VAKSIN BIVALEN UNTUK PENCEGAHAN PENYAKIT MOTILE AEROMONAS SEPTICEMIA DAN STREPTOCOCCOSIS PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus)
DESY SUGIANI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Vaksin Bivalen untuk Pencegahan Penyakit Motile Aeromonas Septicemia dan Streptococcosis pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, September 2012 Desy Sugiani NIM C161090081
ABSTRACT DESY SUGIANI. Bivalent vaccine for Motile Aeromonas Septicemia and Streptococcocis in Nile Tilapia (Oreochromis niloticus). Under direction of SUKENDA, ENANG HARRIS, and ANGELA M. LUSIASTUTI. Etiological agents of common fish diseases are the Gram-negative Aeromonas hydrophila and the Gram-positive Streptococcus agalactiae, both are considered severe fish pathogens on account of their ability to cause damaging disease outbreaks in Nile Tilapia (Oreochromis niloticus). The occurence of coinfections between A. hydrophila and S. agalactiae at Waduk Cirata was about 20% per populations. Clinical signs appeared soon after infection, and include depression or excitability, anorexia, C-shaped body posturing, erratic swimming and whirling, and death. Aeromonas hydrophila and S. agalactiae cultures were not able to inhibit each other and showed negative results from antimicrobial activity, both are succeptible to antibitoics Tetracycline and Chloramphenicol. Nile Tilapia also were clinically examined and necropsied for histopathology, samples were taken from kidney, brain, liver, and spleen. Histopathological lesions were grouped into two characteristic patterns. The first pattern consisted focal lesion and inflammation. The second pattern consisted of multifocal lesion, necrotic, and inflammatory lesions resulting organ deformation. The mortality patterns of Nile Tilapias showed acute and chronic infections to Motile Aeromonas Septicemia, sub-acute infection to Streptococcocis. There was a homeostatic balances on hematological respons during co-infection. Aeromonas hydrophila AHL0905-2 and Streptococcus agalactiae N14G, were used as an inactivated A. hydrophila and S. agalactiae vaccine. Different vaccine preparations and formulations for vaccination of Nile Tilapia species were tried by adding neutral buffered formalin 3% to the bacterial culture (bacterin). The safety of formalin inactivated vaccine is still questionable by some aquaculture practitioners, but the sterility and safety test results of the bivalent vaccine was safe to use through intraperitoneal injection route. An antibody response was detected at the 1st week that rose significantly (p<0.05) at the 3th week post immunization in all the immunized groups. Similarly, there were significant difference (p<0.05) in the humoral immune response between groups immunized with single and mixed bacterial antigens. Upon challenge with single pathogen, a high relative percent survival was recorded in the group immunized with mixed bacterial antigens and was comparable to those fish immunized with the single bacteria. The value of relative per cent survival from bivalent vaccine mixed whole cell+ECP was 100% and 86.2% to single infections and 56.7% to coinfections, indicate that this vaccine was eficient in Nile Tilapia. Key Words : Aeromonas hydrophila, S. agalactiae, co-infection, monovalent vaccine, bivalent vaccine, immune response, RPS
RINGKASAN DESY SUGIANI. Vaksin Bivalen untuk Pencegahan Penyakit Motile Aeromonas Septicemia dan Streptococcosis pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus). Dibimbing oleh SUKENDA, ENANG HARRIS, dan ANGELA M. LUSIASTUTI. Kasus kematian ikan akibat infeksi bakteri Aeromonas sp. dan Streptococcus sp. menjadi penghambat keberhasilan produksi budidaya ikan Nila (Oreochromis niloticus) di Indonesia. Timbulnya penyakit akibat infeksi Motile Aeromonas Septicemia (MAS) dan Streptococcosis tersebut dapat terjadi karena rendahnya ketahanan tubuh ikan, lingkungan pemeliharaan yang buruk, serta manajemen pemberian pakan yang tidak baik. Kedua jenis penyakit ini menyebabkan masalah pada budidaya ikan dan mengakibatkan kerugian ekonomi karena terjadi kematian ikan yang tinggi dan menurunnya kualitas produk perikanan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis karakteristik masingmasing antigen secara in vitro, menganalisis patogenesis secara in vivo, serta mengkaji efektifitas dan efikasi vaksin bivalen gabungan dari bakterin Aeromonas hydrophila dan Streptococcus agalactiae dalam menghasilkan respons imun pada ikan Nila. Lima tahapan penelitian dirancang untuk membantu pengambilan keputusan. Pertama, melakukan kajian ko-infeksi A. hydrophila dan S. agalactiae: keberadaan, daya tumbuh in-vitro, sensitifitas antibiotik, dan gambaran histopatologi. Hasil pengujian menunjukkan bahwa bakteri A. hydrophila dan Streptococcus sp. menyebabkan wabah penyakit MAS dan Streptococcosis yang menjadi penghambat keberhasilan produksi budidaya ikan Nila di Indonesia. Keberadaan kejadian ko-infeksi antara bakteri A. hydrophila dengan S. agalactiae pada ikan Nila di KJA Waduk Cirata sebesar 20%. Uji kerentanan ikan Nila terhadap kedua jenis penyakit ini dilakukan secara in-vitro dan in-vivo untuk melihat kompetisi antigen dan ko-infeksi dari kedua jenis bakteri penyebab penyakit. Hasil uji pertumbuhan bakteri untuk melihat kompetisi antigen pada media cair maupun media padat menunjukkan bahwa kedua jenis bakteri ini dapat tumbuh bersinergi (tidak saling menghambat). Bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae bersifat rentan terhadap antibiotik Tetrasiklin dan Kloramfenikol. Hasil histopatologi organ ginjal, otak, hati, dan limpa memperlihatkan dua pola karakter luka. Pola pertama, luka yang fokal sampai terlihat adanya inflamasi dan perdarahan. Pola kedua, luka yang multifokal, luka parah, nekrotik, dan luka inflamasi yang mengakibatkan deformasi sel-sel organ. Kedua, menganalisis karakteristik hasil ko-infeksi buatan dari penyakit MAS dan Streptococcosis dapat dilihat dengan menggunakan parameter gambaran hematologi. Hasil pengujian ko-infeksi melalui injeksi pada ikan Nila menggunakan dosis mematikan (LD 100) dan dosis mematikan (LD50) menyebabkan kematian bervariasi antara 20-90% dalam waktu 2-12 hari masa inkubasi. Bakteri A. hydrophila lebih mematikan untuk ikan Nila pada dosis tinggi (LD100) dibanding dengan bakteri S. agalactiae, hal ini diduga karena adanya endotoksin yang dimiliki bakteri A. hydrophila yang bersifat toksik mematikan (lethal toxic). Pola kematian yang terjadi menunjukkan bahwa infeksi Streptococcosis bersifat sub-akut, sedangkan infeksi MAS bersifat akut dan
kronis. Perubahan pertahanan non spesifik ikan terhadap infeksi patogen dilihat dengan mengamati level hematokrit, neutrofil, limfosit, monosit, dan indeks fagositik darah ikan Nila yang diambil dari arteri caudalis pada hari ke-3, ke-6, ke-9, ke-12, dan ke-15 setelah infeksi. Hasil analisis perubahan limfosit lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol, level hematokrit dan level neutrofil lebih rendah dibandingkan dengan kontrol, dan level monosit dan indeks fagositik fluktuatif selama masa perlakuan memperlihatkan adanya homeostasi gambaran darah ikan terhadap serangan infeksi antigen. Ketiga, membuat sediaan vaksin inaktif dari isolat bakteri A. hydrophila AHL0905-2 dan S. agalactiae N14G dengan menambahkan 3% bufer formalin kedalam biakan broth bakterin dan diinkubasi selama 24 jam. Kualitas produk vaksin dikontrol dengan melakukan uji keamanan, sterilitas, dan karakter protein penyusun dari sediaan vaksin. Hasil karakterisasi protein menggunakan SDSPAGE menunjukkan bahwa bakteri A. hydrophila sel utuh memiliki empat belas pita, dua pita dari produk ektraselular, tiga pita pada sediaan crude supernatan, dan tujuh pita dari sediaan broth. Sediaan sel utuh S. agalactiae memiliki sepuluh pita, dua pita produk ekstraselular, tiga pita sediaan crude supernatan, dan empat pita sediaan broth. Residu formalin pada sediaan vaksin sel utuh sebesar 0,147 ppm, produk ekstraselular (ECP) 1,01 ppm, dan campuran sel utuh+ECP 0,702 ppm. Inaktifasi sediaan vaksin menggunakan formalin masih dipertanyakan keamanannya oleh beberapa praktisi akuakultur, akan tetapi hasil uji sterilitas dan keamanan vaksin bivalen dari penelitian ini aman untuk digunakan melalui injeksi intra peritoneal pada ikan Nila. Keempat, menganalisis respons imun terhadap campuran sel utuh dan ekstraselular antigen A. hydrophila dan S. agalactiae sebagai ukuran keberhasilan vaksinasi ikan Nila dengan vaksin monovalen dan bivalen. Analisis imunologi dan respons imun dalam aktifitas bakterisidal serum dapat dijadikan komponen untuk melihat viabilitas patogen dalam inang yang ditunjukkan melalui aktifitas respiratory burst, lisosim, komplemen, dan antibodi. Ikan Nila divaksin dengan vaksin monovalen A. hydrophila, monovalen S. agalactiae, bivalen sel utuh, bivalen ECP, bivalen sel utuh+ECP, bivalen crude supernatan, bivalen broth, dan kontrol. Parameter respons imun diukur setiap minggu selama 3 minggu pemeliharaan setelah vaksinasi. Titer antibodi terdeteksi setelah satu minggu pemeliharaan pascavaksinasi, nilai titer antar perlakuan vaksin bivalen dengan vaksin monovalen dan kontrol berbeda nyata (P<0,05). Vaksin monovalen dapat meningkatkan respons imun spesifik dan non spesifik lebih baik jika dibandingkan dengan vaksin bivalen untuk proteksi bakteri homolog. Sedangkan untuk proteksi terhadap bakteri heterolog vaksin bivalen sel utuh dan sel utuh+ECP memberikan respons imun spesifik maupun non spesifik terbaik jika dibandingkan dengan vaksin monovalen A. hydrophila maupun vaksin monovalen S. agalactiae. Kelima, melihat peningkatan respons antibodi pascavaksinasi dengan antigen tunggal dan campuran dari bakterin A. hydrophila and S. agalactiae untuk meningkatkan daya tahan ikan Nila terhadap penyakit MAS dan Streptococcosis. Sediaan vaksin dibuat dengan metode pembuatan dan formula yang berbeda, yaitu proses inaktifasi dilakukan dengan menambahkan 3% bufer formalin (NBF 10%) pada biakan bakteri dalam media tumbuh BHI dan TSB. Vaksinasi diberikan melalui injeksi intraperitoneal dengan sediaan vaksin monovalen dan bivalen (sel
utuh, produk ektraselular/ECP, crude supernatan, campuran sel utuh+ECP, dan broth). Uji tantang dilakukan menggunakan dosis LD50 infeksi tunggal maupun ko-infeksi dari bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae. Efektifitas dan keampuhan vaksin tersebut dihitung berdasarkan nilai RPS (Relative Percent Survival) dan hasil deteksi respons hematologi. Nilai RPS vaksin bivalen campuran sel utuh+ECP mencapai 100 untuk uji tantang dengan A. hydrophila dan 56,7 pada uji tantang ko-infeksi. Vaksin monovalen A. hydrophila maupun S. agalactiae hanya mampu memproteksi terhadap bakteri homolog, tidak terjadi proteksi silang diantara keduanya. Kata kunci :
Aeromonas hydrophila, S. agalactiae , ko-infeksi, vaksin monovalen, vaksin bivalen, respons imun, RPS
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
VAKSIN BIVALEN UNTUK PENCEGAHAN PENYAKIT MOTILE AEROMONAS SEPTICEMIA DAN STREPTOCOCCOSIS PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus)
DESY SUGIANI
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Akuakultur
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji pada Ujian Tertutup :
Prof. Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan Dr. Sri Nuryati, S.Pi, M.Si.
Penguji pada Ujian Terbuka :
Dr. Ir. I Nyoman Adiasmara Giri, M.Sc. Dr. Munti Yuhana, S.Pi, M.Si. .
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2011 - Februari 2012 ini adalah Vaksin Bivalen untuk Pencegahan Penyakit Motile Aeromonas Septicemia dan Streptococcosis pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus). Desertasi ini memuat 5 bab yang merupakan pengembangan dari naskah artikel yang diajukan ke jurnal ilmiah. Bab 1-2 berjudul Pengaruh ko-infeksi bakteri Aeromonas hydrophila dengan Streptococcus agalactiae terhadap gambaran hematologi dan histopatologi ikan Nila (Oreochromis niloticus) akan diterbitkan (Jurnal Riset Akuakultur – JRA Vol. 7 No. 1 Tahun 2012) dan Bab 3-5 Vaksinasi ikan Nila (Oreochromis niloticus) menggunakan vaksin monovalen dan bivalen untuk pencegahan penyakit MAS dan Streptococcosis akan diterbitkan (Jurnal Riset Akuakultur – JRA). Terimakasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Sukenda, M.Sc; Prof. Dr. Ir. Enang Harris, MS; Dr. drh. Angela Mariana Lusiastuti, M.Si selaku pembimbing yang memberi saran dan masukan. Terimakasih penulis ucapkan kepada Kementrian Kelautan dan Perikanan yang telah memberikan beasiswa periode Agustus 2009 – Juli 2012. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Ir. Oman Komarudin, MSc; Ir. Taukhid, MSc; drh. Uni Purwaningsih; Tuti Sumiati, SPi; Reza Samsudin, SPi, MSi; Bambang Priadi; Edy Farid Wadjdy; Mikdarullah; Ahmad Wahyudi; serta seluruh staf peneliti dan karyawan-karyawati lingkup Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Tawar yang telah membantu selama pengumpulan data dan memberi masukan dalam penulisan ilmiah. Terimakasih untuk teman AKU 2009 semoga kerjasama kita tetap terjalin, selamat kembali bertugas ke institusi masing-masing. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada Bapak H. Inan; Ibu Hj. Supriati Warno; Sutikno SE; Putri Aqila Fathiyah; Queena Azka Mazaya; serta seluruh keluarga atas doa dan motivasi yang selalu memberikan semangat. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2012
Desy Sugiani
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ciamis pada tanggal 08 Desember 1979 sebagai anak tunggal dari pasangan H. Inan dan Hj. Supriati Warno. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Budidaya Perairan, Jurusan Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro pada tahun 1997 dan lulus pada tahun 2001. Pendidikan Magister ditempuh di Program Studi Ilmu Perairan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada tahun 2002 dan lulus pada tahun 2004. Kesempatan untuk melanjutkan ke Program Doktor pada Program Studi Ilmu Akuakultur IPB diperoleh dari program beasiswa KKP pada tahun 2009. Penulis bekerja sebagai Peneliti Pertama di Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, Kementrian Kelautan dan Perikanan sejak tahun 2005, ditempatkan di Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Tawar, Bogor. Bidang penelitian yang menjadi tanggung jawab peneliti adalah kesehatan ikan. Karya ilmiah berjudul Kerentanan Ikan Nila (Oreochromis niloticus) terhadap serangan ko-infeksi Streptococcosis dan MAS telah disajikan dan masuk makalah Prosiding Seminar Nasional di Universitas Gajahmada Yogyakarta pada bulan Juli 2011. Artikel berjudul Pengaruh ko-infeksi bakteri Aeromonas hydrophila dengan Streptococcus agalactiae terhadap gambaran hematologi dan histopatologi ikan Nila (Oreochromis niloticus) telah disajikan di Seminar Forum Inovasi dan Teknologi Akuakultur FITA Bali pada bulan Juli 2011, dan akan diterbitkan pada Jurnal Riset Akuakultur Vol. 7 No. 1 Tahun 2012. Artikel berjudul Vaksinasi ikan Nila (Oreochromis niloticus) menggunakan vaksin monovalen dan bivalen untuk pencegahan penyakit MAS dan Streptococcosis akan diterbitkan pada Jurnal Riset Akuakultur JRA. Sedangkan artikel dengan judul Respons imun ikan Nila, Oreochromis niloticus, terhadap vaksin bivalen sel utuh dan ekstraselular antigen Aeromonas hydrophila dan Streptococcus agalactiae telah disajikan pada Seminar Forum Inovasi dan Teknologi Akuakultur FITA-Indoaqua Makasar pada bulan Juni 2012. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ................................................................................
xv
DAFTAR GAMBAR ...........................................................................
xvii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................
xxi
1.
2.
3.
4.
PENDAHULUAN Latar Belakang ............................................................................. Tujuan Penelitian ......................................................................... Manfaat Penelitian ....................................................................... Hipotesis ...................................................................................... Kebaruan (novelty) ....................................................................... Kerangka Berfikir Penelitian .......................................................
1 4 5 5 5 5
TINJAUAN PUSTAKA Penyakit Motile Aeromonas Septikemia (MAS) ......................... Penyakit Streptococcosis ............................................................. Bakteri Aeromonas hydrophila .................................................... Bakteri Streptococcus agalactiae ................................................ Imunologi Ikan ............................................................................. Vaksin pada Ikan ......................................................................... Vaksin Polivalen .......................................................................... Pembentukan Respons Imun Pascavaksinasi................................
8 9 10 11 12 15 17 18
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ...................................................... Ikan Uji ........................................................................................ Isolat Bakteri ................................................................................ Vaksin .......................................................................................... Parameter yang Diukur ................................................................ Analisis Data ................................................................................ Alur Pelaksanaan Penelitian ........................................................
19 19 19 19 20 21 22
KO-INFEKSI Aeromonas hydrophila DAN Streptococcus agalactiae: KEBERADAAN, DAYA TUMBUH in-vitro, SENSITIFITAS ANTIBIOTIK, DAN GAMBARAN HISTOPATOLOGI Abstrak ......................................................................................... Abstract ........................................................................................ Pendahuluan ................................................................................. Bahan dan Metode ....................................................................... Hasil dan Pembahasan ................................................................. Simpulan dan Saran .....................................................................
23 23 24 24 27 37
xiii
5.
PATOGENESIS KO-INFEKSI A. hydrophila DAN S. agalactiae PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus) Abstrak ......................................................................................... Abstract ........................................................................................ Pendahuluan ................................................................................. Bahan dan Metode ....................................................................... Hasil dan Pembahasan ................................................................. Simpulan dan Saran .....................................................................
39 39 40 41 42 50
VAKSIN BIVALEN Aeromonas hydrophila dan Streptococcus agalactiae: KEAMANAN, STERILITAS DAN KARAKTER PROTEIN Abstrak ......................................................................................... Abstract ........................................................................................ Pendahuluan ................................................................................. Bahan dan Metode ....................................................................... Hasil dan Pembahasan ................................................................. Simpulan dan Saran .....................................................................
51 51 52 53 58 65
HEMATOLOGI DAN RESPONS IMUN IKAN NILA (Oreochromis niloticus) YANG DIIMUNISASI DENGAN VAKSIN MONOVALEN DAN BIVALEN : Aeromonas hydrophila dan Streptococcus agalactiae Abstrak ......................................................................................... Abstract ........................................................................................ Pendahuluan ................................................................................. Bahan dan Metode ....................................................................... Hasil dan Pembahasan ................................................................. Simpulan dan Saran .....................................................................
66 66 67 67 71 82
EFIKASI VAKSIN BIVALEN TERHADAP PENYAKIT MOTILE AEROMONAS SEPTICEMIA DAN STREPTOCOCCOSIS PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus) Abstrak ......................................................................................... Abstract ........................................................................................ Pendahuluan ................................................................................. Bahan dan Metode ....................................................................... Hasil dan Pembahasan ................................................................. Simpulan dan Saran .....................................................................
83 83 84 85 87 99
PEMBAHASAN UMUM ………………………………………
100
10. SIMPULAN DAN SARAN …………………………………….
107
6.
7.
8.
9.
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………... 109 LAMPIRAN ………………………………………………………….
xiv
119
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Komponen vaksin bivalen ...........................................................
20
2.
Sensitifitas terhadap beberapa jenis antibiotik ............................
35
3.
Perlakuan infeksi LD100 ............................................................... 41
4.
Perlakuan infeksi LD50 ................................................................. 42
5.
Kelangsungan hidup ikan Nila pascavaksinasi ...........................
6.
Hasil uji kadar formalin sediaan vaksin yang diinaktifasi dengan bufer formalin 3% ........................................................... 61
7.
Berat protein sediaan vaksin yang diinaktifasi dengan bufer formalin 3% .................................................................................
62
Karakter berat molekul protein hasil SDS-PAGE bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae yang diinaktifasi dengan bufer formalin 3% ................................................................................
64
Perlakuan proteksi vaksin monovalen A. hydrophila dan S. agalactiae ....................................................................................
85
10. Perlakuan vaksin bivalen .............................................................
86
8.
9.
60
11. Perlakuan kontrol ......................................................................... 86 12. Parameter hematologi dan respon imun efikasi vaksin monovalen dan bivalen setelah uji tantang dengan A. hydrophila .................................................................................... 90 13. Parameter hematologi dan respons imun efikasi vaksin monovalen dan bivalen setelah uji tantang dengan S.agalactiae.
91
14. Parameter hematologi dan respon imun efikasi vaksin monovalen dan bivalen setelah uji tantang dengan ko-infeksi A. hydrophila dan S. agalactiae.......................................................
91
15. Tingkat RPS ikan yang di vaksin monovalen dan bivalen A. hydrophila dan S. agalactiae.....................................................
93
16. Kisaran Hasil Pengukuran Kualitas Air Selama Penelitian ......... 96
xv
xvi
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Kerangka berfikir penelitian vaksin bivalen gabungan bakterin A. hydrophila S. dan agalactiae untuk pencegahan wabah penyakit Motile Aeromonas Septicemia (MAS) dan Streptococcosis pada ikan Nila (Oreochromis niloticus) .............. 7
2.
Alur pelaksanaan penelitian Vaksin Bivalen untuk pencegahan penyakit Motile Aeromonas Septicemia dan Streptococcosis pada ikan Nila (Oreochromis niloticus) ........................................ 22
3.
Ikan Nila (O. niloticus) yang terinfeksi. (a) MAS, (b) Streptococcosis, (c) ko-infeksi MAS dan Streptococcosis. (u) ulcer, (h) haemorhage, (exo) eksoptalmi, (op) opaque................
28
4.
Deformasi C-shaped ikan Nila yang terinfeksi Streptococcosis... 28
5.
Gerakan renang berputar (whirling) ikan Nila yang terinfeksi Streptococcosis............................................................................... 29
6.
Organ dalam ikan Nila yang terserang ko-infeksi MAS dan Streptococcosis. (a) ikan sehat, (b) ikan terserang kronis, (c) ikan terserang akut.……………………………………………...
30
7.
Pertumbuhan bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae pada media agar. (a) dan media cair, (b) dengan kepadatan tanam awal 1 koloni ................................................................................. 32
8.
Uji kompetisi daya tumbuh bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae pada media agar BHIA dengan masa inkubasi 48 jam
32
Uji kompetisi daya tumbuh bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae pada media cair dengan masa inkubasi 24 jam ...........
33
10. Histopatologi kerusakan organ dari ikan Nila hasil ko-infeksi A.hydrophila + S. agalactiae dengan pewarnaan HematoxylinEosin (H dan E). (a) otak bagian cerebellum, (b) otak bagian mesencephalon, (c-d) limpa, dan (e-f) ginjal. (p) perdarahan, (n) nekrosa, (mmc) melano macrofag centre, (i) inflamasi, (d) degenerasi, (g) granuloma.......................................................
36
9.
11. Total hematokrit ikan Nila hasil ko-infeksi A. hydrophila dan S. agalactiae ...................................................................................... 43 12. Total monosit ikan Nila hasil ko-infeksi A. hydrophila dan S. agalactiae ...................................................................................... 44 13. Total neutrofil ikan Nila hasil ko-infeksi A. hydrophila dan S. agalactiae ...................................................................................... 45
xvii
14. Total limfosit ikan Nila hasil ko-infeksi A. hydrophila dan S. agalactiae ...................................................................................... 45 15. Indeks fagositik ikan Nila hasil ko-infeksi A. hydrophila dan S. agalactiae ...................................................................................... 46 16. Kematian ikan pada perlakuan infeksi LD 100 ................................
47
17. Kematian ikan pada perlakuan infeksi LD 50 .................................
48
18. Sediaan vaksin hasil inaktifasi dengan 3% bufer formalin. (a) sediaan hasil sentrifuse : pelet di bagian bawah dan supernatant, (b) sediaan pelet yang dilarutkan dalam salin (sediaan vaksin sel utuh), ( ) pelet bakteri. ............................................................... 58 19. Sediaan vaksin monovalen dan bivalen sel utuh “siap pakai” yang diinaktifasi dengan 3% bufer formalin ................................ 59 20. Pengamatan kematian ikan pascavaksinasi dengan sediaan vaksin yang diinaktifasi dengan 3% bufer formalin ...................
60
21. SDS-PAGE sediaan vaksin bakteri Aeromonas hydrophila AHL0905-2 ...................................................................................
63
22. SDS-PAGE sediaan vaksin bakteri Streptococcus agalactiae N14G ..............................................................................................
63
23. Kadar hemoglobin ikan Nila pascavaksinasi dengan vaksin monovalen dan bivalen .................................................................
71
24. Persen hematokrit darah ikan Nila pascavaksinasi dengan vaksin monovalen dan bivalen .................................................................
72
25. Persentase fagosit darah ikan Nila pascavaksinasi dengan vaksin monovalen dan bivalen .................................................................
73
26. Indek fagositik darah ikan Nila pascavaksinasi dengan vaksin monovalen dan bivalen ................................................................. 74 27. NBT-assay dari ikan Nila hasil vaksinasi menggunakan vaksin monovalen dan bivalen .................................................................
75
28. Aktifitas lisosim serum ikan Nila pascavaksinasi ......................... 77 29. Aktifitas komplemen serum ikan Nila pascavaksinasi dengan vaksin monovalen dan bivalen yang diinaktifasi menggunakan 3% bufer formalin .........................................................................
79
30. Titer antibodi serum ikan Nila (O. niliticus) pascavaksinasi yang di tantang dengan bakterin A. hydrophila .....................................
81
31. Titer antibodi serum ikan Nila (O. niliticus) pascavaksinasi yang di tantang dengan bakterin S. agalactiae ......................................
81
32. Titer antibodi serum ikan Nila (O. niliticus) pascavaksinasi yang
xviii
di tantang dengan gabungan bakterin A. hydrophila dan S. agalactiae ...................................................................................... 81 33. Kematian harian ikan Nila (O. niloticus) yang divaksin monovalen secara intraperitoneal dan diuji tantang selama 15 hari ................................................................................................
88
34. Kematian harian ikan Nila (O. niloticus) setelah diuji tantang dengan bakteri A. hydrophila yang dipelihara selama 16 hari. (a) perlakuan vaksin bivalen, (b) kontrol…………………………… 89 35
Kematian harian ikan Nila (O. niloticus) setelah diuji tantang dengan bakteri S.agalactiae yang dipelihara selama 16 hari. (a) perlakuan vaksin bivalen, (b) kontrol…………………………… 90
36
Kematian harian ikan Nila (O. niloticus) setelah diuji tantang dengan ko-infeksi bakteri A. hydrophila+S.agalactiae yang dipelihara selama 16 hari. (a) perlakuan vaksin bivalen, (b) kontrol…………………………………………………………… 91
xix
xx
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Karakteristik Morfologi, Fisik dan Biokimia Bakteri ................... 119
2.
Pengujian Kadar Formalin dengan Metode AOAC (1990) ..........
3.
Tahapan Pewarnaan Silver Hasil SDS-PAGE ............................... 122
4.
Bagan Alur Pembuatan Vaksin ..................................................... 123
5.
Berat Protein Vaksin .....................................................................
6.
Hasil SDS-PAGE Protein Vaksin .................................................. 126
7.
Gambaran Darah ...........................................................................
8.
Persentase dan Indek Fagositosis .................................................. 129
9.
Nilai NBT-Assay ..........................................................................
121
125
128
130
10. Aktifitas Lisosim ........................................................................... 131 11. Aktifitas Komplemen .................................................................... 132 12. Titer Antibodi ................................................................................ 133 13. Relative Percent Survival (RPS) ……………........……………... 134 14. Komposisi Kandungan Media ……………………….......……… 135
xxi
xxii
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Ikan Nila (Oreochromis niloticus) merupakan komoditas unggulan budidaya air tawar di Indonesia. Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) menargetkan produksi ikan Nila tahun 2012 sebanyak 639.300 ton. Jumlah ini naik sekitar 36,26% dari total produksi tahun 2011 yang sebanyak 469.173 ton. Guna mencapai target tersebut telah dibuat beberapa strategi diantaranya pengadaan bibit unggul (jenis Wanayasa, Larasati, dan BEST) dan upaya pencegahan penyakit dengan penggunaan imunostimulan dan pemberian vaksinasi. Kasus kematian ikan akibat infeksi bakteri Aeromonas hydrophila dan Streptococcus sp. menjadi penghambat keberhasilan produksi budidaya ikan Nila di Indonesia. Timbulnya penyakit akibat infeksi Motile Aeromonas Septicemia (MAS) dan Streptococcosis tersebut dapat terjadi karena rendahnya ketahanan tubuh ikan, lingkungan pemeliharaan yang buruk, serta manajemen pemberian pakan yang tidak baik (Ibrahem et al. 2008; Harikrishnan et al. 2010). Kedua jenis penyakit ini menyebabkan masalah pada budidaya ikan dan mengakibatkan kerugian ekonomi karena terjadi kematian ikan yang tinggi dan menurunnya kualitas produk perikanan. Aeromonas hydrophila merupakan bakteri yang paling umum terdapat di habitat perairan tawar. Genus Aeromonas meliputi mikroba prominen di dalam reservoir air tawar bersama-sama dengan jasad renik yang lain bertindak sebagai biofilter alami dan berfungsi untuk memurnikan perairan dan diperlukan sebagai mikroflora normal. Penyakit biasanya timbul dalam tipe infeksi akut dengan kondisi klinis munculnya peradangan yang sistemik dan mengakibatkan kematian dalam waktu 24 sampai 48 jam. Tipe infeksi kronis ditandai dengan kerusakan pada bagian sirip, lesi pada kulit, gerakan renang lemah, dan menyebabkan kematian 10% sampai 70% dari total populasi di kolam budidaya (Ibrahem et al. 2008). Penyakit yang diakibatkan oleh infeksi A. hydrophila dari yang bersifat akut hingga bersifat laten dengan membentuk infeksi septisemia lebih dikenal
2
dengan nama penyakit Hemorrhagic Septicaemia atau Aeromonas Septicemia (Ismail et al. 2010). Bakteri patogen Streptococcus agalactiae dan Streptococcus iniae menyebabkan penyakit Streptoccoccosis pada ikan Nila (Klesius et al. 2006, 2007; Hernandez et al. 2009; Toranzo 2009; Zilberg et al. 2010). Studi patologi anatomi secara makroskopis dan mikroskopis akibat infeksi Streptococcosis diteliti pada ikan Nila di daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah dengan gejala klinis yang tampak adalah eksoptalmus, dermal hemoragi dan warna kehitaman pada tubuh. Pada tes bakteriologi menggunakan pewarnaan Gram, agar darah dan API 20 STREP sistem, bakteri penyebab diidentifikasi sebagai Streptococcus sp. (Lusiastuti et al. 2008). Lebih lanjut Lusiastuti et al. (2009) melakukan survei di daerah Waduk Cirata – Jawa Barat dan dari analisis sekuen DNA terhadap jenis bakteri yang menginfeksi ikan Nila tersebut diketahui merupakan spesies bakteri S. agalactiae dan S. iniae. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi DIY (2010) melaporkan adanya infeksi bakteri A. hydrophila dan Streptococcus sp. pada ikan Nila dari hasil pemantauan penyakit ikan yang dilakukan di wilayah DIY. Penanggulangan penyakit MAS dan Streptoccoccosis akibat infeksi A. hydrophila dan S. agalactiae dengan metode vaksinasi monovalen telah banyak dilakukan. Ismail et al. (2010) meneliti vaksin A. hydrophila yang dibuat dalam bentuk sediaan sel utuh yang diinaktifasi menggunakan formalin untuk menghasilkan bakterin A. hydrophila. Vaksin tersebut diaplikasikan melalui oral pada ikan Nila (O. niloticus) dan menghasilkan relative level of protection (RLP) sebesar 86,8%. Respons antibodi humoral pada ikan Nila yang divaksinasi dilihat melalui uji mikro-aglutinasi. Hasil level titer antibodi terendah dengan log 2 pada nilai 2 dan 3 pada minggu pertama dan empat minggu setelah divaksinasi, sementara ikan Nila yang diberi pakan tanpa divaksin, level titer antibodi yang diperoleh adalah log 2 pada nilai 1. Sugiani et al. (2010) melakukan penelitian vaksinasi ikan Lele (Clarias gariepinus) menggunakan sediaan vaksin sel utuh A. hydrophila isolat AHL09052 yang diinaktifasi menggunakan formalin (0,5% v/v) dan diaplikasikan melalui
3
perendaman, menghasilkan relative percent survival (RPS) sebesar 98,75% dengan level titer antibodi log 2 pada nilai 4 setelah divaksinasi selama 21 hari. Lusiastuti et al. (2010) melakukan penelitian pendahuluan untuk melihat efek vaksin sel utuh S. agalactiae dengan formalin killed untuk ikan Nila, lebih lanjut Hardi et al. (2011) mengemukakan bahwa diperoleh RPS>90% pada ikan Nila yang diberi vaksin kombinasi extracellular product (ECP) dan sel utuh bakteri S. agalactiae isolat N14G. Hal ini sesuai dengan hasil riset penggunaan vaksin S. agalactiae untuk penanggulangan Streptococcosis yang telah dikembangkan dari extracellular product (ECP) dan sel utuh yang dimatikan dengan formalin-killed (Pasnik et al. 2006). Evans et al. (2004) mengemukakan bahwa ikan Nila yang diimunisasi dengan modifikasi vaksin S. agalactiae yang dilemahkan (inactivated) mampu memberikan respons imun spesifik terhadap jenis bakteri S. agalactiae yang sama dan mampu memproteksi terhadap jenis bakteri S. iniae, sedangkan ikan Nila yang divaksin S. iniae tidak mampu memproteksi terhadap infeksi jenis bakteri S. agalactiae atau tidak memiliki kemampuan proteksi silang terhadap jenis bakteri berbeda. Vaksinasi ikan untuk melindungi ikan dalam melawan berbagai infeksi bakteri patogen secara serempak dapat dilakukan dengan menggunakan vaksin bivalen atau polivalen. Strategi vaksinasi diperlukan keputusan seperti penyakit spesifik apa yang akan dipapar, jenis vaksin, metoda vaksinasi, pemilihan waktu vaksinasi dan perlakuan vaksinasi ulang (booster). Perumusan vaksin yang ideal dapat diambil dalam bentuk vaksin polivalen untuk melindungi secara serempak terhadap penyakit tertentu. Vaksin polivalen harus mampu melindungi dari semua serotipe dari tiap patogen penyebab penyakit tertentu. Akan tetapi, harus diperhatikan kompetisi antigen spesifik yang mungkin terjadi terutama ketika vaksin diaplikasikan melalui suntik (Toranzo et al. 2009). Beberapa penelitian mengenai vaksin bivalen dan polivalen pada ikan menunjukkan hasil yang bervariasi, dikarenakan setiap strain bakteri memiliki kemampuan antigenik yang berbeda. Osman et al. (2009) melakukan penelitian vaksinasi pada ikan Nila terhadap infeksi Aeromonas dan Pseudomonas menggunakan vaksin monovalen dengan RPS yang bervariasi antara 73-89%,
4
bivalen dengan RPS 74%, dan polivalen gabungan Aeromonas spp. (A. hydrophila, A. sobria dan A. caviae) dan Pseudomonas fluorescens dengan RPS 81%.
Silva et al. (2009) melakukan penelitian hematologi dan respons
immunologi ikan Nila setelah divaksin menggunakan vaksin polivalen bakterin A. hydrophila, P. aeruginosa dan Enterococcus durans, diketahui bahwa titer antibodi tertinggi diperoleh pada hari ke-21 setelah vaksinasi. Vaksin campuran antara sel utuh antigen A. hydrophila, E. tarda dan P. fluorescens, merupakan patogen dari kelompok bakteri Gram negatif yang diperoleh dari hasil isolasi pada Indian major carps ternyata dapat merangsang respons antibodi pada Rohu (Labeo rohita Ham.) (Swain et al. 2007). Pembentukan vaksin bivalen dan polivalen akan dipengaruhi oleh banyak proses imunologi seperti reaksi silang antigen, kompetisi antigen, waktu pematangan dan penghilangan sifat antigenik yang akan mempengaruhi efektifitas, kemampuan menghasilkan respons imun dan level antibodi. Nikoskelainen et al. (2007) melaporkan bahwa terdapat hambatan respons imun spesifik terhadap vaksin polivalen
Aeromonas salmonicida, Listonella
anguillarum dan serotipe Th+Fd dari antigen Flavobacterium psychrophilum. Penggunaan beberapa antigen bakteri di dalam vaksin polivalen harus hati-hati dalam mencampurkannya untuk menghindari sifat saling hambat dari antigen yang akan mempengaruhi tanggap kebal spesifik pada ikan. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beberapa respons berikut ini : 1.
Menganalisis karakteristik masing-masing antigen, waktu pematangan, uji kultur bersama antigen secara in vitro.
2.
Menganalisis patogenesis masing-masing antigen dan gabungan keduanya secara in vivo pada ikan Nila.
3.
Mengkaji efektifitas dan efikasi vaksin bivalen gabungan dari bakterin A. hydrophila dan S. agalactiae dalam menghasilkan respons imun dan meningkatkan kelangsungan hidup pada ikan Nila.
