Politik Hukum Islam Melayu Jambi Adat Besendi Syarak, Syarak Besendi Kitabullah Dan Hubungannya dengan Upaya Kontekstualisasi Hukum Islam di Jambi Bahrul Ulum IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, Indonesia
ABSTRAK Artikel ini menelisik makna di balik slogan “Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah.” Slogan ini tidak saja menyimpan nilai filosofis, yakni pertarungan epistemologis tentang kebenaran sumber hukum, dan secara ontologis membahas tentang eksistensi adat dan syarak. Sedemikian rupa, penelitian ini berusaha menganalisis makna politik hukum adat di Jambi sebagai implikasi dari slogan yang dijadikan landasan filosofis dalam berfikir dan bertindak. Penelitian ini juga menganalisis dampak gerakan Islam syariat versus slogan ini, yang didapati bahwa gerakan syariat Islam menyimpan masalah yang dapat mengancam bangunan ontologis dan epistemologis nilai-nilai dan local wisdom Melayu Islam, yang telah mengakar di Jambi. Slogan ini sarat dengan nilai filosofis yang bisa menjadi jalan tengah dalam konteks kehidupan sosial-politik dan keagamaan, yang merupakan cermin dari Islam Indonesia yang sebenarnya, karenanya harus dijaga dan dilestarikan dalam kehidupan masyarakat Jambi. Kata Kunci: Adat, Syarak, Filosofis, Gerakan Syariat Islam.
Pendahuluan Islam dan Melayu adalah dua istilah yang tidak dapat dipisahkan. Hal ini bukan saja dapat dibuktikan secara historis, namun secara faktual keadaan dan aktivitas masyarakat Melayu selalu identik dengan, dan dipengaruhi oleh, ajaran Islam. Sebaliknya, Islam terefleksi dengan sangat jelas dalam kehidupan masyarakat Melayu sebagaimana terlihat dalam budaya berpakaian, bertutur, dan terutama dalam ritual yang dibungkus dalam adat-istiadat budaya Melayu. Refleksi Islam dalam kehidupan masyarakat Melayu ini dengan jelas dapat dilihat, misalnya, dalam tradisi masyarakat Melayu Jambi, seperti upacara perkawinan, kematian, perayaan hari besar Islam, dan kegiatan yang bersangkut-paut dengan adat-istiadat.1 Hampir semua kegiatan tersebut memperlihatkan dengan jelas hubungan tak terpisahkan antara Islam dan budaya Melayu Jambi. Menurut antropolog Judith A. Nagata, hubungan antara Islam dan Melayu, termasuk Melayu Jambi ini, terjadi karena Melayu adalah salah satu dari beberapa suku di mana 1
Lihat http://home.candimuarojambi.com/index.php?option=com_content&view=section &layout=blog&id=7&Itemid=114.
219
antara identitas agama dan etniknya rangkap atau tumpang-tindih. Identitas agama sekaligus merupakan identitas suku. Dalam hal ini, identitas Melayu adalah Islam. Sehingga, nyaris tidak ada orang Melayu yang memeluk agama lain selain Islam. Sehingga muncul istilah yang menyatakan bahwa “to be Malay is to be Moslem.”2 Agama Islam diyakini telah hadir di Jambi sekitar abad 7 M dan berkembang menjadi agama kerajaan setelah abad 13 M. Orang Parsi (Iran), Turki dan bangsa Arab lainnya telah hadir di pantai timur Jambi (Bandar Muara sabak) sekitar abad 1 H (abad 7 M). Dalam catatan I-Tsing disebutkan bahwa sewaktu ia mengunjungi Melayu (Mo-lo-yeu), ia menumpang kapal Persia (Iran). Pada masa itu di Iran, agama Islam telah menyebar dalam masyarakatnya.3 Proses kedatangan Islam, yang paling menarik adalah, ditandai dengan adanya akulturasi budaya Islam dengan budaya setempat. Akulturasi budaya pada akhirnya menghasilkan berbagai varian keislaman yang disebut dengan Islam lokal yang berbeda dengan Islam dalam great tradition (Islam di tanah Arab). Fenomena demikian bagi sebagian pengamat memandangnya sebagai penyimpangan terhadap kemurnian Islam dan dianggapnya sebagai Islam sinkretis. Meskipun demikian, banyak peneliti yang memberikan apresiasi positif dengan menganggap bahwa setiap bentuk artikulasi Islam di suatu wilayah akan berbeda dengan artikulasi Islam di wilayah lain. Untuk itu gejala ini merupakan bentuk kreasi umat dalam memahami dan menerjemahkan Islam sesuai dengan budaya mereka sendiri sekaligus akan memberikan kontribusi untuk memperkaya mozaik budaya Islam.4 Di Jambi, artikulasi ajaran Islam diwujudkan sejak masa kesultanan Jambi. Dalam perkembangannya identitas Melayu-Islam berangkat dari seloko masyarakat Jambi, yakni “Adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah”, sebuah selogan yang sebenarnya berasal dari Minang Kabau. Seloko ini menunjukkan dua hal; pertama, adat Melayu Jambi bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah; kedua, al-Qur’an dan Sunnah (tradisi Islam) terefleksi melalui adat Melayu Jambi. Dengan demikian, menyatunya Islam dan budaya Melayu Jambi tidak dapat dilepaskan dari proses Islamisasi yang pernah terjadi di daerah ini. Menurut Suaidi Asyari, proses Islamisasi yang terus-menerus terjadi ketika Kesultanan Jambi diperintah oleh Orang Kayo Hitam sekitar dekade pertama abad ke-16. Prosesnya berlangsung secara damai tanpa konfrontasi dengan agama dan kepercayaan lokal. Mazhab yang kemudian dianut oleh sultan, meskipun mazhab yang lain juga tumbuh, adalah mazhab Syafi’i. Ini yang kemudian menjelaskan mengapa mazhab ini menguat dan dianut mayoritas pemeluk Islam di Jambi.5 Ketika agama Islam telah menguat, sultan menggunakan gelar-gelar yang menyatakan bahwa basis legitimasi mereka adalah legitimasi agama. Sementara itu, bersamaan dengan kedatangan kolonialisme, Islam menjadi sumber kekuatan dalam
