan dan aset daerah sengaja dirancang dalam rangka mendukung gelar WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) yang diterima oleh Pemda Tangsel dalam bidang keuangan pada tahun 2012, sehingga pelatihan-pelatihan di bidang lainnya masih belum dilaksanakan” (Wawancara tanggal 8 Juni 2013). Pendidikan dan Pelatihan Bidang Teknis dan Fungsional dalam bentuk Bimtek yang belum dilaksanakan untuk tahun 2013 meliputi: 1). Bimtek Peningkatan Kapasitas SDM Satpol PP. 2). Bimtek Pengendalian Lalu Lintas dan Angkutan jalan. 3). Bimtek Perumusan Standar Minimal Pelayanan Kesehatan.
102
C. Pengggajian Dalam penggajian, akan dijelaskan tentang struktur penggajian yang diterima oleh: 1). PNS, 2). Tenaga Honor dan 3). Tenaga Kerja Sukarela (TKS). Adapun yang dimaksud struktur penggajian di sini adalah seluruh hasil pendapatan yang diterima baik oleh PNS, Tenaga Honor dan TKS dalam bentuk: 1). Gaji atau Honor Tetap, 2). Tambahan Penghasilan PNS (TP PNS) atau Honor Daerah (Honda), 3). Honor Kegiatan,
4). Insentif Pungutan (IP) dan 5).
Tambahan Pelayanan Sukarela (TPS). 1). Struktur Penggajian PNS. Sistem
Penggajian
PNS
secara
umum
telah
distandarkan
oleh
pemerintah pusat dalam Peraturan Pemerintah RI No. 22 Tahun 2013 tentang Perubahan Kelimabelas atas peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji PNS dengan kategori masa kerja dan golongan yang dimiliki setiap pegawai tetap (PNS). Tabel di bawah memaparkan jumlah gaji pokok PNS, baik golongan I – IV (sebagai contoh dipilih masa kerja 3 tahun untuk golongan I b dan II b , masa kerja 8 tahun untuk golongan III b dan masa kerja 10 tahun untuk golongan IV b. Daftar gaji PNS tersebut digunakan sebagai data pendukung untuk memperlihatkan jumlah total pendapatan yang diterima seorang aparatur birokrasi pemerintah Kota Tangsel. Untuk itu, tidak semua daftar gaji per golongan ditampilkan dalam tabel. Daftar gaji PNS berlaku bagi aparatur birokrasi pemerintah daerah Kota Tangsel berstatus PNS dan jumlah gaji dalam tabel
tersebut, belum termasuk tunjangan-tunjangan. Dengan demikian,
nominalnya masih dapat bertambah besar.
103
Tabel 5.9 No
Daftar Gaji Pokok PNS
Golongan
Masa Kerja
Jumlah Gaji
1
Golongan I b
3 tahun
Rp. 1.444.800
2
Golongan II b
3 tahun
Rp. 1.871.900
3
Golongan III b
8 tahun
Rp. 2.579.800
4
Golongan IV b
10 tahun
Rp. 3.140.700
Sumber:Lampiran PP RI No. 22 Tahun 2013 tentang Perubahan Kelima belas atas PP RI No. 7 tahun 1977 tentang Peraturan gaji PNS.
Selain gaji tetap (Gaji PNS)
diterima aparatur birokrasi pemerintah
daerah Kota Tangsel, terdapat insentif atau Tambahan Penghasilan Pegawai Negeri Sipil atau disingkat TP PNS (Peraturan Walikota Pemda Kota Tangsel No. 4 Tahun 2012 tentang Pemberian Tambahan Penghasilan PNS atau disingkat TP PNS atau disebut TPP). Jumlah nominal TP PNS berbeda-berbeda tergantung golongan/eselon dan jabatan. Tabel berikut sebagai contoh jumlah TP PNS diterima aparatur birokrasi pemerintah daerah Kota Tangsel. Tabel 5. 10.
NO
Daftar TP PNS Yang diterima Aparatur Pemerintah Daerah Kota Tangsel
Eselon
Jumlah
1
Eselon II
Rp. 10.000.000 - Rp.15.000.000
2
Eselon III
Rp. 6.500.000 - Rp. 7.500.000
3
Eselon IV
Rp. 4.000.000 - Rp. 4.500.000
Sumber: Diolah dari hasil wawancara dengan Kasub Keuangan dan Kepegawaian Kantor Sekda, tanggal 8 Mei 2013.
Jumlah tersebut di atas, dapat berkurang, karena belum dipotong pajak dan jumlah kehadiran. Meskipun demikian, jumlah tersebut dianggap cukup
104
besar oleh sebagian aparatur birokrasi pemerintah daerah Kota Tangsel, sebagaimana dikatakan sebagai berikut: “Jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain, TP PNS yang diterima pegawai Tangsel sudah cukup besar, karena daerah-daerah lain, TP PNSnya sangat kecil, kecuali DKI Jakarta. Jadi dapat dikatakan kesejahteraan pegawai Tangsel lumayan tinggi” (Wawancara dengan Kabid Pembinaan, BKPP tanggal 8 Mei 2013).
Selain mendapat gaji PNS dan insentif (TP PNS), aparatur birokrasi pemerintah daerah Honor
Kegiatan
Pemda Kota Tangsel juga mendapat Honor Kegiatan. diberikan
apabila
terdapat
Pelaksanaan Anggaran (DPA). Berikut
kegiatan
contoh
dalam
Dokumen
Honor Kegiatan aparatur
pemerintah daerah Kota Tangsel: Tabel 5.11. Daftar Honor Kegiatan Aparatur Pemerintah Daerah Kota Tangsel No
Uraian
Jumlah
1
Ketua
Rp. 1.000.000
2
Sekretaris
Rp.
750.000
3
Anggota
Rp.
600.000
4
Non PNS (TKS)
Rp.
300.000
Sumber: Diolah dari hasil wawancara
Jadi struktur penggajian diterima seorang aparatur pemerintah daerah (PNS) Kota Tangsel antara lain : 1). Gaji Tetap Standar PNS, 2). Insentif (TP PNS) sesuai golongan dan kehadiran, 3). Honor Kegiatan sesuai dengan DPA. Tabel berikut memperlihat struktur penghasilan diterima seorang aparatur pemerintah daerah Kota Tangsel:
105
Tabel 5.12. Struktur Penggajian Aparatur Pemerintah Pemerintah Dearah Kota Tangerang Selatan NO
GOL.
GAJI PNS Rp. 2.579.800
INSENTIF (TP PNS) RP. 4.500.000
HONOR KEGIATAN Rp. 750.000
1
Gol. III
2
Gol. IV
3.140.700
6.500.000
1.000.000
TOTAL Rp. 7.829.800 10.640.700
Sumber : Diolah dari Peraturan Pemerintah dan Hasil Wawancara.
Total tersebut di atas belum ditambahkan dengan tunjangan-tunjangan, seperti tunjangan anak, tunjangan istri, beras dan lain-lain. Sebagai contoh, Golongan IV a, gaji PNS diterima sebesar Rp. 3.140.000 (belum ditambah dengan tunjangan-tunjangan) dan jika ditambah dengan insentif dan honor kegiatan, maka total berjumlah Rp. 10.640.700.000. (Sepuluh Juta, Enam ratus Empat Puluh Ribu Tujuh Ratus Ribu Rupiah). Jumlah ini dapat bertambah dengan tunjangan-tunjangan dan honor kegiatan. Khusus bagi aparatur birokrasi Pemda Kota Tangsel yang berada di BP2T, selain gaji tetap, TP PNS, Honor Kegiatan, ditambah pula dengan Insentif Pungutan
(IP) yang besarannya sesuai dengan jabatan dan golongan yang
diterimanya setahun empat kali (triwulan). 2). Struktur Penggajian Tenaga Honor. Tanaga Honor seperti pegawai kelurahan, menerima dua sumber penghasilan, yaitu Honor Tetap yang diterima dari anggaran dari APBN/APBD dan Tambahan Pelayanan Sukarela (TPS) yang berasal dari masyarakat. Honor Tetap Tenaga Honor (Pegawai Kelurahan), dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
106
Tabel 5.13. Honor yang Diterima Tenaga Honor Di Kelurahan Rawa Buntu Per Bulan No
Jabatan
Jumlah
1.
Kepala Seksi
Rp. 800.000
2.
Staf Pelaksana
Rp. 500.000
Sumber: Wawancara dengan Staf Pelaksana Kelurahan Tanggal 2 Juli 2013.
Dari tabel di atas, menunjukkan bahwa honor yang diterima Tenaga Honor sangat kecil. Honor tersebut di atas, dibayarkan sejak Era Reformasi. Sedangkan
pada
masa
Pemerintahan
Orba,
Tenaga
Honor
(pegawai
kelurahan/desa), tidak mendapatkannya. Saat ini, selain Honor Tetap tersebut, juga mendapat penghasilan Tambahan Pelayanan Sukarela (TPS) rata-rata berjumlah di atas Rp. 1.000.000 (Satu Juta Rupiah) per bulan. Tambahan Penghasilan Sukarela tersebut berasal dari masyarakat atas pelayanan yang diberikan oleh pegawai kelurahan seperti: 1). Bagian Umum: Pengurusan KTP, KK, Akte Kelahiran; 2). Bagian Pemerintah: Akte jual beli tanah dan surat keterangan warisan; 3). Bagian Ekonomi Pembangunan: Pengurusan surat izin usaha; 4). Bagian Kesos: Pengurusan surat keterangan menikah.
