IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENYELENGGARAAN PERKERETAAPIAN (STUDI SARANA DAN PRASARANA COMMUTERLINE DURI-TANGERANG) Baiatul Masitoh Kusumaningtyas1 dan Sri Susilih2
1. Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia 2. Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
[email protected],
[email protected] ABSTRAK UU Nomor 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian merupakan dasar aturan penyelenggaraan perkeretaapian nasional. Kereta api merupakan salah satu layanan publik yang masih memiliki berbagai masalah. Dalam sistem pengoperasian Commuterline terpadu di wilayah Jabodetabek, penyediaan layanan khususnya sarana dan prasarana masih banyak dikeluhkan penumpang. Penelitian ini akan membahas bagaimana implementasi kebijakan penyelenggaraan sarana dan prasarana Commuterline di salah satu jalur, yaitu DuriTangerang. Penelitian dilakukan menggunakan pendekatan pospositivis secara deskriptif dengan teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara mendalam, dan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas yang terjadi dalam proses implementasi masih terkendala komunikasi antar aktor yang terlibat, yaitu Dirjen Perkeretaapian dan PT KAI. Selain itu, kekurangan anggaran mempengaruhi pemenuhan kebutuhan sumber daya manusia dan rencana kerja yang pada akhirnya memperlambat perbaikan layanan perkeretaapian. Penyelenggaraan sarana dan prasarana Commuterline DuriTangerang belum maksimal dan masih terdapat ketidaksesuaian antara aturan yang telah dibuat dengan pelaksanaan. Kata Kunci: implementasi, sarana dan prasarana, Duri-Tangerang ABSTRACT Act Number 23 of 2007 about Railways is the national railway operation rules. The train is one of the public service that still has many problems. Commuterline that integrated in the operating system in Jabodetabek, in particular service delivery facilities and infrastructure are still many passengers complained. This study will further discuss how the implementation of policy management facilities and infrastructure in one pathway Commuterline, DuriTangerang. Research conducted with post-positivist approach by descriptive purpose, data collecting by observation, indepth interview and literature analysis. The results showed that the activity that occurs in the process of implementation is still hampered communication between the actors involved, the Director General of Railways and PT KAI. In addition, the budget shortfall affecting human resource fulfillment and work plan ahead, which in can slows the improvement of railway services. There is still a mismacth between the rules that have been made with the implementation in Commuterline Duri-Tangerang. Keywords: implementation, facilities and infrasturcture, Duri-Tangerang
Implementasi kebijakan..., Baiatul Masitoh Kusumaningtyas, FISIP, 2014
Pendahuluan Kereta api adalah salah satu sarana transportasi yang handal dan memiliki karakteristik serta keunggulan khusus dibanding dengan sarana transportasi lain seperti pesawat terbang, kapal laut, bus, dan lain-lain. Kereta api terbukti mampu menjadi ‘lokomotif perekonomian’ yang memberikan manfaat jauh lebih besar dibanding moda transportasi lain. Kereta api juga dapat menjadi solusi bagi masalah transportasi perkotaan, seperti kemacetan, kondisi jalan yang rusak dan belum terwujudnya Integrated Transportation System. Oleh karena itu, penyelenggaraan perkeretaapian nasional di masa depan harus diwujudkan menjadi leading transportation mode khususnya sebagai pembentuk kerangka atau lintas utama transportasi nasional yang mampu menjamin pergerakan orang dan barang di seluruh wilayah Indonesia (Ripnas, 2011). Langkah untuk mendorong KA sebagai moda transportasi unggulan diawali dengan merevisi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian menjadi UndangUndang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian yang mengatur perihal bentuk dan harapan masa depan perkeretaapian yang mencakup manajemen operasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, perijinan, sertifikasi dan sanksi-sanksi (Indonesia Railway Institute Review, 2013). Di antara aspek-aspek tersebut, sarana dan prasarana merupakan hal yang terpenting, karena meliputi seluruh kegiatan penyelenggaraan. Hal ini terlihat dari isi pasal 17 menyebutkan bahwa penyelenggaraan perkeretaapian umum terdiri atas penyelenggaraan prasarana perkeretaapian dan/atau sarana perkeretaapian. Prasarana perkeretaapian meliputi jalur, stasiun, dan fasilitas pengoperasian kereta api. Sarana perkeretaapian menurut jenisnya meliputi lokomotif, kereta, gerbong dan peralatan khusus. Penyelenggaraan sarana dan prasarana berkaitan dengan standar mutu pelayanan sistem transportasi yang meliputi kecepatan, keselamatan, kenyamanan, kelancaran dan keandalan (Miro, 2012: 12). Penyelenggaraan prasarana menurut pasal 18 UU Nomor 23 tahun 2007 meliputi pembangunan, pengoperasian, perawatan dan pengusahaan, seperti halnya penyelenggaraan sarana yang diatur dalam pasal 25 yang meliputi hal serupa. Kebijakan ini kemudian dipertegas melalui Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Perkeretaapian dan Permenhub Nomor 9 Tahun 2011 tentang Standar Pelayanan Minimum untuk Angkutan Orang dengan Kereta Api. Layanan publik yang berkualitas tidak dapat diwujudkan hanya dengan menghadirkan produk perundang-undangan atau berbagai peraturan. Hal lain yang jauh lebih penting adalah bagaimana berbagai produk hukum itu dapat diimplementasikan dengan baik (Prianto, 2006:
Implementasi kebijakan..., Baiatul Masitoh Kusumaningtyas, FISIP, 2014
