Implementasi Program Keluarga Harapan di Kabupaten Tanah Laut1 Oleh Akhmad Rozi 2 ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana efektivitas Program Keluarga Harapan (PKH) dan bagaimana manfaat program bagi Rumah Tangga Sangat Miskin yang merupakan kelompok sasaran program tersebut di Kabupaten Tanah Laut. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada prinsip-prinsip penelitian deskriptif dengan desain penelitian studi kasus. Unit analisis penelitian adalah rumah tangga peserta PKH dengan mengambil kasus di Desa Batakan (Kecamatan Panyipatan) yang berciri pinggiran, dan Kelurahan Pelaihari (Kecamatan Pelaihari) yang berciri perkotaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa PKH dalam implementasinya di lokasi kasus dapat dinilai efektif. Efektivitas pelaksanaan program ditentukan oleh faktor ketepatan sasaran, ketersediaan fasilitas, dan adanya pendampingan yang memadai. Manfaat yang paling dirasakan oleh Rumah Tangga sangat Miskin (RTSM) peserta program PKH adalah sub-program peningkatan kualitas sarana sekolah, karena dana bantuan PKH benar-benar bisa digunakan untuk mendukung kelangsungan pendidikan formal anak-anak dari keluarga peserta PKH.
A. PENDAHULUAN A. 1. Latar Belakang Upaya penanggulangan kemiskinan telah dilakukan oleh Pemerintah, mulai dari penyediaan kebutuhan pangan, pelayanan kesehatan dan pendidikan, perluasan kesempatan kerja, pembangunan 1
2
Tulisan ini diringkas dari penelitian Tesis yang dibuat oleh Akhmad Rozi dibawah bimbingan Dr. Suyanto, MSi dan Drs. Mukhtar Sarman, MSi MSi. Akhmad Rozi adalah mahasiswa Program Magister Sains Administrasi Pembangunan Universitas Lambung Mangkurat (MSAP-UNLAM) angkatan I, dan status pekerjaannya ketika itu adalah sebagai Ketua Panwaslu Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan.
FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
49
pertanian, pemberian dana bergulir dan pembangunan infrastruktur. Namun gejala kemiskinan di Indonesia belum sepenuhnya bisa teratasi. Dalam rangka penanggulangan kemiskinan berbasis rumah tangga, Pemerintah meluncurkan program khusus yang diberi nama Program Keluarga Harapan (PKH), yang dilaksanakan sejak tahun 2007. Meskipun pelaksanaan program ini seiring dengan berakhirnya program Subsidi Langsung Tunai (SLT), tetapi bukan dimaksudkan sebagai kelanjutan program SLT. Program PKH lebih dimaksudkan sebagai upaya membangun sistem perlindungan kepada masyarakat miskin. Menurut Dirjen Bantuan dan Jaminan Sosial (Depsos, 2010) PKH dirancang untuk membantu penduduk miskin kluster terbawah berupa bantuan bersyarat. Program ini akan dilaksanakan secara berkesinambungan setidaknya sampai tahun 2015. Program ini diharapkan mampu berkontribusi untuk mempercepat pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals atau MDGs), yaitu pengurangan penduduk miskin ekstrim dan kelaparan, pencapaian pendidikan dasar, kesetaraan gender, pengurangan angka kematian bayi dan balita, dan pengurangan kematian ibu melahirkan. Tujuan utama PKH adalah membantu mengurangi kemiskinan dengan cara meningkatkan kualitas sumberdaya manusia pada rumah tangga sangat miskin. Dalam jangka pendek bantuan yang diberikan membantu mengurangi beban pengeluaran Rumah Tangga Sangat Miskin (RSTM). Dengan PKH diharapkan RTSM penerima bantuan memiliki akses yang lebih baik untuk memanfaatkan pelayanan sosial dasar kesehatan, pendidikan, pangan dan gizi; termasuk menghilangkan kesenjangan sosial, ketidakberdavaan dan keterasingan sosial yang selama ini melekat pada diri warga miskin (Panduan pendamping PKH, 2008). PKH dilaksanakan dengan cara memberikan bantuan uang tunai kepada RTSM jika mereka memenuhi persyaratan terkait upaya peningkatan sumber daya manusia, yaitu pendidikan dan kesehatan. RTSM penerima PKH memiliki kewajiban yang harus dipenuhi, khususnya kewajiban kesehatan dan pendidikan. Kewajiban itu adalah pemeriksaan kandungan bagi ibu hamil, pemeriksaan kesehatan, pemberian asupan gizi dan imunisasi anak balita, serta kewajiban
50
FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
menyekolahkan anak ke sekolah dasar dan lanjutan. PKH diasumsikan akan dapat memberi manfaat jangka pendek dan panjang Untuk jangka pendek PKH akan memberikan income effect kepada RTSM melalui pengurangan beban pengeluaran rumah tangga. Untuk jangka panjang Program PKH dimaksudkan untuk memutus rantai kemiskinan antar generasi melalui peningkatan kualitas kesehatan, pendidikan dan kapasitas pendapatan anak di masa depan (Pedoman Umum PKH, 2008). Sebagai sebuah program yang direncanakan secara terpusat, dalam implementasinya terdapat banyak aspek dan pihak yang terlibat. Dalam kaitan itu tidak tertutup kemungkinan terjadinya deviasi pada saat implementasi program. Hal ini misalnya telah terjadi di Kabupaten Jember, sedikitnya 550 orang warga dari enam desa di Kecamatan Arjasa Jember Kabupaten Jember Jawa Timur, melakukan aksi unjuk rasa, mendatangi kantor DPRD, memprotes kebijakan pemberian bantuan PKH yang dinilai tidak tepat sasaran (Tempo Interaktif, 1 April 2008). Sebelumnya, warga Karang Muwo, Kecamatan Kalirates Kabupaten Jember memprotes pelaksanaan PKH, karena Program ini diduga digunakan untuk kepentingan politik Pilkada Jawa Timur (Tempo Interaktif, 8 Januari 2008). Di Kabupaten Pandeglang, peserta PKH di desa Cibingbin kecamatan Cibaliung harus menyisihkan 30% dari dana yang diterima oleh peserta PKH untuk diberikan kepada warga lain yang tidak mendapatkan dana dari PKH (Koran Banten, 2 Mei 2009). Sedangkan di Kabupaten Rengasdengklok pencairan dana PKH untuk tiga Kecamatan di kantor pos Cabang Rengasdengklok ada indikasi pemotongan dana PKH, antara Rp 10 ribu sampai Rp 20 ribu/penerima PKH (Jawapos/Radar Karawang, 10 November 2008). Di Kabupaten Tanah Laut, PKH dilaksanakan sejak tahun 2008 bersama dengan 4 kabupaten lainnya (kabupaten Banjar, Barito Kuala, Hulu Sungai Tengah dan Hulu Sungai Selatan) di Provinsi Kalimantan Selatan. Pada tahun 2010, pelaksanan PKH di kabupaten Tanah Laut memasuki tahun ketiga. Sebagaimana biasanya sebuah kebijakan publik lainnya, implementasi PKH di tingkat lokal tidak tertutup kemungkinan menghadapi permasalahan-permasalahan. Merujuk pada Idris dkk (2009), terdapat beberapa kendala pelaksanaan PKH di kabupaten FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
51
Tanah Laut, antara lain kurangnya koordinasi antar instansi terkait, kurang pedulinya petugas instansi lain yang seharusnya ikut terlibat, dan keterlambatan informasi dari pusat ke daerah terkait pencairan dana serta verifikasi data. Wibawa dkk (1994) mengemukakan bahwa dalam kenyataannya tidak selamanya kebijakan publik itu mencapai sasaran setelah diimplementasikan, walaupun direncanakan sedemikian rupa. Karena pada saat diimplementasikan banyak sekali terkait dengan berbagai hal yang kompleks, yang tidak mudah untuk dieliminir. Oleh karena itu, tidak semua kebijakan itu mudah untuk mencapai sasaran dan membuahkan hasil yang diharapkan. Implementasi kebijakan sangat terbuka pada munculnya gejala yang disebut “implementation gap”, yaitu suatu keadaan dimana suatu kebijakan selalu terbuka mengalami deviasi dalam implementasi.