Semua
pengurusan, biasanya mendapat imbalan secara sukarela, tanpa ditentukan nominalnya, kemudian jumlah yang diterima akan diberikan 50 % kepada pemberi pengesahan/tanda tangan (Lurah atau Sekretaris Lurah). 3). Struktur Penggajian TKS. Tenaga Kerja Sukarela atau disingkat TKS, selain menerima Honor Tetap, juga menerima Honor Kegiatan. Tabel berikut sebagai contoh honor yang diterima TKS:
107
Tabel 5.14
No 1
Tingkat Pendidikan Sarjana
2 3
Struktur Penggajian yang diterima TKS Pemda Kota Tangsel Honor Tetap Rp. 1.300.000
Honor Kegiatan Rp. 300.000
Total Rp. 1.600.000
D3
Rp.
950.000
Rp. 300.000
Rp. 1.250.000
SLTA
Rp.
900.000
Rp. 300.000
Rp. 1.200.000
Sumber: Wawancara dengan Kasub Keuangan dan Kepegawaian Kantor Sekda Pemda Kota Tangsel, tanggal 8 Mei 2013.
Total honor (gaji) yang diterima sebagaimana di jelaskan pada tabel di atas, tidak diterima setiap bulan, karena Honor Kegiatan bersifat tentatif (tidak tetap). Jumlah besaran honor TKS bervariatif, tergantung pada SKPD masingmasing, misalnya di Satpol PP, honor lulusan SMA dengan masa kerja 3 tahun mendapatkan sebesar Rp. 1.200.000 (Satu Juta Dua Ratus Ribu Rupiah) dan paling tinggi sebesar Rp. 1.400.000 (Satu Juta Empat Ratus Ribu Rupiah). Sedangkan di Sekretariat DPRD, Lulusan Sarjana (S1) mendapat honor sebesar Rp 1.500.000, D3 sebesar Rp. 950.000 dan SMA sebesar Rp. 900.000. (Wawancara dengan staf Fraksi PKS, DPRD Pemda Kota Tangsel, tanggal 10 Juni 2013). Sebenarnya
Jumlah
honor
TKS
setiap
SKPD
tidak
berbeda,
sebagaimana dikemukakan Kabid Kepegawaian BKPP, bahwa: “Honor TKS sama semua di setiap SKPD, karena harus berdasarkan SSH (Standar Satuan Harga). SSH telah ditentukan oleh Perwal (Peraturan Walikota). Jadi ketika SKPD mengajukan anggaran untuk honor TKS, harus disesuaikan dengan SSH tersebut” (Wawancara tanggal 17 Juni 2013), . Honor tetap TKS jika dikalkulasi dengan kehadiran sebulan, tidak mencukupi,
sehingga
membuat
mereka
kurang
sebagaimana dikemukakan oleh Kabid Koperasi, DKUKM.
bergairah/termotivasi,
108
“TKS di bagian koperasi pernah tidak dapat menyelesaikan masalah, kemudian saya panggil dan bertanya apa masalahnya, ternyata salah satu kendala adalah honor transport untuk tugas luar tidak ada, sehingga malas. Akhirnya saya arahkan, kemudian dapat diterima. Saya paham kalau honor TKS kecil, jadi tidak mencukupi untuk kebutuhan” (Wawancara tanggal 1 Mei 2013). Meskipun demikian, status sebagai TKS masih dipertahankan, mengingat tujuan utama adalah mengejar status PNS, karena menjadi TKS dianggap sebagai jalan menuju PNS, sebagaimana diungkap di bawah: “Teman-teman bertahan menjadi TKS dan ada juga mantan pengacara jadi TKS di Satpol PP. Tujuannya supaya bisa menjadi PNS, karena TKS dianggap sebagai pintu masuk” (Wawancara dengan Anggota Satpol PP, tanggal 31 Mei 2013). D. Kondisi Kerja Kondisi kerja yang dimaksud di sini adalah sarana dan prasarana yang mempengaruhi suasana kerja pegawai. Indikator kondisi kerja antara lain: 1). Berpencarnya lokasi perkantoran, 2). Bentuk Perkantoran dan 3). Luas ruangan. 1). Berpencarnya Lokasi Perkantoran Dari sisi tempat atau gedung, menunjukkan bahwa kondisi kerja dalam Pemda Kota Tangsel belum dapat dikatakan baik, karena belum terdapat pola pelayanan dalam satu atap/pintu.
(gedung-gedung setiap SKPD belum
terintegrasi dalam satu lokasi), sebagaimana yang terdapat di Kabupaten Jembrana. Letak gedung setiap SKPD di Kota Tangsel masih berpencar-pencar. Terdapat 11 titik
lokasi yang berpencar, antara lain : di Kecamatan Setu,
Serpong (6 Kantor SKPD); Witana Hardja (3 Kantor SKPD); Kompleks Pamulang II (semula 2 Kantor SKPD, tapi saat ini tinggal 1 Kantor SKPD); Daerah Viktor (1 Kantor SKPD); Jalan Raya Siliwangi (2 Kantor SKPD); Jl. Bukit Pelayangan, Cilenggang (1 Kantor SKPD); Jl. Raya Serpong (1 Kantor SKPD); Jl. Pahlawan
109
Seribu ( 4 Kantor SKPD); BSD (4 Kantor SKPD); Daerah Cilenggang (1 Kantor SKPD); Daerah Rawa Buntu (1 Kantor SKPD). Berpencarnya gedung-gedung di sebelas (11) titik lokasi, menjadi hambatan
dalam
mewujudkan
efektifitas
komunikasi, waktu, anggaran maupun
pemerintahan.
Baik
dari
segi
tenaga. Efektifitas dapat dilihat dari
perspektif pemerintahan daerah maupun bagi masyarakat yang membutuhkan pelayanan dari pemerintah daerah. Selain
itu,
letaknya
kurang
strategis,
menyulitkan
masyarakat
mengakses, sehingga harus bertanya beberapa kali baru menemukan lokasi yang dituju. Hal ini dialami oleh peneliti sendiri, ketika akan mendatangi Kantor Badan Kesbangpolinmas. Letaknya berada di dalam gang pemukiman, sehingga bentuknya seperti rumah tinggal. Papan nama sebagai petunjuk informasi letak gedung tidak terlihat jelas, sehingga masyarakat sering keliru mendatangi lokasi yang dituju, seperti dialami seorang warga yang akan berkunjung ke Dinas Pencacatan Sipil dan Kependudukan, tetapi mendatangi kantor Sekretariat Daerah. Sedangkan lokasi Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil cukup jauh, demikian pula terdapat kekeliruan lokasi. Tujuan ke Dinas Pencatatan Sipil dan Kependudukan, tetapi keliru ke Kantor Badan Kesbangpolinmas. BP2T sebagai Badan Pelayanan Perizinan Terpadu banyak diminati oleh masyarakat untuk membuka usaha. Lokasi tidak strategis, karena tidak tampak dari jalan raya, meskipun terdapat papan nama, tetapi tidak terlihat. Selain itu posisinya agak menjorok ke dalam.
110
2). Bentuk Perkantoran Mengingat Pemda Kota Tangsel masih baru berdiri, maka terdapat prasarana yang belum memadai. Salah satunya adalah bentuk perkantoran. Bentuk perkantoran seperti Ruko terdapat pada Dinas Pemuda dan Olah Raga, Kantor Perpustakaan Daerah dan Kantor Arsip Daerah serta statusnya sewa. Bentuk rumah tinggal terlihat pada SKPD Kesbangpolinmas dan status perkantorannya masih sewa. Posisi Dinas Pemuda dan Olah Raga bersebelahan dengan ruko-ruko lainnya.
Sedangkan
Kesbangpolinmas
berada
di
dalam
perkampungan
pemukiman penduduk. 3). Luas Ruangan Luas ruangan juga merupakan salah satu indikator kondisi kerja yang dapat menjadi penghambat/pendukung dalam melaksanakan tugas. Luas ruangan rata-rata setiap SKPD sangat
kecil, sehingga tidak leluasa untuk
bergerak dan sirkulasi udaranya juga kurang. Ruangan sempit tersebut ditemui pada Kantor Sekretariat Daerah yang letaknya di wilayah Serpong, Dinas Pemuda dan Olah Raga, Cilenggang, Kantor Perpustakaan Daerah, Kantor Arsip Daerah di Pamulang, BLHD di Serpong dan Kesbangpolinmas, Cilenggang. Luas ruangan setiap Sub Bagian pada Kantor Sekda hanya berukuran 2,5 Meter x 3 Meter seperti kamar petakan yang disewakan. Ruangan seluas ini hanya memuat dua buah meja, dua kursi dengan dua buah filing cabinet. Untuk meletakkan kursi bagi tamu agak sulit, karena sangat sempit. Sementara itu, pegawai lainnya (seperti TKS) tidak mendapat jatah meja dan kursi.
111
E. Kinerja Kinerja lnstansi
Pemerintah
adalah gambaran
mengenai
tingkat
pencapaian sasaran ataupun tujuan instansi pemerintah sebagai penjabaran dari visi, misi, dan strategi instansi pemerintah yang mengindikasikan tingkat keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kegiatan-kegiatan sesuai dengan program dan kebijakan yang ditetapkan (PermenPAN No. Per/09/M.Pan/5/2007 tentang Pedoman Umum Penetapan Indikator Kinerja Pemerintah , pasal 1 Bab 1). Pengukuran
Kinerja
adalah
kegiatan
manajemen
khususnya
membandingkan tingkat kinerja yang dicapai dengan standar, rencana, atau target
dengan
menggunakan
indikator kinerja
yang
telah
ditetapkan.
