EFIKASI VAKSIN ULANG Streptococcus agalactiae PADA INDUK IKAN NILA TERHADAP IMUNITAS MATERNAL UNTUK PENCEGAHAN STREPTOCOCCOSIS
DENDI HIDAYATULLAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Efikasi Vaksin Ulang Streptococcus agalactiae pada Induk Ikan Nila terhadap Imunitas Maternal untuk Pencegahan Streptococcosis adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2016
Dendi Hidayatullah NIM C151130161
RINGKASAN DENDI HIDAYATULLAH. Efikasi Vaksin Ulang Streptococcus agalactiae pada Induk Ikan Nila terhadap Imunitas Maternal untuk Pencegahan Streptococcosis. Dibimbing oleh SUKENDA dan SRI NURYATI. Bakteri S. agalactiae merupakan patogen utama yang menyerang ikan nila mulai fase benih hingga dewasa. Fase benih merupakan fase rawan disebabkan banyak terjadi kematian akibat belum berkembangnya sistem imun dengan sempurna. Rekayasa transfer imunitas maternal melalui vaksinasi induk ikan merupakan teknik alternatif dalam mengantisipasi tingginya angka kematian benih. Pemberian vaksin S. agalactiae di induk ikan nila pada pemijahan pertama mampu meningkatkan imunitas induk maupun benih dan memproteksi benih dari infeksi S. agalactiae. Namun, transfer imunitas maternal pada pemijahan kedua dari induk yang telah divaksin mengalami penurunan. Hal tersebut disebabkan karena dalam jangka waktu tertentu keberadaan antibodi dalam tubuh dan proteksinya akan semakin menurun. Tujuan penelitian ini yaitu untuk menguji efikasi vaksin ulang S. agalactiae di induk ikan nila pada pemijahan kedua terhadap imunitas maternal untuk pencegahan streptococcosis. Vaksin dibuat dengan cara menginaktivasi bakteri S. agalactiae menggunakan formalin sebanyak 3% (v/v). Vaksin yang digunakan adalah gabungan sediaan sel utuh dan produk ekstraselular (ECP) S. agalactiae. Vaksin gabungan diinjeksi sebanyak 0,4 mL/kg induk ikan dengan perbandingan 50:50% (v/v) dari dosis penyuntikan, sedangkan kontrol diinjeksi dengan phosphate buffered saline (PBS). Vaksin diberikan ke induk ikan pada fase tingkat kematangan gonad dua (TKG 2). Penelitian terdiri dari tiga perlakuan dan tiga ulangan yaitu induk diinjeksi PBS (K), induk diinjeksi vaksin satu kali (A), dan induk diinjeksi vaksin dua kali dengan selang waktu satu bulan (B). Uji tantang benih dari setiap induk perlakuan dilakukan melalui perendaman S. agalactiae 107 CFU/mL selama 30 menit pada umur benih 5, 10, 15, dan 20 hari setelah menetas. Parameter yang diamati pada induk ikan meliputi level antibodi, aktivitas lisosim, gambaran darah, dan fekunditas telur. Parameter yang diamati pada telur dan benih meliputi daya tetas telur, level antibodi, aktivitas lisosim, mortalitas benih setelah uji tantang, relative percent survival (RPS) dan perubahan patologi anatomi mikroskopis jaringan otak benih setelah infeksi S. agalaciae. Hasil penelitian menunjukkan total eritrosit, hemoglobin, dan hematokrit induk ikan tidak berbeda signifikan (P>0,05) antara semua perlakuan. Namun, terdapat perbedaan yang signifikan (P<0,05) pada total leukosit dan aktivitas fagositik. Perlakuan induk B memiliki total leukosit dan aktivitas fagositik yang signifikan lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan induk lainnya. Level antibodi induk, telur, dan benih dari perlakuan B signifikan lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan induk lainnya. Level antibodi benih dari perlakuan induk A tidak berbeda signifikan (P>0,05) dengan benih dari perlakuan induk K pada hari ke-20. Aktivitas lisosim induk, telur, dan benih dari perlakuan B berbeda signifikan lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan induk lainnya. Aktivitas lisosim telur dari induk perlakuan A tidak berbeda signifikan (P>0,05) dengan telur dari induk K. Aktivitas lisosim benih dari induk perlakuan
A tidak berbeda signifikan (P>0,05) dengan benih dari induk K mulai hari ke-10 hingga hari ke-20. Fekunditas telur tidak berbeda signifikan (P>0,05) pada semua perlakuan. Namun, terdapat perbedaan yang signifikan terhadap daya tetas telur. Daya tetas telur dari perlakuan induk B (94,52%) signifikan lebih tinggi (P<0,05) dari pada perlakuan induk lainnya. Tingkat mortalitas benih perlakuan induk B signifikan lebih rendah (P<0,05) dari perlakuan lainnya hingga hari ke-20. Namun, mortalitas benih perlakuan induk B tidak berbeda signifikan (P>0,05) dengan perlakuan benih dari induk A pada hari ke-5. Nilai RPS benih dari perlakuan induk B tidak berbeda signifikan (P>0,05) dengan perlakuan benih dari induk A pada hari ke-5 tetapi, signifikan lebih tinggi (P<0,05) pada hari ke-10 hingga hari ke-20. Hasil histologi jaringan otak ikan yang terinfeksi S. agalactiae terlihat mengalami nekrosis dan degenerasi, namun tidak terlihat pada jaringan otak benih ikan normal. Kesimpulan penelitian yaitu pemberian vaksin ulang di induk ikan nila pada pemijahan kedua dapat menstimulasi imunitas dan transfer imunitas maternal ke anaknya untuk pencegahan streptococcosis. Kata kunci: vaksin ulang, imunitas, maternal, transfer, induk, nila
SUMMARY DENDI HIDAYATULLAH. Efficacy of Streptococcus agalactiae Re-vaccine on Tilapia Broodstock to Maternal Immunity in Preventing Streptococcosis. Supervised by SUKENDA and SRI NURYATI. The bacteria S. agalactiae is a main pathogen attacking tilapia during the fry up to adult phase. The fry phase is the most threatened phase with high mortality rate due to under developed immunity system. The manipulation maternal immunity transfer via broodstock vaccination was the best alternative technique to anticipate the high mortality rate in fry. The administration of S. agalactiae vaccine in tilapia broodstock during the first spawning has been proven to increase the immunity of broodstock and fry against infection of S. agalactiae. However the maternal immunity transfer in the second spawning has decreased. In addition, the presence and potection of antibodies will continue to decrease over time. The purpose of the research was conducted to assess the efficacy of S. agalactiae re-vaccine in tilapia broodstock before second spawning on the maternal immunity transfer to the fry in preventing streptococcosis. The vaccine was prepared using formalin-killed whole cell and extracellular products (ECP) of S. agalactiae. Fish were vaccinated with mixed whole cell and ECP vaccine. The vaccine was administered by injection of 0.4 mL/kg fish in a 50:50% (v/v), and the control was injected by phosphate buffered saline (PBS). Vaccinated broodstock at gonad developmental stage two. The research consisted of three treatments with three replications, which were broodstock with injected PBS (K), broodstocks injected once vaccine (A), and broodstocks injected twice vaccine with interval one month (B). Challenge test for fry produced on every broodstock were performed by immersion of 107 CFU/mL S. agalactiae for 30 minutes at fry ages 5, 10, 15, and 20 day after hatching. The parameters observed in broodstock were level of antibodies, lysozyme activity, blood profile, and fecundity rate of eggs. Parameters observed in eggs and fry were hatching of eggs, level of antibodies, lysozyme activity, mortality rate of fry after challenge test, relative percent survival (RPS), and anatomic microscopic pathology changes in brain tissue of fry after infection with S. agalaciae. The results showed total erythrocytes, hemoglobin and hematocrit in broodstock were not significantly different (P>0.05) between all treatments. However, there were significantly different (P<0.05) in total leukocytes and phagocytic activity. The total leukocytes and phagocytic activity from broodstock B treatment were significantly higher (P<0.05) than the other broodstock. Antibody level of broodstock, eggs, and fry from B treatment (OD: 0.20) were significantly higher (P<0.05) than the other treatments. Lisozyme activity in broodstock, eggs, and fry from B treatment were significantly higher (P<0.05) than the other broodstock. The lisozyme activity of fry from broodstock A and B decreased at day 10 and than rise again until day 20. The lisozyme activity of fry from broodstock A and K were not significantly different (P<0.05) from 10th until 20th day. The fecundity rate of eggs from all broodstock treatments were not significantly different (P>0.05). There was significantly different (P<0.05) to
hatching rate. Hatching rate from broodstock B was significantly higher (P<0.05) than the other broodstock treatments. Mortality rate of fry from broodstock B was significantly lower (P<0.05) than the other treatment until 20th day. However, mortality rate of fry from broodstock B was not significantly different (P>0.05) with fry from broodstock A at 5th day. Relative percent survival of fry from broodstock B was not significanty different (P>0.05) with fry from broodstock A at 5th day but, significantly higher (P<0.05) at 10th until 20th day. There was microscopic changes in brain of fry after S. agalactiae infection. The brain tissue which S. agalactiae infection showed necrosis and degeneration, but not shown in normal fish brain. The conclusion of this research showed re-vaccine in broodstock on second spawning can stimulate immunity and maternal immunity transfer to fry for streptococcosis prevention. Key words: re-vaccine, maternal, immunity, transfer, broodstock, tilapia
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
EFIKASI VAKSIN ULANG Streptococcus agalactiae PADA INDUK IKAN NILA TERHADAP IMUNITAS MATERNAL UNTUK PENCEGAHAN STREPTOCOCCOSIS
DENDI HIDAYATULLAH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Akuakultur
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Kukuh Nirmala, MSc
Judul Tesis : Efikasi Vaksin Ulang Streptococcus agalactiae pada Induk Ikan Nila terhadap Imunitas Maternal untuk Pencegahan Streptococcosis Nama : Dendi Hidayatullah NIM : C151130161
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Sukenda, MSc Ketua
Dr Sri Nuryati, SPi MSi Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Akuakultur
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Widanarni, MSi
Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr
Tanggal Ujian: 14 Desember 2015