A. 2. Pokok Permasalahan Sebagai sebuah program yang dibuat secara sentralistik, tidak tertutup kemungkinan PKH mengalami berbagai deviasi di dalam implementasi. Deviasi dimaksud bukan hanya terkait dengan karakteristik wilayah, tetapi juga karena faktor intervensi politik. Dalam konteks kasus di Kabupaten Tanah Laut isu utama yang tampak adalah kurang adanya dukungan dari pihak pelaksana kesehatan dan pendidikan untuk mendukung program. Oleh karena itu perlu diteliti apakah implementasi PKH dapat berjalan efektif dan memberikan manfaat bagi peserta PKH dengan adanya kondisi aktual semacam itu.
A. 3. Perumusan Masalah Pertanyaan pokok dalam penelitian ini adalah, apakah kebijakan yang didesain sedemikian rupa oleh pemerintah secara terpusat dapat diimplementasikan di tingkat lokal sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimana efektivitas PKH di kabupaten Tanah Laut, dan manfaat apa yang dapat dirasakan oleh RTSM yang jadi kelompok sasaran program?
52
FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
A. 4. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah ingin mengetahui bagaimana pelaksanaan PKH di kabupaten Tanah Laut sebagai salah satu program Pemerintah Pusat yang dikhususkan untuk mengatasi masalah kemiskinan penduduk di daerah.
B. METODOLOGI B. 1. Teorisasi Masalah Program Keluarga Harapan (PKH) adalah sebuah kebijakan program yang dirumuskan oleh Pemerintah untuk mengatasi masalah kemiskinan penduduk di Indonesia. Secara umum, konsep kebijakan hampir selalu dikaitkan dengan keputusan tetap yang bersifat konsisten dan merupakan pengulangan tingkah laku dari yang membuat dan dari mereka yang mematuhi keputusan tersebut (Utomo, 2000). Menurut Friedrich sebagaimana dikutip Wahab (1997), kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan, terutama dalam kaitan adanya peran fungsional Pemerintah di ranah publik sebagai pelayan masyarakat. Namun, merujuk pada Nugroho (2004), untuk menyelesaikan permasalahan yang berkembang di masyarakat diperlukan kebijakan sebagai realisasi dari fungsi dan tugas negara serta dalam rangka mencapai tujuan pembangunan. Dengan kata lain, kebijakan (dalam konteks peran Pemerintah sebagai pemangku otoritas publik) dibutuhkan untuk memecahkan masalah yang ada di ranah publik. Dan untuk itu dibutuhkan bukan hanya perumusan (rencana) program, tetapi juga implementasi program guna mencapai tujuan yang telah direncanakan. Oleh karena itu suatu kebijakan harus diimplementasikan agar mempunyai dampak atas tujuan yang diinginkan (Tachjan, 2006). Itulah sebabnya implementasi kebijakan merupakan suatu upaya untuk mencapai tujuan dengan sarana dan dalam urutan waktu tertentu. Padahal implenentasi kebijakan program itu baru dapat dimulai apabila
FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
53
tujuan-tujuan kebijakan telah ditetapkan, program-program aksi telah dibuat, dan dana untuk mendukung pelaksanaan program aksi telah dialokasikan untuk pencapaian tujuan kebijakan tersebut (Sugono, 1994). Merujuk pada Wahab (1997), agar suatu kebijakan dapat terimplementasi dengan baik diperlukan syarat-syarat antara lain: (1) Kondisi eksternal (sikap masyarakat); (2) Ketersesedian waktu dan sumber daya; (3) Sinergisitas sumber daya yang diperlukan; (4) Adanya hubungan kausalitas; (5) Kesederhanaan mata rantai penghubung; (6) Hubungan saiing ketergantungan kecil; (7) Pemahaman terhadap tujuan; (8) Adanya tugas-tugas yang jelas dalam urutan waktu yang tepat; (9) Komunikasi dan koordinasi yang baik. Meminjam konsep efektivitas program Maarse (Hogerwerf, 1983) ada empat faktor yang menentukan berhasil tidaknya suatu implementasi kebijakan, yaitu: isi dari kebijakan yang dilaksanakan, tingkat informasi dari aktor-aktor yang terribat pelaksanaan, banyaknya dukungan yang harus dilaksanakan, dan pembagian dari potensi-potensi yang ada. Itulah sebabnya keberhasilan aktifitas implementasi kebijakan tergantung pada isi kebijakan dan konteks kebijakan (Subarsono, 2006). Isi kebijakan yang dimaksud meliputi: kepentingan yang terpenuhi oleh kebijakan (interest affected), jenis manfaat yang dihasilkan (tipe of benefit ), derajat perubahan yang diinginkan ( extent of change envisioned ), kedudukan pembuat kebijakan (site of decision making), para pelaksana program (program implementators), sumber daya yang dikerahkan (resources commited). Sedangkan konteks implementasi yang terdiri dari: kekuasaan (power), kepentingan strategi aktor yang terlibat (interest strategies of actors involved), karakteristik lembaga dan penguasa (institution and regime characteristics), kepatuhan dan daya tanggap pelaksana (compliance and responsiveness). Merujuk pada penjabaran Robbins (1994), sebuah kebijakan program itu bisa efektif terrgantung pada pendekatannya, apakah
54
FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
berorientasi pada upaya mencapai tujuan, atau mengikuti model sistem, atau mempertimbangkan konstituensi-strategisnya, atau dengan mempertimbangkan nilai-nilai persaingan. Pendekatan pencapaian tujuan (goal attainment approach) memandang bahwa keefektifan organisasi dapat dilihat dari pencapaian tujuannya (ends) daripada caranya (means). Metode manajemen yang terkait dengan pendekatan ini dikenal dengan Managemen By Objectives (MBO), yaitu falsafah manajemen yang menilai keefektifan organisasi dan anggotanya dengan cara menilai seberapa jauh mereka mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Sedangkan pendekatan sistem menekankan bahwa untuk meningkatkan kelangsungan hidup organisasi, maka perlu diperhatikan adalah sumber daya manusianva, mempertahankan diri secara internal dan memperbaiki struktur organisasi dan pemanfaatan teknologi agar dapat berintegrasi dengan lingkungan yang darinya organisasi tersebut memerlukan dukungan terus menerus bagi, kelangsungan hidupnya. Pendekatan konstituensi-strategis lebih menekankan pada pemenuhan tuntutan konstituensi di dalam lingkungan yang darinya orang tersebut memerlukan dukungan yang terus menerus bagi kelangsungan hidupnya. Adapun pendekatan nilainilai bersaing mencoba mempersatukan ke tiga pendekatan lainnya, masing-masing didasarkan atas suatu kelompok nilai. Masing-masing didasarkan atas suatu kelompok nilai. Masing-masing nilai selanjutnya lebih disukai berdasarkan daur hidup di mana organisasi itu berada. Dalam konteks PKH, tampaknya pendekatan terakhir itulah yang ingin dicoba diimplementasikan di lapangan. PKH merupakan program pemerintah dalam rangka percepatan penanggulangan kemiskinan sekaligus pengembangan kebijakan di bidang perlindungan sosial. Menurut Dirjen Bantuan dan Jaminan Sosial Departemen Sosial (2007), PKHmerupakan asistensi sosial kepada Rumah Tangga Miskin yang ditujukan untuk mengubah perilaku terhadap perbaikan status kesehatan ibu hamil, ibu menyusui, dan anak balita, serta pendidikan anak RTSM. Secara umum PKH bertujuan untuk mengurangi angka dan memutus rantai kemiskinan, meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, serta mengubah perilaku RTSM yang relatif kurang mendukung peningkatan kesejahteraan. Tetapi secara khusus, PKH sebenarnya bertujuan untuk: FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
55
(1) Meningkatkan status sosial ekonomi RTSM; (2) Meningkatkan status kesehatan dan gizi ibu hamil, ibu nifas, anak balita dan anak usia 5-7 tahun yang belum masuk sekolah dasar dari RTSM; (3) Meningkatkan akses dan kualitas pelayahan pendidikan dan kesehatan, khususnya bagi anak-anak RTSM; (4) Meningkatkan taraf pendidikan anak-anak RTSM. Diasumsikan bahwa untuk jangka pendek PKH mestinya mampu memberikan income effect kepada rumah tangga miskin melalui pengurangan beban pengeluaran rumah tangga miskin. Namun untuk jangka panjang, PKH diharapkan dapat memutus rantai kemiskinan antar generasi melalui: (1) Peningkatan kualitas kesehatan/nutrisi, pendidikan dan kapasitas pendapatan anak di masa depan price effect anak keluarga miskin). (2) Memberikan kepastian kepada si anak akan masa depannya (insurance effect). (3) Mengubah perilaku keluarga miskin yang relatif kurang mendukung peningkatan kesejahteraan akibat antara lain: (a) kurangnya informasi mengenai hak, manfaat, keuntungan dan kesempatan, (b) tingginya biaya tidak langsung seperti biaya transportasi dan seragam sekolah, (c) opportunity cost yakni sikap orang tua yang menganggap anak bekerja lebih menguntungkan daripada bersekolah. (4) Mengurangi pekerja anak dan mencegah turunnya anak-anak bekerja di jalanan, serta mencegah rumah tangga miskin menjadi tuna sosiai dan atau penyandang masalah kesejahteraan sosial. (5) Peningkatan kualitas pelayanan dan barang publik melalui perbaikan komplementer di bidang akses pendidikan dan kesehatan keluarga miskin, penyempurnaan sistem perlindungan sosial, dan pelaksanaan desentralisasi. (6) Mempercepat pencapaian MDGS (melalui peningkatan akses pendidikan, peningkatan kesehatan ibu hamil, pengurangan kematian balita, dan peningkatan kesetaraan jender).
