IMPLEMENTASI NILAI-NILAI ISLAM DALAM PROSESI ADAT PERKAWINAN MASYARAKAT MELAYU JAMBI DI KECAMATAN TELANAI PURA Munsarida Program Pascasarjana IAIN STS Jambi Abstract: The residents who live in District Telanaipura including abiding residents of Islam religion and uphold traditional values. Indigenous was a heritage that had been tested by generations, known by the motto “Adat bersendikan Syara’, Syara’ bersendikan Kitabullah, syara’ mengato adat memakai, adat dinyato syara’ dimanjung, syara’ berteduh adat berpanas”. The aim of this study was to examine how the marriage procession Jambi Malay society synergy with the teachings of Islam. This research was qualitative. In this discussion, the author used descriptive method, its scope was limited the District Telanaipura, took the samples in 7 villages. In view of the indigenous peoples of Jambi on the marriage was a sacred thing therefore must be perfect execution, by fulfilling religious rituals as well as the applicable legislation. In Jambi customary marriage process through certain stages ranging from the process of looking for a mate to the bride sitting on the aisle, these stages implemented and adhered to by the people in District Telanaipura. Key words: Tradition, culture, marriage
A. PENDAHULUAN Islam adalah agama yang sempurna, memuat segala aspek kehidupan manusia, baik aspek ibadah, spiritual, sosial, politik, dan aspek-aspek adat dan budaya. Kesempurnaan Islam telah terjamin langsung oleh Allah, seperti yang termaktub dalam Q.S. Al-Maidah ayat 3:
1
“.. Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku ridai Islam sebagai agama kalian… “1. Dalam mensiarkan da’wah Islam, Islam tidak pernah kaku dapat saja masuk berbagai aspek kehidupan manusia sebagaimana komentar Harun Nasution mengatakan: “Setelah meninjau Islam dari berbagai aspeknya, dapatlah kiranya dirasakan ruang lingkup Islam tidaklah sempit malahan luas sekali, kalau disebut Islam, yang dimaksud dengan Islam bukanlah hanya ibadah, fikih, tauhid, termasuk didalamnya, filsafat, mistisisme, teologi, hokum, politik, sejararah, dan peradaban.2 Adat dan budaya Melayu Jambi adalah salah satu peradaban yang telah berkembang ratusan tahun yang lalu, khusunya di Tanah Sepucuk Jambi Sembilan Lurah, rumah adat, adat perkawinan serta budaya lainnya dapat memberikan berbagai keterangan tentang seni dan teknologi, serta bagaimana pengaruh bangsa lain terhadap penduduk lain. “Tempat peribadatan jelas menginformasikan kepada kita betapa penduduk suatu negeri mementingkan hubungan mereka dengan Yang Maha Kuasa, mereka tidak dapat dipisahkan dari kebiasaan yang serbar religious”.3 Begitu pula halnya dengan adat perkawinan masyarakat Melayu Jambi yang sarat dengan muatan-muatan ke-Islaman, melambangkan betapa masyarakat Jambi sangat antusias menjalankan syariatnya yaitu agama Islam. Sesuai dengan adat Adat bersendikan Syara’, Syara’ bersendikan Kitabullah, maka dasar pertama dari undang-undang yang berlaku di kesultanan Jambi ialah “Al-Quran dan Hadits Nabi” yang diberi ungkapan dengan seloko adat yang berbunyi “Titis teras bertangga batu, cermin nan tidak kabur, lantak nan tidak goyah, nan tidak lapuk karena hujan dan lekang kena panas serta kata seiyo”.4 Ungkapan-ungkapan ini mengisyaratkan kepada seluruh lapisan masyarkat untuk dapat berpegang dengan pedoman yang telah terbukti kebenaran dan kemampuannya masyarakat Melayu Jambi, yaitu Al-Quran dan Hadits Rasul” dijadikan sebagai dasar utama dalam menjalankan semua aktifitas dalam memutuskan semua persoalan hokum dan sebagainya.
