KANDIDAT VAKSIN POTENSIAL Streptococcus agalactiae UNTUK PENCEGAHAN PENYAKIT STREPTOCOCCOSIS PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus)
ESTI HANDAYANI HARDI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 i
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Kandidat Vaksin Potensial Streptococcus agalactiae untuk Pencegahan Penyakit Streptococcosis pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, 2011 Esti Handayani Hardi NIM C161080031
ii
ABSTRACT Esti Handayani Hardi. Potential Vaccine Candidate of Streptococcus agalactiae for Prevent Strepcococosis on Nila Tilapia (Oreochromis niloticus). Under direction of Enang Harris, Sukenda, Angela M. Lusiastuti. The main purpose of this research was to find a vaccine to protect S. agalactiae infection. The research was divided into five steps. First experiment, characteristic test displayed that this bacteria was Gram positive, oxidative fermentative positive, negative catalase and motility, grow well on media containing NaCl 6,5%, possed two type of haemolytic: β-haemolytic and nonhaemolytic. The capability of both bacteria to hydrolyze sugar was different: βhaemolytic could hydrolyze more sugars than non-haemolytic. Based on phenotypic test, S. agalactiae could be divided into two groups, capsulated [isolate 2, 4 and 5] and non-capsulated bacteria [isolate 1 and 3]. Second experiment, to evaluate virulence of each S. agalactiae isolate to nile tilapia. After intraperitoneally injected (0.1 mL/fish) into 30 fish, the non-haemolytic demonstrated more virulent than β-haemolytic. It caused faster mortality, clinical symptoms, severe behavior changes and pathological changes macroscopically and microscopically. The third experiment, toxicity of extracellular products (ECP) of S. agalactiae was tested in cultured nile. Toxicity test of ECP to know the virulency factor of S. agalactiae was still limited. It was found that after tested on 15 fish, through intraperitoneal injection of 0.1 ml/fish, ECP from both bacteria caused changes in swimming pattern, response to food, external changes and histophatology. Extracellular products of S. agalactiae non-haemolytic type (BHIA and BHI 24 h) and β-haemolytic type (BHI 72 h) caused mortality 12 hours after injection and the mortality continued till day 7th of culture. Silver staining of sodium dodecyl sulphate-polyacrylamide gels to S. agalactiae revealed that predominant 51.8–69.6 kDa bands were present in BHIA ECP fraction. The 69.6 kDa was absent from the BHI ECP. Total protein on non-haemolytic S. agalactiae ECP are 28.18 ppm on BHIA medium and 13.64 ppm on BHI medium. Whereas β-haemolytic S. agalactiae ECP are 2.73 ppm on BHIA medium and 8.18 ppm on BHI medium. The conclusion from the research that ECP was virulent factor on β-haemolytic and non-haemolytic S. agalactiae in fish. Fourth and five experiment, the effectiveness of a S. agalactiae vaccine in tilapia (O. niloticus) was evaluated for the prevention of streptococcal disease. The vaccine was prepared from formalin-killed whole cell and concentrated ECP of βhaemolytic and non-haemolytic of S. agalactiae. Vaccination trial was conducted through intraperitonial (IP) injection into fish. Fish vaccinated with whole cell, ECP and mix of them were challenged by IP injection with 103 colony-forming units (CFU)/fish of β-haemolytic and 105 CFU/fish of non-haemolytic S. agalactiae. The highest RPS is formed on vaccination with mix whole-cell and extracellular product vaccine of S. agalactiae β-haemolytic tipe. The conclusion is vaccination with S. agalactiae β-haemolytic tipe more effective to protect tilapia against Streptococcosis than non-haemolytic of S. agalactiae vaccine. Keywords: characteristic, pathogenicity, ECP, vaccination, S. agalactiae, O. niloticus iii
RINGKASAN Esti Handayani Hardi. Kandidat Vaksin Potensial Streptococcus agalactiae untuk Pencegahan Penyakit Streptococcosis pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus). Dibawah bimbingan, Enang Harris, Sukenda, Angela Mariana Lusiastuti. Bakteri S. agalactiae berhasil diisolasi dari ikan nila yang dibudidayakan di Waduk Cirata, Klaten dan beberapa perairan di Indonesia. Tujuan utama dari penelitian ini adalah mendapatkan vaksin yang dapat digunakan untuk mencegah penyakit Streptococcosis. Untuk mencapai sasaran utama dilakukan lima tahapan penelitian. Pertama melakukan pengujian karakteristik dan fenotipik S. agalactiae yang menginfeksi ikan nila. Hasil pengujian, diketahui bahwa S. agalactiae termasuk Gram positif, oksidatif fermentatif positif, katalase dan motilitas negatif, tumbuh baik pada media NaCl 6.5%, memiliki dua tipe hemolitik yaitu βhemolitik dan non- hemolitik. Kemampuan menghidrolisis gula kedua tipe bakteri bervariatif, bakteri tipe β-hemolitik memiliki kemampuan menghidrolisis gula lebih banyak termasuk arabinose, sorbitol, lactose, trehalose dibandingkan dengan tipe non-hemolitik. Selain itu, perbedaan kedua tipe bakteri tersebut juga terletak pada kemampuan tumbuh pada media bile salt 40%. Berdasarkan pengujian fenotipik S. agalactiae dapat dikelompokan menjadi bakteri berkapsul yaitu diduga isolat N 4 M (2), N 17 O (4) dan isolat NK 1 (5) dan bakteri non-kapsul yaitu isolat N 3 M (1) dan 3 (N 14 G), secara karakteristik fenotipik isolat S. agalactiae dari ikan, sapi dan manusia tidak berbeda. Kedua, menganalisa keterkaitan antara karakteristik dengan patogenisitas S. agalactiae pada ikan nila. Setelah diuji pada 30 ekor ikan nila ukuran 15 g melalui penyuntikan intraperitonial sebanyak 0.1 ml/ekor ternyata bakteri tipe non-hemolitik lebih virulen dilihat dari kematian, munculnya gejala klinis, perubahan tingkah laku, perubahan patologi anatomi baik secara makroskopis maupun mikroskopis. Bakteri tipe non-hemolitik menyebabkan kematian setelah 6-24 jam sedangkan tipe β-hemolitik baru menyebabkan kematian setelah 48 jam pasca injeksi. Perubahan pada gejala klinis ikan nila yang diinjeksi bakteri tipe non-hemolitik lebih cepat muncul (perubahan pola renang, respon terhadap pakan dan perubahan pada mata dan clear operculum) rata-rata muncul setelah 6 jam pasca injeksi dan 12 jam pada ikan nila yang diinjeksikan dengan bakteri tipe βhemolitik. Selain perubahan secara makroskopis, perubahan pada mikroskopis juga diamati. Perubahan yang terjadi pada pola renang dan perubahan pada mata, perubahan warna ditandai dengan adanya perubahan histologi organ mata, ginjal dan otak. Kesimpulannya adalah S. agalactiae tipe non-hemolitik lebih virulen dari tipe tipe β-hemolitik. Ketiga, mengetahui toksisitas dari ekstrasellular product (ECP) S. agalactiae yang menginfeksi ikan nila. Setelah diuji pada 15 ekor ikan nila ukuran 15 g melalui penyuntikan intraperitonial (IP) sebanyak 0.1 ml/ekor ternyata ECP baik dari bakteri tipe non-hemolitik dan tipe β-hemolitik menyebabkan perubahan pada pola renang, nafsu makan, anatomi luar dan dalam baik secara makroskopis maupun mikroskopis. Produk ekstraselluler bakteri tipe
iv
non-hemolitik (BHIA 24 jam dan BHI 24 jam) dan β-hemolitik (BHI 72 jam) mulai terjadi 12 jam pasca injeksi dan kematian terus terjadi hingga hari ke-7 pemeliharaan. ECP S. agalactiae tipe β-hemolitik menyebabkan perubahan berenang abnormal (miring) pada jam ke-96 pasca injeksi (BHIA 72 jam), dan berlanjut whirling pada hari ke-7. Sedangkan pada ikan nila yang diinjeksi dengan ECP (BHI 24 jam) bakteri tipe non-hemolitik terjadi pada jam ke-72 pasca injeksi. Perubahan pada mata tampak jelas terlihat adanya opacity, purulens, mata mengkerut, eksoptalmia dan adanya pendarahan pada mata. Setelah dilakukan pengujian dengan SDS-PAGE diketahui bahwa S. agalactiae memiliki protein dengan berat molekul 51.8; 55.8 dan 62.3 kDa pada ECP yang dihasilkan di media BHI dan protein dengan berat molekul berkisar 51.8–69.6 kDa pada media BHIA. ECP bakteri tipe non hemolitik (72 jam) memiliki protein (28.18 ppm pada media BHIA dan 13.64 ppm pada media BHI) lebih banyak dibandingkan dengan bakteri β-hemolitik (2.73 ppm pada media BHIA dan 8.18 ppm pada media BHI). Konsentrasi protein dalam ECP menjadi salah satu faktor yang menyebabkan patogenisitas tipe non-hemolitik lebih tinggi. Dari hasil uji toksisitas ECP S. agalactiae tipe β-hemolitik dan tipe non-hemolitik diketahui bahwa ECP merupakan salah satu faktor virulen yang menyebabkan perubahan dan kematian pada ikan nila. Keempat, dilakukan pengujian mengenai efikasi vaksinasi pada ikan nila (Oreochromis niloticus) untuk pengendalian penyakit Streptococcosis. Vaksin yang digunakan adalah formalin-killed cells dari sel utuh dan ECP yang mengandung protein 62.3 dan 55.8 kDa dari S. agalactiae tipe β-hemolitik. Protein dalam ECP tipe β-hemolitik terbukti mampu meningkatkan RPS ikan nila yang diuji tantang dengan S. agalactiae tipe β-hemolitik (103 CFU/ekor) dan tipe non-hemolitik (105 CFU/ekor). Pengujian vaksinasi ini dicobakan pada 15 ekor ikan nila seberat 15 g setiap perlakuan. Relative Percent Survival ikan nila yang divaksinasi dengan sel utuh, ECP, gabungan ECP dan sel utuh terbukti mengalami peningkatan dan berbeda nyata dengan kontrol positif. Vaksin dari sel utuh tipe β-hemolitik memiliki RPS 79% saat diuji tantang dengan S. agalactiae tipe βhemolitik dan 75% untuk tipe non-hemolitik. Ikan yang divaksin dengan ECP tipe β-hemolitik setelah diuji tantang dengan S. agalactiae tipe β-hemolitik RPS mencapai 62.5% sedangkan yang diuji tantang dengan S. agalactiae tipe nonhemolitik hanya 25%. Vaksinasi dengan gabungan (sel utuh dan ECP β-hemolitik) S. agalactiae melindungi 92% ikan setelah diuji tantang dengan tipe β-hemolitik dan hanya 75% saat diuji tantang dengan tipe non-hemolitik. Sedangkan vaksinasi dengan gabungan antara sel utuh tipe β-hemolitik dan ECP tipe nonhemolitik memiliki RPS 79% saat diuji tantang dengan S. agalactiae tipe βhemolitik dan hanya 42% saat diuji tantang dengan tipe non-hemolitik. Kesimpulannya adalah vaksin S. agalactiae tipe β-hemolitik memberikan proteksi terhadap infeksi S. agalactiae kedua tipe bakteri. Kelima, pengujian mengenai efikasi vaksin dari formalin-killed cells dari sel utuh dan ECP yang mengandung protein 62.3; 55.8 dan 51.8 kDa dari S. agalactiae tipe non-hemolitik. Pengujian vaksinasi ini dicobakan pada 15 ekor ikan nila seberat 15 g setiap perlakuan. Vaksin dari sel utuh S. agalactiae tipe non-hemolitik memiliki RPS 62.5% saat diuji tantang dengan S. agalactiae tipe βv
hemolitik dan 75% untuk tipe non-hemolitik. Ikan yang divaksin dengan ECP tipe non-hemolitik setelah diuji tantang dengan S. agalactiae tipe β-hemolitik tidak memberikan proteksi karena kematian ikan yang divaksin lebih banyak dari pada kontrol. Sedangkan yang diuji tantang dengan S. agalactiae tipe non-hemolitik hanya 37%. Vaksinasi dengan gabungan (sel utuh dan ECP non-hemolitik) melindungi 56% ikan setelah diuji tantang dengan tipe β-hemolitik dan hanya 50% saat diuji tantang dengan tipe non-hemolitik. Sedangkan vaksinasi dengan gabungan antara sel utuh tipe non-hemolitik dan ECP tipe β-hemolitik memiliki RPS 87% saat diuji tantang dengan S. agalactiae tipe β-hemolitik dan hanya 56% saat diuji tantang dengan tipe non-hemolitik. Kesimpulannya adalah vaksin S. agalactiae tipe non-hemolitik memberikan proteksi terhadap infeksi S. agalactiae kedua tipe bakteri namun tidak sebaik proteksi yang diberikan oleh vaksin dari tipe β-hemolitik. Kata kunci: karakteristik, patogenisitas, ECP, vaksinasi, S. agalactiae, Oreochromis niloticus
vi
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
vii
KANDIDAT VAKSIN POTENSIAL Streptococcus agalactiae UNTUK PENCEGAHAN PENYAKIT STREPTOCOCCOSIS PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus)
ESTI HANDAYANI HARDI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Akuakultur
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
viii
Penguji Luar Komisi pada
:
Ujian Tertutup : 1. Prof. Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan (Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Hewan, IPB) 2. Dr. Sri Nuryati (Staf pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB) Ujian Terbuka : 1. Dr. M. Murdjani (Perekayasa Pusat Kementrian Kelautan dan Perikanan/KKP) 2. Dr. Widanarni (Staf pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB)
ix
Judul Disertasi : Kandidat Vaksin Potensial Streptococcus agalactiae untuk Pencegahan Penyakit Streptococcosis pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Nama : Esti Handayani Hardi NRP : C161080031
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr.Ir. Enang Harris, MS Ketua
Dr. Ir. Sukenda, M.Sc Anggota
Dr. Angela M. Lusiastuti, M.Si, drh Anggota
Mengetahui Ketua Program Studi Ilmu Akuakultur
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr.Ir. Enang Harris, M.S
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 20 Januari 2011
Tanggal Lulus :
x
HALAMAN PERSEMBAHAN Disertasi ini saya persembahkan untuk ananda Omar Mohammad Syaefullah yang selalu menyemangati saat-saat tersulit dalam menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi ini. Untuk “papa” yang selalu support dana dan semangatnya. Terimakasih untuk bapak Suhardi dan Alm. Tuminem untuk motivasi dan semangatnya dan kakakkakak tercinta untuk doa, semangat dan dukungannya. Disertasi ini tidak akan selesai tanpa bantuan seluruh staf dan laboran Balai Riset Perikanan Air Tawar Sempur, ibu uni, ibu tuti, mas wahyu, kang edi, pak mikhdar dan semuanya terimakasih kesempatannya untuk belajar serta dukungan selama penelitian. Seluruh staf Universitas Mulawarman Samarinda, terima kasih doa dan dukungannya untuk segera kembali ke institusi. Seluruh penghuni laboratorium Kesehatan Ikan IPB, terima kasih banyak. Dan semua pihak-pihak yang membantu baik secara langsung maupun tidak langsung.
xi
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunianya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2009–Agustus 2010 ini ialah vaksinasi dengan judul Kandidat Vaksin Potensial Streptococcus agalactiae untuk Pencegahan Penyakit Streptococcosis pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus). Disertasi ini memuat lima bab yang merupakan pengembangan dari naskah artikel yang diajukan ke jurnal ilmiah. Bab 1–2 berjudul Karakteristik dan patogenisitas Streptococcus agalactiae tipe β-hemolitik dan non-hemolitik pada ikan nila (Oreochromis niloticus) akan diterbitkan (Veterinar 12:2, Edisi Juni, Tahun 2011) dan Bab 3 Toksisitas Produk Ekstrasellular (ECP) Streptococcus agalactiae pada ikan nila (Oreochromis niloticus) sedang menunggu penerbitan di Jurnal Natur Indonesia. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr.Ir. Enang Harris, MS; Dr. Ir. Sukenda, M.Sc dan Dr. Angela Mariana Lusiastuti, M.Si, drh selaku pembimbing yang banyak memberi saran dan masukan. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Taukhid, M.Si dari Balai Riset Perikanan Budidaya Sempur, Bogor yang telah membantu selama pengumpulan data dan memberi masukan selama penelitian. Terima kasih juga penulis sampaikan untuk Universitas Mulawarman yang telah memberikan izin untuk menempuh pendidikan S3 ini, juga kepada Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi RI yang telah memberikan beasiswa melalui Beasiswa Pendidikan Pasca Sarjana (BPPS) periode tahun 2008-2011. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak, Alm. Ibu, serta seluruh keluarga atas bantuannya selama penelitian, dan terima kasih juga untuk ananda Omar yang selalu menemani dan memberikan semangat. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, 2011
Esti Handayani Hardi
xii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Lampung pada tanggal 4 Januari 1980 sebagai anak bungsu dari delapan bersaudara pasangan Suhardi dan Alm. Tuminem. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Budidaya Perairan, Jurusan Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro pada tahun 1998 dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun yang sama, penulis diterima di Program Studi Ilmu Perairan IPB, lulus pada tahun 2003. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Ilmu Akuakultur IPB diperoleh pada tahun 2008. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi RI melalui Beasiswa Pendidikan Pasca Sarjana (BPPS). Penulis bekerja sebagai pengajar di Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Mulawarman Samarinda Kalimantan Timur sejak tahun 2006. Karya ilmiah berjudul Efek Infeksi Bakteri Streptococcus agalactiae terhadap kadar hematokrit dan glukosa darah ikan nila (Oreochromis niloticus) telah disajikan pada Seminar Nasional Perikanan di Universitas Gajahmada Yogyakarta pada Bulan Juli 2010. Sebuah artikel sudah diterima dan akan diterbitkan dengan judul Karakteristik dan patogenisitas Streptococcus agalactiae tipe β-hemolitik dan non-hemolitik pada ikan nila (Oreochromis niloticus) pada jurnal Veterinar Volume 12. No 2, Edisi Juni, Tahun 2011. Sedangkan artikel dengan judul Toksisitas Produk Ekstrasellular (ECP) Streptococcus agalactiae pada ikan nila (Oreochromis niloticus) sedang menunggu penerbitan di Jurnal Natur Indonesia. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.
xiii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ................................................................................... xvi DAFTAR GAMBAR .............................................................................. xviii DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... xx 1. PENDAHULUAN Latar belakang ................................................................................... Tujuan penelitian .............................................................................. Manfaat penelitian............................................................................. Hipotesis............................................................................................ Kerangka berfikir penelitian .............................................................
1 3 4 4 4
2. TINJAUAN PUSTAKA UMUM Penyakit Streptococcosis .................................................................. Karakteristik Streptococcus agalactiae............................................. Adhesi dan sifat permukaan .............................................................. Imunologi ikan .................................................................................. Antibodi dan komplemen ............................................................. Interferon ...................................................................................... C-Reactive Protein (CRP) ............................................................ Vaksinasi pada ikan ..........................................................................
6 7 9 11 12 13 14 14
3. METODOLOGI UMUM Alur pelaksanaan penelitian .............................................................. Tempat dan waktu penelitian ............................................................ Ikan uji .............................................................................................. Bakteri Streptococcus agalactiae ..................................................... Parameter yang diukur ...................................................................... Analisa data .......................................................................................
15 17 17 18 19 20
4. KARAKTERISTIK BAKTERI Streptococcus agalactiae YANG MENGINFEKSI IKAN NILA (Oreochromis niloticus) Abstrak .............................................................................................. Abstract ............................................................................................. Pendahuluan ...................................................................................... Bahan dan Metode ............................................................................ Hasil dan Pembahasan ...................................................................... Simpulan ...........................................................................................
21 21 22 23 29 45
5. PATOGENISITAS BAKTERI Streptococcus agalactiae TIPE β-HEMOLITIK DAN NON-HEMOLITIK PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus) Abstrak .............................................................................................. Abstract ............................................................................................. Pendahuluan ...................................................................................... Bahan dan Metode ............................................................................ Parameter yang diukur dan analisa data ............................................ Hasil dan Pembahasan ......................................................................
46 46 47 47 48 48
xiv
Simpulan ........................................................................................... 70 6. TOKSISITAS PRODUK EKSTRASELLULAR (ECP) Streptococcus agalactiae PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus) Abstrak .............................................................................................. 71 Abstract ............................................................................................. 71 Pendahuluan ...................................................................................... 72 Bahan dan Metode ............................................................................ 72 Parameter yang diukur dan analisa data ............................................ 72 Isolasi produk ekstrasellular/ECP ..................................................... 73 Pengujian toksisitas total ECP terhadap ikan nila ............................. 73 Fraksinasi protein ECP melalui SDS-PAGE .................................... 74 Pengukuran kadar protein ................................................................. 75 Hasil dan Pembahasan ...................................................................... 76 Simpulan ........................................................................................... 93 7. EFIKASI VAKSIN SEL UTUH DAN PRODUK EKSTRASELLULAR BAKTERI Streptococcus agalactiae TIPE β-HEMOLITIK UNTUK PENCEGAHAN STREPTOCOCCOSIS PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus) Abstrak .............................................................................................. Abstract ............................................................................................. Pendahuluan ...................................................................................... Bahan dan Metode ............................................................................ Persiapan vaksin ................................................................................ Parameter yang diukur ...................................................................... Vaksinasi S. agalactiae tipe β-hemolitik pada ikan nila .................. Hasil dan Pembahasan ...................................................................... Simpulan ...........................................................................................
94 94 95 96 96 97 97 98 108
8. EFIKASI VAKSIN SEL UTUH DAN PRODUK EKSTRASELLULAR BAKTERI Streptococcus agalactiae TIPE NON-HEMOLITIK UNTUK PENCEGAHAN STREPTOCOCCOSIS PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus) Abstrak .............................................................................................. 110 Abstract ............................................................................................. 110 Pendahuluan ...................................................................................... 111 Bahan dan Metode ............................................................................ 111 Persiapan vaksin ................................................................................ 112 Parameter yang diukur ...................................................................... 112 Vaksinasi S. agalactiae tipe non-hemolitik pada ikan nila ............... 113 Hasil dan Pembahasan ...................................................................... 113 Simpulan ........................................................................................... 122 9. PEMBAHASAN UMUM ................................................................. 10. SIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 11. DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 12. LAMPIRAN ......................................................................................
xv
123 128 130 138
DAFTAR TABEL Halaman 1. Sekuens primer yang digunakan untuk amplifikasi PCR dan amplikon yang diharapkan ............................................................. 2. Karakteristik Streptococcus agalactiae yang menyerang sapi, manusia dan ikan ............................................................................ 3. Isolat Streptococcus agalactiae yang digunakan dalam penelitian 4. Karakteristik morfologi, fisika dan biokimia Streptococcus agalactiae ....................................................................................... 5. Kemampuan Streptococcus agalactiae menghidrolisis gula dengan Api Strep 20 ....................................................................... 6. Sensitivitas Streptococcus agalactiae terhadap berbagai antibiotik 7. Karakteristik pertumbuhan Streptococcus agalactiae di berbagai media .............................................................................................. 8. Sebaran derajat hidrofobisitas Streptococcus agalactiae ............... 9. Kemampuan hemaglutinin Streptococcus agalactiae pada darah kambing, kuda dan kelinci ............................................................. 10. Perbedaan Streptococcus agalactiae kapsul dan non kapsul ......... 11. Keterkaitan antara ekspresi fenotip, derajat hidrofobisitas dan aktivitas hemaglutinin Streptococcus agalactiae ........................... 12. Perbandingan karakteristik fenotipik Streptococcus agalactiae pada ikan, sapi, manusia dan hewan lainnya.................................. 13. Patologi anatomi makroskopis organ luar ikan nila pasca diinjeksi Streptococcus agalactiae ............................................................... 14. Mean Time Death (MTD) hasil pengujian patogenisitas Streptococcus agalactiae terhadap ikan nila .................................. 15. Histopatologi organ mata, otak dan ginjal ikan nila yang diinjeksi dengan Streptococcus agalactiae ................................................... 16. Pengujian toksisitas ECP Streptococcus agalactiae tipe β-hemolitik dan non-hemolitik...................................................... 17. Perubahan pola renang ikan nila pada uji toksisitas ECP Streptococcus agalactiae tipe β-hemolitik dan non-hemolitik .... 18. Patologi anatomi makroskopis organ luar ikan nila pasca diinjeksi ECP Streptococcus agalactiae tipe β-hemolitik dan non-hemolitik ................................................................................. 19. Gambaran darah dan patologi klinik darah ikan yang diinjeksi ECP Streptococcus agalactiae tipe β-hemolitik dan non-hemolitik Pada jam ke-168 pasca injeksi ....................................................... 20. Mean Time Death (MTD) ikan nila yang diinjeksi dengan ECP Streptococcus agalactiae tipe β-hemolitik dan non-hemolitik ...... 21. Hubungan antara berat molekul protein standar dengan migrasi relatif (Rm) ..................................................................................... 22. Berat molekul protein pada ECP Streptococcus agalactiae ......... 23. Konsentrasi protein dalam ECP Streptococcus agalactiae ............ 24. Perlakuan pengujian efikasi vaksinasi Streptococcus agalactiae tipe β-hemolitik .............................................................................. xvi
8 9 18 33 34 36 38 40 41 43 43 44 51 62 64 74 76
78
80 85 90 90 91 97
25. Tingkat RPS ikan yang divaksin dengan Streptococcus agalactiae tipe β-hemolitik ............................................................ 26. Parameter pendukung efikasi vaksinasi vaksin hemolitik pada hari ke-14 pasca uji tantang............................................................ 27. Data kualitas air pada hari ke-25 pasca vaksinasi dengan Streptococcus agalactiae tipe β-hemolitik ..................................... 28. Perlakuan pengujian efikasi vaksinasi Streptococcus agalactiae tipe non-hemolitik .......................................................................... 29. Tingkat RPS ikan yang divaksin dengan Streptococcus agalactiae tipe non-hemolitik ........................................................ 30. Parameter pendukung efikasi vaksinasi vaksin non-hemolitik pada hari ke-14 pasca uji tantang ................................................... 31. Data kualitas air pada hari ke-25 pasca vaksinasi dengan Streptococcus agalactiae tipe non-hemolitik ................................. 32. Parameter pendukung efikasi vaksin Streptococcus agalactiae tipe β-hemolitik dan non hemolitik ................................................
xvii
19 101 108 113 114 117 121 127
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka berfikir penelitian Kandidat Vaksin Potensial Streptococcus agalactiae untuk Pencegahan Penyakit Streptococcosis pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus).................... 2. Alur pelaksanaan penelitian Kandidat Vaksin Potensial Streptococcus agalactiae untuk Pencegahan Penyakit Streptococcosis pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus).................... 3. Pertumbuhan Streptococcus agalactiae pada media BHI .................. 4. Zona hemolitik Streptococcus agalactiae .......................................... 5. Morfologi sel Streptococcus agalactiae dengan pewarnaan Giemsa . 6. Zona hambat yang dihasilkan pada pemberian berbagai antibiotik terhadap Streptococcus agalactiae...................................................... 7. Pertumbuhan Streptococcus agalactiae pada media cair BHI ............ 8. Pertumbuhan Streptococcus agalactiae pada media padat BHIA ...... 9. Tingkah laku berenang ikan normal dan yang terinfeksi Streptococcus agalactiae .................................................................... 10. Organ dalam ikan normal dan yang terinfeksi Streptococcus agalactiae ............................................................................................ 11. Perubahan yang terjadi pada organ mata ikan nila.............................. 12. Eksoptalmia pada organ mata ikan nila .............................................. 13. Perubahan yang terjadi pada operkulum ikan nila .............................. 14. Perubahan yang terjadi pada tubuh ikan nila ...................................... 15. Perubahan warna tubuh ikan yang terinfeksi Streptococcus agalactiae ............................................................................................ 16. Grafik total leukosit ikan nila pasca diinjeksi Streptococcus agalactiae ............................................................................................ 17. Differensial leukosit dan trombosit ikan nila ...................................... 18. Grafik total eritrosit ikan nila pasca diinjeksi Streptococcus agalactiae ............................................................................................ 19. Grafik hematokrit ikan nila pasca diinjeksi Streptococcus agalactiae ........................................................................................... 20. Grafik hemoglobin ikan nila pasca diinjeksi Streptococcus agalactiae ............................................................................................ 21. Grafik glukosa ikan nila pasca diinjeksi dengan Streptococcus agalactiae ............................................................................................ 22. Grafik kematian kumulatif ikan nila yang diinjeksi Streptococcus agalactiae ............................................................................................ 23. Histopatologi mata ikan nila yang diinjeksi Streptococcus agalactiae ............................................................................................ 24. Histopatologi otak ikan nila yang diinjeksi Streptococcus agalactiae ........................................................................................... 25. Histopatologi ginjal ikan nila yang diinjeksi Streptococcus agalactiae ........................................................................................... 26. Beberapa perubahan pada mata ikan nila pasca injeksi dengan ECP Streptococcus agalactiae .................................................................... xviii
5
15 30 31 33 36 39 39 49 50 52 53 53 53 54 54 55 57 58 59 60 62 64 67 68 79
27. Grafik kematian kumulatif ikan nila yang diinjeksi ECP Streptococcus agalactiae .................................................................... 84 28. Histopatologi mata ikan nila yang diinjeksi ECP Streptococcus agalactiae ............................................................................................ 86 29. Histopatologi organ otak ikan nila yang diinjeksi ECP Streptococcus agalactiae ............................................................................................ 87 30. Histopatologi ginjal ikan nila yang diinjeksi ECP Streptococcus agalactiae ............................................................................................ 88 31. Hasil elektroforesis ECP melalui SDS PAGE dengan pewarnaan silver stain ........................................................................................... 89 32. Regresi antara berat molekul protein standar dengan migrasi relatif (Rm) .................................................................................................... 90 33. Alur pengujian efikasi vaksinasi Streptococcus agalactiae tipe β-hemolitik .......................................................................................... 98 34. Grafik kematian kumulatif ikan nila yang divaksinasi dengan Streptococcus agalactiae tipe β-hemolitik ......................................... 99 35. Proses fagositosis dan penghancuran partikel bakteri pada ikan nila yang divaksinasi dengan Streptococcus agalactiae tipe β-hemolitik . 103 36. Proses fagositosis dan penghancuran partikel bakteri (Sumber: Roth, 1988) ................................................................................................... 104 37. Grafik kematian kumulatif ikan nila yang divaksinasi dengan Streptococcus agalactiae tipe non-hemolitik ..................................... 114
xix
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Metode Pengukuran Gambaran Darah dan Patologi Klinik Darah 2. Tabel Perubahan warna pada pengujian gula-gula dengan API Strep 20 ..................................................................................... 3. Gambar Proses Pengujian Karakteristik Bakteri .............................. 4. Tabel Perubahan Pola Renang, Nafsu Makan setelah Diinjeksi dengan Streptococcus agalactiae ..................................................... 5. Grafik gambaran darah dan patologi klinik darah ikan nila yang diinjeksi dengan Streptococcus agalactiae ...................................... 6. Grafik gambaran darah dan patologi klinik darah darah ikan nila yang diinjeksi ECP Streptococcus agalactiae.................................. 7. SDS-PAGE (Metode Laemmli, 1970) ............................................. 8. Hasil Elektroforesis ECP Bakteri Streptococcus agalactiae ........... 9. Grafik parameter pendukung vaksinasi dengan menggunakan Streptococcus agalactiae tipe β-hemolitik ...................................... 10. Grafik parameter pendukung vaksinasi dengan menggunakan Streptococcus agalactiae tipe non-hemolitik ..................................
xx
138 142 143 144 148 150 153 154 155 159
1
PENDAHULUAN UMUM 1
Latar belakang Penyakit yang sedang mewabah pada budidaya ikan nila di Jawa Barat,
Klaten, Sumatra, Sulawesi dan Nusa Tenggara pada lima tahun belakangan ini adalah
penyakit
Streptococcosis,
yang
sebagian
besar
disebabkan
oleh
Streptococcus agalactiae dan S. iniae, gejala klinis yang ditunjukkan oleh ikan terinfeksi hampir sama yaitu ikan tampak berenang lemah, cara berenang yang abnormal, eksoptalmia pada salah satu ataupun kedua mata dan warna tubuh yang menghitam (Elder et al., 1994). Kedua bakteri ini merupakan bakteri penyebab penyakit yang sering ditemukan sepanjang waktu dan di hampir seluruh sentra budidaya ikan nila. Dari hasil pemeriksaan 1.000 isolat bakteri yang berasal dari 74 lokasi di 14 negara termasuk Indonesia, kedua jenis bakteri ini ditemukan hampir setengah dari bakteri yang teridentifikasi (Sheehan et al., 2009). Namun belakangan ini S. agalactiae lebih sering ditemukan dengan virulensi lebih tinggi dibandingkan S. iniae. Dari hasil pengamatan histopatologi, infeksi S. agalactiae dan S. iniae tidak terlihat adanya perbedaan, patogenesis yang muncul hanya disebabkan oleh S. agalactiae hal ini diduga karena ikan nila mampu mengontrol secara alami infeksi dari S. iniae (Sheehan et al., 2009). Beberapa strain dari S. agalactiae menunjukkan kemampuan β-hemolitik pada media agar darah, meskipun pada beberapa strain tidak memiliki kemampuan hemolitik, yaitu bakteri strain Ib yang berasal dari manusia, sapi dan ikan. Setelah dilakukan uji biokemikal dan analisis protein dalam sel diketahui bahwa ada perbedaan S. agalactiae yang berasal dari ikan dengan S. agalactiae dari manusia dan sapi (Wilkinson et al., 1973). Sedangkan Elliot et al. (1990) tidak menemukan adanya perbedaan dalam protein sel pada strain S. agalactiae yang berasal dari ikan, tikus dan manusia. Sheehan et al. (2009) mengelompokkan S. agalactiae dalam dua tipe yaitu tipe 1 (β-hemolitik) dan tipe 2 (non-hemolitik). Bakteri tipe 1 tumbuh baik (cepat) pada suhu 37 oC dan mampu menghidrolisis gula lebih banyak sedangkan bakteri tipe 2 memiliki sifat yang bertolak belakang dengan tipe 1, yaitu tumbuh relatif lebih lambat pada suhu 37 oC dan hanya gula tertentu yang
2
mampu dihidrolisis. Dari hasil pengamatan di beberapa daerah di dunia ternyata bakteri tipe 2 lebih ganas dibandingkan dengan tipe 1. Selain itu penyebaran bakteri tipe 2 lebih luas dan ditemukan di beberapa wilayah di Asia seperti Cina, Indonesia, Vietnam, dan Filipina juga di wilayah Amerika Latin seperti Ekuador, Honduras, Meksico dan Brazil. Evans et al. (2006a) menunjukkan hasil pengamatan bahwa S. agalactiae menyebabkan 90% kematian dalam 6 hari setelah injeksi. Gejala tingkah laku ikan nila sebelum mati terlihat seperti berenang lemah dan berada di dasar akuarium, respon terhadap pakan lemah, berenang tidak beraturan, tubuh membentuk huruf ”C”, perubahan pada warna tubuh, dan bukaan operkulum menjadi lebih cepat. Taukhid (2009) berhasil mengisolasi S. agalactiae dari ikan nila yang berasal dari beberapa daerah seperti Cirata, Klaten, Kalimantan, Sulawesi, dan Aceh. Gejala klinis yang tampak pada ikan-ikan yang terinfeksi antara lain operkulum tampak jernih, berenang tidak beraturan, warna tubuh menjadi gelap dan pada kasus kronis ikan yang ditemukan mengalami eksoptalmia. Injeksi vaksin formalin-killed cell Streptococcus difficile (sel utuh dan ekstrak protein bakteri) pada ikan nila yang berukuran 150–180 g berhasil membantu pencegahan infeksi bakteri S. difficile yang diikuti dengan vaksin booster, sintasan mencapai 92% (Elder et al., 1994). Sedangkan Evans et al. (2004) menggunakan vaksin sel utuh dan ECP (extracellular products/produk ekstrasellular) dengan cara perendaman dan ternyata masih menyebabkan kematian pasca infeksi sebesar 66%. Upaya penanggulangan penyakit Streptococcosis sedang dilakukan, mulai dari penggunaan antibiotik, imunostimulan bahkan vaksinasi, namun hasilnya belum optimal. Beberapa upaya vaksinasi untuk mencegah infeksi Streptococcosis sudah dilakukan di Balai Riset Perikanan Air Tawar, Bogor dengan menggunakan formalin-killed cell S. agalactiae pada ikan nila ukuran 100-150 g melalui injeksi.
Hasilnya belum memberikan proteksi
terhadap infeksi S. agalactiae karena sintasan setelah uji tantang hanya berkisar 6– 20% (Lusiastuti, 2009). Begitu juga halnya dengan vaksin heat-killed cell, melalui injeksi, sintasannya kurang dari 20% (Purwaningsih, 2009). Vaksinasi heat-killed cell S. agalactiae dengan cara perendaman pada benih ikan nila ukuran sekitar 1 g juga belum cukup memberikan proteksi yang baik terhadap ikan uji, dengan
3
sintasan kurang dari 11% (Taukhid, 2009). Untuk mengoptimalkan upaya pencegahan dan pengobatan infeksi S. agalactiae, maka perlu diketahui terlebih dahulu mengenai karakteristik bakteri dan mekanisme patogenisitas pada ikan nila. Faktor virulensi S. agalactiae pada ikan sampai sekarang belum diketahui secara jelas sehingga diperlukan penelitian lebih mendalam. Untuk memahami kemampuan S. agalactiae dapat menyebabkan sakit pada ikan maka perlu diketahui bagian yang bersifat virulen.
Menurut
Williams (2003) bagian yang bersifat virulen pada bakteri Gram positif adalah eksotoksinnya (ECP), sebaliknya dengan bakteri Gram negatif, LPS (endotoksin) bersifat lebih virulen. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menghasilkan vaksin potensial yang diharapkan dapat memberikan proteksi terhadap infeksi S. agalactiae. Pada penelitian ini dilakukan pengamatan mengenai karakteristik S.
agalactiae
berdasarkan
sifat
morfologi,
fisika
dan
biokimia.
Juga
membandingkan karakter fenotip, menganalisis kinetik pertumbuhan, aktivitas hemolitik yang berpengaruh terhadap sifat patogenisitasnya. Selain itu, melakukan kajian ECP yang diproduksi bakteri tersebut mencakup toksisitas dan fraksi proteinnya yang nantinya diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai kandidat vaksin potensial. 2
Tujuan penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Menganalisa
perbedaan
karakteristik
isolat-isolat
S.
agalactiae
yang
menginfeksi ikan nila. 2. Menganalisa patogenisitas isolat-isolat S. agalactiae berdasarkan perbedaan karakteristiknya pada ikan nila. 3. Membandingkan toksisitas ECP S. agalactiae dari tipe yang berbeda terhadap ikan nila. 4. Mengkaji efikasi vaksinasi dari bakteri sel utuh, ECP dan gabungan dari isolat
tunggal maupun dua isolat yang berbeda karakteristiknya. Kebaruan (novelty) dari penelitian ini adalah dihasilkan kandidat vaksin yang dapat digunakan untuk mencegah penyakit Streptococcosis yang disebabkan S. agalactiae pada ikan nila dengan membandingkan efikasi dari vaksin sel utuh, vaksin ECP dan vaksin gabungan antara sel utuh dan ECP S. agalactiae isolat
4
tunggal maupun dari dua isolat berbeda. 3
Manfaat penelitian Dengan penelitian ini diharapkan dapat dihasilkan kandidat vaksin S.
agalactiae yang dapat digunakan para pembudidaya untuk mencegah wabah penyakit Streptococcosis yang disebabkan oleh S. agalactiae. 4
Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Perbedaan karakteristik S. agalactiae berpengaruh terhadap sifat patogen terhadap ikan nila. 2. Produk ekstrasellular S. agalactiae berperan sebagai faktor virulen yang menyebabkan ikan nila sakit dan atau mati. 3. Vaksin yang berasal dari gabungan antara sel utuh dan ECP S. agalactiae memberikan proteksi lebih baik pada ikan nila akibat infeksi S. agalactiae (penyakit Streptococcosis) dibandingkan dengan vaksin dari sel utuh maupun ECP sendiri. 5
Kerangka berfikir penelitian Latar belakang dan kerangka berfikir penelitian Kandidat Vaksin Potensial
Streptococcus agalactiae untuk Pencegahan Penyakit Streptococcosis pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus) dijabarkan pada Gambar 1. Budidaya ikan nila (O. niloticus) yang mulai pesat dikembangkan mengalami hambatan. Gangguan tersebut terjadi pada pembenihan maupun pembesaran, yang salah satunya disebabkan oleh adanya infeksi bakteri S. agalactiae. Meskipun faktor lain seperti musim, kualitas air yang buruk dan sistem budidaya yang semakin intensif juga dapat menjadi penghambat dalam budidaya ikan nila. Pakan yang belum tepat seperti kualitas dan kuantitas pakan, kandungan nutrien, penggunaan imonostimulan, juga dapat menjadi faktor penghambat keberhasilan budidaya ikan nila. Infeksi S. agalactiae ini menyebabkan kematian yang sangat tinggi mencapai 80-100%. Hal ini disebabkan selain karena virulensinya yang tinggi juga karena penyebaran penyakit ini yang relatif mudah yaitu melalui persinggungan dengan ikan sakit atau ikan yang terinfeksi S. agalactiae. Proses bagaimana terjadinya ikan sakit dan atau mati akibat bakteri ini belum diketahui,
5
karena patogenisitas S. agalactiae ini sendiri juga belum diketahui. Patogenisitas suatu bakteri sangat bergantung pada karakter bakteri itu sendiri dan faktor virulensinya pada inang. Sehingga diperlukan serangkaian penelitian untuk dapat menjawab semua pertanyaan yang menyangkut S. agalactiae yang menginfeksi ikan nila, agar dapat dihasilkan keluaran berupa vaksin yang dapat digunakan untuk mencegah infeksi S. agalactiae yang disebabkan oleh tipe bakteri yang berbeda. BUDIDAYA IKAN NILA (Oreochromis niloticus) TERHAMBAT
PEMBENIHAN DAN PEMBESARAN TERGANGGU
MUSIM, KUALITAS AIR DAN SISTEM BUDIDAYA
INFEKSI BAKTERI Streptococcus agalactiae
FORMULASI PAKAN BELUM TEPAT
PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN DENGAN BAHAN ANTIBAKTERIAL ALAMI DAN KIMIA
KEMATIAN TINGGI 80-100%
PROSES TERJADI IKAN SAKIT DAN ATAU MATI BELUM DIKETAHUI
KARAKTERISTIK BAKTERI
PATOGENISITAS
FAKTOR VIRULENSI
KELUARAN Vaksin yang dapat mencegah infeksi Streptococcus agalactiae yang disebabkan oleh tipe bakteri yang berbeda
Gambar 1
Kerangka berfikir penelitian Kandidat Vaksin Streptococcus agalactiae untuk Pencegahan Streptococcosis pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus)
Potensial Penyakit
6
TINJAUAN PUSTAKA UMUM 1 Penyakit Streptococcosis Infeksi bakteri Streptococcus mengalami peningkatan selama lima tahun terakhir sebagai konsekuensi dari akuakultur intensif, yang menyebabkan kerugian dalam industri budidaya. Menurut Bercovier et al. (1997) dan Muzquiz et al. (1999) Streptococcosis pada ikan disebabkan oleh 6 spesies Gram positif yang berbeda termasuk didalamnya streptococci, lactocci, dan vagocci. Spesies yang bersifat patogenik utama penyebab Streptococcosis adalah Streptococcus parauberis, S. iniae, S. difficilis (=Streptococcus agalactiae), Lactococcus garvieae, L. piscium, Vagococcus salmoninarum dan Carnobacterium piscicola (Bercovier et al., 1997; Elder et al., 1997; Elder dan Ghittino, 1999). Suhu lingkungan menjadi faktor penting dalam serangan penyakit yang disebabkan oleh patogen. Wabah gabungan dengan infeksi L. piscium, V. salmoninarum dan C. piscicola biasanya muncul saat suhu mencapai 15 oC dan di perairan dingin yang merupakan zona Streptococcosis (Muzquiz et al., 1999). Selain itu, wabah Streptococcosis yang menyerang pada suhu 15 oC atau perairan hangat Streptococcosis adalah L. garvieae, S. iniae, S. parauberis dan S. difficilis (Muzquiz et al., 1999). Infeksi gabungan dengan bakteri patogen banyak dilaporkan di beberapa negara pada ikan di perairan laut maupun perairan tawar (Alcaide et al., 2000; Bromaga et al, 1999; Chen et al, 2002). Menurut Evans et al. (2006a) penularan Streptococcosis dapat terjadi melalui persinggungan dengan ikan sakit. Gejala yang ditimbulkan tergantung pada tingkat serangan, yaitu kronis dan akut. Pada tingkat kronis, gejala yang nampak yaitu adanya memar seperti luka di permukaan tubuh, bercak merah pada sirip, berenang lambat dan lebih sering berada di dasar akuarium, juga menyebabkan nafsu makan menurun. Gejala lain yang sering muncul adalah mata menonjol (exopthalmia) dan berenang whirling. Apabila serangan akut terjadi, maka akan terjadi kematian yang diduga karena adanya toksin, kehilangan cairan pada saluran pencernaan dan tidak berfungsinya sebagian organ. Infeksi Streptococcal hasil pengamatan Evans et al. (2006b) menyebabkan mamalia laut sakit dan mati. Streptococcal (GBS=Group B Streptococcal) yang
7
termasuk didalamnya adalah S. agalactiae dan L. garvieae yang diisolasi dari mamalia laut namun tidak menyebabkan gejala klinis dan patologi anatomi yang signifikan pada mamalia darat dan ikan. Bakteri S. agalactiae menyebabkan neonatal meningitis pada manusia dan mastitis pada sapi (Elliott et al., 1990; Bohnsack et al., 2004; Lindahl et al., 2005). Organisme GBS menyebabkan kematian yang besar pada ikan budidaya dan ikan di perairan umum, diantaranya ikan menhaden (Brevoortia patronus) (Plumb et al., 1974), bullminnows (Fundulus grandis) (Rasheed and Plumb, 1984), striped bass (Morone saxatilis) (Baya et al., 1990) dan nila (Oreochromis niloticus) (Evans et al., 2002). 2 Karakteristik Streptococcus agalactiae Pengujian untuk identifikasi S. agalactiae banyak dikerjakan, Evans et al. (2002) melakukan pengujian karakteristik fenotip dan hasilnya menunjukkan bahwa S. agalactiae termasuk Gram positif, oksidasi negatif, katalase negatif dan isolat menunjukkan hasil negatif pada tes reaksi β-galactosidase, β-glucuronidase, N-acetyl-β-glucosaminidase, β-mannosidase, glycyl-tryptophane arylamidase, sorbitol, L-arabinosa, D-arabitol, glycogen, melezitos, melibiose dan hidrolisis starch. Positif pada reaksi leucine aminopeptidase, arginin deaminasi dan trehalose. Isolat S. agalactiae dari otot daging bersifat non-hemolitik pada media agar darah.
