Travel medicine diartikan sebagai segala hal terkait kesehatan wisatawan yang bepergian ke luar negeri. Terdiri dari berbagai disipin ilmu yang mencakup tidak hanya pada aspek pencegahan penyakit menular namun juga terkait pada keselamatan secara personal dan pencegahan terhadap risiko lingkungan tempat yang dituju. Dengan seiring bertambahnya jumlah wisatawan, yang berkaitan dengan durasi tinggal, perbedaan aktivitas pada tempat tujuan maka risiko terjadinya morbiditas dan mortalitas terhadap beberapa penyakit menular tertentu akan semakin meningkat. Vaksin Pencegahan Penyakit Risiko terhadap vaksinasi pada wisatawan tergantung pada pada rencana khusus selama perjalanan, durasi bepergian, dan aktivitas di tempat tujan dan semua hal tersebut dipengaruh oleh riwayat medis dan vaksinasi masing-masing wisatawan Risiko ini dapat bervariasi tegantung musim dan kondisi lingkungan. Untuk kebanyakan vaksinasi, risiko yang ditimbulkan biasanya sangat kecil yaitu 1 kasus per 1000 kunjungan.Vaksin dalam travel medicine secara umum dapat dibagi menjadi tiga yakni: vaksin rutin untuk pencegahan penyakit, vaksinasi saat bepergian, dan vaksinasi yang direkomendasikan berdasarkan risiko untuk mendapatkan suatu penyakit. Harus dipastikan bahwa status vaksinasi setiap wisatawan telah diperbaharui sesuai usia masing-masing. Pada kasus dimana status vaksinasi tidak diketahui, dapat dikonfirmasi pada orangtua, penyedia layanan kesehatan primer, ataupun secara langsung dengan tes serologi (pada penyakit campak, mumps, rubella, varicella, tetanus, polio, hepatitis A dan B). Perhatian khusus perlu diberikan pada wisatawan anakanak, ibu hamil, dan wisatawan dengan masalah khusus seperti diabetes, penyakit ginjal kronis penyakit jantung, penyakit paru, keganasan, ataupun infeksi HIV. Imunisasi Yellow Fever (under IHRs) Vaksin yellow fever di regulasi oleh CDC dan Departemen kesehatan US sebagaimana diperlukan oleh IHRs (International Health Regulations). Sebelum memberikan vaksin yellow fever, harus dipenuhi beberapa kriteria seperti: penempatan vaksin dalam suhu yang tepat, pemberian vaksin segera setelah rekonstitusi, dan kemampuan untuk menangani reaksi anafilaktik. Disarankan untuk mendapatkan vaksinasi bila wisatawan ingin bepergian ke negara dengan zona endemis (rekomendasi A-III). Daerah endemis meliputi sepanjang garis khatulistiwa zona Amerika Selatan dan limabelas derajat sepanjang garis khatulistiwa benua Afrika. Vaksin yellow fever strain 17D merupakan vaksin hidup yang dilemahkan dan sangat efektif. IHRs menyarankan agar vaksinasi dilakukan 10 hari sebelum bepergian untuk memberikan waktu terhadap pembentukan antibodi. Booster diperlukan setiap interval 10 tahun. Saat ini, reaksi adversi berat disebut penyakit viscerotropic dan neurologis terkait vaksin yellow fever telah dilaporkan pada resipien yang belum memiliki imunitas terhadap penyakit yelow fever sebelumnya. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh respon host terhadap vaksin. Dibuktikan dengan adanya perubahan respon thymus dan tymectomy dilaporkan terkait pada 4 dari 23 kasus viscerotropic. Angka insiden kasus viscerotropic sangat jarang, yaitu 1 per 200.000 dosis vaksin yang terjual di US dan sebaiknya hal ini tidak dijadikan alasan untuk tidak mendapatkan vaksinasi bagi wisatawan dengan risiko terinfeksi penyakit yellow fever. Pada kelompok usia 60 tahun ke atas, angka kejadian kasus viscerotropic dan neurologic dilaporkan sebanyak 1 kasus per 40.000 dosis vaksin, begitupun