143). Produk hukum, sistem manajemen yang digunakan, dan target pencapaian saja tidak cukup untuk memperbaiki penyelenggaraan perkeretaapian. Oleh karena itu, sebaik apapun rancangan kebijakan perkeretaapian, jika tidak diimplementasikan dengan baik maka dampak yang diinginkan tidak tercapai. KRL Jabodetabek merupakan wilayah pengoperasian kereta api dengan penumpang terbanyak. Penumpangnya mencapai 141.613 juta orang/tahun pada 2013. Untuk mengakomodasi peningkatan jumlah penumpang akan transportasi kereta api, sistem pengoperasian Commuterline terpadu di wilayah Jabodetabek dimulai pada tahun 2000 (www.krl.co.id, 2014). KRL melayani rute komuter di wilayah DKI Jakarta, Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Bekasi, Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan (laporan tahunan PT KAI, 2011). PT KCJ sebagai penyedia layanan krl memulai proyek modernisasi angkutan KRL pada tahun 2011, dengan 1) menyederhanakan rute yang ada menjadi 5 rute utama dengan sistem loopline (jalur lingkar) yaitu jalur Bogor, Bekasi, Serpong, Tangerang, dan Depok, 2) penghapusan KRL ekspress, 3) penerapan gerbong khusus wanita, dan 4) mengubah nama KRL ekonomi-AC menjadi Kereta Commuter. Proyek ini dilanjutkan dengan renovasi, penataan ulang, dan sterilisasi sarana dan prasarana termasuk jalur kereta dan stasiun kereta, serta penempatan satuan keamanan pada tiap gerbong. Namun, hal ini tidak serta merta menghilangkan masalah perkeretaapian di Jabodetabek. Penyelenggaraan sarana dan prasarana Commuterline hingga saat ini masih mengalami permasalahan, antara lain dibuktikan dengan banyaknya kecelakaan di lintasan kereta api, kurangnya pemeliharaan sarana dan prasarana, serta terbatasnya gerbong dan infrastruktur lain yang dibutuhkan penumpang. Selain itu, penumpang juga mengeluhkan ketidaknyamanan di dalam kereta api seperti AC yang mati, pengeras suara yang tidak berfungsi, sehingga banyak penumpang yang turun di stasiun yang salah serta fasilitas penerangan atau lampu di dalam kereta yang minim bahkan kerap mati. Sebagai salah satu Commuterline, sama halnya dengan jalur lain, Duri-Tangerang juga merupakan salah satu jalur yang memiliki masalah dalam hal penyelenggaraan sarana dan prasarana. Permasalahan menunjukkan ketidaksesuaian implementasi dengan kebijakan yang telah diatur. Meskipun upaya perbaikan layanan sudah dilakukan di Jalur Duri-Tangerang, namun masih banyak masalah terkait sarana dan prasarana yang belum terselesaikan. Apa yg terjadi di jalur Duri-Tangerang dapat mewakili masalah-masalah yang terjadi di berbagai jalur yang berada dalam kewenangan PT KCJ. Perbedaan terlihat dari, jalur Duri-Tangerang yang merupakan jalur dengan stasiun mati terbanyak (KRL tidak berhenti). Sebanyak 3 stasiun tersebut hingga saat ini tidak dioperasikan karena belum adanya penyerahan dari Kementerian
Implementasi kebijakan..., Baiatul Masitoh Kusumaningtyas, FISIP, 2014
Perhubungan. Ketiga stasiun tersebut adalah Stasiun Tanah Tinggi, Stasiun Taman Kota dan Stasiun Grogol. Pada musim penghujan, stasiun yang tidak dioperasikan digunakan sebagai alternatif tempat pengungsian bagi warga korban banjir yang rumahnya berdekatan dengan rel. Batas antara rel kereta api dengan wilayah pemukiman di beberapa tempat hanya berjarak 1-2 meter, padahal ruang bebas yang seharusnya disediakan minimal 2,65 m di kiri dan kanan jalan rel. Selain itu, perlintasan rel di Stasiun Duri masih menjadi lokasi pasar tumpah, padahal wilayah tersebut merupakan pertemuan berbagai jalur yang mengarah ke berbagai tujuan seperti Bogor, Jakarta Kota dan Jatinegara. Jalur Duri-Tangerang merupakan satu-satunya Commuterline yang masih menggunakan single track (jalur tunggal). Kondisi jalur yang masih single track membuat perjalanan KRL harus bergantian di Stasiun Pesing atau Rawa Buaya. Berdasarkan kondisi dan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana Implementasi Kebijakan Penyelenggaraan Perkeretaapian (Studi Sarana dan Prasarana Commuterline Duri-Tangerang). Tinjauan Teoritis Dalam penelitian ini, terdapat dua konsep utama yang digunakan yaitu kebijakan publik dan implementasi kebijakan. Dye (1995: 2) mengartikan public policy is whatever governments choose to do or not do-government action and inaction. Kebijakan publik adalah apapun yang pemerintah pilih untuk dilakukan dan tidak dilakukan baik aksi maupun non-aksi pemerintah. Kebijakan menurut Nakamura dan Nakamura dan Smallwood
(1980: 31)
dianggap sebagai satu rangkaian instruksi dari pembuat kebijakan kepada implementor yang didalamnya terdapat tujuan dan sarana yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Sementara itu Kebijakan publik seringkali dilihat sebagai ‘conveyor belt’ dari isu yang kemudian memunculkan masalah, alternatif pemecahan, kebijakan, implementasi, evaluasi, perubahan dan pemutusan. Tahapan kebijakan publik ini jika dijelaskan terdiri dari enam langkah yang pada akhirnya membentuk suatu siklus kebijakan (Lester dan Stewart, 2000: 58), yaitu Agenda Setting, Policy Formulation or Policy Adoption, Policy Implementation, Policy Evaluation, Policy Change, dan Policy Termination. Implementasi saat ini merupakan salah satu aspek penting dalam siklus kebijakan (Palumbo, 1994: 110). Edward (1980: 1) menyebutkan bahwa masalah utama administrasi publik adalah lack of attention to implementation, karena tanpa implementasi yang efektif maka hasil keputusan dari para perumus kebijakan tidak akan berjalan sukses. Jones (1984: 166) mengemukakan tiga aktivitas utama yang penting dalam implementasi kebijakan publik,
Implementasi kebijakan..., Baiatul Masitoh Kusumaningtyas, FISIP, 2014
