IMPLEMENTASI KEBIJAKAN OBJEK RETRIBUSI SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (Studi pada Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Kota Blitar) Raden Ajeng Kusandradewi Permatasari, Mardiyono, Abdul Wachid Jurusan Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya Malang E-mail:
[email protected]
Abstract: Implementation of Object Retribution as an Effort to Increase Local Native Revenue (Study on Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu at Blitar City). Public implementation of object retribution at Blitar City regulated in the local of Blitar City regulation No. 8, 9 and 10 at 2011 years. Retribution is the one of local native revenue. Retribution is taken from the license who use government-owned facilities.Communities can take care of their bussiness in Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu. Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu as the coordinator in Blitar City. This study used a descriptive research and qualitative approach. The results of this study is that the implementation of object retribution commonly is succeed. But if we see at the retribution revenue at Blitar City in 2009-2011 year, the revenue always decrease. Commonly the decrease of retribution revenue caused of the publication of the new retribution rules. The regulation is Blitar City local regulation No. 8, 9 and 10. Lack of assertiveness from the government to discipline the disobedient people of the retribution regulation. Their must to give an award to businessman that can overcoming unemployment at Blitar. Keyword: implementation, policy, object retribution Abstrak: Implementasi Kebijakan Objek Retribusi Sebagai Upaya Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (Studi Pada Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Kota Blitar).Implementasi kebijakan objek retribusi di Kota Blitar diatur dalam Peraturan Daerah Kota Blitar No. 8, 9 dan 10 tahun 2011. Retribusi merupakan salah satu sumber pendapatan daerah. Retribusi diambil dariizin yang menggunakan fasilitas milik pemerintah.Masyarakat dapat mengurus izin usahanya di Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu. Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu merupakan koordinator perizinan di Kota Blitar. Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan kebijakan ketiga objek retribusi tersebut secara umum berhasil dilaksanakan. Namun jika dilihat dari hasil pencapaian retribusi daerah di Kota Blitar tahun 2009-2011 selalu mengalami penurunan. Penyebab utama penurunan retribusi ini adalah karena terbitnya aturan retribusi yang baru yaitu Peraturan Daerah Kota Blitar Tahun 2011. Belum adanya ketegasan dari pihak pemerintah dalam mendisiplinkan pelanggaran pelaksanaan perizinan. Pemerintah perlu untuk memberikan penghargaan bagi masyarakat yang mampu mengatasi pengangguran di sekitar wilayah usahanya. Kata kunci: implementasi, kebijakan, objek retribusi
Pendahuluan Dunia usaha menjadi bidang yang digeluti masyarakat saat ini. Beragam usaha diciptakan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup. Rata-rata perdagangan menjadi mata pencaharian yang dominan di masyarakat. Salah satunya di Kota Blitar. Tata wilayah kotanya strategis meskipun ia adalah kota yang kecil. Ia berbatasan langsung dengan wilayah Kabupaten Blitar. Batas wilayah ini memiliki kontribusi pergerakan yang tinggi. Selain itu, ia juga menjadi salah satu pintu gerbang menuju wilayah Kabupaten Blitar. Hal ini menyebabkan
pergerakan barang dan jasa serta kegiatan perekonomian semakin mudah dan leluasa. Dengan banyaknya usaha yang didirikan masyarakat kemudian perlu ada campur tangan dari pemerintah. Campur tangan pemerintah berupa pengawasan dan pengaturan akan izin yang ada. Pengawasan dan pengaturan izin itu ditujukan agar usaha yang ada berjalan lancar, tertib dan teratur. Pada tataran pemerintahan, pihak yang mengurus perizinan di Kota Blitar adalah Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu (KPT). KPT mulai didirikan pada tahun 2003. Keberadaan KPT memudahkan masyarakat yang ingin mengurus
Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol. 2, No. 1, Hal. 16-22 | 16
izin. Sebelum KPT didirikan, pengurusan izin usaha masih rumit. Keberadaan KPT memudahkan pemerintah untuk mendata, membina, mengawasi dan mengatur perizinan yang ada di Kota Blitar. Selain itu, pemerintah mampu mendapatkan pemasukan yang memadai guna pembiayaan daerah di Kota Blitar. Salah satu sumber pembiayaan daerah itu adalah retribusi. Retribusi sebagai pungutan atas penggunaan jasa milik pemerintah. Jasa ini disediakan atau dikelola pemerintah untuk kesejahteraan umum. Balas jasanya diperolah langsung oleh pengguna. Dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 mengenai pajak dan retribusi daerah, retribusi terbagi menjadi tiga objek. Objek retribusi yaitu retribusi jasa umum diatur dalam Peraturan Daerah Kota Blitar No. 8 Tahun 2011, retribusi jasa usaha diatur dalam Peraturan Daerah Kota Blitar No. 9 Tahun 2011dan retribusi jasa perizinan usaha tertentu diatur dalam Peraturan Daerah Kota Blitar No. 10 Tahun 2011. Melalui Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu retribusi tersebut dibayarkan. Perizinan bermanfaat untuk masyarakat dan pemerintah. Sebagaimana dijelaskan oleh Taufik Nurohman (2007) bahwa izin usaha dengan segala jenisnya merupakan syarat mutlak sebuah negara untuk bisa berkembang dan berdaya saing dalam persaingan usaha di era persaingan global saat ini. Dalam kontek ini, sangat dibutuhkan adanya kerja sama yang sinergis antar instansi yang menangani sektor perdagangan di pusat dan daerah untuk bersama-sama melakukan sosialisasi dan pembinaan terhadap para pengusaha, terutama para pengusaha kecil dan menengah (UMKM). Melalui sinergi inilah akan terwujud iklim usaha yang kondusif dan usaha dan lembaga perdagangan yang kuat di negeri kita tercinta, Indonesia. Oleh karena itu, penulis merumuskan masalah bagaimana implementasi kebijakan retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha dan retribusi jasa perizinan usaha tertentu di Kota Blitar sebagai upaya peningkatan pendapatan asli daerah beserta faktor-faktor yang mendukung dan menghambat pelaksanaan kebijakan retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha dan retribusi jasa perizinan usaha tertentu. Tujuan penelitian adalah untuk mendeskripsikan dan menganalisis bagaimana implementasi kebijakan objek retribusi sebagai upaya peningkatan pendapatan asli daerah di Kota Blitar. Manfaat penelitian sebagai sumbangan masukan dan pemikiran bagi Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu dalam kinerjanya mengkoordinatori perizinan di Kota Blitar.
Tinjauan Pustaka 1. Kebijakan Publik Pada dasarnya, kebijakan publik lebih menitikberatkan pada “publik dan masalahmasalahnya.” Menurut Chandler dan Plano dalam Keban (2008, h.60), kebijakan publik didefinisikan sebagai pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya-sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah publik atau pemerintah. Menurut Dye dalam Domai (2011, h.66) apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan merupakan kebijakan negara. Semua tindakan itu harus memiliki tujuannya (objektif). Menurut Agustino (2008, h.9) kebijakan publik merupakan tindak lanjut dari sebuah isu politik yang bisa berbentuk positif maupun negatif. Dalam bentuk yang positif, kebijakan publik dikeluarkan untuk mengatasi suatu masalah yang ada. Dalam bentuk yang negatif kebijakan publik bisa merupakan sebuah tindakan yang menimbulkan kekecewaan masyarakat dimana seharusnya pemerintah ikut campur tangan dalam menangani masalah yang ada akan tetapi itu tidak dilakukan. Menurut Dunn dalam Keban (2008, h.67) kebijakan publik yang efektif dihasilkan melalui beberapa tahapan. Permasalahan yang ada dikumpulkan, dianalisis kemudian dimasukkan dalam sebuah agenda kebijakan. Pada akhirnya dilakukan pengambilan keputusan yang terbaik diantara berbagai