Isolat S. agalactiae tipe ATCC menunjukkan keragaman sifat
hemolitik yaitu isolat 13813 (non-hemolitik), isolat 27956 (β-hemolitik), pyrrolidonyl
arylamidase-negatif
dan
leucine
inopeptidase-positif
secara
pengukuran konvensional atau menggunakan uji API Rapid ID 32 (Christie et al.,1994). Menurut Wibawan and Laemmler (1992) semua S. agalactiae dari inang yang berbeda (sapi, manusia, ikan, kucing/anjing dan inang lainnya) merupakan Strepococcus Grup B yang positif pada pengujian CAMP, mampu menghidrolisis Hipurat, tidak mampu menghidrolisis eskulin dan D mannitol. Sedangkan dalam SNI 7545.3:2009 disebutkan perbedaan karakteristik antara bakteri S. iniae dan S. agalactiae. Kedua bakteri memiliki karakteristik morfologi yang hampir sama yaitu motilitas negatif, oksidatif-fermentatif positif, katalase negatif. Sedangkan perbedaannya adalah S. agalactiae mampu tumbuh dalam media bile salt 40% dan
8
NaCl 6.5% dan tidak untuk S. iniae. Streptococcus agalactiae tidak mampu menghidrolisis esculin dan D-mannitol sedangkan S. iniae mampu menghidrolisis gula-gula tersebut. Beberapa
sekuens
primer
untuk
identifikasi
bakteri
penyebab
Streptococcosis dengan menggunakan PCR disajikan pada Tabel 1 berikut. Tabel 1 Sekuens primer yang digunakan untuk amplifikasi PCR dan amplikon yang diharapkan Pasanga n primer Sdi 61
Sekuens (5’-3’) AGGAAACCTGCCATTTGCG
Sdi 252 CAATCTATTTCTAGATCGTGG Spa 2152 TTTCGTCTGAGGCAATGTTG Spa 2870 GCTTCATATATCGCTATACT LOX -1 AAGGGGAAATCGCAAGTGCC LOX -2 ATATCTGATTGGGCCGTCTAA pLG -1 CATAACAATGAGAATCGC pLG -2 GCACCCTCGCGGGTTG Sumber : Mata et al. (2003)
Gen target
PCR amplicon (bp)
Patogen
16S-23S RNA Intergenic spacer 192
S. difficilis
23S rRNA
718
S. parauberis
lctO
870
S. inae
16S rRNA
1,100
L. garvieae
Metode pendeteksian dan identifikasi Streptococcosis pada ikan dapat dilakukan dengan analisis mikrobiologi untuk infeksi tunggal. Sedangkan infeksi gabungan antar patogen dapat diidentifikasi dengan metode kultur dan uji biokemikal namun membutuhkan bahan-bahan yang banyak dan rumit pengerjaannya. Pengujian dengan menggunakan PCR dibutuhkan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi patogen Streptococcosis pada ikan dengan lebih mudah (Berridge et al, 2001; Mata et al, 2003; Zlotkin et al, 1998). Hasil penelitian Kawamura et al. (2005) menunjukkan bahwa bakteri S. difficilis memiliki karakteristik serologi, termasuk dalam grup B, tipe Ib Streptococcus sama dengan S. agalactiae. Persamaan sekuens nilai kedua bakteri 100% untuk 16S rRNA, 99.6% gyrB, 98.6% sodA, 99.5% gyrA dan 99.8% parC gen. Sehingga dari data tersebut merujuk pada kesimpulan bahwa kedua bakteri yaitu S. difficilis (Elder et al., 1994) dan S. agalactiae (Lehmann dan Neumann, 1896 dalam Kawamura et al.,2005) merupakan spesies yang sama. Karakteristik biokimia S. difficilis hanya terdapat sedikit perbedaan dengan S. agalactiae, namun termasuk dalam grup B dan tipe Ib Streptococci yang sama, yang diisolasi
9
dari ikan dan katak.
Keseluruhan nilai genom DNA-DNA hibridisasi antara
kedua bakteri memiliki kesamaan lebih besar dari 78.6% dan disimpulkan bahwa S. difficilis merupakan sinonim dari S. agalactiae yang muncul kemudian (Kawamura et al., 2005). Tabel 2 Karakteristik Streptococcus agalactiae yang menyerang sapi, manusia dan ikan Pengujian
Pewarnaan gram Hemolisis
Collins et al. (1995)(1) + Β
Cowan & Steel’s (1974)(2) + α/β
Wilkinson et al (1973)(3) + Nonhemolitik Non Non Non + Non + Non Non Non Non + + Non Non Non
Evans et al. (2002)(4) + β
SNI (5)
+ β
Aesculin Hippurate + + + CAMP test + Non Non Non Bile salt agar 40% Non + + + Arginin hidrolisis + + + + NaCl 6.5% Non + + Motilitas Katalase Oksidasi Sorbitol Non Sucrose + Non Non Non Trehalose + + + Non β-galactosidase Non Non Non β-glucuronidase Non Non Non N-acetyl-βNon Non Non glucosaminidase β-mannosidase Non Non Non Non glycyl-tryptophane Non Non Non Non arylamidase L-arabinosa Non Non Non Non D-arabitol Non Non Non Non Glycogen Non Non Non Non Mannitol Non Maltose + Non Non Non Starch Non Non Non Leucine Var Var Non + Non Aminopeptidase + + Non + Non Keterangan : SNI : Standar Nasional Indonesia 7545.3:2009 ; (1) & (2) : pada hewan sapi; (3) manusia, (4) & (5) pada ikan; non : tidak dilakukan; Var : bervariasi
3 Adhesi dan sifat permukaan Langkah awal dari proses infeksi bakteri adalah adhesi yaitu melekatnya bakteri pada permukaan sel inang. Proses pelekatan ini terjadi karena adanya interaksi antara komponen permukaan bakteri dan sel inang. Proses adhesi dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu yang bersifat spesifik dan stabil (irreversible)
10
serta adhesi yang tidak spesifik dan labil (reversible). Struktur yang bertanggung jawab terhadap sifat adhesi pada bakteri antara lain adhesin fimbrae, asam lipoteikoat atau protein adhesin. Struktur permukaan bakteri yang bersifat hidrofob sangat berperan dalam proses pelekatan (Roth, 1988). Sifat hidrofobisitas permukaan sel bakteri sangat dipengaruhi oleh banyaknya protein permukaan. Kaitan antara sifat hidrofobisitas dan perlekatan telah diamati pada bakteri Streptococcus suis terhadap eritrosit dan sel HeLa oleh Lammler dan Wibawan (1993), diketahui bahwa semakin hidrofobik permukaan sel bakteri, semakin tinggi kemampuan melekatnya pada sel inang. Penentuan derajat hidrofobisitas permukaan sel bakteri dapat dilakukan secara langsung dari sifat pertumbuhan koloni pada medium padat, cair dan medium semi padat (soft agar).
Bakteri dengan derajat hidrofobisitas tinggi
memiliki permukaan koloni kasar pada medium padat dan bentuk kompak pada medium semi padat. Bakteri yang bersifat hidrofil memiliki koloni difus pada soft agar dan permukaan mukoid (berlendir) pada medium padat (Wibawan dan Lammler, 1992). Menurut Wibawan dan Lammler (1992) juga, pengujian sifat hidrofobisitas secara tidak langsung dilakukan dengan menggunakan larutan ammonium sulfat konsentrasi rendah pada uji SAT (Salt Aggregation Test) senyawa-senyawa hidrokarbon antara lain hexadecane dan xylene pada HAT (Hexadecane Adherence Test). Bakteri dengan permukaan yang didominasi protein akan mudah diendapkan dengan larutan amonium sulfat konsentrasi rendah sehingga dikatakan bakteri tersebut hidrofob. Sebaliknya bakteri yang memiliki kapsul polisakarida sangat sulit diendapkan dengan larutan amonium sulfat konsentrasi rendah, sehingga dikatakan bakteri tersebut bersifat hidrofil. Uji hidrofobisitas dengan SAT menunjukkan hasil hidrofilik pada bakteri berkapsul dan hidrofobik pada bakteri yang tidak berkapsul (Wibawan et al., 1992). Prinsip dasar dari uji HAT adalah membandingkan tingkat kekeruhan suspensi bakteri sebelum dan sesudah dicampur dengan larutan hexadecane. Derajat kekeruhan mencerminkan tingkat hidrofobisitas permukaan sel bakteri.
11
4 Imunologi ikan Vertebrata memiliki mekanisme untuk mengontrol patogen penyebab penyakit. Namun ikan termasuk organisme primitif yang memiliki sistem imun yang sederhana dan berbeda dengan mamalia umumnya. Menurut Anderson (1974), Rijkers (1982), Clem et al. (1985) dan Ellis (1989) respon imun pada ikan terdiri dari respon seluler dan respon humoral. Menurut Corbal (1975) respon humoral merupakan respon spesifik sedangkan respon seluler bersifat non spesifik. Respon imunitas dibentuk oleh jaringan limfoid pada ikan, jaringan limfoidnya menyatu dengan jaringan myeloid, sehingga dikenal sebagai jaringan limfomyeloid. Menurut Fange (1982), organ limfoid pada ikan teleost adalah GALT yaitu gut associated limfoid tissue. Produk jaringan limfoid adalah sel-sel darah dan respon imunitas baik seluler maupun humoral. Respon pertahanan seluler ikan merupakan respon yang bersifat non spesifik (Anderson, 1974). Respon ini meliputi pertahanan mekanik dan kimiawi (mukus, kulit, sisik dan insang) dan pertahanan seluler (sel makrofag, lekosit seperti monosit, netrofil, eosinofil dan basofil). Mekanisme pertahanan tubuh yang sinergis antara pertahanan humoral dan seluler dimungkinkan oleh adanya interleukin, interferon dan sitokin. Anderson (1974) mengemukakan mengenai hubungan interleukin, interferon dan sitokin tersebut berperan sebagai komunikator dan amplikasi dalam mekanisme pertahanan humoral dan seluler ikan. Menurut Anderson (1974), mekanisme kekebalan non spesifik merupakan kekebalan alamiah (innate immunity) pertahanan inang yang responnya tidak tergantung kontak antigen tertentu. Sedangkan respon kekebalan spesifik (humoral mediated immunity and cellular mediated immunity) tergantung kontak inang dengan antigen tertentu sebelumnya (= adaptive immunity). Fungsi sistem kekebalan non spesifik juga terlibat dalam sistem kekebalan spesifik. Sistem pertahanan ikan akan terbentuk sempurna saat ikan telah dewasa. Pada benih, sistem kekebalan tubuh sudah terbentuk tetapi belum berfungsi optimal sehingga kurang efisien menahan infeksi patogen sehingga rentan penyakit.
Sistem
pertahanan non spesifik, pertahanan terdepan menghadapi patogen karena
12
memberikan respon langsung terhadap antigen. Sistem pertahanan tubuh non spesifik terdiri dari kulit dan selaput mukosa. Sistem pertahanan tubuh spesifik, kekebalan khusus yang membuat limfosit peka untuk segera menyerang patogen tertentu (Anderson, 1974). Sistem kekebalan spesifik pada ikan, organ dalam sistem kekebalan ikan adalah sistem reticulo endothelial, limfosit, plasmosit, dan fraksi serum protein tertentu. Sistem reticulo endothelial ikan terdiri dari bagian depan ginjal, timus, limpa dan hati (pada awal perkembangan), jaringan menyerupai limfoid pada usus ikan, sel limfosit, limfosit-B dan limfosit-T. Aktivitas sel-T pada ikan berperan dalam sistem kekebalan seluler/imun perantara sel (cell mediated immunity) sedangkan sel-B berperan dalam produksi Ig melalui rangsangan antigen tertentu pada limpa dan hati (Anderson, 1974). Beberapa produk dari sistem imun spesifik (dapatan) yang berperan dalam keberhasilan mengeliminasi antigen yang masuk ke dalam tubuh ikan adalah : 1 Antibodi dan komplemen Berbagai bahan dalam sirkulasi berperan dalam pertahanan humoral. Bahan-bahan tersebut antara lain berupa antibodi, komplemen, interferon dan CReactive Protein (CRP). Serum normal dapat membunuh dan menghancurkan beberapa bakteri Gram negatif. Hal tersebut disebabkan oleh kerja sama antara antibodi dan komplemen, keduanya ditemukan dalam serum normal (Anderson, 1974). Bila darah dibiarkan membeku maka darah dan serum yang mengandung berbagai bahan larut tanpa sel akan terpisah dengan sendirinya. Bahan larut tersebut adalah molekul antibodi yang digolongkan dalam protein yang disebut globulin dan sekarang dikenal sebagai imunoglobulin. Dua cirinya yang penting ialah spesifitas dan aktivitas biologik. Imunoglobulin (Ig) dibentuk oleh sel plasma yang berasal dari proliferasi sel B akibat kontak dengan antigen. Antibodi yang terbentuk secara spesifik ini akan mengikat antigen baru lainnya yang sejenis. Bila serum protein tersebut dipisahkan dengan cara elektroforesis, maka imunoglobulin ditemukan terbanyak dalam fraksi globulin gama. Kelas-kelas Ig didasarkan atas tipe rantai beratnya. Pada mamalia dikenal ada lima kelas Ig yaitu
13
IgG, IgA, IgD, IgE dan IgY (Anderson, 1974). Komplemen terdiri dari sejumlah besar protein yang bila diaktifkan akan memberikan proteksi terhadap infeksi dan berperan dalam respon inflamasi. Komplemen diproduksi oleh hepatosit dan monosit dengan spektrum aktivitas yang luas. Komplemen dapat diaktifkan secara langsung oleh mikroba atau produknya (jalur altenatif dalam imunitas non spesifik) atau oleh antibodi (jalur klasik dalam imunitas spesifik). Komplemen berperan sebagai opsonin yang meningkatkan fagositosis dan juga menimbulkan destruksi/lisis bakteri dan parasit. Selain itu, komplemen dapat menghancurkan sel membran banyak bakteri karena komplemen dapat melepas bahan kemotaktik yang mengerahkan makrofag ke tempat bakteri. Komplemen dapat mengendap pada permukaan bakteri yang memudahkan
makrofag
untuk
mengenal
(opsonisasi)
dan
memakannya
(Anderson, 1974). Antibodi dan komplemen dapat menghancurkan membran lapisan lipopolisakarida (LPS) dinding sel. Diduga komplemen mempunyai sifat esterase yang berperan pada lisis tersebut. Begitu lapisan LPS melemah, lisozim, mukopeptida dalam serum dapat masuk menembus membran bakteri dan menghancurkan lapisan mukopeptida. Membrane Attack Complex (MAC) dari sistem komplemen dapat menimbulkan lubang-lubang kecil dalam sel membran bakteri sehingga bahan sitoplasma yang mengandung bahan-bahan vital keluar sel dan mengakibatkan mikroba mati (Anderson, 1974). 2 Interferon Interferon (IFN) adalah sitokin berupa glikoprotein yang dihasilkan oleh berbagai sel tubuh yang mengandung nukleus dan dilepas sebagai respon terhadap infeksi virus. Interferon mempunyai sifat antivirus, dapat menginduksi sel-sel di sekitar sel yang terinfeksi virus menjadi resisten terhadap virus. Di samping itu, interferon juga dapat mengaktifkan Natural Killer Cell (sel NK). Sel yang terinfeksi virus atau menjadi ganas akan menunjukkan perubahan pada permukaannya yang akan dikenal dan dihancurkan sel NK. Dengan demikian penyebaran virus dapat dicegah (Anderson, 1974).
14
3 C-Reactive Protein (CRP) C-Reactive Protein merupakan salah satu contoh dari protein fase akut, termasuk golongan protein yang kadarnya dalam darah dapat meningkat 100x atau lebih pada infeksi akut dan berperan pada imunitas non-spesifik dengan bantuan CaH dengan mengikat berbagai molekul antara lain fosforlilkolin yang ditemukan pada permukaan bakteri atau jamur, sehingga dapat mengaktifkan komplemen (Anderson, 1974). 5 Vaksinasi pada Ikan Vaksinasi
dilakukan
untuk
mencegah
infeksi
penyakit
dengan
meningkatkan aktivitas sel-sel yang berperan dalam sistem imun spesifik. Ikan yang divaksinasi memperlihatkan ketahanan yang baik terhadap furuncolosis yang tingkat kematiannya hanya 25% dibandingkan dengan yang tidak divaksinasi dengan tingkat kematian 75% (RUMA, 2006). Vaksinasi merupakan upaya pencegahan terhadap infeksi penyakit, budidaya ikan salmon Atlantik (Salmo salar), rainbow trout (Oncorhychus mykiss) dan Atlantic cod (Gadus morhua) yang rutin melakukan vaksinasi. Pembudidaya di Indonesia juga sudah banyak melakukan vaksinasi untuk mencegah penyakit infeksius yang mewabah.
Beberapa penyakit yang dapat
dikontrol dengan vaksin antara lain: penyakit furunculosis (Aeromonas), vibriosis (Vibrio anguilarum), Enteric Redmouth (ERM) (Yersinia ruckeri), Infectious Pancreatic Necrosis (IPN virus) dan Salmon Pancreas Disease (SPD virus). Beberapa tipe vaksin yang digunakan dalam budidaya ikan, berdasarkan bentuk patogennya antara lain bakteri inaktif, virus inaktif, sub unit (teknologi rekombinan) dan DNA. Vaksin yang digunakan dapat berasal dari patogen yang menginfeksi area budidaya itu sendiri atau komersial. Pemberian vaksinasi pada budidaya ikan dapat dilakukan dengan perendaman atau penyemprotan, melalui pakan, dan penyuntikan. Pemilihan metode vaksinasi disesuaikan dengan usia kultivan dan bentuk vaksin yang akan diberikan (RUMA, 2006).
15
METODOLOGI UMUM Alur pelaksanaan penelitian Pelaksanaan penelitian secara skematis disajikan pada Gambar 2, yang merupakan penelitian secara laboratorium untuk menggambarkan permasalahan secara menyeluruh dan jelas. IDENTIFIKASI BAKTERI Streptococcus agalactiae DENGAN MELIHAT KARAKTER KELIMA ISOLAT BAKTERI: Kinetik pertumbuhan, aktivitas hemolitik, uji morfologi, uji fisika dan uji biokimia serta pengujian hidrolisis terhadap gula-gula, sensitivitas terhadap antibiotik, ekspresi fenotip pada berbagai media tumbuh, pengujian derajat hidrofobisitas dan uji hemaglutinasi
UJI PATOGENISITAS BAKTERI S. agalactiae Perubahan pola berenang, tingkah laku makan, perubahan patologi anatomi organ dalam dan luar, gambaran darah, patologi klinik darah, histopatologi dan kematian ikan
KAJIAN ECP BAKTERI S. agalactiae MELIPUTI
ISOLASI ECP Media kultur BHI dan BHIA Lama inkubasi 24, 48, 72 dan 96 jam
UJI TOKSISITAS ECP Perubahan pola berenang, tingkah laku makan, perubahan patologi anatomi organ dalam dan luar, gambaran darah, patologi klinik darah, histopatologi dan kematian ikan
FRAKSINASI PROTEIN ECP
Melalui SDS-PAGE
EFIKASI VAKSIN SEL UTUH, ECP DAN GABUNGAN KEDUANYA DARI S. agalactiae TIPE YANG SAMA ATAU TIPE BERBEDA Parameter utama : RPS Parameter pendukung : gambaran darah dan patologi klinik darah
Gambar 2
Alur pelaksanaan penelitian Kandidat Vaksin Streptococcus agalactiae untuk Pencegahan Streptococcosis pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus)
Potensial Penyakit
16
Penelitiaan mengenai vaksinasi Streptococcus agalactiae ini dilakukan dalam lima tahap, setiap tahap merupakan rangkaian penelitian yang saling berkaitan dan tidak dapat terpisahkan dari tahapan yang lainnya. Tahap 1 merupakan tahap awal untuk mengidentifikasi isolat-isolat S. agalactiae yang menginfeksi ikan nila dengan melihat karakteristiknya yang meliputi kinetik pertumbuhan, aktivitas hemolitik, uji morfologi, uji fisika dan uji biokimia serta pengujian hidrolisis terhadap gula-gula, sensitivitas terhadap antibiotik, ekspresi fenotip pada berbagai media tumbuh, pengujian derajat hidrofobisitas dan uji hemaglutinasi. Sehingga dari penelitian tahap 1 ini dapat diperoleh
informasi
mengenai
perbedaan
dan
persamaan
karakteristik
S. agalactiae yang menginfeksi ikan nila dan kemungkinan ada persamaan dan perbedaan dengan S. agalactiae pada sapi, kucing/ajing dan manusia. Tahap 2 dilakukan untuk mengetahui keterkaitan antara karakteristik S. agalactiae terhadap patogenisitasnya terhadap ikan nila.
Parameter yang
diamati untuk mengetahui tingkat virulensi dan patogenisitas tersebut antara lain perubahan pola berenang, tingkah laku makan, perubahan patologi anatomi organ dalam dan luar, gambaran darah, patologi klinik darah, histopatologi dan kematian ikan. Dari tahapan ini didapatkan isolat S. agalactiae yang selain virulen juga mampu meningkatan komponen imunitas ikan nila.
Dari hasil penelitian ini
dipilih dua isolat S. agalactiae yang memiliki perbedaan karakteristik dan memiliki patogenisitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan isolat lainnya, untuk diuji selanjutnya. Tahap 3 merupakan lanjutan tahapan sebelumnya, dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui toksisitas ECP S. agalactiae terhadap ikan nila. Produk ekstrasellular S. agalactiae diduga sebagai salah satu faktor virulensi terhadap inang. Sehingga dalam penelitian ini akan diketahui apakah ECP bersifat toksik terhadap ikan nila, dan karakteristik bakteri yang berbeda juga berpengaruh terhadap toksisitas ECP pada ikan nila. Pada tahapan ini dilakukan beberapa sub tahapan yaitu, pertama melakukan isolasi ECP, S. agalactiae ditumbuhkan pada media padat (BHIA) dan media cair (BHI) dengan lama inkubasi berbeda (24, 48, 72 dan 96 jam).
17
Tujuannya adalah untuk mengetahui kemampuan S. agalactiae memproduksi ECP pada berbagai media dan lama inkubasi yang berbeda. Selanjutnya dilakukan pengujian toksisitas ECP terhadap ikan nila. Pengujian ini dilakukan untuk membuktikan adanya kandungan toksin dalam ECP S. agalactiae yang menyebabkan perubahan gejala klinis dan kematian ikan nila. Selain itu, diketahui biakan bakteri pada media dan lama kultur yang menghasilkan ECP yang bersifat toksik terhadap ikan.
Sub tahapan terakhir
adalah melakukan fraksinasi protein ECP dengan SDS-PAGE, tujuannya adalah untuk mengetahui protein yang terkandung dalam ECP yang menyebabkan perubahan gejala klinis dan kematian pada ikan, yang nantinya akan dimanfaatkan sebagai vaksin. Dari tahapan ini akan diperoleh ECP yang memiliki protein dengan berat molekul tertentu yang bersifat imunogenik. Tahap terakhir adalah melakukan pengujian efikasi vaksin yang dibuat. Penelitian ini bertujuan mengetahui efikasi vaksin sel utuh, ECP dan gabungan keduanya baik yang berasal dari S. agalactiae tipe yang sama maupun tipe yang berbeda untuk penanggulangan penyakit Streptococcosis yang disebabkan oleh S. agalactiae. Diharapkan dari penelitian ini dapat dihasilkan kandidat vaksin yang memberikan proteksi terbaik bagi ikan nila dalam mengatasi infeksi S. agalactiae. Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kesehatan Ikan Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar Sempur, Bogor Jawa Barat dan Laboratorium Kesehatan Ikan Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Untuk fraksinasi protein ECP dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi, PAU Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dimulai pada bulan November 2009 sampai dengan bulan Agustus 2010. Ikan uji Ikan uji yang digunakan adalah ikan nila (Oreochromis niloticus) berukuran 15 g, jumlah ikan uji yang digunakan dalam setiap percobaan disesuaikan dengan kebutuhan perlakuan. Ikan berasal dari satu sumber dan diadaptasi dalam akuarium uji selama 14 hari sebelum digunakan. Ikan uji yang
18
digunakan adalah ikan yang selama masa karantina (14 hari) tidak ditemukan adanya gejala penyakit Streptococcosis dan pada saat diisolasi dari organ (mata, otak dan ginjal) ikan pada media Brain Heart Infusion Agar (BHIA, DIFCO) tidak ditemukan S. agalactiae. Bakteri Streptococcus agalactiae Sebanyak lima isolat S. agalactiae digunakan untuk pengujian karakteristik dan patogenisitas yang sebelumnya sudah diidentifikasi dengan PCR (Lusiastuti at al., 2009). Kelima isolat tersebut di jabarkan pada Tabel 3 berikut. Tabel 3 Isolat S. agalactiae yang digunakan dalam penelitian Isolat 1 2 3 4 5
Kode N3M N4M N 14 G N 17 O NK 1
Sumber Organ mata ikan nila dari daerah Cirata Organ mata ikan nila dari daerah Cirata Organ Ginjal ikan nila dari daerah Cirata Organ otak ikan nila dari daerah Cirata Organ otak ikan nila dari daerah Klaten
Sampel isolat bakteri diambil dari ikan yang menunjukkan gejala klinis seperti mata menonjol, mata mengkerut, berenang berputar dan tidak beraturan (whirling), operkulum menjadi jernih (clear operculum) dan warna tubuh gelap. Sebelum bakteri stok digunakan untuk penelitian, dilakukan postulat Koch sebanyak dua kali untuk menjaga virulensi dari masing-masing isolat. Urutan kerja adalah sebagai berikut: stok bakteri yang disimpan dalam BHIA miring dilakukan pasase ke dalam BHIA untuk melihat ada tidaknya kontaminan setelah itu ditumbuhkan di media BHI 10 ml selama 24-48 jam. Masing-masing bakteri diinjeksikan pada 10 ekor ikan (setiap perlakuan) sebanyak 0.1 ml/ekor. Ikan dipelihara selama 5-7 hari, dan diamati gejala klinis dan kematian yang muncul. Ikan yang menunjukkan gejala klinis S. agalactiae diambil dan diisolasi organ otak, mata, ginjal dalam BHIA untuk mengetahui penyebab kematian atau perubahan gejala klinis, juga untuk memperoleh isolat S. agalactiae kembali. Bakteri hasil postulat Koch ini kemudian dilakukan pengujian karakteristik untuk meyakinkan bahwa bakteri yang digunakan merupakan S. agalactiae. Pengujian karakteristik meliputi uji morfologi, uji fisika dan uji biokimia serta pengujian hidrolisis terhadap gula-gula (SNI 7545.3: 2009; Sheehan et al., 2009). Bakteri
19
hasil postulat Koch dan uji karakteristik inilah yang digunakan sebagai bakteri pada pengujian selanjutnya. Parameter yang diukur Parameter yang diukur dalam setiap tahapan berbeda, sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Parameter yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: 1. Perubahan pola berenang yang diamati berupa: perubahan gerakan pada kolom air (berenang di permukaan, melayang atau di dasar akuarium), perpindahan badan (lemah atau agresif), bentuk cara berenang (berulang, berputar dan tidak beraturan) dan gerakan operculum. Pengamatan dilakukan selama 5 menit. 2. Tingkah laku makan diamati dengan mengamati respon ikan terhadap pakan yang diberikan. Data yang dikumpulkan termasuk jumlah pakan yang dimakan, jumlah pakan yang tidak dimakan, waktu menangani setiap pakan (waktu dari pakan pertama dimakan hingga dia mencari atau memakan pakan lainnya kembali). 3. Perubahan anatomi organ luar dan organ dalam. Perubahan yang diamati pada anatomi luar berupa kondisi mata, warna tubuh, pendarahan atau kelainan lainnya, sedangkan perubahan anatomi dalam berupa perubahan warna, bentuk dan konsistensi organ otak dan ginjal ikan. 4. Pengamatan Mean Time to Death (MTD) dilakukan untuk mengetahui rerata waktu kematian ikan uji yang terinfeksi S. agalactiae dihitung menurut Kamiso (2001) dalam Murdjani (2002) dengan rumus :
Keterangan; MTD : Mean Time to Death (rerata waktu kematian) a
: waktu kematian (jam)
b
: jumlah ikan mati setiap waktu pengamatan
5. Pengamatan gambaran darah diawali dengan pengambilan darah ikan dengan
jarum suntik dari vena caudalis.
Pengukuran parameter gambaran darah
antara lain diferensial leukosit, total leukosit serta total eritrosit dilakukan
20
mengikuti prosedur Blaxhall dan Daisley (1973). Secara terperinci prosedur pengamatan gambaran darah dijelaskan dalam Lampiran 1. 6. Pengukuran indeks fagositik dilakukan dengan metode Anderson dan Siwicki
(1995). Secara terperinci prosedur pengukuran dijelaskan dalam Lampiran 1. 7. Pengukuran titer antibodi dengan uji mikrotiter aglutinasi. Secara terperinci
prosedur pengukuran dijelaskan dalam Lampiran 1. 8. Pengukuran patologi klinik darah : kadar hemoglobin diukur menurut metode
Sahli dengan Sahlinometer (Wedemeyer dan Yasutake, 1977), kadar hematokrit diukur menurut metode Anderson dan Siwicki (1995); kadar glukosa darah juga diamati dalam setiap perlakuan, mengikuti metoda Wedemeyer dan Yasutake (1977). Secara terperinci prosedur pengukuran patologi klinik darah dijelaskan dalam Lampiran 1. 9. Pengamatan histopatologi ikan dilakukan untuk mengetahui kerusakan jaringan ikan yang terinfeksi S. agalactiae yaitu jaringan pada organ mata, otak dan ginjal ikan. 10. Tingkat kelangsungan hidup relatif (Relative Percent Survival/RPS) selama penelitian dihitung dengan menggunakan rumus Ellis (1988):
Analisa data Percobaan ini dilakukan dengan menggunakan RAL (rancangan acak lengkap). Analisa untuk data pengamatan gambaran darah, patologi klinik darah, indeks fagositik dan titer antibodi di analisis dengan program Statistica 8; sedangkan perubahan pola berenang, tingkah laku makan dan perubahan anatomi organ luar dan organ dalam secara makroskopis, pengamatan histopatologi dan RPS dianalisa secara deskriptif.
21
KARAKTERISTIK BAKTERI Streptococcus agalactiae YANG MENGINFEKSI IKAN NILA Oreochromis niloticus ABSTRAK Bakteri Streptococcus agalactiae berhasil diisolasi dari ikan nila yang dibudidayakan di Waduk Cirata dan Klaten. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik dan fenotipik S. agalactiae yang menginfeksi ikan nila. Hasil pengujian karakteristik, diketahui bahwa S. agalactiae termasuk Gram positif, oksidatif fermentatif positif, katalase dan motilitas negatif, tumbuh baik pada media NaCl 6.5%, memiliki dua tipe hemolitik yaitu β-hemolitik dan nonhemolitik. Kemampuan menghidrolisis gula kedua tipe bakteri bervariatif, bakteri tipe β-hemolitik memiliki kamampuan menghidrolisis gula lebih banyak termasuk arabinose, sorbitol, lactose, trehalose dibandingkan dengan tipe non-hemolitik. Selain itu, perbedaan kedua tipe bakteri tersebut juga terletak pada kemampuan tumbuh pada media bile salt 40%. Berdasarkan pengujian fenotipik, S. agalactiae dapat dikelompokan menjadi bakteri berkapsul yaitu diduga isolat N 4 M (2), N 17 O (4) dan isolat NK 1 (5) dan bakteri non-kapsul yaitu isolat N 3 M (1) dan N 14 G (3), secara karakteristik fenotipik isolat S. agalactiae dari ikan, sapi dan manusia memiliki persamaan. Kata kunci : karakteristik, Streptococcus agalactiae, Oreochromis niloticus
ABSTRACT Streptococcus agalactiae was successfully isolated from Nile tilapia (Oreochromis niloticus) cultivated in Cirata gulf and Klaten. This research aimed to know the characteristic and phenotypic of S. agalactiae that infected nile tilapia. Characteristic test displayed that this bacteria was Gram positive, positive oxidative fermentative, negative catalase and motility, grow well on media containing NaCl 6.5%, possed two type of haemolytic: β-haemolytic and non-haemolytic. The capability of both bacteria to hydrolize sugar was different: β-haemolytic could hydrolize more sugars including arabinose, sorbitol, lactose, trehalose as compared to that of nonhaemolytic bacteria. In addition, both bacteria were also different in ability to grow on bile salt 40% media. Based on phenotypic test, S. agalactiae could be divided into two groups, capsulated [isolate N 4 M (2), N 17 O (4) and NK 1 (5)] and non-capsulated bacteria [isolate N 3 M (1) and N 14 G (3)]. Both S. agalactiae from fish, cow and human have a similarity base on phenotypic characteristic. Keywords : characteristic, Streptococcus agalactiae, Oreochromis niloticus
22
Pendahuluan Kasus Streptococcosis pada ikan disebabkan oleh bakteri Streptococcus iniae dan S. agalactiae. Perbedaan keduanya adalah bakteri S. agalactiae mampu tumbuh dalam media bile salt 40% dan NaCl 6.5% sedangkan S. iniae tidak, namun keduanya tidak mampu menghidrolisis aesculin dan asam D-mannitol (SNI 7545.3: 2009). Lima tahun belakangan ini wabah Streptococcosis lebih banyak disebabkan oleh S. agalactiae yang hampir ditemukan di seluruh daerah budidaya ikan nila di Indonesia (Taukhid, 2009). Elder et al. (1994) melaporkan bahwa Streptococcus spp. menyebabkan meningoenchephalitis pada ikan. Evans et al. (2002) menduga bahwa isolat S. agalactiae yang berasal dari ikan sangat virulen dan dapat menginfeksi secara luas berbagai jenis ikan baik ikan air tawar maupun laut. Infektivitas isolat S. agalactiae dari sapi atau manusia terhadap ikan belum diketahui. Mungkin saja sapi dapat sebagai sumber infeksi S. agalactiae pada ikan yang disebarkan melalui sapi perah yang terinfeksi (Pereira et al., 2010). Pengamatan mengenai karakteristik S. agalactiae ini sudah banyak dilakukan baik pada ikan maupun pada mamalia. Garcia et al. (2008) mengamati perbedaan karakteristik S. agalactiae yang menginfeksi ikan dan sapi hasilnya, keduanya mampu menghidrolisis laktosa namun hanya isolat dari ikan yang mampu menghasilkan pigmen dan mengfermentasi trehalosa.
Sedangkan
Yildirim et al. (2002) mengamati perbedaan S. agalactiae yang berasal dari anjing/kucing, manusia dan sapi. Diketahui bahwa hanya isolat sapi yang tidak mampu menghasilkan pigmen, mampu mengfermentasi laktosa dan mampu menghemaglutinasi darah kelinci. Sheehan et al. (2009) mengelompokkan bakteri S. agalactiae dalam dua tipe yaitu tipe 1 (β-hemolitik) dan tipe 2 (non-hemolitik). Bakteri S. agalactiae tipe 1 tumbuh baik (cepat) pada suhu 37 oC dan mampu menghidrolisis gula lebih banyak sedangkan bakteri tipe 2 memiliki sifat yang bertolak belakang dengan tipe 1, yaitu tumbuh relatif lebih lambat pada suhu 37 o
C dan hanya gula tertentu yang mampu dihidrolisis. Luasnya kisaran inang bakteri S. agalactiae, menyebabkan pentingnya
untuk dilakukan pengamatan mengenai karakteristik S. agalactiae khususnya
23
yang menginfeksi ikan untuk dijadikan dasar dalam melakukan pencegahan dan pengobatan. Pada penelitian ini dilakukan pengamatan mengenai karakteristik berdasarkan sifat morfologi, fisika dan biokimia yang berpengaruh terhadap sifat patogenisitasnya. Pengujian karakteristik mencakup kinetik pertumbuhan, aktivitas hemolitik, uji morfologi, uji fisika dan uji biokimia serta pengujian hidrolisis terhadap gula-gula, sensitivitas terhadap antibiotik, ekspresi fenotip pada berbagai media tumbuh, pengujian derajat hidrofobisitas dan uji hemaglutinasi. Bahan dan Metode Untuk mengetahui karakteristik S. agalactiae yang menginfeksi ikan nila digunakan lima isolat (Tabel 3) sedangkan penyimpanan dan persiapan bakteri mengikuti prosedur yang dijabarkan dalam metodologi umum. 1 Kinetik pertumbuhan Untuk mengukur pertumbuhan bakteri, masing-masing isolat bakteri ditumbuhkan dalam media biakan cair BHI kemudian digoyang terus hingga akhir pengukuran (32 jam). Pengukuran dilakukan berdasarkan tingkat kekeruhan menggunakan alat spektrofotometer yang dinyatakan sebagai nilai absorbans (Ao) atau rapat optis (OD=Optical Density) dengan selang pengukuran setiap 2 jam sampai bakteri masuk fase penurunan. Bakteri yang telah dikultur pada media biakan cair BHI selama log phase menjadi stok awal untuk kemudian dilakukan pengenceran seri sebagai berikut : stok awal bakteri dikocok hingga larutan tercampur rata. Selanjutnya diambil 1 ml dari stok awal kemudian dimasukkan ke dalam tabung berisi BHI 9 ml dan diaduk hingga rata, diberi tanda 10-1. Kemudian diambil 1 ml dari tabung 10-1, dimasukkan ke dalam tabung berisi BHI 9 ml aduk hingga rata, diberi tanda 10-2, begitu seterusnya sampai pengenceran ke-10-9. Stok awal maupun hasil pengenceran selanjutnya dihitung tingkat kekeruhannya dengan menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 540 nm. Dari hasil pengenceran 10-6 , 10-7 , 10-8 , dan 10-9 diambil 0.1 ml untuk disebar dalam BHIA kemudian
24
diinkubasi selama 24 jam pada suhu ruang, dan dihitung kepadatannya dengan metoda TPC (total plate count). 2 Aktivitas hemolitik Masing-masing isolat S. agalactiae ditumbuhkan dalam media Blood Agar Base yang dicampur dengan 5% v/v darah kambing, selanjutnya diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 37 ºC. Adanya aktivitas hemolitik ditandai dengan adanya zona hemolitik pada media (Skalka et al., 1979). Bakteri S. agalactiae yang menghasilkan α-hemolitik akan membentuk zona terang di sekitar koloni, yang menghasilkan β-hemolitik akan membentuk zona agak gelap di sekitar koloni dan yang menghasilkan γ-hemolitik/non-hemolitik tidak membentuk zona hemolitik di sekitar koloni. Sementara itu, bakteri yang memproduksi kombinasi αβ-hemolitik akan tampak zona gelap dan terang di sekitar koloni. 3 Uji morfologi sel, uji fisika dan uji biokimia bakteri Metode identifikasi S. agalactiae merujuk pada metode identifikasi bakteri S. agalactiae pada ikan secara konvensional (SNI 7545.3: 2009) yang mencakup perwarnaan Gram, uji motilitas dengan media semi solid, uji oksidatif-fermentatif, uji katalase, uji bile salt 40%, uji pertumbuhan dalam NaCl 6.5%, uji hidrolisis aesculin dan uji produksi asam dari D-mannitol. Pewarnaan Gram Untuk mengetahui sifat Gram dari bakteri uji, dilakukan pengujian pewarnaan Gram, gelas objek yang telah dibersihkan dengan alkohol 70% disiapkan dan diberi label sesuai isolat bakteri yang akan diuji. Kemudian akuades steril diteteskan pada permukaan gelas objek dan ditambahkan 1 ulas bakteri dengan ose steril kemudian diulas secara merata pada permukaan gelas objek. Selanjutnya preparat difiksasi dengan melewatkan preparat di atas api (jarak 15 cm) beberapa kali sampai terlihat kering.
Untuk pewarnaan, kristal violet
diteteskan pada preparat sampai merata selama 1 menit dan dicuci dengan air mengalir. Selanjutnya preparat diteteskan kembali dengan larutan iodine lugol sampai merata dan didiamkan selama 1 menit selanjutnya dicuci dengan air mengalir. Setelah kering, alkohol aseton diteteskan secara merata dan didiamkan
25
maksimal 30 detik. Preparat dicuci kembali dengan air mengalir, setelah kering diteteskan larutan safranin hingga merata. Setelah 2 menit dicuci kembali dengan air mengalir dan dikeringkan. Kemudian preparat diamati di bawah mikroskop. Bakteri Gram positif ditandai dengan sel bakteri berwarna ungu. Bakteri Gram negatif ditandai dengan sel bakteri berwarna merah. Bentuk rantai panjang atau pendek dari bakteri juga dapat terlihat. Uji motilitas dengan media semi solid Biakan bakteri pada media BHIA diambil sebanyak satu ulasan dengan jarum ose dan diinokulasi dengan cara ditusukkan pada media semi solid SIM (Sulphide-Indole-Motility). Selanjutnya diinkubasi pada suhu 28 oC selama 12-24 jam. Reaksi positif ditandai dengan pertumbuhan bakteri yang menyebar sedangkan reaksi negatif ditandai dengan pertumbuhan bakteri yang tidak menyebar. Uji oksidatif-fermentatif Isolat bakteri dalam media BHIA diambil dengan jarum ose kemudian diinokulasikan ke dalam tabung yang berisi media O/F basal dengan cara ditusukkan, salah satu tabung diisi dengan parafin cair steril setinggi 1 cm di atas permukaan media. Media yang sudah berisi bakteri diinkubasi pada suhu 25-30 o
C selama 12-24 jam. Reaksi negatif ditunjukkan dengan tidak adanya perubahan
warna pada kedua tabung reaksi sedangkan reaksi positif terjadi bila ada perubahan warna media pada tabung tanpa parafin dari hijau menjadi kuning. Reaksi fermentatif positif jika terjadi perubahan warna dari hijau ke kuning pada tabung yang tertutup paraffin. Uji katalase Biakan bakteri diambil secara aseptis dengan jarum ose, kemudian dioleskan pada gelas objek dan ditambahkan 1 tetes larutan H 2 O 2 3%. Bakteri bersifat katalase positif bila menghasilkan gelembung udara dalam waktu kurang dari 10 detik.
26
Uji bile salt 40% Biakan bakteri dalam media BHIA diambil dengan ose kemudian diinokulasikan ke dalam media bile agar dan diinkubasi dalam suhu 37 oC selama 24-48 jam. Reaksi positif apabila bakteri tumbuh pada media tersebut dan reaksi negatif apabila tidak tumbuh pada media bile agar. Uji pertumbuhan dalam NaCl 6.5% Biakan bakteri diambil dengan ose kemudian diinokulasikan ke dalam media BHIA yang telah ditambahkan NaCl 6.5% dan diinkubasi dalam suhu 37 o
C selama 24-48 jam. Reaksi positif apabila bakteri tumbuh pada media tersebut.
Reaksi negatif apabila bakteri tidak tumbuh pada media agar. Uji hidrolisis aesculin Isolat bakteri diinokulasikan ke dalam aesculin broth kemudian diinkubasikan pada suhu 25-30 oC selama 24-48 jam. Reaksi positif ditandai dengan warna hitam. Uji produksi asam dari D-mannitol Isolat bakteri diambil dengan jarum ose dan diinokulasikan ke dalam media phenol red broth base yang sudah ditambahkan dengan D-mannitol kemudian diinkubasi dalam 25-30 oC selama 12-24 jam. Reaksi positif jika terbentuk warna kuning pada agar dan negatif bila tidak terjadi perubahan warna. 4 Uji Gula-gula dengan Api Strep 20 Pengujian kemampuan hidrolisis S. agalactiae pada berbagai macam gula dilakukan dengan API Strep 20 mengikuti metoda Sheehan et al. (2009). Box inkubasi/strip (tray dan lid) yang sebelumnnya telah dipercikkan akuades steril sebanyak 5 ml untuk menghilangkan gas-gas (Cl 2 , CO 2 dan sebagainya) diinkubasi. Kemudian inokulum S. agalactiae disiapkan dengan membuat suspensi bakteri yang berumur 24-48 jam (pada media BHIA) dan dicampur 2 ml akuades steril hingga kekeruhan lebih besar dari standar McFarland 4, suspensi ini segera digunakan. Kotak inkubasi disiapkan, kemudian strip pertama diisi sebanyak setengah strip (VP, HIP, ESC, PYRA, αGAL, βGUR, βGAL, PAL, LAP, ADH) dan
27
suspensi bakteri yang dibuat didistribusikan pada kolom strip (usahakan tidak ada gelembung). Untuk pengujian VP sampai LAP strip diisi dengan 100 µl pada masing-masing kolom uji dan untuk ADH diisi kolomnya saja. Selanjutnya strip (RIB hingga GLYG) diisi: ampul API GP medium dibuka, diisi dengan 0.5 ml suspensi bakteri dan dicampur secara merata, kolom strip kedua diisi dan lid ditempatkan ke dalam tray. Kotak inkubasi yang sudah selesai diisi diinkubasi pada suhu 36 oC selama 4 jam dan diamati perubahan yang terjadi. Setelah itu kolom VP ditambahkan dengan 1 tetes indikator VP1 dan VP2; kolom HIP diteteskan 2 tetes indikator NIN; kolom ESC tidak ditambahkan indikator apapun; dan kolom PYRA sampai LAP ditambahkan 1 tetes indikator ZYM A dan 1 tetes ZYM B. Kolom yang lain tidak ditambahkan indikator apapun. Ditunggu selama 10 menit untuk melihat perubahannya. Setelah itu diinkubasi kembali selama 24 jam dan diamati perubahan yang terjadi seperti yang tercantum pada Tabel Perubahan warna pada pengujian gula-gula dengan API Strep 20 di Lampiran 2. 5 Uji sensitivitas terhadap antibiotik Pengukuran sensitivitas terhadap antibiotik methicillin, chloramphenicol. erythromycin, cephalothin, tetracycline, ampicilin, clindamycin, gentamicin dilakukan berdasarkan metoda Kirby-Bauer Disk-Diffusion (NCCLS, 1998). Masing-masing isolat S. agalactiae ditumbuhkan dalam 10 ml BHI dan diinkubasi selama 24-48 jam pada suhu 28-30 oC.