yaitu organisasi, interpretasi dan aplikasi. Aktivitas organisasi mencakup penataan sumber daya untuk merealisasikan kebijakan menjadi hasil (outcome). Aktivitas interpretasi berkaitan dengan pemahaman dan penafsiran implementor terhadap kebijakan yang diimplementasikan. Sedangkan aktivitas aplikasi adalah penyediaan layanan atau outcome dari suatu kebijakan. Sementara itu, Nakamura dan Smallwood (1980: 23) menyebutkan bahwa terdapat tiga hal yang dapat mempengaruhi implementasi kebijakan, yaitu aktor dan arena, struktur organisasi dan norma birokrasi, serta jaringan komunikasi dan mekanisme kepatuhan (compliance mechanism). Peneliti melihat implementasi kebijakan penyelenggaraan perkeretaaapian di bidang sarana dan prasarana dengan menggabungkan dua teori, dengan Jones sebagai teori utama yang kemudian dilengkapi oleh Nakamura dan Smallwood. Hubungan keterkaitan antar teori tersebut dijelaskan dalam gambar berikut:
Sumber: Olahan peneliti dari Jones (1984) serta Nakamura dan Smallwood (1980), 2014
Gambar 1 Penggabungan Teori Jones serta Nakamura dan Smallwood Metode Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan pospositivis. Peneliti menggunakan kerangka pemikiran sebagai panduan dalam melakukan proses penelitian. Kerangka pemikiran dari teori implementasi kebijakan Jones serta Nakamura dan Smallwood yang dibuat tidak ditujukan untuk melakukan pengujian atau pengukuran (hyphotesis testing), melainkan untuk memahami (theory generating) dari permasalahan yang akan diteliti, yaitu penyelenggaraan sarana dan prasarana Commuterline Duri-Tangerang. Berdasarkan tujuannya, penelitian ini termasuk dalam penelitian deskriptif dengan manfaat murni dan dilakukan secara cross sectional selama Januari-Mei 2014. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam, observasi dan studi kepustakaan. Wawancara dilakukan kepada Dirjen
Implementasi kebijakan..., Baiatul Masitoh Kusumaningtyas, FISIP, 2014
Perkeretaapian, PT Kereta Api Indonesia Daop 1 Jakarta, Kepala Stasiun Duri dan Tangerang, Pengamat dan Penggiat Perkeretaapian, dan pengguna layanan KRL jalur Duri-Tangerang. Dalam observasi peneliti berperan sebagai partisipan sekaligus pengamat. Studi kepustakaan didapatkan melalui membaca dokumen publik terkait penelitian dan dokumen ilmiah lain yang diperoleh melalui media massa, buku, maupun internet. Strategi interpretasi analisis yang digunakan peneliti adalah metode ilustratif (The Illustrative Method). Data kualitatif dari penyelenggaraan sarana dan prasarana di jalur Duri-Tangerang kemudian digunakan untuk menginterpretasi teori (fill the empty boxes of theory) implementasi kebijakan Jones serta Nakamura dan Smallwood yang digunakan sebagai kerangka pemikiran penelitian. Hasil analisis tersebut kemudian didukung oleh proses triangulasi data. Hasil Penelitian dan Pembahasan Lingkungan implementasi berkaitan dengan lingkungan kebijakan lainnya baik dalam maupun antar instansi yang dihubungkan melalui suatu jaringan komunikasi dan koordinasi. Penyelenggaraan sarana dan prasarana Commuterline erat kaitannya dengan aktivitas yang terjadi dalam proses implementasi kebijakan itu sendiri. Aktivitas organisasi dan interpretasi kebijakan yang terjadi di Dirjen Perkeretaapian, PT KAI, PT KCJ, dan pihak lainnya dapat mempengaruhi hasil akhir atau aplikasi di jalur Commuterline Duri-Tangerang. Berikut merupakan aktivitas yang terjadi dalam implementasi kebijakan penyelenggaraan sarana dan prasarana commuter, khususnya di jalur Duri-Tangerang. 1. Aktivitas Organisasi a. Prosedur Internal Secara
garis
besar,
prosedur
pelaksanaan
teknis
yang
digunakan
dalam
penyelenggaraan sarana dan prasarana KRL di jalur Duri-Tangerang sama dengan jalur-jalur lainnya, yaitu mengacu pada UU Nomor 23 Tahun 2007. Dalam rangka menjamin keselamatan, kenyamanan, keamanan, kelancaran, dan ketertiban operasional kereta api, maka pengadaan sarana perkeretaapian dan penyediaan dan pembangunan prasarana perkeretaapian harus didasarkan pada persyaratan sistem dan komponen yang telah ditentukan dan dilakukan pengujian, serta secara berkala dilakukan pemeriksaan dan perawatan oleh tenaga ahli. Penentuan prosedur atau mekanisme kerja berkaitan dengan pembagian kewenangan antar para aktor yang terlibat dalam proses implementasi. Secara eksternal pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan perkeretaapian adalah instansi negara lain di luar Dirjen Perkeretaapian dan Kementerian Perhubungan. Dalam hal ini yang termasuk di dalamnya
Implementasi kebijakan..., Baiatul Masitoh Kusumaningtyas, FISIP, 2014
adalah Kementerian BUMN, Bappenas, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Perekonomian yang merupakan mitra kerja. Kementerian BUMN sebagai wakil pemegang saham pemerintah di PT KAI, Kementerian Keuangan sebagai pemegang otoritas penyelenggaran keuangan negara, Bappenas sebagai perencana pembangunan nasional, dan Kementerian Perekonomian sebagai penyatu (integrator) kebijakan sektor dan lintas sektor. Sedangkan dalam penyelenggaraan sarana dan prasarana perkeretaapian secara internal, terdapat tiga instansi yang memegang peranan penting, yaitu Dirjen Perkeretaapian, PT Kereta Api (KAI), dan PT Kereta Commuter Jabodetabek (KCJ). Dirjen Perkeretaapian memiliki tugas sebagai regulator dan penyedia prasarana perkeretaapian. PT KAI dan PT KCJ bertugas sebagai penyedia sarana KRL, layanan, serta operator yang merawat sarana dan prasarana. Selain
itu,
pemerintah
daerah memiliki juga
posisi
kunci
bagi
kemajuan