alternatif. Melalui dukungan para administrator dan legislatif, kebijakan itu diimplementasikan. Implementasi kebijakan menggunakan dana dan sumber daya yang ada. Dalam implementasi kebijakan proses monitoring dilakukan. Seluruh pihak yang berkaitan melakukan evaluasi terhadap jalannya evaluasi kebijakan. Pada proses kebijakan publik, mulai dari perumusan hingga pelaksanaan, dibutuhkan peranan dari aktor kebijakan. Masing-masing peran bersifat saling mengisi dan melengkapi. Oleh karena itu, dibutuhkan komunikasi dan koordinasi yang berkelanjutan. Dijelaskan oleh Kementerian Perdagangan Republik Indonesia (2013) bahwa aktor-aktor kebijakan publik terdiri dari inisiator kebijakan, pembuat kebijakan dan legislator, pelaksana kebijakan, kelompok sasaran, kelompok yang diuntungkan (beneficiaries group), kelompok kepentingan dan kelompok penekan. 2. Implementasi Kebijakan Publik Menurut Kamus Webster dalam Domai (201, h.67-68) terdapat beberapa rumusan mengenai definisi implementasi yaitu to
Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol. 2, No. 1, Hal. 16-22 | 17
implement (mengimplementasikan) berarti to provide the means for carrying out (menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu), to give practical effect to (menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu), dipandang sebagai suatu proses melaksanakan keputu-san/kebijakan (biasanya dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan, perintah eksekutif atau dekrit presiden). Menurut Horn dalam Domai (2011, h.68) implementasi diartikan sebagai tindakantindakan yang dilakukan oleh individuindividu/pejabat-pejabat atau kelompokkelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada pencapaian tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan. Setelah suatu kebijakan disahkan, tahap implementasi pun dilakukan. Menurut Mazmanian dan Sabatier dalam Wahab (1997, h.68-69) tahapan implementasi dalam kebijakan publik antara lain: a. Adanya output kebijakan dari lembaga pelaksana, b. Adanya kepatuhan target untuk mematuhi output kebijakan, c. Hasil nyata output kebijakan, d. Persepsi badan-badan yang mengambil keputusan terhadap hasil nyata dari output kebijakan, e. Perbaikan atau evaluasi pada undangundang yang bersangkutan. Pada tahap implementasi kebijakan ini, model implementasi kebijakan publik yang digunakan adalah model pendekatan sintesis (Hybrid Theories), karya Hjern-Porter. Menurut model ini, tahap-tahap kebijakan merupakan satu kesatuan proses yang sama. Antara implementasi dengan pembuatan kebijakan tidak dapat dipisahpisahkan. Menurut Hjern-Porter, penggabungan antara model top-down milik Mazmanier dan bottom-up milik Sabatier, implementasi merupakan hubungan interorganisasi berupa network (jaringan). Sintesis ini disempurnakan melalui pemakaian konteks policy subsistem. Menurut Islamy (2001, h.45) policy subsistem merupakan aktor-aktor kebijakan yang berasal dari organisasi baik organisasi publik maupun privat. Mereka secara aktif mengkaji dan mengkritisi suatu masalah kebijakan tertentu. Model implementasi kebijakan ini berkedudukan sebagai bagian berkesinambungan dari pengambil kebijakan dalam Advocacy coalition. Advocacy coalition adalah pendampingan para aktor kebijakan dengan berbagai elemen yang ada di masyarakat. Yang terlibat didalamnya adalah NGOS (non government), akademisi dan swasta.
Menurut D.L Weimer dan Aidan R. Vining dalam Keban (2008, h.78), terdapat 3 faktor umum yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan, yaitu: a. Logika yang digunakan oleh suatu kebijakan, yaitu sampai seberapa benar teori yang menjadi landasan kebijakan atau seberapa jauh hubungan logis antara kegiatan-kegiatan yang dilakukan dengan tujuan atau sasaran yang telah ditetapkan, b. Hakekat kerjasama yang dibutuhkan, yaitu apakah semua pihak yang terlibat dalam kerjasama telah merupakan suatu assembling yang produktif, c. Ketersediaan sumberdaya manusia yang memiliki kemampuan, komitmen untuk mengelola pelaksanaannya. Menurut Gow dan Mors dalam Keban (2008, h.78), pada implementasi kebijakan terdapat hambatan. Hambatan tersebut antara lain: a. Hambatan politik, ekonomi dan lingkungan, b. Kelemahan institusi (ketidakmampuan SDM di bidang teknis dan administratif), c. Kekurangan dalam bantuan teknis, d. Kurangnya desentralisasi dan partisipasi, e. Pengaturan waktu (timing), f. Sistem informasi yang kurang mendukung, g. Perbedaan agenda tujuan antar aktor, h. Dukungan yang berkesinambungan. 