1
Anonim, Al-Quran dan terjemahnya. (Jakarta : Depag RI, 1971) hlm. 157 Harun Nasution. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid II. (Jakarta : Universitas Indonesia, UI Press), 1984, Cetakan ke-2, hlm. 113. 3 Anonim. Ungkapan Tradisional sebagai Sumber Informasi Kebudayaan Daerah Jambi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1986, hlm. 17. 4 Anonim. Buku Pedoman Adat Jambi. Lembaga Adat Propinsi Jambi, 1993, hal. 28. 2
2
Masyarakat adat di Jambi memandang bahwa perkawinan adalah “suatu ikatan sakral (suci) yang mengikat kedua belah pihak pengantin lahir batin dengan memnuhi ketentuan adat, syara’, dan sekarang ditambah lagi dengan undang-undang perkawinan.”5 Dengan kata lain bahwa perkawinan itu diletakkan di atas tengku bercabang tiga, yaitu: -
Memenuhi ketentuan adat
-
Memenuhi ketentuan syara’
-
Memenuhi ketentuan undang-undang perkawinan
Di antara tiga persyaratan di atas, maka persyaratan adat mendapat versi terbesar dalam persiapan, pelaksanaan, dan upacara-upacaranya. Akan tetapi bagaimana pun besar dan pangjangnya ketentuan adat yang harus dilalui, perkawinan itu baru syah bila telah melakukan atau memenuhi ketentuan syara’. Antara lain dengan memperhatikan larang pantang menurut syara’, ijab kabul di depan Penghulu pernikahan disesuaikan pula dengan undang-undang yang berlaku.6 Sementara itu, perkawinan menurut adat Jambi tidak kaku dan terlalu terikat pada suku. Dalam adat Jambi tidak ada larangan kawin antara kedua orang sesuku. Dan tak ada ketentuan bahwa anak-anak yang lahir dari perkawinan itu harus mengikuti garis keturunan ayah atau ibu saja. Pada masyarat adat Jambi keturunan itu bisa saja mengikuti garis keturunan ayah atau ibu, dengan kata lain berdsifat bilateral.7 Penduduk Jambi merupakan suatu suku bangsa yang memegang tegas adat dan kebudayaan sendiri dan memeluk agama Islam yang kuat. Adapun yang dimaksud dengan adat di sini ialah nilai-nilai budaya, pandangan hidup, cita-cita, norma-norma hukum, kesusilaan dan sebagainya. Agama Islam sudah menjadi panutan orang Jambi, hampir tidak ada orang Jambi yang tidak memeluk agama Islam, dan telah berlaku sejak puluhan abad silam. Keterangan ini diperkuat dengan sejarah pertumbuhan adat Jambi yang mengatakan bahwa adat Jambi ini adalah kombinasi antara adat dan agama, yang dikenal dengan istilah “penggabungan undang-undang dengan teliti”. Undang-undang datang dari Sumatera Barat dan teliti datangnya dari Jambi. Dengan kata lain, “dari Minangkabau diterimanya adat dan dari Jambi diterimanya agama.”8 5
Ibid., Buku Pedoman Adat, hlm. 44. Ibid., Buku Pedoman Adat, hlm. 44. 7 Ibid., Buku Pedoman Adat, hlm. 44. 8 Anonim. Ungkapan Tradisional, hlm. 13. 6
3
Adat dan agama Islam adalah suatu jalinan yang tidak dapat dipisahkan satu dan lainnya dengan titik berat pada agama, yaitu “Adat bersendikan Syara’, Syara’ bersendikan Kitabullah, syara’ mengato adat memakai, adat dinyato syara’ dimanjung, syara’ berteduh ada berpanas”,9. Jadi di sini adat tidak boleh bertentangan dengan agama, segala sesuatu yang bertentangan dengan agama tidak boleh dipakai di dalam kehidupan masyarakat di Jambi. Pada garis besarnya adat di seluruh Jambi adalah sama, tidak ada perbedaan dengan yang lain, seadainya ada perbedaan hanya dalam bentuk pelaksanaannya saja, dan ini memperkaya khasanah kebudayaan yang di ada di Jambi, seloko adat Jambi mengartikan “Adat serupo ico pakai yang berlainan”.10 Aturan adat mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat Jambi, dan pertumbuhannyapun sampai sekarang masih diakui keberadaannya dengan dibentuk lembaga adat mulai dari tingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan sampai ke tingkat RT. Adat perkawinan masyarakat Melayu Jambi di dalam prosesinya banyak mengangkat ungkapan-ungkapan tradisional