IMPLEMENTASI HUKUM KONTRAK DALAM PEMBIAYAAN MURABAHAH PADA BANK MUAMALAT INDONESIA (BMI) CABANG SURAKARTA
TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum
Minat Utama : Ekonomi Syariah
Oleh, SAMARUL FALAH NIM : S 340908019
PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
IMPLEMENTASI HUKUM KONTRAK DALAM PEMBIAYAAN MURABAHAH PADA BANK MUAMALAT INDONESIA (BMI) CABANG SURAKARTA
Disusun oleh : SAMARUL FALAH NIM : S 340908019 Telah disetujui oleh Tim Pembimbing Dewan Pembimbing
Jabatan
Nama
Tandatangan
Tanggal
Pembimbing I :
Prof. Dr. MUCHSIN, SH
……………..
………..
Pembimbing II:
MUH ADNAN, SH. M.Hum NIP. 195407121984 03 1002
……………..
………..
Mengetahui Ketua Program Studi Ilmu Hukum
Prof. Dr. H. SETIONO, SH. MS. NIP. 19440505 196921 001
ii
IMPLEMENTASI HUKUM KONTRAK DALAM PEMBIAYAAN MURABAHAH PADA BANK MUAMALAT INDONESIA (BMI) CABANG SURAKARTA
Disusun oleh : SAMARUL FALAH NIM : S 340908019 Telah Disetujui oleh Tim Penguji Jabatan
Nama
Tanda Tangan
Ketua
Prof. Dr.Adi Sulistiyono, SH. MH. Nip. 196302091988031003
Sekretaris
Prof.Dr.Hartiwiningsih,SH.M.Hum. ....................... Nip. 196702031985032001
Anggota 1. Prof. Dr. Muchsin, SH.
Tanggal
................... ........................
........................
........................ ........................
2.Moh Adnan, SH.M.Hum Nip. 195407121984031002
........................ .......................
Mengetahui Ketua Program Studi Ilmu Hukum
Prof. Dr.H.Setiono, SH.,M.S. NIP. 130 345 735
..................................
Direktur Program Pasca Sarjana
Prof. Drs.Suranto,MSc.,Ph.D. NIP. 131 472 192
....................................
iii
PERNYATAAN
Nama
: Samarul Falah
NIM
: S 340908019
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul : “Implementasi Hukum Kontrak Dalam Pembiayaan Murabahah Pada Bank Muamalat Indonesia (BMI) Cabang Surakarta”, adalah benar-benar karya saya sendiri. Hal yang bukan karya saya, dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tersebut di atas tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik, yang berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut.
Surakarta, Yang membuat pernyataan,
SAMARUL FALAH
iv
2010
PERSEMBAHAN Akhirnya, dengan kerja keras yang penulis lakukan untuk menyelesaikan tesis ini, sebagai salah satu syarat kelulusan studi di Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret, telah terselesaikan dengan baik dan sesuai dengan apa yang penulis inginkan. Penulisan ini tidak akan mungkin dapat terselesaikan tanpa bantuan dari pihak lain Maka dengan kerendahan hati, penulis mempersembahkan tesis ini kepada 1. Kedua orang tua saya yang telah memberikan cinta kasih, dan dengan ikhlas telah mempertaruhkan segalanya demi masa depan penulis. 2. Isteriku tercinta Dhurrotul Lum’ah dan ananda M. Elmanaviean, Izzun Nastiti, Ezza Selisa Yua serta Adela Aunal Haqqa, yang telah merelakan berbagi waktu untuk penyelesaian tesis ini, saya do’akan semoga kalian sukses menggapai cita-cita dan menjadi orang yang berguna dan bermanfaat didunia sampai akhherat, amin. 3. Guru-guru saya yang telah memberikan bimbingan dan mendidik saya dengan penuh ikhlas dan sabar, semoga semua ilmu yang telah engkau berikan akan bermanfaat sepanjang masa, teriring do’a Jazaakumullah Ahsanal Jaza’, amin.
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahiim Dengan mengucap puji syukur kehadirat Allah SWT. Yang telah melimpahkan Rahmat dan KaruniaNya, shalawat serta salam semoga tetap kepangkuan beliau Nabi Muhammad SAW. Dengan melakukan berbagai upaya akhirnya penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul : “Implementasi Hukum Kontrak Dalam Pembiayaan Murabahah Pada Bank Muamalat Indonesia (BMI) Cabang Surakarta “. Tesis ini disusun untuk memenuhi sebagaian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna sehingga kritik maupun saran yang bertujuan untuk perbaikan tesis ini sangat diharapkan. Dalam penyusunan tesis ini penulis telah banyak mendapat bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Sehingga dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan tesis ini. Ucapan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada yang terhormat : 1. Bapak Prof. Dr. H. Much. Syamsulhadi, dr. Sp.KJ(K) selaku Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menuntut ilmu di Program Magister Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret. 2. Bapak Prof. Drs. Suranto, M.Sc. Ph.D., selaku Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menuntut ilmu di Program Magister Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 3. Bapak Moh. Jamin, SH. M.Hum., selaku Dekan Fakultas Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menuntut ilmu di Program Magister Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
vi
4. Bapak Prof. Dr. H. Setiono, SH. MS., selaku Ketua Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret sekaligus Pembimbing dan Tim Penguji yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menuntut ilmu di Program Magister Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta dan dengan ketulusan dan kearifan telah berkenan mengoreksi, mengarahkan dan membimbing hingga penulisan tesis ini selesai. 5. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH. M.Hum., sebagai Sekretaris Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menuntut ilmu di Program Magister Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta 6. Bapak Prof. Dr. Muchsin, SH. (Pembimbing I) dan Bapak Moh Adnan, SH. M.Hum., (Pembimbing II) yang telah mencurtahkan waktu, tenaga dan pikiran dengan penuh keikhlasan dan kesabaran untuk memberikan bimbingan, pengarahan, saran-saran serta berbagai kemudahan yang sangat bermanfaat dalam penyusunan tesis ini. 7. Segenap Dosen pengajar Progam Studi Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, dengan bimbingan dan bantuannya hingga Penulis mendapatkan ilmu pengetahuan khususnya di bidang ilmu hukum. 8. Bapak Kepala PT. Bank Muamalat Indonesia Cabang Surakarta yang telah memberikan ijin penelitian, data, serta memberikan saran dan masukan kepada Penulis sehingga tesis ini dapat Penulis selesaikan. 9. Staf dan Karyawan Progam Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah membantu dan memberikan semangat serta memberikan dorongan kepada penulis. 10. Penghargaan kepada : Istriku tercinta Dhurrotul Lum’ah dan ananda M. Elmanaviean, Izzun Nastiti, Ezza Selisa Yua serta Adela Aunal Haqqa, dengan atas dorongan moril, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
vii
11. Rekan-rekan dan keluarga yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu yang telah
memberikan
bantuan
dan
dorongan
kepada
penulis
selama
menyelesaikan tesis ini. Semoga amal kebaikan tersebut mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT. Amin Ya Rabbal ‘alamin.
Surakarta,
2010
Penulis,
SAMARUL FALAH.
viii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL
.....................................................................................
i
PERSETUJUAN PEMBIMBING
...................................................................
ii
PERSETUJUAN TIM PENGUJI
......................................................................
iii
.................................................................................................
iv
PERSEMBAHAN
........................................................................................
v
KATA PENGANTAR
........................................................................................
vi
DAFTAR ISI
.......................................................................................................
ix
ABSTRAK
......................................................................................................
xi
ABSTRACT
.......................................................................................................
xii
BAB I
PENDAHULUAN
PERNYATAAN
BAB II
:
:
...................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................
1
B. Perumusan Masalah ...............................................................
5
C. Tujuan Penelitian ...................................................................
6
D. Manfaat Penelitian .................................................................
6
LANDASAN TEORI ....................................................................
8
A. Implementasi Hukum .............................................................
8
B. Teori Bekerjanya Hukum ......................................................
12
C. Prinsip-Prinsip Dalam Ekonomi Syariah .............................
21
D. Konsepsi Hukum Kontrak Syariah .......................................
26
1. Hukum Kontrak/Akad .....................................................
26
a. Unsur-unsur Akad ......................................................
30
b. Rukun dan Syarat Akad ..............................................
31
c. Asas-asas Dalam Kontrak/Akad .................................
36
d. Penggolongan Hukum Kontrak ..................................
41
e. Berakhirnya Akad ......................................................
46
E. Karakteristik Pembiayaan Murabahah ...................................
48
1. Pengertian Pembiayaan ....................................................
48
2. Tujuan Pembiayaan ..........................................................
48
3. Fungsi Pembiayaan ..........................................................
50
ix
4. Jenis Pembiayaan .............................................................
50
5. Pembiayaan Murabahah ...................................................
52
a. Definisi, Rukun dan Syarat Jenis Murabahah ............
52
b. Aspek Syariah Murabahah .........................................
55
c. Aspek Teknis Murabahah ...........................................
56
d. Ketentuan Fatwa Tentang Murabahah .......................
58
e. Aspek Teknis Perbankan Syariah ...............................
63
Penelitian Yang Relevan ......................................................
67
G. Kerangka Berfikir ..................................................................
69
METODE PENELITIAN .............................................................
73
A. Karakteristik Penelitian..........................................................
73
B. Lokasi Penelitian ...................................................................
75
C. Jenis Data ..............................................................................
75
D. Tehnik Pengumpulan Data .....................................................
77
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ..........................
79
A. Hasil Penelitian ......................................................................
79
F.
BAB III
BAB IV
:
:
1. Pelaksanaan Hukum Kontrak Dalam Pembiayaan Murabahah Sesuai Dengan Prinsip Syariah .....................
79
2. Bentuk-bentuk Wanprestasi Dalam Hukum Kontrak Dalam Pembiayaan Murabahah ......................................
84
B. Pembahasan............................................................................
86
1. Implementasi Hukum Kontrak Dalam Pembiayaan Murabahah
Dalam Realitasnya di BMI Cabang
Surakarta ...................................................................... 2. Upaya-upaya
Kreditur
Terhadap
Debitur
yang
Wanprestasi..................................................................... BAB V
:
86
101
PENUTUP .................................................................................
114
A. Kesimpulan ............................................................................
114
B. Implikasi ...............................................................................
114
C. Saran ......................................................................................
115
DAFTAR PUSTAKA
......................................................................................
x
115
ABSTRAK
Samarul Falah, 2010, “IMPLEMENTASI HUKUM KONTRAK DALAM PEMBIAYAAN MURABAHAH PADA BANK MUAMALAT INDONESIA (BMI) CABANG SURAKARTA“, Tesis: Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulisan ini dilatarbelakangi adanya perbedaan mendasar konsep pelaksanaan Bank Konvensional dan Bank Syariah pasca lahirnya undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang merupakan bank syariah pertama di Indonesia yang menggunakan prinsip bagi hasil, dalam operasionalnya berdasarkan aqidah dan moral Islam yang mengutamakan prinsip-prinsip syariah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana Bank Muamalat Indonesia (BMI) Cabang Surakarta dalam pelaksanaan Hukum Kontrak dalam Pembiayaan Murabahah dan upaya –upaya yang dilakukan Bank Muamalat Indonesia apabila terjadi penyimpangan dalam akad/kontrak yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariah dan atau kreditur melakukan wanprestasi. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis empiris atau penelitian hukum sosiologis dengan menggunakan data primer. Data ini diperoleh secara langsung melalui wawancara, dokumen, maupun observasi. Sedangkan untuk melengkapi data tersebut, juga dilaksanakan penelitian dalam rangka memperoleh data sekunder. Hasil penelitian mengungkapkan tentang pelaksanaan hukum kontrak dalam Pembiayaan Murabahah pada Bank Muamalat Indonesia (BMI) Cabang Surakarta, bila disinkronkan dengan prinsip-prinsip syariah sebagaimana dalam Undang-undang nomor 21 tahun 2008 tantang Perbankan Syariah dan regulasi lainnya seperti ; Peraturan Bank Indonesia (PBI), Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN), Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) sebagai hukum material ekonomi syariah secara umum telah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Dan bila terjadi wanprestasi, pihak perbankan memilih menyelesaikan dengan perdamaian melalui pembinaan. Bank Muamalat Indonesia (BMI) Cabang Surakarta, hendaknya benarbenar melaksanakan prinsip-prinsip syariah secara komprehensif dan dalam upaya menyelesaikan pihak yang wanprestasi, selalu mengedepankan perdamaian, selanjutnya untuk mensosialisasikan perbankan yang operasionalnya berdasarkan prinsip syariah, BMI melibatkan tokoh-tokoh agama dan tokoh masyarakat secara simultan.
xi
ABSTRACT
Samarul Falah, 2010, "IMPLEMENTATION OF THE LAW UNDER CONTRACT MURABAHAH FINANCE WITH BANK MUAMALAT INDONESIA (BMI) BRANCH SURAKARTA", Thesis: Graduate Legal Studies Program University of Surakarta Eleven March. Writing is emphasized by the existence of fundamental differences in concept and execution of Conventional Banks after the birth of Islamic Banking Act No. 21 of 2008 regarding Islamic Banking. Bank Muamalat Indonesia (BMI) which is the first Islamic bank in Indonesia using the principle of profit sharing in the operations based on Islamic moral and doctrinal camps which put the principles of shariah. This study aims to determine how far the Bank Muamalat Indonesia (BMI) of Surakarta Branch in the implementation of the Financing Murabahah Contract Law and the efforts undertaken by Bank Muamalat Indonesia in the event of irregularities in the agreement / contract that is not compliant with sharia principles and / or creditors do breach of contract. This study is an empirical juridical or sociological legal research using primary data. These data were acquired through interviews, documents, and observation. Meanwhile, to complement these data, it also conducted research in order to obtain secondary data. The results reveal about the execution of contract law in Murabaha Financing with Bank Muamalat Indonesia (BMI) of Surakarta Branch, when synchronized with the principles of sharia, as in Act number 21 of 2008 challenged Islamic Banking and other regulations such as Bank Indonesia Regulation (PBI) , National Sharia Board Fatwa (DSN), Islamic Economic Law Compilation (KHES) as sharia law in general economic material in accordance with the principles of sharia. And in case of default, the banks chose to settle peace through training. Bank Muamalat Indonesia (BMI) of Surakarta Branch, should really implement sharia principles comprehensively and in an attempt to resolve the defaulted party, always give priority to peace, next to socialize banking operations based on sharia principles, involving BMI- religious leaders and community leaders simultaneously
xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah. Sebelum lahirnya Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang mengandung di dalamnya aktivitas perbankan syariah, penerapan syariah Islam dalam tata hukum positif di Indonesia sebenarnya telah memperoleh tempat yang signifikan. Hal ini tercermin pada 2 hal yaitu : (a) Konstitusi Indonesia telah memberikan jaminan kemerdekaan bagi setiap penduduk untuk memeluk dan beribadah menurut agamanya masing-masing sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat 2. Pengertian ibadah menurut pandangan Islam tidak hanya mencakup hubungan antara manusia dengan Tuhannya (Ibadah Mahdhoh), tetapi juga mencakup hubungan antara sesama manusia (muamalah) termasuk aktifitas ekonomi. (b) KUH Perdata pasal 1338 menyatakan bahwa setiap perjanjian yang dibuat sesuai dengan Undang-undang berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya dan tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan
yang
ditentukan
oleh
Undang-undang
serta
harus
dilaksanakan dengan itikad baik. Penerapan hukum syariah dalam konteks hukum positif juga dapat diwujudkan dalam kegiatan perbankan syariah. Sebagaimana umumnya setiap transaksi antara bank syariah dengan nasabah terutama yang terbentuk pemberian fasilitas pembiayaan, selalu dituangkan dalam suatu Surat Perjanjian. Dengan kata lain jika bank syariah dan nasabah membuat perjanjian yang bentuk formalnya didasarkan pada pasal 1320 KUH Perdata yaitu : (1) Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri, (2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, (3) Mengenai suatu hal tertentu, dan (4) Mengenai suatu sebab yang tidak dilarang; dan pasal 1338
xiii
KUH Perdata, tiap isi, materi, atau substansinya didasarkan atas ketentuan syariah maka perjanjian tersebut dapat dikatakan sah, baik dilihat dari sisi hukum positif maupun dari sisi syariah. Di dalam praktek, penyusunan suatu perjanjian antara bank syariah dengan nasabah, dari sisi hukum positif, selain mengacu kepada KUH Perdata juga harus merujuk kepada UU No 10 tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Sedangkan dari sisi Syariah selain mengacu pada UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, juga berpedoman kepada fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia. Perbankan Islam atau yang lazim disebut Perbankan Syariah sebagai Lembaga Intermediasi Keuangan (Financial Intermediaty Institution) mulai tumbuh sejak deregulasi dibidang perbankan pada tahun 1988 yang memberikan kemudahan bagi pendirian bank-bank baru, termasuk diperbolehkannya pendirian bank dengan bunga nol persen (zero interest) yang secara implisit berarti telah mengijinkan operasional perbankan yang bebas bunga (Interest free banking). Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan
semakin
memberikan
angin
segar
dalam
menumbuh
kembangkan operasional perbankan yang tidak didasarkan pada sistem bunga, tetapi didasarkan melalui mekanisme bagi hasil, hal ini dikuatkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 1992 tentang bagi hasil. Selanjutnya dengan adanya amandemen Undang-undang Perbankan dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 memperbolehkan operasional Bank berdasarkan prinsip Syari’ah baik Bank umum maupun Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Di dalam pasal 13 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan, menyebutkan bahwa prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara Bank dan pihak lain
xiv
untuk penyimpanan dan atau pembiayaan kegiatan usaha atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan Syari’ah diantaranya adalah : a. Pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (Mudharabah). b. Pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (Musyarakah). c. Prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (Murabahah). d. Pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (Ijarah) atau adanya pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (Ijarah Wa Iqtiqna’). Pengalaman selama masa krisis ekonomi ini memberikan pelajaran berharga, dengan prinsip risk sharing (berbagai resiko) atau profit and loss sharing (bagi hasil) merupakan suatu prinsip yang dapat berperan meningkatkan ketahanan satuan-satuan ekonomi. Dalam keadaan ekonomi yang memburuk, pengusaha akan memikul sendiri resiko dan kejatuhan usaha, walau kejatuhan tersebut tidak disebabkan oleh kesalahan. Atau ketidakmampuan pengusaha tersebut. Meskipun pada akhirnya mungkin akan menjadi risk sharing melalui debt workout dan lain sebagainya, namun prosesnya lebih memakan waktu, tenaga dan biaya. Lain halnya dengan prinsip syariah, penyaluran dana dilakukan berdasarkan prinsip syariah yaitu prinsip bagi hasil atau berbagai resiko (profit and loss sharing) antara pemilik dana dan pengguna sudah diperjanjikan secara jelas sejak awal. Prinsip syariah berlandaskan nilai keadilan, kemanfaatan, keseimbangan dan keuniversalan. Nilai tersebut diterapkan dalam pengaturan perbankan yang didasarkan pada Prinsip Syariah yang disebut Perbankan Syariah. Prinsip perbankan syariah merupakan bagian dari ajaran Islam yang berkaitan dengan ekonomi. Salah satu prinsipnya dalam ekonomi Islam adalah larangan riba dalam segala bentuknya dan menggunakan sistem prinsip bagi hasil. Dengan sistem ini Bank Syari'ah dapat menciptakan iklim investasi yang sehat dan adil karena semua pihak dapat saling berbagi keuntungan maupun potensi resiko yang timbul, sehingga akan
xv
menciptakan posisi yang berimbang antara pihak bank dan nasabah. Dalam jangka panjang, hal ini akan mendorong pemerataan ekonomi nasional karena hasil keuntungannya tidak hanya dinikmati oleh pemilik modal, tetapi juga oleh pengelola modal.1 Rumusan dalam sistem perbankan syariah yang sama sekali berbeda dengan sistem perbankan konvensional. Hal ini karena perbankan yang memiliki akar dari syariah yang menjadi sumber dan panduan bagi setiap muslim dalam melaksanakan aktivitasnya. Islam memilih tujuan-tujuan syariah (Maqasid al syariah) serta petunjuk operasional untuk mencapai tujuan tersebut, tujuan itu sendiri selain mengacu pada kepentingan manusia untuk mencapai kesejahteraan dan kehidupan yang lebih baik, juga memiliki nilai yang sangat penting bagi persaudaraan dan keadilan sosio ekonomi serta menuntut tingkat kepuasan yang seimbang antara kepuasan duniawi dan ukhrowi. Perbedaan pokok antara Perbankan Syariah dengan Perbankan Konvensional adalah adanya larangan riba (bunga) bagi perbankan syariah. Riba dilarang, sedangkan jual beli (al-bai’) dihalalkan. Dengan demikian maka membayar dan menerima bunga pada uang yang dipinjam dan meminjamkan dilarang2. Sejak dekade tahun 1970-an, umat Islam diberbagai Negara telah berusaha untuk mendirikan bank-bank syariah, tujuan dan pendirian bankbank Islam ini pada umumnya adalah
untuk mempromosikan dan
mengembangkan aplikasi dari prinsip-prinhsip Islam, syariah Islam dan tradisinya ke dalam transaksi keuangan, perbankan dan bisnis-bisnis lain yang terkait prinsip utama yang dianut oleh bank-bank Islam adalah : a. Larangan riba (bunga) dalam berbagai bentuk transaksi. b. Menjalankan bisnis dan aktifitas perdagangan yang berbasis pada memperoleh keuntungan yang sah menurut syariah. 1
Undang-undang perbankan syariah dan surat berharga syariah, FM. Fokus Media, 2008 hal.83 2 Muhammad Syafi Antonio, 2002, Bisnis dan Perbankan Dalam Perspektif Islam, Tazkia Institute, Jakarta, hal-23.
xvi
c. Meningkatkan efektifitas dan efisiensi kegiatan zakat. Namun dalam perbankan konvensional terdapat kegiatan-kegiatan yang dilarang dalam syariat Islam, seperti menerima dan membayar bunga (riba), membayar produksi dan perdagangan barang-barang yang diharamkan, seperti minuman keras (khamr), kegiatan yang mendekati dengan gambling (maisir) untuk
tranksaksi-transaksi tertentu dalam
foreign exchange dealing serta higly and indeed speculative transaction (gharar) dalam investmen banking. Perbedaan mendasar dalam konsep pelaksanaan di bank konvensional dan bank syariah yaitu antara lain perbedaan konsep antara bunga dan bagi hasil, perbedaan antara investasi dan membungakan uang dan perbedaan antara utang uang dengan utang barang. Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang merupakan bank syariah pertama di Indonesia yang menggunakan prinsip bagi hasil, dalam operasionalnya juga berdasarkan aqidah dan moral Islam, sehingga akan tercapai keselamatan dan kesejahteraan dunia dan akherat. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka Penulis ingin mengangkat dalam sebuah penelitian yang berjudul : IMPLEMENTASI HUKUM KONTRAK
DALAM
PEMBIAYAAN
MURABAHAH
PADA
BANK
MUAMALAT INDONESIA (BMI) CABANG SURAKARTA. B. Perumusan Masalah. 1. Apakah pelaksanaan hukum kontrak dalam Pembiayaan Murabahah di Bank Muamalat Indonesia (BMI) Cabang Surakarta telah sesuai dengan prinsip-prinsip sebagaimana dalam hukum ekonomi syari’ah secara komprehensif ? 2. Bagaimanakah upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak kreditur bila debitur wanprestasi ? C. Tujuan Penelitian.
xvii
1. Tujuan obyektif : a. Untuk mengetahui pelaksanaan hukum kontrak dalam pembiayaan murabahah pada BMI Cabang Surakarta apakah telah sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi syariah secara komprehensif . b. Untuk mengetahui upaya apa yang dilakukan oleh pihak kreditur apabila
debitur
melakukan
pengingkaran
terhadap
kontrak
(wanprestasi). 2. Tujuan Subyektif : Untuk memenuhi sebagian persyaratan akademik guna mencapai derajat Magister Hukum dalam bidang Ilmu Hukum, konsentrasi utama : Hukum Ekonomi Syariah Di Program Studi Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. D. Manfaat Penelitian. 1. Manfaat Teoritis. a. Memberikan referensi kepada pembuat undang-undang dan penentu kebijakan untuk menyempurnakan hokum positif, khusunya regulasi-regulasi yang berkaitan dengan Hukum Ekonomi Syariah dan Lembaga Intermediasi Keuangan (Perbankan syariah). b. Memberikan penjelasan kepada masyarakat tentang konsep-konsep dan sistem operasional yang berlaku dalam perbankan syariah. c. Memberikan pengertian dan pemahaman sistem operasional dalam BMI dan khususnya BMI Cabang Surakarta, sehingga masyarakat dapat menentukan opsi yang dapat meyakinkan, yang berkaitan dengan pelaksanaan hukum kontrak. d. Agar sistem operasional dalam perbankan syariah dapat diterima oleh masyarakat dengan membandingkan sistem operasional dalam perbankan konvensional. 2. Manfaat Praktis.
xviii
a. Memberikan kontribusi kepada pembuat undang-undang dan penentu kebijakan dalam sistem operasional perbankan syariah yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. b. Mengetahui sistem operasional dalam perbankan syariah yang sesuai dengan sistem ekonomi syariah. c. Mengetahui upaya-upaya yang dilakukan BMI Cabang Surakarta terhadap Hukum Kontrak yang timbul adanya wanprestasi. d. Mengetahui dampak dari masing-masing hukum kontrak yang berlaku dalam perbankan syariah.
xix
BAB II LANDASAN TEORI
A. Implementasi Hukum Dalam pembahasan ini penulis sengaja menggunakan istilah “implementasi”3.
Kata
Implementasi
berasal
dari
bahasa
Inggris
“Implementation” yang artinya pelaksanaan, implementasi. Sedangkan dalam
Kamus
Besar
Bahasa
Indonesia
“Implementasi”
artinya
“pelaksanaan penerapan”4 Pengertian implementasi adalah sebagai proses yang melibatkan sejumlah sumber-sumber yang di dalamnya termasuk manusia, dana, kemajuan, organisasi, baik oleh pemerintah maupun swasta5. Dalam penelitian ini, implementasi dimaksudkan ialah proses pelaksanaan atau penerapan suatu aturan baik itu berupa undang-undang atau produk hukum lainnya yang telah ditetapkan oleh pemegang otoritas untuk itu dan berlaku dalam suatu komunitas masyarakat, lembaga maupun instansi. Menurut Mazmanian dan Sabatier sebagaimana dikutip oleh Solichin Abdul Wahab6, bahwa implementasi adalah pelaksanaan keputusan kebijaksanaan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Biasanya keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi dengan menyebutkan target secara jelas, tujuan dan sasaran yang hendak dicapai serta berbagai cara untuk mengatur proses pelaksanaan atau proses implementasinya. 3
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, 1995, cet XXI, PT. Gramedia, Jakarta hlm.144 4 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia , 1990, cet.ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, hlm.327 5 Joko Widodo, good governance telaah dari dimensi : Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi Pada Era Baru Desentralisasi dan Otonomi Daerah, 2007 Insan Cendekia, Surabaya, Hlm.193 6 Solichin Abdul Wahab, Analisa Kebijaksanaan dari Formulasi ke Implementasi kebijaksanaan Negara, 2007, PT.Bamu Aksara, Jakarta. Hlm.65
xx
Proses ini berjalan melalui tahapan tertentu., biasanya diawali dengan tahapan pengesahan undang-undang, disusul kemudian peraturan yang berbentuk pelaksanaan oleh lembaga atau instansi yang berwenang, kesediaan dilaksanakannya keputusan-keputusan tersebut oleh kelompokkelompok sasaran, dampak nyata baik yang dikehendaki maupun yang tidak dari output tersebut, dampak keputusan dan akhirnya perbaikanperbaikan
penting atau upaya untuk melakukan perbaikan-perbaikan
terhadap undang-undang atau peraturan yang bersangkutan7. Dalam ditentukan
pelaksanaan
suatu
peraturan,
keberhasilannya
sangat
oleh proses implementasi atas peraturan tersebut. Suatu
peraturan akan dapat berhasil dengan baik setidaknya ada 3 hal yang harus diperhatikan, ytiu tujuan yang hendak dicapai, sasaran yang spesifik dan cara untuk mencapai sasaran tersebut. Cara untuk mencapai sasaran tersebut yang biasa disebut dengan implementasi dan diterjemahkan ke dalam
perencanaan,
implementasi
kegiatan
seharusnya
dan
sudah
anggaran.