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wata’ala atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga Maret 2015 dengan judul Efikasi Vaksin Ulang Streptococcus agalactiae pada Induk Ikan Nila terhadap Imunitas Maternal untuk Pencegahan Streptococcosis. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan tesis ini, terutama kepada Dr Ir Sukenda, MSc dan Dr Sri Nuryati, SPi MSi selaku ketua dan anggota komisi pembimbing tesis serta Dr Dinamella Wahjuningrum, SSi MSi selaku wakil dari program studi Ilmu Akuakultur dan Dr Ir Kukuh Nirmala, MSc selaku dosen penguji luar komisi. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya. Penulis sampaikan pula terima kasih dan penghargaan kepada Pak Ranta, Pak Rahman, teman-teman BDP45 (Wahyu, Fajar, Ardina, Nurina, Tira, Tiara, Yoseph, Asep, Erriza), temanteman Ilmu Akuakultur 2013, teman-teman laboratorium kesehatan organisme akuatik 2013 (Ka Ezy, Ka Dwi, Ka Vika, Windu, Abung, Asep, Ari, Lukman, Sekar, Ike, Amal, Bu Aty, Nurin), serta adik-adik tingkat (Yanti, Rudi, Ardana, Dhana, Kiki, Zani, Adel, Iqbal, Mita, Syifa, Yuri, May, Hana, Berman, Arbi) yang terus memberikan semangat, bantuan, dukungan, dan doanya kepada penulis dalam penyusunan tesis. Terimakasih juga disampaikan kepada DIKTI yang telah memberikan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPPDN) tahun 2013. Demikian tesis ini disusun, semoga bermanfaat dan dapat berkontribusi terhadap pengembangan akuakultur di masa depan. Bogor, Januari 2016 Dendi Hidayatullah
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian 2 METODE Materi Uji Rancangan Percobaan Prosedur Penelitian Parameter Penelitian Analisis Data 3 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pembahasan 4 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
vi vi vii 1 1 2 2 2 3 3 3 3 5 8 8 8 13 17 17 17 17 22 24
DAFTAR TABEL 1 Perlakuan pengujian efikasi vaksin ulang S. agalactiae di induk ikan nila pada pemijahan kedua 3 2 Gambaran darah induk ikan nila setelah vaksinasi pada perlakuan induk diinjeksi PBS (K), induk diinjeksi vaksin satu kali (A), dan induk diinjeksi vaksin dua kali dengan selang waktu satu bulan (B): total eritrosit, total leukosit, hemoglobin (Hb), hematokrit (Hc), dan aktivitas fagositik (AF) 9 3 Fekunditas dan daya tetas telur ikan nila pada pemijahan kedua dari perlakuan induk diinjeksi PBS (K), induk diinjeksi vaksin satu kali (A), dan induk diinjeksi vaksin dua kali dengan selang waktu satu bulan (B). 12 4 Tingkat mortalitas setelah infeksi S. agalactiae dan relative percent survival benih ikan nila pada pemijahan kedua dari perlakuan induk diinjeksi PBS (K), induk diinjeksi vaksin satu kali (A), dan induk diinjeksi vaksin dua kali dengan selang waktu satu bulan (B) 13
DAFTAR GAMBAR 1 Level antibodi induk ikan nila setelah vaksinasi pada perlakuan induk diinjeksi PBS (K), induk diinjeksi vaksin satu kali (A), dan induk diinjeksi vaksin dua kali dengan selang waktu satu bulan (B). Huruf yang berbeda di setiap bar menunjukkan pengaruh perlakuan yang berbeda nyata (Tukey’s P<0,05) 2 Level antibodi telur ikan nila pada pemijahan kedua dari perlakuan induk diinjeksi PBS (K), induk diinjeksi vaksin satu kali (A), dan induk diinjeksi vaksin dua kali dengan selang waktu satu bulan (B). Huruf yang berbeda di setiap bar menunjukkan pengaruh perlakuan yang berbeda nyata (Tukey’s P<0,05) 3 Level antibodi benih ikan nila umur benih 5, 10, 15, dan 20 hari setelah menetas pada pemijahan kedua dari perlakuan induk diinjeksi PBS (K), induk diinjeksi vaksin satu kali (A), dan induk diinjeksi vaksin dua kali dengan selang waktu satu bulan (B). Huruf yang berbeda di setiap bar pada umur benih yang sama menunjukkan pengaruh perlakuan yang berbeda nyata (Tukey’s P<0,05) 4 Aktivitas lisosim induk ikan nila pada perlakuan induk diinjeksi PBS (K), induk diinjeksi vaksin satu kali (A), dan induk diinjeksi vaksin dua kali dengan selang waktu satu bulan (B). setelah vaksinasi. Huruf yang berbeda di setiap bar menunjukkan pengaruh perlakuan yang berbeda nyata (Tukey’s P<0,05) 5 Aktivitas lisosim telur ikan nila pada pemijahan kedua dari perlakuan induk diinjeksi PBS (K), induk diinjeksi vaksin satu kali (A), dan induk diinjeksi vaksin dua kali dengan selang waktu satu bulan (B). Huruf yang berbeda di setiap bar menunjukkan pengaruh perlakuan yang berbeda nyata (Tukey’s P<0,05)
9
10
10
11
11
6 Aktivitas lisosim benih ikan nila umur benih 5, 10, 15, dan 20 hari setelah menetas pada pemijahan kedua dari perlakuan induk diinjeksi PBS (K), induk diinjeksi vaksin satu kali (A), dan induk diinjeksi vaksin dua kali dengan selang waktu satu bulan (B). Huruf yang berbeda di setiap bar pada umur benih yang sama menunjukkan pengaruh perlakuan yang berbeda nyata (Tukey’s P<0,05) 12 7 Patologi anatomi mikroskopis pada jaringan otak benih ikan nila setelah infeksi S. agalactiae: A) Jaringan otak normal; B) Jaringan otak terserang S. agalactiae mengalami nekrosis (Ne) dan Degenerasi (De) 13
DAFTAR LAMPIRAN 1 Karakterisasi bakteri S. agalactiae menggunakan KIT API 20 Strep 22 2 Hasil pengukuran bobot molekul protein produk ekstraselular (ECP) S. agalactiae dengan metode sodium dodecyl sulfate polyacrylamide gel electrophoresis (SDS-PAGE) 23 3 Histologi jaringan gonad induk ikan nila pada tingkat kematangan gonad dua (TKG2) 23
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Bakteri S. agalactiae merupakan patogen utama di ikan nila. Bakteri tersebut menyebabkan kematian massal pada budidaya ikan nila di beberapa negara produsen ikan nila seperti China, Thailand, Malaysia dan Indonesia (Sheehan et al., 2009). Bakteri ini menimbulkan penyakit streptococcosis mulai fase benih hingga fase dewasa pada ikan nila (Evans et al., 2006; Yang & Li, 2009; Jantrakajorn et al., 2014). Infeksi Streptococcus pada budidaya ikan nila intensif dapat menyebabkan tingkat kematian mencapai 90% populasi dan lebih dari 90% bakteri disebabkan oleh S. agalactiae (Ye et al., 2011; Chen et al., 2012). Streptococcosis pada ikan yang disebabkan oleh S. agalactiae menyebabkan septicemia dan meningoencephalitis (Mian et al., 2009). Hardi et al., (2011) melaporkan bahwa ikan yang terserang patogen S. agalactiae memiliki gejala seperti pembengkakan pada mata (exopthalmia), kekeruhan pada mata (opacity), mata memutih (purulens), perubahan pola renang (whirling), dan penjernihan operkulum (Clear operculum). Aspek yang berpengaruh terhadap keberhasilan budidaya ikan nila salah satunya adalah kualitas benih. Hal ini erat hubungannya dengan kualitas induk ikan. Menurut Swain dan Nayak (2009), kesehatan dan status imun induk ikan sangat penting bukan hanya pada saat pemijahan tetapi juga untuk kesehatan benih yang dihasilkan. Adanya imunitas maternal yang ditransfer oleh induk menjadi esensial pada fase awal pertumbuhan benih. Hal ini penting karena pada awal pertumbuhan, kemampuan embrio dan benih ikan masih belum dapat mengembangkan respon imun dengan baik (Magnadottir et al., 2005; Zapata et al., 2006). Vaksinasi ikan merupakan salah satu upaya pencegahan yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah penyakit dengan cara menginduksi kekebalan spesifik (Evans et al., 2005; Sommerset et al., 2005; Muiswinkel, 2008; Secombes, 2011; Gudding et al., 2013; Yi et al., 2014). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian vaksin dari sediaan antigen sel utuh dan produk ekstraselular S. agalactiae mampu merangsang terbentuknya antibodi spesifik dan memproteksi ikan nila dari infeksi S. aglactiae (Hardi et al., 2013; Amrullah et al., 2014; Dwinanti et al., 2014). Vaksin gabungan antara sel utuh dan produk ekstraselular S. agalactiae telah diketahui bersifat lebih imunogenik dibandingkan jika diberikan secara tunggal (Hardi et al., 2013). Akan tetapi vaksinasi pada stadia benih melalui perendaman belum menunjukkan proteksi yang optimal dengan nilai kelangsungan hidup relatif yang masih rendah (Taukhid et al., 2012; Sukenda et al., 2014). Padahal meningkatkan kekebalan pada ikan sedini mungkin adalah pendekatan yang lebih baik karena memberi proteksi terhadap serangan penyakit sedini mungkin (Bowden et al., 2005; Magnadottir et al., 2005). Rekayasa transfer kekebalan maternal pada induk ikan merupakan upaya dalam mengantisipasi tingginya angka kematian anak ikan pada umur kurang dari satu bulan (Swain et al., 2006; Wang et al., 2012; Mingming et al., 2014). Salah satu alternatif yang dapat dilakukan yaitu melalui vaksinasi induk (Zang et al., 2013). Penelitian pada beberapa spesies ikan telah menunjukkan bahwa antibodi
2 dan lisosim induk ikan ditransfer dari induk ke anaknya dan memberikan proteksi yang baik (Nur et al., 2004; Hanif et al., 2004; Picchietti et al., 2004; Swain et al., 2006, Wang et al., 2012). Vaksinasi induk ikan nila sebelum memijah telah menunjukkan transfer imunitas maternal yang baik kepada benih di pemijahan pertama (Nur et al., 2004; Sukenda et al., 2015a). Namun transfer imunitas maternal pada pemijahan kedua dari induk yang telah divaksin ke anaknya mengalami penurunan. Hal ini disebakan karena dalam jangka waktu tertentu keberadaan antibodi dalam tubuh ikan dan tingkat proteksinya semakin menurun (Pasnik et al., 2005; Sukenda et al., 2015b). Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian terkait pemberian vaksin ulang di induk ikan nila pada pemijahan kedua dalam upaya meningkatkan transfer imunitas maternal induk ke anak ikan. Perumusan Masalah Bakteri S. agalactiae diketahui sebagai patogen utama penyebab kematian pada ikan nila. Bakteri S. agalactiae menimbulkan penyakit streptococcosis mulai fase benih hingga fase dewasa. Rekayasa transfer kekebalan maternal pada induk ikan merupakan teknik alternatif dalam upaya mengantisipasi tingginya angka kematian benih ikan nila pada umur kurang dari satu bulan. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah melalui vaksinasi induk. Vaksinasi induk dengan gabungan antara sel utuh dan produk ekstraselular S. agalactiae dipemijahan pertama mampu meningkatkan imunitas spesifik dan non spesifik induk maupun benih yang dihasilkan terhadap infeksi S. agalactiae. Namun, dalam jangka waktu tertentu keberadaan antibodi dalam tubuh ikan dan tingkat proteksinya akan semakin menurun dan berdampak pada transfer imunitas maternal pada pemijahan selanjutnya. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian terkait pemberian vaksin ulang pada induk nila pada pemijahan kedua. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menguji efikasi vaksin ulang S. agalactiae di induk ikan nila pada pemijahan kedua terhadap imunitas maternal yang ditransfer ke anaknya untuk pencegahan streptococcosis. Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi mengenai transfer imunitas maternal induk nila yang diberi vaksin pada pemijahan kedua. Selain itu, aplikasinya dalam proses manajemen pemberian vaksin induk diharapkan dapat memberikan informasi waktu pemberian vaksin ulang pada induk yang dapat menstimulasi imunitas induk dan proteksi benih ikan nila terhadap penyakit streptococcosis.
