ILMU KEBUMIAN UNTUK PERLINDUNGAN WILAYAH
Editor : Asep Mulyono, Sonny Aribowo dan Prahara Iqbal
UPT Loka Uji Teknik Penambangan dan Mitigasi Bencana, Liwa Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Copyright©2014
UPT Loka Uji Teknik Penambangan dan Mitigasi Bencana, Liwa Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Katalog dalam Terbitan Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
Liwa, 2014 vi + 56hlm.;14.8 x 21 cm Editor Penata Sampul
: Asep Mulyono, Sonny Aribowo dan Prahara Iqbal : Aang Gunawan
Diterbitkan Oleh :
UPT Loka Uji Teknik Penambangan dan Mitigasi Bencana, Liwa Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
PRAKATA Alhamdulilah puji dan syukur kami panjatkan ke Khadirat Alloh SWT, karena atas Rahmat dan Karunia-Nya kami dapat menyelesaikan buku yang berjudul : “Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah”. Buku ini merupakan rangkuman kegiatan pengembangan hasil penelitian di wilayah Lampung yang dilakukan UPT. Loka Uji Teknik Penambangan dan Mitigasi Bencana, Liwa selama tahun 2010-2014. Buku ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan mengenai aspek ilmu kebumian di dalam perlindungan wilayah. Buku ini mengupas beberapa ilmu pengetahuan kebumian, diantaranya: kajian geometri zona Sesar Sumatera; kajian bencana gerakan tanah; kajian sumber daya lahan; kajian sumber daya air; kajian pengembangan dan perekayasaan sumberdaya alam; dan pemasyarakatan ilmu kebumian dan kebencanaan. Akhir kata, terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan dan penerbitan buku ini. Selamat membaca dan semoga bermanfaat.
Liwa, Desember 2014
Editor
Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
i
DAFTAR ISI
halaman
PRAKATA DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL
i ii iii v
BAB I.
1
BAB II.
BAB III.
BAB IV.
BAB V.
BAB VI.
BAB VII. BAB VIII.
PENDAHULUAN Asep Mulyono SESAR SUMATERA SEGMEN KUMERING DI DAERAH LIWA : FITUR GEOMORFIK DAN MODEL GEOMETRI ZONA SESAR Sonny Aribowo GERAKAN TANAH DI JALUR LINTAS BARAT LIWA, LAMPUNG BARAT Prahara Iqbal KONDISI AGROEKOLOGIS SUMBER DAYA LAHAN WILAYAH KOTABUMI, LAMPUNG UTARA Asep Mulyono SUMBERDAYA AIR WILAYAH KOTA BANDAR LAMPUNG Asep Mulyono PENGEMBANGAN MATERIAL SUBTITUSI PEMBUATAN BATA BETON DAN PAVING BLOK Evi Dwi yanti dan Indah Pratiwi SOSIALISASI KEBUMIAN DAN KEBENCANAAN Asep Mulyono PENUTUP Asep Mulyono
Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
3
13
23
32
41
49 54
ii
DAFTAR GAMBAR halaman
Gambar 1a. Gambar 1b. Gambar 2. Gambar 3. Gambar 4a. Gambar 4b. Gambar 5. Gambar 6. Gambar 7. Gambar 8. Gambar 9. Gambar 10. Gambar 11. Gambar 12. Gambar 13. Gambar 14. Gambar 15. Gambar 16. Gambar 17. Gambar 18. Gambar 19. Gambar 20. Gambar 21. Gambar 22. Gambar 23. Gambar 24. Gambar 25.
Interpretasi struktur geologi di daerah penelitian. Tatanan tektonik Sumatra Lokasi offset aliran sungai Model 3D lokasi offset aliran sungai di daerah penelitian Model 3D lokasi offset aliran sungai di daerah Way Robok. Offset punggungan di daerah Way Robok Model topografi 3D daerah penelitian Peta administrasi wilayah studi Peta geologi wilayah studi Foto kenampakan lapukan Breksi Gunungapi dari Formasi Hulusimpang Foto kenampakan breksi batuapung dari Formasi Ranau Foto kenampakan Tuf dari Formasi Gunungapi Kuarter Peta titik-titik lokasi gerakan tanah Jenis gerakan tanah di jalur Liwa-Bukit Kemuning Variasi jenis gerakan tanah di jalur Liwa-Krui Variasi jenis gerakan tanah di jalur transek LiwaRanau Peta administratif wilayah Kotabumi Peta fisiografi wilayah Kotabumi Grafik Curah Hujan wilayah Kotabumi Peta rejim suhu wilayah Kotabumi Peta rejim bentuk wilayah Kotabumi Peta rejim tanah wilayah Kotabumi Zona agroekologis wilayah Kotabumi Peta administrasi wilayah Kota Bandar Lampung Peta morfologi wilayah Kota Bandar Lampung Peta titik minatan Peta kontur kedalaman muka airtanah wilayah Kota Bandar Lampung Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
4 4 6 7 8 8 9 13 14 15 16 16 17 18 18 19 23 23 26 27 27 28 30 33 35 36 38 iii
Gambar 26. Gambar 27. Gambar 28. Gambar 29. Gambar 30. Gambar 31. Gambar 32. Gambar 33. Gambar 34. Gambar 35. Gambar 36. Gambar 37. Gambar 38. Gambar 39. Gambar 40. Gambar 41. Gambar 42 Gambar 43. Gambar 44.
Peta kontur kesamaan muka airtanah dan pola aliran wilayah Kota Bandar Lampung Penampang flow net pada akuifer homogen isotropik Lokasi pengambilan sampel Pengaruh penambahan abu sekam kulit kopi terhadap kuat tekan paving block Pengaruh penambahan abu sekam kulit kopi terhadap penyerapan air paving block Pengaruh Penambahan Abu Sekam Kulit Kopi Terhadap Penyerapan Air Paving Block Prototipe paving block berbahan kulit kopi Peta geologi pengambilan sampel zeolit Lokasi zeolit Prototipe paving block berbahan zeolit Perkenalan Pemateri kepada Murid dan Guru Pembimbing Dongeng Siaga Bencana menggunakan Flipchart & Lagu Siaga Bencana Diskusi interaktif & Pembagian Hadiah Pengenalan Materi Bencana Penyerahan HandOut Pengenalan Siaga Bencana & Foto Panitia dan Peserta Sosialisasi Hasil Penelitian melalui Poster Pengenalan Jenis Batuan Games Bencana Pelaksanaan Eskursi/Tinjauan Lapangan
38
45 46 46 47 51
Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
iv
39 43 44 44 45
51 51 52 52 52 53 53 53
DAFTAR TABEL
halaman
Tabel 1. Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4.
Tatanama Jenis Tanah berdasarkan Soil Taxonomy Data titik minatan Karakteristik air berdasarkan kandungan TDS, DHL dan Cl Data Hasil Pengujian
Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
27 37 37 47
v
Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
vi
BAB I. PENDAHULUAN Oleh : Asep Mulyono
UPT Loka Uji Teknik Penambangan dan Mitigasi Bencana, Liwa yang berlokasi di kota Liwa Kabupaten Lampung Barat Propinsi Lampung, merupakan salah satu satuan kerja Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang bertugas mengembangkan ilmu kebumian untuk kepentingan masyarakat dan membantu dalam menjalankan pembangunan wilayah umumnya secara nasional dan khususnya untuk wilayah regional Lampung. Atas dasar itu, maka kiranya UPT Loka Uji Teknik Penambangan dan Mitigasi Bencana, Liwa berkewajiban memberikan informasi khususnya ilmu pengetahuan kebumian sebagai bentuk pemasyarakatan ilmu kebumian. Pemasyarakatan ilmu kebumian yang salah satunya melalui buku ini, merupakan hasil-hasil kajian dari kegiatan tahun 2010-2014. Buku ini mencoba mengulas peranan ilmu pengetahuan kebumian dalam perlindungan wilayah. Kajian pertama akan diulas mengenai geometri zona Sesar Sumatera, dimana akan dijelaskan bagaimana kondisi geomorfologi dan geologi lajur sesar dan bencana yang diakibatkan dengan polanya masing-masing. Selanjutnya merupakan kajian bencana gerakan tanah dimana diperlukan untuk mengurangi terjadinya gerakan tanah sehingga informasi yang di dapatkan dari hasil kajian dapat memberikan informasi bagaimana teknik mitigasi gerakan tanah yang berkesinambungan dan berkelanjutan khususnya pada proses pemotongan lereng jalan. Kajian sumberdaya lahan tentunya sangat diperlukan sebagai upaya menyelaraskan proses pembangunan yang seiring dengan adanya perubahan penggunaan lahan yang selain menghasilkan manfaat bagi masyarakat juga tidak lepas dari resiko terjadinya kerusakan lahan yang mengakibatkan kondisi lahan menjadi kritis. Bagaimana kondisi agroekologis suatu lahan akan dijelaskan dalam buku ini. Begitu juga kondisi sumberdaya air dengan berbagai permasalahannya. Seiring dengan pesatnya perkembangan sektor pembangunan di kota-kota besar, memicu meningkatnya kebutuhan ketersediaan sumber air sebagai salah satu faktor utama untuk berlangsungnya kehidupan. Pertambahan penduduk dan industri Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
1
mengakibatkan meningkatnya kebutuhan akan air bersih. Bagaimana kondisi kualitas sumberdaya air akan dijelaskan pada bab di buku ini. Kajian pengembangan dan perekayasaan sumberdaya alam untuk bahan bangunan akan menarik dijelaskan pada bagian buku ini. Pemanfaatan limbah dan mineral alam begitu apik dijelaskan pada bagian tersebut. Bagian kajian terakhir pada buku ini merupakan upaya pemasyarakatan ilmu kebumian berikut bencana yang ada di dalamnya. Masyarakat mengeluhkan kurangnya upaya sosialisasi mengenai penanggulangan bencana minimal tindakan preventif ketika bencana alam akan terjadi. Sosialisasi yang dibutuhkan masyarakat ini, tentunya harus diupayakan bentuk penyampaiannya secara sederhana dan dengan bahasa yang mudah dipahami, sehingga informasi dapat mereka terima dengan mudah. Optimalitas dalam sosialisasi tersebut tentunya dapat membantu mengurangi resiko akibat bencana sebagai upaya mitigasi bencana. Manakala kita hidup di wilayah rawan bencana maka seyogyanya kita berusaha mengantisipasinya bila sewaktu-waktu terjadi bencana. Semua ini baru kita dapat lakukan apabila kita telah mengetahui segala sesuatu tentang kebumian serta bahaya dan dampak yang akan ditimbulkannya. Dengan kondisi demikian, pengetahuan tentang kebumian khususnya yang berhubungan dengan kebencanaan perlu dilakukan pada masyarakat khususnya anak usia dini di lingkungan sekolah, sehingga dapat lebih siap dalam menghadapi bencana apapun.
Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
2
BAB II. SESAR SUMATRA SEGMEN KUMERING DI DAERAH LIWA : FITUR GEOMORFIK DAN MODEL GEOMETRI ZONA SESAR Oleh : Sonny Aribowo Sesar Sumatra merupakan sesar dengan pergerakan menganan (dekstral) yang merupakan hasil dari tumbukan miring (oblique) lempeng Indo-Australia dan Eurasia (Yeats, dkk., 1997; McCaffrey, 1992). Panjang sesar ini sekitar 1900 km dan merupakan sesar dengan tingkat segmentasi yang tinggi, tercatat 19 segmen membentang dari Aceh sampai Selat Sunda (Sieh & Natawidjaja, 2000) Kota Liwa merupakan ibukota propinsi Lampung Barat tercatat telah terjadi gempabumi merusak pada tahun tanggal 25 Juni 1933 dengan intensitas maksimum VII skala MMI dengan pusat gempa di 0 sekitar Pekon Sebarus (Soehaimi, dkk., 2002) pada koordinat 5,09 S, 0 104,70 T dengan kekuatan 6,1 – 7 Ms (Putranto & Kertapati, 1995). Gempabumi signifikan merusak juga terjadi pada tanggal 16 Februari 0 0 1994 pada koordinat 5, 15 S, 104, 27 T (Widiwijayanti dkk., 1996). Gempabumi ini terjadi karena adanya pergerakan pada salah satu segmen Sesar Sumatra yaitu segmen Kumering (Sieh & Natawidjaja, 2000) (Gambar 1). Pada artikel ini nomenklatur segmen Kumering digunakan sebagai penamaan resmi salah satu segmen sesar Sumatra, meskipun beberapa nomenklatur lain telah digunakan oleh peneliti terdahulu, seperti segmen Semangko (Katili & Hehuwat, 1967), segmen Ranau-Suoh (Bellier & Sebrier., 1994; Pramumijoyo dkk., 1994) dan sesar Sukabumi (Koswara & Santosa, 1995, Suwijanto dkk., 1996). Pergerakan dari daerah yang aktif secara tektonik tentunya akan menghasilkan fitur geomorfik yang mempunyai karakteristik tersendiri. Agar didapat penggambaran geometri pada deformasi yang terjadi akibat proses tektonik, identifikasi dari fitur-fitur yang mengalami pergeseran dan perubahan bentuk sangatlah penting dilakukan, keadaan sebelum terjadi deformasi haruslah dapat direkonstruksi dengan baik (Burbank & Anderson, 2012). Tujuan dari artikel ini adalah untuk mengetahui morfologimorfologi apa sajakah yang terjadi karena deformasi tektonik dan hubungannya dengan geometri sesar segmen Kumering yang menjadi sumber gempabumi di daerah Liwa. Sedangkan yang menjadi area Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
3
fokus dari artikel ini adalah segmen Kumering yang terdapat antara danau Ranau – Kota Liwa –Lembah Suoh (Gambar 1a).