dirumuskan
pelaksananya, kelompok sasarannya, besar
Di
dalam
secara
aktifitas
jelas,
siapa
dana dan sumbernya,
manejemen program dan tolok ukur keberhasilan kinerja program. Pada tahapan implementasi ini merupakan tahapan yang amat penting dalam pelaksanaan dari keseluruhan suatu proses kebijakan. Peraturan atau kebijakan public sebaik apapun tanpa implementasi akan sia-sia. Dalam kaitan seperti ini implementasi adalah bagian mata rantai yang penting dalam suatu kebijakan public menuju kepada hasil yang diharapkan. Hukum adalah alat dan bukan tujuan, yang mempunyai tujuan itu adalah manusia. Akan tetapi karena manusia sebagai anggota masyarakat, tidak mungkin dapat dipisahkan dengan hukum, maka yang dimaksud dengan tujuan hukum adalah manusia dengan hukum sebagai alat untuk
7
Nuswantari, Implementasi Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kota Madiun, IPSO JURE, Terbitan I, volume I, Program Magister Ilmu Hukum Universitas Sebalas Maret, Surakarta, 2007, Hlm.43
xxi
mencapai tujuan itu8. Tujuan yang telah dipilih dan ditetapkan sudah barang tentu hendak diwujudkan di dalam masyarakat. Melalui hukumlah tujuan tersebut diterjemahkan dalam kenyataan sosial. Hukum diharapkan mampu sebagai sarana untuk memwujudkan tujuan tersebut karena pembangunan telah menghasilkan bermacam-macam tujuan yang ingin dicapai dalam waktu yang bersamaan. Melalui penormaan tingkah laku, hukum memasuki semua segi kehidupan manusia dan memberikan suatu kerangka bagi hubungan-hubungan
yang dilakukan oleh anggota
masyarakat satu terhadap yang lain.. Hukum merupakan The Normative Life of The State and Its Citizen9. Hukum menentukan serta mengatur bagaimana hubungan itu dilakukan dan bagaimana akibatnya, dan untuk itu hukum lalu menentukan tingkah laku mana yang dilarang dan mana yang diijinkan. Penormaan ini dilakukan dengan membuat kerangka umum dari suatu perbuatan yang diwujudkan dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan yang ada. Hukum agar dapat berlaku secara efektif harus memiliki aspek filosofis, yuridis dan sosiologis. Sedangkan tujuan hukum adalah menciptakan sebuah perdamaian dan tugas hukum adalah menciptakan ketertiban dan keadilan. Menurut Fuller, bahwa ukuran mengenai adanya sistem hukum yang baik didasarkan atas asas-asas yang disebut Principle of legality, yaitu : 1). Suatu sistem hukum harus mengandung suatu peraturan-peraturan yang tidak boleh mengandung sekedar keputusan-keputusan yang bersifat “ad hoc”; 2). Peraturan-peraturan yang telah dibuat harus diumumkan ; 3). Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut, oleh karenanya apabila ada yang demikian itu wajib ditolak, maka peraturan itu apabila dipakai sebagai pedoman prilaku dengan membolehkan peraturan secara berlaku surut berarti akan merusak integritas peraturan yang ditujukan untuk berlaku 8
Dudu Daswara Machmudin, Pengantar Ilmu Hukum Sebuah Sketsa, ctk. Pertama, refika Aditama Bandung, 2000, hl.23 9 Esmi Warsih, Op cit. Hlm.29
xxii
bagi waktu yang akan dating; 4). Peraturan harus disusun dalam rumusan yang bias dimengerti ; 5). Suatu sistem hukum itu tidak boleh mengandung peraturan yang bertentangan satu dengan yang lain; 6). Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan; 7). Tidak boleh ada kebiasaan untuk merubah peraturan sehingga menyebabkan seseorang akan kehilangan orientasi; 8). Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-hari10. Fungsi dan peran hukum dalam masyarakat sebagaimana sistematika Teori Hukum Thomas Aquinas11 mendasari pemahaman mengenai sosiologi hukum mendasarkan pada : a. Hakikat hukum. Secara umum hukum itu memiliki 2 (dua) jenis konsep : pertama, konsep hukum dalam arti umum, dan kedua, hukum sebagai sistem aturan. Hukum sebagai konsep umum, mempunyai tiga bagian, yaitu : hakikat hukum, jenis hukum dan pengaruh atau efek hukum. Sedangkan hakikat hukum ada 4 (empat) hal yang menjadi pokok kajian, yaitu : hubungan hukum dengan akal budi, tujuan hukum, asal usul hukum dan promulgasi (penyebarluasan atau sosialisasi) hukum. Hakekat hukum dapat
diterangkan
melalui
pola
pikir
silogistik
dengan
mempertentangkan beberapa keberatan sebagai premis-premisnya dan hasil analisis menjadi kesimpulan yang berisi menjawab pertanyaan. b. Hubungan hukum dan akal budi, Thomas Aquinas mengatakan bahwa hukum memiliki karakter memerintah dan melarang. Hukum adalah aturan dan ukuran perbuatan yang memerintah manusia untuk berbuat sesuatu atau melarang perbuatan itu. Lex (bahasa latin) bisa berarti undang-undang, berasal dari kata “ligare” yang artinya mengikat manusia untuk berbuat sesuatu. Pengertian tersebut mengandung 10
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, cet. Pertama, Angkasa, Bandung. 1986.
hlm. 2 11
RB. Soemanto, Hukum dan Sosiologi Lintasan Pemikiran, teori dan Masalah, Edisi Pertama, ctk. Pertama, Universitas Sebelas Maret Press, Surakarta. Hlm.81
xxiii
hakikat hukum adalah sesuatu yang termuat
dalam akal budi dan
gagasan tentang kehendak (misal : memerintah, mengarahkan) untuk tujuan tertentu. Sedangkan hakikat hukum, dijelaskan oleh Thomas Aquinas, sebagai berikut12 : (a)
Hukum sebagai aturan dan ukuran berlaku melalui cara mengatur dan mengukur. Jika yang mengatur dan mengukur itu akal budi, maka hukum itu di dalam akal budi.
(b) Hukum berlaku melalui hal-hal yang diatur dan diukur. Pelaksanaan pekerjaan dan hasilnya merupakan perbandingan konsep dari kegiatan akal budi, yaitu memahami atau menalar. Kegiatan menalar dan memahami dilakukan melalui tiga tahap, yaitu proses akal spekulatif, pembentukan preposisi dan penyusunan silogisme sebagai pekerjaan yang harus dikerjakan.
B. Teori Bekerjanya Hukum Hukum sebagai idealisme memiliki hubungan yang erat dengan konseptualisme keadilan secara abstrak. Apa yang dilakukan oleh hukum adalah untuk mewujudkan ide dan konsep keadilan yang diterima oleh masyarakatnya ke dalam bentuk yang konkrit, berupa pembagian atau pengolahan sumber-sumber daya kepada masyarakatnya. Hal demikian itu berkaitan erat dengan perkembangan masyarakat atau Negara yang berorientasi kesejahteraan dan kemakmuran. Hakekat dari pengertian hukum sebagai suatu sistem norma, maka sistem hukum itu merupakan cerminan dari nilai-nilai dan standar elit masyarakat, masing-masing mempunyai kepentingan sendiri-sendiri sesuai dengan kepentingan kelompok mereka. Pada hakekatnya hukum sebagai suatu sistem, maka untuk dapat memahaminya perlu penggunaan pendekatan sistem. Berbagai pengertian 12
ibid, hlm.83
xxiv
hukum sebagai sistem hukum dikemukakan antara lain oleh M. Frideman (dalam bukunya Ismi Warasih) bahwa hukum itu merupakan gabungan antara komponen struktur, substansi dan kultur. Komponen struktur yaitu kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum itu dengan berbagai macam fungsi dalam rangka mendukung bekerjanya sistem hukum tersebut. Komponen substantif yaitu sebagai output dari sistem hukum, berupa peraturan-peraturan, keputusan-keputusan yang digunakan baik oleh pihak yang mengatur maupun yang diatur. Komponen kultural yang terdiri dari nilai-nilai dan sikap-sikap yang
mempengaruhi bekerjanya
hukum (kultural hukum). Kultur hukum inilah yang berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara peraturan hukum dengan tingkah laku seluruh warga masyarakat. 13. Lawrence Meir Friedman mengemukakan tentang tiga unsure sistem hukum (Three Elements of Legal sistem). Ketiga unsur sistem hukum yang mempengaruhi bekerjanya hukum tersebut, yaitu : (1) Struktur Hukum (Legal Structure), (2) Substansi Hukum (Legal Substantie) dan (3) Kultur Hukum (Legal culture) 14. Komponen struktur yaitu kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum itu dengan berbagai macam fungsi dalam rangka mendukung bekerjanya sistem tersebut. Komponen ini dimungkinkan untuk melihat bagaimana sistem hukum itu memberikan pelayanan terhadap penggarapan bahan-bahan hukum secara teratur. Komponen substansi adalah aturan, norma dan pola prilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Substansi juga mencakup living law (hukum yang hidup) dan bukan hanya aturan yang ada dalam Kitab Undang-undang atau law in the books. 13
Esmi Warasih, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT. Suryandaru Utama, Semarang, Hlm.30 14 Ahmad Ali, 2001, Menjelajahi Kajian Empiris terhadap Hukum PT.Yasrif Watampone, Jakarta hlm.7-9
xxv
Komponen kultural yaitu terdiri dari nilai-nilai dan sikap-sikap yang mempengaruhi bekerjanya hukum yang berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara pertauran hukum dengan tingkah laku hukum seluruh warga masyarakat15. Secara singkat menurut Lawrence M. Friedman cara lain untuk menggambarkan ketiga unsur sistem hukum itu adalah sebagai berikut : a. Struktur hukum diibaratkan sebagai mesin. b. Substansi hukum adalah apa yang dikerjakan dan dihasilkan oleh mesin itu. c. Kultur hukum adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan bagaimana mesin itu digunakan. Paul dan Diaz mangajukan 5 (lima) syarat yang harus dipenuhi untuk mengefektifkan sistem hukum, yaitu : a. Mudah tidaknya makna aturan-aturan hukum itu untuk ditangkap dan dipahami. b. Luas tidaknya kalangan di dalam masyarakat yang mengetahui isi aturan-aturan hukum yang bersangkutan. c. Efisien dan efektif tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum. d. Adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak hanya mudah dijangkau dan dimasuki oleh setiap warga masyarakat, melainkan juga harus cukup efektif dalama penyelesaian sengketa-sengketa. e. Adanya anggapan dan pengakuan yang merata di kalangan warga masyarakat bahwa aturan-aturan dan pranata-pranata hukum itu memang sesungguhnya berdaya kemampuan yang efektif 16. Sistem hukum merupakan cerminan dari nilai-nilai dan standar elit masyarakat, masing-masing mempunyai kepentingan sendiri-sendiri sesuai dengan kepentingan kelompok mereka. Berbicara masalah hukum pada dasarnya membicarakan fungsi hukum di dalam masyarakat. Karena kebijakan dalam bidang hukum akan berimplikasi kepada masalah politik 15 16
Esmi Warrasih Op.Cit.hlm.30 Ibid hlm. 105-106
xxvi
yang sarat dengan diskriminasi terhadap kelompok lain. Untuk memahami bagaimana fungsi hukum, sedikitnya ada 4 (empat) bidang pekerjaan yang dilakukan oleh hukum, yaitu : a. Merumuskan hubungan-hubungan diantara anggota masyarakat dengan menunjukkan perbuatan-perbuatan apa saja yang dilarang dan yang boleh dilakukan. b. Mengalokasikan dengan menegaskan siapa saja yang boleh melakukan kekuasaan atau siapa berikut prosedurnya. c. Menyelesaikan sengketa yang timbul di dalam masyarakat. d. Mempertahankan kemampuan adaptasi masyarakat dengan cara mengatur kembali hubungan-hubungan diantara anggota masyarakat dengan menun jukkan perbuatan-perbuatan apa saja yang dilarang dan yang boleh dilakukan. Dari empat pekerjaan hukum tersebut, menurut Satjipto Rahardjo secara sosiologis dapat dilihat dari adanya 2 (dua) fungsi utama hukum. Yaitu : a. Social Control (kontrol sosial) Sosial kontrol merupakan fungsi hukum yang mempengaruhi warga masyarakat agar bertingkah laku sejalan dengan apa yang telah digariskan sebagai aturan hukum, termasuk nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat. Termasuk dalam lingkup kontrol sosial ini adalah : 1) Perbuatan norma-norma hukum, baik yang memberikan peruntukan maupun yang menentukan hubungan antara orang dengan orang. 2) Penyelesaian sengketa di dalam masyarakat. 3) Menjamin kelangsungan kehidupan masyarakat, yaitu dalam hal terjadi perubahan-perubahan sosial. b. Social engineering (rekayasa sosial). Penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai suatu tertib hukum atau keadaan masyarakat sebagaiman diinginkan oleh pembuat hukum. Berbeda dengan fungsi kontrol sosial yang lebih praktis, yaitu untuk kepentingan waktu sekarang, maka fungsi rekayasa sosial dari hukum
xxvii
lebih mengarah pada pembahasan sikap dan perilaku masyarakat dimasa mendatang sesuai dengan keinginan pembuat undang-undang. Perubahan-perubahan yang dikehendaki itu apabila berhasil pada akhirnya akan melembaga sebagai pola-pola tingkah laku yang baru dimasyarakat17. Robert B Seidman, menyatakan tindakan apapun yang diambil baik oleh pemegang peran, lembaga-lembaga pelaksana maupun pembuat undang-undang selalu berada dalam lingkup kompleksitas kekuatankekuatan soaial, budaya, ekonomi dan politik, dan hal-hal lain sebagainya. Seluruh kekuatan-kekuatan sosial itu selalu ikut bekerja dalam setiap upaya untuk memfungsikan peraturan-peraturan yang berlaku menerapkan sanksi-sanksinya, dan dalam seluruh aktivitas lembaga-lembaga pelaksanaannya18. Dengan demikian peranan yang pada akhirnya dijalankan oleh lembaga dalam pranata hukum itu merupakan hasil dari bekerjanya berbagai factor, Robert B Seidman mencoba untuk menerapkan padangan tersebut di dalam analisanya mengenai bekerjanya hukum dalam masyarakat yang dilukiskan dalam bagan sebagai berikut :
Bekerjanya kekuatan-kekuatan Personal & sosial
Pembuatan Undangundang Peraturan Umpan balik
Umpan balik Norma
17
Satjipto Rahardjo, 1986, masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru bandung, hlm. 119-
18
Esmi Warasih, Op.Cit. hlm.11-12
120.
xxviii
Penegakan Hukum
Pemegang Peranan Peran yang dimainkan
Bekerjanya kekuatan-kekuatan
Bekerjanya kekuatan-kekuatan
Personal & sosial
Personal & sosial Gambar 1
Teori Bekerjanya Hukum
Olehnya bagan itu diuraikan di dalam dalil-dalil sebagai berikut : a. Setiap penuturan hukum memberitahukan tentang bagaimana seorang pemegang peranan itu diharapkan bertindak. b. Bagaimana seorang pemegang peranan itu bertindak sebagai suatu respon terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturanperaturan yang ditujukan kepadanya, sanksi-sanksinya, aktivitas dan lembaga-lembaga pelaksana serta keseluruhan komplek kekuatan sosial, politik dan lainnya mengenai dirinya. c. Bagaimana lembaga-lembaga
pelaksana itu akan bertindak sebagai
respon terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturanperaturan hukum yang ditujukan kepada mereka, sanksi-sanksinya, keseluruhan komplek ketentuan-ketentuan sosial, politik dan lainlainnya yang mengenai diri mereka serta umpan balik yang datang dari para pemegang peranan. d. Bagaimana para pembuat undang-undang itu bertindak merupakan fungsi peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku mereka, sanksisanksinya, keseluruhan komplek ketentuan-ketentuan sosial politik, ideologis dan lain-lainnya yang mengenai diri mereka serta umpan balik datang dari para pemegang peranan.serta birokrasi. 19 19
Ibid hlm. 12
xxix
Selanjutnya dikatakan bahwa pelaksanaan penegakan hukum atau keefektifan hukum (yang tentunya juga pelaksanaan suatu kebijaksanaan atau suatu komitmen) bersangkutan dengan 5 (lima) faktor pokok yaitu : a. Faktor hukumnya sendiri b. Faktor penegak hukum c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum d. Faktor masyarakat yakni lingkungan dimana hukum berlaku atau diterapkan. e. Faktor budaya, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Kelima faktor tersebut saling berkaitan erat, karena merupakan esensi dari penegakan hukum dan merupkana tolok ukur dari efektivitas penegakan hukum. Menurut Radbruch, hukum harus mempunyai 3 (tiga) nilai idealis atau nilai dasar yang merupakan konsekuensi hukum yang baik, yaitu : a. Keadilan. b. Kemanfaatan/kegunaan . c. Kepastian hukum. 20 Disamping itu ada 3 (tiga) dasar berlakunya hukum atau undang-undang yaitu berlaku secara : filosofis, sosiologis, dan yuridis, sehingga nilai idealis atau nilai dan dasar berlakunya hukum atau undang-undang dapat berlaku sebagai berikut :
Keadilan
Filosofis
HUKUM Kegunaan
Sosiologi
Kepastian hukum 20
Yuridis
Satjipto Rahardjo, Op.Cit. hlm. 19-20
xxx
Gambar 2 Nilai Identitas dan Dasar Berlakunya
Agar hukum benar-benar dapat mempengaruhi perilaku warga masyarakat, maka hukum tadi harus seluas mungkin sehingga melembaga dalam masyarakat. Adanya alat-alat komunikasi tertentu, merupakan salah satu syarat bagi penyebaran serta pelembaga hukum. Komunikasi hukum tersebut dapat dilakukan secara formil yairu melalui suatu tata cara informal yang terorganisasikan dengan resmi. Disamping itu, maka ada salah satu batas di dalam penggunaan hukum sebagai sarana pengubah dan pengatur perilaku. Ini semua termasuk apa yang dinamakan difussi, yaitu penyebaran dari unsur-unsur kebudayaan tertentu di dalam masyarakat yang bersangkutan. Proses difussing tersebut antara lain dapat dipengaruhi oleh : a. Pengakuan bahwa unsur kebudayaan yang bersangkutan (di dalam hal ini hukum) mempunyai kegunaan. b. Ada tidaknya pengaruh dari unsur-unsur kebudayaan
lainnya yang
mungkin merupakan pengaruh negatif dan positif. c. Sebagai suatu unsur yang baru, maka hukum tadi mungkin akan ditolak oleh masyarakat, karena berlawanan dengan fungsi dan unsur lama. d. Kedudukan dan peranan dari mereka yang menyebarluaskan hukum, mempengaruhi efektifitas hukum di dalam merubah serta mengatur perilaku warga masyarakat. Menurut Lon Fuller, ada delapan nilai yang diwujudkan oleh hukum. Kedelapan nilai tersebut yang dinamakannya dengan prinsip legalitas adalah : a. Harus ada peraturan-peraturan terlebih dahulu, hal ini berarti bahwa tidak ada tempat bagi keputusan-keputusan secara ad-hoc, atau atau tindakan-tindakan yang bersifat arbiter.
xxxi
b. Peraturan-peraturan itu harus diumumkan secara layak . c. Peraturan-peraturan itu tidak boleh berlaku surut. d. Perumusan-perumusan peraturan-peraturan itu harus jelas dan terinci, ia harus dapat dimengerti oleh rakyat. e. Hukum tidak boleh meminta dijalankannya hal-hal yang tidak mungkin. f. Diantara sesama peraturan tidak boleh terdapat pertentangan satu sama lain. g. Peraturan-peraturan harus tetap, tidak boleh sering diubah-ubah. h. Harus terdapat kesesuaian antara tindakan-tindakan para pejabat hukum dan peraturan-peraturan yang telah dibuat. 21 Kegagalan untuk mewujudkan salah satu dari nilai-nilai tersebut bukan hanya menyebabkan timbulnya sistem hukum yang jelek, tetapi lebih daripada itu. Hukum yang demikian itu sama sekali tidak dapat disebut hukum.
C. Prinsip-Prinsip Dalam Ekonomi Syariah. Mencermati substansi pandangan M. M. Metwally yang dikutip oleh Gemala Dewi, dalam mengulas nilai atau prinsip dasar ekonomi Islam, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Nilai Khilafah. Merupakan fungsi kekhalifahan manusia di bumi sebagai pemegang amanah untuk mengelola segala isi alam untuk kepentingan dan keperluan hidupnya. 2. Nilai Kepemilikan Terbatas. Pelaku ekonomi harus menyadari bahwa perolehan dan hasil usaha yang dicapai bukanlah milik mutlak, melainkan sebagai amanah Tuhan yang harus dipertanggungjawabkan penggunaannya nanti. 3. Nilai Kerja Sama (ta’awun). 21
Ibid hal.13
xxxii
Nilai kerja sama menempatkan manusia sebagai subjek untuk saling membantu terhadap sesama dan tidak saling mengeksploitasi. 4. Nilai Solidaritas dan Distribusi Kekayaan. Pelaku ekonomi harus memiliki rasa solidaritas sesama manusia sehingga selalu bisa berbagi peluang dalam usaha pengembangan diri. Hal itu menyebabkan terjadinya distribusi kekayaan yang merata dan adil.
Tidak
dibenarkan
melakukan
akumulasi
kekayaan
dan
penimbunan barang untuk kepentingan sepihak. 5. Nilai Pemilikan Kolektif. Kepemilikan
terhadap sumber-sumber daya tertentu, berupa air,
padang rumput, dan api serta sarana umum lainnya tidak boleh dimiliki secara sepihak, melainkan harus dikendalikan oleh negara. 6. Asas Pertanggungjawaban Ganda22. Pelaku ekonomi tidak akan terbebas dari tanggung jawabnya, baik untuk sebuah proses yang benar dan halal maupun terhadap suatu proses yang salah dan haram, masing-masing akan diberikan ganjaran. Inilah konsekuensi nilai pertanggungjawaban yang tidak mungkin dihindarkan karena keyakinan akan adanya hari kiamat sebagai hari pembalasan. Deskripsi mengenai nilai dasar atau prinsip ekonomi Islam juga diberikan oleh Ali Yafie23. Menurutnya, secara prinsip terdapat empat pilar-pilar sebagai dasar dalam transaksi ekonomi, yaitu : 1. Tauhid. Sistem etika Islam yang meliputi kehidupan manusia dibumi secara keseluruhan selalu tercermin dalam konsep tauhid yang dalam pengertian absolut hanya berhubungan dengan Tuhan. Meskipun demikian, karena manusia bersifat ilahiah ini. Umat manusia tidak lain adalah wadah kebenaran dan harus memantulkan cahaya kemuliaan-
22
Gemala Dewi, Wirduaningsih dan Yeni Salma Barlinti, 2005, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, edisi I, ctk. pertama, Kencana, Jakarta 23 Ali Yafie, 2003. Fiqh Perdagangan Bebas, bandung, Teraju, hlm.21-24
xxxiii
Nya dalam semua manifestasi duniawi. Allah SWT., menegaskan hal ini dalam Firman-Nya sebagai berikut : ٍﺳَﻨُﺮِﯾْﮭِﻢْ اَﯾَﺘِﻨَﺎ ﻓِىﺎْﻷَﻓَﺎقِ وَﻓِﻰ أَﻧْﻔُﺴِﮭِﻢْ ﺣَﺘﻰﱠ ﯾَﺘَﺒَﯿﱠﻦَ ﻟَﮭُﻢْ أَﻧﱠﮫُ اﻟْﺤَﻖﱡ اَوَﻟﻢَْ ﯾَﻜْﻒِ ﺑِﺮَﺑﱢﻚَ أَﻧﱠﮫُ ﻋَﻠَﻰ ﻛُﻞﱢ ﺷَﻲْء ٥٣ ٌﺷَﮭِﯿْﺪ Artinya :Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu ? (QS. Fushilat : 53). Tauhid
pada
tingkatan
absolut
meningkatkan
makhluk
untuk
melakukan penyerahan tanpa syarat kepada kehendak Allah SWT., sebagaimana ditegaskan dalam surat Yusuf ayat 40 yang artinya, “ Keputusan hanya terletak pada Allah, yang telah memerintahkan untuk tidak menyembah selain Dia”. Dalam ayat lain ditegaskan pula yang artinya, “ Katakanlah, sesungguhnya shalatku, pengurbananku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan Semesta Alam”. (QS. Al An’am : 162). Secara substantif, nilai tauhid mengandung dua dimensi utama, yaitu sebagai berikut : Pertama, tauhid rububiyah, artinya keyakinan bahwa semua yang ada di alam ini adalah milik Allah dikuasai langsung olehNya. Kedua, tauhid uluhiyah, artinya keyakinan bahwa dengan aturan Nya lah segala makhluk menjalankan kehidupannya. Kedua nilai yang terkandung di dalam
tauhid itu, oleh Rasulullah diterapkan dalam
setiap kegiatan ekonomi. Setiap harta (asset) dalam transaksi bisnis hakikatnya adalah milik Allah dan pelaku ekonomi hanyalah mendapatkan amanah mengelola. Oelh karena itu, setiap aset dan anasir transaksi harus dikelola sesuai dengan ketentuan pemilik yang hakiki, yakni Allah SWT. Dengan kepeloporan Nabi Muhammad SAW., dalam meninggalkan praktek riba’ (unsury-interest), transaksi fiktif (gharar), perjudian spekulasi (maysir) dan komoditi haram merupakan wujud dan keyakinan tauhid tersebut.
xxxiv
2. Keseimbangan (Adil). Dalam pandangan Islam, sistem kehidupan berasal dari sebuah persepsi Ilahiah mengenai keharmonisan alam. Dalam perspektif Islam, keberagaman harus diseimbangkan agar menghasilkan tatanan sosial yang baik, sebagaimana dinyatakan dalam Firman Allah : ٤٩.ٍاِﻧﱠﺎ ﻛُﻞﱠ ﺷَﻲْءٍ ﺧَﻠَﻘْﻨَﮫُ ﺑِﻘَﺪَر Artinya : Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran (QS. Al Qamar : 49). Nilai keseimbangan atau keharmonisan sosial tidaklah dalam makna yang statis, melainkan lebih bersifat dinamis yang senantiasa mengerahkan segala kekuatan untuk menentang segenap ketidakadilan. Keseimbangan juga harus mewujudkan dalam kehidupan ekonomi yang menjunjung tinggi kejujuran dan keadilan. Profit and loss sharing principle (bagi hasil) boleh dikatakan sebagai represtasi model yang berimbang dan adil. 3. Kehendak bebas. Salah satu kontribusi yang paling orisinil dalam filsafat sosial adalah konsep mengenai kebebasan. Hanya Tuhanlah yang mutlak bebas, tetapi dalam batas-batas skema penciptaan-Nya, manusia juga relatif bebas dengan kemahatauan Tuhan atas segala kegiatan manusia selama di bumi. Prinsip kebebasan inipun mengalir
dalam kegiatan ekonomi Islam.
