TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP MASYARAKAT MUSLIM YANG MENJALANKAN PERKAWINAN ADAT (Studi Perjanjian dan Pelaksanaan Perkawinan Adat di Desa Tanjung Sangalang Kec. Kahayan Tengah Kab. Pulang Pisau) Norwili1 dan Rizkya Maulida2 Dosen dan Alumni Fakultas Syariah IAIN Palangka Raya
ABSTRAK Masyarakat muslim desa Tanjung Sangalang dalam melaksanakan perkawinan adat sudah dikenal sejak zaman nenek moyang. Hal ini merupakan budaya yang dianggap mutlak untuk dilaksanakan karena bukan hanya untuk menjaga kelestarian adat istiadat tapi juga merupakan suatu pencegahan terjadinya perceraian. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa perkawinan adat tidak ada hubungannya dengan agama, karena semua warga dayak apapun agamanya melalui proses kawin adat baru kawin agama. Jadi agama tidak ada hubungan dengan adat. Dalam hal ini, penulis menyimpulkan bahwa terkecuali muslim yang melaksanakan nikah baru kawin adat. Selanjutnya dari hasil analisis menunjukkan bahwa adat istiadat masyarakat muslim desa Tanjung Sangalang sesuai dengan teori resepsi dan mereka juga belum memahami syariat islam dengan benar. Hal ini sesuai dengan adanya pelaksanaan perjanjian perkawinan yang tidak sesuai dengan syariat islam. Padahal dalam teori penerimaan otoritas hukum bahwa seorang muslim harus taat dalam menjalankan syariat. Walaupun, pada kenyataannya bahwa tujuan mereka melaksanakan perjanjian adat agar tidak terjadinya perceraian, karena semua agama tidak menginginkan adanya perceraian. ABSTRACT Muslim community in the village of Tanjung Sangalang implement customary marriage has been known since the time of the ancestors. This is a culture that is considered essential to be implemented because it is not just to preserve customs, but also a prevention of divorce. From the result showed that traditional marriage has nothing to do with religion, because all the Dayak people of any religion through the process of breeding a new indigenous religious marriage. So religion has nothing to do with customs. In this case, the authors conclude that unless Muslims who carry out the new marriage marriage customs. Further analysis of the results showed that the customs of Muslim society Sangalang Tanjung village in accordance with the theory of reception and they also do not understand the Islamic Shari'a correctly. This is in accordance with the implementation of the marriage covenant is not in accordance with Islamic Shari'a. Though in theory acceptance of the authority of law that a Muslim must be faithful in carrying out the Shari'a. Although, the fact that they carry out the purpose of the agreement is not customary for the divorce, because all religions do not justify the divorce.
1 2
Dosen Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Palangka Raya. Alumni Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Palangka Raya.
A. Pendahuluan Indonesia merupakan wilayah yang terdiri dari berbagai suku, dan setiap suku memiliki keistimewaan atau kekhasan tersendiri, misalnya perkawinan. Adapun suku yang terdapat di Kalimantan Tengah yaitu suku Dayak, memiliki adat istiadat dalam perkawinan. Tidak sedikit hukum perkawinan adat di berbagai masyarakat daerah terutama suku Dayak seringkali dianggap ruwet dan sulit. Masyarakat suku Dayak yang telah memeluk agama Islam, hingga kini mereka tetap mempertahankan dan menyelenggarakan perkawinan sesuai dengan adat yang berlaku. Meskipun dalam teori dan pelaksanaan perkawinan tersebut ada beberapa hal yang bertentangan dengan syariat Islam, yang dalam hukum adat merupakan suatu kewajaran, karena terjadi suatu konversi internal, untuk mempertahankan adat tapi juga tidak melanggar syari’at. Masyarakat muslim di Desa Tanjung Sangalang
mengakumulasikan dua hal
tersebut. Karena seorang yang beradat tidak akan sempurna tanpa agama begitu juga sebaliknya. Pada pelaksanaannya, perkawinan adat di Desa Tanjung Sangalang memiliki sedikit kesamaan dengan pernikahan dalam Islam yang mewajibkan memberikan mahar untuk calon mempelai wanita sebagai tanda kasih sayang dan tanda penghormatan yang harus diberikan secara ikhlas. Sesuai isi dalam perjanjian perkawinan adat yang tertulis dan biasanya perjanjian disaksikan oleh Mantir Adat, tokoh agama yang menjadi saksi seperti tokoh agama Islam, Kristen dan juga Kaharingan serta seluruh kerabat mempelai. Walaupun dalam hukum Islam tidak ditetapkan jumlah mahar, tetapi didasarkan pada kemampuan masingmasing orang berdasarkan pada keadaan dan tradisi keluarga. 3 Dalam syariat Islam mahar haruslah berbentuk dan bermanfaat, tanpa melihat jumlahnya. Hal seperti inilah yang terdapat dalam perjanjian perkawinan adat Dayak Ngaju. Perjanjian perkawinan dalam hukum Islam biasa disebut shigat taklik talak yang apabila terjadi pelanggaran mengakibatkan salah satu dari keduanya ada yang tidak ridha maka terjadilah talak satu setelah melalui proses dan ketetapan hukum dari Hakim dan diucapkan oleh mempelai pria setelah Ijab Qabul. Sedangkan dalam hukum adat, perjanjian perkawinan dilaksanakan secara tertulis dan dihadiri oleh Mandat (Mantir Adat Dayak/Tetua
3
Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010, h. 301.