Sedangkan alat untuk melaksanakan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah adalah dalam bentuk Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah/LAKIP (Lampiran Instruksi Presiden No. 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah). LAKIP dimaksudkan untuk memotivasi melalui pelaksanaan manajemen pemerintah berbasis kinerja, diharapkan seluruh program dan kegiatan seluruh instansi pemerintah dapat terukur secara benar, dapat dipertanggungjawabkan, dan dirasakan oleh masyarakat (http://menpan.go.id/ diunduh tanggal 18 Juni 2013). Berikut ini, beberapa indikator yang dapat digunakan sebagai ukuran kinerja meliputi; kuantitas kerja, kualitas kerja, pengetahuan tentang pekerjaan, kemampuan mengemukakan pendapat, pengambilan keputusan, perencanaan kerja dan daerah organisasi kerja. Ukuran prestasi yang lebih disederhana terdapat tiga kriteria untuk mengukur kinerja: 1). Kuantitas kerja, yaitu jumlah
112
yang harus dikerjakan, 2). Kualitas kerja, yaitu mutu yang dihasilkan, dan 3). Ketepatan waktu, yaitu kesesuaiannya dengan waktu yang telah ditetapkan. Dalam perspektif Reformasi Birokrasi, salah satu wujud kinerja yang harus ditampilkan dalam bentuk LAKIP (Laporan Kinerja Pemerintah). LAKIP Pemda Kota Tangsel sulit diakses, baik secara fisik maupun elektronik, sehingga pada sub bagian ini belum dapat ditampilkan. Namun secara kualitas dan ketepatan waktu, dapat dijelaskan. Kualitas yang dimaksud adalah hasil/prestasi yang dicapai oleh suatu SKPD, yaitu antara lain Adipura diraih oleh Kota Tangsel berkat prestasi yang ditunjukkan oleh Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) pada tahun 2013, Predikat WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) dalam bidang keuangan yang dihasilkan oleh Pemda Kota Tangsel pada tahun 2011. Kini predikat tersebut telah tiga kali berturut-turut diterima Pemda Kota Tangsel. WTP diberikan BPK RI meliputi laporan keuangan yang disajikan dan telah sesuai dengan prinsip akuntansi yang lazim di Indonesia (SAP). Sistem Pengendalian Intern Pemerintah
(SPIP)
Daerah
atas
pengelolaan
keuangan
daerah
telah
dilaksanakan dengan baik, dan Kepatuhan terhadap peraturan perundangundangan yang berlaku. Disamping ketiga kriteria utama tersebut, Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) yang disajikan juga harus didukung dengan bukti-bukti audit yang mencukupi. Tidak terdapat ketidakpastian dan kesalahan yang cukup berarti (no material uncertainties), pengelolaan atas Cash flow dikontrol dengan baik, dan pengelolaan atas Aset daerah dilengkapi dengan bukti-bukti administrasi yang lengkap. Artinya, laporan keuangan yang disajikan oleh Pemda Kota Tangsel telah bebas dari kesalahan-kesalahan atau kekeliruan yang material(www.kabar6.com.tangerangselatan).
113
Sementara itu, tiga sektor yang menjadi prioritas pembangunan di Kota Tangsel,
yaitu
(www.humasprotokol.bantenprov.go.id).
Pertama,
bidang
pendidikan, telah dilakukan pembengunan rehab ruang sekolah yang dimulai dari tingkat SD, SMP dan SMA/SMK untuk sekolah negeri dan swasta serta pemberian beasiswa bagi siswa yang berprestasi. Kedua, di sektor kesehatan Pemkot Tangsel juga telah membangun Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tangsel yang mempunyai 25 ruang rawat inap, membangun 25 unit Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dengan pelayanan gratis untuk pasien rawat inap dan rawat jalan dengan berbagai pelayanan di antaranya bagi jaminan pelayanan persalinan ibu hamil. Puskesmas gratis yang dibangun Pemkot Tangsel ini boleh digunakan pasien mana saja dengn syarat memiliki KTP Tangsel. Ketiga, pembangunan infrastruktur, perbaikan sarana dan prasarana berupa jalan umum berikut drainase, serta memperbaiki jalan lingkungan. Jalan lingkungan yang dibangun ditargetkan pada 2013 akan selesai dikerjakan dengan jumlah mencapai 75,4 persen. Dari segi ketepatan waktu, Pemda Kota Tangsel belum mampu menunjukkan kinerjanya dengan baik. Hal tersebut ditunjukkan antara lain : Pertama, belum semua SKPD memiliki SOP, Kedua, analisa jabatan (anjab) belum semua pegawai dibuatkan, Ketiga, Analisa Beban Kerja (ABK) belum tersedia. Padahal telah direncanakan sejak tahun 2012, seperti dikemukakan di bawah ini: “Anjab sebenarnya sudah direncanakan sejak tahun 2012, tapi belum selesai dan 2013 ini ditargetkan selesai. Hambatannya antara lain SDM yang tidak memadai SDM dan komitmen pimpinan. Para pegawai keberatan kalau memberikan informasi tentang uraian tugas yang sebenarnya, khawatir kedudukan atau posisinya berubah” (Wawancara dengan Subag Kelembagaan, Sekda, tanggal 1 Mei 2013).
114
Berbeda dengan Subbag Kelembagaan, Kasub Anjab justru menunjukkan buku Anjab yang telah dibuat, namun belum semua pegawai dibuatkan, hanya terbatas pada pegawai struktural, itupun belum semua. “Analisa Jabatan telah dibuat, tetapi baru sebagian, itupun baru pejabat struktural. Sedangkan yang tenaga fungsional belum, karena banyak sekali. Satu orang uraiannya panjang, bisa lima halaman lebih. hambatannya di anggaran” (Wawancara dengan Kasub Anjab, Sekda tanggal 17 Mei 2013). Pelayanan administratif sangat lamban, hal ini ditunjukkan oleh Kantor Sekretariat Daerah Kota Tangsel, karena surat permohonan audensi dengan Sekretaris Daerah tidak ditindaklanjuti sejak bulan April-hingga penelitian ini dtulis (Hasil pengamatan 2012-2013). Prosedur untuk memperoleh surat pengantar berbeli-belit di DAKPP, karena melalui beberapa tahap (Hasil Pengamatan bulan April – Juni 2013). Ketidaktepatan
waktu
dalam
realisasi
program
sesuai
dengan
perencanaan dikemukakan oleh Kabid Fasilitasi DKUKM di bawah ini : “ Program-program yang sudah kita rencanakan seringkali mundur dari jadwal semula, karena mengalami hambatan teknis, seperti pengesahan, cari tempat, negosiasi dan lain-lain, tapi akhirnya terlasana juga” (Wawancara dengan Kabid Fasilitasi, DKUKM, 15 Kuli 2013). Kemunduran yang dikemukakan oleh Kabid Fasilitasi DKUKM di atas, juga dialami oleh Kasub Umum dan Kepegawaian. Baik dari segi jadwal, penyerapan anggaran dan kemampuan SOTK, sebagaimana dikemukakan berikut: “ Dalam melaksanakan program kerja, SOTKnya belum optimal. Kalau dari segi penyerapan anggaran, boleh dikatakan kalau kinerja 15 %, maka kita hanya mencapai 14 %. Hambatanya SDM perlu ditingkatkan dan kedisiplinan dalam schedule perlu diperbaiki” (Wawancara dengan Kasub Umum dan Kepegawaian, BP2T, tanggal 8 Juli 2013).
115
Kedisiplinan dalam menempati jadwal dapat direalisasikan, apabila terdapat
kemauan
keras
(komitmen)
dari
setiap
penanggungjawab
jabatan/program. Oleh karena itu, skill, kompetensi dan motivasi serta komitmen sangat dibutuhkan dari SDM-SDM yang handal. Kinerja yang masih rendah ditunjukkan pula dalam pelaksanaan reformasi birokrasi di kota tangsel. Pencanangan reformasi birokrasi dalam Grand Desain dan road map untuk pemerintah daerah, belum mampu dilaksanakan oleh Kota Tangsel. Step yang baru dilaksanakan adalah sosialisasi kepada para pejabat-pejabat. Hal tersebut dikemukakan oleh Kasub Tatalaksana Kantor Sekda Sebagai berikut: “Kota Tangsel kan masih baru berdiri, jadi masih berbenah. Reformasi Birokrasi yang diinginkan belum dilaksanakan seluruhnya, kita baru melaksanakan sosialisasi ke pejabat-pejabat eselon II. Dalam waktu dekat ini kita akan mengadakan studi banding ke Yogyakarta untuk melihat reformasi birokrasi di sana” (Wawancara dengan Kasub Tatalaksana tanggal 17 Mei 2013). Kota baru, sebenarnya bukan alasan untuk tidak melaksanakan reformasi birokrasi, karena banyak daerah yang dapat melaksanakan dengan baik, karena mau mempelajari dan menerapkannya. Justru kota baru akan lebih mudah memulai reformasi birokrasi. Lambannya ketidakmampuan
pelaksanaan SDM
aparatur
reformasi birokrasi
birokrasi Pemda
juga Kota
terlihat Tangsel
pada dalam
menterjemahkan program-program kegiatan yang telah dipersiapkan dalam road map oleh pemerintah. Hal tersebut dikemukakan oleh Kabid Kepegawaian, BKPP: “memang kita belum melaksanakan reformasi birokrasi sebagamana diinginkan pemerintah pusat, karena SDM kita belum memahami benar apa yang diinginkan oleh reformasi birokrasi. Untuk itu, kita akan mengundang dari pihak KemenPAN dan RB untuk menjelaskan
116
kembali tentang Reformasi birokrasi” (Wawancara dengan Kabid Kepegawaian, BKPP tanggal 17 Juni 2013). Ketidakjelasan tentang reformasi birokrasi dapat dipelajari. Namun komitmen pimpinan sebagai motivator
bawahan itu sangat
diperlukan.
Tampaknya komitmen pimpinan dalam melaksanakan reformasi birokrasi masih rendah.