Prinsip transaksi ekonomi adalah halal, seolah-olah mempersilahkan para
pelakunya
melaksanakan
kegiatan
ekonomi
sesuai
yang
diinginkan, menumpahkan kreatifitas, modifikasi dan ekspansi seluas dan sebesar-besarnya, bahkan transaksi bisnis dapat dilakukan dengan siapapun secara lintang agama. Berkaitan dengan hal ini , Nabi Muhammad SAW., telah memberikan banyak diskripsi termasuk selama kerja sama bisnis yang dapat dieksplorasi diluar praktek riba yang dilaksanakan masyarakat ketika
xxxv
itu. Model usaha tersebut antara lain, mudharabah, musyarakah, murabahah, ijarah, wakalah, salam, istishna dan sebagainya. 4. Pertanggungjawaban (Al-Muhasabah) Prinsip pertanggungjawabn ini telah diwariskan oleh Nabi Muhammad SAW., terutama dalam kerangka dasar etika dan bisnisnya. Kebebasan harus dibarengi dengan pertanggungjawaban manusia yang harus manjalani konsekuensi logisnya, setelah menentukan daya pilih antar yang baik dan buruk. Allah SWT. befirman : ٣٨ ﻛُﻞﱡ ﻧَﻔْﺲٍ ِﺑﻤَﺎ ﻛَﺴَﺒَﺖْ رَھِﯿْﻨَﺔ Artinya : “ Tiap-tiap diri bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnya. (QS. Al Mudatsir : 38) Wujud dari etika sebagai implementasi dari prinsip ini adalah terbangunnya transaksi yang fair dan bertanggungjawab. Nabi mencontohkan sebuah integritas yang tinggi dalam memenuhi segenap klausul kontraknya dengan pihak lain, misalnya dalam hal pelayanan kepada pembeli, pengiriman barang secara tepat waktu, dan kualitas barang yang dikirim. Disamping itu beliaupun kerap mengaitkan suatu proses ekonomi dengan pengaruhnya terhadap masyarakat dan lingkungan. Untuk itu Nabi melarang memperjualbelikan produkproduk tertentu yang dapat merusak masyarakat dan lingkungan. Dengan mendasarkan analisis pada sejumlah kategorisasi prinsip-prinsip ekonomi Islam dari sejumlah pakar tersebut, Muslimin selanjutnya menegaskan lima prinsip dasar ekonomi Islam, yaitu sebagai berikut : 1. Prinsip tauhid. Prinsip ini merupakan yang paling fundamental dalam ajaran Islam sekaligus sebagai misi utama Rasulullah yang harus disampaikan (tablig) kepada seluruh manusia di bumi. Prinsip tauhid dalam ekonomi Islam begitu esensial karena mengandung ajaran kepada manusia, agar dalam hubungannya dengan Allah (ibadah) dan
xxxvi
hubungan kemanusiaan (muamalah) sama pentingnya dan harus diseimbangkan. 2. Prinsip keseimbangan. Setiap proses dalam kegiatan ekonomi Islam harus didasarkan pada prinsip kesimbangan. Maksud dari kesimbangan disini bukan hanya berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan duniawi dan ukhrawi, tetapi juga berkaitan dengan keseimbangan antara kepentingan individu dengan kepentingan kolektif (umum) serta kesimbangan antara lahir dan batin. Implementasi keseimbangan dalam ekonomi Islam mencakup juga keseimbangan dalam mendistribusikan kekayaan yang dimiliki oleh negara melalui hasil pendapatan, seperti zakat, sedekah, ghanimah (harta rampasan perang), fai (harta rampasan perang tidak melalui peperangan), kharaj (pajak atas daerah yang ditaklukan dalam perang), ushr (zakat tanaman) dan seterusnya. 3. Prinsip Khilafah. Keberadaan manusia sebagai khalifah (wakil) Tuhan dimuka bumi, harus menjalankan aturan dan hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh pemberi mandat kekhalifahan. Eksistensi manusia sebagai pemegang amanah dan pemimpin, secara eksplisit tercantum dalam Al Qur’an surat Al-Baqarah ayat 30, Al-An’am : 165, Shad : 28 dan Al Hadid : 57. 4. Prinsip Keadilan. Salah satu prinsip terpenting dalam proses ekonomi berbasis Islam ialah keadilan. Berperilaku adil tidak hanya didasarkan pada ayatayat Al Qur’an dan Sunnah Rasul, tetapi juga didasarkan pada pertimbangan hukum alam yang diciptakan berdasarkan prinsip keseimbangan dan keadilan. Implementasi keadilan dalam proses pembangunan ekonomi sangat penting untuk diwujudkan. Dalam pandangan Ibnu Taimiyah,
xxxvii
Tuhan akan mendukung proses pemerintahan yang adil walaupun kafir dan Tuhan tidak akan mendukung proses pemerintahan yang zalim walaupun Islam. Prinsip keadilan ini harus terwujud dalam segala dimensi kehidupan. Bila hal ini tidak terlaksana, maka penindasan, kekerasan, dan eksploitasi akan terus berlangsung. Keadilan merupakan ruh dari penerapan nilai-nilai kemanusiaan, keharmonisan, dan kesejahteraan dalam kehidupan sosial.
D. Konsepsi Hukum Kontrak Syariah 1. Hukum Kontrak/akad. Di dalam Al Qur'an yang berhubungan dengan hukum kontrak antara perjanjian, yaitu : al-aqdu (akad) dan al-ahdu (janji). Menurut Abdul Manan24 yang dimaksud hukum kontrak dalam Islam disebut dengan " Akad" yang berasal dari bahasa Arab " Al-Aqdu", yang berarti perbuatan perjanjian, kontrak atau permufakatan (al-ittifaq) dan transaksi. Pengertian akad secara bahasa adalah ikatan, mengikat. Dikatakan ikatan (ar-rabt) maksudnya adalah menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali yang mengikatkan salah satunya pada ujung yang lainnya hingga keduanya bersambung dan menjadi seutas tali yang satu.25 Secara Etimologi akad berarti "ikatan" yaitu ikatan antara ujung sesuatu (dua perkara), baik ikatan secara nyata maupun ikatan secara abstrak dari satu sisi atau dua sisi26. Etimologi akad menurut M. Hasby Ash-shiddieqy adalah " mengikat ", yaitu mengumpulkan dua ujung tali dan mengikat salah satunya dengan yang lain, sehingga
24
Abdul Manan, Hukum Kontrak Dalam Sistem Ekonomi Syariah, Makalah, MARI,
2008 25
Ghufron A. Masadi, Fiqh Muamalah Kontekstual, cet.I (Jakarta Raya Grafindo Persada, 2002) hal.75 26 Muhammad Firdaus NH. dkk, Cara Mudah Memahami Akad-akad Syariah, Renaisan Jakarta, 2005, hlm.12
xxxviii
bersambung, kemudian keduanya menjadi satu benda27. Akad diartikan juga sebagai " sambungan ", yaitu sambungan yang memegang kedua tepi itu dan mengikatnya. Akad juga diartikan sebagai " janji " sebagai mana dijelaskan dalam QS.Al-Maidah (5);1, : " Hai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janjimu ". Sedangkan Terminologi, akad (perjanjian) dapat ditinjau dari segi secara umum dan khusus : 1. Pengertian umum : Secara umum, pengertian akad dalam arti luas hampir sama dengan pengertian akad dari segi bahasa, Menurut pendapat Ulama Syafi'iyah, Malikiyah dan Hanabilah akad adalah segala sesuatu yang dikerjakan seseorang berdasarkan keinginan sendiri, seperti Wakaf,
talak,
pembebasan
atau
sesuatu
pembentukannya
membutuhkan keinginan dua orang seperti jual beli, sewa menyewa, perwakilan dan gadai. 2. Pengertian khusus : Pengertian akad secara khusus adalah perikatan ( yang ditetapkan dengan) ijab dan qobul berdasarkan ketentuan syara yang berdampak pada objeknya.contoh, ijab adalah pernyataan seorang pejual "saya telah menjual barang ini kepadamu" atau sejenisnya. Dengan demikian, ijab qobul adalah suatu perbuatan atau pernyataan untuk menunjukan suatu keridhaan dalam berakad diantara dua orang atau lebih. Berdasarkan pengertian tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan akad (perjanjian) adalah suatu yang sengaja dilakukan oleh kedua belah pihak berdasarkan persetujuan masingmasing. Menurut Afzalur Rahman seperti yang dikutip M. Syafii Antonio, dalam prinsip ekonomi syariah, akad yang dilakukan berdasarkan 27
M. Hasby Ash-Shiddieqy, dalam Hendi Suhendi, fiqh Muamalah, Rajawali Press, Jakarta, 2002. Cet.1 hlm.56
xxxix
hukum Islam. Sering kali nasabah (pelaku bisnis ) berani melanggar kontrak yang telah dilakukan bila hukum itu hanya berdasarkan hukum positif belaka, tetapi tidak demikian dengan kontrak tersebut memiliki pertanggung jawaban hingga yaumil qiyamah ( hari qiyamat ) nanti. Setiap akad dalam ekonomi syariah, baik dalam hal barang ( objek ), pelaku transaksi (subjek), maupun ketentuan lainya, harus memenuhi ketentuan syarat dan rukunya. Sedangkan menurut pasal 20 ayat (1) Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah ( KHES ) adalah " kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu ". dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
yang dimaksud dengan akad adalah suatu yang disengaja
dilakukan oleh kedua belah pihak berdasarkan persetujuan masingmasing. Perikatan bisa berarti al-'aqdu (akad ), dan juga berarti al-'ahdu (janji). Istilah al-'aqdu bisa disamakan dengan istilah verbintenis dalam KUH perdata. Sedangkan istilah al-'ahdu dapat disamakan dengan istilah perjanjian overeenkomst, yaitu suatu pernyataan dari seseorang untuk mengerjakan sesuatu yang tidak berkaitan dengan orang lain28. Istilah ini terdapat dalam QS. Ali Imron ayat 76 yang artinya : "sebenarnya siapa yang menepati janji yang dibuatnya dan bertaqwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa" Menurut Jumhur Ulama, akad adalah pertalian antara ijab dan qabul yang dibenarkan oleh syara' yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya29. Menurut Abdoerraoef, bahwa terjadinya suatu perikatan (al-'aqdu) adalah melalui tiga tahap, yakni : pertama, al-'aqdu, yaitu pernyataan 28
Fathurrahman Jamil, Hukum Perjanjian Syariah Dalam KompilasiHukum Perikatan oleh Mariam darus Badrulzaman et al., cet.1, Citra AdityaBhakti, Bandung, 2001, hlm.247 . 29 Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalah, (Hukum Perdata Islam), ed. Revisi, UII Press, Yogyakarta, 2001, hlm.65., dan TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, cet.1, ed.2, Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm.14.
xl
dari seseorang untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dan tidak ada sangkut pautnya dengan kemauan orang lain. janji ini mengikat orang yang mengatakanya untuk melaksanakan janji tersebut. Kedua, persetujuan, yaitu pernyataan setuju dari pihak kedua untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu sebagai reaksi terhadap janji yang dinyatakan oleh pihak pertama. Ketiga, apabila perjanjian telah dilaksanakan kedua belah pihak, maka terjadilah apa yang dimaksud dengan al-'aqdu30. Makna dan pengertian perikatan (akad) dalam konsep ekonomi syariah, sebagaimana diuraikan diatas, tidak jauh berbeda dengan perikatan yang dikemukakan oleh Subekti yang didasarkan pada KUH perdata. Perikatan menurut Subekti adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Sedangkan perjanjian menurut Subekti adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang yang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal31. Perbedaan proses perikatan antara hukum Islam dengan KUH perdata adalah mengenai tahap perjanjiannya. Pada hukum perikatan islam, janji pihak pertama terpisah dari janji pihak kedua, baru kemudian lahir perikatan. sedangkan pada KUH perdata, perjanjian antar pihak pertama dan pihak kedua adalah satu tahap yang kemudian menimbulkan perikatan diantara mereka. Sementara menurut Abd.Gani Abdullah, dalam perikatan Islam titik tolak yang paling membedakan adalah pentingnya unsur ikrar (ijab dan qabul) dalam tiap transaksi. Apabila dua janji antara para pihak
30
Abdoerraoef, Al-Qur'an dan Ilmu Hukum, NA Comparative Study, Bulan Bintang, Jakarta, 1970, hlm.122-123.. 31 Subekti, Hukum Perjanjian, cet.14., Intermasa, Jakarta, 1992, hlm.1
xli
tersebut disepakati dan dilanjutkan dengan ikrar, maka terjadilah 'aqdu32. a. Unsur-unsur akad.
Sebelum terjadi akad dalam perjanjian/perikatan harus terwujud terlebih dahulu adanya beberapa unsur dari perikatan itu sendiri yang terdiri dari : 1. Shigat al-aqad yaitu : suatu yang didasarkan dari dua belah pihak yang berakad yang menunjukkan atas apa yang ada dihati keduanya tentang terjadinya akad. Hal ini dapat diketahui dengan ucapan, isyarat dan tulisan (sighat yang biasa disebut ijab kabul). 2. Akad dengan perbuatan yaitu perbuatan yang menunjukkan saling meridloi. 3. Akad dengan isyarat bagi yang tidak agi yang tidak bisa berbicara, bagi yang bisa berbicara tidak diperkenankan melakukan akad dengan isyarat, melainkan harus dengan lisan, tulisan atau perbuatan. Lebih rinci Gemala Dewi, juga menguraikan ada tiga unsur yang terkandung dalam akad, yaitu : 1. Pertalian ijab dan dan kabul. Ijab adalah pernyataan kehendak oleh suatu pihak (maujib) untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Kabul adalah pernyataan menerima atau menyetujui kehendak mujib tersebut kepada pihak lain (qaabil). Ijab dan kabul ini harus ada dalam melaksanakan sesuatu perikatan. 2. Dibenarkan oleh syara’. Akad yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan syariah atau hal-hal yang diatur dalam Al Qurán dan Hadits. Pelaksanaan akad, tujuan akad, maupun obyek akad, tidak boleh bertentangan dengan syariah. Jika bertentangan mengakibatkan akad tersebut tidak sah. . 3. Mempunyai akibat hukum terhadap obyeknya. Akad merupakan salah satu tindakan hukum terhadap obyek hukum (tasharuf). Adanya akad menimbulkan akibat hukum terhadap obyek hukum yang diperjanjikan oleh para pihak dan juga memberikan konsekuensi hak dan kewajiban yang mengikat para pihak. 32
Abdul Gani Abdullah, dalam Gemala Dewi dkk., Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2005, hlm.48.
xlii
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam rangka mewujudkan akad, secara detail ada dua syarat yaitu : 1. Syarat umum, yaitu syarat-syarat yang wajib sempurna wujudnya dalam segala hal macam akad. 2. syarat khusu yaitu syarat-syarat yang diisyaratkan wujudnya dalam sebagian akad, tidak dalam sebagian yang lain. Syaratsyarat ini bisa disebut syarat tambahan (idhofiyah) yang harus ada disamping syarat-syarat umum, seperti adanya saksi. b. Rukun dan Syarat Akad.
Di dalam melaksanakan suatu perikatan, terdapat rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Rukun menurut bahasa adalah yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan33. Sedangkan syarat adalah ketentuan (peraturan/petunjuk) yang harus diindahkan dan dilakukan34.
Dalam
syariah,
rukun
dan
syarat
sama-sama
menentukan sah atau tidaknya suatu transaksi. Rukun menurut terminologi adalah suatu unsur yang merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau tidak adanya sesuatu itu35. Sedangkan syarat menurut terminologi adalah sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar'i dan ia berada di luar hukum itu sendiri yang ketiadaanya menyebabkan hukum pun tidak ada36. Perbedaan antara rukun dan syarat adalah bahwa rukun merupakan sifat yang padanya tergantung keberadaan hukum dan ia termasuk dalam rukun itu sendiri. Sedangkan syarat merupakan sifat yang kepadanya bergantung keberadaan hukum, tetapi ia berada diluar hukum itu sendiri37.
33
Departemen Pendidikan Nasional, kamus Besar Bahasa Indonesia, balai pustaka, jakarta, 2002, hlm.966 34 Ibid hlm 1114 35 Abdul Aziz Dahlan, ed.Ensiklopedi Hukum Islam,, jilid.5, ikhtiar Baru Van Hoeve, jakarta, 1996, hlm.1510 36 Ibid hlm.1691. 37 Ibid hlm.1692.
xliii
Adapun rukun-rukun akad menurut pasal 22 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah terdiri dari 4 (empat) macam yakni : a) pihak-pihak yang berakad; b) obyek akad; c) tujuan pokok akad; dan d) kesepakatan. Pihak-pihak yang berakad menurut pasal 23 KHES adalah orang, persekutuan, atau badan usaha yang memiliki kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum. Sedangkan yang dimaksud dengan obyek akad menurut pasal 24 KHES adalah amwal atau jsa yang dihalalkan yang dibutuhkan oleh masing-masing pihak. Dan tujuan akad sebagaimana diatur dalam pasal 25 KHES, yakni akad bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan pengembangan usaha masing-masing pihak yang mengadakan akad. Menurut Jumhur 'Ulama rukun akad meliputi : a) al-'aqidaini, b) mahallul 'aqdi, dan c) sighat al-'aqd. Selain ketiga rukun tersebut, menurut Musthafa al-Zarqa ada satu lagi yakni maudlu'ul aqdi (tujuan akad); ia bukan merupakan rukun, akan tetapi merupakan unsur penegak akad (muqawimat 'aqd)38. Sedangkan menurut TM Hasbi Ash-Shiddieqy, keempat tersebut merupakan komponen-komponen
yang harus dipenuhi untuk terbentuknya
suatu akad39. a) Al-'aqidaini (subyek perikatan) ; Adalah para pihak yang melakukan akad. Sebagai pelaku dari suatu tindakan hukum tertentu, yang faham hal ini tindakan hukum akad (perikatan), dari sudut hukum adalah
sebagai
subyek hukum. Subyek hukum sebagai pelaku perbuatan hukum
38
Gemala Dewi, dkk.Op.cit. hlm.79. TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, cet.1, ed.2., Pustaka RizkyPutra, Semarang. 2000. hlm.23. 39
xliv
seringkali diartikan sebagai pihak pengemban hak dan kewajiban. Subyek hukum terdiri dari manusia dan badan hukum. Manusia adalah pihak yang dapat dibebani hukum (mukallaf), yakni orang-orang yang telah dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan Allah SWT., baik yang terkait dengan perintah maupun larangan-laranganNya. Menurut pasal 2 ayat (1) KHES, bahwa seseorang dipandang memiliki kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum dalam hal telah mencapai umur paling rendah 18 tahun atau pernah menikah. Selanjutnya dalam pasal 3 ayat (1 dan 2) disebutkan bahwa dalam seorang anak belum berusia 18 tahun dapat mengajukan permohonan pngakuan cakap melakukan perbuatan hukum kepada Pengadilan, dan pengadilan dapat mengabulkan dan/atau menolak permohonan pengajuan cakap melakukan perbuatan hukum. Badan hukum adalah badan yang dianggap dapat bertindak dalam hukum dan yang mempunyai hak-hak, kewajibankewajiban, dan berhubungan hukum terhadap orang lain atau badan hukum40. Badan hukum ini memiliki kekayaan terpisah dari perseorangan. Meskipun pengurus badan hukum silih berganti, ia tetap memiliki kekayaan tersendiri. Badan hukum bisa berupa negara, daerah otonomi, perusahaan atau yayasan. b) Mahallul 'aqd (obyek perikatan), Adalah sesuatu yang dijadikan obyek akad dan dikenakan padanya akibat hukum yang ditimbulkan. Bentuk obyek akad dapat berupa benda berujud, seperti mobil, rumah dan lain-lain maupun benda tidak berujud, seperti manfaat.
40
R. Wirjono Pjodjodikoro, Asas-asa Hukum Perdata, cet.8. SumurBbandung.,1981,hlm.23.
xlv
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam mahallul 'aqd adalah a) obyek perikatan telah ada ketika akad dilangsungkan., b) obyek perikatan dibenarkan oleh syara'., c) obyek akad harus jelas dan dikenali, dan d) obyek akad dapat diserah terimakan. Mahallul 'aqd disebut juga dengan al-ma'qud 'alaih, yaitu obyek akad atau benda-benda yang dijadikan akad. Bentuknya dapat berbentuk harta benda seperti barang dagangan, berbentuk bukan harta, seperti akad pernikahan dan dapat pula berbentuk suatu kemanfaatan seperti dalam upah mengupah. Adapun syarat-syarat dalam obyek akad adalah meliputi : 1) Ma'qud 'alaih (barang) harus ada ketika akad. Maka tidak sah menjual kambing yang masih dalam kandungan induknya ataua membeli sesuatu yang masih dalam tanah., 2) Ma'qud 'alaih harus masyru' (sesuai dengan ketentuan syara'), maka tidak sah barang yang diharamkan syara', seperti bangkai, minuman keras. 3) Ma'qud 'alaih dapat diberikan pada waktu akad. Tidak seperti jual burung yang masih terbang, harta yang diwakafkan. Maka dapat dipandang terjadi akad., dan 5) Ma'qud 'alaih harus suci yaitu tidak najis atau mutanajis (terkena najis) . c) Sighat akad (ijab dan kabul) Adalah suatu ungkapan para pihak yang melakukan akad berupa ijab dan kabul.. ijab adalah suatu pernyataan janji atau penawaran dari pihak pertama untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kabul adalah suatu pernyataan menerima dari pihak kedua atas penawaran yang dilakukan oleh pihak pertama. Ijab dan kabul dapat dilakukan dengan empat cara, yakni41 : 1) Lisan, para pihak mengungkapkan kehendaknya dalam bentuk perkataan secara jelas. 2) Tulisan, hal ini 41
Azhar Basyir, Op.Cit. 68-71.
xlvi
dilakukan oleh para pihak yang tidak dapat bertemu langsung atau untuk perikatan-perikatan yang sifatnya lebih sulit. Seperti perikatan yang dilakukan oleh suatu badan hukum, karena sangat dibutuhkan alat bukti dan tanggungjawab terhadap orangorang yang bergabung dalam suatu badan hukum tersebut., 3) Isyarat, suatu perikatan tidak lah hanya dilakukan oleh orang normal, orang-orang cacatpun dapat melakukan suatu perikatan (akad). d) Tujuan perikatan (maudlu'ul 'aqd). Adalah tujuan dan hukum suatu akad disyariatkan untuk tujuan tersebut. Dalam hukum Islam tujuan akad ditentukan oleh Allah dan dalam Al Qur'an dan Al-Hadits Nabi Muhammad SAW. Menurut Azhar Basyir, bahwa syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu tujuan akad dipandang sah dan memiliki akibat hukum, adalah : a) Tujuan akad tidak merupakan kewajiban yang telah ada atas pihak-pihak yang bersangkutan tanpa akad yang diadakan. b) Tujuan harus berlangsung adanya hingga berakhirnya pelaksanaan akad, dan tujuan akad harus dibenarkan oleh syara'. Di dalam KHES disebutkan berbagai jenis akad (pasal 56 s/d 673) yang meliputi : 1. Bai' (jual beli) terdiri dari : bai' salam, bai' istishna, bai' al wafa, dan jual beli murabahah. 2. Syirkah yang meliputi : syirkah amwal, syirkah abdan, syirkah muwafadhah, syirkah inan, syirkah musytarawah, dan syirkah milik. 3. Mudharabah dan lain-lain. c. Asas-Asas Dalam Kontrak/Akad.
xlvii
Dalam ekonomi syariah, akad/perjanjian yang dilakukan memiliki konskuensi duniawi dan ukhrawi karena dilakukan berdasarkan hukum Islam. Produk apapun yang dihasilkan termasuk di dalamnya perbankan syariah, tidak akan terlepas dari proses transaksi atau perjanjian yang dalam istilah fiqh muamalah disebut akad42. Ada beberapa asas yang harus dipenuhi di dalam menetapkan akad/perjanjian. Di dalam Bab II pasal Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah disebutkan asas akad/perjanjian antara lain : b. Ikhtiyari/sukarela: setiap akad dilakukan atas kehendak para pihak, terhindar dari keterpaksaan karena tekanan salah satu pihak atau pihak lain. c. Amanah/menepati janji: setiap akad wajib dilaksanakan oleh para pihak sesuai dengan kesepakatan yang ditetapkan oleh yang bersangkutan dan pada saat yang sama terhindar dari cidera janji. d. Ikhtiyati/kehati-hatian:
setiap
akad
dilakukan
dengan
pertimbangan yang matang dan dilaksanakan secara tepat dan cepat. e. Luzum/tidak berobah: setiap akad dilakukan untuk memenuhi kepentingan para pihak sehingga tercegah dari praktek manipulasi dan merugikan salah satu pihak. f. Taswiyah/kesetaraan: para pihak dalam setiap akad memiliki kedudukan yang setara, mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang. g. Transparansi: setiap akad dilakukan dengan pertanggung jawaban para pihak secara terbuka.