Adat) dan saksi-saksi terkait dalam perjanjian tersebut. Mantir adat atau Tetua adat dalam suku Dayak Ngaju merupakan tokoh masyarakat yang disegani oleh masyarakat sekitar karena memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam suatu masyarakat, selain memimpin suatu suku juga merupakan tokoh masyarakat yang biasa menyelesaikan segala permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat, misalnya dari perkelahian hingga dalam masalah peminangan/memanggul termasuk perjanjian perkawinan yang hingga saat ini masih dipertahankan. Menurut data yang penulis peroleh, masyarakat di Desa Tanjung Sangalang memeluk agama yang berlainan yaitu yang beragama Islam 30%, Kristen 40%, dan Kaharingan 30%, semuanya ini tetap mempertahankan adat istiadat turun temurun melaksanakan perjanjian serta perkawinan adat.4 Dengan adanya perjanjian yang dibuat dan disepakati sejak awal ini, diharapkan dalam menjalani perkawinan pasangan suami istri dapat mencegah dan mengatasi setiap permasalahan yang akan dan mungkin bisa terjadi dalam perkawinan sehingga tujuan perkawinan untuk mencari kebahagiaan bisa tercapai. B. Masyarakat Muslim Desa Tanjung Sangalang Kec. Kahayan Tengah Kab. Pulang Pisau Dalam Mempertahankan dan Menjalankan Aturan Perkawinan Adat Perkawinan adalah ikatan baik untuk pria dan wanita yang belum cukup dewasa maupun yang sudah dewasa dan mampu untuk mandiri dan harus dicampuri oleh orangtua keluarga dan kerabat kedua belah pihak. Perkawinan yang dilakukan sendiri tanpa campur tangan orangtua dan kerabat kedua belah pihak menurut pandangan masyarakat adat adalah perkawinan yang bertentangan dengan hukum adat. Sedangkan perkawinan yang didasarkan pada hukum agama semata-mata adalah tanggung jawab dari yang bersangkutan. 5 Masyarakat Desa Tanjung Sangalang terdiri dari agama yang berlainan yaitu yang beragama Islam 35,1% , Kristen Protestan 44,68 %, Katolik 0,26% dan Hindu Kaharingan 19,94%. Semuanya tetap mempertahankan adat istiadat turun temurun. Hingga saat ini mereka tetap mempertahankan adat istiadat dalam melaksanakan perjanjian serta perkawinan adat oleh masyarakat yang ada di Desa Tanjung Sangalang Kec. Kahayan Tengah Kab. Pulang Pisau.6
4
Wawancara dengan Abdul Wahab sekaligus ketua RT 1, di Desa Tanjung Sangalang, 5 Oktober 2010. Ibid., h. 23. 6 Wawancara dengan Abdul Wahab sekaligus ketua RT 1, di Desa Tanjung Sangalang, 5 Oktober 2010. 5
Dalam kehidupan masyarakat desa Tanjung Sangalang pelaksanaan perjanjian perkawinan adat merupakan salah satu dari jenis budaya yang dianggap penting bagi masyarakat setempat. Anggapan ini relevan dengan kepercayaan mereka bahwa apabila seorang laki-laki dan perempuan telah bersepakat untuk melakukan perkawinan berarti mereka telah berjanji satu sama lain akan taat pada peraturan hukum yang berlaku, mengenai hak dan kewajiban masing-masing selama perkawinan tersebut berlangsung. Jika melepaskan diri dari perkawinan, haruslah melalui proses tertentu karena telah terikat dengan peraturan hukum yang berlaku mengenai hal tersebut. Pelaksanaan perjanjian perkawinan adat merupakan sesuatu yang dianggap mutlak bagi masyarakat setempat karena bukan hanya untuk menjaga kelestarian adat istiadat tapi juga merupakan suatu pencegahan terjadinya perceraian yang membawa dampak bagi perkembangan masyarakat. Adanya sangsi atau jipen membuat pelaksanaan perjanjian tersebut menjadi kuat dihadapan hukum. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh beberapa informan yaitu HMA, AW dan DS. ‘Adah, yang secara umum, sebagaimana yang telah kita lihat diterima oleh Nabi, dapat dihubungkan dengan term hadits dan sunnah (tradisi Nabi) dan dapat pula dalam prakteknya mempunyai otoritas yang sama dengan sunnah Nabi tersebut. Hal ini diperkuat dengan prinsip umum yang diterima oleh para ahli hukum Islam bahwa apapun yang dikatakan, diperbuat, atau disetujui oleh Nabi akan membentuk apa yang dikenal dengan sebutan Sunnah, sumber hukum kedua setelah Alquran. Jadi, ‘Adah yang ada pada masa Nabi dapat dipandang sebagai suatu sumber untuk memformulasikan hukum-hukum. Peran adat sebagai sumber hukum yang valid, tidak begitu saja luntur dengan wafatnya Nabi Muhammad. Sebagai penerus Nabi, empat khalifah yang melanjutkan kebijaksanaan untuk mempertahankan berbagai adat yang dapat diterima oleh Islam. Di bawah pemerintahan Umar bin Khattab, khulafa ar-Rasyidun yang kedua, penaklukan Islam telah menyebar ke berbagai daerah baru, sehingga memperluas dunia Islam dan membawa orangorang Islam kepada kontak dengan bentuk-bentuk hukum adat yang baru. Dalam rangka untuk mengaplikasikan hukum Islam di daerah dengan berbagai macam bentuk adat yang berbeda-beda dan tua telah lama ada, maka para sahabat mengukur hal-hal baru yang mereka temui dengan ukuran keinginan publik.7 7
Ratno Lukito. Op. Cit. h.10-11.