-00-
117
117
BAB VI ANALISIS
SDM merupakan bagian penting, sehingga dalam reformasi administrasi, tidak hanya struktur organisasi yang menjadi sasaran reformasi administrasi, tetapi juga masalah kelembagaan dan SDM (Dao, 1997: 311). Selain itu, di dalam GDRB 2010-2025, SDM aparatur merupakan salah satu area perubahan dan diagendakan pula dalam program di tingkat mikro yang harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah, termasuk Kota Tangsel. Pembahasan SDM terkait dengan penyajian data yang telah dipaparkan pada Bab V, yaitu tentang pengangkatan dan penempatan, pelatihan, penggajian, kondisi kerja, dan kinerja. Pembahasan ini beranjak dari salah satu dimensi capacity building yang dikemukakan oleh Grindlle (1997: 9). A. Pengangkatan dan Penempatan Di dalam data hasil penelitian, Sumber Daya Manusi (SDM) Kota Tangsel dibagi menjadi dua yaitu dari segi Asal dan Status. Dari segi Asal, SDM Kota Tangsel dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu: Pelimpahan provinsi/kabupaten induk, Perpindahan dari daerah/provinsi lain dan Seleksi murni. Sedangkan Dari segi Statuspun menjadi tiga, antara lain: PNS, Tenaga Honor dan TKS. Asal SDM Kota Tangsel berasal dari pelimpahan dari Provinsi Banten, Kabupaten Tangerang (Provinsi dan Kabupaten Induk), kota-kabupaten sekitar Provinsi Banten dan luar Provinsi Banten serta seleksi murni. Jumlah SDM yang berstatus PNS seluruhnya 5335 orang. Sebanyak 57 % SDM Kota Tangsel berasal dari luar Kota Tangsel, termasuk dari Provinsi Banten, Kabupaten Tangerang (Provinsi dan Kabupaten Induk), Kota-Kabupaten sekitar Provinsi Banten dan luar Tangsel. Awal mula SDM Kota Tangsel,
118
sebagian dari pelimpahan dari Provinsi dan Kabupaten Induk. Perpindahan pegawai telah diatur dalam Peraturan Walikota (Perwal) No. 39 tahun 2011 tentang Perpindahan PNS di Kota Tangerang Selatan dan prosedur tetap (Protap) dikeluarkan oleh Kepala BKPP Kota Tangsel No. 824/343-BKPP/2011 tentang Prosedur tetap (Protap) Perpindahan PNS dari dan ke Instansi di Luar Pemerintah Kota Tangsel. Pelimpahan tersebut tidak melalui tes, karena untuk memenuhi kebutuhan. Untuk menjalankan roda Pemerintahan Daerah Kota Tangsel yang baru berdiri (2008), maka pada tahun 2009 dan 2010, pemda Kota Tangsel melakukan rekrutmen PNS. Sedangkan status SDM Kota Tangsel terdiri dari PNS, Tenaga Honor dan TKS. Jumlah PNS sebanyak 5335 orang tersebar di 33 SKPD. Tenaga Honor kategori I sejumlah 20, kategori Iisebanyak 1466 terdiri dari guru 969 orang, tenaga kesehatan 67 orang dan dari SKPD lainnya 430 orang. Kedua kategori ini telah diajukan sebagai CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil). Fenomena yang menarik dari Tenaga Honor adalah Lurah-lurah dibeberapa Kecamatan yang sudah lama mengabdi, tetapi belum diangkat-angkat, sehingga menjadi perhatian DPRD Kota Tangsel. Sebanyak 44 Lurah dari 49 Lurah yang belum diangkat. Dai data yang ditampilkan yaitu 4 Kecamatan, 13 PNS, sedangkan 15 masih berstatus Tenaga Honor. Demikian pula staf-stafnya sebagian besar masih berstatus honor. Masa kerja Tenaga Honor-Tenaga Honor tersebut cukup lama dan merupakan peninggalan masa pemerintahan Orba, sebelum Kota Tangsel berdiri. Jumlah PNS sebanyak 5335, ternyata dianggap Pemerintah Daerah Kota Tangsel belum cukup, sehingga harus mengangkat TKS (Tenaga Kerja
119
Sukarela). Rata-rata tingkat pendidikannya SLTA dan pengangkatannya tidak melalui seleksi terstruktur, karena tidak diatur oleh BKPP, karena diserahkan kewenangannya kepada masing-masing SKPD. Terdapat TKS sebagai titipan DPRD, Eksekutif dan pejabat birokrat sebagai balas jasa
telah membantu
mendukung keberhasilan Pilkada tahun 2011. Pelimpahan SDM untuk memenuhi kebutuhan dan pengangkatan TKS yang melebihi PNS, menyebabkan kualitas SDM yang dimiliki Pemda Kota Tangsel tidak sesuai dengan kebutuhan dan akhirnya berdampak pada penempatan yang tidak berdasarkan kompetensi. Sementara untuk mendapat manajemen aparatur profesional, maka harus memperhatikan Kompetensi sebagai dasar penempatan SDM (Silaban, 2012: 37-39). Pelimpahan SDM bagaikan Buah Simalakama bagi Pemda Kota Tangsel, tidak diterima, sebagai Kota baru, membutuhkan pegawai yang menjalankan roda pemerintahan, diterima, tetapi yang didapatkan tidak sesuai dengan kebutuhan, sehingga terpaksa harus menerimanya, meskipun kualifikasinya belum tentu dibutuhkan. Demikian pula penerimaan TKS, tidak diterima, TKSTKS tersebut adalah titipan para pejabat, jika diterima, kualitas tidak sesuai dengan kebutuhan riil SKPD-SKPD. Rata-rata tingkat pendidikan TKS SLTA, sehingga untuk mendapat kapasitasnya sangat terbatas. Akibatnya, penempatan pegawai tidak sesuai dengan kompetensi. Sementara SDM aparatur birokrasi sebagai ujung tombak pelayanan publik untuk mencapai tujuan reformasi administrasi (Kyarimpa, 2009: 39). Sebagai ujung tombak pelayanan, maka harus ada upaya yang dapat dilakukan dan salah satunya adalah birokrasi harus
memiliki kompetensi. Kompetensi sangat
dibutuhkan agar tugas dan fungsi yang diemban dapat dilaksanakan dengan
120
baik. Artinya bahwa birokrasi pemerintah harus memiliki kompetensi, apabila terdapat kekurangan atau ketidaksesuaian antara jabatan dengan kompetensi, maka dapat dilakukan dengan pemberian pelatihan-pelatihan atau dengan kata lain, Dao (1997: 312-313) mengatakan bahwa untuk meningkatkan kapasitas demi mencapai produktifitas dan efisiensi, perlu dilakukan penggalakan pelatihan-pelatihan. Ketidakkompetensian tidak hanya akibat pelimpahan pegawai dari Provinsi
dan
Kabupaten
Induk,
tetapi
diakibatkan
juga
oleh
pengangkatan/rekrutmen yang didasarkan titipan dari para politisi dan eksekutif serta pejabat-pejabat birokrasi. Pengangkatan pegawai-pegawai yang berasal dari titipan inipun tanpa seleksi ketat, sehingga persyaratan kualifikasinya tidak menjadi pertimbangan utama. Pengangkatan tersebut juga sebagai balas budi bagi yang telah mendukung keberhasilan Pilkada bagi pemerintah yang berkuasa. Fenomena pengangkatan SDM berdasarkan titipan politisi menunjukkan bahwa terdapat kontrol politik atas birokrasi, sebagaimana di katakan Peter dan Piere (2001: 3) bahwa meskipun kepatuhan birokrasi pemerintah yang ditemui di Norwegia, tidak diragukan lagi, selain memiliki nilai-nilai profesional, tetapi juga mengikuti petunjuk dari para pemimpin politik. Selain itu, dari Teori Kontrol Politik atas Birokrasi, maka fenomena Pemda Kota Tangsel, dapat dikategorikan model kedua, yaitu pejabat terpilih (eksekutif/politisi) sering terlibat dalam persoalan administrasi dan sebaliknya birokrasi sering ikut dalam pembuatan agenda kebijakan dan pembuatan kebijakan (Frederickson, 2003: 18). Faktor lain yang ikut mendukung ketidakkompetesian tersebut adalah kesengajaan untuk membangun dinasti CIPASERA (Cilegon, Pendeglang,
121
Serang dan Rangkas) sehingga pegawai-pegawai yang berasal dari Cipasera di tempatkan dibeberapa posisi strategis. Fenomena ini terlihat pada mutasi-mutasi yang dilakukan Baperjakat secara intens. Hampir dua bulan sekali, terjadi pemutasian/rotasi/penempatan. Tenaga-tenaga edukatif (guru-guru) menduduki jabatan-jabatan tertentu yang tidak sesuai dengan kompetensinya sebagai guru. Dalam hal ini, anjab (analisa jabatan) tidak lagi menjadi dasar dalam penempatan pegawai di Kota Tangsel. Selain itu, Baperjakat sangat berperan dalam penempatan pegawai-pegawai dan kerap sekali terjadi pemutasian, sehingga Baperjakat dianggap sebagai siluman. Artinya tidak terjadi/terdengar apa-apa, tiba-tiba seseorang dimutasi, baik sebagai sebuah peningkatan jabatan atau sebaliknya. Intinya agar pegawai-pegawai dari Cipasera dapat menduduki posisi jabatan (berkuasa) di Pemda Kota Tangsel. Sistem kekerabatan semacam ini adalah sistem yang disebut patron client relationship (Kauzar, 2009: 12), yaitu hubungan tidak setara antara seorang bangsawan dengan sejumlah rakyat biasa sebagai pengikutnya berdasarkan pertukaran barang dan jasa termasuk kekuasaan, yang di dalamnya kebergantungan klien kepada patron diimbali dengan perlindungan patron terhadap klien. Dan terdapat 3 ciri patron client relationship yang dikemukakan oleh Scott (1972: 92) dalam Kausar (2009: 17) yaitu: (a) Diffuse flexibility adalah Ikatan yang bersifat luwes dan meluas. Ikatan ini tidak hanya didasarkan pada kekerabatan, tetapi bisa karena beragam status sosial seseorang . Tidak terbatas pada uang dan jasa, tetapi bisa juga tenaga dan dukungan kekuatan. (b) Inequality of exchange yaitu ketidaksamaan dalam pertukaran.Dalam hal ini, posisi Client tetap berada di bawah Patron, sehingga di sini ada kesungkanan (segan) client terhadap Patron. Ketidaksamaan ini disebabkan oleh perbedaan status social antara client dan patron, sehingga patron memiliki “hutang budi” kepada client.