5
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan produk vaksin bivalen gabungan A. hydrophila dan S. agalactiae untuk pencegahan wabah penyakit MAS dan Streptococcosis pada ikan Nila (O. niloticus). Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae memiliki perbedaan karakteristik dalam sifat patogenesis terhadap ikan Nila.
2.
Vaksin bivalen gabungan bakterin A. hydrophila dan S. agalactiae dapat memberikan proteksi lebih baik dibandingkan dengan vaksin monovalen A. hydrophila maupun vaksin monovalen S. agalactiae pada ikan Nila yang terinfeksi
A.
hydrophila
dan
S.
agalactiae
(penyakit
MAS
dan
Streptococcosis). Kebaruan (novelty) Kebaruan dari penelitian ini yaitu, pertama diketahuinya kompetensi kedua antigen A. hydrophila dan S. agalactiae untuk dijadikan kandidat vaksin bivalen. Kedua, dihasilkan vaksin yang dapat mencegah infeksi A. hydrophila dan S. agalactiae pada ikan Nila yaitu vaksin bivalen gabungan antara bakterin A. hydrophila dan S. agalactiae. Kerangka Berfikir Penelitian Latar belakang dan kerangka berfikir penelitian vaksin bivalen gabungan bakterin A. hydrophila dan S. agalactiae untuk pencegahan wabah penyakit MAS dan Streptococcosis pada ikan Nila (O. niloticus) dijabarkan pada Gambar 1. Budidaya ikan Nila pada semua fase hidupnya sangat rentan terhadap berbagai hambatan yang dapat mempengaruhi kelangsungan hidup. Faktor penyebab kegagalan kegiatan budidaya ikan Nila dapat dikarenakan adanya gangguan dari lingkungan, nutrisi yang kurang baik, dan adanya serangan penyakit. Aeromonas hydrophila dan S. agalactiae akhir-akhir ini telah menjadi masalah penting yang mempengaruhi kelangsungan hidup ikan Nila, apabila
6
terjadi serangan dari kedua jenis bakteri ini akan menyebabkan kematian 60100%. Ada dua opsi penanggulangan serangan penyakit ini yaitu melalui pengobatan, baik dengan menggunakan bahan alami maupun obat dari bahan kimia tertentu yang bersifat antibakteri. Opsi kedua adalah melalui pencegahan yaitu dengan prinsip imunostimulasi yang bertujuan agar ketahanan tubuh ikan terhadap serangan agen penyebab penyakit dapat terbentuk dengan lebih baik. Imunostimulasi dapat dilakukan dengan menggunakan imunostimulan yang lebih menekankan pada peningkatan respons imun yang bersifat non spesifik, dan menggunakan vaksin dengan target utamanya adalah meningkatkan kemampuan sel memori untuk mengenali agen penyebab penyakit sehingga proses respons imun dalam tubuh ikan dapat terbentuk dengan lebih baik lagi, vaksin dapat meningkatkan respons imun spesifik. Vaksin memiliki banyak jenis, pada tahapan penelitian yang akan dilakukan untuk pencegahan penyakit MAS dan Streptococcosis maka akan dibuat suatu vaksin in-aktif dalam bentuk monovalen maupun bivalen dari sediaan bakterin yang berbeda. Beberapa hal yang akan dilihat adalah tingkat keamanan, profil protein, dan level proteksi ketika diaplikasikan secara injeksi intraperitoneal pada ikan Nila. Hasil akhir diharapkan dapat diketahui sediaan bentuk vaksin yang dapat memberikan Relative Percent Survival (RPS) paling tinggi.
7
Budidaya Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Pembenihan dan Pembesaran Terhambat
Musim, Kualitas Air, dan Sistem Budidaya
Pakan kurang tepat
Penyakit
Infeksi Aeromonas hydrophila
Infeksi Streptococcus agalactiae
Kematian Tinggi 60-100%
Pencegahan
Imunostimulan
Pengobatan Dengan Bahan Antibakterial Alami dan Kimia Vaksinasi
Vaksin monovalen Vaksin bivalen
Metode pencampuran sediaan vaksin
Komponen vaksin
Reaksi silang antigen, kompetisi antigen, waktu pematangan, penghilangan sifat antigenik Respons imun meningkat RPS meningkat Gambar 1 Kerangka berfikir penelitian vaksin bivalen gabungan bakterin A. hydrophila dan S. agalactiae untuk pencegahan wabah penyakit Motile Aeromonas Septicemia (MAS) dan Streptococcosis pada ikan Nila (O. niloticus).
8
TINJAUAN PUSTAKA Penyakit Motile Aeromonas Septicemia (MAS) Gejala klinis dari ikan Nila yang terinfeksi Motile Aeromonas Septicemia (MAS) ditandai dengan adanya septisemia, luka, cacat tulang, eksoptalmi dan nekrosis otot. Pada kondisi posmortem ditemukan adanya luka fokal pada organ hati, limpa, dan ginjal, serta terdapat cairan yang mengisi rongga abdominal. Hasil isolasi dan identifikasi didapat jenis bakteri A. hydrophila dari bagian organ intestinal ikan yang sakit maupun ikan yang sudah sehat, hal ini dapat terjadi pada kondisi invasi penyakit ataupun kondisi MAS yang akut dengan adanya lokalisasi koloni bakteri A. hydrophila yang teridentifikasi dari jaringan hematopoetik (Ibrahem et al. 2008). Menurut Toranzo et al. (1986) sebagai tambahan hasil identifikasi dilakukan reaksi voges-proskauer (VP), citrate utilization, lysine decarboxylase (LDC), arabinosa dan tes fermentasi amygadalin untuk melihat tingkat virulensi dari bakteri. Reaksi biokimia berkorelasi dengan tingkat virulensi. Variasi tingkat virulensi dari spesies penyebab
Motile Aeromonas dapat dilihat dengan uji
karakteristik biokimia dari bakteri A. hydrophila.
Burke et al. (1981)
mengemukakan hubungan yang signifikan antara tingkat virulensi A. hydrophila pada ikan dengan produksi asam dari arabinosa dan sukrosa, tes VP dan LDC, penambahan elastase dan aktifitas hemolitik. Tingkat virulensi dari mikroorganisme berasosiasi dengan produksi enzim tertentu. Hal ini mengindikasikan bahwa tes yang bersifat enzimatik dapat digunakan untuk mengidentifikasi bakteri A. hydrophila. Uji aktifitas hemolitik isolat A. hydrophila pada media TSA yang diberi 5% Red Blood Cells (RBCs) domba, menunjukkan hasil bahwa 72% bakteri A. hydrophila dengan 2 tipe aktifitas hemolitik, isolat A. hydrophila ß hemolitik dan strain A. hydrophila non hemolitik. Ada suatu korelasi antara hemolisin dan virulensi isolat A. hydrophila. Aeromonas hydrophila mampu memproduksi hemolisin ekstraselular dengan membentuk zona hemolisis pada media agar darah (Sakai et al. 1993). Terdapat korelasi yang kuat antara hasil dari uji biokimia, aktifitas enzimatik, aktifitas
9
hemolitik dan tes patogenisitas dari isolat A. hydrophila dengan tingkat virulensinya. Sangat direkomendasikan untuk melakukan serangkaian uji tersebut untuk melihat tingkat bahaya dari isolat A. hydrophila (Ibrahem et al. 2008). Penyakit Streptococcosis Infeksi Streptococcal pada ikan merupakan infeksi bakteri yang dapat mempengaruhi patologi dari varietas budidaya ikan di seluruh dunia (Romalde & Toranzo 2002; Toranzo et al. 2005). Ikan Nila (Oreochromis niloticus) sangat rentan terhadap infeksi Streptococcosis dan menimbulkan wabah yang sangat mematikan (Pretto-Giardano et al. 2010). Akan tetapi, ikan channel catfish tidak peka terhadap Group B Streptococcus (GBS) terutama terhadap infeksi S. iniae dan S. agalactiae (Evans et al. 2007). Streptococcosis pada ikan merupakan infeksi dari beberapa jenis bakteri Streptococcus sp. dengan gejala penyakit yang hampir sama pada setiap spesies bakteri
dan dapat
mengakibatkan kerusakan sistem saraf pusat
yang
terkarakterisasi dari gejala klinis berupa adanya eksoptalmi (pop-eye) dan meningoensefalitis. Klasifikasi Gram positif bentuk kokus berdasarkan pasangan hibridisasi DNA-DNA menggunakan sekuen 16S terhadap bakteri patogen pada ikan diperoleh jenis bakteri: Lactococcus garvieae (syn. Enterococcus seriolicida), L. piscium, Streptococcus iniae (syn. S. shiloi), S. agalactiae (syn. S. difficile), S. parauberis, dan Vagococcus salmoninarum (Toranzo 2009). Menurut Toranzo (2009) pada kondisi perairan yang hangat (warm water) Streptococcosis (menyebabkan kematian pada suhu di atas 15 ºC) disebabkan oleh L. garvieae, S. iniae, S. agalactiae dan S. parauberis, sedangkan pada perairan dingin cold water Streptococcosis (menyebabkan kematian pada suhu di bawah 15 ºC) disebabkan oleh L. piscium dan V. salmoninarum. Agen penyebab penyakit Streptococcosis pada ikan di daerah perairan hangat seperti di Indonesia merupakan bakteri yang potensial bersifat zoonotik pada manusia. Ikan yang terinfeksi Streptococcosis menunjukkan gerakan renang yang tak menentu (erratic), berputar (whirling), perdarahan pada mata, katarak, eksoptalmi (pop-eye), atau terdapat perdarahan di sekitar anus dan pangkal sirip.
10
Bagian internal tubuh mengalami perubahan, bagian otak menjadi lembek dan berair, serta hati membengkak dan berwarna pucat. Gejala lain yang teramati pada ikan seabream (Sparus auratus L.) dan ikan mullet (Liza klunzingeri) terinfeksi Streptococcosis berupa tubuh yang melengkung membentuk huruf C, mata berwarna putih (ocular opacity), perdarahan di periorbital dan intraokular, bernanah (purulence) dan eksoptalmi (Musa et al. 2009). Bakteri Aeromonas hydrophila Cipriano (2001) mengemukakan bahwa isolat A. hydrophila berbentuk batang pendek dan Gram negatif, oxidase-positif, mampu menfermentasi glukosa dan resisten terhadap cakram Vibrostatic 0129, mampu tumbuh dalam media agar MacConkay, bersifat motil, dan koloni berbentuk bulat halus dengan diameter 2-3 mm, ukuran lebar sel 0,3-1 μm dan panjang sel 2-4,5 μm. Identifikasi juga dapat dilakukan menggunakan sistem tes kit API 20 NE. Media identifikasi selektif Rhimler-Shotts (media R-S) dibuat oleh Shotts dan Rhimler (1973) untuk mempermudah identifikasi jenis bakteri Aeromonads yang akan membentuk koloni berwarna kuning pada media. Isolat
A. hydrophila menunjukkan hasil reaksi positif pada sitokrom
oksidase, hidrolisis gelatin, produksi indol, glukosa, sukrosa, fermentasi manitol, arginin dehidrolase dan tes ß- galaktosidase. Sebagian isolat positif pada media Voges Proskauer, lisin dekarboksilase, tripsin, fermentasi tes arabinosa, ßglukosidase,
ß-glaktosidase,
ß-glukuronidase,
∞-glukosidase,
dan
valin
arilamidase. Identifikasi enzimatik menggunakan sistem tes kit API ZYM menunjukkan bahwa isolat bereaksi positif pada alkalin fosfatase, butirat esterase (C4), caprilat esterase (C8), Miristate lipase (C14), leusin arilamidase dan Nasetil- ß-glukosaminidase, Asam fosfatase dan fosfomidase. Beberapa isolat menunjukkan hasil negatif pada sistein arilamidase, Chimotripsin, α-Mannosidase dan α-fukosidase. Aktifitas hemolitik ada yang bersifat ß –hemolitik, α- hemolitik, dan non-hemolitik (Ibrahem et al. 2008).
11
Bakteri Streptococcus agalactiae Streptococcus agalactiae adalah bakteri Gram-positif, tidak membentuk spora, tidak bersifat asam, non motil, oksidase-negatif, katalase-negatif, kokus dengan diameter sekitar 2 μm. Biasanya berbentuk berpasangan atau membentuk rantai pendek (Rattanachaikunsopon & Phumkhachorn 2009). Kohler (2007) mengelompokkan bakteri S. agalactiae termasuk ke dalam golongan kelompok antigen Lancefield B dengan tipe haemolitik β (α, -). Bentuk koloni bakteri S. agalactiae berwarna putih abu-abu, bening, koloni berbentuk bulat, dan menghasilkan β-haemolitik pada media agar darah (Musa et al. 2009). Streptococcus agalactiae (Group B streptococcus, GBS) merupakan patogen yang dapat menginfeksi pada manusia dan hewan termasuk beberapa spesies ikan. Tahun 2003, bakteri S. agalactiae diisolasi dari red Tilapia Oreochromis sp. dan Nila (O. Niloticus) pada budidaya ikan di Thailand. Identifikasi bakteri GBS menggunakan API 20 STREP, polymerase chain reaction (PCR) dan multiplex PCR-based reverse line blot hybridization (mPCR/RLB) (Suanyuk et al. 2008). Identifikasi S. agalactiae juga dapat menggunakan BioStar STREP B (STREP B OIA) BioStar1OIA1 Strep B Assay Kit (Evans et al. 2010). Untuk melihat genotipe bakteri S. agalactiae, OlivaresFuster et al.
(2008) menggunakan metode Single-Stranded Conformation
Polymorphism (SSCP) dengan analisis Intergenic Spacer Region (ISR), dan menggunakan fingerprint Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP). Streptococcus agalactiae menyebabkan penyakit septisemia pada Nila, merusak organ otak, ginjal, usus, dan organ lainnya. Penyakit ini biasanya ditandai dengan gejala anoreksia, eksoptalmi, asites dan gerakan renang tak menentu. Percobaan infeksi buatan pada ikan mullet dan seabream menggunakan isolat S. agalactiae dari otak ikan Nila, O. niloticus L., menyebabkan kematian 100% dan 90%, pada masa pascainokulasi selama 7 hari, hal ini menandakan bahwa S. agalactiae bersifat virulen yang menyebabkan penyakit epizootik (Evans et al. 2002).
12
Bakteri S. agalactiae memiliki kemampuan aktifitas kemotaktik dan kemokinetik yang memegang peranan penting dalam respons proinflamasi dari makrofag terhadap infeksi yang ditimbulkannya. Aktifitas kemotaktik dan kemokinetik teramati dari ECP S. agalactiae dengan berat molekul 7,54 kDa. Berat molekul ECP diperoleh dari hasil fraksinasi menggunakan High-pressure liquid chromatography terhadap ECP S. agalactiae semi-purifikasi (Klesius et al. 2007). Imunologi Ikan Sel spesifik dan jaringan dari sistem imun pada teleost terletak pada organ limfomeiloid primer, sekunder, dan tersier. Organ limfoid primer pada teleost adalah timus dan ginjal bagian depan yang berfungsi untuk hematopoiesis dan pembentukan sel baru. Organ sekunder adalah limpa dan kelenjar getah bening yang berfungsi untuk regenerasi pada respons imun dengan melibatkan interaksi antara beberapa tipe sel dan respons imun spesifik untuk melawan serangan antigen (Lin et al. 2005). Organ limpa pada teleost juga berperan sebagai sistem limpatik (belum terbentuk sempurna) untuk menfilter cairan tubuh. Organ tersier pada teleost adalah berupa struktur mukosa yang membawa sel-sel limfoid (Pellane 2002). Tanggap kebal alami terjadi seketika apabila ada patogen masuk ke dalam inang, faktor humoral bawaan yang terdapat di serum dan mukus ikan akan melakukan perlawanan pasif dengan menghancurkan patogen. Apabila terjadi suatu serangan patogen atau benda asing pada ikan maka akan terjadi respons imun alami yang melibatkan sirkulasi dan perbaikan jaringan melalui respons fagosit granulosit (neutrofil, eosinofil sel granular) monosit, dan sel makrofag (Danerson 1974). Sistem pertahanan tubuh ikan terbagi menjadi dua, yaitu pertahanan seluler (pertahanan primer) dan pertahanan humoral. Sistem pertahanan primer pada ikan berkaitan dengan disekresikannya mukus oleh sel mukus yang terdapat di jaringan epitel pada permukaan kulit, insang dan usus. Mukus mengandung substansi seperti imunoglobulin, lisosim, Protein C-reaktif, dan lektin. Substansi
13
tersebut sangat penting untuk pertahanan penyakit maupun lingkungan yang tidak menguntungkan (Iwama & Nakanishi 1996). Ellis (2001) mengemukakan bahwa respons dan faktor humoral terdiri dari serum amiloid protein, antibodi, lisosim, transferin, interferon, antiprotease, lektin, lisin, protease, protein C-reaktif, dan komplemen. Sedangkan respons dan faktor seluler antara lain adalah makrofag, killer cell, neutrofil, reaksi penolakan allograft dan hipersensitifitas. Ikan mempunyai kemampuan dalam sistem imun non-spesifik berupa barier mekanik dan kimiawi yang terdiri dari permukaan kulit, sisik, dan mukus pada permukaan tubuh dan insang (Iwama & Nakanishi 1996). Sistem kekebalan tubuh ikan terhadap antigen melalui mekanisme fagosit dengan perantara makrofag dan granular leukosit, sebagai contoh neutrofil menyerang mikroorganisme yang masuk melalui jaringan kulit ikan atau mukus. Selain itu ada lisosim dan komplemen lain yang merusak patogen. Komponen spesifik dalam sistem imun, terdiri dari humoral dan respons sel terhadap memori imunologi, walaupun memori imun pada ikan secara umum sangat kurang berkembang dibandingkan hewan tingkat tinggi lainnya. Tingkat induksi dan respons imun ikan sangat dipengaruhi oleh suhu perairan (Danerson 1999). Pada respons imun spesifik, makrofag bertindak melawan sel antigen, sedangkan B-limfosit terlibat dalam produksi antibodi. T-limfosit berperan dalam imunitas melalui diferensiasi dan proliferasi dari B-limfosit. Antibodi akan diproduksi terhadap patogen spesifik yang akan mengikat membran patogen dan merusak melalui aktivasi sistem komplemen dengan cara klasik (Li et al. 2006). Hanya ada satu kelas antibodi pada ikan teleost, mirip dengan kelas IgM pada mamalia dengan berat molekul yang besar (Dorson 1981, Ellis 1989). Struktur IgM ikan tetrameric sedangkan pada mamalia struktur IgM pentameric. Perlindungan antibodi ikan terhadap suatu penyakit belum terpetakan secara detail, akan tetapi aktifitas aglutinasi antibodi dapat dijadikan bukti untuk melihat efektifitas vaksinasi dan menghasilkan proteksi yang lengkap melawan berbagai infeksi (Ellis 1989). Keberadaan IgM pada ikan tidak hanya terbatas dalam serum. Antibodi juga ditemukan terdapat pada lapisan mukus yang melapisi sel epitel
14
ikan dan IgM kemungkinan diproduksi secara lokal bukan berasal dari serum. Ellis (1981) menduga bahwa sistem imun pada ikan dapat terlihat dan terus dihasilkan sebagai bagian dari sistem respons imun yang sistemik dan bagian dari mukus. Imunitas dapatan (acquired immunity) pada ikan sama dengan respons alaminya. Akan tetapi, respons imun dapatan lebih lama terbentuk setelah terinfeksi penyakit yang akut dan setelah proses vaksinasi, karena pada imun dapatan bersifat spesifik dan memiliki memori sedangkan imun alami bersifat non-spesifik dan tidak memiliki memori. Respons imun alami terhadap infeksi bakteri dapat melalui aktifitas fagositosis dengan komponen internal berupa cytokine (interferon), lytic enzyme (lisosim), serum protein, komplemen, dan kinin. Respons imun buatan melibatkan B-limfosit dan sel plasma dalam menghasilkan antigen-spesifik antibodi, serta cytokine dari T-limfosit (Stuart 1999). Proliferasi limfosit pada ikan memerlukan waktu relatif lama untuk mencapai puncak setelah ditantang dengan patogen, respons sekunder yang muncul yaitu berupa titer antibodi (Ellis 1981). Tanggapan kebal adaptif dapat terbentuk pada kelompok teleost seperti ikan dan dapat dideteksi dalam hitungan hari bahkan minggu (4-6 minggu) dari infeksi atau peradangan awal tergantung dari suhu lingkungan. Tanggap kebal adaptif terdiri dari jaringan sel protein komplek, pengantar pesan biokimia (sitokin), dan gen yang bekerja sama untuk menghasilkan suatu induksi tanggap kebal spesifik yang memerlukan Abs (antibodi spesifik) dan Ags (antigen spesifik) (Press & Evenson 1999). Antibodi spesifik dapat bertindak sebagai molekul efektor yang larut di dalam serum dan sebagai sel yang peka rangsangan terhadap permukaan sel Blimfosit.
Sebagai
suatu
molekul
efektor
pada
serum,
antibodi
dapat
menghancurkan antigen dengan berbagai jalan (pathway). Antibodi spesifik dapat menetralkan antigen dengan fungsi sel yang peka rangsangan, aktifitas enzimatik, atau faktor toksigenik. Sebagai alternatif, kemampuan antibodi spesifik yang multivalen mengikat antigen (masing-masing molekul Ab atau antibodi monomerik efektif mengikat 2 antigen), membentuk makromolekular Ab-Ag
15
komplek. Jika cukup besar, makromolekular komplek ini akan mempercepat perlekatan antigen oleh sel untuk selanjutnya terjadi proses fagositosis penghancuran antigen (Pilstrom & Bengten 1996). Vaksin pada Ikan Preparasi antigen vaksin dibuat dari organisme patogen yang telah dibuat menjadi non-patogen dengan berbagai macam metode. Tujuan melakukan vaksinasi adalah untuk menstimulasi sistem imun dengan cara meningkatkan resistensi ikan terhadap jenis patogen tertentu. Vaksin pada industri budidaya ikan biasanya menggunakan formula dari bakterin (yang diinaktifasi dengan formalin atau pemanasan bakteri sel utuh), sel bakteri hidup yang tidak virulen, toksin bakteri, vektor rekombinan, dan menggunakan asam nukleat dari bakteri (Skinner 2009). Imunologi dan analisis transkripsi menunjukkan bahwa dengan vaksinasi dapat: (i) menginduksi respons chemiluminescence yang lebih kuat dan lebih tinggi dalam produksi nitrit oksida dan aktifitas asam fosfatase pada makrofag ginjal anterior, (ii) memproduksi serum antibodi spesifik, yang akan memberikan immunoproteksi ketika diberikan imunisasi pasif pada ikan, (iii) regulasi ekspresi gen pengkode protein yang berperan dalam respons imun bawaan dan respons imun dapatan. Ketiga faktor tersebut akan memegang peranan dalam membuktikan
bahwa
vaksinasi
pada
ikan
dapat
mengontrol
penyakit
Streptococcosis pada lingkungan budidaya (Sun et al. 2010). Ikan dapat diimunisasi dengan tiga cara, melalui injeksi (intraperitoneal), perendaman dalam larutan vaksin, dan melalui oral (dicampur dengan pakan). Ketiga cara ini memiliki keuntungan dan kerugian yang akan mempengaruhi level proteksi, efek samping, cara pemberian, dan biaya yang harus dikeluarkan untuk kegiatan vaksinasi. Pemberian vaksinasi melalui injeksi telah banyak digunakan pada skala industri dan kegiatan riset di laboratorium dengan hasil yang baik dan alur mekanisme pembentukan respons imunnya juga telah diketahui, akan tetapi pemberian vaksin melalui oral dan perendaman masih belum banyak diketahui
16
alur penyerapan antigen dan presentasi antigen setelah diserap (Gudding et al. 1999). Enzim ekstraselular, kapsul polisakarida, lipopolisakarida (LPS), membran luar bakteri menjadi faktor penentu virulensi bakteri yang kemudian digunakan sebagai kandidat sediaan vaksin untuk menanggulangi infeksi bakteri yang homolog maupun heterolog. Preparasi mikroorganisme dan produk sisa metabolismenya dapat digunakan sebagai agen yang dapat menstimulasi pembentukan antibodi dan penghancuran antigen melalui efektor makrofag dalam perlakuan uji tantang (Shoemaker & Klesius 1997). Proteksi melawan A. hydrophila pada ikan Carp melalui vaksinasi dengan crude lipopolisakarida (LPS) lebih baik dibanding dengan sel utuh yang diinaktifasi
menggunakan formalin. Vaksin LPS yang diberikan melalui
perendaman pada ikan selama 2 jam pada suhu 25 oC lebih efektif dalam mengurangi stres perlakuan dibanding ketika diberikan melalui injeksi,
akan
tetapi vaksinasi dengan crude LPS tidak dapat melihat respons imun humoral melalui pengukuran reaksi aglutinasi bakteri, hemaglutinasi pasif dan tes difusi agar gel (Baba et al. 1988). Kunci keberhasilan vaksinasi pada ikan menurut Toranzo et al. (2009) adalah sebagai berikut : -
Tidak menggunakan vaksin sebagai satu alat pemecahan masalah manajemen budidaya. Kepadatan ikan yang tinggi, ikan dalam keadaan stres, kualitas air yang jelek dapat menyebabkan terhambatnya pembentukan proteksi respons imun.
-
Hanya memvaksin ikan yang sehat. Performa vaksin sangat tergantung pada status kesehatan ikan. Vaksin tidak dapat diharapkan memberi proteksi yang tinggi jika ikan yang divaksin dalam keadaan sakit atau karier terhadap patogen sejenis dengan vaksin.
-
Memberikan waktu untuk ikan dalam membentuk imunitas. Selama masa induksi vaksin, lingkungan pemeliharaan harus tetap terjaga terutama fluktuasi suhu, karena akan mempengaruhi proses pembentukan respons imun.
17
-
Ketat
dalam
memberikan
rekomendasi
penggunaan
vaksin.
Jangan
memperpendek waktu pemaparan yang disarankan, tidak memodifikasi dosis maupun solusi vaksin, tidak melebihi kepadatan ikan yang diperbolehkan dalam penggunaan melalui perendaman, mencampurkan vaksin ke dalam larutan dengan suhu yang sama dengan media pemeliharaan. Vaksin Polivalen Formula vaksin ideal adalah dalam bentuk sediaan vaksin polivalen yang dapat memproteksi secara simultan terhadap beberapa patogen penting penyebab suatu penyakit dan efektif digunakan untuk spesies ikan yang luas. Vaksin polivalen juga harus dapat melindungi dari semua serotipe bakteri yang berasal dari area geografis berbeda. Formula vaksin polivalen harus dibuat dengan teliti karena masalah kompetisi antigen dapat muncul terutama ketika vaksin tersebut diaplikasikan melalui injeksi (Toranzo et al. 2009). Karena sifat antigenik yang beragam antara kelompok organisme yang komplek, maka diperlukan strategi penggunaan vaksinasi, apakah dengan menggunakan vaksin polivalen, imunisasi menggunakan inaktifasi ekstraselular toksin (toxoid), atau vaksin yang berisi selular antigen dan toxoid. Vaksinasi dengan larutan antigen ekstraselular lebih efektif dalam memberikan perlindungan melawan serotipe yang heterolog dibandingkan dengan vaksin yang hanya terdiri dari satu jenis sel utuh dari antigen (Baba et al. 1988). Untuk menanggulangi penyakit furunkulosis pada ikan Atlantic salmon (Salmo salar L.) akibat infeksi bakteri Aeromonas salmonicida maka Hoel et al. (1997) membuat vaksin polivalen yang berisi bakteri A. salmonicida, Vibrio salmonicida, dan V. anguillarum. Respons imun humoral Atlantic salmon yang divaksin dengan vaksin polivalen lebih baik dalam memberikan proteksi terhadap antigen A. salmonicida dibandingkan dengan vaksin monovalen. Gassent et al. (2004) melakukan vaksinasi pada Anguilla anguilla L. menggunakan vaksin bivalen yang terdiri dari bakteri V. vulnificus strain CECT 4604 dan CECT 5198 untuk menanggulangi penyakit pada A. Anguilla (eel disease). Vaksin diberikan dengan 4 rute yang berbeda yaitu melalui perendaman,
18
injeksi (intra peritoneal atau IP), intubasi melalui mulut, dan intubasi melalui anus. Intubasi melalui mulut dan injeksi (IP) memberikan level proteksi lebih tinggi dibandingkan dengan intubasi melalui anus maupun perendaman dengan rerata RPS 80–100%. Vaksinasi dapat meningkatkan antibodi plasma maupun mucus (lendir), akan tetapi tidak meningkatkan produksi lisosim pada plasma maupun lendir. Pembentukan Respons Imun Pascavaksinasi Vektor vaksin memiliki kemampuan untuk menstimulasi mediasi sel, antibodi humoral, dan imunitas mukosa. Vektor vaksin juga harus mampu bertahan dan bereplikasi
dalam tubuh inang, menghasilkan respons imunitas
selular yang kuat sehingga dapat memberikan proteksi dengan durasi waktu lebih lama. Induksi imun selular (respons CD4+ dan CD8+ sel-T) berperan dalam memberikan proteksi terhadap infeksi intraselular (Skinner 2009). Beberapa penelitian pada ikan telah dapat mendemonstrasikan relevansi molekul major histocompatibility complex (MHC) kelas I dan kelas II dalam pembentukan respons imun.
Presentasi antigen oleh MHC yang tepat dapat
memberikan respons dan pengenalan oleh sub populasi sel-T dan sel-B. Selain itu, vaksinasi pada ikan dapat menginduksi respons Th1 dan CD8 sel-T. Stimulasi sub populasi sel-T dapat menginduksi produksi interferon gamma yang dapat memediasi penghancuran intraselular bakteri (Seder & Hill 2000).
19
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di laboratorium kesehatan ikan Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Tawar (BPPBAT) Bogor, Laboratorium Kesehatan Ikan Departemen Budidaya Perairan - Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Laboratorium Terpadu PAU IPB, dan Laboratorium Uji Balai Besar Pengolahan Produk Perikanan dan Bioteknologi (BBP3B) Jakarta. Penelitian dilakukan pada bulan Maret 2011 - Februari 2012. Ikan Uji Ikan uji menggunakan ikan Nila (Oreochromis niloticus) berukuran 15±0,5 g. Ikan yang digunakan harus memenuhi asumsi Spesifik Pathogen Free (SPF) bebas dari karakteristik yang akan muncul ketika terinfeksi penyakit Motile Aeromonas Septicemia dan Streptococcosis, melewati masa aklimatisasi selama 14 hari. Pengamatan dilakukan dengan melihat gejala klinis serta dilakukan pengambilan sampel isolat untuk melakukan identifikasi bakteri target
(A.
hydrophila dan S. agalactiae). Isolat Bakteri Bakteri
Aeromonas
hydrophila
dan
Streptococcus
agalactiae
menggunakan isolat koleksi BPPBAT Kementrian Kelautan dan Perikanan, Bogor. Aeromonas hydrophila diinokulasi dalam media Tryptic Soy Agar (TSA) menggunakan A. hydrophila isolat AHL0905-2, dan S. agalactiae diinokulasi dalam media Brain Heart Infussion Agar (BHIA) menggunakan S. agalactiae isolat N14G. Vaksin Ada 2 sediaan vaksin monovalen yang di uji pada penelitian ini, yaitu vaksin monovalen sel utuh A. hydrophila (Sugiani et al. 2010) dan vaksin monovalen sel utuh+ECP S. agalactiae (Pasnik et al. 2006), dan 5 sediaan vaksin
20
bivalen gabungan bakterin A. hydrophila dan S. agalactiae. Perlakuan kontrol sesuai dengan media solusi sediaan vaksin. Tabel 1 Komponen vaksin bivalen Perlakuan Komponen vaksin 1 (su AH) : (su SA) 2 (ECP AH) : (ECP SA) 3 (cS AH) : (cS SA) 4 (su+ECP AH) : (su+ECP SA) 5 (br AH) : (br SA)
Komponen uji tantang Setiap perlakuan vaksin diuji tantang dengan bakteri AH, SA, dan koinfeksi AH+SA
AH (Aeromonas hydrophila), SA (Streptococcus agalactiae), ECP (produk ekstraseluler), su (sel utuh), cS (crude supernatan), br (broth).
Parameter yang Diamati Beberapa parameter uji yang diamati pada penelitian ini diantaranya adalah kematian ikan, gejala klinis, dan gambaran sistem imun ikan. Gejala klinis Gejala klinis ikan diamati dengan melihat tingkah laku makan, berenang, respons terhadap kejutan, dan perubahan anatomi bagian luar tubuh ikan maupun organ dalam ikan. Hematologi dan gambaran sistem imun Pengamatan hematologi dan gambaran sistem imun dilakukan dengan mengamati sampel darah yang diambil dari ikan perlakuan kemudian diukur kadar haemoglobin menurut metode Sahli (Wedenmeyer & Yasutake 1977). Kadar hematokrit menurut metode Anderson dan Siwicki (1995). Aktifitas fagositosis meliputi indek fagositik dan persen fagositosis dievaluasi menggunakan metode Zhang et al. (2008). Produksi oksigen radikal dari fagositosis dalam darah dapat dilihat dengan pewarnaan nitroblue tetrazolium (NBT-Assay) seperti yang dilakukan Anderson dan Siwicki (1995). Aktifitas lisosim diuji menggunakan lyso-plate assay menurut Gassent et al. (2004) dengan melihat zona lisis dari bakteri Micrococcus lysodeikticus. Aktifitas komplemen (Complement consumption assay) dilakukan menggunakan metode Vivas et al. (2005). Titer antibodi diukur dengan menggunakan aglutinasi langsung (direct aglutination) terhadap antigen-antibodi perlakuan.
21
Histopatologi Pengamatan gambaran histopatologi dilakukan untuk mengetahui efek dari penyakit MAS (infeksi A. hydrophila) dan Streptococcosis (infeksi S. agalactiae) terhadap ikan Nila. Relative Percent Survival (RPS) Tingkat kelangsungan hidup (SR) setelah uji tantang kemudian dihitung menjadi nilai Relative Percent Survival (RPS) untuk melihat efektifitas vaksinasi dengan menggunakan rumus Ellis (1988) :
Analisis Data Penelitian dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Analisis untuk data pengamatan gambaran darah, patologi klinik darah, indeks fagositik, aktifitas lisosim, aktifitas Respiratory Burst, aktifitas komplemen, titer antibodi, dan RPS (Relative Percent Survival) dianalisis dengan program SPSS. Perubahan gejala klinis dan histopatologi organ dianalisis secara deskriptif.
22
Alur Pelaksanaan Penelitian Penelitian dilakukan dalam 5 tahapan penelitian yang disajikan pada Gambar 2. Tahap 1 Analisis karakteristik bakteri Aeromonas hydrophila dan Streptococcus agalactiae Identifikasi bakteri, waktu pematangan (kinetik pertumbuhan), uji kultur bersama (media cair dan media agar), sensitifitas terhadap antibiotik secara in vitro Tahap 2 Uji patogenisitas bakteri A. hydrophila, S. agalactiae dan gabungan keduanya Perubahan pola berenang, tingkah laku makan, perubahan patologi anatomi organ dalam dan luar, gambaran darah, patologi klinik darah, histopatologi, dan kematian ikan. Tahap 3 Kajian preparasi vaksin A. hydrophila dan S. agalactiae
Sediaan vaksin
Uji kualitas vaksin
Komponen vaksin terdiri dari vaksin sel utuh, ECP, sel utuh+ECP, crude supernatan, dan broth. Fraksinasi protein melalui SDS-PAGE
Uji keamanan vaksin (innocuity test), uji sterilitas vaksin (sterility test) dan uji kadar formalin
Tahap 4 & 5 Efikasi vaksin bivalen gabungan bakterin A. hydrophila dan S. agalactiae pada ikan Tilapia (Oreochromis niloticus) Melakukan analisis spesifik respons dan proteksi silang vaksin monovalen A. hydrophila dan S. agalactiae secara in vivo pada ikan Tilapia RPS, gambaran darah, patologi klinik darah, aktifitas Respiratory Burst, aktifitas lisosim, aktifitas komplemen, dan titer antibodi
Gambar 2
Alur pelaksanaan penelitian Vaksin Bivalen untuk pencegahan penyakit Motile Aeromonas Septicemia dan Streptococcosis pada ikan Nila (O. niloticus).