Jadi setelah melihat semua hasil data, penulis mengambil langkah pengabsahan dari berbagai sumber yaitu hasil wawancara dan menyimpulkan bahwa masyarakat muslim desa Tanjung Sangalang tampaknya berlaku hukum adat sesuai dengan teori resepsi yang diperkenalkan oleh Christian Snouck Hurgronye yang menyebutkan bahwa rakyat pribumi pada dasarnya berlaku hukum adat, hukum Islam tidak otomatis berlaku dalam masyarakat muslim, tetapi terlebih dulu mendapat penerimaan dari masyarakat yang meyakininya. Berdasarkan hasil wawancara dari semua informan yang didapat oleh penulis yang mengatakan bahwa “perkawinan adat tidak ada hubungannya dengan agama, karena semua warga dayak apapun agamanya melalui proses kawin adat baru kawin agama. Jadi agama tidak ada hubungan dengan adat”. Dalam hal ini, penulis menyimpulkan bahwa terkecuali muslim yang melaksanakan nikah baru kawin adat. C. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Isi Surat Perjanjian Perkawinan Adat Perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh calon suami istri sebelum atau pada saat perkawinan yang dilangsungkan untuk mengatur akibat perkawinan terhadap harta benda mereka. 8 Perjanjian perkawinan sebagai suatu perjanjian mengenai harta benda suami istri dimungkinkan untuk dibuat dan diadakan sepanjang tidak menyimpang dari asas atau pola yang ditetapkan oleh Undang-undang..9 Pada umumnya suatu perjanjian kawin dibuat dengan alasan: 1) Bilamana terdapat sejumlah harta kekayaan yang lebih besar pada salah satu pihak daripada pihak lain. 2) Kedua belah pihak masing-masing membawa masukan yang cukup besar. 3) Masing-masing mempunyai usaha sendiri, sehingga andaikata salah satu jatuh atau bangkrut, yang lain tidak tersangkut. 4) Atas hutang-hutang yang mereka buat sebelum kawin, masingmasing pihak bertanggungjawab untuk melunasinya sendiri. 10 Ada dua hal yang penting mengenai perjanjian perkawinan. Pertama, perjanjian perkawinan bukan merupakan kemestian. Tanpa ada perjanjian pun, perkawinan tetap dapat dilaksanakan. Perjanjian hanya sebuah lembaga yang dipersiapkan bila ada pihak-pihak yang
8
Titik Triwulan. Op. Cit. h. 128. Zulvanovriyendi, “Akibat Hukum Pendaftaran Perjanjian Perkawinan Terhadap Pihak Ketiga”, Tesis Magister, Semarang: Universitas Dipenegoro, 2008, h. 15, t.d ( online 26 oktober 2010). 10 Titik Triwulan. Op. Cit. h. 129. 9
merasa perlu untuk membuat perjanjian untuk menghindarkan terjadinya perselisihan dibelakang hari, misalnya pemisahan antara harta pribadi dan harta bersama. Kedua, berkenaan dengan isi perjanjian, kendati pada dasarnya dibebaskan tetapi tidak boleh bertentangan dengan aturan syariat. Menurut Sayyid Sabiq” Orang-orang Islam itu terikat kepada syarat-syarat yang dibuat mereka, kecuali syarat untuk menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. 11 Pada Pasal 45 Kompilasi disebutkan kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk : 1) Ta’lik talak, dan 2) Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. 12 Penulis memferifikasi atau menyimpulkan dari data yang didapat bahwa pada isi surat perjanjian kawin adat di Desa Tanjung Sangalang terdiri dari 5 pasal. Dalam pasal pertama berisi kesanggupan kedua belah pihak suami istri untuk setia sehidup semati dan tidak akan bercerai sampai mati. Dan pasal kedua berisi sangsi yang akan diterima apabila melanggar atau tidak mematuhi isi perjanjian. Pasal ini menyebutkan apabila salah satu pihak melanggar isi perjanjian maka akan membayar denda kepada pihak lain. Pasal ketiga berisi ketentuan status harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung dan pihak-pihak yang berhak untuk harta tersebut apabila salah satu dari kedua belah pihak ada yang meninggal dunia dan suami istri tidak mempunyai anak. Maka segala harta milik mereka akan dibagi dua, sebagian untuk suami/istri dan untuk ahli waris suami/istri. Pasal keempat berisi ketentuan status harta yang dimiliki apabila salah satu dari kedua belah pihak ada yang meninggal dunia dan memiliki anak, maka segala harta milik mereka akan menjadi hak milik anak dan ahli waris tidak berhak menerima.Dan pasal kelima berisi ketentuan apabila salah satu dari kedua belah pihak masih hidup dan mengadakan pernikahan dengan laki-laki/perempuan lain maka segala harta milik kami berdua jatuh kepada anak. Apabila terjadi pelanggaran dalam salah satu pasal tersebut maka akan dikenai singer atau jipen. Dalam Pasal 139 Kitab Undang-undang Hukum Perdata ditentukan bahwa : “Dengan janji-janji kawin, calon suami-istri berhak mengadakan penyimpangan-penyimpangan dari ketentuan persatuan harta, dengan syarat : 1) Tidak menyalahi kesusilaan 11 12
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. Op. Cit. h. 138 Abdurrahman. Op. Cit h. 72.
2) Tidak melanggar ketertiban umum 3) Mengindahkan peraturan-peraturan atau tidak melanggar hukum yang berlaku”. 13
ketentuan
Perjanjian perkawinan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diatur dalam Bab V dan hanya terdiri satu pasal saja yaitu Pasal 29 sebagai berikut : “Pada waktu sebelum perkawinan berlangsung, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”. Pasal tersebut sebenarnya tidak terlalu jelas maksud dari perjanjian perkawinan tersebut. Menurut Martiman Prodjohamidjojo, perjanjian dalam Pasal 29 ini jauh lebih sempit, karena hanya meliputi “verbintenissen” yang bersumber pada persetujuan saja (overenkomsten), dan pada perbuatan yang tidak melawan hukum, jadi tidak meliputi “verbintenissen uit de wet allen” (perikatan yang bersumber pada undang-undang) dikatakan lebih sempit karena perjanjian perkawinan dalam undang-undang ini tidak termasuk di dalamnya ta’lik talak sebagaimana yang termuat dalam surat nikah. 14 Ta’lik talak berarti penggantungan talak. Menurut pengertian hukum Indonesia adalah semacam ikrar, yang dengan ikrar tersebut suami menggantungkan terjadinya suatu talak atas istrinya apabila ternyata dikemudian hari melanggar salah satu atau semua yang telah diikrarkannya. Ta’lik talak dalam Undang-undang Indonesia merupakan ikrar suami terhadap istri yang dinyatakan setelah terjadinya akad nikah. Ta’lik talak menurut kitab-kitab fikih diucapkan oleh suami apabila ia menghendakinya, sedangkan menurut Undang-undang Indonesia diucapkan oleh suami berdasarkan kehendak dari istri atau anjuran dari P3NTR atau Pegawai Pencatat Nikah. D. Analisis Isi Surat Perjanjian Kawin Adat Desa Tanjung Sangalang Kec. Kahayan Tengah Kab. Pulang Pisau Ikatan perkawinan menimbulkan akibat hukum terhadap diri masing-masing suami isteri, maupun akibat berupa hubungan hukum diantara suami dan isteri yang berupa hak dan kewajiban. Apabila dalam perkawinan dilahirkan seorang anak, maka anak tersebut mempunyai kedudukan sebagai anak yang sah. Selain itu, juga berakibat hukum pada harta 13 14
Kitab Undang-undang Hukum Perdata BAB VII, Pasal 139 Tentang Perjanjian Perkawinan. Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. Op. Cit. h.137.