122
(c) face to face character. Adanya sifat tatap muka. Kedua belah pihak memahami bahwa hubungan tersebut ada untung ruginya bagi kedua pihak. Namun kedekatan hubungan lebih dirasakan. Tiga ciri tersebut di atas, maka pola hubungan kekerabatan yang dibangun di pemda Kota Tangsel dengan adanya dinasti Cipasera adalah ciri Diffuse flexibility. Konsep budaya yang dijelaskan di atas, menjadikan birokrasi menjadi tidak netral, sedangkan untuk mendapatkan sistem manajemen aparatur profesional, aparatur birokrasi harus bersifat apolitis atau netral (Silaban (ed), 2012: 37-39). Selain menjadikan aparatus tidak netral, konsep budaya tersebut akan mempengaruhi pola hubungan yang terjadi dalam perilaku birokrasi, sehingga mengakibatkan menurunnya kinerja birokrasi pemerintahan daerah (Kausar, 2009: 12). Sementara itu, membangun budaya kinerja adalah salah satu upaya mendudukkan kembali peran birokrasi pemerintah pada posisi yang kuat dalam penyelenggaraan negara (Effendi (2010: 101-105). Rekruitmen yang tidak didasarkan pada merit system juga memiliki andil dalam penempatan pegawai yang tidak berbasis kompetensi di Pemda Kota Tangsel. Merit system adalah suatu proses yang teratur dan fair, pemekerjaan, pembayaran, pengembangan, pempromosian dan rotasi, pendisiplinan serta pensiun atas dasar kemampuan dan kinerja (Woodrod, 2000: 14). Selain itu, prinsip merit system bahwa pengangkatan, promosi dan tindakan personil lainnya secara eksklusif yang dilakukan atas dasar kemampuan pegawai dan kinerjanya (Negro dan Negro dalam Woodrod, 2000: 15). Jika saat pengangkatan tidak berdasarkan Merit system dan anjab, maka penempatannyapun akan mengalami kesulitan untuk menyesuaikan dengan kemampuan (kompetensi). Akhirnya posisi-posisi yang strategis diduduki/dijabat
123
oleh SDM-SDM yang tidak kapabel. Hal tersebut akan mempengaruhi baik kapasitas individu, maupun institusi/lembaga. Menyinggung kapasitas individu, Grindle (1997) mengatakan bahwa pengembangan SDM secara umum, berusaha
untuk
meningkatkan
kapasitas
individu
dalam
menjalankan
tanggungjawabnya secara profesional dan meningkatkan kemampuan teknisnya. Selain itu, pengembangan SDM Sedangkan dalam reformasi birokrasi diperlukan peningkatan kapasitas pemerintah yang baik, khususnya di tingkat pemerintahan daerah (Lawal dan Oladunjoye, 2010: 227). Kapasitas pemerintah yang baik dikatakan Lawal dan Olandunjoye tersebut, tidak mungkin tercapai apabila kapasitas individu tidak diperhatikan, karena menurut Gridle (1997), pengembangan kapasitas SDM sangat bermanfaat bagi oranisasi, para pegawai, maupun bagi pertumbuhan dan pemeliharaan hubungan yang serasi antara berbagai kelompok dalam suatu organisasi. Salah satu fenomena yang muncul dari status SDM di Kota Tangsel adalah penerimaan jumlah TKS yang melebihi kebutuhan. Hal tersebut menunjukkan pengangkatan tersebut tidak didasarkan pada analisa beban kerja (ABK), karena TKS dianggap sebagai tenaga kerja sukareral sementara yang sewaktu-waktu dapat diputus hubungan kerjanya dan jika ingin menjadi CPNS harus mengikuti tes CPNS. Perpektif semacam ini menjadikan inefisiensi (boros) dalam penyelenggaraan pemerintah dan belum tentu efektif, karena optimalisasi TKS rendah. Meskipun demikian, dalam menghadapi persoalan SDM, Pemda Kota Tangsel perlu mempunyai Sistem Informasi Management Sumber Daya manusi (SIM SDM), sebagai data base agar persoalan SDM, khususnya dalam
124
pengangkatan dan penempatan SDM tidak menimbulkan masalah di kemudian hari. Pengembangan SIM SDM merupakan langkah strategis yang ditawarkan dalam penataan SDM dan salah satu bagian dari reformasi birokrasi. Oleh karena itu, reformasi SDM diharapkan ikut menentukan keberhasilan reformasi birokrasi dan salah satu satu cara dengan pengurangan jumlah pegawai, peningkatan kapasitas dengan berbagai pelatihan-pelatihan. Kesemua ini dalam rangka untuk mendapatkan kinerja yang baik (Dao, 1997: 314). B. Pelatihan Dari data hasil penelitian, ternyata Bidang Pendidikan dan Pelatihan, BKPP Pemda Kota Tangsel belum optimal dalam menyelenggarakan programprogram kegiatan untuk menunjang kapasitas SDM yang ada di Kota Tangsel. Pendidikan dan pelatihan yang dilaksanakan hanya sebagai pelengkap dan bersifat formal untuk kenaikan pangkat. Namun secara substansi peningkatan kapasitas SDM belum terlaksana dengan baik. Meskipun peningkatan kapasitas SDM dalam arti sempit yaitu melalui pendidikan dan pelatihan (Diklat) dan dalam arti luas yaitu setiap upaya organisasi untuk mewujudkan PNS menjadi lebih kompeten dalam setiap menyelesaikan pekerjaan. Berdasarkan penjelasan di awal
tentang penempatan SDM di Kota
Tangsel yang tidak sesuai dengan kompetensi, seharusnya Bidang Pendidikan dan Pelatihan BKPP bersinergi untuk mengisi kekurangkompentensian tersebut, sebagaimana dikatakan bahwa pemda diharapkan mendorong pelaksanaan pendidikan dan pelatihan yang dapat mengisi kekosongan kompetensi (Naibaho, 2011: 65). Harapan Naibaho tersebut harus mendapat perhatian serius, karena salah satu kendala dalam penataan SDM adalah pendidikan dan pelatihan
125
(diklat) bagi SDM aparatur yang belum berbasis kompetensi (Majalah Layanan Publik, Edisi XXXVII, 2011: 26). Pendidikan dan pelatihan bagi para pegawai tidak perlu dipandang sebelah mata, karena salah satu mekanisme pengembangan sumber daya birokrasi, di antaranya melalui Learning process approach, yaitu pembelajaran tidak hanya dalam pengertian sempit melainkan juga dalam dimensi yang lebih luas
dalam
rangka
terciptanya
aparatur
pemerintah
yang
profesional.