56
FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
Itulah sebabnya, sasaran atau penerima bantuan PKH adalah Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) yang memiliki anggota keluarga yang terdiri dari anak usia 0 - 15 tahun dan/atau ibu hamil/nifas dan berada pada lokasi terpilih.
B. 2. Kerangka Konseptual PKH adalah program khusus untuk kelompok masyarakat yang paling miskin. Secara konseptual, kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat (Haryana, 2005). Pemahaman mengenai “kemiskinan” mestilah beranjak dari pendekatan berbasis hak (right based approach). Dalam pemahaman ini harus diakui bahwa seluruh anggota masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai hak-hak dasar yang sama. Kemiskinan juga harus dipandang sebagai masalah multidimensional, tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan dalam memenuhi hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. Pendekatan semacam itu mengandung arti bahwa negara berkewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak dasar masyarakat miskin secara bertahap. menurut Merujuk pada Sumodiningrat (2008) salah satu jalan keluar mengurangi kemiskinan memang adalah menciptakan lapangan kerja dan membuka akses-akses ekonomi serta memberdayakan ekonomi masyarakat miskin usia produktif. Namun aktualisasinya sebenarnya tidak sederhana. Bagi orang miskin, mereka lebih suka akses ekonomi atau lapangan pekerjaan daripada beras miskin. Menciptakan lapangan pekerjaan bukan hanya mengandalkan investor asing membuka pabrik atau membuka toko. Juga tidak harus mengandarkan utang luar negeri dapat makin memiskinkan rakyat. Melainkan, dengan lebih memberdayakan potensi ekonomi setiap orang, termasuk orang miskin. Dan hal itu tentu saja tidak mudah. Undang-Undang No. 5 tahun 2000 tentang program Pem– bangunan Nasional (Propenas) menyebutkan empat strategi penanggulangan kemiskinan, yaitu: FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
57
(1) Penciptaan kesempatan (create opportunity) melalui pemulihan ekonomi makro, pembangunan yang baik, dan peningkatan pelayanan umum. (2) Pemberdayaan masyarakat ( people empowerment ) dengan meningkatkan akses terhadap sumber daya ekonomi dan politik. (3) Peningkatan kemampuan ( increasing capacity ) melalui pendidikan dan perumahan. (4) Perlindungan sosial ( social protection) untuk mereka yang memiliki cacat fisik, fakir miskin, kelompok masyarakat yang terisolir, serta terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), dan korban konflik sosial. Dalam konteks model PKH, strategi dasarnya adalah bagaimana memberikan perlindungan sosial bagi RTSM. Merujuk pada ADB (2003) konsep perlindungan sosial dimaksudkan sebagai seperangkat kebijakan kesejahteraan sosial yang dirancang untuk mengurangi kemiskinan dan kerentanan (vulnerability) melalui perluasan pasar kerja yang efisien, pengurangan risiko-risiko kehidupan yang senantiasa mengancam manusia, serta penguatan kapasitas masyarakat dalam melindungi dirinya dari berbagai bahaya dan gangguan yang dapat menyebabkan terganggunya atau hilangnya pendapatan. Ada lima bidang utama dalam perlindungan sosial: (1) Kebijakan prcgram pasar kerja aktif yang didesain untuk memfasilitasi pembukaan kesempatan kerja. (2) Program asuransi sosial untuk meredam risiko yang terkait dengan pengangguran, sakit, cacat, cedera kerja dan usia tua. (3) Bantuan sosial dan program kesejahteraan pelayanan untuk kelompok yang paling rentan tanpa dukungan yang memadai, termasuk janda, tunawisma, atau orang-orang yang mengalami gangguan fisik atau mental. (4) Skema mikro dan berbasis wilayah untuk mengatasi kerentanan di tingkat masyarakat antara lain asuransi mikro, asuransi pertanian, dana sosial dan program untuk mengelola bencana alam. (5) Program perlindungan anak guna memberikan kepastian agar tumbuh sehat dan kelak menjadi tenaga kerja yang produktif di masa depannya.
58
FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
Namun, menurut Norton (2001) perlindungan sosial merupakan kebijakan yang ditujukan kepada kelompok masyarakat yang mengalami keadaan yang rentan baik secara absolut atau kerentanan yang paling miskin. Selain itu dapat ditujukan kepada kelompok masyarakat yang tidak miskin untuk perlindungan dalam menghadapi guncangan dan peristiwa siklus kehidupan. Karena itu kebijakan perlindungan sosial mestinya dilaksanakan dengan prinsip-prinsip: (a) Responsif terhadap realitas kebutuhan dan kondisi kehidupan kelompok sasaran; (b) Terjangkau dalam konteks perencanaan anggaran jangka pendek dan panjang; (c) Berkelanjutan, baik secara finansial dan politik; (d) Adanya kelembagaan dalam struktur pemerintahan yang berkelanjutan maupun kelembagaan di tingkat implementasi terutama di struktur masyarakat sipil; (e) Dibangun dengan prinsip memanfaatkan kemampuan individu, rumah tangga dan komunitas serta menghindari penciptaan ketergantungan dan stigma; dan, (f) Mampu menanggapi skenario yang berubah cepat dan munculnya tantangan baru. Bahkan dalam Konferensi Perburuhan Internasional (Sesi ke-89 Tahun 2001) disampaikan resolusi bahwa perlindungan sosial harus dilihat sebagai bagian integral dari proses pembangunan. Perlu sinergi antara kebijakan sosial, perlindungan pekerja pengembangan masyarakat. sinergi ini hartrs terjadi di berbagai bidang kebijakan sosial, seperti kesehatan, pendidikan, perumahan termasuk juga di bidang ekonomi, seperti kebijakan ekonomi makro dan sektoral seperti pengembangan usaha kecil (ILO, 2001). Dari perspektif lain, Kaber (2008) justru memandang pentingnya perspektif gender dalam strategi perlindungan sosial, terutama pada sektor ekonomi informal. Pada sektor informal perempuan menempati posisi yang rentan dari ketidakamanan. Oleh karenanya perlu adanya perspektif gender dalam perancangan kebijakan perlindungan sosial. Penekanan pada sektor ekonomi informal ini dikarenakan di situlah sebagian besar perempuan miskin, harus ditemukan, sementara upaya FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
59
formal bagi bagi perempuan dalam kebijakan perlindungan sosial sangat terbatas. Pendekatan gender ini harus pula dilakukan ;ada kebijakan program perlindungan sosial. Selain itu juga perempuan harus diberikan ruang untuk menyuarakan kepentingannya. Secara teknis, perlindungan sosial merupakan kebijakan yang harus dilaksanakan secara berkesinambungan (Chou & Gupta, 1998). Selain pemerintah, dalam model perlindungan sosial diperlukan juga peran lembaga non pemerintah. Ke-Young Chou dan Sanjeev Gupta dalam konteks pembangunan berkelanjutan membuat skema perlindungan sosial yang menunjukkan model komplementer tersebut (Gambar 1).