kekayaan yang masing-masing dimiliki oleh suami dan isteri. Pengaturan tentang harta kekayaan perkawinan berbeda antara satu sistem hukum dengan sistem hukum yang lainnya. Menurut hukum Islam harta benda suami isteri terpisah. Masing-masing suami isteri mempunyai harta benda sendiri-sendiri. Hukum harta kekayaan perkawinan adat Jawa Tengah dan Jawa Timur menentukan, harta bawaan (barang gawan) suami atau isteri menjadi milik masing-masing suami atau isteri yang membawa, sedangkan harta yang diperoleh secara bersama selama perkawinan (harta gono gini) menjadi harta bersama (milik bersama). Pada salah satu pasal perjanjian kawin adat disebutkan bahwa apabila salah satu dari kedua belah pihak ada yang meninggal dunia dan memiliki anak, maka segala harta milik mereka akan menjadi hak milik anak dan ahli waris tidak berhak menerima. Menurut adat istiadat Desa Tanjung Sangalang apabila seorang manusia meninggal dunia, maka diatur dikalangan suku Dayak ada ahli waris, pewaris dan warisan. Sedangkan ahli warisnya adalah anak, cucu, anak angkat, anak kandung, saudara seibu sebapak, ibu atau bapak atau istri yang berhak mutlak. Dan yang berhak menerima warisan utama yaitu sang anak kandung, anak angkat, saudara/saudara, ibu/bapak. Dalam dekade akhir ini, surat kawin selalu disebutkan bila yang bersangkutan meninggal dunia untuk siapa warisan diberikan. 15 Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dari pasal ini dapat disimpulkan adanya asas kebebasan berkontrak, akan tetapi kebebasan ini dibatasi oleh hukum yang sifatnya memaksa, sehingga para pihak yang membuat perjanjian harus menaati hukum yang sifatnya memaksa. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. Suatu perjanjian tidak diperbolehkan membawa kerugian kepada pihak ketiga.16 Menurut Henry Lee A Weng didalam disertasinya menyatakan perjanjian perkawinan bukan hanya menyangkut masalah harta benda akibat perkawinan, melainkan juga meliputi
15 16
Tjilik Riwut, Kalimantan Membangun, Palangka Raya: 1979, h. 264. Http://www.jdih.bpk.go.id/informasihukum/perjanjian.pdf, (online 26 oktober 2010).
syarat-syarat atau keinginan-keinginan yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak sepanjang tidak melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan.17 Pelanggaran terhadap perjanjian perkawinan memberi hak kepada istri untuk meminta pembatalan nikah atau mengajukannya sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama. 18 Sebagaimana yang dimuat dalam Undang-undang Perkawinan, ta’lik talak tidak termasuk ke dalam perjanjian. Alasannya adalah perjanjian yang termasuk di dalam pasal yang telah disebut, menyangkut pernyataan kehendak dari kedua belah pihak dalam perjanjian itu, sedangkan ta’lik talak hanya kehendak sepihak yang diucapkan oleh suami setelah akad nikah. Ta’lik talak sebenarnya satu bentuk perlindungan terhadap hak-hak wanita yang dijunjung tinggi oleh Islam. Menurut Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 45 menyatakan bahwa ta’lik talak juga merupakan perjanjian perkawinan. Jadi tampaknya ada pertentangan antara antar penjelasan pasal 29 Undang-undang Perkawinan dengan Kompilasi Hukum Islam. Mengingat isi ta’lik talak yang memuat perjanjian dan isinya tidak bertentangan dengan aturan-aturan agama maka tegaslah bahwa ta’lik talak tersebut masuk dalam kategori perjanjian perkawinan. Walaupun ta’lik talak telah dituliskan dalam surat nikah namun bukan sebuah kewajiban untuk diucapkan, akan tetapi sekali ta’lik talak telah diucapkan maka ta’lik talak tersebut tidak dapat dicabut kembali. Apabila perjanjian yang telah disepakati bersama antara suami dan istri, tidak dipenuhi oleh salah satu pihak, maka pihak lain berhak mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama untuk menyelesaikannya. Dalam hal pelanggaran dilakukan suami misalnya, istri berhak meminta pembatalan nikah atau sebagai alasan perceraian dalam gugatannya. Demikian juga sebaliknya, jika istri yang melanggar perjanjian di luar ta’lik talak, suami berhak mengajukan perkaranya ke Pengadilan Agama.19
Pasal
35 ayat (2) UUP yang berbunyi “….sepanjang para pihak tidak menentukan lain” mengandung makna para pihak (suami isteri) dapat membuat perjanjian kawin yang isinya menentukan menyimpang dari ketentuan tentang harta kekayaan perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan. Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang kekayaan perkawinan memberi kebebasan yang seluas-luasnya kepada calon suami isteri untuk menentukan 17
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. Op. Cit. h.138. Mohd. Idris Ramulyo. Op. Cit. h. 81. 19 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. Op. Cit. h.138-141. 18
pengaturan tentang harta kekayaan mereka.20 Jika dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 147 dengan jelas disebutkan Perjanjian Kawin harus dibuat dengan akta Notaris sebelum pernikahan berlangsung dan akan menjadi batal bila tidak dibuat secara demikian. Pendapat lain yang melakukan penelitian tentang Perjanjian Perkawinan, jarang sekali terjadi atau dilakukan oleh penduduk golongan Indonesia asli, ini dikarenakan masih kuatnya hubungan kekerabatan antara calon suami istri disamping pengaruh hukum adat yang masih kuat dan bersifat tenggang rasa, sehingga merasa riskan membicarakan masalah harta kekayaan. Seperti terlihat dalam hukum adat dengan adanya adat kebiasaan bahwa budel warisan, terutama yang merupakan milik bersama (gono-gini, harta pencarian) tetap untuk membiayai keperluan hidup sehari-hari dari suami atau istri yang masih hidup pada waktu pihak yang lain meninggal dunia.21 Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa mereka yang mengikatkan diri dalam perjanjian perkawinan tersebut akan memperoleh jaminan selama perkawinan berlangsung