23
KO-INFEKSI Aeromonas hydrophila DAN Streptococcus agalactiae: KEBERADAAN, DAYA TUMBUH in-vitro, SENSITIFITAS ANTIBIOTIK, DAN GAMBARAN HISTOPATOLOGI Abstrak Bakteri Aeromonas hydrophila dan Streptococcus sp. menyebabkan wabah penyakit MAS (Motile Aeromonas Septicemia) dan Streptococcosis yang menjadi penghambat keberhasilan produksi budidaya ikan Nila (Oreochromis niloticus) di Indonesia. Keberadaan kejadian ko-infeksi antara bakteri A. hydrophila dengan S. agalactiae pada ikan Nila di KJA Waduk Cirata sebesar 20% dari populasi di karamba. Uji kerentanan ikan Nila terhadap kedua jenis penyakit ini dilakukan secara in-vitro dan in-vivo untuk melihat kompetisi antigen dan ko-infeksi dari kedua jenis bakteri penyebab penyakit. Hasil uji pertumbuhan bakteri pada media cair maupun media padat menunjukkan bahwa kedua jenis bakteri ini dapat tumbuh bersinergi (tidak saling menghambat). Bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae bersifat rentan terhadap antibiotik Tetrasiklin dan Kloramfenikol. Hasil histopatologi organ ginjal, otak, hati, dan limpa memperlihatkan dua pola karakter luka. Pola pertama, luka yang fokal sampai terlihat adanya inflamasi dan perdarahan. Pola kedua, luka yang multifokal, luka parah, nekrotik, dan luka inflamasi yang mengakibatkan deformasi sel-sel organ. Kata kunci :
Aeromonas hydrophila, histopatologi
S.
agalactiae , kompetisi antigen,
Abstract Etiological agents of common fish diseases are the Gram-negative A. hydrophila and the Gram-positive S. agalactiae, both are considered severe fish pathogens on account of their ability to cause damaging disease outbreaks in Nile Tilapia (O. niloticus). The occurence of co-infections between A. hydrophila and S. agalactiae at Waduk Cirata was about 20% per populations. Pathogenesis in fish involved septicaemia and colonization of numerous organs, such as the liver, brain, and kidney. Clinical signs appeared soon after infection, and include depression or excitability, anorexia, C-shaped body posturing, erratic swimming, whirling, and death. Aeromonas hydrophila and S. agalactiae cultures were not able to inhibit each other and showed negative results from antimicrobial activity, both are succeptible to antibiotics Tetracycline and Chloramphenicol. Nile Tilapia also were clinically examined and necropsied for histopathology, samples were taken from kidney, brain, liver, and spleen. Histopathological lesions were grouped into two characteristic patterns. The first pattern consisted focal lesion and inflammation. The second pattern consisted of multifocal lesion, necrotic, and inflammatory lesions resulting organ deformation. Key Words : Aeromonas hydrophila, histophatology
S.
agalactiae, antimicrobial activity,
24
Pendahuluan Kasus kejadian suatu wabah penyakit pada ikan dapat melibatkan banyak faktor. Patogen infeksius (virus, bakteri, dan parasit) sering dianggap sebagai penyebab utama dari perjangkitan penyakit, sedangkan perubahan faktor lingkungan, mutu air yang jelek, dan manajemen budidaya yang salah menjadi penyebab infeksi sekunder yang akan memperparah kondisi sakit. Keterikatan kedua faktor ini akan mempengaruhi keseimbangan fisiologis normal dari suatu organisme, yaitu jika ada interupsi maka akan menyebabkan tekanan fisiologis yang dapat menyebabkan perubahan fungsional sel dan tanggap kebal (Wedemeyer et al. 1990). Penyakit ikan akibat infeksi Aeromonas hydrophila dan Streptococcus agalactiae dapat menginfeksi ikan Nila yang ada di alam maupun pada sistem budidaya. Kedua bakteri ini berasal dari dua tipe Gram bakteri yang berbeda yaitu Gram negatif (A. hydrophila) dan Gram positif (S. agalactiae) dengan karakter infeksi dan gejala klinis yang berbeda pula. Penelitian ini bertujuan untuk melihat karakteristik tipe ko-infeksi dan karakter pertumbuhan bakteri penyebab penyakit MAS dan Streptococcosis, sensitifitas terhadap antibiotik, dan pengaruh infeksi terhadap sel-sel organ dengan melakukan serangkaian uji secara in vivo maupun in vitro di laboratorium. Penelitian dilakukan dengan metode infeksi tunggal dan ko-infeksi untuk membedakan gejala klinis dan perubahan patologi organ ikan Nila (O. niloticus). Bahan dan Metode Penelitian tahap awal dilakukan dengan melihat kajian dasar pada kedua jenis patogen target yaitu A. hydrophila dan S. agalactiae. Beberapa aspek yang diteliti adalah keberadaan kedua jenis bakteri ini di perairan umum yang digunakan untuk kegiatan budidaya, melihat karakter pertumbuhan bakteri pada media tumbuh, melihat kerentanannya terhadap beberapa jenis antibiotik yang ada di pasaran, serta melihat kerusakan yang terjadi pada organ tubuh ikan yang terinfeksi kedua jenis bakteri tersebut.
25
1 Survei Lapang Kegiatan survei dilakukan di sentra budidaya ikan Nila (O. niloticus) pada karamba jaring apung daerah Cirata-Cianjur. Pengamatan keberadaan penyakit MAS dan Streptococosis di ikan Nila diambil pada beberapa lokasi karamba, dilakukan pengamatan gejala klinis, melakukan pembedahan (sectio) untuk melihat kondisi organ yang teramati dari ikan sehat maupun ikan sakit, dan membuat preparasi isolat bakteri dengan metode gores pada media tumbuh TSA (Triptic Soy Agar), R-S agar (Rhimler-Shott), Streptococcus medium, dan BHIA (Brain Heart Infusion Agar). Hasil inokulasi bakteri diidentifikasi menggunakan API 20 NE untuk identifikasi bakteri A. hydrophila dan API Strep 20 untuk identifikasi bakteri S. agalactiae. 2
Analisis Waktu Pematangan Bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae ditumbuhkan pada media TSA dan
BHIA diinkubasi selama 24 jam dengan suhu 28 oC. Diambil satu koloni terpisah (102 cfu/mL) dari masing-masing isolat kemudian ditumbuhkan dalam media cair (Tryptic Soy Broth TSB dan Brain Heart Infusion BHI broth) dan media agar (TSA dan BHIA) diinkubasi selama 24, 48, dan 72 jam dengan suhu 28 oC. Pengamatan pertumbuhan bakteri dilakukan dengan menghitung koloni bakteri yang tumbuh pada media TSA dan BHIA hasil pengenceran seri. 3
Uji Kultur bersama di Media Cair dan Media Agar Uji pertumbuhan pada media agar dilakukan dengan menggunakan kertas
cakram diameter 0,5 cm dibuat dari kertas cakram Whatman no.4 untuk melihat kemampuan anti mikrobial yang dimiliki masing-masing isolat. Pertama, kertas cakram direndam dalam solusi bakteri A. hydrophila (104 cfu/mL) selama 1 jam. Kertas cakram kemudian diletakkan di atas media BHIA yang telah diinokulasi dengan bakteri S. agalactiae (0,2 mL 104 cfu/mL). Inokulan diinkubasi selama 24 jam kemudian dihitung diameter zona hambat yang dihasilkan. Kedua, kertas cakram direndam dalam solusi bakteri S. agalactiae (104 cfu/mL) selama 1 jam. Kertas cakram kemudian diletakkan di atas media TSA yang telah diinokulasi
26
dengan bakteri A. hydrophila (0,2 mL 104 cfu/mL). Inokulan diinkubasi selama 24 jam kemudian dihitung diameter zona hambat yang dihasilkan. Uji pertumbuhan pada media cair dengan melakukan kultur bersama di media TSB dan BHI untuk melihat IC (Inhibitor Concentration). Metoda yang digunakan dalam uji IC adalah dengan uji pengenceran seri (Dilution Test). Bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae diencerkan hingga didapat konsentrasi perlakuan yang berbeda (1012, 1010, 108, 106, 104, dan 102 cfu/mL). Ke dalam masing-masing konsentrasi perlakuan kemudian diinokulasikan dengan bakteri yang berbeda sebanyak 50 µL sehingga total bakteri yang diinokulasikan adalah 100 µL kedalam 10 mL media cair. Pertumbuhan bakteri dari masing- masing perlakuan dilihat melalui jumlah koloni yang tumbuh pada TSA dan BHIA. 4 Sensitifitas Terhadap Antibiotik Sensitifitas bakteri terhadap beberapa jenis antibiotik dilakukan dengan menumbuhkan isolat A. hydrophila dalam media TSA, sedangkan S. agalactiae ditumbuhkan dalam media BHIA. Kertas cakram yang telah mengandung antibiotik diletakkan pada inokulan bakteri uji, diinkubasi selama 24 jam pada suhu 28 oC, zona hambat (zona bening) yang terbentuk diukur diameternya. Antibiotik yang diujikan meliputi : 1) Eritromisin; 2) Nalidixic acid; 3) Novobiosin; 4) Klindamisin; 5) Sefalotin; 6) Tetrasiklin; 7) Furazolidon; 8) Kloramfenikol; 9) Gentamisin; 10) Metisilin; 11) Ampisilin. 5 Pengamatan Gambaran Histopatologi Pengamatan gambaran histopatologi untuk mengetahui efek dari penyakit MAS (infeksi A. hydrophila) dan Streptococcosis (infeksi S. agalactiae) terhadap perubahan struktur sel dilakukan dengan membuat preparat histologi dari organ hati, limpa, ginjal, dan otak. Preparat kemudian diwarnai menggunakan Hematoxylin-Eosin (H&E) dan dilakukan pengamatan terhadap perubahan sel-sel organ menggunakan mikroskop. Sampel ikan yang dibuat preparasinya adalah dari kelompok ikan yang menunjukkan gejala klinis terinfeksi MAS dan Streptococcosis yang terjadi secara alami di alam maupun hasil infeksi buatan di laboratorium.
27
Hasil dan Pembahasan 1 Keberadaan Penyakit dan Gejala Klinis Ikan Terinfeksi MAS dan Streptococcosis di KJA Cirata Survei kerentanan ikan Nila terhadap infeksi MAS dan Streptococcosis dilakukan pada budidaya ikan Karamba Jaring Apung (KJA) di Waduk Cirata yaitu Blok Jangari-Mande dan Blok Pasir Pogor-Bobojong. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa keberadaan Aeromonas hydrophila sebesar 100% dan koinfeksi Streptococcus sp. sebesar 20% yang merupakan hasil isolasi bakteri pada organ ginjal, otak, dan luka dari 10 ekor ikan sakit dan 5 ekor ikan sehat dari populasi di setiap KJA. Ikan Nila secara alami pada karamba tersebut dapat terindikasi terjadi ko-infeksi dari penyakit MAS dan Streptococcosis sebesar 20% dari sampel ikan yang menunjukkan gejala sakit. Gejala klinis yang teramati ditandai dengan adanya eksoptalmi, warna tubuh gelap, bola mata menonjol dan berwarna putih (opaque), perut gembung apabila dibedah terdapat cairan berwarna bening pada rongga perut (asites), perdarahan (hemorrhage), sirip gripis dan pangkal sirip berwarna pucat, ginjal dan hati berwarna pucat, serta saluran intestin kosong. Identifikasi dilakukan pada isolat hasil inokulasi pada media TSA, BHIA, dan media R-S (Rhimler-Shott) dari luka, ginjal, dan hati ikan Nila yang menunjukan gejala sakit. Pengujian identifikasi dilakukan di laboratorium menggunakan API 20 NE diperoleh hasil positif A. hydrophila dan menggunakan API Strep 20 diperoleh hasil positif S. agalactiae (Lampiran 1). 2
Gejala Klinis Ikan Nila Terserang Ko-infeksi MAS dan Streptococcosis Hasil Infeksi Buatan Patogen difasilitasi beberapa faktor yang dapat membantu dalam
kompetisinya untuk hidup pada inang dengan memiliki kemampuan untuk menempel, penetrasi, hidup, dan berkembangbiak pada tubuh inang. Bakteri A. hydrophila memiliki beberapa faktor virulensi diantaranya fimbriae (pili), permukaan
protein
S-layer,
memproduksi
siderophore,
enterotoksin,
dermonekrotik, hemolisin, proteases, haemaglutinin, dan endotoksin (Cipriano
28
2001). Bakteri S. agalactiae termasuk ke dalam golongan kelompok antigen Lancefield B dengan tipe haemolitik β (α, -), kemampuan hemolitik terhadap sel eritrosit tersebut merupakan salah satu penentu faktor virulensinya (Kohler 2007). u
h
op
exo
a
u
b
c
Gambar 3 Ikan Nila (O. niloticus) yang terinfeksi. (a) MAS, (b) Streptococcosis, (c) ko-infeksi MAS dan Streptococcosis. (u) ulcer, (h) hemorrhage, (exo) eksoptalmi, (op) opaque. Hasil pengamatan gejala klinis pada ikan Nila yang terinfeksi bakteri A. hydrophila ditandai dengan adanya perdarahan (hemorrhage), borok (ulcer), dan mata berwarna putih (opaque) (Gambar 3). Ikan Nila yang terinfeksi bakteri S. agalactiae
menunjukkan
gejala
pergerakan
renang
berputar
(whirling),
membentuk huruf C (C-shaped) (Gambar 4), dan mata menonjol (eksoptalmi).
Gambar 4 Deformasi C-shaped ikan Nila yang terinfeksi Streptococcosis. Gejala klinis yang nampak pada ko-infeksi A. hydrophila dan S. agalactiae menunjukkan gabungan dari karakter penyakit MAS dan Streptococcosis yaitu dengan adanya perdarahan pada permukaan tubuh dan eksoptalmi di mata. Karakter gejala klinis akibat serangan bakteri dari kedua jenis penyakit ini menjadi lebih dikenal dengan nama Hemorrhage disease untuk penyakit MAS dan Whirling disease (Gambar 5) untuk penyakit Streptococcosis.
29
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
Gambar 5 Gerakan renang berputar (whirling) ikan Nila yang terinfeksi Streptococcosis. Pergerakan ikan ( ) dilihat dari gambar ke-1 berturut-turut sampai gambar ke-18.
30
a
b
c
Gambar 6
Organ dalam ikan Nila yang terserang ko-infeksi MAS dan Streptococcosis. (a) ikan sehat, (b) ikan terserang kronis, (c) ikan terserang akut.
Gambaran organ dalam ikan yang terkena ko-infeksi kronis dengan kejadian kematian setelah lebih dari 5 hari pascainfeksi, terlihat berupa perubahan warna (ginjal, limpa, hati, dan jantung) menjadi berwarna pucat, dan terdapat asites berupa cairan berwarna kekuningan pada rongga perut. Gambaran organ dalam ikan yang terinfeksi akut dengan kejadian kematian ikan pada hari ke-1 sampai hari ke-2 pascainfeksi terlihat adanya warna merah kehitaman pada semua organ dalam ikan, dan cairan empedu lebih banyak jika dibandingkan dengan ikan yang sehat (Gambar 6). Virulensi dari bakteri patogen dapat menimbulkan gejala klinis yang nampak pada inang terinfeksi. Ibrahem et al. (2008) mengemukakan bahwa gejala klinis dari ikan Nila yang terinfeksi MAS ditandai dengan adanya septisemia, asites, luka, cacat tulang, eksoptalmi dan nekrosis otot. Ikan pada kondisi posmortem ditemukan adanya luka fokal pada parenchym organ hati, limpa, dan ginjal, serta terdapat cairan yang mengisi rongga abdominal. Hasil isolasi dan identifikasi didapat jenis bakteri A. hydrophila dari organ intestinal ikan yang sakit maupun ikan yang sudah sehat, hal ini dapat terjadi pada kondisi invasi
31
penyakit maupun kondisi MAS yang akut dengan adanya lokalisasi koloni bakteri A. hydrophila yang teridentifikasi dari jaringan hematopoetik. Bakteri S. agalactiae menyebabkan penyakit septisemia pada ikan Nila, merusak organ otak, ginjal, usus, dan organ lainnya. Penyakit ini biasanya ditandai dengan gejala anoreksia, eksoptalmi, asites dan gerakan renang tak menentu. Percobaan infeksi buatan pada ikan mullet dan seabream menggunakan isolat S. agalactiae dari otak ikan Nila (O. niloticus L.) menyebabkan kematian 100% dan 90%, dengan masa pascainfeksi selama 7 hari, hal ini menandakan bahwa S. agalactiae bersifat virulen yang menyebabkan penyakit epizootik (Evans et al. 2002). 3
Waktu Pematangan dan Uji Kultur bersama di Media Cair dan Media Agar Penghitungan koloni bakteri pada media agar dari kepadatan tanam awal
sebanyak 102 cfu/mL diperoleh hasil bahwa kepadatan bakteri pada media TSA dengan lama inkubasi 24, 48, dan 72 jam berturut-turut untuk A. hydrophila adalah 1013 cfu/mL, 1014 cfu/mL, dan 1014 cfu/mL, sedangkan S. agalactiae adalah 108 cfu/mL, 1010 cfu/mL, dan 1012 cfu/mL. Kepadatan bakteri pada media BHIA dengan lama inkubasi 24, 48, dan 72 jam berturut-turut untuk A. hydrophila adalah 1012 cfu/mL, 1013 cfu/mL, dan 1013 cfu/mL, sedangkan S. agalactiae adalah 108 cfu/mL, 1011 cfu/mL, dan 1013 cfu/mL. Penghitungan koloni bakteri pada media broth dari kepadatan tanam awal sebanyak 102 cfu/mL diperoleh hasil bahwa kepadatan bakteri pada media TSB dengan lama inkubasi 24, 48, dan 72 jam berturut-turut untuk A. hydrophila adalah 1012 cfu/mL, 1011 cfu/mL, dan 1010 cfu/mL, sedangkan S. agalactiae adalah 108 cfu/mL, 1010 cfu/mL, dan 1012 cfu/mL. Kepadatan bakteri pada media BHI dengan lama inkubasi 24, 48, dan 72 jam berturut-turut untuk A. hydrophila adalah 1012 cfu/mL, 1012 cfu/mL, dan 1010 cfu/mL, sedangkan S. agalactiae adalah 106 cfu/mL, 109 cfu/mL, dan 1011 cfu/mL.
a
16 14 12 10 8 6 4 2 0 0 jam
24 jam
48 jam
72 jam
waktu pengamatan (jam)
kepadatan bakteri log cfu/mL
kepadatan bakteri log cfu/mL
32
b
14 12 10 8 6 4 2 0 0 jam
24 jam
48 jam
72 jam
waktu pengamatan (jam)
A. hydrophila di TSA
A. hydrophila di TSB
A. hydrophila di BHIA
A. hydrophila di BHI
S. agalactiae di BHIA
S. agalactiae di BHI
S. agalactiae di TSA
S. agalactiae di TSB
Gambar 7 Pertumbuhan bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae pada media agar. (a) dan media cair, (b) dengan kepadatan tanam awal 1 koloni. Karakter waktu pematangan bakteri A. hydrophila akan mencapai puncak pertumbuhan pada 24 jam masa inkubasi. Karakter waktu pematangan bakteri S. agalactiae akan mencapai puncak pertumbuhan pada 72 jam masa inkubasi (Gambar 7).
Gambar 8 Uji kultur bersama bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae pada media agar BHIA dengan masa inkubasi 48 jam. Kepadatan bakteri ketika ditumbuhkan dalam media cair secara terpisah diperoleh hasil untuk A. hydrophila 1012 cfu/mL dan S. agalactiae 108 cfu/mL, hasil ini tidak jauh berbeda ketika kedua bakteri ini ditumbuhkan dalam media cair secara bersamaan, yaitu untuk kepadatan di media TSB : A. hydrophila 1011 cfu/mL dan S. agalactiae 107 cfu/mL, sedangkan di media BHI : A. hydrophila
33
1012 cfu/mL dan S. agalactiae 106 cfu/mL. Kepadatan A. hydrophila yang lebih dominan ketika ditumbuhkan bersamaan disebabkan bakteri ini memiliki
kepadatan bakteri log cfu/mL
kemampuan tumbuh dalam media lebih cepat dibandingkan dengan S. agalactiae. 14 12 10 8 6 4 2 0 A. hydrophila + S. A. hydrophila + S. A. hydrophila pada S. agalactiae pada agalactiae pada TSB agalactiae pada BHI BHI TSB bakteri uji dalam media
Gambar 9 Uji kultur bersama bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae pada media cair dengan masa inkubasi 24 jam. ( ) A. hydrophila,( ) S. agalactiae. Hasil uji kultur bersama bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae pada media agar (Gambar 8) maupun media cair (Gambar 9) menunjukkan bahwa kedua jenis bakteri dapat tumbuh bersinergi. Kultur bersama pada media agar tidak menghasilkan zona hambat antar isolat, kedua isolat mampu tumbuh bersama dalam media cair, dan tidak menunjukkan aktifitas anti mikrobial. Karakter pertumbuhan bakteri yang bersinergi ini, diduga karena kedua jenis bakteri tidak memiliki enzim yang dapat menghambat pertumbuhan satu sama lain dan tidak saling berkompetisi dalam perebutan media untuk tumbuh. 4
Sensitifitas Terhadap Antibiotik Bakteri A. hydrophila isolat AHL0905-2 bersifat resisten terhadap
Novobiosin, Klindamisin, Sefalotin, Metisilin, dan Ampisilin; bersifat intermediet terhadap Eritromisin, Nalidixic acid, Furazolidon, dan Gentamisin; bersifat rentan terhadap Tetrasiklin dan Kloramfenikol. Strain A. hydrophila yang berbeda dapat menentukan perbedaan karakter terhadap beberapa antibiotik, seperti yang dikemukakan oleh Angka (1997) bahwa hasil uji terhadap beberapa isolat bakteri
34
A. hydrophila terhadap beberapa antibiotik menunjukkan bahwa berturut-turut bersifat resisten; intermediet; sensitif terhadap antibiotik Oksitetrasiklin (12%; 22,9%; 65,1%), Oxolinic acid (9,6%; 6,9%; 84,4%), Eritromisin (28,9%; 10,8%; 60,3%), Streptomisin (10,8%; 15,7%; 73,5%), Kloramfenikol (28,9%; 14,5%; 56,6%), dan potensial Sulfonamid (20,5%; 7,2%; 72,3%). Bakteri S. agalactiae isolat N14G bersifat resisten terhadap Nalidixic acid dan Furazolidon, intermediet terhadap Gentamisin, dan bersifat rentan terhadap Eritromisin, Novobiosin, Klindamisin, Sefalotin, Tetrasiklin, Kloramfenikol, Metisilin, dan Ampisilin (Tabel 2). Hasil uji sedikit berbeda dengan yang dilakukan oleh Hardi (2011), bakteri S. agalactiae bersifat resisten terhadap Metisilin, Tetrasiklin, Klindamisin, dan Gentamisin; bersifat rentan terhadap Kloramfenikol, Sefalotin, dan Ampisilin; serta bersifat intermediet terhadap Eritromisin. Perbedaan sensitifitas terhadap antibiotik dapat terjadi karena adanya perbedaan strain dari bakteri S. agalactiae. Antibiotik yang dapat menanggulangi bakteri A. hydrophila adalah Tetrasiklin dan Kloramfenikol, sedangkan untuk menanggulangi S. agalactiae adalah
Eritromisin,
Novobiosin,
Klindamisin,
Sefalotin,
Tetrasiklin,
Kloramfenikol, Metisilin, dan Ampisilin. Antibiotik yang dapat menanggulangi kejadian ko-infeksi dari kedua jenis bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae adalah dengan menggunakan antibiotik Tetrasiklin dan Kloramfenikol (Tabel 2). Hasil sensitifitas terhadap antibiotik menunjukkan bahwa kedua jenis bakteri penyebab MAS dan Streptococcosis sebenarnya masih dapat ditanggulangi dengan perlakuan antibiotik. Antibiotik yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri ini adalah termasuk dari jenis antibiotik yang sudah dilarang penggunaannya dan masuk dalam kriteria obat keras menurut Komisi Obat Indonesia (KOI), maka perlu dilakukan upaya pencegahan melalui imunostimulasi menggunakan imunostimulan maupun vaksin. Hasil uji sensitifitas terhadap antibiotik menunjukkan bahwa A. hydrophila bersifat resisten terhadap Novobiosin, Klindamisin, Sefalotin, Metisilin, dan Ampisilin. Bakteri S. agalactiae bersifat resisten terhadap Nalidixic acid dan Furazolidon. Resistensi adalah suatu sifat tidak terganggunya kehidupan sel
35
mikroorganisme oleh antibiotika. Sifat resistensi dapat dipengaruhi oleh faktor non-genetik yaitu keadaan bakteri pada stadium istirahat, sehingga bakteri tidak peka terhadap antibiotik. Resistensi karena faktor non-genetik yang umumnya terjadi karena perubahan pada pertahanan tubuh bakteri itu sendiri atau perubahan struktur bakteri sehingga tidak sesuai lagi sebagai target antibiotik. Resistensi yang dipengaruhi faktor genetik yaitu suatu keadaan mikroorganisme yang semula peka terhadap suatu antibiotik pada suatu saat dapat berubah sifat genetiknya menjadi tidak peka atau memerlukan konsentrasi yang lebih besar. Perubahan ini terjadi karena gen bakteri mendapatkan elemen genetik yang terbawa sifat resistensi. Perubahan genetik dapat ditransfer atau dipindahkan dari satu spesies bakteri ke spesies lainnya melalui berbagai mekanisme (Shome & Shome 1999). Tabel 2 Sensitifitas terhadap beberapa jenis antibiotik No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
5
Dosis (g) 15 30 30 2 30 30 100 30 10 5 10
Nama Antibiotik Eritromisin Nalidixic acid Novobiosin Klindamisin Sefalotin Tetrasiklin Furazolidon Kloramfenikol Gentamisin Metisilin Ampisilin
Zona bening pada isolat bakteri (mm)
Keterangan
A. hydrophila
S. agalactiae
A. hydrophila
S. agalactiae
12 20 22 11 25 15 -
33 25 31 40 32 30 11 25 31
intermediet intermediet resisten resisten resisten rentan intermediet rentan intermediet resisten resisten
rentan resisten rentan rentan rentan rentan resisten rentan intermediet rentan rentan
Gambaran Histopatologi Ikan Nila Terserang Ko-infeksi MAS dan Streptococcosis Hasil pengamatan histopatologi organ otak menunjukkan suatu kongesti
pada daerah optic tectume di mesensefalon yang merupakan bagian otak terbesar pada ikan yang berfungsi untuk mengontrol sensor dan pergerakan mata, dan ada perdarahan (hemorrhage) pada mauthner cell yang terdapat pada metensefalon dan mielensefalon dengan fungsinya sebagai pengatur gerak reflek dari saraf otot (C-start behavior). Diantara tubuli ginjal terdapat suatu infiltrasi limfosit dan ada
36
sel yang nekrosis sehingga membentuk deformasi sel. Pada organ limpa terdapat melano macrofag centre (MMC) yang bersifat multifokal (Gambar 10). Hasil pengamatan histopatologi dibandingkan dengan kontrol organ yang sehat dari Atlas Fish Histology (Takashima & Hibiya 1995).
n
d a
b
p
mmc
c
d
g d i e
f
Gambar 10 Histopatologi kerusakan organ dari ikan Nila hasil ko-infeksi A. hydrophila+S. agalactiae dengan pewarnaan Hematoxylin-Eosin (H dan E). (a) otak bagian cerebellum, (b) otak bagian mesencephalon, (c-d) limpa, dan (e-f) ginjal. (p) perdarahan, (n) nekrosa, (mmc) melano macrofag centre, (i) inflamasi, (d) degenerasi, (g) granuloma. Kerusakan pada optic tectum akan menimbulkan perubahan penampakan dari mata ikan, baik itu berupa mata menonjol maupun adanya disorientasi dari bola mata. Kerusakan pada metensefalon dan mielensefalon akan mengakibatkan
37
gerakan ikan yang tak terkontrol yaitu berupa pergerakan memutar dan adanya deformasi bentuk tubuh menyerupai huruf C. Hasil histopatologi terbagi ke dalam dua pola karakter luka. Pola pertama, luka yang fokal yaitu kerusakan sel yang terjadi hanya pada satu sel, luka yang mild dengan kerusakan minor tidak sampai merubah bentuk sel, dan terlihat adanya inflamasi dan granuloma. Granuloma berisi kumpulan sel-sel yang rusak, yang diselubungi oleh kapsul tebal dari kumpulan makrofag. Pusat makrofag dan melanomakrofag juga teramati banyak menyelubungi granuloma. Pola kedua, luka yang multifokal dengan kerusakan sel yang terjadi pada beberapa sel secara mengelompok, luka parah (acute), nekrotik, luka inflamasi yang melibatkan leukosit, makrofag, fibrin dan sel granular eosinophilik. Kedua pola luka biasanya teramati ada pada bagian otak dan mata (Hernandez et al. 2009). Kerusakan jaringan yang terjadi adalah akibat efek samping mekanisme pertahanan untuk eliminasi bakteri. Mekasime terjadinya kerusakan jaringan karena adanya sitokin yang menginduksi adhesi neutrofil dan monosit pada endotel vaskular pada tempat infeksi, diikuti dengan migrasi, akumulasi lokal serta aktivasi sel inflamasi (Smith 1977). Simpulan dan Saran Simpulan hasil penelitian ko-infeksi A. hydrophila dan S. agalactiae penyebab infeksi MAS dan Streptococcosis dengan meneliti keberadaan, daya tumbuh secara in-vitro, sensitifitas terhadap beberapa antibiotik, dan gambaran histopatologi organ adalah : 1. Keberadaan ikan Nila terserang A. hydrophila di KJA Cirata adalah 100%, yang terserang ko-infeksi A. hydrophila dan S. agalactiae adalah 20% dari populasi disetiap karamba. 2. Infeksi bakteri A. hydrophila dapat menyebabkan penyakit MAS dengan gejala klinis terdapat keputihan pada mata, perdarahan dan borok pada tubuh. 3. Infeksi bakteri S. agalactiae menyebabkan penyakit Streptococcosis dengan gejala eksoptalmi pada mata, gerakan renang berputar (whirling) dan membentuk huruf C.
38
4. Bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae dapat tumbuh bersinergi pada media inokulasi buatan. 5. Waktu pematangan dalam media cair maupun media padat untuk bakteri A. hydrophila adalah 24 jam, sedangkan bakteri S. agalactiae adalah 72 jam. 6. Ko-infeksi A. hydrophila dan S. agalactiae dapat ditanggulagi menggunakan antibiotik
Tetrasiklin
dan
Kloramfenikol
(rentan)
atau
Gentamisin,
Eritromisin, dan Novobiosin (rentan-intermediet). 7. Hasil histopatologi organ ginjal, otak, dan limpa memperlihatkan dua pola karakter luka. Pola pertama, luka yang fokal sampai terlihat adanya inflamasi dan perdarahan. Pola kedua,
luka yang multifokal, luka parah (acute),
nekrotik, dan luka inflamasi yang mengakibatkan deformasi sel-sel organ. Karakter dari kedua jenis bakteri ini dapat dijadikan pertimbangan awal dalam langkah pencegahan maupun pengobatan yang akan dilakukan, sehingga strategi penanggulangan penyakit ini dapat optimal dilakukan dan tepat guna.
39
PATOGENESIS KO-INFEKSI Aeromonas hydrophila DAN Streptococcus agalactiae PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus) Abstrak Karakteristik hasil ko-infeksi buatan dari bakteri Aeromonas hydrophila dan Streptococcus agalactiae dapat dilihat dengan menggunaan parameter gambaran hematologi dan pola kematian ikan. Pengujian ko-infeksi melalui injeksi pada ikan Nila ukuran 15±0,5 g menggunakan dosis mematikan (LD100) dan dosis mematikan (LD50) menyebabkan kematian bervariasi antara 20-90% dalam waktu 1-12 hari masa inkubasi. Bakteri A. hydrophila lebih mematikan untuk ikan Nila pada dosis LD100. Pola kematian yang terjadi menunjukkan bahwa infeksi MAS bersifat akut dan kronis, sedangkan infeksi Streptococcosis bersifat sub-akut. Perubahan pertahanan non spesifik ikan terhadap infeksi patogen dilihat dengan mengamati level hematokrit, neutrofil, limfosit, monosit, dan indeks fagositik darah ikan Nila yang diambil dari arteri caudalis pada hari ke-3, ke-6, ke-9, ke-12, dan ke-15 setelah infeksi. Hasil analisis perubahan level hematokrit dan limfosit lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol, level neutrofil lebih rendah dibandingkan dengan kontrol, dan level monosit dan indeks fagositik fluktuatif selama masa perlakuan memperlihatkan adanya homeostasi gambaran darah ikan terhadap serangan infeksi antigen. Kata kunci : Aeromonas hydrophila, S. agalactiae, ko-infeksi, hematologi Abstract Characteristic of co-infection from A. hydrophila and S. agalactiae were assessed by analyzing hematological parameters and pattern of death. Nile Tilapia (Oreochromis Niloticus) sized 15 g were infected by intraperitoneal injection with A. hydrophila and S. agalactiae using LD100 and LD50 dose. Mortality of fish was 20-90% in day one until day twelve post infections. The mortality patterns of Nile Tilapias showed sub-acute infection to Streptococcocis, acute and chronic infections to Motile Aeromonas Septicemia. Bacterium A. hydrophila more virulent for Nile Tilapias at lethal dose (LD100) compared to S. agalactiae, this matter was anticipated caused by endotoksin A. hydrophila had the character of toxic lethal. The different administration co-infection stimulated hematological responsse in Nile Tilapia post-infection. Infected fish groups presented higher hematocrit, number of neutrophils, number of lymphocytes, number of monocytes, and phagocytic ability on 3, 6, 9, 12, and 15 days after infection than the non-infected group. The result of this study suggested that there was a homeostatic balances on hematological response during co-infection. Key Words : Aeromonas hydrophila, S. agalactiae, co-infection, haematology
40
Pendahuluan Motile Aeromonas Septicemia (MAS) adalah infeksi A. hydrophila komplek yang mengakibatkan hemoragik septisemia pada beberapa spesies ikan budidaya maupun spesies ikan di alam. Tiga spesies penyebab penyakit MAS adalah dari jenis A. hydrophila, A. sobria, A. caviae, jenis bakteri strain A. hydrophila merupakan predominan patogen pada ikan. Aeromonas juga merupakan spesies oportunis dan merupakan penyebab infeksi sekunder. Wabah MAS biasanya terjadi apabila ada stresor lingkungan, infeksi parasit dan perubahan fisiologis tubuh yang mengakibatkan ikan menjadi rentan terhadap serangan infeksi Aeromonas (Toranzo et al. 2009). Infeksi streptokokal menjadi aspek infeksi baru dalam kegiatan akuakultur. Bakteri S. agalactiae awalnya menyerang ikan rainbow trout (Salmo gardnieri) dan Nila di Israel. Ikan Nila yang terinfeksi streptokokal menunjukkan gejala adanya kerusakan pada sistem syaraf pusat, dengan gejala yang spesifik yaitu gerakan renang berputar (whirling) dan eksoptalmi (Kohler 2007). Tahun 2008 S. agalactiae berhasil diisolasi dari ikan Nila pada sistem budidaya di Indonesia oleh Lusiasti et al. (2008), sehingga menjadi perhatian utama dalam kegiatan riset untuk melihat aspek epidemiologi dan penanggulangannya. Hasil uji pertumbuhan bakteri pada media cair maupun media padat menunjukkan bahwa kedua jenis bakteri ini dapat tumbuh bersinergi (tidak saling menghambat), akan tetapi kemampuan tumbuh antigen dalam tubuh ikan secara langsung belum diketahui. Pengaruh infeksi bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae terhadap gambaran hematologi dan kematian ikan dapat dilihat dengan melakukan uji kerentanan ikan Nila terhadap kedua jenis penyakit ini, yang dilakukan secara in-vitro untuk melihat kompetisi antigen dan ko-infeksi dari kedua jenis bakteri penyebab penyakit.
Bahan dan Metode 1 Uji Patogenesis Uji patogenesis bakteri A. hydrophila, S. agalactiae dan gabungan keduanya pada ikan Nila (O. niloticus) dilakukan dengan cara injeksi intra
41
peritoneal (IP) bakteri A. hydrophila LD100 (1012 cfu/mL) dan LD50 (107 cfu/mL) (Sugiani et al. 2010) dan S. agalactiae LD100 (108 cfu/mL) dan LD50 (103 cfu/mL) (Taukhid & Purwaningsih 2011) 0,1 mL/ekor untuk melihat dampak infeksi bakteri pada ikan Nila. Ikan dipelihara selama 1-14 hari untuk melihat gambaran darah dan kematian ikan. Tabel 3 Perlakuan infeksi LD100 Perlakuan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Tipe bakteri dan media tumbuh Aeromonas hydrophila TSB Aeromonas hydrophila TSB Aeromonas hydrophila TSB Streptococcus agalactiae BHI Streptococcus agalactiae BHI Streptococcus agalactiae BHI A. hydrophila+S. agalactiae TSB A. hydrophila+S. agalactiae TSB A. hydrophila+S. agalactiae TSB Aeromonas hydrophila TSA Aeromonas hydrophila TSA Aeromonas hydrophila TSA Streptococcus agalactiae BHIA Streptococcus agalactiae BHIA Streptococcus agalactiae BHIA A. hydrophila+S. agalactiae BHI A. hydrophila+S. agalactiae BHI A. hydrophila+S. agalactiae BHI TSB BHI
Lama inkubasi (jam) 24 48 72 24 48 72 24 48 72 24 48 72 24 48 72 24 48 72 -
Kode A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3 D1 D2 D3 E1 E2 E3 F1 F2 F3 Kontrol Kontrol
Sediaan bakteri bakteri A. hydrophila diinkubasi pada media TSA dan TSB selama 24, 48, dan 72 jam pada suhu 28 oC, sedangkan S. agalactiae diinkubasi pada media BHIA dan BHI broth selama 24, 48, dan 72 jam pada suhu 28 oC (Tabel 3). Inokulan dari media agar sebanyak 1 cawan petri dipanen ke dalam 10 mL salin 0,845%, kemudian dari masing-masing sediaan dilakukan pengenceran seri untuk mendapatkan dosis yang diharapkan. Perlakuan infeksi LD50 menggunakan isolat bakteri dari media tumbuh dengan lama waktu inkubasi yang menimbulkan kematian terbanyak serta waktu
42
tersingkat pada hasil perlakuan LD100, dengan rincian kode untuk masing-masing inokulan bakteri sebagaimana tertera pada Tabel 3 dan 4. Tabel 4 Perlakuan infeksi LD50 Perlakuan Tipe bakteri 1 A1 + B1 2 A1 + B1 3 A1 + B1 4 A1 + B1 5 A1 + B1 6 D1 + E3 7 D1 + E3 8 D1 + E3 9 D1 + E3 10 D1 + E3 11 Tryptic Soy Broth 12 Brain Heart Infusion
Perbandingan volume bakteri 50 : 50 75 : 25 25 : 75 0 : 100 100 : 0 50 : 50 75 : 25 25 : 75 0 : 100 100 : 0 -
Kode A B C D1 D2 E F G H1 H2 Kontrol Kontrol
A. hydrophila dalam TSB dengan masa inkubasi 24 jam (A1), S. agalactiae dalam BHI dengan masa inkubasi 24 jam (B1), A. hydrophila dalam TSA dengan masa inkubasi 24 jam (D1), S. agalactiae dalam BHIA dengan masa inkubasi 72 jam (E3).