Gambar 1. Skema Perlindungan Sosial dalam konteks pembangunan berkelanjutan Sumber: Ke-Yong Chu & Sanjeev Gupta, 1998.
Di Indonesia sejak tahun 2004 telah diterbitkan undang-undang terkait perlindungan sosial, yaitu UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Dalam sistem jaminan sosial ini diakui bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak dan meningkatkan martabatnya menuju terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur. Untuk memberikan jaminan sosiai yang menyeluruh, Negara
60
FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
mengembangkan sistem jaminan sosial nasional bagi seluruh rakyat Indonesia, yang terdiri jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian. Sedangkan undang undang Nomor 17 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial lebih banyak mengatur perlunya keberadaan Tenaga Kesejahteraan Sosial. PKH adalah sebuah model perlindungan sosial berbasis keluarga. Secara konseptual PKH termasuk dalam kategori bantuan sosial (social assistance), yakni program jaminan sosial (social security) yang berbentuk tunjangan uang, barang, atau pelayanan kesejahteraan yang umumnya diberikan kepada keluarga rentan yang tidak memiliki penghasilan yang layak bagi kemanusiaan. Keluarga miskin, penganggur, anak-anak, penyandang cacat, lanjut usia, orang dengan kecacatan fisik dan mental, kaum minoritas, yatim-piatu, kepala keluarga tunggal, pengungsi, dan korban konflik sosial adalah beberapa contoh kelompok sasaran bantuan sosial. Model serupa PKH ini biasanya disebut sebagai pelayanan sosial yang berorientasi pada program subsidi tunai atau barang seperti Subsidi Langsung Tunai (SLT), kupon makanan, dan subsidi temporer seperti tunjangan perumahan. Bahkan program “beras miskin” (raskin) dapat dikategorikan sebagai bantuan sosial juga (Suharto, 2006). Dalam pelaksanaan perlindungan sosial berbasis keluarga, sesuai kebijakan pemerintah, termasuk bagian dari program penanggulan kemiskinan. Program ditujukan kepada kelonpok program bantuan sosial terpadu berbasis keluarga. Program ini merupakan kebijakan perlindungan sosial dalam rangka pemenuhan, hak dasar. pengurangan beban hidup, dan perbaikan kualitas hidup masyarakat miskin (Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010). Melalui Inpres Nomor 3 Tahun 2010, Presiden mengintruksikan kepada segenap Menteri, Pimpinan Lembaga Non Departemen dan Kepala Daerah untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing, untuk memfokuskan antara lain percepatan program penanggulangan kemiskinan berbasis keluarga. PKH merupakan program perlindungan sosial melalui pemberian uang tunai kepada RTSM, yang selanjutnya kepada mereka diwajibkan untuk melakukan pemanfaatan fasilitas kesehatan dan pendidikan. FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
61
B. 3. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian deskriptif dengan merujuk pada metode studi kasus. Pendekatan deskriptif adalah model penelitian yang dimaksudkan untuk menggambarkan adanya hubungan antar variabel atau faktor-faktor yang berpengaruh terhadap suatu fenomena yang dijadikan sebagai obyek kajian (Sarman, 2004). Sebagai unit analisis dalam penelitian ini adalah RTSM. RTSM yang menjadi unit analisis penelitian ini adalah RTSM yang ditetapkan sebagai peserta PKH di Kabupaten Tanah Laut tahun 2010. Sebagai kasus, dalam penelitian ini ditetapkan lokasi penelitian di Kelurahan Pelaihari (sebagai representasi kasus berciri wilayah perkotaan), dan Desa Batakan di Kecamatan Panyipatan (yang diasumsikan dapat mewakili wilayah berciri pedesaan). Kelurahan Pelaihari berada di pusat kota sedangkan Desa Batakan merupakan berada di wiiayah pinggiran. Sebagai instrumen dalam penelitian ini adalah observaasi dan wawancara untuk menggali informasi tentang: (1) bagaimana efektivitas PKH, dan (2) bagaimana manfaat program bagi RTSM peserta PKH. Hasil observasi dan wawancara itu kemudian diperkuat dengan verifikasi data skunder yang berasal dari dokumen-dokumen pelaksanaan program dan konfirmasi dengan petugas dan pejabat yang berwenang sebagai pelaksana program di daerah. Dengan demikian desain penelitiannya lebih diarahkan untuk menilai pelaksanaan program dari perspektif kemanfaatan yang diterima oleh subyek penelitian sebagai peserta PKH (Gambar 2).
62
FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
Gambar 2. Model Desain Penelitian
C. HASIL PENELITIAN C. 1. Kondisi Aktual Pelaksanaan PKH Kabupaten Tanah Laut memiliki jumlah penduduk mencapai 270.091 jiwa, terdiri dari 137.574 jiwa laki-laki (50,94%) dan 132.517 jiwa perempuan (49,06 %) dengan mayoritas usia 15-60 tahun sebesar 174.899 jiwa, sedangkan usia harapan hidup 67,90 tahun atau lebih tinggi dari rata-rata usia harapan hidup provinsi Kalimantan Selatan (63,10 tahun). Data BPS tahun 2009 menyebutkan jumlah rumah tangga di Kabupaten Tanah Laut sebanyak 71.418; sedangkan RTSM peserta PKH pada tahun yang sama berjumlah 1.466 atau 2,05% dari jumlah rumah tangga di Kabupaten Tanah Laut.
FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
63
Pada tahun 2008 peserta PKH di Kabupaten Tanah Laut sebanyak 1.499 RTSM. tahun 2009 sebanyak 1.466 RTSM, dan tahun 2010 sebanyak 1.188 RTSM. Sedangkan total bantuan dana PKH di Kabupaten Tanah Laut pada tahun 2008 sebesar Rp1.891.400.000, pada tahun 2009 sebesar Rp1.854.400.000, dan pada tahun 2010 sebesar Rp1.461.600.000. Peserta PKH terbanyak berada di wilayah Kecamatan Panyipatan yang hampir dua kali lipat dari jumlah Peserta PKH yang berada di kecamatan lain, sehingga jumlah bantuan dana terbesar untuk PKH pun berada di kecamatan tersebut (Tabel 1). Tabel 1. Alokasi Bantuan Dana PKH di Kabupaten Tanah Laut
Sumber: UPPKH Kabupaten Tanah Laut 2010
Sesuai dengan pedoman PKH yang mengatur bantuan PKH pemberian bantuan dana PKH tidak terkait dengan jumlah anggota keluarga, faktor jumlah anggota keluarga tidak digunakan untuk memperhitungkan besaran bantuan yang diberikan kepada peserta PKH. Itulah sebabnya bisa saja terjadi RTSM yang memiliki anggota lebih besar tetapi mendapatkan bantuan lebih kecil. Kasus semacam ini terjadi Desa Batakan, ada satu RTSM yang memiliki 9 anggota rumah tangga (ART) tetapi hanya mendapatkan bantuan Rp1.800.000; sedangkan tetangganya yang hanya memiliki 5 ART justru mendapatkan bantuan Rp2.200.000. Di desa Tanjung Dewa (kecamatan Penyipatan), ada RTSM yang 10 ART tetapi hanya mendapatkan bantuan dana sebesar Rp1.400.000; sedangkan satu RTSM yang memiliki jumlah 5 ART justru mendapatkan bantuan dana PKH sebesar Rp2.200.000. Di Kelurahan Pelaihari (Kecamatan Pelaihari), ada seorang janda yang memiliki 6 orang ART tetapi hanya menerima Rp 100.000; sama dengan yang diterima oleh tetangganya yang hanya memiliki 2 ART (berita acara UPPKH Kabupaten Tanah Laut, 2010) .