42
Gemala Dewi, SH.MH., Aspek-aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, Edisi revisi, Kencana Prenada Media Group, Cet.IV, 2007, hlm.1000
xlviii
h. Kemampuan; setiap akad dilakukan sesuai dengan kemampuan para pihak, sehingga tidak menjadi beban yang berlebihan bagi yang bersangkutan. i. Taisir/kemudahan; setiap akad dilakukan sesuai dengan cara saling memberi kemudahan kepada masing-masing pihak untuk dapat terlaksananya sesuai dengan kesepakatan j. Iktikad baik; akad dilakukan dalam rangka menegakkan kemaslahatan, tidak mengandung unsur jebakan dan perbuatan buruk lainnya. k. Sebab yang halal; tidak bertentangan dengan hukum, tidak dilarang oleh hukum dan tidak haram. Disamping jenis asas-asas yang tersebut diatas, ada lagi pendapat yang disampaikan oleh Syamsul Anwar, ia menyebutkan ada 8 asas perjanjian di dalam Hukum Islam, yaitu : 1. Asas Ibahah (Mabda'al-Ibahah) Asas Ibahah adalah asas umum hukum Islam dalam bidang muamalah. Asas ini dirumuskan dalam adagium " pada dasarnya segala sesuatu itu boleh sampai ada dalil yangmelarang". Asas ini merupakan kebalikan dari asas yang berlaku
dalam hal
ibadah. Khususnya di dalam perjanjian, ini berarti bahwa tindakan hukum dan perjanjian apapun dapat dibuat sejauh tidak ada larangan khusus mengenai perjanjian tersebut. 2. Asas Kebebasan Berakad (Mabda' Hurriyah at-Ta'aqud) Suatu prinsip hukum yang menyatakan bahwa setiap orang dapat membuat akad jenis apapun tanpa terikat dan memasukkan klausal apa saja ke dalam akadnya itu sejauh tidak ada unsur kebatilan di dalamnya. 3. Asas Konsensualisme (Mabda'ar-Radhaiyah)
xlix
Asas ini menyatakan bahwa terciptanya suatu perjanjian cukup dengan tercapainya kata sepakat antar para pihak tanpa perlu dipenuhinya formalitas-formalitas tertentu 4. Asas janji itu mengikat. Dalam Al-Qur'an banyak terdapat perintah untuk memenuhi janji. Juga dalam Hadits Shahih, salah satu ciri sebagai munafiq ialah bila berjanji tidak mau menepati janjinya. 5. Asas Keseimbangan (Mabda' at-Tawazun fi al-Muawadah) Dalam hukum perjanjian Islam menekankan perlu adanya keseimbangan baik apa yang diberikan dengan apa yang diterima. 6. Asas Kemaslahatan (tidak memberatkan) Akad ini dibuat dengan tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan dan tidak boleh menimbulkan kerugian (mudharat) atau keadaan memberatkan (masyaqah). 7. Asas Amanah. Masing-masing
pihak
haruslah
beriktikad
baik,
tidak
diperkenankan memanfaatkan mengeksploitasi ketidaktahuan mitranya dan hendaknya diberikan informasi yang cukup dan jujur kepada pihak yang lain. 8. Asas Keadilan. Keadilan inilah yang ingin diwujudkan oleh semua hukum. Dalam
hukum
Islam,
keadilan
adalah
perintah
agama
sebagaimana Firman Allah dalam Al Qur'an Surat Al-Maidah : 8 yang artinya " Berlakulah adil, karena adil itu lebih dekat dengan taqwa".43 Masih ada lagi pendapat yang berkenaan dengan asas akad atau perjanjian, sebagaimana pendapat yang disampaikan oleh
43
Prof Dr. H. Abdurrahman, SH. Hukum Perjanjian Syariah di Indonesia, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2008, hal.37
l
Fathurrahman Djamil yang menyebutkan bahwa akad itu ada 6 asas, yaitu : 1. Asas Al-Hurriyah (kebebasan) 2. Asas Al-Musawah (persamaan dan kesetaraan) 3. Asas Al-'Adalah (keadilan) 4. Asas Ar-Ridha (kerelaan) 5. Asas Ash-Shidq (kejujuran dan kebenaran) 6. Asas Al-Kitabah (tertulis) 44 Karena proses yang dilakukan memiliki konsekuensi dunia dan akherat, maka produk apapun yang dihasilkan termasuk di dalamnya perbankan syariah, harus melalui proses akad atau perjanjian yang memenuhi syarat dan rukunya akad dan sesuai dengan prinsip syariah. Akad/perjanjian menjadi tidak sah apabila bertentangan dengan Islam. a. Syariah Islam. b. Peraturan perundang-undangan. c. Ketertiban umum dan atau d. Kesusilaan Lebih lanjut ditegaskan bahwa hukum akad/perjanjian itu terbagi ke dalam tiga kategori, yaitu : a.
Akad yang sah, adalah akad yang terpenuhi rukun dan syaratsyaratnya.
b.
Akad yang fasad, adalah akad yang terpenuhi syarat dan rukunya, tetapi terdapat segi atau hal lain yang merusak akad karena pertimbangan maslahat.
c.
Akad yang batal, adalah akad yang kurang rukun dan syaratsyaratnya. 45 Kedudukan akad dalam fiqih muamalah adalah penting
ditinjau fungsi dan pengaruhnya, sehingga suatu muamalah 44
Ibid, 39. 45
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Mahmakah Agung RI, Jakarta,2008, hal.14
li
(transaksi) dapat dikatakan sah jika akad yang dilaksanakan itu terpenuhi syarat dan rukunnya. Mengenai rukun akad terdapat perbedaan pendapat mengenai kalangan Ulama. Ulama Hanafiah berpendapat bahwa rukun akad memiliki tiga rukun, yaitu : 1. Aqid (orang yang berakad) terkadang masing-masing pihak terdiri dari seorang saja, dan kadangkala dari beberapa orang. 2. Ma'qud 'Alaih (sesuatu yang diakadkan), ma'qud 'alaih atau mahallul 'aqdi adalah benda yang menajdi obyek akad, seperti benda-benda yang dijual dalam akad bai' (jual beli), yang dihibahkan dalam akad hibah, yang digadaikan dalam akad rahn dan lain-lain. 3. Sighat al-'aqd, yaitu ijab qabul ucapan yang menunjukkan kehendak kedua belah pihak. 46 Sighat al-aqd, yaitu sesuatu yang disandarkan dari kedua belah pihak yang berakad yang menunjukkan atas apa yang ada fi hati keduanya tentang terjadi suatu akad. Hal ini dapat diketahui dengan ucapan, perbuatan, isyarat dan tulisan. Shighat tersebut disebut Ijab Qabul. Sementara menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah tercantum di dalam pasal 22 sampai pasal 25 rukun akad itu ada 4 macam, yaitu terdiri dari : a. Pihak-pihak yang berakad, adalah orang, persekutuan atau badan usaha. b. Objek akad, adalah amwal atau jasa yang dihalalkan yang dibutuhkan c. Tujuan pokok akad, untuk memenuhi kebutuhan hidup dan usaha. d. Kesepakatan 46
Dr. Muhammad Firdaus NH, dkk, Op.Cit.hal.14
lii
d. Penggolongan Hukum Kontrak.
Akad secara garis besar berbeda dengan satu dengan yang lainya. Hal ini berdasarkan asas (dasar), tujuan, ketentuan, sifat, dan hukum-hukum yang ada dalam akad-akad itu sendiri. Para Ulama Fiqh mengemukakan, bahwa akad dapat diklasifikasikan dalam berbagai segi. Antara lain dilihat sebagai berikut : 1. Apabila dilihat dari segi keabsahannya menurut syara', maka akad ada dua, akad shahih dan akad tidak shahih. 47 a. Akad shahih, yaitu akad yang telah memenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Hukum dari akad shahih ini adalah berlaku seluruh akibat hukum yang ditimbulkan akad itu dan mengikat bagi pihak-pihak yang berakad. Akad yang shahih menurut Ulama Hanafi dan Maliki terbagi menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut : 1) Akad Nafiz, (sempurna untuk dilaksanakan), yaitu akad yang dilangsungkan dengan memenuhi syaratnya
dan
tidak
ada
rukun dan
penghalang
untuk
melaksanakannya. 2) Akad Mauquf, yaitu akad yang dilakukan seseorang yang cakap bertindak hukum, tetapi ia tidak memiliki kekuasaan untuk melangsungkan dan melaksanakan akad itu, seperti akad yang dilakukan anak kecil yang sudah mumayyiz. b. Akad yang tidak shahih, yaitu akad yang terdapat kekurangan pada rukun atau syarat-syaratnya, sehingga seluruh akibat hukum akad itu tidak berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak yang berakad. Ulama
Hanafi
membagi akad yang tidak shahih itu menjadi dua macam, yaitu: 47
Haroen Nasrun, Perdagangan di Bursa Efe, Tinjauan Hukum Islam, cet.1, Jakarta Yayasan Kalimah, 2000, hal.2387.
liii
1) Akad batil, yaitu akad yang tidak memenuhi salah satu rukunnya atau ada larangan langsung dari syara'. 2) Akad fasid, adalah akad yang pada dasarnya disyariatkan, tetapi sifat yang diakadkan itu tidak jelas. 2. Dilihat dari segi penamaannya, para Ulama Fiqh membagi akad menjadi dua macam, yaitu sebagai sebagai berikut : . 48 a. Akad musammah, yaitu akad yang ditentukan nama-namanya oleh syara', serta dijelaskan hukum-hukumnya, seperti jual beli, sewa menyewa, perikatan, hibah, ji'alah, wakalah, hiwalah, wakaf, wasiat dan perkawinan. b. Akad ghair musammah, yaitu akad
yang penamaannya
ditentukan oleh masyarakat sesuai dengan keperluan mereka di sepanjang zaman dan tempat, seperti istishna', bai' al-wafa' dan lain-lain. 3. Dilihat dari segi disyariatkannya akad atau tidak terbagi dua, yaitu :49 a. Akad musyara'ah, yaitu akad-akad yang dibenarkan syara', umpamanya jual beli, jual harta yang ada harganya dan termasuk hibah dan rahn (gadai). b. Akad mamnu'ah, yaitu akad-akad yang dilarang syara', seperti menjual anak binatang yangmasih dalam kandungan. 4. Dilihat dari sifat bendanya, akad dibagi dua, yaitu : 50 a. Akad
'ainiyah,
yakni
akad
yang
disyaratkan
kesempurnaannya dengan melaksanakan apa yang diakadkan itu. Misal : benda yang dijual diserahkan kepada pembeli. b. Akad ghairu 'ainiyah, yaitu akad yang hasilnya semata-mata berdasarkan akad itu sendiri. 5. Dilihat dari bentuk atau cara melakukannya akad, yaitu : 48
ibid hal. 108. Op.Cit. 50 Ibid hal.110 49
liv
51
a. Akad-akad yang harus dilaksanakan dengan tata cara tertentu. Misalnya, pernikahan yang harus dilaksanakan di hadapan para saksi, akad yang menimbulkan hak bagi seseorang
atas
tanah,
yang
oleh
Undang-undang
mengharuskan hak itu dicatat di kantor agraria. b. Akad-akad yang tidak memerlukan tata cara. Misalnya jual beli yang tidak perlu di tempat yang ditentukan dan tidak perlu dihadapan pejabat. 6. Dilihat dari dapat tidaknya dibatalkan akad. Dari segi ini ada empat macam :52 a. Akad yang tidak dapat dibatalkan, yaitu 'aqduzziwaj. Akad nikah tak dapat dicabut, meskipun terjadinya dengan persetujuan kedua belah pihak. Akad nikah hanya dapat di akhiri dengan jalan-jalan
yang ditetapkan oleh syariat,
seperti talak, khulu', atau karena keputusan Hakim. b. Akad yang dapat dibatalkan atas persetujuan kedua belah pihak, seperti jual beli, shulh, dan lain-lain. c. Akad yang dapat dibatalkan tanpa menunggu persetujuan pihak kedua, seperti wadi;ah, 'ainiyah dan wakalah. 7. Dilihat dari segi tukar menukar hak :
53
a. Akad mu'awadlah, yaitu akad-akad yang berlaku atas dasar timbal balik. b. Akad
tabarru'at,
yaitu
akad-akad
yang
berdasarkan
pemberian dan pertolongan. c. Akad yang mengandung tabarru' pada permulaan tetapi menjadi mu'awadlah pada akhirnya. 8. Dilihat dari segi keharusan membayar ganti dan tidak. Segi ini ada tiga golongan : 54 51
Ibid hal 29 Ibid hal.111 53 Ibid hal.112 52
lv
a. Akad dhamanah, yaitu tanggungjawabn pihak kedua sesudah barang-barang itu diterimanya. b. Akad amanah, yaitu tanggung jawab dipikul oleh empunya, bukan oleh pemegang barang. c. Akad yang dipengaruhi oleh beberapa unsur, dari satu segi yang mengharuskan dhamanah dan dari segi yang lain merupakan amanah. 9. Dilihat dari segi tujuan akad dibagi menjadi empat, yaitu : . 55 a. Yang tujuannya tamlik. b. Yang tujuannya mengokohkan kepercayaan saja. c. Yang tujuannya menyerahkan kekuasaan. d. Yang tujuannya memelihara. 10. Dilihat dari segi waktu berlakunya, terbagi dua, sebagai berikut:56 a. Akad Fauriyah, yaitu akad-akad yang pelaksanaannya tidak memerlukan waktu yang lama. b. Akad Mustamirrah, dinamakan juga akad zamaniyah, yaitu akad yang pelaksanaannya memerlukan waktu yang menjadi unsur asasi dalam pelaksanaannya. 11. Dilihat dari ketergantungan dengan yang lain, akiad terdiri atas dua macam : a. Akad Asliyah, yaitu akad yang berdiri sendiri, tidak memerlukan adanya sesuatu yang lain. b. Akad Tab'iyah, yaitu akad yang tidak dapat berdiri sendiri karena memerlukan sesuatu yang lain. 12. Dilihat dari maksud dan tujuannya, akad ini terbagi dua jenis, yakni:57
54
Ibid hal.113 Ibid hal.114 56 Ibid, hal.114 57 Gemala Dewi, SH. Op.Cit. 55
lvi
a. Akad tabarru', yaitu akad yang dimaksud untuk menolong dan murni semata-mata karena mengharap ridho dan pahala dari Allah. b. Akad tijari, yaitu akad yang dimaksudkan untuk mencari dan mendapatkan keuntungan dimana rukun dan syaratnya telah terpenuhi semuanya. e. Berakhirnya Akad.
Suatu akad dipandang berakhir apabila telah tercapai tujuannya. Dalam akad jual beli misalnya, akad dipandang telah berakhir apabila barang telah berpindah milik kepada pembeli dan harganya telah menjadi milik kepada pembeli dan harganya telah menjadi milik penjual. Dalam akad gadai dan pertanggungan (kafalah), akad dipandang telah berakhir apabila utang telah dibayar. Selain telah tercapai tujuannya, akad dipandang telah berakhir waktunya. Fasakh (pembatalan) atau telah berakhir waktunya . Fasakh terjadi dengan dengan sebab-sebab sebagai berikut : 1. Di- fasakh (dibatalkan), karena adanya hal-hal yang tidak dibenarkan syara', seperti yang disebutkan dalam akad rusak. Misalnya, jual beli barang yang tidak memenuhi syarat kejelasan. 2. Dengan sebab adanya khiyar, baik khiyar rukyat, cacat, syarat atau majelis. 3. Salah satu pihak dengan persetujuan pihak lain membatalkan karena merasa menyesal atas akad yang baru saja dilakukan. Fasakh dengan cara ini disebut iqalah. Dalam hubungan ini Hadits Nabi Riwayat Abu Daud mengajarkan, bahwa barang siapa
mengabulkan
permintaan
pembatalan
orang
yang
menyesal atas akad jual beli yang dilakukan, Allah akan menghilangkan kesukarannya pada hari Kiamat kelak.
lvii
4. Karena kewajiban yang ditimbulkan, oleh adanya akad tidak dipenuhi oleh pihak-pihak bersangkutan. Misalnya dalam khiyar pembayaran (khiyar naqd) penjual mengatakan, bahwa ia menjual barangnya kepada pembeli, dengan ketentuan apabila dalam tempo seminggu harganya tidak dibayar, akad jual beli menjadi batal. Apabila pembeli dalam waktu yang ditentukan itu membayar, akad berlangsung. Akan tetapi apabila ia tidak membayar, akad menjadi rusak (batal). 5. Karena habis waktunya, seperti dalam akad sewa menyewa berjangka waktu tertentu dan tidak dapat diperpanjang. 6. Karena tidak mendapat ijin pihak yang berwenang. 7. Karena kematian. Mengenai kematian ini, terdapat perbedaan pendapat diantara para fukaha mengenai masalah apakah kematian pihak-pihak yang melakukan akad mengakibatkan berakhirnya akad. Sejalan dengan perbedaan pendapat mereka apakah hak yang ditimbulkan oleh akad itu dapat diwariskan atau tidak. Demikian pula adanya perbedaan pendapat tentang bagaimana terjadinya akad-akad tertentu serta sifat (watak) masing-masing. Dalam akad sewa menyewa yang merupakan akad yang mengikat secara pasti dua belah pihak itu, kematian salah satu pihak, penyewa atau yang menyewakan, menurut pendapat Ulamaulama Madzab Hanafi mengakibatkan berakhirnya akad. Namun, menurut pendapat ulama-ulama madzab Syafi'i, tidak. Ulama-ulama Hanafiah berpendapat, bahwa objek sewa menyewa adalah manfaat barang sewa yang terjadinya sedikit-sedikit sejalan dengan waktu yang dilalui. Manfaat barang yang ada setelah meninggalnya pemilik bukan lagi menjadi haknya sehingga akad tidak berlaku lagi terhadapanya. Berbeda dengan ulama-ulama Hanafiah, Ulamaulama Syafi'iah memandang manfaat barang sewa semuanya telah
lviii
ada ketika akad diadakan, tidak terjadi sedikit-sedikit, sehingga kematian salah satu pihak tidak membatalkan akad. Dalam hal akad gadai, kematian pihak pemegang gadai tidak mengakibatkan berakhirnya akad, tetapi dilanjutkan oleh ahli warisnya, guna menjamin hak atas piutang. Apabila yang meninggal adalah pihak yang berhutang, dan ahli warisnya masih kecil-kecil (anak-anak), barang gadai dijual untuk melunasi hutang. Akan tetapi, apabila ahli warisnya sudah besar-besar (dewasa), mereka mengganti kedudukan yang mewariskan, dan berkewajiban untuk menyelesaikan akad gadai dengan melunasi utang. Dalam akad persekutuan, karena akad itu tidak mengikat secara pasti kedua belah pihak, kematian salah satu anggotanya mengakibatkan berakhirnya akad. Demikian pula dalam akad perwakilan. Apabila akad menyangkut hak-hak perorangan, bukan hak-hak kebendaan, kematian salah satu pihak mengakibatkan berakhirnya akad, seperti perwalian, perwakilan, dan sebagainya. Apabila akad menyangkut
hak-hak
kebendaan,
terdapat
berbagai
macam
ketentuan, bergantung kepada bentuk dan sifat akad yang diadakan. Hal ini akan diketahui dalam pembahasan tentang akad-akad tertentu. E. Karakteristik Pembiayaan Murabahah. 1. Pengertian Pembiayaan Pembiayaan atau financing yaitu pendanaan yang diberikan oleh suatu pihak kepada pihak lain untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik dilakukan sendiri maupun lembaga. Dengan kata lain,
pembiayaan
adalah
pendanaan
yang
mendukung investasi yang telah direncanakan. 2. Tujuan Pembiayaan.
lix
dikeluarkan
untuk
Secara umum tujuan pembiayaan diadakan menjadi dua kelompok yaitu tujuan pembiayaan untuk tingkat makro, dan tujuan pembiayaan untuk tingkat mikro. Secara makro, pembiayaan bertujuan untuk: a. Peningkatan ekonomi umat b. Tersedianya dana bagi peningkatan usaha c. Meningkatkan produktivitas d. Membuka lapangan kerja baru e. Terjadi distribusi pendapatan Adapun secara mikro, pembiayaan diberikan dalam rangka untuk : a. Upaya memaksimalkan laba b. Upaya meminimalkan resiko c. Pandayagunaan sumber ekonomi d. Penyaluran kelebihan dana Sehubungan dengan aktivitas bank syariah, maka pembiayaan merupakan sumber pendapatan bagi bank syariah. Oleh karena itu tujuan pembiayaan yang dilaksanakan bank syariah adalah untuk memenuhi kepentingan stakeholder, yakni : 1. Pemilik Dari sumber pendapatan diatas, para pemilik mengharapkan akan memperoleh penghasilan atas dana yang ditanamkan pada bank tersebut. 2. Pegawai Para pegawai mengharapkan dapat memperoleh kesejahteraan dari bank yang dikelolanya. 3. Masyarakat. b. Pemilik dana Sebagaimana pemilik, mereka mengharapkan dari dana yang diinvestasikan akan diperoleh bagi hasil. c. Debitur yang bersangkutan
lx
Para debitur dengan penyediaan dana baginya. Mereka terbantu guna menjalankan usahanya (sektor produktif) atau terbantu untuk pengadaan barang yang diinginkannya (pembiayaan komsumtif) d. Masyarakat umumnya atau konsumen Mereka dapat memperoleh barang-barang yang dibutuhkan. 4. Pemerintah Akibat
penyediaan
pembiayaan,
pemerintah
terbatu
dalam
pembiayaan pembangunan negara, disamping itu akan diperoleh pajak (berupa pajak penghasilan dan keuntungan yang diperoleh bank dan juga perusahaan-perusahaan) 5. Bank Bagi bank yang bersangkutan, hasil dari penyaluran pembiayaan diharapkan bank dapat meneruskan dan mengembangkan usahanya agar tetap bertahan dan meluas jaringan usahanya, sehingga semakin banyak masyarakat yang dapat dilayaninya. 3. Fungsi pembiayaan Sesuai dengan tujuan pembiayaan sebagaimana diatas, menurut Sinungan (1983) pembiayaan secara umum memiliki fungsi untuk : a. Meningkatkan daya guna uang b. Meningkatkan daya guna barang c. Meningkatkan peredaran uang d. Menimbulkan kegairahan berusaha e. Stabilitas ekonomi f. Sebagai jembatan untuk meningkatkan pendapatan nasional 4. Jenis-jenis Pembiayaan Sesuai dengan akad pengembangan produk, maka bank syariah memiliki banyak jenis pembiayaan. Jenis-jenis pembiayaan pada dasarnya dapat dikelompokkan menurut aspek, diantaranya : 1. Pembiayaan menurut tujuan :
lxi
Pembiayaan menurut tujuannya dibedakan menjadi : a. Pembiayaan modal kerja, yaitu pembiayaan yang dimaksudkan untuk mendapatkan modal dalam rangka pengembangan usaha. b. Pembiayaan investasi, yaitu pembiayaan yang dimaksudkan untuk melakukan investasi atau pengadaan barang konsumtif. 2. Pembiayaan menurut jangka waktu. Pembiayaan menurut jangka waktu dibedakan menjadi : b. Pembiayaan jangka waktu pendek, pembiayaan yang dilakukan dengan waktu 1 bulan sampai dengan 1 tahun c. Pembiayaan jangka waktu menengah, pembiayaan yang dilakukan dengan waktu 1 tahun sampai 5 tahun. d. Pembiayaan jangka waktu panjang, pembiayaan yang dilakukan dengan waktu lebih dari 5 tahun. Jenis pembiayaan pada bank syariah, akan diwujudkan dalam bentuk aktiva produktif dan aktiva tidak produktif, yaitu : 1. Jenis aktiva produktif pada bank syariah, dialokasikan dalam bentuk pembiayaan sebagai berikut : a. Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil. Untuk jenis pembiayaan dengan prinsip ini meliputi : 1) Pembiayaan Mudharabah 2) Pembiayaan Musyarakah b. Pembiayaan dengan prinsip jual beli (piutang). Untuk jenis pembiayaan dengan prinsip ini meliputi : 1) Pembiayaan Murabahah 2) Pembiayaan Salam 3) Pembiayaan Istishna c. Pembiayaan dengan prinsip sewa. Untuk jenis pembiayaan ini diklasifikasikan manjadi pembiayaan : 1) Pembiayaan Ijarah 2) Pembiayaan Ijarah Mumtahiya Biltamlik/Wa Iqtina
lxii
d. Surat Berharga Syariah e. Penempatan f. Penyertaan Modal g. Penyertaan Modal Sementara h. Transaksi Rekening Administratif i. Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia (SWBI) Jenis aktiva tidak produktif yang berkaitan dengan aktivitas pembiayaan adalah berbentuk pinjaman, yang disebut dengan pinjaman Qardh. 5. Pembiayaan Murabahah. a. Definisi, Rukun dan Syarat serta jenis Murabahah. 1) Definisi Murabahah. Menurut Fiqh, Murabahah adalah akad jual beli atas barang tertentu, dimana menjual menyebutkan dengan jelas barang yang diperjualbelikan, termasuk harga pembelian barang kepada
pembeli,
kemudian
ia
mensyaratkan
atasnya
laba/keuntungan dalam jumlah tertentu. Ibnu
Qudamah
dalam
bukunya
Mughni
4/280
mendefinisikan Murabahah adalah menjual dengan herga asal ditambah dengan margin keuntungan yang telah disepakati58. Dalam buku II Bab I pasal 20 KHES disebutkan pengertian Murabahah adalah pembiayaan saling menguntungkan yang dilakukan oleh shahib al mal dengan pihak yang membutuhkan melalui transaksi jual beli dengan penjelasan bahwa harga pengadaan barang harga jual terdapat nilai lebih yang merupakan keuntungan atau laba bagi shahib al mal dan pengembaliannya dilakukan secara tunai atau angsur. Menurut teknis perbankan : 58
Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah, ctk. Pertama, UII Press, Yogyakarta,2000, hlm.22
lxiii
a. Murabahah adalah akad jual beli barang sebesar harga pokok barang
ditambah
dengan
margin
keuntungan
yang
disepakati. b. Berdasarkan akad jual beli tersebut bank membeli barang yang dipesan oleh dan menjualnya kepada nasabah. Harga jual bank adalah harga beli dari suplier ditambah keuntungan yang disepakati. Bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan. 2) Rukun dan syarat-syarat Murabahah. Untuk terbentuknya akad pembiayaan murabahah dalam Islam harus lah memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat murabahah. Menurut mayoritas (jumhur) ahli-ahli hukum Islam, rukun yang membentuk akad murabahah ada 5 yaitu : a. Adanya penjual (ba’i) b. Adanya pembeli (musytari) c. Objek atau barang (mabi’) yang diperjual belikan. d. Harga (tsaman) nilai jual barang berdasarkan mata uang. e. Ijab kabul (sighat)atau formula akad, suatu pernyataan kehendak oleh masing-masing pihak yang disebut ijab dan kabul. Rukun adalah sesuatu yang harus dipenuhi dalam suatu transaksi. Adapun yangmenjadi rukun dari murabahah adalah sebagai berikut : 1. Pihak yang berakad. a. Cakap hukum b. Sukarela (ridha) tidak dalam keadaan dipaksa/terpaksa atau dibawah tekanan. 2. Obyek yang diperjualbelikan a. Tidak termasuk yang diharamkan atau dilarang b. Bermanfaat
lxiv
c. Penyerahannya dari penjual dan pembeli dapat dilakukan d. Merupakan hak milik penuh pihak yang berakad e. Sesuai dengan spesifikasinya antara yang diserahkan penjual dan diterima pembeli. 3. Akad/sighat a. Harus jelas dan disebutkan secara spesifik dengan siapa berakad. b. Antara ijab dan qabul (serah terima) harus selaras baik dalam spesifikasi barang maupun harga yang disepakati c. Tidak
mengandung
klausula
yang
bersifat
menggantungkan keabsahan transaksi pada hal/kejadian yang akan datang d. Tidak membatasi waktu Sedangkan syarat murabahah adalah : a. Penjual memberitahu biaya modal kepada nasabah b. Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan c. Kontrak harus bebas dari riba d. Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah pembelian e. Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang. Jadi disini terlihat adanya unsur keterbukaan (transparansi). Disamping suatu akad (perjanjian) murabahah harus memenuhi rukun-rukun sebagaimana termaktub diatas, harus juga memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. Pembeli harus mengetahui harga pokok (historical cost) barang yang akan dibeli.