Judith A. Nagata, “What is the Malay?: Situational Selection of Ethnic Identity in a Plural Society”, American Ethnologist, 1, 2 (1974), hal. 331-350. 3 Amali Muadz, “Sejarah Perkembangan Islam di Jambi” dalam http://www.amalimuadz.com/2011/12/sejarah-perkembangan-islam-di-jambi.html 4 http://sejarahsebelas.blogspot.com/2013/11/akulturasi-kebudayaan-indonesia-dan.html 5 Suaidi Asyari, Nalar Politik NU dan Muhammadiyah: Over Crossing Java Sentris, (Yogyakarta: LKiS, 2009), hal. 205-206. 2
220
menentang penjajahan. Sultan Thaha, misalnya, sering diceritakan menolak bertemu Belanda karena menganggap mereka sebagai kafir. Banyak kalangan saat ini berupaya untuk mengembalikan kedigjayaan hukum Islam sebagaimana yang pernah terjadi sebelumnya. Anthony Reid menunjukkan bahwa sejak awal abad ke-17 M, hukum Islam yang ketat telah diterapkan secara parsial di Banten (Jawa Barat) dan Aceh, di mana misalnya hukum potong tangan diberlakukan kepada para pencuri.6 Ini jelas menunjukkan bahwa hukum kriminal semacam ini diambil dari hukum pidana Islam yang bernama hudud. Di era Remormasi, seiring dengan adanya kebebasan dan keterbukaan yang semakin luas berikut otonomi daerah sejak era Presiden B.J. Habibie, muncul gairah untuk menerapkan kembali syariat Islam di kalangan Islam Ideologis atau Islam politik, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan bahkan dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS).7 Sedemikian rupa hingga wacana syariat Islam dapat digambarkan sebagai sebuah gairah yang luar biasa.8 Ini, sekali lagi, memunculkan polemik antar kaum Muslim sendiri. Ada yang mendukung dan sebagian lagi menolak dengan keras.9 Persoalan penegakan syariat Islam, pada dasarnya, memiliki keterkaitan dengan pemahaman hukum Islam sendiri. Dalam paham masyarakat Melayu Jambi, sebagaimana diterjemahkan oleh para penguasa Islam di zamannya, Islam adalah hal yang identik dengan adat, dan adat merupakan representasi dari Islam. Slogan “adat besendi syarak, syarak besendi kitabullah” tampaknya menjadi jawaban terhadap keharusan penerapan hukum Islam. Sebagai daerah yang bertransformasi menjadi Islam, kewajiban tersebut memang menjadi keharusan. Namun yang menarik adalah bahwa tradisi yang ada tidak serta merta ditinggalkan, melainkan tetap dipertahankan dan bahkan mengukuhkan sebagai adat yang bersendi syarak. Pola pikir semacam ini mengindikasikan adanya upaya konteksutalisasi dan politik hukum Islam di zaman keemasan Melayu Jambi. Upaya ini ternyata berhasil melahirkan sebuah perkawinan antara hukum Islam dan hukum adat tanpa mengeliminir salah satunya. Filosofi slogan “adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah”. Sejauh menyangkut hukum dan permasalannya, selalu terdapat sebuah landasan berfikir yang melatari keberadaan suatu hukum. Landasan berfikir itu memiliki nilai yang amat tinggi karena telah melewati pengujian yang mendalam dan perenungan yang serius.
6
Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680, New Heaven: Yale University Press, 1988, hlm. 143. Bandingkan dengan Wahyuddin Halim, “Gerakan Formalisasi Syariat Islam melalui Instrumen Negara: Refleksi Kritis atas KPSSI.” Makalah disampaikan pada “Annual Conference Postgraduate Program State Institute for Islamic Studies (IAINs) and State Islamic Universities (UINs), Comfort Hotel Makassar, 25-27 November 2005. 7 Tentang gerakan Islam syariat ini lihat Haedar Nashir, “Gerakan Islam Syari’at: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia,” dalam Maarif, Vol. 1. No. 02. November 2006. lihat juga Nandang Burhanuddin, Penegakan Syariat Islam Menurut Partai Keadilan, Jakarta: Al-Jannah Pustaka, 2004. 8 Lihat Suara Hidayatullah “Gairah Syariat Islam di Berbagai Daerah,” Juli 2000. 9 Perdebadan ini dapat dilihat, misalnya, dalam Masykuri Abdillah et.al, dalam Muhammad Zain [ed], Formalisasi Syariat Islam di Indonesia: Sebuah Pergulatan yang Tak Pernah Tuntas, Jakarta: Renaisan. 2005b.
221
Inilah yang disebut dengan corak berfikir filsafat yang dikatakan sebagai cara berfikir yang reflektif dan mendalam. Filsafat hukum, dengan mengacu pada pengertian filsafat di atas, dapat diartikan sebagai upaya untuk “mempelajari persoalan-persoalan filosofis yang muncul dari eksistensi dan praktik hukum.”10 Pada dasarnya pernyataan-pernyataan filsafat hukum merupakan prinsip-prinsip yang fundamental atau mendasar tentang hukum. Kerja filsafat hukum merupakan usaha-usaha untuk menguji prinsip-prinsip dasar tertentu.11 Dengan asumsi bahwa filsafat itu mengandung – dan merupakan hasil perenungan akan – nilai-nilai, maka slogan “adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah”, paling tidak dapat dikur sudut pandang filsafat (ilmu), yakni perspektif ontologis dan epistemologis. Meneliti filsafat hukum dari sudut pandang ontologis berarti berusaha melihat hakikat hukum itu sendiri. Jika meneliti filsafat hukum dari sudut pandang epistemologis berarti berusaha mengetahui hukum dari sumber kebenarannya.12 Eksistensi “adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah” berasal dari kearifan lokal masyarakat Jambi dalam menyikapi Islam sebagai agama anutannya dan adat-istiadat sebagai pandangan hidupnya. Secara epistemologis, slogan “adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah” merupakan kombinasi kreatif antara kebenaran “adat” dan kebenaran “agama”. Ini serupa dengan kombinasi kreatif antara “akal” dan “wahyu” dalam dialektika Ilmu Kalam. Slogan “adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah” mengingatkan pada dinamika hukum Islam yang berkembang di Timur Tengah. Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, hukum Islam menjadi kehilangan patron dan otoritasnya. Alhasil, banyak orang yang kemudian berusaha mengambil posisi penting ini, sebagai patron dan pihak otoritas penentu kebijakan hukum Islam ini. Beruntung, segera setelah Nabi wafat itu, empat orang Khalifah yang lurus menjadi pelindung bagi eksistensi dan dinamika hukum Islam ini. Pada masa ini para Khalifah masih kuat berpegang pada al-Qur’an dan Sunnah dalam mengatasi berbagai persoalan hukum. Namun, seiring dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam dan problematika kehidupan manusia semakin komplek dan rumit, ada juga dorongan untuk melakukan ijtihad baik sebagai peribadi maupun selaku Khalifah, terutama berasal dari Khalifah Umar bin Khattab r.a.13 Slogan “adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah,” mengandung nilai-nilai filosofis yang sangat kuat, yakni tentang teori kebenaran yang diakui oleh masyarakat Melayu Jambi. Keyakinan epistemologis yang dimiliki masyarakat Melayu Jambi sebagaimana yang tercermin dalam slogan tersebut membuktikan bahwa masyarakat Jambi adalah masyarakat yang luwes dan moderat. Keluwesan dan moderasi ini muncul sebagai akibat logis pengakuan masyarakat Melayu Jambi akan eksistensi adat dan syarak yang sama-sama dinilai benar dan sejalan, sehingga saling mengisi. Ini sesuai dengan apa yang diakatakan oleh seorang tokoh agama seperti Tarmizi bahwa slogan ini bermakna “bahwa prilaku masyarakat Jambi harus berlandaskan syara’ atau hukum 10
R.M. Dworkin, Filsafat Hukum, Suatu Pengantar, terj. Yudi Santoso, (Yogyakarta: Merkid Press, 2007), hal. ix 11 Teguh Prasetyo dan Abdul Halil Barkatullah, Ilmu Hukum & Filsafat Hukum, Studi Pemikiran Ahli Hukum Sepanjang Zaman, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal. 17. 12 Lihat Juhaya S. Praja, Teori Hukum dan Aplikasinya, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hal. 18. 13 Dedi Ismatullah, Sejarah Sosial Hukum Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hal. 189
222
agama. Atau adat istiadat di jambi selalu bersinergi dengan syara’, saling menopang dan memperkuat.”14 Implikasi sosiologis dari pandangan dunia yang tercermin dari slogan itu adalah kehidupan sosial agama yang membumi, “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.” Penghargaan pada kearifan lokal ini menjadikan sistem hukum adat Jambi menjadi lebih mudah diterima karena ia tidak asing. Akan tetapi hukum adat Jambi juga memiliki sandaran normatif agama yang kuat sehingga menimbulkan keyakinan akan keaslian dan keotentikan hukum Adat Jambi. Lebih jauh, hukum Adat Jambi sebagaimana yang tercermin dalam slogan tersebut agaknya telah mendahului pandangan kebangsaan dan keislaman sebagaimana yang saat ini banyak dibicarakan dan didiskusikan menyangkut sistem politik dan pemerintahan di Indonesia. Slogan “adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah,” dengan sendirinya melahirkan sebuah pemikiran tentang Islam dan kebangsaan yang utuh, serta, melalui pemahaman akan slogan itu, dapat melahirkan sikap toleransi, terbuka, dan tasamuh. Dengan demikian cita-cita di balik falsafah “adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah” adalah tatanan masyarakat yang harmonis dan ideal yang dipersatukan oleh nilai-nilai universal dan lokal. Terlebih bahwa masyarakat Jambi adalah masyarakat yang plural, konsep-konsep filosofik untuk menopang realitas sosio-kultural itu adalah sangat diperlukan agar sumber daya manusianya dapat memberikan potensi terbaiknya, baik dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, maupun agama. Model politik hukum Islam sebagaimana termaktub dalam slogan “adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah”. Istilah politik hukum paling tidak didasarkan pada dua asumsi. Pertama, bahwa hukum itu merupakan suatu produk kepentingan (interest). Di sini, hukum dipandang sangat tidak netral karena merupakan refleksi dari kepentingan suatu kelompok atau aliran tertentu. Banyak tulisan mengenai politik hukum yang menyorot hubungan antara politik dan hukum. Pramudya, dalam kesimpulan penelitiannya mengatakan bahwa “hukum itu kepentingan.”15 Dalam konteks ini, politik hukum lebih cendrung mejadi kajian (subordinasi) dari ilmu politik, sekalipun banyak kajian ilmu hukum yang juga membahas soal ini. Selain itu, bahwa hukum juga merupakan produk legislasi. Politik hukum didefenisikan sebagai “proses pembentukan dan pelaksanaan sistem atau tatanan hukum yang mengatur kehidupan masyarakat dalam Negara secara nasional.”16 Politik hukum seringpula diartikan sebagai kebijaksaan hukum (legal policy) yang akan dan telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah, di mana mencakup pula di 14
Wawancara dengan Tarmizi, Wakil Ketua MUI Propinsi Jambi dan Ketua Umum MUI Kota Jambi, 15 Desember 2014. 15 Lihat Pramudya, Hukum itu Kepentingan, Salatiga: Sanggar Mitra Sabda, 2007. 16 Otong Rosadi dan Andi Desmon, Studi Politik Hukum, Suatu Optik Ilmu Hukum, Yogyakarta: Thafa Media, 2012, hal. 5. Lihat juga Soehino, Politik Hukum di Indonesia, Yogyakarta: BPFE, 2010, hal. 3.