maupun sesudahnya sehingga untuk memutuskan perkawinan berarti pula melanggar perjanjian, maka merupakan hal yang sangat jarang terjadi mengingat akibat-akibat hukum yang akan ditanggung atau resiko bila salah satu pihak ingkar terhadap perjanjian perkawinan tersebut, biasanya ada sanksi yang diberlakukan terhadap pihak yang melanggar perjanjian perkawinan tersebut. Persamaannya antara hukum BW dan hukum Islam adalah dilakukan secara tertulis, sedangkan perbedaannya terletak pada keabsahan perjanjian perkawinan tersebut, kalau menurut BW harus dilaksanakan dihadapan notaris sedangkan menurut hukum Islam cukup dihadapan Pegawai Pencatat Nikah. Kemudian berlaku mengikat terhadap pihak ketiga jika sudah didaftarkan pada kepaniteraan Pengadilan Negeri tempat dimana perkawinan dilangsungkan demikian menurut BW, sedangkan menurut hukum Islam berlaku mengikat terhadap pihak ketiga sepanjang termuat dalam klausula atau diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan tersebut. Penulis menguji data untuk menunjukkan kebenaran data yang diperoleh yaitu isi surat perjanjian kawin, dan menyimpulkan bahwa perjanjian perkawinan adat yang dilaksanakan masyarakat muslim desa Tanjung Sangalang bersifat mengikat karena merupakan suatu 20
Aan Supriyanto. Op. Cit. h. 60-61 ( online 26 0ktober 2010). File:///C:\Documents and Settings\acer\My Documents\ Makalah BuRahmi\Perjanjian Perkawinan Hukum Barat dan Hukum Indonesia. Doc. 21
kesepakatan kedua belah pihak. Hal ini terjadi karena selain merupakan adat istiadat juga sebagai pedoman masa depan agar dikemudian hari tidak terjadinya perceraian. Dan apabila terjadi suatu pelanggaran dalam salah satu pasal, maka akan dikenakan sangsi sesuai dengan isi perjanjian. E. TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP MASYARAKAT MUSLIM YANG MENJALANKAN PERKAWINAN ADAT DI DESA TANJUNG SANGALANG KEC. KAHAYAN TENGAH KAB. PULANG PISAU Dalam hukum Islam, tradisi atau kebiasaan ini disebut dengan Urf yang dapat dijadikan suatu dalil, didukung dengan salah satu dalil kaidah hukum Islam.
ََ ْال َعادَة ُ ُمحْ َك َمة
“Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum.”22 Kaidah ini menerangkan bahwa suatu tradisi atau adat kebiasaan di suatu daerah dapat dijadikan suatu hukum, berarti membolehkan suatu tradisi selama dalam hukumnya tidak ada dalil syara yang melarang tradisi tersebut, baik dari dalil Alquran maupun Sunnah. Memang ada beberapa ulama yang menyatakan segala sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah adalah bid’ah. Namun karena tradisi tersebut sudah turun-temurun dilakukan, mustahil untuk tidak dilakukan oleh masyarakat tersebut pada umumnya. Menurut Abdul Karim Zaidan, menjelaskan bahwa syarat-syarat berlakunya suatu tradisi atau kebiasaan suatu masyarakat dapat dijadikan suatu hukum adalah: 1. Tidak ada perbedaan dalam mengamalkannya atau pada umumnya dilakukan oleh manusia yang dinyatakan dalam kaidah fiqhiyyah yang lain, yaitu sesuatu dianggap tradisi, apabila sudah berlaku atau seringkali dilakukan orang-orang. 2. Tradisi menjadi perbandingan untuk mencapai sesuatu yang kita ingin ketahui hukumnya melalui kebiasaan yang ada sebelumnya. Tidak dianggap adat maupun tradisi apabila sesuatu yang dimaksud telah terjadi. 3. Tradisi atau kebiasaan tersebut tidak bertentangan dengan nash atau dalil Alquran maupun Sunnah termasuk syarat yang ditetapkan antara dua orang atau lebih yang melaksanakan akad.23
22
h. 140.
Muchlis Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1999,
Urf merupakan sumber hukum yang diambil oleh mazhab Hanafy dan Maliky, yang berada diluar lingkup nash. Urf (tradisi) adalah bentuk muamalah (hubungan kepentingan) yang telah menjadi adat kebiasaan dan telah berlangsung ajeg (konstan) di tengah masyarakat.24 Dalam Alquran surah Al- A’raf ayat 199 Allah berfirman: .25
َع ِن ْال َجا ِهلِين ْ ف َوأَع ِْر ِ ُخ ِذ ْال َع ْف َو َوأْ ُم ْر ِب ْالعُ ْر َ ض
Artinya:“Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh”.26 Kata al urfi dalam ayat tersebut, umat manusia disuruh mengerjakannya, oleh para ulama Ushul Fiqh dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat. Berdasarkan hal itu, maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik sehingga menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.27 Karena merupakan perintah, maka urf dianggap syara’ sebagai dalil hukum. Mereka juga beralasan dengan Hadist Nabi :
س ًنا فَ ُه َو ِعنَدَ هللاِ َح َسن َ فَ َما َرآهُ ْال ُم ْس ِل ُم ْونَ َح “Sesuatu yang dianggap baik oleh umat Islam, termasuk suatu hal yang baik pula menurut Allah”. Hadist ini mengandung arti, bahwa hal yang dipandang baik bagi orang-orang Islam berarti hal itu juga baik di sisi Allah yang didalamnya termasuk urf yang baik. 28 Para ulama menyatakan bahwa urf merupakan salah satu sumber dalam istinbath hukum, manetapkan bahwa ia bisa menjadi dalil sekiranya tidak ditemukan nash dari Kitab (alquran) dan Sunnah (hadits). Apabila urf bertentangan dengan Kitab atau Sunnah maka urf tersebut ditolak (mardud). Sebab dengan diterimanya urf tersebut berarti mengesampingkan nash-nash yang pasti (qath’iy), mengikuti hawa nafsu dan membatalkan syariat.karena kehadiran syariat bukan dimaksudkan untuk melegitimasi berlakunya mafasid 23 Abdul Karim Zaidan, al Wajiz fi Syarhi al Qawaid al Fiqhiyyah fi Asy Syari’ah al Islamiyyah, diterjemahkan oleh Muhyiddin Mas Rida dengan judul al Wajiz 100 Kaidah Fiqih dalam kehidupan seharihari, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008, cet. I, h. 134-135. 24 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007, h. 416 25 Al-A’raf [7] : 199. 26 Departemen Agama Republik Indonesia. Op. Cit. h. 255. 27 Satria Effendi, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008, h. 155-156. 28 Muchlis Usman. Op. Cit. h. 141.