lxv
b. Jumlah keuntungan (mark up) bank harus diketahui oleh pembeli. c. Barang yang dibeli jelas kriterianya, ukuran jumlah dan sifat-sifatnya d. Barang yang dijual sudah dimiliki oleh penjual e. Penjual dan pembeli harus ada dalam satu majelis dan harus saling ridha. f. Penjual dan pembeli mempunyai
kekuasaan dan cakap
hukum dalam taransaksi jual beli g. Sistem pembayaran, kewajiban dan jangka waktunya disepakati bersama. 3) Jenis Murabahah 1. Murabahah dapat dilakukan berdasarkan pesanan. Dalam murabahah berdasarkan pesanan, bank melakukan pembelian barang setelah ada pemesanan dari nasabah. Murabahah berdasarkan pesanan dapat bersifat mengikat atau tidak mengikat nasabah untuk membeli barang yang dipesannya. Pembayaran murabahah dapat dilakukan secara tunai atau cicilan. 2. Murabahah tanpa pesanan.
b. Aspek Syariah Murabahah. Dasar Hukum Murabahah a. Al-Qur’an. Ayat-ayat Al-Qur’an yang dapat dijadikan rujukan dasar akad transaksi Al- Murabahah adalah : “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu makan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu “(QS. An-Nisa’ : 29) “Dan Allah SWT., telah menghalalkan jual beli dan mengharmkan riba”
lxvi
b. “Sunnah Hadits-hadits Rasul yang dapat dijadikan rujukan dasar akad transaksi Al-Murabahah adalah : “Dari Rafaah bin Rafie r.a., bahwa Rasulullah SAW., pernah ditanya pekerjaan apakah yang paling mulia, Rasulullah SAW menjawab : pekerjaan seseorang dengan tangannya dan setiap jual beli yang mabrur “ (HR. Al Bazar, Imam Hakim mengkatagorikan Shahih). “ Pedagang yang jujur dan benar berada di surga bersama para Nabi, Shiddiqin dan Syuhada “(Imam Tarmizi berkata hadits ini hasn) Dari Suab ar Rumi ra. Bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Tiga perkara di dalamnya terdapat keberkatan (1) Menjual dengan pembayaran tangguh (murabahah), (2). Muqaradhah (nama lain dari mudharabah), (3). Mencampurkan tepung dengan gandum untuk kepentingan rumah bukan untuk diperjual belikan “. c. Ijma’ Umat Islam telah berkonsensus tentang keabsahan jual beli, karena manusia sebagai anggota masyarakat selalu membutuhkan apa yang dihasilkan dan dimiliki oleh orang lain. Oleh karena itu jual beli adalah salah satu jalan untuk mendapatkannya secara sah. Dengan demikian maka mudahlah bagi setiap individu untuk memenuhi kebutuhannya.
c. Aspek Teknis Murabahah 1. Musyawarah dan Kesepakatan a. Kesepakatan kedua belah pihak antara bank dan nasabah sangat diperlukan dalam menentukan keputusan dan akan memperlancar urusan. Masing-masing mempunyai hak dan kewajiban yang sama, serta bersama menjaga amanah dana masyarakat.
lxvii
b. “ dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan
mereka
(diputuskan) dengan musyawarah antar mereka, dan mereka menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka “ (QS. Asy-Syuraa : 38). c. Dari Abdullah bin Harits dari Hakim Ibnu Hizam berkata : Rasulullah SAW bersabda : “ Penjual dan pembeli samasama bebas menentukan jual belinya selagi keduanya belum berpisah, jika keduanya jujur dan terus terang, maka jual beli mereka akan diberkati Allah, tetapi jika saling mendustai dan curang, maka berkah jual beli mereka itu akan terhapus “. d. Rasulullah SAW bersabda : “Umatku tidak akan sepakat terhadap suatu kesesatan “. (HR. Ahmad bin Hambal, Ibnu Majah dan Ath Thabrani). 2. Jaminan. a. Jaminan diperlukan untuk memperkecil resiko-resiko yang merugikan bank dan
untuk melihat kemampuan nasabah
dalam menanggung pembayaran kembali atas utang yang diterima dari bank. b. “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang oleh yang berpiutang. Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah, Tuhannya , “ (QS. Al Baqarah : 283).
3. Dokumentasi
lxviii
Dokumentasi
adalah
salah
satu
syarat
transaksi/pengikatan antara nasabah dengan bank yang dapat dipergunakan sebagai berikut : a. “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya dengan benar. Dan hendaklah seorang peniulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu) dan hendaklah dia bertaqwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakan, maka hendaklah walinya mengimlakan dengan jujur (QS. Al Baqarah : 282). b. “Dan orang-orang yang memelihara amanah-amanah (yang dipikulnya) dan jajinya “(QS. Al Mu’minun : 8) c. Dari Amir bin Suraid dari ayahnya dari Nabi SAW., beliau bersabda : “Memperpanjang (menunda-nunda) pembayaran (hutang) atas orang yang mampu adalah kezaliman yang menghalalkan kehormatannya dan siksanya “ (HR. Imam yang lima kecuali Imam Tarmizi) d. Ketentuan Fatwa tentang Murabahah. Ketentuan tentang murabahah (Fatwa DSN No.04/DSNMUI/IV/2000) 1. Ketentuan umum murabahah yang terdapat dalam bank syariah a. Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba. b. Barang yang diperjualkan tidak diharamkan oleh syariah Islam. c. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualitasnya.
lxix
d. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba. e. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara berhutang. f. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan. g. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati. h. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut/pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah berupa pengikatan jaminan dan atau asuransi. i. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga (akad wakalah) akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip menjadi milik bank. 2. Ketentuan Murabahah kepada nasabah a. Nasabah mengajukan permohoann dan perjanjian pembelian suatu barang atau asset kepada bank. b. Jika bank menerima permohonan tersebut, ia harus membeli terlebih dahulu aset yang dipesannya secara sah dengan pedagang. c. Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasabah harus menerima (membeli)-nya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakatinya, karena secara hukum
lxx
perjanjian tersebut mengikat, kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli. d. Dalam jual beli bank dibolehkan meminta nasabah untuk membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan. e. Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil bank harus dibayar dari uang muka tersebut. 3. Jaminan dalam murabahah a. Jaminan dalam murabahah diperbolehkan agar nasabah serius dengan pesanannya. b. Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang. 4. Hutang dalam Murabahah a. Secara prinsip penyelesaian hutang nasabah dalam transaksi murabahah tidak ada kaitanya dengan transaksi lain yang dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut. Jika nasabah menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan atau kerugian, ia tetap berkewajiban untuk menyelesaikan hutangnya pada bank b. Jika nasabah menjual barang tersebut sebelum masa angsuran
berakhir,
ia
tidak
wajib
segera
melunasi
seluruhnya. c. Jika penjualan barang tersebut menyebabkan kerugian, nasabah tetap harus menyelesaikan hutangnya sesuai dengan kesepakatan
awal.
Ia
pembayaran
angsuran
tidak
boleh
memperlambat
atau
meminta
kerugian
diperhitungkan.
5. Penundaan pembayaran dalam Murabahah
lxxi
itu
a. Nasabah yang memiliki kemampuan tidak dibenarkan menunda penyelesaian hutangnya . b. Jika nasabah menunda-nunda pembayaran dengan sengaja, atau jika salah sati pihak tidak menunaikan kewajibannya, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah
setelah
tidak
tercapai
kesepakatan
melalui
musyawarah. 6. Bangkrut dalam Murabahah Jika nasabah telah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan hutangnya, bank harus menunda tagihan hutang sampai ia sanggup kembali, atau berdasarkan kesepakatan. 7. Uang muka Murabahah (Fatwa DSN No.13/DSN-MUI/IX/2009) a. Dalam
akad
penyaluran
dana
murabahah,
Lembaga
Keuangan Syariah (LKS) dibolehkan utnuk meminta uang muka apabila kedua belah pihak bersepakat. b. Besar
jumlah
uang
muka
ditentukan
berdasarkan
kesepakatan. c. Jika nasabaha membatalkan akad murabahah, nasbah harus memberikan ganti rugi kepada LKS dari uang muka tersebut. d. Jika jumlah uang muka lebih kecil dari kerugian, LKS dapat meminta tambahan kepada nasabah. e. Jika jumlah uang muka lebih besar dari kerugian, LKS harus mengembalikan kelebihannya kepada nasabah. 8. Diskon Murabahah (Fatwa DSN No.16/DSN-MUI/IX/2000) a. Harga (tsaman) dalam jual beli adalah satu jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak baik sama nilai (qimah) benda yang menjadi objek jual beli, lebih tinggi maupun lebih rendah.
lxxii
b. Harga dalam jual beli murabahah adalah harga beli dan biaya yang diperlukan ditambah keuntungan sesuai dengan kesepakatan. c. Jika dalam jual beli murabahah LKS mendapat diskon dari suplier, harga sebenarnya adalah harga setelah diskon, karena itu diskon adalah hak nasabah. d. Jika pemberian diskon setelah akad, pembagian diskon tersebut dilakukan berdasarkan perjanjian (persetujuan) yang dimuat dalam akad. e. Dalam akad, pembagian diskon setelah akad hendaklah diperjanjikan dan ditandatangani. 9. Sanksi atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran (Fatwa DSN No.17/DSN-MUI/IX/2000) a. Sanksi yang disebut dalam fatwa ini adalah sanksi yang dikenakan LKS kepada nasabah yang mampu membayar, tetapi menunda-nunda pembayarannya dengan sengaja. Nasabah yang tidak/belum mampu membayar disebabkan force majeur tidak boleh dikenakan sanksi. b. Nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran dan/atau tidak mempunyai kemauan dan iktikad baik untuk membayar hutangnya boleh dikenakan sanksi. Sanksi didasarkan pada prinsip ta’zir, yaitu bertujuan agar nasabah lebih disiplin dalam melaksanakan kewajibanya. c. Sanksi dapat berupa denda sejumlah uang yang besarnya ditentukan
atas
kesepakatan
dan
dibuat
saat
akad
ditandatangani. Dana yang berasal dari denda diperuntukkan sebagai dana sosial. 10. Potongan
pelunasan
dalam
No.23/DSN-MUI/III/2002)
lxxiii
murabahah
(Fatwa
DSN
a. Jika nasabah dalam transaksi murabahah
melakukan
pelunasan pembayaran tepat waktu atau lebih cepat dari waktu yang disepakati, LKS boleh memberikan potongan dari kewajiban pembayaran tersebut
dengan syarat tidak
diperjanjikan dalam akad. b. Besarnya potongan diatas diserahkan pertimbangan LKE. 11. Ketentuan ganti rugi (Ta’widh) a. Bank dapat mengenakan ganti rugi (ta’widh) hanya atas kerugian riil yang dapat diperhitung nasabah yang dengan jelas kepada nasabah yang dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari ketentuan akad dan akan mengakibatkan kerugian pada bank. b. Besarnya ganti rugi yang dapat diakui sebagai pendapatan bank adalah sesuai nilai kerugian riil (real loss) yang berkaitan
dengan
upaya
bank
untuk
memperoleh
pembayaran dari nasabah dan bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya peluang yang hilang (opportunity loss/al-fursha al dhai’ah) c. Klausal pengenaan ganti rugi harus ditetapkan secara jelas dalam akad dan dipahami oleh nasabah. d. Besarnya ganti rugi atas kerugian riil ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara bank dengan nasabah. e. Aspek Teknis Perbankan Syariah 1. Implementasi a. Tujuan Jual Beli Akad
murabahah
digunakan
oleh
bank
untuk
memfasilitasi nasabah melakukan pembelian dalam rangka memenuhi kebutuhan akan :
lxxiv
1) Barang
konsumsi
seperti
rumah,
kendaraan/alat
transportasi, alat-alat rumah tangga dan sejenisnya (tidak termasuk renovasi atau proses membangun) 2) Pengadaan barang dagangan 3) Bahan baku dan atau bahan pembantu produksi (tidak termasuk proses produksi) 4) Barang modal seperti pabrik, mesin dan sejenisnya 5) Barang lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan disetujui bank. b. Bank 1) Bank diperbolehkan menentukan supplier atas barang yang dibeli oleh nasabah 2) Bank menerbitkan Purchase Order (PO) dan Celivery Order (DO) sesuai kesepakatan dengan nasabah kepada suplier agar barang tersebut dikirimkan kepada nasabah. 3) Bank akan mentransfer uang pembelian barang langsung kepada penjual/suplier. 4) Proses pengadaan barang murabahah (aktiva murabahah) harus dilakukan oleh pihak bank. 5) Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak
ketiga, akad jual beli
murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip menjadi milik bank maka terlebih dahulu dibuat akad wakalah. c. Nasabah 1) Nasabah harus cakap hukum. 2) Mempunyai kemampuan untuk membayar. d. Harga jual bank 1) Ketentuan harga jual bank ditetapkan pada awal perjanjian dan tidak boleh berubah selama jangka waktu
lxxv
pembayaran
angsuran,
termasuk
jika
dilakukan
perpanjangan. 2) Bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan. 3) Apabila nasabah memberikan uang muka (urbun), maka uang
muka
pengurang
nasabah Hutang
tersebut
Nasabah
diperlukan
(piutang
sebagai
murabahah).
Namun emikian, akad jual beli yang dibuat antara bank dengan nasabah tetap berpedoman kepada harga jual beli awal yang telah disepakati. 4) Bank dapat meminta uang muka pembelian kepada nasabah. Dalam murabahah, uang muka harus dibayarkan oelh nasabah kepada bank,
bukan kepada pemasok.
Uang muka menjadi bagian pelunasan
piutang
murabahah jadi dilaksanakan (tidak diperkenankan sebagai
pembayaran
angsuran).
Tetapi
apabila
murabahah batal, uang muka dikembalikan kepada nasabah setelah dikurangi dengan kerugian sesuai dengan kesepakatan, antara lain : a) Potongan uang muka bank oleh pemasok. b) Biaya administrasi c) Biaya yang dikeluarkan dalam proses pengadaan lainnya. 5) Jangka waktu. Jangka waktu Murabahah ditentukan oleh kebijakan bank dalam bentuk SK Direksi. 6) Denda kepada nasabah. Bank berhak mengenakan denda kepada nasabah yang tidak dapat memenuhi kewajiban piutang murubaliah dengan indikasi antara lain :
lxxvi
a. Adanya unsur kesengajaan yaitu nasabah mempunyai dana tetapi tidak melakukan pembayaran piutang murabahah, dan b. Adanya unsur penyalahgunaan dana yaitu nasabah mempunyai dana tetapi digunakan terlebih dahulu untuk hal lain. c. Pengenaan dan besarnya denda ditentukan oleh bank dalam bentuk SK Direksi. d. Pengenaan denda harus dituangkan dalam surat penawaran (offering letter) dan akan baiok ta’zir maupun ta’widh. e. Pengakuan denda dapat berupa ta’zir atau ta’widh. 7) Potongan. a. Apabila setelah akad transaksi murabahah, pemasok memberikan potongan harga atas barang yang dibeli oleh bank dan telah dijual kepada nasabah, maka potongan harga tersebut menjadi hak nasabah. b. Bank dapat memberi potongan harga (muqossah) apabila nasabah melakukan pelunasan pembayaran tepat waktu atau lebih cepat dari waktu yang telah disepakati, dengan syarat tidak diperjanjikan dalam akad dan besarnya potongan ditetapkan oleh komite penyaluran dana. 8) Komisi. Dalam hal meminta nasabah menyediakan jaminan ata spiutang murabahah. 9) Jaminan Bank dapat meminta nasabah menyediakan jaminan atas piutang murabahah. 10) Lain-lain.
lxxvii
a. Nasabah dapat dibebani biaya administrasi dan biaya lainnya, seperti biaya notaris, asuransi, dll. b. Apabila dikemudian hari nasabah ternyata tidak mempunyai kemampuan untuk membayar, maka penyelesaiannya diputuskan oleh komite penyaluran dana. 2.
Dokumentasi. a. Surat Persetujuan Prinsip (offering Letter). b. Akad Jual Beli. c. Perjanjian Pengikatan Jaminan d. Surat Permohonan Realisasi Murabahah. e. Tanda Terima Uang untuk akad Wakalah. f. Tanda Terima barang yang ditandatangani Nasabah.
F. Penelitian Yang Relevan 1. Pada awal periode 1980-an diskusi mengenai bank syariah sebagai pilar ekonomi Islam mulai dilakukan. Para tokoh yang terlibat dalam kajian tersebut adalah Karnaen A. Pertawaatmaja, M. Dawam Rahardja, A.M. Saefudin, M. Amin Aziz, dan lain sebagainya. Beberapa uji coba pada skala relatif terbatas telah diwujudkan, diantara adalah Baitul Tamwil –Salwan Bandung yang sempat tumbuh mengesankan, di Jakarta juga dibentuk lembaga serupa dalam bentuk koperasi, yakni koperasi Ridho Gusti. 2. Bank Muamalat (Annual report)
59
pada tanggal 1 Nopember 1990
pendirian Bank Muamalat Indonesia ditandatangani dan pada tahun 1999, Bank Muamalat Indonesia telah memiliki lebih 45 outlet yang tersebar di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Balikpapan dan Makasar.
59
Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktek…, ibid hlm. 26
lxxviii
3. Majelis Tarjih Muhammadiyah60,
telah mengambil keputusan
mengenai hukum ekonomi keuangan di luar zakat, meliputi masalah perbankan (1982 dan 1972)., Majelis tarjih Sidoarjo (1968) memutuskan : a. Riba hukumnya haram dengan nash sharih Al Qur’an dan As Sunnah. b. Bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank dengan tanpa riba hukumnya halal. c. Bunga yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara mutasyabihat. 4. Lajnah Bahsul Masail Nahdhatul Ulama61, mengenai bank dan pembangunan uang. Menurut Lajnah, hukum bank dan hukum bunganya sama seperti hukum gadai. Terdapat tiga pendapat ulama sehubungan dengan masalah ini : a. Haram, sebab termasuk utang yang dipungut rente. b. Halal, sebab tidak ada syarat pada waktu akad, sedangkan adat yang berlaku tidak dapat begitu saja dijadikan syarat. c. Syubhat, (tidak halal dan haramnya) sebab para ahli hukum berselisih pendapat tentangnya.
G. Kerangka Berpikir Nabi Muhammad diutus oleh Allah SWT., untuk membawa Rahmat bagi alam semesta, sebagaimana Firman-Nya dalam Al-Qur’an yang berbunyi : َوَﻣَﺎ اَرْﺳَﻠْﻨَﺎ كَ إِﻻﱠ رَﺣْﻤَﺔً ﻟِﻠْﻌَﺎ ﻟَﻤِﯿْﻦ
60
ibid hlm.61 Rifyal Ka’’bah dalam buku Muhammad Syafe’I Antonio, Bank Syariah dari teori ke praktek, ibid hlm.63. 61
lxxix
Artinya : “ Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi alam semesta “ (QS. Al-Anbiya : 107) 62 Menurut Muhammad ‘Imamudin ‘Abdulrahim, mengatakan bahwa bentuk rahmat bagi alam semesta itu ada tiga masa, satu diantaranya adalah : “ Keadilan ekonomi bagi setiap manusia anak cucu Adam AS., telah lama terbukti dalam sejarah, bahwa kelaparan terjadi di dunia ini bukan karena bumi secara global kurang mengeluarkan produksinya, tetapi oleh karena politik ekonomi yang tidak menjamin terjadinya distribusi yang merata dari produksi tersebut. Hal ini tergantung kepada politik ekonomi, yang seluruhnya berada di tangan-tangan manusia. 63 Pemerataan ekonomi tidak terlepas dari perana perbankan yang fungsinya sebagai lembaga penghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak64. Adapun yang dimaksud dengan bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah65. Dengan demikian dapat dipahami bahwa Bank Syariah adalah lembaga perbankan yang menggunakan sistem dan operasinya berdasarkan syariah Islam. Salah satu fungsi bank syariah adalah menyediakan dana dalam bentuk transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah66. dengan prinsip syariah, yang pada prinsipnya ialah kegiatan perbankan berdasarkan
62
ibid, hlm.475 Imadudin Abdulrahim Muhammad, PH.D. Islam Sistem Nilai Terpadu, Yayasan Pembina Sari Insan (Yasin), CV. Kuning Mas, Jakarta, 1999, hlm.205.. 64 Pasal 1 angka 2 Undang-undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 65 Pasal 1 angka 7 Undang-undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 66 Pasal 1 angka 25 Undang-undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 63
lxxx
fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah67. Salah satu kegiatan usaha dalam Bank Pembiayaan Rakyat Syariah adalah
penyaluran
dana
dengan
pembiayaan
akad
murabahah68..
Murabahah berasal dari kata “ ribhu” yang berarti keuntungan, adalah transaksi jual beli dimana bank menyebut jumlah keuntungannya. Bank bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli. Harga jual adalah harga beli dari pemasok ditambah keuntungan. Kedua pihak harus menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran. Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli dan jika telah disepakati tidak dapat dirubah selama berlakunya akad dilakukan, sedangkan pembayaran dilakukan secara angsur setiap bulan sebagaimana diperjanjikan69. Dalam penjelasan Undang-undang No.21 Tahun 1998 dijelaskan, bahwa yang dimaksud dengan akad murabahah adalah akad pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang disepakati70. Ditegaskan dalam Peraturan bank Indonesia Nomor : 9/19/PBI/2007 bahwa murabahah adalah transaksi jual beli suatu barang sebesar harga perolehan barang ditambah dengan margin yang disepakati oleh para pihak, dimana penjual menginformasikan terlebih dahulu harga perolehan kepada pembeli. 71. Bentuk hukum kontrak dalam Islam adalah akad, akad sendiri dalam Al Qur’an setidaknya ada 2 (dua) istilah yang lazim difahami yaitu yang
67
Pasal 1 angka 12 Undang-undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Undang-undang No.21 Tahun 2008, Himpunan Peraturan Perundang-undangan (Lima Undang-undang Moneter Perbankan), Fokus, Media , 2009, hlm. 150. 69 Abdul Manan, H, Hukum Perbankan Syariah… ibid.. 70 Penjelasan pasal 19 ayat 1 huruf c UU No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 71 Penjelasan pasal 3 Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 tentang pelaksanaan Prinsip Syariah dalam kegiatan Penghimpunan Dana dan penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah.. 68
lxxxi
berhubungan dengan perjanjian, istilah tersebut adalah Al-‘Aqdu (akad) dan Al-Ahdu (janji). Istilah akad adalah salah satu bentuk perbuatan hukum atau disebut juga tasharruf artinya segala sesuatu perbuatan yang bersumber dari kehendak seseorang dan syara’ menetapkan atasnya sejumlah akibat hukum (hak dan kewajiban) 72. Perbedaan yang terjadi dalam proses perikatan antara hukum Islam dan KUH Perdata adalah tahap perjanjiannya. Pada Hukum Perikatan Islam, janji pihak pertama terpisah dari janji pada pihak kedua (merupakan dua tahap) baru kemudian kahir perikatan. Sedangkan KUH Perdata perjanjian antara pihak pertama dan pihak kedua adalah satu tahap yang kemudian menimbulkan perikatan diantara mereka. Para ulama fiqih mensyaratkan tiga hal dalam melakukan ijab dan kabul agar memeiliki akibat hukum, yaitu : 1. Jala’ul ma’na, yaitu tujuan yang terkandung dalam pernyataan itu jelas, sehingga dapat dipahami jenis akad yang dikehendaki. 2. Tawafud, yaitu adanya kesesuaian antara ijab dan kabul. 3. Jazmul iradataini, yaitu antara ijab dan kabul menunjukkan kehendak para pihak secara pasti, tidak ragu, dan tidak terpaksa. Ijab dan kabul dapat dilakukan dengan empat cara, yaitu : 1) Lisan, 2) Tulisan 3) Isyarat 4) Perbuatan73. Dalam pembiayaan murabahah sering ditemukan resiko yang harus diwaspadai antara lain side streaming yaitu nasabah menggunakan dana itu bukan seperti yang disebut dalam akad, nasabah melakukan kelalaian serta kesalahan yang disengaja dan nasabah tidak transparan dalam melaporkan 72
Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006, hlm.48 73 ibid hlm. 63.
lxxxii
kegiatan usahanya kepada Lembaga Keuangan Syariah. Dengan adanya kekhawatiran tersebut diatas Lembaga Keuangan Syariah dalam syarat pembiayaan murabahah meminta adanya jaminan untuk mengurangi resiko meskipun pembiayaan dapat dilakukan tanpa adanya penyerahan jaminan. Terhadap terjadinya pelanggaran perjanjian dalam akad murabahah penyelesaian dilakukan secara musyawarah kekeluargaan atau jalur hukum. Dari uraian diatas, maka bagian kerangka berpikir dalam pembahasan ini tersusun sebagai berikut :
UU No.21 Th 2008 Tentang Hukum Kontrak/Akad
Akad Murabahah/ Perjanjian Bagi Hasil Nasabah
Bank Syariah
Proyek/Usaha
Pembagian Keuntungan
Modal
Sesuai Syariah
Tidak Sesuai Syariah
Shulhu (Perdamaian)
lxxxiii
Tahkim Al-Qadha (proses (Arbitrase) Peradilan)
BAB III METODE PENELITIAN
A.