2 Gambaran Hematologi Analisis gambaran hematologi dan sistem imun dilakukan dengan mengamati sampel darah yang diambil dari ikan perlakuan kemudian diukur kadar hematokrit menurut metode Anderson dan Siwicki (1995), differensial leukosit menurut metode Blaxhall dan Daisley (1973), dan indeks fagositik menurut metode Zhang et al. (2008).
Hasil dan Pembahasan Ikan dapat membentuk pertahanan diri terhadap serangan infeksi bakteri. Apabila terjadi suatu serangan patogen atau benda asing pada ikan maka akan terjadi respons imun alami yang melibatkan sirkulasi dan perbaikan jaringan melalui respons fagosit granulosit (neutrofil dan eosinofil sel granular) monosit, dan sel makrofag. Respons imun alami ini hanya dapat bertahan dan berfungsi dengan baik pada beberapa hari atau minggu setelah adanya invasi bakteri ke dalam tubuh dan berfungsi sebagai respons imun anti-infeksi fase awal.
43
Hematokrit (%)
150 100 50 0 A
B
C
48 jam (Plasma darah) 96 jam (sel darah) 192 jam (Plasma darah) 240 jam (sel darah)
D1
D2
E
F
Perlakuan 48 jam (sel darah) 144 jam (Plasma darah) 192 jam (sel darah)
G
H1
H2
Kontrol
96 jam (Plasma darah) 144 jam (sel darah) 240 jam (Plasma darah)
Gambar 11 Total hematokrit ikan Nila hasil ko-infeksi A. hydrophila dan S. agalactiae. (A) Tipe bakteri A1+B1 50:50, (B) Tipe bakteri A1+B1 75:25, (C) Tipe bakteri A1+B1 25:75, (D1) Tipe bakteri A1+B1 0:100, (D2) Tipe bakteri A1+B1 100:0, (E) Tipe bakteri D1+E3 50:50, (F) Tipe bakteri D1+E3 75:25, (G) Tipe bakteri D1+E3 25:75, (H1) Tipe bakteri D1+E3 0:100, (H2) Tipe bakteri D1+E3 100:0, dan Kontrol. Hasil perlakuan ko-infeksi (Kode A, B, C, E, F, dan G) dengan perbandingan komposisi cfu/mL bakteri yang berbeda antara A. hydrophila dan S. agalactiae menunjukkan adanya penurunan kadar hematokrit. Hematokrit darah diukur dengan melihat proporsi volume darah yang terdiri dari sel darah merah, plasma atau komponen cairan, dan sel-sel lainnya. Perlakuan infeksi bakteri dapat menurunkan jumlah hemosit (sel darah merah) dan meningkatkan plasma darah pada setiap perlakuan, terdapat perbedaan yang nyata jika dibandingkan dengan control (P<0,05), namun tidak berbeda nyata (P>0,05) jika dibandingkan dengan perlakuan infeksi tunggal A. hydrophila (Kode D2 dan H2) dan infeksi tunggal S. agalactiae (Kode D1 dan H1) (Gambar 11). Aktifitas makrofag atau sel mast oleh adanya invasi bakteri dapat mempengaruhi pembentukan mediasi inflamasi dan merangsang transfer serta akumulasi leukosit ke daerah yang terinfeksi. Selama infeksi bakteri sedang berlangsung, adanya respons pertahanan ikan ditandai dengan banyaknya leukosit
44
yang ditransfer sehingga akan nampak adanya peningkatan jumlah leukosit dalam darah yang berfungsi untuk mengeliminasi serangan bakteri (Caruso et al. 2002). DL (Monosit %)
10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00 Perlakuan
48 jam
Gambar 12
96 jam
144 jam
192 jam
240 jam
Total monosit ikan Nila hasil ko-infeksi A. hydrophila dan S. agalactiae. (A) Tipe bakteri A1+B1 50:50, (B) Tipe bakteri A1+B1 75:25, (C) Tipe bakteri A1+B1 25:75, (D1) Tipe bakteri A1+B1 0:100, (D2) Tipe bakteri A1+B1 100:0, (E) Tipe bakteri D1+E3 50:50, (F) Tipe bakteri D1+E3 75:25, (G) Tipe bakteri D1+E3 25:75, (H1) Tipe bakteri D1+E3 0:100, (H2) Tipe bakteri D1+E3 100:0, dan Kontrol.
Jumlah monosit, neutrofil, dan limfosit mengalami fluktuasi membentuk suatu homeostasi total leukosit dengan rata-rata terlihat adanya peningkatan jumlah limfosit dan monosit serta adanya penurunan jumlah neutrofil jika dibandingkan dengan kontrol (Gambar 12, 13, dan 14). Hal ini menunjukkan adanya aktifitas pertahanan non spesifik dari ikan berupa peningkatan monosit darah yang berfungsi sebagai sel fagosit (makrofag) yang akan memfagositosis antigen bakteri dalam tubuh ikan (Gambar 15). Peningkatan jumlah limfosit menunjukkan bahwa ada aktifitas pertahanan selular spesifik yang memungkinkan adanya pembentukan antibodi atau memori pada ikan yang dapat bertahan dari serangan ko-infeksi A. hydrophila dan S. agalactiae. Nilai indeks fagositik yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol pada setiap perlakuan menunjukkan adanya peningkatan kemampuan aktifitas fagositik dari ikan terhadap adanya serangan infeksi bakteri.
45
DL (Neutrofil %)
20.00 15.00 10.00 5.00 0.00
Perlakuan
48 jam
Gambar 13
96 jam
144 jam
192 jam
240 jam
Total neutrofil ikan Nila hasil ko-infeksi A. hydrophila dan S. agalactiae. (A) Tipe bakteri A1+B1 50:50, (B) Tipe bakteri A1+B1 75:25, (C) Tipe bakteri A1+B1 25:75, (D1) Tipe bakteri A1+B1 0:100, (D2) Tipe bakteri A1+B1 100:0, (E) Tipe bakteri D1+E3 50:50, (F) Tipe bakteri D1+E3 75:25, (G) Tipe bakteri D1+E3 25:75, (H1) Tipe bakteri D1+E3 0:100, (H2) Tipe bakteri D1+E3 100:0, dan Kontrol.
DL (Limfosit %)
120.00 100.00 80.00 60.00 40.00 20.00 0.00
Perlakuan 48 jam
Gambar 14
96 jam
144 jam
192 jam
240 jam
Total limfosit ikan Nila hasil ko-infeksi A. hydrophila dan S. agalactiae. (A) Tipe bakteri A1+B1 50:50, (B) Tipe bakteri A1+B1 75:25, (C) Tipe bakteri A1+B1 25:75, (D1) Tipe bakteri A1+B1 0:100, (D2) Tipe bakteri A1+B1 100:0, (E) Tipe bakteri D1+E3 50:50, (F) Tipe bakteri D1+E3 75:25, (G) Tipe bakteri D1+E3 25:75, (H1) Tipe bakteri D1+E3 0:100, (H2) Tipe bakteri D1+E3 100:0, dan Kontrol.
Menurut Pan (1999), selama masa infeksi akan terjadi peningkatan yang signifikan dari aktifitas fagositosis oleh neutrofil. Hasil penelitian Zhang et al.
46
(2008), injeksi A. hydrophila 5,2x106 cfu/mL terhadap Bullfrog menunjukkan trend penurunan secara gradual dari presentasi tingkat fagositosis darah, total leukosit dan eritrosit lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol, serta aktifitas antibakterial meningkat. Infeksi A. hydrophila dapat mempengaruhi reaksi imun
Indeks fagositik (%)
non-spesifik pada Bullfrog. 40.00 35.00 30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00
Perlakuan 0 jam
Gambar 15
48 jam
96 jam
144 jam
192 jam
240 jam
Indek fagositik ikan Nila hasil ko-infeksi A. hydrophila dan S. agalactiae. (A) Tipe bakteri A1+B1 50:50, (B) Tipe bakteri A1+B1 75:25, (C) Tipe bakteri A1+B1 25:75, (D1) Tipe bakteri A1+B1 0:100, (D2) Tipe bakteri A1+B1 100:0, (E) Tipe bakteri D1+E3 50:50, (F) Tipe bakteri D1+E3 75:25, (G) Tipe bakteri D1+E3 25:75, (H1) Tipe bakteri D1+E3 0:100, (H2) Tipe bakteri D1+E3 100:0, dan Kontrol.
Kematian ikan Nila yang terjadi setelah diinfeksi dengan A. hydrophila menunjukkan kematian lebih cepat yaitu jam ke-6 pascainjeksi dengan jumlah kematian mencapai 100%. Hal ini disebabkan karena adanya toksin mematikan dari produk ekstraselular bakteri A. hydrophila yang menjadi salah satu faktor virulensi dari jenis bakterin tersebut, karena jumlah bakteri yang diinjeksikan sangat tinggi yaitu 1012 cfu/mL. Kematian ikan setelah diinjeksi bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae dengan perbedaan waktu tanam dalam media yang berbeda sesuai dengan hasil kurva tumbuh pada tahap satu, diperoleh hasil bahwa yang paling mematikan dari isolat bakteri A. hydrophila adalah yang ditanam dalam media TSB dan TSA umur inkubasi 24 jam, sedangkan untuk isolat S. agalactiae adalah yang ditanam
47
dalam media BHI umur inkubasi 24 jam dan dalam media BHIA umur inkubasi 72 jam (Gambar 16). 18
Kematian ikan (ekor)
16 14 12 10 8 6 4 2 0 1
3
6
12 24 48 72 96 120 144 168 192 216 240 264 288 312 336 Pengamatan jumlah ikan (jam)
A1 B2 C3 E1 F2
A2 B3 D1 E2 F3
A3 C1 D2 E3 Kontrol
B1 C2 D3 F1
Gambar 16 Kematian ikan Nila pada perlakuan infeksi LD100. A1 (A. hydrophila TSB 24 jam), A2 (A. hydrophila TSB 48 jam), A3 (A. hydrophila TSB 72 jam), B1 ( S. agalactiae BHI 24 jam), B2 ( S. agalactiae BHI 48 jam), B3 ( S. agalactiae BHI 72 jam), C1 (A. hydrophila+S. agalactiae TSB 24 jam), C2 (A. hydrophila+S. agalactiae TSB 48 jam), C3 (A. hydrophila+S. agalactiae TSB 72 jam), D1 (A. hydrophila TSA 24 jam), D2 (A. hydrophila TSA 48 jam), D3 (A. hydrophila TSA 72 jam), E1 (S. agalactiae BHIA 24 jam), E2 (S. agalactiae BHIA 48 jam), E3 (S. agalactiae BHIA 72 jam), F1 (A. hydrophila+S. agalactiae 24 jam), F2 (A. hydrophila+S. agalactiae 48 jam), F3 (A. hydrophila+S. agalactiae 72 jam), dan kontrol. Perbedaan tingkat virulensi ini diduga karena adanya perbedaan kandungan komponen penyusun media tumbuh yang dapat mempengaruhi tingkat kematangan bakteri dan ekspresi virulensi dari masing-masing bakteri. Pengujian ko-infeksi dilakukan melalui injeksi intra peritoneal pada ikan Nila menggunakan dosis LD100 dan dosis LD50, di mana masing-masing ikan
48
diinjeksi 0,1 mL inokulan bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae dengan masa inkubasi berbeda yaitu 24 jam, 48 jam, dan 72 jam. Perlakuan ko-infeksi dengan dosis 50:50 (A. hydrophila:S. agalactiae) menunjukkan kematian yang lebih tinggi dibandingkan dengan dosis ko-infeksi 25:75 maupun 75:25. Hasil koinfeksi menyebabkan kematian bervariasi antara 33-50% dalam waktu inkubasi 212 hari.
35
Kematian ikan (ekor)
30 25 20 15 10 5 0 24
48 A D2 H1
Gambar 17
72
96 120 144 168 pengamatan jumlah ikan (jam) B E H2
192
C F Kontrol
216
240 D1 G
Kematian ikan Nila pada perlakuan infeksi LD50. (A) Tipe A1+B1 50:50, (B) Tipe bakteri A1+B1 75:25, (C) Tipe A1+B1 25:75, (D1) Tipe bakteri A1+B1 0:100, (D2) Tipe A1+B1 100:0, (E) Tipe bakteri D1+E3 50:50, (F) Tipe D1+E3 75:25, (G) Tipe bakteri D1+E3 25:75, (H1) Tipe D1+E3 0:100, (H2) Tipe bakteri D1+E3 100:0, dan kontrol.
bakteri bakteri bakteri bakteri bakteri
Hasil uji LD50 (Gambar 17) yang mematikan ikan Nila sebesar 50% dari ko-infeksi A. hydrophila dan S. agalactiae adalah pada perlakuan B dan E. Perlakuan B adalah campuran 75:25 bakteri A. hydrophila dalam TSB (24 jam) dengan S. agalactiae dalam BHI (24 jam). Perlakuan E adalah campuran 50:50
49
bakteri A. hydrophila dalam TSA (24 jam) dengan S. agalactiae dalam BHIA (72 jam). Kematian yang berbeda diduga karena adanya keterbatasan sistem imunologi ikan yang hanya mampu mengenali finite clonal dari suatu antigen dalam satu waktu sekitar 105 sel, dan bahwa setiap antigen memiliki karakter berbeda dalam pengenalan dengan sistem imun non spesifik dari ikan. Setiap antigen yang masuk ke dalam tubuh ikan, ada yang berhasil dieliminasi oleh sistem imun namun untuk yang lolos dari eliminasi akan menyebabkan kerusakan sel dan menimbulkan penyakit pada inang. Ikan memiliki keterbatasan di dalam memberikan respons imun dan respons pengenalan multi antigen. Keterbatasan kapasitas finite clonal dan proteksi imunitas (rata-rata terbatas pada 5x105 sel antigen yang dapat dikenali vektor imun ikan sebagai antigen pada satu waktu) akan mempengaruhi efektifitas respons imun ikan (Busch 1997). Infeksi tunggal bakteri A. hydrophila maupun bakteri S. agalactiae ternyata lebih mematikan daripada hasil ko-infeksi dengan tingkat kematian 13100%. Bakteri A. hydrophila lebih mematikan untuk ikan Nila pada dosis tinggi (LD100) dibanding dengan bakteri S. agalactiae, hal ini diduga karena adanya endotoksin yang dimiliki bakteri A. hydrophila yang bersifat sangat toksik (lethal toxic). Kebalikannya dengan dosis mematikan (LD50) bakteri S. agalactiae ternyata lebih virulen dibandingkan dengan bakteri A. hydrophila pada ikan Nila. Dilihat
dari
pola
kematian
yang terjadi
menunjukkan
bahwa
infeksi
Streptococcosis bersifat sub-akut di mana rata-rata kematian terjadi 3-8 hari pascainfeksi. Sedangkan infeksi MAS bersifat akut dan kronis, di mana kematian akut terjadi hari ke-1 sampai hari ke-3 pascainfeksi dan kematian kronis terjadi > 8 hari pascainfeksi, dengan kematian ikan antara 20-100%. Mian et al. (2009) menyatakan bahwa pada suhu perairan hangat lebih dari 27 oC S. agalactiae cenderung lebih bersifat virulen. Setelah uji tantang dengan LD50 (strain SA 20-06 LD50 pada 6,14x107 cfu/mL) menyebabkan kematian 90100%. Gejala klinis muncul 24 jam pascainfeksi, dengan gerakan renang tak menentu merupakan gejala yang umum terjadi apabila terjadi infeksi pada bagian
50
otak. Kematian terjadi pada 72 jam pascainfeksi, namun beberapa ikan mati setelah 14 hari pascainfeksi. Penyakit biasanya timbul dalam tipe infeksi akut dengan kondisi klinis munculnya peradangan yang sistemik dan mengakibatkan kematian dalam waktu 24 sampai 48 jam. Tipe infeksi kronis ditandai dengan kerusakan pada bagian sirip, lesi pada kulit, gerakan renang lemah, dan menyebabkan kematian 10 sampai 70% dari total populasi di kolam budidaya (Ibrahem et al. 2008). Penyakit yang diakibatkan oleh infeksi A. hydrophila digolongkan dari yang bersifat akut hingga bersifat laten dengan membentuk infeksi septisemia (Ismail et al. 2010). Simpulan dan Saran Hasil dari uji patogenesis ko-infeksi bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae dapat disimpulkan bahwa : 1. Injeksi secara intra peritoneal dari kedua jenis bakteri tersebut pada ikan Nila dapat merangsang homeostasi respons imun non-spesifik (monosit, neutrofil, limfosit, dan hematokrit) dan meningkatkan kemampuan fagositosis darah. 2. Pola kematian yang terjadi menunjukkan bahwa infeksi MAS bersifat akut dan kronis, sedangkan infeksi Streptococcosis bersifat sub-akut. 3. Ko-infeksi buatan dari gabungan bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae menyebabkan kematian ikan Nila sebesar 33-50% dalam waktu 2-12 hari pascainfeksi. Ikan Nila sangat rentan terhadap infeksi tunggal maupun ko-infeksi dari bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae. Karakter dari patogenesis infeksi A. hydrophila dan S. agalactiae yang berisfat akut dan kronis, maka diperlukan kewaspadaan pada kegiatan budidaya ikan yang baik dan benar dalam manajemen sistem budidaya maupun sistem pengelolaan lingkungannya, agar tidak terjadi wabah penyakit MAS dan Streptococcosis.
51
VAKSIN BIVALEN Aeromonas hydrophila DAN Streptococcus agalactiae: KEAMANAN, STERILITAS DAN KARAKTER PROTEIN Abstrak Vaksin inaktif dibuat dari isolat bakteri A. hydrophila AHL0905-2 dan S. agalactiae N14G dengan menambahkan 3% bufer formalin kedalam biakan broth bakterin dan diinkubasi selama 24 jam. Kualitas produk vaksin dikontrol dengan melakukan uji keamanan, sterilitas, dan karakter protein penyusun dari sediaan vaksin. Hasil karakterisasi protein menggunakan SDS-PAGE menunjukkan bahwa bakteri A. hydrophila sel utuh memiliki empat belas pita, dua pita dari produk ektraselular, tiga pita pada sediaan crude supernatan, dan tujuh pita dari sediaan broth. Sediaan sel utuh S. agalactiae memiliki sepuluh pita, dua pita produk ekstraselular, tiga pita sediaan crude supernatan, dan empat pita sediaan broth. Residu formalin pada sediaan vaksin sel utuh sebesar 0,147 ppm, produk ekstraselular (ECP) 1,01 ppm, dan campuran sel utuh+ECP 0,702 ppm. Inaktifasi sediaan vaksin menggunakan formalin masih dipertanyakan keamanannya oleh beberapa praktisi akuakultur, akan tetapi hasil uji sterilitas dan keamanan vaksin bivalen dari penelitian ini aman untuk digunakan melalui injeksi intra peritoneal pada ikan Nila. Kata kunci : Aeromonas hydrophila, S. agalactiae, SDS-PAGE, protein
Abstract Aeromonas hydrophila AHL0905-2 and Streptococcus agalactiae N14G, were used to evaluate an inactivated vaccine of A. hydrophila and S. agalactiae in Nile Tilapia for controlling of Motile Aeromonas Septicemia and Streptococcal disease outbreaks. Formaldehyde treatment was a process widely used in vaccine preparation to stabilize protein components or to inactivate toxin molecules. Different vaccine preparations and formulations for vaccination of Nile Tilapia species were tried by adding neutral buffered formalin 3% to the bacterial culture (bacterin). Formaldehyde concentrations residues from whole cell vaccine was 0.147 mg/L, extracellular product (ECP) was 1.01 mg/L, and mixed between whole cell+ECP were 0.702 mg/L. Based on protein characterization using SDS-PAGE, whole cell A. hydrophila protein profiles has forteen pairs proteins, extracellular product has two pairs proteins, crude supernatant has three pairs proteins, and broth has seven pairs proteins. Whole cell S. agalactiae protein profiles has ten pairs, extracellular product has two pairs proteins, supernatant has three pairs proteins, and broth has four pairs proteins. The safety of formalin inactivated vaccine is still questionable by some aquaculture practitioners, but the sterility and safety test results of the bivalent vaccine was safe to use through intra peritoneal injection route. In addition, safety of the vaccine was shown where no mortality with signs of MAS and Streptococcocis disease occurred in similar sized fish following immunization. Key Words: Aeromonas hydrophila, S. agalactiae, SDS-PAGE, protein
52
Pendahuluan Beberapa metode pembentukan vaksinasi aktif dari bakteri telah berhasil dikembangkan untuk ikan, diantaranya melalui pasase di laboratorium, pasase menggunakan inang alternatif, mutagenesis menggunakan bahan kimia maupun secara fisik, dan manipulasi genetik dengan teknik insersi gen (Shoemaker et al. 2010). Perkembangan strategi pembentukan vaksin aktif memiliki keuntungan dan kekurangan, dalam bidang akuakultur pembuatan vaksin lebih banyak menggunakan vaksin in-aktif yang dimatikan, baik dengan pemanasan, sonikasi, maupun penambahan bahan kimia tertentu. Preparasi pembuatan vaksin menggunakan formalin merupakan vaksin inaktif dengan menambahkan bahan kimia yang dapat mematikan sel bakteri. Beberapa vaksin jenis ini terbukti telah dapat meningkatkan level antibodi dan dapat memberikan perlindungan terhadap penyakit yang sama selama 8 minggu setelah pemberian pada ikan. Vaksin bakteri in-aktif untuk ikan biasanya dibuat dalam sediaan kultur media broth, karena dapat diperoleh sel bakteri beserta produk ekstraseluarnya. Jenis vaksin ini akan efektif memberikan perlindungan jika diaplikasikan melalui suntik dan perendaman (Evans & Arias 2009). Bakterin dari jenis A. hydrophila dan S. agalactiae telah banyak dibuat sediaan vaksin dengan inaktifasi formalin (Toranzo et al. 2009). Penggunaan serotipe bakteri yang sesuai dengan strain lokal sangat tepat digunakan karena akan memberikan proteksi lebih tinggi dengan efek samping minimal. Faktor utama yang perlu diperhatikan apabila akan menggunakan vaksin adalah tingkat keamanannya, sterilitas, dan karakter komposisi penyusun vaksin. Keuntungan menggunakan vaksin in-aktif adalah aman terhadap lingkungan karena agen penyakit telah dilemahkan atau dimatikan, kemampuannya dalam menstimulasi sel mediasi, humoral (antibodi), dan imunitas mukosal. Penelitian ini bertujuan untuk menguji keamanan dan sterilitas vaksin untuk memastikan kelayakan vaksin tersebut digunakan pada ikan dengan pemberian melalui injeksi. Metode pembuatan vaksin mengadopsi dari beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan, kemudian dilakukan modifikasi sehingga diperoleh cara preparasi sediaan vaksin yang praktis dan efisien dari segi
53
penggunaan alat dan proses inaktifasi. Karakter protein penyusun vaksin dilihat menggunakan metode SDS-PAGE untuk melihat berat protein penyusun dari masing-masing sediaan vaksin. Bahan dan Metode Preparasi sediaan vaksin bivalen merupakan modifikasi dari beberapa hasil penelitian terdahulu yang telah terbukti aman digunakan, mudah dalam pembuatan dan dapat meningkatkan respons imun. Agen patogen yang digunakan sebagai kandidat vaksin merupakan isolat lokal, maka perlu dilakukan langkah penelitian awal dengan melakukan uji kemanan dan sterilitas sediaan vaksin. Metode yang sudah ada dimodifikasi sampai diperoleh cara dan sediaan yang tepat untuk membuat vaksin bivalen A.hydrophila dan S. agalactiae. 1
Preparasi Sediaan Vaksin Pembuatan vaksin bivalen menggunakan cara kultur dengan modifikasi
metode kultur terpisah menurut Silva et al. (2009). Proses inaktifasi vaksin dilakukan dengan menambahkan bufer formalin dalam sediaan kultur bakteri. Vaksin yang dibuat pada penelitian ini adalah vaksin bivalen yang berisi campuran dari sel utuh, ECP, sel utuh+ECP, crude supernatan, dan sediaan broth dari bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae. Vaksin bivalen dibuat dengan mencampurkan masing-masing sediaan vaksin dengan perbandingan 1:1 (v/v). Prosedur pembuatan vaksin yang dilakukan adalah sebagai berikuit : 1.1 Sediaan Vaksin Sel Utuh (Whole Cell) Vaksin sel utuh A. hydrophila dibuat dengan modifikasi metode Ismail et al. (2010) dan Rodrigues et al. (2006). Bakteri A. hydrophila diinokulasi dalam media BHI, diinkubasi dalam inkubator dengan shaker selama 24 jam pada suhu 28 oC. Kultur bakteri diinaktifasi dengan menambahkan 10% bufer formalin hingga konsentrasi akhir formalin menjadi 0,3% (v/v) disimpan selama 24 jam pada suhu 28 oC. Sel utuh bakteri in-aktif diperoleh dengan mensentrifus pada 3.000 g selama 30 menit dan pelet (endapan) sel diresuspensi dengan PBS (pH 7,2). Hasil resuspensi sediaan sel utuh disimpan pada suhu 4 oC.
54
Vaksin
sel utuh S. agalactiae dibuat dengan modifikasi metode
Shoemaker et al. (2010) dan Evans et al. (2004).
Bakteri S. agalactiae
diinokulasi dalam media TSB, diinkubasi di inkubator dengan shaker selama 72 jam pada suhu 28 oC. Kultur bakteri diinaktifasi dengan menambahkan 10% bufer formalin hingga konsentrasi akhir formalin menjadi 0,3% (v/v) disimpan selama 24 jam pada suhu 28 oC. Hasil inaktifasi dengan formalin disentrifus pada 3.000 g selama 30 menit, pelet sel bakteri dan supernatan dipisahkan. kemudian pelet diresuspensi dalam larutan salin 0,845% steril dengan rasio 1:10 (v/v). Hasil resuspensi sediaan sel utuh disimpan pada suhu 4 oC. 1.2 Sediaan Vaksin ECP Vaksin ECP A. hydrophila dibuat dari extracellular product (ECP) bakteri A. hydrophila modifikasi metode yang dilakukan Ni et al. (2010) dengan beberapa modifikasi. Bakteri A. hydrophila diinokulasi dalam media BHI diinkubasi selama 24 jam pada suhu 28 oC di inkubator dengan shaker. Hasil kultur ditambahkan 10% bufer formalin hingga konsentrasi akhir formalin 0,3% (v/v) kemudian disimpan selama 24 jam pada suhu 28 oC (proses inaktifasi). Hasil inaktifasi disentrifus pada 3.000 g selama 30 menit. Pelet (endapan) sel bakteri dipisahkan dari supernatan. Supernatan yang berisi ECP diaduk mengunakan shaker, kemudian disaring memakai filter steril (0,45 μm) untuk menghilangkan residu bakteri. Hasil saringan disimpan dalam mesin pendingin pada suhu -20 oC. Vaksin ECP S. agalactiae dibuat dengan metode seperti yang dilakukan oleh Hardi (2011), Klesius et al. (1999) dan Evans et al. (2004) dengan beberapa modifikasi. Bakteri S. agalactiae diinokulasi pada media TSB, diinkubasi pada suhu 28 oC selama 72 jam. Hasil kultur ditambahkan 10% bufer formalin hingga konsentrasi akhir formalin 0,3% (v/v) kemudian disimpan selama 24 jam pada suhu 28 oC (proses inaktifasi). Hasil inaktifasi kemudian disentrifus pada 3.000 g selama 30 menit. Pelet (endapan) sel bakteri dipisahkan dari supernatan. Supernatan yang berisi ECP diaduk mengunakan shaker, kemudian disaring memakai filter steril (0,22 μm) untuk menghilangkan residu bakteri. Hasil saringan disimpan dalam mesin pendingin pada suhu -20 oC.
55
1.3 Sediaan Vaksin Crude Supernatan Vaksin crude supernatan A. hydrophila dibuat dari bakteri A. hydrophila yang diinokulasi dalam media BHI, diinkubasi dalam inkubator dengan shaker selama 24 jam pada suhu 28 oC. Kultur bakteri diinaktifasi dengan menambahkan 10% bufer formalin
hingga konsentrasi akhir formalin menjadi 0,3% (v/v)
disimpan selama 24 jam pada suhu 28 oC. Sel bakteri in-aktif diperoleh dengan mensentrifus pada 3.000 g selama 30 menit, suspensi bakteri dipisahkan dari pelet (endapan). Suspensi sediaan crude supernatan disimpan pada suhu 4 oC. Vaksin crude supernatan bakteri S. agalactiae dibuat dari bakteri S. agalactiae yang diinokulasi dalam media TSB, diinkubasi di inkubator dengan shaker selama
72 jam pada suhu 28 oC. Kultur bakteri diinaktifasi dengan
menambahkan 10% bufer formalin hingga konsentrasi akhir formalin menjadi 0,3% (v/v) disimpan selama 24 jam pada suhu 28 oC. Hasil killing dengan formalin disentrifus pada 3.000 g selama 30 menit, pelet dan suspensi bakteri dipisahkan. Suspensi sediaan crude supernatan disimpan pada suhu 4 oC. 1.4 Sediaan Vaksin Broth Vaksin broth A. hydrophila dibuat dari bakteri A. hydrophila yang diinokulasi dalam media BHI, diinkubasi dalam inkubator dengan shaker selama 24 jam pada suhu 28 oC. Kultur bakteri diinaktifasi dengan menambahkan 10% bufer formalin hingga konsentrasi akhir formalin menjadi 0,3% (v/v) disimpan selama 24 jam pada suhu 28 oC. Sediaan broth disimpan pada suhu 4 oC. Vaksin broth bakteri S. agalactiae dibuat dari bakteri S. agalactiae yang diinokulasi dalam media TSB, diinkubasi dalam inkubator dengan shaker selama 72 jam pada suhu 28 oC. Kultur bakteri diinaktifasi dengan menambahkan 10% bufer formalin hingga konsentrasi akhir formalin menjadi 0,3% (v/v) disimpan selama 24 jam pada suhu 28 oC. Sediaan broth disimpan pada suhu 4 oC. 2
Uji Kualitas Vaksin Bivalen
2.1
Uji keamanan vaksin (Innocuity test) Uji keamanan vaksin menggunakan metode Anderson et al. (1970) dengan
menginokulasi sel bakteri dari sediaan vaksin pada ikan Nila (O. niloticus) secara
56
intra peritoneal (IP) 0,1 mL/ekor dan sebagai kontrol ikan diinjeksi dengan salin fisiologis. Setelah 15 hari pascainjeksi dilakukan reisolasi bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae dari ikan perlakuan untuk melihat koloni bakteri yang sama. Vaksin yang dikatakan aman jika hasil dari reisolasi tidak diperoleh bakteri aktif yang sama dengan isolat vaksin. 2.2 Uji sterilitas vaksin (Sterility test) Uji sterilisasi seperti yang dilakukan Aly (1981) dengan melakukan kultivasi sediaan vaksin hasil inaktifasi kedalam BHIA dan TSA yang diinkubasi pada suhu 25 °C selama 24 jam untuk memastikan tidak ada bakteri yang tumbuh dari jenis A. hydrophila dan S. agalactiae yang sama seperti bakterin sediaan vaksin. 2.3 Uji kadar formalin vaksin Uji kuantitatif untuk melihat residu kadar formalin yang terkandung dalam sediaan vaksin setelah inaktifasi dilakukan dengan menggunakan metode AOAC (1990). Tahapan analisis dapat dilihat pada Lampiran 2. Penyerapan warna dilihat dengan alat spektrofotometer pada absorban 415 nm. Hasil analisis dimasukkan ke dalam rumus: Kadar formalin (ppm) Keterangan : Ca
: Mikrogram formalin dari kurva
W
: berat contoh (gram)
F
: faktor pengenceran
3
Analisis Protein ECP, Sel Utuh, dan Crude Supernatan Menggunakan Sodium Dodecyl Sulphate–Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS– PAGE) Protein secara umum diukur dengan metoda Bradford (1976) di dalam
Bollag dan Edelstein (1991). Sebanyak 100 L sampel ditambah dengan 1 mL pereaksi Bradford kemudian divortex dan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 595 nm. Pereaksi Bradford berasal dari larutan stok yakni: 100 mL
57
etanol 95%, 200 mL phosphoric acid 88% dan 350 mg Serva Blue G. Sebanyak 30 mL larutan stok ditambah 425 mL akuades, 15 mL etanol 95% dan 30 mL phosphoric acid 88%. Campuran tersebut diencerkan dua kali sebelum digunakan untuk analisis protein. Konsentrasi protein contoh dihitung berdasarkan kurva standar yang dibuat dari Bovine Serum Albumin (BSA). Khusus pada tahap pemurnian, protein dimonitor dengan cara mengukur serapan pada panjang gelombang 280 nm (A280). Elektroforesis mengikuti metode Laemmli (1971) di dalam Bollag dan Edelstein (1991) dengan tahapan persiapan gel pemisah (10%): 3,34 mL larutan A 30% (b/v) akrilamid dan 0,8% (b/v) bis-akrilamid, 2,5 mL larutan B (1,5 M Tris-Cl pH 8,8; 0,4% SDS) ditambah 50 L APS 10% dan 5 L TEMED dituangkan ke dalam cetakan gel. Stacking gel (5%): 0,67 mL larutan C (1 M TrisCl pH 6,8 dan 0.4% SDS), 2,3 mL akuades, 30 L APS 10% dan 5 L TEMED dituang diatas gel pemisah yang sudah beku kemudian dipasang sisir serta ditunggu hingga gel beku sempurna. Bufer elektroforesis berisi Tris 25 mM, glisin 192 mM, dan SDS 0,1%. Bufer diatur pada pH 8,3. Pemisahan protein dilakukan dengan cara protein sampel (20 L) dicampur dengan 5 L bufer sampel (60 mM Tris-Cl pH 6,8 25% gliserol; 2% SDS; 14,4 mM 2-merkaptoetananol dan 0,1% bromfenol biru), dididihkan selama 2-3 menit dan dimasukkan ke dalam gel. Protein dipisahkan dengan memberikan aliran listrik (125 mA dan 150 V). Gel kemudian diwarnai dengan perak nitrat. Tahapan pewarnaan dengan perak nitrat dapat dilihat pada Lampiran 3. Gel diangkat, direndam selama 30 menit di dalam larutan berisi 50% metanol dan 10% asam asetat kemudian dicuci selama 30 menit di dalam larutan berisi metanol 5% dan asam asetat 7%. Kemudian gel direndam di dalam 10% glutaraldehid selama 30 menit dan dibilas dengan akuades selama 1-2 jam (diganti setiap 30 menit). Selanjutnya gel direndam dalam larutan dithiothreitol (5 g/mL) selama 30 menit, larutan dibuang dan diganti dengan larutan perak nitrat 0,1%. Gel kemudian dibilas dengan sedikit akuades, dibilas dua kali dengan sedikit larutan developer (50 L formaldehid 37% di dalam sodium karbonat). Tahap akhir, gel
58
direndam dalam larutan developer hingga pita protein dapat diamati dengan baik dan reaksinya segera dihentikan dengan mencuci gel di dalam larutan asam sitrat 2,3 M. Hasil dan Pembahasan 1 Preparasi Sediaan Vaksin Metode preparasi sediaan vaksin yang dilakukan merupakan hasil modifikasi dari beberapa metode yang telah ada. Tahapan pembuatan vaksin dapat dilihat pada Lampiran 4.
a
b
Gambar 18 Sediaan vaksin hasil inaktifasi dengan 3% bufer formalin. (a) sediaan hasil sentrifuse : pelet di bagian bawah dan supernatant, (b) sediaan pelet yang dilarutkan dalam salin (sediaan vaksin sel utuh), ( ) pelet bakteri. Bakteri A. hydrophila diinokulasi dalam media BHI, diinkubasi dalam inkubator dengan shaker selama 24 jam pada suhu 28 oC. Bakteri S. agalactiae diinokulasi dalam media TSB, diinkubasi dalam inkubator dengan shaker selama 72 jam pada suhu 28 oC. Kultur bakteri diinaktifasi dengan menambahkan bufer formalin sebanyak 3% v/v
(NBF atau neutral buffer formalin 10% ; dibuat
dengan mencampurkan 0,4 g NaH2PO4+0,65 g Na2HPO4+10 mL formaldehid 37%+90 mL akuades steril) kemudian diaduk menggunakan magnet pengaduk selama 4 jam. In-aktif sel utuh bakteri diperoleh dengan mensentrifus pada 3.000 g selama 30 menit dengan suhu 4 oC, pelet (endapan) sel dipisahkan dari supernatan, pelet sel diresuspensi dengan salin (NaCl 0,845%, pH 7). Produk ekstraselular (ECP) A. hydrophila diperoleh dengan menyaring supernatan hasil
59
sentrifus menggunakan filter steril 0,45 μm, dan ECP S. agalactiae menggunakan filter steril 0,22 μm. Sediaan vaksin hasil inaktifasi disimpan pada suhu 4 oC. Sediaan vaksin bivalen diperoleh dengan mencampurkan sediaan A. hydrophila dengan sediaan S. agalactiae 1:1 v/v.