64
FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
Sesuai dengan tujuan PKH untuk meringankan beban RTSM dalam pembiayaan kesehatan dan pendidikan, maka komponen yang mendapatkan bantuan dana PKH adalah yang pembiayaan yang terkait dengan kesehatan dan pendidikan (Pedoman PKH, 2010). tetapi dalam prakteknya, tidak dapat dijamin bahwa dana bantuan dapat dimanfaatkan sepenuhnya untuk pembiayaan kesehatan dan pendidikan. Sesuai dengan pernyataan Bupati dan Ketua DPRD sebagai mana terdapat dalam dokumen komitmen kesediaan sebagai daerah yang menerima PKH, untuk Kabupaten Tanah Laut sebenarnya cukup tersedia fasilitas pelayanan kesehatan dan pendidikan untuk mendukung PKH (UPPKH Kabupaten Tanah Laut, 2008). Dengan demikian secara formal tidak ada masalah dengan ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan pendidikan di Kabupaten Tanah Laut. Tabel 2. Siswa Penerima Bantuan Dana PKH di Kabupaten Tanah
Sumber: Tanah Laut dalam Angka 2009 dan UPPKH Kabupaten Tanah Laut 2009
Dari Tabel 2 tampak bahwa persentase penerima bantuan dana PKH untuk jenis pendidikan sebenarnya lebih banyak diserap oleh mereka yang sekolah ditingkat SLTP (4,26%), meskipun secara riil jumlah penerima bantuan dana PKH itu lebih banyak pada keluarga yang menyekolahkan anaknya di SD (1.267 orang). Anak SMA dan SMK sesuai dengan ketentuan PKH, bukan merupakan sasaran PKH. Sedangkan untuk layanan pengguna Posyandu, dari 13 kecamatan hanya ada 4 kecamatan di Kabupaten Tanah Laut yang mendapatkan program dana PKH (Tabel 3).
FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
65
Tabel 3. Jumlah RTSM Pengguna Pelayanan Posyandu di Kabupaten Tanah Laut
Sumber: Tanah Laut dalam Angka 2009 dan UPPKH Kabupaten Tanah Laut 2009
Pada tahun 2008, hasil validasi data peserta PKH yang dilakukan oleh pendamping, terdapat 10 RTSM yang pindah domisili, enam orang di antaranya pindah mukim dari Kecamaan Panyipatan. Pada tahun yang sama, ternyata ada 5 RTSM yang sudah layak dikategorikan sebagai Rumah Tangga Mampu, sehingga tidak mendapatkan lagi dana PKH, 3 di antaranya berasal dari Kecamatan Panyipatan, dan 2 orang lainnya dari Kecamatan Pelaihari. Pada tahun 2009, jumlah RTSM yang dikategorikan mampu dan tidak lagi mendapatkan dana PKH bertambah menjadi 37 orang, sedangkan pada tahun 2010 bertambah lagi sebanyak 21 rumah tangga (Tabel 4). Sayangnya tidak dapat diverifikasi lebih lanjut, mengapa mereka berubah status menjadi keluarga yang “mampu”, apakah karena keberhasilan program PKH atau karena faktor lain atau bahkan boleh jadi karena peranan program pengentasan kemiskinan lainnya. Tabel 4. Distribusi Hasil Validasi RTSM Peserta PKH di Kabupaten Tanah Laut
Sumber: Diolah dari UPPKH Kabupaten Tanah Laut, 2010.
Adanya keraguan atas pengaruh PKH terhadap perubahan status RTSM itu sesuai dengan laporan Pendamping PKH Kabupaten Tanah Laut Tahun 2009, bahwa terdapat beberapa kendala di lapangan, antara lain:
66
FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
(a) Kurangnya koordinasi antara instansi terkait sehingga ada program yang tidak sikron satu sama lain. (b) Kendala distribusi formulir verifikasi Fasilitas kesehatan dan Fasilitas Pendidikan sehingga pengembalian formulir mengalami keterlambatan, padahal ini merupakan dasar acuan pembayaran bantuan dana PKH. Meskipun telah dijelaskan bahwa PKH program untuk keluarga sangat miskin muncul pula pertanyaan dari guru dan bidan dalam hal kompensasi pengisian formulir. (c) Keterlambatan informasi yang di berikan pusat kepada daerah sehingga menyulitkan pendamping untuk meneruskan informasi tersebut kepada peserta PKH, terutama dalam hal pencairan dana bantuan dan verifikasi data (deadline closing). (d) Masih ada daerah yang belum tersentuh oleh fasilitas kesehatan (Pulau Ubi Desa Batakan) sehingga peserta PKH sulit untuk mengaksesnya dan melaksanakan kewajiban kesehatan. (e) Sulitnya pendamping menuju lokasi dampingan karena kondisi jalan masih banyak yang rusak.
C. 2. Efektivitas PKH PKH adalah satu program penanggulangan kemiskinan berbasis keluarga yang dalam target jangka pendeknya bertujuan terlaksananya pemanfaatan fasilitas pendidikan ataupun fasilitas kesehatan oleh RTSM peserta PKH. Dalam jangka panjang, PKH bertujuan untuk mengurangi angka dan memutus rantai kemiskinan, meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, serta merubah perilaku RTSM yang relatif kurang mendukung peningkatan kesejahteraan. Berikut ini adalah hasil temuan implementasi PKH di dua kasus, yaitu: Desa Batakan Kecamatan Panyipatan, dan Kelurahan Pelaihari Kecamatan Pelaihari. (1) PKH di Desa Batakan Desa Batakan merupakan salah satu desa di Kecamatan Panyipatan yang berada di wilayah utara Kabupaten Tanah Laut. Jarak Desa Batakan dengan ibukota kabupaten sejauh 40 km atau dapat ditempuh kurang lebih selama 1,5 jam perjalanan dengan kendaraan FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
67
bermotor. Sebelah barat dan selatan Desa Batakan, berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah utara berbatasan Desa Tanjung Dewa dan sebelah timur berbatasan Desa Kandangan Lama. Penduduk Desa Batakan berjumlah 4.929 jiwa sedangkan penduduk miskin berjumlah 1.876 orang atau 38,06% dari total penduduk (Profil Desa Batakan, 2010).
(a) Peserta PKH Peserta PKH di Desa Batakan merupakan peserta terbanyak di Kabupaten Tanah laut. Pada tahun 2010 jumlah peserta PKH di Desa Batakan sebesar 149 RTSM. Dari jumlah RTSM peserta PKH tersebut terdapat lima orang hamil, 89 balita, 148 anak SD dan 34 anak SLTP. Dilihat dari jumlah rumah tangga miskin di Desa Batakan yang berjumlah 1.272 rumah tangga, maka persentase penerima PKH di Desa Batakan sebesar 0,27% dari rumah tangga miskin. Berdasarkan studi kelayakan Kementerian sosial, Desa Batakan menempati rangking pertama sebagai desa sasaran PKH di Kecamatan Panyipatan dengan skor kelayakan 25,47. Rangking kedua ditempati Desa Tanjung Dewa dengan skor 13,24. (UPPKH Kabupaten Tanah Laut, 2010). RTSM peserta PKH di Desa Batakan sudah sesuai dengan sasaran. Berdasarkan wawancara dengan tiga RTSM masing berinisial W, M dan J (wawancara tanggal 12 Agustus 2010) mereka semua pada intinya berpendapat, semua RTSM peserta PKH di Desa Batakan memang layak mendapatkan bantuan dana PKH. Hasil konfirmasi kepada pendamping PKH yang berinisial Y, ternyata tidak semua RTSM dapat diakomodir karena keterbatasan dana. “Penentuan PKH untuk tahun 2010 dilaksanakan dengan open system, sehingga peserta yang tidak memenuhi syarat dikeluarkan, kemudian diusulkan peserta baru. Tetapi karena kuota yang ditentukan terbatas, sehingga memang ada rumah tangga yang sebenarnya layak mendapatkan dana PKH tidak dapat dijadikan peserta. Kami pernah didatangi warga untuk minta dijadikan peserta PKH dan setelah kami cek kondisi rumah tangga, memang layak mendapatkan. Tetapi sudah tidak ada lagi kuota, kami hanya mengusulkan. RTSM peserta PKH semua ditetapkan oleh pusat (Wawancara dengan Y, 12 Agustus 2010).
