Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 2004
IMMUNOLOGI PENYAKIT PARASITER METAZOA DAN PROSPEK PENGEMBANGAN VAKSIN Risa Tiuria. Laboratorium Helmintologi, Departemen Parasitologi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan – Institut Pertanian Bogor Jalan Agatis Kampus IPB, Darmaga, BOGOR-16680 Tel. 0251-627272; E-mail :
[email protected]
PENDAHULUAN Indonesia masih memiliki prevalensi kecacingan yang cukup tinggi baik pada hewan maupun pada manusia. Penyakit ini menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup tinggi dan merupakan ancaman bagi kesehatan ternak pada umumnya. Pengendalian penyakit sampai saat ini hanya mengandalkan pada pemberian obat cacing (anthelmintika) secara berkala. Kendala yang diakibatkan oleh pemberian obat cacing yang terus menerus adalah timbulnya resistensi cacing terhadap anthelmintika (Ridwan, 2000). Kerugian yang ditimbulkan akibat parasit cacing dapat dicegah dan dikurangi apabila infeksi cacing dapat dikendalikan. Walaupun hingga saat ini belum ditemukan pengobatan dengan anthelmintika yang memuaskan, tetapi penanganan kombinasi antara pengobatan dan tata laksana peternakan merupakan strategi yang paling efektif untuk mengendalikan infeksi cacing. Lebih dari setengah abad para ahli ilmu kecacingan telah berusaha mencari pengobatan maupun pengendalian penyakit parasitik akibat infeksi cacing yang merupakan organisme yang berukuran besar dan mempunyai siklus hidup cukup unik. Keunikan siklus hidup dan morfologi cacing menimbulkan reaksi tersendiri pada pertahanan inang definitif dibandingkan dengan organisme yang lain seperti virus ataupun bakteri. Parasit memerlukan inang antara atau definitif untuk bisa melangsungkan siklus hidupnya, parasitpun harus berada diantara “menghindarkan reaksi tanggap kebal inang definitif dan menghindarkan kematian inang definitif”. Terdapat “semacam kompromi antara parasit dan inang definitif agar terjalin hidup bersama”. Jadi tidak mengherankan bahwa, mekanisme reaksi tanggap kebal inang defininitif terhadap infeksi parasit melibatkan seri mekanisme imunologi yang kompleks. Peningkatan ketahanan tubuh inang definitif yang bertujuan untuk mencegah berkembangnya cacing parasitik dalam tubuh inang definitif merupakan salah satu metoda pengendalian alternatif yang perlu dikembangkan. IMUNOLOGI PARASIT Helminthosis khususnya nematodosis merupakan penyakit parasitik yang prevalensinya cukup tinggi dan kerugian-kerugian yang ditimbulkan sangat berarti. Infeksi cacing parasitik berjalan kronis yang diakibatkan oleh lemahnya pertahanan alamiah dan kemampuan mengelak dari pertahanan immunologi spesifik inang definitif. Cacing- cacing tertentu berusaha untuk menghindar dari reaksi imunologik dengan mengubah antigen permukaannya atau melapisi permukaannya dengan protein inang definitif, misalnya dengan glikoprotein molekul MHC (Major Histocompatibility Complex) dan IgG sehingga dianggap sebagai self component (Kresno, 2001). Cara lain adalah mengubah struktur parasit setiap kali menunjukkan determinan antigen yang baru atau cacing dapat mengubah susunan biokimiawi permukaannya sehingga mencegah aktivasi komplemen (Hyde, 1990). Cacing parasitik dapat juga mengekspresikan ectoenzyme
40
Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 2004