reaksi adversi lain yang serius juga dilaporkan lebih banyak pada kelmpok usia ini. Sebaiknya vaksin yellow fever tidak diberikan kepada wanita hamil atau pada keadaan imunocompromised karena AIDS, leukemia, lymphoma, kemoterapi, mendapatkan pengobatan kortikosteroid, maupun pada bayi usia kurang dari 9 bulan. Pada orang-orang dengan kondisi tersebut dianjurkan untuk menghindari daerah endemis. Namun bila perjalanan bersifat wajib, dianjurkan sebisa mungkin untuk menghindari gigitan nyamuk Aedes sebagai vektor penyakit dengan cara apapun. Kolera Vaksin kolera tidak lagi diproduksi di US dan tidak diperlukan lagi oleh WHO dalam perjalanan ke luar negeri sejak awal tahun 1980-an. Meskipun beberapa negara masih tetap memproduksi vaksin kolera, oleh karena risiko wisatawan terinfeksi kolera sangat kecil maka pemberian vaksin ini tidak selalu direkomendasikan. Hepatitis A Proteksi terhadap infeksi virus Hepatitis A diindikasikan untuk wisatawan yang ingin bepergian ke daerah dengan kualitas sanitasi dan higienitas yang sangat buruk dan pemberian vaksin ini direkomendasikan kepada semua wisatawan (A-III). Risiko terinfeksi virus hepatitis A pada wisatawan menunjukkan angka penurunan sejak mulai digunakannya vaksin hepatitis A baik berupa vaksin yang dlemahkan maupun pemberian imunoseroglobulin (ISG). Meskipun direkomendasikan pada setiap individu untuk mendapatkan 2 dosis penuh vaksin hepatitis A, pemberian dosis tunggal vaksin hepatitis A monovalent juga terbukti memberikan efek proteksi yang sangat baik dalam waktu 14-28 hari. Pemberian ISG yang secara luas digunakan sebagai proteksi pasif masih jarang diindikasikan, terkecuali pada individu usia sangat muda dan imunocompromised yang mungkin tidak berespon terhadap pemberian vaksin hepatitis A. Meskipun pemberian vaksin hepatitis A yang dilemahkan pada bayi tidak direkomendasikan oleh FDA, vaksin ini sebenarnya cukup aman, memiliki sifat imunogenik, dan memiliki beberapa sifat proteksi bahkan pada bayi yang masih memiliki antibodi dari ibunya. Durasi proteksi dari pemberian dosis penuh vaksin hepatitis A kemungkinan seumur hidup dan saat ini pemberian booster tidak direkomendasikan pada individu yang imunocompetent (A-II). Japanese Encephalitis Penyakit ini merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus dan ditularkan melalui gigitan nyamuk. Prevalensi kasus ini banyak terdapat pada negara-negara di Asia, beberapa pulau pada regio Pasifik Barat, dan kepulauan Torres di Australia. Meskipun vaksin Japanese Encephalitis (JE) terbukti efektif, namun vaksin ini juga dapat menimbulkan reaksi hipersensitivitas pada 0,1-5 kasus per 1000 pemberian vaksin JE. Bahkan pada beberapa kasus dilaporkan reaksi hipersensitivitas yang sangat berat. Reaksi adversi ini rentan terjadi pada individu yang alergi terhadap antigen dalam vaksin JE. Pemberian vaksin JE disarankan pada wisatawan yang akan bepergian dalam jangka waktu lama pada daerah endemis, maupun pada mereka yang tinggal sebentar namun terdapat risiko yang lebih intens terhadap pajanan oleh nyamuk pada daerah endemis. Sawah merupakan tempat berkembang biak yang baik bagi nyamuk penular virus JE dan babi adalah reservoir yang penting bagi virus JE. Pemberian vaksin dilakukan sebanyak 3 dosis selama 1 bulan,namun dapat dipercepat sampai
14 hari. Sebaiknya setelah pemberian vaksin JE, dilakukan observasi lebih dahulu selama 30 menit untuk mengantisipasi timbulnya reaksi hipersensitivitas. Idealnya, wisatawan sebaiknya jangan bepergian 10 hari setelah pemberian vaksin yang terakhir terkait reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang mungkin muncul belakangan. Infeksi Meningococcal Pemberian vaksin meningitis serotipe A/C/Y/W-135 untuk mencegah infeksi N. Meningitidis disarankan pada wisatawan ataupun individu yang ingin bepergian ke Saudi Arabia untuk keperluan Haji dan Umroh. Hal ini direkomendasikan oleh CDC. Lebih luas lagi pemberian vaksin meningitis disarankan pada tempat tujuan bertanda “meningitis belt” pada daerah subSahara Afrika yang membentang dari Senegal