Pembentukan profesionalisme yang efektif dilakukan melalui pendekatan belajar (Sulistiyani, 2004 : 39). Selain Naibaho yang mengatakan bahwa pendidikan dan pelatihan (diklat) dalam arti sempit untuk meningkatkan kapasitas, Dao
justru melihat
bahwa penggalakan pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kapasitas demi mencapai produktifitas dan efisiensi (Dao, 1997: 312-313). Artinya bahwa pendidikan dan pelatihan sangat diperlukan bagi pegawai untuk meningkatkan kapasitasnya. Dengan kapasitas yang dimiliki, maka akan meningkatkan pula kapasitas pemerintah. Ibarat cermin, Bidang Pendidikan dan Pelatihan BKPP sebagai cermin untuk melihat bagaimana kapasitas aparatur birokrasi dan Pemda Kota Tangsel. Apabila
BPP-BKPP tidak berfungsi maksimal, maka menunjukkan bahwa
kapasitas aparatur dan pemerintah daerah rendah/lemah. Lemahnya kapasitas aparatur birokrasi, berarti lemahnya administrasi, oleh karena itu, diperlukan reformasi administrasi (Denita Cepiku dan Cristina Mititelu 2010: 56). Lemahnya kapasitas pemerintah membuat KKN di Kota Tangsel, sulit dihilangkan, oleh karena itu, menurut Lawal dan Oladunjoye (2010: 232);
126
Rewansyah (2009: 140-141), peningkatan kapasitas pemerintah diperlukan, disebabkan korupsi di pemerintah daerah. Kinerja BPP BKPP yang rendah tersebut, tidak menyurutkan langkah beberapa SKPD untuk meningkatkan kapasitas SDMnya. Salah satu SKPD yaitu BLHD sering mengikutsertakan pelatihan-pelatihan di luar Kota Tangsel untuk meningkatkan kapasitas, karena BPP-BKPP tidak menyelenggarakan pelatihanpelatihan substantif yang
dibutuhkan oleh
SKPD. Selain itu, tenaga-tenaga
pengajarnya juga kurang berkualitas, sebagaimana yang diinginkan. C. Pengggajian Sistem penggajian di Kota Tangsel telah terstruktur baik gaji PNS, Tenaga Honor maupun TKS. Adapun struktur gaji PNS terdiri: gaji tetap, Insentif TPP dan Honor Kegiatan (apabila terdapat dalam DPA) . Khusus bagi pegawai BP2T dan DPPKAD, struktur tersebut ditambakan dengan Insentif Pungutan yang diterima per triwulan. Struktur gaji atau honor untuk Tenaga Honor terdiri dari: Honor tetap dan penghasilan Tambahan Pelayanan Sukarela (TPS). Sedangkan TKS mendapat Honor Tetap dan Honor Kegiatan (jika kegiatan tersebut terdapat dalam DPA). Jumlah /nominal gaji yang diterima PNS berbeda-beda, tergantung golongan, masa kerja dan jabatan. Sedangkan jumlah Honor Tetap bagi Tenaga Honor telah ditentukan oleh Perwal. Sedangkan TKS telah ditentukan, namun kenyataannya di tataran empirik, setiap SKPD terdapat sedikit perbedaan, namun pada umum telah distandarkan. Insentif TPP hanya bagi PNS, Honor Kegiatan untuk PNS dan TKS, Insentif Pungutan hanya untuk dua SKPD, yaitu BP2T dan DPPKAD, karena kedua SKPD tersebut bertugas mengelola pajak dan retribusi. TPS hanya untuk
127
Tenaga Honor di tingkat kelurahan, sedangkan guru mendapat Honda (Honor Daerah). Melihat struktur penggajian aparatur birokrasi Pemda Kota Tangsel, dapat dikatakan tingkat kesejahteraannya cukup bagus, kecuali pegawai yang masih berstatus TKS, karena pendapatannya masih rendah. Selain itu, sistem penggajian ditambah dengan insentif dianggap telah mencukupi, karena pemerintah telah menaikkan gaji pokok rata-rata 15 % pada tahun 2004-2011, pemberian gaji ke 13 dan perbaikan penghasilan bagi PNS golongan terendah telah ditingkatkan 2,5 kali dari Rp. 674.000 pada tahun 2004 menjadi Rp.2.500.000 pada tahun 2011. Sedangkan Guru golongan terendah dinaikkan menjadi >Rp.2.000.000 (Naibaho, 2011: 63). Apabila tingkat kesejahteraan telah membaik berarti dapat mempengaruhi peningkatan kinerja, karena pengalaman menunjukkan bahwa pelayanan publik akan meningkat kinerjanya, apabila SDMnya dibayar
dengan baik (Griendle,
1997). Pernyataan Grindle di atas dengan melihat struktur gaji Pemda Kota Tangsel, maka dapat mengeliminir pernyataan Dao (1997: 313) bahwa pengalaman negara-negara Asia Timur pegawai negeri tidak termotivasi terutama karena gaji rendah. Artinya aparatur pemerintah daerah Kota Tangsel idealnya
akan
termotivasi
dalam
melaksanakan
tugasnya
dan
dapat
menunjukkan kinerjanya lebih baik lagi, karena gaji yang diterima besar. Ternyata pernyataan Griendle dan Dao belum terbukti, karena masih terdapat perilaku aparatur birokrasi pemerintah daerah Kota Tangsel yang tidak disiplin, telat masuk kantor,
sering keluar kantor sebelum jam istirahat dan
melakukan penyimpangan terhadap jabatan. Perilaku semacam ini justru
128
mendukung pernyataan bahwa kendala dalam penataan SDM, karena struktur penggajian belum berfungsi sebagai pemacu peningkatan kinerja ( Layanan Publik, Edisi XXXVII, 2011: 26). Mengacu pernyataan di atas, dikhawatirkan justru perilaku TKS, karena struktur gajinya masih relatif kecil. Hal tersebut didukung dari penjelasan kepala BLHD bahwa salah satu pegawainya yang berstatus TKS kedisiplinannya sangat kurang, di Santpol PP pun demikian, jika tidak diberi tugas, maka pegawainya yang masih berstatus TKS keluar mencari tambahan pendapatan di luar kantor, Di Kantor Sekretariat Daerah TKSnya sering keluar kantor, bahkan bekerja di tempat lain selain menjadi TKS. Fenomena semacam ini, maka sulit untuk mencapai kinerja yang baik. Namun ketidakdisiplinan tidak hanya dilakukan oleh TKS, karena aparatur birokrasi yang berstatus PNS juga melakukan hal yang sama, masuk kantor siang, sebagaimana diakui oleh Kasub Umum DPPKAD dan Humas Disdik Kota Tangsel. Perilaku penyimpangan tersebut dilakukan oleh aparatur birokrasi yang berstatus staf yang masih merasa jumlah insentif TPP yang diterima dianggap masih sedikit, jika dibandingkan dengan pejabat struktural. Perbedaan insentif yang mencolok dapat menjadi pemicu ketidakdisiplinan. Perilaku yang tidak disiplin memang perlu pembinaan dan memerlukan proses yang panjang. Oleh karena itu, etika pegawai perlu mendapat perhatian dan antisipasi dapat dilakukan pada saat rekrutmen awal atau seleksi masuk, sehingga integritas, kapabilitas dan profesionalisme tercapai. Meskipun gaji yang diterima aparatur birokrasi Pemda Kota Tangsel cukup tinggi, tetapi belum seimbang dengan kinerjanya. Oleh karena itu, dalam rangka strategi reformasi, diperlukan perbaikan sistem reward dan punishment
129
yang adil, yaitu pemberian gaji yang layak dan hukuman bagi yang melanggar aturan (Rewansyah, 2009: 140-141). Perhatian terhadap tingkat kesejahteraan aparatur birokrasi juga harus mendapat perhatian, karena sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa kesejahteraan pegawai berpengaruh langsung pada tugas, tanggungjawab, kewenangan dan resiko serta prestasi kerja pegawai yang bersangkutan (Naibaho, 2011: 63) Penjelasan
Naibaho
di
atas,
tidak
menjelaskan
bentuk
konkrit
kesejahteraan, karena kesejahteraan, kenyamanan dan kepatuhan, tidak hanya diukur dari materi, immateri juga dapat mempengaruhi. Suasana kerja, komunikasi internal yang dibangun, memberikan akses pengembangan karier, suri taulada pemimpin serta atensi terhadap bawahan di kala susah maupun senang dapat membuat pegawai merasa “sejahtera bathin”. D. Kondisi Kerja Berpencarnya gedung-gedung SKPD di beberapa lokasi dan sempitnya ruang kerja mempengaruhi tidak hanya bagi orang dalam sendiri (pegawai), tetapi juga orang luar. Bagi orang dalam, mempengaruhi suasana kerja, kenyamanan dan motivasi untuk bekerja.
Bagi orang luar, sulit menemukan
lokasi dan merasa tidak nyaman, karena ruang terlalu sempit, terutama di Kantor administrasi
Sekretariat
Daerah. Walikota sendiri
tidak
memprioritaskan
pembangunan gedung perkantoran untuk Walikota, karena yang diutamakan adalah pembangunan infrastruktur, pendidikan dan kesehatan. Penjelasan tentang kondisi kerja Pemerintah Daerah Kota Tangsel pada penyajian hasil penelitian di Bab V, mencerminkan bahwa
pola pelayanan
terpadu satu pintu belum dijalankan, sehingga efektifitas belum berjalan dengan
130
baik. Komarudin (2011: 76) justru mengatakan bahwa reformasi birokrasi aparatur negara seharusnya berujung pada pelayanan publik yang prima, efektivitas dan efesiensi penyelenggaraaan pemerintahan. Dalam konteks reformasi birokrasi seharusnya mengutamakan pelayanan yang berkualitas, efektif dan efisien. Berpencarnya lokasi, membuat tidak efektif dan inefisensi, karena akan membutuhkan waktu lama untuk menemukan lokasi dan menambah
biaya.
Sementara itu, standar pelayanan membutuhkan prosedur yang tidak terlalu panjang, waktu tidak lama dan biaya tidak banyak (Komarudin, 2011: 89). Sempitnya ruangan, secara psikologis, membuat para aparatur birokrasi Pemda Kota Tangsel juga tidak nyaman bekerja, kurang motivasi, sehingga dapat mengurangi kinerja. Gambaran
tersebut menunjukkan bahwa Pemerintah Daerah Kota
Tangsel mengabaikan sarana dan prasarana sebagai salah satu standar pelayanan
publik,
karena
Tangible
(bukti
fisik,
seperti
fasilitas
sisik,
perlengkapan, pegawai dan sarana komunikasi merupakan ukuran dari kualitas pelayanan (Parasuraman, Zethimel dan Barry, 1994: 111). E. Kinerja Setiap pejabat dan PNS yang dilantik, harus menandatangani Pakta Integritas. Meskipun telah menandatangani Pakta Integritas tersebut, aparatur birokrasi Pemda Kota Tangsel belum menunjukkan kinerja yang optimal. Gebrakan sementara yang dilakukan Walikota dalam memberantasan korupsi, juga tidak berpengaruh sampai ke bawah. Justru praktek KKN semakin terbuka lebar di Kota Tangsel dengan adanya penangkapan terhadap Akil Muhtar Ketua Mahkamah Konstitusi yang merembet ke penangkapan kerabat dekat Walikota
131
Tangsel dan Pemanggilan Gubernur Provinsi Banten sebagai saksi serta penggeledahan di Kantor Dinas Kesehatan Kota Tangsel. Dari uraian tentang kinerja di atas, dapat dikatakan bahwa kinerja aparatur birokrasi pemerintah
Kota Tangsel masih rendah, karena masih
terdapat kelambanan dan ketidaktepatan waktu dalam menyelesaikan pekerjaan. Meslipun gaji telah diberikan dengan baik (tinggi),
tetapi belum mampu
menghasilkan kinerja yang baik (Grindle, 1997). Dalam penelitian terdahulu, dikemukakan bahwa kinerja birokrasi menjadi rendah, karena birokrasi yang ada tidak mampu mengambil inisiatif dalam melayani masyarakat (Dwiyanto, dkk, 2012). Sementara itu, kinerja birokrasi yang selama ini berorientasi pada aturan dan bersifat hierarkis, akan direform menjadi orientasi pada pasar, sehingga akan terjadi kompetisi. Untuk itu, pimpinan dituntut kreatif dan inovatif dalam mewujudkan kinerjanya (Thoha, 2010: 74). Berbeda dengan Thoha, Grindle justru melihat bahwa peningkatan kinerja akan terjadi, kalau dibayar dengan baik (Griendle, 1997). Dalam konteks ini, masalah
psikologis
SDM
juga
harus
diperhatikan
terutama
masalah
kesejahteraan yang berkaitan dengan besarnya gaji, dengan asumsi apabila gaji dinaikkan, maka kinerja akan meningkat. F. Kunci Reformasi Untuk melaksanakan reformasi birokrasi, khususnya di bidang SDM, perlu mendapatkan motivasi dari pimpinan, sehingga para aparatur dapat melaksanakan dengan baik. Motivasi itu dapat diperoleh, apabila terdapat komitmen yang kuat dari setiap pimpinan langsung (Kepala Dinas atau ketua lembaga), terutama Walikota dan didukung oleh pihak legilatif.