3. Konsep Dasar Izin Usaha Menurut Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, izin berasal dari kata izin yaitu penyataan mengabulkan (tiada melarang) atau persetujuan yang membolehkan (2007, h.456). Menurut Peraturan Walikota Blitar No. 10 Tahun 2010 mengenai Jenis dan Mekanisme Perizinan di Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu (KPT), syarat mengurus izin dijelaskan dalam pasal 2. Syarat tersebut antara lain: a. Pengajuan permohonan perizinan oleh pemohon/kuasa pemohon kepada KPT b. Pemeriksaan dokumen atau persyaratan administrasi di KPT c. Berkas permohonan yang sudah lengkap dan memenuhi syarat/sah dikirim ke Dinas/Badan/Kantor Instansi terkait yang bertanggung jawab terhadap perizinan tersebut d. Pemeriksaan/peninjauan lapangan/objek perizinan oleh tim teknis/dinas/badan/kantor instansi terkait yang berkoordinasi dengan KPT
Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol. 2, No. 1, Hal. 16-22 | 18
e. Penyempurnaan persyaratan/dokumen dari hasil pemeriksaan/peninjauan lapangan/objek perizinan oleh pemohon f. Persetujuan rekomendasi oleh tim teknis/kepala dinas/badan/kantor instansi terkait g. Penandatanganan keputusan oleh pejabat yang berwenang h. Penentuan retribusi dan pembayaran retribusi oleh pemohon di KPT i. Penyerahan keputusan perizinan kepada pemohon di KPT 4. Kebijakan Izin Usaha Upaya Pemerintah Kota Blitar untuk memperbaiki iklim usaha adalah dengan mendirikan Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu. Pada tahun 2003, Pemerintah Kota Blitar membentuk Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu (KPT) berdasarkan Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2003 mengenai susunan organisasi kantor-kantor daerah Kota Blitar. Kantor ini berfungsi sebagai front office. Ia merupakan tempat dimana pemohon mengurus izin. Diawali dengan mengumpulkan berkas sampai pengambilan Surat Ketetapan Izin. Surat ini sebagai bukti izin resmi dari pemerintah dalam menjalankan usahanya. Pada tahun 2006 Pemerintah Kota Blitar menerbitkan Peraturan Walikota Blitar Nomor 16 Tahun 2006 tentang Mekanisme dan Jenis Perizinan pada KPT Kota Blitar. Pada peraturan ini terdapat penambahan jenis layanan yang semula 10 jenis layanan menjadi 21 jenis layanan. Pemerintah juga membentuk tim teknis perizinan. Tim ini langsung dikoordinir oleh KPT. Ia bertugas untuk menentukan layak dan tidaknya perizinan yang diajukan terbit. Tim teknis ini dibentuk berdasarkan keputusan Walikota Blitar No.:188/315/HK/422.0102/2006. Pemerintah juga menetapkan beberapa peraturan daerah. Hal ini dijelaskan oleh admin Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Kota Blitar (2011). Pemohon yang mengurus izin dan menggunakan fasilitas milik pemerintah dikenakan retribusi. Hal ini diatur dalam UndangUndang No. 28 Tahun 2009 mengenai pajak dan retribusi daerah. Undang-undang ini sebagai perbaikan dari undang-undang tentang pajak dan retribusi daerah sebelumnya yaitu UU No. 34 Tahun 2000. Dalam UU No. 28 Tahun 2009 dijelaskan bahwa objek retribusi terbagi menjadi 3 yaitu jasa umum, jasa usaha dan jasa perizinan usaha tertentu. Masing-masing re-tribusi dalam Peraturan Daerah Kota Blitar dijelaskan dalam Peraturan Daerah Kota Blitar No. 8 Tahun 2011 (retribusi jasa umum), Peraturan Daerah Kota Blitar No. 9 Tahun 2011 (retribusi jasa usaha),