3
2 METODE Materi Uji Induk ikan nila yang digunakan adalah ikan nila strain Nirwana yang diperoleh dari Balai Pengembangan Benih Ikan Air Tawar, Wanayasa, Jawa Barat. Bobot induk ikan nila yang digunakan berukuran 200-300 gram. Induk ikan dipisahkan antara jantan dan betina. Induk ikan dipelihara dalam bak berukuran 3×2×1 m3 pada temperatur air 24-30 °C; pH 6,58-7,76; OD 4,5-6,7 ppm. Induk ikan diberi pakan dengan kadar protein 35-40% sebanyak dua kali dalam sehari secara at satiation dan dilakukan pergantian air setiap tiga hari sekali. Bakteri S. agalactiae diperoleh dari koleksi Laboratorium Kesehatan Ikan, Instalasi Penelitian dan Pengembangan Pengendalian Penyakit Ikan BPPBAT Bogor. Bakteri S. agalactiae yang digunakan dalam penelitian dilakukan pemulihan virulensi dengan cara difasase. Bakteri S. agalactiae hasil fasase kemudian dikarakterisasi menggunakan Kit API 20 Strept (Lampiran 1). Setelah bakteri dikarakterisasi ulang kemudian siap digunakan untuk pembuatan vaksin dan uji tantang. Rancangan Percobaan Penelitian ini dilakukan dengan metode eksperimen menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan dan tiga ulangan. Evaluasi transfer imunitas maternal induk ke anak ikan dilakukan pada pemijahan kedua Rancangan penelitian disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Perlakuan pengujian efikasi vaksin ulang S. agalactiae di induk ikan nila pada pemijahan kedua Perlakuan K A B
Keterangan Induk diinjeksi PBS pada pemijahan kedua Induk diinjeksi vaksin satu kali pada pemijahan kedua Induk diinjeksi vaksin dua kali dengan selang waktu satu bulan pada pemijahan kedua
Prosedur Penelitian Penyediaan Vaksin Uji Vaksin yang digunakan adalah vaksin gabungan antara sel utuh dan produk ekstraselular (ECP) S. agalactiae. Metode pembuatan vaksin mengacu pada Hardi et al., (2013). Preparasi masing-masing vaksin dijelaskan sebagai berikut. Preparasi vaksin sel utuh: Bakteri dikultur dalam media brain heart infusion (BHI, BD BactoTM) cair dengan masa inkubasi 72 jam pada suhu 28-30 °C. Kepadatan akhir bakteri yang didapatkan yaitu 109 CFU/mL. Media yang telah ditumbuhi bakteri ditambahkan 3% neutral buffered formalin dan diinkubasi selama 24 jam. Suspensi kemudian disentrifugasi 7.000 rpm selama 30 menit pada suhu 4 °C. Endapan bakteri hasil sentrifugasi dicuci dengan phosphate buffered saline (PBS) sebanyak dua kali. Terakhir ditambahkan PBS sebanyak volume awal biakan bakteri. Vaksin yang telah jadi diuji viabilitasnya dengan menggores vaksin pada media BHI agar dalam cawan petri. Jika bakteri tidak tumbuh dalam waktu 72 jam, maka vaksin dapat digunakan untuk vaksinasi induk ikan.
4 Preparasi vaksin produk ekstraselular (ECP): Bakteri dikultur dalam media brain heart infusion (BHI, BD BactoTM) cair dengan masa inkubasi 72 jam pada suhu 28-30 °C. Media yang telah ditumbuhi bakteri ditambahkan 3% neutral buffered formalin dan diinkubasi selama 24 jam. Kemudian suspensi disentrifugasi 7.000 rpm selama 30 menit pada suhu 4 °C. Vaksin ECP diperoleh dengan menyaring supernatan dengan filter saring 0,22 µm. Protein di dalam supernatan kemudian dianalisis dengan sodium dodecyl sulfate polyacrylamide gel electrophoresis (SDS-PAGE) menggunakan metode pewarnaan Coomassie Brilliant Blue R-250 (Bio Rad) untuk mengetahui bobot molekul protein yang terkandung di dalamnya. Hasil analisis SDS-PAGE menunjukkan ECP yang didapat memiliki kandungan beberapa protein sebesar 51,8 kDa; 55,8 kDa; dan 62,3 kDa (Lampiran 2). Vaksin ECP kemudian diuji keamanannya dengan cara menyuntik vaksin ECP pada lima ekor ikan nila berukuran 10 gram sebanyak 0,1 mL/ekor. Jika hingga jam ke-72 tidak muncul kematian dan gejala streptococcosis maka vaksin ECP aman untuk digunakan. Vaksinasi dan Pemijahan Induk Ikan Nila Induk yang akan divaksinasi diambil sampel untuk dilihat tingkat kematangan gonadnya dengan metode kanulasi yaitu memasukkan selang kateter berdiameter 1 mm ke dalam lubang genital sedalam 2 – 4 cm lalu dihisap dan dicabut secara perlahan-lahan. Telur pada tingkat kematangan gonad dua selanjutnya dilakukan histologi jaringan (Lampiran 3). Vaksinasi induk diberikan pada fase tingkat kematangan gonad dua (TKG2). Vaksin diberikan melalui injeksi intraperitoneal. Vaksin diberikan ke induk ikan nila dengan dosis 0,4 mL/kg ikan. Vaksin sel utuh diberikan dengan konsentrasi 109 CFU/mL. Kombinasi vaksin sel utuh dan ECP adalah 50:50% (v/v) dari dosis penyuntikan, sedangkan kontrol diinjeksi dengan PBS. Sebelum divaksinasi induk ikan dipingsankan terlebih dahulu dengan bius. Interval waktu vaksinasi pertama dan kedua yaitu satu bulan. Pemijahan dilakukan dalam hapa berukuran 1×1×1 m3 dengan perbandingan satu jantan dan tiga betina. Pemijahan dilakukan secara alami. Jarak antara waktu vaksinasi dan pemijahan yaitu tiga minggu. Penetasan Telur dan Pemeliharaan Benih Ikan yang telah memijah dihitung fekunditas dan daya tetas telurnya. Telur yang telah dibuahi diperoleh dengan membuka mulut induk betina. Telur ikan nila kemudian ditetaskan dalam wadah akuarium berukuran 60×35×30 cm3 dan diberi aerasi yang cukup. Setelah telur menetas benih diberi pakan alami berupa cacing sutra secara ad libitum yang dimulai pada hari ke-7 (setelah kuning telur habis). Suhu pemeliharaan benih dijaga pada temperatur 28-29 °C; pH 6,85-7,68; dan OD 4,1-6,1 ppm. Pergantian air dilakukan setiap hari. Uji Tantang Benih Uji tantang benih dari induk yang divaksin dan kontrol dilakukan melalui perendaman menggunakan bakteri patogen S. agalactiae 107 CFU/mL selama 30 menit. Uji tantang dilakukan pada umur benih 5, 10, 15, dan 20 hari setelah menetas. Selanjutnya benih dipelihara dalam akuarium berukuran 20×20×20 cm3 dengan kepadatan 30 ekor setiap akuarium. Kemudian mortalitas benih diamati setelah uji tantang.