yang dapat merombak antibodi sehingga mencegah terjadinya ADCC (Antibody Dependent Cell Cytotoxicity) (Tizard, 1995). Pada saat inang definitif terinfeksi oleh parasit, inang definitif akan terpapar oleh materi antigenik asal parasit yang terdiri dari antigen permukaan, antigen ekskretori-sekretori dan antigen somatik. Kompleksitas antigen parasit mengakibatkan komplikasi interaksi antara parasit dan inang definitif. Seperti misalnya, terjadi reaksi silang tidak hanya antara genus dan famili dari parasit tetapi juga dengan spesies inang definitif. Sebaliknya, dapat juga terjadi antigen spesifik untuk setiap siklus hidup parasit. Walaupun sebagian dari antigen asal parasit bisa merangsang tanggap kebal protektif inang definitif; namun sebagian lain yang tidak berfungsi untuk mengembangkan tanggap kebal inang definitif memiliki peran penting dalam immunodiagnosis. Hal ini diartikan bahwa komplikasi analisa dari fungsional antigen diperlukan untuk keberhasilan immunisasi dan keterlibatannya dalam reaksi immunopathologi (Mehlhorn, 1998). Kekebalan terhadap infeksi cacing yang hidup ekstraselular diperantarai reaksi antibodi imunoglobulin E dan sel eosinophil (Gambar 1). Ig E memiliki afinitas yang tinggi terhadap sel mast dan sel basofil melalui reseptor Fc∈RII. Pada saat inang terinfeksi parasit, maka level Ig E dalam serum akan meningkat. Parasit yang masuk dalam lumen usus, pertama kali akan dirusak oleh Ig G akibat adanya peradangan dan antigen spesifik. Peradangan ini terjadi terjadi diperantarai oleh peran Ig E dan mekanisme tanggap kebal sitotoksisitas seluler tergantung antibodi (ADCC). Mekanisme tersebut mengakibatkan Ig E melekat pada permukaan cacing. Selanjutnya terjadi perlekatan sel eosinophil melalui reseptor Fc yang menimbulkan teraktivasinya sel eosinophil sehingga mensekresikan protein yang bersifat toksik untuk cacing parasitik. Pada saat berikatan tersebut, sel eosinophil mendegranulasi dan melepaskan kandungan granulanya pada kutikula cacing. Kandungan granulanya antara lain superoksida, hidrogen peroksida, lisofosfolipase dan fosfolipase D. Kecenderungan sel eosinophil melepaskan peroksidase ekstraseluler menunjukkan bahwa peran utamanya adalah pertahanan jaringan terhadap invasi parasit.
Gambar 1. Komponen tanggap kebal dan peradangan dalam reaksi kekebalan protektif inang definitif pada infeksi neamatoda parasitik saluran pencernaan (Wakelin, 1996). Dalam upaya mendapatkan cara alternatif penanganan kecacingan pada ternak, perlu dilakukan penelaahan bahan-bahan bioaktif pada tubuh cacing yang dapat dikembangkan sebagai pemicu tanggap kebal inang definitif. Molekul yang diekskresikan dan disekresikan oleh cacing nematoda parasitik memberikan perubahan fungsional pada inang definitif. Molekul fungsional tersebut telah teridentifikasi sebagai Ekskretori-Sekretori (ES) yang bersifat immumodulator (Englund & Alan, 1988). Komponen biologi ES dihasilkan akibat aktivitas anabollik dan katabolik cacing parasitik. ES dilepaskan selama perjalanan infeksi cacing parasitik dan berperan sebagai sumber antigen protektif yang relevan dengan tanggap kebal inang 41
Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 2004
definitif. ES sebagai molekul biologik aktif berperan penting dalam kelangsungan hidup cacing parasitik pada phase jaringan (Yoshihara et. al. 1993). Hintz et.al. (1998) telah membuktikan bahwa ES larva Litomosoides sigmodontis pada Mastomys coucha memberikan pengaruh nyata pada tanggap kebal inang definitif. PENGEMBANGAN EKSKRETORI-SEKRETORI PADA CACING A. Galli Tiuria et. al. (2003) menunjukkan bahwa ES cacing dewasa A. galli dengan berat molekul 40 – 66 kDa (Gambar 2) memiliki efek imunomodulator. Effek imunomodulator ES cacing dewasa A. galli berpengaruh pada sel – sel efektor selaput lendir usus halus inang definitif. Terjadi hiperplasia dan proliferasi sel goblet serta mastositosis saluran pencernaan. Reaksi tanggap kebal inang tersebut mempengaruhi populasi larva dalam jaringan. Jumlah larva dalam jaringan usus halus menurun dan sebaliknya