Bunga Rampai Administrasi Publik
IMPLEMENTASI PENGELOLAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN (PBB-P2) DI DAERAH UNTUK MEMPERKUAT DESENTRALISASI FISKAL Suryanto Peneliti Madya Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara email :
[email protected]
PENGANTAR Era reformasi yang erlangsung sejak tahun 1998 masih saja menarik untuk dibahas dan didiskusikan, terutama reformasi di level pemerintahan daerah. Hal ini tidak lain karena sejak pencanangan reformasi tersebut, pemerintah daerah telah diberikan kewenangan yang sangat besar dibandingkan pada masa-masa sebelumnya, sebagaimana telah tertuang dalam UU No. 22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan terbitnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kebijakan pemerintah
desentralisasi
provinsi,
dan
kabupaten
otonomi dan
daerah
kota
sebagai
menempatkan titik
berat
penyelenggaraan pemerintahan daerah, berupa kewenangan yang besar di bidang politik, administrasi pemerintahan, maupun fiscal. Hal mana sejalan dengan pandangan Rondinelli, bahwa desentralisasi dibedakan menjadi empat yakni desentralisasi politik, administratif, dan fiskal. Desentralisasi politik merupakan pelimpahan kewenangan pengambilan keputusan kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah, mendorong masyarakat dan perwakilan mereka untuk berpartisipasi di dalam proses pengambilan keputusan.
Political
decentralization
bertujuan
untuk
memberikan
kekuasaan yang lebih besar dalam pengambilan keputusan kepada
Lembaga Administrasi Negara, 2014 |
73
Bunga Rampai Administrasi Publik
masyarakat melalui perwakilan yang dipilih oleh masyarakat sehingga dengan demikian masyarakat dapat terlibat dalam penyusunan dan implementasi kebijakan. Sementara itu, desentralisasi administratif menggambarkan hierarki dan distribusi kewenangan serta fungsi-fungsi di antara unit pemerintah pusat dengan unit pemerintah non pusat (sub-national government). Administratif
decentralization
sendiri
memiliki
tiga
bentuk
yaitu
dekonsentrasi, delegasi dan devolusi. Sedangkan desentralisasi pasar disebut juga desentralisasi ekonomi yaitu digunakan untuk memberikan tanggung jawab dari sektor publik ke sektor swasta, baik dalam hal pelayanan maupun promosi barang dan jasa. Adapun desentralisasi fiskal bertujuan memberikan kesempatan kepada daerah untuk menggali berbagai sumber dana, meliputi pembiayaan mandiri dan pemulihan biaya dalam pelayanan publik, peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), bagi hasil pajak dan bukan pajak secara lebih tepat, transfer dana ke daerah, utamanya melalui Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) secara lebih adil, kewenangan daerah untuk melakukan pinjaman berdasar kebutuhan daerah. Secara khusus, desentralisasi fiskal diatur dalam undang-undang tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah (UU 25/1999 jo UU 33/2004). Terkait
desentralisasi
fiscal,
pemerintah
pusat
dinilai
belum
sepenuhnya memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengelola keuangan daerah secara lebih otonom/mandiri. Hal ini terbukti makin besarnya celah fiscal di daerah sehingga makin besar dana transfer yang “digelontorkan” pemerintah pusat guna menutup celak fiscal tersebut. Fakta ini menunjukkan bahwa sesungguhnya pemerintah daerah belumlah otonom dalam mengelola keuangan daerahnya. Akibatnya, ketergantungan pemerintah daerah kepada pusat masih tinggi.
74
| Lembaga Administrasi Negara, 2014
Bunga Rampai Administrasi Publik
Jika dirunut lebih mendalam, kondisi ini disebabkan lemahnya system pengelolaan keuangan yang memberikan kesempatan kepada pemerintah pusat untuk mengelola sumber-sumber pendapatan yang strategis. Sebagai contoh, pajak-pajak yang berpotensi besar dalam menyumbang PAD justru dikelola oleh pemerintah pusat, bagian pajak daerah cenderung berupa pajak-pajak yang berpotensi kecil atau sedang. Oleh karena itu, dengan terbitnya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang PDRD, Pemerintah Daerah kini mempunyai tambahan sumber pendapatan asli daerah (PAD) yang berasal dari pajak daerah, sehingga saat ini jenis pajak kabupaten/kota terdiri dari sebelas jenis pajak, yaitu Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, dan Pajak Sarang Burung Walet, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Jika dibandingkan dengan jenis pajak yang tertuang dalam UU 34/2000, maka jenis pajak kabupaten/kota saat ini dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1. Perbedaan Jenis Pajak Kabupaten/Kota pada UU No.34/2000 dengan UU No. 28/2009 UU 34/2000 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Pajak Hotel Pajak Restoran Pajak hiburan Pajak Reklame Pajak Penerangan Jalan (PPJ) Pajak Parkir Pajak Pengambilan Bahan Galian C
UU 28/2009 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Pajak Hotel Pajak Restoran Pajak Hiburan Pajak Reklame Pajak Penerangan Jalan Pajak Parkir Pajak Mineral Bukan Logam dan Baatuan Pajak Air Tahan (pengalihan Provinsi) Pajak Sarang Burung Walet
Lembaga Administrasi Negara, 2014 |
75
Bunga Rampai Administrasi Publik
(baru) 10. PBB Pedesaan dan Perkotaan 11. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan(baru) Sumber: Materi Presentasi “PengalihanPBB-P2 dan BPHTB sebagai Pajak Daerah,” Direktorat Jenderal Pajak. Agustus 2011
Dari tabel di atas dapat diketahui perbedaan pajak kabupaten/kota sebelum dan saat berlakunya UU 28/2009, yakni terdapat penambahan 4 jenis pajak baru baik berupa perubahan nomenklatur (sebelumnya pajak pengambilan bahan galian golongan C menjadi pajak mineral bukan logam dan batuan), pengalihan dari provinsi (pajak air tanah), dan pajak baru (pajak sarang burung walet, pajak bumi dan bangunan perdesaan & perkotaan/PBB-P2,
dan
bea
perolehan
hak
atas
tanah
&
bangunan).Pengalihan pengelolaan PBB-P2 dilaksanakan mulai per 1 Januari 2014. Berkaca dari beberapa kabupaten/kota yang sudah melaksanakan pengelolaan PBB-P2 pada tahun 2011 dan 2012 ternyata banyak permasalahan yang timbul di dalamnya. Hal ini disebabkan karena ketidaksiapan Pemda akan beberapa hal di antaranya belum siapnya kebijakan/peraturan, sarana dan prasarana, serta SDM yang ada. Sebagai contoh, Pemerintah Kota Surabaya yang telah mengelola PBB-P2 sejak tahun 2011 yang lalu ternyata banyak menghadapi masalah yang berkenaan dengan pelayanan terhadap Wajib Pajak (WP). Banyak keluhan dari masyarakat WP yang mengajukan pelayanan PBB baik berupa keberatan, pembetulan, balik nama, dan pelayanan yang lain yang tidak bisa terlayani dengan baik. Hal ini dikarenakan tidak tidak siapnya Pemkot Surabaya akan basis data dan aplikasi untuk mengadministrasikan PBB-P2, dan tentunya menyangkut kondisi kesiapan SDM-nya.