Gambar 1a. Interpretasi struktur geologi di daerah penelitian. Lingkaran biru besar merupakan episenter gempa 1994 (Widiwijayanti, 1994). Lingkaran Kuning Besar merupakan episenter 1994, lingkaran kuning kecil merupakan episenter gempa susulan tahun 1994, lingkaran coklat besar merupakan episenter tahun 1933, lingkaran coklat kecil merupakan episenter gempa susulan tahun 1933 (Putranto dan Kertapati, 1995). Gambar 1b. Tatanan tektonik Sumatra (modifikasi dari Wulandari dan Hurukawa, 2012), segmentasi sesar Sumatra berdasarkan Sieh dan Natawidjaja, 2000
Litologi dan Tatanan Struktur Geologi Daerah Liwa Daerah Liwa tersusun oleh 3 kelompok batuan yaitu Kelompok Endapan Aluvium, Endapan Vulkanik Kuarter dan Endapan Sedimen Tersier (Pardede & Gafur, 1986; Amin dkk., 1994, Natawidjaja & Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
4
Kesumadharma., 1993, Pramumijoyo dkk., 1994, Suwijanto dkk., 1996). Secara rinci masing-masing kelompok batuan ini dibagi lagi ke dalam beberapa satuan batuan (Koswara & Santoso, 1995) antara lain : • Endapan permukaan yang tersusun atas alluvium berumur Holosen • Batuan gunungapi Kuarter yang tersusun atas batuan gunungapi Seminung, batuan gunungapi Kukusan, batuan gunungapi Pesagi dan batuan gunungapi Sekincau yang berumur Holosen • Batuan sedimen yang tersusun atas Tuf Ranau (van Bemmelen, 1949; Bellier dkk., 1999) atau Tuf Liwa berumur Plio-Plistosen, Tufdasit Limaukunci berumur Miosen Tengah dan Breksi Lahar Kabubihan berumur Miosen. Berdasarkan data umur 40K – 40Ar conto yang diambil dari Way Robok Tuf Ranau adalah 0,55+ 0,15 Ma (Bellier dkk, 1999). Selain itu dating 40K – 40Ar dari conto lain yang diambil di sebelah timur Kota Liwa menunjukkan umur 0,53 + 0,03 Ma (Hari Utoyo dkk., 1995). Kelompok batuan ini terpotong oleh Sesar Sumatra segmen Kumering dengan panjang 150 km terbentang antara dilatational step 0 over di Lembah Suoh pada koordinat 5,3 S sampai contractional jog 0 pada koordinat 4,35 S (Sieh & Natawidjaja, 2000). Salah satu penanda geomorfik yang membuktikan bahwa segmen sesar ini merupakan sesar aktif adalah adanya offset sungai yang terdapat di Way Menjadi, Way Rekuk, Way Robok, Way Sukabumi dan Way Semangka (Bellier & Sebrier, 1994, Pramumijoyo dkk., 1994), menurut perhitungan pergeseran aliran sungai, kecepatan geser sesar tersebut adalah + 10mm per tahun (Pramumijoyo, 1994). Sesar ini diperkirakan berumur Pliosen Awal hingga Resen (Katili & Hehuwat, 1967). Sesar lain yang melalui daerah Liwa antara lain Sesar Liwa, Sesar Warkuk dan Sesar Kenali (Koswara & Santosa, 1995) diperkirakan merupakan sesar sekunder yang terbentuk karena aktifnya Sesar Sumatra. Data Data yang digunakan dalam interpretasi struktur dan fitur geomorfik adalah data citra Landsat 8,dan Aster-GDEM yang diunduh dari portal USGS : earthexplorer.usgs.gov. Landsat 8 yang digunakan adalah data dengan identitas path 123 row 064 dengan tanggal akuisisi Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
5
24 Februari 2014 dan path 124 row 064 dengan tanggal akuisisi 4 Juni 2013. Sedangkan citra Aster-GDEM yang digunakan sejumlah empat citra yaitu S05E103, S06103, S05E104 dan S06E104 dengan resolusi 15 m digunakan untuk membuat model elevasi digital dan penggambaran 3D daerah-daerah dengan fitur geomorfik tertentu. Offset Pada artikel ini akan diulas kembali mengenai keberadaan offset sungai (Gambar 2) yang terbentuk karena adanya pergerakan dari sesar. Berturut-turut dari Danau Ranau menuju ke arah Suoh teridentifikasi beberapa offset yaitu 1-2, 3-4, 5-6, 7-8, 9-10-11, 12-13-14 (Yudhicara, komunikasi pribadi).
Gambar 2. Lokasi offset aliran sungai yang ditandai oleh bulatan merah bernomor. Garis putus-putus merupakan interpretasi struktur, garis merah merupakan interpretasi zona depresi
Di aliran Sungai Way Rekuk, teridentifikasi offset 1-2, 3-4, 5-6 dan 7-8. Untuk offset dengan identitas 1-2, memiliki jarak 507 m, pada model 3D (Gambar 3A) , kenampakan offset tidak terlalu tampak. Offset dengan identitas 3-4, memiliki jarak 524 m, pada model 3D (Gambar 3B) terlihat sedikit rona yang memperlihatkan pembelokan arah sungai. Offset dengan identitas 5-6, memiliki jarak 451 m, pada model 3D (Gambar 3C) sangat terlihat pola pembelokan yang menunjukkan pergerakan sesar mendatar menganan di daerah ini. Offset dengan identitas 7-8, memiliki jarak 431 m, pada model 3D (Gambar 3D.) terlihat pembelokan sungai, tetapi pada blok bagian barat terlihat
Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
6
sungai tidak menerus, diinterpretasikan bahwa sungai tertutup oleh endapan muda. Di aliran sungai Way Robok, teridentifikasi offset 910-11 (Gambar 2). Berdasarkan interpretasi pada citra, offset dengan identitas 9-10-11 ini memiliki total panjang 1,3 km, dimana offset memisahkan titik 9 dan 11, titik 10 merupakan lokasi dimana tampak offset punggungan (Gambar 4B.). Pada model 3D (Gambar 4A), terlihat pola pergerakan menganan yang membelokkan aliran sungai ini dan juga zona yang terlihat hancur pada aliran sungai ini. Offset yang lain adalah yang terdapat di Sungai Way Sukabumi, meskipun kenampakan pada citra tidak terlalu terlihat, tetapi ada sedikit rona yang menunjukkan pergeseran sejauh 2,7 km.
Gambar 3. Model 3D lokasi offset aliran sungai di daerah penelitian
Deretan Pegunungan Deretan pegunungan tampak terlihat di bagian barat dan timur dari sesar (Gambar 2, Gambar 5). Namun pada bagian timur, deretan pegunungan yang terlihat umumnya merupakan gunungapi, baik yang masih aktif seperti Gunung Sekincau, maupun gunungapi yang sudah tidak aktif lagi seperti Gunung Pesagi. Di bagian barat juga terdapat Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
7
kerucut gunungapi, yaitu Gunung Seminung, tetapi di bagian barat ini, morfologi yang umum tebentuk adalah deretan perbukitan, dimana terdapat jalur perbukitan Barisan Selatan, yang mencakup Bukit Limaukunci, Bukit Sipulang sampai ke perbukitan di dataran Suoh.
Gambar 4a. Model 3D lokasi offset aliran sungai di daerah Way Robok. Gambar 4b. Offset punggungan di daerah Way Robok
Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
8
Gambar 5. Model topografi 3D daerah penelitian
Zona Depresi Zona depresi ataupun dapat disebut sebagai pull-apart basin yang terbentuk karena struktur tarikan (tensional structure), setidaknya dalam skala regional dapat terdeteksi dalam bentuk Danau Ranau dan Lembah Suoh (Gambar 2). Kota Liwa, pada kenampakan di citra terlihat lebih rendah daripada daerah sekitarnya, tetapi bila melihat kenampakannya pada citra, Kota Liwa ini terlihat seperti daerah yang merupakan sisa-sisa kolaps atau longsoran dari bukit yang ada di sebelah timur-selatan (Gambar 2). Tetapi bila melihat pada profil 3D daerah penelitian (Gambar 5), kota Liwa juga terlihat seperti zona depresi yang dipengaruhi oleh struktur tarikan dari sesar Sumatra Segmen Kumering. Geometri Zona Sesar Berdasarkan interpretasi pada citra dapat diketahui bahwa geometri zona sesar Sumatra memiliki karakteristik yang cukup kompleks. Meskipun pergerakan utamanya adalah mendatar menganan, tetapi akibat pergerakan menganan tersebut, pada daerahdaerah tertentu mengalami tarikan yang akhirnya membentuk suatu depresi (Bellier dan Sebrier, 1994). Dengan kata lain bahwa sesar ini tidak murni memiliki pergerakan menganan, tetapi juga memiliki Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
9
karakteristik pull-apart basin yang terbentuk karena struktur tarikan menganan tersebut. Berdasarkan model yang ditulis oleh Bellier dan Sebrier, 1994, disebutkan bahwa Danau Ranau dulunya adalah sebuah kaldera yang mengalami kolaps antara tahun 0,7 dan 0,4 juta tahun yang lalu. Kemudian membentuk danau dengan Gunung Seminung berperan sebagai post caldera volcano (Bellier dkk., 1999). Interpretasi pada citra SPOT (Bellier dan Sebrier, 1994) dan interpretasi pada artikel ini menunjukkan adanya sebuah kelurusan yang sejajar sesar utama dan berada di bagian selatan. Kelurusan ini diinterpretasikan berupa sesar yang sudah tidak aktif lagi. Pergerakan menganan yang membentuk kaldera Ranau seperti bentuk sekarang dan keberadaan jejak sesar yang tidak aktif tersebut memberikan gambaran terbentuknya sesar segmen Kumering. Daftar Pustaka Amin, T.C., Sidarto, Santoso, Gunawan, W., 1994. Geologi Lembar Kotaagung, Sumatera (The Geology of The Kotaagung Qudrangle, Sumatera), Lembar (Qudrangle) 1010, Sekala (Scale) 1: 250.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. Departemen Pertambangan dan Energi. Bellier, O., Sebrier, M., 1994. Relationship between tectonism and volcanism along the Great Sumatran Fault zone deduced by SPOT image analyses. Tectonophysics 233: 215–231. Bellier, O., Bellon, H., Sebrier, M., Sutanto, Maury, R.C., 1999. K-Ar age of the Ranau Tuffs : implication for the Ranau caldera emplacement and slip-partioning in Sumatra (Indonesia). Tectonophysics: 347-359. Burbank, D. W & R. S. Anderson. 2012. Tectonic Geomorphology. Wiley-Blackwell. UK. pp. 94-98. Hari Utoyo, Pratomo, I., Rachmansyah, Hardjono, T., 1995. Pentarikhan batuan volkanik daerah Krui, Lampung Barat. Proc. Seminar hasil penelitian/pemetaan Geologi dan Geofisika, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung, Indonesia Katili, J.A. and Hehuwat, F., 1967. On the occurrence of large transcurrent fault in Sumatra, Indonesia. J. of Geoscience, Osaka City Univ., 10: 5-17. Koswara, A. dan Santoso. 1995. Geologi rinci daerah Liwa Lampung Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
10
Barat Sumatera Selatan Skala 1 : 50.000. Jurnal Geologi dan Sumberdaya Mineral, VI: 23-32. McCaffrey, R., 1992. Oblique plate convergence, slip vectors, and forearc deformation, Journ. of Geoph. Res., 97 (B6), 8905-8915 Natawidjaja, D. H., Kesumadharma, S., 1993. Karakterisasi gerakan tanah dan sesar aktif untuk pengembangan daerah Liwa, Kabupaten Lampung Barat. Prosiding Ikatan Ahli Geologi Indonesia, Pertemuan Ilmiah ke 22. 6-9 Desember 1993. Bandung, Indonesia. Pardede, R. dan Gafur, S., 1986. Geologi Lembar Baturaja, Sumatera (The Geology of The Baturaja Qudrangle, Sumatera), Lembar (Quadrangle) 1011, Sekala (Scale) 1: 250.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. Departemen Pertambangan dan Energi. Pramumijoyo, S., Natawidjaja, D. H., Kumoro, Y., Sudaryanto, 1994. Tinjauan geologi parameter bencana gempa Liwa. Makalah Ikatan Ahli Geologi Indonesia. PIT IAGI ke 23. Indonesia. Putranto, E.T dan Kertapati, E., 1995. Peta Seismotektonik Daerah Liwa dan Sekitarnya, Sumatera Selatan (Seismotectonic Map of Liwa and It’s Surrounding, South Sumatera), Sekala (Scale) 1: 250.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. Departemen Pertambangan dan Energi. Sieh, K., Natawidjaja, D.H.,2000. Neotectonics of the Sumatran fault. Journal of Geophysical Research 105: 28,295-28,326. Soehaimi, A., Widarto, D.S., Masturyono., Effendi, I., 2002. The Seismotectonic Database as Main Parameters For Prediction of The Tectonic Earthquake Hazard Level at Liwa, West Lampung st District. Proceedings of the 31 Annual Convention Indonesian Association of Geologist. Surabaya. Indonesia. Suwijanto, Burhan, G., Bahar, I., 1996. Remote sensing application for the Liwa earthquake evaluation and preparation of hazard mitigation. Report on Remote Sensing Application for Natural Resources Management, Project TA. No. 1910-INO (ADB-BPPT). Van Bemmelen R, ., The Geology of Indonesia ,732 pp.,Gov.Print Off., The Hague, Netherlands1, 949. Widiwijayanti, C., Deverchere, J., Louat, R., Sebrier, M., Harjono, H., Diament, M., Hidayat, D. 1996. Aftershock sequence of the 1994, Mw 6.8, Liwa earthquake (Indonesia) : seismic rupture Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
11
process in a volcanic arc. Geophysical Research Letter, 23: 3051-3054. Wulandari. B. R., Hurukawa, N., 2013. Relocation of large earthquake along the Sumatran fault and their fault planes. Bulletin of IISEE 47: 25–30. Yeats,R., K. Sieh, C. Allen, The Geology of Earthquake 568pp., Oxford Univ. Press New York, 1997.
Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
12
BAB III. GERAKAN TANAH DI JALUR LINTAS BARAT LIWA, LAMPUNG BARAT Oleh : Prahara Iqbal
Jalur lintas barat Sumatra melalui Kota Liwa merupakan jalur utama menuju beberapa wilayah Sumatra lainnya seperti Sumatra Selatan dan Bengkulu. Jalur lintas barat (JALINBAR) tersebut meliputi jalur Liwa-Krui, jalur Liwa-Ranau, dan jalur Liwa-Bukit Kemuning yang secara administratif (Gambar 6) jalur-jalur tersebut termasuk ke dalam Kabupaten Lampung Utara, Kabupaten Lampung Barat, Kabupaten Oku Selatan, dan Kabupaten Pesisir Barat. Jalur ini lebih dikenal dengan nama Jalur transek Liwa-Krui, Jalur transek LiwaRanau, dan jalur transek LiwaKemuning. Jalur ini memiliki fungsi sebagai feeder road Gambar 6.Peta administrasi wilayah studi lintas Barat yang setiap harinya dilintasi oleh berbagai jenis kendaraan, mulai dari kendaraan kecil sampai dengan kendaraan bertonase besar. Jalur ini melewati wilayah yang memiliki topografi pedataran sampai perbukitan dengan kemiringan lereng landai sampai sangat curam. Kejadian gerakan tanah di lereng sepanjang jalur ini sering terjadi yang mengakibatkan akses jalur lintas barat menjadi terputus sehingga mengganggu roda perekonomian masyarakat. Secara umum daerah studi memiliki morfologi pedataran sampai perbukitan dengan kemiringan lereng landai hingga sangat curam, dan berada di ketinggian antara 10 sampai 1200 m diatas permukaan laut (Soebowo dkk, 1997). Tata guna lahan yang berkembang di daerah studi adalah hutan lindung, kebun campuran, ladang, dan pemukiman. Wilayah studi dilakukan pada tiga jalur transek lintas barat Sumatra yang dimulai dari Kota Liwa sampai Krui dan dari Kota Liwa Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
13
sampai Ranau sepanjang + 60 km, dan Liwa-Bukit Kemuning sepanjang + 90 km. Geologi Regional Secara geologi, daerah studi tersusun oleh batuan vulkanik dan batuan sedimen (Gambar 7). Berdasarkan Peta Geologi Regional Lembar Kotaagung (Amin dkk, 1993) dan Lembar Baturaja (Gafoer dkk, 1993) tersusun oleh beberapa formasi, yaitu dari tua ke muda, yaitu: • Formasi Hulusimpang (Tomh) • Formasi Seblat (Toms) • Formasi Bal (Tmba) • Formasi Lemau (Tml) • Formasi Lakitan (Tmpl) • Formasi Simpangaur (Tmps) • Formasi Ranau (Qtr) • Formasi Bintunan (Qtb) • Batuan Gunungapi Kuarter tua (Qv) • Batuan Gunungapi Kuarter muda (Qhv) • Batugamping koral (Qg), dan • Endapan Aluvium (Qa)
Gambar 7. Peta geologi wilayah studi
Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
14
Formasi Hulusimpang: Formasi ini terdiri dari breksi gunungapi dan tuf yang bersusunan andesitbasal, mengalami proses ubahan, berurat kuarsa dan dijumpai mineral sulfida. Breksi gunungapi berwarna abu-abu kehijauan, berbentuk butir menyudut sampai menyudut tanggung, terpilah buruk, agak kompak, mengandung Gambar 8. Foto kenampakan lapukan Breksi Gunungapi dari urat-urat kuarsa, dan Formasi Hulusimpang pirit. Tuf berwarna abuabu kehijauan, berbutir halus, terdiri dari mineral gelas, feldspar, kuarsa, mineral gelap, dan butiran-butiran pirit. Formasi ini berumur Miosen Awal dan diendapkan pada lingkungan darat. Formasi Seblat: Merupakan Formasi yang tersusun oleh perselingan batulempung, batupasir tufan, serpih, batulanau, umumnya gampingan, dan lapisan tipis atau bintal batugamping. Formasi ini berumur Miosen Awal, diendapkan secara selaras diatas Formasi Hulusimpang, dan diendapkan di lingkungan laut. Formasi Bal: Formasi Bal disusun oleh breksi gunungapi bersusun dasit, tuf dasitan, dan sisipan batupasir. Formasi ini berumur Miosen Tengah, diendapkan secara selaras diatas Formasi Seblat. Formasi Bal diendapkan di lingkungan darat. Formasi Lemau: Tersusun oleh batupasir tufan atau gampingan, batulempung gampingan dengan sisipan tipis atau bintal batugamping, mengandung foraminifera dan moluska. Secara stratigrafi formasi ini diendapkan selaras diatas Formasi Bal. Formasi Lemau berumur Miosen Tengah dan diendapkan di lingkungan laut.
Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
15
Formasi Simpangaur: Formasi ini tersusun oleh batupasir tufan, batulanau tufan, tuf, konglomerat aneka bahan, mengandung moluska dan cangkang kerang, setempat sisipan tipis lignit. Formasi ini berumur Miosen Akhir dan diendapkan secara tidak selaras diatas Formasi Seblat. Formasi Simpangaur diendapkan di lingkungan laut. Gambar 9. Foto kenampakan breksi batuapung dari Formasi Ranau
Formasi Ranau: Formasi ini terdiri dari breksi batuapung, tuf mikaan, tuf batuapung, dan kayu terkersikan. Breksi batuapung berwarna abu-abu muda sampai abu-abu kecoklatan, berukuran kerikil sampai kerakal, bentuk menyudut sampai menyudut tanggung, komponen batuapung, andesit, riolit, dan mika dengan massa dasar tuf pasiran.
Formasi Bintunan: Merupakan formasi batuan yang berumur Kuarter dan diendapkan di lingkungan darat. Formasi Gambar 10. Foto kenampakan Tuf dari Formasi Gunungapi Kuarter Bintunan tersusun oleh batupasir tufan, tuf pasiran, batulempung tufan, konglomerat aneka batuan, tuf batuapung, dan sisa tumbuhan. Formasi ini diendapkan secara selaras diatas Formasi Ranau.
Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
16
Batuan Gunungapi Kuarter tua: Formasi ini tersusun oleh lava bersusunan andesit sampai basal dan Breksi gunungapi berwarna abuabu kehitaman, agak kompak, terpilah buruk, berukuran kerikil sampai bongkah, bentuk menyudut sampai menyudut tanggung yang terdiri dari andesit, basal, dan batuapung. Formasi ini berumur Kuarter tua, diendapkan secara selaras diatas Formasi Ranau, dan diendapkan di lingkungan darat. Batuan Gunungapi Kuarter muda: Formasi ini tersusun oleh breksi, lava, dan tuf yang bersusunan andesit sampai basal. Breksi dan lava berwarna abu-abu kehitaman, agak kompak, terpilah buruk, berukuran kerikil sampai bongkah, bentuk menyudut sampai menyudut tanggung yang terdiri dari andesit, basal dan batuapung. Tuf berwarna abu-abu kecoklatan, berbutir kasar yang berbentuk menyudut tanggung, terpilah buruk, agak kompak, komposisi andesit, basal, gelas, dan oksida besi. Batugamping koral: Tersusun oleh batugamping koral yang sebagian berkeping, diendapakan di lingkungan laut, berumur Kuarter, dan diendapkan secara selaras diatas batuan gunungapi Kuarter muda. Endapan Aluvium: Satuan ini tersusun oleh material lempung hingga kerikil yang merupakan endapan Way Krui yang bersifat lepas-lepas. Endapan ini merupakan endapan termuda dan penyebarannya relatif sempit.
Gambar 11. Peta titik-titik lokasi gerakan tanah
Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
17
Sifat Fisik Tanah Jalur Transek Analisis contoh tanah yang mewakili daerah studi dan diambil dari beberapa lokasi gerakan tanah secara umum tanah yang berkembang di daerah studi adalah tanah berbutir halus (lanau-lempung) dan tuf pasiran. Tanah lempung memiliki karakteristik merah kecoklatan hingga coklat kemerahan, lepas-lepas jika kering, lengket jika basah, porositas tinggi, permeabilitas tinggi, dan plastisitas tinggi. Sementara tuf pasiran berwarna segar abu-abu sampai abu-abu kecoklatan, tekstur sedang sampai kasar, bentuk butir membundar sampai sangat membundar, terpilah baik, permeabilitas baik, kemas terbuka, dapat diremas, mengandung mika dan batuapung, dan lepaslepas. Titik pengamatan gerakan tanah di wilayah studi ditunjukkan pada Gambar 11.