5 Preparasi Sampel Serum dari Induk, Telur, dan Benih Induk dan benih ikan dipingsankan dahulu menggunakan pembius ikan. Darah dari induk dikumpulkan melalui pembuluh vena dipangkal ekor. Darah disimpan dalam suhu ruang selama 1 jam dan selanjutnya disimpan semalaman pada suhu 4 °C. Serum dikumpulkan dengan cara disentrifugasi 5000 rpm selama 10 menit pada suhu 4 °C. Serum kemudian dipisahkan ke dalam tabung mikro dan disimpan pada suhu -20 °C untuk digunakan pada pengujian antibodi dan lisosim. Telur dikumpulkan sesaat setelah induk memijah, sedangkan sampel benih diambil pada hari ke-5, ke-10, ke-15, dan ke-20 setelah menetas. Telur dan benih yang terkumpul dihomogenkan dalam larutan PBS-T (PBS+0,05% Tween-20) dengan perbandingan 1:4. Selanjutnya disentrifugasi 5000 rpm selama 10 menit pada suhu 4 °C. Supernatan kemudian dipisahkan ke dalam tabung mikro dan disimpan pada suhu -20 °C untuk digunakan pada pengujian antibodi dan lisosim. Parameter Penelitian Parameter yang diamati pada induk yaitu level antibodi, aktivitas lisosim, gambaran darah (total eritrosit, total leukosit, hemoglobin, hematokrit, aktivitas fagositik) dan fekunditas telur. Parameter yang diamati pada telur dan benih meliputi daya tetas telur, level antibodi, aktivitas lisosim, mortalitas benih setelah uji tantang, relative percent survival (RPS) benih, dan patologi anatomi mikroskopis jaringan otak benih ikan. Total Eritrosit Total eritrosit induk ikan diamati satu minggu setelah vaksinasi. Total eritrosit dihitung menggunakan metode Blaxhall dan Daisley (1973) yaitu darah sampel dihisap dengan pipet yang berisi bulir pengaduk warna merah sampai skala 0,5. Selanjutnya ditambah larutan Hayem’s sampai skala 101. Darah dalam pipet diaduk dengan cara menggoyangkan pipet membentuk angka delapan selama 3-5 menit sehingga darah tercampur rata. Dua tetes pertama larutan darah dalam pipet tersebut dibuang, selanjutnya larutan darah tersebut diteteskan di atas hemasitometer yang telah diletakkan gelas penutup di atasnya. Berikut ini adalah rumus perhitungan total eritrosit : ∑Eritrosit (sel/mm3) = ∑sel terhitung ×
× faktor pengenceran
Total Leukosit Total leukosit induk ikan diamati satu minggu setelah vaksinasi. Total Leukosit dihitung menggunakan metode Blaxhall dan Daisley (1973). Darah dihisap menggunakan pipet hemasitometer berbulir merah sampai skala 0,5 lalu diencerkan dengan larutan Turk’s sampai skala 11. Kedua ujung ditutup sejajar kemudian digoyangkan membentuk angka delapan selama 3-5 menit. Setelah itu, larutan pada bagian ujung pipet yang tidak teraduk dibuang sebanyak dua tetes. Tetesan berikutnya dimasukkan ke dalam hemasitometer yang telah dilengkapi dengan kaca penutup. Berikut ini adalah rumus perhitungan total leukosit: ∑Leukosit (sel/mm3) = ∑sel terhitung ×
× faktor pengenceran
6 Kadar Hemoglobin Kadar hemoglobin induk ikan diamati satu minggu setelah vaksinasi. Kadar hemoglobin diukur menurut metode Sahli (Wedemeyer dan Yasutake, 1977) yaitu dengan mengisi tabung sahlinometer dengan larutan HCl 0,1 N sampai garis skala 10 merah, kemudian ditempatkan diantara 2 tabung warna standar. Darah ikan dari tabung mikro diambil dengan pipet Sahli sebanyak 0,02 mL dan dimasukkan ke tabung Sahli, kemudian didiamkan selama 3 menit. Selanjutnya ditambahkan akuades dengan pipet tetes sedikit demi sedikit dan diaduk sampai berubah warna tepat sama dengan warna standar. Kadar hemoglobin dinyatakan dalam g/dL pada skala kuning. Hematokrit Hematokrit diamati satu minggu setelah vaksinasi induk ikan. Hematokrit diukur menggunakan metode Anderson dan Siwicki (1993) yaitu darah dihisap dengan tabung kapiler (mikrohematokrit) hingga ¾ bagian tabung, lalu ujung tabung ditutup dengan crytoceal. Setelah itu, tabung mikrohematokrit yang berisi darah disentrifugasi pada kecepatan 3000 rpm selama 5 menit. Perhitungan hematokrit dilakukan dengan cara membandingkan panjang endapan darah (a) terhadap panjang total seluruh darah (b). Berikut ini adalah rumus perhitungan kadar hematokrit: Hematokrit (%) =
× 100
Aktivitas Fagositik Aktivitas fagositik induk ikan diamati satu minggu setelah vaksinasi. Aktivitas fagositik dihitung berdasarkan metode Anderson dan Siwicki (1993). Darah sebanyak 50µL dimasukkan ke dalam tabung mikro, ditambahkan 50µL suspensi bakteri Staphylococcus aureus dalam PBS, dihomogenkan dan diinkubasi pada suhu 28 °C selama 20 menit. Selanjutnya dari campuran tersebut diambil sebanyak 5 µL untuk dibuat preparat ulas. Preparat ini difiksasi dengan metanol selama 5 menit dan dikeringkan, kemudian direndam dalam larutan giemsa selama 15 menit. Preparat lalu dicuci dalam air mengalir dan dikeringkan. Pengamatan dilakukan menggunakan mikroskop. Aktivitas fagositik didasarkan pada persentase dari 100 sel fagosit yang menunjukkan aktivitas fagositik. Berikut adalah rumus untuk menghitung aktivitas fagositik : Aktivitas Fagositik (%) =
× 100
Level Antibodi Level antibodi diamati pada induk, telur, dan benih. Level antibodi induk ikan diamati dua minggu setelah vaksinasi, sedangkan level antibodi benih diamati pada hari ke-5, ke-10, ke-15, dan ke-20 setelah menetas. Pengukuran level antibodi dilakukan dengan menggunakan metode indirect enzyme-linked imunosorbent assay (ELISA) (Shelby et al., 2001). Sebanyak 100 μL antigen yang telah diencerkan 1:1 pada PBS (pH 7,2) dimasukkan ke dalam sumur microtiter plates dan ditambahkan 100 μL carbonate-bicarbonate buffer (pH 9,6) pada setiap sumur, inkubasi suhu 4 °C selama 24 jam (over night). Microtiter plates dicuci dengan menggunakan PBS-T (PBS pH 7,4 + 0,05% Tween-20). Tambahkan 100 μL bovine serum albumin (BSA, Sigma) 3% dalam H2O w/v dan
7 inkubasi 25 °C selama 1 jam, kemudian dicuci dengan PBS-T. Sampel serum induk nila diencerkan 1:50 pada PBS-T sedangkan untuk telur dan benih diencerkan 1:16 pada PBS-T, ditambahkan ke dalam microtiter plates sebanyak 100 μL dengan 3 kali ulangan. Microtiter plates diinkubasi 25 °C selama 1 jam kemudian dicuci dengan PBS-T. Imunoglobulin anti-nila rantai panjang untuk poliklonal antibodi spesifik diencerkan 1:200 pada PBS-T dan 100 μL dan ditambahkan ke setiap sumur microtiter plates. Microtiter plates diinkubasi pada suhu 25 °C selama 1 jam kemudian dicuci menggunakan PBS-T. Tambahkan 100 μL peroxidase-conjugated goat anti rabbit (Sigma) yang diencerkan menjadi 1:5000 pada PBS-T ke setiap sumur microtiter plates. Microtiter plates diinkubasi pada suhu 25 °C selama 1 jam kemudian dicuci dengan PBS-T. Tambahkan pada setiap sumur microtiter plates 100 μL One-Step Ultra TMB-ELISA (Sigma) (TMB 5 mg + 10 µL H2O2 38% dalam 5 mL asetat buffer pH 5). Untuk blanko tambahkan 50 μL H2SO4 3 M ke dalam sumur pertama dari microtiter plates dan diamkan selama 20 menit kemudian tambahkan 100 μL substrat TMB-ELISA. Setelah 20 menit, reaksi ELISA dihentikan dengan menambahkan 50 μL H2SO4 3 M, dan lakukan pembacaan optical density (OD) pada panjang gelombang 405 nm dengan Microplate Reader (Kayto RT-2100C). Aktivitas Lisosim Aktivitas lisosim diamati pada induk, telur, dan benih. Lisosim induk diamati satu minggu setelah vaksinasi, sedangkan lisosim benih diamati pada hari ke-5, ke-10, ke-15, dan ke-20 setelah menetas. Aktivitas lisosim diukur dengan metode yang digunakan oleh Hanif et al., (2004). Sampel (100 μL) ditambahkan suspensi cair bakteri Micrococcus lysodeikticus (Sigma) (sebanyak 100 μL (0,4 mg/mL dalam 0,1 M Phosphate buffered saline pH 6,2 pada suhu 25 oC. Dilakukan dua kali pembacaan adsorpsi pada panjang gelombang 450 nm dengan Microplate Reader (Kayto RT-2100C) selama 30 detik pencampuran dan 30 menit pencampuran. Unit aktivitas lisosim akan dibatasi sejumlah enzim yang menyebabkan penurunan absorbans 0,001/menit. Berikut merupakan rumus perhitungan lisosim: –
Aktivitas Lisosim (Unit/mL) = Fekunditas dan Daya Tetas Telur Nilai fekunditas dilakukan dengan cara menghitung jumlah telur yang dihasilkan dari satu ekor induk ikan nila. Selanjutnya daya tetas telur dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut. Daya tetas telur (%) =
× 100
Tingkat Mortalitas Benih Tingkat mortalitas benih dihitung setelah uji tantang dengan S. agalactiae. Tingkat mortalitas benih dihitung menggunakan rumus sebagai berikut: Mortalitas (%) =
× 100
8 Relative Percent Survival (RPS) Relative percent survival benih dihitung untuk mengetahui efektivitas transfer kekebalan maternal dari induk yang divaksin setelah uji tantang dengan S. agalactiae. Nilai RPS dihitung pada akhir uji tantang. Berikut merupakan rumus perhitungan RPS: RPS (%) = (1 –
) × 100
Patologi Anatomi Mikroskopis Pengamatan patologi anatomi mikroskopis yang diamati yaitu perubahan jaringan otak benih ikan nila setelah uji tantang S. agalactiae. Pengamatan dilakukan dengan membuat preparat histologi dari jaringan otak benih ikan normal dan terserang S. agalactiae. Organ otak diambil dan difiksasi dalam larutan neutral buffered formalin 10% selama 24 jam yang selanjutnya dipindahkan dalam alkohol 70% sampai dilakukan proses pembuatan preparat histologi dengan menggunakan pewarnaan hematoxylin dan eosin (Geten et al., 2009). Analisis Data Penelitian akan dilakukan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan dan tiga ulangan. Data yang diperoleh ditabulasi dengan program MS. Office Exel 2007. Data dianalisis menggunakan ANOVA melalui program Minitab versi 16 dengan tingkat selang kepercayaan 95%, jika signifikan maka akan diuji lanjut dengan uji lanjut Tukey’s. Histologi jaringan otak benih ikan nila di analisis secara deskriptif.
3 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Gambaran Darah Induk Ikan Nila Total eritrosit, hemoglobin, dan hematokrit induk ikan tidak berbeda signifikan (P>0,05) antara semua perlakuan. Namun terdapat perbedaan (P<0,05) pada total leukosit dan aktivitas fagositik. Total eritrosit induk ikan berkisar antara 2,03-2,35×106 sel/mm3. Kadar hemoglobin berkisar antara 7,33-8,33 g/dL. Hematokrit induk berkisar antara 30,76-32,78%. Total leukosit perlakuan induk B (14,27×104 sel/mm3) signifikan lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan perlakuan lainnya. Aktivitas fagositik perlakuan induk B (69,02%) juga sinifikan lebih tinggi (P<0,05) dari perlakuan lainnya. Gambaran darah induk ikan nila setelah vaksinasi disajikan pada Tabel 2.