perkeretaapian karena jaringan kereta api berada di daerah. Diperlukan kerjasama dengan pemerintah dan operator untuk mengembangkan rencana induk perkeretaapian Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagai bentuk penguatan kelembagaan perkeretaapian di daerah. Bentuk penguatan lainnya dilakukan dengan meningkatkan peran swasta dalam perkeretaapian. UU Nomor 23 tahun 2007 membuka peluang swasta dan pemerintah daerah untuk ikut serta dalam penyelenggaraan perkeretaapian, namun hingga saat ini aturan tersebut masih belum sepenuhnya dilaksanakan. Penyelenggaraan prasarana menurut UU Nomor 23 tahun 2007 pasal 214 seharusnya dilakukan oleh badan usaha tersendiri dan terpisah dengan penyelenggara sarana, namun hingga kini pemerintah belum membentuk badan usaha penyelenggara prasarana. Sebaliknya, pemerintah tetap melimpahkan penyelenggaraan sarana sekaligus prasarana perkeretaapian kepada PT KAI, termasuk perawatan dan pengoperasiannya. Beban berat serta tumpang tindih tugas dan tanggung jawab yang terjadi mengakibatkan PT KAI tidak dapat menjalankan tugas secara maksimal. Hal ini menunjukkan ketidakkonsistensian dalam pelaksanaan aturan. Dalam penyelenggaraan prasarana kereta api terdapat beberapa mekanisme yang digunakan. 1) Infrastructure Maintenance and Operations (IMO) adalah biaya yang harus ditanggung oleh Pemerintah atas perawatan dan pengoperasian prasarana kereta api yang dimiliki Pemerintah. 2) Track Access Charge (TAC) adalah biaya penggunaan atas fasilitas prasarana yang telah disediakan oleh pemerintah. Saat ini mekanisme yang diterapkan adalah impas atau disamakan besaran TAC dengan IMO. Jadi, pemerintah tidak menarik TAC, tetapi PT KAI diwajibkan merawat prasarana yang sudah ada. 3) Puclic service Obligation (PSO)
Implementasi kebijakan..., Baiatul Masitoh Kusumaningtyas, FISIP, 2014
adalah biaya yang harus dikeluarkan oleh negara akibat disparitas/perbedaan harga pokok penjualan tiket dengan harga yang ditetapkan oleh Pemerintah agar pelayanan produk/jasa tetap terjamin dan terjangkau oleh sebagian besar masyarakat (publik). 4) Standar pelayanan minimum (SPM) yang merupakan acuan bagi operator dalam memberikan pelayanan kepada penumpang. b. Alokasi Sumber Daya Secara anggaran masing-masing pihak mengaku terhambat pekerjaannya akibat kekurangan anggaran dalam melaksanakan penyelenggaraan kereta api, baik pengadaan maupun perawatan sarana dan prasarana. Kementerian Perhubungan sendiri menerima anggaran sekitar 35 triliun dan jumlah tersebut akan dibagikan kepada Direktorat dan eselon I lain di bawahnya. Berbeda keadaannya dengan eselon I di Kementerian Pekerjaan Umum (PU) yang mendapatkan sekitar 40 triliun, dari anggaran tersebut jumlah yang dialokasikan untuk pembangunan jalan baru hanya 0,01 persen dan sisanya digunakan untuk perbaikan jalan.
Kekurangan
anggaran
berdampak
pada
terhambatnya
rencana
kerja
dan
implementasinya. Saat rencana anggaran yang diajukan tidak terpenuhi maka rancangan pekerjaan akan ditunda. Saat ini Dirjen Perkeretaapian memiliki 530 pegawai di pusat dan 23 satuan kerja yang tersebar di Sumatera dan Jawa dengan kualifikasi yang disesuaikan dengan kebutuhan. Sementara itu satuan kerja Jalan Rel dan Jembatan Daop 1 Jakarta memiliki 543 pegawai termasuk di dalamnya Resor wilayah sampai dengan petugas regu di lintasan dengan kualifikasi bervariasi, mulai dari SMA/SMK sampai dengan sarjana strata satu sesuai dengan beban kerja dan kebutuhan di lapangan. Jumlah ini masih belum mencukupi jika dibandingkan dengan tugas Dirjen dan operator. Kekurangan sumber daya manusia tidak dapat langsung dipenuhi karena ketiadaan anggaran untuk membiayai pegawai. 2. Aktivitas Interpretasi a. Jaringan Komunikasi Hubungan (linkage) yang terbangun dalam aktivitas interpretasi ini didasari oleh kesamaan kepentingan yaitu mewujudkan transportasi kereta api yang andal dan berdaya angkut tinggi. Komunikasi dijalin melalui pertemuan-pertemuan, antara lain Musrembang dan trilateral meeting yang melibatkan Dirjen Perkeretaapian, PT KAI, PT KCJ, Bappenas, Kementerian Keuangan, Pemerintah Daerah, dan pihak lain yang berkepentingan. Komunikasi dan koordinasi dilakukan baik selama proses perancangan kebijakan maupun setelah disahkan dan selama proses pelaksanaan berlangsung. Hubungan dengan masyarakat atau pengguna layanan dilakukan dirjen, PT KAI, dan PT KCJ dengan menggunakan
Implementasi kebijakan..., Baiatul Masitoh Kusumaningtyas, FISIP, 2014
perantara pihak ketiga maupun berdiskusi secara langsung melalui suatu pertemuan. Perantara yang digunakan adalah perwakilan LSM atau perkumpulan yang berkaitan dengan transportasi dan kereta api. Hubungan komunikasi dan koordinasi yang dilakukan dalam mengimplementasikan kebijakan penyelenggaraan sarana dan prasarana perekeretaapian dapat dijelaskan melalui gambar berikut:
Sumber: Olahan Peneliti, 2014
Gambar 2 Hubungan Komunikasi Antar Pihak Secara umum komunikasi yang terjalin antara dirjen dan PT KAI sudah berjalan dengan baik. Program yang dijalankan dikomunikasikan secara simultan dan sejalan. Data temuan PT KAI digunakan dirjen untuk pengembangan dan perbaikan kereta api. Dalam menjalankan UU 23 tahun 2007, masing-masing pihak sudah menjalankan sesuai dengan kewenangan yang diatur, bagaimana menjaga stasiun supaya terawat dengan baik, pengadaan sarana dan prasarana, dan pemeliharaan sarana dan prasarana. Kontradiksi terlihat dari wawancara yang sudah dilakukan kepada beberapa pihak yang menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan komunikasi
dan koordinasi
yang kurang harmonis
antara Dirjen
Perkeretaapian dengan PT KAI. Pihak PT KAI mengakui adanya ketidaksamaan pandangan dalam penyelenggaraan kereta api meskipun tidak di semua bagian. Komunikasi dan koordinasi yang kurang harmonis disebutkan karena tidak adanya kejelasan pembagian wewenang dan tanggung jawab terkait penyelenggaraan kereta api. Berbeda dengan hubungan sebelumnya, komunikasi antara PT KAI, khususnya Daop 1 dan PT KCJ secara umum sudah
Implementasi kebijakan..., Baiatul Masitoh Kusumaningtyas, FISIP, 2014
terjalin dengan cukup baik. Dengan ditempatkannya pegawai PT KCJ dan PT KAI di tiap stasiun, komunikasi dan koordinasi terkait layanan menjadi lebih mudah dilakukan. Kepala stasiun sebagai garda terdepan layanan kereta api berkoordinasi dengan ketiga pihak utama, yaitu Dirjen, PT KAI, dan PT KCJ. 3.