Gambar 12. Jenis gerakan tanah di jalur Liwa-Bukit Kemuning
Gambar 13. Variasi jenis gerakan tanah di jalur Liwa-Krui a. luncuran bahan rombakan; b. luncuran translasi tanah; c. luncuran rotasi bahan rombakan; d. luncuran membaji batuan
Gerakan Tanah Jalur Transek Liwa-Kemuning Berdasarkan pengamatan di lapangan, terdapat + 35 titik peristiwa gerakan tanah yang tersebar hampir diseluruh jalur transek (Gambar 11). Luncuran translasi tanah adalah jenis gerakan tanah yang dominan berkembang di jalur Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
18
transek Liwa-Bukit Kemuning, melibatkan jenis tanah lempung dan tuf pasiran (Gambar 12a-d). Pengamatan di lapangan memperlihatkan dimensi gerakan tanah yang mempunyai kisaran lebar 12-35 m, tinggi 0 15-20 m, dan dengan kemiringan lereng berkisar antara 25-70 . Gerakan Tanah Jalur Transek Liwa-Krui Jalur transek Liwa-Krui berada di sebelah selatan kota Liwa dengan arah memanjang timur laut-barat daya. Berdasarkan pengamatan di lapangan, terdapat delapan titik longsor yang tersebar di sebelah utara (1 titik), tengah (4 titik), dan selatan (3 titik). Jenis gerakan tanah yang berkembang di jalur transek Liwa-Krui sangat bervariasi, dengan dimensi yang berbeda-beda, serta melibatkan tanah serta batuan penyusun jalur tersebut (Gambar 13 ad). Pengamatan di lapangan memperlihatkan dimensi gerakan tanah yang mempunyai kisaran lebar 18-70 m, tinggi 15-75 m, dan dengan 0. kemiringan lereng berkisar antara 27-50 Sedangkan tanah dan batuan yang mengalami longsor adalah dari jenis tuf pasiran, tanah lempung, batulempung, tuf, dan breksi. Gerakan Tanah Jalur Transek Liwa-Ranau Jalur transek Liwa-Ranau secara geografis berada di sebelah utara kota Liwa dengan arah memanjang utara-selatan. Berdasarkan pengamatan di lapangan, terdapat empat titik longsor yang relatif tersebar di tengah-tengah jalur. Jenis gerakan tanah yang berkembang di jalur ini pun sangat bervariasi, Gambar 14. Variasi jenis gerakan tanah di jalur transek Liwadengan dimensi yang Ranau a. Luncuran translasi tanah; b. Luncuran bahan rombakan; berbeda-beda pula, serta c. Luncuran translasi tanah; d. Luncuran bahan rombakan melibatkan tanah serta batuan penyusun jalur tersebut (Gambar 14a-d). Pengamatan di lapangan memperlihatkan Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
19
dimensi gerakan tanah yang mempunyai kisaran lebar 12-15 m, tinggi 0 15-55 m, dan dengan kemiringan lereng berkisar antara 37-80 . Jenis tanah dan batuan yang mengalami longsor adalah dari jenis tuf pasiran, tanah lempung, batulempung, dan tuf. Gerakan tanah merupakan fenomena geologi yang tidak terlepas sebagai konsekuensi dari proses dinamika bumi dalam membentuk kesetimbangannya. Berdasarkan Chowdhury (1978) dan Varnes (1978), fenomena gerakan tanah sering terjadi pada wilayah dengan morfologi perbukitan. Peristiwa gerakan tanah merupakan proses pemindahan massa tanah atau batuan penyusun lereng serta vegetasi, karena kesetimbangannya terganggu. Massa tanah tersebut bergerak menuruni lereng serta keluar dari badan lereng, sebagai akibat gaya gravitasi bumi. Definisi di atas menunjukkan bahwa massa yang bergerak dapat berupa massa tanah, massa batuan ataupun percampuran antara masa tanah dan batuan penyusun lereng. Apabila massa yang bergerak ini didominasi oleh massa tanah dan gerakannya melalui suatu bidang pada lereng, baik berupa bidang miring ataupun lengkung, maka proses pergerakan tersebut disebut sebagai longsoran tanah. Terdapat 6 jenis gerakan tanah yang dikenal hinga kini (Varnes, 1978), yakni: jatuhan (fall), jungkiran (topple), luncuran (slide) dan nendatan (slump), aliran (flow), gerak bentang lateral (lateral spread), dan gerakan majemuk (complex movement). Faktor-faktor penyebab terjadinya gerakan tanah meliputi faktor internal (dari tubuh lereng sendiri) maupun faktor eksternal (dari luar lereng), yaitu: kegempaan, iklim (curah hujan), vegetasi, morfologi, batuan/tanah maupun situasi setempat (Anwar dan Kesumadharma, 1991; Hirnawan, 1994), tingkat kelembaban tanah (moisture), adanya rembesan, dan aktifitas geologi seperti patahan (terutama yang masih aktif), rekahan dan liniasi. Di sisi lain faktor aktivitas manusia juga dapat menjadi penyebab terjadinya gerakan tanah. Aktivitas tersebut sebagai contohnya adalah penggunaan lahan yang tidak teratur, seperti pembuatan areal persawahan pada lereng yang terjal, pemotongan lereng yang terlalu curam, penebangan hutan yang tidak terkontrol, dan sebagainya (Purwanto dan Listyani, 2008). Daerah studi merupakan daerah perbukitan dengan kemiringan lereng landai hingga curam (Soebowo dkk, 1997). Daerah ini juga terletak di lembah sesar besar Sumatra (Koswara dan Santoso, 1995) sehingga daerah studi rawan bencana gempabumi. Berdasarkan analisis Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
20
laboratorium, daerah studi dominan disusun oleh tanah lempungan dan pasiran yang memiliki kekerasan kurang padat hingga lepas-lepas. Berdasarkan keterangan di atas dapat diketahui bahwa daerah studi merupakan daerah rawan bencana gempabumi dan bencana gerakan tanah. Berdasarkan kenampakan di lapangan faktor penyebab terjadinya bencana gerakan tanah di daerah studi merupakan kombinasi dari faktor internal dan eksternal, sedangkan jenis gerakan tanah yang sering terjadi adalah jenis luncuran tanah dan luncuran bahan rombakan (Varnes, 1978; Highland dan Bobrowsky, 2008). Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa gerakan tanah di sepanjang jalur lintas barat Liwa umumnya terjadi pada lereng 0 yang memiliki kemiringan 25-80 , tersusun oleh tanah lempung campuran yang memiliki karakteristik porositas, permeabilitas, dan plastisitas yang tinggi dengan tata guna lahan berupa kebun campuran. Oleh sebab itu, untuk mengurangi terjadinya gerakan tanah di jalur lintas barat Liwa diperlukan teknik mitigasi yang berkesinambungan dan berkelanjutan khususnya pada proses pemotongan lereng jalan yang fokus terhadap jenis tanah/batuan penyusun lereng, penanaman tanaman penutup lereng yang sesuai/revegatasi lereng, pemeliharaan jaringan drainase, penyuluhan kepada masyarakat mengenai bahaya gerakan tanah, dan penerapan aturan yang tegas mengenai perlindungan lingkungan hidup. Daftar pustaka Amin, T.C., Santosa, S., dan Gunawan, W., 1993. Peta Geologi Lembar Kotaagung. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Departemen Pertambangan dan Energi, Bandung Anwar, H.Z., dan Kusumadhama, S., 1991. Konstruksi jalan di daerah Pegunungan tropis. Makalah Ikatan Ahli Geologi Indonesia, PIT ke-20, Desember 1991, hal. 471- 481 Chowdhury, R.N. 1978. Development in Geotechnical Engineering, Vol. 22. Elsevier Scientific Publishing Company, Amsterdam Gafoer, S. Amin, T.C., dan Pardede, R., 1993. Peta Geologi Lembar Baturaja. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Departemen Pertambangan dan Energi, Bandung Highland, L. M., dan Bobrowsky, P., 2008. The Landslide Handbook-A Guide to Understanding Landslides. USGS
Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
21
Hirnawan, R. F., 1994. Peran faktor-faktor penentu zona berpotensi longsor di dalam mandala geologi dan lingkungan fisiknya Jawa Barat. Majalah Ilmiah Universitas Padjadjaran, no. 2, vol. 12, hal. 32-42. Iqbal, P., 2013. Batako tuf pasiran sebagai batako alternatif untuk bahan bangunan di daerah Liwa, Lampung Barat. Majalah Pusdiklat Geologi, vol. IX, hal 51-58 Purwanto dan Listyani. 2008. Tinjauan Hidrogeologi dan Evaluasi Gerakan Tanah di Wilayah Kabupaten Banjarnegara. Makalah Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008, IST AKPRIND Yogyakarta Soebowo, E., Kusumadharma, S., Djakamihardja, A.S., Wibawa, S., 1997. Geologi longsoran pada jalur Liwa-Krui, Lampung Barat. Prosiding IAGI, PIT XXVI, Jakarta Varnes, D. J., 1978. Slope movement types and processes. In: Special Report 176: Landslides: Analysis and Control
Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
22
BAB IV. KONDISI AGROEKOLOGIS SUMBERDAYA LAHAN WILAYAH KOTABUMI, LAMPUNG UTARA Oleh : Asep Mulyono
Lahan di daerah Kotabumi, Lampung Utara, sebagian berupa areal persawahan tadah hujan, dan yang lainnya berupa pertanian lahan kering. Pertanian lahan kering (tanaman semusim dan tanaman tahunan/perkebunan) yang tanpa tindakan konservasi tanah dan air akan meningkatkan laju aliran permukaan. Aliran permukaan yang tinggi akan meyebabkan terjadinya erosi tanah dan sedimentasi. Dampak erosi tanah dan sedimentasi adalah menurunnya kesuburan tanah, masuknya residu pupuk ke sungai (terjadi eutrofikasi), masuknya residu pestisida (insektisida, fungisida, herbisida) ke sungai, pencemaran air, serta pendangkalan sungai, waduk, danau, dan atau laut. Usaha pertanian yang dilakukan pada lahan-lahan marginal semacam ini akan banyak menghadapi kendala biofisik berupa sifat fisik yang tidak baik, kahat hara, keracunan unsur, hama dan penyakit dan sebagainya. Lahan merupakan bagian dari bentang alam (land scape) yang mencakup lingkungan fisik termasuk iklim, tanah, terrain (topografi/relief), hidrologi, keadaan vegetasi alami atau makhluk hidup lain yang bersifat statis dan semuanya secara potensial dan proporsional akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan (Dent dan Young, 1981). Proses pembangunan seiring dengan adanya perubahan penggunaan lahan yang selain menghasilkan manfaat bagi masyarakat juga tidak lepas dari resiko terjadinya kerusakan lahan yang mengakibatkan kondisi kritis. Lahan kritis merupakan suatu kondisi ketidaksesuaian antara penggunaaan dengan kemampuannya, telah mengalami atau dalam proses kerusakan fisik/kimia/biologi, yang akhirnya membahayakan fungsi hidrologi, produksi pertanian, permukiman, dan kehidupan sosial ekonomi dari daerah lingkungan pengaruhnya. Konsep pewilayahan pertanian atau pemetaan zona agroekologi (ZAE) adalah penyederhanaan dan pengelompokan agroekosistem yang beragam dalam bentuk klasifikasi yang lebih aplikatif (Las dkk., 1990). Berbagai langkah yang perlu diambil dalam rangka pengembangan Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
23
sumberdaya alam secara optimal, antara lain : (a) pengenalan sifat dan karakteristik lahan; (b) menetapkan kesesuaian lahan lahan; (c) menetapkan tingkat manajemen yang diperlukan untuk setiap penggunaan lahan; (d) menilai kesesuaian lahan bagi pengembangan berbagai komoditas pertanian, serta (e) menentukan pilihan komoditas atau tipe penggunaan lahan tertentu yang sesuai secara fisik dan menguntungkan (Budianto, 2001). Wilayah Kotabumi yang terbagi dalam 3 (tiga) kecamatan (BPS Lampung Utara, 2010), yaitu Kecamatan Kotabumi Kota, Kotabumi Utara dan Kotabumi Selatan yang U secara administratif termasuk dalam Kabupaten Lampung Gambar 15. Peta administratif wilayah Utara Propinsi Lampung. Luas Kotabumi wilayah penelitian sekitar 292,4 2 km , dengan batas wilayah sebelah Utara Kecamatan Sungkai, sebelah Barat Kecamatan Abung Barat, sebelah Timur Kecamatan Abung Timur dan sebelah Selatan Kabupaten Lampung Tengah (Gambar 15). Fisiografi Wilayah Kotabumi Fisiografi wilayah Kotabumi menurut Hikmatullah, dkk. (1990), terbagi menjadi 3 (tiga) grup fisiografi, diantaranya : (1) grup Aluvial; (2) grup Volkan dan (3) grup Dataran Tuf Masam dengan ketinggian tempat antara 16 – 120 meter di atas muka laut
U
Gambar 16. Peta fisiografi wilayah Kotabumi
Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
24
(m.daml) (Gambar 16). Grup Aluvial merupakan suatu dataran yang terbentuk dari hasil sedimentasi aluvial dan koluvialsi dan berumur relatif muda dari aktivitas sungai, danau atau longsoran dengan dicirikan oleh terbentuknya pelembahan aluvial luas. Penyebarannya terutama di sepanjang jalur sungai seperti di Way Rarem. Berdasarkan morfologi, posisi dan bahan induk, yang termasuk ke dalam wilayah penelitian termasuk dalam satuan lahan Au.1.2, yaitu suatu satuan lahan dengan dataran banjir dari sungai yang bermeander, sedimen tidak dibedakan. Grup Dataran Tuf Masam merupakan dataran yang terbentuk dari hasil pengendapan bahan tuf volkanik masam (ignimbrit). Secara umum, daerah ini telah mengalami proses erosi dan denudasi sehingga wilayahnya banyak penorehan terutama pada wilayah berlereng. Bentuk wilayahnya bervariasi dari datar hingga bergelombang berbukitbukit dan diselingi oleh lembah-lembah sempit sampai lebar di antara punggung-punggung. Bahan tuf volkanik masam membentuk dataran ini berasal dari formasi Palembang Anggota Atas dan Tuf Lampung. Disamping itu juga terdapat batuan sedimen halus masam yang tercampur dengan tuf masam formasi Palembang Tengah. Di bagian interfluve biasanya masih dijumpai bahan endapan berupa kerikil dan kerakal bulat. Bahan ini tidak dijumpai pada Tuf Lampung dan Tuf Ranau. Sifat-sifat tanah yang menonjol dari bahan ini adalah miskin unsur hara, KTK dan kejenuhan basa rendah serta kejenuhan Al tinggi. Menurut pembagian litologinya, yang termasuk dalam wilayah penelitian termasuk dalam satuan lahan Idq, yaitu dataran tuf masam dari bahan tuf masam dan batuan sedimen kasar masam. Grup Volkan mencakup bentukan volkanik Kuarter yang terbentuk dari hasil aktivitas gunung berapi. Wilayah penelitian termasuk dalam wilayah volkan muda (V*.1) dan bentukan volkan yang telah mengalami proses geomorfik sehingga bentukan kerucutnya tidak utuh dan banyak tererosikan (V*.2). Batuan induk volkan terdiri dari lava dan tuf atau bahan piroklastika lain bersifat masam, basis dan intermedier. Berdasarkan morfologi dan reliefnya, wilayah penelitian termasuk dalam golongan grup volkan lereng tengah (Vab. 1.3), lereng bawah (Vab. 1.4), dataran volkan dan plato berombak (Va.2.2) dan dataran plato volkan bergelombang (Va.2.3).
Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
25
Kondisi Agroekologis Agroekologi adalah pengelompokan suatu wilayah berdasarkan keadaan fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat diharapkan tidak akan berbeda dengan nyata. Komponen utama agroekologi adalah iklim, fisiografi atau bentuk wilayah dan tanah (BPPP, 1999). Pada komponen iklim terbagi menjadi 2, yaitu regim kebasahan dan suhu. Indikator data iklim dilakukan terhadap rejim kebasahan tanah adalah jumlah curah hujan dengan jumlah rata-rata bulan basah dan bulan kering. Rejim kelembaban di hitung berdasarkan jumlah bulan kering dan basah dalam setahun. Bulan kering < 3 termasuk lembab (udic), bulan kering 3-6 termasuk agak kering (ustic), dan bulan kering > 6 termasuk kering (aridic) (BPPP, 1999).
mm
700.0 600.0
2005
500.0
2006
400.0
2007
300.0
2008
200.0
2009
100.0
rata-rata
0.0 Januari
Maret
Mei
Juli
September
Nopember
Gambar 17. Grafik curah hujan wilayah Kotabumi
Berdasarkan klasifikasi Oldeman, dkk. (1975), membagi zona agroklimat berdasarkan jumlah bulan basah (> 200 mm/bulan) dan bulan kering (<100 mm/bulan). Berdasarkan data curah hujan rata-rata (Gambar 17) selama 5 tahun (2005-2009), wilayah Kotabumi dikategorikan sebagai zona agroklimat B dengan karakter wilayah dengan kejadian bulan basah 7 bulan berturut-turut dari bulan Oktober - April dan bulan kering berturut-turut selama 5 bulan dari bulan Mei September. Rata-rata curah hujan terendah di dapat pada bulan Juli dan tertinggi pada bulan Februari. Berdasarkan rejim kelembaban tanah, wilayah Kotabumi merupakan rejim kelembaban ustik (agak kering) dengan bulan kering 3-6 bulan.
Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
26
U
Gambar 18. Peta rejim suhu wilayah Kotabumi
UTARA
Gambar 19. Peta rejim bentuk wilayah Kotabumi
Rejim suhu di hitung berdasarkan ketinggian tempat dari muka laut. Yang lebih rendah dari 700 m termasuk panas (isohyperthermic), antara 700 sampai 2000 m termasuk sejuk (isothermic), dan yang lebih tinggi dari 2000 m termasuk dingin (isomesic) (BPPP, 1999). Berdasarkan rejim suhu, wilayah Kotabumi dikategorikan rejim suhu panas (isohyperthermic) dengan ketinggian tempat antara 16 – 120 m.daml., lebih rendah dari dari 700 m.daml (Gambar 18). Wilayah Kotabumi terletak pada dataran yang disebut peneplain dengan bentuk wilayah berombak sampai bergelombang. Secara umum wilayah ini dapat dibedakan menjadi tiga bagian yaitu bagian puncak, lereng dan lembah. Bentuk wilayah pada Gambar 19, menurut BPT (2004) dikategorikan menjadi 3 kelas kelerengan yaitu kategori datar (0 – 3 2 %) seluas 133,6 km , kategori berombak (3 – 8 %) 2 seluas 158,5 km , kategori bergelombang (8 – 15 %) 2 seluas 0,2 km .
Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
27
Sebaran jenis tanah di wilayah Kotabumi cukup bervariasi. Berdasarkan hasil klasifikasi menurut sistem taxonomi tanah (Soil Survey Staff, 2010), tanah-tanah di wilayah penelitan terbagi menjadi 4 ordo tanah yaitu Inceptisols, Oxisols, Ultisols dan Entisols. Penyebaran ordo tanah untuk keperluan kesesuaian lahan dilakukan sampai tingkat sub grup, sehingga dihasilkan 5 sub grup (Tabel 1 dan Gambar 20). Tabel 1. Tatanama Jenis Tanah berdasarkan Soil Taxonomy No 1 2 3 4 5
Ordo Inceptisols Inceptisols Ultisols Oxisols Entisols
Sub Ordo Tropepts Tropepts Udults Udox Aquents
Great Grup Dystropepts Humitropepts Kandiudults Hapludox Fluvaquents
Sub Grup Ustic Dystropepts Ustic Humitropepts Arenic Kandiudults Typic Hapludox Typic Fluvaquents
SPT SPT 1 SPT 2 SPT 3 SPT 4 SPT 5
Ordo tanah Inceptisols lebih banyak dijumpai di daerah penelitian baik pada wilayah berbukit maupun pedataran dengan dominasi pertanian lahan kering dan perkebunan. Tanah-tanah ini lebih mendominasi seluruh wilayah penelitian, dengan luas wilayah 2 253,52 km . Ordo tanah Inceptisols menurunkan 2 sub grup, yaitu Ustic Dystropepts dengan luas UTARA 2 wilayah 97,02 km dan Gambar 20. Peta rejim tanah wilayah Kotabumi Ustic Humitropepts dengan luas wilayah 156,5 2 km . Ordo tanah Ultisols menurunkan sub grup Arenic Kandiudults 2 dengan luas 21.1 km . Ordo tanah ini terbentuk dari dataran tuf masam dari bahan tuf masam dan batuan sedimen kasar masam. Sebagaimana Ordo tanah Ultisols, ordo tanah Oxisols pun terbentuk dari dataran tuf masam dari bahan tuf masam dan batuan Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
28
2
sedimen kasar masam dengan luas 10,3 km dengan menurunkan sub grup Typic Hapludox. Tanah ini telah mengalami perkembangan lanjut dan tanah ini biasanya mempunyai tekstur liat dibandingkan ordo tanah Ultisols. Berbeda dengan ordo tanah Oxisols, ordo tanah Ultisols bersifat lebih lekat dan lebih berat bila diolah, karena mengandung mineral alumino-silikat yang lebih banyak. Air akan ditahan lebih kuat pada tanah ordo tanah Ultisols. Sifat fisiknya menyerupai ordo tanah Oxisols, jika didominasi mineral kaolinit. Bedanya adalah dengan adanya peningkatan liat pada horison argilik/kandik, pergerakan air menjadi lebih terhambat di ordo tanah Ultisols. Ordo tanah terkahir yang menempati wilayah penelitian adalah dikategorikan sebagai ordo 2 tanah Entisols dengan luas 7,5 km . Tanah ini terbentuk dari hasil sedimentasi aluvial dan koluvialsi dan berumur relatif muda dari aktivitas sungai, danau atau longsoran. ordo tanah Entisols merupakan tanah-tanah muda yang belum berkembang sehingga belum dijumpai adanya horison diagnostik. Berdasarkan hasil overlay antara rejim iklim (kebasahan/kelembaban dan suhu), regim bentuk wilayah dan rejim tanah, didapatkan zona agroekologis wilayah penelitian (Gambar 21). Gambar 21 menunjukkan bahwa wilayah penelitian terbagi menjadi 4 (empat) zona agroekologis, yaitu (1) Ent.1.2 dengan karakterisik ordo tanah Entisols, isohypertermik dan ustik yang terdiri atas wilayah dengan zona IV (relief 0 – 8 %) (2) Oks.1.2 dengan karakterisik ordo tanah Oksisols, isohypertermik dan ustik yang terdiri atas wilayah dengan zona IV (relief 0 – 8 %); (3) Incp.1.2 dengan karakterisik ordo tanah Inceptisols, isohypertermik dan ustik yang terdiri atas wilayah dengan zona III (relief 8 – 15 %) dan zona IV (relief 0 – 8 %) ; dan (4) Ult.1.2 dengan karakterisik ordo tanah Ultisols, isohypertermik dan ustik yang terdiri atas wilayah dengan zona IV (relief 0 – 8 %). Pertumbuhan dan perkembangan suatu jenis komoditas sangat dipengaruhi oleh faktor genetik, iklim dan tanah dan kondisi lingkungan (kondisi agroekologis). Faktor genetik merupakan sifat turunan yang dibawa oleh setiap jenis tanaman (Yustika, 1982). Faktor genetik dan sebagian faktor tanah tidak bersifat statis, dengan manajemen dan teknologi dapat diubah dan diperbaiki kualitasnya sesuai dengan tipe penggunaan lahan yang akan dikembangkan (Sys dkk., 1993).
Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
29
UTARA
Gambar 21. Zona agroekologis wilayah Kotabumi
Daftar pustaka BPPP, 1999. Panduan Karakterisasi dan Analisis Zone Agroekologi (Edisi I). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat & Proyek Pembinaan Kelembagaan Penelitian dan Pengembangan Pertanian BPS Lampung Utara, 2010. Lampung Utara dalam Angka. Biro Pusat Statistik Lampung Utara BPT, 2004. Petunjuk Teknis Pengamatan Tanah. Balai Penelitian Tanah, Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian Budianto, J. 2001. Pengembangan Potensi Sumberdaya Petani Melalui Penerapan Teknologi Partisipatif. Pros. Seminar Nasional Pengembangan Teknologi Pertanian. Mataram. David Dent dan Anthony Young, 1981. Soil Survey and land Evaluation. Beorge Allen & Unwim (Publisher) ltd. h.115-127 Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
30
Hikmatullah, dkk., 1990. Peta Satuan Lahan dan Tanah Lembar Baturaja, Sumatera Skala 1 : 250.000. Proyek Perencanaan dan Evaluasi Sumber Daya Lahan dan Pengelolaan Database Tanah. Pusat Penelitian Tanah, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Las, I., A.K. Makarim, A. Hidayat, A. Syarifuddin, dan I. Mawan. 1990. Pewilayahan Agroekologi Utama Tanaman Indonesia. Puslitbangtan, Edisi Khusus, Pus/03/90.Bogor. Oldeman, L.R., Darwis S.N., dan Irsal Las, 1975. Agroclimatic Map of Sumatera, Kalimantan, Maluku and Irian Jaya. Contribution of The Central Research Institute, Bogor. Soil Survey Staff, 2010. Keys to Soil Taxonomy. U.S. Department of Agriculture, Natural Resources Conservation Services. Eleventh Edition. 2010. Soil Survey Division Staff, 1993. Soil Survey Division Manual. Soil Conservation Service. U.S. Department of Agriculture Handbook No.18. Yustika, S. Baharsjah. 1982. Hubungan cuaca dengan tanaman Dalam Training Penerapan Agrometeorologi dalam Pengembangan di Pusat Penelitian Tanah, Bogor.
Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
31
BAB V. SUMBERDAYA AIR WILAYAH KOTA BANDAR LAMPUNG Oleh : Asep Mulyono
Seiring dengan pesatnya perkembangan sektor pembangunan di Kota-kota besar termasuk salah satunya kota Bandar Lampung, memicu meningkatnya kebutuhan sumberdaya alam yang berdampak timbulnya permasalahan kondisi lingkungan sampai persoalan sosial ekonomi. Salah satu kebutuhan adalah ketersediaan sumber air sebagai faktor utama untuk berlangsungnya kehidupan. Pertambahan penduduk dan industri di wilayah kota Bandar Lampung membawa konsekuensi meningkatnya kebutuhan akan air bersih. Kebutuhan air bersih yang selalu meningkat, baik untuk keperluan domestik maupun industri akan meningkatkan jumlah pengambilan airtanah, karena airtanah masih merupakan salah satu sumber air bersih yang diandalkan. Kelangkaan air bersih di wilayah pesisir kota Bandar Lampung memang sudah lama dialami oleh masyarakat setempat; bahkan masalah ini telah menjadi isu utama dalam penyusunan rencana strategis pengelolaan wilayah pesisir lampung (Wiryawan, dkk., 2000). Pemanfaatan airtanah yang bersifat menerus, dapat menyebabkan terjadinya kelangkaan airtanah, yaitu pada keadaan di mana kecepatan pengambilan air, jauh lebih besar dari pada pengisiannya kembali. Apabila kondisi tersebut berlangsung dalam waktu yang lama, hal tersebut dapat menyebabkan menurunnya daya dukung alam terhadap penyediaan air, bahkan dapat terjadi dampak yang tidak diinginkan dari penurunan muka airtanah seperti adanya amblesan tanah, maupun interusi air laut untuk kawasan pesisir. Airtanah tersimpan dalam dalam lapisan pengandung air atau disebut akifer, menurut Freeze dan Cherry (1991), akifer adalah batasan terbaik suatu unit geologi yang dapat ditembus air (permeable) Jenuh yang dapat memindahkan atau menyalurkan jumlah air yang signifikan dibawah gadient hidroulik yang baik. Menurut Sosrodarsono dan Takeda (1985), Airtanah mengalir dikontrol oleh dua faktor, yaitu elevasi dan tekanan. Kedua faktor tersebut akan berebut pengaruh (dominasi), mana yang lebih mempengaruhi dibandingkan dengan yang
Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
32
lainnya. Arah aliran airtanah selalu tegak lurus dengan garis isopotensialnya (kontur ketinggian). Kota Bandar Lampung telah menjadi daerah yang padat penduduk, perdagangan dan industri. Hal tersebut mengakibatkan peningkatan kebutuhan akan sumber daya airtanah yang berkualitas baik. Kendala sulitnya ketersediaan airtanah yang layak untuk dikonsumsi untuk air minum telah menjadi isu rencana program pengelolaan di wilayah pesisir Lampung. Pada umumnya wilayah pesisir merupakan daerah yang rentan terhadap pencemaran akibat kesalahan dalam pengelolaannya yang menjadikan kawasan ini sebagai tempat pembuangan segala macam limbah yang berasal dari daratan. Identifikasi pola aliran airtanah akan sangat membantu asal daerah imbuhan dan luaran airtanah serta dapat diketahui pola penyebaran pencemaran karena akan mengikuti pola aliran airtanah di wilayah tersebut. Pengetahuan pola dan arah aliran airtanah sangat diperlukan guna informasi konservasi airtanah terutama di wilayah tinggi yang merupakan daerah imbuhan airtanah bagi wilayah dibawahnya. Kota Bandar Lampung secara administratif berbatasan dengan Kabupaten Lampung Tengah, Lampung Selatan Propinsi Lampung (Gambar 22). Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Fergusson (1951) dalam Damai (2003), iklim wilayah penelitian tergolong tipe A; sedangkan menurut zone agroklimat Oldeman (1978) dalam Damai (2003), tergolong Zone D3, yang berarti lembab sepanjang tahun. Berdasarkan data informasi cuaca, iklim dan geofisika Lampung bulan Juli 2009, curah hujan berkisar antara 121 – 164 mm/bulan. Tekanan udara diprakirakan sebesar 1010.8 mb. Kecepatan angin berkisar antara 03 – 25 knot dengan Gambar 22. Peta administrasi wilayah arah Timur sampai Barat Daya. Kota Bandar Lampung
Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
33
Kondisi Hidrogeologi Kota Bandar Lampung termasuk ke dalam Cekungan Airtanah (CAT) Bandar Lampung yang mengacu pada Rancangan Standard Nasional Indonesia (RSNI) tentang tipe batas Cekungan Airtanah, mencakup Cekungan Airtanah (CAT) Bandar Lampung dengan luas lebih 2 kurang 439 Km . Cekungan Airtanah (CAT) Bandar Lampung ditutupi oleh batuan gunungapi terdiri atas breksi, tuf dan lava andesit – basal yang merupakan hasil kegiatan Gunungapi muda berumur kuarter dari G. Ratai dan G. Betung. Selain itu batuan terobosan di dalam batuan gunungapi dijumpai tersingkap setempat-setempat dengan luas penyebaran relatif sempit. Sebagian kecil, di daerah bagian selatan cekungan airtanah Bandar Lampung ditutupi oleh F. Lampung disusun oleh tuf berbatu apung, tuf riolitik, tuf padu, batu lempung tufan, dan batupasir tufan berumur Plistosen; serta Aluvium berupa material lepas terdiri atas kerakal, kerikil, pasir, lempung dan gambut (Pusat Lingkungan Geologi, 2007). Penghitungan infiltrasi dengan neraca air diketahui air hujan yang masuk ke dalam tanah sebesar 252,9 mm/tahun atau sekitar 12 % dari jumlah curah hujan tahunan, dengan demikian jumlah air yang 2 masuk ke dalam tanah di CAT Bandar Lampung dengan luas 439,1 km 3 adalah sekitar 111,05 juta m /tahun. Jumlah imbuhan airtanah dangkal yang diperhitungkan berdasarkan atas nilai koefisien imbuhan dengan memperhatikan kemiringan lereng dan dominasi litologi penyusunnya, serta jumlah curah hujan di daerah penyelidikan, dapat diketahui 3 adanya imbuhan airtanah lebih kurang 171,20 juta m /tahun (Pusat Lingkungan Geologi, 2007). Potensi airtanah berdasarkan data Pusat Lingkungan Geologi, 2007 termasuk kedalam wilayah potensi airtanah sedang dan rendah. Wilayah dengan potensi airtanah sedang menempati daerah kaki sebelah utara G. Pesawaran dan G. Betung yangmencakup daerah sekitar Sukomoro, Tanjungkerta, Gedongtataan, sampai Kota BandarLampung. Kedalaman dasar sistem akifer di wilayah ini antara -2
-1
45-117 mbmt dengan nilai k antara 3,8x10 - 7,4x10 m/hari dan T antara 5,0 - 29,6 m²/hari. Kedudukan MAT antara 0,7 -8,9 mbmt, sumur yang dibuat dengan menyadap sistem akifer tersebut dapat menghasilkan Qs antara 0,1 - 0,5 l/det/m dan Qopt antara 3,5 -8,5 l/detik. Sedangkan wilayah potensi airtanah rendah sebarannya sangat luas mencakup seluruh daerah penyelidikan kecuali daerah yang Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
34
termasuk dalam wilayah potensi airtanah tinggi, wilayah potensi airtanah sedang, dan daerah relatif kedap air atau non akifer. Kedalaman dasar sistem akifer di wilayah ini antara 27 -245 mbmt -2
-1
dengan nilai k antara 3,6 x 10 - 7,4 x 10 m/hari dan T antara 1,1 -8,9 m²/hari. Kedudukan MAT antara 0,5 - 19,4 mbmt, sumur yang dibuat dengan menyadap sistem akifer tersebut dapat menghasilkan Qs ratarata 0,1 l/det/m dan Qopt antara 0,6 -1,9 l/detik. Kondisi Geologi Litologi batuan Kota Bandar Lampung menurut Rustandi dan Keyser (1993) termasuk dalam beberapa satuan batuan, diantaranya Aluvium (Qa) yang terdiri atas kerakal, pasir, lempung dan gambut; batuan Gunung Api Muda (Qhv) yang terdiri atas breksi, tuf dan lava andesit – basal; Formasi Lampung (QTl) yang tersusun atas tuf berbatu apung, tuf riolitik, tuf padu, batu lempung tufan dan batu pasir tufan yang berumur Plistosen dan Formasi Tarahan (Tpot) yang tersusun atas tuf padu, breksi dengan sisipan rijang yang berumur Paleosen sampai Miosen awal. Berdasarkan laporan Pusat Lingkungan Geologi (2007) secara morfologi, daerah penelitian termasuk ke dalam 3 (tiga) satuan morfologi yaitu satuan morfologi kaki guung, satuan morfologi dataran aluvium dan satuan morfologi perbukitan bergelombang lemah (Gambar 23). Satuan morfologi kaki gunung meliputi wilayah kota Bandar Lampung dan wilayah Lampung Selatan dengan ketinggian tempat berkisar 50 – 200 m di atas muka laut (aml) dengan 0 0 kelerengan 1 - 5 . Satuan morfologi dataran aluvium menempati sepanjang Gambar 23. Peta morfologi wilayah Kota pantai Teluk Betung dan Bandar Lampung bagian timur arah utara selatan. Secara geologi satuan morfologi dataran ini di susun oleh berbagai jenis batuan yang berumur muda (kuarter), seperti aluvial yang tersusun dari lempung, lanau, pasir, kerikil, dan kerakal. Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
35
Ketinggian daerah ini sekitar 0 sampai 350 m di atas muka laut (aml) dengan kemiringan lereng sekitar 0 – 1 %. Satuan morfologi perbukitan bergelombang lemah dengan litologi tufa sampai tufa pasiran dengan ketinggian tempat antara 0 – 350 m di atas muka laut (aml) dengan 0 0 kelerengan 3 - 11 . Pengamatan kondisi airtanah bebas dilakukan terhadap 27 buah sumur penduduk (Gambar 24) dengan Tabel 1 yang memperlihatkan data masing-masing titik minatan. Kondisi sifat fisik airtanah dangkal di wilayah penelitian beragam, walaupun dibeberapa lokasi pengamatan terdapat sumur penduduk yang tidak layak minum terutama dengan nilai DHL yang cukup tinggi (Tabel 2). Pada Tabel 1 memperlihatkan nilai DHL pada sumur L4 melebihi 1500 µS/m yang merupakan batas ambang klasifikasi kelas air yang tergolong tawar. Nilai DHL dan TDS yang melebihi ambang batas air tawar berada di sekitar wilayah Panjang. Sumur L4 pada Tabel 1 dengan nilai DHL dan TDS sebesar 2150 µS/m dan 1200 mg/L tergolong pada air agak payau berdasarkan klasifikasi air asin PAHAIAA-Jakarta 1986.
Gambar 24. Peta titik minatan Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
36
Tabel 2. Data titik minatan Kode "L1" "L2" "L3" "L4" "L5" "L6" "L7" "L8" "L9" "L10" "L11" "L12" "L13" "L14" "L15" "L16" "L17" "L18" "L19" "L20" "L21" "L22" "L23" "L24" "L25" "L26" "L27"
X 528765.35 535558.07 532620.27 536483.89 536450.69 527918.42 529614.63 529912.84 533360.15 532565.02 535837.78 534577.22 527787.65 525455.19 524447.77 526361.63 528289.1 527102.85 525153.27 530378.31 523440.96 529519.27 527319.27 534071.28 527425.56 530697.13 527029.6
Koordinat Y 9400175.42 9397455.02 9398583.79 9395910.95 9394286.48 9401104.26 9403275.25 9404591.29 9404839.23 9401949.55 9401210.79 9398049.07 9403843.66 9400243.8 9403749.45 9402524.03 9398732.02 9397701.97 9398440.03 9398925.27 9394389.96 9398322.87 9399432.29 9403175.34 9394019.97 9401116.09 9396766.6
Z 115 147 28 147 66 115 103 105 100 80 146 14 130 237 220 169 60 34 146 35 282 29 99 95 77 87 95
mat (m) 5.6 1.3 2.1 2.7 6.2 2.1 2.5 3.9 4.6 2.6 1.8 1.5 5.4 7.4 4.8 8 8.2 2.4 6.5 4.5 2.4 3.9 2.9 9.4 3.2 2.7 7.3
Z-mat (m) 109.4 145.7 25.9 144.3 59.8 112.9 100.5 101.1 95.4 77.4 144.2 12.5 124.6 229.6 215.2 161 51.8 31.6 139.5 30.5 279.6 25.1 96.1 85.6 73.8 84.3 87.7
DHL µS/m 375 1100 1200 2150 900 310 200 150 450 450 140 550 400 250 250 250 476 300 120 300 125 600 300 200 200 235 350
pH
TDS (mg/L) 600 1200 550 145 120 280 180 0 175 60 1250 -
7.2 7.1 7 6.5 5.5 7.7 6.5 0 7.4 6.1 7.5 -
Tabel 3. Karakteristik air berdasarkan kandungan TDS, DHL dan Cl Sifat Air Air Tawar Air Agak Payau Air Payau Air Asin Brine
TDS (mg/liter) ≤ 1000 > 1000 - ≤ 3000 >3000 - ≤ 10000 >10000 - ≤ 35000 >35000
DHL (μmhos/cm) ≤1500 >1500 - ≤ 5000 >5000 - ≤15000 >15000 - ≤ 50000 >50000
-
Cl (mg/liter) ≤500 >500 - ≤2000 >2000 - ≤ 5000 >5000 - ≤ 19000 >19000
Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
37
Secara umum, kedudukan muka airtanah bebas di wilayah penelitian mengikuti pola ketinggian tempat (kontur topografi). Kedalaman muka airtanah bebas yang mendekati wilayah Teluk Lampung bervariasi dari 2 – 6 m dibawah muka tanah. Sedangkan di wilayah yang lebih tinggi, muka airtanah bisa lebih Gambar 25. Peta kontur kedalaman muka dari 7 m dibawah muka airtanah wilayah Kota Bandar Lampung tanah (Gambar 25). Berdasarkan pengamatan di lapangan, kenaikan muka airtanah bebas antara musim penghujan dan musim kemarau berbeda antara 0,5 – 1,0 meter. Mengingat penelitian dilaksanakan pada waktu musim kemarau, terlihat kenampakan penurunan muka airtanah di sumur penduduk pada saat musim penghujan dengan akifer yang lebih bersifat lempungan. Pada Gambar 26, memperlihatkan pola aliran (flow line) airtanah menuju pesisir pantai Lampung dimana mengikuti pola topografi ke wilayah yang lebih rendah. Arah aliran airtanah berarah Barat dari wilayah Gunung Betung ke arah Timur (Teluk Lampung). Tampaknya wilayah pengisian airtanah Gambar 26. Peta kontur kesamaan muka airtanah dan pola aliran wilayah Kota Bandar Lampung (imbuhan) berada di wilayah dataran tinggi sekitar Gunung Betung. Topografi merupakan indikator yang paling Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
38
sederhana dalam menentukan daerah imbuhan (resapan) dan daerah luahan. Dampak topografi seperti yang dikemukakan oleh King (1899) dalam Domenico dan Schwarts (1990). Lebih lanjut, Hubbert (1940) dalam Fetter (1991) menjelaskan tentang garis aliran (flow line), muka airtanah (water table) dan garis dengan ketinggian yang sama (equipotential line) (Gambar 27).