(berbagai kerusakan dan kejahatan. Segala kegiatan yang menuju kearah tumbuh dan berkembangnya kemafsadatan harus segera diberantas, bukan malah dilegitimasi. 29
Berdasarkan uraian diatas, urf terbagi menjadi dua yaitu : 1. Adat kebiasaan yang benar, yaitu suatu hal baik yang menjadi kebiasaan suatu masyarakat, namun tidak sampai menghalalkan yang haram dan tidak pula sebaliknya. 2. Adat kebiasaan yang fasid (tidak benar), yaitu suatu yang menjadi adat kebiasaan yang sampai menghalalkan yang diharamkan Allah. 30 Dalam bidang hukum keluarga, Nabi mempertahankan beberapa praktek hukum yang telah lama diketahui oleh masyarakat Arab sebelum Islam dan hanya mengganti beberapa hal yang tampaknya tidak konsisten dengan prinsip-prinsip alasan hukum yang masuk akal dan landasan moral yang masuk akal dan baik. Karena peraturan-peraturan yang diderivasikan dari nilai adat pra-Islam yang berhubungan dengan masalah perkawinan dan pengaturan hubungan gender, sehingga Islam berusaha untuk menyesuaikan aturan-aturan tersebut dengan karakter manusia. Berangkat dari alasan ini, maka Rasul menghapuskan beberapa praktek hukum yang telah secara luas diamalkan sejak dahulu kala oleh bangsa Arab seperti praktek poliandri, hubungan seksual yang tidak sah, pembunuhan terhadap bayi perempuan, adopsi,
perceraian
yang
berulang-ulang
dan
lain
sebagainya.
Nabi
juga
tetap
mempertahankan atau memodifikasi praktek-praktek hukum lain seperti poligami, pembayaran mahar, atau pemberitahuan (iqrar) dalam perkawinan.31 Teori Penerimaan Otoritas Hukum diperkenalkan oleh seorang orientalis Kristen, H.A.R. Gibb, dalam bukunya The Modern Ternds of Islam, seperti dikutip H. Ichtijanto bahwa orang Islam jika menerima Islam sebagai agamanya, ia akan menerima otoritas hukum Islam kepada dirinya. Berdasarkan teori ini, secara sosilogis orang yang memeluk Islam akan menerima otoritas hukum Islam dan taat dalam menjalankan syariat Islam. Namun ketaatan ini akan berbeda satu dengan lainnya dan sangat bergantung pada tingkat ketakwaan masing-masing. 32 Teori ini menggambarkan pula bahwa di dalam masyarakat Islam ada hukum Islam yang ditaati oleh orang-orang Islam. Orang-orang Islam menaati hukum Islam karena diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, kalau mereka
29 30
Muhammad Abu Zahrah, Op. Cit, h. 418. Satria Effendi, Op. Cit, h. 154-155. 31 Ratno Lukito, Pergumulan antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia, Jakarta: INIS, 1998, h. 8-9. 32 Dilema penerapan hukum Islam di Indonesia oleh Rullyasrul83’s blog-mozilla firefox
telah menerima Islam sebagai agamanya, maka mereka akan menerima otoritas hukum Islam terhadap dirinya. Bagi orang Islam, hukum Islam adalah kehendak dan tatanan Allah dan tradisi rasul. Sebuah fakta yang terjadi pada masyarakat yang telah menerima Islam, orang Islam akan terus menjalankan syariat berdasarkan akidah yang dianutnya. Akan sangat sulit memisahkan masyarakat Islam dengan syariatnya yang menjadi tuntutan hukum dan moral dalam kehidupannya. Pada masyarakat Indonesia yang keislamannya dianut oleh fanatisme ajaran atau ketokohannya, akan selalu mempertahankan syariat dan akidahnya sampai mati.33 Ungkapan teoritis ini dapat berfungsi sebagai jembatan antara ajaran Islam, tentang penataan hukum yang bersumber pada Alquran dan Sunnah, dengan teori-teori penataan hukum bagi masyarakat Islam di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Menurut Gibb bahwa hukum Islam telah memegang peranan yang sangat penting dalam membentuk serta membina ketertiban sosial umat Islam dalam seluruh aspek kehidupannya, karena ia mempunyai landasan keagamaan yang kuat. Masyarakat Islam juga dikenal keanekaragaman paham hukum Islam lainnya seperti berkembangnya toleransi perbedaan paham hukum dan praktik hukum karena perbedaan-perbedaan yang ada, tetapi etika hukumnya sama. Hal ini terjadi karena umat Islam menaati Allah dan rasul-Nya serta menjunjung tinggi para ulama yang mengembangkan hukum Islam sesuai tuntutan zaman dan perbedaan situasi dan kondisi masyarakat. Hukum Islam sebagai tatanan hukum yang dipegang dan ditaati oleh mayoritas penduduk dan rakyat Indonesia adalah hukum yang telah hidup di dalam masyarakat, merupakan sebagian dari ajaran dan keyakinan Islam dan ada dalam kehidupan nasional serta merupakan bahan dalam pembinaan dan pengembangannya. Berdasarkan sumber ajarannya, realitas kehidupan hukum masyarakat, sejarah pertumbuhannya, dan perkembangan hukum di Indonesia, yang menyangkut teori berlakunya hukum Islam di Indonesia, terlihat beberapa teori yang sudah mantap dan dalam pertumbuhan. Berdasarkan sumber ajaran Islam, tingkatan kehidupan seorang Muslim dikaitkan dengan sikap dan ketaatannya kepada ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Berlakunya hukum Islam di Indonesia untuk sebagian besar adalah tergantung pada umat Islam yang menjadi pendukung utamanya. Umat dalam artian sebuah komunitas
33
70-73.