hingga Ethiopia, khususnya bagi mereka yang bepergian selama musim kering antara bulan Desember – Juni atau ada kemungkinan kontak dalam waktu lama dengan populasi sekitar. Pada tahun 2005, vaksin meningococcal quadrivalent terkonjugasi telah disetujui untuk digunakan pada individu usia 11-55 tahun. Vaksinasi rutin dengan pemberian vaksin quadrivalen terkonjugasi direkomendasikan pada usia pra-remaja (11-12 tahun). Bagi mereka yang belum mendapatkan vaksinasi pada usia pra remaja, ACIP merekomendasikan pemberian vaksin saat mulai masuk sekolah menengah pertama (usia 15 tahun). Pemberian vaksin rutin juga direkomendasikan pada mahasiswa tahun pertama yang tinggal di asrama. Ahli mikrobiologi dengan risiko sering terpajan terhadap bakteri N. Meningitidis, tentara, individu dengan defisiensi komplemen tahap terminal, dan individu dengan asplenia fungsional maupun akibat operatif sebaiknya juga mendapatkan vaksin meningitis. Vaksin meningococcal polisakarida yang tidak terkonjugasi dikatakan memiliki efek imunogenik yang rendah pada anak-anak usia kurang dari 2 tahun. Telah dilaporkan kasus Guillain-Barre sindrom post vaksinasi namun hal ini sedang dalam tahap evaluasi lebih lanjut dan tidak menjadi penghalang dalam rekomendasi pemberian vaksin meningitis. Rabies Vaksin rabies direkomendasikan bagi wisatawanyang berencana pergi ke daerah endemis dan memiliki risiko terpajan virus rabies (kontak dengan hewan penular rabies, seperti anjing, kera, kucing, musang, dll). Walaupun kasus rabies pada wisatawan jarang, namun kasus gigitan anjing dan kera dilaporkan sering terjadi. Sebaiknya wisatawan yang ingin bepergian ke daerah endemis diberikan informasi terlebih dahulu terkait cara membersihkan luka yaitu dengan menggunakan air sabun dan perlunya vaksinasi profilaksis. Pemberian vaksinasi rabies sebelum bepergian ke daerah endemis secara komplit dilaporkan telah mengurangi kebutuhan akan pemberian immunoglobulin rabies setelah terpapar gigitan hewan penular. Bagi semua wisatawan dengan riwayat terpajan gigitan hewan penular rabies sebaiknya diberikan vaksinasi post-pajanan tanpa memandang riwayat vaksinasi pra-pajanan sebelumnya, dan bagi mereka yang telah mendapatkan vaksinasi profilaksis sebelumnya disarankan untuk mendapatkan vaksinasi tambahan sebanyak 2 dosis, dan bagi mereka yang belum pernah mendapatkan vaksinasi profilaksis rabies sebelumnya sebaiknya diberikan vaksinasi rabies secara komplit (5 dosis sesuai standar di US) plus immunoglobulin rabies. Tick-borne Encephalitis
Jenis viral encephalitis ini sering dijumpai pada daerah pinggiran hutan di Eropa Tengah dan Barat, Skandinavia, dan Siberia pada musim semi dan musim panas. Biasanya sering ditularkan oleh tungau golongan Ixode. Terdapat 2 jenias vaksin yang tidak diaktifkan, yaitu FSME-Immun (Baxter AG) dan Encepur (Chiron). Namun tidak satupun dari vaksin ini yang mendapatkan lisensi di US dan Kanada. Diperlukan 3 dosis dalam jangka waktu 1 tahun untuk mendapatkan proteksi penuh. Meskipun pemberian dipercepat, hal ini tidak dapat dipraktekkan pada kebanyakan wisatawan karena vaksin ini akan perlu diberikan lagi saat wisatawan sapai pada negara tujuan. Demam Typhoid Risiko terinfeksi typhoid lebih rendah dibandingkan dengan Hepatitis A, yaitu 1-10 per 100.000 tergantung pada negara destinasi. Vaksinasi typhoid direkomendasikan pada wisatawan yang ingin bepergian ke daerah endemis seperti Amerika Tengah dan Selatan, Asia, dan Afrika. Semakin meningkatnya resistensi terhadap strain Salmonella Enterica serovar Thypi juga menjadi alasan mengapa vaksinasi thypoid dapat dipertimbangkan untuk diberikan. Di US, terdapat 2 jenis vaksin thypoid yakni berupa vaksin hidup yang dilemahkan dalam bentuk oral (Vivotif Berna) dan dalam bentuk injeksi intravena jenis