132
Selain penegakkan komitmen, standar aturan yang jelas, tegas dan transparan juga diperlukan dalam menegakkan reformasi birokrasi khususnya dalam bidang SDM. SDM yang didayagunakan benar-benar berdasarkan kompetensi, tidak berdasarkan KKN, sehingga kinerja yang diharapkan dapat diwujudkan, terutama pemberian pelayanan kepada masyarakat. G. Langkah-Langkah Implementasi Reformasi Birokrasi Bidang SDM Adapun langkah-langkah yang perlu ditempuh agar implementasi reformasi birokrasi bidang SDM berjalan dengan baik adalah sebagai berikut: 1) Menyiapkan suatu sistem aturan yang adil, transparan dan tegas, sehingga penyimpangan-penyimpangan (KKN) dapat dihindari dalam pelaksanaan rekrutmen, penempatan dan mutasi pegawai di lingkungan pemerintahan Kota Tangse. 2) Dalam
pelaksanaan
pengangkatan
diharapkan
dapat
menggunakan Merit System. 3) Penggunaan
analisa beban kerja
dalam
pengangkatan
pegawai, sehingga dapat memperhitungkan ketepatan jumlah pegawai yang dibutuhkan. 4) Pendidikan dan Pelatihan diarahkan untuk peningkatan kapasitas dan kompetensi. 5) Pemberian gaji yang layak dan penerapan sanksi hukuman bagi yang melanggar aturan
133
H. Model Rekomendasi Sumber Daya Manusia Kota Tangsel 1. Pengangkatan dan Penempatan: Pengangkatan tidak berdasarkan keterbukaan dan merit system. Penempatan tidak didasarkan kompetensi 2. Pendidikan dan Pelatihan: Tidak mendukung kapasitas Tidak didasarkan kompetensi. 3. Penggajian: Belum mampu mendorong kinerja 4. Kondisi kerja: Belum kondusif 5. Kinerja rendah.
PENERAPAN REFORMASI BIROKRASI Pelatihan Diklat mendukung kapasitas dan kompetensi pegawai
Penggajian Struktur Penggajian untuk memacu peningkatan kinerja
Kondisi Kerja Seluruh aparat diberikan ruang yang lebih terbuka/transparan untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan, sehingga berdampak pada sikap/pelayanan yang diberikan aparat kepada masyarakat.
Kunci Sukses Reformasi Birokrasi yang Efefktif di Kota Tangsel Komitmen Pemimpin Standar Aturan Yang Operasional, Jelas dan Tegas. Pendayagunaan SDM yang sesuai kompetensi
LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS
Menyiapkan Sistem Aturan yang Adil dan Transparan mengenai Pendayagunaan dan Peningkatan Kapasitas SDM. Penggunaan Merit System Pengurangan jumlah pegawai Pendidikan dan Pelatihan untuk peningkatan kapasitas dan kompetensi. Pemberian gaji yang layak dan hukuman bagi yang melanggar aturan Merumuskan hak dan kewajiban pegawai yang jelas.. TARGET REFORMASI BIROKRASI TERCAPAI
Clean Government Peningkatan Kualitas pelayanan publik k Peningkatan Kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi
-oo-
134
BAB VII PENUTUP
Pada bab penutup, dijelaskan tentang kesimpulan dan rekomendasi hasil penelitian tentang Implikasi Reformasi Birokrasi Bidang SDM di Kota Tangsel. Kesimpulan diuraikan sesuai dengan perumusan masalah demikian pula rekomendasi. A. Kesimpulan Dari hasil penelitian tentang Implikasi Reformasi Birokrasi Bidang SDM di Kota Tangsel dapat disimpulkan beberapa hal di bawah ini: a) Pengangkatan dan Penempatan pegawai, baik pindahan maupun tetap, baik PNS maupun non PNS, tidak berdasarkan kompetensi dan sarat dengan KKN. Merit system
belum digunakan sebagai
dasar rekrutmen. b) Pelatihan dilaksanakan tidak didasarkan pada kompetensi untuk meningkatkan kapasitas dan kinerja pegawai. c) Penggajian telah mengikuti sistem yang diatur oleh pemerintah, demikian pula penambahan insentifnya yang relatif besar, tetapi belum diikuti dengan perubahan kinerja. d) Kondisi Kerja sangat tidak kondusif dan tidak efektif, karena berpencar ke beberapa lokasi dan ukuran ruangannya sangat kecil, sehingga pemberian pelayanan tidak efektif.
135
B. Rekomendasi Reformasi Birokrasi Bidang SDM di Kota Tangsel perlu memperhatikan bebrapa hal berikut ini: a. Perlu menegakkan komitmen, terutama komitmen pimpinan kepala daerah atau kepala dinas dan sejumlah kecil orang.
b. Melakukan penataan SDM: menganalisis kembali kebutuhan SDM yang didasarkan pada analisa jabatan, melakukan rekrutmen untuk mengisi kekosongan jabatan dengan menggunakan sistem terbuka, transparan dan berbasis merit system. c. Melakukan penempatan SDM atau rotasi didasarkan analisa beban kerja, kompetensi dan berdasarkan merit system. d. Melakukan mutasi , jika perlu dinonjobkan terhadap pegawai yang masih melakukan penyimpangan atau tidak mendukung agenda reformasi birokrasi. e. Membangun sistem pelayanan berbasis teknologi. f.
Penggunaan tenaga ahli (espert) atau konsultan
-00-
136
Daftar Pustaka Blau, Peter M dan Marshall W Meyer. 1987.Birokrasi dalam Masyarakat Modern. Terjemahan. Jakarta: UI Press. Cetakan Pertama. Budiman, Arif. 2000. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Caiden, Gerald E. 1991. Administrative Reform Comes of Age. Berlin, New York: Walter de Gryter. Chilcote, Ronald H. 2007. Teori Perbandingan Politik. Jakarta : Dwiyanto, Agus. 2011. Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Birokrasi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. ------------------------.2002. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Pustaka Studi Kependudukan dan Kebijakan. Yogyakarta: UGM. Effendi, Taufiq. 2010. ABC Reformasi Birokrasi. Editor: Ismail Mohamad. Biro Hukum dan Humas KemenPAN dan RB. Farazmand, Ali. 2002. Administrative Reform. United States Of America : PRAEGER Frederickson, H. George. 2010. Social Equity and Public Administration: Origins, Developments and Applications, Chapter 2: Social Equity in Context. Printed in United State of America. ----------------- dan Kevin B. Smith. 2003. The Public Administration Theory Primer. Colorado: Westview Press.
French, Bell dan Zawachi. 2000. Organization Development and Transformation, Managing Effective Change. McGraw International Edition. Singapura. Gandolfi, Franco., 2005. “How Do Organizations Implement Downsizing? An Australian and New Zealand Study”. Contemporary Management Research Vol. 01, No. 01, September, 2005 Page 57-68. Griendle. Merilee S. 1997. Getting Good Government: Capacity Building in The Public Sectors of Developing Countries. USA: Harvard University Press. Hari. Lubis dan Martani Huseini. 1987. Teori Organisasi: Suatu pendekatan Makro. Jakarta: PAU Ilmu-Ilmu Sosial-UI)
137
Henry, Nicholas. 2004. Public administration and Public Affairs. Ninth Edition. New Jersey; Pearson Education, Upper Sadlde River. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Bidang Pendayaan Aparatur Negara Jilid II. 2011. Biro Hukum dan Humas KemenPAN dan RB. Islamy, M. Irfan. 2003. Dasar-dasar Administrasi dan Manajemen Publik. Malang: Prodi Ilmu Administrasi,Program Pascasarjana, Universitas Brawijaya. Istianto, Bambang. 2010. Demokratisasi Birokrasi. Jakarta: Mitra Wacana Media. Keban, Jeremias T., 2004. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik: Teori Konsep dan Isu. Yogyakarta: Geva Media. Kyarimpa, Genevieve Enid. 2009. “Comparative Administrative Reform: the Rhetoric and Reality of the Civil Service Reform Programs in Uganda and Tanzania” dalam Dissertation. Miami: Florida International University. Maksum, Irfan Ridwan. 2010. Organisasi Negara Amuba. Departemen Ilmu Administrasi FISIP-UI. Malthis. Robert L dan J.H. Jackson. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Salemba Empat. Mas’oed, Mochtar dan Collin MacAdrew. 1989. Perbandingan Sistem Politik.Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Narbuko, Cholid dan H. Abu Achmadi. 2008. Metode Penelitian. Cetakan Kesembilan. Jakarta: Bumi Aksara. Owusu, Francis. 2005. “Organizational Culture, Performance and Public Sector Reforms in Africa: The Ghanaian Case”. Melalui http://www.isser.org/publications/older/22%20Owusu.pdf. Peter, B. Guy dan Jon Piere. 2001. “ Civil Servant and Politician: the Changing Balance” dalam B Guy and Jon Piere (Edited), Politician, Bureaucrats and Administrative Reform. London and New York: Routledge 2 Park Square, Milton Park, Abingdon, Oxon. Pollit
C. and Geert Bouckaert. 2000. Public Management Reform: A Comparative Analysis. Oxford: Oxford Univesity Press.
Prasojo. Eko. 2009. Reformasi Kedua:Melanjutkan Estafet Reformasi. Jakarta. Salemba Humanika.