223
dalamnya pengertian tentang bagaimana politik hukum mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembentukan dan penegakan hukum itu. Berdasarkan pengertian ini, hukum tidak dapat hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif atau keharusan yang bersifat das sollen, melainkan juga harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataannya (das sein) bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi muatan dan pasal-pasalnya maupun dalam impelementasi dan penegakannya.17 Berangkat dari defenisi dan paparan di atas, dapat dibaca bahwa ungakapan “adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah” menyiratkan adanya dua sistem hukum yang saling berinteraksi satu dengan lainnya, yakni antara hukum Islam dan hukum adat. Interaksi itu bisa saja bermakna positif dan maupun negatif; sinergi atau bahkan persaingan antara “syarak” atau hukum Islam dan hukum “adat”. Secara historis, awal perkembangan Islam di Jambi - dengan begitu diberlakukan secara serta-merta hukum Islam - diperkirakan terjadi pada abad XV (sekitar 1450 M). Diawali dengan disebutkannya Putri Selaras Pinang Masak, putri keturunan Raja Pagaruyung yang menikah dengan saudagar bernama Ahmad Salim atau Ahmad Barus II yang merupakan keturunan Turki, kemudian dikenal sebagai Datuk Paduko Berhalo.18 Dari perkawinannya, mereka dianugerahi empat orang anak, yaitu: Orang Kayo Pingai, Orang Kayo Kedataran, Orang Kayo Hitam, dan seorang perempuan bernama Orang Kayo Gemuk.19 Menurut catatan Junaidi, perkawinan Putri Selaras Pinang Masak dan Datu Paduko Berhalo menjadi titik awal bertapaknya Kerajaan Melayu Islam di Jambi – sehingga disebut sebagai Kerajaan Jambi. Secara berturut-turut Orang Kayo Pingai memegang tampuk pemerintahan pada tahun 1480 M, dilanjutkan oleh Orang Kayo Kedataran tahun 1490 M, kemudian oleh Orang Kayo Hitam pada tahun 1500 M. 20 Pada masa Orang Kayo Hitam inilah Islam menjadi agama resmi orang Jambi, hingga Kesultanan terakhir Jambi pada 1857 M oleh Sultan Thaha Saifuddin.21 Di kalangan penganut Islam di Indonesia, masyarakat Melayu boleh dikatakan sebagai masyarakat tersendiri yang identik dengan Islam. Berbeda dengan Islam di Jawa yang, menurut Ricklefs, tidak identik Muslim.22 Hubungan kuat antara Islam dan Melayu mengandaikan bahwa masyarakat Melayu memang merupakan masyarakat yang sangat kuat berpegang terhadap agama Islam, 23 dengan demikian menerapkan hukum Islam dengan caranya sendiri.
17
Lihat Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1998, hal. 1-2. Lindayanti dkk, Jambi dalam Sejarah 1500-1942, (Jambi: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi, 2013), hal. 129. 19 Junaidi T. Noor, Op.Cit., hal. 109. 20 Ibid. 21 Lihat Lindayanti dkk, Op.Cit., hal.131-132. 22 M.C. Ricklefs, Mengislamkan Jawa, Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangannya dari 1930 sampai Sekarang, terj. FX Dono Sunardi & Satrio Wahono, (Jakarta: Serambi, 2012), hal. 46. 23 Robert Day McAmis, Malay Muslims, The History and Challenge of Resurgent Islam in Southeast Asia, (Cambridge, U.K: William B Eerdmans Publishing Company, 2002), hal. 46. 18
224
Hukum Islam, sejak kedatangannya, di bumi Nusantara, termasuk di Jambi sendiri, hingga saat ini tergolong hukum yang hidup (living law) di dalam masyarakat. Bukan saja karena hukum Islam merupakan entitas agama yang dianut oleh mayoritas penduduk hingga saat ini, akan tetapi dalam dimensi amaliahnya ia telah menjadi bagian dari tradisi (adat) masyarakat, yang terkadang dianggap sakral, sebagaimana yang terjadi di Jambi.24 Secara sosiologis dan kultural, hukum Islam adalah hukum yang mengalir dan berurat berakar pada budaya masyarakat. Hal tersebut disebabkan karena fleksibilitas dan elastisitas yang dimiliki hukum Islam. Artinya, kendatipun hukum Islam tergolong hukum yang otonom – karena adanya otoritas Tuhan di dalamnya – akan tetapi dalam tataran implemntasi ia sangat aplicable dan acceptable dengan berbagai jenis budaya lokal. Karena itu, bisa dipahami bila dalam sejarahnya di Jambi, ia menjadi kekuatan moral masyarakat yang mampu menandingi hukum positif negara, baik tertulis maupun tidak tertulis.25 Pada saat kedatangannya di negeri Jambi, hukum Islam lebih bercorak Syafi’iyyah. Ini memang dimungkinkan mengingat faham atau mazhab Syafi’i berkembang pesat di abad ini. Perkembangan itu menembus hingga Asia Tenggara. Oleh sebab itu, sangat wajar bila dikatakan bahwa bangsa Indonesia, khususnya masyarakat Melayu Jambi, adalah penganut mazhab Syafi’i terbesar di muka bumi.26 Namun demikian, hal itu tidak berarti bahwa Muslim di Indonesia tidak merujuk pada mazhab atau pemikiran lain selain Syafi’i. Kenyataannya, penganut mazhab Syafi’i di Indonesia juga merujuk pada pemikiran Imam Malik, Ahmad bin Hanbal, dan juga Imam Hanafi. Adapun mazhab teologi yang dianur adalah Ahlussunnah wal Jama’ah, yang sering disejajarkan dengan faham Asy’ariyah, dan bukannya Maturidiyah. Jalinan hubungan antara teologi Sunni dan fiqh mazhab Syafi’i benar-benar mewarnai corak Islam di Indonesia, khususnya di kalangan masyarakat Melayu. Jadi, jika didefenisikan Islam di kawasan Melayu, seperti di Jambi, Sunni dan mazhab Syafi’i adalah refleksi dari Islam itu sendiri. Masuknya Islam di Jambi agaknya telah melewati proses yang paling damai. Berbeda dengan masuk dan berkembangnya Islam di wilayah lain Sumatera seperti Aceh atau Minangkabau. Di dua tempat yang disebut terakhir ini, pergolakan pemikiran agama pernah terjadi di sana. Di Aceh, antara heterodok dan ortodok pernah terlibat konflik yang amat parah, antara Hamzah Fanshuri (kira-kira 1607M) dan Nuruddin ar-Raniri w. 1068H/1658M). Hamzah Fanshuri yang tampil dengan ajaran Wujudiahnya, sebuah ajaran tentang kemungkinan “bersatunya” manusia dengan Tuhan yang konon dipengaruhi dari faham Ibnu Arabi, ditentang dengan amat sengit oleh Nuruddin arRaniri.27 Lain lagi di Minangkabau, konflik terjadi antara kaum agamawan dan kaum
24
Marzuki Wahid & Rumadi, Fiqh Madzhab Negara, Kritik Atas Politik Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: LKiS, 2001), hal. 81. 25 Ibid. 26 Nurcholish Madjid, “Imam Syafi’i Peletak Dasar Metodologi Pemahaman Hukum Dalam Islam,” dalam pengantarnya terhadap buku Imam Syafi’i, Ar-Risalah, terj.Ahmadie Thoha, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), hal. 9. 27 Ahmad Haris, Islam Inovatif, Eksposisi Bid’ah dalam Teori & Praktek, (Jambi: Sulthan Thaha Press, 2007), hal. 34.