Aktivitas Aplikasi Sejauh ini operator yaitu PT KAI dan PT KCJ diakui sudah menjalankan tugasnya
dengan baik, meskipun masih banyak terjadi kekurangan, namun upaya perbaikan terus dilakukan. Hal ini dapat dilihat dari jumlah penumpang krl yang secara signifikan terus mengalami peningkatan setiap harinya. Peran yang saat ini masih kurang terlihat dalam mendukung peningkatan layanan kereta api adalah Pemerintah Daerah, dalam hal ini Pemerintah Kota Tangerang dan Kotamadya Jakarta Barat. Dukungan yang dimaksud dapat dilakukan dengan membangun akses angkutan umum bagi masyarakat ke stasiun, kemudian memberikan tempat yang dekat dengan stasiun kepada masyarakat yang ingin kembali membuka usaha setelah program sterilisasi stasiun. Jika dirasa belum mampu, pemerintah daerah dapat berkomunikasi dan berkoordinasi dengan pemerintah pusat dan PT KAI terkait rencana yang ingin dijalankan. Aktivitas aplikasi sendiri berhubungan dengan menjalankan pekerjaan, termasuk menyediakan barang dan jasa sesuai kebijakan. Penyelenggaraan sarana dan prasarana Commuterline Duri-Tangerang saat ini masih dirasakan belum maksimal. Secara umum prasarana perkeretaapian di jalur Duri-Tangerang sudah memenuhi UU Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, yaitu terdiri dari jalan rel, stasiun, sistem sintelis, dan jaringan listrik, hanya saja kuantitas dan kualitasnya yang masih perlu ditingkatkan. Jalur yang masih tunggal tidak memungkinkan pihak operator untuk menambah jumlah rangkaian yang dioperasikan. Padahal dengan meningkatnya jumlah penumpang, kebutuhan penambahan rangkaian dan jadwal keberangkatan menjadi suatu hal yang mendesak. Terdapat perbedaan kualitas bangunan stasiun. Standar pelayanan minimal di stasiun kereta api yang meliputi informasi yang jelas dan mudah dibaca, loket, ruang tunggu, tempat ibadah, toilet, tempat parkir, dan serta fasilitas keselamatan dan keamanan di Stasiun Tangerang sudah terpenuhi. Dari delapan stasiun yang dioperasikan, Stasiun Duri merupakan stasiun dengan kualitas aspek SPM yang paling rendah. Sedangkan SPM di perjalanan yang meliputi pintu, jendela, tempat duduk dengan konstruksi tetap yang mempunyai sandaran, lampu penerangan, rak bagasi, informasi stasiun yang akan dilewati secara berurutan, dan fasilitas keselamatan dan
Implementasi kebijakan..., Baiatul Masitoh Kusumaningtyas, FISIP, 2014
keamanan juga sudah terpenuhi. Berikut ini merupakan dokumentasi peneliti yang menunjukkan penyelenggaraan sarana dan prasarana di jalur Duri-Tangerang.
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014
Gambar 3 Penyelenggaraan Sarana dan Prasarana di Jalur Duri-Tangerang Berikut adalah penjelasan dari gambar-gambar di atas: 1. Gambaran Stasiun Duri saat rangkaian kereta Duri-Tangerang memasuki stasiun, terlihat masih terdapat warga yang berjalan di atas rel pada saat kereta akan melintas. Gambar ini menunjukkan masih belum terlaksananya sterilisasi wilayah stasiun dari aktivitas yang mengganggu perjalanan kereta. 2. Terlihat penumpukan penumpang yang menunggu kedatangan rangkaian kereta DuriTangerang di jalur tiga dan empat Stasiun Duri. Gambar ini menujukkan belum maksimalnya layanan kereta ditunjukkan dengan sedikitnya jumlah perjalanan dari Stasiun Duri-Tangerang dan sebaliknya yang menyebabkan terjadinya penumpukan penumpang di jam-jam sibuk.