sebagai media komunikasi di dalam menyampaikan informasiinformasi terhadap sesama dan terhadap pihak lain. Dalam adat Jambi ungkapan-ungkapan tradisional ini disebut dengan seloko, dari aneka ungkapan atau seloko itu dapat ditelusuri betapa peranan adat mampu membina budi pekerti penduduk baik golongan tua, muda, dan anak-anak, pemakaian ungkapan ternyata merupakan kebiasaan masyarakat sehari-hari sebagai pengokoh nilai-nilai dan norma-norma yang hidup di dalam masyarkat.11 Pengungkapan kehidupan sosial kultural masrayakat Jambi melalui ungkapan tradisionalnya merupakan informasi yang dapat memberikan pengertian yang positif tentang etnis Melayu yang mendiami daerah ini, yang selama ini mungkin kurang diketahui oleh etnis lain di Indonesia, sifat terpuji seperti pemberani, tabah, jujur, taat beribadah, patuh, dan sebagainya tercermin dalam ungkapan-ungkapan mereka. Pembangunan yang pada hakekatnya merupakan proses pembauran di segala bidang cepat atau lambat menimbulkan pergeseran nilai sosial maupun budaya. Hal ini mengakibatkan banyak nilai budaya bangsa yang terlupakan sementara nilai baru dalam realisasinya belum terbentuk dengan mantap. 9
Anonim. Garis – Garis Besar Pedoman Adat Bagi Pemangku Adat Dakam Kota Jambi. Lembaga Adat Kota dan Pemerintah Kota, 1995, hlm. 1. 10 Anonim. Garis – Garis Besar Pedoman Adat, hlm. 1. 11 Anonim. Ungkapan Tradisional, hlm. 2.
4
Usaha pembinaan dan pengembangan kebudayaan nasional perlu di tingkatkan tanpa merusak kebudayaan daerah bahkan justru kebudayaan daerah di harapkan dapat menunjang dan memberikan sumbangan dalam memperkokoh, memperkaya serta mewarnai kebudayaan nasional. Dalam hubungna ini ungkapan atau seloko daerah Jambi yang sering dikumandangkan dalam adat perkawinan, selagi masih dapat diselamatkan akan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan tersebut. Menjadi kewajiban bersama untuk membina dan mengembangkan kebudayaan nasional, sementara kebudayaan daerah perlu dipelihara dan dilestarikan. Kebudayaan lokal yang dikenal dengan istilah “kearifan lokal” dapat dijadikan model dalam pembinaan moral masyarakat, dan ini telah terbukti keberhasilannya. Khususnya di Jambi, masyarakat secara turun-temurun dalam katanya menggunakan ungkapan tradisional (seloko) karena ungkapan ini cara menuturnya indah, mempunyai tata bahasa yang sangat menyentuh dan makna yang dalam. Dengan ungkapan ini orang akan merasa sendiri akan dirinya sedang berada di posisi mana benar, salah atau posisi lain. Ungkapan - ungkapan tradisional yang mereka ucapkan selalu melindungi kepentingan syara’ (agama). Karena ungkapan ini sekaligus digunakan untuk membentuk watak, kepribadian, budi pekerti, dan kecerdasan dalam memahami suatu masalah, orang yang mampu berseloko dengan baik sangat cerdas dalam menangkap suatu peristiwa dan ini digambarkan dalam ungkapan “kilat cermin kemuka, kilat beliung kekaki” atau dengan ungkapan “mengkilat ikan di dalam air jelas jantan atau betino” ungkapan ini melambangkan kecerdasan dalam memahami peristiwa, tidak perlu diulang-ulang orang sudah dapat memahami apa maksudnya. Adat perkawinan masyarakat Melayu Jambi ini yang sarat dengan muatan-muatan nilai, budi dan agama bukan saja diminati oleh orang – orang Melayu saja akan tetapi orang – orang yang berasal dari luar Jambi pun sudah banyak tertarik dengan pola pembinaan masyarakat seperti ini. Ungkapan-ungkapan tradisional yang disampaikan dalam prosesi adat perkawinan, diselingi pula dengan pantun-pantun yang berhubungan dengan perkawinan yang isinya menekankan bagaimana menanmkan cinta kasih di dalam rumah tangga, tetap hidup rukun, damai dan tenteram, dan menanamkan rasa kasih sayang. Contoh: Api-api terbang malam Hingga di daun batang jerangan 5
Walau tujuh kali dunia karam Kasih kami berdua bercerai jangan.