Suspensi bakteri diambil
sebanyak 1 ml dan disebar dalam BHIA kemudian didiamkan selama 5 menit, kertas cakram yang telah mengandung antibiotik uji 1) Methicillin; 2) Chloramphenicol; 3) Erythromycin; 4) Cephalothin; 5) Tetracycline; 6) Ampicilin; 7) Clindamycin; 8) Gentamicin, dimasukkan ke dalam inokulasi bakteri uji, ditunggu selama 15 menit terlebih dahulu sebelum diinkubasi selama 24-48 jam pada suhu 28-30 oC, zona hambat (zona bening) yang terbentuk diukur diameternya.
28
6
Ekspresi fenotip Ekspresi fenotip S. agalactiae meliputi kekeruhan supernatan pada media
cair dan bentuk koloni pada media semi padat (soft agar) juga pertumbuhan pada media padat. Satu koloni isolat ditumbuhkan pada tabung reaksi yang berisi media cair BHI dan media semi padat BHI yang mengandung 0.15% agar pada suhu 28-30 o
C selama 24-48 jam (modifikasi metoda Wibawan dan Laemmler, 1992).
Pengamatan ekspresi fenotip pada media cair di supernatan medium dengan tiga katagori, yaitu keruh, sedikit keruh, dan jernih (dengan sedikit mungkin goyangan), sedangkan pada media semi padat diamati bentuk koloni yang ada dan ini dikatagorikan menjadi tiga bentuk koloni, yaitu difus tebal, tipis dan koloni kompak (Kane et al., 1975; Wibawan dan Laemmler, 1992), juga diamati hubungan antara sebaran bentuk koloni difus dan jenis kekeruhan supernatan, sedangkan pertumbuhan di media padat, pengamatan meliputi warna koloni dan tebal tumbuhnya koloni (Ilstrup, 1990). 7
Derajat hidrofobisitas Pengamatan derajat hidrofobisitas ini dilakukan untuk mengetahui
karakter permukaan sel bakteri dengan menggunakan larutan ammonium sulfat dengan konsentrasi tertentu (Salt Aggregation Test-SAT) (Kane et al., 1975). Satu koloni isolat S. agalactiae ditumbuhkan pada tabung berisi 50 ml media BHI, kemudian diinkubasi pada suhu 28-30
o
C selama 24-48 jam
(Wibawan dan Laemmler, 1992). Suspensi bakteri dicuci dengan menggunakan larutan penyangga fosfat (PBS) 0.1 M dingin dan disentrifus dengan kecepatan 500 rpm selama 10 menit. Pencucian dilakukan sebanyak dua kali dan selama pencucian disiapkan larutan ammonium sulfat dengan konsentrasi 0.2; 0.4; 0.8; 1.6; 2.5; 3.2; dan 4.0 M. Setelah pencucian selesai, pellet tersisa dibuat larutan dengan 0.2 ml larutan PBS 0.05 M untuk diuji. Pengujian dilakukan dengan mencampurkan 25 µl suspensi pellet bakteri dan 25 µl larutan ammonium sulfat dalam berbagai konsentrasi di atas gelas objek dan menggoyang-goyangkan selama satu menit. Hasil positif apabila terjadi pembentukan presipitasi seperti pasir dalam waktu satu menit.
29
8
Uji hemaglutinasi Hemaglutinasi merupakan model interaksi relatif sederhana antara
mikroba dan eritrosit sel inang. Metoda ini digunakan untuk melacak sifat adesif mikroba (Duguid et al., 1955; Roth, 1988). Darah hewan uji diambil dengan antikoagulan 0.2 M sodium sitrat pH 5.2 disentrifus dan dicuci dua kali dengan 0.14 M PBS. Suspensi sel darah merah 2% dibuat dalam larutan 0.14 M PBS. Pellet bakteri kepadatan 108 CFU/ml disuspensikan dalam PBS 0.14 M dingin. Pellet disimpan pada tempat yang berisi es. Pembuatan suspensi eritrosit 2% dilakukan dengan cara pencucian menggunakan larutan PBS 0.14 M dingin. Suspensi ini akan digunakan untuk uji hemaglutinasi (Wibawan dan Laemmler, 1992). Masing-masing suspensi bakteri uji sebanyak 50 µm dicampur dengan suspensi eritrosit 2% pada gelas objek. Campuran digoyang-goyang, kemudian dibiarkan 1-2 menit pada suhu kamar. Sebagai kontrol negatif digunakan larutan PBS 0.14 M yang dicampur dengan suspensi eritrosit 2% (Wibawan et al., 1993). Hasil positif aglutinasi bila terbentuk presipitasi seperti pasir.
Prosedur ini
dilakukan terhadap semua isolat dan suspensi eritrosit 2 % dari darah kuda, kelinci dan domba. Hasil dan Pembahasan Berdasarkan pengamatan pada berbagai karakteristik bakteri, kelima bakteri S. agalactiae memiliki perbedaan dan persamaan seperti dijabarkan dalam hasil pengamatan berikut: 1
Kinetik Pertumbuhan Menurut Volk dan Wheeler (1993), fase pertumbuhan bakteri dapat dibagi
menjadi 4 fase, yaitu fase lag, fase logaritma (eksponensial), fase stasioner dan fase kematian. Fase lag merupakan fase penyesuaian bakteri dengan lingkungan yang baru. Lama fase lag pada bakteri sangat bervariasi, tergantung pada komposisi media, pH, suhu, jumlah sel pada inokulum awal dan sifat fisiologis mikroorganisme pada media sebelumnya. Ketika sel telah menyesuaikan diri
30
dengan lingkungan yang baru maka sel mulai membelah hingga mencapai populasi yang maksimum. Pertumbuhan S. agalactiae pada media BHI dapat dilihat pada Gambar 3. Bakteri S. agalactiae umumnya memulai fase lag pada jam ke-0 hingga jam ke-8 setelah penanaman pada media cair (BHI). Bakteri S. agalactiae isolat 3, 4 dan 5 mengalami fase lag hingga jam ke-12, sedangkan isolat 1 dan isolat 2 pada jam ke-16 masih melakukan penyesuaian pertumbuhan. 1,4 1,2 1 OD
0,8 0,6 0,4 0,2 0 0
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 Waktu Pengamatan (jam)
Isolat 1
Isolat 2
Isolat 3
Isolat 4
Isolat 5
Gambar 3 Pertumbuhan Streptococcus agalactiae pada media BHI Fase logaritma (eksponensial) ditandai dengan terjadinya periode pertumbuhan yang cepat. Setiap sel dalam populasi membelah menjadi dua sel. Variasi derajat pertumbuhan bakteri pada fase eksponensial ini sangat dipengaruhi oleh sifat genetik yang diturunkannya. Selain itu, derajat pertumbuhan juga dipengaruhi oleh kadar nutrien dalam media, suhu inkubasi, dan kondisi pH. Ketika derajat pertumbuhan bakteri telah menghasilkan populasi yang maksimum, maka akan terjadi keseimbangan antara jumlah sel yang mati dan jumlah sel yang hidup. Pada S. agalactiae kedua tipe fase ini terjadi mulai jam ke-12 hingga jam ke-16 sampai jam ke-18. Bakteri S. agalactiae isolat 3 mengalami fase stasioner pada jam ke-14 hingga jam ke-28, sedangkan bakteri S. agalactiae lainya mengalami fase stasioner yang beragam yaitu isolat 1 pada jam ke-18 hingga jam ke-30, isolat 2 pada jam ke-18 hingga jam ke-26, isolat 4 pada jam ke-14 hingga jam ke-28, dan isolat 5 pada jam ke-16 hingga jam ke-26.
31
Fase stasioner terjadi pada saat laju pertumbuhan bakteri sama dengan laju kematiannya, sehingga jumlah bakteri keseluruhan bakteri akan tetap. Keseimbangan jumlah keseluruhan bakteri ini terjadi karena adanya pengurangan derajat pembelahan sel. Hal ini disebabkan oleh kadar nutrisi yang berkurang dan terjadi akumulasi produk toksik sehingga menggangu pembelahan sel. Fase stasioner ini dilanjutkan dengan fase kematian yang ditandai dengan peningkatan laju kematian yang melampaui laju pertumbuhan, sehingga secara keseluruhan terjadi penurunan populasi bakteri. Memasuki jam ke-30 pertumbuhan bakteri masuk fase penurunan (decline phase). Hasil pengukuran kinetik pertumbuhan ini digunakan untuk menentukan waktu yang tepat saat injeksi bahan ECP bakteri, karena produksi ECP tertinggi dimulai saat fase eksponensial (Sirirat et al., 1999). 2
Aktivitas hemolitik Pengujian aktivitas hemolitik dilakukan untuk melihat kemampuan bakteri
melisis eritrosit yang diwakili darah kambing. Dari hasil pengamatan kelima isolat, diketahui aktivitas hemolitik bakteri S. agalactiae pada ikan terbagi menjadi dua katagori yaitu bakteri yang memiliki kemampuan β-hemolitik yaitu isolat 3 (Gambar 4A) dan bakteri non-hemolitik isolat 1, 2, 4, 5 (Gambar 4B).
Gambar 4 Zona hemolitik Streptococcus agalactiae : A. β-hemolitik dan B. nonhemolitik Darah dapat dihemolisis oleh bakteri isolat 3 karena bakteri tersebut menghasilkan toksin hemolisin yaitu berupa enzim ekstrasellular yang menghemolisis darah dengan membentuk zona β-hemolitik. Toksin hemolisin ini osmolaritasnnya lebih rendah dari osmolaritas plasma darah dimana jika eritrosit berada dalam larutan yang osmolaritasnya lebih rendah maka akan terlisis
32
(Dellmann, 1989). Hemoglobin berperan menjaga keseimbangan osmolaritas darah, dalam kasus ini kerja Hb terganggu, inilah yang menyebabkan eritrosit mengalami lisis. Hemolisin merupakan salah satu toksin penting yang dibentuk oleh S. agalactiae. Menurut Jawetz et al. (1982), α-hemolisin dapat melarutkan eritrosit kelinci dan merusak trombosit. Toksin ini juga merusak sistem sirkulasi, jaringan otot dan jaringan korteks ginjal dan dapat menimbulkan kerusakan berbagai jaringan. Beta-toksin diketahui dapat menyebabkan hot-cold, reaksi toksin ini dalam kondisi dingin (pada suhu 4º C) akan meningkat dan dapat menyebabkan kerusakan membran sel dan meningkatkan hemolisis (Joklik et al.,1992). 3
Morfologi sel, uji fisika dan uji biokimia bakteri Pengujian karakteristik bakteri dilakukan untuk membandingkan sifat dan
aktivitas kelima isolat S. agalactiae. Dari hasil pengamatan, umumnya bakteri tipe β-hemolitik dan tipe non-hemolitik memiliki karakteristik morfologi yang hampir sama yaitu pada pengujian motilitas, oksidatif-fermentatif, katalase, pertumbuhan dalam NaCl 6.5%, hidrolisis esculin dan D-mannitol. Perbedaan terletak pada pertumbuhan dalam bile salt 40%. Bakteri tipe β-hemolitik dapat tumbuh baik pada media bile salt 40% namun bakteri tipe non-hemolitik umumnya tidak tumbuh kecuali isolat 5. Persamaan dan perbedaan karakteristik kelima isolat S. agalactiae pada ikan nila dijabarkan pada Tabel 4. Tabel 4 Karakteristik morfologi, fisika dan biokimia Streptococcus agalactiae Pengujian
Isolat 1
Isolat 2
Isolat 3
Isolat 4
Isolat 5
Isolat sapi (1)
Isolat ikan (2)
Pewarnaan gram Gram + Gram + Gram + Gram + Gram + Gram + Gram + Motilitas Oksidatif-fermentatif Ferm + Ferm + Ferm + Ferm + Ferm + Katalase Bile salt 40% + + + + Pertumbuhan NaCl + + + + + + + 6.5% Aesculin hydrolysis D-mannitol Ket: (1) : Sumber Collins et.al (1995), Cowan dan Steel’s (1974); (2) : Evans et.al. (2002)
33
Uji karakteristik dasar S. agalactiae menurut SNI 7545.3:2009 (2009) adalah bahwa harus memenuhi 4 kriteria dasar yaitu: termasuk Gram positif, hidrolisis eskulin dan D-mannitol negatif, katalase negatif dan sedangkan menurut Wibawan dan Laemmler (1992) S. agalactiae positif pada pengujian dengan hipurat. Morfologi S. agalactiae pada perwarnaan dengan Giemsa terlihat adanya bakteri yang berukuran panjang dan pendek, seperti terlihat pada Gambar 5. Bakteri dari isolat 3 dan 4 memiliki rantai yang lebih pendek jika dibandingkan dengan ketiga isolat lainnya.
Umumnya bakteri yang bertipe non-hemolitik
(isolat 1, 2 dan 5) kecuali isolat 4, memiliki rantai lebih panjang dibandingkan dengan bakteri tipe β-hemolitik (isolat 3).
Gambar 5 Morfologi sel Streptococcus agalactiae dengan pewarnaan Giemsa. 1 bar = 20 µm, 1: berantai panjang. 2: berantai pendek. Jika dikaitkan dengan sifat S. agalactiae dari sapi, bakteri yang berantai panjang memiliki kapsul yang menyelimuti permukaan selnya dan bakteri yang berantai pendek merupakan bakteri yang tidak berkapsul (Wibawan et al., 1993). Namun keberadaan kapsul dan non kapsul pada S. agalactiae asal ikan perlu dikaji lebih mendalam karena dimungkinkan berkaitan dengan virulensi terhadap inang seperti S. agalactiae pada sapi dan hewan mamalia lainnya. Dari keseluruhan pengujian yang telah dilakukan, diketahui bahwa S. agalactiae memiliki sifat dan karakteristik yang berbeda. Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Suanyuk et al. (2008), Pereira et al. (2010), Wilkinson et al. (1973) dan Evans et al. (2002) bahwa karakteristik S. agalactiae yang berbeda-beda dimungkinkan berpengaruh terhadap patogenisitasnya terhadap inang.
34
4
Hidrolisis Gula-gula Pengujian karakteristik juga dilakukan untuk mengetahui kemampuan
kedua tipe bakteri dalam menghidrolisis berbagai macam gula.
Dari hasil
pengamatan, bakteri tipe β-hemolitik memiliki kemampuan menghidrolisis gula lebih banyak termasuk arabinose, sorbitol, lactose, trehalose dan starch, sedangkan bakteri tipe non-hemolitik (isolat 1, 2, 4 dan 5) hanya sedikit menghidrolisis gula yaitu asam hipurik dan arginin serta memproduksi acetoin (VIP) dan hanya isolat 1 dan 5 yang mampu menghidrolisis starch (Tabel 5). Tabel 5 Kemampuan Streptococcus agalactiae menghidrolisis gula menggunakan API Strep 20 Pengujian Produksi acetoin (VIP) Hidrolisis HIPuric acid ESCullin PYRrolidonyl Arylamidase α-Galactosidase β-Glucuronidase β-Galactosidase Alkaline Phosphatase Leucine aminopeptidase Arginin Dihidrolase Ribose Arabinose Mannitol Sorbitol Lactose Trehalose Inulin Raffinose Amidon/starch Glycogen Ket. : non=tidak dilakukan
Isolat 1 + + + + -
Isolat 2 + + + -
Isolat 3 + + + + + + + + + -
Isolat 4 + + + + -
Isolat 5 + + + + + + -
Evans et al (2002) Non + Non Non Non Non + Non Non + Non Non -
SNI Non Non Non Non Non Non Non Non Non Non Non Non Non Non Non Non Non -
Menurut Sheehan et al. (2009) S. agalactiae tipe β-hemolitik mampu menghidrolisis gula lebih banyak. Bakteri tipe non-hemolitik memiliki sifat yang bertolak belakang dengan tipe β-hemolitik dan dari hasil pengamatan di beberapa daerah di dunia, bakteri tipe non-hemolitik lebih ganas dibandingkan dengan tipe β-hemolitik. Keragaman sifat pada S. agalactiae ini juga diamati oleh Pereira et al. (2010) dan Suanyuk et al. (2008). Umumnya S. agalactiae yang berasal dari ikan, manusia, sapi, kerbau memiliki perbedaan pada kemampuan menghidrolisis gula, yang berpengaruh terhadap patogenisitasnya pada masing-masing inang.
35
Isolat yang berasal dari sapi dari hasil pengamatan ternyata hanya patogen terhadap sapi dan tidak mampu menyebabkan morbiditas dan mortalitas terhadap ikan, bahkan saat diisolasi dari organ ikan, S. agalactiae tidak ditemukan. Artinya bakteri yang berasal dari sapi tidak mampu tumbuh dan berkembang pada ikan (Garcia et al., 2008). Pereira et al. (2010) menyatakan bahwa strain dari sapi dan manusia dapat menginfeksi ikan (nile tilapia) karena hasil uji patogenisitas dengan menggunakan S. agalactiae yang berasal dari sapi pada ikan nila ditemukan adanya perubahan pada morfologi secara makroskopis dan juga menyebabkan kematian. Perubahan warna yang terjadi pada uji gula-gula dengan API strep 20 dapat dilihat pada Lampiran 3. 5
Sensitivitas terhadap antibiotik Menurut Craig (1998), antibiotik adalah segolongan senyawa baik alami
maupun sintetik, yang mempunyai efek menekan atau menghentikan suatu proses biokimia di dalam organisme, khususnya dalam proses infeksi oleh bakteri. Penggunaan antibiotik yang tidak rasional menyebabkan peningkatan resistensi bakteri dan penggunaannya tidak diperkenankan lagi untuk mengobati infeksi patogen pada hewan budidaya. Penelitian ini bermaksud mengetahui sensitivitas S. agalactiae terhadap beberapa antibiotik pilihan yang banyak digunakan dengan tujuan memberi informasi pola resistensi S. agalactiae. Uji resistensi dilakukan dengan metode difusi cakram menurut Kirby Bauer dengan standar NCCLS (1998). Untuk mengetahui tingkat sensitivitas, diukur diameter zona bening yang terbentuk pada media uji seperti tampak pada Gambar 6.
Gambar 6
Zona hambat yang dihasilkan pada pemberian berbagai antibiotik terhadap Streptococcus agalactiae. d=diameter zona bening.
36
Hasil pengujian sensitivitas S. agalactiae terhadap antibiotik dijabarkan pada Tabel 6 berikut. Tabel 6 Sensitivitas (Zona bening) Streptococcus agalactiae terhadap berbagai antibiotik Isolat Streptococcus agalactiae 1 2 3 4 Methicillin/Met5 r r r r Cloramphenicol/C30 s s s r Erythromycin/E15 s s i s Cephalothin/KF30 s s s r Tetracycline/TE30 r r r r Ampicillin/AMP10 r r s r Clindamycin/DA2 r s r r Gentamicin/CN10 r r r r Ket. : r=Resisten, i=Intermediet, s=Susceptible/rentan Antibiotik
5 r r s r r r r r
Berdasarkan uji sensitivitas terhadap berbagai antibiotik diketahui bahwa sebagian besar S. agalactiae telah resisten (r) terhadap methicillin/Met5 (100%), tetracycline/TE30 (100%) dan clindamycin/DA2 (80%) ada beberapa isolat yang juga telah resisten terhadap cloramphenicol/C30 (20%), cephalothin/KF30 (40%), dan ampicillin/AMP10 (20%). Hanya satu isolat yang bersifat intermediet (i) terhadap erythromycin/E15 (20%) yaitu isolat 3.
Sifat intermediet terhadap
beberapa antibiotika ini mengindikasikan bisa berubah menjadi resisten. Namun masih ada beberapa isolat yang susceptible (s) atau rentan terhadap antibiotik seperti cloramphenicol/C30 (60%), erythromycin/E15 (80%), cephalothin/KF30 (60%), ampicillin/AMP10 (20%) dan clindamycin/DA2 (20%). Kemampuan antibiotik untuk menghambat pertumbuhan S. agalactiae dipengaruhi oleh mekanisme dan cara kerjanya dalam sel bakteri.
Menurut
Mueller et al. (2004), ampicillin memiliki mekanisme dalam penghancuran dinding peptidoglikan, hanya saja ampicillin mampu berpenetrasi kepada bakteri gram positif dan gram negatif. Hal ini disebabkan keberadaan gugus amino pada ampicillin, sehingga membuatnya mampu menembus membran terluar (outer membran) pada bakteri Gram negatif. Umumnya S. agalactiae resisten terhadap ampicillin hanya isolat 3 yang masih sensitif. Penicillin jenis lain, methicillin merupakan antibiotik bakterisidal yang digunakan untuk menghambat sintesis dinding sel bakteri. Penggunaan methicillin biasanya untuk bakteri Gram positif yang telah membentuk kekebalan (resistansi)
37
terhadap antibiotik dari golongan β-laktam, dan dari hasil pengujian keseluruhan isolat telah resisten terhadap antibiotik ini. Antibiotik yang menghambat sintesis protein yaitu golongan tetraciklin, merupakan antibiotik bakteriostatis yang berikatan dengan subunit ribosomal 16S30S dan mencegah pengikatan aminoasil-tRNA dari situs A pada ribosom, sehingga dengan demikian akan menghambat translasi protein. Antibiotik ini mampu menghambat sintesa protein kelima isolat S. agalactiae. Golongan
macrolide,
salah
satunya
erithromicin,
menghambat
pertumbuhan bakteri dengan cara berikatan pada subunit 50S ribosom, sehingga dengan demikian akan menghambat translokasi peptidil tRNA yang diperlukan untuk sintesis protein. Macrolide biasanya menumpuk pada leukosit dan akan dihantarkan ke tempat terjadinya infeksi. Macrolide biasanya digunakan untuk Diphteria, Legionella mycoplasma, dan Haemophilus, namun demikian seluruh isolat tipe non-hemolitik masih rentan terhadap eritromicin, sedangkan bakteri tipe β-hemolitik bersifat intermediet yang mengindikasikan bisa berubah menjadi resisten. Aminoglycoside seperti gentamicin, merupakan antibiotik bakterisidal yang berikatan dengan subunit 30S/50S sehingga menghambat sintesis protein. Namun antibiotik jenis ini hanya berpengaruh terhadap bakteri Gram negatif. Dari hasil pengujian terbukti bahwa S. agalactiae yang merupakan Gram positif tidak mampu dihambat oleh antibiotik ini. Menurut Wibawan dan Laemmler. (1992), S. agalactiae pada manusia bersifat resisten dengan antibiotik ini, sedangkan S. agalactiae yang berasal dari sapi lebih rentan terhadap gentamicin. Dan kelima isolat S. agalactiae dari ikan resisten terhadap gentamicin seperti isolat yang berasal dari manusia. Melihat sifat resistensi terhadap berbagai antibiotika ini menunjukkan bahwa pengobatan penyakit Streptococcosis dengan berbagai macam antibiotika tidak efektif lagi, sehingga perlu dilakukan alternatif penanganan untuk budidaya ikan nila di wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah (asal isolat). Sedangkan sifat rentan terhadap antibiotik ini dapat dijadikan acuan untuk penanganan dengan
38
menggunakan herbal anti mikrobial yang sifat kerja dan kandungannya mendekati antibiotik cloramphenicol, erythromycin, cephalothin, ampicillin dan clindamycin. 6
Ekspresi fenotip Perbedaan ekspresi fenotip yang ditunjukkan oleh masing-masing isolat
terkait dengan karakteristik yang dimunculkan oleh bakteri kepada inang. Pertumbuhan bakteri pada media padat BHIA dan media cair BHI memiliki sifat dan karakteristik yang berbeda (Tabel 7). Tabel 7 Karakteristik pertumbuhan Streptococcus agalactiae di berbagai media Isolat 1 2 3
4 5 Ket. :
Panjang rantai
Pertumbuhan di media (24-48 jam) Cair Agar lunak Padat Panjang Lambat, agak Difus Tipis, kekuningan, berlendir keruh cair, sulit diambil Cenderung Lambat, keruh Difus tebal Tipis, putih kekuningan, panjang tdk ada endapan berlendir cair, mudah diambil Pendek Agak cepat, Difus Tebal, kekuningan, berlendir jernih tidak ada pekat, mudah diambil endapan Pendek Cepat, jernih Difus tebal Tipis, putih kekuningan, mengendap berlendir cair, mudah diambil Panjang Lambat, keruh Difus tebal Tebal, kekuningan, berlendir pekat, mudah diambil Media cair : BHIB; Media agar lunak : BHIB + 0.15% agar dan Media padat : BHIA
Bakteri tipe β-hemolitik cenderung menunjukkan pertumbuhan yang cepat pada media cair dan media berwarna keruh (24 jam) walaupun tidak jauh berbeda dengan tipe non-hemolitik yang sebagian besar media pertumbuhan berwarna jernih hingga agak keruh (Gambar 7) dan tumbuh agak lambat (>24 jam). Sedangkan pertumbuhan pada media semi padat kedua tipe bakteri tidak berbeda yaitu difus tipis hingga difus tebal.
Gambar 7 Pertumbuhan Streptococcus agalactiae pada media cair BHI (2448 jam), A. jernih, B. agak keruh dan C. keruh
39
Pertumbuhan Streptococcus agalactiae pada media padat terlihat seperti pada Gambar 8. Pertumbuhan tipe β-hemolitik di media padat BHIA cenderung tebal, warna kekuningan, berlendir pekat dan mudah diambil (Gambar 8B). Sedangkan tipe non-hemolitik umumnya tumbuh tipis, warna putih hingga kekuningan, berlendir cair dan sulit diambil (Gambar 8A).
Gambar 8 Pertumbuhan Streptococcus agalactiae pada media padat BHIA (24-48 jam), A : tipis, putih kekuningan dan B: tebal, kekuningan Perbedaan karakter tumbuh pada media padat ini kemungkinan disebabkan oleh sifat kapsul dan non kapsul bakteri. Bakteri yang diduga tidak berkapsul (βhemolitik) permukaannya tersusun atas protein yang hidrofob sehingga mudah bersatu dengan air atau media tumbuh sehingga pertumbuhannya lebih cepat dan padat, tidak seperti bakteri non-hemolitik yang diduga berkapsul yang permukaan selnya lebih banyak tersusun atas karbohidrat yang hidrofilik, sehingga sulit untuk bersatu atau menempel pada media tumbuh, dibutuhkan waktu lebih lama untuk dapat tumbuh. 7
Derajat hidrofobisitas Pengamatan derajat hidrofobisitas S. agalactiae dilakukan untuk
mengamati karakter permukaan sel bakteri secara kimia, yang berkaitan dengan kemampuan bakteri untuk menempel pada sel inang. Penentuan derajat hidrofobisitas ditentukan oleh kemampuan ammonium sulfat pekat menarik molekul air dan mengendapkan protein (Lehninger, 1990). Permukaan sel bakteri yang terdiri dari banyak protein dan karbohidrat (penyusun kapsul) dengan variasi perbandingan diantara keduanya di permukaan sel dapat menentukan apakah permukaan sel tersebut mudah atau sulit diagregasi dengan larutan ammonium
40
sulfat konsentrasi tertentu. Larutan ammonium sulfat konsentrasi rendah (< 1 M) umumnya dapat mengagregasi permukaan sel bakteri yang kandungan proteinnya lebih banyak, sedangkan permukaan sel yang karbohidratnya lebih banyak membutuhkan larutan ammonium sulfat konsentrasi lebih tinggi. Derajat hidrofobisitas S. agalactiae yang berasal dari ikan dijabarkan pada Tabel 8. Bakteri tipe β-hemolitik dan non-hemolitik memiliki hidrofobisitas yang berbeda. Tabel 8 Sebaran derajat hidrofobisitas Streptococcus agalactiae Konsentrasi Larutan ammonium sulfat (M) 0.2 0.4 0.8 1.6 2.5 3.2 4.0
1 + + + + + + +
2 + + + +
Isolat bakteri 3 + + + + + +
4 + + + +
5 + + + +
Sebaran derajat hidrofobisitas S. agalactiae menunjukkan bahwa 3 isolat (isolat 2, 4 dan 5) hanya dapat diagregasi oleh larutan garam amonium sulfat (SAT) konsentrasi 1.6-4.0 M. Sedangkan isolat 1 dan 3 dapat diagregasi oleh larutan garam amonium sulfat mulai konsentrasi 0.2 M (isolat 1) dan 0.4 M (isolat 3). Ljungh et al., (1985) menyatakan bahwa bakteri dikatakan hidrofobik ekstrim jika dapat diagregasi dengan larutan penyangga fosfat berkonsentrasi 0.002 M pada pH 6.8 sedangkan Wibawan dan Laemmler (1992) menggunakan larutan ammonium sulfat 2 M dengan terbentuknya endapan pasir (Lampiran 3). Artinya bakteri (isolat 2, 4 dan 5) yang dapat diagregasi oleh ammonium sulfat konsentrasi tinggi (1.6-4.0 M) karakter permukaan selnya lebih banyak tersusun atas karbohidrat (hidrofilik) sehingga akan lebih sulit menempel pada sel inang. Namun jika sudah menempel akan lebih sulit difagosit dan dihancurkan oleh sel fagosit. Sedangkan bakteri yang mampu diagregasi oleh larutan garam amonium sulfat konsentrasi 0.2 M dan 0.4 M (isolat 1 dan 3), diduga karakter permukaan selnya lebih banyak tersusun atas protein (hidrofobik) sehingga mempunyai kemampuan untuk menempel pada sel inang, namun keberadaannya pada sel inang akan lebih mudah di fagosit dan dihancurkan oleh sel-sel fagosit.
41
8
Aktivitas hemaglutinasi Sebagian besar isolat memiliki aktivitas hemaglutinasi pada eritrosit
kambing, kuda dan kelinci. Bakteri isolat 1 dan 3 mampu menghemaglutinasi eritrosit darah kambing, kuda dan kelinci, namun ketiga bakteri lainnya hanya mampu menghemaglutinasi 2 diantaranya yaitu darah kambing dan kuda (isolat 4 dan 5) dan darah kambing dan kelinci (isolat 2). Lebih jelas hasil pengamatan aktivitas hemaglutinasi S. agalactiae yang berasal dari ikan terlihat pada Tabel 9. Tabel 9 Darah hewan Kambing Kuda Kelinci
Kemampuan hemaglutinasi Streptococcus agalactiae pada darah kambing, kuda dan kelinci 1 + + +
2 + +
Isolat bakteri 3 + + +
4 + + -
5 + + -
Fenomena yang menarik adalah kemampuan S. agalactiae berasal dari ikan tetapi mampu menghemaglutinasi darah kambing, kuda dan kelinci. Selain itu, bakteri yang diduga tidak berkapsul (isolat 1 dan 3) cenderung memiliki kemampuan hemaglutinasi pada ketiga darah sampel sedangkan bakteri yang berkapsul hanya dua darah sampel diantaranya. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh darah uji dapat berinteraksi dengan asam teikoat bakteri (menurut Todar ,2002; dinding sel S. agalactiae tersusun dari peptidoglikan dan asam teikoat) selain dengan hemaglutinasinya (Courtney et al., 1990; Gottschalk et al., 1990) namun masih perlu dikaji lebih mendalam. Pengujian aktivitas hemaglutinasi ini dilakukan untuk mengetahui sifat dari S. agalactiae yang berasal dari ikan dibandingkan dengan S. agalactiae yang berasal dari sapi. Kemampuan bakteri untuk menempel (adesi) pada sel inang diperantarai oleh komponen adesin bakteri yang membantu perlekatan bakteri pada reseptor spesifik dari sel inang. Kemampuan bakteri untuk menempel dan mengaglutinasi dapat dipergunakan sebagai model sederhana untuk mempelajari reaksi antara bakteri dengan sel inang secara in vitro (Kurl et al., 1989; Gottschalk et al., 1990). Adesin merupakan struktur bakteri yang memperantarai terjadinya adesi dan adesin yang mengaglutinasi eritrosit pada bakteri adalah hemaglutinasi (Isaacon, 1985). Dari hasil penelitian S. agalactiae yang berasal dari sapi diketahui bahwa
42
S. agalactiae yang mempunyai hemaglutinasi mempunyai kemampuan menempel pada sel epitel ambing jauh lebih tinggi dibanding yang tidak memiliki hemaglutinasi (Wahyuni, 1998). Wibawan et al., (1993) membuktikan bahwa Streptococcus Grup B (SGB) yang mempunyai hemaglutinasi memiliki kemampuan menempel pada sel HeLa jauh lebih tinggi dibanding yang tidak memiliki hemaglutinasi. Perbedaan kemampuan hemaglutinasi ini salah satunya disebabkan oleh struktur lapisan sel terluar (kapsul dan tidak berkapsul). Bakteri yang berkapsul (isolat 2, 4 dan 5) lapisan luarnya terdiri dari karbohidrat sehingga kemampuan untuk melekat pada sel inang terhambat (diduga karena asam neuraminat dalam S. agalactiae yang menghambat pelekatan pada bakteri), berbeda dengan bakteri tidak berkapsul (isolat 1 dan 3) yang yang umumnya memperlihatkan kemampuan adhesif kuat pada sel inang (Wibawan et al., 1992). Perlu dikaji lebih mendalam mengenai keberadaan kapsul merupakan satu-satunya penyebab terjadinya adhesivitas, sebab pada penelitian ini bakteri yang diduga berkapsul pun (isolat 2, 4 dan 5) mampu memperlihatkan aktivitas hemaglutinasi pada darah hewan uji. Hasil penelitian Utama et al. (2000) juga menunjukkan hasil yang sama bahwa S. agalactiae asal sapi berkapsul mampu memperlihatkan aktivitas hemaglutinasi pada darah hewan dan manusia. Menurut Wibawan et al. (1992) berdasarkan pengujian ekspresi fenotip, derajat hidrofobisitas dan aktivitas hemaglutinasi yang dilakukan pada S. agalactiae, bakteri dapat dikelompokkan dalam tipe berkapsul dan non kapsul dengan kriteria seperti pada Tabel 10. Tabel 10 Perbedaan Streptococcus agalactiae kapsul dan non-kapsul Kapsul Permukaan sel tersusun atas karbohidrat (hidrofilik) Pertumbuhan difus tebal pada soft agar Rantai panjang (tersusun atas > 3 sel bakteri) Bentuk koloni pada agar darah mukoid besar Pertumbuhan keruh pada media cair Cepat tumbuh
Non-kapsul Permukaan sel tersusun atas protein (hidrofobik) Pertumbuhan difus pada soft agar Rantai pendek (tersusun atas 2-3 sel bakteri) Bentuk koloni pada agar darah kasar, kecil Pertumbuhan jernih dan bersedimen pada media cair Lambat tumbuh
Berdasarkan pada kriteria bakteri kapsul dan non kapsul, kelima isolat S. agalactiae pada ikan ditemukan kedua tipe bakteri tersebut. Dari hasil uji, diduga
43
isolat 1 dan isolat 3 adalah isolat yang tidak berkapsul sedangkan isolat 2, 4 dan 5 dikelompokkan kedalam bakteri berkapsul (Tabel 11). Tabel 11 Keterkaitan antara ekspresi fenotip, derajat hidrofobisitas dan aktivitas hemaglutinasi Streptococcus agalactiae asal ikan Kriteria Permukaan sel Pertumbuhan pada media soft agar Jumlah rantai Pertumbuhan pada media cair
Bakteri S. agalactiae 2 3 4 Karbohidrat Protein Karbohidrat Difus tebal Difus Difus tebal
1 Protein Difus Panjang Lambat, agak keruh
Panjang lambat, keruh
Pendek cepat, jernih tdk ada endapan
5 Karbohidrat Difus tebal
Pendek Cepat, jernih mengendap
Panjang Lambat, keruh
Seperti diketahui sebelumnya, S. agalactiae memiliki kisaran inang yang luas. Menurut Garcia et al. (2008) produksi pigmen, fermentasi D-laktosa dan Dtrehalose, pola pertumbuhan pada media soft agar adalah karakteristik fenotipik yang sangat berguna untuk membedakan isolat S. agalactiae yang berasal dari ikan dan sapi. Garcia et al. (2008) menambahkan satu lagi parameter jika ingin lebih lengkap yaitu dengan menggunakan serotipe kapsular. Pada Tabel 12 berikut ini adalah hasil perbandingan karakteristik fenotipik S. agalactiae pada ikan, sapi, manusia dan hewan lainnya. Dari tabel tampak kelima isolat S. agalactiae yang berasal dari ikan, menunjukkan karakteristik yang sama dengan isolat dari sapi berdasarkan hasil penelitian Garcia et al. (2008), Yildirim et al (2002) dan Merl et al. (2003). Tabel 12 Perbandingan karakteristik fenotipik Streptococcus agalactiae pada ikan, sapi, manusia dan hewan lainnya. Karakteristik Isolat S. agalactiae
Ikan (Sampel)
1
2
3
Pigmentasi + + Fermentasi + laktosa Fermentasi + trehalosa Tumbuh pd difus difus difus media soft agar tebal Heamaglutinasi + + darah kelinci Ket: TD; tidak dilakukan pengujian
Garcia et al (2008)
man
sapi
+
Anj/ kuc + -
Merl et al (2003) sapi
+ -
+
+ TD
+
-
TD
TD
TD
TD
TD
TD
TD
TD
difus
difus
TD
TD
-
-
+
TD
4
5
ikan
sapi
-
+ -
+, +, -
+
+
difus tebal -
difus tebal +
Yildirim et al (2002)
44
Menurut pendapat Elliot et al. (1990) yang meneliti perbedaan isolat S. agalactiae berdasarkan profil protein sel utuh (whole cell) menyatakan bahwa isolat dari tikus, ikan dan manusia mempunyai pola protein yang identik, sedangkan isolat dari sapi identik dengan isolat dari manusia tetapi berbeda pola proteinnya terutama antara 30.000-50.000 Da. Kesamaan profil protein sel utuh dari isolat yang berasal dari ikan, manusia dan tikus memperkuat dugaan bahwa mereka mempunyai ancestor (kelompok DNA) yang sama. Wilkinson et al. (1973) menyatakan jika isolat bakteri tidak berasal dari satu ancestor maka terdapat kemungkinan bakteri tersebut tidak bisa berpindah ke jenis inang yang lain. Sehingga bisa dikatakan jika berasal dari satu ancestor maka terdapat kemungkinan bakteri tersebut dapat saling berpindah di antara inang ikan, manusia dan tikus. Tetapi hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Garcia et al. (2008) yang mencoba menginfeksikan isolat dari sapi ke tilapia, Oreochromis niloticus dan ke ikan Channel catfish, Ictalurus punctatus. Ternyata isolat dari sapi tidak bersifat infeksius pada tilapia dan Channel catfish secara eksperimental di laboratorium, sehingga Garcia et al. (2008) menyimpulkan bahwa isolat dari sapi bukan merupakan sumber infeksi pada ikan. Tetapi, Pereira et al. (2010) menyatakan bahwa strain dari sapi dan manusia dapat menginfeksi ikan nila. Ada lima strain dari isolat manusia yang digunakan Pereira et al. (2010), kelima isolat dapat diisolasi kembali dari otak dan ginjal, sedangkan satu isolat yang dapat menimbulkan gejala klinis dan menyebabkan kematian. Satu strain isolat manusia yaitu 80427 mempunyai tipe PFGE yang sama dengan isolat sapi strain 87159, keduanya dapat menimbulkan gejala klinis melalui inokulasi secara intra peritoneal (IP). Tetapi strain yang berasal dari ikan itu sendiri masih jauh lebih ganas dari strain sapi atau manusia. Strain manusia 80427 ternyata juga mampu menginfeksi ikan dan menimbulkan gejala klinis secara eksperimental melalui rute imersi (Pereira et al., 2010). Simpulan Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan beberapa hal yaitu : 1.
Kelima isolat S. agalactiae yang menginfeksi ikan nila dari sentra Budidaya Waduk Cirata dan Klaten memiliki persamaan dan perbedaan karakteristik.
45
2.
Persamaan karakteristiknya adalah Gram positif, motilitas negatif, hipurat positif, eskulin dan D-mannitol negatif, fermentatif positif.
3.
Perbedaan terletak pada kemampuan hemolitik yaitu satu isolat memiliki kemampuan β-hemolitik yaitu N 14 G (3) dan keempat isolat lainnya tidak memiliki kemampuan hemolitik (non-hemolitik), kemampuan tumbuh pada media bile salt 40% dan kemampuan menghidrolisis gula.
4.
Berdasarkan pengujian fenotipik, derajat hidrofobisitas dan hemaglutinasi dapat dikelompokkan menjadi bakteri yang berkapsul yaitu diduga isolat, N 4 M (2), N 17 O (4) dan isolat NK 1 (5) dan bakteri non-kapsul adalah isolat N 3 M (1) dan isolat N 14 G (3), meskipun penelitian yang berkaitan dengan kapsul ini masih harus diteliti lebih lanjut. Keterkaitan antara perbedaan karakteristik S. agalactiae terhadap sifat
patogenisitas dan mekanisme infeksi masing-masing isolat pada ikan nila perlu dilakukan lebih mendalam untuk mengoptimalkan penanggulangan yang nantinya akan dilakukan.
46
PATOGENISITAS BAKTERI Streptococcus agalactiae TIPE β-HEMOLITIK DAN NON-HEMOLITIK PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus) ABSTRAK Hasil pengujian karakteristik, diketahui bahwa S. agalactiae yang menginfeksi ikan nila dikelompokkan menjadi dua tipe hemolitik yaitu β-hemolitik dan non-hemolitik. Setelah diuji pada 30 ekor ikan nila ukuran 15 g melalui penyuntikan intraperitonial sebanyak 0.1 ml/ekor ternyata bakteri tipe non-hemolitik lebih virulen dilihat dari kematian, munculnya gejala klinis, perubahan tingkah laku, perubahan patologi anatomi baik secara makroskopis maupun mikroskopis. Bakteri tipe non-hemolitik menyebabkan kematian setelah 6-24 jam pasca injeksi sedangkan tipe β-hemolitik baru menyebabkan kematian setelah 48 jam, dan setelah 14 hari, sebanyak 48% ikan mati akibat diinjeksi bakteri tipe non-hemolitik dan 18% ikan yang diinjeksi tipe β-hemolitik. Perubahan pada gejala klinis ikan nila yang diinjeksi bakteri tipe non-hemolitik lebih cepat muncul (perubahan pola renang, respon terhadap pakan dan perubahan pada mata dan clear operculum) rata-rata muncul setelah 6 jam pasca injeksi dan 12 jam pada ikan nila yang diinjeksikan dengan bakteri tipe β-hemolitik. Selain perubahan secara makroskopis, perubahan pada mikroskopis juga diamati. Perubahan yang terjadi pada pola renang dan perubahan pada mata, perubahan warna ditandai dengan adanya perubahan histologi organ mata, ginjal dan otak. Kata kunci : hemolitik, patogenisitas, Streptococcus agalactiae, Oreochromis niloticus
ABSTRACT The objective of this research was to evaluate the effect bacteria characteristic on the pathogenecity of S. agalactiae that infected nile tilapia. Characteristict test showed that this bacteria could be grouped into two haemolytic types: β-haemolytic and non-haemolytic. After injected intraperitoneal injection (0.1 mL/fish) into 30 fish weighing 15 g in average, the nonhaemolytic demonstrated more virulent. It caused faster mortality, clinical symptoms, severe behavior changes and pathological changes macroscopically and microscopically. Nonhaemolytic S. agalactiae caused mortality on 6-24 hours post-injection while β- haemolytic type caused mortality on 48 hours post-injection. On 14 day post injection, non-haemolytic caused 48% mortality and 18% caused β- haemolytic. Changes in clinical symptoms on fish injected with non-haemolytic bacteria appeared faster (swimming behavior, response to food, and changes in eyes and clear operculum), that was in average 6 hours post-injection while in fish injected with βhaemolytic type, the changes appeared 12 hours after injection. Besides macroscopic changes, microscopic changes were also observed (swimming pattern, changes on eyes, colour changes characterized by histological changes on eyes, kidney and brain). As conclusion, non-haemolytic S. agalactiae was more virulent than β-haemolytic S. agalactiae because the disease signs and the mortality appeared firstly and more severe on fish infected non-haemolytic S. agalactiae fish. Keywords : haemolytic, pathogenicity, Streptococcus agalactiae, Oreochromis niloticus
47
Pendahuluan Patogenisitas S. agalactiae pada ikan nila sampai sekarang belum dibahas tuntas, faktor penyebab perbedaan gejala klinis yang muncul dan perjalanan bakteri hingga menyebabkan kematian perlu diamati agar dapat dijadikan acuan dalam upaya pengendalian penyakit Streptococcosis yang disebabkan oleh S. agalactiae. Dari hasil pengamatan mengenai karakteristik S. agalactiae yang menginfeksi ikan nila ditemukan dua tipe bakteri yaitu tipe β-hemolitik dan nonhemolitik, sehingga dalam penelitian ini dilakukan pengamatan mengenai patogenisitas kelima isolat S. agalactiae termasuk didalamnya bakteri bertipe βhemolitik dan non-hemolitik. Pengamatan terkait tahapan dampak yang disebabkan oleh bakteri selama masa infeksi sampai menyebabkan kematian. Kejadian setelah S. agalactiae masuk ke dalam tubuh inang dapat dilihat salah satunya dengan mengamati gejala yang muncul pada inang, antara lain dari perubahan pola renang, perubahan nafsu makan, perubahan kesehatan melalui pengamatan gambaran darah dan patologi klinik darah serta perubahan pada histologi mata, ginjal dan otak ikan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai perkembangan dampak infeksi S. agalactiae yang berbeda karakter (β-hemolitik dan non-hemolitik) terhadap ikan nila. Bahan dan Metode Ikan yang digunakan dalam percobaan ini berjumlah 30 ekor per akuarium dan setiap perlakuan diulang sebanyak tiga kali. Bakteri yang digunakan adalah lima isolat S. agalactiae (Tabel 3) dan sebagai kontrol adalah ikan nila diinjeksi dengan 0.1 ml BHI. Persiapan ikan uji dan kelima bakteri yang digunakan dalam penelitian patogenisitas S. agalactiae ini dijabarkan dalam metodologi umum. Ikan disuntik sebanyak 0.1 ml/ ekor dengan kepadatan masing-masing isolat bakteri, dan dipelihara selama 14 hari.