68
FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
(b) Ketersediaan Fasilitas Di Desa Batakan terdapat 3 posyandu, sedangkan jumlah balita dan ibu hamil RTSM yang mendapat pelayanan sebanyak 94 orang yang terdiri dari 5 orang ibu hamil dan 89 balita; dan berarti setiap posyandu rata-rata harus melayani 32 orang. Keadaan ini dapat dikatakan kurang memberikan kenyamanan dalam pelayanan kesehatan. Berdasarkan wawancara peneliti dengan S, peserta PKH mengeluhkan keadaan ini, dan dibenarkan oleh sejumlah peserta PKH lainnya. Kami tidak mempermasalahkan kewajiban peserta PKH untuk mengikuti kegiatan di posyandu, tapi kegiatan di Posyandu itu membosankan. Bagaimana tidak, kami harus meninggalkan pekerjaan di rumah, harus bersusah payah membawa kedua anaknya ke posyandu, sesampainya di Posyandu, masih fokus menunggu antri lama. Setelah menunggu cukup lama baru dipanggil oleh petugas (Wawancara dengan S, 12 September 2010). Ketidaknyamanan pelayanan Posyandu itu diakui oleh petugas (berinisial D) yang bertugas memberikan pelayanan. Idealnya, untuk kondisi posyandu seperti yang ada di lokasi penelitian itu seharusnya cukup melayani 15 orang per hari agar stamina petugas tetap terjaga sampai pekerjaan selesai. Sedangkan untuk fasilitas pendidikan untuk peserta PKH, hasil verifikasi menunjukkan kapasitas yang tersedia untuk SD dan SLTP lebih dari cukup. Pada beberapa kasus SD di mana peserta PKH bermukim, bahkan cenderung kekurangan murid. c.
Pendampingan Pendamping untuk Desa Batakan dilakukan oleh petugas pendamping PKH Kecamatan Panyipatan. Dalam melaksanakan tugas pendampingan, pendamping PKH itu menyampaikan laporan bulanan setiap wilayah desa/kelurahan kepada UPPKH Kabupaten Tanah Laut. Memperhatikan laporan yang dibuatnya, tampaknya kinerja petugas itu cukup baik dalam melaporkan segala hal yang berkaitan dengan bidang tugasnya. Namun, dari laporannya itu pula tampak bahwa petugas belum mampu mengatasi permasalahan FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
69
manakala ada kendala di lapangan. Contohnya, ada laporan bahwa tidak setiap anggota PKH melakukan aktivitas yang berkaitan dengan pemeriksaan kesehatan ibu hamil dan ibu menyusui ke Posyandu, namun petugas hanya mencatat tetapi tidak melacak mengapa peserta PKH tidak melakukan aktivitas yang seharusnya dilakukan oleh seorang peserta PKH, dan juga tidak ada laporan apa yang telah dilakukan oleh petugas agar peserta PKH itu menjadi lebih aktif. Dari hasil wawancara dengan peserta PKH dapat dilacak bahwa satu-satunya peran pendamping yang paling menonjol adalah ketika dilakukan validasi kelengkapan dan proses pencairan bantuan dana program. Mereka mengakui bahwa petugas pendamping PKH selalu hadir dalam setiap pertemuan kelompok RTSM. Keberadaan pendamping, menurut peserta program, dirasakan sangat membantu kelancaran dalam proses pencairan dana PKH. (2) PKH di Kelurahan Pelaihari Kelurahan Pelaihari merupakan pusat kota di Kabupaten Tanah Laut. Kelurahan Pelaihari di sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Angsau, sebelah selatan bersebelahan dengan Kelurahan Karang Taruna, sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Angsau dan seberah barat berbatasan dengan Desa Tungkaran. Pada tahun 1980-an pusat perkantoran Pemda Tanah Laut berada di Kelurahan Pelaihari, sebelum kemudian dipindahkan ke kawasan baru di Kelurahan Angsau. Namun demikian pusat kegiatan ekonomi rakyat berupa pasar tradisional dan pertokoan yang menyebabkan muncul keramaian tetap berada di Kelurahan Pelaihari. Penduduk Kelurahan Pelaihari berjumlah 12.703 jiwa sedangkan penduduk miskinnya berjumlah 910 orang atau sekitar 7,16% dari total penduduk (Profil Kelurahan Pelaihari 2010). Peserta PKH di Kelurahan Pelaihari pada tahun 2010 berjumlah 42 RTSM. Dari jumlah RTSM peserta PKH tersebut terdapat ibu yang bertanggung jawab atas perawatan 20 balita,51 anak SD dan 15 anak SLTP. Di Kelurahan Pelaihari pada tahun 2010 tidak terdapat anggota RTSM yang sedang hamil. Dilihat dari jumlah rumah tangga miskin di
70
FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
Kelurahan Pelaihari yang berjumlah 2.439 rumah tangga, maka persentase penerima PKH di Kelurahan Pelaihari sebesar 0,13% dari rumah tangga miskin. Berdasarkan studi kelayakan Kementerian sosial, Kelurahan Pelaihari menempati rangking kedua sebagai desa/kelurahan sasaran PKH di Kecamatan Pelaihari dengan skor kelayakan 7,76. Rangking pertama ditempati Desa Ujung Batu dengan skor 7,88 (UPPKH Kabupaten Tanah Laut, 2010). Dengan demikian, peserta PKH di Kelurahan Pelaihari sudah sesuai dengan aturan sasaran program. Kelayakan peserta PKH bukan hanya diakui oleh petugas pendamping, tetapi juga diaminkan oleh peserta PKH yang diwawancarai dalam rangka penelitian ini. Tidak ada keluhan dan keberatan dari peserta PKH atas status mereka.
a. Ketersediaan Fasilitas Di Kelurahan Pelaihari terdapat 7 posyandu, sedangkan jumlah balita dan ibu hamil RTSM yang harus mendapatkan pelayanan sebanyak 20 orang. Berdasarkan hasil wawancara dengan P (Wawancara 02 September 2010) diketahui bahwa pelayanan terhadap RTSM peserta PKH cukup nyaman, karena tidak perlu menunggu terlalu lama. Konfirmasi dengan petugas posyandu (Wawancara dengan Z,02 September 2010), ternyata petugas pun merasa tidak keberatan dengan tambahan pengunjung yang berasal dari RTSM peserta PKH, karena jumlahnya sedikit. Demikian pula untuk ketersediaan fasilitas pendidikan dalam rangka mendukung program bantuan PKH, lebih dari cukup, dan tidak ada masalah. b. Pendampingan Pendamping untuk Kelurahan Pelaihari merupakan pendamping PKH Kecamatan Pelaihari. Dalam melaksanakan tugas pendampingan, Pendamping PKH menyampaikan laporan bulanan setiap wilayah kelurahan kepada UPPKH Kabupaten Tanah Laut. Dan seperti juga petugas pendamping di Kecamatan Panyipatan, aktivitas yang dilakukan oleh petugas pendamping di Kecamatan Pelaihari terutama berkaitan dengan hal-hal administratif proses
FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
71
bagaimana pencairan dana, dan belum sampai memberikan prakondisi agar peserta PKH lebih aktif memanfaatkan akses layanan kesehatan manakala mereka seharusya membutuhkan hal itu.