Pantun ini mempunyai makna dalam untuk membina kehidupan berumah tangga, bagaimanapun sulitnya huru-hara apa saja yang melanda kehidupan rumah tangga, keutuhan rumah tangga harus dipertahankan jangan sampai mengeluarkan kata-kata cerai atau talak. Adat perkawinan masyarakat Melayu Jambi sangat kaya dengan nilai-nilai ke-Islaman yang dilantunkan dengan ayat-ayat Al-Quran, melalui seloko-seloko (ungkapan tradisional) pantun dan seni lainnya, yang kesemuanya ini melambangkan ketaatan dan kegigihan masyarakat Jambi mensiarkan agama Islam di muka bumi ini, khususnya di Bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah (Provinsi Jambi). Harapan penulis adat perkawinan seperti ini dapat dijadikan model ditempat lain, paling kurang dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan dalam membina kehidupan masyarakat yang bermoral, berbudi luhur, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Apalagi di Indonesia ini penduduknya mayoritas beragama Islam, mempunyai budaya yang Islami, akan mudah memahami dan menerima kebudayaan seperti ini sebagai alat untuk membendung kebudayaan asing yang tidak sesuai dengan budaya yang Islami. Menurut hemat penulis akibat yang dialami oleh bangsa Indonesia sekarang ini di landa oleh krisis moral adalah karena bangsa Indonesia dewasa ini sedang mencari identitas baru sengkan budaya-budaya local yang telah teruji kemampuannya dalam membina moral bangsa selama ini mereka tinggalkan. Hal ini sudah sangat memprihatinkan karena bangsa kita sudah tidak menghargai lagi kebudayaannya sendiri, senada dengan ungkapan seorang mujahid besar yang bernama “K. H. Isa Anshari” mengatakan “pada juru dakwah harus mengawal bangsanya dari kebudayaan asing, kebudayaan imprialis, kebudayaan kafir, yang kini telah menerobos masuk rumah kita, melalui pintu muka dan pintu belakang”.12 Ungkapan yang lebih tegas dan lebih rinci pernah dikeluarkan oleh seseorang ilmuan M. Thonon, seperti dikutip oleh K. H. Isa Anshari, mengatakan bahwa: “tuan orang timur sangat gemar meniru kami orang barat, tetapi yang tuan tiru itu ialah perkara-perkara yang amat rendah, kerusakan-kerusakan dan hal-hal yang sama sekal tidak berguna, bahkan tuan sangat gemar meniru kami dalam perkara yang oleh orang barat sendiri dianggap sebagai penyakit yang merusakkan tubuh dan orang terpelajar berat memerangi dan membasminya. Jika tuang ingin berkemajuan yang sebenar-benarnya dan ingin berdiri sama 12