polisakarida capsular (Typhim Vi). Kedua vaksin ini dapat memberikan proteksi hingga 50-70%. Oleh karena vaksin ini tidak memberikan proteksi penuh terhadap strain S. Enterica serovar Parathypi, para wisatawan sebaiknya juga diingatkan akan pentingnya menjaga higienitas makanan dan minuman yang dikonsumsi. Vaksin Lainnya Pemberian vaksin untuk pencegahan infeksi Anthrax dan Variola saat ini tidak lagi direkomendasikan, meskipun penggunaan vaksin variola telah digunakan sejak awal 2003, namun penggunaannya masih terbatas pada program bioterorisme. Uji kulit untuk Tuberculosis sebainya dilakukan pada mereka yang berisiko terpapar infeksi TB atau mereka yang tinggal dalam waktu lama pada daerah endemis TB (B-III). Biasanya tes kulit ini dilakukan sebelum bepergian dan 3 buan setelah kembali ke negara asal. Indikasi khusus untuk vaksin yaang rutin digunakan di Amerika Utara H.influenzae type B Indikasi pemberian vaksin ini pada wisatawan anak-anak sama dengan indikasi pada pemberian umumnya pada penduduk di US Hepatitis B Pemberian vaksin ini sebaiknya dipertimbangkan pada semua penduduk dewasa tanpa memandang apakah mereka akan bepergian ke luar negeri atau tidak. Meskipun risiko untuk mendapatkan infeksi Hepatitis B adalah kecil pada wisatawan dengan durasi berwisata yang sebentar, namun bila terdapat risiko terpajan melalui kontak dengan darah, cairan tubuh, hubungan seksual, pekerjaan medis, atau aktivitas berisiko lainnya, sebaiknya dipertimbangkan untuk diberikan vaksinasi Hepatitis B. Para wisatawan dengan durasi berwisata yang lama dan perjalanan yang berulang disarankan untuk mendapatkan vaksinasi.
Jadwal yang dipercepat dalam waktu 2 bulan telah diterima di US dengan memberikan salah satu dari vaksin Hep B (Engrix B) untuk mendapatkan proteksi pada wisatawan yang akan bepergian dalam waktu kurang dari 6 bulan waktu normal pemberian vaksin secara komplit. Selain itu, saat ini sedang diteliti tentang pemberian vaksin yang dipercepat dalam waktu 3 minggu dikatakan dapat memberikan hasil berupa serokonversi sebesar 65%. Dalam setting pemberian vaksin yang dipercepat seperti di atas, dianjurkan untuk diberikan 1 dosis tambahan dalam waktu 12 bulan untuk mendapatkan proteksi jangka panjang. Pernah dilaporkan tentang hubungan antara pemberian vaksinasi Hep B dengan kejadian Mutiple Sclerosis, namun hal ini masih diperdebatkan oleh analisa lain yang menyebutkan bahwa tidak terdapat hubungan antara vaksinasi Hep B dan kejadian MS (Ascherio et al, Naismith and Cross in review article) Kombinasi Hep A dan B Jenis kombinasi vaksin ini dapat diberikan pada wisatawan usia ≥ 18 tahun bila diinginkan proteksi terhadap kedua infeksi virus di atas.. Dua dosis vaksin harus diberikan dalam jarak 1 bulan untuk mendapatkan efek proteksi terhadap Hep A, karena dosis antigen yang lebih rendah digunakan pada vaksin kombinasi ini, dibandingkan dengan antigen tunggal yang digunakan pada vaksin Hep A biasa. Influenza Data terkini menunjukkan vaksin influenza mungkin merupakan vaksin yang paling sering diperlukan oleh wisatawan, dengan angka rata-rata 1% dari wisatawan yang memerlukan vaksin influenza ini. Oleh sebab itu influenza dapat dipertimbangkan sebagai infeksi yang terkait dengan berwisata dan sebaiknya dapat dicegah. Efikasi vaksin influenza tergantung pada komposisi antigen di dalamnya, yang didasarkan pada aktivitas virus influenza tiap tahunnya di Amerika Utara. Vaksin ini tidak selalu mencakup proteksi terhadap berbagai strain virus yang tersebar di seluruh dunia. Perlu diketahui juga bahwa vaksin influenza ini tidak memberikan efek proteksi terhadap virus avian influenza (H5N1), dimana virus ini mewabah pada burung-burung di Asia, Eropa, Timur tengah, dan Afrika sejak Desember 2003, dan juga menyebabkan lebih dari 250 