Karakteristik Penelitian Metode menurut Setiono74 adalah suatu alat untuk mencari jawaban dari pemecahan masalah, oleh karena itu suatu metode atau alatnya garus jelas terlebih dahulu apa yang akan dicari. Ada lima konsep hukum yaitu: 1. Hukum adalah asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan berlaku universal. 2. Hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perundangundangan hukum nasional. 3. Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim inconcreto dan tersismatisasi sebagai jugde made law. 4. Hukum adalah pola-pola perilaku sosial yang terlembaga eksis sebagai variable empirik. 5. Hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik pada prilaku sosial sebagai tampak dalam interaksi antar mereka75. Penelitian ini mendasarkan hukum yang dilakukan dengan pendekatan non doktrinal atau pendekatan sosiologis. Hal ini disebabkan karena di dalam penelitian ini, hukum tidak hanya diartikan atau dikonsepkan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia
dalam masyarakat, melainkan meliputi
pula lembaga-lembaga dan proses yang mewujudkan berlakunya. Jadi pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan socio legal, yaitu yang memandang hukum bukan saja sebagai perangkat kaidah yang bersifat normatif atau apa yang menjadi teks undang-undang
74
Setiono, Pemahaman Terhadap Penelitian Hukum (Diktat) Pascasarjana UNS
Surakarta. 75
Ibid hlm. 23
lxxxiv
(law in books), akan tetapi juga melihat bagaimana hukum berinteraksi dengan masyarakat (law in action). Berkaitan dengan permasalahan yang dikemukakakan, konsep hukum yang ke 5 (lima ) yaitu hukum merupakan manifestasi maknamakna simbolik para perilaku sosial sebagai tampak dalam interaksi antar mereka, dan penulis mengacu kepada hukum Islam yang berkaitan dengan ekonomi syariah. Pendekatan Islam terhadap ekonomi merupakan sebuah pendekatan terhadap peradaban manusia secara keseluruhan. Pendekatan ini sangat relevan untuk dilaksanakan dalam rangka membangun suatu sistem ekonomi alternatif guna mengganti sistem ekonomi yang sudah ada dan tidak mampu memberikan kesejahteraan kepada umat manusia. Landasan moral dan etika yang dibangun dalam kegiatan ekonomi Islam adalah sesuai dengan fitrah asal manusia yang progresif dan dinamis dan relevan sepanjang masa. Ekonomi Islam juga menawarkan metodologi yang layak untuk dijadikan pedoman dalam pembangunan ekonomi secara makro. Ekonomi syariah selalu menekankan kepada nilai-nilai kebersamaan dan kasih sayang sesama individu dan masyarakat. Kebebasan berekonomi dalam arti sistem ekonomi Islam tetap membenarkan kepemilikan individu dan kebebasan dalam bertransaksi sepanjang dalam koridor syariah. Dualisme kepemilikan pada hakekat pemilik alam semesta beserta isinya hanya milik Allah dalam memakmurkan dan mensejahterakan bumi. Kepemilikan oleh manusia merupakan derivasi atas kepemilikan Allah yang hakiki (istiklaf), oleh karena itu setiap kegiatan ekonomi yang diambil oleh manusia demi kemakmuran alam semesta tidak boleh bertentangan dengan kehendak Allah SWT., Menjaga kemaslahatan individu dan masyarakat. Terhadap dua hal ini tidak boleh dikhotomi antara yang satu dengan yang lain, dalam pengertian bahwa kemaslahatan individu tidak boleh dikorbankan untuk
lxxxv
kepentingan
masyarakat,
kemaslahatan
atau
sebaliknya.
Dalam
mewujudkan
ini Negara mempunyai hak intervensi apabila terjadi
eksploitasi atau kezaliman dalam mewujudkan sebuah kemaslahatan itu. Dengan adanya metode penelitian maka diharapkan peneliti dapat memperoleh hasil
yang
berbobot
dan
bernilai
sehingga
dapat
dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini metode diartikan suatu cara untuk memecahkan suatu masalah yang ada dengan mengumpulkan, menyusun, mengklarifikasikan dan menginterpretasikan data. Penelitian merupakan sarana pokok dalam mengembangkan ilmu pengetahuan,
karena
penelitian
bertujuan
untuk
mengungkapkan
kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten. Penelitian mengenai implementasi pembiayaan murabahah pada Bank Muamalat Indonesia Cabang Surakarta ini, yang berada dari sudut penerapan pembiayaan murabahah berdasarkan peraturan tentang murabahah merupakan penelitian hukum yang bersifat yuridis empiris atau penelitian yang dilakukan untuk mendapatkan data primer yang berkenaan dengan hal-hal yang ada dilapangan, serta bahan-bahan yang menyangkut materimateri yang berhubungan dengan topik penelitian sebagai data sekunder. B.
Lokasi Penelitian. Lokasi penelitian yang dipilih oleh penulis adalah Bank Muamalat Indonesia Cabang Surakarta beralamat di Jl. Slamet Riyadi Surakarta, karena Bank Muamalat Indonesia merupakan salah satu bank syariah yang pertama yang melakukan kegiatan usahanya dengan prinsip syariah dalam penyaluran dananya melalui pembiayaan murabahah.
C.
Jenis Data 1. Data Primer Penentuan sample dilaksanakan dengan memakai teknik purposive sampling yaitu pengambilan subyek buka didasarkan atas strata, random atau daerah tetapi didasarkan atas adanya tujuan
lxxxvi
tertentu76. Sehingga subyek penelitian dipilih berdasarkan keterlibatan mereka dalam proses pembiayaan murabahah pada Bank Muamalat Indonesia Cabang Surakarta. Penelitian tersebut dilakukan terhadap responden, yakni pihak-pihak yang terkait langsung dengan masalah yang diteliti. Data yang diperoleh secara langsung dari lapangan melalui wawancara. Dokumentasi, maupun observasi yang diperoleh dari semua pihak yang terkait langsung dengan permasalahan yang menjadi obyek penelitian, 1) Kepala Bank Muamalat Indonesia Cabang Surakarta. 2). Kepala Bagian Muranahah, 3). Karyawan. 4) Tokoh agama, 5) Nasabah Murabahah. 2. Data Sekunder Yaitu sumber data yang berasal dari bahan bahan pustaka, yang meliputi dokumen terulis, yang bersumber dari peraturan perundangundangan, maupun Al Qur’an, Hadits, termasuk di dalamnya berbagai keputusan-keputusan
yang
dikeluarkan
oleh
organisasi
kemasyarakatan Islam, baik yang berskala lokal, Nasional, maupun internasional, hasil-hasil penelitian, artikel-artikel ilmiah, buku-buku (literatur), dokumen-dokumen resmi, arsip-arsip dan data statistik tentang perkembangan pembiayaan bagi hasil perbankan syariah. Di dalam penelitian hukum, data sekunder mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier77. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu terdiri dari : a) Al Qur’an, As Sunnah, Ijma’, dan Qiyas sebagai sumber hukum Islam. b) Undang-undang No.10 tahun
1998
tentag Perubahan Atas
Undang-undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan. c) Undang-undang No.3 Tahun 2004 Tentang Bank Indonesia. 76
Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Rhineka Perkasa, Jakarta, 2002. hlm. 109 77 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 13.
lxxxvii
d) Undang-undang No.21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah. e) Peraturan Bank Indonesia No.9/9/PBI/2007 tentang perbankan syariah. f) Nomor 4/DSN-MUI/IV/2000 tanggal 1 April 2000 transaksi murabahah. g) Dan berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.
D.
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang akan dipergunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode observasi (pengamatan), interview (wawancara) serta studi pustaka. 1. Observasi. Merupakan pengamatan yang dilakukan secara langsung dari obyek penelitian. Penulis melakukan penelitian di Bank Muamalat Indonesia Cabang Surakarta. Kemudian mencatat dan mencocokkan dengan teori agar tercapai sasaran penelitian. Cara ini dimaksudkan untuk menjaga kemungkinan adanya beberapa hal yang tidak sempat peneliti tanyakan ataupun tidak terjawabnya pertanyaan pada saat wawancara dilakukan, sehingga peneliti bisa mendapatkan data yang lengkap. 2. Wawancara. Dalam
studi
lapangan
ini
penulis
melaksanakan
kegiatan
wawancara yaitu suatu metode pengumpulan data dengan cara mendapatkan keterangan secara jelas dari seorang responden dengan bercakap-cakap secara langsung. Wawancara ini bertujuan untuk mengumpulkan keterangan tentang kehidupan manusia serta pendapat mereka. Secara teknik ada dua jenis teknik wawancara, yaitu wawancara terpimpin (terstruktur) dan wawancara dengan teknik tidak bebas (tidak terstruktur) yang disebut wawancara mendalam (in depth interviewing).
lxxxviii
Metode wawancara yang dilakukan oleh penulis ini adalah metode campuran dengan menggabungkan metode terpimpin dengan metode bebas tidak terstruktur) dengan cara penulis membuat pedoman wawancara yang nantinya akan dikembangkan secara lebar sesuai dengan kebutuhan data yang ingin penulis peroleh. 3. Studi Pustaka Dalam studi ini penulis mengumpulkan data dengan cara membaca, memahami dan mengumpulkan bahan-bahan hukum yang akan diteliti, yaitu dengan membuat lembar dokumen yang berfungsi untuk mencatat informasi atau data dari bahan-bahan yang diteliti yang berkaitan dengan masalah penelitian yang sudah dirumuskan.
lxxxix
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian 1. Pelaksanaan Hukum Kontrak Dalam Pembiayaan Murabahah sesuai dengan prinsip-prinsip Syariah. Di dalam praktek, penyusunan suatu perjanjian antara Bank Syariah dengan nasabah, dari sisi hukum positif, selain mengacu kepada KUH Perdata juga harus merujuk kepada UU No 10 tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Sedangkan dari sisi Syariah selain mengacu pada UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, juga berpedoman kepada fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia. Ada beberapa prinsip dalam hukum kontrak dalam pembiayaan Murabahah yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, yaitu sebagai berikut : a. Ikhtiyari/sukarela : setiap akad dilakukan atas kehendak para pihak, terhindar dari keterpaksaan karena tekanan salah satu pihak atau pihak lain. b. Amanah/menepati janji : setiap akad wajib dilaksanakan oleh para pihak sesuai dengan kesepakatan yang ditetapkan oleh yang bersangkutan dan pada saat yang sama terhindar dari cidera janji. c. Ikhtiyati/kehati-hatian : setiap akad dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan dilaksanakan secara tepat dan cepat. d. Luzum/tidak berobah : setiap akad dilakukan untuk memenuhi kepentingan para pihak sehingga tercegah dari praktek manipulasi dan merugikan salah satu pihak.
xc
e. Taswiyah/kesetaraan : para pihak dalam setiap akad memiliki kedudukan yang setara, mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang. f. Transparansi : setiap akad dilakukan dengan pertanggungjawaban para pihak secara terbuka. g. Kemampuan; setiap akad dilakukan sesuai dengan kemampuan para pihak, sehingga tidak menjadi beban yang berlebihan bagi yang bersangkutan. h. Taisir/kemudahan; setiap akad dilakukan sesuai dengan cara saling memberi kemudahan kepada masing-masing pihak untuk dapat terlaksananya sesuai dengan kesepakatan i. Iktikad
baik;
akad
dilakukan
dalam
rangka
menegakkan
kemaslahatan, tidak mengandung unsur jebakan dan perbuatan buruk lainnya. j. Sebab yang halal; tidak bertentangan dengan hukum, tidak dilarang oleh hukum dan tidak haram. Disamping jenis asas-asas yang tersebut diatas, ada lagi pendapat yang disampaikan oleh Syamsul Anwar, ia menyebutkan ada 8 asas perjanjian di dalam Hukum Islam, yaitu : 9. Asas Ibahah (Mabda'al-Ibahah) Asas Ibahah adalah asas umum hukum Islam dalam bidang muamalah. Asas ini dirumuskan dalam adagium " pada dasarnya segala sesuatu itu boleh sampai ada dalil yangmelarang". Asas ini merupakan kebalikan dari asas yang berlaku dalam hal ibadah. Khususnya di dalam perjanjian, ini berarti bahwa tindakan hukum dan perjanjian apapun dapat dibuat sejauh tidak ada larangan khusus mengenai perjanjian tersebut. 10. Asas Kebebasan Berakad (Mabda' Hurriyah at-Ta'aqud) Suatu prinsip hukum yang menyatakan bahwa setiap orang dapat membuat akad jenis apapun tanpa terikat dan memasukkan klausal
xci
apa saja ke dalam akadnya itu sejauh tidak ada unsur kebatilan di dalamnya. 11. Asas Konsensualisme (Mabda'ar-Radhaiyah) Asas ini menyatakan bahwa terciptanya suatu perjanjian
cukup
dengan tercapainya kata sepakat antar para pihak tanpa perlu dipenuhinya formalitas-formalitas tertentu 12. Asas janji itu mengikat. Dalam Al-Qur'an banyak terdapat perintah untuk memenuhi janji. Juga dalam Hadits Shahih, salah satu ciri sebagai munafiq ialah bila berjanji tidak mau menepati janjinya. 13. Asas Keseimbangan (Mabda' at-Tawazun fi al-Muawadah) Dalam hukum perjanjian Islam menekankan perlu adanya keseimbangan baik apa yang diberikan dengan apa yang diterima. 14. Asas Kemaslahatan (tidak memberatkan) Akad ini dibuat dengan tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan dan tidak boleh menimbulkan kerugian (mudharat) atau keadaan memberatkan (masyaqah). 15. Asas Amanah. Masing-masing pihak haruslah beriktikad baik, tidak diperkenankan memanfaatkan
mengeksploitasi
ketidaktahuan
mitranya
dan
hendaknya diberikan informasi yang cukup dan jujur kepada pihak yang lain. 16. Asas Keadilan. Keadilan inilah yang ingin diwujudkan oleh semua hukum. Dalam hukum Islam, keadilan adalah perintah agama sebagaimana Firman Allah dalam Al Qur'an Surat Al-Maidah : 8 yang artinya " Berlakulah adil, karena adil itu lebih dekat dengan taqwa".78 Perbankan Islam atau yang lazim disebut Perbankan Syariah sebagai Lembaga Intermediasi Keuangan (Financial Intermediaty 78
Prof Dr. H. Abdurrahman, SH. Hukum Perjanjian Syariah di Indonesia, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2008, hal.37
xcii
Institution) mulai tumbuh sejak deregulasi dibidang perbankan pada tahun 1988 yang memberikan kemudahan bagi pendirian bank-bank baru, termasuk diperbolehkannya pendirian bank dengan bunga nol persen (zero interest) yang secara implisit berarti telah mengijinkan operasional perbankan yang bebas
bunga (Interest free banking).
Dengan lahirnya Undang-undang nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan semakin memberikan angin segar dalam menumbuh kembangkan operasional perbankan yang tidak didasarkan pada sistem bunga, tetapi didasarkan melalui mekanisme bagi hasil, hal ini dikuatkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 1992 tentang bagi hasil. Selanjutnya Perbankan
dengan
dengan
adanya
Undang-undang
amandemen Nomor
10
Undang-undang Tahun
1998
memperbolehkan operasional bank berdasarkan prinsip Syari’ah baik Bank umum maupun Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Di dalam pasal 13 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan, menyebutkan bahwa prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara Bank dan pihak lain untuk penyimpanan dan atau pembiayaan kegiatan usaha atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan Syari’ah diantaranya adalah : e. Pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (Mudharabah). f. Pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (Musyarakah). g. Prinsip
jual
beli
barang
dengan
memperoleh
keuntungan
(Murabahah). h. Pembiayaan barang nodal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (Ijarah) atau adanya pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (Ijarah Wa Iqtiqna’). Pengalaman selama masa krisis ekonomi ini memberikan pelajaran berharga, dengan prinsip risk sharing (berbagai resiko) atau
xciii
profit and loss sharing (bagi hasil) merupakan suatu prinsip yang dapat berperan meningkatkan ketahanan satuan-satuan ekonomi. Dalam keadaan ekonomi yang memburuk, pengusaha akan memikul sendiri resiko dan kejatuhan usaha, walau kejatuhan tersebut tidak disebabkan oleh kesalahan. Atau ketidakmampuan pengusaha tersebut. Meskipun pada akhirnya mungkin akan menjadi risk sharing melalui debt workout dan lain sebagainya, namun prosesnya lebih memakan waktu, tenaga dan biaya. Lain halnya dengan prinsip syariah, penyaluran dana dilakukan berdasarkan prinsip syariah yaitu prinsip bagi hasil atau berbagai resiko (profit and loss sharing) antara pemilik dana dan pengguna sudah diperjanjikan secara jelas sejak awal. Prinsip syariah berlandaskan nilai keadilan, kemanfaatan, keseimbangan dan keuniversalan. Nilai tersebut diterapkan dalam pengaturan perbankan yang didasarkan pada Prinsip Syariah yang disebut Perbankan Syariah. Prinsip perbankan syariah merupakan bagian dari ajaran Islam yang berkaitan dengan ekonomi. Salah satu prinsipnya dalam ekonomi Islam adalah larangan riba dalam segala bentuknya dan menggunakan sistem prinsip bagi hasil. Dengan sistem ini Bank Syari'ah dapat menciptakan iklim investasi yang sehat dan adil karena semua pihak dapat saling berbagi keuntungan maupun potensi resiko yang timbul, sehingga akan menciptakan posisi yang berimbang antara pihak bank dan nasabah. Dalam jangka panjang, hal ini akan mendorong pemerataan ekonomi nasional karena hasil keuntungannya tidak hanya dinikmati oleh pemilik modal, tetapi juga oleh pengelola modal.79 Rumusan dalam sistem perbankan syariah yang sama sekali berbeda dengan sistem perbankan konvensional. Hal ini karena perbankan yang memiliki akar dari syariah yang menjadi sumber dan panduan bagi setiap muslim dalam melaksanakan aktivitasnya. Islam 79
Undang-undang perbankan syariah dan surat berharga syariah, FM. Fokus Media, 2008 hal.83
xciv
memilih tujuan-tujuan syariah (Maqasid al syariah) serta petunjuk operasional untuk mencapai tujuan tersebut, tujuan itu sendiri selain mengacu pada kepentingan manusia untuk mencapai kesejahteraan dan kehidupan yang lebih baik, juga memiliki nilai yang sangat penting bagi persaudaraan dan keadilan sosio ekonomi serta menuntut tingkat kepuasan yang seimbang antara kepuasan duniawi dan ukhrowi. Dari dasar tersebut, maka sistem perbankan Islam dalam membangun jaringan transaksi atau hukum kontrak dan atau dalam hukum islam disebut
" akad-akad syariah", melalui suatu standar
istilah yang bersumber dari Al Qur'an dan As-Sunah, oleh karena itu tulisan ini akan membahas tentang penerapan Hukum Kontrak dalam Pembiayaan Perbankan Islam. 2. Bentuk-bentuk
Wanprestasi
Dalam
Hukum
Kontrak
Dalam
Pembiayaan Murabahah Dalam syariah, akad yang dilakukan memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi, karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Seringkali nasabah berani melanggar kesepakatan/perjanjian yang telah dilakukan bila hukum itu hanya berdasarkan hukum positif belaka, tapi tidak demikian bila perjanjian tersebut memiliki pertanggungjawaban hingga yaumil qiyamah nanti. Setiap akad dalam perbankan syariah, baik dalam hal barang, pelaku transaksi, maupun ketentuan lainnya harus memenuhi ketentuan akad, seperti tukun dan akad. Berbeda dengan perbankan konvensional pada perbankan syariah jika terdapat perbedaan atau perselisihan antara bank dengan nasabahnya, maka kedua belah pihak tidak menyelesaikannya dengan peradilan negeri, tetapi menyelesaikannya sesuai dengan tata cara dan hukum syariah.
xcv
Lembaga yang mengatur hukum materi dan atau berdasarkan prinsip syariah di Indonesia dikenal dengan nama Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS). Dan berdasarkan UU No.3 tahun 2006 tentang Amandemen
UU No.7 tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama, maka sengketanya bisa diselesaikan melalui Pengadilan Agama. Bank Syariah dapat memiliki struktur yang aman dengan Bank Konvensional, misalnya dalam hal Komisaris dan Direksi. Tapi unsur yang
amat
membedakan
antara
Bank
Syariah
dengan
Bank
Konvensional adalah keharusan adanya Dewan Pengawas Syariah yang bertugas mengawasi operasional bank dan produk-produknya agar sesuai dengan garis-garis syariah. Sesuai dengan pasal 32 Undangundang Nomor 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah. Dewan wajib dibentuk di Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS. Dewan Pengawas Syariah biasanya diletakkan pada posisi setingkat Dewan Komisaris pada setiap bank. Hal ini untuk menjamin efektivitas dari setiap opini yang diberikan oleh Dewan Pengawas Syariah. Karena itu biasanya oipini yang diberikan oleh Dewan Pengawas Syariah dilakukan oleh Rapat Umum pemegang saham, setelah para anggota Dewan Syariah itu mendapat rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional. Dalam bank syariah, bisnis dan usaha yang dilaksanakan tidak terlepas dari saringan syariah. Karena itu bank syariah tidak akan mungkin membiayai usaha yang terkandung di dalamnya hal-hal yang diharamkan. Dalam perbankan syariah suatu pembiayaan tidak akan disetujui sebelum dipastikan beberapa hal pokok yang diantaranya adalah : a) Apakah objek pembiayaan halal atau haram ? b) Apakah proyek menimbulkan kemudharatan bagi masyarakat ?
xcvi
c) Apakah proyek berkaitan dengan perbuatan mesum/asusila ? d) Apakah proyek berkaitan dengan perjudian ? e) Apakah usaha itu berkaitan dengan industri senjata pembunuh masal ? f) Apakah proyek dapat merugikan syiar Islam, baik secara langsung atau tidak langsung ? Sebuah bank
syariah selayaknya memiliki lingkungan kerja
yang sejalan dengan syariah. Dalam hal etika, misalnya sifat amanah dan shiddiq harus melandasi setiap karyawan sehingga tercermin integritas eksekutif muslim yang baik. Disamping itu karyawan bank syariah harus skilfull dan profesional (fathonah) dan mampu melaksanakan tugas secara team work dimana informasi merata di seluruh fungsional organisasi (tabligh). Demikian pula dalam hal reward dan punishment, diperlukan prinsip keadilan yang sesuai dengan syariah. B. Pembahasan 1. Implementasi Hukum Kontrak Dalam Pembiayaan Murabahah Dalam Realitasnya di Bank Muamalat Indonesia Cabang Surakarta. PT Bank Muamalat Indonesia Tbk didirikan pada 24 Rabius Tsani 1412 H atau 1 Nopember 1991, diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Pemerintah Indonesia, dan memulai kegiatan operasinya pada 27 Syawwal 1412 H atau 1 Mei 1992. Dengan dukungan nyata dari eksponen Ikatan Cendekiawan Muslim seIndonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha Muslim, pendirian Bank Muamalat juga menerima dukungan masyarakat, terbukti dari komitmen pembelian saham Perseroan senilai Rp 84 miliar pada saat penandatanganan akta pendirian Perseroan. Selanjutnya, pada acara silaturahmi peringatan pendirian tersebut di Istana Bogor, diperoleh
xcvii
tambahan komitmen dari masyarakat Jawa Barat yang turut menanam modal senilai Rp 106 miliar. Pada tanggal 27 Oktober 1994, hanya dua tahun setelah didirikan, Bank Muamalat berhasil menyandang predikat sebagai Bank Devisa. Pengakuan ini semakin memperkokoh posisi Perseroan sebagai bank syariah pertama dan terkemuka di Indonesia dengan beragam jasa maupun produk yang terus dikembangkan. Pada akhir tahun 90an, Indonesia dilanda krisis moneter yang memporakporandakan sebagian besar perekonomian Asia Tenggara. Sektor perbankan nasional tergulung oleh kredit macet di segmen korporasi. Bank Muamalat pun terimbas dampak krisis. Di tahun 1998, rasio pembiayaan macet (NPF) mencapai lebih dari 60%. Perseroan mencatat rugi sebesar Rp 105 miliar. Ekuitas mencapai titik terendah, yaitu Rp 39,3 miliar, kurang dari sepertiga modal setor awal. Dalam upaya memperkuat permodalannya, Bank Muamalat mencari pemodal yang potensial, dan ditanggapi secara positif oleh Islamic Development Bank (IDB) yang berkedudukan di Jeddah, Arab Saudi. Pada RUPS tanggal 21 Juni 1999 IDB secara resmi menjadi salah satu pemegang saham Bank Muamalat. Oleh karenanya, kurun waktu antara tahun 1999 dan 2002 merupakan masa-masa yang penuh tantangan sekaligus keberhasilan bagi Bank Muamalat. Dalam kurun waktu tersebut, Bank Muamalat berhasil membalikkan kondisi dari rugi menjadi laba berkat upaya dan dedikasi setiap Kru Muamalat, ditunjang oleh kepemimpinan yang kuat, strategi pengembangan usaha yang tepat, serta ketaatan terhadap pelaksanaan perbankan syariah secara murni. Melalui masa-masa sulit ini, Bank Muamalat berhasil bangkit dari keterpurukan. Diawali dari pengangkatan kepengurusan baru dimana seluruh anggota Direksi diangkat dari dalam tubuh Muamalat, Bank Muamalat kemudian menggelar rencana kerja lima tahun dengan
xcviii
penekanan pada (i) tidak mengandalkan setoran modal tambahan dari para pemegang saham, (ii) tidak melakukan PHK satu pun terhadap sumber daya insani yang ada, dan dalam hal pemangkasan biaya, tidak memotong hak Kru Muamalat sedikitpun, (iii) pemulihan kepercayaan dan rasa percaya diri Kru Muamalat menjadi prioritas utama di tahun pertama kepengurusan Direksi baru, (iv) peletakan landasan usaha baru dengan menegakkan disiplin kerja Muamalat menjadi agenda utama di tahun kedua, dan (v) pembangunan tonggak-tonggak usaha dengan menciptakan serta menumbuhkan peluang usaha menjadi sasaran Bank Muamalat pada tahun ketiga dan seterusnya, yang akhirnya membawa Bank kita, dengan rahmat Allah Rabbul Izzati, ke era pertumbuhan baru memasuki tahun 2004 dan seterusnya. Hingga akhir tahun 2004, Bank Muamalat tetap merupakan bank syariah terkemuka di Indonesia dengan jumlah aktiva sebesar Rp 5,2 triliun, modal pemegang saham sebesar Rp 269,7 miliar serta perolehan laba bersih sebesar Rp 48,4 miliar pada tahun 2004. Bank Muamalat Indonesia Bank Syariah pertama di Indonesia yang menggunakan prinsip bagi hasil. Dalam operasionalmya juga berdasarkan aqidah dan moral Islam, sehingga akan tercapai keselamatan dan kesejahteraan di dunia dan akherat. Perbankan
syariah
dengan
prinsip
bagi
hasilnya
telah
membuktikan dirinya sebagai bank yang tangguh dalam melewati krisis ekonomi di Indonesia. Saat badai krisis moneter melumpuhkan pertengahan tahun 1997 lalu, puluhan bank konvensional terpaksa dilikuidasi, dibekukan dan sebagian terpaksa direstrukturisasi di badan Penyehatan Perbankan Nasional. (BPPN)80. Bank Muamalat Indonesia (BMI) ketika itu manjadi satu satunya bank syariah, seakan-akan tidak terpengaruh bahkan Bank Muamalat Indonesia berhasil meningkatkan dana pihak ketiganya. 80
Yovi Indra, Pelaksanaan Pembiayaan Musyarakah Sebagai Penyertaan Modal Dengan Prinsip bagi Hasil pada Perbankan Syariah (Studi pada Bank Syariah Mandiri Cabang Surakarta), Fakultas Hukum UNAND, 2006, hlm. 3
xcix
Disaat bank-bank sibuk dengan program rekapitulasi: yaitu program yang dilaksanakan dalam rangka memperkuat permodalan bank umum melalui penyertaan modal oleh pemegang saham/pemilik maupun oleh investasi baru dan penyertaan modal negara dan bingung menghadapi negative spread,. Bank Muamalat tetap terus beroperasi tanpa harus ikut program rekapitulasi dan satu-satunya bank yang mengalami positive spread.81 Bank syariah dengan kebijakan tanpa bunga tapi dengan prinsip bagi hasilnya membuat terbebas dari negatif spread yaitu kondisi dimana suku bunga yang diberikan pada penabung jauh lebih besar dibanding suku bunga yang diberikan kepada peminjam akibatnya bank harus menanggung selisih bunga. Ide pendirian Bank Muamalat Indonesia dari MUI pada lokakarya “bunga bank dan perbankan”, pada tanggal 18-20 Agustus 1990 di Cisarua Bogor, Jawa Barat. Kemudian dipertegas lagi dengan MUNAS VI MUI di Hotel Sahid Jaya Jakarta tanggal 22-25 Agustus 1990, dari sinilah berawal duimulainya langkah untuk mendirikan Bank Islam, Bank Muamalat Indonesia (BMI) merupakan hasil kerja tim perbankan MUI yang akte pendiriannya ditandatangani pada tanggal 1 Nopember 1991, dan Bank Muamalat Indonesia mulai berioperasi pada tanggal 1 Mei 1992 dengan memberikan layanan perbankan Islam kepada nasabah, berdasarkan izin prinsip, Surat Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 1223/MK.013/1991 tanggal 5 Nopember 1991 dan ijin Usaha Keputusan
Menteri Keuangan Republik Indonesia No.