225
adat. Konflik yang melahirkan sebuah perang yang berdarah-darah yang dikenal dengan sebutan Perang Paderi.28 Di Jambi, konflik dan ketegangan menyangkut soal faham keagamaan ini tidak pernah terjadi. Ahasil masuknya Islam ke negeri ini berjalan dengan amat damai. Kedamaian itu dimungkinkan karena para penyebar agama Islam ini banyak yang berasal dari kaum sufi. Meski demikian, hal itu tidak berarti bahwa syariat lantas tidak dikenal di kalangan kaum Muslim di kawasan ini. Berbagai literatur tradisional awal Nusantara, seperti “sejarah”, “hikayat”, undang-undang, dan semacamnya jelas memasukkan ajaran syariat tertentu ke dalam diskursus mereka. Di Jambi sendiri terdapat Oendang-Oendang Jambi.29 Kehadiran Islam di tengah-tengah adat dan budaya Jambi yang sudah hidup sebelumnya melahirkan produk politik hukum (Islam) yang kompleks bilamana diurai dan dinarasikan satu demi satu. Politik hukum (Islam) sebagaimana yang tercermin dalam slogan “adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah” menyimpan fenomena yang kompleks dan pelik. Dikatakan kompleks karena di dalamnya terdapat elemen-elemen pembentuk narasi itu yang terdiri dari norma adat dan norma agama, dalam hal ini adalah Islam. Disebut pelik karena masing-masing agama memiliki epistemnya sendirisendiri. Berdasarkan catatan-catatan yang ada, dapat difahami bahwa Islam yang hadir di tengah masyarakat Melayu Jambi merupakan konsekwensi dari Islam yang sudah ditempa oleh faham teologi Asyariyah / Sunni, mazhab Syafi’i, dan jalan tasawuf yang memungkinkannya dapat menerima eksistensi adat. Disinyalir sifat moderasi dari faham itulah yang menyebabkan Islam dapat disandingkan dengan adat atau tradisi setempat. Selain itu, sebagai ciri utama Islam yaitu sifatnya yang felksibel dan dapat berubah sesuai dengan kondisi. Para ulama penyebar Islam tentulah faham benar dengan kaidah ushul fiqh yang berbunyi “al-‘adah syari’ah muhakkamah” yang artinya “adat itu syariat dihukumkan”.30 Berdasarkan catatan dan pemaparan di atas, dapat dikatakan bahwa formalisasi (syariat) Islam yang pernah dilakukan oleh Kesultanan Melayu Jambi pada hakikatnya merupakan pengejawantahan dari pola fikir keislaman abad ke-15 itu yang khas dengan segala bangunan ontologis dan epistemologisnya yang telah menyerap unsur-unsur lain di luar Islam, seperti unsur Hindu, Budha, animisme, dan adat-budaya setempat, yang tentunya masih sejalan dengan prinsip Islam. Oleh karenanya, politik hukum Islam yang dilakukan sejak masa Kerajaan/Kesultanan Melayu Islam Jambi merupakan respon yang logis dan kontekstual di zaman itu. Islam dan syariatnya merupakan identitas “baru” yang menjadi khas kerajaan Melayu Islam. Ciri utama dari kerajaan Melayu Islam adalah terdapatnya nilai “tauhidik”, kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT, yang menggantikan sistem kepercayaan 28
Amir Sjarifoedin Tj.A., Minangkabau Dari Dinasti Iskandar Zulkarnain Sampai Tuanku Imam Bonjol, (Jakarta: Gria Media Prima, 2014), hal. 508-509. 29 Anonim, “Oendang-Oendang Jambi,” (ttp:tt) 30 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Moh. Zuhri & Ahmad Qarib, (Semarang: Toha Putra Group, 1994), hal. 124.
226
kepada dewa-dewa dan animisme maupun dinamisme. Kemudian, nilai “tauhidik”31 ini diimplementasikan dengan menjalankan rukun Islam. Undang-undang dibuat dan disesuaikan dengan ajaran Islam, tetapi tidak sepenuhnya karena masih mempertahankan hukum adat yang bersesuaian dengan prinsip syariat. Oleh karena itu, istilah “adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah” agaknya merupakan konsekwensi logis dari berbaurnya hukum Islam dan hukum adat. Refleksi politik hukum sebagaimana yang terdapat dalam ungkapan “adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah” adalah konsekwensi dari dialektika antara Islam dan tradisi. Dialektika itu bisa melahirkan produk kebijakan hukum yang demokratis dan responsif, bila ungkapan slogan tersebut ternyata merupakan refleksi dari realitas faham keagamaan masyarakat. Namun, ia juga bisa bersifat otoriter dan konservatif bilamana slogan itu merupakan cermin dari pemaksaan atau peminggiran (hukum) Islam di bawah hukum adat. Politik hukum slogan “adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah” agaknya baru muncul di abad ke-19. Ini berarti bahwa masa awal keislaman dan formalisasi Islam di Jambi, slogan ini belum ada. Sekalipun demikian, boleh jadi pada tahap awal formalisasi Islam di Jambi, adat dan agama masih berada pada posisi berjalan seiring dan belum saling mengisi. Setelah konflik adat dan agama terjadi, keperluan untuk mensinergikan kedua nilai itu dilakukan. Melihat proses pembentukannya, politik hukum kala itu dapat disebut sebagai politik hukum yang demokratis dan responsif. Disebut demokratis karena melalui tahap musyawarah. Adapun sifat responsifnya dapat dilihat dari saling diterimanya antara norma adat dan norma agama dalam satu slogan “adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah”. Dalam konteks kekinian, aspek politik hukum dalam slogan “adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah” masih difahami sebagai sebuah sinergi antara Islam dan adat. Implementasi dari faham ini adalah penerapan syariat Islam, seperti yang berkembang saat ini, menjadi bagian yang dapat diakomodir menurut slogan itu. Masa depan adat-budaya Melayu Jambi melalui slogan “adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah” vis a vis penerapan syariat Islam saat ini. Sebagaimana diterangkan sebelumnya bahwa adat-budaya Jambi terbentuk dari semangat yang muncul dan digali dari nilai-nilai adat dan nilai-nilai agama (Islam). Kedua norma ini dianggap sebagai sumber kebenaran yang sama-sama shahih. Slogan “adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah” tampaknya sudah menjadi kesadaran masyarakat Melayu Islam Jambi. Artinya, mereka hidup dengan agama dan adat sekaligus dan tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Kesadaran masyarakat Jambi yang tercermin dari slogan ini mempengaruhi kesadaran mereka dalam kehidupan sosial, agama, maupun politiknya. Bangunan peradaban Melayu yang telah dan hendak dibangun kembali (rekonstruksi?) adalah bangunan 31
Lihat Siddiq Fadzil, Islam dan Melayu, Martabat Ummat dan Daulat Rakyat, (Kajang, Selangor: Akademi Kajian Ketamadunan Kolej Dar al-Hikmah, 2012), hal. 3.