K. H. M. Isa Anshari. Mujahid Da’wah. CV. Diponegoro, 1979, hlm. 127.
6
tinggi dengan kami, maka pertama-tama pegang teguhlah agamamu, sebab aku dapatkan dalam Al-Quran itu berisi pengajaran yang amat luhur, cukup mengatur prilahir dan batinmu”.13 Ungkapan ini telah menunjukkan keprihatinan yang mendalam terhadap bangsa kita di Indonesia, yang gemar meniru, padahal yang ditiru itu belum tentu baik. Tujuan
dalam
penelitian ini antara lain adalah: ingin mengetahui apa yang dimaksud dengan adat budaya Melayu Jambi dan bagaimana proses pertumbuhannya di tengah-tengah masyarakat. Ingin mengetahui prosesi adat perkawinan masyarakat Melayu Jambi. Ingin mengetahui bagaimana mengaktualisasi si’ar Islam melalui adat perkawinan Melayu Jambi dan bagaimana implementasinya. Kegunaan penelitian ini secara umum diharapkan dapat meramaikan wacana keilmuan dan dapat memperkaya khasanah Melayu Jambi.
B. PEMBAHASAN Adat Budaya Melayu Jambi, khususnya adat perkawinan, sarat dengan muatan-muatan Islami yang dapat membentuk watak, kepribadian, dan malah sangat relefan dengan kekinian, di masa bangsa Indonesia sekarang ini khususnya masyarakat Provinsi Jambi sedang dilanda oleh krisis moral, krisis kepercayaan, dan lainnya, sangat memerlukan suatu terapi yang dapat menyembuhkan penyakit tersebut, paling kurang penyakit ini secara bertahap dapat ditemukan cara pencegahannya.
Pengertian dan Sejarah Pertumbuhan Adat Melayu Jambi Melayu adalah istilah yang berkaitan dengan sekelompok suku bangsa di belahan bumi ini. Dalam bahasa Tamil, India kata Melayu memiliki arti bukit atau gunung. Namun demikian penulisan kata Melayu dijumpai banyak macam seperti Melayu Malai, Malaya, Malayu, Malaiyur, Mo-lo-yeu, Ma-li-yu-eah, Meliyou, Melayu-layu, Melayi, dan lain-lain.14 Melayu mengandung 4 makna yakni Melayu sebagai Etnis, sebagai Bahasa, sebagai Kebudayaan, dan Melayu sebagai Kerajaan Tua yang pernah ada tahun 644/645 M. Di Jambi ke4 makna Melayu tersebut diidentifikasi sebagai kebudayaan Melayu Jambi dan masih dapat dikontruksikan keberadaannya di Jambi. Kebudayaan Melayu Jambi yang di warnai oleh 3 corak 13
Isa Anshari. Mujahid Da’wah. hlm. 67. Fachruddin Saudagar. Potensi Budaya Melayu Jambi Dalam Pengolahan Sumber Daya Perikanan. Diknas Kelautan dan Perikanan Propinsi Jambi, 2003, hlm. 3 - 4 14
7
kebudayaan yakni, Kebudayaan Melayu Prasejarah, Kebudayaan Melayu Budhis, dan Kebudayaan Melayu Islam.
Sejarah Pertumbuhan Adat Melayu Jambi Propinsi Jambi dalam wawasan sejarah nasional dulunya merupakan daerah pusat Kerajaan Melayu. Walaupun keterangan ini banyak terjadi perbedaan pendapat namun bukti-bukti sejarah tentang itu masih dapat ditemui baik yang tertulis maupun dalam bentuk prasasti. Jauh sebelum abad masehi etnis Melayu Jambi telah mengembangkan suatu corak Kebudayaan Melayu PraSejarah di wilayah pegunungan dan dataran tinggi. Masyarakat pendukung Kebudayaan Melayu Pra-Sejarah adalah Suku Kerinci dan Suku Batin. Orang Kerinci diperkirakan telah menempati Kerinci sekitar 10.000 SM sampai tahun 2.000 SM. Suku Kerinci dan Suku Batin, adalah tergolong suku tertua di Sumatera, mereka telah mengembangkan kebudayaan batu seperti kebudayaan Neolitikum.15 Bekas-bekas kebudayaan mereka disebut kebudayaan purbakala terlihat pada kampak-kampak batu dan sebagainya. Agama yang dianut oleh nenek moyang kita pada masa tersebut ialah menyembah roh-roh orang yang telah meningggal dunia. Selain dari penyembahan terhadap roh-roh, ada juga kepercayaan kepada kekuatan gaib, yang dapat memperngaruhi kehidupan manusia, kedua kepercayaan ini disebut dengan Animisme dan Dinamisme. Kepercayaan seperti ini masih terdapat dalam masyarakat Melayu jambi hingga saat ini, walaupun sudah banyak perubahan seiring dengan perkembangan zaman. Namun dalam kondisikondisi tertentu seperti dalam perhelatan perkawinan dan kenduri – (khususnya dalam acara kenduri) masih terdapat peninggalan ini seperti hidangan nasi kunyit panggang ayam, (nasi junjung). Dalam perkembangan selanjutnya adat budaya Jambi ini dipengaruhi oleh kepercayaan Hindu, Budha, dan terakhir agama Islam. Ketiga kepercayaan ini telah memberi warna terhadap proses perkembangan dan pertumbuhan adat budaya Jambi sesuai dengan pertumbuhannya.