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: CV Akademika Pressindo, 2010, h.
penganut suatu agama yang dituntut melaksanakan kewajiban ajaran agamanya. Padahal secara teoritik orang selalu mengaitkan berlakunya hukum dengan kekuasaan terutama sekali kekuasaan Negara. Indonesia bukanlah sebuah negara Islam tetapi sebuah Negara Nasional yang memberi tempat pada umat Islam untuk melaksanakan hukum Islam tetapi juga pada umat-umat penganut agama lain. Akan tetapi, secara formal negara juga tidak menutup mata dari pelaksanaan hukum Islam sehingga di samping punya landasan dogmatik pada ajaran agama, keberadaan hukum Islam juga didukung umatnya dan untuk sebagian mempunyai landasan formal dari kekuasaan negara Republik Indonesia. Secara faktual umat Islam Indonesia bukan hanya sekedar merupakan kelompok mayoritas di Indonesia tetapi juga merupakan kelompok terbesar dari kelompok dari umat Islam di dunia. Hukum Islam sebagai hukum yang dibuat dan berlaku terutama dari umat tersebut adalah merupakan hukum dengan subjek yang besar. Sehingga betapapun dalam kondisi demikian, hukum Islam menempati posisi yang strategis bukan saja bagi umat Islam Indonesia tetapi bagi dunia Islam pada umumnya dan sekaligus juga menempati posisi yang strategis dalam sistem hukum Indonesia. Akan tetapi, arti penting yang demikian akan sangat tergantung pada posisi dan kedudukan umat Islam untuk siapa hukum itu berlaku. Ia akan mempunyai nilai yang lebih penting bilamana umat Islam tersebut memperlakukan dan melaksanakan ketentuannya dengan sebaik-baiknya, sedangkan kalau ia bersikap sebaliknya dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kedudukan hukum Islam itu sendiri. Dalam pertumbuhan masyarakat modern yang berhubungan dengan norma-norma pancasila, ada kemungkinan norma-norma adat bertentangan dengan hukum Islam, oleh karena itu bagi orang Islam Indonesia, norma-norma adat yang bertentangan dengan Pancasila dan hukum Islam mestinya tidak dapat diberlakukan.34 Kemudian dalam Undangundang Dasar 1945 ditegaskan pula bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Landasan kontitusional ini adalah merupakan jaminan formal dari setiap muslim dan umat Islam di Indonesia untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum Islam dalam hidup dan kehidupannya ditengah-tengah masyarakat dan bangsa Indonesia serta dalam kehidupan bernegara. 35
34 35
Dilema penerapan hukum Islam di Indonesia oleh Rullyasrul83’s blog-mozilla firefox Abdurrahman, Op. Cit. h. 1-3.
Jadi, setelah melihat semua hasil data yang diperoleh yaitu dengan metode wawancara, observasi dan dokumentasi, agar dapat menghasilkan data yang valid penulis menguji dan menyimpulkan bahwa masyarakat muslim desa Tanjung Sangalang tampaknya kurang memahami hukum Islam dengan baik. Karena dilihat dengan adanya adat kebiasaan (urf) yang dipertahankan oleh masyarakat muslim desa Tanjung Sangalang yang diantaranya adalah perjanjian perkawinan. Adapun salah satu urf yang baik adalah pembayaran jalan adat dan semua pasal perjanjian perkawinan adat kecuali pasal keempat.adapun urf yang fasid diantaranya adalah dalam pembayaran jalan adat diharuskan untuk membayar rapin tuak (minuman keras) dan salah satu pasal perjanjian perkawinan yaitu pasal 4 yang isinya bertentangan dengan syariat Islam yaitu berisi ketentuan status harta yang dimiliki apabila salah satu dari kedua belah pihak ada yang meninggal dunia dan memiliki anak, maka segala harta milik mereka akan menjadi hak milik anak dan ahli waris tidak berhak menerima. Dalam hukum Islam terdapat ketentuan mengenai warisan yang bisa disebut mawaris. Hal inilah yang bertentangan dengan teori penerimaan otoritas hukum Islam yang menyebutkan bahwa orang Islam jika menerima agama Islam sebagai agamanya, ia akan menerima otoritas hukum Islam kepada dirinya dan taat dalam menjalankan syariat Islam. F. PENUTUP Latar belakang masyarakat muslim desa Tanjung Sangalang dalam mempertahankan dan menjalankan aturan perkawinan adat bahwa adanya pelaksanaan perjanjian perkawinan adat berasal dari agama Hindu Kaharingan, yang akhirnya dapat diterima oleh semua masyarakat desa Tanjung Sangalang. Perkawinan adat tidak ada hubungannya dengan agama atau keyakinan. Perjanjian ini adalah untuk menjaga kelestarian adat istiadat dan agar tidak terjadinya perceraian. Karena semua agama melarang adanya perceraian dalam suatu perkawinan. Dalam hal ini penulis sependapat dengan adanya teori yang mengatakan bahwa hukum Islam tidak otomatis berlaku dalam masyarakat muslim, tetapi terlebih dulu mendapat penerimaan dari masyarakat yang meyakininya. Jadi, hukum Islam berlaku bagi orang Islam, apabila sudah dapat dierima (diresepsi) oleh dan telah menjadi hukum adat. Isi surat perjanjian perkawinan adat terdapat 5 (lima) pasal. Pasal pertama berisi kesanggupan kedua belah pihak suami istri untuk setia sehidup semati, pasal kedua berisi sangsi yang akan diterima apabila melanggar perjanjian, pasal ketiga berisi status harta yang diperoleh apabila keduanya tidak memiliki anak, pasal keempat berisi status harta yang