227
peradaban yang bersendi adat, adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah. Kesadaran hirarkis seperti ini tampaknya tidak dapat diubah begitu saja, misalnya langsung merujuk pada syarak atau al-Qur’an tanpa eksistensi adat. Hal itu pasti akan menimbulkan efek yang berbeda, baik dalam kehidupan sosial, agama, maupun politiknya. Upaya yang dilakukan oleh Pemerintah dalam melestarikan adat dan mensyiarkan agama di tengah masyarakat32 merupakan hal yang perlu disambut dengan positif oleh semua elemen dan institusi yang ada di Jambi bila ingin mendapatkan adat dan agama terus hidup di tengah masyarakat Jambi. Dukungan sekolah atau institusi formal, misalnya, untuk memakai simbo-simbol adat dan agama di acara-acara formal sebetulnya merupakan gerakan struktural yang dengan nantinya dapat melahirkan sebuah gerakan kultural di tengah masyarakat dalam melestarikan adat dan agama di Jambi, baik dalam pradigma dan pandangan dunianya maupun dalam tindakan kesehariannya. Kendati demikian, eksistensi adat dan agama (Islam) di Jambi sebagaimana yang tercermin dalam slogan adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah” bukannya tidak menghadapi permasalahan sehingga dikhawatirkan identitas Jambi ini akan punah dan tinggal sejarah. Salah satu tantangannya adalah tantangan “modernitas”. Diakui atau tidak bahwa ide yang berasal dari Barat ini dapat saja menggantikan peran adat dan agama dalam kehidupan. Pengaruh modernitas sangat kuat karena ia ditopang oleh globalisasi dan teknologi informasi sehingga dalam waktu yang teramat cepat pola fikir, pandangan dunia, dan kehidupan kultural masyarakat dapat berubah ke arah simbolsimbol modernitas ini. Kekhawatiran terhadap melemahnya kecintaan terhadap agama dan tradisi ini, misalnya, berimbas pada lemahnya kesadaran dan etika moral masyarakat. Ajaran dan norma adat dan agama secara tidak langsung terkesampingan oleh perilaku amoral, gaya hidup pragmatis, hedonisme, dan individualisme. Dalam koteks ini, benar apa yang dikatakan oleh Junaidi T.Noor, bahwa sehubungan dengan eratnya hubungan antara adat dan agama di Jambi, maka orang yang disebut tidak beradat sama artinya dengan orang yang tidak beragama; pelanggaran adat sama artinya dengan pelanggaran terhadap norma dan ajaran agama.33 Dalam sejarah sosial, modernisme menjadi wacana tersendiri vis a vis tradisi dengan masing-masing argumentasinya yang tidak jarang merupakan persoalan yang profokatif. Kaum Muslim sering terpilah pada dua arus ini; mengikuti arus modernisme atau mempertahankan tradisi yang orisinal. Dalam wacana sosial kontemporer, ini menjadi proyek pemikiran yang meliputi tema-tema seperti: al-turats wal al-hadatsah,34 alturats wa al-tajdîd,35 al-ashlah wa al-hadatsah,36 al-turats wa al-mu’ashirah.37 32
Wawancara dengan Muallimah, Staf Ahli Gubernur Jambi Bidang Pembangunan, 15 November 2014. Wawancara dengan Junaidi T.Noor, 20 Desember 2014. 34 Lihat Al-Jabiri, al-Turats wa al-Hadatsah, Dirasat wa Munaqasyat, (Bairut: al-Markaz al-Tsaqafî al‘Arabi, 1991). 35 Lihat Hassan Hanafi, al-Turats wa al-Tajdid: Mawqifuna min al-Turats al-Qadim, (Beirut,1981). 36 A.H. Jidah, al-Ashlah wa al-Hadatsah fî Takwin al-Fikr al-‘Arabi al-Naqd al-Hadits, (Lebanon,1985). 37 A.D. Umari, al-Turats wa al-Mu’ashirah, (Qatar, 1985). 33
228
Sampai saat ini, wacana tentang modernisme dan tradisionalisme masih menjadi perdebatan hangat di kalangan akademisi. Tetapi fakta menunjukkan bahwa arus modernism sulit dibendung. Memilih salah satunya ibarat memakan buah simalakama. Modernime tanpa tradisionalisme pasti akan kehilangan otentisitas dan identitasnya. Sedangkan tradisonalisme tanpa modernisme akan kehilangan elan vital dan dinamikanya. Oleh karena itu, tampaknya, hanya pemikiran yang dapat mengakomodir keduanya itulah yang akan tetap eksis pada masa mendatang. Dalam konteks ini falsafah hidup “adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah” akan tetap bertahan bilamana berpegang pada teori perubahan sosial “al-muhafadzah ‘ala al-qadim alshalih, wa al-akhzu bi al-jadid al-shalih” (memelihara tradisi yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik), sebuah jargon, yang menurut Cak Nur , amat populer di kalangan orang-orang NU (Nahdhatul Ulama).38 Tantangan berikutnya yang tidak kurang pentingnya adalah konservatisme agama. Adalah menarik bahwa adat dan agama yang semula dianggap konservatif vis a vis modernisme yang dianggap dinamis, justru mendapat tantangan dari kalangan konservatif agama. Kaum konservatif agama ini muncul sebagai reaksi terhadap perubahan yang tadinya dibawa oleh modernitas dengan segala akibatnya. Kaum konservatif menawarkan al-ashalah, otentisitas, dan orisinalitas yang, menurut mereka, hanya dapat diperoleh dengan kembali pada keaslian agama, sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah. Jargon yang diusung adalah kembali kepada dua sumber agama tersebut. Adapun metode dan langkah kerjanya adalah purifikasi, membersihkan segala macam pemikiran, perbuatan, dan kebiasan-kebiasaan yang dinilai tidak punya dasar pada dua sumber yang asli itu. Perbuatan yang tidak mendasar itu disebut dengan bid’ah.39 Berkembangnya faham puritan ini diinisiasi dan dimotori oleh Wahabi-Salafi yang berpusat di Madinah. Dalam