138
------------------, Irfan R Maksum dan Teguh Kurniawan. 2008. Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah: Antara Model Demokrasi Lokal & Efisiensi Struktural. Departemen Ilmu Administrasi FISIP-UI. ---------------------, dan Teguh Kurniawan., 2008. “Reformasi Birokrasi dan Good Governance: Kasus Best Practices dari Sejumlah Daerah di Indonesia”.
Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Dalam http://staff.ui.ac.id/internal/0900300014/publikasi/ReformasiBirokrasi_ dan_GoodGovernance_EP_TK_reviseed.pdf Prastowo, Andi. 2011. Memahami Metode-Metode Penelitian. Jogyakarta: AR-Ruzz Media. Rais, M.Amin. 2008. Selamatkan Indonesia. Yogyakarta: PPSK. Rewansyah, Asmawi. 2009. Reformasi Birokrasi dalam Rangka Good Governance. Tanpa Nama Penerbit. Rivai, Veizhal. 2004. Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. Jakarta: Murai kencana. Robbins, Stephen P. 1994. Teori Organisasi : Struktur, Desain dan Aplikasi. Terjemahan. Jakarta: Arcan. Sarundajang, SH. 2012. Birokrasi dalam Otonomi Daerah Upaya Mengatasi Kegagalan. Cetakan ketiga. Edisi Revisi. Jakarta: Kata. Scot.W.Richard.2003. Organization, Rational, Natural and Open System. Fifth Edition. United States of America : Prentice Hall. Pearson Education International. Singarimbun, Masri dan Sofyan Effendi.1983. Jakarta: LP3ES.
Metode Penelitian Survai.
Shafritz, Jay M. 2000. Defining Public Administration. Colorado: Westview Press Sulistiyani, Teguh A. 2004. Memahami Good Governance Dalam Perspektif SDM. Yogyakarta: Gava Media). Sumodihardjo, Soebagijo. 2004. “Pengembangan Kapabilitas Organisasional yang Dinamik pada Perusahaan Telepon Bergerak Seluler di Indonesia” dalam Desertasi. FISIP-UI. Strauss,
Anselm & Juliet Corbin. 2009. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif.Terjemahan. Cetakan III .Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
139
Strauss, George dan Leonard Sayles. 1991. Manajemen Personalia. Pustaka Binaman Pressindo. Supriyono, Bambang. 2007. Pembangunan Institusi Pemerintah Daerah Dalam Penyediaan Prasarana Perkotaan. Pasca Sarjana FIAUniversitas Indonesia. Thoha, Miftah. 1991. Beberapa Aspek Kebijakan Birokrasi. Yogyakarta: Media Widya Mandala. Togar, Silaban (Ed). 2012. Menuju Manajemen Publik Kelas Dunia. Sekretarian Wakil Presiden RI. Turner, Mark dan David Hulme. 1997. Governance, Administration & Development: Making the State Work. USA: Kumarian Press Inc. Wilson, James Q. 1989. Bureaucracy: What Government Agencies Do and Why They Do it. New York: Basic Book Zauhar, Susilo. 1996. Reformasi Administrasi Konsep, Dimenasi dan Strategi. Jakarta: Bumi Aksara. Zein, Harry Mulya. 2011. Reformasi Birokrasi Belajar Dari Daerah. Tangsel : Perum Citra Prima Sepong.
Undang-Undang : KemenPAN dan RB No. 26 Tahun 2011 Tentang Pedoman Perhitungan Jumlah Kebutuhan PNS di Daerah. Lampiran PP No. 81 Tahun 2010. Grand Desain Reformasi Birokrasi Indonesia 2010-2025. 2010. KemenPAN dan RB Republik Indonesia. Perpres No. 5 tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2014 Peraturan KemenPAN dan RB No. 11 Tahun 2009 Tentang Penetapan Standard Operating Procedures (SOP) di Lingkungan Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara. Undang-Undang Otonomi Daerah. 2008. FM Fokusmedia.
Undang-Undang No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. UU No. 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025 UU No. 43 Tahun 1999 tentang Manajemen PNS.
140
Sumber dari Jurnal dan atau Makalah : Cepiku, Denita dan Cristina Mitelu. 2010. “ Public Administration Reforms in Transition Countries: Albania and Romania Between The Weberian Model and The New Public Management” dalam Transylvanian Review of Administrative Sciences No. 3E. Cole, Alistair dan Glyn Jones. 2005. ”Reshaping the State Administrative Reform and New Public Management in France” dalam Governance: An International Journal of Policy, Administration and Intitutions, Vol. 18, No.4 , October. Dutt, Pushan. 2009. “Trade Protection and Buraucratic Corruption: an Empirical investigation” dalam Canadian Journal of Economic, Vol. 42. No.1. Hubert L, Kolthoff, E. and Heuvel, H.V.D. 2007. “The Ethics of New Public Management : Is Integraty at Stake ? Amsterdam Vrije Uniuversiteit” Imhanlahimi, J.E. dan M.O. Ikeanyibe. 2009. ”Local Government Aitonomy and Development of Localities in Nigeria: Issues, Problems and Suggestions” dalam Journal Local Government authonomy and Development of Localities in Nigeria: Issues, Problems and Suggestions. Vol. 8. No. 2. Jreisat, Jamil E. 1988. “Administrative Reform in Developing Countries a Comparative Perspective” dalam Public Administration and Development,
Vol. 8, 85-97. Lawal, Tolu dan Abegunde Oladunjoye . 2010. “Local Government, Corruption and Democracy in Nigeria” dalam Journal of Suistanable Development in Africa. Volume 12. No. 5. May Peter J dan Soran C. Winter.2007. “Politician, Managers and Street-Level Bureaucrats: Influences on Policy Implementation” dalam Journal of Public
Administration Research. Muhaimin, Yahya. 1980. “Beberapa Segi Birokrasi di Indonesia” dalam Jurnal PRISMA No. 10, Mulgan, Richard. 2008. “Public Sector Reform in New Zealand: Issues of Public Acountability”. Makalah. PAQ Spring. Moon, Myung-Jae and Patricia Ingraham. 1998. “Shaping Administrative Reform and Governance An Examination of the Political Nexus Triads in Three Asian Countries” dalam Governance : An International Journal of Policy and Administration. Vol 11. No.1. Januari.
141
Nakamura, Akira. 1996. “Administrative Reform and Decentralization of Central Power:A Cross-National Comparison with Japan” dalam Asian Review of Public Administration, Vol. VIII, No. 2 (JulyDecember). Painter. Martin. 2004. “The Politics of Administrative Reform in East and Southeast Asia: From Gridlock to Continuous Self-Improvement” dalam Governance: An International Journal of Policy, Administration, and Institutions”. Vol. 17, No. 3, July . Paudel, Laxmi Kant. 2009. “The Privatization Policy Transfer: a Nepalese” dalam Experience Nepalese Journal of Public Policy and Governance, Vol. xxiv, No.1, July. Riyadi. 2008. “Reformasi Birokrasi Dalam Perspektif Perilaku Administrasi” dalam Jurnal Ilmu Administrasi. Vol. V. No. 1. Roy, lndrajit, “Good G overnance and The Dilemma off Development: What Lies Beneath? “ dalam Jurnal Socia- Economic Review. Satibi, Iwan. 2011. Optimalisasi Peningkatan Kinerja Perangkat Daerah dalam Perspektif Kualitas Sumber Daya Aparatur dalam Jurnal Ilmu Administrasi Negara PUBLICA, Vol. 1, No. 1. Sismono. Herman. 2011. Faktor-faktor Penghambat Kinerja Birokrasi Publik di Era Otonomi Daerah dalam Jurnal Ilmu Administrasi Negara PUBLICA, Vol. 1, No. 1. Majalah dan Makalah :
Jurnal Ulumul Qur,an, Vol 1, April 2012. Prasojo, Eko. 2012. “ Indonesian Way to Administrative Reform”. Makalah dalam Seminar Internasional ASPA, IAPA di Malang, 12-13 Juni. Majalah Layanan Publik, Edisi : XXIV, 2008. Majalah Layanan Publik, Edisi : XXXVII, 2011. Internet: Website Ditjen Otonomi Daerah Kemendagri: www.depdagri.go.id. Website www.kompas.com, 13/9 2011, diunduh 3 Juli 2012. Website www.kompas.com, 28 Juni 2012 Website www.kompas.com, 2011. Website nusantaranew.wordpress.com
142
Website www.kantorhukum-lhs.com, 2010 Website www.drtomoconnor.com diunduh 3 Oktober 2012.
Wawancara: Kasub Keuangan dan kepegawaian Sekda Pemerintahan Kota Tangsel Kasub Bagian Organisasi Sekda Pemerintahan Kota Tangsel Kasub Bagian Pemerintahan Sekda Pemerintahan Kota Tangsel Kasub Bidang Perencanaan Pemerintahan Kota Tangsel
--oo00oo--