C. 3. Manfaat PKH Manfaat jangka pendek PKH adalah memberikan income effect kepada RTSM melalui pengurangan beban pengeluaran RTSM peserta PKH untuk membiayai kebutuhan kesehatan dan pendidikan. Untuk jangka panjang, manfaat PKH diharapkan dapat memutus rantai kemiskinan antar generasi. PKH dilaksanakan dengan cara memberikan bantuan dana kepada RTSM yang memiliki anggota keluarga yang terdiri dari anak usia 0-15 tahun dan/atau ibu hamil/nifas dan berada pada lokasi terpilih. Berikut ini diuraikan hasil temuan implementasi PKH di dua kasus, yaitu Desa Batakan (Kecamatan Panyipatan) dan Kelurahan Pelaihari (Kecamatan Pelaihari) dari perspektif manfaat program. Untuk Desa Batakan, dari 149 RTSM peserta PKH terjadi peningkatan pemanfaatan fasilitas kesehatan dan pendidikan sesuai dengan ketentuan PKH sebagai berikut: 1. Pada catur wulan I sebanyak 69 RTSM yang melaksanakan pemanfaatan atau 80 RTSM tidak melaksanakan pemanfaatan 2. Pada catur wulan II sebanyak 114 RTSM yang melaksanakan pemanfaatan atau 35 RTSM tidak melaksanakan pemanfaatan. 3. Pada catur wulan II sebanyak 146 RTSM yang melaksanakan pemanfaatan atau tiga RTSM tidak melaksanakan pemanfaatan. Sedangkan untuk Kelurahan Pelaihari dari 42 RTSM peserta PKH tidak tampak terjadi peningkatan pemanfaatan fasilitas kesehatan dan pendidikan sesuai dengan ketentuan PKH, rincian pemanfaatan fasilitas kesehatan dan pendidikan untuk Kelurahan Pelaihari sebagai berikut: 1. Pada catur wulan I sebanyak 47 RTSM yang melaksanakan pemanfaatan atau satu RTSM tidak melaksanakan pemanfaatan 2. Pada catur wulan II sebanyak 21 RTSM yang melaksanakan pemanfaatan atau zr RTSM tidak melaksanakan pemanfaatan
72
FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
3. Pada catur wulan III sebanyak 35 RTSM yang melaksanakan pemanfaatan atau tujuh RTSM tidak melaksanakan pemanfaatan Konfirmasi dengan peserta PKH yang tidak memanfaatkan fasilitas menunjukkan bahwa aktivitas yang berkaitan dengan PKH dianggap sebagai pilihan bebas. Seorang peserta PKH di Kelurahan Pelaihari, berinisial K, mengaku sebenarnya ingin berpartisipasi, namun ia terkendala dengan kegiatannya berjualan, dan tidak mungkin meninggalkan jualannya hanya untuk pergi ke Posyandu mengantar anaknya. Sejumlah peserta PKH mengakui bahwa mereka akan ke Posyandu mengantar anak balitanya kalau sakit, dan apabila hanya untuk pemeriksaan rutin akan dilakukan kalau ada kesempatan waktu luang. Pemanfaatan dana PKH praktis jauh lebih baik dalam konteks kebutuhan pakaian dan alat-alat sekolah anak-anak peserta PKH. Hasil wawancara dengan peserta PKH yang berinisial Ist barangkali dapat mewakili kemanfaatan PKH bagi RTSM penerima dana bantuan.
Dengan adanya PKH sekarang ini. kami lebih nyaman memenuhi kebutuhan anak sekolah. Dari dana PKH yang kami terima dibelikan sepeda untuk anak laki-Iaki kami. Biasanya ia berjalan kaki, atau menumpang temannya naik sepeda. Ia dulu sering terlambat dan sering tidak masuk sekolah. Karena harus berjalan jauh, sesampai di sekolah pelajaran sudah dilaksanakan. Bila ia bergantung kepada temannya yang memiliki sepeda, sering ia tidak masuk sekolah karena temannya itu belum tentu menjemputnyo. Sedangkan adiknya yang juga sekolah kami belikan baju baru dari dana PKH. Kalau tidak ada PKH belum tentu kami bisa membelikan baru seragam yang baru (Wawancara dengan Ist tanggal 23 November 2010). Tetapi tidak selalu dana PKH diperuntukkan buat aktivitas jangka pendek sebagaimana dirancang dalam panduan program. Seorang peserta PKH penerima bantuan berinisial M, justru memanfaatkan dana bantuan PKH untuk uang saku anaknya ketika sekolah. Alasannya, anaknya itu sering tidak masuk sekolah karena tidak ada
FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
73
uang saku, dan dana PKH itulah solusinya. Sedangkan seorang peserta PKH yang berinisial D, mengaku jadi rajin datang ke posyandu karena dengan adanya dana PKH dia dapat memanfaatkannya guna membayar ongkos ojek ke posyandu.
C. 4. Pembahasan PKH merupakan salah satu program dari kebijakan pemerintah dalam rangka menanggulangi kemiskinan. Pada saat awal diluncurkannya PKH didasarkan pada kebijakan Penanggulangan kemiskinan sebagaimana tertuang dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2005-2009 (Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005). Pada tahun 2010, program ini selain didasarkan pada dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014 (Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010), Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2010 Tentang percepatan Penanggulangan Kemiskinan, Instruksi Presiden Nomor Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010 dan Intruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2010 tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan. Berbagai peraturan tersebut di atas mengatur kebijakan umum Pemerintah terkait penanggulangan kemiskinan. Dalam hal pelaksanaan teknisnya Program Keluarga Harapan diatur oleh Direktur Jenderal Bantuan Sosial dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial, dalam bentuk Pedoman Umum Program Keluarga Harapan. Untuk Tahun 2008, Pedoman Umum PKH dikeluarkan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Nomor 01/BJS-BS.08.04/II/2008. Untuk Tahun 2008, Pedoman Umum PKH dikeluarkan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Nomor 01/BJS-BS.08.04/V/2009; dan untuk Tahun 2010, Pedoman Umum PKH dikeluarkan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Nomor 01/BJS-BS .08.04/ II/ 2010. Penentuan sasaran PKH ditentukan oleh Kementerian Sosial. Untuk penentuan daerah, dipersyaratkan adanya komitmen dari Pemerintah Daerah terkait kesediaannya sebagai wilayah yang menerima Program Keluarga Harapan. Komitmen Pemerintah Kabupaten Tanah Laut dituangkan dalam bentuk Surat Pernyataan Kesediaan Daerah Untuk Melaksanakan PKH yang ditandatangani
74
FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
oleh Bupati Tanah Laut Drs H Adriansyah dan Wakii Ketua DPRD Kabupaten Tanah Laut Hadi Sucipto, tertanggal 6 Maret 2008. Penentuan RTSM peserta PKH yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, setelah memperoleh data RTSM dari Badan Pusat Statistik. Data penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) digunakan sebagai data awal yang kemudian diolah sebagai dasar penentuan sasaran RTSM Penerima PKH. Penggunaan data BLT sebagai data awal ini dimaksudkan sebagai langkah penghematan biaya. Meskipun diakui bahwa data BLT itu seringkali tidak begitu valid. Dalam menentukan perhitungan besaran bantuan yang diberikan kepada RTSM didasarkan pada komponen syarat kepesertaan PKH, yaitu adanya Ibu hamil, Ibu menyusui, adanya anak balita, anak sekolah dasar dan SLTP. Karena tujuan jangka pendek PKH adalah untuk memberikan efek pendapatan kepada rumah tangga miskin melalui pengurangan beban biaya kesehatan Ibu hamil, Ibu menyusui dan anak balita serta biaya pendidikan anak sekolah. Sesuai dengan tujuan jangka pendek tersebut maka perhitungan besarnya bantuan kepada RTSM peserta PKH sudah tepat, karena disesuaikan dengan kebutuhan riil. Deviasi hanya terjadi untuk komponen anak sekolah dasar yang dikonversikan dengan besar bantuan Rp 400.000 setiap satuan anak; karena dalam kenyataannya kebutuhan pembiayaan anak SD jauh lebih besar dari angka tersebut. Mencoba belajar dari program BLT, pembayaran bantuan dana PKH kepada RTSM peserta PKH juga dilakukan di kantor pos, dan untuk menghindari adanya pemotongan oleh pihak lain harus diterima langsung yang bersangkutan. Pada tahun 2010 penggunaan Surat Kuasa untuk pengambilan dana oleh Kepala Desa/Perangkat Desa, tidak diperbolehkan lagi. Kebijakan itu dilakukan untuk menghindari kasus serupa yang terjadi pada program BLT, adanya dugaan penyalahgunaan surat Kuasa untuk pengambilan dana BLT Tahun 2009 yang terjadi di Kabupaten Tanah Laut (Banjarmasin Post, 2 Oktober 2010). Terkait dengan kasus perpindahan domisili bagi RTSM Peserta PKH, tidak ditemukan solusi untuk juga memindahkan status kepesertaan yang bersangkutan sebagai penerima program. Status kepersertaan PKH sulit untuk dapat dapat dilakukan perpindahan FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