Implementasi kebijakan..., Baiatul Masitoh Kusumaningtyas, FISIP, 2014
3. Kondisi Stasiun Duri yang minim fasilitas bagi penumpang, seperti kurangnya ketersediaan tempat duduk dan peron yang kotor. Gambar ini menunjukkan belum dipenuhinya standar pelayanan minimum di dalam stasiun. 4. Jalur ganda Duri-Tangerang yang hingga saat ini belum dioperasikan. Gambar ini menunjukkan lambannya upaya pemenuhan kebutuhan layanan kereta yang lebih baik oleh pemerintah, dalam hal ini Dirjen Perkeretaapian. 5. Sempitnya akses turun dan naik penumpang dan tingginya perbedaan pijakan antara peron kecil dan rangkaian di jalur tiga dan empat di Stasiun Duri yang menyebabkan penumpang kesulitan menaiki kereta. Gambar ini menunjukkan belum dipenuhinya standar pelayanan minimum dalam hal kenyamanan dan keamanan penumpang. 6. Antrian keluar di pintu keluar Stasiun Tangerang, terlihat bahwa jumlah pintu elektronik belum mencukupi jika dibandingkan dengan jumlah penumpang. gambar ini menunjukkan belum maksimalnya upaya perbaikan layanan. 7. Penumpang dengan mudahnya dapat berjalan di atas rel dan menunggu di peron kecil yang dapat membahayakan keselamatan. Gambar ini menunjukkan belum terpenuhinya aspek keselamatan dan keamanan. 8. Penggunaan jalur ganda oleh masyarakat sebagai tempat pengungsian saat terjadi banjir di wilayah Jakarta Barat. Gambar ini menunjukkan kurangnya kesadaran masyarakat untuk menjaga dan tidak menggunakan fasilitas kereta api untuk kepentingan pribadi. 9. Rangkaian buatan PT INKA yang digunakan di jalur Duri-Tangerang. Gambar ini menunjukkan penyediaan sarana baru yang dilakukan untuk meningkatkan layanan KRL jalur Duri-Tangerang. Dari penjelasan dan gambar di atas, terlihat bahwa masih terdapat ketidaksesuaian antara aturan yang telah dibuat, dalam hal ini Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Perkeretaapian, dan Permenhub Nomor 9 Tahun 2011 tentang Standar Pelayanan Minimum untuk Angkutan Orang dengan Kereta Api. Pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan sarana dan prasarana di jalur Duri-Tangerang dipengaruhi oleh komitmen Dirjen dan operator (PT KAI dan PT KCJ) untuk mewujudkan layanan kereta api yang lebih baik. Selain itu, kesadaran masyarakat untuk mendukung dan menaati aturan yang telah dibuat akan membantu percepatan perbaikan layanan kereta. Selain penjelasan di atas, aktivitas organisasi, interpretasi, dan aplikasi juga dipengaruhi oleh mekanisme kepatuhan (compliance mechanism) dan norma birokrasi yang
Implementasi kebijakan..., Baiatul Masitoh Kusumaningtyas, FISIP, 2014
digunakan oleh aktor-aktor yang terlibat dalam penyelengaraan sarana dan prasarana di jalur Duri-Tangerang. Mekanisme kepatuhan diperlukan untuk menjamin penyelenggaraan sarana dan prasarana yang sesuai dengan kebijakan. Mekanisme kepatuhan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan kebijakan instansi masing-masing, dapat berupa sanksi dan penghargaan. Secara internal, Dirjen menerapkan sanksi administratif kepada pegawainya sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2011 tentang Disiplin PNS. Secara eksternal, Dirjen belum dapat menerapkan sanksi kepada operator jika terjadi pelanggaran atau ketidaksesuaian pelaksanaan, meskipun secara aturan memungkinkan untuk hal tersebut. Sanksi tidak dapat diberikan selama pengoperasian kereta masih single operator, karena jika dikenai sanksi maka dapat berdampak pada pelayanan. Rencana pemberlakuan sanksi akan dituangkan secara khusus dalam revisi Peraturan Menteri Perhubungan No. 9 Tahun 2011 tentang Standar Pelayanan Minimum Perkeretaapian. Dirjen Perkeretaapian secara lebih rinci mengatakan, bahwa ada beberapa bentuk sanksi yang saat ini sedang dibahas, salah satunya adalah sanksi denda. Secara umum, ketentuan larangan dalam penyelenggaraan perkeretaapian diatur dalam UU Nomor 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian pasal 178-185. Sementara itu ketentuan pidana pelanggaran larangan diatur dalam pasal 187-213. Selain sanksi administratif kepegawaian, PT KAI juga memberikan penghargaan (reward) kepada pegawai yang memiliki kinerja baik. Penghargaan yang diberikan berupa pemberian titel pegawai terbaik hingga kesempatan berwisata ke luar negeri sambil mempelajari kereta api dengan nama program Tour Melihat Dunia yang dimulai pada tahun 2012. Norma dalam suatu instansi dapat terlihat melalui budaya kerja yang dibangun. Dalam peningkatan budaya kerja penyelenggaraan perkeretaapian, pihak yang paling berperan kuat dalam perubahan tersebut adalah PT KAI. Dalam menjalankan tugasnya PT KAI menerapkan lima budaya kerja, yaitu integritas, profesional, keselamatan, inovasi, dan pelayanan prima. Perubahan kedisiplinan ini berdampak positif pada peningkatan layanan perkeretaapian. Kesiapan dan kesigapan pegawai dalam memberikan layanan yang berkualitas semakin meningkat. Dampak dari perubahan ini pun dirasakan juga oleh masyarakat. Penumpang, pengamat, dan penggiat kereta api saat ini dapat dengan mudah menyampaikan keluhan maupun masukan terkait layanan kepada pihak yang berwenang, dari kepala stasiun, pegawai PT KCJ, maupun pejabat level tinggi di PT KAI. Hal ini didukung oleh berbagai tanggapan positif dari penumpang di jalur Duri-Tangerang yang merasakan peningkatan layanan kereta api.
Implementasi kebijakan..., Baiatul Masitoh Kusumaningtyas, FISIP, 2014
Selain operator, yang berperan penting dalam penyelenggaraan perkeretaapian adalah penumpang itu sendiri. Tingkat kesadaran penumpang dalam menggunakan fasilitas kereta sebelumnya masih buruk. Saat ini budaya penumpang krl Jabodetabek, khususnya jalur DuriTangerang sudah menunjukkan perbaikan, tidak ada lagi penumpang yang tidak membeli tiket dan berada di atap kereta, namun persoalan sterilisasi stasiun Duri masih menjadi permasalahan. Selain sterilisasi, budaya untuk mengutamakan penumpang turun terlebih dahulu masih belum terlihat. Sebagian penumpang sudah dengan tertib mengikuti aturan dan arahan petugas, namun sebagian lainnya masih belum disiplin. 4.