48
Parameter yang diukur dan analisa data Dalam pelaksanaan penelitian patogenisitas S. agalactiae dilakukan pengukuran beberapa parameter yaitu perubahan pola berenang, tingkah laku makan, perubahan anatomi organ luar dan organ dalam secara makroskopis, gambaran darah dan patologi klinik darah, pengamatan histopatologi serta pengamatan kematian ikan. Pengamatan parameter dilakukan setiap 1, 3, 6, 12, 24 jam pasca injeksi dan dilanjutkan setiap 24 jam hingga hari ke-14. Cara kerja dan analisa data setiap parameter dijabarkan dalam metodologi umum. Hasil dan Pembahasan 1 Perubahan pola berenang Jika dikaitkan dengan uji ekspresi fenotip, derajat hidrofobisitas dan aktivitas hemaglutinasi yang merujuk pada S. agalactiae kapsul dan non kapsul menunjukkan bahwa bakteri yang diduga non kapsul (isolat 3) memiliki patogenisitas yang lebih rendah dari bakteri yang diduga berkapsul (isolat 2, 4 dan 5) karena dalam tubuh inang bakteri non kapsul akan lebih mudah difagosit oleh sel-sel fagositik sehingga kemampuan untuk tumbuh dan berkembang dalam tubuh inang juga terbatas, tidak seperti bakteri berkapsul yang permukaan selnya tersusun atas karbohidrat yang hidrofilik sehingga lebih sulit untuk dilisis oleh sel fagosit. Hal inilah yang menyebabkan bakteri berkapsul lebih mudah tumbuh, berkembang dan mengembangkan virulensinya. Perubahan pola renang yang dimunculkan oleh inang yang terinfeksi S. agalactiae yaitu ikan cenderung agresif dengan sirip punggung yang mengembang atau berenang lemah di dasar akuarium. Perubahan terjadi mulai jam ke-6 pasca injeksi yaitu pola renang ikan yang tidak beraturan dan cenderung soliter yaitu berenang terpisah dari kelompok (Gambar 9B) sedangkan kontrol menunjukkan pola renang yang berkelompok dan teratur (Gambar 9A). Ikan uji menunjukkan berenang gasping (mengambil udara tepat di bawah permukaan air) pada jam ke-12 pasca injeksi. Bakteri tipe non-hemolitik (isolat 5 dan isolat 2) lebih cepat menyebabkan perubahan pada pola berenang ikan (pada jam ke-12
49
pasca injeksi ikan cenderung lemah dan diam didasar akuarium) sedangkan gejala yang sama baru muncul jam ke-48 pasca injeksi dengan bakteri tipe β-hemolitik.
Gambar 9 Tingkah laku berenang ikan normal dan yang terinfeksi Streptococcus agalactiae. A: tingkah laku berenang normal-berkelompok teratur; B: tingkah laku berenang abnormal tidak teratur dan soliter; C: gasping; D: sirip mengembang (abnormal) dan cara berenang normal (tanda panah) Gejala khas yang muncul pada infeksi S. agalactiae adalah berenang whirling yang umumnya muncul pada jam ke-120. Tubuh ikan membentuk huruf “C” juga ditemui pada ikan yang diinjeksi dengan bakteri tipe non-hemolitik mulai hari ke-12 hingga hari ke-14 pasca injeksi. Gejala tersebut sesuai dengan gejala yang berhasil diamati oleh Evans et al. (2006) pada ikan nila yang diinjeksi S. agalactiae sebelum mati seperti berenang lemah dan berada di dasar akuarium, respon terhadap pakan lemah, berenang whirling, tubuh membentuk huruf ”C”. Perubahan pola renang ikan nila yang diinjeksi dengan S. agalactiae tipe non-hemolitik adalah awal infeksi ikan tampak agresif kemudian pada jam ke-3 pasca injeksi ikan mulai tampak berenang lemah hingga hari ke-5 dan akhirnya ikan berenang whirling. Ikan yang berenang whirling biasanya mati setelah 12 jam. Pada ikan yang diinjeksi dengan bakteri tipe β-hemolitik juga terjadi perubahan pola renang yang sama, hanya saja jumlah ikan yang berenang whirling lebih sedikit. Data secara lengkap hasil pengamatan perubahan pola renang, nafsu makan ikan nila pasca diinjeksi dengan S. agalactiae dijabarkan pada Lampiran 4. Perbedaan gejala yang muncul dapat dikaitkan dengan organ target S. agalactiae (mata, otak dan ginjal). Keberadaan bakteri pada organ mata dapat
50
menyebabkan perubahan pada mata (opacity, purulens, eksoptalmia dan sebagainya). Keberadaan bakteri pada organ otak dapat menyebabkan ikan berenang abnormal (gasping, berenang miring bahkan whirling) sedangkan keberadaan bakteri pada ginjal ikan dapat menyebabkan perubahan warna tubuh menjadi lebih hitam. Masing-masing tipe bakteri menyebabkan respon yang berbeda terhadap ikan nila. Baik bakteri tipe β-hemolitik maupun tipe non-hemolitik memiliki karakteristik yang berbeda dalam tubuh inang untuk tumbuh, berkembang dan mengembangkan virulensi. Perubahan tingkah laku ikan yang muncul akibat diinjeksi dengan tipe bakteri non-hemolitik lebih beragam dan lebih cepat muncul dibandingkan dengan ikan yang diinjeksi dengan tipe β-hemolitik. Ini semakin menguatkan data bahwa bakteri tipe non-hemolitik lebih virulen. 2 Perubahan tingkah laku makan Umumnya respon terhadap pakan pasca injeksi S. agalactiae tampak lemah bahkan ikan uji yang diinfeksi dengan bakteri tipe non-hemolitik tidak mau makan sejak jam ke-72 pasca injeksi. Respon terhadap pakan ikan uji yang diinjeksi bakteri tipe β-hemolitik terlihat pada jam ke-144 (lebih lama dari bakteri tipe non-hemolitik).
Pada Gambar 10 tampak, ikan kontrol (sehat) umumnya
dapat mencerna pakan dengan baik (A), sedangkan ikan yang terinfeksi
S.
agalactiae lambat mencerna pakan yang diberikan (B). Pada Gambar 10C terlihat organ ikan yang menjadi pucat pasca infeksi S. agalactiae.
Gambar 10
Organ dalam ikan nila normal dan yang terinfeksi Streptococcus agalactiae A. PA normal; B. lambung ikan nila (pencernaan makanan menjadi lambat) ditunjukkan dengan tanda panah biru; C. organ dalam ikan nila menjadi pucat (tanda panah merah).
Waktu pencernaan pakan juga menjadi lebih lama ini ditunjukkan dengan masih utuhnya pakan dalam lambung ikan yang terinfeksi bakteri yang disampling
51
5 menit setelah pemberian pakan. Hal tersebut dimungkinkan karena terganggunya enzim pencernaan ikan akibat adanya infeksi dalam otak ikan yang mengatur gerak peristaltik usus. Sehingga pencernaan ikan lebih lama dari kondisi normal. Bakteri yang menginfeksi otak ikan mengganggu kerja hipotalamus bagian lateral yang mengatur rasa lapar. Terganggunya sel-sel dalam hipotalamus yang berada dalam telencephalon (otak depan) akibat adanya S. agalactiae, inilah yang menyebabkan ikan mulai mengalami penurunan nafsu makannya bahkan tidak mau makan pasca injeksi. 3 Perubahan patologi anatomi ikan nila secara makroskopis Pasca diinjeksi dengan S. agalactiae, ikan nila menunjukkan perubahan makroskopis pada anatomi organ luar (mata, operkulum dan kepala) dan anatomi organ dalam (otak, ginjal berupa perubahan warna dan konsistensinya). Pada Tabel 13 dijabarkan gejala klinis yang terjadi pada ikan pasca diinjeksi dengan S. agalactiae tipe β-hemolitik dan non-hemolitik. Tabel 13 Patologi anatomi makroskopis organ luar ikan nila pasca diinjeksi Streptococcus agalactiae Patologi anatomi organ luar Waktu terjadinya (pasca injeksi) (jam) secara makroskopis non-hemolitik β-hemolitik Garis vertical tubuh menghitam 6 24 Clear operculum 24 72 Mata mengkerut 24 264 Eksoptalmia & purulens 96 120 Pendarahan di mata 24 Ulcer pada kepala 264 Abses pada perut 336 “C” shape 288 Keterangan : (-) tidak ditemukan adanya gejala
Perubahan warna tubuh biasanya terjadi pada jam ke-6 pasca injeksi tipe non-hemolitik dan jam ke-24 pasca injeksi tipe β-hemolitik. Perubahan pada mata seperti mata mengkerut, pengecilan pupil mata terjadi pada jam ke-24 pasca injeksi bakteri tipe non-hemolitik dan muncul pada hari ke-11 pasca injeksi bakteri tipe β-hemolitik. Bakteri tipe β-hemolitik lebih lambat menyebabkan munculnya gejala dibandingkan dengan tipe non-hemolitik.
52
Gambar 11 menunjukkan perubahan yang terjadi pada mata ikan yang terinfeksi S. agalactiae.
Awal perubahan pada mata yaitu mata mengkerut
(Gambar 11B) kemudian yang terjadi adalah, pupil mata mengecil (Gambar 11CD), kemudian mata seperti berkabut/purulens (Gambar 11F) hingga sebelah mata dapat hilang (Gambar 11E). Pembengkakan mata atau eksoptalmia yang disertai dengan pendarahan terjadi pada hari ke-4 (tipe non-hemolitik) dan pada hari ke-5 (tipe β-hemolitik).
Gambar 11 Perubahan yang terjadi pada organ mata ikan nila; A. normal; B. mata mengkerut, C. pupil mata mengecil; D.Opacity (kekeruhan mata); E. mata lisis dan F. Purulens (mata putih). Pada infeksi S. agalactiae, lateral eksoptalmia lebih sering terjadi dibandingkan
dengan
bilateral
eksoptalmia
(Gambar
12C-D).
Gejala
Streptococcosis spesifik pada ikan nila adalah clear operculum dengan berbagai tahapan (Gambar 13). Gejala pra clear operculum ditandai dengan munculnya warna semu kuning dengan titik-titik putih di bawah mulut. Clear operculum muncul rata-rata pada jam ke-24 dan disertai pendarahan pada jam ke-24 untuk S. agalactiae tipe non-hemolitik dan jam ke-72 pasca injeksi S. agalactiae tipe βhemolitik tanpa disertai pendarahan. Gambar 12 adalah perubahan yang terjadi pada mata, yaitu adanya eksoptalmia baik lateral maupun bilateral, serta yang dibarengi dengan adanya pendarahan. Gambar 13 menunjukkan adanya clear operculum pada ikan pasca diinjeksi dengan S. agalactiae.
53
Gambar 12 Eksoptalmia pada organ mata ikan nila; A. pendarahan pada mata; B & C lateral eksoptalmia, D. bilateral eksoptalmia.
Gambar 13 Perubahan yang terjadi pada operkulum ikan nila (tanda panah); A. normal; B & C clear operculum, D. clear operculum disertai pendarahan.
Pada Gambar 14, tampak adanya beberapa perubahan pada tubuh ikan pasca diinjeksi dengan S. agalactiae. Gejala spesifik yang hanya muncul pada ikan nila yang diinjeksi dengan bakteri tipe non-hemolitik yaitu adanya luka (ulcer) di bagian kepala ikan nila (Gambar 14C) pada hari ke-8 dan muncul abses (Gambar 14D) di bagian bekas injeksi yang menjalar hingga perut pada hari ke14. Ketiga gejala tersebut tidak tampak pada ikan uji yang diinjeksi dengan bakteri tipe β-hemolitik.
Gambar 14 Perubahan yang terjadi pada tubuh ikan nila; A. warna tubuh pucat; B & E. bibir pucat dan memutih; C. ulcer pada bagian kepala; D. abses pada bagian tubuh; F. tubuh membentuk huruf “C” disertai lateral eksoptalmia. Streptococcosis (Streptococcus agalactiae dan S. iniae) umumnya ditandai dengan adanya perubahan warna gelap pada garis vertikal ikan nila (Gambar 15),
54
ini diduga karena bakteri menginfeksi organ ginjal yang berpengaruh terhadap produksi melatonin sebagai pembentuk warna tubuh.
Gambar 15 Perubahan warna tubuh ikan yang terinfeksi Streptococcus agalactiae A. garis vertikal tubuh menghitam; B. warna tubuh ikan normal. 4 Gambaran darah Total Leukosit Rataan total leukosit ikan nila selama percobaan cenderung naik mulai 1 jam pertama hingga hari ke-10 pasca injeksi dengan S. agalactiae (Gambar 16) dan data selengkapnya disajikan pada Lampiran 5. Kenaikan ini berkaitan dengan
Total Leukosit (105sel/mm3)
pertahanan seluler yang meningkat karena adanya infeksi pasca injeksi. 4.5 45000 4.0 40000
isolat 1 isolat 2
3.5 35000 3.0 30000
isolat 3
2.5 25000
isolat 4
2.0 20000 15000 1.5
isolat 5
10000 1.0 5000 0.5
kontrol
00 24
168
336
Waktu Pengamatan (jam)
Gambar 16 Grafik total leukosit ikan nila pasca diinjeksi Streptococcus agalactiae Dari uji statistik, terdapat perbedaan antar perlakuan (injeksi dengan kelima isolat) dengan kontrol (p<0.05); sedangkan antar perlakuan isolat bakteri (isolat 1–isolat 5) tidak berbeda nyata (p>0.05). Artinya, keberadaan infeksi S. agalactiae kelima isolat menyebabkan perubahan pada total leukosit ikan nila sejak jam ke-4 dan 168 pasca injeksi, setelah 14 hari cenderung kembali normal.
55
Peningkatan dan aktivitas leukosit dapat disebabkan oleh infeksi yang memicu aktivitas pembelahan sel (Evenberg et al., 1986) dan Anderson (1974) menyebutkan bahwa perubahan populasi leukosit dapat diamati setelah 7 hari pasca pemaparan. Adanya infeksi S. agalactiae menyebabkan ikan mengirimkan sel leukosit lebih banyak ke areal infeksi sebagai upaya pertahanan.
Sel-sel
leukosit tersebut bekerja sebagai sel yang memfagosit bakteri yang ada agar tidak dapat berkembang dan menyebarkan virulensi dalam tubuh inang sehingga sering ditemukan jumlah total leukosit mengalami peningkatan pasca infeksi oleh bakteri. Differensial Leukosit (Limfosit, Monosit dan Neutrofil) Jenis leukosit ikan nila terdiri dari limfosit, monosit, neutrofil sebagaimana diungkapkan Clem et al., (1985), bahwa leukosit terdiri dari 3 jenis. Namun terkadang juga ditemukan basofil dan eusinofil. Jenis leukosit ikan nila tampak pada Gambar 17, limfosit lebih banyak ditemukan dibandingkan dengan kedua jenis leukosit lainnya.
Gambar 17 Differensial leukosit dan trombosit ikan nila. E: eritrosit, IME: immature eritrosit, T: trombosit, M: monosit, L: limposit dan N: neutrofil. 1 bar = 20 µm Rataan proporsi leukosit ikan nila normal yaitu:
limfosit (68-86%),
monosit (3.9-5.9%) dan neutrofil (10-18.1%). Rataan porposi jenis leukosit ikan yang diinjeksi bakteri S. agalactiae lebih bervariatif yaitu limfosit (72–81%),
56
monosit (4.4–5.3%) dan neutrofil (13.5–21.2%). Proporsi jenis leukosit antara ikan yang diinjeksi dengan bakteri tipe β dan non- hemolitik tidak berbeda nyata. Leukosit pada ikan menurut Fujaya (2004) terdiri atas 7 bentuk yaitu 3 tipe eosinofil granulosit dan masing-masing satu tipe neutrofil granulosit, limfosit, monosit dan trombosit. Neutrofil dan monosit adalah leukosit fagosit kuat. Fagositasi oleh neutrofil dilakukan dengan mendekati partikel yang akan difagositasi dengan cara mengeluarkan pseudopodi ke segala arah sekitar partikel, selanjutnya pseudopodi satu sama lain saling bersatu untuk melakukan fagositasi. Satu neutrofil dapat menfagosit 5 sampai 20 bakteri. Monosit lebih kuat karena dapat menfagosit partikel yang lebih besar. Limfosit tidak bersifat fagositik tetapi berperan dalam pembentukan antibodi.Jumlah monosit ikan yang disuntik dengan S. agalactiae lebih tinggi dan berbeda nyata dengan kontrol. Peningkatan juga terjadi pada sel neutrofil pada jam ke-24 hingga hari ke-5 pasca injeksi. Pada akhir penelitian (336 jam) neutrofil dan monosit ditemukan lebih rendah dari kontrol. Jumlah granulosit mengalami penurunan karena adanya pendarahan pada organ ikan (ginjal dan mata) yang disebabkan oleh granulosit yang keluar dari pembuluh darah dan berada di tempat radang dan jaringan yang rusak untuk mengfagosit antigen yang masuk. Baik granulosit maupun mononuklear dapat menelan bakteri namun makrofag lebih aktif. Makrofag berada di dalam jaringan sebagai pelindung tubuh, juga pemakan bakteri dan sisa (debris), sedangkan monosit berada di dalam darah. Bakteri setelah dicerna diubah menjadi bentuk terlarut sehingga dapat dimanfaatkan tubuh, dibuang sebagai hasil limbah atau untuk merangsang respon imun. Jadi pertahanan non spesifik pada ikan fungsinya selain untuk mencegah infeksi, membatasi penularan, juga menyingkirkan jaringan yang rusak. Total Eritrosit Menurut Fujaya (2004), jumlah eritrosit pada masing-masing spesies ikan berbeda, tergantung dari aktivitas ikan tersebut. Fungsi utama eritrosit adalah mengangkut Hb yang berperan membawa oksigen dari insang atau paru-paru ke jaringan. Selain mengedarkan Hb, eritrosit juga mengandung asam karbonat dalam jumlah besar yang berfungsi mengkatalis reaksi antara karbondioksida dan
57
air, sehingga darah dapat mengedarkan karbondioksida dari jaringan menuju insang. Total eritrosit ikan nila normal berkisar antara 30-39 (105 sel/mm3) sedangkan ikan nila yang diinjeksi dengan S. agalactiae rataan jumlah eritrosit lebih berfluktuatif yaitu berkisar 12-60 (105 sel/mm3). Peningkatan eritrosit terjadi pada jam ke-3 pasca injeksi dan kenaikan berlangsung hingga 24-48 jam pasca injeksi (Gambar 18) dan data selengkapnya tertuang pada Lampiran 5. Dari hasil uji statistik, keseluruhan isolat berbeda nyata nilai total eritrositnya dengan kontrol (ikan yang tidak diinjeksi dengan S. agalactiae) (p<0.05) pada jam ke-24 hingga jam ke-336. Artinya, keberadaan infeksi S. agalactiae umumnya menyebabkan perubahan pada total eritrosit ikan nila secara nyata. Total Eritrosit (105 sel/mm3)
70 60
isolat 1
50
isolat 2
40
isolat 3
30
isolat 4
20
isolat 5
10
kontrol
0
24 0
168 1 Waktu Pengamatan (jam)
336 3
Gambar 18 Grafik total eritrosit ikan nila pasca diinjeksi Streptococcus agalactiae Peningkatan total eritrosit ini menandakan adanya upaya homeostatis pada tubuh ikan (infeksi patogen) dimana tubuh memproduksi sel darah lebih banyak untuk menggantikan eritrosit yang mengalami lisis akibat adanya infeksi. Penurunan eritrosit mengindikasikan adanya anemia pada ikan yang ditandai adanya pendarahan pada organ ginjal ikan. Keberadaan S. agalactiae yang memproduksi toksin hemolitik yang dapat melisis eritrosit (lihat aktivitas hemolitik) sehingga rataan eritrosit ikan uji umumnnya menurun atau lebih rendah dari normal hingga hari ke-14 pasca injeksi.
58
5 Patologi klinik darah Hematokrit Rataan kadar hematokrit ikan nila normal berkisar 27.3–37.8% dan kadar hematokrit ikan uji yang diinjeksi S. agalactiae sepanjang penelitian berfluktuasi, nilainya berkisar 15.9–43.15% (bakteri tipe non-hemolitik) dan 12.9–43.14% (bakteri tipe β-hemolitik) (Gambar 19). Data pengamatan hematokrit ikan nila
Hematokrit (%)
pasca injeksi S. agalactiae secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 5. 55 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
isolat 1 isolat 2 isolat 3 isolat 4 isolat 5 kontrol 24
168
336
Waktu pengamatan (jam)
Gambar 19 Grafik hematokrit ikan nila pasca diinjeksi Streptococcus agalactiae Dari hasil uji statistik, semua ikan yang diinjeksi bakteri mengalami peningkatan yang berbeda nyata nilai hematokrit dengan kontrol (ikan yang tidak diinjeksi dengan S. agalactiae) (p<0.05) pada jam ke-168 pasca injeksi. Setelah hari ke-14 (336 jam) kadar hematokrit cenderung kembali mendekati normal. Artinya, keberadaan infeksi S. agalactiae umumnya menyebabkan perubahan pada hematokrit ikan nila secara nyata, namun setelah 14 hari ikan cenderung kembali normal kecuali isolat 3 dan isolat 5. Kadar hematokrit ini dapat digunakan untuk mengetahui dampak injeksi S. agalactiae, sehingga dapat digunakan sebagai petunjuk kondisi kesehatan ikan setelah penginjeksian. Dalam penelitian
faktor
penyebab
stress
seperti
lingkungan
dan
penanganan
diminimalisir sehingga perubahan hematokrit dapat dipastikan karena adanya infeksi patogen. Peningkatan mulai terjadi jam pertama pasca injeksi hingga jam ke-24 (bakteri tipe β-hemolitik) dan jam ke-72 (bakteri tipe non-hemolitik).
59
Hemoglobin (Hb) Hemoglobin adalah metalloporphyrin, kombinasi dari haem yang merupakan porphyrin besi dan globin. Pada peristiwa oksigenasi, atom besi dari haem akan berasosiasi dengan satu molekul oksigen. Setiap molekul Hb mengandung 4 molekul haem dan 4 atom besi sehingga dapat mengangkut 4 molekul oksigen (Fujaya, 2004). Kadar hemoglobin ikan berkaitan dengan anemia dan jumlah sel darah, peningkatan Hb terjadi karena adanya infeksi yang diikuti adanya penurunan yang sangat cepat. Peningkatan Hb rata-rata ikan yang diinjeksi bakteri tipe nonhemolitik terjadi sejak 1 jam awal pasca injeksi hingga jam ke-6 hingga jam ke-12 kemudian penurunan secara cepat terjadi hingga jam ke-96 hingga jam ke-120. Sedangkan Hb ikan yang diinjeksi dengan bakteri tipe β-hemolitik terjadi kenaikan (puncak) pada jam ke-6 (Gambar 20). Data pengamatan hemoglobin
Hemoglobin (g %)
ikan nila pasca injeksi S. agalactiae secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 5. 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
isolat 1 isolat 2 isolat 3 isolat 4 isolat 5 kontrol 24
168
Waktu Pengamatan (jam)
336
Gambar 20 Grafik hemoglobin ikan nila pasca diinjeksi Streptococcus agalactiae Kadar rata-rata Hb ikan nila normal berkisar 10–11.01 (g%), sedangkan ikan yang diinjeksi dengan bakteri S. agalactiae berkisar 4–14.4 (g%). Pada jam ke-24 pasca injeksi, dari uji statistik kelima isolat menyebabkan perubahan pada nilai hemaglobinnya namun perbedaan secara nyata dengan kontrol hanya terjadi pada ikan yang diinjeksi dengan isolat 1 dan 5. Kadar Hb berkaitan dengan keseimbangan osmolaritas plasma darah. Adanya S. agalactiae yang diduga mengandung toksin hemolisin mempengaruhi kestabilan Hb.
Hemolisin ini menyebabkan osmolaritas plasma darah lebih
60
rendah sehingga menyebabkan
lisis, hal inilah yang diduga sebagai faktor
virulensi pada S. agalactiae. Rendahnya kadar Hb menyebabkan laju metabolisme menurun dan energi yang dihasilkan menjadi rendah. Hal ini membuat ikan menjadi lemah dan tidak memiliki nafsu makan serta terlihat diam di dasar atau berenang lemah. Glukosa Darah Hasil pengukuran glukosa darah ikan nila normal berkisar antara 80.02113.21 (mg/100 ml) dan sepanjang percobaan glukosa darah nilainya berfluktuasi (Gambar 21). Glukosa darah (mg/100ml)
140 120 100
kontrol
80
isolat 1
60
isolat 2
40
isolat 3
20
isolat 4
0
isolat 5 24
168
336
Waktu Pengamatan (Jam ke-)
Gambar 21 Grafik glukosa ikan nila pasca diinjeksi Streptococcus agalactiae Peningkatan glukosa darah terjadi sepanjang pengamatan pada kelima isolat. Ikan nila yang diinjeksi S. agalactiae tipe non-hemolitik menunjukkan kadar glukosa berkisar 73.79–121.67 (mg/100 ml) dan yang diinjeksi β-hemolitik berkisar 69.34–129.17 (mg/100 ml). Data pengamatan glukosa darah ikan nila pasca injeksi S. agalactiae secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 5. Dari hasil uji statistik glukosa darah ikan nila, peningkatan glukosa darah terjadi 1 jam pasca injeksi di semua perlakuan dan berbeda nyata dengan kontrol (p<0.05), artinya keberadaan infeksi S. agalactiae umumnya menyebabkan perubahan pada kadar glukosa darah ikan nila secara nyata. Peningkatan glukosa darah ini berkaitan dengan kondisi stress pada ikan yang dapat disebabkan oleh banyak faktor antara lain faktor fisika dan kimia (kualitas air), faktor biologi (adanya infeksi patogen) juga dapat karena penanganan. Glukosa darah ini dapat bersifat imonosupresor pada ikan, hal ini
61
disebabkan karena pada saat kadar glukosa dalam darah tinggi, ginjal bekerja lebih keras untuk menjaga keseimbangan tubuh, pada saat inilah fungsi dan kerja ginjal terganggu (termasuk fungsinya sebagai organ yang berperan dalam sistem imun).
Saat organ limfoid ini terganggu sistem pertahanan tubuh menjadi
menurun sehingga patogen lebih mudah untuk tumbuh, berkembang dan menyebarkan virulensi pada tubuh ikan (Anderson, 1990).
Evans (2003)
mengamati adanya peningkatan kerentanan ikan nila yang terinfeksi S. agalactiae pada kondisi stress (sublethal DO) yang ditandai dengan adanya peningkatan glukosa darah. Pada saat ikan mengalami gangguan yang menyebabkan stres, baik karena penanganan, kualitas air maupun infeksi bakteri, maka tubuh ikan akan mengeluarkan tanda atau alarm sebagai indikasi adanya gangguan. Alarm pada ikan antara lain : pertama adanya peningkatan gula darah akibat sekresi hormon dari kelenjar adrenalin. Persediaan gula, seperti glikogen dalam hati dimetabolisme sebagai persediaan energi untuk emergensi. Kedua, osmoregulasi kacau akibat perubahan metabolisme mineral. Ikan air tawar cenderung mengabsorbsi air dari lingkungan (over-hydrate), ikan air laut cenderung kehilangan air dari dalam tubuh (dehydrate). Kondisi ini perlu energi ekstra untuk memelihara keseimbangan osmoregulasi. Ketiga, pernafasan meningkat, tensi darah meningkat, persediaan eritrosit direlease ke sistem resirkulasi dan keempat, respon inflamasi ditekan oleh hormon dari kelenjar adrenalin (Anderson, 1990). 6 Kematian ikan Bakteri S. agalactiae tipe non hemolitik lebih cepat menyebabkan kematian yaitu mulai pada jam ke-6 hingga jam ke-12 pasca injeksi sedangkan isolat β-hemolitik baru pada jam ke-48.
Jumlah ikan yang mati pada akhir
pengamatan akibat injeksi S. agalactiae non-hemilitik lebih banyak dibandingkan dengan bakteri tipe β-hemolitik. Bakteri S. agalactiae tipe non-hemolitik lebih virulen karena lebih cepat menyebabkan kematian pada ikan nila. Kematian ikan pasca injeksi dengan bakteri S. agalactiae terlihat pada Gambar 22.
kematian ikan
62
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 0
1
3
6
12 24 48 72 96 120 144 168 192 216 240 264 288 312 waktu pengamatan (jam)
isolat 1
isolat 2
isolat 3
isolat 4
isolat 5
kontrol
Gambar 22 Kematian kumulatif ikan nila yang diinjeksi Streptococcus agalactiae Selanjutnya, dari hasil pengukuran Mean Time Death (MTD) atau rerata waktu kematian ikan uji pada setiap pengujian diketahui bahwa waktu kematian ikan nila akibat infeksi S. agalactiae tampak pada Tabel 14. Tabel 14 Mean Time Death (MTD) hasil pengujian patogenisitas S. agalactiae terhadap ikan nila Waktu pengamatan 1 3 6 12 24 48 72 96 120 144 168 192 216 240 264 288 312 336
Isolat 1
Isolat 2
Isolat 3
Isolat 4
Isolat 5
Kontrol
0 0 0 0 3 3 0 8 2 0 8 1 6 0 1 2 0 1
0 0 2 1 0 0 3 1 3 0 10 6 5 4 1 1 0 1
0 0 0 0 0 1 1 6 0 0 1 1 4 1 0 0 0 1
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 0 0 1 3 0 3 3
0 0 0 0 0 7 2 12 2 0 10 3 4 0 1 2 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1
MTD
149.5
169.9
156
267.7
135.6
-
63
Kelima isolat S. agalactiae menyebabkan kematian yang berbeda pada ikan nila, isolat 4 rata-rata menyebabkan kematian setelah 268 jam setelah infeksi dan ini merupakan waktu terlama dibandingkan dengan keempat isolat lainnya. Sedangkan isolat 5 rata-rata menyebabkan kematian hanya dalam waktu 136 jam setelah infeksi, dan isolat ini menyebabkan kematian paling cepat diantara isolat S. agalactiae lainnya. Dari hasil pengukuran rerata waktu kematian dapat diketahui bahwa S. agalactiae lebih bersifat kronis yaitu tidak langsung menyebabkan kematian namun menyebabkan perubahan pada fisiologis ikan yang terinfeksi terlebih dahulu, tidak seperti bakteri Vibrio alginolyticus yang memiliki nilai MTD 12-28 jam yang dapat dikatagorikan sebagai bakteri akut, dapat menyebabkan kematian secara cepat (Murdjani, 2002). 7
Histopatologi Perubahan histologi dalam jaringan ikan dapat digunakan sebagai salah
satu indikator untuk mengevaluasi adanya gangguan pada ikan yang perubahannya dapat dilihat dalam jangka waktu yang lama (Adams, 1990). Dengan menggunakan indikator histologik ikan ini, dapat diketahui perubahan yang terjadi pada tubuh ikan baik akibat perubahan kualitas air, penanganan maupun infeksi patogen karena histopatologi merupakan hasil dari adanya perubahan secara biokimia dan fisiologis pada organisme (Hinton dan Lauren, 1990). Namun untuk mengamati perubahan histopatologi ini sangat bergantung pada kualitatif pengcahayaan mikroskop pada tiap jaringan yang diamati, kebaruan teknologi analisis seluler dan molekuler. Perubahan yang terjadi pada pada organ mata, otak dan ginjal ikan umumnya hampir sama yang disebabkan oleh S. agalactiae tipe β-hemolitik dan non-hemolitik. Perubahan mulai dapat dilihat pada hari ke-3 pasca injeksi dan pada hari ke-14 juga masih ditemukan histopatologinya di ketiga organ. Pada jam ke-168, histopatologi hampir ditemukan pada semua perlakuan. Histopatologi yang tampak pada organ mata, otak dan ginjal, tampak pada Tabel 15.
64
Tabel 15 Histopatologi organ mata, otak dan ginjal ikan nila yang diinjeksi dengan Streptococcus agalactiae Jam setelah injeksi 24 168
336
Mata Belum tampak Hipertropi, hyperplasia, pendarahan, degenerasi dan nekrosa bagian choroid Hipertropi, kongesti pada bagian choroid
Organ ikan Otak Belum tampak Hipertropi, kongesti, degenerasi dan nekrosa pada otak depan, otak tengah dan otak belakang degenerasi, kongesti di myelencephalon dan cerebellum
Ginjal Belum tampak Hipertropi, hemorrhagi, nekrosa di ginjal bagian depan dan belajkang
hemmorhagi, degenerasi dan ginjal depan dan belakang
Organ Mata Organ mata ikan nila terdiri dari beberapa lapisan yaitu bagian choroid, retina dan iris yang tampak pada Gambar 23.
Gambar 23 Histopatologi mata ikan nila yang diinjeksi Streptococcus agalactiae. A mata ikan nila normal: A1 Choroid; A2 Retina; A3 Iris. B. bagian retina mata; B1 pigment epithelium; B2 lapisan photoreceptor; B3 membran pembatas luar; B4 outer nuclear layer; B5 lapisan luar plexiform; B6 lapisan dalam nuclear; B7 lapisan plexiform dalam; B8 lapisan sel ganglion. C. choroid. H hipertropi; hr. hemorrhage; Hp hiperplasi. A&C 1 bar=200 µm, B.1 bar=50 µm Perubahan pada mata ikan nila yang terinfeksi S. agalactiae secara makroskopis tampak adanya eksoptalmia, pengerutan mata, pendarahan dan mata keruh sampai berkabut (purulens, opacity).
Secara histologi (mikroskopis)
perubahan tampak seperti pada Gambar 23C. Hiperplasi, terjadi pada bagian choroid yaitu adanya penambahan jumlah sel dalam jaringan. Hemorrhagi juga
65
tampak terjadi, ini membuktikan bahwa S. agalactiae bersifat septicemia yang merusak pembuluh darah yang ditandai dengan adanya pendarahan. Hipertropi tampak dengan adanya pembesaran sel, yang disebabkan oleh adanya infeksi bakteri patogen. Hipertropi dan hiperemi terjadi pada bagian choroid ikan yang mengalami eksoptalmia baik lateral maupun bilateral. Bakteri berkembang dalam organ mata, didalam perkembangannya sejalan dengan munculnya sifat virulensinya bakteri menghasilkan eksotoksin (salah satunya hemolisin) yang merusak bagian choroid mata sehingga menyebabkan mata mengalami perubahan-perubahan tersebut dan tidak ditemukan adanya perubahan pada bagian retina mata. Choroid merupakan bagian dari mata yang mengandung banyak pembuluh darah karena letaknya diantara arteriole dan kapiler yang membentuk rete mirabile. Arteri dan vena saling berdekatan dan sebagai tempat pertukaran darah, ion dan gas antara dinding pembuluh darah sehingga S. agalactiae sebagai bakteri septicemia dengan mudah tumbuh dan berkembang di daerah ini (Ferguson, 1989). Adanya hipertropi dan hiperplasi pada bagian choroid menyebabkan ikan mengalami eksoptalmia dan hemorrhagi bisa tampak secara makroskopis pada mata ikan. Sama halnya dengan Filho et al. (2009) menemukan adanya infiltrasi pada bagian choroid dan periorbital, dan tidak ditemukan kelainan pada bagian retina mata ikan nila yang diinjeksi dengan S. agalactiae. Perubahan pada mata (eksoptalmia dan purulens) mulai tampak pada jam ke-24 pasca injeksi dengan S. agalactiae tipe non hemolitik dan 120 jam pasca injeksi dengan β-hemolitik. Perubahan secara histopatologi juga terdeteksi pada jam tersebut dan perubahan masih ditemukan pada ikan nila hingga hari ke-14 pasca injeksi.
Filho et al. (2009) juga masih menemukan perubahan pada
histopatologi mata ikan nila yang diinjeksi dengan S. agalactiae tipe nonhemolitik hingga hari ke-14 dan tidak ditemukan histopatologinya pada hari ke-21 dan 28 pasca injeksi.
66
Organ Otak Menurut Rahardjo (1985) otak ikan dapat dibagi menjadi lima bagian yaitu telencephalon,
diencephalon,
mesencephalon,
metencephalon
dan
myelencephalon.
Telencephalon merupakan otak bagian depan sebagai pusat
pembauan, syaraf utamanya adalah syaraf olfactory. Di belakang telencephalon terdapat diencephalon yang merupakan komponen penting, terdiri dari tiga bagian yaitu epithalamus, thalamus dan hypothalamus dimana di bagian bawahnya terdapat hypophysa (kelenjar pituitary). Mesencephalon (otak tengah) pada ikan relatif besar dan berfungsi sebagai pusat penglihatan, ada dua bagian terpenting yaitu tektum optikum (organ koordinator yang melayani rangsangan penglihatan) dan tegmentum merupakan pusat sel-sel motoris. Bagian terpenting dalam metencephalon adalah cerebellum yang fungsi utamanya mengatur keseimbangan tubuh dalam air. Bagian posterior otak ikan adalah myelencephalon, dengan medulla oblongata sebagai komponen utamanya, merupakan pusat untuk menyalurkan rangsang yang keluar melalui syaraf kranial. Setelah diinjeksi dengan S. agalactiae, ikan menunjukkan gejala berenang abnormal (miring, berulang) dan juga whirling. Ikan yang menunjukkan berenang whirling secara histopatologi pada organ otak cerebellum adanya degenerasi dan nekrosa di bagian kranial, ini biasanya yang menyebabkan meningitis dan encephalitis pada infeksi Edwardsiella ictaluri pada channel catfish dan infeksi Streptococcus iniae pada ikan yellowtails (Ferguson, 1989). Selain itu tampak adanya kongesti (pembendungan) pada pembuluh darah yaitu meningkatnya jumlah darah dalam pembuluh myelencephalon (otak belakang), yang ditunjukkan dengan kapiler darah tampak melebar yang penuh berisi eitrosit pada pembuluh kranial (Gambar 24D). Hipertropi juga terjadi pada neuron (Gambar 24C) yaitu adanya peningkatan komponen sel neuron.
67
Gambar 24 Histopatologi otak ikan nila yang diinjeksi Streptococcus agalactiae. A. otak belakang (myelencephalon) normal 1 bar = 20µm B. otak belakang cg: kongesti dan hemorrhagik pada otak, h: hipertropi, 1 bar = 20µm. C & D otak cerebellum. c. bagian kranial mengalami vacuolar (v) 1 bar = 50µm; dg: degenerasi dan nekrosa pada kranial 1 bar = 20µm. Ikan nila yang mengalami whirling pasca injeksi S. agalactiae ditemukan adanya pendarahan pada bagian telencephalon dan cerebellum.
Kadang juga
ditemukan juga adanya inflamasi dan infiltrasi pada bagian myocardium pada ikan yang diinjeksi dengan S. agalactiae pada hari ke-3, 7 dan 14. Histopatologi pada otak tidak ditemukan lagi pada hari ke-21 dan 28 pasca injeksi (Filho et al., 2009). Vakuolisasi terjadi akibat kerusakan sel (nekrosis) pada bagian kranial dalam cerebellum, selanjutnya sel mengalami kehancuran sehingga tertinggal sebagai ruangan yang kosong pada jaringan otak, diduga sebagai akibat infeksi secara sistemik, yaitu melalui aliran darah kemudian mencapai ke otak dan menimbulkan kerusakan pada jaringan penyusun organ tersebut (Gambar 24C.v). Apabila kerusakan terjadi pada syaraf motorik dapat mengakibatkan terganggunya syaraf yang mengontrol pergerakan dan keseimbangan ikan dalam berenang, sehingga terjadi perubahan perilaku gerakan renang ikan menjadi berputar-putar (whirling). Vakuolisasi juga ditemukan pada otak ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) yang mengalami whirling akibat infeksi bakteri Vibrio alginolyticus (Murdjani, 2002)
68
Organ Ginjal Ginjal ikan nila yang diinjeksi dengan S. agalactiae menunjukkan adanya kerusakan struktural, yaitu adanya hipertropi, hemorrhagi dan nekrosa.
Pada
Gambar 25 tampak perubahan yang terjadi pada ginjal ikan nila pasca diinjeksi dengan S. agalactiae.
n
Gambar 25 Histopatologi ginjal ikan nila yang diinjeksi Streptococcus agalactiae. A. normal. B, C, D. ginjal yang mengalami perubahan n: degenerasi dan nekrosa, h: hypertropi pada epitelium tubulus ginjal, p: pendarahan. 1 bar = 100 µm (A, C, D) dan 50 µm (B) Hipertropi dan pendarahan yang terjadi disebabkan karena S. agalactiae masuk ke dalam ginjal melalui aliran darah dan menginfeksi tubulus ginjal. Infeksi S. agalactiae juga mempengaruhi metabolisme dan proses-proses enzimatis dalam sel, yang dapat menyebabkan terjadinya degenerasi dan nekrosa pada tubulus ginjal.
Kondisi ini merusak struktur dan fungsi ginjal, yang
69
mengakibatkan terganggunya proses-proses fisiologik di dalam tubuh ikan bahkan dapat menyebabkan kematian. Perubahan yang tampak umumnya tidak berbeda dengan perubahan yang terjadi pada mata dan otak, degenerasi dan nekrosa terjadi akibat adanya infeksi bakteri.
Pendarahan juga terjadi, sama halnya yang terjadi pada mata, yang
menunjukkan bahwa S. agalactiae merusak jaringan dalam organ. Penyebaran bakteri ini ke dalam organ ikan dilakukan melalui darah, S. agalactiae masuk ke dalam aliran darah, dapat tumbuh, berkembang dan menyebar melalui darah sehingga disebut juga sebagai bakteri septicemia. Infiltrasi ditemukan pada ginjal ikan nila yang diinjeksi dengan S. agalactiae, selain itu tampak juga adanya melanomacrophages pada ginjal ikan yang mengalami perubahan warna menghitam (Filho et al., 2009). Nekrosis juga terjadi pada kapsul bowman yang diduga sebagai akibat infeksi bakteri yang mengeluarkan toksin dan dapat merusak sel-sel ginjal. Dengan rusaknya ginjal, akan memudahkan bakteri masuk ke dalam jaringan ginjal dan menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Sama halnya dengan ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) yang terinfeksi bakteri Vibrio alginolyticus pada organ ginjalnya ditemukan adanya nekrosa dan pendarahan, yang diduga akibat toksin yang dikeluarkan bakteri (Murdjani, 2002). Perubahan yang terjadi secara mikroskopis antara ikan yang terinfeksi S. agalactiae tipe β-hemolitik dan non-hemolitik tidak jauh berbeda. Kedua bakteri menyebabkan perubahan seperti yang terjadi pada organ mata, otak dan ginjal ikan nila. Simpulan Keseluruhan hasil pengamatan pada beberapa parameter yang diamati, diperoleh beberapa simpulan yaitu : 1. Bakteri S. agalactiae dapat menyebabkan sakit pada ikan yang dapat dilihat secara makroskopis maupun mikroskopis. 2. Infeksi S. agalactiae juga menyebabkan perubahan pada parameter gambaran darah dan patologi klinik darah. 3. Streptococcus agalactiae tipe non hemolitik lebih virulen dibandingkan dengan yang bertipe β-hemolitik dilihat dari jumlah kematian yang lebih cepat
70
dan banyak, perubahan yang terjadi pada pola renang, pola makan dan patologi anatomi secara makroskpis dan mikroskopis juga terjadi lebih cepat pada ikan yang terinfeksi S. agalactiae tipe non hemolitik. Sehingga dari hasil penelitian ini diambil dua tipe bakteri yang memiliki perbedaan secara karakteristik dan tingkat virulensi yang lebih tinggi pada ikan nila dibandingkan dengan isolat lainnya yaitu isolat 5 yang mewakili bakteri tipe non-hemolitik dan isolat 3 (tipe β-hemolitik) untuk selanjutnya diuji toksisitas extracellular product (ECP) untuk mengetahui salah satu faktor virulensi dari S. agalactiae menyebabkan sakit dan atau mati pada ikan nila.