Fase Hindhu Menurut keterangan yang diperoleh bahwa kerajaan Melayu Jambi berdiri pada abad IV dan V Masehi. Kerajaan ini tidak memusatkan perkembangan kerajaannya pada sektor pertanian 15
Ibid. Potensi Adat Melayu Jambi. hlm. 5.
8
melainkan pada sektor perdagangan, untuk mengembangkan usaha perdagangan ini mereka memusatkan pada pelayaran atau pada kekuatan maritime. 16 Melalui alur pelayaran dan perdagangan inilah pedagang-pedagang dari Hindia berasimilasi dengan penduduk Melayu Jambi dan menyebarkan agama Hindu. Pada bagian terdahulu telah dijelaskan bahwa sebelum datang agama Hindu masyarakat atau penduduk Jambi telah menganut kepercayaan primitive atau disebut dengan animisme dan dinamisme. Dengan kedatangan agama Hindu tentulah terjadi asimilasi dan akulturasi diatara kedua kepercayaan itu dengan merubah sistem dan tingkah laku masyarakat serta kepercayaan, filsafat hidup dan cita-cita serta lain-lain sebagainya. Di dalam masyarakat Melayu Jambi, khususnya masyarakat Kerinci adat ritual yang dilakukan di saat kemarau datang, pada musim kemarau sawah – sawah mereka kering sehingga kebutuhan mereka akan air untuk kehidupan hidup seperti mengairi sawah, minum ternak, dan kebutuhan lainnya sangat tinggi. Dalam menghadapi suasana ini sebahagian dari masyarakat Kerinci mengadakan ritual yang disebut dengan Upacara Mintak Ahi Ujan (meminta hari hujan). Dengan demikian yang dimaksudnya adalah suatu kegiatan yang dilakukan dalam rangka meminta agar hujan cepat turun. Tidak ada keterangan yang jelas berapa lama agama Hindu ini menjadi agama masyarakat Melayu Jambi. Namun paling kurang dari bukti-bukti yang ada di lapangan seperti upacaraupacara tadi kemudian karakter masyarakat yan masih mempercayai adanya para dewa – dewa dan bukti – bukti sejarah seperti candi – candi dan prasasti telah memberi keterangan pada kita bahwa kerajaan Melayu Jambi pernah melewati fase Agama Hindu.
Fase Budha Perkembangan agama Budha di Kerajaan Melayu Jambi berjalan dengan sangat pesat. Agama Budha ini masuk jauh kepedalaman Daerah Jambi, dan tersebar secara meluas dan banyak sekali peninggalan bekas – bekasnya berupa arca dan bangunan candi –candi seperti Candi Tinggi, Candi Astano, dan lain – lain, sebagian candi ini masih berdiri dengan tegar seperti yang terdapat di komplek percandian Muaro Jambi.
16
Anonim. Sejarah Adat Jambi Jilid II. Lembaga Adat Jambi tahun 2001, hlm. 7.