430/KMK/013/1992 tanggal 24 April 199282. Pendirian Bank Muamalat Indonesia ini mendapat dukungan dari berbagai kalangan, baik pemerintah, pengusaha maupun Cendekiawan Muslim Indonesia,
(ICMI) yang tergabung dalam 227 pemegang
81
Ibid, hal.2 Karnaen perwataatmaja dan Muhammad Syafeí Antonio, Apa dan bagaimana Bank Islam, Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1992, hlm. 84-85.. 82
c
saham pendiri. Dukungan ICMI adalah dengan membentuk tim pendanaan, Tim Hukum, dan Tim Anggaran Dasar. Bank Muamalat Indonesia secara resmi beroperasi tanggal 1 Mei 1992 dengan modal awal sebesar Rp 106.126.382.000,- beserta SK Menteri Keuangan RI Nomor : 1223/MK.013/1991 tertanggal 5 Nopember 1991 dan ijin Usaha Bank SK Menteri Keuangan Nomor : 430/KMK.013/1992 tertanggal 24 April 1992. Dalam upaya memperkuat permodalan Bank Muamalat Indonesia mencari pemodal yang potensial dan ditanggapi secara positif oleh Islam. Development Bank (IDB) yang berkedudukan di Jedah, Arab saudi pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) tanggal 21 Juni 1999, IDB secara resmi menjadi salah satu pemegang saham Bank Muamalat Indonesia. Bank Muamalat Indonesia (BMI) mempunyai visi menjadi Bank Syariah Utama di Indonesia, dominan di pasar spiritual dan dikagumi di pasar regional. Sedangkan misi Bank Muamalat Indonesia menjadi Role Model Lembaga Keuangan Syariah di dunia dengan penekanan pada semangat kewirausahaan, keunggulan manajemen dan orientasi investasi yang inovatif untuk memaksimalkan nilai stakeholder. 83 Perkembangan Bank Muamalat Indonesia hingga saat ini sangat menggembirakan. Hal ini menunjukkan Bank Syariah dengan konsep bagi hasil mampu bersaing dengan bank konvensional.salah satu momen penting yang tidak dapat dilupakan adalah krisis moneter yang melanda Indonesia khususnya sektor ekonomi, akan tetapi dengan keyakinan menjalankan roda perbankan syariah dengan hukum Allah, bank muamalat tetap eksis dalam menghadapi krisis tersebut. Dengan keyakinan penuh untuk membangun perekonomian umat, Bank Muamalat Indonesia terus melakukan dakwah. Pembukaan kantor cabang baru menjadi prioritas utama di tahun 2003. pada tahun 2003 83
Wawancara dengan Dian Safriana Hikmi, SE. Sekretaris BMI Cabang Surakarta
ci
sebagai tahun layanan dan jaringan telah membuka 23 kantor cabang pembantu di seluruh Indonesia, suatu angka fantastis yang belum pernah dicapai sebelumnya dalam kurun waktu 11 tahun. Salah satu yang menjadi prioritas Bank Muamalat adalah kota Surakarta yang juga dikenal dengan sebutan kota Solo. Pilihan terhadap kota Solo dilakukan dengan pertimbangan antara lain : 1. Letak. 2. Potensi Funding dan Lending 3. Komitmen Masyarakat terhadap Syariah Islam. Pada tanggal 8 September 2003
Bank Muamalat Indonesia
Cabang Solo memulai kegiatan operasional yang ditandai dengan peresmian Kantor Cabang Solo yang berkantor di Jl. Kapt. Mulyadi No.8 F Ruko Lojiwetan Pasar Kliwon, yang diresmikan oleh Wali Kota Solo pada saat itu Bapak Slamet Suryanto. Untuk mengakomodir kebutuhan nasabah atas layanan yang prima dan kantor yang lebih besar, maka pada tanggal 13 Nopember 2006 kantor cabang direlokasi ke Jl. Slamet Riyadi No.314 (Solo) depan ( Stadion Sriwedari) dan kantor lama berubah menjadi
kantor kas. BMI membuka kantor
layanan di RS PKU Muhammadiyah Surakarta di Jl. Ronggowarsito No.130 Surakarta. Dan pada bulan Juni 2008 BMI membuka pelayanan syariah Klaten di Jl. Pemuda No.295 Klaten. Pada tanggal 17 Desember 2009 BMI cabang Solo juga membuka 3 kantor cabang pembantu, yaitu Kartasura, Boyolali dan Wonogiri. Dimana untuk BMI kantor cabang Wonogiri menempati alamat di Jl. Jend. Sudirman No.21 Wonogiri. 84 2. Struktur Organisasi Bank Muamalat Indonesia Cabang Surakarta.
84
Wawancara dengan Ir. Chairil Noor Kepala Cabang BMI Cabang Surakarta.
cii
BOARD OF DIRECTOR
Administration Group Branch Manager Operation Manager
Marketing Account Manager
Service Assistant
Front Office · Customer Service · Teller
· · · · ·
Back Office Operasional Pembiayaan Kliring Umum Personalia
USP
D
a. Branch Manager : bertanggungjawabn semuanya. Bertanggungjawab terhadap semua operasional di Kantor Cabang b. Operating Manager. Sebagai pimpinan dan penanggungjawab organisasi utama di cabang yang bersangkutan, bertanggungjawab dalam arti yang seluas-luasnya untuk supervise aktifitas-aktifitas cabang, termasuk memastikan tercapainya operfasi cabang yang dapat memastikan tercapainya operasi cabang yang dapat memberikan keuntungan kepada cabang, ataupun Bank Muamalat Indonesia secara keseluruhan c. Resident Auditor Merupakan pihak yang didatangkan dari luar dan merupakan auditor keuangan yang akan mengaudit kinerja keuangan Bank Muamalat Indonesia.
d. Account Manager 1) Founding
ciii
Founding atau penanaman dana mempunyai tugas pokok yaitu melakukan langkah-langkah pemasaran atas produk-produk simpanan, melakukan pembinaan dan pelayanan atas accountaccount simpanan yang berada di bawah supervise yang bertanggungjawab atas pengelolaan dan pertumbuhan dan pihak ketiga. 2) Financing Financing penyaluran dana mempunyai tugas pokok antara lain sebagai berikut : · Melakukan sosialisasi atas prospek nasabah yang telah ditetapkan dalam target pembiayaan. · Melakukan collection terhadap data-data nasabah untuk melakukan analisa pembiayaan · Mengadministrasikan pendropingan atas usulan pembiayaan yang telah disetujui oleh komite pembiayaan. · Melakukan pembiayaan atas account-account pembiayaan yang berada di bawah supervisinya e. Back Office 1) Seksi Operasi Berfungsi mengkoordinasi, melaksanakan seluruh tugas dan pekerjaan unit operasi, khususnya bagian giro dan tabungan sera operasi pembiayaan dengan baik 2) Staf Kliring Mengkoordinir, melaksnakan seluruh tugas dan pekerjaan unit kliring serta mewakili bank dalam melaksanakan perhitungan kliring di lembaga Kliring Bank Indonesia.
f. General Affairs
civ
Berfungsi sebagai bagian yang ditugaskan untuk mensupport semua kegiatan bank, yang mempunyai tugas : melaksanakan
dan
mengendalikan saldo kas kecil sehingga diharapkan tetap dibawah limit, memonitor pembebanan dari kantor pusat. g. Teller Sebagai petugas front office untuk menangani seluruh setoran, penarikan tunai dari bank ke bank. h. Customer Service 1) Melayani dan membantu nasabah yang ingin membuka rekening dan memberikan informasi yang lengkap mengenai persyaratan dan ketentuan-ketentuan tabungan, deposito dan rekening koran. 2) Memeriksa dan mengadministrasikan semua permohonan dan kartu ATM yang masuk dan mendistribusikan kepada nasabah. 3) Menangani dan mencari jalan pemecahan atas keluhan-keluhan nasabah dengan berkonsultasi pad aatasan langsung atau pejabat yang berkompeten . i. Credit Support/USPD Officer (Unit Support/Penyaluran Dana) USPD Officer ini mempunyai bagian yang disebut dengan support penyaluran dana yang mempunyai tugas pokok sebagai berikut : 1) Mempersiapkan proses pencairan pembiayaan 2) Mempersiapkan proses pelepasan jaminan, baik pelepasan jaminan seluruhnya, sebagian, sementara, maupun penukaran jaminan. 3) Melakukan penutupan asuransi, membantu klaim asuransi. 4) Melakukan penyimpanan dokumen atau data yang berhubungan dengan pembiayaan Murabahah dalam fiqh Islam berarti suatu bentuk jual beli ertentu ketika penjual menyatakan biaya perolehan barang, meliputi harga barang dan biaya-biaya lainnya yang dikeluarkan untuk
cv
memperoleh barang tersebut dan tingkat keuntungan (margin) yang diinginkan. Murabahah pada awalnya merupakan konsep jual beli yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pembiayaan. Namun demikian, bentuk jual beli ini kemudian digunakan oleh perbankan syariah dengan beberapa konsep lain menjadi bentuk pembiayaan. Dalam akad saat ini belum ada keseragaman bentuk transaksi jual beli murabahah yang dilakukan oleh bank satu dengan bank syariah lain. Satu pihak bank syariah dalam melakukan akad transaksi jual beli murabahah masih mengacu pada pembiayaan nasabah, tetapi ada bank syariah yang mengkaji dan menyesuaikan dengan prinsip prinsip jual beli. Pada pelaksanaannya Bank Muamalat Indonesia Cabang Surakarta
dalam
melakukan
pembiayaan
murabahah
masih
mengacu pada pembiayaan nasabah atau konsumen, yakni dengan menyerahkan dana kepada nasabah untuk membeli barang kebutuhannya tersebut, dan hal ini merupakan salah satu alasan masyarakat yang mengatakan bank syariah tidak ada bedanya dengan bank konvensional, karena masyarakat mengetahui konsep jual beli yang ada merupakan konsep jual beli dalam perdagangan, dimana barang yang akan diperjual belikan merupakan milik daripada penjual atau barang tersebut benar-benar berasal dari bank. Konsep jual beli menurut Ulama Hanafiah, merupakan tukar menukar sesuatu yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat. Yang dimaksud dengan cara tertentu yang bermanfaat. Yang dimaksud dengan cara tertentu disini adalah dengan ijab dan kabul, atau juga bisa melalui saling memberikan barang dan menetapkan harga antara penjual dan pembeli.
cvi
Proses transaksi jual beli murabahah dilakukan oleh Bank Syariah dengan nasabah berdasarkan aturan yang berlaku adalah dengan tahap-tahap sebagai berikut : 1. Nasabah melakukan proses negoisasi atau tawar menawar keuntungan dan menentukan syarat pembayaran dan barang sudah berada ditangan bank syariah. Dalam negoisasi ini bank syariah sebagai penjual harus memberitahukan dengan jujur perolehan barang yang diperjual belikan beserta keadaan barangnya. 2. Apabila kedua belah pihak sepakat, tahap selanjutnya dilakukan akad untuk transaksi jula beli murabahah tersebut. 3. Tahap selanjutnya, bank syariah menyerahkan barang ini, hendaknya diperhatikan syarat penyerahan barang, misalnya sampai tempat pembeli atau sampai tempat penjual saja. Hal ini akan mempengaruhi biaya yang dikeluarkan dan akhirnya akan mempengaruhi biaya yang dikeluarkan dan akhirnya akan mempengaruhi harga perolehan barang. 4. Setelah penyerahan barang, nasabah melakukan pembayaran harga jual beli barang dan dapat dilakukan secara tunai atau dengan tangguh. Kewajiban nasabah adalah sebesar harga jual, yang eliputi harga pokok ditambah dengan keuntungan yang disepakati dan dikurangi dengan uang mika jika ada. Adapun tahap tahap murabahah yang dilaksanakan oleh Bank Muamalat Indonesia Cabang Pembantu adalah : 1. Permohonan pembiayaan. 2. Pemeriksaan syarat-syarat permohonan. 3. Persetujuan pembiayaan. 4. Pelaksanaan akad 5. Penyelesaian pembayaran
cvii
Dalam akad murabahah antara bank dengan nasabah yang dituangkan dalam kontrak murabahah minimal harus memuat halhal sebagai berikut : 1. Identitas nasabah dan bank 2. Pembiayaan dan penggunaannya 3. Pembayaran dan jangka waktu pembiayaan 4. Realisasi pembiayaan 5. Pengutamaan pembayaran 6. Biaya dan pengeluaran 7. Syarat-syarat penarikan pembiayaan Pembiayaan murabahah dengan akad jual beli yang ideal pada BMI cabang Surakarta belum dapat dilaksanakan secara syariah. Hal ini disebabkan karena bank belum bisa menjalankan konsep jual beli perdagangan umumnya yaitu menyediakan barang-barang yang dibutuhkan oleh nasabah dalam bentuk stock. Dan apabila bank melakukan hal tersebut, maka bank akan menanggung kerugian akibat adanya barang yang tidak terjual. Maka untuk mengatasi hal tersebut bank mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang kebutuhannya dari pihak ketiga. Nasabah sebagai wakil dari bank bertindak secara lepas dalam arti kata bank tidak harus mengetahui ataupun berhubungan dengan pemasok. Disini bank memberikan kuasa kepada nasabah untuk melakukan pembelian terhadap barangnya tersebut, Kuasa yang diberikan kepada BMI Cabang Surakarta tersebut dalam bentuk tertulis dan ditanda tangani sebelum pencairan dana atau tepatnya pada saat akad. Kuasa ini merupakan satu kesatuan dari Surat Permohonan Rencana Pencairan (SPRP) yang akan ditanda tangani oleh nasabah. Dan sebagai bukti dari pembelian barang tersebut nasabah menyerahkan faktur atau bukti pembelian barang kepada pihak bank.
cviii
Namun transaksi murabahah tersebut sah karena telah sesuai dengan prinsip syariah sebagai berikut : 1. Transaksi tidak mengandung unusur kezaliman. 2. Bukan riba 3. Tidak membahayakan pihak sendiri atau pihak lain. 4. Tidak ada penipuan 5. Tidak mengandung materi-materi yang diharamkan. 6. Tidak mengandung unsur judi Ketentuan mengenai akad murabahah sebagai produk penyaluran dana dalam perbankan syariah juga harus berpedoman pada pasal 19 ayat 1d, Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang mengatakan sebagai berikut : “ Menyalurkan pembiayaan berdasarkan akad murabahah, akad salam, akad istishna atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah “ Sesuai pengertian syariah menurut undang-undang tersebut adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. Jika ditelaah lebih lanjut pengertian murabahah adalah menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga lebih tinggi sebagai laba. Bank syariah harus memberitahukan secara jujur harga pokok barang tersebut dan tambahan atau besarnya biaya yang dikeluarkan. Dalam jual beli murabahah pada aprinsipnya penyerahan barang dilakukan pada saat jual beli (akad) dan membayarnya dapat dilakukan secara tunai atau angsuran. Dengan demikian ada ketentuan umum mengenai akad murabahah berdasarkan prinsip jual beli yang tidak terpenuhi dalam pelaksanaannya oleh bank. Adapun ketentuan yang tidak terpenuhi
cix
tersebut antara lain : mengadakan akad jual beli sebelum barang dibeli oleh nasabah sebagai wakil dan barang secara prinsip belum menjadi milik bank, sehingga belum dapat mewujudkan transaksi juala beli murabahah secara sempurna. Bank syariah menerapkan margin keuntungan terhadap produk-produk pembiayaan berbasis Natural Certainly Contract (NCC),
yakniu
akad
bisnis
yang
memberikan
kepastian
pembiayaan, baik dari segi jumlah maupun waktu. Pada BMI Cabang Surakarta besarnya margin keuntungan yang diterapkan dalam pembiayaan murabahah ini ditentukan oleh kantor pusat. Besarnya margin keuntungan ini dapat berubah setiapa saat sesuai ketentuan ALCO (Assets ang Liability Committee) ALCO merupakan dewan khusus atau tim yang mengelola manajemen dana, tim ini melakukan kegiatan secara rutin mengadakan pertemuan yang juga diatur secara rutin. Berdasarkan hasil wawancara di BMI Cabang Surakarta tanggal 7 dan 8 Januari 2010 narasumber Dian Safriana Hikmi, SE., bagian marketing. Berkaitan masalah margin keuntungan, lama jangka waktu pembiayaan murabahah besarnya margin keuntungan yang diterapkan oleh BMI cabang Surakarta. Semakin panjang jangka waktu pembiayaan, maka semakin besar pula margin keuntungan yang diperoleh bank. Pada BMI cabang Surakarta lamanya jangka waktu yang diberikan pada pembiayaan murabahah adalah 1 – 5 tahun dengan besarnya margin keuntungan antara 14 % - 16 %. Margin keuntungan yang diterapkan oleh BMI cabang Surakarta adalah margin keuntungan efektif (menurun), adalah perhitungan keuntungan yang semakin menurun sesuai dengan menurunnya harga pokok sebagai akibat adanya cicilan harga pokok, jumlah angsuran (harga pokok dan margin keuntungan) yang dibayar nasabah setiap bulan semakin menurun85. Dalam praktek yang dijalankan oleh BMI, dalam penetuan keuntungan murabah didasarkan perhitungan base landing rate (yang dinyatakan dalam bentuk presentase) yang dipergunakan oleh
85
Wawancara Dian Safriana Hikmi, SE. BMI Solo.
cx
bank konvensional walaupun telah diperoleh perhitungan terhadap angka yang akan digunakan sebagai dasar menetukan besarnya keuntungan, namun dalam penerapannya tetap memperhatikan bunga pasar. Bank syariah belum mempunyai keberanian dalam menetukan suatu jumlah tertentu dalam menghitung keuntungan murabahah yang seharusnya berbeda dengan bank konvensional. Dalam praktek yang dijalankan oleh BMI, dalam penentuan keuntungan murabahah didasarkan perhitungan base lending rate (yang dinyatakan dalam bentuk presentase) yang dipergunakan oleh bank konvensional walaupun telah diperoleh perhitungan terhadap angka yang akan digunakan sebagai dasar menentukan besarnya keuntungan, namun dalam penerapannya tetap memperhatikan bunga pasaar. Bank syariah belum mepunyai keberanian dalam menentukan suatu jumlah tertentu dalam menghitung keuntungan murabahah yang sharusnya berbeda dengan bank konvensional. Sedangkan hasil wawancara dengan nasabah Bayu Khrisnanto Nomor KTP. 33.7201.040387.0001 memiliki alamat Jalan Palem Nomor 20 Cemani Turi baru Grogol, Sukoharjo setelah terjadi kesepakatan dengan Bank melalui penandatanganan Akad Murabahah dimana telah terjadi kesepakatan dan pengertian dari kedua belah pihak bank dan nasabah, namun pihak nasabah merasa keberatan dengan margin sebesar 16 %, dimana margin tersebut tidak bisa diturunkan oleh pihak bank86. Ada faktor lain yang merupakan
besarnya keuntungan
terselubung yang dibungkus dengan nama lain dan perlu dikaji yaitu biaya administrasi yang dikenakan kepada nasabah, dimana besarnya dalam bentuk prosentase dari transaksi yang dilakukan atau dalam jumlah nominal yang setara dengan itu.
86
Wawancara dengan nasabah Bayu Khrisnanto, ..
cxi
2. Upaya-Upaya Kreditur Terhadap Debitur yang Wanprestasi Lahirnya Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan undang-undang nomor 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama telah membawa perubahan besar dalam eksistensi lembaga Peradilan Agama saat ini. Salah satu perubahan mendasar adalah penambahan wewenang lembaga Peradilan Agama antara lain dalam bidang ekonomi syariah. Disamping itu lahirnya undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf juga telah memberikan nuansa baru pada lembaga Peradilan Agama. Sebab pengaturan wakaf dengan undang-undang ini tidak hanya menyangkut tanah milikm tetapi juga mengatur tentang wakaf produktif yang juga menjadi kewenangan Lembaga Peradilan Agama untuk menyelesaikan berbagai sengketa dalam pelaksanaannya. Berdasarkan pasal 49 huruf (i) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara termasuk “ekonomi syariah”. Yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah yang meliputi bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, pergadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah dan bisnis syariah. Ruang lingkup wakaf berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tidak hanya dalam ruang lingkup benda tidak bergerak saja, tetapi meliputi benda wakaf bergerak, baik wujud atau tidak berwujud seperti uang, logam mulia, hak sewa, transportasi dan bendsa bergerak lainnya. Wakaf benda bergerak ini dapat dilakukan oleh wakif melalui lembaga keuangan syariah yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti Bank Syariah.
cxii
Kegiatan wakaf seperti ini termasuk dalam kegiatan ekonomi dalam arti luas sepanjang pengelolaannya berdasarka prinsip syariah. Ekonomi syariah dibahas dalam dua disiplin ilmu, yaitu ilmu ekonomi Islam dan ilmu ekonomi hukum Islam. ekonomi syariah yang menjadi kewenangan Lembaga Peradilan Agama yang diatur dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama berhubungan dengan ilmu hukum ekonomi yang harus diketahui oleh para Hakim di lingkungan lembaga Peradilan Agama. Dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang ada kaitanya dengan ekonomi syariah belum ada aturan khusus yang mengatur tentang hukum formil (hukum acara) dan hukum meteriel tentang ekonomi syariah. Pengaturan hukum ekonomi syariah yang ada selama ini adalah ketentuan yang termuat dalam kitab-kitab fiqih dan sebagian kecil terdapat dalam fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) dan dalam Peraturan bank Indonesia. Melihat kepada kasus-kasus yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa kepada badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) sehubungan dengan sengketa antara Bank Syariah dan nasabahnya, dalam penyelesaiannya BASYARNAS menggunakan dua hukum yang berbeda yaitu fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional dan KUH Perdata. Hal ini dilakukan guna mengisi kekosongan hukum dalam menyelesaikan suatu perkara. Sebelum lahirnya peraturan perundang-undangan yang mengatur hukum formil dan hukum materiil tentang ekonomi syariah, dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah sebaiknya hakim Pengadilan Agama mengusai hukum perjanjian yang terdapat dalam hukum perdata umum (KUH Perdata), juga semua fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional Indonesia dan Dewan Wakaf nasional Indonesia. Saat ini kelompok kerja Perdata Agama (Pokja-Perdata Agama) mahkamah Agung RI bekerjasama dengan Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat (PPHIM) sedang menyusun semacam Kompilasi Hukum
cxiii
Ekonomi Syariah untuk menjadi pegangan aparat lembaga Peradilan Agama. Murabahah merupakan salah satu bentuk jual beli ketika penjual secara eksplisit menyatakan biaya perolehan barang yang akan dijualnya dan menjual kepada orang lain dengan menambahkan tingkat keuntungan yang diinginkan. Murabahah merupakan produk yang paling banyak digunakan dalam perbankan syariah, karena dirasa jual beli dengan sistem margin keuntungan ini tidak terlalu memberatkan jika dibandingkan dengan sistem bunga yang diterapkan pada perbankan konvensional. Berdasarkan hasil wawancara di BMI cabang Surakarta tanggal 20 dn 222 Januari 2010 nara sumber M. Nur Amin, SE.Akt., bagian marketing dan Hanang Sudibyo bagian costumer Service87. Yang berkaitan kendala atau hambatan yang dihadapi di BMI cabang Surakarta dan solusinya : Kendala atau hambatan tersebut dapat terjadi dari pihak bank sendiri maupun dari pihak nasabah. Hambatan dari pihak bank berupa : 1. Rendahnya kemampuan bank dalam melakukan analisa dalam menentukan seberapa besar jumlah jaminan yang ditanggungkan oleh nasabah. Hal ini dapat berakibat jumlah jaminan tersebut akan mengalami penyusutan dalam harga. 2. Pengikatan jaminan murabahah yang kurang sempurna. 3. Lemahnya sistem informasi murabahah serta pengawasan dan administrasi pembiayaan bank. 4. Overlapping, wewenang para pengurus/penegang saham/komite pemutusan pembiayaan dalam proses analisa. Sedangkan dari pihak nasabah sendiri berupa pembayaran yang tidak sesuai dengan akad yang telah dibuat. Atau dapat dikatakan dengan adanya wanprestasi dari nasabah itu sendiri. Tidak sesuai disini dapat diartikan dengan lambat membayar atau tidak mampu membayar karena adanya alasan-alasan tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari, apabila salah satu pihak tidak melaksanakan salah satu dari apa yang diperjanjikannya atau pihak nasabah alpha, lalai, dan ingkar janji, maka pihak debitur/nasabah melakukan wanprestasi. Kriteria nasabah yang melakukan wanprestasi apabila :
87
Wawancara dengan M. Nur Amin, SE.Akt., dan Hanang Sudibyo. ..