76
| Lembaga Administrasi Negara, 2014
Bunga Rampai Administrasi Publik
KONSEP DESENTRALISASI FISKAL Desentralisasi
fiskal
dapat
didefinisikan
sebagai
devolusi
(penyerahan) tanggung jawab fiskal dari pemerintah pusat kepada tingkatan pemerintah yang ada di bawahnya (Rahayu, 2010, dalam Rusdianto, 2011). Desentralisasi fiskal juga dapat didefinisikan sebagai penyerahan urusan fiskal ke bawah, dimana jenjang pemerintahan yang lebih tinggi menyerahkan
sebagian
kewenangannya
mengenai
anggaran
dan
keputusan-keputusan finansial kepada jenjang yang lebih rendah (Yustika, 2008, dalam Rusdianto, 2011). Menurut Ebel (2000) dalam Kumorotomo (2008), desentralisasi fiskal terkait dengan masalah: 1) pembagian peran dan tanggung jawab antarjenjang pemerintahan, 2) transfer antarjenjang pemerintahan, 3) penguatan system pendapatan daerah atau perumusan system pelayanan publik di daerah, 4) swastanisasi perusahaan milik pemerintah (terkadang menyangkut tanggung jawab pemerintah daerah), dan 5) penyediaan jaring pengaman social. Pelaksanaan desentralisasi fiskal akan berjalan dengan baik kalau didukung faktor-faktor berikut: a) Pemerintah Pusat yang mampu melakukan pengawasan dan enforcement; b) SDM yang kuat pada Pemda guna menggantikan peran Pemerintah Pusat; c) Keseimbangan dan kejelasan dalam pembagian tanggung jawab dan kewenangan dalam melakukan pungutan pajak dan retribusi daerah (Elfianti, 2011). Jelas bahwa kemampuan SDM merupakan salah satu factor penting yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal, dalam hal ini pengelolaan PBB-P2. KOMPETENSI Pengertian kompetensi yang dimaksud di sini adalah perilaku dan ketrampilan yang dituntut agar seseorang dapat memenuhi tuntutan pekerjaan atau secara umum dapat dianggap sebagai persyaratan agar Lembaga Administrasi Negara, 2014 |
77
Bunga Rampai Administrasi Publik
seseorang dapat melaksanakan pekerjaannya dalam organisasi tertentu. Berdasar pada definisi tersebut, SDM yang kompeten adalah SDM yang bisa melaksanakan tugasnya sesuai dengan tuntutan pekerjaan. Dalam hal ini, SDM Aparatur Daerah dituntut untuk mengerti dan bertanggung jawab terhadap pekerjaannya (Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah-LAN, 2008). Selanjutnya Rothwell mengidentifikasikan kompetensi ke dalam empat kelompok atau kriteria, yaitu : 1. Technical competence, yaitu kemampuan teknis mengenai bidang yang menjadi tugas pokok organisasi; 2. Business competence atau sering juga disebut managerial competence, yaitu kemampuan manajerial yang dibutuhkan dalam organisasi; 3. Interpersonal competence atau disebut juga social competence, yaitu kemampuan untuk bersosialisasi atau berkomunikasi dengan orang lain; 4. Intelectual competence atau sering juga disebut strategic competence, yaitu kemampuan berpikir secara strategis untuk pencapaian tujuan organisasi. Dalam pembahasan sumber daya manusia aparatur atau Pegawai Negeri Sipil, Dr. Djamaluddin Antjok menambahkan satu kriteria lagi, yaitu kompetensi etika atau ethical competence. Dalam UU No. 28 Tahun 2009, terdapat 4 hal yang menjadi perbedaan dengan pengaturan sebelumnya (UU No. 34 Tahun 2000), yaitu: (1) penerapan „Closed-List’ system, (2) penguatan local taxing power, (3) perubahan sistem pengawasan, dan
(4)
perbaikan pengelolaan penerimaan pajak daerah. Pertama, Closed-List System, Kebijakan perpajakan daerah yang baru menganut prinsip „closed-list’ system, yakni daerah hanya boleh menganut jenis pajak daerah yang ditetapkan dalam undang-undang. Hal ini berbeda dengan kebijakan perpajakan daerah yang lama yang menganut sistem „open-list‟ dimana daerah dapat memungut berbagai jenis pajak daerah (meskipun jenis pajak tersebut tidak tercantum dalam undang-undang) 78
| Lembaga Administrasi Negara, 2014
Bunga Rampai Administrasi Publik
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Tujuan dari perubahan kebijakan tersebut adalah untuk menigkatkan efisiensi pemungutan pajak daerah dan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat mengenai jenisjenis pajak daerah yang menjadi kewajibannya. Hal ini juga dimaksudkan unutk menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif di daerah sehingga dapat memacu pertumbuhan ekonomi nasional. Kedua, Local Taxing Power, bahwa dalam rangka meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD), kepada daerah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk mengoptimalkan pemungutan jenis pajak daerah yang ada. Peningkatan kewenangan tersebut dilakukan dengan memperluas objek beberapa jenis pajak, menambah jenis pajak daerah, meningkatkan tarif maksimum beberapa jenis pajak daerah, dan memberikan kewenangan sepenuhnya kepada daerah untuk menetapkan tarif pajak daerah. Perluasan objek pajak antara lain dilakukan dengan memperluas objek pajak restoran sehingga mencakup juga katering/jasa boga, memperluas