9
Fase Islam Ketika masyarakat Melayu Jambi menganut agama Islam, maka adat dan hukum adat mereka pun diwarnai ajaran Islam. Hanya saja ajaran Islam ini begitu mendalam masuk ke jiwa mereka, membuat pengaruhnya terhadap hukum adat sangat besar sehingga melahirkan semacam keyakinan bahwa adat tidak boleh bertentangan dengan agama Islam.
C. PERKAWINAN DALAM MASYARAKAT MELAYU JAMBI Perkawinan menurut adat Jambi bukanlah urusan kedua belah pihak calon pengantin, tetapi merupakan kewajiban kedua belah pihak orang tua, tua tengganai, ninik mamak mereka. Masyarakat adat Jambi mengatakan bahwa perkawinan itu baru dapat dikatakan sah haruslah memenuhi tiga ketentuan, yaitu: 1.
Memenuhi ketentuan adat (adat di isi lumbago di tuang)
2.
Memenuhi ketentuan syara’ (Agama)
3.
Memenuhi peraturan perundang – undangan (UU Perkawinan) Prosesi pernikahan dalam masyarakat adat Melayu Jambi ini di tempuh melalui tahapan –
tahapan yang dimulai dari proses pemilihan jodoh, penetapan jodoh, ulur antar serah terima antaran adat. Akad nikah menurut syara’, menyerahkan pengantin laki-laki dari pihak nniik mamak pengantin laki-laki kepada pihak ninik mamak penganti perempuan (semendo), buka lanse, upacara adat penuh, penyuapan nasi safat, dan ditutup dengan pembacaan doa.
D.
SIMPULAN
Dari analisa data di atas, maka dapat dilihat bahwa Adat budaya Jambi adalah hasil proses kebudayaan yang berkembang di tengan-tengah masyarakat Melayu yang telah melewati fase – fase pertumbuhannya, terutama aktualisasi, asimilasi, evaluasi sosial, dan pembauran antara adat dengan agama Islam yang datang kemudian dan berkembangnya menjadi mayoritas masyarakat Jambi.Prosesi adat perkawinan masyarakat Melayu Jambi sebagai media untuk menyampaikan pesan – pesan moral, untuk membentuk manusia yang berbudi luhur, berakhlak mulia serta membangkitkan rasa kepekaan masyarakat dalam menghadapi masalah sekitarnya, adalah perwujudan dari nilai – nilai Islam yang tertuag di dalam Al-Quran dan Hadits Nabi dan diimpelementasikan dalam adat dan budaya Jambi.Kecamatan telanai pura sebagai salah satu 10
wilayah di Kota Jambi, Provinsi Jambi, pemerintah, pemuka – pemuka adat dan pegawai syara’, telah mengambil peran dalam mensosialisasikam adat budaya Jambi, dan prosesi adat perkawinan digunakan sebagai media untuk mensiarkan nilai – nilai Islam di tengah – tengah masyarakat yang pelaksanaanya dapat di jumpai di setiap kelurahan.
BIBLIOGRAFI Anonim. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia. 1971 . Buku Pedoman Adat Jambi. Lembaga Adat Propinsi Jambi dan Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Jambi. 1993 . Garis – Garis Besar Pedoman Adat bagi Pemangku Adat dalam kota Jambi. Lembaga Adat Kota dan Pemerintah Kota. 1995 . Pokok – Pokok Adat Pucuk Jambi Sembilan Lurah Jilid II Hukum Adat Jambi. Lembaga Adat Provinsi Jambi. 2001 . Upacara Tradisional dalam Kaitannya dengan Peristiwa Alam dan Kepercayaan Daerah Jambi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1986 Anshari, Isa. KH. Mujahid Da’wah. CV. Diponegoro. 1979 Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid II. Jakarta: Universitas Indonesia (UI press) Cetakan Ke-2. 1984 Saudagar, Fachruddin. Potensi Budaya Melayu Jambi dalam Pengolahan Sumber Daya Perikanan. Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Jambi. 2003
11
.
12