75
karena terkait dengan daerah yang dituju, apakah termasuk daerah sasaran pelaksanaan PKH atau tidak. Bila daerah tersebut merupakan daerah sasaran PKH itu pun tidak mudah dipindahstatuskan karena penentuan RTSM Peserta PKH ditentukan oleh Pemerintah Pusat (Kemensos). Hal ini tentu saja menjadi persoalan tersendiri. PKH pada dasarnya diadakan untuk meringankan beban keluarga miskin berbasis keluarga, tetapi dalam implementasinya menggunakan pendekatan wilayah yang semata-mata bersifat administratif. Meskipun populasi RTSM Peserta PKH di Kabupaten Tanah Laut yang mengalami perpindahan tidak terlalu besar, namun kasusnya tidak terselesaikan karena persoalan administratif tersebut. Dari pelaksanaan PKH di Kabupaten Tanah Laut sejak Tahun 2008 sampai dengan 2010, terdapat beberapa RTSM yang kemudian tidak lagi dapat dikategorikan sebagai RTSM penerima PKH karena dinilai menjadi keluarga mampu. Oleh petugas pendamping PKH rumah tangga demikian diusulkan untuk dikeluarkan dari Daftar RTSM penerima PKH atau exit program. Sejak tahun 2008 sampai dengan 2010 RTSM Peserta PKH yang memasuki exit program sebagai berikut: Pada tahun 2008 terdapat lima RTSM atau 0,33% dari total RTSM peserta PKH yang yang masuk kategori exit program. Pada tahun 2009 terdapat 37 RTSM atau 2,52% dari total RTSM peserta PKH yang yang masuk kategori tersebut. Dan pada tahun 2010 terdapat 21 RTSM atau 1,77% dari total RTSM peserta PKH yang masuk kategori bukan RTSM lagi. Meskipun angka persentase RTSM peserta PKH yang termasuk dalam kategori exit program terbilang kecil, namun keadaan ini menunjukan bahwa pelaksanaan PKH di Kabupaten Tanah Laut dapat diasumsikan memiliki dampak yang nyata. Sehubungan dengan diberlakukannya penilaian dan sanksi terkait komitmen pemanfaatan fasilitas kesehatan (faskes) dan fasilitas pendidikan (fasdik) pada tahun 2010, pemenuhan komitmen pemanfaatan faskes/fasdik oleh RTSM peserta PKH ternyata mengalami peningkatan. Pada Catur Wulan I 68,86%, Catur Wulan II 78,82% dan pada Catur Wulan III sebesar 91,67%. Sedangkan untuk kategori tidak terpenuhinya komitmen pemanfaatan faskes/ fasdik, dari Catur Wulan I, II dan III, pemanfaatan fasilitas kesehatan selalu menduduki persentasi tertinggi (Gambar 3). Dengan kata lain, RTSM
76
FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
peserta PKH yang tidak dapat memenuhi komitmen pemanfaatan fasdik/faskel mengalami penurunan secara signifikan. Jumlah RTSM Peserta PKH yang tidak dapat memenuhi pemanfaatan faskes dari catur wulan I, II dan II selalu lebih besar dari jumlah RTSM Peserta PKH yang tidak dapat memenuhi pemanfaatan fasdik. Ini dapat dimaknai bahwa kesadaran anak anggota RTSM peserta PKH untuk bersekolah iebih tinggi bila dibandingkan dengan kesadaran ibunya untuk memanfaatkan fasilitas kesehatan. Di sisi lain, jumlah RTSM Peserta PKH yang tidak dapat memenuhi pemanfaatan faskes dan fasdik dari catur wulan I, II dan II selalu lebih kecil bila dibandingkan dengan jumlah RTSM Peserta PKH yang tidak dapat memenuhi pemanfaatan fasdik ataupun jumlah RTSM peserta PKH yang tidak dapat memenuhi pemanfaatan fasdik. Adanya kecenderungan kecilnya jumlah RTSM yang tidak memenuhi komitmen pemanfaatan atas kedua komponen yakni faskes dan fasdik sekaligus menggambarkan bahwa kesadaran ibu RTSM peserta PKH yang rendah tidak otomatis menyebabkan dia mengabaikan pendidikan anakanaknya. Ada dugaan bahwa bagi setiap RSTM sekalipun persoalan pendidikan anak itu urgen dan tidak ingin diabaikan.
Gambar 5. Kecenderungan pemanfaatan faskes/faskel peserta PKH. Sumber: UPPKH Kabupaten Tanah Laut 2010 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
77
D. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa: 1. PKH dalam implementasinya di desa Batakan dan Kelurahan Pelaihari sebagai lokasi kasus dapat berjalan efektif karena didukung oleh faktor ketepatan sasaran, ketersediaan fasilitas dan aktibitas pendampingan. 2. Secara spesifik, PKH ternyata amat bermanfaat untuk mendukung kelangsungan pendidikan bagi anak-anak usia sekolah dari RTSM, karena kebutuhannya riil dan penggunaan dananya juga terukur. 3. Bahwasanya PKH membutuhkan dukungan peran aparatur pemerintah lainnya terbukti dari adanya ketidakpuasan peserta PKH atas layanan yang diberikan oleh petugas di Posyandu, dan ihwalnya bermula dari terbatasnya jumlah petugas layanan sementara jumlah peserta PKH yang harus dilayani cukup banyak.
DAFTAR RUJUKAN Anonimous, 2002. Social Security Concensus . International Labour Office Geneva. _________, 2003. Social Protection Strategy. Asian Development Bank, Manila Philippine. Chu, Ke-Yong & Sanjeev G, 1998. Social Safety Nets: Issues and Recent Experiences. IMF, Washington. Edwards, George C. III, 1990. Implementing Public Policy . Conggressional Quartely Press, Washington DC. Gibson, Ivancevich, 1984. Organisasi dan Manajemen Perilaku Struktur Proses. Penerbit Erlangga, Jakarta Gilbert, Neil, 2003. Changing Patterns of Social Protection. Transaction Publisher, New Jersey, USA. Hanyna, Arif 2005. Konsep dan Implementasi Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan: Upaya Mendorong Terpenuhinya Hak Rakyat Atas Pangan. Bappenas, Jakarta.
78
FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
Jones, Charles O, 1992. Pengantar Kebijakan Publik. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Kabber, Naela, 2008. Mainstreaming Gender in social protection for the Informal Economy. Commonwealth Secretariat, London. Karsidi, Rafik, 2007. Sketsa Paradigma dan Teori pembangunan, UNS, Surakarta. Lembaga Administrasi Negara, 2004. Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia. LAN, Jakarta. Maika, Amelia, 2010. Kemiskinan di Pedesaan dan perkembangan pendidikan Anak Usia Dini. Pusat Studi pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada, yogyakarta. Norton, Andy, 2001. Social Protection Concept and Approaches. International Development Institute, London. Nugroho, Riant, 2004. Kebijakan publik: Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi. Elex Media Komputindo, Jakarra. _____________, 2007. Analisa Kebijakan. Elex Media Komputindo, Jakarta. Rachman Sani, 2009. Penelitian Kualitatif. Universitas Islam Indonesia, yogyakarta. Royat, Sujana, 2010. Kebijakan Pemerintah dalam Penanggulangan Kemiskinan. Kemenkokesra, Jakarta. Safii, Ahmad, 2006. Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pendidikan Kritis. Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam volume 2 nomor 1 Juni 2006. Sarman, Mukhtar & Sajogyo, 2000. Masalah Penanggulangan Kemiskinan. Puspa Swara, Jakarta. Sarman, Mukhtar, 2004. Metodologi Penelitian Sosial. Pustaka FISIP Un1am, Banjarmasin ______________, 2008. Program Pemberdayaan Masyarakat Berbasis LERD: Peluang Kalimantan Selatan . PK2PD-MSAP Unlam, Banjarbaru. Soenarko, 1998. Kebijaksanan Pemerintah. Papyrus, Surabaya.
FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
79
Subarsono, AG. 2006. Analisis Kebijakan Publik (konsep, teori dan aplikasi). Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Subejo dan Supriyanto, 2004. Metodologi Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan. Fakultas Pertanian UGM. Jogjakarta. Wahab, Sholichin Abdul, 1997. Analisis Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara. Bumi Aksara, Jakarta. Wibawa, Samodra dkk, 1994. Evaluasi Kebijakan Publik. Rajawali press, Jakarta. Widianto, Bambang, 2010. Pelaksanaan dan Penyempurnaan Program ProRakyat. Kantor Wakil Presiden RI, Jakarta. Yufridawati, 2008. Pemberdayaan Masyarakat Lokal dan Pengembangan Jaringan Pendidikan dalam Pengelolaan Pendidikan. Depdiknas, Jakarta.
80
FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011