Gambar 19 Sediaan vaksin monovalen dan bivalen sel utuh “siap pakai” yang diinaktifasi dengan 3% bufer formalin. 2
Sterilitas dan Keamanan Sediaan Vaksin Kematian harian ikan Nila yang diinjeksi vaksin dengan sediaan inaktifasi
3% bufer formalin terjadi pada hari ke-4 sampai hari ke-12, kematian terbanyak terjadi pada kelompok ikan Nila yang divaksin dengan sediaan vaksin bivalen crude supernatan dan sediaan broth (Gambar 20). Sediaan vaksin monovalen dan bivalen diuji kualitasnya dengan melihat tingkat keamanan dan sterilitas dari vaksin. Preparasi sediaan vaksin monovalen dan bivalen (sel utuh, ECP, gabungan sel utuh+ECP, crude supernatan, dan broth) yang diinaktifasi menggunakan
3% bufer formalin
aman dan steril untuk
digunakan dengan rata-rata kelangsungan hidup >80% (Tabel 5). Ikan Nila yang telah diinjeksi melalui intra peritoneal dengan beberapa jenis sediaan vaksin tersebut tidak terjadi kematian dalam waktu 24 jam pascainjeksi, gerakan renang normal, nafsu makan stabil, dan tidak menunjukkan gejala peradangan ataupun tukak di area bekas injeksi. Gejala perubahan tingkah laku dan kerusakan di area bekas injeksi tersebut biasanya akan muncul jika ada efek toksik dari formalin terhadap ikan.
60
kematian kumulatih harian (%)
6 5 4 3 2 1 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 perlakuan vaksin (hari)
Monovalen A. hydrophila 1 Monovalen S. agalactiae 1 Bivalen Sel utuh 1 Bivalen ECP 1 Bivalen Sel utuh+ECP 1 Bivalen Supernatan 1 Bivalen Broth 1 Kontrol TSB Kontrol
Monovalen A. hydrophila 2 Monovalen S. agalactiae 2 Bivalen Sel utuh 2 Bivalen ECP 2 Bivalen Sel utuh+ECP 2 Bivalen Supernatan 2 Bivalen Broth 2 Kontrol BHI
Monovalen A. hydrophila 3 Monovalen S.agalactiae 3 Bivalen Sel utuh 3 Bivalen ECP3 Bivalen Sel utuh+ECP 3 Bivalen Supernatan 3 Bivalen Broth 3 Kontrol Salin 0,845%
Gambar 20 Pengamatan kematian ikan pascavaksinasi dengan sediaan vaksin yang diinaktifasi dengan 3% bufer formalin. Tabel 5 Kelangsungan hidup ikan Nila pascavaksinasi No 1 2 3 4 5 6 7 8
Komposisi sediaan vaksin Monovalen A. hydrophila Monovalen S. agalactiae Bivalen Sel utuh Bivalen ECP Bivalen Sel utuh + ECP Bivalen crude Supernatan Bivalen Broth Kontrol
Kelangsungan hidup (%) 91,7b 90bc 91,7b 88,3cd 93,3a 85d 80e 95a
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf uji P>0,05.
Hasil re-isolasi terhadap beberapa ikan pascavaksinasi tidak diperoleh adanya tumbuh bakteri yang sama dengan kandidat vaksin dan sediaan vaksin hasil inaktifasi ketika dilakukan preparasi gores pada media agar tidak ada yang
61
tumbuh. Pengujian karakter kesamaan bakteri kandidat vaksin dilakukan dengan melihat sensitifitas terhadap beberapa jenis antibiotik yang sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Sugiani dan Lusiastuti (2011). Formalin untuk ikan bersifat toksik akut, sehingga konsentrasinya dalam tubuh ikan diharapkan rendah. Pemakaian formalin dalam perikanan masih menjadi perdebatan untuk keamanan pangan, adapun penggunaan formalin dalam sediaan vaksin masih dapat diterima dengan catatan bahwa konsentrasinya tidak tinggi sehingga tidak toksik ketika diaplikasikan baik melalui suntik, perendaman, maupun melalui pakan. Kadar formalin pada sediaan vaksin sel utuh 0,147 mg/L, ECP 1,01 mg/L, dan sel utuh+ECP 0,702 mg/L menunjukkan bahwa sediaan vaksin relatif aman untuk digunakan melalui injeksi intraperitonel, karena tingkat kelangsungan hidupnya sekitar 85-100% (Tabel 6). Tabel 6
Hasil uji kadar formalin sediaan vaksin yang diinaktifasi dengan bufer formalin 3% No 1 2 3
Sampel Sel utuh ECP Sel utuh+ECP
Kadar Formalin (mg/L) 0,147 1,010 0,702
Jung et al. (2001) melakukan penelitian mengenai residu formalin 37% pada urat daging ikan olive flounder (Paralichthys olivaceus) dan black rockfish (Sebastes schlegeli) setelah ditreatmen dengan cara perendaman. Residu formalin dalam urat daging dapat luruh hingga konsentrasi yang setara dengan normal (kontrol) setelah 72 jam, yaitu kandungan residu yang terdeteksi pada perlakuan 100 mg/L setelah 1, 24, 48, dan 72 jam berturut-turut adalah 0,8; 0,7; 0,8; 0,9 µg/g, perlakuan 300 mg/L dengan residu 1,2; 0,8; 0,9; 0,7 µg/g, perlakuan 500 mg/L dengan residu 1,6; 0,8; 1,0; 0,8 µg/g, sedangkan kontrol 0,9 µg/g. Begitu juga dengan residu pada air pemeliharaan dengan perlakuan 25, 50, 100, 150, dan 200 mg/L yang akan luruh berturut-turut dalam jangka waktu 2, 6, 8, 9, dan 10 hari ketika diaerasi, tanpa diganti air dan luruh dalam jangka waktu 7, 9, 11, 13, dan 19 hari tanpa aerasi dan tanpa ganti air. Secara alami kandungan formalin
62
dalam jaringan urat daging ikan olive flounder dan black rockfish terdeteksi 0,52,1 µg/g. Formaldehid yang dipakai untuk membuat bahan bufer formalin merupakan bahan kimia yang umum digunakan dalam proses inaktifasi sediaan vaksin. Fungsi formaldehid adalah untuk menstabilkan komponen protein atau untuk inaktifasi molekul toksin dari bakteri. Formaldehid bereaksi dengan grup asam amino lisin yang merupakan produk tidak stabil membentuk ikatan metilen (methylene bridge) sehingga menjadi grup asam amino yang stabil, reaksi ini dapat terbentuk antar asam amino dengan molekul yang sama sehingga membentuk ikatan silang antar internal protein atau antara dua molekul membentuk ikatan dimer (senyawa kimia yang terdiri dari dua molekul monomer yang identik dan terikat bersama-sama) (Sato et al. 1984). 3 Protein Vaksin Tabel 7 memperlihatkan berat protein sediaan vaksin A. hydrophila hasil inaktifasi dengan bufer formalin 3% dari jenis sediaan sel utuh adalah 0,53 mg/mL, sediaan ECP 1,93 mg/mL, sediaan crude supernatan 1,99 mg/mL, serta sediaan broth 2,12 mg/mL. Tabel 7 Berat protein sediaan vaksin yang diinaktifasi dengan bufer formalin 3% Berat protein (mg/mL) Nama A. hydrophila S. agalactiae Sel utuh 0,53 1,37 ECP 1,93 1,89 Crude supernatan 1,99 1,88 Broth 2,12 2,11 Berat protein sediaan vaksin S. agalactiae hasil inaktifasi dengan bufer formalin 3% dari jenis sediaan sel utuh adalah 1,37 mg/mL, sediaan ECP 1,89 mg/mL, sediaan crude supernatan 1,88 mg/mL, serta sediaan broth 2,11 mg/mL. Hasil tersebut menunjukkan bahwa sediaan vaksin broth memiliki berat protein yang lebih besar dibandingkan dengan sediaan vaksin crude supernatan, ECP, maupun sel utuh. Penghitungan berat protein dapat dilihat pada Lampiran 5.
63
97 kDa 66 kDa 45 kDa 30 kDa 20,1 kDa 14,4 kDa
M 1
2
3
4
Gambar 21 SDS-PAGE sediaan vaksin bakteri Aeromonas hydrophila AHL09052 (M) Marker (1) broth A. hydrophila (2) sel utuh A. hydrophila (3) ECP A. hydrophila (4) crude supernatan A. hydrophila.
97 kDa 66 kDa 45 kDa 30 kDa 20,1 kDa 14,4 kDa
M
Gambar 22
1
2
3
4
SDS-PAGE sediaan vaksin bakteri Streptococcus agalactiae N14G (M) Marker (1) broth S. agalactiae (2) crude supernatan S. agalactiae (3) sel utuh S. agalactiae (4) ECP S. agalactiae.
Gambar 21 menunjukkan pita protein untuk sediaan sel utuh A. hydrophila yang diinaktifasi dengan bufer formalin 3% terdapat 14 pita yaitu 119,57; 94,39; 82,76; 72,57; 58,81; 45,22; 40,71; 32,99; 26,73; 22,83; 19,00; 17,10; 15,00; dan 12,81 kDa. Sediaan ECP terdapat 2 pita yaitu 55,80 dan 17,10 kDa. Sediaan crude supernatan terdapat 3 pita yaitu 94,39; 55,80 dan 17,10 kDa. Sediaan broth yang diinaktifasi dengan bufer formalin 3% terdapat 7 pita yaitu 136,36; 119,57; 87,23; 55,80; 25,36; 19,00; dan 14,61 kDa (Tabel 8). Penghitungan berat molekul protein A. hydrophila hasil SDS-PAGE dapat dilihat pada Lampiran 6.
64
Gambar 22 menunjukkan pita protein untuk sediaan sel utuh S. agalactiae yang diinaktifasi dengan bufer formalin 3% terdapat 10 pita yaitu 111,86; 83,42; 79,09; 58,98; 54,45; 43,99; 23,20; 18,74; 17,77; dan 15,97 kDa. Sediaan ECP terdapat 2 pita yaitu 83,42 dan 21,99 kDa. Sediaan crude supernatan terdapat 3 pita yaitu 83,42; 58,98; dan 21,99 kDa. Sediaan broth terdapat 4 pita yaitu 111,86; 79,09; 23,20; dan 18,74 kDa (Tabel 8). Penghitungan berat molekul protein S. agalactiae hasil SDS-PAGE dapat dilihat pada Lampiran 6. Karakterisasi
protein
A.
hydrophila
menggunakan
SDS-PAGE
menunjukkan bahwa jumlah pita protein terbanyak berturut-turut terdapat pada sel utuh, broth, crude supernatan, dan ECP. Thomas et al. (2009) menggunakan 4 jenis pita protein untuk mengkarakterisasi A. hydrophila yaitu 19,5 kDa, 25,36 kDa, 29 kDa and 65,6 kDa. Jika dibandingkan dengan hasil SDS-PAGE terhadap A. hydrophila isolat AHL0905-2 maka hanya identik dengan 1 pita yaitu 25,36 kDa, dan mendekati pita pada19,5 kDa yaitu 19,0 kDa. Tabel 8
Karakter berat molekul protein hasil SDS-PAGE bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae yang diinaktifasi dengan bufer formalin 3%
Vaksin A. hydrophila
Sediaan Sel utuh
ECP Crude Supernatan Broth S. agalactiae
Sel utuh ECP Crude Supernatan Broth
BM Kd 119,57; 94,39; 82,76; 72,57; 45,22; 40,71; 32,99; 26,73; 22,83; 17,10; 15,00; 12,81 55,80; 17,10 94,39; 55,80; 17,10 136,36; 119,57; 87,23; 55,80; 19,00; 14,61 111,86; 83,42; 79,09; 58,98; 43,99; 34,61; 23,20; 17,77; 15,97 83,42; 21,99 83,42; 58,98; 21,99 111,86; 79,09; 23,20; 18,74
58,81; 19,00;
25,36; 54,45;
Preparasi sediaan vaksin dengan menggunakan formalin ternyata dapat mempengaruhi profil protein. Sediaan vaksin sel utuh memiliki jumlah profil protein yang lebih banyak dibandingkan dengan sediaan ECP, crude supernatan, maupun broth. Formaldehid dapat membantu membentuk ikatan metilen yang akan mempengaruhi respons sel-T terhadap data paralel protein yang terdiri dari
65
asam amino modifikasi seperti N-glikosilasi, alkilasi, dan iodinasi sehingga dapat mempengaruhi presentasi antigen oleh sel-T. Penggunaan formaldehid juga dapat mendegradasi secara parsial protein FHA (forkhead-associated), merubah sensitifitas protein pada aktifitas protease, adanya purifikasi digesti tripsin dan dapat mendegenerasi fragmen protein menjadi ukuran yang lain (Tommaso et al. 1994). Pasnik et al. (2005) melakukan uji karakterisasi protein S. agalactiae menggunakan SDS-PAGE
di mana terdapat dua pita 47 dan 75 kDa dan
predominan pita 54 kDa dan 55 kDa pada sediaan segar (satu hari setelah inaktifasi dengan bufer formalin 3%), sedangkan sediaan vaksin yang telah disimpan selama 1 tahun pada suhu 4 oC hanya terdeteksi pita 47, 54, dan 55 kDa. Proses penyimpanan dan lama waktu penyimpanan dapat merubah profil protein dari sediaan vaksin serta dapat menurunkan tingkat proteksi terhadap kelangsungan hidupnya hanya 29%. Simpulan dan Saran Simpulan dari kegiatan preparasi sediaan vaksin dengan metode inaktifasi berbeda adalah : 1. Sediaan vaksin bivalen hasil inaktifasi dengan bufer formalin 3% aman
digunakan untuk pemberian secara injeksi intra peritoneal pada ikan Nila (O. niloticus). 2. Jumlah pita protein vaksin A. hydrophila dan S. agalactiae sediaan sel utuh lebih banyak dibandingkan dengan pita protein sediaan vaksin ECP, broth, dan crude supernatan. Sediaan vaksin yang telah dibuat perlu diuji lebih lanjut untuk melihat tingkat efektifitasnya pada ikan dengan menganalisis efek vaksin tersebut terhadap respons imun dari ikan Nila.
66
HEMATOLOGI DAN RESPONS IMUN IKAN NILA (Oreochromis niloticus) YANG DIIMUNISASI DENGAN VAKSIN MONOVALEN DAN BIVALEN : Aeromonas hydrophila DAN Streptococcus agalactiae Abstrak Respons imun terhadap campuran sel utuh dan ekstraselular antigen Aeromonas hydrophila dan Streptococcus agalactiae dievaluasi sebagai ukuran keberhasilan peningkatan respons antibodi ikan Nila setelah divaksin dengan vaksin monovalen dan bivalen. Analisis hematologi dan respons imun dalam aktifitas bakterisidal serum dapat dijadikan komponen untuk melihat viabilitas patogen dalam inang yang ditunjukkan melalui aktifitas respiratory burst, lisosim, komplemen, dan antibodi. Ikan Nila 15±0,5 g divaksin dengan vaksin monovalen A. hydrophila, monovalen S. agalactiae, bivalen sel utuh, bivalen ECP, bivalen sel utuh+ECP, bivalen crude supernatan, bivalen broth, dan kontrol. Parameter imun diukur setiap minggu selama 3 minggu pemeliharaan setelah vaksinasi. Titer antibodi terdeteksi setelah satu minggu pemeliharaan pascavaksinasi, nilai titer antar vaksin bivalen dengan vaksin monovalen dan kontrol berbeda nyata (P<0,05). Vaksin monovalen dapat meningkatkan respons imun spesifik dan non spesifik lebih baik jika dibandingkan dengan vaksin bivalen untuk proteksi homolog. Sedangkan untuk proteksi terhadap bakteri heterolog vaksin bivalen sel utuh dan sel utuh+ECP memberikan respons imun spesifik maupun non spesifik terbaik jika dibandingkan dengan vaksin monovalen A. hydrophila maupun vaksin monovalen S. agalactiae. Kata kunci :
Aeromonas hydrophila, S. agalactiae, vaksin monovalen, vaksin bivalen, respons imun
Abstract The humoral immune responsse to mixed whole cell antigens and extracellular product of Aeromonas hydrophila and Streptococcus agalactiae, the common Gram negative and Gram positive bacterial pathogens associated with diseases of Motile Aeromonads Septicemia and Streptococcocis in Nile Tilapia were evaluated for their efficacy in triggering antibody responsses. The Nile Tilapia were either immunized with antigens from single bacterial strain A. hydrophila and S. agalactiae or a combination of all two. An antibody and humoral immune response was detected at the 1st week post immunization that rose significantly ( p<0.05) at the 3th week post immunization in all the immunized groups. Similarly, there were significant difference ( p<0.05) in the humoral immune response between groups immunized with single and mixed bacterial antigens. The monovalent vaccine could enhance immune responsse specific and non specific better than the bivalent vaccine from bacterial homolog. Otherwise, the protection from heterologous bacteria, the bivalent vaccine provided the best specific and non specific immune respons compared with monovalent vaccine. Key Words :
Aeromonas hydrophila, S. agalactiae, monovalent vaccine, bivalent vaccine, immune responsse
67
Pendahuluan Keberhasilan pemberian vaksinasi pada ikan dapat dilihat menggunakan faktor imunologi yang dapat membuktikan keamanan dan tingkat proteksinya. Vaksin yang ideal harus dapat bertahan dalam jaringan inang lebih lama untuk membentuk perlindungan terhadap antigen sehingga tidak terjadi sakit. Analisis imunologi dalam aktifitas bakterisidal serum dapat dijadikan komponen untuk melihat viabilitas patogen dalam inang yang ditunjukkan melalui aktifitas respiratory burst, lisosim, antibodi, dan komplemen (Ellis 2001). Stimulasi respons imun non spesifik dapat meningkatkan kemampuan ikan melindungi diri terhadap serangan patogen, namun dengan adanya antibodi spesifik akan lebih baik lagi dalam meningkatkan kemampuan proteksinya. Tingkat proteksi ini tergantung dari reaksi silang antar komponen antigen yang akan digunakan sebagai kandidat vaksin, yang bertujuan untuk meningkatkan tanggap kebal terhadap antigen homolog (Gudding et al. 1999). Kemampuan peningkatan respons imun ikan setelah vaksinasi dapat dijadikan acuan keberhasilan peningkatan tanggap kebal. Vaksinasi dapat menstimulasi sistem imun untuk memproduksi antibodi yang akan membantu dalam perlindungan terhadap antigen. Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran hematologi dari ikan Nila yang diberi vaksin terhadap respons antigen homolog yang masuk. Keberhasilan reaksi respons imun dari ikan yang telah vaksinasi dalam mengeliminasi serangan antigen diperlukan kerjasama antara respons imun spesifik dan respons imun non spesifik. Beberapa parameter yang dilihat pada penelitian ini merupakan gambaran respons imun non spesifik yang diamati dari darah ikan setelah vaksinasi dengan vaksin bivalen.
Bahan dan Metode Ikan Nila pada perlakuan vaksin diinjeksi secara intra peritoneal sebanyak 0,1 mL/ikan dengan sediaan monovalen A. hydrophila, monovalen S. agalactiae, bivalen sel utuh, bivalen ECP, bivalen sel utuh+ECP, bivalen crude supernatan,
68
dan bivalen broth. Ikan Nila kontrol diinjeksi dengan TSB, BHI, salin 0,845%, dan kontrol tanpa injeksi. Ikan dipelihara selama 21 hari (Li et al. 2006), setiap 3 hari gambaran hematologi diamati dengan beberapa parameter yang dilihat sebagai berikut : 1 Gambaran Hematologi Darah diambil secara intra muscular dari caudal vein ikan menggunakan syring yang telah diberi heparin sebagai antikoagulan, darah disimpan pada suhu 15 oC. kemudian diukur kadar haemoglobin menurut metode Sahli (Wedenmeyer & Yasutake 1977), kadar hematokrit menurut metode Anderson dan Siwicki (1995). 2
Indek Fagositosis Aktifitas fagositosis dievaluasi menggunakan metode Zhang et al. (2008)
dengan sedikit modifikasi. Sebanyak 100 µL suspensi Staphylococcus aureus kepadatan 107 cfu/mL dimasukkan ke dalam tabung eppendorf, ditambahkan 200 µL darah dengan heparin dan dihomogenkan menggunakan vortex, kemudian diinkubasi selama 30 menit pada suhu 30 oC. 1 mL salin ditambahkan ke dalam tabung dan dihomogenkan. Solusi homogenat disentrifus dengan 3.000 g selama 5 menit, 1 mL supernatan diambil kemudian dibuang, sisa solusi dihomogenkan kembali. Diambil satu tetes homogenat, dibuat preparat ulas di atas slide glass. Preparat difiksasi dengan metanol selama 2-3 menit, kemudian dicuci dengan akuades, preparat dikeringanginkan, tahap akhir preparasi diwarnai dengan pewarna giemsa. Preparat diamati di bawah mikroskop. Persen Fagositosis (PP) dan Indek Fagositosis (IP) dihitung menggunakan rumus: PP =(N1/100)x100 IP = N2/100 Keterangan : N1 N2
: total jumlah fagosit yang memakan (engulf) bakteri secara acak dari 100 fagosit yang terhitung. : total jumlah bakteri yang dimakan oleh fagosit dari 100 fagosit yang terhitung.
69
3 Uji Respiratory Burst (Metode NBT-Assay) Produksi oksigen radikal dari fagositosis dalam darah dapat dilihat dengan pewarnaan nitroblue tetrazolium (NBT) seperti yang dilakukan Anderson dan Siwicki (1995). 0,1 mL sampel darah dengan heparin diletakkan pada tabung efendorf dan ditambahkan 0,1 mL 0,2% NBT, suspensi NBT- sel darah diinkubasi selama 30 menit pada suhu ruang. Kemudian 0,05 mL sampel suspensi NBT-sel darah dipindahkan ke dalam tabung gelas yang berisi 1 mL N,Ndimethylformamide solution (DMS). Suspensi disentrifus selama 5 menit pada 3.000 g. Supernatan dipisahkan, dimasukkan dalam tabung kuvet dan dibaca menggunakan spektrofotometer. NBT akan direduksi oleh formazan pada reaksi dengan radikal oksigen yang diproduksi dari neutrofil dan monosit. Analisis produksi radikal oksigen dengan menggunakan NBT dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 540 nm. 4
Aktifitas Lisosim Aktifitas lisosim diuji menggunakan lyso-plate assay menurut Lie et al.
(1989) dan Gassent et al. (2004) dengan melihat zona lisis dari bakteri Micrococcus lysodeikticus. Metode ini dilakukan dengan membuat sumur (2 mm) pada media agar cawan yang berisi bakteri M. lysodeikticus (50 mg/mL), setiap sumur diisi plasma darah sebagai serum uji kemudian diberi bufer fosfat 5 L (14,04 g/L KH2PO4; 5,2 g/L Na2HPO4, pH 6,2). Cawan diinkubasikan pada 25 oC selama 20 jam, untuk pembentukan zona lisis. 5
Aktifitas Komplemen Aktifitas komplemen (Complement consumption assay) dilakukan
menggunakan metode Vivas et al. (2005) yang dimodifikasi. Sebanyak 200 µL serum ikan dan 200 µL suspensi bakteri A. hydrophila (109 cfu/mL) dicampurkan dengan PBS steril dalam 1,5 mL tabung eppendorf. Sebanyak 200 µL serum ikan dan 200 µL suspensi bakteri S. agalactiae (109 cfu/mL) dicampurkan dengan PBS steril dalam 1,5 mL tabung eppendorf. Sebanyak 200 µL serum ikan dan 100 µL suspensi bakteri A. hydrophila dan 100 µL suspensi bakteri S. agalactiae dicampurkan dengan PBS steril dalam 1,5 mL tabung eppendorf, untuk kontrol
70
tabung eppendorf hanya diisi dengan PBS. Tabung diinkubasi selama 1,5 jam pada suhu 16 oC. Ditambahkan 400 µL PBS ke dalam setiap tabung dan suspensi difilter menggunakan filter 0,22 µm. Larutan hasil filtrasi dimasukkan ke dalam mikrotiter 25 µL, ditambahkan secara serial (serial two-fold dilutions) 2% suspensi rabbit red blood cells (RaRBC) dalam PBS yang kemudian diinkubasi selama 1,5 jam pada 16 oC. Tahap selanjutnya ditambahkan 100 µL 0,9% salin dingin (ice-cold), dan sel diendapkan dengan cara disentrifus (1.400 g, 5 menit, 4 oC). Absorban supernatan dilihat dengan 405 nm. 100% hemolisis diperoleh dengan menambahkan 25 µL RaRBC dan 175 µL akuades, dan aktifitas lisis (spontaneous lysis) diperoleh dengan menambahkan 25 µL RaRBC dan 50 µL PBS, setelah 1 jam diinkubasi ditambahkan 100 µL 0,9% salin. Aktifitas komplemen dihitung dengan melihat hemolisis pada RaRBC, hasil dimasukkan dalam rumus berikut :
x 100% 6 Titer Antibodi Titer diukur menggunakan aglutinasi langsung (direct aglutination) terhadap antigen- antibodi perlakuan. Nilai titer dimasukkan dalam hitungan log 2. Tes aglutinasi dilakukan pada mikrotiter 96 sumur dengan dasar sumur berbentuk huruf „U‟. Serum ikan perlakuan vaksin sebagai antibodi dimasukkan ke dalam sumur no 1 (kontrol positif) dan sumur no 2 masing-masing 100 µL, kemudian dilakukan pengenceran seri (serially two-fold diluted) dalam PBS 100 µL (pH 7,2) sampai sumur ke-11, pada sumur ke-12 hanya diisi PBS (kontrol negatif). Pengujian kelompok pertama dengan menambahkan antigen ke dalam sumur ke-1 sampai sumur ke-12 sebanyak 100 µL bakteri homolog A. hydrophila. Kelompok kedua, menambahkan ke dalam sumur ke-1 sampai sumur ke-12 sebanyak 100 µL bakteri homolog S. agalactiae. Kelompok terakhir, menambahkan ke dalam sumur ke-1 sampai sumur ke-12 sebanyak 50 µL bakteri A. hydrophila+50 µL bakteri S. agalactiae yang telah diinaktifasi dengan formalin
71
(107 cfu/mL). Mikrotiter yang berisi antibodi dan antigen kemudian diinkubasi semalaman pada suhu ruang dan titer aglutinasinya dihitung. Hasil dan Pembahasan Beberapa parameter imunitas seperti kadar hemoglobin, hematokrit, aktifitas fagositosis, lisosim, dan aktifitas Respiratory burst (NBT-positif) dapat dijadikan parameter evaluasi untuk melihat respons ikan terhadap infeksi bakteri maupun pemberian imunostimulan (Zhang et al. 2012). 1
Kadar Hemoglobin Hemoglobin merupakan metaloprotein (protein yang mengandung zat
besi) di dalam sel darah merah yang berfungsi sebagai pengangkut oksigen. Molekul hemoglobin terdiri dari globin, apoprotein, dan empat gugus heme, suatu
Hemoglobin (g %)
molekul organik dengan satu atom besi. 12 10 8 6 4 2 0 1
Gambar 23
3
6 9 12 perlakuan vaksin (hari)
15
18
21
Kadar hemoglobin ikan Nila pascavaksinasi dengan sediaan vaksin monovalen dan bivalen. ( ) monovalen A. hydrophila, ( ) Monovalen S. agalactiae, ( ) bivalen sel utuh, ( ) bivalen ECP, ( ) bivalen sel utuh+ECP, ( ) bivalen crude supernatan, ( ) bivalen broth, ( ) kontrol.
Pengaruh vaksinasi pada ikan Nila dengan beberapa sediaan vaksin monovalen dan bivalen yang diaplikasikan melalui suntik terhadap parameter hemoglobin darah ikan dapat dilihat pada Gambar 23. Dua kelompok perlakuan vaksin monovalen dan bivalen memiliki kadar hemoglobin yang berkisar antara 710 g 100 mL-1 rata-rata peningkatan kadar hemoglobin terjadi pada hari ke-3 sampai hari ke-6 setelah vaksinasi (P<0,05).
72
Hemoglobin darah ikan mengalami fluktuasi dan cenderung semakin menurun setelah adanya perlakuan injeksi vaksin karena adanya pengurangan sel darah merah dan adanya penambahan jumlah plasma darah yang mengakibatkan kadar warna merah darah berkurang, proses ini merupakan respons normal ikan terhadap adanya suatu perubahan lingkungan maupun serangan agen penyakit. Pada suhu perairan 15-30 oC kadar hemoglobin ikan Nila normal berkisar antara 7,5-8 g 100 mL-1 (Sherif & Feky 2009). 2
Hematokrit Darah Hematokrit merupakan persentase volume eritrosit dalam darah ikan, bila
hematokrit 30 (30%) berarti darah terdiri dari 30% eritrosit dan 70% plasma dan leukosit. Nilai hematokrit tertinggi pada level 37 perlakuan vaksin monovalen S. agalactiae, sedangkan hematokrit terendah pada perlakuan vaksin bivalen broth di
Hematokrit (%)
level 17 (Gambar 24). 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 1
3
6
9
12
15
18
21
perlakuan vaksin (hari)
Gambar 24 Persen hematokrit darah ikan Nila pascavaksinasi dengan vaksin monovalen dan bivalen. ( ) monovalen A. hydrophila, ( ) Monovalen S. agalactiae, ( ) bivalen sel utuh, ( ) bivalen ECP, ( ) bivalen sel utuh+ECP, ( ) bivalen crude supernatan, ( ) bivalen broth, ( ) kontrol. Eritrosit merupakan salah satu sel darah merah yang berperan dalam proses pengangkutan material di dalam tubuh ikan. Perubahan persentasi hematokrit dalam darah terjadi karena adanya proses fisiologis tubuh yang bereaksi terhadap adanya antigen yang masuk. Pada suhu perairan 15-30 oC kadar hematokrit ikan Nila normal berkisar antara 24,1-25,0% (Sherif & Feky 2009).
73
3
Indek Fagositosis Kemampuan fagositosis dilihat dari persentase fagositosis nilai dan indek
fagosit. Hasil penghitungan indek fagositosis terlihat bahwa perlakuan vaksin monovalen A. hydrophila, bivalen sel utuh dan bivalen sel utuh+ECP memiliki kemampuan fagositosis lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan vaksin lain
persentase fagositosis (%)
dan kontrol (P<0,05) (Gambar 25 dan 26). 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 1
3
6
9
12
15
18
21
perlakuan vaksin (hari)
Gambar 25 Persentase fagosit darah ikan Nila pascavaksinasi dengan vaksin monovalen dan bivalen. ( ) monovalen A. hydrophila, ( ) Monovalen S. agalactiae, ( ) bivalen sel utuh, ( ) bivalen ECP, ( ) bivalen sel utuh+ECP, ( ) bivalen crude supernatan, ( ) bivalen broth, ( ) kontrol. Ikan memiliki mekanisme pertahanan sendiri terhadap antigen yang masuk ke dalam tubuh. Vaksinasi yang diberikan berupa vaksin aktif yaitu komponen penyusunnya berasal dari bakteri dan debris bakteri yang telah diinaktifasi, apabila masuk ke dalam aliran darah diduga akan dikenali sebagai antigen dan merangsang respons imun spesifik yang kemudian jika terpapar lebih lama akan membentuk suatu memori dengan dibentuknya respons imun spesifik. Respons imun non spesifik akan mengalami fluktuasi pada sesaat setelah invasi antigen dalam hitungan hari, sedangkan respons imun spesifik akan terbentuk dalam hitungan minggu. Kedua respons imun ini memegang peranan penting dalam mekanisme tanggap kebal dari ikan terhadap serangan patogen (Skinner et al. 2010).
74
Aktifitas fagositosis dapat terjadi apabila ada reaktif oksigen yang bekerja sendiri maupun bersama-sama dengan enzim lisosim dalam membunuh bakteri sebagai sel asing. Hasil analisis indek fagosit dan persen fagositosis dari perlakuan vaksin monovalen dan bivalen menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibanding dengan kontrol, mengindikasikan bahwa pemberian vaksin dapat meningkatkan kemampuan bakterisidal serum ikan terhadap invasi antigen. 4
indek fagositik
3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 1
3
6
9
12
15
18
21
perlakuan vaksin (hari)
Gambar 26
4
Indek fagositik darah ikan Nila pascavaksinasi dengan vaksin monovalen dan bivalen. ( ) monovalen A. hydrophila, ( ) Monovalen S. agalactiae, ( ) bivalen sel utuh, ( ) bivalen ECP, ( ) bivalen sel utuh+ECP, ( ) bivalen crude supernatan, ( ) bivalen broth, ( ) kontrol.
Respiratory Burst (NBT-Assay) Aktifitas produksi oksigen radikal superoksida (O-2) pada aktifitas
fagositosis dapat dilihat dengan menggunakan pewarnaan NBT. Pada hasil penelitian diketahui bahwa pemberian perlakuan vaksin dapat meningkatkan kemampuan sel fagosit dalam melawan antigen. Nilai Optical density (OD) perlakuan vaksin berbeda nyata (P<0,05) jika dibandingkan dengan kontrol namun jika dibandingkan dengan antar perlakuan maka yang memberikan pengaruh terbaik terhadap nilai NBT adalah perlakuan vaksin monovalen A. hydrophila. Antar perlakuan vaksin bivalen tidak berbeda nyata (P>0,05) tetapi berbeda nyata jika dibandingkan dengan kontrol (P<0,05). Nilai NBT pada awal perlakuan berkisar antara 0,261-0,315, peningkatan terjadi rata-rata pada
75
pengamatan hari ke-6, ke-9, dan ke-12 setelah vaksinasi. Hasil pengamatan nilai NBT dapat dilihat pada Gambar 27. Nilai NBT semakin tinggi menunjukkan bahwa produksi radikal oksigen bebas pada aktifitas respiratory burst semakin besar. Produksi radikal bebas ini digunakan untuk melawan patogen. Ikan mempunyai mekanisme membunuh selsel fagosit melalui oksigen bebas dalam vakuola lisosom yang mampu meningkatkan permeabilitas sel bakteri sehingga bisa menyebabkan masuknya substansi dan cairan dalam sel bakteri yang kemungkinan bisa menyebabkan
OD NBTassay (540nm)
plasmolisis. 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 1
3
6
9
12
15
18
21
perlakuan vaksin (hari) Monovalen A. hydrophila Bivalen Sel utuh Bivalen Sel utuh+ECP Bivalen Broth
Gambar 27
Monovalen S. agalactiae Bivalen ECP Bivalen Supernatan Kontrol
NBT-assay dari ikan Nila hasil vaksinasi menggunakan vaksin monovalen dan bivalen.
Radikal oksigen toksik ini dengan cepat dikonversi menjadi hidrogen peroksida (H2O2) yang memiliki sifat bakterisidal yang kuat. Karakter radikal oksigen yang bersifat toksik terhadap patogen ini diduga pula dikonversi menjadi radikal hidroksi (OH-) yang memiliki kemampuan mendegradasi membran lipid antigen. Penurunan aktifitas NBT mengindikasikan adanya kontaminan dan infeksi yang kronis atau ikan sedang dalam kondisi stres. Peningkatan NBT dapat mengindikasikan bahwa perlakuan penyuntikan vaksin telah efektif merangsang
76
sistem kekebalan tubuh ikan (Anderson 2004). Neutrofil dan sel fagositik yang teraktivasi dapat menghasilkan absorbans 20-30% lebih tinggi, yang menunjukkan produksi oksigen radikal yang lebih tinggi untuk pertahanan terhadap penyakit. Hasil analisis NBT terhadap ikan yang diberi vaksin monovalen dan bivalen menunjukkan suatu peningkatan jumlah oksidatif radikal jika dibanding dengan kontrol, dengan semakin tinggi nilai NBT maka kemampuan sel fagosit dalam aktifitas respiratory burst semakin tinggi. Oksigen radikal bebas dihasilkan pada saat fagositosis melalui aktifitas respiratory burst. Hasil dari nilai NBT perlakuan vaksin bivalen lebih tinggi dibanding kontrol, maka penggunaan vaksin bivalen yang diaplikasikan melalui injeksi pada
ikan Nila tidak mengakibatkan hambatan dalam pembentukan respons imun, walaupun nilainya tidak setinggi NBT dari vaksin monovalen. Sediaan
vaksin
bivalen
yang
merupakan
formula
vaksin
yang
menggunakan bakterin dari bakteri Gram yang berbeda A. hydrophila (Gram negatif) dan S. agalactiae (Gram positif) dari sel dan hasil metabolitnya tidak menimbulkan pengaruh imunosupresi yang biasanya ditandai dengan penurunan nilai NBT (penurunan aktifitas respiratory burst). 5
Aktifitas Lisosim Respons imun alami merupakan pertahanan pertama terhadap serangan
infeksi patogen, mencegah
perlekatan antigen, invasi, atau multiplikasi dari
patogen infeksius. Salah satu kunci utama dalam respons imun alami adalah aktifitas lisosim. Analisis aktifitas lisosim dilakukan untuk melihat pengaruh injeksi vaksin monovalen dan bivalen terhadap sistem imun alami dan perolehan pada ikan Nila. Perlakuan injeksi vaksin monovalen atau bivalen diharapkan dapat memicu sistem imun untuk bersinergi dalam meningkatkan aktifitas lisosim dan titer antibodi terhadap antigen spesifik. Aktifitas lisosim dideteksi dari serum ikan dengan perlakuan vaksin monovalen, bivalen, dan tanpa vaksin (Gambar 28). Aktifitas lisosim sebelum perlakuan berkisar antar 3-5 mm. Kemampuan aktifitas lisosim meningkat pada hari ke-3 sampai hari ke-6 setelah pemberian vaksin, dan mengalami fluktuasi
77
sesudahnya. Berdasarkan hasil analisis perlakuan bivalen sel utuh, bivalen sel utuh+ECP dan monovalen A. hydrophila berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan vaksin monovalen dan bivalen lainnya dan berbeda nyata juga dengan
Zona lisis aktifitas lisosim (mm)
perlakuan kontrol (P<0,05). 14 12 10 8 6 4 2 0 1
Gambar 28
3
6
9 12 15 Perlakuan vaksin (hari)
18
21
Aktifitas lisosim serum ikan Nila pascavaksinasi. ( ) monovalen A. hydrophila ( ) Monovalen S. agalactiae ( bivalen sel utuh ( ) bivalen ECP ( ) bivalen sel utuh+ECP ( bivalen crude supernatan ( ) bivalen broth ( ) kontrol
) )
Pada masa induksi vaksin hari ketiga sampai hari kesembilan terlihat adanya peningkatan aktifitas lisosim yang menandakan bahwa ada reaksi respons imun dari ikan Nila terhadap vaksin monovalen dan bivalen yang diberikan secara injeksi. Perlakuan vaksin monovalen A. hydrophila, bivalen sel utuh, dan bivalen sel utuh+ECP memiliki rata-rata peningkatan aktifitas lisosim lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan vaksin lain dan kontrol yaitu 9; 10; 12 pada hari ke-3, 12; 8; 10 pada hari ke-6, dan 7; 7; 6 pada hari ke-9. Lisosim merupakan lisin yang berfungsi sebagai penghancur membran sel, biasanya terdapat dalam cairan mukus, serum, jaringan yang kaya kandungan leukositnya (ginjal anterior), dan bagian tubuh ikan yang rentan terhadap serangan mikroorganisme (kulit, insang, saluran pencernaan, anus). Lisosim merupakan enzim yang dapat menghidrolisis ikatan β (14) antara N-acetylmuramic acid dan N-acetylglucosamine yang merupakan konstituen penyusun lapisan peptidoglikan dinding sel bakteri.