jumlah larva dalam lumen usus halus meningkat selama 15 hari pasca pemberian ES dan Infeksi telur infektif A. galli (Tiuria et. al. 2003). Kegagalan larva A. galli untuk establish merupakan wujud dari reaksi hipersensitivitas tipe 1 akibat sekresi anaphylaksis dari sel mast yang berproliferasi dalam lamina propria usus halus inang definitif. Histamin merupakan suatu amina yang dibentuk melalui proses dekarboksilasi histidin dan disimpan dalam granula sel mast (Cotran et. al. 1999). Histamin mengakibatkan permeabilitas pembuluh darah dan kontraksi otot licin. Reaksi anaphylaksis tersebut mengakibatkan hipersekresi lendir dari proliferasi dan hiperplasia sel goblet usus halus inang definitif (Tiuria et. al. 2002 ). Bersamaan dengan kontraksi otot, hipersekresi lendir dan gerakan peristaltik duodenum serta peranan Ig A, Ig G, Ig M, Ig E dan komplemen memungkinkan larva terdorong kearah proksimal untuk dikeluarkan. Jumlah sel mast dan sel goblet yang meningkat membuktikan bahwa mastositosis, proliferasi dan hiperplasia sel goblet dipicu oleh antigen ES yang didistribusikan ke lamina propria duodenum (Tiuria et. al. 2002). Adanya perubahan fisik dalam saluran pencernaan mencegah larva cacing melakukan penetrasi ke mukosa untuk melangsungkan hidupnya (Mehlhorn, 1998) A B M
97 66 45
3 0 Gambar 2. Pita protein dari ES asal cacing dewasa Ascaridia galli jantan (A) dan betina (B) pada kisaran BM 40 – 66 kD, Marker (M). (Tiuria et al, 2003) Kehadiran antigen ES dapat membangkitkan tanggap kebal Antigen Presenting Cell (APC). APC mengolah, memfragmentasi dan menyuguhkan antigen kepermukaan sel bersama-sama dengan Mayor Histocompatibility Complex (MHC). Kompleks antigen dan MHC dapat dikenal oleh sel Th-2. IL-1 yang dilepaskan APC dapat menggertak sel Th-2 untuk melepaskan IL-4 dan IL-5 dan bersama-sama memacu aktivasi sel B untuk melepaskan Immunoglobulin (Ig E). Reaksi tanggap kebal tersebut diwujudkan dalam reaksi hipersensitivitas tipe1 (Else dan Finkelman 1998).
42
Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 2004
Salah satu indikasi yang nyata terhadap tanggap kebal selaput lendir usus inang definitif akibat infeksi parasit adalah dengan meningkatnya jumlah sel goblet usus halus (Gambar 3). Lendir saluran pencernaan inang yang kebal berfungsi sebagai pelindung dengan cara menjerat cacing dewasa, menghindari perlekatan dengan dengan mukosa sehingga establishment cacing dapat dicegah (Miller, 1987). Proliferasi dan hiperplasia sel goblet berkaitan erat dengan produksi lendir dan keluarnya cacing dewasa dari saluran pencernaan inang definitif (Tiuria et. al., 1995; Ishikawa et. al., 1997). Bersama – sama dengan sel goblet, proliferasi dan infiltrasi sel mast (Gambar 4) dalam mukosa saluran pencernaan merupakan bagian reaksi pertahanan tubuh inang definitif terhadap cacing saluran pencernaan (Tiuria et al., 2001). Dengan demikian, sel mast dan sel goblet mukosa saluran pencernaan
Gambar 3. Proliferasi dan hiperplasia sel Goblet pada usus halus ayam petelur setelah pemberian ES. Pewarnaan PAS-Alcian Blue.
Gambar 4. Proliferasi sel Mast pada usus halus ayam petelur setelah pemberian ES. Pewarnaan Alcian Blue-Safranin O. Merupakan sel – sel efektor yang selektif dan spesifik (Castagliuolo et. al., 1998). Proliferasi dan hiperplasia sel mast juga akan merangsang sekresi lendir yang berfungsi protektif pada selaput lendir terhadap perlekatan cacing (Kraneveld et. al., 1998). Kemampuan memicu aktivitas sel – sel efektor selaput lendir usus halus untuk mensekresikan lendir dan protein merupakan salah satu target untuk meningkatkan tanggap kebal inang definitif terhadap infeksi cacing (Castagliulo at al., 1998).