71
TOKSISITAS PRODUK EKSTRASELLULAR (ECP) Streptococcus agalactiae TIPE β-HEMOLITIK DAN NON-HEMOLITIK PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus) ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui toksisitas dari produk ekstrasellular (ECP) bakteri S. agalactiae kedua tipe (β-hemolitik dan non-hemolitik) yang menginfeksi ikan nila. Pengujian toksisitas ECP bakteri yang menginfeksi ikan masih terbatas, ini bertujuan untuk mengetahui faktor virulensi S. agalactiae pada ikan nila. Setelah diuji pada 15 ekor ikan nila ukuran 15 g melalui penyuntikan intraperitonial (IP) sebanyak 0.1 ml/ekor ternyata ECP baik dari bakteri tipe non-hemolitik dan tipe β-hemolitik menyebabkan perubahan pada pola renang, nafsu makan, anatomi luar dan dalam baik secara makroskopis maupun mikroskopis. Produk ekstrasellular bakteri tipe non-hemolitik (BHIA 24 jam dan BHI 24 jam) dan β-hemolitik (BHI 72 jam) mulai terjadi 12 jam pasca injeksi dan kematian terus terjadi hingga hari ke-7 pemeliharaan. Produk ekstrasellular S. agalactiae tipe β-hemolitik menyebabkan perubahan berenang abnormal (miring) pada jam ke-96 pasca injeksi (BHIA 72 jam), dan berlanjut whirling pada hari ke-7. Sedangkan pada ikan nila yang diinjeksi dengan ECP (BHI 24 jam) bakteri tipe non-hemolitik terjadi pada jam ke-72 pasca injeksi. Perubahan pada mata tampak jelas terlihat adanya opacity, purulens, mata mengkerut, eksoptalmia dan adanya pendarahan pada mata. Setelah dilakukan pengujian dengan SDS-PAGE diketahui bahwa S. agalactiae mengandung protein dengan berat molekul 51.8, 55.8 dan 62.3 kDa pada ECP yang dihasilkan di media BHI dan protein dengan berat molekul berkisar 51.8–69.6 kDa pada media BHIA. ECP Bakteri tipe non hemolitik (72 jam) mengandung protein (28.18 ppm pada media BHIA dan 13.64 ppm pada media BHI) lebih banyak di bandingkan dengan bakteri β-hemolitik (2.73 ppm pada media BHIA dan 8.18 ppm pada media BHI). Konsentrasi protein dalam ECP menjadi salah satu faktor yang menyebabkan patogenisitas bakteri non-hemolitik lebih tinggi. Dari hasil uji toksisitas ECP S. agalactiae tipe βhemolitik dan tipe non-hemolitik diketahui bahwa ECP merupakan salah satu faktor virulen yang menyebabkan perubahan gejala klinis dan kematian ikan nila. Kata kunci : ECP, toksisitas, Streptococcus agalactiae, Oreochromis niloticus
ABSTRACT This research aimed to know the Toxicity of extracellular products (ECP) of Streptococcus agalactiae was tasted in cultured Nile tilapia (Oreochromis niloticus). Streptococcus agalactiae had two haemolytic types: β-haemolytic and non-haemolytic type. Toxicity test of ECP to know the virulancy factor of S. agalactiae was still limited. It was found that after tested on 15 fish weighing 15 g through intraperitoneal injection 0.1 ml/fish, both bacteria caused changes in swimming pattern, palatability, external and internal anatomy macroscopically and microscopically. Extracellular products of S. agalactiae non-haemolytic type (BHIA and BHI 24 h) and β-haemolytic type (BHI 72 h) caused mortality 12 hours after injection and the mortality continued till day 7th of culture. Whirling happened 96 hours after injection with ECP S. agalactiae β- haemolytic type (BHIA 72 h incubation) whereas injection with ECP (BHI 24 h) on 72 h after injection and continued untill day 7th . Behavior disease signs caused by S. agalactiae occured on eyes. There were opacity, purulens, eye shrink, lateral and bilateral exopthalmia and haemorrhage on infected-fish. Silver staining of sodium dodecyl sulphate-polyacrylamide gels to S. agalactiae revealed that predominant 51.8 – 69.6 kDa bands were present in BHIA ECP fraction. The 69.6 kDa was absent from the BHI ECP. Total protein on non-haemolytic S. agalactiae ECP are 28.18 ppm on BHIA medium and 13.64 ppm on BHI medium. Whereas β-haemolytic S. agalactiae ECP are 2.73 ppm on BHIA medium and 8.18 ppm on BHI medium. Concentration of protein in ECP was one of factor that caused non-haemolytic S. agalactiae more virulent than β-haemolytic type. The conclusion from the research that ECP was virulent factor on β-haemolytic and non-haemolytic S. agalactiae in fish which caused changes in behavior disease signs. Keywords : ECP, toxicity, Streptococcus agalactiae, Oreochromis niloticus
72
Pendahuluan Pengujian patogenisitas S. agalactiae tipe β-hemolitik dan non-hemolitik telah dilakukan pada penelitian sebelumnya dan diketahui bahwa tipe nonhemolitik lebih virulen dari tipe β-hemolitik, namun bagian dari S. agalactiae yang bersifat virulen tersebut belum diketahui. Menurut Evans et al. (2002), S. agalactiae tipe β-hemolitik menghasilkan toksin hemolisin (sebagai salah satu produk ekstrasellular) yang menyebabkan osmolaritas plasma darah lebih rendah sehingga menyebabkan eritrosit lisis, hal inilah yang diduga sebagai salah satu faktor virulensinya. Untuk memahami kemampuan S. agalactiae dapat menyebabkan sakit pada ikan maka perlu diketahui bagian dari S. agalactiae yang bersifat virulen. Kajian ECP (extracellular product/produk ekstrasellular) dilakukan untuk melihat kemampuan S. agalactiae menghasilkan eksotoksin serta melihat mekanisme infeksi pada ikan nila. Menurut Williams (2003) bagian yang bersifat virulen pada bakteri Gram positif adalah eksotoksinnya (ECP), sebaliknya dengan bakteri Gram negatif, LPS (endotoksin) bersifat lebih virulen. Penelitian ini meliputi isolasi ECP dan pengujian toksisitas total ECP masing-masing tipe bakteri terhadap ikan nila, dengan melihat perubahan pada tingkah laku ikan secara keseluruhan. Bahan dan Metode Ikan yang digunakan dalam percobaan ini berjumlah 15 ekor setiap akuarium, dimana setiap perlakuan diulang sebanyak tiga kali. Bakteri yang digunakan adalah dua isolat S. agalactiae yaitu β-hemolitik N 14 G (isolat 3) dan isolat non-hemolitik NK 1 (isolat 5). Persiapan ikan uji dan kedua tipe bakteri yang digunakan dalam uji toksisitas ECP ini dijabarkan dalam metodologi umum. Parameter yang diukur dan analisa data Dalam pelaksanaan penelitian toksisitas ECP S. agalactiae dilakukan pengukuran beberapa parameter yaitu perubahan pola renang, tingkah laku makan, perubahan anatomi organ luar dan organ dalam secara makroskopis, gambaran darah dan patologi klinik darah, pengamatan histopatologi serta
73
pengamatan kematian ikan. Cara kerja dan analisa data setiap parameter dijabarkan dalam metodologi umum. Isolasi produk ekstrasellular (ECP) Isolasi ECP S. agalactiae mengikuti prosedur Suprapto et al. (1995) dengan berbagai modifikasi. Bakteri dikultur dalam media cair BHI dan media padat BHIA. Kultur bakteri diinkubasi selama 24, 48, 72 dan 96 jam pada suhu 28-30 oC. Bakteri yang tumbuh pada media BHI dan media BHIA (terlebih dahulu ditambahkan PBS sebanyak 5 ml) kemudian dipanen. Slurry berupa suspensi bakteri kemudian dilakukan sentrifugasi pada kecepatan 10000 g selama 30 menit pada suhu 4 oC. Supernatan yang dihasilkan disaring dengan filter paper 0.2 µm dan selanjutnya hasil filtrasi digunakan untuk pengujian toksisitas ECP terhadap ikan nila. Pengujian toksisitas total ECP terhadap ikan nila Pengujian ini dilakukan untuk membuktikan adanya kandungan toksin dalam ECP S. agalactiae yang menyebabkan perubahan gejala klinis dan kematian ikan nila. Selain itu, diketahui biakan bakteri pada media dan lama kultur yang menghasilkan ECP yang bersifat toksik terhadap ikan. Untuk pengujian toksisitas ECP, digunakan semua ECP yang berasal dari hasil isolasi sebelumnya dan dinjeksikan secara IP pada 15 ekor ikan, sebanyak 0.1 ml/ekor. Ikan dipelihara selama 7 hari dan dilakukan pengamatan kematian ikan, perubahan pola renang dan patologi anatomi organ luar pada jam ke-1, 3, 6, 12, 24, 48,72, 96 hingga hari ke-7. Perubahan nafsu makan diamati setiap 24 jam hingga hari ke-7 pasca injeksi, sedangkan perubahan gambaran darah dan histopatologi diamati pada hari ke- 1, 4 dan 7 pasca injeksi. Untuk memudahkan dalam penulisan, maka dilakukan pengkodean berdasarkan jenis bakteri, media tumbuh dan lama inkubasi ECP yang dihasilkan. Pengkodean ini digunakan dalam keseluruhan data hasil pengamatan (Tabel 16).
74
Tabel 16 Pengujian toksisitas ECP Streptococcus agalactiae tipe β-hemolitik dan non-hemolitik Perlakuan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Tipe bakteri dan media tumbuh BHI β-hemolitik BHIA β-hemolitik BHIA β-hemolitik BHIA β-hemolitik BHIA β-hemolitik BHI β-hemolitik BHI β-hemolitik BHI β-hemolitik BHI non-hemolitik BHIA non-hemolitik BHIA non-hemolitik BHIA non-hemolitik BHIA non-hemolitik BHI non-hemolitik BHI non-hemolitik BHI non-hemolitik BHI
Lama inkubasi (jam)
Kode
24 48 72 96 24 48 72 96 24 48 72 96 24 48 72 96
Kontrol 3A24 3A48 3A72 3A96 3i24 3i48 3i72 3i96 5A24 5A48 5A72 5A96 5i24 5i48 5i72 5i96
Fraksinasi protein ECP melalui SDS-PAGE Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui fraksi dari protein ECP yang bersifat toksik pada ikan nila. Fraksinasi protein ini dilakukan melalui metode SDS-PAGE (Laemmli, 1970) dengan standar protein BM rendah, 10% gel pemisah dan 4% gel penahan (komposisi gel dilihat dalam Lampiran 7). Dalam penelitian ini digunakan ECP dari S. agalactiae tipe β-hemolitik dan nonhemolitik hasil pengujian toksisitas ECP yang menyebabkan kematian ikan terbanyak dan secara terus menerus pasca injeksi ECP yaitu ECP hasil isolasi dari S. agalactiae tipe β-hemolitik yang dikultur di media BHIA dan BHI dengan lama inkubasi berturut-turut 24 jam dan 72 jam, serta ECP hasil isolasi dari S. agalactiae tipe non-hemolitik yang dikultur di media BHIA dan BHI dengan lama inkubasi berturut-turut 96 jam dan 72 jam. Fraksinasi dilakukan melalui SDS-PAGE, gel dirunning dalam 600 ml buffer elektroforesis pH 8.3 mengandung 192 mM glisin + 0.1% SDS + 24.8 mM Tribase (Trishidroksiaminometan). Sebelum dimasukan ke dalam sumur, ECP dan marker + buffer sampel (rasio 1:1) dicampurkan, kemudian diinkubasi dalam air mendidih selama 1 menit. Buffer sampel mengandung 1 gram SDS, 2 ml gliserol 50%, 2 ml bromofenol biru 0.1%, 1.25 ml TrisCl 1 M pH 6.8 dan
75
ditambahkan akuades hingga volume menjadi 10 ml, volume marker dan ECP adalah 20 µl. Kondisi elektroforesis adalah 100 mA, 100 volt selama 90–120 menit. Deteksi pita menggunakan metode Silver Staining. Pewarnaan dengan metoda Silver Staining dengan cara gel difiksasi dengan larutan (25% methanol, 12% Asam asetat) selama 1 jam, kemudian direndam dalam etanol 50%, selama 20 menit. Setelah itu direndam kembali dalam etanol 30%, selama 20 menit sebanyak 2 kali. Selanjutnya dienhancer (0.1 gram Na 2 S 2 O 3 5H 2 O) dalam 500 ml akuades selama 1 menit, dicuci dengan akuades 20 detik, diulang 3 kali. Kemudian dicelupkan ke dalam larutan silver nitrat (0.4 g AgNO 3 dicampurkan dengan 70 µm formaldehid dalam 200 ml akuades) selama 30 menit. Langkah berikutnya adalah dibilas dengan akuades sebanyak 2 kali selama 20 detik dan dicelupkan ke dalam larutan (15 g Na 2 CO 3 + 120 µl formaldehid). Maka akan terlihat band hitam, saat itulah reaksi dengan larutan fiksasi dihentikan. Hasil elektroforesis kemudian dianalisis untuk mengetahui berat molekul masing-masing fraksi protein dengan cara setiap band yang terbentuk dibandingkan dengan protein marker. Pengukuran kadar protein Penentuan
kadar
protein
hasil
elektroforesis
dilakukan
dengan
Spektrofotometer pada 595 nm. Sebagai blanko digunakan Bovine Serum Albumin (BSA). Sebanyak 100 mg Coomassie Brilliant Blue G-250 dilarutikan ke dalam 50 ml etanol 95%.
Kemudian ditambahkan 100 ml asam fosfat 85%
(w/v) dan diencerkan dengan akuades sampai 1 liter. Selanjutnya larutan disaring dengan kertas saring. Konsentrasi akhir dari setiap pereaksi adalah 0.01% (w/v) Coomassie Brilliant Blue G-250, 4.7% (w/v) etanol, 8.5% (w/v) asam fosfat. Larutan ini akan stabil untuk jangka waktu beberapa bulan, tergantung pada kondisi penyimpanan. Larutan standar harus dibuat segar akan stabil hanya 1 minggu jika disimpan dalam lemari pendingin.
Sebagai standar digunakan
Bovine Serum Albumin (BSA) fraksi V, sebanyak 100 mg BSA ditimbang dan dicampur dengan 50 ml akuades atau 0.1 M NaCl. Kemudian didiamkan agar larut dengan sendirinya, pengkocokkan dilakukan secara perlahan untuk
76
menghindari terbentuknya busa. Setelah larut semuanya, dilanjutkan dengan menambahkan akuades sampai 50 ml. Larutan protein diambil masing-masing sebanyak 0.1 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang bersih dan terpisah. Pemberian tanda pada setiap tabung reaksi dilakukan untuk memudahkan pekerjaan. Sebanyak 0.1 ml akuades diambil dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi sebagai blanko (3 blanko). Langkah ini juga dilakukan untuk sampel ECP. Selanjutnya Coomassie Blue ditambahkan ke dalam setiap tabung reaksi, lalu dikocok.
Setelah 2 menit,
absorbans larutan dapat diukur pada 595 nm, semua pengukuran diusahakan sebelum satu jam.
Untuk meng-nol-kan alat gunakan akuades.
Semua data
pengukuran dikurangi rata-rata blanko, terakhir kurva standar protein dibuat dengan absorbans terkoreksi sebagai ordinat (Y) dan jumlah protein sebagai absis (X), dan konsentrasi sampel yang diberikan dapat ditentukan. Hasil dan Pembahasan 1 Perubahan pola renang Umumnya perubahan pola renang yang terjadi hampir sama dengan pola renang saat diinjeksi dengan bakteri sel utuh (Tabel 17). Penginjeksian ECP S. agalactiae tipe β-hemolitik menyebabkan perubahan berenang abnormal (miring) pada jam ke-96 pasca injeksi (BHIA 72 jam), dan berlanjut whirling pada hari ke7. Ikan berenang whirling ditunjukkan pada ikan nila yang diinjeksi dengan ECP (BHI 24 jam) bakteri tipe non-hemolitik pada jam ke-72 pasca injeksi. Umumnya gejala yang ditunjukkan hampir sama dan seragam baik pada bakteri tipe βhemolitik maupun bakteri tipe non-hemolitik yang ditumbuhkan di media cair dan media padat. Tabel 17 Perubahan pola renang ikan nila pada uji toksisitas ECP Streptococcus agalactiae tipe β-hemolitik dan non-hemolitik Perubahan pola renang (jam ke) Berenang lemah Gasping Berenang lemah
Tipe β-hemolitik 3A 24 72 24 -
48 72 144 -
Tipe non-hemolitik 3i
72 48 168 168
96 12 -
24 48 -
48 144 6 -
72 48 96 168
5A 96 72 168 -
24 24 168
48 48 144
5i 72 48 168
96 12 48 -
24 48 96 72
48 48 6 -
72 72 168
96 24 -
77
2 Tingkah laku makan Perubahan tingkah laku makan terjadi hampir pada seluruh ikan yang diinjeksi dengan ECP. Ikan berkurang nafsu makannya sejak 24 jam pertama pasca injeksi, bahkan ikan mulai tidak mau makan setelahnya. Hal ini disebabkan oleh ECP yang masuk dalam otak ikan bagian diencephalon yang terdapat hipotalamus sehingga mengganggu keseimbangan rasa lapar ikan (Rahardjo, 1985). Sama halnya dengan penginjeksian dengan bakteri utuh yang menyebabkan ikan berkurang nafsu makannya bahkan tidak mau makan pasca injeksi. 3 Perubahan anatomi organ luar dan organ dalam secara makroskopis Pada pengujian toksisitas ECP S. agalactiae tampak adanya perubahan pada patologi anatomi ikan nila. Perubahan yang tampak pada anatomi organ luar antara bakteri tipe β dan non-hemolitik tidak jauh berbeda (Tabel 18). Tabel 18 Patologi anatomi makroskopis organ luar ikan nila pasca diinjeksi ECP Streptococcus agalactiae tipe β-hemolitik dan non-hemolitik Perubahan Tipe β-hemolitik patologi 3A 3i anatomi 24 48 72 96 24 48 72 (jam ke) Tubuh 48 72 48 48 72 48 menghitam Clear operculum 168 72 72 Mata mengkerut 72 48 72 Lateral 48 48 72 48 72 96 72 eksoptalmia Bilateral 72 96 168 144 96 eksoptalmia Opacity 72 72 96 144 144 Purulens 96 96 96 72 Ulcer di kepala 144 96 96 “C” shape 96 Keterangan pengkodean merujuk pada Tabel 16.
Tipe non-hemolitik 5i
5A 96
24
48
72
96
24
48
72
96
72
24
48
72
48
48
96
72
96
-
144 72
96 -
72 72
72
72 -
-
-
144 -
72
96
72
48
-
48
72
72
-
-
168
-
-
-
-
96
-
96
144 -
72 -
96 72 96 -
144 144 -
48 144 -
96 -
72 96 -
96 -
96 72 -
Secara makroskopis, organ mata tampak mengalami eksoptalmia yang terjadi pada jam ke-48 (2 hari pasca injeksi), lebih cepat dibandingkan dengan injeksi sel utuh dimana eksoptalmia baru terjadi pada jam ke-120 (hari ke 5) pasca injeksi pada bakteri tipe β-hemolitik. Sama halnya dengan bakteri tipe nonhemolitik yang mulai tampak eksoptalmia pada jam ke-48. Tidak seperti saat penyuntikan dengan sel utuh S. agalactiae (tipe non-hemolitik lebih patogen
78
dilihat dari perubahan pada anatomi dan kematian yang lebih cepat dari tipe βhemolitik). Penyuntikan ECP yang berasal dari media padat (BHIA) tampak lebih cepat menyebabkan perubahan anatomi organ luar secara makroskopis dibandingkan dengan media cair (BHI). Ini disebabkan karena media padat lebih mendukung pertumbuhan bakteri dalam memproduksi ECP. Sama halnya dengan penginjeksian dengan ECP bakteri Edwardsiella tarda, kematian hanya timbul pada ikan Japanese eel dan flounder yang diinjeksi dengan ECP dari media padat (NA, TSA dan BHIA) dan tidak ada kematian pada saat diinjeksi dengan ECP dari media cair (NB, TSB, BHIB) (Suprapto, 1995). Ulcer pada kepala ikan nila banyak ditemukan pada penginjeksian dengan ECP S. agalactiae, tidak dengan halnya saat ikan nila diinjeksi dengan bakteri sel utuh, ulcer hanya tampak pada ikan yang diinjeksi dengan bakteri tipe nonhemolitik pada hari ke-8 pasca injeksi. Ulcer terjadi pada ikan yang diinjeksi ECP kedua tipe bakteri di kedua media tumbuh. Ini menandakan bahwa penginjeksian dengan ECP menyebabkan kerusakan sel lebih cepat dibandingkan dengan penginjeksian sel utuh S. agalactiae. Hal ini disebabkan karena ECP langsung beredar ke seluruh tubuh dan mempengaruhi kerja dan metabolisme sel lebih cepat dibandingkan dengan bakteri sel utuh yang harus berkembang dan berada dalam sel yang rusak untuk memproduksi dan mengeluarkan eksotoksinnya (Williams, 2003). Beberapa perubahan pada mata ikan nila yang diinjeksi dengan ECP S. agalactiae selama pengamatan terlihat pada Gambar 26. Eksoptalmia yang terjadi pada ikan tampak berbeda (Gambar 26 no 9-12), terkadang disertai dengan kekeruhan pada mata (opacity). Purulens terjadi dalam beberapa tahapan hingga akhirnya mata menjadi sangat putih dan kornea mata menjadi tidak tampak. Purulens hampir selalu muncul pada keseluruhan ikan yang diinjeksi dengan ECP S. agalactiae kedua tipe. Menurut Evans (2004) gejala yang muncul pada mata ikan yang terinfeksi S. agalactiae adalah opacity dan purulens, namun dapat juga menyebabkan mata lisis. Eksotoksin (ECP) S. agalactiae menyebar pada mata yang menyebabkan adanya hipertropi, inilah yang menyebabkan ikan mengalami eksoptalmia dan perubahan lainnya. Hal ini
79
menandakan bahwa ECP S. agalactiae sebagai penyebab timbulnya perubahan pada mata.
Gambar 26 Beberapa perubahan pada mata ikan nila pasca injeksi dengan ECP Streptococcus agalactiae. 1 & 2: pengerutan mata; 3-9: opacity (kekeruhan mata); 10–12: eksoptalmia dan 13-16: purulens (mata putih) 3 Gambaran darah ikan nila Sama halnya dengan kematian ikan nila yang diinjeksi dengan ECP terjadi lebih cepat dibandingkan dengan saat diinjeksi dengan sel utuh,
perubahan
gambaran darah juga terjadi relatif lebih cepat. Perbedaan gambaran darah ikan yang diinjeksi dengan ECP kedua tipe S. agalactiae yang ditumbuhkan pada media BHI dan BHIA dengan lama inkubasi yang berbeda dijabarkan dalam Tabel 19. Sedangkan data pengamatan gambaran darah dan patologi klinik darah ikan nila pasca diinjeksi dengan ECP S. agalactiae kedua tipe dijabarkan pada Lampiran 6.
80
Tabel 19 Gambaran darah dan patologi klinik darah ikan nila yang diinjeksi ECP S. agalactiae tipe β-hemolitik dan non-hemolitik pada jam ke-168 pasca injeksi TL TE He Hb Glukosa Parameter (105sel/mm3) (105sel/mm3) (%) (g%) (mg/100m) Kode Non-hemolitik 5i24 1.6±0.01 27±1.0 43.6±4.5 6.8±0.0 81±2.0 5i 48 1.8±0.003 23±2.1 26.9±3.8 6.5±0.1 78±0.4 5i 72 1.9±0.01 26±2.5 25.2±4.3 6.5±0.1 65.9±1.2 5i 96 1.8±0.005 23±2.6 27.3±4.9 6.5±0.1 61.8±2.8 5A24 1.9±0.003 25±2.1 33.6±4.2 6.3±0.1 128.0±2.6 5A 48 1.8±0.003 24±1.0 32.5±4.6 8.9±0.1 110.9±5.3 5A 72 1.6±0.007 26±1.5 33.2±4.6 8.9±0.1 157.6±11.5 5A 96 1.6±0.008 30±1.0 35.2±4.2 7.0±0.1 161.7±14.5 β-hemolitik 3i24 1.5±0.002 23±0.6 37.1±4.5 7.0±0.6 40.5±14.4 3i 48 1.6±0.008 27±0.0 29.2±4.2 6.0±0.0 30.9±4.2 3i 72 1.7±0.004 25±2.1 33.5±4.3 7.5±0.0 26.2±4.1 3i 96 1.8±0.003 24±1.0 45.6±4.8 7.5±0.0 36.8±3.2 3A24 1.9±0.002 28±0.6 22.3±4.3 8.4±0.3 102.6±0.7 3A48 1.9±0.005 22±0.6 26.1±3.3 6.5±0.3 115.9±15.9 3A72 1.8±0.01 22±0.6 35.9±4.6 8.9±0.1 115.4±5.3 3A96 1.6±0.003 19±0.6 33.3±3.9 6.2±0.1 123.0±8.4 Kontrol 1.3±0.005 37±0.6 35.1±3.8 9.0±0.0 114.9±5.5 Ket. : TL= Total leukosit, TE=Total eritrosit, He=Hematokrit, Hb=Hemoglobin Keterangan pengkodean merujuk pada Tabel 16.
Total leukosit Total leukosit cenderung mengalami peningkatan pada 24 jam awal dan mengalami penurunan pada jam ke-96 pasca injeksi. Sama halnya dengan infeksi sel utuh, ECP bakteri juga menyebabkan perubahan total leukosit. Saat adanya infeksi, leukosit sebagai penjaga pertama berperan untuk menghalau sehingga ditemukan adanya total leukosit yang lebih banyak pada areal infeksi. Secara alamiah pada ikan yang terinfeksi patogen akan ditemukan jumlah leukosit yang lebih banyak dari kondisi normal, karena salah satu antisipasi tubuh untuk mencegah perkembangan bakteri dalam tubuh dengan mengirimkan darah lebih banyak ke daerah infeksi. Hasil uji statistik, hanya ikan yang diinjeksi dengan ECP bakteri tipe non hemolitik, lama inkubasi 24 jam (5i24) yang tidak berbeda nyata dengan kontrol (ikan yang tidak diinjeksi dengan S. agalactiae). Artinya, ECP S. agalactiae umumnya menyebabkan perubahan pada total leukosit ikan nila secara nyata semenjak jam ke-24.
81
Differensial leukosit Diferensial leukosit diamati selama pengujian toksisitas ECP untuk mengetahui perubahan pada leukosit akibat toksin ECP S. agalactiae. Limfosit ikan yang disuntik dengan ECP S. agalactiae mengalami peningkatan dan berbeda nyata (p<0.05) pada jam ke-24 pasca injeksi (kecuali ikan yang disuntik dengan ECP dari bakteri tipe non-hemolitik yang ditumbuhkan pada media BHI dengan lama inkubasi 24 jam). Hal ini disebabkan karena toksin ECP bakteri menstimulir produksi limfosit. Jumlah monosit ikan yang disuntik dengan ECP S. agalactiae lebih tinggi namun tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan kontrol tidak seperti saat ikan diinjeksi dengan sel utuh bakteri S. agalactiae. Namun peningkatan terjadi pada sel neutrofil pada jam ke-24 dan jam ke-96 jam pasca injeksi ECP S. agalactiae dan pada akhir penelitian (168 jam) neutrofil dan monosit ditemukan lebih rendah dari kontrol. Jumlah granulosit mengalami penurunan karena adanya pendarahan pada organ ikan (ginjal dan mata) yang disebabkan oleh granulosit yang keluar dari pembuluh darah dan berada di tempat radang dan jaringan yang rusak untuk mengfagosit antigen yang masuk. Baik granulosit maupun mononuklear dapat menelan bakteri namun makrofag lebih aktif. Makrofag berada di dalam jaringan sebagai pelindung tubuh, juga pemakan bakteri dan sisa (debris), sedangkan monosit berada di dalam darah. Bakteri setelah dicerna diubah menjadi bentuk terlarut sehingga dapat dimanfaatkan tubuh, dibuang sebagai hasil limbah atau untuk merangsang respon imun. Jadi pertahanan non spesifik pada ikan fungsinya selain untuk mencegah infeksi, membatasi penularan, juga menyingkirkan jaringan yang rusak. Total Eritrosit Sejalan dengan kadar hemoglobin yang menurun, total eritrosit juga terjadi penurunan 96 jam pasca injeksi. Penurunan yaang berbeda nyata dengan kontrol terjadi pada ikan nila yang diinjeksi dengan ECP yang dihasilkan oleh bakteri βhemolitik dan non hemolitik.
Kerja toksin hemolisin (dihasilkan bakteri β-
hemolitik) menyebabkan sel eritrosit berada dalam cairan yang osmolaritasnya
82
lebih rendah mengalami lisis (Dellmann, 1989) sehingga ditemukan jumlah lebih rendah pada 168 jam pasca injeksi. 4 Patologi klinik darah Hematokrit Kadar hematokrit ikan nila yang diinjeksi dengan ECP dari isolat nonhemolitik dan bakteri β-hemolitik mengalami perubahan peningkatan mulai terjadi pada jam ke-96 dan menurun pada jam ke-168. Keberadaan ECP menyebabkan stress pada ikan yang ditandai adanya peningkatan hematokrit. Ini menandakan bahwa keberadaan ECP ini cepat menyebabkan perubahan pada kondisi ikan. Dari hasil uji statistik, semua ikan yang diinjeksi dengan ECP berbeda nyata (96 jam) dengan kontrol (ikan yang tidak diinjeksi dengan bakteri S. agalactiae) (p<0.05). Artinya, keberadaan ECP S. agalactiae umumnya menyebabkan perubahan pada hematokrit ikan nila secara nyata. Hemoglobin Penurunan kadar hemoglobin terjadi sangat berbeda nyata dengan kontrol pada 96 jam pasca injeksi di hampir semua ikan yang diinjeksi dengan semua jenis ECP baik yang dihasilkan pada media padat maupun media cair dengan lama inkubasi yang berbeda. Namun penurunan kadar hemoglobin terjadi pada ikan yang diinjeksi dengan ECP di kedua media yang diinkubasi selama > 48 jam. Ini menandakan bahwa benar toksin hemolisin pada bakteri β-hemolitik dan ECP bakteri non-hemolitik menyebabkan perubahan pada hemoglobin ikan. Kadar Hb berkaitan dengan keseimbangan osmolaritas plasma darah. Adanya S. agalactiae yang diduga mengandung toksin hemolisin mempengaruhi kestabilan Hb. Hemolisin ini menyebabkan osmolaritas plasma darah lebih rendah sehingga menyebabkan eritrosit lisis, hal inilah yang diduga sebagai faktor virulensi pada S. agalactiae. Rendahnya kadar Hb menyebabkan laju metabolisme menurun dan energi yang dihasilkan menjadi rendah. Hal ini membuat ikan menjadi lemah dan tidak memiliki nafsu makan serta terlihat diam di dasar atau berenang lemah. Uji statistik, semua perlakuan berbeda nyata nilai dengan kontrol (ikan yang tidak diinjeksi dengan S. agalactiae) (p<0.05). Artinya, keberadaan
83
ECP S. agalactiae umumnya menyebabkan perubahan pada hemoglobin ikan nila secara nyata semenjak jam ke-24 pasca injeksi ECP. Glukosa darah Glukosa sebagai salah satu parameter yang menunjukkan kondisi stress pada ikan terlihat mengalami peningkatan pada ikan yang diinjeksi dengan ECP bakteri non-hemolitik yang ditumbuhkan pada media BHIA dan berbeda nyata dengan kontrol pada jam ke-168.
Ini menandakan bahwa ikan mengalami
gangguan keseimbangan dalam tubuhnya atau dapat dikatakan ikan menjadi stress. Penginjeksian dengan ECP dari media BHI menyebabkan pada glukosa darah lebih rendah. Data ini digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk memilih ECP yang akan digunakan sebagai vaksin pada uji selanjutnya.
Dari keseluruhan data
ditetapkan bahwa vaksin yang akan digunakan adalah bakteri yang ditumbuhkan pada media BHI dengan lama inkubasi 72 jam karena protein yang dikandung pada ECP yang dihasilkan sudah sesuai dengan protein target yang mampu menstimulus kerja sistem imun ikan (Pasnik et al., 2005). Selain itu juga, stress atau dampak negatif yang ditimbulkan terhadap ikan mampu diminimalisir sehingga diharapkan ikan yang di vaksin mampu melawan adanya infeksi bakteri S. agalactiae kedua tipe. Peningkatan glukosa yang berbeda nyata dengan kontrol terjadi pada ikan yang diinjeksi dengan ECP S. agalactiae tipe non-hemolitik pada jam ke-96 pasca injeksi. Penurunan glukosa yang berbeda nyata dengan kontrol terjadi pada ikan yang diinjeksi dengan ECP S. agalactiae tipe β-hemolitik pada jam ke-96 pasca injeksi. Peningkatan glukosa terjadi karena adanya infeksi bakteri/toksin pada bagian otak (hipotalamus) yang mengganggu kerja syaraf sympathetic yang berhubungan
dengan
ginjal
depan
(cromaffin
cell)
untuk
membentuk
catecholamines. Catecholamins ini salah satunya menyebabkan glukosa plasma meningkat. (Andersen et al, 1991 dalam Evans et al, 2004) 6 Kematian ikan nila Pengujian toksisitas ECP ini dilakukan untuk mengetahui apakah ECP S. agalactiae sebagai penyebab kelainan bahkan kematian pada ikan. Dari hasil
84
pengamatan selama 7 hari diketahui kematian yang muncul lebih cepat dibandingkan dengan infeksi sel utuh. Kematian ikan yang diinjeksi ECP S. agalactiae tipe non-hemolitik (BHIA 24 jam dan BHI 24 jam) dan β-hemolitik (BHI 72 jam) mulai terjadi 12 jam pasca injeksi dan kematian terus terjadi hingga hari ke-7 pemeliharaan (Gambar 27). 180 160
Kematian Kumulatif
140 120 100 80 60 40 20 0 3
6
12
24
48 72 96 Jam Pengamatan
120
144
168
5i96 5i72 5i48 5i24 5A96 5A72 5A48 5A24 3i96 3i72 3i48 3i24 3A96 3A72 3A48 3A24 kontrol
Gambar 27 Grafik kematian kumulatif ikan nila yang diinjeksi dengan ECP Streptococcus agalactiae. Keterangan pengkodean merujuk pada Tabel 16. Baik bakteri tipe β dan non-hemolitik menyebabkan kematian ikan nila yang diinjeksi. Artinya ECP dari kedua tipe bakteri yang ditumbuhkan pada media padat dan cair bersifat toksik terhadap ikan. Kematian yang terjadi secara cepat dan banyak dalam waktu 12 jam kemungkinan disebabkan karena adanya beberapa enzim seperti hemolisin, lipase, elastase, gelatinase, chitinase dalam bakteri (Austin dan Austin, 2007). Pola ini juga terjadi pada saat penyuntikan dengan ECP Vibrio anguillarum pada ikan rainbow trout (Onchorhynchus mykiss) dapat mematikan ikan secara cepat (Lamas et al., 1994). Hasil pengukuran MTD atau rerata waktu kematian (Tabel 20) ikan uji akibat injeksi ECP pada setiap pengujian diketahui bahwa waktu kematian ikan nila akibat ECP dari S. agalactiae tipe β-hemolitik relatif lebih cepat yaitu 20–48
85
jam dibandingkan dengan ECP dari tipe non-hemolitik yaitu 25-48 jam. Rata-rata kematian sangat cepat ini menunjukkan bahwa memang ECP merupakan salah satu faktor virulensi dari S. agalactiae yang menyebabkan kematian pada ikan nila. Kelima isolat S. agalactiae menyebabkan kematian yang berbeda pada ikan nila. Tabel 20 Mean Time Death (MTD) ikan nila yang diinjeksi dengan ECP Streptococcus agalactiae tipe β-hemolitik dan non-hemolitik Jenis ECP
MTD (jam)
3A24 3A48 3A72 3A96 3i24 3i48 3i72 3i96
34 19.9 31.5 25.5 35.1 40 25.2 48
5A24 36.9 5A48 33.9 5A72 34.2 5A96 28.4 5i24 25.4 5i48 40 5i72 48 5i96 27.2 Keterangan pengkodean merujuk pada Tabel 16.
7
Toksisitas ECP S. agalactiae terhadap histopatologi organ mata, otak dan ginjal ikan nila Perubahan histologi dalam jaringan ikan dapat digunakan sebagai salah
satu indikator untuk mengevaluasi dampak stress pada ikan yang perubahannya dapat dilihat dalam jangka waktu yang lama (Adams, 1990). Untuk melihat virulensi dari ECP S. agalactiae dilakukan pengamatan pada jaringan organ target yaitu mata, otak dan ginjal ikan. Dari hasil pengamatan perubahan mulai tampak pada jam ke-96 hingga jam ke-168 pasca injeksi ECP dan perubahan hampir ditemukan di seluruh perlakuan.
86
Organ Mata Perubahan pada mata ikan nila yang diinjeksi dengan ECP S. agalactiae secara makroskopis tampak adanya beberapa perubahan yaitu: pengerutan retina mata; opacity (kekeruhan mata); eksoptalmia dan purulens (mata putih). Secara histologi (mikroskopis) perubahan tampak seperti pada Gambar 28.
Gambar 28
Histopatologi mata ikan nila yang diinjeksi ECP Streptococcus agalactiae. A. mata ikan normal 1 bar =500 µm, B. bagian choroid mata ikan yang diinjeksi ECP mengalami hiperplasi (tanda panah) 1bar = 100 µm
Hiperplasi, terjadi pada bagian choroid yaitu adanya penambahan jumlah sel dalam jaringan. Hiperemi ini tampak pada ikan yang mengalami eksoptalmia baik lateral maupun bilateral.
Selaras saat penginjeksian dengan sel utuh S.
agalactiae, eksotoksin (salah satunya hemolisin) langsung menyebar melalui darah dan merusak bagian choroid mata sehingga menyebabkan mata mengalami perubahan-perubahan
tersebut.
Adanya
hiperplasi
pada
bagian
choroid
menyebabkan ikan mengalami eksoptalmia yang tampak secara makroskopis pada mata ikan. Organ Otak Perubahan yang tampak akibat penginjeksian dengan ECP S. agalactiae terhadap otak ikan adalah munculnya nekrosa dan juga hiperemi yaitu pembesaran jaringan karena adanya peningkatan jumlah sel (Gambar 29). Kerusakan yang tampak seperti hiperemi, degenerasi dan nekrosa ditemukan pada ikan yang mengalami abnormalitas dalam berenang (berenang miring bahkan whirling) pasca diinjeksi dengan ECP kedua tipe S. agalactiae. Sama halnya dengan infeksi
87
sel utuh S. agalactiae yang ditemukan adanya nekrosa dan hiperemi pada otak ikan, ECP pun menyebabkan kerusakan yang sama pada otak ikan.
Gambar 29
Histopatologi otak ikan nila yang diinjeksi ECP Streptococcus agalactiae A. Bagian cerebellum otak ikan normal 1 bar =500 µm, B. Bagian cerebellum dan C otak bagian belakang (myelencephalon) 1bar = 200 µm, D.otak bagian belakang, Hp. Hiperemi, n. degenerasi dan nekrosa 1 bar = 50 µm.
Kerusakan jaringan otak yang disebabkan ECP S. agalactiae terjadi lebih cepat karena toksin cepat menyebar melalui darah menuju ke otak dan seluruh tubuh. Perubahan pola renang (whirling) ditemukan pada hampir seluruh ikan yang diinjeksi dengan semua jenis ECP. Kerusakan otak (degenerasi dan nekrosa) sudah terjadi sejak hari ke-3 (72 jam) pasca injeksi dan makin parah setelah 7 hari penginjeksian. Hal ini menguatkan dugaan bahwa ECP merupakan faktor virulen dari S. agalactiae pada ikan nila. Organ Ginjal Ginjal ikan nila yang diinjeksi dengan ECP S. agalactiae menunjukkan adanya perubahan yang hampir sama dengan saat diinjeksi dengan sel utuh yaitu adanya kerusakan struktural seperti hipertropi dan nekrosa (Gambar 30).
88
cg
Gambar 30
n
Histopatologi ginjal ikan nila yang diinjeksi ECP Streptococcus agalactiae A. ginjal ikan normal 1 bar =100 µm, B ginjal mengalami nekrosa dan hiperplasi, cg. kongesti. I bar = 100 µm. C. degenerasi yang diikuti dengan pendarahan (tanda panah) 1bar = 200 µm, D. h. Hipertropi, cg. kongesti
Hipertropi disebabkan karena S. agalactiae masuk ke dalam ginjal melalui aliran darah dan menginfeksi tubulus ginjal. Infeksi S. agalactiae juga mempengaruhi metabolisme dan proses-proses enzimatis dalam sel, yang dapat menyebabkan terjadinya degenerasi dan nekrosa pada tubulus. Filho et al. (2009) 8 Fraksinasi protein ECP Untuk masuk ketahap selanjutnya yaitu vaksinasi, dipilih ECP dari S. agalactiae yang mampu merespon peningkatan sistem imun terbaik dan juga dilihat ECP yang paling toksik pada ikan nila dengan mengamati kematian secara terus menerus. Pengujian fraksinasi ECP dilakukan dengan menggunakan SDSPAGE untuk mengetahui protein yang terkandung dalam ECP dan untuk mengetahui jumlah atau banyaknya protein yang dikandung menggunakan elektroforesis.
Hasil fraksinasi protein melalui SDS-PAGE diperoleh protein
dengan berbagai berat molekul (Gambar 31).
89
97000 Da 66000 Da 45000 Da 30000 Da 20100 Da
14400 Da
Gambar 31
Hasil elektroforesis ECP melalui SDS PAGE dengan pewarnaan silver stain. Marker : BS. Keterangan pengkodean merujuk pada Tabel 16.
Hasil ECP S. agalactiae yang ditumbuhkan pada media dan lama waktu inkubasi yang berbeda memiliki pita protein yang hampir sama.
Produk
ekstrasellular yang dihasilkan S. agalactiae tipe β-hemolitik yang ditumbuhkan pada media BHIA selama 24 jam memiliki 3 pita protein dan yang ditumbuhkan pada media BHI selama 72 jam memiliki 2 pita protein. Sedangkan ECP yang dihasilkan S. agalactiae tipe non-hemolitik yang ditumbuhkan pada media BHIA selama 96 jam memiliki 17 pita protein dan yang ditumbuhkan pada media BHI selama 72 jam memiliki 3 pita protein. Untuk mengetahui berat molekul protein yang terdapat di dalam ECP S. agalactiae kedua tipe bakteri, dilakukan perhitungan pergerakan relatif (Rf) masing-masing protein (Tabel 21), dengan bantuan kurva baku protein standart dan nilai Rf diperoleh persamaan Y = -0.909X + 5.033 (Gambar 32). Tabel 21 Hubungan berat molekul protein standar dengan migrasi relatif (Rm) Protein standar Phosphorylase Albumin Ovalbumin Carbonic anhydrase Trypsin inhibitor α- Lactalbumin
BM 97000 66000 45000 30000 20100 14400
Log BM 4.98677 4.81954 4.65321 4.47712 4.3932 4.15836
Run 5.7 5.7 5.7 5.7 5.7 5.7
Band 0.6 1.3 2.2 3.2 4.6 5.7
Rf 0.105263 0.22807 0.385965 0.561404 0.807018 1
90
Kurva standar LMW y = -0,909x + 5,033 R² = 0,983
6 Log BM
5 4 3 2 1 0 0,000
0,200
0,400
0,600 Rf
0,800
1,000
1,200
Gambar 32 Regresi antara berat molekul protein standar dengan migrasi relatif (Rm) Perkiraan BM protein pada ECP S. agalactiae berkisar antara 19.2-100.4 kDa, dengan rata-rata BM protein pada sampel ECP adalah 51.8-65.8 kDa. Bakteri S. agalactiae mengandung protein dengan berat molekul 51.8, 55.8 dan 62.3 kDa pada ECP yang dihasilkan di media BHI dan protein dengan berat molekul berkisar 51.8–69.6 kDa pada media BHIA (Tabel 22). Tabel 22 Berat molekul protein pada ECP Streptococcus agalactiae (kDa) ECP S. agalactiae 5A.96 3i.72 • 100.4 • 43.1 • 62.3 • 93.3 • 40.1 • 55.8 • 83.6 • 35.9 • 77.7 • 32.2 • 69.6 • 29.9 • 62.3 • 24.9 • 55.8 • 20.7 • 51.8 • 19.2 • 48.2 Keterangan pengkodean merujuk pada Tabel 16. 3A.24 • 65.8 • 60.1 • 55.8
5i.72 • 62.3 • 55.8 • 51.8
Menurut Pasnik et al. (2005) kandungan protein pada ECP S. agalactiae yang digunakan sebagai vaksin pada ikan berkisar antara 47-75 kDa dan yang lebih dominan adalah protein 54 dan 55 kDa. Sehingga dari hasil fraksinasi dipilih ECP dari kedua tipe bakteri yang ditumbuhkan pada media BHI dengan lama inkubasi > 48 jam. Penentuan kadar protein hasil elektroelusi yang dibaca berdasarkan standar protein BSA (Bovine Serum Albumin) seperti disajikan pada Tabel 23. Tabel 23 Konsentrasi protein dalam ECP Streptococcus agalactiae Sampel bakteri 3A.24 5A.96 Konsentrasi protein 2.73 28.18 (ppm) Keterangan pengkodean merujuk pada Tabel 16.
3i.72
5i.72
8.18
13.64
91
Dengan melihat ketebalan band ini diduga bahwa band yang tebal memiliki peranan yang penting dalam aspek patogenisitas ikan yang diinjeksi dengan ECP. Sebagai sumbu X adalah variable kadar BSA dan sumbu Y adalah hasil bacaan Optical Density (OD), diperoleh persamaan Y = 0.001X + 0.008. Persamaan tersebut digunakan untuk menghitung kadar protein hasil elektroelusi. Konsentrasi protein dalam ECP bakteri non-hemolitik (28.18 ppm pada media BHIA dan 13.64 ppm pada media BHI) lebih banyak di bandingkan dengan bakteri β-hemolitik (2.73 ppm pada media BHIA dan 8.18 ppm pada media BHI). Konsentrasi protein dalam ECP menjadi salah satu faktor yang menyebabkan patogenisitas bakteri non-hemolitik lebih tinggi. Kematian ikan akibat infeksi bakteri merupakan fenomena yang menarik. Beberapa kajian menunjukkan bahwa ECP diduga menjadi salah satu faktor virulensi bakteri dan dapat menyebabkan timbulnya penyakit atau kematian ikan. Produk ekstrasellular sebagai penyebab perubahan gejala kinis dan kematian yang diproduksi oleh bakteri telah dikaji oleh beberapa peneliti terdahulu. Diantaranya adalah ECP yang dihasilkan oleh Aeromonas hydrophila (Kawahara dan Nomura, 1990), Edwardsiella tarda (Suprapto et al., 1995, Flavobacterium sp. (Ototake dan Wakabayashi, 1985), Mycobacterium sp. (Chen et al., 1997), Vibrio anguillarum (Lamas et al., 1994; Murdjani, 2002). Dari hasil keseluruhan uji coba ternyata ECP bakteri bersifat toksik bagi ikan dan dapat dimanfaatkan sebagai vaksin. Menurut Subowo (1993) penggunaan komponen vaksin yang dimurnikan seperti eksotoksin yang dihasilkan sudah banyak digunakan sebagai imunogen. Namun sebaiknya sebelum digunakan perlu ditawarkan sifat toksiknya dengan cara menambahkan formaldehid yang tidak merusak determinan imunogenik yang dikehendaki. Ekstrasellular Mycobacterium spp. mengandung protein 14–65 kDa yang bersifat toksik terhadap ikan rainbow trout dan Nile tilapia yang diinjeksikan ECP sebanyak 400 µg secara intramuscular. Perbedaan lama inkubasi atau kultur pada media tumbuh berpengaruh terhadap produksi ECP Mycobacterium spp. (Chen et al., 1997) dan Suprapto et al. (1995) membandingkan toksisitas produk selular (ICC) dan produk ekstrasellular (ECP) bakteri Edwardsiella tarda baik yang
92
virulen maupun yang tidak terhadap ikan Japanese eel dan flounder, hasilnya baik ECP maupun ICC sama-sama menyebabkan kematian pada kedua ikan. Kematian pada ikan Japanese eel hanya terjadi pada percobaan ECP yang ditumbuhkan pada media padat dimana kematian rata-rata terjadi mulai hari ke-4 hingga 9 pasca injeksi. Produk ekstrasellular bakteri Aeromonas hydrophila yang virulen menyebabkan 100% kematian benih lele dalam 18 jam pasca injeksi dan ECP Aeromonas hydrophila yang tidak virulen menyebabkan 100% kematian dalam 96 jam (Kawahara dan Nomura, 1990). Sama halnya dengan ECP dari S. agalactiae, yang menyebabkan kematian pada ikan nila mulai 12 jam pasca injeksi. Produksi ECP pada media BHI dan BHIA dan perbedaan lama inkubasi berpengaruh terhadap kematian kumulatif. Kematian ikan yang diinjeksi dengan ECP dari media tumbuh BHIA cenderung lebih banyak dibandingkan dengan ECP yang berasal dari media tumbuh BHI, hal ini disebabkan oleh kemampuan bakteri saat memproduksi ECP, sifat media padat lebih mendukung untuk memproduksi ECP, dan hasil fraksinasinya menunjukkan bahwa jenis dan jumlah protein dalam ECP yang diproduksi pada media padat lebih beragam dan lebih banyak dibandingkan pada bakteri yang ditumbuhkan pada media cair. Simpulan Pengujian toksisitas ECP S. agalactiae tipe β-hemolitik dan non-hemolitik menghasilkan simpulan sebagai berikut : 1. Produk ekstrasellular merupakan salah satu faktor virulensi S. agalactiae, karena gejala yang muncul pada ikan nila saat diinjeksi dengan ECP sama dengan gejala yang ditemukan pada ikan nila yang diinjeksi dengan sel utuh S. agalactiae. 2. Perubahan pada tingkah laku berenang, nafsu makan, perubahan anatomi organ luar secara makroskopis dan mikroskopis yang diinjeksi ECP tipe βhemolitik dan tipe non-hemolitik hampir sama. 3. Kematian dan perubahan gejala klinis ikan yang diinjeksi dengan ECP kedua tipe bakteri yang ditumbuhkan pada media BHIA dan BHI dengan lama inkubasi lebih dari 48 jam cenderung lebih bersifat toksik.