kasus pada manusia tersebar mulai dari Vietnam, Kamboja, Indonesia, Thailand, China, Turki, Irak, Ajerbaizan, dan Djibouti dengan angka mortalitas mencapai 58%. Penting diberikan informasi tentang bagaimana cara mencegah dan mengurangi risiko tertular virus avian influenza bagi wisatawan yang ingin pergi ke daerah tersebut di atas. Tidak dianjurkan bagi wisatawan untuk mengobati dirinya sendiri dengan Oseltamivir dalam rangka pencegahan virus avian influenza. Campak Kasus campak tidak lagi endemis di US, oleh sebab itu bila ada kasus campak kemungkinan terkait kasus yang diimpor dari negara lain. Oleh sebab itu bagi semua wisatawan yang ingin bepergian sebaiknya mendapatkan proteksi virus campak. Dua dosis vaksin campak direkomendasikan pada usia anak-anak. Anak usia 6-11 bulan yang memiliki risiko selama berwisata dianjurkan untuk mendapatkan vaksin dosis tunggal yang mengandung antigen campak dan diulang dengan memberikan vaksin campak dalam bentuk kombinasi MMR saat usia 12-15 bulan. Bagi wisatawan yang belum pernah terinfeksi campak ataupun tanpa
riwayat imunisasi sebelumnya dianjurkan untuk mendapatkan 2 dosis vaksin campak sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 1 bulan secara terpisah. Pertussis Proteksi terhadap pertussis biasanya diberikan pada saat anak-anak dengan memberikan 1 dari kombinasi vaksin pediatric yang mengandung antigen pertussis acellular. Untuk menanggulangi semakin meningkatnya kasus pertussis, pada bulan Mei dan uni 2005 telah diterima oleh FDA 2 jenis vaksin kombinasi terbaru yang mengandung tetatuns toxoid, dhipteria toxoid, dan antigen pertussis acellular. Salah satu vaksin ini digunakan untuk usia remaja, dan satunya lagi dapat digunaka pada usia remaja maupun dewasa.. Kedua vaksin ii sebaiknya digunakan pada usia 11-64 tahun sebagai booster terhadap tetanus, dhipteria, dan pertussis. Pneumococcal Indikasi pemberian vaksin ini pada wisatawan adalah sama dengan indikasi pada penduduk di Amerika Utara pada umumnya. Poliomyelitis Semua wisatawan sebaiknya telah menyelesaikan vaksinasi polio primer mereka. Satu dosis tambahan vaksin polio untuk seumur hidup dapat diberikan pada usia ≥ 18 tahun, bagi mereka yang akan bepergian menuju daerah yang masih terdapat risiko transmisi polio (negara-negara di Afrika dan Asia). Telah dilaporkan terjadinya wabah polio paralitik sekunder terkait virus polio yang berasal dari vaksin lalu kemudian mengalami mutasi dan berubah menjadi virulen. Wabah ini dilaporkan terjadi di Haiti, Republik Dominika, Filipina, dan Madagaskar. Rotavirus Rotavirus erpakan penyebab terenting kasus gastrointestinal pada anak-anak di seluruh dunia. Saat ini terdapat 2 jenis vaksin rotavirus berupa virus yang dilemahkan, dalam bentuk oral, dan dapat memberikan efek proteksi yang efektif khususnya mencegah terjadinya infeksi rotavirus yang berat. Salah satu vaksin, RotaTeq (Merck) telah mendapatkan lisensi di US, diberikan pada bayi sebanyak 3 dosis dimulai pada usia 2 bulan. Tetanus dan Dhipteria Bagi individu usia dewasa yang telah mendapatkan vaksinasi sebelumya dianjurkan untuk mendapatkan booster dalam nterval 10 tahun terlepas dari mereka akan melakukan wisata atau tidak. Perhatian khusus pada vaksin tetanus, dapat diberikan booster pada interval 5-10 tahun bila mereka berisiko mendapatkan cidera yang terinfeksi bakteri tetanus dan di negara tersebut sulit untuk mendapatkan booster tetanus (B-III). Pada negara-negara yang masih terdapat risiko dhipteria (negara di Afrika, Asia, Timur Tengah, Eropa Timur, Asia selatan, maupun daerah tertentu di Amerika Latin), sebaiknya wisatawan memperbaharui status imunisasi dhipteria mereka. Booster untuk Tetanus dan Dhipteria pada usia remaja dan dewasa sebaiknya diberikan melalui vaksin kombinasi terbaru, Tdap.