objek pajak hotel sehingga mencakup keseluruhan persewaan ruangan di hotel, dan memperluas objek pajak hiburan sehingga mencakup juga permainan golf dan bowling. Penambahan jenis pajak daerah dilakukan dengan memperkenalkan jenis pajak daerah yang baru (pajak rokok untuk provinsi dan pajak sarang burung walet untk kabupaten/kota), mengalihkan jenis pajak provinsi tertentu menjadi pajak kabupaten/kota (pajak air tanah), dan mengalihkan beberapa pajak pusat menjadi pajak kabupaten/kota (PBB-P2 dan BPHTB). Pajak Bumi dan Banguan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) merupakan pengalihan dari pajak pusat menjadi pajak kabupaten/kota. Beberapa pertimbangan yang mendasari penalihan jenis pajak ini adalah: Asas lokalitas, dimana objek pajak, yaitu tanah dan bangunan, berada pada satu kabupaten/kota dan tidak berpindah-pindah (im-mobile); Lembaga Administrasi Negara, 2014 |
79
Bunga Rampai Administrasi Publik
Asas tax-benefit link, dimana pembayar pajak dan pihak yang memperoleh manfaat pajak berada pada satu kabupaten/kota; Prinsip
akuntabilitas,
dimana
daerah
mempertanggungjawabkan
pengelolaan hasil pajak daerah kepada masyarakat di daerahnya; Best-practice secara internasional, dimana hampir semua negara di dunia menempatkan property tax sebagai pajak daerah. Kenaikan tarif maksimum beberapa jenis pajak daerah akan memberikan ruang gerak yang lebih luas bagi daerah untuk meningkatkan pendapatan. Namun demikian, dalam memanfaatkan ruang gerak tersebut, daerah harus memperhitungkan dampak dari setiap kenaikan tarif pajak daerah, baik dari sisi pendapatan daerah, daya pikul masyarakat, kondisi perekonomian daerah, dan lain-lain. Beberapa jenis pajak daerah yang mengalami kenaikan tarif maksimum adalah: a. Pajak Kendaraan Bermotor, tarif maksimum naik dari 5% menjadi 10%. b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, tarif maksimum naik dari 10% menjadi 20%. c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, tarif maksimum naik dari 5% menjadi 10%. d. Pajak Parkir, tarif maksimum naik dari 20% menjadi 30%. e. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, tarif maksimum naik dari 20% menjadi 25%. f. Pajak Hiburan, tarif maksimum naik dari 35% menjadi 75%. Tarif efektif pajak daerah ditetapkan dalam peraturan daerah dan tidak boleh melampaui tarif maksimum. Penguatan local taxing power ini ditujukan untuk memberikan kompensasi kepada daerah atas dibatasinya ruang gerak dalam menciptakan jenis pajak daerah baru di luar yang ditetapkan undang-undang. Dengan kompensasi ini diharapkan daerah dapat berkonsentrasi untuk mengupayakan optimalisasi pemungutan pajak daerah yang ada dalam rangka meningkatkan pendapatan asli daerah 80
| Lembaga Administrasi Negara, 2014
Bunga Rampai Administrasi Publik
tanpa perlu memikirkan kemungkinan pemungutan jenis pajak daerah baru. Melalui kebijakan ini, timbulnya perda-perda pungutan bermasalah (tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan) dapat dikurangi bahkan dihilangkan. Ketiga, Sistem Pengawasan, pajak daerah hanya dapat dipungut oleh daerah
dengan
menetapkan
peraturan
daerah.
Oleh
karena
itu,
pengawasan pajak daerah dapat dilakukan melalui mekanisme evaluasi atas rancangan peraturan daerah (raperda) dan peraturan daerah (perda) yang mengatur pajak daerah. Untuk meningkatkan efektivitas pengawasan, masyarakat (individu dan lembaga) dan dunia usaha dapat menyampaikan informasi kepada pemerintah mengenai praktik pemungutan pajak daerah yang dipandang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dengan melampirkan perda yang digunakan sebagai dasar pemungutan. Sistem pengawasan pajak daerah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 menganut pendekatan yang tedapat dalam UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004, yakni preventif dan korektif. Suatu raperda tentang pajak daerah yang telah disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah, sebelum ditetapkan menjadi perda harus dievaluasi dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri yang berkoordinasi dengan Menteri Keuangan. Sedangkan untuk raperda kabupaten/kota, evaluasi dilakukan oleh Gubernur yang berkoordinasi dengan Menteri Keuangan. Keempat,
Pengelolaan
Penerimaan
Pajak
Daerah,
untuk
meningkatkan kesadaran masyarakat membayar pajak daerah dan dalam rangka optimalisasi pemungutan pajak daerah, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 mengatur beberapa hal terkait degnan pengelolaan pendapatan pajak daerah, yaitu bagi hasil pajak provinsi, earmarking, dan insentif pemungutan. 1) Bagi hasil pajak provinsi Lembaga Administrasi Negara, 2014 |
81
Bunga Rampai Administrasi Publik
Seluruh
pendapatan
pajak
provinsi
dibagihasilkan
kepada
kabupaten/kota yang berada di wilayah provinsi tersebut. Pembagian hasil pajak provinsi adalah sebagai berikut: No.