9 Tabel 2 Gambaran darah induk ikan nila setelah vaksinasi pada perlakuan induk diinjeksi PBS (K), induk diinjeksi vaksin satu kali (A), dan induk diinjeksi vaksin dua kali dengan selang waktu satu bulan (B): total eritrosit, total leukosit, hemoglobin (Hb), hematokrit (Hc), dan aktivitas fagositik (AF) ∑ Eritrosit ∑ Leukosit Hb (g/dL) (×106 sel/mm3) (×104 sel/mm3) a c K 2,03±0,27 7,97±0,86 7,33±0,81a a b A 2,11±0,19 12,03±0,57 7,47±0,70a a a B 2,35±0,08 14,27±0,55 8,33±0,40a 1-3 2-15 6-10 (Svobodova & (Svobodova & (Takashima Standar Vyukusova Vyukusova & Hibiya 1991) 1991) 1995) Keterangan: Huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang perlakuan yang berbeda nyata (Uji Tukey’s; P<0,05). Perlakuan
Hc (%)
AF (%) a
24,51±2,02c 49,75±3,24b 69,02±1,53a -
30,76±3,45 31,43±1,82a 32,78±1,26a 28-40 (Moyle & Cech 1988)
sama menunjukkan pengaruh
Level Antibodi Induk Ikan Nila Level antibodi induk ikan nila setelah vaksinasi berbeda signifikan pada semua perlakuan. Level antibodi perlakuan induk B (OD: 0,20) signifikan lebih tinggi dari pada perlakuan lainnya. Level antibodi perlakuan induk A (OD: 0,14) signifikan lebih tinggi (P<0,05) dari pada perlakuan induk K (OD: 0,10). Level antibodi induk ikan nila setelah vaksinasi disajikan pada Gambar 1. Antibodi Induk Ikan Absorbansi pada ƛ=405 nm
0,25 a 0,2 b
0,15 c 0,1
0,05 0 K
A Perlakuan
B
Gambar 1 Level antibodi induk ikan nila setelah vaksinasi pada perlakuan induk diinjeksi PBS (K), induk diinjeksi vaksin satu kali (A), dan induk diinjeksi vaksin dua kali dengan selang waktu satu bulan (B). Huruf yang berbeda di setiap bar menunjukkan pengaruh perlakuan yang berbeda nyata (Tukey’s P<0,05) Level Antibodi Telur Ikan Nila Level antibodi telur dari perlakuan induk B (OD: 0,23) memiliki nilai yang signifikan lebih tinggi dari pada perlakuan lainnya. Level antibodi telur dari induk A (OD: 0,20) signifikan lebih tinggi (P<0,05) dari pada perlakuan induk K (OD: 0,11). Level antibodi telur dari setiap perlakuan induk disajikan pada Gambar 2.
10
Antibodi Telur Absorbansi pada ƛ=405 nm
0,25
a
0,2
b
0,15
c 0,1 0,05 0 K
A Perlakuan
B
Gambar 2 Level antibodi telur ikan nila pada pemijahan kedua dari perlakuan induk diinjeksi PBS (K), induk diinjeksi vaksin satu kali (A), dan induk diinjeksi vaksin dua kali dengan selang waktu satu bulan (B). Huruf yang berbeda di setiap bar menunjukkan pengaruh perlakuan yang berbeda nyata (Tukey’s P<0,05) Level Antibodi Benih Ikan Nila Pemberian vaksin pada induk ikan berpengaruh signifikan (P<0,05) terhadap level antibodi dari benih yang dihasilkan. Level antibodi benih dari semua perlakuan induk yang divaksin mengalami penurunan dari hari ke-5 hingga hari ke-20. Level antibodi benih dari perlakuan induk B (OD: 0,117-0,196) signifikan lebih tinggi (P<0,05) dari perlakuan lainnya hingga hari ke-20. Level antibodi benih dari perlakuan induk A (OD: 0,104-0,148) signifikan lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan benih dari induk K hingga hari ke-15 namun, tidak berbeda signifikan (P>0,05) dengan benih dari induk K (OD: 0,087) pada hari ke20. Level antibodi benih dari setiap perlakuan induk disajikan pada Gambar 3. Antibodi Benih Absorbansi pada ƛ=405 nm
0,25 a
0,2
0,1
a
b
0,15
a
b c
c
a
b c
b
b
K A B
0,05 0 H5
H10 H15 Umur Benih (Hari)
H20
Gambar 3 Level antibodi benih ikan nila umur benih 5, 10, 15, dan 20 hari setelah menetas pada pemijahan kedua dari perlakuan induk diinjeksi PBS (K), induk diinjeksi vaksin satu kali (A), dan induk diinjeksi vaksin dua kali dengan selang waktu satu bulan (B). Huruf yang berbeda di setiap bar pada umur benih yang sama menunjukkan pengaruh perlakuan yang berbeda nyata (Tukey’s P<0,05)
11
Aktivitas Lisosim Induk (U/mL)
Aktivitas Lisosim Induk Ikan Nila Aktivitas lisosim perlakuan induk B (291,11 U/mL) signifikan lebih tinggi (P<0,05) dari perlakuan induk lainnya. Aktivitas lisosim perlakuan induk A (235,67 U/mL) signifikan lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan induk K (167,78 U/mL). Aktivitas lisosim induk ikan nila setelah vaksinasi disajikan pada Gambar 4. 350
a
300
b
250 200
c
150 100 50 0 K
A Perlakuan
B
Gambar 4 Aktivitas lisosim induk ikan nila pada perlakuan induk diinjeksi PBS (K), induk diinjeksi vaksin satu kali (A), dan induk diinjeksi vaksin dua kali dengan selang waktu satu bulan (B). setelah vaksinasi. Huruf yang berbeda di setiap bar menunjukkan pengaruh perlakuan yang berbeda nyata (Tukey’s P<0,05)
Aktivitas Lisosim Telur (U/mL)
Aktivitas Lisosim Telur Ikan Nila Aktivitas lisosim telur perlakuan induk B (151,56 U/mL) berbeda signifikan lebih tinggi (P<0,05) dari telur perlakuan induk lainnya. Aktivitas lisosim telur perlakuan induk A (93,78 U/mL) tidak berbeda signifikan (P>0,05) dengan telur perlakuan induk K (63,56 U/mL). Aktivitas lisosim telur dari setiap perlakuan induk disajikan pada Gambar 5. 200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
a
b b
K
A Perlakuan
B
Gambar 5 Aktivitas lisosim telur ikan nila pada pemijahan kedua dari perlakuan induk diinjeksi PBS (K), induk diinjeksi vaksin satu kali (A), dan induk diinjeksi vaksin dua kali dengan selang waktu satu bulan (B). Huruf yang berbeda di setiap bar menunjukkan pengaruh perlakuan yang berbeda nyata (Tukey’s P<0,05)
12
Aktivitas Lisosim Benih (U/mL)
Aktivitas Lisosim Benih Ikan Nila Aktivitas lisosim benih dari perlakuan induk B memiliki aktivitas lisosim yang signifikan (P<0,05) lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya hingga hari ke-20 yaitu 100,44-228,71 U/mL. Aktivitas lisosim benih dari perlakuan induk A dan B menurun dihari ke-10 dan kemudian meningkat hingga hari ke-20. Aktivitas lisosim benih dari induk perlakuan A signifikan lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan benih dari induk K pada hari ke-5 namun, tidak berbeda signifikan (P>0,05) mulai hari ke-10 hingga hari ke-20. Aktivitas lisosim benih dari induk K dan A berkisar antara 22,78-150,67 U/mL. Aktivitas lisosim benih dari setiap perlakuan induk disajikan pada Gambar 6. 250
a a
200 150
b
a a b
100
b K
b b
A
b 50
B
b
c
0 H5
H10 H15 Umur Benih (Hari)
H20
Gambar 6 Aktivitas lisosim benih ikan nila umur benih 5, 10, 15, dan 20 hari setelah menetas pada pemijahan kedua dari perlakuan induk diinjeksi PBS (K), induk diinjeksi vaksin satu kali (A), dan induk diinjeksi vaksin dua kali dengan selang waktu satu bulan (B). Huruf yang berbeda di setiap bar pada umur benih yang sama menunjukkan pengaruh perlakuan yang berbeda nyata (Tukey’s P<0,05) Fekunditas dan Daya Tetas Telur Ikan Nila Fekunditas telur dari semua induk perlakuan tidak berbeda signifikan (P>0,05). Fekunditas telur dari setiap perlakuan berkisar antara 1.362,67-1.527,33 butir. Namun, terdapat perbedaan yang signifikan (P<0,05) terhadap daya tetas telur. Daya tetas telur perlakuan induk B (94,52%) signifikan lebih tinggi (P<0,05) dari perlakuan induk lainnya. Daya tetas telur perlakuan induk A (84,64%) tidak berbeda signifikan dengan perlakuan induk K (73,72%). Fekunditas dan daya tetas telur dari setiap perlakuan induk disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Fekunditas dan daya tetas telur ikan nila pada pemijahan kedua dari perlakuan induk diinjeksi PBS (K), induk diinjeksi vaksin satu kali (A), dan induk diinjeksi vaksin dua kali dengan selang waktu satu bulan (B). Perlakuan Fekunditas Telur (Butir) K 1.362,67±123,84a A 1.372,33±148,50a B 1.527,33±80,16a Keterangan: Huruf superskrip yang berbeda pada kolom perlakuan yang berbeda nyata (Uji Tukey’s; P<0,05).
Daya Tetas Telur (%) 73,72±6,38b 82,08±3,92b 94,07±2,60a yang sama menunjukkan pengaruh
13 Tingkat Mortalitas dan Relative Percent Survival (RPS) Benih Ikan Nila Tingkat mortalitas benih perlakuan induk B signifikan lebih rendah (P<0,05) dari perlakuan lainnya hingga hari ke-20. Namun, mortalitas benih perlakuan induk B tidak berbeda signifikan (P>0,05) dengan perlakuan benih dari induk A pada hari ke-5. Nilai RPS benih dari perlakuan induk B tidak berbeda signifikan (P>0,05) dengan perlakuan benih dari induk A pada hari ke-5. Namun, nilai RPS benih dari induk B signifikan lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan perlakuan benih dari induk A mulai hari ke-10 hingga hari ke-20. Nilai RPS benih ikan nila disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Tingkat mortalitas setelah infeksi S. agalactiae dan relative percent survival benih ikan nila pada pemijahan kedua dari perlakuan induk diinjeksi PBS (K), induk diinjeksi vaksin satu kali (A), dan induk diinjeksi vaksin dua kali dengan selang waktu satu bulan (B) Umur Benih Mortalitas(%) RPS(%) (Hari) K A B A B 5 61,11±5,09a 8,89±3,33b 1,11±1,92b 85,60±7,75a 98,33±2,89a 10 70,00±3,33a 22,22±5,09b 6,67±3,33c 68,43±5,88b 90,61±4,32a a b c b 15 76,67±3,33 37,78±6,94 17,78±5,09 50,86±7,84 81,20±1,80a a b c b 20 77,78±5,09 62,22±3,85 35,56±5,09 19,93±6,18 54,17±7,53a Keterangan: Huruf superskrip yang berbeda pada umur benih dan parameter yang sama menunjukkan pengaruh perlakuan yang berbeda nyata (Uji Tukey’s; P<0,05).