93
4. Protein yang terkandung di dalam ECP S. agalactiae tipe β-hemolitik dan nonhemolitik yang ditumbuhkan dalam media padat dan media cair dengan masing-masing masa inkubasi berturut-turut adalah 65.8; 60.1; 55.8 kDa (3A24), 19.2-100.4 kDa (5A96), 62.3; 55.8 kDa (3i72), 62.3; 55.8; 51.8 kDa (5i72) dan konsentrasi ptotal protein di dalam ECP yaitu 2.73 ppm (3A24), 28.18 ppm (5A96), 8.18 ppm (3i72) dan 13.64 ppm (5i72). Hasil fraksinasi menunjukkan bahwa konsentrasi protein ECP tipe non-hemolitik lebih tinggi dari pada tipe β-hemolitik, hal ini yang diduga sebagai salah satu penyebab bakteri tipe non-hemolitik lebih virulen. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pemanfaatan ECP sebagai vaksin untuk mencegah infeksi Streptococcosis akibat S. agalactiae dan untuk pengujian tersebut dipilih menggunakan dua macam ECP yang dihasilkan oleh S. agalactiae tipe β-hemolitik dan non-hemolitik yang ditumbuhkan pada media BHI lama inkubasi 72 jam.
94
EFIKASI VAKSIN SEL UTUH DAN PRODUK EKSTRASELLULAR BAKTERI Streptococcus agalactiae TIPE β-HEMOLITIK UNTUK PENCEGAHAN STREPTOCOCCOSIS PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus) ABSTRAK Dalam penelitian ini dilakukan pengujian mengenai efikasi vaksinasi pada ikan nila (Oreochromis niloticus) untuk pengendalian penyakit Streptococcosis. Vaksin yang digunakan adalah formalin-killed cells dari sel utuh dan produk ekstrasellular (ECP) yang mengandung protein 62.3 dan 55.8 kDa dari Streptococcus agalactiae tipe β-hemolitik. Protein dalam ECP bakteri S. agalactiae tipe β-hemolitik terbukti mampu meningkatkan RPS ikan nila yang diuji tantang dengan S agalactiae tipe β-hemolitik (103 CFU/ekor) dan tipe non-hemolitik (105 CFU/ekor). Pengujian vaksinasi ini dicobakan pada 15 ekor ikan nila seberat 15 g setiap perlakuan. Relative Percent Survival ikan nila yang divaksinasi dengan sel utuh, ECP, gabungan ECP dan sel utuh terbukti mengalami peningkatan dan berbeda nyata dengan kontrol. Vaksin dari sel utuh S. agalactiae tipe β-hemolitik memiliki RPS 79% saat diuji tantang dengan S. agalactiae tipe β-hemolitik dan 75% untuk tipe non-hemolitik. Ikan yang divaksin dengan ECP tipe βhemolitik setelah diuji tantang dengan S. agalactiae tipe β-hemolitik RPS mencapai 62.5% sedangkan yang diuji tantang dengan S. agalactiae tipe non-hemolitik hanya 25%. Vaksinasi dengan gabungan (sel utuh dan ECP β-hemolitik) S. agalactiae melindungi 92% ikan setelah diuji tantang dengan bakteri S. agalactiae tipe β-hemolitik dan hanya 75% saat diuji tantang dengan tipe non-hemolitik. Sedangkan vaksinasi dengan gabungan antara sel utuh S. agalactiae tipe βhemolitik dan ECP tipe non-hemolitik memiliki RPS 79% saat diuji tantang dengan S. agalactiae tipe β-hemolitik dan hanya 42% saat diuji tantang dengan tipe non-hemolitik. Kesimpulannya adalah vaksin gabungan (sel utuh dan ECP β-hemolitik) memberikan proteksi terbaik saat ikan nila terinfeksi S. agalactiae kedua tipe. Kata kunci : β-hemolitik, S. agalactiae, ECP, sel utuh, vaksinasi
ABSTRACT The effectiveness of a Streptococcus agalactiae vaccine was evaluated in tilapia (Oreochromis niloticus) for prevention of streptococcal disease. The vaccine was prepared from formalin-killed whole cell and concentrated extracellular products (62.3 and 55.8 kDa) of βhaemolytic isolate of S. agalactiae. Vaccination trial was done through intraperitonial injection into fish having mean weight of 15 g. Control negative tilapia were injected with PBS. Fish were vaccinated with whole cell, ECP and mix whole cell and ECP and challenged by IP injection with 103 colony-forming units (CFU)/fish of β-haemolytic and 105 CFU/fish of non-haemolytic S. agalactiae. Tilapia vaccinated with whole cell had a Relative Percent Survival (RPS) of 79% (IP challenged with β-haemolytic) and 75% (IP challenged with non-haemolytic). A RPS of 62.5% was observed in tilapia vaccinated IP with ECP β-haemolytic and IP challenged with β-haemolytic and 25% with non-haemolytic. Tilapia vaccinated with mix whole cell and ECP of β-haemolytic had a RPS of 92%% (IP challenged with β-haemolytic) and 75% (IP challenged with nonhaemolytic). Whereas tilapia vaccinated with mix whole cell non-haemolytic and ECP of βhaemolytic had a RPS 79% in tilapia IP challenged with β-haemolytic and 42% IP challenged with non-haemolytic of S. agalactiae. The highest RPS is formed on vaccination with mix whole-cell and extracellular product vaccine of S. agactiae β-haemolytic type. Keywords : β-haemolytic, S. agalactiae, ECP, whole cell, vaccination
95
Pendahuluan Vaksinasi merupakan salah satu cara pengendalian penyakit dalam budidaya ikan. Ada beberapa macam vaksin yang bisa digunakan dalam budidaya ikan antara lain; vaksin sel utuh, vaksin dari komponen sel dan vaksin DNA. Pemilihan vaksin yang digunakan bergantung pada jenis bakteri yang digunakan, kondisi ikan dan kondisi lingkungan. Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pembuatan vaksin seperti antigen yang heterogen, imunitas yang relatif rendah dan cara aplikasiya di lapangan (Pasaribu et al., 1990). Selain itu, efikasi vaksinasi sangat tergantung pada jenis dan kualitas vaksin, cara vaksinasi (Souter, 1984), kondisi ikan (Dorson, 1984) dan lingkungan khususnya kualitas air (Ellis, 1988). Untuk menyelesaikan masalah Streptococcosis karena S. agalactiae, perlu dilakukan penelitian vaksinasi dengan menggunakan sumber selain sel utuh karena vaksinasi dengan sel utuh belum berhasil.
Menurut Golub (1987)
kebanyakan imunogen berbentuk sebagai makro molekul protein yang terdiri dari sejumlah besar antigen determinan.
Menurut Subowo (1993) penggunaan
komponen vaksin seperti eksotoksin yang dihasilkan suatu bakteri sudah banyak digunakan sebagai imunogen, namun sebaiknya sebelum digunakan perlu ditawarkan sifat toksiknya dengan cara menambahkan formaldehid yang tidak merusak determinan imunogenik yang dikehendaki. Hasil fraksinasi protein dalam ECP S. agalactiae melalui SDS-PAGE (Laemmli, 1970) pada penelitian sebelumnya diperoleh protein dengan berbagai berat molekul. Protein dalam ECP kedua tipe bakteri hampir sama yaitu 51.8; 55.8 dan 62.3 kDa pada ECP tipe non-hemolitik sedangkan bakteri tipe βhemolitik terdapat protein 55.8 dan 62.3 serta tidak ditemukan protein dengan berat molekul 51.8 kDa. Menurut Pasnik et al. (2005) kandungan protein pada ECP bakteri S. agalactiae yang digunakan sebagai vaksin pada ikan berkisar antara 47-75 kDa dan yang lebih dominan adalah protein 54 dan 55 kDa. Sehingga dibuat vaksin dengan menggunakan ECP tersebut untuk menanggulangi Streptococcosis.
96
Penelitian ini bertujuan mengetahui efikasi vaksin sel utuh, produk ekstrasellular (ECP) dan gabungan keduanya dari S. agalactiae tipe β-hemolitik, juga gabungan sel utuh tipe β-hemolitik dan ECP non-hemolitik untuk penanggulangan penyakit Streptococcosis yang disebabkan oleh S. agalactiae. Diharapkan dari penelitian ini dapat dihasilkan vaksin yang memberikan proteksi terbaik bagi ikan nila dalam mengatasi infeksi S. agalactiae. Bahan dan Metode Ikan yang digunakan dalam percobaan ini berjumlah 15 ekor setiap akuarium, dimana setiap perlakuan diulang tiga kali. Bakteri yang digunakan untuk dijadikan vaksin adalah isolat β-hemolitik N 14 G dan isolat non-hemolitik NK 1 . Persiapan ikan uji dan bakteri yang digunakan dalam penelitian ini dijabarkan dalam metodologi umum. Persiapan vaksin Vaksin yang digunakan dalam penelitian ini adalah vaksin sel utuh, ECP S. agalactiae tipe β-hemolitik dan vaksin gabungan antara sel utuh dan ECP tipe β-hemolitik maupun gabungan sel utuh tipe β-hemolitik dan ECP tipe nonhemolitik, yang kesemuannya diinaktivasi dan dinetralisir sifat toksinnya dengan formalin 3% (Evans et al., 2004). Masing-masing tipe bakteri dibiakan dalam media brain heart infusion (BHI, BD BactoTM) dengan masa inkubasi 72 jam pada suhu 28-30oC, kemudian media yang sudah ditumbuhi bakteri ditambahkan 3% neutral buffered formalin dan diinkubasi selama 24 jam. Kemudian suspensi disentrifus 10000 g selama 30 menit pada suhu 4oC, pellet dan supernatan akan terpisah. Untuk mendapatkan vaksin sel utuh, pellet hasil sentrifus dicuci dengan PBS sebanyak dua kali, terakhir ditambahkan PBS sebanyak volume awal biakan bakteri. Sampel vaksin ditanam pada media BHIA, jika bakteri tidak tumbuh dalam waktu 72 jam, vaksin dapat digunakan untuk pengujian selanjutnya. Sedangkan vaksin ECP diperoleh dengan menyaring supernatan dengan filter saring 0,22 µm. Protein di dalam ECP kemudian dianalisis dengan SDS-PAGE untuk mengetahui berat molekul protein yang terkandung didalamnya. Produk
97
ekstrasellular mengandung protein dengan berat molekul 55.8 dan 62.3 kDa. Untuk pengujian keamanan vaksin ECP, vaksin disuntikan pada lima ekor ikan nila dan dilihat perkembangannya selama 72 jam. Jika hingga jam ke-72 tidak muncul kematian dan gejala Streptococcosis maka vaksin ECP aman untuk digunakan. Vaksin disimpan dalam suhu 4 oC sampai akan digunakan. Parameter yang diukur Untuk mengetahui efikasi dari vaksin yang diberikan, dilakukan pengamatan pada beberapa parameter (cara kerja dan analisa data setiap parameter di jabarkan dalam metodologi umum) yaitu: •
Parameter utama : pengukuran tingkat kelangsungan hidup relatif (Relative Per cent Survival/RPS),
•
Parameter pendukung antara lain gambaran darah, patologi klinik darah, pengukuran indeks fagositik dan pengukuran titer antibodi. Vaksinasi S. agalactiae tipe β-hemolitik pada ikan nila Tahapan pengujian efikasi vaksinasi S. agalactiae tipe β-hemolitik ini
bertujuan untuk mengetahui kemampuan vaksin sel utuh, ECP dan gabungan antara sel utuh dan ECP dari S. agalactiae tipe β-hemolitik serta vaksin gabungan antara sel utuh β-hemolitik dan ECP non hemolitik dalam mencegah infeksi S. agalactiae. Sumber total ECP yang digunakan adalah hasil dari penelitian uji toksisitas total ECP S. agalactiae sebelumnya. Vaksinasi pada ikan nila, dilakukan dengan menyuntikan beberapa macam vaksin seperti yang disajikan pada Tabel 24. Tabel 24 Perlakuan pengujian efikasi vaksinasi Streptococcus agalactiae tipe βhemolitik Perlakuan/kode 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Vaksin Tidak divaksin Tidak divaksin sel utuh β-hemolitik sel utuh β-hemolitik ECP β-hemolitik ECP β-hemolitik 50 % sel utuh β-hemolitik + 50 % ECP β-hemolitik 50 % sel utuh β-hemolitik + 50 % ECP β-hemolitik 50 % sel utuh β-hemolitik + 50 % ECP non-hemolitik 50 % sel utuh β-hemolitik + 50 % ECP non-hemolitik
Uji tantang non β-hemolitik β-hemolitik non-hemolitik β-hemolitik non-hemolitik β-hemolitik non-hemolitik β-hemolitik non-hemolitik
98
Masing-masing ikan diinjeksi vaksin sebanyak 0.1 ml/ekor. Ikan dipelihara selama 10 hari, kemudian setiap perlakuan diuji tantang dengan S. agalactiae kepadatan 103 CFU/ml bakteri β-hemolitik dan 105 CFU/ml bakteri non-hemolitik pada hari ke-11 setelah vaksinasi.
Setelah itu ikan dipelihara
hingga hari ke-25 (14 hari pasca uji tantang). Parameter pendukung diamati pada hari ke-0, 5, 10, 18 dan 25, sedangkan parameter utama (RPS) diamati diakhir pengamatan (hari ke-25).
Alur pelaksanaan penelitian efikasi vaksinasi ini
dilakukan seperti pada Gambar 33.
D0
D1
D5
D10
Vaksinasi
D11
D18 1
Uji tantang
D25
SR, RPS
Keterangan : D 0, 1, 2 : hari ke-0, 1, 2 dan seterusnya
Gambar 33 Alur pengujian efikasi vaksinasi Streptococcus agalactiae tipe βhemolitik Hasil dan Pembahasan Vaksinasi dilakukan untuk meningkatkan sistem imun spesifik ikan nila untuk mencegah infeksi S. agalactiae. Dari hasil pengamatan beberapa parameter imunitas ikan diketahui bahwa vaksinasi dengan menggunakan vaksin sel utuh, ECP maupun gabungan keduanya dari bakteri tipe β-hemolitik, meningkatkan imunitas baik spesifik maupun non spesifik ikan nila. 1 Tingkat kelangsungan hidup relatif (Relative Per cent Survival/RPS) Ikan diuji tantang dengan S. agalactiae pada hari ke-11 setelah vaksinasi dan diamati perubahan gejala Streptococcosis (perubahan warna tubuh, clear operculum dan eksoptalmia) yang muncul dan juga kematian yang terjadi selama 14 hari pasca uji tantang. Kematian ikan yang divaksin dan tidak divaksin terjadi pada 24 jam pasca injeksi, dan terus terjadi hingga hari ke-14, hanya kematian ikan yang tidak divaksin lebih banyak terjadi. Dari tingkat kematian yang terjadi dapat dilihat bahwa perbedaan jenis vaksin yang diberikan berpengaruh terhadap
99
tingkat kematian yang terjadi. Kematian kumulatif ikan nila yang divaksinasi dengan S. agalactiae tipe β-hemolitik selama 14 hari pasca uji tantang tampak
Jumlah ikan yang mati
pada Gambar 34. 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 1 Perlakuan
1
2 2
3 4 5 Hari setelah uji tantang 3
4
5
6
7
6 8
7 9
10
Gambar 34 Grafik kematian kumulatif ikan nila yang divaksinasi dengan Streptococcus agalactiae tipe β-hemolitik. Perlakuan/kode mengikuti Tabel 24. Dari Tabel 25 terlihat bahwa vaksinasi yang dilakukan setelah 14 hari uji tantang terlihat, vaksin dengan menggunakan sel utuh mampu mencegah infeksi dari kedua tipe bakteri. Ini menandakan bahwa bakteri utuh dari tipe β-hemolitik (non kapsul) mampu meningkatkan respon imun spesifik dan saat S. agalactiae kedua tipe bakteri menginfeksi antibodi terbentuk untuk mengeliminir bakteri patogen. Hal tersbut disebabkan karena permukaan sel bakteri tipe β-hemolitik lebih banyak tersusun atas protein yang bersifat imunomodulator yang meningkatkan sistem imun baik spesifik maupunnon spesifik. Tabel 25 Tingkat RPS ikan yang divaksin dengan Streptococcus agalactiae tipe β-hemolitik Perlakuan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Perlakuan/ kode mengikuti Tabel 24.
∑ ikan yang mati 1 24 5 6 9 18 2 6 5 14
RPS 96 79 75 62.5 25 92 75 79 42
100
Vaksin dari sel utuh S. agalactiae tipe β-hemolitik memiliki RPS 79% saat diuji tantang dengan S. agalactiae tipe β-hemolitik dan 75% untuk tipe nonhemolitik. Ikan yang divaksin dengan ECP tipe β-hemolitik setelah diuji tantang dengan S. agalactiae tipe β-hemolitik RPS mencapai 62.5% sedangkan yang di uji tantang dengan S. agalactiae tipe non-hemolitik hanya 25%. Vaksinasi dengan gabungan (sel utuh dan ECP) S. agalactiae tipe β-hemolitik melindungi 92% ikan setelah diuji tantang dengan S. agalactiae tipe β-hemolitik dan 75% saat diuji tantang dengan tipe non-hemolitik. Sedangkan vaksinasi dengan gabungan antara sel utuh S. agalactiae tipe β-hemolitik dan ECP tipe non-hemolitik memiliki RPS 79% saat diuji tantang dengan S. agalactiae tipe β-hemolitik dan hanya 42% saat diuji tantang dengan tipe non-hemolitik. Gabungan vaksin sel utuh β-hemolitik + ECP β-hemolitik lebih baik mencegah infeksi kedua tipe bakteri. Ini menandakan bahwa vaksin yang mengandung ECP dari β-hemolitik mampu mencegah infeksi bakteri β-hemolitik dan non-hemolitik lebih baik dibandingkan dari sel utuh. Pada pengujian di atas terlihat adanya spesific biotype protection terhadap tipe bakteri dari vaksin sel utuh dan ECP yang digunakan. Artinya vaksin sel utuh dan ECP dari β-hemolitik memberikan proteksi pada kedua tipe bakteri infeksi namun proteksi terbaik saat ikan terinfeksi dengan S. agalactiae yang bertipe sama dengan vaksin yang diberikan. 2 Gambaran darah ikan nila Keberhasilan vaksinasi dapat dilihat dari nilai RPS yang dihasilkan. Namun untuk menjawab mengapa terjadi keberhasilan maupun kegagalan dari vaksinasi dapat dilihat dari beberapa parameter pendukung seperti total leukosit, diferensial leukosit, total eritrosit, indeks fagositik, titer antibodi, hematokrit, hemaglobin serta glukosa darah ikan. Perubahan pada parameter pendukung efikasi vaksinasi menggunakan vaksin β-hemolitik dijabarkan pada Tabel 26, dan data secara lengkap dijabarkan pada Lampiran 9.
101
Tabel 26 Parameter pendukung efikasi vaksinasi vaksin hemolitik pada hari ke14 pasca uji tantang Perlakuan/ kode
Leukosit Eritrosit Limfosit Antibodi 105 105 IP (%) (%) (-log 2 ) 3 3 sel/mm sel/mm 1 1.2±0.003 65 ± 5.0 36 ±1.0 8.7±0.6 0 2 2.6±0.008 68 ±2.0 24 ±0.0 1.3±0.6 0 3 1.7±0.003 82 ±2.0 33 ±1.0 18±1 3 4 1.8±0.002 82 ±1.0 30 ±3.0 19.3±0.6 2 5 2.1±0.003 73 ±3.0 27 ±3.0 11.7±0.6 1 6 2.2±0.001 67 ±2.0 24 ±0.0 15.3±0.6 0 7 1.4±0.002 80 ±3.0 33 ±3.0 22.3±2.1 5 8 1.5±0.002 80 ±4.0 27 ±0.0 20.3±1.2 4 9 1.7±0.004 80 ±2.0 33 ±3.0 24.3±2.1 4 10 1.7±0.006 72 ±2.0 24 ±0.0 19.3±0.6 3 Keterangan : Perlakuan/ kode mengikuti Tabel 24. IP = indeks fagositik, He = hematokrit, Hb = hemaglobin
He (%)
Hb (g%)
25.3 ± 0.17 40.5 ± 0.1 32.4 ± 0.15 30.3 ± 0.11 24.4 ± 0.11 25.2 ± 1.0 31.7 ± 0.53 33 ± 0.35 27.4 ± 0.39 24.6 ± 1.0
11.67±0.3 7.7±1.2 10±1 12.3±1 10.5±0 9.3±0.6 11.3±0.6 11.5±0.5 12±0 9.7±9.7
Total leukosit Total leukosit sebagai respon seluler, pertahanan non spesifik juga mengalami peningkatan pasca vaksinasi dengan bakteri tipe β-hemolitik. Respon kekebalan spesifik (humoral mediated immunity & cellular mediated immunity) tergantung kontak inang dengan antigen tertentu sebelumnya (=adaptive immunity).
Fungsi sistem kekebalan non spesifik juga terlibat dalam sistem
kekebalan spesifik. Peningkatan total leukosit terjadi secara signifikan pada hari ke-10 disemua perlakuan dan pada hari ke-18 (hari ke-7 uji tantang) mulai mengalami penurunan. Hal ini diduga saat ada infeksi, total leukosit meningkat untuk memfagosit bakteri infeksi dan setelah 7 hari pasca infeksi, bakteri berhasil difagosit dan tidak mampu untuk tumbuh dan berkembang sehingga ikan banyak yang hidup. Lain halnya dengan ikan kontrol yang tidak divaksin, tidak terdapat peningkatan total leukosit ikan yang diinfeksi sehingga 53% ikan mati karena tidak mampu menghalangi berkembangnya S. agalactiae dalam tubuhnya. Diferensial leukosit Jenis leukosit pasca vaksinasi juga mengalami peningkatan khususnya limfosit. Limfosit berperan sebagai sel memori yang membentuk antibodi. Peningkatan limfosit juga seiring dengan terbentuknya antibodi pada ikan setelah 5-10 hari pasca vaksinasi. Monosit dan neutrofil juga mengalami peningkatan, karena kedua sel ini berperan dalam proses fagositosis. Monosit lebih cenderung
102
mengfagosit partikel-partikel besar sedangkan neutrofil lebih cenderung mengfagosit partikel kecil.
Peningkatan mulai terjadi pada hari ke-5 pasca
vaksinasi dan saat terjadi infeksi (7 hari pasca uji tantang) jumlah ketiga sel tersebut meningkat yang merupakan tanda bahwa ikan melakukan perlawanan terhadap adanya infeksi. Peningkatan sel monosit terjadi pada hari ke-10 pasca vaksinasi, peningkatan terjadi hingga hari ke-18 pasca vaksinasi atau hari ke-7 pasca uji tantang dan berbeda nyata dengan kontrol. Artinya vaksinasi yang diberikan mampu meningkatkan sel monosit sebagai sel fagosit. Peningkatan juga terjadi pada sel neutrofil pada hari ke-5 pasca vaksinasi namun hasilnya tidak berbeda nyata dengan kontrol. Peningkatan yang signifikan dan berbeda nyata dengan kontrol terjadi pada sel limfosit sejak hari ke-10 hingga hari ke-25 pasca vaksinasi dan uji tantang. Keseluruhan data diferensial leukosit menunjukkan bahwa komponen vaksin yang diberikan mampu meningkatan sel-sel pertahanan spesifik dan non spesifik ikan. Total Eritrosit Fluktuasi total eritrosit terjadi hampir di semua perlakuan. Data total eritrosit ini sejalan dengan kadar hemoglobin/Hb, peningkatan terjadi saat adanya infeksi dan baru mengalami penurunan saat akhir pengamatan (Tabel 26). Penurunan eritrosit akibat infeksi tidak terjadi pada ikan yang divaksinasi dengan vaksin sel utuh dan gabungan, hal ini menunjukkan bahwa S. agalactiae tidak mampu tumbuh dan berkembang dalam tubuh inang karena adanya antibodi dan sel-sel fagosit yang mencegah hal tersebut, sehingga toksin yang dikeluarkan tidak sebanyak saat bakteri mampu tumbuh berkembang dan menyebarkan virulensinya. 3 Indeks fagositik Aktivitas sel pada kekebalan non spesifik jika antigen masuk ke dalam tubuh ikan yaitu mempertahankan diri dengan menghancurkan antigen melalui proses fagositosis yang dilakukan oleh sel-sel fagositik monosit (prekursorprekursor makrofag), dan polymorphonuclear leucocyte (neutrofil).
103
Setelah vaksinasi, indeks fagositik mengalami peningkatan pada hari ke10 setelah vaksinasi dan peningkatan semua perlakuan (semua jenis vaksin) berbeda nyata dengan kontrol. Proses fagositosis ini membantu tubuh untuk menghancurkan bakteri penyebab infeksi. Peningkatan indeks fagositik terjadi karena vaksin yang diberikan baik dari sel utuh, ECP maupun penggabungan keduanya ternyata mampu meningkatan komponen respon imunitas non spesifik. Pada fagositosis, antigen dideteksi tanpa pengenalan terlebih dahulu melalui reseptor spesifik, ini merupakan mekanisme bawaan sebelum terjadinya aktivitas sel limfosit-T spesifik maupun terbentuknya antibodi. Sel fagosit menghancurkan antigen melalui tiga tahap yaitu: (1) pelekatan, (2) fagosit dan (3) pencernaan. Pada ikan nila yang divaksinasi dengan menggunakan S. agalactiae tipe β-hemolitik tampak adanya aktivitas fagositik (Gambar 35).
Gambar 35 Proses fagositosis dan penghancuran partikel bakteri pada ikan nila yang divaksinasi Streptococcus agalactiae tipe β-hemolitik, 1 bar = 20µm. 1. Sel monosit, 2. pelekatan, 3. Aktivitas membran, 4. permulaan fagositosis, 5 dan 6 penghancuran, 7. Pelepasan dan mengeluarkan hasil fagositosis. Monosit adalah prekursor dari makrofag yang berasal dari jaringan limfoid ikan, meninggalkan sirkulasi dan memulai tugas fagosit di jaringan dengan mengubah menjadi makrofag dan tersebar di jaringan tubuh untuk menghadang invasi patogen. Ketika limfosit bertemu dengan antigen secara alamiah atau diberikan sebelumnya (vaksinasi) mereka akan mengalami perubahan. Sel B (Bursa) dirangsang untuk berdeferensiasi menjadi penghasil antibodi sedangkan sel T (Thymus) berdiferensiasi menjadi limfoblast, membelah, dan melepaskan limfokin dalam membawa cell mediated immune respone. Saat aktivasi, makrofag memiliki kapasitas fagositik lebih kuat dibandingkan neutrofil (granulosit), meskipun granulosit berjumlah lebih besar.Proses fagosit terjadi apabila berada
104
dalam jarak dekat dengan antigen/antigen harus melekat pada permukaan sel fagosit, sehingga fagosit bergerak menuju sasaran. Mekanisme tersebut terjadi karena
dilepaskannya
zat/mediator
tertentu
yang
disebut
faktor
leukotaktik/kemotaktik dari antigen/komplemen. Hal ini disebabkan karena antigen terlebih dahulu dilapisi oleh Ig atau komplemen (opsonisasi), agar lebih mudah ditangkap oleh sel fagosit. Patogen masuk ke dalam sel dengan cara endositosis dan oleh proses pembentukan fagosom, patogen terperangkap dalam kantong fagosom seolah-olah ditelan untuk dihancurkan, baik dalam proses oksidasi-reduksi maupun oleh derajat keasaman yang ada dalam fagosit (Anderson, 1974). Proses fagositosis diawali oleh fase pergerakan (kemotaktik), perlekatan (adhesi/attachment), penelanan (ingestion), degranulasi & pembunuhan (killing). Inisiasi pergerakan karena dilepaskannya zat mediator tertentu yaitu faktor leukotaktik/kemotaktik dari antigen/neutrofil/makrofag yang sebelumnya telah berada di lokasi antigen (Gambar 36). Proses penempelan hingga penghancuran terlihat dilakukan oleh sel-sel fagosit seperti monosit dan neutrofil.
Gambar 36
Proses fagositosis dan penghancuran partikel bakteri (Sumber: Roth, 1988).
Proses penelanan bakteri terjadi karena fagosit membentuk tonjolan pseudopodia, membentuk kantung mengelilingi bakteri sehingga terperangkap dalam vakuola fagosom.
Fagosom terdiri atas dinding bagian luar fagosit.
Granula intraseluler berisi berbagai jenis enzim dan protein lain yang mampu
105
membunuh, bergabung (fusi) dengan fagosom, terjadi degranulasi dan respiratory burst (Roth, 1988). Sel makrofag dan netrofil memiliki mekanisme pertahanan non spesifik melalui proses kemotaksis dan pinositosis. Kemotaksis adalah sel fagosit dipancing oleh molekul untuk melakukan migrasi ke lokasi terjadinya inflamasi, kerusakan jaringan atau reaksi antigen-antibodi (immune reactions). Molekul atau induktor kemotaksis dihasilkan patogen atau komponen kekebalan tubuh seperti faktor komplemen. Pinositosis mekanismenya mirip fagositosis, tetapi melalui proses pemasukan partikel (antigen) yang berukuran jauh lebih kecil daripada yang dilakukan pada proses fagositosis. Fenomena ini ditandai oleh proses pembukaan membran sel membentuk lubang (vakuola) kecil melalui proses endositosis (Roth, 1988). 4 Titer antibodi Antibodi bereaksi spesifik dengan antigen membentuk senyawa kompleks berupa endapan (presipitat) dan gumpalan (aglutinat) ditunjukkan melalui uji imunopresipitasi (imunodifusi) Agar Gel Precipitation Test (AGPT) atau uji aglutinasi. Antibodi berperan sebagai presipitin dan agglutinin, cara lain antibodi menghalangi efek antigen dengan cara blokade, yaitu bereaksi dengan epitop antigen sehingga antigen tidak mampu mengenal reseptor sel inang menyebabkan kegagalan proses perlekatan antigen pada permukaan sel inang (antibodi bertindak sebagai inhibin). Selain itu antibodi untuk mempercepat eliminasi antigen dengan proses
opsonisasi
(antibodi
sebagai
opsonin).
Antigen
dalam
keadaan
teropsonisasi lebih mudah dikenal makrofag dan lebih efektif untuk dihancurkan (Anderson, 1974). Selama perlakuan, pengamatan titer antibodi dilakukan pada hari ke-5, 10, 18 dan ke-25 setelah vaksinasi. Hasilnya ikan mampu memproduksi antibodi saat diuji aglutinasi dengan bakteri tipe β-hemolitik dan non-hemolitik sejak hari ke-5 vaksinasi.
Titer
tertinggi dicapai ikan rata-rata pada hari ke-10 pasca vaksinasi. Hal ini menunjukkan bahwa berbagai jenis vaksin yang diberikan mampu membantu tubuh untuk mengeliminasi patogen yang menginfeksi meskipun bakteri yang menginfeksi berbeda tipe dengan jenis bakteri yang dijadikan vaksin.
106
Titer antibodi tertinggi dihasilkan oleh ikan yang divaksinasai oleh vaksin gabungan antara sel utuh dengan ECP S. agalactiae tipe β-hemolitik. Menurut Subowo (1993) protein merupakan makromolekul yang imunogen yang dapat merangsang limfosit untuk menghasilkan antibodi. Protein dengan berat molekul lebih besar dari 10 kDa biasanya imunogenik. Walaupun demikian, Almendras (2001) menyatakan bahwa hanya daerah-daerah permukaan tertentu dari molekul itu (epitop) yang menentukan spesifisitas reaksi antigen antibodi dan juga sebagai penentu timbulnya respon imun. Di samping itu, protein dengan berat molekul yang besar diduga mempunyai jumlah epitop yang banyak. Ikan yang divaksin tetap mampu memproduksi antibodi saat diuji aglutinasi dengan bakteri tipe βhemolitik dan non-hemolitik pada hari ke-25 pasca vaksinasi.
Pada akhir
pengamatan masih ditemukan adanya antibodi yang terbentuk pada ikan yang divaksinasi, ini menunjukkan bahwa berbagai jenis vaksin yang diberikan mampu membantu tubuh untuk mengeliminasi patogen yang menginfeksi meskipun bakteri yang menginfeksi berbeda tipe dengan jenis bakteri yang dijadikan vaksin. Sel B mengidentifikasi patogen ketika antibodi pada permukaan melekat pada antigen asing Antigen atau antibodi kompleks ini diambil oleh sel B dan diproses oleh proteolisis ke peptid sel B lalu menampilkan peptid antigenik pada permukaan molekul MHC kelas II. Kombinasi MHC dan antigen menarik sel T helper yang cocok, yang melepas limfokin dan mengaktifkan sel B. Sel B yang aktif lalu mulai membagi keturunannya (sel plasma) mengeluarkan jutaan kopi limfa yang mengenali antigen itu. Antibodi tersebut diedarkan pada plasma darah dan limfa, melilit pada patogen dan menandai mereka untuk dihancurkan oleh aktivasi komplemen dan fagosit. Antibodi juga dapat menetralisir tantangan secara langsung dengan melilit toksin bakteri atau dengan mengganggu reseptor yang digunakan virus dan bakteri untuk menginfeksi sel (Anderson, 1974). 5 Patologi klinik darah ikan nila Hematokrit (He) Dari hasil pengamatan, He mengalami peningkatan akibat adanya infeksi bakteri pada ikan yang tidak divaksin, peningkatannya terjadi sangat tinggi hingga
107
hari ke-25 (14 hari setelah uji tantang) pada kontrol. Peningkatan He pasca uji tantang pada ikan yang divaksinasi juga terjadi namun peningkatannya tidak signifikan, artinya vaksin yang diberikan mampu membantu tubuh ikan untuk mencegah berkembangnya patogen sehingga tidak menyebabkan sakit. Hemoglobin (Hb) Dengan pemberian vaksin, kadar hemoglobin ikan yang diinfeksi bakteri S. agalactiae tipe β-hemolitik tidak mengalami penurunan yang artinya bakteri belum mampu tumbuh dan berkembang dengan baik sehingga virulensi (toksin hemolisin) yang dikeluarkan masih mampu diblokade oleh sistem petahanan spesifik dan non spesifik tubuh. Hasil ini sejalan dengan data kematian ikan bahwa ikan yang divaksin dengan ECP bakteri tipe β-hemolitik mampu melindungi dengan baik saat infeksi berasal dari bakteri tipe β-hemolitik juga ditandai dengan RPS nya yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan infeksi dari S. agalactiae tipe non-hemolitik. Kadar glukosa darah Perubahan pada kadar glukosa darah akibat vaksinasi dari sel utuh maupun ECP S. agalactiae tipe β-hemolitik diamati untuk mengetahui dampak vaksinasi terhadap kondisi kesehatan ikan.
Hasilnya, vaksinasi tidak menyebabkan
perubahan pada keseimbangan tubuh (stres) dilihat dari peningkatan kadar glukosa pasca vaksinasi yang tidak signifikan dengan kontrol (tidak divaksin dan tidak diuji tantang). Sedangkan pasca uji tantang dengan bakteri terjadi peningkatan namun tidak berbeda nyata dengan kontrol, namun peningkatan glukosa ikan yang tidak divaksinasi akibat injeksi dengan S. agalactiae tipe βhemolitik lebih tinggi terjadi dibandingkan dengan ikan yang divaksinasi. Dari hasil pengamatan pada hari ke-10 pasca vaksinasi tidak ditemukan adanya peningkatan kadar glukosa darah, menandakan bahwa vaksinasi tidak menyebabkan stress pada ikan. Setelah uji tantang, ikan yang divaksinasi lebih stabil kondisi tubuhnya (dilihat dari kadar glukosa darahnya tidak mengalami peningkatan secara signifikan dibandingkan ikan yang diinfeksi dengan S. agalactiae dan tidak divaksinasi). Artinya vaksinasi berpengaruh terhadap
108
status kesehatan ikan. Hal ini ditunjang hasil penelitian Evans et al. (2004) bahwa vaksinasi dapat meminimalisir stress akibat infeksi S. agalactiae pada ikan nila dan membantu memelihara imunitas dan menurunkan mortalitas. 6 Kualitas air wadah budidaya Selama percobaan, pemeliharaan kualitas air juga dilakukan untuk menjaga kondisi air tetap baik sehingga tidak menjadi pemicu stress pada ikan. Data kualitas air percobaan tertuang pada Tabel 27. Secara terperinci terlihat bahwa kualitas air disemua perlakuan tidak berbeda nyata, baik suhu, O 2 terlarut, amoniak (TAN) dan CO 2 bebas berada dalam kisaran normal sehingga tidak berpengaruh nyata terhadap perlakuan artinya perbedaan hasil (data kematian, perubahan parameter imunitas dan perubahan gejala lainnya) disebabkan karena perbedaan perlakuan bukan karena kualitas air yang berbeda. Tabel 27 Kualitas air pada hari ke-25 pasca vaksinasi dengan Streptococcus agalactiae tipe β-hemolitik Parameter Suhu O 2 terlarut TAN CO 2 bebas
Satuan o
C mg/l mg/l mg/l
1 27.9 3.54 0.171 3.94
2 27.9 4.41 0.673 3.94
3 27.7 4.97 0.079 2.63
4 27.8 3.16 0.210 3.94
Perlakuan 5 6 27.7 27.6 4.36 3.28 0.214 0.238 2.63 3.94
7 27.7 4.38 0.140 2.63
8 27.6 4.51 0.183 2.63
9 27.6 2.77 0.380 3.94
10 27.8 1.89 0.159 2.63
Parameter kualitas air selama penelitian tidak tampak adanya perubahan. Secara keseluruhan nilai kisaran kualitas air masih mendukung untuk kehidupan ikan nila. Dengan demikian, kualitas air bukan merupakan penyebab kematian dan perubahan pada tingkah laku dan perubahan pada anatomi ikan bagian luar dan dalam ikan nila selama penelitian. Simpulan Pengujian efikasi vaksinasi dengan menggunakan S. agalactiae tipe βhemolitik menghasilkan beberapa simpulan yaitu : 1. Vaksinasi dengan sel utuh, ECP dan gabungan keduanya dari bakteri tipe βhemolitik mampu meningkatkan respon imunitas spesifik dan non spesifik serta mampu meningkatkan proteksi ikan nila terhadap infeksi S. agalactiae.
109
2. Vaksinasi dengan menggunakan gabungan sel utuh dan ECP S. agalactiae tipe β-hemolitik menghasilkan tingkat RPS tertinggi yaitu 92% saat diuji tantang dengan tipe β-hemolitik dan 75% saat diuji tantang dengan tipe non-hemolitik. 3. Vaksin sel utuh yang digabungkan dengan protein 55.8 dan 62.3 kDa dari ECP tipe β-hemolitik lebih efektif untuk mencegah infeksi S. agalactiae dari kedua tipe dibandingkan dengan vaksin sel utuh sendiri maupun vaksin ECP sendiri. Perlu untuk menguji efikasi dari vaksinasi dengan menggunakan bakteri tipe non-hemolitik (bakteri berkapsul), seberapa besar kemampuan dari vaksin sel utuh, ECP dan gabungan keduanya dari tipe non-hemolitik dalam mencegah infeksi S. agalactiae kedua tipe.
110
EFIKASI VAKSIN SEL UTUH DAN PRODUK EKSTRASELLULAR BAKTERI Streptococcus agalactiae TIPE NON-HEMOLITIK UNTUK PENCEGAHAN STREPTOCOCCOSIS PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus) ABSTRAK Dalam penelitian ini dilakukan pengujian mengenai efikasi vaksinasi pada ikan nila (Oreochromis niloticus) untuk pengendalian penyakit Streptococcosis menggunakan vaksin formalin killed cells dari sel utuh dan produk ekstrasellular (ECP) yang mengandung protein 62.3; 55.8 dan 51.8 kDa dari bakteri Streptococcus agalactiae tipe non-hemolitik dengan tujuan untuk membandingkan efikasinya dengan vaksin yang dibuat dari S. agalactiae tipe β-hemolitik sebelumnya. Protein dalam ECP S. agalactiae tipe β-hemolitik mampu meningkatkan titer antibodi dan RPS ikan nila yang diuji tantang dengan tipe β-hemolitik (103 CFU/ekor) maupun tipe non-hemolitik (105 CFU/ekor). Pengujian vaksinasi ini dicobakan pada ikan nila ukuran 15 g sebanyak 15 ekor setiap akuarium. Relative Percent Survival ikan nila yang divaksinasi dengan sel utuh, ECP mengalami peningkatan walaupun ada spesifik biotipe proteksi. Vaksin dari sel utuh S. agalactiae tipe non-hemolitik memiliki RPS 62.5% saat diuji tantang dengan S. agalactiae tipe β-hemolitik dan 75% untuk tipe non-hemolitik. Ikan yang divaksin dengan ECP tipe nonhemolitik setelah diuji tantang dengan S. agalactiae tipe β-hemolitik tidak memberikan proteksi kepada ikan nila karena jumlah kematian lebih banyak dari kematian ikan kontrol. Sedangkan yang di uji tantang dengan S. agalactiae tipe non-hemolitik hanya 37%. Vaksinasi dengan gabungan (sel utuh dan ECP non-hemolitik) S. agalactiae melindungi 56% ikan setelah diuji tantang dengan S. agalactiae tipe β-hemolitik dan 50% saat diuji tantang dengan tipe nonhemolitik. Sedangkan vaksinasi dengan gabungan antara sel utuh S. agalactiae tipe non-hemolitik dan ECP S. agalactiae tipe β-hemolitik memiliki RPS 87% saat diuji tantang dengan S. agalactiae tipe β-hemolitik dan hanya 56% saat diuji tantang dengan tipe non-hemolitik. Kesimpulannya adalah efikasi vaksin yang dibuat dari S. agalactiae tipe non-hemolitik memberikan proteksi terhadap infeksi S. agalactiae namun tidak sebaik dari vaksin tipe β-hemolitik Kata kunci : non-hemolitik, S. agalactiae, ECP, sel utuh, vaksinasi
ABSTRACT The effectiveness of a Streptococcus agalactiae vaccine was evaluated in tilapia (Oreochromis niloticus) for prevention of streptococcal disease with compare between vaccine non-haemolytic S. agalactiae and β-haemolytic type before. The vaccine was prepared from formalin-killed whole cell and concentrated extracellular products (62.3; 55.8 and 51.8 kDa) of non-haemolytic isolate of S. agalactiae. Intraperitonial (IP) vaccine trials was conducted on fish with a mean weights of 15 g. Control negative tilapia were injected with PBS. Fish were vaccinated with whole cell, ECP and mix whole cell and ECP and challenged by IP injection with 103 colony-forming units (CFU)/fish of β-haemolytic and 105 CFU/fish of non-haemolytic S. agalactiae. Tilapia vaccinated with whole cell of non-haemolytic had a RPS of 62.5% (challenged with β-haemolytic) and 75% (challenged with non-haemolytic). No protection in tilapia vaccinated intraperitoneally with ECP non-haemolytic and challenged with β-haemolytic and 37% with non-haemolytic. Tilapia vaccinated with mix whole cell and ECP of non-haemolytic had a RPS of 56% (challenged with β-haemolytic) and 50% (challenged with non-haemolytic). Whereas tilapia vaccinated with mix whole cell β-haemolytic and ECP of non-haemolytic had a RPS of 87% in tilapia challenged intraperitonelally with β-haemolytic and 56% challenged with non-haemolytic of S. agalactiae. The conclusion is vaccination with S. agalactiae nonhaemolytic type give protection on S. agalactiae infection but is more effective β-haemolytic vaccination. Keywords : non-haemolytic, S. agalactiae, ECP, whole cell, vaccination
111
Pendahuluan Sheehan et al. (2009) melakukan pengujian efikasi vaksinasi untuk penyakit Streptococcosis pada ikan nila dengan menggunakan dua tipe S. agalactiae yang berbeda. Ternyata hasilnya kurang efektif, vaksinasi bersifat spesifik biotipe proteksi artinya vaksinasi dari tipe β-hemolitik hanya mampu mencegah infeksi dari S. agalactiae dari tipe β-hemolitik saja dan tidak efektif untuk tipe lainnya, begitupun sebaliknya. Pengujian efikasi vaksinasi dengan menggunakan sel utuh dan ECP (extracellular product) dari S. agalactiae tipe β-hemolitik yang dilakukan sebelumnya mampu memberikan proteksi terhadap infeksi S. agalactiae kedua tipe dengan tingkat RPS yang berbeda. Dari hasil pengujian tersebut terlihat bahwa vaksin yang menghasilkan RPS tertinggi terjadi pada ikan yang divaksin dengan vaksin gabungan ECP dan sel utuh tipe β-hemolitik, yaitu 92% saat diuji tantang dengan S. agalactiae tipe β-hemolitik dan 75% saat diuji tantang dengan tipe non-hemolitik. Pengujian efikasi vaksinasi S. agalactiae tipe non-hemolitik perlu dilakukan untuk mengetahui efikasi vaksin sel utuh, ECP dan gabungan keduanya yang berasal dari S. agalactiae tipe non-hemolitik serta gabungan ECP tipe βhemolitik dan sel utuh non-hemolitik untuk penanggulangan penyakit Streptococcosis yang disebabkan oleh S. agalactiae, agar dapat diketahui proteksi terbaik dibandingkan dengan vaksin dari tipe β-hemolitik.
Diharapkan dari
penelitian ini dapat dihasilkan kandidat vaksin yang memberikan proteksi terbaik bagi ikan nila dalam mengatasi infeksi S. agalactiae. Bahan dan Metode Ikan yang digunakan dalam percobaan ini berjumlah 15 ekor setiap akuarium dan setiap perlakuan diulang sebanyak tiga kali. Bakteri yang digunakan untuk dijadikan vaksin adalah isolat β-hemolitik N 14 G dan isolat non-hemolitik NK 1 . Persiapan ikan uji dan bakteri yang digunakan dalam penelitian ini dijabarkan dalam metodologi umum.