Varicella Bagi wisatawan yang belum pernah terinfeksi virus varicella zooster sebelumnya, disarankan untuk dilakukan tes antibodi terhadap virus varicella. Bila hasilnya negatif, dianjurkan untuk memperoleh vaksinasi varicella. Traveler’s Diarrhea Kasus diare merupakan penyakit tersering yang diderita oleh wisatawan. Dicirikan dengan ≥ 3 kali diare dalam 24 jam, dan diikuti gejala lain seperti demam, mual, muntah dan kram perut. Keluhan lain yang jarang adalah diare campur drah dan tenesmus. Kebanyakan kasus akan sembuh sendiri dalam 3-5 hari, namun sebanyak seperempat dari mereka akan mengalami irritable bowel syndrome postinfectious. Angka kejadian kasus diare pada wisatawan dilaporkan sebanyak 40-60% kasus selama periode bepergian 2-3 minggu. Penyebab tersering kasus diare adalah bakteri enteropatogen Enterotoxic E.Coli (ETEC), Enteroagregative E.Coli, spesies Salmonella, spesies Campylobacter, dan spesies Shigella. Sedangkan penyebab virus diare adalah norovirus dan rotavirus. Parasit sebagai penyebab diare jarang dilaporkan dan biasanya terjadi pada wisatawan dengan durasi bepergian yang lama. Protozoa enterik seperti Giardia lamblia, Cryptosporidium hominis, Cyclospora cayetanensis dan Entamoeba histolytica adalah beberapa jenis patogen enterik penyebab diare. Pencegahan Terdapat beberapa strategi pencegahan meliputi pemeberian informasi terkait kebersihan makanan dan minuman, vaksinasi, dan kemoprofilaksis. Telah diketahui secara luas bahwa makanan dan minuman yang tidak dimasak dengan benar dan higienis dapat menjadi sumber masuknya agen patogen enterik dalam usus dan menyebabkan timbulnya diare. Namun walaupun pemberian informasi tersebut di atas tidak sepenuhnya efektif karena berbagai keterbatasan, penting dianjurkan untuk memberikan penjelasan dan pengetahuan kepada wisatawan tentang bagaimana pencegahan diare (A-III) Saat ini belum ditemukan vaksin yang dapat mencegah munculnya keluhan-keluhan terkait traveler’s diarrhea. Vaksin vibrio cholera dalam bentuk inaktif, sediaan oral, dapat memberikan proteksi terbatas terhadap heat-labile ETEC. Namun perlu dilakukan kalkulasi terkait cost effectiveness pemberian vaksin ini, mengingat bahwa vaksin ini ≤ 7% efektif pada wisatawan dan harganya yang mahal. Kemoprofilaksis berupa pemberian obat antibiotic dan non-antibotic (agen yang mengandung bismut salisilat) telah dilaporkan efektif pada pencegahan traveler’s diarrhea (A-I). Agen probiotic seperti Lactobacillus dikatakan tidak cukup efektif dan tidak direkomendasikan sebagai pencegahan diare. Bismut subsalisilat dalam bentuk tablet maupun cair dikatakan 62-65% efektif terhadap kasus traveler’s diarrhea. Namun regimen yang tersedia dapat menimbulkan rasa tidak nyaman seperti lidah hitam dan kotoran hitam pada wisatawan. Antibiotik telah digunakan secara luas sebagai pencegahan kasus traveler’s diarrhea sepanjang tahun 1970 – 1980an. Antibiotik pilihan saat itu adalah Doxycicline dan Trimethoprim-Sulfametoxazole (TMP-SMX), namun saat ini akibat munculnya resistensi, kedua jenis antibiotik tersebut mulai ditinggalkan. Golongan Fluoroquinolone telah digunakan sebagai pengganti dan terbukti efektif sebesar 84% sebagai agen kemoprofilaksis