Jenis Pajak Provinsi
Provinsi
1. 2. 3.
Pajak Kendaraan Bermotor Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor Pajak Air Permukaan Pajak Rokok
70% 70% 30%
Kabupaten/ Kota 30% 30% 70%
50% 30%
50% 70%
4. 5.
2) Earmarking Pendapatan dari jenis pajak tertentu dialokasikan untuk membiayai kegiatan yang secara langsung dirasakan manfaatnya oleh pembayar pajak tersebut (earmarking). Terdapat 3 (tiga) jenis pajak yang secara eksplisit di-earmark, yaitu: a)
10% dari pendapatan pajak kendaraan bermotor harus dialokasikan untuk pembangunan/perbaikan jalan dan transportasi umum,
b)
sebagian pendapatan pajak penerangan jalan harus digunakan untuk menyediakan penerangan jalan umum, dan
c)
50% dari pendapatan pajak rokok harus dialokasikan untuk peningkatan pelayanan kesehatan. Dengan kebijakan „earmarking‟ ini, para pembayar pajak akan dapat merasakan manfaat dari pajak yang dibayar.
3) Insentif Pemungutan Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang pajak daerah, diatur pemberian biaya pemungutan paling tinggi 5% dari pendapatan pajak daerah. Dalam implementasinya, alokasi biaya pemungutan tersebut dipandang kurang mencapai sasaran, sehingga
82
| Lembaga Administrasi Negara, 2014
Bunga Rampai Administrasi Publik
dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 dilakukan perbaikan. Di dalam
kebijakan
pajak
daerah
yang
baru,
pemberian
insentif
pemungutan didasarkan atas pencapaian kinerja tertentu dan diberikan sebagai tambahan penghasilan bagi aparatur pemungutan pajak daerah. Hal ini ditujukan untuk memotivasi petugas guna mengoptimalkan pemungutan pajak daerah. Untuk provinsi, besarnya insentif pemungutan ditetapkan paling tinggi 3% dan untuk kabupaten/kota paling tinggi 5%. Untuk menghindari pemberian insentif pemungutan yang berlebihan, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang tatacara pemberian dan pemanfaatan insentif pemungutan pajak daerah diatur batasan besarnya insentif pemungutan berdasarkan kluster tertentu dengan batas paling tinggi 10 kali gaji pokok ditambah tunjangan yang mengikat untuk setiap bulannya. PETA KOMPETENSI SDM PENGELOLA PBB-P2 SAAT INI Pencapaian kinerja pengelolaan PBB-P2 ditentukan oleh banyak factor, salah satunya ketersediaan dan kompetensi SDM. Kompetensi pegawai yang dimaksud dalam hal ini adalah kompetensi teknis yakni kemampuan kerja setiap PNS yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang mutlak diperlukan dalam melaksanakan tugas-tugas jabatannya (Perka BKN No. 8 Tahun 2013). Pengetahuan kerja adalah pengetahuan yang dimiliki PNS berupa fakta, informasi, keahlian yang diperoleh seseorang melalui pendidikan dan pengalaman, baik teoritik maupun pemahaman praktis, dan berbagai hal yang diketahui oleh PNS terkait dengan pekerjaannya serta kesadaran yang diperoleh PNS melalui pengalaman suatu fakta atau situasi dalam konteks pekerjaan. Banyak kendala yang dihadapi dalam pengelolaan pajak daerah, di antaranya:
(a) Berbagai peraturan pelaksanaan undang-undang yang
sering
tidak
kali
konsisten
dengan
undang-undangnya,
Lembaga Administrasi Negara, 2014 |
(b) 83
Bunga Rampai Administrasi Publik
Melaksanakan tax reform lebih pelik dan makan waktu dibandingkan dengan ketika merancang tax reform dalam undang-undang, apabila peraturan pelaksanaan yang dijadikan dasar dalam melaksanakan aturan hukum pajak tidak konsisten dengan undang-undang, tentu akan mengakibatkan kendala yang fatal dalam pemungutan pajak, (c) Kurangnya pembinaan antara pajak daerah dengan pajak nasional/pajak pusat. Pajak daerah
dan
pajak
nasional/pajak
pusat
merupakan
satu
sistem
perpajakan Indonesia, yang pada dasarnya merupakan beban masyarakat sehingga perlu dijaga agar kebijaksanaan perpajakan tersebut dapat memberikan beban yang adil. Sejalan dengan perpajakan nasional, maka pembinaan pajak daerah harus dilakukan secara terpadu dengan pajak nasional. Pembinaan harus dilakukan secara terus menerus, terutama mengenai objek dan tarif pajaknya supaya antara pajak pusat dan pajak daerah saling melengkapi. Kendala lainnya adalah meliputi : (d) Database yang masih jauh dari standar nasional dan internasional. Kendala lain yang dihadapi aparatur pajak adalah database yang masih jauh dari standar internasional. Padahal database sangat menentukan untuk menguji kebenaran pembayaran pajak dengan sistem self-assessment. Persepsi masyarakat, bahwa banyak dana yang dikumpulkan oleh pemerintah digunakan secara boros atau dikorup, juga menimbulkan kendala untuk meningkatkan kepatuhan pembayar pajak. Berbagai pungutan resmi dan tidak resmi, baik di pusat maupun di daerah, yang membebani masyarakat juga menimbulkan hambatan untuk menaikkan penerimaan pajak, dan (e) Lemahnya penegakan hukum (law enforcement) terhadap kepatuhan membayar pajak bagi penyelenggara negara. Law enforcement merupakan pelaksanaan hukum oleh pejabat yang berwenang di bidang hukum, misalnya pelaksanaan hukum oleh polisi, jaksa, hakim dan sebagainya. Tidak kalah penting untuk disoroti pelaksanaan 84
hukum
di
lingkungan
| Lembaga Administrasi Negara, 2014
birokrasi,
khususnya
badan
Bunga Rampai Administrasi Publik
pemerintahan di bidang perpajakan) dalam melakukan pemeriksaan terhadap para penyelenggara negara, ternyata belum ada gebrakan yang berarti.