112
Persiapan vaksin Vaksin yang digunakan dalam penelitian ini adalah vaksin sel utuh, ECP dan gabungan keduanya yang berasal dari S. agalactiae tipe non-hemolitik serta gabungan ECP tipe β-hemolitik dan sel utuh non-hemolitik. Inaktivasi vaksin dilakukan dengan menambahkan formalin 3% (Evans et al., 2004). Masing-masing tipe bakteri dibiakan dalam media brain heart infusion (BHI, BD BactoTM) dengan masa inkubasi 72 jam pada suhu 28-30oC, kemudian media yang sudah ditumbuhi bakteri ditambahkan 3% neutral buffered formalin dan diinkubasi selama 24 jam. Kemudian suspensi disentrifus 10000 g selama 30 menit pada suhu 4oC, pellet dan supernatan akan terpisah. Untuk mendapatkan vaksin sel utuh, pellet hasil sentrifus dicuci dengan PBS sebanyak dua kali, terakhir ditambahkan PBS sebanyak volume awal biakan bakteri. Sampel vaksin ditanam pada media BHIA, jika bakteri tidak tumbuh dalam waktu 72 jam, vaksin dapat digunakan untuk pengujian selanjutnya. Sedangkan vaksin ECP diperoleh dengan menyaring supernatan dengan filter saring 0.2 µm. Protein dalam ECP kemudian dianalisis dengan SDS-PAGE untuk mengetahui berat molekul protein yang terkandung didalamnya. Protein ECP dari S. agalactiae tipe non-hemolitik memiliki berat protein 51.8; 55.8 dan 62.3 kDa. Untuk pengujian keamanan vaksin ECP, vaksin disuntikan kelima ekor ikan nila dan dilihat perkembangannya selama 72 jam. Jika hingga jam ke-72 tidak muncul kematian dan gejala Streptococcosis maka vaksin ECP aman untuk digunakan. Vaksin yang dibuat disimpan dalam suhu 4 oC sampai akan digunakan. Parameter yang diukur Untuk mengetahui efikasi dari vaksin yang diberikan, dilakukan pengamatan pada beberapa parameter yaitu: •
Parameter utama : pengukuran tingkat kelangsungan hidup relatif (Relative Per cent Survival/RPS).
•
Parameter pendukung : gambaran darah, patologi klinik darah, pengukuran indeks fagositik dan pengukuran titer antibodi.
Cara kerja dan analisa data setiap parameter dijabarkan dalam metodologi umum.
113
Vaksinasi bakteri S. agalactiae tipe non-hemolitik pada ikan nila Tahapan pengujian efikasi vaksinasi S. agalactiae tipe non-hemolitik ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan vaksin sel utuh, ECP dan gabungan antara sel utuh dan ECP dari S. agalactiae tipe non-hemolitik serta vaksin gabungan antara sel utuh tipe non-hemolitik dengan ECP β-hemolitik dalam mencegah infeksi S. agalactiae. Sumber ECP yang digunakan adalah hasil dari penelitian uji toksisitas total ECP S. agalactiae sebelumnya. Masing-masing ikan diinjeksi vaksin sebanyak 0.1 ml/ekor. Ikan dipelihara selama 10 hari, kemudian setiap perlakuan diuji tantang dengan S. agalactiae dengan kepadatan 103 CFU/ml β-hemolitik dan 105 CFU/ml nonhemolitik pada hari ke-11 setelah vaksinasi. Setelah itu ikan dipelihara hingga hari ke-25 (14 hari pasca uji tantang). Parameter pendukung diamati pada hari ke-0, 5, 10, 18 dan 25, sedangkan parameter utama (RPS) diamati diakhir pengamatan (hari ke-25). Alur penelitian efikasi vaksin S. agalactiae tipe non-hemolitik sama dengan efikasi vaksin S. agalactiae tipe β-hemolitik, digambarkan seperti pada Gambar 33. Vaksinasi pada ikan nila, dilakukan dengan menyuntikan beberapa macam vaksin dari S. agalactiae tipe non-hemolitik seperti yang disajikan pada Tabel 28. Tabel 28 Perlakuan pengujian efikasi vaksinasi Streptococcus agalactiae tipe non-hemolitik Perlakuan/kode 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Vaksin Tidak divaksin Tidak divaksin sel utuh non-hemolitik sel utuh non-hemolitik ECP non-hemolitik ECP non-hemolitik 50 % sel utuh non-hemolitik + 50 % ECP non-hemolitik 50 % sel utuh non-hemolitik + 50 % ECP non-hemolitik 50 % sel utuh non-hemolitik + 50 % ECP β-hemolitik 50 % sel utuh non-hemolitik + 50 % ECP β-hemolitik
Uji tantang non non-hemolitik β-hemolitik non-hemolitik β-hemolitik non-hemolitik β-hemolitik non-hemolitik β-hemolitik non-hemolitik
114
Hasil dan Pembahasan 1 Tingkat kelangsungan hidup relatif (Relative Per cent Survival/RPS) Dari hasil pengamatan beberapa parameter imunitas ikan diketahui bahwa vaksinasi dengan menggunakan vaksin sel utuh, ECP maupun gabungan keduanya dari S. agalactiae tipe non-hemolitik, kurang memberikan proteksi terhadap infeksi S. agalactiae kedua tipe atau proteksi tidak sebaik vaksin dari tipe βhemolitik. Hal tersebut disebabkan karena dinding sel S. agalactiae tipe nonhemolitik lebih banyak tersusun atas karbohidrat yang kurang bersifat imunomodulator atau kurang dapat meningkatkan imunitas ikan secara baik dibandingkan protein. Pada Gambar 37 terlihat kematian kumulatif ikan nila yang divaksinasi dengan S. agalactiae tipe non-hemolitik. Kematian yang tinggi justru pada ikan yang divaksin dengan ECP bakteri tipe non-hemolitik. 25
jumlah ikan yang mati
20 15 10 5 0 1 Perlakuan
1
2
3 2
4
5 6 7 8 9 10 11 hari ke-(setelah uji tantang) 3 4 5 6 7 8
12 9
13
14 10
Gambar 37 Grafik kematian kumulatif ikan nila yang divaksinasi dengan Streptococcus agalactiae tipe non-hemolitik. Perlakuan/kode mengikuti Tabel 28. Nilai RPS yang dihasilkan pada vaksinasi dengan menggunakan beberapa jenis vaksin terlihat pada Tabel 29. Dari tabel tersebut tampak bahwa kematian ikan tetap terjadi pasca vaksinasi, dan jumlah kematian ikan yang divaksin lebih banyak jika dibandingkan dengan ikan yang divaksin menggunakan S. agalactiae tipe β-hemolitik.
115
Tabel 29 Tingkat RPS ikan yang divaksin Streptococcus agalactiae tipe nonhemolitik Perlakuan Jumlah ikan yang mati 1 2 2 16 3 6 4 4 5 22 6 10 7 7 8 8 9 2 10 7 Ket.: td=tidak terditeksi, Perlakuan/kode mengikuti Tabel 28.
RPS 87 62.5 75 td 37 56 50 87 56
Vaksin sel utuh dan ECP non-hemolitik, sama seperti vaksin sel utuh βhemolitik, juga memberikan proteksi lebih baik pada infeksi dari S. agalactiae yang setipe dengan vaksin.
Dari tingkat kematian yang terjadi dapat dilihat
bahwa perbedaan jenis vaksin yang diberikan berpengaruh terhadap tingkat ketahanan tubuh. Vaksin dari sel utuh S. agalactiae tipe non-hemolitik memiliki RPS 62.5% saat diuji tantang dengan tipe β-hemolitik 75% yang diuji tantang dengan tipe non-hemolitik. Ikan yang divaksin dengan ECP tipe non-hemolitik setelah diuji tantang dengan tipe β-hemolitik tidak memberikan proteksi karena kematian yang terjadi lebih tinggi dari kematian ikan yang tidak divaksin dan diinjeksi dengan S. agalactiae tipe non-hemolitik. Sedangkan yang diuji tantang dengan tipe nonhemolitik RPS hanya 37%. Artinya vaksinasi memberikan proteksi terhadap infeksi dari S. agalactiae tipe non-hemolitik namun belum optimal (Tabel 29). Vaksinasi dengan gabungan (sel utuh dan ECP) S. agalactiae tipe nonhemolitik melindungi 56% ikan setelah diuji tantang dengan tipe β-hemolitik dan hanya 50% saat diuji tantang dengan tipe non-hemolitik. Sedangkan vaksinasi dengan gabungan antara sel utuh tipe non-hemolitik dan ECP tipe β-hemolitik memiliki RPS 87% saat diuji tantang dengan tipe β-hemolitik dan hanya 56% saat diuji tantang dengan tipe non-hemolitik (Tabel 29). Dari data di atas dapat diketahui bahwa vaksin terbaik adalah vaksin gabungan tipe non-hemolitik dengan β-hemolitik. Artinya penggunaan vaksin dari tipe non-hemolitik kurang memberikan proteksi terhadap infeksi S. agalactiae
116
tidak sebaik vaksin dari tipe β-hemolitik. Sedangkan jika digabung dengan tipe βhemolitik memberikan proteksi yang lebih baik dibandingkan vaksin nonhemolitik sendiri. Lambatnya peningkatan respon imunitas pada ikan yang divaksinasi dengan sel utuh, ECP maupun gabungan keduanya dari S. agalactiae tipe nonhemolitik diduga disebabkan karena kapsul yang menyelubungi sel bakteri. Permukaan bakteri yang lebih banyak tersusun atas karbohidrat menyebabkan sulitnya menempel pada sel-sel dalam tubuh sehingga respon yang dimunculkan kepada inang juga menjadi lambat. Ikan yang mati kebanyakan adalah ikan yang mengalami perubahan baik pada tingkah laku berenang maupun adanya perubahan pada anatomi bagian luar dan dalam, berupa perubahan mata (eksoptalmia, purulens, opacity), garis vertikal menghitam. Produk ekstrasellular S. agalactiae tipe non-hemolitik terdiri dari protein 51.8; 55,8 dan 62.8 kDa. Menurut Pasnik et al. (2005) kandungan protein pada ECP S. agalactiae yang digunakan sebagai vaksin pada ikan berkisar antara 47-75 kDa dan yang lebih dominan adalah protein 54 dan 55 kDa. Dilihat dari kadar protein yang terkandung dalam ECP tipe non-hemolitik sebenarnya hampir sama dengan ECP dari tipe β-hemolitik dan Pasnik et al. (2005), namun hasilnya kurang baik, hal ini dimungkinkan karena adanya protein 51.8 kDa yang kurang imunogenik terhadap ikan nila, namun ini masih perlu diuji lebih lanjut. Seperti yang diungkapkan Sheehan et al. (2009) bahwa vaksin S. agalactiae yang diberikan hanya mampu bereaksi pada infeksi bakteri yang setipe dengan tipe bakteri vaksin yang diberikan (specific biotype protection). Dari Tabel 29 terlihat adanya specific biotype protection, bahwa vaksin dari tipe non-hemolitik (sel utuh dan ECP) memberikan proteksi lebih baik pada infeksi S. agalactiae tipe non-hemolitik. Selain itu, vaksinasi yang dilakukan setelah 14 hari uji tantang terlihat kurang meningkatkan komponen-komponen imunitas ikan baik spesifik maupun non spesifik. Ini menandakan bahwa bakteri utuh dari tipe non-hemolitik (berkapsul) kurang mampu meningkatkan respon imun spesifik maupun non spesifik sehingga saat S. agalactiae kedua tipe bakteri menginfeksi tubuh kurang mampu memberikan proteksi.
117
2 Gambaran darah ikan nila Parameter pendukung seperti gambaran darah dan patologi klinik darah diamati untuk mengetahui efikasi dari vaksinasi yang dilakukan, selain itu juga untuk membandingkan efikasinya dengan vaksin dari S. agalactiae tipe βhemolitik yang sudah dilakukan sebelumnya. Parameter pendukung dijabarkan pada Tabel 30 di bawah ini dan data secara lengkap dijabarkan pada Lampiran 10. Tabel 30 Parameter pendukung efikasi vaksinasi vaksin non-hemolitik pada hari ke-14 pasca uji tantang Perlakuan
Leukosit Eritrosit Limfosit Antibodi 105 105 IP (%) (%) (-log 2 ) 3 3 sel/mm sel/mm 1 1.3±0.005 75±2.5 34±0.6 9±1 0 2 2.8±0.002 68±3.0 24±1 14±2 0 3 1.3±0.001 79±1.0 30±2 20±1 2 4 1.3±0.001 82±1.0 33±2.5 24±1 2 5 2.3±0.009 73±3.0 25±0.6 12±0 0 6 1.8±0.005 67±2.0 26±2.1 20±3 1 7 1.6±0.003 81±1.0 30±2 17±0 2 8 1.8±0.005 75±1.0 29±1.2 16±1 2 9 1.3±0.001 80±3.0 31±1.5 26±0 3 10 1.5±0.001 81±1.0 29±1 17±1 3 Keterangan : Perlakuan/kode mengikuti Tabel 28. IP = indeks fagositik. He = hematokrit. Hb = hemaglobin
He (%) 25.3±0.3 43.3±0.4 32.3±0.3 29.3±1.1 24.3±0.4 30.3±0.4 29.3±0.7 29.6±1.4 28.9±1.1 26.3±0.3
Hb (g%) 12±0 8±1 10.7±0.6 11±1 7.3±0.6 8.7±0.6 9.3±0.6 9±0 10.3±0.6 9.9±0.1
Total leukosit Total leukosit sebagai respon seluler pertahanan non spesifik juga mengalami peningkatan pasca vaksinasi dengan bakteri tipe non-hemolitik. Peningkatan total leukosit terjadi secara signifikan pada hari ke-10 disemua perlakuan dan berbeda nyata dengan kontrol. Tidak seperti ikan kontrol yang tidak divaksin, peningkatan total leukosit ikan tidak setinggi ikan yang divaksin sehingga 46% ikan mati karena tidak mampu menghalangi berkembangnya S. agalactiae dalam tubuh.
Hal ini diduga saat ada infeksi total leukosit
meningkat untuk memfagosit bakteri infeksi dan setelah 7 hari pasca infeksi, bakteri berhasil difagosit dan tidak mampu untuk tumbuh dan berkembang sehingga ikan banyak yang mampu hidup. Memasuki hari ke-7 pasca uji tantang masih mengalami peningkatan dan hari ke-14 pasca uji tantang, total leukosit mulai turun namun tetap berbeda nyata dengan kontrol, ini menandakan bahwa infeksi bakteri mulai berkurang dan juga leukosit berada dalam jaringan yang terinfeksi untuk memfagosit bakteri. Dengan
118
meningkatnya total leukosit akibat vaksinasi yang diberikan, menunjukkan bahwa vaksin dari sel utuh dan ECP S. agalactiae tipe non-hemolitik sebenarnya mampu menstimulus peningkatan sel-sel imunitas non spesifik ikan. Peningkatan total leukosit terjadi pada ikan yang tidak divaksinasi diakhir pengamatan. Hal ini dikarenakan bakteri masih belum berhasil dieliminir oleh tubuh sehingga tubuh masih memproduksi sel-sel leukosit, untuk memfagosit bakteri infeksi. Hampir sama halnya dengan ikan yang divaksinasi dengan vaksin dari tipe tipe non-hemolitik masih ditemukan adanya peningkatan. Hal ini menandakan bahwa leukosit belum seutuhnya mampu menghambat pertumbuhan dari bakteri patogen sehingga tubuh masih memproduksi leukosit untuk terus membunuh infeksi patogen (sel-sel imunitas belum mampu mengeliminasi bakteri secara optimal). Deferensial leukosit Jenis leukosit pasca vaksinasi juga mengalami peningkatan namun khususnya limfosit yang berbeda nyata dengan kontrol pada hari ke-10. Memasuki hari ke-14 uji tantang masih ditemukan adanya kenaikan namun tidak berbeda nyata dengan kontrol (perlakuan 2).
Artinya vaksin yang diberikan
sebenarnya mampu meningkatkan sel-sel darah putih. Titer antibodi terbentuk mulai hari ke-5 hingga hari ke-25 pasca vaksinasi. Namun titer antibodi yang terbentuk tidak sebanyak saat vaksinasi dengan S. agalactiae tipe β-hemolitik. Monosit meningkat pada hari ke-5 pasca vaksinasi namun tidak berbeda nyata dengan kontrol, sedangkan neutrofil mengalami peningkatan hingga hari ke18 pasca vaksinasi dan berbeda nyata dengan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa vaksin dari S. agalactiae tipe non-hemolitik kurang mampu membantu meningkatan sel-sel imunitas non spesifik (khususnya monosit) sebaik vaksin dari S. agalactiae tipe β-hemolitik (mampu menstimulus peningkatan monosit dan neutrofil secara bersamaan). Hal ini dapat disebabkan karena permukaan sel bakteri S. agalactiae tipe non-hemolitik lebih banyak tersusun atas karbohidrat yang kurang bersifat imunogenik.
119
Total Eritrosit Jumlah total eritrosit ikan uji terlihat pada Tabel 30. Fluktuasi total eritrosit terjadi hampir di semua perlakuan. Data total eritrosit ini sejalan dengan kadar Hb, peningkatan terjadi saat adanya infeksi dan mengalami penurunan pada hari ke-7 pasca uji tantang, hal ini menunjukkan bahwa S. agalactiae masih mampu mengembangkan virulensinya dengan menghasilkan toksin hemolisin (salah satunya) dalam tubuh inang sehingga menyebabkan eritrosit lisis. Artinya. sel-sel fagosit dan antibodi belum mampu secara optimal memberikan proteksi terhadap keberadaan patogen dalam tubuh ikan. 3 Indeks fagositik Setelah vaksinasi, indeks fagositik tampak mengalami peningkatan namun indeks fagositik yang dihasilkan oleh ikan yang divaksin dengan ECP bakteri tipe non hemolitik tidak berbeda nyata dengan kontrol (perlakuan 2). Vaksin ECP dan gabungan sel utuh dan ECP lebih mampu meningkatkan indeks fagositik pada hari ke-18 pasca uji tantang. Peningkatan indeks fagositik juga tidak sebanyak saat vaksinasi dengan S. agalactiae tipe β-hemolitik. Meskipun peningkatan terjadi, namun tidak cukup untuk melawan adanya infeksi dari S. agalactiae karena hanya neutrofil yang meningkat secara nyata akibat vaksinasi, sehingga proteksi terhadap infeksi juga masih kurang (masih ditemukan banyak ikan yang mati). 4 Titer antibodi Hasil pengamatan pada titer antibodi, ikan mampu memproduksi antibodi saat diuji aglutinasi dengan bakteri tipe β-hemolitik dan non-hemolitik sejak hari ke-5 vaksinasi.
Titer tertinggi dicapai ikan rata-rata pada hari ke-10 pasca
vaksinasi (namun tidak sebesar saat vaksinasi dengan tipe β-hemolitik). Hal ini menunjukkan bahwa berbagai jenis vaksin yang diberikan sebenarnya mampu membantu tubuh meningkatkan titer antibodi. Peningkatan titer antibodi yang tidak sebesar saat vaksinasi dengan tipe βhemolitik sejalan dengan hasil total leukosit, limfosit dan indeks fagositik, bahwa
120
vaksin dari sel utuh dan ECP S. agalactiae tipe non-hemolitik kurang mampu menstimulus peningkatan komponen imunitas spesifik dan non spesifik ikan. 5 Patologi klinik darah ikan nila Hematokrit (He) Dari hasil pengamatan, He ikan kontrol positif (tidak divaksin tapi diuji tantang dengan S. agalactiae tipe non-hemolitik) mengalami peningkatan dan peningkatannya berbeda nyata dengan ikan yang divaksin. Hal tersebut disebabkan akibat adanya infeksi bakteri, peningkatannya terjadi sangat tinggi hingga hari ke-25 (14 hari setelah uji tantang). Peningkatan He pasca uji tantang pada ikan yang divaksinasi juga terjadi namun peningkatannya hingga hari ke-7 pasca uji tantang dan peningkatan terus terjadi hingga hari ke-14 pasca uji tantang (Perlakuan 8). Vaksinasi dari S. agalactiae tipe non-hemolitik belum mampu memberikan proteksi terhadap ikan nila terhadap infeksi S. agalactiae, artinya vaksin yang diberikan belum mampu membantu tubuh ikan untuk mencegah berkembangnya patogen secara optimal. Hemoglobin (Hb) Dengan pemberian vaksin, kadar hemoglobin ikan yang diinfeksi oleh S. agalactiae tipe non-hemolitik mengalami peningkatan awal infeksi dan mengalami penurunan pada hari ke-14 pasca uji tantang khususnya vaksinasi dengan ECP S. agalactiae tipe non-hemolitik (perlakuan 6) dan perlakuan 7 (sel utuh + ECP tipe non-hemolitik). Hasil ini menunjukkan bahwa vaksin dari tipe non-hemolitik kurang memberikan proteksi pada ikan terhadap infeksi S. agalactiae tipe non-hemolitik maupun tipe β-hemolitik. Dengan pemberian vaksin gabungan antara sel utuh non-hemolitik dan ECP β-hemolitik, kadar hemaglobin ikan diinfeksi oleh S. agalactiae tipe βhemolitik tidak mengalami penurunan yang drastis artinya bakteri belum mampu tumbuh dan berkembang dengan baik sehingga virulensi (toksin hemolisin) yang dikeluarkan masih mampu dihalau oleh sistem pertahanan spesifik dan non spesifik tubuh. Hasil ini sejalan dengan data kematian ikan bahwa ikan yang
121
divaksin dengan gabungan tersebut mampu mencegah infeksi berasal dari bakteri tipe β-hemolitik dengan baik ditandai dengan RPS-nya yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan infeksi dari S. agalactiae tipe non-hemolitik. Glukosa darah Perubahan pada kadar glukosa darah akibat vaksinasi dari S. agalactiae tipe non-hemolitik diamati untuk mengetahui dampak vaksinasi terhadap kondisi kesehatan ikan. Hasilnya, vaksinasi tidak menyebabkan perubahan pada keseimbangan tubuh (stress) dilihat dari peningkatan kadar glukosa pasca vaksinasi yang tidak signifikan dengan kontrol terutama pemberian vaksin sel utuh maupun gabungan (sel utuh dan ECP). Sedangkan pasca uji tantang terjadi peningkatan hingga hari ke-14 pasca uji tantang pada ikan yang tidak divaksinasi tetapi diinjeksi dengan tipe non-hemolitik (perlakuan 2) dan juga ikan yang divaksin dengan ECP dan diuji tantang dengan tipe non-hemolitik. Hal ini menandakan bahwa infeksi S. agalactiae mengganggu kesehatan ikan ditandai masih adanya peningkatan glukosa meskipun pada ikan yang divaksinasi. Dari hasil pengamatan pada hari ke-25 masih ditemukan peningkatan kadar glukosa darah, hal ini menandakan adanya infeksi bakteri. Secara keseluruhan vaksinasi dengan menggunakan S. agalactiae tipe non-hemolitik belum efektif untuk mencegah infeksi dari kedua tipe S. agalactiae. 6 Kualitas air wadah budidaya Selama percobaan, pemeliharaan kualitas air juga dilakukan untuk menjaga tetap baik sehingga tidak menjadi pemicu stress pada ikan. Data kualitas air percobaan dijabarkan pada Tabel 31. Secara terperinci terlihat bahwa kualitas air disemua perlakuan tidak berbeda nyata baik suhu, O 2 terlarut, amoniak (TAN) dan CO 2 bebas berada dalam kisaran normal sehingga tidak berpengaruh nyata terhadap perlakuan artinya perbedaan hasil (data kematian, perubahan parameter imunitas dan perubahan gejala lainnya) disebabkan karena perbedaan perlakuan bukan karena kualitas air yang berbeda. Parameter kualitas air setelah penelitian tidak tampak adanya perubahan. Secara keseluruhan nilai kisaran kualitas air masih mendukung untuk kehidupan ikan nila. Dengan demikian, kualitas air
122
bukan merupakan penyebab kematian dan perubahan pada parameter pendukung (gambaran darah dan patologi klinik darah) ikan nila selama penelitian. Tabel 31 Kualitas air pada hari ke-25 pasca vaksinasi dengan Streptococcus agalctiae tipe non-hemolitik Parameter Suhu O 2 terlarut TAN CO 2 bebas
Satuan o
C mg/l mg/l mg/l
1 27.7 5.14 0.079 1.46
2 27.2 5.96 0.133 3.92
3 27.3 5.25 0.062 3.92
4 27.4 5.21 0.141 3.92
Perlakuan 5 6 27.4 27.1 3.80 3.90 0.515 0.298 3.92 3.92
7 27.6 5.27 0.105 3.92
8 27.7 5.40 0.138 3.92
9 27.3 4.60 0.179 3.92
10 27.5 4.48 0.116 3.92
Simpulan Pengujian efikasi vaksinasi S. agalactiae tipe non-hemolitik yang telah dilakukan menghasilkan beberapa simpulan, yaitu : 1. Kandungan protein dalam ECP S. agalactiae tipe non-hemolitik yang ditumbuhkan pada media BHI selama 72 jam memiliki berat molekul 62.3; 55.8 dan 51.8 kDa dapat dijadikan vaksin namun respon yang dimunculkan terhadap respon imunitas spesifik dan non spesifik lambat (dibandingkan dengan jenis vaksin dari S. agalactiae tipe β-hemolitik). 2. Dari tingkat RPS dapat dilihat bahwa perbedaan jenis vaksin dari S. agalactiae tipe non-hemolitik yang diberikan berpengaruh terhadap tingkat ketahanan tubuh. Vaksin sel utuh tipe non-hemolitik memberikan proteksi pada kedua tipe bakteri namun bersifat spesifik biotipe proteksi dan proteksi yang diberikan tidak sebaik vaksin sel utuh dari tipe β-hemolitik. Vaksin ECP tipe non-hemolitik tidak memberikan proteksi terhadap infeksi S. agalactiae kedua tipe. Vaksinasi gabungan (sel utuh dan ECP) tipe non-hemolitik memberikan poteksi kurang dari 60% pada kedua tipe bakteri. 3. Vaksin yang memberikan proteksi terbaik dari tipe non-hemolitik adalah vaksin gabungan sel utuh tipe non-hemolitik dan ECP tipe β-hemolitik. 4. Vaksin dari S. agalactiae tipe non-hemolitik kurang memberikan proteksi pada infeksi S. agalactiae kedua tipe, tidak sebaik vaksinasi dengan menggunakan S. agalactiae tipe β-hemolitik.
123
PEMBAHASAN UMUM Bakteri S. agalactiae yang menyerang ikan nila dikelompokan menjadi 2 kelompok berdasarkan kemampuannya melisis darah yaitu tipe β-hemolitik dan non-hemolitik sama seperti yang ditemukan oleh Sheehan et al. (2009). Perbedaan keduanya yaitu bakteri β-hemolitik mampu melisis eritrosit dengan sempurna yang ditunjukkan dengan adanya zona bening pada media agar darah. Sedangkan bakteri non-hemolitik tidak mampu melisis eritrosit sehingga tidak terbentuk zona pada media agar darah. Bakteri tipe β-hemolitik (Isolat N 14 G) dan tipe non-hemolitik (Isolat N 3 M, N 4 M,
N 17 O, NK 1 ) memiliki karekteristik
morfologi yang hampir sama yaitu pada pengujian motilitas, oksidatif-fermentatif, katalase, tumbuh dalam NaCl 6,5%, hidrolisis aesculin dan D-mannitol. Perbedaan terletak pada pertumbuhan dalam bile salt 40%.
Bakteri tipe β-
hemolitik dapat tumbuh baik pada media bile salt 40% namun bakteri tipe nonhemolitik umumnya tidak tumbuh. Uji karakteristik dasar S. agalactiae adalah bahwa harus memenuhi 4 kriteria dasar yaitu: termasuk Gram positif, aeskulin dan hidrolisis D-mannitol negatif dan hipurat positif.
Perbedaan keduanya juga
terletak pada kemampuan menghidrolisis berbagai macam gula.
Dari hasil
pengamatan, bakteri tipe β-hemolitik (isolat N 14 G) memiliki kemampuan menghidrolisis gula lebih banyak termasuk arabinose, sorbitol, lactose, trehalose dan starch, sedangkan bakteri tipe non-hemolitik (isolat N 3 M, N 4 M, N 17 O dan NK 1 ) umumnya hanya sedikit menghidrolisis gula.
Sama halnya dengan
pengamatan yang dilakukan oleh Sheehan et al. (2009) dimana S. agalactiae tipe β-hemolitik mampu menghidrolisis gula lebih banyak. Dari pengujian ekspresi fenotip, derajat hidrofobisitas dan aktivitas hemaglutinin yang dilakukan, S. agalactiae dikelompokkan dalam tipe berkapsul dan non-kapsul. Kelima isolat S. agalactiae pada ikan diduga ada yang memiliki kapsul dan ada juga yang tidak berkapsul, jika dilihat berdasarkan pengujian fenotipik, derajat hidrofobisitas dan kemampuan hemaglutinin bakteri yang memiliki rantai pendek, permukaan selnya lebih banyak tersusun atas protein (bakteri mampu didegradasi oleh larutan ammonium sulfat konsentrasi rendah yaitu 0.2-1.6 M), pertumbuhan jernih dan terdapat endapan dalam media cair
124
dapat dikelompokkan kedalam bakteri tidak berkapsul (isolat 3) dan bakteri yang berantai panjang, permukaan selnya lebih banyak tersusun atas karbohidrat (bakteri hanya mampu didegradasi oleh larutan ammonium sulfat konsentrasi tinggi > 1.6 M), pertumbuhan keruh dalam media cair dapat dikelompokkan ke dalam bakteri berkapsul (isolat 2,4,5) sedangkan isolat 1 masih diperlukan penelitian lebih lanjut namun kecenderungan dapat dikelompokkan kedalam bakteri tidak berkapsul. Perbedaan karakteristik ternyata berkaitan dengan patogenisitasnya terhadap inang.
Dari hasil pengamatan keseluruhan gejala tingkah laku dan
perubahan pada anatomi organ luar secara makroskopis yang muncul pasca injeksi menunjukkan bahwa S. agalactiae tipe non-hemolitik lebih virulen (perubahan lebih cepat terjadi dan gejala yang muncul lebih banyak) dibandingkan dengan tipe β-hemolitik, selain itu kematian ikan pasca injeksi dengan bakteri terlihat bahwa S. agalactiae tipe non hemolitik lebih cepat menyebabkan kematian yaitu mulai pada jam ke-8 pasca injeksi sedangkan isolat β-hemolitik baru pada jam ke48. Jumlah ikan yang mati pada hari ke-14 akibat injeksi S. agalactiae nonhemolitik (53.3%) lebih banyak dibandingkan dengan bakteri tipe β-hemolitik (48.3%).
Hal tersebut disebabkan karena S. agalactiae tipe non-hemolitik
memiliki kapsul pada permukaan selnya (tersusun lebih banyak karbohidrat) sehingga sulit untuk dicerna atau difagosit oleh sel fagositik, sehingga lebih mudah untuk berkembang dan menyebarkan virulensi dalam tubuh inang. Selain itu kandungan protein yang dimungkinkan sebagai toksin dan enzim hasil dari SDS-PAGE dalam S. agalactiae tipe non-hemolitik lebih banyak jumlah dan jenisnya. Pengujian toksisitas ECP dari kedua tipe bakteri menunjukkan hasil yang hampir sama, baik ECP bakteri tipe β-hemolitik maupun non-hemolitik keduanya menyebabkan kematian pada ikan nila pada jam ke-12 pasca injeksi. Kematian pada hari ke-7 pasca injeksi mencapai 60% pada penginjeksian ECP dari bakteri tipe non-hemolitik yang ditumbuhkan pada media padat BHIA. Perubahan pola renang whirling umumnya terjadi pada ikan yang diinjeksi dengan ECP nonhemolitik disemua perlakuan. Sedangkan ikan yang diinjeksi dengan ECP β-
125
hemolitik hanya terjadi pada ECP yang ditumbuhkan pada media BHIA dan BHI dengan lama inkubasi 72 jam. Hal ini dimungkinkan karena ada proses kematangan sel, bakteri dapat memproduksi ECP terbanyak saat pertumbuhan maksimal (Pasnic et al., 2005). Pengujian toksisitas menunjukkan bahwa lama inkubasi > 48 jam lebih banyak menyebabkan kematian dikedua tipe bakteri. Bakteri tipe non-hemolitik yang ditumbuhkan dalam media padat (BHIA) lebih banyak menghasilkan ECP (28.18 ppm) dibandingkan dengan yang tumbuh pada media BHI (13.64 ppm). Hal ini disebabkan karena selain nutrisi yang terkandung dalam media padat lebih mendukung pertumbuhan, media padat menjadi tempat yang baik untuk bakteri menempel seperti dalam inang. Sedangkan bakteri tipe βhemolitik yang ditumbuhkan dalam media cair dengan lama inkubasi 72 jam lebih banyak mengandung protein dalam ECP-nya (8.18 ppm) dan 2.73 ppm saat bakteri ditumbuhkan dalam media padat dengan lama inkubasi 24 jam. Secara keseluruhan ada keterkaitan antara tipe bakteri, media tumbuh dan lama inkubasi terhadap produksi ECP S. agalactiae. Semakin lama masa inkubasi (> 48 jam) semakin banyak jumlah dan jenis ECP yang dihasilkan sehingga toksisitanya lebih tinggi. Pemanfaatan protein bakteri sebagai vaksin sudah banyak dilakukan pemanfaatan supernatan bakteri Aeromonas hydrophila sebagai vaksin oleh Murtiningsih (2003), menghasilkan rata-rata sintasan 66.7-100% dibandingkan kontrol yang hanya 12.5%.
Vaksin sel utuh, ECP (>3 kDa) dari satu isolat
S. agalactiae dengan cara perendaman baru menghasilkan sintasan 34% (Evan et al., 2004). Pemanfaatan ekstrak protein S. difficile (1 isolat) dengan cara injeksi, kematianannya hanya 8% sedangkan kontrol 100%. Penggunaan ECP sebagai sumber vaksin dilakukan baik dari isolat tipe β-hemolitik maupun non-hemolitik. Hasilnya, vaksin jenis sel utuh, ECP dan gabungan keduanya dari satu isolat βhemolitik mampu meningkatkan sel-sel imunitas ikan nila baik spesifik maupun non spesifik dan nilai RPS tertinggi terjadi pada ikan yang divaksin dengan vaksin jenis gabungan ECP dan sel utuh, yaitu 92% saat diuji tantang dengan S. agalactiae tipe β-hemolitik dan 75% saat diuji tantang dengan tipe nonhemolitik.
Peningkatan titer antibodi juga terlihat pada ikan yang diinjeksi
126
dengan semua jenis vaksin dari bakteri tipe β-hemolitik.
Keberhasilan ini
disebabkan karena bakteri tipe ini permukaan selnya lebih banyak tersusun atas protein yang mudah untuk menempel dan diuraikan oleh sel-sel imunitas ikan, sehingga cepat meningkatkan kerja sel-sel pertahanan (sel fagosit dan sel limfosit sebagai pembentuk antibodi). Selin itu juga, protein bersifat imunogenik yang dapat meningkatkan respon imun pada ikan. Vaksin dari S. agalactiae tipe βhemolitik mampu meningkatkan imunitas spesifik dan non spesifik dengan baik disebabkan karena bakteri tipe ini permukaan selnya lebih banyak tersusun atas protein yang bersifat imunomodulator. Sedangkan karbohidrat, lemak dan vitamin kurang berperan sebagai imunomodulator kecuali berikatan dengan protein (lipopolysakarida). Vaksinasi dengan menggunakan sel utuh maupun ECP dari S. agalactiae tipe non-hemolitik juga dilakukan dan hasilnya tidak sebaik saat vaksinasi menggunakan bakteri S. agalactiae tipe β-hemolitik. Nilai RPS terbaik dicapai saat vaksinasi dengan menggunakan jenis vaksin gabungan sel utuh S. agalactiae tipe non-hemolitik dan ECP S. agalactiae tipe β-hemolitik yaitu 87% saat diuji tantang dengan S. agalactiae tipe β-hemolitik dan hanya 56% saat diuji tantang dengan tipe non-hemolitik.
Sedangkan jenis vaksin yang lain nilai RPSnya
bervariasi. Dari hasil pengujian efikasi vaksinasi memperlihatkan bahwa ada kemampuan spesifik dari vaksin saat membantu mencegah infeksi patogen. Ini terlihat bahwa baik vaksin sel utuh maupun ECP lebih besar melindungi tubuh ikan saat terinfeksi S. agalactiae yang setipe dengan vaksin yang diberikan. Permukaan S. agalactiae tipe non-hemolitik lebih banyak tersusun atas karbohidrat. Karbohidrat kurang imonogenik terhadap ikan dibandingkan dengan protein, namun jika digabungkan antar karbohidrat, protein dan lemak akan menjadi bahan yang lebih imunogenik dibandingkan karbohidrat itu sendiri. Itu lah salah satu faktor yang menyebabkan vaksinasi yang dilakukan dengan menggunakan S. agalactiae tipe non-hemolitik kurang memberikan proteksi yang baik terhadap ikan nila. Secara keseluruhan vaksinasi dengan menggunakan S. agalactiae tipe nonhemolitik belum efektif untuk mencegah infeksi S. agalactiae dari kedua tipe.
127
Perbandingan efikasi vaksinasi kedua tipe bakteri dapat dilihat dari parameter pendukungnya (Tabel 32). Tabel 32 Parameter pendukung efikasi vaksin Streptococcus agalactiae tipe βhemolitik dan non hemolitik Parameter Gambaran darah : Total Leukosit
Hemolitik
Non-hemolitik
• Hari ke 10 pasca vaksinasi mengalami peningkatan • Hari ke 7 pasca uji tantang sudah mengalami penurunan
• Hari ke 10 pasca vaksinasi mengalami peningkatan • Hari ke 7 pasca uji tantang masih mengalami peningkatan
Total Eritrosit
• Penurunan akibat uji tantang tidak terjadi secara signifikan
• Ada penurunan total leukosit pada hari ke 14 setelah uji tantang
Differensial leukosit
• Hari ke 5 pasca vaksinasi mengalami peningkatan hingga hari ke 7 pasca uji tantang • Hari ke 10 pasca vaksinasi mengalami peningkatan • Hari ke 5 pasca vaksinasi mengalami peningkatan • Mencapai 11 (-log 2 ) pada hari ke 10
• Hari ke 10 pasca vaksinasi mengalami peningkatan hingga hari ke 14 pasca uji tantang • Peningkatan tidak berbeda nyata dengan kontrol • Hari ke 5 pasca vaksinasi mengalami peningkatan • Mencapa 5-6 (-log 2 ) pada hari ke 10
Indeks fagositik Titer antibody
Patologi klinik darah : Hematokrit • Peningkatan tidak signifikan dan berbeda sangat nyata dengan kontrol positif pada hari ke 14 pasca uji tantang
• Peningkatan terus terjadi hingga hari ke 14 pasca uji tantang
Hemoglobin
• Setelah uji tantang tidak mengalami penurunan
• Terjadi peningkatan awal infeksi dan mengalami penurunan pada hari ke 14 pasca uji tantang
Glukosa darah
• Vaksinasi tidak menyebabkan peningkatan dan pasca uji tantang juga tidak menyebabkan peningkatan
• Pada hari ke 14 pasca uji tantang masih ditemukan peningkatan
128
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Keseluruhan penelitian yang mencakup lima tahapan yaitu 1) Pengujian Karakteristik Bakteri Streptococcus agalactiae yang Menginfeksi Ikan Nila Oreochromis niloticus; 2) Pengujian Patogenisitas Bakteri Streptococcus agalactiae Tipe β-hemolitik dan Non-hemolitik pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus); 3) Toksisitas Produk Ekstrasellular (ECP) Streptococcus agalactiae pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus); 4) Efikasi Sel Utuh dan Produk Ekstrasellular Bakteri Streptococcus agalactiae Tipe β-hemolitik Sebagai Vaksin untuk Pengendalian Streptococcosis pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus) dan 5) Efikasi Sel Utuh dan Produk Ekstrasellular Bakteri Streptococcus agalactiae Tipe Non-Hemolitik Sebagai Vaksin untuk Pengendalian Streptococcosis pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus) menghasilkan beberapa simpulan yang dapat menjawab beberapa permasalahan mengenai S. agalactiae yang menyerang ikan selama ini. Beberapa simpulan tersebut antara lain : 1. Bakteri S. agalactiae yang menginfeksi ikan khususnya ikan nila ada dua tipe yaitu tipe β-hemolitik (isolat 3) dan non hemolitik (isolat 1, 2, 4 dan 5). Bakteri tipe non-hemolitik lebih banyak ditemukan menginfeksi ikan nila. Perbedaan kedua tipe bakteri tersebut dapat dikaitkan dengan keberadaan kapsul pada permukaan selnya. Bakteri tipe β-hemolitik cenderung permukaannya tersusun atas protein yang termasuk bakteri non-kapsul. Sedangkan bakteri isolat 2, 4, 5 cenderung permukaan selnya lebih banyak tersusun atas karbohidrat yang dapat dikelompokkan kedalam tipe berkapsul. 2. Perbedaan karakteristik pada S. agalactiae yaitu tipe β-hemolitik dan nonhemolitik berpengaruh terhadap patogenisitasnya. Bakteri tipe non-hemolitik lebih virulen, dilihat dari waktu dan jumlah kematian yang disebabkan lebih cepat dan lebih banyak. Selain itu waktu munculnya gejala Streptococcosis (whirling) juga lebih cepat yaitu 96 jam pasca injeksi dan 120 jam pasca injeksi bakteri tipe β-hemolitik. 3. Salah satu faktor virulen S agalactiae tipe β-hemolitik dan non-hemolitik adalah ECP. Penginjeksian ECP dari kedua tipe bakteri menyebabkan kematian pada jam ke-12 pasca injeksi. Gejala Streptococcosis yang muncul
129
seperti eksoptalmia, opacity, purulens dan whirling sama dengan gejala yang muncul saat penginjeksian dengan sel utuh S. agalactiae kedua tipe. Hasil SDS-PAGE menunjukkan jumlah dan jenis protein yang terkandung dalam bakteri tipe non-hemolitik lebih banyak. Inilah yang diduga sebagai salah satu penyebab tingginya virulensi pada tipe non-hemolitik. 4. Vaksinasi gabungan antara sel utuh dengan ECP dari S. agalactiae tipe βhemolitik mampu meningkatkan respon imunitas spesifik dan non spesifik serta mampu memberikan proteksi terbaik kepada ikan nila terhadap infeksi S. agalactiae bertipe β-hemolitik maupun non-hemolitik, jika dibandingkan dengan vaksin sel utuh, ECP dari isolat tunggal β-hemolitik atau nonhemolitik, juga lebih baik dari vaksin gabungan dengan tipe non-hemolitik. Saran Vaksin yang potensial untuk mencegah infeksi S. agalactiae kedua tipe yaitu β-hemolitik dan non-hemolitik telah dihasilkan dalam penelitian ini. Namun masih perlu dilakukan beberapa penelitian lanjutan yang berkaitan dengan vaksin S. agalactiae ini, antara lain : 1. Pengamatan
mengenai
durasi,
cara
penyimpanan
dan
kemungkinan
penggabungan dengan adjuvant. 2. Perlu dikaji lebih lanjut untuk vaksinasi dengan cara perendaman dalam aplikasi di lapangan dengan menggunakan komposisi vaksin terbaik dari hasil penelitian ini. 3. Melakukan pengujian efikasi vaksin hasil terbaik dengan melakukan uji tantang dengan S. agalactiae bivalen (gabungan antara tipe β-hemolitik dan non-hemolitik). 4. Penelitian vaksinasi dengan menggunakan protein rekombinan dari ECP S. agalactiae tipe β-hemolitik yang kemungkinan dapat memberikan level protektif lebih baik dari vaksin gabungan sel utuh dan ECP S. agalactiae tipe β-hemolitik.
130
DAFTAR PUSTAKA Adam, SM. 1990. Status and use of biological indicator for evaluating the effect of stress on fish. A.Fish.Society Symposium 8: 1-8 Alcaide, EE., Sanjuan, F. de la Gandara, A Garcia-Gomez. 2000. Susceptibility of amberjack (Seriola dumerili) to bacterial fish pathogens. Bull.Eur. Assoc. Fish Pathol. 20:153-156. Almendras, JME. 2001. Immunity and biological methods of disease prevention and control. In: Health management in aquaculture. G.D. Liopo, C.R. Lavilla and E.R. Cruz-Lacierda (Eds.). Aquaculture Departement Southeast Asian Fisheries Development Center, Philippines:111-136. Anderson, DP. 1974. Fish immunology. Hongkong: TFH Publication Ltd. pp 182 Anderson, DP., AK Siwicki. 1995. Basic hematology and serology for fish health programs. Paper presented in second symposium on diseases in Asian Aquaculture “Aquatic Animal Health and the Environment”. Phuket, Thailand. 25 – 29 thOctober 1993. 17 hal Anderson, DP.1990. immunological indicators : Effects of environmental stress on immun protection and disease outbreaks. A.Fis. society Symposium 8 : 38-50 Austin B., DA Austin. 2007. Bacterial fish pathogens. Fourth Edition. New York: Praxis Publishing Ltd. pp 552 Baya AM et al. 1990. Association of Streptococcus sp. with fish mortalities in the Chesapeak Bay and its tributaries. Journal of Fish Diseases 13: 251-253. Bercovier, H., C Ghittino, A Elder. 1997. Immunization with bacterial antigens: infections with streptococci and related organism. Dev. Biol. Stand. 90: 153–160. Berridge, BR., H Bercovier, PF Frlier. 2001. Streptococcus agalactiae and Streptococcus difficile 16 S-23S intergenic rDNA: genetic homogeneity and spesies-specific PCR. Vet.Microbiol. 78: 165-173 Blaxhall, PC., KW Daisley. 1973. Routine haematological methods for use with fish blood. J. Fish Biol. 5: 577-581 Bohnsack, CJ et al. 2004. Serotype III Streptococcus agalactiae from bovine milk and human neonatal infections. Emerging Infectious Diseases 10: 14121419. Bonar, CJ., RA Wagner. 2003. A third report of “golf ball disease” in an Amazon river dolphin (Inia geoffrensis) associated with Streptococcus iniae. J. of Zoo and Wildlife Medicine 34: 296-301. Bromaga, ES., A Thomas, L Owens. 1999. Streptococcus iniae, a bacterial infection in barramundi, Lates calcarifer. Dis. Aquat. Org. 36: 177-181.