Peraturan Daerah Kota Blitar No. 10 Tahun 2011 (retribusi jasa perizinan usaha tertentu). 5. Pendapatan Asli Daerah Pendapatan Asli Daerah atau PAD adalah pendapatan yang diperoleh Daerah. Ia dipungut berdasarkan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pada pasal 6 ayat 1 dan 2 dijelaskan mengenai sumber PAD. Sumber tersebut yaitu: a. Pajak Daerah; b. Retribusi Daerah; c. Hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan; dan d. Lain-lain PAD yang sah meliputi: 1) hasil penjualan kekayaan Daerah yang tidak dipisahkan; 2) jasa giro; 3) pendapatan bunga; 4) keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; dan komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh Daerah. Tujuan diadakannya PAD adalah untuk memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah dalam mendanai pelaksanaan otonomi daerah. Untuk mewujudkan desentralisasi daerah, pendanaan disesuaikan dengan potensi Daerah masing-masing. Daerah diberikan keleluasaan untuk menggali sumber-sumber dana. Maka dari itu daerah diarahkan untuk semakin meningkatkan kemampuan dalam membiayai urusan penyelenggaraan pemerataan dan pembangunan daerahnya. 6. Retribusi Daerah Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 menjelaskan mengenai pajak dan retribusi daerah. Retribusi daerah merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Daerah. Pembiayaan itu ditujukan untuk memantapkan Otonomi Daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. a. Objek dan Golongan Retribusi Objek dan golongan retribusi daerah diatur dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 mengenai pajakdan retribusi daerah.Padapasal 108 ayat (1) dijelaskan bahwa retribusi daerah terdiri dari 3 objek yaitu: (1) Jasa umum. (2) Jasa usaha. (3) Jasa perizinan usaha tertentu.
Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol. 2, No. 1, Hal. 16-22 | 19
b. Kriteria Retribusi Daerah Retribusi daerah terdiri dari 3 golongan yaitu retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha dan retribusi jasa perizinan usaha tertentu. Masing-masing memiliki kriteria dengan penjelasan sebagai berikut: (1) Retribusi jasa umum a) Retribusi jasa umum bersifat bukan pajak dan bersifat bukan retribusi jasa usaha atau retribusi perizinan usaha tertentu; b) Jasa yang bersangkutan merupakan kewenangan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi; c) Jasa tersebut memberi manfaat khusus bagi orang pribadi atau badan yang diharuskan membayar retribusi, disamping untuk melayani kepentingan dan kemanfaatan umum; d) Jasa tersebut hanya diberikan kepada orang pribadi atau badan yang membayar retribusi dengan memberikan keringanan bagi masyarakat yang tidak mampu; e) Retribusi tidak bertentangan dengan kebijakan nasional mengenai penyelenggaraannya; f) Retribusi dapat dipungut secara efektif dan efisien serta merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang potensial; dan g) Pemungutan retribusi memungkinkan penyediaan jasa tersebut dengan tingkat dan/atau kualitas pelayanan yang lebih baik. 2) Retribusi Jasa Usaha a) Retribusi jasa usaha bersifat bukan pajak dan bersifat bukan retribusi jasa umum atau retribusi perizinan usaha tertentu; dan b) Jasa yang bersangkutan adalah jasa yang bersifat komersial yang seyogyanya disediakan oleh sektor swasta tetapi belum memadai atau terdapatnya harta yang dimiliki/dikuasai oleh daerah yang belum dimanfaatkan secara penuh oleh Pemerintah Daerah. 3) Retribusi Jasa Perizinan Usaha Tertentu a) Perizinan tersebut termasuk kewenangan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah dalam rangka asas desentralisasi; b) Perizinan tersebut benar-benar diperlukan guna melindungi kepentingan umum;