Seharusnya
bila
dilakukan
tentu
akan
membantu
dalam
mewujudkan good governance dalam bentuk pemerintahan yang bersih. Penegakan hukum pajak dilakukan dalam bentuk penjatuhan sanksi terhadap pelanggar hukum pajak untuk melindungi kepentingan negara untuk memperoleh pembiayaan dari sector pajak mengingat hukum pajak tidak melindungi kepentingan wajib pajak tetapi bahkan melindungi sumber pendapatan negara yang terfokus pada pemenuhan kewajiban wajib pajak untuk membayar lunas pajak yang terutang. Penegakan hukum di bidang perpajakan dapat dikatakan masih lemah, hal ini dapat dilihat dari banyaknya wajib pajak yang tidak membayar pajak, maraknya kejahatan korupsi di bidang perpajakan dan para penegak hukum yang tidak becus dalam menegakkan hukum. Kasus korupsi „Gayus Tambunan‟ merupakan salah satu contoh lemahnya penegakan hukum di Indonesia, dengan adanya kasus korupsi tersebut berdampak negatif bagi pemungutan pajak di Indonesia, timbul anggapan bahwa membayar pajak nantinya tidak sampai ke negara tetapi hanya akan dikorupsi oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab seperti Gayus Tambunan. Terhadap berbagai kendala/kelemahan tersebut, Pemerintah dan pemerintah daerah telah melakukan atau mengeluarkan berbagai peraturan dan memberikan beberapa hukuman (punishment) kepada pejabat yang melakukan penyelewengan. Beberapa langkah yang telah ditempuh oleh DPPKAD Kabupaten Semarang terkait kesiapan SDM aparatur antara lain: a. Menyusun analisis jabatan (anjab) yang memuat tugas pokok, fungsi, dan rincian tugas; b. Meminta tambahan pegawai/staf (kepada BKD) untuk mengisi posisi yang dibutuhkan dalam mendukung pelaksanaan tugas pengelolaan pajak daerah – meski hal ini belum terpenuhi; Lembaga Administrasi Negara, 2014 |
85
Bunga Rampai Administrasi Publik
c. Mengirimkan
pegawai/staf
untuk
mengikuti
pelatihan-pelatihan
perpajakan, walau pun masih dalam jumlah terbatas; d. Melakukan perkonsultasian dengan pemerintah pusat, instansi vertikal di daerah (KPP Pratama – Kemenkeu), maupun pemerintah daerah lain yang juga telah menerapkan UU No. 28/2009; e. Melibatkan tenaga ahli sebagai narasumber dalam memperkuat pengelolaan PBB-P2 yang semakin baik. Berbagai upaya tersebut, diakui hanya dilaksanakan sebatas business as usual, seperti biasanya dan hanya sekedar memenuhi permintaan. Turunnya angka realisasi PBB-P2 dari Rp. 31 miliar (2012) menjadi Rp. 18 miliar (2013) tentu dapat menjadi indikasi kelemahan perangkat-perangkat (termasuk SDM) yang terkait dalam pengelolaan PBB-P2 tersebut. Oleh karena itu, upaya-upaya peningkatan kompetensi SDM yang lebih sistematis menjadi solusi yang dapat ditawarkan guna meningkatkan pencapaian/ realisasi PBB-P2 di masa mendatang. KOMPETENSI TEKNIS YANG DIBUTUHKAN DALAM PENGELOLAAN PBB-P2 Upaya penyusunan tingkat dan ragam kompetensi teknis dilakukan dengan mendasarkan pada ketentuan PP No. 101 tahun 2000 tentang Diklat Jabatan PNS, Perka BKN No. 8 Tahun 2013 tentang Pedoman Perumusan Standar Kompetensi Teknis PNS, serta Permendagri No. 2 Tahun 2013 tentang Pedoman Pengembangan Sistem Pendidikan dan Pelatihan Berbasis Kompetensi di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintahan Daerah. Meskipun diklat bukan satu-satunya cara untuk meningkatkan kompetensi PNS, namun keikutsertaan dalam suatu diklat diyakini dapat meningkatkan
pengetahuan,
keterampilan
dan
sikap
PNS
yang
diikutsertakan dalam diklat dimaksud. Diklat itu sendiri terdiri atas diklat structural, teknis dan fungsional. Dalam konteks pengelolaan PBB-P2 maka 86
| Lembaga Administrasi Negara, 2014
Bunga Rampai Administrasi Publik
yang dibutuhkan saat ini lebih mengarah kepada diklat teknis. Di dalam Pasal 12 ayat (1) PP No. 101 Tahun 2000 disebutkan bahwa “Diklat Teknis dilaksanakan untuk mencapai persyaratan kompetensi teknis yang diperlukan untuk melaksanakan tugas PNS”. Selanjutnya dalam penjelasan disebutkan, kompetensi teknis adalah kemampuan PNS dalam bidangbidang teknis tertentu untuk pelaksanaan tugas masing-masing. Bagi PNS yang belum memenuhi persyaratan kompetensi jabatan perlu mengikuti Diklat Teknis yang berkaitan dengan persyaratan kompetensi jabatan masing-masing. PNS yang perlu mengikuti Diklat Teknis adalah PNS yang telah
dievaluasi
oleh
Pejabat
Pembina
Kepegawaian
dengan