78
Ikan memiliki lisosim yang berfungsi sebagai respons imun alami, yang mampu melisis bakteri Gram negatif dan Gram positif (Yano 1996). Lisosim berperan dalam opsonisasi yang merupakan kunci utama untuk respons inflamasi dengan adanya aktifasi sistem komplemen dan fagositisis. Pada saat proses inflamasi,
makrofag
dan
granulosit
polimorf
nuklear
memakan
dan
menghancurkan patogen target dibantu oleh kerja lisosim. 6
Aktifitas Komplemen Aktifitas komplemen dilihat dari kemampuan hemolisis terhadap RaRBC
(Rabbit Red Blood Cells). Kemampuan komplemen meningkat seiring dengan peningkatan pembentukan titer antibodi, hal ini dapat dilihat dari hasil analisis hemolisis komplemen pada minggu ketiga lebih tinggi dibandingkan rata-rata hemolisis komplemen pada minggu kedua dan minggu pertama setelah vaksinasi. Aktifitas komplemen perlakuan vaksin berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol yang hanya menggunakan PBS sebagai solusi uji (P<0,05). Kemampuan komplemen dalam melisis RaRBC oleh serum dari ikan yang divaksin monovalen A. hydrophila, S. agalactiae dan bivalen sel utuh lebih tinggi (pengenceran ke-2 dan ke-3) dibandingkan dengan serum dari perlakuan vaksin bivalen ECP, crude supernatan, broth, maupun kontrol, baik pada minggu ke-1, minggu ke-2, maupun minggu ke-3 (pengenceran ke-4). Kemampuan komplemen dalam melisis RaRBC meningkat pada minggu ke-2 dan ke-3 dengan rata-rata hemolisis 60-80% pada pengenceran ke-1 (Gambar 29). Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan komplemen akan meningkat pada hari ke 14 pascavaksinasi. Komplemen adalah komponen penting dari tanggapan kebal adaptif dan bawaan pada ikan. Komponen komplemen non-aktif akan diaktifkan dan diubah menjadi serine protease aktif akhirnya yang akan mendorong sel neutrofil dan makrofag untuk melakukan opsonisasi atau mengarahkan pembunuhan patogen melalui aktifitas peradangan. Sistem komplemen memegang peran penting di dalam respons tanggap kebal dan proses peradangan dengan menarik sel fagosit ke lokasi luka atau infeksi (Holland & Lambris 2002).
79
% Hemolisis
120 100 80 60 40 20 0
a
% Hemolisis
1x
2x 4x 8x 16x Aktifitas komplemen perlakuan vaksin minggu ke-1
32x
120 100 80 60 40 20 0
b
% Hemolisis
1x
2x 4x 8x 16x Aktifitas komplemen perlakuan vaksin minggu ke-2
32x
120 100 80 60 40 20 0
c
1x
2x
4x
8x
16x
32x
Aktifitas komplemen perlakuan vaksin minggu ke-3 Monovalen A. hydrophila Bivalen Sel utuh Bivalen Sel utuh+ECP Bivalen Broth
Monovalen S. agalactiae Bivalen ECP Bivalen Supernatan Kontrol
Gambar 29 Aktifitas komplemen serum ikan Nila pascavaksinasi dengan vaksin monovalen dan bivalen yang diinaktifasi menggunakan 3% bufer formalin. (a) minggu ke-1, (b) minggu ke-2, (c) minggu ke-3. Komplemen dapat diinisiasi melalui tiga jalur yaitu melalui jalur klasik (classical complement pathway atau CCP), jalur alternatif (alternate complement
80
pathway atau ACP), dan melalui jalur lektin (lectin complement pathway / LCP). Jalur klasik berasosiasi dengan imunitas dapatan yang dirangsang oleh aktifitas perlekatan permukaan antigen, membentuk ikatan antigen-antibodi komplek (Holland & Lambris 2002). 7
Titer Antibodi Titer antibodi ikan Nila (Gambar 30, 31, dan 32) dengan perlakuan vaksin
monovalen maupun bivalen menunjukkan perbedaan yang nyata dibanding dengan kontrol (P<0,05). Hasil pengamatan antar perlakuan vaksin maka diperoleh data yang menunjukkan perlakuan vaksin bivalen sediaan sel utuh serta gabungan sel utuh+ECP memiliki titer antibodi yang lebih tinggi, baik pada uji tantang dengan bakteri tunggal maupun bakteri gabungan (ko-infeksi) pada nilai 6, dan 5 (log 2) dibanding dengan bivalen (ECP, crude supernatan, dan broth). Hasil titer antibodi menunjukkan bahwa perlakuan vaksinasi monovalen ternyata lebih tinggi dalam membentuk respons imun dengan mencapai nilai 7 (log 2) untuk monovalen A. hydrophila dan nilai 5 (log 2) untuk monovalen S. agalactiae jika dibandingkan dengan vaksin bivalen semua sediaan ketika uji tantang dengan bakteri tunggal. Hasil titer antibodi terhadap uji tantang gabungan (ko-infeksi) menunjukkan nilai titer yang relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan proteksi vaksin bivalen. Rata-rata titer antibodi setiap perlakuan terjadi peningkatan pada minggu ke-2 pascavaksinasi, beberapa perlakuan puncak titer tertinggi diperoleh pada masa minggu ke-3 dan pada saat dilakukan uji tantang terlihat bahwa titer antibodi mengalami penurunan yang kemudian diikuti adanya peningkatan kembali pada masa pemulihan yaitu 2 minggu setelah uji tantang. Titer antibodi mencerminkan kemampuan tubuh ikan terhadap infeksi bakteri melalui respons imun spesifik. Semakin tinggi nilai titer maka diharapkan kemampuan perlindungan terhadap infeksi juga menjadi tinggi. Antibodi yang beredar dalam sirkulasi akan menetralisasi molekul antifagositik dan eksotoksin lainnya yang diproduksi bakteri.
Titer antibodi (log2)
81
8 7 6 5 4 3 2 1 0 0
1
2
3
masa induksi vaksin minggu ke -
4
5
masa uji tantang minggu ke-
Perlakuan vaksin (inaktifasi dengan 3% bufer formalin)
Titer antibodi (log2)
Gambar 30
Titer antibodi serum ikan Nila (O. niliticus) pascavaksinasi yang di tantang dengan bakterin A. hydrophila. ( ) monovalen A. hydrophila ( ) Monovalen S. agalactiae ( ) bivalen sel utuh ( ) bivalen ECP ( ) bivalen sel utuh+ECP ( ) bivalen crude supernatan ( ) bivalen broth ( ) kontrol
6 5 4 3 2 1 0 0
1
2
3
masa induksi vaksin minggu ke -
4
5
masa uji tantang minggu ke-
Perlakuan vaksin (inaktifasi dengan 3% bufer formalin)
Titer antibodi (log2)
Gambar 31
Titer antibodi serum ikan Nila (O. niliticus) pascavaksinasi yang di tantang dengan bakterin S. agalactiae. ( ) monovalen A. hydrophila ( ) Monovalen S. agalactiae ( ) bivalen sel utuh ( ) bivalen ECP ( ) bivalen sel utuh+ECP ( ) bivalen crude supernatan ( ) bivalen broth ( ) kontrol
5 4 3 2 1 0 0
1
2
masa induksi vaksin minggu ke -
3
4
5
masa uji tantang minggu ke-
Perlakuan vaksin (inaktifasi dengan 3% bufer formalin)
Gambar 32
Titer antibodi serum ikan Nila (O. niliticus) pascavaksinasi yang di tantang dengan gabungan bakterin A. hydrophila dan S. agalactiae. ( ) monovalen A. hydrophila ( ) Monovalen S. agalactiae ( ) bivalen sel utuh ( ) bivalen ECP ( ) bivalen sel utuh+ECP ( ) bivalen crude supernatan ( ) bivalen broth ( ) kontrol
82
Mekanisme netralisasi antibodi terhadap bakteri terjadi melalui dua cara. Pertama, melalui kombinasi antibodi di dekat lokasi biologi aktif infeksi yaitu secara langsung menghambat reaksi toksin dengan sel target. Kedua, melalui kombinasi antibodi yang terletak jauh dari lokasi biologi aktif infeksi yaitu dengan mengubah konformasi alosterik toksin agar tidak dapat bereaksi dengan sel target. Ikatan komplek bersama antara antibodi dan toksin tidak dapat berdifusi sehingga rawan terhadap fagositosis, terutama bila ukuran kompleks membesar karena deposisi komplemen pada permukaan bakteri akan semakin bertambah (Skinner 2009). Simpulan dan Saran Berdasarkan analisis hematologi dan imunologi serum ikan yang diberi perlakuan vaksin menunjukkan hasil bahwa : 1. Vaksinasi menggunakan vaksin monovalen dapat meningkatkan respons imun spesifik dan non spesifik lebih tinggi jika dibandingkan dengan vaksin bivalen untuk proteksi infeksi tunggal. 2. Vaksin bivalen sel utuh dan sel utuh+ECP memberikan respons imun spesifik maupun non spesifik terbaik terhadap perlakuan ko-infeksi jika dibandingkan dengan monovalen A. hydrophila maupun monovalen S. agalactiae. Vaksin yang memberikan respons imun terbaik adalah bivalen sel utuh+ECP dari gabungan bakterin A. hydrophila dan S. agalactiae. Respons imun ini digunakan sebagai acuan untuk melihat tingkat proteksi secara menyeluruh pada ikan Nila, pada tahap selanjutnya perlu dilakukan uji tantang dengan infeksi tunggal maupun ko-infeksi bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae untuk mengetahui efektifitas vaksin terhadap kelangsungan hidup ikan Nila.
83
EFIKASI VAKSIN BIVALEN TERHADAP PENYAKIT MOTILE AEROMONAS SEPTICEMIA DAN STREPTOCOCCOSIS PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus) Abstrak Peningkatan respons antibodi pascavaksinasi dengan antigen tunggal dan campuran dari bakterin Aeromonas hydrophila and Streptococcus agalactiae diharapkan dapat meningkatkan daya tahan ikan Nila (Oreochromis niloticus) terhadap penyakit Motile Aromonas Septicemia (MAS) dan Streptococcosis. Ikan divaksinasi melalui injeksi intraperitoneal 0,1 mL dengan sediaan vaksin monovalen dan bivalen (Sel utuh, produk ektraselular/ECP, crude supernatan, campuran sel utuh dan ECP, dan broth). Uji tantang dilakukan menggunakan dosis LD50 infeksi tunggal maupun ko-infeksi dari bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae. Efektifitas dan keampuhan vaksin tersebut dihitung berdasarkan nilai RPS (Relative Percent Survival) dan hasil deteksi respons hematologi. Vaksin bivalen campuran sel utuh+ECP merupakan sediaan vaksin bivalen terbaik dalam meningkatkan RPS dibandingkan dengan perlakuan sediaan vaksin monovalen maupun vaksin bivalen sediaan sel utuh, ECP, crude supernatan, broth. Nilai RPS vaksin bivalen campuran sel utuh dan ECP mencapai 100% untuk uji tantang dengan A. hydrophila, 86,2% untuk uji tantang dengan S. agalactiae, dan 56,7% untuk uji tantang ko-infeksi. Kata kunci : vaksin monovalen, vaksin bivalen, RPS Abstract The immune responsse to single and mixed antigens of A. hydrophila and S. agalactiae, the common bacterial pathogens associated with diseases in O. niloticus were evaluated for their efficacy in triggering survival responsses. Fish were vaccinated by using monovalent, bivalent vaccines (whole cell, Extracellular product/ECP, crude supernatant, mixed whole cell+ECP, and broth) and the efficacy of these vaccines were tested by using the challenge test with the detection of RPS (Relative Percent Survival) and by detecting the immune responsse of fish after challenge. An immune responsse was detected rose significantly (p<0.05) at 2th week after challenge in all the immunized groups. The results of fish vaccination showed that the bivalent vaccine (mixed whole cell+ECP) when used in Nile Tilapia through the injection route was of higher efficacy (RPS) respectively and it was effective against more than one type of bacteria. The value of relative per cent survival from bivalent vaccine mixed whole cell+ECP was 100% and 86.2% to single infections and 56.7% to coinfections, indicate that this vaccine was eficient in Nile tilapia. Keywords : monovalent vaccine, bivalent vaccine, RPS
84
Pendahuluan Perkembangan penanggulangan penyakit dalam budidaya ikan lebih cenderung memilih cara pencegahan dengan strategi vaksinasi yang dapat spesifik melindungi baik dari tipe patogen maupun spesies ikan. Menurut KEP.02-MENKKP-2007 untuk menjamin keamanan dan mutu produk perikanan maka produk perikanan harus bebas residu antibiotik, bebas logam berat, serta bebas dari bahan biologi dan bahan kimia yang dilarang. Penggunaan vaksin yang dikombinasikan dengan cara budidaya ikan yang baik (CBIB) dapat menjadi substansi pencegahan penyakit sehingga hasil produksi lebih dapat diprediksi. Penanggulangan penyakit Motile Aeromonas Septicemia (MAS) dan Streptoccoccosis akibat infeksi Aeromonas hydrophila dan Streptococcus agalactiae menggunakan vaksin monovalen telah banyak dilakukan, namun penggunaan vaksin bivalen untuk sekaligus melindungi ikan Nila dari serangan infeksi kedua jenis penyakit tersebut belum dilakukan. Vaksinasi ikan sudah menjadi protokol standar dalam kegiatan akuakultur. Program efisiensi vaksinasi dapat menurunkan frekuensi terjadinya suatu wabah penyakit dan dapat menurunkan penggunaan antibiotik untuk pengobatan. Keberadaan antibodi spesifik setelah dilakukan vaksinasi dapat diamati dengan metode konvensional menggunakan ikatan antigen-antibodi. Konsentrasi antibodi serum dapat memproteksi inang dari serangan infeksi bakteri, akan tetapi titer antibodi jika tidak didukung dengan respons imun lainnya tidak selalu berkorelasi positif terhadap ketahanan pada ikan. Banyak faktor imunologi yang akan mempengaruhi aktifitas biologi dalam pembentukan antibodi yang akan menstimulasi pembentukan respons non-spesifik sebagai efektor dan antibodi spesifik sebagai sel memori (Nikosleinan et al. 2007). Pembentukan vaksin bivalen akan dipengaruhi oleh banyak proses imunologi seperti reaksi silang antigen (cross-reaction antigenic), kompetisi antigen, waktu pematangan dan penghilangan sifat antigenik yang akan mempengaruhi efektifitas, kemampuan menghasilkan respons imun dan level antibodi. Penelitian ini bertujuan untuk melihat tingkat proteksi ikan Nila melalui tingkat kelangsungan hidupnya terhadap uji tantang dengan bakteri homolog dan
85
bakteri heterolog setelah dilakukan vaksinasi dengan vaksin monovalen dan vaksin bivalen, serta melihat respons imun ikan Nila terhadap kedua jenis bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae setelah uji tantang. Bahan dan Metode 1
Spesifik Respons dan Proteksi Vaksin Monovalen A. hydrophila dan S. agalactiae Kajian reaksi respons imun silang antar heterolog bakteri A. hydrophila
dan Streptococcus sp. perlu dilakukan untuk melihat kemampuan proteksi setiap vaksin monovalen yang diberikan pada ikan terhadap jenis bakteri lain penyebab MAS dan Streptococcosis. Aeromonas hydrophila dan S. agalactiae merupakan bakteri dari genus berbeda, jika dilihat dari gejala klinis yang tampak antara ikan yang terinfeksi S. agalactiae dan A. hydrophila memiliki karakter yang berbeda pada ikan Nila, diduga tingkat proteksi silang antar kedua jenis bakteri ini juga akan berbeda. Dosis vaksin monovalen vaksin A. hydrophila menggunakan dosis Sugiani et al. (2010), sedangkan dosis S. agalactiae menggunakan dosis yang dilakukan Pasnik et al. (2006). Setiap ikan disuntik vaksin secara intraperitoneal sebanyak 0,1 mL/ikan. Kombinasi komponen vaksin disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Perlakuan proteksi vaksin monovalen A. hydrophila dan S. agalactiae Perlakuan Ulangan Komponen vaksin Komponen uji tantang 1 1 A. hydrophila A. hydrophila 2 A. hydrophila S. agalactiae 3 A. hydrophila Ko-infeksi 2 1 S. agalactiae S. agalactiae 2 S. agalactiae A. hydrophila 3 S. agalactiae Ko-infeksi Ko-infeksi (A. hydrophila + S. agalactiae)
2
Proteksi Vaksin Bivalen Terhadap Infeksi Tunggal dan Ko-infeksi Bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae. Ikan Nila dibagi ke dalam 5 kelompok perlakuan vaksin bivalen (Tabel
10), dan 4 kelompok kontrol (Tabel 11) dengan 3 ulangan, di mana setiap ikan disuntik vaksin secara intra peritoneal sebanyak 0,1 mL/ikan. Ikan dipelihara
86
selama 21 hari setelah divaksin kemudian dilakukan uji tantang dengan dosis LD50 sebanyak 0,1 mL/ikan, ikan dipelihara kembali selama 14 hari. Data kematian ikan dicatat setiap hari selama waktu penelitian untuk menghitung kematian kumulatif, sedangkan gambaran darah dan patologi klinik darah diukur setiap 3 hari. Tabel 10 Perlakuan vaksin bivalen Perlakuan Ulangan Komponen vaksin Komponen uji tantang 1 1 Biv (su AH) : (su SA) A. hydrophila 2 Biv (su AH) : (su SA) S. agalactiae 3 Biv (su AH) : (su SA) Ko-infeksi 2 1 Biv (ECP AH) : (ECP SA) A. hydrophila 2 Biv (ECP AH) : (ECP SA) S. agalactiae 3 Biv (ECP AH) : (ECP SA) Ko-infeksi 3 1 Biv (su+ECP AH) : (su+ECP SA) A. hydrophila 2 Biv (su+ECP AH) : (su+ECP SA) S. agalactiae 3 Biv (su+ECP AH) : (su+ECP SA) Ko-infeksi 4 1 Biv (cS AH) : (cS SA) A. hydrophila 2 Biv (cS AH) : (cS SA) S. agalactiae 3 Biv (cS AH) : (cS SA) Ko-infeksi 5 1 Biv (br AH) : (br SH) A. hydrophila 2 Biv (br AH) : (br SH) S. agalactiae 3 Biv (br AH) : (br SH) Ko-infeksi Biv (bivalen), AH (Aeromonas hydrophila), SA (Streptococcus agalactiae), ECP (produk ekstraseluler), su (sel utuh), cS (crude supernatan), br (broth), ko-infeksi (A. hydrophila + S. agalactiae)
Tabel 11 Perlakuan kontrol Perlakuan Ulangan 1 1 2 3 2 1 2 3 3 1 2 3 4 1 2 3
Kontrol Kontrol TSB Kontrol TSB Kontrol TSB Kontrol BHI Kontrol BHI Kontrol BHI Kontrol Salin 0,845% Kontrol Salin 0,845% Kontrol Salin 0,845% Kontrol tanpa injeksi Kontrol tanpa injeksi Kontrol tanpa injeksi
TSB (trytic soy broth), BHI (brain heart infusion)
Komponen uji tantang A. hydrophila S. agalactiae Ko-infeksi A. hydrophila S. agalactiae Ko-infeksi A. hydrophila S. agalactiae Ko-infeksi A. hydrophila S. agalactiae Ko-infeksi
87
Ikan Nila diberi perlakuan vaksin gabungan hasil kultur terpisah bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae yang diinaktifasi menggunakan 3% bufer formalin dengan perbandingan volume sediaan vaksin 1:1 (v/v) (Silva et al. 2009). 3
Uji Tantang Uji tantang dilakukan terhadap 5 kelompok perlakuan vaksin bivalen, 2
kelompok perlakuan vaksin monovalen, dan 4 kelompok kontrol dengan melakukan uji tantang pada minggu ke-3 (Li et al. 2006). Kematian ikan diamati untuk melihat proteksi vaksin dengan menghitung Relative Percent Survival (RPS). Dosis bakteri untuk uji tantang menggunakan dosis dari hasil LD50 kedua jenis bakteri uji. LD50 A. hydrophila infeksi tunggal adalah 107 cfu/mL, LD50 S. agalactiae infeksi tunggal adalah 103 cfu/mL, sedangkan LD50 ko-infeksi A. hydrophila+S. agalactiae adalah dengan menggabungkan 50:50 A. hydrophila dalam TSA (24 jam) dengan S. agalactiae dalam BHIA (72 jam). Ikan diinjeksi secara intra peritoneal sebanyak 0,1 mL/ekor. Ikan yang mati diamati dan dicatat selama 14 hari perlakuan uji tantang. Hasil dan Pembahasan 1
Proteksi Vaksin Monovalen Gambar 33 menunjukkan rata-rata kematian harian ikan Nila yang
divaksin dengan vaksin monovalen
A. hydrophila dan diuji tantang dengan
bakteri A.hydrophila tingkat kematiannya rendah (10%), sedangkan yang diuji tantang dengan S. agalactiae dan ko-infeksi tingkat kematiannya tinggi (80% dan 90%). Pada perlakuan vaksin monovalen A. hydrophila terbukti hanya dapat memproteksi ikan dari uji tantang terhadap bakteri yang sama, tidak ada proteksi silang untuk bakteri S. agalactiae, hal ini terlihat dari kematian ikan yang tinggi setelah uji tantang dengan bakteri berbeda. Kematian harian perlakuan monovalen A. hydrophila yang diuji tantang dengan bakteri A. hydrophila berbeda nyata dengan kontrol (P<0,05). Kematian ikan terjadi mulai hari ke-2 sampai hari ke-14, dimana kematian rata-rata tertinggi kelompok ikan yang divaksin monovalen A.
88
hydrophila terjadi pada hari ke-4 sampai hari ke-7 pascauji tantang dengan bakteri A. hydrophila, S. agalactiae, dan ko-infeksi. Vaksin monovalen A. hydrophila terbentuk dari sediaan sel utuh, sehingga proteksinya relatif lebih spesifik untuk strain homolog dan tidak dapat memproteksi terhadap bakteri di luar kelompok strain A. hydrophila. Hasil ini sama dengan vaksin bakteri A. hydrophila yang dibuat oleh Shieh (1987), bahwa Atlantic salmon yang divaksinasi melalui injeksi intra muskular dengan vaksin sediaan ekstraselular protease dari A. hydrophila dapat melindungi dari uji tantang dengan bakteri yang homolog dan beberapa isolat bakteri yang heterolog dari A. hydrophila. Akan tetapi, tidak ada laporan mengenai kemampuan ekstraselular protease yang dihasilkan dari satu spesies untuk menimbulkan reaksi silang melawan spesies motil Aeromonad yang lainnya. 10 Kematian kumulatif harian (%)
9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
uji tantang (hari) Monovalen A. hydrophila uji A. hydrophila
Monovalen A. hydrophila uji S. agalactiae
Monovalen A. hydrophila uji ko-infeksi
Monovalen S. agalactiae uji A. hydrophila
Monovalen S. agalactiae uji S. agalactiae
Monovalen S.agalactiae uji ko-infeksi
Gambar 33 Kematian harian ikan Nila (O. niloticus) yang divaksin monovalen secara intraperitoneal dan diuji tantang selama 16 hari. Sama dengan kelompok ikan yang divaksin monovalen A. hydrophila, kelompok ikan yang divaksin dengan vaksin monovalen S. agalactiae juga hanya dapat memproteksi dari kelompok strain yang homolog, tidak menimbulkan
89
proteksi ketika diuji tantang dengan bakteri A. hydrophila. Rata-rata kematian ikan terjadi pada hari ke-4 sampai hari ke-8 pascauji tantang, dengan tingkat kematian 20% untuk kelompok ikan yang diuji tantang dengan bakteri S. agalactiae, kematian 60% untuk kelompok ikan yang diuji tantang dengan bakteri A. hydrophila, dan kematian 80% untuk kelompok ikan yang diuji tantang dengan ko-infeksi. 2
Proteksi Vaksin Bivalen Kematian ikan yang divaksin bivalen dengan sediaan sel utuh, ECP, crude
supernatan, gabungan sel utuh+ECP, maupun broth, relatif lebih tahan terhadap
kematian kumulatif harian (%)
uji tantang dengan bakteri tunggal maupun gabungan. a
6 5 4 3 2 1 0 1
2
3
4
5
6
7
8
10 11 12 13 14 15 16
uji tantang (hari) Bivalen Sel utuh Bivalen Sel utuh+ECP Bivalen Broth
kematian kumulatif harian (%)
9
Bivalen ECP Bivalen crude Supernatan
12
b
10 8 6 4 2 0 1
2
3
4
5
6
7
8 9 10 11 12 13 14 15 uji tantang (hari) Kontrol TSB Kontrol BHI Kontrol Salin 0,845% Kontrol tanpa injeksi
16
Gambar 34 Kematian harian ikan Nila (O. niloticus) setelah diuji tantang dengan bakteri A. hydrophila yang dipelihara selama 16 hari. (a) perlakuan vaksin bivalen, (b) kontrol.
90
Kematian ikan terjadi mulai hari ke-2 sampai hari ke-14. Kematian ratarata tertinggi terjadi pada 4-8 hari pascauji tantang dengan bakteri A. hydrophila
kematian kumulatif harian (%)
(Gambar 34), S. agalactiae (Gambar 35), dan ko-infeksi (Gambar 36). a
6 5 4 3 2 1 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18
kematian kumulatif harian (%)
uji tantang (hari) Bivalen Sel utuh Bivalen ECP Bivalen Sel utuh+ECP Bivalen Supernatan Bivalen Broth 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
b
1
2
3
4
5
6
7
8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 uji tantang (hari)
Kontrol TSB Kontrol Salin 0,845%
Kontrol BHI Kontrol tanpa injeksi
Gambar 35 Kematian harian ikan Nila (O. niloticus) setelah diuji tantang dengan bakteri S.agalactiae yang dipelihara selama 16 hari. (a) perlakuan vaksin bivalen, (b) kontrol. Kematian harian perlakuan vaksin bivalen berbeda nyata dengan kontrol (P<0,05), jika dibandingkan antar perlakuan vaksin bivalen maka perlakuan vaksin bivalen sediaan sel utuh dengan gabungan sel utuh dan ECP tidak berbeda nyata (P>0,05), dan berbeda nyata dengan perlakuan vaksin bivalen sediaan ECP, crude supernatan, dan broth (P<0,05).
91
Kelompok ikan yang divaksin dengan sediaan sel utuh dan sediaan sel utuh+ECP rata-rata tingkat kematian 0% setelah diuji tantang dengan bakteri A. hydrophila, 22-32% setelah diuji tantang dengan bakteri S. agalactiae, dan 43%
kematian kumulatif harian (%)
setelah diuji tantang dengan ko-infeksi. 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
a
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16
uji tantang (hari)
kematian kumulatif harian (%)
Bivalen Sel utuh Bivalen Sel utuh+ECP Bivalen Broth
Bivalen ECP Bivalen crude Supernatan
12 10
b
8 6 4 2 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
uji tantang (hari) Kontrol TSB
Kontrol BHI
Kontrol Salin 0,845%
Kontrol tanpa injeksi
Gambar 36 Kematian harian ikan Nila (O. niloticus) setelah diuji tantang dengan ko-infeksi bakteri A. hydrophila+S.agalactiae yang dipelihara selama 16 hari. (a) perlakuan vaksin bivalen, (b) kontrol. Sediaan sel utuh dan sel utuh+ECP merupakan sediaan vaksin yang dapat memberi kelangsungan hidup tertinggi jika dibandingkan dengan kelompok perlakuan vaksin bivalen ECP, crude supernatan, maupun broth.
92
8
Hematologi dan Respons Imun Ikan Nila Setelah Uji Tantang Vaksinasi aktif merupakan bentuk dari imunisasi aktif menggunakan
stimulasi antigen untuk meningkatkan respons imun alami dan respons imun perolehan (adaptif) dengan menghasilkan spesifik respons imun humoral dan imunitas antara cell-mediated immunity terhadap patogen dan antigen spesifik (Skinner 2009). Respons imun spesifik yang diamati dengan melihat titer antibodi, sedangkan respons imun non spesifik diamati dengan melihat perubahan pada kadar hematokrit, hemoglobin, indek fagositik, persentase fagosit, produksi radikal bebas respiratory burst, aktifitas lisosim dan komplemen. Hasil analisis beberapa parameter hematologi pada ikan Nila setelah vaksinasi dan uji tantang dengan bakteri homolog maupun heterolog menunjukkan adanya perubahan dalam kadar hematokrit, hemoglobin, indek fagositik, persentase fagosit, titer antibodi, nilai NBT (aktifitas respiratory burst), aktifitas lisosim dan komplemen. Rata-rata perlakuan vaksin monovalen dan bivalen berbeda nyata (P<0,05) dibandingkan dengan kontrol dalam respons imun spesifik maupun non spesifik. Tabel 12 Parameter hematologi dan respons imun efikasi vaksin monovalen dan bivalen setelah uji tantang dengan A. hydrophila Perlakuan
He (%)
Hb (g %)
IP
PP
Antibodi (log 2)
NBT
Lisosim (mm)
Komplemen
Mono. A. hydrophila
27±1,4
8±0,14
2,2±0,15
66±5,29
6
0,725±0,16
3±1,4
74,07±9,16
Mono. S. agalactiae
29±1,4
7,8±0,28
2±0,26
58±5,29
3
0,488±0,03
5±0,7
61,11±1,3
Biv. Sel utuh
27±2,1
7,4±0
1,9±0,25
56±4,16
4
0,538±0,13
4±1,4
59,26±5,23
Biv. ECP
30±0,7
7,4±0,13
2,4±0,17
48±2
4
0,353±0,06
2±0,7
92,59±3,9
Biv. Sel utuh + ECP
29±2,1
9±0,13
2,1±0,28
50±6,42
5
0,447±0,12
5±2,1
85,18±4,3
Biv. Crude Supernatan
26±1,4
7,4±0,14
2,1±0,26
52±7,07
4
0,273±0,08
5±0,7
98,15±2,4
Biv. Broth
28±1,4
7,6±0,28
1,6±0,28
42±4,16
3
0,397±0,09
6±2,1
92,59±4,6
Kontrol
26±2,1
8±0,14
2±0,26
54±5,29
3
0,269±0,11
3±1,4
103,71±7,8
Mono (monovalen), Biv (bivalen), He (hematokrit), Hb (hemoglobin), IP (indek fagositik), PP (persentase fagosit), NBT (Uji respiratory burst).
Kelompok perlakuan vaksin monovalen dan bivalen yang diuji tantang dengan bakteri A. hydrophila menunjukkan bahwa perlakuan sediaan vaksin monovalen A. hydrophila , dan sediaan sel utuh+ECP yang memberikan respons imun terbaik. Nilai titer antibodi yang merupakan parameter uji respons imun
93
spesifik menunjukkan bahwa sediaan vaksin ini terutama untuk monovalen A. hydrophila hanya mampu bereaksi terhadap bakteri homolog, sedangkan parameter respons imun non spesifik relatif sama antar perlakuan (Tabel 12). Tabel 13
Parameter hematologi dan respons imun efikasi vaksin monovalen dan bivalen setelah uji tantang dengan S.agalactiae He (%)
Hb (g %)
IP
PP
Antibodi (log 2)
NBT
Mono. A. hydrophila
26±1,4
8,8±0,56
2,5±0,22
78±3.46
2
Mono. S. agalactiae
22±1,4
8±0
2,3±0,15
80±3.65
Biv. Sel utuh
29±2,1
8±0,14
2,1±0,11
Biv. ECP
23±0,7
7,8±0,14
Biv. Sel utuh + ECP
24±2,1
8±0,70
Biv. Crude Supernatan
22±1,4
Biv. Broth Kontrol
Perlakuan
lisosim (mm)
komplemen
0,584±0,004
4±1,7
66,67±9,32
4
0,59±0,006
4±2,08
59,26±2,13
72±2.51
4
0,599±0,144
7±2,82
77,78±12,04
1,9±0,19
78±5.03
3
0,395±0,159
3±1,73
101,85±5,65
2,2±0,17
74±4.61
4
0,621±0,16
6±1,52
90,74±3,85
7±0,42
2±0,20
74±5.65
2
0,394±0,1
3±1,54
98,15±5,23
24±1,4
7,6±0,28
2,1±0,21
66±3.22
3
0,536±0,09
5±1,41
96,29±5,25
28±2,8
8±0,14
2,4±0,56
58±4.17
3
0,396±0,042
3±1,2
103,71±9,08
Mono (monovalen), Biv (bivalen), He (hematokrit), Hb (hemoglobin), IP (indek fagositik), PP (persentase fagosit), NBT (Uji respiratory burst).
Tabel 14
Parameter hematologi dan respons imun efikasi vaksin monovalen dan bivalen setelah uji tantang dengan ko-infeksi A. hydrophila dan S. agalactiae He (%)
Hb (g %)
IP
Mono. A. hydrophila
24±0,7
6,8±0,42
1,6±0,21
68±2,83
4
0,431±0,1
3±2,5
79,63±3,88
Mono. S. agalactiae
25±2,1
7,4±0,07
1,4±0,16
64±2,82
3
0,286±0,02
7±1,9
85,12±5,28
Biv. Sel utuh
22±2,8
7,5±1,6
1,4±0,15
60±4,24
4
0,318±0,02
9±2
92,59±7,85
Biv. ECP
26±1,4
9,8±0,63
1,2±1,14
54±5,65
2
0,303±0,09
5±2,5
103,7±5,24
Biv. Sel utuh + ECP
24±1,4
8,9±0,49
1,2±0,17
62±2,82
4
0,439±0,11
9±2,5
96,29±0,92
Biv. Crude Supernatan
22±1,4
9,6±1,41
1±0,21
58±7,07
3
0,285±0,02
6±1,5
101,85±7,84
Biv. Broth
24±2,8
7,6±0,07
1,1±0,20
48±1,42
4
0,318±0,05
3±1,4
90,75±1,82
Kontrol
28±0,7
7,5±0,49
1,4±0,15
46±3,22
3
0,398±0,07
5±1,7
103,71±4,53
Perlakuan
PP
Antibodi (log 2)
NBT
lisosim (mm)
komplemen
Mono (monovalen), Biv (bivalen), He (hematokrit), Hb (hemoglobin), IP (indek fagositik), PP (persentase fagosit), NBT (Uji respiratory burst).
Kelompok perlakuan vaksin monovalen dan bivalen yang diuji tantang dengan bakteri S. agalactiae menunjukkan bahwa perlakuan sediaan vaksin monovalen S. agalactiae, sel utuh, dan sediaan sel utuh+ECP sama-sama memberikan respons imun terbaik. Nilai titer sediaan vaksin ini terutama untuk monovalen S. agalactiae hanya mampu bereaksi terhadap bakteri homolog. Nilai titer yang relatif lebih rendah jika dibanding dengan kelompok vaksin yang diuji
94
tantang dengan A. hydrophila diduga karena tingkat proteksi sediaan vaksin bivalen rendah terhadap respons infeksi S. agalactiae, sedangkan untuk parameter respons imun non spesifik relatif sama antar perlakuan (Tabel 13). Kelompok perlakuan vaksin monovalen dan bivalen yang diuji tantang dengan bakteri ko-infeksi A. hydrophila dan S. agalactiae menunjukkan bahwa perlakuan sediaan vaksin monovalen A. hydrophila dan S. agalactiae, bivalen sediaan sel utuh, sel utuh+ECP dan broth sama-sama memberikan respons imun terbaik. Kelompok perlakuan vaksin bivalen maupun monovalen dapat meningkatkan respons imun non spesifik dengan nilai rata-rata kenaikan yang hampir
sama,
namun
berbeda
nyata
(P<0,05)
dalam
kemampuannya
meningkatkan respons imun spesifik (Tabel 14). Pemberian vaksin monovalen dan bivalen dapat mempengaruhi respons imun, diduga dengan adanya antibodi akan menginisiasi aksi berantai komplemen sehingga lisozim serum dapat masuk ke dalam lapisan peptidoglikan bakteri dan menyebabkan kematian sel. Aktivasi komplemen melalui penggabungan dengan antibodi dan bakteri juga menghasilkan anfilaktoksin C3a dan C5a yang berujung pada transudasi luas dari komponen serum, termasuk antibodi yang lebih banyak, dan juga faktor kemotaktik terhadap neutrofil untuk membantu fagositosis (Skinner 2009). Aeromonas hydrophila dan S. agalactiae merupakan tipe bakteri ekstraselular (Burke et al. 1981; Romalde & Toranzo 2002). Smith (1977) menerangkan bahwa respons imun terhadap bakteri ekstraseluler bertujuan untuk menetralkan efek toksin dan mengeliminasi bakteri. Respons imun alamiah terutama melalui fagositosis oleh neutrofil, monosit serta makrofag jaringan. Lipopolisakarida dalam dinding bakteri Gram negatif dapat mengaktivasi komplemen jalur alternatif tanpa adanya antibodi. Hasil aktifasi ini adalah komplemen (C3b) yang mempunyai efek opsonisasi, lisis bakteri melalui serangan komplek membran dan respons inflamasi akibat pengumpulan serta aktifasi leukosit. Endotoksin juga merangsang makrofag dan sel lain seperti endotel vaskular untuk memproduksi sitokin seperti interleukin (IL-1, IL-6 dan IL-8).