kasus traveler’s diarrhea. Timbul pro dan kontra terkait pengguaan rutin kemoprofilaksis dalam mencegah kasus traveler’s diarrhea, karena penggunaan agen kemoprofilaksis dapat menimbulkan resitensi terhadap bakteri enteric patogen dan menjad sumber predisposisi munculnya infeksi lain seperti Clostridium difficile. Para ahli juga mempertanyakan tentag rasionalisasi pemberian kemoprofilaksis pada kasus diare yang ringan. Pada konsensus panel pertengahan tahun 1980 telah disepakati tentag penggunaan profilaksis antibitik dalam kasus traveler’s diarrhea. Pemberian agen kemoprofilaksis perlu dipertimbangkan pada wisatawan sehat namun terdapat risiko pada tempat tujuan sehingga rentan untuk menderita diare bahkan rentan terjadinya komplikasi serius kasus diare (B-III). Sedangkan bagi wisatawan yang memiliki penyakit-penyakit seperti aklorida, AIDS tahap lanjut, penyakit keganasan post transplantasi, kemoterapi, atau hipogammaglobulinemia juga dianjurkan untuk diberikan kemoprofilaksis diare. Bagi wisatawan yang telah memiliki riwayat penyakit usus sebelumnya dan rentan terhadap kompikasi diare, wisatawan dengan fungsi ginjal yang terganggu, wisatawan dengan diabetes yang dapat mengalami infeksi serius bila terinfeksi spesies Campylobacter atau Salmonella, pemberian kemoprofilaksis juga dapat dipertimbangkan. Pemberian kemoprofilaksi pada bayi dan ibu hamil tidak dianjurkan karena belum banyak data yang mendukung terkait efektifitas kemoprofilaksis diare. Sedangkan bagi wisatawan sehat dengan risiko pada tempat tujuan yang minimal, lebih disarankan untuk menjaga kebersihan dan higienitas makanan dan minuman daripada memberikan kemoprofilaksi diare. Saat memutuskan akan memberikan kemoprofilaksis, Fluoroquinolone masih merupakan pilihan pertama (A-I). Pemberian kemoprofilaksis direkomendasikan tidak melebihi 2-3 minggu. Penanganan Pemberian Terapi Cairan Penanganan traveler’s diarrhea tidak berbeda dengan penanganan diare pada umumnya. Bila kasus berat perlu diberikan terapi cairan untuk mencegah terjadinya dehidrasi, khususnya pada bayi dan anak-anak, dan usia tua. Pada kasus yang ringan dapat diberikan cairan oralit sedangkan pada kasus yang berat sering diperlukan pemberian cairan yang intensif melalui akses intravena. Terapi simtomatik Pemberian bismut subsalisilat dikatakan efektif pada hampir 50% kasus diare yang ringan, namun pada kasus yang lebih berat perlu diberikan agen yang lebih kuat seperti loperamide. pemberian loperamide sendiri lebih dipilih bila dibandingkan dengan pemberian agen opiat atau diphenoxylate sebagai anti motilitas, karena efek samping CNS yang dapat ditimbulkan oleh agen opiat ataupun diphenoxylate. Loperamide juga dikatakan lebih efektif sebagai anti motilitas dibandingkan dengan bismut subsalisilat dan bila digunakan bersamaan dengan antibiotik dapat memberikan perbaikan yang cepat pada kasus diare. Namun pada kasus diare bercampur darah dan temperatur ≥ 38,5 derajat celcius (kemungkinan kasus disentri), penggunaan loperamide tidak dianjurkan. Agen lain seperti kaolin pectin dan probiotik dikatakan memiliki efek yang minimal pada kasus traveler’s diarrhea.