c) Biaya yang menjadi beban daerah dalam penyelenggaraan izin tersebut dan biaya untuk menanggulangi dampak negatif dari pemberian izin tersebut cukup besar sehingga layak dibiayai dari retribusi perizinan; dan d) Ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Metode Penelitian Jenis penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Menurut Arikunto (1993, h.208) penelitian deskriptif merupakan penelitian non hipotesis sehingga dalam langkah penelitiannya tidak perlu merumuskan hipotesis. Dengan pendekatan kualitatif, penelitian yang dilakukan ini menggambarkan data berupa katakata atau kalimat yang dipisah-pisahkan menurut kategori untuk memperoleh kesimpulan (Arikunto, 1993, h.209). Fokus dalam penelitian ini adalah: (1) implementasi kebijakan objek retribusi sebagai upaya peningkatan pendapatan asli daerah di Kota Blitar (2) faktor pendukung dan penghambat dalam implementasi kebijakan objek retribusi sebagai upaya peningkatan pendapatan asli daerah di Kota Blitar. Lokasi penelitian di kota Blitar dengan situs penelitian di Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu. Sumber data diperoleh dari data primer dan data sekunder. Teknik penelitian yang digunakan yaitu melalui wawancara, observasi dan dokumentasi. Instrumen penelitian ada peneliti sendiri, pedoman wawancara dan catatan lapangan. Analisis data menggunakan Model Interaktif menurut Miles dan Huberman yang diterjemahkan dalam Muhammad Idrus (2009, h.148). Analisis model interaktif terdiri dari 3 tahap yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan atau verifikasi data. Pembahasan 1. Implementasi Kebijakan Objek Retribusi sebagai Upaya Peningkatan Pendapatan Asli Daerah di Kota Blitar Pemerintah Kota Blitar terus berupaya untuk meningkatkan pendapatan asli daerah. Salah satunya melalui retribusi. Pada tahun 2011 pemerintah daerah menetapkan Peraturan Daerah Kota Blitar tahun 2011 mengenai objek retribusi. Perda ini sebagai pengejawantahan UU No. 28 tahun 2009 mengenai pajak dan retribusi daerah. Pusat koordinator perizinan adalah KPT (Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu). Pemerintah terus berupaya menciptakan prosedur perizinan yang memudahkan pemohon dalam mengurus perizinan. Pengadaan KPT ini, meli-
Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol. 2, No. 1, Hal. 16-22 | 20
batkan peran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Sesuai dengan teori model implementasi kebijakan milik Hjern-Porter, bahwa dalam implementasi kebijakan terdapat keterlibatan antar organisasi. Keterlibatan ini membentuk sebuah jaringan (network). Perbedaan peran satu sama lain bersifat saling melengkapi. Semua itu ditujukan untuk mencapai pendapatan retribusi sesuai target yang ditentukan. Pemungutan retribusi dilaksanakan atas dasar Peraturan Daerah Kota Blitar No. 8, 9 dan 10 Tahun 2011. Prosedur dalam mengurus perizinan di KPT dibuat untuk mempermudah pemohon. Berkas diterima dan diperiksa kelengkapannya oleh KPT.Data yang memerlukan rekomendasi SKPD back office diserahkan ke SKPD. Hasil rekomendasi diserahkan kepada tim teknis untuk peninjauan lapangan atau pun rapat tim teknis. Tim teknis kemudian mengeluarkan surat rekomendasi diizinkan tidaknya usaha tersebut. Jika diizinkan maka surat rekomendasi tersebut diserahkan pada pemohon. Pemohon diminta untuk menyempurnakan berkas yang disarankan, jika ada. Jika tidak diizinkan untuk dilaksanakan maka berkas tersebut dikembalikan kepada pemohon. Setelah penyempurnaan permohonan disetujui dan ditandatangani oleh KPT, SK izin pun diterbitkan. SK izin sebagai bukti resmi membuka usaha dari pemerintah dan perhitungan retribusi oleh SKPD. Kemudian pemohon berhak menerima SK izin. Bersamaan penerimaan tersebut, pemohon sekaligus membayar retribusi yang dikenakan di kasir KPT. Implementasi kebijakan objek retribusi di Kota Blitar secara umum bisa dikatakan berhasil. Sesuai dengan pendapat D.L Weimer dan Aidan R. Vining dalam Keban (2008, h.78) bahwa terdapat 3 faktor yang menjadikan keberhasilan implementasi kebijakan. Secara umum faktor tersebut yaitu adanya kesesuaian antara kegiatan yang dilakukan oleh KPT, SKPD dan Satpol PP dalam pencapaian pendapatan retribusi terhadap PAD. Aktor-aktor dalam implementasi kebijakan objek retribusi tersebut mampu berkoordinasi dengan baik. Sejumlah pengurus di Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu (KPT) memiliki komitmen yang tinggi dan terpercaya dalam menjalankan tugasnya. Namun demikian, dilihat dari pendapatan retribusi daerah Kota Blitar terhadap pendapatan asli daerah (tahun 2009-2011), pendapatan tersebut selalu mengalami penurunan. Realisasi