Gambar 27. Penampang flow net pada akifer homogen isotropik
Berdasarkan Toth (1963) dalam Domenico dan Schwarts (1990), daerah imbuhan (recharge area) disebut sebagai daerah dimana arah aliran airtanah menjauhi permukaan, sebaliknya daerah luahan (discharge area) adalah daerah dimana arah aliran airtanah mendekati atau menuju permukaan. Ciri daerah imbuhan bisa dibedakan dengan daerah luahan berdasarkan pola permukaan piezometris (potentiometric surface) atau ketinggian/elevasi tekanan hidrostatisnya. Permukaan airtanah pada daerah imbuhan (recharge area) biasanya lebih dalam dibandingkan pada daerah luahan (discharge area) (Fetter, 1991). Daftar pustaka Domenico, P.A., dan Schwartz, F.W., 1990. Physical and Chemical Hydrogeology. John Willey & Sons, Singapore. Fetter, C.W., 2001. Applied Hydrogeology. 4th Edition. Prentice Hall, New Jersey, USA Freeze, R. A. dan Cherry, J. A., 1979. Groundwater. Hemel Hempstead, Prentice Hall International.
Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
39
Pusat Lingkungan Geologi, 2007. Laporan Penyelidikan Potensi Airtanah Cekungan Airtanah (CAT) Bandar Lampung, Sumatera. Badan Geologi, Pusat Lingkungan Geologi, Bandung. Rustandi, E. dan Keyser F. D., 1993. Peta Geologi Lembar Tanjung Karang skala 1 : 250.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (PPPG), Bandung. Sosrodarsono dan Takeda, 1985. Hidrologi untuk Pengairan. PT. Pratnya Paramita, Jakarta, 1987. Wiryawan, B. dkk., 2000. Rencana Strategis Pengelolaan Wilayah Pesisir Lampung. Bekerjasama dengan Proyek Pesisir PKSPL IPB. Bandar Lampung.
Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
40
BAB VI. PENGEMBANGAN MATERIAL SUBTITUSI PEMBUATAN BATA BETON DAN PAVING BLOK Oleh : Evi Dwi Yanti dan Indah Pratiwi
Bata beton (paving block) adalah suatu komposisi bahan bangunan yang dibuat dari campuran semen portland atau bahan perekat hidrolis sejenisnya, air dan agregat dengan atau tanpa bahan tambahan lainnya yang tidak mengurangi mutu bata beton itu (SNI 03-0691-1996) . Bata beton untuk lantai yang selanjutnya dikenal sebagai paving block telah banyak digunakan, seiring dengan meningkatnya pembangunan. Untuk memenuhi tingginya kebutuhan konsumen akan produk bahan bangunan berkualitas baik, maka peranan ilmu pengetahuan dan teknologi sangatlah penting. Paving block dapat dipasang tanpa menggunakan semen. Bahan ini berfungsi menutup lantai dengan bersih dan dalam jangka waktu yang lama. Hal ini membuatnya sebagai alternatif yang murah dan mudah untuk penyerapan air limpasan (run off) dan tempat yang bebas lumpur. Dari segi keindahan, bangunan yang sederhana akan lebih indah dengan lantai dan tempat parkir yang bagus. Paving block dapat ditemukan berbagai bentuk, motif dan pola bahkan warna sesuai dengan selera konsumen. Ketebalan paving block yang sering digunakan (Specifications for Precast Concrete Paving Block, 1980): 1. Ketebalan 6 cm untuk beban lalu lintas ringan yang frekuensinnya terbatas, misalnya pejalan kaki, sepeda motor 2. Ketebalan 8 cm untuk beban lalu lintas berat yang padat frekuensinnya, misalnya sedan, pick up, bus dan truk 3. Ketebalan 10 cm atau lebih untuk beban lalu lintas super berat misalnya crane, loader. Dewan Standarisasi Nasional (1996) mengklasifikasikan 4 Paving block, yaitu: 1. Bata beton mutu A digunakan untuk jalan 2. Bata beton mutu B digunakan untuk peralatan parkir 3. Bata beton mutu C digunakan untuk pejalan kaki 4. Bata beton mutu D digunakan untuk taman dan penggunaan lain
Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
41
Tulisan ini akan mencoba menjelaskan pemanfaatan bahan kulit kopi dan zeolit sebagai material substitusi pembuatan paving blok. Pemanfaatan Kulit Kopi sebagai Material Substitusi Lampung Barat yang dengan potensi lahan dan iklimnya merupakan sentra perkebunan kopi robusta. Berdasarkan Data Statistik Dinas Perkebunan pada Tahun 2010, luas areal kopi robusta mencapai 60.399,5 Ha. Dengan produksi 60.446 ton atau rata-rata 1,1 ton/Ha/tahun (Agustanto Basmar, 2012). Potensi limbah kulit kopi cukup besar sebagai hasil samping produksi biji kopi. Selama ini kulit kopi dibuang begitu saja karena dianggap kurang bermanfaat dan tidak berharga, meski ada juga sebagian kecil petani menggunakannya sebagai pupuk organik di perkebunannya. Kulit kopi yang digunakan dalam penelitian ini adalah semua bagian kulit luar dari biji kopi hasil pengolahan kopi kering. Ruang lingkup kegiatan ini diantaranya: a. Kulit kopi yang digunakan adalah hasil penggilingan dari pabrik penggilingan kopi di Pekon Padang Dalom dan Pekon Serungkuk – Kabupaten Lampung Barat. b. Semen portlant yang digunakan adalah semen portland yang dibeli di toko bangunan terdekat, produksi PT. Semen Baturaja – Sumatera Selatan. c. Pasir kali yang digunakan adalah pasir dari penambangan pasir kali di Pekon Kerang – Kabupaten Lampung Barat. d. Pasir Tuf yang digunakan adalah pasir tuf dari penambangan pasir Tuf kecamatan Sukau – Kabupaten Lampung Barat. Digunakan juga pasir tuf dari Way Kanan dan Muara Enim sebagai perbandingan. e. Penelitian hanya dilakukan untuk mengetahui kualitas paving block berdasarkan syarat baku mutu (SNI 03-0691-1996), yakni densitas, kuat tekan, ketahan aus dan kualitas penyerapan air. f. Ketebalan sampel paving block pada penelitian ini adalah 6,5 cm.
Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
42
g. Komposisi campuran paving block hanya semen, pasir kali, pasir tuf, air dan kulit kopi.
Gambar 28. Lokasi pengambilan sampel
Berdasarkan pelaksanaan penelitian diperoleh: Pasir Tuf Liwa memiliki kadar lumpur 38,89%, sehingga secara teori kadar lumpur agregat yang dapat digunakan untuk bahan subtitusi adalah <5%. Untuk itu penelitian ini dapat memperlihatkan mutu paving block dengan bahan ini. - Kulit kopi yang digunakan untuk bahan subtitusi adalah kulit kopi yang telah dibuat abu sekam kopi. Sebelumnya digunakan kulit kopi yang telah direndam kapur, tetapi karena ukuran serpih kulit kopi terlalu besar, paving yang dibuat tidak bertahan lama. Grafik hubungan penambahan abu sekam kulit kopi terhadap kuat tekan paving block dapat dilihat pada Gambar 29. -
Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
43
Gambar 29. Pengaruh penambahan abu sekam kulit kopi terhadap kuat tekan paving block
Grafik hubungan penambahan abu sekam kulit kopi terhadap penyerapan air paving block dapat dilihat pada Gambar 30.
Gambar 30. Pengaruh penambahan abu sekam kulit kopi terhadap penyerapan air paving block
Grafik hubungan penambahan abu sekam kulit kopi terhadap densitas paving block dapat dilihat pada Gambar 31.
Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
44
Gambar 31. Pengaruh Penambahan Abu Sekam Kulit Kopi Terhadap Penyerapan Air Paving Block
Berdasarkan analisa laboratorium, pada penambahan 5% berat agregat dengan abu sekam kulit kopi diperoleh paving block dengan kuat tekan tertinggi yaitu 22,96 2 3 kg/cm dengan bulk density 1,585 g/cm , dan penyerapan air sebesar 18,6 %. Komposisi terbaik paving block dengan bahan subtitusi abu sekam kopi adalah semen : pasir kali dan Tuf : kulit kopi adalah 1:5,7:0,3 (berdasarkan perbandingan berat). Meski tidak mencapai syarat kuat tekan baku mutu SNI terendah 2 yakni 85 kg/cm , paving block dengan bahan subtitusi ini masih dapat menjadi alternatif bahan perkerasan untuk taman dan sebagai lantai jemur hasil perkebunan.
Gambar 32.Prototipe paving block berbahan kulit kopi
Pemanfaatan Zeolit sebagai Material Substitusi Zeolit merupakan mineral alumino silkat terhidrasi yang memiliki pori molekuler yang dapat diisi oleh molekul air. Direktorat Pengembangan Potensi Daerah merilis, di Indonesia khususnya Propinsi Lampung potensi sumberdaya mineral zeolit cukup banyak, khususnya di Kabupaten Tanggamus dan Lampung Selatan. Pengambilan sampel Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
45
bahan untuk pembuatan prototipe berada di Desa Tengor, Kecamatan Cukuh Balak, Kabupaten Tanggamus, Propinsi Lampung yang berada di o o S 5 39’26,2” dan E 104 54’27,6” pada ketinggian 17 mdpl.
Gambar 33. Peta geologi pengambilan sampel zeolit (Amin, dkk., 1994)
Endapan zeolit yang terbentuk di daerah Tengor, berasosiasi dengan endapan volkanik, khususnya batuan yang mengandung lempung Tufan dan Tuf. Endapan Tufan lempung Tufan yang terendapkan kembali pada suatu lembah di Tengor, selanjutnya oleh proses hidrokimia melalui lubang antar pori telah membentuk zeolit. Kondisi tektonik yang menghasilkan depresi, cekungan dan sumber bahan asal Tuf dan Tufan, serta proses hidrokimia yang terjadi secara serentak dengan proses diagenesa menunjang pembentukan zeolit. Fine Coarse Aggregate (FCA) sebagai matrik pada prototipe paving block terdiri dari campuran zeolit dan pasir sungai. Gambar 34. Lokasi zeolit Sebelum digunakan dalam pembuatan prototipe, bahan Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
46
baku dipreparasi terlebih dahulu. Zeolit dikecilkan ukurannya melalui proses crushing. Pasir sungai diambil dari penambangan pasir di Sungai Way Semangko Liwa lalu dikeringkan secara alami. Kemudian zeolit dan pasir dipisahkan berdasarkan fraksi ukuran tetentu melului proses pengayakan (screening). Bahan baku paving block terdiri dari beberapa komposisi zeolit dan pasir sebagai matrik dan filler, semen portland dan air sebagai bahan pengikat. Pengujian sifat fisik dan mekanik dilakukan terhadap prototipe paving block. Uji sifat fisik merupakan uji densiti, sedangkan uji mekanik terdiri dari uji kuat tekan dan uji penyerapan air seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4. Data Hasil Pengujian Kode P0A P0B P1A P1B P2 P3 P4 P5
Densiti (g/cm3) 0,46 0,47 0,63 0,49 0,43 0,53 0,51 0,5
Kuat Tekan (MPa) 0,77 1,1 1,18 0,43 1,56 3,31 0,79 1,78
Penyerapan Air (%) 22,23 30,01 21,78 23,85 22,18 21,62 35,26 34,34
Data pada tabel di atas menunjukkan bahwa prototipe kode P3 memiliki kuat tekan paling tinggi yaitu sebesar 3,31 MPa, dengan 3 densiti yang cukup ringan sebesar 0,53 g/cm serta nilai penyerapan air sebesar 21,62%, namun masih belum memenuhi standar kualitas paving block yang telah ditetapkan oleh SNI. Prototipe P3 dibuat dengan komposisi bahan yang terdiri dari matrik kering berupa campuran antara zeolit berukuran -1/4+16# sebanyak 5 liter dan pasir sungai berukuran -16+100# sebanyak 4,5 liter, filler berupa zeolit berukuran -100# sebanyak 0,5 liter, bahan pengikat berupa Gambar 35. Prototipe paving block berbahan zeolit Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
47
semen portland sebanyak 1,825 liter dan air sebanyak 1,5 liter. Komposisi tersebut memiliki ratio solid/liquid sebesar 3:1 dan ratio bahan pengikat/Air sebesar 1,215:1. Zeolit terbentuk dari reaksi antara batuan Tuf Asam berbutir halus dan bersifat riolitis dengan air pori atau air meteoric. Mineral ini merupakan kelompok alumino silikat terhidrasi dengan unsur utama terdiri dari kation alkali dan alkali tanah, berstruktur tiga dimensi serta mempunyai pori-pori yang dapat diisi oleh molekul air. Penggunaan zeolit sebagai FCA memperbesar daya serap bata beton, sehingga proses penyerapan air ke tanah akan berlangsung lebih cepat dan dapat mengurangi timbulnya potensi banjir. Daftar pustaka Amin T.C, Sidarto, Santoso S. dan Gunawan W., 1994. Geologi Lembar Kota Agung, Sumatra (The Geology of Kotaagung Quadrangle, Sumatera), Lembar (Quadrangle) 1010, Sekala (Scale) 1:250.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. Departemen Pertambangan dan Energi. SNI 03-0691-1996. Bata Beton (Paving Block). Dewan Standarisasi Nasional. DSN.
Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
48
BAB VII. SOSIALISASI KEBUMIAN DAN KEBENCANAAN “mengenal bencana alam lebih dekat” Oleh : Asep Mulyono
Indonesia terletak pada pertemuan 3 lempeng tektonik aktif lempeng Hindia Australia yang bergerak ke arah utara, kemudian lempeng Pasifik yang bergerak ke arah barat dan lempeng Eurasia. Pertemuan ketiga lempeng tersebut menyebabkan kawasan Indonesia sebagian besar sangat rawan terhadap bencana gempabumi yang mungkin juga diikuti oleh Tsunami. Bencana lainnya yang masih sangat berkaitan dengan pergerakan kulit bumi antara lain letusan gunung api dan gerakan tanah (longsor). Dalam catatan sejarah Indonesia, banyak sudah rentetan bencana kebumian yang telah terjadi di wilayah indonesia, mulai dari ujung barat Indonesia Provinsi Nangroe Aceh Darusalam, Nias, Palembang, Bandung, Alor, Nabire di Papua dan yang terbaru adalah gempa bumi di wilayah yang berdekatan dengan Bengkulu. Peristiwa gempa bumi yang baru-baru ini melanda beberapa wilayah Indonesia, menambah kekhawatiran akan terulangnya kembali bencana tsunami yang pernah melanda Aceh. Daerah Lampung Barat termasuk di dalamnya mempunyai tingkat kerawanan terhadap gempa bumi yang tinggi. Hal ini disebabkan kota Liwa terletak pada zona patahan besar Sesar Sumatera segmen Ranau yang merupakan tempat sumber gempa akibat adanya pergerakan aktif sesar tersebut. Gempa yang terjadi tahun 1933 dan 1994 telah menyebabkan korban jiwa, harta benda dan bangunan infrastrruktur yang cukup besar. Sumber pusat gempa lainnya terdapat di sebelah barat Sumatera di Samudera Hindia yang merupakan pertemuan lempeng Hindia Australia dengan lempeng Eurasia. Getaran gempa yang ditimbulkan dapat mencapai kota-kota yang berada di propinsi Lampung. Disamping itu, pusat gempa yang terdapat di samudera Hindia ini dapat pula berpotensi menimbulkan tsunami jika pergerakan kulit bumi di bawah laut tersebut terdapat dislokasi vertikal. Kerawanan bencana lainnya yang terdapat di Lampung Barat adalah gerakan tanah/longsoran. Hal ini ditunjang oleh kondisi topografi yang berupa perbukitan dan kondisi tanah dan batuan yang mudah longsor. Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
49
Hingga saat ini, disetiap daerah yang rawan bencana memerlukan suatu wadah yang dapat menginformasikan macammacam bencana yang mungkin tanpa disadari akan terjadi pada daerah tempat tinggal mereka. Masyarakat mengeluhkan kurangnya upaya sosialisasi mengenai penanggulangan bencana minimal tindakan preventif ketika bencana alam akan terjadi. Sosialisasi yang dibutuhkan masyarakat ini, tentunya harus diupayakan bentuk penyampaiannya secara sederhana dan dengan bahasa yang mudah dipahami, sehingga informasi dapat mereka terima dengan mudah. Optimalitas dalam sosialisasi tersebut tentunya dapat membantu mengurangi resiko akibat bencana sebagai upaya mitigasi bencana. Manakala kita hidup di wilayah rawan bencana maka seyogyanya kita berusaha mengantisipasinya bila sewaktu-waktu terjadi bencana. Semua ini baru kita dapat lakukan apabila kita telah mengetahui segala sesuatu tentang kebumian serta bahaya dan dampak yang akan ditimbulkannya. Berdasarkan kondisi demikian, pengetahuan tentang kebumian khususnya yang berhubungan dengan kebencanaan perlu dilakukan pada masyarakat khususnya anak usia dini di lingkungan sekolah dapat lebih siap dalam menghadapi bencana apapun. Materi yang akan disampaikan kegiatan sosialisasi ini diantaranya : 1. Pengenalan bumi, indikatornya siswa memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang bumi dan tatanan geologi dan tektonik wilayah Indonesia khususnya sumatera. 2. Sumberdaya mineral dan pertambangan, indikatornya siswa memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang hubungan bumi dan sumberdaya mineral dan aktivitas penambangan. 3. Potensi dan mitigasi bencana kebumian, indikatornya siswa memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang jenis-jenis bahaya geologis dan pengenalan usaha-usaha mitigasinya. Pelaksanaan kegiatan bertempat di ruang aula UPT Loka Uji Teknik Penambangan dan Mitigasi Bencana Liwa-LIPI yang beralamat di Pekon Padang Dalom Kecamatan Balik Bukit, Liwa – Lampung Barat. Tema dari kegiatan ini adalah Mengenal Bencana Alam Lebih Dekat. Berikut aktivitas kegiatan sosialisasi kebumian dan kebencanaan yang telah dilaksanakan.
Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
50
Gambar 36. Perkenalan Pemateri kepada Murid dan Guru Pembimbing
Gambar 37. Dongeng Siaga Bencana menggunakan Flipchart & Lagu Siaga Bencana
Gambar 38. Diskusi interaktif & Pembagian Hadiah
Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
51
Gambar 39. Pengenalan Materi Bencana
Gambar 40. Penyerahan HandOut Pengenalan Siaga Bencana & Foto Panitia dan Peserta
Gambar 41. Sosialisasi Hasil Penelitian melalui Poster
Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
52
Gambar 42. Pengenalan Jenis Batuan
Gambar 43. Games Bencana
Gambar 44. Pelaksanaan Eskursi/Tinjauan Lapangan
Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
53
BAB VIII. PENUTUP Oleh : Asep Mulyono
Geometri zona sesar Sumatra memiliki karakteristik yang cukup kompleks. Meskipun pergerakan utamanya adalah mendatar menganan, tetapi akibat pergerakan menganan tersebut, pada daerahdaerah tertentu mengalami tarikan yang akhirnya membentuk suatu depresi. Dengan kata lain bahwa sesar ini tidak murni memiliki pergerakan menganan, tetapi juga memiliki karakteristik pull-apart basin yang terbentuk karena struktur tarikan menganan tersebut. Hasil interpretasi menunjukkan adanya sebuah kelurusan yang sejajar sesar utama dan berada di bagian selatan. Kelurusan ini diinterpretasikan berupa sesar yang sudah tidak aktif lagi. Pergerakan menganan yang membentuk Kaldera Ranau seperti bentuk sekarang dan keberadaan jejak sesar yang tidak aktif tersebut memberikan gambaran terbentuknya sesar segmen Kumering. Gerakan tanah di sepanjang jalur lintas barat Liwa umumnya 0 terjadi pada lereng yang memiliki kemiringan 25-80 , tersusun oleh tanah lempung campuran yang memiliki karakteristik porositas, permeabilitas, dan plastisitas yang tinggi dengan tata guna lahan berupa kebun campuran. Oleh sebab itu, untuk mengurangi terjadinya gerakan tanah di jalur lintas barat Liwa diperlukan teknik mitigasi yang berkesinambungan dan berkelanjutan khususnya pada proses pemotongan lereng jalan yang fokus terhadap jenis tanah/batuan penyusun lereng, penanaman tanaman penutup lereng yang sesuai/revegatasi lereng, pemeliharaan jaringan drainase, penyuluhan kepada masyarakat mengenai bahaya gerakan tanah, dan penerapan aturan yang tegas mengenai perlindungan lingkungan hidup. Kondisi sumberdaya lahan wilayah Kotabumi, Lampung Utara terbagi menjadi 4 (empat) zona agroekologis, yaitu (1) Ent.1.2 dengan karakterisik ordo tanah Entisols, isohypertermik dan ustik yang terdiri atas wilayah dengan zona IV (relief 0 – 8 %) (2) Oks.1.2 dengan karakterisik ordo tanah Oksisols, isohypertermik dan ustik yang terdiri atas wilayah dengan zona IV (relief 0 – 8 %); (3) Incp.1.2 dengan karakterisik ordo tanah Inceptisols, isohypertermik dan ustik yang terdiri atas wilayah dengan zona III (relief 8 – 15 %) dan zona IV (relief 0 – 8 %) ; dan (4) Ult.1.2 dengan karakterisik ordo tanah Ultisols, Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
54
isohypertermik dan ustik yang terdiri atas wilayah dengan zona IV (relief 0 – 8 %). Pola aliran (flow line) airtanah wilayah Kota Bandar Lampung menuju pesisir pantai Lampung dimana mengikuti pola topografi. Arah aliran airtanah berarah Barat dari wilayah Gunung Betung ke arah Timur (Teluk Lampung). Wilayah pengisian airtanah (imbuhan) berada di wilayah dataran tinggi sekitar Gunung Betung. Kenaikan muka airtanah bebas antara musim penghujan dan musim kemarau berbeda antara 0,5 – 1,0 meter. Kedudukan muka airtanah bebas wilayah Teluk Lampung bervariasi dari 2 – 6 m dibawah muka tanah. Sedangkan di wilayah yang lebih tinggi, muka airtanah bisa lebih dari 7 m dibawah muka tanah dengan kondisi sifat fisik airtanah dangkal di wilayah penelitian beragam, walaupun dibeberapa lokasi pengamatan terdapat sumur penduduk yang tidak layak minum terutama dengan nilai DHL yang cukup tinggi. Pengembangan sumberdaya alam berupa limbah kulit kopi dan mineral alam berupa zeolit menghasilkan suatu prototipe bahan bangunan berupa paving blok. Komposisi terbaik paving block dengan bahan subtitusi abu sekam kopi adalah semen : pasir kali dan tufa : kulit kopi adalah 1:5,7:0,3 (berdasarkan perbandingan berat). Sedangkan yang berasal dari mineral alam zeolit dimana terdapat prototipe yang memiliki kuat tekan paling tinggi yaitu sebesar 3,31 MPa, dengan 3 densiti yang cukup ringan sebesar 0,53 g/cm serta nilai penyerapan air sebesar 21,62%. Paving block dengan bahan subtitusi ini masih dapat menjadi alternatif bahan perkerasan untuk taman dan sebagai lantai jemur hasil perkebunan. Pemasyarakatan ilmu kebumian dan kebencanaan dilakukan agar pengetahuan tentang kebumian pada masyarakat khususnya anak usia dini di lingkungan sekolah. Kegiatan tersebut diantaranya diisi dengan pemberian materi dan diskusi interaktif di dalam ruangan dan eskursi dilapangan untuk melihat fenomena geologi dan bencana yang dapat di amati; dongeng siaga bencana, pengenalan flipchart dan lagu siaga bencana, games bencana dan pengenalan melalui poster dan meja display. Demikian penutup dari rangkaian tulisan dalam buku bunga rampai dengan judul “ILMU KEBUMIAN UNTUK PERLINDUNGAN WILAYAH” yang dapat kami sampaikan. Semoga dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan khususnya ilmu kebumian di Indonesia. Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
55
TENTANG PENULIS Asep Mulyono, Lahir di Bandung, 19 Oktober 1977. Penulis adalah lulusan S-1 Ilmu Tanah UNPAD tahun 2000 dan S-2 Teknik Airtanah ITB tahun 2010. Sejak tahun 2002 sampai sekarang bekerja di UPT Loka Uji Teknik Penambangan dan Mitigasi Bencana, Liwa sebagai peneliti bidang Ilmu Tanah dan Air/Hidropedologi. Saat ini menjabat sebagai Kepala UPT Loka Uji Teknik Penambangan dan Mitigasi Bencana, Liwa. (
[email protected] / +6281272959049) Sonny Aribowo, Lahir di Bandung, 23 April 1983. Penulis adalah lulusan S-1 Geologi UNPAD tahun 2009. Sejak tahun 2009 sampai sekarang bekerja di UPT Loka Uji Teknik Penambangan dan Mitigasi Bencana, Liwa sebagai peneliti bidang Geologi dan Geofisika. (
[email protected] / +6281910234322) Prahara Iqbal, Lahir di Jakarta, 17 Maret 1983. Penulis adalah lulusan S-1 Geologi UNPAD tahun 2006 dan S-2 Geologi ITB tahun 2013. Sejak tahun 2008 sampai sekarang bekerja di UPT Loka Uji Teknik Penambangan dan Mitigasi Bencana, Liwa sebagai peneliti bidang Geologi dan Geofisika. (
[email protected] / +6285369050356) Evi Dwi Yanti, Lahir di Palembang, 18 April 1980. Penulis adalah lulusan S-1 Teknik Pertambangan UNSRI tahun 2005 dan sedang menjalani S-2 Teknik Pertambangan ITB. Sejak tahun 2006 sampai sekarang bekerja di UPT Loka Uji Teknik Penambangan dan Mitigasi Bencana, Liwa sebagai peneliti bidang Teknik Sumberdaya. (
[email protected] / +6281367702755) Indah Pratiwi, Lahir di Aceh, 25 April 1987. Penulis lulusan S-1 Teknik Pertambangan UNISBA tahun 2010. Sejak tahun 2012 sampai sekarang bekerja di UPT Loka Uji Teknik Penambangan dan Mitigasi Bencana, Liwa sebagai peneliti bidang Teknik Sumberdaya. (
[email protected] / +6282117119907)
Ilmu Kebumian untuk Perlindungan Wilayah
56