diperoleh apabila keduanya memiliki anak dan pasal kelima berisi status harta yang diperoleh apabila salah satu dari kedua belah pihak masih hidup maka segala harta akan diberikan kepada anak. Semuanya ini bersifat mengikat bagi kedua belah pihak dan harus dipatuhi, karena apabila terjadi pelanggaran maka akan mendapat sangsi atau jipen sesuai dengan ketentuan adat yang berlaku. Tinjauan hukum Islam terhadap masyarakat muslim yang menjalankan perkawinan adat di Desa Tanjung Sangalang bahwa kenyataan yang terdapat pada masyarakat muslim tidak sepenuhnya mentaati syariat Islam. Masyarakat muslim desa Tanjung Sangalang tampaknya kurang memahami hukum Islam dengan baik. Karena dilihat dengan adanya adat kebiasaan (urf) yang dipertahankan oleh masyarakat muslim desa Tanjung Sangalang yang diantaranya adalah perjanjian perkawinan. Adapun salah satu urf yang baik adalah pembayaran jalan adat dan semua pasal perjanjian perkawinan adat kecuali pasal keempat. Adapun urf yang fasid diantaranya adalah dalam pembayaran jalan adat diharuskan untuk membayar rapin tuak (minuman keras) dan salah satu pasal perjanjian perkawinan yaitu pasal 4 yang isinya bertentangan dengan syariat Islam yaitu berisi ketentuan status harta yang dimiliki apabila salah satu dari kedua belah pihak ada yang meninggal dunia dan memiliki anak, maka segala harta milik mereka akan menjadi hak milik anak dan ahli waris tidak berhak menerima. Dalam hukum Islam terdapat ketentuan mengenai warisan yang bisa disebut mawaris. Hal inilah yang bertentangan dengan teori penerimaan otoritas hukum Islam yang menyebutkan bahwa orang Islam jika menerima agama Islam sebagai agamanya, ia akan menerima otoritas hukum Islam kepada dirinya dan taat dalam menjalankan syariat Islam.
DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: CV Akademika Pressindo, 2010. Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (edisi revisi v), Jakarta: Rineka Cipta, 1997. Artmanda W, Frista. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Artikel “Janji”, Jombang:Lintas Media. Departemen Agama Republik Indonesia, Al qur’an dan Terjemahnya Juz 1- Juz 30, Surabaya: CV Jaya Sakti. 1995. Djatnika, Rachmat dkk. Hukum Islam di Indonesia (Perkembangan dan Pembentukan), Bandung:PT. Remaja Rosdakarya, cet ke-2, 1994. Departemen Agama Republik Indonesia, Bahan penyuluhan hukum, Jakarta, 2004. Effendi, Satria. Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.
Hadikusumah, Hilman. Hukum Perkawinan Adat, Bandung:PT. Citra Aditya Bakti, 1995. Hadikusumah, Hilman. Pokok-pokok Pengertian Hukum Adat, Bandung:PT. Citra Aditya Bhakti, 1980. Isnandar, Fiqh HAM dalam Perkawinan, CV Fauzan Inti Kreasi, 2004. Lukito, Ratno. Pergumulan antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia, Jakarta: INIS, 1998. Miru, Ahmadi dan Sakka Pati, Hukum Perikatan (Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW), Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008. Mukhtar, Kamal. Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1987. Moleong, Lexy. J.Metodologi Penelitian Kualitatif, Surabaya: Angkasa, 2001. Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 Sampai KHI, Jakarta: Prenada Media, 2004. Pelu, Ibnu Elmi A.S. Gagasan, Tatanan dan Penerapan Ekonomi Syariah dalam Perspektif Politik Hukum, Malang:SETARA PRESS, 2008. Qodir, Abdul. Metodologi Riset Kualitatif Panduan Dasar Melakukan Penelitian Ilmiah, Palangka Raya: t.np., 1999. Ramulyo, Mohd. Idris. Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis dari Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2002. Riwut, Tjilik. Kalimantan Membangun, Palangka Raya: 1979. Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah Jilid 11, Bandung: PT Al Ma’arif. Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta, 2009 Shihab, M. Quraisy. Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an jilid 3, Jakarta: Lentera Hati, 2002 Shomad, Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010. Tency, Mulida H.Syaiful dan Ibnu Elmi, Kekerasan Seksual dan Perceraian, Malang: Intimedia, 2009. Triwulan, Titik. Pengantar Hukum Perdata Indonesia, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006. Usman, Muchlis. Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1999. Zaidan, Abdul Karim. al Wajiz fi Syarhi al Qawaid al Fiqhiyyah fi Asy Syari’ah al Islamiyyah, diterjemahkan oleh Muhyiddin Mas Rida dengan judul al Wajiz 100 Kaidah Fiqih dalam kehidupan sehari-hari, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008, cet. I. Zahrah, Muhammad Abu. Ushul Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007. Aan Supriyanto, “Pengurusan dan Pertanggungjawaban Terhadap Harta Kekayaan Akibat Adanya Perjanjian Perkawinan”, Tesis Magister, Semarang: Universitas Diponegoro, 2008. Hatpiadi, “Perjanjian Dalam Perkawinan Suku Dayak Islam di Desa Jabiren Kecamatan Kahayan Hilir Kabupaten Kapuas“, Skripsi, Banjarmasin: IAIN Antasari, 1984, I.A. Sadnyini, “Poligami Dan Kesengsaraan Perempuan”. Tesis. (online 26 oktober 2010) Zulvanovriyendi, “Akibat Hukum Pendaftaran Perjanjian Perkawian Terhadap Pihak Ketiga”, Tesis Magister, Semarang: Universitas Dipenegoro,2008 t.d ( online 26 oktober 2010) Y. Nathan Ilun, Mengenal Hukum Adat dan Perbandingan Nilai Barang Adat dan Corak Kesusteraan Purba Peninggalan Sejarah Warisan Dayak Ngaju Kalimantan Tengah, 1987