retribusi daerah yang paling besar terjadi pada tahun 2009. Hal ini berakibat pada peningkatan pendapatan asli daerah pada tahun 2009. Ini memberikan kontribusi yang luar biasa bagi Pendapatan Asli Daerah yaitu sebesar 84,48%. Realisasi retribusi pada tahun 2009 mencapai Rp 24.234.935.748,47. Namun, pada tahun 2010 hingga tahun 2011 realisasi retribusi mengalami penurunan. Realisasi retribusi pada tahun 2010 mencapai Rp 6.649.853.795,38. Dengan demikian kontribusi retribusi terhadap PAD (Pendapatan Asli Daerah) mencapai 55,53%. Pada tahun 2011, realisasi retribusi mencapai Rp 6.682.606.370,00. Dengan demikian kontribusi retribusi terhadap PAD (Pendapatan Asli Daerah) mencapai 12,70%. 2. Faktor Pendukung dan Penghambat Implementasi Kebijakan Objek Retribusi sebagai Upaya Peningkatan Pendapatan Asli Daerah a) Secara umum, implementasi kebijakan objek retribusi di Kota Blitar dapat dikatakan berhasil. Hal ini didukung oleh beberapa faktor. Faktor pendukung tersebut yaitu: (1) kinerja tim teknis perizinan beserta sumber daya di Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Kota Blitar terkoordinir dengan baik. Mereka pun mampu mengatasi permasalahan yang ada (2) prosedur dalam mengurus perizinan di KPT bersifat sederhana. Pembagian tanggung jawabnya juga jelas. b) Secara umum, faktor penghambat tercapainya peningkatan pendapatan retribusi yaitu banyaknya oknum pemerintah yang masih kurang tegas dalam menyikapi pelanggaran peraturan perizinan. Kesimpulan Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan objek retribusi di Kota Blitar bisa dikatakan berhasil. Akan tetapi pelaksanaan tersebut masih belum mampu menghasilkan penerimaan retribusi yang optimal. Oleh karena itu, pemerintah perlu lebih tegas lagi dalam mendisiplinkan pelanggaran terhadap aturan perizinan. Pemberian penghargaan pada pengusaha juga perlu diberikan. Ini ditujukan untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam mensukseskan perdagangan di Kota Blitar.
Daftar Pustaka Agustino, Leo. (2008) Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Bandung, Alfabeta.
Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol. 2, No. 1, Hal. 16-22 | 21
Admin Kantor Pelayanan Terpadu Kota Blitar (2011) Selayang Pandang Kota Blitar. [Internet] Available from : < http://www.kantorpelayananterpadu.blitarkota.net> [Accessed: 28 Januari 2012]. Domai, Tjahjanulin. (2011) Sound Governance. Malang, UB Press. Idrus, Muhammad. (2009) Metode Penelitian Ilmu Sosial. Jakarta, Erlangga. Islamy, Irfan. M. (2001) Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta, Bumi Aksara. Keban, Yeremias T. (2008) Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik. Jogjakarta, Gaya Media. Kementerian Perdagangan Republik Indonesia (2013) Mendukung Daya Saing Usaha. DJPDN [Internet] Available from: < http://ditjenpdn.kemendag.go.id > [Accessed: 20 Mei 2013]. Nurohman, Taufik. (2007) Aktor dan Pelaku Pembuat Kebijakan Publik. [Internet] Available from: < http://www.scribd.com/doc/51271227/aktor-dan-pelaku-pembuat-kebijakan-publik> [Accessed: 12 Juli 2012]. Poerwadarminta (2007) Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta, Balai Pustaka. Suharsimi, Arikunto. (1993) Prosedur Penelitian. Yogyakarta, Rineka Cipta. Peraturan Walikota Blitar Nomor 10 Tahun 2010 tentang Jenis dan Mekanisme Perizinan di Kantor Pelayanan Terpadu (KPT) Kota Blitar (c.1) Blitar, Walikota Blitar. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (c.6) Jakarta, Pemerintah Republik Indonesia. Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah (c.6) Jakarta, Pemerintah Republik Indonesia. Wahab, Solichin Abdul. (1997) Evaluasi Kebijakan Publik. Malang, FIA UNIBRAW dan IKIP Malang.
Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol. 2, No. 1, Hal. 16-22 | 22