95
Hampir semua vaksin memiliki potensi untuk dibuat dalam bentuk bivalen dan polivalen (vaksin dengan kandungan beberapa antigen; bakteri dan virus). Vaksin polivalen dapat melindungi individu ikan terhadap penyakit utama yang mungkin akan menyerang pada saat proses produksi budidaya sampai ukuran siap panen, serta dapat menghindari kebutuhan akan vaksinasi ulang (Berg et al. 2006). Anbarasu et al. (1998) menemukan bahwa vaksin A. hydrophila yang diinaktifasi menggunakan bufer formalin lebih baik dibanding dengan vaksin yang diinaktifasi dengan pemanasan, terutama ketika bakterin akan diaplikasikan melalui suntik dan disatukan dengan adjuvan. Akan tetapi, sonikasi sel untuk vaksin menghasilkan respons antibodi yang terbaik. Sonikasi akan memecah sel dan memungkinkan diperolehnya
antigen somatik (lipopolisakarid bakteri).
Tanpa memperhatikan apakah vaksin berbentuk sel utuh, freeze-thawed sel, atau sel hasil sonikasi, Thune dan Plumb (1982) menyatakan bahwa pemberian vaksin A. hydrophila melalui suntik akan memberikan hasil yang lebih baik dalam membentuk respons humoral antibodi dibanding dengan pemberian vaksin melalui rendam atau semprot. Tabel 15
Tingkat RPS ikan Nila yang divaksin monovalen dan bivalen A. hydrophila dan S. agalactiae Relative Percent Survival (RPS) setelah diuji tantang Perlakuan
A. hydrophila
S. agalactiae
Ko-infeksi A. hydrophila+S. agalactiae
Monovalen A. hydrophila 89,2b 17,2e 2,7d Monovalen S. agalactiae 35,1e 72,4b 13,5c Bivalen Sel utuh 100a 72,4b 56,7a d d Bivalen ECP 45,9 31 24,3b Bivalen Sel utuh+ECP 100a 86,2a 56,7a Bivalen crude Supernatan 45,9d 31d 2,7d Bivalen Broth 67,6c 44,8c 24,3b Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf uji P>0,05.
Berdasarkan Tabel 15, nilai RPS yang tinggi pada perlakuan vaksin sel utuh dan bivalen sel utuh+ECP didukung oleh hasil pengamatan karakter protein penyusun sediaan vaksin pada tahap penelitian sebelumnya. Hasil SDS-PAGE dari
96
sediaan vaksin tersebut memiliki karakter protein lebih banyak jika dibandingkan dengan sediaan vaksin ECP, crude supernatan, dan broth. Karakter protein akan mempengaruhi tingkat imunogenisitas dari sediaan vaksin. Stuart (1999) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi imunogenisitas yaitu : (1) harus dikenali sebagai sel asing dengan memiliki derajat perbedaan genetik antara antigen dan sel inang, (2) kandungan berat molekul yang imunogenik harus >6.000 dalton, berat molekul <1.000 dalton tidak imunogenik, berat molekul 1.000-6.000 dalton tingkat imunogeniknya bervariasi, (3) memiliki kompleksitas kimia penyusun, komponen sederhana walaupun memiliki berat molekul tinggi bersifat tidak imunogenik. Protein memiliki sifat imunogenik yang tinggi, karbohidrat atau polisakarida sifat imunogeniknya rendah, lemak tidak memiliki sifat imunogenik, asam nukleat tunggal memiliki tingkat imunogenik yang rendah namun apabila asam nukleat dikonjugasikan dengan protein maka akan menjadi imunogenik. Busch (1997) menjelaskan bahwa ada proteksi silang antar antigen (keberadaan satu antigen dapat memberikan proteksi terhadap antigen yang berbeda, bahkan terhadap antigen yang tidak memiliki keterkaitan), kompetisi antigenik (keberadaan satu antigen mempengaruhi atau menekan aktifitas antigen lain), dan terjadi imunodominansi antar antigen (setiap sub unit antigen determinan terlibat dalam proses pengikatan atau reaksi dengan antibodi) semua faktor tersebut dapat mempengaruhi spesifitas, aviditas, dan tingkat produksi antibodi spesifik (Abs). Nilai RPS ikan Nila pascauji tantang menunjukkan hasil yang beragam (Tabel 15). Perlakuan vaksin monovalen berbeda nyata dengan perlakuan vaksin bivalen dan keduanya juga berbeda nyata dengan kontrol (P<0,05). Nilai RPS tertinggi (100) didapat dari perlakuan vaksin bivalen sel utuh serta gabungan bivalen sel utuh dan ECP yang diuji tantang oleh bakteri tunggal A. hydrophila. Nilai RPS terkecil (2,7) didapat dari perlakuan vaksin bivalen crude supernatan yang diuji dengan bakteri ko-infeksi. Akan tetapi, jika diamati nilai RPS pada perlakuan uji tantang dengan bakteri ko-infeksi secara keseluruhan maka sediaan vaksin bivalen sel utuh serta gabungan bivalen sel utuh dan ECP yang memiliki
97
nilai sama (56,7). Penghitungan nilai RPS diperoleh dengan menghitung kematian ikan dan dimasukkan ke dalam rumus yang dibuat oleh Ellis (1988), rincian perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 13. Nilai RPS yang relatif rendah tersebut dari perlakuan vaksin bivalen terhadap ko-infeksi A. hydrophila dan S. agalactiae menunjukkan bahwa vaksin tersebut kurang protektif terhadap penyakit MAS dan Streptococcosis jika terjadi infeksi secara bersamaan. Sediaan vaksin bivalen yang paling memberikan level proteksi tertinggi adalah vaksin bivalen gabungan sel utuh A. hydrophila+S. agalactiae dan ECP A. hydrophila+S. agalactiae, apabila infeksi yang terjadi merupakan infeksi tunggal. Vaksin monovalen yang hanya dapat memproteksi dari serangan penyakit yang sama dan tidak dapat memproteksi dari infeksi silang maupun infeksi gabungan
(ko-infeksi).
Vaksin
monovalen
A.
hydrophila
hanya
dapat
memproteksi dari infeksi MAS, dan vaksin monovalen S. agalactiae hanya dapat memproteksi dari infeksi Streptococcosis. Vaksin bivalen memiliki proteksi yang rendah terhadap infeksi S. agalactiae, hal ini diduga karena bakteri Streptococcus merupakan bakteri ekstraseluler yang biasanya mudah dihancurkan oleh sel fagosit, namun pada keadaan tertentu bakteri ekstraseluler tidak dapat dihancurkan oleh sel fagosit karena adanya sintesis kapsul antifagosit, yaitu kapsul luar (outer capsule) yang mengakibatkan adhesi yang tidak baik antara sel fagosit dengan bakteri. Selain itu, kapsul tersebut melindungi molekul karbohidrat pada permukaan bakteri yang seharusnya dapat dikenali oleh reseptor fagosit. Fungsi kapsul ini untuk menghambat akses fagosit dan deposisi C3b pada dinding sel bakteri, sehingga respons imun terhadap infeksi dan pembentukan respons imun spesifik yang diperantarai sel-sel limfosit juga menjadi terhambat (Samen et al. 2004). Giordano et al. (2010) melakukan vaksinasi ikan Nila dengan inaktifasi bakteri S. agalactiae sel utuh (formalin killed) dengan dosis 2,0x108 cfu/mL menghasilkan RPS sebesar 83,6% setelah ditantang dengan bakteri S. agalactiae 3,0x107 cfu/mL pada 30 hari setelah vaksinasi. Hal ini membuktikan bahwa
98
vaksin inaktif S. agalactiae dapat memproteksi ikan Nila yang terinfeksi bakteri S. agalactiae homolog. Nilai proteksi vaksin bivalen yang terpresentasikan dengan kelangsungan hidup setelah uji tantang dari sediaan sel utuh maupun sediaan sel utuh+ECP memiliki nilai RPS lebih tinggi dibandingkan dengan vaksin bivalen sediaan crude supernatan, broth, dan ECP, hal ini diduga bahwa kandungan formaldehid dari bahan inaktifasi bufer formalin yang digunakan untuk menginaktifkan bakteri dan toxin bakteri mempengaruhi kemampuan proteksi respons imun ikan terhadap antigen. Secara umum inaktifasi formaldehid dalam pembuatan vaksin telah terbuki dapat meningkatkan proteksi respons antibodi, akan tetapi formaldehid juga dapat berpengaruh terhadap pengenalan antigen oleh sel-T. Pengenalan sel-T terhadap antigen sebagai ikatan peptida akan membentuk molekul major hystocompability complex (MHC), formaldehid dapat mempengaruhi presentasi antigen dengan cara interfensi pada saat degradasi proteolitik menjadi peptida membentuk ikatan peptida jadi MHC atau pengenalan reseptor
sel-T terhadap peptida-MHC
komplek (Tommaso et al. 1994). Tingkat proteksi berupa respons imun maupun kelangsungan hidup pascauji tantang terhadap ikan Nila yang diberi perlakuan vaksin akan terbentuk secara optimal jika didukung dengan kondisi lingkungan perairan yang sesuai untuk pertumbuhan ikan Nila. Tabel 16 Kisaran Hasil Pengukuran Kualitas Air Selama Penelitian Parameter Temperatur pH TAN Oksigen terlarut
Kisaran 24 - 26,5 6,5 - 7 0,016 - 0,69 6-8
Satuan °C ppm mg/L
Pemeliharaan ikan dilakukan pada bak terkontrol, di mana pergantian air dilakukan setiap 2 hari sekali sebanyak 50% dari total volume. Nilai parameter kualitas air media pemeliharaan selama penelitian berada pada kisaran yang sesuai untuk pemeliharaan ikan Nila (Tabel 16). Hal ini menunjukkan bahwa hasil
99
penelitian yang diperoleh disebabkan adanya perbedaan perlakuan dan bukan merupakan pengaruh dari kualitas air. Simpulan dan Saran Vaksin dalam bentuk bivalen gabungan sel utuh+ECP lebih mampu memproteksi ikan Nila terhadap infeksi tunggal A. hydrophila (RPS 100%), infeksi tunggal S. agalactiae (RPS 86,2%), dan ko-infeksi (RPS 56,7%) daripada vaksin monovalen. Komposisi sediaan vaksin bivalen yang telah diteliti sebenarnya memiliki kemampuan dalam meningkatkan respons imun, hanya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dalam penyusunan komposisi berbeda dari sediaan vaksin bivalen, sehingga level proteksi yang dihasilkan terhadap infeksi tunggal maupun koinfeksi dari kedua jenis bakteri dapat meningkat.
100
PEMBAHASAN UMUM Kasus kematian ikan akibat infeksi bakteri Aeromonas hydrophila dan Streptococcus sp. menjadi penghambat keberhasilan produksi budidaya ikan Nila (Oreochromis niloticus) di Indonesia. Hasil isolasi bakteri pada organ ginjal, otak, dan luka menunjukkan keberadaan A. hydrophila sebesar 100% dan ko-infeksi Streptococcus sp. sebesar 20% pada budidaya ikan Nila di Karamba Jaring Apung (KJA) Waduk Cirata. Gejala klinis ikan yang terinfeksi MAS dan Streptococcosis menunjukkan adanya eksoptalmi, warna tubuh gelap, bola mata menonjol dan berwarna putih (opaque), perut gembung apabila dibedah terdapat cairan berwarna bening pada rongga perut (asites), perdarahan (hemorrhage), sirip gripis dan pangkal sirip berwarna pucat, ginjal dan hati berwarna pucat, serta saluran intestin kosong. Hasil pengamatan histopatologi organ otak menunjukkan suatu kongesti dan perdarahan (hemorrhage), terdapat suatu infiltrasi limfosit diantara tubuli ginjal dan ada sel yang nekrosis sehingga membentuk deformasi sel, terdapat melano macrofage centre (MMC) pada organ limpa yang bersifat multifokal. Bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae dapat tumbuh bersinergi pada media agar maupun media cair. Karakter pertumbuhan bakteri yang bersinergi diduga bahwa kedua jenis bakteri tidak memiliki enzim yang dapat menghambat pertumbuhan satu sama lain dan tidak saling berkompetisi dalam pemanfaatan media untuk tumbuh. Perlakuan ko-infeksi A. hydrophila dan S. agalactiae pada ikan Nila dengan perbandingan komposisi cfu/mL bakteri yang berbeda menunjukkan adanya penurunan jumlah hemosit darah dan peningkatan plasma darah pada setiap perlakuan, jika dibandingkan dengan kontrol terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05), namun tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan perlakuan infeksi tunggal A. hydrophila dan infeksi tunggal S. agalactiae. Jumlah monosit, neutrofil, dan limfosit mengalami fluktuasi membentuk suatu homeostasi total leukosit dengan rata-rata terlihat adanya peningkatan jumlah limfosit dan monosit serta adanya penurunan jumlah neutrofil jika dibandingkan dengan kontrol.
101
Fluktuasi homeostasis tersebut menunjukkan adanya aktifitas pertahanan non spesifik dari ikan Nila berupa peningkatan monosit darah yang berfungsi sebagai sel fagosit (makrofag) yang akan memfagositosis antigen bakteri dalam tubuh ikan. Peningkatan jumlah limfosit menunjukkan bahwa ada aktifitas pertahanan selular spesifik yang memungkinkan adanya pembentukan antibodi atau memori pada ikan yang dapat bertahan dari serangan ko-infeksi A. hydrophila dan S. agalactiae. Nilai indeks fagositik yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol pada setiap perlakuan menunjukkan adanya peningkatan kemampuan aktifitas fagositik dari ikan terhadap adanya serangan infeksi bakteri. Hasil ko-infeksi menyebabkan kematian bervariasi antara 33-50% dengan waktu inkubasi 2-12 hari. Infeksi tunggal bakteri A. hydrophila maupun bakteri S. agalactiae lebih mematikan daripada ko-infeksi dengan tingkat kematian 13-80%. Kematian ikan yang terjadi setelah diinfeksi dengan A. hydrophila menunjukkan kematian lebih cepat yaitu jam ke-6 pascainjeksi dengan jumlah kematian mencapai 100%. Kematian ikan yang cepat disebabkan karena adanya toksin mematikan (lethal toxic) dari produk ekstraselular bakteri A. hydrophila yang menjadi salah satu faktor virulensi dari jenis bakterin tersebut. Nilai LD50 koinfeksi diperoleh dari campuran 50:50 bakteri A. hydrophila dalam TSA (24 jam) dengan S. agalactiae dalam BHIA (72 jam). Infeksi Streptococcosis bersifat sub-akut dengan rata-rata kematian terjadi 3-8 hari pascainfeksi. Infeksi MAS bersifat akut dan kronis, kematian akut terjadi 1-3 hari pascainfeksi dan kematian kronis terjadi >8 hari pascainfeksi dengan jumlah kematian ikan antara 20-100%. Jenis antibiotik yang dapat menanggulangi jenis bakteri A. hydrophila adalah Tetrasiklin dan Kloramfenikol, sedangkan untuk menanggulangi S. agalactiae adalah Eritromisin, Novobiosin, Klindamisin, Sefalotin, Tetrasiklin, Kloramfenikol, Metisilin, dan Ampisilin. Kejadian ko-infeksi dari kedua jenis bakteri yaitu A. hydrophila dan S. agalactiae hanya dapat ditanggulangi dengan menggunakan antibiotik Tetrasiklin dan Kloramfenikol. Kedua jenis bakteri penyebab MAS dan Streptococcosis sebenarnya masih dapat ditanggulangi dengan perlakuan antibiotik, akan tetapi dilihat dari hasil uji
102
bahwa antibiotik yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri adalah dari jenis antibiotik yang sudah dilarang penggunaannya dan masuk dalam kriteria obat keras menurut Komisi Obat Indonesia (KOI), maka perlu dilakukan upaya pencegahan melalui imunostimulasi menggunakan imunostimulan maupun vaksin. Pembuatan vaksin bivalen dimulai dengan menginokulasi bakteri A. hydrophila dalam media BHI, diinkubasi dalam inkubator dengan shaker selama 24 jam pada suhu 28 oC. Bakteri S. agalactiae diinokulasi dalam media TSB, diinkubasi dalam inkubator dengan shaker selama 72 jam pada suhu 28 oC. Kultur bakteri diinaktifasi dengan menambahkan bufer formalin sebanyak 3% v/v (NBF atau neutral buffer formalin 10% ; dibuat dengan mencampurkan 0,4 g NaH2PO4+0,65 g Na2HPO4+10 mL formaldehid 37%+90 mL akuades steril) kemudian diaduk menggunakan magnet pengaduk selama 4 jam. Sel utuh bakteri in-aktif diperoleh dengan mensentrifus pada 3.000 g selama 30 menit dengan suhu 4
o
C, pelet (endapan) sel dipisahkan dari supernatan, kemudian pelet sel
diresuspensi dengan salin (NaCl 0,845%, pH 7). Produk ekstraselular (ECP) A. hydrophila diperoleh dengan menyaring supernatan hasil sentrifus menggunakan filter steril 0,45 μm, dan ECP S. agalactiae menggunakan filter steril 0,22 μm. Sediaan vaksin hasil inaktifasi disimpan pada suhu 4 oC. Sediaan vaksin bivalen diperoleh dengan mencampurkan sediaan A. hydrophila dengan sediaan S. agalactiae 1:1 v/v. Sediaan vaksin bivalen (sel utuh, produk ekstraselular/ECP, gabungan sel utuh+ECP, crude supernatan, broth) yang diinaktifasi dengan bufer formalin 3% aman dan steril untuk digunakan. Berat protein sediaan vaksin A. hydrophila dari jenis sediaan sel utuh adalah 0,43 dan 0,53 mg/mL, sediaan ECP 1,93 mg/mL, sediaan crude supernatan 1,99 mg/mL, serta sediaan broth 2,12 mg/mL. Pita protein untuk sediaan sel utuh A. hydrophila terdapat 14 pita yaitu 119,57; 94,39; 82,76; 72,57; 58,81; 45,22; 40,71; 32,99; 26,73; 22,83; 19,00; 17,10; 15,00; dan 12,81 kDa. Sediaan ECP terdapat 2 pita yaitu 55,80 dan 17,10 kDa. Sediaan crude supernatan terdapat 3 pita yaitu 94,39; 55,80 dan 17,10 kDa. Sediaan broth terdapat 7 pita yaitu 136,36; 119,57; 87,23; 55,80; 25,36; 19,00; dan 14,61 kDa.
103
Pita protein untuk sediaan sel utuh S. agalactiae terdapat 10 pita yaitu 111,86; 83,42; 79,09; 58,98; 54,45; 43,99; 23,20; 18,74; 17,77; dan 15,97 kDa. Sediaan ECP terdapat 2 pita yaitu 83,42 dan 21,99 kDa.
Sediaan crude supernatan
terdapat 3 pita yaitu 83,42; 58,98; dan 21,99 kDa. Sediaan broth terdapat 4 pita yaitu 111,86; 79,09; 23,20; dan 18,74 kDa. Hasil dari karakterisasi protein A. hydrophila menggunakan SDS-PAGE menunjukkan bahwa jumlah pita protein terbanyak berturut-turut terdapat pada sel utuh, broth, crude supernatan, dan ECP. Hematologi dan respons imun dari dua kelompok perlakuan vaksin monovalen dan bivalen memiliki kadar hemoglobin yang berkisar antara 7-11 g dengan rata-rata peningkatan (P<0,05) kadar hemoglobin terjadi pada hari ke-3 sampai hari ke-6 setelah vaksinasi. Nilai hematokrit tertinggi pada level 37 perlakuan vaksin monovalen S. agalactiae, sedangkan hematokrit terendah pada perlakuan vaksin bivalen broth di level 17. Perlakuan vaksin monovalen A. hydrophila, bivalen sel utuh dan bivalen sel utuh+ECP memiliki kemampuan fagositosis lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan vaksin lain dan kontrol (P<0,05). Aktifitas fagositosis dapat terjadi apabila ada reaktif oksigen yang bekerja sendiri maupun bersama-sama dengan enzim lisosim dalam membunuh bakteri sebagai sel asing. Hasil analisis persen fagositosis dan indek fagosit dari perlakuan vaksin monovalen dan bivalen menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibanding dengan kontrol, mengindikasikan bahwa pemberian vaksin dapat meningkatkan kemampuan bakterisidal serum ikan terhadap invasi antigen. Nilai NBT pada awal perlakuan berkisar antara 0,261-0,315, peningkatan produksi oksigen radikal terjadi rata-rata pada pengamatan hari ke-6, ke-9, dan ke12 setelah vaksinasi. Neutrofil dan sel fagositik yang teraktifasi dapat menghasilkan absorbans 20-30% lebih tinggi, yang menunjukkan produksi oksigen radikal yang lebih tinggi untuk pertahanan terhadap penyakit. Sediaan vaksin bivalen merupakan formula vaksin yang menggunakan bakterin dari bakteri Gram yang berbeda A. hydrophila (Gram negatif)
dan S. agalactiae
(Gram positif) dari sel dan hasil metabolitnya tidak menimbulkan pengaruh imunosupresi yang biasanya ditandai dengan penurunan nilai NBT (penurunan aktifitas respiratory burst).
104
Perlakuan injeksi vaksin monovalen atau bivalen diharapkan dapat memicu sistem imun untuk bersinergi dalam meningkatkan aktifitas lisosim, dan titer antibodi terhadap antigen spesifik. Aktifitas lisosim dideteksi dari serum ikan dengan perlakuan vaksin monovalen, bivalen, dan tanpa vaksin. Aktifitas lisosim sebelum perlakuan berkisar antara 3-5 mm. Kemampuan aktifitas lisosim meningkat pada hari ke-3 sampai hari ke-6 setelah pemberian vaksin, dan mengalami fluktuasi sesudahnya. Hasil analisis perlakuan vaksin bivalen sel utuh, bivalen sel utuh+ECP dan monovalen A. hydrophila berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan vaksin monovalen dan bivalen lainnya dan berbeda nyata juga dengan perlakuan kontrol (P<0,05). Kemampuan konsumsi komplemen dalam melisis RaRBC oleh serum dari ikan yang divaksin monovalen A. hydrophila, S. agalactiae dan bivalen sel utuh lebih tinggi (pengenceran ke-2 dan ke-3) dibandingkan dengan serum dari perlakuan vaksin bivalen ECP, crude supernatan, broth, maupun kontrol, baik pada minggu ke-1, minggu ke-2, maupun minggu ke-3 (pengenceran ke-4). Kemampuan komplemen dalam melisis RaRBC meningkat pada minggu ke-2 dan ke-3 dengan rata-rata hemolisis 60-80% pada pengenceran ke-1, menunjukkan bahwa kemampuan komplemen akan meningkat pada hari ke-14 pascavaksinasi. Titer antibodi ikan Nila dengan perlakuan vaksin monovalen maupun bivalen menunjukkan perbedaan yang nyata dibanding dengan kontrol (P<0,05). Perlakuan vaksin bivalen sediaan sel utuh serta gabungan sel utuh+ECP memiliki titer antibodi yang lebih tinggi, baik pada uji tantang dengan bakteri tunggal maupun bakteri gabungan (ko-infeksi) pada nilai 6 (log 2), dan 5 (log 2) dibanding dengan bivalen (ECP, crude supernatan, dan broth). Kelompok perlakuan vaksin monovalen dan bivalen yang diuji tantang dengan bakteri tunggal A. hydrophila, bakteri tunggal S. agalactiae, dan koinfeksi A. hydrophila+S. agalactiae menunjukkan bahwa perlakuan sediaan vaksin monovalen S. agalactiae dan A. hydrophila, bivalen sediaan sel utuh, sel utuh+ECP dan broth sama-sama memberikan respons imun non spesifik terbaik. Kelompok perlakuan vaksin bivalen maupun monovalen dapat meningkatkan respons imun non spesifik dengan nilai rata-rata kenaikan yang hampir sama,
105
namun berbeda nyata dalam kemampuannya meningkatkan respons imun spesifik (P<0,05). Nilai titer antibodi yang merupakan parameter uji respons imun spesifik menunjukkan bahwa sediaan vaksin ini terutama untuk monovalen A. hydrophila dan monovalen S. agalactiae hanya mampu bereaksi terhadap bakteri homolog. Rata-rata kematian harian ikan Nila yang divaksin dengan vaksin monovalen A. hydrophila dan diuji tantang dengan bakteri A.hydrophila tingkat kematiannya rendah (10%), sedangkan yang diuji tantang dengan S. agalactiae dan ko-infeksi tingkat kematiannya tinggi (80% dan 90%). Kematian harian perlakuan monovalen A. hydrophila yang diuji tantang dengan bakteri A. hydrophila berbeda nyata dengan kontrol (P<0,05). Kematian rata-rata tertinggi kelompok ikan yang divaksin monovalen S. agalactiae terjadi pada 4-7 hari pascauji tantang dengan bakteri A. hydrophila, S. agalactiae dan ko-infeksi. Ratarata kematian ikan terjadi pada 4-8 hari pascauji tantang, dengan tingkat kematian 20% untuk kelompok ikan yang diuji tantang dengan bakteri S. agalactiae, kematian 60% untuk kelompok ikan yang diuji tantang dengan bakteri A. hydrophila, dan kematian 80% untuk kelompok ikan yang diuji tantang dengan ko-infeksi. Perlakuan vaksin monovalen A. hydrophila maupun monovalen S. agalactiae terbukti hanya dapat memproteksi ikan dari uji tantang terhadap bakteri yang sama, tidak ada proteksi silang untuk bakteri lainnya, hal ini terlihat dari kematian ikan yang tinggi setelah uji tantang dengan bakteri berbeda. Kematian ikan yang divaksin bivalen dengan sediaan sel utuh, ECP, gabungan sel utuh+ECP, crude supernatan, maupun broth, relatif lebih tahan terhadap uji tantang dengan bakteri tunggal maupun ko-infeksi. Kematian harian perlakuan vaksin bivalen berbeda nyata dengan kontrol (P<0,05). Jika dibandingkan antar perlakuan vaksin bivalen maka perlakuan vaksin bivalen sediaan sel utuh dengan gabungan sel utuh+ECP tidak berbeda nyata (P>0,05) namun berbeda nyata dengan perlakuan vaksin bivalen sediaan ECP, crude supernatan, dan broth (P<0,05). Kematian rata-rata tertinggi terjadi pada 4-8 hari pascauji tantang dengan bakteri A. hydrophila, S. agalactiae dan ko-infeksi. Busch (1997) menjelaskan bahwa ada proteksi silang antar antigen (keberadaan satu antigen dapat memberikan proteksi terhadap antigen yang
106
berbeda, bahkan terhadap antigen yang tidak memiliki keterkaitan), kompetisi antigenik (keberadaan satu antigen mempengaruhi atau menekan aktifitas antigen lain), dan terjadi imunodominansi antar antigen (setiap sub unit antigen determinan terlibat dalam proses pengikatan atau reaksi dengan antibodi) semua faktor tersebut dapat mempengaruhi spesifitas, aviditas, dan tingkat produksi antibodi spesifik (Abs). Hasil analisis beberapa parameter hematologi pada ikan Nila setelah vaksinasi dan uji tantang dengan bakteri tunggal maupun ko-infeksi menunjukkan adanya perubahan dalam kadar hematokrit, hemoglobin, indeks fagositik, persentase fagosit, titer antibodi, nilai NBT (aktifitas respiratory burst), aktifitas lisosim dan konsumsi komplemen. Rata-rata perlakuan vaksin monovalen dan bivalen berbeda nyata (P<0,05) dibandingkan dengan kontrol dalam respons imun spesifik maupun non spesifik. Nilai RPS tertinggi (100) didapat dari perlakuan vaksin bivalen sel utuh serta gabungan bivalen sel utuh+ECP yang diuji tantang oleh bakteri tunggal A. hydrophila. Nilai RPS terkecil (2,7) didapat dari perlakuan vaksin bivalen crude supernatan yang diuji dengan bakteri ko-infeksi. Nilai RPS pada perlakuan uji tantang dengan bakteri ko-infeksi secara keseluruhan menunjukkan bahwa sediaan vaksin bivalen sel utuh serta gabungan bivalen sel utuh+ECP memiliki nilai RPS yang sama (56,7).
107
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae dapat tumbuh bersinergi pada media inokulasi
buatan.
Waktu
pematangan
mencapai
tahap
eksponensial
pertumbuhan dalam media cair maupun media padat untuk bakteri A. hydrophila adalah 24 jam, sedangkan bakteri S. agalactiae adalah 72 jam. 2. Pola kematian yang terjadi menunjukkan bahwa infeksi MAS bersifat akut dan kronis, sedangkan infeksi Streptococcosis bersifat sub-akut. Ko-infeksi buatan dari gabungan bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae menyebabkan kematian ikan Nila sebesar 33-50 % dalam waktu 2-12 hari pascainfeksi. 3. Proteksi perlakuan vaksin bivalen sel utuh+ECP memberikan respons imun spesifik maupun non spesifik terbaik jika dibandingkan dengan monovalen A. hydrophila maupun monovalen S. agalactiae. Vaksin bivalen ini lebih mampu memproteksi ikan terhadap infeksi tunggal A. hydrophila (RPS 100%), infeksi tunggal S. agalactiae (RPS 86,2%), dan ko-infeksi (RPS 56,7%) daripada vaksin monovalen.
Saran Bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae memiliki perbedaan karakter patogenesis dan imunokompetensi pada ikan Nila. Perbedaan karakter dari kedua jenis bakteri ini diharapkan menjadi pertimbangan awal dalam langkah pencegahan maupun pengobatan yang akan dilakukan, sehingga strategi penanggulangan penyakit ini dapat optimal dilakukan dan tepat guna. 1.
Ikan Nila sangat rentan terhadap infeksi tunggal maupun ko-infeksi dari bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae, melihat tingkat patogenesis infeksi A. hydrophila dan S. agalactiae yang berisfat akut dan kronis diperlukan kewaspadaan dalam kegiatan budidaya agar tidak terjadi wabah penyakit MAS dan Streptococcosis.
2.
Komposisi sediaan vaksin bivalen yang telah diteliti sebenarnya memiliki kemampuan dalam meningkatkan respons imun, namun perlu dilakukan
108
penelitian lebih lanjut dalam penyusunan komposisi berbeda dari sediaan vaksin bivalen, sehingga level proteksi yang dihasilkan terhadap infeksi tunggal maupun ko-infeksi dari kedua jenis bakteri dapat meningkat.
109
DAFTAR PUSTAKA Aly TM. 1981. Studies on the Effect of Different Adjuvant on the Efficiency of FMD Vaccine in Farm Animal. Ph. D. faculty of Vet. Med. Zagazig University - Egypt. Anbarasu K, Thangakrishnan K, Arun BV, Chandran MR. 1998. Assessment of immune responsse in freshwater Catfish (Mystus vittatus Bloch) to different bacterins of Aeromonas hydrophila. Indian Journal of Experimental Biology 36: 990 – 995. Anderson DP. 2004. Immunostimulants, vaccines, and environmental stressors in aquaculture: NBT assays to show neutrophil activity by these immunomodulators. Di dalam: Suarez C et al., editor. Avances en nutricion acuicola VII. Memorias del Simposium Internacional de Nutricion Acuicola. 16-19 Nov 2004, Sonora Mexico. Anderson DP, Capstiek PB, Mowat GN. 1970. In vitro method for safety of FMD. J. hyg. Gamd. 68: 159-172. Anderson DP, Siwicki AK. 1995. Basic hematology and serology for fish health programs. Di dalam: Shariff M, Arthur JR, Subasinghe RP, editor. Fish Health Section. Asia Fisheries Society (eds), Disease in Asian Aquaculture II. Manila, Philippines. hlm 185-202. Angka SL. 1997. Antibiotic sensitivity and pathogenicity of Aeromonas and Vibrio isolates in Indonesia. Di dalam: Flegel TW, MacRae IH, editor. Fish health section. Asian Fisheries Society (eds). Disease in Asian Aquaculture III. Manila, Philippines. [AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 1990. Official Methods of Analysis. 15th Ed Association of Official Analytical Chemists Inc. Virgnia, USA. Baba T, Imamura J, Izawa K, Ikeda K. 1988. Immune protection in carp, Cyprinus carpio L., after immunization with Aeromonas hydrophila crude lipopolysaccharide. Journal of Fish Diseases 11: 237-244. Berg A, Rodseth OM, Tangeras A, Hansen T. 2006. Time of vaccination influences development of adhesions, growth and spinal deformities in Atlantic salmon, Salmo salar. Diseases of Aquatic Organisms 69: 239-48. Blaxhall PC, Daisley KW. 1973. Routine haematological methods for use with fish blood. Journal Fish Biology 5: 577-581.
110
Bollag DM, Edelstein SJ. 1991. Protein Methods. Department of Biochemistry University of Geneva - Switzerland: Wiley-Liss. Burke V, Robinson J, Atkinson HM, Gracey M. 1981. Biochemical characteristics of enterotoxogenic Aeromonas sp. J. Clin. Microbiol. 15: 48-52. Busch RA. 1997. Polyvalent vaccines in fish: the interactive effects of multiple antigens. Di dalam: Gudding R, Lillehaug PJ, Midtlyng PJ, Brown F, editor. Fish Vaccinology. Developments in Biological Standardization, Karger 90: 245-56. Caruso D, Schlumberge O, Dahm C, Proteau JP. 2002. Plasma lysozyme levels in sheatfish Silurus glanis L. subjected to stress and experimental infection with Edwardsiella tarda. Aquaculture Research 33: 999-1008. Cipriano RC. 2001. Aeromonas hydrophila and Motile Aeromonad Septicemias of fish. Fish Disease Leaflet 68. Fish and Wildlife Service Division of Fishery Research Washington DC. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi DIY. 2010. Laporan kegiatan laboratorium kesehatan ikan dan lingkungan tahun 2010. BPTKP DIY. 29 hlm. Dorson M. 1981. Role and characterization of fish antibody. Develop. Boil. Standard 49: 307-319. Ellis AE. 1981. Stress and the modulation of defence mechanisms in fish. Di dalam: Pickering AD, editor. Stress and fish. Academic Press, London, hlm 147-169. Ellis AE. 1988. General principles of fish vaccination. Di dalam: Ellis AE, editor. Fish vaccination. Academic Press, London, hlm 1- 19. Ellis AE. 1989. The immunology of teleost. Di dalam: Robert RJ, editor. Fish Pathology. Bailiere Tindal, London, hlm 135-152. Ellis AE. 2001. Innate host defense mechanisms of fish against viruses and bacteria. Developmental and Comparative Immunology 25: 827-39. Evans JJ et al. 2002. Characterization of beta-haemolytic Group B Streptococcus agalactiae in cultured seabream, Sparus auratus (L.) and wild mullet, Liza klunzingeri (Day), in Kuwait. Journal of Fish Diseases 25:505-513. Evans JJ, Arias CR. 2009. Use of modified live vaccine in aquaculture. Journal of The World Aquaculture Society 40(5): 573-585.
111
Evans JJ, Klesius PH, Shoemaker CA. 2004. Eficacy of Streptococcus agalactiae (group B) vaccine in Tilapia (Oreochromus niloticus) by intraperitoneal and bath immersion administration.Vaccine 22: 3769-3773. Evans JJ, Klesius PH, Pasnik DJ, Shoemaker CA. 2007. Influence of natural Trichodina sp. parasitism on experimental Streptococcus iniae or Streptococcus agalactiae infection and survival of young channel catfish Ictalurus punctatus (Rafinesque). Short Communication. Aquaculture Research 38: 664-667. Evans JJ, Pasnik DJ, Klesius PH. 2010. A commercial rapid optical immunoassay detects Streptococcus agalactiae from aquatic cultures and clinical specimens. Veterinary Microbiology 144: 422–428. Gassent MDE, Fouz B, Amaro C. 2004. Efficacy of bivalent vaccine against eel diseases caused by Vibrio vulnificus after its administration by four different routes. Fish and Shellfish Immunology 16: 93 – 105. Giordano LGP, Muller EE, Klesius P, Silva VGD. 2010. Efficacy of an experimentally inactivated Streptococcus agalactiae vaccine in Nile tilapia (Oreochromis niloticus) reared in Brazil. Aquaculture Research 41: 15391544. Gudding R, Lillehaug A, Evensen O. 1999. Recent development in fish vaccinology. Veterinary Immunology and Immunopathology 72: 203-212. Hardi EH. 2011. Kandidat vaksin potensial Streptococcus agalactiae untuk pencegahan penyakit Streptococcosis pada ikan nila (Oreochromis niloticus) [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Hardi EH, Sukenda, Harris E, Lusiastuti AM. 2010. Efikasi sel utuh dan produk ekstraselular bakteri Streptococcus agalactiae tipe b-haemolitik dan nonhaemolitik sebagai vaksin untuk pencegahan Streptococcosis pada ikan Tilapia (Oreochromis niloticus). Bogor: Simposium Nasional Bioteknologi Akuakultur III. Harikrishnan R, Balasundaram C, Heo MS. 2010. Lactobacillus sakei BK19 enriched diet enhances the immunity status and disease resistance to Streptococcosis infection in kelp grouper, Epinephelus bruneus. Fish and Shellfish Immunology 29: 1037-1043. Hernandez E, Figueroa J, Iregui C. 2009. Streptococcosis on a red Tilapia, Oreochromis sp., farm: a case study. Journal of Fish Diseases 32: 247– 252.