kehidupan sosial, kelompok Wahabi-Salafi berusaha melakukan pemurnian akidah dan amal di kalangan umat Islam dengan membersihkan segala kebiasan yang dianggap tidak ada dasarnya pada al-Qur’an dan Sunnah, sekalipun hal itu bisa dijustifikasi oleh qiyash, pendapat Shahabat, maupun pendapat para ulama pada umumnya. Kebiasaan-kebiasaan agama seperti tahlilan, yasinan, maulidan, perayaan Isra’ dan Mikraj Nabi, pembacaan al-Barzanji, dan sebagainya biasanya menjadi sasaran kritik dan “tuduhan” bid’ah. Ini tentu belum menyebut kebiasaan-kebiasaan yang berasal dari praktik-praktik adat masyarakat setempat yang bahkan bisa disebut sebagai perbuatan syirk.40 Selain kalangan konservatif, fundamentalisme agama juga memiliki peran dalam menghapuskan tradisi. Ciri utama fundamentalisme agama adalah penerapan Islam Nurcholish Madjid, “NU antara Tradisi dan Relevansi Pemikiran,” dalam Zuhairi Misrawi [ed], Menggugat Tradisi, Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU, (Jakarta: Kompas, 2004), hal. Ix. 39 Perdebatan dan wacana mengenai msalah ini, salah satunya yang paling menarik, adalah apa yang pernah diteliti oleh Ahmad Haris, Inovasi….. 40 Lihat, misalnya, Suaidi Asyari, “Managing Potentials of Religious Conflicts: Responses of Sumatran Malay Muslims towards Neo Anti-Bid’a Movement,” dalam Anonim, Proceeding: The First International Conference on Jambi Studies (ICJS) 2013, (Jambi: International Conference on Jambi Studies, 2013), hal. 325. 38
229
secara “kaffah” dan radikal sebagaimana yang dipraktikkan oleh Rasulullah SAW. Baik konservatisme agama maupun fundamentalisme agama, keduanya memimpikan kehidupan yang ideal sebagaimana yang dulu dipraktikkan oleh Nabi Muhammad SAW. Bedanya, konservatisme agama seperti Salafi-Wahabi bergerak di bidang akidah dan syariah, fundamentalisme agama lebih terfokus pada politik Islam, yaitu negara Islam. Kehidupan yang dibayangkan oleh kaum konservatif dan kaum fundamentalis ialah kehidupan ideal di zaman Rasulullah SAW, baik dalam soal akidah, syariah, maupun akhlak; baik itu ibadah maupun soal muamalah. Karenanya, tidak jarang, segala macam perbuatan, sistem sosial, politik, dan eokonomi yang bukan berasal dari tradisi Islam, dengan ukurannya al-Qur’an dan Hadits/Sunnah, maka perbuatan itu dengan sendirinya batal, sesat, bid’ah, syirk, thagut, dan bahkan kafir. Semua jenis kegiatan yang teridentifikasi dengan “penyakit” ini adalah sesat dan harus dijernihkan atau, dalam taraf tertentu, diperangi. Slogan “adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah” yang melahirkan pandangan dunia dan tradisi masyarakat Melayu Islam Jambi sebenarnya amat rentan dengan berbagai tantangan di atas. Jika faham dan ideologi, sebagaimana yang diuraikan di atas, dianut oleh kebanyakan orang Jambi, dapat dipastikan bahwa tradisi Jambi yang terbentuk dari slogan tersebut akan punah dan hilang dari kehidupan masyarakat karena terjadinya perubahan mindset dan paradigma akiat digerus oleh ideologi asing. Aspek paling mudah diamati adalah cara berpakaian yang dulunya menggunakan baju kurung, sekarang sudah berganti mengikuti model trans-nasional. Model baju kurung dianggap asing karena dianggap pakaian Malaysia. Bahkan yang menghawatirkan adalah terjadinya pergeseran nilai substansial, masyarakat khususnya generasi muda semakian jauh dari adat Melayu yang bersendikan syarak. Sebagai contoh, kalau dahulu bujanggadis (muda-mudi) berdiri berduaan saja adalah tabu, baik di tempat ramai apalagi sepi, sekarang sudah menjadi biasa.41 Demikian pula, di sisi lain, bila faham konservatif dan fundamentalisme agama menjadi marak, maka nilai-nilai adat juga tergeser dan akhirnya tergantikan dengan ideologi agama yang puritan. Faham puritan itu sangat mengedepankan nilai-nilai Islam yang murni menurut al-Qur’an dan Sunnah sebagaimana adanya. Sebagai contoh, belakangan ini marak sekali dakwah/seruan untuk menutup aurat dengan hijab yang besar (hijab syar’i). Sebagian faham ini justru mengharuskan cadar bagi wanita. Sementara dalam adat Jambi, pakaian wanita seperti tengkuluk (semacam penutup yang terbuat dari kain batik yang dililitkan di kepala) justru dianjurkan sebagai bagian dari pakaian adat yang dipandang syar’i. Demikian pula, adat Jambi juga mengenal seni budaya, seperti taritarian, lagu, dan syair. Padahal kegiatan-kegiatan ini, bagi kalangan Muslim puritan, adalah haram, apalagi jika dilakukan oleh kaum perempuan. Karena itu, gerakan syariatisasi yang mengambil jalan puritan, dalam banayak hal, tidak cocok dengan ide slogan “adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah.”
Irmawati Sagala, “Peluang dan Tantangan Reinvensi Model Pemerintahan Adat Tigo Tali Sepilin di Propinsi Jambi Pasca Reformasi,” dalam Annonim, Proceeding…hal. 292. 41
230
Menimbang segala macam tantangan yang ada, pemikiran yang lebih kritis dan inovatif terhadap adat budaya Jambi yang bersendikan syarak menjadi mutlak. Usaha-usaha kreatif dalam mengembangkan dan mereinvensi idealisme dari slogan tersebut tampaknya juga dilakukan. Eksistensi adat budaya Jambi yang bersendikan syarak memang sangat tergantung pada elemen penting di dalamnya, yaitu Lembaga Adat, Lembaga Agama (MUI dan Ormas Islam), dan Pemerintah, dengan segala otoritas dan kepentingannya. A.