131
Bullock, GL. 1971. Diseases of fishes. Book 2A: Bacterial diseases of fishes. TFH Pub. Nepture pp. 42-50. Chen, SC et al. 2002. Lactococcus garvieae, a cause of disease in grey mullet, Mugil cephalus L., in Taiwan. J. Fish Dis. 25: 727-732. Chen, SC., A Adams, RH Richards. 1997. Extracellular products from Mycobacterium spp. in fish. J. of Fish Diseases 20: 19–25 Christie, R., NE Atkins, EA Munch-Petersen. 1994. A note on lytic phenomenon shown by group B streptococci. The Australian J. of Biol. and Med. Science 22: 197-200 Clem, LW., E Faulman, NW Miller, C Ellsaesser, CJ Lobb, MA Cuchens. 1985. Monocytes as accessory cells in fish immune respones. Developmental and comparative immunology 9: 803 – 809 Courtney, HS., DL Hasty, I Ofek. 1990. Hydrophobicity of group A streptococci and its relationship to adhesion of streptococci to host cells. In Microbial Cell surface hydrophobicity Edited by R.J. Doyle and Mel Rosenberg. Washington USA: American Society for Microbiology pp. 361-386 Craig WA. 1998. Choosing an antibiotic on the basis of pharmacodynamics. Ear NoseThroat J. 77:7-11. Dellmann, HD. 1989. Veterinary histology. Penerjemah: Hartono R. Universitas Indonesia Press pp. 297. Dorson, M. 1984. Applied immunology of fish. Symposium of Fish Vaccination. O.I.E. Fish Diseases Commission. Paris: 39-74. Duguid, JP., IPW Smith, G Dempster and PN Edmunds. 1955. Nonflagellar filamentous appendages (“fimbriae”) and haemagglutinating activity in bacterium coli. J.Pathol.Bacteriol., 70:335-348. Elder A, A Horovitez, H Bercovier. 1997. Development and efficacy of a vaccine against Streptococcus iniae infection in farmed rainbow trout. Vet. Immunol. Immunopathol. 56: 175-183. Elder A, Y Bejerano, A Livoff, A Horovitcz, H Bercovier. 1994. Experimental streptococcal meningo-encephalitis in cultured fish. Vet. Microbial. 43: 33-40. Elder, A., C Ghittino. 1999. Lactococcus garvieae and Streptococcus iniae infections in rainbow trout, Oncorhynchus mykiss: similar but different diseases. Dis.Aquat. Org. 36: 227-231. Elliott, JA., RR Racklam, CB Richter. 1990. Whole-cell protein patterns of nonhemolytic group B, type Ib, streptococci isolate from humans, mice, cattle frog, and fish. J. of Clinical microbiology 28: 628-630. Ellis AE. 1988. Fish vaccination. Academic Press Ltd. London: pp 255. Ellis, AE. 1989. The immunology of teleosts. In : Robert, RJ. (Ed). Pathology. Bailiere Tindal. London. pp. 135 – 152.
Fish
132
Evans, JJ et al. 2002. Characterization of beta-haemolytic group B Streptococcus agalactiae in cultured seabream, Sparus auratus L., and wild mullet, Liza klunzingeri (day), in Kuwait. J. Fish Dis. 25: 505-513. Evans, JJ. 2003. Effects of sublethal dissolved oxygen stress on blood glucose and susceptibility to Streptococcus agalactiae in nile tilapia Oreochromis niloticus. Journal of Aquatic Animal Health 15: 202-208 Evans, JJ., DJ Pasnik, PH Klesius, S Al-Ablani. 2006b. First report of Streptococcus agalactiae and Lactococcus garviae from a wild bottlenose dolphin (Tursiops truncatus). Journal of Aquatic Animal Health 18: 212216 Evans, JJ., PH Klesius, CA Shoemaker. 2006a. An overview of Streptococcus in warmwater fish. Aquac. Health Int. 7: 10-14. Evans, JJ., Phillip, Craig AS. 2004. Efficiency of Streptococcus agalactiae (group B) vaccine in tilapia (Oreochromis niloticus) by intraperitoneal and bath immersion administration. Vaccine 22: 3769-3773 Evenberg, D., de Graaff D, Fleuren W, van Muiswinkel WB. 1986. Blood changes in carp (Cyprinus carpio) induced by ulcerative Aeromonas salmonicida infections. Vet. Immunol. Immunopathol., 12: 321-330. Fange, R. 1982. A comperative study of lymphomieloid tissue in fish. Developmental and comperative immunology (Supplement) 2: 23 – 33. Ferguson, HW. 1989. Systemic pathology of fish. Lowa State University Press: Ames. pp 263 Filho CI, EE Muller, LG Pretto-Giordano, Ana Paula FRL. Bracarense. 2009. Histological findings of experimental Streptococcus agalactiae infection in nile tilapias (Oreochromis niloticus). Braz J Vet Pathol, 2(1): 12-15 Fujaya, Y. 2004. Fisiologi Ikan. Penerbit Rineka Cipta. 179 hal. Garcia, JC., PH Klesius, JJ Evans, CA Shoemaker. 2008. Non-infectivity of cattle Streptococcus agalactiae in Nile tilapia, Oreochromis niloticus and channel catfish, Ictalurus punctatus. Aquaculture 281:151-154. Golub, ES. 1987. Immunology a synthesis. Sinauer Associates, Inc. SunderlandMassachusetts. pp 551. Gottschalk M., Lebrun A., Jacquest M., Higgins R. 1990. Hemagglutination properties of Streptococci suis. J Clin.Microbiol. 28: 2156-2158. Hinton, DE and DJ Lauren. 1990. Integrative histopathological approaches to detecting effects of environmental stressors of fishes. American Fisheries Society Symposium, 8:51-66 Ilstrup, DM. 1990. Statistical methods in microbiology. Clin. Microbiol. Rev. 3: 219-226.
133
Isaacon, RE. 1985. Pilus Adhesin in: Sevage, D.C and Fletcher, M (Ed). Bacterial Adhesin Mechanishm and Physiological Significance. New York: Plenum Publishing Corp. 307-336 Jawetz, E., Melnick, JL and Adelberg, EA. 1982. Microbiology for Medicine. 14th ed. Lange Medical Publications. Los Altos. California. pp 258 Joklik, WK., Willett HP., Amos DB., Wilfert CM. 1992. Zinsser microbiology. 20th ed. Appleton and Lange. California. 401-413. Kamiso, HN. 1996. Vibriosis pada ikan dan alternatif cara penanggulangannya. J. Perikanan UGM (GMU J.Fish Sci.) 1 (1): 78 – 86 Kane, JA., AE Rabkin, WW Karakawa. 1975. Demostration of the capsular antigens of bovine group B streptococci by serum method. J.Clin. Microbiol. 2: 35-41 Kawahara, E and S Nomura. 1990. Lethality and immunogenicity of Aeromonas salmonicida extracellular products to salmonids in R. Hirano and I. Hanyu (Eds), Proc. Of The Second Asian Fisheries Forum, Tokyo Japan, 17-22 April 1989. 671-674 Kawamura, Y et al. 2005. Hight genetic similarity of Streptococcus agalactiae and Streptococcus difficilis: S. dificilis Elder et al.1995 is a later synonym of S. agalactiae Lehmann and Neumann 1896 (Approved List 1980), Int. J. Syst Evol Microbiol. 55: 961-965 Klesius, PH., JJ Evans, CA Shoemaker. 2007. The macrophage chemotactic of S. agalactiae and S. iniae extracellular products (ECP). Fish and Shellfish Immunology 22: 443-450 Kurl, DN., Haataja S., Finne J. 1989. Hemagglutination Activities in Streptococcus suis. Infect.Immun. 57: 384-389. Laemmli, UK. 1970. Cleavage of structural protein during assembly of the head of bacteriophage T4. Nature, 227: 680-685. Lamas, J., Y Santos, D Bruno, AE Toranzo and R Anadon. 1994. A comparison of pathological changes caused by Vibrio anguillarum and its extracellular products in rainbow trout (Onchorhynchus mykiss). J. of Fish Pathology, 29 (2):79-89. Lammler, C., IWT Wibawan. 1993. Relation between Capsular Sialylation and Various Properties of a Group B Streptococcus of Serotype III. XII Lancefield Ins. Symp. On streptococci and streptococcal Dis. St. Petersburg, Russia. Lehninger, AL. 1990. Principles of Biochemistry. Cet. ke-2. Penterjemah: M. Thena- widjaja. Penerbit Erlangga, Jakarta. Lindahl, G., M Stalhammar-Carlemalm, T Areschoug. 2005. Surface proteins of Streptococcus agalactiae and related proteins in other bacterial pathogens. Clinical Microbiology 18: 102-127.
134
Ljungh, A., S Hjerten, T Wadstrom. 1985. High surface hidrophobicity of aggregating Staphylococcus aereus strain isolate from human infections studied with Salt Aggregation Test. Infect. Immun., 47: 522-526 Lusiastuti, AM. 2009. Potensi imunogenik sel utuh (whole cell) Streptococcus agalactiae yang diinaktivasi dengan formalin untuk pencegahan penyakit Streptococcosis pada ikan nila (Oreochromis niloticus). Laporan Penelitian Hibah Penelitian Bagi Peneliti dan Perekayasa Departemen Kelautan dan Perikanan. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar Pusat Riset Perikanan Budidaya Depertemen Kelautan dan Perikanan : 1-16 Lusiastuti, AM., Gardenia L, Mufidah T, Aryati Y. 2009. First Report of Streptococcus agalactiae of Tilapia (Oreochromis niloticus) from Cirata Reservoir of West Java. Indonesia Aquaculture Journal, in press. Mata, AI., MM Blanco, L Dominguez, JF Fernandez-Garayzabal, A Gibello. 2003. Development of a PCR assay for Streptococcus iniae based on the lactate oxidase (lctO) gene with potential diagnostic value. Vet. Microbiol., 46:225-229 Merl, K., A Abdulmawjood, C Lammler, M Zschuck. 2003. Determination of epidemiological relationships of Streptococcus agalactiae isolated from bovine mastitis. FEMS Microbiol. Lett. 226 (1): 87-92. Mueller M, De la Pena A, Derendorf H. Issues in pharmacokinetics and pharmacodynamics of anti-infective agents: kill curves versus MIC. Antimicrobial agents and chemotherapy 2004;48:369-77. Murdjani, M. 2002. Identifikasi dan patologi bakteri Vibrio alginolyticus pada ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) [Desertasi]. Malang: Program Pasca Sarjana, Universitas Brawijaya. Muzquiz, JL. et al. 1999. Pathogenicity of streptococcosis in rainbow trout (Oncorhynchus mykiss): dependence on age of diseased fish. Bull. Eur. Assoc. Fish Pathol. 19: 114-119. NCCLS/National Committee of Clinical Laboratory Standards. 1998. Performance standards for antimicrobial disc susceptibility tests. Pproved Standard ASM-2, Villanova, PA. Vol. 14, No. 16: pp 64 Newton, JC., PL Triche. 1993. Electrophoretic and immunochemical characterization of lipopolysaccharide of Edwardsiella ictaluri from channel catfish. Journal of Aquatic Animal Health 5:246–253. Newton, JC.,WT Blevins, GR Wilt, LG Wolfe. 1990. Outer membrane protein profiles of Edwardsiella ictaluri from fish. American J. of Veterinary Research 51 (2): 211–215. Ototake, M and H Wakabayashi. 1985. Characteristics of extracellular products of Flavobacterium sp., a pathogen of bacterial gill diseases. J. of Fish pathology, 20(2):167-171.
135
Pasaribu, FH., N Dalimunthe dan M Poeloengan. 1990. Pengobatan dan pencegahan penyakit ikan bercak merah. Prosiding Seminar Nasional II Penyakit Ikan dan Udang 16-18 Januari. Badan penelitian dan Pengembangan Pertanian: 143-152. Pasnik DJ et al. 2005, Antigenicity of Streptococcus agalactiae extracellular products and vaccine efficacy. Journal of Fish Diseases 28: 205–212 Pelczar, MJ., ESC Chan, NR Krieg. 1986. Microbiology. 5th Ed. McGraw-Hill Book Company. 687-702. Pereira, UP et al. 2010. Genotyping of Streptococcus agalactiae strains isolated from fish, human dan cattle and their virulence potential in Nile tilapia. J. Veterinary Microbiology 140:186 – 192. Plumb, JA., JH Schachte, JL Gaines, W Peltier, B Carroll. 1974. Streptococcus sp. from marine fishes along the Alabama and Northwest Florida coast of the Gulf of Mexico. Transactions of the American Fisheries Society 103: 358361. Purwaningsih, Uni. 2009. Potensi imunogenik sel utuh (whole cell) Streptococcus agalactiae yang diinaktivasi melalui proses pemanasan untuk pencegahan penyakit Streptococcosis pada ikan nila (Oreochromis niloticus). Laporan Penelitian Hibah Penelitian Bagi Peneliti dan Perekayasa Departemen Kelautan dan Perikanan. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar Pusat Riset Perikanan Budidaya Depertemen Kelautan dan Perikanan : 1-8 Rahadjo, MF. 1985. Ichtyologi. Bogor: Institut Pertanian Bogor : 45-60 Rasheed, V and JA Plumb. 1984. Pathogenicity of a non-haemolytic group B Streptococcus sp. in gulf killifish, Fundulus grandis Baird and Girard. Aquaculture 37: 97-105. Rijkers, GT. 1982. Kinetic of humoral and cellular immune reactions in fish. Developmental and Coperative Immunology (supplement) 2: 93– 100 Roth, JA. 1988. Virulence mechanism of bacterial pathogens. American Society for Microbiology, USA. pp 317 RUMA/Responsible Use of Medicines in Agriculture Alliance. 2006. Responsible use of vaccines and vaccination in fish production. National Office of Animal Health (NOAH). pp 24 Salati F. 1988. Vaccination against Edwardsiella tarda. Dalam : Fish Vaccination. New York: Ellis Academic Press. 135 – 151 Santos, YS et al. 1992. Comparison of the extracellular biological activities of Vibrio anguillurum and Aeromonus hydrophila. Aquaculture 07: 259-270 Sheehan Brian et al. 2009. Streptococcal diseases in farmed tilapia. Aquaculture Asia pacific vol. 5 No. 6:26-29 Sirirat, T., J Intuseth, J Chanphong, K Thompson, S Chinabut, A Adams. 1999. Characterisation of Aeromonas hydrophila Extracellular Products with
136
Reference to Toxicity, Virulence, Protein Profiles and Antigenicity. Asian Fisheries Science 12: 371-379 Skalka, B., Smola J, Pillich J. 1979. A simple method of detecting staphylococcal hemolysin. Zb Bakteriol Hyg I Abt Org A 245: 283-286. SNI/Standar Nasional Indonesia. 2009. Metode identifikasi bakteri pada ikan secara konvensional–Bagian 3 : Streptococcus iniae dan Streptococcus agalactiae. Badan Standardisasi Nasional/BSN. SNI 7545.3:2009. 12 hal Souter, BW. 1984. Immunization with vaccines. Departement of Fish an Ocean. Winnipeg. Mannitoba: 111-117. Suanyuk, N., Fanrong Kong, Danny Ko, Gwendolyn LG, Kidchakan Supamattaya. 2008. Occurrence of rare genotypes of Streptococcus agalactiae in cultured red tilapia Oreochromis sp. and Nile Tilapia O. niloticus in Thailand-Relationship to human isolates?. Aquaculture 284:35-40. Subowo. 1993. Imunobiologi Klinik. Penerbit Angkasa. Bandung: 265 hal. Suprapto, H., T Nakai, K Muroga. 1995. Toxicity of Extracellular Product and Intracellular Components of Edwardsiella tarda in Japanese Eel and Flounder. J. Aquat. Anim. Health, 7 (4): 292-297. Taukhid. 2009. Efektivitas pemberian vaksin Streptococcus spp. Pada benih ikan nila (Oreochromis niloticus) melalui teknik perendaman untuk pencegahan penyakit Streptococcosis. Laporan Penelitian Hibah Penelitian Bagi Peneliti dan Perekayasa Departemen Kelautan dan Perikanan. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar Pusat Riset Perikanan Budidaya Depertemen Kelautan dan Perikanan: 15 hal. Todar,
K. 2002. Staphylococcus, J. Bacteriology, University Wisconsinmadison Departement of Bacteriology. pp 330.
of
Utama, IH., Kendran AAS., Wibawan IWT., Pasaribu FH., Wahyuni. 2000. Aktivitas hemaglutinasi isolat Streptococcus agalactiae pada berbagai sel darah merah hewan dan manusia. Media Veteriner vol. 7 No 2 : 5-8 Utama, IH., NR Rejeki, IM Sukada, IWT Wibawan. 1997. Isolat Streptococcus agalactiae asal sapi penderita mastitis subklinis : II. Hidrofobisitas permukaan sel isolat. Media Veteriner 4(3): 9-15. Volk, WA dan Wheeler, MF. 1993, Mikrobiologi Dasar, Jilid I, Ed ke-5, Erlangga, Jakarta Wahyuni. 1998. Peran hemaglutinin Streptococcus agalactiae dalam proses adesi pada sel epitel ambing sapi perah. Tesis Pascasarjana, FKHIPB,Bogor Wedemeyer, GA., WT Yasutake. 1977. Clinical methods for the assessment of the effect on environmental stress on fish health. Technical Papers of the U.S. Fish and Wildlife Service. US depert. Of the Interior. J. Fish and Wildlife Service 89: 1 – 17
137
Wibawan, IWT., C Laemmler. 1992. Relationship between group B streptococcal serotypes and cell surface hydrophobicity. J. Vet. Med. B39: 376-382 Wibawan, IWT., Laemmler C, Seleim RS, Pasaribu FH. 1993. A hemagglutinating adhesin of group B Streptococci isolate from cases of bovine mastitis mediates an adherence to HeLa cells. J. Gen. Microbiol. 139: 2173-2178 Wibawan, IWT., Laemmler, Seleim, Pasaribu FH. 1992. Role of hydrophobic surface proteins in mediating adherence of group B streptococci to epithelial cells. J. Gen. Microbiol. 138: 1237-1242. Wilkinson, HW., LG Thacker, RR Facklam. 1973. Nonhemolytic Group B Streptococci of Human, Bovine, and Ichthyic Origin. American Society for Microbiology 7 (3): 496-498 Williams, ML., Azadi P, Lawrence ML. 2003. Comparison of cellular and extracellular products expressed by virulent and attenuated strains of Edwardsiella ictaluri. Journal of Aquatic Animal Health 15: 264 - 273 Wren, BW. 1992. Bacterial enterotoxin interactions in molecular biology of bacterial infections, current status and future prospective. (Eds. C.E. Hormaeche, C.W. Penn and C.I. Smith). Cambridge University Press. 127-148. Yildirim, AO., C Lammler, R Weiss, P Kopp. 2002. Pheno- and genotypic properties of Streptococci of serological group B of canine and feline origin. FEMS Microbiol. Lett. 212(2): 187-192. Zappuli, V., S Mazzariol, L Cavicchiolo, C Petterino, L Bargelloni, M Castagnaro. 2005. Fatal necrotizing fascitis and myositis in a captive common bottlenose dolphin (Tursiops truncatus) associated with Streptococcus agalactiae. J Vet Diagn. Invest. 17 (6): 617-622. Zlotkin, A., A Elder, C Ghittino, H Bercovier. 1998. Identification of Lactococcus garvieae by PCR. J. Clin. Microbial 36: 983-985.
138
LAMPIRAN
139
LAMPIRAN 1
Metode Pengukuran Gambaran Darah dan Patologi Klinik Darah
Gambaran darah 1. Kadar hemoglobin metode Sahli dengan Sahlinometer (Wedemeyer dan Yasutake, 1977).
Isi tabung sahlinometer dengan larutan HCl 0.1 N sampai angka 10 (garis skala paling bawah pada tabung sahlinometer);
Tempatkan tabung tersebut diantara 2 tabung dengan warna standar;
Ambil darah ikan dari tabung eppendorf dengan pipet sahli sebanyak 0.02 ml;
Bersihkan ujung pipet, masukkan darah ke dalam tabung Sahli dan diamkan 3 menit;
Tambahkan akuades dengan pipet tetes sedikit demi sedikit sambil diaduk dengan gelas pengaduk sampai warnanya tepat sama dengan warna standar;
Kadar hemoglobin dinyatakan dalam %.
2. Kadar hematokrit metode Anderson dan Siwicki (1993)
Sampel darah dimasukkan dalam tabung mikrohematokrit sampai kira-kira 4/5 bagian tabung, sumbat ujungnya (bertanda merah) dengan kretoseal;
Sentrifus dengan sentrifus hematokrit selama 15 menit dengan kecepatan 3500 rpm;
Kadar He dinyatakan sebagai % volume padatan sel darah.
3. Total leukosit metode Blaxhall dan Daisley (1973)
Sampel darah dihisap dengan pipet sampai skala 0.5 (pipet yang digunakan adalah pipet khusus pengukuran leukosit), dilanjutkan dengan menghisap larutan Turk’s sampai skala 11, goyangkan pipet agar bercampur homogen;
Buang
tetesan
pertama,
tetesan
berikutnya
dimasukkan
ke
dalam
hemasitometer dan tutup dengan kaca penutup;
Perhitungan dilakukan pada 5 kotak besar hemasitometer;
Jumlah lekosit = jumlah sel lekosit terhitung X 50 sel/mm3
4. Diferensial leukosit metode Blaxhall dan Daisley (1973)
Buat sediaan ulas darah, keringkan di udara, fiksasi dengan methanol 5 menit;
Bilas dengan akuades, keringkan, warnai dengan pewarna Giemsa 15 menit;
140
Cuci dengan air mengalir dan keringkan di atas kertas tissu;
Hitung jenis-jenis lekosit sampai berjumlah 100 sel.
5. Total eritrosit metode Blaxhall dan Daisley (1973)
Sampel darah dihisap dengan pipet bersekala sampai 0.5, selanjutnya hisap larutan Hayem sampai skala 101, goyangkan agar bercampur homogen;
Buang tetesan pertama, berikutnya diteteskan ke dalam hemasitometer dan tutup dengan kaca penutup;
Perhitungan dilakukan pada 5 kotak kecil hemasitometer;
Jumlah eritrosit = jumlah eritrosit terhitung X 104 sel/mm3
6. Indeks fagositik metode Anderson dan Siwicki (1995). Mengambil sebanyak 50 μl darah dimasukkan ke dalam Effendorf, ditambahkan 50 μl suspensi Staphylococcus aerus dalam PBS (107 sel/ml), dihomogenkan dan diinkubasi dalam suhu ruang selama 20 menit. Membuat sediaan ulas dan dikeringudarakan. Dilanjutkan dengan mengfiksasi dengan metanol selama 5 menit dan dikeringkan, diwarnai dengan cara merendam kedalam pewarna Giemsa selama 15 menit, dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan dengan tissue, selanjutnya diamati dan dihitung jumlah sel yang menunjukkan proses fagositosis dari 100 sel fagosit yang teramati. 7. Titer antibodi Persiapan Serum : serum darah ikan diambil dengan cara mengambil darah pada vena caudalis dan ditampung dalam eppendorf, kemudian disentrifugasi pada 3000 rpm selama 3 menit. Setelah serum terpisah dari sel darah, serum dipisahkan
dan diinkubasi pada suhu 44oC selama 20 menit untuk
mengaktifkan kmplemen (Sakai, 1987). Serum selanjutnya dapat disimpan dalam refrigerator pada suhu 4oC untuk pengamatan titer antibodi. Pengukuran titer antibodi dilakukan dengan mengambil larutan PBS sebanyak 25 µl dan dimasukan ke dalam mikroplate pada lubang 1 sampai 12, selanjutnya dimasukan serum darah pada lubang 1 sebanyak 25 µl kemudian dilakukan pengenceran bertingkat hingga lubang ke 11. Bakterin sebanyak 25 µl dimasukkan ke dalam lubang 1 sampai 12, campuran dihomogenkan dengan
141
cara menggoyangkan mikroplate secara perlahan. Selanjutnya disimpan selama 2 jam dalam inkubator pada suhu 37 oC, dilanjutkan dengan menyimpan ke dalam refrigerator 4 oC semalaman, titer antibodi ditentukan dari lubang terakhir yang masih ditemukan reaksi aglutinasi. Tabel Pembacaan titer antibodi Nomor lubang pengamatan (n) 1 2
Pengenceran serum 1 : 4 1 : 8
Titer antibodi (-log 2 ) 2 3
11 12
1 : 4096
12 Kontrol
8. Kadar glukosa darah
Sebanyak 3.5 ml larutan campuran O-toluidin-asam asetat glacial;
Tambahkan plasma sebanyak 0.05 ml;
Panaskan dalam air mendidih selama 10 menit;
Baca OD-nya pada 635 nm spektrofotometer;
Kadar glukos plasma (mg/100 ml) adalah
X Konsentrasi Standar
142
LAMPIRAN 2 Tabel Perubahan warna pada pengujian gula-gula dengan API Strep 20 Pengujian
Bahan aktif
Enzyme/ pereaksi
VP
Sodium pyruvat
Acetoin production
HIP
Hippuric acid
Hydrolysis (HIPpuric acid)
ESC
Esculin ferric citrate
β –glucosidase hydrolysis
PYRA
Pyroglutamic acid-βnaphtylamide 6-bromo-2-naphthylαDgalactopyranoside Naphthyl-ASBIglucuronic acid 2-naphthyl-βDgalactopyranosida
PYRrolidonyl Arylamidase α-GALactosidase
αGAL βGUR βGAL
β-GIUcuRonidase β-GALactosidase
PAL
2-naphthyl phosphate
Alkaline Phosphatase
LAP ADH
L-leucine-βnaphtylamide L-arginine
RIB
D-ribose
ARA
L-arabinose
MAN
D-manitol
SOR
D-sorbitol
LAC TRE
D-lactose (bovine origin) D-trehalose
INU
Unulin
RAF
D-raffinose
AMD
Starch
GLYG
Glycogen
Leucine AminoPeptidase Arginine DiHydrolase Acidification (RIBose) Acidification (ARAbinose) Acidification (MANnitol) Acidification (SORbitol) Acidification (LACtose) Acidification (TREhalose) Acidification (INUlin) Acidification (RAFfinose) Acidification (AmiDon) Acidification (GLYcoGen)
Hasil Negatif Positif VP1 +VP2 (tunggu 10 menit) Tidak ada perubahan Merah muda-merah warna NIN (tunggu 10 menit) Tidak ada perubahan Biru tua/violet warna Biru muda/abu-abu muda 4 jam 24 jam 4 jam 24 jam Tidak ada Tidak ada Abu-abu gelap Hitam perubahan perubahan kuning kuning pucat pucat ZYM A+ZYM B (tunggu 10 menit) Orange pucat Orange Tidak ada perubahan warna
Violet
Tidak ada perubahan warna Tidak ada perubahan warna Violet pucat Tidak ada perubahan warna Violet pucat Tidak ada perubahan warna Kuning
Biru Violet
Violet
Orange Orange
4 jam Merah Merah
24 jam Orange/merah Orange/merah
4 jam Orange/kuning Orange/kuning
24 jam Kuning Kuning
Merah
Orange/merah
Orange/kuning
Kuning
Merah
Orange/merah
Orange/kuning
Kuning
Merah
Orange/merah
Orange/kuning
Kuning
Merah
Orange/merah
Orange/kuning
Kuning
Merah
Orange/merah
Orange/kuning
Kuning
Merah
Orange/merah
Orange/kuning
Kuning
Merah
Orange/merah
Orange/kuning
Kuning
Merah atau orange
Kuning bercahaya
143
LAMPIRAN 3 Gambar Proses Pengujian Karakteristik Bakteri
Gambar 1 Proses terbentuknya butiran pasir pada uji hidrofobisitas bakteri S. agalactiae
Gambar 2 Proses terbentuknya butiran pasir pada uji hemaglutinin bakteri S. agalactiae
Gambar 3 Perubahan warna pada pengujian gula-gula dengan API strep 20
144
LAMPIRAN 4 Tabel Perubahan Pola Renang, Nafsu Makan setelah Diinjeksi dengan S. agalactiae. Tabel 1 Perubahan pola renang ikan nila pasca diinjeksi dengan S. agalactiae Jam Isolat bakteri Streptococcus agalactiae ke1 2 3 4 5 0 1 3 6 12 24
Agr Agr, Srp Bdp Tb Bdd Lmh
Agr Nor Bdp Sol, Bds Bdd Lmh, Mel
48 72 96 120 144 168 192 216 240
Bdd Mel Wr Wr Wr Wr Wr Wr, Tb Wr, Gas, Bdd Wr Bdd Nor Gas, Wr, Bdd
264 288 312 336
Nor Nor Bdp Sol, Bds Gas Bdp
Agr Nor Bdp Sol, Bds Bdd Bdd
Bdd Mel Bdd Wr Wr Wr Bdd Gas, Bdp Gas
Agr Nor Bdp Tb,Sol Mel Lmh, Bdd, Mel Bdd Mel Mel Wr Bdd Bdd, Lmh Lmh, Bdd Wr Wr, Bdd
Bdp Nor Gas Bdp Gas Gas, Bdp Lmh, Gas Gas, Bdd Gas, Bdd
Bdd Bdd Bdd Wr Wr Wr, Lmh Wr Bdd Wr
Wr Nor Nor Nor
Lmh, Bdd Nor Nor Nor
Agr, Rspc, Srp Gas, Agr, Srp Nor Agr, Gas
Wr, Gas Wr, Agr Nor Nor
Keterangan : Nor : Berenang teratur di dasar dan kolom air Bdp : Berenang di permukaan air Agr : Agresif Tb : berenang tidak beraturan, diberbagai arah Sol : Soliter Rspc : Respon cepat Wr : Whirling
Bdd : Berenang di dasar Bds : berkumpul di sudut akuarium Srp : Sirip punggung mengembang Lmh : Berenang lemah Gas : Gasping Mel : Melayang di kolom air
145
Jam ke-
Tabel 2 Perubahan aktivitas makan ikan nila pasca diinjeksi S. agalactiae Isolat bakteri S. agalactiae 1 2 3 4
24 48 72
Normal, cepat Normal Normal
Cepat, normal Normal Normal
Normal Normal Normal
Normal Normal Normal
96
Normal
Normal
Normal
120
Lambat
Jumlah pakan yang dimakan sedikit Lambat, jumlah pakan yang dimakan sedikit Normal Normal Idem Idem
Idem
168 192 216 240
Jumlah pakan yang dimakan sedikit Lambat, jumlah pakan yang dimakan sedikit Idem Idem Idem Idem
264
Normal
Jumlah pakan yang dimakan sedikit Lambat, jumlah pakan yang dimakan sedikit Lambat, jumlah pakan yang dimakan sedikit Normal Normal Normal Lambat, jumlah pakan yang dimakan sedikit Idem
Idem
Idem Idem Idem
Idem Idem Idem
Lambat, jumlah pakan yang dimakan sedikit Idem Idem Idem
144
288 312 336
Idem Idem Idem Keterangan : Normal
:
Jumlah pakan yang dimakan sedikit Idem Respon lambat Idem Normal
Idem
5
Lambat Tidak makan, jumlah yang sedikit Idem
Idem
Idem Idem Idem Idem
Idem Idem Idem
3-4 detik waktu yang dibutuhkan untuk mengambil pakan berikutnnya. Dalam 1 waktu mengambil makanan biasannya 1-3 pelet yang di makan. Cepat : < 3 detik waktu yang dibutuhkan untuk mengambil pakan berikutnnya, biasannya hanya 1 pelet yang di makan dalam 1 waktu makan. Lambat : 5 detik atau lebih waktu yang dibutuhkan untuk mengambil pakan berikutnnya. Dalam 1 waktu mengambil makanan biasannya 1-2 pelet yang di makan. Jumlah pakan normal : 3-4 g / akuarium Jumlah pakan sedikit : < 3 g / akuarium
mau lambat, pakan dimakan
146
Tabel 3 Perubahan pola renang ikan nila pada uji toksisitas ECP S. agalactiae tipe β-hemolitik dan non-hemolitik Kontrol
3 Nor
6 Nor
12 Nor
Waktu pengamatan 48 72 Nor Nor Β-hemolitik Gas Bdd Srp, Lmh, Gas Nor Srp Srp, Lmh 24 Nor
BHIA 24
Bdd
Nor
Nor
BHIA 48
Bdd
Agr
Bdd
BHIA 72 BHIA 96
Bdd
Bdd
Bda
Nor
Lmh
Lmh
Bdd
Agr
Nor
Lmh, Srp
BHI 24
Bdd
Agr
Agr, lmh, Bdd Bda
Nor
BHI 48
Bdd
Gas
Nor
Nor
BHI 72
Bdd
Agr
Mrg
Nor
Bda, Lmh Srp, Agr Lmh, Srp, Rsp
Lmh, Mrg, Bda Lmh, Mrg Srp, Agr Srp, Lmh
BHI 96
Bdd
Agr
Nor
Nor
BHIA 24
Bdd
Gas
Bda
BHIA 48
Bdd
Ags
Bds
BHIA 72
Bdd
Ags
BHIA 96
Bdd
BHI 24
Srp, Agr
Lmh, Mrg
96 Nor
120 Nor
144 Nor
168 Nor
Srp, Lmh
Srp, Lmh
Srp
Mrg
Mrg
Lmh, Mrg Bdd
Lmh, Mrg Bdd
Srp, Lmh, Gas Srp, Lmh, Gas Agr, Mrg Bds, Lmh
Lmh, Srp Bdd
Lmh, Srp Bdd
Gas
Gas
Lmh
Lmh
Bdd, Lmh, Agr
Srp, Lmh Srp, Lmh Mrg, Agr, Lmh, Srp, Gas
Gas, Mrg Gas, Wr, Agr Agr, Bds Agr, Mrg Lmh Lmh, Bdd, Mrg, Wr, Gas, Srp Gas, Bdd
Non-hemolitik Lmh Srp, Lmh, Agr, Srp Mrg Nor Lmh, Mrg, Srp Bdd
Lmh
Lmh
Srp, Nor
Bdd, Lmh
Bdd, Lmh
Srp, Agr, Lmh, Wr
Bda
Nor
Lmh
Lmh
Lmh
Lmh
Srp, Agr, Wr
Ags
Agr, lmh
Nor
Lmh, Mrg
Mrg
Mrg
Bdd
Ags
Bds
Nor
Bdd, Rsp, Gas Lmh, Srp
Srp, Lmh, Bds Lmh
Gas
Gas
Srp, Lmh
Srp, Lmh, Gas
BHI 48
Bdd
Gas
Nor
Nor
Bdd, Mrg
Bdd, Mrg
Agr, Nor
BHI 72
Bdd
Ags
Nor
Nor
Lmh, Srp, Agr Srp
Wr, Gas, Srp, Lmh Srp, Agr Lmh
Srp
Srp
BHI 96
Bdd
Ags
Bda
Lmh,
Lmh,
Srp,
Lmh
Lmh
Srp, Lmh Srp,
Srp, Lmh, Bdd Srp, Wr
Srp, Lmh, Wr Srp, Lmh, Wr
Bdd
Srp,
147
Srp
Ket. : Nor Bda Agr Lmh Rsp Wr
: : : : : :
Srp, Rsp, Mrg
Berenang teratur di dasar dan kolom air Berkumpul di aerasi Agresif Berenang lemah Respon lambat Whirling
Bdd Bds Srp Mrg Gas
Lmh, Mrg
: : : : :
Bdd, Lmh, Mrg
Berenang di dasar berkumpul di sudut akuarium Sirip punggung mengembang Berenang miring (abnormal) Gasping
Lmh, Bdd
148
Total Leukosit (105sel/mm3)
LAMPIRAN 5 Grafik gambaran darah dan patologi klinik darah ikan nila yang diinjeksi dengan S. agalactiae 45000 4.5 40000 4.0 35000 3.5 30000 3.0 25000 2.5 20000 2.0 15000 1.5 10000 1.0 5000 0.5 00 0
1
3
6
12
24
48
72
96 120 144 168 192 216 240 264 288 312 336
Waktu Pengamatan (jam) isolat 1
isolat 2
isolat 3
isolat 4
isolat 5
kontrol
Gambar 1 Grafik total leukosit ikan nila pasca diinjeksi Streptococcus agalactiae
Gambar 2 Grafik total eritrosit ikan nila pasca diinjeksi Streptococcus agalactiae
149
Gambar 3 Grafik hematokrit ikan nila pasca diinjeksi Streptococcus agalactiae
Gambar 4 Grafik hemoglobin ikan nila pasca diinjeksi Streptococcus agalactiae
Gambar 5 Grafik glukosa ikan nila pasca diinjeksi Streptococcus agalactiae
150
LAMPIRAN 6
Gambar 1
Grafik gambaran darah dan patologi klinik darah ikan nila yang diinjeksi dengan ECP S. agalactiae
Grafik total leukosit ikan nila yang diinjeksi ECP Streptococcus agalactiae. Keterangan pengkodean merujuk pada Tabel 1.
Gambar 2 Grafik total eritrosit ikan nila yang diinjeksi ECP Streptococcus agalactiae. Keterangan pengkodean merujuk pada Tabel 1.
151
Gambar 3 Grafik differensial leukosit (limfosit, monosit, neutrofil) ikan nila yang diinjeksi dengan ECP Streptococcus agalactiae tipe β-hemolitik dan non-hemolitik. Keterangan pengkodean merujuk pada Tabel 1.
152
Gambar 4 Grafik hematokrit ikan nila yang diinjeksi ECP Streptococcus agalactiae. Keterangan pengkodean merujuk pada Tabel 1.
Gambar 5 Grafik hemoglobin ikan nila yang diinjeksi ECP Streptococcus agalactiae. Keterangan pengkodean merujuk pada Tabel 1.
Gambar 6 Grafik glukosa darah ikan nila yang diinjeksi ECP Streptococcus agalactiae. Keterangan pengkodean merujuk pada Tabel 1.
153
LAMPIRAN 7 SDS-PAGE (Metode Laemmli, 1970)
Komposisi Larutan stok akrilamida: 29% (b/v) Akrilamida + 1% (b/v) bisakrilamida) 1.5 M buffer Tris-Cl pH 8.8 0.5 M buffer Tris-Cl pH 6.8 Akuades 0.5% (b/v) SDS 10% (b/v) Am. Peroxodisulfat/APS segar TEMED TOTAL VOLUME
10% gel pemisah 3.3 ml
4% gel penahan 0.67 ml
2.5 4.1 ml 50 µl 100 µl 10 µl 10 µl
1.25 ml 3.075 ml 50 µl 50 µl 5 µl 5 µl
154
LAMPIRAN 8 Hasil Elektroforesis ECP Bakteri S. agalactiae Tabel 1 Berat molekul protein hasil elektroforesis ECP bakteri S. agalactiae tipe β-hemolitik dan non-hemolitik Sample
Run
Band
Rf
a
b
BM
BM Kd
3A.24
5.7 5.7 5.7 5.7 5.7 5.7 5.7 5.7 5.7 5.7 5.7 5.7 5.7 5.7 5.7 5.7 5.7 5.7 5.7 5.7 5.7 5.7 5.7 5.7 5.7
1.35 1.6 1.8 0.2 0.4 0.7 0.9 1.2 1.5 1.8 2 2.2 2.5 2.7 3 3.3 3.5 4 4.5 4.7 1.5 1.8 1.5 1.8 2
0.236842 0.280702 0.315789 0.035088 0.070175 0.122807 0.157895 0.210526 0.263158 0.315789 0.350877 0.385965 0.438596 0.473684 0.526316 0.578947 0.614035 0.701754 0.789474 0.824561 0.263158 0.315789 0.263158 0.315789 0.350877
0.9091 0.9091 0.9091 0.9091 0.9091 0.9091 0.9091 0.9091 0.9091 0.9091 0.9091 0.9091 0.9091 0.9091 0.9091 0.9091 0.9091 0.9091 0.9091 0.9091 0.9091 0.9091 0.9091 0.9091 0.9091
5.0337 5.0337 5.0337 5.0337 5.0337 5.0337 5.0337 5.0337 5.0337 5.0337 5.0337 5.0337 5.0337 5.0337 5.0337 5.0337 5.0337 5.0337 5.0337 5.0337 5.0337 5.0337 5.0337 5.0337 5.0337
65824.39 60050.14 55797.63 100415.7 93304.7 83571.1 77652.94 69552.14 62296.43 55797.63 51846.27 48174.73 43149.12 40093.47 35910.9 32164.66 29886.89 24873.4 20700.91 19234.96 62296.43 55797.63 62296.43 55797.63 51846.27
65.8 60.1 55.8 100.4 93.3 83.6 77.7 69.6 62.3 55.8 51.8 48.2 43.1 40.1 35.9 32.2 29.9 24.9 20.7 19.2 62.3 55.8 62.3 55.8 51.8
5A.96
3i.72 5i.72
Tabel 2 Konsentrasi total protein ECP bakteri S. agalactiae (ppm) Ulg.1 Ulg. 2 Rata Blanko 3A24 5A96 3i72 5i72
0.462 0.478 0.508 0.504 0.5
0.472 0.478 0.504 0.464 0.48
0.467 0.478 0.506 0.484 0.49
S-Bl 0.011 0.039 0.017 0.023
0.0011 0.0011 0.0011 0.0011
0.008 0.008 0.008 0.008
2.73 28.18 8.18 13.64
155
LAMPIRAN 9
Grafik parameter pendukung vaksinasi menggunakan S. agalactiae tipe β-hemolitik
dengan
5.0 10000,00 4.0 8000,00 3.0 6000,00 2.0 4000,00 1.0 2000,00 0 0,00 1
2
3
4
Pengamatan hari ke
5 0
6 Perlakuan 5
7
10
8 18
9
10
25
Gambar 1 Grafik total leukosit ikan nila yang divaksinasi dengan Streptococcus agalactiae tipe β-hemolitik 60,00 Total eritrosit 105 (sel/mm3)
Total leukosit (105 sel/mm3)
6.0 12000,00
50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00 1
2
3
Pengamatan Hari ke
4 0
5 5
6 Perlakuan 10
7 18
8
9
10
25
Gambar 2 Grafik total eritrosit ikan nila yang divaksinasi dengan Streptococcus agalactiae tipe β-hemolitik
156
100
Limfosit (%)
80 60 40 20 0 1
2
3
4 0
12
5 6 Perlakuan 5 10
7
8
18
25
7
8
9
10
10 Monosit (%)
8 6 4 2 0 1
2
3
4
5
0
8
6 Perlakuan 5 10
18
9
10
25
7 Neutrofil (%)
6 5 4 3 2 1 0 1
2
3
Pengamatan hari ke
4
5 6 Perlakuan
0
5
10
7 18
8
9
10
25
Gambar 3 Grafik differensial leukosit (limfosit, monosit dan neutrofil) ikan nila yang divaksinasi dengan Streptococcus agalactiae tipe β-hemolitik
157
Indeks fagositik (%)
30 25 20 15 10 5 0 1
2
3
4
Pengamatan hari ke
0
5 6 7 Perlakuan 5 10 18 25
8
9
10
Titer Antibodi (-log 2)
Gambar 4 Indeks fagositik ikan nila yang di vaksinasi dengan differensial Streptococcus agalactiae tipe β-hemolitik 12 10 8 6 4 2 0 Perlakuan Vaksin hari ke 0
hari ke 5
hari ke 10
hari ke 18
hari ke 25
Gambar 5 Grafik titer antibodi ikan nila yang divaksinasi dengan Streptococcus agalactiae tipe β-hemolitik 50,00
Hematokrit (%)
40,00 30,00 20,00 10,00 0,00 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Perlakuan Pengamatan Hari ke
0
5
10
18
25
Gambar 6 Grafik hematokrit ikan nila yang divaksinasi dengan Streptococcus agalactiae tipe β-hemolitik
Hemoglobin (g%)
158
16,00 14,00 12,00 10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 0,00 1
2
3
Pengamatan Hari ke
4
5
0
5
6 Perlakuan 10
7
8
9
18
25
10
Gambar 7 Grafik hemoglobin ikan nila yang divaksinasi dengan Streptococcus agalactiae tipe β-hemolitik Glukosa (mg/100mL)
200,00 150,00 100,00 50,00 0,00 1
2
3
Pengamatan hari ke
4 0
5 Perlakuan 10
6
7
8
9
10
25
Gambar 8 Glukosa darah ikan nila yang divaksinasi dengan Streptococcus agalactiae tipe β-hemolitik
159
Total leukosit (105 sel/mm3)
LAMPIRAN 10 Grafik parameter pendukung vaksinasi menggunakan S. agalactiae tipe non-hemolitik
dengan
4.0 7000,00 3.5 6000,00 3.0 5000,00 2.5 4000,00 2.0 3000,00 1.5 2000,00 1.0 1000,00 0.5 0,00 0 1
2
3
4
Pengamatan hari ke
5 6 Perlakuan 0
5
7
10
8
18
9
10
25
Gambar 1 Grafik total leukosit ikan nila yang divaksinasi dengan Streptococcus agalactiae tipe non-hemolitik
Total eritrosit (105 sel/mm3)
45,00 40,00 35,00 30,00 25,00 20,00 15,00 10,00 5,00 0,00 1
2
3
4
Pengamatan hari ke
5 0
6 Perlakuan 5
10
7 18
8
9
10
25
Gambar 2 Grafik total eritrosit ikan nila setelah vaksinasi dengan Streptococcus agalactiae tipe non-hemolitik
Monosit (%)
160
10,00 9,00 8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Perlakuan 7,00
Neutrofil (%)
6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00 1
2
3
4
5
6
7
8
9
7
8
9
10
Perlakuan 100,00
Limfpsit (%)
80,00 60,00 40,00 20,00 0,00 1
2
3
Pengamatan hari ke
4
5 0
6 Perlakuan 5 10 18
10
25
Gambar 3 Grafik differensial leukosit (limfosit, monosit dan neutrofil) ikan nila yang divaksinasi dengan Streptococcus agalactiae tipe non-hemolitik
161
Indeks fagositik (%)
25 20 15 10 5 0 1
2
3
4 0
Pengamatan hari ke
7
8
9
10
25
Gambar 4 Grafik indeks fagositik ikan nila yang di vaksinasi dengan Streptococcus agalactiae tipe non-hemolitik
10 8 6 4 2 0
hari ke 0
Perlakuan hari ke 10 hari ke 18
hari ke 5
hari ke 25
Gambar 5 Grafik titer antibodi ikan nila yang divaksinasi dengan Streptococcus agalactiae tipe non-hemolitik
Hematokrit (%)
Titer Antibodi (-log2)
12
5 6 Perlakuan 5 10 18
50,00 45,00 40,00 35,00 30,00 25,00 20,00 15,00 10,00 5,00 0,00 1
2
3
Pengamatan hari ke
4 0
5 6 Perlakuan 5 10 18
7
8
9
10
25
Gambar 6 Grafik hematokrit ikan nila yang divaksinasi dengan Streptococcus agalactiae tipe non-hemolitik
162
14,00 Hemoglobin (g %)
12,00 10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 0,00 1
2
3
4
5 0
Pengamatan hari ke
6
7
Perlakuan 5 10 18
8
9
10
25
Glukosa darah (mg/100ml)
Gambar 7 Grafik hemoglobin ikan nila yang divaksinasi dengan Streptococcus agalactiae tipe non-hemolitik
160 140 120 100 80 60 40 20 0 1
2
3 hari ke 0
4
5 6 Perlakuan hari ke 10
7
8
9
10
hari ke 25
Gambar 8 Grafik glukosa darah ikan nila yang divaksinasi dengan Streptococcus agalactiae tipe non-hemolitik