memperhatikan pertimbangan Baperjakat dan Tim Seleksi Diklat Instansi (penjelasan pasal 12 ayat 1 PP 101 tahun 2000). Untuk mengetahui kompetensi teknis yang diperlukan dalam pengelolaan PBB-P2 maka dalam laporan ini akan disampaikan tingkat dan ragam kompetensi teknis yang diperlukan. Tingkat kompetensi teknis terkait dengan jenjang yang dipersyaratkan, dimana dalam ketentuan Perka BKN 8/2013 disebut dengan istilah kualifikasi kompetensi teknis, meliputi kompetensi umum, kompetensi inti, dan kompetensi pilihan. Sedangkan ragam kompetensi teknis meliputi jenis/macam-macam kompetensi yang diperlukan dalam dalam rangka pengelolaan PBB-P2. Penyusunan kompetensi teknis (tingkat dan ragam) dilakukan dengan mengikuti tahapan yang tertuang dalam Perka BKN No. 8 Tahun 2013. Pertama, mengidentifikasi informasi unit organisasi, dalam hal ini Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Kekayaan dan Aset Daerah, yang memiliki tugas pokok melaksanakan urusan pemerintah Daerah di bidang pendapatan pengelolaan keuangan dan aset daerah. Sedangkan fungsifungsinya adalah meliputi: a) Perumusan kebijakan teknis dibidang pendapatan, pengelolaan, keuangan, dan aset daerah, b) Penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang pendapatan, pengelolaan keuangan, dan aset Lembaga Administrasi Negara, 2014 |
87
Bunga Rampai Administrasi Publik
daerah, dan c) Pembinaan dan pelaksanaan tugas bidang pendapatan, pengelolaan keuangan, dan aset daerah. Kedua, mengidentifikasi peta jabatan, terutama yang kerkait dengan pengelolaan pajak daerah, meliputi: Kepala Dinas, Kepala Bidang Pajak Daerah, Seksi Pendaftaran dan Pendataan, Seksi Perhitungan dan Penetapan, Seksi Pembayaran, penagihan, dan penyelesaian pelanggaran, dan Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD).
Gambar 1. Peta Jabatan Bidang Pajak Daerah Ketiga, mengidentifikasi fungsi-fungsi jabatan yang ada di DPPKAD, fungsi jabatan diperoleh dari dokumen analisis jabatan (anjab) yang tersedia. Fungsi-fungsi jabatan dalam organisasi ini selanjutnya dapat ditelusuri menjadi unit-unit kompetensi yang diperlukan baik kompetensi manajerial
(bagi
pejabat
struktural)
maupun
kompetensi
teknis
(pelaksana/pejabat fungsional umum). Dalam konteks organisasi, pejabat structural maupun pejabat fungsional dituntut memiliki kompetensi manajerial maupun kompetensi teknis, namun tentu terdapat batas-batas
88
| Lembaga Administrasi Negara, 2014
Bunga Rampai Administrasi Publik
yang membedakan di antara keduanya. Bagi pejabat structural, dituntut memiliki kompetensi manajerial yang makin tinggi, sedangkan untuk kompetensi teknis semakin rendah. Sebaliknya, untuk pelaksana/pejabat fungsional umum/fungsional tertentu maka semakin kecil kompetensi manajerial dan semakin besar/tinggi kompetensi teknis.
Gambar 2. Tingkat Kompetensi Manajerial Vs Kompetensi Teknis Gambar di atas menunjukkan bahwa setiap pejabat/pegawai sebenarnya memiliki tuntutan kompetensi sesuai dengan jenjang dan jenisnya. Sebagai contoh, seorang kepala bidang (kabid) tentu harus menguasai tingkat kompetensi manajerial lebih tinggi dibandingkan dengan pelaksana/staf. Namun demikian, seorang kabid diharuskan memiliki kompetensi teknis walaupun dalam tingkatan yang lebih rendah. Dalam hal kompetensi
teknis,
pelaksana/staf
harus
menguasai
lebih
tinggi
dibandingkan seorang kepala bidang (kabid). Berkenaan dengan perlunya peningkatan tingkat dan ragam kompetensi teknis pengelolaan PBB-P2, penulis telah mencoba menyusun standar kompetensi teknis pegawai negeri sipil (SKTPNS) dengan tahapan Lembaga Administrasi Negara, 2014 |
89
Bunga Rampai Administrasi Publik
sebagai berikut: (a) mengidentifikasi tusi setiap PNS sesuai jabatannya, (b) mengidentifikasi unit kompetensi per jabatan, (c) menyusun ikhtisar kompetensi, (d) menyusun tingkat dan ragam kompetensi yang dibutuhkan. Tabel berikut menginformasikan tingkat dan ragam kompetensi teknis pengelolaan PBB-P2. Tabel 2. Tingkat dan Ragam Kompetensi Teknis Dalam Pengelolaan PBB-P2 No.
Tahapan
1.
Pendataan dan penilaian
90
Ragam Kompetensi Mengumpulkan bahan kebijakan teknis Merumuskan kebijakan teknis bidang pendaftaran dan pendataan Merumuskan estimasi pendapatan pajak daerah Menginventarisasi jenis dan sumber pendapatan pajak daerah Memahami substansi peraturan perundangan Menginventarisasi obyek dan subyek pajak daerah (tanah dan bangunan) Menghimpun data obyek dan subyek pajak daerah Mengelola data obyek dan subyek pajak daerah Mencatat data obyek dan subyek pajak daerah Merumuskan
| Lembaga Administrasi Negara, 2014
Tingkat Kompetensi S1/Planologi Diharapkan memiliki kompetensi tinggi dalam hal ilmu ukur dan penilai (appraiser)
Bunga Rampai Administrasi Publik
No.
2.