43
Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 2004
PROSPEK ES SEBAGAI VAKSIN Isolasi bahan antigen ekskretori-sekretori (ES) cacing dewasa A. galli dengan berat molekul 40-66 kDa dapat meningkatkan jumlah sel mast dan sel goblet saluran pencernaan inang definitif. Reaksi tanggap kebal inang definitif yang diberi ES cacing dewasa A. galli mengindikasikan adanya effek immunomodulator dari bahan biologis cacing nematoda parasitik. Effek immunomodulator yang dimiliki ES berperanan penting untuk memicu tanggap kebal protektif inang definitif terhadap infeksi metazoa. Apabila disertai penelitian lanjutan yang lebih komprehensif dalam upaya untuk mengetahui potensi immunogenik dari isolat ES, tak menutup kemungkinan bahwa vaksin untuk cacing Ascaris spp bisa segera diproduksi. Hal yang samapun dapat dilakukan pada nematoda lainnya pada spesies inang yang lain, dengan demikian penanganan infeksi kecacingan akan semakin bervariasi sehingga efektifitas dalam penanganan infeksi ini dapat lebih optimal dilakukan. PENUTUP Penanganan infeksi kecacingan akibat nematoda parasitik khususnya pada hewan ternak masih perlu mendapat perhatian yang cukup tinggi. Berbagai cara dapat dilakukan dalam upaya penanganan ini, salah satunya adalah dengan mengembangkan potensi bahan biologis sebagai cara untuk meningkatkan sistem pertahanan tubuh inang dalam menghadapi infeksi cacing parasitik seperti diantaranya melalui pengembangan vaksin dari metabolit ES. DAFTAR PUSTAKA Castagliulo I . 1998. Colonic mucin release in response to immobilization stress is mast cell dependent. The American Journal Physiological Society 274 : G1094-G1100. Cotran R.S., V. Kumar and T. Collin. 1999. Pathology Basis of Disease. Sixth Edition. W.B. Sanders Company. Else K.J., and F.D. Finkelman. 1998. Intestinal nematode parasites, cytokines and effektor mechanisms. The International Journal for Parasitology 28 : 1145-1158 Englund, T. Paul and A. Sher. 1988. The Biology of Parasitism – A Molecular and Immunological Approach. Alan R. Liss, Inc. New York. Kraneveld AD, T. Muis, A.S. Koster and F.P. Nijkamp. 1998. Role of mucosal mast cells in early vascular permeability changes of intestinal DTH reaction in the rat. The American Journal Physiological Society 274 : G832-G839 Hintz, M., G. Schares, A. Taubert, R. Geyer, H. Zahner, S. Stirm and F.J. Conraths. 1998. Juvenile female Litomosoides sigmodontis produce an excretory-secretory antigen (Juv-p 120) highly modified with dimethylaminoethanol. Parasitology, 117 : 265-271. Hyde JE. 1990. Molecular Parasitology. Published in the Inited States of America, Van Nostrand Reinhold, 115 Fifth Avenue New York, New York 10003. Mehlhorn, H. 1998. Parasitology in Focus. Springer-Verlag Berlin Heidelberg. Germany.
44
Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 2004
Ridwan,Y., F. Satrija, E.B. Retnani dan R. Tiuria. 2000. Resistensi Haemonchus contortus terhadap albendazol pada peternakan domba di Bogor. Abstract International Conference on Control of Soil Transmitted Helminth dan Seminar Nasional Parasitologi Perkumpulan Pemberantasan Penyakit Parasitik Indonesia (P4I) – Denpasar. Bali. Tiuria, R, Y.Horii, S. Makimura, N. Ishikawa, K. Tsuchiya and Y. Nawa. 1995. Effects of testosterone on the mucosal defence against intestinal helminths in Indian soft-furred rats, Millardia meltada with reference to goblet and mast cell responses. Parasite Immunology 9 : 479-484. Tiuria, R., F. Satrija and E.B. Retnani. 1999. The intestinal mucosal defence mechanisms against Ascaridia galli. A study using bursectomized and non-bursectomized chickens. Proceeding of Seminar On Science and Technology, Indonesia Toray Science Foundation (ITSF), Jakarta – Indonesia. Tiuria, R., F. Athaillah, B.P. Priosoeryanto, F. Satrija, E.B. Retnani dan Y. Ridwan. 2001. Pengaruh infeksi cacing Ascaidia galli terhadap respon sel goblet dan sel mast pada usus halus ayam petelur. Majalah Parasitologi Indonesia 13 (1-2) : 33-40 Tiuria R., Y. Ridwan and S. Murtini. 2003. Study of bioactive substance from Ascaridia galli adult worm that stimulate intestinal mucosal defense mechanism in chicken for medical purpose. Proceeding of the Seminar on Science and Technology, Indonesia-Toray Science Foundation, Jakarta – Indonesia. Tiuria R., E.B. Retnani dan I.W.T. Wibawan 2003. Telaah bahan biologik asal cacing yang dapat memicu pertahanan selaput lendir usus sebagai bahan bioaktif untuk pengobatan kecacingan pada ayam. Makalah Pemaparan Hasil Hibah Bersaing X Perguruan Tinggi / Depdiknas – Jakarta. Wakelin D. 1996. Immunity to parasites. Second edition. Cambridge University Press.
45