Kendala dalam implementasi kebijakan penyelenggaraan sarana dan prasarana Implementasi kebijakan penyelenggaraan sarana dan prasarana Commuterline yang
memiliki beberapa kendala, antara lain kendala internal dan eksternal. Kendala internal berkaitan antara pihak-pihak yang memegang kewenangan langsung dalam penyelenggaraan perkeretaapian. Sedangkan kendala eksternal berkaitan dengan hubungan kepada masyarakat. Berikut adalah kendala-kendala yang terjadi dalam penyelenggaraan sarana dan prasarana di jalur Duri-Tangerang:
Sumber: Olahan Peneliti, 2014
Gambar 4 Kendala Penyelenggaraan Sarana dan Prasarana Kendala internal pertama dipengaruhi oleh kekurangan anggaran terutama bagi dirjen, karena tanpa anggaran yang memadai program dan rencana kerja dirjen serta operator dapat terhambat. Akibatnya daftar rencana kerja yang seharusnya dapat direalisasikan menjadi terhambat. Kekurangan anggaran berdampak pada rencana pengoperasian double track jalur Duri-Tangerang. Kendala kedua yang dihadapi adalah kondisi birokrasi yang belum sepenuhnya mendukung upaya peningkatan layanan kereta api. Terbukti dengan berlarutlarutnya pembahasan soal kebijakan yang dinilai sebagai pemicu penghambat cairnya dana infrastruktur, perawatan dan operasional PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) dari Anggaran
Implementasi kebijakan..., Baiatul Masitoh Kusumaningtyas, FISIP, 2014
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kendala ketiga yang dihadapi adalah belum jelasnya pembagian kewenangan antar instansi yang terlibat dalam penyelenggaraan sarana dan prasarana perkeretaapian. PT KAI dibebankan tugas diluar tupoksinya, seperti merawat dan memperbaiki jalan raya yang dilewati lintasan kereta. Kendala eksternal berkaitan dengan peran serta masyarakat dalam membantu upaya perbaikan perkeretaapian. Saat kebijakan yang dibuat sudah sesuai dengan kebutuhan, kedisiplinan operator dalam menjalankan kebijakan sudah terlihat, masyarakat sebagai penerima layanan harus mengikuti aturan yang sudah dibuat. Jarak antara rel dengan pemukiman yang berdekatan dapat menggangu jarak pandang masinis. Banyaknya perlintasan sebidang tidak resmi juga dapat menimbulkan potensi kecelakaan. Selain itu, sterilisasi merupakan program yang terus menerus gagal karena kurangnya kesadaran masyarakat. Masyarakat hingga saat ini masih berpandangan negatif terhadap penertiban yang dilakukan. Operator dianggap tidak manusiawi dan tidak memihak pada rakyat. Dalam proses penertiban seringkali muncul LSM-LSM maupun kelompok yang mengatasnamakan kepentingan rakyat dan kemudian memberikan protes. Sikap dan pandangan ini pada akhirnya menghambat pemerintah dan operator untuk meningkatkan layanan kereta. Tabel 1 Rangkuman Hasil Analisis Penyelenggaraan sarana dan prasarana kereta api melibatkan Dirjen Perkeretaapian, PT KAI, PT KCJ, dan petugas di dalam stasiun dan rangkaian kereta Aktivitas Organisasi
Terdapat mekanisme IMO, TAC, PSO, dan SPM Kekurangan anggaran mempengaruhi kuantitas dan kualitas SDM dan menghambat rencana pengembangan krl Ditemukan kecenderungan komunikasi dan koordinasi yang kurang harmonis antara Dirjen Perkeretaapian dengan PT KAI
Aktivitas Interpretasi
Hubungan antara penumpang dibangun dirjen, PT KAI, dan PT KCJ menggunakan perantara pihak ketiga maupun berdiskusi secara langsung melalui suatu pertemuan Peran Pemerintah Daerah dalam hal ini Kota Tangerang dan
Aktivitas Aplikasi
Kotamadya Jakarta Barat belum berpengaruh terhadap peningkatan layanan krl
Implementasi kebijakan..., Baiatul Masitoh Kusumaningtyas, FISIP, 2014
Tabel 1 (Lanjutan) Penyelenggaraan sarana dan prasarana Commuterline di jalur Duri-Tangerang belum maksimal dan masih terdapat ketidaksesuaian antara aturan yang telah dibuat dengan pelaksanaan Ketentuan larangan dan sanksi penyelenggaraan Compliance
perkeretaapian diatur dalam UU Nomor 23 tahun 2007
Mechanism
PT KAI memberikan penghargaan (reward) dalam berbagai bentuk kepada pegawai yang memiliki kinerja baik
Norma Birokrasi
Pihak yang paling berperan dalam perubahan budaya kerja di layanan kereta api adalah PT KAI. Internal:
Kendala
1. Kekurangan anggaran 2. Kondisi Birokrasi yang kurang mendukung 3. Belum jelasnya pembagian kewenangan Eksternal: 1. Kurangnya kesadaran masyarakat 2. Pandangan negatif terhadap penertiban. Sumber: Olahan Peneliti, 2014
Simpulan Berdasarkan penelitian mengenai implementasi kebijakan penyelenggaraan sarana dan prasarana Commuterline di jalur Duri-Tangerang yang telah dilakukan, maka simpulan yang dapat diberikan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Proses
implementasi
dipengaruhi
oleh
aktivitas
organisasi
antara
Dirjen
Perkeretaapian sebagai regulator, dan PT Kereta Api (KAI) serta PT Kereta Commuter Jabodetabek (KCJ) sebagai operator. Adanya keterbatasan anggaran menyebabkan kebutuhan sumber daya lain, seperti sumber daya manusia dan waktu dalam tiga instansi utama tidak dapat terpenuhi. Hal ini pada akhirnya berdampak pada pemberian layanan. 2. Selain itu, aktivitas interpretasi menunjukkan kecenderungan komunikasi dan koordinasi yang kurang harmonis antara Dirjen Perkeretaapian dengan PT KAI akibat adanya tumpang tindih tugas dan beban berat pihak operator.