Patologi Anatomi Mikroskopis Hasil histologi organ otak benih ikan setelah uji tantang menunjukkan adanya perubahan patologi anatomi mikroskopis pada semua perlakuan. Otak ikan yang terinfeksi S. agalactiae terlihat mengalami nekrosis, sedangkan tidak terlihat pada jaringan otak ikan normal. Hasil histologi jaringan otak benih ikan nila yang terserang S. agalactiae disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7 Patologi anatomi mikroskopis pada jaringan otak benih ikan nila setelah infeksi S. agalactiae: A) Jaringan otak normal; B) Jaringan otak terserang S. agalactiae mengalami nekrosis (Ne) dan Degenerasi (De) Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian vaksin ulang pada induk ikan nila pada pemijahan kedua memberikan pengaruh yang signifikan lebih baik terhadap transfer imunitas maternal dari induk ke anak ikan nila. Huang et al., (2014) menjelaskan bahwa ikan nila yang divaksin masih memiliki antibodi yang tinggi hingga hari ke-30 dan mulai menurun pada hari ke-42 setelah vaksinasi. Namun penelitian tentang vaksin ulang pada ikan telah terbukti mampu meningkatkan imunitas spesifik dan menurunkan tingkat mortalitas ikan setelah
14 uji tantang (Angelidis, 2006; Ispir & Dorucu, 2010; Zhang et al., 2014; Ito & Maeno, 2015). Parameter gambaran darah telah digunakan sebagai indikator status kesehatan dibeberapa spesies ikan (Santos et al., 2009; Adedeji, 2010; Akinrotimi et al., 2012; Sayed & Moneeb, 2015). Penelitian vaksinasi ikan terkait total eritrosit, hemoglobin, dan hematokrit pada ikan nila yang divaksin telah dilaporkan tidak berpengaruh nyata terhadap status kesehatan ikan (Sukenda et al., 2014). Namun, terdapat pengaruh terhadap total leukosit dan aktivitas fagositik ikan yang divaksin (Hardi et al., 2013; Sukenda et al., 2015a). Hasil gambaran darah induk ikan setelah vaksinasi masih menunjukkan nilai yang normal. Akan tetapi, kesehatan induk ikan perlakuan B memiliki status yang lebih baik dari perlakuan lainnya. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai total leukosit dan aktivitas fagositik induk pada perlakuan B yang memiliki nilai yang signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hardi et al., (2013) dan Amrullah et al., (2014) melaporkan terjadi adanya peningkatan total leukosit dan aktivitas fagositik pada ikan nila yang diberi vaksin. Sel leukosit seperti neutrofil dan monosit merupakan sel-sel fagosit yang aktif ketika ada benda asing yang masuk ke dalam tubuh sebagai pertahanan nonspesifik (Katzenback & Belosevic, 2009). Antibodi ditemukan dalam konsentrasi yang tinggi pada serum ikan (Magnadottir, 2010). Hasil pengukuran level antibodi perlakuan induk B lebih tinggi dibandingkan induk perlakuan lainnya. Hal ini menunjukkan pemberian vaksin ulang pada induk (B) pada pemijahan kedua dapat meningkatkan level antibodi pada induk, telur, dan benih ikan nila. Antibodi induk A dan B secara signifikan masih lebih tinggi dibandingkan dengan induk tanpa vaksinasi (K). Pemberian vaksin gabungan sel utuh dan ECP pada ikan nila mampu menginduksi tubuh untuk memproduksi antibodi spesifik (Hardi et al., 2013). Hasil fraksinasi protein melalui SDS-PAGE diketahui bahwa ECP bakteri S. agalactiae tipe nonhemolitik memiliki protein dengan bobot molekul protein yaitu 51,8; 55,8 dan 62,3 kDa. Hasil tersebut sama dengan yang dilakukan oleh Hardi et al., (2013) dan bersifat imunogenik. Menurut Pasnik et al., (2005) kandungan protein pada ECP bakteri S. agalactiae yang digunakan sebagai vaksin pada ikan berkisar antara 47-75 kDa. Sukenda et al., (2015a) melaporkan bahwa induk yang divaksin dengan sediaan vaksin gabungan sel utuh dan ECP mampu meningkatkan level antibodi induk dan benih yang dihasilkan. Selain itu menurut Zang et al., (2014) menjelaskan bahwa level antibodi ikan meningkat ketika diberi vaksin ulang. Mekanisme terbentuknya antibodi dalam tubuh diawali dengan pengikatan antigen (vaksin) oleh makrofag atau antigen presenting cell (APC). Antigen terfraksinasi pada sel makrofag dan diekspresikan ke permukaan sel APC melalui molekul major histocompatibility complex (MHC) kelas II yang berinteraksi dengan limposit T helper melalui molekul CD4 (cluster of differentiation) dan TCR (T-cell Receptor) (Mariuzza et al., 2010). Terjadi proliferasi limposit Thelper menghasilkan sitokinin interleukin-2 (IL-2) yang merupakan mediator komunikasi limposit T helper dan limposit B. Limposit B menangkap sinyal interleukin 2 dan berproliferasi menjadi sel plasma yang siap menghasilkan antibodi spesifik terhadap epitop antigen yang memaparnya, sedangkan sel memori akan tetap berada dalam sistem humoral dalam jangka waktu tertentu (Hirano et al., 2011). Apabila antigen yang sama masuk untuk kedua kalinya,
15 mengakibatkan terbentuknya antibodi lebih cepat dan lebih banyak (Campbell et al., 2004). Pada proses pematangan gonad, sinyal lingkungan diterima oleh sistem syaraf pusat dan diteruskan ke hipotalamus. Hipotalamus akan melepaskan Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) yang bekerja di kelenjar hipofisis. Selanjutnya hipofisis melepaskan FSH yang bekerja pada sel teka dan mensintesis testosteron. Di lapisan granulosa, enzim aromatase akan mengubah testosteron menjadi estradiol-17β yang merangsang hati mensintesis vitelogenin (bakal kuning telur). Vitelogenin dibawa oleh aliran darah dan diserap oleh folikel oosit dan oosit membesar sampai ukuran maksimum yang dikenal dengan proses vitelogenesis. Jalur proses vitelogenesis ini memerantarai imunitas spesifik (antibodi) dan non-spesifik (lisosim) untuk masuk ke dalam kuning telur yang akan ditransfer ke anaknya (Swain dan Nayak, 2009; Wang et al., 2011). Level antibodi telur dari induk perlakuan B memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan telur dari induk perlakuan lainnya. Hal ini dikarenakan induk yang diberi vaksin ulang memiliki level antibodi paling tinggi dibandingkan perlakuan lainnya, sehingga antibodi dari induk B ditransfer lebih banyak ke telurnya pada proses vitelogenesis. Penelitian pada beberapa spesies ikan juga menunjukkan bahwa antibodi dapat ditransfer dari induk ke anaknya melalui pembentukan kuning telur (Picchietti et al., 2004; Hanif et al., 2004; Dalmo, 2005; Swain et al., 2006). Nilai level antibodi spesifik terhadap S. agalactiae pada benih secara perlahan mengalami penurunan hingga hingga hari ke-20 diseluruh perlakuan. Antibodi benih dari perlakuan B memiliki nilai yang lebih tinggi dari perlakuan lainnya hingga hari ke-20. Antibodi benih yang ditransfer dari induk yang tidak divaksin ulang (A) pada hari ke-20 memiliki nilai yang sama dengan perlakuan Induk K (kontrol). Hal tersebut menjelaskan bahwa antibodi yang ditrasfer dari perlakuan induk A lebih cepat habis dibandingkan dengan benih dari induk perlakuan B. Zhang et al., (2013) menjelaskan bahwa antibodi spesifik yang ditransfer melalui induk secara alami ikut termetabolisme bersama dengan kuning telur. Hanif et al., (2004) membuktikan bahwa benih dari induk ikan sea bream Sparus auratus yang diberi vaksin mengalami penurunan secara perlahan hingga akhir pengamatan yaitu 14 hari setelah telur menetas. Induk yang divaksin ulang (B) memiliki aktivitas lisosim lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan induk lainnya. Beberapa penelitian menjelaskan bahwa pemberian vaksin bukan hanya meningkatkan respon imun spesifik tetapi juga meningkatkan respon imun non-spesifik (Hanif et al., 2004; Mulero et al., 2007; Swain dan Nayak, 2009; Wang et al., 2013). Selain itu, telur dan benih hasil pemijahan dari induk yang divaksinasi ulang (B) menunjukkan aktivitas lisosim yang lebih tinggi dibandingkan dengan telur dan benih dari induk perlakuan lainnya. Lisosim muncul di awal pengembangan ikan, sebelum atau segera setelah menetas dan keberadaannya sangat penting terhadap kekebalan benih ikan (Magnadottir, 2006). Aktivitas lisosim benih dari perlakuan induk A dan B menurun pada hari ke10 dan kemudian meningkat kembali seiring bertambahnya umur benih ikan. Berbeda dengan aktivitas lisosim benih dari perlakuan induk K meningkat dari hari ke-5 hingga hari ke-20. Aktivitas lisosim benih dari induk K dan B tidak berbeda signifikan mulai hari ke-10 hingga hari ke-20. Aktivitas lisosim benih
16 dari perlakuan induk B memiliki peningkatan yang lebih cepat dibandingkan dengan benih dari induk perlakuan lainnya. Perkembangan lisosim ini terkait dengan perkembangan organ-organ limfoid seperti ginjal, timus, dan limpa (Magnadottir et al., 2005). Lisosim mengandung enzim muramidase yang dapat merusak ikatan antara asam N-asetilglukosamin dengan N-asetilmuramic dalam dinding sel bakteri gram positif (Marsh dan Rice, 2010). Pada tahap awal, lisosim adalah salah satu protein penting yang terlibat dalam pertahanan non-spesifik (Hanif et al., 2005; Huttenhuis et al., 2006; Wang & Zhang, 2010). Hasil pengukuran fekunditas telur dari semua induk perlakuan memiliki nilai yang sama. Akan tetapi, terjadi perbedaan pada nilai daya tetas telur. Daya tetas telur dari induk perlakuan B lebih tinggi dari perlakuan induk lainnya. Hal ini menunjukkan telur dari induk yang divaksin ulang terjadi peningkatan daya tetas telur, namun terjadi penurunan pada perlakuan induk A yang secara signifikan tidak berbeda dengan perlakuan induk K. Hal ini menunjukkan komponen lisosim dan antibodi yang ditransfer oleh induk telah memberikan pertahanan antibakteri untuk telur dan meningkatkan keberhasilan penetasan dan sintasan (Saino et al., 2002; Hanif et al., 2004; Hanif et al., 2005). Pemberian vaksin pada induk ikan telah diketahui mampu meningkatkan proteksi benih yang dihasilkan dari serangan patogen (Hanif et al., 2004; Nur et al., 2004; Wang et al., 2012; Sukenda et al., 2015a). Hasil uji tantang benih dengan S agalactiae, diketahui benih dari induk perlakuan B memiliki nilai RPS yang lebih tinggi dibandingkan dengan benih dari induk A dari hari ke-10 hingga hari ke-20. Hal ini menunjukkan bahwa benih yang dihasilkan dari induk yang diberi vaksin ulang (B) memiliki tingkat proteksi lebih tinggi dibandingkan benih dari induk yang diberi vaksin satu kali (A). Nilai RPS benih dari setiap perlakuan menurun hingga hari ke-20 setelah menetas. Hal tersebut disebabkan antibodi spesifik yang ditransfer dari induk ke anaknya semakin berkurang seiring dengan bertambahnya umur benih. Tingginya nilai RPS benih dari perlakuan induk B disebabkan oleh tingginya antibodi dan lisosim yang ditransfer oleh induk ikan nila B. Imunoglobulin seperti IgM dapat mengopsonin bakteri, sehingga dapat didegradasi dan diberantas oleh sel-sel fagosit (Schroeder & Cavacini, 2010; Rauta et al., 2012). Transfer antibodi maternal ke telur dan embrio juga dilaporkan dapat bertindak sebagai opsonin yang dapat memfasilitasi proses fagositosis bakteri oleh sel fagosit serta mengaktifkan komplemen (Magnadottir et al., 2005). Antibodi maternal dari induk ikan dapat mengurangi resiko kematian selama masa perkembangan benih ikan (Grindstaff, 2008). Hal ini menunjukkan bahwa antibodi spesifik memainkan peran penting dalam perlindungan ikan terhadap infeksi patogen. Hasil pengamatan anatomi mikroskopis jaringan otak benih ikan nila yang terserang S. agalactiae mengalami degenerasi dan nekrosis. Nekrosis adalah hilangnya jaringan setelah terjadinya degenerasi jaringan, degenerasi jaringan biasanya dapat dilihat pada tepian jaringan yang mengalami kerusakan. Filho et al., (2009) melaporkan bahwa S. agalactiae menyerang organ otak, hati, mata, dan ginjal ikan nila. Hardi et al., (2011) juga menjelaskan bahwa jaringan otak ikan nila yang terserang S. agalactiae mengalami degenerasi dan nekrosis sehingga menyebabkan ikan mengalami perubahan pola renang (whirling).