Tahapan
Penetapan dan pelayanan
Ragam Kompetensi kebijakan teknis pemungutan pajak daerah Mengoreksi data Menganalisa data Monitoring dan evaluasi Menyusun laporan pertanggungjawaban Menyampaikan saran dan pertimbangan Merumuskan bahan kebijakan teknis Menghitung pajak daerah Membuat SKPD Menyampaikan SKPD Melakukan perhitungan dan verifikasi Menyampaikan laporan perkembangan data, penambahan dan pengurangan Menyusun konsep penetapan NPWP Merumuskan kebijakan teknis operasional Menginventarisasi jenis dan sumber penerimaan pajak daerah Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kegiatan
Tingkat Kompetensi
S1/Administrasi Negara
Menyusun laporan pertanggungjawaban Menyampaikan
Lembaga Administrasi Negara, 2014 |
91
Bunga Rampai Administrasi Publik
No.
3.
Tahapan
Penerimaan dan manajemen IT
4.
Penagihan
5.
Keberatan dan pengurangan
Ragam Kompetensi saran dan pertimbangan Menciptakan program yang berkenaan dengan pengelolaan pajak (programmer) Mengoperasikan peangkat komputer (Operator Komputer) Melakukan penyitaan kekayaan dan aset WP (Jurusita pajak)
Menganalisis argument yang diajukan dalam rangka pengurangan pajak yang harus dibayar oleh WP
Tingkat Kompetensi
S1 / Teknik Informatika
D3 Komputer
Berijazah serendahrendahnya SMU atau yang setingkat Berpangkat serendah-rendahnya pengatur muda (II-c) Bebadan sehat Lulus diklat jurusita pajak Jujur, bertanggung jawab dan penuh pengabdian. (KMK No. 562/KKM.04/2000) S1/ Hukum Perdata
Sumber: Peneliti, 2014 (Data diolah). PENUTUP: KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Desentralisasi fiskal bertujuan memberikan kesempatan kepada daerah untuk menggali berbagai sumber dana, meliputi pembiayaan mandiri dan pemulihan biaya dalam pelayanan publik, peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), bagi hasil pajak dan bukan pajak secara lebih tepat, transfer dana ke daerah, utamanya melalui Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) secara lebih adil, kewenangan daerah untuk
92
| Lembaga Administrasi Negara, 2014
Bunga Rampai Administrasi Publik
melakukan pinjaman berdasar kebutuhan daerah. Secara khusus, desentralisasi fiskal diatur dalam undang-undang tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Manifestasi dari desentralisasi fiskal tersebut adalah terbitnya UU No. 28 Tahun 2009. Menurut Undang-undang No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah, Pajak Daerah yang selanjutnya disebut adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Implementasi Undang-undang tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal membawa konsekuensi pada kemandirian daerah dalam mengoptimalkan penerimaan daerahnya. Optimalisasi penerimaan daerah ini sangat penting bagi daerah dalam rangka menunjang pembiayaan pembangunan secara mandiri dan berkelanjutan.
Sumber
penerimaan
daerah
yang
dapat
menjamin
keberlangsungan pembangunan di daerah dapat diwujudkan dalam bentuk Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pengelolaan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan (PBB-P2) – satu dari lima sektor PBB – yang diserahkan kepada pemerintah kabupaten dan kota memerlukan persiapan yang matang dari pemda agar dapat memberikan efek yang maksimal dalam peningkatan PAD. Di antara kesiapan pemda adalah tekait dengan SDM pengelola yang bertugas pada satuan kerja perangkat daerah (SKPD) pendapatan dan pengelolaan keuangan dan aset daerah. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan hal-hal penting sebagai berikut : (1) Pemberian kewenangan pengelolaan PBB-P2 dari pajak pusat menjadi pajak daerah belum dapat dilaksanakan secara maksimal, sekalipun dari aspek regulasi, yang berupa PERDA Pajak dan Retribusi Daerah, PERDA SOTK dan Peraturan Bupati yang terkait dengan Lembaga Administrasi Negara, 2014 |
93
Bunga Rampai Administrasi Publik
kesanggupan untuk mengelola PBB-P2 telah diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Semarang, (2) Sumber Daya Manusia (SDM) Pengelolaan PBBP2, belum disiapkan secara memadai, baik dari sisi kualitas maupun kuantitas. Hal ini berdampak pada menurunnya capaian target pemungutan PBB-P2 pada tahun 2012 yang lalu. Usulan penambahan sumber daya manusia pengelolaan PBB-P2 yang telah direkomendasikan Badan Anggaran DPRD, selama hampir 1 tahun belum ada direalisaikan oleh pemerintah daerah. Hal ini menyebabkan peta kompetensi sumber daya manusia pengelola PBB-P2 di DPPKAD belum sesuai dengan standar kompetensi yang diatur dalam Peraturan Kepala BKN No. 8 tahun 2013, (3) Langkah-langkah untuk mengatasi kendala dalam upaya peningkatan kompetensi sumber daya manusia telah dilakukan, namun belum sebanding dengan banyaknya kewenangan yang diserahkan kepada DPPKAD untuk mengelola PBB-P2. Hal ini menyebabkan pelaksanaan tugas belum dapat berjalan maksimal di berbagai tahapan kegiatan, yakni pendataan, penilaian, penetapan, penagihan, pengawasan, dan lain-lain, karena tidak sebanding dengan jumlah dan kualitas sumber daya manusia, sarana kerja yang dimiliki dengan beban kerja yang harus dilaksanakan, dan (4) Penyusunan kompetensi teknis (tingkat dan ragam) di DPPKAD belum dilakukan sesuai ketentuan Peraturan Kepala BKN No: 8 tahun 2013. Selama ini, kompetensi teknis masih dipahami sebagai „pelengkap‟ dari kompetensi lainnya seperti kompetensi manajerial, kompetensi stratejik dan kompetensi moral serta komptrnsi sosial. Dalam banyak hal, kompetensi manajerial dianggap lebih „unggul‟ dibandingkan kompetensi teknis dan sebagainya. Selanjutnya, dari kesimpulan tersebut direkomendasikan hal-hal sebagai berikut:
(1) Terkait dasar hukum pengelolaan PBB-P2 di lingkup
Kabupaten Semarang, perlu penyempurnaan pengaturan tata hubungan kerja (SOTK) dan peraturan bupati yang dianggap kurang relevan atau memang memerlukan pengaturan tambahan, (2) Untuk mengatasi 94
| Lembaga Administrasi Negara, 2014
Bunga Rampai Administrasi Publik
kurangnya jumlah dan kualitas SDM pengelola PBB-P2 perlu dilakukan koordinasi yang lebih intens dengan BKD. Selain itu, perlu dilakukan koordinasi pula dengan kepala UPTD, para camat, kepala desa/lurah dan perangkat
desa/kelurahan
yang
ada,
(3)
Untuk
mengoptimalkan
pendapatan PBB-P2 perlu dilakukan pendataan dan penilaian ulang yang sebelumnya diawali dengan pelatihan para petugas di DPPKAD, (4) Perlu disusun tingkat dan ragam kompetensi teknis dengan berpedoman pada Peraturan Kepala BKN No.8 Tahun 2013 tentang SKTPNS – standar kompetensi teknis pegawai negeri sipil.