Implementasi kebijakan..., Baiatul Masitoh Kusumaningtyas, FISIP, 2014
3. Dalam aktivitas aplikasi terlihat bahwa terdapat ketidaksesuaian antara aturan yang telah dibuat, dalam hal ini Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Perkeretaapian, dan Permenhub Nomor 9 Tahun 2011 tentang Standar Pelayanan Minimum untuk Angkutan Orang dengan Kereta Api dengan penyelenggaraan sarana dan prasarana Commuterline Duri-Tangerang. Saran Berdasarkan berbagai permasalahan yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, peneliti memberikan beberapa saran, yaitu: 1. Meningkatkan porsi anggaran bagi Dirjen Perkeretaapian dan PT KAI agar dapat memenuhi
kekurangan
sumber
daya
manusia
dan
secepatnya
melakukan
pembangunan prasarana pendukung dan pengadaan sarana baru. 2. Diperlukan suatu mekanisme forum komunikasi bersama yang lebih intensif antara dirjen dan operator untuk dapat menyamakan kewenangan, persepsi, dan pandangan dalam penyelenggaraan sarana dan prasarana perkeretaapian di jalur Duri-Tangerang. 3. Membentuk mekanisme pengawasan, evaluasi, dan sanksi terhadap penyelenggaraan sarana dan prasarana yang dilakukan secara timbal balik antara Dirjen Perkeretaapian dan operator. 4. Membangun komunikasi dan pendekatan antar instansi pemerintah di dalam maupun di luar lingkup perkeretaapian serta masyarakat agar mendukung program dan perencanaan di bidang perkeretaapian. Referensi Anderson, James E. 1969. Public Policy Making Second Edition. New York: Holt, Rinehart and Winston Dye, Thomas R. 1995. Understanding Public Policy Eight Edition. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall Edward III, George C. 1980. Impementing Public Policy. Washington DC: Congressional Quarterly Press Istianto, Bambang. 2011. Manajemen Pemerintahan dalam Perspektif Pelayanan Publik. Jakarta: Mitra Wacana Media Jones, Charles O. 1996. Pengantar Kebijakan Publik. Terjemahan Ricky Ismanto. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada Lester, James P dan Stewart Jr, Joseph. 2000. Public Policy: An Evolutionary Approach Second Edition. Wadsworth. Thompson Learning Miro, Fidel. 2012. Pengantar Sistem Transportasi. Jakarta: Erlangga
Implementasi kebijakan..., Baiatul Masitoh Kusumaningtyas, FISIP, 2014
Nakamura, Robert T. Nakamura dan Smallwood , Frank. 1980. The Politics of Policy Implementation. New York: St. Martin’s Press Palumbo, Dennis J. 1994. Public Policy in America: Government in Action Second Edition. United States: Harcout Brace and Company Prianto, Agus. 2006. Menakar Kualitas Pelayanan Publik. Malang: In-TRANS Report, Terri. 2001. Restructuring Options for Urban Public Transporation in India. United Kingdom: Department of Transport Land and Region Saputro, Soemino Eko. 2007. Kebijakan Perkeretaapian Nasional, Kemana Hendak Bergulir. Jakarta: Gibon Books Susantono, Bambang. 2013. Transportasi dan Investasi, Tantangan dan Perspektif Multidimensi. Jakarta: Kompas Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4722 , Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Perkeretaapian. Lembaran Negara republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5048 , Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2012 tentang Kewajiban Pelayanan Publik dan Subsidi Angkutan Perintis Bidang Perkeretaapian, Biaya Penggunaan Prasarana Perkeretaapian Milik Negara, serta Perawatan dan Pengoperasian Prasarana Perkeretaapian Milik Negara. , Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 9 Tahun 2011 tentang Standar Pelayanan Minimum untuk Angkutan Orang dengan Kereta Api. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Departemen Perhubungan 2005-2025 Rencana Strategis Kementerian Perhubungan Tahun 2010-2014 Bidang Perkeretaapian Rencana Induk Perkeretaapian Nasional Tahun 2030 Laporan Akhir Tim Teknis Revitalisasi Perkeretaapian Nasional Republik Indonesia 2009 Laporan Tahunan (Annual Report) 2011 PT Kereta Api Indonesia (Persero) Indonesia Railways Laporan Tahunan (Annual Report) 2012 PT Kereta Api Indonesia (Persero) Indonesia Railways Indonesia Railway Institute Review. 2013. Menatap Era Baru Perkeretaapian Pemerintah Dinilai Lalai Soal Penanganan Perkeretaapian. 2012. http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/10/04/mbdfd5-pemerintah-dinilailalai-soal-penanganan-perkeretaapian (diakses pada 1 Februari 2014) Revisi Kebijakan Dana Infrastruktur KAI Mendesak. 2014 http://www.tempo.co/read/news/2014/05/23/090579754/Revisi-Kebijakan-DanaInfrastruktur-KAI-Mendesak (diakses pada 7 Juni 2014) Sekilas KRL. 2014. Http://www.krl.co.id/sekilas-krl.html (diakses pada 1 februari 2014) Tiga Stasiun Rute Tangerang–Duri Belum Beroperasi. 2013. http://www.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/13/10/09/muekeo-tigastasiun-rute-tangerangduri-belum-beroperasi (diakses pada 29 Januari 2014) Komisi V DPR Desak PT KAI Dievaluasi. 2014. http://news.metrotvnews.com/read/2014/04/18/232281/komisi-v-dpr-desak-pt-kaidievaluasi (diakses pada 1 Juni 2014)
Implementasi kebijakan..., Baiatul Masitoh Kusumaningtyas, FISIP, 2014