17
4 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Pemberian vaksin ulang di induk nila pada pemijahan kedua dapat menstimulasi imunitas dan transfer imunitas maternal ke anaknya untuk pencegahan streptococcosis. Saran Pemberian vaksin ulang pada induk nila pada pemijahan kedua perlu dilakukan dalam manajemen teknik produksi benih ikan nila. Selain itu perlu dilakukan vaksinasi pada benih nila umur 20 hari untuk meningkatkan imunitas spesifik benih terhadap penyakit streptococcosis.
DAFTAR PUSTAKA Adedeji OB. 2010. Acute effect of diazinon on blood plasma biochemistry in the African catfish Clarias gariepinus. Journal of Clinical Medicine & Research. 2: 1–6. Akinrotimi OA, Agokei EO, Aranyo AA. 2012. Changes in blood parameters of tilapia guineensis exposed to different salinity levels. Journal Of Environmental Engineering & Technology. 1: 4–12. Amrullah, Sukenda, Harris E, Alimuddin, Lusiastuti AM. 2014. Immunogenecity of the 89 kDa toxin protein from extracellular products of Streptococcus in Oreochromis niloticus. Journal of Fisheries & Aquatic Science. 9: 176-186. Anderson DP, Siwicki AK. 1993. Basic haematology and serology for fish health programs. Paper Presented in Second Symposium on Diseases in Asia Aquaculture “Aquatic Animal Health and The Environmental”. Phuket Thailand. 25-29th October 1993. Angelidis P. 2006. Immersion booster vaccination effect on sea bass Dicentrarchus labrax L. juveniles. Journal of Animal Physiology & Animal Nutrition. 90: 46–49. Blaxhall PC, Daisley KW. 1973. Reutine haemotologycal methods for use with fish blood. Journal Fish Biology. 5: 577–581. Bowden TJ, Cook P, Rombout JHWM. 2005. Development and function of the thymus in teleosts. Fish & Shellfish Immunology. 19: 413-427. Campbell NA, Reece JB, Mitchell LG. 2004. Biologi Edisi Kelima-Jilid III. Jakarta (ID): Erlangga. Chen M, Li LP, Wang R, Liang WW, Huang Y, Li J, Lei AY, Huang WY, Gan X. 2012. PCR detection and PFGE genotype analyses of streptococcal clinical isolates from tilapia in China. Veterinary Microbiology. 159: 526–530. Dalmo RA. 2005. Ontogeny of the fish immune system. Fish & Shellfish Immunology. 19. 395–396. Dwinanti SH, Sukenda, Yuhana M, Lusiastuti AM. 2014. Toksisitas dan imunogenisitas produk ekstraseluler Streptococcus agalactiae tipe non-
18 hemolitik pada ikan nila Oreochromis niloticus. Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia. 2: 105-116. Evans JJ, Klesius PH., Shoemaker CA, Fitzpatrick BT. 2005. Streptococcus agalactiae Vaccination and Infection Stress in Nile Tilapia, Oreochromis niloticus. Journal of Applied Aquaculture. 16: 105-115. Evans JJ, Klesius PH, Shoemaker CA. 2006. An overview of Streptococcus in warmwater fish. Aquaculture Health International. 7: 10-14. Filho CI, Muller EE, Pretto-Giordano LG, Bracarense AP. 2009. Histological finding of experomental Streptococcus agalactiae infection in nile tilapia Oreochromis niloticus. Brazilian Journal of Veterinary Pathology. 2: 12-15. Genten F, Terwinghe E, Danguy A. 2009. Atlas of Fish Histology. New Hampshire US: Science Publishers. Grindstaff JL. 2008. Maternal antibodies reduce costs of an immune response during development. Journal of Experimental Biology. 211: 654-660. Gudding R, Willem B, Muiswinkel V. 2013. A history of fish vaccination Science-based disease prevention in aquaculture. Fish & Shellfish Immunology. xxx: 1-6. doi.org/10.1016/j.fsi.2013.09.031. Hanif A, Bakopoulos V, Dimitriadis GJ. 2004. Maternal transfer of humoral specific and non-specific immune parameters to sea bream Sparus aurata larvae. Fish & Shellfish Immunology. 17 : 411-435. Hanif A, Bakopoulos V, Dimitriadis GJ. 2005. The effect of sea bream Sparus aurata broodstock and larval vaccination on the susceptibility by Photobacterium damsela subsp. piscicida and on the humoral immune parameters. Fish & Shellfish Immunology. 19: 345-361. Hardi EH, Sukenda, Harris E, Lusiastuti AM. 2011. Karakteristik dan patogenisitas Streptococcus agalactiae tipe β-hemolitik dan non-hemolitik pada ikan nila. Jurnal Veteriner. 12: 151-164. Hardi EH, Sukenda, Harris E, Lusiastuti AM. 2013. Kandidat vaksin potensial Streptococcus agalactiae untuk pencegahan penyakit streptococcosis pada ikan nila Oreochromis niloticus. Jurnal Veteriner. 14: 408-416. Hirano M, Das S, Guo P, Cooper MD. 2011. The evolution of adaptive immunity in vertebrates. Advances in Immunology. 109: 125–157. Huang LY, Wang KY, Xiao D, Chen DF, Geng Y, Wang J, Hea Y, Wang EL, Huang JL, Xiao GY. 2014. Safety and immunogenicity of an oral DNA vaccine encoding sip of Streptococcus agalactiae from nile tilapia Oreochromis niloticus delivered by live attenuated Salmonella typhimurium. Fish & Shellfish Immunology. 38: 34-41. Huttenhuis HBT, Grou CPO, Taverne-Thiele AJ, Taverne N, Rombout JHMW. 2006. Carp Cyprinus carpio L. innate immune factors are present before hatching. Fish & Shellfish Immunology. 20: 586-596. Ispir U, Dorucu M. 2010. Effect of immersion booster vaccination with Yersinia ruckeri extracellular products (ECP) on rainbow trout Oncorhynchus mykiss. International Aquatic Research. 2: 127-130. Ito T, Maeno Y. 2015. Effect of booster shot and investigation of vaccination efficacy period against herpesviral haematopoietic necrosis (HVHN) in goldfish Carassius auratus. Veterinary Microbiology. 175: 139–144. Jantrakajorn S, Maisak H, Wongtavatchai J. 2014. Comprehensive investigation of streptococcosis outbreaks in cultured nile tilapia, Oreochromis niloticus,
19 and red tilapia, Oreochromis sp., of Thailand. Journal of the World Aquaculture Society. 45: 392-402. Katzenback BA, Belosevic M. 2009. Isolation and functional characterization of neutrophil-like cells, from goldfish Carassius auratus L. kidney. Developmental & Comparative Immunology. 33: 601–611. Magnadottir B, Lange S, Gudmundsdottir S, Bogwald J, Dalm RA. 2005. Ontogeny of humoral immune parameters in fish. Fish & Shellfish Immunology. 19: 429–439. Magnadottir B. 2006. Innate immunity of fish: overview. Fish & Shellfish Immunology. 20: 137-151. Magnadottir B. 2010. Immunological control of fish diseases. Journal of Marine Biotechnology. 12: 361–379. Marsh MB, Rice CD. 2010. Development, characterization, and technical applications of a fish lysozyme-specific monoclonal antibody (mAb M24-2). Comparative Immunology, Microbiology & Infectious Diseases. 33: 15–23. Martins ML, Mourino JLP, Amara GV, Vieira FN, Dotta G, Jatoba AMB, Pedrotti FS, Jeronimo GT. 2008. Haematological changes in nile tilapia experimentally infected with Enterococcus sp. Journal Biology. 68: 657-661. Mian GF, Godoy DT, Leal CAG, Yuhara TY, Costa GM, Figueiredo. 2009. Aspect of the natural history and virulence of Streptococcus agalactiae infection in nile tilapia. Journal of Veterinary Microbiology. 136: 180-183. Mingming H, FuHong D, Zhen M, Jilin L. 2014. The effect of vaccinating turbot broodstocks on the maternal immunity transfer to offspring immunity. Fish & Shellfish Immunology. xxx: 1-7. doi: org/10.1016/j.fsi.2014.03.010. Moyle PB, JJ Cech Jr. 1988. Fishes: An Introduction to Ichthyology. Prentice Hall, NJ: Englewood Cliffs Press. Muiswinkel WBV. 2008. A history of fish immunology and vaccination I. The early days. Fish & Shellfish Immunology. 25: 397-408. Mulero I, García-Ayala A, Meseguer J, Mulero V. 2007. Maternal transfer of immunity and ontogeny of autologous immunocompetence of fish: minireview. Aquaculture. 268: 244–250. Nur I, Sukenda, Dana D. 2004. Ketahanan benih ikan nila gift Oreochromis niloticus L. dari hasil induk yang diberi vaksin terhadap infeksi buatan Streptococcus iniae. Jurnal Akuakultur Indonesia. 3: 37-43. Pasnik DJ. Evans JJ. Klesius PH. 2005. Duration of protective antibodies and correlation with survival in nile tilapia Oreochromis niloticus following Streptococcus agalactiae vaccination. Journal of Fish Disease. 66: 129-134. Picchietti S, Taddei AR, Scapigliati G, Buonocore F, Fausto AM, Romano N. 2004. Immunoglobulin protein and gene transcripts in ovarian follicles throughout oogenesis in the teleost Dicentrachus labrax. Cell & Tissue Research. 315: 259–270. Rauta PR, Bismita N, Das S. 2012. Immune system and immune responses in fish and their role in comparative immunity study: A model for higher organisms. Immunology Letters. 148: 23–33. Saino N, Dall’ara P, Martinelli R, Møller AP. 2002. Early maternal effects and antibacterial immune factors in the eggs, nestlings and adults of the barn swallow. Journal of Evolutionary Biology. 15: 735–743.