112
Hoel K, Salonius K, Lillehaug A. 1997. Vibrio antigens of polyvalent vaccine enhance the humoral immune responsse to Aeromonas salmonicida antigens in Atlantic salmon (Salmo salar L.). Fish and Shellfish Immunology 7: 71 – 80. Holland MCH, Lambris JD. 2002. The complement system in teleosts. Fish and Shellfish Immunology 12: 399-420. Ibrahem M, Mostafa M, Arab RMH, Rezk MA. 2008. Prevalence of Aeromonas hydrophila infection in wild cultured Tilapia Nilotica (O. niloticus) in Egypt. 8th International Symposium on Tilapia in Aquaculture 2008. hlm 1257-1271. Ismail NDA, Atta NS, Aziz AE. 2010. Oral Vaccination of Nile Tilapia (Orechromis niloticus) Against Motile Aeromonas Septicaemia. Nature and Science 2010. 6 hlm. Iwama G, Nakanishi T. 1996. The Fish Immune System. Organism, Pathogen, and Environment. Academic Press. USA. 380 hlm. Jung SH, Kim JW, Jeon IG, Lee YH. 2001. Formaldehyde residues in formalintreated olive flounder Paralichthys olifaceus, black rockfish Sebastes schlegeli, and seawater. Aquaculture 194: 253–262. Klesius PH, Shoemaker CA, Evans JJ. 1999. Efficacy of an inactivated Streptococcus iniae vaccine in Tilapia (Oreochromis niloticus). Eur. Assoc. Fish Pathol. 19(1): 1-3. Klesius PH, Evans JJ, Shoemaker CA. 2007. The makrofag chemotactic activity of Streptococcus agalactiae and Streptococcus iniae extracellular products (ECP). Fish and Shellfish Immunology 22: 443-450. Klesius PH et al. 2006. Rapid detection and identification of Streptococcus iniae using a monoclonal antibody-based indirect fluorescent antibody technique. Aquaculture 258: 180– 186. Kohler W. 2007. The present state of species within the genera Streptococcus and Enterococcus. International Journal of Medical Microbiology 297: 133– 150. Li A et al. 2006. Optimization by orthogonal array design and humoral immunity of bivalent vaccine against Aeromonas hydrophila and Vibrio fluvialis infection in crucian carp (Carassius auratus L.). Aquaculture Research 37: 813 – 820.
113
Lie O, Evenes O, Sorensen A, and Froysadal E. 1989. Study on lysozyme activity in some fish species. Dis. Aquat. Org. 6: 1-5. Lin HT, Lin HY, Yang HL. 2005. Histology and histochemical enzyme-staining patterns of major immune organs in Epinephelus malabaricus. Journal of Fish Biology 66: 729–740. Lusiastuti AM, Taukhid, Kusrini E, Hadie W. 2009. Sequens analysis of S. agalactiae : A pathogen causing Streptococcosis in Tilapia (Oreochromis niloticus). Indonesia Aquaculture Journal 4(2): 87-92. Lusiastuti AM, Purwaningsih U, Hadie W. 2010. Vaksin Streptococcus agalactiae: I. Kajian Inaktifasi Sel Utuh (Whole cell) Melalui Formalin (Formalinkilled) Untuk Pencegahan Penyakit Streptococcosis pada Ikan Tilapia, Oreochromis niloticus. Lampung: Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010. Lusiastuti AM, Supriyadi H, Purwaningsih U, Wadjdy EF. 2008. Studi Patologi Anatomi Penyakit Streptococcosis pada Ikan Tilapia dan Gurame. Yogyakarta: Seminar Nasional Tahun V Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan Jurusan Perikanan dan Kelautan UGM. Yogyakarta, 11 Jun 2008. Mian GF et al. 2009. Aspects of the natural history and virulence of S. agalactiae infection in Nile Tilapia. Short communication. Veterinary Microbiology 136: 180–183. Musa N et al. 2009. Streptococcosis in red hybrid Tilapia (Oreochromis niloticus) commercial farms in Malaysia. Short Communication. Aquaculture Research 40: 630-632. Ni XD, Wang N, Liu YJ, Lu CP. 2010. Immunoproteomics of extracellular proteins of the Aeromonas hydrophila Chinavaccine strain J-1 reveal a highly immunoreactive outermembrane protein. FEMS Immunol. Med. Microbiol. 58: 363–373. Nikoskelainen S et al. 2007. Multiple whole bacterial antigens in polyvalent vaccine may result in inhibition of specific responsses in rainbow trout (Oncorhynchus mykiss). Fish and Shellfish Immunology 22: 206-217. Olivares-Fuster O, Klesius PH, Evans J, Arias CR. 2008. Molecular typing of Streptococcus agalactiae isolates from fish. Journal of Fish Diseases 31: 277-283. Osman KM, Mohamed LA, Rahman EHA, Soliman WS. 2009. Trials for Vaccination of Tilapia Fish Against Aeromonas and Pseudomonas
114
Infections Using Monovalen, Bivalent and Polyvalent Vaccines. World Journal of Fish and Marine Sciences 1 4: 297-304. Pan HC. 1999. Ultrastructure of peripheral blood cells of Rana rugulosa. Chinesse J. Anat. 18:71-74. Pasnik DJ, Evans JJ, Klesius PH. 2006. Passive immunization of Nile Tilapia (Oreochromis niloticus) provides significant protection against Streptococcus agalactiae. Fish and Shellfish Immunology 21: 365-371. Pasnik DJ et al. 2005. Antigenicity of Streptococcus agalactiae extracellular products and vaccine efficacy. Journal of Fish Diseases 28: 205–212. Pelanne LMH. 2002. Use of the Immune System to Investigate the Toxicity Induced by Environmental Pollutants in Fish, Amphibian, and Mammalian Species. Virginia Polytechnic Institute and State University. Pilstrom L, Bengten E. 1996. Immunoglobulin in fish: genes, expression and structure. Fish and Shellfish Immunology 6: 243-62. Press CM, Evensen O. 1999. The morphology of the immune system in teleost fishes. Fish and Shellfish Immunology 9: 309-18. Pretto-Giordano LG, Muller EE, Klesius PH, da Silva VG. 2010. Efficacy of an experimentally inactivated Streptococcus agalactiae vaccine in Nile Tilapia (Oreochromis niloticus) reared in Brazil. Aquaculture Research 41: 1539-1544. Rattanachaikunsopon P, Phumkhachorn P. 2009. Prophylactic effect of Andrographis paniculata extracts against Streptococcus agalactiae infection in Nile Tilapia (Oreochromis niloticus). Journal of Bioscience and Bioengineering 107(5): 579–582. Rodrigues AP, Hirsch D, Figueiredo HCP, Logato PVR, Moraes AM. 2006. Production and characterization of alginate microparticles incorporating Aeromonas hydrophila design for fish oral vaccination. Process Biochemistry 41: 638 – 643. Romalde JL, Toranzo AE. 2002. Molecular approaches for the study and diagnosis of salmonid Streptococcosis. Di dalam: Cunningham CC, editor. Molecular Diagnosis of Salmonid Diseases. Kluwer Academic Publishers, Dordrecht, The Netherlands, hlm 211–233. Sakai M, Soliman MK, Yoshida T, Kobayashi M. 1993. Identification of pathogenic fish bacteria using APIZYM system. Cand. J. Fish Sci. 50: 1137-1141.
115
Samen U, Gottschalk B, Eikmanns BJ, Reinscheid DJ. 2004. Relevance of Peptide Uptake Systems to the Physiology and Virulence of Streptococcus agalactiae. J. Bacteriol. March. 186(5): 1398-1408. Sato Y, Kimura M, Fukumi H. 1984. Development of a pertussis component vaccine in Japan. Lanceti hlm 122-126. Seder RA, Hill AVS. 2000. Vaccines against intracellular infection requiring cellular immunity. Nature 406: 793-797. Sherif MS, Feky AMI. 2009. Performance of Nile Tilapia (Oreochromis niloticus) Fingerlings. I. Effect of pH. International Journal of Agriculture and Biology hlm 1560–8530. Shieh HS. 1987. Protection of Atlantic salmon against motile aeromonad septicaemia with Aeromonas hydrophila protease. Microbios Letters 36: 133 - 138. Shoemaker CA, Klesius PH. 1997. Protective immunity against enteric septicemia in channel catfish, Ictalurus punctatus (Rafinesque), following controlled exposure to Edwardsiella ictaluri. Journal of Fish Disease 20: 101-108. Shoemaker CA, LaFrentz BR, Klesius PH, Evans JJ. 2010. Protection against heterologous Streptococcus iniae isolates using a modified bacterin vaccine in Nile tilapia, Oreochromis niloticus (L.). Journal of Fish Diseases 33: 537–544. Shome R, Shome BR. 1999. Antibiotic resistance pattern of fish bacteria from freshwater and marine source in Andamans. Indian J. Fish 46(1): 49-58. Shotts EB, Rimler RB. 1973. Medium for isolation of Aeromonas hydrophila. Applied Microbiology 26(2): 550-553. Silva BC et al. 2009. Hematological and immunological responsses of Nile Tilapia after polyvalent vaccine administration by different routes1. Pesq. Vet. Bras. 29(11): 874-880. Skinner LA. 2009. The Physiological and Immunological effects of vaccination on fish health, welfare, and performance. The University of British Columbia. 139 hlm. Skinner LA, Schulte PM, Balfry SK, McKinley RS, LaPatra SE. 2010. The association between metabolic rate, immune parameters, and growth performance of rainbow trout, Oncorhynchus mykiss (Walbaum), following the injection of DNA vaccine alone and concurrently with a
116
polyvalent, oil-adjuvanted vaccine. Fish & Shellfish Immunology 28: 387 – 393. Smith H. 1977. Microbial surfaces in relation to pathogenicity. Bacteriol. Rev. 41: 475. Stuart M. 1999. Immunology Spring 1999. Department of Mycrobiology/ Immunology. Kirkville College of Osteopathic Medicine. http://www.kcom.cdu/faculty/chamberlain/msimn [2 Feb 2012]. Suanyuk N et al. 2008. Occurrence of rare genotypes of Streptococcus agalactiae in cultured red Tilapia Oreochromis sp. and Nile Tilapia O. niloticus in Thailand-Relationship to human isolates. Aquaculture 284: 35–40. Sugiani D, Komarudin O, Wadjdi EF, Mikadarullah, Wibawa BM. 2010. Efektifitas aplikasi rendaman ulang sediaan produk vaksin Hydrovac. Cibinong: Seminar Nasional Ikan VI & Kongres Masyarakat Ikhtiologi Indonesia III. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong, 0809 Jun 2010. Sugiani D, Lusiastuti AM. 2011. Kerentanan Ikan Tilapia (Oreochromis niloticus) terhadap serangan ko-infeksi Streptococcosis dan MAS. Yogyakarta: Seminar Nasional Tahun VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan Jurusan Perikanan dan Kelautan UGM. Yogyakarta, 16 Jul 2011. Sun Y, Hua Y, Liua C, Li S. 2010. Construction and analysis of an experimental Streptococcus iniae DNA vaccine. Vaccine 28: 3905–3912. Swain P, Behura A, Dash S, Nayak SK. 2007. Serum antibody responsse of Indian major carp, Labeo rohita to three species of pathogenic bacteria; Aeromonas hydrophila, Edwardsiella tarda and Pseudomonas fluorescens. Veterinary Immunology and Immunopathology 117: 137–141. Takashima F, Hibiya T. 1995. An atlas of fish histology: Normal and Pathological Features. Kodansha Ltd. Tokyo. 195 hlm. Taukhid, Purwaningsih U. 2011. Penapisan isolat bakteri Streptococcus spp. sebagai kandidat antigen dalam pembuatan vaksin, serta efikasinya untuk pencegahan penyakit Streptococcosis pada ikan Tilapia, Oreochromis niloticus. Jurnal Riset Akuakultur 6(1): 103-117. Thomas PC, Divya PR, Chandrika V, Paulton MP. 2009. Genetic Characterization of Aeromonas hydrophila using Protein Profiling and RAPD PCR. Asian Fisheries Science 22: 763-771.
117
Thune RL, Plumb JA. 1982. Effect of delivery method and antigen preparation on the production of antibodies against Aeromonas hydrophila in channel catfish. Progressive Fish-Culturist 44: 53 - 54. Tommaso AD et al. 1994. Formaldehyde treatment of proteins can constrain presentation to T cells by limiting antigen processing. Infection and Immunity 62(5): 1830-1834. Toranzo AE, Magarinos B, Romalde JL. 2005. A review of the main bacterial fish diseases in mariculture systems. Aquaculture 246: 37– 61. Toranzo AE, Romalde JL, Magarinos B, Barja JL. 2009. Present and future of aquaculture vaccines against fish bacterial diseases. The use of veterinary drugs and vaccines in Mediterranean aquaculture. Options Mediterraneennes A 86: 155 – 176. Toranzo AE, Santos TB, Nieto, Barja JL. 1986. Evaluation of different assay systems of environmental Aeromonas strains. Appl. Environ. Microbiology 51: 652-656. Vivas J, Razquin B, Lopez-Fierro P, Villena AJ. 2005. Modulation of the immune responsse to an Aeromonas hydrophila aroA live vaccine in rainbow trout: effect of culture media on the humoral immune responsse and complement consumption. Fish and Shellfish Immunology 18: 223233. Wedemeyer GA, Barton BA, Mcleay DJ. 1990. Stress and acclimation. Di dalam: Schreck CB, Moyle PB, editor. Methods for fish biology. Bethseda, USA. American Fisheries Society. hlm 451-89. Wedenmeyer GA, Yasutake WT. 1977. Clinical methods for the assessment of the effect on environmental stress on fish health. Technical Papers of the U.S. Fish and Wildlife Service. US depert. of the Interior. Fish and Wildlife Service 89:1-17. Yano T. 1996. The non-specific immune system: humoral defense. Di dalam: Iwama G, Nakanishi T, editor. The fish immune system: organism, pathogen and environment. San Diego, USA. Academic Press. hlm 10659. Zhang J, Zou W, Yan Q. 2008. Non-Specific immune responsse of Bullfrog Rana catesbeiana to intraperitoneal injection of bacterium Aeromonas hydrophila. Chinesse Journal of Oceanology and Limnology 26(3): 248255.
118
Zhang Z et al. 2012. Study on the immune enhancement of different immunoadjuvants used in the pentavalent vaccine for turbots. Fish and Shellfish Immunology 32: 391-395. Zilberg D et al. 2010. Dried leaves of Rosmarinus officinalis as a treatment for Streptococcosis in Tilapia. Journal of Fish Diseases 33: 361–369.
119
LAMPIRAN 1 Karakteristik Morfologi, Fisik dan Biokimia Bakteri Tabel 1. Karakter bakteri Aeromonas hydrophila Hasil isolat Pengujian AHL0905-2 Pewarnaan Gram Gram Bentuk Batang pendek Motilitas motil Oksidatif-fermentatif Oksidatif Katalase + Bile salt 40% + Pertumbuhan NaCl 6,5% + Haemolisis α Cytochrome axidase + R-S Medium Koloni kuning Uji API 20 NE : Potassium nitrate + Indole/ L-tryptophane + GLUcose + L-Arginine + UREase β-Glucosidase/ESCuline + GELatin + β-Galactosidase + D-Glucose + L-Arabinose + D-Mannose D-Mannitol + N-Acetyl-glucosamine + D-Maltose + Potassium gluconate + CAPric acid ADIpic acid Malate + Trisodium citrate Phenylacetic acid -
api®20 NE
99 (Oksidatif)
99 89 99 78 1 89 97 98 99 80 78 99 99 99 95 84 1 99 37 1
120
Tabel 2. Karakter bakteri Streptococcus agalactiae Hasil isolat Pengujian N14G Pewarnaan Gram Gram + Bentuk bulat/kokus Motilitas Non motil Oksidatif-fermentatif Fermentatif Katalase Bile salt 40% + Pertumbuhan NaCl 6,5% Haemolisis non Uji API Strep 20 : Produksi acetoin (VP) + Hidrolisis HIPuric acid + ESCullin PYRolidonylarylamidase α - Galactosidase β - Glucuronidase β – Galactopyranosidase Alkaline phosphatse + Leucine aminopeptidase + Arginin dehydrolase + Ribose + Arabinose Mannitol Sorbitol Lactose Trehalose + Inulin Raffinose Amidon/Strach Glycogen -
api®20 Strep
100 99 1 1 4 79 1 96 99 99 98 0 1 1 50 87 0 1 35 4
121
LAMPIRAN 2 Pengujian Kadar Formalin dengan Metode AOAC (1990) Pengujian ini menggunakan beberapa tahapan proses penetapan seperti pembuatan larutan baku formalin, penetapan formalin dan penghitungan kadar formalin. a. Pembuatan larutan baku formalin 100 g/mL 1. Larutan formaldehyde 37% bj 1,08 kg/L dipipet 5 ml dan dilarutkan dengan akuades dalam labu takar 100 ml (larutan a) 2. Larutan a dipipet 5 mL dan diencerkan kembali dengan akuades dalam labu takar 100 mL (larutan b) 3. Larutan b sebanyak 25 mL diencerkan kembali dengan akuades dalam labu takar 100 mL (larutan c). Larutan ini mengandung 100 g/mL (ppm) 4. Pereaksi nash : dilarutkan 150 g amonium asetat, 3 mL asam asetat dan 2 mL asetilaseton dalam akuades, ditepatkan sampai volume 1 liter b. Penetapan formalin 1. Contoh ditimbang dengan teliti 10 g, dimasukkan kedalam erlenmeyer dan ditambah akuades, kemudian disuling 2. Hasil sulingan ditampung dalam labu takar 100 mL dan diencerkan dengan akuades sampai garis penanda 3. Hasil sulingan dipipet 1 mL, dimasukkan kedalam tabung reaksi dan ditambahkan 1 mL akuades dan 2 ml pereaksi nash dan dipanaskan pada penangas air suhu 37 oC untuk membentuk warna 4. OD ditentukan dengan spektrofotometer pada 415 nm. Dilakukan pengerjaan pada no 3 dan pembacaan yang sama untuk larutan standar 4, 8, 12, 16, dan 20 ppm dan akuades sebagai blanko
122
LAMPIRAN 3 Tahapan Pewarnaan Silver Hasil SDS-PAGE Silver staining (Metoda Vorum) Larutan fiksasi, 2 jam agitasi perlahan-lahan Etanol 35%, 20 menit (3x) Enhancer/sensitisasi, 2 menit ddH2O, 5 menit (3x)
larutan staining 20 menit. Dingin (dalam refrigerator) ddH2O, 20 menit (2x) developer sampai pita muncul stop dengan larutan fiksasi cuci dengan ddH2O (2x) packing dan scanning simpan dalam 1% asam asetet 4oC Larutan fiksasi 250 mL
Larutan pencuci 250 mL Enhancer/sensitisasi 250 mL Staining 50 mL (fresh) Developer 50 mL (fresh) Stopper 250 mL
: metanol 125 mL+asam asetik 25 mL+formalin 0,125 mL+99,85 mL H2O : etanol 87,5 mL+162,5 mL H2O : Na2S2O3 0,05 g+H2O 250 mL : AgNO3 0,1 g+formalin 38 L+ H2O 49-50 mL : Na2CO3 3 g+formalin 25 L+H2O 50 mL : metanol 125 mL+asam asetet 25 mL+H2O 100 mL
LAMPIRAN 4 Bagan Alur Pembuatan Vaksin
Gambar Bagan alur proses pembuatan sediaan vaksin bakterin Aeromonas hydrophila 123 125
124
Gambar Bagan alur proses pembuatan sediaan vaksin bakterin Streptococcus agalactiae
126
125
LAMPIRAN 5 Berat Protein Vaksin Tabel
Berat protein sediaan vaksin A. hydrophila yang diinaktifasi dengan bufer formalin 3%
Nama
Absorbansi 595 nm pada Sampel ulang 1 ulang 2 Rataan
Absorbansi 595 nm pada Blanko ulang 1 ulang 2 Rataan
S-B
a
b
ppm
Protein mg/mL
Sel utuh
0,478
0,511
0,495
0,347
0,356
0,352
0,143
0,0044
0,0266
26,45
0,53
ECP
0,792
0,812
0,802
0,347
0,356
0,3515
0,4505
0,0044
0,0266
96,34
1,93
Supernatan
0,807
0,823
0,815
0,347
0,356
0,3515
0,4635
0,0044
0,0266
99,30
1,99
Broth
0,834
0,856
0,845
0,347
0,356
0,3515
0,4935
0,0044
0,0266
106,11
2,12
Tabel
Berat protein sediaan vaksin S. agalactiae yang diinaktifasi dengan bufer formalin 3%
Nama
Absorbansi 595 nm pada Sampel ulang 2
Rataan
Sel utuh
0,67
0,691
ECP
0,768
Supernatan
0,814
Broth
0,835
Absorbansi 595 nm
ulang 1
Absorbansi 595 nm pada Blanko
Protein S-B
a
b
ppm
ulang 1
ulang 2
Rataan
0,6805
0,347
0,356
0,3515
0,329
0,0044
0,0266
68,73
1,37
0,819
0,7935
0,347
0,356
0,3515
0,442
0,0044
0,0266
94,41
1,89
0,769
0,7915
0,347
0,356
0,3515
0,44
0,0044
0,0266
93,95
1,88
0,851
0,843
0,347
0,356
0,3515
0,4915
0,0044
0,0266
105,66
2,11
0.5 0.45 0.4 0.35 0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0
mg/mL
y = 0.0044x + 0.0266 R² = 0.9877
0
20
Gambar Kurva standar protein
40 60 80 Konsentrasi μgram/mL
100
120
126
LAMPIRAN 6 Hasil SDS-PAGE Protein Vaksin Tabel
Karakter protein hasil SDS-PAGE bakteri A. hydrophila yang diinaktifasi dengan 3% bufer formalin Sampel
Migrasi
Band
Rf
a
b
Log BM
BM
5,2 5,2 5,2 5,2 5,2 5,2 5,2 5,2 5,2 5,2 5,2 5,2 5,2 5,2 5,2 5,2 5,2 5,2 5,2 5,2 5,2 5,2 5,2 5,2 5,2 5,2
0,65 1,1 1,35 1,6 2 2,5 2,7 3,1 3,5 3,8 4,15 4,35 4,6 4,9 2,1 4,35 1,1 2,1 4,35 0,4 0,65 1,25 2,1 3,6 4,15 4,65
0,125 0,2115385 0,2596154 0,3076923 0,3846154 0,4807692 0,5192308 0,5961538 0,6730769 0,7307692 0,7980769 0,8365385 0,8846154 0,9423077 0,4038462 0,8365385 0,2115385 0,4038462 0,8365385 0,0769231 0,125 0,2403846 0,4038462 0,6923077 0,7980769 0,8942308
-1,187 -1,187 -1,187 -1,187 -1,187 -1,187 -1,187 -1,187 -1,187 -1,187 -1,187 -1,187 -1,187 -1,187 -1,187 -1,187 -1,187 -1,187 -1,187 -1,187 -1,187 -1,187 -1,187 -1,187 -1,187 -1,187
5,226 5,226 5,226 5,226 5,226 5,226 5,226 5,226 5,226 5,226 5,226 5,226 5,226 5,226 5,226 5,226 5,226 5,226 5,226 5,226 5,226 5,226 5,226 5,226 5,226 5,226
5,077625 4,9749038 4,9178365 4,8607692 4,7694615 4,6553269 4,6096731 4,5183654 4,4270577 4,3585769 4,2786827 4,2330288 4,1759615 4,1074808 4,7466346 4,2330288 4,9749038 4,7466346 4,2330288 5,1346923 5,077625 4,9406635 4,7466346 4,4042308 4,2786827 4,1645481
119570,76 94385,188 82763,06 72572,023 58811,403 45219,622 40707,373 32988,714 26733,615 22833,733 18996,898 17101,289 14995,52 12807,984 55800,054 17101,289 94385,188 55800,054 17101,289 136361,67 119570,76 87229,516 55800,054 25364,761 18996,898 14606,564
Sel utuh
ECP Crude Supernatan
Broth
6 5 4
y = -1.1878x + 5.2269 R² = 0.9853
3
Series1
2
Linear (Series1)
1 0 0
0.2
Gambar Persamaan linier
0.4
0.6
0.8
1
BM Kd 119,57 94,39 82,76 72,57 58,81 45,22 40,71 32,99 26,73 22,83 19,00 17,10 15,00 12,81 55,80 17,10 94,39 55,80 17,10 136,36 119,57 87,23 55,80 25,36 19,00 14,61
127
Tabel Karakter protein hasil SDS-PAGE bakteri S. agalactiae yang diinaktifasi dengan 3% bufer formalin Sampel Sel utuh
ECP Crude Supernatan
Broth
Migrasi 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
Band 1,15 1,7 1,8 2,35 2,5 2,9 3,35 4,1 4,6 4,8 1,7 4,2 1,7 2,35 4,2 1,15 1,8 4,1 4,5
Rf 0,23 0,34 0,36 0,47 0,5 0,58 0,67 0,82 0,92 0,96 0,34 0,84 0,34 0,47 0,84 0,23 0,36 0,82 0,9
a
b
-1,158 -1,158 -1,158 -1,158 -1,158 -1,158 -1,158 -1,158 -1,158 -1,158 -1,158 -1,158 -1,158 -1,158 -1,158 -1,158 -1,158 -1,158 -1,158
5,315 5,315 5,315 5,315 5,315 5,315 5,315 5,315 5,315 5,315 5,315 5,315 5,315 5,315 5,315 5,315 5,315 5,315 5,315
Log BM 5,04866 4,92128 4,89812 4,77074 4,736 4,64336 4,53914 4,36544 4,24964 4,20332 4,92128 4,34228 4,92128 4,77074 4,34228 5,04866 4,89812 4,36544 4,2728
BM 111856,18 83421,885 79089,713 58984,785 54450,265 43990,612 34605,091 23197,437 17768,06 15970,555 83421,885 21992,773 83421,885 58984,785 21992,773 111856,18 79089,713 23197,437 18741,312
6 y = -1.1583x + 5.3154 R² = 0.9764
5 4 3
Series1
2
Linear (Series1)
1 0 0
0.5
Gambar Persamaan linier
1
1.5
BM Kd 111,86 83,42 79,09 58,98 54,45 43,99 34,61 23,20 17,77 15,97 83,42 21,99 83,42 58,98 21,99 111,86 79,09 23,20 18,74
128
LAMPIRAN 7 Gambaran Darah
L
M
( a.)
N
E
( b.)
(c. )
Gambar Sel darah ikan Nila. (L) Limfosit, (M) Monosit, (N) Neutrofil, (E) Eritrosit.
(a) a
b
Gambar Fagositosis antigen oleh sel fagosit fungsional (penelanan antigen)
129
LAMPIRAN 8 Persentase dan Indek Fagositosis Tabel Persentase fagositosis (%) Perlakuan vaksin
0 Monovalen A. hydrophila 68 Monovalen S. agalactiae 62 Bivalen Sel utuh 58 Bivalen ECP 54 Bivalen Sel utuh+ECP 63 Bivalen crude Supernatan 52 Bivalen Broth 60 Kontrol 64
Pengamatan hari ke3 6 9 12 15 18 82 78 72 62 66 68 76 80 70 64 58 64 76 72 64 64 56 60 64 78 72 60 48 54 84 74 66 56 50 62 68 74 66 46 52 58 68 66 56 62 42 48 70 78 62 48 54 46
21 62 62 58 60 66 54 56 56
Tabel Indek fagositik (%) Perlakuan vaksin
0 Monovalen A. hydrophila 2,5 Monovalen S. agalactiae 2,3 Bivalen Sel utuh 2,1 Bivalen ECP 1,9 Bivalen Sel utuh+ECP 2,2 Bivalen crude Supernatan 2 Bivalen Broth 2,1 Kontrol 2,4
Pengamatan hari ke3 6 9 12 15 18 3,2 2,8 2,2 1,8 1,6 1,8 2,6 3 2 1,9 1,4 1,8 2,6 2,3 1,9 1,9 1,4 1,8 3,2 2,5 2,4 2,1 1,2 1,8 2,8 2,2 2,1 1,3 1,2 1,5 2,7 2,2 2,1 1,1 1 1,3 2,7 2,4 1,6 1,6 1,1 1,3 2,6 2,8 2 1,2 1,4 1,1
21 1,2 1,2 1,4 1,6 1,3 1,4 1,3 1,4
130
LAMPIRAN 9 Nilai NBT-Assay Tabel Uji aktifitas Respiratory burst (NBT-Assay) Pengamatan hari ke-
Perlakuan vaksin 0
3
6
9
12
15
18
21
Monovalen A. hydrophila
0,283
0,497
0,725
0,584
0,612
0,431
0,354
0,308
Monovalen S. agalactiae
0,291
0,295
0,488
0,59
0,374
0,286
0,293
0,342
Bivalen Sel utuh
0,288
0,305
0,538
0,599
0,459
0,318
0,367
0,396
Bivalen ECP
0,302
0,271
0,353
0,395
0,276
0,303
0,291
0,298
Bivalen Sel utuh+ECP
0,261
0,312
0,447
0,621
0,594
0,439
0,366
0,483
Bivalen crude Supernatan
0,273
0,281
0,273
0,394
0,448
0,285
0,306
0,293
Bivalen Broth
0,311
0,322
0,397
0,536
0,421
0,318
0,29
0,301
Kontrol
0,315
0,263
0,269
0,396
0,321
0,398
0,285
0,344
131
LAMPIRAN 10 Aktifitas Lisosim Tabel Aktifitas lisosim (mm) Perlakuan vaksin Monovalen A. hydrophila Monovalen S. agalactiae Bivalen Sel utuh Bivalen ECP Bivalen Sel utuh+ECP Bivalen crude Supernatan Bivalen Broth Kontrol
0 4 3 5 4 4 3 4 4
Pengamatan hari ke3 6 9 12 15 18 9 12 7 6 6 5 5 4 4 7 5 7 10 8 7 9 4 5 7 7 3 5 2 2 12 10 6 9 5 7 4 7 3 6 5 7 3 3 5 3 6 5 3 3 3 5 3 3
21 7 6 6 4 6 7 6 3
132
LAMPIRAN 11 Aktifitas Komplemen Tabel Aktifitas komplemen minggu ke-1 pengenceran
Perlakuan vaksin 1x
2x
4x
8x
16x
32x
Monovalen A. hydrophila
79,62963
55,5555556
24,0740741
9,25925926
0
0
Monovalen S. agalactiae
85,185185
66,6666667
14,8148148
0
0
0
Bivalen Sel utuh
92,592593
85,1851852
18,5185185
0
0
0
Bivalen ECP
103,7037
79,6296296
25,9259259
0
0
0
Bivalen Sel utuh+ECP
96,296296
87,037037
31,4814815
7,40740741
0
0
Bivalen crude Supernatan
101,85185
85,1851852
29,6296296
1,85185185
0
0
Bivalen Broth
101,85185
90,7407407
29,6296296
3,7037037
0
0
Kontrol
103,7037
98,1481481
31,4814815
11,1111111
1,85185185
0
Tabel Aktifitas komplemen minggu ke-2 pengenceran
Perlakuan vaksin 1x
2x
4x
8x
16x
32x
Monovalen A. hydrophila
66,666667
55,5555556
5,55555556
0
0
0
Monovalen S. agalactiae
59,259259
29,6296296
0
0
0
0
Bivalen Sel utuh
77,777778
48,1481481
3,7037037
0
0
0
Bivalen ECP
101,85185
79,6296296
25,9259259
0
0
0
Bivalen Sel utuh+ECP
90,740741
72,2222222
5,55555556
0
0
0
Bivalen crude Supernatan
101,85185
85,1851852
20,3703704
0
0
0
Bivalen Broth
96,296296
83,3333333
29,6296296
0
0
0
Kontrol
103,7037
98,1481481
31,4814815
11,1111111
1,85185185
0
Tabel Aktifitas komplemen minggu ke-3 Perlakuan vaksin
pengenceran 1x
2x
4x
8x
16x
32x
Monovalen A. hydrophila
74,074074
55,5555556
18,5185185
0
0
0
Monovalen S. agalactiae
61,111111
29,6296296
1,85185185
0
0
0
Bivalen Sel utuh
59,259259
48,1481481
3,7037037
0
0
0
Bivalen ECP
92,592593
68,5185185
22,2222222
0
0
0
Bivalen Sel utuh+ECP
85,185185
42,5925926
16,6666667
0
0
0
Bivalen crude Supernatan
98,148148
74,0740741
29,6296296
0
0
0
Bivalen Broth
92,592593
48,1481481
27,7777778
1,85185185
0
0
Kontrol
103,7037
98,1481481
31,4814815
11,1111111
1,85185185
0
133
LAMPIRAN 12 Titer Antibodi Tabel Titer antibodi perlakuan vaksin terhadap A. hydrophila (log 2) Perlakuan vaksin
masa induksi vaksin minggu ke -
masa uji tantang minggu ke-
0
1
2
3
4
5
Monovalen A. hydrophila
2
4
7
6
5
7
Monovalen S. agalactiae
2
3
3
4
5
6
Bivalen Sel utuh
2
4
5
4
4
5
Bivalen ECP
3
3
4
3
4
4
Bivalen Sel utuh+ECP
2
5
6
4
5
6
Bivalen crude Supernatan
2
4
4
5
3
4
Bivalen Broth
2
4
5
5
4
4
Kontrol
3
3
2
2
2
4
Tabel Titer antibodi perlakuan vaksin terhadap S. agalactiae (log 2) Perlakuan vaksin
masa induksi vaksin minggu ke -
masa uji tantang minggu ke-
0
1
2
3
4
5
Monovalen A. hydrophila
1
2
1
1
1
2
Monovalen S. agalactiae
1
2
4
5
3
3
Bivalen Sel utuh
1
3
4
4
3
4
Bivalen ECP
1
2
4
3
3
3
Bivalen Sel utuh+ECP
2
3
5
3
3
4
Bivalen crude Supernatan
1
2
2
3
3
3
Bivalen Broth
1
2
3
2
2
3
Kontrol
1
1
1
2
1
2
Tabel Titer antibodi perlakuan vaksin terhadap A. hydrophila dan S. agalactiae (log 2) Perlakuan vaksin
masa induksi vaksin minggu ke -
masa uji tantang minggu ke-
0
1
2
3
4
5
Monovalen A. hydrophila
2
4
4
3
3
4
Monovalen S. agalactiae
1
3
3
4
4
4
Bivalen Sel utuh
2
4
2
3
3
4
Bivalen ECP
2
2
4
3
2
2
Bivalen Sel utuh+ECP
1
3
4
3
3
4
Bivalen crude Supernatan
1
3
4
2
3
4
Bivalen Broth
2
2
4
2
2
3
Kontrol
2
3
1
2
2
3
134
LAMPIRAN 13 Relative Percent Survival (RPS) Tabel nilai PRS perlakuan vaksin monovalen dan bivalen No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 1. 16. 17. 18. 19. 20. 21.
Perlakuan Monovalen A, hydrophila diuji A, hydrophila Monovalen A, hydrophila diuji S, agalactiae Monovalen A, hydrophila diuji ko-infeksi Monovalen S, agalactiae diuji A, hydrophila Monovalen S, agalactiae diuji S, agalactiae Monovalen S,agalactiae diuji ko-infeksi Bivalen Sel utuh diuji A, hydrophila Bivalen Sel utuh diuji S, agalactiae Bivalen Sel utuh diuji koinfkesi Bivalen ECP diuji A, hydrophila Bivalen ECP diuji S, agalactiae Bivalen ECP diuji koinfeksi Bivalen Sel utuh+ECP diuji A, hydrophila Bivalen Sel utuh+ECP diuji S, agalactiae Bivalen Sel utuh+ECP diuji ko-infeksi Bivalen crude Supernatan diuji A, hydrophila Bivalen crude Supernatan diuji S, agalactiae Bivalen crude Supernatan diuji ko-infeksi Bivalen Broth diuji A, hydrophila Bivalen Broth diuji S, agalactiae Bivalen Broth diuji koinfeksi
% kematian ikan yang divaksin (a)
% kematian ikan kontrol
a/b
(b)
(c)
10
92,5
60
(1-c) x 100
RPS
0,108108
89,18919
89,2
72,5
0,827586
17,24138
17,2
90
92,5
0,972973
2,702703
2,7
60
92,5
0,648649
35,13514
35,1
20
72,5
0,275862
72,41379
72,4
80
92,5
0,864865
13,51351
13,5
0
92,5
0
100
100
20
72,5
0,275862
72,41379
72,4
40
92,5
0,432432
56,75676
56,7
50
92,5
0,540541
45,94595
45,9
50
72,5
0,689655
31,03448
31
70
92,5
0,756757
24,32432
24,3
0
92,5
0
100
100
10
72,5
0,137931
86,2069
86,2
40
92,5
0,432432
56,75676
56,7
50
92,5
0,540541
45,94595
45,9
50
72,5
0,689655
31,03448
31
90
92,5
0,972973
2,702703
2,7
30
92,5
0,324324
67,56757
67,6
40
72,5
0,551724
44,82759
44,8
70
92,5
0,756757
24,32432
24,3
Tabel Rata-rata % kematian ikan kontrol Uji tantang
TSB
% kematian ikan kontrol Salin Tanpa BHI 0,845% injeksi
Rata-rata
A. hydrophila
90
90
90
100
92,5
S, agalactiae
60
70
80
80
72,5
Ko-infeksi
80
90
100
100
92,5
135
LAMPIRAN 14 Komposisi Kandungan Media Tryptic Soy Broth (TSB) Difco : 30 g/L -
Pancreatic digest of casein Enzymatic digest of soy bean meal Dextrose Sodium chloride Di-photasium phosphate
: 17,0 : 13,0 : 2,5 : 5,0 : 2,5
Brain Heart Infussion (BHI) Oxoid : 37 g/L -
Brain infussion solid Beef heart infussion solid Protease peptone Glucose Sodium chloride Di-sodium phosphate
: 12,5 : 5,0 : 10,0 : 2,0 : 5,0 : 2,5