cxiv
1. Debitur nasabah sama sekali tidak berprestasi. Dalam hal ini debitur sama sekali tidak memberikan prestasi. Hal itu disebabkan karena memang debitur memang tidak mau berprestasi atau bisa juga disebabkan karena memang kreditur obyektif tidak mungkin berprestasi lagi, atau secara subyektif tidak ada gunanya lagi untuk berprestasi. 2. Debitur/nasabah keliru dalam berprestasi. Disini debitur memang dalam fikirannya telah memberikan prastasinya, tetapi dalam kenyataannya, yang diterima debitur lainm dari pada yang diperjanjikan. Jadi, kelompok ini (tidak berprestasi) termasuk ” penyerahan yang tidak sebagaimana mestinya”, dalam arti tidak sesuai dengan yang diperjanjikan. 3. Debitur atau nasabah terlambat berprestasi. Disini debitur berprestasi, obyek prestasinya betul tetapi tidak sebagaimana diperjanjikan. Orang yang terlambat berprestasi dikatakan dalam keadaan lalai88. Sedangkan Bank Muamalat Indonesia mempunyai kriteria tersendiri mengenai seseorang dapat dikatakan melakukan wanprestasi. Kriteria tersebut dapat berupa : 1. Wanprestasi pada waktu pembiayaan berjalan. Wanprestasi pada waktu berjalan ini yang dimaksud adalah tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban yang telah diperjanjikan yang terutang dalam akad murabahah oleh nasabah. Jika nasabah seharusnya membayar angsuran sebulan sekali, namun karena suatu hal yang tidak memungkinkan nasabah membayar sesuai dengan akad, maka nasabah tersebut dapat mengajukan suatu permohonan untuk meminta tenggang waktu kepada pihak bank. Atau bisa juga antara nasabah dengan pihak bank melakukan perjanjian baru sesuai dengan kemampuan nasabah. Misalnya, nasabah yang tiap bulan harus mengangsur Rp 1.000.000,- selama 3 tahun, karena nasabah merasa keberatan, maka dapat diganti menjadi Rp 750.000,-/bulan selama 5 tahun, atau jika tidak untuk
88
Wawancara dengan M. Nur Amin, SE.Akt., dan Hanang Sudibyo, SE.
cxv
itu semua Bank Muamalat Indonesia Cabang Surakarta dapat mengambil kebijaksanaan diantaranya : a. Langsung memotong dana yang tersedia pada rekening nasabah, apabila nasabah tersebut mempunyai rekening di Bank Muamalat Indonesia cabang Surakarta. b. Bagi yang tidak mempunyai rekening di Bank Muamalat Indonesia Cabang Surakarta, maka apabila terjadi nasabah tersebut terlambat membayarnya nasabah berjanji dan dengan ini mengikatkan diri untuk membayar biaya administrasi kepada bank sebesar Rp 0,00069 x nominal angsuran (per hari ) untuk tiap-tiap
keterlambatan,
terhitung
sejak
saat
kewajiban
pembayaran tersebut jatuh tempo sampai dengan tanggal dilaksanakannya pembayaran kembali. Besarnya angka 0,00069 ini merupakan ketetapan mutlak dari seluruh perbankan yang ada. Tetapi besarnya ini tergantung kebijakan bank itu sendiri. c. Dalam
Bank
keterlambatan
Muamalat pembayaran
Indonesia dalam
Cabang
waktu
Surakarta
berjalan
dapat
diselesaikan dengan baik dan lancar. Hal ini dapat menjaga kestabilan operasional bank Muamalat Indonesia Cabang Surakarta. 2. Wanprestasi karena telah lewat waktu. Wanprestasi karena telah lewat waktu yang dimaksud adalah pada saat jangak waktu maksimum pembayaran cicilan terakhir, nasabah belum mampu melakukan pelunasan
pembayaran hutang-
hutangnya. Jadi apabila jangka waktu berakhirnya akad adalah 3 tahun, tetapi setelah lewat jangka waktu 3 tahun tersebut nasabah belum melunasi peinjamannya kepada pihak bank. Bank mendirikan peringatan kepada nasabah agar segera melunasi hutangnya tersebut. Peringatan tgersebut dilakukan
cxvi
sebanyak tiga kali. Apabila peringatan tersebut tidak dapat diindahkan oleh nasabah, maka sampai batas waktu yang telah diberikan, jaminan yang telah diberikan kepada bank dapat dilelang untuk melunasi hutang-hutangnya. Jika dari hasil lelangnya itu terdapat suatu kelebihan dari hutang yang seharusnya dibayar, maka sisa hasil pelelangan tersebut dapat dikembalikan kepada nasabah yang bersangkutan. Bank dalam mengatasi adanya wanprestasi mengadakan pendekatan secara kekeluargaan kepada nasabah yang bersangkutan melalui analisa pembiayaan yang bertugas melakukan pengawasan terhadap kelancaran suatu pembiayaan yang diberikan dan mengadakan
pembinaan-pembinaan
terhadap
nasabah
agar
penjanjian berjalan lancar, yaitu dengan mengetahui sebab-sebab wanprestasi serta membantu kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh nasabah dalam memenuhi kewajibannya sehingga dapat memenuhi kewajibannya pada bank dalam hal ini bank Muamalat Indonesia Cabang Surakarta. Pendekatan yang dilakukan oleh pihak bank ini merupakan hal yang sangat penting, sebab dati sini dapat diketahui sebab-sebab terjadinya wanprestasi secara mendalam, sehingga pihak bank dapat menentukan lebih lanjut lanhkah yang cepat dan tepat untuk dilaksanakan
dalam menghadapi wanprestasi tersebut. Ada dua
sifat nasabah yaitu : 1. Nasabah yang mempunyai itikad baik 2. Nasabah yang tidak mempunyai itikad baik Dalam
menghadapi
nasabah
yang
wanprestasi,
Bank
Muamalat Indonesia Cabang Surakarta menggunakan langkahlangkah sebagai upaya penyelesaian antara lain : 1) Terhadap nasabah yang beritikad baik a) Mengadakan pendekatan kekeluargaan.
cxvii
Hal ini dilakukan dengan jalan memberikan pengertian nasabah bahwa ia telah melakukan wanprestasi, maka akan merusak nama baik nasabah itu sendiri, selain itu akan menghambat operasional bank dalam memberikan pelayanan kepada nasabah yang memasukkan dananya kepada bank untuk sistem pembiayaan. b) Memberikan kesempatan dalam pengangsuran kewajiban tunggakan. Disini
diberikan
kesempatan
kepada
nasabah
untuk
melakukan pembayaran dengan cara dicicil sampai pinjaman itu lunas. c) Memberikan
kesempatan
untuk
mencarikan
pembeli
terhadap barang jaminan. Maksudnya pihak bank bersedia untuk menjualkan barang jaminan milik nasabah dengan harga umum. Namun biasanya nasabah menjual barang jaminannya
sendiri.
Karena apabila dijual oleh pihak bank, maka sekiranya jaminan tersebut sudah mencukupi kekurangan pinjamannya, akan
dilepas
begitu
saja
tanpa
mempertimbangkan
keuntungan bagi nasabah. Jika dijual oleh nasabah sendiri maka ia dapat memperoleh keuntungan yang lebih besar. Oleh karena itu rata-rata nasabah Bank Muamalamt Indonesia Cabang Surakarta lebih memilih menjual barang jaminannya sendiri. 2) Terhadap nasabah yang tidak beritikad baik. Langkah pertama yang diambil oleh pihak bank adalah mengusahakan tindakan yang dilakukan terhadap nasabah yang tidak beritikad baik.akan tetapi apabila langkah tersebut tidak bisa terselesaikan, maka pihak bank mengambil langkahlangkah selanjutnya sesuai dengan prosedur yang berlaku
cxviii
terhadap semua bentuk penyimpangan atas fasilitas/produk pembiayaan di Bank Muamalat Indonesia Cabang Surakarta yaitu : a) Perdamaian. Perdamaian adalah langkah yang sering ditempuh oleh bank, tidak
terkecuali
Bank
Muamalat
Indonesia
Cabang
Surakarta, karena hakekatnya yaitu bahwa nasabah yang baik selalu menjaga nama baiknya serta tidak mau kehilangan barang yang menjadi jaminan pada bank. Dalam hal ini bank mengembalikan posisi pembiayaan dari yang bermasalah menjadi lancar, sehingga dicapai pelunasan pembiayaan terhadap bank. b) Penjadwalan kembali pembayaram. Upaya ini merupakan lanjutan apabila cara perdamaian diatas tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Upaya penjadwalan kembali dilakukan oleh pihak bank jika nasabah pengguna fasilitas pembiayaan dengana prinsip syariah selalu mengalami keterlambatan dalam memenuhi kewajibannya yaitu pembayaran angsuran pokok, angsuran bagi hasil, atau pokok sekaligus marginya. Penjadwalan ulang ini perlu dilakukan pihak bank dengan harapan supaya pembayaran yang menjadi tanggungjawab nasabah dapat terpenuhi dengan baik dan lancar. c) Penataan kembali syarat pembiayaan (reconditioning). Upaya reconditioning dilakukan jika terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh nasabah terhadap syarat-syarat yang harus disertakan dalam permohonan pembiayaan semua fasilitas pembiayaan, serta perlu dilakukan penataan kembali terhadap syarat-syarat pembiayaan yang benar dan sesuai dengan aturan supaya tidak terjadi pembiayaan bermasalah.
cxix
d) Reorganisasi dan rekapitulasi. Upaya ini dilakukan terhadap nasabah berbentuk badan usaha yang dalam proses pembiayaan fasilitas, fasilitas yang diberikan oleh pihak bank merupakan penyimpangan terhadap informasi badan usaha dan laporan keuangan dari badan usaha tersebut sebagai syarat pembiayaan, serta tidak jelasnya
pihak
yang harus bertanggungjawab
atas
pembiayaan yang dilakukan, sehingga perlu dilakukan reorganisasi
untuk
menentukan
pihak
yang
paling
bertanggungjawab atas suatu fasilitas pembiayaan, sekaligus perlu dilakukan rekapitulasi terhadap laporan keuangan yang sesungguhnya dari badan usaha tersebut, apabila badan usaha tersebut tetap menghendaki pembiayaan tersebut. Sedangkan pengertian prinsip syariah menurut undangundang No.21 tahun 2008 adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa di bidang syariah. Dalam suatu aturan yang telah ditetapkan apabila tidak bisa dilaksanakan sebagaimana mestinya, maka terhadap perbuatan tersebut akan dikenakan sanksi. Menurut pasal 32 Undang-undang No.21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah, Dewan Pengawas Syariah adalah : 1. Dewan syariah wajib dibentuk di Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS. 2. Dewan syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia. 3. Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 bertugas memberikan nasehat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan Bak agar sesuai dengan Prinsip Syariah.
cxx
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur dengan Peraturan Bank Indonesia. Menurut Undang-undang No.21 tahun 2008 pasal 56 Bank Indonesia menetapkan sanksi administrasi kepadaBank Syariah atau UUS, anggota dewan komisaris, anggota Dewan Pengawas Syariah. Direksi dan atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS, yang menghalangi dan atau tidak melaksanakan prinsip syariah dalam menjalankan usaha atau tugasnya atau tidak memenuhi kewajiabnnya sebagaimana ditentukan dalam undang-undang ini. Sedangkan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini adalah dapat berupa : 1. Denda uang 2. Teguran tertulis 3. Penurunan tingkat kesehatan Bank Syariah dan UUS 4. Pelarangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring. 5. Pembekuan kegiatan usaha tertentu, baik untuk kantor cabang tertentu maupun Bank Syariah dan UUS secara keseluruhan. 6. Penghentian pengurus bank syariah dan bank umum konvensional yang memiliki UUS dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan Bank Indonesia. 7. Pencantuman anggota pengurus, pegawai, dan pemegang saham Bank Syariah dan bank Umum Konvensional yang memiliki UUS dalam daftar orang tercela di bidang perbankan dan atau 8. Pencabutan ijin usaha.
cxxi
Sebagaimana dijelaskan dimuka, bahwa kegiatan ekonomi syariah pada hakekatnya merupakan kegiatan akad syar’i atau perjanjian. Berdasarkan pengalaman sebagian besar sengketa dalam bidang hukum perjanjian adalah mengenai cidra janji dan resiko. Cidra janji atau wanprestasi dari debitur dapat berupa : a. Tidak melakukan apa yang disanggupi untuk dilakukan. b. Melakukan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan. c. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat. d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. Hukuman atau akibat yang dirasakan tidak enak oleh debitur yaitu : a. Mengganti kerugian yang diderita oleh kreditur atau membayar ganti rugi. b. Pembatalan perjanjian. c. Peralihan resiko, dan d. Membayar biaya perkara kalau sampai diperkarakan di Pengadilan. Maka perkara sengketa ekonomi syariah tersebut dapat diperkarakan merupakan perkara mengenai wanprestasi dan akibatnya. Untuk mengadili perkara sengketa wanprestasi, hakim terlebih dahulu harus menetapkan adanya wanprestasi tersebut. Kalau debitur menyangkal adanya wanprestasi tersebut, maka kreditur harus membuktikannya. Hakim harus menemukan apa yang dijanjikan dan kapan harus dipenuhi. Apabila dalam perjanjian tersebut ketentuan waktu pemenuhan prestasi tidak ditentukan dengan tegas, maka debitur terlebih dahulu harus mendapatkan perintah (somasi) dari pengadilan untuk memenuhi prestasi tersebut. Apabila ada waktu yang telah ditentukan debitur tidak memenuhinya, maka
cxxii
ia
dianggap wanprestasi. Apabila wanprestasi tersebut terbukti, maka pengadilan dapat menjatuhkan hukuman mengganti kerugian (ta’widl). Ta’widl tersebut dapat berupa penggantian pengeluaran biaya yang benar-benar telah dikeluarkan oleh kreditur, atau penggantian kerusakan yang menjadi akibat langsung dari wanprestasi, tersebut. Ketentuan ini diambil dari kaidah “ la dlarara wa la dhirara”, dilarang merugikan orang lain atau dirinya sendiri, sebab merugikan orang lain dan diri sendiri itu merupakan perbuatan dhulm. Menurut fiqih, dlarar itu tidak boleh dibalas dengan dlarar. Dlarar tersebut harus dihilangkan dengan ta’widl. Menurut syariah menghukum debitur yang cidra janji untuk membayar bunga dan keuntungan yang akan diperoleh, tidak dibenarkan. Tetapi pengadilan dapat menghukumnya dengan membayar denda yang merupakan salah satu klausul dalam perjanjian yang telah disepakati. Analisanya adalah sebagai berikut : Syarat tambahan dalam akad itu dapat dibedakan menjadi syarat sah, dan syarat fasad. Syarat yang dibenarkan dan syarat yang tidak dibenarkan. Syarat yang dibenarkan terdiri dari syarat yang menjadi tujuan akad, seperti syarat harus dibayar tunai, syarat yang bermanfaat serta dikenal, seperti syarat untuk dapat menempati sementara rumah yang telah dijual. Sementara itu syarat yang tidak dibenarkan (fasid) terdiri dari syarat yang menentukan bahwa pihak kedua akan melakukan akad lama dengan pihak kesatu, syarat yang bertentangan dengan tujuan akad seperti barang yang telah dibeli tidak boleh dijual kembali, dan syarat yang menggantung akad tersebut seperti syarat jual beli dengan digantungkan dengan kedatangan seseorang. Sementara itu klausul adanya denda apabila pelaksanaan prestasi terlambat, berguna dan bermanfaat bagi tujuan akad. Oleh karena itu klausul tersebut dapat dibenarkan. Kesimpulan ini diperkuat degan dalil Al Qur’an dan Hadits. Disamping itu debitur yang melakukan wanprestasi dapat dijatuhi hukuman untuk menanggung resiko yang bukan menjadi tanggungannya. Dengan ungkapan lain akad tersebut berubah dari
cxxiii
akad amanah menjadi akad dlamani. Terakhir debitur tersebut dapat dihukum membayar biaya perkara mengenai sengketa tersebut.
cxxiv
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan. Dari hasil penelitian dan pembahasan pokok permasalahan di dalam penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Pelaksanaan hukum kontrak dalam pembiayaan murabahah pada Bank Muamalat Indonesia (BMI) Cabang Surakarta, secara umum telah melaksanakan prinsip-prinsip syariah, sebagaimana diatur dalam undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah serta peraturan--peraturan lainnya seperti : fatwa-fatwa Dewan Syariah dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. 2. Upaya-upaya yang dilakukan pihak kreditur Bank Muamalat Indonesia (BMI) Cabang Surakarta, apabila debitur wanprestasi, pihak debitur melakukan tindakan persuasif dengan cara pembinaan kepada debitur dan hasilnya dapat menyelesaikan permasalahan secara damai, sehingga tidak terjadi sengketa di Pengadilan. B. Implikasi. Adapun pokok permasalahan yang dilakukan dalam penelitian dan pembahasan dalam penelitian ini, menimbulkan konsekuensi logis dari rumusan permasalahan sebagai berikut : 1. Bank Muamalat Indonesia (BMI) Cabang Surakarta telah melaksanakan prinsip-prinsip syariah secara komprehensif dalam hukum kontrak pembiayaan murabahah. Hal ini telah ada kesesuaian operasional Bank Muamalat Indonesia (BMI) Cabang Surakarta terjaga dengan baik. 2. Dalam mengantisipasi terjadinya debitur wanprestasi, pihak debitur Bank Muamalat Indonesia (BMI) Cabang Surakarta mengutamakan
cxxv
pendekatan persuasif dengan melakukan pembinaan kepada debitur untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya dan hak-haknya, sehingga dapat terjaga transaksi/kontrak antera kreditur dengan debitur sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. C. Saran 1. Bank Muamalat Indonesia (BMI) Cabang Surakarta yang dalam operasionalnya telah melaksanakan prinsip-prinsip syariah perlu dijaga agar Bank Muamalat Indonesia (BMI) Cabang Surakarta betul-betul dapat dipercaya sebagai bank syariah dan merupakan representasi dari bank-bank lainnya. 2. Bank
Muamalat
Indonesia
(BMI)
Cabang
Surakarta
perlu
mempertahankan upaya-upaya pembinaan terhadap debitur yang melakukan wanprestasi sebagai langkah untuk menempuh jalur perdamaian dengan tetap mempertahankan nilai-nilai yang terkandung dalam prinsip-prinsip ekonomi syariah, disamping itu
perlu
mensosialisasikan keberadaannya bersama tokoh-tokoh ormas Islam untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat muslim yangs ampai saat ini masih rendah pemahamannya tentang perbankan syariah, karena image masyarakat saat ini memandang perbankan syariah masih sebatas label yang tidak jauh berbeda dengan bank konfensional dalam operasionalnya.
cxxvi
DAFTAR PUSTAKA: -
Abdul Ghofur Anshori, 2006, Pokok-pokok Hukum Perjanjian Islam di Indonesia, Citra Media, Yogyakarta.
-
------------, 2007, Perbankan Syariah di Indonesia, ctk. Pertama, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
-
Abdul Manan. 2006, Aspek-aspek Pengubah Hukum, cet Ketiga, Kencana Prenada Media, Jakarta.
-
Abdul Manan, Hukum Kontrak Dalam Sistem Ekonomi Syariah, (Makalah), MARI , 2008.
-
Abdul Manan, 2008, Hukum Perbankan Syariah, Mahkamah Agung RI.
-
Abdul Manan, 2008, Sistem Ekonomi Berdasarkan Syariah, Mahkamah Agung RI.
-
Abdullah Al Muslih dan Shalah Ash Shawi, 2008, Ma La Yasa’ at-Tajra Jahluhu, terjemahan oleh, Abu Umar Basyir, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, ctk. Kedua, Darul Haq, Jakarta.
-
Abdurrahman Al Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala Madzahibil ‘Arba’a, 1990 Cet. III, Dar al-Kutub al-miyah, Beirut.
-
Adiwarman A Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, 2004, Edisi Ketiga, PT. Raja Grafindo Persada , Jakarta.
-
Ahmad Azhar Basyir, 2000, Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam ctk. Pertama, penerbit UII Press, Yogyakarta.
-
Al-Zuhaily Wahbah, 2004, Al Fiqh Al Islam wa ‘Adillatuhu, juz IV, Darul Fikri Al Mu’ahir, Damaskus.
-
Departemen Agama RI, 1993, Al-Qur’an dan Tafsirnya, cet ulang, PT. Citra Effhar Semarang.
-
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ctk.Ketiga, Balai Pustaka, jakarta.
-
Dimyaudin Djuwaini, 2008, Pengantar Fiqh Mu’amalah, ctk pertama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
-
Gemala Dewi, Wirduaningsih dan Yeni Salma Barlinti, 2005, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, edisi I, ctk. pertama, Kencana, Jakarta.
cxxvii
-
Ghufron A. Masadi, Fiqh Muamalah Kontekstual, cet.I (Jakarta Raya Grafindo Persada, 2002) hal.75.
-
Hasan Ali, AM, 2008, Asuransi Dalam perspektif Hukum Islam (Suatu Tinjauan Analisis Historis, Teoritis, dan Praktis) “, edisi Pertama, Ctk. Pertama Kencana, Jakarta.
-
Habib Nazir dan Muhammad Hasanaudin, 2004, Ensiklopedi Ekonomi dan Perbankan Syariah, Kaki Langit, Jakarta.
-
Hartono Hadisoeprapto, 1984, Pokok-pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, cet. Pertama, Liberty, Yogyakarta.
-
Hasby Ash-Shiddieqy, 1998 cet.1, Pengantar Fiqh Muamalah, Bulan Bintang, Jakarta,
-
Heri Sudarsono, 2003, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah (Diskripsi dan ilustrasi) cet. Pertama, Ekonisia, Yogyakarta.
-
Imaduddin Abdulrahim Muhammad, 1999, Islam Sistem Nilai Terpadu, cet. Kedua, Yayasan Pembina Sari Insan (Yasin) CV. Kuning Mas, Jakarta.
-
John Echols dan Hassan Sadelycet. XII, kamus Inggris – Indonesia, 1995, PT. Gramedia, Jakarta.
-
Majelis Ulama Indonesia (MUI), Himpunan fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN MUI bekerjasama dengan bank Indonesia)
-
Mahmud Yunus, 1990 kamus Arab-Indonesia, Hidakarya Agung, Jakarta.
-
Mariam Badruzzaman, Hukum Perjanjian Syariah dalam Kompilasi Hukum Perikatan, 2001, cet. I, Citra Aditya Bakti, Bandung.
-
---------, 1996, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelesan, Alumni, Bandung.
-
Muhammad, 2004, Manajemen Dana Bank Syariah, Ekonosia Kampus Fakultas Ekonomi, UII, Yogyakarta.
-
Muhammad, Teknik Perhitungan bagi Hasil dan Profit Margin Pada Bank Syariah, 2004, UII Press, Yogyakarta.
-
Muhammad Daud Ali, 2000, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, cet. Kedelapan, Penerbit Raja Grafindo Persada, Jakarta.
-
Muhammad Firdaus NH., dkk, 2005, Konsep dan Implementasi Bank Syariah, Renaisan, Jakarta.
-
Muhammad Syafi’i Antonio, 2005, Bank Syariah Dari Teori ke Praktek, cet, kesembilan, Gema Insani danTazkia Cendekia, Jakarta.
-
Muhammad Syafi Antonio, 2002, Bisnis dan Perbankan Perspektif Islam, Tazkia Institute, Jakarta, hal-23.
cxxviii
Dalam
-
Muhammad Firdaus NH. Dr. Dkk, 2005, cet. I, Cara Mudah Memahami Akad-akad Syariah, Briefease.
-
-----------, Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendekiawan, Bank Indonesia.
-
Peraturan Bank Indonesia Nomor : 9.19/PBI/2007
-
Salim HS., Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak), 2009, cet. Keenam , Sinar Grafika, Jakarta.
-
----------, 2004, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
-
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, 1986, Angkasa, Bandung.
-
-----------, Pemanfaatan Ilmu Sosial Bagi Pemanfaatan Ilmu Hukum, 1977, Alumni, Bandung.
-
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, aliha bahasa H. Kamaluddin A. Marzuki, 1993, jilid 12, PT. Al-Maarif , Bandung.
-
Setiono, H., Pemahaman Terhadap Metodologi Penelitian Hukum, 2005, Program Studi Ilmu Hukum Pasca Sarjana UNS Surakarta.
-
Soebekti R., 2003, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, jakarta.
-
------------, 1979, Aspek-aspek Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung.
-
Subekti R dan Tjitrosudibyo R., Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), 2001, cet. Tiga Puluh Satu, Pradnya Paramita, Jakarta.
-
Soerjono Soekanto, 1986, cet. III. Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta.
-
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 2001, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, CV. Rajawali, Jakarta, hal.1
-
Soetandyo Wignjo Soebroto, Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, 2007, Huma, Jakarta.
-
Setiono, 2004, Methode Penelitian Hukum, Bahan Kuliah, pasca sarjana UNS, hal.33
-
Sofiniyah Ghufron (penyunting), 2005, Cara Mudah Memahami Akadakad Syariah, cet. Pertama, Penerbit Renaisan, Jakarta.
-
Solichin Abdul Wahab, Analisa Kebijaksanaan Dari Formulasi ke Impelementasi Kebijaksanaan Negara, 2007, PT. Bamu Aksara, Jakarta.
-
Surat Keputusan Direktur Bank Indonesia Nomor : 32/34/KEP/DIR.
-
Surat Keputusan Direktur Bank Indonesia Nomor : 32/36/KEP/DIR.
-
Suroso, Jual Beli Murabahah, 2005, UII Press, Yogyakarta.
cxxix
-
Sutan Remy Syahdeni, 2007, Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, cet. Ketiga, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.
-
Syamsul Anwar, 2007, Hukum Perjanjian Syariah Studi Tentang Teori Akad Dalam Fiqih Muamalah, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
-
Undang-undang Perbankan Syariah dan Surat Berharga Syariah, 2008, FM. Fokus Media, Jakarta.
-
Univ. Muhammadiyah Yogyakarta, 2003, Modul Manajemen Pembiayaan L3PR Syariah Penelitian UMY, Yogyakarta.
-
Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
-
Yusuf Qardawi, Peran Nilai dan Moral Dalam Perikatan Islam, alih bahasa Didin Hafifudin, dkk, cet. 1 (Jakarta : Rabbani Press, 1997).
JURNAL INTERNATIONAL : -
E-Journal-Blog, Decontrukction of Capitalism and Recontrucstion of Islamic Economic, About Islamic Economic, Bussines and Finance, 2010 http://Islam-Economy, Blogspot.com. Posted on January 25.
-
E-Journal-Blog, Critism to Time Value of Money and the Islamic Economic Solutions, About Islamic Economic, Bussines and Finance, http://Islam-Economy, Blogspot.com. Posted on January 25, 2010.
-
E-Journal-Blog. The Critical Mission of Muslim Economits, About Islamic Economic, Bussines and Finance, http://Islam-Economy, Blogspot.com. Posted on January 25, 2010.
-
E-Journal-Blog, The Performance of Malaysian Islamic Bank During 19841997 : An Exploratory Study, About Islamic Economic, Bussines and Finance, http://Islam-Economy, Blogspot.com. Posted on January 25, 2010.
-
E-JournalBlog,http://www.rumahilmuindonesia.net/perpustakaan/ekonomi_ syariah.
-
E-Journal-Blog, file:/1:/journal/Ijara (Islamic Leasing 0 in the contex of Islamic Finance. Htm.http:/Islamic Economic, Bussines and Finance
cxxx