20 Santos AA, Ranzani-Paiva MJT, Veiga ML, Faustino L, Egami MI. 2009. Hematological parameters and phagocytic activity in fat snook Centropomus parallelus bred in captivity. Fish & Shellfish Immunology. 33: 953-961. Sayed AEH, Moneeb RH. 2015. Hematological and biochemical characters of monosex tilapia Oreochromis niloticus Linnaeus 1758 cultivated using methyltestosterone. The Journal of Basic & Applied Zoology. 72: 36–42. Schroeder HW JR, Cavacini L. 2010. Structure and function of immunoglobulins. Journal of Allergy & Clinical Immunology. 125: S41–52. Secombes CJ. 2011. Fish immunity: the potential impact on vaccine development and performance. Aquaculture Research. 42: 90-92. Sheehan B, Labrie L, Lee Y, Lim W, Wong F, Chan J. 2009. Streptococcal diseases in farmed tilapia. Aquaculture Asia Pacific. 5: 26–29. Shelby RA, Shoemaker CA, Evans JJ, Klesius PH. 2001. Development of an indirect ELISA to detect humoral response to Streptococcus iniae infection of nile tilapia Oreochromis niloticu. Journal of Applied Aquaculture. 11: 35-44. Sommerset I, Krossoy B, Biering E, Frost P. 2005. Vaccines for fish in aquaculture. Review Expert Review of Vaccines. 4: 89-101. Sukenda, Febriansyah TR, Nuryati S. 2014. Efikasi vaksin sel utuh Streptococcus agalactiae pada ikan nila Oreochromis niloticus melalui perendaman. Jurnal Akuakultur Indonesia. 13: 83-93. Sukenda, Rahman, Nisaa K, Hidayatullah D. 2015a. The efficacy of Streptococcus agalactiae vaccine preparations on tilapia broodstock and maternal immunity transferred to offspring in preventing streptococcosis. Journal of Fisheries & Aquatic Science. Submitted. Sukenda, Rusli, Nuryati S, Hidayatullah D. 2015b. Durasi proteksi vaksin Streptococcus agalactiae untuk pencegahan streptococcosis pada ikan nila. Jurnal Akuakultur Indonesia. Submitted. Svobodova Z, Vyukusova B. 1991. Diagnostik, Prevention and Therapy of Fish Disease and Intoxication. Vodnany: Research Institute of fish Culture and Hydrobiology. Swain P, Dash S, Bal J, Routray P, Sahoo PK, Sahoo SK, Saurabh S, Gupta SD, Meher PK. 2006. Passive transfer of maternal antibodies and their existence in eggs, larvae and fry of Indian major carp, Labeo rohita. Fish & Shellfish Immunology. 20: 519-527. Swain P, Nayak S.K. 2009. Role of maternally derived immunity in fish. Fish & Shellfish immunology. 27: 89-99. Takashima F, Hibiya T. 1995. An Atlas of Fish Histology: Normal and Pathogical Features. 2nd ed. Tokyo: Kodansha Ltd. Taukhid, Purwaningsih U, Lustiastuti AM. 2012. Pengambangan vaksin inaktiv bakteri Streptococcus agalactiae: Penentuan teknik aplikasi dan dosis efektif vaksin melalui perendaman untuk pencegahan penyakit streptococcosis pada ikan nila Oreochromis niloticus. Prosiding seminar. Bogor (ID). Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar. Wang ZP, Zhang SC. 2010. The role of lysozyme and complement in the antibacterial activity of zebrafish Danio rerio egg cytosol. Fish & Shellfish Immunology. 29: 773-777.
21 Wang SH, Wang Y, Ma J, Ding YC, Zhang SC. 2011. Phosvitin plays a critical role in the immunity of zebrafish embryos via acting as a pattern recognition receptor and an antimicrobial effector. Journal of Biological Chemistry. 286: 22653–22664. Wang H, Ji D, Shao J, Zhang S. 2012. Maternal transfer and protective role of antibodies in zebrafish Danio rerio. Molecular Immunology. 51: 332– 336. Wang N, Yang Z, Zang M, Liu Y, Lu C. 2013. Identification of Omp38 by immunoproteomic analysis and evaluation as a potential vaccine antigen against Aeromonas hydrophila in Chinese breams. Fish & Shellfish Immunology. 34: 74-81. Wedemeyer IWT, Yasutake WT. 1977. Clinical methods for the assessment of the effect on environmental stress on fish health. Journal fish & wildlife service. 89: 1-17. Yang W, Li A. 2009. Isolation and characterization of Streptococcus agalactiae from diseased Acipenser schrenckii. Aquaculture. 294: 14-17. Ye X, Li J, Lu MX, Deng GC, Jiang XY, Tian YY, Quan YC, Jian Q. 2011. Identification and molecular typing of Streptococcus agalactiae isolated from pond-cultured tilapia in China. Fisheries Science. 77: 623-632. Yi T, Li WY, Liu L, Xiao XX, Li AX. 2014. Protection of nile tilapia Oreochromis niloticus L. against Streptococcus agalactiae following immunization with recombinant FbsA and α-enolase. Aquaculture. 428– 429: 35–40. Zapata A, Díez B, Cejalvo T, Gutiérrez-de CF, Cortés A. 2006. Ontogeny of the immune system of fish. Fish & Shellfish Immunology. 20: 126–136. Zhang S, Wang Z, Wang H. 2013. Maternal immunity in fish: Review. Developmental & Comparative Immunology. 39: 72–78. Zhang ZH, Wu HZ, Xiao JF, Wang OY, Liu Q, Zhang YX. 2014. Booster vaccination with live attenuated Vibrio anguillarum elicits strong protection despite weak specific antibody response in zebrafish. Journal of Applied Ichthyology. 30: 117–120.
22
LAMPIRAN Lampiran 1 Karakterisasi bakteri S. agalactiae menggunakan KIT API 20 Strep Tests VP HIP ESC PYRA αGAL βGUR βGAL PAL LAP ADH RIB ARA MAN SOR LAC TRE INU RAF AMD GLYG
Active ingredients Sodium pyruvate Hippuric acid Esculin ferric citrate Pyroglutamic acid-β-naphthylamide 6-bromo-2-naphthyl-αD-galactopyranoside Naphthol ASBI-glucuronic acid 2-naphthyl-βD- galactopyranoside 2-naphthyl phosphate L-leucine-β- naphthylamide L-arginine D-ribose L-arabinose D-mannitol D-sorbitol D-lactose (bovine origin) D-trehalose Inulin D-raffinose Strach (2) Glycogen
Hasil + + + + + + -
23 Lampiran 2 Hasil pengukuran bobot molekul protein produk ekstraselular (ECP) S. agalactiae dengan metode sodium dodecyl sulfate polyacrylamide gel electrophoresis (SDS-PAGE)
Keterangan:
M ECP
= Marker = Produk ekstraselular
Lampiran 3 Histologi jaringan gonad induk ikan nila pada tingkat kematangan gonad dua (TKG2)
Keterangan: Germinar Vesicle (GV), Primary Growth (PG)
24
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor tanggal 12 Mei 1990 dari pasangan Ir. M. Hasan Yusuf dan Neni Nuraini. Penulis merupakan anak kedua dari lima bersaudara. Pendidikan formal yang dilalui penulis adalah SMAN 4 Bandar Lampung dan lulus pada tahun 2008. Tahun 2008 juga penulis diterima Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI) dan memilih mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Tahun 2009 penulis mengambil minor Manajemen Fungsional, Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB. Tahun 2013 Penulis menyelesaikan pendidikan S1 dengan judul skripsi “Efikasi Vaksin dengan Metode Infiltrasi Hiperosmotik untuk Mencegah Infeksi Bakteri Streptococcus agalactiae pada Ikan Nila”. Tahun 2013 pula penulis tercatat sebagai mahasiswa Sekolah Pascasarjana Mayor Ilmu Akuakultur, Institut Pertanian Bogor. Sebagai salah satu syarat untuk mendapat gelar Magister Sains (MSi), penulis melakukan penelitian tesis dengan judul “Efikasi Vaksin Ulang Streptococcus agalactiae pada Induk Ikan Nila terhadap Imunitas Maternal untuk Pencegahan Streptococcosis”. Bagian dari tesis ini sudah ditulis dan manuskrip sedang ditelaah pada jurnal Veteriner dengan judul “Efikasi Vaksin Ulang Streptococcus agalactiae pada Induk Ikan Nila terhadap Imunitas Maternal yang Ditransfer ke Anaknya untuk Pencegahan Streptococcosis”.