DAFTAR PUSTAKA Creswell, J.W. 1994. Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches. London: Sage Publications. Creswell, J. W. 1998. Qualitatif Inquiry and Research Design. California: Sage Publications, Inc. Denzin & Lincoln. 1998. Handbook of Qualitative Research. London: Sage Publications. Kumorotomo, Wahyudi. 2008, Desentralisasi Fiskal: Politik dan Perubahan Kebijakan 1974-2004, Jakarta: Kencana. Kuhn, Thomas. 2005. The Structure of Scientific Revolutions. (terjemahan). Bandung: Remaja Rosdakarya. Huberman, A. Michael dan Mathew B.Miles, 1984, Analisis Data Kualitatif Model Miles dan Huberman, terj. Tjetjep Rohindi Rohidi, Jakarta: UI Press. Lincoln, Y. S. & Guba, E. G. (1985). Naturalistic Inquiry. Beverly Hills, CA: Sage. Mulyana, Deddy. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Paradigma Baru Ilmu.
Bandung:
Moleong, Lexy J. 1993. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Lembaga Administrasi Negara, 2014 |
95
Bunga Rampai Administrasi Publik
Rahayu, Ani Sri, 2010, Pengantar Kebijakan Fiskal, PT. Bumi Aksara, dalam Rusdianto, TT, makalah Desentralisais Fiskal dalam Negara Kesatuan (Unitary State). Rondinelli, D & Nellis, J, 1986, „Assessing Decentralisation Policies: A Case for Cautious Optimism‟, Development Policy Review IV, I, p.5. Smith, B.C, 1985, Decentralisation, The territorial Dimension of The State, London, Allen and Unwin. Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Lembaga Administrasi Negara, 2008, Manajemen Pemerintahan Daerah, Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah LAN, Jakarta. Yustika, Ahmad Erani ed., 2008, Desentralisasi Ekonomi di Indonesia, Kajian Teoritis dan Realitas Empiris, PT. Bayumedia dalam Rusdianto, TT, makalah Desentralisais Fiskal dalam Negara Kesatuan (Unitary State). Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian di Daerah. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Peraturan Kepala BKN No. 8 Tahun 2013 tentang Pedoman Penyusunan Standar Kompetensi Teknis Pegawai Negeri Sipil Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 2013 tentang Pedoman Pengembangan Sistem Pendidikan dan Pelatihan Berbasis Kompetensi di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintahan Daerah http://www.pajak.go.id/content/pengalihan-pbb-perdesaan-danperkotaan,diakses pada 19 November 2013 http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2012/12/25/bisakah-berharappengelolaan-pbb-p2-akan-lebih-baik-ditangan-pemda-513779.html, diakses pada 20 Desember 2013. http://tolengadekdewe.wordpress.com/about/metode-penelitian-kualitatifgrounded-theory-approach/ diakses pada tanggal 27 Desember 2013.
96
| Lembaga Administrasi Negara, 2014
Bunga Rampai Administrasi Publik
http://jofipasi.wordpress.com/2013/01/23/research-design-qualitativequantitative-approaches- by-john-w-creswell/ diakses pada tanggal 27 Desember 2013. http://www.menulisproposalpenelitian.com/2011/12/pendekatanfenomenologi-dalam.html, diakses pada tanggal 27 Desember 2013. http://rorophei.blogspot.com/2013/07/metodologi-case-study-reviewsingkat.html, diakses pada tanggal 27 Desember 2013. http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54788/BAB%20II %20Tinjauan%20Pustaka.pdf?sequence=5, diakses pada tanggal 27 Desember 2013. http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/1732/BAB%2 0III%20%282%29.pdf?sequence=3, diakses pada tanggal 27 Desember 2013. http://pusdiklatwas.bpkp.go.id/files/post/20131202_165852/KTI%20PBBP2%20biasa.pdf-evaluasi kesiapan pemerintah daerah dalam mengelola PBB P2”, diakses pada tanggal 27 Desember 2013. http://imammukhlis.files.wordpress.com/2012/01/peran-pajak-daerahdalam-meningkatkan-pendapatan-asli-daerah.pdf, diakses pada tanggal 17 Maret 2013. http://dycandewi15.blogspot.com/2012/12/pengaruh-pajak-daerahterhadap.html, diakses pada tanggal 17 Maret 2013. http://www.semarangkab.go.id/skpd/bappeda/images/stories/dok_perenc anaan/RKPD2012/06.%20rkpd%202012%20bab%20iii.pdf, diakses pada tanggal 17 Maret 2013.
Lembaga Administrasi Negara, 2014 |
97
Bunga Rampai Administrasi Publik
98
| Lembaga Administrasi Negara, 2014