Antibiotik Pemberian antibiotik direkomendasikan untuk kasus traveler’s diarrhea dan pilihan yang direkomendasikan di list pada Tabel 6. Penggunaan antibiotik seperti sulfonamdie, eomycin, ampicillin, doxycycline, tetracycline, TMP, TMP-SMX, tidak lagi direkomendasikan karena munculnya resitensi terhadap antibiotik tersebut. Fluoroquinolone masih menjadi pilihan utama. Namun perlu diperhatikan mulai munculnya resistensi terhadap golongan fluoroquinolone pada infeksi spesies Campylobacter dan agen enteropathogen lainnya yang tercatat muncul pada regio Asia Tenggara dan India. Meskipun obat jenis ciprofloxacin dapat menimbulkan gangguan pada sistem muskuloskeletal yang sifatnya sementara pada anakanak, namun telah dibuktikan bahwa terdapat tanda pertumbuhan tulang pada anak yang menggunakan ciprofloxacin sebagai short-course therapy. Pemberian antibiotik golongan azitromycin sebagai pilihan alternatif dan juga sebagai pengganti bila terdapat resistensi terhadap golongan fluoroquinolone (B-I). Obat ini juga efektif terhadap infeksi spesies Campylobacter dan juga bekteri pathogen penyebab traveler’s diarrhea lainnya. Azitromycin aman digunakan pada anak dan ibu hamil. Namun belum diperoleh data yang cukup terkait kebutuhan dosis pada anak dan ibu hamil. Rifaximin juga dapat dipilih sebagai agen alternatif pengobatan traveler’s diarrhea mengingat absorpsinya yang terbatas, profil keamanan yang baik, dan efektif terhadap bakteri enteropathogen secara luas, serta pengguanaannya yang hanya digunakan selektif pada kasus-kasus infeksi usus. Namun penggunaan Rifaximin tidak diaanjurkan pada kasus diare bercampur darah, disertai demam, yang diduga diakibatkan oleh infeksi Shigella, Salmnella, dan spesies Campylobacter. Durasi Terapi Meskipun banyak penelitian klinis yang menyimpulkan efektifitas terapi antibiotik selama 3 hari atau lebih, namun akhir-akhir ini terdapat bukti lain yang menyatakan bahwa penggunaan antibiotik dosis tunggal juga sama efektifnya dibandingkan penggunaan selama 3 hari atau lebih. Namun pada kasus diare yang berat, sebaiknya diberikan terapi antibiotik minimal selama 3 hari. Oleh karena belum cukup data yang mendukung penggunaan antibiotik dosis tunggal, maka direkomendasikan kepada para wisatawan untuk mendapatkan terapi antibiotik selam 3 hari untuk kemudian dilakukan evaluasi ulang oleh merekas sendiri dalam 24 jam setelah pemberian antibiotik (B-I). Bila wisatawan tidak mengalami perbaikan komplit, dianjurkan untuk melanjutkan sampai 3 hari, begitupun sebaliknya untuk diberhentikan segera bila kondisi mereka membaik sepenuhnya dalam waktu 24 jam. Terapi Kombinasi Pemberian kombinasi antibiotik dan loperamide telah diteliti pada sejumlah penelitian klinis terkait keuntungan dalm hal durasi pengobatan, perbaikan keluhan dibandingkan dengan penggunaan tunggal salah satu dari antibiotik dan loperamide. Sebuah studi penggunaan loperamide dan TMP-SMX dilaporkan terbukti efektif dengan median 1 jam durasi diare bila dibandingkan dengan 34 jam durasi diare pada mereka yang mendapatkan TMP-SMX saja. Selain itu, dilaporkan tidak terdapat perbaikan yang signifikan pada penggunaan terapi kombinasi ciprofloxacin dan loperamide pada kasus diare yang ringan. Penggunaan terapi kombinasi secara dini lebih memiliki banyak manfaat terutama bila agen penyebab diare
adalah ETEC. Sedangkan bila penyebab diare adalah spesies Campylobacter, pemberian terrapi kombinasi dikatakan gagal memberikan manfaat terhadap keluhan pasien Pendekatan praktis terapi traveler’s diarrhea Oleh karena kebanyakan kasus traveler’s diarrhea dapat sembuh sendiri, maka fokus terapi ditujukan pada pemberian cairan untuk mencegah dehidrasi. Pemilihan obat simtomatis seperti golongan anti motilitas dapat dipertimbangkan bila diperlukan kontrol segera terhadap keluhan diare (misalnya pada kondisi perjalanan jauh). Sedangkan penggunaan antimikroba yang spesifik dianjurkan pada kasus diare sedang sampai berat yang dicurigai disebabkan oleh agen enteroinvasive pathogen. Disarankan untuk menggunakan kombinasi loperamide dan antimikroba yang spesifik pada anak yang menginjak usia remaja dan pada usia dewasa, dan tidak terdapat adanya diare yang bercampur darah dan keluhan demam (B-III).