Penutup
Akhirnya, penelitian merekomendasikan agar slogan “adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah” harus dan wajib untuk dijaga. Slogan ini sarat dengan nilai filosofis yang bisa menjadi jalan tengah dalam konteks kehidupan sosial-politik dan keagamaan. Slogan ini merupakan cermin dari Islam Indonesia yang sebenarnya. Slogan ini, dengan begitu, dapat melahirkan faham moderat sebagaimana yang diperjuangkan oleh dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, yaitu Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah. Ciri khas moderasi adalah toleransi dan pribumisasi Islam. Saran lanjutannya adalah diperlukan pemikiran yang lebih kritis dan inovatif terhadap adat budaya Jambi yang bersendikan syarak menjadi mutlak. Usaha-usaha kreatif dalam mengembangkan dan mereinvensi idealisme dari slogan tersebut mesti dilakukan agar dapat melahirkan cita hukum Jambi yang kontekstual namun tetap berakar pada tradisi, sehingga diharapkan ide ini dapat menjadi inspirasi pengembangan hukum Adat/Islam yang progresif. Wallahu ‘alam. Rujukan Al-Jabiri, Muhammad Abid, 1991, al-Turats wa al-Hadatsah, Dirasat wa Munaqasyat, Bairut: al-Markaz al-Tsaqafî al-‘Arabi. Anonim, 2013, Proceeding: The First International Conference on Jambi Studies (ICJS) 2013, Jambi: International Conference on Jambi Studies. Asyari, Suaidi, 2009, Nalar Politik NU dan Muhammadiyah: Over Crossing Java Sentris, Yogyakarta: LkiS. Burhanuddin, Nandang, 2004, Penegakan Syariat Islam Menurut Partai Keadilan, Jakarta: Al-Jannah Pustaka. Dworkin, R.M., 2007, Filsafat Hukum, Suatu Pengantar, terj. Yudi Santoso, Yogyakarta: Merkid Press. Fadzil, Siddiq, 2012, Islam dan Melayu, Martabat Ummat dan Daulat Rakyat, Kajang, Selangor: Akademi Kajian Ketamadunan Kolej Dar al-Hikmah. Hanafi, Hassan, 1981, al-Turats wa al-Tajdid: Mawqifuna min al-Turats alQadim, Beirut. Haris, Ahmad, 2007, Islam Inovatif, Eksposisi Bid’ah dalam Teori & Praktek, Jambi: Sulthan Thaha Press. Ismatullah, Dedi, 2011, Sejarah Sosial Hukum Islam, Bandung: Pustaka Setia.
231
Jidah, A.H., 1985, al-Ashlah wa al-Hadatsah fî Takwin al-Fikr al-‘Arabi al-Naqd al-Hadits, Lebanon. Khalaf, Abdul Wahab, 1994, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Moh. Zuhri & Ahmad Qarib, Semarang: Toha Putra Group. Lindayanti dkk, 2013, Jambi dalam Sejarah 1500-1942, Jambi: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi. Madjid, Nurcholish, “Imam Syafi’i Peletak Dasar Metodologi Pemahaman Hukum Dalam Islam,” dalam pengantarnya terhadap buku Imam Syafi’i, 2004, Ar-Risalah, terj.Ahmadie Thoha, Jakarta: Pustaka Firdaus. Madjid, Nurcholish, “NU antara Tradisi dan Relevansi Pemikiran,” dalam Zuhairi Misrawi [ed], 2004, Menggugat Tradisi, Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU, Jakarta: Kompas. Mahfud MD, 2010, Politik Hukum Indonesia, Jakarta: Prenada Media Group. Marzuki, 2013, Hukum Islam, Prinsip Dasar Memahami Berbagai Konsep dan Permasalahan Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Ombak. McAmis, Robert Day, 2002, Malay Muslims, The History and Challenge of Resurgent Islam in Southeast Asia, Cambridge, U.K: William B Eerdmans Publishing Company. Pramudya, 2007, Hukum itu Kepentingan, Salatiga: Sanggar Mitra Sabda. Prasetyo, Teguh dan Abdul Halil Barkatullah, 2007, Ilmu Hukum & Filsafat Hukum, Studi Pemikiran Ahli Hukum Sepanjang Zaman, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Praja, Juhaya S., 2011, Teori Hukum dan Aplikasinya, Bandung: Pustaka Setia. Ricklefs, M.C., 2012, Mengislamkan Jawa, Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangannya dari 1930 sampai Sekarang, terj. FX Dono Sunardi & Satrio Wahono, Jakarta: Serambi. Reid, Anthony, 1988, Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680, New Heaven: Yale University Press. Rosadi, Otong dan Andi Desmon, 2012, Studi Politik Hukum, Suatu Optik Ilmu Hukum, Yogyakarta: Thafa Media. Sjarifoedin, Amir Tj.A., 2014, Minangkabau Dari Dinasti Iskandar Zulkarnain Sampai Tuanku Imam Bonjol, Jakarta: Gria Media Prima. Soehino, 2010, Politik Hukum di Indonesia, Yogyakarta: BPFE. Umari, A.D., 1985, al-Turats wa al-Mu’ashirah, Qatar. Zain, Muhammad [ed], 2005b, Formalisasi Syariat Islam di Indonesia: Sebuah Pergulatan yang Tak Pernah Tuntas, Jakarta: Renaisan.
Makalah/Majalah
232
Halim, Wahyuddin, 2005, “Gerakan Formalisasi Syariat Islam melalui Instrumen Negara: Refleksi Kritis atas KPSSI.” Makalah disampaikan pada “Annual Conference Postgraduate Program State Institute for Islamic Studies (IAINs) and State Islamic Universities (UINs), Comfort Hotel Makassar, 25-27 November. Nashir, Haedar, 2006, “Gerakan Islam Syari’at: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia,” dalam Maarif, Vol. 1. No. 02. November. Suara Hidayatullah 2000, “Gairah Syariat Islam di Berbagai Daerah,” Juli.
Internet/Undang-Undang: Anonim, “Oendang-Oendang Jambi,” (ttp:tt) http://sejarahsebelas.blogspot.com/2013/11/akulturasi-kebudayaan-indonesiadan.html Muadz, Amali, “Sejarah Perkembangan Islam di Jambi” dalam http://www.amalimuadz.com/2011/12/sejarah-perkembangan-islam-di-jambi.html
Informan: Muallimah, Staf Ahli Gubernur Bidang Pembangunan. Noor, Junaidi T., Wakil Ketua Lembaga Adat Melayu Propinsi Jambi. Tarmizi, Wakil Ketua MUI Propinsi Jambi dan Ketua Umum MUI Kota Jambi.
233